GANI: PUPUK NPK LAMBAT URAI PADA PADI
Keunggulan Pupuk Majemuk NPK Lambat Urai untuk Tanaman Padi Sawah Anischan Gani Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat
ABSTRACT. The Advantage of Slow Release NPK Compound Fertilizer in Lowland Rice. Inefficiency of N fertilizer used in lowland rice is mainly due to volatilization and leaching. Using zeolites to develop slow released N fertilizers could prevent nutrient losses. Experiment on the response of lowland rice to a slow released compound fertilizers (SRF NPK) and a usual compound fertilizer, was conducted in the Sukamandi Experimental Farm during dry season of 2008 using a randomized complete block design, with four replications. Treatments were four levels of each compound fertilizer, a control treatment (without fertilizer) and conventional NPK for comparison. Results of the experiment showed that at the same rate of N derived from SRF NPK gave better growth, yield components and grain yield. All dosages of SRF NPK maintained chlorophyll reading above the critical limit, SPAD value of 35. Treatments of compound fertilizers gave SPAD values comparable to that of conventional NPK. Grain yields at 200-400 kg/ha compound fertilizers were not significantly different from that of conventional NPK. At a rate of 126 kg N/ha grain yield were higher with compound fertilizers, especially with SRF NPK. Application of 300 kg/ha SRF NPK + 100 kg urea yielded higher than that of conventional NPK, which mean to save 20 kg N, 10 kg P2O5 and 30 kg K2O per ha. SRF NPK had greater N used efficiency than that of conventional NPK which solely used urea as N source. At 126 kg N and 40 kg P2O5 per ha conventional NPK, SRF NPK, and usual NPK had N use efficiencies of 21 kg, 25 kg, and 22 kg grain/kg N, respectively. Using slow released compound fertilizer (SRF NPK) is a good alternative for solving problem of N single nutrient fertilizer scarcity. Applying SRF NPK also increases the N use efficiency, hence, reduces the need for N fertilizer. Keywods: Compound fertilizer, slow release, leaf green intensity, N use ABSTRAK. Rendahnya efisiensi penggunaan pupuk N pada tanaman padi terutama disebabkan oleh kehilangan hara N melalui volatilisasi amoniak dan pencucian. Penggunaan zeolit dapat membantu mencegah hilangnya hara, dengan terbentuknya pupuk lambat urai. Pengujian pupuk majemuk NPK lambat urai (slow release fertilizer NPK) dan pupuk majemuk NPK biasa pada tanaman padi sawah telah dilakukan di Kebun Percoban Sukamandi pada MK 2008, menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. Sebagai perlakuan adalah pemberian pupuk majemuk SRF NPK, NPK biasa, NPK konvensional, dan kontrol (tanpa pemupukan). Pada takaran N yang sama, SRF NPK memberikan pertumbuhan, komponen hasil, dan hasil yang lebih baik daripada pemupukan NPK konvensional. Pupuk majemuk SRF NPK dan NPK biasa dapat mempertahankan intensitas hijau daun hingga 56 HST. Berbagai takaran pupuk majemuk memberikan nilai SPAD daun tidak berbeda nyata dengan NPK konvensional. Hasil gabah pada perlakuan 200400 kg SRF NPK dan NPK biasa tidak berbeda nyata dibanding pemupukan NPK konvensional. Bahkan pada takaran 126 kg N/ha, hasil gabah lebih tinggi dengan pemberian pupuk majemuk, terutama SRF NPK. Pada perlakuan 300 kg/ha SRF NPK + 100 kg urea, hasil lebih tinggi dibanding perlakuan NPK konvensional dan menghemat 20 kg N, 10 kg P2O5, dan 30 kg K2O/ha. Pupuk majemuk SRF NPK
148
memberikan efisiensi N yang lebih tinggi dibanding pupuk majemuk NPK biasa dan NPK konvensional yang hanya menggunakan urea sebagai sumber N. Pada takaran 126 kg N dan 40 kg P2O5/ha, efisiensi N pada perlakuan NPK konvensional, SRF NPK, dan NPK biasa berturut-turut 21 kg, 25 kg, dan 22 kg GKG/kg N. Penggunaan pupuk majemuk NPK lambat urai (SRF NPK) akan membantu menyelesaikan masalah kelangkaan pupuk tunggal dan rendahnya efisiensi penggunaan pupuk N pada padi sawah. Kata kunci: Pupuk majemuk, lambat urai, intensitas hijau daun, efisiensi pupuk N, padi sawah
ingkat hasil padi antara lain ditentukan oleh ketersediaan hara N dalam tanah, walaupun tanaman yang diberi pupuk N memperoleh 5080% hara N dari tanah (Broadbent 1979). Kehilangan hara N yang berasal dari pupuk berkisar antara 60-70% (De Datta 1981). Hasil berbagai percobaan pemupukan N menunjukkan kehilangan N makin tinggi dengan makin tingginya takaran pupuk N akibat imobilisasi dan fiksasi amonium yang menyebabkan hara N tidak tersedia bagi tanaman. Hara N paling banyak diperlukan tanaman dan urea adalah jenis utama pupuk N bagi tanaman padi. Namun, hara N yang berasal dari urea banyak yang hilang karena menguap ke udara dan terbawa aliran air dalam ekosistem padi, terutama bila diaplikasikan pada kondisi lahan tergenang (Virta 2002, Roy and Misra 2003). Secara umum, lebih dari 55% N pupuk yang diberikan pada tanaman padi sawah irigasi tidak dapat dimanfaatkan tanaman (Roy dan Misra 2003). Menurut Carter et al. (1986), tanaman padi jarang menyerap lebih dari 40% dari urea yang diberikan. Tidak efisiennya penggunaan pupuk N sebagian besar disebabkan oleh kehilangan hara N melalui volatilisasi amoniak dan denitrifikasi. Efisiensi pemupukan N masih rendah, hanya 30-40% jika diaplikasikan secara sebar (broadcast) di permukaan tanah (De Datta 1981), sedangkan untuk pupuk P 2030%, dan pupuk K 30-40% (Craswell et al. 1991). Upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, khususnya N, dapat dilakukan dengan penggunaan bagan warna daun (BWD) maupun pemberian secara bertahap (split). Dengan cara ini, efisiensi penggunaan pupuk N meningkat 40% dari total pupuk N yang diberikan. Peningkatan efisiensi pemupukan N juga dapat diupayakan melalui formulasi pupuk dalam
T
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 3 2009
bentuk penguraian hara N yang lebih lambat seperti urea briket dan tablet, ureaform (UF) yang merupakan produk kondensasi dari urea dan formaldehid, sulphur coated urea (SCU), polymer-coated urea (nutricote), dan neemcoated urea (Dobermann and Fairhurst 2000), atau dengan penambahan bahan lain seperti zeolit (Lavkulich and Bomke 1998, Park et al. 2005, Ahmed et al. 2006), dan humic acid (Ahmed et al. 2006). Fashola et al. (2001) melaporkan penggunaan polyolefin-coated urea, yang merupakan pupuk N lambat urai, memberi hasil yang nyata lebih tinggi dibanding pemberian pupuk urea saja. Rata-rata N-recovery pada perlakuan pupuk lambat urai ini mencapai 62,9%, sedangkan pada perlakuan urea hanya 30,7%. Efisiensi agronomis N ratarata 36 g/g N dibanding urea hanya 20 g/g N. Penyebab utama rendahnya efisiensi pemupukan N adalah hilangnya hara N dari sistem tanah-tanaman melalui emisi gas, run off, erosi, dan pencucian. Pengaturan pemberian pupuk N sesuai kebutuhan tanaman atau dengan cara yang tepat dapat mengurangi kehilangan hara N. Proses kehilangan hara N dalam bentuk gas, yang meliputi volatilisasi dan denitrifikasi, menyebabkan dibebaskannya NH3, NO, N2O dan N2 ke udara (Roy dan Misra 2003). Dengan pemberian pupuk N lambat urai diharapkan kehilangan hara N dapat diperkecil sehingga efisiensi penggunaan pupuk N meningkat. Freney et al. (1995) menyatakan, formulasi khusus dapat membebaskan hara N lebih lambat dibandingkan pupuk. N bagi tanaman diberikan secukupnya dengan satu kali aplikasi, yaitu melalui pemberian pupuk lambat urai (slow release fertilizer), seperti pupuk yang terbungkus senyawa N organik kompleks dan kurang larut dalam air. Park et al. (2005) melaporkan, zeolit dapat menahan sejumlah NH4NO3, sehingga dapat digunakan sebagai sumber hara lambat urai bagi tanaman. Dalam kaitan ini, Virta (2002) melaporkan serapan N tanaman meningkat dengan adanya clinoptilolit (zeolit). Ditambahkan, clinoptilolit yang diperkaya dengan amonium memberikan keuntungan lebih besar dibanding clinoptilolit yang diperkaya dengan Ca atau K. Lebih jauh, Eberl (2002) menyatakan bahwa zeolit merupakan mineral porous dengan kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi, dapat mengendalikan penguraian hara tanaman dalam sistem pertanian. Zeolit juga dapat membebaskan hara ke dalam larutan tanah, sehingga tersedia bagi tanaman, dapat meningkatkan kesuburan tanah, dan menahan air tanah. Beberapa penelitian menunjukkan zeolit dalam tanah dapat membantu pembebasan beberapa hara mikro sehingga mudah diserap oleh tanaman. Pembebasan hara P, K, Mn, Zn, Fe, dan Cu meningkat oleh adanya zeolit dalam tanah yang netral.
Dalam budi daya padi, petani umumnya hanya memberikan pupuk N karena mahalnya harga pupuk. Di samping itu, karena penggunaan pupuk P (SP36) dan/ atau K (KCl) tidak memperlihatkan pengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman, petani jarang menggunakan kedua jenis pupuk ini. Penggunaan pupuk majemuk berarti petani telah memberikan pupuk P dan K selain N. Kelebihan pupuk majemuk dalam budi daya padi antara lain adalah: (a) mengandung lebih dari satu unsur hara sehingga tanaman memperoleh lebih dari satu hara dalam sekali aplikasi, (b) menghemat tenaga kerja untuk aplikasi dan transportasi, dan (c) efisiensi penggunaan pupuk lebih tinggi. Pemberian pupuk majemuk NPK akhir-akhir ini cenderung meningkat. Beberapa perusahaan di Indonesia telah memproduksi pupuk majemuk, seperti Phonska dengan proporsi kandungan NPK 15-15-15, NPK Kujang 30-6-8, NPK Pelangi 20-10-10, dan SRF NPK 20-10-10 yang lebih lambat urai. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji keunggulan atau efikasi pupuk majemuk SRF NPK dan NPK biasa pada padi sawah dalam upaya peningkatan hasil dan efisiensi penggunaan pupuk N.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada MK 2008 di lahan irigasi Kebun Percobaan (KP) Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) di Sukamandi. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. Susunan perlakuan pemupukan adalah: A) kontrol, tanpa pemupukan; B) 275-110-100 kg (urea-SP36-KCl), NPK konvensional; C) 200-100 kg (SRF NPK-urea); D) 300100 kg (SRF NPK-urea) ; E) 400-100 kg (SRF NPK-urea); F) 300-100-28-50 kg (SRF NPK-urea-SP36-KCl); G) 200100 kg (NPK biasa-urea); H) 300-100 kg (NPK biasaurea); I) 400-100 kg (NPK biasa-urea); dan J) 300-10028-50 kg (NPK biasa-urea-SP36-KCl)/ha. Takaran pupuk pada perlakuan dihitung untuk mendapatkan pemberian hara seperti dalam Tabel 1. Tanah diolah secara sempurna dengan bajak rotari tangan (hand tractor), selanjutnya dibuat petakan berukuran 5 m x 6 m, dengan pembatas petak berupa galengan selebar 20-30 cm dan tinggi 30 cm. Bibit berumur 16 hari ditanam satu batang per rumpun dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pada perlakuan B, urea diberikan masing-masing 1/3 bagian pada 7, 21, dan 42 HST secara sebar, sedangkan pupuk majemuk SRF-NPK dan NPK-biasa diberikan satu kali pada tiga hari sebelum tanam dengan cara membenamkan ke dalam tanah. Pupuk SP36 dan KCl diberikan pada 7 HST.
149
GANI: PUPUK NPK LAMBAT URAI PADA PADI
Tabel 1. Total pemberian hara tiap perlakuan pada pengujian pupuk SRF NPK dan NPK biasa. KP Sukamandi, MK 2008. Total pemberian hara (kg/ha) Perlakuan
A B C D E F G H I J *
Sumber N
Sumber P2O5
Sumber K2O
NPK*
urea**
Total
NPK
SP36
Total
NPK
KCl
Total
40 60 80 60 40 60 80 60
126 46 46 46 46 46 46 46 46
0 126 86 106 126 106 86 106 126 106
20 30 40 30 20 30 40 30
40 10 10
0 40 20 30 40 40 20 30 40 40
20 30 40 30 20 30 40 30
60 30 30
0 60 20 30 40 60 20 30 40 60
NPK = pupuk majemuk NPK; perlakuan C-F menggunakan SRF NPK dan perlakuan G-J menggunakan NPK biasa. Urea pada perlakuan C-J diberikan pada 21 HST.
**
Pengairan dilakukan secara intermittent dan 10 hari menjelang panen pemasukan air ke sawah dihentikan. Penyiangan gulma pertama dilakukan pada umur 21 HST secara manual dan selanjutnya tanaman diusahakan bebas gulma. Hama dan penyakit tanaman dikendalikan sebelum dan pada saat ada gejala serangan dengan cara menyemprot tanaman dengan pestisida. Tanaman dipanen secara ubinan pada saat tanaman telah mencapai umur masak, yakni gabah telah masak kuning minimal 90% dengan menggunakan sabit, kemudian dirontok dalam karung plastik dan gabah ditimbang untuk masing-masing petak percobaan. Dilakukan analisis tanah sebelum percobaan dengan mengambil sampel tanah pada kedalaman 25 cm, di 15 tempat, dan dikompositkan untuk dianalisis sifat fisika dan kimia tanahnya. Parameter tanaman yang diamati meliputi jumlah anakan dan tinggi tanaman pada 21, 42, 63 HST, dan menjelang panen dari 10 rumpun per petak. Tingkat kehijauan daun diukur menggunakan klorofil meter (SPAD-502) pada saat tanaman berumur 28, 42, dan 56 HST. Komponen hasil yang diamati meliputi jumlah malai, jumlah gabah total dan gabah isi per rumpun, dan bobot 1.000 butir, dari 10 rumpun sampel per petak. Data hasil diambil dari ubinan seluas 2 m x 5 m per petak dan dikonversikan ke dalam bentuk gabah kering giling (GKG). Data dianalisis sesuai rancangan dan perbedaan yang ada di antara perlakuan ditentukan menggunakan uji BNJ pada taraf 0,05. Untuk mengetahui hubungan antara peubah digunakan teknik korelasi dan regresi ganda berikut seleksi peubah langkah mundur (step down variable selection).
150
Tabel 2. Analisis tanah sebelum penelitian, KP Sukamandi, MK 2008. Karakteristik tanah Tekstur tanah Liat (%) Debu (%) Pasir (%) pH H2O (1:2,5) pH KCl (1:2,5) N total (%) C organik (%)
Nilai
Kriteria
Metode analisis
Klas tekstur lempung liat berdebu agak masam masam rendah rendah
Pipet
29,4 64,9 5,7 5,84 4,93 0,11 1,26
C/N 11,45 P2O5 potensial (mg/100 g) 28,7 K2O (mg/100 g) 11,3 P2O5 tersedia (ppm) 14,5 K-dd (me/100 g) 0.24 Na-dd (me/100 g) 0,72 KTK (me/100 g) 14,7
sedang rendah rendah rendah rendah sedang rendah
pH meter Micro Kjeldahl Walkley & Black HCl 25% Idem Olsen NH4OAc pH 7 Idem idem
Dianalisis di Laboratorium Tanah dan Tanaman, Balai Penelitian Tanah, Bogor (2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN Tanah percobaan bereaksi agak masam dengan pH 5,84, kandungan C-organik dan N-total termasuk rendah masing-masing 1,26% dan 0,11%, dan nilai C/N tergolong sedang (11,45). Kandungan P-total dari P tersedia tanah tergolong rendah. K total dan K yang dapat dipertukarkan juga rendah, serta kapasitas tukar kation (KTK) rendah (Tabel 2). Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah percobaan kekurangan hara utama N, P, dan K.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 3 2009
Tinggi Tanaman Pada 21 HST telah terlihat pengaruh perlakuan pemupukan terhadap pertumbuhan tanaman. Tinggi tanaman pada perlakuan E (SRF NPK 400), F (SRF NPK 300+), dan I (NPK biasa 400) nyata lebih tinggi dibanding kontrol, sedangkan perlakuan NPK konvensional (perlakuan B) belum nyata pengaruhnya (Tabel 3). Tinggi tanaman pada 42 HST lebih memperlihatkan pengaruh perlakuan, dimana semua perlakuan pemupukan nyata lebih baik dibanding perlakuan A (tanpa pupuk). Tinggi tanaman pada perlakuan A hanya 53 cm, sedangkan pada perlakuan lain berkisar antara 62 cm (NPK konvensional) dan 70 cm (SRF NPK 400). Tinggi tanaman pada perlakuan E (SRF NPK 400), F (SRF NPK 300+), dan I (NPK biasa 400) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B (NPK kovensional). Pada 63 HST dan saat panen, semua perlakuan pemupukan juga berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dibanding kontrol. Makin tinggi takaran SRF NPK maupun NPK biasa makin besar pula pengaruhnya terhadap tinggi tanaman. Kedua macam pupuk majemuk ini tampaknya efektif meningkatkan tinggi tanaman, bahkan pemberian 400 kg/ha pupuk majemuk + 100 kg urea lebih baik daripada perlakuan NPK konvensional (275-110-100 kg urea-SP36-KC/ha) (Tabel 3). Jumlah Anakan Sejak tanaman berumur 21 HST semua perlakuan pemupukan menunjukkan pengaruh yang nyata dibanding tanpa pemupukan. Jumlah anakan pada perlakuan kontrol 6,8 batang/rumpun sedangkan pada perlakuan pemupukan berkisar antara 9-11 batang/ rumpun. Antara perlakuan-perlakuan pemupukan tidak
Tabel 3. Tinggi tanaman padi varietas Ciherang dengan penggunaan pupuk majemuk SRF NPK dan NPK biasa. KP Sukamandi, MK 2008.
terdapat perbedaan yang nyata (Tabel 4). Pada perkembangan selanjutnya, 42 dan 63 HST, pengaruh pemupukan terhadap jumlah anakan juga terlihat. Bahkan makin tinggi takaran pupuk majemuk ini makin besar pengaruhnya terhadap jumlah anakan. Jumlah anakan pada umur 63 HST tidak nyata meningkat pada takaran pupuk majemuk 200 kg/ha, baik SRF NPK maupun NPK biasa, dibanding tanpa pemupukan. Dapat dikatakan bahwa pemberian pupuk majemuk (SRF NPK dan NPK biasa) dengan takaran 200 kg + 100 kg urea/ha kurang berpengaruh terhadap jumlah anakan, sedangkan pada takaran 400 kg pupuk majemuk + 100 kg urea/ha tidak lebih baik dibanding perlakuan NPK konvensional (275-110-100 kg urea-SP36-KCl/ha) dalam meningkatkan jumlah anakan. Intensitas Warna Hijau Daun Warna hijau daun merupakan indikator kualitatif bagi kandungan klorofil pada daun. Menurut Yang (2003), hubungan antara total klorofil dan kandungan N daun adalah nyata dan linier. Pada berbagai tanaman terdapat hubungan linier yang nyata antara total klorofil daun dan pembacaan pada chlorophyll meter. Karena itu, kandungan N dan klorofil daun tanaman padi dapat diduga dari pembacaan klorofil meter. Lebih jauh, Lo dan Chen (2003) serta Lo et al. (2004) menyatakan bahwa variasi warna daun yang diukur dengan klorofil meter (SPAD-520, Minolta) menunjukkan nilai warna daun nyata berkorelasi positif dengan hasil gabah, terutama dua minggu sebelum dan sesudah pembungaan. Dalam Tabel 5 diperlihatkan rata-rata nilai SPAD daun pada 28, 42, dan 56 HST, yang menunjukkan pengaruh perlakuan pemupukan terhadap intensitas warna hijau
Tabel 4. Jumlah anakan tanaman padi varietas Ciherang dengan pemupukan SRF NPK dan NPK biasa. KP Sukamandi, MK 2008.
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan per rumpun
Perlakuan
Tanpa pupuk NPK konvensional SRF NPK 200 SRF NPK 300 SRF NPK 400 SRF NPK 300+ NPK biasa 200 NPK biasa 300 NPK biasa 400 NPK biasa 300+
Perlakuan 21 HST
42 HST
63 HST
Panen
40 a 42 ab 44 ab 44 ab 44 b 45 b 43 ab 44 ab 45 b 44 ab
53 a 62 b 66 bcd 64 bc 70 d 68 cd 64 bc 64 bcd 69 cd 66 bcd
66 a 86 b 83 b 85 b 88 b 88 b 81 b 84 b 89 b 85 b
81 a 91 b 92 b 94 bc 98 c 95 bc 91 b 93 b 96 bc 94 bc
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNJ.
Tanpa pupuk NPK konvensional SRF NPK 200 SRF NPK 300 SRF NPK 400 SRF NPK 300+ NPK biasa 200 NPK biasa 300 NPK biasa 400 NPK biasa 300+
21 HST
42 HST
63 HST
6,8 a 10,3 b 9,4 b 10,5 b 10,9 b 10,8 b 10,1 b 10,7 b 10,8 b 10,9 b
9,4 13,5 12,9 13,6 15,3 14,6 13,2 12,3 16,6 14,4
6,9 a 11,0 b 9,3 ab 10,6 b 10,8 b 10,7 b 9,4 ab 10,9 b 11,7 b 10,5 b
a bc b bc bc bc b ab c bc
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNJ.
151
GANI: PUPUK NPK LAMBAT URAI PADA PADI
daun. Pada 28 HST hanya perlakuan B (275-110-100 kg urea-SP36-KCl/ha, konvensional), F (SRF NPK 300+), dan I (NPK biasa 400) yang memberikan nilai SPAD daun nyata lebih tinggi dari kontrol. Pada 42 dan 56 HST, nilai SPAD pada semua perlakuan pemupukan nyata lebih tinggi dari kontrol, tetapi antara perlakuan pemupukan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Semua perlakuan pemupukan yang dicoba nyata meningkatkan intensitas warna hijau daun. Hal ini menunjukkan peningkatan kandungan klorofil dalam daun, yang akhirnya berpengaruh terhadap fotosintesis. Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), nilai pembacaan SPAD sebesar 35 digunakan sebagai nilai batas kritis bagi kekurangan hara N pada tanaman padi sawah varietas unggul jenis indica. Pada 56 HST, nilai SPAD daun tanpa pemupukan telah menurun sampai di bawah batas kritis
Tabel 5. Nilai SPAD daun tanaman padi varietas Ciherang pada saat berumur 28, 42, dan 56 HST pada penelitian penggunaan pupuk majemuk SRF NPK dan NPK biasa. KP Sukamandi, MK 2008. Nilai SPAD daun Perlakuan
Tanpa pupuk NPK konvensional SRF NPK 200 SRF NPK 300 SRF NPK 400 SRF NPK 300+ NPK biasa 200 NPK biasa 300 NPK biasa 400 NPK biasa 300+
28 HST
42 HST
56 HST
38,73 41,98 41,33 41,55 41,72 41,92 41,27 41,67 42,27 40,65
37,27 42,52 40,55 42,72 42,77 42,92 42,15 43,33 42,97 43,00
33,77 37,80 38,63 38,70 38,70 38,70 37,75 38,07 38,30 38,48
a b ab ab ab b ab ab b ab
a b b b b b b b b b
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNJ.
a b b b b b b b b b
(34), sedangkan semua perlakuan pemupukan mempunyai nilai SPAD di atas batas kritis (38-39). Hasil dan Komponen Hasil Perlakuan tanpa pemupukan hanya memberikan hasil 3.505 kg GKG/ha sedangkan dengan pemupukan NPK konvensional (275-110-100 kg urea-SP36-KCl/ha) 6.177 kg/ha. Semua takaran pupuk majemuk yang diuji memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan pemupukan konvensional, bahkan perlakuan SRF NPK 300, SRF NPK 400, dan NPK biasa 400 memberikan hasil lebih tinggi, berturut-turut 6.203 kg, 6.642 kg, dan 6.335 kg GKG/ha. (Tabel 6). Peningkatan hasil gabah dengan berbagai takaran pemupukan yang diuji kemungkinan disebabkan oleh jumlah malai dan gabah (gabah total dan gabah isi) yang lebih banyak, di mana ketiga peubah tersebut nyata dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan. Kehampaan gabah tidak nyata dipengaruhi oleh pemupukan. Jumlah gabah isi sangat rendah pada perlakuan kontrol (535 butir/rumpun), namun bobot 1.000 bijinya nyata lebih tinggi dibanding perlakuan-perlakuan pemupukan (Tabel 6). Hal ini berhubungan dengan adanya korelasi negatif sangat nyata antara bobot 1.000 biji dengan jumlah gabah total per rumpun (r = -0,7334**) dan jumlah gabah isi per rumpun (r = -0,7111**). Kalau diperhatikan distribusi hasil gabah terlihat adanya hubungan antara hasil dengan takaran pupuk majemuk. Hasil meningkat dengan bertambahnya takaran pupuk. Pada perlakuan SRF NPK 200, hasil hanya 5.596 kg/ha, sedangkan pada perlakuan SRF NPK 400 mencapai 6.642 kg/ha, atau 7,5% lebih tinggi dari hasil pada perlakuan NPK konvensional. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada perlakuan pupuk majemuk
Tabel 6. Hasil dan komponen hasil varietas Ciherang pada penelitian penggunaan pupuk majemuk SRF NPK dan NPK biasa. KP Sukamandi, MK 2008. Jumlah gabah/rumpun Perlakuan
Tanpa pupuk NPK konvensional SRF NPK 200 SRF NPK 300 SRF NPK 400 SRF NPK 300+ NPK biasa 200 NPK biasa 300 NPK biasa 400 NPK biasa 300+
Hasil (kg GKG/ha)* 3.505 6.177 5.596 6.203 6.642 6.197 5.653 5.885 6.335 6.040
a bc b bc c bc b bc bc bc
Jumlah malai/rumpun 7,3 10,2 10,0 10,6 11,5 11,3 9,9 10,4 11,0 11,6
a b b b b b b b b b
Total 622 a 1.149 bc 1.105 bc 1.160 bc 1.266 c 1.273 c 1.002 b 1.128 bc 1.273 c 1.202 bc
Isi 535 1.026 992 1.028 1.122 1.115 874 954 1.115 1.059
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNJ *Pada kadar air gabah 14%.
152
Gabah hampa (%) a bc bc bc c c b bc c bc
14,1 10,7 10,2 11,3 11,4 12,4 12,9 15,4 12,3 11,8
a a a a a a a a a a
Bobot 1.000 biji (g)* 29 b 27 a 27 a 27 a 28 ab 27 a 27 a 27 a 27 a 27 a
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 3 2009
7000
7000
B Hasil (kg GKG/ha)
Hasil (kg GKG/ha)
A 6000
5000
4000
6000
5000
4000
3000
3000
Perlakuan
Perlakuan
Tanpa pupuk NPK konvensional
SRF NPK 300 SRF NPK 400
Tanpa pupuk NPK konvensional
SRF NPK 300 SRF NPK 400
SRF NPK 200
SRF NPK 300+
SRF NPK 200
SRF NPK 300+
Gambar 1. Hasil padi varietas Ciherang pada penelitian penggunaan pupuk majemuk SRF NPK (A) dan NPK biasa (B). KP Sukamandi, MK 2008.
NPK biasa, di mana perlakuan NPK biasa 200 hanya memberikan hasil 5.653 kg/ha, sedangkan NPK biasa 400 memberikan hasil 6.335 kg/ha atau 2,6% lebih tinggi dari perlakuan pupuk NPK konvensional (Tabel 6). Tanggap hasil nampaknya lebih tinggi pada perlakuan SRF NPK dibanding NPK biasa. Pemberian pupuk majemuk dengan takaran 300 kg/ha memberikan hasil yang sebanding dengan pemupukan NPK konvensional, terutama dengan pupuk majemuk SRF NPK. Gambar 1 juga memperlihatkan hal ini dengan jelas. Dalam Tabel 6 diperlihatkan pengaruh nyata perlakuan pemupukan terhadap hasil, jumlah malai, gabah total, gabah isi, dan bobot 1.000 butir. Namun pada jumlah malai dan bobot 1.000 butir, perbedaan hanya terjadi antara perlakuan tanpa pemupukan (kontrol) dan perlakuan pemupukan. Sebagaimana halnya hasil, jumlah gabah total dan gabah isi juga tanggap terhadap takaran kedua pupuk majemuk yang diberikan. Dalam Gambar 2 terlihat bahwa peningkatan takaran SRF NPK dan NPK biasa dari 200 kg menjadi 400 kg/ha meningkatkan jumlah gabah total dan gabah isi. Perlakuan SRF NPK 300+ dan NPK biasa 300+, di mana 300 kg pupuk majemuk ditambah 100-28-50 kg urea-SP36-KCl/ha meningkatkan jumlah gabah total dan gabah isi, dibanding perlakuan SRF NPK 300 dan NPK biasa 300, hanya diberikan 300 kg pupuk majemuk dan 100 kg urea/ha. Bahkan perlakuan SRF NPK 300+ memberikan jumlah gabah total dan gabah isi yang sama
dengan perlakuan SRF NPK 400. Hal ini memperlihatkan peranan tambahan pupuk P dan K (28 kg SP36 dan 50 kg KCl/ha) terhadap pembentukan gabah. Secara umum, dalam Gambar 2 nampak bahwa pada setiap tingkat pemberian pupuk majemuk (SRF NPK dan NPK biasa), tanggap gabah total dan gabah isi lebih tinggi terhadap pupuk majemuk SRF NPK. Hal ini disebabkan oleh adanya zeolit (klipnotilolit) dalam formulasi SRF NPK, walaupun kedua macam pupuk majemuk mempunyai komposisi hara N, P, dan K yang sama, yaitu 20:10:10 kg N:P2O5:K2O. Ahmed et al. (2006) melaporkan bahwa pemberian urea bersama zeolit nyata meningkatkan kandungan NH4 dan NO3 dalam tanah serta menambah hara Ca, K, dan Mg yang dapat ditukar dibanding pemberian urea saja. Barbarick et al. (1990) dan Pickering et al. (2002) juga melaporkan bahwa pemberian zeolit bersama rock phosphat menambah kelarutan hara P dalam tanah. Hubungan antara Hasil dan Komponen Hasil Menurut Abayawickrama et al. (2007), jumlah anakan yang tidak produktif berkorelasi negatif dengan hasil, sedangkan jumlah gabah isi dan jumlah gabah total per malai berkorelasi positif. Karena itu jumlah anakan yang tidak produktif, jumlah gabah isi, dan jumlah gabah total per malai merupakan sifat-sifat yang perlu ditingkatkan melalui pemuliaan tanaman.
153
GANI: PUPUK NPK LAMBAT URAI PADA PADI
1400
1400
A
B
1200
1200
1000
1000
800
800
600
600
400
400
200
200
0
0 Gabah total/rumpun Tanpa Pupuk NPK konvensional SRF NPK 200
Gabah isi/rumpun SRF NPK 300 SRF NPK 400 SRF NPK 300+
Gabah total/rumpun Tanpa Pupuk NPK konvensional SRF NPK 200
Gabah isi/rumpun SRF NPK 300 SRF NPK 400 SRF NPK 300+
Gambar 2. Jumlah gabah total dan gabah isi varietas Ciherang pada perlakuan penggunaan pupuk majemuk SRF NPK (A) dan NPK biasa (B). KP Sukamandi, MK 2008.
Untuk melihat hubungan antara hasil dengan komponen hasil dilakukan analisis regresi ganda antara hasil sebagai peubah tidak bebas dengan komponen hasil yang relevan sebagai peubah bebas. Selanjutnya dilakukan step-down regresi (seleksi peubah langkah mundur) untuk menentukan peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap hasil gabah, dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 7. Dengan asumsi hasil dipengaruhi oleh jumlah malai, jumlah gabah total dan gabah isi serta bobot 1.000 biji, dilakukan Step-1 regresi yang dilanjutkan dengan seleksi peubah bebas pada Step 2, 3, dan 4. Ternyata satusatunya komponen hasil yang berperan sangat nyata terhadap peningkatan hasil dalam penelitian ini adalah jumlah gabah total, dengan persamaan regresi: Y = 1441 + 3,92X (R2 = 0,7639; n = 40) di mana Y = hasil GKG (kg/ha), X = jumlah gabah total/ rumpun, F-hitung regresi = 123,00 ** , koefisien determinasi R2 = 0,7639 dan n = 40. Jumlah gabah isi bertambah secara nyata sesuai dengan peningkatan jumlah gabah total. Kedua peubah ini berkorelasi sangat nyata dengan angka korelasi sebesar 0,9855** (n = 40). Persamaan regresi menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan dalam penelitian ini sangat nyata meningkatkan jumlah gabah total yang berdampak
154
terhadap peningkatan hasil. Peningkatan jumlah gabah didukung oleh pengaruh pemupukan terhadap komponen pertumbuhan seperti tinggi tanaman (Tabel 3), jumlah anakan (Tabel 4), dan intensitas hijau daun (Tabel 5). Dobermann dan Fairhurst (2000) menyatakan gejala umum kekurangan hara N bagi tanaman padi antara lain berkurangnya jumlah anakan, tinggi tanaman, dan jumlah gabah. Efisiensi Pemupukan Nitrogen Pada perlakuan pemupukan, total hara N yang diberikan berkisar antara 86-126 kg N/ha. Pada perlakuan NPK konvensional, keseluruhan hara N (126 kg/ha) berasal dari urea sedangkan pada perlakuan pemupukan lainnya yang berasal dari urea hanya 46 kg dan sisanya dari SRF NPK atau NPK biasa (Tabel 1). Hasil gabah pada perlakuan pemupukan berkisar antara 5.596-6.642 kg/ha, 60-90% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan hasil akibat pemupukan berkisar antara 2.091-3.137 kg/ha. Peningkatan hasil tertinggi didapat dari perlakuan SRF NPK 400 (3.137 kg/ ha), diikuti oleh perlakuan NPK biasa 400 (2.830 kg/ha), SRF NPK 300 (2.698 kg/ha), SRF NPK 300+ (2.692 kg/ha), dan NPK konvensional (2.672 kg/ha) (Tabel 8). Efisiensi agronomi pupuk N yang dinyatakan dalam tambahan hasil untuk setiap kg N yang diberikan dalam
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 3 2009
Tabel 7. Hasil step-down regresi antara hasil gabah dengan komponen hasil varietas Ciherang pada penelitian penggunaan pupuk majemuk SRF NPK dan NPK biasa. KP Sukamandi, MK 2008. Koefisien regresi F-hitung
R2
28,81 ** -
0,7670 -
-
39,50 ** -
0,7670 -
Step/komponen b0
b1 ns
Step-1 Malai Gabah total Gabah isi Bobot 1.000 biji
2528
Step-2 Gabah total Gabah isi Bobot 1.000 biji
2493
Step-3 Gabah total Gabah isi
1457 **
Step-4 Gabah total
1441 **
n = 40;
ns
ns
-13,53
ns
2,69 ns
2,67
ns
b2
b3
2,75
1,32
1,30
ns
ns
b4
ns
-34,75
-34,26
ns
ns
1,41 ns
-
-
60,63 ** -
0,7662 -
-
-
-
123,00 ** -
0,7639 -
3,92 **
= tidak nyata, dan ** = sangat nyata.
pupuk ditampilkan pada Tabel 8. Pemupukan NPK konvensional memberikan efisiensi N paling rendah dari semua perlakuan, yaitu 21,2 kg GKG/kg N. Efisiensi agronomi pupuk N dari pupuk majemuk SRF NPK berkisar antara 24,3-25,5 kg GKG/kg N, dan NPK biasa 22,5-25,0 kg GKG/kg N. Terkait dengan ini, Ghosh (2008) melapor-kan bahwa pada populasi tanaman rendah efisiensi penggunaan N relatif lebih tinggi yang ditunjukkan oleh efisiensi agronomi sebesar 22,4 kg gabah/kg N. Secara umum dapat dikatakan pupuk majemuk SRF NPK lebih baik dibanding NPK biasa dalam meningkatkan efisiensi pemupukan N. Kedua jenis pupuk majemuk ini dapat memberikan hasil yang setara dengan NPK konvensional pada takaran N 20 kg lebih rendah, khususnya SRF NPK. Hal ini terutama disebabkan oleh formulasi SRF NPK lambat urai dengan penambahan zeolit ke dalam bahan pupuk. Pada total pemberian N dan P yang sama (126 kg N dan 40 kg P2O5), perlakuan NPK konvensional, SRF NPK 400, dan NPK biasa 400 berturut-turut memberikan efisiensi agronomi N sebesar 21 kg, 25 kg, dan 22 kg GKG/kg N. Pupuk majemuk SRF NPK memberikan efisiensi agronomi N yang lebih tinggi dibanding NPK konvensional yang hanya menggunakan urea sebagai sumber N, atau pupuk majemuk NPK biasa (Gambar 3A). Peningkatan efisiensi N pada SRF NPK umumnya belum terlalu tinggi dan mungkin masih dapat ditingkatkan. Penelitian Fashola et al. (2001) yang menggunakan polyolefin-coated urea mendapatkan efisiensi agronomi N rata-rata 36 g/g N, sedangkan dari penggunaan urea saja hanya 20 g/g N.
Tabel 8. Efisiensi penggunaan pupuk N perlakuan pemberian pupuk majemuk SRF NPK dan NPK biasa pada padi sawah varietas Ciherang. KP Sukamandi, MK 2008.
Perlakuan
Tanpa pemupukan NPK konvensional SRF NPK 200 SRF NPK 300 SRF NPK 400 SRF NPK 300+ NPK biasa 200 NPK biasa 300 NPK biasa 400 NPK biasa 300+
Hasil (kg GKG/ ha) 3.505 6.177 5.596 6.203 6.642 6.197 5.653 5.885 6.335 6.040
Tambahan Kandungan Efisiensi hasil dari hara N agronomi kontrol (kg/ha) (kg GKG/ (kg/ha) dalam pupuk kg N) 2.672 2.091 2.698 3.137 2.692 2.148 2.380 2.830 2.535
126 86 106 126 106 86 106 126 106
21,21 24,31 25,45 24,90 25,40 24,98 22,45 22,46 23,91
Pada takaran total N rendah (86 kg N/ha), NPK biasa memberikan efisiensi lebih tinggi dibanding SRF NPK. Namun, dengan meningkatnya total pemberian N (106 kg N/ha) maka pupuk majemuk SRF NPK memberikan efisiensi yang lebih tinggi (Gambar 3B dan 3C), demikian juga pada takaran total N 126 kg/ha (Gambar 3A). Hal ini kemungkinan karena pada kandungan N lebih rendah maka pengikatan N oleh zeolit relatif lebih kuat dibanding kalau kandungan N tanah lebih tinggi. Kedua jenis pupuk majemuk yang diuji efektif meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan varietas Ciherang. Bahkan pemberian 400 kg pupuk majemuk + 100 kg urea/ha, pengaruhnya lebih baik dibandingkan dengan takaran NPK konvensional (275-
155
GANI: PUPUK NPK LAMBAT URAI PADA PADI
26
26
B
C
25
25
24
24
24
23
22
21
kg GKG/kg N
25
kg GKG/kg N
kg GKG/kg N
A
26
23
22
21
20 SRF 400
Biasa 400
Perlakuan
22
21
20 NPK
23
20 SRF 200 SRF 300 SRF 400 SRF 300+ Perlakuan
Biasa 200 Biasa 300 Biasa 400 Biasa 300+ Perlakuan
Gambar 3. Efisiensi agronomi pupuk N dengan pemupukan NPK konvensional, pupuk majemuk SRF NPK, dan NPK biasa pada takaran N total 126 kg N/ha (A) serta efisiensi N pada berbagai takaran SRF NPK (B) dan NPK biasa (C). KP Sukamandi, MK 2008.
110-100 kg urea-SP36-KCl/ha). Pada penelitian ini juga terlihat bahwa semua perlakuan pemupukan mampu memperlambat penurunan intensitas warna hijau daun sampai tanaman berumur 56 HST. Semua takaran pupuk majemuk yang diuji memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan pemupukan NPK konvensional, bahkan perlakuan SRF NPK 300, SRF NPK 400, dan NPK biasa 400 memberikan hasil lebih tinggi dibanding perlakuan pemupukan NPK konvensional. Tanggap hasil gabah nampaknya lebih tinggi pada perlakuan SRF NPK dibanding NPK biasa. Hal ini terutama disebabkan oleh lebih tingginya efisiensi agronomi N pada pupuk majemuk SRF NPK.
KESIMPULAN
4. Peningkatan hasil pada perlakuan pemupukan dalam penelitian ini terutama disebabkan oleh bertambahnya jumlah gabah total, yang didukung oleh pertumbuhan tanaman yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Abayawickrama, A.S.M.T., M. Fahim, D.S. De Z. Abeysiriwardena, K.C. Madushani and R.M. Dharamaratne. 2007. Contribution of yield related characters to grain yield improvement in different age groups of rice (Abstrak). News and Events of the Department of Agriculture, Agriculture News in Sri Lanka. http://agridept.gov.lk /NEWS/asda.htm=con. Ahmed, O.H., H. AMINUDDIN, and M.H.A. H USNI . 2006. Reducing ammonia loss from urea and improving soil-exchangeable ammonium retention through mixing triple superphosphate, humic acid and zeolite. Soil Use and Management 22(3):315319.
1. Penggunaan pupuk majemuk SRF NPK dan NPK biasa pada tanaman padi sawah berpengaruh positif terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, intensitas hijau daun, komponen hasil, dan hasil gabah.
Barbarick, K.A., T.M. Lai, and D.D. Eberl. 1990. Exchange frtilizer (phosphate rock plus ammonium-zeolite) effects on sorghum Sudan grass. Soil Sci. Soc. Am. J. 54:911-916.
2. Pada takaran hara N dan P yang sama dengan NPK konvensional, kedua pupuk majemuk, terutama SRF NPK, memberikan efisiensi N yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan konvensional urea, SP36, dan KCl.
Carter, M.F., P.L.G. Vlek, and J.T. Touchton. 1986. Agronomic evaluation of new ureaforms for flooded rice. Sci. Soc. Am. J. 50:1055-1060.
3. Penggunaan pupuk majemuk SRF NPK dapat menghemat 20 kg N, 10 kg P2O5 dan 30 kg K2O (setara dengan 43,5 kg urea, 27,8 kg SP36 dan 50 kg KCl) tanpa mengurangi hasil gabah.
De Datta, S.K. 1981. Principles and practices of rice production. John Wiley & Sons. New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. 618p.
156
Broadbent, F.E. 1979. Mineralization of organic nitrogen in paddy soils. In: Nitrogen and Rice. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines.
Craswell, E.T, S.K. De Datta, M. Hartantyo, and N. Obcemea. 1991. Time and mode of nitrogen fertilizer application to tropical wetland rice. Fert. Res. 2(2):47–59.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 3 2009
Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice: nutrient disorder & nutrient management. Potash and Phosphate Institute of Canada and IRRI, Philippines. 191p.
Lo, J.C., Y.S. Chen, and C.L. Chen. 2004. Application of chlorophyll meter to predict nitrogen status of rice plant . J. Agric. Res. China 53(3):179-192.
Eberl, D.D. 2002. Controlled-release fertilizers using zeolites. U.S. Department of the lnterior, U.S. Geological Survey. Boulder, Colorado. http://www.usgs.gov/tech-transfer/factsheets/94066b.html.
Park, M., J.S. Kim, C.L. Choi, J.E. Kim, N.H. Heo, Sridhar Komarneni, and J. Choi. 2005. Characteristics of nitrogen release from synthetic zeolite Na-P1 occluding NH 4NO 3. Journal of Controlled Release 106(1-2):44-50.
Fashola, O., Hayash K., Masunaga T., and Wakatsuki T. 2001. Use of polyolefin-coated urea to improve indica rice cultivation in sandy soils of the West African lowlands. Japanese Journal of Tropical Agriculture 45(2):108-118.
Pickering, H.W., N.W. Menzies, and M.N. Hunter. 2002. Zeolite/ rock phosphate - a novel slow release phosphorus fertilizer for potted plant production. Scientia Horticulturae 94 (34):333-343.
Freney, J.R., M.B. Peoples, and A.R. Mosier. 1995. Efficient use of fertilizer ntrogen by crops. Food & Fertilizer Technology Center.
Roy, R.N. and R.V. Misra. 2003. Economic and environmental impact of improved nitrogen management in Asian rice-farming systems. Proceedings of the 20th Session of the International Rice Commission, Bangkok. Agricultural and Consumer Protection – FAO.
Ghosh, A. 2008. Optimum threshold of nitrogen use efficiency for sustainable rice grain yield under varying stands density and N levels in deepwater situations. Journal of Sustainable Agriculture 31(4):139-148. Lavkulich, L.M. and A.A. Bomke. 1998. Kinetics of ammonium adsorption and desorption by the natural zeolite clinoptilolite. Soil Sci. Soc. Am. J. 62: 622-629. Lo, J.C. and Y.S. Chen. 2003. Yield and grain nitrogen content in relation to leaf color in rice cultivars TK 9 and TNG 67. Journal of Agric. Res. of China 52(3):166-177.
Virta, R.L. 2002. Zeolites. U.S. Geological survey mineral yearbook. U.S. Geological Survey. Boulder, Colorado. Yang, C.M. 2003. Using chlorophyll meter to estimate leaf chlorophyll and nitrogen content of rice plant. Journal of Agricultural Research of China 52(1):73-83.
157