Ragam Gelaran Hari Kartini Ala Dharmawanita Persatuan FKM UNAIR NEWS – Para ibu mengenakan baju terbaiknya. Tubuhnya dibalut kebaya yang dipasangkan dengan bawahan jarit dan sepatu berhak tinggi. Tak lupa, wajah, rambut dan hijabnya ditata seindah mungkin. Pada gilirannya, mereka berjalan pelan bak peragawati yang mempertunjukkan busana dan riasannya. Sambil tersenyum penonton.
dan
sesekali
menahan
tawa
di
hadapan
Mereka adalah para anggota Dharmawanita Persatuan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Yang di sela-sela jam kerjanya, meluangkan waktunya untuk memperingati Hari Kartini, Jumat (21/4). Dalam acara peringatan Hari Kartini FKM UNAIR, Dharmawanita Persatuan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga menggelar acara kelahiran pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Dalam acara tersebut, para dosen, tenaga kependidikan, dan istri dosen membacakan surat-surat Kartini, mengikuti talkshow, fashion show, dan pemeriksaan kesehatan. “Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas,” begitu sebuah larik surat yang dibacakan salah satu anggota Dharmawanita. Pakar psikologi perkembangan Fakultas Psikologi UNAIR, Dr. Dewi Retno Suminar, dalam kesempatan talkshow menuturkan perempuan dituntut untuk mampu membagi perannya sebagai istri, ibu, hingga pekerja. Maka, perempuan diharapkan untuk mengatur waktunya sebaik mungkin.
“Jam kantor biasanya selesai jam lima sore. Maka, setelah itu jangan pernah ngobrol soal pekerjaan. Manajemen waktu itu penting,” tutur Dewi yang memberikan materi tentang “Dengan Semangat Kartini Kita Bangun Wanita Indonesia Yang Anggun, Mandiri, dan Bekerja Nyata Turut Serta Mencerdaskan Bangsa”. “Sikap anggun dan elegan akan muncul jika time management-nya efektif,” imbuhnya. Ketua Dharmawanita Persatuan FKM UNAIR, Retha Pulung, mengatakan acara ini tak sekadar untuk memperingati Hari Kartini setiap tahun. Tetapi juga membentuk para sivitas akademika, juga para anggota Dharmawanita untuk menjadi pribadi yang lebih anggun, mandiri, dan berwibawa dalam segala hal. Penulis: Defrina Sukma S Editor: Nuri Hermawan
FK UNAIR Sematkan Gelar Kehormatan pada Pakar Bedah Saraf Dunia UNAIR NEWS – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga kembali menggelar acara penganugerahan gelar kehormatan. Kali ini, FK UNAIR melalui Departemen Bedah Saraf menyematkan gelar kehormatan kepada Prof. Dr. Med.Christianto B. Lumenta, MD., Ph.D, seorang pakar bedah saraf berkaliber internasional. Dihadapan puluhan tamu undangan, Prof Lumenta menyampaikan orasinya yang berjudul Residency Training Program in Europe and Indonesia. Dalam bidang ilmu bedah saraf, Prof Lumenta
dikenal sebagai seorang pakar bedah saraf asal Jakarta yang berdomisili di Jerman. Saat ini, Lumenta menjabat sebagai kepala Departemen di Bogenhausen Academic Teaching Hospital Technical University of Munich, Germany. Dalam perjalanan kariernya, Prof Lumenta telah berkiprah selama puluhan tahun di Jerman. Awal pendidikan dokter dimulai tahun 1970 hingga 1976 di the Rheinischen Friedrich-WilhelmsUniversität Bonn, Germany. Ia kemudian menyelesaikan pendidikan spesialis bedah saraf tahun 1980 hingga tahun 1992 di Neurochirurgische Universitätsklinik Düsseldorf, Germany. Setelah memperoleh gelar professor di tahun 1994, Prof Lumenta semakin aktif berkiprah di bidangnya. Prof Lumenta sering diundang menjadi pembicara di berbagai acara kongres internasional. Kiprahnya dalam pengembangan ilmu bedah saraf kian nyata setelah Prof Lumenta dipercaya berulangkali menjadi penguji bedah saraf di Eropa dan turut menentukan sistem pendidikan di sana. Sepanjang perjalanan karir, Prof Lumenta telah banyak menghasilkan puluhan jurnal penelitian. Antara lain 94 artikel jurnal yang terpublikasi di berbagai jurnal internasional, 5 teksbook, dan menjadi kontributor 35 buku ilmiah. Meskipun berdomisili di Jerman, namun setiap tahun, ia selalu sempatkan datang ke Indonesia. Tidak saja mengunjungi keluarga dan kerabat di Jakarta, agenda mudik sang profesor juga diisi dengan aktivitas belajar dan berdiskusi dengan para residen maupun dokter bedah saraf di Indonesia, termasuk diantaranya dengan para dokter dari Departemen Bedah Saraf FK UNAIR. Ketua Departemen Bedah Saraf Dr. Agus Turchan, dr., Sp.BS(K) mengungkapkan pihaknya berinisiatif menghadirkan Prof. Lumenta menjadi tamu kehormatan dalam acara tersebut karena dedikasinya yang begitu besar terhadap kemajuan ilmu Bedah saraf selama ini. Selain itu, beliau juga berpengalaman
mempublikasikan banyak sekali jurnal ilmiah. “Tahun 2004 adalah awal kami mengenal Prof Lumenta . Pada saat itu, beliau sudah sibuk riwa-riwi Jakarta Bandung untuk memberi kuliah. kami coba bernegosiasai agar beliau juga bersedia meluangkan waktu untuk sharing knowledge dengan FK UNAIR,” ungkapnya. Hubungan kerjasama yang baik diantara keduanya pun berlanjut hingga saat ini. Tidak sedikit mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Ilmu Bedah Saraf FK UNAIR yang dikirim ke Bogenhausen Academic Teaching Hospital Technical University of Munich, Germany selama beberapa bulan untuk belajar bersama Prof Lumenta. “Kerjasama ini akan terus berlanjut. Selain mengirim mahasiswa dan dosen kami kesana, dalam waktu dekat, pihak Bogenhausen Academic Teaching Hospital Technical University of Munich juga akan berkunjung ke FK UNAIR. Selama beberapa bulan disini, mereka akan belajar banyak kasus, antara lain kasus cidera otak, yang kejadiannya terbilang cukup banyak di RSUD Dr. Soetomo,” ungkapnya. Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran saat ini, pihak Departemen Ilmu Bedah Saraf FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo berharap kualifikasi para lulusannya nanti dapat setara dengan lulusan bedah saraf di luar negeri. Salah satunya dalam hal penulisan jurnal ilmiah. Harapan ini tentu linier dengan keinginan Universitas Airlangga yang mendambakan peningkatan jumlah publikasi jurnal ilmiah terindeks scopus. Sementara itu, Dekan FK UNAIR Prof. Dr. Soetojo., Sp.U (K) mengungkapkan, Prof Lumenta punya cukup banyak pengalaman dalam hal publikasi jurnal internasional. Tentu saja ini peluang bagi tercapainya target unair menuju internasionalisasi. “FK UNAIR berharap Prof Lumenta dapat berkontribusi lebih banyak lagi untuk membimbing para residen maupun dosen Ilmu
Bedah Saraf dalam hal penulisan karya ilmiah dan ‘menggiring’ nya sampai berhasil tembus ke jurnal internasional terindeks scopus,” ungkapnya. Di akhir acara, berlangsung pengalungan bunga oleh Wakil Rektor I Universitas Airlangga Prof. Djoko Santoso, dr., Sp.PD, K-GH., Ph.D, FINASIM kepada Prof Lumenta, dilanjutkan dengan penyerahan sertifikat oleh Dekan FK UNAIR Prof. Dr. Soetojo, dr., Sp.U(K), diakhiri dengan penyerahan cenderamata oleh Ketua Departemen Bedah Saraf Dr. Agus Turchan, dr., Sp.BS(K). Penulis: Sefya Hayu Editor: Nuri Hermawan
Cara Mahasiswa FK Suarakan Keberanian ‘Kartini’ Masa Kini UNAIR NEWS – Mewarnai Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April, puluhan mahasiswa dari Program Studi Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo berduyun-duyun turun ke jalan. Dengan mengenakan busana adat warna-warni, mereka kompak menyuarakan anti kekerasan pada perempuan. Sembari mengusung spanduk panjang dan poster yang bertuliskan “Stop Kekerasan pada Perempuan”, rombongan mahasiswa ini berkonvoi di sepanjang Jalan Prof. Dr. Moestopo Surabaya, Jumat (21/4). Berteman teriknya matahari, rombongan mahasiswa ini bersemangat berorasi sambil membagi-bagikan leaflet ‘Stop
Kekerasan Pada Perempuan’ kepada para pengguna jalan. Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa Nalini Muhdi, dr., SpKJ(K) bersama Wakil Dekan II FK UNAIR Prof. Dr. Budi Santoso, dr., SpOG(K) pun turut mendampingi acara tersebut. Ditemui di sela-sela acara, dr Nalini mengungkapkan, setiap tahun pihaknya selalu memperingati hari Kartini dengan menggelar berbagai macam kegiatan. Namun di tahun ini, pihaknya menyelenggarakan acara dengan sedikit berbeda. Jika sebelumnya acara peringatan hari Kartini lebih sering ‘indoor’, kali ini Nalini mengajak mahasiswanya pawai turun ke jalan. “Setiap tahun kami selalu peringati hari Kartini dengan tema pemberdayaan perempuan. Tidak lupa kami juga selalu kenakan baju daerah, baik yang laki-laki maupun perempuan. Bahkan ada murid kami dari Aceh yang pesan baju adat langsung dari Aceh. Mereka niat sekali,” ujarnya sumringah. Acara ini makin meriah, karena setiap tahun pawai baju adat ini juga dilombakan. Bagi peserta yang mengenakan kostum daerah paling keren, akan menerima bingkisan menarik dari panitia. “Tahun lalu tema kostumnya adalah profesi di luar profesi dokter. Menarik sekali, dari peserta ada yang pakai kostum pilot karena om nya ada yang pilot, ada yang dandan jadi ojek. Ada juga yang dandan jadi dukun pakai menyan dan ada yang jadi setan-nya, seru sekali,” ungkapnya. Korban Harus Berani Speak Up Kegiatan turun ke jalan kali ini bukan sekedar acara pawai baju daerah saja, ada misi yang mereka usung. Yaitu menyosialisasikan kepada masyarakat untuk menghindari aksi kekerasan pada perempuan. “Dari dulu saya ingin menyosialisasikan hal ini. Karena beberapa tahun terakhir kasus kekerasan publik berupa
pemerkosaan, bullying, hingga kasus KDRT menyita perhatian masyarakat,” ungkapnya. Di Indonesia, kekerasan seksual menempati peringkat pertama di ranah komunitas sebanyak 74 persen. Jenis kekerasan yang paling mendominasi adalah pemerkosaan sebanyak 1.036 kasus. Artinya dalam sehari ada 12 orang perempuan Indonesia yang mengalami kasus pemerkosaan. Parahnya, 93 persen kasus pemerkosaan di Indonesia tidak pernah dilaporkan. Ini terjadi karena seringkali korban enggan melapor, dengan alasan takut disalahkan. “Ini fenoma di Indonesia, dimana kebanyakan korban pemerkosaan selalu diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Korban tidak dibela, malah dipojokkan. Ini mindset yang perlu diluruskan. Karena yang terjadi, kebanyakan korban pemerkosaan yaitu perempuan selalu disalahkan dengan alasan karena cara berpakaian atau perperilaku ‘mengundang’ sehingga memicu pemerkosaan,” pungkasnya. Penulis: Sefya Hayu Editor: Nuri Hermawan
Diah Arimbi Ph.D, Konsisten Lakukan Perjuangan Gender Melalui Kajian Sastra UNAIR NEWS – Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, peran perempuan begitu sentral. Sayangnya, sejarah tidak mencatat itu dengan apik. Lihatlah deretan nama pahlawan nasional. Dominasi laki-laki begitu kentara. Padahal, tidak mungkin
mereka bisa mencapai cita-cita bangsa tanpa dukungan aktif dan totalitas Kaum Hawa. Apa yang disampaikan di atas sekadar salah satu potret dari banyak gambaran lain tentang belum tercapainya kesetaraan gender di negeri ini. Mungkin, secara regulasi, gagasan ini telah diakomodasi. Namun, pada aplikasi di lapangan, perempuan masih termarginalkan. “Saya pikir, perjuangan untuk equality and justice masih konsisten dijalankan. Melalui kajian sastra, saya menjalankan gender jihad ini,” ungkap Diah Ariani Arimbi MA., Ph.D., dekan Fakultas Ilmu Budaya yang merupakan satu pakar kajian budaya dan sastra UNAIR.
harus ingin S.S., salah
Perjuangan perempuan melalui sastra bukanlah hal baru. Bahkan, langkah ini sudah teruji waktu dan tergolong efektif. Lihatlah RA Kartini yang menyuarakan aspirasinya melalui kata-kata. Bertolak dari fakta itulah, Diah yakin kalau “Gender Jihad” yang diserukannya bakal membuahkan hasil. Meski memang, butuh proses yang panjang. Peraih gelar doktor dari University of New South Wales ini mengatakan, negara sekelas Amerika yang disebut-sebut mendewakan kesetaraan saja tampaknya belum bisa menerima pemimpin perempuan. Salah satu indikasinya, orang lebih banyak memilih Donald Trump daripada Hillary Clinton. Sedangkan bila ingin berkaca dari luar negeri, agaknya negeri-negeri Skandinavia bisa menjadi contoh kongkret aplikasi kesetaraan gender. Misalnya, di Swedia dan Finlandia. “Di sana, cuti hamil dan melahirkan tidak hanya untuk perempuan. Tapi juga buat suami. Karena, peran menjaga bayi juga mesti dilakukan utuh oleh laki-laki,” terangnya. Meskipun gender di tidak, di memiliki
belum sepenuhnya tercapai, cita-cita kesetaraan Indonesia relatif menunjukkan tren positif. Betapa usianya yang masih 72 tahun, negara ini sudah pernah presiden perempuan. Pemilihan umum juga sudah
melibatkan perempuan secara aktif dengan nilai suara yang sama dengan laki-laki (one man one vote). Sementara di beberapa negara Eropa, untuk mencapai kesamaan ini, butuh waktu yang jauh lebih panjang. Tapi, “gender jihad” tetap mesti dikobarkan. Betapa tidak, masih ada banyak kekerasan rumah tangga yang korbannya mayoritas perempuan dan anak. Mereka termarginalkan dengan alasan-alasan kultural patriarkis. Yang dalam perjalanannya, justru lebih parah karena perempuan makin jadi korban kapitalisme atau jadi komoditas. Dalam hal ini, sejumlah perspektif mesti dibenahi. Tidak hanya sudut pandang yang berasal dari laki-laki dan lingkungan. Perempuan sendiri mesti bisa melihat dirinya dengan adil dan tidak termakan mitos kultural. (*) Editor: Nuri Hermawan
Dr Ernie Maduratna, Dosen FKG yang Tekun Menorehkan Paten UNAIR NEWS – Kepakaran Dr. Ernie Maduratna Setiawatie, drg., M.Kes., Sp.Perio di bidang periodontal tak perlu diragukan lagi. Bagaimana tidak, perempuan kelahiran Malang yang biasa disapa Erni ini telah menghasilkan tujuh produk yang dipatenkan. Produk yang telah dipatenkan itu adalah Antimicrobial Topical: Tetracycline Gel (gel tetrasiklin dari antimikroba lokal), Minocycline Mouth Wash (obat kumur untuk mencegah periodontitis), dan Periobrush (sikat gigi untuk mendeteksi dini radang gusi). Ada pula Nigela Sativa Mouth Wash (obat kumur antibakteri,
antiinflamasi, dan antioksidan), Photosensitizer Ekstrak Moringa (sensitizer untuk terapi fotodinamik pada kasus radang gusi), Hyaluronic Acid Gel (terapi pascaoperasi pemasangan implan dan pencegahan resesi gusi), dan Periodontal Tissue Engineering (terapi gigi goyang dan dental implant). Seluruh produk paten itu berawal dari penelitian yang dilakukan Ernie sejak dia menggarap tesis dan disertasi. Ketekunan itu berlanjut pasca perempuan kelahiran Malang ini rampung menyelesaikan program doktor. Kini, ia memiliki tim peneliti lintas fakultas untuk menyelesaikan riset-riset yang akan datang. Salah satu hal yang mendasarinya untuk terus melakukan riset dan berproduksi adalah demi kemandirian bangsa. Ernie mengatakan, selama ini produk yang digunakan untuk mengobati penyakit radang gusi dan jaringan pembentuk gigi masih diimpor dari luar negeri. Akibatnya, pasien harus merogoh kocek terlalu dalam untuk membayar biaya kesehatan. Produk-produk yang ia hasilkan, bila diproduksi massal dan dijual, dihargai cukup terjangkau. Di klinik-klinik atau rumah sakit, harga laser versi impor bisa mencapai Rp 15 juta. Sedangkan, miliknya berada di kisaran Rp 5 juta. Untuk klorofil daun kelor (moringa oleifera) yang digunakan sebagai photosensitizer organik/alam pada fotodinamik dengan activator dento laser biru 405 nm, harga per 10 mili sekadar Rp 50 ribu. Sedangkan versi impor, dengan ukuran serupa dan bahan yang berbeda meski berfungsi sama, dibanderol Rp 400 ribu. Padahal, kualitas keduanya bisa diadu. Artinya, produk dari peneliti UNAIR mampu bersaing di kancah internasional. Mutu terjamin dengan harga yang kompetitif. “Tujuan utama saya dan kawan-kawan bukanlah komersial semata. Tapi lebih pada pengabdian ke masyarakat. Dengan harga yang murah, kualitas yang bagus, puskesmas-puskesmas atau klinik di semua daerah di Indonesia dapat menjangkaunya,” papar dosen Fakultas Kedokteran Gigi yang melakukan riset Klorofil Daun
Kelor serta Aktivator Dento-Laser Biru 405 nm bersama Dr Suryani Dyah Astuti, M.Si, tersebut. (*)
Prof. Nasronudin dan Optimisme Membangun Keunggulan Riset UNAIR NEWS – Prof. Dr. Nasronudin, dr., Sp.PD, K-PTI, FINASIM lahir di Ponorogo dan menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah di kota reog tersebut. Selama ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) ini selama ini bergiat di spesialisisasi penyakit dalam dengan sub spesialis penyakit infeksi. Sosoknya menjadi rujukan dari banyak pertanyaan seputar penyakit populer belakangan ini antara lain Zika, demam berdarah dengue, HIV/AIDS, kaki gajah, malaria, tifoid, toksoplasma, dan lain sebagainya. Sejak dulu, tamatan pendidikan dokter Universitas Brawijaya pada 1983 ini sudah moncer. Seusai resmi menjadi dokter, dia langsung mendaftar CPNS dan diterima di Departemen Kesehatan. Dia ditempatkan di Rumah Sakit Umum Provinsi Riau, Pekanbaru, hingga 1984. Setahun kemudian, dia diangkat sebagai PNS Pusat dan mengabdi di RSU Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Enam bulan kemudian, dia didaulat menjadi kepala Puskesmas Sedanau Kecamatan Bunguran Barat. Lantas, pada 1987, dipindahkan ke Puskesmas Dabosingkep yang memiliki fasilitas rawat inap. Melihat perjalanan di awal pengabdiannya, bisa menjadi cermin betapa pengalaman pemilik 22 penghargaan ini tidak perlu diragukan. Bahkan, sejak usianya masih tergolong muda.
Pada 1991, Nasronudin melanjutkan pendidikan dokter spesialis di bagian ilmu penyakit dalam RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR dan lulus pada 1996. Pada 1997, dokter teladan provinisi Riau pada 1987 ini menjalankan tugas wajib kerja sarjana kedua di RSU Pembalah Batung Amuntai, Kalimantan Selatan. Pada 1999, bertolak ke Surabaya sebagai staf di Bagian-SMF Imu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR dan berlangsung hingga saat ini. Saat masih menjadi staf, Nasronudin menyempatkan diri untuk melanjutkan studi di program doktor di Pascasarjana UNAIR periode September tahun 2002. Dua tahun tujuh bulan setelahnya, dia dinyatakan lulus sebagai wisudawan terbaik dengan predikat cumlaude. Sementara gelar konsultan penyakit tropik dan infeksi diperoleh pada 2003. Pada tahun 2004, Nasronudin memenangkan Young Investigator Award di Kyoto Jepang. Nasronudin
memrakarsai
dan
menjadi
kepala
UPIPI
(Unit
Perawatan Intermediet dan Penyakit Infeksi) RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR pada periode 2004-2009. Penulis belasan buku di bidang penyakit dalam dan infeksi yang banyak dijadikan rujukan dunia kedokteran/kesehatan ini menjabat Ketua Institute Of Tropical Disease (ITD) pada 2008-2015. Saat ini, dia dipercaya sebagai Direktur RS Universitas Airlangga sekaligus Direktur Utama Institut Ilmu Kesehatan (Airlangga Health Science Institute). “Indonesia memiliki kekayaan mikroorganisme, flora, fauna, dan aspek-aspek lain yang dapat menjadi modal pengembangan ilmu kedokteran. Semua itu merupakan media yang representatif untuk penelitian di bidang pencegahan penyakit, diagnosis penyakit, pengujian obat, pembuatan obat, dan sebagainya. Negeri ini harus optimistis kalau bisa unggul di level dunia,” ujar dia. Pada beberapa tahun yang lalu, Nasronudin bersama dengan tim peneliti dari berbagai universitas di Indonesia dan Australia berkolaborasi untuk membuat obat herbal antidengue. Pada tahun
2013, UNAIR meluncurkan informasi resmi mengenai hasil metode dan uji klinis fase III. Sampai awal tahun 2016, tim peneliti sudah mengajukan ijin edar terhadap obat tersebut ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). (*) Editor: Defrina Sukma Satiti
Pelabuhan KAMIS pekan lalu selepas pulang kuliah aku langsung ke pelabuhan masih dengan atribut lengkap anak kampusan. Paman dan istrinya akan tiba dari Kalimantan sekitar jam dua siang. Tujuan mereka ke sebuah kota di Kalimantan itu adalah menikahkan anak perempuannya yang dapat suami orang Dayak. Sebenarnya mereka berencana naik kapal terbang, tapi karena lambat membooking, tiket pun ludes sehingga terpaksa mereka pakai kapal laut. Jadwal pesawat dari sana kesini hanya tiga kali seminggu. Selasa, Rabu, Kamis. Maklumlah kotanya tidak tergolong besar. Jarang penumpang. Hanya satu perusahaan pesawat yang mengudara. Mahal benar pula tiketnya. Padahal tepat hari minggu besoknya, anak mereka yang lain akan menikah. Tapi akad dan resepsinya tidak diadakan di luar kota meskipun calon istrinya asli Tulung Agung. Calon besannya yang datang ke sini, Surabaya. Tahun ini memang musim nikah bagi keluarga kami. Terhitung lima sepupu dan satu paman yang menikah tahun ini. Di perjalanan menuju dermaga aku sempat diserapahi sopir angkot karena terlalu ceroboh saat memotong jalan untuk putar balik. “Goblok!!!” ujarnya lantang. Beberapa pengendara lain yang kulihat di sekitarku tak peduli dengan kejadian sepele
itu namun beberapa yang lain tertawa ringan terkesan mengejek. Aku pun demikian. Menertawakan kesembronoanku dan kenaikpitaman sang sopir. Tiket masuk ke area pelabuhan tiga ribu rupiah bagi satu orang termasuk sepeda motor. Kalau naik kendaraan roda empat hitungannya per-orang tiga ribu lima ratus. Sehabis memarkir kendaraan aku langsung ke gerbang sebelah timur. Setelah turun dari kapal, biasanya para penumpang keluar lewat pintu itu. Aku berniat untuk langsung nyelonong masuk agar bisa menyambut pamanku tepat saat mereka baru turun dari kapal. Jadi aku bisa ikut mengangkatkan barang bawaan mereka. Meski mereka biasa memakai jasa porter, siapa tahu ada beberapa tas ringan yang mereka tenteng yang memungkinkan untuk kuambilalih membawakan. Tapi langkahku tertahan saat seorang anak pamanku memanggilku.. “Roy!!” teriaknya. menghampirinya.
Satu
kata
itu
cukup
membuatku
“Kau bawa mobil?” tanya Bang Toha setelah aku tepat di hadapannya. “Enggak Bang. Aku pulang kuliah langsung ke sini. Mobilnya dipakai kakak. Memangnya Abang nggak bawa?” aku balik tanya. “Mobilnya dipakai Sandi, jemput calon mertuanya. Tapi gampanglah, nanti kalau sepeda motor kita nggak cukup biar mereka naik taksi aja. Dari awal niatku juga begitu” ucapnya santai seraya menyodorkan harian lokal kepadaku. Namun aku sedang malas membaca sehingga koran itu hanya ku pegang lalu aku pun duduk di samping Bang Toha, tidak di bangku, hanya di logam menjulur yang merupakan pagar rendah yang membatasi antara selokan dan halaman pelabuhan. Pelabuhan begitu ramai. Tak jauh beda dengan terminal, bandara, atau stasiun. Pedagang koran dan asongan yang menjajakan barangnya. Calo-calo tiket yang agresif. Sopirsopir taksi gelap dan terang yang berjaga-jaga di sekitarku
menanti penumpang kapal yang baru keluar, lalu menawarkan harga dan tempat tujuan. Sekelompok SPG alias Sales Promotion Girl yang tersebar berkeliaran berpakaian seragam menawarkan produk minuman botol kaca kecil penambah stamina. Ada juga kelompok yang lain menawarkan permen mint. Dua kelompok itu sempat menawarkan barangnya kepadaku. Tapi kutolak. Seorang berwajah sedikit garang disampingku juga mereka tawari. Dia menyempatkan diri menggoda SPG-SPG itu. Sesekali mencari kesempatan mencolek-colek bagian tubuh wanita tersebut. Begitulah memang resiko pekerjaan mereka. Kalau ada pekerjaan lain yang lebih layak, aku yakin mereka tidak akan memilih pekerjaan seperti itu. Ketidakteraturan tata letak dan sarana ketertiban di pelabuhan juga tidak jauh beda dengan terminal. Sampah masih bergelimpangan. Kesadaran hidup bersih masih kurang. Bahkan saat itu aku melihat seorang berseragam yang seharusnya menjadi contoh bagi yang lain membuang puntung rokok dihadapannya seraya menginjak ampasnya yang masih menyala, padahal tak sampai tiga langkah di kanannya keranjang sampah bertengger gagah nampaknya baru diganti. Beberapa meter disampingku seseorang malah membuang bungkus rokok ke selokan pelabuhan. Repot memang. Bila banjir salahkan pemerintah. Badan sendiri sengaja menyumbat saluran air. “Roy, itu Ramon” Bang Toha memecah keterpakuanku. “Kayaknya dia bawa mobil nih Bang”. “Harusnya sih begitu, dia tak bilang mau ke sini. Kalau tahu begitu kan aku bisa menumpang”. Masih satu meter di hadapan kami, Ramon sudah mulai kecapan “Gila! Diparkiran tadi seru. Dua orang berkelahi seperti di film Jackie Chan. Sampai naik-naik ke mobil segala. Melompatlompat. Kayaknya gara-gara enak dilihat, orang-orang jadi bengong lantas lupa kalo harus melerai”.
“Siapa mas?” tanya seseorang di samping Bang Toha yang ternyata turut menikmati sekelumit cerita Ramon. “Nggak tahu. Tapi yang satu sih pake rompi tukang parkir”. “Paling-paling rebutan lahan” orang itu menanggapi. ”Mungkin juga sih. Tapi nggak tahu lah”. “Hei, kamu bawa mobil?” Bang Toha mengalihkan pembicaraan. “Iya Bang, tadi kan kejadiannya saat aku markir mobil”. “Sandi sudah pulang?”. “Belum. Nanti sore katanya Bang” Bang Toha hanya mengangguk. “Sekarang harga-harga naik semua. Kencing aja dua ribu” keluh Ramon yang mengaku baru buang air selepas memarkir mobil dan menyaksikan perkelahian tadi. “Makanya Mon, kalo sedekah jangan
dua ribu. Jangan samakan
harga ke toilet dengan harga ke surga” sambutku. “Benar juga tuh Roy” Ramon menyetujui pendapatku. “Akhirnya tadi yang bertarung gimana Mon?”. “Yah dipisahin orang-orang juga sih Roy. Kebetulan pas ada polisi. Dibawa deh dua-duanya”. Bang Toha melepas pandang ke arlojinya. “Sudah jam setengah tiga. Nggak biasanya molor begini” “Abang tadi sudah tanya informasi kepastian kedatangannya?” tanyaku. “Sudah. Katanya ya jam dua” “Kita masuk aja deh. Kita nunggu di sana aja” “Emang boleh Roy?” Ramon heran
“Ya Boleh” “Tapi itu ada tulisan bahwa batas penjemput cuma sampai di depan sini kan” “Itu kan cuma tulisan Mon. Formalitas peraturan” “Yang benar Roy?” “Kamu nggak pernah jemput ke sini?” “Nggak tuh” “Pantas nggak tahu” “Ayo” ajak Bang Toha. Kami pun masuk lewat pintu itu untuk mendekatkan diri ke pemarkiran kapal. Seperti biasa, para petugas tidak berusaha menghalangi kami. Tulisan di depan cuma tulisan. Bukan peraturan. Atau mungkin aturan lama yang sudah tidak dipakai tapi sampai sekarang tulisannya belum sempat dienyahkan. Kami mendekati bibir dermaga. Banyak kapal mengambang berhenti atau berjalan di air sekitar kami. Entah kemana tujuannya. “Sepertinya itu kapalnya, Bang” Ramon menunjuk ke sebuah kapal motor besar yang terlihat di kejauhan sekitar seratus meter menghampiri tepi pelabuhan. “Benar. Itu kapalnya” “Kita nunggu di sana aja Bang” aku mengajak mereka menunggu di tempat teduh. Mereka setuju. Porter-porter dan petugas pelabuhan menyambut kedatangan kapal itu. Mereka mendorong sebuah tangga berundak raksasa guna menghubungkan pintu keluar kapal dengan dasar dermaga. Jarak lima puluh meter ABK melempar seutas tali berpemberat ke dermaga. Tali itu tersambung dengan tali yang lebih besar. Tali berukuran kecil tadi hanya berfungsi untuk memudahkan
yang besar mencapai dermaga, maka diikatkanlah tampar itu ke paku bumi yang tertancap di sana. Terparkirlah kapal. Para porter berdesak-rebut ke atas kapal. Menjemput penumpang yang butuh jasa mereka. “Porter-porter dulu berbeda dengan sekarang. Dulu mereka banyak dicari. Sekarang mereka yang mencari. Dulu para penumpang malas mengangkat barang sendiri. Tentu karena uang mereka masih dan banyak ada untuk membayar porter. Tapi sekarang, baik penumpang atau porter sama-sama sukar mengais uang. Jangankan membayar porter, bisa mudik bertemu keluarga saja sudah syukur” Bang Toha berucap. Kami percaya dengan ucapannya. Sejak kecil ia yang paling sering berlayar. Ke rumah kakek yang di Kalimantan atau ke kampung nenek yang di Sumatra. “Itu mereka Bang” “Lambaikan tanganmu Mon” pintaku “Heii!!” Ramon melambai. Paman dan Bibiku tersenyum. Tak ada barang bawaan tertenteng di tangan atau bahu mereka. Mereka menggunakan jasa porter. Kalau mampu membayar memang lebih baik begitu, bagi-bagi rejeki, demikian salah satu filosofi mereka yang pernah kudengar. Kami lalu bergantian bersalaman dengan kedua orang tua kami. “Ayahmu nggak ikut Roy?” “Nggak Om. Sibuk katanya” “Wah dia itu bagaimana. Janjinya mau jemput” Pamanku sedikit berkeluh. “Tapi ngomongnya kan sambil bercanda Mas” sahut Bibiku. “Iya sih. Eh, kalian bawa mobilkan?” “Iya pa”
“Baguslah” “Sampai di sini aja pak porter. Biar mereka yang bawa ke mobil” Bibiku meminta kedua porter yang mengangkut barang bawaan mereka untuk menyerahkan semua bawaannya pada kami. “Nggak jadi sampai mobil bu?” “Sudah di sini aja. Anak segini banyak apa gunanya” “Oh iya Bu. Terima kasih” Kami bertiga mengambil alih pembawaan barang. Berbagi serata mungkin. Tidak ada yang paling berat karena barangnya memang sedikit. Hanya empat tas berukuran sedang. Laluy terlihat porter tadi kembali merangsek naik ke kapal. Mencari pelanggan lain. “Porternya diberi berapa Ma?” tanya Ramon “Standar sih lima puluh ribu berdua. Aku sih mau beri lebih, tapi kata papa mu nggak mendidik” “Tapi benar kan, kalau memberi terlalu banyak nantinya mereka selalu mengharap banyak dari penumpang. Padahal nggak semua penumpang bisa memberi banyak” sambut Paman. “Benar itu Pa. Papa memang pintar. Jenius. Aku senang punya papa kayak gini” “Aslinya niatmu mengejek aku, Mon” Paman melengos “Nggak Pa, aku serius” ujar Ramon yang sering benar bercanda dengan ayahnya sambil tertawa ringan. “Ah sialan kamu” Tidak terasa kami sudah berada di depan mobil. Aku dan Bang Toha kembali berpamitan dengan para calon pengguna mobil tersebut, kami tak bisa satu kendaraan sebab kami membawa sepeda motor masing-masing. Mereka semua berpesan agar kami berhati-hati di jalan. Sebenarnya tanpa dipesani pun kami tetap akan hati-hati. Tapi tak apalah, itu kan salah satu
tanda mereka peduli pada kami.–
Sepatu Part I UNAIR NEWS – “Buk, aku mau beli sepatu. Yang lama sudah rusak” “Yasudah, itu ambil uangnya di bawah koran dalem lemari” Dini mengikuti petunjuk ibuknya, namun urung. Dia
kembali.
“Buk,ndak cukup” “Lha kok bisa ndak cukup. Wong biasanya segitu bisa dapet dua pasang sepatu” “Aku mau yang kayak temenku” Waktu itu Dini berjanjian akan kerja kelompok. Teman – teman sekelompoknya sepakat akan mengerjakan di ruang belajar lesehan. Untuk masuk ke ruang itu, harus melepas alas kaki dan meletakkan di rak besar luar ruangan itu. Dia sempat ragu meletakkan sepatunya sederet dengan teman – temannya. Di sana berjejer sepatu – sepatu bermerek mahal. Sepatu Dini hanya flatshoes tipis yang akan mengelupas setelah dipakai tiga bulan. Akhirnya Dini meletakkan sepatunya jauh dari deretan sepatu teman sekelompoknya. Sayangnya, di deretan lain Dini menemukan merek sepatu yang juga tergolong mahal. Apa hanya dia yang memakai sepatu murah ke kampus? “Sepatu kayak apa to nduk?” Dini diam. Dia sadar keterbatasannya. Ibunya hanya seorang buruh cuci. Sementara ayahnya seorang guru honorer. Dia beruntung bisa kuliah dengan bantuan beasiswa. Pendapatan kedua orangtuanya hanya cukup untuk kebutuhan sehari – hari.
Terkadang mungkin ditambahi dari beasiswa Dini. Rasa – rasanya Dini tak pernah menikmati uang beasiswanya. Dia menyerahkan sepenuhnya uang itu pada ibuk. Ibuk lebih berhak mengaturnya. Dini tak masalah. Tapi untuk urusan sepatu ini, Dini menjadi sedikit pusing. “Yasudah Buk, aku belinya kapan – kapan aja.” “Loh kok gak jadi to?” Ibuk hanya bisa tersenyum atas tingkah Dini. Dalam hati sebenarnya ibuk merasa bersalah. Ibuk merasa kecewa tidak bisa memberikan yang anaknya inginkan. Ibuk benar – benar sedih, sayangnya dia hanya bisa diam. Keadaaan tidak kompromi padanya. Semua orangtua selalu ingin mewujudkan keinginan anaknya. Bukan semata – mata untuk balas budi di kemudian hari. Lebih dari itu, orangtua selalu ingin melihat anaknya bahagia. Namun ibuk tidak mampu.
bersambung
Penulis: Tsurayya Maknun Mahasiswa Psikologi