RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MEREK Tahun Sidang
:
2015-2016
Masa Persidangan
:
I
Rapat ke-
:
6
Jenis Rapat
:
Rapat Dengar Pendapat
Sifat Rapat
:
Terbuka
Hari, tanggal
:
Selasa, 8 September 2015
Waktu
:
Pukul 13.00 WIB s.d. selesai
Tempat
:
Ruang Rapat Pansus B Gedung Nusantara II Lt.3 Jln. Jend. Gatot Subroto – Jakarta
Acara
:
Memperoleh masukan mengenai RUU tentang Merek Dari: 1. Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H. 2. Prof. Dr. Eddy Damian, S.H., M.H.;
Ketua Rapat
:
Hj. Desi Ratnasari, M.Si., M.Psi. (Ketua Pansus Merek/F-PAN) Didampingi: 1. Drs. Wenny Warouw (Wakil Ketua/F-P.Gerindra) 2. H. Refrizal (Wakil Ketua/F-PKS) 3. H. Iskandar D. Syaichu, S.E. (Wakil Ketua/F-PPP)
Sekretaris Rapat
ANGGOTA HADIR NO. NO. ANGGOTA Pimpinan Pansus 1. 472 2. 387 3. 89 4. 531 Anggota Pansus 5. 125 6. 212 7. 218 8. 208 9. 149 10. 140 11. 282 12. 321 13. 261 14. 293 15. 269 16. 372 17. 341 18. 339 19. 399 20. 442 21. 408 22. 478 23. 488 24. 59 25. 45 26. 117 27. 512 28. 2 29. 24 30. 554
:
Drs. ULI SINTONG SIAHAAN, M.Si. (Kepala Bagian Pansus)
NAMA
JABATAN/FRAKSI
Hj. Desi Ratnasari, M.Si., M.Psi. Drs. Wenny Warouw H. Refrizal H. Iskandar Dzulkarnain Syaichu, S.E.
Ketua/F-PAN Wakil Ketua/F-P. Gerindera Wakil Ketua/F-PKS Wakil Ketua/F-PPP
H. Irmadi Lubis Nyoman Dhamantara, S.E. Ir. G. Michael Jeno, M.M. Marinus Gea, S.E. Charles Honoris H. KRH. Henry Yosodiningrat, S.H. Ir. H. Adies Kadir, S.H., M.Hum. DR. Syaiful Bahri Buray, S.H., M.Si. Dra. Wenny Haryanto, S.H. H. Andika Hazrumy, S.Sos. H. Ahmad Zacky Siradj Wihadi Wiyanto, S.H. H. Biem Triani Benjamin, B.Sc., M.M. Ir. Dwita Ria Gunadi Ruhut Poltak Sitompul, S.H. I Putu Sudiartana Wahyu Sanjaya, S.E. Yayuk Basuki Anang Hermansyah H. Yaqut Cholil Qoumas Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz, S.Th.I H. Jazuli Juwaini, Lc., M.A. Achmad Fauzan Harun, S.H., M.Kom.I Zulfan Lindan H. Slamet Junaidi DR. H. Dossy Iskandar Prasetyo
Anggota/F-PDIP Anggota/F-PDIP Anggota/F-PDIP Anggota/F-PDIP Anggota/F-PDIP Anggota/F-PDIP Anggota/F-PG Anggota/F-PG Anggota/F-PG Anggota/F-PG Anggota/F-PG Anggota/F-P. Gerindera Anggota/F-P. Gerindera Anggota/F-P. Gerindera Anggota/F-PD Anggota/F-PD Anggota/F-PD Anggota/F-PAN Anggota/F-PAN Anggota/F-PKB Anggota/F-PKB Anggota/F-PKS Anggota/F-PPP Anggota/F-P. Nasdem Anggota/F-P. Nasdem Anggota/F-P. Hanura
UNDANGAN NO. 1.
NAMA Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H.
JABATAN
2.
Prof. Dr. Eddy Damian, S.H., M.H.
KETUA RAPAT (Hj. DESI RATNASARI, M.Si., M.Psi.): Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua. Yang terhormat saudara Pimpinan dan Anggota Pansus, Yang terhormat saudara Prof. DR. Agus Sardjono, S.H., M.H. Yang terhormat saudara Prof. Dr. Eddy Damian, S.H., M.H., serta Hadirin yang berbahagia. Alhamdulillah, Wasyukurillah bahwa hari ini kita bisa berkumpul bersama untuk melakukan rapat dengar pendapat umum Pansus RUU tentang Merek, dan semoga ktia semua dalam keadaan sehat wal „afiat, dan tentunya diberkahi oleh Allah S.W.T. Tuhan Yang Maha Kuasa. Menurut laporan dari sekretariat pada hari ini daftar hadir telah ditandatangani oleh 8 dari 5 Fraksi, ya dari 6 fraksi ditambah dengan ini bapak belum isi ya, 6 fraksi. Dan untuk itu dengan seijin saudara-saudara rapat dengar pendapat umum kami buka dan saya nyatakan terbuka untuk umum. Rapat dibuka pukul: 13.50 WIB Pertama-tama kami ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Eddy Damian, S.H., M.H. yang telah bersedia memenuhi undangan rapat dengar pendapat umum pada hari ini tentang RUU Merek dengan agenda mendengarkan masukan atau tanggapan dari Prof. Eddy dan juga Prof. Agus terhadap RUU tentang Merek. Dan rapat hari ini insyaallah akan berlangsung sampai dengan pukul 16.00 WIB, namun apabila ada hal-hal yang perlu didiskusikan dapat diperpanjang lagi. Bagaimana disetujui? (Rapat: Setuju) Saudara Pimpinan dan Anggota Pansus yang saya hormati, RUU tentang Merek merupakan RUU dari usulan pemerintah dan saat ini sedang dalam pembahasan di Pansus DPR RI dan sebagai bahan masukan untuk fraksi-fraksi dalam menyusun daftar inventaris masalah. Pansus RUU tentang Merek hari ini mengadakan rapat dengar pendapat umum guna mendengarkan masukan dan tanggapan mengenai RUU tentang Merek dari Prof. Agus dan juga Prof. Eddy. Untuk mempersingkat waktu kami persilakan kepada Saudara Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H. untuk menyampaikan masukan dan tanggapannya kami persilakan. PAKAR (Prof. Dr. AGUS SARDJONO, S.H., M.H.): Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera untuk kita semua.
Pertama-tama tentu saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk shearing terkait dengan pembahasan RUU tentang Merek. Saya sudah menyampaikan tulisan yang mudah-mudahan baru kemarin sih, dalam hal ini karena keterbatasan waktu yang ada pada saya, saya mendapatkan undangan juga belum lama. Kemudian naskahnya juga belum lama saya terima sehingga saya tidak punya kesempatan untuk mengkaji secara lebih dalam. Tetapi dari scaning yang saya lakukan terhadap naskah akademik dan rancangan undang-undang saya melihat ada beberapa hal yang patut untuk diberikan perhatian. Dan saya membatasi hanya beberapa isu yang saya anggap penting yang terkait dengan rencana atau rancangan undang-undang tentang Merek ini. Ada tiga hal yang ingin saya soroti dari RUU ini, pertama tentang definisi dan ruang lingkupnya, kedua hal-hal yang terkait dengan pendaftaran, dan yang ketiga tentang indikasi geografis. Tiga hal ini menurut saya ada perubahan yang cukup signifikan, itu sebabnya saya ingin menyampaikan beberapa hal terkait dengan masalah tersebut. Saya tertarik dengan apa yang nyatakan didalam naskah akademik, ada satu paragrap yang saya kutip disini didalam naskah akademik itu menyatakan bahwa salah satu perkembangan penting dibidang Merek adalah perlindungan bagi jenis-jenis Merek baru, yang dikenal sebagai Merek non tradisional. Oleh karenanya diperlukan perluasan definisi Merek yang mencakup Merek non tradisional tersebut antara lain, Merek tiga dimensi, suara dan hologram, itu adalah apa yang dinyatakan didalam naskah akademik. Dengan pernyataan tersebut maka saya menganggap bahwa didalam RUU yang baru ini ada perluasan, perluasan pengertian Merek yang meliputi Merek tiga dimensi, Merek berbentuk suara, dan merek yang berbentuk hologram. Konsekuensinya dari pernyataan didalam RUU ini maka seharusnya definisi merek juga harus mencerminkan gagasan yang dikemukakan didalam naskah akademik. Tetapi kalau kita baca didalam Pasal 1 butir 1 disana dikatakan bahwa Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis. Saya memberi under line (garis bawah) terhadap kata grafis, untuk membedakan barang yang dihasilkan atau disediakan oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Itu definisi yang ada dan disebutkan didalam pasal 1 butir 1. Dengan kata-kata grafis itu maka tampaknya pasal 1 masih hendak membatasi Merek hanya yang bersifat fisibel. Jadi merek itu yang bisa didaftar adalah yang dapat ditangkap oleh indera mata, itu konsekuensi dari pembatasan grafis didalam pasal 1. Dan untuk hologram mungkin ya sama, hologram bisa juga ditangkap dengan mata, artinya tidak ada masalah. Mungkin yang bermasalah adalah definisi itu maka merek berupa suara itu jadi dikeluarkan atau diexclouse dari undang-undang merek. Padahal didalam gagasan naskah akademik hendak mengcover suara, saya menduga bahwa didalam naskah akademik itu ada pengaruh dari Singapore traete on the low off Treatmart Tahun 2006. Sementara didalam Treatmart off Treaty yang ditandatangani di Jenewa tahun 1994 itu dengan tegas mengatakan bahwa Merek suara, hologram itu dikeluarkan dari sistem Traktat 1994 ini, saya ambil itu diartikel 2 ayat (1b) ditegaskan bahwa This Treaty, maksudnya Treatmart off Treaty tahun 1994 shell not a play to hologrammart and to mart not consisting off ficible saign, in petik qiuler sound mart and all picturemart. Itu pernyataan yang ada didalam Traktat Treatmart low Treaty tahun 1994, dan traktat ini sudah di ratifikasi oleh Indonesia tahun 1997 dengan Keppres Nomor 17 Tahun 1997. Artinya dengan Traktat ini maka apa yang dianut oleh Indonesia pada saat itu dengan undang-undang Merek yang lama dimana merek itu adalah sesuatu yang bisa dilihat atau fisibel saign ini sebetulnya cocok. Tapi kemudian didalam Singapore Treaty itu ada perluasan cakupan, dimana disana perkembangan dari dunia bisnis itu memungkinkan suara, saya ambil contoh misalnya suara motor Harley itu sangat tipikel. Jadi kalau ada motor baru yang suaranya kaya motor rusak, nah itu Harley namanya itu, keras, bergetar begitu. Nah masalahnya adalah kalau itu hendak dimasukan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat(3) ini agak tidak konsisten didalam aturan undang-undang itu sendiri. Dimana didalam Pasal 1 definisi mengatakan Merek hanya yang gratis, tetapi didalam pasal 2 ayat (3) disebutkan bahwa
Merek itu berupa tanda atau gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, termasuk didalamnya bentuk tiga dimensi, suara, hologram atau kombinasi. Jadi didalam Pasal 2 ayat (3) suara masuk, sementara didalam Pasal 1 butir 1 definisi hanya dibatasi grafis. Saya kira ini harus di klarifikasi lagi apakah benar bahwa yang hendak kita atur adalah Merek yang fisibel saja, ataukah akan mengcover Merek yang berupa suara? Itu sih terserah saja, artinya saya tidak dalam posisi mana yang lebih baik, tetapi saya hanya menampilkan bahwa ada inkonsistensi antara naskah akademik dengan Pasal-pasal, bahkan didalam pasal-pasal sendiri antara pasal yang satu dengan pasal yang lain itu ada inkonsistensi. Saya ambil gambaran lagi misalnya, didalam Pasal mengenai pendaftaran disitu ada pasal yang mengharuskan untuk mendaftar harus ada etiket Merek, begitu bunyi pasalnya. Lalu kemudian ada yang dimaksud etiket itu, ada dalam pasal 25 ayat (2e) naskah rancangan. Disana dikatakan etiket Merek yang didaftarkan termasuk keterangan mengenai macam warna, apabila Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan apabila Merek menggunakan Bahasa asing dan/atau huruf selain huruf latin, dan/a/tau angka yang tidak lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia dan seterusnya. Artinya dari pengertian atau dari ketentuan mengenai lampiran dari pendaftaran Merek yang harus ada etiket, itu menjadi jelas bahwa apa yang dimaksud oleh RUU Merek ini hanya yang bersifat fisibel, tidak termasuk suara. Karena persyaratan untuk melampirkan suara bagaimana caranya? Karena ini tidak diatur didalam Undang-undang Merek, yang ada aturannya adalah melampirkan etiket. Sehingga kalau dari pengaturan semacam ini saya menduga, saya menduga bahwa yang benar itu yang ada didalam naskah, he sorry yang ada didalam Pasal 1 butir 1 yaitu bahwa Merek yang bisa didaftar yang bersifat fisibel atau grafis. Tapi untuk kata grafis itu sendiri, saya juga ingin memberikan catatan, kalau kita memperhatikan Trip’s didalam Trip’s itu dikatakan didalam artikel 15 ayat (1) eny saign or eny combination off saign, jadi kombinasi dari tanda itu cakabel off distinguesting the god, yang mempunyai kemampuan untuk membedakan barang atau jasa, off one un the theaking from those off under theaking dari perusahaan yang menjadi produsennya. Shell be cavable off contetuting all of treatment. Jadi bisa digunakan sebagai merek, kalau kita lanjutkan disana dikatakan bahwa 1 (satu) sign atau tanda-tanda itu invitefucture words in clouding, nah termasuk words yang artinya kata-kata incloudhing personal name artinya nama orang, disini ada contoh misalnya Danhill itu nama orang Dearkardang itu nama orang, lalu Letters huruf, numbers atau angka lalu kemudian figurative element atau gambar, and combination off colour artinhya kombinasi dari warna, dan seterusnya. Jadi kalau kita melihat dari apa yang disebut atau diatur dalam Trip’s kelihatannya grafis itu hanya jadi bagian saja dari Merek yang bisa didaftar. Karena apa? Karena ada kata, ada angka, ada huruf yang bisa dijadikan Merek, saya ambil contoh misalnya Sony, Sony itu kata, Nokia itu kata, ABC itu huruf, ada kecap ABC, baterai ABC, lalu 234 itu rokok misalnya, itu semuanya bisa didaftar sebagai Merek jadi tidak hanya dibatasi sebagai grafis. Nah oleh sebab itu maka kalau misalnya undang-undang Merek ini memang hendak mengcover atau hendak mengikuti apa yang diatur didalam Trip’s maka definisi yang lama itu sebetulnya sudah bisa digunakan. Sebenarnya itu sudah ada juga didalam Pasal 2 ayat (3) yang tadi saya bacakan, hanya saja didalam Pasal 2 ayat (3) itu ada kata suara, yang saya menduga itu diambil dari Singapore Treaty Tahun 2006 yang juga sudah disebutkan didalam Naskah Akademik. Jadi artinya memang sudah ada niat untuk memasukkan suara sebagai bagian dari pada Merek. Akan tetapi didalam aturan-aturan tentang pendaftaran yang diwajibkan adalah etiket, nah etiket disini kemudian banyak pengetiannya yang bersifat hanya yang fisibel saja. Jadi suara atau yang sesuatu yang audible tidak tercantum didalam undangundang ini. Jadi saya tidak mengatakan mana yang lebih baik, tapi monggo dibahas bahwa sebenarnya kita hendak memperluas atau tidak. Kalau kita memperhatikan apa yang ada didalam RUU maka, kelihatanya kita masih menggunakan Merek yang sifatnya feasible, belum yang audible. Tapi kalau kita membaca naskah akademik, kelihatannya yang audible pun sudah akan di masukkan. Tetapi kalau kita hendak memasukkan apa yang ada didalam naskah akademik, maka didalam persyaratan pendaftaran harus ada bukti bagaimana membuktikan bahwa suara itu adalah sebuah Merek. Bahkan mungkin nanti
bukan hanya suara, tetapi aroma, sebagai contoh misalnya, aroma parfum, kalau orang yang sudah biasa menggunakan parfum maka antara Aigner dengan Calvin Klain atau yang lain tentu dari baunya saja itu sudah tahu ini Mereknya ini. Bahkan pernah suatu ketika saya iseng-iseng, bukan saya tapi istri saya iseng-iseng pergi ke Bandung itu dijalan Dago ada toko refil minyak wangi. Nah istri saya cuma bawa botol kosong tapi ada bekasnya, tidak ada mereknya, lalu kemudian dikasih ke tukangnya lalu dicium dia bilang oh ini Mereknya ini lalu dicari dan benar itu. Artinya dari smaile saja sudah bisa digunakan sebagai Merek, jangan tanggung-tanggung kalau memang mau memperluas ya sekalian saja seperti itu. Tapi kalau kita memang mau kembali atau masih tetap seperti apa yang disebutkan dalam Treatmart low off Treaty, maka ya kita konsisten, artinya hanya yang fisibel saja yang bisa kita daftar sebagai Merek. Itu mengenai catatan ruang lingkup. Berikutnya adalah catatan yang terkait dengan pendaftaran, ada sesuatu yang menarik sekali untuk saya yaitu bahwa didalam naskah akademik maupun didalam rancangan undang-undang itu sudah mengambil atau sudah mencantumkan apa yang diatur didalam Madrid Protokol. Ini merupakan sesuatu yang menurut saya cukup baik, kenapa? Karena dengan mencantumkan Madrid Protokol, maka pengusaha-pengusaha Indonesia yang memang orientasinya eksport dan ingin mendapatkan perlindungan Merek dibanyak negara, maka pengusaha ini tidak perlu datang ke negara-negara yang bersangkutan untuk mendaftarkan Mereknya. Sekarang ini kalau mau melakukan itu, kita harus melakukan itu jadi harus mendaftar satu persatu, karena apa? Karena Madrid Protokol itu sendiri belum diratifikasi, dan undangundang Merek yang lama juga belum mengatur mengenai pendaftaran seperti itu. Jadi dengan mencoba untuk mengadopsi Madrid Protokol didalam RUU ini, maka ini merupakan suatu langkah yang baik. Tapi dengan catatan, kalau orientasi kita adalah eksport, maka fasilitasi yang dimasukan didalam undangundang merek ini bagus sekali. Tapi kalau orientasi kita adalah import, artinya kita tidak mempunyai upaya agar supaya mendorong eksport, maka ini akan menjadi boomerang. Karena apa? Karena Indonesia akan kebanjiran Merek dari luar dan orang-orang itu tidak perlu datang ke Indonesia, tapi cukup datang ke office of original atau kantor penerimaan dinegara masing-masing, kemudian ada proses melalui WIPO dan seterusnya, mereka akan mendapatkan perlindungan Merek di Indonesia tanpa harus mendaftar sendiri ke Indonesia. Jadi plus minus tentu ada, nah tinggal bagaimana kita menyikapi, apakah kita akan betulbetul mengakomodasi Madrid Protokol atau tidak. Dan ini adalah sesuatu yang menurut saya pribadi, kalau kita mengadopsi Madrid Protokol maka upaya berikutnya, atau upaya ikutannya adalah membantu industry nasional untuk berorientasi eksport sehingga mengadopsi Madrid Protokol itu menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat. Berikutnya adalah mengenai Merek kolektif, kalau kita membaca undang-undang Merek yang lama, pengaturan Merek kolektif itu sebetulnya sudah ada. Hanya saja didalam implementasinya itu belum begitu menggembirakan, artinya pendaftaran Merek kolektif masih kecil. Bahkan saya pengalaman ketika saya membantu pengrajin pedagang batik kampung Laweyan di Solo untuk mendaftarkan Merek Kolektif itu ada beberapa kendala, terkait dengan misalnya ketentuan penggunaan dan seterusnya yang belum ada pengaturannya. Nah didalam Undang-undang yang baru ini ada satu ketentuan yang menarik saya, didalam Pasal 46 ayat (4) itu sebutkan untuk pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah, pemerintah dapat mendaftarkan Merek kolektif, yang diperuntukkan bagi pengembangan usaha dimaksud dan/atau pelayanan publik. Jadi kalau dulu yang mendaftarkan Merek itu adalah para pemilik produk, atau pedagang-pedagang, nah dengan adanya ketentuan ini maka pemerintah dapat mendaftarkan Merek Kolektif, ini bisa menjadi sesuatu yang baik apabila memang didalam daerah-daerah yang bersangkutan itu punya produk-produk andalan yang produksi oleh para produsen setempat yang mungkin mempunyai reputasi, mempunyai karakteristik, mempunyai kualitas yang bagus, ini sangat membantu. Kenapa? Karena kita tau bahwa pedagang-pedagang kecil pada umumnya enggan untuk mendaftarkan Merek. Karena apa? Karena mungkin mereka menganggap itu sulit, mungkin mereka menganggap itu mahal,
mungkin mereka menganggap waktunya lama. Nah dengan adanya ketentuan ini maka merek kolektif, pemerintah daerah dapat membantu produsen didaerah yang produknya memang mempunyai karakteristik atau kualitas yang bagus misalnya produk batik, itu ada Pekalongan, ada Jogya, ada Solo untuk ada Laweyan lalu kemudian ada produk kopi, ada gayo ada Toraja dan seterusnya, ini adalah kesempatan bagi pemerintah daerah untuk membantu pengusaha lokal meningkatkan usahanya. Dan ini sebetulnya ada referensinya, kalau di Amerika itu mereka mengatur apa yang disebut dengan certification of mart. Jadi ada tiga tipe dari certification of mart ya pertama, mart use to indicate regional of are origin of the god artificturs. Jadi memang dimaksudkan untuk mengindikasikan suatu produk berasal dari suatu daerah tertentu. Tipe yang kedua adalah mart use to indicate material, moot of manufacture kuality, accuracy art the characteristic are the god or service dan seterusnya. Jadi disini mart digunakan untuk mengindikasikan katakanlah bahanya, atau cara memproduksinya, seperti misalnya ubi cilembu dan seterusnya, atau mungkin kualitas dan sebagainya dan seterusnya. Nah apa yang diatur didalam di Amerika ini ternyata bisa juga kita gunakan dan sudah dicoba untuk dimasukkan didlam rancangan undang-undang ini. Jadi menurut saya pengaturan tambahan yang ada didalam RUU tentang Merek kolektif ini juga merupakan sesuatu yang bagus. Berikutnya adalah tentang indikasi geografis, didalam naskah akademik, itu disebutkan untuk meningkatkan pelayanan dan kepastian hukum, menjaga dan melestarikan produk-produk kerajinan maupun produk pertanian hasil daerah di Indonesia terutama yang berbasis UKM, ketentuan mengenai indikasi geografis perlu direvisi. Masyarakat lokal perlu difasilitasi oleh pemerintah daerah setempat agar lebih mudah mendaftarkan hasil daerah untuk mendapatkan perlindungan hukum. Nah pernyataan yang ada didalam naskah akademik ini merupakan sesuatu hal yang menggembirakan. Kenapa? Karena pemerintah turun tangan untuk membangun produk-produk yang memang mempunyai kualitas yang dapat dilindungi dengan indikasi geografis. Ada pasal yang menarik menurut saya yaitu Pasal 52 ayat (1) Rancangan Undang-undang yang bunyinya kira-kira seperti ini “Indikasi geografis dilindungi sebagai tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang memiliki karakteristik yang kas dan kualitas tertentu”. Rumusan ini mirip dengan apa yang diatur didalam Trip’s, didalam artikel 22 ayat (1) yang juga menyebutkan tentang kualitas, karakteristik dan reputasi. Tapi sayangnya kemudian didalam Pasal 1 butir (6) itu ada ketentuan yang menyebutkan tentang pengaruh faktor alam, atau faktor manusia, atau kombinasi dari keduanya. Jadi dengan adanya ketentuan ini maka ada beban, beban dari produsen yang akan mendaftarkan indikasi geografis untuk membuktikan keterkaitannya dengan faktor alam, atau keterkaitannya dengan faktor manusia, yang itu tidak disebutkan didalam Trip’s dan juga tidak disebutkan didalam pasal 52 ayat (1). Menurut saya kalau memang kita hendak konsisten untuk mengikuti apa yang diatur didalam Treafs maka ada baiknya kalau kata-kata yang ada didalam Pasal 1 butir (6) itu khususnya kata-kata pengaruh faktor alam atau pengaruh faktor manusia itu sebaiknya tidak usah dicantumkan didalam definisi itu. Lalu ada satu hal lagi yang menarik yaitu Pasal 53 ayat (1) disana dikatakan untuk meningkatkan manfaat indikasi geografis, Menteri dapat menetapkan kawasan indikasi geografis melalui program nasional indikasi geografis bekerja sama dengan instansi terkait lainnya. Ini adalah sebuah aturan yang menurut saya bagus, mengapa? Karena dengan adanya pasal ini, pemerintah daerah dapat dipaksa untuk mulai melihat apa produk-produk yang ada, produk-produk daerah yang mempunyai potensi untuk menjadi produk andalan. Saya ambil contoh misalnya kita punya kopi yang terkenal ada kopi Gayo, kopi Toraja, kopi Kintamani dan lain sebagainya, yang memang ada salah satu yang sudah daftarkan indikasi geografisnya seperti kopi Kintamani. Tetapi itu sebagai proyek, alangkah baiknya kalau misalnya pemerintah daerah dengan mengacu pada pasal ini, mulai memetakkan masing-masing daerahnya apa kira-kira produk andalan yang bisa menjadi sumber dari ekonomi mereka. Nah dengan begitu maka peraturan Menterinya itu tentu saja adalah bukan sekadar menetapkan bahwa suatu daerah menjadi
kawasan indikasi geografis. Tetapi untuk menjadi kawasan indikasi geografis itu diperlukan persyaratanpersyaratan yang harus dipersiapkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Jadi pasal ini, Pasal 53 ayat (1) ini menurut saya adalah sesuatu yang bagus, yang dapat digunakan untuk memaksa pemerintah daerah untuk bekerja bagaimana menyiapkan kawasan indikasi geografis ini, sehingga pada akhirnya produk-produk unggulan daerah dapat berkiprah. Nah tapi ada catatan saya juga bahwa indikasi geografis itu akan bermanfaat secara maksimal apabila orientasi produkproduk ber GI atau ber IG adalah produk-produk yang dieksport. Kenapa? Karena latar belakang atau historis dari munculnya GI atau Geografis Indication didalam treafs itu adalah karena ada produk-produk yang terkait dengan daerah seperti sampanye itu kemudian di produksi oleh banyak negara ditempat lain dengan menggunakan kata sampanye yang sebetulnya tidak ada hubungannya dengan sampanye. Oleh sebab itu Prancis pada waktu itu menginginkan untuk adanya perlindungan GI dan itu sudah berhasil masuk didalam Treafs. Sehingga kalau misalnya produk-produk unggulan Indonesia seperti kopi Toraja, Kopi Gayo dan sebagainya itu memang orientasinya adalah eksport maka perlindungan GI ini menjadi sesuatu yang sangat bagus. Kenapa? Karena dengan perlindungan GI produsen-produsen tetap boleh menggunakan Merek masing-masing, tetapi untuk standart kualitas produk yang terkait dengan kualitas atau karakteristik daerah itu tetap terjaga dengan adanya lebel GI. Jadi manfaat dari GI akan sangat terasa apabila memang kita mengandalkan atau menekankan pada orienstasi eksport. Itu tiga hal yang bisa saya sampaikan, tetapi saya ingin memberikan satu catatan kecil saja yaitu apa yang disebutkan didalam Pasal 70 ayat (3). Didalam pasal itu berbunyi “Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terikat perjanjian lisensi penghapusan hanya dapat dilakukan, apabila hal tersebut disetujui secara tertulis oleh penerima lisensi.” Ini terkait dengan penghapusan Merek, menurut saya pasal ini agak riskan, kenapa? Karena berarti apa yang harusnya menjadi otoritas negara, dalam hal ini Kementerian atau Dirjen HAKI untuk bisa menghapus Merek masih harus menunggu persetujuan dari penerima lisensi, bukan pemegang Merek. Saya bisa memahami latar belakangnya, yaitu akan sulit, akan rugi bagi si penerima lisensi kalau kemudian Mereknya dibatalkan. Padahal dia sudah membayar loyalty kepada si pemilik Merek. Jadi saya bisa mengerti apa latar belakang dari adanya aturan ini, tetapi ini menjadi bermasalah ketika penghapusan Merek itu di latar belakangi oleh karena Merek itu bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Nah katakanlah ada sebuah Merek yang bertentangan dengan agama, yang menurut undang-undang Menteri boleh menghapuskan. Tetapi tidak bisa dihapus karena apa? Karena penerima lisensinya tidak setuju, padahal jelas Merek ini bertentangan dengan agama, nah ini akan menjadi masalah. Ya jadi saya kira kalau memang mau mengatur mengenai persetujuan penerima lisensi tidak apa-apa, tetapi khusus untuk yang tidak bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Midalnya karena faktor-faktor yang lain itu tidak ada masalah. Jadi mungkin dibatasi saja bahwa persetujuan penerima lisensi itu hanya bisa diberikan atau dilakukan kalau penghapusan itu tidak terkait dengan atau bertentangan dengan agama, kesusilaan dan/atau ketertiban umum. Saya kira itu adalah hal-hal yang bisa saya sampaikan pada kesempatan kali ini, terima kasih atas perhatiannya. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, KETUA RAPAT: Wa'alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh. Terima kasih, Prof, Agus Sarjono yang telah memberikan paparannya, selanjutnya kami persilakan kepada Prof. Eddy Damian untuk bisa memberikan paparannya.
PAKAR (Prof. Dr. EDDY DAMIAN, S.H., M.H.): Terima kasih Ibu Pimpinan. Pertama-tama saya juga ingin mengucapkan juga terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh sidang yang terhormat ini untuk memberikan sedikit pencerahan tentang urgensi dari Perlindungan Merek ini, yang akan diatur didalam Undang-undang tentang Merek baru kita. Pembagian daripada penjelasan saya tentang urgensi ini, akan saya mulai terlebih dahulu dengan menjelaskan apa sih latar belakang daripada urgensi merubah Undang-undang atau memperbaharui Undang-undang Merek lama itu menjadi undang-undang baru. Ada beberapa alasan sebenarnya yang saya dapat jelaskan, tapi sebelum saya menjelaskan latar belakang daripada urgensi ini, saya akan melanjutkannya dengan juga apa yang menjadi dasar kerangka pemikirannya. Dan juga apa yang menjadi landasan yuridisnya? Untuk merubah Undang-undang Merek yang lama itu dengan suatu undang-undang Merek yang baru. Kemudian saya akan memberikan sebuah kesimpulan terhadap RUU Merek yang disodorkan kepada saya untuk dipelajari. Dan mengemukakan juga nanti beberapa isu krusial yang tercantum didalam RUU Merek yang kita coba akan undangkan nanti dalam waktu yang dekat mendatang. Sebagai latar belakang ini perlu kita jelaskan kepada para Anggota senator-senator disini, terlebih dahulu sebelum saya menukik pada masalah-masalah krusial tadi, yang mendalam seperti yang telah dijelaskan oleh antara lain oleh Prof. Agus Sardjono. Kita mengetahui bahwa pada dewasa ini kerangka berpikir atau paradigma perlindungan Merek didunia internasional, sedang berkembang sangat pesat. Hal ini dikarenakan adanya suatu perjanjian yang kita kenal dengan nama The words Treats organization. Maaf saya minta agar supaya yang ditayangkan adalah power point, bukan ada satu yang tadi sudah saya serahkan ke sekretariat, yang kotak-kotak. Saya lanjutkan jadi, kita mengetahui bahwa Indonesia sebagai suatu negara partisipan dari suatu perjanjian internasional yang dinamakan The worlds Treat Organization, disitu diatur tentang seyogyanya beradaptasi tentang apa yang diatur didalam perjanjian-pernjanjian lampirannya yaitu Treat agreement, the treats agreement ini kalau kita bisa lihat mengatur berbagai macam kekayaan intelektual yang perlu diatur secara full fem playen bagi negaranegara yang menjadi peserta dari WIPO agreement tadi. Apa itu kekayaan-kekayaan intelektual yang diatur didalam WIPO didalam treatsnya tadi? Yaitu pertama-tama tentang copy right dan realytate right yang Bahasa Indonesianya ada hak cipta dan hak terkait, kemudian Merek. Jadi Merek ini diatur dengan melalui treats tadi yang menentukan standart-standart minimal dan norma-norma hukum apa yang harus diterapkan didalam suatu undang-undang Merek? Dan Indonesia terikat untuk mengikuti pelaksanaan daripada pelaksanaan norma-norma hukum dan treats, dan standart-standart minimal yang diatur Thre Treats realistate off intelektual yuman right tadi. Dan Merek ini adalah bagian daripada Treats tadi seperti yang dapat kita lihat didalam tayangan daripada power poin ini yaitu nomor 2, merek treatsmart. Dan selain itu tadi yang telah disinggung juga oleh Prof. Agus yaitu indikasi Geografis, Ubi Cilembu yang disebutkan tadi sebagai contoh juga, industried disaign, dan Paten, disaign tata letak serkuit terpadu, rahasia dagang, larangan praktek persaingan curang. Selanjutnya sebelum Indonesia mengikuti WIPO the agreement tadi, kita sebenarnya Indonesia telah mengikuti perjanjian-perjanjian internasional yang memuat pengaturan secara tradisional apa yang dinamakan kekayaan intelektual itu, yaitu perjanjian internasional the Paris Conferention for the protection off interest property, the Burrent Convention off the protection outdetperly dan ini semua juga menjadi komponen-komponen yang terintegrasi didalam treats agreement, hanya itu diperluas dan dipermodern pengaturannya didalam treats agreement tadi. Perlunya perlindungan berbagai kekayaan intelektual ini termasuk Merek tentunya, oleh negara melalui peraturan perundang-undangan secara filosofis dapat dikemukakan secara gamblang dan jelas oleh Aparboxs yang mengatakan bahwa the
Yumans the years ini, adalah sumber dari semua ciptaan seni sastra Indonesia dan intensi-intensi dan adalah kewajiban dari negara untuk menjamin secara cermat perlindungan daripada kekayaan-kekayaan intelektual yang dinamakan Ask dan Intention tadi. Ini adalah landasan-landasan filosofis yang saya kira perlu kita pakai untuk menggolkan suatu RUU Merek yang baru, yang akan mengatur Merek barang atau jasa tadi didalam suatu undang-undang Merek yang lebih modern. Dan sebagai kerangka pemikiran tentang RUU Merek ini, dapat saya kemukakan bahwa di Indonesia pada dewasa ini pengaturan kekayaan intelektual tentang Merek dagang dan jasa adalah berdasarkan pada Undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang Merek. Beberapa substansi yang perlu juga dimuat peraturannya didalam suatu Undang-undang Merek baru yang kita canangkan, adalah tentang pelayananan yang didekatkan pada pelaku usaha, pemohon pendaftaran suatu merek baru, dengan cara penyederhanaan proses dan prosedur pendaftaran merek untuk mempermudah pelaku usaha memperoleh hak suatu merek bagi produk yang hasilkan. Dan selain itu perlu digunakanya juga ketentuan-ketentuan pidana baru, dengan memperhatikan berapa prinsip fundamental atau fundamentaly prinsipel plus modern yang diperkenalkan oleh seorang ahli hukum pidana bernama Gabriel heledy dalam pembentukan prinsip-prinsip sebagai berikut yaitu: -
The principle of legality; The principle of kontaks; dan The principle of cupability; serta yang terakhir The principle of personel libelity.
Hendaknya prinsip-prinsip ini didalam nanti menentukan ketentuan-ketentuan pidana kita gunakan untuk lebih mengefektifkan ketentuan-ketentuan pidana seperti yang telah tercantum didalam undang-undang merek yang lama. Dan terakhir sebagai penjelasan dari dalam rangka pemikiran tadi, dapat saya kemukakan bahwa suatu RUU Merek baru perlu diberlakukan berdasarkan pertimbangan dengan banyaknya ketentuan-ketentuan mendasar, yang belum sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dan RUU Merek ini haruslah merupakan memenuhi kebutuhan dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, yaitu pemohon Merek. Memberikan kepastian hukum bagi dunia industry, perdagangan dan investasi dalam menghadapi perekonomian dunia pada masa mendatang. Dan sebagai landasan yuridis dapat saya kemukakan bahwa sejak Indonesia menjadi anggota organisasi perdagangan dunia WIPO, dengan disahkannya melalui undang-undang Nomor 7 tahun 1994, tentang a greement extrafishing the worlds treats off organization, memuat lampiran a greement atau treafs tadi, maka kita kira saya harapkan terpenuhilah RUU Merek ini apabila landasan yuridis ini dipakai sebagai treafs tadi dipakai sebagai sautu hal yang perlu diasimilasikan atau diadopsi oleh RUU Merek tadi. Nah dalam hal perdagangan bebas, dengan demikian suatu aset kekayaan intelektual yang dapat merupakan faktor penting dalam menciptakan sistem perdagangan bebas yang adil. Salah satu ketentuan treafs tadi mengatur tentang aspek perdagangan yang mensyaratkan adanya perlindungan terhadap kekayaan intelektual, dengan menggunakan standart-standart minimal dan norma-norma hukum yang diatur didalam treafs tadi. Dan sebagai kesimpulan beberapa substansi penting yang dapat dijadikan materi masukan RUU Merek itu dapat terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tentang definisi Merek, itu harus diperluas; Permohonan pendaftaran Merek internasional itu juga perlu diperjelas; juga Pengaturannya, dan juga menejemen proses pendaftaran perlu disederhanakan; Pensyaratan minimum dalam permohonan pendaftaran Merek. Perbaikan atau koreksi yang dilakukan pada permohonan Merek; Perubahan nama, alamat pengalihan hak;
7. 8. 9. 10.
Perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek; dan Pengumuman Merek melalui media elektronik atau non elektronik itu juga perlu diperhatikan; Ketentuan perdata dan juga ketentuan pidana; Ketentuan peralihan itu juga perlu diatur secara lebih sempurna.
Beberapa pasal RUU dapat menjadi suatu isu-isu yang perlu kita perhatikan untuk kita pecahkan permasalahannya. Saya kira itu saja yang dapat saya sampaikan pada sidang yang terhormat ini, kepada para senator, untuk dipertimbangkan dan bagaimana pelaksanaannya kita nanti akan bisa juga membantu untuk menyempurnakan RUU Merek yang sudah di kemukakan diajukan oleh pihak pemerintah. Terima kasih kepada Pimpinan. Wa'alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT: Terima kasih Prof. Eddy Damian yang sudah memberikan pemaparan dan juga masukan terkait dengan RUU tentang Merek ini. Dan setelah kita mendengarkan pendapat dan masukkan dari para nara sumber, kami persilakan kepada Bapak dan Ibu Anggota Pansus untuk bisa melakukan pendalaman, atau juga apabila ingin mengajukan pertanyaan, ataupun tanggapannya kami persilakan. Silakan. F-PG (Dra. WENNY HARYANTO, S.H.): Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya, saya Wenny Haryanto dari Fraksi Partai Golkar, Dapil Jabar VI Kota Depok, Kota Bekasi. Yang saya hormati Pimpinan beserta rekan-rekan Pansus; Yang saya hormati Prof. Damian dan Prof. Sardjono. Yang ingin saya tanyakan disini tadi saya lihat ini ada beberapa kesimpulan namun ada yang belum masuk ingin saya tanyakan. Yaitu mengenai ini Prof. sebaikny kalau pengajuan, jadi dari mulai pengajuan merek, itu kira-kira baiknya berapa lama Prof. sampai bisa disetujui gitu? Kalau nanti perlu dicantumkan disini, atau di pasal-pasalnya, sementara itu dulu Prof. terima kasih. KETUA RAPAT: Silakan. F-PDIP (HENRY YOSODININGRAT, S.H.): Terima kasih, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Pertanyaan saya pertama bahwa RUU Merek ini merupakan kebutuhan dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada pemohon Merek. Kita sama-sama tahu bahwa pemohon Merek ini ada dua “jenis” ada pemohon Merek yang dengan etikat baik yang memang belum pernah mengajukan suatu
permohonan terhadap sesuatu memang belum pernah didaftarkan. Tapi ada juga orang yang mengajukan permohonan Merek, terhadap suatu merek yang sudah didaftarkan, dengan berbagai macam triage atau cara-cara yang curang untuk mengelabuhi sejauh tidak ada kesamaan pada pokoknya. Kan begitu? Nah yang ingin saya tanyakan atau minta arahan, atau petunjuk dari Prof. tentunya kepada kedua Guru Besar ini yang ada dihadapan kita ini, kira-kira kiat untuk memberikan perlindungan kepada pemegang hak yang to kode true, atau yang betul-betul mempunyai niat baik itu. Karena kalau sekedar memberikan pelayanan kepada pemohon Merek, atau memberikan perlindungan, nah yang mana yang harus dilayanan dengan baik? Yang mana yang harus kita lindungi? Itu satu. Yang kedua apakah tidak mungkin kalau kita buat pendaftaran itu sejauh sudah terdaftar disuatu negara, maka dia tidak perlu lagi mendaftarkan Merek itu di Indonesia misalnya. Agar tidak terjadi karena keterlambatan atau dia belum mendaftarkan Mereknya di Indonesia, padahal Merek itu sudah sangat terkenal di dunia, maka di Indonesia Mereknya itu sah-sah saja dipergunakan, didaftarkan oleh orang yang mempunyai niat jahat. Kan tujuan kita ini adalah bagaimana melindungi yang baik, bagaimana memberantas kejahatan? Kan begitu? Mungkin kita juga nanti akan mencari tahu dinegara-negara lain, kira-kira apa iya berlaku seperti dinegara kita? Misalnya sebuah merek yang sudah sangat terkenal didunia kalau Jeans itu jaman dulu sebelum ada Merek-merek lain ada Merek Levis sudah terdaftar, misalnya, tetapi dia tidak mendaftarkan di Indonesia, karena dia tidak tahu bahwa di Indonesia digemari pada zamanzaman itu gitu. Tiba-tiba datanglah orang entah darimana, dari Hongkong atau darimana mendaftarkan merek Levis, dan sebagainya. Dalam keadaan demikian apakah kita tidak bisa memberikan sautu perlindungan kepada bukan saja kepada produsen atau kepada pemegang hak intelektual yang dari Indonesia, tapi orang luarpun yang memang mempunyai etikat baik itu harus kita lindungi. Jangan sampai menjadi korban karena kelemahan dari undang-undang kita. Nah ini saja dulu mungkin Prof. untuk sementara pertanyaan saya atau, mohon arahan dari Prof. berdua. Terima kasih. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, KETUA RAPAT: Silakan Bapak dari Hanura, F-P. HANURA (DR. H. DOSSY ISKANDAR PRASETYO): Terima kasih Pimpinan, Prof. Agus dan Prof. Eddy yang saya hormati, Teman-teman sekalian yang saya hormati, Bahwa draf perubahan ini tentu merupakan atau sebagau pembaharuan hukum dibidang ha katas kekayaan intelektual. Dalam hal ini kita sedang membahas Rancangan Undang-undang tentang Merek. Tadi Prof. Agus banyak membedah substansi dari naskah akademik agar Undang-undang ini nanti jelas koisifitasnya. Jadi mulai dari kerangka pikir yaitu mulai dari judulnya kemudian norma-normanya dan kemudian apa yang menjadi harapan dari pembaharuan hukum dibidang Merek ini. Sedangkan Prof. Eddy lebih banyak pada penajaman kontennya dari undang-undang ini. Menurut saya pak idealnya pembahasan ini harus bertitik tolak dari beberapa konteks gitu pak, konteksnya itu ya integrase nasional, konteks kebangsaan maksud saya. Kemudian tentu dalam konteks Pancasila dan konstitusi, kebudayaan Indonesia, kemudian ada hal yang paling penting adalah konteks pelanggaran Merek dalam dimensi baru pak. Tadi sesungguhnya Prof. sudah menyinggung tentang perkembangan-perkembangan dari muatan dari Merek. Ini saya melihatnya sebagai Merek dalam dimensi baru, ini juga harus diantisipasi tentang
pelanggarannya dan tentang penegakannya, kemudian originilitas dari pemegang Merek, atau penemu Merek sesungguhnya. Nah sudah barang tentu juga dalam konteks perlindungan hak ekonomi, saya belum melihat tadi kontens yang dipertajam oleh Prof. Eddy pada dimensi ini, hak ekonomi. Dari pemegang atau penemu Merek. Nah yang ingin saya tanyakan adalah apakah menurut Prof. berdua rancangan undangundang ini sudah memasukkan konteks-konteks yang sudah saya kemukakan tadi? Kira-kira itu. Beberapa hal ini sangat penting tentu akan korelatif dengan apa yang disampaikan rekan Henry tadi, kita harus tetap melindungi apa yang berkembang dikehidupan nasional kita, tetapi kita juga harus terikat dengan sistem internasional, karena merek juga bukan dominasi kita. Itu yang ingin saya tanyakan satu. Kemudian yang kedua Prof. adalah perumusan norma yang substantive yang memihak tidak sekedar pemegang, tapi kadang-kadang antar pemegang Merek dengan Penemu itu adan saling klaim mendahului. Nah kira-kira norma substantive apa yang perlu dirumuskan didalam rancangan undangundang Merek ini untuk menjawab konteks pelanggaran Merek dalam dimensi baru itu? Terima kasih Prof. terima kasih Pimpinan. KETUA RAPAT: Silakan saudara Anang. F-PAN (ANANG HERMANSYAH): Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Yang akan saya tanyakan adalah saran dari Prof. Agus maupun Prof. Damian, mengenai delik aduan atau delik biasa. Dalam pelanggaran Merek ini, yang harus dipikirkan adalah cocoknya untuk Indonesia, menyangkut pelanggaran-pelanggaran yang memang cukup marak terjadi disini. Saya rasa itu saja pertanyaan saya terima kasih. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, KETUA RAPAT: Wa'alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh. Masih ada dari Anggota? Ya silakan Pak Biem. F-P. GERINDERA (H. BIEM TRIANI BENJAMIN, B.Sc., M.M.): Terima kasih Pimpinan. Saya Biem Benjamin dari Dapil DKI, Fraksi Partai Gerindera. Teman-teman Anggota Dewan yang ada di Pansus RUU Merek, Bapak-bapak Prof. Eddy dan Prof. Agus yang saya hormati. Ini menarik sekali dan memang kita sudah masalah merek ini memang harus segera, kita tahu bahwa kekayaan intelektual, kekayaan seni budaya Indonesia luar biasa. Indonesia rasanya paling kaya mempunyai ragam seni budayanya dari Sabang sampai Merauke, jangan sampai kita diklaim-klaim oleh negara lain. Karena memang kekurangan kita sendiri, sehingga ya Malaysia itu kan banyak sekali halhal yang diklaim oleh mereka.
Soal Merek ini tadi disampaikan oleh Prof. Agus, akan berkaitan juga dengan hak yang bersifat audio yang pak, ya suara itu sangat baik sekali memang, karena merupakan sebuah karakter dan territorial yang harus kita lindungi. Dan harapan kami, harapan saya pribadi ini, segera di apa namanya RUU Merek ini segera kalau memang sudah kira-kira cukup karena memang ini dibutuhkan sekali pak, dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Dan apalagi dalam rangka globalisasi yang memang cepat sekali perubahan-perubahan ini, kalau kita tidak antisipasi akan terus tergerus, kita kalah dengan negara lain dan kita akan hak paten, hak merek itu. Saya rasa sangat apa namanya berkeinginan sekali kalau memang sudah kira-kira apa yang ditanyakan tadi dari rekan kita juga kalau memang kira-kira sudah memadai RUU ini rasanya memang harus segera kita selesaikan, kita rampungkan, RUU Merek ini menjadi sebuah undang yang bersifat memang tidak dalam jangka pendek, artinya ini bisa mengcover dalam beberapa tahun. Karena memang dunia ini kan dunia firtual juga pak, dunia firtual yang memang secara teknologi berkembang dari hari kehari sangat luar biasa perkembangannya. Dan apa yang disampaikan Pak Henry juga itu sangat ada niatan-niatan pihak yang baik, yang tidak baik, tadi dikatakan saya dari keluarga ingin mematenkan ada warung Bang Ben saja pak, itu tidak bisa pak, karena sudah punya orang itu pak. Entah itu memang ada niatan positif atau negative tidak tahu itu, dan itu sudah tidak bisa. Dan banyak lagi saya rasa apa namanya hal-hal yang memang menuntut segera. Saya rasa itu saja pak, memang saya sangat mendukung sekali, segera di Undang-undang ini, RUU ini menjadi sebuah undang-undang, dan memang tolong stressing saja mana yang kira-kira perlu perubahan-perubahan yang memang mendasar untuk dimasukkan dalam RUU ini. Terima kasih banyak. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, KETUA RAPAT: Baik terima kasih Pak Biem dilanjutkan dengan Pak Syaiful Bahri, saya persilakan. F-PG (DR. SYAIFUL BAHRI BURAY, S.H., M.Si.): Terima kasih ketua, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Saya mungkin minta penjelasan dari Prof. Eddy Damian, setahu saya Prof. akan terlibat pada Forum WIPO Prof. ya? World Intelektual Property Organization pada bulan depan, di Jenewa karena Prof. akan jadi Ketua Delegasi yang Prof. dilibatkan dalam, oleh Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Luar Negeri untuk masalah Merek secara internasional. Tentu ada ketentuan-ketentuan dan rekomendasi internasional Prof. yang akan dibahas disana, dan kita tahu persis bahwa rancangan undangundang yang kita buat ini sama dengan Pak Biem Benjamin, Pak Henry dan Pak Dossy tadi saya pun sama mengharapkan bahwa Undang-undang yang kita lahirkan ini akan memiliki dimensi puturistik Prof. Nah persoralannya apakah tinjauan Prof. terhadap draf undang-undang kita ini sudah memiliki dimensi puturistik itu untuk bisa setara dengan apa yang ditetapkan WIPO di Jenewa, atau belum? Karena kalau kita sampai saat ini bu Ketua ternyata protokol Madrid pun belum kita ratifikasi, itu sebagaimana yang ditanyakan oleh Bang Henry tadi, itu akan merepotkan para pemilik Merek kita untuk go internasional karena harus mendaftar sendiri memakan biaya dan memakan waktu. Kalau kita meratifikasi Protokol Madrid mungkin persoalan tidak serumit itu, birokrasi diperpendek biayapun bisa menghemat. Ini barangkali saya minta penjelasan Prof. Eddy apakah draf yang telah ditangan Prof. untuk kita meminta pendapat ini, sudah memenuhi norma-norma ketentuan regulasi internasional tentang Merek atau belum? Terima kasih Prof.
KETUA RAPAT: Baik terima kasih, silakan Ibu Eem. F-PKB (NENG EEM MARHAMAH ZULFA HIZ, S.Th.I): Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Pimpinan Pansus yang saya hormati, Para Nara Sumber Prof. Ahli dibidang Merek yang saya hormati, juga Kawan-kawan Anggota Pansus Merek yang saya banggakan. Pertama saya ingin menyampaikan, bahwa secara substansi bagaimana refisi atau membuat undang-undang Merek yang akan datang ini, kita bisa mengakomodir pelaku usaha kecil menengah lebih dipermudah dalam hal mempunyai Merek. Itu yang pertama. Kedua saya juga mengharapkan karena mungkin banyak sekali, karena kebetulan saya orang Cianjur ini pak, saya di pasarpasar itu banyak sekali karung dengan Merek beras Cianjur. Tetapi justru isinya itu bukan beras Cianjur, mungkin Karawang atau dari Jawa dan lain sebagainya. Nah dengan undang-undang Merek ini seperti apa gitu? Saya berharap dengan adanya RUU Merek ini walaupun dia sudah punya sudah terdaftar Mereknya beras Cianjur tetapi harus sesuai juga gitu lho, dengan Merek tersebut jangan sampai dia memegang Merek beras Cianjur tetapi isi bukan pandan wangi, bukan beras Ciayu dan itu sangat merugikan petani beras pandan wangi Cianjur. Sangat merugikan karena harganya menjadi lebih murah sedangkan petani akhirnya hari ini malas lagi untuk bercocok tanam pandan wangi. Karena sudah dipalsukan itu, walaupun dia mempunyai Merek dagang pandan wangi dan lain sebagainya. Jadi bagaimana undang-undang ini juga bisa melindungi seperti itu, okelah mungkin satu sisi ada pengaduan dan lain sebagainya, atau Merekmerek yang terkenal dan sebagainya misalkan ada pemalsuan dan sebagainya. Tetapi yang lebih substansi adalah bagaimana RUU Merek ini punya keberpihakan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat pelaku ekonomi usaha kecil, menengah bangsa sendiri. Mungkin itu terima kasih Wuallahu muafiq illa aqwa mithariq. Wa'alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT: Wa'alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh. Terima kasih Ibu Eem dan Anggota Pansus lainnya, barangkali tambahan ini terkait indikasi geografis barangkali seperti tadi yang Prof. Agus sampaikan ya. Terkait bagaimana, sejauhmana Menteri dan kemudian Pemda bisa bekerja sama untuk membuat sebuah kuality control ataupun membuat pemetakkan terhadap merek-merek dengan indikasi geografis tadi. Itu barangkali Prof. apakah Pasal 53 terkait dengan yang dipertanyakan oleh Mbak Eem tadi Pasal 35 ayat (1) itu normanya harus di rubah sehingga lebih detail lagi. Karena ini kan hanya normative saja, ya Prof. bahwa program nasional indikasi geografis bekerja sama dengan instansi terkait lainnya. Bagaimana apa yang diharapkan oleh Bu Eem ini bisa tercakup, apakah hal itu normanya bisa dirubah atau bagaimana menurut Prof. dan dari meja Pimpinan barangkali ada yang mau menambahkan? Silakan. WAKIL KETUA (Drs. WENNY WARAOUW):
Terima kasih Pimpinan rapat. Saya mohon maaf teman-teman saya dari sini saja biar cepet. Bapak Prof. Agus maupun Prof. Eddy. Ingin shering saja pak, yang pertama gimana supaya Protokol Madrid ini kita ratifikasi, karena latar belakang jauh sekali menguntungkan, mungkin ada kerugiannya juga ya, tapi mungkin Pak Prof. yang lebih dalam bisa mengupas itu agar ini bisa mendorong rakyat kecil. Supaya dia membuatmembuat, membuat untuk bisa di eksport, pasti prekonomian kita juga akan lebih baik daripada kita menerima Merek. Pertanyaan yang kedua tentang lisensi a greement, perjanjian lisensi dengan merekmerek terkenal, pada akhirnya pedagang-pedagang kecil dari Bandung, dari Yogya, dari mana-mana Bogor mereka hanya pesuruh, padahal ada orang-orang yang besar yang menggunakan perjanjian lisensi yang lebih banyak menguntungkan. Mungkin dalam kajian ini Prof. yang lebih memahami, bisa memberikan keuntungan kepada republik yang banyak untuk lisensi a greement itu yang bagaimana? Dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian yang ketiga, kemarin Jaksa dan Kepolisian kami juga mendapatkan masukan, dari kedua-duanya mengeluh tentang first to file principle jadi siapa yang mendaftar pertama dia yang diutamakan. Ini sangat menyulitkan, begitu dia buka internet, di Paris, di Roma sepatunya bagus, di Paris tasnya belum sampai ke Indonesia si Aseng, si Akyong dari Medan itu cepat sekali mendaftarkan, tabrakan dengan yang disini yang tadi yang Pak Henry sebut pencuri-pencuri itu. Ini sederhanakan pak tentang masalah pendaftaran pertama ini, tiga itu saja yang mungkin bisa kita berikan kajian bisa mempermudah didalam penyusunannya terima kasih. KETUA RAPAT: Baik terima kasih, apakah Pak Refrizal akan menyampaikan, oh tidak baik, terima kasih Anggota Pansus dan Pimpinan yang sudah menyampaikan pertanyaan maupun tanggapannya. Kami persilakan Prof. Agus maupun juga Prof. Damian untuk bisa menyampaikan jawabannya. PAKAR (Prof. Dr. AGUS SARDJONO, S.H., M.H.): Ya. Pertama pertanyaan terkait dengan jangka waktu berapa lama ini proses? Pendaftaran itu kan membutuhkan beberapa langkah, atau tahapan, salah satu tahapan yang mungkin membutuhkan waktu agak lama adalah pengumuman. Karena apa? Karena ketika diumumkan, orang-orang yang keberatan atas pendaftaran ini, berkesempatan untuk mengajukan keberatan atau sanggahan. Jadi mau atau tidak mau, memang harus ada tahap itu. Cuma masalahnya adalah berapa tahap yang dibutuhkan untuk katakanlah pemeriksaan administrative, berapa tahap yang dibutuhkan untuk pemeriksaan? Jadi pemeriksaan ini juga mungkin perlu waktu yang agak panjang, karena tahap pertama pendaftarnya banyak, pemeriksanya sedikit, lalu kemudian data yang dilihat banyak. Jadi ini menjadi dilemma antara bagaimana memberikan pelayanan yang cepat, tetapi juga bagaimana memberikan hak yang akurat? Cepat tapi tidak akurat ya berabe juga, jadi disini mungkin yang paham betul tentang jangka waktu yang diperlukan adalah para pelaksana itu sendiri yaitu eksekutif. Memang mungkin perlu dijelaskan juga didalam paparan dimana saya tidak paham soal itu, adalah mengapa diperlukan waktu ini tiga bulan, ini enam bulan, nah ini saya kira yang penting. Jadi saya tidak bisa menjawab 12 bulan, atau 16 bulan tidak tapi bagaimana kita mengukur tahapan-tahapan itu agar supaya cepat tapi juga akurat. Jadi saya kira ukuran itu.
KETUA RAPAT: Maaf Prof. saya sela sedikit mohon maaf rekan-rekan semua, terkait dengan barusan proses ya Prof. saya menjadi memiliki invite ketika proses pendaftaran ini kemudian tadinya berubah ya Prof. yang saya ketahui dari TA dibelakang bahwa tadinya di Undang-undang sebelumnya Undang-undang Merek 15 tahun 2001 itu, dikatakan bahwa pendaftaran itu administrasi dulu pemeriksaan substansi baru publikasi. Nah kalau sekarang mau dibalik katanya Prof. jadi publikasi terlebih dahulu, pemeriksaan substansi kemudian administrasi. Saya tergugah begitu untuk bertanya, wah kebayang ya Prof. kalau kemudian tadi terus Prof disampaikan itu dipublikasikan wuoo rame ini semua ini punya saya, ini punya saya tidak boleh, tidak boleh menurut Prof. akan terjadi cheos seperti apa sih Prof. jika mekanisme ini kemudian berubah seperti ini dan apa yang harus kami antisipasi dalam undang-undang ini? PAKAR (Prof. Dr. AGUS SARDJONO, S.H., M.H.): Ya sebetulnya yang paham adalah para konsultan HAKI, karena para konsultan HAKI itulah yang akan memelototi pengumuman itu. Jadi pengumuman itu kan ada berbagai cara, ada yang fisik dikantor HAKI yang itu saya kira jarang yang lihat, karena orang malas juga datang kesana. Ada juga yang melalui on line juga jarang juga karena tidak setiap hari orang melihat itu. Jadi kadang-kadang memang lolos, baru kemudian setelah terdaftar, eh kok, nah kemudian barulah muncul pembatalan dan lain sebagainya. Yang seperti apa yang efektif? Kalau menurut saya sih bagaimana agar alat komunikasi itu efektif sampai ke orang-orang yang berkepentingan, itu yang paling masuk akal menurut saya. Yang mana? Nah yang itu yang saya tidak tahu. Ini kan perkembangan teknologi, kalau kita mengandalkan teknologi dalam arti orang browsing saya mau mendaftarkan Merek ini, klik lalu kemudian itu segera muncul nah itu berarti sudah bagus. Tapi jangan lupa juga bahwa sarana teknologi kita apakah sudah sebagus itu? Sehingga ketika kita klik satu permintaan informasi, tidak nongol berarti masih kosong, kita bisa daftar, nah itu kan menjadi persoalan. Jadi saya kira apa yang bisa saya sampaikan adalah ya tergantung teknologinya, saya tidak punya kapasitas untuk menjelaskan masalah teknologi. Sehingga apa yang saya pikirkan adalah jangka waktu itu haruslah berkaitan dengan kecepatan dan akurasi, cepat tidak akurat masalah, lama akurat juga masalah. Jadi kombinasi antara dua itu saya kira yang terbaik. Lalu kemudian mengenai etikat baik dari Pak Henry yang terhormat, bagaimana sih melindungi orang-orang yang beretikat baik. Dalam praktek ini mohon maaf, orang bilang Merek dagang, tapi ada orang yang dagang Merek, artinya orang jalan-jalan keluar negeri, kemudian mencari atau melihat-lihat Merek-merek mana yang menarik dan sebagainya, lalu kemudian pulang ke Indonesia, lalu cari-cari apakah sudah terdaftar belum dia mengajukan pendaftaran. Saya ambil contoh misalnya saya jalan-jalan keluar negeri melihat permen, apa bagus, enak, Mereknya bagus, saya pulang ke Indonesia saya lihat di Indonesia Merek itu belum ada saya daftar. Lalu saya beli permen kosongan tidak pakai Merek saya bungkus pakai itu kemudian saya jual adalah Merek disini, tiba-tiba orang yang Merek asli mau eksport ke Indonesia, kita stop hey entar dulu, itu Merek saya lha dia bingung lha dia yang punya Merek, lalu kemudian timbulah sengketa. Nah orang ini ya udahlah kita damai saja, beli saja Merek saya berapa? Nah tadinya mendaftar Cuma Rp600 ribu, kemudian bisa menjadi Rp600 juta kalau memang ini, nah ini yang saya sebut sebagai dagang Merek. Hanya orang-orang yang tidak beretikat baik yang bisa melakukan itu. Nah bagaimana caranya agar supaya orang-orang yang beretikat baik tidak bisa memanfaatkan look hold dari sistem pendaftaran kita. Memang didalam sistem Merek itu ada bersifat atau yang disebut sebagai konstitutif, artinya hak diberikan, eh sorry, hak lahir karena ada pemberian oleh negara. Jadi artinya apa? Artinya negaralah yang melahirkan Merek, orang yang mendaftar kalau kita tidak kasih dia tidak akan punya Merek. Oleh
sebab itu etikat baik kontrol pertama adalah negara, caranya bagaimana? Nah ini yang kemudian mempunyai kaitan dengan masalah teknologi artinya data, data yang terkait dengan Merek yang sudah ada didunia, itu harus bisa diakses oleh pemeriksa merek. Dengan demikian maka menutup peluang adanya orang-orang yang berdagang merek, ketika saya mendaftarkan merek permen itu, kalau datanya lengkap begitu di klik oleh pemeriksa itu akan muncul, sehingga saya tidak mungkin lagi bisa mendapatkan merek itu. Itu namanya cara yang relative menurut saya sih mudah tetapi juga menjadi tidak mudah ketika teknologinya belum sampai kesana. Lalu kemudian etikat baik sulit dibuktikan memang, oleh sebab itu maka satu-satunya jalan adalah itu yang membuat menjadi tidak pasti. Dimungkinkan adanya pembatalan yang diajukan oleh orang yang mereknya tidak terdaftar di Indonesia tapi terdaftar diluar negeri. Untuk merek yang terkenal sebetulnya tidak ada masalah, karena dengan adanya merek terkenal maka datanya juga sudah ada pasti. Jadi artinya etikat buruk itu hanya mungkin terjadi menurut pemikiran saya hanya merek yang tidak terkenal. Kenapa? Karena perlindungan merek itu bersifat territorial, artinya keberlakuan undang-undang itu bersifat territorial. Dia menjadi internasional kalau ada hubungannya dengan merek terkenal, dimana aturan mengenai merek terkenal sudah ada di Paris Confention, yang sudah kita ratifikasi, aturan mengenai merek terkenal sudah ada didraf yang juga sudah kita verifikasi. Artinya persyaratan-persyaratan untuk adanya suatu merek terkenal sudah jelas. Sehingga untuk merek terkenal saya kira masalah ini tidak begitu bermasalah. Yang bermasalah adalah seperti tadi yang saya katakana ada orang yang dagang merek, karena dia memang mencari merek-merek yang tidak terkenal yang kemudian bisa didaftarkan di Indonesia. Nah oleh sebab itu satu-satunya jalan menurut saya adalah kerjasama kantor merek dengan kantor merek-merek didunia, termsuk dengan Waipo agar supaya akses data terhadap merek-merek yang sudah terdaftar didunia itu menjadi lebih mudah. Itu saya kira satu-satunya jalan, sehingga kalau misalnya kantor merek menerima ada pendaftaran A, dia klik sudah ada itu. Nah dengan klik sudah ada katakanlah sudah terdaftar di Yugoslavia misalnya ya dia dipertanyakan, eh kami mendaftarkan merek ini kok sama dengan yang sudah terdaftar di Yugoslavia, lha tidak beretikat baik kan? Itu dengan sendirinya tercegah. Lalu kemudian tadi merek yang sudah terdaftar disuatu negara sebaiknya tidak perlu didaftar lagi di Indonesia. Ini kalau tidak salah pertanyaan dari Pak Henry, tadi sudah saya jelaskan perlindungan merek itu bersifat territorial, hanya yang bersifat terkenal yang kemudian tidak ada masalah. Tapi ada masalah didalam trip atau WIPO, itu sebetulnya ada prinsip namanya moust power nation dan nasional treatment, artinya perlakuan terhadap suatu warga negara seketika juga berlaku bagi warga negara yang lain. Nah ketika kita memberlakukan perlindungan terhadap suatu negara, terhadap warga negara, maka perlindungan yang sama sebaiknya diberikan kepada negara yang lain begitu kan. Nah itu yang saya katakan tadi, dengan adanya data yang valid, data yang aksesabel oleh pemeriksa merek, masalah itu bisa diselesaikan menurut saya. Lalu kemudian tadi pertanyaan dari maaf dari fraksi Hanura tentang merek yang berdimensi baru, tadi saya sudah jelaskan bahwa sekarang ini merek hanya yang bersifat spisibel. Baik itu nama, angka, huruf dan sebagainya yang bisa terlihat, dimensi baru itu sudah dibicarakan didalam Singapore Treate, dimana juga bisa menyangkut suara dan seterusnya dan bahkan ada yang belum masuk didalam Singapore Treate yaitu smell (bau). Itu kalau mau itu juga bisa, problemnya adalah kalau itu hendak dimasukkan yang harus dipastikan adalah apa yang menjadi data dikantor HAKI, sebagai referensi bahwa bau ini, bunyi ini adalah merek itu. Kalau untuk merek yang visible gampang, karena ada etiket yang dilekatkan didalam formulir pendaftaran. Tapi untuk bau, untuk suara gimana? Oleh sebab itu dimensi baru ini mungkin bagus kita pertimbangkan terutama dalam pasal-pasal pelaksanaan, kalau kita hanya bicara bahwa kita ada dimensi baru merek ini harus dilindungi, tetapi didalam peraturannya itu tidak dicavor yang ada kebingungan. Oke kita mau melindungi suara tapi bagaimana caranya? Sementara didalam undangundang yang ada adalah etiket. Untuk yang dapat terlihat gampang etiketnya tinggal difoto, tapi untuk yang
dicium atau didengar, mungkin menyimpan rekaman suara bisa. Mungkin juga menyimpan bau, nah masalahnya bau itu juga bermacam-macam bisa hilang, jadi begitu. Jadi soal terkait penyelesaian sengketa terkait dengan dimensi baru itu benar-benar bergantung kepada kemampuan kita sendiri. Apakah kita memang sudah waktunya untuk mengadopsi perlindungan terhadap merek-merek yang berdimensi baru tadi, atau belum? Kalau memang kita berniat untuk melakukan itu lengkapi prasarananya, hanya dengan cara itu kita tidak menimbulkan masalah dengan undang-undang yang kita bikin. Kita sudah memasukan suara sebagai merek, bagaimana memberikannya? Kita sudah memasukkan bau sebagai merek, bagaimana membuktikannya. Saya sudah membuktikan di dago tadi, saya punya botol kosong saya suruh cium orang tahu mereknya. Nah bagaimana itu bisa di simpan dikantor HAKI? Sehingga pada suatu saat ada sengketa referensi dari si orang yang membuktikan bahwa itu merek saya karena bau, ada buktinya. Nah bukti yang dibawa oleh pengacara untuk membuktikan itu mereknya sama dengan apa yang tersimpan didalam kantor HAKI. Kalau kita sudah punya teknologi seperti itu silakan, selama belum ya entar dulu daripada nanti ada masalah, saya kira gitu. Lalu kemudian ini dia pertanyaan yang agak menggelitik, delik aduan atau delik biasa? Yang mana yang bagus? Saya tidak mau menjawab dulu yang mana yang bagus, tetapi saya ingin bercerita tentang apa sih sebetulnya merek? Merek itu adalah hak, hak perdata yang diberikan oleh negara setelah orang itu memenuhi syarat, untu bisa diberikan hak. Sehingga yang tahu bahwa seseorang pemegang hal adalah yang memberikan dan yang diberikan, orang lain tidak tahu. Itu permikiran pertama. Kedua kalau itu hak perdata, bagaimana kita mengatur perlindungannya secara pidana, didalam undang-undang pidana memang ada, pencurian barang itu sudah ada pidananya. Sekarang pencurian hak, tentu masalah yang pertama adalah harus dibuktikan dulu haknya hanya punya siapa, baru bisa ada pidananya. Nah sekarang kalau haknya belum dibuktikan, tetapi itu kemudian orang ditangkap gara-gara delik biasa, padahal haknya belum terbukti itu punya siapa, apakah itu tidak berbahaya buat orang-orang yang mempunyai hak sesungguhnya bahkan orang-orang yang sesungguhnya tidak punya hak tetapi kemudian ditangkap. Jadi bagus atau tidak bagusnya delik aduan adalah bagaimana hak perdata itu ditegakkan dalam konteks pidana. Oleh sebab itu maka, mungkin, mungkin yang saya tidak mau berpolemik, yang terbaik adalah delik aduan. Kenapa? Kalau delik aduan si penyidik atau jaksa disodori bukti, ini lho, ini hak saya sehingga pembuktian perdata sudah ada, polisi atau penyidik dan jaksa tinggal meneruskan gitu. Karena dengan delik aduan si pengadu dibebani kewajiban untuk membuktikan haknya, sedangkan kalau delik biasa ya silakan saja penyidik ataupun apa mengambil langkah. Nah problemnya adalah bagaimana jika haknya sendiri belum jelas, seperti misalnya contoh tadi, orang yang jalan-jalan keluar negeri pulang mendaftar, didaftar maka menurut hukum dia punya berhak sehingga ketika kemudian ada orang yang punya barang mengekspor ke Indonesia padahal dia yang sebetulnya yang berhak, kemudian menjual, kemudian ditangkap karena dianggap bukan yang punya hak, Karena yang punya hak sudah mendaftar disini, bukankah itu sebuah tindakan yang agak berlebihan. Ketika orang yang sesungguhnya berhak malah dipidana, itu teori yang ini. Teori yang lain adalah ultimum remedium, pidana sebagai ultimum meredium mau ditaruh dimana? Ketika hak-hak perdatanya belum jelas, orang sudah ditangkap. Jadi menurut saya ini pendapat pribadi saya lho ya, saya tidak ingin berpolemik yang mana yang lebih bagus, yang lebih bagus menurut saya adalah delik aduan. Karena dengan apa? Dengan demikian penyidik baik polisi maupun jaksa punya bukti awal yang cukup untuk menindak sautu pidana. Sebab kalau tidak punya bukti awal seperti dalam contoh permen tadi merek permen, orang yang sesungguhnya punya hak tetapi malah ditangkap karena yang punya merek itu adalah orang yang mendaftar dengan etiket buruk. Nah apakah ini bukan persoalan? Nah itu saya kira jawaban saya. Lalu kemudian bagaimana sebaiknya mengatur mengenai merek yang audible tadi dari fraksi Gerindera? Yaitu tadi ketika naskah akademik mengatakan bahwa Indonesia sudah waktunya melindungi suara, ya konsisten. Didalam pasal-pasalnya jangan hanya yang grafis, didalam pasalpasalnya jangan hanya etiket yang dilekatkan untuk bukti fisik, bukti yang fisibel, juga harus dilekatkan
bukti-bukti yang audible yang bisa didengar, yang bisa dicium, apa itu kalau memang kita mau mengambil itu. Lha monggo silakan saja asal konsisten, ones kita menganut sistem perlindungan yang luas dimana masuk audible ataupun juga smell maka pembuktiannya harus disiapkan didalam pasal-pasalnya. Tetapi kalau kita tidak mampu untuk mengatur pembuktian mengenai itu sebaiknya jangan, sebaiknya fisible saja sebagaimana yang ada didalam tread mart low treate. Kalau kita mau mengatur bedasarkan Singapore treate ikuti apa namanya persyaratan-persyaratan berikutnya. Jadi tidak ada yang lebih baik, tidak ada yang lebih buruk tetapi mana yang konsisten itu yang terbaik. F-P.GERINDRA( BIEM TRIANI BENYAMIN): Pak Prof. sebentar mungkin kalau yang audible itu lebih mudah ya daripada yang smell ya? Yang bau, karena yang audible itu kan bisa disimpan ditempat mereknya itu sendiri. Kalau yang smell itu kan hilang jadi tidak long last thing gitu, jadi kemungkinan juga lebih, lebih memungkinkanlah. PAKAR (Prof. Dr. AGUS SARDJONO, S.H., M.H.): Ya kalau memang memungkinkan well come, artinya silakan diatur bahwa suara pun bisa di, asal konsisten ya. Jadi Pasal 2 ayat (3) suara, tetapi persyaratan pendaftarannya tidak menyebut mengenai lampiran suara, kan jadi tidak konsisten. Gitu saja. Mengenai RUU sudah memiliki dimensi futuristik dari fraksi Golkar, yaitu tadi futuristik dari apa? Ruang lingkupnya atau masalah pendaftarannya? Yang paling gampang sebetulnya adalah ruang lingkupnya, seperti yang saya sebutkan tadi. Apa yang bisa dimungkinkan? Dulu mungkin kaya apa namanya hologram, kalau saya nonton film time treak itu kan ada kartu kredit yang begitu disebut namanya lalu kemudian keluar gambar. Nah kalau misalnya hologram seperti itu yang tidak fisik dia menjadi fisik hanya kalau ada akses tertentu terhadap mesin, maka pembuktiannya itupun juga bisa sampai menjangkau ke masalah itu. Jadi itu yang kita sebut futuristik jadi artinya kita akan menerima merek-merek yang tidak ada dia baru ada seketika kita menyuruh atau memprogram sesuatu baru nongol itu gambar, itupun masih fisible, jadi masih lebih mudah. Nah ini mengenai mengakomodir UKM, beras Cianjur nah ini menarik, ini yang saya katakana tadi ketika saya bicara tentang indikasi geografis. Didalam RUU ini sudah ada ketentuan yang mewajibkan daerah untuk melakukan langkah-langkah menjadi kawasan indikasi geografis. Artinya kalau kita kembali ke usulan itu maka pemerintah daerah Cianjur yang harus membuat dokumen buku persyaratan, yang namanya beras Cianjur itu adalah bla, bla, bla, bla, bla. Jadi kalau kemudian ada karung yang tulisannya beras Cianjur isinya beras Karawang itu gampang untuk mengujinya. Karena apa? Bentuknya bunder, panjang, lonjong warnanya putih, tua, butek monggo itu yang mengatur adalah orang yang mengerti. Tetapi harus ada dari daerah-daerah untuk menetapkan kawasan indikasi geografis beserta dokumen-dokumen yang menunjukkan bahwa ada kualifikasi, sory ada kualitas, ada karakteristik dari produk yang dihasilkan oleh daerah yang bersangkutan. Hanya dengan cara demikian maka beras Cianjur Pandan Wangi itu hanya ada di Cianjur, kenapa? Karena tidak mungkin orang lain menjual beras yang kualifikasinya tidak sama. Soal pemalsuan itu sudah ada aturan mengenai apa namanya pemidanaan misalnya, atau gugatan perdata. Jadi saya kira apakah undang-undang ini mau berpihak kepada UKM atau tidak tergantung bagaimana pemerintah daerah baik itu pada merek kolektif, maupun pada indikasi geografis mempunyai kewajiban untuk mendorong produk-produk daerah. Berikutnya apakah Pasal 53 ayat (1) tadi Pimpinan Sidang, itu tadi yang saya katakana kalau didalam Pasal 53 ayat (1) itu kan mengatur mengenai apa yang harus dilakukan terkait dengan indikasi geografis tersebut.
KETUA RAPAT: Normanya cukup seperti itu atau perlu diperjelas, seperti tadi yang Prof sampaikan bahwa ini harus Pemda harus mendorong terjadinya pemetakan, persyaratan gitu kan kadang-kadang yang sudah jelas saja multi tafsir. Kalau misalnya yang gamang-gamang saja pasti sudah tidak dikerjain itu Prof nanti. PAKAR (Prof. Dr. AGUS SARDJONO, S.H., M.H.): Nah begini, ada dalam ilmu perundang-undangan itu ada yang namanya materi muatan, ada materi muatan yang harusnya memang dimasukkan dalam undang-undang. Ada materi muatan yang cukup diatur didalam PP dan berikutnya kebawah. Nah pertanyaannya adalah apakah ketentuan yang tadi mengharuskan pemerintah memetakkan kawasan-kawasan indikasi geografis itu cukup seperti itu? Didalam undang-undang, kemudian peraturan pelaksanaanya kebawah itu merincinya, ataukah didalam undang-undang juga harus diatur apa saja yang dilakukan oleh Pemda? Yang menurut saya bisa dilakukan adalah, didalam undang-undang itu mewajibkan kepada pemerintah daerah untuk mendokumentasikan terlebih dahulu produk-produk unggulan daerah. Setelah ada dokumentasi katakanlah pemerintah daerah mana Subang atau mana? Ada ubi cilembu, lalu kemudian di Lampung ada cengkeh atau lada, lalu kemudian di Toraja ada kopi dan sebagainya dokumentasi, dokumentasi itukan tidak hanya sekedar catatan e disini ada kopi Toraja lho bukan. Tetapi kopi Toraja itu yang begini, begini, begini, nah kalau itu sudah ada maka dengan dokumentasi itu akan memudahkan bagaimana kita membuat suatu kawasankawasan tertentu yang punya basis atau punya karateristik sehubungan dengan produk-produk lokal. Saya beri contoh misalnya ada batik Yogja, ada batik Solo, ada batik Pekalongan, saya mengerti yang mana yang batik Yogja, yang mana yang batik Solo tapi tidak semua orang mengerti. Nah dokumentasi ini menggambarkan yang Yogja itu adalah latar putih dengan corak besar misalnya, yang Solo itu sogan dengan corak halus, yang pekalongan itu colour full misalnya. Nah hanya dengan demikian maka peta mengenai produk-produk daerah itu mudah untuk dikualifikasikan. Itu saya kira mengenai ini. Berikutnya protokol Madrid harus diratifikasi, itu tadi juga yang saya katakana bahwa undang-undang ini sudah mengadopsi protokol Madrid. Tapi memang ada masalah kalau kita tidak meratifikasi maka kita bukan negara peserta, artinya segala konsekuensi yang berhubungan dengan kepesertaan tidak bisa diikuti, walaupun kita sudah mengadopsinya dalam undang-undang. Saya ambil contoh misalnya mengenai nice agreement (mengenai klasifikasi barang) itu kita tidak meratifikasi, tapi kita melaksanakan. Masalahnya adalah apakah kita menjadi negara peserta? Secara hukum belum, walaupun sudah melaksanakan. Jadi walaupun Indonesia ini atau RUU ini hendak mengadopsi ketentuan Madrid, ada baiknya juga untuk meratifikasi, sekalian kalau ratifikasinya (ratifikasi itu bisa undang-undang, bisa juga dibawahnya) sekalian saja kalau memang itu hendak kita tarik artinya ketentuan Madrid itu layak materinya menjadi undang-undang, ratifikasi dengan undang-undang. Tapi kalau protokol madrid itu cukup menjadi peraturan pelaksanaan dan itu nampaknya seperti yang dikehendaki oleh undang-undang ini, karena nanti segala peraturan nanti akan dilakukan dengan peraturan pelaksanaan. Artinya ya ratifikasi saja dengan Keppres sehingga protokol madrid akan menjadi peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini. Indonesia sudah masuk sebagai negara peserta. Jadi syarat legalitasnya itu demikian. Kemudian mengenai lisensi merek terkenal yang menguntungkan bagi Indonesia, merek terkenal itu kan tidak hanya sekedar misalnya terkenal di Indonesia. Gudang Garam misalnya, itu terkenal di Indonesia sebagai merek rokok, tapi belum tentu dinegara lain itu terkenal. Jadi lisensi mengenai Gudang Garam keluar negeri barangkali menjadi sesuatu yang penting agar Gudang Garam sendiri mendaftarkannya dinegara-negara lain. Tetapi untuk merek terkenal seperti misalnya Yuar Gardan misalnya katakanlah dimana dalam ketentuan trieps maupun Paris Convention menyatakan bahwa merek terkenal sudah dilindungi kalaupun tidak didaftar, ketika orang Indonesia meminta lisensi untuk
memproduksi dompet dengan merek lisensi dan diberikan oleh pihak Gardang maka cukup itu didaftarkan di kantor HAKI, agar supaya lisensinya berlaku terhadap pihak ketiga. Itu pencatatan. Cuma yang akan menjadi masalah adalah kalau kita mendaftarkan lisensi dimana mereknya belum terdaftar di Indonesia, lalu bagaimana? Sehingga yang sudahlah kalau memang begitu agar supaya pas ditentukan dalam undang-undang ini lisensi yang bisa dicatatkan adalah lisensi terhadap merek-merek yang sudah terdaftar di Indonesia. Itu saya kira jalan keluar yang paling gampang. Terakhir first to fild, first to fild ini adalah prinsip yang sudah dianut oleh trieps, artinya negara-negara didunia yang sudah meratifikasi WIPO harus ikut. Bagaimana dengan itu tadi, merek diluar seperti kasus IKEA ada segala macam, yang Gardang, Polo yang di Indonesia belum terdaftar kemudian oleh orang Indonesia didaftar oleh yaitu tadi yang dagang-dagang merek, lalu kemudian menunggu kasus kemudian tawar-tawaran harga, ya itu soal ekses dari dunia praktek ya. Tapi yang jelas first to fild adalah prinsip yang dianut diseluruh dunia, jadi Indonesia memang harus ikut. Masalahnya adalah bagaimana menjaga agar orang-orang yang melakukan filing di Indonesia pertama kali itu lolos dari secreaning yang saya katakan tadi klik data sudah ada. Jadi selesai dan, saya kira itu yang bisa saya jelaskan, terima kasih. Mohon ijin kalau boleh saya mau ke toilet sebentar. KETUA RAPAT: Ya silakan Prof. Pak Henry dulu mau menambahkan sedikit sebentar ya Prof. ya, F-PDIP (HENRY YOSODININGRAT, S.H.): Oke baik saya menangkap bahwa siapa yang mendaftar maka dia sebagai pemilik, ini yang saya kawatirkan, justru kalau saya melihat sejauh yang saya pahami tidak ada satupun konferensi yang sudah kita ratifikasi bahwa yang kita anut sekarang adalah merek berlaku sifatnya territorial. Ya artinya berlaku di Indonesia tidak berlaku diluar, berlaku diluar tidak berlaku di Indonesia. Kalau memang sejauh ini tidak ada suatu konvensi yang sudah kita ratifikasi mengenai hal itu, apakah ada suatu ketentuan yang bersifat prinsip dan berlaku secara universal yang kita langgar? Apabila kita menentukan bahwa merek yang sudah terdaftar disebuah negara, tidak perlu kita cari apakah sudah terdaftar atau belum. Ketika ada orang mendaftarkan disini meskipun pemilik aslinya tidak pernah mendaftarkan untuk pemasaran di Indonesia maka dengan sendirinya si pendaftar yang mempunyai etikat tidak baik tadi gugur, jadi dia nihtebar itu yang saya harapkan supaya azas keadilannya betul-betul ditegakkan. Itu satu. Yang kedua, dalam hal terjadi pelanggaran terhadap merek, yang dirugikan bukan hanya si pemilik merek, apalagi kalau kita akan menganut bahwa karena ini hak keperdataan seseorang atau suatu badan hukum yang diberikan oleh negara maka ini adalah delik aduan. Saya pikir bukan hanya pemilik atau pemegang merek yang dirugikan, dengan adanya satu pemalsuan merek public, konsumen akan ikut dirugikan. Karena dia tertipu dia mengira seperti misalnya kita lihat lampu misalnya, lampu diatas ini katakana Philips dari merek Philips dia tidak mendaftarkan di Indonesia misalnya, tiba-tiba ada produsen Indonesia yang membuat dengan menggunakan merek Philips yang sama persis. Karena kita melihat ini Philips maka kita beli, sementara kualitasnya tidak lebih baik dari yang 4 great atau 5 great dibawah Philips, dalam hal ini kan sudah yang dirugikan adalah konsumen. Begitu juga seperti beras cianjur dan sebagainya, yang rugi bukan sekedar produsen yang sudah mendaftarkan, tapi konsumen yang sudah membeli merasa tertipu, kalau saja saya tahu bahwa isi kemasannya bukan beras cianjur, tapi beras kerrawang dan “beras mana yang kualitasnya dibawah” tentunya saya tidak akan membeli seharga ini. Kan begitu? Dengan demikian maka pertanyaan saya apa yang harus kita lakukan supaya kita menganut azas fiksi hukum bahwa setiap orang dianggap tahu tentang hukum. Oh saya tidak tahu kalau sudah terdaftar di
Kanada misalnya, atau saya tidak tahu bahwa ini sudah terdaftar di Brasil, dianggap tahu, itu namanya fiksi hukum. Jadi setiap orang dianggap tahu bahwa ada satu aturan yang sudah berlaku, saya tidak boleh mengatakan “wah saya tidak tahu ya” bahwa ada undang-undang yang melarang saya untuk melakukan perbuatan ini, begitu sudah diundangkan saya dianggap tahu, begitu saya melanggar saya ada sangsi, apakah pidana atau apapun sangsinya. Nah maksud saya dengan menganut pada teori fiksi hukum, karena kalau kita melihat seperti dikatakan tadi melakukan pemetakan diseluruh dunia, katakanlah ada satu badan khusus saya tidak yakin Prof. bahwa itu bisa terealisir. Kita bikinlah satu rektorat jenderal, bahkan bikin kementerian sekalipun untuk memeta merek apa saja yang ada dimuka bumi ini saya tidak yakin itu akan akurat datanya. Contoh kongkrit, yang saya dengar kalau tidak salah ya, bahwa yang menciptakan “tongsis” atau apa itu (tongkat narsis) itu anak Indonesia itu. Tapi didaftarkan begitu ada turis dari kalau saya tidak salah dari Korea, Korea Selatan mereka datang ke Indonesia beli murah, harga hanya beberapa ratus ribu, dia pulang ke negaranya dia daftarkan disitu mereka produksi banyak-banyak akhirnya orang Indonesia membeli dengan harga yang mahal, padahal yang menciptakan tongsis itu putra bangsa. Nah ini yang bagaimana melindungi hal-hal seperti itu? Jadi saya berharap bahwa rancangan undang-undang ini nanti ketika diundangkan betul-betul mempunyai satu manfaat yang kami dari Pansus ini betul-betul bisa mempertanggungjawabkannya kepada public, kepada dunia, bahkan kepada Allah sekalipun kami sanggup mempertanggungjawabkannya itu Prof. terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih Pak Henry, mau kebelakang dulu masih kuat Prof. masih silakan. PAKAR (Prof. Dr. AGUS SARDJONO, S.H., M.H.): Ya bagus sekali diskusi mengenai apakah undang-undang berlaku ekstrateritorial itu pernah terjadi bahwa masih terjadi ketika Amerika supertriwan dimana negera-negara didunia keberatan, ketika undang-undang Amerika diberlakukan disemua negara yang berdaulat yang lainnya. Jadi prinsip utamanya adalah semua negara didunia yang merdeka adalah negara yang berdaulat, dimana hukum yang berlaku dinegara itu adalah dari negera yang bersangkutan, tidak boleh ada undang-undang negara lain yang berlaku dinegara selain itu. F-PDIP (HENRY YOSODININGRAT, S.H.): Maaf Prof. bukan itu yang saya maksudkan, artinya bukan berlaku dinegara lain, tapi artinya kita menganut satu azas bahwa ketika khusus negara kita sebuah bangsa yang berbudaya, bangsa yang bermartabat ya, dalam rangka memberikan, menunjukkan kepada dunia bahwa negara kami adalah bangsa yang bermartabat ketika dia sudah mendaftarkan disebuah negara maka tidak akan kami terima. Ataupun kalaupun terjadi kelengahan pada petugas kami, atau bagi pemerintah kami maka dengan sendirinya pendaftaran itu akan gugur nantinya. Ini yang saya maksudkan. Jadi setidaknya kita menunjukkan pada dunia bahwa hukum di Indonesia melindungi yang baik, memberantas kebatilan itu maksud saya Prof. terima kasih. PAKAR (Prof. Dr. AGUS SARDJONO, S.H., M.H.): Ya saya setuju sekali, artinya ketika ada suatu merek yang terdaftar ditempat lain itu harus dilindungi di Indonesia, itu sudah ada aturannya didalam Paris Conventions didalam trieps. Dan itu sudah kita ratifikasi, jadi Indonesia sudah punya aturan tentang itu, dimana kita harus memberlakukan nasional
atau bangsa lain sama dengan kita memberlakukan bangsa sendiri. Artinya kalau disuatu tempat sudah terdaftar sebuah merek maka Indonesia harus menghormati itu, yang jadi masalah adalah kita tahu tidak bahwa sebuah merek sudah didaftar? Nah oleh sebab itu tadi yang saya katakana, satu-satunya jalan adalah dengan data, kalau apa yang tadi disampaikan ioleh Pak Henry itu sudah ada solusinya. Yaitu melalui internasional examination melalui pendaftaran internasional, dimana yang memeriksa itu bukan kantor Paten, sory kantor merek Indonesia, tapi kantor merek dari negara-negara dimana si empunya merek menuju saya akan mendaftar di Philipina, Singapore dan sebagainya. Maka Indonesia sebagai negara yang menerima pendaftaran tidak perlu meneliti, kenapa? Karena apa namanya permohonan itu akan masuk ke internasional WIPO, artinya yang akan memeriksa bahwa ini Paten, maaf merek sudah terdaftar adalah WIPO dan itu datanya ada. Jadi tidak masalah saya kira, terkait dengan apa namanya apakah sebuah merek sudah terdaftar atau belum. Karena apa? Karena data yang dimiliki itu bukan hanya data yang dimiliki oleh Indonesia, tapi juga data yang dimiliki oleh WIPO. Dan diantara kantor HAKI itu ada pertukaran data, sehingga secara teknologi maaf, itu sebetulnya ada solusinya, bahwa kemudian tidak ada artinya tidak mungkin itu soal lain. F-PDIP (HENRY YOSODININGRAT, S.H.): Bukan itu Prof. maksud saya jadi begini, yang kita anut sekarang sejauh sebelum didaftarkan di Indonesia, sejauh belum ada daftarnya didalam daftar merek yang ada di Kementerian Hukum dan HAM, Direktorat Hak Cipta, maka itu diterima. Kan demikian? Padahal dia sudah terdaftar sebuah merek yang tidak terkenal didunia, katakan dibelahan dunia disebuah negara kecil, katakanlah misalnya di sebuah negara kecil yang dibawah perancis ini dulu bekas jajahan Belanda yang, siapa yang tahu bahwa dia sudah terdaftar disana? Yang saya maksudkan ketika dia sudah terdaftar disana dan tidak ada satupun orang Indonesia atau orang dunia manapun yang tahu bahwa sudah terdaftar disana, tapi lantas orang mendaftarkan disini, menurut sistem hukum kita kan kita terima pendaftaran itu. Nah begitu dikemudian hari muncul bahwa ini sudah pernah terdaftar sebelumnya, kita tidak perlu harus melalui proses. Tapi dia netahbar, dia batal demi hukum, ini yang dicantumkan didalam rancangan undang-undang ini nanti, itu yang saya inginkan Prof. PAKAR (Prof. Dr. AGUS SARDJONO, S.H., M.H.): Berikutnya saya kira saya sepakat dengan itu Cuma masalahnya adalah soal tadi, benar tidak yang diluar itu pendaftarannya sah dan sudah terdaftar, itu kemudian kita menjadi debat yang mana yang sesungguhnya yang sudah. Oh ya saya mungkin lupa, dulu pernah ada sebelum undang-undang merek ini yaitu undang-undang tahun 1961, yang disebut dengan deklaratif sistem, yang itu sudah diubah. Kalau deklaratif sistem bahkan bukan siapa yang mendaftar pertama kali yang dilindungi, tetapi siapa yang memakai pertama kali. Kasus Tanchou dulu adalah bukti dari peristiwa itu. Jadi adalah sebetulnya referensi yang berhubungan dengan ini. PAKAR (Prof. Dr. EDDY DAMIAN, S.H., M.H.): Boleh saya sedikit menambahkan suatu kasus tentang pendaftaran merek ini, ada suatu kasus yang terjadi di Indonesia, mungkin Bapak-bapak dan Ibu-ibu pernah mendengar yaitu merek cap kaki tiga. Oke, merek cap kaki tiga ini digunakan sebagai suatu merek bagi produk-produk minuman, nah apa yang terjadi? Bahwa merek cap kaki tiga ini diklaim oleh seorang warga negara Inggris yang melihat merek itu di Indonesia dipakai sebagai merek dagang bagi minuman. Nah si warga negara inggris ini adalah anggota dari suatu pulau Air off man yang berada didalam brithis empayer yaitu dipakai sebagai
merek bukan merek tapi sebagai lambang negara dari air off man itu. Dia melihat kenapa ini lambang negara saya dipakai untuk minuman yang dijual, diperdagangkan dengan harga yang murah sekali? Dia menggugat si warga negara air off man itu yang masih termasuk didalam the brithis empayer karena air off man itu adalah katakanlah otonomi dari the brithis empayer dia menggunakan dipengadilan niaga terhadap penggunaan logo lambang negara dia jagi lembang seperti garuda Pancasila. Apakah anda setuju kalau seandainya lambang negara kita ini dipakai untuk minuman kuat yang jual disuatu negara entah antah brantah dimana? Setuju atau tidak? Pastinya kita tidak setuju karena itu penghinaan terhadap logo kebangsaan negara republik Indonesia yang kita sangat banggakan. Nah gugatan yang diajukan oleh si warga negara Inggris ini yang tempat domisilinya adalah air off man tadi, dikabulkan oleh pengadilan niaga untuk dihapus merek dagang cap kaki tiga itu untuk minuman. Ini yang terjadi, jadi ini hanya suatu ilustrasi saja terhadap apa yang tadi dipermasalahkan oleh Pak Henry. Dan itu perlu dipertimbangkan didalam RUU merek kita. Demikian saya kira ini penjelasan tambahan dari saya. KETUA RAPAT: Baik terima kasih Prof. Prof. Agus akan ijin atau masih tetap ingin tambahan. PAKAR (Prof. Dr. AGUS SARDJONO, S.H., M.H.): Selesaikan dulu, kalau belum selesai tidak enak rasanya. Terkait dengan delik aduan pak, itu tadi yang saya katakan saya tidak ingin berdebat tentang delik aduan atau delik biasa mana yang lebih baik. Karena plus minusnya ada, apa yang disampaikan Pak Henry itu persis ada dan bisa terjadi, tetapi apa yang saya ceritakan tadi juga bisa terjadi orang-orang yang berhak dipidana. Nah mungkin solusinya adalah kalau kita mau menerapkan delik biasa, maka didalam undang-undang ini harus ditambah satu ketentuan, bahwa sepanjang bukti hak atas merek yang dianggap telah dilanggar itu dimiliki oleh penyidik. Artinya penyidik memiliki bukti aktual yang akurat bahwa barang palsu ini sebetulnya milik si A, hanya dengan cara itu maka, kasus-kasus yang tadi orang-orang yang mestinya berhak itu dipidana bisa dihindari. Jadi sekali lagi saya sepakat persis dengan apa yang tadi disampaikan, tetapi apa yang saya ceritakan juga terjadi, sehingga mana yang harus kita lindungi apakah biasa atau aduan? Monggo saja dipolitik hukumnya itu sepenuhnya saya serahkan kepada legislative. Saya kira itu saya minta ijin dulu untuk kebelakang sebentar. KETUA RAPAT: Silakan Prof. Demian PAKAR (Prof. Dr. EDDY DAMIAN, S.H., M.H.): Saya ingin sedikit memberikan klarifikasi tentang apa yang tadi dikemukakan oleh Pak Syaiful, yaitu tentang kehadiran saya pada General Assembly yang ke 5 kalau tidak salah, itu pada Tanggal 3 Oktober sampai 15 Oktober di Jenewa. Saya bukannya sebagai ketua delegasi seperti tadi dikemukakan oleh Pak Syaiful, namun saya ini hanya diminta untukmenjadi anggota delegasi republik Indonesia dalam rangka menghadiri general assembly yang akan dilaksanakan di Jenewa tadi. Jadi disitu nanti didalam General Assembly yang akan dihadiri oleh semua anggota-anggota dari the wold intruchers property open session akan dilaporkan oleh standing committe tentang berbagai kekayaan-kekayaan intelektual yang telah diteliti di negara-negara anggota WIPO. Dari standing committee ini nanti kita bisa mendapatkan banyak kaidah-kaidah hukum yang menjadi backfes tesis yang ada di negara-negara peserta
dari dari anggota-anggota peserta dari WIPO itu. Antara lain tentunya tentang merek ini, jadi dari laporan dari standing committee yang dibilang merek itu akan banyak kita mendapatkan katakanlah petuahpetuahnya yang kita bisa serap, dan kemudian mungkin nantinya kita bisa tambahkan hal-hal baru yang kita dapatkan itu kedalam RUU Merek ini. Mudah-mudahan saja ini akan bisa berhasil untuk lebih menyempurnakan rancangan undang-undang tentang merek ini. Demikian saya kira ini klarifikasi saja kepada Pak Syaiful bahwa bahwa saya bukan ketua delegasi Republik Indonesia untuk menghadiri WPO assembly tadi. Kemudian mengenai delik aduan tadi yang dikemukakan oleh Pak Henry juga atau siapa tadi ibu bapak ya, jadi begini mengenai delik aduan ini memang banyak timbul kontroversi. Tapi saya menyimpulkan bahwa pemerintah dalam hal menghadapi kontroversi delik aduan dengan delik biasa tadi, ternyata pemerintah ini hanya berpihak pada yaitu menjadikan pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap suatu kekayaan intelektual ini adalah delik aduan. Sebagaimana kita melihat dari tujuh undang-undang tentang kekayaan intelektual ini enam diantaranya adalah delik aduan, kecuali yaitu Hak Cipta. Tetapi Hak Cipta ini berubah dari delik biasa menjadi delik aduan dari undang-undang Hak Cipta yang baru saja kita sahkan pada tahun November tahun 2014 yang lalu. Jadi kecenderungan delik biasa menjadi delik aduan itu ternyata jelas ada pada pihak pemerintah. Jadi sebaiknya memang hal ini yang kita ikuti untuk RUU tentang Merek kita ini. Apa sebabnya? Oleh karena sebenarnya kalau kita menganut delik aduan sebagai suatu delik yang harus diterapkan pada pelanggaran terhadap kekayaang-kekayaan intelektual ini, adalah bahwa yang dirasa merasa dilanggar haknya dan mempunyai bukti-bukti seperti tadi dikatakan oleh Pak Prof. Agus, adalah dia itu yang merasa mempunyai hak atas kekayaan intelektual yang dimilikinya. Dan hal yang demikian ini jelas ada pada si pemilik daripada kekayaan intelektual yang bersangkutan. Sebab ada yang merasa bahwa seseorang yang memiliki sesuatu kekayaan intelektual merasa dirinya tidak dilanggar hak-hak pidana, hak-haknya atas kekayaan intelektual yang bersangkutan oleh karena dia menganggap bahwa apabila kekayaan intelektual itu digunakan oleh seorang lain tanpa ijinnya lebih menguntungkan daripada merugikan, katakan saja seorang pencipta lagu yang masih yunior dia tanpa ijin dari si pencipta itu orang lain menyanyikan lagu itu agar supaya lebih popular bagi dikenal oleh masyarakat, maka dia tida merasa dirugikan. Biar saja jadi dia tidak usah melaporkannya sebagai sautu delik, jadi ini keuntungannya sebenarnya, kalau kita berada pada pihak yaitu memakai norma hukum pelanggaran itu sebagai suatu delik aduan. Demikian ini penjelasan dari saya saja, klarifikasi tentang kontroversi daripada delik aduan atau delik biasa. Dan mengenai soal protokol tadi, saya juga boleh tambahkan disini, memang kecenderungan kita untuk sesegara mungkin meratifikasi ketentuan hak cipta ini adalah sewajarnya. Demikian saya kira tambahan penjelasan dari saya, mungkin Pak Prof. Agus akan melanjutkan keterangan-keterangan lebih lanjut silakan pak. F-PG (Dra. WENNY HARYANTO, S.H.): Ijin Ketua, Ketua boleh menanggapi apa yang baru disampaikan oleh Prof. Damian terkait dengan rencana kunjungan Prof. ke Jenewa terkait dengan WIPO (World Intelektual Property Organisation) tadi kalau saya tidak salah tangkapkan masing-masing negara membawa merek-merek yang sudah terdaftar di negaranya masing-masing kan begitu ya? Nah pertanyaannya kalau nanti ternyata menemui penggandaan, jadi ada doble merek apa itu nanti langkah-langkahnya Prof? terima kasih. PAKAR (Prof. Dr. EDDY DAMIAN, S.H., M.H.):
Maksud ibu adalah apabila ada merek uang juga didaftarkan dinegara lain yang sudah didaftarkan di Indonesia? Penyelesaiannya ya ini bisa melalui berbagai cara ya, kalau didalam hukum internasional. Sebab kita ini semua adalah peserta dari tentunya ya kita tadi sudah jelaskan adanya The World Trade Organisation triepsnya ada satu C nya sebagai suatu perjanjian internasional, disitu dikenal adanya dia itu yang dinamakan dessciut sutlement body, dessciut sutlement body ini kalau negara-negara yang merasa dirinya terlanggar karena hak-haknya atas suatu kekayaan intelektual bisa mengadili perkara yang akan diajukan oleh para anggota WIPO untuk menyelesaikan suatu sengketa. Demikian saya kira penjelasannya. KETUA RAPAT: Terima kasih, terakhir dari Pak Adies silakan. F-PG (Ir. H. ADIES KADIR, S.H., M. Hum.): Ya terima kasih, Yang kami hormati Pak Prof. Jadi sejatinya kita ingin segala sesuatu merek yang ada di negara kita mempunyai kedaulatan sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku di negara kita. Tetapi hal ini selama ini yang kami lihat tidak bisa terjadi karena memang ada ketidakjelian juga dari pemerintah, dalam hal ini Dirjen Merek dan mengakibatkan banyak kasus-kasus yang terjadi. Ada kalau tidak salah kasus sudah didaftarkan sudah diperpanjang tiga kali 15 tahun, 15 tahun, 15 tahun yang ketiga, begitu yang ketiga ternyata merek ini dimiliki oleh salah satu negara, dan sudah terdaftar lebih dari lima negara. Kalau tidak salah kalau sudah lebih dari 5 negara sudah bisa dibilang merek terkenal. Ditengah perjalanan perpanjangan ketiga ini ada dulu namanya merek wald paper Prof. kalau tidak salah The Civik namanya, ini perpanjangan ketiga itu ada komplain dari perusahaan yang mengeluarkan pertama dan sudah terkenal di lebih dari lima negara. Akhirnya dengan susah payah membesarkan merek ini, kami juga tidak tahu apakah dia tahu diluar ada merek itu diluar atau tidak? Tetapi selama hampir 50 tahun dia membesarkan di pengadilan, di Mahkamah Agung dibatalkan, dikalahkan bahkan kena pidana yang bersangkutan. Jadi sudah susah payah sudah dibatalkan mereknya dipidana juga. Nah hal-hal seperti ini tidak hanya satu kali Prof. ini sering terjadi di Indonesia dengan merek-merek yang lain. Padahal Dirjen Merek itu kalau kita tanyakan kepada mereka, mereka sudah sampaikan sudah umumkan dan lain sebagainya. Nah kira-kira untuk mengatasi hal-hal seperti ini Prof. apa yang harus dilakukan oleh pemerintah terkait dengan RUU yang baru ini, agar supaya hal ini tidak terjadi lagi. Kan kasihan juga orang sudah beberapa kali memperpanjang sudah sampai tiga, hampir 50 tahun, tiba-tiba hancur begitu saja dan juga yang bersangkutan di penjara. Kemudian yang kedua terkait dengan delik aduan dan delik biasa tadi yang disampaikan, ya ini kembali lagi pemerintah ini mau enaknya sendiri kelihatannya. Jadi dia pakai delik aduan saja, begitu tidak ada aduan tenang-tenang saja, tapi kalau nanti seperti yang tadi saya sampaikan tiba-tiba ada aduan padahal orang sudah membesarkan yang kasihan juga orang Indonesia ini. Tetapi juga kalau pakai delik biasa, dikawatirkan nanti jadi permainan oknum-oknum, dicarilah kesalahan orang-orang ini. Jadi ada tim khusus Buser hanya mencari ini Merek ada tidak dinegara lain, nah ini Prof yang serba salah. Jadi dua hal ini mohon masukannya Prof, ini delik biasa, delik aduan dan juga tadi terkait dengan kasus-kasus merek yang ada tersebut, mohon diberikan masukan agar supaya RUU nanti tidak merugikan baik itu merek dari luar maupun bangsa kita yang sudah menjalankan sekian puluh tahun. Terima kasih.
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
KETUA RAPAT: Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh. Pak Adis terima kasih tapi sebelum dijawab barangkali menanggapi ini sudah pukul 16.00 WIB seperti tadi yang sudah kita sepakati bersama kita perpanjang 15 menit? Setuju? Ya baik. Silakan Prof. mungkin tidak ingin terjebak dengan tadi ya, seperti dikatakan delik aduan atau delik biasa ya. Hindarkanlah itu Prof. silakan. PAKAR (Prof. Dr. AGUS SARDJONO, S.H., M.H.): Terkait dengan peristiwa itu, saya tidak tahu apakah kasus itu terjadi atau tidak saya tidak membaca, saya juga tidak mau masuk kedalam. Tetapi saya ingin memberikan apa namanya? Contoh saja barangkali ya terkait dengan etikat baik. Karena ini berhubungan dengan etikat baik orang yang mendaftar pada waktu itu. Etikat baik itu sudah diatur didalam undang-undang Merek, masalahnya adalah apa yang dimaksud dengan ukuran-ukuran orang beretikat baik. Jadi mungkin kasus-kasus yang ada bisa dijadikan referensi dalam penyusunan norma mengenai etikat baik itu, lalu kita merumuskan dalam pasal berikutnya yang berhubungan dengan etikat baik, yang dimaksud dengan etikat baik itu bla, bla, bla. Tetapi itu juga ada ruginya, karena yang namanya etikat baik itu kan inner ya, artinya sesuatu yang sulit dibuktikan oleh sebab itu maka kalaupun kita hendak mengatur mengenai yang seperti apa yang beretikat baik kita harus juga punya ukuran-ukuran, kalau yang begini ini tidak beretikat baik, kalau yang begini ini yang beretikat baik. Nah hanya dengan cara itu mungkin, mungkin ya bisa meminimalisir pendaftaran-pendaftaran oleh orang-orang yang tidak beretikat baik. Jadi sekali lagi tidak ada ukuran yang pasti untuk mengatakan orang itu salah atau benar karena ini beretikat baik atau beretikat buruk. Saya tidak yakin ada Hakim yang bisa memutuskan dengan pasti yang ini etikat baik, karena kadang-kadang ditempat lain juga akan berubah lagi. Itu saya kira yang akan apa namanya yang bisa saya sampaikan. KETUA RAPAT: Prof. Damian silakan. Iya begini jadi azas etikat baik ini berawal mula sebenarnya ada suatu prinsip hukum yang dikenal dengan adagium azas fakta sun servanda. Arti daripada azas fakta sun sarvada ini yaitu bahwa suatu kesepakatan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dan tujuan dari kesepakatan itu. Jadi ini suatu prinsip yang memang sudah diakui secara umum disemua negara-negara yang beradab, kalau negara itu tidak beradab maka itu tidak akan mengikuti azas prinsip yaitu fakta sun sarvanda ini yang mengatakan bahwa sesuatu perjanjian fakta itu harus dilaksanakan dengan tujuan dengan melaksanakan perjanjian sesuai dengan maksud tujuannya. Ini adalah etikat baik artinya, ya jadi etikat baik itu adalah sautu etikat baik yang berdasarkan prinsip yang dinamakan fakta sun servanda. Jadi suatu kontrak atau suatu perjanjian harus dilaksanakan. Saya kira itu saja.
Ya. Berarti tadi kalau saya boleh menyimpulkan intinya adalah bahwa sistem informasi data itu memang merupakan suatu hal yang dibutuhkan karena negara kita sudah mulai global life and border life gitu ya. Baik barangkali nanti pendalaman dan lain-lain nanti bisa kita lakukan di RDPU atau RDP lainnya, dan bahkan di Panja Anggota Pansus. Terima kasih atas tanggapan anda dan pertanyaan semua dan Prof. Damian dan Prof. Agus Sarjono terima kasih atas kehadiran anda yang sudah memberikan pemaparan dan masukan, saran untuk RUU Merek dikemudian hari bisa diselesaikan dengan baik. Wabillahi taufiq walhidayah, Wasalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulillahirabil’alamiin. Saya tutup rapat hari ini. Rapat ditutup Pukul: 16.00 WIB Jakarta, 8 September 2015 a.n Ketua Rapat SEKRETARIS RAPAT ttd. DRS. ULI SINTONG SIAHAAN, M.SI. NIP. 19601108 199003 1002