Jurnal Ilmiah IKIP Mataram
Vol. 1. No. 2 ISSN:2355-6358
PROSPEK PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KAKAO DI LOMBOK UTARA
Husnul Jannah Dosen Program Studi Pendidikan Biologi, FPMIPA IKIP Mataram E-mail:ABSTRAK: Kakao merupakan salah satu komoditas andalan Sub Sektor Perkebunan di Nusa Tenggara Barat. Permasalahan yang masih mengemuka, terkait dengan usaha tani komoditas tanaman perkebunan khususnya yang dikelola oleh perkebunan rakyat adalah produktivitas tanaman yang tergolong relatif rendah. Untuk tanaman kakao, produktivitas tanamannya hanya mencapai sekitar 0,35 ton/hektar/tahun (Statistik Perkebunan NTB 2005), sementara tanaman kakao yang dikelola oleh perkebunan rakyat di Sulawesi Selatan bisa mencapai 0,95 ton/hektar/tahun (Ditjenbun, 2005). Penelitian ini dilaksanakan April 2010 di dua lokasi, Perkebunan Kakao di Desa Gegelang Lombok Utara. Permasalahan Perkebunan Kakao desa Genggelang Lombok Utara adalah, Kesulitan mendapatkan bibit, Kurang pengetahuan tentang pemangkasan, Serangan hama dan penyakit dan Kurangnya Inovasi kelembagaan. Maksud dan Tujuan Penelitian adalah adalah mengkaji secara langsung permasalahan-permasalahan yang ada serta faktor-faktor pembatas pertumbuhan tanaman baik dari asfek Biofisik lahan maupun dari asfek sosial ekonomi. Tujuan dari kegiatan ini adalah peneliti dapat menganalisis permasalahan dilapangan, kemudian dapat menyusun arahan strategi penanganan permasalahan serta penanganan faktor pembatas pertumbuhan dalam upaya mendapatkan produksi tanaman yang optimal. Kata Kunci: Prospek Pengembangan Perkebunan Kakao. PENDAHULUAN Nusa Tenggara Barat (NTB), memiliki areal lahan kering yang cukup luas yaitu sekitar 230.000 ha, tidak termasuk kawasan hutan. Dari luasan tersebut, sekitar 38.500 ha berupa areal perkebunan dengan aneka tanaman, sisanya 191.500 ha berupa ladang dan tegalan yang cukup potensial untuk pengembangan tanaman pangan maupun hortikultura (BPSNTB 2001). Potensi yang cukup besar ini belum dimanfaatkan secara maksimal baik dari segi areal maupun mutu pengelolaan usahatani. Sejauh ini lahan kering dipandang sebagai lahan marginal yang kurang bermanfaat sehingga hanya ditanami komoditas untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga dan dikelola secara sederhana. Usahatani intensif dan komersial selalu diarahkan ke lahan irigasi yang terus-menerus mengalami degradasi. Kopi, kakao, kelapa dan mente merupakan komoditas andalan Sub Sektor Perkebunan di Nusa Tenggara Barat. Jika kendala pengadaan benih unggul serta prosedur sertifikasi benih dapat diimplementasikan secara baik, maka keempat komoditas tersebut berpotensi sebagai tambang emas hijau bagi sumber pendapatan masyarakat, penyediaan lapangan kerja di pedesaan, pendapatan asli
daerah (PAD) dan perolehan devisa negara. Sebagai sumber devisa negara, komoditi perkebunan ini memiliki nilai strategis dalam pembangunan agribisnis perkebunan. Permasalahan yang masih mengemuka, terkait dengan usahatani komoditas tanaman perkebunan khususnya yang dikelola oleh perkebunan rakyat adalah produktivitas tanaman yang tergolong relatif rendah. Produktivitas tanaman kopi dari perkebunan rakyat hanya mencapai sekitar 0,35 ton/ha/tahun, (Statistik Perkebunan NTB 2005). Tanaman mente di NTB menghasilkan gelondong mente pada kisaran sekitar 150-200 kg gelondongan/ha/tahun (Statistik Perkebunan NTB 2005). Hal ini tergolong rendah dibandingkan dengan produktivitas tanaman mente yang diusahakan di BPR Sulawesi Selatan dan di Jawa Timur yang masingmasing mencapai 550 dan 500 kg gelondongan per ha/tahun (Ditjenbun, 2005). Untuk tanaman kakao, produktivitas tanamannya hanya mencapai sekitar 0,35 ton/hektar/tahun (Statistik Perkebunan NTB 2005), sementara tanaman kakao yang dikelola oleh perkebunan rakyat di Sulawesi Selatan bisa mencapai 0,95 ton/hektar/tahun (Ditjenbun, 2005). Dalam usaha pengembangan komoditas perkebunan, umumnya pekebun
163
Jurnal Ilmiah IKIP Mataram memenuhi bahan tanam secara swadaya, kebutuhan benih/bibit berasal dari pohon induk yang diusahakannya sendiri. Hal ini menyebabkan timbulnya keragaman kualitas benih/bibit, sehingga produksi tanaman perkebunan tidak optimal. Pedahal keberhasilan produktivitas tanaman perkebunan sangat ditentukan oleh kualitas benih/bibit. Pengawasan dan pengadaan benih/bibit yang baik merupakan langkah awal untuk meningkatkan kesejahteraan para pekebun. Namun sebagai kendala masih dihadapi dalam penggunaan benih unggul, diantaranya terbatasnya akses masyarakat untuk mendapatkannya dan daya beli pekebun terhadap benih unggul bersertifikasi masih sangat rendah. Tujuan Penelitian adalah dapat menganalisis permasalahan dilapangan , kemudian dapat menyusun arahan strategi penanganan permasalahan serta penanganan faktor pembatas pertumbuhan dalam upaya mendapatkan produksi tanaman yang optimal. serta faktor-faktor pembatas pertumbuhan tanaman baik dari asfek Biofisik lahan maupun dari asfek social ekonomi. KAJIAN PUSTAKA Unsur iklim yang terpenting di daerah tropik, seperti di Nusa Tenggara Barat adalah sifat hujan. Pada musim hujan November s/d April curah hujan mancapai >1000 mm. Sedangkan pada musim kemarau curah hujan kurang 20% dari curah hujan pada musim hujan. Berkaitan dengan sifat hujan ini beberapa jenis tanaman menyukai tanaman yang banyak, namun kebanyakan tanaman perkebunan menyukai kondisi lembab, yakni curah hujan <200 mm. Curah hujan yang lebat dapat mengganggu proses pembungaan dari tanaman-tanaman tersebutTemperatur udara banyak digunakan utnuk analisi iklim, terutama dalam perhitunagan neraca air tanah untuk menduga kebutuhan air dalam bentuk evapotransirasi potensial. Hasil prediksi suhu dengan menggunakan elevasi menunjukkan bahwa suhu udara di daerah penelitian berkisar dari 11,5 oC di puncak Gunung Rinjani sampai 27,4 oC di sekitar pantai. Rerata suhu tahunan untuk sebagian besar wilayah penelitian berkisar antara 22,4 oC dengan perbedaan rerata suhu bulan terpanas dan terdingin kurang dari 6 oC dengan demikian maka daerah penelitian digolongkan memiliki rejim suhu panas (Isohyperthermic). Beberapa tempat di daerah penelitian yang memiliki ketinggian lebih dari 1300-2400 m dpl digolongkan ke dalam rejim suhu sejuk (Isothermic), dan
Vol. 1. No. 2 ISSN:2355-6358 sekitar daerah yang dekat dengan puncak Gunung Rinjani atau yang memiliki ketinggian lebih dari 2400 m dpl tergolong ke dalam daerah yang memiliki suhu dingin (Isomesic). Sifat fisik tanah di daerah pertanaman tanaman perkebunan umumnya relatif baik sampai sedang, tekstur tanah berkisar dari pasir sampai geluhan, kedalaman tanah dangkal sampai dalam. Tanah dangkal terutama dijumpai di sepanjang daerah aliran lahar dan lava. Sifat fisik tanah lainnya yang umum dijumpai yaitu lahan landai sampai agak curam, tanah dangkal, adanya batuan di permukaan dalam jumlah yang banyak akan menjadi kendala pada pengelolaan lahan untuk pengembangan budidaya perkebunan.
METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode kualitatif, yaitu metode yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah daripada melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi. Teknik pengumpulan data menggunakan interview (wawancara) secara langsung dan dari kajian pustaka yang relevan, sehingga variabel respon yang dicari dapat di capai. HASIL DAN PEMBAHASAN Tanaman kakao ini terkenal di Indonesia sejak tahun 1560, namun baru tahun 1951 menjadi komoditas perkebunan. Industri kekao di Indonesia mulai berkembang tahun 1975, setelah ditemukannya bibit unggul Upper Amazone Interclonal Hybrid. Industri kakao memanfaatkan biji buah kakao yng telah difermentasi dijadikan serbuk yang disebut sebagai coklat bubuk. Buah kakao (tanpa biji) difermentasi untuk dijadikan pakan ternak. Di Wilayah Provinsi NTB, kakao banyak dibudidayakan di perkebunan rakyat dan sebagian kecil saja yang dibudidayakan di Perkebunan Swasta. Luas perkebunan kakao di Provinsi NTB pada tahun 2005 mencapai 4320,25 ha dengan produksi 1.696,45 ton. Kakao termasuk keluarga : Sterculiaceae, Genus : Theobroma, Species : Theobroma cacao L. Jenis kakao yang terbanyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis :Criollo (yang menghasilkan biji kakao bermutu sangat baik dan dikenal sebagai kakao mulia (fine flovour cocoa, choiched cocoa atau edel cocoa).
164
Jurnal Ilmiah IKIP Mataram Vol. 1. No. 2 ISSN:2355-6358 a. Forastero yang menghasilkan biji kakao suhu udara rata-rata tahunan tanpa faktor bermutu sedang dan dikenal sebagai pembatas. Kakao tergolong tanaman yang tidak ordinary cocoa atau bulk cocoa. membutuhkan cahaya matahari banyak, karena b. Trinitario yang merupakan hibrid alami kebanyakan cahaya yang menyorot tanaman dari Criollo dan Forastero sehingga kakao menyebabkan lilit batang kicil, daun menghasilkan biji kakao yang dapat sempit dan tanaman relatif pendek. Tanaman termasuk fine flavour cocoa atau bulk kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah cocoa. Jenis Trinitario yang banyak ditanam yang memiliki keasaman (pH) 6-7,5. di Indonesia adalah Hibrid Djati Runggo A. Sifat dan Kendala Dalam (DR) dan Uppertimazone Hybrida (Kokoa Pengembangan Perkebunan Kakao lindak). di Lombok Utara Daerah yang cocok untuk penanaman Beberapa masalah usaha tani di desa kakao adalah lahan yang berada pada Genggelang yang prioritasnya dijelaskan ketinggian 200-700 m dpl, dengan curah hujan dalam tabel berikut ini. 1.100-3.000 mm/tahun, suhu udara 30-32 oC (minimum). Suhu udara 25-26 oC merupakan Tabel 1. Masalah usaha tani yang dihadapi petani desa Genggelang No. Masalah Prioritas 1 Penguasaan teknologi budidaya belum memadai III 2 Serangan hama dan penyakit tidak dikendalikan petani I 3 Klon tanaman tidak teridentifikasi II 4 Penguasaan teknologi pasca panen rendah VI 5 Pengolahan hasil lebih lanjut tidak dilakukan V 6 Tanaman tahunan relatif cukup tua IV Sumber : Laporan PRA Desa Genggelang 2007 Dari tabel masalah usaha tani produksi yang dibutuhkan tapat waktu tersebut diatas prioritas masalah I adalah , untuk mengendalikan serangan hama Serangan hama dan penyakit tidak tersebut. dikendalikan petani, II. Klon tanaman tidak Produksi kakao yang dicapai di desa teridentifikasi, III. Penguasaan teknologi Genggelang rata-rata 720 kg/ha/tahun atau budidaya belum memadai, IV. Tanaman dibawah potensi produksi yang dapat tahunan relatif cukup tua.V. Pengolahan dihasilkan klon unggul atau kakao hibrida hasil lebih lanjut tidak dilakukan dan VI. yang dapat mencapai 1.500 – 2.000 Penguasaan teknologi pasca panen rendah kg/ha/tahun. Hal ini mengindikasikan Serangan hama dan penyakit pada bahwa kakao yang ditanam di desa komoditas yang diusahakan petani (kakao, Genggelang bukan berasal dari klon unggul kopi, kelapa) hampir terjadi setiap tahun. atau hibrida. Sumber bibit kopi, kelapa dan Serangan organisma pengganggu tanaman kakao yang ditanam di desa Genggelang tersebut tidak sampai pada taraf yang umumnya tidak teridentifikasi. Kopi yang membahayakan. Serangan dari organisma ada saat ini merupakan peninggalan pengganggu tanaman tersebut umumnya Belanda, demikian juga dengan kelapa tidak dikendalikan petani sehingga potensi sebagian besar peninggalan nenenk moyang terjadinya eksplosif serangan hama pada penduduk Genggelang. Hasil produksi yang suatu saat kemungkinan besar akan terjadi dicapai ketiga tanaman tersebut tergolong di desa ini. Usaha pengendalian organisma rendah karena tidak terindentifikasi sumber pengganggu tidak dilaksanakan petani bibitnya disamping sebagian besar tanaman karena petani umumnya tidak mengetahui sudah tua. jenis hama yang menyerang, petani tidak Teknologi pasca panen yang baik mengetahui bagaimana cara belum dilaksanakan petani, sebagian besar mengendalikannya, petani tidak memiliki produk dijual petani tanpa melalui proses modal untuk membeli pestisida, pasca panen untuk mendapatkan kualitas keterbatasan alat yang dimiliki petani untuk produk yang dikehendaki pasar lokal, luar aplikasi pestisida, petani tidak mengetahui daerah maupun international. Biji coklat obat yang digunakan untuk mengendalikan setelah dijemur sehari langsung dijual, serangan organisma pengganggu tersebut, kelapa dijual dalam bentuk butiran, biji keterbatasan pengetahuan petani tentang kopi dijemur kemudian dikupas langsung musuh alami dan tidak tersedianya sarana dijual. Keterbatasan peralatan pasca panen
165
Jurnal Ilmiah IKIP Mataram Vol. 1. No. 2 ISSN:2355-6358 dan prasarana seperti lantai jemur yang memiliki, sebagai modal penting untuk dimiliki petani merupakan penyebab tidak mempercepat dan melestarikan adopsi. terlaksananya kegiatan pasca panen di desa Lambannya proses adopsi ini. teknologi menjadi masalah makin serius Lambatnya adopsi teknologi banyak dengan diberlakukannya UU No 22 tahun disebabkan karena kegagalan teknologi 1999 tentang otonomi daerah, kebijakan ini tersebut memenuhi harapan dan tidak menitik beratkan kewenangan pada mampu mengatasi permasalahan yang pemerintah kabupaten/kota. Bersamaan dihadapai petani. Hal ini terjadi karena pada dengan itu dinamika penyuluhan pertanian proses penciptaan teknologi tidak menurun drastis, dan sejak akhir 2002 melibatkan petani sebagai pihak yang penyuluhan pertanian di Indonesia paling berkepentingan. Petani tidak mengalami krisis, terbukti dari hasil memahami pertimbangan teknis dan non penelitian yang mengungkapkan bahwa teknis yang diambil peneliti ketika merakit sumber teknologi yang utama bagi petani paket teknologi, juga tidak memahami bukan lagi PPL (Puspadi, 2002). permasalahan apa yang akan dipecahkan B. Masalah Kelembagaan dengan teknologi tersebut. Selain itu, Di desa Genggelang terdapat keunggulan teknologi tidak didasarkan atas beberapa masalah kelembagaan yang ada, kriteria petani tetapi cendrung secara terinci prioritas masalah dijelaskan menggunakan kriteria peneliti. Karena dalam tabel berikut ini. petani tidak dilibatkan, disamping tidak memahami juga tidak tercipta rasa Tabel 2. Masalah kelembagaan di desa Genggelang No. Masalah Prioritas 1 Tidak tersedia tempat penjualan hasil dan pedagang saprodi I 2 Lembaga keuangan tidak berjalan (Kredit macet) IV 3 Kinerja kelompoktani belum optimal II 4 Pelayanan penyuluhan belum optimal III Sumber : Laporan PRA Desa Genggelang 2007 Dari tabel tersebut diatas, prioritas photocopy KTP, kredit sudah dapat masalah adalah , I. Tidak tersedia tempat dicairkan. penjualan hasil dan pedagang saprodi, II Jumlah kelompoktani yang ada di Kinerja kelompoktani belum optimal, III, desa ini sebanyak 20 buah. Dari 20 Pelayanan penyuluhan belum optimal dan kelompoktani tersebut hanya 16 IV. Lembaga keuangan tidak berjalan kelompoktani yang sudah mendapat (Kredit macet) pembinaan. Aktivitas kelompoktani tersebut Lembaga keuangan yang ada di desa belum terlihat, kelompoktani yang ada Genggelang tidak berjalan sesuai dengan bersifat pasif. Tidak ada suatu inisiatif dari yang diharapkan. Lembaga keuangan desa kelompoktani yang ada untuk melakukan yaitu UPKD yang memberikan kredit aktivitas seperti usaha pengolahan hasil, kepada petani, sebagian besar kredit yang pemupukan modal kelompok, usaha disalurkan tidak kembali. Akumulasi kredit penjualan sarana produksi, melakukan macet di desa ini cukup besar yang sampai usaha pasca panen, penyewaan alat mesin saat ini belum bisa dikembalikan oleh pihak pertanian dan lain sebagainya. Kondisi ini peminjam. Beberapa lembaga keuangan terjadi karena pembentukan kelompoktani yang pernah ada di desa ini, saat ini tidak yang ada saat ini bersifat top down atau berjalan karena kehabisan modal. Salah satu sesuai dengan keperluan kebijaksanaan penyebab kredit macet adalah karena pemerintah tetapi tidak berdasarkan penyalah gunaan kredit yang diberikan. kebutuhan petani sehingga bersifat bottom Kredit yang seharusnya digunakan untuk up. membiayai usaha pertanian digunakan Pelayanan dari petugas penyuluh untuk keperluan konsumsi. Dari sini pertanian dirasakan belum optimal oleh diketahui bahwa sistem kontrol yang petani di desa Genggelang. Penyuluh diterapkan oleh lembaga keuangan yang pertanian biasanya hanya menjalankan ada di desa ini masih lemah, persyaratan program yang sudah menjadi kebijakan administrasi untuk melakukan pinjaman pemerintah. Di desa Genggelang aktivitas yaitu tanpa jaminan, cukup dengan penyuluh hanya terfokus pada usahatani
166
Jurnal Ilmiah IKIP Mataram perkebunan, karena berdasarkan kebijakan pemerintah, desa Genggelang khususnya dan kecamatan Gangga pada umumya dijadikan oleh pemerintah sebagai sentra pengembangan tanaman perkebunan, sehingga petani yang mata pencahariaannya dari sektor pertanian tanaman pangan merasa kurang mendapat perhatian. Penyebab lain pelayanan penyuluhan belum optimal yaitu karena ratio antara jumlah penyuluh dan luas wilayah yang harus ditangani tidak sebanding. Terbatasnya sarana transportasi dan minimnya biaya operasional yang dimiliki lembaga penyuluhan menjadi penyebab lain kinerja penyuluh belum optimal, disamping karena belum mantapnya organisasi lembaga penyuluhan yang ada saat ini karena kebijakan otonomi daerah. C. Berbagai Pemecahan Masalah Dalam Sistem Pertanian Lahan Kering Dalam kondisi seperti ini adalah sangat sulit untuk menyebar-luaskan hasil penelitian dan pengkajian kepada petani. Dalam upaya mempercepat adopsi teknologi hasil penelitian, dapat dilaksanakan melalui penerapan strategi: 1. Menerapkan teknologi inovatif melalui penelitian dan pengembangan partisipatif (Participatory Research and Development). 2. Membangun model percontohan sistem dan usaha agribisnis progresif berbasis teknologi inovatif dengan mengintegrasikan sistem inovasi dan sistem agribisnis. 3. Mendorong proses difusi dan replikasi model percontohan teknologi inovatif melalui ekspose dan demonstrasi lapang, diseminasi informasi, advokasi dan fasilitasi. 4. Pengembangan berbasis wilayah agroekosistem dan kondisi sosialekonomi setempat. Strategi tersebut secara jelas memberi penekanan pada aspek partisipatif sehingga dalam kegiatan penelitian dan pengembangan petani dilibatkan mulai dari perencanaan, pelaksnaan dan evaluasi. Model percontohan dan demonstrasi diterapkan senantiasa berbasis teknologi inovatif dan kebutuhan pengguna disertai upaya pembimbingan dan fasilitasi.
Vol. 1. No. 2 ISSN:2355-6358 pekebun pada waktu praktik lapangan maupun kajian pustaka yang telah dihimpun tentang lahan kering di Nusa Tenggara Barat hususnya pada lokasi penelitian; 1. Perkebunan memiliki akses terbatas terhadap sumber informasi terkait sumber informasi terkait teknologi budidaya khususnya kakao, mitra kerja, dan sumber pembiayaan usaha perkebunan. 2. Perbaikan pengembangan usaha tani komoditas perkebunan melalui intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan tanaman perkebunan karena masih banyak potensi lahan yang belum istim usaha dimamfaatkan secara optimal. 3. Optimalisasi pemamfaatan lahan kebun perlu dilakukan melalui pengembangan sistim terintegrasi antara tanaman perkebunan, tanaman pangan, untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, dan pengembangan ternak unggas dan remunansia sebagai investasi untuk memenuhi kebutuhan perkebunan jangka menengah. DAFTAR RUJUKAN Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1994. Peta Geologi Nusa Tenggara Barat. Pusat Penelitian Tanah, 1990. Identifikasi dan karakterisasi fisik Lingkungan Daerah iklim kering Daerah Gondang-Selengen Kabupaten Lombok Timur . Propinsi Nusa Tengga Barat Tingkat Semi Detail. Laporan Ahir No.02/PPT/1990. Raharjo, 2005. Pengaruh Lama Penyinaran Terhadap Daya Tumbuh Bibit Kakao Caputan. Pelita Perkebunan, 2005, 21(2), 106-112. Prima Tani, 2007. Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI) pada Agroekosistem Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Kering dan Iklim Basah di Nusa Tenggara Barat ( 200720011).
SIMPULAN Dari hasil kajian lapangan, baik melalui wawancara langsung dengan para
167