8
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pancasila sebagai landasan idiil dari sistem pemasyarakatan, menyebutkan adanya keseimbangan dan keselarasan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungannya dengan masyarakat, hubungannya dengan alam, dengan bangsa-bangsa lain maupun hubungannya dengan Tuhan. Dalam hal ini, Bahrudin Soerjobroto mengemukakan: ”Pemasyarakatan dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai kesatuan hidup, kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu pelanggar hukum dengan pribadinya sebagai manusia, antara pelanggar dengan sesama manusia, antara pelanggar dengan masyarakat serta alamnya, kesemuanya dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa”. 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengamanatkan bahwa sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sistem pemasyarakatan menitikberatkan pada usaha 2
Bahrudin Soerjobroto, Ilmu Pemasyarakatan (Pandangan Singkat), Jakarta : AKIP, 1986,
hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
9
perawatan, pembinaan, pendidikan, bimbingan warga binaan pemasyarakatan yang bertujuan untuk memulihkan kesatuan hubungan yang asasi antara individu warga binaan dengan masyarakat.3 Sejalan dengan perkembangan paradigma yang terus berubah di tengahtengah masyarakat serta upaya penegakan hak asasi manusia dalam sistem tata peradilan pidana, maka dilakukan pembenahan serta perubahan-perubahan pada sistem kepenjaraan melalui payung hukum pemasyarakatan yaitu, UndangUndang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untuk mengadopsi norma-norma hukum lama yang masih relevan maupun instrumen internasional, aspek sosial, maupun opini masyarakat, perubahan paradigma sosial, budaya, ekonomi dan hukum dalam masyarakat merupakan hasil interaksi sosial pada tataran internasional yang dampaknya berimbas pada kondisi nasional, dampak tersebut cukup berpengaruh terhadap perkembangan sistem tata peradilan pidana di Indonesia termasuk sistem perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan. 4 Lembaga Pemasyarakatan di mata masyarakat dipandang berfungsi sebagai tempat membatasi ruang gerak orang yang dijatuhi hukuman pidana penjara. Oleh karena itu masyarakat umum lebih mengenal sebagai penjara dari pada Lembaga Pemasyarakatan. Fungsi pemenjaraan ini lebih merupakan usaha untuk memastikan bahwa terpidana tidak akan mengulangi perbuatannya sepanjang masa penghukumannya. Dengan kata lain fungsi pemenjaraan
3
Konsideran PP. Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasayarakatan. 4 Mardjaman, Beberapa Catatan RUU Tentang Sistem Pemasyarakatan, Jurnal Legislasi Indonesia, Ditjen Peraturan PerUndang-Undangan Dep. Hukum dan HAM RI, Vol. 2 No. 3, September 2005, hal. 109.
Universitas Sumatera Utara
10
merupakan strategi untuk membuat agar terpidana tidak mampu melakukan pelanggaran hukum, atau dalam konsep penologi disebut incapacitation. 5 Menurut Moeljatno: “Terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi yang buruk pada golongan rakyat yang memiliki status sosial dan ekonominya rendah dan yang biasanya memiliki banyak anak, ditambah lagi dengan adanya kemungkinan faktor lain seperti korelasi antara besarnya keluarga dan kurangnya mental orang tua, serta kurangnya pengawasan terhadap anak”. 6 Kemajuan pesat terjadi diberbagai bidang akibat perkembangan ilmu pengetauan dan teknologi, kemajuan itu sendiri membawa dampak tidak hanya yang positif tetapi juga yang negatif. Secara positif kemajuan itu antara lain dengan semakin mudah dan gampangnya manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, namun bukan tidak mungkin kemajuan menambah kompleksnya permasalahan manusia. Perkembangan peradaban manusia berkembang secara garis lurus dengan perkembangan anak, artinya perubahan yang terdapat dalam cara pandang manusia dalam melihat, menghadapi dan menilai sesuatu, berkaitan erat dengan pandangan manusia dalam melihat permasalahan terhadap anak. Sebagai contoh ditemukannya listrik, telah menimbulkan banyak penemuan-penemuan lain dibidang teknologi, misalnya televisi. Televisi telah menjadi tontonan yang sangat biasa pada masa kini, tidak hanya ditonton oleh orang dewasa tetapi juga anakanak. Banyak siaran televisi yang merusak tingkah laku anak-anak sehingga anak yang tadinya baik dapat berubah menjadi nakal. Pada acara tertentu yang tidak mendidik dapat berakibat buruk bagi perkembangan anak itu. 5 6
I b i d, hal. 110. Moeljatno, Kriminologi, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1986), hal. 112.
Universitas Sumatera Utara
11
Khusus tentang tingkah laku adalah merupakan suatu masalah yang sangat serius dalam kriminologi. Masalahnya terletak bahwa tingkah laku mempunyai kawasan luas, yakni ada tingkah laku yang dianggap bermoral, tetapi ada yang asosial dan bahkan bersifat kriminil. 7 Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan termasuk anak dengan sistem pembinaan pemasyarakatan di samping untuk mencegah diulangnya kejahatan serta perlindungan terhadap masyarakat juga berupaya untuk mengintegrasikan warga binaan pemasyarakatan dalam derap langkah kehidupan masyarakat yang dinamis. Ditempatkannya warga binaan pemasyarakatan di masyarakat termasuk anak diharapkan melalui pembinaan yang terus menerus akan tumbuh partisipasi masyarakat terhadap sistem pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan, yang sangat diperlukan bagi keberhasilan sistem pembinaan dalam hal ini anak sehingga kedepannya tidak mempengaruhi secara drastis terhadap perkembangan psikologisnya di tengah masyarakat luas. Harus disadari walaupun pembinaan yang diberikan selama di Lembaga Pemasyarakatan itu baik tetapi kalau anak yang merupakan narapidana itu sendiri tidak sanggup ataupun masyarakat itu sendiri yang tidak mau menerimanya, maka pembinaan
tidak
akan
mencapai
sasarannya.
Konsekuensi
terhadap
dilaksanakannya perlakuan yang memfokuskan kegiatan narapidana di tengahtengah masyarakat maka selesainya masa pidana itu pun tidak berakhir di Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi berakhir di tengah-tengah masyarakat.
7
Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran Tentang Psikologi Kriminil (Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999), hal. 86.
Universitas Sumatera Utara
12
B. Permasalahan Dalam pembuatan suatu karya ilmiah khususnya Skripsi, maka untuk mempermudah penulis dalam pembahasan perlu dibuat suatu permasalahan yang sesuai dengan judul yang diajukan penulis. Adapun yang menjadi masalah-masalah pokok di dalam Skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan hak-hak anak menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan ? 2. Bagaimana pandangan psikologi kriminil terhadap faktor penyebab kejahatan yang dilakukan oleh anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan ?
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui penerapan hak- hak anak menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan. 2. Untuk mengetahui Kejahatan yang dilakukan oleh Anak dan Faktor-faktor Penyebabnya menurut psikologi kriminil. Manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis
Universitas Sumatera Utara
13
Penulis berharap karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini memberikan manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya mahasiswa dan masyarakat pada umumnya yang membutuhkan informasi tentang Tinjauan Psikologi Kriminil Terhadap Narapidana Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak (Medan). Penulis juga berharap bahwa karya ilmiah ini memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi nusa dan bangsa. 2. Manfaat praktis Memperkenalkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kepada masyarakat luas terutama penerapannya dalam kasus-kasus tertentu, sehingga Undang-Undang tersebut sungguh-sungguh dapat dijadikan sarana pembangunan atau bagian dari hukum pembangunan yang akan mengawal proses pembangunan yang semakin melaju.
D. Keaslian Penulisan Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran dan usaha penulis sendiri, tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari keterangan-keterangan baik berupa majalah, koran, buku-buku, peraturan perUndangan-Undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan Tinjauan Psikologi Kriminil Terhadap Narapidana Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Tanjung Gusta (Medan).
Universitas Sumatera Utara
14
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Psikologi Kriminil Banyak ahli yang telah memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa orang melakukan tindakan kriminal. Berikut ini penulis kutipkan dari beberapa pendapat
ahli
sebelum
orang
psikologi
membuat
penjelasan
teoritis
seputar kriminal:
1. Kemiskinan
merupakan penyebab dari revolusi dan kriminalitas
(Aristoteles). 2. Kesempatan untuk menjadi pencuri (Sir Francis Bacon, 1600-an). 3. Kehendak bebas, keputusan yang hedonistik dan kegagalan dalam melakukan kontrak sosial (Voltaire & Rousseau, 1700-an). 4. Atavistic trait atau sifat-sifat antisosial bawaan sebagai penyebab perilaku kriminal (Cesare Lombroso, 1835-1909). 5. Hukuman yang diberikan pada pelaku tidak proporsional (Teoritisi Klasik Lain).
Kiranya tidak ada satupun faktor tunggal yang menjadi penyebab dan penjelas semua bentuk kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu pada kesempatan ini, saya mencoba mengangkat dua teori yang mencoba menjelaskan mengapa seseorang berperilaku. Teori pertama yaitu dari Deutsch & Krauss, 1965) tentang level of aspiration. Teori ini menyatakan bahwa keinginan seseorang melakukan tindakan ditentukan oleh tingkat kesulitan dalam mencapai
Universitas Sumatera Utara
15
tujuan dan probabilitas subyektif pelaku apabila sukses dikurangi probabilitas subjektif kalau gagal. Teori ini dapat dirumuskan dalam persama seperti berikut:V = (Vsu X SPsu) – (Vf X SPf) Dimana: V = valensi = tingkat aspirasi seseorang su = succed = suksesf = failure = gagalSP = subjective probability. Teori di atas tampaknya cocok untuk menjelaskan perilaku kriminal yang telak direncanakan. Karena dalam rumus di atas peran subyektifitas penilaian sudah dipikirkan lebih dalam akankah seseorang melakukan tindakan kriminal atau tidak. Sedangkan perilaku yang tidak terencana dapat dijelaskan dengan persamaan yang diusulkan oleh kelompok gestalt tentang Life Space yang dirumuskan B=f(PE). Perilaku merupakan fungsi dari life-spacenya. Life space ini merupakan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Mengapa model perilaku Gestalt digunakan untuk menjelaskan perilaku kriminal yang tidak berencana. Pertama, pandangan Gestalt sangat mengandalkan aspek kekinian. Kedua, interaski antara seseorang dengan lingkungan bisa berlangsung sesaat. Ketiga, interaksi tidak bisa dilacak secara partial. Hingga saat penulisan skripsi ini belum dijumpai tulisan-tulisan di Indonesia yang membahas secara rinci mengenai psikologi kriminil, hal ini dapat dimaklumi karena psikologi kriminil barulah merupakan bagian psikologi dan psikologi itu sendiri baru tampil ke gelanggang ilmu pengetahuan sekitar abad 19, dengan
demikian
tak
heranlah
jika
psikologi
kriminil
belum
luas
perkembangannya. 8 A. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif biologi dan psikologis.
8
Gerson W bawengan, Beberapa asas Psikologi Kriminil, Jakarta, Pradnya Paramita, 1991,
hal.77
Universitas Sumatera Utara
16
“Cesare Lombroso” seorang Italia yang sering dianggap sebagai “the father of modern criminology” ia menjelaskan kejahatan dari mashab klasik menuju mashab positif. Perbedaan signifikan antara mashab klasik dan mashab positif adalah bahwa yang terakhir tadi mencari fakta empiris untuk mengkonfirmasi gagasan bahwa kejahatan itu ditentukan oleh berbagai faktor, dimana para tokoh psikologis mempertimbangkan suatu variasi dari kemungkinan cacat dalam kesadaran, ketidak matangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai dimasa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu dll. Sementara dari tokoh biologis mengukuti tradisi Charles Goring dalam upaya menelusuri tentang tingkah laku criminal. Penjelasan biologis atas kejahatan, menurut Auguste Comte (1798-1857) membawa pengaruh penting bagi para tokoh mazhab positif menurutnya ”there could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist”, tokoh yang terkenal diantaranya yaitu: 9 “Enrico Ferri” berpendapat bahwa kejahatan dapat dijelaskan melalui studi pengaruh pengaruh interaktif diantara faktor fisik dan faktor sosial. Dia juga berpendapat bahwa kejahatan dapat dikontrol dengan perubahan sosial. “Raffaela Garafola” Menurut teori ini kejahatan-kejahatan alamiah ditemukan didalam seluruh masyarakat manusia, tidak peduli pandangan pembuat hukum dan tidak ada masyarakat yang beradab dapat mengabaikannya. “Charles Buchman Goring” Ia menyimpulkan tidak ada perbedaanperbedaan signifikan antara penjahat dan non penjahat kecuali dalam hal tinggi dan berat tubuh. Para penjahat didapat lebih kecil dan ramping ia menafsirkan
9
http://www.kriminologiwordpress.com/, diambil pada 23 februari 2010.
Universitas Sumatera Utara
17
temuan ini sebagai penegasan dari hipotesanya bahwa para penjahat secara biologi lebih inferior tetapi tidak menemukan satu pun tipe fisik penjahat. 10 Kegagalan didalam keluarga
tanpa sengaja dan mengakibatkan krisis
internal dan eksternal, krisis eksternal berasal dari luar misalnya orang tua menganggur karena terkena Putus Hubungan Kerja (PHK). Ini dapat mengakibatkan orang tua kehilangan harga diri dan otoritas, dan semua anggota keluarga akan takut dan cemas karena tidak adanya jaminan ekonomi sehingga anak akan berupaya melakukan tindakan kriminil. Krisis internal muncul dalam keluarga sebagai akibat, misalnya salah seorang anak mengalami mental disorder, ketidaksetiaan perkawinan, melakukan kriminil di dalam keluarga. Perubahan besar dalam satu peran keluarga dapat mempengaruhi krisis internal, misalnya orang tua yang tiba-tiba memutuskan untuk bekerja disamping mengurus anak atau tiba-tiba berhenti bekerja. 11 Tekanan
dan
masalah-masalah
interpersonal
lainnya
dapat
menimbulkan “empty shell” dalam keluarga, yaitu tidak lagi memiliki perasaan kehangatan dan kemenarikan diantara anggota-anggota keluarga karena tekanan dari luar. Di dalam keluarga tidak ada lagi strong attachment, saling mengabaikan kewajiban dan berkomunikasi seminimal mungkin. Situasi rumah seperti demikian merupakan tempat yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya masalah kriminil anak. Rumah atau keluarga yang bahagiapun dapat mengakibatkan terjadinya masalah kriminil bila keluarga lost event dalam memperhatikan anak . 12
11 12
http://www.psikologikepribadian.blogspot.com/html/, diambil pada 23 februari 2010 Ibid
Universitas Sumatera Utara
18
Kriminil anak dan remaja merupakan hal yang harus diperhatikan oleh orang tua dalam upaya pemecahannya tidak mudah untuk mendekati mereka tanpa memahami siapa mereka dan dalam kondisi apa. Salah satu model yang dipakai yakni Model Konstitusi (Constitutional Model). Model ini memahami anak dari perkembangan biologis dan fisiologis, perkembangan fisik dan biologis yang terlalu dini atau terlalu lambat dapat menimbulkan masalah bagi anak, terutama dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Misalnya anak perempuan terlalu cepat mengalami menstruasi dan mengalami pembesaran buah dada, atau sebaliknya terlambat (sudah lewat masa remaja) belum mengalami masa menstruasi dan buah dadanya masih belum muncul. Hal ini dapat menimbulkan kepanikan, rendah diri, yang akhirnya sulit berkomunikasi dan tidak dapat menyesuaikan dengan lingkungan. Demikian pula dengan perkembangan biologis dan fisiologis anak laki-laki, misalnya mimpi basah, tumbuh bulu dan lain-lain. Peran orang tua dalam hal ini sangat penting untuk
membimbing
mempersiapkan
berbagai
kemungkinan
menghadapi
perkembangan biologis dan fisiologis. Dalam
rangka
membahas
psikologi
kriminil
ternyata
psikologi
perkembangan memegang peranan yang penting, ilmu pengetahuan merupakan salah satu ilmu pembantu utama dari lingkungan psikologi sehubungan dengan pembahasan psikologi kriminil. Sedangkan dari bidang lain seperti Kriminologi, Hukum Pidana dan Sosiologi serta ilmu pengetahuan lainnya tidak dapat diabaikan begitu saja. Freud sendiri tidak mengemukakan dasar-dasar psychologi kriminil, namun psychoanlisa perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan. Oleh karena
Universitas Sumatera Utara
19
banyaknya tingkah laku kriminil memperlihatkan sikap agresif dan oleh karena tingkah laku dan jiwa mempunyai hubungan yang sangat erat, maka adalah jelas bahwa kaum psychoanlist yang tugasnya sehari-hari berhubungan langsung dengan masalah kepribadian serta tingkah laku wajarlah untuk memegang peranan penting mengungkap teka-teki kejahatan. 13 Seperti diketahui masalah utamanya dipelajari dalam hal ini adalah tingkah laku manusia, tingkah laku manusia meliputi pelajaran tentang pengamatan, perasaan dan kehendak. Psikologi kriminil dalam hal ini juga mempelajari tingkh laku individu itu, khususnya mengapa muncul tingkah laku asosial maupun sifat kriminil. Sedangkan jiwa manusia itu sendiri adalah suatu hal yang sangat abstrak sekali. Tingkah laku individu atau manusia yang a-sosial maupun yang bersifat kriminil tidaklah dapat dipisahkan dari manusia lain, karena manusia yang satu dengan lainnya adalah merupakan suatu jaringan yang mempunyai dasar yang sama. Hal ini disebabkan pada hakekatnya manusia adalah sama yaitu mempunyai hak hidup dan mencari kebahagiaan yang sama pula. Tetapi dalam mengarungi kehidupan ini sendiri setiap individu mengalami proses proses yang berbeda dan begitu juga dalam mencari, berusaha dan menilai kebahagiaan itu sendiri. Oleh karena itulah secara anthropologis kita menjumpai persamaanpersamaan dan perbedaan aspek kebudayaan sendiri, yakni aspek tingkah laku, tata kelakukan dan hasil kelakuan. 13
Gerson W. Bawengan, Pengantar Psychologi Kriminil, Jakarta, Pradnya Paramita, 1977,
hal.84.
Universitas Sumatera Utara
20
Khusus tentang tingkah laku merupakan suatu masalah yang sangat serius dalam kriminologi masalahnya terletak bahwa tingkah laku mempunyai kawasan yang luas. Ada tingkah laku yang dianggap bermoral tetapi ada juga yang a-sosial dan bahkan kriminal. Walaupun tingkah laku yang dianggap a-sosial maupun kriminal merupakan tingkah laku normal yang ada pada diri setiap manusia tetapi sebagai manusia yang berfikir, bermasyarakat dan berbudaya sudah semestinya harus ditegakkan atau diusahakan untuk tidak membuatnya. Tingkah laku kriminil maupun a-sosial tidak dikehendaki dalam hidup bermasyarakat begitu juga secara religius atau keagamaan tidak dikehendaki. Walaupun tingkah laku seperti ini merupakan suatu aspek yang wajar yang ada pada diri manusia, tetapi hal ini harus tidak muncul dalam kehidupan manusia itu lingkungan hidup maupun Tuhan tidak menghendakinya. Usaha mengatasinya adalah merupakan salah satu masalah yang besar dalam kehidupan manusia hal ini disebabkan karena manusia sendiri sudah senantiasa terikat oleh tingkah laku yang tidak disenangi oleh orang lain.
2. Pengertian Anak Pidana A. Pengertian Anak Aminah Aziz mengutip pendapat ”Javier Perez de Culler”, menyatakan: ”Cara suatu masyarakat mempelakukan anak tidak hanya mencerminkan kualitas rasa iba, hasrat untuk melindungi dan memperhatikan anak, namun juga
Universitas Sumatera Utara
21
mencerminkan kepekaannya akan rasa keadilan, komitmennya pada masa depan dan peranan penting anak sebagai generasi muda penerus bangsa”. 14 Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa anak adalah penerus masa depan bangsa karena anak-anaklah yang nantinya akan menjalankan bangsa dikemudian hari. Jika salah mendidik anak maka hasil didikan yang salah tersebut akan terus terasa dimasa-masa akan datang. Tanggung jawab pendidikan anak tersebut tidak hanya terletak ditangan orang tua sebagai penanggung jawab pertama terhadap anak, tetapi juga keluarga, masyarakat dan negara. Implementasi tanggung jawab negara dalam melaksanakan kewajibannya tersebut tidak hanya sebatas memenuhi kewajiban dasar saja yang merupakan hak asasi anak, tetapi juga tanggung jawab yang lebih jauh lagi yaitu melaksanakan perlindungan bagi anak tersebut. Pengertian anak di negara Indonesia memiliki batasan-batasan usia yang berbeda terhadap pengertiannya: 1. Menurut Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa ”Anak” adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan
pembinaan
dan
perlindungan
dalam
rangka
menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Dan menurut Undang-Undang ini “Anak” dikategorikan sebagai berikut:
14
Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan, USU Press, 1998. Hal.1
Universitas Sumatera Utara
22
a. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (depalan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun. b. Belum pernah menikah. 2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 330 menuliskan bahwa ”Anak adalah orang yang belum dewasa, yaitu mereka belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak dahulu kawin”. 3. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 7 ayat 1, menuliskan bahwa ”Pria hanya diizinkan kawin bila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun, dan pihak wanita telah mencapai usia 16 (enam belas) tahun”. 4. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka (1) bahwa ”Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, termasuk didalamnya anak dalam kandungan.” 5. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa ”Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”.
B. Pengertian Anak Pidana Sesuai dengan perkembangan anak manusia tersebut tentu pula dalam perkembangan terlihat serangkaian perubahan sifa-sifat dan corak. Sebab itulah terlihat serangkaian perubahan sifat-sifat dan corak sebab itulah terlihat adanya ciri-ciri khusus tertentu.
Universitas Sumatera Utara
23
Aktivitas anak pada mulanya sebagian besar terjadi pada insting meniru sifat antipati dan simpati muncul terhadap apa yang ditemuinya. Simpati dan antipati merupakan pernyataan yang memasuki fase-fase sosial, simpati dan antipati masih berbentuk sederhana. Anak laki-laki lebih menyukai ayahnya karena dari eksplorasi ayah yang lebih luas tetapi anak perempuan mengikuti ibunya, perasaan rivalitas ditemui di masa ini. Rivalitas muncul sebagai lanjutan antipati. Perasaan senang dan tidak senang timbul dari sikap orang tua terhadap permainan anaknya, nilai efektif menimbulkan pertentangan antara anak dan orang tua. Anak ingin bermain dengan permainannya sedangkan orang tua tidak menyukai benda-benda permainan tersebut. Eksperimen-eksperimen bahwa penghayatan takut tidak lenyap begitu saja, perasaan takut ini menimbulkan bekas-bekas yang sangat berkesan sekali karena itulah tidak bijaksana untuk menakuti anak. Rasa takut juga terdapat pada orang dewasa tetapi pada orang dewasa sesuatu yang akan datang sedikit banyaknya telah dapat diketahui, sedangkan masalah pengetahuan tersebut pada anak belum ada. Sesuai apa yang telah dikatakan tadi bahwa rasa takut muncul setelah adanya kesadaran diri, kesadaran ini terbentuk karena konfrontasi dengan alam. Suatu catatan pula rasa takut dipandang sebagai pernyataan yang masih terletak dalam batas-batas normal. Disamping itu rasa takut merupakan eksperimen untuk mengenal dan sering pula rasa takut merangsang ke arah luas. Sadistis juga terdapat pula pada anak tetapi berbeda sifatnya dengan orang dewasa, pada orang dewasa sadistis ini lebih umum dikenal dengan sikap agresif.
Universitas Sumatera Utara
24
Sehubungan dengan perkembangan sosial ternyata dimulai dari hubungan keluarga kemudian meluas sesuai dengan pertumbuhan jasmaniah. Lingkungan sosial berupa lingkungan rumah, sekolah dan lingkungan luar sehari-hari. Secara teoritis dimulai dari lingkungan rumah kemudian sekolah, selanjutnya ke lingkungan sehari-hari, tetapi secara praktis terdapat juga lingkungan rumah, ke lingkungan sehari-hari dan selanjutnya ke sekolah.
Anak dalam masyarakat diharapkan membawa kebahagiaan maka tidak heran bila dalam upacara pernikahan pengantar dua insan ke gelanggang rumah tangga di antar petuah serta doa restu, orang-orang tua selalu berpesan, semoga kedua mempelai diberkati keturunan bukan satu, bukan dua, tetapi banyak. Pasal 91 (4) KUHP memberikan penjelasan tentang anak adalah orang yang ada dibawah kekuasaan yang sama dengan kekuasaan orang tuanya. 15
Sedangkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 ayat 2 dijelaskan tentang pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah kawin. Batasan 21 (dua puluh satu) tahun ini ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia 21 (dua puluh satu) tahun. 16
Dalam Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun,
15
Agung Wahyono, dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia Jakarta, Sinar Grafika, 1993, hal. 20. 16 Lihat Agung Wahyono, dan Ny. Siti Rahayu, op. cit. hal.19.
Universitas Sumatera Utara
25
sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun.
Dari beberapa pengertian anak di atas dapat di bedakan beberapa pengertian tentang anak, yaitu (1) Anak kandung, (2) Anak terlantar, (3) Anak yang menyandang cacat, (4) Anak yang memiliki keunggulan dan (5) Anak angkat serta (6) Anak asuh. Yang dimaksud dengan anak kandung adalah anak yang dilahirkan dari dalam rahim seorang ibu sedangkan anak terlantar adalah anak yang tidak terpelihara kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spritual, maupun sosial. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan bakat istimewa. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak secara wajar.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang ”Pengadilan Anak” dalam Pasal 1 ayat (2) pengertian “Anak nakal”: a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
Universitas Sumatera Utara
26
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perUndang-Undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sedang
menurut
Undang-Undang
No.
12
Tahun
1995
tentang
Pemasyarakatan, Warga binaan pemasyarakatan terdiri dari Narapidana, Anak didik pemasyarakatan dan Klien pemasyarakatan. Adapun pengertian dari istilah ”Anak didik pemasyarakatan” ialah: a. Anak Pidana, anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. b. Anak Negara, anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk di didik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. c. Anak Sipil, anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk di didik di Lembaga Pemasyarakatan paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian Anak Pidana adalah anak yang harus menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama hingga ia berumur 18 (delapan belas) tahun.
B. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Pada tanggal 17 April sampai dengan 7 Mei 1964 diadakan Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Bandung. Konferensi tersebut
Universitas Sumatera Utara
27
mengeluarkan hasil berupa suatu sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang disebut “Sistem Pemasyarakatan”. Yang dimaksud dengan Sistem Pemasyarakatan adalah “Suatu proses Therapoutie yang dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, Pancasila, Penganyoman dan Tut Wuri Handayani.” 17 Sistem pemasyarakatan sudah mulai dikenal sejak tahun 1964 sebagai pengganti dari sistem kepenjaraan, dengan demikian istilah penjara juga diganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan tepatnya pada tanggal 27 April ditetapkan sebagai hari pemasyarakatan. Banyak sekali dapat ditarik pelajaran sejarah dari periode-periode yang telah lalu, baik dari periode-periode pra-Proklamasi Kemerdekaan maupun periode-periode sesudahnya. Periode yang sedang mulai berlangsung sekarang ini adalah hari esoknya hari kemarin dan akan pula merupakan hari kemarinnya hari esok. Pada dewasa ini kita berada pada titik pertemuan antara hari kemarin dan hari esok dan titik pertemuan ini bertepatan pula dengan adanya gejala-gejala pergeseran pendapat baru dibidang koreksi yang sebetulnya telah mulai nampak sejak pertengahan tahun 1970-an. Pergeseran pendapat yang baru ini terdapat antara mereka yang menganut aliran “pemberian pembinaan” (treatment approach) dan mereka yang menganut aliran “pemberian hukuman” (punishment approach). Sejarah berulang kalau dulu pergeseran pendapat terjadi antara penganut aliran “pemberian hukuman” versus aliran “pemberian pembinaan”, maka yang
17
Ibid, hal. 186.
Universitas Sumatera Utara
28
terjadi sejak pertengahan 1970-an adalah sebaliknya, “The pendulum began to swing back toward a more punishment oriented philosophy” (pendulum jam mulai berayun kembali menuju falsafah yang berorientasi kepada pemberian hukuman), demikian digambarkan oleh Professor Louis P. Carney: “Introduction to Correctional Science”, 1979, halaman 15) dan karena aliran baru yang timbul ini banyak sekali persamaannya dengan aliran “Klasik” yang terdapat pada abad XVIII, Carney cenderung untuk menamakannya “aliran Klasik baru”. Argumentasi yang dikemukakan oleh “aliran yang baru” ini tentang pola pemikirannya yang berorientasi kepada “pemberian hukuman”, ialah karena menurut para penganutnya konsep rehabilitasi dari pola pembinaan lebih banyak mengandung rhetorica dari pada keberhasilan. Terkenal diantara penganut dari aliran “pemberian hukuman” (punishment) ini antara lain Dr. Robert Martinson, James Q, Wilson, Ernest van den Haag dan David Fogel, yang keempat-empatnya pernah mengeluarkan buku yang pada pokoknya mengadakan oposisi terhadap aliran yang menganut “pemberian pembinaan” (treatment). Sebaliknya aliran yang menganut konsep “pemberian pembinaan” mempertahankan
pendirinannya.
Kegagalan-kegagalan
dan
kekurangan-
kekurangan menurut penganut aliran ini terletak pada tata cara pelaksanaannya bukan terletak pada falsafahnya yang sebenarnya tidak pernah diberi kesempatan yang wajar untuk menunjukkan dan membuktikan kebenarannya. Dilihat dari segi adanya dua falsafah yang dipertentangkan itu yang sebenarnya sejak dulu tak pernah kunjung padam sama sekali dibidang koreksi, dapat dikatakan bahwa kedua aliran itu masing-masing mempunyai titik extremitasnya yakni: disatu pihak dalam hal penganut dari aliran “pemberian
Universitas Sumatera Utara
29
pembinaan” sama sekali mengingkari perlunya “pemberian hukuman”, dilain pihak dalam hal penganut dari aliran “pemberian hukuman” sama sekali mengingkari perlunya “pemberian pembinaan”. Penganut aliran “pemberian hukuman” antara lain menginginkan dihapuskannya pemberian “parole” dan pemberian remisi (potong masa pidana). Adanya dua faham yang bertentangan dibidang koreksi, dewasa ini mengundang
pertanyaan
bagi
kita
di
Indonesia:
Bagaimana
tentang
Pemasyarakatan dan masa depannya ? Secara singkat pertanyaan ini dapat dijawab: Pemasyarakatan berada diantara kedua extremitas itu. Hal itu dapat diterangkan sebagai berikut, pemasyarakatan dalam kehadirannya sebagai suatu tata perlakuan terhadap pelanggar hukum konsisten dengan cara bangsa Indonesia memandang seorang manusia (termasuk yang melanggar hukum), yakni berdasarkan kacamata dan jiwa Pancasila. Dalam Konferensi Lembang (27 April 1964) dinyatakan bahwa Pemasyarakatan adalah suatu proses yang didahului oleh keputusan Hakim. Proses itu dapat berjalan cepat atau lambat tergantung dari taraf kegairahan kegotong royongan antara terpidana, petugas dan masyarakat. Yang dituju oleh proses ialah pulihnya kesatuan hubungan yang hakiki antara manusia dan manusia lainnya (masyarakat) dibawah Daulat Tuhan Yang Maha Esa. Pulihnya kesatuan hubungan itu tercapai kalau sesuatu titik tertentu dalam proses telah tercapai. Titik tertentu itu adalah titik dari proses yang menunjukkan adanya sikap yang positif dari proses yang didukung oleh kepositifan dari terpidana, kepositifan dari petugas dan kepositifan masyarakat. Titik positif ini adalah titik perdamaian pula, dan prosesnya mrerupakan pendamaian. Dilihat dari segi vonnis hakim yang
Universitas Sumatera Utara
30
menentukan jenis dan lama pidana maka dalam proses vonnis itu berarti ditutupnya masa lampau dan diprediksikannya masa depan (diramalkannya masa depan). Kewajiban utama dari pemasyarakatan adalah melaksanakan apa yang telah diprediksikan oleh Hakim yang kebanyakan didasarkan atas keadaan masa lampau hal ini dapat dilihat dari jenis dan lamanya pidana dari suatu vonnis. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa masa depan dari suatu vonnis tidak dapat lepas sama sekali dari masa lampau (perkara) yang telah ditutupnya. Masa depan vonnis terutama menjadi tanggung jawab Pemasyarakatan dan karena masa depan vonnis itu tidak terlepas dari masa lampaunya maka tugas dari Pemasyarakatan dalam melaksanakan masa depan dari vonnis tidak pula dapat terlepas dari masa lampaunya. Dengan kata lain dalam melaksanakan masa depan dari vonnis terjadi unsur-unsur “pemberian pembinaan” dan “pemberian pidana”. Dikatakan bahwa tujuan dari “pemberian pidana” (causa finalis dari “pemberian pidana”) adalah “Herstel der Rechtsorde”. Dilihat dari segi posisi Pemasyarakatan pengertian “Rechtsorde” ini ada dua : a. Pertama
“Rechtsorde”
sebagai
“Tertib
Hukum”,
yakni
terdapat
kecenderungan untuk menempatkan seorang pelanggar hukum dalam posisi yang berada diluar sistem nilai yang berlaku dimasyarakat. b. Kedua “Rechtsorde” sebagai “Kesatuan Hubungan Hukum”, yakni seorang pelanggar hukum berada dalam posisi yang khusus, akan tetapi tidak diluar sistem nilai yang berlaku dimasyarakat (Masyarakat sebagai kesatuan hubungan hakiki antar manusia yang teratur atas hukum).
Universitas Sumatera Utara
31
Pulihnya kesatuan hubungan hukum antar pelanggar hukum terpidana dan masyarakatnya
lebih
mudah diusahakan kalau
pelanggar
hukum
yang
bersangkutan tetap berada dalam hubungannya dengan sistem nilai yang berlaku dimasyarakat dan tidak dikeluarkan dari sistem nilai itu. Inilah yang merupakan citra pemasyarakatan yang menganggap bahwa kesatuan hubungan hukum itu mengalami keretakan/gangguan, karena salah satu anggota masyarakat melakukan suatu perbuatan tercela, dan bukan suatu pemutusan dari kesatuan hubungan itu, karena salah satu anggota masyarakat merusak kesatuan hubungan hukum karena perbuatannya yang tercela. Namun pemulihan kesatuan hubungan itu memakan waktu dan “waktu” itu ada yang berjalan dengan cepat dan ada yang berjalan dengan lambat, tergantung dari faktor-faktor yang terlibat dalam proses pemulihan kesatuan hubungan itu. Faktor-faktor itu secara garis besarnya berkisar diantara faktor “pemberian hukuman” (punishment) dan faktor “pemberian pembinaan” (treatment). Dengan kata lain: didalam suatu “pemberian hukuman” tersimpul pula suatu “pemberian pembinaan” dan didalam suatu “pemberian pembinaan” tersimpul pula suatu “pemberian hukuman”. Pemberian hukuman yang tidak mengandung unsur “pemberian pembinaan” adalah suatu extremitas, begitupun sebaliknya. Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa titik berat dari proses Pemasyarakatan bergeser antara “pemberian hukuman” dan “pemberian pembinaan”. Adakalanya titik berat dari proses itu lebih condong kearah “pemberian hukuman” dan adakalanya lebih condong kearah “pemberian pembinaan” akan tetapi tidak pernah meninggalkan salah satu diantara yang dua itu. Pemasyarakatan mungkin pada dewasa ini masih lebih banyak merupakan
Universitas Sumatera Utara
32
cita-cita daripada kenyataan akan tetapi bukan suatu rhetorika dan bukan pula suatu mythos. Cita-cita membuat kita mengetahui kemana kita akan pergi dan kalau sudah diketahui kemana tujuan kita pergi kita harus menentukan bagaimana caranya yang benar dan sah untuk sampai kepada tujuan yang hendak dicapai (yang dicita-citakan itu). Rencana-rencana Pembangunan Lima Tahun telah memberi tahu cara-cara untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Yang menjadi kewajiban sekarang adalah pelaksanaan dari cara mencapai tujuan. Dalam pelaksanaan inilah banyak sekali faktor-faktor penghambat yang harus diatasi. Perilaku-perilaku yang berasal dari masa lampau yang telah melembaga (institutionalized), yang banyak sekali diantaranya tetap beralih menempati status yang ritualistis, sehingga seolah-olah dianggap “kramat” dan sukar untuk dilepaskan. Fragmentasi dalam tata peradilan pidana yang berkecenderungan untuk menetap dan bertahan, hukum pidana baik substantif maupun prosedural yang menampakkan citra iktikad yang punitif (punitive intend), kesadaran hukum yang berorientasi kepada corpus Juris Barat yang merupakan produk dari alam fikiran liberal abad XVIII, semuanya merupakan tantangan sindromis yang harus dihadapi dengan tabah, tawakal, penuh optimisme dan dengan semangat gotong royong yang tak kunjung padam, demi tercapainya kesatuan hubungan hidupkehidupan-penghidupan (kesatuan hubungan hukum) berdasarkan Pancasila, “Rechtsorde” Pancasila. Tepat sekali apa yang digambarkan oleh Menteri Kehakiman Ali Said, SH dalam sambutannya pada peringatan Hari Pemasyarakatan yang XVIII tanggal 27 April 1981 di Bandung, bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi oleh instansi
Universitas Sumatera Utara
33
Pemasyarakatan adalah setinggi gunung dan seringkali bersifat kejam, mencekam perasaan. Kepada generasi peneruslah terletak tanggung jawab yang besar diatas pundaknya untuk menjadikan cita-cita pemasyarakatan sebagai suatu spesialisme, sebagai suatu peng-ejawantahan dari keadilan dan pengadilan sebagaimana dicanangkan
dalam
Konperensi
Lembang
1964,
yang
mencerminkan
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sebagai suatu refleksi dari peradaban bangsa Indonesia, yakni suatu peradaban yang berdasarkan Pancasilan dan bersendikan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. 18 Dengan perubahan nama, maka berubah pula tujuan dari sistem tersebut, dalam sistem pemasyarakatan tujuannya bukan lagi untuk penjeraan, melainkan dimaksudkan untuk pembinaa. Pembinaan dilakukan sebagai persiapan untuk hidup kembali ditengah maysarakat secar wajar dan bertanggung jawab. Tujuan pidana penjara disini adalah disamping untuk menimbulkan derita pada narapidana dengan menghilangkan kemerdekaannya, juga untuk membimbing narapidana agar bertobat dan mendidik narapidana menjadi anggota masyarakat yang berguna. Dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan walaupun masih mengenal klasifikasi narapidana, tetapi klasifikasi tersebut dibatasi dengan bentuk tahapan pembinaan yang disebut dengan Proses Pemasyarakatan. Dasar pemikiran pembinaan itu sendiri berpatokan pada “10 Prinsip Pemayarakatan”, yaitu : 1. Mengayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik.
18
Http:/www.ditjenpas.go.id, diambil pada 23 februari 2010
Universitas Sumatera Utara
34
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan. 3. Berikan bimbingan (bukan penyiksaan) supaya mereka bertobat. 4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum dijatuhi pidana. 5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para narapidan dan anak di didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat. 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh sekedar bersifat mengisi waktu. 7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak adalah berdasarkan Pancasila. 8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit, perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak dirinya, keluarganya dan lingkungannya kemudian dibina dan dibimbing kejalan benar. 9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu. 10. Untuk pembinaan dan bimbingan narapidana dan anak didik, maka disediakan sarana yang diperlukan. 19
19
Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Jakarta : Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1990, hal. 14 lihat bandingkan Baharuddin Suryobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa , majalah Prisma, Mei, 1982, hal.61 menyatakan ” Dalam hal ini tujuan Sahardjo mengemukakan 10 Prinsip Pemasyarakatan adalah : a. Pemasyarakatan tidak hanya tujuan dari pidana penjara , melainkan pula suatu cara atau sistem perlakuan terpidana ; b. Pemasyarakatan adalah suatu proses perlakuan yang menganut prinsip gotongroyong, yakni antara petugas-narapidana-masyarakat ; c. Tujuan Pemasyarakatan adalah mencapai kesatuan hubungan hidup-kehidupan yang terjalin antara terpidana dan masyarakat ; d. Fokus pemasyarakatan bukan individu terpidana secara eksklusif, melainkan kesatuan hubungan anatara terpidana dan masyarakat ;
Universitas Sumatera Utara
35
Mengenai apa yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan itu sendiri telah diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu: “Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara waga binaan pemasyarakatan, untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”. Secara filosofi Pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi Retributif (pembalasan), Deterrence (penjeraan) dan Resosialisasi. Dengan kata lain pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana
e.
f.
g. h. i.
j. k.
Terpidana harus dipandang sebagai seorang yang melukan pelanggaran hukum, tidak karena ia ingin melanggar hukum melainkan karena ia ditinggalkan dan tertinggal dalam mengikuti derap hukum kemasyarakatan yang makin lama makin kompleks; Terpidana harus dipandang sebagai manusia makhluk Tuhan seperti manusiamanusia lainnya mempunyai potensi dan itikad untuk menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat ; Semua unsur yang terlibat dalam proses peradilan pidana pada hakekatnya menyukai perdamaian dan pada waktunya tidak segan-segan untuk mintak maaf ; Petugas pemasyarakatan harus menghayati prisnsip-prinsip kegotong-royongan dan harus menempatkan dirinya sebagai salah satu unsur dalam kegotong-royongan ; Tidak boleh ada paksaaan dalam kegotong-royongan , tujuan harus dapat dicapai melalui self propelling adjusment dan Readjusment Approach yang harus dipakai ialah Approach antara sesama manusia ; Lembaga Pemasyarakatan adalah unit operasional untuk mencapai tujuan pemasyarakatan dan bukan hanya bangunan, bangunan hanya sarana ; Tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila .
Universitas Sumatera Utara
36
dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakat (reintegrasi). 20 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Penegasan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh argumentasi Sahardjo tahun 1963, hasil Konferensi Dinas Kepenjaraan tahun 1964 tersebut. Dalam amanat Presiden saat membuka konfrensi ditegaskan, bahwa dengan menyadari setiap manusia adalah Mahluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan masyarakat dan diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif . Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana, melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan sangat manusiawi, melalui perlindungan hak-hak terpidana. Komitmen ini secara eksplisit ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
bahwa
sistem
pembinaan
pemasyarakatan
dilaksanakan
berdasarkan asas: pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. 20
Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2008, hal.5.
Universitas Sumatera Utara
37
Bahwa pemasyarakatan agar berhasil diselenggarakan dengan sistem integrasi dengan masyarakat maka harus ada usaha timbal balik, baik yang dari lembaga maupun yang dari masyarakat, semua itu merupakan satu kesatuan usaha. Pemasyarakatan tidak hanya diselenggarakan demi kepentingan narapidana tetapi justru demi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu dari masyarakat di harapkan akan pengertiannya, bantuannya dan bahkan juga tanggung jawabnya dalam
menyelenggarakan pembinaan
narapidana
sebab suatu
perbuatan
pelanggaran hukum selain tergantung dari sikap dan perbuatan narapidana, sedikit banyak juga tergantung dari masyarakat sekitarnya. 21 Maka sistem pemasyarakatan dalam pembinaan terpidana menurut Baharuddin Soerjobroto: ”Tidak boleh merupakan suatu treatment sistem yang ”prison oriented” melainkan multilateral dapat dikatakan ”gotong royong” oriented. Ini tidak berarti bahwa pembinaan secara institutair tidak diperlukan lagi, melainkan pembinaan secara instituair masih tetap perlu akan tetapi sekedar sebagai ”way-station” dalam arti kata yang baik, bukan seperti dulu untuk menuju tiang gantungan atau untuk menuju ke dunia yang gelap melainkan sebagai ”waystation” dalam proses of justice untuk menuju dunia yang lebih cerah penuh dengan harmoni perdamaian.” 22 Ide ”Pemasyarakatan” itu sendiri telah digunakan Sahardjo sebelum mengucapkan pidatonya, dalam pidato menteri kehakiman Sahardjo pada tanggal
21
Soedjono D, Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Bandung, Tribisana Karya, 1977, hal.153-154. 22 Baharuddin Soerjobroto,Op.Cit hal.24
Universitas Sumatera Utara
38
12 Januari 1962 yang diucapkan di Blitar ketika meresmikan pemakaian gedung rumah pendidikan negara yang baru selesai dibangun kembali. 23 Nampak jelas dari pengertian tersebut bahwa hubungan yang baik antara Pembina atau petugas Lembaga Pemasyarakatan yang dibina atau warga binaan pemasyarakatan dan mutlak diperlukan untuk menyiapkan warga binaan agar dapat kembali ke masyarakat dan diterima baik oleh masyarakat. Sistem
pemasyarakatan
berfungsi
menyiapkan
warga
binaan
pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. Dengan
adanya
sistem
pemasyarakatan
narapidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan harus diperlakukan dengan baik. Warga binaan pemasyarakatan sebagai manusia tentunya juga mempunyai keinginan yang sama seperti layaknya manusia bebas lainnya. Untuk itu Negara harus membina mereka dengan baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan yang didasarkan pada Pancasila dan tidak lepas dari 10 prinsip pemasyarakatan. Sebagian
besar
narapidana
dibina
di
dalam
Lembaga
Pemasyarakatan/Rutan. Sebenarnya narapidana harus dipidana dan dibina hanya di Lembaga Pemasyarakatan saja tidak di Rutan (Rumah Tahanan Negara), karena rumah hanya diperuntukkan bagi para tahanan. Tetapi karena tidak di setiap kota kabupaten mempunyai Lembaga Pemasyarakatan, maka sebagian narapidana terpaksa dipidana di Rutan dititipkan di Rutan setempat. Terutama untuk narapidana dengan pidana dibawah satu tahun atau narapidana yang sisa 23
Baharuddin Suryobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa, Majalah Prisma, Mei, 1992, hal.61
Universitas Sumatera Utara
39
pidananya tinggal beberapa bulan lagi dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan ke Rutan di tempat asal narapidana guna persiapan diri menjelang lepas/habis masa pidananya. Narapidana yang menjalankan pidana di Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya selama menjalani pidana telah kehilangan kebebasan untuk bergerak artinya narapidana yang bersangkutan hanya dapat bergerak di dalam Lembaga Pemasyarakatan saja. Kebebasan bergerak, kemerdekaan bergerak telah dirampas untuk jangka waktu tertentu, atau bahkan seumur hidup. Namun dalam kenyataannya bukan hanya kemerdekaan bergerak saja yang hilang, tetapi juga berbagai kemerdekaan yang lain ikut terampas. Dalam
proses
pemidanaan
Lembaga
Pemasyarakatan/Rutan
yang
mendapat porsi besar dalam melaksanakan pemidanaan setelah melalui proses Persidangan di Pengadilan. Pada awalnya tujuan pemidanaan adalah penjeraan, membuat pelaku tindak pidana menjadi jera untuk melakukan tindak pidana lagi. Tujuan itu kemudian berkembang menjadi Perlindungan hukum, baik kepada masyarakat (pihak yang dirugikan) maupun kepada pelaku tindak pidana (pihak yang merugikan) agar keduannya tidak melakukan tindakan hukum sendirisendiri. Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana dalam menjalani pidananya, juga mendapat perlakuan yang manusiawi, mendapat jaminan hukum yang memadai. Bentuk
perlakuan
dituangkan
dalam
usaha
Lembaga
Pemasyarakatan/Rutan untuk membina narapidana, untuk mengenal diri sendiri, sehingga dapat merubah diri sendiri menjadi lebih baik, menjadi lebih positif,
Universitas Sumatera Utara
40
tidak lagi melakukan tindak pidana dan mampu memgembangkan diri sendiri menjadi manusia yang lebih berguna bagi nusa, bangsa, agama dan keluarganya. 24 Berbagai upaya telah dilakukan Lembaga Pemasyarakatan/Rutan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efisien agar narapidana dapat
mengenal
diri
sendiri.
Usaha
itu
berupa
pembagian
Lembaga
Pemasyarakatan menurut usia misalnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak di Blitar, Tangerang, Plantungan dan Kalimantan. Lembaga Pemasyarakatan Khusus Pemuda di Tangerang, Lembaga Pemasyarakatan Dewasa Muda di Sukamiskin Bandung dan Lembaga Pemasyarakatan Dewasa dihampir semua kota kabupaten. Begitu juga didirikan Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan jenis kelamin misalnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus Wanita di Malang, Semarang, Tangerang dan Medan. Lembaga Pemasyarakatan juga dibagi berdasarkan kapasitasnya, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Klas I. II. III. Masih dalam kaitan upaya melaksanakan pemidanaan, telah dipisahkan menurut tugasnya antara Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara (Rutan). 25
F. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis 24
C.I. Harsono Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta, Djambatan, 1995, lihat bandingkan dengan David J Cooke, Pamela J Baldwin & Jaqueline Howison , Menyikap Dunia Gelap Penjara, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama ), 2008 , hal.6 menyatakan Menemukan kecakapan, kemampuan dan kualitas personal yang diperlukan oleh seorang petugas lapas merupakan langkah pertama dalam tugas psikolog. Setelah mengidentifikasi kualitas-kualitas tersebut barulah psikolog mendisain test dan interviu untuk mencari orang dengan kualitas yang diinginkan. 25 Ibid, hal.80
Universitas Sumatera Utara
41
dengan penggunaan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis, akan berkembang terus atas dasar penelitianpenelitian yang dilakukan oleh pengasuh-pengasuhnya. Hal itu terutama disebabkan oleh karena penggunaan ilmu pengetahuan bertujuan agar manusia lebih mengetahui dan lebih mendalami. 26 Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research, yaitu yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). 27 Pada dasarnya yang dicari itu adalah ”pengetahuan yang benar” untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu dengan menggunakan logika berfikir yang ditempuh melalui penalaran induktif, deduktif dan sistematis dalam penguraiannya. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. 1. Jenis penelitian Hukum Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah Penelitian hukum normatif mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perUndang-Undangan dan putusan pengadilan,
26
Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia, 2005,
hal.3 27
Bambang Sungono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Indonesia, 2005, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
42
dan selanjutnya sebagai data penunjang dilakukan penelitian hukum empiris, yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan sekaligus menganalisis mengenai peraturan hukum tentang pemenuhan hak-hak anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan. Dalam hubungan ini dilakukan pengukuran dan analisis terhadap Tinjauan Psikologi Kriminil Terhadap Narapidan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak melalui kajian Undang-Undang yakni Undang-Undang Republik
Indonesia
Undang-Undang
Nomor
12
tahun
1995
Tentang
Pemasyarakatan. 2. Sumber Data Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder untuk mendapatkan konsep teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek yang diteliti yang dapat berupa peraturan perUndang-Undangan dan karya ilmiah. Adapun data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. A. Data sekunder a. Bahan Hukum Primer sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Undang-Undang Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti misalnya rancangan Undang-
Universitas Sumatera Utara
43
Undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, serta penelitian lain yang relevan dengan penulisan ini. c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal hukum, laporan ilmiah yang akan dianalisa dengan tujuan untuk memahami lebih dalam penelitian. B. Data primer Data primer atau data dalam penelitian skripsi ini diperlukan untuk mendukung
data sekunder dan memberi pemahan yang jelas, lengkap dan
komprehensif terhadap data sekunder yang diperoleh dari sumber data melalui responden yaitu anak pidana dan pegawai lembaga pemasyarakatan. 3. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan bahan pustaka. Bahan pustaka yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer yatu peraturan perUndangan-Undangan, dokumen-dokumen dan teori, serta penelitian Lapangan dengan melakukan wawancara dan kuisioner terhadap informan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu petugas lembaga pemasyarkatan dan narapidana. 4. Analisa Data Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti. Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya. Untuk selanjutnya diadakan
Universitas Sumatera Utara
44
pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan. Sedangkan evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif. Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif. Dengan metode ini kemudian diperoleh kesesuaian antara pelaksanaan kajian hukum terhadap Tinjaun Psikologi Kriminil Tentang Hak-Hak Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Anak
G. Sistematika Penulisan Dalam rangka memberikan gambaran yang jelas dari maksud dan tujuan serta hubungan antar bagian yang terpenting dalam tulisan ini, maka sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam bab-bab dan masing-masing bab dibagi kedalam sub bab yang secara garis besar terdiri dari: BAB I : PENDAHULUAN yang meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan
dan
manfaat
penulisan,
keaslian
penulisan,
Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. BAB II : PENERAPAN HAK-HAK ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NO 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN yang meliputi Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak (Medan), Metode Pembinaan Anak, Hak Anak di Lembaga Pemasyarakatan. BABIII : PANDANGAN PSIKOLOGI KRIMINIL TERHADAP FAKTOR PENYEBAB KEJAHATAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK TANJUNG GUSTA
Universitas Sumatera Utara
45
MEDAN yakni: Jenis-jenis kejahatan yang dilakukan oleh Anak, faktor-faktor penyebab anak melakukan kejahatan. BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN meliputi Kesimpulan dan saran serta DAFTAR PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara