RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN … TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa
Negara
memajukan
Kesatuan
kesejahteraan
Republik umum
Indonesia
dan
wajib
mencerdaskan
kehidupan bangsa, menjamin terpenuhinya hak dasar setiap individu
untuk
memperoleh
penghidupan
yang
layak
menurut kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan Pancasila
dan
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945; b. bahwa dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat ketimpangan kehidupan dan penghidupan sosial ekonomi dan sosial kemasyarakatan antara daerah maju dan daerah tertinggal; c. bahwa
daerah
tertinggal
memerlukan
percepatan
pembangunan sehingga menuju ke arah kesetaraan dengan daerah maju; d. bahwa
untuk
mendorong
pelaksanaan
percepatan
pembangunan diperlukan pengaturan sebagai dasar dan kepastian hukum bagi penyelenggaraan pembangunan di daerah tertinggal; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk
Undang-Undang
tentang
Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal; Mengingat: Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pembangunan
adalah
suatu
proses,
upaya,
dan
tindakan
untuk
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. 2. Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan
masyarakat
setempat
menurut
prakarsa
sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Daerah
Tertinggal
adalah
daerah
kabupaten
yang
wilayah
serta
masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. 4. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal adalah proses, upaya dan tindakan,
keberpihakan
dan
pemberdayaan
yang
dilakukan
secara
terencana, terkoordinasi, dan terpadu untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah tertinggal. 5. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. 6. Pemerintah
Pusat
selanjutnya
disebut
Pemerintah
adalah
Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2
7. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pasal 2 Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal berasaskan: a. keadilan; b. kepastian hukum; c. keterpaduan; d. keterbukaan; e. akuntabilitas; f. keberpihakan; g. partisipasi masyarakat; dan h. keberlanjutan. Pasal 3 Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal bertujuan untuk: a. terpenuhinya kebutuhan dasar dan prasarana dasar daerah tertinggal yang berkeadilan; b. berkurangnya kesenjangan antara daerah tertinggal dengan daerah maju; dan c. terwujudnya kehidupan masyarakat daerah tertinggal yang maju, adil, dan sejahtera. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 4 Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal mencakup: a. kriteria dan penentuan daerah tertinggal; b. perencanaan pembangunan; c. pelaksanaan; d. pengawasan; dan e. evaluasi.
3
BAB III KRITERIA DAN PENENTUAN DAERAH TERTINGGAL Bagian Kesatu Kriteria Daerah Tertinggal Pasal 5 (1) Suatu daerah ditetapkan sebagai daerah tertinggal apabila memenuhi kriteria ketertinggalan sebagai berikut: a. perekonomian masyarakat; b. sumber daya manusia; c. sarana dan prasarana; d. kemampuan keuangan daerah; e. aksesibilitas; dan f. karakteristik daerah. (2) Berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan daerah tertinggal dengan kategori: a. ketertinggalan tinggi; b. ketertinggalan sedang; dan c. ketertinggalan rendah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan kategori ketertinggalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 6 Perekonomian masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a diukur berdasarkan: a. prosentase keluarga miskin; dan b. pengeluaran konsumsi perkapita. Pasal 7 Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b diukur berdasarkan: a. indeks pembangunan manusia; b. angka harapan hidup; c. rata-rata lama sekolah; dan d. angka melek huruf. 4
Pasal 8 Sarana dan Prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c diukur berdasarkan keterbatasan: a. transportasi; b. energi; c. kesehatan; d. pendidikan; e. telekomunikasi; dan f. sarana dan prasarana perekonomian. Pasal 9 Kemampuan keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d diukur berdasarkan tingkat celah fiskal. Pasal 10 Aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e diukur berdasarkan keterbatasan tingkat keterhubungan dengan kebutuhan dasar dan prasarana dasar: a. akses
kantor
desa,
kelurahan
atau
sebutan
lain
ke
kantor
kabupaten/kota; b. akses ke pelayanan kesehatan; dan c.
akses ke pelayanan pendidikan dasar. Pasal 11
Karakteristik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f diukur berdasarkan daerah: a. di perbatasan antarnegara; b. gugusan pulau-pulau kecil; c. rawan bencana; dan d. rawan konflik.
5
Bagian Kedua Penentuan Daerah Tertinggal Pasal 12 (1) Pemerintah menentukan Daerah Tertinggal dan kategori ketertinggalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 setiap 5 (lima) tahun sekali secara nasional. (2) Dalam
menentukan
Daerah
Tertinggal
dan
kategori
ketertinggalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan instansi pemerintah yang terkait dan Pemerintah Daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelibatan instansi pemerintah yang terkait dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB IV PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL Pasal 13 (1) Perencanaan pembangunan daerah tertinggal nasional disusun oleh Pemerintah dan perencanaan pembangunan daerah tertinggal daerah disusun oleh Pemerintah Daerah. (2) Perencanaan
pembangunan
daerah
tertinggal
nasional
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menghasilkan: a. Rencana Pembangunan Daerah Tertinggal Nasional; b. Rencana Pembangunan Daerah Tertinggal Daerah; dan c. Rencana Pembangunan Daerah Tertinggal Tahunan. (3) Rencana
Pembangunan
Daerah
Tertinggal
Nasional
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a disusun berdasarkan daerah tertinggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (4) Rencana Pembangunan Daerah Tertinggal Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat
(2)
huruf
b
disusun
dengan
mengacu
pada
Rencana
Pembangunan Daerah Tertinggal Nasional untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (5) Rencana
Pembangunan
Daerah
Tertinggal
Tahunan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c disusun oleh Pemerintah Daerah dengan 6
mengacu pada Rencana Pembangunan Daerah Tertinggal Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Pasal 14 (1) Rencana
Pembangunan
Daerah
Tertinggal
Nasional
merupakan
penjabaran lebih khusus dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional mengenai program-program indikatif untuk mewujudkan visi, misi, arah kebijakan, dan strategi pembangunan terhadap daerah tertinggal. (2) Rencana Pembangunan Daerah Tertinggal Daerah merupakan penjabaran dari
Rencana
Pembangunan
Daerah
Tertinggal
Nasional
mengenai
program-program indikatif untuk mewujudkan visi, misi, arah kebijakan dan strategi, pembangunan terhadap daerah tertinggal sesuai dengan tingkat wilayah dan kewenangannya. (3) Rencana
Pembangunan
Daerah
Tertinggal
Tahunan
merupakan
penjabaran dari Rencana Pembangunan Daerah Tertinggal Daerah yang memuat prioritas pembangunan daerah tertinggal, sasaran dan rencana kerja tahunan dalam membangun daerah tertinggal. (4) Rencana
Pembangunan
Daerah
Tertinggal
Tahunan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disusun dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat di daerah tertinggal. Pasal 15 Perencanaan pembangunan daerah tertinggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 paling sedikit mencakup aspek pembangunan: a. perekonomian masyarakat; b. sumber daya manusia; c. sarana dan prasarana; d. kemampuan keuangan daerah; e. aksesibilitas; dan f. karakteristik daerah. Pasal 16 Pembangunan perekonomian masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a mencakup aspek penyediaan pusat produksi dan fasilitas peningkatan produksi yang berbasis sumber daya alam: a. pertanian; 7
b. perkebunan; c. kelautan dan perikanan; d. industri; dan/atau e. pertambangan. Pasal 17 Pembangunan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b mencakup aspek: a. keagamaan; b. pendidikan; dan c. kesehatan. Pasal 18 Pembangunan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c mencakup aspek: a. transportasi; b. komunikasi; c. energi; d. kesehatan; e. pendidikan; f. telekomunikasi; dan g. sarana dan prasarana perekonomian. Pasal 19 Pembangunan kemampuan keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d mencakup aspek: a. ketersediaan anggaran; b. keberpihakan dalam pengalokasian anggaran; dan c. peningkatan pendapatan asli daerah. Pasal 20 Pembangunan aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf e mencakup aspek: a. kebutuhan dasar; dan b. sarana dan prasarana dasar.
8
Pasal 21 Pembangunan karakteristik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf f mencakup aspek: a. pengelolaan potensi daerah; b. penanganan rawan konflik dan rawan bencana; c. pembukaan keterisolasian daerah; dan d. kearifan lokal. BAB V PELAKSANAAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL Pasal 22 Pemerintah
Daerah
bertanggung
jawab
sebagai
pelaksana
Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal sesuai dengan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI PENGAWASAN DAN EVALUASI Bagian Kesatu Pengawasan Pasal 23 (1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaaan percepatan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pengawasan anggaran dan kinerja. Bagian Kedua Evaluasi Pasal 24 (1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pemerintah melakukan evaluasi setiap akhir tahun anggaran. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap tingkat capaian
pelaksanaan
berdasarkan
Rencana
Pembangunan
Daerah 9
Tertinggal Nasional, Rencana Pembangunan Daerah Tertinggal Daerah, Rencana Pembangunan Daerah Tertinggal Tahunan. (3) Apabila berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) suatu daerah tertinggal dinyatakan sudah tidak memenuhi kriteria sebagai Daerah tertinggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, pembangunan daerah tersebut dilaksanakan tidak berdasarkan Undang-Undang ini. BAB VII TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH Bagian Kesatu Tugas dan Wewenang Pemerintah Pasal 25 Pemerintah bertugas: a. mengidentifikasi daerah; b. melakukan perencanaan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal; c. melakukan koordinasi antarkementerian dan Pemerintah Daerah; dan d. mengalokasikan anggaran pembiayaan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pasal 26 Dalam
melaksanakan
tugas
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
25,
Pemerintah berwenang: a. menetapkan daerah-daerah tertinggal dalam skala nasional; b. mengawasi pelaksanaan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah; dan c. melakukan evaluasi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dalam skala nasional.
10
Bagian Kedua Tugas dan Wewenang Pemerintah Provinsi Pasal 27 Pemerintah provinsi bertugas: a. memberikan data dan informasi mengenai Daerah Tertinggal di wilayah provinsi kepada Pemerintah; b. merencanakan dan mengoordinasikan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dalam skala provinsi; dan c. mengalokasikan anggaran pembiayaan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pasal 28 Dalam
melaksanakan
tugas
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
27,
pemerintah provinsi berwenang: a. mengoordinasikan
pelaksanaan
Percepatan
Pembangunan
Daerah
Tertinggal di wilayah kewenangannya; b. mengawasi pelaksanaan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten; dan c. melakukan evaluasi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dalam skala provinsi. Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang Pemerintah Kabupaten Pasal 29 Pemerintah kabupaten bertugas: a. memberikan data dan informasi mengenai Daerah Tertinggal di wilayah kabupaten kepada Pemerintah; b. merencanakan
dan
melaksanakan
Percepatan
Pembangunan
Daerah
Tertinggal dalam skala kabupaten; dan c. mengalokasikan anggaran pembiayaan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pasal 30 Dalam
melaksanakan
tugas
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
29,
pemerintah kabupaten berwenang: 11
a. melaksanakan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal di wilayah kewenangannya; dan b. melakukan evaluasi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dalam skala kabupaten. BAB VIII PEMBIAYAAN Pasal 31 (1) Pembiayaan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (2) Selain
Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Negara
dan
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembiayaan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dapat bersumber dari peran serta masyarakat. Pasal 32 (1)
Daerah tertinggal dengan kategori ketertinggalan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, mendapatkan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi tanpa menyediakan dana pendamping dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten.
(2) Daerah tertinggal dengan kategori ketertinggalan sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, mendapatkan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi dengan menyediakan dana pendamping sebesar 3% (tiga perseratus) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten. (3) Daerah tertinggal dengan kategori ketertinggalan rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, mendapatkan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi dengan menyediakan dana pendamping sebesar 5% (lima perseratus) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten.
12
BAB IX PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 33 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk membantu: a. perencanaan; b. pelaksanaan; c. pengawasan; d. evaluasi; dan/atau e. pembiayaan. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal... MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … 13
RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
I.
UMUM. Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
wajib
memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, menjamin terpenuhinya
hak
dasar
setiap
individu
untuk
memperoleh
penghidupan yang layak menurut kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk terpenuhinya hak dasar dimaksud dapat tercapai melalui proses
pembangunan.
Bangsa
Indonesia
telah
melaksanakan
pembangunan nasional di semua bidang lebih dari 60 tahun lamanya mulai dari tahapan pembangunan lima tahunan (Repelita I, II, III, IV, dan V) sampai dengan Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004 – 2009. Namun demikian sampai saat ini hasil-hasil pembangunan belum dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia dengan adanya kenyataan bahwa dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
masih
terdapat
daerah-daerah
yang
menghadapi
permasalahan mendasar meliputi kondisi sosial, budaya, ekonomi, sumber daya manusia, aksesibilitas, serta ketersediaan infrastruktur yang berada di bawah kondisi daerah yang dikategorikan sebagai daerah maju. Terlebih mengingat wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia masih terdapat ketimpangan kehidupan dan penghidupan sosial ekonomi dan sosial kemasyarakatan antara daerah maju dan daerah tertinggal. Oleh karenanya daerah tertinggal memerlukan percepatan pembangunan sehingga setara dengan daerah maju. Suatu
daerah
ditetapkan
sebagai
daerah
tertinggal
apabila
memenuhi kriteria ketertinggalan: 14
a.
rendahnya
perekonomian
masyarakat
diukur
berdasarkan
prosentase keluarga miskin yang tinggi dan pengeluaran konsumsi perkapita yang rendah. b.
rendahnya kualitas sumber daya manusia yang diukur berdasarkan indeks pembangunan manusia.
c.
keterbatasan sarana dan prasarana transportasi, energi, kesehatan, pendidikan,
telekomunikasi,
dan
sarana
dan
prasarana
perekonomian. d.
rendahnya kemampuan keuangan daerah yang diukur berdasarkan tingkat celah fiskal.
e.
keterbatasan
aksesibilitas
terhadap
kebutuhan
dasar
dan
prasarana dasar. f.
keterisolasian perbatasan
daerah
berdasarkan
antarnegara,
gugusan
karakteristik pulau-pulau
daerah kecil,
di
rawan
bencana, dan rawan konflik. Pembangunan nasional selama ini masih bersifat umum dan menggunakan program
pendekatan
kegiatan
sektoral
dan
bukan
kewilayahan
pengalokasian
sehingga
anggaran
tidak
mempertimbangkan karakteristik yang dimiliki daerah. Akibatnya, kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan pengembangan wilayah menimbulkan perbedaan tingkat kemajuan dan kondisi antar daerah atau adanya kesenjangan antar daerah yang mengakibatkan adanya ketimpangan sosial ekonomi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketertinggalan daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
memerlukan
percepatan
pembangunan.
Percepatan
pembangunan yang dimaksud selain pada kesesuaian program dan kegiatan pembangunan dengan karakteristik dan kebutuhan daerah tertinggal
dan
masyarakatnya
juga
harus
adanya
kepastian,
konsistensi, dan keberlangsungan dalam hal pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan, ketersediaan anggaran, serta tanggung jawab dari masing-masing tingkatan pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Hal-hal sebagaimana dimaksud dapat terwujud dalam hal terdapat keberpihakan kebijakan pembangunan nasional terhadap daerah tertinggal yang dijamin oleh suatu instrumen hukum yang menetapkan
kewajiban-kewajiban
hukum
semua
pihak
untuk 15
melaksanakan pembangunan di daerah tertinggal menurut lingkup kewenangannya. Undang-Undang Tertinggal
tentang
Percepatan
dibentuk
Pembangunan
untuk
Daerah
memperbaha
rui pembangunan daerah tertinggal sehingga dapat
mempercepat
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat daerah tertinggal melalui percepatan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah tertinggal. Undang-Undang ini merupakan landasan hukum untuk dilaksanakan oleh semua pihak dalam melaksanakan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Undang-Undang
ini
memuat
ketentuan-ketentuan
untuk
melaksanakan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal secara terpadu dalam satu kesatuan sehingga terjadi interaksi antara daerah tertinggal dengan pembangunan daerah maju. Dalam jangka panjang diharapkan ketertinggalan suatu daerah sudah tidak terjadi lagi dan tercipta kesetaraan antara daerah satu dengan daerah lainya di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
II
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dilaksanakan secara merata dan sama tanpa memandang perbedaan kondisi daerah atau wilayah. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah asas dalam
negara
hukum
yang
meletakkan
hukum
dan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan
dan
tindakan
dalam
bidang
Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal. 16
Huruf c Yang
dimaksud
dengan
“asas
keterpaduan”
adalah
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal merupakan kegiatan yang melibatkan berbagai pihak yang terkait, pelaksanaannya harus terpadu dan terkoordinasi. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kegiatan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal harus dapat
dipertanggungjawabkan
kepada
masyarakat
atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf f Yang
dimaksud
dengan
keberpihakan
yang
kesejahteraan
masyarakat
“asas
diarahkan dan
keberpihakan” untuk
adalah
meningkatkan
pembangunan
daerah
tertinggal. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas partisipasi masyarakat” adalah memberi kesempatan dan melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Huruf h Yang
dimaksud
dengan
“asas
keberlanjutan”
adalah
kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
17
Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Yang dimaksud dengan indeks pembangunan manusia (IPM) adalah salah satu ukuran yang dapat mencerminkan kinerja pembangunan manusia di suatu wilayah terutama upaya pemberdayaan dan kualitas sumber daya manusia dan partisipasinya dalam pembangunan. IPM mengacu pada tiga pembangunan manusia, yang terdiri dari kehidupan yang panjang dan sehat (indeks kesehatan/indeks harapan hidup), indeks pendidikan (indeks melek huruf dan indeks rata-rata lama sekolah), dan indeks paritas daya beli masyarakat. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Yang dimaksud dengan celah fiskal yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal (KbF) dengan Kapasitas Fiskal (KpF). Komponen variabel kebutuhan fiskal yang digunakan untuk pendekatan perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari: jumlah penduduk, luas wilayah, indeks
pembangunan
manusia
(IPM),
indeks
kemahalan
konstruksi (IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, sedangkan komponen variabel kapasitas fiskal merupakan 18
sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah yang terkait” antara lain Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT),
Kementerian
Kesehatan,
Pekerjaan
Kementerian
Pembangunan
Nasional
Umum,
Pendidikan (Bappenas),
Kementerian
Nasional, dan
Badan
Kementerian
Perhubungan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas.
19
Pasal 20 Huruf a Yang dimaksud dengan kebutuhan dasar adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk kelangsungan hidup, contohnya antara lain pangan dan air bersih. Huruf b Yang dimaksud dengan “sarana dasar” adalah
segala
sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan, contohnya antara lain kantor sebagai sarana
administrasi
pemerintahan,
pusat
kesehatan
masyarakat sebagai sarana kesehatan, dan gedung sekolah sebagai sarana pendidikan dasar. Yang dimaksud dengan “prasarana dasar” adalah segala sesuatu
yang
terselenggaranya
merupakan kebutuhan
dasar
penunjang dan
sarana
utama dasar,
contohnya antara lain jalan dan angkutan yang merupakan prasarana penting bagi pembangunan suatu daerah. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. 20
Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR...
21