INTERA AKSI OR RANGUTA AN (Pong go pygmaeeus wurm mbii) BETIINA DENGA AN INDIIVIDU LA AIN DAN N HUBUN NGANNYA A DENGA AN PROF FIL MET TABOLIT T GLUKO OKORTIK KOID DII STASIU UN PEN NELITIAN N ORANG GUTAN TUANAN T N, KALIM MANTAN N TENGA AH
NEN NENG MAR RDIANAH H
SEKOL LAH PASC CASARJAN NA INSTITU UT PERTA ANIAN BOG GOR 2013 3
SURAT PERYATAAN TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis berjudul Interaksi Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) Betina Dengan Individu Lain dan Hubungannya Dengan Profil Metabolit Glukokortikoid Di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua data dan informasi yang digunakan berasal atau dikutib dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini sayamelimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2013
Neneng Mardianah B 352100041
RINGKASAN Neneng Mardianah. Interaksi Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) Betina dengan Individu Lain dan Hubungannya dengan Profil Metabolit Glukokortikoid Di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh Prof. Dr. drh Iman Supriatna, Dr. drh Muhammad Agil M. Sc, Agr dan Dr. Sri Suci Utami Atmoko. Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) merupakan salah satu primata endemik yang berstatus endangered menurut IUCN dan berstatus Apendiks I menurut CITES. Penurunan populasi disebabkan perusakan dan penyusutan habitat serta penangkapan illegal. Penelitian orangutan telah banyak dilakukan terutama di hutan primer, namun masih sedikit mengenai perilaku sosial pada orangutan yang berada di hutan sekunder. Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) habitat orangutan yang termasuk dalam kategori hutan sekunder dan mengalami degradasi yang tinggi sehingga mudah sekali terbakar pada musim kemarau. Orangutan termasuk hewan frugivore dan sangat peka terhadap perubahan kondisi habitat. Perusakan habitat secara besar-besaran mempengaruhi perubahan perilaku sosial orangutan. Berkurannya daerah jelajah membuka peluang perjumpaan antar individu semakin besar, sedangkan orangutan memiliki sistem sosial semi soliter. Perilaku sosial pada orangutan hanya terlihat pada saat pengasuhan anak dan sosial reproduksi. Pada satwa non-primata variasi kadar hormon stres sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti iklim, kehadiran individu lain, status reproduksi dan status sosial. Pada saat melakukan hubungan sosial reproduksi akan terjadi peningkatan interaksi dengan individu lain. Orangutan betina sangat mempertimbangkan status dari individu jantan yang menjadi pasangannya. Perbedaan morfologi jantan yang bersifat bimaturisem membuat persaingan antar jantan dewasa berpipi dan berpipi untuk mendapatkan individu betina reproduktif semakin tinggi. Hal tersebut dapat membuat individu betina dalam keadaan terancam. Ancama yang terus menerus akan melebihi batas akan menyebabkan stres. Stres merupakan respon fisiologi dari dalam tubuh untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan ataupun ancaman. Metode pendeteksian kadar hormon stres dalam penelitian ini dengan cara non-invansif dengan menggunakan feses yang dikoleksi setiap pagi hari dengan menghomogenkan semua lapisan feses. Sedangkan metode pencatatan perilaku yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Focal Animal Sampling secara Instantaneous, setiap satu individu dalam satu periode pengamatan 5-10 hari. Pencatatan data sosial reproduksi dengan cara Ad Libitum Sampling. Pencatatan data reaksi individu betina terhadap long call yang didengar, ruang perjumpaan meliputi penggunaan interval jarak perjumpaan antara individu betina reproduktif dan non-reproduktif terhadap individu betina berkerabat, individu jantan dewasa tidak berpipi, individu jantan dewasa berpipi, dan jarak perjumpaan individu betina dalam hubungan berpasangan (consortship) dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Adapun interval jarak yang digunakan <2m, 2-10m dan 10-50m dan pencatatan perilaku seksual kopulasi. Data perilaku tersebut dikorelasikan dengan kadar hormon glukokortikoid sebagai indikator hormon stres.
i
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perbedaan status reproduksi individu betina dan status sosial menpengaruhi respon individu betina terhadap long call yang di dengar dan jarak perjumpaan dengan individu lain. Respon individu betina reproduktif nullipara dan non-reproduktif terhadap long call yang didengar dalam hubungan berpasangan memberikan respon abaikan Kondor (44,4%), Kerry (38,9%), Milo dan Mindy (5,7%). Sedangakan diluar hubungan berpasangan betina nullipara lebih memberikan respon positif terhadap long call Kondor (15,385) dan Milo (7,692%). Betina non reprodukti semua memberikan repon abaikan long call. Sebagian besar jarak perjumpaan yang terjadi antar individu betina non-reproduktif di 10-50m (84%), antar individu betina reproduktif di 2-10m (54,878%) dan antara individu reproduktif dengan nonreproduktif di 2-10m (41,176%). Individu betina reproduktif melakukan perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi umumnya dijarak 2-10m (69,293%) sedangkan individu betina non-reproduktif di 10-50m (33,155%). Perjumpaan antar individu betina reproduktif dengan jantan dewasa berpipi umumnya di 10-50m (38,357%) sementar individu betina non-reproduktif di 1050m (48,951%). Selama hubungan berpasangan antara individu betina reproduktif dengan jantan dewasa tidak berpipi cenderung berjarak 2-10m (66,457%), sementara individu betina non-reproduktif pada 10-50m (58,155%). Kopulasi antara betina reproduktif dengan jantan dewasa berpipi dengan persentase kopulasi pasif (50%) dan aktif 50%. Kopulasi antara betina nullipara dengan jantan dewasa tidak berpipi kopulasi pasif 75%, 25% aktif dan 25% pemaksaan. Kategori kopulasi antara betina non-reproduktif dengan jantan dewasa tidak berpipi ataupun jantan dewasa berpipi semua dalam bentuk pasif Penelitian kedua mengenai hormon glukokortikoid merupakan salah satu indikator stres. Penelitian ini dilakukan pada individu betina dengan status reproduksi (reproduktif, nullipara dan non-reproduktif). Pengambilan sampel dilakukan selama 10 bulan dengan metode non-invansif, kemudian dilanjutkan dengan analisis sampel di laboratorium. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa perbedaan status reproduksi individu betina mempengaruhi kadar hormon 11β-hydroxyetiocholanolone, yang terdeteksi setelah 48 jam di dalam feses orangutan. Pada saat pengamatan individu reproduktif (Jinak) melakukan perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Diketahui kadar hormon glukokortikoid Jinak pada saat tidak ada interaksi dengan individu lain 436,465 ng/g (n=2) dan setelah terjadi interaksi dengan jantan dewasa tidak berpipi kadar hormon glukokortikoid mengalami peningkatan menjadi 839,39 ng/g (n=2). Betina nullipara (Milo dan Kondor) Milo mengalami penutunan kadar hormon stres setelah interaksi dengan individu jantan tidak berpipi. Kadar hormon glukokortikoid sebelum interaksi 451,58 ng/g (n=6) dan sesudah party menjadi 408,83 ng/g (n=3). Berbeda dengan individu Kondor yaitu terjadi peningkatan kadar hormon glukokortikoid setelah interaksi, kadar hormon sebelum interaksi 440,57 ng/g (n=9) dan setelah interaksi meningkat menjadi 454,54 ng/g (n=33). Betina non-reproduktif yang melakukan interaksi dengan individu lain adalah Mindy, Kerry dan Juni. Kerry individu betina punya anak dengan umur anak 3 tahun memiliki kadar hormon glukokortikoid sebelum interaksi 291,87 ng/g (n=3) dan setelah interaksi meningkat menjadi 634,75 ng/g (n=5). Perjumpaan antara Juni dengan jantan dewasa tidak berpipi menyebabkan perubahan hormon glukokortikoid sebelum interaksi 267,70 ng/g (n=12) dan setelah interaksi
ii
mengalami peningkatan menjadi 347,50 ng/g (n=2). Mindy memiliki pola yang berbeda yaitu setelah terjadi interaksi jantan dewasa mengalami penurunan kadar hormon glukokortikoid, sebelum interaksi 470,53 ng/g (n=5) dan setelah interaksi mengalami penurunan 380,89 ng/g (n=3). Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa dengan metode non-invansif melalui feses dapat diketahui profil horon glukokortikoid sebagai indikator stres. Didapatkan bahwa 11β-hydroxyetiocholanolone merupakan hormon glukokortikoid yang ditemukan dalam feses orangutan. Kedua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa status reproduksi dan status sosial mempengaruhi interaksi dan interval jarak perjumpaan antar individu. Adanya korelasi antara interaksi dengan individu lain terhadap peningkatan kadar hormon glukokortikoid 11β-hydroxyetiocholanolone. Kata
kunci:
Pongo pygmaeus wurmbii, glukokortikoid, hydroxyetiocholanolone, consortship
iii
feses,
11β-
SUMMARY NENENG MARDIANAH. Interactions of female Orangutans (Pongo pygmaeus wurmbii) with other individuals and Its relationship with Glucocorticoid Metabolite Profiles In Orangutans Research Station in Tuanan, Central Kalimantan. Supervised by IMAN SUPRIATNA, MUHAMMAD AGIL and SRI SUCI UTAMI ATMOKO. Bornean Orangutans (Pongo pygmaeus wurmbii) is one of the endemic primates the status of endangered according to the IUCN and was listed on Appendix I of CITES. Population declined caused by destruction, habitat decreased, and illegal arrests. The research of orangutans had been conducted mainly in primary forest, but still slightly research on of social behavior in orangutans located in secondary forest. Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) is the orangutans habitat were included in the category of secondary forest and having a degraded was quite high so that easier to fire during the dry season. Orangutans is a frugivore animals and highly sensitive to the changes of habitat conditions. Habitat destruction massively affects the changes of social behavior of orangutans. Reduced range area increase in the occasion encounter between individuals increasingly higher, whereas the orangutans are a semisolitary social system. Social behavior of orangutans is only visible when the parenting and social reproduction. The level of stress hormones in non-primate animals highly influenced by environmental factors such as climate, the presence of other individuals, reproductive status and social status. At the time of social relationships, there will be increase in reproductive interactions with other individuals. The female of orangutans very considerate of the individual status of the male, who became her partner. The differences of male bimaturism morphological making a competition increasingly higher between flanged adult males and unflanged to get a female reproductive. It will effects a female to feels threatened. The threats continuously, will effects of excessive stress. Stress is a physiological response of the body to adjust the environmental changes or threats. The detection method of stress hormone levels in this study was to used a non-invansif with feces collected each morning by homogenising all the layers of feces. Furthermore, another method used was the method of recording behavior that is focal animal sampling which is done by instantaneous every single individual within 5-10 days of the observation period. The recording of social reproduction data was by ad libitum sampling. The recording of female individuals reactions data comprises the number of long call and chance encounter. Data of chance encounters comprises an encounter intervals between individual a female reproductive and non-reproductive with female individuals are related, individual of flanged adult males, individual of unflanged adult males. In addition, female individuals encounter distance data in the pairwise relations (consortship) with individual adult males males unflanged. The intervals used were <2m, 2-10m and 10-50m and recording of the sexual copulation behavior. Behavioral data were correlated with levels of glucocorticoid hormones as indicators of stress hormones.
iv
Based on observations it can be expressed that the difference of reproductive status and social status on the females individual affects the response female individuals towards the number of long call and distance encounter with another individual. The response of female reproductive nullipara and nonreproductive long call pairwise relations gives a respond to ignore Kondor (44.4%), Kerry (38.9%), Milo and Mindy (5.7%). Individual response of female reproductive nullipara and non-reproductive againts the number of long call in pairwise relations response to ignore Kondor (44.4%), Kerry (38.9%), Milo and Mindy (5.7%). Whereas beyond of the pairwise relations female nullipara responded positively to the long call Kondor (15.385) and Milo (7.692%). Of all the female non-reproductive gives a response to ignore the long call. Most of the encounter distance between female non-reproductive in a range 10-50m (84%), between the female reproductive at 2-10m (54.878%) and between female reproductive and non-reproductive at 2-10m (41.176%). Female reproductives doing an encounter, with unflanged adult males generally in the range 2-10m (69.293%), while female non-reproductive in a range 10-50m (33.155%). The encounter between female reproductive with flanged adult males generally at a distance of 10-50m with a percentage of 38.357% while the non-reproductive females with a distance of 10-50m at 48.951%. During the pairwise relations between individual female reproductive with unflanged adult male tends to within 2-10m with a percentage of 66.457%, while the females non-reproductive at a distance of 10-50m (58.155%). Copulation between female reproductive with flanged adult males by a passive copulation with a percentage (50%) and 50% for active. Copulation between female nullipara with unflanged adult male or flanged by a passive copulation 75%, 12,5% active and 12,5% for coercion. Category copulation between females non-reproductive to adult males or adult males flanged or unflanged all in the passive. A second study of the glucocorticoid hormone which is one indicator of stress. The study was conducted on female individuals with a reproductive status there were a reproductive, nullipara and non-reproductive. Sampling was conducted during ten months with a non-invansif then proceed with the laboratory analysis. Based on the results of this study is known that individual differences in female reproductive status affects a level of the 11β-hydroxyetiocholanolone hormone, were detected after 48 hours in the orangutan feces. The individuals female reproductive (Jinak) doing an encounter with unflanged adult males. When there was no interaction with other individuals the levels of Glucocorticoid hormones of Jinak is 436.465 ng / g (n=2) and the levels of glucocorticoid hormone after interaction with adult males unflanged increased to 839.39 ng / g (n=2). In addition, there are two females individual nullipara who observed they are Milo and Kondor. The stress hormone levels of Milo decrease after interacting with individuals unflanged male. Glucocorticoid hormone levels before interaction was 451.58 ng / g (n=6) and after the party dropped to 408.83 ng / g (n=3). In contrast, in individuals Kondor there was an increase levels of glucocorticoid hormones after interaction, a levels hormone before interaction was 440.57 ng / g (n=9) and after the interaction increased to 454.54 ng / g (n=33). The individual female Non-reproductive which interact with other individuals are Mindy, Kerry and June. Kerry is female individuals who have children aged 3 years old and had a higher levels of glucocorticoid hormones before interaction
v
was 291.87 ng / g (n=3), but after interaction increased to 634.75 ng / g (n=5). The encounter between June with unflanged adult males glucocorticoids caused by hormonal changes, the leveles of glucocorticoid hormones before the interaction was 267.70 ng / g (n=12) and after interaction increased to 347.50 ng / g (n=2). Mindy has a different pattern after the interaction with adult males, a levels of glucocorticoid hormones before interaction was 470.53 ng / g (n = 5) and after interaction decreased to 380.89 ng / g (n = 3). Based on the results that have been obtainedthat the method of noninvansif through feces turns out that we can know the profile of glucocorticoid hormones as indicators of stress. It was found that 11β-hydroxyetiocholanolone a glucocorticoid hormone can be detected in the orangutans feces. Both of these studies concluded that the reproductive status and social status affects the interaction and interval of encounter between individuals. The correlation between the interaction with other individuals to increase the glucocorticoid hormone 11βhydroxyetiocholanolone. Keywords: consortship, feces, glucocorticoids, Pongo pygmaeus wurmbii, 11βhydroxyetiocholanolone
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang menguntip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Penguntipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulisan ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
INTERAKSI ORANGUTAN (Pongo pygmaeus wurmbii) BETINA DENGAN INDIVIDU LAIN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PROFIL METABOLIT GLUKOKORTIKOID DI STASIUN PENELITIAN ORANGUTAN TUANAN, KALIMANTAN TENGAH
NENENG MARDIANAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Strudi Biologi Repoduksi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. drh Hera Maheshwari, M.Sc
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subahanahuwata’ala atas segala limpahan karunia-Nya Shalawat dan keselamatan semoga senantiasa tercurah kepada insan pilihan dan rasul-Nya yang dengannya, kaum yang berada dalam kesesatan mendapat hidayah. Dialah nabi Muhammad SAW. Juga, semoga tercurah bagi keluarganya, sahabat dan saudara-saudaranya dari kalangan para rasul serta para malaikat yang selalu dekat dengan Allah SWT. Alhamdulillah berkat rahmat Allah SWT dan kerja keras penulis, sehingga tesis dengan judul Interaksi Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) Betina dengan Individu Lain dan Hubungannya dengan Profil Metabolit Glukokortikoid Di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah telah berhasil diselesaikan. Karya tulis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Biologi Reproduksi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan tesis ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan bimbingan, saran dan kritik membangun untuk dapat menyempurnakan tesis ini, sehingga dapat dijadikan bahan acuan oleh semua pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. drh Iman Supriatna, selaku Ketua Komisi Pembimbing dengan penuh ketulusan untuk senantiasa meluangkan waktu, memberi perhatian dan dengan sabar membimbing penulis untuk menyelesaikan tulisan ini, Kepada Dr. drh. Muhamad Agil, MSc. Agr. dan Dr. Sri Suci Utami Atmoko selaku anggota komisi pembimbing, yang dengan sabar membimbing penulis, memberikan dorongan, saran dan masukan yang membangun serta memberikan banyak kepercayaan kepada penulis untuk menyelesaikan tulisan ini.Ucapan terimakasih kepada Dr. Ir Dahrul Syah, M.Sc., Agr selaku dekan Pascasarjana IPB, Dr. drh Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS. Ph.D. APVet., selaku ketua Departemen KRP Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Prof. Dr. drh M. Agus Setiadi, selaku ketua Program studi BRP Fakultas Kedokteran Hewan IPB, serta terimakasih kepada seluruh dosen program studi BRP. Penghargaan dan ucapan terima kasih disampaikan penulis kepada Prof Carel van Schaik, Tony Weingrill dan Maria van Noordwijk selaku menyandang dana beasiswa melanjutkan kegiatan pascasarjana ini hingga selesai. Drs. Imran SL Tobing M.Si. selaku Dekan Fakultas Biologi, Drs. Tatang Mitra Setia M.Si selaku komite beasiswa Fakultas Biologi bidang Primatologi yang telah memberikan kesempatan untuk bergabung dalam program kerjasama Universitas Nasional-Zurich of University dan kepercayaan untuk melanjutkan kegiatan pendidikan pascasarjana serta selalu memberi saran-saran yang mendukung. Selain itu, penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf pengajar Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta atas semua bantuan dan perhatian yang diberikan selama ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Dr. Aldrianto selaku direktur Yayasan penyelamat orangutan Kalimantan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Bogor dan seluruh staff Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Palangkaraya dan Bogor, Balai Peneliti Pemerintah Daerah (BAPPEDA) atas izin, bantuan dan kemudahan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan ini. Abuk, Idun, Tono, Rahmat, Rahmadi dan Yandi atas segala kerjasama. Ayahanda Muhammad Sahud dan ibunda Nursiah atas do’a, pengorbanan dan kasih sayang yang tiada henti. Suami Abdul Azis dan ananda Rizky Adrian yang selalu mendukung, mendo’akan dan memberikan senyuman terindah dalam kekelahan menulis. Kepada kakak tercinta; Yopy Achmad, Luki Achmad, Darwanto, Anita, Nurasiah Astuti dan Sovi yang telah memberikan kasih sayang dan do’a. Kepada teman seperjuangan; Fluer Scheele, Tobias Bollman, Davit Markus, Simon, Daniel dan Abigel Philips atas kebersamaan dan kerjasama. Teman diskusi Laura Chronika S.Pet, Oriza Savitriante S.Pt, Purwo Siswoyo S.Pt, drh. Nuryanto M.Si, drh. Leni Maylina, drh. Mawarsubangkit, drh. Dedi, drh Taufik M.Si dan Golib M.Si. Teman berbagi cerita; Ade Sunardi, Dwi Herlianingsih, Alm. Agnes Angkilinawati, Devi Margaret, Didik Nuraeli dan keluarga besar “Lutung” Forum Study Primata atas rasa persahabatan yang berarti. Tanpa mengecilkan arti, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak tersebutkan Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat menjadi manfaat bagi bidang usaha pelestarian orangutan dan biologi reproduksi.
Bogor, Januari 2013
Neneng Mardianah
Judul Tesis : Interaksi Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) Betina dengan Individu Lain dan Hubungannya Profil Metabolit Glukokortikoid di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah Nama : Neneng Mardianah NIM : B 352100041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof.Dr.drh. Iman Supriatna Ketua
Dr. drh. Muhammad Agil, M.Sc.Agr
Dr. Sri Suci Utami Atmoko
Anggota
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Biologi Reproduksi
Prof. Dr. drh. M. Agus Setiadi
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 31 Januari 2013
Tanggal Lulus: 1 Maret 2013
i
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. drh Hera Maheswari
ii
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
viii
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR TABEL
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Perumusanan Masalah Penelitan
3
Hipotesis
4
DAFTAR PUSTAKA
4
TINJAUAN PUSTAKA
6
Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii)
6
Taksonomi
6
Morfologi
6
Distribusi dan status konservasi
7
Biologi dan siklus menstruasi
8
Interaksi sosial orangutan
9
Konsep stres
13
Biosintesis hormon steroid
14
Biosintesis glukokortikoid
15
Sekresi hormon glukokortikoid
16
Metabolisme dan ekskresi hormon glukokortikoid
17
DAFTAR PUSTAKA
19
INTERAKSI ORANGUTAN (Pongo pygmaeus wurmbii) BETINA BERKERABAT DENGAN INDIVIDU LAIN ABSTRAK
24 24
PENDAHULUAN
24
BAHAN DAN METODE
25
Waktu dan lokasi penelitian
25
viii
Peralatan
26
Hewan penelitian
26
Cara kerja
27
Analisa Data
29
Hasil dan Pembahasan
29
Respon Individu Betina Terhadap Long Call
29
Interval Jarak Perjumpaan Antar Individu Betina Berkerabat
32
Interval Jarak Perjumpaan Individu Betina dengan Individu Jantan Dewas Berpipi dan Tidak Berpipi
34
Interval Jarak Antar Individu Betina dengan Individu Jantan Dewasa Tidak Berpipi Pada Saat Berpasanga (Consort)
36
Inisiatif Individu Betina dalam Perilaku Seksual
37
Perilaku Seksual Kopulasi
38
Simpulan dan Saran
41
DAFTAR PUSTAKA
42
PROFIL HORMON GLUKOKORTIKOID PADA ORANGUTAN (Pongo pygmaeus wurmbii) BETINA yang BERINTERAKSI dengan INDIVIDU LAIN MENGGUNAKAN METODE NON-INVANSIF ABSTRAK
44 44
PENDAHULUAN
44
METODELOGI PENELITIAN
46
Waktu dan Lokasi Penelitian
46
Hewan Penelitian dan Status Reproduksi
46
Alat dan Bahan
46
Koleksi Feses
46
Analisa Hormon
47
Pengeringan dan Penghalusan Feses
47
Ekstraksi Feses
48
Pengujian Validitas Assay Hormon Glukokortikoid
48
Pengukuran Konsentrasi Metabolit Hormon
49
Analisa Data
49
Hasil dan Pembahasan
50 ix
Kadar hormon 11β- hydroxyetiocholanolone antar individu betina berdasarkan status reproduksi padasaat perjumpaan dan tidak ada perjumpaan
50
Simpulan dan Saran
54
DAFTAR PUSTAKA
54
x
DAFTAR GAMBAR 1.
Morfologi orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) jantan dan betina
7
2.
Persebaran oranguatan di Kalimantan
8
3.
Siklus menstruasi pada primata
9
4.
Mekanisme kerja hormon steroid pada target
5.
Biosintesis perubahan kolesterol menjadi hormon steroid di korteks
14
adrenal
16
6.
Sekresi hormon adrenokortikoid
17
7.
Metabolisme glukokortikoid di dalam tubuh
18
8.
Letak geografis camp Tuanan
26
9.
Grafik persentase respon individu betina terhadap long call di dalam hubungan kebersamaan dengan individu jantan
30
10. Grafik persentase respon individu betina terhadap long call di luar hubungan kebersamaan dengan individu jantan
32
11. Silsilah keturunan orangutan betina berkerabat di areal penelitian orangutan Tuanan
33
12. Grafik pesentase interval jarak perjumpaan antar individu betina berkerabat berdasarkan perbedaan status reproduksi
34
13. Grafik persentase interval jarak perjumpaan individu betina reproduktif dan non-reproduktif dengan individu jantan dewasa tidak berpipi dan berpipi
35
14. Grafik persentase interval jarak antar individu betina dengan jantan dewasa tidak berpipi pada saat hubungan berpasangan (Consort)
37
15. Koleksi feses
47
16. Kadar hormon 11β- hydroxyetiocholanolone orangutan betina
51
17. Kadar hormon 11β- hydroxyetiocholanolone pada individu Kondor (betina reproduktif nullipara)
xi
52
DAFTAR TABEL 1. Individu orangutan betina pada saat pengamatan Oktober 2009-Juli 2010 27 2. Inisiatif individu betina dan jantan dalam perilaku seksual
38
3. Durasi waktu (menit) interaksi seksual antar individu betina dengan jantan dewasa tidak berpipi dan berpipi
xii
41
PENDAHULUAN Latar Belakang Orangutan merupakan salah satu anggota suku Pongidae dan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, namun saat ini orangutan hanya dapat ditemukan di dua Pulau yaitu Sumatera dan Borneo (Groves 2001; van Schaik 2006). Persebaran orangutan di Sumatera hanya ditemukan di dua provinsi (Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara), sedangkan di Kalimantan orangutan hampir terdapat di semua provinsi kecuali Kalimantan Selatan, sementara di wilayah Malaysia beberapa populasi berada di bagian Sabah dan Serawak (Meijaard et al. 2001; Soehartono et al. 2007). Orangutan banyak ditemukan di dataran rendah, namun pada beberapa tahun terakhir populasi orangutan liar di alam mengalami penurunan. Faktor yang menyebabkan penurunan tersebut salah satunya adalah kehilangan dan kerusakan habitat, yang sangat mempengaruhi perilaku (Meijaard et al. 2001). Status konservasi orangutan kalimantan, menurut International Union for Conservation of Nature and Nature Resources (IUCN) masuk ke dalam kategori terancam punah (endangered) sedangkan orangutan sumatera masuk dalam kategori kritis (critical endangered) hal ini disebabkan jumlah populasi dari orangutan sumatera yang terus mengalami penurunan. Menurut Convention on Internatonal Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) orangutan masuk dalam kategori Apendiks I yaitu merupakan jenis satwa yang dilindungi penuh dan dilarang untuk ditangkap, dibunuh, dipelihara, dan diperdagangkan baik dalam keadaan hidup maupun mati (Soehartono et al. 2007; Wich et al. 2008). Penelitian-penelitian mengenai orangutan telah dan masih dilakukan di beberapa habitat orangutan liar umumnya memiliki tipe habitat hutan primer, di antaranya Taman Nasional Tanjung Puting (Kalimantan Tengah), Taman Nasional Gunung Palung (Kalimantan Barat), Taman Nasional Kutai (Kalimantan Timur), dan Ketambe serta Suaq Balimbing di Taman Nasional Gunung Leuser (Nangroe Aceh Darussalam). Namun masih sedikitnya penelitian yang dilakukan di tipe hutan sekunder atau terdegradasi oleh karena itu perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut, sehingga hasil yang diperoleh dapat diperbandingkan untuk melihat dampak perubahan lingkungan terhadap perilaku orangutan. Hutan di areal Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) Kalimantan Tengah merupakan salah satu habitat orangutan, namun sama seperti habitat orangutan lainnya SPOT juga mengalami degradasi yang tinggi. Pada tahun 1990-an kawasan itu mengalami kerusakan yang cukup besar dengan adanya penebangan pohon yang dilakukan oleh perusahaan kayu dan terlantarnya proyek lahan gambut sejuta hektar, sehingga areal penelitian orangutan Tuanan menjadi hutan sekunder yang sering mengalami kebakaran pada musim kemarau. Kebakaran terjadi karena tingkat kekeringan rawa gambut di hutan Tuanan cukup tinggi dengan adanya parit-parit bekas jalur untuk membawa kayu pada waktu penebangan terjadi, sehingga air yang ada di rawa akan mengalir ke dalam parit yang letaknya lebih rendah. Kondisi hutan rawa gambut seperti itu yang membuat orangutan hidup dalam cekaman yang lebih berat dibandingkan dengan hutan primer (Azwar et al. 2004).
1
Orangutan termasuk dalam hewan frugivore, mereka sangat peka terhadap perubahan kondisi habitat dikarenakan seluruh aktivitas bersumber dari hutan (Supriatna & Wahyono 2000). Perusakan habitat yang dilakukan secara besarbesaran berdampak negatif pada aktivitas orangutan seperti berkurannya area jelajah, terbatasnya sumber makanan yang mengakibatkan peluang perjumpaan antar individu semakin besar (Supriatna & Wahyono 2000; van Schaik 2006; Singleton et al. 2009). Tekanan akibat perubahan habitat dan perjumpaan dengan individu lain jantan maupun betina serta terdapatnya perbedaan status individu betina di suatu lokasi yang sama, secara terus menerus hingga melebihi batas toleransi dapat menyebabkan peningkatan kadar hormon stres (Smith & French 1997; Astuti 2006). Penelitian mengenai orangutan telah banyak dilakukan terutama mengenai perilaku harian maupun sosial, namun masih sedikit informasi mengenai pengaruh perilaku sosial yang juga memperhatikan respon fisiologis. Stres merupakan respon fisiologi yang berasal dari dalam tubuh untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan maupun ancaman dari individu lain dengan adanya rangsangan yang berulang. Tanggap cekaman yang timbul dapat berupa kegelisahan, penurunan daya fertilitas, bahkan dapat menimbulkan kematian. Indikator tanggap cekaman dapat diketahui dengan melakukan pegukuran kadar hormon di dalam tubuh melalui darah, feses, urine, air susu maupun saliva (Thanos et al. 2008). Hormon yang ada di dalam tubuh beredar melalui pembuluh darah, untuk hormon yang tidak terikat pada protein akan diekskresikan melalui urine dan feses. Hasil tersebut dapat dimanfaatkan untuk melakukan pengukuran profil hormon pada satwa liar. Beberapa penelitian telah berhasil mendeteksi kondisi fisiologi melalui pengukuran metabolit hormon dalam urine dan feses. Diketahui bahwa pada kondisi tertekan ataupun terancam menyebabkan terjadinya peningkatan kadar hormon stres, hal ini dikarena adanya kejadian hormonal di dalam tubuh. Pada keadaan normal hormon stres disekresikan secara episodik sehingga membentuk pola harian, sekresi hormon stres yang berlebih dan berlangsung secara terus menerus dapat menghilangkan pola harian hormon (Brook & Marshall 1996; Möstl & Palme 2002). Tujuan Penelitian 1. 2.
3.
Mempelajari interaksi antara individu betina dengan status reproduksi nonreproduktif, reproduktif dan nullipara terhadap individu lain. Mempelajari profil hormon stres pada individu betina dengan status reproduksi non-reproduktif, reproduktif dan nullipara yang berinteraksi dengan individu lain. Mempelajari korelasi perilaku sosial dengan profil hormon stres. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai usaha pelestariaan orangutan di habitat asli ataupun pelestarian secara eks-situ dengan memperhatikan pengaruh respon fisiologis yang disebabkan karena adanya interaksi sosial antar individu dengan status reproduksi yang berbeda.
2
Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa tingkat reproduksi pada orangutan sangat rendah, hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan individu betina untuk dapat melahirkan anak selama masa hidup. Menurut Wich et al. (2009). Orangutan betina hanya dapat melahirkan 3-5 anak selama masa hidupnya dan disetiap kelahirannya individu betina hanya mampu melahirkan satu anak dengan interval kelahiran sangat panjang yaitu 6-8 tahun. Rendahnya sistem reproduksi orangutan di dukung dengan sistem sosial dari orangutan yang bersifat semi soliter menyebabkan penurunan jumlah populasi orangutan di alam. Pada saat melakukan hubungan sosial reproduksi individu betina sangat memperhatikan perbedaan status dari individu jantan yang menjadi pasangannya. Orangutan jantan memiliki tingkat perbedaan seksual dilihat dari perbedaan bentuk morfologi. Orangutan jantan memiliki sifat bimaturism yaitu adanya perbedaan morfologi antara individu jantan dominan dan tidak dominan yang diketahui setelah memasuki masa matang kelamin. Individu jantan dominan dapat dilihat dari munculnya sifat kelamin sekunder seperti berkembangnya bantalan pipi (cheek pad), kantong suara dan rambut panjang disekitar punggung serta lengan. Namun, sifat kelamin sekunder yang muncul pada individu jantan dominan tidak ditemukan pada individu jantan tidak dominan sehingga memiliki morfologi yang sama seperti individu betina. Persaingan antar individu jantan mengalami peningkatan pada saat proses pemilihan pasangan, namun dalam hal ini individu betina menjadi pengambil keputusan (decision maker) dimana individu betina lebih memilih berpasangan dengan individu jantan dengan status yang lebih tinggi atau jantan dewasa berpipi (flanged). Tujuan individu betina berpasangan dengan jantan dewasa berpipi adalah untuk mendapatkan keturunan dengan genetika terbaik yang berasal dari individu jantan, mendapatkan perlindungan bagi dirinya serta keturunannya dari individu jantan lain. Hal ini menyebabkan tingginya tingkat persaingan antara individu jantan untuk mendapatkan individu betina yang diharapkan, sehingga menyebabkan tekanan pada individu betina. Sukses reproduksi ditentukan dari status reproduksi individu betina yaitu reproduktif, reproduktif nullipara dan non-reproduktif. Individu betina dengan status reproduktif memiliki ketanggapan reproduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu betina non-reproduktif. Kebersamaan atau hubungan berpasangan (consortship) antara individu betina dengan individu jantan lebih sering terlihat pada individu betina yang berstatus reproduktif, hal ini dapat berlangsung berhari-hari. Berdeda dengan betina non-reproduktif yang lebih memilih mengurangi intensitas waktu perjumpaan dengan individu jantan. Selain itu individu betina non-reproduktif juga akan lebih sering memilih menjauhi seruan panjang (long call) yang dikeluarkan oleh individu jantan. Namun areal jelajah yang semakin berkurang menyebabkan daerah jelajah satu individu dengan individu lain saling tumpang tindih (overlap), selain itu berkurangnya jumlah pohon pakan yang berbuah pada musim kemarau memungkinkan intensitas waktu pertemuan satu individu dengan individu lain meningkat sehingga menyebabkan cekaman.
3
Cekaman yang terus menerus melebihi batas toleransi dari suatu individu akan menyebabkan stres, misalnya cekaman yang disebabkan karena kehadiran individu lain disuatu tempat yang sama menyebabkan peningkatan kadar hormon stres baik pada orangutan jantan maupun betina (Smith & French 1997; Marty 2009). Stres merupakan respon fisiologi dari dalam tubuh individu untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan maupun ancaman yang terjadi (Smith & French 1997). Pada primata non-manusia variasi kadar hormon stres tidak hanya dipengaruhi oleh variasi iklim, kehadiran individu lain, namun umur ataupun status sosial dan status reproduktif merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Metode pendeteksian aktivitas hormon biasanya dilakukan dengan metode invansif yaitu pengambilan sampel darah secara langsung dan berulang-ulang untuk analisa hormon steroid, namun hal ini tidak memungkinkan dilakukan pada satwa liar karena mengakibatkan hewan tersebut stres dan mengubah konsentrasi hormon stres yang diuji. Oleh karena itu pendekatan dengan metode non-invansif melalui feses merupakan metode yang lebih memungkinkan digunakan untuk satwa liar karena hewan tidak perlu dilakukan anastesi dan hewan tidak merasa terancam terhadap uji yang ingin dilakukan, sehingga dalam penggujian kadar metabolit hormon stres mendapatkan hasil yang lebih akurat. Hipotesis Harapan dari penelitian ini untuk menjawab hipotesis sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan interaksi antara individu betina dengan status reproduksi non-reproduktif, reproduktif dan nullipara terhadap kehadiran individu lain. 2. Adanya peningkatan dan fluktuasi kadar hormon stres pada individu betina dengan status reproduksi non-reproduktif, reproduktif dan nullipara setelah terjadi interaksi dengan individu lain.
DAFTAR PUSTAKA Astuti P. 2006. Kajian Metabolit Testosteron dan Kortisol di dalam Feses dan Urine dalam Hubungannya dengan Kualitas Spermatozoa Owa Jawa (Hylobates moloch) di Penangkaran. (Disertasi). Bogor: Pascasarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Azwar, Gondanisam, Mistar HK, Ambriansyah. 2004. Survey Keanekaragaman Hayati (biodiversity) pada Hutan Rawa Gambut di area Mawas, Propinsi Kalimantan Tengah. Borneo Orangutan Survival Foundation. Jakarta. Brook CGD, Marshall NJ. 1996. Essential Endocrinology, 3th Edition. Blackwell Science. Groves CP. 2001. Primate Taxsonomi Smithsonian Institution Press. Washington and London.
4
Marty P. 2009. Behavioural endocrinology of male Bornean orangutans (Pongo pygmaeus wurmbii). (Thesis). Anthropological Institute and Museum University of Zürich. Meijaard E, Rijksen, HR, Kartikasari SN. 2001. Di Ambang Kepunahan, Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta. Möstl E, Palme R. 2002. Hormones as Indicators of Stress. Domestic Animal Endocrinology 23:67–74. Singleton I, Knott CD, Morrogh-Bernard C, Wich SA, van Schaik CP. 2009. Ranging Behavior of Orangutan Female and Social Organization, eds Orangutans: Behavioral Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. 10: 205-215. Smith TE, French JA. 1997. Psychosocial Stress and Urinary Cortisol Excretion in Marmoset Monkeys (Callithrix kuhli), Physiol Behav 62: 225-232. Soehartono T, Soesilo HD, Andayani N, Atmoko SSU, Sihite J, Saleh C, Sutrisno A. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan, Jakarta. Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Thanos PKA, Cavigelli SA, Michaelides M, Olvet. M, Patel U, Diep MN, Volkow ND. 2008. Non-Invasive Method for Detecting the Metabolic Stress Response in Rodents: Characterization and Disruption of the Circadian Corticosterone Rhythm. University Park, PA, US. 58: 219-228. van Schaik CP. 2006. Diantara Orangutan. Kera Merah Dan Kebangkitannya Kebudayaan Manusia. Yayasan Penyelamatan Orangutan Bormeo (BOS), Jakarta. Wich SA, Meijaard E, Marshall AJ, Husson S, Ancrenaz M, Lacy RC, van Schaik CP, Sugardjito J, Simorangkir T, Traylor-Holzer K, Galdikas BMF, Doughty M, Supriatna J, Dennis R, Gumal M, Singleton I. 2008. The status of the orangutan: an overview of this current distribution. Oxford University Press. US.
5
TINJAUAN PUSTAKA Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) Taksonomi Menurut Groves (2001) orangutan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu orangutan sumatera dan orangutan kalimantan, perbedaan kedua jenis orangutan tersebut dilihat dari perbedaan morfologi dan genetika. Menurut taksonomi orangutan termasuk dalam kingdom Animalia, phylum Chordata, kelas Mammalia, ordo Primata, family Pongidae, Genus Pongo, termasuk jenis Pongo pygmaeus. Menurut Warren et al. (2001); Arora et al. (2010) orangutan kalimantan dibagi kembali menjadi tiga anak jenis berdasarkan perbedaan genetika. Tiga anak jenis orangutan Kalimantan juga menempati daerah persebaran yang berbeda yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus (Kalimantan Barat dan Serawak), Pongo pygmaeus wurmbii (Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat) dan Pongo pygmaeus morio (Kalimantan Timur dan Sabah). Morfologi Orangutan merupakan jenis kera besar yang hampir seluruhnya ditutupi oleh rambut kecuali bagian wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Menurut Napier & Napier (1967); MacKinnon (1974); van Schaik et al. 2009 orangutan mempunyai memiliki warna rambut jingga sampai merah kecokelatan sesuai dengan pertambahan umur. Rambut pada orangutan kalimantan berwarna kecokelatan dan akan berkembang menjadi cokelat gelap sesuai pertambahan umur. Umumnya bentuk rambut pada orangutan keras, kaku dan lebih rapuh dengan ujung rambut pecah, untuk membedakan individu yang telah dewasa dapat dilihat rambut pada bagian tangan dan punggung yang lebih panjang dan berwarna gelap (Gambar 1). Bentuk muka orangutan kalimantan lebih bulat, selain itu orangutan jantan dewasa pada bagian pipi dapat mengalami pelebaran karena adanya penebalan otot yang disebut dengan bantalan pipi (cheek pad). Pada orangutan jantan dan betina terdapat kantong suara pada bagian leher yang berguna untuk mengeluarkan seruan panjang (long call), namun kantong suara pada orangutan betina ini belum diketahui fungsinya (Galdikas 1985; Setia et al. 2009). Menurut Galdikas (1985) orangutan betina mengeluarkan seruan yang hampir sama dengan seruan panjang yang biasa dikeluarkan jantan dewasa, tetapi tanpa jeritan yang bergelombang. Seruan ini pernah dilakukan oleh betina dewasa pada waktu berselisih dengan anak yang sedang dalam proses penyapihan dan seruan dapat terdengar dari jarak sejauh 400 m. Ukuran tubuh jantan dewasa berbantalan pipi (flanged) dua kali lebih besar dari pada betina yaitu dengan berat tubuh jantan berkisar antara 50-90 kg, sedangkan berat tubuh orangutan betina berkisar 30-50 kg. Pada orangutan betina dewasa selama masa subur tidak terlihat perubahan fisik yang nyata, tetapi memasuki masa kebuntingan dapat diketahui dengan terlihatnya pembengkakan yang kecil tetapi jelas seperti memutihnya daerah perineal serta diikuti semakin besarnya puting susu dan diakhiri semakin besarnya daerah perut (Schurmann 1982). Di Tanjung Puting setiap individu betina yang
6
akan melahirkan menunjukkan pembengkakan bagian perineal yang sedikit demi sedikitnya pada saat beberapa bulan sebelum kelahiran (Galdikas 1985).
a.
b.
c. Gambar 1 : Morfologi orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) a) Flanged male, b)betina dewasa dan anak, c) betina dewasa bunting (pembengkakan perineal, perut dan puting susu) (Mardianah 2009). Distribusi dan Status Konservasi Orangutan banyak ditemukan di areal hutan hujan tropis yang merupakan habiat utama orangutan yaitu mulai dari dataran rendah, rawa gambut hingga hutan pegunungan. Kepadatan yang terbesar ditemukan pada tipe habitat hutan dataran rendah sekitar areal sungai dan hutan rawa gambut. Di Kalimantan orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m dpl, sedangkan orangutan sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan dengan ketinggian 1.0001.500 m dpl (Soehartono 2007; Arora et al. 2010). Faktor ketinggian menggambarkan ketersediaan pakan. Keberadaan buah-buahan berdaging semakin menurun tajam pada tempat yang lebih tinggi, selain itu suhu yang dingin dan curah hujan yang tinggi merupakan suatu tekanan bagi orangutan untuk bertahan hidup. Orangutan di Kalimantan dapat ditemukan di hutan hujan primer mulai dari rawa dataran rendah dan hutan rawa di Sabah, bagian barat daya Serawak, Kalimantan Timur, serta bagian barat daya Kalimantan antara Sungai Kapuas dan Sungai Barito (Gambar 2). Jumlah populasi orangutan yang semakin berkurang dari tahun ke tahun menyebabkan orangutan dijadikan sebagai salah satu satwa dengan kategori ‘flagship species’ yang menjadi suatu simbol untuk meningkatkan kesadaran konservasi. Kelestarian orangutan juga menjamin kelestarian hutan yang menjadi habitatnya dan kelestarian mahluk hidup lainnya. 7
Orangutan di Indonesia berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No. 522/kpts-II/1997 merupakan jenis satwa yang dilindungi penuh dan dilarang untuk ditangkap, dibunuh, dipelihara, dan diperdagangkan baik dalam keadaan hidup maupun mati. Orangutan juga dilindungi hukum internasional, berdasarkan IUCN, orangutan kalimantan termasuk satwa yang terancam punah (endangered) (Soehartono et al. 2007). Menurut van Schaik (2005) jumlah populasi orangutan kalimantan di areal SPOT dengan luas area sebesar 2.730 km2 memiliki rata-rata kepadatan orangutan 4,25 ind/km2.
P.p morio
P. p abellii P.p pygmaeus
P.p wurmbii
Gambar 2 : Persebaran orangutan di Kalimanatan dan Sumatera, serta Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan(van Schaik et al. 2005) Biologi dan Siklus Menstruasi Orangutan memiliki siklus bereproduksi, dimulai dari masa pubertas atau dewasa kelamin, siklus menstruasi dan masa subur. Menurut hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa tingkat reproduksi pada orangutan sangat rendah. Menurut Wich et al. (2009); Knott et al. (2009) orangutan betina liar yang berada di Kalimantan memasuki masa pubertas atau mampu memiliki keturunan pertama kali pada umur 14-16 tahun dengan jarak kelahiran inter birth interval (IBI) 6-8 tahun, sedangkan orangutan jantan pada umur 10 tahun mulai terlihat sifat-sifat reproduksi sekunder dan mulai melakukan perilaku reproduksi (Delgado & van Schaik 2000; Knott et al. 2009). Orangutan memiliki tingkat reproduksi yang rendah dengan lama kebuntingan 8-9 bulan dan setiap kelahiran orangutan hanya melahirkan satu anak. Selama masa hidupnya orangutan betina hanya mampu melahirkan 3-5 anak dan anak mulai tidak menyusu pada umur 5-6 tahun, kemudian anak akan hidup mandiri atau lepas dari pengawasan induk setelah berumur 7–15 tahun untuk anak jantan dan umur 7-12 tahun untuk anak betina (Wich et al. 2009; Knott et al. 2009). Orangutan yang memasuki masa pubertas ditandai dengan melakukan proses pemilihan pasangan. Orangutan yang berada di dalam pemeliharaan atau captive (kebun binatang ataupun rehabilitasi) memasuki masa pubertas dan mampu mempunyai keturunan pertamakali jauh lebih muda dibandingkan orangutan liar, disebabkan 8
faktor habitat dan pemenuhan nutrisi yang tercukupi (van Schaik 2006). Orangutan jantan yang berada di captive akan memasuki masa pubertas pada umur kurang lebih 8-9 tahun, sedangkan orangutan betina akan memasuki masa pubertas pada umur 6 tahun dengan jarak kelahiran inter birth interval (IBI) 5-6 tahun (Delgado & van Schaik 2000; Wich et al. 2009; Knott et al. 2009). Sama seperti jenis kera lainya orangutan juga mengalami siklus mestruasi (Gamabr 3). Menurut Maple (1980) dan Dixson (1998) siklus menstruasi pada orangutan kurang lebih 26-37 hari dengan lama waktu menstruasi 3-4 hari sama dengan jenis kera besar lainnya, tetapi lebih atau kurang tergantung dari mekanisme hormonal yang mempengaruhi siklus menstruasi (Dunbar 1988; Dixson 1998). Pada primata regenerasi penghancuran endometrium dengan pendarahan kurang lebih dua minggu setelah ovulasi (Singer 2000; Nelson 2005). Menstruasi terjadi setelah proses ovulasi dimana terbentuk korpus luteum menyebabkan peningkatan hormon progresteron sehingga terjadi penebalan pada dinding endometrium, apabila tidak terjadi kebuntingan atau fertilisasi maka korpus luteum akan mengalami regresi sekitar 4 hari sebelum menstruasi dan diikuti oleh proses pendarahan. Pada akhir mestruasi semua lapisan endometrium terlepas kecuali lapisan dalam (Nelson 2005). Pada orangutan berakhirnya siklus menstruasi akan diikuti dengan masa subur/fertil adalah masa pematangan sel telur sampai dengan pelepasan sel telur menuju tuba falopii (ovulasi). Perubahan perilaku orangutan betina yang sedang subur ditandai dengan meningkat ketanggapan (reseptivitas) atau kesediaan seks (proreseptivitas) terhadap kehadiran individu jantan (Galdikas 1985; Atmoko et al. 2009). Lama masa fertil/subur pada orangutan antara 2-3 hari satu hari setelah proses ovulasi. Ovulasi diperkirakan terjadi pada pertengahan siklus menstruasi, yaitu antara hari ke 11-13 (Disxon 1998; Nelson 2005).
Gambar 3 : Siklus menstruasi pada primata (Nelson 2005). Interaksi Sosial Orangutan Interaksi sosial dilakukan sebagai suatu usaha individu untuk menjaga kelangsungan hidup dan mencapai sukses dalam bereproduksi, di dalam hubungan interaksi antar individu orangutan terjadi suatu tanggapan dari dua atau lebih 9
satuan individu orangutan di lokasi yang sama < 50 m (Dunbar 1988; van Schaik 2006). Interaksi sosial dimulai saat suatu individu melakukan perjumpaan antara dua atau lebih individu orangutan yang salah satu atau kedua-duanya saling melihat, mengacuhkan, saling menyerang dan bermain. Beberapa aktifitas sosial yang teramati diantaranya adalah menelisik atau mengutui, perilaku berpasangan (consortship), kopulasi, dan mengasuh anak. Interaksi sosial dapat terjadi hampir pada setiap individu orangutan kecuali pada sesama jantan dewasa sangat jarang teramati (Galdikas 1985; van Schaik 2006). Berikut adalah aktifitas sosial dan interaksi sosial yang terjadi pada orangutan meliputi: 1. Aktifitas sosial a. Pemilihan pasangan Perilaku reproduksi pada orangutan dimulai dari proses pemilihan pasangan, saat satu individu memasuki dewasa kelamin ditunjukan dengan perubahan perilaku. Orangutan betina remaja yang telah memasuki dewasa kelamin akan menunjukan ketertarikannya pada individu jantan yaitu memamerkan organ genital atau sampai mendorong dirinya (van Schaik 2006). Menurut Galdikas (1985); van Schaik (2006) orangutan jantan dewasa yang memasuki dewasa kelamin juga menunjukan perubahan perilaku, yaitu mulai mendekati individu betina dan mengikuti individu betina pada jarak tertentu (consortship). Faktor penting yang harus diperhatikan dalam proses pemilihan pasangan pada orangutan adalah status sosial dan umur (Dixson 1998; Atmoko et al. 2009; Knott et al. 2009). Pada saat proses pemilihan pasangan individu betina lebih memilih berpasangan dan kopulasi dengan individu jantan dewasa berpipi. Manfaat yang didapatkan oleh individu betina tersebut diantaranya adalah manfaat genetik, dimana anak akan mendapatkan gen-gen terbaik yang berasal dari individu jantan (van Schaik & van Hooff 1996; van Schaik 2006; Atmoko et al. 2009b). Strategi yang dilakukan oleh individu jantan dewasa berpipi untuk mendapatkan individu betina salah satunya dengan cara mengeluarkan long call yang berfungsi untuk menarik perhatian individu betina yang berada di sekitarnya, sedangkan jantan dewasa tidak berpipi cenderung berjalan jauh memperluas daerah jelajah untuk bertemu dengan betina yang siap kawin (Delgado & van Schaik 2000; Atmoko et al. 2009a; Setia et al. 2009). Betina reproduktif biasanya akan memberikan respon positif setelah mendegar long call. Hal ini terlihat dari perubahan perilaku betina tersebut, yaitu mendekati long call namun pada betina yang sedang membawa anak cenderung memberikan respon menghindari long call (Galdikas 1985; Atmoko et al. 2009a). Menurut Galdikas (1985) dan Atmoko et al. (2009b) sikap penolakan dalam hubungan berpasangan yang dilakukan orangutan betina merupakan usaha betina untuk mengurangi usaha kopulasi jantan. Hal ini karena akan mempengaruhi aktifitas betina seperti makan, berjelajah dan menyusui bayi. Pada saat terjadi hubungan seksual antara jantan dewasa dengan betina dewasa yang mempunyai anak, sering terlihat perlawanan yang dilakukan anak terhadap jantan yang ingin melakukan hubungan seksual dengan induknya (Galdikas 1985; Atmoko et al. 2009b). b. Hubungan berpasangan (consortship) Orangutan betina yang memasuki masa subur terlihat lebih sering bersama individu jantan yang disebut hubungan berpasangan (consortship) yaitu hubungan
10
kebersamaan antara individu jantan dan betina yang berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu, selama proses ini terjadi akan diselingi dengan beberapa kali kopulasi (Galdikas 1985; Atmoko et.al 2000). Hubungan berpasangan tergantung dari masa estrus individu betina, hubungan ini sangat penting untuk menentukan keberhasilan kopulasi karena akan terjadi peningkatan frekuensi kopulasi (Atmoko et al. 2009b; Setia et al. 2009). Orangutan jantan dewasa selalu kembali ke betina pasangannya pada waktu betina siap kawin kembali untuk memastikan kebuntingan dan keturunanya (Schurmann 1982; Galdikas 1985; Atmoko et al. 2009b). Hubungan berpasangan yang terjadi antara jantan dan betina tidak hanya terjadi pada satu individu yang sama tetapi dilakukan dengan beberapa individu yang berbeda. c. Kopulasi Perilaku kopulasi terjadi peningkatan setelah berakhirnya siklus menstruasi dan diikuti dengan masa subur/fertile. Orangutan betina yang sedang memasuki masa estrus akan menunjukan ketanggapan atau kesediaan seks terhadap jantan. Ketanggapan seks (reseptivitas) ialah kesediaan betina untuk melakukan kopulasi sedangkan kesediaan seks (proseptivitas) ialah semua perilaku yang dilakukan betina untuk memulai interaksi seks (Galdikas 1985). Perilaku orangutan betina yang sedang birahi sama dengan jenis monyet atau kera lainnya yaitu berinteraksi dengan individu jantan untuk memamerkan atau memperlihatkan organ genitalnya di depan individu jantan yang diharapkan (Rijksen 1978; Galdikas 1985; Fox 2002; van Schaik 2006). Selain itu melekatkan organ genitalnya ke organ genital jantan dan membuat gerakan menusuk-nusuk (intromisi). Berdasarkan hasil penelitian Fox (2002) bentuk kopulasi dibedakan dalam dua golongan, yaitu: suka sama suka dan pemaksaan. Sementara itu Shurmann dan van Hoof (1986); Fox (2002) menambahkan dengan memasukan bentuk kopulasi setengah kerjasama. c.1. Suka sama suka (betina aktif) Kopulasi suka sama suka atau aktif adalah kopulasi yang ditandai dengan adanya inisiatif kedua individu mengadakan kopulasi dan lebih sering terjadi dalam hubungan berpasangan (consortship). Menurut Fox (2002), kopulasi suka sama suka atau aktif adalah kopulasi yang dimulai dari inisiatif individu betina untuk mengawali terjadinya proses kopulasi sedangkan individu jantan bersifat melayani individu betina. Bentuk kopulasi ini lebih sering terjadi di dalam proses hubungan berpasangan (consorthsip). c.2. Pemaksaan (pemerkosaan) Kopulasi pemaksaan adalah ditandai dengan adanya perlawanan yang dilakukan individu betina terhadap usaha individu jantan (Fox 2002). Menurut MacKinnon (1974); Galdikas (1984); Fox (2002), pemaksaan terjadi apabila individu jantan berusaha mencoba kopulasi dengan individu betina namun betina berusaha menolak bahkan melakukan perlawanan terhadap usaha jantan tersebut. Perlawanan tersebut bervariasi dalam intensitas maupun lamanya, dari pergulatan yang pendek sambil menjerit, mendorong dan memukul jantan sampai perkelahian keras. Intensitas waktu perlawanan yang dilakukan betina sepanjang waktu kopulasi meneriakkan gerutuan dan mengigit jantan kapan saja ada berkesempatan.
11
c.3. Kopulasi setengah kerjasama (betina pasif) Menurut Fox (2002) kopulasi setengah kerjasama ini ditandai dengan pasifnya individu betina terhadap usaha individu jantan, namun tidak ada perlawanan yang ditunjukan individu betina terdapat usaha individu jantan. adanya inisiatif jantan, sedangkan betina tidak mengiginkan terjadinya proses kopulasi namun tidak ada perlawanan yang dilakukan oleh betina atas tindakan yang dilakukan jantan. Menurut Fox (2002), inisiatif yang dilakukan dalam memulai kopulasi setengah kerjasama biasanya jantan lebih mengarahkan posisi kopulasi betina. Kopulasi setengah kerjasama ini banyak terjadi antara individu jantan dewasa tidak berpipi dengan betina dewasa atau betina remaja (Fox, 2002). 2. Hubungan antar individu lain Bentuk hubungan antar individu orangutan yang sesama jenis kelamin terlihat dalam bentuk agresi, agonistik dan pengelompokan sosial, sedangkan hubungan sosial antar individu orangutan yang berbeda jenis kelamin bertujuan melakukan hubungan sosial reproduksi. Agresi adalah bentuk pamer kemarahan dengan cara menyerang atau pengejaran. Agonistik merupakan bentuk sikap tindak ketidak senangan akan kehadiran individu lain. Kedua peristiwa tersebut terjadi karena perebutan daerah kekuasaan dan perebutan individu betina yang tanggap dan sedia seks (estrus) (van Schaik & van Hooff 1996; Delgado & van Schaik 2000; Atmoko et al. 2009a). Hubungan antar individu kelamin sejenis dapat terjadi pada: a. Hubungan betina dengan betina Bentuk interaksi sosial yang terlihat pada sesama individu betina diantaranya adalah agresi, agonistik dan pengelompokan sosial. Tingkat persaingan antara individu betina dewasa dapat dilihat dari kedekatan kekerabatan suatu individu, perbedaan umur individu betina dan banyaknya jantan dewasa yang bersedia kawin dengan betina tersebut. Berdasarkan kekerabatanya maka dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: a.1. Hubungan betina yang tidak berkerabat Interaksi antar individu betina dengan kekerabatan yang jauh yaitu interaksi sosial agresi dan agonistik. Kedua peristiwa tersebut terjadi disebabkan adanya usaha perebutan daerah kekuasaan dan sumber pakan yang ada (van Schaik & van Hooff 1996; Delgado & van Schaik 2000; Singleton et al. 2009). Individu betina remaja lebih cenderung menghindar diri dari kehadiran betina dewasa, baik yang sedang membawa anak maupun betina dewasa yang tidak bawa anak. Perbedaan status pada individu betina di satu tempat yang sama menimbulkan rasa takut untuk melakukan perjumpaan (Galdikas 1985; van Schaik & van Hooff 1996; Setia et al. 2009). Secara fisiologis interaksi sosial yang terjadi antar sesama jenis kelamin dapat menyebabkan peningkatan kadar hormon stres suatu individu (Smith & French 1997; Nelson 2005). a.2. Hubungan betina yang berkerabat Interaksi hubungan sosial antar individu betina yang memiliki kekerabatan dekat akan terlihat hubungan kerjasama yang baik. Mereka dapat bergerak bersama-sama mencari makan dengan tingkat persaingan yang rendah (van Schaik 2006; Singleton et al. 2009). Hubungan interaksi antara anak orangutan yang memasuki masa remaja dengan induknya terkadang masih sering terlihat karena anak masih membayangi induk betina pada jarak tertentu dan mulai berani mendekati individu betina lainnya.
12
b. Hubungan antar individu betina dengan individu jantan Hubungan antar individu betina dengan individu jantan bersifat sosial reproduksi dimana tujuannya adalah mencapai sukses bereproduksi. Individu betina merupakan penentu pengambil keputusan dalam usaha sukses reproduksi. Perbedaan status sosial pada individu jantan merupakan pertimbangan individu betina dalam pengambil keputusan. Individu betina lebih memilih berpasangan dengan individu jantan dominan untuk mendapatkan keuntungan dari individu jantan pasangannya diantaranya adalah askes mendapat makanan dan perlindungan dari individu lain. Hubungan antar individu betina dengan individu jantan dimulai dari proses pemilihan pasangan, hubungan berpasangan dan berakhir pada proses kopulasi. c. Hubungan sosial ibu dan anak Hubungan sosial ini merupakan hubungan sosial yang konsisten setelah pengelompokan berpasangan (Rodman & Mitani, 1987; Galdikas, 1984). Proses pembelajar dan bermain bersama terjadi di dalam hubungan tersebut (Singleton et al. 2009). Menurut Atmoko (1991); Fox (2002) hubungan kopulasi yang terjadi pada individu betina yang membawa anak, sering telihat perlawanan yang dilakukan oleh individu anak terhadap usaha individu jantan yang ingin melakukan hubungan kopulasi dengan induknya. Perlawanan ini ternyata lebih efektif, karena jantan dewasa merasa terganggu Konsep Stres Menurut Smith dan French (1997); Nelson (2005) stres merupakan keadaan biologis, emosional dan tingkah laku yang tidak spesifik, tetapi dapat mengganggu ataupun mengancam keselamatan. Gejala stres terlihat sebagai gangguan psikologis, emosi maupun kegelisahan (Smith & French 1997). Berdasarkan perbedaan waktu stres dapat dibagi menjadi tiga yaitu stres jangka pendek ditandai dengan terjadi peningkatan denyut jantung, ketegangan otot dan perpendek pernafasan; stres jangka panjang dengan gejala berkurangnya nafsu makan, gangguan pencernaan, kulit serta penurunan libido; stres internal dengan gejala yang muncul ketakutan, ketidak mampuan berkonsentrasi. Penyebab stres (stresor) berasal dari situasi lingkungan, rangsangan atau kejadian yang mampu menganggu dan mengancam keselamatan makhluk hidup (Guyton & Hall 1996). Stres merupakan respon hasil interaksi hewan atau manusia dengan lingkungannya yang menyebabkan jiwa selalu berada dalam posisi siap untuk melawan (fight) atau lari (Smith & French 1997; Fowler 1999). Smith dan French (1997); Nelson (2005) menyatakan beberapa sumber stres terjadi karena perubahan kehidupan, perkelahian, tekanan lingkungan dan ketegangan merupakan sumber utama timbunya stres. Menurut Fowler (1999) akibat stres yang berlangsung lama berimplikasi pada penurunan dari sistem imun, sistem syaraf, dan sistem endokrin di dalam tubuh. Respon endokrin terhadap stres muncul pada saat impuls syaraf simpatik menstimulir kelenjar adrenal. Kelenjar endokrin melepaskan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) ke dalam aliran darah. Kemudian hipotalamus menstimulir hipofisa anterior untuk melepaskan ACTH sehingga terjadi peningkatan glukokortikoid yang membatu peningkatan suplai energi terutama pada saat keadaan bahaya atau terancam (Guyton & Hall 1996; Nelson 2005).
13
Biosintesis Hormon Steroid Berdasarkan organ targetnya hormon steroid terbagi menjadi dua sub kelompok yaitu hormon seksual (progestrin dan estrogen) dan homon adrenal. Pada kolesterol struktur kerangka C-27 berasal dari Acetyl-CoA yang telah mengalami serangkaian proses yaitu diawali dengan pembentukan asetat menjadi mevalonat dengan bantuan enzim HMG-CoA reduktase yang kemudian diubah menjadi squalane dan dilanjutkan dengan lanosterol. Selanjutnya, lanosterol diubah menjadi kolesterol sebagai produk dengan mengambil tiga gugus karbon. Kolesterol banyak terdapat di membran sel yang merupakan salah satu komponen terpenting bagi kelangsungan hidup sel, selain itu kolesterol juga sebagai prekursor hormon steroid (Litwack &Schmidt 2002; Steimer 2003). Biosintesis hormon steroid dimulai dari pengubahan kolesterol menjadi pregnenolon. Pengaturan biosintesis hormon steroid disebabkan oleh peningkatan cAMP intraseluler atau Ca2+ melalui inositol trifosfat. Rangsangan pada cAMP dapat bersifat akut atau kronis (beberapa jam sampai hari). Rangsangan dimulai sejak pengiriman kolesterol ke dalam inner mitokondria dengan perantara steroidogenic acute regulatory (StAR), sedangkan rangsangan kronis terjadi pada saat pengubahan kolesterol menjadi pregnanolon (Gambar 4). Pada keadaan tersebut proses konversi berlangsung di dalam mitokondria dengan bantuan enzim side chain cleavage (SCC), NADPH, oksigen dan sitokrom P450 sesuai kebutuhan. Fungsi Ca2+ pada proses ini adalah sebagai peningkat enzim SCC (Litwack &Schmidt 2002).
Gambar 4. Mekanisme kerja hormon steroid pada target (Steimer 2003) Reseptor hormon steroid terletak di dalam sitoplasma sel, berbeda pada hormon protein yang berada di dinding sel. Tahap pertama hormon masuk ke dalam sel secara difusi dan segera berikatan dengan reseptor protein spesifik di dalam sitoplasma. Reseptor hormon steroid secara inaktif dipelihara dalam suatu heat shock protein 90 (HSP 90). Apabila terjadi ikatan antara hormon dan reseptor, maka HSP 90 menjadi aktif dan segera melepaskan diri. Selanjutnya ikatan hormon dan reseptor segera menuju ke nucleus (Gambar 4). Pada saat di 14
dalam nukleus terjadi ikatan kompleks antara hormon dan reseptor yang mempengaruhi koaktivator dan faktor transkripsi secara menyeluruh untuk menghasilkan kompleks transkripsional aktif yang kemudian akan meningkatkan ekspresi target gen dan menimbulkan efek hormon steroid (West 1991; Kuiper et al. 1998). Biositesis Glukokortikoid Hormon glukokortikoid merupakan hormon steroid yang disintesis dari kolesterol dan diproduksi oleh kelenjar adrenalis bagian korteks. Hormon disekresikan oleh organ endokrin yang diatur oleh hipotamus dan syaraf pusat. Korteks adrenal mensintesis molekul steroid yang dibagi menjadi tiga kelompok hormon yaitu glukokortikoid, mineralkortikoid dan androgen dengan zona atau lapisan penghasil yang berbeda-beda. Glukokortikoid berfungsi mengatur metabolisme karbohidrat, mineralokortikoid berfungsi mengatur kadar cairan (natrium dan kalium) di dalam tubuh dan androgen yang fungsinya hampir sama dengan hormon steroid yang dihasilkan oleh gonad jantan. Korteks adrenal terdiri dari 3 bagian utama yaitu zona glomerulosa, zona fasciculata, dan zona reticularis (Guyton 1996; Nelson 2005). Menurut Martin dan Crump (2003); King (2009) pada setiap zona di korteks adrenal memiliki kesamaan dimana jalur utama yang dilewati untuk proses sintesis yaitu kolesterol diubah menjadi pregnenolon yang dibantu oleh enzim sitokrom P450 (CYP). Produk akhir yang dihasilkan oleh hormon steroid tergantung pada enzim yang berada di dalam sel masing-masing zona (Gambar 5). Kolesterol yang akan diubah menjadi pregnenolon di dalam korteks adrenal harus diangkut ke dalam mitokondria di mana CYP11A1. Proses transportasi dibantu oleh protein regulator akut steroidogenik (StAR). Menurut King (2009) konversi prenenolone untuk progesteron memerlukan dua kegiatan enzim HSD3B2: dehidrogenase 3β-hidroksisteroid dan Δ4,5-isomerase. Zona glomerulosa membutuhkan enzim P450c17 yang mengubah pregnenolon dan progesteron untuk C17 analog dihidroksilasi. Dengan demikian, jalur glukokortikoid (deoxycortisol dan kortisol) dan androgen (dehydroepiandosterone (DHEA) dan androstenedione) di simpan di dalam sel. Zona glomerulosa mengandung enzim yang bertanggung jawab untuk mengkonversi corticosterone untuk aldosteron. Pregnenolone yang dihasilkan di zona fasciculate akan diubah menjadi dua produk yang dibantu oleh dua enzim yang berbeda yaitu 17-OH pregnenolone dibantu enzim P450c17 dan progresteron dibantu enzim 3β-DH∆45-isomer. Progresteron kemudian mengalami biositesa menjadi 11-deoxycorticosterone dibantu dengan enzim P450c21 yang kemudian dikonversikan menjadi corticosterone (Martin & Crump 2003). Menurut Martin dan Crump (2003); King (2009) pada 17-OH pregnenolone diubah lebih dahulu menjadi 17-OH progresteron kemudian dilanjutkan menjadi 11-deoxycortison yang dibantu dengan kerja enzim. Selanjutnya, 11-deoxycortison akan dikonversikan menjadi cortisol. Pada zona reticularis, pregnenolone yang telah dihasilkan akan diubah menjadi 17-OH pregnenolone yang selanjutnya akan diubah menjadi Dehydroepiandrosterone (DHEA) proses ini dibantu oleh enzin P450c17 (17αhydroxylase dan 17,20 lyase).
15
Enzim 3β-DH∆45-isomer membantu proses konversi Dehydroepiandrosterone menjadi Adrostenedione.
Gambar 5 : Biosintesis perubahan kolesterol menjadi hormon steroid di korteks adrenal (Martin & Crump 2003; King 2009). Sekresi Hormon Glukokortikoid Hormon adalah senyawa yang yang secara normal dikeluarkan oleh kelenjar endokrin atau jaringan tubuh dan dilepaskan ke pembuluh darah menuju jaringan sasaran, berinteraksi secara selektif dengan reseptor khas dan menunjukkan efek biologis. Smith dan French (1997); Nelson (2005) menyatakan bahwa respon stres dipengaruhi oleh sistem endokrin di dalam hipotalamus dan kelenjar hipofisis. Tubuh mempunyai kemampuan fisiologis untuk beradaptasi terhadap kondisi stres. Respon neuroendokrin terhadap stres terjadi pada saat implus syaraf simpatik dari hipotalamus menstimulir kelenjar endokrin segera melepaskan katekolamin (epinepbrin/adrenalin dan noradrenalin) ke dalam aliran darah. Sekresi adreno corticotropic hormone (ACTH) diatur secara umpan balik oleh steroid yang beredar (Gambar 6). Hormon stres bebas berada di dalam darah dan memiliki umpan balik negatif terhadap pelepasan corticotrophin releasing hormone (CRH) dari hipotalamus terhadap kortikotrof hipofisis (Gambar 6). Penurunan CRH melalui vena-vena portal hipofisis ke hipofisis anterior akan meningkatkan sekresi ACTH. Respon CRH terhadap umpan balik negatif mengikuti irama diurnal, sehingga pada pagi hari ACTH dan hormon stres dalam jumlah yang lebih besar dan lebih kecil pada malam hari, namun dalam keadan stres baik fisik maupun psikis seperti nyeri, ketakutan, operasi, infeksi, latihan fisik, trauma, hipoglikemia atau tumor otak dan obat-obatan seperti kortikosteroid, hipnotik, irama kadar hormon dapat berubah (Ganong 1983; Guyton 1991; Ackerman 1996).
16
Gambar 6: Sekresi hormon glukokortikoid (Nelson 2005). Menurut Nelson (2005) menyatakan bahwa hormon steroid pada korteks adrenal dan medulla berperan dalam suatu respon fisiologi terhadap keadaan darurat. Indikator stres dapat dilihat dari peningkatan kadar hormon stres yang terjadi pada pagi hari dan mencapai titik terendah pada malam hari. Beredarnya hormon stres dalam darah kurang lebih 10% dan sisahnya akan berikatan di dalam trancortin maupun albumin yang kemudian akan dihancurkan dalam beberapa jam setelah berada di dalam organ target. Steroid adrenal akan didegradasi di dalam hati dan dikonjugasikan dalam bentuk glukoronida dan sulfat, 25% dari jumlah tersebut akan dieksresikan ke dalam empedu sampai dikeluarkan memalalui feses ataupun urine. Hormon yang telah terkonjugasi mempunyai sifat yang tidak aktif (inaktivasi). Metabolisme dan Ekskresi Hormon Glukokortikoid Hormon yang telah di sekresikan akan beredar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena hormon tidak memiliki saluran khusus dan secara lemah berikatan dengan protein. Pada waktu tertentu hormon akan dipecah menjadi senyawa tidak aktif dan selanjutnya dieksresikan dari dalam tubuh dalam bersama feses dan urin (Möstl & Palme 2002). Hormon yang tidak terikat di dalam jaringan juga akan diubah di dalam hati sebelum dieksresikan melalui usus dan ginjal (Guyton & Hall 1996). Pendeteksi suatu hormon dapat dilakukan melalui plasma/serum, feses, urin ataupun saliva (Brook & Marshall 1996; Möstl & Palme 2002). Konsentrasi hormon dengan menggunakan saliva memiliki pola yang sama dengan konsentrasi hormon dengan menggunakan plasma, namun konsentrasi saliva lebih kecil dibandingkan plasma (Denhard 2004). Berdasarkan manipulasi terhadap hewan, pengambilan sampel dikelompokan menjadi invansif (plasma/serum darah, air susu dan saliva) maupun non-invansif (feses dan urine) (Möstl & Palme 2002; Schwarzenberger 2007; Thanos et al. 2008). Kortisol merupakan salah satu
17
hormon yang mengalami metabolisme di dalam hati, dimana organ hati merupakan tempat utama katabolisme glukokortikoid (Möstl & Palme 2002) (Gambar 7).
Gambar 7. Metabolisme glukokortikoid di dalam tubuh (Möstl & Palme 2002). Pemilihan sampel secara non-invansif ataupun invansif dalam deteksi hormon biasanya dikaitan dengan tujuan penelitian karena masing-masing sampel mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada satwa liar pengkoleksi darah dengan intensitas yang demikian tinggi akan menimbulkan traumatik, sehingga profil hormon yang terdeteksi akan berubah dari sifat alaminya akibat stres yang sangat tinggi. Pada proses koleksi metode invansif (sampel darah) seringkali hewan harus di tangkap, dibius atau dikandangkan pada ukuran yang sempit. Resiko kematian menjadi semakin tinggi, terutama dengan adanya pembiusan selain itu dapat menyebabkan stres yang tinggi pada hewan tersebut. Pada satwa liar untuk mendapatkan hasil profil hormon yang akurat sebaiknya pengkoleksian sampel dilakukan dengan cara non-invansif, dengan menjadikan satwa liar tidak stres yang akan menganggu pola pelepasan hormon (Schwarzenberger 2007; Thanos et al. 2008) . Keuntungan menggunakan metode non-invansif yaitu tidak perlu dilakukan anastesi sehingga menggurangi kejadian stres pada saat penangkapan maupun anastesi dan hewan tidak merasa tertekan ataupun terancam sehingga hasil yang didapatkan menjadi lebih akurat (Heistermann et al. 2001; Hua et al. 2004; Schwarzenberger 2007). Kerugian menggunakan metode non-invansif (feses) adalah sampel feses harus diambil secara keseluruhan karena kandungan metabolit hormon pada bagian luar dan dalam berbeda. Permasalahan dalam pengembangan metode non-invasif adalah bahwa hormon yang berada dalam darah akan diekresikan dalam feses atau urine akibat dari proses metabolisme tubuh, menjadi suatu bentuk metabolit yang berbeda (Schwarzenberger et al. 1996). Pada tahapan awal peneliti harus melakukan pemahaman tentang metabolit hormon yang akan dianalisa di dalam feses ataupun urine. Selain itu, perlu diketahui juga perbedaan pola antara hormon yang dilepaskan dalam darah, feses atau urine.
18
Kadar glukokortikoid yang berada di urine maupun feses setiap spesies berbeda-beda dan waktu yang dibutuhkan setiap hormon yang dieksresikan melalui urine ataupun feses membutuhkan waktu yang berbeda pula pada setiap spesies (Möstl & Palme 2002; Schwarzenberger 2007; Thanos et al. 2008). Salah satu hormon glukokortikoid yang telah diuji yaitu kadar hormon kortisol yang ditemukan di dalam feses pada masing-masing spesies memerlukan waktu yang berbeda disebabkan perbedaan metabolisme masing-masing jenis, misalnya pada Macaca fasicularis kadar kortisol dapat terdeteksi pada 22 jam, Chimpanzee 26 jam (Hua et al. 2004; Heistermann et al. 2001). Menurut Marty (2009) kadar hormon stres pada orangutan liar dapat dideteksi 48 jam kemudian setelah terjadinya interaksi sosial, namun jika dideteksi lebih dari 50 jam ke atas kadar hormon stres yang terdeksi di dalam feses akan menurun. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Weingrill et al. (2008) yang menyatakan bahwa kadar hormon stres pada orangutan di captive dapat dideteksi melalui feses setelah 48 jam. Metabolit hormon glukokortikoid yang dideteksi sebagai indikator stres pada orangutan adalah 11βhydroxyetiocholanolone. DAFTAR PUSTAKA Ackerman U. 1996. Human Physiology. Mosby, St Louis. Atmoko SSU, Mitra ST, Goossens B, James SS, Knott CD, Bernard M, van Schaik CP, van Noordwijk MA. 2009 a. Orangutan Matting Behavior and Strategi, eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Atmoko SSU, Singleton I, van Noordwijk MA, van Schaik CP, Mitra ST. 2009 b. Male-male Relationships in Orangutan. eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Atmoko SSU. 2000. Bimaturism in Orangutan Males: Reproductive and Ecological Strategies. (Thesis). Faculty Biology Utrecht University. The Nederlands. Atmoko SSU. Perilaku Seksual Orangutan (Pongo pygmaeus abelii, Lesson 1827). 1991. Betina Dewasa di Pusat Penelitian Ketambe Aceh Tenggara. (Skripsi). Sarjana Biologi Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta. Arora N, Natera A, van Schaik CP, Erik P. Willemsa, van Noordwijka MA, Goossensb B, Morfa N, Bastiand M, Knottd C, Morrogh-Bernardf H, Kuzeg N, Kanamorih T, Pamungkasi J, Perwitasari-Farajallahi D, Verschoorj E, Warrenk K, Krützena M. 2010. Effects of Pleistocene glaciations and rivers on the population structure of Bornean orangutans (Pongo pygmaeus). University of Zurich. Switzerland.
19
Brook CGD, and Marshall NJ. 1996. Essential Endocrinology, 3th Edition. Blackwell Science. John Street, London. Delgado RAJR , van Schaik, CP. 2000. The Behavioral Ecology and Conservation The Orangutan (Pongo pymaeus): A Tale of Two Island. Evolutionary Antrophology 20: 201-218. Denhard M. 2004. Sample Collection, Handling, Storage and Preparation. Institute for Zoo and Wildlife Research, Berlin. Germany. Dixson AF. 1998. Primate Sexsuality Comparative Studies of the Prosimians, Monkeys, Apes. and Humans Beings. Oxford Universty Press. US. Dunbar RIM. 1988. Primate Social System: Study Behavior Adaptation. Dept. Zoology Universitas Liverpool, Croom Helm.Itd. Fox EA. 2002. Female Tactics to Reduce Sexsual Harassment in The Sumatera Orangutan (Pongo pymaeus abelii). Behavior Ecologi Socio Biologi. Springer 52: 93-101. Fowler ME. 1999. Zoo and Wild Animal Medicine 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Vol. 34-35. Galdikas BMF. 1985. Adult Male Sociality and Reproductive Tactic Among Orangutan at Tanjung Puting. American Journal of Primatology. 45; 9-24. Ganong WF. 1983. Fisiologi Kedokteran Edisi 10. EGC. Jakarta. Groves CP. 2001. Primate Taxsonomi Smithsonian Institution Press. Washington and London. US. Guyton AC, Hall JE. 1996. Textbook of Medical Physiology, 9th ed. Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania. US. Hau J, Abelson KS, Carlsson HE, Royo F. 2004. Stress-Assassed by Quantification of Non-invansif Stress Markers. University of Copenhagen & State Hospital and Uppsala University. Heistermann M, Uhrigshardt J, Husung A, Kaumanns W, Hodges JK. 2001. Measurement of fecal steroid Metabilites in the lion-tail Macaque (Macaca silenus): a Non-invansif Tool for Assessing Female Ovarian Function. Primate report. American Journal of Primatology. 59:27-42. Knott CD, Thompson ME, Wich SA. 2009. The Ecology of Female Reproduction in Wild Orangutan. eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US.17: 171-188. King MW and Marchesini S. 2004. Steroid Hormones and Reseptors, (Internet). http://www.med.unibs.it/-marchesi/sterhorm.html (4 November 2012). 20
Kuiper GJM, Carlquist M, Gustaffson JA. 1998. Estrogen Is a male and female Hormones. Science and Medicine.10: 36-45. Litwack G, Schmidt TJ. 2002. Biochemistery of Hormones II: Steroid Hormones in: G. Litwack and TJ. Schmidt. Textbook of Biochemistery and Clinical Correlations 5th ed. John Wiley and Sons. Pp 959-988. MacKinnon JR. 1974. The Behaviour and Ecology of Wild Orangutan (Pongo pygmaeus). Animal Behaviour. 22: 3-74. Maple TL. 1980. Orangutan Behavior. Primate Behavior and Development Series van Nostrand Reinhold Company.US. Martin PA, Crump MH. 2003. The Adrenal Gland. In: Pineda MH, Dooley MP, editor. Veterinary Endocrinology and Reproduction. 5th Ed. US: Lowa State Press. Pp 165-200. Marty P. 2009. Behavioural endocrinology of male Bornean orangutans (Pongo pygmaeus wurmbii). (Thesis). Anthropological Institute and Museum University of Zürich. Meijaard E, Rijksen, HR, Kartikasari SN. 2001. Di Ambang Kepunahan, Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta. Möstl E, Palme R. 2002. Hormones as Indicators of Stress. Domestic Animal Endocrinology 23:67–74. Napier JR and Napier PHA. 1967. Hand Book of Living Primates. Academic Press. US. Nelson R. 2005 An Introduction to Behavioral Endocrinology. Third Edition. The Ohio State Univesity. Sinauer Associates, Inc Publishers Sunderland, Massachusetts. Rijksen HD. 1978. A Field Study on Sumatra Orangutans (Pongo pygmaeus abelii, Lesson 1827) Ecology Behaivior and Conservation. (Disseration) Argricultur University Wageningen. Rodman CG, Mitani JC. 1987. Orangutans Sexual Dimorpisme in A Solitary Spesies in Primate Societies. The University of Chicago Press. Schwarzenberger F, Mostl E, Palme R, Bamberg E. 1996. Faecal Steroid Analysis for non invansive Monitoring of Reproductive Status in Farm, Wild and Zoo Animals. Animal Reproduction Scince. 42: 515-526. Setia TM, Delgado R, Atmoko SSU, Singleton I, van Schaik CP. 2009. Social Organization and Male-Female Relationships. eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US.
21
Singleton I, Knott CD, Morrogh-Bernard C, Wich SA, van Schaik CP. 2009. Ranging Behavior of Orangutan Female and Social Organization, eds Orangutans: Behavioral Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Smith TE, French JA. 1997. Psychosocial Stress and Urinary Cortisol Excretion in Marmoset Monkeys (Callithrix kuhli), Physiology Behavior 62(2): 225-232. Schurmann CL, Van Hooff JARAM. 1986. Reproduktive Strategies of the Orangutan. New data and a reconsideration of existing sosiosexsual model. International Journal of Primatology. 7: 265-287. Schurmann CL. 1982. Courtship and Mating Behavior of Wild Orangutan in Sumatera dalam Primate Behavior and Sociobiology, A. B. Chiarelli dan R. S. Corruccini, Springer Verlag, Berlin Heidelberg. Soehartono T, Soesilo HD., Andayani N, Atmoko SSU, Sihite J, Saleh C, Sutrisno A. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Jakarta. Steimer. 2003. Steroid Hormone Metabolism. (Internet). http://www.gfmer.ch/books/reproductive health/steroid metabolism (6 September 2012)
hormone
Supriatna J. Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Thanos PKA, Cavigelli SA, Michaelides M, Olvet. M, Patel U, Diep MN, Volkow ND. 2008. Non-Invasive Method for Detecting the Metabolic Stress Response in Rodents: Characterization and Disruption of the Circadian Corticosterone Rhythm. University Park, PA, US. 58: 219-228. van Schaik CP, van Hooff JARAM. 1996. Toward an Understanding of The Orangutan’s Social System in McGrew, WC, Marchout, LF, and Nishida T, eds. Grear Ape Societies. University Press, Canbreidge, pp 3-15. van Schaik CP. 2006. Diantara Orangutan. Kera Merah Dan Kebangkitannya Kebudayaan Manusia. Yayasan Penyelamatan Orangutan Bormeo (BOS), Jakarta. Warren KS, Verschoor EJ, Langenhuijzen S, Heriyanto, Swan RA, Vigilant L, Jonathan L. Heeney. 2001. Speciation and Intrasubspecific Variation of Bornean Orangutans, Pongo pygmaeus pygmaeus. The Society for Molecular Biology and Evolution Evol. 18:472–480.
22
Wich SA, Meijaard E, Marshall AJ, Husson S, Ancrenaz M, Lacy RC, van Schaik CP, Sugardjito J, Simorangkir T, Traylor-Holzer K, Galdikas BMF, Doughty M, Supriatna J, Dennis R, Gumal M, Singleton I. 2008. The Status of The Orangutan: an Overview of This Current Distribution. Oxford University Press. US. Wich SA, Vries de Han, Ancrenaz M, Perkins L, Shumaker RW, Suzuki A, and van Schaik CP. 2009. Orangutan Life History Variation. eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Weingrill T, Willems EP, Zimmermann, Steinmetz H, Heistermann M. 2011. Spesies-Specific Patterns In fecal Glukokortikoid and Androgen Levels Zoo Living Orangutan (Pongo spp.). American Journal of primatology. 172: 446-457. West JB. 1991. Best and Taylor’s, Physiological Basis of Medical Partice, 12th Edition. Williams and Wilkins, Pp 225-231.
23
INTERAKSI ORANGUTAN (Pongo pgymaeus wurmbii) BETINA BERKERABAT DENGAN INDIVIDU LAIN Abstrak Orangutan memiliki sistem sosial semi soliter dan peka terhadap perubahan kondisi habitat. Penelitian ini dilakukan pada 6 individu betina dengan status reproduksi (reproduktif, nullipara dan non-reproduktif) selama 10 bulan dengan metode focal animal instantaneous dan ad libitum sampling. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perbedaan status reproduksi individu betina dan status sosial menpengaruhi respon individu betina terhadap long call yang di dengar dan jarak perjumpaan dengan individu lain. Respon individu betina reproduktif nullipara dan non-reproduktif terhadap long call yang didengar dalam hubungan berpasangan memberikan respon abaikan Kondor (44,4%), Kerry (38,9%), Milo dan Mindy (5,7%). Sedangakan diluar hubungan berpasangan betina nullipara lebih member respon positif terhadap long call Kondor (15,385) dan Milo (7,692%). Betina non reprodukti semua memberikan repon abaikan long call. Sebagian besar jarak perjumpaan yang terjadi antar individu betina nonreproduktif di 10-50m (84%), antar individu betina reproduktif di 2-10m (54,878%) dan antara individu reproduktif dengan non-reproduktif di 2-10m (41,176%). Individu betina reproduktif melakukan perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi umumnya dijarak 2-10m (69,293%) sedangkan individu betina non-reproduktif di 10-50m (33,155%). Perjumpaan antar individu betina reproduktif dengan jantan dewasa berpipi umumnya di 10-50m (38,357%) sementar individu betina non-reproduktif di 10-50m (48,951%). Selama hubungan berpasangan antara individu betina reproduktif dengan jantan dewasa tidak berpipi cenderung berjarak 2-10m (66,457%), sementara individu betina non-reproduktif pada 10-50m (58,155%). Kopulasi antara betina reproduktif dengan jantan dewasa berpipi dengan persentase kopulasi pasif (50%) dan aktif 50%. Kopulasi antara betina nullipara dengan jantan dewasa tidak berpipi kopulasi pasif 75%, 12,5% aktif dan 12,5% pemaksaan. Kategori kopulasi antara betina non-reproduktif dengan jantan dewasa tidak berpipi ataupun jantan dewasa berpipi semua dalam bentuk pasif Kata kunci: Orangutan, reproduktif, non-reproduktif, consortship, kopulasi Pendahuluan Orangutan kalimantan merupakan salah satu jenis primata yang memiliki sistem sosial semi-soliter berbeda dari suku Pongidae yaitu; bonobo (Pan paniscus), simpanse (Pan troglodytes) dan gorilla (Gorilla gorilla) dan monyet lainnya yang hidup berkelompok. Kontak sosial hanya terjadi dalam hubungan sosial reproduksi dan pengasuhan anak (Delgado & van Schaik 2006; Meijaard et al. 2001). Kehidupan soliter terlihat jelas pada individu jantan dewasa dan betina dewasa yang tidak membawa anak (reproduktif), individu tersebut melakukan
24
penjelajahan sendiri dengan tujuan mendapatkan pasangan yang siap kawin (Rijksen 1978; Galdikas 1984; Rodman & Mitani 1987; Atmoko et al. 2009a; van Schaik et al. 2009). Berbeda dengan orangutan betina yang mempunyai anak (non-reproduktif) interaksi sosial terjadi terutama saat induk memberikan pembelajaran kepada anak sampai anak mandiri (Galdikas 1985; van Schaik & van Hooff 1996). Anak orangutan yang telah memasuki masa remaja mulai menjauh dari induk, namun kehidupan sosial masih terlihat karena anak masih membayangi induk betina pada jarak tertentu. Orangutan remaja yang telah matang kelamin mulai menunjukkan ketertarikan dengan individu lain (Rodman & Mitani 1987). Pada orangutan jantan maupun betina terdapat perbedaan status sosial di suatu lokasi. Pada individu betina perbedaan status sosial dapat dilihat dari perbedaan umur dan tingginya frekuensi kebersamaan dengan jantan dewasa berpipi (Atmoko et al. 2009b). Individu betina berjuang sebagai penetap di suatu lokasi untuk mendapatkan keuntungkan selama reproduksi dan akses mendapatkan makanan. Strategi individu betina untuk mempertahankan status sosial di suatu lokasi yaitu dengan cara mempertahankan hubungan sosial reproduksi dengan jantan dewasa berpipi. Berbeda dengan individu betina, perbedaan status sosial pada individu jantan dapat dilihat dari status individu jantan sebagai penetap dan kemampuan individu jantan dalam berkompetisi dengan individu jantan lain (van Schaik 2006; Atmoko et al. 2009b). Daerah jelajah yang tumpang tindih menyebabkan semakin berkurang dan terbatasnya sumber makanan yang mengakibatkan peluang perjumpaan antar individu semakin besar. Kehadiran individu jantan di suatu lokasi dipengaruhi dengan ketanggapan individu betina untuk melakukan hubungan sosial reproduksi, namun individu betina merupakan sebagai pengambil keputusan untuk terjadi hubungan sosial reproduksi. Hubungan sosial reproduksi sering di awali dengan terjalinnya hubungan berpasangan (consortship) antara individu jantan dengan individu betina yang terjadi berhari-hari bahkan beberapa minggu. Individu betina lebih memilih berpasangan dengan jantan dewasa berpipi yang status sosialnya lebih tinggi dibandingkan dengan individu jantan tidak berpipi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perilaku sosial pada orangutan betina dengan status reproduksi yang berbeda yaitu individu betina betina nonreproduktif dan betina reproduktif yang berinteraksi dengan individu lain di satu lokasi. Diharapkan dari datanya diperoleh dapat dijadikan sebagai rekomendasi dalam penanganan orangutan di habitat asli ataupun di captive. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap; tahap pertama yaitu kegiatan lapangan meliputi pengkoleksian sampel feses dan pengamatan perilaku selama 10 bulan dimulai dari bulan Oktober 2009 - Juli 2010, di Stasiun Penelitian
25
Orangutan Tuanan Kalimantan Tengah (Gambar 8). Tahap kedua dilakukannya analisis hormon dilaboratorium. Lokasi pengambilan sampel feses terletak di dusun Tuanan yang secara administratif masuk dalam Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas. Secara geografis Tuanan terletak pada posisi 020 09’ 06,1” LS dan 1140 26’ 26,3” BT, luas areal sebesar 2.730 km . Menurut van Schaik et al. (2005) rata-rata kepadatan orangutan di areal penelitian Tuanan adalah 4,25 ind/km2. Area penelitian merupakan daerah yang memiliki tipe hutan rawa gambut dengan kedalaman antara 3–4 meter. Suhu rata-rata pada pagi hari 26ºC dan pada waktu sore hari adalah 28º C. Kelembaban pagi dan sore hari memiliki rata-rata 92%, serta keasaman air (pH) di dalam hutan adalah 4,8. Struktur hutan sangat bervariasi, dengan tutupan kanopi sekitar 70%, tinggi pohon sekitar 15–25 m dan dengan diameter pohon berkisar antara 10–50 cm. Jenis vegetasi yang umum dijumpai terdiri dari famili Annonaceae, Euphorbiaceae, Dipterocarpaceae, Lauraceae, dan Ebenaceae. Berdasarkan hasil survey densitas populasi orangutan yang dilakukan oleh van Schaik et al (2005) diperkirakan kepadatan orangutan sangat tinggi pada area ini dengan densitas 4,25–4,50 individu/km² dengan jumlah kisaran individu pada seluruh area Konservasi Mawas (300.000 ha) adalah 3.000–4.000 orangutan.
a.
b.
Gambar 8. a) Letak geografis Camp Tuanan dan b) Areal Hutan stasiun penelitian orangutan Tuanan (BOSF. 2009) Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari: binokuler 8 x 21 (Nikon), kompas (Sunto), Global Position System (Garmin 12 XL), pengatur waktu digital (Casio), kamera digital (10 x optical zoom, Olympus), tabulasi data, dan peta transek areal penelitian. Hewan Penelitian Sampel penelitian yang digunakan adalah 115 sampel feses dari 6 individu orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) betina dengan status reproduksi dan umur yang berbeda, estimasi umur individu yang diamati yaitu antara 8-26 tahun. 26
Individu objek digolongkan berdasaran status reproduksi yaitu betina reproduktif dan betina non-reproduktif. Individu betina yang membawa anak dapat dibedakan dengan memperhatikan perbedaan umur anak yang dibawa dan perbedaan morfologi masing-masing individu induk betina tersebut. 1. Betina reproduktif Individu betina orangutan pada masa reproduktif, yaitu betina dewasa yang tidak bersama anak atau sedang bersama anak yang berusia lebih dari 5 tahun. 2. Betina non-reproduktif Individu betina orangutan yang tidak dalam masa reproduktif, yaitu betina yang sedang menyusui atau bersama anak yang berusia kurang dari 5 tahun, betina hamil dan menopause. 3. Betina reproduktif nullipara Individu betina orangutan reproduktif nullipara yaitu betina yang sudah memasuki masa matang kelamin. Tabel 1. Individu orangutan betina pada saat pengamatan Oktober 2009-juli 2010 Individu Mindy Kerry Juni Jinak Milo Kondor
Kelas sosial Tidak reproduktif Tidak reproduktif Tidak reproduktif Reproduktif Nullipara (♀ 8 Thn) Nullipara (♀ 9 Thn)
Anak Mawas Kino Jip Jerry
Estimasi umur anak ♂ 1 Thn 7 Bln ♂ 3 Thn ♂ 3 Thn 7 Bln ♂ 7 Thn 2 Bln
Cara Kerja Pada penelitian ini beberapa teknik penelitian dilakukan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: 1. Pencarian (searching) Pencarian orangutan dilakukan pada saat berakhir target waktu pengambilan data satu individu atau saat individu tersebut hilang. Pencarian ini dimulai pada pukul. 07.00 – 16.00 WIB. Pencarian orangutan dilakukan dengan menelusuri jalur-jalur yang ada. Pencarian dilakukan dengan memperhatikan tanda–tanda yang dapat mengindikasikan keberadaan orangutan, yaitu antara lain: suara gerak pindah dari satu pohon ke pohon yang lain, vokalisasi (long calls, kiss-squeak, lork call), sisa makanan di sekitar pohon pakan, bau urine dan feses yang ditemukan. 2. Metode Pencatatan Jika pada waktu pencarian ditemukannya satu individu orangutan, maka akan dilakukan pengambilan data dengan mencatat semua perilaku sosial yang dilakukan sampai orangutan membuat sarang sore, kemudian diberikan tanda di sekitar sarang sore tersebut. Pengambilan data perilaku sosial keesokan hari cukup mengunjungi sarang terakhir yang dibuat pada hari sebelumnya. Biasanya orangutan memulai beraktivitas antara pukul. 04.00 – 06.00 WIB dan berhenti
27
beraktivitas sekitar pukul. 16.00 – 19.00 WIB. Setiap pengamatan untuk satu individu objek dalam satu periode pengamatan dilakukan maksimal selama 5 - 10 hari berturut-turut, kemudian individu objek tidak diikuti dan dilakukan pencarian kembali induvidu objek yang berbeda atau sampai objek tersebut hilang. Apabila individu yang sedang diamati hilang maka dilakukan pencarian kembali dengan cara yang sama. Metode pencatatan perilaku yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Focal Animal Sampling secara Instantaneous yaitu dengan mengikuti individu objek, mencatat perilaku per 2 menit mulai bangun dari sarang pagi hingga membuat sarang sore, setiap satu individu dalam satu periode pengamatan 5-10 hari. Pencatatan data sosial reproduksi yang terjadi di luar interval waktu pencatatan data dilakukan dengan cara Ad Libitum Sampling. Pencatatan data ruang perjumpaan meliputi penggunaan interval jarak perjumpaan antara individu betina reproduktif dan non-reproduktif terhadap individu betina berkerabat, individu jantan dewasa tidak berpipi, individu jantan dewasa berpipi, dan jarak perjumpaan individu betina dalam hubungan berpasangan (consortship) dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Adapun interval jarak yang digunakan <2m, 2-10m dan 10-50m. 3. Pencatatan Perilaku Sosial a. Respon individu betina dengan status reproduksi yang berbeda terhadap long call Pencatatan berdasarkan respon pertama kali pada menit pertama yang teramati, setelah individu betina mendengar long call dari individu jantan yang dibedakan menjadi tiga respon yaitu positif (+), negatif (-) dan mengabaikan (0). Respon positif : Melihat kearah long call atau bergerak mendekati arah long call Respon negatif : Menjauhi long call Respon abaikan: Tidak memberikan respon apa pun atau tetap dengan aktifita sebelum mendengar long call b. Peluang perjumpaan antar individu betina dengan individu betina ataupun individu jantan Pencatatan data dilakukan dengan mengunakan interval jarak antara individu betina terhadap kehadiran individu betina ataupun individu jantan dewasa berpipi dan jantan dewasa tidak berpipi dengan jarak kurang dari 50 m. c. Kopulasi Bentuk kopulasi dibedakan menjadi 3 kategori berdasarkan bentuk kopulasinya: 1c. Kopulasi dengan suka sama suka/aktif, ditandai dengan inisiatif kedua individu untuk mengadakan kopulasi dan lebih sering terjadi dalam hubungan berpasangan (consortship). 2c. Kopulasi pemaksaan/pemerkosaan, ditandai dengan adanya kekerasan yang dilakukan oleh individu jantan dalam melakukan kopulasi atau adanya perlawanan yang dilakukan individu betina terhadap usaha individu jantan untuk melakukan kopulasi. 3c. Kopulasi setengah kerjasama/pasif, ditandai oleh inisiatif individu jantan untuk melakukan kopulasi sedangkan individu betina tidak menghendaki terjadinya kopulasi namun tidak adanya perlawanan yang ditunjukan individu betina terhadap usaha individu jantan tersebut.
28
Analisa Data Pengujian hipotesis yang diajukan pada penelitian ini dilakukan secara deskripsi dan non-parametrik, karena data terdistribusi secara bebas dan data diambil dari objek yang bersifat observatif tanpa dilakukan perlakuan. Analisa data yang dijelaskan secara deskripsi untuk melihat perbedaan pola respon orangutan betina dengan status reproduksi betina non-reproduktif dan betina reproduktif terhadap suara long call, jarak perjumpaan antar individu betina berkerabat dan perilaku seksual kopulasi. Pengujian secara non-parametrik dengan uji Friedman adalah pengujian penggunaan jarak perjumpaan dengan individu jantan dewasa berpipi dan tidak berpipi, jarak hubungan kebersamaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi, inisiatif dalam perilaku seksual. Penghitungan analisa menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistic Programme for Scientific Social Science) versi 11.5. tingkat signifikan yang digunakan dalam analisa dilapangan adalah P<0.05α (Probabilitas (P) adalah nilai output Asymp. Sig 0.05; (α) adalah tingkat kesalahan penelitian) Hasil dan pembahasan Respon individu betina terhadap long call Orangutan jantan yang telah memasuki masa matang kelamin terlihat perkembangan kelamin sekunder salah satunya adalah perkembangan kantong suara, namun pada orangutan kalimantan khususnya di areal penelitian Tuanan perkembangan kantong suara hanya ditemukan pada individu jantan dewasa berpipi (flanged). Seruan panjang (long call) berfungsi sebagai memberitahukan keberadaan kepada individu lain yang ada disekitar, selain itu long call juga dimanfaatkan individu betina reproduktif untuk mengambil keputusan menentukan pasangannya dari jarak jauh (Setia et al. 2009). Pada saat pengamatan berlangsung tidak semua individu target mendengar long call, jarak masih dapat didengarnya long call ≤ 1 km dari individu target dengan respon yang berbeda-beda. Long call dapat didengar kapan saja diantaranya saat individu betina bersama dengan individu jantan lain ataupun saat individu betina dalam keadaan sendiri. 1. Respon individu betina terhadap long call di dalam hubungan berpasangan Daerah jelajah yang tumpang tindih memungkinkan terdengarnya long call dari jantan yang ada disekitarnya, pada jarak tertentu dengan respon yang berbeda-beda. Pada saat hubungan berpasangan berlangsung antara individu betina dengan jantan tidak menutup kemungkinan individu betina mendengar long call dari jantan lain. Menurut Galdikas (1985) lebih dari 90% kebersamaan antara individu jantan dan betina terdiri dari perilaku sosial reproduksi. Salah satu strategi yang dilakukan individu jantan dalam perilaku sosial reproduksi adalah mempertahankan kebersamaannya dengan individu betina dalam hubungan berpasangan. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan didapatkan perbedaan respon yang diberikan individu betina terhadap long call yang didengar pada saat individu betina bersama dengan individu jantan lain yaitu hampir semua individu baik yang berstatus reproduksi reproduktif nullipara (Milo dan Kondor) maupun
29
non-reproduktif (Kerry) memberikan respon mengabaikan long call yang didengar. Namun, hal ini tidak terjadi oleh individu mindy yang bertatus nonreproduktif selain memberikan respon abaikan Mindy juga memberikan respon positif terhadap long call yang didengar. Respon abaikan tertinggi terjadi pada individu Kondor (44,4%), Kerry (38,9%), Milo dan Mindy yang relatif sama yaitu (5,7%) namun Mindy juga memberikan respon positif (5,7%) (Gambar 9). Individu betina yang sedang membawa anak lebih memilih menjauhi long call atau mengabaikan long call. Hal tersebut dikarenakan pertimbangan faktor keamanan anak menjadi alasan utama induk betina memberikan respon terhadap long call yang didengar. Hal ini sesuai dengan respon yang diberikan oleh Mindy dan Kerry yang mengabaikan long call yang didengar dikarenakan jarak cukup jauh dengan long call terebut ≤ 800-1000 m, namun Mindy juga memberikan respon yang positif terhadap long call yang didengar disebabkan long call tersebut cukup dekat ≤ 500 m. Respon yang ditunjukan Mindy yaitu melihat kearah long call menunjukan rasa waspada tanpa bergerak mendekati long call. Betina nonreproduktif yang sedang membawa anak memiliki kesiapan seksual yang menurun, sehingga betina non-reproduktif (Mindy) walaupun mendengar long call dengan jarak yang cukup dekat tidak memberikan respon mendekati long call tersebut. Menurut Setia et al. (2009) di Sumatera individu betina memberikan respon positif terhadap long call yang didengar berjarak 550-750 m. Menurut Galdikas (1985) semakin dekat jarak suatu individu betina membawa anak dengan sumber long call, maka akan semakin besar individu tersebut memberikan respon negatif (menjauhi).
Gambar 9. Grafik persentase respon individu betina dengan status reproduksi yang berbeda terhadap long call di dalam kebersamaan dengan individu lain Keterangan: (n) Jumlah long call yang didengar Menurut Galdikas (1985), Setia et al. (2009) individu betina dewasa yang sedang tanggap reproduksi (reproduktif), lebih sering memberikan respon positif (mendekati) long call. Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan bahwa individu betina reproduktif (Jinak) yang sedang bersama dengan individu jantan di dalam hubungan berpasanga (consortship) memberikan respon abaikan terhadap long call yang didengar dan terus bersama jantan pasangannya sampai berharihari. Menurut Setia et al. (2009) individu jantan dewasa tidak berpipi lebih
30
memilih menghindari keberadaan individu jantan dewasa berpipi. Namun hal tersebut tidak terjadi pada individu jantan dewasa tidak berpipi yang sedang bersama Milo dan Kondor. Individu jantan dewasa tidak berpipi tidak terlihat menjauhi atau mendekati sumber long call disebabkan jarak yang cukup jauh dari sumber long call dan salah satu strategi dari individu jantan dewasa tidak berpipi yaitu mempertahankan kebersamaannya dengan individu betina reproduktif sampai mencapai sukses reproduksi. Menurut Galdikas (1985); Setia et al. (2009) perbedaan jarak antara individu target dengan sumber long call mempengaruhi respon yang diberikan individu betina terhadap long call yang didengar. 2. Respon individu betina terhadap long call di luar hubungan berpasangan Orangutan memiliki sistem sosial semi soliter, hubungan sosial terlihat pada masa pengasuhan anak dan reproduksi. Menurut Rijksen (1978) yang menyatakan bahwa jantan-jantan dewasa berusaha untuk menjadi penghuni tetap dalam suatu kawasan tertentu dengan menggabungkan daerah jelajah dari dua atau lebih betina siap kawin, sehingga peluang terjadi perjumpaan langsung dengan individu lain ataupun mendengar long call dari individu jantan dewasa berpipi di lokasi yang sama semakin besar. Salah satu tujuan individu jantan dewasa berpipi mengeluarkan long call adalah untuk menarik perhatian individu betina disekitarnya yang tanggap reproduksi. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa individu betina dengan status reproduksi non-reproduktif (Mindy dan Juni) memberikan respon abaikan long call yang didengar, dengan persentase masing-masing (15,385%). Individu betina yang berstatus non-reproduktif atau sedang mengasuh anak lebih memilih bertoleransi terhadap anak sehingga menghindari perjumpaan dengan individu jantan, termasuk mengabaikan long call yang didengarnya karena pada masa tersebut ketanggapan dan kesediaan reproduksi individu betina menurun. Respon abaikan terhadap long call juga terjadi pada individu betina dengan status reproduksi reproduktif nullipara, persentase tertinggi terjadi pada individu Jinak 30,769% kemudian Milo dan Kondor masing-masing 7,692%. Individu Jinak masuk dalam kategori sebagai betina dewasa yang sudah memasuki masa reproduksi repoduktif dimana anak sudah remaja dan mulai mandiri meskipun anak masih terlihat membayangi induk pada jarak tertentu. Memberikan respon abaikan tertinggi terhadap long call merupakan usaha Jinak mempertimbangkan faktor keselamatan anak yang baru remaja. Milo dan Kondor masuk dalam kategori betina nullipara yang sudah memasuki masa matang kelamin. Hasil pengamatan menunjukan bahwa Milo dan Kondor selain memberikan respon abaikan juga memberikan respon positif terhadap long call yang didengar (Gambar 10). Respon positif tertinggi terjadi pada Kondor (15,385%) dan Milo (7,692%), individu yang telah memasuki matang kelamin berusaha mendekati diri dengan lawan jenis salah satunya dengan cara mendekati sumber long call, mendorong dirinya kearah jantan, ataupun berbaring. Perilaku ini yang dilakukan Milo dan Kondor yait salah satunya memberikan respon positif terhadap long call yang didengar dengan cara mendekat ke arah sumber long call, tetapi respon tersebut tidak semua diakhiri dengan terjadinya perjumpaan dengan individu jantan tersebut. Individu betina yang sedang reproduktif memiliki ketanggapan dan kesedian reproduksi yang 31
tinggi (Galdikas 1985; van Schaik 2006; Atmoko et al.2009b). Long call yang terdengar dapat dimanfaatkan individu betina untuk menentukan pilihan pasangan dari jarak jauh.
Gambar 10. Grafik persentase respon individu betina dengan status reproduksi yang berbeda terhadap long call di luar hubungan kebersamaan individu jantan Keterangan: (n) Jumlah long call yang didengar Interval Jarak Perjumpaan antar Individu Betina Berkerabat Masa pengasuhan anak orangutan berlangsung hingga anak berumur kurang lebih 6 tahun, kemudian anak memasuki masa remaja dan mulai hidup mandiri pada umur 7-15 tahun. Orangutan remaja masih terlihat membayangi induk dengan jarak tertentu dan mulai melakukan interaksi dengan individu lain. Anak orangutan yang berjenis kelamin jantan melakukan penjelajahan jauh dari tempat kelahirannya, sampai mendapatkan tempat yang banyak terdapat sumber pakan dan individu betina reproduktif. Berbeda dengan individu jantan, individu betina berusaha keras menetap ditempat kelahirannya (phylopatric) atau tidak jauh dari tempat dilahirkan. Pada saat pengamatan dilapangan perjumpaan antara individu betina berkerabat dekat sering terjadi. Data tersebut didukung dengan penelitian sebelumnya sehingga mendapatkan silsilah garis keturunan (Gambar 11). Individu betina yang berkerabat dekat juga memiliki perbedaan status reproduksi sehingga mempengaruhi bentuk interaksi. Selama interaksi sosial berlangsung terdapat perbedaan interval jarak perjumpaan antar individu betina berstatus reproduksi berbeda sehingga dapat mengetahui kedekatan antar individu betina. Menurut van Schaik dan van Hooff (1996) interaksi sosial antar individu betina yang berkerabat dekat terjalin hubungan kerjasama, jarang terjadi perilaku agresi ataupun agonistik. Aktifitas yang sering teramati antar individu betina diantaranya adalah makan disatu pohon, bermain bersama antara anak dan berjalan bersama-sama. Namun dari data yang teramati berbanding terbalik, dengan pendapat tersebut. Interaksi sosial antara individu betina yang berkerabat dekat dengan status reproduksi yang sama yaitu antar betina non-reproduksi
32
(Mindy dengan Kerry) terlihat adanya perilaku agresi yang ditunjukan kakak terhadap adiknya. Persentase penggunaan jarak tertinggi pada jarak 10-50 m (84%). Namun sebaliknya, anak terlihat bermain bersama disatu pohon dibawah pengawasan induk masing-masing. Kerry beberapa kali menunjukan rasa takut dengan cara menarik anaknya (Kino) yang sedang bermain dengan anak mindy (Mawas). Perbedaan status sosial antara individu betina disuatu lokasi ditentukan dari perbedaan tingkatan umur dan banyaknya perkawinan dengan individu jantan dewasa berpipi (Galdikas 1985; van Schaik & van Hooff 1996). Jinak
Kerry
Juni
Jerry
Mindy
Jip Kondor
Kino
Milo
Mawas
Gambar 11. Silsilah keturunan orangutan betina berkerabat di areal penelitian orangutan Tuanan Sementara perjumpaan yang terjadi antara nenek (betina reproduktif Jinak) dengan kedua cucunya (betina reroduktif nullipara Milo dan Kondor) cenderung terjadi pada jarak 2-10 m (54,878%; Gambar 12). Hal ini terjadi karena keberadaan Jerry (putra Jinak seumur dengan Milo) yang masih bersama Jinak. Selama pengamatan Milo dan Kondor lebih memilih bermain dengan Jerry dibandingkan interaksi dengan Jinak, sehingga diketahui bahwa status reproduksi dan status sosial individu mempengaruhi penggunaan jarak perjumpaan. Terbukti pada saat betina reproduktif nullipara melakukan perjumpaan dengan betina nonreproduktif terlihat bahwa persentase penggunaan jarak tertinggi pada jarak 10-50 m (75%). Perjumpaan antar individu betina reproduktif dengan non-reproduktif cenderung pada jarak 2-10 m (41,176%). Betina reproduktif (Jinak) merupakan ibu dari semua betina non-reproduktif yang ada di dalam pengamatan sehingga terlihat adanya kerjasama diantara mereka. Interaksi sosial yang teramati selama pengamatan berupa penjelajahan bersama, makan di satu pohon pakan dan terkadang individu betina reproduktif bermain bersama. Galdikas (1985) menyatakan dapat terjalinnya hubungan kerjasama antar betina dewasa yang mempunyai anak dengan betina dewasa lain.
33
Gambar 12. Grafik persentase interval jarak perjumpaan antar individu betina berkerabat berdasarkan perbedaan status reproduksi. Keterangan: (n) Hari
Interval Jarak Perjumpaan Individu Betina dengan Individu Jantan Dewasa Berpipi dan Tidak Berpipi Individu jantan berdasarkan sifat jelajahnya dibedakan atas tiga kategori yaitu penetap, penjelajah dan pengembara sedangkan individu betina memilih bertahan ditempat kelahirannya (Meijaard et al. 2001). Daerah jelajah yang saling tumpang tindih antara individu betina dan individu jantan menyebabkan kemungkinan terjadi perjumpaan. Diketahui bahwa daerah jelajah harian individu betina dewasa yang tidak terlalu luas sekitar 600-700 m, lebih pendek dibandingkan individu jantan sekitar 700-800 m (Putra 2012). Berdasarkan analisa frekuensi didapat bahwa terdapatnya perbedaan penggunaan jarak perjumpaan antara individu betina berstatus reproduksi nonreproduktif dan reproduktif dengan individu jantan dewasa tidak berpipi ataupun jantan dewasa berpipi (Gambar 13). Berdasarkan uji Friedman terdapat perbedaan nyata antara penggunaan jarak perjumpaan antara individu betina dengan individu jantan tidak berpipi (signifikasi 0,005). Terdapat perbedaan pola penggunaan jarak perjumpaan individu betina non-reproduktif (Mindy, Kerry dan Juni) dan individu betina reproduktif nullipara (Kondor) pada saat melakukan perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Perbedaan pola penggunaan jarak perjumpaan antara individu betina nonreproduktif dan betina reproduktif dengan individu jantan dewasa tidak berpipi disebabkan perbedaan status reproduksi betina. Orangutan betina reproduktif memberikan respon positif terhadap kehadiran individu jantan (Atmoko et al. 2009). Hal yang sama juga terjadi pada betina reproduktif nullipara yang merupakan salah satu strategi perilaku seksual individu betina. Individu betina 34
nullipara mulai menunjukan ketertarikannya dengan individu lain khusunya lawan jenis sehingga banyak melakukan perjumpaan dengan banyak jantan. Menurut van Schaik (2006) individu betina non-reproduktif lebih memilih menjaga jarak dengan kehadiran individu jantan dewasa tidak berpipi. Menurut Atmoko et al. (2009) individu jantan dewasa tidak berpipi selalu mencari individu betina reproduktif yang siap kawin dengan cara memperluas daerah jelajah. Individu jantan dewasa tidak berpipi selalu menjaga kedekatannya dengan individu betina reproduktif pada jarak yang dekat sehingga terjadi perilaku sosial seksual. Individu jantan dewasa tidak berpipi selalu menjaga kedekatannya dengan individu betina reproduktif pada jarak yang dekat sehingga terjadi perilaku sosial reproduksi.
Gambar 13. Grafik persentase interval jarak perjumpaan individu betina reproduktif dan non-reproduktif dengan individu jantan dewasa tidak berpipi dan berpipi. Keterangan: (n) Hari Selama pengamatan selain perjumpaan antara individu betina dengan individu jantan dewasa tidak berpipi, individu betina non-reproduktif maupun reproduktif terlihat melakukan perjumpaan dengan jantan dewasa berpipi. Berdasarkan perbedaan status reproduksinya individu betina memiliki perbedaan penggunaan jarak saat perjumpaan terjadi (Gambar 13). Berdasarkan uji Friedman tidak berbeda nyata antara penggunaan jarak perjumpaan antara individu betina reproduktif dan betina non-reproduktif dengan individu jantan dewasa tidak berpipi (signifikasi 0.133). Pengunaan jarak yang cukup jauh yang dilakukan individu betina non-reproduksi dengan jantan dewasa berpipi yaitu diantara 10-50 m (48,951%) disebabkan karena menurunnya ketanggapan dan kesediaan reproduksi. Hal yang sama juga terjadi antara individu betina reproduktif dengan jantan dewasa berpipi, jarak 10-50 m (38,357%), dikarenakan 2 dari 3 individu betina reproduktif merupakan individu betina belum pernah punya anak (nullipara), jarak tersebut merupakan jarak yang jauh untuk dimulainya interaksi sosial reproduksi. Merurut Delgado dan van Schaik (2000); Atmoko (2009a) yang menyatakan bahwa orangutan jantan dewasa lebih memilih berpasangan dengan
35
individu betina dewasa yang pernah mempunyai anak (reproduktif), tetapi tidak dengan individu betina dewasa yang sedang mengasuh anak (non-reproduktif). Menurut Atmoko (2000); Atmoko (2009a) kehadiran jantan berpipi di suatu lokasi penelitian berkorelasi positif dengan kehadiran betina reproduktif dan tidak berpengaruh pada jantan tidak berpipi. Interval Jarak Antar Individu Betina dengan Individu Jantan Dewasa Tidak Berpipi Pada Saat Berpasanga (Consort) Hubungan berpasangan atau consortship adalah hubungan kerjasama antara individu jantan dan betina, hubungan kerjasama tersebut dalam bentuk berjalan bersama atau beriringan. Interaksi seksual pada orangutan sering sekali didahului dengan melakukan hubungan berpasangan antara individu betina dan jantan yang berlangsung cukup lama berhari-hari sampai berminggu-minggu. Pada saat hubungan berpasangan berlangsung terjadi peningkatan perilaku sosial reproduksi. Hubungan berpasangan sangat ditentukan dari status reproduksi individu betina reproduktif atau non-reproduktif. Berdasarkan uji Friedman terdapatnya perbedaan nyata antara penggunaan jarak hubungan berpasangan antara individu betina non-reproduktif dan reproduktif dengan individu jantan tidak berpipi (signifikasi 0,000). Terdapat perbedaan pola penggunaan jarak hubungan berpasangan individu betina nonreproduktif (Mindy, dan Kerry) dan individu betina reproduktif (Kondor) pada saat melakukan hubungan berpasangan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Namun selama penelitian tidak ditemukannya hubungan berpasangan antara individu jantan dewasa berpipi dengan individu betina. Menurut Mardianah (2009) individu jantan dewasa berpipi akan terus menjaga hubungan berpasangan dengan individu betina dewasa sampai berminggu-minggu bahkan bulan. Jantan dewasa berpipi lebih memilih berpasangan dengan betina dewasa yang pernah mempunyai anak (reproduktif) untuk mencapai sukses reproduksi. Hubungan berpasangan pada orangutan tidak hanya dilakukan dengan satu individu yang sama, individu betina dapat berpasangan dengan banyak jantan dan sebaliknya. Berdasarkan hasil pengamatan Kondor melakukan hubungan berpasangan dengan beberapa jantan kurang lebih dengan 6 individu jantan dewasa tidak berpipi yang berbeda, hal yang sama juga dilakukan oleh individu Mindy dan Kerry. Berpasangan dengan banyak jantan merupakan salah satu strategi individu betina untuk mendapatkan keuntungan dari individu jantan seperti mendapat perlindungan dari individu jantan (Rodman & Mitani 1987; Atmoko 2009a). Pada saat hubungan berpasangan berlangsung antara betina reproduktif (Kondor) dengan individu jantan dewasa tidak berpipi terjadi peningkatan perilaku sosial reproduksi beberapakali terlihat interaksi seksual kopulasi ataupun invenstigasi kelamin, sebaliknya individu betina non-reproduktif (Mindy dan Kerry) lebih memilih menjaga jarak dengan individu jantan didalam hubungan berpasangan. Individu betina yang mempunyai anak memilih menghindari perjumpaan dan kebersamaan dengan individu jantan, sehingga dalam pengamatan terlihat individu betina yang membawa anak menjaga jarak terhadap kehadiran individu jantan. Menurut Schurmann (1982); Galdikas (1985); Atmoko (2009a) hubungan berpasangan sangat penting untuk menentukan keberhasilan
36
kopulasi. Berdasarkan hasil pengamatan pada saat hubungan berpasangan berlangsung antara betina reproduktif nullipara (Kondor) dengan individu jantan dewasa tidak berpipi lebih memilih dijarak 2-10m (66,457%), pada jarak tersebut terjadi peningkatan perilaku sosial reproduksi beberapakali terlihat interaksi seksual kopulasi ataupun invenstigasi kelamin. Hal ini disebabkan peningkatan hormon individu betina reproduktif nullipara yang menunjukan ketertarikan pada individu jantan. Sedangkan individu betina non-reproduktif (Mindy dan Kerry) lebih memilih menjaga jarak 10-50m (58,155%) dengan individu jantan didalam hubungan berpasangan. Individu betina yang mempunyai anak memilih menghindari perjumpaan dan kebersamaan dengan individu jantan, sehingga dalam pengamatan terlihat individu betina yang membawa anak menjaga jarak terhadap kehadiran individu jantan. Sesuai dengan pernyataan Schurmann (1982); Galdikas (1985); Atmoko et al. (2009) hubungan berpasangan sangat penting untuk menentukan keberhasilan kopulasi. Individu betina merupakan pengambil keputusan didalam interaksi seksual termasuk hubungan berpasangan, individu betina yang sedang mempunyai anak bertoleransi kepada anak selama proses pengasuhan berlangsung. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan penggunaan jarak 10-50 m yang dilakukan individu betina yang sedang mengasuh anak (non-reproduktif) terhadap kehadiran individu jantan.
Gambar 14. Grafik persentase interval jarakantar individu betina reproduktif dan non-reproduktif dengan individu jantan dewasa tidak berpipi pada saat hubungan berpasangan (Consort) Keterangan: (n) Hari Inisiatif Individu Betina dalam Perilaku Seksual Inisiatif didalam hubungan seksual adalah keinginan suatu individu untuk terjadinya perilaku seksual. Umumnya inisiatif untuk terjadinya perilaku seksual dimulai dari keinginan individu jantan. Menurut data frekuensi yang didapatkan bahwa inisiatif untuk memulai perilaku seksual lebih banyak dilakukan individu
37
jantan dibandingkan dengan individu betina reproduktif ataupun betina nonreproduktif (Tabel 2). Berdasarkan pengamatan di lapangan semua inisiatif perilaku seksual yang terjadi pada individu betina reproduktif (kondor) diawali dari inisiatif individu jantan dewasa tidak berpipi. Inisiatif jantan dewasa tidak berpipi lebih tinggi dibandingkan dengan individu jantan dewasa berpipi. Jantan-jantan dewasa tidak berpipi mempunyai kesempatan kecil untuk mendapatkan akses betina reproduktif maupun betina non-reproduktif untuk melakukan hubungan reproduksi, sehingga jantan dewasa tidak berpipi memiliki inisiatif yang lebih besar dibandingkan jantan dewasa berpipi (Atmoko 2000). Menurut Fox (2002) 99% kopulasi yang terjadi pada orangutan sumatera merupakan inisiatif dari individu jantan dewasa tidak berpipi. Tabel. 2 Inisiatif individu betina dan jantan dalam perilaku seksual Status individu betina Betina reproduktif Betina non-reproduktif Total
inisiatif jantan dewasa tidak berpipi 22 4 26
inisiatif betina terhadap jantan dewasa berpipi 2 0 2
Strategi yang berbeda dilakukan oleh individu betina dewasa yang berstatus reproduksi reproduktif (jinak), individu betina tersebut lebih cenderung berinisiatif memulai perilaku seksual atau mempertahankan kebersamaannya dengan individu jantan dewasa berpipi dibandingkan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi dengan tujuan untuk mendapatkan akses makanan dan perlindungan dari individu jantan. Sesuai dengan peryataan Reijksen (1987); Atmoko (2000); Atmoko et al. (2009a) menyatakan bahwa individu betina dewasa reproduktif lebih berinisiatif mendekati individu jantan dewasa berpipi atau jantan dominan. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan akses perlindungan dan makanan dari jantan terhadap keturunannya (Schurmann & van Hoof 1986). Menurut Fox (2002) inisiatif indvidu betina dilakukan sebagai respon atas gangguan seksual yang dilakukan oleh jantan dewasa tidak berpipi. Pada individu betina dewasa non-reproduktif memiliki inisiatif yang rendah terhadap individu jantan untuk melakukan perilaku seksual. Beberapakali teramati adanya inisiatif individu jantan dewasa tidak berpipi untuk mendekati individu betina dewasa non-reproduktif, namun tidak berakhir dengan terjadinya perilaku seksual. Individu betina non-reproduktif memilih menghindari terjadinya perilaku reproduksi dengan individu jantan. Perilaku Seksual Kopulasi Kopulasi terjadi setelah kedua individu melakukan perjumpaan (nonconsort) ataupun di dalam hubungan berpasangan (consort). Kopulasi yang teramati selama pengamatan dibagi menjadi 3 kategori; suka sama suka (aktif), pemaksaan (pemerkosaan), dan setengah kerjasama (pasif). Kopulasi terjadi antara betina dewasa dan remaja dengan jantan dewasa tidak berpipi ataupun betina dewasa dengan jantan dewasa berpipi (Tabel 3).
38
Hubungan berpasangan (consortship) umumnya dilakukan oleh individu orangutan diawal perilaku seksual. Hubungan berpasangan terjadi segera setelah perjumpaan individu jantan dan betina. Selama masa berpasangan terjadi peningkatan perilaku seksual namun tidak selalu diakhiri dengan kopulasi, kopulasi dapat juga terjadi tanpa didahului dengan hubungan berpasangan. Strategi individu jantan dewasa tidak berpipi dalam melakukan hubungan seksual kopulasi adalah menjaga hubungan berpasangan dengan banyak individu betina reproduktif. Sesuai dengan hasil pengamatan bahwa individu jantan dewasa tidak berpipi sangat menjaga hubungan berpasangan dengan individu betina reproduktif (Kondor) pada waktu yang cukup lama. Consortship umumnya dilakukan oleh individu betina dewasa dengan individu jantan dewasa berpipi, hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan akses perlindungan dari individu jantan terhadap keturunannya (Schurmann & van Hoof 1986). Namun selama pengamatan berlangsung consortship tidak hanya terjadi pada individu betina dewasa dengan jantan dewasa berpipi, consortship juga sering dilakukan oleh individu betina remaja dengan jantan dewasa tidak berpipi dapat berlangsung berhari-hari. Berdasarkan hasil pengamatan kopulasi antara jantan dewasa tidak berpipi dengan betina reproduktif nullipara hanya terlihat pada individu Kondor, hal ini disebabkan Kondor memiliki umur yang lebih tua dibandingkan Milo (nullipara). Pada Kondor copulation intromistion sebanyak 25 kali, sedangkan Milo hanya melakukan copulation attempt sebanyak 2 kali. Percobaan kopulasi (copulation attempt) lebih banyak dilakukan oleh jantan dewasa tidak berpipi ataupun betina nullipara dibandingkan dengan jantan dewasa berpipi atau betina dewasa reproduktif (Galdikas 1985; van Schaik 2006). Copulation attempt atau percobaan kopulasi lebih sering dilakukan individu jantan remaja ataupun betina remaja, bersifat mencoba-coba melakukan kopulasi dan perilaku seksual lain. Percobaan kopulasi terjadi apabila individu jantan melakukan perilaku pendahuluan seperti sex investigate, merangsang individu betina dan menempatkannya pada posisi siap kawin, namun usaha individu jantan dihalang-halangi individu betina sebelum jantan melakukkan intromisi. Jantan remaja atau jantan tidak berpipi melakukan copulation attempt dengan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu jantan dewasa berpipi dan betina remaja lebih sering dibandingkan betina dewasa (Galdikas 1985; van Schaik 2006). Selama pengamatan dilapangan copulation attempt lebih sering dilakukan individu remaja (Milo dan Kondor) dengan jantan tidak berpipi dan tidak pernah teramati pada individu betina dewasa. Menurut Fox (2002) percobaan kopulasi antara individu individu remaja bersifat aktif kedua-duanya. Pada orangutan sumatera individu jantan dewasa tidak berpipi melakukan percobaan kopulasi dengan frekuensi yang lebih tinggi ketika individu betina sedang melakukan hubungan berpasangan dengan jantan dewasa berpipi dibandingkan pada saat individu betina tidak dalam masa berpasangan dengan tingkat keberhasilan berbanding terbalik. Copulation attempt juga sering dilakukan oleh anak jantan terhadap induk betina dengan tujuan pembelajaran perilaku seksual. Hal ini terjadi pada individu induk betina jinak dan jerry (anak) sebanyak dua kali. Teramati jinak dengan sabar memberikan pembelajaran seksual kepada jerry, jinak memposisiskan sebagai individu betina yang siap dikawinkan. Jerry mencoba melakukkan
39
kopulasi diawali dengan sex investigate dan diakhiri dengan intromisi beberapa kali. Menurut Maple (1980); van Schaik (2006) antar orangutan remaja melakukan pembelajaran kopulasi dengan menggunakan alat ataupun dengan induk betina. Tujuan akhir perilaku sosial reproduksi adalah kopulasi, kopulasi dikatakan sempurna apabila terjadi ejakulasi dan intromisi. Selama pengamatan berlangsung semua kopulasi yang terjadi dilakukan dengan adanya intromisi, namun ejakulasi tidak selalu teramati karena terhalang dahan pohon. Bentuk kopulasi Kondor dengan jantan dewasa tidak berpipi dengan persentase tertinggi kopuasi pasif 75%, 12,5% pemaksaan, dan 12,5% aktif, kopulasi tersebut hampir semua didalam consort tercatat 21 kejadian (Tabel 2). Pada saat consortship terjadi peningkatan perilaku seksual kopulasi. Berdasarkan hasil pengamatan kopulasi pemaksaan hanya dilakukan oleh individu jantan dewasa tidak berpipi terhadap individu betina nullipara (Kondor). Hal ini merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh individu jantan dewasa tidak berpipi untuk keberhasilan reproduksi, walaupun masih harus dibuktikan dengan tes DNA (apakah anak yang dilahirkan adalah hasil kopulasi pemaksaan. Pada penelitian ini tidak ditemukan kopulasi pemaksaan antara individu jantan dewasa berpipi dengan individu betina reproduktif disebabkan ketanggapan seksual individu betina meningkat dan status sosial individu jantan sehingga keduanya mendapatkan keuntungan. Perilaku kopulasi sering diawali dengan tindakan pendahuluan yaitu merangsang pasangannya. Sex investigate merupakan salah satu perilaku seksual yang bertujuan untuk merangsang pasangan untuk mengawali kopulasi. Sex investigate (genital inspection) yaitu perilaku menyentuh vulva atau genital dengan jari atau bibir yang dilakukan individu jantan dewasa berpipi atau jantan dewasa tidak berpipi. Menurut Maple (1980) sex investigate dilakukan untuk menyingkirikan rambut disekitar organ genital individu betina yang dilakukan individu jantan sebelum kopulasi. Sex investigate dilakukan segera setelah bertemu dengan individu betina dapat bertujuan untuk memeriksa masa reproduktif individu betina sehingga memungkinkan untuk terjadinya kopulasi. Menurut Maple (1980) aktifitas sex investigate tidak selalu diakhiri dengan aktifitas kopulasi, sesuai dengan hasil pengamatan dilapangan yang terjadi pada individu betina reproduktif (Kondor) dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Menurut Maple (1980); van Schaik (2006) sex investigate juga dilakukkan oleh orangutan yang berada di dalam reintroduksi ataupun dikebun binatang. Pengambil keputusan untuk terjadinyanya kopulasi dilakukan individu betina (decision maker). Beberapa jenis kopulasi yang teramati adalah kopulasi pemaksaan atau pemerkosaan (forced copulation), kopulasi aktif dan kopulasi pasif. Kopulasi pemaksaan terjadi apabila individu jantan berusaha melakukan kopulasi dengan individu betina, tetapi terlihat usaha individu betina menolak usaha jantan untuk ditempatkan pada posisi tertentu yang memungkinkan terjadinya intromisi. Beberapa usaha penolakan yang dilakukan individu betina diantaranya adalah memukul, mendorong, mengigit, berteriak dan membrontak. Kopulasi pemaksaan lebih banyak dilakukan oleh individu jantan dewasa tidak berpipi terhadap individu betina reproduktif. Hal ini merupakan strategi yang efektif dilakukan oleh individu jantan dewasa tidak berpipi untuk keberhasilan reproduksi. Kopulasi pemaksaan tidak ditemukan pada individu
40
jantan dewasa berpipi, namun menurut Delgado & van Schaik (2000) menemukan bahwa jantan dewasa berpipi melakukan kopulasi pemaksaan dengan frekuensi lebih rendah dibandingkan dengan jantan dewasa tidak berpipi. Tabel 3. Durasi waktu (menit) interaksi seksual antara betina dengan jantan tidak berpipi dan jantan berpipi Jantan dewasa tidak berpipi
Jantan dewasa berpipi
Consort Non-consort SI CA CI FC Pasif Aktif Consort Non-consort SI CA CI FC Pasif Aktif
Kerry 0 1 1 0 5 (1) 0 1 0
Individu betina Juni Jinak 0 1 1 0 3 (1) 0 0 2 0 6 (1) 0 0 0 0 0 1 0 0 1 2 1 0 0 0 4 (1) 24 (2) 0 0 1 14 (1) 0 10 (1)
Milo 0 2 2 8 (2) 0 0 0 0
Kondor 21 7 23 4 219 (25) 2 21 2
Keterangan: Semua data dalam menit; angka dalam kurung“()”/n=Jumlah kejadian S.I= Sex Investigate, CA= Copulation Attemp, C.I= Copulation Intromistion, F.C= Forced Copulation
Kopulasi aktif merupakan kopulasi yang dimulai dari inisiatif individu betina untuk memulai kopulasi serta adanya kerjasama antara individu jantan dan betina. Berdasarkan pengamatan kopulasi aktif hanya terjadi satu kali pada individu jinak yang berstatus reproduksi reproduktif dengan jantan dewasa berpipi. Kopulasi pasif kebalikan dari kopulasi aktif dimana kopulasi dimulai dari inisiatif individu jantan yang menginginkan terjadinya kopulasi. Kopulasi pasif banyak terjadi pada individu betina remaja dengan individu jantan dewasa tidak berpipi ataupun jantan remaja. Strategi seksual individu jantan adalah mendapatkan akses individu betina reproduktif untuk SIMPULAN dan SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian maka didapatkan kesimpulan bahwa adanya perbedaa respon individu betina terhadap seruan panjang (long call) yang didengar di dalam di luar hubungan berpasangan. Status reproduksi dan status sosial mempengaruhi interval perjumpaan antar individu betina berkerabat. Selain itu dalam penelitian ini diketahui bahwa betina reproduktif nullipara berinteraksi dengan jantan dewasa tidak berpipi pada interval jarak 2-10m sedangkan betina non reproduktif jarak 10-50m. Perjumpaan antara jantan dewasa berpipi dengan betina non-reproduktif dan reproduktif berada di interval jarak 10-50m. Pada saat hubungan berpasangan betina reproduktif menjaga jarak di interval 10-50m, sedangkan betina reproduktif di interval 2-10m. Insiatif dalam memulai interaksi 41
perilaku sosial dilakukan oleh individu jantan. Perilaku seksual kopulasi banyak dilakukan oleh betina reprodukti dan reproduktif nullipara. Saran Hasil penelitian ini dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai interaksi dan respon orangutan dengan individu lain pada keadaan lingkungan yang berbeda seperti pada saat banyak buah dan sedikit buah. DAFTAR PUSTAKA Atmoko SSU, Mitra ST, Goossens B, James SS, Knott CD, Bernard M, van Schaik CP, van Noordwijk MA. 2009 a. Orangutan Matting Behavior and Strategi, eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Atmoko SSU, Singleton I, van Noordwijk MA, van Schaik, Mitra ST. 2009 b. Male-male Relationships in Orangutan. eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Atmoko SSU. 2000. Bimaturism in Orangutan Males: Reproductive and Ecological Strategies. (Thesis). Faculty Biology Utrecht University. The Nederlands. Delgado RAJR van Schaik CP. 2000. The Behavioral Ecology and Conservation The Orangutan (Pongo pymaeus): A Tale of Two Island. Evolutionary Antrophology. 20: 201-218. Fox EA. 2002. Female Tactics to Reduce Sexsual Harassment in The Sumatera Orangutan (Pongo pymaeus abelii). Behavior Ecology Sociology Biology. Springer. 52: 93-101. Galdikas BMF. 1984. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Galdikas BMF. 1985. Adult Male Sociality and Reproductive Tactic Among Orangutan at Tanjung Puting. American Journal of Primatology. 45; 9-24. Maple TL. 1980. Orangutan Behavior. Primate Behavior and Development Series van Nostrand Reinhold Company. Meijaard E, Rijksen, HR, Kartikasari SN. 2001. Di Ambang Kepunahan, Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta. Rijksen HD. 1978. A Field Study on Sumatra Orangutans (Pongo pygmaeus abelii, Lesson 1827) Ecology Behaivior and Conservation, (Disseration) Argricultur University Wageningen.
42
Rodman CG, Mitani JC. 1987. Orangutans Sexual Dimorpisme in A Solitary Spesies in Primate Societies. The University of Chicago Press. US. Mitra ST, Delgado R, Atmoko SSU, Singleton I, van Schaik CP. 2009. Social Organization and Male-Female Relationships. eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Schurmann CL, Van Hooff JARAM. 1986. Reproduktive Strategies of the Orangutan. New data and a reconsideration of existing sosiosexsual model. International Journal of Primatology. 7: 265-287. Schurmann CL. 1982. Courtship and Mating Behavior of Wild Orangutan in Sumatera dalam Primate Behavior and Sociobiology, A. B. Chiarelli dan R. S. Corruccini, Springer Verlag, Berlin Heidelberg. van Schaik CP, van Hooff JARAM. 1996. Toward an Understanding of The Orangutan’s Social System in McGrew, WC, Marchout, LF, and Nishida T, eds. Grear Ape Societies. University Press, Canbreidge, pp 3-15. van Schaik CP. 2006. Diantara Orangutan. Kera Merah Dan Kebangkitannya Kebudayaan Manusia. Yayasan Penyelamatan Orangutan Bormeo (BOS), Jakarta.
43
PROFIL HORMON GLUKOKORTIKOID PADA ORANGUTAN (Pongo pygmaeus wurmbii) BETINA YANG BERINTERAKSI DENGAN INDIVIDU LAIN MENGGUNAKAN METODE NONINVANSIF Abstrak Perubahan kondisi lingkungan yang melebihi batas toleransi menyebabkan stres pada orangutan. Hormon glukokortikoid merupakan salah satu indikator stres. Penelitian ini dilakukan pada 6 individu betina dengan status reproduksi (reproduktif, nullipara dan non-reproduktif) selama 10 bulan dengan metode noninvansif. Tujuan dari penelitian ini melihat korelasi antara interaksi dengan individu lain dengan kadar hormon glukokortikoid. Adanya fluktuasi hormon glukokortikoid pada orangutan betina setelah terjadi perjumpaan dengan individu lain. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa perbedaan status reproduksi individu betina mempengaruhi kadar hormon 11β-hydroxyetiocholanolone, yang terdeteksi setelah 48 jam di dalam feses orangutan. Pada saat pengamatan individu reproduktif (Jinak) melakukan perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi, diketahui kadar hormon glukokortikoid Jinak pada saat tidak ada interaksi dengan jantan dewasa tidak berpipi 436,465 ng/g (n=2) dan setelah terjadi inetraksi dengan tidak berpipi kadar hormon glukokortikoid mengalami peningkatan menjadi 839,39 ng/g (n=2). Betina nullipara (Milo dan Kondor) menunjukkan perbedaan profil metabolit glukokortikoid setelah interaksi dengan jantan tidak berpipi. Milo tidak mengalami kenaikan kadar metabolit hormon stres setelah interaksi dengan individu jantan tidak berpipi. Kadar metabolit hormon glukokortikoid sebelum interaksi 451.58 ng/g (n=6) dan sesudah interaksi menjadi 408.83 ng/g (n=3). Hal yang berbeda pada individu Kondor terjadi peningkatan kadar metabolit hormon glukokortikoid setelah interaksi, kadar hormon sebelum interaksi 440.57 ng/g (n=9) dan setelah interaksi meningkat menjadi 454.54 ng/g (n=33). Betina non-reproduktif yang melakukan interaksi dengan individu lain adalah Mindy, Kerry dan Juni. Kerry individu betina punya anak dengan umur anak 3 tahun memiliki kadar metabolit hormon glukokortikoid sebelum interaksi 291.87 ng/g (n=3) dan setelah interaksi meningkat menjadi 634.75 ng/g (n=5). Perjumpaan antara Juni dengan jantan dewasa tidak berpipi menyebabkan perubahan hormon glukokortikoid sebelum interaksi 267.70 ng/g (n=12) dan setelah interaksi mengalami peningkatan menjadi 347.50 ng/g (n=2). Mindy memiliki pola yang berbeda yaitu setelah terjadi party jantan dewasa mengalami penurunan kadar metabolit hormon glukokortikoid, sebelum interaksi 470.53 ng/g (n=5) dan setelah interaksi mengalami penurunan 380.89 ng/g (n=3). Kata kunci: Orangutan, hormon glukokortikoid, 11β-hydroxyetiocholanolone Pendahuluan Orangutan termasuk jenis primata yang menghabiskan seluruh waktunya di atas pohon dan sangat terngantung dengan hutan. Perusakan habitat secara besar-besaran ataupun berkepanjangan dapat menyebabkan stres pada orangutan. 44
Salah satu cara agar orangutan tetap bertahan adalah beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Perusakan habitat juga mengubah perilaku orangutan yang bersifat semi soliter, karena berkurangnya areal jelajah membuat peluang perjumpaan dengan individu lain tidak dapat dihindari serta terjadi perebutan daerah kekuasaan. Keterbatasan pakan juga membuka peluang perjumpa antar individu semakin besar, selain itu perbedaan status soaial dan reproduksi antara individu membuat ancaman bagi individu lain (van Schaik 2006; Singleton et al. 2009). Perubahan kondisi lingkungan yang akut ataupun kronis dapat menggangu kehidupan. Pada saat tesebut mahluk hidup akan berusaha menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan. Stres dapat timbul apabila penyesuaian diri melebihi batas. Hormon glukokortikoid merupakan salah satu indikator stres yang dapat diukur dengan metode invansif atau non-invansif. Hormon glukokortikoid yang dihasilkan oleh korteks adrenal berpola diurnal yang berfluktuasi secara signifikan, merupakan salah satu indikasi optimal aktivitas korteks adrenal. Fluktuasi hormon stres ditimbulkan karena adanya mekanisme fisiologi yang sangat penting, seperti kerja hormon di dalam tubuh pada saat stres: diawali dari pengiriman pesan menuju hipotalamus akibat rangsanggan dari kondisi lingkungan atau perjumpaan dengan individu lain. Selanjutnya, hipotalamus akan mengekresikan Corticotropin Releasing Hormone (CRH) yang akan menstimulus hipofisis anterior untuk mengeluarkan Adeno Corticotropic Hormone (ACTH). Peningkatan sekresi ACTH menyebabkan peningkatan kadar hormon glukokortikoid yang disekresikan oleh kortek adrenal, terdapatnya sekresi hormon glukokortikoid yang berlebih dan berlangsung terus menerus dapat menghilangkan pola diurnal (Brook & Marshall 1996). Hormon glukokortikoid khusunya kortisol diketahui mempunya pulse selama 24 jam sebanyak 7 sampai 9 kali akibat adanya stimulus dari ACTH yang berkerja secara episodik. Hormon kortisol sebagai salah satu penanda stres, kajian tentang hormon kortisol pada manusia di dalam plasma telah diketahui meningkat pada jam 8-10 pagi (50-230 ng/ml) dan terendah pada jam 16.00 (50-150 ng/ml) (Astuti 2006). Pada sebagian hewan (ikan, reptil, burung dan mamalia) kondisi hormon sangat berhubungan dengan tingkah laku, pola kawin dan sistem sosial. Khusus pada primata kadar hormon stres dipengaruhi oleh status sosial, agresi antar individu, perjumpaan dengan individu lain dan perbedaan umur. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa reaksi lingkungan dan individu lain mempengaruhi sistem hormonal di dalam tubuh. Hal ini diketahui dengan dilakukannya pendeteksian secara non-invansif melalui feses, diketahui bahwa 11β- hydroxyetiocholanolone hormon glukokortikoid yang merupakan indikator hormon stres pada orangutan (Weingrill 2011; Marty 2009) Menurut Weingrill (2011) individu orangutan jantan sub-ordinat memiliki kadar hormon stres yang lebih tinggi dibandingkan jantan dominan. Beberapa penelitian telah berhasil mendeteksi kondisi fisiologi melalui pengukuran metabolit hormon dalam urine dan feses. Diketahui bahwa pada kondisi tertekan ataupun terancam menyebabkan terjadinya peningkatan kadar hormon stres, hal ini dikarenakan adanya kejadian hormonal di dalam tubuh. Pada keadaan normal hormon stres disekresikan secara episodik sehingga membentuk pola harian, sekresi hormon stres yang berlebih dan berlangsung secara terus menerus dapat
45
menghilangkan pola harian hormon (Brook & Marshall 1996; Möstl & Palme 2002). Informasi mengenai profil hormon glukokortikoid pada orangutan liar akibat interaksi dengan individu lain dan pengaruh lingkungan masih sangat kurang, hal ini harus dicari tahu untuk keberhasilan rehabilitasi dan reintroduksi orangutan di habitat eksitu. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui profil hormon glukokortikoid pada orangutan betina yang melakukan interaksi sosial dengan individu lain melalui pengujian secara non-invansif (feses). METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini dilakukannya uji kadar hormon 11βhydroxyetiocholanolone sebagai indikator stres pada orangutan yang berinteraksi dengan orangutan jantan. Pengukuran kadar hormon 11β- hydroxyetiocholanolone secara kuantitatif, menggunakan metode non-invansif melalui feses. Waktu dan Lokasi Penelitian Pemeriksaan sampel feses, sampel feses dilakukan ekstraksi pada bulan Juni dan Agustus 2011 di laboratorium unit rehabilitasi dan reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pengujian hormon secara kuantitatif dilakukan pada bulan Desember 2012-Januari 2013 di German Primate Center Göttingen, Jerman. Hewan Penelitian dan Status Reproduksi Jumlah orangutan fokus yang diamati adalah 6 individu rangutan betina, yaitu Jinak, Milo, Kondor, Mindy, Kerry dan Juni. Status reproduksi dari orangutan tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu Nullipara, Reproduktif, dan Non-reproduktif. Berdasarkan status reproduksi tersebut maka keenam orangutan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Nullipara adalah Milo dan Kondor, (2) Reproduktif adalah Jinak (3) Non-reproduktif adalah Mindy, Kerry dan Juni. Alat dan Bahan Alat yang digunakan terdiri atas : tabung plastik, freezer (-20ºC), vortexer, sentrifus, mortar porselin, timbangan elektronik, plate mikrotiter, mikropipet, mesin pencuci plate, microplate reader model 3550 (Bio-Rad®), dan komputer. Sampel penelitian yang digunakan adalah 115 sampel feses dari 6 individu orangutan (Pongo pygmaeus wrumbii) betina dengan status reproduksi yang berbeda yaitu betina reproduktif dan betina non-reproduktif. Larutan pencuci PBS, methanol, larutan substrat. Koleksi Feses Analisis hormon dilakukan untuk mengetahui kadar hormon stres pada orangutan betina yang merupakan objek penelitian. Pengambilam sampel feses
46
dilakukan pada pagi hari setelah individu objek bangun tidur untuk mengetahui terjadinya perubahan profil hormon (Gambar 15a). Pada saat pengkoleksian untuk mendapatkan homogenitas feses yang diambil meliputi tiga bagian feses yaitu luar, tengah dan dalam (Heistermann et al. 2001; Möstl & Palme 2002). Pengkoleksian feses dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan alkohol 96% dan feses segar (Gambar 15b,c). Kedua prosedur tersebut tidak mempengaruhi pengujian kadar hormon glukokortikoid dari sampel feses tersebut, perbedaan yang ada hanya cara penyimpanan sampel padasaat di lapangan. Sampel feses dengan alkohol 96% dapat disimpan tanpa di dalam pendingin, sedangkan feses segar penyimpanan harus di dalam pendingin. Pengkoleksian dengan menggunakan alkohol 96%, sebelum feses dimasukan dalam tabung maka diberikan alkohol terlebih dahulu 2 ml. Sedangkan pengoleksian feses segar tanpa alkohol yaitu sampel feses yang didapat langsung dimasukan ke dalam tabung kosong. Tabung yang digunakan dalam pengambilan sampel diberikan label atau indentitas nama orangutan yang diambil, tanggal pengambilan sampel, pengamat yang mengambil, waktu pengambilan dan nomer sampel. Sampel tersebut disimpan di dalam pendingin (freezer) dengan suhu -20 ºC (Möstl & Palme 2002).
(a)
(b)
(c)
Gambar 15 (a); Koleksi feses dari lapangan (b); pengoleksian feses dengan menggunakan alkohol (c) feses segar (Mardianah 2010). Analisa Hormon Pengeringan dan Penghalusan Feses Proses pengeringan (lyofilisasi) dan penghalusan (pulverasi) sampel feses dilakukan berdasarkan prosedur Heistermann et al. (2001). Sampel yang telah dikoleksi dikeringkan dengan menggunakan mesin pengering beku (lyophilizer) (freeze dryer, Christ®, Gamma 1-20) selama 3-4 hari pada suhu -20ºC dan tekanan vakum 1,030-0,630 mbar. Sampel yang telah dikeringkan selanjutnya dihaluskan menggunakan mortar poselin dan disaring dengan saringan steinless steel untuk memisahkan serbuk feses dari bahan berserat, kemudian serbuk feses dimasukan ke dalam tabung dan disimpan pada suhu -20ºC sampai pada tahap ekstraksi.
47
Ekstraksi Feses a. Ekstraksi feses segar Feses yang telah disimpan di dalam freezer dalam bentuk segar diambil kemudian masing-masing selanjutnya dilakukan pulverisasi. Serbuk yang telah terbentuk diambil 50 mg berat kering kemudian diekstraksi dengan menggunakan pelarut methanol 80% sebanyak 2-7 ml. Selanjutnya, larutan dimasukan ke dalam tabung polipropilene berukuran 15 ml, divorteks selama 10 menit. Sentrifius dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dilakukan segera setelah larutan divorteks. Supernatan dipisahkan ke dalam tabung lain, kemudian disimpan di freezer -21ºC sampai dilakukan analisa menggunakan enzyme link immunosorbent assay (ELISA) atau enzyme immunoassay (EIA) (Heistermann et al. 2006). b. Ekstraksi feses alkohol 96% Feses yang di simpan dalam freezer dikeluarkan dan dihomogenkan dengan menggunakan stik metal, kemudian cuci stik metal tersebut dicuci dengan menggunakan 1 ml methanol 80%. Masukan sampel feses tesebut ke dalam tabung lain yang telah ditimbang berat dari tabungnya, kemudian vortex tabung tersebut selama 10 menit. Sentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan dipisahkan ke tabung lain, kemudian pellet ditambahkan dengan methanol 80% sebanyak 3-7 ml tergantung dari banyaknya feses sampai feses terendam dengan methanol. Vortex tabung tersebut selama 10 menit dan dengan segera sentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Supernatant dipisahkan kembali dan digabungkan kedalam tabung sebelumnya dan disimpan di dalam freezer -21ºC. Pelet feses yang didapat di keringkan dengan suhu ruangan selama 3 hari. Selanjutnya pelet feses dikeringkan dengan oven suhu 50ºC selama 2-3 hari, timbang pelet tersebut kemudian keringkan kembali selama satu hari untuk mendapatkan berat feses yang stabil. Pengujian Validitas Assay Hormon Glukokortikoid Pengujian validitas assay hormon glukokortikoid pada orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) telah divalidasi dan dinyatakan bahwa hormon 5β-Adiol adalah hormon assay yang tepat untuk pengujian ELISA metabolit glukokortikoid dalam feses orangutan (Weingrill et al. 2008). Proses pertama yang dilakukan yaitu pengukuran akurasi hormon assay dengan pengujian paralelism untuk menentukan tingkat pengenceran sampel feses yang efektif. Ekstraksi sampel akan diencerkan secara bertingkat dalam larutan assay buffer yaitu 1:5, 1:10, 1:20, 1:40, 1:80, dan 1:60. Menurut Heistermann et al. (1996) pengujian paralelisme sebagai upaya agar mengetahui apakah hormone assay yang digunakan dapat menganalisa hormon yang diinginkan dari sampel yang diperiksa. Berdasarkan hasil yang didapatkan apabila pola kurva sampel paralel dengan kurva standar, maka hasil uji paralelisme menunjukan bahwa antibodi yang digunakan pada penggujian assay bersifat immunoreaktif terhadap hormon yang diuji atau hormon assay tersebut dapat mengukur dengan tepat konsentrasi metabolit hormon glukokortikoid dalam feses orangutan. Presisi assay ditentukan dengan menghitung koefisiensi variasi dari masing-masing nilai kontrol kualitas pada konsentrasi tinggi (QC High) dan rendah (QC Low) pada beberapa assay yang telah dilakukan uji (inter-assay
48
coeffiecient of variant) dan perhitungan koefisiensi variasi dari masing-masing nilai control kualitas konsentrasi tinggi dan rendah pada satu assay (intra-assay coefiecient of variant). Apabila dari hasil yang didapatkan nilai koefisien variasi inter-assai menunjukan < 15% dan intra-assai <10% maka assay tersebut dikatakan memiliki nilai presisi yang baik (Heistermann et al. 1996 & Heistermann et al. 2004). Penggujian lain yang dilakukan adalah sensitivitas assay untuk penetapan nilai konsentrasi hormon yang diperoleh pada saat 90% antibodi berikatan dengan hormon atau menentukan nilai konsentrasi hormon terendah yang dapat dianalisa. Pengukuran Konsentrasi Metabolit Hormon Glukokortikoid Sampel feses yang telah diekstraksi, kemudian dianalisa dengan menggunakan prosedur kerja sebagai berikut; masukan larutan assay buffer 100µL ke dalam sumur (wells) blank dan Assay buffer sebanyak 50µL ke sumur zero dalam mikroplate. Selanjutnya dimasukannya larutan standar ke dalam sumur sesuai pengenceran dilakukan. Larutan QCH dan QCL dimasukan ke dalam sumur berkode sama masing-masing 50 µL . Kemudian dimasukannya larutan biotin label ke masing-masing sumur 50µL dan larutan antibodi ke semua sumur masing-masing 50µL. Tutup dengan biofilm/kover plastik tutupi plate dengan rapat tanpa ada cela agar tidak tumpah. Plate dimasukan ke dalam pendingin dengan rata-rata selama 18 jam atau satu malam. Larutan Streptavidin Peroxidase 20 mg dibuat dalam larutan buffer 16 mL homogenkan. Plate dikeluarkan dari dalam pendingin dan diamkan pada suhu kamar kemudian cuci plate dan keringkan dengan tissue. Larutan Sterptavidin Peroxidase dimasukan ke dalam semua wells masing-masing 0,15 mL atau 150 µL, selanjutnya, plate diinkubasi di ruang gelap dan dikocok selama 45 menit atau sampai berubah warna menjadi warna biru sesuai standarnya pada setiap sumur. Reaksi dengan Streptavidin Peroxidase harus dihentikan dengan larutan penghenti reaksi menggunakan larutan H2SO4. Setelah reaksi dihentikan maka warna larutan dalam sumur akan berubah warna menjadi kuning.Sumur blank berwarna terang (transparan) akan tetap transparan, sumur QCL berwarna kuning lebih pekat dari pada well QCH. Selanjutnya, sumur dimasukkan ke dalam ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm dan dengan 630 nm referensi filter (Heistermann et al. 2001; Heistermann et al. 2006). Analisis Data Data-data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak “ statistic programe for scientific and social science” (SPSS) sofware 11.50. Uji dengan menggunakn BoxPlot dan dijelaskan dengan deskriptif. Kadar hormon diperoleh hari tertentu dihubungkan dengan perilaku sosial 48 jam setelah kontak dengan individu lain untuk menjawab hipotesis tersebut dengan menggunakan uji: Melihat hubungan antara perjumpaan individu betina dengan individu jantan dewasa berpipi, jantan dewasa tidak berpipi ataupun dengan individu betina lain dengan terjadinya peningkatan kadar hormon 11βhydroxyetiocholanolone.
49
Hasil dan Pembahasan Kadar Hormon 11β- hydroxyetiocholanolone antar Individu Betina Berdasarkan Status Reproduksi padasaat Perjumpaan dan Tidak Ada Perjumpaan Hormon glukokortikoid 11β- hydroxyetiocholanolone merupakan profil hormon stres yang ditemukan pada orangutan dengan menggunakan metode noninvansif melalui feses (Weingrill et al. 2011). Metode non-invasif merupakan metode yang tepat untuk pengujian hormon glukokortikoid pada satwa liar, sehingga hormon yang didapat tidak dipengaruhi karena perilaku manusia. Stres terjadi karena adanya faktor dari dalam dan luar tubuh, pada non-primata stres banyak disebabkan dari faktor luar (lingkungan) seperti variasi iklim, status sosial, agresi, umur dan perjumpaan. Pada penelitian ini dilakukan pada individu betina yang dibedakan dari status reproduksi non-reproduktif, reproduktif dan nullipara. a. Betina reproduktif (Jinak) Pada saat pengamatan individu reproduktif (Jinak) melakukan perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Menurut Rodman dan Mitani (1987); Atmoko et al. (2009a) orangutan betina dewasa memilih berpasangan dengan jantan dewasa berpipi untuk mendapatkan keuntungan seperti perlindungan dari individu jantan. Diketahui kadar hormon glukokortikoid Jinak pada saat tidak ada perjumpaan dengan individu lain 436,465 ng/g (n=2) dan setelah terjadi perjumpaan dengan jantan dewasa tidak berpipi kadar hormon glukokortikoid mengalami peningkatan menjadi 839,39 ng/g (n=2) (Gambar 16). Hal tersebut membuktikan bahwa setelah perjumpaan dengan individu lain terjadi peningkatan ancaman dibandingkan sebelum perjumpaan, disebabkan Jinak masih dibayangi anak sehingga faktor keselamatan anak menjadi pertimbangan. Menurut Atmoko et al. (2009b) orangutan betina dewasa lebih memilih berpasangan dengan jantan dewasa berpipi. Individu betina merupakan Individu betina merupakan pengambil keputusan di dalam melakukan interaksi seksual. Menurut Delgado dan van Schaik (2000); Knott et al. (2009); Wich et al. (2009) orangutan kalimantan memiliki interval jarak kelahiran antara satu anak dengan anak selanjutnya 6-8 tahun. Berdasarkan interval jarak kelahiran anak tersebut kemungkinan Jinak sudah reproduktif kembali karena Jerry sudah berumur7 tahun 2 bulan. Menurut Wich et al. (2009) anak berjenis kelamin betina lebih cepat mandiri dibandingkan dengan anak berjenis kelamin jantan. Berdasarkan hasil yang didapatkan Jerry anak dari Jinak (jantan) memiliki umur yang hampir sama dengan Milo (betina) anak dari Mindy. Pada Tahun 2008 Milo yang berumur 7 tahun sudah memiliki adik (Mawas), sedangkan pada umur yang sama Jerry masih bersama dengan induk dan masih menyusui (nippel contact) pada induk (Atmoko et al. 2009b), kemungkinan hal ini membuat peningkatan kadar hormon glukokortikoid tinggi saat Jinak bertemu dengan jantan dewasa tidak berpipi karena ketanggapan seksual Jinak belum kembali normal. Nippel contact antara induk betina dengan anak mempengaruhi sistem endocrinology induk. Menurut Mindy et al. 2000 pada saat individu betina sedang menyusui atau masih adanya nipple contact antara anak dengan induk betina maka akan menghambat produksi Gonadotrophin Releasing Hormon (GnRH) pada induk, menekan terjadinya estrus karena produksi LH dan FSH menurun
50
yang mempengaruhi proses pematangan sel telur. Berdasarkan hasil yang didapatkan bahwa status reproduksi individu betina tidak hanya dapat dilihat dari umur anak atau interval kelahiran anak namun harus dilakukan uji sistem endokrinologi. Sampel dari penelitian ini sangat terbatas karena berasal dari satu individu betina dewasa dan sampel yang digunakan dari 2 hari party dan dua hari tidak party. b. Betina nullipara (Milo dan Kondor) Menurut Galdikas (1985); van Schaik (2006) betina nullipara menunjukan ketertarikannya dengan individu jantan dengan cara mendekati individu jantan yang diharapkan. Pada saat pengamatan betina nullipara lebih banyak melakukan perjumpaan dengan jantan dewasa tidak berpipi maupun jantan dewasa berpipi dibandingkan betina non-reproduktif. Salah satu strategi individu betina pada saat perilaku seksual adalah berpasangan dengan banyak jantan. Pada saat pubertas sistem endokrin mulai bekerja yang berhubungan dengan mekanisme–mekanisme fisiologi tertentu yang melibatkan gonad dan kelenjar adenohypophisa. Pada umur pubertas, neuron hipotalamus sudah mampu memproduksi hormon estrogen dengan frekuensi dan amplitudo tertentu (Hafez & Hafez 2000). Milo dan Kondor merupakan betina nullipara yang belum pernah punya anak. Perbedaan umur menyebabkan berbedanya pola hormon glukokortikoid setelah interaksi. Kondor yang memiliki umur yang lebih tua dibandingkan dengan Milo, lebih banyak melakukan interaksi dengan individu jantan. Selama pengamatan individu Kondor banyak berpasangan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Menurut Rodman dan Mitani 1987; Atmoko et al. (2009b) berpasangan dengan banyak jantan tidak dalam waktu yang bersamaan merupakan salah satu strategi individu betina untuk mendapatkan keuntungan dari individu jantan seperti perlindungan. Berdasarkan hasil pengamatan perilaku seksual kopulasi terjadi sebanyak 25 kejadian kopulasi intromisi dengan jantan dewasa tidak berpipi, dengan beberapa kategori kopulasi yang teramati pasif, pemaksaan maupun aktif. Milo dan Kondor memiliki kadar hormon stres yang hampir sama sebelum dan setelah terjadi party dengan jantan dewasa tidak berpipi. Milo mengalami penurunan kadar hormon stres setelah party dengan individu jantan tidak berpipi, namun secara umum konsentrasi metabolit glukokortikoid setelah interaksi tampak ada juga yang lebih rendah dibandingkan dengan tidak ada interaksi kadar hormon glukokortikoid sebelum interaksi 451,58 ng/g (n=6) dan sesudah interaksi menjadi 408,83 ng/g (n=3). Selama pengamatan interaksi yang terjadi antara Milo dengan jantan dewasa tidak berpipi terlihat ada perilaku seksual kopulasi yaitu sex investigate. Berdasarkan hasil bahwa sex investigate yang terjadi pada Milo mempengaruhi kadar hormon glukokortikoid lebih rendah karena timbulnya rasa nyaman dan adanya ketertarikan dari individu betina dengan kehadiran jantan. Hal yang sedikit berbeda terjadi pada individu Kondor dimana tampak adanya peningkatan rata-rata kadar metabolit hormon glukokortikoid setelah interaksi, kadar hormon sebelum interaksi 440.57 ng/g (n=9) dan setelah interaksi meningkat menjadi 454.54 ng/g (n=33). Namun secara keseluruhan, tampak juga beberapa kejadian dimana konsentrasinya lebih rendah pada saat terjadi intraksi dibandingkan tidak terjadi interaksi. Hal yang berbeda terjadi pada individu Kondor peningkatan kadar hormon glukokortikoid setelah interaksi, kadar hormon
51
sebelum terjadi interaksi 440,57 ng/g (n=9) dan setelah interaksi meningkat menjadi 454,54 ng/g (n=33). 1400
1200
1000
800
ng/g berat kering feses
600
400
200
PARTY NOPARTY
0 N=
2
2
Jinak
3
3
Juni
3
3
Kerry
9
9
Kondor
3
3
Milo
3
3
Mindy
INDIVIDU
Gambar 16. Kadar hormon 11β- hydroxyetiocholanolone orangutan betina
Kondor banyak melakukan party maupun consort dengan individu jantan dewasa tidak berpipi dan terjadi beberapakali interaksi seksual kopulasi seperti copulation intromistion, sex investigate, dan copulation attempt. Kategori kopulasi yang teramati bersifat pemaksaan, pasif dan aktif, setelah 48 jam kejadian interaksi seksual kopulasi dapat meningkatkan kadar hormon glukokortikoid. Peningkatan kadar hormon glukokortikoid yang terjadi pada Kondor mencapai 1200 ng/g (tanggal 11-06-2010) pada saat tersebut terjadi beberapa kali kopulasi pemaksaan dalam perilaku seksual kopulasi dengan jantan dewasa tidak berpipi (Gambar 17). Menurut data yang ada sebelumnya beberapakali Kondor terlihat melakukan perilaku seksual dengan jantan tidak berpipi namun kenaikan kadar hormon glukokortikoid tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan tanggal 11-06-2010, kemungkinan pada saat tersebut Kondor tidak dalam keadaan estrus sehingga mempengaruhi kadar hormon glukokortikoid. Pada saat estrus orangutan betina tidak terlihat perbedaan morfologi seperti primata yang lain, perubahan morfologi pada orangutan betina hanya pada saat menjelang kelahiran yaitu terjadi pembengkakan pada bagian perineal (Galdikas 1984). Namun karena tidak ada perbedaan morfologi pada orangutan betina padasaat estrus maka peluang terjadinya kopulasi pemaksaan oleh jantan dewasa tidak berpipi semakin tinggi (Atmoko et al. 2009b; Knott et al. 2009). Hal ini merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh individu jantan dewasa 52
tidak berpipi untuk keberhasilan reproduksi. Perlu dilakukan uji lanjut yang dapat mendukung dengan DNA untuk menentukan anak yang dilahirkan apakah hasil dari kopulasi pemaksaan atau kategori kopulasi lain. 1260
ng/g berat kering feses
855
451
KADAR 46
UCL = 845.8394 Average = 450.7534 LCL = 55.6675
-358 10 6/ /0 0 17 6 /1 /0 0 15 6 /1 /0 0 13 6 /1 /0 0 11 6 /1 /0 0 09 4 /1 /0 0 24 1 /1 /0 0 23 1 /1 /0 0 21 1 /1 /0 0 19 1 /1 /0 0 17 1 /1 /0 14 /09 12 9 4/ 1 /0 /1 9 13 1 /0 /1 10 /09 11 8/ /09 11 5/
Tanggal kejadian
Gambar 17. Kadar hormon 11β- hydroxyetiocholanolone pada individu Kondor (betina reproduktif nullipara). c. Betina non-reproduktif (Mindy, Kerry dan Juni) Betina non-reproduktif yang melakukan interaksi dengan individu lain adalah Mindy, Kerry dan Juni. Kerry dan Juni mempunyai pola kadar hormon glukokortikoid yang sama yaitu setelah interaksi dengan jantan dewasa terjadi kenaikan hormon glukokortikoid. Kerry individu betina punya anak dengan umur anak 3 tahun memiliki kadar hormon glukokortikoid sebelum terjadi interaksi 291,87 ng/g (n=3) dan setelah interaksi meningkat menjadi 634,75 ng/g (n=5). Interval jarak perjumpaan antara Kerry dengan jantan dewasa tidak berpipi berada di 2-10 m (51,282%) interval tersebut cukup dekat untuk terjadinya interaksi sosial. Namun selama pengamatan jantan lebih memilih bersama dengan Kondor (reproduktif nullipara) yang berada di lokasi yang sama. Interaksi sosial yang terlihat antara indvidu jantan dengan Kondor. Pola yang sama juga terjadi pada Juni dengan anak berumur tidak jauh berbeda 3 tahun 7 bulan memiliki pola yang sama Kerry yaitu terjadinya peningkatan kadar hormon glukokortikoid. Perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi menyebabkan peningkatan hormon glukokortikoid. Interval jarak perjumpaan antara Juni dan jantan dewasa tidak berpipi berada di 10-50 m (51,136%), jarak yang cukup jauh terjadinya interaksi sosial. Namun dari perjumpaan tersebut menyebabkan perubahan hormon glukokortikoid sebelum terjadi interaksi 267,70 ng/g (n=12) dan setelah interaksi mengalami peningkatan menjadi 347,50 ng/g (n=2). Individu betina yang sedang memiliki anak lebih cenderung menghindari perjumpaan dengan individu lain terutama individu
53
jantan. Menurut Galdikas (1985) terjadi penurunan kesediaan seksual kopulasi individu betina yang sedang mengasuh anak mengalami penurunan (Galdikas 1985). Mindy memiliki pola yang berbeda yaitu setelah terjadi party jantan dewasa mengalami penurunan kadar hormon glukokortikoid, sebelum terjadi interaksi 470,53 ng/g (n=5) dan setelah interaksi mengalami penurunan 380,89 ng/g (n=3). Hal tersebut disebabkan interval jarak perjumpaan yang berada di 1050 m (80,851%). Interval jarak yang cukup jauh untuk terjadinya interaksi sosial, tidak mempengaruhi kenaikan kadar hormon glukokortikoid setelah perjumpaan. Pada saat pengamatan terjadi perjumpaan tiba-tiba antara Mindy dan Kerry. Interaksi yang teramati antara Mindy (kakak) dan Kerry (adik) adalah bentuk agresi antara kakak terhadap adiknya, sehingga kadar hormon stres pada Kerry sehingga dapat menimbulkan ancaman atau tekanan. Tekanan yang melebih batas seperti yang terjadi antara Mindy dan Kerry dalam bentuk agresi merangsang hipotalamus mensekresikan Corticotrophin Releasing Hormon (CRH) yang menstimulus kerja hipofisa anterior untuk mensekresikan Adrenocorticotrophin Hormon (ACTH) menstimulus kerja korteks adrenal sehingga mensekresikan glukokortikoid yang mengalir dalam aliran darah. Pada batas tertentu konsentrasi hormon dalam darah akan memberikan umpan balik negatif pada hiptalamus dan hipofisa anterior yang menekan CRH sehingga menurunkan ACTH (Brook & Marshall 1996). SIMPULAN dan SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini di dapatkan kesimpulan bahwa 11βhydrocyetiocholanolone merupakan hormon glukokortikoid yang terdeteksi di dalam feses orangutan. Stres pada orangutan betina disebabkan faktor status sosial, status reproduksi, dan perjumpaan. Adanyan fluktuasi kadar hormon glukokortikoid 11β-hydrocyetiocholanolone pada orangutan betina setelah perjumpaan dengan individu lain. Saran Hasil penelitian ini membuka peluang untuk dilakukan pengamatan lebih lanjut untuk validasi biologi dengan menambah jumlah individu yang diamati dan jumlah kejadian yang diamati untuk dapat dijadikan standarisasi hubungan antara hormon glukokortikoid dengan perbedaan status reproduksi dan kejadian hubungan dengan individu lain. DAFTAR PUSTAKA Astuti P. 2006. Kajian Metabolit Testosteron dan Kortisol di dalam Feses dan Urine dalam Hubungannya dengan Kualitas Spermatozoa Owa Jawa (Hylobates moloch) di Penangkaran. (Disertasi). Bogor: Program Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
54
Atmoko SSU, Mitra Setia T, Goossens B, James SS, Knott CD, Bernard M, van Schaik CP, and van Noordwijk MA. 2009. Orangutan Mating Behaivor and Strategies in Serge A. Wich S, Utami Atmoko SS, Mitra Setia T, van Schaik CP. Orangutan Matting Behavior and Strategi, eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Atmoko SSU, Singleton Ian, van Noordwijk MA, van Schaik and Mitra Setia T. 2009 b. Male-male Relationships in Orangutan. eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Brook CGD, and Marshall NJ. 1996. Essential Endocrinology, 3th Edition. Blackwell Science. Delgado RAJR , van Schaik, CP. 2000. The Behavioral Ecology and Conservation The Orangutan (Pongo pymaeus): A Tale of Two Island. Evolutionary Antrophology. 20: 201-218. Galdikas BMF. 1985. Adult Male Sociality and Reproductive Tactic Among Orangutan at Tanjung Puting. Hafez ESE and Hafez B. 2000. Fertilization and Cleavage. In ESE. Hafez and B. Hafez (Ed) Reproducton in Farm Animala, 7th Edition. Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia, Baltimore, New York. London, Buenos Aries, Hongkong. Tokyo. Heistermann M, Uhrigshardt J, Husung A, Kaumanns W and Hodges JK. 2001. Measurement of fecal steroid Metabilites in the lion-tail Macaque (Macaca silenus): a Non-invansif Tool for Assessing Female Ovarian Function. Primate reporduction. 59:27-42. Heistermann M, Palme R, and Ganswindt A. 2006. Comparison of Different Enzymeimmunoassays for Assessment of Adrenocortical Activity in Primates Based on Fecal Analysis. American Journal of Primatology. US. 68:257–273. Knott CD, Thompson EM, Wich SA. 2009. TheEcology of Female Reproduction in Wild Orangutans. eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Marty P. 2009. Behavioural endocrinology of male Bornean orangutans (Pongo pygmaeus wurmbii). (Thesis). Anthropological Institute and Museum University of Zürich. Möstl E, and Palme R. 2002. Hormones as Indicators of Stress. Domestic Animal Endocrinology. 23:67–74. Rodman CG and Mitani JC. 1987. Orangutans Sexual Dimorpisme in A Solitary Spesies in Primate Societies. The University of Chicago Press. 55
Singleton I, Knott CD, Morrogh-Bernard C, Wich SA, and van Schaik CP. 2009. Ranging Behavior of Orangutan Female and Social Organization, eds Orangutans: Behavioral Ecology and Conservation. Oxford University Press. New York. Seng. 2005. Stres and Reproduction. Edited by Mindy M, Joy A. Tokyo, Philadelphia. pp Thanos PKA, Cavigelli SA, Michaelides M, Olvet. M, Patel U, Diep MN, Volkow ND. 2008. Non-Invasive Method for Detecting the Metabolic Stress Response in Rodents: Characterization and Disruption of the Circadian Corticosterone Rhythm. University Park, PA, USA. 58: 219-228. van Schaik CP. 2006. Diantara Orangutan. Kera Merah Dan Kebangkitannya Kebudayaan Manusia. Yayasan Penyelamatan Orangutan Bormeo (BOS), Jakarta. Weingrill T, Willems EP, Zimmermann, Steinmetz H, Heistermann M. 2011. Spesies-Specific Patterns In fecal Glukokortikoid and Androgen Levels Zoo Living Orangutan (Pongo spp.) Jurnal primatology. 172: 446-457. Wich SA, Vries de Han, Ancrenaz M, Perkins L, Shumaker RW, Suzuki A, and van Schaik CP. 2009. Orangutan Life History Variation. eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press.
56
RIWAYAT HIDUP
Neneng Mardianah dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 juni 1985, merupakan anak ke empat dari empat bersaudara dari Ibunda bernama Nursiah dan Ayahanda Muhamad Sahud. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1998 di Sekolah Dasar Negeri 04 Pondok Labu, Jakarta. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 96 Jakarta dan menyelesaikannya pada tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas Negeri 97 Jakarta. Penulis melanjutkan pendidikan program sarjana pada Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta dan lulus Sarjana Biologi pada tahun 2009. Selama kuliah di Fakultas Biologi Universitas Nasional penulis aktif dalam kegiatan konservasi khususnya primatologi dan penulis bergabung di dalam “Lutung “ Forum Study Primata (“Lutung” FSP). Pada tahun 2005 sampai 2007, penulis bergabung dengan Pusat Primata Schmutzer Jakarta sebagai interpreter education conservation. Selain itu penulis juga aktif dalam organisasi mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Nasional dan menjabat sebagai ketua Senat mahasiswa periode 2006-2007. Selama
menjalani
perkuliahan
di
Universitas
Nasional
penulis
mendapatkan beasiswa dari Nagao Natural Environment Foundation (NEF), Jepang. Penulis mendapat kesempatan beasiswa penelitian tugas akhir untuk menyelesaikan sekolah sarjana Fakultas Biologi Universitas Nasional. Pada tahun 2009 penulis mendapat kesempatan sebagai assisten manager peneliti orangutan Kalimantan, Tuanan Kalimantan Tengah. Selanjutnya, penulis mendapatkan kesempatan mengikuti Pendidikan Program Magister pada program studi Biologi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor atas kerjasama Universitas Zurich dengan Universitas Nasional, Jakarta.