xvii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Petugas di bidang pelayanan kesehatan umum maupun gigi, baik dokter gigi, perawat gigi maupun pembantu rawat gigi, telah lama disadari merupakan kelompok yang berisiko tinggi terhadap penularan penyakit, mengingat ruang lingkup kerjanya yang setiap kali berhubungan bahkan berkontak langsung dengan lesi penderita. Penularan yang mungkin terjadi di ruang praktek dokter gigi tidak hanya antar sesama penderita, dokter gigi mungkin tanpa disadarinya suatu saat mendapatkan penularan dari penderita pembawa penyakit menular dan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip dasar antisepsis akan menularkannya kepada penderita yang lain di ruang praktek.1 Dokter gigi mempunyai risiko yang sangat tinggi untuk tertular penyakit ketika melakukan perawatan pasien. Terbentuknya penyakit dapat terjadi dari sumber infeksi di praktek dokter gigi meliputi tangan, saliva, darah, sekresi hidung, baju, instrumen, dan perlengkapan praktek lainnya. Kontaminasi dari rongga mulut dan luka terbuka dapat disebarkan oleh udara, air, debu, aerosol, percikan atau droplet, sekresi saluran pernafasan, plak, kalkulus, bahan tumpatan gigi, dan debris. Hal ini menyebabkan tindakan dalam praktek dokter gigi menempatkan dokter gigi berisiko tinggi terutama terhadap penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen seperti bakteri dan virus.2-5
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xviii
Peningkatan insiden infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan virus hepatitis B (HBV) menyebabkan peningkatan kewaspadaan terhadap penyebaran penyakit semakin meningkat selama 10 tahun terakhir. Banyak pasien dan tenaga medis di kedokteran gigi yang beresiko untuk tertular mikroorganisme patogen termasuk cytomegalovirus (CMV), hepatitis B virus (HBV), hepatitis C virus (HCV), herpes simplex virus tipe 1 dan 2, human immunodeficiency virus (HIV), Mycobacterium tuberculosis, staphylococci, streptococci, serta berbagai macam virus, bakteri yang berkolonisasi serta menginfeksi rongga mulut dan saluran pernafasan.1,4,6 Di Amerika dilaporkan terjadinya penularan HIV dari seorang dokter gigi kepada lima pasiennya. Apabila di negara maju masih terdapat hal semacam itu, maka dapat diasumsikan bahwa di negara berkembang seperti Indonesia tindakan pencegahan masih belum memadai. Dalam penelitian lain disebutkan seorang dental hygienis yang tidak memakai sarung tangan terbukti telah menyebarkan 20 kasus herpes simplek pada pasien, yang berasal dari lesi herpetik pada jarinya.5,7,8 Penelitian lain menyebutkan bahwa sampai saat ini sudah ada 8 dokter gigi yang tertular penyakit hepatitis B. Risiko penularan dari pasien ke pekerja kesehatan gigi jauh lebih besar dibandingkan risiko penyebaran dari dokter gigi ke pasien. Berbagai survei dan penelitian menunjukkan bahwa 20% kejadian hepatitis B berkembang setelah terjadinya luka akibat tusukan jarum dari pasien hepatitis B, dibandingkan dengan perkiraan 0,4% paparan terhadap HIV.5,8 Setiap tahun di seluruh dunia, sekitar 66.000 infeksi HBV, 16.000 infeksi HCV, dan 1.000 infeksi HIV diperkirakan terjadi di antara petugas kesehatan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xix
terutama di negara berkembang yang disebabkan oleh luka tusukan jarum yang terkontaminasi. Center for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan hasil penelitian dari 360 orang petugas kesehatan yang terluka di praktek yaitu 36% dokter gigi, 34% ahli bedah mulut, 22% perawat gigi, dan 4% mahasiswa kedokteran gigi.9,10 Tindakan asepsis dan langkah-langkah pencegahan di lingkungan kerja dapat membatasi penyebaran mikroorganisme patogen penyebab penyakit. Tujuannya adalah untuk melindungi pasien dan petugas kesehatan gigi dari berbagai penyakit menular yang mungkin ditemukan di praktek. Dokter gigi biasanya tidak dapat mengetahui status kesehatan umum pasiennya secara pasti, sehingga setiap pasien harus selalu dianggap sebagai pembawa penyakit. Hal tersebut bertujuan agar dokter gigi selalu waspada untuk melindungi diri sendiri dan pasien dari infeksi penyakit.3 Berdasarkan hasil penelitian Terence Wibowo pada 32 dokter gigi yang ada di Puskesmas Surabaya melaporkan hasil yang cukup memuaskan, didapatkan 75% responden mencuci tangan sebelum memeriksa pasien dan 87% mencuci tangan setelah memeriksa pasien. Penggantian sarung tangan dilakukan oleh 56,3% responden setiap pergantian pasien dan sarung tangan yang dipakai oleh 62,5% responden adalah sarung tangan disposable. Kacamata pelindung digunakan oleh 43,8% responden dan masker digunakan 62,5% responden setiap kali melakukan perawatan pasien.4 Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran gigi serta peraturan dan etika yang mengatur tindakan dokter gigi ketika memberi pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Penelitian lain oleh Yuzbasioglu, Sarac, Canbaz, Sarac, dan Cengis pada dokter gigi di Turki
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xx
menunjukkan bahwa pengetahuan dokter gigi di Turki relatif lemah tentang prosedur pencegahan penyakit menular.5 Dengan melakukan prosedur kontrol infeksi dapat dicegah terjadinya penularan penyakit yang berbahaya, bahkan dapat mencegah terjadinya kematian. Prosedur pencegahan antara lain adalah evaluasi pasien, perlindungan diri, sterilisasi, disinfeksi, pembuangan sampah medis secara aman, dan tindakan asepsis. Di laboratorium tekniker gigi juga harus diterapkan prosedur-prosedur tersebut. Dengan berkembangnya metode sterilisasi dan asepsis pada praktek dokter gigi dan laboratorium gigi, secara nyata telah menurunkan risiko terjadinya penularan penyakit pada pasien, dokter gigi, dan stafnya.3 Kota Medan sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia sangat rawan terhadap penyakit menular seperti HIV/AIDS, hepatitis, tuberkulosis, herpes, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan oleh letaknya yang strategis karena mempunyai Bandara Internasional Polonia dan Pelabuhan Belawan yang merupakan pintu gerbang masuknya wisatawan asing maupun domestik. Secara geografis, kota Medan merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan negara-negara seperti Thailand dan Singapura yang mempunyai prevalensi penyakit menular yang tinggi seperti HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya. Disamping itu, kota Medan yang berpenduduk 2 juta orang dengan luas areal 26.510 hektar ini diketahui menduduki peringkat pertama orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Sumatera Utara, dengan jumlah sekitar 2.049 orang sejak tahun 1994-2011.11,12 Oleh sebab itu, sudah sewajarnya para dokter gigi di kota Medan mempunyai kepedulian untuk meningkatkan prosedur pencegahan penyakit menular di praktek.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xxi
Berdasarkan kenyataan tersebut, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan dokter gigi terhadap pencegahan penyakit menular di praktek dokter gigi di kota Medan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, penulis dapat merumuskan permasalahan penelitian ini, yaitu bagaimana tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan dokter gigi terhadap pencegahan penyakit menular di praktek dokter gigi di kota Medan?. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengukur kategori pengetahuan dokter gigi tentang pencegahan
penyakit menular di praktek dokter gigi. 2.
Untuk mengukur kategori pengetahuan dokter gigi tentang pencegahan
penyakit menular di praktek dokter gigi berdasarkan usia. 3.
Untuk mengukur kategori pengetahuan dokter gigi tentang pencegahan
penyakit menular di praktek dokter gigi berdasarkan lama praktek. 4.
Untuk mengukur kategori sikap dokter gigi terhadap pencegahan penyakit
menular di praktek dokter gigi. 5.
Untuk mengukur kategori sikap dokter gigi terhadap pencegahan penyakit
menular di praktek dokter gigi berdasarkan usia. 6.
Untuk mengukur kategori sikap dokter gigi terhadap pencegahan penyakit
menular di praktek dokter gigi berdasarkan lama praktek.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xxii
7.
Untuk mengukur kategori tindakan dokter gigi terhadap pencegahan
penyakit menular di praktek dokter gigi. 8.
Untuk mengukur kategori tindakan dokter gigi terhadap pencegahan
penyakit menular di praktek dokter gigi berdasarkan usia. 9.
Untuk mengukur kategori tindakan dokter gigi terhadap pencegahan
penyakit menular di praktek dokter gigi berdasarkan lama praktek. 10. Untuk melihat sejauh mana tindakan dokter gigi terhadap pencegahan penyakit menular di praktek dokter gigi.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Dapat menjadi masukan bagi dokter gigi dalam rangka menurunkan angka penularan penyakit di praktek dokter gigi. 2. Dapat menjadi masukan bagi dokter gigi agar dapat mengambil langkahlangkah dan kebijaksanaan dalam meningkatkan tindakan pencegahan penyakit menular di praktek dokter gigi. 3. Dapat menjadi landasan teori bagi penelitian berikutnya. 4. Dapat menambah kepustakaan FKG USU
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA