QUICK RESPONS ANALYSIS volume 1 IND IA N
O C
PACIF IC O CE AN
2016
N EA
Quick Response Analysis (QRA) VOLUME 1
PUSAT ANALISIS KEBIJAKAN Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2016
QUICK RESPONSE ANALYSIS (QRA)
volume 1
Penulis : Tim Penyusun Policy Paper PAK Quality Assurance: 1. Dr. Ir. Dida H Salya, MA 2. Dr. Ir. Budhi Santoso, MA 3. Dr. Guspika, MBA 4. Ir. Tommy Hermawan, MA 5. Drs. Petrus Sumarsono, MA Penyaji: 1. Dr. Guspika, MBA 2. Dr. Ir. Budhi Santoso, MA 3. Drs. I Dewa Gde Sugihamretha, MPM 4. Dr. Bustang, MSi 5. Ir. Hanan Nugroho, MSc 6. Drs. Petrus Sumarsono, MA 7. Ir. Tommy Hermawan, MA 8. Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D 9. Ir. Rinella Tambunan, MPA 10. Mardiharto Tjokrowasito, SH, LLM 11. Eko Wiji Purwanto, SE, MPP 12. Moris Nuaimi, SE, MT, MA 13. Reghi Perdana, SH, LLM 14. Yusuf Suryanto, ST, M.Sc 15. Muh. Asrofi, ST, M.Sc 16. Rudi Arifiyanto, S.Sos, MA 17. Wiwit Widodo, S.Sos, ME 18. Mohamad Firda Fauzan, ST, MPS
ii | Quick Response Analysis vol. 1
Pusat Analisis Kebijakan
Tata Letak dan Perwajahan : Ashep Ramdhan ISBN : 978-602-74940-1-5 Cetakan Pertama, Juni 2016 Diterbitkan oleh : Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Jalan Taman Suropati No.2 Jakarta 10310 Telp. 021 3193 6207 Fax 021 3145 374 http://bappenas.go.id Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
| iii
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Quick Response Analysis (QRA) adalah kegiatan Pusat Analysis Kebijakan (PAK) dalam merespon berbagai masalah terkini dan yang strategis dalam berbagai bidang pembangunan untuk memberikan rekomendasi penanganan cepat kepada pimpinan lembaga, Bapak Menteri PPN/ Kepala Bappenas. QRA ini dilaksanakan secara rutin berdasarkan pengusulan pembahasan diskusi yang datang dari perencana Bappenas serta melibatkan para ahli/ narasumber baik dari dalam maupun luar Bappenas. Disamping memiliki tujuan membantu dan memberikan masukan kepada pimpinan lembaga dalam merespon kondisi terkini, QRA ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi para perencana Bappenas untuk mempertajam kemampuan analisis terhadap isu Pembangunan. PAK telah melaksanakan QRA sejak bulan Januari sampai dengan Juni 2016. Kegiatan QRA tersebut telah melibatkan 18 penulis baik perencana utama, perencana madya, perencana muda maupun perencana pertama, dan menyampaikan 10 dokumen dalam bentuk policy note/ brief. Setiap policy note/ brief yang dihasilkan telah melalui proses review oleh tim quality assurance untuk mempertajam rekomendasi yang dihasilkan. Melalui buku ini kami sampaikan rangkaian 10 policy note/ brief volume pertama yang meliputi berbagai isu pembangunan. Semoga buku ini bermanfaat bagi setiap stakeholder terkait dalam kerangka perencanaan pembangungan. Jakarta, Juni 2016 Sekretaris Utama Menteri PPN/ Kepala Bappenas
Imron Bulkin
iv | Quick Response Analysis vol. 1
Pusat Analisis Kebijakan
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi
iv v
Dukungan Pemerintah untuk Pembangunan Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Pertama di Indonesia A. Latar Belakang B. Analisis/Pembahasan C. Rekomendasi D. Referensi
2 3 3 5 6
Memanfaatkan Peluang dan Momentum Kelebihan Pasokan dan Penurunan Harga Minyak: Membangun Cadangan BBM dan Membeli Perusahaan Minyak Hulu A. Pengantar B. Masalah dan Analisis C. Rekomendasi
8 9 9 12
“Kesiapan Indonesia Dalam Trans-Pasific Partnership (TPP)” A. Pendahuluan B. Pendekatan Kajian (Analisis) C. Ringkasan Hasil Analisis D. Rekomendasi
16 16 17 18 24
Pemanfaatan Dana Desa: Menuju Manfaat yang Berkelanjutan A. Pendahuluan B. Pembahasan C. Rekomendasi
28 29 29 34
Pasang Surut Reformasi Regulasi A. Pendahuluan B. Pembahasan a. Area perubahan b. Akar masalah c. Urgensi Penataan Kelembagaan C. Rekomendasi
36 37 38 38 39 40 43
| v
Kontroversi Angkutan Umum Perkotaan Berbasis Applikasi A. Pendahuluan B. Pembahasan C. Rekomendasi
46 47 48 51
Kemiskinan, Nelayan Tradisional Dan Tanggung Jawab Negara A. Pengantar B. Masalah dan Analisis C. Rekomendasi
54 55 55 57
Perencanaan Pembangunan Daerah Sesuai Peran Baru Bappenas A. Pendahuluan B. Pembahasan dan Hasil Analisis a. Prioritas kegiatan masih didominasi oleh kegiatan2 sektor K/L dan belum menekankan pendekatan kewilayahan b. Dalam Buku III RPJMN 2015-2019 telah diarahkan pembangunan kewilayahan & RTRW, tapi tidak diacu dalam penyusunan RKP 2017 dengan baik C. Rekomendasi
60 61 62
64 67
Pemantapan Money Follow Program Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional A. Pengantar B. Pembahasan A. Penentuan Prioritas B. Koordinasi Perencanaan C. Kendali Program/Kegiatan C. Rekomendasi
70 71 71 72 73 75 76
Fenomena Ketimpangan: Penguasaan Dan Pemilikan Tanah Skala Besar Oleh Korporasi A. Latar Belakang B. Analisis Dan Permasalahan C. Rekomendasi
80 81 81 83
vi | Quick Response Analysis vol. 1
64
| vii
viii | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 1 Tahun 2016
1
Dukungan Pemerintah untuk Pembangunan Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Pertama di Indonesia | 1
Dukungan Pemerintah untuk Pembangunan Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Pertama di Indonesia Yusuf Suryanto [Perencana Muda Bidang Energi dan TI] Muh. Asrofi [Perencana Pertama Bidang Energi dan TI]
ABSTRAK “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur” (UU 17/2007) dapat dicapai bila listrik yang dibutuhkan tersedia. PLTN merupakan solusi pemasokan listrik skala besar yang perannya tidak dapat dihindari. Sekitar 5.000 MW kapasitas PLTN diperlukan untuk Indonesia 2025. Indonesia telah membangun kapasitas yang cukup besar/lama dan siap untuk melakukan pembangunan PLTN pertama. Makalah ini mendorong dikeluarkannya dukungan/ komitmen pemerintah untuk mewujudkan PLTN pertama Indonesia, dan merekomendasikan: (i) Pemerintah memutuskan “Go Nuclear”, (ii) membentuk Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir, (iii) menyiapkan hal-hal lain untuk pembangunan PLTN pertama.
Kotak 1. Pernyataan Presiden Joko Widodo (dalam pertemuan dengan Kepada BATAN di Istana Negara)
2 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 1 Tahun 2016
A. LATAR BELAKANG Pemanfaatan nuklir untuk listrik adalah solusi pasokan tenaga listrik jangka panjang. Pasokan listrik yang memadai adalah prasyarat bagi tercapainya cita-cita Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur (Undang-Undang 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025). UU 17/2007 mengamanatkan pemanfaatan tenaga nuklir untuk pembangkit listrik (PLTN). Berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun PLTN pertama di Indonesia, namun hal itu belum terwujud. Di luar persiapan lain, rencana pembangunan PLTN di Jawa sejak 3 dekade lalu berujung pada perdebatan pro-kontra tanpa akhir. Pemerintah cenderung menganut short sighted policy dimana UU 17/2007 dan Perpres 5/2006 telah memberikan landasan kuat bagi pembangunan PLTN, namun PP 79/2014 kemudian seolah menganulirnya dengan menempatkan nuklir sebagai pilihan terakhir. Sesuai amanat UU 10/1997 tentang Ketenaganukliran, komitmen pemerintah merupakan awal dari pembangunan PLTN. Pembangunan PLTN pertama membutuhkan waktu lama, 10-15 tahun setelah komitmen awal Pemerintah diberikan. Makalah ini mendorong dikeluarkannya dukungan/komitmen pemerintah untuk mewujudkan pemanfaatan nuklir untuk tenaga listrik (PLTN) pertama Indonesia. B. ANALISIS/PEMBAHASAN UU 17/2007 mengarahkan pada tahun 2025 Indonesia memiliki pendapatan per kapita sekitar USD 14.000 (untuk setara negara maju atau keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah --middle income trap/MIT). Di tahun sama, penduduk Indonesia 285 juta jiwa dengan sejumlah besar angkatan muda membutuhkan lapangan kerja. Di sisi lain, Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kacanya (29 persen di 2030, COP 21 Paris, 2015). | 3
Pembangunan ketenagalistrikan jangka panjang harus mampu menjawab tiga (3) tantangan besar tersebut: (1) menghindari jebakan MIT; (2) memanfaatkan bonus demografi, dan; (3) mewujudkan pembangunan emisi rendah/berkelanjutan. Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2015-2050 memproyeksikan kebutuhan pembangkit listrik Indonesia 115 GW (giga-watt) pada tahun 2025 dan 430 GW tahun 2050. Konsumsi listrik per kapita diproyeksikan 2.500 kWh (kilo-watt-hours) tahun 2025 dan 7.000 kWh di 2050. (Konsumsi listrik per kapita Indonesia 2014 adalah 843 kWh, sementara Malaysia 2013 sekitar 4.500 kWh). KEN 20152050 juga mentargetkan porsi energi baru-terbarukan (EBT) 23 persen dalam bauran energi primer nasional. Untuk memenuhi target tahun 2025 tersebut perlu disiapkan 68,2 GW pembangkit listrik berbahan bakar fosil, dan 46,8 GW berasal dari sumbersumber EBT. Implikasinya, dalam kurun hingga 2025, diperlukan tambahan sekitar 41 GW pembangkit EBT (Gambar 1). Pembangunan sistem pembangkitan listrik perlu merencanakan jenis pembangkit yang dapat memikul beban dasar (base load) – yang dalam EBT hanyalah PLTN, PLTA, dan PLT panas bumi yang mampu berperan (Gambar 2). Namun, potensi untuk PLT panas bumi sangat kecil (2,3 GW), demikian PLTA (12,9 GW). Dengan demikian, PLTN merupakan alternatif paling akhir sekaligus masuk akal untuk memenuhi kebutuhan pasokan/pembangkitan tenaga listrik seperti diproyeksikan KEN 2015-2050. Kementerian ESDM mengindikasikan perlunya PLTN sebesar 5.000 MW dalam kurun 2024-2025. 4 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 1 Tahun 2016
Tanpa pembangunan PLTN, target pemenuhan kebutuhan listrik sebesar 115 GW di tahun 2025 tidak akan tercapai. Ini berdampak kurangnya pasokan tenaga listrik (shortage) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Apabila PLTN tidak dibangun maka porsi dari PLTN akan digantikan PLT Batubara, yang akan mengganggu komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia. Pembangungan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertama membutuhkan waktu panjang. Sebagai contoh, Jepang membutuhkan total 12 tahun untuk membangun PLTN pertama Tsuruga. Demikian pula Korea Selatan ketika membangun PLTN pertama mereka (Kori). Indonesia membentuk “Panitia Negara untuk Penjelidikan Radioaktivitet” tahun 1954. Sejak Orde Lama, telah dibangun tiga reaktor nuklir skala kecil, yaitu di Bandung (Triga Mark: 2000 kW), Yogyakarta (Kartini: 100 kW), dan Serpong (G.A. Siwabessy: 30 MW). Indonesia menandatangani non-proliferation treaty (NPT) tahun 1970, dan telah mempersiapkan rencana pembangunan PLTN skala besar pertama sejak lebih 30 tahun yang lalu. Indonesia termasuk negara terdepan dalam pengembangan kapasitas sumberdaya manusia untuk pembangunan PLTN, dan merupakan negara yang paling siap di kawasan ASEAN untuk melakukan pembangunan PLTN. C. REKOMENDASI 1. Pemerintah mengambil keputusan untuk “Go Nuclear” dan membentuk institusi khusus (Nuclear Energy Program Implementation Organization) yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan persiapan pembangunan PLTN. 2. Sesuai UU 10/1997 tentang Ketenaganukliran, Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan mengenai pemanfaatan tenaga nuklir (Pasal 5) dan membentuk BUMN yang ditugaskan untuk membangun PLTN pertama (Pasal 7). | 5
3. Pemerintah menyiapkan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan PLTN pertama, yang meliputi antara lain aspek teknologi, keamanan, penerimaan masyarakat, dan sumber daya manusia. “the rich men accumulate money, the poor men accumulate years” (Chinesse proverb)
D. REFERENSI: 1. Outlook Energi Nuklir Indonesia 2014, BATAN 2. UU 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 3. UU 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran 4. PP 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN)
6 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 2 Tahun 2016
2
Memanfaatkan Peluang dan Momentum Kelebihan Pasokan dan Penurunan Harga Minyak: Membangun Cadangan BBM dan Membeli Perusahaan Minyak Hulu | 7
Memanfaatkan Peluang dan Momentum Kelebihan Pasokan dan Penurunan Harga Minyak: Membangun Cadangan BBM dan Membeli Perusahaan Minyak Hulu Rudi Arifiyanto (Perencana Muda, ahli Hubungan Kelembagaan) Hanan Nugroho (Perencana Utama-Bidang Energi, Kedeputian Maritim & Sumber Daya Alam)
ABSTRAK Dunia mengalami kelebihan produksi dan menurunnya harga minyak; ini akan berdampak bagi Indonesia dalam bentuk meluruhnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di sisi hulu, namun kemungkinan mendapatkan tambahan pendapatan di sisi hilir. Peluang ini perlu dijadikan momentum untuk meningkatkan ketahanan energi nasional dengan (i) menambah kapasitas cadangan (tempat penyimpanan/ storage) BBM, serta (ii) membeli perusahaan minyak hulu yang “runtuh”.
8 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 2 Tahun 2016
A. PENGANTAR Kelebihan pasokan minyak bumi akan terjadi di dunia karena peningkatan produksi (di Amerika Serikat, beberapa negara OPEC/ non-OPEC) serta perlambatan konsumsi di negara-negara “lahap energi” Asia dan OECD. Ketahanan energi Indonesia rentan, di antaranya karena cadangan energi (energy stocks) khususnya minyak bumi sangat terbatas. Di sisi penyediaan/ hulu, produksi minyak bumi Indonesia terus menurun. Perkembangan produksi dan perubahan kebijakan minyak bumi (terutama di Amerika Serikat) akan berdampak terhadap geopolitik dan ekonomi energi dunia. Apa peluang yang dapat diambil Indonesia dari perkembangan ini? Bagi Indonesia, penting untuk diantisipasi terjadinya peluruhan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak minyak bumi di sisi hulu, termasuk penurunan “pendapatan minyak” dalam APBN. Sebaliknya di sisi hilir, kemungkinan pemerintah memperoleh tambahan pendapatan karena biaya impor minyak yang lebih murah. Makalah ini mengusulkan untuk pemanfaatan peluang dan momentum kelebihan pasokan serta penurunan harga minyak bumi dunia tersebut untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia, dengan cara: (i) Membangun (menambah kapasitas) tempat penyimpanan (storage) minyak, terutama BBM, serta (ii) Membeli perusahaan-perusahaan minyak yang “runtuh”. B. MASALAH DAN ANALISIS Dunia diprediksi mengalami kelebihan pasokan (supply) minyak bumi. Kesenjangan antara pasokan dengan permintaan minyak bumi terjadi karena peningkatan produksi yang cepat dan pertumbuhan konsumsi yang melambat. Tambahan pasokan minyak disebabkan oleh “faktor Amerika”, OPEC, dan lainnya. | 9
Di Amerika Serikat penerapan teknologi fracturing memungkinkan produksi tight/shale oil. Presiden Obama (18 Desember 2015) mencabut larangan ekspor minyak mentah yang telah diterapkan 40-an tahun. OPEC tidak melakukan pembatasan kuota; Iran --setelah Dewan Keamanan PPB mencabut sanksi ekonomi (20 Juli 2015) -- segera meningkatkan produksi minyak mentahnya. Irak serta produsen besar Saudi Arabia juga meningkatkan produksi mereka. Produksi tight/shale oil yang juga terjadi di Kanada, kemajuan eksploitasi perairan dalam di Brazil serta peningkatan produksi di Rusia termasuk “faktor lainnya” yang keseluruhannya meningkatkan pasokan minyak dunia.1 Sebaliknya, permintaan minyak dunia diprediksi tidak tumbuh secepat laju produksi karena terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara raksasa “lahap” energi (Cina dan India) serta berkurangnya permintaan minyak di negara-negara OECD (termasuk karena pertumbuhan pemakaian energi terbarukan). Di Amerika Serikat juga sedang berlangsung “revolusi” shale gas yang berdampak penurunan terhadap permintaan minyak bumi domestik. Gejala kelebihan pasokan minyak telah berpengaruh terhadap harga minyak mentah yang menurun (Gambar 2). Beberapa studi, termasuk oleh IMF memprediksi harga akan naik kembali namun dengan rentang ketidakpastian cukup besar. Apa dampak dan peluang yang dapat diambil Indonesia dari kelebihan pasokan dan penurunan harga minyak ini? 1 Leonardo Maugeri, Oil: The Next Revolution, the unprecedented upsurge of oil production capacity and what it means for the world, Belfer Center for Science and International Affairs, Harvard Kennedy School, 2012.
10 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 2 Tahun 2016
Ketahanan energi Indonesia sangat rentan.2 Di antara penyebabnya adalah tidak memadainya cadangan energi (energy stocks), khususnya minyak bumi. Indonesia tidak memiliki cadangan darurat energi dan tidak mewajibkan industri menyediakan cadangan energi yang dapat dimanfaatkan dalam keadaan darurat. Indonesia hanya mengandalkan pada cadangan operasional produk minyak yang ketersediaannya sangat terbatas.3 Bila terjadi ganggungan pasokan, cadangan operasional produk minyak Indonesia dapat habis dalam hitungan hari (Gambar 3): Bensin/premium gasoline (16-18 hari), solar/diesel (2022 hari), avtur (25-30 hari) dan LPG (15-18 hari). Sebaran geografis dari tempat penyimpanan (storages) cadangan operasional ini pun masih terbatas, belum menjangkau daerah-daerah terpencil seperti di Indonesia Timur. Kelebihan pasokan dan penurunan harga minyak kali ini akan berdampak besar terhadap situasi geopolitik dan ekonomi energi dunia, termasuk hubungan Amerika Serikat dan Timur Tengah. Bagi Indonesia, dampak yang dapat diantisipasi adalah: i.
Di sisi Hulu (upstream): meluruhnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, peningkatan efisiensi, hingga berhentinya kegiatan Kontraktor Perjanjian Bagi Hasil. Di sisi Pemerintah akan terjadi penurunan bagian pemerintah (government’s take) dari Perjanjian Bagi Hasil, menurunkan sumbangan
2 Berbagai data/studi menunjukkan hal ini, misalnya oleh World Energy Council dan World Economic Forum. Studi “Ketahanan Energi” TAK Bappenas (2014) menguraikan kondisi ketahanan energi Indonesia dan usulan strategi untuk memperbaikinya. 3 Negara-negara OECD diwajibkan memiliki “cadangan strategis minyak” (Strategic Petroleum Reserves) minimum 90 hari dari impor minyak neto tahun sebelumnya.
| 11
“pendapatan minyak” dalam APBN. ii.
Di sisi Hilir (downstream: k e m u n g k i n a n memperoleh tambahan pendapatan bagi Pemerintah, karena impor minyak (mentah dan produk) yang lebih murah, sementara harga jual BBM di dalam negeri masih dipertahankan “di atas harga keekonomian.”
C. REKOMENDASI Kami mengusulkan agar peluang dari kelebihan pasokan dan penurunan harga minyak tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia, dengan cara: 1. Membangun (menambah kapasitas) tempat penyimpanan (storage) minyak, terutama BBM. Penambahan kapasitas dimaksudkan untuk memperbesar cadangan operasional, bahkan mulai membangun cadangan penyangga (buffer stock). 2. “Membeli” perusahaan-perusahaan minyak yang “runtuh”. Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (22/2001), UndangUndang Energi (30/2007) Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi (79/2014) bahkan telah mengamanatkan pembangunan cadangan penyangga energi untuk meningkatkan ketahanan energi nasional.4 Kenaikan pasokan/penurunan harga minyak dapat dijadikan momentum bagi upaya merealisasikan amanat 4 UU Energi mengklasifikasikan “Cadangan Energi” dengan: (i) Cadangan Strategis, (ii) Cadangan Penyangga, dan (iii) Cadangan Operasional. Selain cadangan operasional yang kurang, Indonesia sama sekali belum memiliki cadangan penyangga (buffer stocks) energi.
12 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 2 Tahun 2016
tersebut.5 Produksi minyak mentah (crude oil) Indonesia terus menurun sejak 3 dekade lalu. Pembelian perusahaan minyak yang runtuh (dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pasokan minyak mentah Indonesia) dapat dilakukan terhadap perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, namun juga perusahaan di luar negeri. Penambahan modal pada operasi hulu PT Pertamina dapat merupakan bagian dari strategi ini.
5 Pembiayaan pembangunan oil storage dapat ditambahkan dari sumber-sumber lain, misalnya dengan menawarkan kondisi geologi dan posisi geografis Indonesia yang strategis untuk menjadi lokasi storage yang dapat dimanfaatkan negara-negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, Cina dsb. yang perdagangan minyaknya melintasi Indonesia dan memiliki tantangan dalam pembangunan storage skala besar di wilayahnya.
| 13
14 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 3 Tahun 2016
3
KESIAPAN INDONESIA DALAM TRANS-PASIFIC PARTNERSHIP (TPP) | 15
“KESIAPAN INDONESIA DALAM TRANSPASIFIC PARTNERSHIP (TPP)” Gde Sugihamretha MPM (Perencana Utama) Budi Santoso (Perencana Utama)
A. PENDAHULUAN Trans Pasific Partnership (TPP) adalah perjanjian kemitraan beberapa negara di lingkaran Pacific yang bersepakat untuk melaksanakan kebijakan perdagangan bebas bersyarat. Perjanjian dalam TPP ini antara lain menyangkut tarif sebagian besar barang yang diperdagangkan antar negara anggota akan dihilangkan, baik dalam waktu secepatnya maupun setelah masa transisi. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk mengurangi hambatan non-tarif (non-tariff barriers, NTB) dan untuk membatasi kemampuan anggota dalam memberlakukan NTB baru dimasa mendatang, sehingga menurunkan harga jual dan dapat meningkatkan permintaan masyarakat negara pengimpor. Ekspor negara produsen tentunya akan meningkat, dan berujung pada kesejahteraan rakyat pada masing-masing negara anggota yang terikat dalam TPP. Rencana TPP ini sebenarnya sudah ada sejak 5 Oktober 2014, dicanangkan di Georgia, Amerika Serikat. Namun secara resmi perjanjian TPP tersebut ditandatangani baru-baru ini oleh para menteri inisiator TPP pada tanggal 4 Februari 2016 di Auckland, Selandia Baru. Negara-negara ASEAN yang telah menandatangani perjanjian tersebut adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan Vietnam. Sedangkan negara-negara lain di luar ASEAN adalah Australia, Canada, Jepang, Amerika Serikat, Selandia Baru, Mexico, Chile dan Peru. Kontribusi TPP mencakup sekitar 37,5 persen dari perekonomian global, dengan jumlah penduduk 978,5 juta orang. 16 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 3 Tahun 2016
Tulisan singkat ini merupakan kajian cepat (quick analysis) Tim Analisa kebijakan dan sebagai pandangan tim terhadap rencana Presiden Joko Widodo untuk bergabung dengan TPP. Hal ini mengingat pada dasarnya Presiden Jokowi masih menunggu studi-studi/ telaahan yang menghasilkan rekomendasi perlu tidaknya Indonesia bergabung dalam TPP. Penting bagi Indonesia untuk mencermati dan memperhatikan dinamika dalam kerangka kerjasama TPP, sehingga mampu memperkuat posisinya pada percaturan ekonomi global, bukan sebaliknya menjadi korban dari arah perkembangan global yang dapat merugikan kepentingan nasional. Ketika kesepakatan TPP telah jelas menguntungkan Indonesia, maka pemerintah bisa lebih menegaskan sikapnya. Presiden mengingatkan agar Indonesia tidak hanya sekadar menjadi pasar bagi produk negara lain. B. PENDEKATAN KAJIAN (ANALISIS) Tantangan Indonesia bergabung ke dalam TPP antara lain: sifat TPP yang high standard dan legally binding serta sangat intrusif terhadap kedaulatan negara. Anggota baru diharuskan menerima dan tidak menegosiasikan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebelumnya. Selain itu, terdapat larangan untuk memberikan perlakuan istimewa bagi BUMN. Tantangan yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya Indeks Centrality Indonesia dalam Global Value Chain dan adanya kewajiban untuk mengharmonisasikan berbagai UU nasional sehingga selaras dengan ketentuan TPP. Di sisi tarif saja, saat ini, banyak negara menerapkan tarif impor, sehingga barang dari luar negeri menjadi lebih mahal. Tujuan utama TPP adalah menghilangkan hambatan tarif– sehingga produk-produk negara-negara TPP baik bahan baku, setengah jadi, ataupun bahan jadi bisa didapatkan secara murah. Perdagangan bebas mendorong perdagangan antar negara menjadi lebih murah, akibatnya masing-masing negara akan dapat memproduksi barang untuk meningkatkan pendapatan. | 17
Negara-negara anggota TPP sebenarnya sudah merupakan mitra dagang utama Indonesia. Bahkan, hampir sebagian dari negara anggota TPP masuk ke dalam 10 mitra dagang utama Indonesia seperti Australia, Canada, Malaysia, Japan, Singapura, dan Amerika Serikat. Ekspor Indonesia didominasi oleh ekspor ke negara mitra FTA (sebesar 64,8 % berbanding 35,2 % ke negara non FTA). Pangsa ekspor Indonesia ke negara mitra FTA meningkat 1,2% dari 61,8 % pada tahun 2009 menjadi 63% pada tahun 2014. Manfaat perdagangan bebas tarif kiranya dapat dikemukakan sebagai berikut: Negara yang menerapkan tarif sebesar Pworld - Ptarif akan menurunkan permintaan barangnya dari luar negeri dari Qc1 – Qs1 menjadi hanya Qc2 – Qs2 . Meskipun produser surplus meningkat (warna kuning) namun mengurangi konsumer surplus (warna hijau) dan menimbulkan societal loss (warna merah). Jadi dengan perdagangan bebas harga barang-barang diantara anggota akan lebih murah yang memungkinkan mereka meningkatkan ekspor dari masing-masing negara. Meskipun secara teoritis tujuan mendorong ekspor dapat tercapai, tetapi masih perlu dipahami apakah free trade benar-benar dapat menyejahterakan masyarakat dan menciptakan lapangan kerja? Tujuan free trade adalah positif, meskipun ada hal-hal yang perlu diantisipasi berkaitan dengan resiko yang harus dihadapi oleh negara-negara yang belum cukup kuat ekonomi dalam negerinya. Cakupan tarif yang begitu luas mulai dari barang pertanian, kimia/ farmasi, bahan mentah, barang antara, barang jadi, sampai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) membuat perjanjian free trade (seperti dalam TPP ini) dapat berdampak besar bagi negara – negara yang menyetujuinya. Berikut adalah ringkasan hasil analisis kami terhadap apa saja poin-poin yang berpotensi dari TPP ini yang menguntungkan atau dapat menjadi masalah bagi Indonesia.
18 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 3 Tahun 2016
C. RINGKASAN HASIL ANALISIS
1.
ISU ISU PENTING
KELEBIHAN/ MANFAAT UNTUK INDONESIA
KEKURANGAN/ KELEMAHAN INDONESIA
REDUCE TARIFFS
Masing-masing negara mengurangi/ menghilangkan tarif atas barang yang diimport. Akibatnya harga barang impor lebih murah dan dapat meningkatkan permintaan dunia. Di sisi negara anggota peningkatan permintaan dapat meningkatkan produksi dalam negeri (untuk diekspor). Contoh: Export produk tekstil Indonesia ke Amerika tidak terkena tarif sehingga harganya lebih murah. Mendorong permintaan produk tekstil Indonesia oleh Amerika lebih banyak. Tanpa tarif dapat meningkatkan export Indonesia ke LN.
Beberapa produk Indonesia bisa diandalkan untuk bersaing di luar negeri ketika tarif dihilangkan. Meskipun demikian, persaingan akan terkonsentrasi pada kualitas produk. Hanya beberapa produk misalnya mobil (Toyota Kijang), Tekstil, Karet, Kelapa Sawit dan beberapa lainnya yang dapat diandalkan. Produkproduk lain harus didorong untuk ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Resiko lain adalah mengalirnya tenaga kerja luar negeri ke Indonesia, terutama tenaga ahli dari negara-negara yang teknologinya digunakan untuk memroduksi komoditas ekspor.
| 19
ISU ISU PENTING 2.
REDUCE NON TARIFFS BARIER.
KELEBIHAN/ MANFAAT UNTUK INDONESIA
KEKURANGAN/ KELEMAHAN INDONESIA
Masing-masing negara sepakat mengurangi/ menghilangkan batas kuota (Quotas), export, subsidies, licences dan sejenisnya untuk produk2 barang export/ import tertentu. Pengurangan penghambat2 perdagangan bebas ini akan meningkatkan kompetisi masing2 negara untuk bersaing manghasilkan produk dengan kualitas yang terbaik. Masyarakat negara lain akan memilih produk Indonesia bila mempunyai produk unggulan. Berujung pada meningkatnya perdagangan Indonesia.
Ketika produk-produk Indonesia kualitasnya kalah bersaing dengan produk negara lain (untuk barang yang sama), dan tidak diproteksi oleh Pemerintah dengan NTB, maka produk Indonesia akan turun permintaannya dari negara lain. Akibatnya ekspor turun, produksi turun sehingga berdampak pada penciptaan lapangan kerja nasional yang terhambat. Contoh untuk ini misal produk-produk elektronika.
20 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 3 Tahun 2016
ISU ISU PENTING 3.
NON DIS CRIMINATION POLICIES.
KELEBIHAN/ MANFAAT UNTUK INDONESIA
KEKURANGAN/ KELEMAHAN INDONESIA
Masing-masing negara harus menaati perjanjian untuk tidak melakukan kebijakan yang berbedabeda untuk produksi barang yang sama. Kebijakan ini adalah untuk barang yang di import dari negara-negara anggota TPP lainnya maupun yang dihasilkan dari dalam negeri sendiri. Misalnya untuk barang sama minyak kelapa sawit, harus diperlakukan sama (tidak beda tarif) dengan produksi dari Vietnam. Manfaat yang didapat adalah ketika produk dan kualitas barang dari Indonesia lebih murah maka akan diminati negara pengimpor (mendorong produksi dalam negeri Indonesia).
Permintaan barang dari Indonesia akan kalah bersaing dengan produk lain ketika negara pengimpor menerapkan standar tertentu. Dalam hal ini kekalahan permintaan dari negara pengimpor bukan karena adanya non discrimination policies tetapi memang negara pengimpor tersebut mempunyai standard tertentu yang tinggi. Meskipun sudah termasuk produk yang disepakati dalam TPP (tidak dikenai non discrimation policies), tetapi standar kualitas sulit dipenuhi karena production cost untuk memenuhi standar tersebut tinggi. Ada juga resiko terjadi mobilisasi tenaga kerja dari negara produsen barang tertentu ke Indonesia karena produsen ingin menurunkan production cost maka mendirikan pabrik di Indonesia dengan karyawan dari negara asal atau karena tidak tersedianya tenaga kerja sesuai dengan yang dibutuhkan.
| 21
ISU ISU PENTING
KELEBIHAN/ MANFAAT UNTUK INDONESIA
KEKURANGAN/ KELEMAHAN INDONESIA
4.
NATIONAL TREATMENT RULE.
Setiap negara anggota TPP ketika memproduksi barang yang sama sendiri di dalam negeri, tidak boleh diperlakukan kebijakan yang berbeda. Sehingga ketika produksi Indonesia mempunyai daya saing akan meningkatkan demand karena diperlakukan sama dengan produk lokal. Tidak terkena tarif atau pembatasan2, kebijakan (sama dengan produk lokal).
Dalam kesepakatan TPP, terdapat komponen InvestorState Dispute Settlement (ISDS). ISDS adalah instrumen hukum internasional di mana investor dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap pemerintah sebuah negara bila menilai bahwa kebijakan pemerintah bersangkutan menghambat investasi mereka.
5.
RECIPROCITY
Pada dasarnya prinsip dasar dari free trade harus menguntungkan semua negara anggota. Dalam hal ini Indonesia dapat beruntung karena untuk produk2 tertentu misalnya kelapa sawit, kopi, karet dan tekstil mempunyai endowment factor yang lebih tinggi dari negara lain dan dapat dijual lebih murah. Akibatnya produk2 unggulan Indonesia dengan jumlah dan kualitas yang tinggi tersebut akan meningkat permintaannya.
Ketika produk-produk dalam negeri kalah bersaing maka Indonesia tidak diuntungkan menjadi anggota TPP. Yang beruntung adalah negara-negara yang dapat memproduksi barang lebih baik dari segi jumlah maupun kualitasnya unggul. Keberhasilannya tersebut dikarenakan dapat memproduksi dengan biaya yang lebih efisien dan efektif. Lebih unggul dalam teknologi produksi. Hal ini dapat merugikan produsen dalam negeri yang kalah dalam hal teknologi produksinya.
22 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 3 Tahun 2016
ISU ISU PENTING 6.
KELEBIHAN/ MANFAAT UNTUK INDONESIA
EXKalau ada produk EMPTIONS yang dibedakan harus dibicarakan diantara negara-negara (tidak termasuk dalam kesepakatan). Indonesia dapat mengajukan perjanjian untuk produkproduk tertentu yang belum dapat bersaing dengan barang impor (tidak dimasukkan dalam persyaratan TPP). Setelah mampu bersaing, produk Indonesia dapat diajukan dalam TPP.
KEKURANGAN/ KELEMAHAN INDONESIA Resiko bagi Indonesia karena belum dapat mengendalikan pembajakan hak cipta untuk produk2 impor (yang belum diproduksi di Indonesia). Dengan delik biasa, pelanggaran hak cipta tersebut (seperti pembajakan atau bahkan membuat produk derivatif seperti dari karakter popular (contoh Upin/Ipin) akan sama derajatnya seperti pidana di mana polisi wajib memproses tanpa perlu menunggu aduan dari pemilik hak cipta.
Keputusan Malaysia untuk bergabung ke dalam TPP diawali dengan studi yang mendalam dan komprehensif “Study on Potential Impact of the TPP on the Malaysian Economy and Selected Key Economic Sectors”. Studi menghitung untung dan rugi bergabung ke dalam TPP. Dari perhitungan tersebut nampak bahwa jika bergabung, GDP, dan Investasi lebih baik daripada tidak bergabung. Hasil GDP meningkat dari 0,6 (2014) menjadi 1,15 pada tahun 2027; investasi meningkat dari USD 81 milliar (2014) menjadi USD 239 milliar pada tahun 2027. Vietnam juga melakukan kajian sebelum masuk ke dalam TPP “The Impacts of TPP on The Vietnamese Economy” sehingga Vietnam memiliki perhitungan yang detil tentang untung dan ruginya bergabung dalam TPP.
| 23
D. REKOMENDASI Beberapa rekomendasi sebagai hasil QRA terkait dengan keikutsertaan Indonesia dalam TPP ini adalah sebagai berikut: 1. Negara yang mendapatkan manfaat terbesar dari kerjasama TPP adalah negara yang berorientasi ekspor (eksport oriented). Untuk itu, perlu diidentifikasi dan dindorong produk-produk Indonesia yang memiliki potensi dan kekuatan ekspor. 2. Perlu dilakukan kajian yang komprehensif tentang “Dampak TPP Terhadap Sektor-sektor Unggulan dan Ekonomi Indonesia” yang mengalkulasi untung ruginya bergabung atau tidak bergabung dengan TPP dalam proyeksi Tahun 2016-2036. 3. Mendorong pengusaha nasional dan BUMN merubah mindset dari jago kandang menjadi pemain-pemain di tingkat regional dan global (global and regional player). Terdapat nasional champion (BUMN) yang bisa didorong, seperti: PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk.; PT. Pupuk Indonesia (Persero); PT. Wijaya Karya (Persero) Tbk. ; dan PT. Telkom (Persero) Tbk. 4. Penyesuaian peraturan perundang-undangan dengan melihat dan menkaji secara cermat chapter-chapter prasyarat yang diinginkan TPP, kemudian bagaimana keterkaitannya dengan Indonesia, sesuai tidak dengan prioritas nasional, UU dan peraturan khususnya yang terkait UU Ketenagakerjaan, UU Penanaman Modal, dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan BUMN. 5. Bergabungnya Indonesia dengan TPP harus menjadi bagian dari strategi mewujudkan arahan RPJPN; agar pendorong ekonomi Indonesia dapat beralih dari konsumsi ke produksi. Bergabung dengan TPP diharapkan dapat meningkatkan ekspor sehingga meningkatkan produksi dalam negeri, yang berarti juga meningkatkan lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat. Namun demikian saat ini hanya beberapa sektor unggulan yang mampu bersaing di arena TPP seperti: tekstil, kopi, karet, batu-bara. Masih banyak sektor produksi yang 24 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 3 Tahun 2016
belum siap, dan untuk itu Pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana produksi sehingga swasta dapat meningkatkan produksi barang secara lebih efektif dan efisien (meningkatkan daya saing). APBN perlu mengalokasiakn anggaran untuk pembangunan sarana dan prasarana pendukung pengembangan sector swasta, atau diupayakan melalui kemitraan Pemerintah-Swasta. 6. Melanjutkan paket-paket ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan investasi/ produksi sebagai bagian strategi menghadapi TPP. Termasuk dalam paket-paket ekonomi adalah deregulasi dalam rangka menuju free trade. Kehadiran TPP setidaknya mengharuskan Indonesia untuk menyiapkan tenaga kerjanya (baik pendidikan maupun skill-nya) agar siap bersaing di pasar internasional. Hal ini diperlukan untuk mengurangi resiko mobilisasi tenaga kerja dari luar yang bisa membanjiri Indonesia yang mendesak tenaga kerja Indonesia (meningkatkan pengangguran). 7. Tantangan lain adalah distribusi (lokasi) human capital yang terkonsentrasi di P Jawa. Hal ini menimbulkan gap ekonomi Jawa dan Luar Jawa. Untuk itu, melalui desentralisasi dan otonomi daerah pembangunan di Indonesia harus terus diupayakan merata antar pulau. Bila Indonesia bergabung dalam TPP, beban produksi industri harus disiapkan agar tidak terkonsentrasi di Jawa. Karena suatu saat dapat menimbulkan kejenuhan di Pulau Jawa yang berdampak pada penurunan produktifitas Indonesia. 8. Dalam kerangka kerjasama perdagangan internasional, selain mempertimbangkan peluang yang ada, juga harus dilindungi kepentingan nasional dari praktek-praktek perdagangan internasional yang tidak adil. Fokus diletakkan pada perjanjian pedagangan yang meningkatkan posisi Indonesia dalam global value chain; meningkatkan akses pasar produk dalam negeri di pasar internasional; memastikan konsistensi antara hasil perundingan dengan kebijakan nasional di dalam negeri; dan meningkatkan pemanfaatan hasil perundingan perdagangan internasional oleh masyarakat Indonesia. | 25
26 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 4 Tahun 2016
4
Pemanfaatan Dana Desa: Menuju Manfaat yang Berkelanjutan
| 27
Pemanfaatan Dana Desa: Menuju Manfaat yang Berkelanjutan Guspika [Perencana Utama Bidang Organisasi dan Kebijakan Publik] Eko Wiji Purwanto [Direktorat Permukiman dan Perumahan]
ABSTRAK “Pasca UU 6/2014 sumber pendapatan desa cukup beragam; dari anggaran Kementerian dan Lembaga yang disalurkan ke desa, dana desa, alokasi dana desa dan sumber keuangan lainnya. Nominal dana pembangunan yang masuk ke desa meningkat signifikan. Khusus untuk Dana Desa saja meningkat dari Rp. 20,46 T (2015) menjadi Rp. 46,9 T (2016). Besarnya anggaran tersebut tentu diharapkan memberikan manfaat optimal bagi pembangunan didesa. Publik berharap Dana Desa dapat dimanfaatkan secara optimal. Sayangnya, sampai saat ini pemberitaan banyak mengabarkan praktek buruk di lapangan. Di sana-sini masih ditemui berbagai kendala di tingkat teknis maupun praktis. Pemerintah Desa masih harus terus meningkatkan kapasitasnya agar dapat memenuhi ketentuan pemanfaatan dana desa. Pemerintah harus terus memperbaiki tata kelola, serta memfasilitasi perencanaan dan pelaksanaan Dana Desa. Meski Dana Desa baru diimplementasikan dalam waktu 1 tahun, tulisan ini mendorong Pemerintah melakukan retrospeksi atas implementasi dana tersebut.
28 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 4 Tahun 2016
A. PENDAHULUAN Perpres 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 memiliki tema Indonesia Mandiri yang berdaulat dan berkepribadian berlandaskan Gotong Royong. Dalam RPJM salah satu agenda nasional adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan6. Perkuatan desa menjadi keniscayaan setelah terbitnya UU 6/ 2014 tentang Desa. Seiring dengan meluncurnya undang-undang tersebut, alokasi keuangan untuk desa yang berasal dari berbagai sumber meningkat cukup signifikan. Khusus untuk Dana Desa (DD) saja sebesar Rp. 46,9 trilyun (2016), meningkat lebih dari sekitar Rp. 20,46 trilyun (2015)7. Diskursus pemanfaatan dari DD kerap muncul dalam berbagai forum. Pemanfaatan DD yang optimal menjadi tantangan kita bersama para pemangku kepentingan, termasuk didalamnya Pemerintah. Apakah pemanfaatan DD akan membawa manfaat yang berkelanjutan? Bagaimana kepala desa dan masyarakatnya dapat mengoptimalkan penggunaan DD untuk meningkatkan kesejahteraan desa? B. PEMBAHASAN Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengatakan bahwa penggunaan DD 2015 memberi sumbangsih besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, pembangunan dan perbaikan infrastruktur desa serta mampu meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Menteri Marwan 6 Agenda nasional merupakan penjabaran operasional dari Nawacita, visi-misi presiden terpilih 2015-2019. 7 Dana desa (DD) berbeda dengan Alokasi Dana Desa (ADD). DD adalah transfer dari Pemerintah Pusat melalui APBN, sementara ADD adalah transfer dari Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota sesuai proporsi yang telah ditentukan untuk desa
| 29
mengajak para kepala desa dan masyarakat untuk memaksimalkan penggunaan DD guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memacu pembangunan desa8. Tantangan terbesar dalam mengoptimalkan pemanfaatan DD adalah kesiapan kepala desa Kotak 1. Negara hadir dimana-mana? dan masyarakat mengelola dana Negara mawa Tata, Desa Mawa Cara. DD secara rigid ke tingkat tersebut. Pemerintah Daerah dan Pengaturan desa dengan beragam regulasi Pemerintah Pusat berkewajiban yang seragam di seluruh negeri memfasilitasi desa untuk dapat mengabaikan fakta bahwa desa adalah produk budaya dan kearifan sebesar-besarnya mendapatkan lokal yang beragam.Kesiapan kepala kemanfaatan dari DD. Tata Kelola desa dan masyarakatnya mengelola erat kaitanya nilai budaya lokal di yang mendukung pemanfaatan DD setiap desa. DD harus disiapkan dengan baik. Kotak 2.Rimba Hukum DD Kajian dari Biro Analisa DD diatur dalam berbagai regulasi Anggaran dan Pelaksanaan APBN, pemerintah yang menyama-rata Setjen DPR RI mempertanyakan kan kapasitas setiap desa. Negara mengatur DD secara berlebihan alokasi dan efektivitas sehingga desa tidak dapat 9 pemanfaatan DD . Kajian mengoptimalkan potensi dana desa tersebut menyoroti mekanisme yang berlimpah. Banyak aturan, membingungkan dan membebani penyaluran, pengalokasian DD, desa dalam implementasi UUDesa. dan resiko inefektivitas dana Banyak Dana Desa yang mandeg di Kabupaten atau tidak terserap meski tersebut. Kajian tersebut tidak sudah cair di desa (Fitra, 2016). secara eksplisit menyebutkan apa yang harus dilakukan agar dana tersebut bisa optimal pemanfaatannya.
Pemanfaatan DD tidak dapat dipisahkan dari realitas yang melingkupi desa. Besarnya anggaran tidak akan secara langsung merefleksikan realitas manfaatnya bagi pembangunan desa dan masyarakatnya. Manfaat yang diterima desa dan masyarakatnya akan optimal jika tata kelola pemanfaatan DD tersebut user 8 http://www.beritasatu.com/nasional/338042-2016-alokasi-dana-desa-capai-rp-469triliun.html 9 http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/apbn_DANA_DESA_ALOKASI_DAN_POTENSI_INEFEKTIVITASNYA20150129095337.pdf
30 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 4 Tahun 2016
friendly, mengakomodasi kearifan lokal yang ada. Tata kelola sering dimaknai sebagai aturan pengelolaan. Ada banyak regulasi yang terkait dengan DD dikeluarkan oleh kementerian dan lembaga (K/L) terkait. Sinkronisasi regulasi antar K/L cukup lemah. K/L menyiapkan regulasi untuk mendukung tugas pokok dan fungsinya, namun kerap abai dengan outcome/ impact dari program. Kajian Fitra (2016) mengidentifikasi 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri, 5 Peraturan Menteri Desa, 2 Peraturan Menteri Keuangan, dan 1 Peraturan Kepala LKPP berpotensi menjadi beban dalam implementasi tata kelola DD. Selain itu, kajian Fitra mengungkap adanya program pendampingan yang kurang efektif dalam membantu desa untuk menyiapkan persyaratan pencairan DD. Mekanisme penyaluran, pengalokasian, dan resiko inefektivitas DD dipengaruhi oleh pengaturan pemerintah. Pada titik ini sinkronisasi regulasi antar K/L merupakan keharusan; menyelaraskan tupoksi K/L dengan target keluaran DD. Pengalaman dari peserta diskusi mengindikasikan bahwa setiap K/L cenderung mengedepankan ego K/L nya. BAPPENAS sebagai integrator dari sistem perencanaan pembangunan nasional wajib berperan menjadi katalisator sinkronisasi tersebut. Regulasi yang dikeluarkan K/L berupaya untuk menjaga governance dari pengelolaan DD dari tingkat pusat-propinsi-kabupaten hingga ke desa. Vertical governance dikawal melalui berbagai regulasi. Alih-alih menciptakan pemanfaatan DD yang optimal, hal tersebut potensial menimbulkan penyerapan yang tidak berkualitas. Dana yang dimanfaatkan dapat dipertanggung jawabkan secara
Kotak 3. Vertical dan Horizontal Governance Kekhawatiran para pengelola DD dilapangan akan vertical governance mendorong mereka taat administratif namun gagal secara substantif karena mengabaikan horizontal governance. Elite desa menaati seluruh aturan yang diberlakukan, tetapimengabaikan transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat desa secara keseluruhan. Keteraturan yang diciptakan oleh regulasi kadang berbenturan dengan kearifan lokal yang sudah melekat secara kultural di desa.
| 31
administratif, namun gagal secara substantif memberikan kemanfaatan bagi desa secara berkelanjutan. Berbagai regulasi terkait DD idealnya mendorong terciptanya desa menjadi mandiri, sejahtera dan demokratis. Untuk itu penting dilihat secara hati-hati apakah penyerapan yang terjadi pada tahun pertama DD adalah penyerapan anggaran yang membawa kemanfaatan bagi masyarakat desa secara keseluruhan atau hanya bagi kelompok tertentu di desa. Kajian Bank Dunia mengindikasikan bahwa secara kuantitas penyerapan DD di tahun pertama tidaklah terlalu buruk (Bank Dunia, 2016). Dana terserap untuk beragam kegiatan yang memang menjadi tujuan diberikannya dana: pemberdayaan, pembangunan infrastruktur dasar, dan kesejahteraan masyarakat. Namun belum terpetakan dengan jelas proporsi dari pemanfaatan dana tersebut. Kajian Fitra (2016) dalam setahun ini belum terlihat dampak DD dalam pengentasan kemiskinan diperdesaan. Selain isu teknis dan praktis yang terpetakan di atas, Dirjen PPMD pada kolom opini di Kompas 18 Februari menuliskan analisisnya mengenai empat isu strategis terkait desa yaitu penguasaan lahan desa (oleh orang kota), desa sebagai pasar barang (dari 10kota), rantai logistik yang panjang (ke desa), dan turunnya rasio gini . Halhal tersebut secara substantif merupakan tantangan dan peluang yang cukup signifikan untuk mengoptimasikan pemanfaatan DD dilapangan. DD adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukan bagi desa dan desa adat, ditransfer melalui APBD, dapat digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Skenario awal pelaksanaan DD adalah menggantikan program PNPM Desa, sehingga DD diprioritaskan untuk membiayai 10 Ahmad Erani Yustika, Dirjen PPMD Kemendes. Desa, Tanah, dan Pasar. Opini Kompas, 18 Februari 2016.
32 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 4 Tahun 2016
pembangunan dan pemberdayaan. Idealnya DD dapat menggerakkan perekonomian di desa sehingga orang desa dapat meningkatkan kesejahteraannya meski tetap tinggal di desa.
Kotak 4. Potensi Masalah Koordinasi DD Kemendesa PDT mendapatkan amanat untuk mengawal anggaran DD, sementara seluruh perangkat desa dan perangkat pemerintah daerah yang ada dalam kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Dualisme ini berpotensi menjadi masalah. Saat ini Kemendesa dan Kemendagri merekrut fasilitatornya masingmasing sebagai pendamping desa.
Peningkatan kesejahteraan dapat dimulai dari pengelolaan kepemilikan aset atas lahan pertanian di desa. Ditengarai banyaknya transfer aset/lahan pertanian dari penduduk desa kepada orang kota. Banyak petani di desa akhirnya hanyalah menjadi penggarap lahan milik orang kota. Produksi pertanian dibawa ke kota untuk mendapatkan nilai tambah melalui proses pengolahan. Produk dengan nilai tambah ini kemudian di jual kembali ke desa. Sementara rantai distribusi yang panjang dari kota dan desa membuat harga produk cukup mahal. DD adalah sumber dana potensial yang dapat diarahkan untuk mendorong perekonomian di desa. Salah satu prasyarat penting untuk mengoptimalkan DD menjadi penggerak perekonomian desa adalah peningkatan kapasitas SDM desa. Pencairan DD menuntut desa memiliki program pembangunan yang tercermin dalam 11 RPJM Desa dan RKP Desa . Desa membutuhkan pendampingan dan fasilitasi. Para pendamping desa dapat membantu agar tata kelola DD dapat lebih transparan, partisipatif dan akuntabel. Dalam rangka fasilitasi, Kemendesa (19/2/2016) meluncurkan Trimatra pembangunan desa: pendekatan yang diharapkan dapat memberikan solusi atas isu strategis yang melingkupi desa; dari soal kepemilikan aset, desa sebagai pasar, rantai distribusi ke desa, dan pemerataan di desa.
11
6 PP 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 6/2014 tentang Desa.
| 33
Kemendesa patut mengujicobakan terlebih dahulu konsep Trimatra secara komprehensif pada beberapa daerah yang dapat mewakili keragaman desa-desa di nusantara. Uji coba konsep akan membantu pemerintah menemu kenali faktor kritis keberhasilan aplikasi Trimatra dalam mendukung pelaksanaan DD. C. REKOMENDASI Potensi DD wajib dioptimalkan. Kotak 5. Piloting DD melalui Nominal alokasi yang akan Trimatra (19/2/2016) meluncurkan meningkat dari tahun ketahun Kemendes Trimatra pembangunan desa: membutuhkan perhatian khusus. Jaringan Komunitas Wiradesa, Dinamika politik nasional dan Lumbung Ekonomi Desa, dan Lingkar Budaya Desa. Sebelum diaplikasikan lokal memunculkan ego dalam secara luas diseluruh negeri, inisiatif pengelolaan dana desa. Temuan ini dapat difokuskan pada daerah yang diperoleh dalam setahun tertentu yang mewakili keragaman desa di nusantara. Untuk kemudian pelaksanaan DD adalah masih dapat dipelajari critical success banyaknya pekerjaan rumah dalam factor yang dibutuhkan untuk pemanfaatan dana meluncurkan DD ke desa secara mengoptimalkan desa melalui Trimatra. efisien dan efektif serta memenuhi kearifan lokal yang ada. Untuk itu Kementerian PPN/ Bappenas perlu meningkatkan kapasitas internalnya, agar kerjasama dengan Kemendestrans, Kemendagri dan Kemenkeu lebih efektif. Sehingga mampu memberi manfaat berkelanjutan bagi masyarakat desa. Desa patut diberi kepercayaan untuk memanfaatkan DD selaras dengan kapasitas lokal yang ada. Kearifan lokal patut dikelola secara optimal. Vertical governance fokus pada tingkat kabupaten/ kota; sementara elite dan masyarakat desa didorong untuk lebih mengedepankan horizontal governance. Regulasi terkait desa perlu disederhanakan tanpa mengabaikan prinsip tata kelola yang baik. Untuk itu, peran Kementerian PPN/ Bappenas sangat diperlukan dalam mengkoordinasikan K/L terkait, terutama dalam penyederhanaan regulasi dan pengelolaan DD yang transparan, partisipatif dan akuntabel. 34 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 5 Tahun 2016
Kementerian PPN/ Bappenas perlu menginiasi pertemuan koordinasi lintas kementerian/lembaga untuk melakukan retrospeksi atas pelaksanaan Dana Desa setahun ini, sekaligus menyelaraskan cetak biru Dana Desa dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang. Hasil Diskusi QRA merekomendasikan diadakannya Konvensi Desa di pertengahan tahun 2016 yang difasilitasi oleh Bappenas.
| 35
36 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 5 Tahun 2016
5
PASANG SURUT REFORMASI REGULASI | 37
PASANG SURUT REFORMASI REGULASI Mardiharto Tjokrowasito, SH, LLM [Direktorat Hukum dan HAM] Reghi Perdana, SH, LLM [Biro Hukum]
ABSTRAK Banyaknya peraturan (obesitas regulasi) dan kualitas peraturan yang belum baik merupakan permasalahan regulasi yang saat ini terjadi. Dari sudut substansi regulasi, masih banyak ditemukan tumpang tindih pengaturan, konflik pengaturan, tidak sinkronnya pengaturan, multitafsir, tidak taat pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya. Kondisi tersebut dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan dapat menghambat lajunya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Permasalahan regulasi tersebut disebabkan karena ada permasalahan prosedural serta permasalahan kelembagaan dalam proses evaluasi suatu regulasi (existing regulation) dan penyusunan suatu rancangan regulasi baru (future regulation). Oleh karenanya penataan kelembagaan menjadi hal yang direkomendasikan dalam policy brief ini.
38 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 5 Tahun 2016
A. PENDAHULUAN Banyaknya jumlah regulasi (obesitas regulasi) dan kualitas dari masing-masing regulasinya yang belum baik, menyebabkan keberadaan dari regulasi sering kali justru menjadi penghambat bagi pelaksanaan pembangunan. Adanya tumpang tindih pengaturan, konflik pengaturan, tidak sinkronnya pengaturan, multitafsir, tidak taat pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan permasalahan yang harus segera diselesaikan. Berbagai hambatan dalam upaya percepatan pertumbuhan ekonomi menjadi fokus Presiden Jokowi. Salah satu hal yang ingin dibenahi adalah berbagai kebijakan dan regulasi yang menghambat perdagangan dan iklim investasi. “Reformasi Regulasi” dan “Deregulasi” kembali menjadi frase yang populer diantara kita. Namun sesungguhnya, Reformasi Regulasi telah lama ada. Paling tidak sejarah mencatat, pada tahun 1988 dilakukan Paket Deregulasi Kebijakan Perbankan (“Pakto 88”) sebagai jawaban atas over-regulated di bidang perbankan. Kementerian dalam negeri pun telah memainkan perannya sejak lama. Pada tahun 2009 telah dilakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah (Perda) tahun 2002-2009 yang berujung pembatalan 1.878 Perda Bermasalah12. Hal ini berlanjut dengan evaluasi Perda periode 20102014 dengan hasil dibatalkannya 1.501 Perda13. Dan kini Presiden Jokowi mengeluarkan berbagai paket kebijakan ekonomi yang memuat unsur deregulasi di dalamnya. Berbagai tools untuk mengkaji peraturan guna reformasi regulasi pun telah dikembangkan. Diantaranya Regulatory Impact Analysis (RIA) yang dikembangkan Biro Hukum Kementerian PPN/ Bappenas bersama The Asia Foundation pada tahun 2009, Model Analisa Peraturan Perundang-undangan (MAPP) dan Model Analisa Kerangka Regulasi (MAKARA) yang dikembangkan Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan Kementerian PPN/ Bappenas pada tahun 2012, dan yang termutakhir Instrumen 12 13
http://otda.kemendagri.go.id/index.php/berita-210/65-1878-perda-dibatalkan http://www.kppod.org/index.php/en/berita/berita-media/407-1-501-perda-dibatalkan
| 39
Simplifikasi Regulasi (ISR) yang juga dikembangkan oleh Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan Kementerian PPN/ Bappenas pada tahun 2015. Berbagai upaya dan tools telah dikembangkan, namun demikian mengapa masih saja terjadi obesitas regulasi yang berdampak pada komplikasi struktur dan substansi regulasi itu sendiri. Kementerian PPN/ Bappenas mencatat periode 2000-2015 telah terbit 12.471 peraturan dan keputusan yang terdiri dari 916 UU, 49 Perppu, 2.446 PP, 2.258 PP, 1.550 Keppres, 247 Inpres, dan yang paling besar jumlahnya adalah Peraturan Menteri/ Setingkat Peraturan Menteri dengan jumlah 8.311 peraturan. Khusus peraturan menteri, selain jumlahnya yang terbanyak diantara peraturan yang lain, proses pembentukannya pun sangat “liar” tanpa adanya kewajiban pembahasan antar kementerian terkait dan tanpa adanya proses harmonisasi sebagaimana layaknya peraturan lainnya. Hal inilah yang memperlebar gap konflik regulasi yang telah ada pada peraturan di atasnya. Tidak jarang suatu peraturan menteri yang ditetapkan menyinggung kewenangan dan kepentingan kementerian lain. B. PEMBAHASAN a. Area perubahan Pelaksanaan reformasi regulasi dibedakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah upaya untuk melakukan review terhadap regulasi yang sudah ada pada saat ini (Existing Regulation), sedangkan kelompok kedua adalah upaya untuk melakukan analisa yang mendalam dengan menggunakan data yang baik untuk merumuskan suatu regulasi baru (Future Regulation). Review terhadap Existing Regulation bertujuan untuk melakukan penyederhanaan regulasi (simplifikasi) dengan melakukan amandemen atau bahkan pencabutan terhadap suatu regulasi yang dianggap bermasalah. Sementara itu hasil
40 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 5 Tahun 2016
dari suatu analisa yang baik terhadap Future Regulation bertujuan untuk menghasilkan regulasi yang lebih berkualitas. b. Akar masalah Masalah substansial sebagaimana tersebut pada pendahuluan di atas pada dasarnya merupakan masalah yang ada dipermukaan. Apabila dikaji lebih dalam maka masalah substansial tersebut lahir disebabkan oleh masalah prosedural dalam mengevaluasi Existing Regulation dan pembentukan Future Regulation. Masalah prosedural tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Naskah Akademis hanyalah diwajibkan untuk RUU dan Rancangan Perda. Tidak ada kewajiban untuk menyusun setidak-tidaknya Background Paper untuk Rancangan PP, Rancangan Perpres, apalagi Rancangan Peraturan Menteri. 2. Pelaksanaan pembahasan rancangan peraturan dalam Panitia Antar Kementerian/ Lembaga dan pelaksanaan harmonisasi belum efektif. Bahkan untuk rancangan peraturan menteri, tidak ada kewajiban untuk membentuk Panitia Antar Kementerian/ Lembaga dan tidak ada kewajiban melaksanakan harmonisasi. 3. UU 12/ 2011 tidak mengatur mengenai mekanisme evaluasi atau review terhadap suatu peraturan. Mekanisme yang saat ini ada adalah hak uji materiil di Mahkamah Konstitusi/ Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review. Belum ada mekanisme review jika terjadi ketidaksesuaian substansi antar peraturan, yang menyangkut tugas dan fungsi kementerian/ lembaga lain (Executive review atau review yang dilakukan oleh pemerintah). Jika dikaji lebih dalam lagi, permasalahan prosedural | 41
sebagaimana tersebut di atas disebabkan masalah kelembagaan yang lebih besar lagi yakni: 1. Ego sektoral masing-masing Kementerian/ Lembaga yang memprakarsai suatu peraturan. 2. Belum jelas instansi mana yang memiliki kewenangan sebagai koordinator dalam melakukan executive review apakah Kementerian Hukum dan HAM, Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet atau Kementerian PPN/ Bappenas. 3. Belum sempurnanya instrumen dalam perencanaan, penyusunan, pembahasan, dan harmonisasi Future Regulation. Sebagai contoh: i.
Pedoman penyusunan naskah akademik masih menggunakan pendekatan kajian hukum normatif, belum memperhatikan aspek lainnya termasuk penggunaan analisa manfaat dan biaya.
ii. Belum adanya pedoman pembahasan dan harmonisasi yang mampu menjaga konsistensi materi pengaturan (acapkali wakil kementerian/ lembaga yang hadir dalam serial rapat pembahasan berganti orang dengan pemahaman, pengetahuan, data, dan informasi yang tidak seragam bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya). c. Urgensi Penataan Kelembagaan Penataan kelembagaan menjadi hal krusial yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah di atas. Beberapa langkah perbaikan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Koordinasi Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian PPN/ Bappenas, Kementerian Dalam Negeri dan Sekretariat Negara dalam proses perencanaan 42 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 5 Tahun 2016
peraturan yang telah diatur di dalam Perpres 87/ 2014 perlu diperkuat. 2. Perlu diatur mekanisme executive review serta memberikan kewenangan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk menginisiasi executive review peraturan nasional sebagaimana halnya executive review atas perda yang telah dimiliki Kementerian Dalam Negeri (berdasarkan UU 23/2004). 3. Memperkuat kesiapan sumberdaya untuk melaksanakan pembentukan Future Regulation yang berkualitas dan Executive Review atas Existing Regulation. Langkah sebagaimana tersebut di atas, merupakan langkah jangka panjang. Untuk merespon perintah Presiden terkait pemangkasan Existing Regulation sampai dengan 50% serta sekaligus mempersiapkan Future Regulation yang lebih baik sejak awal, maka dapat dibentuk Komite Regulasi yang bersifat adhoc sampai dengan langkah jangka panjang sebagaimana tersebut di atas telah terlaksana dengan sempurna. Gagasan pembentukan Komite Regulasi ini memang telah ada dalam Buku Strategi Nasional Reformasi Regulasi yang diterbitkan Kementerian PPN/ Bappenas. Namun dalam policy brief ini, kami mengusulkan model yang berbeda. Model tersebut dibangun dengan mempertimbangkan kewenangan yang ada (sehingga tidak ada konflik kewenangan). Model tersebut perlu ditetapkan dengan Peraturan Presiden (diskresi). Komite Regulasi terdiri dari Pengarah, Pelaksana, dan Unit Pendukung Pelaksana. Pengarah dan Pelaksana terdiri dari Kementerian/ Lembaga yang berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki fungsi dan peran dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Ketua Pengarah adalah Menteri Hukum dan | 43
HAM dengan anggota Menteri Sekretaris Negara, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri PPN/ Kepala Bappenas. Ketua Pelaksana adalah Dirjen Peraturan Perundang-Undangan dengan anggota Pejabat Eselon I/ II terkait di Kementerian Hukum & HAM, Sekretariat Negara, Kementarian Dalam Negeri, dan Kementerian PPN/ Bappenas. Pengarah dan Pelaksana dibantu oleh Unit Pendukung Pelaksana yang terdiri dari para profesional yang diikat dengan perjanjian kerja (Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja/ PPPK). Para profesional ini yang akan mengisi kekosongan kompetensi dan beban kerja para PNS di Kementerian/ Lembaga tersebut. Para profesional ini diberi honorarium sesuai dengan harga pasar (model kelembagan ini membenchmark model kelembagaan Komite Nasional Keuangan Syariah yang saat ini sedang dibangun Kementerian PPN/ Bappenas dan telah mendapatkan persetujuan Presiden). Komite Regulasi bertugas mempercepat dan menjaga konsistensi reformasi regulasi dengan memaksimalkan tugas, fungsi dan kewenangan yang telah ada pada masingmasing anggota. Disamping itu, untuk mengisi kekurangan yang ada, Komite Regulasi memiliki tugas dan kewenangan sebagai berikut: 1. Existing Regulation i.
Menyusun Road Map Reformasi Regulasi;
ii. Menyusun Pedoman Executive Review; iii. Menginisasi Penyusunan Rencana Aksi Executive Review dengan melibatkan Kementerian/ Lembaga/ Pemerintah Daerah yang nantinya akan melaksanakan Executive Review; iv. Menyiapkan draft Inpres Rencana Aksi Executive Review (Inpres Rencana Aksi ini mem-benchmark Inpres Stranas Penanggulangan dan Pencegahan 44 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 5 Tahun 2016
Korupsi yang dikoordinasikan Kementerian PPN/ Bappenas saat ini); v. Melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Executive Review; dan
atas
vi. Menerima laporan Kementerian/Lembaga terhadap existing regulation yang bersinggungan dengan tugas, fungsi, dan kewenangan Kementerian/ Lembaga tersebut, melakukan executive review terhadap existing regulation tersebut dan memberikan saran dan rekomendasi kepada Presiden untuk tindaklanjutnya. 2. Future Regulation i.
Menyusun Petunjuk Teknis Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai turunan dari Pedoman yang telah ditetapkan UU 12/ 2011 jo Perpres 87/ 2014 yang dilengkapi dengan instrumen berindikator terukur dalam perencanaan peraturan, penyusunan naskah akademik, pembahasan Panitia Antar Kementerian/ Lembaga, dan harmonisasi (di mana di dalamnya juga mengatur kewajiban Kementerian/ Lembaga untuk membentuk Panitia Antar Kementerian/ Lembaga serta harmonisasi penyusunan Permen yang berdampak pada tugas, fungsi dan kewenangan K/ L lain).
ii. Melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan petunjuk teknis sebagaimana tersebut di atas.
| 45
C. REKOMENDASI Berdasarkan pembahasan sebagaimana tersebut di atas kami berpendapat Kementerian PPN/Bappenas perlu: 1. Menginisiasi pembentukan Komite Regulasi; 2. Meminta Ijin Prakarsa Presiden terkait pengusulan Perpres Pembentukan Komite Regulasi; dan 3. Mengusulkan kepada Presiden agar disusun Inpres Rencana Aksi Reformasi Regulasi yang penyusunannya dikoordinasikan oleh Komite Regulasi.
46 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 6 Tahun 2016
6
Kontroversi Angkutan Umum Perkotaan Berbasis Aplikasi | 47
Kontroversi Angkutan Umum Perkotaan Berbasis Aplikasi Petrus Sumarsono, JFP Madya – Direktorat Transportasi Tommy Hermawan, JFP Utama - Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas
ABSTRAK Kemajuan teknologi termasuk teknologi informasi seharusnya diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu penerapannya adalah untuk pelayanan angkutan berbasis aplikasi yang memberi kemudahan baik bagi yang membutuhkan pelayanan angkutan (konsumen) maupun yang akan berusaha di bidang pelayanan angkutan, khususnya di kawasan perkotaan. Namun demikian, kemudahan yang ditawarkan oleh angkutan berbasis aplikasi saat ini dipandang melanggar UU No. 22 Tahun 2009 tentang “Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)” yang memuat ketentuan penyelenggaraan angkutan umum. Kebijakan Pemerintah melegalisasi angkutan umum berbasis aplikasi mendesak dilakukan sedemikian sehingga konsumen dan operator angkutan (berbasis aplikasi) mendapat kepastian pelayanan dan menjalankan bisnisnya. Masyarakat merasakan bahwa pelayanan angkutan berbasis aplikasi lebih aman, nyaman, dan terjangkau.
48 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 6 Tahun 2016
A. PENDAHULUAN Seiring dengan pertumbuhan penduduk kawasan perkotaan dan pertumbuhan ekonomi nasional, serta bertambahnya masyarakat kelas menengah telah mendorong adanya peningkatan kebutuhan transportasi yang cepat dengan tarif yang wajar. Menurut David Santoso, Direktur Keuangan PT Express Transindo Utama (Express Taxi) menyatakan bahwa pasar transportasi taxi dapat mencapai sebesar Rp 5 triliun pada 2011. Dengan pertumbuhan 12,3% maka nilai pasar transportasi mencapai sebesar Rp 11 triliun pada periode 2007-2011. Perusahaan taksi konvensional berbasis UU No. 22 Tahun 2009 tentang “LLAJ” selama ini telah meraih keuntungan cukup besar, yakni 30-50 persen dari total pendapatan di Indonesia. Melihat potensi pasar angkutan taksi yang begitu besar, sebagaimana terjadi di kota-kota besar di dunia, maka Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia juga mengundang minat pengusaha-pengusaha nasional dan international untuk melakukan investasi di Indonesia. Pengusaha dalam negeri yang telah memasuki pasar Indonesia (dengan teknologi informasi aplikasi) adalah Gojek sedangkan dari luar negeri adalah Uber dan Grab. Konsumen maupun pemilik kendaraan melakukan transanksi dengan mengunduh program aplikasi masing-masing. Program aplikasi angkutan Uber dan Grab menawarkan kemudahan dan efisiensi karena mempertemukan permintaan dan penawaran pelayanan angkutan dengan berbagai tipe atau kelas kendaraan sehingga meningkatkan produktivitas penggunaan kendaraan. Pemilik kendaraan akan beroperasi/ berjalan kalau ada pesanan. Demikian juga konsumen tidak perlu menunggu di pinggir jalan tetapi cukup memesan lewat aplikasi di“smart-phone”. Meskipun demikian, layanan angkutan berbasis aplikasi ini oleh Pemerintah dan perusahaan taksi non aplikasi menilai sebagai layanan angkutan yang illegal. Pertimbangannya adalah karena beroperasinya layanan mereka tidak memenuhi persyaratan | 49
sebagaimana di atur oleh UU No. 22 Tahun 2009 tentang “LLAJ” dan Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 tahun 2003 tentang “Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum.” B. PEMBAHASAN Berdasarkan Undang Undang (UU) No. 22 Tahun 2009 tentang “Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ),” maka yang dimaksud “Kendaraan Bermotor Umum”, adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. Pelayanan “Angkutan Umum” dibedakan antara angkutan umum dalam trayek dan angkutan umum tidak dalam trayek. Layanan angkutan umum dalam trayek mempunyai kriteria yaitu: memiliki rute tetap dan teratur, terjadwal, berawal dan berakhir, menaikkan dan menurunkan penumpang di tempat yang telah ditetapkan. Di lain pihak jenis layanan Angkutan Umum Tidak Dalam Trayek ada empat klasifikasi yaitu: (1) Angkutan orang dengan menggunakan taksi, (2) Angkutan orang dengan tujuan tertentu, (3) Angkutan orang untuk keperluan pariwisata, dan (4) Angkutan orang di Kawasan Tertentu. Merujuk UU LLAJ tersebut di atas, maka Angkutan Penumpang berbasis Aplikasi sebenarnya belum diatur di dalamnya, namun kemudian diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 tahun 2003 tentang “Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum”. Angkutan berbasis aplikasi ini dapat dikategorikan sebagai angkutan sewa karena karakteristiknya hampir sama. Secara rinci maka karakteristik angkutan sewa adalah sebagai berikut: (1) Pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasi yang tidak terbatas, (2) Dilayani dengan mobil penumpang umum yang dilengkapi tanda nomor kendaraan dengan warna dasar plat hitam dengan tulisan putih dan diberi kode khusus dan dilengkapi surat perjalanan yang sah berupa surat tanda nomor kendaraan, buku uji dan kartu pengawasan14, Sesuai Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 5 tahun 2012 tentang “Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor.” 14
50 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 6 Tahun 2016
(3) Tarif berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa, dan (4) Tidak berjadwal. Meskipun belum diatur secara jelas dalam suatu UU atau peraturan, pada dasarnya konsumen sudah merasakan keuntungan angkutan berbasis aplikasi karena tarifnya lebih rendah dibanding taksi biasa serta kemudahan dalam memesan melalui “Smart phone”. Selain itu, perjalanan kendaraan angkutan berbasis aplikasi ini juga bisa dipantau dari “Smart phone” sehingga konsumen merasa lebih pasti dan aman. Pemilik mobil/ angkutan berbasis aplikasi pada umumnya menggunakan kendaraan yang plat hitam, tidak memerlukan uji kir kendaraan, dan pengemudinya tidak perlu memegang SIM Kendaraan Bermotor Umum (A Umum). Kendaraan angkutan berbasis aplikasi ini dapat dimiliki oleh perseorangan, sehingga setiap orang dapat dengan mudah menjadi penyedia angkutan berbasis aplikasi. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, penyelenggaraan angkutan umum seharusnya dilakukan oleh badan usaha dan kendaraannya harus ber plat kuning serta di uji kir secara periodik. Penilaian Pemerintah dan perusahaan taksi umum terhadap kenyataan ini menolak angkutan umum berbasis aplikasi beroperasi karena tidak bersaing secara wajar (menawarkan tarif yang murah) dan tidak membayar pajak perusahaan. Berdasarkan penelitian kami, maka masuknya angkutan berbasis aplikasi tersebut di atas pada dasarnya disebabkan oleh terbukanya peluang pasar yang menjanjikan di Indonesia, khususnya di Jakarta. Beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian terkait layanan angkutan berbasis aplikasi di Indonesia sebagai berikut: 1. Pasar taksi di Indonesia masih terkonsentrasi di Jabodetabek dengan total pangsa pasar sebesar 69,0% dari unit armada. Pangsa pasar Blue Bird sekitar 37 persen sedangkan Express Taxi 30% dari armada keseluruhan di kawasan Jabodetabek.
| 51
2. Margin laba usaha Taksi Blue Bird dan Ekspres Taxi tahun 2014 masing2 mencapai 35% dan 58% yang berarti mendapat keuntungan jauh diatas perusahaan angkutan di luar negeri. Sebagai bukti misalnya Comfortdelgro Corp Ltd. di Singapura marjin laba usaha sebelum penyusutan hanya sebesar 20 persen, Daiichi Koutsu Sangyo Co. Ltd. asal Jepang hanya 12 persen dan Cabcharge Australia Ltd., sebesar 36 persen. 3. Uber yang masuk di Jakarta sejak Agustus 2015 telah memiliki pertumbuhan tercepat sepanjang sejarah Uber (Alan Jiang, GM Uber Indonesia). Klasifikasi operasi di Indonesia terdiri dari Uber Black (komisi 20 persen) dan Uber X (tidak ada komisi). Pertumbuhan cepat ini dapat terjadi karena harga yang ditawarkan Uber jauh lebih murah dan fasilitas aplikasi yang sangat mudah dilakukan. 4. Grab memberikan penawaran mirip dengan Uber tetapi ada perbedaan pada hal-hal tertentu sebagai bagian dari strategi perusahaan Grab merebut konsumen. Penawaran untuk menarik konsumen ini misalnya memberikan harga yang tetap (fix) di awal perjalanan dan tidak bisa berhenti/stop selain di lokasi tujuan. 5. Dampak masuknya angkutan berbasis aplikasi di Indonesia telah menimbulkan persaingan yang tidak seimbang sehingga memicu demo besar-besaran oleh pengemudi taksi Blue Bird dan Ekspress Taksi pada tanggal 22 Maret 2016 di Jakarta yang lalu. Para sopir taksi umum non aplikasi mengeluh akan susahnya mencari pelanggan dan menurunnya penghasilan mereka. 6. Ricuhnya persaingan pasar layanan angkutan karena masuknya layanan berbasis aplikasi ini juga terjadi di banyak negara. Akibatnya beberapa kota seperti di Seoul dan Berlin telah melarang angkutan berbasis aplikasi (Uber) untuk beroperasi karena melanggar ketentuan keselamatan dan keamanan angkutan umum. Sedangkan di Philipina telah 52 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 6 Tahun 2016
mengijinkan operasi angkutan berbasis aplikasi karena sejalan dengan peraturan yang ada. Sementara yang lain seperti di Ottawa dan New York melarang operasi angkutan berbasis aplikasi khusus yang bertujuan ke Bandar Udara (Bandara). Selanjutnya Pemerintah Kota Chicago mengijinkan angkutan berbasis aplikasi beroperasi bebas namun untuk tujuan ke Bandara dikenakan tambahan biaya dan iuran tahunan15. C. REKOMENDASI Berdasarkan pembahasan di atas maka disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut : 1. Pemerintah perlu mendefinisikan angkutan berbasis aplikasi sebagai angkutan umum sewa dengan merevisi Kepmen Perhubungan No 35 Tahun 2003 atau merevisi UU No 22 tahun 2009 tentang “LLAJ”. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi pesatnya kemajuan teknologi informasi (aplikasi) yang belum ditampung oleh Kepmen atau UU tersebut. 2. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu menilai dan menyarankan perbaikan peraturan terkait dengan persaingan taksi umum dan yang menggunakan aplikasi. 3. Mendukung adanya layanan angkutan berbasis aplikasi dan mengijinkan kepemilikan kendaraan atas nama perseorangan menjadi ‘armada’ nya. Hal ini karena berujung pada peningkatan pendapatan masyarakat. 4. Uji kir kendaraan untuk angkutan berbasis aplikasi ini didelegasikan kepada Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM) Mobil karena keterbatasan fasilitas uji kir Pemerintah.
15 http://www.thehindubusinessline.com/news/world/south-korea-rejects-uber-proposalto-legalise-service/article6860131.ece http://www.gwangjunewsgic.com/online/disruptive-in-more-ways-than-one-uber-inkorea/ http://www.reuters.com/article/us-uber-germany-idUSKBN0N71WN20150416; Disruptive in More Waysthan One, Uber in Korea
| 53
5. Pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam setiap penagihan pembayaran angkutan berbasis aplikasi sebagai pengganti pajak perusahaan. Hal ini mudah dilakukan karena setiap transaksi tercatat dalam sistem aplikasi. Manfaat yang didapat adalah untuk meningkatkan pendapatan pajak bagi Pemerintah.
54 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 7 Tahun 2016
7
Kemiskinan, Nelayan Tradisional Dan Tanggung Jawab Negara | 55
Kemiskinan, Nelayan Tradisional Dan Tanggung Jawab Negara Bustang (Perencana Madya Aparatur Negara) Moris Nuami (Perencana Madya, Kasubdit Penanggulangan Kemiskinan)
ABSTRAK Kemiskinan merupakan penyakit sosial yang butuh perhatian dan tanggung jawab pemerintah. Salah satu penyumbang jumlah kemiskinan terbesar berasal dari masyarakat pesisir dengan mata pencaharian sebagai nelayan tradisional. Negara tidak boleh kalah dan harus hadir dengan kekuasaan dan kekuatan untuk melakukan pemihakan/ pembelaan terhadap mereka. Maksudnya negara (pemerintah) harus membuat payung kebijakan dan aksi/kegiatan mendesak yang benar-benar berorientasi kesejahteraan, agar mampu keluar dari jeratan kemiskinan struktural. Kebijakan pemerintah dengan BUMN/D untuk memaksimalkan dana CSR; pemberian kredit dari lembaga perbankan dengan agunan dari pemerintah; penegakan hukum kepada oknum yang melakukan penangkapan ikan dengan cara ilegal (bom ikan, pukat harimau, dan lainnya) di wilayah 4 mil dari bibir pantai.
56 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 7 Tahun 2016
A. PENGANTAR Kemiskinan struktural di kalangan nelayan tradisional tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan; keterbatasan kapasitas sumber daya manusia; modal serta akses; jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan atau “Revolusi Biru” yang mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara berlebihan. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki garis pantai nomor dua terpanjang di dunia, terdiri lebih dari 17.480 pulau, dengan garis pantai sekitar 95.181 km, terluas wilayahya di laut sekitar 5,8 juta km2 (sekitar 70% dari luas total teritorial Indonesia). Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis seperti mangrove, terumbu karang, serta sumber daya hayati dan non hayati lainnya. Semua menjadi potensi pengembangan sektor perikanan, di samping destinasi pariwisata pantai yang memungkinkan masyarakat pesisir memilih opsi mencari nafkah selain menjadi nelayan. Kemiskinan nelayan tradisional tidak hanya karena SDM rendah yang disebabkan pendidikan formal rendah (permasalahan klasik), tetapi juga keterbatasan daya jangkau mencari ikan yang disebabkan oleh sarana dan prasarana yang sangat terbatas (perahu daya muat 2 s/d 3 orang, alat tangkap memancing, pukat yang kecil, jala, bubu dan lainnya). Di samping itu daya tawar hasil produksi tangkapan nelayan tradisional sangat rendah, sehingga para saudagar/ tengkulak atau rentenir yang diuntungkan. B. MASALAH DAN ANALISIS Dari fakta memperlihatkan bahwa nelayan tradisional selain karena sarana dan prasarana yang masih sangat tradisional; kawasan penguasaan tangkap terbatas/ dibatasi pada hanya sekitar 4 mil dari pesisir pantai; lembaga keuangan termasuk perbankan | 57
mustahil memberikan bantuan/ pinjaman tanpa agunan. Dan yang lebih menyengsarakan nelayan tradisional adalah adanya sekelompok orang yang mencari ikan di daerah pesisir dengan merusak lingkungan, (bom ikan, penggunaan pukat harimau, dan lainnya), yang berakibat punahnya beberapa spesis ikan serta rusaknya terumbu karang tempat tumbuh kembangnya biota laut termasuk ikan. Penekanan, perhatian serius pemangku kepentingan dalam memberantas kemiskinan nelayan tradisional, harus dilakukan dan berkelanjutan sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Selanjutnya peran pemerintah sebagai instrumen utama negara harus secara konsisten dalam melaksanakan konstitusi UUD 45, pasal 34: “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan memperlihatkan tindakan heroik dengan meledakkan kapal-kapal asing yang mencuri ikan diperairan “dalam ” Indonesia dengan tujuan mencegah pencurian ikan, juga untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Namun kenyataannya tindakan herois tersebut tidak berpengaruh langsung terhadap penurunan angka kemiskinan nelayan tradisional. Di samping itu permasalahan lain nelayan tradisional, berkaitan dengan pemasaran hasil tangkapan, ikan segar tangkapan harus di pasarkan kemana untuk mendapatkan nilai tambah. Apakah harus kembali ke rentenir atau tengkulak? Harapan kehadiran organisasi seperti PNTI (Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia), ANTI (Assosiasi nelayan tradisional Indonesia), yang nota bene adalah organisasi yang melakukan pemihakan kepada nelayan tradisional. Namun sampai saat ini sudahkah nelayan tradisional terbantu, terangkat derajatnya, meningkat kesejahteraannya dengan kehadiran organisasi seperti itu? Apakah mereka sudah melakukan pendampingan, penyuluhan, pemberian bantuan perlengkapan/ sarana/ prasana, dan lainnya yang terkait hasil nelayan tradisional ditampung khusus agar tetap segar?
58 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 7 Tahun 2016
Oleh karena itu, para pemangku kepentingan perlu melakukan pengembangan usaha perikanan mulai dari perbaikan armada penangkapan, alat penangkapan sampai ke “peningkatan kualitas hasil tangkapan nelayan”, sehingga dibutuhkan kebijakan untuk kesejahteraan nelayan tradisional. C. REKOMENDASI Untuk mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional, maka kami mengusulkan Sebagai berikut: 1. Peningkatan pemahaman dan kapasitas pemerintah lokal (kab/kota) dalam memetakan isu dan tantangan yang dihadapi nelayan tradisional dalam konteks lokal sehingga pendekatan terhadap nelayan tradisional lebih terintegrasi. Salah satu contohnya dengan menjamin harga hasil tangkapan nelayan tradisional. 2. Kebijakan pemerintah untuk mempermudah fasilitas kredit bagi nelayan tradisional, misalnya dengan menempatkan pemerintah sebagai penjamin kredit. Di samping itu pemerintah menginstruksikan kepada seluruh BUMN/ D mengalokasikan dana CSR untuk pengembangan nelayan tradisional, dengan melibatkan pendamping dan penyuluh perikanan. 3. Pendampingan dari pemerintah lokal (desa) bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil di bidang perikanan untuk meningkatkan kapasitas nelayan dan keluarga nelayan dalam bentuk aktivitas sosial ekonomi.
| 59
60 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 8 Tahun 2016
8
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH SESUAI PERAN BARU BAPPENAS | 61
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH SESUAI PERAN BARU BAPPENAS Budi Santoso (Perencana Utama) Sumedi Andono Mulyo (Perencana Madya)
ABSTRAK Salah satu kunci keberhasilan pembangunan adalah perencanaan yang holistik dengan memperhatikan peran kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, integratif dengan melihat keterpaduan antarsektor, tematik sesuai dengan prioritas nasional dan berbasis spasial dengan lokasi yang jelas (HITS). Pendekatan tersebut menegaskan bahwa perencanaan harus berorientasi pada program yang benar-benar mendukung pencapaian tujuan pembangunan (money follow program) dan mempunyai dampak ganda (multiplier effect) bagi kemajuan dan kesinambungan pembangunan. Dengan memperhatikan keragaman daerah dan dinamika pelaksanaan otonomi daerah, posisi Bappenas menjadi sangat penting dan strategis. Oleh sebab itu, Bappenas perlu revitalisasi dengan peran baru yang lebih jelas dan tegas dalam menjamin penyelenggaraan perencanaan yang lebih transparan, akuntabel dan kredibel. Rekomendasi tentang peran baru Bappenas, dari hasil QRA, adalah sebagai berikut: (1). Bappenas menjadi kunci keberhasilan sinkronisasi perencanaan pembangunan daerah dan pusat dengan pendekatan (HITS) untuk mencapai tujuan dan sasaran prioritas nasional secara efektif, efisien dan adil; (2). Bappenas mengendalikan pengalokasian anggaran program dan kegiatan sesuai prioritas nasional yang tercantum dalam RPJMN dan RKP melalui forum Musrenbangnas; (3) Bappenas harus membangun kemitraan dan kerjasama yang lebih baik dengan Bappeda dalam penetapan tujuan, sasaran dan prioritas, (4) Bappenas bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan menyusun SOP dan membentuk Tim Anggaran Pemerintah Pusat (TAPP), dan (5) Penerbitan Instruksi Presiden tentang peran baru Bappenas dalam sinkronisasi perencanaan dan penganggaran. 62 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 8 Tahun 2016
A. PENDAHULUAN Dalam upaya mengoptimalkan kinerja pembangunan, Pemerintah akan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional16. Inpres tersebut diperlukan karena selama ini pelaksanaan berbagai program pembangunan terkesan berjalan sendiri-sendiri dan tidak terpadu dalam mendukung pencapaian tujuan nasional. Sebagai contoh, pembangunan waduk telah selesai, tetapi jaringan irigasi belum selesai dibangun, atau pembangunan pelabuhan telah siap, tetapi akses jalan belum ada dan jaringan listrik belum tersedia. Pola pembangunan seperti ini tidak optimal karena pencapaian sasaran pembangunan sektor tidak diikuti dengan pencapaian tujuan pembangunan secara keseluruhan. Dengan kata lain, pembangunan sektor belum memberikan manfaat nyata bagi kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah. Hal ini terjadi karena perencanaan sektor selama ini diserahkan kepada kementerian/lembaga (K/L), kemudian penganggaran oleh Kementerian Keuangan yang mengalokasikan anggaran. Bappenas tidak terlibat secara maksimal dalam memadukan keseluruah perencanaan kementerian/lembaga. Oleh sebab itu, perlu revitalisasi peran Bappenas untuk menjamin keterpaduan perencanaan dan penganggaran dalam mendukung pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan17. Pelaksanaan kegiatan QRA yang melibatkan Tim Analisa Kebijakan (TAK)-Bappenas, Dirjen Pembangunan DaerahKementerian Dalam Negeri dan Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat bertujuan untuk menganalisis berbagai permasalahan dalam sinkronisasi perencanaan dan penganggaran, terutama di daerah, serta merumuskan rekomendasi bagi penyusunan dan pelaksanaan Inpres tentang Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran. Pendekatan yang dilakukan dalam QRA ini adalah curah pendapat dan diskusi terbuka tentang berbagai peraturan 16 Menyinkronkan PP No.40 Tahun 2006 :Sistem Perencanaan Nasional, dan PP No.90 Tahun 2010 : Keuangan Negara. 17 http://ksp.go.id/presiden-tidak-ingin-mengulang-tradisi-lama-dalam-perencanaan-danpenganggaran-yang-tidak-sinkron/
| 63
perundangan yang relevan seperti UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU Nomer 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturan pelaksanaanya. Selain itu, pendekatan dalam QRA ini adalah penjaringan fakta (facts finding) dari Kepala Bappeda Jawa Barat sebagai praktisi tentang berbagai kesulitan, hambatan dan kebuntuan dalam melaksanakan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran pembangunan yang berakibat pada tidak optimalnya kinerja pembangunan di daerah. B. PEMBAHASAN DAN HASIL ANALISIS Sesuai dengan undang-undang yang berlaku maka sistem perencanaan pembangunan nasional merupakan satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah18. Selanjutnya sesuai dengan pasal 258 UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka daerah melaksanakan pembangunan untuk peningkatan dan pemerataan: pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses dan kualitas pelayanan publik, serta penguatan daya saing daerah. Pasal ini menyiratkan bahwa pembangunan daerah merupakan aktualisasi desentralisasi, yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pusat kepada daerah. Namun demikian dalam pelaksanaan desentralisasi tersebut, maka muncul pertanyaan sebagai berikut: (1) Apakah konsepsi wawasan nusantara masih relevan dan menjadi arus utama dalam perumusan kebijakan pembangunan?, (2) Bagaimana peran negara dan pemerintah dalam menghadapi perubahan geopolitik dan geostrategi?, (3) bagaimana membangun sinergi pusat dan daerah yang solid?, (4). Bagaimana Peran Bappenas, Kemendagri dan Kemenkeu?, (5) Apakah pola distribusi sumberdaya antar daerah berupa dana dekon/TP, dana transfer daerah, dana otsus, kerjasama pemerintah dan badan usaha, dan investasi swasta dan perbankan sudah berjalan 18 Nasional”;
Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang “Sistem Perencanaan Pembangunan
64 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 8 Tahun 2016 dengan baik? 19 dan (6) Apakah sinkronisasi pembangunan daerah pusat sudah berjalan sesuai dengan arah kebijakan yang berlaku?. 20
Dalam upaya mencari jawaban atas isu-isu tersebut, hasil QRA ini mendapatkan permasalahan umum yang menjadi penghambat sebagai berikut: (1) perencanaan strategis belum diterapkan secara konsisten terutama dalam menentukan tujuan, sasaran, kebijakan, program, kegiatan dan anggaran, (2) penentuan prioritas nasional belum menggunakan kriteria dan metode yang jelas, tegas dan transparan sehingga prioritas nasional terlalu banyak, (3) hubungan antara pagu anggaran program dan kegiatan dengan pencapaian tujuan dan sasaran seringkali tidak jelas dan tidak pasti, (4) nomenklatur program dan kegiatan Kementerian/ Lembaga dan SKPD yang seringkali berubah-ubah dan tidak konsisten sehingga RAPBN dan RABPD tidak nyambung, (5) peran Bappenas dalam membangun hubungan antar Kementerian Keuangan, KL dan Daerah masih business as usual sehingga tidak optimal, (6) arahan Presiden Joko Widodo tentang perubahan perencanaan dari money follow function menjadi money follow program masih dalam tahap pembelajaran pusat dan daerah . Rangkuman permasalahan dan alternatif solusi dari hasil QRA adalah sebagai berikut: No.
PERMASALAHAN
1
Berbagai peraturan perundangundangan yang tidak konsisten dan saling mendukung menyebabkan kebingungan pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan pemerintah pusat
ALTERNATIF SOLUSI Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian RB dan PAN perlu melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengendalian evaluasi kebijakan
19 UU No. 33 Tahun 2004: “Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah” dan PP No. 55 Tahun 2005: “Dana Perimbangan” 20 PP No. 2 Tahun 2015 tentang “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019”
| 65
No.
PERMASALAHAN
ALTERNATIF SOLUSI
2
Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian RB dan PAN dan Bappenas mempunyai sistem informasi yang berbeda-beda dan tidak terpadu tentang perencanaan, penganggaran, pengendalian dan evaluasi yang menyebabkan meningkatnya beban biaya, tenaga dan waktu bagi pemerintah daerah dalam mengisi berbagai form laporan.
Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian RB dan PAN perlu menata ulang sistem informasi perencanaan, penganggaran, pengendalian dan evaluasi sehingga lebih terpadu, efisien, dan efektif
3
Perencanaan pembangunan kurang memperhatikan pendekatan kewilayahan akibatnya terjadi gap antara pembangunan Jawa-Bali dan pulau-pulau lainnya
Bappenas perlu konsisten melaksanakan perencanaan tahunan sesuai Buku III RPJMN 2015-2019 yang menekankan perencanaan pembangunan berdasarkan kewilyahan
a.
Penerapan pola HITS tidak hanya mengacu Buku II RPJMN 20152019, tetapi juga pada Buku III, sehingga Prioritas Nasional yang ditentukan juga mempertimbangkan pemerataan pembangunan di luar Jawa-Bali.
Prioritas kegiatan masih didominasi oleh kegiatan2 sektor K/L dan belum menekankan pendekatan kewilayahan b. Dalam Buku III RPJMN 2015-2019 telah diarahkan pembangunan kewilayahan & RTRW, tapi tidak diacu dalam penyusunan RKP 2017 dengan baik.
66 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 8 Tahun 2016 No.
PERMASALAHAN
4
Keterlambatan dan ketidakpastian dalam penyaluran dana transfer daerah khususnya dana alokasi khusus (DAK) menyebabkan terlambatnya pelaksanaan dan tidak optimalnya manfaat: a.
Kerumitan manajemen, nomenklatur dan jenis DAK menyebabkan tidak optimalnya manfaat DAK; b. Ketidakpastian alokasi DAK menyebabkan keterlambatan penyusunan RAPBD; c. Keterpaduan alokasi DAK dengan dana Dekon/TP dalam Musrenbangnas menyebabkan pencapaian tujuan dan sasaran tidak terwujud; d. Keterlambatan Kementerian Keuangan menerbitkan PMK tentang DAK; e. Keterlambatan penerbitan petunjuk teknis pelaksanaan DAK menyebabkan kegamangan dan keraguan daerah. 5
Perubahan jadwal penetapan RKP 2017 dari Mei mundur menjadi Juli 2017 akan mengakibatkan keterlambatan penetapan RKPD yang harus menunggu penetapan RKP akibatnya sinkronisasi tidak terwujud.
ALTERNATIF SOLUSI Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, K/L terkait lainnya perlu menata ulang manajemen dana transfer daerah khususnya DAK dengan langkah sebagai berikut: a.
Melakukan regrouping dana transfer daerah menjadi tiga: Dana Transfer Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan daerah/ kawasan khusus; b. Memberikan ancar-ancar alokasi DAK setahun sebelumnya sehingga daerah dapat menyiapkan rencana kegiatan lebih awal; c. Revitalisasi Musrenbangnas dengan melakukan pembahasan rencana kegiatan yang dibiayai dari dana Dekon/TP dan DAK secara bersama dan terpadu; d. Melakukan percepatan penerbitan PMK tentang alokasi DAK; e. Menerbitkan Pedoman Umum yang berlaku tetap, sedangkan perubahan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dilakukan hanya ketika diperlukan. Bappenas segera menetapkan RKP secepatnya dan Kementerian Keuangan konsisten menetapkan pagu anggaran indikatif sesuai dengan hasil Musrenbangnas dan trilateral meeting
| 67
No.
PERMASALAHAN
6
Pelaksanaan desentralisasi yang diikuti dengan pelaksanaan urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah seringkali tidak sejalan dengan prioritas nasional yang menyebabkan adanya gap antara usulan kegiatan pemerintah daerah dengan prioritas nasional dan usulan strategis daerah tidak masuk RKP.
Bappenas perlu melakukan koordinasi secara intesif dengan Bappeda dalam merumuskan prioritas pembangunan, target dan alokasi dana untuk setiap daerah sejak awal (bulan Januari) untuk memastikan bahwa usulan strategi daerah dapat sinkron dengan prioritas nasional.
7
Dalam penyusunan RKP 2017, pemerintah daerah tidak dilibatkan dalam menentukan tujuan dan sasaran secara mendalam, tetapi langsung mengisi kegiatan sesuai prioritas K/L sehingga sering terjadi perbedaan data antara K/L dan Bappenas
Bappenas dan Bappeda meningkatkan komunikasi dan merumuskan SOP yang mengatur proses perencanaan sesuai pendekatan HITS. Selanjutnya mengkonsolidasikan data-data dalam merumuskan tujuan dan sasaran dan menentukan prioritas kegiatan dan pagu anggaran
8
Peran Bappeda sebagai koordinator dalam sinkronisasi perencanaan dan penganggaran di daerah tidak optimal karena tidak diimbangi dengan kewenangan penglokasian dana. Selain itu, Bappeda telah melaksanakan fungsi perencanaan, namun penetapan prorgam, kegiatan dan pagu anggaran seringkali terhambat oleh keputusan Sekretaris Daerah
Penguatan peran Bappeda sejalan dengan penguatan peran Bappenas dalam proses perencanaan & penganggaran . Seluruh perencanaan kegiatan dari K/L yang akan dilaksanakan di daerah melalui Clearing House Gubernur cq Bappeda Provinsi. Hal ini karena Bappeda Provinsi representasi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat bidang perencanaan. Langkah ini untuk mengantisipasi banyaknya kegiatan K/L dan DAK di kab/kota tidak terkoordinasi 7.
68 | Quick Response Analysis vol. 1
ALTERNATIF SOLUSI
Policy Brief No. 8 Tahun 2016
C. REKOMENDASI Rekomendasi yang disusun dari QRA untuk penguatan peran baru Bappenas adalah sebagai berikut; 1. Bappenas dan Bappeda harus mengembangkan pola komunikasi dan koordinasi yang lebih baik dan intensif dalam merencanakan tujuan dan sasaran pembangunan, penentuan prioritas pembangunan, dan penetapan program dan kegiatan sesuai. 2. Penerbitan Instruksi Presiden tentang Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran perlu menegaskan tentang peran Bappenas yang lebih besar dalam penentuan pagu dan alokasi anggaran sesuai dengan prioritas nasional, serta pengendalian terhadap pelaksanaan prioritas pembangun nasional. 3. Bappenas bersama dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian RB dan PAN perlu menata kembali manajemen pembangunan mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi sehingga terbangun sistem perencanaan dan pengendalian yang efisien, efektif dan adil; penetapan nomenklatur program dan kegiatan yang konsisten dalam RPJMN, RPJMD, RKP, RKPD, RPABD dan RAPBN yang berbasis sistem informasi yang solid. 4. Bappenas, Kementerian keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian/Lembaga perlu mereformasi manajemen dana alokasi khusus (DAK) dengan melakukan perbaikan mulai dari pengelompokkan DAK sesuai jenjang pemerintahan dan kepentingan daerah, penyusunan pedoman umum dan penerbitan alokasi DAK, dan pengendalian pelaksanaan DAK melalui tim koordinasi baik di pusat maupun di daerah. 5. Bappenas bersama Kementerian Dalam Negeri melakukan revitalisasi Forum Musrenbangda dan Musrenbangnas sehingga menjadi lebih akurat, transparan, akuntabel dan kredibel dalam sinkronisasi perencanaan dan penganggaran. | 69
6. Membentuk Tim Anggaran Pemerintah Pusat (TAPP) yang terdiri dari Bappenas, Kemenkeu, Kantor Staf Presiden dan para Menko untuk mengawal sinkronisasi perencanaan pembangunan daerah dengan pusat. Fungsi TAPP ini adalah sebagai “quality assurance” kebijakan anggaran yang menjadi acuan dalam perencanaan operasional dan non operasional anggaran.
70 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 9 Tahun 2016
9
PEMANTAPAN MONEY FOLLOW PROGRAM DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL | 71
PEMANTAPAN MONEY FOLLOW PROGRAM DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL Wiwit Widodo (Perencana Pertama) Mohamad Firda Fauzan (Perencana Pertama)
ABSTRAK Pendekatan money follow program dilakukan agar RAPBN menjadi efektif dan efisien dengan cara mengalokasikan anggaran hanya untuk prioritas program/kegiatan yang relevan mendukung pencapaian sasaran prioritas nasional (PN). Pendekatan ini akan otomatis mendorong adanya keterpaduan antar-Kementerian/Lembaga dalam melaksanakan program/ kegiatan dalam kerangka mencapai sasaran/ target PN tertentu (misal ketahanan pangan). Meskipun demikian, hasil sinergi dari para K/L ini tidak optimal jika PN yang ditentukan tidak terdefinisi dengan baik misalnya jumlahnya terlalu banyak sehingga menghilangkan makna prioritas nasional itu sendiri. Untuk itu agar pendekatan money follow program menghasilkan RAPBN yang berkualitas maka setidaknya diperlukan 2 (dua) syarat utama, yaitu: (i) prioritas-prioritas nasional yang disepakati harus benar-benar menyelesaikan isu-isu strategis pembangunan nasional, dan (ii) kapasitas perencana yang kapabel dalam menentukan program/kegiatan prioritas yang tepat mendukung terwujudnya sasaran PN sesuai dengan kaidah–kaidah yang holistik-tematik, integratif, dan spasial.
72 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 9 Tahun 2016
A. PENGANTAR Pada Sidang Kabinet Paripurna tanggal 10 Februari 2016 yang lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan seluruh menteri jajaran kabinet kerja untuk menggunakan anggaran belanjanya sesuai dengan program/kegiatan yang benar-benar prioritas. Presiden menginginkan agar anggaran belanja tidak lagi menggunakan pendekatan money follow function, melainkan money follow program21. Sesuai dengan pendekatan ini, maka nggaran diberikan hanya berdasarkan atas peringkat dari program/ kegiatan prioritas dan bukan berdasarkan unit atau fungsi dalam struktur organisasi. Dengan pendekatan ini, diharapkan program/ kegiatan yang dibiayai dapat fokus kepada prioritas tertentu yang disepakati dan dapat dilaksanakan/ didukung oleh vbeberapa kementerian/lembaga (K/L) terkait. Kata kunci dari money follow program adalah koordinasi dan pembagian peran dari setiap K/L terkait termasuk dengan pemerintah daerah. Agar pendekatan tersebut diatas dapat dilaksanakan dengan baik maka perlu dilakukan identifikasi hal-hal yang mungkin menghambat penerapannya. Untuk mewujudkan adanya koordinasi dan pembagian peran tersebut maka policy brief ini telah melakukan analisis dan menyampaikan beberapa rekomendasi untuk memantapkan pelaksanaan money follow program. Penekanan analisisnya adalah bagaimana pencapaian konsensus atas suatu prioritas nasional (PN) dan pelancaran pelaksanaan program/kegiatan prioritasnya untuk sinergitas pencapaian sasaran PN tersebut. B. PEMBAHASAN Bappenas telah memperkenalkan pendekatan holistik-tematik, 22 integratif dan spasial atau HITS dalam menyusun perencanaan pembangunan, yang fokus pada prioritas nasional (PN) untuk 21 http://setkab.go.id/pengantar-presiden-joko-widodo-pada-sidang-kabinet-paripurnarabu-10-februari-2016-pukul-15-30-wib-di-istana-negara-jakarta/ 22 TAK sering menyebutnya HITS dengan pertimbangan “eye-catching” dan mudah diingat, tetapi maksudnya sama.
| 73
kemudian ditentukan program dan kegiatan prioritasnya. Tujuan digunakannya pola HITS ini adalah untuk memastikan bahwa seluruh anggaran yang dialokasikan pemerintah dapat tepat sasaran untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Dengan demikian terwujud money follow program seperti yang canangkan Presiden. Namun implementasi pendekatan HITS ini tidaklah mudah dan membutuhkan proses untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas sesuai dengan yang diharapkan. Dalam QRA ini, telah teridentifikasi 3 (tiga) tantangan yang harus diseleseikan dalam pelaksanaan pola HITS untuk mendukung terwujudnya money follow program yaitu: a. Penentuan Prioritas Seperti diketahui dalam RKP 2017 terdapat 23 Prioritas 23 Nasional (selanjutnya disingkat PN) . Terkait hal ini, terdapat dua pendapat yang umum yaitu: (i) pendapat bahwa PN seharusnya tidak banyak karena seperti bukan prioritas lagi; dan (ii) pendapat bahwa jumlah PN tidaklah bermasalah sepanjang dilakukan penekanan terhadap prioritas tertentu. Pendapatdari QRA ini menyebutkan bahwa penentuan prioritas seyogyanya dilakukan melalui telaah akademis menggunakan (i). pendekatan (model) akademik seperti logic model yang menyajikan kerangka dan proses input, output dan outcomes, menggunakan (ii). model Analytical Hierarchy Process (AHP) yang menguraikan masalah yang kompleks menjadi suatu hirarki atau model sederhana atau melalui (iii). Analisis Pohon Masalah yang membantu merinci suatu masalah ke dalamkomponenkomponen penyebab utama dalam rangka menciptakan 23 Prioritas Nasional terdiriatas: Kedaulatan Pangan, Kedaulatan Energi, Kemaritiman Dan Kelautan, Revolusi Mental, Daerah Perbatasan, Daerah Tertinggal, Pelayanan Kesehatan, Pelayanan Pendidikan, Antar Kelompok Pendapatan, Desa Dan Kawasan Perdesaan, Perumahan Dan Permukiman, Stabilitas Keamanan Dan Ketertiban, Kepastian Dan Penegakan Hukum, Konsolidasi Demokrasi Dan Efektivitas Diplomasi, Reformasi Birokrasi, Perkotaan, Percepatan Pertumbuhan Industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Pembangunan Pariwisata, Peningkatan Iklim Investasi Dan Iklim Usaha, Peningkatan Ekspor Non Migas, Pengembangan Konektivitas Nasional, Reformasi Fiskal, Reformai Agraria, Reformasi Regulasi
74 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 9 Tahun 2016
rencana kerja program. Meskipun demikian, model apapun yang dikembangkan, kuncinya adalah pada konsensus bagi semua stakeholder. Namun, untuk mencapai konsensus tidaklah mudah. Dalam penentuan prioritas, setiap K/L pasti menginginkan programnya/sektornya masuk dalam prioritas nasional untuk mendapatkan pendanaan yang maksimal. Bappenas sebagai otoritas penentu kebijakan nasional (PN), harus melakukan fungsi check and balances agar ruang fiskal yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal dan fokus pada sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Jadi selain pendekatan akademik maka prioritas nasional juga mempetimbangkan kapasitas fiscal serta konsensus para stakeholderterkait. b. Koordinasi Perencanaan Secara prosedural, koordinasi perencanaan yang dilakukan saat ini sudah lengkap. Konsensus dicapai melalui serangkaian forum koordinasi seperti serial multilateral meeting, serial bilateral meeting, rapat koordinasi pembangunan tingkat pusat (Rakorbangpus), musyawarah perencanaan pembangunan tingkat provinsi (Musrenbang prov), musyawarah perencanaan pembangunan tingkat nasional (Musrenbangnas), dansidangkabinet. Namun demikian titik kritis dalam pelaksanaan serangkaian forum koordinasi untuk mencapai konsesnsus selama ini tersebut adalah lemahnya kualitas substansi usulan terutama dari beberapa K/L dan daerah. Sebagai ilustrasi, dalam proses penyusunan RKP 2017 terdapat 49 ribu usulan dari 34 provinsi dengan total usulan dana mencapai Rp 781 triliun. Banyaknya jumlah usulan dapat mengindikasikan kurangnya pemahaman daerah terhadap konsep prioritas nasional (PN) dan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Daerah telah mengusulkan sebanyak-banyaknya
| 75
usulan tanpa memperhatikan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dengan harapan dapat diterima satu atau beberapa kegiatan yang diusulkan. Untuk ini Bappenas harus konsisten melakukan seleksi berdasarkan pola HITS. Selain itu, terdapat masalah dalam hal koordinasi pembagian peran dan tanggung jawab tiap pihak termasuk kerangka waktu pelaksanannya agar suatu program dapat menghasilkan keluaran dan hasil seperti yang direncanakanya itu tepat waktu dan ketersediaan anggaran. Sebagai contoh untuk melaksanakan kegiatan “Pembangunan Pelabuhan Utama” diperlukan koordinasi untuk memastikan peran masing-masing pihak yaitu (1). Kementerian Perhubungan yang berperan dalam konstruksi dermaga, kemudian (2). BUMN atau Swasta berperan dalam penyediaan peralatan dan operasional pelabuhan, sedangkan (3). Pemda berperan dalam penyediaan lahan untuk jalan akses, dan (4). Kementerian Pekerjaan Umum dan PR berperan dalam pembangunan jalan akses pelabuhan. Kepastian alokasi pembiayaan diperlukan agar “Pembangunan Pelabuhan Utama” tersebut dapat dibangun dengan tuntas dan tepat waktu. Hal ini mengingat alokasi APBN ditetapkan berbasis tahunan sehingga alokasi harus tersedia sampai pelabuhan tersebut selesai dilaksanakan. QRA ini menemukan bahwa dalam konteks “Pembangunan Pelabuhan Utama” tersebut, tidak ada basis dokumen yang dapat dijadikan acuan untuk 24 perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi . Untuk ini perlu solusi berupa dokumen kesepakatan yang ditaati oleh para stakeholder atas komitmen penyelesaian program/kegiatannya.
24 Dalam rangka memperlancar pelaksanaan musrenbang, Bappenas memperkenalkan aplikasi sistem informasi multilateral meeting (SIMU). SIMU merekam seluruh usulan dan hasil pembahasan multilateral untuk difinalisasi ke dalam dokumen RKP.
76 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 9 Tahun 2016
c. Kendali Program/Kegiatan. Isu kendali program/kegiatan menjadi penting untuk menghindari terjadinya total lost dari program/kegiatan yang telah dialokasikan anggarannya. Banyak kasus dimana anggaran yang telah dialokasikan tidak terserap karena berbagai sebab dan alasan. Bahkan beberapa kasus terjadi “proyek mangkrak” yang jelas menyebabkan kerugian bagi negara. Untuk menghindari hal tersebut, kendali atas program prioritas harus dilaksanakan oleh pejabat di semua level, dari mulai staf, perencana, pejabat eselon, sampai level menteri. Kendali atas atas program prioritas tersebut dapat berjalan jauh lebih efektif apabila terdapat dokumen perencanaan yang jelas, terarah, detail, dan sistematis. Dokumen perencanaan yang ada saat ini secara umum meliputi: (i) level nasional, antara lain: RPJP untuk jangka panjang (25 tahunan), RPJMN untukjangka menengah (5 tahunan) dan RKP untuk jangka pendek (tahunan), dan (ii) level sektoral: Renstra K/L untuk jangka menengah (5tahunan) dan Renja K/L untuk jangka pendek (tahunan). Semua dokumen yang ada ini belum cukup merekam detail program prioritas yang bersifat lintas Kementerian/ Lembaga. Informasistandar penyiapan program/kegiatan seperti deskripsi proyek/kegiatan, keterkaitan dengan program lain, rencana implementasi program, lokasi program/kegiatan, rencana pembiayaan rinci (perlingkup dan pertahun), perizinan, pengadaan, operasional dan perawatan, mitigasi risiko dan perhitungan aspek kelayakan teknis program selama ini belum lengkap dan sulit diakses. Hal ini antara lain karena nomenklatur yang tercantum dalam dokumen yang berbeda-beda yaitu antara studi kelayakan, rancangan dasar ataupun dokumen lainnya.
| 77
Keadaan tersebut di atas berdampak pada terjadinya asimetris informasi di beberapa pemangku kepentingan sehingga menghambat koordinasi dan mengganggu pelaksanaan program. Tidak adanya basis dokume standar untuk perencanaan program prioritas jug a menyulitkan kendali atas perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program/kegiatan prioritas. C. REKOMENDASI QRA ini mengajukan rekomendasi dalam kerangka penguatan money follow program denganlangkah-langkah sebagaiberikut: 1.
Penetapan prioritas nasional (PN) perlu dilakukan berdasarkan konsensus dimulai dengan telaahan akademis, kemudian dibahas bersama stakeholder sebelum pelaksanaan Musrenbang. Dalam hal ini sebagai contoh masing-masing sektor di Bappenas melakukan telaah akademis atas PN yang akan ditetapkan. Kesepakatan perlu dilakukan atas masingmasing PN , termasuk kaitannya dengan sektor lainnya. Telaahan akademis yang melalui kajian model tertentu (logic model, AHP, dan lainnya) akan mengerucutkan/mengurangi jumlah PN yang benar-benar tepat. Hasil telaah akademis tersebut dibahas dalam forum rapat pimpinan untuk mendapatkan konsensus PN yang disepakati. Penyusunan prioritas sektor yang didokumentasikan dalam bentuk dokumen perencanaansektoral.
2. Peningkatan kapasitas perencana mutlak diperlukan untu
memahami benar-benar konsep HITS sehingga terwujud money follow program. Penyusunan prioritas sektor dilakukan dengan peningkatan kapasitas perencana sektor. Exercise dapat dilakukan dengan membentuk satutimkhusus dari berbagai sektor terkait yang bertugas membuat/menyusun dummy dokumen perencanaan sektor yang mengacu pada 78 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 9 Tahun 2016
pola HITS. Rentang waktu dokumen bukanlah tahunan namunmenyesuaikan target dalam RPJMN, atau dalam jangka 2-3 tahun, dalam kurun waktu RPJMN. Dokumen ini dapat digunakan sebagai basis penentuan alokasi anggaran, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi setiap saat (tidak tergesa-gesa disiapkan dan sibuk setiap kali proses Musrenbang). 3. Sebagai contoh pada Level 2 pola HITS, PN Kedaulatan Pangan
terdapat kegiatan pencetakan sawah baru dan perluasan areal pangan lain. Dokumen sektoral perlu menyusun dokumen perencanaan kegiatan pencetakan sawah baru dan perluasan areal pangan lain yang sebelumnya sudah melibatkan Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, Kementerian LHK, Kementerian Desa, BMKG, dan Pemerintah Daerah. Seluruh pihak yang terkaitakan menandatangani dokumen sektoral tersebut sebagai bentuk konsensus yang telah disepakati dan digunakan sebagai pedoman setiap kali Musrenbang. Model dokumen sektoral semacam ini telah ada, yaitu pada sektor sanitasi dimana daerah menyiapkan dokumen strategi sanitasi kabupaten/kota (SSK) dan disepakati secara langsung setiap kali dalam Musrenbang (dokumen telah siap dan disepakati sebelumnya). 4. Musrenbang dilaksanakan berpedoman
pada dokumen perencanaan sektoral dan dikomunikasikan dengan sektor terkait lainnya untuk PN yang sama. Dengan menyusun dokumen multi-sektoral, maka sektor Bappenas harus memahami dan mengetahui lebih tajam program/kegiatan yang menjadi prioritas sektornya masing-masing. Dengan demikian, penajaman ruang lingkup PN menjadi lebih efektif disesuaikan dengan pagu anggaran yang terbatas.
5. Pertukaran informasi dan data antara Bappenas dan
Kementerian Keuangan. Untuk memperkuat money follow | 79
program, maka diperlukan komunikasi terus menerus dan semakin kuat termasuk pertukaran informasi dan data (antara Bappenas dan Kementerian Keuangan). Untuk memperlancar pertukaran informasi dan data tersebut maka Bappenas dapat menginisiasi adanya kesepakatan dalam bentuk MoU antara Bappenas dan Kementerian Keuangan.
80 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 10 Tahun 2016
10
FENOMENA KETIMPANGAN: PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH SKALA BESAR OLEH KORPORASI | 81
FENOMENA KETIMPANGAN: PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH SKALA BESAR OLEH KORPORASI I Dewa Gde Sugihamretha (Perencana Utama); Rinella Tambunan (Perencana Madya, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan)
ABSTRAK Sebagian besar aset nasional berupa tanah dikuasai oleh segelintir kalangan, terutama oleh badan hukum swasta, termasuk korporasi. Tanah yang dikuasai tidak jarang diterlantarkan dengan maksud menangguk keuntungan dari kenaikan harga tanah. Ironisnya, sekitar 40 juta rumah tangga tani hanya menguasai kurang dari 1 hektar tanah. Jika ketimpangan penguasaan tanah terus berlanjut, yang terjadi kemudian adalah konflik tanah semakin bertambah, demikian juga dengan kemiskinan. Negara patut hadir, di antaranya dengan (i) Mengakselerasi pembentukan Kelembagaan Bank Tanah; ii) Menjajagi skema Public-Private-People-Partnership (P4) dalam pengelolaan tanah; iii) Mengatur luas maksimal penguasaan dan pemilikan tanah oleh Badan Hukum Swasta
82 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 10 Tahun 2016
A. LATAR BELAKANG Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013, ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia mencapai rasio gini 0,72. Padahal tanah merupakan salah satu komponen utama untuk mengurangi ketimpangan pendapatan nasional, disamping kesempatan kerja, permodalan, dan jaminan sosial . Apabila tanah dilepaskan dari fungsi sosialnya, yang terjadi adalah tanah diposisikan sebagai komoditas atau investasi semata, tanpa melihat ada kepentingan masyarakat banyak dan negara. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengartikulasikan penghayatan penuh para pendiri bangsa terhadap makna filosofis tanah, yakni ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam penerjemahannya, UU no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (pasal 6), dan agar tidak merugikan kepentingan umum, pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (pasal 7). Beberapa peraturan telah diterbitkan berkenaan amanat pembatasan tersebut (Lampiran). Komitmen politis untuk merespon fenomena ketimpangan telah dituangkan dalam Ketetapan MPR no. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang mengamanatkan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform). Pada tahun 2007 amanat tersebut dijalankan melalui Reforma Agraria, yakni redistribusi tanah disertai reformasi akses, di antaranya akses permodalan, pasar, teknologi dan ketrampilan. B. ANALISIS DAN PERMASALAHAN Pada masa inisiasi Reforma Agraria, sekitar 56% aset nasional Indonesia dikuasai hanya oleh 0,2 % penduduk, dimana 62-87% aset berbentuk tanah. | 83
Disamping itu, tercatat tanah terindikasi terlantar seluas 7,3 juta hektar pada tahun 2010, terutama yang dimiliki atau dikuasai oleh Badan Hukum Swasta. Penguasaan lahan oleh korporasi25, termasuk yang bekerja lintas batas negara, meningkat pesat. Pada komoditas kelapa sawit, korporasi menguasai lahan sekitar 9.000 hektar di tahun 1980, kemudian melonjak menjadi 4 juta hektar di tahun 201026. Saat ini 25 grup perusahaan kelapa sawit menguasai lahan seluas 5,1 juta hektar. Seluas 3,1 juta hektar telah ditanami sawit dan sisanya belum ditanami27.
0,72 7,3 Juta ha
Rasio Gini Penguasaan Lahan Tanah Terlantar
5,1 Juta ha Penguasaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit
0,5 ha 0,89 ha
Rumah Tangga Tani
Terlepas dari seberapa besar kekuatan hukum dan ada pengecualian didalamnya, Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN no. 5 tahun 2015 tentang Ijin Lokasi dapat dijadikan rujukan. Di dalamnya tercantum luas maksimal perkebunan besar untuk komoditas pangan yang diberikan HGU kepada perusahaan atau 1 grup perusahaan adalah 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia. Sementara dari data di atas, tiap grup perusahaan kelapa sawit ratarata menguasai lahan sekitar 204.000 hektar.
25 Korporasi adalah perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai satu perusahaan besar (Kamus Besar Bahasa Indonesia) 26 Ahmad Erani Yustika, Kompas, 13 Februari 2014 27 Tempo.com
84 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 10 Tahun 2016
Ribuan hektar tanah dikuasai oleh pengembang, di antaranya pada Bumi Serpong Damai seluas 6.000 hektar, Lippo Cikarang 5.500 ha, Sentul City 3.100 ha, Delta Mas 3.000 ha, dan Citra Raya 2.760 ha28. Beberapa perusahaan properti yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki banyak cadangan tanah (land bank). Ironisnya, sekitar 26,14 juta rumah tangga tani rata-rata hanya menguasai 0,89 ha, dan 14,25 juta hanya menguasai kurang dari 0,5 ha (Sensus Pertanian 2013). Tanah-tanah yang dikuasai korporasi mengarah pada praktik oligopoli, tidak sepenuhnya dimanfaatkan, digunakan untuk spekulasi, dimanfaatkan sertifikatnya untuk kepentingan ekonomi, seperti jaminan perusahaan di bank sehingga tidak sedikit luas tanah yang diterlantarkan. Kondisi demikian juga menandai belum efektifnya penegakan Peraturan Pemerintah no. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar29. Pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah juga telah digagas pada tataran pemerintah daerah. Pemerintah DKI Jakarta, contohnya, mensyaratkan Surat Ijin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dalam pengembangan tanah yang luasnya lebih dari 5.000 m2. Pengembang diwajibkan mengalokasikan 40 % dari luas lahannya untuk pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial. Namun demikian, tidaklah mudah untuk menegakkan kewajiban tersebut. Surat Keputusan Gubernur yang mengatur ketentuan tersebut, dianggap kurang memiliki kekuatan hukum. C. REKOMENDASI Dalam rangka merespon fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah direkomendasikan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Kementerian PPN/Bappenas mendorong Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN mengakselerasi pembentukan 28 Kompas.com 29 Dalam implementasi PP tersebut, Pemerintah menerima banyak gugatan dan hampir selalu kalah, terutama untuk tanah terindikasi terlantar yang berstatus HGU (Ida Nurlinda, 17 Mei 2016)
| 85
Kelembagaan Bank Tanah untuk penyediaan tanah bagi kepentingan pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), serta untuk mencegah spekulasi tanah dan mengendalikan harga tanah. 2. Kementerian PPN/Bappenas mendorong penjajagan kemitraan antara pemerintah dengan badan hukum swasta dan masyarakat dalam pemilikan dan penguasaan tanah, yang dikenal dengan pola Public-Private-People Partnership/P4. Pola tersebut tengah diinisiasi dalam rencana pembangunan Bandar Kayangan di Selat Lombok bagian Utara. Masyarakat yang tanahnya dibeli untuk lokasi pembangunan, akan turut mendapatkan kepemilikan saham. 3. Kementerian PPN/Bappenas mendukung adanya pengaturan luas maksimal pemilikan dan penguasaan tanah oleh Badan Hukum Swasta, utamanya tanah yang diberi HGU (di bidang perkebunan dan pertanian) maupun HGB (di bidang properti). 4. Kementerian PPN/Bappenas mendorong Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dan Kementerian Hukum dan HAM untuk meninjau kembali dan merevisi PP no. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, agar peran Pemerintah dalam law enforcement PP tersebut lebih kuat. 5. Kementerian PPN/Bappenas mendorong pengembangan sistem informasi spasial terintegrasi antara penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah (Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN) dengan perpajakan (Kementerian Keuangan).
86 | Quick Response Analysis vol. 1
Policy Brief No. 10 Tahun 2016 Lampiran: Beberapa Pengaturan Pembatasan Penguasaan dan Pemilikan Tanah No
Peraturanperundangan
Ketentuan
Luas
1.
UUPA -Pasal 28
HGU (WNI dan Badan Hukum): Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan
• Minimal: 5 ha • Jika > 25 ha memakai investasi modal yang layak dan teknis perusahaan yang baik sesuai perkembangan jaman
2.
PP Pengganti UU no. 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
Penguasaan dan Pemilikan per keluarga
• Diusahakan minimal: 2 ha • Maksimal: • 15 ha sawah; 20 ha tanah kering • 10 ha sawah; 12 ha tanah kering • 7,5 ha sawah; 9 ha tanah kering • 5 ha sawah; 6 ha tanah kering
• Daerah tidak padat (50 jiwa/ km2) • Kurang padat (51-250 jiwa/ km2) • Cukup padat (251-400 jiwa/ km2) • Sangat padat (> 400 jiwa/km2)
Tidak berlaku bagi: tanah pertanian yang dikuasai dengan HGU atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang diperoleh dari Pemerintah, serta yang dikuasai oleh badanbadan hukum (Boedi Harsono, Sejarah Pembentukan UUPA, 1997).
| 87
3.
Permen Agraria/ Ka BPN no. 5/2015 tentang Ijin Lokasi
Tanah untuk Penanaman Modal Perusahaan atau 1 Grup Perusahaan • Kawasan Perumahan Permukiman (1 Prov; Seluruh Indonesia) • Kawasan Resort Perhotelan • Usaha Kawasan Industri • Usaha perkebunan besar dengan diberikan HGU • Komoditas Tebu • Pangan lainnya • Usaha Tambak • Pulau Jawa (1 prov; Seluruh Indonesia) • Luar Jawa (1 prov; Seluruh Indonesia) • Khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat
Maksimal: 400 ha; 4.000 ha 200 ha; 4.000 ha 400 ha; 4.000 ha 60.000 ha ;150.000 ha 20.000 ha; 100.000 ha 100 ha; 1.000 ha 200 ha; 2.000 ha 2 kali luas maksimal untuk 1 provinsi
Catatan: Tidak berlaku bagi: BUMN yg berbentuk Perum dan BUMD; Badan Usaha yang sebagian besar sahamnya dimiliki Negara; Badan Usaha yang sebagian besar sahamnya dimiliki masyarakat dalam rangka Go Public 4.
Permen ATR/Kepala BPN 18/2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian
Penguasaan dan Pemilikan Perorangan • Tidak padat • Kurang padat • Cukup padat • Sangat padat Untuk Badan Hukum sesuai dengan SK pemberian haknya
88 | Quick Response Analysis vol. 1
Maksimal: 20 ha 12 ha 9 ha 6 ha
ATLAN TIC OC EA N
Pusat Analisis Kebijakan (PAK) mempunyai tugas melaksanakan analisis dan pengkajian kebijakan pembangunan nasional atas arahan dari Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Pusat Analisis Kebijakan menyelenggarakan beberapa fungsi penting diantaranya: 1.
4. 5.
AN CE O
3.
C
2.
Pelaksanaan analisis dan pengkajian kebijakan Ppembangunan nasional yang bersifat lintas sektor AC danIFstrategis; I Pelaksanaan kerja sama analisis kebijakan dan/ atau pengkajian pembangunan nasional dengan lembaga penelitian/pengkajian lain; Pelaksanaan pengumpulan dan penyebarluasan hasil analisis dan pengkajian kebijakan pembangunan nasional; Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan atas pelaksanaan tugas dan fungsinya; Pelaksanaan administrasi pusat
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Jalan Taman Suropati No.2 Jakarta 10310 Telp. 021 3193 6207 Fax 021 3145 374 http://bappenas.go.id