TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Orangutan Sumatera Orangutan berasal dari bahasa melayu yaitu “orang hutan”. Orangutan Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia. Jenis kera besar lainnya di temukan di Afrika, yaitu Bonobo (Pan panicus), Simpanse (Pan troglodytes) dan Gorilla (Gorilla gorilla). Semua kera besar digolongkan ke dalam suku pongidae yang merupakan bagian dari bangsa primata (Yuwono, 2007). Menurut Napier dan Napier (1967) dalam Zulkifli (1999), orangutan Sumatera dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas
: Mamalia
Bangsa
: Primata
Anak Bangsa : Anthropoidae Suku
: Pongidae
Marga
: Pongo
Jenis
: Pongo abelii. Lesson, 1827. Perbedaan morfologis orangutan dapat dikenali dari perawakannya,
khususnya struktur rambut. Jenis dari Sumatera berambut lebih tipis, membulat, mempunyai kolom pigmen gelap yang halus dan sering patah di bagian tengahnya, biasanya jelas di dekat ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian luarnya. Ciri yang kedua, orangutan Kalimantan lebih tegap dan mempunyai kulit dan warna rambut lebih gelap daripada orangutan yang ada di Sumatera (Meijaard et al., 2001).
4 Universitas Sumatera Utara
Foto: (Zendrato, 2008).
Gambar 1. Orangutan Sumatera (Pongo abelii. Lesson, 1827.)
Habitat Orangutan Kurang dari 20.000 tahun yang lalu orangutan dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara, dari pulau jawa di ujung selatan sampai ujung utara Pegunungan Himalaya cina bagian selatan. Akan tetapi, saat ini jenis kera besar ini hanya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan, dimana 90% berada di Indonesia. Penyebab utama terjadi penyempitan daerah sebaran adalah karena manusia dan orangutan menyukai tempat hidup yang sama, terutama dataran alluvial di sekitar daerah aliran sungai dan hutan rawa gambut. Pemanfaatan lahan tersebut untuk aktivitas sosial , ekonomi, dan budaya manusia umumnya berakibat fatal bagi pihak orangutan (Dephut, 2007). Diketahui jumlah populasi orangutan liar telah menurun secara terus menerus dalam beberapa dekade terakhir akibat hilangnya hutan dataran rendah , namun pada beberapa dekade tahun terakhir ini kecepatan penurunan populasi orangutan terus meningkat. Prediksi para ahli, jika kondisi ini tidak membaik,
Universitas Sumatera Utara
maka dalam 10 tahun terakhir kita akan kehilangan hampir 50% dari jumlah populasi yang ada saat ini (Dephut, 2007).
Makanan Orangutan Galdikas (1984) mengatakan bahwa orangutan di Tanjung Puting memanfaatkan buah, bunga, daun, kuncup dan kulit kayu serta cairan dari berbagai spesies pohon, tanaman menjalar dan juga berbagai tanaman merambat yang kecil. Selain itu orangutan juga memakan anggrek, rayap, ulat, semut, jamur, madu, pangkal dan batang tunas rotan muda, tanaman menjalar, epifit, pakis dan palma kecil sebagai makanan. Kebanyakan jenis makanan orangutan (74%) berasal dari spesis pepohonan. Rijksen (1978) menyatakan bahwa dari 114 jenis makanan yang terdapat terpencar-pencar lagi tidak merata dalam jumlah, ruang dan waktunya, yang dikumpulkan di daerah ketambe sebagian besar termasuk jenis-jenis tumbuhan dari hutan primer. Bunga dan buah sesuatu species waktunya sangat terbatas dan tidak mudah diperkirakan
kapan
tersedia
karena
munculnya
tidak
teratur.
Pola
berbunga/berbuah pohon dihutan hujan tropis tidak mengikuti daur tahunan yang tetap, seperti kelihatannya pada spesies pohon di hutan beriklim sedang. Akan tetapi secara umum gambaran hutan hujan tropis sebagai tempat di mana selalu ada tumbuhan yang berbunga atau berbuah. Meskipun demikian, walapun memang selalu ada beberapa buah tersedia, jumlahnya sangatlah berfariasi. Selama enam tahun ketika catatan fenologis di buat terhadap 58 pohon tertentu di hutan hujan malaya, rata-rata bulanan pohon-pohon yang berbuah berkisar antara
Universitas Sumatera Utara
1% dan 15%, meskipun selama 15 bulan (21%) dari 73 bulan tidak satu pohon pun yang mengandung buah matang. Medway (1972) dalam Galdikas (1984). Utami dan van Hoof (1997) menemukan kegiatan makan daging pada orangutan betina dewasa, yaitu sejak tahun 1989. Diperoleh tujuh insiden orangutan Sumatera betina memakan kukang (Nycticebus coucang) memiliki saksi mata hidup ; enam kasus perburuan daging ini dijumpai di Stasiun Penelitian Ketambe TNGL dan satu oleh Carel P. Van Schaik di Stasiun Penelitian Suaq Balimbing TNGL. Galdikas (1984) menyatakan meskipun variabilitas pada susunan makanan orangutan sangat besar, orangutan pada dasarnya bersifat sebagai pemakan buah (Frugivora). Waktu makan buah merupakan 61% dari seluruh waktu makan. Di ketambe, Rijksen (1978) menyatakan bahwa buah merupakan sumber pakan utama 58% dari waktu makan digunakan makan buah, 25% daun muda, 14% insekta dan 3% kulit kayu. Selanjutnya Galdikas (1984) juga menyatakan makan kulit kayu turun sampai nol dan makan daun muda turun tajam selama bulanbulan ketika spesies pohon lain berbuah. Di habitat yang berkualitas baik, antara 57% (jantan) dan 80% (betina) waktu makannya dihabiskan untuk memakan buah-buahan. Walaupun ada sekitar 200 jenis buah yang dimakan, beberapa jenis buah tertentu ternyata jauh lebih tinggi dalam komposisi makanan orangutan. Buah-buahan ini berdaging lembek, berbiji, termasuk buah berbiji tungal dan buah beri. Orangutan juga lebih menyukai pohon-pohon yang berbuah lebat. Selain buah, orangutan juga memakan daun (termasuk tunas muda dan tangkai), serangga (semut, rayap, belalang, jangkrik, kutu, dll.), lapisan di bawah kulit pohon tertentu (khususnya
Universitas Sumatera Utara
Ficus dan pohon lainnya dari suku Moraceae, misalnya Payena spp.), bunga, telur burung, vertebrata kecil (tokek, tupai, dan kukang), dan madu (Meijard et al., 2001) Zendrato (2008) menyatakan bahwa orangutan betina dewasa di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatere pada fokal Minah lebih sedikit melakukan aktivitas makan daripada fokal Jenggot karena pada bulan Juli banyak pohon pakan yang belum berbuah matang. Sedikitnya sumber makanan yang tersedia di hutan menyebabkan fokal Minah lebih banyak menjelajah untuk mencari sumber makanan alternatif lainnya, sehingga jelajah harian fokal Minah juga lebih panjang. Bahkan, fokal Minah mampu menjelajah hingga 2 hari untuk mendapatkan makanan dengan rata-rata jelajah hariannya 916,4 meter/hari Jenis makanan yang paling banyak dimakan fokal Minah adalah buahbuahan (39,2%). Selain memakan buah-buahan, fokal Minah juga memakan berbagai jenis makanan lainnya, yaitu: daun muda (26,5%), daun tua (11,7%), kulit kayu (8,3%), minum air (6,8%), rotan (2,8%), serangga (2,6%), dan jenis makanan lain seperti tanah (2,1%) (Zendrato, 2008). Zendrato (2008) menyatakan Orangutan dewasa pada fokal Jenggot di Pusat pengamatan Orangutan Sumatera beberapa kali dijumpai menghabiskan waktu yang sangat lama melakukan aktivitas makan pada suatu pohon pakan yang sedang berbuah lebat dan matang. Aktivitas makan tersebut berlangsung sekitar 35 jam. Perbandingan jenis makanan yang dimakan fokal Jenggot, yaitu buah (58,2%), daun muda (22,2%), daun tua (7,6%), rotan (4,2%), kulit kayu (4%), dan rayap (3,7%).
Universitas Sumatera Utara
Daya Jelajah Orangutan Galdikas (1984) mendefenisikan daerah jelajah sebagai faham abstrak yang menyatakan jumlah gerak pindah suatu satwa selama masa tertentu, pernah terlihat bergerak pindah pada daerah tersebut dan tidak terlihat di luar daerah itu. Penjelajahan sehari adalah jarak yang benar-bener ditempuh orangutan semenjak ia meninggalkan sarang malamnya pada pagi hari sampai dia membuat sarang baru untuk malam selanjutnya. Jauhnya jelajah orangutan dalam sehari ini berkaitan dengan lama rata-rata aktivitasnya dalam sehari dan lama bergerak mutlaknya dalam sehari. Daerah jejalah orangutan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Mapple (1980) menjelaskan ketersediaan makanan merupakan hal yang paling menentukan ukuran daerah jelajah orangutan. Hal ini mungkin dikarenakan orangutan bersifat frugivora (Galdikas, 1986). Pola makan ini sangat mempengaruhi kondisi biologis dan cara hidup orangutan. Oleh karena itu, distribusi jumlah dan kualitas makanannya menurut waktu dan tempat tertentu merupakan faktor penentu utama perilaku pergerakan (Meijard et al., 2001). Ada dua metode utama dalam menentukan poligon daerah jelajah (Bajjali, 2006), yaitu: 1. Metode Minimum Convex Polygon (MCP) Metode Minimum Convex Polygon (MCP) adalah poligon terkecil (convex) yang mencakup semua titik-titik yang dikunjungi oleh kelompok satwa. Umumnya metode ini juga mencakup sebagian besar ruang kosong yang tidak pernah dikunjungi oleh satwa. 2. Metode Kernel Home Range
Universitas Sumatera Utara
Metode Kernel Home Range merupakan metode yang populer dalam menduga daerah jelajah, tetapi ukuran sampel dan tingkat akurasinya masih belum diketahui. Tingkat pendugaan daerah jelajah dihasilkan oleh kernel yang telah ditetapkan dan yang dapat disesuaikan menggunakan ‘referensi’ dan metode least square cross validation (LSCV) untuk menentukan tingkat kehalusan polygon.Simulasi daerah jelajah bervarisasi mulai dari bentuk yang sederhana hingga yang kompleks, dibentuk distribusi normal campuran.
Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis adalah suatu sistem berbasis komputer, yang dipergunakan untuk menyimpan, mengolah, mengelola dan menganalisa data baik data spasial maupun data alphanumerik serta menyajikan informasi secara visual. SIG merupakan sebuah sistem yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Sistem informasi geografis (SIG), hingga saat ini merupakan sistem yang sangat menarik. Sistem yang cenderung selalu dibuat untuk interaktif ini dapat mengintegrasikan data spasial (peta vektor dan citra dijital), atribut (tabel sistem basis data) dan properties penting lainnya. Konsekuensi dari integrasi ini, sistem informasi tersebut memiliki fungsionalitas-fungsionalitas yang teradopsi dari sistem-sistem perangkat lunak dimana data-data tersebut berasal (Prahasta, 2005). Sistem Informasi Geografis (SIG) menjadi suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisa dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial (grafis) (Prahasta, 2005). Lebih lanjut Nuarsa (2005) juga mengatakan bahwa SIG merupakan suatu alat yang dapat
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses dan output) data spasial atau data yang bereferensi geografis.
Analisis Vegetasi Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Data tersebut berguna untuk mengetahui kondisi keseimbangan komunitas hutan dan menjelaskan interaksi di dalam dan antar jenis (Odum, 1971; Ludwing dan Reynolds, 1988). Hasil dari analisis vegetasi tumbuhan disajikan secara deskriptif mengenai komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antar spesies tetapi juga oleh jumlah individu dari setiap spesies organisme (Indriyanto, 2008). Untuk mempelajari komposisi vegetasi perlu dilakukan pembuatan petakpetak pengamatan yang sifatnya permanen atau sementara. Petak-petak tersebut dapat berupa petak tunggal, petak ganda ataupun berbentuk jalur atau dengan metode tanpa petak (Irwanto, 2006). Tingkat keragaman komunitas suatu habitat orangutan dapat diketahui dari besarnya indeks keragaman. Indeks keragaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks keragaman Shanon-Wiener. Kriteria nilai indeks karagaman jenis berdasarkan
Shanon-Wiener H’ berkisar 0 – 7 dengan kriteria sebagai
berikut: jika H’ (0 < 2) tergolong rendah, H’ (2 < 3) tergolong sedang, H’ (> 3) atau lebih tergolong tinggi. Keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan dari suatu lingkungan pertumbuhan. Kestabilan yang tinggi menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi, hal ini
Universitas Sumatera Utara
disebabkan terjadinya interaksi yang tinggi pula sehingga akan mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponenkomponennya (Barbour et al, 1987).
Universitas Sumatera Utara