Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP 2015 ISBN 978-602-74194-0-7 Purwokerto, 13 Juni 2015
PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH SOSIAL PADA MATA KULIAH PENGANTAR ILMU SOSIAL TERHADAP BERPIKIR KRITIS MAHASISWA PENDIDIKAN GEOGRAFI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 1,2
Mustolikh1, Suwarsito2 Pendidikan Geografi FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Dukuh waluh PO BOX. 202 Kembaran Banyumas 53182 Telp. (0281) 636751, E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilatar belakangi adanya kesadaran sebagian besar mahasiswa Pendidikan Geografi Semester 1 UMP Purwokerto yang masih rendah terhadap masalah sosial. Asumsi lain yang menjadi dasar pelaksanaan penelitian ini adalah adanya keyakinan bahwa secara khusus penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan strategi pembelajaran Pengantar Ilmu Sosial dalam bentuk pergeseran paradigma mengajar konvensional menjadi paradigma mengajar yang berpusat pada mahasiswa. Target khusus yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan kompetensi berfikir kritis mahasiswa terhadap permasalahan sosial. Upaya peningkatan kesadaran mahasiswa terhadap permasalahan sosial ini secara khusus dilakukan dengan melatih mahasiswa untuk terbiasa berpikir ke arah peduli permasalahan sosial melalui penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Sosial. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimen sungguhan/murni (True Eksperimental Research), yaitu untuk mengungkapkan sebab dan akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol disamping kelompok eksperimen yang dipilih dengan menggunakan pemadanan. Adapun subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester 1 Pendidikan Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, sejumlah 34 mahasiswa. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket/kuesioner. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan Statistik “t” atau t-tes., dengan memperhatikan persyaratan analisis yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Hasil perhitungan diperoleh D-hitung, baik untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol keduanya lebih kecil dibandingkan dengan D-tabel, yaitu 0,1161 dan 0,3341 < 0,355. Dengan demikian maka sampel penelitian yang diambil berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Karena 2 hitung < 2 tabel, yaitu 0,092 < 3,84146, dalam taraf nyata 0,05, maka data skor kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memenuhi persyaratan homogenitas. Hasil penelitian menunjukkan rerata skor berpikir kritis kelompok eksperimen sebesar 73,35 sedangkan kelompok kontrol sebesar 61,00. Skor terendah berpikir kritis kelompok eksperimen sebesar 53, sedangkan kelompok kontrol sebesar 42. Skor tertinggi berpikir kritis kelompok eksperimen sebesar 89, sedangkan kelompok kontrol sebesar 79. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa hipotesis nol (Ho): "tidak terdapat pengaruh positif pembelajaran berbasis masalah sosial pada mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial terhadap berpikir kritis mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto”, ditolak dan sebaliknya hipotesis penelitian diterima. Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan yang menunjukan thitung lebih besar dari pada t-tabel, yaitu 3,604 > 2,12, berarti ada peningkatan berpikir kritis melalui penggunaan model pembelajaran berbasis masalah sosial pada mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial pada mahasiswa semester 1 Pendidikan Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto”. Kata kunci: Pembalajaran Berbasis Masalah Sosial, Berpikir Kritis.
24
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP 2015 ISBN 978-602-74194-0-7 Purwokerto, 13 Juni 2015
PENDAHULUAN Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan beberapa prinsip penyelenggaraan pendidikan, dimana salah satu prinsipnya adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Sebagai implikasi dari prinsip ini adalah terjadinya pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Tujuan pembelajaran adalah perubahan tingkah laku atau perilaku yang positif dari peserta didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran, seperti perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku yang dapat diamati melalui alat indera oleh orang lain baik tutur katanya, motorik, maupun gaya hidupnya.Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu saja pembelajaran yang optimal dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya dan peran aktif peserta didik untuk membangun makna atau pemahaman diri sendiri agar timbul gagasan baru. Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagai mahluk sosial manusia memiliki sifat, tingkah laku, dan kebiasaan yang selalu mengalami perubahan sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi sosial tempat hidupnya. Oleh karenanya manusia secara langsung maupun tidak langsung mempunyai peran dalam proses terjadinya permasalahan sosial. Beberapa contoh permasalahan sosial diantaranya: kemiskinan, keadilan sosial, lingkungan hidup, ketidak percayaan sosial (social distrust) dan kebohongan publik, penyalahgunaan obat terlarang (psikotropika), aborsi dan prostitusi, pornografi dan pornoaksi, dan konflik peradaban (civilization conflict). Salah satu cara untuk mencegahnya adalah melalui pendidikan. Upaya ini akan lebih nampak hasilnya apabila diawali sedini mungkin melalui pendidikan di sekolah. Pembelajaran berbasis masalah sosial melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat pada peserta didik, yang mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan belajar mandiri. Pembelajaran berbasis masalah sosial juga mendukung peserta didik untuk memperoleh struktur pengetahuan yang terintegrasi dalam masalah dunia nyata, masalah yang akan dihadapi peserta didik dalam dunia kerja atau profesi, komunitas dan kehidupan pribadi. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003), ciri utama pembelajaran berbasis masalah meliputi mengorientasikan siswa kepada masalah atau pertanyaan yang autentik, multidisiplin, menuntut kerjasama dalam penyelidikan, dan menghasilkan karya. Dalam pembelajaran berbasis masalah situasi atau masalah menjadi titik tolak pembelajaran untuk memahami konsep, prinsip dan mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, sehingga dengan pembelajaran berbasis masalah diharapkan akan membuat siswa menjadi pembelajar yang mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya itu. Menurut Dewey (dalam Trianto, 2009:91) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan
25
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP 2015 ISBN 978-602-74194-0-7 Purwokerto, 13 Juni 2015
masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem syaraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik. Adapun subjek penelitian dalam tulisan ini, adalah mahasiswa semester 1 Pendidikan Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, yang menempuh mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial, sejumlah 34 mahasiswa. Penelitian ini berfokus pada pengembangan pembelajaran berbasis masalah sosial pada mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial sebagai upaya untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa terhadap pentingnya kepedulian terhadap permasalahan sosial, dengan asumsi bahwa kesadaran yang masih rendah pada sebagian besar mahasiswa terhadap masalah sosial. Asumsi lain yang menjadi dasar pelaksanaan penelitian ini adalah adanya keyakinan bahwa secara khusus, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan strategi pembelajaran mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial dalam bentuk pergeseran paradigma mengajar konvensional menjadi paradigma mengajar yang berpusat pada mahasiswa. Asumsi tersebut sependapat dengan Lie (2008: 3) yang mengemukakan bahwa kebanyakan guru mengajar dengan metode ceramah dan mengharapkan peserta didik duduk, diam, mendengarkan, mencatat dan menghafal. Dengan demikan maka diharapkan proses pembinaan kompetensi mahasiswa terhadap masalah sosial dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah sosial dapat diberikan dengan lebih efektif dan efisien kepada mahasiswa sedini mungkin. Target khusus yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan kompetensi berfikir kritis mahasiswa terhadap permasalahan sosial. Upaya peningkatan kesadaran mahasiswa terhadap permasalahan sosial ini secara khusus dilakukan dengan melatih mahasiswa untuk terbiasa berpikir ke arah peduli permasalahan sosial melalui penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Sosial dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial. Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah pembelajaran yang memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk berpikir kritis dalam menyikapi setiap permasalahan yang dihadapinya terutama dalam proses pembelajannya. Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang siswa untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, siswa bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world) (Major, Claire H dan Palmer, Besty, 2001). Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesa dan mempresentasikan penemuannya kepada orang lain (Moffit, 2001 dalam Depdiknas, 2002). Pembelajaran Berbasis Masalah menyarankan kepada peserta didik untuk mencari atau menemukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan. Pembelajaran berbasis masalah memberikan tantangan kepada mahasiswa untuk belajar sendiri. Dalam hal ini mahasiswa lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit bimbingan atau arahan dosen, sementara pada pembelajaran tradisional mahasiswa lebih diperlakukan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan secara terstruktur oleh seorang dosen. Abbas (2000:12) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri. Pendekatan berbasis masalah membuat siswa bertanggung jawab pada pembelajaran mereka melalui penyelesaian masalah dan melakukan kegiatan inkuiri dalam rangka mengembangkan proses penalaran. Pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah lebih menempatkan guru sebagai fasilitator daripada sebagai sumber, sehingga dalam proses pembelajaran siswa terlibat dalam pembelajaran aktif,
26
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP 2015 ISBN 978-602-74194-0-7 Purwokerto, 13 Juni 2015
kolaboratif, berpusat kepada siswa, yang mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan belajar mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang ini. Senada dengan hal tersebut Arafah dalam Afcariono (2008:67) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keterampilan berpikir melalui kemampuan bertanya dan menjawab siswa, karena siswa lebih tertarik dan memahami permasalahan yang mereka temukan. Jonassen (1999) mendesain model lingkungan belajar konstruktivistik yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem-based learning. Model tersebut memuat komponen-komponen esensial yang meliputi: (1) pertanyaanpertanyaan, kasus, masalah atau proyek, (2) kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain, (3) sumber-sumber informasi, (4) cognitive tools, (5) pemodelan yang dinamis, (6) percakapan dan kolaborasi, (7) dukungan kontekstual/sosial. Memecahkan masalah, berpikir kritis, kreatif, sistematis, dan logis termasuk dalam beberapa jenis keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa untuk menghadapi perkembangan zaman. Pernyataan ini selaras dengan pendapat Sumarmi (2013) bahwa berpikir kritis merupakan salah satu kompetensi masa depan yang harus dimiliki oleh siswa. Kemampuan berpikir kritis perlu dilatih agar siswa lebih terbiasa untuk melakukannya. Kemampuan berpikir kritis dapat dimulai dari penyelesaian masalah kecil yang ada di sekitar kita, misalnya berusaha untuk menyelesaikan tugas dengan tepat waktu dan mengerjakannya secara maksimal. Penyelesaian masalah semacam ini dibutuhkan kemampuan berpikir kritis dari dalam diri siswa. Sesuai dengan pendapat Fachrurazi (2011) bahwa ”berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri”. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi seseorang yang mampu berpikir kritis. Haskins (2002) menjelaskan bahwa sifat berpandangan terbuka merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan berpikir kritis. Sumarmi (2013) menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang pemikir kritis perlu menemukan fakta dan bukti untuk mendukung argumen yang dimiliki. Fakta-fakta yang dapat mendukung pendapat seseorang dapat diperoleh dari berbagai sumber infomasi yang dilakukan dengan cara banyak membaca dan bereksperimen. Berpikir kritis termasuk di dalam kemampuan berpikir kompleks atau bisa juga disebut sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi yang harus didasarkan pada keterampilan dasar untuk tujuan lebih spesifik. Berpikir kritis ialah berpikir dengan konsep yang matang dan mampu memberi alasan secara terorganisasi dan mengevaluasi kualitas suatu alasan secara sistematis. Berpikir kritis mengandung makna sebagai proses penilaian atau pengambilan keputusan yang penuh pertimbangan dan dilakukan secara mandiri. Scriven & Paul (1992) mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah proses intelektual yang dengan aktif dan terampil mengkonseptualisasi, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi yang dikumpulkan atau dihasilkan dari pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi, untuk memandu keyakinan dan tindakan. Selanjutnya Menurut Gerhard (1971), berpikir kritis merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data, analisis data, dan evaluasi data dengan mempertimbangkan aspek kualitatif serta melakukan seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi.
27
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP 2015 ISBN 978-602-74194-0-7 Purwokerto, 13 Juni 2015
Berpikir kritis diperlukan dalam rangka memecahkan suatu permasalahan sehingga diperoleh keputusan yang cepat dan tepat. Lebih jauh Bhisma Murti (2009), mengemukakan bahwa: Berpikir kritis mencakup keterampilan menafsirkan dan menilai pengamatan, informasi, dan argumentasi. Berpikir kritis meliputi pemikiran dan penggunaan alasan yang logis, mencakup keterampilan membandingkan, mengklasifikasi, melakukan pengurutan (sekuensi), menghubung-kan sebab dan akibat, mendeskripsikan pola, membuat analogi, menyusun rangkaian, memberi alasan secara deduktif dan induktif, peramalan, perencanaan, perumusan hipotesis, dan penyampaian kritik. Norris dan Ennis (dalam Stiggin, 1989) menyatakan berpikir kritis merupakan berpikir masuk akal dan reflektif yang difokuskan pada pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan atau diyakini. Masuk akal berarti berpikir didasarkan atas fakta-fakta untuk menghasilkan keputusan yang terbaik, reflektif artinya mencari dengan sadar dan tegas kemungkinan solusi yang terbaik. Dengan demikian berpikir kritis, menurut Norris dan Ennis adalah berpikir yang terarah pada tujuan. Tujuan dari berpikir kritis adalah mengevaluasi tindakan atau keyakinan yang terbaik. Lebih jauh Ennis (1996) mengemukakan bahwa berpikir kritis sesungguhnya adalah suatu proses berpikir yang terjadi pada seseorang serta bertujuan untuk membuat keputusankeputusan yang masuk akal mengenai sesuatu yang dapat ia yakini kebenarannya serta yang akan dilakukannya nanti. Ketika seseorang dihadapkan untuk menentukan sebuah keputusan pada saat ia dihadapkan pada kondisi terdesak dan dihadapkan pada beberapa pilihan keputusan, maka kemampuan berpikir kritis haruslah dikembangkan karenadengan berpikir kritis keputusan yang diambil itu didasarkan pada informasi yang akurat serta pemahaman yang jelas terhadap situasi yang dihadapi. Ennis (1996) mengemukakan pula bahwa ada enam unsur dasar yang perlu dipertimbangkan dalam berpikir kritis, yaitu : fokus, alasan, kesimpulan, situasi, kejelasan dan pemeriksaan secara keseluruhan. Jika keseluruhan unsur ini telah dipertimbangkan secara matang maka orang dapat membuat keputusan yang tepat. Orlich, (1998), menyatakan bahwa kemampuan yang berasosiasi dengan berpikir kritis yang efektif meliputi: (1) mengobservasi; (2) mengidentifikasi pola, hubungan, hubungan sebab-akibat, asumsi-kesalahan alasan, kesalahan logika dan bias; (3) membangun kriteria dan mengklasisfikasi; (4) membandingkan dan membedakan, (5) menginterpretasikan; (6) meringkas; (7) menganalisis, mensintesis dan menggeneralisasi; mengemukakan hipotesis; (8) membedakan data yang relevan dengan yang tidak relevan, data yang dapat diverifikasi dan yang tidak, membedakan masalah dengan pernyataan yang tidak relevan. Sehubungan dengan itu, Zeidler, et al (1992) menyatakan ciri-ciri orang yang mampu berpikir kritis adalah: (a) memiliki perangkat pikiran tertentu yang dipergunakan untuk mendekati gagasannya, dan memiliki motivasi kuat untuk mencari dan memecahkan masalah, (b) bersikap skeptis yaitu tidak mudah menerima ide atau gagasan kecuali dia sudah dapat membuktikan kebenarannya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kemampuan berpikir kritis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses mental yang mencakup kemampuan merumuskan masalah, memberikan dan menganalisis argumen, melakukan observasi, menyusun hipotesis, melakukan deduksi dan induksi, mengevaluasi, dan mengambil keputusan serta melaksanakan tindakan.
28
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP 2015 ISBN 978-602-74194-0-7 Purwokerto, 13 Juni 2015
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di UMP Purwokerto yang beralamat di Jl. Raya Dukuhwaluh Purwokerto. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester I Pendidikan Geografi – FKIP – UMP Purwokerto, pada tahun ajaran 2014 – 2015, sejumlah 34 mahasiswa. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan penelitian eksperimen sungguhan/murni (True Eksperimental Research). Rancangan penelitian eksperimen sungguhan/murni (True Eksperimental Research) adalah rancangan yang digunakan untuk mengungkapkan sebab dan akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol disamping kelompok eksperimen yang dipilih dengan menggunakan teknik acak. Untuk lebih meningkatkan kualitas penelitian ini kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dipilih dengan menggunakan pemadanan. Oleh karena itu rancangan ini relatif paling cermat dalam mengungkapkan hubungan sebab akibat antar variabel. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan angket/kuesioner, dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) Bahwa subjek adalah orang yang lebih tahu tentang dirinya, (2) Bahwa apa yang dinyatakan subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya, dan (3) Bahwa interpretasi subjek terhadap pertanyaan/pernyataan dapat diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksud oleh peneliti. Pada penelitian ini menggunakan angket tertutup, langsung dan berbentuk skala bertingkat. Angket digunakan untuk mengungkap data berpikir kritis. Validitas yang digunakan dalam instrumen ini adalah validitas isi atau content validity, yaitu mengukur instrumen sejajar dengan indikator-indikatornya. Setelah dilakukan pengumpulan data berpikir kritis melalui angket, kemudian dilakukan persyaratan analisis yaitu melakukan perhitungan uji normalitas dan homogenitas data. Uji Homogenitas menggunakan uji Barlett. Normalitas dihitung dengan rumus KolmogorovSmirnov (Uji K-S). Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan Statistik “t” atau t-tes. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Deskripsi Data Hasil Penelitian Data yang diperoleh dengan menggunakan angket/kuesioner, yaitu skor berpikir kritis kelompok ekperimen dan kelompok kontrol. Kedua kelompok tersebut diajar dengan menggunakan model pembelajaran yang berbeda, yaitu (1) kelompok mahasiswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah sebagai kelompok eksperimen (X1), dan (2) kelompok mahasiswa yang diajar tidak menggunakan model pembelajaran berbasis masalah sebagai kelompok kontrol (X2). 1.
Skor Mahasiswa Kelompok Eksperimen Mahasiswa kelompok eksperimen yang masuk pemadanan sebanyak 17 mahasiswa. Jumlah skor berpikir kritis (X1) = 1.247, jumlah kuadrat skor (X12) = 92.955, rata-rata skor ( X 1) = 73,353 dan standar deviasinya sebesar 9,630, serta rentangan skor berpikir kritis yang dicapai mahasiswa berkisar antara 53 – 89. Dengan langkah-langkah membuat tabel distribusi frekuensi, data skor berpikir kritis kelompok eksperimen dapat dilihat pada Tabel 1.
29
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP 2015 ISBN 978-602-74194-0-7 Purwokerto, 13 Juni 2015
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Skor Berpikir Kritis Kelompok Eksperimen No.
Rentang Batas Skor Bawah Atas 1. 51 – 58 50,5 58,5 2. 59 – 66 58,5 66,5 3. 67 – 74 66,5 74,5 4. 75 – 82 74,5 82,5 5. 83 – 90 82,5 90,5 Jumlah Sumber: Data Primer, 2015
Frekuensi Absolut Relatif (%) 1 5,89 3 17,65 5 29,41 6 35,29 2 11,76 17 100,00
Berdasar Tabel 1 dapat diketahui mahasiswa kelompok eksperimen pada rentang skor 75 – 82 merupakan kelompok terbanyak yaitu 6 mahasiswa atau 35,29% dari seluruh responden sejumlah 17 mahasiswa. Mahasiswa kelompok eksperimen yang menempati skor menengah ke atas lebih banyak dibanding skor menengah ke bawah, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa kelompok eksperimen mempunyai berpikir kritis menengah ke atas. 2.
Nilai Kelompok Kontrol Jumlah mahasiswa kelompok kontrol yang masuk pemadanan sebanyak 17 mahasiswa. Jumlah skor (X2) = 1.037, jumlah kuadrat skor (X22) = 64.969, ratarata skor ( X 2) = 61,000 dan standar deviasinya sebesar 10,344, serta rentangan skor berpikir kritis yang dicapai mahasiswa berkisar antara 42 - 79. Dengan langkah-langkah membuat tabel distribusi frekuensi, data skor berpikir kritis kelompok kontrol dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Skor Berpikir Kritis Kelompok Kontrol No.
Rentang Batas Skor Bawah Atas 1. 41 – 48 40,5 48,5 2. 49 – 56 48,5 56,5 3. 57 – 64 56,5 64,5 4. 65 – 72 64,5 72,5 5. 73 – 80 72,5 80,5 Jumlah Sumber: Data Primer, 2015
Frekuensi Absolut Relatif (%) 2 11,76 3 17,65 6 35,29 4 23,53 2 11,76 17 100,00
Berdasar Tabel 2 dapat diketahui mahasiswa kelompok kontrol pada rentang skor 57 – 64 memiliki responden terbanyak yaitu sejumlah 6 responden atau 35,29% dari seluruh responden sejumlah 17 mahasiswa. Mahasiswa kelompok kontrol yang menempati skor menengah ke atas lebih banyak dibanding skor menengah ke bawah, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa kelompok kontrol mempunyai berpikir kritis menengah ke atas.
30
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP 2015 ISBN 978-602-74194-0-7 Purwokerto, 13 Juni 2015
B.
Pengujian Persyaratan Analisis Untuk kepentingan uji hipotesis terlebih dahulu data hasil penelitian dilakukan uji persyaratan analisisnya, yaitu meliputi uji Normalitas dan uji Homogenitas. 1.
Uji Normalitas Pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji KolmogorovSmirnov (Uji K-S). Data yang dilakukan uji normalitasnya adalah data skor berpikir kritis hasil angket/kuesioner kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil perhitungan uji normalitasnya dapat dilihat pada Tabel 3. Sedangkan Hipotesis dalam pengujian normalitas ini adalah: Ho : data sampel berdistribusi normal, dan H1 : data sampel berdistribusi tidak normal Tabel 3. Hasil Perhitungan Normalitas Skor Berpikir Kritis Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Kelompok Eksperimen Kontrol
n 17 17
D-hitung (a1 maks) 0,1161 0,3341
D-tabel (α=0,02) 0,355 0,355
Keterangan Normal Normal
Berdasarkan Tabel 3. diketahui D-hitung, baik untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol keduanya lebih kecil dibandingkan dengan D-tabel, yaitu 0,1161 dan 0,3341 < 0,355. Dengan demikian maka hipotesis nol (Ho) diterima, artinya sampel penelitian yang diambil berasal dari populasi yang berdistribusi normal. 2.
Uji Homogenitas Untuk memenuhi persyaratan analisis, maka data penelitian di uji terlebih dahulu homogenitasnya, baik data yang berasal dari kelompok proyek maupun kelompok non proyek. Pengujian homogenitas data menggunakan uji Bartlett. Tabel 4. Hasil Perhitungan Homogenitas Skor Berpikir Kritis Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Kelompok Dk 1/dk S2 Log S2 Dk (log S2) Eksperimen 16 0,0625 92,737 1,967 31,472 Kontrol 16 0,0625 106,998 2,029 32,470 Jumlah 32 0,1250 63,942 a.
Varian gabungan dari semua sampel adalah:
S2
(n
1
1)Si
(n1 1) 16(92,737) 16(106,998) S2 32 = ( 1.483,792+1.711,968) : 32
31
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP 2015 ISBN 978-602-74194-0-7 Purwokerto, 13 Juni 2015
= 3.195,76 : 3 Log S2 = log 99,868 = 1,999 b.
= 99,868
Harga satuan B dengan rumus; B = (log S2 )(n-1) B = 1,999 x 32 = 63,982
Uji Bartlett digunakan statistik Chi Kuadrat dengan rumus: 2 = (ln 10) {B - (nI –1) log S2 } = (2,3026)(63,982 – 63,942) = 2,3026 x 0,04 = 0,092 Dengan menggunakan alpha 0,05 dari statistik Chi Kuadrat dengan dk = 1, maka didapat 2 (0,95)(1) = 3,84146. Karena 2 hitung < 2 tabel, yaitu 0,092 < 3,84146, berarti Ho diterima dalam taraf nyata 0,05. Dengan demikian data skor kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memenuhi persyaratan homogenitas. C.
Pengujian Hipotesis Setelah persyaratan pengujian hipotesis terpenuhi langkah selanjutnya adalah menguji hipotesis penelitian. Hipotesis nol (Ho ) berbunyi: “tidak terdapat pengaruh positif pembelajaran berbasis masalah sosial pada mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial terhadap berpikir kritis mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto”. Pengujian hipotesis tersebut menggunakan rumus t-score. Data hasil penelitian diketahui: n1 = 17 n2 = 17 X1 = 1.247 X2 = 1.037 X 1 = 73,353 X 2 = 61,000 S12 = 92,737 S22 = 106,998 Selanjutnya data tersebut dimasukkan ke dalam rumus t-score:
t
X1 - X2 2 1
2 2
S S n n
73,353 - 61,000 92,737 106,998 17 17
= 12,353 : 3,428 = 3,604 Kriteria pengujian adalah; terima Ho jika:
-
W1 t 1 W2 t 2 W t W2 t 2 t 1 1 W1 W2 W1 W2
Dengan: W1 = S12 / n1 = 5,455 W2 = S22 / n2 = 6,294 = 0,05 t1 = t(1- ½ ), (n1-1)
32
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP 2015 ISBN 978-602-74194-0-7 Purwokerto, 13 Juni 2015
= t(0,975)(16) = 2,12 (lihat tabel distribusi t) t2 = t(1- ½ ), (n2-1) = t(0,975)(23) = 2,12 (lihat tabel distribusi t)
W1 t 1 W2 t 2 (5,455)(2,12) (6,294)(2,12) W1 W2 5,455 6,294 W t W2 t 2 11,565 13,343 - 1 1 W1 W2 24,908
-
= 24,908 : 11,749 = 2,12 Berdasarkan perhitungan dihasilkan t-hitung lebih besar daripada t-tabel, yaitu – 2,12 < 3,604 > 2,12. Hal tersebut membuktikan bahwa hipotesis nihil (Ho) ditolak; karena t-hitung (3,604) tidak terdapat di dalam daerah penerimaan Ho. Sebaliknya, hipotesis kerja (H1) diterima dalam taraf nyata 0,05 untuk uji dua pihak. Jadi hipotesis penelitian yang berbunyi: “Terdapat pengaruh positif pembelajaran berbasis masalah sosial pada mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial terhadap berpikir kritis mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto”, diterima. D.
Pembahasan Hasil Penelitian Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa hipotesis nol (Ho) yang berbunyi: "tidak terdapat pengaruh positif pembelajaran berbasis masalah sosial pada mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial terhadap berpikir kritis mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto”, ditolak dan sebaliknya hipotesis penelitian diterima. Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan yang menunjukan t-hitung lebih besar dari pada t-tabel, yaitu 3,604 > 2,12, berarti ada peningkatan berpikir kritis melalui penggunaan model pembelajaran berbasis masalah sosial pada mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial pada mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto”. Pengaruh positif tersebut karena salah satu keterampilan sosial (social skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir perlu dilatih dan dikembangkan karena semakin baik kemampuan berpikir mahasiswa maka semakin baik pula cara mahasiswa dalam menyikapi suatu permasalahan yang terjadi dalam kehidupan nyata nantinya. Salah satu kecakapan hidup yang perlu dikembangkan adalah kemampuan berpikir kritis. Berpikir kritis dapat dikembangkan melalui mata kuliah “Pengantar Ilmu Sosial” karena dalam mata kuliah ini mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mampu menghafal konsep melainkan juga mampu menerapkannya dalam menyelesaikan permasalahan dari suatu fenomena yang ada di sekitar mereka. Idealnya, proses pembelajaran “Pengantar Ilmu Sosial” adalah pembelajaran yang dalam pelaksanaannya dibahas tentang sosiologi, antopologi, psikologi, ilmu ekonomi, geografi, sejarah dan ilmu politik, serta mengkaji isu-isu dan masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial. Setelah mengikuti perkuliahan “Pengantar Ilmu Sosial” ini mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan pengetahuan, sikap dan perilaku yang berkaitan dengan
33
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP 2015 ISBN 978-602-74194-0-7 Purwokerto, 13 Juni 2015
berbagai masalah sosial baik secara teori maupun besifat praktis. Salah satu model pembelajaran yang dimungkinkan dapat diterapkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa untuk mengkaji isu-isu dan masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial adalah model pembelajaran problem solving. Hal ini juga dijelaskan oleh Aryana (2006) bahwa salah satu penyebab rendahnya kemampuan berpikir siswa adalah penggunaan model pembelajaran yang kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberdayakan kemampuan berpikirnya dan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Terdapat tiga ciri utama dari pemecahan masalah (problem solving) (Suwito, 2010) yaitu: 1) pemecahan masalah (problem solving) merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam penerapannya problem solving ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. Siswa tidak hanya sekedar mendengarkan, mencatat, dan menghafal materi akan tetapi melalui problem solving siswa diharapkan dapat aktif berpikir, mencari, mengolah data, dan menyimpulkan, 2) aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah, 3) pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dihasilkan t-hitung lebih besar daripada t-tabel, yaitu – 2,12 < 3,604 > 2,12. Hal tersebut membuktikan bahwa hipotesis nihil (Ho) ditolak; karena t-hitung (3,604) tidak terdapat di dalam daerah penerimaan Ho. Sebaliknya, hipotesis kerja (H1) diterima dalam taraf nyata 0,05 untuk uji dua pihak. Jadi hipotesis penelitian yang berbunyi: “Terdapat terdapat pengaruh positif pembelajaran berbasis masalah sosial pada mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial terhadap berpikir kritis mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto”, diterima.
B.
Saran Dalam pembelajaran Pengantar Ilmu Sosial perlu mendesain model lingkungan belajar konstruktivistik yang diaplikasikan dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem-based learning, karena model tersebut memuat komponenkomponen esensial yang meliputi: (1) pertanyaan-pertanyaan, kasus, masalah atau proyek, (2) kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain, (3) sumber-sumber informasi, (4) cognitive tools, (5) pemodelan yang dinamis, (6) percakapan dan kolaborasi, dan (7) dukungan kontekstual/sosial. DAFTAR PUSTAKA
Bhisma Murti, 2009. Prinsip dan metode riset epidemiologi. Edisi Kedua, Jilid Pertama. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Depdiknas. 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar. Jakarta. Ennis, R. 1996.Critical Thinking. What is it? Proceeding of the Forty-Eight Annual Meeting of The Philosophy of Education Society. Denver, Colorado. March 27-30.
34
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP 2015 ISBN 978-602-74194-0-7 Purwokerto, 13 Juni 2015
Fachrurazi. 2011. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. (online). (http://jurnal.upi.edu/file/8-Fachrurazi.pdf), diakses 01 Februari 2013. Haskins, G. R. 2002. Sebuah Panduan Praktis Untuk Berpikir Kritis http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://skepdic.com/essays /Haskins.html (online). diakses tanggal 16 Desember 2012. Jonassen, D. H., Peck, K. L., & Wilson, B. G. (1999). Learning with technology: A constructivist perspective. Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall. Major, Claire,H dan Palmer, Betsy. 2001. Assessing the Effectiveness of Problem-Based Learning in Higher Education: Lessons from the Literature. [Online]. Tersedia : http://www.rapidintellect.com/AE Qweb/mop4spr01.htm [14 Juli 2010]. Norris, S. and Ennis, R. 1989. Evaluating Critical Thinking. Pacific Grove, CA: Critical Thinking Press and Software. Orlich, Donald C. 1998. Teaching Strategies. Boston: Houghton Miffin Company. Scriven, M., & Paul, R. 1992. Critical Thinking Defined. Handout. Sumarmi. 2012. Model-Model Pembelajaran Geografi. Malang: Aditya Media Publishing. Sumarmi. 2013. Pembelajaran Geografi yang Berkarakter Sesuai Kurikulum 2013. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional HMJ Geografi (Volcano) 2013 Universitas Negeri Malang, Malang, 8 Juni 2013. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif Konsep, Landasan Dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Group. Zeidler, R. 1992. Assessment of the vulnerability of Poland’s coastal areas to sea-level rise. H*T*S, Gdansk.
35