BAB II RUANG LINGKUP
2.1 Sejarah singkat DJBC 2.1.1 Disekitar Nama Bea dan Cukai sesungguhnya merupakan suatu lembaga dan aktivitas yang telah lama ada di Indonesia. Bahkan kalau diurut sejarahnya kebelakang ia telah ada semenjak jaman kerajaan-kerajaan maritim tempo dulu. Hanya saja kalau dalam bentuknya yang bisa disebut modern baru muncul semenjak Belanda masuk dan kemudian menjajah di Indonesia. Pada jaman Belanda petugas Bea dan Cukai dikenal dengan nama “Tollenaar” yang secara harapiah kira-kira bisa diterjemahkan sebagai penjaga tapal batas negara atau pantai yang bertugas memungut “tol” atau sejenis upeti terhadap barang-barang tertentu yang dibawa masuk atau keluar lewat suatu tapal batas. Selain istilah tersebut juga dikenal adanya istilah seperti “Mantriboom”, “Opasboom” yang dikaitkan pengertiannya dengan tanda tapal batas untuk pemeriksaan barang yang masuk dan keluar di pelabuhan. Boom bisa berarti pohon atau balok atau tiang dan sebagainya yang pada zaman VOC dulu dipergunakan untuk menutup jalur pelayaran dengan sebatang pohon atau boom. Atau dalam istilah lain juga dikenal dengan “Douane-Linie” atau dalam bahasa Inggris disebut “Customs Area”
Selanjutnya baru dikenal istilah Bea dan Cukai dimana Bea berasal dari bahasa Sansekerta dan Cukai berasal dari bahasa India. Sedang untuk Bea, termasuk didalamnya bea masuk dan bea keluar yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai invoerrechten dan uitvoerrechten sedangkan untuk cukai berasal dari kata accijnzen.
2.1.2 Bea dan Cukai pada Zaman Kerajaan Lembaga Bea dan Cukai dapat dipastikan telah ada semenjak jaman kerajaan dahulu. Kegiatan-kegiatannya banyak dikenal pada pelabuhan-pelabuhan besar zaman dahulu yang sifatnya masih sangat kedaerahan. Namun sayangnya sampai sekarang belum ditemukan adanya catatan sejarah yang memadai mengenai keberadaan dan aktivitas lembaga ini. Dengan tidak adanya catatan sejarah tersebut maka tidak mungkin pula untuk menemukan sebutan apa yang dipergunakan oleh orang zaman tersebut terhadap Bea dan Cukai. Walaupun tidak ditemukannya sebutan yang pasti terhadap lembaga Bea dan Cukai akan tetapi kegiatan kepabeanan jelas bisa terbaca dalam aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat waktu itu. Salah satu tokoh kunci yang punya peran besar dalam urusan kepabeanan adalah Syahbandar. Syahbandar bertugas mengurus dan mengawasi perdagangan orang-orang yang berniaga dalam lingkungan pengawasannya, termasuk pengawasan dipasar dan digudang. Dalam urusan dagang tersebut kedudukannya sangat penting sebab merekalah yang menentukan dan sekaligus menerima bea masuk dan bea keluar dari barang-barang yang diperdagangkan. Sedangkan untuk
menjaga kepentingan pedagang itu sendiri Syahbandar biasanya dipilih dari kalangan mereka sendiri (atau pedagang asing), dimana hal ini nampaknya juga didasarkan kepada suatu pertimbangan yang sangat arif dimana Syahbandar adalah orang yang pertama yang berhubungan dengan kapal-kapal asing. Adapun kriteria pemilihan Syahbandar adalah bahwa ia harus seorang saudagar kaya dan berwibawa dengan ukuran mereka yang paling berhasil dalam usaha dagangnya. Di pelabuhan Banda Aceh Darussalam pada zaman sultan Iskandar Muda tercatat
sebagai
salah
satu
pelabuhan
yang cukup ramai
lalu
lintas
perdagangannya. Oleh karena itu di pelabuhan tersebut terdapat paling tidak tiga atau empat Syahbandar yang bertugas mengawasi lalu lintas keluar masuk barangbarang. Hanya saja model kegiatan mereka tidaklah seperti kepabeanan modern yang kita saksikan sekarang ini. Konon upeti yang diterima kerajaan dari pedagang masih berupa barang-barang. Demikian juga dengan pelabuhan Jepara pada abad ke-17 juga telah mengenal Syahbandar, walaupun jumlahnya hanya baru satu orang. Syahbandar mengepalai pabean yang memungut bea dan cukai untuk setiap barang yang masuk dan keluar pelabuhan.
2.1.3 Bea dan Cukai pada zaman VOC Pada zaman VOC permasalahan Bea dan Cukai telah menemukan bentuknya yang cukup modern. Penentuan tarif bea masuk, bea keluar maupun cukai ditentukan dengan perhitungan prosentase.
Pada tanggal 1 Oktober 1662 VOC mengundangkan pengumuman resmi tentang tarif “Tol”. Dan ini merupakan tarif pungutan yang pertama atas barang ekspor dan impor. Besarnya tarif dikenakan antara 5 % sampai dengan 20 %. Tarif 20 % biasanya ditujukan terhadap barang-barang mewah seperti bir dan anggur serta diterapkan untuk tujuan proteksi. Misalnya untuk proteksi terhadap budi daya tembakau maka pemerintah mengenakan bea masuk tembakau sebesar 20 %. Pada tahun 1748 yaitu pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff, terjadi perubahan yang tergolong radikal dalam persoalan tarif. Dalam tarif baru tersebut lebih terlihat kecenderungan-kecenderungan yang bersifat ekonomis. Pertama sekali terjadi pembebasan terhadap cukai sayur-sayuran, buahbuahan, ikan dan berbagai barang kecil lainnya yang amat penting bagi keperluan hidup. Selanjutnya terjadi perbedaan perlakuan pada aturan tarif VOC ini, yaitu atas impor barang-barang dari pedagang asing kepada mereka dikenakan bea masuk, namun untuk impor barang-barang milik kompeni sendiri dibebaskan dari bea masuk.
2.1.4 Bea dan Cukai pada Zaman Kolonial Belanda Pada zaman kolonial Belanda peraturan tentang cukai dan tarif mengalami perubahan yang cukup mendasar dibandingkan dengan peraturan yang berlaku pada zaman VOC. Tujuan cukai di zaman kolonial Belanda lebih mengarah kepada kepentingan penjajah yaitu usaha membiayai kepentingan kolonial di
Hindia Belanda. Hal ini dapat dilihat dari tarif
bea masuk dan keluar yang
dikenakan terhadap barang-barang yang mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Berdasarkan Indische Stbl 1817 No. 63 ditetapkan bahwa bea masuk yang dipungut atas barang-barang yang diangkut dengan kapal-kapal Belanda yang sebelumnya dikenakan tarif sebesar 6 % dinaikkan menjadi 30 %. Namun bila barang-barang diangkut dengan kapal asing (bukan kapal Belanda) dari dan ke Hindia Belanda maka tarifnya bisa mencapai 60 %. Walaupun sepintas tarif yang dikenakan sudah sangat tinggi, namun pemerintah kolonial tetap menganggap sistim tarif tersebut belum sempurna, karena dirasakan belum benar-benar protektif terhadap semua kepentingan kolonial. Atas dasar hal tersebut maka pemerintah kolonial tetap melakukan revisi-revisi yang mendasar terhadap peraturan tersebut, perubahan mana ditetapkan dengan undang-undang sebagai dasar kekuatan hukum yang pasti.
2.1.5 Organisasi Bea dan Cukai Sebagaimana halnya tarif
Bea dan Cukai, maka permasalahan
organisasi Bea dan Cukai juga mempunyai sejarah yang sangat panjang. Organisasi Bea dan Cukai telah ada semenjak zaman kolonial Belanda dulu, yang keberadaannya pertama sekali disesuaikan dengan kepentingan pemerintah jajahan, seperti penghimpunan bea untuk kepentingan kolonial. Mulanya organisasi Bea dan Cukai disusun sebagai unit pelaksana Pemerintahan Hindia
Belanda cq. Direktur Keuangan. Bentuk organisasinya
disesuaikan dengan titel “ De Dienst der Invoer en Uitvoerrechten en Accijnzen” (I.U. & A) yang bisa diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai Jawatan Bea dan Cukai. Sebelum tahun 1934 dikenal antara lain Keputusan Pemerintah (Gouvernements Besluit) No. 33 (stbl. 554) tanggal 22 Desember 1928 yang mengatur tentang
Organisasi
Dinas Bea dan Cukai. Kemudian dalam
perkembangannya keluar lagi Keputusan Pemerintah Kolonial Belanda tanggal 1 Juni 1934 (Ind.Stbl 1934 No. 361) yang merupakan perbaikan terhadap keputusan yang terdahulu. Terakhir keluar lagi Keputusan Pemerintah Kolonial Belanda tanggal 4 Januari 1940 (Ind. Stbl. 1940 No. 5). Adapun yang diatur oleh ketentuan-ketentuan tersebut adalah tentang susunan organisasi, tata kerja serta kewenangan pejabat-pejabat Jawatan Bea dan Cukai yang berlaku semenjak tahun 1934. Pada zaman pendudukan Jepang yang menggantikan pemerintahan kolonial Belanda, maka pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Undangundang No. 13 tanggal 29 April 1942 tentang pembukaan kantor-kantor pemerintahan di Jawa dan Madura. Sementara untuk luar Jawa dan Madura tidak perlu diurus dengan alasan di wilayah tersebut tidak adanya perdagangan luar negeri, sehingga praktis untuk wilyah tersebut tidak ada pemungutan bea. Setelah Indonesia merdeka maka susunan organisasi dan tata kerja Bea dan Cukai seringkali mengalami perubahan dan perkembangani, mulai dari bentuk, susunan dan tata kerja, perubahan mana sangat kental terpengaruh oleh
warisan kolonial mulai dari yang sederhana hingga bentuknya yang modern disesuaikan dengan kebutuhan negara dalam pembangunan sekarang ini. Pada zaman sebelum penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia, sebagaimana yang terjadi pada zaman pendudukan Jepang tidak terlalu banyak diketahui tentang perkembangan lembaga Bea dan Cukai. Catatan sejarah sangat kurang, dan yang lebih penting lagi adalah bahwa saat itu merupakan masa-masa transisi, sehingga segala sesuatu dilakukan secara darurat. Kemudian atas mandat Presiden RI tanggal 19 Desember 1948 disusunlah Organisasi Kementerian Keuangan. Struktur Organisasinya terlihat sekali mengambil alih bentuk “Zaimubu” (zaman Jepang) dengan berbagai modifikasi sesuai dengan kebutuhan saat itu. Pada zaman Republik Indonesia Serikat (RIS) yaitu sekitar awal tahun 1950 setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia seluruh pemerintahan pusat dan alat-alatnya kembali ke Jalarta dan daerah-daerah pabean yang ada tibatiba menjadi sangat besar sebagai akibat semakin membesarnya volume perdagangan dari dan ke wilayah Indonesia. Dengan besarnya volume perdagangan menyebabkan urusan menjadi semakin kompleks sehingga otomatis lembaga Bea dan Cukai harus menyesuaikan diri dalam menghadapi perkembangan tersebut. Pada tahap ini terjadi rasionalisasi kelembagaan dalam menghadapi tuntutan perkembangan. Namun demikian susunan organisasi di Kantor Bea dan Cukai di Jakarta masih merupakan kelanjutan susunan organisasi Kantor Besar gaya lama (I.U. & A). Dan upaya pertama yang diambil oleh
pimpinan jawatan adalah mengaktifkan kembali kantor-kantor daerah dan kantorkantor cabang. Pada tanggal 5 Juli
1959 Pemerintah RIS memutuskan untuk
memberlakukan kembali UUD 1945. Struktur organisasi gaya lama (I.U. & A) dengan sedikit modifikasi masih tetap berlaku hingga tahun 1960. Hal ini antara lain dengan dibentuknya unit-unit kerja (seperti Biro, Bagian / Seksi / Umum) dengan memperluas tugas dan fungsi serta wewenang pejabat. Kemudian pada tahun 1962/1963 akibat adanya beban tugas yang semakin besar maka terjadi lagi perbaikan-perbaikan terhadap struktur organisasi dan tata kerja Bea dan Cukai. Namun disini ada suatu catatan bahwa karena alasan yang kurang jelas pada tahun 1966 status Direktorat Jenderal Bea dan Cukai turun menjadi Direktorat dan berada langsung dibawah Direktorat Jenderal Pajak. Namun setelah timbul reaksi pimpinan Bea dan Cukai beserta staf yang langsung menhadap Menteri Keuangan, maka statusnya segera ditetapkan kembali menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Setelah itu perubahan-perubahan tetap saja berlangsung sesuai dengan perjalanan waktu, misalnya pada tahun 1967 dengan Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 75/U/KEP/II/1966 jo Keputusan Menteri Keuangan No. 57/MEN.KEU/1967 tanggal 25 Mei 1967, dipandang perlu untuk segera menyesuaikan kemampuan dan daya gerak aparatur Departemen Keuangan dengan hasil-hasil yang telah dicapainya dengan kebijaksanaan pokok dibidang keuangan moneter. Atas dasar hal tersebut maka terjadi lagi perbaikan-perbaikan terhadap struktur organisasi Bea dan Cukai.
Kemudian secara berturut-turut terjadi beberapa perubahan yang ditujukan kearah perbaikan dan efisiensi, dimana semua perubahan itu disertai dengan keputusan
hukum.
594/M/III/12/1968
Misalnya dan
Keputusan
Keputusan
Menteri
Menteri
No.
Keuangan
No.
KEP-
57/MEN.KEU/67
yang
menyebutkan tentang peninjauan kembali susunan organisasi Bea dan Cukai, dan khususnya menyangkut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, tugas pokoknya ditetapkan sebagai berikut : Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melaksanakan fungsi-fungsi tekhnis eksekutif terhadap salah satu atau sekelompok sektor pembinaan dalam ruang lingkup tugas pokok Departemen Keuangan, yang meliputi : 1. Pengurusan dan penyempurnaan sistem pendapatan negara, khususnya yang berupa pungutan-pungutan bea dan cukai. 2. Menyelenggarakan pencegahan dan pemberantasan penyelundupan dan mencegah / memberantas pelanggaran peraturan dibidang pendapatan negara maupun pelanggaran peraturan-peraturan lainnya yang
dapat
berakibat
merugikan
negara
dalam
batas-batas
wewenangnya. Namun keputusan Menteri ini tidak dapat bertahan lama, atas pertimbangan bahwa pelayanan dalam bidang tekhnis dan administrasi yang harus diberikan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam usaha meningkatkan penerimaan keuangan negara, dan sehubungan dengan semakin padatnya tugas yang harus dilakukan dalam menghadapi Pelita, maka dengan demikian keluarlah Keputusan Menteri Keuangan No. KEP-746/MK/11/1969 yang ditujukan sebagai
usaha penyempurnaan struktur organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Selanjutnya perbaikan-perbaikan tetap berlangsung dengan keluarnya Keputusan Menteri Keuangan No. KEP.405/MK/6/4/1975. Pada
tahun
1983
dengan
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.
216a/MK.01/1983 organisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai disempurnakan, dengan maksud untuk meningkatkan penerimaan negara di sektor Bea dan Cukai. Oleh karena itu dianggap perlu untuk meningkatkan status beberapa kantor menjadi Kantor Wilayah, dan juga untuk menambah beberapa unit organisasi pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan pemungutan dan pengelolaan penerimaan negara disektor Bea dan Cukai yang dihimpun dari Kantor-kantor Wilayah. Kemudian
sesuai
dengan
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.
998/MK.01/1985 tanggal 27 Desember 1985, tugas pokok Direktorat Jenderal Bea dan Cukai disempurnakan menjadi : “Melaksanakan sebagian tugas pokok Departemen Keuangan dibidang pemungutan pajak negara dalam bentuk Bea dan Cukai serta pungutan lainnya, berdasarkan kebijaksanaan yang digariskan Menteri”. Selanjutnya
perbaikan-perbaikan
terus
berlangsung
dalam
rangka
meningkatkan kinerja badan ini. Dan pada tahun 1993 Menteri Keuangan mengadakan re-organisasi di tubuh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yaitu dengan keluarnya Keputusan Menteri Keuangan No. 759/KMK.01/1993, dimana tugas pokok Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menjadi : “Melaksanakan
sebagian tugas pokok Departemen Keuangan dibidang pemungutan pajak negara, dalam bentuk bea, cukai dan pemungutan lainnya serta mengamankan kebijaksanaan
pemerintah
yang
berkaitan
dengan
pemasukan
dan
pengeluaran barang ke atau dari wilayah Indonesia sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Kemudian pada tahun 1995 telah terbit Undang-undang No. 10 tentang Kepabeanan dan Undang-undang No. 11 tentang Cukai yang menggantikan undang-undang produk zaman Kolonial Belanda. Sejalan dengan lahirnya Undang-undang tersebut, maka pada tahun 1998 organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga mengalami perubahan, yakni dengan diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan RI No. 32/KMK.01/1998 tanggal 4 Pebruari 1998. Berdasarkan keputusan itu ditetapkan bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai tugas pokok : “melaksanakan sebagian tugas pokok Departemen Keuangan dibidang Kepabeanan dan Cukai berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri dan mengamankan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan lalu lintas barang yang masuk atau keluar Daerah Pabean dan pemungutan bea masuk dan cukai serta pungutan negara lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Namun satu hal yang perlu menjadi catatan disini adalah bahwa tidak pada tempatnya untuk mengurut satu persatu semua bentuk organisasi, tugas pokok, tata kerja dan perubahan-perubahan yang pernah terjadi mulai semenjak zaman kolonial, Indonesia merdeka sampai saat sekarang, karena terlalu banyak bentuk
dan variannya,maka penulis hanya akan menyajikan bentuk dan susunan organisasi Bea dan Cukai seperti yang terdapat sekarang, yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 32/KMK.01/1998
(Gambar Struktur
Organisasi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai lihat lampiran) : Untuk kelancaran penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya di seluruh Wilayah Indonesia maka Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membagi wilayah Indonesia menjadi 12 wilayah kerja yang selanjutnya disebut sebagai Kantor Wilayah (Kanwil), yaitu : 1. Kantor Wilayah I di Medan dengan wilayah kerja meliputi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. 2. Kantor Wilayah II di Tanjung Balai Karimun dengan wilayah kerja seluruh Riau. 3. Kantor Wilayah III di Palembang dengan wilayah kerja meliputi Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi dan Lampung. 4. Kantor Wilayah IV di Jakarta dengan wilayah kerja meliputi seluruh DKI. 5. Kantor Wilayah V di Bandung dengan wilayah kerja meliputi diseluruh Jawa Barat. 6. Kantor Wilayah VI di Semarang dengan wilayah kerja meliputi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. 7. Kantor Wilayah VII di Surabaya dengan wilayah kerja meliputi Jawa Timur 8. Kantor Wilayah VIII di Denpasar dengan wilayah kerja meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
9. Kantor Wilayah IX di Pontianak dengan wilayah kerja meliputi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. 10. Kantor Wilayah X di Balikpapan dengan wilayah kerja meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. 11. Kantor Wilayah XI di Ujung Pandang dengan wilayah kerja meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara. 12. Kantor Wilayah XII di Ambon dengan wilayah kerja meliputi Maluku dan Irian Jaya. Memperhatikan bagan organisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tersebut diatas terlihat bahwa di daerah-daerah terdapat Kantor Wilayah. Adapun tugas pokok Kantor Wilayah adalah : “Melaksanakan koordinasi dan pengendalian pelaksanaan tugas pokok Direktorat Jendral di wilayah kerjanya berdasarkan kebijaksanaan tekhnis yang ditetapkan Direktur Jenderal”.
2.2 Tempat dan Kedudukan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A Bandung bertempat di Jalan Rumah Sakit No. 167 Bandung. Kedudukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 32/KMK.01/1998 tanggal 4 Pebruari 1998 setelah mengalami beberapa kali perbaikan mengenai tugas pokok Bea dan Cukai.
Dierktorat Jenderal Bea dan Cukai berkedudukan sebagai institusi pemerintahan yang berperan penting dalam pengawasan arus keluar masuk barang maupun dokumen yaitu proses pemberitahuan Ekspor dan Impor barang.
2.3 Bentuk Badan Hukum Badan Hukum Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 32/KMK.01/1998 tanggal 4 Pebruari 1998 setelah mengalami beberapa perubahan mengenai tugas pokok Bea dan Cukai.
2.4 Tugas Pokok dan Fungsi DJBC Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 32/KMK.01/1998 tanggal 4 Pebruari 1998 tentang tugas pokok Bea dan Cukai dengan berbagai pembenahan fungsi Bea dan Cukai. Adapun tugas pokok dan fungsinya itu adalah sebagai berikut :
Tugas Pokok DJBC Tugas pokok DJBC adalah melaksanakan sebagian tugas Departemen Keuangan di bidang Kepabeanan dan Cukai, berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri dan mengamankan Kebijaksanaan Pemerintah yang berkaitan dengan lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah Pabean dan pemungutan bea masuk dan cukai serta pungutan negara lainnya berdasarkan perundang – undangan yang berlaku.
Fungsi DJBC Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai fungsi : 1. Perumusan kebijaksanaan teknis di bidang kepabeanan dan cukai, sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh menteri dan peraturan perundang – undangan yang berlaku; 2. Perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan pengamanan teknis operasional kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean, sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh menteri dan peraturan perundang – undangan yang berlaku; 3. Perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan pengamanan teknis operasional di bidang pemungutan bea masuk dan cukai serta pungutan lainnya yang pemungutannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku; 4. Perencanaan, pembinaan dan bimbingan di bidang pemberian pelayanan, perijinan, kemudahan, ketatalaksanaan dan pengawasan di bidang kepabeanan dan cukai berdasarkan peraturan perundang - undangan yang berlaku; 5. Pencegahan peraturan perundang – undangan kepabeanan dan cukai dan penindakan di bidang kepabeanan dan cukai serta penyidikan tindak pidana kepabeanan dan cukai sesuai dengan praturan perundang – undangan yang berlaku.
2.5 Bidang Pekerjaan Dinas Tempat Kerja Praktek Disini Penulis ditempatkan di bagian seksi perbendaharaan yang mempunyai tugas sebagai berikut : 1. Menerima laporan mengenai pemberitahuan barang yang masuk atau keluar dalam hal ini mengenai barang ekspor maupun impor. 2. Berhubungan dengan seksi bidang kepabeanan dalam pemberitahuan barang impor maupun ekspor. 3. Melakukan print out laporan setiap hari tentang barang yang masuk atau keluar dalam hal ini proses impor ataupun ekspor. 4. Melakukan pengambilan data dari seksi bidang OKDD tentang barang yang masuk atau keluar dalam hal ini mengenai impor maupun ekspor. 5. Melakukan pembukuan atas data yang telah diterima baik itu mengenai barang impor maupun ekspor. Seksi Perbendaharaan membawahkan : 1. Subseksi Penangguhan dan Pengelolaan Jaminan 2. Subseksi Penagihan dan Pengembalian.
2.6 Struktur Organisasi Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A Bandung memiliki struktur organisasi sebagai berikut : 1.
Kepala Kantor Pelayanan, membawahkan langsung Kelompok Tenaga Fungsional.
2.
Subbagian Umum,membawahkan : a. UrusanTata Usaha dan Kepegawaian. b. Urusan Keuangan. c. Urusan Rumah Tangga.
3. Seksi Manifes dan Informasi, membawahkan : a. Subseksi Penerimaan dan Penyelesaian Manifes b. Subseksi Penerimaan Sarana Pengangkut sebanyak 3 Subseksi. c. Subseksi Informasi. 4. Seksi Perbendaharaan, membawahkan : a. Subseksi Penangguhan dan Pengelolan Jaminan. b. Subseksi Penagihan dan Pengembalian. 5. Seksi Kepabeanan, membawahkan Subseksi Hanggar sebanyak 6 Subseksi. 6. Seksi Tempat Penimbunan, membawahkan : a. Subseksi Tempat Penimbunan Pabean. b. Subseksi Tempat Penimbunan Berikat sebanyak 6 Subseksi. 7. Seksi Cukai, membawahkan Subseksi Cukai sebanyak 3 Subseksi. 8. Seksi Operasional Komputer dan Distribusi Dokumen, membawahkan : a. Subseksi Operasional Komputer b. Subseksi Penyajian Data dan Informasi. c. Subseksi Distribusi Dokumen.
BAGAN ORGANISASI KPBC TIPE A BANDUNG Kepala Kantor Pelayanann
Sub Bagian Umum
Urusan Tata Usaha dan Kepegawaian
Seksi Manifes dan Informasi
Seksi Perbendaharaan
Seksi Kepabeanan Sebanyakbanyaknya 5 seksi
Subseksi Penerimaan dan Penyelasaian Manifes
Subseksi Penerimaan Penangguhan dan pengelolaan jaminan
Subseksi Hanggar Sebanyak 6 subseksi
Subseksi Penerimaan Sarana Pengangkut sebanyak 3 subseksi
Subseksi Penagihan dan Pengembalian
Subseksi Informasi
Urusan Keuangan
Seksi Tempat Penimbunan Sebanyakbanyaknya 6 seksi
Seksi Cukai
Subseksi Tempat Penimbunan Pabean
Subseksi Cukai Sebanyak 3 subseksi
Subseksi Tempat Penimbunan Berikat Sebanyak 6 subseksi
Kelompok Tenaga Fungsional
Urusan Rumah Tangga
Seksi Operasional Komputer dan Distribusi Dokumen
Suseksi Operasional Komputer
Subseksi Penyajian Data & Informasi
Subseksi Distribusi Dokumen