Bab II Filariasis
Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah (Elephantiasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Filariasis disebabkan oleh sejenis cacing kecil yang hidup dan berkembang biak dalam kelenjar limfa. Tiga jenis cacing yang terdapat di Indonesia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Secara umum daur hidup ketiga spesies cacing terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk (2). Beberapa hewan Reservoir dapat juga berperan sebagai sumber penularan filariasis seperti Brugia malayi yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus). Hewan-hewan tersebut dapat menjadi sumber infeksi pada manusia. Adanya hospes reservoir akan menyulitkan program pemberantasan filariasis. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan untuk mengatasi keberadaan hospes reservoir sebagai sumber penular filariasis (2). Vektor filariasis adalah nyamuk. Banyak sekali nyamuk yang dapat menularkan filariasis seperti nyamuk rumah, nyamuk got, nyamuk hutan dan nyamuk rawa-rawa. Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui terdapat 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor filariasis (2). Pemberantasan vektor filariasis, harus memperhatikan tata hidup vektor, mencakup tempat berkembangbiak, perilaku menggigit (mencari darah) dan tempat istirahat. Tempat perindukan nyamuk berbeda-beda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti semak-semak di sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang
3 gelap. Beberapa sifat dari nyamuk adalah menyukai darah manusia (antropofilik), menyukai darah hewan (zoofilik), menyukai darah hewan dan manusia (zooantropofilik), menggigit di luar rumah (eksofagik) dan menggigit di dalam rumah (endofagik). Perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis menentukan distribusi penyakit itu. Setiap daerah endemik umumnya mempunyai spesies nyamuk yang berbeda yang dapat menjadi vektor utama dan spesies nyamuk lainnya hanya bersifat vektor potensial (2).
Lingkungan fisik antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi dan sebagainya. Faktor lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor. Lingkungan yang cocok untuk kehidupan nyamuk maka akan sangat potensial untuk penularan filariasis. Lingkungan fisik juga penting pula artinya untuk tempat perindukan dan peristirahatan vektor. Suhu dan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan umur nyamuk serta keberadaannya (2).
Lingkungan biologik yang erat kaitannya dengan penularan filariasis adalah lingkungan hayati yang mempengaruhi rantai penularan. Biasanya daerah endemik Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air.
Sedangkan daerah
endemik Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Culex quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis Brugia malayi (2).
Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar pada malam hari, kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan intensitas kontak dengan vektor (2).
4 II.1
Proses Penularan Penyakit
Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif atau larva stadium 3 (L3). Nyamuk dapat menjadi infektif apabila nyamuk tersebut menghisap darah dari orang atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria. Dengan demikian, manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya merupakan sumber penularan. Kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah sangat terbatas, apabila mikrofilaria terlalu banyak terhisap maka dapat menyebabkan kematian nyamuk tersebut. Sebaliknya apabila mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk terlalu sedikit maka kemungkinan terjadinya penularan menjadi kecil karena stadium larva L3 yang dihasilkan juga sedikit (2).
Pada saat nyamuk menggigit kulit manusia maka larva L3 akan keluar dari probosis. Pada saat nyamuk menarik probosisnya maka larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk menuju ke sistem limfe. Untuk Brugia malayi dan Brugia timori dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, larva L3 akan menjadi cacing dewasa, sedangkan untuk Wuchereria bancrofti diperlukan waktu kurang lebih 9 bulan (2).
Seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. Hal ini sangat berbeda dengan penularan yang terjadi pada malaria dan demam berdarah. Dengan demikian, kepadatan vektor dalam penularannya sangat berperan. Selain itu, pengaruh faktor lingkungan terutama suhu dan kelembaban udara mempengaruhi umur nyamuk. Rantai penularan tidak dapat terjadi apabila umur nyamuk kurang dari masa inkubasi ekstrinsik dari parasit. Masa inkubasi ekstrinsik yaitu waktu yang diperlukan untuk perkembangan mikrofilaria menjadi L3, di dalam tubuh nyamuk. Masa inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10 - 14 hari sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori antara 8 -10 hari (2).
5 Bila seseorang yang rentan terhadap filariasis terinfeksi maka orang tersebut akan menunjukan gejala klinis filariasis. Tanda-tanda awal munculnya gejala klinis filariasis mulai dari orang tersebut mendapat gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif rata-rata 5 tahun. Pada tahap awal ditandai dengan demam berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan selama 3-4 hari terutama bila bekerja berat. Demam dapat sembuh sendiri tanpa diobati. Timbul benjolan dan terasa nyeri pada lipat paha atau ketiak (sekelan/limfadenitis) tanpa adanya luka dibadan. Teraba adanya urat seperti tali yang berwarna merah dan sakit, mulai dari pangkal paha atau ketiak dan berjalan ke arah ujung kaki atau tangan. Tahap lanjut terjadi pembesaran pada kaki, tangan, kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita yang hilang timbul, lama kelamaan menjadi cacat menetap (2).
II.2
Program Eliminasi Filariasis
Program eliminasi filariasis yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan terdiri dari tiga tahap. Pertama dilakukan survei kasus kronis dengan cara apabila ada laporan dari masyarakat atau ada penemuan kasus oleh tenaga kesehatan maka pada desa yang ditemukan kasus kronis terbanyak akan dilakukan survei darah jari (3). Tahap kedua, dilakukan survei darah jari yang merupakan identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu populasi. Hal ini bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut. Hal pertama yang dilakukan untuk memperoleh data survei darah jari adalah menentukan lokasi survei berdasarkan desa yang mempunyai kasus kronis terbanyak. Selanjutnya, populasi survei adalah penduduk yang berusia > 13 tahun. Jumlah sampel yang diambil di setiap desa lokasi survei adalah 500 orang. Apabila jumlah populasi yang berusia > 13 tahun di desa lokasi survei tidak mencukupi, maka sampel dapat diambil dari desa lain yang bersebelahan. Cara pengambilan sampel adalah dengan mengumpulkan penduduk sasaran survei yang tinggal disekitar kasus kronis yang ada di desa lokasi survei (3).
6 Tahap Ketiga, perhitungan prevalensi mikrofilaremia yang dilakukan dengan cara membagi jumlah penduduk yang dalam darahnya positif mikrofilaria dengan jumlah penduduk yang diperiksa dikali seratus persen. Bila prevalensi mikrofilaremia >1 % di salah satu atau lebih lokasi survei maka daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah endemik yang harus dilaksanakan pengobatan massal. Bila prevalensi mikrofilaremia < 1 % pada semua lokasi survei, maka daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah tak endemik dan dilaksanakan pengobatan selektif, yaitu pengobatan yang hanya diberikan pada penderita yang positif mikrofilaria beserta anggota keluarganya (3).