MODUL PERKULIAHAN
Psikologi Konseling Psikologi Konseling
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
14
Kode MK
Disusun Oleh
61033
Agustini, M.Psi., Psikolog
Abstract
Kompetensi
Dalam perkuliahan ini akan didiskusikan mengenai Teori dan Teknik-Teknik Konseling Gestalt Therapy dan Behavior Therapy.
Mampu memahami Gestalt Therapy and Behavior Therapy.
Latar Belakang Pendahuluan Gestalt Therapy Pendekatan Gestalt adalah terapi humanistik eksistensial yang berlandaskan premis, bahwa individu harus menemukan caranya sendiri dalam hidup dan menerima tanggung jawab pribadi jika individu ingin mencapai kedewasaan.Tujuan dasar pendekatan ini adalah agar klien mencapai kesadaran tentang apa yang mereka rasakan dan lakukan serta belajar bertanggung jawab atas persaan, pikiran, dan tindakan sendiri. Selanjutnya, pendekatan ini juga dianggap pendekatan yang hidup dan mempromosikan pengalaman langsung bukan sekedar membicarakan permasalahan dalam konseling. Oleh karena itu, pendekatan ini disebut juga experiental dimana klien merasakan apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan lakukan pada saat klien berinteraksi dengan orang lain (Corey, 1986).
Landasan Filosofis Gestalt 1. Perspektif Fenomenologi (The Phenomenological Perspective) Fenomenologi adalah disiplin ilmu yang bertujuan membantu individu mengambil jarak dari cara berpikir yang biasa dilakukan individu, sehingga mereka dapat mengatakan perbedaan apa yang sebenarnya dirasakan pada situasi sekarang dan apa hanya sebagai residu masa lalu (Idhe, 1977). Pendekatan Gestalt memperlakukan hal-hal yang secara sebjektif dirasakan individu pada saat ini dan apa yang secara objektif terobsesi sebagai data yang nyata dan penting (Yotnef, 1993). 2. Pespektif Teori Medan (The Field Theory Perspective) Landasan ilmiah perspektif fenomenologi pendekatan Gestalt adalah teori medan (field theory). Field Theory adalah metode untuk mengeksplorasi apa yang dideskripsikan keseluruhan (the whole field) kejadian yang sedang dirasakan bukan menganalisis kejadian berdasarkan bagian-bagia tertentu (Yotnef, 1993). 3. Pespektif Eksistensial (The Existential Perspective) Existentialism adalah dasar dari metode fenomenologi yang berfokus pada eksistensi individu, hubungan dengan orang lain serta kesenangan dan kesakitan yang langsug dirasakan (Yotnef, 1993). Sebagian besar manusia berpikir secara konvensional yaitu cara berpikir yang ambigu atau menghindari pemahaman dan pengakuan tentang bagiamana dunianya.
2016
2
Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Pandangan tentang Manusia menurut Gestalt Pandangan pendekatan Gestalt terhadap manusia dipengaruhu oleh filsafat eksistensial dan fenomenologi. Asumsi dasar pendekatan Gestalt tentang manusia adalah bahwa individu dapat mengatasi sendiri permasalahannya dalam hidup terutama bila mereka menggunakan kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia sekitarnya. Gestalt berpendapat bahwa individu memiliki masalah karena menghindari masalah. Oleh karena itu pendekatan Gestalt mempersiapkan individu dengan intervensi dan tantangan untuk membantu klien mencapai integrasi diri dan menjadi lebih autentik (Corey, 1993). Pendekatan Gestalt berpendapat bahwa individu yang sehat secara mental adalah: 1. Individu yang dapat mempertahankan kesadaran tanpa dipecah oleh berbagai stimulasi dari lingkungan yang dapat mengganggu perhatian individu. Orang tersebut dapat secara penuh dan jelas mengalami dan mengenali kebutuhannya dan alternatif potensi lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. 2. Individu yang dapat membedakan konflik dan masalah yang dapat diselesaikan dan tidak dapat diselesaikan. 3. Individu yang dapat mengambil tanggung jawab atas hidupnya. 4. Individu yang dapat berfokus pada satu kebutuhan yang lain (the ground), sehingga ketika kebutuhan itu terpenuhi disebut juga Gestalt yang sudah lengkap (Thompson et al., 2004).
Konsep Dasar Gestalt 1. Di Sini dan Sekarang (Here and Now) Pearl mengatakan bahwa ''kekuatan ada pada masa kini ("power is in the present''). Pendekatan ini mengutamakan masa sekarang, segala sesuatu tidak ada kecuali yang ada pada masa sekarang (the now), karena masa lalu telah berlalu dan masa depan belum sampai hanya masa sekarang yang penting. Hal ini karena dalam pendekatan Gestalt mengapresiasi pengalaman pada masa kini (Corey, 1986). Menurut Gestalt, kebanyakan orang kehilangan kekuatan masa sekarang. Alih-alih menghargai pengalaman masa sekarang, individu menginvestasikan energinya untuk mengeluh tentang kesalahan masa lalu dan bergulat pada resolusi dan rencana masa depan yang tidak ada ujungnya. Oleh karena itu, kekuatan individu untuk melihat masa sekarang menjadi berkurang dan bahkan hilang.
2016
3
Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
2. Lapisan Neurosis (Layers of Neurosis) Menurut pandangan Gestalt, individu memiliki lima lapisan neurosis dalam dirinya yang diumpamakan seperti kulit bawang yang berlapis-lapis. Bila individu ingin mencapai kematangan psikologis, maka harus mengupas lima lapisan neurosis ini. Lapisan-lapisan neurosis yang menyebabkan gangguan perkembangan psikologis adalah: a. Lapisan Phony (the phony layer) Terdiri dari reaksi terhadap orang lain dengan cara yang steriotip dan tidak autentik. Pada level ini individu bermain dan kehilangan perannya. Dengan bertingkah laku sebagai pribadi yang bukan dirinya, individu hidup dalam fantasi yang diciptakan oleh diri sendiri dan orang lain. b. Lapisan Phobic (The phobic layer) Pada tahap ini individu berusaha menghindari kesakitan emosional yang berhubungan dengan melihat hal-hal dalam diri yang sebenarnya dipilih untuk dihindari. Pada poin ini individu cenderung untuk resisten menerima diri sendiri. c. Lapisan impase (The impase layer) Pada tahap ini individu mengalami kemacetan dalam perkembangan. Individu menganggap bahwa ia tidak bisa bertahan hidup (survival), karena individu merasa tidak memiliki sumber dan potensi untuk berkembang tanpa dukungan lingkungan. Individu cenderung berusaha memanipulasi lingkungan untuk melihat, mendengar, merasa, berpikir dan mengambil keputusan untuk dirinya. Pada tahap ini individu sering merasakan perasaan kematian (a sense of deadness) dan merasa hampa. Bila individu berharap untuk merasa hidup, ia harus melewati tahap ini. d. Lapisan implosif (The implosive layer) Lapisan dimana individu dapat menerima bahwa ia mengalami perasaan kematian dan kehampaan, kemudian ia menghadapinya dan tidak menghindarinya, maka lapisan implusifnya mulai terbuka. e. Lapisan eksposif (The explosive layer) Lapisan dimana individu melakukan kontak dengan perasaan kematian dan kehampaan kemudian melepaskan phony roles dan kepura-puraan, maka individu melepaskan energi yang besar yang selama ini dipertahankan dengan berpura-pura menjadi orang yang bukan diriya sebenarnya.
2016
4
Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Tujuan Konseling Tujuan konseling Gestalt adalah menciptakan ekspeimen dengan klien untuk membantu klien: 1. Mencapai kesadaran atas apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya. Kesadaran itu termasuk di dalamnya, insight, penerimaan diri, pengetahuan tentang lingkungan, tanggung jawab terhadap pilihannya. 2. Kemampuan untuk melakukan kontak dengan orang lain. 3. Memiliki kemampuan mengenali, menerima mengekspresikan perasaan, pikiran, dan keyakinan dirinya.
Peran dan Fungsi Konselor Dalam proses konseling Gestalt, konselor memiliki peran dan fungsi yang unik, yaitu: 1. Konselor memfokuskan pada perasaan, kesadaran, bahasa tubuh, hambatan energi, dan hambatan untuk mencapai kesadaran yang ada pada klien. 2. Konselor adalah ''artistic participant'' yang memiliki peranan dalam menciptakan hidup baru klien. 3. Konselor berperan sebagai projection screen. 4. Konselor harus dapat membaca dan menginterpretasi bentuk-bentuk bahasa yang dilontarkan klien.
Tahap-Tahap Konseling Ketika seorang konselor ingin mengggunakan konseling Gestalt, ia harus menyadari bahwa klien itu unik dan selalu berevolusi sepanjang waktu. Hal ini berimplikasi bahwa diagnosis yang dibuat bersifat fleksibel. Dengan demikian tahap awal yang dilakukan konselor dalam menggunakan konseling Gestalt adalah mempertimbangkan kesuaian konseling Gestalt dengan klien, serta kemampuan konselor dalam menerapkan tahap-tahap dan teknik-teknik pendekatan Gestalt. Tiap-tiap tahap memiliki prioritas dan tujuan tertentu
2016
5
Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
yang membantu konselor dalam mengorganisasikan proses konseling. Tahapan-tahapan tersebut yaitu: 1. Tahap Pertama (the beginning phase) Pada tahap ini konselor menggunakan metode fenomenologi untuk meningkatkan kesadaran klien, menciptakan hubungan dialogis mendorong keberfungsian klien secara sehat dan menstimulasi klien untuk menngembangkan dukungan pribadi dan lingkungannya (Joyce & Sill, 2001) 2. Tahap Kedua (clearing the ground) Pada tahap ini proses konseling berlanjut pada strategi-strategi yang lebih spsifik. Klien mengeksplorasi berbagai introyeksi, berbagai modifikasi kontak yang dilakukan dan unfinished business. Peran konselor adalah secara berkelanjutan mendorong dan membangkitkan keberanian klien mengungkapkan ekspresi pengalaman dan emosiemosinya dalam rangka katarsis dan menawarkan klien untuk melakukan berbagai eksperimen untuk meningkatkan kesadarannya, tanggung jawab pribad, dan memahami unfinished business. 3. Tahap Ketiga (the existential encounter) Pada tahap ini ditandai dengan aktivitas yang dilakukan klien dengan mengeksplorasi masalahnya secara mendalam dan membuat perubahan-peubahan yang cukup signifikan. Tahap ini merupakan fase tersulit karena pada tahap ini klien menghadapi kecemasankecemasannya sendiri, ketidakpastian, dan ketakutan-ketakutan yang selama ini terpendam dalam diri. 4. Tahap Keempat (integration) Pada tahap ini klien mulai dapat mengatasi krisis-krisis yang dieksplorasi sebelumnya dan mulai mengintegrasikan keseluruhan diri (self), pengalaman dan emosi-emosinya dalam perspektif yang baru. Klien telah mampu menerima ketidakpastian, kecemasan, dan ketakutannya serta menerima tanggung jawab atas kehidupannya sendiri. 5. Tahap Kelima (ending) Pada tahap ini klien siap untuk memulai kehidupan secara mandiri tanpa supervisi konselor.
2016
6
Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Teknik-Teknik Konseling Gestalt Terdapat beberapa teknik bahasa, permainan, dan fantasi yang dapat digunakan untuk mempertahankan orientasi pada masa sekarang (present time - time rientation). Kursi Kosong (empty chair) Teknik kursi kosong bertujuan untuk membantu mengatasi konflik interpersonal dan intrapersonal (Thompson, et al., 2004). Teknik ini membantu klien untuk keluar dari proses introyeksi. Pada teknik ini konselor menggunakan dua kursi. Konselor meminta klien untuk duduk di satu kursi dan berperan sebagai topdog. Kemudian berpindah ke kursi lainnya dan menjadi underdog. Diaolog dilakukan secara bersinambungan pada dua peran tersebut. Dengan teknik ini, introyeksi akan terlihat dan klien dapat merasakan konflik yang ia rasakan secara lebih real. Konflik tersebut akan dapat diselesaikan dengan penerimaan dan integrasi antara kedua peran tersebut. Teknik ini membantu klien untuk merasakan perasaannya tentang konflik perasaan dengan mengalami secara penuh (Corey, 1986).
Pendahuluan Pendekatan Behavioral (Behavioral Therapy) Pendekatan behavioral didasari oleh hasil eksperimen yang melakukan investigasi tentang prinsip-prinsip tingkah laku manusia. Eksperimen tersebut menghasilkan teknikteknik spesifik dalam pendekatan ini yang dipelopori oleh beberapa tokoh behaviorisme yang terpercaya. Tokoh behaviorisme yang melahirkan teknik-teknik konseling antara lain: Skinner, Watson, Pavlov, dan Bandura. Pendekatan tingkah laku atau behavioral menekankan pada dimensi kognitif individu dan menawarkan berbagai metode yang berorientasi pada tindakan (action oriented) untuk membantu mengambil langkah yang jelas dalam mengubah tingkah laku. Istilah modifikasi perilaku (behavior modification) dan pendekatan (behavior approach) banyak digunakan secara bersamaan dengan makna yang sama. Konseling behavioral memiliki asumsi dasar bahwa setiap tingkah laku dapat dipelajari, tingkah laku lama dapat diganti dengan tingkah laku baru, dan manusia memiliki potensi untuk berperilaku baik atau buruk, tepat atau salah. Selain itu, manusia dipandang sebagai individu yang mampu melakukan refleksi atas tingkah lakunya sendiri, mengatur serta dapat mengontrol perilakunya dan dapat belajar tingkah laku baru atau dapat mempengaruhi perilaku orang lain (Walker & Shea, 1988)..
2016
7
Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Trend I: Classical Conditioning Trend pertama dalam pendekatan behavioral adalah classical conditioning yang banyak dijadikan referensi adalah Ivan Petrovich Pavlov. Hasil penelitian Pavlov yang terkenal adalah tentang refleks berkondisi (conditional reflex) dengan sebutan proses kondisioning klasik. Penelitiannya menggunakan anjing yang dalam keadaan lapar ditempatkan pada ruang kedap suara. Dihadapan anjing diletakkan meja untuk melakukan tempat makanan yang mudah dijangkau anjing. Pada leher dipasang alat pada kelenjar ludahnya yang dihubungkan dengan selang sehingga saat air liur yang keluar dapat ditampung dan diukur dengan menggunakan gelas ukuran. Proses kondisioning pada penelitian ini adalah stimulus yang digunakan bunyi bel dan makanan. Pada percobaan pertama, tahapannya adalah Conditionng Stimulus (CS) berupa bunyi bel, Unconditioning Stimulus (US) adalah makanan, Unconditionng Response (UR) adalah air liur. Ketika percobaan pertama, bel dibunyikan dan tidak menghasilkan air liur. Ketika percobaan pertama, bel dibunyikan dan tidak menghasilkan air liur, makanan menghasilkan air liur. Kemudian pada percobaan kedua proses kondisioning, CS berupa bel diikuti pemberian US berupa makanan dengan diulang sebanyak 10 sampai 20 kali. Setelah terbentuk asosiasi antara CS dan US. Ketika CS berupa bel dibunyikan tanpa US yaitu makanan, diikuti CR yaitu keluar air liur. Pada penelitian ini jarak waktu pemberian CS dan US serta penghentian pemberian US mengakibatkan terjadi proses penghapusan (extinction) yaitu ketika CS dan US telah membentuk CR, proses ini disebut tahap akisisi (acquisition stage). Bila jarak waktu antara CS dan US selama 18 detik, maka terjadi penurunan CR, seperti pada percobaan ke satu. Kehadiran CS tanpa diikuti US secara terus-menerus akan melemahkan CR. Hal ini disebut dengan penghapusan (extinction). Akan tetapi setelah fase laten, bila proses ini diulang dengan jarak waktu 1 atau 2 detik antara CS1 dan US2, maka akan kembali terjadi CR. dengan demikian CS + US = CR. Dalam hal ini US memperkuat munculnya CR, maka US berfungsi sebagai positive reinforcement. Pavlov menemukan bahwa fase penurunan bersifat temporer karena pada saat setelah periode istirahat selama 30 menit. CS langsung diikuti munculnya CR. Peristiwa ini disebut spontaneous recovery. Penerapan roses kondisioning dapat dilakuakn dengan berhasil pada anjing, monyet, dan manusia.
Trend II: Operant Conditioning Trend kedua adalah operant conditioning. Operant behavior terdiri dari tingkah laku yang beroperasi dilingkungan yang menghasilkan konsekuensi. Pada classical conditioning,
2016
8
Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
organisme dipandang sebagai responden yang aktif. Contoh tingkah lalu operan adalah membaca, menulis, menyetir, dan makan dengan menggunakan alat (Corey, 1986). Operant conditioning awalnya dikembangkan E.L.Thorndike. Prinsip-prinsip operant conditioning yaitu reinforcer diasosiasikan dengan respons karena respons itu beroperasi memberi reinforcement. Respons tersebut disebut tingkah laku operan (operant behavior). Dalam percobaan ini menggambarkan bila tingkah laku operan sebelumnya belum pernah dimiliki keitika ia melakukan tingkah laku tersebut dan mendapat hadiah (reinforcement) maka
tingkah
laku
tersebut
berpeluang
untuk
sering
terjadi.
Tokoh
lain
yang
mengembangkan operant conditioning adalah B.F. Skinner yanga berpendapat bahwa tingkah laku yang dikontrol berdasarkan pada prisnsip operant conditioning yang memiliki asumsi bahwa perubahan tingkah laku diikuti dengan kosekuensi (Corey, 1986). Operant conditionong memusatkan pada akibat tingkah laku sehingga disebut juga instrumental conditioning. Skinner percaya bahwa tingkah laku yang paling berarti adalah tingkah laku operan dan tingkah laku ini dikontol oleh akibat-akibatnya yang diistilahkan dengan reinforcer atau punisher (Rosjidan, 1994). Asumsi
dasar operant conditioning tentang tingkah laku antara lain: tingkah laku
mengikuti hukum atau prinsip tertentu, tingkah laku dapat diramalkan, tingkah lau dapat dikontrol aau dimanipulasi, tingkah laku dikontrol dengan teknik analisis fungsional dalam bentuk hubungan sebab akibat dan bagaimana suatu respon timbul mengikuti stimuli atau kondisi tertentu yang dikontrol penyebabnya.
Trend III: Kognitif Trend ketiga pada pendekatan behavioral adalah trend kognitif. Para behavioristik baik yang beraliran classical conditionong maupun operant conditioning menyampingkan konsep yang memediasi tingkah laku seperti pikiran, sikap, dan nilai. Hal ini mungkin disebabkan sebagai reaksi keras terhadap pendekatan psiodinamika yang berorientasi pada insight (insight oriented). Pada trend ketiga ini tokoh yang terkenal adalah Albert Bandura dalam teori belajar sosial. Bandura berpandangan bahwa manusia dapat berpikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri. Manusia dan lingkungan saling mempengaruhi dan fungsi kepribadian melibatkan interaksi satu orang dengan orang lainnya. Teori belajar sosial didasarkan pada konsep saling menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforcement) dan pengaturan diri atau berpikir (self regulational cognition). Teori belajar sosial berpandangan determinis resiprokal dalam menjelaskan interaksi timbal balik antara individu - lingkungan - tingkah laku. Selanjutnya teori ini menggunakan reinforcement dengan mengamati dan mengulang apa yang dilihat. Tingkah 2016
9
Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
laku ditentukan oleh antisipasi terhadap kosekuensi. Teori ini juga menekankan pada kognisi dan regulasi diri. Manusia sebagai pribadi dapat mengatur lingkungan, dapat menciptakan dukungan kognitif, dan dapat melihat kosekuensi bagi tingkah laku sendiri.
Pandangan tentang Manusia Pendekatan behavioral didasarkan pada pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia yang menekankan pada pentingnya pendekatan sistematik dan berstruktur pada konseling (Rosjidan, 1994). Pendekatan behavioral berpandangan bahwa setiap tingkah laku dapat dipelajari. Proses belajar tingkah laku adalah melalui kematangan dan belajar (Rosjidan, 1994). Selanjutnya tingkah laku lama dapat diganti dengan tingkah laku baru. Manusia dipandang memiliki potensi untuk berperilaku baik atau buruk, tepat atau salah. Manusia mampu melakukan refleksi atas tingkah lakunya sendiri, dapat mengatur serta mengontrol perilakunya dan dapat belajar tingkah laku baru atau dapat mempengaruhi perilaku orang lain.
Konsep Dasar Salah satu studi yang paling dalam perkembangan pendekatan behavioral adalah studi yang dilakukan oleh Watson dan Reyner (1920) yang menggunakan anak sebagai subyek tentang rasa takut yang dipelajari (conditioned). Saran-saran penelitian ini menjadi teknikteknik ini dalam konseling behavioral (Rosjidan, 1994). Pada kenyataannya, konseling membutuhkan penguasaan metode dan teknik-teknik ilmiah yang melandasi konselor dalam merencanakan, melakasanakan, dan mengevaluasi prose konseling. Ciri-ciri konseling behavioral yang dikemukakan oleh Krumboltz (1965) adalah sebagai berikut: 1. Proses Pendidikan Konseling merupakan proses pendidikan. Dengan kata lain, konseling membantu klien mempelajari tingkah laku baru untuk memecahkan masalahnya. 2. Teknik Dirakit Secara Individual Teknik konseling yang digunakan pada setiap klien berbeda-beda bergantung pada masalah dan karakteristik klien. Dalam proses konseling, penentuan tujuan konseling, proses asesmen, dan teknik-teknik dibangun oleh klien dengan bantuan konselor (Rosjidan, 1994).
2016
10
Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
3. Metodologi Ilmiah Konseling behavioral dilandasi oleh metode ilmiah dalam melakukan asesmen dan evaluasi konseling. Konseling ini menggunakan observasi sistematis, kuantifikasi data, dan kontrol yang tepat (Rosjidan, 1994).
Tujuan Konseling Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pegubahan atau modifikasi perilaku klien, yang diantaranya untuk: 1. Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. 2. Penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif. 3. Memberi pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari. 4. Membantu klien membuang respon-respon yang lama yang merusak diri atau maladaptif dan mempelajari respons-respons yang baru yang lebih sehat dan sesuai (adjustive). 5. Klien belajar perilaku baru dan mengaliminasi peilaku yang maladaptif, memperkua, serta mempertahankan perilaku yang diinginkan. 6. Penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan bersama antara klien dam konselor.
Peran dan Fungsi Konselor Peran konselor dalam konseling behavioral berperan aktif, direktif, dan menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan solusi dari persoalan individu. Konselor behavior berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli yang mediagnosa tingkah laku yag maladaptif dan menentukan prosedur yang mengatasi persoalan tingkah laku individu. Dalam proses konseling, klien menemukan tingkah laku apa (what) yang akan diubah, sedangkan konselor menemukan cara yang digunakan untuk mengubahnya (how). Selain itu, konselor juga sebagai model bagi klien. Bandura mengatakan bahwa sebagian besar proses belajar terjadi melalui pengalaman langsung yang didapat melalui observasi langsung terhadap tingkah laku orang lain. Ia berpendapat bahwa dasar fudamental proses belajar tinkah laku adalah imitasi, dengan demikian konselor adalah model signifikan bagi kliennya (Corey, 1986).
2016
11
Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Tahap-Tahap Konseling Tingkah laku yang bermasalah dalam konseling behavioral adalah tingkah laku yang berlebihan (excessive) dan tingkah laku yang kurang (deficit). Tingkah laku yang berlebihan seperti merokok, terlalu banyak main games, dan sering memberi komentar dikelas. Adapun tingkah laku yang defisit adalah terlambat masuk sekolah, tidak mengerjakan tugas, dan bolos sekolah. Tingkah laku excessive dirawat dengan menggunakan teknik konseling untuk menghilankan atau mengurangi tingkah laku, sedangkan tingkah deficit diterapi dengan menggunakan teknik meningkatkan tingkah laku. Konseling behavioral memiliki empat tahap yaitu: 1. Melakuakn Asesmen (Assessment) Tahap ini bertujuan untuk menemukan apa yang dilakukan oleh klien pada saat ini. Asesmen dilakukan adalah aktivitas nyata, perasaan, dan pikiran klien. Dalam kegiatan asesmen konselor melakukan analisis ABC yaitu A= Antecedent (pencetus perilaku), B= Behavioral (perilaku yang dipermasalahkan), C= Consequence (konsekuensi atau akibat perilaku tersebut). 2. Implementasi Teknik (technique Implementation) Setelah tujuan konseling dirumuskan, konselor dan klien menentukan strategi belajar yang terbaik untuk membantu klien mencapai perubahan tingkah lalu yang diinginkan. Konselor dan klien memgimplementasikan teknik-teknik konseling sesuai dengan masalah yang dialami oleh klien. Dalam implementasi teknik konselor membandingkan perubahan tingkah laku antara baseline data dengan data intervensi. 3. Evaluasi dan Pengakhiran (Evaluation - Termination) Evaluasi konseling behavioral merupakan proses yang berkesinambungan. Evaluasi dibuat atas dasar apa yang klien perbuat. Tingkah laku klien digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas konselor dan efektivitas tertentu dari teknik yang digunakan. Terminasi lebih dari sekedar mengakhiri konseling.
2016
12
Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka Palmer, Stephen (Ed)., (2010). Konseling dan Psikoterapi. Introduction to Counselling and Psichoterapy. Komalasari, G., Wahyuni, E., Karsih (2011). Teori dan Teknik Konseling. PT. Indeks.
2016
13
Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id