ANALISIS PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU
IDRIS LOILATU
PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK
IDRIS LOILATU, Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku. ( HERMANTO SIREGAR sebagai Ketua dan AFFENDI ANWAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing ). Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan bagaimana pengaruh harga kakao, tingkat kelayakan usahatani dan dampak intervensi pemerintah terhadap pengembangan komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru. Dalam penelitian ini dikaji sistem kelembagaan yang mendukung pengembangan komoditi kakao; kelayakan usahatani; pengaruh harga terhadap peningkatan luas areal dengan menggunakan analisis regresi; aliran pemasaran dan keterpaduan pasar yang ditelusuri dengan analisis marjin tataniaga, elastisitas trasmisi harga dan integrasi pasar; efisiensi ekonomis dan dampak intervensi pemerintah dengan menggunakan policy analysis matrix, serta keunggulan komparatif dan kompetitif suatu wilayah dengan pendekatan analisis lokasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan komoditi kakao rakyat di wilayah Kabupaten Buru memberikan keuntungan secara finansial maupun ekonomi karena memiliki keunggulan komparatif. Petani kakao sangat responsif terhadap perubahan harga. Kajian integrasi pasar memperlihatkan bahwa keterpaduan pasar hanya berlangsung dalam jangka pendek. Marjin keuntungan yang diterima petani lebih kecil daripada pedagang pengumpul dan pedagang besar. Key Word : Respon Harga, Kebijakan Intervensi pemerintah, Kelayakan Finansial dan Ekonomi, Pengembangan Kakao Rakyat.
70
ANALISIS PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU
IDRIS LOILATU P053020111
Tesis Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
71
Judul Penelitian : Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku Nama Mahasiswa : Idris Loilatu Nomor Pokok
: P053020111
Program Studi Program
: Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan : Magister Sains (S2)
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar, M.Sc Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah
Tanggal Ujian: 2 September 2005
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Disetujui: 8 Februari 2006
72
PRAKATA Segala puji dan syukur hanya diperuntukan kepada Allahul Wahid yang telah
memberikan
rahmat
dan
petunjuk-Nya,
sehingga
penulis
dapat
merampungkan Tesis ini dengan judul: “Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku” yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor. Penulisan tesis ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr.Ir. H. Hermanto Siregar, M.Ec, dan Prof.Dr.Ir. H. A. Anwar, M.Sc, selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bantuan yang konstruktif selama bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis. 2. Prof.Dr.Ir. Isang Gonarsyah, selaku Ketua Program Studi PWD dan sebagai penguji luar komisi. 3. Keluargaku tercinta yang telah memberikan motivasi dan pengorbanan yang begitu besar baik secara material maupun spiritual. 4. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru yang telah menfasilitasi dalam pemberian
biaya
selama
penulis
menjalani
pendidikan
di
Sekolah
Pascasarjana IPB. 5. Seluruh rekan-rekan mahasiswa S2 di Program studi PWD 2002 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, serta semua pihak yang turut membantu penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Semoga segala bantuan yang telah diberikan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Amin Yaa Robbal A’lamin Akhirnya, saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaannya dan semoga dapat bermanfaat.
Bogor, Pebruari
2006
IDRIS LOILATU
73
RIWAYAT HIDUP
IDRIS LOILATU, dilahirkan di Desa Selasi-Ambalau Kabupaten Buru Maluku, pada tanggal 15 Juli 1972, merupakan anak ke enam dari tujuh bersaudara dari pasangan Ayah H. Majud Loilatu dan Ibu Hj. Sarafiah Loilatu. Pendidikan dasar dimulai pada tahun 1979 di Madrasah Ibtidaiyah Alhillal Elara Ambalau dan lulus tahun 1985. Kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada Madrasah Tsanawiyah Alhillal Wailua Ambalau dan lulus
tahun
1988,
melanjutkan
jenjang
pendidikan
atas
pada
SMA
Muhammadiyah Ambon dan lulus pada tahun 1991. Pendidikan perguruan tinggi ditempuh pada Jurusan Budidaya Pertanian (Agronomi ) Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon dan lulus pada tahun 1998. Selanjutnya pada tahun 2000 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru Provinsi Maluku, dan sampai saat ini ditempatkan sebagai staf pada Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kabupaten Buru. Pada tahun 2002 diberikan kesempatan dan kepercayaan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru untuk mengikuti pendidikan Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu
Perencanaan
Pembangunan
Wilayah
dan
Perdesaan,
Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
74
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
HALAMAN ……….…………………………………………………………………. iii
DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
….…………………………………………………………………….
iv
………………………………………………………………………
v
I.
PENDAHULUAN …………………………………………………………………… 1.1. Latar Belakang ………………………………………………………………… 1.2. Perumusan Masalah ………………………………………………………..... 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………………… 1.3.1. Tujuan Penelitian ………………………………………………………. 1.3.2. Manfaat Penelitian ……………………………………………………...
1 1 7 12 12 12
II.
TINJAUAN PUSTAKA ...…………………………………………………………… 2.1. Pengembangan Usaha Komoditi Kakao Rakyat …………………………. 2.2. Kajian Pengembangan Kakao ……………………………………………….. 2.3. Kelayakan Pemasaran Kakao Rakyat ……………………………………… 2.4. Kelembagaan Usaha Perkebunan Kakao Rakyat ……………………….... 2.5. Pembangunan Wilayah ……………………………………………………….. 2.5.1. Pembangunan Ekonomi Wilayah ……………………………………. 2.5.2. Teori Basis Ekonomi (Teori Lokasi) …………………………………. 2.6. Kelayakan Usaha Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat ..………. 2.6.1. Kelayakan Finansial …………………………………………………… 2.6.2. Kelayakan Ekonomi …………………………………………………… 2.6.3. Kelayakan Ekonomi Privat dan Sosial ………………………………..
13 13 14 20 24 32 32 35 38 38 40 42
III.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ……………………………………. 3.1. Kerangka Pemikiran …………………………………………………………... 3.2. Hipotesis …...…....…………………………………………………………..…
47 47 54
IV.
METODE PENELITIAN …………………………………………………….……… 4.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian ………………………………………….……... 4.2. Metode Penarikan Contoh ..………………………………………………….. 4.3. Jenis dan Sumber Data ……………………………………………………….. 4.4. Metode Analisis ………………………………………………………………… 4.4.1. Analisis Kelayakan Usaha Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat ……………………….. 4.4.1.1. Net Present Value (NPV) ………..…………………………. 4.4.1.2. Internal Rate of Return (IRR) ………………………………. 4.4.1.3. Net Benefit Cost (Net B/C) …………………………………. 4.4.2. Model Respon Luas Areal Kakao Rakyat ………………………… 4.4.3. Analisis Marjin Tataniaga …………………………………………….. 4.4.4. Analisis Elastisitas Trasmisi Harga …………………………………. 4.4.5. Analisis Integrasi Pasar ……………………………………………….. 4.4.6. Policy Analysis Matrix (PAM) …………………………………………. 4.4.7. Analisis Lokasional …………………………………………… ……….. 4.4.7.1. Analisis Location Quotient (LQ) …………………………….. 4.4.7.2. Shift-Share Analysis (SSA) ………………………………… 4.5. Batasan Operasional …………………………………………………………..
55 55 55 56 56
75
57 57 57 58 59 60 60 61 62 63 63 64 65
V.
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN …………………………………... 5.1. Letak Geografis dan Fisik Wilayah …………………………………………. 5.2. Wilayah Administrasi ………………………………………………………….. 5.3. Karakteristik Penduduk ……………………………………………………….. 5.4. Karakteristik Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ……………………………… 5.5. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat ……………………………………… 5.6. Karakteristik Petani Perkebunan Kakao …………………………………….
69 69 73 73 77 81 86
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………………. 6.1. Keragaan Kelayakan Usaha dan Kebijakan Perkakaoan ..……………… 6.1.1. Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi ………………………… 6.1.2. Analisis Kebijakan Pemerintah ..……………………………………… 6.1.2.1. Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah ..………… 6.1.2.2. Dampak Kebijakan Harga Input …………………………….. 6.1.2.3. Dampak Kebijakan Harga Output ..………………………… 6.1.2.4. Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output …………… 6.1.3. Respon Luas Areal Tanaman Kakao ………………………………… 6.1.4. Analisis Lokasional …………………………………………………… 6.2. Kajian Sistem Pemasaran Kakao Rakyat …...……………………………… 6.2.1. Struktur Pemasaran …………………………………………………….. 6.2.2. Marjin Tataniaga ………………………………………………………. 6.2.3. Elastisitas Trasmisi Harga …………………………………………… 6.2.4. Integrasi Pasar ..………………………………………………………… 6.2.5. Opsi Kelembagaan ..……………………………………………………
89 89 89 94 96 97 99 100 103 106 116 116 119 124 125 127
VII.
SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ……………………………………… 7.1. Simpulan ...……………………………………………………………………… 7.2. Implikasi Kebijakan ..…………………………………………………………..
130 130 131
DAFTAR PUSTAKA
...........………………………………………………………………
132
LAMPIRAN ………………………..…………………………………………………………
135
DAFTAR TABEL No.
Teks
Halaman
76
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
15. 16.
17.
18. 19.
20 21. 22. 23.
Luas Areal dan Produksi Komoditas Kakao Indonesia Menurut Pengusahaan, 1993-2003……………………………………. Distribusi Presentase PDRB Kabupaten Buru Atas Harga Berlaku Untuk Sektor Pertanian dan Subsektor Lainnya, 1998-2002 ………. Unsur-unsur Perbedaan dalam Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi ………………………………………………………………….. Formulasi Model Policy Analysis Matrix (PAM)………………………. Jenis dan Jumlah Responden Masing-masing Lokasi Penelitian ….. Model Policy Analysis Matrix (PAM) ………………… ………………... Wilayah Administratif dan Luas Wilayah Kecamatan ……………….. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Buru Menurut Kecamatan ……………………………………………… Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Buru …………………………………………………………. Hasil PDRB Kabupaten Buru Tahun 1996 sampai 2002 …………… PDRB Seluruh Sektor di Kabupaten Buru Atas Harga Konstan 1993. ……………………………………………………………………… Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 …. Perkembangan Luas Tanam dan Produksi Beberapa Komoditi Perkebunan Penting di Kabupaten Buru tahun 2001-2003 ………… Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Keterlibatan Rumah Tangga Usahatani Perkebunan Kakao Menurut Kecamatan di Kabupaten Buru …………………………………………………………. Karakteristik Petani Kakao di Kabupaten Buru, 2004 … ……………. Analisis Kelayakan Finansial (NPV, BC Ratio dan IRR) Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12% dan 25% dalam luasan 1 Ha, 2004 ……………………………………. Analisis Kelayakan Ekonomi (NPV, BC Ratio dan IRR) Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12% dan 38% dalam luasan 1 Ha, 2004 ……………………………………. Matrik Hasil Analisis Kebijakan pada Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004. …………………………………………………. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ln Luas Areal dan Nilai Elastisitas pada Tanaman Kakao dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang di Kabupaten Buru,1993-2004. ……………………. Hasil Location Quotient Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003. ………………………. Hasil Shift Share Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003 ……………………….. Marjin Pemasaran Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 ……….. Hasil Pendugaan Koefisien Persamaan Regresi Harga Kakao di Kabupaten Buru …………………………………………………………
2 7 41 43 56 62 72 74 75 78 79 81 84
85 86
90
93 95
104 107 112 121 125
77
DAFTAR GAMBAR
No 1
Teks
Halaman
Penentuan Pilihan Institusi Melalui Analisis Ekonomi Biaya-biaya Transaksi (transaction cost) …………………………….……………
26
2
Kerangka Berfikir Tiga Dimensi Tentang Keberlanjutan…………..
33
3
Kerangka Pikir Penelitian Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru…………………………………...
53
4
Saluran Pemasaran Komoditi Kakao di Kabupaten Buru
117
78
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Teks
Halaman
1.
Lampiran 1. Hasil Analisis Finansial Usahatani Perkebunan Kakao Rakyat untuk Luasan 1 Ha (1100 Tanaman) di Kabupaten Buru …..
135
2.
Hasil Analisis Ekonomi Usahatani Perkebunan Kakao Rakyat untuk Luasan 1 Ha (1100 Tanaman) di Kabupaten Buru …………………..
136
3.
Matrik Analisis Kebijakan Harga dalam Pengembangan Usahatani Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 ………………………………
137
4.
Data Luas Areal Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, Tahun 1993 sampai 2003 ………………………………………………
138
5.
Hasil Regresi Respon Luas Areal Tanaman Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 …………………………………………………..
139
6.
Data Luas Areal Tanaman Perkebunan di Kabupaten Buru Untuk Analisis Lokasional ………………………………………………………
140
7.
Data Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang Besar (Pasar Referensi) Untuk Menghitung Elastisitas Transmisi Harga dari Juli 2002 sampai Juni 2004 …………………………………………………
141
8.
Hasil Regresi Untuk Menghitung Elastisitas Transmisi Harga Kakao di Kabupaten Buru, Tahun 2003 ……………………………………….
142
9.
Data Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang Besar (Pasar Referensi) Untuk Menghitung Indek Keterpaduan Pasar dari Juli 2002 sampai Juni 2004 ………………………………………………….
143
10.
Hasil Regresi untuk Menghitung Indek Keterpaduan Pasar Kakao di Kabupaten Buru, Tahun 2004 ……………………………………….
144
11.
Peta Kabupaten Buru …….……………………………………………..
145
I. PENDAHULUAN
79
1.1. Latar Belakang Komoditi perkebunan merupakan salah satu komponen sektor pertanian yang memberikan peranan penting dan mempunyai kontribusi cukup besar terhadap pembangunan ekonomi nasional. Ketika Indonesia diterpa krisis multidimensi pertengahan tahun 1997, hampir seluruh sektor pembangunan ekonomi telah mengalami
kelumpuhan,
namun
sektor
pertanian
khususnya
subsektor
perkebunan telah memberikan andil dalam meningkatkan devisa negara. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa subsektor perkebunan merupakan sektor basis yang banyak diusahakan oleh masyarakat di pedesaan, dan merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian penduduk di beberapa provinsi. Dalam tahun 2002, dari total penerimaan sektor pertanian sebesar US$ 5.364 juta, subsektor perkebunan telah menyumbangkan sekitar 88,76 % dari perolehan devisa yang dihasilkan dari sektor non-migas (Ditjenbun, 2004). Di lain sisi, gambaran kegagalan pembangunan ekonomi pada saat terjadinya krisis, memberikan hikmah pentingnya merubah paradigma pembangunan yang selama ini bercorak sektoral, lebih bertumpuh pada kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan tidak berbasis sumberdaya domestik. Dengan semakin terbatasnya sumberdaya alam yang tidak terbaharui (unrenewab le) serta menurunya kapasitas produksi sumberdaya alam terbaharui (renewable recsources), memberikan isyarat bahwa di masa akan datang paradigma pembangunan
ekonomi
tidak
lagi
didasarkan
kepada
kegiatan-kegiatan
eksploitasi sumberdaya alam, namun lebih mengarah kepada pembangunan ekonomi wilayah yang berbasis komunitas lokal (local community-based economy) dan sumberdaya domestik (domestic resource-based economy). Menurut Rustiadi (2000) bahwa pembangunan yang berbasis komonitas lokal merupakan pembangunan yang ditujukan dan dilaksanakan oleh masyarakat
80
lokal
untuk
meningkatkan
kesejahteraannya
secara
berkelanjutan
yang
disesuaikan dengan kapasitas dan kondisi lingkungan sumberdaya alamnya, sedangkan
pembangunan
yang
berbasis
sumberdaya
domestik
dalam
penggunaannya harus mencakup sumberdaya fisik-alam (natural resource), sumberdaya manusia (human capital) sumberdaya sosial (social capital) dan sumberdaya buatan (man-mad capital). Sektor pembangunan ekonomi yang memenuhi kriteria dan kondisi paradigma pembangu nan tersebut adalah sektor pertanian. Salah satu komoditas perkebunan dari sektor pertanian yang memberikan andil dalam pembangunan ekonomi nasional adalah tanaman kakao. Ditinjau dari sudut pengusahaan maka komoditas ini mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar, karena secara nasional hampir 87 persen pengembangan kakao diusahakan oleh perkebunan rakyat, sedangkan sisanya diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS), (Ditjenbun 2004). Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Komoditas Kakao Indonesia Menurut Pengusahaan, 1993-2003
Tahun
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003*
Luas Areal (Ha)
Produksi (ton)
PR
PBN
PBS
Jumlah
PR
PBN
PBS
Jumlah
376.636 415.522 428.923 488.815 380.811 436.576 534.670 641.133 710.044 798.628 801.332
65.525 69.760 66.021 63.025 62.455 58.261 59.990 52.690 55.291 54.815 54.815
93.124 111.729 107.484 103.491 85.791 77.716 73.055 56.094 56.114 60.608 61.487
535.285 597.011 602.428 655.331 529.057 572.553 667.715 749.917 821.449 914.051 917.634
187.529 198.001 231.991 304.013 263.846 369.887 304.549 363.628 476.924 511.379 512.251
40.638 42.086 40.933 36.456 35.644 46.307 37.064 34.790 33.905 34.083 34.310
29.892 29.894 31.941 33.530 30.729 32.733 25.862 22.724 25.975 25.693 26.079
258.059 269.981 304.866 373.999 330.219 448.927 367.475 421.142 536.804 571.155 572.640
Sumber : Ditjenbun 2004 Keterangan : *) Angka Sementara.
Peranan komoditi kakao terhadap penyerapan tenaga kerja dan penghasil devisa, mendorong pemerintah untuk lebih menfokuskan perhatiannya pada
81
pengembangan komoditas ini. Kondisi riel di lapangan menunjukkan bahwa pada tahun 1993 luas areal kakao hanya mencapai 535.285 ha dengan produksi nasionalnya sebesar 258.059 ton, namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan luas areal sebesar 914.051 ha, pertambahan luas areal tersebut telah mendorong peningkatan jumlah produksi kakao nasional sebesar 571.155 ton. Dari peningkatan produksi tersebut perkebunan kakao rakyat memberikan kontribusi produksi kakao sebesar 511.379 ton dari total produksi nasional. Pengusahaan perkebunan kakao rakyat di Provinsi Maluku, pada umumnya hampir sama dengan daerah lain di luar pulau Jawa, yaitu secara monokultur maupun kebun campuran. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik petani pada wilayah ini yang memiliki keragaman dalam pola usahatani. Secara historis pengusahaan tanaman perkebunan di wilayah ini, sudah lama berlangsung. Di mana komoditi perkebunan yang menjadi perioritas pengembangan dan sumber pendapatan petani, pada mulanya adalah tanaman cengkeh, kelapa dan pala. Secara umum aktivitas masyarakat Kabupaten Buru masih berorientasi pada usaha tanaman perkebunan dan menjadikan komoditi perkebunan sebagai sumber mata pencaharian utama. Pengembangan tanaman kakao di Kabupaten Buru sebagian besar adalah perkebunan rakyat yang diusahakan oleh petani lokal dalam skala kecil dan pengelolaannya masih bersifat tradisional, karena belum ada yang diusahakan oleh perkebunan besar negara maupun perkebunan besar swasta. Dalam pengembangannya komoditi ini mengalami peningkatan yang cukup pesat, hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan harga berbagai komoditi perkebunan, di lain sisi karena ditunjang oleh keadaan agroklimat wilayah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman perkebunan. Di tinjau dari aspek agronomis, tanaman kakao mulai berproduksi pada umur tiga tahun dengan umur ekonomisnya sekitar dua puluh tahun. Pengusahaan tanaman kakao oleh petani memiliki spesifikasi tersendiri dalam
82
sistem usahatani (farming system). Sebab dalam pelaksanaannya, tanaman ini sering dibudidayakan dengan pola sistem tumpangsari dengan tanaman perkebunan lainnya, seperti kelapa dan tanaman buah-buahan. Bahkan dalam penanamannya kebanyakan diawali dengan penanaman pohon pelindung yang nantinya mempunyai nilai ekonomis baik secara langsung maupun tidak langusng. Penanaman kakao rata-rata diusahakan pada lahan-lahan yang hak kepemilikannya adalah milik perorangan dan hak kepemilikan bersama (hak ulayat). Proses pembentukan hak-hak masyarakat atas lahan ini umumnya bersifat turun-temurun dan pengakuan atas hak-hak (property right) masyarakat telah berlangsung lama sejak mereka ada dilokasi tersebut. Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan pasar lokal, nasional maupun dunia menyebabkan laju pertumbuhan pengusahaan komoditas ini semakin pesat, bila dibandingkan dengan pengembangan komoditi perkebunan lainya seperti kelapa, cengkeh, pala, jambu mete dan kopi. Sehingga dalam kurung waktu delapan tahun pengembangan komoditi ini mengalami peningkatan yang cukup pesat, baik luas areal maupun produksinya. Di mana pada tahun 1995 luas lahan pengembangan kakao hanya sebesar 830 ha dengan jumlah produksinya 115,5 ton, maka pada tahun 2003 meningkat menjadi 5.764,43 ha dengan jumlah produksinya 4.893,18 ton yang diusahakan oleh 9.894 KK (Disbun dan Hortikultura Kab. Buru, 2004). Di samping permintaan pasar, pengaruh harga sangat signifikan terhadap pengembangan komoditi kakao rakyat. Hal ini dikarenakan komoditi kakao merupakan komoditi ekspor sehingga pengusahaannya lebih banyak disebabkan oleh adanya isyarat harga komoditas tersebut di pasar internasional. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak signifikan dengan produksi dan kualitas biji (mutu hasil) kakao. Rendahnya mutu hasil dan volume produksi tersebut, kemungkinan
83
disebabkan oleh terjadinya spasial monopsoni yang berakibat pada tidak kompetitifnya harga komoditi kakao. Dalam sistem tataniaga, permintaan pasar terhadap komoditi kakao oleh industri pengolahan kebanyakan dalam bentuk biji kakao yang bermutu tinggi yaitu biji kakao yang fermentasi sempurna (full fermentation), namun dalam kenyataannya ada juga permintaan pasar dalam bentuk biji kakao setengah fermentas yang sudah tentu harganya lebih rendah. Pemasaran komoditi kakao oleh petani di Kabupaten Buru sering dilakukan lewat perdagangan antar pulau dalam wilayah Provinsi Maluku dan antar Provinsi. Dalam sistem pemasarannya, pedagang pengumpul dan pedagang antar pulau memiliki peranan yang cukup kuat dalam menentukan harga komoditi kakao. Peranan mereka yang cukup menonjol tersebut disebabkan posisi bargaining petani sangat lemah dalam pengusahaan maupun tataniaga komoditi kakao, kondisi ini dipicu pula oleh tidak terorganisirnya kelembagaan petani dan belum tertata sistem kelembagaan pemasaran dengan baik. Di samping itu institusi-institusi adat yang ada di masyarakat lokal kurang diberdayakan serta kurang mendapat porsi dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam. Kelembagaan formal yang dibentuk pemerintah seperti KUD atau koperasi kurang berperan dalam pengembangan komoditi kakao maupun memberikan pelayanan yang baik bagi petani dalam peningkatan produksi, perbaikan kualitas dan pemasaran. Pembentukan kelompok tani yang merupakan wadah bertemunya para petani dalam mensinergikan berbagai pemikiran dalam meningkatkan usahanya lebih bersifat temporer, hanya mengejar target dan tidak berkelanjutan. Sehingga kelembagaan tataniaga yang berkembang di tingkat petani adalah kelembagaan informal berupa sistem kontrak tradisional melalui sistem kekerabatan dan kepercayaan antar petani dengan tengkulak/pengusaha.
84
Kegiatan perdagangan memainkan peranan penting dalam perekonomian, karena untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan harus diciptakan kondisi yang dapat menjamin kelancaran pemasaran baik di dalam maupun di luar negeri. Pemasaran kakao tentunya melalui beberapa lembaga pemasaran yang ada dalam suatu sistem pemasaran. Sistem pemasaran yang produktif dan efisien tergantung pada efisiensi penggunaan sumberdaya dan proses penciptaan kegunaan waktu, keguna an bentuk serta kegunaan tempat dalam pergerakan barang dan jasa dari kegiatan produksi. Produksi komoditas pertanian yang tinggi yang tidak diikuti dengan sistem pemasaran yang baik, maka produksi tersebut tidak dapat memberikan manfaat yang besar dalam usaha peningkatan pendapatan petani, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani. Kelancaran pemasaran akan tercapai melalui upaya penyempurnaan lembaga pemasaran serta sistem pemasaran, keadaan ini diharapkan dapat mendorong kegiatan produksi, sehingga dapat memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan petani serta pertumbuhan pembangunan wilayah. Berangkat dari berbagai hal tersebut, maka kondisi ini menarik dilakukan penelitian untuk mengetahui berbagai faktor dalam “Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku”. 1.2. Perumusan Masalah Pembangunan pertanian tidak saja tercermin dari peningkatan luas areal dan produksi, tetapi juga harus diikuti dengan perbaikan mutu hasil, penguasaan managemen usahatani, penataan sistem kelembagaan dan pemasaran. Sehingga dapat memiliki daya saing baik di pasar nasional, regional maupun internasional, dengan tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dan mendatangkan devisa bagi negara.
85
Pada umumnya struktur perekonomian Kabupaten Buru masih bertumpuh pada sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian yang memberikan andil terhadap
distribusi
pendapatan
daerah
adalah
subsektor
perkebunan.
Berdasarkan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Buru periode tahun 1998-2002 menunjukan bahwa peranan sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan) sangat besar terhadap penambahan pendapatan daerah dan pembangunan wilayah. Tabel 2. Distribusi Presentasi PDRB Kabupaten Buru Atas Dasar Harga Berlaku Untuk Sektor Pertanian dan Subsektor lainya Tahun 1998-2002 Sektor/Subsektor Pertanian Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan perikanan
1998 47,32 11,03 16,87 1,52 15,79 2,11
1999 58,49 18,16 24,69 2,93 9,39 3,31
2000 62,38 21,81 27,23 3,05 6,69 3,59
2001 62,,48 21,07 29,59 2,98 6,28 3,56
2002 62,05 21,86 27,05 3,03 6,19 3,90
Sumber : BPS Kabupaten Buru, 2003
Untuk sektor pertanian, kontribusi dari subsektor perkebunan bila dibandingkan dengan subsektor lainya menunjukan peningkatan yang cukup signifikan terhadap penerimaan PDRB Kabupaten Buru. Tercatat dari tahun 1998 penerimaan PDRB dari subsektor perkebunan sebesar 16,87 persen, dan terjadi kenaikan sebesar 29,59 persen (2001), namun mengalami penurunan pada tahun 2002 yaitu 21,86 persen. Walaupun demikian, subsektor perkebunan masih tetap memperlihatkan kontribusinya yang besar terhadap penerimaan PDRB Kabupaten Buru bila dibandingkan dengan sektor lainnya. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa subsektor perkebunan merupakan subsektor andalan di Kabupaten Buru yang banyak diusahakan oleh masyarakat dan perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangannya. Komoditi perkebunan yang banyak diusahakan dan merupakan komoditi unggulan di Kabupaten Buru adalah kelapa, kakao, cengkeh, pala, jambu mete
86
dan kopi. Di mana komoditi kakao merupakan komoditi primadona yang sangat diminati untuk dibudidayakan oleh petani disamping komoditi kelapa dan komoditi perkebunana lainnya. Tanaman perkebunan yang pada awalnya menjadi prioritas pengembangan oleh masyarakat di Kabupaten Buru adalah tanaman cengkeh dan kelapa. Namun faktor merosotnya harga cengkeh dan belum membaiknya harga kelapa di pasar nasional maupun lokal, dan semakin membaiknya prospek harga kakao di tingkat
petani
pengembagan
menyebabkan
komoditi
kakao.
semakin Pilihan
besar
petani
perhatian terhadap
petani
pada
pengembangan
komoditas ini juga dipicu oleh begitu besarnya tuntutan kebutuhan pokok keluarga tani yang terus meningkat, sementara meningkatnya kebutuhan tersebut tidak seiring dengan pendapatan petani, selain itu pula faktor keterbatasan lapangan pekerjaan dan tingkat pendidikan menjadi kendala dalam mencari pekerjaan lain. Kondisi inilah yang menjadikan tanaman kakao sebagai komoditi perkebunan yang memiliki luas lahan terbesar kedua setelah kelapa. Pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru masih memiliki peluang dan potensi yang cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang sebagian besar masih mengandalkan tanaman perkebunan sebagai sumber mata pencaharian utama. Ketersedian lahan potensial yang masih luas dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan tanaman kakao setelah pemekaran Kabupaten Buru pada tahun 1999, turut memberikan peluang yang besar terhadap pengembangan usaha tanaman kakao di wilayah ini. Permasalahan yang perlu dikaji kemudian adalah terkait dengan penguasaan perkebunan kakao rakyat yang masih terbatas dengan tingkat produktivitas dan kualitas yang masih rendah, fluktuasi harga dan pasar komoditi ini yang tidak stabil, serta tingginya harga beberapa input produksi yang sebagian besar didatangkan dari luar wilayah Maluku
87
menyebabkan margin yang diterima petani menjadi lebih rendah. Kendala lainnya yang berhubungan dengan pemasaran kakao adalah yang terkait dengan aspek kelembagaan tataniaga yang sampai saat ini belum ditata dengan baik dan penguasaan manajemen usahatani. Secara teknis pertanian, usaha pengembangan perkebunan kakao lebih mengarah pada perluasan areal tanaman, peningkatan produktivitas tanaman serta perbaikan mutu hasil. Berdasarkan laporan Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kab. Buru (2003) bahwa produktivitas tanaman kakao di Kabupaten Buru sekitar 1,12 ton/ha, angka tersebut masih jauh dibawah tingkat produktivitas potensial yang bisa dicapai tanaman kakao yaitu sebesar 2,0 ton/ha (Spillane, 1995). Permasalahan rendahnya produktivitas atau produksi ini kemungkinan juga terkait dengan luas kepemilikan lahan yang rata-rata masih dibawah skala ekonomi usahatani yaitu 0,66-1,00 ha/KK, karena agak sulit untuk meningkatkan produksi bila petani memiliki areal yang sempit. Masalah lain yang sering dialami petani adalah kendala minimnya modal usaha, rendahnya pengetahuan dan ketrampilan petani, kurangnya penggunaan teknologi pertanian, maupun penataan kelembagaan petani dan sistem pemasaran, kemungkinan merupakan penyebab produksi kakao yang dihasilkan petani belum optimal, sehingga keuntungan yang diperoleh para petani juga belum maksimum. Disamping itu, optimalisasi lahan sangat rendah, hal ini terkait dengan cara pengelolaan yang kurang intensif dan masih bersifat tradisional, yang berakibat pada tingkat efisiensi pengusahaan yang juga belum pada kondisi yang efisien secara ekonomi. Oleh karena itu, sampai saat ini usahatani kakao belum mampu menjadi sumber pendapatan utama bagi keluarga tani di Kabupaten Buru. Permasalahan
produktivitas
dan
perbaikan
mutu
produksi
sangat
berpengaruh terhadap penerimaan marjin dan insentif oleh petani, dan sering
88
dikaitkan
dengan
tingkat
motivasi
dan
pengetahuan
petani.
Hal
ini
mengisyaratkan bahwa tingkat marjin dan insentif sangat terkait dengan aspek kelembagaan pemasaran dan manajemen usaha tani. Bila peran kelembagaan petani terorganisir dengan baik dan sistem kelembagaan pemasaran semakin kuat, akan memberikan peluang usaha petani kakao semakin besar, serta bargaining position petani dengan pemerintah semakin
kuat.
Dengan
demikian
semakin
mendorong
petani
dalam
mengembangkan usaha komoditi kakao dan meningkatkan produksinya, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan. Permasalahan lain yang sering dihadapi petani di wilayah pedesaan yaitu mengalami berbagai kendala infrastruktur dan komunikasi yang masih sederhana. Informasi pasar langkah dan mahal untuk diperoleh, sehingga harga tidak berfungsi sebagai kordinator informasi untuk pengalokasian sumber daya secara efisien serta kelembagaan pertukaran formal seperti KUD dan Koperasi tani yang tadinya diharapkan dapat memberikan peranan dalam penentuan harga ternyata kinerjanya semakin kurang mengembirakan. Kondisi inilah yang menyebabkan petani kakao lebih memilih sistem kelembagaan pertukaran diluar institusi pasar (extra market institution) dalam bentuk kelembagaan principleagent, walaupun konsekuensinya akan menerima harga yang lebih kecil (Anwar, 1998). Opsi kelembagaan sering dihubungkan dengan kuatnya ikatan antara petani dengan tengkulak, dan hubungan ini lebih bersifat emosional karena kelembagaan formal yang selalu diharapkan kurang memberikan akses dalam menampung semua jenis transaksi yang diperlukan oleh petani. Persoalan mendasar dari hubungan perinciple-agent adalah adanya informasi yang asimetrik, di mana satu pihak memiliki informasi yang lebih banyak dari pihak lain sehingga menimbulkan persoalan buruknya pilihan (adverse selection) yang bersifat ex-ante dan menimbulkan persoalan bencana (moral hazard) yang
89
bersifat ex-post. Hal ini mengakibatkan terjadinya agency cost atau biaya transaksi yang sangat berpengaruh terhadap kelembagaan yang dipilih oleh petani kakao dalam tataniaga pemasaran hasil. Komponen
permasalahan
tersebut,
mencerminkan
bahwa
tingkat
kesejahteraan petani kakao di Kabupaten Buru belum mencapai taraf hidup optimal. Kondisi ini perlu dikajian lebih mendalam terhadap pengembangan perkebunan kakao rakyat, baik itu dalam perluasan lahan usaha, produktivitas tanaman, perbaikan mutu hasil, maupun penataan sistem kelembagaan petani dan pemasarannya, yang disesuaikan dengan potensi wilayah sehingga dapat meningkatkan pengembangan pembangunan wilayah yang pada akhirnya adalah untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan petani. Mengacu pada berbagai uraian permasalahan tersebut, maka dapat ditetapkan beberapa masalah yang perlu dikaji, antara lain: 1. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif pola pengusahaan perkebunan kakao rakyat terhadap pemanfatan potensi luas lahan di Kabupaten Buru ? 2. Bagaimana kinerja finansial dan ekonomi pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru ? 3. Bagaimana marjin tataniaga dan integrasi pasar sebagai opsi kelembagaan petani dalam sistem tataniaga komoditi kakao di Kabupaten Buru ? 4. Bagaimana respon luas areal terhadap harga kakao dalam pengembangan usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru? 5. Bagaimana
peran
dan
kebijakan
pemerintah
dalam
pengembangan
perkebunan kakao rakyat, khususnya terhadap proteksi harga input dan ouput di Kabupaten Buru ?
90
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan dalam latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Mengkaji
keunggulan
komparatif
dan
kompetitif
pola
pengusahaan
perkebunan kakao rakyat terhadap pemanfatan potensi luas lahan di Kabupaten Buru. 2. Menelaah kinerja finansial dan ekonomi pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru. 3. Mengkaji marjin tataniaga dan integrasi pasar sebagai opsi kelembagaan petani dalam sistem tataniaga komoditi kakao di Kabupaten Buru. 4. Mengkaji respon luas areal terhadap harga kakao dalam pengembangan usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru. 5. Menelaah
peran
dan
kebijakan
pemerintah
dalam
pengembangan
perkebunan kakao rakyat, khususnya terhadap proteksi harga input dan ouput di Kabupaten Buru. 1.3.2. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten Buru dalam menyusun arah kebijakan pembangunan pada sektor pertanian, khususnya dibidang perkebunan. 2. Sebagai masukan bagi petani untuk mengembangkan usahanya dan pihak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya pada komoditi kakao di Kabupaten Buru, sekaligus sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya.
91
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Usaha Komoditas Kakao Dari segi kesesuaian agroekosistem Kabupaten Buru termasuk daerah potensial untuk pengembangan kakao rakya t, dengan memiliki topografi wilayah yang tidak beda jauh dengan daerah-daerah lain di wilayah provinsi Maluku yaitu sebagian besar merupakan perbukitan dan pegunungan dengan tingkat kemiringan rata-rata antara 15 persen sampai 40 persen, kondisi topografi semacam ini sangat cocok untuk pengusahaan tanaman kakao. Secara umum budidaya kakao (Theobroma cacao L,) terdiri atas : pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pasca panen. Sebelum dilakukan kegiatan penanaman, lahan terlebih dulu ditanami pohon pelindung atau dapat dilakukan penanaman dibawah pohon yang sudah ada sebelumnya, dengan pola sistem tumpangsari. Kegiatan budidaya diawali dengan pembibitan kakao yang dilakukan dengan menyamaikan bijinya pada polybag sampai bibit berumur sekitar 6 bulan. Setelah itu bibit dipindahkan ke lapangan, di mana lubang-lubang penanaman dan pohon pelindung telah disiapkan sebelumnya. Jarak tanam kakao yang sangat ideal dalam pola sistem tumpangsari tanaman atau pohon pelindung adalah 3 meter dalam baris dan 6 meter jarak antar baris, sehingga barisan pohon pelindung terletak di antara barisan tanaman kakao. Selama masa pemeliharaan, kegiatan yang perlu dilakukan adalah mempertahankan kesuburan tanah dengan cara mengadakan pemupukan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit serta pemangkasan. Maksud dari pemangkasan
adalah
agar
tajuk
tidak
saling
bersinggungan
sehingga
menghalangi sinar matahari dalam proses fotosintesis. Tujuan lain dari
92
pemangkasan adalah agar dapat merangsang pertumbuhan dan pembuahan yang lebih baik. Tanaman kakao mulai berbuah setelah berumur 3 tahun dengan umur ekonomis 20 sampai 25 tahun. Pemanenan buah kakao dilakukan dengan mengamati tanda yang terjadi pada buah tersebut. Buah yang masak, setelah kulit buah yang merah menjadi orange atau kulit buah yang hijau menjadi kuning, di mana perubahan warna kulit buah tersebut menandakan bahwa buah tersebut sudah masak dan siap dipanen. Secara fisiologi, pada saat demikian maka bijibiji dalam buah mulai lepas dari diding buah. Setelah panen, pengolahan biji kakao untuk siap dipasarkan meliputi kegiatan antar lain : fermentasi, pencucian dan penjemuran. Waktu yang diperlukan untuk fermentasi biasanya 2 sampai 3 hari, kemudian dilanjutkan dengan dilakukan pencucian dengan maksud untuk menghindari kapan atau jamur. Setelah pencucian, tahap selanjutnya biji kakao dikeringkan yaitu dengan penjemuran selama kurang lebih tiga hari, kemudian dilakukan sortasi sebelum dipasarkan ke pabrik pengolahan. Biji kakao digunakan dalam industri pengolahan untuk dijadikan berbagai produk makanan, minuman dan bahan campuran kosmetik. Sedangkan sebagai by product, kulit buah kakao dapat diolah menjadi bahan makanan ternak. 2.2. Kajian Pengembangan Kakao Penelitian Widyastutik (2005) tentang mungkinkah Indonesia mencapai swasembada gula secara berkelanjutan?, yang dilakukan di Kabupaten Madium dengan tujuan untuk menganalisis kemungkinan Indonesia untuk mencapai swasembada gula secara berkelanjutan dan siapa yang sebenarnya menikmati
93
proteksi tinggi yang diberikan terhadap industri gula selama ini. Penelitian ini dengan menggunakan metode analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ekonomi pengusahaan gula pada berbagai pola tidak menguntungkan. Nilai DRC>1 mengindikasikan bahwa pengusahaan gula pada berbagai pola tidak memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan privat yang dimiliki oleh pengusahaan gula lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang terlalu protektif terhadap sistem komoditi, yaitu dalam bentuk tarif impor dan penentuan harga referensi pada ouput, dan subsidi pada
input.
Untuk
mencapai
DRC=1,
analisis
simulasi
menunjukkan
diperlukannya upaya peningkatan efisiensi pengusahan gula (dari subsistem agribisnis hulu hingga ke hilir) yang sangat tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat, sehingga upaya mencapai swasembada gula secara berkelanjutan tidak akan mungkin terwujud. Tambahan pula, proteksi yang tinggi yang diberikan kepada industri gula selama ini tidak dinikmati oleh petani tebu. Menurut Siregar dan Romdhon (2004) dalam penelitian tentang dayasaing industri kecil gula kelapa di Kabupaten Banyumas, dengan menggunakan pendekatan matriks analisis kebijakan dan opsi kelembagaan. Tujuannya dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kenerja finansial dan ekonomi pengusahaan gula kelapa dengan pendekatan analisis matriks kebijakan (PAM), dan mengkaji faktor yang menyebabkan produsen memilih bentuk kelembagaan pemasaran tertentu. Hasilnya menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas gula kelapa memiliki dayasaing yang relatif tinggi. Pengusahaan komoditas tersebut memberikan keuntungan secara privat maupun secara sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa keuntungan sosial lebih besar dibandingkan keuntungan privat. Lebih lanjut dikatakan bahwa distorsi ini terutama disebabkan oleh adanya kegagalan pasar, dan berkenaan dengan kontrak tradisional yang umumnya
94
mengikat produsen gula kelapa (penderes). Sedangkan analisis fungsi logistik menunjukkan
bahwa
pendapatan
rumah
tangga
penderes,
karakteristik
komoditas yang diusahakan dan karakteristik kelembagaan merupakan faktorfaktor penentu opsi kelembagaan pemasaran yang akan dipilih oleh penderes. Aris (2003) melakukan penelitian tentang analisis pengembangan agribisnis kelapa rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir. Peubah penjelas yang dimasukkan dalam persamaan respon luas areal adalah harga riel kopra, harga riel tandan buah segar sawit, upah riel tenaga kerja, peubah bedakala dan dummy otonomi daerah. Hasilnya menunjukkan bahwa secara parsial hanya parameter peubah bedakala luas areal dan dummy otonomi daerah yang nyata, sedangkan parameter lainnya tidak nyata terhadap luas areal. Persamaan produktivitas peubah penjelas yang dimasukkan adalah harga riel kopra, harga riel tandan buah segar sawit, upah riel tenaga kerja, tingkat suku bunga investasi, peubah bedakala dan dummy kebijakan pemerintah dibidang perkebunan kelapa. Hasilnya menunjukkan bahwa produktivitas tanaman kelapa respon terhadap harga kopra, harga sawit, upah riel tenaga kerja dan dummy program pemerintah, namun tidak respon terhadap peubah suku bunga investasi dan bedakala luas areal. Tetapi secara keseluruhan penawaran kelapa di Indragiri Hilir, luas areal lebih responsif dibandingkan dengan produktivitas terhadap perubahan harga kopra dan tingkat upah dalam jangka panjang, namun dalam jangka pendek produktivitas lebih tinggi dan responsif dibandingkan luas areal. Elastisitas penawaran terhadap harga kopra dan upah tenaga kerja dalam jangka panjang lebih besar dibandingkan elastisitas jangka pendek, hal ini disebabkan koefisien penyesuaian bernilai relatif kecil. Selanjutnya menurut Aris, dalam kajian kelayakan usaha dan kebijakan perkelapaan bahwa secara finansial kinerja usahatani kelapa rakyat di Indragiri
95
Hilir sudah tidak layak untuk diusahakan. Namun secara ekonomi usahatani kelapa rakyat di wilayah tersebut masih layak untuk dikembangkan, yang ditunjukkan dengan nilai B/C ratio lebih besar dari satu, NPV yang positif dan IRR yang jauh lebih besar dari suku bunga bank. Untuk analisis kebijakan kelapa rakyat di Indragiri Hilir dengan menggunakan analisis PAM, memperlihatkan bahwa usahatani kelapa rakyat mempunyai keunggulan baik secara kompetitif maupun secara komparatif dengan menggunakan kriteria rasio biaya privat (PCR) dan rasio biaya sumberdaya domestik (DRC) yang diperoleh lebih kecil dari satu. Penelitian Bafadal (2000), tentang produksi dan respon penawaran kakao rakyat di Sulawesi Tenggara. Dalam persamaan luas areal peubah yang dimasukkan adalah harga riel kakao, harga riel cengkeh, upah riel tenaga kerja, harga riel pupuk urea dan peubah bedakala. Sedangkan persamaan produktivitas, peubah penjelas yang dimasukkan adalah harga riel kakao, harga riel cengkeh, upah riel tenaga kerja, harga riel pupuk urea, curah hujan, luas areal dan peubah bedakala. Hasilnya menunjukkan bahwa luas areal tanaman kakao respon terhadap perubahan harga kakao, harga pupuk dan peubah bedakala.
Sedangkan
hasil
respon
produktivitas
menunjukkan
bahwa
produktivitas tanaman kakao tidak berpengaruh terhadap perubahan harga kakao, upah tenaga kerja, harga pupuk urea, curah hujan dan luas areal. Lolowang (1999) dalam penelitian tentang analisis penawaran dan permintaan kakao Indonesia di pasar domestik dan internasional. Data yang digunakan
adalah
data
sekunder
runtun
waktu
1969-1996,
dengan
menggunakan pendekatan ekonometrika dengan persamaan simultan. Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku luas areal tanaman di Indonesia bagian barat dan bagian timur dalam jangka pendek tidak responsif terhadap perubahan harga kakao domestik, harga kopi do mestik, upah tenaga kerja dan
96
tingkat bunga bank. Produktivitas kakao di bagian barat dan bagian timur dalam jangka pendek tidak responsif terhadap harga kakao domestik, harga pupuk dan areal tanaman. Lebih lanjut menurut Lolowang bahwa negara tujuan ekspor kakao Indonesia yaitu Amerika Serikat, Singapura dan Jerman dalam jangka pendek tidak responsif terhadap harga kakao dunia, harga ekspor cocoa butter, produksi kakao Indonesia, nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga. Harga kakao dunia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap penawaran ekspor dunia, sedangkan terhadap permintaan impor dunia tidak responsif dalam jangka pendek tetapi responsif dalam jangka panjang. Harga kakao domestik tidak responsif terhadap harga kakao dunia, penawaran kakao domestik dan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek dan jangka panjang. Wardani, dkk (1997) menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk melihat hubungan antara masukan atau input dengan produktivitas kakao serta pengaruh faktor-faktor endowment (faktor manajemen, lingkungan, intrinsik tanaman) terhadap pergeseran fungsi produksi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 21 peubah yang dimasukkan, terdapat 5 peubah yang berpengaruh nyata positif, 4 peubah berpengaruh negatif dan sisanya berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas kakao. Peubah yang berpengaruh nyata adalah penggunaan pupuk urea (0,02), pupuk kieserite (0,02), fungisida tembaga (0,01) dan tenaga kerja tetap untuk pemupukan (0,02). Faktor endowment yang paling berpengaruh terhadap pergeseran fungsi produksi adalah penerapan manajemen. Manajemen kebun yang baik dapat menggeser fungsi produksi ke atas hingga 284,79 persen, dan manajemen yang kurang baik menggeser fungsi produksi ke bawah hingga 44,20 persen dari fungsi produksi rata-rata.
97
Menurut penelitian Noorsapto (1994) tentang keunggulan komparatif dan dampak kebijakan pemerintah pada komoditas kakao di perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta, dengan menggunakan pendekatan metode analisi s matriks kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM). Dari penelitian tersebut memperlihatkan bahwa semua sistem komoditas kakao adalah menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi. Di mana ketiga bentuk pengusahaan tersebut memiliki keunggulan komparatif dan secara finansial mempunyai keunggulan kompetitif (sebagai komoditi ekspor). Hal yang sama dilakukan oleh Yudhistira (1997), dalam penelitiannya tentang kajian keunggulan komparatif komoditas kakao di PBN Rajamandala Jawa Barat. Bahwa baik secara finansial dan ekonomi pengusahaan komoditas kakao menguntungkan atau layak diteruskan. Dari analisis keuntungan privat diperoleh nilai Rp 303.909/kg kakao kering, dan dengan analisis ekonomi diperoleh keuntungan sebesar Rp 498,54/kg kakao kering. Artinya baik dalam pasar persaingan sempurna dan pasar terdistorsi (ada campur tangan pemerintah) maka pengusahaan kakao layak untuk dijalankan (dikembangkan). Dengan menggunakan kriteria rasio biaya privat (PCR) dan rasio biaya sumberdaya
domestik
(DRC),
pengusahaan
komoditas
kakao
memiliki
keunggulan komparatif dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu, yaitu 0,76 dan 0,58. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Iswandi (1996) terhadap pengusahan kakao oleh petani di Provinsi Sulawesi Tenggara, mengatakan bahwa secara finansial usaha kakao rakyat masih menguntungkan dengan net B/C ratio (pada df 18%) sebesar 3,39, artinya setiap investasi sebesar Rp 1 akan memperoleh penerimaan bersih Rp 3,39. Dengan demikian, dari tinjauan investasi, pengusahaan ko moditas ini oleh petani memang layak. Sedangkan struktur pasar kakao menurut Iswandi adalah persaingan sempurna, karena
98
secara perorangan petani tidak mampu mempengaruhi volume pasar. Hal tersebut disebabkan sebagian besar petani kakao memiliki lahan yang berskala kecil. Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran biji kakao adalah pedagang pengumpul desa, pedagang tingkat kabupaten, pedagang besar dan eksportir di Ujung Pandang, di mana ada hubungan kerjasama yang baik antara lembaga pemasaran dalam permodalan dan informasi harga. Bahwa petani menerima bagian harga sebesar 80 persen dari harga yang berlaku di tingkat eksportir. Harga di tingkat petani adalah Rp 2.000/kg dan di tingkat eksportir Rp 2.500/kg. Marjin pemasaran kotor yang diperoleh pedagang pengumpul sebesar Rp 100/kg dengan keuntungan Rp 44/kg. Pedagang di tingkat kabupaten memperoleh marjin kotor Rp 135/kg, di mana keuntungannya sebesar Rp 47,7/kg. Sedangkan pedagang besar di Ujung Pandang rata-rata memperoleh marjin kotor Rp 265/kg, dan dari marjin tersebut keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 112,6/kg. Sehingga total marjin pemasaran sebesar Rp 500/kg yang dapat diperinci atas biaya pemasaran Rp 295,7/kg dan keuntungan lembaga pemasaran Rp 204,3/kg. Besarnya biaya pemasaran ini terserap pada bagian angkut, muat, bongkar dan timbang. Kondisi ini dapat difahami karena komoditas kakao adalah komoditas ekspor, sehingga kualitas terutama kadar air perlu diperhatikan, disamping itu faktor jarak antara petani dengan eksportir di Ujung Pandang menjadi salah satu penyebab tingginya biaya pemasaran. Dalam
analisis
elastisitas
transmisi
harga
dan
integrasi
pasar,
memperlihatkan nilai elastisitas transmisi harga adalah 0,80, artinya perubahan harga 1 persen pada tingkat eksportir hanya akan menyebabkan perubahan harga pada tingkat petani sebesar 0,80 persen. Sedangkan indeks keterpaduan pasar jangka pendek sebesar 0,94 dan dalam jangka panjang (IMC) adalah 0,36, artinya dalam jangka pendek pasar produsen atau petani kurang terpadu dengan
99
pasar referensi (eksportir), di mana perubahan harga pada tingkat eksportir tidak kuat mempengaruhi perubahan harga pada tingkat petani. Hal ini dipengaruhi oleh faktor jarak yang relatif berjauhan antara kedudukan tempat eksportir dengan sentra produksi. Penelitian yang dilakukan oleh Siregar (1991) tentang teknologi produksi pada tanaman lahan kering dengan menggunakan pendekatan multi-input multioutput. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa elastisitas harga penawaran terhadap harga sendiri dan harga tanaman lain dan harga output adalah inelastis. Elastisitas permintaan pupuk terhadap harga jagung dan harga kacang tanah adalah elastis, yaitu masing-masing 1.165 dan 1.795. Berdasarkan perhitungan return to scale dalam jangka pendek diperoleh hasil yang menurun. Hal tersebut memperlihatkan bahwa peningkatan keuntungan tidak dapat dilakukan tanpa peningkatan areal. 2.3. Kelayakan Pemasaran Kakao Pengusahaan tanaman perkebunan pada umumnya diorientasikan ke pasar, bukan untuk dikonsumsi sendiri, oleh karena itu sistem pemasaran merupakan hal yang harus mendapatkan perhatian dalam memproduksi suatu komoditas. Aspek yang paling menonjol dalam meningkatkan sektor basis dalam perekonomian wilayah adalah aktivitas pemasaran komoditas (Esmara, 1984). Dengan demikian kegiatan pemasaran komoditas secara tidak langsung akan meningkatkan permintaan barang dan jasa baik dari dalam wilayah maupun dari luar wilayah bersangkutan, sehingga dapat mendorong motivasi petani untuk lebih meningkatkan produktivitas usahanya. Sedangkan
pemasaran
sering didefenisikan sebagai suatu sisitem
keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan
100
kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial (Stanton dalam Swastha dan Handoko, 1982). Sementara itu kegiatan pemasaran adalah proses yang meliputi pengumpulan dari tingkat petani atau sentra-sentra produksi di mana komoditas itu dihasilkan. Kemudian disalurkan ke pasar lokal, ke pasar yang lebih luas dan selanjutnya ke tingkat konsumen. Umumnya rantai pemasarn komoditas pertanian mengikuti rantai pemasaran yang demikian, namun biasanya ada juga perbedaan rantai pemasaran komoditas yang diekspor dengan yang tidak diekspor. Tingkat efisiensi sistem tataniaga dapat diukur antara lain dengan pendekatan indikator marjin tataniaga, harga yang diterima petani dan keterpaduan pasar secara vertikal (Nancy, 1988). Indikator marjin tataniaga didasarkan pada konsep efisiensi operasional yang menekankan pada kemampuan meminimu mkan biaya-biaya yang digunakan untuk mengerakkan komoditi dari produsen ke konsumen atau meminimumkan biaya untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Sementara marjin tataniaga (marjin distribusi) merupakan perbedaan antara harga yang diterima petani dengan harga barang bentuk akhir yang dibayar konsumen akhir atau kumpulan balas jasa yang diterima oleh pelaku tataniaga. Fluktuasi harga komoditi yang diterima oleh produsen akan ditentukan oleh perkembangan harga di tingkat konsumen, maka untuk mengukur efisiensi tataniaga menurut Azzaino (1981), digunakan elastisitas transmisi harga, yaitu semakin besar nilai elastisitas transmisi harga maka semakin efisien sistem tataniaga tersebut. Secara matematis persamaan elastisitas transmisi harga (Et) adalah sebagai berikut:
Et =
∂Pf Pr ……………………………………………………….. (1) * ∂ Pr Pf
101
Parameter tersebut dapat diduga dengan menggunakan model regresi linier
Pf = bo + b1 Pr + ei ……………………………………………………. (2) sederhana sebagai berikut: dimana : Pf
= Harga di tingkat petani kakao (Rp/Kg)
Pr
= Harga di tingkat tengkulak/eksportir kakao (Rp/Kg)
b0
= Konstanta; b1 = Koefisien regresi; ei = galat.
Jika Et sama dengan satu berarti laju perubahan harga di tingkat petani sama dengan laju perubahan harga di tingkat tengkulak/ekportir kakao. Jika Et lebih kecil dari satu berarti laju perubahan harga di tingkat petani lebih kecil dari laju perubahan harga di tingkat tengkulak/eksportir kakao. Hal ini menunjukan adanya kekuatan monopsoni atau oligopsoni pada lembaga tataniaga, sehingga biasanya kenaikan harga yang terjadi hanya dinikmati oleh lembaga tataniaga. Jika Et lebih besar dari satu berarti laju perubahan harga di tingkat petani lebih besar dari laju perubahan harga di tingkat pedagang pengumpul/eksportir kakao. Sedangkan indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi suatu kelembagaan tataniaga yaitu dengan integrasi pasar secara vertikal (vertical market intergration). Indikator ini menunjukkan sejauh mana harga di tingkat petani dipengaruhi harga pada tingkat ekportir, secara dinamis dengan menggunakan
Lag
operator
indikator
tersebut
dapat
diukur
dengan
menggunakan rumus berikut : Pft-Pf t- 1 = d o + d1(Pf t- 1 - Pr t-1) + d2 (Prt - Pr t-1) + d3 (Pr t- 1) + ei …..………..………. (3) dimana : Pf t = harga kakao di tingkat petani pada tahun t Pr t = harga kakao di tingkat pedagang pengumpul/eksportir pada tahun t d0,d1,d 2,d 3 = Koefisiesn regresi ei = Kesalahan acak
102
Setelah diperoleh koefisien regresi dari persamaan tersebut, persamaan tadi disusun kembali untuk memperjelas interpretasi dari koefisien regresi yang diperoleh menjadi persamaan berikut: Pf = d o + (1+d1)Pf t-1 + d 2 (Pr-Pr t- 1) + d3 (Pr t- 1) + ei ………………………………… (4) Sehingga jelas terlihat bahwa koefisien (1+d1) dan (d3-d1) masing-masing merefleksikan kontribusi dari pergerakan harga di pedagang pengumpul dan harga di ekportir terhadap pembentukan harga tingkat petani. Selanjutnya informasi ini dapat digunakan untuk menghitung Index of Market Integration yang menggambarkan perbandingan dari koefisien pasar di tingkat petani dengan koefisien pasar pada tingkat ekportir kakao melalui persamaan berikut :
IMC =
1 + d1 d 3 − d1
……………………………………………………………………. (5)
Jika IMC < 1 menunjukkan adanya intergrasi pasar yang tinggi dalam arti bahwa harga di petani memiliki pengaruh dominan terhdap pembentukan harga di pasar eksportir. Dalam kondisi ekstrim bila nilai d1 = -1 sehingga diperoleh nilai IMC = 0, maka faktor-fakor lokal sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadap pembentukan harga pada tingkat petani. Sebaliknya jika diperoleh nilai IMC > 1 maka kondisi lokal memiliki pengaruh yang do minan terhadap pembentukan harga di pasaran lokal. 2.4. Kelembagaan Usaha Perkebunan Kakao Kelembagaan diartikan sebagai suatu keeratan sistem manajemen dalam menunjang pengusahaan kakao yang dibentuk oleh pelaku-pelaku yang terlibat dalam pengushaan kakao yang sifatnya formal maupun non-formal yaitu petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, eksportir dan industri pengolahan, institusi masyarakat maupun lembaga pemerintah. Kelembagaan dapat terbentuk mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai pada pemasaran
103
hasil komoditas kakao. Hubungan antara lembaga itu bersifat saling melengkapi, di mana beberapa perusahan industri pengolahan biji kakao dengan manajemen yang terpisah mempunyai hubungan yang saling menguntungkan dengan pedagang pengumpul maupun dengan eksportir (pedagang antar pulau), misalnya dalam hal penentuan harga beli dan harga jual biji kakao kering. Pengertian lain dari kelembagaan yaitu merupakan aturan seperangkat tingkah laku yang mengatur pola hubungan dan pola tindakan. Kelembagaan sangat penting dalam pembangunan nasional karena mempunyai kontribusi yang besar dalam memecahkan masalah aktual yang dihadapi oleh masyarakat, terutama dalam proses pembangunan yang mengkoordinasikan para pemilik input dalam proses menghasilkan output dan mendistribusikan dari pada output tersebut. Menurut Anwar (2000) menyatakan bahwa kelembagaan (institution), sebagai aturan main (rule of the game), namun kelembagaan sering di identikan dengan organisasi. Dalam koridor ekonomi kelembagaan, organisasi memainkan peranan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Tindakan strategis untuk mencapai efisiensi dalam alokasi sumberdaya yang optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan (division of labour), sehingga setiap pekerja dapat bekerja secara profesional dengan produktivitas yang tinggi. Peningkatan pembagian pekerjaan selanjutnya akan mengarah kepada spesialisasi ekonomi, sedangkan spesialisasi yang berlanjut akan mengarah kepada peningkatan efisiensi dengan produktivitas yang semakin tinggi. Sebagai hasil dari pembagian pekerjaan dan spesialisasi pada sistem ekonomi maju sering mengarah kepada keadaan di mana orang-orang menjadi hampir tidak mampu lagi berdiri sendiri, dalam arti mereka tidak dapat menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan untuk kebutuhan kehidupan (konsumsinya) sehingga pemenuhan kebutuhannya
104
diperoleh dari orang/pihak lain yang berspesialisasi melalui suatu pertukaran (exchange atau trade) yang dalam ekonomi disebut transaksi ekonomi. Barang dan jasa tersebut akan dapat dipertukarkan apabila hak-hak (property right) dapat ditegaskan, sehingga dapat ditransfer kepada pihak lain. Agar transaksi ekonomi tersebut dapat berlangsung perlu adanya koordinasi antar berbagai pihak
dalam
sistem
ekonomi,
yang
sekaligus
juga
mencakup
"aturan
representasi" dari pihak-pihak yang berkoordinasi tersebut. Ada dua hal utama yang mendasari lahirnya bentuk koordinasi yaitu koordinasi untuk keperluan yaitu : (a) Transaksi melalui sistem pasar, di mana harga-harga menjadi panduan dalam mengkoordinasikan alokasi sumberdayasumberdaya tersebut. Pengertiannya dalam hal ini harga-harga berperan sebagai pemberi isyarat (signals) dan sebagai pembawa informasi yang mengatur koordinasi alokasi sumberdaya kepada pembeli dan penjual. (b) Transaksi tersebut dilakukan dalam sistem organisasi-organisasi yang berhirarki di luar sistem pasar (extra market institution), di mana wewenang kekuasaan (power) atau otoritas berperan sebagai koordinator dalam mengatur alokasi sumberdaya tersebut. Proses transaksi pertukaran barang dan jasa menurut Coase tidak semuanya berlangsung hanya pada kelembagaan pasar, karena dalam menggunakan sistem harga sebagai pemberi informasi handal (terpercaya) diperlukan biaya (cost). Pentingnya biaya tersebut dibutuhkan untuk menemukan "harga yang relevan" yang pada umumnya memerlukan biaya (biaya informasi). Selanjutnya untuk melaksanakan transaksi dibutuhkan suatu kontrak. Untuk keperluan kontrak tersebut diperlukan biaya, yang disebut biaya kontrak (contract cost) atau secara umum disebut biaya transaksi (transaction cost).
Biaya
transaksi dibedakan atas 2 jenis yaitu (a) transaction cost jenis ex ante, yaitu biaya transaksi sebelum berlangsungnya kontrak, seperti : biaya legislasi, negosiasi dan pengamanan perjanjian, dan (b) transaction costs jenis ex post,
105
yaitu biaya transaksi saat/setelah berlangsungnya kontrak seperti : biaya pengadaan, biaya tawar menawar, biaya pembentukan dan pelaksanaan asosiasi dan biaya pengikatan keefektifan jaminan komitmen. Dalam kasus di mana biaya transaksi semakin mahal, maka sistem organisasi merupakan suatu alternatif pilihan yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem pasar untuk melaksanakan transaksi ekonomi dan bisnis. Penggunaan/Alokasi SD Pembagian Pekerjaan Spesialisasi Ekonomi Transaksi Ekonomi Koordinasi Informasi Sistem Organisasi
Sistem Pasar Alternatif
Otoritas
Harga Kombinasi
Gambar 1.
Penentuan Pilihan Iinstitusi Melalui biaya Transaksi (Transaction Cost).
Analisis
Ekonomi
Biaya-
Sumber : Anwar 1998. Apabila informasi tersebut tidak sempurna (inperfect information) dan biaya transaksi relatif besar, maka transaksi ekonomi atau koordinasi akan terjadi melalui sistem organisasi, sebaliknya apabila informasi sempurna (perfect information) dan biaya transaksi relatif rendah, maka transaksi ekonomi atau koordinasi akan terjadi melalui sistem pasar. Dalam pengembagannya kelembagaan memiliki tiga komponen utama yang mencirikan suatu kelembagaan, yaitu : batas yuridiksi, property right, dan
106
aturan representasi. Batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan. Property right mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya
terhadap
sumberdaya.
Sedangkan
aturan
representasi
menentukan siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan sumberdaya yang dibicarakan. Lebih tegas penjelasan pemahaman tentang kelembagaan, menurut Anwar (1995), bahwa selama ini sering terjadi kesalah pahaman, di mana arti kelembagaan seringkali di identik atau dicampur-adukkan dengan sistem organisasi. Pada hal
konsep ekonomi kelembagaan (institutional economic),
organisasi merupakan suatu bagian (unit) pengambil keputusan yang di dalamnya diatur oleh sistem kelembagaan atau aturan main (behavior rule). Aturan main mencakup kisaran yang luas dari bentuk yang berupa konstitusi dari suatu negara, sampai kepada kesepakatan antara dua belah pihak (individu) yang menyepakati suatu aturan secara bersama mengenai pembagian manfaat dan beban (biaya) yang harus ditanggung bersama di antara pihak yang terkait guna mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu unsur-unsur kelembagaan yang mengatur transaksi pertukaran manfaat-biaya di antara para pesertanya menjadi sangat penting. Teori ekonomi neo-klasik terlalu menekankan kepada masalah pemilihan alternatif alokasi sumberdaya dengan mengasumsikan bahwa motivasi manusia dan kelembagaan adalah tetap (given). Sehubungan dengan ini, manusia sebagai pelaku ekonomi akan bertindak rasional dalam memilih alternatif yang tersedia, yaitu berdasar pengetahuan yang sempurna (full knowledge) dan mengetahui semua informasi tentang suatu komoditas (full information) yang akan dipertukarkan. Dalam konsep tersebut diasumsikan bahwa tiap pilihan
107
dalam alternatif dianggap tanpa resiko (absence of risk ). Pada hal kita ketahui bahwa usaha pertan ian pada umumnya beresiko tinggi sehingga akan mempengaruhi efisiensi dalam alokasi sumberdaya. Dengan demikian setiap pelaku dalam usaha pertanian selalu berespon terhadap resiko dan berusaha untuk menghindari risiko atau setidaknya menekan risiko menjadi sekecil mungkin. Suatu aktivitas ekonomi dikatakan secara teknis efisien, apabila sejumlah input tertentu menghasilkan maksimum output, atau sejumlah output tertentu dicapai dengan input minimal. Sedangkan suatu proses produksi dikatakan efisien apabila dengan biaya tertentu dicapai keuntungan maksimal. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa pengukuran tingkat efisiensi sangat sulit dilakukan. Sumber in-efficiency disebabkan adanya biaya produksi dan biaya transaksi yang tinggi, sehingga menyebabkan biaya untuk mencapai tingkat keuntungan/utilitas tertentu menjadi tinggi. Biaya-biaya produksi seperti biaya tenaga kerja, lahan dan input lainnya telah banyak diteliti dan relatif mudah diperhitungkan. Akan tetapi selain biaya produksi, biaya transaksi (transaction costs) merupakan komponen biaya lain yang tidak kalah pentingnya dengan biaya produksi, atau bahkan dapat menjadi faktor yang berperan lebih penting dalam ekonomi pertukaran (exchange economy ). Oleh karena itu ke dalam konsep efisiensi perlu memasukkan biaya transaksi tersebut yang meliputi : biaya informasi (information costs), biaya pengawasan (policy costs), dan biaya pengambilan keputusan (decision making costs). Peraturan mengenai standarisasi, grading, informasi pasar, kelancaran komunikasi dan sebagainya akan mempengaruhi biaya informasi, atau dengan perkataan lain bahwa biaya informasi adalah fungsi dari ketersediaan sarana, komunikasi, dan biaya-biaya yang timbul atas usaha campur tangan pemerintah. Umumnya petani memiliki informasi yang sangat terbatas, sehingga mereka tidak
108
memiliki kemampuan untuk membayar jasa tersebut. Akibatnya akan terjadi struktur informasi yang asimetrik antara petani dan lembaga pemasaran lainnya. Dengan demikian harus diciptakan kelembagaan yang dapat mengurangi kendala informasi tersebut, sehingga pada akhirnya petani dapat memperoleh nilai tambah yang lebih besar. Usaha untuk mengurangi struktur asimetrik merupakan upaya yang harus mengarah pada inovasi sistem kelembagaan yang dapat lebih merata distribusi nilai tambahnya yang pada gilirannya akan melandasi jaminan ke arah sistem kegiatan agribisnis yang berkelanjutan (sustainable agribussiness). Efektifitas suatu peraturan yang menyangkut mutu komoditas (standarisasi) sangat mempengaruhi biaya pengawasan. Biaya pengawasan yang tinggi sering menjadi suatu kendala dalam pengawasan dan penilaian terhadap suatu produk baik mutu maupun ke asliannya karana untuk membuktikan produk itu asli atau tiruan maka memerlukan biaya yang besar. Sebagai akibatnya, produk-produk yang bermutu rendah akan beredar dipasaran yang pada gilirannya akan merugikan masyarakat petani. Sistem birokrasi pemberi izin usaha yang panjang dan rumit akan mengakibatkan biaya transaksi yang tinggi dalam bentuk peningkatan biaya pengambilan
keputusan.
Semakin
tinggi
biaya
yang
dibutuhkan
untuk
pengambilan keputusan, maka akan semakin rendah nilai relatif barang atau jasa yang diperjual belikan, dengan kata lain biaya pengambilan keputusan juga merupakan variabel yang strategis dalam rekayasa kelembagaan. Menurut Anwar (1995), terjadinya sistem kontrak antara petani dengan pedagang atau tengkulak baik secara formal maupun informal merupakan salah satu solusi atau instrumen untuk mengurangi biaya transaksi (transaction cost) dan mencegah terjadinya kerusakan moral (moral hazard) dari keadaan
109
ketidakpastian pemasokan input bahan dasar yang dilakukan oleh petani pemasok yang bersifat oportunistik. Ikatan kontrak secara formal maupun informal sering melibatkan pedagang, tengkulak, maupun pengusaha dalam pemberian ikatan kredit berupa uang muka maupun di dalam pemberian pasokan input usahatani. Adanya resiko yang berkaitan dengan penyediaan input dasar, sebenarnya merupakan motivasi penting bagi tengkulak bersama pengusaha dalam memberikan kredit kepada petani. Untuk meningkatkan informasi, terutama di wilayah pertanian yang telah tumbuh aktivitas komersialnya bersama dengan meningkatnya volume hasil-hasil pertanian yang ditransaksikan, maka tambahan informasi di atas akan meningkatkan hubungan personal yang selama ini biasa terjadi dalam kebanyakan aktivitas ekonomi tradisional. Sedangkan perluasan pasar yang terjadi pada peristiwa ini menjadi sumber informasi yang akan mengarah kepada perbaikan organisasi kelembagaan yang akan dibentuk. Introduksi satu pola pengembangan yang didasarkan atas informasi yang menyangkut kendalakendala dan keragaan efisiensi, dampaknya akan terjadi baik dalam kaitan ke belakang maupun ke depan. Selanjutnya Anwar (1995) menyatakan, dengan asumsi bahwa petani mempunyai rasionalitas yang terbatas (bounded rationality) di mana pada keadaan yang sebenarnya petani mampu memilih alternatif yang terbaik, tetapi alternatif pilihan yang tersedia terlalu sempit, sehingga akibatnya harga yang diterima petani cenderung lebih rendah. Meskipun de mikian, sesuai dengan kendala-kendala yang dihadapinya, petani masih memperhitungkan manfaat dan biaya (benefit/cost) yang berkaitan dengan tindakan mengatasi setiap resiko dengan mengingat kendala-kendala yang dihadapinya. Atau mereka bersikap dengan menetapkan tingkat keamanan pada besarnya resiko tertentu (tolerable risk ) yang masih dapat diterima oleh petani, sehingga petani akan mengambil
110
alternatif cara penanggulangan resiko yang paling murah (cost effective). Tingkat resiko ini dapat dibandingkan dengan semacam tingkat perlindungan minimum yang diperlukan oleh petani (safety first attitude), agar dapat menutupi tingkat kerugian tertentu yang mungkin terjadi, terutama jika dihadapkan kepada keamanan
untuk
survival
kehidupan
keluarganya
dalam
menghadapi
kemungkinan terjadinya musibah. Kelembagaan pemasaran hasil pertanian mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kelembagaan usaha pertanian seperti diuraikan sebelumnya. Dalam hal ini ada kalanya kegiatan kelembagaan pemasaran sering terlepas dengan kegiatan usaha petani, di mana petani selalu berada pada posisi yang paling lemah. Tingkah laku pasar (market coduct) juga sering merugikan petani, karena pedagang/lembaga pembeli komoditas pertanian yang menentukan harga secara searah. Keadaan tersebut terjadi karena sistem informasi yang asimetrik (asymmetric information) dan menimbulkan struktur pasar yang tidak bersaing atau malah keberadaan pasar tidak terwujud (missing market). Di lain pihak, petani mempunyai kesempatan yang sangat terbatas untuk memasarkan sendiri produksi pertaniannya. Hal ini disebabkan karena pasar desa terbatas jumlahnya, disamping itu dalam menjalankan usahatani petani banyak tergantung kepada jasa pedagang/tengkulak yang ada. Peran sentral yang dimainkan oleh pedagang atau tengkulak sangat membantu petani dalam menyampaikan/menyalurkan hasil pertanian pada waktu, jumlah dan tempat yang sesuai dengan kebutuhan petani dan konsumen. 2.5. Pembangunan Wilayah 2.5.1. Pembangunan Ekonomi Wilayah Pengertian kata pembangunan sering diartikan sebagai suatu proses perubahan dengan berbagai inovasi baru untuk membuat sesuatu yang
111
sebelumnya tidak ada menjadi ada atau menambah dan memperbaiki sesuatu yang sudah ada, dan pada akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi. Pembangunan juga didefinisikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Sedangkan pengertian pembangunan menurut Todaro (2000) bahwa pembangunan harus dipahami sebagai suatu yang multidimensional, yang melibatkan segenap pengorganisasian dan peninjauan kembali atas sistemsistem ekonomi dan sosial secara keseluruhan, dengan tetap mengejar akselerasi ekonomi. Jadi pada hakekatnya, bahwa pembangunan harus betul-betul mewakili perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara menyeluruh tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Dengan konsep pembangunan tersebut Todaro (2000) membagi tiga komponen inti yang harus memenuhi tiga komponen utama yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustenance), jatidiri (selfesteem) serta kebebasan (freedom). Artinya pembangunan dalam berbagai skala baik lokal, regional, nasional maupun internasional meliputi suatu wilayah dan mempunyai tekanan utama pada perekonomian, keadaan fisik dan nonfisik (Jayadinata, 1999). Menurut Anwar dan Setia Hadi (1996), penentuan peranan sektor-sektor pembangunan diharapkan mewujudkan keserasian antar sektor pembangunan sehingga
dapat
meminimalisasikan
inkompabilitas
antar
sektor
dalam
pemanfaatan ruang; mewujudkan keterkaitan antar sektor baik ke depan maupun
112
ke belakang dan proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju serta menghindari kebocoran dan kemubaziran sumberdaya. Perubahan yang terjadi baik secara incremental maupun paradigma menurut Anwar (2001b), bahwa paradigma pembangunan wilayah seharunya lebih mengarah kepada penguatan basis ekonomi dan memiliki perinsip keseimbangan antara pemerataan (equity) yang mendoronng pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Dalam proses perkembangannya konsep pembangunan yang mengarah kepada ketiga aspek tersebut, secara evolusi dengan melewati limit waktu yang ditentukan oleh perubahan tata nilai dalam masyarakat, misalnya terjadinya perubahan keadaan sosial, ekonomi, serta realitas politik. Skala spasial yang paralel dan berhubungan dengan hirarkhi administrasi dan ekologi Pandangan jauh kedepan memerlukan terjadinya proses yang berkembang secara evolutif yang dapat mempengaruhi keberlanjutan (sustainability)
Spasial Internasional
Temporal
Nasional
Regional
Aspek-aspek diatas perlu dipetimbangkan agar tindakan kebijaksanaan mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat menyeluruh
Lokal
Aspek-aspek
Ekonomi
Sosial
Lingkungan
Sumber : Anwar (2002) Gambar 2. Kerangka Berfikir 3 – dimensi tentang keberlanjutan
Di lain sisi pembangunan ekonomi wilayah sejogyanya dilakukan dengan menggunakan paradigma baru melalui pembangunan yang berbasis komunitas lokal (local community-based economy) dan sumberdaya deomestik. Untuk mencapai hakekat tujuan pembangunan maka perencanaan dan pengelolaan pembangunan seharusnya lebih mengarah kepada peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat, maka perlu mencurahkan perhatian kepada
113
semua aspek-aspek tentang kesejahteraan manusia, yang secara spasial dan menurut lintasan waktu akan bermuara kepada sistem cara perencanaan dan pengelolaan pembangunan melalui kelembagaan. Berdasarkan paradigma pembangunan wilayah, ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The Second Fundamental of Welfare Economics). Dalil ini menyatakan bahwa sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi melalui transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan ekonomi selebihnya dapat diserahkan kepada mekanisme pasar. Sedangkan pengertian dari paradigma ini kepada pembangunan
spasial
adalah
untuk
mencari
keseimbangan
kemajuan
pembangunan yang lebih merata secara regional (regional balance) dengan memanfaatkan potensi dan jenis keunggulan yang terdapat pada masing-masing wilayah dan menekan untuk tidak terjadinya urban bias. Dengan
pendekatan
strategi
pembangunan
sebagaimana
yang
dikemukakan di atas, maka Arsyad (1999) mengemukak an bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi suatu wilayah dapat ditunjukkan pada tiga hal utama yaitu : (a) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), (b) meningkatkan rasa harga diri (self esteem) masyarakat sebagai manusia, (c) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan hak asasi dari setiap individu (manusia). 2.5.2. Teori Basis Ekonomi : Teori Lokasi Untuk lebih mengenal potensi aktivitas ekonomi suatu wilayah, maka pendekatan analisis yang sering digunakan adalah analisis basis ekonomi yang merupakan rujukan dalam menentukan keunggulan komparatif dan sekaligus sektor basis yaitu Location Quotient Analysis (LQ), dan untuk melihat kemampuan berkompetisi (competitiveness) dari suatu aktifitas ekonomi tertentu
114
(komoditas) pada suatu wilayah, maka langkah yang dipakai adalah dengan pendekatan Shifr-Share Analysis (SSA). Pendekatan dari kedua analisis ini adalah untuk melihat keunggulan baik secara komparatif maupun kompetitif suatu sektor di suatu wilayah. Potensi ekonomi suatu wilayah dapat dikatagorikan basis dan bukan basis dengan menggunakan metode LQ, yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Aktivitas ekonomi suatu wilayah dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu sektor basis di mana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang. Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja seragam serta masing-masing industri menghasilkan produk atau jasa yang seragam. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumberdata yang tersedia (Blakely, 1994 dan Rondinelli, 1995). Jika penelitian dimaksudkan
untuk
mencari
sektor
yang
kegiatan
ekonominya
dapat
memberikan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya maka yang dipakai sebagai dasar ukuran adalah jumlah tenaga kerja sedangkan bila keperluannya untuk menaikkan pendapatan daerah, maka pendapatan merupakan dasar ukuran yang tepat sedangkan jika hasil produksi maka jumlah hasil produksi yang dipilih. LQ juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada substitusi
115
impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor (Shukla, 2000). Arus pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi industri basis akan meningkatkan investasi, kesempatan kerja, pendapatan dan konsumsi, pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan kesempatan kerja serta menaikkan permintaan hasil industri non basis (Kadariah, 1978). Hal ini berarti kegiatan industri basis mempunyai peranan penggerak pertama (prime mover role), di mana setiap perubahan kenaikan atau penurunan mempunyai efek pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian wilayah. Untuk melihat perkembangan suatu wilayah dapat diketahui dari efek pengganda yang terbagi atas efek pengganda pendapatan dan efek pengganda tenaga kerja, di mana penetapan jenis efek pengganda itu sendiri sangat tergantung dari indikator yang akan digunakan. Umumnya indikator yang digunakan adalah pendapatan dan tenaga kerja. Menurut Blakely (1994) Pengganda pendapatan itu sendiri merupakan aproksimasi terbaik untuk mengetahui potensi perubahan kesejahteraan dari suatu aktivitas ekonomi baru. Asumsi dasarnya bahwa suatu perubahan di sektor produksi akan menghasilkan peningkatan pendapatan masyarakat. Sedangkan pengganda tenaga kerja bertujuan penciptaan sejumlah pekerjaan baru yang diciptakan oleh aktivitas ekonomi baru dalam masyarakat. Untuk memahami pergeseran struktur suatu aktifitas atau sektor serta menghitung seberapa besar share masing-masing sektor atau aktifitas tersebut disuatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi dengan cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu, yaitu dengan menggunakan ShiftShare Analysis. Hasil analisis ini dapat menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitveness) tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan
116
aktifitas dalam cakupan wilayah yang lebih luas, yang terkait dengan pertumbuhan suatu wilayah. Hasil analisis shift-share mampu menjelaskan kinerja suatu aktifitas atau sektor pada suatu wilayah dan membandingkannya dengan kinerja di dalam total wilayah. Disamping itu hasil analisis juga memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah antara lain: (a) berasal dari dinamika lokasi (sub wilayah), (b) dari dinamika aktifitas/sektor dari total wilayah, dan (c) dinamika wilayah secara umum. Sehingga secara umum akan dijelaskan dalam tiga komponen hasil analisis yaitu: (1) Komponen laju pertumbuhan total (komponen share), yang menjelaskan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah; (2) Komponen pergeseran proporsional, yang menjelaskan pertumbuhan total aktifitas atau sektor tertentu secara relatif. Dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor atau aktifitas total dalam wilayah; (3) Komponen pergeseran differensial, yang menggambarkan bagaimana tingkat competitiveness suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan sektor atau aktifitas dalam wilayah.
2.6. Kelayakan Usaha Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat 2.6.1. Kelayakan Finansial Untuk mengetahui secara komprehensif bagaimana aspek pengembangan komoditi kakao rakyat maka harus dikaji kelayakannya secara finansial. Menurut Gittinger (1982) aspek finansial terutama menyangkut perbandingan antara pengeluaran dengan pendapatan (revenue earnings) dari pengembangan komoditi kakao rakyat, serta waktu yang digunakan untuk mendapatkan hasil (returns). Sehingga untuk mengetahui secara komprehensif tentang kinerja layak atau tidaknya
suatu
aktivitas
usahatani
komoditi
kakao
rakyat,
maka
117
dikembangkan berbagai kriteria, yang pada dasarnya membandingkan antara biaya dan manfaat atas dasar suatu tingkat harga umum tetap yang diperoleh dari pengembangan komoditi kakao rakyat yang menggunakan nilai sekarang (present value) yang telah didiskonto selama umur industri tersebut. Oleh karena itu akan dipakai cara penilaian dalam pengembangan komoditi kakao rakyat dengan mengunakan Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau Analisis Aliran Kas yang didiskonto (Gittinger, 1982), analisis ini memiliki keunggulan yaitu bahwa uang mempunyai nilai waktu. Sedangkan yang membedakannya dengan teknik lain adalah direncanakan untuk menilai harga suatu pengusahaan komoditi kakao rakyat dengan memperhitungkan unsur waktu kejadian dan besarnya aliran pembayaran tunai (cash flow), Di mana biaya dipandang sebagai negative cash flow sedangkan pendapatan/penerimaan sebagai positive cash flow. Sedangkan faktor untuk mengkonversi nilai masa depan ke nilai sekarang disebut discount rate dan prosesnya disebut discounting. Sehingga discount rate terjadi di mana nilai sekarang dari biaya dan manfaat akan sama dengan IRR. Oleh karena itu dalam menilai pengusahaan komoditi kakao rakyat yang menggunakan discounted cash flow analysis didasarkan atas tiga kriteria kinerja keuangan berikut (Darusman, 1981; Gittinger, 1982 ;), yaitu : (1) Net Present Value (NPV) NPV merupakan merupakan nilai sekarang dari suatu usahatani kakao rakyat dikurangi dengan biaya sekarang dari suatu pengusahaan kakao pada tahun tertentu. Seleksi formal terhadap NPV untuk mengukur nilai suatu usahatani kakao rakyat bila NPV usahatani rakyat bernilai positif bila didiskonto pada Social Opportunity Cost of Capital. Di mana bila nilai NPV > nol (positif) maka usahatani tersebut diprioritaskan pelaksanaannya (tanda "GO"). Apabila besarnya NPV sama dengan nol berarti usahatani kakao rakyat mengembalikan persis sebesar social opportunity cost of capital. Sedangkan apabila besarnya
118
NPV < nol (negatif) maka sebaiknya usahatani kakao ditolak dan sekaligus mengindikasikan ada jenis penggunaan lain yang lebih menguntungkan bagi sumber-sumber yang diperlukan usahatani kakao rakyat. (2) Internal Rate of Return (IRR) Cara lain untuk penggunaan aliran kas yang terdiskonto untuk menilai suatu usahatani kakao rakyat adalah dengan menentukan discount rate di mana NPV aliran kas sama dengan Nol, dan benefit cost ratio sama dengan satu discount rate ini disebut IRR yang merupakan tingkat suku bunga yang membuat usahatani kakao rakyat akan mengembalikan semua investasi selama umur usahatani kakao rakyat. Suatu usahatani kakao rakyat akan diterima bila IRR-nya lebih besar dari opportunity cost of capital atau lebih besar dari suku bunga yang didiskonto yang telah ditetapkan, dan sebaliknya usahatani kakao rakyat itu akan ditolak bila nila IRR lebih kecil dari suku bunga. Biasanya untuk menghitung besarnya IRR dilakukan dengan trial and error dengan nilai suku bunga (i) tertentu yang dianggap mendekati nilai IRR yang benar dan selanjutnya menghitung NPV dari arus pendapatan dan biaya. Jika nilai IRR lebih kecil dengan nilai suku bunga (i) yang berlaku sebagai social discout rate, maka NPV usahatani kakao rakyat besarnya < nol (negatif) artinya usahatani kakao rakyat sebaiknya tidak dilaksanakan. Sedangkan, jika nilai IRR > dari social discount rate maka kakao rakyat dapat dilaksanakan. (3) Benefit Cost Ratio (B/C ratio). B/C rasio dipakai secara eksklusif untuk mengukur manfaat sosial dalam analisis ekonomi dan jarang dipakai untuk analisis investasi private. B/C rasio sendiri
merupakan
cara
evaluasi
usahatani
kakao
rakyat
dengan
membandingkan nilai sekarang dari seluruh hasil yang diperoleh suatu usahatani kakao rakyat dengan nilai sekarang dari seluruh biaya pengusahaan kakao.
119
Diperoleh dengan cara membagi jumlah hasil diskonto pendapatan dengan jumlah hasil diskonto biaya. Kriteria yang digunakan adalah jika B/CR > 1 berarti NPV > 0 dan memberikan tanda "GO" untuk suatu usahatani kakao rakyat. Sedangkan apabila B/CR < 1 berarti NPV < 0 dan memberikan tanda "NO GO" untuk suatu usahatani kakao rakyat. 2.6.2. Kelayakan Ekonomi Analisis ekonomi ditujukan untuk mengestimasi nilai ekonomi kakao rakyat terhadap perekonomian masyarakat. Dengan melakukan penyesuaian harga finansial agar dapat menggambarkan nilai sosial secara menyeluruh baik untuk input maupun output perkebunan kakao. Harga pasar barang atau jasa diubah agar lebih mendekati opportunity cost (nilai barang atau jasa dalam alternatif pemanfaatan yang terbaik), sedangkan harga sosial merupakan harga bayangan (shadow price/accounting price). Atau lebih tepat lagi dikatakan bahwa harga bayangan adalah setiap harga barang atau jasa yang bukan merupakan harga pasar (belum diketahui), untuk menggambarkan distribusi pendapatan dan tabungan masyarakat (Chandra,1980; Gittinger,1982; Kadariah,1988). Selain itu harga pasar dalam analisis ekonomi tidak mengambarkan nilai kelangkaan, sehingga merubah nilai pendapatan nasional menjadi opportunity cost. Ada beberapa cara untuk menyatakan nilai ekonomi tersebut ke dalam nilai tukar domestik, (1) menggunakan harga bayangan nilai tukar luar negeri (shadow price of foreign exchange), yang akan meningkatkan nilai produk yang diperdagangkan karena muncul premium terhadap nilai tukar luar negeri yang disebabkan oleh kebijakan perdagangan, (2) menggunakan nilai tukar resmi dan menerapkan faktor konversi terhadap opportunity cost atau nilai pemanfaatan barang yang tidak diperdagangkan yang dinyatakan ke dalam nilai tukar domestik.
120
Perbedaan unsur-unsur antara kedua alat analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 berikut; Tabel 3. Unsur - Unsur Perbedaan Dalam Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi No. UNSUR
PERBEDAAN ANALISIS FINANSIAL
EKONOMI
1.
HARGA
Harga yang dipakai adalah harga yang berlaku setempat (market price) atau harga yang diterima pengusaha
Harga yang dipakai adalah harga bayangan (shadow price) , yang merupakan opportunity cost
2.
SUBSIDI
Besarnya subsidi menambah manfaat pengembangan kakao rakyat
Subisidi merupakan biaya. Harga pasar harus disesuaikan untuk menghilangkan pengaruh subisidi. Jika subsidi menurunkan harga barangbarang input, maka besarnya subsidi harus ditambahkan pada harga pasar barang-barang input
3.
PAJAK
Besarnya pajak diperhitungkan dalam biaya pengembangan kakao rakyat
Pajak tidak diperhitungkan dalam biaya pengembangan kakao rakyat, karena merupakan transfer payment
4.
UPAH TENAGA KERJA
Upah yang digunakan adalah upah yang berlaku setempat
Upah yang digunakan adalah upah bayangan (shadow wages), yang merupakan opportunity cost.
5.
BUNGA MODAL
Bunga modal dibedakan atas : Bunga yang dibayarkan kreditor dianggap biaya Untuk bunga modal tidak dianggap biaya
Besarnya bunga modal biasanya tidak dipisahkan/ dikurangkan dari hasil kotor, atau tidak diperhitungkan dalam biaya.
Sumber: Cholig dan Ofan (1989)
121
Faktor konversi tersebut akan mengurangi nilai barang yang tidak diperdagangkan relatif terhadap barang yang diperdagangkan, sehingga memungkingkan terjadinya premium nilai tukar. Dengan demikian, penggunaan analisis finansial maupun analisis ekonomi menggunakan pendekatan yang berbeda, tentunya akan membutuhkan perhitungan yang berbeda pula. 2.6.3. Kelayakan Ekonomi Privat dan Sosial Hakekatnya konsep pembangunan suatu usaha secara teoritis adalah untuk memberikan manfaat secara ekonomi, baik bagi pelaku usaha (private profit) maupun perekonomian secara keseluruhan (social profit). Dalam kaitan ini, model ekonomi yang digunakan untuk menganalisis private profit sekaligus social profit adalah penggunaan model ”Matrik Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix, PAM )”. Pendekatan yang digunakan dalam analisis PAM adalah untuk mengetahui tingkat efisiensi ekonomis dan besarnya insentif atau dampak yang terjadi akibat intervensi pemerintah terhadap aktivitas suatu usaha secara keseluruhan. Namun bila terjadi intervensi pemerintah yang berlebihan akan menyebabkan mekanisme pasar tidak bekerja secara sempurna, sehingga harga yang terbentuk di pasar tidak mencerminkan korbanan sosial yang sesungguhnya (Siregar dan Romdhon, 2004). Menurut Monke and Pearson (1989) bahwa ada tiga prinsip penting yang perlu dikaji dalam model PAM yaitu: (1) dampak kebijakan pada daya saing (competitiveness) dan profit di tingkat usahatani, (2) pengaruh kebijakan investasi pada efisiensi ekonomi dan keunggulan komparatif (comparative advantage), dan (3) pengaruh kebijakan pertanian pada perbaikan teknologi. Selanjutnya model PAM merupakan produk dari dua identitas perhitungan yaitu: (1) profitabilitas (profitability) merupakan selisih antara penerimaan dan
122
biaya, dan (2) pengaruh divergensi (distorsi kebijakan dan kegagalan pasar), merupakan perbedaan antara parameter-parameter yang diobservasi dan parameter yang seharusnya ada jika divergensi dihilangkan. Formulasi model PAM dapat disajikan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Fomulasi Model Policy Analysis Matrix (PAM) Biaya Komponen
Penerimaan
Keuntungan Input Diperdagangkan
Faktor Domestik
Harga Privat
A
B
C
D 1)
Harga Sosial
E
F
G
H 2)
Dampak Kebijakan dan distorsi Harga
I 3)
J 4)
K 5)
L 6)
Keterangan : 1) Keuntungan privat (D) = (A - (B + C); 2) Keuntungan sosial (H) = (E - (F + G)), 3) Transfer output (I) = A – E, 4) Transfer input (J) = B – F, 5) Transfer Faktor (K) = C – G, 6) Transfer Bersih (L) = D – H = (I-(J+K)) Untuk menghitung semua parameter yang diukur dalam model PAM digunakan indikator sebagai berikut : 1) Keuntungan Privat (PP) adalah selisih antara penerimaan (A) dan biaya (B+C). Hasil penghitungan keuntungan privat menunjukkan daya saing (competitiveness) dari sistem pertanian. Jika (PP) yang diperoleh negatif (D<0), berarti usahatani tersebut tidak layak untuk diteruskan karena mengalami kerugian. Sebaliknya bila (D>0) atau keuntungan privat yang positif, maka usahatani menjadi layak untuk diteruskan dan bila (D=0) berarti dalam jangka pendek usahatani masih dapat bertahan, namun dalam jangka panjang tidak layak untuk diteruskan.
123
2) Keuntungan Sosial (SP), merupakan perbedaan antara penerimaan (E) dan biaya (F+G) dengan menggunakan harga sosial. Nilai (SP) menunjukkan indikator efisiensi dari suatu sistem komditas (keunggulan komparatif). Efisiensi didapat jika sumberdaya ekonomi telah digunakan pada aktivitas yang telah menghasilkan output dan pendapatan petani. Sehingga nilai (SP) menunjukkan efisiensi ekonomi karena output dan input dinilai dalam harga yang menggambarkan kelangkaannya. 3) Pengaruh Divergensi (effects of divergences). Divergensi (perbedaan penyimpangan) antara harga privat yang diobservasi (aktual market) dan harga sosial yang diduga (estimat ed) dapat dijelaskan melalui pengaruh distorsi kebijakan dan kegagalan pasar (effects of distorting policies and market failure). Transfer Output (I) = A-E dan transfer input (J) = B-F. Keduanya muncul karena kebijakan yang disebabkan divergensi antara harga observasi dengan harga dunia (world prices). Transfer faktor (K) merupakan divergensi atau perbedaan antara biaya privat input domestik (C) dan biaya sosial input domestik (G) serta transfer bersih (L) yang diperoleh dari jumlah pemasaran output dan input yang disebabkan kebijakan dan kegagalan pasar, L=I-J-K, atau L dapat juga merupakan perbedaan antara keuntungan privat (D) dan keuntungan sosial (H), dan L=D-H.. 4) Rasio Biaya Privat (PCR) adalah koefisien rasio biaya swasta yang menggambarkan keunggulan komperatif dari komoditas yang bersangkutan. Untuk memperoleh keuntungan maksimum, maka nilai PCR tersebut harus ditekan serendah mungkin yaitu dengan meminimumkan biaya faktor domestik atau memaksimumkan nilai tambah. 5) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR). Yaitu indikator dari efisiensi ekonomi relatif dari suatu sistem komoditas. Jika nilai DRCR disesuaikan dengan harga bayangan nilai tukar uang, maka dapat diperoleh nilai keofisien
124
DRCR. Jika nilai DRCR>1, berarti aktivitas ekonomi yang dianalisis efisien dalam penggunaan sumberdaya. Dengan pengertian bahwa pemenuhan permintaan terhadap suatu komoditas dalam negeri lebih menguntungkan. Implikasinya semakin kecil nilai DRCR, maka semakin efisien jika aktivitas berada dalam negeri. 6) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Nilai NPCO menggambarkan pengaruh insentif kebijaksanaan pemerintah yang mengakibatkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan harga sosial. Nilai koefisien NPCO merupakan petunjuk dari transfer output, di mana jika nilai NPCO<1, berarti akibat kebijakan pemerintah menyebabkan harga privat lebih kecil dari harga pasaran dunia. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah menghambat ekspor dari output dan sebaliknya. 7) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI), merupakan rasio antara harga privat dari input yang diperdagangkan dengan harga sosial. Nilai NPCI>1 menunjukkan pengaruh atau dampak terhadap input produsen atau terhadap pengguna input tersebut. Jika nilai koefisien NPCI<1, menandakan pengaruh hambatan ekspor input atau subsidi terhadap konsumen input. 8) Koefisien Proteksi Efektif (EPC). Nilai ECP merupakan indikator dari dampak keseluruhan, yang berupa disinsentif dari kebijakan pemerintah. Nilai EPC>1 artinya dampak kebijakan pemerintah memberikan dukungan terhadap aktivitas produksi. 9) Koefisien Keuntungan (PC). Perbedaan tingkat laba swasta dengan laba sosial dapat ditunjukkan dari besarnya nilai koefisien keuntungan, yang merupakan rasio keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sebab itu, nilai koefisien PC adalah indikator dampak kebijaksanaan pemerintah secara keseluruhan.
125
10) Rasio Subsidi Produsen (SRP). Merupakan rasio antara transfer bersih dengan penerimaan sosial (nilai output tanpa gangguan kegagalan pasar atau kebijaksanaan pemerintah). Jika terjadi distorsi, maka nilai SRP menjadi lebih rendah.
126
127
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Permasalahan kegagalan pembangunan ekonomi di masa lalu sampai sekarang, lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang bersifat sentralistik yang cenderung top-down, dengan membangun kutub-kutub pertumbuhan pada wilayah-wilayah berupa kota-kota besar, yang berasumsi bahwa dari pusat-pusat pertumbuhan tersebut akan menetes (tricle down effect) kepada wilayah belakangnya (hinterland) di wilayah pedesaan. Namun pada kenyataannya malahan terjadi net-transfer sumberdaya secara besar-besaran dari wilayah pedesaan ke pusat-pusat pertumbuhan. Kondisi inilah yang secara spasial mengakibatkan terjadinya pemiskinan pada wilayah-wilayah yang memiliki sumberdaya alam yang luas. Menurut Anwar (2001) bahwa paradigma pembangunan ekonomi wilayah hendaknya memperhatikan tiga komponen penting dalam pembangunan yang terkait dengan penguatan basis ekonomi pedesaan, yaitu pertumbuhan (growth), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). Dalam konteks penguatan basis ekonomi pedesaan tersebut, maka sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan yang merupakan sektor ekonomi yang banyak digeluti oleh masyarakat kecil dan menengah harus menjadi per ioritas utama dalam pembangunan. Sebab sektor tersebut merupakan sektor primer yang banyak memiliki keterkaitan langsung dengan sektor lain, memegang peranan penting dan merupakan basis ekonomi masyarakat pedesaan yang harus ditempatkan sebagai
sasaran
pen gembangan
dan
perioritas
pembangunan.
Untuk
pengembangannya perlu suatu strategi pembangunan yang berbasis komonitas lokal dan sumberdaya domestik yang memiliki keunggulan komparatif dan
128
kompetitif, sehingga diharapkan nantinya dapat menunjang pembangunan dan memacu pengembangan perekonomian wilayah. Salah satu komoditi perkebunan yang perlu mendapat perhatian dan diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan wilayah Kabupaten Buru adalah tanaman kakao. Sebab komoditas ini merupakan salah satu komoditi ekspor, yang memiliki prospek pasar yang cukup baik dan sangat diminati masyarakat dalam pengembangannya. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa
pengembangan
komoditas
ini
lebih
disebabkan
oleh
pengaruh
merosotnya harga cengkeh dan semakin membaiknya harga pasar kakao baik di tingkat petani, nasional maupun dunia, juga dipengaruhi oleh kondisi kebutuhan hidup keluarga tani yang semakin tinggi. Sehingga dalam kurun waktu lima tahun terakhir tercatat komoditas kakao memperlihatkan laju pertumbuhan yang cukup tinggi dibandingkan dengan pengembangan komoditi perkebunan lainnya. Karena merupakan komoditi ekspor, maka pengembangan tanaman kakao ini diharapkan dapat memperbaiki pendapatan petani untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup keluarga tani yang terus meningkat dan memberikan peluang lapangan kerja, dan pada akhirnya diharapkan dapat memacu pertumbuhan pembangunan wilayah. Untuk itu permasalahan yang perlu diperhatikan dalam pembangunan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru, yang diharapkan nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan pelaku bisnis yang terkait dengan usahatani kakao maupun memberikan kontribusinya terhadap peningkatan perekonomian daerah adalah meliputi sistem usahatani, pengolahan dan pemasaran. Dalam pola usahatani yang perlu mendapat perhatian adalah alokasi sumberdaya, terutama lahan dan tenaga kerja, penggunaan teknologi,
129
produktivitas dan keuntungan yang didapatkan dari pengusahaan kakao. Sedangkan aspek pengolahan hasil perlu mengungkapkan insentif petani maupun pedagang yang sangat berperan dalam penentuan mutu kakao, hal ini mengingat mutu kakao di Indonesia masih tergolong rendah. Secara lebih spesifik masalah yang akan dikaji dari aspek usahatani adalah proses produksi dan tataniaga komoditi kakao rakyat yang berhubungan langsung dengan tingkat pendapatan dan kelayakan usaha, permasalahan perubahaan harga beberapa komoditi perkebunan terutama perubahan harga cengkeh dan kakao akan dikaji dengan melihat perubahan terhadap pemanfaatan lahan usahatani kakao, dan berbagai
peran
dan
kebijaksanaan
pemerintah
dalam
mendorong
pengembangan pembangunan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru. Dalam konteks pembangunan perkebunan yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah, maka aspek yang tidak kala penting untuk dikaji adalah bagaimana pergeseran share dan competitIveness perkebunan kakao rakyat guna mengetahui secara pasti dinamika dan perubahan aktivitas perekonomian berbasis komoditas dan sekaligus pertumbuhan ekonomi wilayah di Kab. Buru. Untuk melihat rantai tataniaga kakao maka aspek terpenting yang perlu dikaji adalah proses pemasaran, faktor kelembagaan usahatani dan tingkat pendidikan. Ketiga komponen ini mempunyai arti penting dan memberikan andil yang cukup besar dalam meningkatkan pendapatan bagi setiap pelaku usahatani yang terlibat dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat. Pengorganisasian kelembagaan pemasaran yang ditata dengan sistem yang baik akan memberikan efisiensi pemasaran. Untuk itu perlu dikaji sejauh mana tingkat efisiensi pemasaran yang mempengaruhi struktur insentif yang akan diterima petani. Telaah yang akan dibahas mencakup gambaran pengorganisasian lembaga pemasaran yang terkait dengan perilaku petani dan pedagang, marjin tataniaga, integrasi pasar, struktur pasar dan transmisi harga. Sehingga diharapkan akan
130
terungkap sejauh mana pemasaran merupakan kendala dalam peningkatan produksi kakao. Secara umum di wilayah pedesaan dan kecamatan yang merupakan sentra-sentra
produksi
perkebunan
kakao
rakyat,
mengalami
banyak
keterbatasan infrastruktur dan memiliki kendala dalam mengakses informasi pasar, karena belum ada sistem informasi yang kuat dan akurat di pedesaan menyebabkan petani banyak mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil usahanya. Kondisi geografis wilayah dan keterbatasan tersebut menyebabkan petani harus menanggung resiko biaya transportasi yang tinggi serta harus menerima kehilangan waktu hanya untuk dapat menjangkau pusat pasar. Sebab jarak antar wilayah sentra produksi dengan pasar cukup jauh, dan hanya dapat dijangkau melalui transportasi laut dengan membutuhkan waktu yang cukup lama, belum lagi bila terjadi perubahan cuaca. Akses terhadap informasi pasar langkah dan mahal untuk diperoleh, akibatnya harga tidak berfungsi sebagai kordinator informasi untuk pengalokasian sumberdaya secara efesien. Kondisi ini menyebabkan petani kakao memilih sistem kelembagaan diluar institusi pasar (extra market institution) yang berupa kelembagaan principle–agent (Anwar, 1998), meskipun akhirnya petani harus menerima resiko mendapat bagian harga yang lebih kecil karena dalam proses penentuan harga petani cenderung bertindak sebagai price taker. Opsi kelembagan ini sering dikaitkan dengan kuatnya ikatan antara petani dengan pedagang yang terbentuk secara historis dengan menekankan pada unsur kekerabatan dan kepercayaan. Disamping itu karena adanya ketidak pastian tentang produk pertanian, maka transaksi pertukaran yang dijalankan oleh petani kakao dengan pedagang pengumpul, pedagang pengumpul dengan pengusaha dilakukan melalui sistem kelembagaan pertukaran diluar institusi pasar (extra market institution) yang biasanya memerlukan dukungan ikatan-
131
ikatan personal yang disebut dengan principle – agent dalam bentuk patronclient. Praktek ini lebih disukai masyarakat karena dapat memperkecil biaya transaksi dari pada melalui sistem pertukaran ekonomi formal pada tingkat lokal (spot exchange), (Anwar, 1998). Persoalan dari hubungan principle – agent adalah karena adanya informasi yang asimetrik, di mana suatu pihak memiliki lebih banyak informasi dari pada pihak lain. Sehingga informasi yang asimetrik menimbulkan persoalan buruknya pilihan (advers selection) yang bersifat ex-ante dan persoalan bencana moral (moral hazard) yang bersifat ex-post. Artinya suatu bentuk hubungan principle-agent berlangsung dengan satu korbanan yang dikenal sebagai biaya agensi (agency cosst) atau biaya transaksi yang sangat berpengaruh terhadap opsi kelembagaan yang menjadi pilihan petani. Di samping itu, biaya transaksi menurut Hobbs (1997) opsi kelembagaan juga berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, besarnya anggota keluarga, pendapatan dan aspek yang berkaitan dengan karakteristik usaha. Peranan kelembagaan usahatani yang diharapkan dapat mengorganisir setiap pelaku usahatani dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat di wilayah penelitian belum terlihat sama sekali, yang ada hanya kelembagaan non-formal.
Oleh
karena
itu
aspek
terpenting
dari
opsi
kelembagaan usahatani kakao rakyat di Kabupaten Buru hanya dapat dikaji secara diskriptif. Persoalan lainnya dalam usahatani kakao di wilayah penelitian yang terkait dengan tingkat kesejahteraan petani adalah pengelolaan usaha perkebunan kakao. Permasalahan klasik yang sering dihadapi oleh petani yaitu tingginya harga beberapa komponen input produksi dan cukup sulit untuk memperolehnya, seperti pupuk, pestisida, alat pertanian serta harga jual komoditi kakao di tingkat petani yang sering berfluktuatif dan cenderung lebih rendah dari yang seharusnya dibayar konsumen, sehingga terjadi pengalihan surplus petani
132
kepada konsumen. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam memproteksi harga input dan output produksi dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat masih bersifat distortif. Untuk membuktikan dugaan kebijakan pemerintah tersebut bersifat distortif atau tidak, maka dapat dilakukan dengan pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM), yang pada intinya adalah untuk mengetahui dengan jelas kebijakan pemerintah terhadap proteksi input dan ouput, sekaligus untuk mengetahui aliran surplus dari produsen kepada konsumen dan sebaliknya, serta mengestimasi keunggulan komparatif pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru. Oleh karena itu usaha untuk memperbaiki pendapatan petani dan memberikan
kontribusi
terhadap
pendapatan
daerah,
maka
kegiatan
pembangunan seharusnya ditujukan dan dilakukan oleh masyarakat lokal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat secara berkelanjutan. Hal tersebut perlu dilakukan dengan meningkatkan produksi, perbaikan mutu hasil dan sistem kelembagaan petani yang kuat, yang mampu menekan terjadinya transaksi kost yang tinggi. Sehingga dapat mewujudkan perbaikan taraf hidup masyarakat pedesaan, yang pada akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memberikan kontribusi pendapatan kepada daerah dan meningkatkan devisa negara.
133
Secara skemastik kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan alir berikut ini :
Gambar 3. Kerangka Pikir Penelitian Pengembangan Komoditi Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru
134
3.2. Hipotesis Berdasarkan permasalahan, tujuan dan kerangka pemikiran teoritis yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut : 1. Diduga pengusahaan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif untuk dikembangkan. 2. Diduga kinerja finansial dan ekonomi perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru layak. 3. Diduga presentase marjin tataniaga di tingkat petani kakao lebih rendah dibandingkan dengan marjin ditingkat tataniaga lainnya. 4. Diduga terjadi respon luas areal terhadap perubahan harga kakao di Kabupaten Buru. 5. Diduga peran dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan komoditi perkebunan kakao rakyat masih bersifat distorsif.
135
IV. METODE PENELIT IAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian mengambil lokasi di Kabupaten Buru, dengan pertimbangan bahwa wilayah ini memiliki aktivitas perekonomian yang didominasi oleh sektor perkebunan terutaman komoditi kakao yang memiliki prospek pengembangan yang cukup baik dalam penggunaan lahan, produksi dan serapan tenaga kerja. Lokasi penelitian adalah Kecamatan Buru Utara Barat, Buru Utara Selatan, Buru Selatan dan Buru Selatan Timur dengan 4 desa terpilih yang mewakili masing-masing kecamatan. yaitu Desa Waemangit, Ilat, Waekeka dan Waelikut. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa desa-desa dan kecamatan terpilih merupakan wilayah sentra produksi komoditi kakao. Penelitian lapangan dilaksanakan selama 3 bulan yaitu mulai dari bulan April sampai Juni 2004. 4.2. Metode Penarikan Contoh Unit contoh dalam penelitian ini adalah petani, pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang antar pulau. Pengambilan unit contoh dalam penelitian ini dilakukan secara acak disetiap wilayah penelitian, dengan sampel berjumlah 20 orang disetiap desa sehingga total sampel yang di data sebanyak 80 orang. Sedangkan untuk mengetahui jalur tataniaga komoditi kakao mulai dari petani sampai eksportir, dilakukan dengan menelusuri pedagang pengumpul dan pedagang besar yang dianggap mewakili setiap jalur tataniaga yang ambil secara sengaja, dengan distribusi masing-masing desa diambil 8 contoh pedagang pengumpul, dan 4 contoh pedagang besar/pedagang antara pulau yang berada di kota Ambon dan Namlea. Untuk lebih jelas jumlah dan jenis responden pada masing-masing lokasi penelitian disajikan pada tabel 5.
136
Tabel 5. Jenis dan Jumlah Responden Masing-masing Lokasi Penelitian. Lokasi Penelitian
Jenis Responden
No.
1.
Buru Utara Barat
Waemangit
20
2
Pedagang Besar/Antar Pulau 2 (Namlea)*
2.
Buru Utara Selatan
Ilat
20
2
2 (Ambon)**
3.
Buru Selatan
Waekeka
20
2
4.
Buru Selatan Timur
Waelikut
20
2
80
8
Kecamatan
Desa
Petani Kakao
Pedagang Pengumpul
Jumlah :
4
Ketrangan : (* Ibukota Kabupaten Buru (** Ibukota Provinsi Maluku
4.3. Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan untuk penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer untuk memperoleh informasi tentang aspek ekonomi dan kelembagaan diperoleh melalui wawancara dengan responden yang telah ditentukan dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang berkaitan langsung dengan komoditi kakao yaitu Dinas Perindustrian
dan
Perdagangan, Dinas Koperasi, Dinas Perkebunan dan Hortikultura, Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Pendapatan Daerah. 4.4. Metode Analisis Dalam penelitian ini digunakan metode analisis diskriptif, kuantitatif dan kualitatif. Analisis diskriptif dan kualitatif digunakan untuk mengetahui sistem kelembagaan apa saja yang menunjang pengembangan komoditi perkebunan kakao rakyat yang meliputi lembaga pemerintah, swasta, maupun masyarakat (community). Analisis kuantitatif dilakukan untuk menghitung : (1) Analisis
137
kelayakan usaha perkebunan kakao rakyat; (2) Analisis
respon luas areal;
(3) Analisis marjin tataniaga; (4) Analisis elastisitas transmisi harga; (5) Analisis Integrasi pasar; (6) Policy Analysis Matrix (PAM); (7) Analisis Lokasional. 4.4.1. Analisis Kelayakan Usaha Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat. Untuk mengetahui kriteria penilaian kelayakan investasi perkebunan kakao rakyat dilakukan dengan beberapa metode antara lain net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan benefit cost ratio (B/C) ratio. 4.4.1.1. Net Present Value (NPV) Net present value (NPV) atau nilai tambah adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Metode ini menghitung selisih antara manfaat/penerimaan dengan biaya/pengeluaran. Perhitungan ini diukur dengan nilai uang sekarang (at present value) dengan rumus : n
NPV = ∑ t =1
Bt − C t
(1 + i )t
................................................................................................(1)
dimana : Bt =
penerimaan kotor dari usahatani kakao rakyat pada tahun t;
Ct =
biaya kotor dalam usahatani kakao rakyat pada tahun t;
n
=
umur ekonomis tanaman kakao rakyat;
=
discount rate.
i
Kriteria yang digunakan adalah apabila : (a) nilai NPV>0, maka pengembangan komoditi perkebunan kakao rakyat layak untuk diusahakan; (b) nilai NPV<0, maka pengembangan komoditi perkebunan kakao rakyat tidak layak untuk diusahakan; dan (c) nilai NPV = 0, maka pengembangan
komoditi
perkebunan kakao rakyat mencapai break event point. 4.4.1.2. Internal Rate of Return (IRR) Internal rate of return (IRR) adalah suatu tingkat bunga yang menunjukkan nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi proyek atau dengan kata lain tingkat bunga yang menghasilkan NPV sama dengan nol (NPV
138
= 0). Tingkat bunga tersebut merupakan tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk faktor produksi yang digunakan. Perhitungan IRR ditulis dengan rumus :
IRR = i '÷
NPV ' (i '−i")...................................................................................(2) NPV '− NPV "
dimana : i’
= nilai percobaan pertama untuk discount rate;
i”
= nilai percobaan kedua untuk discount rate;
NPV’
= nilai percobaan pertama untuk NPV;
NPV”
= nilai percobaan kedua untuk NPV.
Kriteria yang digunakan adalah apabila : (a) nilai IRR>1, maka pengembangan komoditi perkebunan kakao rakyat layak untuk diusahakan; (b) nilai IRR<1, maka pengembangan komoditi perkebunan kakao rakyat tidak layak untuk diusahakan; dan (c) nilai IRR = 1, maka pengembangan komoditi perkebunan kakao rakyat mencapai break event point. 4.4.1.3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net benefit cost ratio (Net B/C) adalah nilai perbandingan antara nilai manfaat bersih dengan biaya bersih yang diperhitungkan nilainya saat ini. Net B/C dengan menggunakan rumus :
B −C
n
NetB / C =
t t ∑ t ( 1 + i ) t =1 n
C −B
t t ∑ t t =1 (1 + i)
.....
( Bt > Ct ) ….……..………………………………….. (3) Bt < Ct
dimana : Bt = penerimaan kotor usahatani kakao rakyat pada tahun t; Ct = biaya kotor dalam usahatani kakao rakyat pada tahun t; n
= umur ekonomis kakao rakyat;
i
= discount rate.
139
Kriteria
pengukuran
pengembangan
komoditi
adalah
apabila
perkebunan
Net
kakao
B/C>1, rakyat
maka yang
kegiatan dilakukan
menguntungkan karena penerimaan lebih besar dari pada biaya total dan sebaliknya. 4.4.2. Model Respon Luas Areal Respon luas areal dapat didekati secara tidak langsung melalui persamaan luas areal tanaman kakao. Peubah tersebut merupakan peubah tidak bebas yang didasarkan pada suatu anggapan bahwa peubah tersebut dapat dengan mudah ditentukan atau dikontrol oleh petani kakao. Respon petani terhadap perubahan harga akan berpengaruh pada keputusan dalam menentukan luas areal. Luas areal dipengaruhi oleh harga riel kakao, harga riel cengkeh, peubah bedakala luas areal, dummy kebijakan pemerintah pada sektor perkebunan sebelum dan sesudah diberlakukannya otonomi daerah. Sedangkan upah riel tenaga kerja tidak dipakai karena memberikan hasil yang jelek terhadap seluruh hasil analisis. ln APRt = a 0 + a1 ln HBKt - 1 + a 2 ln HC t- 1 + a3 ln APRt-1 + a 4 D + e ……………...(4) dimana: APRt
=
HBK t- 1 HC t-1
Luas areal tanaman kakao rakyat pada tahun ke t (ha), = Harga riel biji kakao di tingkat petani pada tahun ke t (Rp/kg),
=
APRt- 1 =
Harga riel cengkih di tingkat petani pada tahun ke t (Rp/kg), Luas areal tanaman kakao perkebunan rakyat pada tahun sebelumnya (ha),
D
=
Dummy kebijaksanaan pemerintah pada sektor perkebunan
0
=
sebelum dimulainya otonomi daerah, yaitu 1993-2000
1
=
sesudah dimulainya otonomi daerah, yaitu 2001-2003
a0
=
Intersep; a1 , a2, ….. a 5 = Koefisien Regresi; e = Kesalahan baku.
140
4.4.3. Analisis Marjin Tataniaga Selain
kelayakan
pengembangan
suatu
secara
finansial
komoditas
harus
dan
ekonomi,
maka
mempertimbangkan
upaya
kelayakan
pemasaran. Analisis yang sesuai untuk tujuan tersebut yaitu analisis marjin tataniaga dan analisis elastisitas transmisi harga. Secara matematis persamaan marjin tataniaga adalah sebagai berikut : m
m
j =1
j =1
M = ∑ Mj =∑
n
m
Cij +∑ Pj ∑ i =1 j =1
…..……………………………………… (6)
dimana : M = Marjin tataniaga (Rp/kg) Mj = Marjin tataniaga (Rp/kg) lembaga tataniaga ke j; (j =1 ,2,..,m); dan m : jumlah lembaga tataniaga yang terlibat. Cij = Biaya tataniaga ke i (Rp/kg) pada lembaga tataniaga ke j; (i = 1,2,...,n) dan n : jumlah jenis pembiayaan. Pj = Marjin keuntungan lembaga tataniaga ke j (Rp/kg) 4.4.4. Analisis Elastisitas Transmisi harga Menurut Azzaino (1981), elastisitas transmisi harga menunjukkan efisiensi sistem tataniaga, yaitu semakin besar nilai elastisitas transmisi harga maka semakin efisien sistem tataniaga tersebut. Secara matematis persamaan elastisitas transmisi harga (Et) adalah sebagai berikut :
∂Pf Pr Et = x ...........................................................................(7) ∂ Pr Pf dimana : Et = Elastisitas transmisi harga Pf = Harga di tingkat petani Pr = harga di tingkat tengkulak atau pedagang besar Pf = Perubahan harga di tingkat petani Pr = Perubahan harga di tingkat tengkulak atau pedagang besar Ada tiga kriteria dalam penentuan elastisitas transmisi harga. Pertama, jika Et =1, berarti laju perubahan harga di tingkat petani sama dengan laju perubahan
141
harga di tingkat pedagang pengumpul atau eksportir. Kedua, jika Et > 1 laju perubahan harga di tingkat petani lebih besar dari pada laju perubahan harga di tingkat pedagang pengumpul atau eksportir, Ketiga jika Et < 1 berarti laju perubahan harga di tingkat petani lebih kecil dari laju perubahan harga di tingkat pedagang pengumpul atau eksportir. Hal ini menunjukkan adanya kekuatan monopsoni atau oligopsoni pada lembaga tataniaga, sehingga kenaikan harga hanya dinikmati oleh pedagang pengumpul atau eksportir. Parameter tersebut dapat diduga menggunakan model regresi linier sederhana sebagai berikut : ∂Pf = b0 + b1 Pr + ei ............................................................................(8) Dimana : Pf = Harga di tingkat petani (Rr/Kg) Pr = Harga di tingkat tengkulak atau pedagang besar (Rp/kg) b0 = Konstanta b1 = Koefisien regresi ei = galat 4.4.5. Analisis Integrasi Pasar Tujuan penggunaan analisis integrasi (keterpaduan) pasar adalah untuk menganalisis sejauh mana keterpaduan harga (pasar) di tingkat petani dengan harga (pasar) pada tingkat pedagang besar (eksportir). Secara umum model matematis integrasi pasar dihitung berdasarkan rumus berikut ini : Pf = do + d 1Pft- 1 + d2 (Pr-Pr t- 1) + d 3 (Pr t-1) + ei ……………………………….. (9) Dimana : Pf
= Harga Kakao di tingkat petani pada tahun t
Pft- 1
= Harga Kakao di tingkat petani pada tahun sebelumnya
Pr
= Harga kakao di tingkat pedagang besar (eksportir) pada tahun t
Pr t- 1
= Harga kakao di tingkat pedagang besar (eksportir) pada tahun sebelumnya
do
= Kostanta
d1, d2, d3 = Koefisien regresi ei
= Kesalahan acak
142
Selanjutnya mengkaji indek integrasi pasar (index of Market Integration) yang menggambarkan perbandingan dari koefisien pasar di tingkat petani dengan koefisien pasar di tingkat pedagang besar (eksportir), dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut :
IMC =
1 + d1 …………………………………………………………………... (10) d3 − d1
Jika IMC<1 menunjukkan adanya integrasi pasar yang tinggi dalam artian bahwa harga di tingkat pedagang besar (eksportir) memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembentukan harga di tingkat petani. Namun sebaliknya bila IMC>1 menunjukkan tidak tercapai integrasi pasar, artinya harga di tingkat pedagang besar (eksportir) tidak memiliki pengaruh terhadap pembentukan harga pada tingkat petani. 4.4.6. Policy Analysis Matrix (PAM) Policy analisis matrix merupakan alat analisis yang bertujuan unuk mengetahui efisiensi ekonomis dan besarnya insentif atau dampak intervensi pemerintah dalam pengusahaan berbagai aktivitas usaha pengembangan komoditi kakao rakyat secara keseluruhan dan sistematis. Bentuk keluarannya merupakan nilai privat dan nilai sosial dari keuntungan, efisiensi, transfer input, transfer faktor, transfer bersih, serta transfer output antara petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar (eksportir).
4 .4.7. Analisis Lokasional Analisis ini digunakan untuk mengkaji keunggulan komparatif atau sektor basis ekonomi serta mengkaji pula keunggulan kompetitif pada suatu wilayah dengan kontribusi dari masing-masing subsektor terhadap perekonomian suatu wilayah yang dilakukan dengan pendekatan analisis location quetient (LQ) dan shift-share analysis (SSA), (Shukla, 2000).
143
4.4.7.1. Analisis Location Quotient (LQ) Dalam penggunaannya analisis ini mempunyai peranan untuk melihat sektor basis atau non-basis tanaman perkebunan, yang selanjutnya untuk mengidentifikasi keunggulan komparatif suatu jenis tanaman perkebunan di Kabupaten Buru. Dengan pendekatan yang digunakan adalah perbandingan antara fungsi relatif luas areal tanaman perkebunan pada suatu wilayah kecamatan dengan fungsi luas areal tanaman perkebunan pada tingkat kabupaten. Sehingga dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut : LQij =
X ij / X i. X . j / X ..
.……………………………………………..……..………… (11)
dimana : LQij = Indeks kuosien lokasi Xij
= Jumlah luas areal suatu tanaman perkebunan di kecamatan
Xi.
= Jumlah luas areal total tanaman perkebunan di kecamatan
X.j
= Jumlah luas areal suatu tanaman perkebunan di kabupaten Buru
X..
= Jumlah luas areal total tanaman perkebunan di kabupaten Buru
Dengan pengertian bahwa jika nilai LQ lebih besar dari satu (LQ > 1) maka jenis tanaman tersebut merupakan sektor basis dan memiliki keunggulan komparatif, sedangkan bila nilainya sama atau lebih kecil dari satu (LQ < 1) berarti jenis tanaman perkebunan yang dimaksudkan termasuk ke dalam sektor non-baisis atau tidak komparatif. 4.4.7.2. Analisis Shift-Share (SSA) Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi keunggulan kompetitif suatu wilayah atau suatu sektor dan menghitung seberapa besar share sektor-sektor atau kecamatan terhadap pertumbuhan sektor-sektor yang bersesuaian di tingkat Kabupaten Buru. Dengan melihat nilai share dapat diketahui sektor ataupun wilayah (kecamatan) yang dapat memberikan kontribusi terbesar (keunggulan kompetitif) terhadap pertumbuhan di wilayah yang lebih luas (Kabupaten Buru).
144
Indikator yang digunakan dalam analisis shift-share adalah jumlah luas areal dari setiap komoditas dari sektor perkebunan rakyat pada dua titik waktu. Analisis dibagi menjadi tiga komponen, yaitu komponen pertumbuhan regional (kabupaten), komponen pertumbuhan proporsional, dan komponen pertumbuhan pangsa lokal (kecamatan) sehingga besar perubahan produksi sama dengan penjumlahan
dari
ketiga
komponen
tersebut.
Adapun
tahapan-tahapan
perhitungannya adalah sebagai berikut : 1. Menghitung besarnya pergeseran/perubahan secara agregat di tingkat regional (regional agregat shift-share) , yaitu pertumbuhan luas areal tingkat regional/kabupaten (RASS). Hasil perhitungan ini dapat menunjukkan maju atau lambatnya perubahan perekonomian di tingkat Kabupaten Buru. 2. Menghitung besarnya pergeseran secara sektoral, tanpa memperhatikan lokasi (proportional shift-share), yaitu rasio luas areal per komoditas dari sektor perkebunan rakyat tahun akhir dan tahun awal minus rasio luas areal kabupaten tahun akhir dan tahun awal (PSS). Hasil perhitungan ini akan diketahui sektor-sektor yang relatif maju atau lamban di Kabupaten Buru. 3. Menghitung komponen pertumbuhan pangsa lokal (differential shift-share), yaitu rasio luas areal setiap komoditas dari sektor perkebunan rakyat di setiap kecamatan tahun akhir dan tahun awal (DSS). Dari hasil perhitungan ini akan diketahui komoditas-komoditas yang relatif maju atau lambat di setiap kecamatan ataupun kecamatan-kecamatan yang relatif maju atau lambat dalam setiap sektor. Secara matematis ketiga komponen tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
RASS =
X '.. −1 X ..
PSS j =
X '.j X .j
−
X' .. X ..
DSSij =
X ij' X ij
−
X '.j X .j
…………………… (12)
145
dimana : j
= Indeks kecamatan, j = 1,2,3,…,n
n
= Banyaknya kecamatan
i
= Indek komoditas; i = 1,2,3,…,s
s
= Banyaknya komoditas
Xij’ = Jumlah luas areal komoditas perkebunan ke-i dan kecamatan ke-j tahun akhir analisis Xij = Jumlah luas areal komoditas perkebunan ke-i dan kecamatan ke-j tahun awal analisis X. j’ = Jumlah luas areal komoditas perkebunan ke-i tahun akhir analisis X. j = Jumlah luas areal komoditas perkebunan ke-i tahun awal analisis X..’ = Jumlah luas areal perkebunan Kabupaten Buru tahun akhir analisis X.. = Jumlah luas areal perkebunan Kabupaten Buru tahun awal analisis. 4.5. Batasan Operasional Dalam penelitian ini batasan operasional yang digunakan adalah untuk menghindari adanya perbedaan dalam penafsiran terhadap konsep-konsep sebagai berikut : a) Perkebunan kakao rakyat adalah usahatani yang dilakukan oleh petani dengan inisiatif sendiri untuk meningkatkan usahanya pada komoditi kakao yang meliputi perluasan lahan, pemanenan, pasca panen sampai pada pemasaran hasil. b) Produksi kakao adalah jumlah produksi dalam bentuk biji kakao kering yang dihasilkan selama satu tahun (kg/ha) atau ton/ha. c) Studi kelayakan adalah penelitian/penelaahan tentang layak tidaknya suatu kegiatan investasi untuk dilaksanakan sehingga akan menguntungkan baik secara ekonomis, finansial, sosial dan teknis. Dalam studi kelayakan yang banyak digunakan adalah analisis/evaluasi kegiatan yang melihat studi kelayakan dari aspek ekonomis.
146
d) Net present value (NPV) adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi dan digunakan untuk menghitung selisih antara present value penerimaan dengan present value dari biaya. e) Internal rate of return (IRR) adalah suatu tingkat bunga yang menunjukkan jumlah sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi proyek. f)
Net B/C adalah perbandingan antara nilai manfaat bersih dengan biaya bersih yang diperhitungkan nilainya saat ini.
g) Kelembagaan tataniaga kakao merupakan kelembagaan formal maupun nonformal, yang mengatur saling hubungan antara principle dengan agent yang berkenaan dengan hak dan kewajiban dalam melakukan transaksi. h) Kelembagaan formal adalah kelembagaan yang merujuk pada kelembagaan tataniaga yang memiliki hirarki yang jelas seperti KUD atau koperasi. i)
Kelembagaan non-formal adalah kelembagaan yang secara tradisional terjalin melalui suatu ikatan antara petani dengan tengkulak/pedagang pengumpul.
j)
Agent adalah petani kakao yang mengusahakan komoditi kakao yang produksinya dijual kepada pedagang pengumpul atau badan usaha dalam suatu ikatan kerja sama.
k) Principle adalah pendagang pengumpul atau badan usaha yang melakukan transaksi/pembelian kakao dengan petani dalam suatu kontrak kerja sama. l)
Hubungan principle-agent adalah suatu bentuk hubungan keterikatan antara dua orang/kelompok dalam melakukan transaksi, di mana satu pihak bertindak sebagai principle dan yang lain bertindak sebagai agent atas perinsip kerangka insentif ekonomi sebagai akibat dari informasi asimetrik.
m) Biaya transaksi didalamnya termasuk biaya agency adalah biaya yang timbul sebagai akibat dari adanya keterikatan antara principle dengan agent dalam
147
bentuk suatu kelembagaan untuk melakukan suatu transaksi yang meliputi biaya informasi, biaya negosiasi dan biaya monitoring. n) Marjin tataniaga adalah perbedaan antara harga di tingkat petani kakao dengan harga di tingkat pedagang pengumpul dan pedagang besar (ekportir) yang meliputi biaya tataniaga dari kuntungan lembaga. o) Biaya tataniaga adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga untuk menggerakkan produk dari tingkat petani ke tingkat pedagang pengumpul
dan
pedagang
besar
(eksportir)
yang
meliputi
biaya
pengumpulan, pengolahan, pengangkutan, sortir, bongkat muat, informasi harga, penyimpanan, pajak/retribusi. p) Keuntungan lembaga tataniaga adalah keuntungan yang diperoleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam menggerakan produk dari tingkat petani sampai ke pedagang pengumpul dan tingkat pedagang besar (eksportir). q) Harga di tingkat petani adalah harga jual petani kepada pedagang pengumpul. r) Harga di tingkat pedagang pengumpul adalah harga jual pedagang pengumpul kepada pedagang besar. s) Harga di tingkat pedagang besar adalah harga jual pedagang besar kepada eksportir. t)
Harga eksportir adalah harga jual eksportir kepada kepada konsumen luar negeri.
u) Prosedur transaksi adalah tahapan dalam transaksi kakao.
148
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Letak Geografis dan Fisik Wilayah Wilayah Kabupaten Buru dengan ibukotanya Namlea secara administratif merupakan bagian dari wilayah Provinsi Maluku dengan luas wilayahnya sekitar 12.655,58 km2, terdiri dari luas daratan 9.329,13 km2 dan lautan 3.326,45 km2. Secara geografis terletak pada 121 021’-125 0 21’ Bujur Timur (BT) dan 2025’-3 055’ Lintang Selatan (LS), dan secara fisik berbatasan langsung dengan sebelah Utara Laut Seram, sebelah Selatan Laut Banda, sebelah Timur Selat Manipa dan sebelah Barat Laut Banda. Daerah yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah ini, merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari 12 pulau yang wilayahnya sebagian besar dikelilingi oleh lautan, tiga diantaranya dihuni oleh penduduk yaitu pulau Buru, pulau Ambalau dan pulau Tengah. Dari ke tiga pulau tersebut yang paling besar adalah pulau Buru dengan luas wilayah ± 11.117 km2, pulau Ambalau (306 km2), dan pulau-pulau kecil (1.408,58 km2 ). Dilihat dari topografi wilayah maka kondisi Kabupaten Buru tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain yang ada di wilayah Provinsi Maluku, yang sebagian besar merupakan perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan ratarata antara 15 sampai 40 persen, dengan puncak gunung tertinggi adalah Kaku Palatmada yang berada pada wilayah Buru Utara Barat dengan elevasi 2.736 meter diatas permukaan laut (m dpl), serta terdapat dua danau yaitu danau Rana dan danau Tifu. Danau Rana sendiri diperkirakan terletak pada kisaran 700-750 m dpl, sedangkan kawasan sekitar danau Rana ketinggiannya sekitar 1.000 m dpl. Kabupaten
Buru
didominasi
oleh
kawasan
pegunungan
dengan
penyebaran lereng dibagian utara rata-rata berlereng curam pada formasi batuan metamorfik, sedangkan ciri karstik diatas formasi batuan sendimen yaitu batu
149
napal dan batu gamping yang lebih dominan di bagian selatan pulau Buru dengan topografi yang tidak terlau curam. Selain itu, terdapat tanah dataran yang sebagian besar terdapat pada wilayah Buru Utara Timur dan Buru Utara Selatan terutama di daerah aliran sungai Waeapu, sehingga pada wilayah tersebut menjadi daerah pengembangan lahan persawahan yang terlihat hijau dan tertata rapi karena ditunjang dengan sarana dan prasarana yang baik. Dataran pantai hampir meliputi wilayah pesisir Kabupaten Buru terutama bagian utara barat dan selatan, dengan elevasi rendah dan jenis lereng landai sampai agak curam. Kondisi lahan-lahan tersebut secara agroklimat sangat cocok, bila dimanfaatkan untuk pengembangan sektor pertanian terutama tanaman perkebunan, tanaman pangan dan hortikultura. Potensi lahan di Kabupaten Buru sangat menunjang dan memberikan peluang untuk pengembangan berbagai jenis komoditi pertanian. Selain ditunjang dengan potensi lahan yang masih luas, juga memiliki kondisi lahan yang secara geomorfologis cukup mendukung untuk pembudidayaan berbagai jenis pertanian. Secara geomorfologi, lahan-lahan tersebut dikelompokkan dalam beberapa tipe lahan, yaitu : lahan bentukan asal vulkanik, bentuk lahan denudasional, bentuk lahan asal solusional dan bentuk lahan asal fluvial. Tipetipe lahan tersebut yang mencirikan kondisi wilayah dengan dataran rendah, berbukit dan pegunungan yang memiliki Jenis tanah yang hampir sebagian besar di dominasi oleh jenis tanah Kompleks dengan bentang alam berbukit dan bergunung di daerah pegunungan; jenis tanah Alluvial yang meliputi bentang alam datar sampai berombak di daerah pasang surut dan di cekungan pelembaban; Podsolik Merah Kuning yang meliputi alam berbukit sampai berombak di dataran atau daerah pasang surut; Organosol meliputi alam berbukit sampai berombak di daerah pegunungan lipatan/angkatan dan jenis tanah Grumosol meliputi alam datar sampai berombak di daerah dataran.
150
Faktor iklim (curah hujan dan suhu) memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap pembentukan jenis tanah di daerah ini, sehingga menyebabkan tanahtanah yang tedapat di Kabupaten Buru mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Kondisi iklim di wilayah Kabupaten Buru secara umum beriklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Lautan yang sebagian besar menyelimuti wilayah Kabupaten Buru mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pembentukkan iklim, sehingga musim penghujan biasanya jatuh pada bulan Desember - Mei, sedangkan musim kemarau jatuh pada bulan Juni November dengan curah hujan rata-rata pertahun 1.354,8 milimeter, dengan suhu udara antara 20,20 C – 31,7 0C. Bila didasarkan pada klasifikasi Koppen, dengan menggunakan rata-rata curah hujan dan temperatur baik bulanan maupun tahunan maka wilayah Kabupaten Buru termasuk dalam tipe iklim A, (Bappeda Buru, 200 3). Dari rata-rata curah hujan tahunan maka Kabupaten Buru dapat bagi dalam empat kelas untuk tiga wilayah kecamatan yaitu : 1. Buru bagian Utara (1.400 – 1.800 millimeter pertahun) 2. Buru bagian Tengah (1.800 – 2.000 millimeter pertahun) 3. Buru bagian Selatan (2.000 – 2.500 milimeter pertahun) 4. Kawasan yang berelevasi lebih dari 500 meter dpl, dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 3.000 – 4.000 millimeter pertahun. Kabupaten Buru mempunyai sejumlah sungai yang mengalir sepanjang tahun walaupun pada saat musim kemarau, diantaranya Sungai Waeapu (Kec. Buru Utara Selatan); Sungai Waenibe (Kec. Buru Utara Barat) yang bersumber dari danau Rana; Sungai Waepoli (Kec. Buru Selatan Timur) dan Sungai Waemala (Kec. Buru Selatan), disamping itu juga ada sejumlah sungai kecil yang hampir meliputi wilayah Kabupaten Buru. Sejumlah sungai ini memiliki peranan yang cukup besar terhadap kehidupan masyarakat sekitar, di mana sebagian dari
151
sungai dimanfaatkan untuk sumber air irigasi terutama di daerah transmigrasi yang terletak pada dataran Waeapu Kec. Buru Utara Selatan dan sebagian digunakan penduduk untuk kebutuhan sehari-hari. Daerah Aliran Sungai (DAS) Waeapu merupakan DAS kedua terbesar di Provinsi Maluku setalah DAS Waemala di Pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah dengan luasnya mencapai 1.790 Km2, dengan demikian Kabupaten Buru mempunyai potensi sumber air yang cukup besar untuk dimanfaatkan dalam pengembangan sektor pertanian kedepan. 5.2. Wilayah Administratif Kabupaten Buru yang secara administratif adalah bagian dari wilayah Provinsi Maluku, merupakan salah satu daerah baru hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah dengan Ibukotanya Namlea yang terletak pada wilayah Kecamatan Buru Utara Timur. Pemekaran daerah ini merupakan konsekuensi logis untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dan upaya untuk memutuskan rentang kendali yang selama ini cukup sulit dirasakan oleh masyarakat, karena untuk menjangkau Kabupaten Maluku Tengah (kabupaten induk sebelum pemekaran), masyarakat harus menanggung resiko dengan mengorbankan materi dan membutuhkan waktu yang cukup untuk bisa berakses di ibukota kabupaten tersebut. Secara administratif wilayah Kabupaten Buru meliputi 5 kecamatan, 64 desa dan 105 dusun dengan rincian sebagaimana pada Tabel 7. Tabel 7. Wilayah Administratif dan Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Buru No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kecamatan Buru Selatan Buru Selatan Timur Buru Utara Timur Buru Utara Selatan Buru Utara Barat
Ibukota
Luas Wilayah
Leksula Wamsisi Namlea Waenetat Airbuaya
3.531,00 1.288,00 1.525,20 1.536,38 4.775,00 12.655,58
Jumlah Desa 15 13 12 18 6 64
Jumlah Dusun 16 13 21 28 27 105
Sumber : Bappeda Buru, 2003
152
Bila dibandingkan jumlah penduduk per kecamatan dan desa/dusun dengan luas wilayah Kabupaten Buru, maka jumlah penduduk pada wilayah ini masih sangat rendah. Rata-rata jumlah penduduk pada Kabupaten Buru berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 per kecamatan sebanyak 26.348,8 jiwa dan 2.058,5 jiwa per desa serta sebanyak 1.254,70 jiwa per dusun. Di lihat dari luas wilayah desa/dusun per kecamatan maka Kecamatan Buru Utara Barat merupakan kecamatan yang terluas dengan luas wilayah 4.775 km2, sedangkan kecamatan dengan luas wilayahnya yang paling kecil adalah Kecamatan Buru Selatan Timur dengan luas 1.288 km2. Bila ditinjau dari jarak dengan Ibukota Kabupaten, Kecamatan Buru Selatan merupakan kecamatan terjauh dengan jarak 124,4 km, sementara Kecamatan Buru Utara Timur merupakan kecamatan terdekat dengan jarak 0 (nol) km. Secara historis, wilayah Kabupaten Buru sebelum dimekarkan terbagi dalam 8 Rekhensap (petuanan adat) yang mempunyai hak dalam mengelola maupun melindungi wilayah petuanannya. Rekhensap dipimpin oleh seorang raja yang mempunyai kedudukan paling tinggi secara adat diwilayahnya. Kepala Rekhensap (raja) memiliki peran yang sangat sentral dalam masyarakat baik dalam pengaturan pengelolaan maupun pemanfaatan potensi sumberdaya alam, serta mengatur hak dan kepentingan masyarakatnya. Namun seirin dengan perkembangan zaman peranan dari Kepala Rekhensap semakin termarjinalkan. Pembagian wilayah Rekhensap tersebut antara lain : (1) Rekhensap Lisela; (2) Rekhensap Tagalisa; (3) Rekhensap Liliali; (4) Rekhensap Kayeli; (5) Rekhensap Meserete; (6) Rekhensap Ambalau; (7) Rekhensap Waesama; dan (8) Rekhensap Fo gi.
153
5.3. Karakteristik Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Buru berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun 2000 sebanyak 110.114 jiwa, dan pada awal tahun 2003 jumlah penduduk meningkat menjadi 131.744 jiwa atau mengalami pertambahan sebesar 21.630 jiwa (16,42%), kondisi ini selain dipengaruhi oleh migrasi penduduk karena faktor kerja, juga disebabkan oleh bertambahnya jumlah migrasi (eksodus) penduduk dari beberapa daerah konflik akibat konflik sosial yang melanda wilayah Provinsi Maluku pada pertengahan Januari 1999. Sehingga sampai dengan Desember 2001 jumlah eksodus yang menetap di Kabupaten Buru mencapai 1.842 Keluarga atau
9.209 jiwa.
Jumlah penduduk Kabupaten Buru pada tahun 2003 bila dikaitkan dengan luas wilayah 12.655,58 km2 akan memperlihatkan tingkat kepadatan penduduk sebesar 10,41 jiwa/km atau 10 jiwa/km. Kondisi ini menunjukan bahwa kepadatan penduduk Kabupaten Buru masih sangat rendah. Penyebaran penduduk hampir merata di lima wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Buru. Konsentrasi penduduk sebagian besar pada kecamatan Buru Utara Timur sebanyak 35.272 jiwa (26,77%) dan Buru Utara Selatan sebanyak 35.028 jiwa (26,59%) dengan kepadatan penduduk masing-masing sebanyak 23,1 jiwa/km dan 22,8 jiwa/km. Sedangkan sebaran penduduk yang paling kecil adalah Kecamatan Buru Utara Barat dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 3,5 jiwa/km. Dengan demikian, kepadatan penduduk yang paling tinggi berada di kecamtan Buru Utara Timur dan Buru Utara Selatan.
154
Tabel 8. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Buru Menurut Kecamatan Kecamatan
Luas Wilayah 2 (km )
3.531,00 1.288,00 1.525,20 1.536,38 4.775,00 Jumlah 12.655,58 Sumber : Buru Dalam Angka 2003 Buru Buru Buru Buru Buru
Selatan Selatan Timur Utara Timur Utara Selatan Utara Barat
Laki-Laki (jiwa) 11.346 12.110 18.497 18.370 8.042 68.365
Jumlah Penduduk Perempuan Jumlah (jiwa) (jiwa) 10.326 21.672 11.016 23.126 16.775 35.272 16.658 35.028 8.604 16.646 63.379 131.744
Kepadatan Penduduk 2 (jiwa/km ) 6,1 18,0 23,1 22,8 3,5 73,5
Pada Tabel 8, menunjukkan bahwa konsentarasi penduduk pada kedua wilayah tersebut disebabkan pada wilayah kecamatan Buru Utara Timur terletak ibukota kabupaten (kota Namlea), yang merupakan pusat aktivitas pemerintahan dan sentra pertumbuhan ekonomi Kabupaten Buru, serta kecamatan Buru Utara Selatan yang memiliki hamparan persawahan yang merupakan daerah pensuplai pangan bagi masyarakat Maluku, sehingga membuktikan bahwa
kegiatan
perekonomian terkonsentarasi pada kedua wilayah ini. Komposisi penduduk Kabupaten Buru berdasarkan jenis kelamin terdiri dari laki-laki sebanyak 68,365 jiwa dan perempuan sebanyak 63,379 jiwa dengan perbandingan ratio jenis kelamin 1,08. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 sebesar 2,54 persen, kondisi ini bila dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu tahun 1971–1980 dan tahun 1980–1990 sebesar 3,38 persen dan 4,38 persen, hal ini memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Buru sedikit mengalami penurunan. Sedangkan dari hasil register penduduk pada akhir tahun 2003 jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk kabupaten lainnya di Provinsi Maluku, maka laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Buru mengalami penurunan yang cukup tajam (-2,39%). Fenomena ini dapat difahami karena situasi keamanan di beberapa daerah konflik yang ada di Provinsi Maluku semakin stabil sehingga interaksi penduduk antar kabupaten di wilayah Provinsi
155
Maluku semakin meningkat, yang diikuti dengan semakin membaiknya perekonomian di wilayah ini. Fakta inilah yang memacu motivasi para eksodus untuk bermigrasi kembali ke tempat asalnya. Komposisi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Buru tahun 2003 dapat disajikan pada Tabel 9 berikut. Tabel 9. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Buru Kelompok Umur (tahun)
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
<2 2-4 5-9 10 – 14 15 – 49 50 – 64 > 65 Total Sumber : Buru Dalam Angka, 2003
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan (jiwa) (jiwa) 1.850 1.761 4.973 4.458 10.813 8.014 8.994 8.071 33.723 35.018 5.483 4.491 2.529 1.566 68.365 63.379
Jumlah (jiwa) 3.611 9.431 18.827 17.065 68.741 9.974 4.095 131.744
Berdasarkan kelompok umur penduduk Kabupaten Buru sampai tahun 2003 lebih banyak didominasi oleh penduduk yang berusia dewasa yaitu antara umur 15 sampai 49 tahun. Pada Tabel 9 menggambarkan bahwa penduduk Kabupaten Buru rata-rata dalam usia produktif (usia kerja) yaitu sebesar 68.741 jiwa (52,18%) yang terdiri dari laki-laki sebanyak 33.723 jiwa (25,60%) dan perempuan 35.018 jiwa (26,58%). Di lihat dari komposisi penduduk menurut jenis kelamin maka penduduk Kabupaten Buru lebih banyak laki-laki (51,89%) dari pada perempuan (48,11%), walaupun demikian kelompok usia produktif lebih didominasi oleh perempuan. Kabupaten Buru yang sebelumnya dikenal sebagai pulau pembuangan atau tempat pengasingan bagi para tahanan politik, saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, setelah di mekarkan pada tahun 1999. Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan penduduk yang menghuni kawasan Pulau Buru yang saat ini sudah berjumlah 131.744 jiwa. Kawasan ini dihuni oleh
156
berbagai macam suku bangsa, sebagian besar penduduk yang bermukim di wilayah Kabupaten Buru adalah penduduk asli pulau Buru dan Ambalau, pendatang dari Ambon, transmigran dari Pulau Jawa yang terkonsentrasi pada daerah transmigtrasi di dataran Waeapu Kecamatan Buru Utara Selatan, dan suku Sula yang kebanyakan menempati pesisir wilayah utara Pulau Buru. Disamping itu terdapat pula suku Buton yang tersebar hampir merata di seluruh wilayah kabupaten serta suku Bugis yang kebanyakan terkonsentrasi di Ibukota kabupaten, hal ini sesuai dengan fungsi yang mereka jalani sebagai pedagang (wiraswasta). Perkembangan jumlah penduduk tersebut, berakibat pada semakin berkembangnya kegiatan dan tingkat perekonomian wilayah, sehingga saat ini Kabupaten Buru telah berubah dari pulau pengasingan menjadi salah satu lokasi penting, khususnya sumber penghasil pangan dan komoditi perkebunan di kawasan Maluku. Walaupun beragam suku yang mendiami wilayah Kabupaten Buru, namun keharmonisan yang dibangun oleh penduduk asli dengan pendatang sangat tinggi. Berbagai ragam suku yang ada di Kabupaten Buru memperlihatkan bahwa daerah ini memiliki tingkat intraksi sosial yang cukup tinggi dengan kehidupan masyarakatnya yang heterogen. Kehidupan masyarakat rata-rata bermata pencaharian sebagai petani, sehingga sebagian besar penduduk mengantungkan hidup keluarganya pada sektor pertanian, sedangkan sisanya 19,63 persen pada sektor lainnya. Kondisi ini menunjukan bahwa penduduk Kabupaten Buru sebagian besar masih mengantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutama subsektor perkebunan yang sampai sekarang merupakan mata pencaharian utama masyarakat disetiap kecamatan di Kabupaten Bu ru. Sedangkan pada subsektor tanaman pangan hanya diusahakan oleh sebagian masyarakat di wilayah Kecamatan Buru Utara
157
Selatan yang merupakan mata pencarian utama bagi masyarakat transmigrasi di daerah ini. 5.4. Karakteristik Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk mengukur hasil pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu daerah. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi secara makro pada suatu wilayah adalah dengan menggunakan pendapatan regional. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu pencerminan kemajuan ekonomi suatu daerah yang didefenisikan sebagai keseluruhan jumlah produksi nilai barang dan jasa dari berbagai unit produksi barang dan jasa yang dihasilkan dalam kurung waktu satu tahun dan membandingkannya dengan cara mengukur pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut pada tahun sebelumnya. Kinerja perekonomian Kabupaten Buru dapat dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi atau PDRB atas dasar harga konstan. Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia pertengahan tahun 1997 memberikan dampak yang cukup besar terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Buru baik secara keseluruhan maupun sektoral. Tabel 10. Hasil PDRB Kabupaten Buru Tahun 1996 s/d 2002 (jutaan rupiah) Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Atas Dasar Harga Berlaku 184.429,96 204.810,99 287.812,77 200.973,98 209.788,33 236.233,66 202.031,09
Konstan 1993 154.393,92 163.656,94 147.414,68 94.148,98 85.818,55 86.163,33 88.033,15
Laju Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Harga Konstan (%) 5,99 -9,92 -36,13 -8,85 0,40 2,17
Sumber : Buru Dalam Angka, 2003
158
Pada Tabel 10 memperlihatkan bahwa secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Buru sejak tahun 1998 sampai 2000 menunjukkan kecenderungan yang menurun (kontraks), namun mengalami sedikit perubahan dengan meningkatnya laju pertumbuhan pada tahun 2001 sampai 2002. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan negatif sebesar -9,92% (1998); -36,13% (1999) dan -8,85% (2000), namun pada tahun 2001 terjadi sedikit perubahan dengan kenaikan sebesar 0,40% dan mengalami pertumbuhan sebesar 2,17% pada tahun 2002. Kecenderungan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi tersebut, selain karena faktor makro ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat itu, di mana perekonomian Indonesia masih dilanda krisis ekonomi dan moneter, serta merupakan akumulasi dari dampak konflik sosial yang telah memporakporandakan tatanan sistem sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Maluku di pertengahan Januari 1999. Sehingga semakin jelas memperlebar terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi yang berakibat pada semakin tingginya pengangguran dan kemiskinan. Secara umum tingkat pendapatan masyarakat relatif masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari tingkat pendapatan regional perkapita tahun 2002 berdasarkan atas harga yang berlaku yaitu hanya mencapai Rp 1.864.992,- per tahun, sedangkan bila dilihat berdasarkan atas dasar harga konstan tahun 1993 maka pendapatan perkapita masyarakat Kabupaten Buru sebesar Rp 596.818,Perekonomian Kabupaten Buru masih tetap didominasi oleh sektor pertanian, dari laju pertumbuhan sektor memperlihatkan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi cukup besar terhadap PDRB Kabupaten Buru. Kontribusi seluruh sektor ekonomi terhadap PDRB Kabupaten Buru dapat dilihat pada Tabel 11.
159
Tabel 11. PDRB Seluruh Sektor di Kab. Buru Atas Harga Konstan 1993 (juta Rp) No.
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tahun 2001 Nilai (%)
Sektor Ekonomi Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Peternakan dan Perikanan Pertambangan dan Pengalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahan Jasa-Jasa
Total
Tahun 2002 Nilai (%)
Pertumbuhan (%)
47.651,88
55,41
48.656,14
55,27
2,11
676,87
0,55
494,19
0,56
-26,99
3.974,50
4,62
3.976,49
4,52
0,05
344,04
0,40
327,51
0,37
-4,80
1.325,26
1,54
1.373,84
1,56
3,67
13.797,40
16,04
14.246,88
16,18
3,26
3.961,54
4,61
4.098,30
4,66
3,45
2.742,15
3,19
2.820,64
3,20
2,86
11.727,83
13,64
12.039,16
13,68
2,65
86.201,47
100,0
88.033,15
100,0
Sumber : Buru Dalam Angka, 2003
Sektor pertanian masih memberikan kontribusi lapangan usaha terbesar dengan 55,27 persen, dibandingkan dengan sektor lainnya. Walaupun demikian, pada Tabel 11, memperlihatkan bawah pertumbuhan sektor pertanian relatif masih rendah (2,11%), jika dibandingkan dengan sekor bangunan (3,67%); pengangkutan dan komunikasi (3,45%); perdagangan, hotel dan restoran (3,26%); maupun keuangan, persewaan dan jasa perusahan (2,86%); dan jasajasa (2,65%). Berdasarkan data, sumber pendapatan regional Kabupaten Buru pada tahun 2003 lebih banyak dari sektor pertanian terutama dari subsektor tanaman pangan dan perkebunan yaitu 23,92 persen dan 16,47 persen. Kedua subsektor ini pun memberikan peluang lapangan usaha yang cukup signifikan, yang tercermin dari adanya kemauan pemerintah daerah dalam berbagai program pembangunan pertanian. Peranan pemerintah dalam menumbuhkan partisipasi petani sangat menonjol dan dampaknya pun sangat dirasakan. Hal seperti ini
160
dipandang sangat tepat, terutama kalau dikaitkan dengan kondisi petani dan pertanian dewasa ini, yang intinya adalah untuk memperkuat sistem tatanan pembangunan pedesaan yang tangguh. Hal ini didasari dari hampir sebagian besar penduduk Kabupaten Buru yaitu 36.037 jiwa (80,37%) adalah bekerja pada sektor pertanian. Keberadaan sektor pertanian diharapkan dapat menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi di wilayah ini, karena selain merupakan mata pencaharian sebagian penduduk, diharapkan pula dapat mendukung prospek pengembangan
wilayah
sehingga
mampu
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat. Kondisi ini didukung oleh ketersediaan lahan yang memiliki potensi cukup besar untuk sektor pertanian baik pada sub sektor utama (tanaman pangan dan perkebunan), maupun sub sektor pendukung (kehutanan, peternakan dan perikanan). Di
kaitkan
dengan
pengembangan
wilayah
secara
keseluruhan
pembangunan sektor pertanian memiliki nilai yang strategis, karena relevansinya dengan upaya swasembada pangan dan mengurangi ketergantungan kebutuhan dengan wilayah lain sekaligus membuka peluang ekspor non migas, terutama komoditi perkebunan dan perikanan. Di Kabupaten Buru sub sektor pertanian tanaman pangan dan perkebunan merupakan sub sektor yang paling dominan dalam menopang pengembangan dan pertumbuhan wilayah, karena memberikan impilikasi yang cukup besar terhadap pembangunan ekonomi wilayah baik internal maupn eksternal. 5.5. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem usaha pertanian yang mengintegrasikan
faktor
produksi
lahan,
tenaga
kerja,
modal
dan
teknologi/manajemen sangat dipengaruhi oleh kondisi spesifik wilayah, yang meliputi bio-fisik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Sektor pertanian
161
hingga saat ini masih diartikan sebagai sistem usaha pertanian (usahatani) yang sangat berkaitan erat dengan sistem lainnya seperti industri hulu, industri hilir, pemasaran/perdagangan dan permintaan dari konsumen. Kondisi seperti ini yang sering berpengaruh terhadap kebijakan petani, baik dalam meningkatkan luas lahan pertanian maupun produktivitas lahan dan tanamannya. Namun demikian sangat tergantung pula pada ketersedian sumberdaya petani, kelembagaan petani dan kebijakan pembangunan pertanian. Tabel 12. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kegiatan Usahatani Luas Lahan Kakao (ha) a. 0,25 – 0,99 b. 1,0 – 1,99 c. > 1,99 Letak Lokasi Tanaman Kakao a. Dalam Desa b. Luar Desa c. Kombinasi Status Usahatani Kakao a. Usaha Utama b. Bukan Usaha Utama Status Kepemilikan Lahan a. Milik Sendiri b. Lainnya Varietas Kakao Yang Ditanam a. Varietas Lokal b. Varietas Hybrida c. Kombinasi Pola Tanam Yang Digunakan a. Monokultur b. Tumpangsari Penggunaan Tenaga Kerja a. Tenaga Kerja Keluarga b. Tenaga Kerja dari Luar c. Tenaga Kerja Kombinasi
Jumlah
(%)
Min.
Max.
27 42 11
33,75 52,50 13,75
0,25 0,25 1,0 2,0
3,0 0,99 1,75 3,0
77 1 2
96,25 01,25 02,50
-
-
66 14
82,50 17, 50
-
-
78 2
97,50 02,50
-
-
72 3 5
90,00 03,75 06,25
-
-
43 37
53,75 46,25
-
-
40 12 28
50,00 15,00 35,00
-
-
Sumber : Data Primer Diolah.
Pada Tabel 12 menunjukan bahwa luas kepemilikan lahan kakao oleh petani di wilayah penelitian berkisar antara 0,25-3 ha. Dari seluruh responden hampir sebagian besar petani (52,50%) memiliki luas lahan usahatani kakao antara 1-1,75 ha, sementara luas kepemilikan lahan yang lebih besar yang diusahakan petani yaitu antara 2-3 ha (13,75%). Sedangkan sekitar 33,75 persen
162
petani yang memiliki luas lahan dibawah 1 ha. Kondisi ini menggambarkan bahwa faktor untuk memperoleh lahan bukan menjadi suatu kendala dalam perluasan lahan oleh petani, namun lebih disebabkan oleh faktor permodalan dan kondisi pasar yang jaraknya cukup jauh dari lokasi serta harga yang sering berfluktuatif. Bila harga dan kondisi pasar membaik dan stabil, dibarengi dengan tambahan modal, maka akan direspon dengan baik oleh petani untuk meningkatkan luas areal dan produktivitas tanamannya. Permasalahan yang sering dialami petani adalah serangan hama PBK (Penggerek Buah Kakao), intensitas serangan hama ini cukup merepotkan petani karena sangat sulit bagi petani dalam pengendaliannya. Selain karena keterbatasan pengetahuan dan skill petani dalam pemberantasan hama tersebut, juga dipengaruhi oleh hampir sebagian besar petani di wilayah penelitian yang belum menggunakan varietas unggul, karena cukup sulit untuk memperolehnya. Sehingga sekitar 90 persen responden yang masih menggunakan varietas lokal dalam usahatani kakao, hal inilah yang berimplikasi pada menurunnya produksi tanaman dan pendapatan petani. Sedangkan hanya sekitar 10 persen responden dalam usahatani ini yang menggunakan varietas unggul, yang diperoleh dari keterlibatannya dalam proyek bantuan bibit dari pemerintah. Kendala lainnya seperti cara fermentasi dan penjemuran maupun peralatan yang digunakan masih sangat sederhana, sehingga berpengaruh pada kualitas hasil biji kakao. Namun bila intensitas serangan hama PBK dapat teratasi dan diintensifkan program penyuluhan secara baik dan merata keseluruh petani kakao, serta jika ada kemudahan dalam memperoleh varietas unggul, maka diyakini dapat memberikan kontribusi perubahan dalam meningkatkan produksi kakao baik secara kuantitas maupun kualitas hasil. Gambaran letak lokasi lahan tanaman, memperlihatkan bahwa hampir sebagian besar petani di wilayah penelitian yang mengusahakan tanamannya di
163
dalam desa (96,25%), sementara 1,25 persen petani yang mengusahakan di luar desa dan sekitar 2,50 persen yang merupakan kombinasi dari kedua lokasi penanaman yaitu
di
luar
desa
dan
di
desanya
sendiri.
Kondisi
ini
mengindikasikan bahwa dalam pengembangan usahatani kakao di wilayah penelitian, petani lebih cenderung untuk memilih lahan yang ada dalam desa, sebab
dapat
memberikan
kemudahan
dalam
pengelolaan
maupun
perawatannya. Usahatani yang dikembangkan petani di wilayah penelitian sebagian besar (82,50%)
menjadikan
tanaman
kakao
sebagai
usaha
utama
dalam
pembudidayaan dan merupakan pilihan utama petani, yang dijadikan sebagai sumber pendapatan keluarganya. Selain itu dari seluruh responden petani yaitu sekitar 97,50 persen mengemukakan bahwa status kepemilikan lahan yang digunakan dalam pengembangan usahatani kakao tersebut merupakan lahan milik sendiri, dan hanya 2,50 persen yang merupakan milik keluarga (lahan warisan orang tua) dan sistem bagi hasil, dengan penerapan pola tanam yang lebih banyak mengarah pada sistem monokultur (53,73%), serta sekitar (46,25%) yang menggunakan sistem tumpangsari dengan tanaman perkebunan lainnya seperti kelapa dan tanaman buah-buahan. Hal ini menunjukkan bahwa animo petani cukup besar dalam pengembangan usahatani kakao dan menggambarkan pula potensi pengembangan komoditi ini sebagai sektor unggulan di Kabupaten Buru di masa datang. Untuk itu, perlu adanya terobosan kebijakan pemerintah daerah melalu program
pembangunan
perkebunan
yang
sustaenable,
dengan
visi
pengembangan komoditi yang memiliki dayasaing di pasar. Serta berupaya untuk mengefektifkan program diversifikasi dan intensifikasi tanaman yaitu melalui program bantuan bibit unggul dan penyuluhan yang sistimatis dan berkelanjutan,
164
yang diharapkan dapat menjawab segala permasalahan yang selama ini sering dialami oleh petani. Dengan peranan pemerintah dalam pengembangan perkebunan dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap perkembangan tanaman dan peningkatan produksi, yang pada akhirnya akan memberikan peluang terhadap peningkatan pendapatan petani. Perkembangan luas tanam dan produksi komoditi perkebunan dapat diamati pada Tabel 13. Tabel 13. Perkembangan Luas Tanam dan Produksi Beberapa Komoditi Perkebunan Penting di Kabupaten Buru Tahun 2001 s/d 2003. 2001 2002 Luas Luas No. Produksi Produksi Tanam Tanam (ton) (ton) (ha) (ha) 1. Kelapa 8.354,6 5.996,4 9.140,9 8.718,8 2. Kakao 6.937,4 1.820,5 5.553,5 4.157,2 3. Cengkeh 4.890,8 3.562,9 4.482,1 4.336,9 4. Jambu Mete 1.413,7 897,0 1.143,9 902,9 5. Pala 363,9 132,1 299,6 266,0 6. Kopi 48,3 24,1 95,1 67,9 Sumber : Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kab. Buru, 200 4 Jenis Komoditi
2003 Luas Produksi Tanam (ton) (ha) 9.194,2 8.769,5 5.764,4 4.893,2 4.747,6 4.559,2 1.187,3 1.049,4 452,3 281,1 148,6 69,7
Dari Tabel 13 memperlihatkan bahwa sektor perkebunan yang paling dominan yang diusahakan oleh petani di Kabupaten Buru adalah komoditi Kelapa, kakao dan cengkeh. Ketiga komoditi perkebunan ini memiliki peranan yang cukup strategis dan penting bagi perbaikan pendapatan petani, dan sekaligus merupakan komoditi andalan yang diusahakan oleh sebagian petani di wilayah penelitian. Disamping ketiga komoditi perkebunan tersebut, tampak pula beberapak komoditi perkebunan lainnya yang sedang dikembangkan oleh petani seperti jambu mete, pala dan kopi, yang memperlihatkan pengembangan laju pertumbuhan. Dari sisi pengembangan luas tanam maupun produksi menunjukkan bahwa komoditi kelapa yang memiliki pertumbuhan luas tanam dan produksi yang cukup miningkat, sedangkan komoditi kakao sedikit mengalami penurunan luas tanam
165
pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 2002 sampai 2003. Namun penurunan pada luas tanam tidak berpengaruh pada produksi, malah terjadi peningkatan yang cukup signifikan yaitu dari tahun 2001 (1.820,5 ton/ha) menjadi 4.893,2 ton/ha pada tahun 2003 . Sedangkan untuk melihat perkembangan luas panen dan produksi serta keterlibatan rumah tangga petani dapat disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Keterlibatan Rumah Tangga Usahatani Perkebunan Kakao Menurut Kecamatan di Kabupaten Buru. 2002
2001 Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
305
59,8
50,9
1.582
384,2
1.031
129,6
103,7
1.802
484
66,9
46,8
4.040
926,8
Barat
1.759
Jumlah
7.619
Kecamatan
KK
2003 KK
Luas Panen (Ha)
391,6
2.211
1.041,3
1.110,3
236,6
190,0
2.242
667,8
642,9
544
483,6
347,9
582
128,1
92,6
880,4
2.201
1.421,7
1.924,8
2.952
1.263,0
1.416,1
829,6
738,7
2.255
1.862,0
1.303,0
1.907
1.254,9
1.631,4
2.012,7
1.820,5
8.384
4.388,1
4.157,3
9.894
4.355,0
4.893,2
KK
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
Produksi (Ton)
Buru Selatan Buru Selt. Timur Buru Utara Timur Buru Utara Selatan Buru Utara
Sumber : Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kab. Buru, 200 4
Keterlibatan rumah tangga tani dalam pengembangan perkebunan kakao di Kabupaten Buru, tertinggi pada kecamatan Buru Utara Selatan kemudian disusul oleh kecamatan Buru Utara Barat dan Buru Selatan Timur. Selain itu perkembangan luas panen maupun produksi di setiap kecamatan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Walaupun demikian, pada kecamatan Buru Utara Selatan dan Buru Utara Barat terjadi penurunan baik dalam keterlibatan rumah tangga tani (KK), luas panen maupun produksi. Sementara dibeberapa kecamatan lainnya, mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, hal ini
166
kemungkinan diindikasikan oleh adanya degradasi lahan akibat ekploitasi hutan oleh beberapa pengusaha kayu, dan semakin sulit memperoleh lahan yang dekat dengan tempat tinggal. Disamping itu untuk pengembangan perkebunan kakao pada kedua wilayah ini sudah cukup lama, sehingga kemungkinan bisa saja terjadi akibat usia produktif tanaman kakao yang banyak tergolong dalam tanaman tua renta yang di miliki petani, yang berakibat banyak tanaman yang mati atau rusak, sementara untuk mengembangkannya pada lahan yang baru, petani mengalami keterbatasan modal dan jarak lahan yang baru cukup jauh.
167
5.6. Karakteristik Petani Perkebunan Kakao Berdasarkan hasil pengamatan pada seluruh responden di wilayah penelitian memperlihatkan bahwa keberlansungan usaha tani kakao sangat ditentukan oleh faktor eksternal yang meliputi
faktor ekonomi dan faktor
lingku ngan (tingkat kesuburan tanah, pH tanah, curah hujan, kelembaban, temperatur, cahaya dll), serta faktor internal yang lebih mengarah pada kondisi dan karakteristik petani itu sendiri yang merupakan pelaku usahatani. Tabel 15. Karakteristik Petani Kakao di Kabupaten Buru, 2004 No. Karakteristik Petani Jumlah Orang Umur (tahun) a. 25 – 35 24 1. b. 36 – 45 35 c. 46 – 55 19 d. > 55 (Max. 60 tahun) 2 Pengalaman Usahatani (tahun) 2. a. 3 - 10 60 b. >10 (Max. 18 tahun) 20 Pendidikan Formal (tahun) 3. a. Tidak/Putus Sekolah 13 b. Sekolah (Max. 16 tahun) 67 Jumlah Anggota Keluarga (orang) a. 1 - 3 3 5. b. 4 – 6 40 c. > 6 (Max. 14 org) 37 Jumlah Tanggungan (orang) a. 1 – 3 14 6. b. 4 – 6 41 c. > 6 (Max. 14 org) 25 Jenis Pekerjaan Utama 57 7. a. Petani Kakao b. PNS/Guru 4 c. Lainnya 19
% 30,00 43,75 23,75 2,50 75,0 25,0 16,25 83,75 3,75 50,00 46,25 17,50 51,25 31,25 71,25 5,00 23,75
Sumber : Data primer diolah.
Di lihat dari sisi umur, petani kakao di Kabupaten Buru rata-rata tergolong dalam usia produktif yaitu antara 25-55 tahun (97,50%) dan hanya sekitar 2,50 persen yang diatas 55 tahun, di mana kisaran usia produktif didominasi oleh petani yang memiliki umur antara 36 sampai 45 (43,75%) dan diikuti oleh umur petani antara 25 sampai 35 tahun (30%). Hal ini mengindikasikan bahwa di wilayah penelitian potensi pengembangan komoditi kakao di masa datang
168
memiliki peluang yang cukup menjanjikan, bila didasarkan pada usia yang dimiliki petani saat ini. Potensi ini sangat terkait dengan pengalaman usaha, sehingga umur petani biasanya memiliki keeratan dengan pengalaman berusahatani. Pengalaman petani dalam usahatani kakao rakyat di Kabupaten Buru sangat terkait dengan awal mulanya dibudidayakan tanaman kakao yaitu sekitar 1980an, namun tanaman ini baru dikembangkan secara meluas oleh petani pada tahun 1990.
Walaupun demikian, berdasarkan hasil survei di lapangan
memperlihatkan pengalaman petani dalam usahatani kakao di wilayah penelitian berkisar antara 3 sampai 18 tahun, di mana sebagian petani memiliki pengalaman berusaha antara 3 sampai 10 tahun, yaitu sebesar 75 persen, dan hanya sebagian kecil petani (20%) yang memiliki pengalaman diatas 10 tahun. Dengan demikian dapat di katakan bahwa usahatani kakao di Kabupaten Buru masih relatif baru bagi petani dalam pembudidayaan. Dari segi pendidikan formal petani yang pernah menikmati pendidikan, memiliki keragaman tingkat dan lama pendidikan yang berbeda mulai dari 0 tahun sampai 16 tahun yaitu sekitar 83,75 persen yang pernah menikmati pendidikan formal, sedangkan sebagian kecil petani (16,25%) yang putus sekolah di bangku pendidikan dasar dan atau tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal. Dengan demikian faktor umur, pendidikan dan pengalaman berusahatani mempunyai peranan penting bagi petani dalam mengembangkan usahataninya. Sebab dalam usia produktif, tingkat pendidikan dan pengalaman yang memadai, petani akan lebih rasional dalam mengambil keputusan untuk memilih jenis komoditas dan skala usahanya. Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa dari sejumlah responden petani yang diangket yaitu sebanyak 71,25 persen yang mengaku menjadikan usahatani kakao sebagai usahatani utama, namun diantara responden ada juga yang memiliki usaha sampingan yakni sebagai nelayan, memelihara ternak dan
169
berdagang. Dari sejumlah responden tercatat sebanyak 5 persen yang termasuk pegawai negeri sipil, sedangkan sisanya 23,75 persen yang menjadikan jenis usaha lain sebagai usaha utama yaitu wiraswasta dan petani yang mengembangkan komoditi cengkeh dan kelapa. Walaupun demikian secara umum dari seluruh responden turut pula mengembangkan komoditi perkebunan lainnya sebagai jenis usaha tambahan dengan pola diversifikasi. Bila dilihat dari jumlah anggota keluarga, maka sebagian besar responden memiliki jumlah anggota keluarga diatas 4 orang (96,25%) dengan kisaran antara 2 sampai 14 orang. Sedangkan jumlah tanggungan keluarga terbanyak berkisar antara 4 sampai 6 orang (51,25%) dan jumlah tanggungan diatas 6 orang sebesar 31,25 persen, dengan rata-rata jumlah tanggungan keluarga sebanyak 5,56 jiwa. Baik jumlah anggota keluarga maupun jumlah tanggungan memiliki keterkaitan dengan penggunaan tenaga kerja dalam usahatani maupun pengeluaran biaya untuk kebutuhan keluarga, dengan demikian dapat dikatakan bahwa usahatani kakao merupakan salah satu sumber pendapatan bagi keluarga tani di wila yah penelitian.
170
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Keragaan Kelayakan Usaha dan Kebijakan Perkakaoan Keragaan kelayakan usaha perkebunan kakao rakyat dicirikan dengan menganalisis kelayakan usaha tersebut, yang bertujuan untuk melihat tingkat kelayakan usaha perkebunan kakao rakyat baik secara finansial maupun ekonomi. Pendekatan analisis tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana kinerja usahatani kakao rakyat, sehingga dapat memberikan gambaran kondisi usaha pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru kedepan. Kemudian akan dikaji berbagai kebijakan pemerintah serta implikasinya terhadap pengembangan usahatani kakao rakyat, yang diukur dengan menggunakan analisis PAM (Policy Analysis Matrix). Dilanjutkan dengan analisis suplay respon luas areal perkebunan kakao, serta mengkaji pemusatan wilayah komoditi perkebunan dengan menggunakan analisis lokasional. Pendekatan terhadap analisis lokasional ini adalah untuk mengukur pertumbuhan dan pergeseran pengembangan usaha perkebunan, yang secara spasial dicerminkan dalam kompetitif dan komparatif komoditi-komoditi perkebunan, sehingga dapat memberikan gambaran secara implisit kondisi pembangunan perkebunan di Kabupaten Buru. 6.1.1. Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi Hasil analisis kelayakan finansial maupun ekonomi dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan terhadap Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR) yang merefleksikan tingkat kelayakan usaha perkebunan kakao rakyat setelah dikoreksi dengan tingkat suku bunga bank. Perhitungan ini didasarkan pada laba usaha (pendapatan bersih), yang merupakan selisih dari penerimaan (benefit) dan total biaya (cost) yang diperoleh setiap tahun. Hasil analisis tersebut merupakan gambaran kelayakan
171
usaha perkebunan kakao rakyat, yang dihitung berdasarkan umur produktif tanaman kakao secara ekonomis pada siklus 20 tahun. Analisis kelayakan finansial dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Analisis Kelayakan Finansial (NPV, BC Ratio dan IRR) Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12 % dan 25 % dalam luasan 1 Ha, 2004 Suku Bunga Indikator 12 % 25 % NPV 15.110.869 (490.727) BC Ratio 2,51 IRR 24,59 Secara keseluruhan usaha perkebunan kakao rakyat di wilayah penelitian masih memberika n nilai keuntungan, apabila didasarkan pada tingkat harga kakao yang berlaku ditingkat petani (harga beli di pedagang pengumpul). Pada Tabel 16 memperlihatkan bahwa secara finansial usaha perkebunan kakao rakyat layak untuk dikembangkan, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai NPV, BC ratio dan IRR setelah dikoreksi dengan tingkat suku bunga df 12 persen yang berlaku dilapangan. Di mana nilai NPV yang diperoleh bernilai positif (15.110.869), BC ratio yang lebih besar dari satu (2,51) dan nilai IRR sebesar 24,59 yang melebih nilai tingkat suku bunga yang belaku. Dari hasil perhitungan menunjukkan nilai BC ratio lebih besar dari satu artinya bahwa setiap penambahan cost (biaya) yang dikeluarkan nilainya lebih kecil bila dibandingkan dengan benefit (manfaat) yang diperoleh petani. Di mana setiap satu rupiah yang diinvestasikan dalam usaha ini akan memberikan tambahan manfaat (keuntungan) bersih sebesar Rp 2,51. Sedangkan nilai IRR yang lebih besar dari tingkat suku bunga di lapangan, menggambarkan bahwa dalam hal n i i petani lebih baik menginvestasikan modal yang dimilikinya untuk usaha perkebunan kakao, karena manfaat yang diterimanya lebih besar dari pada modal tersebut disimpang di bank. Nilai IRR ini pun menunjukkan bahwa
172
sampai pada tingkat suku bunga df 24.59 persen usaha tani kakao rakyat di Kabupaten Buru masih memberikan nilai keuntungan bagi petani. Dalam membangun usaha perkebunan kakao, petani memerlukan biaya investasi awal sebesar Rp 4.397.900. Biaya investasi awal ini meliputi biaya persiapan
lahan
pemb ibitan, penyedian bibit, pemeliharaan pembibitan,
pembukaan lahan dan sarana input lainnya. Besarnya biaya investasi awal lebih disebabkan oleh tingginya nilai input-input produksi seperti peralatan dan biaya tenaga kerja. Sedangkan Biaya pemeliharan tanaman untuk tahun pertama penanaman sampai tahun terakhir umur produktif tanaman kakao secara ekonomis berkisar antara Rp 2.122.000 s/d Rp 3.896.000 per tahun. Sementara kisaran biaya oprasional panen dan pascapanen bervariasi tergantung pada produksi tanaman yaitu antara Rp 922.500 sampai 1.458.500 per tahun. Tingginya biaya tersebut lebih disebabkan pada penggunaan tenaga kerja dan mahalnya harga peralatan usahatani serta biaya transportasi. Kegiatan usahatani kakao rakyat yang banyak menyedot tenaga kerja antara lain : pembukaan dan pembersihan lahan, penggalian lubang tanam, penanaman, pembabatan rumput, serta pemangkasan dan panen. Penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan usahatani kakao tersebut seringkali digunakan tenaga kerja luar, sementara tenaga kerja keluarga sebagai tenaga kerja pelengkap atau sering dibutuhkan dalam kegiatan yang sifatnya tidak terlalu membutuhkan banyak tanaga kerja. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa seluruh tenaga kerja yang terlibat dalam usaha perkebunan kakao diberikan insentif, baik itu tenaga kerja luar maupun tenaga kerja keluarga, di mana upah yang dibayar berkisar antara Rp 20.000-25.000 per Hok. Meningkatnya biaya input-input produksi, seperti peralatan usahatani dan tingginya upah tenaga kerja, serta sulit dan mahalnya harga pupuk dan obat-obatan mengakibatkan
173
petani kurang maksimal dalam mengintensifkan usahataninya, yang berimplikasi pada penurunan produksi kakao. Meningkatnya biaya input produksi tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas tanaman kakao, di mana produktivitas tanaman kakao per tahun baru mencapai 1,12 ton/ha. Produktivitas tersebut masih jauh dibawah standar produktivitas yang harus dicapai tanaman kakao yaitu 2 ton/ha (Spillane, 1995). Rendahnya produktivitas tanaman kakao terkait pula dengan minimnya pengetahuan petani dalam penerapan teknologi budidaya. Di mana rata-rata petani belum memanfaatkan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas
tanamannya
dengan
penggunaan
sarana
produksi
seperti
penggunaan pupuk dan pestisida. Penurunan produksi kakao dan kehilangan hasil akibat serangan hama penyakit tanaman (HPT) kakao banyak dialami petani, terutama intensitas serangan hama Pengerek Buah Kakao (PBK) dan busuk batang, fakta ini menunjukkan bahwa petani belum menerapkan sistem budidaya pertanian dengan baik dan benar. Bila ada kegiatan pengendalian biasanya dilakukan melalui bantuan dari pemerintah, itu pun tidak bersifat rutin. Sedangkan penggunaan pupuk dan pestisida hanya dipergunakan pada tanaman padi-padian, palawija dan sayuran. Disamping itu harga pupuk dan pestisida cukup mahal dan sulit untuk diperoleh. Tanaman kakao memiliki karakteristik yang berbeda dengan tanaman perkebunan lainnya yaitu mulai berproduksi pada umur tanam 3 tahun dengan produksi dalam setahun 2-3 kali, tergantung pada kondisi perawatan tanaman. Walaupun demikian, produksi tanaman kakao yang dialami petani di wilayah penelitian dalam setahun hanya dapat berproduksi 2 kali, malahan ada yang hanya sekali dalam setahun, dengan produksi tertinggi dicapai pada umur tanaman kakao 12 tahun yang kemudian selanjutnya akan berkurang. Hasil panen kakao yang dipasarkan biasanya dalam bentuk biji kakao kering dengan
174
harga Rp 7.500 per kg ditingkat petani atau harga beli ditingkat pedagang pengumpul. Dari hasil perhitungan secara finansial menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh petani dalam usahatani kakao cukup tinggi yang ditunjukkan dengan nilai NPV yang positif, akan tetapi rata-rata pendapatan yang diterima petani dalam satu tahun untuk luasan 1 ha dari hasil perhitungan ini sangat rendah yaitu sebesar Rp 755.543,5. Kondisi ini mengambarkan bahwa walaupun usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru layak secara finansial, namun keuntungan yang diperoleh petani belum memadai. Ke tidak seimbangan antara nilai input-input produksi yang dikeluarkan dengan output yang dihasilkan pertahun, akibatnya dapat berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh petani, sehingga pada akhirnya petani belum mampu memperbaiki tinggkat kesejahteraannya. Untuk melihat keuntungan optimal dari pendapatan petani dalam usahatani perkebunan kakao rakyat dapat dihitung dengan pendekatan analisis ekonomi. Dari perhitungan secara ekonomi pada (Tabel 17) menunjukkan usahatani perkebunan kakao rakyat jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pendekatan secara finansial. Tabel 17. Analisis Kelayakan Ekonomi (NPV, BC Ratio dan IRR) Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12 % dan 38 % dalam luasan 1 Ha, 2004 Suku Bunga Indikator 12 % 38 % NPV 33.351.438 (91.701) BC Ratio 4,96 IRR 37,93 Hasil perhitungan menunjukkan nilai NPV yang positif setelah dikoreksi dengan tingkat suku bunga df 12 persen dan diperoleh nilai NPV sebesar 33.351.438, dengan BC ratio lebih besar dari satu yaitu 4,96 dan nilai IRR sebesar 37,93. Indikator yang dipakai untuk menilai bahwa kegiatan usahatani kakao rakyat yang dijalani petani layak secara ekonomi yaitu ditunjukkan dengan
175
nilai NPV yang positif dan BC ratio lebih besar dari satu. Indikator lainnya adalah nilai IRR yang diperoleh jauh lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku (df 12 %) yang mengindikasikan bahwa sampai pada tingkat suku bunga bank 37,93 persen kegiatan usahatani perkebunan kakao masih dapat memberikan keuntungan bagi petani. Dengan pengertian bahwa dari pada modal yang dimiliki disimpan di bank lebih baik di investasikan untuk usahatani kakao, karena akan mendatangkan keuntungan (manfaat) yang lebih dibandingkan dengan disimpan di bank. Dari hasil analisis kelayakan usaha baik secara finansial ma upun ekonomi pada usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru menunjukkan bahwa usahatani kakao rakyat dapat memberikan keuntungan bagi petani, sehingga layak untuk diusahakan (dikembangkan), tinggal bagaimana peran pemerintah dalam menjembatani usaha yang dikembangkan oleh masyarakat tersebut terutama dalam peningkatan produktivitas tanaman dan perbaikan harga. Selain itu pula perlu memotivasi petani dalam meningkatkan produktivitas usahanya, yaitu melalui perbaikan kualitas SDM untuk dapat memanfaat kan dan menggunakan teknologi budidaya, penggunaan bibit unggul, membangun infrastruktur (khususnya transportasi) dan perannya dalam penyediaan informasi harga berbagai komoditi serta perbaikan harga input produksi maupun output produksi. Sehingga diharapkan dapat memacu petani dalam meningkatkan usahanya, yang pada akhirnya akan memperbaiki tingkat pendapatan petani dan meningkatkan pendapatan daerah serta mendatangkan devisa bagi negara. 6.1.2. Analisis Kebijakan Pemerintah Pengembangan komoditi kakao di Kabupaten Buru lebih banyak merujuk pada kebijakan pemerintah pusat. Kondisi tersebut terlilhat dari berbagai program yang
berlangsung
selama
ini,
yaitu
lebih
diarahkan
pada
perluasan
176
pengembangan komoditi tersebut, seperti program ketahanan pangan dan penge mbangan agribisnis. Selain itu pula secara nasional ada upaya pemerintah untuk memberdayakan petani dan perbaikan pendapatannya. Namun demikian belum ada kebijakan khusus yang dilakukan oleh pemerintah daerah terkait dengan perbaikan harga maupun melindungi petani dari distorsi harga. Hal ini dapat di pahami, karena Kabupaten Buru merupakan daerah yang baru dimekarkan sehingga banyak mengalami keterbatasan infrastruktur. Oleh karena itu kajian yang dilakukan dalam analisis ini lebih mengarah pada kebijakan program pemerintah pusat. Untuk mengkaji kebijakan pemerintah pada sektor perkebunan khususnya pada komoditi kakao, dan peran sertanya dalam melindungi petani dari distorsi pasar sebagai bentuk wujud kepedulian pemerintah untuk mempertahankan eksistensi usaha dan sekaligus merupakan insentif untuk memacu motivasi petani kakao rakyat dalam meningkatkan produktivitasnya. Maka akan di analisis dengan menggunakan perhitungan Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis PAM pada tingkat usahatani disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Matrik Hasil Analisis Kebijakan pada Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 Keterangan
Penerimaan
Biaya Input
Tradable Harga Privat 163.857.628 1.046.701 Harga Sosial 207.615.936 923.931 Divergensi -43.758.308 122.770 PP = 129.726.528 FT = 5.361.287 SP = 178.968.893 NT = -49.242.365 OT = -43.758.308 PCR = 0,203 IT = 122.770 DRCR = 0,134
Domestik 33.084.399 27.723.112 5.361.287 NPCO = 0,789 NPCI = 1,133 EPC = 0,788 PC = 0,725
Keuntungan 129.726.528 178.968.893 -49.242.365
SRP = 0,000
Dari hasil analisis PAM pada komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru diperoleh nilai DRCR dan PCR yang lebih kecil dari satu yaitu 0,134 dan 0,203, yang mengindikasikan bahwa untuk mendapatkan atau menghasilkan satu satuan nilai tambah output pada harga sosial dan harga privat, hanya dibutuhkan
177
kurang dari satu satuan biaya sumberdaya domestik. Dengan pengertian bahwa untuk menghemat satu satuan biaya pada harga sosial dan harga privat hanya diperlukan korbanan kurang dari satu satuan biaya sumberdaya domestik. Ilustrasi tersebut menunjukkan pula bahwa usahatani kakao rakyat yang di kembangkan petani di Kabupaten Buru memiliki keunggulan baik secara komparatif maupun privat. Makna lain dari nilai DRCR < 1 memberikan arti bahwa memproduksi kakao dalam negeri lebih menguntungkan dibandingkan dengan impor, karena hanya membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 13,4 persen, artinya produksi kakao domestik memiliki daya saing yang tinggi, sebab setiap satu dollar, devisa yang dihasilkan dalam usahatani kakao rakyat di wilayah penelitian mampu memberikan nilai tambah sebesar 86,6 dolar. Nilai PCR usahatani kakao adalah 0,203, yang berarti bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat untuk usahatani kakao di Kabupaten Buru, diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,203. Rendahnya nilai PCR ini menunjukkan pula bahwa usahatani kakao yang dikembangkan di Kabupaten Buru memiliki keunggulan secara privat. Sekaligus memberikan gambaran bahwa usahatani kakao rakyat dapat mendatangkan profit karena dapat membiayai faktor domestik pada harga privat, artinya usahatani kakao menunjukkan tingkat efisiensi secara finansial. Hasil analisis PAM ini memperlihatkan nilai DRCR lebih kecil dari PCR, yang mengindikasikan bahwa pengembangan usahatani kakao rakyat memiliki keunggulan komparatif dan prospektif untuk terus dikembangkan, sekalipun tidak ada intervensi dari pemerintah. 6.1.2.1. Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah Ukuran divergensi yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah dalam matrik PAM dapat diperoleh dari nilai transfer faktor (FT), transfer bersih (NT), transfer input (IT) dan transfer output (OT). Ukuran relatif digambarkan oleh nilai
178
koefisien proteksi output nominal atau nominal protection coeficient on output (NPCO), koefisien proteksi input nominal atau nominal protection coeficient on input (NPCI), koefisien proteksi efektif atau effective protection coeficien (EPC), koefisien profitabilitas atau profitability coeficient (PC) dan rasio subsidi bagi produsen atau subsidy ratio to producent (SRP). Nilai faktor transfer (FT) sebesar Rp 5.361.287, me nunjukkan terjadinya perbedaan antara harga sosial dan harga privat yang diterima petani untuk pembayaran faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Perbedaan nilai FT yang terjadi bukan saja disebabkan oleh kurangnya pemberian subsidi atau proteksi pemerintah terhadap harga input-input produksi, namun dipengaruhi pula oleh perbedaan penilaian pemberian upah tenaga kerja dan pajak yang tidak dimasukkan dalam perhitungan biaya sosial. Nilai FT yang positif juga mengindikasikan bahwa petani membayar input-input domestik dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya (harga sosial). Kondisi tersebut sekaligus memberikan informasi bahwa pada pasar tenaga kerja dan lahan tidak terjadi persaingan sempurna. Hal ini sejalan dengan pendapat Siregar dan Romdhon (2004) bahwa nilai FT positif bukan disebabkan oleh faktor kebijakan subsidi dan proteksi dari pemerintah tetapi lebih dikarenakan oleh adanya kegagalan pasar (market failure) pada pasar input non-tradable (kapital). Sedangkan dampak yang muncul akibat kebijakan pemerintah dalam usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru dapat dilihat pada nilai NT. Di mana nilai koefisien NT yang diperoleh adalah negatif (-49.242.365), hal tersebut merupakan akumulasi dari akibat keuntungan privat yang diterima petani jauh lebih kecil dari nilai keuntungan sosial, sehingga berimplikasi pada terjadinya inefisiensi yang menyebabkan petani mengalami kehilangan surplus sebesar angka tersebut, dan surplus petani ini dinikmati oleh pelaku pasar input dan output.
179
6.1.2.2. Dampak Kebijakan Harga Input Instrumen kebijakan pemerintah dalam pengembangan sektor pertanian tidak hanya pada penguatan terhadap harga output produksi tetapi juga pada harga input produksi. Hal tersebut dapat diketahui dari analisis dampak divergensi dan kebijakan pemerintah terhadap harga input, berdasarkan nilai transfer input (IT). Sedangkan untuk mendeteksi apakah input produksi tersebut memperoleh proteksi atau tidak dari pemerintah akan terlihat dari nilai koefisien proteksi input nominal (NPCI). Nilai IT yang diperoleh dari usahatani kakao rakyat di wilayah penelitian bernilai positif (IT>0) sebesar Rp 122.770. Hal ini mengindikasikan terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable yang merugikan petani kakao, atau dengan kata lain belum adanya kebijakan pemerintah yang berarti terhadap perbaikan harga input tradable, karena dalam hal ini petani lebih dirugikan dengan membayar harga input yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya. Kemudian diperkuat lagi dengan hasil yang diperoleh dari nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI>1) yaitu 1,133, yang menunjukkan tidak adanya upaya yang dilakukan pemerintah untuk memproteksi terhadap input tradable, sehingga petani menerima harga input sebesar 11,33 persen yang lebih tinggi dari harga sosialnya. Kondisi ini selain karena upah tenaga kerja yang lebih tinggi dari standar upah yang berlaku, juga dipengaruhi oleh belum adanya proteksi pemerintah terhadap harga input produksi yang dirasakan oleh petani kakao cukup mahal dan sulit untuk dijangkau. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hampir sebagian besar sarana produksi yang diperdagangkan umumnya berasal dari luar daerah, Sehingga harga komponen input produksi seperti peralatan usahatani dan pupuk daun maupun obat-obatan yang digunakan sebagai pupuk dasar pada saat pembibitan, lebih tinggi dari harga sosialnya. Sedangkan untuk kegiatan lanjutan
180
petani tidak menggunakan pupuk dan obat-obatan, sehingga pengaruh kebijakan pemerintah terhadap faktor input pupuk tersebut tidak dijelaskan. Selain itu pula kondisi wilayah Maluku yang merupakan daerah kepulauan, yang hanya dapat dilalui dengan transportasi laut, semakin mempersulit petani untuk memperoleh komponen input produksi tersebut karena dibutuhkan biaya yang begitu besar. Di sisi lain mekanisme pasar yang terbentuk dalam pemasaran input tersebut belum competitive market karena faktor kelembagaan pemasaran input produksi masih terbatas di Kabupaten Buru maupun Kota Ambon yang sangat kurang memadai yang merupakan akumulasi dari akibat konflik sosial yang telah melanda wilayah ini serta faktor infrastruktur di lokasi penelitian yang masih sangat minim. 6.1.2.3. Dampak Kebijakan Harga Output Dampak kebijakan pemerintah terhadap pengembangan sektor pertanian, khususnya pengaruh kebijakan tersebut pada harga output suatu komoditas dan mekanisme pasar output yang berlaku sekarang dapat di analisis melalui keofisien dampak kebijakan proteksi harga output nominal (NPCO) dan nilai transfer output (OT). Untuk melihat pengaruh kebijakan pemerintah terhadap harga output dapat dilihat dari selisih antara penerimaan atas harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial, atau dapat juga diartikan bahwa OT merupakan nilai output yang digunakan untuk melihat adanya peningkatan atau penurunan nilai penjualan. Apabila nilai OT lebih kecil dari nol (OT<0), maka hal tersebut memperlihatkan tidak ada keseimbangan dalam penerimaan atau harga privatnya lebih rendah dari harga sosialnya, dapat juga dikatakan bahwa petani kakao rakyat selaku produsen menerima harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima. Sehingga ada pengurangan penerimaan di pihak petani, artinya terjadi transfer surplus pendapatan yang mengalir dari petani kakao ke konsumen selaku pembeli dan
181
sebaliknya bila nilai OT lebih besar dari nol (OT>0), maka petani kakao mendapatkan aliran surplus dari pembeli (konsumen). NPCO merupakan ratio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dan harga sosial yang dijadikan sebagai tolok ukur dari transfer output. Nilai NPCO mengambarkan dampak kebijakan akibat kegagalan pasar yang tidak dikoreksi dengan kebijakan efisiensi sehingga menyebabkan devergensi harga privat dengan harga sosial atas output. Apabila nilai NPCO>1 menunjukkan adanya kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga output di pasar domestik diatas harga efisiensinnya (harga pasar dunia). Berdasarkan hasil analisis Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai transfer output (OT) yang negatif yaitu -43.758.308 dan nilai koefisien NPCO<1 yaitu 0,789, yang mengindikasikan bahwa petani kakao di Kabupaten Buru telah menerima dampak negatif dari instrumen kebijakan pemerintah serta pengaruh mekanisme pasar output yang berlaku sekarang, di mana harga kakao domestik lebih rendah dari harga sosialnya. Menyebabkan, kondisi harga kakao rakyat saat ini secara relatif belum memberikan instrumen maksimal terhadap pengembangan usahatani komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru. Selanjutnya bila dilihat dari hasil analisis tersebut yang digambarkan dengan nilai koefisien NPCO, maka dapat dikatakan bahwa belum ada kebijakan yang berarti dari pemerintah untuk memperbaiki harga kakao di tingkat petani. Hal tersebut ditunjukkan dengan harga kakao yang diterima petani saat ini yaitu sebesar
78,9
persen
dari
harga
sosialnya.
Artinya
petani
mengalami
pengurangan nilai keuntungan sebesar 21,1 persen dari harga yang seharusnya diterima. Dengan demikian terjadi pengalihan nilai yang seharusnya diterima petani kakao selaku produsen telah jatuh ke konsumen (pembeli). Kondisi ini memperlihatkan bahwa dalam pemasaran komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru terjadi monopsono, akibat dari penentuan harga secara sepihak oleh
182
pedagang besar (eksportir). Hal ini dapat dipahami karena komoditi kakao merupakan komoditi ekspor, sehingga penentuan harga sangat bergantung pada permintaan pasar terutama pasar luar negeri, disamping itu faktor jarak juga turut mempengaruhi dalam penentuan harga oleh eksportir yang membuat bargaining position petani semakin lemah, pada akhirnya sering terjadinya penentuan harga secara sepihak oleh eksportir yang berkedudukan di Surabaya. 6.1.2.4. Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output Untuk
mengkaji
bagaimana
pengaruh
kebijakan
pemerintah
dan
mekanisme pasar dapat ditinjau dari pemberian insentif atau disinsentif terhadap usahatani kakao rakyat dengan menggunakan koefisien proteksi efektif (EPC), dan koefisien profitabilitas (PC). Apabila nilai EPC < 1 menunjukkan bahwa dampak
bersih
dari
kebijakan
pemerintah
tidak
memberikan
insentif
(perlindungan/dukungan) terhadap pengembangan usahatani kakao rakyat, sebaliknya jika nilai EPC > 1 memperlihatkan dampak bersih dari kebijakan pemerintah akan menimbulkan insentif terhadap pengembangan produksi komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru. Berdasarkan hasil analisis PAM memperlihatkan nilai EPC < 1 yaitu sebesar 0,788, hal ini mencerminkan bahwa usahatani kakao rakyat di Kabupaten Buru belum me ndapatkan tingkat efektifitas perlindungan dari kebijakan pemerintah. Artinya pengaruh instrumen kebijakan pemerintah dalam pasar input-output yang diterapkan saat ini menimbulkan dampak disinsentif terhadap pengembangan usahatani kakao rakyat di wilayah penelitian, sehingga harga privat yang seharusnya diterima petani kakao lebih rendah dari harga sosialnya yaitu 78,8 persen. Kondisi ini dapat terjadi karena lebih disebabkan oleh mekanisme pasar yang bersifat distortif, di mana disatu sisi petani menerima harga input sebesar 11,33 persen yang lebih tinggi dari harga sosialnya,
183
sedangkan di sisi lain petani juga menerima harga output sebesar 21.2 persen yang lebih rendah dari harga sosial yang seharusnya mereka terima. Nilai PC 0,725 menunjukkan bahwa implikasi dari mekanisme pasar yang distorsif, sehingga terjadi kerugian yang dialami petani di mana nilai keuntungan usahatani yang peroleh petani lebih kecil dari nilai sosial yang seharusnya diterima. Hal ini menandakan bahwa selama ini belum ada kebijakan pe merintah yang berarti untuk digunakan sebagai payung untuk melindungi petani kecil dari dampak distorsi pasar. Kondisi tersebut dapat dipahami karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa belum ada kebijakan pemerintah terutama dalam permodalan baik itu input maupun output produksi, dengan kata lain kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada tidak memberikan dampak terhadap pengembangan usahatani kakao di Kabupaten Buru yang digambarkan dengan nilai SRP = 0,00. Dengan artian bahwa bila ada kebijakan pemerintah dalam hal pemberian subsidi kepada petani kakao, maka kebijakan tersebut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengembangan usaha, karena tidak ada proteksi yang kuat dari pemerintah. Rendahnya nilai tambah yang diterima petani dari pada harga sosial yang seharusnya diterima menunjukkan sistem kelembagaan petani kakao baik secara vertikal maupun horisiontal kurang kuat. Hal tersebut diperkuat dengan kenyataan di lapangan bahwa kelembagaan petani belum tertata dengan baik dan disebagian besar wilayah penelitian belum ada kelembagaan usahatani yang diharapkan dapat mengakomodir dan memfasilitasi kepentingan petani baik dalam hal pemasaran maupun penyaluran sarana produksi, sehingga posisi tawar (bargaining position) petani semakin lemah baik dalam harga input maupun harga output. Penentuan harga dalam pasar output secara sepihak, baik itu yang dilakukan oleh pedagang pengumpul maupun oleh pedagang besar, fenomena ini memperlihatkan adanya praktek monopsoni yang dijalankan oleh kedua
184
lembaga pemasaran tersebut. Sehingga petani kakao sering dirugikan karena selalu menerima harga yang lebih rendah akibat tidak adanya pilihan dalam penjualan output. Instabilitas keamanan wilayah Maluku pada saat itu akibat terjadinya konflik sosial, menyebabkan banyak pengusaha yang lari keluar dari wilayah Maluku dan belum mau kembali. Sehingga petani sulit untuk menjual hasil usahanya maupun sulit untuk mendapatkan input produksi, karena pasar output hanya di kendalikan oleh beberapa pengusaha (pedagang besar), itu pun terletak pada wilayah tertentu. Sementara desakan faktor ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mengakibatkan petani menjual hasilnya kepada pedagang pengumpul atau pedagagan besar dengan resiko menerima harga yang lebih rendah dari harga yang sewajarnya. Dengan lemahnya instrumen kebijakan pemerintah dalam mekanisme pasar input-output, maka dampak langsung terhadap petani kakao adalah berkurangnya manfaat usaha yang seharusnya mereka terima yaitu sebesar 78,8 persen (EPC). Dalam artian bahwa perekonomian kakao rakyat di Kabupaten Buru terjadi pengalihan keuntungan dari pihak petani selaku produsen ke pihak lain (pelaku pasar input, pedagang pengumpul dan pedagang besar). 6.1.3. Respon Luas Areal Tanaman Kakao Pada persamaan luas areal tanaman kakao rakyat (APRt), peubah penjelas yang dimasukkan adalah harga riel kakao di tingkat petani (HBKt), harga riel cengkeh (HC t), peubah bedakala (APRt- 1) dan dummy otonomi daerah (D) sedangkan upah riel tenaga kerja tidak dimasukkan dalam persamaan ini karena berpengaruh jelek terhadap seluruh peubah penjelas. Pendugaan parameter dengan menggunakan metode jumlah kuadrat terkecil (ordinary least square), pendugaan parameter ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak (software) komputer Mikrofit 4,0.
185
Berdasarkan hasil pendugaan parameter model respon luas areal komoditi kakao rakyat pada Tabel 19, telah diperoleh koefisien determinasi (R2 ) sebesar 0,988, artinya keragaman luas areal tanaman kakao dapat dijelaskan oleh keragaman peubah penjelas sebesar 98,8 persen, dan sisanya sebesar 1,2 persen yang tidak dapat dijelaskan dalam model tersebut. Nilai F hitung 123,5 dan nyata pada taraf 1 persen, mengindikasikan bahwa model cukup baik, karena dapat menerangkan pengaruh peubah penjelas terhadap luas areal tanaman kakao dengan tingkat kepercayaan sebesar 98 persen. Dari hasil pendugaan parameter memperlihatkan bahwa secara parsial hanya parameter peubah harga riel kakao, peubah bedakala luas areal dan dummy otonomi daerah yang nyata terhadap luas areal. Sedangkan parameter lainnya yang tidak nyata terhadap luas areal adalah harga riel cengkeh. Tabel 19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ln Luas Areal dan Nilai Elastisitas pada Tanaman Kakao dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang di Kabupaten Buru,1993-2004 Koefisien
Standard Error
T. Ratio
P. Value
Intercep
2,0701
0,68765
3,0103
0,024
Ln Harga Riel Kakao (HBKt ) Ln Harga Riel Cengkeh (HCt ) Ln Peubah Bedakala Luas Areal (APR t-1) Dummy Otonomi Daerah (D) 2 R = DW =
2,7420
0,095268
2,8782
0,028
-0,068431
0,13225
-0,5174
0,623
0,48776
0,12240
3,9850
0,007
0,74080
0,14142
5,2383
0,002
Peubah
0,988 2,73
F. Ratio = P. Value =
123,5441 0,000
Parameter dugaan harga riel kakao bertanda positif dan sesuai dengan harapan karena berpengaruh nyata terhadap luas areal pada taraf 1 persen. Artinya dengan kenaikan harga kakao dapat memberikan dorongan dan mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan perluasan areal tanaman kakao. Hal ini dapat dipahami karena setiap kenaikan harga kakao semakin memacu motivasi petani dalam melakukan aktivitas usahanya, atau dengan kata
186
lain harga merupakan insentif bagi petani untuk meningkatkan perluasan arealnya. Parameter dugaan harga riel cengkeh bertanda negatif dan tidak berpengaruh nyata terhadap luas areal. Parameter dugaan tersebut bertanda negatif
mengindikasikan
bahwa
ada
kecenderungan
tanaman
cengkeh
merupakan pesaing (kompetitor) dalam hal lahan bagi tanaman kakao. Dapat pula memberikan makna bahwa merosotnya harga cengkeh mendorong dan mempengaruhi keputusan petani untuk meningkatkan luas areal kakao. Kondisi ini dapat dipahami karena pada awalnya sebagian besar petani di wilayah penelitian rata-rata bergantung pada komoditi cengkeh, sehingga ketika harga cengkeh merosot petani membiarkan kebunnya terlantar dan beralih profesi sebagai buru bangunan serta mencoba mengusahakan dan mengembangkan tanaman perkebunan lain yang memiliki nilai ekonomi baik dari sisi harga maupun produksi, semua ini dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dengan dibiarkannya kebun cengkeh yang terlantar mengakibatkan tanaman cengkeh banyak yang rusak dan mati. Disamping itu pula ada upaya petani untuk mengalih fungsikan lahan atau mengkonversi kebun cengkeh dengan komoditi kakao. Dengan kata lain, petani mengalih fungsikan lahan cengkeh dengan tanaman kakao turut di pengaruhi oleh menurunnya harga cengkeh. Hal tersebut didukung dengan fakta di lapangan yang menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan luas areal tanaman kakao setiap tahun, sedangkan luas areal cengkeh tidak menunjukkan peningkatan. Parameter peubah bedakala luas areal tanaman kakao rakyat tahun sebelumnya bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap luas areal pada taraf 1 persen. Memberikan pengertian bahwa peubah bedakala luas areal tahun sebelumnya dapat memberikan dorongan dan mempengaruhi keputusan petani
187
untuk perluasan areal tanaman kakao. Hal tersebut didasarkan pada kondisi riel di lapangan yang memperlihatkan bahwa petani melakukan perluasan areal tanamannya jika tanaman kakao yang diusahakan sebelumnya sudah menghasilkan. Sebab pada umumnya petani dalam melakukan perluasan areal sering menghadapi kendala keterbatasan tenaga kerja serta keterbatasan modal usaha. Parameter dugaan kebijakan pemerintah (otonomi daerah) bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap luas areal tanaman kakao pada taraf 1 persen. Artinya bahwa dengan diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2000 telah memberikan insentif kebijakan yang merangsang serta semakin memacu petani untuk melakukan perluasan areal tanaman kakao. Fakta ini ditunjang dengan semakin meningkatnya luas areal tanaman kakao setelah diberlakukannya otonomi daerah, di mana pada tahun 1999 luas areal yang diusahakan petani hanya seluas 1.473 ha dan mengalami peningkatan seluas 5.764,43 ha tahun 2003. Dengan kata lain, adanya otonomi memungkinkan pemerintah daerah untuk mengorientasikan pembangunan infrastruktur sebanyak mungkin di setiap sentra produksi, sehingga memberikan peluang harga kakao lebih baik serta memudahkan petani untuk mengakses informasi pasar dan dapat memasarkan hasil panennya. 6.1.4. Analisis Lokasional Pengembangan suatu sektor pada suatu wilayah idealnya harus memiliki keunggulan komparatif maupun kompotitif. Pendekatan yang dipakai untuk mengidentifikasi dan mengetahui potensi sektor-sektor yang dimiliki oleh suatu wilayah adalah dengan analisis lokasional. Analisis ini digunakan untuk mengetahui secara spasial perkembangan usaha perkebunan kakao rakyat dan berbagai jenis usaha perkebunan lainnya yang dikembangkan oleh masyarakat
188
di wilayah Kabupaten Buru. Untuk mengetahui sektor basis (pemusatan) dari berbagai pengembangan usaha perkebunan dibeberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Buru maka digunakan location quotient analysis (LQ). Sedangkan Shift-Share Analysis (SSA) digunakan untuk memahami dan mengidentifikasi pergeseran pengembangan usaha perkebunan kakao dan berbagai komoditi perkebunan lainnya di Kabupaten Buru dalam dua titik waktu. Indikator yang digunakan dalam location quotient analysis dan shift-share analysis adalah luas areal berbagai jenis komoditi perkebunan yang sedang dikembangkan oleh petani di Kabupaten Buru. Gambaran keunggulan komparatif beberapa komoditi perkebunan yang dikembangkan petani di Kabupaten Buru yang merupakan hasil dari Location Quotient Analysis disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20. Hasil Location Quotient Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003 Komoditi/Sektor Kecamatan Jambu Kakao Cengkeh Kelapa Pala Kopi Mete Buru Selatan 0,942 0,978 1,157 0,681 2,281 0,093 Buru Selatan Timur 0,616 1,881 0,781 2,146 1,081 0,665 Buru Utara Timur 0,259 0,145 1,496 0,016 0,048 4,599 Buru Utara Selatan 1,861 0,826 0,674 0,359 0,487 0,308 Buru Utara Barat 1,795 0,338 0,967 0,938 0,086 0,179 Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 20 menunjukkan bahwa komoditi kakao yang diusahakan masyarakat merupakan sektor basis yang memiliki keunggulan komparatif yang didasarkan pada nilai LQ>1, yaitu bagi masyarakat di kecamatan Buru Utara Selatan dan Buru Utara Barat. Komoditi cengkeh, pala, dan kopi merupakan komoditi basis di kecamatan Buru Selatan Timur, sedangkan komoditi yang merupakan basis di kecamatan Buru Selatan adalah kelapa dan kopi. Disamping menjadi komoditi basis di kecamatan lain kelapa dan juga jambumete merupakan komoditi basis di kecamatan Buru Utara Timur, kedua komoditas ini menjadi komoditi primadona yang sudah cukup lama
189
dikembangkan oleh masyarakat Buru Utara Timur melalui bantuan PRPTE (Proyek Peremajaan Rehabilitasi Dan Perluasaan Tanaman Ekspor) maupun melalui KIMBUN (Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan) dan atau APBD I dan APBD II (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), sehingga luas areal komoditi kelapa dan jambumete jauh lebih luas dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten Buru. Di sisi lain, kondisi topografi, tanah dan iklim di wilayah ini sangat cocok untuk pengembangan kedua komoditas tersebut. Penyebaran tanaman kelapa rata-rata pada wilayah pesisir sedangkan pembudidayaan tanaman jambumete pada wilayah ini lebih diorentasikan pada lahan-lahan yang kurang produktif untuk tanaman perkebunan lainnya. Komoditi kakao walaupun dari luas arealnya menempati urutan kedua terbanyak setelah kelapa, dan meskipun hanya merupakan sektor basis di kecamatan Butu Utara Selatan dan Buru Utara Barat, namun pengembangan komoditas ini secara spasial mengalami peningkatan yang cukup pesat dari komoditi lainnya, di mana pengembangannya hampir merata di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Buru. Karena pada awalnya pengembangan komoditas ini mendapat dukungan dari pemerintah daerah melalui program diversifikasi yaitu dengan bantuan bibit unggul dan peralatan. Komoditi lainnya yang baru dikembangkan oleh masyarakat adalah komoditi pala dan kopi, sehingga menjadi komoditi basis di kecamatan Buru Selatan dan Buru Selatan Timur. Dari hasil analisis ini memperlihatkan bahwa komoditi kakao, cengkeh, kelapa, pala, kopi dan jambumete tersebar secara merata diseluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Buru. Kondisi ini menunjukkan pula bahwa karakteristik masyarakat Kabupaten Buru adalah petani perkebunan dan menggantungkan sebagian penghidupannya pada sektor ini. Semua jenis komoditi perkebunan yang dikembangkan oleh petani memiliki karakteristik yang mampu menarik sejumlah
pendapatan
dari
luar
daerah,
sehingga
dapat
meningkatkan
190
pendapatan masyarakat melalui kegiatan ekspor dan jasa. Dengan demikian pengembangan berbagai jenis komoditi tersebut mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan perputaran dan nilai siklus konsumsi, yang berimbas pada pertumbuhan
ekonomi,
sosial
dan
peningkatan
kesehatan.
Fakta
ini
membuktikan bahwa subsektor perkebunan merupakan sektor basis ekonomi bagi kebanyakan masyarakat Kabupaten Buru, dan memperlihatkan bahwa sejauh ini pemerintah daerah masih mengandalkan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi wilayah pada subsektor perkebunan. Kondisi geografis wiliyah Maluku yang hampir sebagian besar terdiri dari lautan, menjadi suatu kendala tersendiri bagi petani dalam memasarkan hasilhasil pertaniannya. Kondisi inilah menyebabkan tingginya biaya transportasi dan biaya transaksi (transaction cost). Sehingga akan menyerap komponen biaya aktifitas ekonomi yang cukup banyak. Dengan demikian pada akhirnya akan mengurangi pendapatan yang diperoleh petani. Pembangunan infrastruktur oleh pemerintah belum memadai untuk melayani kebutuhan masyarakat seperti jalan dan dermaga pelabuhan. Pembangunan infrastruktur seperti jalan hanya dapat melayani wilayah kecamatan Buru Utara Timur dengan kecamatan Buru Utara Barat serta sebagian wilayah kecamatan Buru Utara Selatan. Sedangkan untuk menghubungkan wilayah lain dalam kabupaten dan provinsi maupun antar provinsi, diperlukan sarana transportasi laut. Hal inilah yang turut mempengaruhi akses masyarakat dalam memasarkan hasil usahanya. Meskipun demikian, potensi
geografis
wilayah Kabupaten Buru sangat srategis jika dapat
memanfaatkan peluang jalur pelayaran, baik antar wilayah dalam provinsi maupun lintas pelayaran regional dan internasional, akan tetapi kondisi ini belum ditunjang oleh prasarana dan sarana transportasi laut yang memadai. Pelabuhan perintis, lokal dan rakyat baru tersedia pada kecamatan Buru Utara Timur (Namlea), Buru Selatan (Leksula) dan Buru Selatan Timur (Namrole). Prasarana
191
dan sarana transportasi tersebut seperti pelabuhan laut yang ada belum representatif untuk memenuhi kapasitas kebutuhan wilayah dan masyarakat. Akibatnya petani lebih memilih menjual hasil pertaniannya kepada pedagang pengumpul di desa dari pada menjual ke tempat lain, walaupun dengan resiko menerima harga yang lebih rendah. Secara spasial komoditi kakao memiliki keunggulan komparatif pada wilayah kecamatan Buru Utara Barat dan Buru Utara Selatan, sebab pembangunan infrastruktur pada kedua wilayah tersebut sangat mendukung ke arah pengembangan usahatani kakao, seperti jalan yang berkembang dengan baik, yang mempermudah akses masyarakat dari kedua wilayah ini ke ibukota kabupaten. Sehingga turut pula memberikan kemudahan baik dalam hal informasi harga maupun pemasaran hasil pertanian, yang pada akhirnya pengembangan komoditi kakao di kedua wilayah ini lebih cepat dibandingkan dengan wilayah lain di kabupaten Buru. Walaupun komoditi kakao tersebar merata di seluruh wilayah kecamatan di kabupaten Buru dan memiliki keunggulan komparatif pada kecamatan Buru Utara Barat dan Buru Utara Selatan, tetapi keunggulan komparatif tersebut tidak dapat berlansung secara terus menerus tanpa ditunjang oleh kegiatan yang dapat mendukung kearah pengembangan komoditi tersebut, karena keunggulan komparatif bersifat sangat dinamis. Artinya keunggulan komparatif tersebut dapat berubah dan tentu dapat pula dikembangkan. Dengan demikian semua komponen yang terkait baik secara langsung maupun tidak, yang mempengaruhi keunggulan komparatif komoditas kakao harus ditingkatkan. Terkait
dengan
peningkatan
pengembangan
berbagai
komoditi
perkebunan tersebut diharuskan pula memperhatikan daya dukung lingkungan, sehingga tidak terkesan eksploitatif dan merusak hutan dengan pembukaan lahan baru. Untuk itu, pengembangan komoditas tidak semata-mata untuk
192
mengejar keuntungan dengan berorientasi pada permintaan pasar, tetapi tentu saja harus mempertimbangkan pada local community dan domestic resources. Indikator utamanya adalah bahwa komoditas yang akan dikembangkan tersebut harus mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi dan mampu dikerjakan oleh tenaga kerja lokal, serta didukung oleh kapasitas dan kesesuaian lingkungan sumberdaya alam setempat. Ukuran keunggulan komparatif komoditi perkebunan dapat diketahui dengan nilai Location Quotient Analysis dengan mengunakan indikator luas areal tanaman perkebunan. Hasil Location Quotient Analysis diatas untuk lebih jelas dan lebih komprehensif
dapat
dijustifikasi
dengan
Shift-Share
Analysis
yang
memperlihatkan kondisi kemajuan atau pertumbuhan luas areal pengembangan komoditi perkebunan pada suatu wilayah dibandingkan dengan total luas areal komoditi perkebunan di wilayah referensinya. Dalam shift-share analysis, ada 3 komponen analisis yang perlu diperhitungkan yaitu : growth (a), propotional shift (b), dan defferential shift (c). Growth, mengambarkan laju pertumbuhan total luas areal semua jenis komoditi perkebunan yang dikembangkan masyarakat di kabupaten Buru. Propotional Shift, mengambarkan perubahan relatif guna mengetahui konsentrasi luas areal masing-masing jenis komoditi tanaman perkebunan. Defferential Shift, menunjukkan keunggulan kompotitif suatu jenis perkebunan dalam luas areal pengembangan. Kondisi topografi wilayah yang berbukit dan bergunung turut mepengaruhi karakteristik masyarakat yang rata-rata mendiami wilayah pesisir yang seharusnya menjadi nelayan, tetapi justru membuat masyarakat lebih memilih pengembangan komoditi pertanian terutama subsektor perkebunan. Pengembangan komodti perkebunan oleh masyarakat tidak terlepas dari peranan pemerintah melalui program diversifikasi dan intensifikasi. Pada awalnya pengembangan komoditi perkebunan yang dikembangankan oleh masyarakat
193
adalah komoditi cengkeh, terutama di bagian selatan, utara selatan dan barat wilayah pulau Buru. Faktor harga yang pada saat itu lebih tinggi dari komoditi perkebunan lainnya, menyebabkan komoditas ini menjadi tumpuan pendapatan bagi keluarga tani dalam memperbaiki kondisi kehidupan keluarganya, sehingga menjadikan komoditi tersebut menjadi prioritas utama pilihan masyarakat dalam pembudidayaan. Dengan alokasi luas areal yang cukup luas dibandingkan dengan komoditi perkebunan lainnya. Seirin dengan perubahan waktu dan semakin membaiknya harga beberapa
komoditi
perkebunan,
telah
mendorong
masyarakat
untuk
mengembangkan berbagai komoditi perkebunan dengan syste m polyculture (diversifikasi tanaman) seperti tanaman kakao. Perubahan paradigma petani yang hanya bergantung pada salah satu komoditi perkebunan dengan sistem monokultur tersebut, menjadikan komoditi kakao yang paling tinggi dalam pengembangannya. Dengan begitu tingginya keinginan masyarakat dalam pengembangan komoditi perkebunan terutama tanaman kakao dibeberapa wilayah kecamatan secara
akseleratif
mendapat
dukungan
pemerintah
melalui
program
pengembangan diversifikasi komoditi. Program tersebut sudah berlangsung lama sebelum pemekaran Kabupaten Buru dan menjadi salah satu prioritas program pemerintah Maluku pada tahun kegiatan 1996/1997. Sehingga laju pertumbuhan tanaman perkebunan seperti komoditi kakao mengalami peningkatan luas areal yang
cukup
tinggi
bila
dibandingkan
dengan
pengembangan
komoditi
perkebunan lainnya. Kondisi inilah yang kemudian menjadi justifikasi dalam penggunaan shift-share analysis dengan melihat pada dua titik waktu tahun 1998 dan tahun 2003. Hasil Shift Share Analysis dengan indikator luas areal beberapa komoditi perkebunan tersaji dalam Tabel 21 berikut.
194
Tabel 21. Hasil Shift Share Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003 Karakteristik Growth Proportional shift Kecamatan Buru Selatan Buru Selatan Timur Buru Utara Timur Buru Utara Selatan Buru Utara Barat Jumlah
Kakao
2,82 8,35 6,15 -0,13 2,62 2,29
Cengkeh
Jenis Komoditi Kelapa Pala
Kopi
Jambu Mete
-0,51
0,41 0,01 -0,98
-0,87
-0,09
Pergeseran differensial -1,07 0,10 -1 ,48 0,26 -0,57 0,48 -0,67 -0,16 -0,52 0,07 -0,96 -1,04 -0,69 -0,57 -1,62 -1,24 -0,57 -0,01 -0,67 -0,76
0,00 0,00 0,17 1,54 -0,62
19,27 -3,42 0,07 -5,38 -2,95 1,09 Dari hasil analisis pada Tabel 21, memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan
luas areal pengembangan beberapa komoditi pada subsektor perkebunan di Kabupaten Buru berlangsung dinamis, dan secara agregat masih mengalami pertumbuhan (growth) yaitu sebesar 0,14. Pertumbuhan tersebut lebih disebabkan oleh semakin meluasnya pengembangan komoditi kakao oleh masyarakat yang ditandai dengan trend peningkatan luas areal komoditi kakao. Hasil ini sekaligus menunjukkan bahwa dari semua komoditi perkebunan yang dikembangkan masyarakat, hanya komoditi kakao yang memiliki tingkat peningkatan pertumbuhan luas areal yang positif dan paling tinggi, yang diperlihatkan dengan nilai proportional shift yang diperoleh sebesar (2,82). Disamping komoditi kakao, tanaman kelapa juga telah menunjukkan trend pertumbuhan luas areal yang positif, walaupun laju pertumbuhannya relatif rendah yaitu 0,01. Sedangkan semua komoditi perkebunan selain tanaman kakao dan kelapa memperlihatkan laju pertumbuhan luas areal yang negatif, diantaranya cengkeh (-0,51); pala (-0,98); kopi (-0,87); dan jambumete (-0,09). Gambaran yang diperoleh dari nilai proportional shift tersebut menandakan bahwa komoditi kakao cukup diminati masyarakat. Meskipun demikian fakta di lapangan menunjukkan bahwa pengembangan komoditi perkebunan yang diusahakan masyarakat lebih pada orientasi pasar (market oriented), artinya
195
bahwa usaha yang dikembangkan masyarakat lebih mengarah kepada upaya pemenuhan
kebutuhan
keluarga.
Sehingga
sekalipun
komoditi
kakao
memperlihatkan laju pertumbuhan luas areal yang positif dan paling tinggi dari laju pertumbuhan total wilayah dan komoditi perkebunan lainnya. Namun bukan berarti bahwa perluasan areal pengembangan komoditi kakao semata-mata dilakukan petani dengan penambahan pembukaan lahan baru, karena diantara petani ada yang melakukannya dengan mengintensifkan lahan perkebunan yang sudah ditanami komoditi perkebunan dengan pola tanam sistem tumpangsari dengan tanaman perkebunan lainnya, terutama dengan tanaman kelapa dan tanaman horitikultura. Disamping itu terdapat pula perubahan alih fungsi lahan dari komoditi cengkeh dengan komoditi perkebunan lainnya, dan hal ini terjadi ketika harga cengkeh menurun pada tahun 1988, dimana Badan Penyangga Cengkeh (BPC) memiliki peran tunggal dalam tata niaga cengkeh (TNC) sebagai sebuah institusi yang berfungsi dalam pemasaran komoditi cengkeh melalui koprasi unit desa (KUD), baik dalam penentuan harga maupun kualitas dan stok yang harus dibeli. Irama yang dimainkan oleh BPC tersebut membuat para petani mengalihkan fungsi lahan cengkeh dengan komoditi perkebunan lainnya, seperti kakao, pala, kopi dan jambumete. Dengan tidak adanya perubahan harga cengkeh tersebut, menyebabkan masyarakat semakin pesimis dalam pemeliharaan dan perawatan tanaman cengkeh, sehingga areal-areal cengkeh semakin tidak terawat dan malah kebanyakan yang mati. Kondisi inilah yang membuat masyarakat untuk mengalih fungsikan areal-areal cengkeh tersebut dengan tanaman kakao dan komoditi perkebunan lainnya. Dalam pejalasan sebelumnya bahwa pola tanaman atau sistem pertanian yang dilakoni oleh petani di Kabupaten Buru berorientasi pada permintaan pasar (faktor harga) yang tujuannya adalah untuk memperbaiki tingkat pendapatan
196
keluarga, sehingga pada saat harga komoditi tertentu me nurun maka pola tanam petani akan berubah dan beralih kepada komoditi lain seirama dengan perkembangan harga pasar komoditi perkebunan. Faktor tersebut yang memungkinkan laju pertumbuhan luas areal komoditi kakao sangat tinggi. Dilain sisi perbedaan propotional shift luas areal komoditi kakao yang signifikan, menyebabkan agregat luas areal komoditi kakao sebagai salah satu di antara komoditi perkebunan yang memiliki koefisien differential shift yang positif dan paling tinggi nilainya (19,27), sedangkan komoditi perkebunan lainnya memiliki kemampuan kompetisi yang cenderung rendah dan negatif, seperti jambumete (1,09); kelapa (0,07); kopi (-2,95); cengkeh (-3,42) dan pala (-5,38). Koefisien differential shift yang positif menunjukkan bahwa secara parsial kakao merupakan komoditi perkebunan yang memiliki keunggulan kompotitif di wilayah Kabupaten Buru. Keunggulan kompotitif dari luas areal komoditi kakao tertinggi dicapai kecamatan Buru Selatan, Buru Selatan Timur, Buru Utara Selatan dan Buru Utara Barat, kecuali kecamatan Buru Utara Timur yang memperlihatkan tingkat competitiveness yang negatif. Kondisi ini dapat dipahami karena sebagian besar wilayah kecamatan Buru Utara Timur memiliki lahanlahan tandus dan marjinal yang kebanyakan hanya dapat di tumbuhi oleh tanaman kayuputih, sedangkan lahan yang dapat di manfaatkan oleh petani untuk pembudidayaan tanaman jambumete dan kelapa hanyalah pada bagian lereng bukit dan wilayah pesisir pantai. Tanaman Jambumete memiliki keunggulan kompotiti di kecamatan Buru Utara Selatan dan Buru Utara Timur. Keunggulan kompotiti komoditi kelapa terdapat di kecamatan Buru Selatan Timur dan Buru Selatan. Sedangkan keunggulan kompotitif luas areal komoditi kopi hanya terdapat di kecamatan Buru Selatan. Dari hasil location quotient analysis maupun shift share analysis membuktikan bahwa ternyata komoditi kakao disamping memiliki keunggulan
197
komparatif dan merupakan sektor basis, juga memiliki keunggulan kompotitif di wilayah Kabupaten Buru kecuali kecamatan Buru Utara Timur. Permasalahan infrastruktur sekarang ini perlu mendapat perhatian pemerintah daerah dan harus menjadi salah satu prioritas utama dalam pembangunan, sehingga tidak menjadi kendala dalam pengembangan dan pemasaran hasil pertanian. Sekaligus dapat memberikan peluang usaha dan mejadi daya tarik bagi para investor luar daerah dalam menginvestasikan usahanya
pada
sektor
ini.
Permasalahan
infrastruktur
tersebut
sangat
mempengaruhi share yang diterima petani dari hasil usahatani perkebunan, karena input produksi yang sebagian besar didatangkan dari luar daerah, mengakibatkan terjadinya kecenderungan regional linkages yang tinggi, sementara output yang dihasilkan petani akan dijual pedagang pengumpul keluar daerah, yang akan memberikan keuntungan kepada daerah lain. Hal ini menyebabkan multiplier effect-nya tidak dapat ditangkap oleh lokal daerah dan justru dinikmati oleh daerah lain. Dari hasil analisis ini telah memberikan ilustrasi bahwa komoditi perkebunan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan wilayah bila hal tersebut didukung oleh infrastruktur yang memadai. Oleh karena itu policy pengembangan kemampuan
komoditi
daya
dukung
perkebunan lingkungan,
seharusnya SDM
petani
mempertimbangkan dan
ketersediaan
infrasturktur. 6.2. Kajian Sistem Pemasaran Kakao 6.2.1. Struktur Pemasaran Rantai pemasaran komoditi kakao sangat dipengaruhi oleh permintaan pasar nasional dan internasional, karena komoditi kakao merupakan komoditi
198
ekspor sehingga jalur pemasaran komoditi ini sangat tergantung dan mengikuti permintaan pasar. Struktur pemasaran komoditi kakao di Kabupaten Buru terjadi melalui dua jalur pemasaran yaitu : 1. Petani
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar
2. Petani
Pedagang Besar
Eksportir
Eksportir
Secara umum gambaran saluran pemasaran dapat dilihat pada gambar 4.
II
I Gambar 4. Saluran Pemasaran Komoditi Kakao (Biji Kakao kering) di Kabupaten Buru Gambar 4 memperlihatkan bahwa saluran pemasaran biji kakao kering di Kabupaten Buru berlangsung melalui dua jalur pemasaran. Saluran pemasaran I memiliki rantai pemasaran yang cukup panjang, di awali dengan petani menjual hasil biji kakao kering kepada pedagang pengumpul sampai kepada eksportir di Surabaya. Sedangkan pada saluran pemasaran II petani melakukan kontak langsung dengan pedagang besar di Namlea maupun di Ambon. Untuk saluran pemasaran I, marjin pemasaran berlangsung karena transaksi jual beli biji kakao kering yang dilakukan petani rata-rata dalam volume yang lebih sedikit, dari saluran pemasaran II. Petani dalam melakukan transaksi jual beli melalui saluran pemsaran I, selain disebabkan oleh faktor luas areal mereka yang sempit dan produksi yang dihasilkan sangat sedikit, juga dipengaruhi oleh faktor pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya. Sehingga alasan ini yang lebih banyak dilakukan petani dalam memasarkan hasil komoditi kakao. Tetapi dalam saluran pemasaran I tersebut transaksi jual beli biji kakao kering oleh petani biasanya memiliki mutu asalan dengan kadar air yang masih
199
lebih dari 7 persen. Disamping itu pula, terdapat bahan ikutan lain (kadar kotoran) diatas 1 persen. Hal ini terjadi karena pada saluran pemasaran I pedagang pengumpul dalam membeli hasil biji kakao kering dari petani tidak terlalu memperhatikan pada kadar air maupun kadar kotoran. Akan tetapi pada marjin pemasaran ini biasanya terjadi pengurangan harga di tingkat petani terhadap biaya yang timbul akibat proses pemasaran tersebut, sehingga terjadi perbedaan antara selisih harga pada tingkat petani dengan pedagang besar. Pada saluran pemasaran ke II aktivitas transaksi jual beli biji kakao kering lebih banyak dilakukan oleh petani yang memiliki luas lahan yang rata-rata diatas satu hektar, serta dengan volume produksi yang dihasilkan lebih besar. Tetapi saluran pemasaran II ini, petani dituntut untuk berusaha menjaga mutu kakao yang dihasilkan terutama kadar air, bila tidak ingin terjadi pemotongan harga yang lebih besar. Walaupun demikian, dalam saluran pemasaran II bisanya petani lebih banyak dirugikan, karena apabila dalam penjualan biji kakao kering terdapat sedikit basah akibat proses pengangkutan dalam kapal maka petani akan mengalami pemotongan harga. Walaupun jalur pemasaran ke II lebih efisien dan menguntungkan petani dalam memasarkan biji kakao kering, namun petani lebih cenderung memilih memasarkan hasil panennya kepada pedagang pengumpul melalui jalur pemasaran I, karena selain dipengaruhi oleh faktor kemudahan transaksi dan pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh tidak tersediaanya informasi harga di tingkat petani, dan informasi harga tersebut hanya tersedia pada pedagang pengumpul. Pemasaran komoditi kakao baik melalui saluran pemasaran I maupun II petani kurang memperhatikan dan sering mengabaikan mutu biji kakao yang dihasilkan terutama menyangkut fermentasi sempurna. Karena tidak ada insentif harga bagi petani dalam menjaga mutu biji kakao yang dihasilkan, sehingga biji
200
kakao kering yang dihasilkan bermutu rendah atau asalan dan fermentasi yang tidak sempurna. Dalam saluran pemasaran ini hubungan antara pedagang pengumpul dengan pedagang besar dan eksportir sangat cukup kuat. Hal ini terlihat dari cukup tersedianya informasi harga yang diperoleh disetiap level lembaga pemasaran. Disamping itu, terdapat jalinan kerjasama antara lembaga pemasaran tersebut dalam permodalan. Kurang
memadainya
pembangunan
infrastruktur
di
setiap
wilayah
penelitian, terutama infrastruktur informasi harga, prasarana dan sarana transportasi serta pengaruh secara spasial kondisi wilayah Maluku yang merupakan daerah kep ulauan. Selain itu, belum terhubungkannya wilayah selatan Kabupaten Buru dengan kota Namlea melalui transportasi darat, sehingga petani di wilayah tersebut sedikit terisolir dalam memperoleh informasi harga maupun untuk berakses ke pasar. Menyebabkan informasi harga hanya dikuasai dan tersedia pada pedagang besar maupun pedangang pengumpul (asymmetric information), hal inilah yang mengakibatkan kemungkinan terjadinya spasial monopsoni. 6.2.2. Marjin Tataniaga Untuk melihat jalur pemasaran komoditi kakao di Kabupaten Buru, maka digunakan pedekatan dengan analisis marjin pemasaran. Manfaat penggunaan analisis marjin pemasaran adalah untuk mengidentifikasi struktur pasar yang dilakukan oleh petani dalam memasarkan hasil komoditi kakao di Kabupaten Buru. Struktur pasar dapat memberikan gambaran mengenai kemampuan petani dalam menentukan harga jual dari hasil komoditinya. Di samping itu analisis marjin pemasaran juga memperlihatkan kemampuan masing-masing lembaga pemasaran terhadap nilai produk yang di pasarkan. Dalam hal ini keuntungan
201
yang diperoleh oleh setiap pelaku pemasaran harus sesuai dengan biaya atau perlakuan yang diberikan tehadap produk yang dipasarkannya. Indikasi yang digunakan untuk menelusuri analisis marjinnya adalah komoditi kakao yang diusahakan oleh petani di Kabupaten Buru. Dalam analisis ini, marjin pemasaran komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru ditelusuri berdasarkan saluran pemasaran yang ada di lapangan. Marjin pemasaran ini terbentuk karena biaya dan profit pemasaran yang merupakan konsekuensi dari fungsi-fungsi pemasaran (saluran pemasaran) yang dijadikan oleh pelaku pemasaran. Sehingga dapat diketahui penyebaran marjin pemasaran di setiap level atau tingkat pelaku pemasaran yang terlibat langsung dalam pemasaran kakao. Di Kabupaten Buru diidentifikasi terdapat dua jalur pemasaran yang sudah terbentuk, yang selama ini digunakan petani. Kedua jalur tersebut adalah : (1) Petani sebagai pelaku utama dalam pemasaran ini, menjual kakao ke pedagang pengumpul. Di mana harga yang diterima petani merupakan harga bersih karena dalam saluran pemasaran ini semua biaya yang terkait dengan proses pemasaran ini ditanggung langsung oleh pedangan pengumpul. (2) Petani menjual langsung ke pedagang besar. Artinya bahwa dalam saluran pemasaran ini, petani dalam memasarkan hasil komoditi kakao tidak lagi melalui pedagang pengumpul, tetapi berhubungan langsung dengan pedagang besar. Di mana harga yang ditawarkan ke petani cukup tinggi, namun harga tersebut masih merupakan harga kotor karena belum dikoreksi dengan biaya-biaya lain yang timbul dalam proses pemasaran. Sehingga semua biaya yang timbul melalui jalur pemasaran ini akan ditanggung oleh petani. Informasi lain yang ditangkap dari analisis marjin pemasaran adalah akan terlihat efisien tidaknya sistem distribusi komoditi dari petani ke eksportir. Semakin panjang jalur pemasaran akan mengurangi share yang diperoleh petani
202
dibandingkan dengan harga di tingkat eksportir. Untuk mengetahui lebih jelas marjin pemasaran kakao rakyat di Kabupaten Buru disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Marjin Pemasaran Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 Saluran I
Ur ai a n 1. Harga Jual Petani a. Biaya pemas a ran - Biaya Pengarungan/paking - Biaya Transportasi - Biaya Bongkar-Muat - Biaya Sortasi dan Timbang Total Biaya Harga Bersih Petani 2. Pedagang Pemgumpul a. Harga beli b. Marjin Biaya Total - Biaya Sortasi dan Timbang - Biaya penjemuran ulang - Biaya pengarungan/paking - Biaya bongkar-muat dan timbang - Biaya transportasi ke Pedagan Besar - Penyusutan - Retribusi Desa Total Biaya Harga Jual Pedagng Pengumpul Keuntungan Bersih Marjin Pemasaran 3.Pedagang Besar a. Harga Beli b. Marjin Biaya Total - Biaya Muat dan Timbang - Biaya sortasi - Biaya pengeringan dan penyimpanan - Biaya Penyusutan - Biaya pengarungan/paking - Biaya perizinan dan Pajak - Biaya transportasi ke Surabaya Total Biaya Harga Jual di Ek sportir Keuntungan Bersih Marjin Pemasaran Total Marjin Pemasaran Total Biaya Pemasaran Total Keuntungan Sumber : Data primer diolah
Harga Rp/Kg 7.500 7.500
Pangsa (%)
61,73
Saluran II Harga Rp/Kg 9.000 10,5 250 46,8 20 327,3 8.672,7
7.500
-
20 32,5 10,5 46,8 250 22 17,75 399,55 9.000 1.100 1.500
-
9,06 12,35
9.000
9.000
40 23 225 10 12 275 361 946 12.150 2.204 3.150 4.650 1.345,55 3.304,45
40 23 225 11 15 275 361 950 12.150 2.200 3.150 3.150 1.277,3 2.200
18,14 25,93
Pangsa (%)
71,38
18,11 25,93
Dengan demikian keuntungan ekonomi tidak ditransfer ke petani tetapi ditransfer ke lembaga pemasaran yang terlibat. Sementara risk premium selalu
203
menjadi tanggungan petani, sehingga lembaga pemasaran akan mentransfer risk tersebut ke petani. Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa marjin pemasaran komoditi kakao yang ada di Kabupaten Buru melalui dua saluran pemasaran yaitu saluran (I) : petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan eksportir. Saluran (II) : petani, pedagang besar dan eksportir. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa saluran pemasaran pertama yaitu dari petani, pedagang pengumpul sampai ke tingkat eksportir di Surabaya memiliki marjin total pemasaran kakao sebesar Rp 4.650 per kg, sedangkan pada saluran pemasaran kedua yaitu petani menjual langsung ke pedagang besar di Ambon atau Namlea dan terakhir ke eksportir di Surabaya memperoleh marjin total pemasaran
sebesar
Rp
3.150
per
kg.
Dari
marjin
total
pemasaran
memperlihatkan bahwa saluran pemasaran I memiliki nilai marjin yang relatif tinggi dibandingkan dengan saluran pemasaran II, karena pada saluran pemasaran I masih banyak melibatkan berbagai lembaga pemasaran. Akibatnya efisiensi pemasaran berkurang dan nilai pangsa harga di tingkat petani terhadap harga pembeli relatif menjadi rendah. Satu-satunya jalur yang dapat digunakan untuk pengangkutan biji kakao mulai dari petani, khususnya oleh pedagang pengumpul pada wilayah selatan Kabupaten Buru ke Namlea atau Ambon maupun yang dilakukan oleh pedagang besar ke Su rabaya, adalah dengan menggunakan transportasi laut. Dengan membutuhkan waktu antara 5 sampai 6 jam untuk sampai ke Namlea atau Ambon, dan 4 sampai 5 hari waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Surabaya. Dalam proses pemasaran biji kakao kering pedagang besar lebih memilih untuk menjualnya ke eksportir di Surabaya dari pada ke Makasar. Kondisi ini lebih dipengaruhi oleh begitu ketatnya penetapan standarisasi mutu oleh para eksportir di Makasar terutama kualitas biji kakao maupun fermentasi sempurna (full fermantion), sedangkan para eksportir di Surabaya tidak terlalu ketat dalam
204
penetapan standarisasi mutu maupun fermentasi. Selain itu kondisi ini dipengaruhi pula oleh mutu biji kakao kering yang dihasilkan petani berkualitas asalan dan fementasi tidak sempurna. Pada Tabel 22 memperlihatkan, bahwa pedagang pengumpul selain membeli hasil (biji kakao) dari petani, juga melalukan sortasi dan penjemuran ulang. Hal tersebut dilakukan karena kebanyakan biji kakao kering yang jual petani mempunyai kadar air yang cukup tinggi (diatas 7 %), disamping itu juga biji kakao kering yang dihasilkan petani mengandung bahan ikutan (kadar kotoran diatas 1 persen), sehingga pedagang pengumpul menanggung biaya penyusutan sebesar Rp 22 per kg. Biaya penyusutan juga ditanggung oleh pedagang besar yaitu sebesar Rp 10 per kg dan Rp 11 per kg pada saluran II, hal tersebut terjadi karena selain mendapat pasokan biji kakao kering dari pedagang pengumpul, pedagang besar juga melakukan kontak pemasaran langsung melalui saluran pemasaran II, dengan membeli biji kakao kering dari petani yang umumnya berkadar air masih diatas 7 persen. Penyusutan tersebut selain dipengaruhi oleh kadar air dan bahan ikutan lain, juga dipengaruhi pula oleh faktor penyimpanan. Pada saluran pemasaran II harga ditingkat petani cukup tinggi bila dibandingkan dengan saluran pemasaran I yaitu sebesar Rp 9.000 per kg dari harga di tingkat eksportir yaitu Rp 12.150 per kg. Walaupun demikian, petani harus menanggung seluruh biaya dalam proses pemasaran sebesar Rp 327,3 per kg, diantaranya biaya pengarungan, transportasi, bongkar-muat, sortasi dan timbang. Sehingga marjin pemasaran pada saluran pemasaran II ini petani mendapatkan harga bersih yaitu Rp 8.672,7 per kg (71,38 %). Sedangkan pedangan besar menanggung marjin biaya total sebesar Rp 950 per kg, dengan total marjin pemasaran yang diperoleh sebesar Rp 3.150 per kg. Hal tersebut lebih menguntungkan petani, bila dibandingkan dengan saluran pemasaran I,
205
fenomena ini mengambarkan bahwa pada saluran pemasaran I kurang menguntungkan petani, sebab proporsi korbanan dan resiko yang harus ditanggung petani selama usahatani serta waktu yang lama di hargai lebih rendah dari pada pedagang perantara (pedagang pengumpul dan pedagang besar) yang tanpa resiko. Dalam proses pemasaran tersebut, baik itu saluran pemasaran I maupun saluran pemasaran II marjin biaya total yang dialami oleh pedagang pengumpul dan pedagang besar sama -sama ditekankan pada sortasi, penjemuran ulang, penyimpanan yang berakibat pada terjadinya penyusutan, serta sebagian biaya pemasaran tersebut terserap juga pada biaya bongkar-muat, timbang, transportasi, perizinan dan pajak. Hal ini dapat dipahami karena komoditi kakao merupakan komoditi ekspor sehingga sangat penting diperhatikan kualitasnya terutama kadar air maupun bahan ikutan lain. Seluruh pelaku pemasaran dalam melakukan aktivitas pemasaran, baik itu melalui saluran pemasaran I atau II, ternyata marjin biaya pemasaran yang dikeluarkan lebih besar adalah biaya transportasi. Fenomena ini lebih disebabkan oleh kondisi wilayah penelitian yang merupakan daerah kepulauan, sehingga untuk menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lainnya dalam memasarkan hasil-hasil komoditi pertanian, maka transportasi yang sangat diperlukan dan mudah dapat dijangkau oleh pelaku pemasaran adalah melalui transportasi laut. Dengan demikian, secara otomatis akan membutuhkan biaya yang cukup untuk dapat memasarkan hasil-hasil komoditi tersebut. Marjin pemasaran ini mengambarkan bahwa, bagian harga yang diterima petani menunjukkan proporsi harga yang diterima petani dari keseluruhan harga yang terbentuk dalam suatu jalur pemasaran komoditi. Sehingga semakin besar proporsi harga yang diterima petani berarti petani memiliki bargaining position
206
yang menguntungkan, demikian pula sebaliknya, jika proporsi harga yang diterima petani makin sedikit, bargaining position petani semakin kecil. 6.2.3. Elastisitas Trasmisi Harga Penggunaan analisis elastisitas trasmisi harga adalah untuk mengkaji sejauh mana tingkat efisiensi pemasaran suatu komoditi atau justru berimplikasi pada distorsi harga. Jika nilai elastisitas transmisi harga posistif dan mendekati satu, maka perubahan harga di pasar referensi (eksportir) dapat ditransmisikan ke produsen. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai elastisitas trasmisi harga 30,98 persen, yang memberikan pengertian bahwa apabila terjadi perubahan harga di tingakat eksportir (pasar referensi) sebesar Rp 100 akan menyebabkan perubahan harga kakao di tingkat pasar lokal (petani) sebesar Rp 30,98. Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan harga di pasar referensi tidak ditransmisikan sepenuhnya ke pasar yang di bawahnya (pasar lokal). Kondisi tersebut mengindikasikan terjadinya segmentasi harga yang disebabkan adanya praktek monopsoni oleh pedagang besar, baik yang ada di Ko ta Namlea maupun di Kota Ambon. 6.2.4. Integrasi Pasar Komoditi kakao merupakan komoditi ekspor, sehingga dalam penentuaan harga sangat di tentukan oleh perubahan harga di level teratas yaitu permintaan pasar luar negeri. Namun yang diamati dalam analisis keterpaduan pasar (integrasi pasar) di wilayah penelitian adalah untuk melihat keeratan hubungan antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat pedagang besar (eksportir). Dalam analisis ini akan diamati fenomena perubahan harga kakao di tingkat pasar referensi (pedagang besar) dengan harga kakao di tingkat petani. Hasil analisis integrasi pasar komoditi kakao antara pasar di tingkat petani dengan pasar referensi di Kabupaten Buru dapat dilihat pada tabel 23.
207
Tabel 23. Hasil Pendugaan Koefisien Persamaan Regresi Harga Kakao di Kabupaten Buru Peubah Intercep HTPt-1 HPB-HPBt-1 HPBt-1 R2 = DW =
Koefisien
T. Ratio
0,839 0,513 0,00411 0,173 0,487 2,03
1,48 2,57 2,82 1,21
Standard Error 0,154 0,567 0,018 0,199 0,011 0,00146 0,241 0,143 F = 6,34 P. Value= 0,003
P. Value
Dari hasil analisis integrasi pasar menunjukkan bahwa hasil perhitungan indeks integrasi pasar komoditi kakao di tingkat petani dengan pasar referensi (pedagang besar) baik yang terdapat di kota Namlea maupun di kota Ambon memperlihatkan
Index
of
Market
Integration
(IMC)
=
-4,45.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa dalam jangka pendek tercapai keseimbangan dan keterpaduan antara pasar referensi (pedagang besar) dengan pasar di tingkat petani, karena nilai yang diperoleh jauh lebih kecil dari satu. Dengan demikian bahwa perubahan harga di pasar referensi (pedagang besar) dapat direspon oleh perubahan harga kakao di tingkat petani. Di lain sisi nilai (IMC < 1) juga memberikan gambaran bahwa kondisi pada pasar referensi memiliki pengaruh yang dominan terhadap pembentukan harga di pasar lokal petani. Hal ini dapat di pahami karena komoditi kakao merupakan komoditi ekspor, di mana penentuan harga sangat dipengaruhi oleh permintaan pasar baik pasar regional, nasional maupun luar negeri, sehingga perubahan harga di tingkat petani sangat tergantung pada penetapan harga oleh eksportir di Surabaya. Walaupun demikian, dalam penelusuran terhadap keterpaduan pasar di wilayah penelitian menunjukkan bahwa sering terjadi penetapan harga yang sepihak oleh pedagang pengumpul maupun pedagan besar. Disamping itu kondisi lokal wilayah yang turut berpengaruh terhadap informasi harga yang cukup sulit di peroleh petani di daerah pedesaan. Sehingga dalam penetapan harga petani sering kali dirugikan, di mana posisi tawar (bargaining position)
208
petani sangat lemah dalam penetapan harga atas komoditi kakao yang akan di jual. Kemudian dari hasil analisis (Tabel 23) di peroleh nilai koefisien regresi perubahan harga komoditi kakao di tingkat pedagang besar adalah 0,00411, artinya jika terjadi perubahan harga kakao di tingkat pedagang besar (pasar referensi) sebesar Rp 1.000, maka harga kakao di tingkat petani hanya berubah Rp 4,11. Walaupun koefisien regresi tersebut bersifat signifikan, fenomena ini mengindikasi bahwa perubahan harga kakao di tingkat pedagang besar (pasar referensi) tidak berpengaruh kuat terhadap perubahan harga kakao di tingkat pasar lokal petani, dan memberikan ilustrasi bahwa dalam jangka panjang tidak tercapai keterpaduan pasar antar pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat pedagang besar (eksportir). Kondisi ini dapat dipahami karena kedudukan pedagang besar baik di Ambon atau di Namlea dan eksportir di Surabaya sebagai pembeli maupun pengekspor komoditi kakao jaraknya relatif berjauhan dengan sentra produksi yaitu petani selaku produsen. 6.2.5. Opsi Kelembagaan Petani Komoditi kakao merupakan salah satu dari jenis komoditi perkebunan yang baru dan atau sedang dikembangkan oleh masyarakat Kabupaten Buru. Pengembangan komo diti ini pun oleh masyarakat merupakan hal yang baru, sehingga dalam hal pembudidayaannya pengembangan komoditi kakao secara meluas baru berlangsung pada tahun 1990. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh merosotnya harga komoditi perkebunan lainnya. Se bagai komodit yang baru dikembangkan, dalam pengembangannya komoditi kakao mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Meningkatnya pertumbuhan komoditi tersebut tidak terlepas dari peran serta pemerintah dalam mendorong pengembangan komoditi kakao melalui program bantuan kepada petani, baik dalam hal peningkatan SDM petani maupun upaya penataan institusi usahatani.
209
Namun pada kenyataanya bahwa pengembangan komoditi kakao tersebut, petani
lebih
termotivasi
karena
faktor
ekonomi
keluarga.
Sehingga
pengembangan komoditi ini lebih banyak merupakan insiatif petani sendiri, sementara upaya pemerintah untuk memeneje secara kelembagaan formal, belum menampakan hasil yang memuaskan. Karena itu, kelembagaan yang terbentuk di masyarakat lebih banyak adalah kelembagaan yang bersifat informal, sedangkan kelembagaan formal kurang mendapatkan respon dari masyarakat.
Pada
kenyataannya
masyarakat
kurang
tertarik
dengan
kelembagaan formal dan secara faktual kelembagaan formal di wilayah Kabupaten Buru kurang berkembang dengan baik. Hal inilah yang merupakan dasar dalam pembahasan analisis mengenai opsi kelembagaan tersebut, yang lebih banyak digambarkan secara diskriptif. Dalam penelitian ini, menurut petani bahwa kelembagaan formal yang dulu berkembang kurang memberikan nilai tambah dan bahkan justru membebani petani. Kondisi inilah yang menyebabkan institusi seperti kelompok tani maupun Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada menjadi kurang berkembang karena kurang diminati oleh petani. Pembentukan KUD dan kelompok tani, hanyalah sebagai alat untuk memenuhi target tertentu dalam sebuah kegiatan (proyek). Sehingga keberadaan KUD dan kelompok tani bagi petani belum dirasakan manfaatnya, malah seringkali menjadi beban karena keikutsertaan petani seringkali dipaksakan dan bahkan dimanfaatkan. Dari pengalaman keikutsertaan mereka dalam kegiatan kelembagaan formal hanya memperbesar pengeluaran karena harus mengikuti berbagai kegiatan seperti kumpul-kumpul, pelatihan, penyuluhan dan lain sebagainya, yang oleh mereka sendiri tidak faham dan me ngerti hasil dari kegiatan yang diikuti. Sehingga nilai manfaatnya tidak dirasakan, malahan timbul
210
banyak keluahan akibat waktu mereka lebih banyak tersita dan terbuang karena kegiatan tersebut. Keberadaan KUD bagi petani hanyalah merupakan wadah bentukan pemerintah yang tidak lebih dari sebuah institusi yang hanya memperjuangkan kepentingan kelempoknya atau menampung keinginan ketua, bukan sebaliknya sebagai wadah yang mensinergikan kepentingan bersama. Kehadiran institusi ini pada awalnya sangat diharapkan dapat memegan peranan penting dalam memperbaiki kondisi petani yang kian terpuruk. Pembentukan lembaga ini pada dasarnya sama dengan sejarah pembentukan koperasi-koperasi di Indonesia, namun kehadiran KUD lebih diorentasikan untuk pembelian komoditi cengkeh dan distribusi sembako. Walaupun demikian jarang sekali yang mampu berhasil dalam memberikan pelayanan (jasa-jasa) yang dibutuhkan petani kecil. Tercatat dari sekian KUD maupun koperasi yang ada di wilayah penelitian tidak memiliki modal yang kuat untuk dapat bersaing dengan pihak swasta. Berdasarkan fakta dilapangan, bahwa KUD dan Koperasi banyak yang tinggal nama saja atau hanya namannya yang tercatat di Dinas Koperasi dan UKM, tetapi tidak memiliki bangunan sekretariat maupun aset lainnya. Malahan yang tampak dilapangan dan aktif dalam mengurus hal ihwal lembaga ini hanyalah ketua dan sekretaris, sehingga lembaga ini seakan mati suri. Di samping itu, tidak adanya visi dan misi yang jelas, yang dimiliki oleh pengurus KUD atau koperasi dalam mengembangkan amanah tersebut sebagai sebuah badan usaha milik bersama dan selaku sokoguru perekonomian yang diharapkan dapat memperjuangkan kepentingan bersama dan mengangkat harkat
dan
martabat
masyarakat
ekonomi
lemah.
Kondisi
inilah
yang
menyebabkan sedikit sekali petani yang mau bergabung dengan KUD atau koperasi dan atau kelompok tani, dan kebanyakan anggota yang bubar dengan sendirinya maupun tidak mau bergabung lagi.
211
VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan dan tujuan penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Secara umum subsektor perkebunan di Kabupaten Buru masih mengalami pertumbuhan (growth) yang cukup baik. Berdasarkan analisis terhadap pengembangan perkebunan kakao rakyat yang didasarkan pada luas areal, memperlihatkan bahwa komoditi kakao memiliki keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif, yang ditunjukkan dengan nilai LQ>1 dan nilai koefisien differential shift yang positif. Selain itu tanaman kelapa juga mengalami pertumbuhan, sementara tanaman perkebunan lainnya yang merupakan komoditi andalan mengalami pertumbuhan yang negatif seperti cengkeh, jambumete, pala dan kopi. 2. Kinerja finansial dan ekonomi memperlihatkan usahatani kakao rakyat di Kabupaten Buru layak untuk di kembangkan, hal tersebut ditunjukkan dengan diperoleh nilai B/C ratio yang lebih besar dari satu, NPV yang positif dan nilai IRR yang jauh lebih besar dari suku bunga bank yang berlaku. Walaupun pada kenyataannya dalam analisis finansial cukup sensitif terhadap suku bunga bank. 3. Integrasi pasar komoditi kakao di tingkat petani dengan pasar referensi dalam jangka pendek terjadi keterpaduan pasar, namun dalam jangka panjang tidak terjadi kerpaduan, sehingga distribusi profit marjin yang diterima petani lebih kecil dibandingkan yang diterima pedagang pengumpul dan pedagang besar. 4. Luas areal sangat respon terhadap perubahan harga riel kakao, luas areal sebelumnya dan pengaruh kebijakan otonomi daerah, yang memungkinkan pemerintah daerah untuk membangun lebih banyak infrastruktur, sehingga
212
memudahkan petani dalam mengakses informasi pasar dan memperbaiki harga komoditi perkebunan, pada akhirnya semakin memotivasi petani dalam meningkatkan nilai usahannya. 5. Dalam pengembangan usahatani kakao rakyat di Kabupaten Buru belum tampak adanya kebijakan pemerintah yang berarti bagi petani terhadap proteksi harga input produksi, seperti peralatan usahatani, pupuk, pestisida, serta pembangunan infrastruktur yang kurang memadai. Sehingga petani mengalami kehilangan surplus seharusnya diterimanya dan kehilangan surplus petani ini, ternyata dinikmati oleh pelaku pasar input dan output. 7.2. Implikasi Kebijakan Berdasarlam hasil penelitian, maka beberapa implikasi kebijakan penting yang perlu diterapkan adalah sebagai berikut : 1. Untuk pengembangan subsektor perkebunan yang menjadi basis dalam perekonomian
wilayah
harus
berdasarkan
potensi
dan
keunggulan
(advantage comparative) dari berbagai komoditi perkebunan yang ada. 2.
Perlu adanya instrumen kebijakan insentif pemerintah, baik dalam hal harga input produksi maupun harga output, sehingga dapat memberi ransangan kepada petani untuk meningkatkan nilai usahanya.
3. Pemerintah daerah perlu memperhatikan dan meningkatkan pembangunan infrastruktur di setiap wilayah sentra produksi, guna memberikan kemudahan bagi petani dan memperkecil biaya pemasaran. 4. Dipandang penting untuk membentuk pasar kredit perdesaan, yang mengutamakan pendekatan symmetric information dan menghindari aktivitas rent seeking dari pelakunya. 5. Perlu dibentuk kelembagaan petani perkebunan kakao yang dapat menampung aspirasi dan kepentingan serta memiliki keberpihakan kepada petani, baik secara vertikal maupun horizontal.
213
Daftar Pustaka Affendi Anwar. 1995. Kajain Kelembagaan untuk Menunjang Pengembangan Agribisnis. Laporan Penelitian. Bogor. ______, dan Setia Hadi. 1996. Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan dalam Prisma No. Khusus 25 Tahun 1971-1996. LP3ES. Jakarta. ______, 1997. Organisasi Ekonomi: Konsep Pilihan Aktivitas Ekonomi Melalui Kelembagaan Pasar atau Organisasi. Bahan Kuliah. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Program Pascasarjana IPB. Bogor. ______, 1998. Organisasi Ekonomi: Konsep Pilihan Aktivitas Ekonomi melalui Kelembagaan Pasar atau Organisasi. Bahan Perkuliahan Sistem Organisasi Ekonomi dan Sosial Perdesaan. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pascasarjana IPB. Bogor. ______, 2000a. Masalah Ekonomi dan Kelembagan Perikanan Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. ______, 2001b. Usaha Membangun Asset-Asset Alami dan Lingkungan Hidup Pada Umumnya Diharapkan Dapat Memperbaiki Kehidupan Ekonomi Masyarakat Kearah Berkelanjutan. Bahan Diskusi Serial di Lembaga Alam Tropika (LATIN). Bogor. ______, 2001c. Pentingnya Peranan Hukum Dalam Menjamin Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan. Makalah Seminar. Fakultas Ekonomi, Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Bogor. Aris, Ahmad. 2003. Analisis Pengembangan Agribisnis Kelapa Rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi Pertama. BPFE. Jakarta. Azzaino, Z. 1981. Pengantar Tataniaga Pertanian. Departemen Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Bafadal, A. 2000. Analisis Produksi dan Respon Penawaran Kakao Rakyat di Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bappeda Kabupaten Buru. 2003. Data Pokok Pembangunan Kabupaten Buru. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru. Namlea. ______, 2003. Program Pembangunan Daerah Kabupaten Buru Tahun Anggaran 2002. Namlea. Badan Pusat Statestik Kabupaten Buru. 2003. Buru Dalam Angka 2003. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru. Namlea. ______, 2003. Pendapatan Regional Kabupaten Buru Tahun 2002. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru. Namlea. Blakely, E.J. 1994. Planning Local Economic Development (theory and Practice) the 2nd edition. Sage Publications. London.
214
Budianto, J., dan Allorerung. 2003. Kelembagan Perkelapaan di Indonesia. Proseding Konferensi Nasional Kelapa V. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Litbang. Jakarta. Chandra, Prasanna. 1980. Projects : Preparation, Appraisal, Implementation. Tata McGraw – Hill Publishing Company Limited. New Delhi. Choliq A, dan Ofan S. 1989. Evaluasi Proyek (Suatu Pengantar). Linda Karya. Bandung. Darusman, D. 1981. Pengantar Perencanaan Pembangunan Kehutanan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, 2003. Badan Pengembagan Ekspor Nasional, untuk Komoditi Pertanian, Jakarta. Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kabupaten Buru. 2004. Statistik Perkebunan Kabupaten Buru, Tahun 2002-2003. Namlea. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2004. Statistik Perkebunan Kakao Indonesia 2001-2003. Jakarta. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Teori dan Aplikasi). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fisher, S., et al. 2000. Working With Conflict. Skills and Strategies for Action. Zed Books Ltd. London. Gittinger, J. Price. 1982. Economic Analysis of Agricultural Projects 2nd, Completely Revised and Expanded. UI – Press ~ Johns Hopkins University Press. Hermanto, F. 1989. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya. Jakarta 3009 Halaman Hobbs, J.E. 1997. Measuring The Importance of Transaction Cost in Cattle Marketing. Amer, J. Agr. Econ 79 (4) : 1083-1095. Iswandi, R.M. 1996. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Perkebunan Kakao Rakyat serta Peranannya terhadap Pembangunan Wilayah di Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jayadinata, J.T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan, Perkotaaan dan Wilayah Edisi Ketiga. Penerbit ITB. Bandung. Kadariah. 1978. Ekonomi Perencanaan. Universitas Indonesia. Jakarta.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
_______. 1988. Evaluasi Proyek (Analisis Ekonomi) Edisi Kedua. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta. Lolowang, T.F. 1999. Analisis Penawaran dan Permintaan Kakao Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Marjana. 1993. Autonomy and Bureaucratic Control of Indonesia Public Enterprises. A Principle - Agent Approach. PhD. Dissertation. Monash University. Australia. Nancy. 1988. Usaha Meningkatkan Daya Saing Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional Melalui Efisiensi Pemasaran. Pascasarjana IPB. Bogor. Noorsapto, A. 1994. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Pemerintah pada Komoditas Kakao Suatu Studi Kasus pada Perkebunan Kakao di
215
Sumatra Utara. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pakpahan. 2000. Statistik Perkebunan Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Dirjen Bun. Jakarta. Rondinelli, D.A. 1985. Applied Methods of Regional Analysis (The Spatial Demesions of Development Policy). Westview Press. Rustiadi, E. 2000. Pengembangan Wilayah Pesisir sebgagai Kawasan Strategis Pembangunan Daerah. Makalah Pelatihan Pengelolaan dan Perencanaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (ICZM), DKP. Shukla, A. 2000. Regional Planning and Sustainable Development. Kanishka Publisher, Distributors New Delhi. Siregar T.H.S., 2003. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Cokelat. Cet. KeXIV. Swadaya. Jakarta. Siregar, H. 1991. Production technology in Indonesia Dryland Crop Industry Multi-Input Multi-Output Framework. Master of Economics Dissertation, University of New England, Armidale. N.S.W. Siregar, H. dan Romdhon, M.M. 2004. Daya Saing Industri Kecil Gula Kelapa Di Kabupaten Banyumas : Pendekatan Matriks Analisis Kebijakan dan Opsi Kelembagaan. Mimbar Sosek (Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian). Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Faperta IPB, Vol.17 No.2 : Agustus 2004. Bogor. Soemarno, 2000. Dasar Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pertanian. Faperta Unibraw. Malang. Spillane, J.J. 1995. Komoditas Kakao: Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius. Jakarta. Sugiarto. 2002. Ekonomi Mikro Sebuah Kajian Komprehensif, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Jilid 1 Edisi Tujuh (Terjemahan). Penerbit Erlangga. Wardani, S. 1997. Pendugaan Fungsi Produksi Potensial pada Pengembangan Kakao. Pelita Perkebunan, 13 (3) : 161-170. Wardani, S., Gunawan, dan Masyuri. 1997. Pendugaan Fungsi Produksi Kakao. Pelita Perkebunan, 13 (2) : 115-132. Williamson, O.E. 1985. The Economics Institutions of Capitalism. The Free Press, A Division of Macmillan, Inc. New York. Yudhistira, F. 1997. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Komoditi Kakao (Kasus di Perkebunan Rajamandala, PTP XII, Kabupaten Bandung, Jawa Barat). Skripsi Sarjana, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
216
Lampiran 1. Hasil Analisis Finansial Usahatani Perkebunan Kakao Rakyat untuk Luasan 1 Ha (1100 Tanaman) di Kabupaten Buru No. 1.
2.
Tahun
Uraian
0
1
2
Inflow - Produksi (kg)
-
-
-
486
611
791
- Harga (Rp)
-
-
-
7,500
7,500
7,500
- Penerimaan (Rp) Outflow
0
0
0
3,645,000
4,582,500
5,932,500
7,305,000
0
0
0
0
2,178,500 1,091,500
2,122,000 1,277,500
- Investasi awal
4,397,900
- Pemeliharaan tanaman - Panen + pascapanen
0 0
3,896,000 0
3
4
0
2,703,500 0
2,336,000 922,500
5
6
7
8
9
974
1,092
1,215
1,319
7,500
7,500
7,500
7,500
7,500
8,190,000
9,112,500
9,892,500
10,650,000
0
0
0
0
2,122,000 1,458,500
2,122,000 1,458,500
2,122,000 1,458,500
2,122,000 1,458,500
0 2,122,000 1,376,000
10 1,420
3.
Total biaya
4,397,900
3,896,000
2,703,500
3,258,500
3,270,000
3,399,500
3,498,000
3,580,500
3,580,500
3,580,500
3,580,500
4.
Laba bersih DF 12%
(4,397,900) 1
(3,896,000) 0.893
(2,703,500) 0.797
386,500 0.712
1,312,500 0.636
2,533,000 0.567
3,807,000 0.507
4,609,500 0.452
5,532,000 0.404
6,312,000 0.361
7,069,500 0.322
NPV (DF=12%)
(4,397,900)
(3,478,571)
(2,155,214)
275,103
834,117
1,437,292
1,928,745
2,085,104
2,234,282
2,276,170
2,276,190
DF 25 NPV ( DF=25)
1 (4,397,900)
0.800 (3,116,800)
0.640 (1,730,240)
0.512 197,888
0.410 537,600
0.328 830,013
0.262 997,982
0.210 966,682
0.168 928,116
0.134 847,182
0.107 759,082
11
12
13
No. 1.
Tahun
Uraian Inflow - Produksi (kg)
3. 4.
15
16
17
18
19
20
1,509
1,597
1,537
1,500
1,450
1,370
1,163
975
753
536
7,500 11,317,500
7,500 11,977,500
7,500 11,527,500
7,500 11,250,000
7,500 10,875,000
7,500 10,275,000
7,500 8,722,500
7,500 7,312,500
7,500 5,647,500
7,500 4,020,000
- Investasi awal - Pemeliharaan tanaman
0 2,122,000
0 2,122,000
0 2,122,000
0 2,122,000
0 2,122,000
0 2,122,000
0 2,122,000
0 2,122,000
0 2,122,000
0 2,122,000
- Panen + pascapanen
1,458,500
1,458,500
1,458,500
1,458,500
1,458,500
1,458,500
1,295,000
1,295,000
1,295,000
1,295,000
Total biaya Laba bersih DF 12%
3,580,500 7,737,000 0.287
3,580,500 8,397,000 0.257
3,580,500 7,947,000 0.229
3,580,500 7,669,500 0.205
3,580,500 7,294,500 0.183
3,580,500 6,694,500 0.163
3,417,000 5,305,500 0.146
3,417,000 3,895,500 0.130
3,417,000 2,230,500 0.116
3,417,000 603,000 0.104
NPV (DF=12%)
2,224,203
2,155,301
1,821,247
1,569,332
1,332,678
1,092,018
772,716
506,569
258,976
62,511
0.086
0.069
0.055
0.044
0.035
0.028
0.023
0.018
0.014
0.012
664,603
577,037
436,891
337,308
256,652
188,433
119,469
70,175
32,145
6,952
- Harga (Rp) - Penerimaan (Rp) 2.
14
Outflow
DF 25% NPV (DF=25%)
NPV (DF=12%) NPV (DF=25%) B/C Ratio IRR
15,110,869 (490,727) 2.51 24.59
135
Lampiran 2. Hasil Analisis Ekonomi Usahatani Perkebunan Kakao Rakyat untuk Luasan 1 Ha (1100 Tanaman) di Kabupaten Buru. Tahun No. 1.
2.
Uraian
0
1
2
3
Inflow - Produksi (kg)
0
0
0
486
611
791
974
1,092
1,215
1,319
- Harga (Rp)
0
0
0
9,456
9,456
9,456
9,456
9,456
9,456
9,456
9,456
4,595,616
5,777,616
7,479,696
9,210,144
10,325,952
11,489,040
12,472,464
13,427,520
- Penerimaan (Rp) Outflow - Investasi awal
4
5
6
7
8
9
10 1,420
3,723,850
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
3,492,350 0
1,980,450 0
1,711,950 748,250
1,564,850 879,250
1,559,600 1,018,500
1,559,600 1,101,250
1,559,600 1,164,000
1,559,600 1,164,000
1,559,600 1,164,000
1,559,600 1,164,000
- Pemeliharaan tanaman - Panen + pascapanen 3.
Total biaya
3,723,850
3,492,350
1,980,450
2,460,200
2,444,100
2,578,100
2,660,850
2,723,600
2,723,600
2,723,600
2,723,600
4.
Laba bersih DF 12%
(3,723,850) 1
(3,492,350) 0.893
(1,980,450) 0.797
2,135,416 0.712
3,333,516 0.636
4,901,596 0.567
6,549,294 0.507
7,602,352 0.452
8,765,440 0.404
9,748,864 0.361
0,703,920 0.322
NPV (DF=12%)
(3,723,850)
(3,118,170)
(1,578,803)
1,519,947
2,118,510
2,781,297
3,318,076
3,438,918
3,540,214
3,515,538
3,446,376
DF 38% NPV (DF=38%)
1 (3,723,850)
0.725 (2,530,688)
0.525 (1,039,934)
0.381 812,541
0.276 919,150
0.200 979,359
0.145 948,244
0.105 797,617
0.076 666,409
0.055 537,084
0.040 427,319
11
12
13
Tahun No. 1.
2.
Uraian Inflow - Produksi (kg) - Harga (Rp) - Penerimaan (Rp) Outflow - Investasi awal
3.
Total biaya
4.
Laba bersih DF 12% NPV (DF=12%) DF 38% NPV (DF=38%)
NPV (DF=12%) NPV (DF=38%) NB/C Ratio IRR
15
16
17
18
19
20
1,509 9,456
1,597 9,456
1,537 9,456
1,500 9,456
1,450 9,456
1,370 9,456
1,163 9,456
975 9,456
753 9,456
536 9,456
14,269,104
15,101,232
14,533,872
14,184,000
13,711,200
12,954,720
10,997,328
9,219,600
7,120,368
5,068,416
0
- Pemeliharaan tanaman - Panen + pascapanen
14
1,559,600 1,164,000
0 1,559,600 1,164,000
0 1,559,600 1,164,000
0
0
0
0
1,559,600 1,164,000
1,559,600 1,164,000
1,559,600 1,164,000
1,559,600 1,030,750
0 1,559,600 1,030,750
0
0
1,559,600 1,030,750
1,559,600 1,030,750
2,723,600
2,723,600
2,723,600
2,723,600
2,723,600
2,723,600
2,590,350
2,590,350
2,590,350
2,590,350
11,545,504 0.287 3,319,057
12,377,632 0.257 3,177,030
11,810,272 0.229 2,706,610
11,460,400 0.205 2,345,025
10,987,600 0.183 2,007,393
10,231,120 0.163 1,668,917
8,406,978 0.146 1,224,429
6,629,250 0.130 862,065
4,530,018 0.116 525,966
2,478,066 0.104 256,893
0.029
0.021
0.015
0.011
0.008
0.006
0.004
0.003
0.002
0.002
333,997
259,471
179,404
126,152
87,643
59,137
35,212
20,121
9,963
3,949
33,351,438 (91,701) 4.96 37.93
136
Lampiran 3. Matrik Analisis Kebijakan Harga dalam Pengembangan Usahatani Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 Keterangan Harga Privat Harga Sosial Divergensi
Penerimaan 163.857.628 207.615.936 -43.758.308
Transfer Output (OT) Transfer Input (IT) Transfer Faktor (FT) Transfer Bersih (NT) Rasio Biaya Privat (PCR) Rasio Biaya SD Domestik (DRCR) Koef Protek Output Nominal (NPCO) Koef Protek Input Nominal (NPCI) Koef Protek Efektif (EPC) Koef Keuntungan (PC) Rasio Subsidi Produsen (SRP)
Biaya Input Tradable Domestik 1.046.701 33.084.399 923.931 27.723.112 122.770 5.361.287
Keuntungan 129.726.528 178.968.893 -49.242.365
-43.758.308 122.770 5.361.287 -49.242.365 0,203 0,134 0,789 1,133 0,788 0,725 0,000
135
Lampiran 4. Data Luas Areal Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, Tahun 1993 sampai 2003
. Tahun
Luas Area (ha)
Harga Riel Kakaot -1
Harga Riel Cengkeh t-1
Luas Arelt-1 (ha)
Dummy
1993
729
1200
1955
610
0
1994
802
1207
1811
729
0
1995
830
1180
1426
802
0
1996
1321
2262
1792
830
0
1997
1363
3483
1853
1321
0
1998
1473
4610
3402
1363
0
1999
1593
4856
6051
1473
0
2000
3294
5135
5726
1593
1
2001
4925
4152
6816
3294
1
2002
5554
4196
11145
4925
1
2003
5764
4234
9993
5554
1
.
136
Lampiran 5. Hasil Regresi Respon Luas Areal Tanaman Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 Ordinary Least Squares Estimation ****************************************************************** ***** Dependent variable is LNX1 11 observations used for estimation from 1993 to 2003 ****************************************************************** ***** Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio [Prob] INTERCEP 2.0701 .68765 3.0103 [.024] LNX2 27420 .095268 2.8782 [.028] LNX3 -.068431 .13225 -.51744 [.623] LNX4 .48776 .12240 3.9850 [.007] X5 .74080 .14142 5.2383 [.002] ****************************************************************** ***** R-Squared .98800 R-Bar-Squared .98001 S.E. of Regression .11203 F-stat. F( 4, 6) 123.5441[.000] Mean of Dependent Variable 7.5414 S.D. of Dependent Variable .79229 Residual Sum of Squares .075300 Equation Log-likelihood 11.8046 Akaike Info. Criterion 6.8046 Schwarz Bayesian Criterion 5.8099 DW-statistic 2.7352 ****************************************************************** ***** Diagnostic Tests ****************************************************************** ***** * Test Statistics * LM Version * F Version * ****************************************************************** ***** * A:Serial Correlation*CHSQ( 1)= 2.2086[.137]*F( 1, 5)= 1.2561[.313]* * B:Functional Form *CHSQ( 1)= .52710[.468]*F( 1, 5)= .25165[.637]* * C:Normality
*CHSQ( 2)= 10.0976[.006]*
Not applicable
*
* D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= .74198[.389]*F( 1, 9)= .65098[.441]* ****************************************************************** ***** A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
137
Lampiran 6. Data Luas Areal Tanaman Perkebunan di Kabupaten Buru Untuk Analisis Lokasional Luas Areal Tahun 1997 (dalam ha) Komoditi/Sektor Kecamatan
Kakao
Cengkeh
Kelapa
Pala
Buru Selatan 133.0 1,056.0 1,191.3 Buru Selatan 134.0 2,406.0 989.7 Timur Buru Utara 250.0 198.5 1,892.0 Timur Buru Utara 356.0 512.5 733.0 Selatan Buru Utara 490.0 1,111.0 1,668.0 Barat Jumlah (T0) 1,363.0 5,284.0 6,474.0 Sumber : Maluku Tengah dalam Angka, Tahun 1997
Jambu Mete 35.5 0.0
Kopi
89.0
Total 2,504.8
235.0
31.5
0.0
3,796.2
9.5
100.3
690.0
3,140.3
100.5
18.7
16.0
1,736.7
431.0
90.0
191.0
3,981.0
865.0
276.0
897.0
15,159.0
Luas Areal Tahun 2003 (dalam ha) Jenis Komoditi Kecamatan
Kakao
Cengkeh
Kelapa
Pala
Kopi
Jambu Mete
To t a l
Buru Selatan 1,404.29 1,201.40 2,752.70 65.22 87.68 28.70 5,539.99 Buru Selatan 1,046.47 2,630.50 2,115.81 233.97 47.30 232.40 6,306.45 Timur Buru Utara 229.81 106.30 2,120.22 0.90 1.09 841.60 3,299.92 Timur Buru Utara 1,575.85 575.80 910.27 19.54 10.62 53.70 3,145.78 Selatan Buru Utara 1,508.01 233.60 1,295.23 50.60 1.87 30.90 3,120.21 Barat Jumlah 5,764.43 4,747.60 9,194.23 370.23 148.56 1,187.30 21,412.35 Sumber : Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kabupaten Buru, Tahun 2003
138
Lampiran 7.Data Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang Besar (Pasar Referensi) Untuk Menghitung Elastisitas Transmisi Harga dari Juli 2002 sampai Juni 2004 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Bulan Juli '02 Agustus '02 September '02 Oktober '02 November '02 Desember '02 Januari '03 Februari '03 Maret '03 April '03 Mei '03 Juni '03 Juli '03 Agustus '03 September '03 Oktober '03 November '03 Desember '03 Januari '04 Februari '04 Maret '04 April '04 Mei '04 Juni '04
HTP
HPR 2597 2846 2668 3024 3033 3051 3380 3747 3825 3647 3573 3113 3469 2490 3166 2953 2313 2846 3024 2846 2935 3095 3202 3494
3,002 3,042 4,092 4,252 3,665 4,216 4,447 4,501 4,625 4,092 4,047 3,803 4,714 4,447 4,714 4,447 3,042 3,202 3,513 3,273 3,380 3,504 3,629 3,914
139
Lampiran 8. Hasil Regresi Untuk Menghitung Elastisitas Transmisi Harga Kakao di Kabupaten Buru, Tahun 2003
Ordinary Least Squares Estimation ****************************************************************** ***** Dependent variable is X1 24 observations used for estimation from 2002M7 to 2004M6 ****************************************************************** ***** Regressor Coefficient Standard Error T-Ratio[Prob] INTERS 1577.1 484.5256 3.2550[.004] X2 .38996 .12306 3.1689[.004] ****************************************************************** ***** R-Squared .31339 R-Bar-Squared .28218 S.E. of Regression 332.5599 F-stat. F( 1, 22) 10.0417[.004] Mean of Dependent Variable 3097.4 S.D. of Dependent Variable 392.5216 Residual Sum of Squares 2433114 Equation Log-likelihood -172.3741 Akaike Info. Criterion -174.3741 Schwarz Bayesian Criterion -175.5521 DW-statistic .94175 ****************************************************************** *****
Diagnostic Tests ****************************************************************** ***** * Test Statistics * LM Version * F Version * ****************************************************************** ***** * * * * * A:Ser ial Correlation*CHSQ( 12)= 19.5998[.075]*F( 12, 10)= 3.7119[.023]* * * * * * B:Functional Form *CHSQ( 1)= 1.1979[.274]*F( 1, 21)= 1.1032[.306]* * * * * * C:Normality *CHSQ( 2)= 1.3017[.522]* Not applicable * * * * * * D:Heteroscedasticity*CHSQ( 1)= 2. 8104[.094]*F( 1, 22)= 2.9179[.102]* ****************************************************************** ***** A:Lagrange multiplier test of residual serial correlation B:Ramsey's RESET test using the square of the fitted values C:Based on a test of skewness and kurtosis of residuals D:Based on the regression of squared residuals on squared fitted values
140
Lampiran 9. Data Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang Besar (Pasar Referensi) Untuk Menghitung Indek Keterpaduan Pasar dari Juli 2002 sampai Juni 2004 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Bulan Juli '02 Agustus '02 September '02 Oktober '02 November '02 Desember '02 Januari '03 Februari '03 Maret '03 April '03 Mei '03 Juni '03 Juli '03 Agustus '03 September '03 Oktober '03 November '03 Desember '03 Januari '04 Februari '04 Maret '04 April '04 Mei '04 Juni '04
HTP 2,597 2,846 2,668 3,024 3,033 3,051 3,380 3,747 3,825 3,647 3,573 3,113 3,469 2,490 3,166 2,953 2,313 2,846 3,024 2,846 2,935 3,095 3,202 3,494
HTP-1 2,882 2,597 2,846 2,668 3,024 3,033 3,051 3,380 3,747 3,825 3,647 3,573 3,113 3,469 2,490 3,166 2,953 2,313 2,846 3,024 2,846 2,935 3,095 3,202
HPR 3,002 3,042 4,092 4,252 3,665 4,216 4,447 4,501 4,625 4,092 4,047 3,803 4,714 4,447 4,714 4,447 3,042 3,202 3,513 3,273 3,380 3,504 3,629 3,914
(HPR-1) 3,038 3,002 3,042 4,092 4,252 3,665 4,216 4,447 4,501 4,625 4,092 4,047 3,803 4,714 4,447 4,714 4,447 3,042 3,202 3,513 3,273 3,380 3,504 3,629
(HPR)–(HPR-1) (35.58) 39.85 1,049.56 160.10 (587.04) 551.46 231.26 53.37 124.52 (533.67) (44.47) (244.42) 911.52 (266.84) 266.84 (266.84) (1,405.34) 160.10 311.31 (240.15) 106.73 124.52 124.52 284.63
141
Lampiran 10. Hasil Regresi untuk Menghitung Indek Keterpaduan Pasar Kakao di Kabupaten Buru, Tahun 2004 Minitab Project Report Regression Analysis: HTP versus HTP-1; (HPR) - (HPR-1); HPR-1 The regression equation is HTP = 0,839 + 0,513 HTP-1 +0,000411 (HPR) - (HPR-1) + 0,173 HPR-1 Predictor Constant HTP-1 (HPR)-(HPR-1) HPR-1 S = 0,3014
Coef 0,8390 0,5130 0,0004112 0,1728
R-Sq = 48,7%
SE Coef 0,5666 0,1994 0,0001457 0,1431
T 1,48 2,57 2,82 1,21
P VIF 0,154 0,018 1,5 0,011 1,3 0,241 1,8
R-Sq(adj) = 41,0%
Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 3 1,72667 0,57556 6,34 0,003 Residual Error 20 1,81701 0,09085 Total 23 3,54368 Source HTP-1 (HPR) HPR-1
DF Seq SS 1 1,00254 1 0,59153 1 0,13260
Unusual Observations Obs HTP-1 HTP Fit 3 2,85 2,6680 3,2563 14 3,47 2,4900 3,3236
SE Fit Residual St Resid 0,1477 -0,5883 -2,24R 0,1108 -0,8336 -2,97R
R denotes an observation with a large standardized residual Durbin-Watson statistic = 2,03
142
Peta Kabupaten Buru Gambar 1.6 Orientasi Wilayah Perencanaan
Tg. Batu Nuham Wailihang
Tg.Wapoti
Sula
Waspait
AIR BUAYA
Selwadu
Waekose
Wamlana
Waepure
Tg. Bebek
Namsina
Waprea
Waepoty
Wamasi
Waenibe
Samalagi
Hatawano
Waeule
Waemangir
Waeura Balbalu
Waekase
Waelenga
Wamana
Walemen
FalonLolen
Wamasihangan Badaibu
Biotama Firtoli
Tg. Palpetu
Batlale Walnetat
Milwagit Waeplau
Balperg LABUANKAYUARANG Waekorong
T E LU K
Tg. Bara Bara
TransAD
Lamahang
Likubala
B A R A
Sawa
Waemeteng
Waepecang Bada
Waraman
Waeruba Tg. Waflia
Wahega
Fenakute LikuHoson Letalatih
TanjungKarang
Sispotih
WasiWagawat
Sawah 2
Sinava Walholo
KAKU SERA
Waekekc
Wamitin
KEC. BURU UTARA TIMUR Samalagi
Walhani Biloro
Tahelopon
Lamahan 1 Lamahan 2 Mehetremat
KA KU B
A TR A S
KAKU J AGA
K A K U F
AD A
KAKU MA HU Nanali
Jikumerasa
Pohonkelapa
Wanauolon
Samithete Ubung
FUDE FADIT Watelemigodo Wadege
Lala
Wasitabaru
Karangjaya
Wateledafa
E
Waglatin Hensegi
KAKU PALATMADA
KEC. BURU UTARA BARAT
Pasir Putih
Jiku Besar
KAKU KARMEDIN Wamiti
FUDESIUL Batuboi
Tenan Biyak
Tg. Kerbau
Wanibe Wadule
Walhida
Waehu
NAMLEA
Jamilu Savanajaya
KAKUKAUFATPIA
KAKU GHEGAN
Tg. Namlea Nama
Kohof FUDEKOIT Warohi
KAKUTO
Wahamune
Wangfi
Sanleko
KAKU WADOKAN FATUTOFI
KAKUMORTINAFINA
Tg. Waat
Waetele Waekarta
Ohon Lalih
KAKU MORTINA MAHANN Moit Kakun
Tg. Waapu
Gogorin
FUDELANGIT Kakuingan
Fogi
Tg.Kramat
Walpangat FATUTEFE
KAKU DATE
KAKU EFROTO
Migoda
Wangura
Seit Kuba Lahin
Walataolo
Walhunga
Pela Wasehut
KAKUGAMUMRAPAT
Waekasar
Wagrahe
KAKU LL BOLI
Wangura Pemabu
KAKU NAL BESI Waebadam
Waereman
Mngesa Ingan
Frono
KAKU TAGALAGO
Ka Sudapigi Wagida Wageren Kamin Lahin
Nataboti
Wasilalen
Wanekelalih Ban Lafun
Bugilremat Wawalu Bamane 2 Wakonit Grandeng Data Wageran Migodo Wagerennangan
Tg. Sarmeno Wafehat
Epit Lahin
Warujaya LABUANLEKO
Kakuiagan Botit
Ardafa
Waemeten Nipa Wawambolen
Wanebele Sekat
Wamkopi
DafaWalo
Lalarame2 Wawalu Bamane 1 Waapu Simlau
Wahude
Parbulu
Walatadafa Bina Walsait Walilan Walatuwitit
KAKUKUKUSAN
Batujungku
Baman Waapu Baman
Waapu
Parbulu Bamare Waleman
Bangkarua
Waelo
Tg. Kayuputih
Masarete Waail
Lalarame1
WAENETAT Wawalu
Waapuerin
P. BURU
Moneolon
Kayeli
Wablo
Waegeren
Kotbesi Walmahu
Wasari
KAKU BATAKBUAL
Abun Watori
KEC. BURU UTARA SELATAN
Wakabufolon
Mokinlakin
OMO
T
Tg.Walimen
Wamefar
KA KUD
Walu Besa
MALUKU
Walo Bafatita
Waelo
WALATAOLON KAKUMASBAIT Waema
Wafina Dabuwae
Waeta
WALOOLON
Wamasi Englisu
KAKU REMET
Waemara
Uneth
Karsi
KAKU NIPARANPOON
Wamulan
Wafabotir
Namiea
Waergugat
KEC. BURU SELATAN
KAKU MOITKAKUN
Malilai
KETERANGAN :
Waeribo
Wakakul Wasangkakul
Fakal
KAKU UBUNG
Gambar P E T A P E M B A G I A N W I L A Y A H K E C A M A T A N K A B U P A T E N B U R U
WAKIBOOLON
Wakatin Wangadeolon
Walipa
Ilath Nams
Watina
GARIS PANTAI
Wampoit Tg.Walwawat
Mngeswain
KAKU SANNEPOON
KAKU NASIRANPOON
BATAS KECAMATAN
Watemun
Bobo
FATUKOLON
Kak Gail
Fodbohot
Fudemnuka
Tg. Tapan WATINA OLON
Pelat Poon
Sorona
Humgaran
JALAN
KAKU MNGESFUHA
FATUTEFAN
PEGUNUNGAN WAHLUA Hum Kaku
Lena
Waesile
Derlalih
Waerafa
KAKU TAGLASMITEN
SUNGAI
Waturen Tg. fatufat
Wampait
KAKUWARAMAN
Waehoka Wawali
IBUKOTA KABUPATEN
KAKU LIANMHORO Waeken
IBUKOTA KECAMATAN
Waemala Tg. Wamala
KAKU FATIANPOON
Ewert
DESA
KEC. BURU SELATAN TIMUR
Tg. Sorama
Mteku KAKU TEFDULA
Pier
Wameseng
Nusa Rua
Kamlanganmkafan
Tifu
DUSUN/KAMPUNG
Lumara Waelikut
Wanawatnangan
KAKU ETNOOL
Liang
Tg. Acu
Wasalai
Mepa Neath
DANAU RANA
Tg.Tabat
WAMSISI Enbotit
LEKSULA
Tg. Kabat Roit TELUK LEKSULA
Pohonbatu KAKUNOROLPITU
OkiLama
Nalbesi
Leku
OkiBaru
Tg. Salia Lata Tg. Wayo
Kase Tg. Kabat Ha Waekena
Kamlangpoon Waenalut
Tg. Batutulis
Tg. Burame Fatmite
Elfule
NAMROLE
Tg.Pasirputih Ulima Lektama
Maswoi
Tg. Batupekat
Tg. Watina Tg. Polame
P. AMBELAU
Lumoi
Tg. Barhea SKALA : Siwar 0
5
10
15
20
25
Selasi
30Km Tg. Bartutui
145
135
135