ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS KEMAMPUAN DAN POTENSI LAHAN DI KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU
RIFYAN RUMAN A156130031
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Kemampuan dan Potensi Lahan Di Kabupaten Buru Provinsi Maluku adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2016 Rifyan Ruman NRP A156130031
RINGKASAN RIFYAN RUMAN. Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Kemampuan dan Potensi Lahan Di Kabupaten Buru Provinsi Maluku. Dibimbing oleh SETIA HADI dan BABA BARUS. Pemanfaatan potensi sumber daya alam lokal merupakan modal dasar dan devisa utama bagi Kabupaten Buru untuk meningkatkan kontribusi penerimaan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat melalui optimalisasi potensi sumberdaya alam yang bertumpu pada basis ekonomi kerakyatan, mutlak menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Dengan ditetapkannya Kabupaten Buru sebagai lumbung pangan kawasan timur Indonesia di Provinsi Maluku sangatlah beralasan untuk dijadikan starting point dalam memacu akselerasi pertumbuhan ekonomi di Maluku. Hal ini karena selain Kabupaten Buru memiliki potensi lahan yang cukup luas juga memiliki letak yang sangat strategis dalam menghubungkan Provinsi Maluku dengan wilayah-wilayah sekitarnya baik secara eksternal maupun internal. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pegamatan langsung di lapang dan wawancara, serta data sekunder dilakukan di wilayah penelitian dan dari instansi terkait. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kemampuan lahan yang dihasilkan dari evaluasi peta sistem lahan dan peta lereng sehingga menghasilkan peta kemampuan lahan Kabupaten Buru. Analisis Potensi lahan menggunakan peta kemampuan lahan yang ditumpang tindihkan dengan peta penggunaan lahan yang dapat dimanfaatkan (semak belukar, semak belukar rawa, lahan terbuka) untuk pengembangan pertanian di Kabupaten Buru. Analisis keterkaitan antara kelas kemampuan lahan, penggunaan lahan dan pola ruang menggunakan matriks keselarasan yang dihasilkan dari tumpang tindih antara ketiga variabel tersebut. Keterkaitan antara kelas kemampuan lahan, penggunaan lahan dan pola ruang dikelaskan dalam dua kategori : selaras dan tidak selaras. Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA) untuk mengetahui komoditas unggulan. Proses penyusunan arahan pengembangan wilayah ini dilakukan dengan menggunakan peta keselarasan pada analisis sebelumnya dengan mempertimbangkan kelas kemampuan lahan dan penggunaan lahan yang ada. Untuk analisis ketimpangan pelayanan fasilitas digunakan untuk menentukan program pembangunan yang mendukung aktifitas masyarakat di Kabupaten Buru. Hasil meunjukkan bahwa kelas kemampuan lahan terluas adalah kelas kemampuan lahan IV dengan luas 196.099 ha Luas potensi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya pertanian untuk tiap kecamatan yaitu Kecamatan Namlea (22,390.73 ha), Kecamatan Waeapo (68,615.62 ha), Kecamatan Waplau (22,173.26 ha), Kecamatan Batabual (7,920.27 ha) dan Kecamatan Air Buaya (10,985.77 ha). Analisis keterkaitan menghasilkan pola selaras dan tidak selaras antara kemampuan lahan dan penggunaan lahan sehingga menimbulkan lahanlahan kritis yang harus direhabilitasi, hubungan kemampuan lahan dan pola ruang menimbulkan arahan pola ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung lahannya sehingga perlu adanya pengendalian, sedangkan hubungan antara penggunaan lahan dan pola ruang menimbulkan adanya lahan-lahan yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan dalam pola ruang sehingga pelu adanya revisi. Analisis LQ
dan SSA di Wilayah Kabupaten Buru, Komoditas yang menjadi unggulan di tiap Kecamatan hampir sama, tetapi ada 3 kecamatan yang memiliki komoditas yang menjadi unggulan dan tidak menjadi unggulan di ecamatan lain yaitu Kecamatan Namlea (ubi jalar dan pisang), Kecamatan Waplau (bawang merah) dan Kecamatan Batabual (cengkih), akan tetapi pada Kecamatan Waeapo yang menjadi sentra produksi padi juga harus menjadi perhatian pemerintah untuk pengembangannya karena merupakan pemasok beras untuk Kabupaten Buru dan Provinsi Maluku. Arahan pemanfaatan ruang berbasis kemampuan lahan menunjukkan peningkatan luas pola ruang pada hutan lindung menjadi seluas 167,057 ha (34.55%) yang bersumber dari areal dengan kemampuan VIII di luar kawasan hutan dan dari kawasan hutan produksi dan terbatas, hutan suaka alam bertambah menjadi 12,543 ha (2.59%). Kawasan pengembangan pertanian lahan kering bertambah menjadi 26,069 ha (5.39%) yang bersumber dari areal dengan kelas kemampuan III dan IV. Sedangkan untuk pengembangan pertanian lahan basah berkurang mnjadi 13,987 ha (2.89 %) hal ini dikarenakan setelas di evaluasi kawasan pengembangan ini terdapat pada lahan dengan kelas kemampuan tinggi dengan faktor pembatas kelerengan. Arahan program pembangunan yang dihasilkan sesuai dengan fakta yang ditemukan dapat menjadi dasar untuk dipertimbangkan dalam pengembangan kawasan untuk mengatasi disparitas antar kecamatan di Kabupaten Buru, selain hasil analisis yang menjadi pertimbangan yang juga harus dipertimbangkan adalah potensi-potensi sektor lain seperti sektor perikanan, pertambangan dan sektor lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Kabupaten Buru. Kata Kunci : kemampuan lahan, potensi lahan, komoditas unggulan, kabupaten buru
SUMMARY RIFYAN RUMAN. Referral Regional Development Based Capability and Potential Land in Buru Regency of Maluku Province. Advisors: SETIA HADI and BABA BARUS. Utilization of potential local natural resources is the authorized capital and main foreign exchange for Buru Regency to increase the contribution of local revenue and incomes through the optimization of potential resources, which is based on populist economics, and is absolutely the attention of government and society. With the enactment of Buru regency as a barn of eastern Indonesia in Maluku province, it is reasonable to be a starting point in promoting the acceleration of economic growth in Maluku. Aside from having a quite wide potential area, Buru also has a very strategic location in connecting Maluku Province with adjacent areas both externally and internally. The data used in the study are primary and secondary data. The primary data were obtained from direct observation in the field and interviews, as well as secondary data were conducted in the area of research and related institutions. Data analysis method used is the analysis of land capability resulting from the evaluation of the land system and slope maps resulting land capability map of Buru. Analysis of potential land used land capability map superimposed with land use map that could be utilized (scrub, scrub swamp, open land) for the development of agriculture in Buru. Analysis of the linkage between the classes of land capability, land use and spatial patterns used alignment matrix generated from the overlap between these three variables. The linkage between the classes of land capability, land use and spatial patterns is classified into two categories: aligned and unaligned. Location Quotient (LQ) and Shift Share Analysis (SSA) were used to determine the main commodity. The preparation process of referral regional development is done using the alignment map on a previous analysis by considering the class of land capability and existing land use. For the analysis of inequality, facilities and services were used to determine a development program that supports community activities in Buru. The results showed that the widest class of land capability is the land capability IV with an area of 196,099 ha. The area of potential land that can be used for cultivation of each sub-districts is Namlea (22,390.73 ha), Waeapo (68,615.62 ha), Waplau (22,173.26 ha), Batabual (7,920.27 ha) and Air Buaya (10,985.77 ha). The results of linkage analysis found aligned and unaligned patterns between land capability and land use resulting in critical lands to be rehabilitated, the relationship of land capability and spatial patterns found a landing spatial pattern that is not in accordance with the carrying capacity of the land so that it requires control, while the relationship between land use and spatial patterns lead to the lands that are not in accordance with what have been planned in the spatial patterns so that it requires revision. Analysis of LQ and SSA in the region of Buru, the superior commodities in each sub-district are almost the same, but there are three districts that have superior commodities only in their sub-districs namely Namlea (sweet potatoes and bananas), Waplau (onion) and Batabual (cloves), but Waeapo which is the rice production center should also be the government’s attention to its development as a supplier of rice to Buru and Maluku. Referral land capability-based spatial
patterns showed an increase of spatial pattern area in protected forest area into 167.057 ha (34.55%), which comes from the area with the ability VIII outside the forest area and from production and restricted forests, preserved forest increased to 12.543 ha (2.59 %). Dryland agriculture development areas increased to 26.069 ha (5.39%) sourced from areas with capability classes of III and IV. As for wetlands agricultural development decreased to 13.987 ha (2.89%) because after the evaluation, the development area are on lands with high capability class and slope limiting factor. Referrals development program generated based on the facts discovered can be the basis for consideration in the regional development to overcome the disparities between sub-districts in Buru. In addition, the analysis that must also be considered is the potential of other sectors such as fisheries, mining and other supporting economic growth and development in Buru. Keywords: land capability, potential land, superior commodity, Buru Regency
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS KEMAMPUAN DAN POTENSI LAHAN DI KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU
RIFYAN RUMAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Widiatmaka, DAA
Judul Tesis : Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Kemampuan dan Potensi Lahan Di Kabupaten Buru Provinsi Maluku Nama : Rifyan Ruman NRP : A156130031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Setia Hadi, MS Ketua
Dr Ir Baba Barus, M.Sc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 18 Mei 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah pengembangan wilayah dengan judul Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Kemampuan dan Potensi Lahan Di Kabupaten Buru Provinsi Maluku. Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS dan Bapak Dr Ir Baba Barus M.Sc selaku komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini. 2. Dr Ir Widiatmaka, DAA selaku penguji luar komisi atas segala masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis ini 3. Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah 4. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 5. Pemerintah Kabupaten Buru yang telah memberi izin dan membantu penulis dalam melakukan penelitian di lokasi 6. Rekan-rekan PWL reguler dan Bappenas angkatan 2013 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini. Terima kasih yang istimewa khusus disampaikan kepada kedua orang tuaku tercinta beserta seluruh keluarga, atas segala do’a, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini. Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Terimaksih.
Bogor, Mei 2016 Rifyan Ruman
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
ii iii iv
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran
2
TINJAUAN PUSTAKA Kalsifikasi Kemampuan Lahan Kemampuan Lahan dalam Tingkat Sub-Kelas Kemampuan Lahan dalam Tingkat Unit (Satuan Pengelolaan) Evaluasi Lahan Berbasis Kemampuan Lahan Penetapan Komoditas Unggulan Konsep Pengembangan Wilayah Strategi Pembangunan Wilayah
5 5 7 7 7 8 9 10
3
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Analisis Kemampuan dan Potensi Lahan Analisis Keterkaitan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Komoditas Pertanian Unggulan Wilayah Arahan Pengembangan Wilayah
12 12 12 12 12
GAMBARAN UMUM WILAYAH Kondisi Geografi Kondisi Fisiografi dan Topografi Wilayah Klimatologi Geologi Penggunaan Lahan Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kependudukan Ketenagakerjaan Sosial Pendidikan Kesehatan Gambaran Sektor Pertanian Tanaman Pangan Perkebunan Rakyat
17 17 17 17 18 18 19 19 20 21 21 22 23 23 25
4
1 1 2 3 3 4
13 14 16
ii
Kehutanan Peternakan Perikanan 5
6
25 25 26
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kelas Kemampuan Lahan dan Potensi Lahan Kelas Kemampuan Lahan Potensi Lahan Kabupaten Buru Analisis Keterkaitan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Keterkaitan Kemampuan Lahan dan Penggunaan Lahan Keterkaitan Kemampuan Lahan dan Pola Ruang Keterkaitan Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Keterkaitan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Penentuan Komoditas Unggulan (LQ dan SSA) Arahan Pengembangan Wilayah Pola Ruang dan Arahan Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Buru Ketimpangan Pelayanan Fasilitas untuk Mendukung Pengembangan Wilayah Arahan Program Pembangunan
27 27 27 30
SIMPULAN dan SARAN Simpulan Saran
52 52 52
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
31 31 33 34 36 37 39 39 42 48
53 56 61
DAFTAR TABEL 1.
Kriteria Penggunaan Lahan yang Dipekenankan Pada Setiap Kelas Kemampuan Lahan 2. Luas Daerah Kecamatan Terhadap Luas Kabupaten Buru 3. Sebaran Luas Penggunaan Lahan Wilayah Kabupaten Buru 4. Distribusi Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kab. Buru 5. Penduduk Unit Transmigrasi di Kecamatan Waeapo Kabupaten Buru 6. Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas Menurut Jenis Kegiatan Utama dan Jenis Kelamin di Kabupaten Buru 7. Penduduk Usia 7 sampai 24 Tahun yang Masih Sekolah Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Buru 8. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Kemampuan Membaca dan Menulis di Kabupaten Buru 9. Presentase Penduduk Berumur 7 sampai 24 Tahun Menurut Jenis Kelamin dan Partisipasi Sekolah di Kabupaten Buru 10. Jumlah Fasilitas Pendidikan Menurut Kecamatan di Kabupaten Buru 11. Jumlah Fasilitas dan Tenaga Kesehatan di Kabupaten Buru
14 17 19 20 20 21 21 21 22 22 23
iii 12. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan di Kabupaten Buru 13. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Sayuran di Kabupaten Buru 14. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Buah di Kabupaten Buru 15. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan di Kabupaten Buru 16. Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Buru 17. Populasi, Jumlah yang Dipotong dan Produksi Daging Ternak/Unggas di Kabupaten Buru 18. Rumah Tangga Perikanan Menurut Kecamatan di Kabupaten Buru 19. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan 20. Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kelas dan Sub Kelas Kemampuan Lahan 21. Hubungan antara Kemampuan Lahan dengan Penggunaan Lahan 22. Hubungan antara Kemampuan Lahan dengan Pola Ruang 23. Hubungan antara Penggunaan Lahan dengan Pola Ruang 24. Rekapitulasi Keterkaitan antara Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Pola Ruang 25. Keterkaitan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Pola Ruang 26. Pola Umum Hasil Tumpang Tindih 27. Hasil Analisis LQ dan SSA Kabupaten Buru Per Kecamatan 28. Luas Kawasan Berdasarkan Pola Ruang RTRW Kabupaten Buru Tahun 2008-2028 29. Luas Kawasan Arahan Pemanfaatan Ruang Kabupaten Buru 30. Panjang Jalan (km) Menurut Kondisi Jalan dan Kecamatan di Kab. Buru 31. Rasio Pelayanan Jalan (km) Kondisi Baik Menurut Kecamatan di Kabupaten Buru 32. Sebaran Fasilitas Pendidikan dan Hasil Penetapan Hirarki di Kab. Buru 33. Sebaran Fasilitas Kesehatan dan Hasil Penetapan Hirarki di Kab Buru 34. Rasio Tenaga Kesehatan Per 1000 Penduduk di Kabupaten Buru 35. Matriks Arahan Program Pembangunan 36. Hasil Sintesis Arahan Program Pembangunan
24 24 24 25 25 26 26 27 29 32 33 35 36 36 36 38 40 41 43 44 44 47 48 49 50
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kerangka Pikir Penelitian Skema Hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan Peta Lokasi Penelitian Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Buru Produksi Padi Sawah Kabupaten Buru Tahun 2009 – 2012 Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Buru Presentase Luas Total Kelas Kemampuan Lahan di Setiap Kecamatan Pada Kabupaten Buru Peta Potensi Lahan di Kabupaten Buru Total Luas Potensi Lahan di Kabupaten Buru
4 5 12 19 23 28 29 30 31
iv 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Peta Hubungan Kemampuan Lahan dan Penggunaan Lahan Peta Hubungan Kemampuan Lahan dan Pola Ruang Peta Hubungan Pola Ruang dan Penggunaan Lahan Peta Hubungan Kemampuan Lahan, Pola Ruang dan Penggunaan Lahan Peta Sebaran Komoditas Unggulan di Kabupaten Buru Peta Pola Ruang Kabupaten Buru Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Kabupaten Buru Peta Jaringan Jalan Kabupaten Buru Peta Hirarki Fasilitas Pendidikan di Kabupaten Buru Peta Hirarki Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Buru Penyebaran Tenaga Kesehatan Per Kecamatan di Kabupaten Buru Peta Arahan Program Pembangunan
32 34 35 37 39 39 41 43 45 47 48 51
DAFTAR LAMPIRAN 1.
2. 3. 4.
Penggolongan Besarnya Intensitas Faktor Penghambat dalam Kriteria Klasifikasi Kelas Kemampuan pada Tingkat Sub-Kelas Mengikuti Arsyad (2010) Contoh Kelas Kemampuan Lahan Contoh Penilaian Keselarasan Kelas Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Contoh Arahan Pemanfaatan Ruang
57 58 59 60
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang terpusat pada daerah perkotaan memacu perpindahan penduduk dari daerah sekitarnya sehingga berpengaruh terhadap jumlah dan penyebaran penduduk. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan perkembangan aktifitas ekonomi, maka akibatnya adalah meningkatnya kebutuhan akan ruang dan/atau lahan untuk pengembangan permukiman serta kebutuhan lain, misalnya prasarana dan sarana. Untuk memenuhi kebutuhan lahan ini, maka terjadi perubahan penggunaan lahan, umumnya dari lahan pertanian kepada penggunaan non pertanian. Peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan yang terbatas akan berakibat terhadap menurunnya kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan, baik lahan, air, maupun udara (Aliati, 2007). Hal tersebut diatas juga memicu kebutuhan lahan yang meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan kebutuhan tersebut merupakan kondisi lazim sebagai konsekuensi logis dari pembangunan (Pribadi et al., 2006 dalam Fajarini, 2014). Lahan adalah lingkungan fisik yang mencakup tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi potensi penggunaan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Lahan merupakan sumber daya pembangunan yang memiliki karakteristik unik, yakni (i) sediaan/luas relatif tetap karena perubahan luas akibat proses alami (sedimentasi) dan proses artifisial (reklamasi) sangat kecil; (ii) memiliki sifat fisik (jenis batuan, kandungan mineral, topografi, dsb.) dengan kesesuaian dalam menampung kegiatan masyarakat yang cenderung spesifik. Oleh karena itu lahan perlu diarahkan dan dimanfaatkan untuk kegiatan yang paling sesuai dengan sifat fisiknya serta dikelola agar mampu menampung kegiatan masyarakat yang terus berkembang (Dardak, 2005). Pemanfaatan sumberdaya lahan secara optimal sesuai daya dukung lingkungan, berpengaruh terhadap dinamika penggunaan dan penataan peruntukan lahan sesuai fungsinya. Dinamika pemanfaatan lahan yang tidak terkendali dan diatur, berdampak terhadap perubahan biofisik bentang lahan yang cenderung destruktif yang melampaui toleransi batas ambang (Pratiwi, 2015). Rencana tata ruang dan pemanfaatan ruang harus memperhatikan semua aspek yang ada baik sosial, ekonomi maupun aspek lingkungan. Aspek yang masih kurang dipertimbangkan dengan memadai dalam memanfatakan ruang adalah aspek lingkungan terutama terkait dengan daya dukung. Hal ini berakibat pada pemanfaatan ruang tidak seimbang dengan lingkungan yang ada dan akhirnya dapat melampaui batas dari daya dukung lingkungan. Pada dasarnya evaluasi daya dukung wilayah sangat terkait erat dengan evaluasi sumberdaya lahan, dimana satuan lahan yang memiliki hambatan tinggi akan sesuai untuk menjadi kawasan lindung, dan sebaliknya yang memiliki hambatan rendah dapat menjadi kawasan budidaya (Rustiadi, et al., 2011). Berdasarkan lampiran PERMEN LH No 17 tahun 2009 penyusunan rencana tata ruang wilayah yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan hidup, dapat menimbulkan permasalahan lingkungan hidup seperti banjir, longsor dan kekeringan.
2
Perencanaan penggunaan lahan yang berbasis komoditas unggulan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan terkait dengan efektifitas pemanfaatan lahan, sebab dengan adanya perencanaan penggunaan lahan tersebut akan diketahui alokasi lahan yang sesuai dengan peruntukannya (Rahman, 2015). Dalam mengembangkan komoditas-komoditas unggulan tersebut juga perlu diketahui potensi dan karakteristik lahan. Lahan mempunyai kemampuan beragam dari segi biofisik, ditentukan oleh karakter bentuk permukaan, kemiringan, ketinggian tempat, serta sifat tanah seperti tekstur, struktur, tingkat kemasaman dan sifat kimia lainnya. Produktivitas suatu komoditas sangat ditentukan oleh karakteristik lahan tersebut sebagai tempat tumbuh dan berkembang, dan setiap komoditas mempunyai persyaratan tumbuh yang berbeda (Setiawan, 2010). Syafruddin et al., (2004) mengemukakan bahwa untuk membangun sektor pertanian yang kuat, berproduksi tinggi, efisien, berdaya saing tinggi, dan berkelanjutan perlu dilakukan penataan sistem pertanian dan penetapan komoditas unggulan di setiap wilayah pengembangan disertai kebijakan pemerintah daerah yang tepat. Kabupaten Buru merupakan salah satu bagian dari Provinsi Maluku yang dimekarkan sejak bulan Oktober Tahun 1999 dan mengalami pemekaran lagi menjadi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan pada tahun 2008. Dalam Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi (RSTRP) Maluku, Kabupaten Buru telah ditetapkan sebagai kawasan Prioritas, yakni Merupakan kawasan tumbuh cepat berbasis pertanian. Good Will Pemerintah Provinsi Maluku ini didukung dengan potensi sumberdaya alam Kabupaten Buru yang cukup besar sehingga diharapkan dapat menjadi motor penggerak ekonomi wilayah ini. Kabupaten Buru juga sebagai lumbung pangan diharapkan untuk segera membangun dan menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Diantara berbagai kebutuhan yang sangat penting dalam meningkatkan investasi adalah pembangunan dermaga Namlea, sarana jalan yang menghubungkan kota kabupaten dan kota kecamatan maupun desa. Dengan demikian penelitian tentang Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Potensi dan Kemampuan Lahan di Kabupaten Buru Provinsi Maluku perlu dilakukan. Perumusan Masalah Analisis fisik dan lingkungan telah banyak digunakan untuk mengenali karakteristik sumber daya alam di suatu wilayah atau kawasan. Analisis tersebut dapat dilakukan dengan menelaah kemampuan dan kesesuaian lahan. Tujuannya, agar penggunaan lahan dalam pengembangan wilayah dan/atau kawasan dapat berjalan secara optimal dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem (Nashiha et al., 2015). Pemerintah Kabupaten Buru dengan visinya masyarakat sejahtera dan demokratis yang berbasis pertanian, bermaksud mengembangkan perekonomian regionalnya berbasis sumberdaya alam dan agribisnis, yang pengembangannya akan lebih terfokus pada pendekatan wilayah dengan menetapkan kawasankawasan pengembangan terpilih yang akan dijadikan wilayah pusat pertumbuhan agribisnis. Rencana kebijakan ini dalam implementasinya akan melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam suatu kelompok usaha tani, dimana masyarakat disiapkan untuk merespon rencana dari setiap program pembangunan pertanian melalui pendekatan wilayah dengan menetapkan kawasan-kawasan
3
pengembangan dalam suatu permukiman yang lebih produktif guna meminimalisir kesenjangan antara kota dan desa. Model ini akan dikembangkan dengan sistem keterkaitan (linkage) dengan tujuan untuk memberikan arahan pengembangan yang optimal dalam mendukung perkembangan wilayah Kabupaten Buru baik dalam sistem keterkaitan internal (antar pusat-pusat kegiatan di dalam Kabupaten Buru) maupun sistem keterkaitan eksternal yang menghubungkan Kabupaten Buru dengan kawasan-kawasan lain disekitarnya. Pemanfaatan potensi sumber daya alam lokal merupakan modal dasar dan devisa utama bagi Kabupaten Buru untuk meningkatkan kontribusi penerimaan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat melalui optimalisasi potensi sumberdaya alam yang bertumpu pada basis ekonomi kerakyatan, mutlak menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Dengan ditetapkannya Kabupaten Buru sebagai lumbung pangan kawasan timur Indonesia di Provinsi Maluku sangatlah beralasan untuk dijadikan starting point dalam memacu akselerasi pertumbuhan ekonomi di Maluku. Hal ini karena selain Kabupaten Buru memiliki potensi lahan yang cukup luas juga memiliki letak yang sangat strategis dalam menghubungkan Provinsi Maluku dengan wilayah-wilayah sekitarnya baik secara eksternal maupun internal. Dari beberapa uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan untuk dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana kemampuan dan potensi lahan di Kabupaten Buru ? 1. Bagaimana keselarasan antara kemampuan lahan, penggunaan 2. lahan dan pola ruang di Kabupaten Buru ? 3. Jenis komoditas pertanian apa saja yang menjadi unggulan di wilayah Kabupaten Buru ? 4. Bagaimana arahan program pengembangan wilayah di Kabupaten Buru ? Tujuan Penelitian Untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis kemampuan dan potensi lahan di Kabupaten Buru. 2. Menganalisis keselarasan antara kemampuan lahan, penggunaan lahan dan pola ruang di Kabupaten Buru. 3. Mengetahui komoditas unggulan dari wilayah di Kabupaten Buru 4. Membuat arahan pengembangan wilayah di Kabupaten Buru. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan informasi dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah dalam upaya menyusun strategi untuk mengatasi disparitas pengembangan antar wilayah. 2. Sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah. 3. Sebagai bahan pembelajaran dan pengembangan perencanaan wilayah dengan isu sentralnya adalah disparitas antara wilayah di Kabupaten Buru Provinsi Maluku.
4
Kerangka Pemikiran Adapun kerangka pikir penelitian ini adalah seperti pada diagram alir berikut : Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Pertambahan jumlah penduduk
Kemampuan lahan
Pola Ruang RTRW
Perkembangan aktifitas sosial, ekonomi dan pembangunan infrastruktur
Potensi lahan
Penggunaan lahan aktual
Tidak selaras
Selaras
Arahan pengembangan wilayah berbasis kemampuan dan potensi lahan
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian
Ketimpangan pelayanan fasilitas
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya kedalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. Kemampuan lahan dipandang sebagai kapasitas lahan itu sendiri untuk suatu macam atau tingkat penggunaan umum. Kemampuan lahan adalah istilah yang sudah lebih dahulu dan lebih lama digunakan oleh US Soil Conservation Service, di dalam sistem klasifikasi yang telah banyak juga digunakan diberbagai negara baik dalam bentuk aslinya dengan delapan kelas atau dalam bentuk yang telah dirubah (Arsyad, 2006). Dalam sistem klasifikasi kemampuan lahan ini, lahan dikelompokkan kedalam tiga kategori utama yaitu kelas, subkelas dan satuan kemampuan atau satuan pengelolaan. Pengelompokan ke dalam kelas didasarkan pada intensitas faktor penghambat. Tanah dikelompokan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VIII. Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan tanah disajikan pada Gambar 2. Kelas Kemampuan Lahan
kelas
Cagar Alam
Intensitas dan Pilihan Penggunaan Meningkat Pengembalaan Hutan
Terbatas
Sedang
Intensif
Terbatas
Garapan Sedang
Intensif
Sangat Intensif
I Hambatan meningkat kesesuaian dan pilihan penggunaan lahan berkurang
II III IV V VI VII VIII
Gambar 2 Skema Hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan (Arsyad, 2006) Kelas Kemampuan I Lahan kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Lahannya datar, solumnya dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah dan responsif terhadap pemupukan. Lahan kelas I tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan, sehingga dapat digarap untuk usaha tani tanaman semusim dengan aman. Tindakan pemupukan dan usaha-usaha pemeliharaan struktur tanah yang baik diperlukan guna menjaga kesuburan dan mempertinggi produktifitas. Kelas Kemampuan II Lahan Kelas II mempunyai beberapa penghambat yang dapat mengurangi pilihan jenis tanaman yang diusahakan atau memerlukan usaha pengawetan tanah yang tingkatnya sedang, seperti pengolahan menurut kontur, pergiliran tanamandengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijau, pembuatan guludan, disamping tindakan-tindakan pemupukan. Faktor penghambat lahan kelas II adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat berikut: (1) lereng melandai, (2) kepekaan erosi atau erosi yang telah terjadi adalah sedang, (3) kedalaman tanah
6
agak kurang ideal, (4) struktur tanah agak kurang baik, (5) sedikit gangguan salinitas atau Na tetapi mudah diperbaiki, (6) kadang-kadang tergenang atau banjir, (7) drainase yang buruk mudah diperbaiki dengan saluran drainase, dan (8) iklim sedikit menghambat. Kelas Kemampuan III Lahan kelas III memunyai penghambat yang agak berat, yang mengurangi pilihan jenis tanaman yang dapat diusahakan, atau memerlukan usaha pengawetan tanah yang khusus, atau kedua-duanya. Tindakan pengawetan tanah yang perlu dilakukan antara lain adalah penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah dengan waktu untuk tanaman tersebut lebih lama, disamping usaha-usaha untuk memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah. Faktor penghambat lahan kelas III adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat berikut: (1) lereng agak curam, (2) kepekaan erosi agak tinggi atau erosi yang telah terjadi cukup berat, (3) sering tergenang banjir, (4) permeabilitas sangat lambat, (5) masih sering tergenang meskipun drainase telah diperbaiki, (6) dangkal, (7) daya menahan air rendah, (8) kesuburan tanah rendah dan tidak mudah diperbaiki, (9) salinitas kandungan Na sedang, (10) penghambat iklim sedang. Kelas Kemampuan IV Lahan kelas IV mempunyai penghambat yang berat yang membatasi pilihan tanaman yang dapat diusahakan, memerlukan pengelolaan yang sangat berhatihati, atau kedua-duanya. Penggunaan lahan kelas IV sangat terbatas karena salah satu atau kombinasi dari penghambat berikut: (1) lereng curam, (2) kepekaan erosi besar, (3) erosi yang terjadi berat, (4) tanah dangkal, (5) daya menahan air rendah, (6) sering tergenang banjir yang menimbulkan kerusakan pada tanaman, (7) drainase terhambat dan masih sering tergenang meskipun telah dibuat saluran drainase, (8) salinitas atau kandungan Na agak tinggi, (9) penghambat iklim sedang. Kelas Kemampuan V Lahan kelas V mempunyai sedikit atau tanpa bahaya erosi, tetapi mempunyai penghambat lain yang praktis sukar dihilangkan, sehingga dapat membatasi penggunaan lahan ini. Akibatnya lahan ini hanya cocok untuk tanaman rumput ternak secara permanen atau dihutankan. Lahan ini datar, akan tetapi mempunyai salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat berikut: (1) drainase yang sangat buruk atau terhambat, (2) sering kebanjiran, (3) berbatu-batu dan (4) penghambat iklim cukup besar. Kelas Kemampuan VI Lahan kelas VI mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian dan hanya untuk tanaman rumput ternak atau dihutankan. Penggunaan padang rumput harus dijaga agar rumputnya selalu menutup dengan baik. Lahan ini mempunyai penghambat yang sulit sekali diperbaiki, yaitu satu atau lebih sifat-sifat berikut: (1) lereng sangat curam, (2) bahaya erosi atau erosi yang telah terjadi sangat berat, (3) berbatu-batu, (4) dangkal, (5) drainase sangat buruk atau tergenang, (6) daya menahan air rendah, (7) salinitas atau kandungan Na tinggi, dan (9) penghambat iklim besar. Kelas Kemampuan VII Lahan kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk usaha tani tanaman semusim dan hanya untuk padang pengembalaan atau dihutankan. Faktor penghambatnya
7
lebih besar dari kelas VI, yaitu salah satu atau kombinasi sifat-sifat berikut: (1) lereng terjal, (2) erosi sangat berat, (3) tanah dangkal, (4) berbatu-batu, (5) drainase terhambat, (6) salinitas atau kandungan Na sangat tinggi, dan (7) iklim sangat menghambat. Kelas Kemampuan VIII Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk produksi pertanian, dan harus dibiarkan dalam keadaan alami atau dibawah vegetasi hutan. Lahan ini dapat digunakan untuk daerah rekreasi cagar alam atau hutan lindung. Penghambat tidak dapat diperbaiki lagi dari lahan ini adalah salah satu atau lebih sifat-sifat berikut: (1) erosi atau bahaya erosi sangat berat, (2) iklim sangat buruk, (3) tanah selalu tergenang, (4) berbatu-batu, (5) kapasitas menahan air sangat rendah, (6) salinitas atau kandungan Na sangat tinggi, (7) sangat terjal. Kemampuan Lahan dalam Tingkat Sub-kelas Sub kelas adalah pembagian lebih lanjut dari kelas berdasarkan faktor penghambat yang sama, Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan kedalam beberapa jenis, yaitu: bahaya erosi (e), genangan air (w), penghambat terhadap perakaran tanaman (s), dan iklim (c). Jenis-jenis faktor penghambat ini ditulis dibelakang angka kelas seperti berikut: IIIe, IIw, IVs, dan sebagainya, yang masing-masing menyatakan lahan kelas III disebabkan oleh faktor erosi (e), lahan kelas II yang disebabkan oleh faktor air (w) dan lahan kelas IV yang disebabkan oleh terhambatnya perakaran tanaman (s). Kemampuan Lahan dalam Tingkat Unit (Satuan Pengelolaan) Kemampuan lahan dalam tingkat unit memberi keterangan yang lebih spesifik dan detil daripada sub kelas. Lahan yang termasuk dalam suatu unit kemampuan lahan mempunyai kemampuan dan memerlukan cara pengelolaan yang sama untuk pertumbuhan tanaman. Lahan ini mempunyai sifat yang sama dalam hal: (a) kemampuan memproduksi tanaman pertanian dan rumput makanan ternak, (b) memerlukan tindakan-tidakan konservasi dan pengelolaan yang sama, (c) tanaman yang ditanam pada lahan tersebut dengan pengelolaan yang sama akan memberikan hasil yang kurang lebih sama. Dalam tingkat unit, kemampuan lahan diberi simbol dengan menambahkan angka-angka arab di belakang simbol sub kelas. Angka-angka menunjukkan besarnya tingkat dari faktor penghambat yang ditunjukkan dalam sub kelas, misalnya IIw-1, IIIe-3, IVs-3 dan sebagainya. Evaluasi Lahan Berbasis Kemampuan Lahan Perencanaan penggunaan lahan yang bersifat berkelanjutan tentunya mempertimbangkan kondisi fisik wilayah yang ada. Komoditas yang ingin di rencanakan harus sesuai dengan daya dukung dan daya tampung wilayahnya. Evaluasi sumberdaya lahan berbasis evaluasi lahan dan kemampuan lahan merupakan salah satu metode untuk menganalisis daya dukung lingkungan berdasarkan kondisi fisik lingkungan sekitar. Evaluasi sumber daya lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk menduga potensi sumber daya lahan untuk berbagai penggunaannya. Adapun kerangka dasar dari evaluasi sumber daya lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumber daya yang ada pada lahan tersebut (Sitorus, 2004).
8
Manfaat yang mendasar dari evaluasi sumber daya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu baik secara umum maupun spesifik serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan. Kegunaan terperinci dari evaluasi lahan sangat beragam ditinjau dari konteks fisik, ekonomi, sosial dan dari segi intensitas skala dari studi itu sendiri serta tujuannya. Evaluasi kesesuain lahan itu sendiri terdiri dari evauasi kemampuan lahan dan evaluasi kesesuaian lahan. Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan. Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini maka diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Klasifikasi kesesuaian lahan atau kemampuan lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaiannya atau kemampuannya untuk tujuan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Penetapan Komoditas Unggulan Setiap perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan pratikal yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat perkembangan wilayah (Rustiadi et al., 2009). Akan tetapi setiap wilayah agar bias berkembang harus mempunyai sektor keunggulan yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja tetapi lebih dari itu, yakni adanya inovasi (innovation). Dengan demikian paradigma baru pengembangan wilayah yang mengarah kepada pembentukan keunggulan daya saing perlu digali dan diterapkan di Indonesia. (Manajemen Teknologi untuk Pengembangan Wilayah, 2001). Beberapa konsep pengembangan wilayah berbasis sektor unggulan yang dapat diterapkan di suatu daerah, salah satunya adalah pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan. Konsep ini menekankan motor penggerak pembangunan suatu wilayah pada komoditas-komoditas yang dinilai bisa menjadi unggulan, baik ditingkat domestik maupun internasional (BPPT Deputi Pengkajian Kebijakan Teknologi, 2001). Konsep dan pengertian komoditas unggulan ini dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penawaran (supply) dan sisi permintaan (demand). Dilihat dari sisi penawaran, komoditas ungggulan merupakan komoditas yang paling superior dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi, dan kondisi sosial ekonomi petani suatu wilayah tertentu. Pengertian tersebut lebih dekat dengan pengertian locational advantages. Sedangkan dilihat dari sisi permintaan yang kuat baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional. Dengan pengertian tersebut maka komoditas unggulan bersifat dinamis baik dilihat dari sisi penawaran karena adanya perubahan teknologi maupun dilihat dari sisi permintaan karena ada pergeseran permintaan konsumen (Syafa’at dan Priyanto, 2000 dalam Setiawan, 2010) Penetapan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi era perdagangan bebas. Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, baik berdasarkan pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi,
9
kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budayasetempat) untuk dikembangkan di suatu wilayah (Badan Litbang Pertanian, 2003 dalam Sari, 2008). Tentunya pewilayahan komoditas unggulan ini harus berdasarkan daya dukung lahan komoditas tersebut. Pewilayahan komoditas pertanian sesuai dengan daya dukung lahan dimaksudkan agar produktivitas lahan yang diusahakan mencapai tingkat optimal. Dalam mendukung kegiatan agribisnis, pengertian produktivitas lahan ditujukan untuk suatu tipe penggunaan lahan (Land Utilization Types) baik secara campuran (multiple land utilization types) maupun individual (compound utilization types) mampu berproduksi optimal (Djaenudin et al., 2002). Selanjutnya Rustiadi et. al (2011) menambahkan bahwa adanya sistem pewilayahan komoditas diharapkan dapat meningkatkan efisiensi sistem produksi dan distribusi komoditas, karena pewilayahan komoditas pada dasarnya adalah suatu upaya memaksimalkan “comparative advantage” setiap wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2011), sektor ekonomi wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi di dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di wilayahnya sendiri dan kapasitas ekspor wilayah belum berkembang. Metode yang sering dipakai sebagai indikasi sektor basis adalah metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Analisis LQ merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Metode LQ juga dapat digunakan untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan bukan basis karena merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Suatu wilayah yang memiliki nilai koefisien LQ lebih dari satu untuk suatu kegiatan maka wilayah tersebut berpotensi ekspor sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi wilayahnya serta memiliki daya saing ekonomi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Analisis LQ juga memberikan gambaran mengenai sektor atau kegiatan ekonomi mana yang terkonsentrasi (memusat) dan yang tersebar. Tarigan (2008) menyatakan bahwa analisis LQ sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada, metode LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan kapasitas riil daerah tersebut. Variabel yang digunakan sebagai ukuran untuk menentukan potensi komoditas pertanian masing-masing land unit dalam analisis LQ adalah luas lahan yang digunakan untuk aktivitas pertanian lahan kering, aktivitas perkebunan, serta aktivitas pertanian lahan basah tahun 2013 dengan wilayah referensi Kabupaten Buru. Komoditas yang merupakan sektor basis adalah komoditas dengan nilai LQ > 1, yang menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di wilayah yang bersangkutan secara relatif dibandingkan dengan total wilayah yang lebih luas atau terjadi pemusatan aktifitas di wilayah yang bersangkutan.
10
Konsep Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan kontribusi pada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Sementara itu, pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berbicara tentang program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembangan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan dan keamanan. Istilah wilayah mengacu pada pengertian unit geografis, secara lebih jelasnya, Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya. Dengan demikian wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponennya memiliki arti didalam pendiskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Dari definisi tersebut terlihat bahwa tidak ada batasan spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningful” untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian maupun evaluasi. Dengan demikian batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah), sehingga istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional. Strategi Pembangunan Wilayah Ketidakseimbangan pembangunan inter-regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub-optimal, juga pada gilirannya menihilkan potensi-potensi pertumbuhan pembangunan secara agregat (makro) dan adanya interaksi pembangunan inter-regional yang sinergis (Rustiadi et al., 2004). Ada tiga strategi pengembangan wilayah: (a) Strategi dan Sisi Pasokan (Supply Side Strategy) Menyadari terjadinya ketidakseimbangan pembangunan inter-regional, pemerintah telah menyelenggarakan berbagai program-program pengembangan wilayah/kawasan. Pada awalnya, strategi program pengembangan kawasan lebih didasarkan atas strategi dan sisi pasokan (supply side strategy), yakni berupa program-program pengembangan kawasan yang didasarkan atas keunggulankeunggulan komparatif (comparative advantages) berupa peningkatan produksi dan produktifitas kawasan yang didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung (carrying capacity), kapabilitas (capability) dan kesesuaian (suitability) sumberdaya wilayah. Strategi pembangunan yang hanya dilakukan dari sisi pendekatan pasokan pada akhirnya akan terbatas akibat adanya keterbatasan (demand trap) dan sisi permintaan, baik secara domestik maupun dari luar
11
kawasan. Pada tahap awal strategi ini sebenarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan/produktivitas wilayah, tapi jika tanpa perencanaan yang matang bisa terjadi pengurasan sumberdaya wilayah secara berlebihan. Mungkin pada awalnya akan terjadi pertumbuhan wilayah tetapi pada jangka waktu yang lama yang terjadi justru kerusakan sumberdaya wilayah. Hal ini terutama jika yang diproduksi adalah sumberdaya yang tak terbaharukan. (b)Strategi Pengembangan Sisi Permintaan (Demand Side Strategy) Seperti dikatakan di atas jika strategi pembangunan lebih ditekankan pada sisi pendekatan pasokan, pada akhirnya akan terbatas karena adanya keterbatasan dari sisi permintaan. Untuk itu dalam perkembangan selanjutnya, strategi pembangunan kawasan juga haras dikembangkan atas dasar strategi pengembangan sisi permintaan (demand side strategy). Strategi ini dikembangkan melalui upaya mendorong tumbuhnya permintaan akan barang dan jasa secara domestik melalui upaya-upaya peningkatan kesejahteraan (peningkatan tingkat pendapatan, pendidikan, sosial budaya, dan lain-lain) masyarakat kawasan. (c) Strategi Keterkaitan (Linkages) Bisa terjadi suatu wilayah dan sisi pasokan relatif tinggi tetapi mempunyai keterbatasan dalam permintaan, atau sebaliknya dan sisi permintaan relatif tinggi tetapi terbatas akan sumber daya/pasokan. Keterbatasan dan kelebihan dari suatu wilayah seharusnya dapat dipertemukan sehingga perekonomian wilayah secara keseluruhan dapat meningkat. Untuk itu strategi yang ketiga adalah strategi keterkaitan (linkages). Strategi berbasis keterkaitan antar kawasan pada awalnya dapat diwujudkan dengan pengembangan keterkaitan fisik antar kawasan dengan membangun berbagai infrastruktur fisik, seperti jaringan transportasi jalan, pelabuhan, jaringan komunikasi dan lainnya yang dapat menciptakan keterkaitan yang sinergis (saling memperkuat) antar kawasan. Tetapi keterkaitan fisik saja tidak cukup, harus disertai dengan pengembangan keterkaitan yang sinergis yang lebih luas, yakni dengan disertai kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan yang sinergis antar kawasan. Pengembangan keterkaitan yang tidak tepat sasaran dapat mendorong backwash yang lebih massif yang pada akhirnya justru memperparah kesenjangan dan ketidakberimbangan pembangunan inter-regional. Oleh karena itu keterkaitan inter-regional yang diharapkan adalah bentuk-bentuk keterkaitan yang sinergis atau yang saling memperkuat, bukan memperlemah. Sejalan dengan teori tersebut, Lorenzo-Alvarez dalam Mahbubah, 2008 mengemukakan bahwa kebijakan pembangunan pemerintah yang mendorong wilayah miskin dalam rangka menyetarakan standar hidup dengan wilayah maju, maka pemerintah dapat menggunakan tiga instrumen utama berikut : (i) Desentralisasi keuangan, (ii) Perbaikan sistem perdagangan dan (iii) Penyediaan infrastruktur yang tepat. Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2003) bahwa konsep pembangunan dalam hubungannya dengan suatu daerah tidak pernah lepas dari konsep perencanaan pembangunan daerah, yang dapat didefinisikan sebagai suatu proses perencanaan yang bertujuan untuk melakukan pembangunan ke arah perkembangan yang lebih baik bagi komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungan dalam wilayah daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi berpegang teguh pada asas prioritas.
12
3 METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Januari-April 2015. Adapun lokasi penelitian ini terletak pada Kabupaten Buru Provinsi Maluku (Gambar 3). Kabupaten Buru secara geografis terletak di antara 2025’ - 3055’ Lintang Selatan dan 125070’ - 127021’ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Buru 7,595.58 km2 (69.42% luas Pulau Buru) dengan batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Seram - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buru Selatan - Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Buru - Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Manipa
Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data Jenis data terdiri atas data sekunder yang dikumpulkan melalui literatur dari dinas/badan/lembaga terkait seperti BPS, Bappeda, dokumen-dokumen perencanaan yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Buru Provinsi Maluku dan lainnya, serta perpustakaan. Jenis data yang dikumpulkan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Metode Analisis Data Analisis Kemampuan dan Potensi Lahan Analisis kemampuan lahan dihasilkan dari evaluasi peta sistem lahan dan peta lereng sehingga menghasilkan peta kemampuan lahan Kabupaten Buru. Sistem klasifikasi kemampuan lahan mengacu pada sistem yang digunakan Amerika Serikat (United States Departement of Agriculture). Pengelompokan kelas kemampuan lahan dalam sistem tersebut dilakukan secara kualitatif dan merupakan pendekatan pertama dari pendekatan dua tahap (FAO, 1976). Sistem ini mengenal tiga kategori, yaitu kelas, sub-kelas dan unit. Penggolongan kedalam
13
kelas, sub-kelas dan unit didasarkan atas kemampuan lahan tersebut memproduksi komoditas pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Dalam sistem ini sifat kimia tanah tidak digunakan sebagai pembeda karena sifat kimia tanah sangat mudah berubah, sehingga kurang relevan untuk digunakan. Sifat-sifat tanah/lahan yang digunakan sebagai pembeda hanyalah sifat-sifat fisik/morfologi tanah yang dapat dapat diamati di lapangan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Evaluasi Kemampuan lahan pada dasarnya merupakan evaluasi potensi sumberdaya lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas yang tidak membicarakan peruntukan jenis tanaman tertentu ataupun tindakan-tindakan pengelolaannya. Klasifikasi kemampuan lahan yang dianalisis adalah klasifikasi kemampuan lahan dalam tingkat kelas dan sub kelas. Terdapat beberapa parameter yang digunakan dalam analisis yaitu kemiringan lereng, drainase tanah, tingkat erosi dan kepekaan erosi, tekstur tanah serta kedalaman tanah. Indikator untuk menilai kelas kemampuan lahan antara lain: (1) tekstur, (2) lereng permukaan, (3) drainase, (4) kepekaan erosi tanah. Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kelas kemampuan pada tingkat sub kelas mengikuti Arsyad (2010) (Lampiran 1). Data yang digunakan adalah peta sistem lahan yang telah melalui proses pendetilan dengan menambahkan data sekunder, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dan DEM Kabupaten Buru. Faktor penghambat tekstur, drainase, dan kepekaan erosi tanah diperoleh dari peta sistem lahan. Pengkelasan kelerengan diperoleh dari DEM dengan melakukan re-kelas sesuai dengan kelas yang ada pada lampiran 1. Proses selanjutnya adalah semua peta ditumpangtindihkan sehingga menghasilkan poligon-poligon yang lebih detail, diperoleh dari perpotongan dari poligon-poligon dari peta faktor penghambat. Setiap poligon detail tersebut disebut satuan lahan homogen yang memiliki nilai tekstur, drainase, lereng permukaan dan kepekaan erosi tanah. Contoh matriks sub kelas kemampuan lahan pada satuan lahan homogen sebagaimana disajikan pada lampiran 2. Berdasarkan nilai tersebut setiap poligon ditetapkan kelas kemampuan dan sub kelas kemampuan lahannya. Hasil analisis kemampuan lahan kemudian dipakai untuk menganalisis potensi lahan dengan cara peta tersebut ditumpangtindihkan dengan peta penggunaan lahan yang dapat dimanfaatkan (semak belukar, semak belukar rawa, lahan terbuka) untuk pengembangan pertanian di Kabupaten Buru. Analisis Keterkaitan Kelas Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Analisis keterkaitan antara kelas kemampuan lahan, penggunaan lahan dan pola ruang menggunakan matriks keselarasan yang dihasilkan dari tumpang tindih antara ketiga variabel tersebut. Keterkaitan antara kelas kemampuan lahan, penggunaan lahan dan pola ruang dikelaskan dalam dua kategori : selaras dan tidak selaras. Penggunaan lahan yang diperbolehkan mengacu pada Klingebiel dan Montgomery (1961) dan Fenton (2014) dalam Widiatmaka et al., (2015), disajikan pada Tabel 1.
14
Tabel 1 Kriteria Penggunaan Lahan yang Diperkenankan Pada Setiap Kelas Kemampuan Lahan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kemampuan lahan I II III IV V VI VII VIII
Penggunaan lahan yang diperkenankan Semua jenis penggunaan lahan Semua jenis penggunaan lahan kecuali Psi Semua jenis penggunaan lahan kecuali Psi dan Pi (hanya Psd) Pt, semua jenis penggembalaan, semua jenis hutan Semua jenis penggembalaan (Pgi, Pgsd, Pgt), semua jenis hutan Pgsd, Pgt, semua jenis hutan Pgt, hutan Cagar alam dan hutan lindung
Sumber : Klingebiel dan Montgomery (1961, diringkas) dan Fenton (2014), dalam Widiatmaka et al., (2015). Keterangan: Psi: Pertanian sangat intensif; Pi: Pertanian intensif; Psd: Pertanian intensitas sedang; Pt: Pertanian terbatas; Pgi: Penggembalaan intensif; Pgsd: Penggembalaan sedang; Pgt: Penggembalaan terbatas Terdapat empat evaluasi keselarasan lahan yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu: 1) Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan, evaluasi ini bertujuan untuk melihat keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap kelas kemampuan lahan di Kabupaten Buru. Hal ini dilakukan dengan cara menumpangtindihkan peta penggunaan lahan aktual dengan peta kemampuan lahan. Semakin besar ketidakselarasan maka semakin besar pula penyimpangan penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan. 2) Evaluasi keselarasan pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan, evaluasi ini bertujuan untuk melihat keselarasan pola ruang RTRW terhadap kelas kemampuan lahan di Kabupaten Buru. Hal ini dilakukan dengan cara menumpangtindihkan peta pola ruang RTRW dengan peta kemampuan lahan. Semakin besar ketidakselarasan maka semakin besar pula penyimpangan pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan. 3) Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap pola ruang RTRW, evaluasi ini bertujuan untuk melihat tingkat konsistensi antara rencana pola ruang RTRW dengan penggunaan lahan aktual. Selain itu dapat dinilai kemungkinan diterapkannya pola ruang berdasarkan kondisi penggunaan lahan aktual. 4) Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual dan pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan, evaluasi ini bertujuan untuk melihat interaksi kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual dan pola ruang RTRW. Hasil evaluasi ini kemudian digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam menyusun arahan pengembangan wilayah. Evaluasi keselarasan lahan terbagi atas dua kondisi keselarasan yaitu: 1) selaras (S) dan tidak selaras (TS). Penilaian keselarasan ini dilakukan melalui tabel penilaian keselarasan (Lampiran 3). Komoditas Pertanian Unggulan Wilayah Location Quotient (LQ) Identifikasi sektor unggulan di wilayah Kabupaten Buru dilakukan dengan pendekatan sektor basis. Sektor basis didefinisikan sebagai sektor di wilayah tertentu yang mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh
15
wilayah lain di pasar nasional atau domestik. Identifikasi sektor basis didekati dengan menggunakan metode indeks Location Quotient (LQ). Secara umum metode ini digunakan untuk menunjukan lokasi pemusatan/basis suatu aktifitas dan dapat mengidentifikasi sektor unggulan atau keunggulan komparatif suatu wilayah. Location Quontient (LQ) merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktifitas tertentu dengan pangsa total aktifitas tersebut dalam total aktifitas wilayah. Asumsi yang digunakan adalah (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam dan (3) setiap aktifitas menghasilkan produk yang sama. Persamaan dari LQ adalah: 𝑋𝑖𝑗 / X𝑖 . LQij = X 𝑗 / X.. Dimana: LQij : Location Quotien Xij : adalah nilai indikator luas panen/luas tanam/produksi komoditas ke-j pada wilayah kecamatan ke-i Xi : adalah jumlah seluruh indikator aktifitas luas panen/luas tanam/produksi komoditas di wilayah kecamatan ke-i Xj : adalah jumlah indikator aktifitas luas panen/ luas tanam/produksi komoditas ke-j diseluruh wilayah, dan : adalah penjumlahan nilai indikator seluruh aktifitas luas panen/ luas X. tanam/produksi komoditas diseluruh wilayah Interpretasi dari hasil analisis pembagian lokasi tersebut adalah sebagai berikut: - Jika nilai LQij > 1, maka kondisi tersebut menunjukkan terjadinya konsentrasi aktifitas luas panen/ luas tanam/produksi komoditas ke-j di sub wilayah kecamatan ke-i atau terjadi pemusatan aktifitas ke-j di sub wilayah ke-i. Dapat juga diartikan bahwa wilayah ke-i berpotensi untuk mengekspor produk aktifitas ke-j ke wilayah lain - Jika nilai LQij = 1, maka kecamatan ke-i tersebut mempunyai pangsa aktivitas ke-j yang setara dengan pangsa sektor ke-j diseluruh wilayah. Atau dapat diarikan bahwa produk atau pertukaran produk perdagangan hanya terjadi dalam wilayah. Secara relatif wilayah i hanya mampu memenuhi kebutuhan internalnya tanpa bisa mengekspor ke wilayah lain. - Jika nilai LQij < 1, maka sub wilayah ke-i mempunyai pangsa relatif kecil dibandingkan dengan pangsa aktifitas ke-j diseluruh wilayah atau pangsa pasar relatif ke-j diwilayah ke-i lebih rendah dari rataan aktifitas ke-j diseluruh wilayah. Dalam analisis ini, dari nilai LQ yang diperoleh akan diketahui komoditas yang merupakan komoditas unggulan tiap kecamatan di Kabupaten Buru. Asumsi yang digunakan dalam menghitung komoditas unggulan di suatu wilayah adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi (Rustiadi dan Panuju, 2012. Shift Share Analysis Shift Share Analysis (SSA) merupakan salah satu teknik analisis untuk melihat potensi produksi sektoral dari suatu kawasan/wilayah tertentu dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil SSA juga menjelaskan
16
kemampuan berkompetisi aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas (Rustiadi dan Panuju, 2012). Dari hasil analisis SSA akan diperoleh gambaran kinerja aktifitas Kabupaten Buru, yang dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis berikut: a. Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah di Kabupaten Buru pada dua titik waktu yang menunjukan dinamika total wilayah tersebut. b. Komponen Pergeseran Proporsional (komponen Proportional Shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam Kabupaten Buru yang menunjukan dinamika sektor/aktivitas total dalam Kabupaten Buru. c. Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift). Komponen ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam Kabupaten Buru. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketidakunggulan) suatu sektor tertentu di kabupaten/kota tertentu terhadap sektor tersebut di kabupaten/kota lain. Persamaan Shift Share Analysis adalah sebagai berikut: 𝑋𝑖𝑗 (𝑡1 ) 𝑋𝑖 (𝑡1 ) 𝑋.. (𝑡1 ) 𝑋𝑖 (𝑡1 ) 𝑋.. (𝑡1 ) 𝑆𝑆𝐴 = ( − 1) + ( )+( ) 𝑋𝑖𝑗 (𝑡0 ) 𝑋𝑖 (𝑡0 ) 𝑋.. (𝑡0 ) 𝑋𝑖 (𝑡0 ) 𝑋.. (𝑡0 ) (a) (b) (c) Dimana : a = komponen share b. = komponen Proportional shift c = komponen differential shift X.. = nilai total sektor dalam X.i = nilai total sektor tertentu dalam Xij = nilai sektor tertentu dalam kabupaten/kota ke-i t1 = tahun akhir t0 = tahun awal Arahan Pengembangan Wilayah Arahan pengembangan wilayah ini diharapkan menjadi saran perbaikan untuk pengembangan wilayah di Kabupaten Buru kedepan. Rumusan arahan ini dilakukan secara deskriptif dengan mempertimbangkan analisis sebelumnya dan analisis ketimpangan pelayanan fasilitas (pendidikan, kesehatan dan jalan). Proses penyusunan arahan pengembangan wilayah ini dilakukan dengan menggunakan peta keselarasan pada analisis sebelumnya dengan mempertimbangkan kelas kemampuan lahan dan penggunaan lahan yang ada. Untuk analisis ketimpangan pelayanan fasilitas digunakan untuk menentukan program pembangunan yang mendukung aktifitas masyarakat di Kabupaten Buru
17
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH Kondisi Geografi Pulau Buru (9,599 km ), panjang (140 km) dan lebar (90 km) dengan puncak bukit/gunung tertingginya adalah Kan Palatmada (2,429 m). Terdapat 3 (tiga) blok pegunungan yang masing-masing dipisahkan oleh struktur kelurusan lembah. Pada bagian barat tapak Kan Palatmada dengan ketinggian diatas 2000 m,dimana dibatasi oleh lembah depresi Sungai Nibe - Danau Rana dan Sungai Wala. Pada blok tengah dengan ketinggian diatas 1000 m yang dibentuk oleh Teluk Kayeli dan Lembah Apu, Blok selatan dibentuk oleh Lembah Kalua dengan gunung Batabual (1,731 m). Keberadaanya di antara tiga kota penting di Indonesia Timur (Makasar, Manado/Bitung dan Ambon) dan dilalui Sea Line III, telah menempatkan Kabupaten Buru pada posisi yang strategis. Kabupaten Buru mempunyai luas sekitar 7,594.98 Km². Sebagian besar wilayahnya berada pada pulau Buru. Bila ditinjau dari luasnya menurut kecamatan, maka kecamatan terbesar adalah Kecamatan Air Buaya (4,534 Km² atau 59.70 % dari luas kabupaten), kemudian diikuti oleh Kecamatan Waeapo (1,232 Km² atau 16.22 % dari luas kabupaten) dan terkecil terdapat pada Kecamatan Bata Bual (292.60 Km² atau 3.85 % dari luas kabupaten), lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2. 2
Tabel 2 Luas Daerah Kecamatan Terhadap Luas Kabupaten Buru. Luas Area Persentase terhadap Kecamatan (km2) luas kabupaten Namlea 951.15 12.52 Waeapo 1232.60 16.23 Waplau 585.23 7.70 Batabual 292.60 3.85 Air Buaya 4534.00 59.69 Sumber. Buru dalam angka, 2013 Kondisi Fisografi dan Topografi Wilayah Bentuk wilayah Kabupaten Buru dikelompokkan berdasarkan pendekatan fisiografi (makro relief), yaitu dataran, pantai, perbukitan dan pegunungan termasuk di dalamnya dataran tinggi (plateau / pedmont) dengan kelerengan yang bervariasi. Kabupaten Buru didominasi oleh kawasan pegunungan dengan elevasi rendah berlereng agak curam dengan kemiringan lereng > 40 % yang meliputi luas 15.43% dari keseluruhan luas daerah ini. Jenis kelerengan lain yang mendominasi kawasan ini adalah elevasi rendah berlereng bergelombang dan agak curam serta elevasi sedang berlereng bergelombang dan agak curam dengan penyebaran lereng di bagian Utara dan Barat rata-rata berlereng curam terutama di sekitar Gunung Kepala Madan. Sedangkan di bagian Timur terutama di sekitar Sungai Waeapo merupakan daerah elevasi rendah dengan jenis lereng landai sampai agak curam. Klimatologi Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Secara umum, desa-desa di kabupaten Buru merupakan desa pesisir sehingga memiliki suhu
18
udara yang relatif tinggi. Pada tahun 2012, suhu udara berkisar antara 21.20°C sampai 33.60°C. Suhu udara maksimum terdapat pada bulan September 2012 (33.60°C), sedangkan suhu udara minimum terdapat pada bulan Juni (21.20°C). Kabupaten Buru mempunyai kelembaban udara relatif tinggi dengan ratarata berkisar antara 81.2 %. Suhu minimum dan maksimum, serta kelembaban udara rata-rata pada tahun 2012. Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan topografi, dan perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu, jumlah curah hujan beragam menurut bulan. Rata-rata curah hujan selama tahun 2012 berkisar antara 10.00 mm (bulan November) sampai 348.0 mm (bulan Juli). Pada tahun 2012, rata-rata kecepatan angin per bulan di kabupaten Buru berkisar antara 3 hingga 25 knot. Kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Agustus sebesar 25 knot Geologi Kondisi Geologi di Kabupaten Buru adalah sebagai berikut : (1). Satuan Litostratigrafi Kabupaten Buru disusun oleh Batuan Metamorfosa/malihan, yang dituutp oleh batuan sedimen baik selaras maupun tidak selaras di atasnya, sertabatuan terobosan/intrusi yang memotong batuan metamorfosa dan batuan sedimen` diatasnya. (2). Struktur Geologi Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa batuan tertua di Pulau Buru adalah Kompleks, metamorfosa/malihan regional dinamotermal yang berumur Pra Tersier (Permo). Poros Lipatan (antiklin dan sinklin) yangberarah Barat laut – Tenggara menunjukkan bahwa tekanan gaya Kompressoal berasal dari Timur laut – Barta daya untuk batuan yang berumur Pra Tersier. Kemudian pda tersier pola arah umum perlipatan menjadi Timur – Barat, yang berarti bahwa arah gaya Kompressional berarah Utara – Selatan, hal ini menunjukkan adanya rotasi dari Pra Tersier ke Tersier. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan juga. Hal ini dikarenakan dengan di identifikasinya penggunaan lahan, maka dapat diketahui potensi lahan yang akan dikembangkan untuk komoditas unggulan pertanian. Adapun penggunaan lahan yang ada di Kabupaten Buru dapat dilihat pada Gambar 4. Penggunaan lahan di Kabupaten Buru terdiri dari hutan mangrove, hutan primer, hutan sekunder, kawasan transmigran, kebun campuran, lahan terbuka, padang rumput, perkebunan, pertanian lahan kering, sawah, semak belukar, rawa, permukiman/lahan terbangun, semak belukar rawa, tubuh air dan bandara/pelabuhan. Kawasan yang paling luas adalah semak belukar dengan luas 167.399,13 ha atau 34,57 % dari total luas wilayah Kabupaten Buru, sedangkan untuk kawasan yang paling kecil adalah kawasan rawa dengan luas hanya 7,96 ha atau 0,002 %. Untuk sebaran luas dari keseluruhan penggunaan lahan yang ada di Kabupaten Buru dapat dilihat pada Tabel 3.
19
Gambar 4 Penggunaan Lahan Kabupaten Buru Tabel 3 Sebaran Luas Penggunaan Lahan Wilayah Kabupaten Buru 2013 Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%) Hutan Primer 63,657 13.15 Hutan Sekunder 150,692 31.12 Semak Belukar 167,399 34.57 Perkebunan 293 0.06 Pemukiman/Lahan Terbangun 1,382 0.29 Lahan Terbuka 3,020 0.62 Padang Rumput 46,951 9.70 Tubuh Air 1,362 0.28 Hutan Mangrover 5,650 1.17 Semak Belukar Rawa 9,899 2.04 Pertanian Lahan Kering 20,946 4.33 Kebun Campuran 3,712 0.77 Sawah 5,438 1.12 Bandara dan Pelabuhan 79 0.02 Pemukiman Transmigrasi 3,728 0.77 Rawa 7 0.00 Total 484.223 100 Sumber : Peta penggunaan lahan Kabupaten Buru, 2013 Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kependudukan Penduduk Kabupaten Buru pada tahun 2012, terhitung jumlah penduduk sebesar 115,004 jiwa, dimana 58,036 jiwa berjenis kelamin laki- laki dan 56,968
20
jiwa perempuan. Penyebaran penduduk kabupaten Buru kurang merata. Hal ini terlihat dari angka kepadatan penduduk yang berbeda secara signifikan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Daerah yang terpadat penduduknya adalah kecamatan Namlea (Tabel 4). Tabel 4 Distribusi Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Buru Kecamatan
Persentase penduduk
Kepadatan penduduk per km2
Namlea 34.31 Waeapo 32.25 Waplau 8.99 Batabual 6.78 Air Buaya 17.67 Sumber : Buru Dalam Angka, 2013
41.49 30.12 34.29 26.67 4.48
Dataran Waeapo pada awal '70-an menjadi salah satu tempat pemukiman bagi para Tapol/Napol kasus G30S. Dan kemudian pada awal '80-an mulai dibuka untuk unit-unit pemukiman transmigrasi dan sampai sekarang menjadi lumbung padi untuk Pulau Buru. Perkembangan desa yang menjadi pemukiman transmigran di Kabupaten Buru dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Penduduk Unit Transmigrasi di Kecamatan Waeapo Kabupaten Buru Nama Desa Desa Waenatat (Ex. Unit A) Desa Waegeren (Ex. Unit B) Desa Waetele (ex. Unit C) Desa Waekasar (Ex. Unit D) Desa Parbulu (Ex. Unit E) Desa Debowae (Ex. Unit F) Desa Waetina (Ex. Unit G) Desa Waetina (ex. Unit H) Desa Grandeng (Ex. Unit I) Desa Waeleman (Ex. Unit J) Desa Waeflan (Ex. Unit K) Desa Wabloy (Ex. Unit N SP 1) Desa Kubalahin (Ex. Unit SP 2) Desa Awilinan (Ex. UPT A Karamat) UPT. M. Debowae (Wamsait)
Tahun Penempatan 1978/1980 1978/1980 1981/1981 1981/1982 1981/1982 1981/1982 1982/1983 1982/1983 1982/1983 1982/1983 1995/1996 1999/2000 1999/2000 1998/1999
Jumlah KK 675 606 375 417 412 418 408 408 323 320 225 240 475 484
Keterangan Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Sudah Diserahkan Ke PemKab Buru Masih Dibina
Sumber : Buru Dalam Angka, 2013 Ketenagakerjaan Berdasarkan data hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2012 terlihat bahwa jumlah angkatan kerja di kabupaten Buru sebesar 47,103 jiwa, dimana 46,148 jiwa tergolong aktif dalam kegiatan ekonomi (bekerja) atau sekitar 97.97 %. Dengan demikian, angkatan kerja kabupaten Buru yang belum terserap pasar kerja tahun 2012 sebesar 955 jiwa. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.
21
Tabel 6 Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas Menurut Jenis Kegiatan Utama dan Jenis Kelamin di Kabupaten Buru Jenis Kegiatan Utama Laki-laki Perempuan Jumlah I. Angkatan Kerja 30,734 16,369 47,103 1. Bekerja 30,247 15901 46,148 2. Pengangguran 487 468 955 II. Bukan Angkatan Kerja (Sekolah, Mengurus 5,932 18,992 24,924 Rumah Tangga, dan Lainnya Total 36,666 35,361 72,027 Sumber : Buru Dalam Angka, 2013 Sosial Pendidikan Salah satu faktor pendukung keberhasilan pembangunan di suatu daerah adalah adanya sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui jalur pendidikan, pemerintah berupaya untuk menghasilkan dan meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia sekarang ini lebih diutamakan dengan memberikan kesempatan kepada penduduk untuk mengecap pendidikan yang seluas-luasnya, terutama penduduk pada kelompok umur 7 sampai 24 tahun yaitu kelompok usia sekolah. Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun mengumpulkan data mengenai pendidikan, salah satunya melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Beberapa informasi tentang pendidikan yang dikumpulkan dalam Susenas antara lain mengenai penduduk usia sekolah (7–24 tahun), kemampuan baca-tulis, dan status sekolah seperti yang disajikan pada Tabel 7, Tabel 8 dan Tabel 9. Tabel 7 Penduduk Usia 7 sampai 24 Tahun yang Masih Sekolah Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Buru Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Laki + Perempuan 7 – 12 97.56 97.37 97.47 13 – 15 85.87 86.12 86.12 16 – 18 78.31 60.84 60.84 19 – 24 18.80 17.25 17.25 Sumber : Buru Dalam Angka, 2013 Tabel 8 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke atas Menurut Kemampuan Membaca dan Menulis di Kabupaten Buru Kemampuan Baca Tulis Laki-laki Perempuan Laki + Perempuan 46.13 44.43 45.30 Huruf Latin 0.46 0.24 0.35 Huruf Lainnya 47.28 43.14 45.26 Huruf Latin + Lainnya 6.13 12.19 9.09 Tidak Bisa Baca Tulis 100.00 100.00 100.00 Total Sumber : Buru Dalam Angka, 2013
22
Tabel 9 Persentase Penduduk Berumur 7 sampai 24 Tahun Menurut Jenis Kelamin dan Partisipasi Sekolah di Kabupaten Buru Tidak/Belum Tidak Sekolah Jenis Kelamin Masih Sekolah Pernah Sekolah Lagi Laki-laki 5.55 17.85 27.87 Perempuan 7.46 15.22 26.05 Total 13.01 33.07 53.92 Sumber : Buru Dalam Angka, 2013 Kemiskinan dan keterisolasian masih merupakan kendala utama dalam dunia pendidikan. Masyarakat masih lebih mementingkan kebutuhan untuk konsumsi makanan dibandingkan pendidikan apalagi jika untuk memperoleh fasilitas pendidikan dibutuhkan biaya yang tinggi dan akses transportasi yang sulit dijangkau. Tak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan fasilitas pendidikan yang mudah dijangkau baik dari segi jarak maupun biaya sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan penduduk suatu daerah. Sebaran fasilitas pendidikan di Kabupaten Buru dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah Fasilitas Pendidikan Menurut Kecamatan di Kabupaten Buru, 2012 Kecamatan TK SD/MI SLTP/MTs SMA/MA/SMK Namlea 13 25 10 7 Waeapo 11 56 14 6 Waplau 4 16 5 2 Batabual 10 7 2 Air Buaya 4 35 10 3 Total 32 142 46 20 Sumber : Buru Dalam Angka, 2013 Kesehatan Faktor kesehatan menjadi satu dari tiga indikator penting penunjang pembangunan manusia karena tingkat produktivitas manusia secara langsung dapat tergali secara optimal apabila daya tahan tubuhnya sedang maksimal. Hal ini berarti pada saat seseorang sehat, aktivitas seperti bekerja, bersekolah, mengurus rumah tangga, berolahraga, maupun aktivitas lainnya dapat dilaksanakan dengan lebih baik dibandingkan saat kondisi tubuhnya sedang sakit. Ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Sejalan dengan itu, dari tahun ke tahun pemerintah membangun sarana kesehatan yang dilengkapi dengan fasilitas dan tenaga kesehatan yang diperlukan. Tabel 11 memperlihatkan penyebaran fasilitas dan tenaga kesehatan di Kabupaten Buru. Terlihat bahwa rumah sakit yang ada di Kabupaten Buru hanya satu buah dan terletak di ibu kota kabupaten, yaitu di Kecamatan Namlea. Oleh karena itu, Puskesmas maupun Puskesmas Pembantu sangat berperan dalam melayani penduduk yang berada di kecamatan-kecamatan lain. Selain rumah sakit yang hanya terletak di Kecamatan Namlea hal ini juga terlihat pada jumlah tenaga kesehatan daam hal ini dokter yang hanya ada di Ibukota Kabupaten Buru.
23
Tabel 11 Jumlah Fasilitas dan Tenaga Kesehatan di Kabupaten Buru
1
Puske smas (Inap) 0
Pus kes mas 2
Waeapo
0
1
Waplau
0
0
Batabual
0
Air Buaya Total
Pus tu
Dokter Ahli
Dokter Umum
Dokter Gigi
Bidan
3
3
8
1
44
126
2
3
19
0
0
0
25
58
0
1
7
0
0
0
5
11
0
1
0
4
0
0
0
3
6
0
0
1
1
10
0
0
0
8
27
0
1
3
7
43
3
8
1
85
228
2
Kecamatan
RS
Namlea
Perawat Umum
Sumber : Kabupaten Buru dalam angka, 2013 Gambaran Sektor Pertanian Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia umumnya dan kabupaten Buru pada khususnya. Peranan sektor pertanian ini dapat dilihat dari kontribusinya pada PDRB Kabupaten Buru yaitu sebesar 44.61 % di tahun 2012, dengan penyerapan tenaga kerja yang relatif cukup besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Selain itu, Kabupaten Buru dijadikan lumbung hasil pertanian di Provinsi Maluku. Tanaman Pangan Sub sektor tanaman pangan merupakan salah satu sub sektor pada sektor pertanian. Sektor ini mencakup tanaman padi (padi sawah dan padi ladang), jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang kedelai. Luas panen padi sawah di tahun 2012 mencapai 10,425.00 ha dengan produksi mencapai 48,168.5 ton gabah kering giling produksi ini mengalami penurunan daripada tahun sebelumnya yaitu 2011 sebanyak 52,500 ton gabah kering giling. Data lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 5. 54000,00
52500,00
Produksi (ton)
52000,00 50000,00 48168,50 48000,00 46386,18 46000,00
45620,40
44000,00 42000,00 2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 5 Produksi Padi Sawah Kabupaten Buru Tahun 2009 - 2012 Produksi sayur di Kabupaten Buru terdiri dari cabai, bawang merah, tomat, bayam, kubis, kangkung, labu siam, terong, kacang panjang, dan buncis. Pada tahun 2012 luas panen cabai 88.89 ha, bawang merah 40.94 ha, tomat 107.67 ha.
Perawat Gigi
24
Untuk lebih lengkapnya, hasil panen tanaman sayur-sayuran dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 12 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan di Kabupaten Buru Produksi Produktivitas Jenis Tanaman Luas Panen (ha) (ton) (kw/ha) Padi sawah 10,425 48,168.50 46.20 Padi Ladang 252.00 575.60 23.83 Jagung 282.95 643.02 22.72 Ubi Kayu 495.20 6,424.73 129.74 Ubi Jalar 178.40 1,429.29 80.40 Kacang Tanah 168.75 304.29 13.76 Kacang Hijau 75.40 103.29 13.76 Kacang Kedelai 68.50 88.21 12.87 Sumber : Kabupaten Buru dalam angka, 2013 Tabel 13 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Sayuran di Kabupaten Buru Produksi Produktivitas Jenis Tanaman Luas Panen (ha) (ton) (kw/ha) Cabai 88.89 204.46 24.48 Bawang Merah 40.94 125.02 30.54 Tomat 107.67 314.52 29.21 Bayam 34.53 34.06 10.27 Kol-Kubis 25.96 131.73 52.00 Kangkung 51.54 183.5 35.96 Labu Siam 32.71 104.09 31.67 Terong 78.73 233.07 29.48 Kacang Panjang 67.57 199.05 29.48 Buncis 77.94 227.08 29.28 Sumber : Kabupaten Buru dalam angka, 2013 Tabel 14 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Buah di Kabupaten Buru Produksi Produktivitas Jenis Tanaman Luas Panen (ha) (ton) (kw/ha) Alpokat 23.40 22.78 10.82 Mangga 93.73 249.26 26.59 Nangka 57.75 183.87 31.84 Durian 61.75 264.67 42.86 Jeruk 42.93 71.03 16.55 Pepaya 25.31 39.73 15.7 Rambutan 14.07 43.87 31.18 Pisang 232.54 694.88 29.88 Sumber : Kabupaten Buru dalam angka, 2013 Produksi buah di kabupaten Buru terdiri dari alpokat, mangga, nangka, durian, jeruk, pepaya, rambutan, dan pisang disajikan pada Tabel 14. Produksi
25
buah terbanyak yang dihasilkan di kabupaten Buru adalah pisang yaitu mencapai 694.88 ton, diikuti kemudian oleh durian dan mangga masing-masing mencapai 264.67 ton dan 249.26 ton. Perkebunan Rakyat Produksi cengkih, kelapa, coklat, dan jambu mete masih mendominasi di kabupaten Buru. Data lebih rinci disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan di Kabupaten Buru Produksi Produktivitas Jenis Tanaman Luas Panen (ha) (ton) (kw/ha) Kelapa 4,494.20 2,977.90 11.80 Kopi 129.43 95.85 9.03 Kakao 6,882.90 4858.00 10.44 Jambu Mete 1,217.33 815.68 10.28 Cengkih 1,194.34 857.84 11.67 Pala 342.07 124.99 9.50 Sumber : Kabupaten Buru dalam angka, 2013 Kehutanan Menurut fungsinya, hutan dibagi menjadi kawasan lindung, kawasan budidaya, dan areal penggunaan lain. Luas kawasan lindung sampai dengan tahun 2012 sebesar 106,580.53 ha. Luas kawasan budidaya mencapai 352,002.63 ha yang terdiri dari hutan produksi terbatas sebesar 111,279.28 ha, hutan produksi tetap 106.895,66 ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi sebesar 133,827.69 ha. Sampai dengan tahun 2012, luas areal penggunaan areal tercatat sebesar 26,505.89 ha (Tabel 16). Tabel 16 Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Buru Uraian Luas I. Kawasan Lindung Hutan lindung a. Hutan Lindung (HL) 99,827.25 b. Suaka Alam dan Pelestarian Alam (SA) 6,753.28 II. Kawasan Budidaya a. Hutan produksi terbatas 111,279.28 b. Hutan produksi tetap 106,895.66 c. Hutan produksi yang dapat dikonversi 133,827.69 III. Areal Penggunaan Lain (APL) 26,505.89 Sumber : Kabupaten Buru dalam angka, 2013 Peternakan Pada tahun 2012 untuk golongan ternak besar populasi sapi tercatat di Dinas Pertanian sebanyak 16.684 ekor, kerbau 3.867 ekor, dan kuda 591 ekor. Untuk golongan ternak kecil, populasi terbanyak adalah kambing yaitu 16.493 ekor, sedangkan babi 2.434 ekor. Pada ternak unggas, populasi itik tercatat sebanyak 362.821 ekor dan ayam buras 1.640.583 ekor. Produksi daging yang
26
berasal dari pemotongan ternak pada tahun 2012 untuk daging sapi adalah sebesar 298 ton, sedangkan daging kambing 80 ton (Tabel 17). Tabel 17 Populasi, Jumlah yang Dipotong dan Produksi Daging Ternak/Unggas di Kabupaten Buru Ternak dan Jumlah Yang Populasi Produksi Daging (ton) Unggas Dipotong Sapi 16,684 1,986 298,00 Kerbau 3,867 263 49,00 Kuda 591 Kambing 16,493 6,668 80,00 Babi 2,434 1,760 44,00 Ayam Buras 1,640,583 2,555,546 235,00 Itik 362,821 167,134 165,00 Sumber : Kabupaten Buru dalam angka, 2013 Perikanan Dengan konsumsi ikan laut yang cukup tinggi di kabupaten Buru, maka sub sektor ini sangat penting untuk diperhatikan. Rumah Tangga Perikanan (RTP) di kabupaten Buru masih tergolong tradisional dengan perahu penangkap ikan yang masih didominasi perahu tanpa motor. Rumah Tangga Perikanan di Kabupaten Buru banyak yang mengusahakan perikanan laut (Tabel 18). Tabel 18 Rumah Tangga Perikanan Menurut Kecamatan di Kabupaten Buru Budidaya Kecamatan Perikanan Laut Tambak Kolam Namlea 9 0 2,011 Waeapo 0 0 1,832 Waplau 0 45 728 Batabual 0 0 1,934 Air Buaya 0 21 1,226 Sumber : Kabupaten Buru dalam angka, 2013
27
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kelas Kemampuan Lahan dan Potensi Lahan Kelas Kemampuan Lahan Sistem klasifikasi kemampuan lahan mengacu pada sistem yang digunakan Amerika Serikat (United States Departement of Agriculture). Pengelompokan kelas kemampuan lahan dalam sistem tersebut dilakukan secara kualitatif dan merupakan pendekatan pertama dari pendekatan dua tahap menurut FAO (1976). Sistem ini mengenal tiga kategori, yaitu kelas, sub-kelas dan unit. Penggolongan kedalam kelas, sub-kelas dan unit didasarkan atas kemampuan lahan tersebut memproduksi komoditas pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Dalam sistem ini sifat kimia tanah tidak digunakan sebagai pembeda karena sifat kimia tanah sangat mudah berubah, sehingga kurang relevan untuk digunakan. Sifat-sifat tanah/lahan yang digunakan sebagai pembeda hanyalah sifat-sifat fisik/morfologi tanah yang dapat dapat diamati di lapangan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan kedalam kelas I sampai kelas VIII, dimana semakin tinggi kelasnya kualitas lahan semakin jelek, berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. Lahan kelas I sampai dengan IV merupakan lahan yang sesuai untuk pertanian. Sedangkan kelas V sampai VIII tidak sesuai dengan usaha pertanian atau diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya (Tabel 19). Tabel 19 Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan Kelas Kemampuan Faktor I II III IV V Tekstur tanah (t) a. Lapisan atas (4 cm) t2/t3 t1/t4 t1/t4 (*) (*) b. Lapisan Bawah t2/t4 t1/t4 t1/t4 (*) (*) Lereng Permukaan (%) i0 i1 i2 i3 (*) Drainase d0/d1 d2 d3 d4 (*)(*) Kedalaman Efektif k0 k0 k1 k2 (*) Keadaan Erosi e0 e1 e1 e2 (*) Kerikil/batuan b0 b0 b0 b1 b2 Banjir O0 O1 O2 O3 O4
VI
VII
(*) (*) i4 (*) k3 e3 (*) (*)
(*) (*) i5 (*) (*) e4 (*) (*)
VIII t5 t5 i6 (*) (*) (*) b3 (*)
Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007 (*) : dapat mempunyai sembarang sifak faktor penghambat dari kelas lebih rendah (*)(*) : permukaan tanah selalu tergenang air
Evaluasi kemampuan lahan pada dasarnya merupakan evaluasi potensi sumberdaya lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas yang tidak membicarakan peruntukan jenis tanaman tertentu ataupun tindakan-tindakan pengelolaannya. Klasifikasi kemampuan lahan yang dianalisis adalah klasifikasi kemampuan lahan dalam tingkat kelas dan sub kelas. Terdapat beberapa parameter yang digunakan dalam analisis yaitu kemiringan lereng, drainase tanah, tingkat erosi dan kepekaan erosi, tekstur tanah serta kedalaman tanah. Hasil
28
analisis didapatkan kelas kemampuan lahan I sampai dengan kelas kemampuan lahan VIII di wilayah Kabupaten Buru. Urutan kelas mulai dari terendah sampai yang tertinggi banyak tersebar dari wilayah Kecamatan Air Buaya. Terdapat beberapa sub kelas kemampuan lahan di wilayah Jabodetabek. Terdapat 3 sub kelas kemampuan lahan untuk kelas II, III dan IV, dan masingmasing 1 sub kelas untuk kelas kemampuan lahan VI, VII dan kelas VIII. Pembatas dari kelas II, III dan IV adalah kepekaan erosi, drainase, tekstur atau lereng. Pada sub kelas VI, VII dan VIII memiliki faktor pembatas lereng dan tekstur. Hasil analisis kemampuan lahan disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Buru Kemampuan lahan digunakan untuk menganalisis kesesuaian penggunaan lahan dikarenakan kelas dan sub kelas kemampuan lahan mampu memberikan informasi mengenai karakteristik fisik pembentuk lahan dimana gejala kerusakan fisiknya menjadi parameter dalam menilai lahan yang sudah dimanfaatkan. Fakta yang banyak terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan (salah satunya kemampuan lahan) diantaranya adalah adanya banjir, tanah longsor dan lainnya. Hal ini dikarenakan banyaknya permukiman yang dibangun di daerah rawa-rawa atau daerah yang memiliki kondisi drainase yang buruk, yang sebenarnya tidak cocok atau tidak sesuai untuk permukiman, terjadinya longsor di area yang memiliki lereng yang curam yang digunakan untuk permukiman, pertanian, dan lain-lain. Kelas kemampuan lahan IV terdapat di semua kecamatan di Kabupaten Buru dengan Kecamatan Namlea yang memiliki persentase terbanyak dengan total total luas sebesar 71.27%. kemudian diikuti berturut – turut Kecamatan Waeapo (65.75%) dan Waplau (51.07%). sedangkan pada Kecamatan Batabual dan Air Buaya kelas kemampuan lahan terluas adalah kelas VI dengan total luasan 50.33 % dan 39.60 % . Untuk melihat
29
sebaran total luasan kelas kemampuan lahan di Kabupaten Buru dapat di lihat pada Gambar 7. 80,00
PERSENTASE (%)
70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Namlea
Waeapo
Waplau
Batabual
Air Buaya
KECAMATAN I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Gambar 7 Presentase Luas Total Kelas Kemampuan Lahan di Setiap Kecamatan pada Kabupaten Buru Kelas kemampuan lahan terluas di Kabupaten Buru adalah kelas kemampuan lahan IV dengan luas area 196,099 ha atau 44.06 % dari total luas Kabupaten Buru. Kelas kemampuan lahan dengan luasan terbesar kedua adalah kelas VIII yaitu sebesar 169,323 ha atau 38.05 %. Kelas kemampuan lahan I merupakan kelas dengan luasan terendah yaitu sebesar 1,584 ha atau 0.36 %. Luas dan proporsi masing – masing kelas dan sub kelas kemampuan lahan disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20 Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kelas dan Sub Kelas Kemampuan Lahan Kelas Sub Kelas Luas Luas Total No Kemampuan Kemampuan Lahan Lahan ha % ha % 1 I I 1,584 0.36 1,584 0.36 2 II 1,765 0.40 II(ke) 226 0.05 II(t,i) 1,539 0.35 3 III III(c,ke) 2,919 0.66 26,544 5.96 III(c) 279 0.06 III(i) 2,027 0.46 III(ke) 21,319 4.79 4 IV IV(d) 152,613 34.29 196,099 44.06 IV(i) 35,525 7.98 IV(d,ke) 7,961 1.79 5 V 6 VI VI(i) 30,216 6.79 30,216 6.79 7 VII VII(i) 19,527 4.39 19,527 4.39 8 VIII VIII(i) 148,086 33.27 169,323 38.05 III(t) 21,237 4.77 Total 445,057 100.00 445,057 100.00 Sumber : Hasil olahan data spasial,2015
30
Potensi Lahan Kabupaten Buru Bertolak dari visi kabupaten, maka pemberdayaan masyarakat lebih terfokus pada upaya peningkatan di bidang pertanian dalam arti luas (pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan) dengan konsep pemberdayaan petani dalam bentuk “agroekopolitan” dimana pelaksanaannya secara komprehensif dan terpadu dengan tetap memperhatikan keunggulan komparatif dari masing-masing wilayah. Dalam hal ini pembangunan pertanian yang didukung oleh sektor-sektor lain seperti sektor industri yang berbasis bahan lokal (pertanian), koperasi serta prasarana wilayah dalam membuka akses produksi dalam satu kesatuan moda angkutan. Untuk mendukung program pembangunan pada Kabupaten Buru harus dilihat potensi lahan yang dimiliki oleh kabupaten yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga dapat menurunkan ketimpangan yang terjadi antara wilayah di Kabupaten Buru. Potensi lahan yang dimiliki oleh Kabupaten Buru dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Peta Potensi Lahan di Kabupaten Buru Gambar 9 menunjukkan total luasan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya pertanian yaitu seluas 132,085 ha atau 29.68 % dari total luas Kabupaten Buru lahan ini dapat di manfaatkan untuk pembangunan berbasis pertanian sesuai visi dari Kabupaten Buru dan sesuai dengan komoditas unggulan yang ada pada tap kecamatan, 32,486 ha atau 7.30 % dari total luas Kabupaten Buru dapat dimanfaatkan sebagai padang pengembalaan atau dihutankan, sedangkan 22,708 ha atau 5.10 % dari total luas Kabupaten Buru berpotensi lindung dan tidak bisa dimanfaatkan untuk budidaya pertanian. Selain pembangunan berbasis pertanian yang harus di perhatikan juga adalah pembangunan fisik misalnya jalan dan sarana pendukung lain. Pendidikan dan kesehatan juga harus menjadi perhatian dalam pembangunan di Kabupaten Buru
31
karena dua hal ini akan meningkatkan kualitas dari masyarakat yang ada di Kabupaten Buru seperti pembahasan sebelumnya dari data tergambar jelas bagaimana ketidakmerataan pembangunan yang terjadi di Kabupaten Buru sehingga perlu adanya perhatian untuk pembangunan sarana pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan ternyata listrik juga masih menjadi satu masalah yang ada di Kabupaten Buru karena masih ada desa atau dusun di beberapa kecamatan yang belum memiliki listrik.
Luas (ha) 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 Berpotensi Budidaya
Berpotensi Padang Pengembalaan/Dihutankan
Berpotensi Lindung
Gambar 9 Total Luas Potensi Lahan di Kabupaten Buru Analisis Keterkaitan Kelas Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Keterkaitan Kemampuan Lahan dan Penggunaan Lahan Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat beberapa kombinasi ketidakselarasan antara penggunaan lahan aktual dan kemampuan lahan diwilayah Kabupaten Buru. Ketidakselarasan penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan merupakan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan/tidak sesuai terhadap kemampuan lahan yaitu terkait dengan aspek fisik, dalam evaluasi ini tubuh air tidak dinilai keselarasannya. Sehingga perlu adanya rehabilitasi terhadap lahanlahan yang tidak selaras tersebut. Penggunaan lahan yang selaras dengan kemampuan lahan sebesar 441,513.80 ha (91.6%) terhadap luas wilayah penelitian, sedangkan yang tidak selaras sebesar 40,657.00 (8.4%) dengan kombinasi ketidakselarasan sebanyak 24 kombinasi (Gambar 10). Kombinasi ketidakselarasan terbesar terjadi pada penggunaan lahan semak belukar dengan kelas kemampuan lahan VIII sebesar 17,302.9 ha atau 3.6 %. Kombinasi ketidakselarasan ini tersebar di 4 kecamatan dan yang terluas terdapat pada Kecamatan Waeapo. Kombinasi ketidakselarasan lain yang cukup dominan adalah penggunaan lahan padang rumput dengan kelas kemampuan lahan yang sama yaitu VIII sebesar 6,909.40 ha atau 1.5 %, tersebar di 4 kecamatan dan yang terluas terdapat pada Kecamatan Waplau. Keselarasan antara kelas kemampuan lahan dengan penggunaan lahan secara jelas disajikan pada Tabel 21.
32
Gambar 10 Peta Hubungan Kemampuan Lahan dan Penggunaan Lahan Tabel 21 Hubungan antara Kemampuan Lahan dengan Penggunaan Lahan KKL(1)
Luas
I
904
II
1.860
III
61.755
IV
188.586
VI
130.668
VII
48.734
VIII
49.651
Luas
PLA(2)
KKL-PLA(3)
HM, HS, LT, PR, PLK, SB HM, HP, HS, KC, LT, PR, PLK, SB HM, HP, HS, KC, LT, PR, PT, PK, PKB, PLK, SB, SBR SW HM, HP, HS, KC, LT, PR, PT, PK, PKB, PLK, SB, SBR SW HP, HS, KC, LT, PR, SB, SBR PLK, SW HP, HS, KC, LT, PR, SB, SBR PLK HM, HP, HS BP, KC, LT, PR, PT, PK, PLK, SW, SB, SBR TA, RW
S
904
% 100.00
S
1,860
100.00
S
57,853
93.68
TS
3,901
6.32
S
187,166
99.25
TS S TS S TS S
1,419 128,945 1,722 48,487 247 16,294
0.75 98.68 1.32 99.49 0.51 32.82
TS
33,356
67.18
ha
TD 1,370 Keterangan : (1)KKL : Kelas Kemampuan Lahan (2)PLA : Penggunaan Lahan Aktual ; HM = Hutan Mangrove KC = Kebun Campuran HS = Hutan Sekunder PT = Pemukiman Transmigrasi HP = Hutan Primer PK = Pemukiman LT = Lahan Terbuka SW = Sawah PR = Padang Rumput SBR = Semak Belukar Rawa PLK = Pertanian Lahan Kering TA = Tubuh Air SB = Semak Belukar RW = Rawa BP = Bandara dan Pelabuhan PKB = Perkebunan (3)KKL-PLA : Hubungan Antara Kelas Kemampuan Lahan dengan Penggunaan Lahan Aktual S : Selaras, TS : Tidak Selaras, TD : Tidak Dinilai
33
Keterkaitan Kemampuan Lahan dan Pola Ruang Hasil analisis keterkaitan kemampuan lahan dan pola ruang akan terlihat sejauh mana pola ruang yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan daya dukung lingkungan atau wilayah dilihat dari segi fisiknya. Peruntukan lahan pola ruang yang selaras dengan kemampuan lahannya seluas 414.366,3 ha (87,9 %) dari total luas wilayah, sedangkan yang tidak selaras sebesar 56.983,6 ha (12,1 %) (Gambar 11). Terdapat 25 kombinasi ketidakselarasan antara pola ruang yang direncanakan dengan kemampuan lahan wilayahnya. Kombinasi ketidakselarasan terbesar terjadi pada kelas kemampuan lahan IV sebesar 14.840,3 ha atau 3,1 % yang dialokasikan untuk hutan produksi. Kombinasi ketidakselarasan ini tersebar di 4 kecamatan dan yang terluas terdapat pada Kecamatan Waeapo. Kombinasi ketidakselarasan lain yang cukup dominan dengan kelas kemampuan lahan yang sama yaitu VIII sebesar 12.151,3 ha atau 2,5 % yang dialokasikan untuk pengembangan perkotaan, tersebar di 3 kecamatan dan yang terluas terdapat pada Kecamatan Waplau. Keselarasan antara kelas kemampuan lahan dengan pola ruang secara jelas disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Hubungan antara Kemampuan Lahan dengan Pola Ruang KKL(1)
Luas
I
909
II
1.767
III
56.427
IV
VI
VII
VIII
183.421
130.560
48.716
49.546
PR(2) HP, HPT, HSA, PPK, PPR, PPLB, RT-CP HL, HP, HPT, HSA, PPK, PPR, PPLB, RT-CP HL, HP, HPT, HSA, PI, PPK, PPR, PPLK, PPT, RT-CP PPLB HL, HP, HPT, HSA, PI, PPK, PPR, PPLK, PPT, RT-CP PPLB HL, HP, HPT, HSA, PI, PPK, PPT, RT-CP PPR, PPLB HL, HP, HPT,HSA, PPK, RTCP PI, PPR, PPLB HL, HSA, HP, HPT, PI, PPK, PPR, PPLB, PPLK, PPT DR, RAA, RAT
KKL-PR(3)
Luas ha
%
S
909
100.00
S
1,767
100.00
S
48,832
86.54
TS
7,595
13.46
S
176,421
96.18
TS
7,000
3.82
S
127,640
97.76
TS
2,919
2.24
S
48,194
98.93
TS S
522 10,600
1.07 21.39
TS
38,945
78.61
TD 12,323 Keterangan : (1)KKL : Kelas Kemampuan Lahan (2)PR : Pola Ruang ; HP=Hutan Produksi, HPT = Hutan Produksi Terbatas, HSA = Hutan Suaka Alam, HL = Hutan Lindung, PPK = Pengembangan Perkebunan, PPR = Pengembangan Perkotaan, PPLB = Pengembangan Pertanian Lahan Basah, PPLK = Pengembangan Pertanian Lahan Kering, PI = Pengembangan Industri, PPT = Pengembangan Peternakan, RAA = Rawa Air Asin, RAT = Rawa Air Tawar, RT-CP = RT Cadangan Pengembangan (3)KKL-PR : Hubungan Antara Kelas Kemampuan Lahan dengan Pola Ruang S : Selaras, TS : Tidak Selaras, TD : Tidak Dinilai
34
Gambar 11 Peta Hubungan Kemampuan Lahan dan Pola Ruang Keterkaitan Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Analisis keterkaitan penggunaan lahan dan pola ruang akan menghasikan keterkaitan (selaras/tidak selaras) antara penggunaan lahan dengan pola ruang yang telah ditetapkan. Adanya ketidakselarasan antara penggunaan lahan dengan pola ruang dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif, akan tetapi sebagian besar berdampak negatif baik bagi masyarakat maupun lingkungan (Lufitayanti, 2013). Berdasarkan hasil analisis (Tabel 23), luas penggunaan lahan yang sesuai dengan pola ruang Kabupaten Buru sebesar 442,257.30 ha (91.40%), sedangkan yang tidak selaras sebesar 41,372.10 ha (8.60%) dari total luas wilayah penelitian (Gambar 12). Kombinasi ketidakselarasan penggunaan lahan dengan pola ruang di wilayah Kabupaten Buru sebanyak 54 kombinasi. Kombinasi ketidakselarasan terluas adalah penggunaan lahan pertanian lahan kering yang dialokasikan untuk pengembangan perkotaan seluas 8,365.80 ha (1.70%), hal ini menunjukkan kurangnya pengendalian pemanfaatan ruang oleh pemerintah. Kombinasi ketidakselarasan ini tersebar merata di kecamatan yaitu Kecamatan Namlea, Kecamatan Airbuaya dan Kecamatan Waeapo. Hubungan antara kemampuan lahan dan penggunaan lahan serta kemampuan lahan dan pola ruang lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 24.
35
Tabel 23 Hubungan antara Penggunaan Lahan dengan Pola Ruang PR(1)
Luas
HL
111,855
HP
166,264
HPT
85,903
HSA
7,479
PI
3,038
PPK
16,270
PPR
30,363
PPLB
17,130
PPLK
7,667
PP
7,499
RAA
4,128
RAT
6,997
RT-CP
18,341
PLA(2) HP, HS, LT, PR, SB,SBR PLK PR, SB, SBR, LT, HS, HP HM, KC, PT, PK, PLK, SW, TA HP, HS, LT, PR, SB KC, PLK HM, HS LT, PR, SB, SBR PLK, TA HP, PLK PR, SB KC, LT, PR, PKB, SB, SBR HM, HS, PT, PK, PLK, SW, TA BP, LT, PR, PT, PK, SB, SBR HM, HS, KC, PLK, SW, TA LT, PR, SW, SB, SBR, TA HM, HP, HS, KC, PT, PK, PKB, PLK, KC, LT, PR, PLK, SB, SBR HM, PT, PKB, SW PR, SB, SBR KC, PT HM, RW, SBR, TA PK, PLK, SB SBR, TA HM, HS, LT, PR, PT, SW, SB HM, HS, PLK, LT, PR, SB, SBR PT, PK, SW SBR, TA
PR-PLA(3) S TS S TS S TS S TS S TS S TS S TS S TS S TS S TS S TS S TS S TS S
DR 689 TD 543 Keterangan : (1)PR : Pola Ruang : Sesuai keterangan pada tabel 29 (2)PLA : Penggunaan Lahan Aktual ; Sesuai keterangan pada tabel 28 (3) PR-PLA : Hubungan antara Pola Ruang dengan Penggunaan Lahan Aktual S : Selaras, TS : Tidak Selaras, TD : Tidak Dinilai
Luas ha % 111,849 99.99 6 0.01 160,596 96.59 5,666 3.41 85,199 99.18 704 0.82 7,369 98.52 110 1.48 1,034 34.04 2,004 65.96 8,957 55.05 7,313 44.95 17,816 58.68 12,546 41.32 11,774 68.73 5,356 31.27 5,741 74.88 1,926 25.12 7,454 99.40 44 0.60 3,991 96.67 137 3.33 1,519 21.71 5,478 78.29 18,265 99.58 76 0.42 689 100.00
Gambar 12 Peta Hubungan Pola Ruang dan Penggunaan Lahan
36
Tabel 24 Rekapitulasi Keterkaitan antara Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Pola Ruang KKL I II III IV VI VII VIII
Hubungan S TS S TS S TS S TS S TS S TS S TS TD
PLA Luas 904 0 1,860 0 57,853 3,901 187,166 1,419 128,945 1,722 48,487 247 16,294 33,356 1,370
% 100.00 0.00 100.00 0.00 93.70 6.30 99.20 0.80 98.70 1.30 99.50 0.50 32.80 67.20
Hubungan S TS S TS S TS S TS S TS S TS S TS TD
PR Luas 909 0 1,767 0 48,832 7,595 176,421 7,000 127,640 2,919 48,194 522 10,600 38,945 12,323
% 100.00 0.00 100.00 0.00 86.50 13.50 96.20 3.80 97.80 2.20 98.90 1.10 21.40 78.60
Keterkaitan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Berdasarkan hasil tumpang tindih antara 3 parameter, yaitu peta kemampuan lahan, penggunaan lahan dan pola ruang dapat dilihat sejauh mana kemampuan lahan yang selaras dengan penggunaan lahan dan pola ruang dan sebaliknya. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 25) luas yang selaras antara 3 parameter tersebut seluas 410,541 ha (84.9 %), sedangkan yang tidak selaras seluas 72,944 ha (15.1 %). Tabel 25 Keterkaitan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan, Pola Ruang Hubungan Luas % Selaras 410,541 84.9 Tidak Selaras 72,944 15.1 Total 483,485 100.00 Dalam menganalisis keterkaitan antara 3 parameter ini menggunakan pola umum yang terbentuk dari hasil tumpang tindih peta ketiganya (Gambar 13), serta mempertimbangkan kriteria berdasarkan Tabel 1 menurut Klingebeil dan Montgomery (1961) dan Feton (2014). Pola umum yang terbentuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Pola Umum Hasil Tumpang Tindih Kemampuan Lahan I, II, III, IV
V, VI, VII VIII
Penggunaan Lahan Budidaya Non-Budidaya Non-Budidaya Penggembalaan Penggembalaan Hutan Hutan Lindung Hutan Lindung
Pola Ruang Budidaya Budidaya Non-Budidaya Penggembalaan Budidaya Budidaya Budidaya Hutan Mangrove
Keterangan Selaras Tidak Selaras Selaras Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Sesuai
37
Gambar 13 Peta Hubungan Kemampuan Lahan, Pola Ruang dan Penggunaan Lahan Penentuan Komiditas Unggulan (LQ dan SSA) Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah adalah keberadaan sektor unggulan. Sektor unggulan merupakan sektor perekonomian yang diharapkan menjadi motor penggerak perekonomian wilayah. Dengan mengetahui dan mengoptimalkan sektor unggulan ini maka diharapkan terdapat efek positif bagi kemajuan aktivitas perekonomian daerah (Syahidin, 2006). Salah satu alat analisis yang bisa digunakan untuk mengetahui keberadaan sektor unggulan ini adalah teori basis ekonomi. Hasil analisis LQ dapat diketahui bahwa untuk setiap kecamatan terdapat komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. Menurut Handewi Rachman, 2003 dalam Hidayah, 2010 yang dimaksud komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah. Dapat dilihat pada Tabel 27 bahwa untuk komoditas unggulan dibagi berdasarkan jenis tanaman per kecamatan, dimana untuk tanaman pangan terdapat tiga jenis tanaman yang memiliki nilai LQ > 1 dan SSA + yaitu ubi jalar, kacang tanah dan kacang hijau sedangkan untuk komoditas tanaman sayuran terdapat 9 jenis tanaman yang memiliki nilai LQ > 1 dan SSA + yaitu Cabai, Bawang Merah, Tomat, Bayam, Kangkung, Labu Siam, Terong, Kacang Panjang dan Bucis dan untuk komoditas tanaman buah-buahan terdapat 8 jenis tanaman yang memiliki nilai LQ > 1 dan SSA + yaitu alpokat, mangga, nagka, durian, jeruk, pepaya, rambutan dan pisang, untuk komoditas tanaman perkebunan terdapat 2 jenis tanaman yang mempunyai nilai LQ > 1 dan SSA + yaitu jambu mete dan cengkih. Dengan demikian berdasarkan analisis LQ dan SSA menghasilkan komoditi unggulan seperti yang terlihat di Tabel 27 yaitu komoditas yang mempunyai nilai LQ > 1 dan SSA + (berwarna kuning dan merah) untuk tiap kecamatan.
38
Dari analisis LQ yang dilakukan, maka perlu dikuatkan dengan Shift Share Analysis untuk mengetahui keunggulan dari sisi kompetitifnya. Menurut Rustiadi et al., (2011), Shift Share Analysis (SSA) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif (competitiveness) suatu wilayah dalam wilayah agregat yang lebih luas, berdasarkan kinerja sektor lokal (local sector) di wilayah tersebut. Analisis SSA juga dapat digunakan untuk menganalisis pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah yang dipilah berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran. Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu : komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total), komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional) dan Komponen differential shift (komponen pergeseran diferensial). Informasi tentang kecamatan yang memiliki komoditas unggulan penting diketahui karena sekaligus mencerminkan perwilayahan komoditas (Sari, 2010). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Hasil Analisis LQ dan SSA Kabupaten Buru Per Kecamatan No
Komoditas
Tanaman Pangan 1 Padi Sawah 2 Jagung 3 Ubi Kayu 4 Ubi Jalar 5 Kacang Tanah 6 Kacang Hijau 7 Kacang Kedelai Tanaman Sayuran 1 Cabai 2 Bawang Merah 3 Tomat 4 Bayam 5 Kol-Kubis 6 Kangkung 7 Labu Siam 8 Terong 9 Kacang Panjang 10 Bucis Tanaman Buah-Buahan 1 Alpokat 2 Mangga 3 Nangka 4 Durian 5 Jeruk 6 Pepaya 7 Rambutan 8 Pisang Tanaman Perkebunan 1 Kelapa 2 Kopi 3 Kakao 4 Jambu Mete 5 Cengkih 6 Pala
Namlea LQ SSA
Waeapo LQ SSA
Waplau LQ SSA
Bata Bual LQ SSA
Airbuaya LQ SSA
0,00 9,93 13,32 12,37 16,17 8,25 0,00
-0,08 -0,68 -0,30 6,58 3,89 0,58 -0,86
1,05 0,45 0,44 0,48 0,36 0,63 1,05
-0,08 -0,23 -0,64 -0,17 -0,03 0,84 -0,72
0,00 10,52 15,77 8,90 9,53 8,16 0,00
-0,08 -0,15 -0,57 -0,33 0,01 1,55 -0,86
0,00 12,62 14,59 8,88 16,13 11,06 0,00
-0,08 -0,01 -0,60 -0,37 -0,32 -0,41 -0,86
0,00 15,77 10,84 15,07 14,90 8,45 0,00
-0,08 -0,69 -0,85 -0,49 -0,71 -0,65 -1,00
0,63 0,00 0,91 1,21 0,00 1,11 1,34 1,19 0,98 2,05
2,32 -1,00 -0,19 3,11 -0,65 1,65 -0,09 0,58 1,49 0,22
1,03 0,00 1,00 0,75 2,24 0,95 1,14 1,06 0,98 1,01
3,04 -1,00 0,83 2,72 -0,59 1,65 0,56 1,38 2,33 0,56
1,47 6,34 0,86 0,80 0,58 0,83 0,90 0,89 0,46 0,28
5,50 0,70 0,47 2,32 -0,86 1,29 0,40 1,28 0,52 -0,44
0,90 0,00 1,35 1,26 0,00 1,30 0,00 0,88 1,27 0,52
2,11 -1,00 2,06 3,57 -0,65 2,71 0,23 17,82 0,23 -0,57
0,94 0,00 0,97 1,45 0,00 0,93 1,15 0,82 1,47 0,88
2,83 -1,00 0,47 5,99 -0,65 1,76 0,01 -0,51 1,96 0,11
1,23 1,60 1,18 0,00 0,45 1,18 0,00 1,07
0,47 0,96 3,56 -1,00 0,18 0,64 -0,02 0,02
1,22 0,69 1,21 1,41 1,30 0,84 0,95 0,90
4,43 2,22 0,92 3,59 3,71 -0,02 -0,37 0,02
2,28 0,81 0,41 0,64 1,67 1,11 0,00 1,50
-0,18 -0,68 -0,53 -0,91 0,05 -0,66 -1,00 -0,37
0,58 0,57 1,08 0,76 1,38 0,71 2,50 1,39
-0,39 0,80 -0,20 2,16 2,10 -0,30 0,82 -0,34
0,50 1,58 0,48 1,22 0,34 1,42 0,76 0,71
0,25 15,45 1,48 5,96 -0,60 3,14 -0,02 0,97
1,13 0,00 0,10 4,62 0,00 0,00
-0,37 -0,34 -0,78 0,34 0,01 -0,42
0,32 6,23 1,80 0,29 0,41 0,00
-0,60 -0,27 -0,34 -0,19 -0,25 -0,42
2,27 0,00 0,11 1,84 0,00 0,00
-0,34 -0,34 -0,91 0,31 0,01 -0,42
0,39 1,19 0,74 0,15 4,48 2,80
-0,75 -0,42 -0,58 -0,04 0,16 -0,53
0,89 0,18 1,43 0,15 0,69 1,33
0,67 -0,58 -0,02 -0,25 -0,16 -0,31
Keterangan : = Nilai LQ > 1 = Nilai SSA + Sumber : Hasil Olahan, 2015
39
Gambar 14 Peta Sebaran Komoditas Unggulan di Kabupaten Buru Arahan Pengembangan Wilayah Pola Ruang dan Arahan Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Buru Pola ruang Kabupaten Buru merupakan distribusi peruntukan ruang dalam wilayah Kabupaten Buru yang meliputi peruntukan ruang dengan fungsi lindung dan fungsi budidaya.
Gambar 15 Peta Pola Ruang Kabupaten Buru
40
Kawasan budidaya ditetapkan dengan fungsi utama untuk kegiatan budidaya yang didasarkan pada potensi sumber daya dalam suatu wilayah sedangkan kawasan lindung/kawasan konservasi diarahkan pada kawasan-kawasan yang memberikan perlindungan terhadap lingkungan. Luas kawasan dalam pola ruang RTRW Kabupaten Buru 2008-2028 disajikan dalam Tabel 28. Tabel 28 Luas Kawasan Berdasarkan Pola Ruang RTRW Kabupaten Buru Tahun 2008-2028 Pola Ruang Luas ha % Kawasan Lindung 131,812 27.07 Danau Rana 1,233 0.25 Hutan Lindung 111,856 22.97 Hutan Suaka Alam 7,542 1.55 Rawa Air Asin 4,185 0.86 Rawa Air Tawar 6,997 1.44 Kawasan Budidaya 355,054 72.93 Hutan Produksi 166,658 34.23 Hutan Produksi Terbatas 85,921 17.65 Pengembangan Industri 3,039 0.62 Pengembangan Pekebunan 16,340 3.36 Pengembangan Perkotaan 32,061 6.59 Pengembangan Pertanian Lahan Basah 17,511 3.60 Pengembangan Pertanian Lahan Kering 7,667 1.57 Pengembangan Peternakan 7,500 1.54 RT Cadangan Pengembangan 18,357 3.77 Total 486,866 100.00 Sumber : RTRW Kabupaten Buru 2008-2028 dan hasil analisis
Kawasan lindung Kabupaten Buru dialokasikan seluas 131,812 ha (27.07 %) yang terdiri atas hutan lindung dengan fungsi lindung dan danau rana, hutan suaka alam, rawa air asin dan rawa air tawar dengan fungsi konservasi. Kawasan budidaya terdapat seluas 355,054 ha (72.93 %) yang terdiri atas hutan produksi, hutan produksi terbatas, pengembangan industri, pengembangan perkebunan, pengembangan perkotaan, pengembangan pertanian lahan basah, pengembangan pertanian lahan kering, pengembangan peternakan dan RT cadangan pengembangan. Distribusi pola pemanfaatan ruang Kabupaten Buru disajikan dalam Gambar 15. Arahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Buru disusun dari hasil tumpang tindih antara peta kemampuan lahan, penggunaan lahan dan pola ruang. Arahan pemanfaatan ruang disusun berdasarkan hasil perumusan kriteria sebagai berikut : 1. Lahan dengan kelas kemampuan lahan VIII direkomendasikan menjadi kawasan lindung. 2. Penggunaan lahan eksisting kawasan lindung (hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan mangrove) direkomendasikan untuk tetap dipertahankan. 3. Penggunaan lahan eksisting sawah direkomendasikan untuk tetap dipertahankan. 4. Penggunaan lahan irreversible (danau, pemukiman dll) tidak direkomendasikan untuk dirubah.
41
5. Pola ruang untuk kawasan lindung direkomendasikan untuk tetap dipertahankan. Berdasarkan analisis kriteria pada Lampiran 4 dihasilkan peta arahan pemanfaatan ruang Kabupaten Buru sebagaimana disajikan pada Gambar 16 dengan uraian luas kawasan pada Tabel 29.
Gambar 16 Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Kabupaten Buru Tabel 29 Luas Kawasan Arahan Pemanfaatan Ruang Kabupaten Buru Tahun Arahan Pemanfaatan Danau Rana Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Hutan Suaka Alam Pengembangan Industri Pengembangan Perkebunan Pengembangan Perkotaan Pengembangan Pertanian Lahan Basah Pengembangan Pertanian Lahan Kering Pengembangan Peternakan Rawa Air Asin Rawa Air Tawar RT Cadangan Pengembangan Total
Lua ha % 1,233 0.25 167,057 34.55 139,232 28.80 67,628 13.99 12,543 2.59 631 0.13 9,900 2.05 14,651 3.03 13,987 2.89 26,069 5.39 6,944 1.44 866 0.18 6,473 1.34 16,273 3.37 483,485 100.00
Arahan pemanfaatan ruang berbasis kemampuan lahan menunjukkan peningkatan luas pola ruang pada hutan lindung menjadi seluas 167,057 ha (34.55%) yang bersumber dari areal dengan kemampuan VIII di luar kawasan hutan dan dari kawasan hutan produksi dan terbatas, hutan suaka alam bertambah
42
menjadi 12,543 ha (2.59%). Kawasan pengembangan pertanian lahan kering bertambah menjadi 26,069 ha (5.39%) yang bersumber dari areal dengan kelas kemampuan III dan IV. Sedangkan untuk pengembangan pertanian lahan basah berkurang mnjadi 13,987 ha (2.89 %) hal ini dikarenakan setelas di evaluasi kawasan pengembangan ini terdapat pada lahan dengan kelas kemampuan tinggi dengan faktor pembatas kelerengan. Ketimpangan Pelayanan Fasilitas untuk Mendukung Pengembangan Wilayah Ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah/kawasan di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antarwilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah (Rustiadi et al., 2011). Beberapa hal yang menyebabkan sulitnya perdesaan menyejajarkan posisinya dengan perkotaan antara lain akibat kualitas sumberdaya manusia, dan kualitas dan ketersediaan infrastruktur. Kualitas sumberdaya manusia di perdesaan mengalami perkembangan yang sangat lamban. Terjadi kecenderungan adanya urbanisasi masyarakat perdesaan yang tidak hanya dilakukan oleh sumberdaya manusia berkualitas rendah, tetapi juga sumberdaya manusia berkualitas cukup tinggi dari perdesaan yang terkuras menuju perkotaan. Hal ini terkait erat dengan masalah infrastruktur perdesaan yang terbatas yang tidak memberikan ruang gerak lebih bebas bagi sumberdaya manusia perdesaan berkualitas untuk mengekspresikan kemampuannya. Keterbatasan alternatif ruang gerak ini menjadi salah satu daya dorong kuat bagi sumberdaya manusia berkualitas untuk melakukan mobilitas menuju perkotaan (Rustiadi dan Pranoto, 2007). Di antara prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah adalah adanya modal infratruktur, khususnya infrastuktur fisik. Adanya infratsruktur fisik akan memungkinkan proses produksi yang lebih efisien dan efektif. Demikian pula proses distribusi, akan bisa dilakukan lebih efisien dan efektif. Karena itu, di negara atau daerah manapun, ketika terdapat percepatan perbaikan ekonomi, mau tidak mau harus memperhatikan infratruktur. Kondisi infrastruktur fisik di Kabupaten Buru tergolong masih belum memadai bagi berbagai kegiatan di dalam masyarakat, khususnya kegiatan ekonomi. Secara umum, sarana dan prasarana atau infrastruktur pembangunan di Kabupaten Buru masih sangat terbatas, sehingga belum menjadi faktor pendorong yang efektif dan efisien terhadap pembangunan ekonomi daerah. Untuk infrastruktur jalan raya, sampai akhir 2010, panjang jalan di daerah ini baru mencapai 903.49 kilometer di mana kondisi baik 313.76 km, kondisi rusak ringan/sedang 252.88 km, dan rusak berat 336,85 km. Sebagai daerah yang memiliki potensi pertanian khususnya padi sawah, perlu didukung jaringan irigasi. Panjang jaringan irigasi primer 11,979 m, jaringan sekunder 101,672 m, jaringan tersier 113,790 m yang tersebar di kecamatan Air Buaya dan Kecamatan Waeapo.
43
Gambar 17 Peta Jaringan Jalan Kabupaten Buru Adapun kondisi jaringan jalan pada Kabupaten Buru dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Panjang Jalan (km) Menurut Kondisi Jalan dan Kecamatan di Kabupaten Buru Jumlah Rusak Rusak Baik Penduduk Ringan Berat (1) (2) (3) (4) (5) Namlea 38,201 78.62 38.10 41.95 Waeapo 35,112 183.33 114.4 281.85 Waplau 10,036 27.78 11.80 65.19 Batabual 8,393 13.70 14.20 46.10 Air Buaya 19,705 44.08 21.48 102.49 Buru 111,447 347.51 199.98 537.58 Sumber : Kabupaten Buru dalam angka, 2013 Kecamatan
Jumlah Total (6) 158.67 579.58 104.77 74.00 168.05 1,085.77
Rasio Pelayanan (2/6) (7) 240.76 60.58 95.79 113.42 117.26
Status (8) Buruk Baik Baik Buruk Baik
Infrastruktur dianggap dapat berdampak terhadap perekonomian karena infrastruktur memiliki beberapa peran penting dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat di suatu wilayah. Salah satu peran infrastruktur adalah menjadi faktor daya tarik investasi di tiap daerah. Dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai tentunya akan memudahkan para investor dalam melakukan kegiatan usaha. Contohnya adalah infrastruktur jalan. Dengan ketersediaan infrastruktur jalan yang baik tentunya akan menjadikan proses distribusi barang maupun jasa menjadi lebih cepat dan efisien dalam hal biaya dan waktu. Hasil perhitungan rasio akses jalan per kecamatan maka dihasilkan status akses di Kabupaten Buru, Kecamatan Namlea dan Kecamatan Batabual memiliki status pelayanan yang buruk yang bermakna jumlah penduduk yang terlayani
44
lebih sedikit, sedangkan tiga kecamatan lainnya memiliki rasio pelayanan yang baik. Secara keruangan dua kecamatan tersebut terletak di wilayah pantai timur (Gambar 17). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa infrastruktur jalan sangat mendukung kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat. Kecamatan Namlea sebagai ibu kota kabupaten memiliki status akses jalan yang buruk, jika dibandingkan dengan Kecamatan Waeapo yang memiliki status akses jalan baik hal ini dikarenakan Kecamatan Waeapo merupakan daerah transmigran dan juga sebagai lumbung padi untuk Kabupaten Buru serta Provinsi Maluku. Akan tetapi hasil perhitungan rasio akses jalan dengan kondisi baik menunjukkan bahwa kondisi jalan yang baik disemua kecamatan yang ada di Kabupaten Buru masih belum dapat melayani masyarakat secara maksimal hal ini ditunjukkan dengan status pelayanan jalan yang buruk berdasarkan hasil perhitungan (Tabel 31) Tabel 31 Rasio Pelayanan Jalan (km) Kondisi Baik Menurut Kecamatan di Kabupaten Buru Jumlah Kondisi Jalan Baik Penduduk (1) (2) (3) Namlea 38,201 78.62 Waeapo 35,112 183.33 Waplau 10,036 27.78 Batabual 8,393 13.7 Air Buaya 19,705 44.08 Buru 111,447 347.51 Sumber : Kabupaten Buru dalam angka, 2013 Kecamatan
Rasio Pelayanan (2/4)
Status
(4)
(5) Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk
485.894 191.523 361.267 612.628 447.028
Infrastruktur yang dapat mempengaruhi ketimpangan wilayah adalah fasilitas pendidikan. Ketimpangan pendidikan merupakan faktor yang signifikan membentuk tingkat pertumbuhan ekonomi (Pose dan Tselios, 2010). Dan juga merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan pembangunan di suatu daerah adalah adanya sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui jalur pendidikan, pemerintah berupaya untuk menghasilkan dan meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Ketersediaan fasilitas pendidikan di Kabupaten Buru dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Sebaran Fasilitas Pendidikan dan Hasil Penetapan Hirarki di Kabupaten Buru Jumlah Indeks Perkembangan Wilayah Namlea 38201 3.11 Waeapo 35112 5.47 Waplau 10036 7.24 Batabual 8393 6.55 Air Buaya 19705 5.01 Rataan 5.48 Stdev 1.59 Sumber : Kabupaten Buru Dalam Angka, 2013 Kecamatan
Jumlah Penduduk
Jumlah Keberadaan Fasilitas Pendidikan per Wilayah 3 6 6 5 5
Hirarki HIRARKI III HIRARKI III HIRARKI I HIRARKI II HIRARKI III
Salah satu indikator dalam melihat suatu perkembangan desa secara kuantitatif adalah dengan memperhitungkan jumlah dan jenis fasilitas yang
45
tersedia didesa tersebut serta akses masyarakat desa terhadap suatu fasilitas tertentu. Tingkat perkembangan desa dapat dilihat dari nilai Indeks Perkembangan atau Pelayanan Wilayah (IPW) yang diperoleh dari hasil analisis skalogram. Wilayah dengan nilai IPW yang tinggi pada umumnya memiliki jumlah dan jenis fasilitas yang lebih banyak dan juga akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan tertentu lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hirarki pelayanan desa dibagi ke dalam tiga kelompok hirarki yaitu hirarki I, hirarki II dan hirarki III. Desa-desa yang termasuk ke dalam kelompok hierakhi I didefinisikan sebagai desa dengan tingkat pelayanan tinggi. Desa-desa yang termasuk ke dalam kelompok hirarki II didefinisikan dengan tingkat pelayanan sedang. Sedangkan desa-desa yang termasuk ke dalam kelompok hirarki III didefinisikan sebagai desa dengan tingkat pelayanan rendah. Kecamatan Namlea sebagai ibukota dari Kabupaten Buru untuk fasilitas pendidikan masuk pada hirarki III yang artinya tingkat pelayanan pendidikan di Kecamatan ini rendah, selain Kecamatan Namlea yang masuk pada hirarki III adalah Kecamatan Air Buaya dan Weapo (Gambar 18), sedangkan kecamatan dengan tingkat pelayanan pendidikan tinggi adalah Kecamatan Waplau dengan nilai indeks perkembangan wilayah yang paling tinggi yaitu 7,24 dan untuk Kecamatan Bata Bual masuk hirarki II dengan tingkat pelayanan sedang (Tabel 32).
Gambar 18 Peta Hirarki Fasilitas Pendidikan di Kabupaten Buru Ketersediaan fasilitas pendidikan yang mudah dijangkau baik dari segi jarak maupun biaya sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan penduduk suatu daerah. Apabila diperhatikan lebih lanjut, biasanya jumlah sekolah berbanding terbalik dengan tingkat pendidikannya, begitu pula yang terjadi di Kabupaten Buru. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin berkurang sarana sekolah yang tersedia di Kabupaten Buru, padahal dari segi kuantitas,
46
semakin banyak sekolah maka semakin terbuka peluang untuk menjangkau masyarakat, tergantung penyebaran atau lokasi sekolah tersebut. Dari segi jumlah dan penyebaran menurut kecamatan, jumlah sekolah untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar sudah cukup banyak dan dirasakan sudah mencukupi kebutuhan. Namun yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah apakah lokasi sekolah-sekolah tersebut sudah cukup mudah dijangkau oleh masyarakat. Karena seperti yang diketahui, Kabupaten Buru memiliki wilayah yang sulit dijangkau, misalanya saja desa-desa maupun dusun-dusun yang letaknya menyebar di sekitar pegunungan dan Danau Rana. Sedangkan untuk jenjang pendidikan SMP dan SMA, baik dari segi jumlah maupun penyebarannya dirasakan masih sangat kurang. Misalnya saja Kecamatan Air Buaya yang memiliki luas terbesar dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Buru, yaitu sebesar 59,69 % dari total luas keseluruhan Kabupaten Buru ternyata hanya memiliki tiga sekolah SMA/Sederajat dan termasuk dalam hirarki III dengan tingkat pelayanan pendidikan yang rendah. Tentu hal tersebut akan menyulitkan penduduk untuk mengakses pendidikan pada jenjang pendidikan tersebut. Belum lagi ditambah banyaknya desa-desa di Kecamatan Air Buaya yang menyebar di sekitar Danau Rana yang menyebabkan sulitnya akses ke wilayah tersebut. Selain pendidikan faktor kesehatan juga menjadi indikator penting penunjang pembangunan manusia karena tingkat produktivitas manusia secara langsung dapat tergali secara optimal apabila daya tahan tubuhnya sedang maksimal. Hal ini berarti pada saat seseorang sehat, aktivitas seperti bekerja, bersekolah, mengurus rumah tangga, berolahraga, maupun aktivitas lainnya dapat dilaksanakan dengan lebih baik dibandingkan saat kondisi tubuhnya sedang sakit. Kabupaten Buru merupakan kabupaten dengan tingkat kematian bayi tertinggi kedua pada tahun 2013 yaitu sebanyak 55 bayi, begitupula untuk angka kematian ibu hamil Kabupaten Buru tercatat sebagai kabupaten tertinggi kedua untuk angka kematian ibu hamil pada tahun 2013 yaitu sebanyak 10 orang. Hal ini bisa terjadi karena disebabkan kurangnya tenaga kesehatan, terutama di daerah terpencil dan jauh, sehingga masyarakat masih mengandalkan jasa dukun beranak untuk menangani persalinan. Selain itu, kurangnya sarana dan prasarana kesehatan, minimnya akses transportasi khususnya dari desa-desa yang jauh menuju Puskesmas maupun Puskesmas pembantu (pustu) yang terdapat di ibu kota kecamatan. Sehingga warga miskin yang tinggal di daerah jauh dari pusat ibu kota kecamatan maupun kabupaten serta kesulitan sarana transportasi, lebih memilih persalinannya ditangani oleh dukun beranak, padahal pengetahuan mereka masih sangat kurang (Dinas Kesehatan Maluku, 2013). Pembangunan kesehatan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Bila pembangunan kesehatan berhasil dengan baik maka akan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara langsung. Selain itu, pembangunan kesehatan juga memuat mutu dan upaya kesehatan yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan fasilitas kesehatan. Hal ini dilakukan dengan menciptakan akses pelayanan kesehatan yang didukung oleh sumber daya yang memadai seperti rumah sakit, puskesmas, tenaga kesehatan (dokter, bidan, dan perawat), dan ketersediaan obat. Penyediaan fasilitas kesehatan merupakan salah satu kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat dan upaya pemerintah dalam
47
menyediakan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dan puskesmas pembantu mengalami peningkatan walaupun dinilai masih belum mencukupi. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pelayanan kesehatan dari tiap wilayah (kecamatan) yang ada di Kabupaten Buru (Tabel 33). Tabel 33 Sebaran Fasilitas Kesehatan dan Hasil Penetapan Hirarki di Kabupaten Buru Kecamatan
Namlea Waeapo Waplau Batabual Air Buaya
Jumlah Penduduk
Jumlah Indeks Perkembangan Wilayah
38201 9.46 35112 13.24 10036 18.08 8393 11.32 19705 18.54 Rataan 14.13 Stdev 4.05 Sumber : Kabupaten Buru dalam angka, 2013
Jumlah Keberadaan Fasilitas Kesehatan per Wilayah 11 14 12 7 16
Hirarki
HIRARKI III HIRARKI III HIRARKI II HIRARKI III HIRARKI I
Tabel 33 menunjukkan bahwa di Kecamatan Air Buaya yang mempunyai tingkat pelayanan kesehatan yang tinggi karena menempati hirarki I sedangankan kecamatan yang menjadi hirarki II yaitu Kecamatan Waplau dan hirarki III yaitu Kecamatan Namlea, Waeapo dan Batabual (Gambar 19).
Gambar 19 Peta Hirarki Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Buru Selain fasilitas kesehatan tenaga kesehatan juga mempunyai peran penting dalam pelayanan kesehatan misalnya dokter yang merupakan sumber daya manusia dan dibutuhkan dalam dunia kesehatan. Namun jika dilihat dari data yang berasal dari Dinas Kesehatan, kabupaten Buru masih membutuhkan banyak tenaga kesehatan, terutama dokter umum, dokter ahli, dan dokter gigi. Jumlah
48
dokter (dokter umum, dokter ahli, dan dokter gigi) di tahun 2012 sebanyak 12 orang, jumlah bidan 85 orang, jumlah perawat umum 228 orang, dan perawat gigi 2 orang. Keterbatasan jumlah tenaga kesehatan semakini diperburuk oleh distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata (Gambar 20). 140 120 100 80 60 40 20 0 Dokter Ahli
Dokter Umum
Dokter Gigi
Bidan
Perawat Umum
Perawat Gigi
Namlea
3
8
1
44
126
2
Waeapo
0
0
0
25
58
0
Waplau
0
0
0
5
11
0
Batabual
0
0
0
3
6
0
Air Buaya
0
0
0
8
27
0
Gambar 20 Penyebaran Tenaga Kesehatan Per Kecamatan di Kabupaten Buru Gambar diatas menunjukkan distribusi dari tenaga kesehatan yang ada di Kabupaten Buru yang di bagi untuk tiap kecamatan. Dimana terlihat bahwa distribusi tenaga kesehatan tidak merata karena hanya di Kecamatan Namlea yang terdapat dokter ahli sampai dengan dokter gigi sedangkan kecamatan yang lainnya hanya dilayani oleh bidan ataupun perawat. Untuk melihat rasio pelayanan dari tenaga kesehatan tersebut dapat dilitah pada Tabel 34. Tabel 34 Rasio Tenaga Kesehatan Per 1000 Penduduk di Kabupaten Buru Dokter Dokter Ahli Umum Namlea 0.08 0.21 Waeapo 0.00 0.00 Waplau 0.00 0.00 Batabual 0.00 0.00 Air Buaya 0.00 0.00 Sumber : Buru dalam angka (diolah) Kecamatan
Dokter Gigi 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00
Bidan 1.15 0.71 0.50 0.36 0.41
Perawat Umum 3.30 1.65 1.10 0.71 1.37
Perawat Gigi 0.05 0.00 0.00 0.00 0.00
Dari hasil perhitungan rasio tenaga kesehatan dapat dilihat bahwa jumlah dokter yang ada di Kecamatan Namlea memiliki rasio pelayanan yang kecil sehingga jumlah ini masih belum mampu untuk melayani penduduk yang ada di Kecamatan Namlea sedangkan kecamatan dengan rasio terendah adalah Kecamatan Bata Bual. Arahan Program Pembangunan Pelaksanaan pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah dewasa ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat melalui pembukaan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, namun pengalaman membuktikan bahwa transformasi struktur perekonomian dari perekonomian berbasis pertanian yang relatif stagnan menjadi perekonomian berbasis industri
49
maju, ternyata gagal membawa masyarakat untuk menuju sejahtera, hal ini telah membuka kesadaran berbagai pihak bahwa pembangunan nasional harus didasarkan pada fakta bahwa basis perekonomian nasional adalah sektor pertanian. Pemerintah Kabupaten Buru dengan visinya masyarakat sejahtera dan demokratis yang berbasis pertanian, bermaksud mengembangkan perekonomian regionalnya berbasis sumberdaya alam dan agribisnis, yang pengembangannya akan lebih terfokus pada pendekatan wilayah dengan menetapkan kawasankawasan pengembangan terpilih yang akan dijadikan wilayah pusat pertumbuhan agribisnis dalam model agroekopolitan. Arahan program ini dalam implementasinya akan melibatkan seluruh komponen masyarakat , dimana masyarakat disiapkan untuk merespon rencana dari setiap program pembangunan melalui pendekatan wilayah dengan menetapkan kawasan-kawasan pengembangan dalam suatu permukiman yang lebih produktif guna meminimalisir kesenjangan antara kota dan desa. Pembangunan wilayah di Kabupaten Buru harus dilaksanakan dalam kerangka pengembangan wilayah terpadu untuk mewujudkan pertumbuhan dan pembangunan wilayah yang berimbang di Kabupaten Buru tersebut. Oleh karena itu, arahan program pembangunan wilayah sehubungan dengan hasil analisis sebelumnya di Kabupaten Buru (Tabel 35). Arahan program pembangunan disusun dalam matriks berdasarkan fakta sebelumnya yang dirangkum pada Tabel 35. Selanjutnya arahan tersebut di letakkan dalam setiap kecamatan seperti disajikan pada Tabel 36 dan Gambar 21. Secara keseluruhan ditemukan kesamaan dan perbedaan pada setiap kecamatan, arahan yang sama pada setiap kecamatan adalah (10) Pengembangan kawasan sesuai kemampuan lahan yang ada, (11) Pengembangan pertanian berdasarkan kemampuan lahan yang tersedia, (12) Pembangunan jaringan jalan, saluran air (selokan) dan jembatan penghubung, selain ketiga arahan ini ada juga yang terdapat di 4 kecamatan yaitu (15) Penyediaan tenaga kesehatan dan pengajar, dan (17) Penyediaan sarana pendukung pertanian seperti tempat penjualan pupuk, bibit dan tempat penjualan hasil produksi. Tabel 35 Matriks Arahan Program Pembangunan 1. Ketimpangan Pembangunan 2. Komoditas Unggulan 1. Pembangunan jaringan jalan untuk memudahkan 7. Pengembangan pertanian yang berpusat pada akses kegiatan masyarakat (Kec. Namlea dan keunggulan komparatif dan kompetitif di tiap Batabual). kecamatan. 2. Pembangunan dan distribusi fasilitas pendidikan. 8. Pembangunan sarana pendukung pengembangan 3. Pembangunan dan distribusi fasilitas kesahatan. pertanian. 4. Penyebaran tenaga kesehatan (Kec. Air Buaya, 9. Pengembangan sawah di Kabupaten Buru, Waeapo, Waplau dan Batabual). karena letaknya sebagai salah satu Kabupaten 5. Pengembangan pusat kegiatan lain. lumbung padi di Provinsi Maluku (Kec. 6. Pembangunan akses penunjang fasilitas Waeapo) pendidikan dan kesehatan. 3. Kemampuan dan Potensi Lahan 4. Presepsi Masyarakat 10. Pengembangan kawasan sesuai kemampuan 12. Pembangunan jaringan jalan, saluran air lahan yang ada. (selokan) dan jembatan penghubung. 11. Pengembangan pertanian berdasarkan 13. Pembangunan jaringan listrik (Kec. Batabual dan kemampuan lahan yang tersedia. Air Buaya). 14. Pembangunan sarana pendidikan dan kesehatan. 15. Penyediaan tenaga kesehatan dan pengajar. 16. Pengembangan pasar-pasar lokal (Kec. Air Buaya dan Batabual). 17. Penyediaan sarana pendukung pertanian seperti tempat penjualan pupuk, bibit dan tempat penjualan hasil produksi.
50
Tabel 36 Hasil Sintesis Arahan Program Pembangunan Kecamatan Namlea
Waeapo
Waplau
Batabual
Air Buaya
Kekurangan Tingkat rasio jalan buruk. Tingkat pelayanan pendidikan rendah. Tingkat pelayanan kesehatan rendah. Tingkat pelayanan fasilitas pendidikan rendah. Tingkat pelayanan fasilitas kesehatan rendah.
Kelebihan Merupakan ibukota kecamatan.
Potensi Lahan Potensi lahan untuk budidaya seluas 22.390,73 ha.
Komoditas Unggulan Memiliki komoditas unggulan terbanyak sebanyak 14 komoditas.
Arahan 1, 2, 3, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 14.
Tingkat rasio jalan baik.
Potensi lahan untuk budidaya terluas yaitu seluas 68.615,62 ha.
Memiliki komoditas unggulan sebanyak 9 komoditas. Merupakan pusat pertanian sawah di Kabupaten Buru.
2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14,15, 17.
Tingkat pelayanan Tingkat rasio kesehatan sedang. jalan baik. Tingkat pelayanan fasilitas pendidikan tinggi. Tingkat rasio jalan buruk. Tingkat pelayanan pendidikan rendah. Tingkat pelayanan kesehatan rendah. Tingkat pelayanan Tingkat rasio pendidikan rendah jalan baik. Tingkat pelayanan fasilitas kesehatan tinggi.
Potensi lahan untuk budidaya seluas 22.173,26 ha
Memiliki komoditas unggulan sebanyak 7 komoditas.
3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 14, 15, 17.
Potensi lahan untuk untuk budidaya seluas 7.920,27 ha.
Memiliki komoditas unggulan sebanyak 6 komoditas.
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17.
Potensi lahan untuk untuk budidaya seluas 10.985,77 ha.
Memiliki komoditas unggulan sebanyak 6 komoditas.
2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17.
51
Gambar 21 Peta Arahan Program Pembangunan
52
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kelas kemampuan lahan terluas adalah kelas kemampuan lahan IV dengan luas 196.099 ha Luas potensi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya pertanian untuk tiap kecamatan yaitu Kecamatan Namlea (22,390.73 ha), Kecamatan Waeapo (68,615.62 ha), Kecamatan Waplau (22,173.26 ha), Kecamatan Batabual (7,920.27 ha) dan Kecamatan Air Buaya (10,985.77 ha). Berdasarkan hasil analisis keterkaitan menghasilkan pola selaras dan tidak selaras antara kemampuan lahan dan penggunaan lahan sehingga menimbulkan lahan-lahan kritis yang harus direhabilitasi, hubungan kemampuan lahan dan pola ruang menimbulkan arahan pola ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung lahannya sehingga perlu adanya pengendalian, sedangkan hubungan antara penggunaan lahan dan pola ruang menimbulkan adanya lahan-lahan yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan dalam pola ruang sehingga pelu adanya revisi. Berdasarkan analisis LQ dan SSA di Wilayah Kabupaten Buru, Komoditas yang menjadi unggulan di tiap Kecamatan hampir sama, tetapi ada 3 kecamatan yang memiliki komoditas yang menjadi unggulan dan tidak menjadi unggulan di ecamatan lain yaitu Kecamatan Namlea (ubi jalar dan pisang), Kecamatan Waplau (bawang merah) dan Kecamatan Batabual (cengkih), akan tetapi pada Kecamatan Waeapo yang menjadi sentra produksi padi juga harus menjadi perhatian pemerintah untuk pengembangannya karena merupakan pemasok beras untuk Kabupaten Buru dan Provinsi Maluku. Arahan pemanfaatan ruang berbasis kemampuan lahan menunjukkan peningkatan luas pola ruang pada hutan lindung menjadi seluas 167,057 ha (34.55%) yang bersumber dari areal dengan kemampuan VIII di luar kawasan hutan dan dari kawasan hutan produksi dan terbatas, hutan suaka alam bertambah menjadi 12,543 ha (2.59%). Kawasan pengembangan pertanian lahan kering bertambah menjadi 26,069 ha (5.39%) yang bersumber dari areal dengan kelas kemampuan III dan IV. Sedangkan untuk pengembangan pertanian lahan basah berkurang mnjadi 13,987 ha (2.89 %) hal ini dikarenakan setelas di evaluasi kawasan pengembangan ini terdapat pada lahan dengan kelas kemampuan tinggi dengan faktor pembatas kelerengan. Arahan program pembangunan yang dihasilkan sesuai dengan fakta yang ditemukan dapat menjadi dasar untuk dipertimbangkan dalam pengembangan kawasan untuk mengatasi disparitas antar kecamatan di Kabupaten Buru, selain hasil analisis yang menjadi pertimbangan yang juga harus dipertimbangkan adalah potensi-potensi sektor lain seperti sektor perikanan, pertambangan dan sektor lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Kabupaten Buru. Saran 1. Hasil Analisis komoditas unggulan kiranya dapat menjadi dasar dalam hal pengembangan komoditas unggulan khususnya di Kabupaten Buru. 2. Potensi lahan yang tersedia di Kabupaten Buru sebaiknya dikelola secara lestari dan berkelanjutan. 3. Hasil penelitian ini kiranya menjadi pertimbangan untuk menentukan arahan program pembangunan di Kabupaten Buru.
53
DAFTAR PUSTAKA Aliati AS. 2007. Kajian Kawasan Lindung Untuk Penataan Ruang Yang Ramah Lingkungan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor Jawa Barat) [tesis]. Bogor (ID). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Buru. 2013. Kabupaten Buru Dalam Angka. [BAPPEDA] Kabupaten Buru. Dokumen RTRW Kabupaten Buru 2008-2028. [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Deputi Pengkajian Kebijakan Teknologi. 2001. Manajemen teknologi untuk pengambangan wilayah. Jakarta. (ID): IPB Pres. [DINKES] Dinas Kesehatan Provinsi Maluku. Angka Kematian Bayi Provinsi. 2013. Dardak H. 2005. Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai Upaya Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif, dan Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Save Our Land For The Better Environtment, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 10 Desember 2005. Djaenudin D, Sulaeman Y, Abdurachman A. 2002. Pendekatan Pewilayahan Komoditas Pertanian Menurut Pedo-Agroklimat di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 21 (1):1-10. Fajarini R. 2014. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Perencanaan Tata Ruang di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor (ID). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. FAO. 1976. A Framework of Land Evaluation. FAO Soils Bulletin No 32, ILRI Publication No 22, Rome, Italy. Hardjowigeno S. Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Bogor. Gadjah Mada University Press. Hidayah I. 2010. Analisis Prioritas Komoditas Unggulan Perkebunan Daerah Kabupaten Buru. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Maluku (ID): Agrika. 4(1):1-8 Mahbubah A. 2008. Strategi Pengembangan Wilayah Dalam Kaitannya dengan Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Kabupaten Purwakarta [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
54
Nashiha M, Turmudi, Nahib I. 2015. Arahan Peruntukan Ruang Kawasan Perkebunan Dengan Menggunakan Pendekatan Sistem Lahan Studi Kasus : Kabupaten Lombok Tengah. Majalah Ilmiah Globe. 17(2):181-188 Pose A R dan Tselios V. 2010. Inequalities in income and education and regional economic growth in western Europe. Annual Regional Science. 44:349–375 Pratiwi A R. 2015. Sebaran Lahan Kritis Dalam Kaitannya Dengan Daya Dukung Fisik dan Penataan Ruang di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Rahman R. 2015. Perencanaan Penggunaan Lahan Pertanian Berbasis Komoditas Unggulan di Wilayah Boliyohuto Kabupaten Gorontalo [tesis]. Bogor (ID). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Riyadi dan Bratakusumah DS. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah. Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2004. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E dan Pranoto S. 2007. Agropolitan Membangun Ekonomi Pedesaan. Bogor. Crestpen Press. Rustiadi E dan Panuju DR. 2012. Teknik Analisis Perencanaan Pengembangan Wilayah (bahan kuliah). Bogor (ID). Bagian Perencanaan Pengembangan Wiayah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (Cetakan Pertama). Crespent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Sari DR. 2008. Pemodelan Multi-Kriteria untuk Pengembangan Wilayah Berbasis Komoditas Unggulan di Kabupaten Lampung Timur [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sari MR. 2010. Analisis Komoditi Unggulan Pertanian Di Pulau Buru, Provinsi Maluku. Universitas Pattimura. Agroforestri. 5(3):228-236. Setiawan I. 2010. Arahan Pengembangan Sektor Pertanian Kabupaten Sumbawa Berbasis Komoditas Unggulan Daerah [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
55
Sitorus S. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bogor: Laboratorium Perencanaan Pengembangan Wilayah Departemen ITSL Fakultas Pertanian IPB. Syafruddin, Kairupan AN, Negara A, Limbongan J. 2004. Penataan Sistem Pertanian dan Penetapan Komoditas Unggulan Berdasarkan Zona Agroekologi di Sulawesi Tengah. Jurnal Litbang Pertanian 23(2):61-67. Syahidin A. 2006. Studi Kebijakan Pengembangan Berbasis Sektor Unggulan: Kasus Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah. [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Bogor. Tarigan R. 2008. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT Bumi Aksara. Widiatmaka, Ambarwulan W, Purwanto MYJ, Setiawan Y, Effendi H. 2015. Daya Dukung Lingkungan Berbasis Kemampuan Lahan di Tuban, Jawa Timur. J Manusia dan Lingkungan. 22 (2):247-259.
56
LAMPIRAN
57
Lampiran 1 Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kelas kemampuan pada tingkat sub kelas mengikuti Arsyad (2010). No 1
Faktor Penghambat Tektur tanah (t)
2
Kecuraman lereng
3
Drainase tanah (d)
4
Kepekaan erosi (KE)
Intensitas Faktor Penghambat t1 : halus : liat berdebu, liat t2 : agak halus : liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempug liat berpasir. t3 : sedang : debu, lempung berdebu, lempung. t4 : agak kasar : lempung berpasir. t5 : kasar : pasir berlempung, pasir. A = 0 sampai ≤ 3 % (datar) B = > 3 sampai 8 % (landai atau berombak) C = > 8 sampai 15 % (agak miring atau bergelombang) D = > 15 sampai 30 % (miring atau berbukit) E = > 30 sampai 45 % (agak curam atau bergunung) F = > 45 sampai 65 % (curam) G = > 65 % (sangat curam) d0 : berlebihan (excessively drained), air lebih segera keluar dari tanah dan sangat sedikit air yang ditahan oleh tanah. d1 : baik, tanah mempunyai peredaran udara yang baik. d2 : agak baik, tanah mempunyai peredaran udara baik di daerah perakaran. d3 : agak buruk, lapisan atas tanah mempunyai peredaran udara baik. d4 : buruk, bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak – bercak kelabu, coklat dan kekuningan. d5 : sangat buruk, seluruh lapisan sampai permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah lapisan bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak – bercak berwarna kebiruan, atau terdapat air yang menggenang di permukaan tanah dalam waktu yang lama sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. KE1 : 0,00 sampai 0,10 (sangat rendah) KE2 : 0,11 sampai 0,20 (rendah) KE3 : 0,21 sampai 0,32 (sedang) KE4 : 0,33 sampai 0,43 (agak tinggi) KE5 : 0,44 sampai 0,55 (tinggi) KE6 : 0,56 sampai 0,64 (sangat tinggi)
59 58
Lampiran 2 Contoh Kelas Kemampuan Lahan No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Simbol KRI KRI KRI KRI MRM MRM MRM MRM ORI ORI ORI ORI ORI ORI ORI ORI ORI ORI ORI ORI AMU AMU AMU AMU PPL PPL PPL
Tekstur Halus Halus Halus Halus Agak Halus Agak Halus Agak Halus Agak Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Agak Halus Agak Halus Agak Halus Agak Halus Halus Halus Halus
Drainase Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Baik Baik Baik Baik Buruk Buruk Buruk
klas_Lrng 0-3 15 - 30 3-8 30 - 45 0-3 15 - 30 30 - 45 8 - 15 0-3 0-3 0-3 0-3 15 - 30 15 - 30 15 - 30 3-8 3-8 3-8 8 - 15 8 - 15 > 65 0-3 15 - 30 30 - 45 0-3 0-3 0-3
Erodi 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,51 0,14 0,14 0,14 0,14 0,51 0,51 0,51
KL_Tex t1 t1 t1 t1 t2 t2 t2 t2 t1 t1 t1 t1 t1 t1 t1 t1 t1 t1 t1 t1 t2 t2 t2 t2 t1 t1 t1
KL_Drain d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d4 d1 d1 d1 d1 d4 d4 d4
KL_Lrng A D B E A D E C A A A A D D D B B B C C G A D E A A A
KL_KE KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE5 KE2 KE2 KE2 KE2 KE5 KE5 KE5
KL IVd,ke IV(d) IV(d) VI(i) IVd,ke IV(d) VI(i) IV(d) IVd,ke IVd,ke IVd,ke IVd,ke IV(d) IV(d) IV(d) IV(d) IV(d) IV(d) IV(d) IV(d) VIII(i) I IV(i) VI(i) IV(d) IV(d) IV(d)
Luas_ha 2.469 278 765 37 212 458 92 62 303 332 1.040 14.589 10 224 1.222 42 222 2.380 46 348 26 855 416 2 983 236 40
KECAMATAN AIR BUAYA AIR BUAYA AIR BUAYA AIR BUAYA BATA BUAL BATA BUAL BATA BUAL BATA BUAL AIR BUAYA BATA BUAL NAMLEA WAEAPO BATA BUAL NAMLEA WAEAPO BATA BUAL NAMLEA WAEAPO NAMLEA WAEAPO AIR BUAYA AIR BUAYA AIR BUAYA AIR BUAYA AIR BUAYA BATA BUAL WAPLAU
60 59
Lampiran 3 Contoh Penilaian Keselarasan Kelas Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Pola Ruang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
KKL I I I II II II III III III III IV IV IV IV VI VI VI VII VII VII VIII VIII VIII VIII
P_Lahan Hutan Sekunder Semak Belukar Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Hutan Primer Hutan Sekunder Semak Belukar Perkebunan Pemukiman/Lahan Terbangun Pemukiman/Lahan Terbangun Perkebunan Perkebunan Perkebunan Pemukiman/Lahan Terbangun Kebun Campuran Kebun Campuran Sawah Semak Belukar Semak Belukar Semak Belukar Hutan Primer Sawah Sawah Bandara dan Pelabuhan
KKL_PLA Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Tidak Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras
P_Ruang Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Pengembangan Pekebunan RT Cadangan Pengembangan Hutan Lindung Hutan Lindung RT Cadangan Pengembangan Pengembangan Pertanian Lahan Basah Hutan Produksi Pengembangan Pekebunan Pengembangan Pekebunan Pengembangan Pertanian Lahan Basah Pengembangan Pertanian Lahan Kering Pengembangan Perkotaan Hutan Produksi Terbatas Pengembangan Perkotaan Hutan Produksi Pengembangan Pekebunan Pengembangan Perkotaan Pengembangan Pertanian Lahan Basah Hutan Lindung Pengembangan Pertanian Lahan Basah Pengembangan Pertanian Lahan Kering Pengembangan Perkotaan
KKL_PR Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Tidak Selaras Selaras Selaras Selaras Tidak Selaras Selaras Selaras Selaras Tidak Selaras Selaras Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras
KKL_PLA_PR Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras Tidak Selaras
Luas 1,8 28,0 128,3 4,6 28,6 110,7 2052,4 128,3 6,4 7,4 1,5 124,2 39,8 260,0 36,0 167,0 8,3 49,3 41,2 45,9 45,0 41,9 26,4 80,0
61 60
Lampiran 4 Contoh Arahan Pemanfaatan Ruang Kelas Kemampuan Penggunaan Lahan Lahan Hutan Mangrove Lahan Terbuka I Semak Belukar Hutan Primer Padang Rumput II Semak Belukar Pemukiman Transmigrasi Perkebunan III Pertanian Lahan Kering Sawah Pemukiman/Lahan Terbangun Perkebunan IV Semak Belukar Rawa Hutan Sekunder Sawah VI Semak Belukar Rawa Lahan Terbuka Semak Belukar VII Pertanian Lahan Kering Hutan Mangrove Semak Belukar VIII Padang Rumput
Pola Ruang
Arahan
Pengembangan Pekebunan Pengembangan Perkotaan Pengembangan Pertanian Lahan Basah Hutan Lindung Pengembangan Pertanian Lahan Basah Pengembangan Perkotaan Pengembangan Pertanian Lahan Basah Pengembangan Pertanian Lahan Basah Pengembangan Industri Pengembangan Perkotaan Pengembangan Pertanian Lahan Basah Pengembangan Pekebunan Hutan Lindung Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Lindung Hutan Lindung Hutan Suaka Alam Pengembangan Perkotaan Pengembangan Perkotaan Pengembangan Perkotaan Pengembangan Pertanian Lahan Basah
Hutan Suaka Alam Pengembangan Perkotaan Pengembangan Pertanian Lahan Basah Hutan Lindung Pengembangan Pertanian Lahan Basah Pengembangan Perkotaan Pengembangan Perkotaan Pengebangan Perkebunan Pengembangan Pertanian Lahan Kering Pengembangan Pertanian Lahan Basah Pengembangan Perkotaan Pengembangan Perkebunan Hutan Lindung Hutan Lindung Pengembangan Pertanian Lahan Basah Hutan Lindung Hutan Lindung Hutan Suaka Alam Pengembangan Pertanian Lahan Kering Hutan Suaka Alam Hutan Lindung Hutan Lindung
62
61
52
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 29 September 1989 dari pasangan Mohd. Djafar Polpoke, SE dan Dra. Siti Sarah Tomu, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara. Jenjang pendidikan TK sampai SMA diselesaikan di Kota Ambon. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian minat Agribisnis, Universitas Pattimura Ambon dari tahun 2006 dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2013 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada program Magister Sains pada program studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana IPB dengan biaya sendiri.