Pengetahuan Masyarakat Lingkungan Kumuh dan Hubungannya dengan Penyakit Respirasi Muhammad Reza Al Hakim, Elisna Syahruddin Program Studi Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Penyakit respirasi termasuk penyebab kematian tertinggi di dunia. Namun prevalensinya pada pemukiman kumuh di Indonesia masih belum diketahui. Penelitian cross sectional kemudian dilakukan di Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat dengan teknik cluster consecutive sampling pada 18-26 Januari 2012 untuk mengetahui prevalensi penyakit tersebut dan kaitannya dengan pengetahuan masyarakat, sebagai langkah awal intervensi pendidikan kesehatan. Hasil penelitian terhadap 104 responden berusia >18 tahun berdasarkan kuesioner: 1) Prevalensi penyakit respirasi sebanyak 5% terdiri dari asma (1,7%), pneumonia (0,2%), TB (2,2%) dan PPOK (0,9%) serta tidak ditemukannya hubungan tingkat pengetahuan dengan penyakit respirasi (p=0,342); 2) Terdapat 3,8% responden dengan tingkat pengetahuan baik, 41,3% cukup dan 54,8% kurang, berdasarkan pengetahuan terhadap penyakit respirasi. Kemudian tidak ditemukan hubungan karakteristik demografi usia (p=1,000), jenis kelamin (p=0,935) dan status pekerjaan (p=1,000) dengan tingkat pengetahuan; 3) Sumber informasi yang sering digunakan adalah televisi dan ditemukan korelasi bermakna antara jumlah sumber informasi dengan skor pengetahuan (p<0,05; r=0,278). Dalam penelitian disimpulkan masih belum perlunya penyuluhan. Namun perlu ditinjau lebih lanjut hubungan pengetahuan terhadap konsistensi perilaku hidup sehat yang dapat mencegah penyakit respirasi. Selain itu juga perlu diketahui faktor lain yang dapat memengaruhi tingkat pengetahuan, serta perlunya optimalisasi informasi kesehatan respirasi melalui televisi sebagai sumber informasi tersering yang digunakan. Kata Kunci: masyarakat lingkungan kumuh; penyakit respirasi; sumber informasi; sosio demografi; tingkat pengetahuan
Knowledge of Community in Slum Area and Its Association with The Prevalence of Respiratory Diseases Abstract Diseases of the respiratory system is one of leading cause of death in the world. However there has not been report about this prevalence in slum neighborhood, especially in Indonesia. Cross-sectional study was conducted in slums area, Kelurahan Petamburan, Tanah Abang, Central Jakarta using cluster consecutive sampling technique on 18–26 January 2012 to know the prevalence of respiratory diseases and its association with level of knowledge as the early step to analyze the need of health education. The results of research on 104 respondents aged >18 yearas old using questionnaire: 1) Prevalence of respiratory health problems as much as 5% consists of asthma (1,7%), pneumonia (0,2%), TB (2,2%), COPD (0,9%) and there is no association between level of knowledge and those prevalence; 2) There are 3,8% of the respondents with a good level of knowledge, 41,3% sufficient and 54,8% poor based on respiratory health problems. And the research found that there is no association between socio demographic such as age (p=1,000), gender (p=0,935), employment (p=1,000) and level of knowledge; 3) Frequently used source of information is through television and there is significant correlation between the number of sources information with knowledge about respiratory health problems (p<0,05; r=0,278). In the study, it was concluded that health education was not yet needed. But the influence of knowledge to the healthy living behavior which can prevent respiratory disease should be analyzed. Besides factors having association with level of knowledge about respiratory health is also needed to be found, and finally it is considered that optimalization of television as the most frequently used source information is needed. Keywords: level of knowledge; respiratory diseases; slums area; socio demographic; sources of informations
1 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
Pendahuluan Sistem organ vital respirasi hingga saat ini menyumbang angka kematian tersering di dunia. Menurut survei World Health Organization (WHO) tahun 2004, tercatat infeksi saluran pernapasan bawah, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), tuberkulosis (TB) dan kanker sistem pernapasan pada trakea, bronkus serta paru termasuk dalam 10 besar penyebab kematian tersering.1 Besar masalah penyakit respirasi didukung oleh Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2010 yang menyebutkan infeksi saluran napas dan pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit dan penyebab tersering penyakit rawat jalan.2 Secara sederhana penyakit tersebut digolongkan menjadi penyakit menular seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan TB, dan penyakit tidak menular seperti kanker saluran pernapasan, PPOK dan asma. Baik penyakit menular dan tidak menular tersebut sering terjadi pada kelompok usia rentan dan penduduk yang hidup di lingkungan yang tidak sehat.1 Terjadinya penyakit sistem respirasi dalam komunitas dipengaruhi faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan faktor individu tersebut sendiri. Dari keempat faktor tersebut, perilaku hidup individu adalah salah satu penentu penting kesehatan respirasi, dikaitkan dengan tingkat kesadaran masyarakat sendiri mengenai konsep sehat dan sakit. Namun pada kenyataannya, masyarakat Indonesia masih memiliki permasalahan dalam penerapan perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS) untuk menunjang kesehatan pada umumnya, termasuk di dalamnya kesehatan respirasi. Hal tersebut dapat terlihat dari perilaku merokok tanpa mempertimbangkan lebih lanjut dampaknya bagi kesehatan respirasi. Dilaporkan konsumsi rokok pada usia 13-15 tahun cukup tinggi, sebanyak 41% laki-laki dan 6,2% perempuan.3 Masalah kesehatan respirasi juga dipengaruhi faktor lingkungan, terutama lingkungan tempat tinggal. Lingkungan kumuh sebagai komunitas tempat tinggal dapat memudahkan terjadinya permasalahan kesehatan respirasi akibat keterbatasan kelayakan tempat tinggal. Hal tersebut disumbang oleh lingkungan di dalam dan di luar rumah. Lingkungan kumuh merupakan salah satu lingkungan yang tidak sehat dan memiliki dua faktor risiko kesehatan yang menjadi beban dunia, yaitu permasalahan sanitasi dan air bersih.1 Indonesia sebagai negara berkembang masih memiliki banyak tempat yang dikategorikan sebagai lingkungan kumuh sesuai kriteria United Nations Human Settlements Programme dan studi perkotaan oleh Suparlan. Lingkungan kumuh terutama banyak terdapat di kota besar seperti Jakarta. 2 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
Pada akhirnya, penyakit respirasi tersebut dapat dicegah melalui upaya preventif dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit respirasi sehingga dapat meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang sesuai dengan tujuan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2009.4 Oleh karena itu, penelitian ini diadakan di Kelurahan Petamburan dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit respirasi di lingkungan kumuh kota Jakarta tahun 2012 serta mengetahui hubungannya dengan tingkat pengetahuan masyarakat sebagai kesadaran individu terhadap penyakit tersebut.
Tinjauan Teoritis 1.
Penyakit Respirasi Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan penyakit respirasi adalah segala penyakit
yang dikeluhkan oleh pasien dan didiagnosis oleh tenaga kesehatan sejak 1 tahun terakhir tercatat Januari 2011 hingga Januari 2012. Pendataan penyakit tersebut berdasarkan keluhan jenis penyakit tersering yang tercatat, seperti ISPA, TB paru, PPOK, Kanker sistem pernapasan dan Asma.2 Secara umum kelompok penyakit di atas dibedakan menjadi penyakit tidak menular dan penyakit menular. Penyakit menular seperti ISPA dan TB paru tercatat masih merupakan kendala di Indonesia sesuai laporan WHO tahun 2010. Di Indonesia, ISPA merupakan penyebab kematian kedua tersering pada anak dan termasuk di dalamnya adalah kasus pneumonia. ISPA termasuk infeksi saluran pernapasan bawah diprediksi akan tetap menjadi beban penyakit dunia sebagai penyebab kematian tersering urutan ke-4 pada tahun 2030.1 Hingga saat ini ditemukan berbagai mikroorganisme penyebab infeksi paru yang dapat dibagi berdasarkan jenis pneumonianya menjadi pneumonia akut di masyarakat, pneumonia pada pejamu imunosupresi, pneumonia tipikal, pneumonia kronis, pneumonia aspirasi, pneumonia nosokomial dan pneumonia nekrotikans dan abses paru. Faktor gaya hidup dapat meningkatkan kerentanan tubuh dan memungkinkan manifestasi pneumonia seperti merokok yang melemahkan mukosilia dan konsumsi alkohol yang melemahkan refleks batuk.5 Pneumonia komunitas lebih sering menyerang orang muda dan tua, sedangkan pneumonia aspirasi sering terjadi pada usia tua dan alkoholik.6 Beberapa faktor risiko menyebabkan tingginya angka mortalitas akibat penumonia, diantaranya: 1) Usia >65 tahun; 2) Infeksi paru pasca paru obstruktif; 3) terdapat penyakit penyerta seperti PPOK, 3 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
DM, gagal ginjal dan penyakit kronik lainnya; dan 4) Komplikasi infeksi esktrapulmoner.6 Manifestasi gejala klinis bagi tiap agen penyakit sering ditemukan hampir sama, namun dapat dibedakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.6 Infeksi paru yang lebih spesifik, disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis adalah salah satu penyakit infeksi yang hingga saat ini sering ditemukan di daerah urban ataupun populasi dengan kepadatan penduduk tinggi. Indonesia menempati kedudukan kedua setelah India pada tahun 2008, dan diikuti oleh Pakistan sebagai negara dengan prevalensi TB paru tertinggi.3 Namun data tersebut belum diperbarui dan memasukkan prevalensi TB paru di Cina, sehingga Indonesia masih menjadi negara dengan peringkat ketiga tertinggi di dunia. Sejak tahun 1985, TB merupakan penyebab kematian ketiga tertinggi di Indonesia.7 Masyarakat yang rentan terhadap penyakit ini adalah penduduk di lingkungan padat penghuni karena
faktor lingkungan pendukung berkembangnya agen penyebab TB paru, seperti
sedikitnya cahaya matahari yang masuk serta sanitasi dan lingkungan dengan higienitas buruk. Pasien TB paru memiliki riwayat penurunan kekebalan tubuh yang mengakibatkan manifestasi TB paru.7 Selain masalah infeksi paru, permasalahan kesehatan paru yang sering dikeluhkan diantaranya asma, PPOK dan pasien rawat inap kanker paru. Ketiga penyakit tersebut tidak menular namun dapat bersifat progresif. Asma dengan keluhan yang sering ditemukan seperti batuk, sesak napas dan mengi, memiliki faktor risiko multifaktorial yang dapat digolongkan menjadi faktor pejamu dan lingkungan. Faktor pejamu yang berperan diantaranya adalah genetik, jenis kelamin, usia, dan tingkat stres.8 Secara genetik, terdapat kerentanan pada beberapa individu untuk mengidap asma, namun harus disertai dengan faktor risiko yang cukup untuk berkembang sebagai penyakit.5 Faktor lingkungan yang berpengaruh terutama saat masa pertumbuhan dan pematangan fungsi paru semenjak anak-anak. Paparan polutan seperti debu maupun zat kimia seperti polusi kendaraan, polusi asap pabrik di kota-kota besar serta paparan dalam rumah itu sendiri seperti rokok, dapat memengaruhi perkembangan penyakit asma.2,5 Penyakit pernapasan lain yang tidak menular, PPOK, merupakan penyakit dengan ciri peningkatan hambatan parsial maupun total dan tidak sepenuhnya reversibel. PPOK terjadi pada saluran pernapasan bawah atau infraglotik.5,8 PPOK menempati peringkat ketiga sebagai penyebab kematian setelah penyakit jantung, dan kanker pada tahun 2002.8 Sedangkan di Indonesia sendiri, PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan pada survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral PPM dan PL.2 Faktor risiko terhadap 4 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
PPOK yang paling penting adalah asap rokok, dan juga polusi udara. Faktor risiko terhadap PPOK selain dipengaruhi faktor host, perilaku dan lingkungan, juga dikenal istilah faktor risiko bersama yang ditemukan oleh WHO berhubungan dengan penyakit kronis tidak menular lainnya. Berbeda dengan asma dan PPOK, gangguan pernapasan yang terjadi pada kanker paru sering diakibatkan progresivitas penyakit yang dapat memiliki prognosis buruk jika telah merusak sebagian besar parenkim paru maupun metastasis ke organ lain. Kanker paru termasuk ke dalam gangguan respirasi yang sering ditemukan, sesuai dengan preferensi tingginya kematian akibat penyakit tidak menular dibandingkan penyakit menular.1,3 Kanker sistem pernapasan mulai dari trakea, bronkus dan paru merupakan kanker terbanyak yang terjadi di dunia, dengan urutan pertama tersering ditemukan pada laki-laki, dan kedua terbanyak pada perempuan setelah kanker payudara.1 Data di RS Dharmais pada tahun 1998, kanker paru merupakan kanker ke-3 tersering penyebab kematian.9 2.
Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil olah dari penerimaan informasi seseorang khususnya melalui
organ sensoris mata dan telinga mengenai suatu hal atau objek. Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting untuk terbentuknya suatu perilaku terbuka. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih lama dilakukan/dipertahankan. Proses yang berurutan dari sebuah perilaku diawali dari pengetahuan dari luar secara berurutan adalah: 1) kesadaran akan stimulus; 2) tertarik terhadap stimulus tersebut; 3) evaluasi atau proses menimbang menurut pandangan individu apakah stimulus tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada dirinya dan kemudian memiliki sikap yang lebih baik terhadap stimulus tersebut; 4) percobaan, yaitu tahapan melakukan perilaku baru dari stimulus yang didapat; 5) adopsi, yaitu berperilaku sesuai dengan sikap, pengetahuan dan kesadaran terhadap stimulus.10 Kedudukan pengetahuan sebagai faktor yang berpengaruh tersebut juga dijelaskan menurut teori Health Belief Model, yang menghubungkan pengetahuan dengan kesadaran individu terhadap kerentanan dirinya terhadap penyakit, kesadaran akan manfaat perlunya perubahan perilaku, kesadaran akan adanya berbagai halangan untuk melakukan rencana tersebut, kesadaran terhadap kepercayaan diri sendiri dan pada akhirnya berkesimpulan terhadap level ancaman terhadap penyakit tersebut. Kesadaran akan ancaman mengakibatkan isyarat individu melakukan suatu tindakan dan terjadilah perubahan perilaku atau timbulnya perilaku yang baru.11 5 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
Tingkatan pengetahuan menurut Notoatmodjo S, dibagi menjadi enam tingkatan meliputi tahu (knowing); memahami; penerapan; analisis; sintesis; dan evaluasi. Tahapan paling rendah dari pengetahuan adalah tahu, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat mengenai apa yang dipelajari atau didapatkan dan mampu menyebutkan, mendefinisikan suatu hal. Sedangkan pada tingkatan memahami, seseorang harus mampu menjelaskan sesuatu hal dengan jelas, baik dengan memberikan contoh serta memiliki kemampuan mebuat kesimpulan. Kemudian pengetahuan tersebut akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari atau dalam kondisi yang nyata, atau dengan kata lain diaplikasikan dalam kegunaan tertentu. Untuk proses yang lebih lanjut, yaitu analisis, memberikan seseorang kemampuan untuk melakukan pengelompokan, dapat membedakan, membuat bagan terhadap suatu proses dan memisahkan berbagai hal yang berbeda. Kemudian seorang individu diharapkan mampu membuat suatu pengaturan baru/formulasi baru dari berbagai komponen yang ada, yaitu dapat menyesuaikan dengan teori atau rumusan yang ada, meringkas dan menyusun (sintesis). Dan pada proses akhir, individu tersebut akan memberikan penilaian terhadap suatu hal menggunakan kriteria penilaiannya sendiri yang didapat dari pengetahuannya mengenai objek tersebut, maupun menggunakan kriteria yang memang telah ada.10 Menurut teori HBM, yang lahir dari teori stimulus-respons dan teori kognitif, menunjukkan bahwa seseorang akan melakukan suatu tindakan berdasarkan stimulus pada dirinya dan memberikan reaksi terhadap stimulus tersebut, ataupun melalui proses berpikir dan berhipotesis, melakukan suatu tindakan dengan mengharapkan outcome tertentu. Pada model perilaku ini, faktor pengetahuan cukup penting karena dapat membangkitkan kesadaran seseorang terhadap suatu penyakit, meliputi kerentanan dirinya terhadap penyakit, manfaat mengetahui faktor risiko dan pencegahan, kesadaran terhadap manfaat yang akan didapatkan jika mengetahui kebaikan perubahan perilaku, kesadaran terhadap urgensi perubahan perilaku karena derajat keparahan penyakit dan kesadaran terhadap kemampuan diri sendiri untuk melakukan perubahan perilaku menjadi lebih sehat.11 Sedangkan untuk Transtheoretical Theory, dikemukakan bahwa terdapat enam tahapan perubahan
perilaku,
yaitu
prekontemplasi,
kontemplasi,
persiapan,
aksi,
pemeliharaan/maintenance, dan terminasi. Dari keenam tahapan tersebut pengaruh pengetahuan terletak pada tahapan persiapan, yang dapat mengoptimalkan alasan seseorang untuk mengubah perilaku tidak sehat menjadi perilaku sehat. Sedangkan pada tahapan prekontemplasi dan kontemplasi, pengetahuan pada seseorang tidak dapat diintervensi, karena cenderung tidak siap terhadap perubahan yang seharusnya dilakukan. Tahapan selanjutnya 6 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
adalah aksi, yang sudah menunjukkan tingkat perubahan yang lebih spesifik dan dikategorikan berlangsung dalam 6 bulan pertama perubahan. Pada fase pemeliharaan, orang tersebut akan menjadi lebih condong pada sisi pro terhadap perubahan gaya hidup dan semakin yakin akan hasil positif yang akan didapatkannya, diperlihatkan dengan perubahan perilaku menjadi lebih sehat melebihi enam bulan. Sedangkan pada fase akhir, yaitu terminasi, pasien dalam keadaan apapun sama sekali tidak akan kembali ke perilaku kehidupan tidak sehat, walaupun dalam keadaan cemas, emosi, marah, dan gelisah. Pada fase akhir ini, secara percaya diri 100% ia tidak akan mengulangi perilaku tidak sehat tersebut.11
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan tujuan mengetahui prevalensi penyakit respirasi di lingkungan kumuh dan hubungannya dengan pengetahuan masyarakat. Pengambilan data dilakukan di Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat pada 18 hingga 26 Januari 2012. Sumber data adalah data primer berupa kuesioner tervalidasi yang diberikan kepada penduduk Jakarta yang tinggal di lingkungan kumuh khususnya wilayah Petamburan di RW 3 yang melibatkan RT 01, 03 , 04, 05, 06, 07, 08 dan 09 sebagai populasi terjangkau. Besar sampel yang diperkirakan adalah 107 orang, namun terdapat hanya 104 responden yang berhasil menyelesaikan penelitian sesuai kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusif. Kriteria inklusif tersebut diantaranya adalah penduduk tetap Kelurahan Petamburan di RW dan RT yang bersangkutan dan berusia lebih dari 18 tahun, mampu membaca serta menulis dan menandatangani informed consent. Sedangkan kriteria ekslusinya yaitu pengisian kuesioner yang tidak lengkap. Pemilihan sampel dalam penelitian dilakukan berdasarkan cluster consecutive sampling dengan pertimbangan setiap RT minimal mendapatkan 10 responden hingga didapatkan 107 sampel pada periode pengambilan data yang sudah ditentukan. Analisis dilakukan menggunakan analisis univariat untuk data demografis, tingkat pengetahuan, prevalensi penyakit respirasi dan jumlah sumber informasi yang digunakan. Sedangkan analisis bivariat dalam penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan penyakit respirasi responden, hubungan umur, jenis kelamin dan status bekerja dengan tingkat pengetahuan, dan korelasi skor pengetahuan mengenai penyakit respirasi dengan jumlah sumber informasi yang digunakan. Uji korelasi menggunakan uji Spearman karena distribusi data tidak normal, sedangkan uji komparatif menggunakan alternatif uji Chi-Square jika syarat tidak terpenuhi, 7 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
yaitu uji Fisher’s Exact untuk tabel 2x2, uji Kolmogorov-Smirnov untuk tabel 2x>2 dan penggabungan sel untuk jumlah tabel lainnya.
Hasil Penelitian Pada penelitian didapatkan 104 responden dengan eksklusi tiga responden dari 107 responden di awal penelitian karena tidak mengisi kuesioner dengan lengkap ataupun tidak bersedia mengikuti penelitian. Tabel 1. Karakteristik Responden berdasarkan Data Demografis Variabel Jenis kelamin Kelompok usia Pekerjaan
Kategori Laki-laki Perempuan Dewasa muda (19-40 tahun) Dewasa menengah (41-65 tahun) Dewasa tua/Lanjut usia (>65 tahun) Tidak bekerja - Ibu rumah tangga - Pensiunan Bekerja - Wiraswasta - Pegawai perusahaan swasta - Penjahit dan pengrajin - Buruh - Guru - Pelajar
N 10 94 47 53 4
% 9,6 90,4 45,2 51,0 3,8
73 1
70,2 1,0
16 5 4 2 2 1
15,4 4,8 3,8 1,9 1,9 1,0
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan empat penyakit respirasi, yaitu TB paru, Asma, PPOK dan ISPA (pneumonia) berdasarkan hasil wawancara menderita penyakit tersebut dalam satu tahun terakhir didasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan. Prevalensi mengenai kanker sistem pernapasan (trakea, bronkus dan paru) tidak ditemukan. Penghitungan prevalensi didasarkan pada jumlah total anggota keluarga yaitu 538 penduduk dari 104 responden yang mewakili 104 rumah hunian. Didapatkan sebesar 4,4% penyakit respirasi dengan sebaran jenis penyakit respirasi sesuai dengan Gambar 1. Persentase ini terdiri dari 1,8% penyakit respirasi responden dan 3,2% penyakit respirasi nonresponden. Penyakit respirasi responden terdiri dari 1,33% asma, 0,37% TB paru, dan 0,18% ISPA (pneumonia).
8 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
0.2% 1.7%
0.9% Asma 2.2% ISPA PPOK TB Paru
95.0% Tidak mengalami masalah kesehatan respirasi
Gambar 1. Prevalensi Penyakit Respirasi Masyarakat Lingkungan Kumuh
Tingkat pengetahuan mengenai penyakit respirasi, dikategorikan menjadi tiga kelompok secara bertingkat, yaitu baik (skor>44), cukup (skor 34-43) dan kurang (skor<33). Diketahui bahwa mayoritas masyarakat masih memiliki tingkat pengetahuan yang rendah yaitu sebesar 54,8% responden dan hanya 3,8% responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik terhadap penyakit sistem respirasi. Tingkat pengetahuan dikelompokkan menjadi 6 kategori pengetahuan, yaitu: 1) Pengetahuan umum mengenai kesehatan sistem respirasi; 2) Pengetahuan mengenai TB paru; 3) Pengetahuan mengenai Asma; 4) Pengetahuan mengenai PPOK; 5) Pengetahuan mengenai ISPA (pneumonia) dan 6) Pengetahuan mengenai kanker paru. Kelima penyakit yang telah disebutkan sebelumnya, dilakukan penilaian terhadap: 1) Penyebab penyakit; 2) Gejala penyakit yang bersangkutan; dan 3) Pencegahan yang dapat dilakukan terhadap terjadinya penyakit tersebut. Didapatkan pengetahuan terhadap asma adalah pengetahuan yang paling baik dibandingkan kategori pengetahuan yang lain dengan tingkat pengetahuan baik pada 36,5% responden. Sedangkan kategori pengetahuan yang paling sedikit diketahui adalah pengetahuan terhadap ISPA (pneumonia) ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan kurang pada 70,2% responden. Pada analisis selanjutnya mengenai uji hipotesis komparatif maupun korelatif, digunakan skor total pengetahuan mengenai penyakit respirasi dengan menjumlahkan keenam kategori pengetahuan yang telah disebutkan sebelumnya.
9 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
Tabel 2. Hasil Jawaban Responden terhadap Enam Kategori Pengetahuan Kategori Pengetahuan Pengetahuan umum
TB Asma PPOK ISPA (Pneumonia) Kanker paru
Tingkat pengetahuan Kurang Cukup Baik Kurang Cukup Baik Kurang Cukup Baik Kurang Cukup Baik Kurang Cukup Baik Kurang Cukup Baik
Jumlah jawaban benar 1-5 6-7 8-9 1-5 6-7 8-9 1-3 4-5 6-7 1-7 8-9 10-12 1-5 6-7 8-9 1-5 6-7 8-9
N 57 40 7 51 36 17 22 44 38 63 35 6 73 27 4 53 45 6
% 54,8 38,5 6,7 49,0 34,6 16,3 21,2 42,3 36,5 60,6 33,7 5,8 70,2 26,0 3,8 51,0 43,3 5,8
Sebaran responden berdasarkan jumlah sumber informasi dijelaskan oleh Tabel 3.4, dengan persentase terbanyak sebesar 29,8% hanya mengandalkan satu sumber informasi. Selain itu juga didapatkan 6,7% responden sama sekali tidak mengandalkan sumber informasi apapun mengenai penyakit respirasi. Tabel 3. Sebaran Responden berdasarkan Jumlah Sumber Informasi Jumlah Sumber Informasi Tidak mendapat informasi 1 sumber informasi 2 sumber informasi 3 sumber informasi 4 sumber informasi 5 sumber informasi 6 sumber informasi
n 7 31 13 11 2 21 19
% 6,7 29,8 12,5 10,6 1,9 20,2 18,3
Dalam survei, sumber informasi media massa yang digunakan sesuai dengan Gambar 2, mencakup iklan layanan TV dan radio, artikel di koran atau majalah, artikel kesehatan berasal dari internet, dan ceramah petugas kesehatan mengenai penyakit respirasi. Kategori Lain-lain dalam hasil survei menjelaskan sumber informasi lain yang didapatkan oleh responden, yaitu informasi dari orang lain seperti teman, keluarga, dan tetangga. Dari 97 responden yang mengaku mendapatkan sumber informasi tersebut, didapatkan iklan layanan masyarakat di TV sebagai sumber informasi tersering yang didapatkan. Dari Gambar 2. diketahui iklan
10 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
layanan masyarakat di TV sebagai sumber informasi tersering yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan terhadap penyakit respirasi pada 25,5% responden.
6.94%
Ceramah petugas kesehatan Iklan layanan masyarakat di TV
20.19%
14.20%
Iklan layanan masyarakat di radio 18.30%
Tulisan/artikel di koran/ majalah
25.55%
Informasi melalui internet 14.83%
Lain-lain
Gambar 2. Sumber Informasi mengenai Kesehatan Sistem Respirasi
Berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov didapatkan bahwa data berupa sebaran karakteristik responden seperti usia, jenis kelamin dan status pekerjaan memiliki distribusi tidak normal (p<0,05). Data berupa skor pengetahuan juga berdistribusi tidak normal dengan menggunakan uji hipotesis yang sama (p<0,05). Berdasarkan uji analisis Fisher’s Exact, terbukti bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan penyakit respirasi dengan penyakit respirasi responden (p>0,05) sesuai dengan Tabel 4. Pengelompokan tingkat pengetahuan baik dan cukup didasarkan pada proses uji hipotesis kategorik Chi-Square dan alasan pemerataan persebaran responden. Tabel 4. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Penyakit Respirasi Responden Penyakit Respirasi Responden Tingkat Pengetahuan Baik dan Cukup Kurang
N 41 53
Tidak ada % 87,2 93,0
Uji Fisher’s Exact
Ada n 6 4
% 12,8 7,0
p=0,342
Atas dasar penyederhanaan klasifikasi dan melalui proses analisis, variabel jenis pekerjaan dikelompokkan menjadi variabel status pekerjaan dengan dua kategori yaitu bekerja dan tidak bekerja. Begitu juga dengan kelompok usia, menjadi kelompok dewasa muda 11 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
(<40th) dan kelompok gabungan antara dewasa menengah dengan dewasa tua/lanjut usia (41th<). Dari data tersebut, berdasarkan uji Kolmogorov-Smirnov, tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat pengetahuan (p=0,935), status bekerja dengan tingkat pengetahuan (p=1,000) dan usia dengan tingkat pengetahuan (p=1,000). Tabel 5. Hubungan antara Sebaran Demografi dengan Tingkat Pengetahuan Penyakit Respirasi
Variabel Jenis kelamin Status bekerja Usia
Kategori Laki-laki Perempuan Tidak bekerja Bekerja <40th 41th<
Tingkat Pengetahuan Cukup % n % 40,0 4 40,0 56,4 39 41,5 55,4 31 41,9 53,5 12 40,0 55,3 19 40,4 54,4 24 42,1
Kurang n 4 53 41 16 26 31
Baik n 2 2 2 2 2 2
Nilai p % 20 2,1 2,7 6,7 4,3 3,5
0,935 1,000 1,000
Penelitian juga menganalisis korelasi skor pengetahuan mengenai penyakit respirasi dengan jumlah sumber informasi yang dijelaskan pada Tabel 6. Pada penelitian didapatkan nilai p=0,004 yang menunjukkan adanya korelasi bermakna antara jumlah sumber informasi mengenai penyakit respirasi dengan skor pengetahuan terhadap penyakit respirasi. Arah korelasi dari kedua variabel ini bernilai positif, menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah sumber informasi yang didapatkan mengenai penyakit respirasi, maka akan semakin tinggi pula skor pengetahuan terhadap penyakit respirasi. Kekuatan korelasi antara jumlah sumber informasi dengan skor pengetahuan tersebut tergolong lemah, yaitu sebesar 0,278. Tabel 6. Korelasi Jumlah Sumber Informasi dengan Skor Pengetahuan Penyakit Respirasi
Jumlah sumber informasi
Skor pengetahuan 0,278 <0,05 104
r p n
Uji korelasi Spearman
Pada uji korelatif selanjutnya didapatkan skor pengetahuan mengenai TB dan kanker paru memiliki korelasi bermakna dengan jumlah sumber informasi yang digunakan oleh responden dan berkorelasi lemah, berturut-turut bernilai p=0,02; r=0,227 dan p=0,024; r=0,221. Skor mengenai pengetahuan umum terhadap penyakit respirasi dengan jumlah sumber informasi juga berkorelasi bermakna dengan nilai korelasi lemah yaitu dengan nilai p=0,001 dan r=0,312.
12 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
Pembahasan 1.
Prevalensi Penyakit Respirasi Didapatkan empat jenis penyakit respirasi pada masyarakat lingkungan kumuh pada
semua usia sesuai dengan Gambar 1. yaitu asma (1,7%), TB paru (2,2%), ISPA/pneumonia (0,2%) dan PPOK (0,9%). Prevalensi terhadap kanker sistem pernapasan tidak ditemukan pada populasi tersebut. Data prevalensi tersebut merupakan data epidemiologi baru karena sampai sekarang masih belum dilaporkan pendataan mengenai prevalensi penyakit respirasi pada populasi berisiko terhadap penyakit respirasi, yaitu penduduk lingkungan kumuh. Data prevalensi penyakit respirasi tersebut dapat dibandingkan dengan empat lingkungan kumuh di Nairobi dan didapatkan prevalensi yang kurang lebih sama untuk prevalensi asma yaitu 2,3% melalui pendataan oleh tenaga kesehatan.12 Prevalensi tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan asma yang terjadi di Kota Pune, India, yaitu 10%.13 Sedangkan prevalensi TB paru lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah kejadian di lingkungan kumuh Kota Ahmedabad, India, yaitu 0,469%.14 Prevalensi terhadap PPOK di lingkungan kumuh juga masih merupakan data baru di Indonesia, namun jika dibandingkan dengan PPOK masyarakat lingkungan kumuh di India, didapatkan prevalensi yang lebih besar, yaitu 8,5%. Sedangkan prevalensi ISPA (pneumonia), dalam hal ini spesifik pada saluran pernapasan bawah, tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan lingkungan kumuh di India, ditemukan sebesar 36,3% pada anak usia pra-sekolah. Prevalensi di India tersebut juga sebanding dengan prevalensi ISPA (pneumonia) di Nairobi yaitu 10,8% pada laki-laki dan 11,2% pada perempuan.12 Prevalensi yang lebih sedikit pada lingkungan kumuh Petamburan dikarenakan diagnosisnya dibatasi pada gangguan saluran napas oleh tenaga kesehatan dan hanya ditemukan pada pasien dewasa. Dari hasil perbandingan prevalensi penyakit respirasi di lingkungan kumuh di atas, maka dapat diketahui beberapa hal yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan sistem respirasi. Menurut Mohamed et al, polusi dalam rumah, debu karpet dan tempat tidur anak yang dekat dengan polusi udara menyebabkan peningkatan risiko berkembangnya asma.15 Selain itu, ISPA juga dapat ditingkatkan kejadiannya oleh faktor risiko berupa polusi udara dalam rumah seperti asap rumah tangga, asap rokok, polusi udara perkotaan dan sanitasi lingkungan yang buruk. Kondisi rumah yang sempit dan lingkungan yang terlalu padat juga dapat meningkatkan angka penularan infeksi seperti TB.16 Berbagai faktor risiko tersebut juga ditemukan di Kelurahan Petamburan, sehingga warga Kelurahan Petamburan termasuk sebagai penduduk dengan faktor risiko terhadap penyakit respirasi. 13 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
2.
Tingkat Pengetahuan Masyarakat Lingkungan Kumuh mengenai Penyakit Respirasi Persepsi masyarakat lingkungan kumuh mengenai penyakit respirasi masih belum
sepenuhnya benar. Persebaran tingkat pengetahuan mengenai penyakit respirasi masih didominasi oleh masyarakat dengan pengetahuan cukup (41,3%) dan kurang (53,8%). Sementara tingkat pengetahuan yang baik hanya sebesar 3,8%. Persentase tersebut merupakan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit respirasi mencakup pengetahuan umum masalah kesehatan respirasi, pengetahuan mengenai TB, asma, ISPA (pneumonia), PPOK dan kanker paru. Pada hasil survei, didapatkan pengetahuan masyarakat lingkungan kumuh mengenai asma merupakan pengetahuan paling baik, ditunjukkan dengan persentase tertinggi terhadap kategori pengetahuan baik sebesar 36,5%. Sedangkan pengetahuan mengenai kesehatan respirasi yang paling rendah adalah mengenai ISPA dengan tingkat pengetahuan baik sejumlah 3,8% dan mayoritas menjawab dengan kategori kurang, sebesar 70,2% (Tabel 2). Dalam kategori pertanyaan mengenai kanker paru, mayoritas responden mengetahui asap rokok sebagai faktor risiko dan penyebab terjadinya kanker paru (78%). Hal ini sesuai dengan studi cross sectional dengan pengambilan sampel cluster consecutive di New Delhi pada masyarakat lingkungan kumuh di kota, yaitu sebanyak 87% responden menyebutkan tembakau sebagai faktor risiko kanker paru.17 Asap rokok juga disebutkan sebagai penyebab gangguan penyakit respirasi oleh 24% pasien PPOK di India.18 Dalam pertanyaan mengenai penyakit TB paru, tanda batuk darah sebagai gejala TB paru diketahui cukup baik oleh responden yaitu sebesar 87,3%. Pengetahuan tersebut cenderung lebih baik jika dibandingkan dengan pengetahuan masyarakat rural (31,2%) di Pakistan dan 36,5% masyarakat urban yang mengetahui batuk darah adalah salah satu gejala TB paru.19 Sedangkan gejala batuk selama 3 minggu dijawab 67,3% responden penelitian sebagai gejala TB. Pengetahuan ini lebih baik jika dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Mushtaq et al di Provinsi Punjab, Pakistan sebuah studi potong lintang dengan pengambilan sampel multi-stage cluster sampling, yang mendapatkan sebanyak 53,5% penduduk urban dan 36,1% penduduk rural mengetahui hal yang sama.20 Pada pertanyaan selanjutnya mengenai penyebab TB, diketahui sebanyak 89,4% responden berpendapat bahwa merokok dapat menyebabkan terjadinya TB paru. Jumlah tersebut lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian cross sectional yang diadakan di Jakarta Timur pada populasi ibu rumah tangga secara simple random sampling dan didapatkan sebanyak 25,6% responden juga menyebutkan rokok sebagai penyebab TB paru.21 Sedangkan kategori pengetahuan TB 14 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
dari segi pencegahan, didapatkan 37,5% responden mengetahui imunisasi BCG dapat mencegah terjadinya TB. Berbeda dengan Mushtaq et al yang mendapatkan pengetahuan terhadap pencegahan tersebut diketahui oleh 43,8% masyarakat urban dan 32,7% masyarakat rural.20 Pengetahuan mengenai asma yang dibandingkan dengan penelitian lain adalah kejadian asma sebagai gejala sesak napas yang terjadi secara mendadak. Pengetahuan tersebut diketahui sebagai tanda awal gejala asma oleh 51% responden Kelurahan Petamburan. Berbeda dengan penelitian oleh Mancuso et al tehadap 175 pasien dewasa yang mendapatkan 32% pasien dengan pendidikan kesehatan yang cukup dan 9% pasien asma yang tidak mendapatkan pendidikan kesehatan adekuat mengetahui hal tersebut.22 Pengetahuan mengenai ISPA (pneumonia) pada masyarakat Kelurahan Petamburan merupakan kategori pengetahuan dengan jawaban benar paling rendah. Berbeda dengan populasi ibu balita penderita ISPA di India, yang memiliki tingkat pengetahuan dalam kategori baik, sebesar 51,8% dan yang berpengetahuan rendah sebanyak 7,7%. Walaupun dengan kuesioner yang berbeda, pengetahuan tersebut mencakup kategori yang sama mengenai gejala, penyebab penyakit dan cara pencegahan ISPA.23 Selain itu, populasi yang dipakai juga merupakan masyarakat lingkungan kumuh. Namun perbedaan yang mendasar terletak pada responden yang diberi kuesioner, yaitu pada penelitian di India diberikan kepada ibu dengan balita penderita ISPA, sedangkan pada penelitian di Kelurahan Petamburan kuesioner diberikan kepada populasi dengan faktor risiko terhadap penyakit respirasi. Dari analisis beberapa pertanyaan tersebut, disimpulkan bahwa responden memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda dibandingkan dengan penelitian lain yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor lingkungan tempat tinggal, tingkat pendidikan, perbedaan karakteristik individu, dan sumber informasi mengenai hal tersebut. 3.
Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Penyakit Respirasi Responden pada Masyarakat Lingkungan Kumuh Menurut teori HBM, tingkat pengetahuan memiliki pengaruh secara langsung terhadap
kesadaran setiap individu, meliputi kesadaran terhadap kerentanan diri ditinjau dari faktor risiko, kesadaran terhadap derajat keparahan penyakit, kesadaran terhadap manfaat dan halangan untuk melakukan suatu perubahan perilaku.11 Kesadaran individu tersebut selanjutnya dapat mendorong terjadinya perubahan perilaku menuju perilaku hidup sehat jika menganggap hal tersebut sebagai suatu ancaman terhadap dirinya. Kesadaran yang berbeda15 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
beda tiap individu pada akhirnya dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang berbeda dan selanjutnya menentukan perilaku seseorang terhadap suatu penyakit, dapat berupa: 1) illness behavior, perilaku yang menyebabkan sakit; 2) preventive health behavior, perilaku mengarah pada tindakan pencegahan untuk sakit ataupun 3) sick-role behavior, mengambil tindakan untuk memperbaiki kondisi tubuhnya untuk sembuh atau mengurangi keterbatasan yang dimilikinya.11 Dalam proses tersebut, diketahui bahwa hubungan antara pengetahuan dengan kejadian suatu penyakit dihubungkan oleh kesadaran diri tiap individu dan dikeluarkan dalam bentuk perilaku, sehingga hubungan tersebut terjadi secara tidak langsung. Namun beberapa ahli melalui beberapa penelitian menjelaskan korelasi yang kuat antara pengetahuan dan perilaku, sehingga penghubungan tingkat pengetahuan dengan kejadian penyakit dapat dibenarkan.11 Dalam penelitian pada masyarakat Kelurahan Petamburan menunjukkan tidak adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan penyakit respirasi responden (p=0,342). Sampai sekarang masih belum terdapat penelitian untuk membandingkan hasil tersebut pada populasi kumuh lainnya, terutama di Indonesia. Beberapa penelitian dengan kategori penyakit spesifik juga jarang menghubungkan antara tingkat pengetahuan dengan ada tidaknya penyakit. Namun jika dibandingkan dengan penelitian hubungan pengetahuan orang tua dengan kejadian asma pada anaknya, ternyata didapatkan hasil yang sama, yaitu tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut (p>0,05).24 Namun penelitian oleh Mancuso et al, memberikan hubungan signifikan (p=0,009) antara pengetahuan pasien asma mengenai asma itu sendiri dengan kualitas hidupnya berdasarkan AQLQ (asthma quality of life questionnaire).22 Tidak adanya hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai penyakit respirasi dengan penyakit respirasi dapat diakibatkan oleh berbagai hal seperti tingkat pengetahuan, proses pemahaman dalam diri setiap individu, proses perwujudan dalam perilaku dan konsistensi dalam melakukan perilaku hidup sehat untuk mencegah terjadinya penyakit. Ketiadaan hubungan tersebut dapat diakibatkan oleh tingkat pengetahuan yang rendah ataupun salah terhadap suatu penyakit dapat ditinjau dari segi etiologi, gejala klinis maupun cara mencegah penyakit tersebut. Selain itu, proses pemahaman dalam diri tiap individu yang berbeda-beda akan memberikan hasil pemikiran akhir yang berbeda akibat berbagai pertimbangan seperti manfaat dan kerugiannya. Dan pada akhirnya akan terwujud dalam perilaku yang selanjutnya tidak mendukung kesehatan respirasi jika dalam proses sebelumnya individu merasa tidak terancam akan penyakit tersebut. Serangkaian proses inilah yang dapat mengakibatkan ketiadaan hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian suatu penyakit. Namun jika 16 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
dalam proses tersebut terjadi konsistensi perubahan yang sesuai dan bersifat progresif, seharusnya didapatkan hubungan antara pengetahuan dengan kejadian penyakit. Namun, kondisi ideal tersebut pada kehidupan nyata sulit dijumpai dan pada penelitian masyarakat lingkungan kumuh Kelurahan Petamburan memberikan hasil akhir tidak adanya hubungan antara kedua variabel yang sudah dijelaskan sebelumnya. 4.
Hubungan Sebaran Demografis (Jenis Kelamin, Status Pekerjaan, Usia) dengan Tingkat Pengetahuan Masyarakat Lingkungan Kumuh mengenai Penyakit Respirasi Hubungan jenis kelamin dengan pengetahuan terhadap penyakit respirasi dilaporkan
sesuai dengan uji Kolmogorov-Smirnov, yaitu tidak bermakna (p=0,935). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Barr et al yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara pengetahuan FEV1 pasien PPOK dengan jenis kelamin (p=0,47).25 Sedangkan pengukuran pengetahuan pada jenis penyakit respirasi lainnya seperti asma, yang juga dilakukan di lingkungan kumuh di Pakistan, terdapat beberapa jenis pengetahuan yang secara signifikan dengan perbedaan jenis kelamin. Penelitian tersebut menunjukkan tingginya pengetahuan mengenai TB paru pada laki-laki dibandingkan perempuan baik di lingkungan urban maupun rural. Penelitian tersebut menjelaskan adanya perbedaan pengetahuan antara laki-laki dan perempuan yang tinggal di kota mengenai gejala TB berupa demam yang lama (p<0,01) dan batuk menetap (p<0,05). Sedangkan pengetahuan penduduk desa yang berbeda jenis kelamin terhadap gejala TB lebih banyak yang berhubungan, meliputi gejala batuk (p<0,001), batuk darah (p<0,001), demam lama (p<0,0001) dan batuk menetap (p<0,0004).19 Dari berbagai penemuan tersebut dan perbandingannya dengan hasil penelitian di Kelurahan Petamburan, disebutkan bahwa pengaruh jenis kelamin memiliki hubungan yang berbeda-beda terhadap jenis penyakit yang berbeda. Namun, secara keseluruhan pengaruh jenis kelamin tersebut juga harus dihubungkan dengan paparan individu terhadap pengetahuan mengenai kesehatan respirasi yang cukup, baik dari lingkungan keluarga, lingkungan pekerjaan, tingkat pendidikan dan lainnya. Dalam penelitian didapatkan tidak adanya hubungan antara status bekerja responden dengan tingkat pengetahuan masyarakat lingkungan kumuh mengenai penyakit sistem respirasi (p=1,000). Hasil tersebut berbeda dengan penelitian mengenai hubungan sosiodemografi pada ibu rumah tangga dengan tingkat pengetahuan mengenai TB, yang didapatkan hubungan bermakna berdasarkan responden yang bekerja dan tidak bekerja (p=0,04).21 Perbedaan hubungan ini diakibatkan oleh perbedaan sampel yang digunakan, 17 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
karakteristik individu dalam populasi, lingkungan tempat tinggal, tingkat pendidikan dan lainlain. Dalam penelitian disimpulkan tidak ada hubungan antara usia dengan tingkat pengetahuan masyarakat lingkungan kumuh mengenai penyakit respirasi (p=1,000). Hal ini berbeda dengan penelitian pada anak pengidap asma, yang ditemukan adanya hubungan antara usia dengan pengetahuan mengenai asma (p=0,001 dan r=0,47).26 Namun penelitian ini sesuai dengan pengetahuan orang tua terhadap asma yang juga menunjukkan tidak adanya hubungan (p>0,05).24 5.
Korelasi Jumlah Sumber Informasi dengan Skor Pengetahuan Masyarakat Lingkungan Kumuh mengenai Penyakit Respirasi Sumber informasi yang paling sering digunakan oleh masyarakat lingkungan kumuh
untuk meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit respirasi terutama melalui media massa televisi yaitu 25,5% dari 97 responden yang mendapatkan informasi mengenai hal tersebut (Gambar 2). Sumber informasi dari yang paling sering hingga jarang digunakan setelah televisi adalah ceramah petugas kesehatan (20,19%), artikel majalah/koran (18,30%), iklan radio (14,83%), internet (14,20%) dan lain-lain (6,94%). Namun terdapat 6,7% responden yang tidak mendapatkan informasi kesehatan respirasi baik dari media massa maupun dari orang lain, baik keluarga, teman, tetangga, maupun ceramah tenaga kesehatan. Data umum tersebut dapat dibandingkan dengan beberapa pengetahuan sebelumnya yang khusus membahas jenis penyakit tertentu dikaitkan dengan sumber informasi yang didapatkannya. Penelitian Mushtaq et al juga menunjukkan media televisi sebagai sumber tersering yang digunakan oleh masyarakat urban (80,1%) dan rural (68,1%) untuk memperoleh informasi mengenai TB.20 Pada penelitian lain didapatkan pengetahuan mengenai ISPA didapatkan dari media massa 54,8% dan sebanyak 24% lainnya mendapatkan informasi dari tenaga kesehatan.27 Dari kedua penelitian tersebut tidak dikorelasikan antara jumlah sumber informasi dan skor pengetahuan, sehingga hasil penelitian dalam penelitian ini termasuk baru, dan juga tidak banyak penelitian yang menghubungan dua variabel tersebut. Dalam uji korelasi didapatkan korelasi bermakna antara jumlah sumber informasi dengan skor pengetahuan masyarakat lingkungan kumuh mengenai penyakit respirasi, dengan hubungan positif, namun lemah (p=0,004, r=0,278). Hasil tersebut juga sama untuk analisis uji korelatif antara jumlah sumber informasi dengan skor pengetahuan terhadap TB (p=0,02; r=0,227), kanker paru (p=0,024; r=0,221), dan kategori pengetahuan umum (p=0,001 dan r=0,312). 18 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
Hasil penting dari uji korelatif ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah sumber informasi yang digunakan maka semakin baik skor pengetahuan terhadap penyakit respirasi secara keseluruhan dan ketiga skor pengetahuan yang telah disebutkan di atas. Hal tersebut pada akhirnya memberikan saran kepada responden untuk tidak hanya mengandalkan satu sumber informasi agar pengetahuan yang didapatkan menjadi lebih luas dan dengan pengaturan frekuensi pembaruan terhadap informasi tersebut dapat memengaruhi perilaku responden ke arah perilaku yang sehat.
Kesimpulan 1. Prevalensi penyakit respirasi pada masyarakat lingkungan kumuh Kelurahan Petamburan sebesar 5% dengan prevalensi asma 1,7%, PPOK 0,9%, infeksi saluran pernapasan bawah akut 0,2%, TB 2,2% dan tidak ditemukan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan prevalensi penyakit respirasi tersebut. Pendidikan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan tidak perlu dilakukan. 2. Sebaran responden berdasarkan tingkat pengetahuan mengenai penyakit respirasi terdiri dari tingkat pengetahuan baik (3,8% responden), cukup (41,3% responden), kurang (54,8% responden) dan tidak adanya hubungan antara sebaran demografi jenis kelamin, usia dan status pekerjaan terhadap tingkat pengetahuan tersebut. 3. Sumber informasi tersering digunakan oleh masyarakat lingkungan kumuh adalah televisi dan ditemukan korelasi bermakna antara jumlah sumber informasi dengan skor pengetahuan.
Saran 1. Prevalensi masalah kesehatan respirasi masyarakat lingkungan kumuh perlu diturunkan dan diusahakan tidak meningkat, melalui penyuluhan yang menekankan pada penerapan perilaku kesehatan. 2. Perlu analisis lebih lanjut mengenai faktor lain yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan selain karakteristik demografi usia, jenis kelamin dan status pekerjaan. 3. Mengoptimalkan sumber informasi yang paling sering digunakan agar pengetahuan masyarakat terhadap penyakit sistem respirasi meningkat.
19 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013
Daftar Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Mathers C,Boerma T, Fat DM. The global burden of disease 2004 update. Switzerland: World Health Organization; 2008. Kemenkes RI tentang pengendalian penyakit paru obstruktif kronik. Jakarta: Depkes RI, 2008. Boerma T, AbouZahr C, Ho J, Hosseinpoor A, Mahanani AWR. World health statistics 2010. Perancis: World Health Organization; 2010. Sistem kesehatan nasional: bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Jakarta: Depkes RI; 2009. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC.Pathologic Basis of Disease. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; c2010. Chapter 15 The Lung. p 677-738. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPubishing; 2009. p2216-29. Dahlan Z. Pneumonia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPubishing; 2009. p2196-206. Amin Z. Kanker paru. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPubishing; 2009. p2254-62. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPubishing; 2009. p2230-8. Sunaryo. Psikologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC; 2004. Glanz K, rimer BK, Viswanath K. Health behavior and health education theory research and practice. 4th ed. USA: John Willey & Sons Inc; 2008. Mulumba JAA, Juma O, Kakosova B. Health status of people of slums in nairobi kenya. Environmental Research 2004; (96); 219–27. Brashier B, Londhe J, Madas S, Vincent V, Salvi S. Prevalence of self-reported respiratory symptomps, asthma and chronic bronchitis in slum area of a rapidly developing indian city. Journal of respiratory diseases 2012; (2) 73-81. Kadri AM, Bhagyalaxmi A, Lala MK, Jivrajini P, Vindhani M, Patel T. An epidemiological study of prevalence of tuberculosis in the urban slum area of ahmedabad city. Indian J Community Med 2003; 3(28); 122-4. Mohamed, Nganga N, Odhiamb L, Nyamwaya, Menzies R.. Home environment and asthma in Kenyan schoolchildren: a case–control study. Thorax 1995; 50 (1):74–78. Ezzati M., Kammen DM. Indoor air pollution from biomass combustion and acute respiratory infections in Kenya: an exposure–response study. Lancet 2001; 358:619–624. Seth T, Kotwal A, Thakur R, Singh P, Kochupillai V. Common cancers in india knowledge attitudes and behaviours of urban slum dwellers in new delhi. Public health 2005; 2 (119); 87-96. Mahesh PA, Jayaraj BS, Prahlad ST, Chaya SK, Prabhakar AK, Agarwal AN et al. Validation of a structured questuionnaire for COPD and prevalence of COPD in rural area of mysore a pilot study. Lung India 2009; 26(3): 63-9. Agboatwalla M, Kazi GN, Shah SK, Tariq M. Gender perspectives on knowledge and practices regarding tuberculosis in urban and rural areas in Pakistan. Eastern Mediterranean Health Journal 2003. 4 (9); 732-40. Mushtaq MU, Shahid U, Abdullah HM, Saeed A, Omer F, Shad MA, et al. Urba-rural inequities in knowledge attitudes and practices regarding tuberculosis in two districts of pakistans punjab province. International Journal for Equityin Health 2011; 10:8; 1-9. Soesanto H. Hubungan antara faktor sosio ekonomi ibu terhadap pengetahuan mengenai tuberkulosis. Skripsi. FKUI: Universitas Indonesia; 2012. 1-41. Mancuso CA, Rincon M. Impact of health literacy on longitudinal asthma outcomes. J gen intern med 2006; 21:813-7. Ukey UU, Chitre DS. Morbidity profile of pre-school children in an urban slum area. Indian Medical Gazette August 2012; 300-3. Fadzil A, Norzila MZ. Parental asthma knowledge. Med J Malaysia 2002; 57(4):474-81. Barr G, Celli BR, Mannino DM, Petty T, Rennard SI, Sciurba FC et al. Comorbidities patient knowledge and disease management in a national sample of patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Med 2009; 122(4): 348-55. Mcquaid EL, Kopel SJ, Klein RB, Fritz GK. Medication adherence in pediatric asthma reasoning responsibility and behavior. Journal of Pediatric Psychology 2003; (5)28; 323-3. Mishra S, Kumar H, Sharma D. How do mothers recognize and treat pneumonia at home. Indian Journal of Pediatrics 1999; 31(1):15-8.
20 Pengetahuan masyarakat…, Muhammad Reza Al Hakim, FK UI, 2013