PROFIL HORMON GLUKOKORTIKOID PADA ORANGUTAN (Pongo pygmaeus wurmbii) BETINA YANG BERINTERAKSI DENGAN INDIVIDU LAIN MENGGUNAKAN METODE NONINVANSIF Abstrak Perubahan kondisi lingkungan yang melebihi batas toleransi menyebabkan stres pada orangutan. Hormon glukokortikoid merupakan salah satu indikator stres. Penelitian ini dilakukan pada 6 individu betina dengan status reproduksi (reproduktif, nullipara dan non-reproduktif) selama 10 bulan dengan metode noninvansif. Tujuan dari penelitian ini melihat korelasi antara interaksi dengan individu lain dengan kadar hormon glukokortikoid. Adanya fluktuasi hormon glukokortikoid pada orangutan betina setelah terjadi perjumpaan dengan individu lain. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa perbedaan status reproduksi individu betina mempengaruhi kadar hormon 11β-hydroxyetiocholanolone, yang terdeteksi setelah 48 jam di dalam feses orangutan. Pada saat pengamatan individu reproduktif (Jinak) melakukan perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi, diketahui kadar hormon glukokortikoid Jinak pada saat tidak ada interaksi dengan jantan dewasa tidak berpipi 436,465 ng/g (n=2) dan setelah terjadi inetraksi dengan tidak berpipi kadar hormon glukokortikoid mengalami peningkatan menjadi 839,39 ng/g (n=2). Betina nullipara (Milo dan Kondor) menunjukkan perbedaan profil metabolit glukokortikoid setelah interaksi dengan jantan tidak berpipi. Milo tidak mengalami kenaikan kadar metabolit hormon stres setelah interaksi dengan individu jantan tidak berpipi. Kadar metabolit hormon glukokortikoid sebelum interaksi 451.58 ng/g (n=6) dan sesudah interaksi menjadi 408.83 ng/g (n=3). Hal yang berbeda pada individu Kondor terjadi peningkatan kadar metabolit hormon glukokortikoid setelah interaksi, kadar hormon sebelum interaksi 440.57 ng/g (n=9) dan setelah interaksi meningkat menjadi 454.54 ng/g (n=33). Betina non-reproduktif yang melakukan interaksi dengan individu lain adalah Mindy, Kerry dan Juni. Kerry individu betina punya anak dengan umur anak 3 tahun memiliki kadar metabolit hormon glukokortikoid sebelum interaksi 291.87 ng/g (n=3) dan setelah interaksi meningkat menjadi 634.75 ng/g (n=5). Perjumpaan antara Juni dengan jantan dewasa tidak berpipi menyebabkan perubahan hormon glukokortikoid sebelum interaksi 267.70 ng/g (n=12) dan setelah interaksi mengalami peningkatan menjadi 347.50 ng/g (n=2). Mindy memiliki pola yang berbeda yaitu setelah terjadi party jantan dewasa mengalami penurunan kadar metabolit hormon glukokortikoid, sebelum interaksi 470.53 ng/g (n=5) dan setelah interaksi mengalami penurunan 380.89 ng/g (n=3). Kata kunci: Orangutan, hormon glukokortikoid, 11β-hydroxyetiocholanolone Pendahuluan Orangutan termasuk jenis primata yang menghabiskan seluruh waktunya di atas pohon dan sangat terngantung dengan hutan. Perusakan habitat secara besar-besaran ataupun berkepanjangan dapat menyebabkan stres pada orangutan. 44
Salah satu cara agar orangutan tetap bertahan adalah beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Perusakan habitat juga mengubah perilaku orangutan yang bersifat semi soliter, karena berkurangnya areal jelajah membuat peluang perjumpaan dengan individu lain tidak dapat dihindari serta terjadi perebutan daerah kekuasaan. Keterbatasan pakan juga membuka peluang perjumpa antar individu semakin besar, selain itu perbedaan status soaial dan reproduksi antara individu membuat ancaman bagi individu lain (van Schaik 2006; Singleton et al. 2009). Perubahan kondisi lingkungan yang akut ataupun kronis dapat menggangu kehidupan. Pada saat tesebut mahluk hidup akan berusaha menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan. Stres dapat timbul apabila penyesuaian diri melebihi batas. Hormon glukokortikoid merupakan salah satu indikator stres yang dapat diukur dengan metode invansif atau non-invansif. Hormon glukokortikoid yang dihasilkan oleh korteks adrenal berpola diurnal yang berfluktuasi secara signifikan, merupakan salah satu indikasi optimal aktivitas korteks adrenal. Fluktuasi hormon stres ditimbulkan karena adanya mekanisme fisiologi yang sangat penting, seperti kerja hormon di dalam tubuh pada saat stres: diawali dari pengiriman pesan menuju hipotalamus akibat rangsanggan dari kondisi lingkungan atau perjumpaan dengan individu lain. Selanjutnya, hipotalamus akan mengekresikan Corticotropin Releasing Hormone (CRH) yang akan menstimulus hipofisis anterior untuk mengeluarkan Adeno Corticotropic Hormone (ACTH). Peningkatan sekresi ACTH menyebabkan peningkatan kadar hormon glukokortikoid yang disekresikan oleh kortek adrenal, terdapatnya sekresi hormon glukokortikoid yang berlebih dan berlangsung terus menerus dapat menghilangkan pola diurnal (Brook & Marshall 1996). Hormon glukokortikoid khusunya kortisol diketahui mempunya pulse selama 24 jam sebanyak 7 sampai 9 kali akibat adanya stimulus dari ACTH yang berkerja secara episodik. Hormon kortisol sebagai salah satu penanda stres, kajian tentang hormon kortisol pada manusia di dalam plasma telah diketahui meningkat pada jam 8-10 pagi (50-230 ng/ml) dan terendah pada jam 16.00 (50-150 ng/ml) (Astuti 2006). Pada sebagian hewan (ikan, reptil, burung dan mamalia) kondisi hormon sangat berhubungan dengan tingkah laku, pola kawin dan sistem sosial. Khusus pada primata kadar hormon stres dipengaruhi oleh status sosial, agresi antar individu, perjumpaan dengan individu lain dan perbedaan umur. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa reaksi lingkungan dan individu lain mempengaruhi sistem hormonal di dalam tubuh. Hal ini diketahui dengan dilakukannya pendeteksian secara non-invansif melalui feses, diketahui bahwa 11β- hydroxyetiocholanolone hormon glukokortikoid yang merupakan indikator hormon stres pada orangutan (Weingrill 2011; Marty 2009) Menurut Weingrill (2011) individu orangutan jantan sub-ordinat memiliki kadar hormon stres yang lebih tinggi dibandingkan jantan dominan. Beberapa penelitian telah berhasil mendeteksi kondisi fisiologi melalui pengukuran metabolit hormon dalam urine dan feses. Diketahui bahwa pada kondisi tertekan ataupun terancam menyebabkan terjadinya peningkatan kadar hormon stres, hal ini dikarenakan adanya kejadian hormonal di dalam tubuh. Pada keadaan normal hormon stres disekresikan secara episodik sehingga membentuk pola harian, sekresi hormon stres yang berlebih dan berlangsung secara terus menerus dapat
45
menghilangkan pola harian hormon (Brook & Marshall 1996; Möstl & Palme 2002). Informasi mengenai profil hormon glukokortikoid pada orangutan liar akibat interaksi dengan individu lain dan pengaruh lingkungan masih sangat kurang, hal ini harus dicari tahu untuk keberhasilan rehabilitasi dan reintroduksi orangutan di habitat eksitu. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui profil hormon glukokortikoid pada orangutan betina yang melakukan interaksi sosial dengan individu lain melalui pengujian secara non-invansif (feses). METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini dilakukannya uji kadar hormon 11βhydroxyetiocholanolone sebagai indikator stres pada orangutan yang berinteraksi dengan orangutan jantan. Pengukuran kadar hormon 11β- hydroxyetiocholanolone secara kuantitatif, menggunakan metode non-invansif melalui feses. Waktu dan Lokasi Penelitian Pemeriksaan sampel feses, sampel feses dilakukan ekstraksi pada bulan Juni dan Agustus 2011 di laboratorium unit rehabilitasi dan reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pengujian hormon secara kuantitatif dilakukan pada bulan Desember 2012-Januari 2013 di German Primate Center Göttingen, Jerman. Hewan Penelitian dan Status Reproduksi Jumlah orangutan fokus yang diamati adalah 6 individu rangutan betina, yaitu Jinak, Milo, Kondor, Mindy, Kerry dan Juni. Status reproduksi dari orangutan tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu Nullipara, Reproduktif, dan Non-reproduktif. Berdasarkan status reproduksi tersebut maka keenam orangutan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Nullipara adalah Milo dan Kondor, (2) Reproduktif adalah Jinak (3) Non-reproduktif adalah Mindy, Kerry dan Juni. Alat dan Bahan Alat yang digunakan terdiri atas : tabung plastik, freezer (-20ºC), vortexer, sentrifus, mortar porselin, timbangan elektronik, plate mikrotiter, mikropipet, mesin pencuci plate, microplate reader model 3550 (Bio-Rad®), dan komputer. Sampel penelitian yang digunakan adalah 115 sampel feses dari 6 individu orangutan (Pongo pygmaeus wrumbii) betina dengan status reproduksi yang berbeda yaitu betina reproduktif dan betina non-reproduktif. Larutan pencuci PBS, methanol, larutan substrat. Koleksi Feses Analisis hormon dilakukan untuk mengetahui kadar hormon stres pada orangutan betina yang merupakan objek penelitian. Pengambilam sampel feses
46
dilakukan pada pagi hari setelah individu objek bangun tidur untuk mengetahui terjadinya perubahan profil hormon (Gambar 15a). Pada saat pengkoleksian untuk mendapatkan homogenitas feses yang diambil meliputi tiga bagian feses yaitu luar, tengah dan dalam (Heistermann et al. 2001; Möstl & Palme 2002). Pengkoleksian feses dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan alkohol 96% dan feses segar (Gambar 15b,c). Kedua prosedur tersebut tidak mempengaruhi pengujian kadar hormon glukokortikoid dari sampel feses tersebut, perbedaan yang ada hanya cara penyimpanan sampel padasaat di lapangan. Sampel feses dengan alkohol 96% dapat disimpan tanpa di dalam pendingin, sedangkan feses segar penyimpanan harus di dalam pendingin. Pengkoleksian dengan menggunakan alkohol 96%, sebelum feses dimasukan dalam tabung maka diberikan alkohol terlebih dahulu 2 ml. Sedangkan pengoleksian feses segar tanpa alkohol yaitu sampel feses yang didapat langsung dimasukan ke dalam tabung kosong. Tabung yang digunakan dalam pengambilan sampel diberikan label atau indentitas nama orangutan yang diambil, tanggal pengambilan sampel, pengamat yang mengambil, waktu pengambilan dan nomer sampel. Sampel tersebut disimpan di dalam pendingin (freezer) dengan suhu -20 ºC (Möstl & Palme 2002).
(a)
(b)
(c)
Gambar 15 (a); Koleksi feses dari lapangan (b); pengoleksian feses dengan menggunakan alkohol (c) feses segar (Mardianah 2010). Analisa Hormon Pengeringan dan Penghalusan Feses Proses pengeringan (lyofilisasi) dan penghalusan (pulverasi) sampel feses dilakukan berdasarkan prosedur Heistermann et al. (2001). Sampel yang telah dikoleksi dikeringkan dengan menggunakan mesin pengering beku (lyophilizer) (freeze dryer, Christ®, Gamma 1-20) selama 3-4 hari pada suhu -20ºC dan tekanan vakum 1,030-0,630 mbar. Sampel yang telah dikeringkan selanjutnya dihaluskan menggunakan mortar poselin dan disaring dengan saringan steinless steel untuk memisahkan serbuk feses dari bahan berserat, kemudian serbuk feses dimasukan ke dalam tabung dan disimpan pada suhu -20ºC sampai pada tahap ekstraksi.
47
Ekstraksi Feses a. Ekstraksi feses segar Feses yang telah disimpan di dalam freezer dalam bentuk segar diambil kemudian masing-masing selanjutnya dilakukan pulverisasi. Serbuk yang telah terbentuk diambil 50 mg berat kering kemudian diekstraksi dengan menggunakan pelarut methanol 80% sebanyak 2-7 ml. Selanjutnya, larutan dimasukan ke dalam tabung polipropilene berukuran 15 ml, divorteks selama 10 menit. Sentrifius dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dilakukan segera setelah larutan divorteks. Supernatan dipisahkan ke dalam tabung lain, kemudian disimpan di freezer -21ºC sampai dilakukan analisa menggunakan enzyme link immunosorbent assay (ELISA) atau enzyme immunoassay (EIA) (Heistermann et al. 2006). b. Ekstraksi feses alkohol 96% Feses yang di simpan dalam freezer dikeluarkan dan dihomogenkan dengan menggunakan stik metal, kemudian cuci stik metal tersebut dicuci dengan menggunakan 1 ml methanol 80%. Masukan sampel feses tesebut ke dalam tabung lain yang telah ditimbang berat dari tabungnya, kemudian vortex tabung tersebut selama 10 menit. Sentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan dipisahkan ke tabung lain, kemudian pellet ditambahkan dengan methanol 80% sebanyak 3-7 ml tergantung dari banyaknya feses sampai feses terendam dengan methanol. Vortex tabung tersebut selama 10 menit dan dengan segera sentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Supernatant dipisahkan kembali dan digabungkan kedalam tabung sebelumnya dan disimpan di dalam freezer -21ºC. Pelet feses yang didapat di keringkan dengan suhu ruangan selama 3 hari. Selanjutnya pelet feses dikeringkan dengan oven suhu 50ºC selama 2-3 hari, timbang pelet tersebut kemudian keringkan kembali selama satu hari untuk mendapatkan berat feses yang stabil. Pengujian Validitas Assay Hormon Glukokortikoid Pengujian validitas assay hormon glukokortikoid pada orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) telah divalidasi dan dinyatakan bahwa hormon 5β-Adiol adalah hormon assay yang tepat untuk pengujian ELISA metabolit glukokortikoid dalam feses orangutan (Weingrill et al. 2008). Proses pertama yang dilakukan yaitu pengukuran akurasi hormon assay dengan pengujian paralelism untuk menentukan tingkat pengenceran sampel feses yang efektif. Ekstraksi sampel akan diencerkan secara bertingkat dalam larutan assay buffer yaitu 1:5, 1:10, 1:20, 1:40, 1:80, dan 1:60. Menurut Heistermann et al. (1996) pengujian paralelisme sebagai upaya agar mengetahui apakah hormone assay yang digunakan dapat menganalisa hormon yang diinginkan dari sampel yang diperiksa. Berdasarkan hasil yang didapatkan apabila pola kurva sampel paralel dengan kurva standar, maka hasil uji paralelisme menunjukan bahwa antibodi yang digunakan pada penggujian assay bersifat immunoreaktif terhadap hormon yang diuji atau hormon assay tersebut dapat mengukur dengan tepat konsentrasi metabolit hormon glukokortikoid dalam feses orangutan. Presisi assay ditentukan dengan menghitung koefisiensi variasi dari masing-masing nilai kontrol kualitas pada konsentrasi tinggi (QC High) dan rendah (QC Low) pada beberapa assay yang telah dilakukan uji (inter-assay
48
coeffiecient of variant) dan perhitungan koefisiensi variasi dari masing-masing nilai control kualitas konsentrasi tinggi dan rendah pada satu assay (intra-assay coefiecient of variant). Apabila dari hasil yang didapatkan nilai koefisien variasi inter-assai menunjukan < 15% dan intra-assai <10% maka assay tersebut dikatakan memiliki nilai presisi yang baik (Heistermann et al. 1996 & Heistermann et al. 2004). Penggujian lain yang dilakukan adalah sensitivitas assay untuk penetapan nilai konsentrasi hormon yang diperoleh pada saat 90% antibodi berikatan dengan hormon atau menentukan nilai konsentrasi hormon terendah yang dapat dianalisa. Pengukuran Konsentrasi Metabolit Hormon Glukokortikoid Sampel feses yang telah diekstraksi, kemudian dianalisa dengan menggunakan prosedur kerja sebagai berikut; masukan larutan assay buffer 100µL ke dalam sumur (wells) blank dan Assay buffer sebanyak 50µL ke sumur zero dalam mikroplate. Selanjutnya dimasukannya larutan standar ke dalam sumur sesuai pengenceran dilakukan. Larutan QCH dan QCL dimasukan ke dalam sumur berkode sama masing-masing 50 µL . Kemudian dimasukannya larutan biotin label ke masing-masing sumur 50µL dan larutan antibodi ke semua sumur masing-masing 50µL. Tutup dengan biofilm/kover plastik tutupi plate dengan rapat tanpa ada cela agar tidak tumpah. Plate dimasukan ke dalam pendingin dengan rata-rata selama 18 jam atau satu malam. Larutan Streptavidin Peroxidase 20 mg dibuat dalam larutan buffer 16 mL homogenkan. Plate dikeluarkan dari dalam pendingin dan diamkan pada suhu kamar kemudian cuci plate dan keringkan dengan tissue. Larutan Sterptavidin Peroxidase dimasukan ke dalam semua wells masing-masing 0,15 mL atau 150 µL, selanjutnya, plate diinkubasi di ruang gelap dan dikocok selama 45 menit atau sampai berubah warna menjadi warna biru sesuai standarnya pada setiap sumur. Reaksi dengan Streptavidin Peroxidase harus dihentikan dengan larutan penghenti reaksi menggunakan larutan H2SO4. Setelah reaksi dihentikan maka warna larutan dalam sumur akan berubah warna menjadi kuning.Sumur blank berwarna terang (transparan) akan tetap transparan, sumur QCL berwarna kuning lebih pekat dari pada well QCH. Selanjutnya, sumur dimasukkan ke dalam ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm dan dengan 630 nm referensi filter (Heistermann et al. 2001; Heistermann et al. 2006). Analisis Data Data-data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak “ statistic programe for scientific and social science” (SPSS) sofware 11.50. Uji dengan menggunakn BoxPlot dan dijelaskan dengan deskriptif. Kadar hormon diperoleh hari tertentu dihubungkan dengan perilaku sosial 48 jam setelah kontak dengan individu lain untuk menjawab hipotesis tersebut dengan menggunakan uji: Melihat hubungan antara perjumpaan individu betina dengan individu jantan dewasa berpipi, jantan dewasa tidak berpipi ataupun dengan individu betina lain dengan terjadinya peningkatan kadar hormon 11βhydroxyetiocholanolone.
49
Hasil dan Pembahasan Kadar Hormon 11β- hydroxyetiocholanolone antar Individu Betina Berdasarkan Status Reproduksi padasaat Perjumpaan dan Tidak Ada Perjumpaan Hormon glukokortikoid 11β- hydroxyetiocholanolone merupakan profil hormon stres yang ditemukan pada orangutan dengan menggunakan metode noninvansif melalui feses (Weingrill et al. 2011). Metode non-invasif merupakan metode yang tepat untuk pengujian hormon glukokortikoid pada satwa liar, sehingga hormon yang didapat tidak dipengaruhi karena perilaku manusia. Stres terjadi karena adanya faktor dari dalam dan luar tubuh, pada non-primata stres banyak disebabkan dari faktor luar (lingkungan) seperti variasi iklim, status sosial, agresi, umur dan perjumpaan. Pada penelitian ini dilakukan pada individu betina yang dibedakan dari status reproduksi non-reproduktif, reproduktif dan nullipara. a. Betina reproduktif (Jinak) Pada saat pengamatan individu reproduktif (Jinak) melakukan perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Menurut Rodman dan Mitani (1987); Atmoko et al. (2009a) orangutan betina dewasa memilih berpasangan dengan jantan dewasa berpipi untuk mendapatkan keuntungan seperti perlindungan dari individu jantan. Diketahui kadar hormon glukokortikoid Jinak pada saat tidak ada perjumpaan dengan individu lain 436,465 ng/g (n=2) dan setelah terjadi perjumpaan dengan jantan dewasa tidak berpipi kadar hormon glukokortikoid mengalami peningkatan menjadi 839,39 ng/g (n=2) (Gambar 16). Hal tersebut membuktikan bahwa setelah perjumpaan dengan individu lain terjadi peningkatan ancaman dibandingkan sebelum perjumpaan, disebabkan Jinak masih dibayangi anak sehingga faktor keselamatan anak menjadi pertimbangan. Menurut Atmoko et al. (2009b) orangutan betina dewasa lebih memilih berpasangan dengan jantan dewasa berpipi. Individu betina merupakan Individu betina merupakan pengambil keputusan di dalam melakukan interaksi seksual. Menurut Delgado dan van Schaik (2000); Knott et al. (2009); Wich et al. (2009) orangutan kalimantan memiliki interval jarak kelahiran antara satu anak dengan anak selanjutnya 6-8 tahun. Berdasarkan interval jarak kelahiran anak tersebut kemungkinan Jinak sudah reproduktif kembali karena Jerry sudah berumur7 tahun 2 bulan. Menurut Wich et al. (2009) anak berjenis kelamin betina lebih cepat mandiri dibandingkan dengan anak berjenis kelamin jantan. Berdasarkan hasil yang didapatkan Jerry anak dari Jinak (jantan) memiliki umur yang hampir sama dengan Milo (betina) anak dari Mindy. Pada Tahun 2008 Milo yang berumur 7 tahun sudah memiliki adik (Mawas), sedangkan pada umur yang sama Jerry masih bersama dengan induk dan masih menyusui (nippel contact) pada induk (Atmoko et al. 2009b), kemungkinan hal ini membuat peningkatan kadar hormon glukokortikoid tinggi saat Jinak bertemu dengan jantan dewasa tidak berpipi karena ketanggapan seksual Jinak belum kembali normal. Nippel contact antara induk betina dengan anak mempengaruhi sistem endocrinology induk. Menurut Mindy et al. 2000 pada saat individu betina sedang menyusui atau masih adanya nipple contact antara anak dengan induk betina maka akan menghambat produksi Gonadotrophin Releasing Hormon (GnRH) pada induk, menekan terjadinya estrus karena produksi LH dan FSH menurun
50
yang mempengaruhi proses pematangan sel telur. Berdasarkan hasil yang didapatkan bahwa status reproduksi individu betina tidak hanya dapat dilihat dari umur anak atau interval kelahiran anak namun harus dilakukan uji sistem endokrinologi. Sampel dari penelitian ini sangat terbatas karena berasal dari satu individu betina dewasa dan sampel yang digunakan dari 2 hari party dan dua hari tidak party. b. Betina nullipara (Milo dan Kondor) Menurut Galdikas (1985); van Schaik (2006) betina nullipara menunjukan ketertarikannya dengan individu jantan dengan cara mendekati individu jantan yang diharapkan. Pada saat pengamatan betina nullipara lebih banyak melakukan perjumpaan dengan jantan dewasa tidak berpipi maupun jantan dewasa berpipi dibandingkan betina non-reproduktif. Salah satu strategi individu betina pada saat perilaku seksual adalah berpasangan dengan banyak jantan. Pada saat pubertas sistem endokrin mulai bekerja yang berhubungan dengan mekanisme–mekanisme fisiologi tertentu yang melibatkan gonad dan kelenjar adenohypophisa. Pada umur pubertas, neuron hipotalamus sudah mampu memproduksi hormon estrogen dengan frekuensi dan amplitudo tertentu (Hafez & Hafez 2000). Milo dan Kondor merupakan betina nullipara yang belum pernah punya anak. Perbedaan umur menyebabkan berbedanya pola hormon glukokortikoid setelah interaksi. Kondor yang memiliki umur yang lebih tua dibandingkan dengan Milo, lebih banyak melakukan interaksi dengan individu jantan. Selama pengamatan individu Kondor banyak berpasangan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Menurut Rodman dan Mitani 1987; Atmoko et al. (2009b) berpasangan dengan banyak jantan tidak dalam waktu yang bersamaan merupakan salah satu strategi individu betina untuk mendapatkan keuntungan dari individu jantan seperti perlindungan. Berdasarkan hasil pengamatan perilaku seksual kopulasi terjadi sebanyak 25 kejadian kopulasi intromisi dengan jantan dewasa tidak berpipi, dengan beberapa kategori kopulasi yang teramati pasif, pemaksaan maupun aktif. Milo dan Kondor memiliki kadar hormon stres yang hampir sama sebelum dan setelah terjadi party dengan jantan dewasa tidak berpipi. Milo mengalami penurunan kadar hormon stres setelah party dengan individu jantan tidak berpipi, namun secara umum konsentrasi metabolit glukokortikoid setelah interaksi tampak ada juga yang lebih rendah dibandingkan dengan tidak ada interaksi kadar hormon glukokortikoid sebelum interaksi 451,58 ng/g (n=6) dan sesudah interaksi menjadi 408,83 ng/g (n=3). Selama pengamatan interaksi yang terjadi antara Milo dengan jantan dewasa tidak berpipi terlihat ada perilaku seksual kopulasi yaitu sex investigate. Berdasarkan hasil bahwa sex investigate yang terjadi pada Milo mempengaruhi kadar hormon glukokortikoid lebih rendah karena timbulnya rasa nyaman dan adanya ketertarikan dari individu betina dengan kehadiran jantan. Hal yang sedikit berbeda terjadi pada individu Kondor dimana tampak adanya peningkatan rata-rata kadar metabolit hormon glukokortikoid setelah interaksi, kadar hormon sebelum interaksi 440.57 ng/g (n=9) dan setelah interaksi meningkat menjadi 454.54 ng/g (n=33). Namun secara keseluruhan, tampak juga beberapa kejadian dimana konsentrasinya lebih rendah pada saat terjadi intraksi dibandingkan tidak terjadi interaksi. Hal yang berbeda terjadi pada individu Kondor peningkatan kadar hormon glukokortikoid setelah interaksi, kadar hormon
51
sebelum terjadi interaksi 440,57 ng/g (n=9) dan setelah interaksi meningkat menjadi 454,54 ng/g (n=33). 1400
1200
1000
800
ng/g berat kering feses
600
400
200
PARTY NOPARTY
0 N=
2
2
Jinak
3
3
Juni
3
3
Kerry
9
9
Kondor
3
3
Milo
3
3
Mindy
INDIVIDU
Gambar 16. Kadar hormon 11β- hydroxyetiocholanolone orangutan betina
Kondor banyak melakukan party maupun consort dengan individu jantan dewasa tidak berpipi dan terjadi beberapakali interaksi seksual kopulasi seperti copulation intromistion, sex investigate, dan copulation attempt. Kategori kopulasi yang teramati bersifat pemaksaan, pasif dan aktif, setelah 48 jam kejadian interaksi seksual kopulasi dapat meningkatkan kadar hormon glukokortikoid. Peningkatan kadar hormon glukokortikoid yang terjadi pada Kondor mencapai 1200 ng/g (tanggal 11-06-2010) pada saat tersebut terjadi beberapa kali kopulasi pemaksaan dalam perilaku seksual kopulasi dengan jantan dewasa tidak berpipi (Gambar 17). Menurut data yang ada sebelumnya beberapakali Kondor terlihat melakukan perilaku seksual dengan jantan tidak berpipi namun kenaikan kadar hormon glukokortikoid tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan tanggal 11-06-2010, kemungkinan pada saat tersebut Kondor tidak dalam keadaan estrus sehingga mempengaruhi kadar hormon glukokortikoid. Pada saat estrus orangutan betina tidak terlihat perbedaan morfologi seperti primata yang lain, perubahan morfologi pada orangutan betina hanya pada saat menjelang kelahiran yaitu terjadi pembengkakan pada bagian perineal (Galdikas 1984). Namun karena tidak ada perbedaan morfologi pada orangutan betina padasaat estrus maka peluang terjadinya kopulasi pemaksaan oleh jantan dewasa tidak berpipi semakin tinggi (Atmoko et al. 2009b; Knott et al. 2009). Hal ini merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh individu jantan dewasa 52
tidak berpipi untuk keberhasilan reproduksi. Perlu dilakukan uji lanjut yang dapat mendukung dengan DNA untuk menentukan anak yang dilahirkan apakah hasil dari kopulasi pemaksaan atau kategori kopulasi lain. 1260
ng/g berat kering feses
855
451
KADAR 46
UCL = 845.8394 Average = 450.7534 LCL = 55.6675
-358 10 6/ /0 0 17 6 /1 /0 0 15 6 /1 /0 0 13 6 /1 /0 0 11 6 /1 /0 0 09 4 /1 /0 0 24 1 /1 /0 0 23 1 /1 /0 0 21 1 /1 /0 0 19 1 /1 /0 0 17 1 /1 /0 14 /09 12 9 4/ 1 /0 /1 9 13 1 /0 /1 10 /09 11 8/ /09 11 5/
Tanggal kejadian
Gambar 17. Kadar hormon 11β- hydroxyetiocholanolone pada individu Kondor (betina reproduktif nullipara). c. Betina non-reproduktif (Mindy, Kerry dan Juni) Betina non-reproduktif yang melakukan interaksi dengan individu lain adalah Mindy, Kerry dan Juni. Kerry dan Juni mempunyai pola kadar hormon glukokortikoid yang sama yaitu setelah interaksi dengan jantan dewasa terjadi kenaikan hormon glukokortikoid. Kerry individu betina punya anak dengan umur anak 3 tahun memiliki kadar hormon glukokortikoid sebelum terjadi interaksi 291,87 ng/g (n=3) dan setelah interaksi meningkat menjadi 634,75 ng/g (n=5). Interval jarak perjumpaan antara Kerry dengan jantan dewasa tidak berpipi berada di 2-10 m (51,282%) interval tersebut cukup dekat untuk terjadinya interaksi sosial. Namun selama pengamatan jantan lebih memilih bersama dengan Kondor (reproduktif nullipara) yang berada di lokasi yang sama. Interaksi sosial yang terlihat antara indvidu jantan dengan Kondor. Pola yang sama juga terjadi pada Juni dengan anak berumur tidak jauh berbeda 3 tahun 7 bulan memiliki pola yang sama Kerry yaitu terjadinya peningkatan kadar hormon glukokortikoid. Perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi menyebabkan peningkatan hormon glukokortikoid. Interval jarak perjumpaan antara Juni dan jantan dewasa tidak berpipi berada di 10-50 m (51,136%), jarak yang cukup jauh terjadinya interaksi sosial. Namun dari perjumpaan tersebut menyebabkan perubahan hormon glukokortikoid sebelum terjadi interaksi 267,70 ng/g (n=12) dan setelah interaksi mengalami peningkatan menjadi 347,50 ng/g (n=2). Individu betina yang sedang memiliki anak lebih cenderung menghindari perjumpaan dengan individu lain terutama individu
53