11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penawaran dan Permintaan Beras Di Indonesia 2.1.1. Produksi Padi dan Beras Nasional
Produksi padi nasional ditentukan oleh luas areal panin dan tingkat produktivitasnya. Untuk mengetahui ikhtisar statistik dari produksi dan pertumbuhan produksi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Tahun 1996-2001 Produktivitas rata-rata (Qu/ha) 44.17
Produksi (ton)
Perhmbuhan Produksi (%)
1996
Luas Areal Panen (Ha) 11 569 729
51 101 506
2.73
1997
11 140 594
44.32
49 377 054
-3.37
1998
11 730 326
4 1.97
49 236 692
-0.36
1999
11 963 204
42.52
50 866 387
3.31
2000
11 608281
44.09
51 179412
0.62
200 1
11 413 784
43.88
50 080 787
-2.15
Tahun
Sumber: http://www.bps.go.id~stathysector/agri!pangan/TabeIl.shtml. [28 Mei 20011
Pada Tabel 1. dapat diketahui bahwa luas areal panen mengalami kecenderungan menurun. Pertumbuhan produksi tahun 1999 sebesar 3.3 1 persen jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2000 yang mengalami p e n m a n , dengan tingkat pertumbuhan sebesar 0.62 persen. P e n m a n jumlah luas areal panen lebih banyak disebabkan oleh alih fungsi lahan atau konversi lahan sawah, disebabkan karena adanya pertumbuhan penduduk, dan tri~nsfonnasistruktur perekonomian ke arah yang bersifat industri.
Menurut Nasoetion dan Winoto (1996), yang dikutip Erizal Jamal, di pulau Jawa, sektor pertanian cenderung dikalahkan oleh sektor industri karena pemanfatan lahan untuk tujuan industri dan perurnahan memberikan "land rent" 500 dan 622 kali
dm pemanfaatm untuk sawah. Menurut Sumaryanto, et al. (1995), alih fungsi lahan & Jawa ke penggunaan lain rata-rata sekitar 23 ribu hektar per tahun. Jika ha1 ini
tidak ditangani dengan baik, ketergantungan terhadap impor bahan pangan dikhawatirkan akan t e r n berlanjut, padahal diketahui bahwa stok pangan di pasaran dunia terbatas jumlahnya (Jamal dan Achmad, 1998).
2.1.2. Konsumsi Penduduk Beras mempakan makanan pokok bagi sebagian penduduk Indonesia. Data konsumsi beras perkaita pertahun dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan Jumlah Konsumsi Beras Per Kapita Per Tahun, Tahun 1987- 1999 (kg/kap/thn) Perkotaan Pedesaan Total
1990 1993 1996 1999
130.382 129.012 132.912 128.336 119.548
130.572 128.648 136.032 134.420 124.852
131.522 128.758 134.996 132.230 122.762
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, 1987-1999
Pada Tabel 2. dapat diketahui bahwa konsumsi beras perkapita penduduk Indonesia sangat tidak stabil. Data tahun 1987-1999, menunjukkan bahwa pada tahun
1987 konsumsi beras per kapita per tahun penduduk Indonesia sekitar 131.52 kg, kemudian pada tahun 1990 turun menjadi 128.75 kg. Pada tahun 1993, konsurnsi
beras per kapita meningkat lagi melebihi tahun 1987 menjadi 135.99 kg dan turun lagi menjadi 132.23 kg pada tahun 1996 dan 123.76 kg pada tahun 1999. Penurunan konsumsi beras pada tahun 1999 sangat besar kemungkinannya disebabkan oleh kondisi krisis ekonomi dan bukan karena mulai beralihnya konsumsi beras ke non beras. Juga disebabkan oleh konsumsi beras per kapita per tahun antara penduduk pedesaan relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan penduduk di perkotaan, karena banyaknya jumlah penduduk yang mempunyai golongan pendapatan rendah di desa jika dibandingkan dengan perkotaan, jumlah makanan yang tersedla dan cepat saji lebih mudah didapatkan di perkotaan yang sebetulnya bukan berbahan baku dari beras.
2.1.3. Stok, Pengadaan dan Penyaluran Beras Pengelolaan stok, pengadaan dan penyaluran beras yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga Badan Urusan Logistik (BULOG), bertujuan menjaga kestat~ilan harga dan ketersediaan bahan pangan. Sebagai salah satu lembaga pemerintah, Bulog memiliki peran sentral dalam mengelola pangan nasional. Secara implisit, artinya Bulog diharuskan untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada konsumen, sekaligus tak merugikan produsen Namun, karena jumlah konsumen begih~banyak, ditambah lagi dengan karakteristik perbedaan yang cukup ekstrim dilihat dan segi penghasilan, tugas tersebut menjadi beban yang sarat dengan nuansa hate und love (Amang dan Sawit, 2001).
Pemerintah melaksanakan kebijakan harga melalui pembelian dalam negeri oleh Bulog selama musim panen untuk menjaga harga dasar dan untuk mengisi
persediaan nasional. Apabila pengadaan dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutt~han,dilakukan pengadaan dari luar negen (impor). Sebaliknya pada musirn paceldiik, dllaksanakan operasi pasar murni (penjualan beras ke pasar) untuk rnenguuangi laju kenaikan harga sehingga tidak melampaui batas tertinggi dan fluktuasi antar musim dapat dlkendalikan. Hal ini bertujuan agar terjamimya pasokan pangan yang cukup pada tingkat harga yang wajar sebagai unsur penting dalam pengamanan pangan nasional. Pengadaan pangan &lam negeri diharapkan mampu merangsang peningkatan produksi melalui jaminan harga clan insentif yang memadai bagi petani produsen. Untuk mengetahui perkembangan stok, pengadaan gabahheras
dan penyaluran beras oleh Bulog dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perkembangan Pengadaan dan Penyaluran Beras Bulog Tahun 1990-2000 (1000 ton) hhun Stok Stok pengadaan Operas Per~ediaan~en~aluran Awal D. Negen I Impor Akhir 1990 1 882.62 1 270.23 1991 1 384.27 1 430.34 1992 1 384.27 2 564.91 1993 2 065.39 1 963.18 1994 1618.79 938.35 1995 524.80 922.98 1996 1 835.59 1 431.05 1997 2 179.29 1948.81 1998 1408.69 249.23 1999 2 172.62 2 448.75 2000 1 296.73 2 174.81 Sumber: Bulog, 2001
Setelah mencapai swasembada beras pada tahun akhit 1984, hingga tahun 1990 tidak terdapat impor beras, kecuali pengembalian pinjaman dari negara
tetangga. Sejak tahun 1991 impor beras terpaksa dilakukan kembali karena tidak cukup produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan komsumsi dalam negeri. Pada rahun 1991 dan 1992 impor beras relatif masih kecil, yaitu 178.88 ribu ton dan 634.22 ribu ton. Dari Tabel 3 juga dapat dlketahui bahwa, jumlah operasi pasar yang terbesar adalah pada tahun 1998 hingga tahun 2000, ha1 ini dlsebabkan karena pada periode terjadi krisis ekonomi dan tingkat inflasi cukup tinggi, sehingga pemerintah meningkat jumlah operasi pasar yang sering msebut dengan operasi pasar khusus (OPK dan operasi pasar murni (OPM). Kemudlan pada tahun 1993 tidak ada impor, karena stok Bulog di awal tahun cukup besar, yaitu 2 065.39 ribu ton. Setelah tahun 1995 kebutuhan impor terus melonjak hingga mencapai 5 959.16 ribu ton pada tahun 1998. Impor tertinggi di tahun 1998 ini selain disebabkan oleh, sangat sedikitnya pembelian dalam negeri (249.23 ribu ton) karena harga beras dalam negeri jauh di atas harga dasar, juga dipacu oleh pembebasan impor kepada swasta tanpa bea masuk (bea masuk 0 persen). Bulog sebagai lembaga pangan pemerintah dibentuk sebagai respon terhadap ketidakstabilan harga produk pertanian. Bulog berfungsi untuk melaksanakan stabilisasi harga melalui intervensi-intervensi tertentu dengan mengatasi kegagalan pasar (marketfailure) yang dianggap merugikan konsumen maupun produsen.
2.1.4. Program dan Kendala Peningkatan Produksi
Keberhasilan pencapaian swasembada beras pada akhir Tahun 1984 ditunjang pula oleh berbagai program peningkatan produksi mulai clan pola Bimbingan Massal
(Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas), dan Intensifikasl Khusus (Insus), termasuk pemanfaatan varietas-varietas padi baru yang produktif hasil dari "revolusi hijau". Program yang diluncurkan pada periode pasca swasembada adalah Supra Insus mulai tahun 198711988 yang ditujukan untuk mengatasi masalah pelandaian produksi (levellmng-ofn dari penerapan pola Insus (Abbas, 1997). Menurut Pumama (2000), produktivitas padi rata-rata hanya sebesar 4.3 ton GKGhektar, rendahnya
h a i l produksi padl tersebut antara lain disebabkan oleh penggunaan pupuk yang tidak berimbang, sebagai akibat dari jenis pupuk, kemampuan petani dan pengetahuan petani. Selain program yang tergolong jangka menengah, telah diterapkan pula program yang bersifat jangka panjang, yaitu penelitian pertanian yang telah melahirkan bibit-bibit padi unggul berproduksi tinggi dimulai dengan varietes PB-5 dan PB-8 pada tahun 1967, IR 68 pada tahun 1963, dan Batang Anai, Marus, Digul
dan Citosari pada tahun 1996 (Abbas, 1997). Program lainnya adalah memperkuat keterkaitan sistem kerja peneliti, penyuluh dan petani, serta pegembangan infrastruktur. Pembangunan dan rehabilitasi sistem ingasi, koperasi desa dan bank desa merupakan komponen inftastruktur penting yang betperanan besar dalam upaya peningkatan produksi berm nasional. Untuk lebih mendorong peningkatan produksi beras, terutama dalam jangka pendek, pemerintah telah menetapkan dan menerapkan kebijakan harga dasar v o o r prrce) gabah dan beras dan subsidi pupuk. Kebijakan itu juga ditujukan untuk menjamin peningkatan pendapatan para petani padi. Kepentingan konsumen juga diperhatikan secara serius melalui penentuan harga eceran beras terbhggi (ceiling
price:). Kebijakan harga dasar, subsidi masukan dan harga eceran tertinggi dimulai
sejak tahun anggaran 196911970. Kebijakan subsidi pupuk bertujuan agar petani dapat meningkatkan pemakaiannya pada biaya yang murah untuk mendorong penggunaan bibit berproduksi tinggi yang sangat responsif terhadap pupuk buatan. Subsidi pestisida ditujukan agar petani &pat memanfaatkannya untuk menekan serangan organisme pengganggu tumbuhan, sehingga produksi padinya tidak terganggu. Namun dengan alasan bahwa dana subsidi sangat membebani anggaran pemerintah, dan penggunaan masukan (pupuk dan pestisida) yang tidak efisien yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan, maka subsidi masukan secara bertahap dikurangi, namun dikompensasi dengan menaikkan harga dasar gabah dan beras agar petani tetap bergairah untuk meningkatkan produksi padinya. Perubahan kondisi alam juga salah satu kendala peningkatan produksi, berupa kemarau yang sangat panjang (fenomena El-Nino) telah menyebabkan penurunan produksi beras pada tahun 1997 menjadi 32.095 juta ton dari 33.216 juta ton pada tahun 1996 (BPS, 2000).
2.1.5. Ekspor dan Impor Impor beras bukan merupakan ha1 yang baru bagi Indonesia, akan tetapi sangat berkurang pada tahun 1980-an. Indonesia salah satu negara yang berhasil dalam memicu produksi padi selama awal revolusi hijau 1970-an sampai pectengahan 1980-an. Namun demikian sejak awal 1990-an, suplai beras dalam negeri tidak lagi mampu memenuhi laju permintaan beras dalam negeri karena meningkatnya
penadpatan dan jumlah penduduk sehingga impor beras terus meningkat dari tahun ke tahun (Amang dan Sawit, 2001). Perkembangan impor beras Indonesia &pat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Impor Beras oleh Bulog dan Swasta Tahun 1990-2000 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 - 2000
Bulog 29 839 178 880 634 217 0 876 240 3 014 204 1 090 258 405 947 57 82 926 1 873 275 555 567
Swasta 0 0 0 0 0 0 0 0 1 317 753 3 170 602 1 244 433
(1000 ton) Total 29 839 178 880 634 217 0 876 240 3 014 204 1 090 258 405 947 7 100 679 5 043 877 1 800 000
Sumber: Amang dan Sawit, 2001
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa sebelum tahun 1998, monopoli impor beras masih dilakukan oleh Bulog, tetapi karena adanya komitmen &lam
WTO umumnya dan khususnya desakan dan intewensi IMF, maka tanggal 11 September 1998 Bulog mengizinkan importir swasta untuk melakukan impor beras. Ini menunjukkan bahwa berakhirlah monopoli impor beras oleh Bulog (Pranolo, 2000).
2.1.6. Situasi Perdagangan Beras Dunia
Beras merupakan komoditas unik bukan saja buat Indonesia, tetapi juga buat sebagian besar negara-negara Asia. Menurut Dawe (1997) dan Tsujii
(1998)
sebagaimana dikutip Amang dan Sawit, mengungkapkan karakteristik beras tersebut sebagai berikut. Pertama, 90 persen produksi dan konsumsi beras dilakukan di Asia, ha1 ini
berbetia dengan gandum dan jagung diproduksi oleh banyak negara di dunia; Kedua, beras yang diperdagangkan di pasar dunia tipis (thin market) yaitu antara 4-7 persen dari total produksi, beda dengan sejumlah komoditas lainnya sepem gandum (20 persen), jagung (15 persen), dan kedelai (30 persen). Pada umumnya, volume beras yang diperdagangkan merupakan sisa dari konsumsi dalam negeri. Ketiga, harga beras amat tidak stabil dibandingkan dengan komoditas pangan
lainnya misalnya gandum. Ketidakstabilan ini telah memukul negara net importer beras yang umumnya adalah negara miskin di Afrika dan Asia; Keempat, 80 persen ekspor beras dikuasai oleh enam negara yaitu Thailand, AS, Vietnam, Pakistan, China dan India. Oleh karena itu, pasar beras internasional adalah tidak sempurna, dapat dikatakan sebagai pasar oligopoli; Kelima, Indonesia merupakan negara net importer beras terbesar akhir-akhir
ini. Pada tahun 1998 misalnya, Indonesia mengimpor 31 persen dari total beras yang diperdagangkan di pasar dunia. Sebagai negara besar (big country), apabila Indonesia masuk: dalam pasar beras internasional, maka harga beras akan naik sehingga dapat memukul negara-negara miskin yang net importer beras. Demikian juga buat negaranegara besar di Asia seperti China dan India, apabila mereka menggantungkan produksi pangannya khususnya dari pasar intemasional maka akan dapat berakibat buruk baik buat n e g m y a sendiri maupun buat negara-negara lain, namun kedua negara tersebut adalah negara net exporter pangan termasuk beras.
Keenam, hampir banyak negara di Asia, memperlakukan beras sebagai wage goods dan political goods. Pemerintahan akan goncang, bila harga beras tidak stabil
dan ti nggi; Karena karakteristik seperti yang disebut sebelumnya, maka Tsujii (1998) lebih lanjut mengatakan bahwa penerapan perdagangan bebas untuk komoditas beras adalah tidak tepat, karena sejumlah asumsi teori perdagangan bebas free trade theoryl tidak cocok &lam dunia nyata. Apabila kebijakan perdagangan bebas untuk
beras tetap juga ingin dipaksakan, maka akan merugikan petani kecil yang umumnya miskin, akan memperburuk distribusi pendapatan dm berpengaruh negatif kepada lingkungan hidup serta bio diversity.
2.2. Kebijakan Ekonomi dan Liberaliasi Perdagangan 2.2.1. Kebijakan Ekonomi Kebijakan dapat dirumuskan sebagai suatu pemturan yang telah dirumuskan dan tiisetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan misalnya mempengaruhl pertumbuhan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Dengan demikian kebijakan adalah suatu campur tangan yang dilakukan pemenntah untuk mempengaruhi suatu pertumbuhan secara sektoral (magnitude dan arahnya) dari suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat (Sanim, 2000). Secara umum kebijakan ekonomi dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu kebijakan pada tingkat makro dan kebijakan tingkat mikro. Kebijakan pada tingkat makro yang meliputi kebijakan fiskal dan moneter diarahkan untuk
menclptakan kondisi kondusif untuk menumbuhkembangkan produksi pangan, kelancaran dstribusi dan meningkatkan akseslkemampuan masyarakat untuk rnernperoleh pangan yang cukup sesuai kebutuhannya. Sedangkan pada tingkat mikro, kebijakan diarahkan untuk mewujudkan peningkatan produktivitas usaha, efisiensi, pemerataan pendapatan dan peningkatan daya saing (Sudaryanto, et. a1 2000).
Kebijakan pemerintah yang menonjol pada komoditi padi adalah kebijakan harga, stabilisasi harga &lam negeri dan perdagangan. Sebagai instrumen kebijakan harga adalah penetapan harga dasar ifloor price) dengan tujuan untuk me~ngkcitkan produksi beras dan pendapatan petani melalui pemberian jaminan harga (guaranteed price) yang wajar dan penetapan batasan harga eceran tertinggi (ceillmng price) dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Agar pelaksanaan kebijakan harga dasar dan eceran tertinggi berlaku secara efektif dan stabilisasi harga gabahheras &pat dijaga, pemerintah menunjangnya dengan sistem pengelolaan stok beras ( b g r stok managernenl) nasional melalui Bulog (Badan Urusan Logistik) di tingkat pusat dan Dolog (Depot Logistik) sebagai perwakilannya di setiap propinsi. Di luar kurun waktu tersebut pemerintah menerapkan kebijakan lain yaity pengaturan jumlah impor (non-tarif) untuk menjaga agar stok beras nasional tidak terganggu. Namun sesuai dengan kesepakatan GATTMrTO, kebijakan non-tarif tidak lagi diperkenankan Sejak tahun 1999, kebijakan pemerintah telah membebaskan sernua pihak untuk melakukan impor beras. Namun mengingat berm merupakan komoditi pangan yang strategis dan memiliki pengaruh cukup besar tehadap
stabilitasi ekonomi khususnya tingkat inflasi dan stabilisasi politik, maka campur tangan pemerintah melalui berbagai kebijakan masih tetap diperlukan Oleh karena itu, maka pemerintah memberikan perhatian yang serius serta menjadi prioritas khusus terhadap pengadaan dan penyediaan heras, termasuk di dalamnya kebijakan menjaga stabilitas harga beras di pasaran. Kebijakan harga tersebut sebenamya bersifat distortif bagi mekanisme pasar bebas karena mengisolasi harga domestik dari fluktuasi harga dunia dan karena sifatnya saling berlawanan maka dapat menimbulkan dampak yang berbeda pada pihak-pihak yang terlibat. Akan tetapi kebijakan subsidi input dan harga dasar gabah terbukti berpengaruh positif terhadap produksi dan pendapatan petani. Perkembangan harga dasar gabah dan harga pupuk urea dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kebijakan Harga Dasar Gabah, Pembelian Beras oleh Pemerintah dan Harga Pupuk Urea, Tahun 1990 - 2001 (RpIKg) Harga Pembelian Harsa Tahun HDG Gabah Beras Urea KUD Non KUD NonKUD KUD 7 3 4 5 1 2 6 430 185 1990 270 277 282 436
2000
1 400
1519
1519
2 470
2470
Sumber: Kolom 2 dan 7; BPS, 2000 Kolom 3 dd 6; http://www.bulog.go.id/hd~mdex.hrml. [27 Mei 20011
1352
Pada Tabel 5. dapat diketahui bahwa hampir setiap tahun harga dasar gabah
(HDG) selalu ditingkatkan, tetapi sayangnya selalu saja diikuti oleh kebijakan mena~kkanharga pupuk. Dari fenomena tersebut di atas jelas sesungguhnya tidak sedang berlangsung sebuah mekanisme perbaikan taraf hidup petani. Sebab disatu sisi HDG dinaikkan, namun pada saat yang bersamaan harga dasar pupuk urea dinaikkan.
Keadaan dilematis para petani ini nampaknya terus berlangsung hingga saat ini.
2.2.2. Liberalisasi Perdagangan
Hakekat dari liberalisasi perdagangan adalah menghilangkan berbagai hambatan baik tarif maupun non tarif terhadap perdagangan. Dengan liberalisasi perdagangan hasil-hasil pertanian, melalui pembukaan akses pasar yang lebih luas, penurunan subsidi ekspor dan subsidi domestik tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan volume produk yang diperdagangkan di pasar internasional, akan tetapi juga hams menjamin terwujudnya sistem perdagangan yang adil lfair trade) (Pranolo, 2000). Boediono (2001), mengungkapkan ada lima manfaat dibukanya liberalisasi perdagangan. Pertamu, akses pasar yang lebih luas sehingga memungkinkan diperoleh efisiensi yang berasal dari kegiatan produksi berskala besar (economies of scale), dimana liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi
baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan indusbi yang saling terkait clan saling menunjang sehingga biaya produksi dapat diturunkan (economies ofagglomeration). Keduu, iklim yang lebih kompetitif sehingga mengurangi kegiatan yang bersifat rent seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi,
bukan bagaimana mengharapkan mendapat fasilitas dari pemerintah. Ketiga, arus perdagangan dan investasi yang lebih bebas mempermudah proses alih teknologi yang akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Empat, perdagangan yang lebih bebas memberikan signal harga yang "benar" sehingga meningkatkan efisiensi investasi. Lima, dalam perdagangan yang lebih bebas kesejahteraan konsurnen meningkat karena terbuka pilihan-pilihan baru. Namun untuk dapat bejalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif perlu dukungan perundang-undangan yang mengatur persaingan yang sehat dan melarang praktek monopoli. Posisi perdagangan beras dalam kerangka GATT/WTO sangat unik mengingat kompleksnya masalah yang dihadapi dalam kaitannya dengan aspek ekonomi, sosial dan politik suatu negara. Namun demikian, semakin ketatnya persaingan dan berbagai proteksi yang diberikan selama ini hams disesuaikan dengan kesepakatan yang tertuang dalam GATT/WTO. Indonesia termasuk negara berkembang yang sangat berani dalam mengarahkan kebijakan perdagangan sesuai dengan tuntutan mekanisme pasar. Hal ini bisa ditandai dengan dua ha1 pokok, yaitu: (a) ikut sertanya Indonesia dalam meratifikasi kesepakatan perdagangan baik dalam konteks global (GATTIWTO) maupun regional (APEC, AFTA), dan (b) sejalan dengan butir (a) deregulasi sektor perdagangan domestik telah dilakukan dengan sangat dalam dan meluas. Dalam perdagangan beras dunia Indonesia menyesuaikan dengan ketentuan GATT dengan melakukan tarifikasi dan akses pasar tanpa mengurangi perlindungan terhadap petani. Kesepakatan GATTIWTO masih memungkinkan Indonesia untuk
memt)erlakukan tarif impor untuk komoditas beras. Tabel berikut ini secara ringkas diuraikan kesepatan GATT dalam dunia pertanian. Tabel 6. Kesepatan GATTlWTO &lam Sektor Pertanian Uraian A. Akses Pasar 1. Tarifikasi 2. P e n m a n tarif 3. Minimum tkses melalui tarif quota B. Subsidi Domestik 1. P e n m a n subsidi 1. p e n m a n nilai subsidi ekspor 2. Penurunan volume subsid1 ekspor
Negara Maju
I
Wajib - 36% dalam 6 tahun - 15% dalam setiap tarif Ya, pada tingkat 3%
- 20 % dalam 6 tahun - 36% dalam 6 tahun -2l%dalam6tahun
Negara Berkembang Wajib - 24 % dalam 10 tahun - 10 % dalam setiap tarif Ya, pada tingkat 3 %
I
- 13% ddam 10 tahun 24% dalam 10 tahun 14% dalam 10 tahun
I
Sumber: Envidodo dan Tubagus, 1997.
Tantangan dalam waktu dekat yang hams dihadapi oleh Indonesia adalah pemberlakuan skema (scheme) Common Effective Preferential Tarrffs (CEPT) dalam kerangka kesepatakan AFTA. Dalam pelaksanaannya skema CEPT disepakati untuk mengelompokkan produk pertanian non olahan ke dalam 3 kelompok, yaitu: (1) kelompok komiditas yang segera masuk ke dalam CEPT (intermediate inclusion list), (2) kelompok komoditas yang untuk sementara dikeluarkan dari skema CEPT
(temporary exclusion list) dan (3) kelompok komoditas yang masing-masing oleh negara anggota dianggap sensitif yang perlu mekanisme khusus (sensitive list). Dan selanjutnya negara anggota juga menyetujui untuk membagi produk kategori sensitif menjadi (1) sensitif, dan (2) sangat sensitif Indonesia memasukkan beras dan gula pasir sebagai produk sangat sensitif (highly sensitive) ( Amang dan Sawit, 2001).
Dengan mencermati perkembangan harga intemasional dan dalam upaya meningkatkan daya saing beras di pasar dalam negeri, pemerintah dapat menerapkan strategi pembatasan impor melalui pemberlakuan tarif, sehingga harga paritas impor beras setara dengan h a r p beras domestik. Strategi semacam ini akan mewujudkan stabil~sasiharga on trend dan beban anggaran pengamanan harga dasar gabah di tingkat petani serta mengendalikan harga beras di tingkat konsurnen dapat ditekan serendah mungkin. Meningkatnya volume produksi beras dunia saat ini yang diikuti menurunnya harga beras impor menuntut kebijakan pemerintah yang seksama dalam menetapkan harga dasar dan stabilisasi harga domestik (Sudaryanto, et al, 2000). Sejalan dengan arah perdagangan secara mum, perdagangan beras Indonesia juga telah menunjukkan perubahan yang fenomenal. Dimasa lalu, sebagai bagian dari kebijakan stabilisasi harga beras &lam negeri, BULOG memegang monopoli dalam impor beras Indonesia. Dengan kewenangan tersebut, BULOG dapat mengatur kapan dan berapa h a m mengimpor beras untuk mengamankan cadangan beras dalam negen. Dengan demikian, pengaruh fluktuasi harga intemasional terhadap harga beras dan gabah dalam negeri dapat dihindarkan.
2.3. Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu Dari hasil penelitian Siturnorang (2000), tentang tingkat proteksi dan kebijakan harga terhadap perberasan Indonesia tahun 1971-1991, dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAW, menyimpulkan bahwa indikator derajat intewensi, tingkat proteksi selalu negatif yang diikuti juga dengan kebijakan harga yang selalu negatif baik terhadap produksi beras maupun pendapatan petani
produsen, ha1 ini mengindikasikan bahwa kebijakan subsektor beras selama tahun 1971-1991 lebih banyak merugikan petani produsen. Penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan dan Suprapto (1987), yang menelaah tentang elastisitas respon penawaran padi di Jawa &lam jangka pendek dan jangka panjang, penelitian ini menggunakan pendekatan tak-langung, dimana persamaan luar areal dan produktivitas menggunakan model Nerlove. Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa elastisitas respon pnawaran positif, selain itu diperoleh kenyataan bahwa variabel harga tidak berpengaruh nyata terhadap perluasan areal, tetapi berpengaruh nyata terhadap hasil/produktivitas per hektar. Oleh karena itu
untuk meningkatkan produksi beras di Jawa, Kebijakan hendaknya lebih ditekankan kepada peningkatan hasil per hektar (produktivitasnya). Sastrohoetomo (1984), melakukan studi dampak kebijakan harga pupuk dan beras terhadap pencapaim swasembada beras, perubahan kesejahteraan masyarakat, laju inflasi dm pengeluaran pemerintah. Dengan merumuskan model persamaan tunggal yang diduga secara terpisah antara persamaan produksi, permintaan pupuk, permintaan beras, produksi beras yang dipasarkan, dan persamaan inflasi. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa bila subsidi pupuk, harga gabah dan harga beras ataupun semua anggaran subsidi untuk sektor beras dihapuskan akan lebih berdampak positif ketimbang berdampak negatif bagi masyarakat. Indlkasinya adalah produksi beras hanya turun sedikit bahkan swasembada berm akan dapat tercapai pada kebijakan penghapusan anggaran subsidi. Kenaikan inflasi tidak berarti, sebaliknya pengeluaran pemerintah dapat dihemat teqadi pemerataan pendapatan petani dan secara keseluruhan keuntungan masyarakat meningkat.
Hartoyo (1994), dalam penelitiannya tentang pengaruh infrastruktur terhadap penawaran tanaman pangan di Jawa dengan pendekatan Multi-Input Multi-Output, menyatakan bahwa respon penawaran padi tidak elastis terhadap harga pa& dan harga pupuk, namun kebijakan harga pad lebih efektif untuk meningkatkan produksi dan menyerap tenaga kerja dibandngkan dengan kebijakan subsidi harga pupuk. Irawan (1998), melakukan studi respon p e n a w m , tentang keberlanjutan produksi padi ladang dan padi sawah & Jawa dan Luar Jawa, model yang dibangun merupakan persamaan tunggal yang terdiri dari dua persamaan yaitu respon areal dan respon produktivitas. Cara pembentukan model dilakukan dengan menduga respon penawaran secara tidak langsung setelah menduga terlebih dulu respon areal dan produktivitas. Hasilnya menunjukkan bahwa elastisitas penawaran padi sawah dan ladang di Jawa dan Luar Jawa adalah inelastis, kecuali daerah Sulawesi dalam jangka panjang elastis. Lebih lanjut Irawan mengatakan bahwa pad^ sawah di Jawa, harga dan kredit usahatani tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi sawah. Hal ini menunjukkan produksi padi sawah sudah mendekati kejenuhan sehingga walaupun harga padi menarik tetapi sulit bagi petani untuk meningkatkan produktivitas karena
penambahan dosis pupuk dan input produksi lainnya (yang didanai dari kredit usahatani) dilahan yang mengalami pelandaian produktivitas sudah tidak dimunglunkan lagi. Sedangkan untuk luar Jawa, kredit usahatani dan lahan irigasi tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan produktivitas padi sawah. Hal ini mencerminkan program intensifikasi di luar Jawa belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam meningkatkan produktivitas.
Dari penelitian Sawit (1994), tentang analisa permintaan pangan, bahwa elastisitas permintaan &an padi, palawija dan barang pasar terhadap luas tanah garapan semuanya positif, walaupun inelastis, meningkatnya luas garapan berpengaruh positif terhadap konsumsi rumah tangga. Akan tetapi, perubahan harga pupuk
hampir tidak berpengaruh terhadap konsumsi. Lebih lanjut Sawit
mengemukakan bahwa pengurangan subsidi pupuk tidak berpengaruh terhadap konsumsi rumah tangga. Penelitian yang dilakukan Handewi dan Erwidodo (1994), tentang kajian sistem permintaan pangan di Indonesia dengan menggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS) untuk menduga elastisitas permintaan dan elastisitas pendapatan rumah tangga, mengatakan, bahwa elastisitas permintaan terhadap berbagai kelompok pangan suatu rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rumah tangga yang bersangkutan. k b i h lanjut dikemukakan, bahwa elastisitas permintaan silang antar komoditi memperlihatkan perubahan jumlah permintaan suatu komoditi karena adanya perubahan harga komoditi lainnya. dimana hubungan antara komoditi dapat bersifat saling melengkapi atau saling menggantikan Elastisitas pendapatan semua bertanda positif, ha1 ini menunjukkan bahwa permintaan terhadap suatu komoditi akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan rumah tangga. Namun demikian, elastisitas pendapatan rumah tangga di desa relatif lebih elastis dibanding elastisitas pendapatan rumah tangga di daerah kota. Penelitian yang dilakukan Stephenson dan Erwidodo (1995), tentang Implikasi dan dampak Putaran Uruguay pada sektor pertanian di Indonesia dengan
mengpmakan model Global Trade Analysis Project (GTAP), yaitu model keseimbangan mum Computable General Equilibrium (CGE) multi regional dari perekonomian dan perdagangan dunia, s e w a gans besar hasil simulasi memperlihatkan, bahwa liberalisasi perdagangan dunia versi GATT memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia, terutama dilihat dan pertambahan surplus ekonomi dan perdagangan. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa hasil simulasi memperlihatkan jika diterapkan kesepakatan liberalisasi perdagangan multilateral, Indonesia dapat berubah status dari negara "berswasembada beras" menjadi negara "surplus" beras. Peningkatan permintaan impor beras dunia sebagai akibat dari peningkatan market access dan penurunan tarif impor berm dibeberapa negara importir beras (termasuk
Jepang) mengakibatkan meningkatnya harga beras di pasar dunia. Peningkatan harga beras dunia ini akan mendorong perungkatan harga riil berm di pasar domestik (2.74 persen), menuidcan konsumsi beras dan pada gilirannya mengakibatkan tejadinya surplus beras. Dengan asumsi surplus beras tersebut laku di jual di pasar dunia, maka Indonesia mempunyai potensi besar sebagai negara eksportir beras dunia di masa yang akan datang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyana (1996), dengan menggunakan model persamaan simultan mengemukakan, bahwa dalam jangka pendek mash diperlukan kebijakan untuk menaikkan harga dasar gabah dengan persentase yang lebih tinggi dari kenaikan harga pupuk agar dapat mendorong kenaikan produksi beras untuk berswasembada, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Beberapa ha1 yang mebedakan penelitian ini dengan studi Mulyana adalah dalam persamaan
produksi tidak memasukkan beberapa peubah yang dianggap relevan yaitu kredit usahatani, dalam perilaku harga impor beras Indonesia, tidak memasukkan peubah tarif impor secara eksplisit. Cahyono (2001), melakukan studi tentang analisis penawaran dan permintaan beras di Propinsi Lampung dan kaitannya dengan pasar bebas domestik dan internasional, dengan menggunakan model persamaan simultan mengemukakan, bahwa peningkatan harga dasar gabah akan meningkatkan produksi padi di Lampung Utam Selatan dan pendapatan petani pad^ ladang Lampung dan sawah di luar Jawa.
Dampak penetapan tarif impor mampu mengurangi jumlah impor, meningkatkan harga gabah dan pendapatan petani. Tetapi model yang dibangun tidak dipelajari perilaku importir dan eksportir beras di dunia, melainkan hanya dijadikan sebagai persamaan identitas. Robinson, et.al(1998), mengemukakan tentang kebijakan harga, perdagangan dan pembahan nilai tukar dengan menggunakan model Computable General Equilrbrrum (CGE), menyatakan bahwa peran Bulog melalui kebijakan harga akan
mendorong perluasan lahan untuk produksi beras, namun dampaknya akan mengurangi luas lahan untuk komoditi pertanian lain yang memiliki nilai lebih tinggi. Jika intewensi Bulog ditiadakan, pemerintah memperoleh keuntungan dari peningkatan produksi barang non pertanian yang diperoleh dari peningkatan pajak