PROFIL KABUPATEN SAMPANG (2014) Tahun berdiri Jumlah penduduk 883.282 2 Luas Wilayah 1.233 km
I. Anggaran pendidikan per siswa Skor IGI 4,02 II. 408.885 rupiah per tahun Rangking III. IGI 30 Kota Yogyakarta berada di peringkat 1 dari 34 Kabupaten/ Kota yang diteliti. Total skor IGI sebesar Anggaran kesehatan per kapita 9.00 IV. Rangking Gender 34 46.736 rupiah per tahun V. Keunggulan: 7.00 VI. Rangking Investasi 31 4.95 Anggaran pengentasan kemiskinan 4.67 5.00 3.91 VII. Kelemahan: 17.948 rupiah per tahun 2.73 VIII. 23 Rangking Lingkungan 3.00 IX. Anggaran lingkungan hidup 1.00 X. IPM 5.675 rupiah per tahun XI. 60,78 Rekomendasi: Pejabat Birokrasi Masyarakat Masyarakat Poli]k Sipil Ekonomi XII. Anggaran pemberdayaan perempuan XIII. Pendapatan per kapita Grafik Hasil IGI per Arena, Kabupaten Sampang 6.674 rupiah per tahun XIV. Rp. 3.703.797 XV.
KABUPATEN SAMPANG
Pertumbuhan ekonomi
4.71 %
Penduduk miskin
29% Pengangguran
2% Rasio rata-‐rata lama sekolah Laki-‐laki : Perempuan
1.39 Rasio tenaga medis per 1000 penduduk
13.88 Gini rasio
Rasio PAD terhadap PDRB
0,02 % Rasio lahan kritis
2 Terpaan media
-‐ per 10.000 penduduk Partisipasi OMS -‐.
Tingkat partisipasi politik dalam pilkada terakhir 75%
Salah satu modal utama Kabupaten Sampang dalam melaksanakan pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah adalah sumber daya manusia (SDM), khususnya perempuan. Data menunjukkan bahwa perempuan yang termasuk kategori usia produktif di daerah ini jauh lebih banyak daripada laki-‐laki. Sayangnya, modal ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini terlihat dari temuan IGI yang menunjukkan fakta bahwa komitmen pemerintah daerah masih lemah terhadap pemberdayaan perempuan. Salah satunya tercermin dari minimnya alokasi anggaran pemberdayaan perempuan. Rasio lama sekolah perempuan di Sampang juga sangat kecil, yaitu rata-‐rata hanya 3,5 tahun. Belum baiknya komitmen pemberdayaan perempuan di Sampang patut diduga berawal dari hulu, yakni DPRD. Selaku lembaga yang memiliki kewenangan dalam menyusun dan menentukan anggaran, DPRD cenderung tidak melibatkan perempuan dalam prosesnya. Bahkan tidak ada satupun wakil perempuan di Badan Anggaran DPRD.
I.
HASIL INDEKS TATA KELOLA PEMERINTAH DI KABUPATEN SAMPANG
Data statistik tahun 2012 menunjukkan bahwa dari 62, 82 persen penduduk Kabupaten Sampang masuk usia produktif (15-‐64 tahun). Dari jumlah usia produktif, 50,86 persennya perempuan dan sisanya, 49,14 persen, laki-‐laki. Namun hasil penelitian IGI 2014 justru menunjukkan bahwa pemerintah Sampang sangat sedikit mengalokasikan anggaran pemberdayaan perempuan, di mana setiap perempuan hanya mendapatkan anggaran sebesar Rp 556 per bulan. Ini diperparah dengan fakta bahwa pendidikan anak perempuan di Sampang jauh tertinggal dibandingkan dengan laki-‐laki, kendati data statistik menunjukkan bahwa keduanya tidak sampai lulus Sekolah Dasar (SD). Rasio lama sekolah anak perempuan 3,65 tahun berbanding 5,06 tahun pada laki-‐laki. Akibatnya, angka buta huruf di Sampang masih cukup tinggi. Berdasarkan data dalam angka Sampang tahun 2012, masih ada sekitar 32,30 persen masyarakat Sampang belum dapat membaca. Kecilnya anggaran pemberdayaan perempuan juga menjadi salah satu faktor Sampang menjadi daerah yang menduduki peringkat terendah dalam sub indeks gender IGI 2014. Seharusnya alokasi anggaran perempuan lebih banyak, agar mereka dapat mandiri, produktif, dan secara langsung meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta mengurangi angka kemiskinan yang jumlahnya sekitar 29 persen. Kabupaten Sampang yang memiliki luas wilayah 1.233 km2 terpilih mewakili Provinsi Jawa Timur dalam penelitian IGI 2014. Kriteria pemilihan wilayah didasarkan pada peringkat Indeks Pembangunan Manusia atau HDI tinggi, sedang, dan rendah dengan mengambil sampling secara acak satu kota atau kabupaten di setiap provinsi. Hasil IGI secara keseluruhan menempatkan Kabupaten yang berpenduduk 883.282 jiwa (Statistik tahun 2012) ini berada di peringkat 30 dari 34 kabupaten/kota yang diukur. Temuan ini menguatkan hasil peringkat HDI yang juga menempatkan Sampang sebagai kabupaten dengan peringkat rendah. Di antara empat arena yang diukur, Arena Birokrasi memperoleh skor tertinggi dibanding tiga arena lainnya dengan perolehan skor 4,95. Sementara berturut-‐turut di belakangnya adalah arena Masyarakat Sipil dengan 4,67, Masyarakat Ekonomi 3,91, dan Pejabat Politik 2,73. Melihat skor per arena, maka diperlukan upaya yang sangat keras bagi semua pihak untuk memperbaiki nilai tata kelola pemerintahan daerah demi terwujudnya kesejahteraan rakyat Sampang. Dari enam prinsip yang diukur di arena Birokrasi tidak ada yang memiliki nilai baik. Pada prinsip Efektivitas, kendati mendapatkan nilai tertinggi, skornya hanya 4,99. Selanjutnya Efisiensi 4,49, Akuntabilitas 3,74, Keadilan 3,22, Transparansi 2,49, dan Partisipasi 1,76. Demikian juga dengan Arena Masyarakat Sipil, yang rendah. Tiga dari enam prinsip, yakni Transparansi (8,54), Efisiensi (5,61), dan Efektivitas (5,53) mendapat nilai di atas 5. Adapun
Keadilan (1,00), Akuntabilitas (3,73), dan Partisipasi (4,27) masih mendapatkan skor yang rendah. Skor Masyarakat Ekonomi disumbang oleh prinsip Keadilan (5,39), Akuntabilitas (4,96), Partisipasi (4,17), Efektivitas (3,88), Efisiensi (3,26). Prinsip Transparansi memperoleh skor terendah (1,00). Sementara itu hanya prinsip Efisiensi (6,21) yang memperoleh nilai di atas 5. Nilai tersebut tidak dapat mendongkrak nilai Arena Pejabat Politik karena prinsip-‐prinsip lainnya mendapatkan skor sangat rendah, di antaranya Transparansi (2,80), Akuntabilitas (2,22), Efektivitas (1,90), Partisipasi (1,41), Keadilan (1,14). Berikut merupakan tabel rapor kinerja tata kelola Kabupaten Sampang beserta perbandingannya dengan rata-‐rata skor perolehan per arena di 34 kabupaten/kota. IGI Kabupaten Sampang: 4,02
Arena Pejabat Politik Birokrasi Masyarakat Sipil Masyarakat Ekonomi
Indeks Nasional
Indeks Sampang
Partisipasi
Transparansi
Keadilan
Akuntabilitas Efisiensi
3,70
2,73
1,41
2,80
1,14
2,22
6,21
1,90
6,38
4,95
1,76
2,49
3,22
3,74
4,49
4,99
5,17
4,67
4,27
8,54
1,00
3,73
5,61
5,53
4,23
3,91
4,17
1,00
5,39
4,96
3,26
3,88
I.1 Arena Pejabat Politik Arena Pejabat Politik, terdiri dari Kepala Daerah dan anggota DPRD, yang merupakan wakil rakyat. Keberadaan mereka dipilih secara langsung oleh masyarakat. Maka, sudah sepatutnya mereka memperjuangkan kepentingan sekaligus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat. Untuk itu, dalam setiap perumusan dan pengambilan kebijakan, mereka harus mengedepankan prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan atau keadilan bagi masyarakat. Berdasarkan hasil IGI 2014, Arena Pejabat Politik di Sampang justru melakukan hal sebaliknya. Skor kinerja pejabat politik, terutama berkenaan dengan fungsi utama seperti pembuat kerangka kebijakan, perumusan anggaran, pengawasan dan kepemimpinan justru jauh dari harapan. Nilainya buruk dan jauh dari kata partisipatif, transparan, dan adil kepada para pemilihnya. Untuk lebih jelasnya, mari kita jabarkan satu per satu. Sebagai wakil rakyat yang mempunya tiga tugas utama (Kerangka Kebijakan, Penganggaran, dan Pengawasan), para anggota DPRD belum memaksimalkan kewenangannya. Memang hanya fungsi pengawasan yang menjadi tanggung jawab penuh DPRD. Fungsi penganggaran dan perumusan kebijakan merupakan fungsi yang bersinggungan dengan Bupati/Wakil Bupati, sehingga kinerjanya menjadi tanggung renteng kedua lembaga tersebut.
Efektivitas
Dalam fungsi Pengawasan , di DPRD Sampang berkinerja buruk sehingga mendapatkan skor sangat rendah, yaitu 1,80. Skor itu paling rendah di antara fungsi lainnya. Fungsi kepemimpinan Bupati mendapatkan nilai tertinggi di antara fungsi lainnya, yakni 3,50. Partisipasi, Keadilan, Akuntabilitas, dan Efektivitas merupakan prinsip yang mendapatkan nilai terendah, yakni 1,00. Sedangkan Transparansi memperoleh skor 2,80 dan Efisiensi 5,76. Penyebab utama rendahnya skor partisipasi adalah belum aktifnya anggota dewan dalam berinteraksi dengan warga dalam hal pengawasan pemerintahan. Hal ini terlihat dari belum adanya pelembagaan pengaduan masyarakat baik melalui SMS, hotline, maupun website. Faktor berikutnya adalah masih rendahnya persentase anggota DPRD yang memiliki kanal partisipasi warga, baik melalui media sosial, blog, maupun rumah aspirasi. IGI 2014 juga menemukan bahwa besarnya biaya gaji dan tunjangan DPRD tidak berbanding lurus dengan kinerja anggotanya. Dengan alokasi anggaran masuk dalam 13 daerah dengan biaya anggota Dewan terbesar di antara 34 Kabupaten/Kota, kinerjanya justru terpuruk di peringkat kedua terburuk. Total biaya DPRD tahun 2012 kurang lebih Rp 18,5 miliar, dengan kata lain masing-‐masing 43 anggota mendapatkan uang Rp 432.186.547. Bandingkan dengan anggaran pelayanan dasar yang disediakan pemerintah Sampang kepada setiap warganya. Setiap anak usia wajib belajar hanya mendapatkan anggaran Rp 408.885 per tahun. Sementara tiap warga miskin hanya mendapatkan bantuan sebesar Rp 17.948 per tahun. Setiap warga hanya mendapatkan jatah pelayanan kesehatan Rp 46.736 per tahun. Rendahnya komitmen anggaran daerah terhadap pelayanan dasar publik juga menjadi tanggungjawab Bupati/Wakil Bupati selaku pejabat yang juga memiliki kewenangan menyusun anggaran. Ini juga yang menyebabkan skor prinsip Keadilan pada Fungsi Penganggaran pejabat politik sangat rendah, 1,62. Tidak hanya itu, Prinsip Partisipasi juga mendapat skor rendah, 1,00. Penyebabnya adalah belum banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam rapat konsultasi publik proses penyusunan peraturan daerah APBD di eksekutif. Fungsi lain yang menjadi tanggung jawab bersama adalah Kerangka Kebijakan, ironisnya justru mendapatkan skor yang juga rendah yaitu 1,92. Prinsip Keadilan mempeproleh skor 1,16. Akuntabilitas dan Efektivitas mendapatkan nilai sama yakni 1,00, menjadi prinsip yang mendapatkan skor paling rendah di antara skor lainnya. Penyebabnya adalah masih terbatasnya jumlah Perda dan produk hukum yang dihasilkan terkait perlindungan kelompok terpinggirkan (perempuan, anak, penderita HIV Aids, penyandang cacat dan lain-‐lain) di prinsip Keadilan. Sementara untuk Akuntabilitas adalah rendahnya persentase jumlah Perda yang disahkan dari Program Legislasi Daerah 2012 dan rata-‐rata tingkat kehadiran anggota DPRD dalam pembahaan Perda di Rapat Paripurna yang masih rendah. Pengesahan Perda tidak dibarengi dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati tentang implementasi Perda, sehingga seringkali Perda yang telah disahkan belum dapat langsung diimplementasikan. Selain itu, jumlah Perda inisiatif yang dihasilkan dalam setahun juga masih sangat terbatas. Berdasarkan data ini, efektivitas pejabat politik dalam menjalankan fungsi pembuatan kerangka kebijakan masih sangat rendah
Kendati mendapatkan skor yang lebih besar di antara tiga fungsi lain, fungsi Kepemimpinan (3,50) belum dapat dikatakan lebih baik. Partisipasi dan Keadilan menjadi kelemahan utama yang harus dibenahi sebab sama-‐sama mendapatkan skor minimal, yakni (1,00). Minimnya persentase kehadiran Bupati di rapat Paripurna, serta belum adanya pelembagaan yang mengatur promosi dan rekruitmen pejabat pemerintah daerah menjadi alasan di balik rendahnya kedua prinsip tersebut. Di indikator lain, skor Efisiensi (7,64) dan Efektivitas (8,68) relatif tinggi. Persentase Anggaran Operasional Bupati/Walikota terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup berimbang, nilai Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) milik Kementerian Dalam Negeri, serta kecilnya rasio luas lahan kritis terhadap luas wilayah di Sampang menjadi faktor yang sangat menentukan dan membuat dua prinsip tersebut mendapatkan nilai tinggi. Skor fungsi utama dan prinsip Pejabat Politik dapat dilihat pada tabel berikut ini. Indeks per fungsi
Partisipasi
Transparansi
Keadilan
Akuntabilitas
Efisiensi
Efektivitas
1. Kerangka Kebijakan
1,92
2,72
2,80
1,16
1,00
3,68
1,00
2. Penganggaran
3,33
1,00
2,80
1,67
4,67
7,08
4,90
3. Pengawasan
1,84
1,00
2,80
1,00
1,00
5,76
1,00
4. Kepemimpinan
3,50
1,00
2,80
1,00
2,80
7,64
8,68
Fungsi
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa selain belum membuka diri untuk pelibatan masyarakat, dalam merumuskan dan menjalankan kebijakannya pejabat politik di Kabupaten Sampang juga jauh dari rasa adil. Maka pembenahan yang harus segera dilakukan adalah membuka kran partisipasi sebesar-‐besarnya dalam melaksanakan fungsi utamanya. Dari situlah proses penerapan prinsip-‐prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di Sampang dapat diterapkan.
II.2 Arena Birokrasi Sama halnya dengan Pejabat Politik, persoalan utama Arena Birokrasi adalah buruknya tingkat partisipasi di hampir semua fungsi utamanya, kecuali Pelayanan Publik (2,52). Fungsi Pengumpul Pendapatan, Pengaturan Ekonomi, dan Penegakan Peraturan Daerah sama-‐sama mendapat nilai (1,00). Indikator utamanya: belum adanya dewan kesehatan dan pendidikan, unit pelayanan pengaduan masyarakat di Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), forum reguler antara pemerintah kabupaten kota dan masyarakat untuk memperkuat iklim investasi, penciptaan lapangan kerja, dan pemberdayaan ekonomi rakyat, serta pelayanan pengaduan masyarakat di Kantor Satpol PP/Dinas Tramtib. Selain itu, Prinsip Transparansi juga bermasalah dengan hanya mendapatkan nilai tertinggi adalah (2,80) di tiga fungsi utama. Sedangkan transparansi di fungsi penegakan peraturan daerah mendapat nilai terendah, yakni (1,00). Temuan ini menunjukkan bahwa birokrasi di
Sampang masih setengah hati untuk terbuka kepada publik, kendati sudah ada UU Keterbukaan Informasi Publik yang wajib dipatuhi oleh daerah. Indikator-‐indikator yang ada pada prinsip transparansi menggunakan uji akses terhadap dokumen-‐dokumen publik yang ada di birokrasi, seperti akses terhadap dokumen keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), akses terhadap informasi seputar biaya dan prosedur seputar pelayanan publik, pengurusan izin usaha, kemudahan akses terhadap potensi penerimaan daerah yang ada di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Asset Daerah (DPKAD) dan lain-‐lain. Tidak hanya itu, secara keseluruhan fungsi penegakan peraturan daerah menjadi yang terendah dengan rata-‐rata (1,03), dimana angka tertinggi ada di prinsip efisiensi (1,33). Lima prinsip lainnya masing-‐masing mendapat 1,00. Secara eksplisit, temuan ini menunjukkan bahwa kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sampang belum maksimal. Perbandingan antara jumlah anggota Satpol PP dan penduduk belum ideal. Selain itu, mekanisme pengaduan masyarakat belum ada serta tertutupnya akses terhadap laporan operasi penertiban atas pelanggaran Perda. Pada akhirnya kondisi ini menjadikan kinerja mereka secara keseluruhan tidak efektif dan efisien. Indeks Per Fungsi
Partisipasi
4,05
2,52
2,80
4,25
4,98
1,00
2,80
3. Pengaturan Ekonomi
1,88
1,00
4. Penegakan Peraturan Daerah
1,03
1,00
Fungsi 1. Pelayanan Publik 2. Pengumpul Pendapatan Daerah
Transparansi Keadilan Akuntabilitas
Efisiensi
Efektivitas
4,66
5,97
4,38
3,26
6,85
8,38
8,69
2,80
1,03
1,00
1,00
4,89
1,00
1,00
1,00
1,33
1,00
Kinerja di atas tidak sebanding dengan besarnya anggaran operasional yang dikeluarkan untuk membiayai birokrasi. Untuk belanja pegawai saja, Pemerintah Sampang harus mengeluarkan uang sebesar Rp 527.146.211.480,58 per tahun, terbesar kedua setelah Kabupaten Banjar dan Provinsi Kalimantan Selatan. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan anggaran belanja pegawai peringkat pertama IGI 2014, yakni Kota Yogyakarta yang hanya mengeluarkan uang Rp 102.387.009.400 per tahun. Sudah saatnya birokrasi Kabupaten Sampang berbenah diri di semua fungsi. Hal itu bisa dilakukan dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, perbaikan proses pengaturan ekonomi dan pengumpul pendapatan daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta menegakkan peraturan daerah untuk sebesar-‐besarnya menyejahterakan rakyat Sampang.
II.3 Arena Masyarakat Sipil Persoalan utama arena masyarakat sipil di Sampang adalah rendahnya skor Keadilan (1,00), bahkan sama-‐sama rendah di dua fungsi utama, yakni pemberdayaan masyarakat dan
monitoring serta advokasi. Ini disebabkan oleh karena distribusi isu-‐isu yang diperjuangkan masyarakat sipil di Sampang, dan sebaran variasi isu publik yang diadvokasikan oleh Organisasi Masyarakat Sipil belum merata. Jika dilihat lebih dalam seputar skor arena masyarakat sipil pada fungsi pemberdayaan masyarakat, akan diperoleh angka yang sangat bervariasi. Dari Keadilan (1,00), Partisipasi (4,79), Akuntabilitas (3,87), Efisiensi (5,61), Efektivas (4,36), hingga angka sempurna yang didapat oleh Transparansi (10,00). Nilai sangat baik yang diperoleh transparansi di dasarkan pada mudahnya peneliti dalam mengakses informasi seputar lokasi atau komunitas binaan program pemberdayaan masyarakat. Frekuensi update website juga cukup sering sehingga publik dapat melihat program yang sedang dilaksanakan dan mendapatkan data seputar laporan aktivitas, bahkan tidak jarang laporan keuangan lembaga. Fungsi
Indeks Per Fungsi
Partisipasi
Transparansi
Keadilan
Akuntabilitas
Efisiensi
Efektivitas
1. Pemberdayaan Masyarakat
4,96
4,79
10,00
1,00
3,87
5,61
4,36
2. Monitoring dan Advokasi
4,28
3,57
6,61
1,00
3,54
5,61
7,16
Pada fungsi monitoring dan advokasi, skor transparansi juga cukup tinggi, meskipun tidak menjadi yang tertinggi di antara prinsip-‐prinsip lainnya, yakni (6,61). Kemudahan peneliti IGI dalam mengakses informasi seputar kelembagaan, program, maupun keuangan menjadi indikator pengungkit sehingga skornya tinggi. Kondisi ini dapat menjadi contoh bagi arena Pejabat Politik maupun Birokrasi di Sampang yang sejauh ini belum mau transparan kepada publik. Masyarakat sipil di Sampang juga bisa dengan lantang menuntut pemerintah lebih transparan, karena mereka telah terlebih dulu melaksanakannya. Sementara itu, skor tertinggi untuk fungsi monitoring dan advokasi adalah Efektivitas (7,16), di mana kontribusi masyarakat sipil dalam berbagai sektor di Sampang cukup signifikan. Tingkat partisipasi politik di pilkada terakhir, berdasarkan data KPUD Sampang, juga cukup besar dibandingkan dengan wilayah penelitian lain, yakni sebesar 75 persen. Namun demikian, secara keseluruhan mereka perlu berbenah, terutama pada prinsip Akuntabilitas di kedua fungsi yang mendapatkan skor terendah kedua setelah Keadilan. Belum baiknya kualitas laporan program dan keuangan lembaga, prosedur monitoring dan evaluasi yang belum baku, serta belum patuhnya organisasi terhadap kepatuhan dan ketentuan dalam membayar pajak (SPT/NPWP) menjadi beberapa indikator yang menyebabkan skor akuntabilitas masyarakat sipil cukup rendah. Meningkatkan kualitas keadilan, akuntabilitas, dan partisipasi menjadi langkah yang perlu dilakukan untuk memperbaiki skor kinerja masyarakat sipil di Sampang. Di sisi lain, modal utama mereka, yakni semangat keterbukaan perlu dijaga dan ditingkatkan agar kepercayaan publik semakin besar.
II.4 Arena Masyarakat Ekonomi Secara keseluruhan, nilai Arena Masyarakat Sipil di Sampang mendapatkan skor 3,91, dan menjadi yang terendah kedua setelah pejabat politik. Dari dua fungsi utama, Pemberdayaan Ekonomi Lokal (4,19) mendapat skor relatif lebih tinggi dibanding fungsi Perlindungan Kepentingan Bisnis (3,09). Persoalan utama di masyarakat sipil juga sama dengan arena lain, yakni Transparansi yang mendapatkan skor (1,00) di dua fungsi. Sulitnya mengakses informasi kegiatan dan keuangan asosiasi-‐asosiasi bisnis besar (HIPMI, Gapensi dan Kadin), dan belum tersedianya akses informasi terhadap program pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Asosiasi Bisnis Besar (HIPMI, Gapensi dan Kadin) menjadi faktor rendahnya skor transparansi. Sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan, sudah sewajarnya masyarakat ekonomi lebih terbuka terhadap publik, hal ini untuk menciptakan kepercayaan publik kepada para pengusaha. Indeks Rata-‐rata
Partisipasi
Transparansi
Keadilan
Akuntabilitas
Efisiensi
Efektivita s
1. Perlindungan Kepentingan Bisnis
3,09
1,00
1,00
4,50
5,71
4,50
1,00
2. Pemberdayaan Ekonomi Lokal
4,19
5,07
1,00
5,64
4,64
2,72
4,93
Fungsi
Secara keseluruhan, perolehan skor enam prinsip di dua fungsi utama masyarakat sipil mendapatkan nilai yang relatif rendah yaitu dalam rentang 1-‐5. Untuk itu, diperlukan upaya sungguh-‐sungguh agar skor masyarakat sipil lebih baik.