PRODUKSI DAN KUALITAS KOLESOM DENGAN PEMUPUKAN ORGANIK DAN INORGANIK
LEO MUALIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Produksi dan Kualitas Kolesom dengan Pemupukan Organik dan Inorganik” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Leo Mualim A262090071
ABSTRACT LEO MUALIM. Waterleaf Production and Quality with Organic and Inorganic Fertilizer. Under direction of SANDRA ARIFIN AZIZ, SLAMET SUSANTO, and MAYA MELATI. Three consecutive field experiments had been conducted at the IPB experimental station (Bogor, Indonesia), in March-July 2011 to study the effect of two types of fertilizer on waterleaf [Talinum triangulare (Jacq.) Willd.] production and quality in wet (March-May 2011) and dry (May-July 2011) seasons; while laboratory analysis was conducted from April to December 2011. The first experiment was in wet season and consisted of two sets of treatment, namely different rates of organic [cow manure (ton/ha) + guano (kg/ha) + hull ash (ton/ha), i.e. 6.1 + 75.6 + 2.7, 9.2 + 151.2 + 4.1, 12.3 + 226.8 + 5.5, 15.4 + 302.4 + 6.8, and 18.4 + 378.0 + 8.2] and inorganic [urea (kg/ha) + SP-36 (kg/ha) + KCl (kg/ha), i.e. 50 + 20 + 50, 75 + 40 + 75, 100 + 60 + 100, 125 + 80 + 125, and 150 + 100 + 150] fertilizer. The second experiment was in dry season and consisted of two sets of treatment, namely different rates of organic and inorganic fertilizer (same as the first experiment). The third experiment was in dry season and consisted of four sets of treatment, namely different rates of organic (6.1 + 75.6 + 2.7, 12.3 + 226.8 + 5.5, and 18.4 + 378.0 + 8.2; the fertilizers and units were as above) and inorganic (50 + 20 + 50, 100 + 60 + 100, and 150 + 100 + 150; the fertilizers and units were as above) fertilizer, and organic and inorganic fertilizer residue (without fertilizer re-application). The experimental design for each set was randomized block design. Since fertilizer rates did not significantly affect the variables, means value of each set were compared by using t-student’s test. Generally, the result from these research suggested that (1) In wet season, waterleaf with organic fertilizer did not have any difference in shoot production; while in dry season, these treatments resulted in higher shoot production compared to those with inorganic fertilizer; (2) Waterleaf antioxidant capacity of organic and inorganic treatments were not significantly different in the same planting season; (3) The primary (vitamin C) and secondary (flavonoid) metabolites with antioxidant functions were higher in dry season compared to those in wet season; (4) Biosynthesis pathway of waterleaf phenolic compounds in wet season was different from that in dry season. It was suspected that phenolic compounds were synthesized predominantly via phenylpropanoid pathway in wet season and via acetate-malonate pathway in dry season; (5) Without organic or inorganic fertilizer re-application in the new planting season, yield of waterleaf shoot decreased approximately 26-50 % but did not degrade the quality. Keywords: leafy vegetable, plant natural product, antioxidant capacity, comparative study, plant metabolite seasonal variation
RINGKASAN LEO MUALIM. Produksi dan Kualitas Kolesom dengan Pemupukan Organik dan Inorganik. Dibimbing oleh SANDRA ARIFIN AZIZ, SLAMET SUSANTO, dan MAYA MELATI. Kolesom merupakan sayuran daun yang termasuk dalam famili Portulacaceae. Bagian daun yang dimakan mengandung berbagai metabolit primer (protein dan vitamin C) dan sekunder (senyawa fenolik) yang berguna untuk kesehatan manusia. Sayuran yang dihasilkan dengan masukan organik dipercaya memiliki kualitas (misalnya, cita rasa, kandungan fitokimia, dan nutrisi) yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil pertanian konvensional yang menggunakan pupuk inorganik dalam jumlah banyak. Sampai saat ini belum terdapat studi komparatif pemberian pupuk organik dan inorganik pada kolesom yang terkait dengan produksi dan kualitasnya. Dengan demikian, diharapkan dengan adanya penelitian ini didapatkan data yang memberikan arti baru pada peranan pemberian pupuk organik dan inorganik terhadap produksi dan kualitas kolesom. Sekaligus juga diperoleh standar operasional budidaya kolesom yang dapat diterapkan oleh masyarakat luas. Tujuan penelitian ini adalah (1) mempelajari kaitan pupuk organik dan inorganik dengan produksi dan kualitas kolesom pada musim hujan dan kemarau, (2) mempelajari kaitan residu pupuk organik dan inorganik terhadap produksi dan kualitas kolesom pada musim kemarau, dan (3) mempelajari kaitan pemupukan, residu dan musim dengan lintasan biosintesis metabolit kolesom. Percobaan di lapangan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB, Leuwikopo. Percobaan dilakukan di dua musim, yaitu musim hujan mulai bulan Maret-Mei 2011 dan musim kemarau mulai bulan Mei-Juli 2011. Analisis laboratorium dilakukan pada bulan April sampai Desember 2011. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) satu faktor dengan tiga ulangan. Percobaan pada musim hujan terdiri atas percobaan pengaruh pupuk organik dan inorganik (Percobaan 1). Percobaan pada musim kemarau terdiri atas percobaan pengaruh pupuk organik dan inorganik (Percobaan 2), serta pengaruh residu pupuk organik dan inorganik (Percobaan 3). Set perlakuan pupuk organik [pupuk kandang sapi (ton/ha) + guano (kg/ha) + abu sekam (ton/ha)] terdiri atas lima taraf, yaitu organik-1 (6.1 + 75.6 + 2.7), organik-2 (9.2 + 151.2 + 4.1), organik-3 (12.3 + 226.8 + 5.5), organik-4 (15.4 + 302.4 + 6.8), dan organik-5 (18.4 + 378.0 + 8.2). Set perlakuan pupuk inorganik [urea (kg/ha) + SP-36 (kg/ha) + KCl (kg/ha)] terdiri atas lima taraf, yaitu inorganik-1 (50 + 20 + 50), inorganik2 (75 + 40 + 74), inorganik-3 (100 + 60 + 100), inorganik-4 (125 + 80 + 125), dan inorganik-5 (150 + 100 + 150). Set perlakuan residu pupuk organik atau inorganik merupakan perlakuan tanpa pemupukan (dosis 0%) pada plot dengan pemupukan jenis yang sama (dosis 100 %) di musim sebelumnya dan taraf yang dicobakan hanya organik atau inorganik-1,3, dan 5. Hasil Percobaan 1 menunjukkan (1) Kolesom dengan pupuk organik di musim hujan pada umur 2 dan 4 MST memberikan produksi pucuk yang tidak berbeda, sedangkan pada umur 6 MST memberikan produksi pucuk 14 % lebih rendah dari kolesom yang diberi pupuk inorganik; (2) Kolesom dengan pupuk
organik di musim hujan memberikan kandungan vitamin C 11 % lebih tinggi dari kolesom yang diberi pupuk inorganik; (3) Kolesom dengan kedua jenis pemupukan di musim hujan memberikan nilai IC 50-DPPH (7.13-7.24 mg/BK) yang tidak berbeda. Hasil Percobaan 2 menunjukkan (1) Kolesom dengan pupuk organik di musim kemarau memberikan produksi pucuk 37 % lebih tinggi dari kolesom yang diberi pupuk inorganik; (2) Kolesom dengan pupuk organik di musim kemarau memberikan kandungan total gula 26 % lebih rendah dan kandungan total flavonoid 13 % lebih rendah dari kolesom yang diberi pupuk inorganik; (3) Kolesom dengan kedua jenis pemupukan di musim kemarau memberikan nilai IC 50-DPPH (3.01-3.20 mg BK/ml) yang tidak berbeda. Hasil Percobaan 3 menunjukkan (1) Tanpa penambahan pupuk organik atau inorganik di musim tanam berikutnya menyebabkan produksi pucuk kolesom menurun masing-masing sebesar 50 dan 26 % dari yang diberi pupuk; (2) Tanpa penambahan pupuk organik di musim berikutnya memberikan kandungan vitamin C yang tidak berbeda, sedangkan tanpa penambahan pupuk inorganik memberikan kandungan 21 % lebih tinggi dari yang diberi pupuk; (3) Tanpa penambahan pupuk organik atau inorganik di musim tanam berikutnya menyebabkan kandungan total fenolik masing-masing 23 dan 30 % lebih tinggi dan nilai IC 50DPPH masing-masing 18 dan 16 % lebih rendah dari yang diberi pupuk; (4) Tanpa penambahan pupuk organik di musim tanam berikutnya memberikan kandungan total flavonoid 14 % lebih tinggi dari yang diberi pupuk, sedangkan tanpa penambahan pupuk inorganik memberikan kandungan yang tidak berbeda. Secara umum, penelitian ini mendapatkan bahwa (1) Kolesom dengan pemupukan organik memberikan produksi pucuk yang tidak berbeda di musim hujan, sebaliknya di musim kemarau memberikan produksi pucuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan inorganik; (2) Kolesom dengan kedua jenis pemupukan memiliki kapasitas antioksidan yang tidak berbeda di dalam musim yang sama; (3) Metabolit primer (vitamin C) dan sekunder (flavonoid) yang bersifat antioksidan pada kolesom dengan pemupukan organik dan inorganik didapatkan lebih tinggi di musim kemarau dibandingkan dengan musim hujan; (4) Kolesom dengan pemupukan organik dan inorganik diduga memiliki lintasan biosintesis senyawa fenolik yang berbeda di kedua musim. Biosintesis senyawa fenolik di musim hujan diduga lebih banyak melewati lintasan fenilpropanoid; sedangkan di musim kemarau diduga lebih banyak melewati lintasan asetatmalonat; (5) Tanpa penambahan pupuk organik atau inorganik di musim tanam berikutnya menyebabkan produksi pucuk menurun 26-50 %, namun tidak menurunkan kualitas. Kata kunci: sayuran daun, produk alami tumbuhan, kapasitas antioksidan, studi komparatif, variasi musiman metabolit tumbuhan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau meyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
PRODUKSI DAN KUALITAS KOLESOM DENGAN PEMUPUKAN ORGANIK DAN INORGANIK
LEO MUALIM
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Ir. M. Ahmad Chozin, M.Agr. Dr. Ir. Yul Harry Bahar
Judul Disertasi : Produksi dan Kualitas Kolesom dengan Pemupukan Organik dan Inorganik Nama : Leo Mualim NIM : A262090071
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S. Ketua
Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 1 Agustus 2012
Tanggal Lulus:……………....
PRAKATA Tidak terasa sepuluh tahun telah berlalu sejak penulis pertama kali menginjakkan kaki di Institut Pertanian Bogor tepatnya pada tahun 2002. Semenjak saat itu penulis memulai sebuah perjalanan panjang untuk membentuk karakter dan pola berpikir sesuai kaidah ilmu pengetahuan. Sebagai akhir dari perjalanan panjang ini, penulis mulai menyusun karya ilmiah berupa disertasi dengan judul “Produksi dan Kualitas Kolesom dengan Pemupukan Organik dan Inorganik”. Pemilihan topik ini bermula dari kesukaan penulis terhadap bidang ekofisiologi tanaman yang berkaitan dengan metabolisme sekunder tanaman. Diharapkan dengan adanya karya ilmiah ini dapat memberikan informasi yang memberikan gambaran kualitas kolesom sebagai sayuran fungsional sehingga dapat dijadikan panduan dalam memilih teknik budidaya yang tepat untuk menghasilkan standard operational procedure (SOP) dalam good agricultural practices (GAP) kolesom. Sebuah artikel berjudul “Produksi dan Kualitas Kolesom melalui Pemupukan Organik dan Inorganik di Musim Hujan” yang merupakan bagian dari disertasi akan diterbitkan pada Jurnal Agronomi Indonesia (terakreditasi A), Vol. XL, No. 2, Agustus Tahun 2012. Penulis mengucapkan terima kasih kepada ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S. yang telah dengan setia tanpa lelah memberikan motivasi dan masukan dalam penyelesaian disertasi ini. Dari beliau penulis belajar untuk memahami bahwa makna sesungguhnya dari pencapaian seorang Doktor adalah menjadi “tidak tahu” karena sesungguhnya suatu kepastian jawaban senantiasa berubah dan ilmu pengetahuan itu tidaklah statis. Kepada anggota komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Sc., penulis mengucapkan terima kasih atas masukan, saran, dan ide dalam penulisan disertasi. Dari beliau penulis memperoleh sesuatu yang sangat berharga, yaitu pemahaman logika berpikir yang benar. Kepada anggota komisi pembimbing yang lain, Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc., penulis mengucapkan terima kasih karena beliau tidak kenal lelah dalam memberikan masukan dan perbaikan dalam penulisan disertasi ini. Selain itu juga, beliau mengajarkan cara berpikir yang terstruktur.
Terima kasih disampaikan juga kepada Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si., Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S., dan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. masingmasing sebagai penguji luar komisi pada ujian prakualifikasi lisan dan ujian tertutup. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. M. Ahmad Chozin, M.Agr. dan Dr. Ir. Yul Harry Bahar atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada mereka yang telah memberikan pertemanan, pengertian, dan kesabaran selama ini: Hilda Susanti, Karlin Agustina, Daisy Natalia, Syenny Ihsan, Richie Rich dan Lisa Tanika. Penghargaan dan terima kasih atas bantuan selama penelitian penulis sampaikan kepada Steve Mualim, Bambang Hermawan, dan Rohmat. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada penanggung jawab Laboratorium Terpadu Departemen Agronomi dan Hortikultura (Pak Yudi, Mbak Ismi, Mas Joko, dan Mas Agus) yang telah mengizinkan penulis untuk bekerja di laboratorium tersebut. Atas dukungan dari teman-teman Sekolah Pascarsajana Program Studi Agronomi dan Hortikultura penulis ucapkan terima kasih. Terima kasih khusus penulis ucapakan untuk teman-teman angkatan 2009: Mbak Iva, Bang Afa, Mbak Tyas, Mbak Gusmaini, Mbak Maisurah, Mas Amrullah, Mas Cholid, dan Mbak Mardjani. Terima kasih untuk keceriaan dan canda yang diberikan oleh Yulia Delsi dan Iren selama penulis menyelesaikan disertasi, sehingga semuanya terasa lebih menyenangkan. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada keluarga besar Mualim, terutama Ayah, Ibu, Paman (Johan Mualim), Fendi, dan Steve yang senantiasa mendukung penulis dalam penyelesaian studi di IPB. Semoga berkah utama kesehatan dan kebajikan ada bersama kita semua. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Leo Mualim
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Taipei-Taiwan, Republic of China pada tanggal 30 September 1984 sebagai anak sulung dari pasangan Eddy Mualim dan Alice Lulu. Masa kecil dihabiskan penulis di Palembang, Sumatera Selatan; hingga lulus Sekolah Menengah Umum (SMU) Xaverius 1 pada tahun 2002. Kemudian, pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menempuh pendidikan Sarjana Pertanian melalui jalur SPMB dan tamat pada tahun 2006 dengan bidang Agronomi. Tahun 2007, penulis melanjutkan program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Agronomi dan Hortikultura dan menamatkannya pada tahun 2009 dengan memperoleh penghargaan sebagai lulusan terbaik pada program Magister Sains se-IPB. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2009.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………….
xxv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………….
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………….
xxxi
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….
1
1.1 Latar Belakang……………...………………………………
1
1.2 Kerangka Pemikiran……….………………………………..
3
1.3 Tujuan….……………………………………………………
4
1.4 Hipotesis……………………………….……………………
4
1.5 Ruang Lingkup Penelitian………….……………………….
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………….
7
2.1 Kolesom….…………………………………………...…….. 2.1.1 Botani dan Taksonomi Kolesom………………..…… 2.1.2 Metabolisme Asam Crassulacean pada Kolesom…… 2.1.3 Fitonutrien Kolesom………………………...……...... 2.1.4 Fitokimia Kolesom…………………………...………
7 7 8 9 9
2.2 Antioksidan………………………………………..……….. 2.2.1 Pengertian Antioksidan……………………..……...... 2.2.2 Pengelompokan Antioksidan……...…………………. 2.2.3 Antioksidan Alami…………………………………... 2.2.4 Mekanisme Kerja Antioksidan………………………. 2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Antioksidan…………………………………………..
10 10 11 11 12
2.3 Perbandingan Kualitas Produk Akibat Pemberian Pupuk Organik dan Inorganik……………..……………………….. 2.3.1 Pengertian Kualitas…………………...…..…………. 2.3.2 Beberapa Macam Kualitas…………………...……… 2.3.3 Kualitas Tanaman Produk Organik Dibandingkan Inorganik……………...……………………………...
15 16 16 16 17
2.4 Pemupukan…..………………...…………………………… 2.4.1 Peranan dan Ketersedian Nitrogen…………………... 2.4.2 Peranan dan Ketersedian Fosfor……………………... 2.4.3 Peranan dan Ketersedian Kalium…………………….
18 19 20 21
2.5 Pupuk Organik…….………………………………………...
22
Halaman 2.5.1 2.5.2 2.5.3 2.5.4 2.5.5
Pengertian Pupuk Organik…………………………... Pengelompokan Pupuk Organik……………………... Pupuk Kandang...……………………………………. Pupuk Guano……………...…………………………. Abu Sekam…………………………………………...
22 22 23 25 26
2.6 Pupuk Inorganik……………………………………………. 2.6.1 Pengertian Pupuk Inorganik…………………………. 2.6.2 Jenis dan Bentuk Pupuk Inorganik…………………... 2.6.3 Pupuk Nitrogen (N) …………………………………. 2.6.4 Pupuk Fosfor (P) ……………………………………. 2.6.5 Pupuk Kalium (K) …………………………………...
28 28 28 29 30 31
2.7 Metabolisme Primer dan Sekunder pada Tumbuhan………. 2.7.1 Lintasan L-galaktosa (Lintasan Smirnoff-Wheeler)… 2.7.2 Lintasan Shikimat……………………………………. 2.7.3 Lintasan Fenilpropanoid……………………………... 2.7.4 Lintasan Biosintesis Klorofil…………………………
31 32 35 35 38
BAB III PRODUKSI DAN KUALITAS KOLESOM: PENGARUH PUPUK ORGANIK DAN INORGANIK DI MUSIM HUJAN……………………….........................
39
3.1 Pendahuluan…….…………………………………………..
40
3.2 Metode Penelitian…………………………………………... 3.2.1 Tempat dan Waktu…………………………………... 3.2.2 Bahan dan Alat………………………………………. 3.2.3 Rancangan Percobaan dan Perlakuan………………... 3.2.4 Pelaksanaan Percobaan……………………………… 3.2.5 Pengamatan………………………………………….. 3.2.6 Analisis Data…………………………………………
41 41 41 42 42 43 44
3.3 Kondisi Umum…….……………………………………….. 3.3.1 Persentase Kolesom yang Berbunga………………… 3.3.2 Kondisi Iklim………………………………………… 3.3.3 Kimia Tanah…………………………………………. 3.3.4 Mikroflora Tanah…………………………………….
44 44 44 44 45
3.4 Hasil………………………………………………………… 3.4.1 Produksi Pucuk………………………………………. 3.4.2 Metabolit Primer…………………………………….. 3.4.3 Metabolit Sekunder………………………………….. 3.4.4 Enzim yang Terkait Biosintesis Senyawa Fenolik…... 3.4.5 Nilai IC 50…………………………………………… 3.4.6 Kandungan Hara Jaringan……………………………
45 47 48 49 51 52 53
3.5 Pembahasan…………………………………………………
53
Halaman 3.5.1 Peranan Pemupukan terhadap Produksi Pucuk Kolesom …………………………………………….. 3.5.2 Kualitas Kolesom Terkait dengan Metabolit Primer dan Biosintesisnya…………………………………… 3.5.3 Kualitas Kolesom Terkait dengan Metabolit Sekunder dan Biosintesisnya…………………………
53 54 55
3.6 Simpulan….…………………………………………………
57
BAB IV PRODUKSI DAN KUALITAS KOLESOM: PENGARUH PUPUK ORGANIK DAN INORGANIK DI MUSIM KEMARAU......................................................
59
4.1 Pendahuluan…….…………………………………………..
60
4.2 Metode Penelitian…………….…………………………….. 4.2.1 Tempat dan Waktu…………………………………... 4.2.2 Bahan dan Alat………………………………………. 4.2.3 Rancangan Percobaan dan Perlakuan………………... 4.2.4 Pelaksanaan Percobaan……………………………… 4.2.5 Pengamatan…………………………………………. 4.2.6 Analisis Data…………………………………………
61 61 61 62 62 63 64
4.3 Kondisi Umum….………………………………………….. 4.3.1 Persentase Kolesom yang Berbunga………………… 4.3.2 Kondisi Iklim………………………………………… 4.3.3 Kimia Tanah…………………………………………. 4.3.4 Mikroflora Tanah…………………………………….
64 64 64 64 65
4.4 Hasil………………………………………………………… 4.4.1 Produksi Pucuk………………………………………. 4.4.2 Metabolit Primer…………………………………….. 4.4.3 Metabolit Sekunder………………………………….. 4.4.4 Enzim yang Terkait Biosintesis Senyawa Fenolik…... 4.4.5 Nilai IC 50…………………………………………… 4.4.6 Kandungan Hara Jaringan……………………………
66 66 68 70 71 72 73
4.5 Pembahasan………………………………………………… 4.5.1 Peranan Pemupukan terhadap Produksi Pucuk Kolesom……………………………………………... 4.5.2 Kualitas Kolesom Terkait dengan Metabolit Primer dan Biosintesisnya…………………………………… 4.5.3 Kualitas Kolesom Terkait dengan Metabolit Sekunder dan Biosintesisnya…………………………
74
4.6 Simpulan….…………………………………………………
78
74 75 76
Halaman BAB V PRODUKSI DAN KUALITAS KOLESOM: PENGARUH RESIDU PUPUK ORGANIK DAN INORGANIK DI MUSIM KEMARAU…………………..
81
5.1 Pendahuluan………………………………………………...
82
5.2 Metode Penelitian………...………………………………… 5.2.1 Tempat dan Waktu…………………………………... 5.2.2 Bahan dan Alat………………………………………. 5.2.3 Rancangan Percobaan dan Perlakuan………………... 5.2.4 Pelaksanaan Percobaan……………………………… 5.2.5 Pengamatan…………………………………………. 5.2.6 Analisis Data…………………………………………
83 83 83 84 84 85 85
5.3 Kondisi Umum….………………………………………….. 5.3.1 Persentase Kolesom yang Berbunga………………… 5.3.2 Kondisi Iklim………………………………………… 5.3.3 Kimia Tanah…………………………………………. 5.3.4 Mikroflora Tanah…………………………………….
86 86 86 86 87
5.4 Hasil………………………………………………………… 5.4.1 Produksi Pucuk………………………………………. 5.4.2 Metabolit Primer…………………………………….. 5.4.3 Metabolit Sekunder………………………………….. 5.4.4 Enzim yang Terkait Biosintesis Senyawa Fenolik…... 5.4.5 Nilai IC 50…………………………………………… 5.4.6 Kandungan Hara Jaringan……………………………
88 89 91 91 92 93 93
5.5 Pembahasan………………………………………………… 5.5.1 Peranan Pemupukan terhadap Produksi Pucuk Kolesom……………………………………………... 5.5.2 Kualitas Kolesom Terkait dengan Metabolit Primer dan Biosintesisnya…………………………………… 5.5.3 Kualitas Kolesom Terkait dengan Metabolit Sekunder dan Biosintesisnya…………………………
95
5.6 Simpulan….…………………………………………………
98
BAB VI PEMBAHASAN UMUM………………….……………….
101
6.1 Produksi dan Kualitas Kolesom: Pupuk Organik vs Pupuk Inorganik…………………………………………………… 6.1.1 Peranan Pemupukan terhadap Produksi Pucuk Kolesom……………………………………………… 6.1.2 Kualitas Kolesom Terkait Metabolit Primer dan Biosintesisnya………………………………………... 6.1.3 Kualitas Kolesom Terkait Metabolit Sekunder dan Biosintesisnya………………………………………...
95 95 97
101 101 103 104
Halaman 6.1.4 Sumbangan Fitonutrien Kolesom dalam Diet……… 6.2 Produksi dan Kualitas Kolesom: Musim Hujan vs Musim Kemarau………………………….………………………… 6.2.1 Produksi Pucuk Kolesom…...……………………….. 6.2.2 Kualitas Kolesom Terkait Metabolit Primer dan Biosintesisnya………………………………………... 6.2.3 Kualitas Kolesom Terkait Metabolit Sekunder dan Biosintesisnya………………………………………...
108 111 111 112 115
6.3 Produksi dan Kualitas Kolesom: Pupuk vs Residu………… 6.3.1 Produksi Pucuk Kolesom…………...……………….. 6.3.2 Kualitas Kolesom Terkait Metabolit Primer dan Biosintesisnya………………………………………... 6.3.3 Kualitas Kolesom Terkait Metabolit Sekunder dan Biosintesisnya..……………………………………….
122 122
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………..……...………..……..
127
7.1 Simpulan….……………………………………………………….
127
7.2 Saran………………………………………………………………
127
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………
129
LAMPIRAN…………………………………………………………..
149
123 124
DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Komposisi unsur hara pupuk kandang sapi………………………
24
2.2 Karakter fisikokimia dan mikrobiologi guano asal kelelawar…...
26
2.3 Beberapa komposisi unsur hara abu sekam………………………
27
2.4 Pupuk sumber nitrogen…………………………………………..
29
2.5 Pupuk sumber fosfor……………………………………………..
30
2.6 Pupuk sumber kalium…………………………………………….
31
3.1 Perlakuan pupuk organik dan inorganik di musim hujan………...
42
3.2 Kondisi iklim per minggu selama penelitian di musim hujan……
44
3.3 Kimia tanah pada lahan dengan kedua jenis pemupukan di musim hujan……………………………………………………...
45
3.4 Mikroflora tanah dengan kedua jenis pemupukan di musim hujan……………………………………………………………...
45
3.5 Rekapitulasi hasil uji t-student’s pada berbagai peubah di musim hujan……………………………………………………………...
46
3.6 Bobot basah pucuk dengan pemupukan organik dan inorganik di musim hujan pada umur 6 MST………………………………….
47
3.7 Hara jaringan kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan……………………………………………………...
53
4.1 Perlakuan pupuk organik dan inorganik di musim kemarau...…...
62
4.2 Kondisi iklim per minggu selama penelitian di musim kemarau
64
4.3 Kimia tanah pada lahan dengan kedua jenis pemupukan di musim kemarau...………………………………………………...
65
4.4 Mikroflora tanah dengan kedua jenis pemupukan di musim kemarau……………………………………………...…………...
65
4.5 Rekapitulasi hasil uji t-student’s pada berbagai peubah di musim kemarau…………………………………………………………
67
4.6 Bobot basah pucuk dengan pemupukan organik dan inorganik di musim kemarau pada umur 6 MST………………...…………….
68
4.7 Hara jaringan kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim kemarau……...……………………………………...........
74
5.1 Perlakuan pupuk organik, pupuk inorganik, residu pupuk organik, dan residu pupuk inorganik di musim kemarau...………
84
Halaman 5.2 Kondisi iklim per minggu selama penelitian di musim kemarau
86
5.3 Kimia tanah pada lahan dengan pemupukan organik, inorganik, dan residu di musim kemarau.....………………………………...
87
5.4 Mikroflora tanah dengan pemupukan organik, inorganik, dan residunya di musim kemarau…...…………………...…………...
88
5.5 Rekapitulasi hasil uji t-student’s pada berbagai peubah di musim kemarau saat umur 6 MST……….………………………………
89
5.6 Bobot basah pucuk dengan pemupukan organik, inorganik, dan residunya di musim kemarau pada umur 6 MST......…………….
90
5.7 Hara jaringan kolesom dengan pemupukan organik, inorganik, dan residunya pada musim kemarau…...…………………...........
95
6
Informasi nilai gizi kolesom pada kedua jenis pemupukan……...
111
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan alir kegiatan penelitian produksi dan kualitas kolesom dengan pemupukan organik dan inorganik……………………
6
2.1
Tahapan pemutusan rantai……………………………………..
13
2.2
Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi……………………………………………………...……
14
Skema sederhana lintasan biosintesis metabolit primer dan sekunder pada tumbuhan………………………………………
34
Skema sederhana lintasan L-galaktosa (Lintasan SmirnoffWheeler)……………………………………………………….
35
Skema sederhana lintasan shikimat dan biosintesis asam amino aromatik………………………………………………...
36
2.6
Skema sederhana lintasan fenilpropanoid pada tumbuhan……
37
2.7
Skema sederhana biosintesis klorofil pada tumbuhan…………
38
3.1
Bobot basah pucuk kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan…………………………………………….
48
Metabolit primer kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan………………………………………….....
49
Metabolit sekunder kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan…………………………………………….
50
Enzim yang terkait dengan biosintesis senyawa fenolik kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan….
52
Nilai IC 50 kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan…………………………………………………..
53
Bobot basah pucuk kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim kemarau…………………………………………
68
Metabolit primer kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim kemarau………...………………………………...
69
Metabolit sekunder kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim kemarau…………………………………………..
71
Enzim yang terkait dengan biosintesis senyawa fenolik kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan….
73
Nilai IC 50 kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan…………………………………………………...
74
2.3 2.4 2.5
3.2 3.3 3.4 3.5 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Halaman 5.1 5.2 5.3 5.4
5.5 6.1
6.2 6.3 6.4
6.5 6.6 6.7
6.8
6.9
Bobot basah pucuk kolesom dengan kedua jenis pemupukan dan residunya pada musim kemarau…………………………..
91
Metabolit primer kolesom dengan kedua jenis pemupukan dan residunya pada musim kemarau………......…………………...
92
Metabolit sekunder kolesom dengan kedua jenis pemupukan dan residunya pada musim kemarau………...………………...
93
Enzim yang terkait dengan biosintesis senyawa fenolik kolesom dengan kedua jenis pemupukan dan residunya pada musim hujan…………………………………………………...
94
Nilai IC 50 kolesom dengan kedua jenis pemupukan dan residunyan pada musim hujan…………………………………
94
Pengaruh kedua jenis pemupukan terhadap (A) produksi pucuk, (B) kandungan total gula, (C) kandungan vitamin C, (D) kandungan protein, (E) kandungan total fenolik, dan (F) kandungan total flavonoid……………………………………..
102
Senyawa antara atau prekursor lain yang terbentuk dalam biosintesis vitamin C dengan prekursor umum glukosa……….
104
Dinamika kandungan senyawa fenolik yang terkait dengan kapasitas antioksidan kolesom dengan kedua jenis pemupukan
105
Peranan phenylalanine ammonia lyase (PAL) dalam mengatalisis terbentuknya senyawa antara bagi biosintesis kelompok besar senyawa fenolik……………………………...
106
Peranan p-koumaril koenzim A sebagai prekursor dalam biosintesis kelompok senyawa lignin dan flavonoid…………..
107
Mekanisme terbentuknya klorofil pada kolesom terkait dengan biosintesis senyawa fenoliknya………………………..
109
Pengaruh kedua jenis pemupukan terhadap (A) kandungan total antosianin, (B) kandungan total klorofil, (C) nilai IC 50, (D) aktivitas PAL, (E) aktivitas CAD, dan (F) aktivitas POD...
110
Pengaruh kedua musim terhadap (A) produksi pucuk, (B) kandungan total gula, (C) kandungan vitamin C, (D) kandungan protein, (E) kandungan total fenolik, dan (F) kandungan total flavonoid……………………………………..
114
Pengaruh kedua musim terhadap (A) kandungan total antosianin, (B) kandungan total klorofil, (C) nilai IC 50, (D) aktivitas PAL, (E) aktivitas CAD, dan (F) aktivitas POD…….
6.10 Peranan lintasan fenilpropanoid terhadap biosintesis senyawa fenolik kolesom pada umur 2 MST di musim kemarau……….
116
117
Halaman 6.11 Peranan lintasan malonat terhadap biosintesis senyawa fenolik kolesom pada umur 6 MST di musim kemarau……………….
118
6.12 Dinamika kandungan senyawa fenolik yang terkait dengan kapasitas antioksidan kolesom pada kedua musim……………
120
6.13 Biosintesis klorofil kolesom di musim hujan………………….
121
6.14 Biosintesis klorofil kolesom di musim kemarau………………
122
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Persiapan contoh untuk analisis kandungan total fenolik, kandungan total flavonoid, dan kapasitas antioksidan…………...
151
2
Analisis kandungan total fenolik metode folin-ciocalteau……….
151
3.
Analisis kandungan total flavonoid………………………………
151
4
Analisis kapasitas antioksidan……………………………………
152
5
Analisis kandungan vitamin C…………………………………...
152
6
Persiapan contoh untuk analisis protein dan aktivitas enzim…….
153
7
Analisis protein…………………………………………………..
153
8
Analisis aktivitas PAL……………………………………………
153
9
Analisis aktivitas POD…………………………………………...
154
10
Analisis aktivitas CAD…………………………………………...
154
11
Analisis kandungan total gula……………………………………
154
12
Persiapan contoh untuk analisis kandungan hara tajuk…………..
154
13
Analisis mikroflora tanah………………………………………...
155
14
Analisis kandungan total antosianin dan kandungan total klorofil
155
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd.) pada awalnya merupakan tumbuhan liar yang sekarang telah banyak dibudidayakan. Tanaman ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan ‘Waterleaf’, karena kolesom banyak mengandung air. Kandungan air dalam kolesom berkisar antara 95-98 % (Susanti et al. 2008, Mualim et al. 2009). Kolesom yang termasuk ke dalam famili Portulacaceae dan berkerabat dekat dengan som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) biasanya dimanfaatkan sebagai sayuran (Rifai 1994). Sebagai sayuran, bagian utama yang dikonsumsi pada kolesom adalah daun dan pucuk muda. Daun kolesom dapat dikonsumsi sebagai lalapan (dimakan mentah) maupun dimasak. Daun kolesom mengandung berbagai senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan. Manfaat tersebut diperoleh dari kandungan fitokimianya. Kandungan fitokimia yang terdapat pada 100 g daun kolesom kering, yaitu flavonoid (0.070 %), alkaloid (0.056 %), saponin (0.001 %), dan tanin (0.001 %) (Aja et al. 2010a). Berdasarkan uji kualitatif juga ditemukan jenis fitokimia yang sama pada daun kolesom (Susanti et al. 2008, Mualim et al. 2009). Berdasarkan kandungan nutrisinya, dengan analisis proksimat pada daun kolesom kering menunjukkan terdapat kandungan karbohidrat (10.87 mg/g), steroid (106.61 mg/g), protein (35.20 mg/g), lemak (35.20 mg/g), β-karoten (114.15 mg/g), dan serat kasar (120 mg/g) (Aja et al. 2010 b). Fitokimia yang secara alami terdapat pada tumbuhan memiliki pengaruh biologi yang bervariasi terhadap kesehatan (Arancibia-Avila et al. 2008, Ali et al. 2009). Manfaat ini didapatkan dari komponen antioksidan, seperti asam askorbat, vitamin E, karotenoid, likopen, polifenol, dan fitokimia lainnya (Ali et al. 2009). Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menunda, memperlambat, atau mencegah terjadinya proses oksidasi lipid (Prakash et al. 2006). Berdasarkan hasil penelitian diketahui kolesom mengandung metabolit sekunder kelompok fenolik yang berhubungan dengan aktivitas antioksidannya (Estiasih & Kurniawan 2006, Yang et al. 2006, Andarwulan et al. 2010).
2
Antioksidan merupakan bagian dari inner quality produk hortikultura, seperti sayuran daun. Inner quality berhubungan dengan vitamin, antioksidan, mineral, dan komponen fungsional (seperti pigmen dan polifenol) yang keberadaannya tidak dapat diketahui tanpa analisis khusus (Ali et al. 2009). Saat ini inner quality sering kali menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli sayuran. Tren hidup sehat dengan lebih banyak mengonsumsi sayuran yang mengandung gizi dan antioksidan tinggi dipercaya dapat meningkatkan kualitas hidup manusia. Kualitas sayuran yang lebih baik juga sering dihubungkan dengan tren yang berkembang di masyarakat mengenai pertanian organik. Sayuran yang dihasilkan dengan masukan organik selain dianggap lebih aman, dipercaya memiliki cita rasa yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil pertanian konvensional yang menggunakan pupuk inorganik dalam jumlah banyak. Kelebihan lain dari pertanian organik juga telah dilaporkan Melati et al. (2008), misalnya dalam pemanfaatan sisa residu sebagai sumber hara pada penanaman musim berikutnya. Studi banding antara kualitas produk tanaman hasil organik dengan inorganik (konvensional) telah banyak dilakukan, namun hasil yang didapatkan beragam (Rembialkowska & Srednicka 2009). Telah dilaporkan pengaruh pemberian pupuk organik, misalnya pupuk kandang (Ibeawuchi et al. 2006, Susanti et al. 2008) dan pupuk inorganik NPK (Mualim et al. 2009, Mualim & Aziz 2011) pada kolesom. Hasil penelitian tersebut lebih banyak menjelaskan pengaruh pemupukan terhadap produksi kolesom, namun belum dijelaskan mengenai pengaruhnya terhadap kualitas kolesom terutama yang berkaitan dengan metabolit primer, metabolit sekunder, dan kapasitas antioksidannya. Beberapa penelitian membandingkan pengaruh pupuk organik dan inorganik terhadap kualitas beberapa komoditi, namun belum dilakukan pada kolesom. Telah dilaporkan kandungan total polifenol yang lebih tinggi pada tanaman yang dihasilkan secara organik jika dibandingkan dengan hasil konvensional (Carbonaro et al. 2002, Young et al. 2005, Benbrook et al. 2008, Abu-Zahra et al. 2007). Studi yang lain melaporkan bahwa rata-rata kandungan vitamin C, besi, magnesium, dan fosfor pada beberapa tanaman organik berturut-
3
turut masing-masing 27.0, 21.1, 29.3, dan 13.6 % lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk pertanian konvensional (Worthington 2001). Tanaman organik juga diketahui lebih banyak mengandung gula (Stertz 2005, Hallmann & Rembialkowska 2006). Hal ini menunjukkan dengan masukan pupuk yang berbeda akan menghasilkan kualitas tanaman yang berbeda. Beberapa penelitian juga menunjukkan terdapat pengaruh musim terhadap produksi dan kualitas tanaman. Tumbuhan pakan ternak (Abusuwar & Ahmed 2010), tomat, dan bayam (Birnin-Yauri et al. 2011) yang ditanam saat musim hujan memiliki kandungan protein yang tinggi. Penelitian pada jagung menunjukkan pada kondisi air yang cukup (0 Mpa) kandungan gula rendah sedangkan karbohidrat tinggi (Mohammadkhani & Heidari 2008). Penelitian De-Lima et al. (2001) menunjukkan kandungan vitamin C belimbing tinggi saat musim kemarau. Pemaparan di atas menunjukkan terdapat sedikit informasi mengenai aspek agronomi kolesom. Dengan demikian penelitian mengenai perbandingan produksi dan kualitas kolesom perlu dilakukan dengan mempelajari beberapa pilihan teknik budidaya kolesom khususnya dalam hal pemupukan.
1.2 Kerangka Pemikiran Kolesom merupakan sayuran daun yang mengandung berbagai jenis senyawa metabolit sekunder. Beberapa hasil penelitian menunjukkan kolesom mengandung metabolit sekunder kelompok fenolik yang berhubungan dengan aktivitas antioksidannya (Estiasih & Kurniawan 2006, Yang et al. 2006, Andarwulan et al. 2010). Antioksidan merupakan bagian dari inner quality produk hortikultura, seperti sayuran daun. Kualitas internal berhubungan dengan vitamin, antioksidan, mineral, dan komponen fungsional (seperti pigmen dan polifenol) yang keberadaannya tidak dapat diketahui tanpa analisis khusus (Ali et al. 2009). Kandungan fitokimia kolesom yang berpengaruh terhadap antioksidannya tidak hanya ditentukan oleh faktor lingkungan (seperti panjang hari, curah hujan, dan temperatur) dan genetik (variasi di dalam species), namun juga ditentukan oleh masukan (input) yang diberikan. Telah banyak dilaporkan pengaruh pemberian pupuk organik dan inorganik terhadap kandungan fitokimia tanaman yang nantinya berpengaruh terhadap kualitasnya, misalnya pada tomat (Toor et al.
4
2006), Hibiscus sabdariffa L. (Aziz et al. 2007), Beta vulgaris L. Var. Cycla L. (Daiss et al. 2008), Marjorana hortensis (Gharib et al. 2008), Artemisia annua (Davies et al. 2009), Foeniculum vulgare L. (Azzaz et al. 2009), Mentha longifolia (Alsafar & Al-Hassan 2009), dan Phoenix dactylifera L. (Al-Kharusi et al. 2009). Studi mengenai perbandingan antara kualitas tanaman yang diberi pupuk organik dengan inorganik juga telah dilakukan (Worthington 2001, Rembialkowska & Srednicka 2009), namun hanya terbatas pada beberapa komoditas yang umum dikonsumsi. Penelitian semacam ini pada kolesom belum dilakukan. Penelitian sebelumnya pada kolesom menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang ayam petelur 5 ton/ha memberikan kandungan fitokimia kualitatif daun kolesom terbaik dibandingkan dengan yang diberi dosis yang lebih tinggi (Susanti et al. 2009). Selanjutnya, didapatkan bahwa unsur kalium merupakan faktor pembatas pada produksi antosianin daun kolesom. Hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk P dan K dengan dosis 100 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha menghasilkan produksi antosianin tertinggi (39.60 mol/tanaman) (Mualim et al. 2009). Kedua penelitian tersebut belum dapat memberikan informasi yang lebih banyak mengenai pengaruh masukan yang berbeda terhadap kualitas kolesom terutama yang berkaitan dengan metabolit primer, metabolit sekunder, dan kapasitas antioksidannya, sehingga studi mengenai hal ini perlu dilakukan.
1.3 Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) mempelajari kaitan pupuk organik dan inorganik dengan produksi dan kualitas kolesom pada musim hujan dan kemarau, (2) mempelajari kaitan residu pupuk organik dan inorganik terhadap produksi dan kualitas kolesom pada musim kemarau, dan (3) mempelajari kaitan pemupukan, residu dan musim dengan lintasan biosintesis metabolit kolesom.
1.4 Hipotesis Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah (1) pemberian pupuk organik menghasilkan produksi dan kualitas yang lebih baik dari pupuk
5
inorganik di musim hujan dan kemarau, (2) residu (tanpa penambahan) pupuk organik atau inorganik akan menghasilkan produksi dan kualitas yang sama dengan pemberian pupuk organik atau inorganik di musim kemarau, dan (3) terdapat persamaan lintasan biosintesis metabolit terkait dengan jenis pupuk, residu, dan musim.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Tujuan penelitian dan hipotesis dijawab dengan melakukan serangkaian percobaan (Gambar 1). Percobaan 1, 2, dan 3 merupakan percobaan lapangan yang dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB, Leuwikopo, Darmaga. Berdasarkan data curah hujan bulanan selama 10 tahun terakhir dari Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor maka percobaan di musim hujan dilaksanakan pada bulan MaretMei dan percobaan di musim kemarau dilakukan pada bulan Mei-Juli. Percobaan pada musim hujan terdiri atas percobaan pengaruh pupuk organik dan inorganik; sedangkan pada musim kemarau terdiri atas percobaan pengaruh pupuk organik, inorganik, dan residunya. Percobaan 1 dan 2 dilakukan untuk menjawab pengaruh pemberian pupuk organik dan inorganik terhadap produksi dan kualitas kolesom di musim hujan dan kemarau. Percobaan 3 dilakukan untuk menjawab pengaruh residu terhadap produksi dan kualitas kolesom di musim tanam yang kedua (musim kemarau). Selain hasil dari percobaan 1, 2, dan 3, maka dilakukan juga perbandingan lintasan biosintesis metabolit di musim yang berbeda sehingga diketahui sumbangan lintasan tertentu terhadap biosintesis metabolitnya.
6
Gambar 1 Bagan alir kegiatan penelitian produksi dan kualitas kolesom dengan pemupukan organik dan inorganik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kolesom 2.1.1 Botani dan Taksonomi Kolesom Kolesom Spermatophyta,
diklasifikasikan sub
divisio
kedalam
Angiospermae,
regnum classis
Plantae, Dicotyledonae,
divisio ordo
Caryophyllales, familia Portulacaceae, dan genus Talinum (Hutapea 1994). Sinonim tanaman ini secara botani adalah Portulaca triangularis Jacq. (1760), Portulaca racemosa L. (1762) (Rifai 1994), dan Talinum racemosum (L.) Rohrb. (1872) (Heyne 1987; Rifai 1994). Tanaman ini mempunyai banyak spesies, tetapi dikenal dua spesies Talinum yaitu Talinum paniculatum Gaertn. dan Talinum triangulare (Jacq.) Willd. (Syukur & Hernani 2002). Kolesom merupakan tanaman herba menahun yang tumbuh tegak. Batang tanaman ini berbentuk bulat, pangkalnya berwarna ungu kemerahan, sedangkan batang bagian tengah sampai ujung berwarna hijau (Wahyuni & Hadipoentyanti 1999). Daunnya berbentuk oblongatus-spatulans, berwarna hijau muda, tebal berdaging, filotaksis spiral, dan kadang-kadang berhadapan. Secara anatomi, daunnya memiliki tipe dorsiventral, stomata parasitik (terdapat pada epidermis atas dan bawah), parenkim daun (jaringan bunga karang) yang mengandung kristal kalsium oksalat bentuk roset dan kelenjar minyak atsiri, berkas pembuluh kolateral. Bunganya berwarna merah jambu keunguan. Bentuk tangkai bunga adalah segitiga dan bentuk rangkaian bunganya adalah tandan (racemus). Bunga mekar pada pagi hari pukul 09.00. Buahnya berbentuk bulat memanjang, berwarna hijau kekuningan, dan berisikan biji hitam mengkilap. Biji dari kolesom berbentuk lonjong pipih dan berdiameter + 1 mm. Akarnya menebal (membengkak) menyerupai ginseng. Masyarakat sering sukar membedakan antara kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd.) dan som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.). Ciri-ciri anatomi kedua jenis tanaman tersebut sukar dibedakan. Perbedaannya terletak pada ciri-ciri morfologinya, yaitu filotaksis, tipe infloresensi, bentuk buah, warna, dan waktu bunga mekar. Som jawa memiliki filotaksis berhadapan, tipe infloresensi malai (panicula) dengan tangkai bunga
8
bersudut tumpul, buah berbentuk kapsul (bulat dan berwarna merah-cokelat), dan bunga mekar pada sore hari (Santa & Prajogo 1999).
2.1.2 Metabolisme Asam Crassulacean pada Kolesom Metabolisme
asam
crassulacean
pertama
kali
dipakai
untuk
mendeskripsikan spesies dari familia Crassulaceae (Luttge 2004). Secara umum, tumbuhan
yang memiliki crassulacean acid metabolism (CAM), selanjutnya
disebut sebagai tumbuhan CAM, mengambil karbondioksida (CO2) pada malam hari,
ketika
stomata
phosphoenolpyruvate
membuka.
(PEP)
dengan
CO2
kemudian
bantuan
bergabung
dengan
PEP-karboksilase
(PEPC)
menghasilkan oksaloasetat, yang kemudian tereduksi menjadi malat. Malat ditransportasi secara pasif menuju vakuola yang diikuti dengan transportasi aktif proton dan terjadi akumulasi malat pada malam hari. Akumulasi asam dan terbukanya stomata pada malam hari merupakan ciri utama dari tumbuhan CAM. Pada siang hari, malat terdekarboksilasi dalam sitoplasma, menyediakan substrat bagi ribulose-1,5-bisphosphate carboxylase/oxigenase (Rubisco) yang digunakan dalam fotosintesis C3. Metabolisme pada tumbuhan CAM dapat berlangsung dalam beberapa tipe: (1) CAM obligat, dengan akumulasi asam (∆H+) malam hari yang tinggi dan fiksasi CO2; (2) CAM fakultatif atau inducible, dikenal juga dengan C3-CAM, dengan C3 sebagai hasil akhir dari fiksasi CO2 dan nil ∆H+ pada fase tidak terinduksi; (3) CAM-cycling, dengan fiksasi CO2 pada siang hari dan ∆H+ tetapi tidak terdapat pembukaan stomata pada malam hari; 4) idling, dengan ∆H+ kecil dan stomata menutup sepanjang hari (siang dan malam) pada tumbuhan yang tercekam (Cushman 2001). Kolesom merupakan salah satu tumbuhan CAM yang termasuk CAM fakultatif atau inducible (Herrera et al. 1991). CAM fakultatif yang lemah hanya terdapat pada bagian daun kolesom, dan diinduksi oleh kekeringan (Taisma & Herrera 1998). Di lapangan, tumbuhan pada awalnya melakukan fotosintesis C3 saat terdapat hujan yang melimpah, kemudian CAM fakultatif pada saat kondisi tanah setengah basah dalam jangka waktu tertentu, dan terakhir CAM idling pada tanah kering hingga terjadinya gugur daun (Herrera 2009).
9
2.1.3 Fitonutrien Kolesom Daun dan pucuk muda kolesom umumnya dikonsumsi dengan cara dimasak, baik itu dikukus maupun direbus. Daun dan pucuk ini sedikit lunak dan berlendir sehingga tidak boleh dimasak terlalu lama. Di Jawa Barat daun kolesom dimanfaatkan untuk lalap sebagai pengganti krokot (Portulaca oleracea L.) pada masakan etnis Sunda (Rifai 1994, Syukur & Hernani 2002). Analisis proksimat menunjukkan dari 100 g bagian yang dapat dimakan didapati 90-92 g air, 1.9-4.6 g protein, 0.4-0.5 g lemak, 3.7-4.4 g karbohidrat, 0.6-1.1 g serat, dan 2.4 g abu, energi 105 KJ (Rifai 1994, Mensah et al. 2008). Selain itu kolesom juga mengandung sejumlah vitamin seperti vitamin B1, B2, niacin, C berturut-turut sebesar 0.08, 0.18, 0.30, 31.00 mg /100 g (Rifai 1994). Adapun mineral yang terkandung didalamnya yaitu Ca, K, Mg, Na, Fe masing-masing sebanyak 2.44, 6.10, 2.22, 0.28, 0.43 mg/100 g (Mensah et al. 2008).
2.1.4 Fitokimia Kolesom Konsumsi kolesom sebagai sayuran selain bermanfaat dari segi nilai gizi, tetapi juga bermanfaat dari segi fitokimia yang terkandung di dalamnya. Analisis bahan bioaktif secara kualitatif menunjukkan bahwa daun kolesom mengandung alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida. Batang dan cabang kolesom mengandung bahan bioaktif yang sama dengan bagian daun, kecuali fenolik dan steroid (Susanti et al. 2008, Mensah et al. 2008; Mualim et al. 2009, Aja et al. 2010a). Terdapat dua jenis saponin dalam akar kolesom yang diekstrak dengan menggunakan metanol. Saponin jenis pertama berupa chikusetsusaponin, dikenal sebagai saponin dari asam oleanolic yang berasal dari rimpang Panax spp. Jenis kedua berupa β-D-glucopyranosyl methyl spergulagenate 3-O-β-D-glucuronopyranoside (Kohda et al. 1992). Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa kolesom mengandung flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, dan steroid masing-masing sebesar 69.80, 55.56, 1.48, 1.44, 1.07 mg/100 g (Aja et al. 2010a, 2010b). Kolesom juga mengandung asam organik yaitu fitat (0.432-0.497 mg/g) dan oksalat (2.750-3.600 mg/g) (Tesleem et al. 2009).
10
Fitokimia didapati dalam jumlah kecil pada tumbuhan, namun kontribusinya terhadap aktivitas antioksidan tidak dapat diabaikan. Fitokimia yang berperan cukup besar sebagai antioksidan adalah golongan fenolik. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kolesom mengandung total fenol sebesar 0.489 mg ekuivalen asam galat (GAE)/ g bobot basah dengan inhibisi peroksidasi lipid sebesar 97.1 %. Selanjutnya, hasil uji DPPH, ABTS, dan FRAP menunjukkan hasil berturut-turut sebesar 7.4, 1.03, 28.3 µmol ekuivalen trolox (TE)/g bobot basah (Andarwulan et al. 2010). Ekstrak metanol kolesom pada uji TEAC memberikan nilai 79 µmol TE/g bobot kering (Yang et al. 2006). Penelitian lain menyebutkan bahwa senyawa fenol yang terdapat dalam ekstrak umbi kolesom lebih berperan dalam menangkap radikal bebas dibandingkan dengan mendonorkan elektron yang menunjukkan perannya sebagai antioksidan primer (Estiasih & Kurniawan 2006). Jenis flavonoid terbanyak dari kolesom adalah kaemferol (+ 90 %), dengan total flavonoid sebesar 3.93 mg/100 g bobot basah. Akan tetapi, tidak ditemukan adanya korelasi yang berarti antara flavonoid dengan aktivitas antioksidan, mungkin disebabkan terdapat fitokimia lain yang juga ikut mempengaruhi aktivitas antioksidan pada kolesom selain polifenol. Jika sayuran ini dikonsumsi secara teratur akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap jumlah konsumsi flavonoid pada diet Indonesia, kira-kira sebesar 0.08-36 mg untuk sajian 25 g (~ 1 cangkir) (Andarwulan et al. 2010).
2.2 Antioksidan 2.2.1 Pengertian Antioksidan Antioksidan memiliki arti perlawanan terhadap oksidasi. Pada saat radikal bebas menerima elektron dari antioksidan, maka senyawa ini tidak reaktif lagi sehingga tidak merusak sel akibat proses oksidasi telah terputus. Antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat mencegah kerusakan pada bagian tubuh atau makanan yang mengandung lemak (Rohman & Riyanto 2005). Adanya antioksidan dalam lemak akan mengurangi kecepatan proses oksidasi. Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat, atau mencegah terjadinya proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus
11
Prakash et al. (2006) menyatakan antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi autooksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid.
2.2.2 Pengelompokan Antioksidan Berdasarkan fungsinya, antioksidan dikelompokkan menjadi antioksidan primer dan sekunder (Gordon 1990). Antioksidan primer (antioksidan pemecah rantai) adalah antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lipid lalu mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil. Suatu molekul antioksidan dapat disebut sebagai antioksidan primer (AH), jika dapat mendonorkan atom hidrogennya secara cepat ke radikal lipid (RO•). Hasil dari proses ini adalah radikal turunan antioksidan (A•) yang lebih stabil dibandingkan dengan radikal lipid atau mengubahnya kebentuk lebih stabil. Selanjutnya, antioksidan sekunder merupakan antioksidan pencegah, yaitu suatu senyawa yang dapat memperlambat laju reaksi autooksidasi lipid. Antioksidan ini bekerja dengan berbagai mekanisme seperti mengikat ion metal, menangkap oksigen, memecah hidrogen peroksida kebentuk-bentuk non-radikal, menyerap radiasi ultra violet, atau mendeaktifkan singlet oksigen. Berdasarkan sumber asalnya, antioksidan dibedakan menjadi antioksidan sintetik dan alami (Andarwulan et al. 1996, Ardiansyah 2008). Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia; sebaliknya, antioksidan alami adalah antioksidan hasil ekstraksi bahan alami.
2.2.3 Antioksidan Alami Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (1) senyawa antioksidan yang sudah ada dalam satu atau dua komponen makanan, (2) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (3) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan. Sebagian besar senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan (Pratt & Hudson 1992). Isolasi antioksidan alami
12
telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat dimakan. Beberapa penelitian menunjukkan antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk sari (Andarwulan et al. 1996, Wijaya 1999, Tensiska et al. 2003, Rohman & Riyanto 2005, Prangdimurti et al. 2006, Policegoudra & Aradhya 2007, Arbianti et al. 2007, Wangcharoen & Morasuk 2007, Soeksmanto et al. 2007, Kumar et al. 2008, Poojari et al. 2009, Ali et al. 2009; Rossetto et al. 2009). Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavanon, dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain (Apak et al. 2007). Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat bereaksi sebagai (1) pereduksi, (2) penangkap radikal bebas, (3) pengkelat logam, (4) peredam terbentuknya singlet oksigen (Javanmardi et al. 2003). Menurut Markham (1988) kira-kira 2 % dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya, sehingga flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar. Lebih lanjut disebutkan bahwa sebenarnya flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau, sehingga pasti dapat ditemukan pada setiap studi ekstrak tumbuhan. Pratt dan Hudson (1992) menuliskan kebanyakan golongan flavonoid dan senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-sifat antioksidan baik di dalam lipid cair maupun dalam makanan berlipid.
2.2.4 Mekanisme Kerja Antioksidan Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi, yaitu (1) sebagai pemberi atom hidrogen dan (2) memperlambat laju autooksidasi
13
(Gordon 1990). Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogennya secara cepat ke radikal lipid (R•, ROO•) atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A•) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibandingkan dengan radikal lipid. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi kedua sering disebut sebagai antioksidan sekunder. Senyawa ini memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipid ke bentuk yang lebih stabil. Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipid menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi. Radikal-radikal antioksidan (A•) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipid lain membentuk radikal lipid baru. Menurut Apak et al. (2007), mekanisme pemutusan rantai dapat terjadi dengan beberapa cara (Gambar 2.1).
Tahap inisiasi: L• (radikal lipid) + AH
→ LH
+A
Tahap propagasi: LO•
+ AH
→ LOH
+A
LOO•
+ AH
→ LOOH
+A
Gambar 2.1 Tahapan pemutusan rantai.
Konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Menurut Gordon (1990) aktivitas antioksidan kelompok fenolik pada konsentrasi tinggi sering lenyap bahkan dapat berubah menjadi prooksidan (Gambar 2.2). Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi, dan sampel yang diujikan.
14
AH + O2
→ A•
AH + ROOH
→ RO• + H2O
+ HOO• + A•
Gambar 2.2 Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi.
Penghambatan oksidasi lipid oleh antioksidan melalui lebih dari satu mekanisme tergantung pada kondisi reaksi dan sistem makanan. Menurut Pratt dan Hudson (1992) ada empat kemungkinan mekanisme penghambatan tersebut, yaitu (1) pemberian hidrogen, (2) pemberian elektron, (3) penambahan lipid pada cincin aromatik antioksidan, (4) pembentukan kompleks antara lipid dan cincin aromatik antioksidan. Studi lebih lanjut menunjukkan ketika atom hidrogen labil pada suatu antioksidan tertentu diganti dengan deuterium, antioksidan tersebut menjadi tidak efektif. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme penghambatan dengan pemberian hidrogen lebih baik dibandingkan dengan pemberian elektron. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pemberian hidrogen atau elektron merupakan mekanisme utama, sementara pembentukan kompleks antara antioksidan dengan rantai lipid adalah reaksi sekunder. Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang menghambat laju reaksi autooksidasi lipid melalui mekanisme yang berbeda dari antioksidan primer. Antioksidan sekunder seperti asam sitrat, asam askorbat, dan esternya sering ditambahkan pada lemak dan minyak sebagai kombinasi dengan antioksidan primer. Kombinasi tersebut dapat memberi efek sinergis sehingga menambah keefektifan kerja antioksidan primer. Antioksidan sekunder ini berkerja dengan satu atau lebih mekanisme, yaitu (1) memberikan suasana masam pada medium (sistem makanan), (2) meregenerasi antioksidan utama, (3) mengkelat atau mendeaktifkan kontaminan prooksidan, (4) menangkap oksigen, (5) mengikat singlet oksigen dan mengubahnya ke bentuk triplet oksigen (Gordon 1990). Antioksidan sebaiknya ditambahkan ke lipid seawal mungkin untuk menghasilkan efek maksimum (Sandrasari 2008). Menurut Coppen (1983) antioksidan hanya akan benar-benar efektif bila ditambahkan seawal mungkin
15
selama periode induksi. Periode induksi ialah suatu periode pada awal terjadinya oksidasi lipid terjadi dimana oksidasi masih berjalan secara lambat dengan laju kecepatan seragam.
2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Antioksidan Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap oksidasi lipid juga mempengaruhi aktivitas antioksidan, seperti substrat, faktor fisik, dan keadaan fisikokimia lipid. Disamping itu, aktivitas antioksidan juga sangat dipengaruhi oleh faktor lain seperti struktur dan konsentrasi antioksidan. Pada umumnya yang tergolong sebagai antioksidan primer adalah senyawa-senyawa fenolik. Walau demikian, senyawa fenol tidak bersifat sebagai antioksidan, namun terdapatnya substituen atau gugus pada posisi orto dan para dapat meningkatkan densitas elektron pada gugus hidroksil melalui efek induktif. Peningkatan densitas elektron pada OH akan menurunkan energi ikat oksigenhidrogen sehingga meningkatkan reaktivitasnya terhadap radikal bebas alkil (Gordon 1990, Maslarova 2001). Disamping pengaruh induktif, faktor sterik, elektronik, dan adanya ikatan hidrogen juga mempengaruhi kekuatan ikatan atom hidrogen pada antioksidan (A-H) (Sandrasari 2008). Aktivitas antioksidan secara umum dipegaruhi oleh konsentrasi dan struktur kimia dari flavonoid. Flavonoid dapat bekerja sebagai antioksidan dengan beberapa cara: (1) aktivitas penangkapan radikal terhadap spesies reaktif (reactive oxygen species; ROS), seperti •OH, O2•-, 1O2 atau terhadap radikal peroksida lipid seperti R•, RO•, dan ROO•. Aksi penangkapan radikal biasanya terjadi melalui transfer atom H atau donasi elektron; (2) mencegah terbentuknya spesies reaktif hasil katalisasi transisi logam (reaksi tipe Fenton) melalui pengkelatan logam; (3) interaksi dengan antioksidan lain (aksi kooperatif), lokalisasi, dan mobilisasi dari antioksidan pada lingkungan mikro (Bombardelli & Morazzoni 1993, Niki & Noguchi 2000). Tiga struktur yang berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan adalah (1) struktur o-dihidroksi (katekol) pada cincin B, berperan sebagai donor
16
elektron dan menjadi target radikal. Struktur 3-OH dari cincin C juga menguntungkan untuk aktivitas antioksidan flavonoid, (2) konjugasi ikatan rangkap pada C2-C3 dengan gugus 4-keto, berperan untuk delokalisasi elektron dari cincin B, meningkatkan kapasitas penangkapan radikal, (3) adanya gugus 3OH dan 5-OH dalam kombinasi dengan fungsi 4-karbonil dan ikatan rangkap C2C3 menaikkan aktivitas penangkapan radikal (Amic et al. 2003).
2.3 Perbandingan Kualitas Produk Akibat Pemberian Pupuk Organik dan Inorganik 2.3.1 Pengertian Kualitas Kualitas adalah tingkat baik buruknya sesuatu (kadar), derajat atau taraf (mutu). Di dalam bidang agronomi, kualitas dikatakan sebagai segala sesuatu yang melekat pada hasil produk budidaya tanaman, dan hal tersebut memberikan nilai tambah yang kriterianya sesuai dengan permintaan konsumen. Pengertian seperti ini sering digunakan untuk mendefinisikan kualitas hortikultura.
2.3.2 Beberapa Macam Kualitas Kualitas dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kualitas berdasarkan standar pasar (purchase quality) dan layak dikonsumsi (consumption quality). Purchase quality terdiri atas semua karakteristik yang penting bagi konsumen ketika memutuskan untuk membeli atau tidak membeli komoditas tertentu. Komponen dari purchase quality, yaitu warna, ukuran, bentuk, cacat, kekerasan/kelembutan, dan aroma. Consumption quality terdiri atas semua karakteristik yang dikehendaki oleh konsumen untuk menentukan tingkat kesukaan ketika komoditas tersebut dimakan. Komponen dari consumption quality, yaitu flavor (rasa dan aroma) dan mouthfeel. Komponen lainnya, seperti keutuhan (wholesomeness), kandungan nutrisi, kandungan fitokimia, dan keamanan merupakan bagian dari inner quality yang termasuk kedalam purchase dan consumption quality. Inner quality dikatakan ‘tersembunyi’ karena tidak dapat diketahui secara langsung baik melalui visual maupun dimakan. Komponen inner quality membutuhkan analisis kimia untuk mengetahuinya. Analisis yang
17
dilakukan pada penelitian ini lebih kepada inner quality, seperti fitokimia dan antioksidan.
2.3.3 Kualitas Tanaman Produk Organik Dibandingkan Inorganik Sejak awal tahun 1980 hingga akhir 2007 telah banyak dilakukan studi banding antara kualitas produk tanaman organik dibandingkan dengan inorganik (konvensional), namun hasil yang didapatkan beragam (Worthington 2001, Amodio et al. 2007, Herencia et al. 2007, Rembialkowska & Srednicka 2009). Studi perbandingan kualitas ini pada kolesom belum diteliti. Dengan demikian studi mengenai perbandingan kualitas ini menarik untuk diteliti dan diharapkan dapat memberikan lebih banyak informasi pada komoditas lain. Kandungan metabolit sekunder tanaman yang bermanfaat bagi kesehatan manusia merupakan topik yang banyak dibahas pada banyak makalah penelitian. Beberapa studi menunjukkan kandungan total polifenol lebih tinggi pada tanaman organik jika dibandingkan dengan konvensional (Benbrook et al. 2008, Carbonaro et al. 2002, Young et al. 2005, Abu-Zahra et al. 2007, Khalil et al. 2007). Polifenol mewakili kelompok besar metabolit sekunder tumbuhan dengan komponen yang berpotensi sebagai antioksidan. Selanjutnya, terdapat banyak sekali studi yang melaporkan fungsi neuroprotektif, kardioprotektif, dan kemopreventif dari senyawa ini (Frei & Hingdon 2003, Carlson et al. 2007, Kampa et al. 2007, Ortuno et al. 2007). Kelompok polifenol penting yang diketahui terdapat dalam jumlah banyak pada tanaman organik adalah flavonol (Caris-Veynard et al. 2004, Rembialkowska et al. 2005). Flavonol diketahui dapat menurunkan insiden penyakit jantung, kanker, gastrointestinal, neurological, hati, aterosklerosis, obesitas, dan alergi (Frei & Hingdon 2003, Fresco et al. 2006, Ramos 2007, Shankar et al. 2007). Jus asal bayam, bawang bombai, dan kol organik memiliki aktivitas antioksidan 50-120 % lebih tinggi daripada jus dari produk pertanian konvensional (Ren et al. 2001). Aktivitas antioksidan dari beri organik juga lebih tinggi 30 % (Kazimierczak et al. 2008). Hal ini selaras dengan hasil penelitian sebelumnya yang melaporkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi pada tanaman organik dibandingkan dengan lainnya (Benbrook et al. 2008).
18
Studi komparatif menggunakan analisis meta untuk membandingkan tanaman organik dengan inorganik (konvensional) menunjukkan tanaman organik mengandung lebih banyak komponen yang bermanfaat bagi kesehatan. Beberapa komponen tersebut adalah kuersetin, kaemferol, vitamin C, Vitamin E, dan fosfor (Benbrook et al. 2008). Studi yang lain menunjukkan bahwa rata-rata kandungan vitamin C, besi, magnesium, dan fosfor pada beberapa tanaman organik berturutturut masing-masing 27.0, 21.1, 29.3, dan 13.6 % lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk pertanian konvensional (Worthington 2001). Tanaman organik juga diketahui lebih banyak mengandung gula (Stertz 2005, Hallmann & Rembialkowska 2006). Hal ini diduga merupakan penyebab kualitas sensori yang lebih baik. Penelitian Benbrook et al. (2008) mendapatkan indikasi kandungan protein yang lebih rendah pada tanaman organik jika dibandingkan dengan inorganik (konvensional). Sebaliknya, penelitian Magkos et al. (2003) menunjukkan kualitas protein (dihitung sebagai kandungan asam amino esensial) pada beberapa tanaman serealia dan sayuran organik lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil konvensional. Hal ini juga telah disebutkan oleh Worthington (2001). Kandungan senyawa berbahaya, seperti nitrat, ditemukan dalam jumlah sedikit pada tanaman organik jika dibandingkan dengan inorganik (Benbrook et al. 2008, Wang et al. 2008)). Penelitian pada beberapa komoditas menunjukkan bahwa tanaman organik memiliki kandungan nitrat 15.1 % lebih rendah jika dibandingkan dengan konvensional (Worthington 2001). Tanaman organik juga mengandung residu pestisida yang lebih rendah (Baker et al. 2002). Pestisida dan residunya diketahui dapat menyebabkan efek karsinogenik, mutagenik, neurodestruktif, endokrin, dan alergenik (Rembialkowska & Srednicka 2009).
2.4 Pemupukan Pupuk diberikan pada tanaman dengan tujuan menambah unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Umumnya unsur hara telah tersedia di dalam tanah, tetapi karena secara terus menerus diserap dan digunakan oleh tanaman maka kandungannya akan berkurang. Unsur hara dalam tanah terus berkurang seiring
19
dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga perlu tambahan dari luar. Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan, unsur hara terdiri dari unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak atau unsur makro (N, P, K, S, Ca, dan Mg) dan unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit atau unsur mikro (Cl, Mn, Fe, Cu, Zn, B, dan Mo). Unsur hara N, P, dan K di dalam tanah tidak cukup tersedia dan terus berkurang karena diambil untuk pertumbuhan tanaman dan terangkut pada waktu panen, tercuci, menguap, dan erosi. Kekurangan unsur hara N, P, dan K dapat dicukupi dengan pemupukan. Jumlah pupuk yang diberikan berhubungan dengan kebutuhan unsur hara tanaman, kandungan unsur hara yang ada dalam tanah, serta kadar unsur hara yang terdapat dalam pupuk. Leiwakabessy dan Sutandi (1998) menambahkan bahwa penambahan unsur hara akan meningkatkan pertumbuhan tanaman, yang berarti pengangkutan unsur hara oleh tanaman akan terus meningkat.
2.4.1 Peranan dan Ketersediaan Nitrogen Nitrogen (N) merupakan unsur hara terpenting yang diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif tanaman dan bersifat mobil dalam tanaman sehingga gejala kekurangan pertama kali tampak pada daun tua. N berada dalam bentuk inorganik dan organik dalam tanaman. Jika N berkombinasi dengan C, H, O dan S maka akan membentuk asam amino, amino enzim, asam nukleat, klorofil, alkaloid, dan basa-basa purin (Jones 1998). Tanaman pada umumnya menyerap N dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) (Errebhi & Wilcox 1990, Marschner 1995). Sebagian besar amonium bergabung dalam senyawa organik dalam akar, sedangkan nitrat bergerak dengan mudah dalam xylem dan dapat pula disimpan dalam vakuola akar, pucuk, dan organ-organ penyimpan. Akumulasi nitrat dalam vakuola sangat penting untuk keseimbangan kation-anion (Marschner 1995). Menurut Dubey dan Pessarakli (1995) nitrat setelah diserap tanaman tidak langsung digunakan dalam sintesis asam
amino. Bentuk nitrat harus
diasimilasikan ke bentuk amonium oleh enzim nitrat reduktase dan nitrit reduktase. Reduksi nitrat dapat berlangsung pada akar dan tajuk. McIntyre (1997) dan Li (2000) menyatakan pengaruh nitrat pada perkembangan tanaman
20
dipengaruhi oleh waktu dan metode pemupukan, kombinasi efek osmotik pada pengambilan air, serta efek hara pada sintesis protein. Kekurangan N dicirikan oleh daun yang menguning atau kuning kehijauan dan cenderung cepat gugur, sehingga kemampuan berfotosintesis berkurang, tanaman tumbuh kerdil, dan sistem perakaran terbatas (Leiwakabessy & Sutandi 1998). Tanaman dikatakan efisien dalam penggunaan N jika jumlah bobot kering yang terbentuk lebih besar dibandingkan dengan tanaman lainnya yang mendapat jumlah N yang sama (Clark 1990). Komponen efisiensi penggunaan N adalah penyerapan, asimilasi, dan remobilisasi (Blamel-Cox et al. 1991). Baligar et al. (2001) menyimpulkan bahwa peningkatan efisiensi penggunaan N pada tanaman sangat penting didalam meningkatkan hasil dan kualitas dari tanaman, menurunkan input N dan meningkatkan kualitas tanah, air, dan udara. Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan N pada tanaman adalah dengan cara menghindari pemberian pupuk N yang berlebih (Kanampiu et al. 1997). Kehilangan N dari sistem tanah-tanaman dapat melalui denitrifikasi (Burford & Bremner 1977, Olson et al. 1979, Burkart & James 1999), aliran permukaan (Gascho et al. 1998, Burkart & James 1999), dan pencucian (Goss & Goorahoo 1995, Paramasivam & Alva 1997, Laegreid et al. 1999).
2.4.2 Peranan dan Ketersediaan Fosfor Fosfor (P) pada banyak sistem produksi pertanian merupakan unsur hara esensial yang paling sering dijumpai dalam keadaan kahat setelah N (Mosali et al. 2005). P yang tersedia dalam tanah umumnya rendah. Masalah keefisienan P tidak sama dengan N, perbedaannya terlihat pada sifat immobil P dalam tanah (Vincent et al. 2010). Fosfor berasal dari pelapukan mineral tanah dan bahan-bahan lain penyusun tubuh tanah. P terdapat dalam bentuk organik dan inorganik. P dalam bentuk-bentuk inorganik lebih banyak dijumpai. Bentuk-bentuk inorganik didominasi oleh hydrous sesquitides, amorphhous crystalline aluminium, besi fosfat pada tanah masam dan kalsium fosfat pada tanah alkalin. Jumlah P terlarut yang tersedia tergantung pada pH, tingkat kelarutan dan difusi dari P dalam
21
bentuk padat, waktu reaksi, kandungan bahan organik, temperatur, dan tipe dari liat (Mosali et al. 2005). Fosfor diserap akar tanaman dalam dua bentuk anion, masing-masing dihidrogen fosfat (H2PO4-) dan monohidrogen fosfat (HPO42-) (Jones 1998) Mobilitas anion fosfat dalam tanah sangat rendah karena retensinya dalam tanah sangat tinggi. Oleh sebab itu, efisiensi dari pupuk P sangat rendah antara 10-30 %, sisanya 70-90 % P tertinggal dalam bentuk immobil kalau tidak hilang karena erosi (Leiwakabessy & Sutandi 1998). Fungsi P yang paling penting pada tanaman adalah penyimpanan dan transfer energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan adenosin difosfat (ADP), serta merupakan komponen struktural penting dalam penyusunan asam nukleat, kofaktor enzim, fosfolipid, dan nukleotida (Jones 1998, Mosali et al. 2005).
2.4.3 Peranan dan Ketersediaan Kalium Kalium
(K)
pada
tanaman
berperan
sebagai
aktivator
enzim,
mempertahankan vigor tanaman, merangsang pertumbuhan akar dan sebagai katalisator (Xi et al. 1989, Pettigrew 2008). Selain itu K juga berperan dalam proses pembentukan karbohidrat, translokasi gula dan metabolisme protein (Leiwakabessy & Sutandi 1998). Kalium dalam mempertahankan vigor tanaman berperan dalam proses pemeliharaan status air tanaman, tekanan turgor dalam sel, serta proses membuka dan menutupnya stomata (Marchsner 1995, Jones 1998) Berdasarkan ketersediaannya kalium dalam tanah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) bentuk K tidak dapat dipertukarkan, (2) bentuk K dapat dipertukarkan, dan (3) bentuk K larut. K dalam bentuk tidak dapat dipertukarkan banyak terdapat di dalam tanah yang merupakan K cadangan. K dapat dipertukarkan adalah K yang tersedia, bentuk ini ada yang cepat tersedia dan ada yang lambat tersedia. K yang mudah diserap tanaman adalah K dalam bentuk larutan tanah (Reddy et al. 2000). Kalium adalah unsur yang mobil, sehingga akan terjadi translokasi dari bagian tanaman yang tua ke bagian yang lebih muda bila terjadi kekurangan K pada tanaman. Oleh karena itu, gejala kekurangan K mulai tampak pada bagian tanaman yang tua terlebih dahulu, lalu diikuti pada bagian tanaman yang lebih
22
muda (Tisdale & Nelson 1985, Reddy et al. 2000). Prawiranata et al. (1991) menyatakan bahwa tanaman yang kekurangan K akan menunjukkan gejala klorosis, tepi daun mengering, produksi daun berkurang, dan malabentuk daun. Reddy et al. (2000) menambahkan bahwa permukaan luas daun akan berkurang pada saat defisiensi K. Defisiensi K dapat dicegah dengan menambahkan jumlah K yang cukup ke dalam tanah. Hanya sebagian kecil saja yang dapat dicukupi melalui pemupukan lewat daun.
2.5 Pupuk Organik 2.5.1 Pengertian Pupuk Organik Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman (Suriadikarta & Simanungkalit 2006). Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006 tentang pupuk organik dan pembenah tanah, menyebutkan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan menyuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
2.5.2 Pengelompokan Pupuk Organik Sumber, karakteristik fisik, dan kandungan kimia/hara bahan organik untuk membuat pupuk organik beraneka ragam, sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi. Dilihat dari jenisnya, maka pupuk organik dapat berupa (Suriadikarta & Simanungkalit 2006): (1) kompos, merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah; (2) pupuk hijau, merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai contoh pupuk hijau ini adalah sisa-sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla; (3) pupuk kandang, merupakan kotoran ternak;
23
(4) sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa); (5) limbah ternak, merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya; (6) limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, merupakan limbah berasal dari pabrik gula, pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, bumbu masak, dan sebagainya; (7) limbah kota, merupakan kompos dari sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak. Pupuk organik jika dibedakan berdasarkan kandungan haranya maka secara umum dapat dikelompokkan menjadi pupuk organik penyedia hara N, P, dan K. Studi literatur dari beberapa penelitian dan pustaka menunjukkan bahwa pupuk kandang dapat digunakan sebagai sumber N, guano sebagai sumber P, dan abu sekam sebagai sumber K (Sediyarso 1999, Hartatik & Widowati 2006, Sridhar et al. 2006, Rahadi 2008, Melati et al. 2008, Susanti et al. 2008, Mualim et al. 2009).
2.5.3 Pupuk Kandang Pupuk kandang didefinisikan sebagai semua produk buangan dari binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah (Hartatik & Widowati 2006). Pupuk kandang dapat berbentuk padat maupun cair. Pupuk kandang padat adalah kotoran ternak berupa padatan baik yang belum maupun sudah dikomposkan. Pupuk kandang cair merupakan pupuk kandang berbentuk cair berasal dari kotoran hewan yang masih segar yang bercampur dengan urin hewan atau kotoran hewan yang dilarutkan dalam air dalam perbandingan tertentu. Pupuk kandang sapi adalah pupuk kandang yang banyak mengandung air. Pupuk ini terdiri atas 44 % bahan padat dan 66 % bahan cair. Komposisi unsur hara yang terkandung dalam pupuk kandang sapi, yaitu 0.6 % N, 0.15 % P2O5, dan 0.45 % K2O (Sutedjo 1994). Serupa dengan hal ini, Rahadi (2008) juga menggunakan pupuk kandang sapi dengan komposisi yang dapat dilihat pada Tabel
2.1.
Penelitian
menunjukkan
pemberian
pupuk
kandang
dapat
meningkatkan ketersediaan C-organik, N, dan P yang lebih tinggi jika
24
dibandingkan dengan pemberian pupuk N inorganik (Mahmoud et al. 2009). Pada penelitian ini pupuk kandang yang digunakan yaitu pupuk kandang sapi. Pupuk kandang sapi juga telah digunakan pada penelitian kolesom sebelumnya oleh Mualim et al. (2009). Tabel 2.1 Komposisi unsur hara pupuk kandang sapi Peubah Satuan Nilai Kadar air % 48.59 C-organik % 9.78 N-total % 1.29 P-total % 0.99 Ca % 1.45 Mg % 0.36 K % 0.27 Sumber: Rahadi (2008)
Peubah Fe Mn Cu Zn
Satuan ppm ppm ppm ppm
Nilai 1.86 822 27 101
Pengaruh berbagai jenis pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman telah banyak diteliti, misalnya pada tumpang sari padigandum (Prasad & Sinha 2000), kolesom (Ibeawuchi et al. 2006, Susanti et al. 2008), melon (Ijoyah 2007), rumput bermuda (Helton et al. 2008), timun (Mahmoud et al. 2009), dan bayam (Ibeawuchi et al. 2006, Law-Ogbomo & Ajayi 2009). Penelitian sebelumnya pada kolesom didapatkan bahwa dengan pemberian pupuk kandang ayam sebanyak 7.5-10 ton/ha menghasilkan jumlah daun yang tertinggi (Ibeawuchi et al. 2006). Pemberian pupuk kandang ayam sebanyak 15 ton/ha memberikan produksi biomassa tertinggi (10.73 g bobot kering daun dan 6.36 g bobot kering umbi per tanaman). Akan tetapi, kandungan senyawa bioaktif daun dan umbi menurun oleh peningkatan dosis pupuk kandang ayam. Oleh karena itu, dosis pupuk kandang ayam yang disarankan adalah 5 ton/ha sebagai pupuk dasar (Susanti et al. 2008). Hal ini juga untuk menghindari terjadinya serangan Pseudomonas sp. yang menyebabkan penyakit layu bakteri pada kolesom akibat kondisi media sekitar perakaran yang lebih lembab (Mualim et al. 2009). Pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap antioksidan kolesom belum dilaporkan. Penelitian yang ada saat ini pada kolesom hanya berupa studi kandungan fitokimia baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Susanti et al. 2008, Mualim et al. 2009).
25
2.5.4 Pupuk Guano Pupuk guano merupakan salah satu pupuk organik yang banyak mengandung unsur P (Sediyarso 1999, Hadad & Anderson 2004, Sikazwe & Waele 2004, Goveas et al. 2005, Rahadi 2008). Pupuk guano merupakan salah satu sumber fosfat alam. Pupuk guano didefinisikan sebagai pupuk yang berasal dari kotoran unggas dan atau kelelawar, berbentuk serbuk dan atau butiran berbau khas, dengan atau tanpa penambahan unsur N, P, dan K (BSN 1992). Guano yang berasal dari kotoran kelelawar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan rasio NPK, yaitu (1) guano dengan kandungan fosfor tinggi (3:13:44:30:4) yang berasal dari frugivorous bat dan (2) guano dengan kandungan nitrogen tinggi (8:4:1-13:3:3) yang berasal dari insectivorous bat (Sridhar et al. 2006). Berdasarkan proses pembentukannya fosfat alam dapat dibagi menjadi tiga jenis (Kasno et al. 2006): (1) Guano, terbentuk dari hasil akumulasi sekresi burung pemakan ikan dan kelelawar yang terlarut dan bereaksi dengan batu gamping akibat pengaruh air hujan dan air tanah; (2) Fosfat primer, terbentuk dari pembekuan magma alkali yang mengandung mineral fosfat apatit, terutama fluor apatit [Ca5(PO4)3F]. Apatit dapat dibedakan
atas
chlorapatite
[3Ca3(PO4)2CaCl2]
dan
fluor
apatite
[3Ca3(PO4)2CaF2]; (3) Fosfat sedimenter (marin), merupakan endapan fosfat sedimen yang terendapkan di laut dalam, pada lingkungan alkali dan tenang. Fosfat alam ini terbentuk di laut dalam bentuk kalsium fosfat yang disebut fosforit. Pupuk guano mengandung sekitar 20 % P2O5 dan sekitar 13 % N (Tisdale et al. 1990). Kandungan yang lebih tinggi ditemukan pada penelitian Rahadi (2008) dengan kandungan P2O5 dan CaO berturut-turut sebesar 26.07 dan 36.07 %. Penelitian Sridhar et al. (2006) pada guano asal Hipposideros speoris (kelelawar gua insektivora) menunjukkan hasil analisis yang lebih lengkap (Tabel 2.2). Syarat mutu pupuk guano menurut SNI 02-2871-1992 adalah memiliki kadar air maksimal 10%, total nitrogen minimal 3.5% (w/w), fosfor minimal 10% P2O5 (w/w), kalium minimal 6% K2O (w/w), klorida minimal 0.5% Cl (w/w), dan berbau khas (BSN 1992). Ketersediaan fosfor di alam cukup banyak, namun
26
hanya sedikit yang dapat diserap oleh tanaman. Pupuk guano mengandung fosfor yang cukup tinggi dan memiliki sifat yang mudah larut air. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pupuk guano sebagai sumber fosfor organik.
Tabel 2.2 Karakter fisikokimia dan mikrobiologi guano asal kelelawar Karakteristik Satuan Pelet fecal Guano humus Bobot basah* kg/m2 2.9 (2.5-3.5) 5.3 (4.9-5.5) Bobot kering* kg/m2 2.5 (2-3) 2.8 (1.5-3.7) pH 7.5 (7.4-7.6) 6.5 (6.2-6.8) Konduktivitas m mhos/cm 2.8 (2.5-3.1) 3.8 (2.8-4.8) Bahan organik % 79.3 (70.2-86.0) 45.6 (24.0-61.0) C-total % 46 (40.7-49.9) 26.4 (14.5-35.4) N-total % 7.9 (7.7-8.5) 5.7 (3.5-7.7) Rasio C/N 5.9 (5-6.8) 4.6 (2.7-7.1) P % 2.4 (2-3) 2.2 (0.8-3.7) K % 1.14 (1-1.2) 0.9 (0.4-1.3) Ca % 1.1 (1-1.3) 1.5 (1.3-2.2) Mg % 2.8 (2.7-2.9) 3.1 (1.9-3.7) Bakteri cfu/g bobot kering 0.43 x 107 (0.07-0.8 x 107) 1.22 x 107 (0.64-2.6 x 107) 3 3 Aktinomiset cfu/g bobot kering 1.78 x 10 (1.2-2.4 x 10 ) 9.94 x 103 (4.5-21 x 103) 5 5 Fungi cfu/g bobot kering 0.3 x 10 (0.1-0.7 x 10 ) 3.1 x 105 (0.5-7.4 x 105) *Akumulasi selama tiga bulan. Pelet fecal merupakan guano dalam bentuk utuh. Guano humus merupakan pelet fecal yang telah ditransformasi oleh semut menjadi serbuk yang gembur menyerupai humus. Angka di dalam kurung menunjukkan sebaran data sebenarnya. Sumber: Sridhar et al. (2006)
Hadad dan Anderson (2004) menggunakan guano sebagai pupuk cair pada sistem hidroponik. Konsentrasi yang disarankan adalah 1.5-2 sendok makan/4 l air. Disebutkan lebih lanjut bahwa masalah penggunaan guano asal kelelawar adalah pH yang rendah. Penelitian Rahadi (2008) menunjukkan pemberian guano sebanyak 216 kg/ha yang dikombinasikan dengan pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha menghasilkan produksi kedelai tertinggi sebesar 5.90 kg/10 m2 (5.90 ton/ha). Pemberian guano pada tanaman sebagai pupuk organik telah banyak dilakukan. Namun, publikasi yang terkait dengan pengaruh guano terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman masih jarang ditemukan. Pengaruh guano terhadap kandungan fitokimia dan antioksidan kolesom juga belum diteliti.
2.5.5 Abu Sekam Penggunaan abu yang berasal dari berbagai jenis bagian tanaman sebagai pupuk organik telah banyak dilakukan, misalnya abu tandan kelapa sawit untuk pemupukan di daerah gambut dan pada jahe (Othman et al. 2005, Ahaiwe 2008), abu kayu pada bit, kentang, dan jagung (Butkuviene et al. 2006, Adekayode &
27
Olojugba 2010), abu cacao pada jagung dan tomat (Onwuka et al. 2007, Ayeni 2010), abu sekam padi pada padi dan Vigna unguiculata L. (Sitio et al. 2007, Priyaddharshini & Seran 2009), abu sisa pembakaran mesin pengolahan gula tebu (Khan et al. 2008), abu sisa mesin destilasi (Supasatienchai et al. 2010). Sumber abu yang biasanya digunakan sebagai pupuk organik pada umumnya tergantung kepada jumlah dan ketersediaan bahan abu pada suatu tempat. Di Indonesia, pertanaman padi sawah menempati areal yang cukup luas. Panen padi setiap musimnya akan menghasilkan kulit gabah (sekam) sebagai hasil samping dari proses penggilingan padi. Dengan demikian, sekam tersebut dapat diproses untuk dijadikan abu sekam. Beberapa varietas padi menghasilkan sekam sebesar 20.0723.60 % dan abu sekam sebesar 11.67-14.33 %. (Hashim et al. 1996). Akan tetapi penelitian yang menggunakan abu sekam sebagai pupuk organik masih jarang dilakukan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa abu sekam mengandung Si, P, K, Mg, Ca, dan unsur-unsur mikro lainnya (Tabel 2.3). Secara umum kandungan Si dan K ditemukan tinggi pada abu sekam. Abu sekam berpotensi untuk dijadikan sebagai pupuk organik, terutama sebagai
pupuk sumber K. Menurut
Priyadharshini & Seran (2009) abu sekam dapat digunakan sebagai pengganti pupuk K inorganik. Oleh karena itu, abu sekam dipilih sebagai sumber K organik pada penelitian ini.
Tabel 2.3 Beberapa komposisi unsur hara abu sekam Peubah Satuan Nilai Peubah Satuan Nilai C % 6.20 Fe ppm 126.00 N % 0.32 Cu ppm 7.00 P % 0.27-0.46 Zn ppm 91.00 K % 0.72-3.84 Mn ppm 1118.00 Ca % 0.35-2.58 Mg % 0.12-1.59 Si % 71.43-88.52 Data diadaptasi dari Hashim et al. (1996), Muthadi et al. (2007), dan Tim I-MHERE IPB (5 Oktober 2010, komunikasi pribadi)
Penelitian menunjukkan pemberian abu sekam dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman (Priyadharshini & Seran 2009; Sitio et al. 2007), serta menurunkan intensitas serangan hama (Melati et al. 2008). Pemberian 4.5 ton/ha abu sekam menghasilkan produksi tertinggi (1.44 ton/ha) pada tanaman
28
Vigna unguiculata L. (Priyadharshini & Seran 2009). Selanjutnya, abu sekam dengan dosis 1-3 ton/ha dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman padi dan memberikan pengaruh nyata terhadap peubah jumlah anakan maksimum dan luas daun (Sitio et al. 2007). Melati et al. (2008) menambahkan bahwa sebaiknya abu sekam tidak diberikan secara tunggal melainkan dikombinasikan dengan pupuk organik lain. Sebaliknya, pemberian abu sekam pada kolesom belum pernah dilakukan sehingga pengaruhnya terhadap pertumbuhan, produksi, kandungan fitokimia, dan antioksidan kolesom tidak diketahui.
2.6 Pupuk Inorganik 2.6.1 Pengertian Pupuk Inorganik Menurut Kepmentan No.238/Kpts/OT.210/4/2003 tentang pedoman penggunaan pupuk inorganik,
pupuk inorganik adalah pupuk hasil proses
rekayasa secara kimia, fisik, dan atau biologis, dan merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk (Deptan 2003). Secara ringkas, pupuk inorganik merupakan semua jenis pupuk yang bahan penyusunnya merupakan hasil sintesis buatan.
2.6.2 Jenis dan Bentuk Pupuk Inorganik Jenis pupuk inorganik yang digunakan untuk budidaya tanaman meliputi: (1) pupuk hara makro primer, yaitu pupuk yang mengandung unsur hara utama N, P, atau K baik tunggal maupun majemuk. Contoh pupuk jenis ini adalah urea, TSP, SP-36, SP-18, ZA, KCl, NP, NK, PK, dan NPK. (2) Pupuk hara makro sekunder, yaitu pupuk yang mengandung unsur kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan belerang (S). contoh pupuk jenis ini adalah dolomit, dan kieserit. (3) Pupuk hara makro campuran, yaitu pupuk yang mempunyai kandungan hara utama N, P, dan K yang dilengkapi unsur-unsur hara mikro seperti seng (Zn), boron (B), tembaga (Cu), Cobalt (Co), Mangan (Mn), dan molibdenum (Mo). Pupuk hara campuran tersebut dapat berbentuk padat atau cair. (4) Pupuk hara mikro, yaitu pupuk yang mempunyai kandungan hara mikro Zn, B, Cu, Co, Mn, dan Mo.
29
(5) Pupuk inorganik lainnya Selanjutnya, bentuk pupuk inorganik terdiri atas (1) pupuk padat (butiran/granul, tepung, tablet, dan pelet), dan (2) pupuk cair.
2.6.3 Pupuk Nitrogen (N) Pupuk N merupakan semua jenis pupuk inorganik yang memiliki kandungan utama unsur N. Kisaran kadar N dari berbagai pupuk N sangat lebar dan bervariasi. Beberapa bentuk nitrogen, seperti senyawa amonium, nitrat, dan urea disajikan pada Tabel 2.4. Dua yang terakhir bila mengalami hidrolisis dalam tanah akan menghasilkan ion NH4+ yang dapat diserap tanaman atau dioksidasi menjadi nitrat. Penelitian ini menggunakan urea sebagai sumber N karena kandungannya yang cukup tinggi dan mudah untuk didapatkan.
Tabel 2.4 Pupuk sumber nitrogen Pupuk Rumus kimia Amonium sulfat (NH4)2SO4 Amonium nitrat NH4NO3 Urea CO(NH2)2 Amonium fosfat NH4H2PO4 Amonium klorida NH4Cl Kalsium nitrat Ca(NO3)2 Kalium nitrat KNO3 Sumber: www.deptan.go.id
Persentase nitrogen (%) 21 (24 % S) 33-35 46 10-11 (48-55 % P2O5) 28 (60 % Cl) 16 (28 % CaO) 13 (44 % K2O)
Penelitian mengenai pengaruh pemberian pupuk N pada tanaman budidaya telah banyak dilakukan, misalnya pada gandum (Giorgio 2004, Abad et al. 2004), kangkung (Luyen & Preston 2004), tomat, okra, dan bayam (Adil et al. 2006, Marvi 2009), Brassica rapa L. subsp. chinensis dan Solanum retroflexum Dum. (Averbeke et al. 2007, Turk et al. 2009), serta padi (El-Maksoud 2008). Pemberian pupuk N pada beberapa penelitian tersebut mampu meningkatkan produksi secara keseluruhan. Peningkatan dosis urea sampai 450 kg/ha cenderung meningkatkan pertumbuhan dan produksi som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.), tetapi pengaruhnya sama dengan pemberian 150 kg urea/ha (Tresnawati 1999). Kolesom yang diberi urea sebanyak 100 kg/ha dan dikombinasikan dengan 100 kg KCl/ha, dengan pupuk dasar SP-18 sebanyak 50 kg/ha memberikan produksi yang tertinggi. Lebih lanjut, panen yang dilakukan pada umur 20, 50,
30
dan 90 hari setelah tanam menghasilkan bobot pucuk segar berturut-turut sebesar 19.37, 39.41, dan 5.03 g/tanaman (Susanti et al. 2012). Penelitian lainnya menunjukkan pemupukan kolesom melalui daun dengan konsentrasi 2 g urea/l air dan 1 g KCl/l air menghasilkan produksi pucuk tertinggi sebesar 51.3 g/tanaman (Marman 2010). Pengaruh pemupukan N terhadap kualitas tanaman seperti fitonutrien, fitokimia dan antioksidan juga telah dilakukan, misalnya pada anggur (Hilbert et al. 2003), tomat (Toor et al. 2006), selada (Olaniyi 2008), Artemisia annua (Davies et al. 2009), Mentha longifolia L. (Alsafar & Al-Hassan 2009), Asparagus racemosus Willd. (Vijay et al. 2009), dan kurma (Al-Kharusi et al. 2009). Akan tetapi belum ada informasi mengenai pengaruh pemupukan N terhadap kandungan fitokimia dan antioksidan kolesom.
2.6.4 Pupuk Fosfor (P) Pupuk P merupakan semua jenis pupuk inorganik yang memiliki kandungan utama unsur P. Saat ini super fosfat merupakan pupuk fosfat utama. Pupuk yang berkadar 16-21 % P2O5 diperoleh dengan menambahkan asam sulfat pada batuan fosfat. Sebagian besar dari fosfor diubah menjadi bentuk fosfat primer [Ca(H2PO4)2] dan sebagian sebagai bentuk sekunder (CaHPO4). Tabel 2.5 memperlihatkan beberapa jenis pupuk P. Penelitian ini menggunakan super fosfat (SP-18) sebagai sumber P karena jenis pupuk ini relatif lebih mudah dijumpai di pasaran.
Tabel 2.5 Pupuk sumber fosfor Pupuk Rumus kimia Tri Super fosfat Amonium fosfat Diamonium fosfat Sumber: www.deptan.go.id
Ca(H2PO4)2•2H2O NH4H2PO4 (NH4)2HPO4
Persentase kadar P2O5 tersedia (%) 46-48 % (2 % S, 20 % CaO) 10-11 (48-55 % P2O5) 46 (18% N)
Pengaruh pemupukan P terhadap produksi dan kualitas tanaman telah dilaporkan, misalnya pada alpukat (Lynch & Goldwebeh 1956), gandum (Berardo et al. 1997), manggis (Liferdi et al. 2008), mint (Alsafar & Al-Hassan 2009), asparagus (Vijay et al. 2009), selada dan bayam (Marvi 2009). Saat umur 2 MST,
31
pemupukan dengan dosis 200 kg SP-18/ha pada kolesom menghasilkan bobot pucuk layak jual tertinggi (Mualim 2010). Penelitian lainnya menunjukkan bahwa pemberian P kurang berperan didalam produksi daun, antosianin, dan protein kolesom. Akan tetapi pemberian SP-18 sebanyak 400 kg/ha memiliki potensi untuk menghasilkan produksi yang tinggi. Pemanenan kolesom pada pemupukan dengan dosis yang sama sebaiknya dilakukan pada umur 6 MST untuk menghasilkan produksi yang maksimal (Mualim & Aziz 2011). Dengan demikian pada penelitian pupuk P hanya diberikan sebagai pupuk dasar saja.
2.6.5 Pupuk Kalium (K) Pupuk K merupakan semua jenis pupuk inorganik yang memiliki kandungan utama unsur K. Semua garam kalium yang dipakai sebagai pupuk dapat larut dalam air dan segera tersedia. Tidak seperti pupuk nitrogen, pupuk kalium walaupun diberikan dalam jumlah banyak tidak mempengaruhi pH tanah. Beberapa jenis pupuk K dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Pupuk sumber kalium Pupuk Kalium klorida Kalium sulfat Kalium magnesium sulfat Kalium nitrat Sumber: www.deptan.go.id
Rumus kimia KCl K2SO4 K2SO4•2MgSO4 KNO3
Persentase K2O (%) 60 (45 % Cl) 50 (18 % S) 22 (18 % MgO dan 22 % S) 44 (13% N)
Pemberian pupuk K dapat berpengaruh terhadap produksi dan kualitas tanaman. Penelitian mengenai pengaruh tersebut telah dilakukan pada beberapa komoditas, seperti pada kentang (Westermann & Tindall 1998, Al-Moshileh & Errebi 2004, Laszlo 2010), padi (Brohi et al. 2000), persik (Chatzitheodorou et al. 2004), kapas (Sawan et al. 2006), kiwi ( Pacheco et al. 2008), dan kurma (Osman 2010). Penelitian Mualim et al. (2009) menunjukkan bahwa K merupakan faktor pembatas produksi antosianin daun kolesom. Namun, tidak ditemukan informasi mengenai pengaruh K terhadap antioksidan kolesom.
2.7. Metabolisme Primer dan Sekunder pada Tumbuhan Tumbuhan memiliki banyak sekali lintasan biosintesis yang akan menghasilkan metabolit primer maupun sekunder (Gambar 2.3). Lintasan pentosa
32
fosfat, glikolisis, dan siklus asam trikarboksilat merupakan lintasan metabolisme primer yang paling umum ditemukan karena berkaitan dengan respirasi aerobik dan biosintesis adenosin trifosfat (ATP). Lintasan metabolisme primer menyediakan prekursor atau substrat yang berperan dalam metabolisme sekunder. Beberapa lintasan yang akan disampaikan disini meliputi lintasan L-galaktosa (Smirnoff-Wheeler) yang menghasilkan vitamin C (asam askorbat), lintasan asam shikimat yang menghasilkan asam amino aromatik (fenilalanin, triptofan, dan tirosin), lintasan fenilpropanoid dan asam malonat yang menghasilkan senyawa fenolik, lintasan terpenoid dan pembentukan tetrapirol dari glutamat yang menghasilkan klorofil. Terdapat beberapa peubah yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya, yaitu kandungan total fenolik, kandungan total flavonoid, aktivitas PAL, dan nilai IC 50. Senyawa fenolik dihasilkan melalui lintasan fenilpropanoid dengan prekursor berupa asam amino aromatik yang dihasilkan dari lintasan shikimat. Fenilalanin merupakan salah satu dari tiga senyawa asam amino aromatik penciri dan prekursor terbentuknya senyawa fenolik. PAL merupakan enzim yang akan mengkatalisis L-fenilalanin untuk menghasilkan senyawa intermediat utama biosintesis senyawa fenolik. Flavonoid merupakan salah satu kelompok dari kelompok senyawa fenolik. Senyawa fenolik dikatakan memiliki sifat antioksidan karena dapat mengubah radikal bebas ke bentuk yang stabil; dan senyawa ini sering dihubungkan dengan kapasitas antioksidan pada tumbuhan yang dinyatakan dalam nilai IC 50.
2.7.1 Lintasan L-galaktosa (Lintasan Smirnoff-Wheeler) Lintasan L-galaktosa atau sering disebut sebagai lintasan SmirnoffWheeler merupakan lintasan yang digunakan dalam biosintesis vitamin C (asam askrobat) pada tumbuhan tingkat tinggi (Gambar 2.4). Lintasan ini menggunakan glukosa sebagai prekursor umum yang nantinya akan dikonversi lagi menjadi senyawa-senyawa antara sebelum membentuk asam askorbat (Valpuesta & Botella 2004, Giovannoni 2007). Kandungan vitamin C pada tanaman dipengaruhi/terkait oleh cahaya (Tabata et al. 2002), panjang hari (Chen & Gallie 2004), umur (Bartoli et al.
33
2000), jaringan tanaman (Lorence et al. 2004), dan kompartementasi sel (Davey et al. 2000). Penelitian pada tanaman model, Arabidopsis thaliana menggunakan mutan vtc 1 menunjukkan sintesis vitamin C (asam askorbat) pada tanaman berperan didalam cell signalling. Asam askorbat dalam bentuk redoks akan meregulasi aktivitas enzim secara langsung atau memodulasi redox-sensitive protein yang akan memicu proses penyampaian signal (Pignocchi & Foyer 2003). Asam askorbat berperan sebagai molekul penyampai signal pada beberapa senyawa, seperti asam salisilat, asam absisat, etilen, dan giberelin; yang menginduksi terjadinya mekanisme pertahanan pada tanaman. Ketika terjadi serangan patogen, asam salisilat bersama dengan asam absisat dan/atau etilen akan menginduksi sintesis protein yang terkait dengan pertahanan tanaman dan senyawa antimikrob lainnya sehingga terjadi resistensi terhadap patogen (Conklin & Barth 2004).
34
Gambar 2.3 Skema sederhana lintasan biosintesis metabolit primer dan sekunder pada tumbuhan. Garis putus-putus menunjukkan senyawa yang dibentuk melalui berbagai tahapan yang dikatalisis dengan berbagai enzim. Modifikasi dari Cseke dan Kaufman (1999) dan Cseke et al. (2006).
35
Gambar 2.4 Skema sederhana lintasan L-galaktosa (Lintasan Smirnoff-Wheeler). Modifikasi dari Valpuesta dan Botella (2004).
2.7.2 Lintasan Shikimat Lintasan shikimat merupakan lintasan biosintesis senyawa asam amino aromatik (Gambar 2.5). Hasil akhir dari lintasan ini adalah terbentuknya tiga jenis asam amino aromatik, yaitu fenilalanin, tirosin, dan triptofan. Ketiga jenis asam amino ini sering disebut sebagai tiga senyawa penanda terbentuknya senyawa fenolik.
2.7.3 Lintasan Fenilpropanoid Lintasan fenilpropanoid merupakan lintasan biosintesis kelompok besar senyawa fenolik (Gambar 2.6). Lintasan ini menggunakan fenilalanin sebagai prekursor utamanya dengan enzim pengatalis reaksinya berupa phenylalanine ammonia-lyase (PAL, EC 4.3.1.24). PAL akan mengatalisis deaminasi Lfenilalanin menjadi trans-asam sinamat yang merupakan senyawa intermediat utama biosintesis senyawa fenolik (Cheng & Breen 1991, Rivero 2001). Kaitan antara peningkatan aktivitas PAL dengan senyawa fenolik yang terbentuk telah banyak dilaporkan, seperti pada strawberry (Cheng & Breen 1991), bawang merah (Benkeblia 2000), tomat (Rivero et al. 2001), dan jagung (Gholizadeh 2011). Secara umum, kelompok besar senyawa fenolik dapat dibagi menjadi kelompok senyawa flavonoid dan non-flavonoid. Kelompok senyawa flavonoid
36
menggunakan koumaril koenzim A dan malonil koenzim A sebagai prekursor pembentukan senyawanya. Kelompok senyawa bukan flavonoid, misalnya lignin menggunakan sinapil alkohol, koniferil alkohol, dan koumaril alkohol sebagai substrat utama pembentukan senyawa lignin. Lignin dalam bentuk monomer (monolignol) disintesis dari fenilalanin melalui tahapan deaminasi, reduksi, hidroksilasi, dan metilasi (Boerjan et al. 2003). Cinnamyl-alcohol dehydrogenase (CAD, EC 1.1.1.195) merupakan NADP(H) oksidoreduktase spesifik yang mengkatalis cinnamyl aldehyde menjadi cinnamyl alcohol, yang diikuti dengan polimerasi oksidatif yang dikatalisis oleh peroksidase dinding sel (Walter et al. 1988, Roth et al. 1997, Sibout et al. 2005, Ma 2010). Biosintesis lignin pada sebagian besar jaringan tanaman berkaitan erat dengan aktivitas CAD dan peroksidase (POD, EC 1.11.1.14) (Anterola & Lewis 2002, Boerjan et al. 2003).
Gambar 2.5 Skema sederhana lintasan shikimat dan biosintesis asam amino aromatik: fenilalanin, tirosin, dan triptofan. Keterangan gambar ini sama dengan Gambar 2.3. Modifikasi dari Tzin dan Galili (2010).
37
Gambar 2.6 Skema sederhana lintasan fenilpropanoid pada tumbuhan. Singkatan dalam huruf kapital yang dicetak miring merupakan enzim. PAL = phenylalanine ammonia lyase, CAD = cinammyl alcohol dehidrogenase, POD = peroksidase. Keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 2.3. Modifikasi dari Boerjan et al. (2003), Du et al. (2009), Hicri et al. (2010), dan Vanholme et al. (2010).
38
2.7.4 Lintasan Biosintesis Klorofil Lintasan biosintesis klorofil menggunakan glutamat sebagai prekursor utamanya (Gambar 2.7). Berbagai tahapan yang terjadi sampai terbentuknya klorofil meliputi proses yang sangat rumit.
Gambar 2.7 Skema sederhana biosintesis klorfofil pada tumbuhan. Keterangan gambar ini sama dengan Gambar 2.3. Modifikasi dari Cseke dan Kaufman (1999), Meskauskiene et al. (2001), dan Cseke et al. (2006).
BAB III PRODUKSI DAN KUALITAS KOLESOM: PENGARUH PUPUK ORGANIK DAN INORGANIK DI MUSIM HUJAN WATERLEAF PRODUCTION AND QUALITY: THE EFFECT OF ORGANIC AND INORGANIC FERTILIZER IN WET SEASON Abstrak Penelitian lapangan dilakukan di kebun percobaan IPB (Bogor, Indonesia) pada bulan Maret-Mei 2011 dengan tujuan mempelajari pengaruh pemberian dua jenis pupuk terhadap produksi pucuk, metabolit primer, metabolit sekunder, dan kapasitas antioksidan kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd.) di musim hujan; sedangkan analisis laboratorium dilakukan pada bulan April sampai Oktober 2011. Dua set perlakuan (pupuk organik dan inorganik) diberikan pada plot yang berbeda menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Set perlakuan pupuk organik [pupuk kandang sapi (ton/ha) + guano (kg/ha) + abu sekam (ton/ha)] terdiri atas lima taraf, yaitu 6.1 + 75.6 + 2.7, 9.2 + 151.2 + 4.1, 12.3 + 226.8 + 5.5, 15.4 + 302.4 + 6.8, dan 18.4 + 378.0 + 8.2. Set perlakuan pupuk inorganik [urea (kg/ha) + SP-36 (kg/ha) + KCl (kg/ha)] terdiri atas lima taraf, yaitu 50 + 20 + 50, 75 + 40 + 75, 100 + 60 + 100, 125 + 80 + 125, dan 150 + 100 + 150. Nilai rata-rata akibat perlakuan organik dan akibat perlakuan inorganik dibandingkan menggunakan uji t-student’s. Hasil percobaan menunjukkan kolesom yang diberi pupuk organik di musim hujan pada umur 2 dan 4 minggu setelah tanam (MST) memberikan produksi pucuk yang tidak berbeda, sedangkan pada umur 6 MST memberikan produksi pucuk 14 % lebih rendah; dan kandungan vitamin C 11 % lebih tinggi dari kolesom yang diberi pupuk inorganik. Nilai IC 50-DPPH (7.13-7.24 mg/bobot kering) tidak berbeda diantara kedua jenis pemupukan. Kata kunci: sayuran daun, produk alami tumbuhan, kapasitas antioksidan, studi komparatif, variasi musiman metabolit tumbuhan Abstract This field experiment was conducted at the IPB experimental station (Bogor, Indonesia), in March-May 2011 and to study the effect of two types of fertilizer on waterleaf [Talinum triangulare (Jacq.) Willd] shoot production, primary metabolite, secondary metabolite, and antioxidant capacity during wet season; while laboratory analysis was conducted from April to October 2011. Two sets of treatment (i.e., organic and inorganic fertilizer) were applied to different plots using complete randomized block design. Five rates of organic fertilizer treatment [cow manure (ton/ha) + guano (kg/ha) + hull ash (ton/ha)], i.e. 6.1 + 75.6 + 2.7, 9.2 + 151.2 + 4.1, 12.3 + 226.8 + 5.5, 15.4 + 302.4 + 6.8, and 18.4 + 378.0 + 8.2. Five rates of inorganic fertilizer treatment [urea (kg/ha) + SP-36 (kg/ha) + KCl (kg/ha)], i.e. 50 + 20 + 50, 75 + 40 + 75, 100 + 60 + 100, 125 + 80 + 125, and 150 + 100 + 150. The means from each fertilizer type was compared
40
by using t-student’s test. In wet season, organic fertilizer did not gave any significant difference at 2 and 4 week after planting (WAP), while at 6 WAP resulted in 14 % lower shoot production and 11 % higher vitamin C content compared to inorganic fertilizer. There was no difference between two treatments in IC 50-DPPH values (7.13-7.24 mg dry weight/ml). Keywords: leafy vegetable, plant natural product, antioxidant capacity, comparative study, plant metabolite seasonal variation
3.1 Pendahuluan Kolesom termasuk kedalam familia Portulacaceae dan berkerabat dekat dengan som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) biasanya dimanfaatkan sebagai sayuran (Rifai 1994). Sayuran yang dihasilkan dengan masukan organik dipercaya memiliki kualitas (misalnya, cita rasa, kandungan fitokimia, dan nutrisi) yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil pertanian konvensional yang menggunakan pupuk inorganik dalam jumlah banyak. Secara umum, kualitas merupakan semua hal yang dimiliki produk yang menentukan derajat keunggulan suatu produk untuk tujuan tertentu. Telah dilaporkan pengaruh pemberian pupuk organik, misalnya pupuk kandang (Ibeawuchi et al. 2006, Susanti et al. 2008) dan pupuk inorganik NPK (Mualim et al. 2009, Mualim & Aziz 2011) pada kolesom. Hasil penelitian tersebut lebih banyak menjelaskan pengaruh pemupukan terhadap produksi kolesom, namun belum dijelaskan mengenai pengaruh terhadap kualitas kolesom terutama yang terkait metabolit primer, metabolit sekunder, dan kapasitas antioksidannya. Selain itu juga, belum ada informasi tentang perbandingan kualitas kolesom antara yang diberi pupuk organik dengan inorganik. Telah dilaporkan pada beberapa komoditi, seperti tumbuhan pakan ternak (Abusuwar & Ahmed 2010), tomat, dan bayam (Birnin-Yauri et al. 2011) yang ditanam saat musim hujan memiliki kandungan protein yang tinggi. Penelitian pada jagung menunjukkan pada kondisi air yang cukup (0 Mpa) kandungan gula rendah sedangkan karbohidrat tinggi (Mohammadkhani & Heidari 2008). Penelitian De-Lima et al. (2001) menunjukkan kandungan vitamin C belimbing rendah saat musim hujan. Banyak senyawa metabolit sekunder yang bersifat antioksidan berasal dari kelompok besar senyawa fenolik. Terbentuknya senyawa metabolit sekunder selain dipengaruhi oleh jenis dan dosis pupuk (Ahmed et al. 2011, Mualim &
41
Aziz 2011); juga dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, misalnya perubahan temperatur siang dan malam, curah hujan, kekeringan, serta lama dan intensitas cahaya matahari (Siatka & Kasparova 2010, Marsic et al. 2011). Produksi polifenol, alkaloid, dan total klorofil tertinggi pada Datura metel L. terjadi pada musim hujan (Kale 2010). Lebih dari 50 % aktivitas antioksidan dan kandungan total fenolik pada Rubus L. dipengaruhi oleh interaksi antara kultivar dan faktor lingkungan (Connor 2005). Belum terdapat informasi mengenai pengaruh pupuk terhadap metabolit primer dan sekunder kolesom maupun efek antioksidan yang terkait didalamnya pada musim hujan. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari kaitan pupuk organik dan inorganik dengan produksi pucuk, metabolit primer dan sekunder, serta kapasitas antioksidan kolesom pada musim hujan.
3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB di Leuwikopo, Darmaga, Bogor pada bulan Maret-Mei 2011. Lokasi kebun berada pada ketinggian tempat lebih kurang 190 m di atas permukaan laut. Analisis dan pengamatan lainnya di laboratorium dilakukan pada bulan Maret 2011-Januari 2012. Laboratorium yang digunakan
adalah
Plant
Analysis
and
Chromatography
Laboratory,
Spectrophotometry Laboratory, Post-Harvest Laboratory, dan Plant Molecular Biology Laboratory (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB); Laboratorium Analisis Tanah (Balai Tanah, Bogor); dan Laboratorium Biologi Tanah (Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB).
3.2.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk percobaan lapangan adalah setek kolesom, arang sekam, kapur pertanian (85 % CaCO3), pupuk kandang sapi, guano, abu sekam, urea, SP-36, KCl, bakterisida (streptomisin sulfat 20 %), fungisida (mankozeb 80 %), dan nematisida/insektisida (karbofuran 3 %). Bahan untuk analisis kimia yang digunakan adalah D-glukosa, pereaksi folin-ciocalteu, sodium
42
carbonate, aluminium chloride, potassium acetate, dan ethanol absolute produksi Merck Co. (Jerman). Bouvine Serum Albumin (BSA), 1,1-Diphenyl-2-picryl hydrazil (DPPH), gallic acid, quercetin, dan L-ascorbic acid produksi SigmaAldrich (St. Louis, MO). Semua bahan kimia yang digunakan dalam analisis kimia memiliki kualitas pro analysis (analytical grade). Peralatan yang digunakan untuk analisis kimia meliputi Shimadzu UV1800 spectrophotometer (Japan) yang dihubungkan dengan UV probe 2.34 untuk analisis spektrofotometri, Eyela water bath SB-24 untuk inkubasi larutan campuran ekstrak, water purification system Eyela untuk mendapatkan air destilata, atomic absorbtion spectrometer (AAS), dan freeze dryer Flexy-Dry™ MP (USA).
3.2.3 Rancangan Percobaan dan Perlakuan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) satu faktor dengan tiga ulangan. Penelitian ini terdiri atas dua set perlakuan, yaitu set perlakuan pupuk organik dan set perlakuan pupuk inorganik (Tabel 3.1). Tabel 3.1 Perlakuan pemupukan organik dan inorganik di musim hujan Pupuk Abu KCl6 Perlakuan Guano2* Perlakuan Urea4 SP-365 1* 3 kandang sapi sekam (kg organik (kg/ha) inorganik (kg/ha) (kg/ha) (ton/ha) (ton/ha) /ha) 1 6.1 75.6 2.7 1 50 20 50 2 9.2 151.2 4.1 2 75 40 75 3 12.3 226.8 5.5 3 100 60 100 4 15.4 302.4 6.8 4 125 80 125 5 18.4 378.0 8.2 5 150 100 150 1 kandungan N 1.29 %, kadar air 71%; 2kandungan P2O5 10.43 %, kadar air 8.69%; 3kandungan K2O 1.10 %; 4kandungan N 46 %; 5kandungan P2O5 36 %; 6kandungan K2O 60%; *dosis dalam basis basah dengan faktor konversi kadar air.
3.2.4 Pelaksanaan Percobaan Percobaan dilakukan menggunakan petakan dengan ukuran 4 m x 4 m (16 m2/petak). Jarak tanam yang digunakan mengacu pada Mualim et al. (2009), yaitu 100 cm x 50 cm. Perlakuan dasar berupa arang sekam dan kapur pertanian (kaptan) diberikan sebelum penanaman setek di lapangan. Arang sekam (2 ton/ha) diberikan dengan cara dilarik per baris tanam 2 minggu sebelum tanam (MSbT). Kaptan (2 ton/ ha) diberikan 3 MSbT dengan cara ditebar secara merata di lahan.
43
Perlakuan pupuk inorganik diberikan per tanaman saat penanaman setek, sedangkan perlakuan pupuk organik diberikan 2 MSbT. Pupuk kandang dan abu sekam diberikan dengan cara dilarik per baris tanam, sedangkan guano diberikan per tanaman. Nematisida/insektisida (40 kg/ha) diberikan pada saat tanam dengan cara ditebar merata dalam larikan tanam. Percobaan ini menggunakan bahan tanam asal setek batang mengacu pada Susanti et al. (2008). Sebelum digunakan setek batang direndam dalam larutan campuran bakterisida (2g/l air) dan fungisida (3 g/l air) selama 15 detik. Setek batang ditanam secara langsung di lapangan untuk menghindari putusnya akar tanaman akibat pindah tanam sehingga infeksi awal patogen penyakit dapat dikurangi.
3.2.5 Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap (1) produksi pucuk dengan kriteria memiliki panjang + 15 cm; (2) komponen metabolit primer: kandungan total gula menurut metode Yem dan Willis (1954), kandungan vitamin C menurut metode Kurniawati et al. (2010), dan kandungan protein menurut metode Waterborg dan Matthews (2002); (3) komponen metabolit sekunder: kandungan total fenolik menurut metode Waterhouse (2002), kandungan total flavonoid menurut metode Chang et al. (2002), bahan untuk analisis menggunakan pucuk kolesom kering hasil freeze drying yang diekstrak menggunakan metanol panas dan supernatannya digunakan untuk analisis; kandungan total antosianin dan kandungan total klorofil menurut metode Sims dan Gamon (2002); (4) enzim yang terkait dengan biosintesis senyawa fenolik: phenylalanine ammonia lyase (PAL) dan cinnamyl alcohol dehydrogenase (CAD) menurut metode Dangcham et al. (2008), serta peroksidase (POD) menurut Morita et al. (1988), (5) kapasitas antioksidan (nilai IC 50) menurut metode Brand-Williams et al. (1994) dan Payet et al. (2005), dan (6) analisis hara jaringan tanaman: C-organik, N, P, dan K menurut metode Balittanah (2009). Semua peubah diamati dan dianalisis pada umur 2, 4, 6 MST; kecuali analisis hara jaringan tanaman yang hanya dilakukan pada umur 6 MST.
44
3.2.6 Analisis Data Data dianalisis menggunakan statistika inferensia. Post-hoc test dilakukan menggunakan uji Ryan-Einot-Gabriel-Welsch (REGWQ) pada taraf nyata (α) 5%. untuk membedakan nilai tengah antar perlakuan.
3.3 Kondisi Umum 3.3.1 Persentase Kolesom yang Berbunga Pengamatan persentase populasi kolesom yang berbunga dilakukan pada umur 3 MST di pagi hari lebih kurang pukul 09.00 Hasil pengamatan menunjukkan 73 dan 79 % dari masing-masing populasi kolesom yang diberi pupuk organik dan inorganik telah berbunga.
3.3.2 Kondisi Iklim Data iklim selama penelitian di musim hujan dapat dilihat pada Tabel 3.2. Selama penelitian berlangsung, curah hujan cukup tinggi menyebabkan kelembaban meningkat. Selain itu juga, kondisi langit banyak awan sehingga penyinaran berlangsung singkat.
Tabel 3.2 Kondisi iklim per minggu selama penelitian di musim hujan Minggu ke1 2 3 4 5 6 Ratarata
Curah hujan (mm) 15.50 8.36 10.09 6.54 3.50 25.40 11.56
Cahaya matahari Lama Intensitas penyinaran (kal/cm2/menit) (%) 63.75 340.57 59.64 309.43 58.75 277.14 43.21 250.71 79.11 342.71 79.46 327.43 63.99
308.00
Temperatur (°C) Ratarata
Maksimum
Minimum
Kelembaban (%)
25.26 25.86 25.66 25.78 26.58 25.79
32.04 31.69 31.56 30.89 32.97 32.34
22.53 23.10 23.29 22.97 23.16 22.29
85.74 84.99 87.04 84.61 81.45 83.12
25.82
31.91
22.89
84.49
Lama penyinaran 100 % adalah 8 jam. Data diambil dari Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor.
3.3.3 Kimia Tanah Hasil analisis tanah yang dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Bogor dapat dilihat pada Tabel 3.3. Perbedaan kimia tanah antara lahan yang diberi pupuk organik dengan inorganik hanya terjadi pada peubah C-organik dan NH4+ (P < 0.05). Pemberian pupuk organik menyebabkan nilai yang lebih tinggi untuk kedua peubah tesebut dibandingkan dengan pemberian pupuk inorganik.
45
Tabel 3.3 Kimia tanah pada lahan dengan kedua jenis pemupukan di musim hujan Pupuk organik Pupuk inorganik Peubah Perbandingan antara Satuan Harkat Harkat kimia tanah kedua jenis pemupukan Nilai Nilai 5 5 hara hara pH-H20 4.85 Masam 4.93 Masam tn pH-KCl 4.37 4.38 tn C-organik1 % 1.57 Rendah 1.50 Rendah * N2 % 0.11 Rendah 0.11 Rendah tn Rasio C:N 13.91 Sedang 13.69 Sedang tn Sangat Sangat P2O53 ppm 38.35 35.18 tinggi tinggi tn 4 K ppm 53.90 55.10 tn NH4+, 4 ppm 9.75 7.45 * NO3-, 4 ppm 141.63 151.05 tn KTK cmolc/kg 9.86 Rendah 9.63 Rendah tn 1 metode Walkley dan Black; 2metode Kjeldahl; 3ekstraktan Bray 1; 4ekstraktan Morgan Wolf; 5 berdasarkan kriteria penilaian hasil analisis tanah Balai Penelitian Tanah (2009); contoh tanah untuk analisis diambil dengan kedalaman 0-15 cm; analisis dilakukan menurut metode oleh Balittanah (2009); * = berbeda nyata (P < 0.05), tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji tstudent’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda.
3.3.4 Mikroflora Tanah di Musim Hujan Hasil analisis tanah yang dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB dapat dilihat pada Tabel 3.4. Mikroflora tanah yang terdapat pada lahan dengan pemberian pupuk organik dan inorganik tidak berbeda (P > 0.05). Kelompok mikroflora terbanyak yang ditemukan pada lahan dengan kedua jenis pemupukan adalah bakteri (+ 99.8 % dari total mikrob), sedangkan sisanya berupa fungi.
Tabel 3.4 Mikroflora tanah dengan kedua jenis pemupukan di musim hujan Total mikrob Total fungi Total bakteri1 Perlakuan 4 ---------------x 10 SPK/g tanah--------------Organik 1878.00 3.98 1874.02 Inorganik 1289.00 3.11 1285.89 Organik vs inorganik tn tn tn 1 Total bakteri = total mikrob – total fungi, SPK = satuan pengamatan koloni, analisis menggunakan metode Anas (1989), contoh tanah yang dianalisis diambil secara komposit dengan kedalaman 0-15 cm; tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda.
3.4 Hasil Analisis menggunakan uji REGWQ pada sebagian besar data peubah pengamatan menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P > 0.05) antar dosis perlakuan. Dengan demikian data dari kedua set perlakuan diolah dengan dirata-ratakan untuk masing-masing set; dan hasil olahannya disebut sebagai ratarata kelompok organik atau inorganik. Pembandingan untuk masing-masing
46
kelompok menggunakan uji t-student’s pada taraf nyata (α) 1 dan 5 %. Uji tstudent’s dilakukan menggunakan perangkat lunak EXCEL 2007 atau MINITAB 14 dengan kriteria distribusi two-tail dan asumsi ragam contoh (s2) kedua kelompok pemupukan tidak sama/heteroscedastic. Data kemudian diplotkan menggunakan perangkat lunak SIGMAPLOT 10.0. Garis di atas titik data pada grafik menggambarkan selang kepercayaan 95 % ( 1.96 x galat baku) sehingga data pada grafik dinyatakan sebagai rata-rata kelompok pemupukan + (1.96 x galat baku). Hasil uji t-student’s yang menunjukkan perbedaan antara perlakuan organik dan inorganik pada berbagai peubah di musim hujan dapat dilihat pada Tabel 3.5. Perlakuan pupuk organik dan inorganik di 6 MST menyebabkan perbedaan pada peubah bobot basah pucuk, kandungan vitamin C, kandungan total klorofil, kandungan hara C-organik, nitrogen, fosfor, dan kalium pada tajuk. Tabel 3.5 Rekapitulasi hasil uji t-student’s pada berbagai peubah di musim hujan Organik vs inorganik Peubah 2 MST 4 MST 6 MST Produksi Bobot basah pucuk (g/tanaman) tn tn * Metabolit primer Kandungan total gula (mg SG/g BK) ** * tn Kandungan vitamin C (mg/g BB) tn tn * Kandungan protein (mg SBSA/g BB) ** * tn Metabolit sekunder Kandungan total fenolik (mg SAG/g BK) ** ** tn Kandungan total flavonoid (mg SK/g BK) ** * tn Kandungan total antosianin (x 10-2 μmol/g BB) tn ** tn Kandungan total klorofil (x 10-1 μmol/g BB) ** * * Enzim yang terkait dengan biosintesis senyawa fenolik Aktivitas PAL (x 10-2 U/mg protein) tn tn tn Aktivitas CAD (x 10-2 U/mg protein) tn tn tn Aktivitas POD (x 10-2 U/mg protein) tn * tn Kapasitas antioksidan IC 50 (mg BK/ml) * tn tn Kandungan hara jaringan C-organik (%) td td ** Nitrogen (%) td td ** Fosfor (%) td td * Kalium (%) td td * BB = bobot basah, BK = bobot kering, SG = setara glukosa, SBSA = setara bouvine serum albumine, SAG = setara asam galat, SK = setara kuersetin, U = unit; * = berbeda nyata (P < 0.05), ** = berbeda nyata (P < 0.01), tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda; td = tidak diamati
47
3.4.1 Produksi Pucuk Uji REGWQ pada akhir pengamatan menunjukkan semua dosis pada kedua jenis pemupukan yang dicobakan tidak memberikan bobot basah pucuk yang berbeda (Tabel 3.6). Dengan demikian disarankan untuk produksi pucuk kolesom di musim hujan menggunakan dosis terendah, yaitu organik-1 (6.1 ton pupuk kandang sapi/ha + 75.6 kg guano/ha + 2.7 ton abu sekam/ha) dan inorganik-1 (50 kg urea/ha + 20 kg SP-36/ha + 50 kg KCl/ha).
Tabel 3.6 Bobot basah pucuk dengan pemupukan organik dan inorganik di musim hujan pada umur 6 MST Bobot basah pucuk Perlakuan (g/tanaman) Organik Pupuk kandang (ton/ha) + guano (kg/ha) + abu sekam (ton/ha) 1 6.1 + 75.6 + 2.7 164.28 a 2 9.2 + 151.2 + 4.1 165.27 a 3 12.3 + 226.8 + 5.5 172.66 a 4 15.4 + 302.4 + 6.8 215.53 a 5 18.4 + 378.0 + 8.2 224.89 a Rata-rata 188.52 Inorganik Urea (kg/ha) + SP-36 (kg/ha) + KCl (kg/ha) 1 50 + 20 + 50 195.38 a 2 75 + 40 + 75 217.31 a 3 100 + 60 + 100 237.89 a 4 125 + 80 + 125 246.80 a 5 150 + 100 + 150 196.46 a Rata-rata 218.77 Organik vs inorganik * Angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji REGWQ; * = berbeda nyata (P < 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda
Uji t-student’s pada akhir pengamatan menunjukkan bobot basah pucuk pada musim hujan ditemukan lebih rendah pada tanaman yang mendapat pupuk organik dibandingkan yang mendapat pupuk inorganik (Gambar 3.5). Secara umum kedua jenis pemupukan menyebabkan pertumbuhan kolesom yang digambarkan
dengan
peningkatan
bobot
basah
pucuk
seiring
dengan
bertambahnya umur tanaman. Pemberian pupuk organik menghasilkan bobot basah pucuk tertinggi pada umur 6 MST sebesar 188.52 g/tanaman dan pemberian pupuk inorganik menghasilkan bobot basah pucuk 1.2 kali lebih tinggi dari kolesom yang diberi pupuk organik (P < 0.05).
48
tn
tn
*
Gambar 3.1 Bobot basah pucuk kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan. * = berbeda nyata (P < 0.05), tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda.. Garis vertikal di atas tiap titik data menunjukkan selang kepercayaan 95 %.
3.4.2 Metabolit Primer: Kandungan Total Gula, Kandungan Vitamin C, dan Kandungan Protein Uji t-student’s pada akhir pengamatan menunjukkan kandungan vitamin C pada musim hujan ditemukan lebih tinggi pada tanaman yang mendapat pupuk organik dibandingkan yang mendapat pupuk inorganik. Peubah lainnya tidak berbeda antar kedua jenis pemupukan (Gambar 3.2). Secara umum kandungan total gula pada kolesom dengan pemberian pupuk organik lebih rendah dari kolesom dengan pemberian pupuk inorganik (Gambar 3.2.A). Kandungan total gula kolesom tertinggi untuk kedua jenis pemupukan terjadi pada umur 4 MST, dan kolesom yang mendapat pupuk inorganik memiliki kandungan total gula 1.2 kali lebih tinggi dari kolesom dengan pemupukan organik (P < 0.05). Kandungan vitamin C kolesom tertinggi dihasilkan saat umur 6 MST pada kedua jenis pemberian pupuk (Gambar 3.2.B); kandungan vitamin C kolesom yang diberi pupuk organik 1.1 kali lebih tinggi dari kandungan vitamin C kolesom yang diberi pupuk inorganik (P < 0.05). Kandungan protein kolesom dengan kedua jenis pemupukan meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 3.2.C). Kandungan protein pada kolesom dengan pemberian pupuk inorganik selalu didapati lebih tinggi dari
49
kolesom dengan pemberian pupuk organik (P < 0.01), kecuali pada umur 6 MST (P > 0.05).
A
B
**
*
tn
tn
tn
*
C
**
*
tn
Gambar 3.2 Metabolit primer kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan. (A) Kandungan total gula, (B) kandungan vitamin C, dan (C) kandungan protein. BB = bobot basah, BK = bobot kering, SG = setara glukosa, SBSA = setara bouvine serum albumine. * = berbeda nyata (P < 0.05), ** = berbeda nyata (P < 0.01), dan tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda. Garis vertikal di atas tiap titik data menunjukkan selang kepercayaan 95 %.
3.4.3
Metabolit Sekunder: Kandungan Total Fenolik, Kandungan Total Flavonoid, Kandungan Total Antosianin, dan Kandungan Total Klorofil Uji t-student’s pada akhir pengamatan menunjukkan kandungan total
klorofil pada musim hujan ditemukan lebih rendah pada tanaman yang mendapat
50
pupuk organik dibandingkan yang mendapat pupuk inorganik. Peubah lainnya tidak berbeda antar kedua jenis pemupukan (Gambar 3.3).
A
B
**
**
tn
C
**
*
tn
**
*
*
D
tn
**
tn
Gambar 3.3 Metabolit sekunder kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan. (A) Kandungan total fenolik, (B) kandungan total flavonoid, (C) kandungan total antosianin, (D) kandungan total klorofil. BB = bobot basah, BK = bobot kering, SAG = setara asam galat, SK = setara kuersetin, keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 3.2.
Kandungan total fenolik kolesom menurun seiring dengan meningkatnya umur tanaman (Gambar 3.3.A). Pemberian pupuk organik pada kolesom selalu menyebabkan kandungan total fenolik yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian pupuk inorganik (P < 0.01), kecuali pada umur 6 MST (P > 0.05). Kandungan total fenolik kolesom tertinggi (10.49 mg SAG/g BK) didapatkan pada umur 2 MST dengan pemberian pupuk inorganik; sedangkan dengan
51
pemberian pupuk organik menghasilkan kandungan yang lebih rendah 1.3 kali dibandingkan dengan pemberian pupuk inorganik. Kandungan total flavonoid kolesom dengan pemberian pupuk organik selalu lebih rendah dibandingkan dengan pemberian pupuk inorganik pada umur 2 (P < 0.01) dan 4 MST (P < 0.05). Secara umum, terjadi peningkatan kandungan total flavonoid pada kedua jenis pemupukan dari umur 2 ke 4 MST kemudian setelahnya menurun (Gambar 3.3.B). Kandungan flavonoid terendah pada kedua jenis pemupukan terjadi pada umur 6 MST (P > 0.05). Tidak terdapat perbedaan kandungan total antosianin pada kolesom dengan kedua jenis pemupukan (P > 0.05), kecuali pada umur 4 MST (P < 0.01, Gambar 3.3.C). Kandungan total klorofil pada kolesom dengan kedua jenis pemupukan meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 3.3.D). Kandungan total klorofil pada kolesom dengan pemberian pupuk inorganik selalu didapatkan lebih tinggi dari kolesom dengan pemberian pupuk organik (P < 0.05).
3.4.4 Enzim yang Terkait dengan Biosintesis Senyawa Fenolik Uji t-student’s pada akhir pengamatan menunjukkan semua aktivitas enzim pada musim hujan ditemukan tidak berbeda pada tanaman yang mendapat pupuk organik dibandingkan yang mendapat pupuk inorganik (Gambar 3.4). Aktivitas PAL kolesom menurun seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 3.4.A). Aktivitas PAL kolesom tertinggi terjadi pada umur 2 MST, namun tidak berbeda diantara kedua jenis pemupukan (P > 0.05). Aktivitas PAL pada akhir pengamatan untuk kedua jenis pemupukan mengalami penurunan kirakira tiga kali dibandingkan awal pengamatan (umur 2 MST). Aktivitas CAD kolesom pada kedua jenis pemupukan memiliki nilai yang tidak berbeda (P > 0.05, Gambar 3.4.B). Aktivitas POD kolesom pada kedua jenis pemberian pupuk hanya berbeda pada umur 4 MST (P < 0.05, Gambar 3.4.C). Kolesom dengan pemberian pupuk inorganik memiliki aktivitas POD hampir dua kali dibandingkan dengan pemberian pupuk organik (67.42 x 10-2 U/mg protein) pada umur tersebut.
52
B
A
tn
tn
tn
tn
tn
tn
C
tn
*
tn
Gambar 3.4 Enzim yang terkait dengan biosintesis senyawa fenolik kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan. (A) Aktivitas PAL, (B) aktivitas CAD, dan (C) aktivitas POD. U = unit, PAL = phenylalanine ammonia lyase, CAD = cinammyl alcohol dehidrogenase, POD = peroksidase, keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 3.2.
3.4.5 Nilai IC 50 Uji t-student’s pada akhir pengamatan menunjukkan kapasitas antioksidan yang dinyatakan dengan nilai IC 50 pada musim hujan ditemukan tidak berbeda pada tanaman yang mendapat pupuk organik dibandingkan yang mendapat pupuk inorganik (Gambar 3.5). Nilai IC 50 antara kolesom yang diberi pupuk organik dan inorganik tidak berbeda pada setiap umur pengamatan (P > 0.05), kecuali umur 2 MST (P < 0.05). Terjadi penurunan nilai IC 50 kolesom dari umur 2 ke 4 MST, namun kemudiannya meningkat (Gambar 3.5). Kapasitas antioksidan
53
tertinggi (nilai IC 50 terendah) untuk kedua jenis pemupukan terjadi pada umur 4 MST (+ 3 mg BK/ml).
*
tn
tn
Gambar 3.5 Nilai IC 50 kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan. BK = bobot kering, keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 3.2.
3.4.6 Kandungan Hara Jaringan Pemberian pupuk organik menyebabkan kolesom memiliki kandungan Corganik dan nitrogen yang lebih rendah; namun kandungan fosfor dan kalium yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang mendapat pupuk inorganik (Tabel 3.7). Tabel 3.7 Hara jaringan kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim hujan Hara jaringan Perlakuan C-organik Nitrogen Fosfor Kalium ------------------------%-----------------------Organik 49.30 1.81 0.27 5.56 Inorganik 50.30 2.42 0.21 4.92 Organik vs inorganik ** ** * * ** = berbeda nyata (P < 0.01), * = berbeda nyata (P < 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda
3.5 Pembahasan 3.5.1 Peranan Pemupukan terhadap Produksi Pucuk Kolesom Tidak adanya perbedaan bobot basah pucuk kolesom diantara taraf pemupukan organik dan inorganik mungkin disebabkan kolesom mengambil hara dalam jumlah besar, sehingga tidak responsif bila diberi pupuk kurang dari taraf tertinggi yang dicobakan. Penelitian sebelumnya oleh Mualim dan Aziz (2011)
54
juga menunjukkan hal yang sama bahwa pemberian pupuk P mulai dari dosis 0 sampai 800 kg SP-18/ha tidak menyebabkan perbedaan produksi pucuk kolesom. Produksi pucuk kolesom pada umur 2 dan 4 MST tidak berbeda antara kedua jenis perlakuan pupuk, namun pada akhir pengamatan (umur 6 MST) pemberian pupuk inorganik menghasilkan bobot basah pucuk yang tertinggi. Curah hujan yang tinggi dan drainase yang kurang baik mungkin merupakan penyebab produksi pucuk saat umur 6 MST yang lebih rendah pada perlakuan pupuk organik jika dibandingkan dengan pupuk inorganik. Keadaan sekitar perakaran yang basah kurang disukai kolesom, sehingga daun tanaman rontok dan mengakibatkan berkurangnya produksi pucuk. Pemupukan inorganik di musim hujan menyebabkan N banyak diserap oleh kolesom, sehingga memacu pertumbuhan pucuk. Hasil analisis jaringan tanaman pada umur 6 MST menunjukkan kandungan hara N yang lebih tinggi pada kolesom dengan pemberian pupuk inorganik (2.42 % N) dibandingkan dengan pupuk organik (1.81 % N). Pemberian pupuk inorganik juga menyebabkan kolesom banyak menghasilkan biomassa. Hal ini dicerminkan dengan hasil akhir berupa kandungan C-organik yang tinggi (50.30 % C) pada kolesom dengan pemupukan inorganik.
3.5.2 Kualitas Kolesom Terkait dengan Metabolit Primer dan Biosintesisnya Penelitian ini mengukur kandungan total gula yang dihitung sebagai glukosa (kelompok monosakarida). Secara umum, pemberian pupuk inorganik memberikan kandungan total gula yang lebih tinggi dari yang diberi pupuk organik. Lebih tingginya kandungan total gula pada kolesom yang mendapat pupuk inorganik terkait dengan kandungan C-organiknya (50.30 % C) yang lebih tinggi daripada yang mendapat pupuk organik. Dijelaskan oleh Brielmann et al. (2006) bahwa C merupakan kerangka yang digunakan untuk membentuk senyawa organik kelompok besar karbohidrat, misalnya glukosa. Kandungan total gula merupakan hasil aktivitas fotosintesis pada siklus Calvin. Gula dalam bentuk glukosa pada tumbuhan merupakan prekursor umum pembentukan vitamin C (Valpuesta & Bottela 2004, Giovannoni 2007). Penelitian ini menunjukkan kandungan vitamin C tertinggi pada umur 6 MST dihasilkan dari
55
kolesom dengan pemberian pupuk organik; namun tidak terdapat perbedaan pada kandungan total gula. Penyebabnya adalah analisis pada penelitian ini tidak dilakukan terhadap substrat utama (L-galaktono-1,4-lakton), namun hanya prekursor umum berupa glukosa sehingga tidak diketahui proporsi terbentuknya senyawa antara lain, misalnya fruktosa, manosa, dan galaktosa. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa biosintesis vitamin C melalui tahapan konversi glukosa yang rumit dengan melibatkan berbagai enzim untuk membentuk senyawa antara hingga akhirnya terbentuk L-asam askorbat (Valpuesta & Bottela 2004, Giovannoni 2007). Protein merupakan senyawa mengandung N. Pemberian pupuk inorganik ternyata memberikan kandungan protein yang tinggi. Kandungan protein yang tinggi pada kolesom yang diberi pupuk inorganik terkait dengan kandungan hara N jaringan yang tinggi (2.42 % N). Marschner (1995) menjelaskan bahwa unsur N yang diberikan melalui akar akan dimetabolisme untuk membetuk asam amino yang akan ditranslokasikan ke tajuk dan selanjutnya membentuk ikatan peptida untuk menghasilkan protein.
3.5.3
Kualitas
Kolesom
Terkait
dengan
Metabolit
Sekunder
dan
Biosintesisnya Kandungan total klorofil kolesom pada pemupukan inorganik selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan organik. Telah diketahui bahwa N merupakan salah satu penyusun klorofil (Cseke et al. 2006). Oleh sebab itu, N lebih banyak diserap pada kolesom dengan pemberian pupuk inorganik sehingga pembentukan klorofil terpacu. Aktivitas PAL yang menurun seiring dengan bertambahnya umur tanaman menunjukkan senyawa fenolik yang terbentuk juga menurun. PAL merupakan enzim yang terkait langsung dengan fenilalanin sebagai prekursor terbentuknya senyawa fenolik (Cheng & Breen 1991, Rivero et al. 2001). Aktivitas PAL didapati tinggi pada awal pertumbuhan tanaman sehingga kandungan total fenolik pada saat itu juga lebih tinggi dibandingkan dengan akhir pengamatan (6 MST). Kaitan antara peningkatan aktivitas PAL dengan senyawa fenolik yang terbentuk telah banyak dilaporkan, seperti pada strawberry (Cheng & Breen 1991), bawang
56
merah (Benkeblia 2000), tomat (Rivero et al. 2001), dan jagung (Gholizadeh 2011). Jika kandungan total fenolik, aktivitas PAL, dan kandungan protein dibandingkan dengan kandungan total klorofil maka akan didapatkan bahwa biosintesis klorofil berasal dari pembentukan tetrapirol dengan prekursor berupa asam amino alifatik. Hal ini didukung dengan kandungan protein yang tinggi pada umur 6 MST sehingga sebagian besar protein merupakan asam amino alifatik bukan dari asam amino aromatik. Hal ini disebabkan aktivitas PAL dan kandungan total fenolik yang rendah. Cseke et al. 2006 menyatakan bahwa prekursor terbentuknya klorofil adalah glutamat yang akan dirubah menjadi asam aminolevulinat. Penelitian ini menunjukkan kandungan total fenolik (kelompok asam fenolat, dihitung sebagai asam galat) dan kandungan total flavonoid (dihitung sebagai
kuersetin)
berpengaruh
terhadap
kapasitas
antioksidan,
namun
pengaruhnya berbeda pada setiap umur pengamatan kolesom. Kapasitas antioksidan dari kolesom yang diekstrak dengan metanol dan diuji menggunakan radikal bebas DPPH menunjukkan pada umur 4 MST, IC 50 memiliki nilai terendah (rata-rata 2.78 mg BK/ml untuk kedua jenis pemupukan). Bertambahnya umur dari 2 ke 4 MST menyebabkan penurunan kandungan total fenolik sebesar 40 dan 29 % serta peningkatan kandungan total flavonoid sebesar 35 dan 12 % masing-masing pada kolesom yang diberi pupuk organik dan inorganik. Hal ini menunjukkan pada umur tersebut terjadi efek antioksidan terkuat dari senyawa fenolik kolesom, terutama sumbangan dari total flavonoid (rata-rata 14.56 mg SK/g BK untuk kedua jenis pemupukan) sedangkan kandungan total fenolik hanya 4.84 dan 7.64 mg SAG/g BK untuk kolesom dengan pemberian pupuk organik dan inorganik. Nilai IC 50 yang tertinggi terjadi pada umur 6 MST. Hal ini disebabkan dari umur 4 ke 6 MST, kandungan total fenolik menurun sebesar 50 dan 69 % dan kandungan total flavonoid menurun sebesar 65 dan 60 % masing-masing pada kolesom yang diberi pupuk organik dan inorganik; sehingga dibutuhkan jumlah yang banyak untuk menangkap radikal bebas DPPH. Dengan demikian, pada umur 6 MST kolesom memperlihatkan kemampuan sebagai antioksidan yang
57
rendah. Terbentuknya flavonoid yang lebih banyak saat 4 MST disebabkan curah hujan yang rendah (6.54 mm/minggu) sehingga kolesom mengalami cekaman dan terpacu untuk menghasilkan metabolit sekunder. Peningkatan curah hujan pada minggu setelahnya menyebabkan produksi flavonoid menurun. Akan tetapi, biosintesis senyawa fenolik non-flavonoid nampaknya tidak dipengaruhi oleh variasi curah hujan. Penelitian Gholizadeh (2011) menunjukkan kapasitas antioksidan pada daun jagung meningkat 1.8 kali ketika terjadi kekeringan, namun kembali ke nilai awal selama masa recovery (~ 0.6 μmol Fe2+/100 mg). Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan kandungan total flavonoid yang merupakan metabolit sekunder yang memiliki efek antioksidan merupakan mekanisme kolesom dalam menghadapi kondisi kurang air sehingga tidak terbentuk reactive oxigen species (ROS). Aktivitas CAD dan POD terkait dengan biosintesis lignin pada sebagian besar jaringan tanaman (Anterola & Lewis 2002, Boerjan et al. 2003, Ma 2010). Aktivitas CAD yang tidak berbeda (rata-rata 3.49 x 10-2 U/mg protein untuk kedua jenis pemupukan) sepanjang umur pengamatan menunjukkan pucuk kolesom belum membentuk banyak serat yang dapat mempengaruhi citarasanya. Hal yang sama seperti pada aktivitas CAD juga ditemukan pada aktivitas POD (rata-rata 152.02 x 10-2 U/mg protein). Walaupun demikian, aktivitas POD pada umur 2 MST didapatkan + 1.7 kali lebih tinggi dibandingkan umur 6 MST (133.84 x 10-2 U/mg protein). Hal ini menyebabkan kandungan total flavonoid rendah pada umur 2 MST, akibat persaingan prekursor didalam pembentukan lignin dan flavonoid. Prekursor yang digunakan dalam pembentukan kedua senyawa tersebut adalah p-koumaril koenzim A (CoA), yang dihasilkan dari fenilalanin (Vogt 2010). Akibat flavonoid yang terbentuk rendah maka kandungan total antosianin juga rendah. Hal ini disebabkan antosianin sebagai pigmen daun merupakan bagian dari senyawa flavonoid.
3.6 Simpulan Berdasarkan hasil Percobaan 1 “Produksi dan Kualitas Kolesom: Pengaruh Pupuk Organik dan Inorganik di Musim Hujan” maka dapat disimpulkan:
58
1. Kolesom dengan pupuk organik di musim hujan pada umur 2 dan 4 MST memberikan produksi pucuk yang tidak berbeda, sedangkan pada umur 6 MST memberikan produksi pucuk 14 % lebih rendah dari kolesom yang diberi pupuk inorganik. 2. Kolesom dengan pupuk organik di musim hujan memberikan kandungan vitamin C 11 % lebih tinggi dari kolesom yang diberi pupuk inorganik. 3. Kolesom dengan kedua jenis pemupukan di musim hujan memberikan nilai IC 50-DPPH (7.13-7.24 mg/BK) yang tidak berbeda.
BAB IV PRODUKSI DAN KUALITAS KOLESOM: PENGARUH PUPUK ORGANIK DAN INORGANIK DI MUSIM KEMARAU WATERLEAF PRODUCTION AND QUALITY: THE EFFECT OF ORGANIC AND INORGANIC FERTILIZER IN DRY SEASON Abstrak Penelitian lapangan dilakukan di kebun percobaan IPB (Bogor, Indonesia) pada bulan Mei-Juli 2011 dengan tujuan mempelajari pengaruh pemberian dua jenis pupuk terhadap produksi pucuk, metabolit primer, metabolit sekunder, dan kapasitas antioksidan kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) di musim kemarau; sedangkan analisis laboratorium dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2011. Dua set perlakuan (pupuk organik dan inorganik) diberikan pada plot yang berbeda menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Set perlakuan pupuk organik [pupuk kandang sapi (ton/ha) + guano (kg/ha) + abu sekam (ton/ha)] terdiri atas lima taraf, yaitu 6.1 + 75.6 + 2.7, 9.2 + 151.2 + 4.1, 12.3 + 226.8 + 5.5, 15.4 + 302.4 + 6.8, dan 18.4 + 378.0 + 8.2. Set perlakuan pupuk inorganik [urea (kg/ha) + SP-36 (kg/ha) + KCl (kg/ha)] terdiri atas lima taraf, yaitu 50 + 20 + 50, 75 + 40 + 75, 100 + 60 + 100, 125 + 80 + 125, dan 150 + 100 + 150. Nilai rata-rata akibat perlakuan organik dan akibat perlakuan inorganik dibandingkan menggunakan uji t-student’s. Hasil percobaan menunjukkan kolesom yang diberi pupuk organik di musim hujan memberikan produksi pucuk 37 % lebih tinggi, kandungan total gula 26 % lebih rendah, dan kandungan total flavonoid 13 % lebih rendah dari kolesom yang diberi pupuk inorganik. Nilai IC 50-DPPH (3.01-3.20 mg bobot kering/ml) tidak berbeda diantara kedua jenis pemupukan. Kata kunci: sayuran daun, produk alami tumbuhan, kapasitas antioksidan, studi komparatif, variasi musiman metabolit tumbuhan Abstract This field experiment was conducted at the IPB experimental station (Bogor, Indonesia), in May-July 2011 to study the effect of two types of fertilizer on waterleaf [Talinum triangulare (Jacq.) Willd] shoot production, primary metabolite, secondary metabolite, and antioxidant capacity during dry season; while laboratory analysis was conducted from June to December 2011. Two sets of treatment (i.e., organic and inorganic fertilizer) were applied to different plots using complete randomized block design. Five rates of organic fertilizer treatment [cow manure (ton/ha) + guano (kg/ha) + hull ash (ton/ha)], i.e. 6.1 + 75.6 + 2.7, 9.2 + 151.2 + 4.1, 12.3 + 226.8 + 5.5, 15.4 + 302.4 + 6.8, and 18.4 + 378.0 + 8.2. Five rates of inorganic fertilizer treatment [urea (kg/ha) + SP-36 (kg/ha) + KCl (kg/ha)], i.e. 50 + 20 + 50, 75 + 40 + 75, 100 + 60 + 100, 125 + 80 + 125, and 150 + 100 + 150. The means from each fertilizer type was compared by using tstudent’s test. In dry season, organic fertilizer resulted in 37 % higher shoot
60
production, 26 % lower total sugar content, and 13 % lower total flavonoid content compared to inorganic fertilizer. There was no difference between two treatments in IC 50-DPPH values (3.01-3.20 mg dry weight/ml). Keywords: leafy vegetable, plant natural product, antioxidant capacity, comparative study, plant metabolite seasonal variation 4.1 Pendahuluan Kolesom termasuk kedalam familia Portulacaceae dan berkerabat dekat dengan som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.), biasanya dimanfaatkan sebagai sayuran (Rifai 1994). Sayuran yang dihasilkan dengan masukan organik dipercaya memiliki kualitas (misalnya, cita rasa, kandungan fitokimia, dan nutrisi) yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil pertanian konvensional yang menggunakan pupuk inorganik dalam jumlah banyak. Secara umum, kualitas merupakan semua hal yang dimiliki produk yang menentukan derajat keunggulan suatu produk untuk tujuan tertentu. Telah dilaporkan pengaruh pemberian pupuk organik, misalnya pupuk kandang (Ibeawuchi et al. 2006, Susanti et al. 2008) dan pupuk inorganik NPK (Mualim et al. 2009, Mualim & Aziz 2011) pada kolesom. Hasil penelitian tersebut lebih banyak menjelaskan pengaruh pemupukan terhadap produksi kolesom, namun belum dijelaskan mengenai pengaruh terhadap kualitas kolesom terutama yang terkait metabolit primer, metabolit sekunder, dan kapasitas antioksidannya. Selain itu juga, belum ada informasi tentang perbandingan kualitas kolesom antara yang diberi pupuk organik dengan inorganik. Telah dilaporkan pada beberapa komoditi, seperti tumbuhan pakan ternak (Abusuwar & Ahmed 2010), tomat, dan bayam (Birnin-Yauri et al. 2011) yang ditanam saat musim kemarau memiliki kandungan protein yang rendah. Penelitian pada daun pohon Gmelina arborea Robx. menunjukkan terjadi peningkatan kandungan gula, karotenoid, dan aktivitas peroksidase, namun kandungan total klorofil menurun di musim kemarau (Crespo et al. 2011). Penelitian De-Lima et al. (2001) menunjukkan kandungan vitamin C belimbing tinggi saat musim kemarau. Banyak senyawa metabolit sekunder yang bersifat antioksidan berasal dari kelompok besar senyawa fenolik. Terbentuknya senyawa metabolit sekunder selain dipengaruhi oleh jenis dan dosis pupuk (Ahmed et al. 2011, Mualim &
61
Aziz 2011); juga dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, misalnya perubahan temperatur siang dan malam, curah hujan, kekeringan, serta lama dan intensitas cahaya matahari (Siatka & Kasparova 2010, Marsic et al. 2011). Beberapa kandungan metabolit sekunder, seperti fenolik pada Malpighia emarginata D.C. dan Trachyspermum ammi L. didapatkan meningkat (Lima et al. 2005, Azhar et al. 2011) pada musim kemarau karena terjadi cekaman air, namun karotenoid didapatkan menurun (Lima et al. 2005). Lebih dari 50 % aktivitas antioksidan dan kandungan total fenolik pada Rubus L. dipengaruhi oleh interaksi antara kultivar dan faktor lingkungan (Connor 2005). Belum terdapat informasi mengenai pengaruh pupuk terhadap metabolit primer dan sekunder kolesom maupun efek antioksidan yang terkait didalamnya pada musim kemarau. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari kaitan pupuk organik dan inorganik dengan produksi pucuk, metabolit primer dan sekunder, serta kapasitas antioksidan kolesom pada musim kemarau.
4.2 Metode Penelitian 4.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB di Leuwikopo, Darmaga, Bogor pada bulan Mei-Juli 2011. Lokasi kebun berada pada ketinggian tempat lebih kurang 190 m di atas permukaan laut. Analisis dan pengamatan lainnya di laboratorium dilakukan pada bulan Mei 2011-Januari 2012. Laboratorium yang digunakan
adalah
Plant
Analysis
and
Chromatography
Laboratory,
Spectrophotometry Laboratory, Post-Harvest Laboratory, dan Plant Molecular Biology Laboratory (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB); Laboratorium Analisis Tanah (Balai Tanah, Bogor); dan Laboratorium Biologi Tanah (Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB).
4.2.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk percobaan lapang adalah setek kolesom, arang sekam, kapur pertanian (85 % CaCO3), pupuk kandang sapi, guano, abu sekam, urea, SP-36, KCl, bakterisida (streptomisin sulfat 20 %), fungisida
62
(mankozeb 80 %), dan nematisida/insektisida (karbofuran 3 %). Bahan untuk analisis kimia yang digunakan adalah D-glukosa, pereaksi folin-ciocalteu, sodium carbonate, aluminium chloride, potassium acetate, dan ethanol absolute produksi Merck Co. (Jerman). Bouvine Serum Albumin (BSA), 1,1-Diphenyl-2-picryl hydrazil (DPPH), gallic acid, quercetin, dan L-ascorbic acid produksi SigmaAldrich (St. Louis, MO). Semua bahan kimia yang digunakan dalam analisis kimia memiliki kualitas pro analysis (analytical grade). Peralatan yang digunakan untuk analisis kimia meliputi Shimadzu UV1800 spectrophotometer (Japan) yang dihubungkan dengan UV probe 2.34 untuk analisis spektrofotometri, Eyela water bath SB-24 untuk inkubasi larutan campuran ekstrak, water purification system Eyela untuk mendapatkan air destilata, atomic absorbtion spectrometer (AAS), dan freeze dryer Flexy-Dry™ MP (USA).
4.2.3 Rancangan Percobaan dan Perlakuan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) satu faktor dengan tiga ulangan. Penelitian ini terdiri atas dua set perlakuan, yaitu set perlakuan pupuk organik dan set perlakuan pupuk inorganik (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Perlakuan pemupukan organik dan inorganik di musim kemarau Pupuk Abu KCl6 Perlakuan Guano2* Perlakuan Urea4 SP-365 3 kandang sekam (kg organik (kg/ha) inorganik (kg/ha) (kg/ha) sapi1* (ton/ha) (ton/ha) /ha) 1 6.1 75.6 2.7 1 50 20 50 2 9.2 151.2 4.1 2 75 40 75 3 12.3 226.8 5.5 3 100 60 100 4 15.4 302.4 6.8 4 125 80 125 5 18.4 378.0 8.2 5 150 100 150 1 kandungan N 1.29 %, kadar air 71%; 2kandungan P2O5 10.43 %, kadar air 8.69%; 3kandungan K2O 1.10 %; 4kandungan N 46 %; 5kandungan P2O5 36 %; 6kandungan K2O 60%; *dosis dalam basis basah dengan faktor konversi kadar air.
4.2.4 Pelaksanaan Percobaan Percobaan dilakukan menggunakan petakan dengan ukuran 4 m x 4 m (16 m2/petak). Jarak tanam yang digunakan mengacu pada Mualim et al. (2009), yaitu 100 cm x 50 cm. Perlakuan pupuk inorganik diberikan per tanaman saat penanaman setek, sedangkan perlakuan pupuk organik diberikan 2 minggu
63
sebelum tanam. Pupuk kandang dan abu sekam diberikan dengan cara dilarik per baris tanam, sedangkan guano diberikan per tanaman. Nematisida/insektisida (40 kg/ha) diberikan pada saat tanam dengan cara ditebar merata dalam larikan tanam. Percobaan ini menggunakan bahan tanam asal setek batang mengacu pada Susanti et al. (2008). Sebelum digunakan setek batang direndam dalam larutan campuran bakterisida (2g/l air) dan fungisida (3 g/l air) selama 15 detik. Setek batang ditanam secara langsung di lapangan untuk menghindari putusnya akar tanaman akibat pindah tanam sehingga infeksi awal patogen penyakit dapat dikurangi.
4.2.5 Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap (1) produksi pucuk dengan kriteria memiliki panjang + 15 cm; (2) komponen metabolit primer: kandungan total gula menurut metode Yem dan Willis (1954), kandungan vitamin C menurut metode Kurniawati et al. (2010), dan kandungan protein menurut metode Waterborg dan Matthews (2002); (3) komponen metabolit sekunder: kandungan total fenolik menurut metode Waterhouse (2002), kandungan total flavonoid menurut metode Chang et al. (2002), bahan untuk analisis menggunakan pucuk kolesom kering hasil freeze drying yang diekstrak menggunakan metanol panas dan supernatannya digunakan untuk analisis; kandungan total antosianin dan kandungan total klorofil menurut metode Sims dan Gamon (2002); (4) enzim yang terkait dengan biosintesis senyawa fenolik: phenylalanine ammonia lyase (PAL) dan cinnamyl alcohol dehydrogenase (CAD) menurut metode Dangcham et al. (2008), serta peroksidase (POD) menurut Morita et al. (1988), (5) kapasitas antioksidan (nilai IC 50) menurut metode Brand-Williams et al. (1994) dan Payet et al. (2005), dan (6) analisis hara jaringan tanaman: C-organik, N, P, dan K menurut metode Balittanah (2009). Semua peubah diamati dan dianalisis pada umur 2, 4, 6 MST; kecuali analisis hara jaringan tanaman yang hanya dilakukan pada umur 6 MST.
64
4.2.6 Analisis Data Data dianalisis menggunakan statistika inferensia. Post-hoc test dilakukan menggunakan uji Ryan-Einot-Gabriel-Welsch (REGWQ) pada taraf nyata (α) 5%. untuk membedakan nilai tengah antar perlakuan.
4.3 Kondisi Umum 4.3.1 Persentase Kolesom yang Berbunga Pengamatan persentase populasi kolesom yang berbunga dilakukan pada umur 3 MST di pagi hari lebih kurang pukul 09.00 Hasil pengamatan menunjukkan 72 dan 75 % dari masing-masing populasi kolesom yang diberi pupuk organik dan inorganik telah berbunga. 4.3.2 Kondisi Iklim Data iklim selama penelitian di musim kemarau dapat dilihat pada Tabel 4.2. Selama penelitian berlangsung, curah hujan sedikit. Akan tetapi, beberapa kali turun hujan cukup deras, namun singkat waktunya. Kondisi langit cerah, dengan tingkat keawanan rendah. Tabel 4.2 Kondisi iklim per minggu selama penelitian di musim kemarau Minggu ke1 2 3 4 5 6 Ratarata
Curah hujan (mm) 3.74 0.00 10.61 4.93 7.43 14.81 6.92
Cahaya matahari Lama Intensitas penyinaran (kal/cm2/menit) (%) 97.50 332.57 91.79 337.86 63.04 244.46 82.50 288.29 86.07 298.00 90.71 334.29 85.27
305.91
Temperatur (°C) Ratarata
Maksimum
Minimum
Kelembaban (%)
25.84 26.13 25.69 26.10 25.66 25.61
32.43 32.43 31.57 31.91 31.93 32.10
21.71 21.97 22.67 22.50 22.11 22.07
76.25 76.07 83.40 78.61 81.96 81.82
25.84
32.06
22.17
79.68
Lama penyinaran 100 % adalah 8 jam. Data diambil dari Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor.
4.3.3 Kimia Tanah Hasil analisis tanah yang dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.3. Terdapat perbedaan kimia tanah antara lahan yang diberi pupuk organik dengan inorganik pada semua peubah pengamatan, kecuali pHH2O, pH-KCl, NH4+, dan KTK. Kandungan N, P2O5, dan K lebih tinggi pada pemberian pupuk organik dibanding pemberian pupuk inorganik (P < 0.01).
65
Pupuk organik juga memberikan kandungan NO3- 1.5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian pupuk inorganik (P < 0.05).
Tabel 4.3 Kimia tanah pada lahan dengan kedua jenis pemupukan di musim kemarau Pupuk organik Pupuk inorganik Peubah Perbandingan antara kedua Satuan Harkat Harkat kimia tanah jenis pemupukan Nilai Nilai 5 5 hara hara Agak Agak pH-H20 5.62 5.58 tn masam masam pH-KCl 4.76 4.73 tn C-organik1 % 2.50 Sedang 1.71 Rendah ** N2 % 0.22 Sedang 0.13 Rendah ** Rasio C:N 11.51 Sedang 12.78 Sedang ** Sangat Sangat 3 P2O5 ppm 96.02 61.52 ** tinggi tinggi 4 K ppm 162.38 90.02 ** NH4+, 4 ppm 21.17 24.24 tn NO3-, 4 ppm 113.29 74.34 * KTK cmolc/kg 20.92 Sedang 20.25 Sedang tn 1 metode Walkley dan Black; 2metode Kjeldahl; 3ekstraktan Bray 1; 4ekstraktan Morgan Wolf; 5 kriteria berdasarkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Laporan Teknis No.7, versi 10 April 1994; LREP-II/C); contoh tanah untuk analisis diambil dengan kedalaman 0-15 cm; analisis dilakukan menurut metode oleh Balittanah (2009); * = berbeda nyata (P < 0.05), ** = berbeda nyata (P < 0.01), tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda.
4.3.4 Mikroflora Tanah Hasil analisis tanah yang dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB dapat dilihat pada Tabel 4.4. Mikroflora tanah yang terdapat pada lahan dengan pemberian pupuk organik lebih tinggi dari lahan dengan pemberian pupuk inorganik pada semua peubah pengamatan. Kelompok mikroflora terbanyak yang ditemukan pada lahan dengan kedua jenis pemupukan adalah bakteri (+ 99.5 % dari total mikrob), sedangkan sisanya berupa fungi.
Tabel 4.4 Mikroflora tanah dengan kedua jenis pemupukan di musim kemarau Total mikrob Total fungi Total bakteri1 Perlakuan 4 ---------------x 10 SPK/g tanah--------------Organik 1851.00 12.49 1838.51 Inorganik 1024.00 3.26 1020.74 Organik vs inorganik * ** * 1 Total bakteri = total mikrob – total fungi, SPK = satuan pengamatan koloni, analisis menggunakan metode Anas (1989), contoh tanah yang dianalisis diambil secara komposit dengan kedalaman 0-15 cm; * = berbeda nyata (P < 0.05), ** = berbeda nyata (P < 0.01) menurut uji tstudent’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda.
66
4.4 Hasil Analisis menggunakan uji REGWQ pada sebagian besar data peubah pengamatan menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P > 0.05) antar dosis perlakuan. Dengan demikian data dari kedua set perlakuan diolah dengan dirata-ratakan untuk masing-masing set; dan hasil olahannya disebut sebagai ratarata kelompok organik atau inorganik. Pembandingan untuk masing-masing kelompok menggunakan uji t-student’s pada taraf nyata (α) 1 dan 5 %. Uji tstudent’s dilakukan menggunakan perangkat lunak EXCEL 2007 atau MINITAB 14 dengan kriteria distribusi two-tail dan asumsi ragam contoh (s2) kedua kelompok pemupukan tidak sama/heteroscedastic. Data kemudian diplotkan menggunakan perangkat lunak SIGMAPLOT 10.0. Garis di atas titik data pada grafik menggambarkan selang kepercayaan 95 % ( 1.96 x galat baku) sehingga data pada grafik dinyatakan sebagai rata-rata kelompok pemupukan + (1.96 x galat baku). Hasil uji t-student’s yang menunjukkan perbedaan antara perlakuan organik dan inorganik pada berbagai peubah di musim kemarau dapat dilihat pada Tabel 4.5. Perlakuan pupuk organik dan inorganik di 6 MST menyebabkan perbedaan pada peubah bobot basah pucuk, kandungan total gula, kandungan total flavonoid, kandungan total klorofil, aktivitas POD, serta kandungan hara nitrogen dan kalium pada tajuk.
4.4.1 Produksi Pucuk Uji REGWQ pada akhir pengamatan menunjukkan terdapat perbedaan antar dosis pupuk organik yang dicobakan, sebaliknya semua dosis pupuk inorganik yang dicobakan memberikan bobot basah pucuk yang tidak berbeda (Tabel 4.6). Dengan demikian disarankan untuk produksi pucuk kolesom di musim kemarau menggunakan dosis organik-5 (18.4 ton pupuk kandang sapi/ha + 378.0 kg guano/ha + 8.2 ton abu sekam/ha) dan inorganik-1 (50 kg urea/ha + 20 kg SP-36/ha + 50 kg KCl/ha). Uji t-student’s pada akhir pengamatan menunjukkan bobot basah pucuk pada musim kemarau ditemukan lebih tinggi pada tanaman yang mendapat pupuk organik dibandingkan yang mendapat pupuk inorganik (Gambar 4.1). Secara
67
umum kedua jenis pemupukan menyebabkan pertumbuhan kolesom yang digambarkan
dengan
peningkatan
bobot
basah
pucuk
seiring
dengan
bertambahnya umur tanaman (Gambar 4.1). Pemberian pupuk organik selalu menghasilkan bobot basah pucuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk inorganik pada semua umur pengamatan (P < 0.01). Pemberian pupuk organik pada umur 6 MST menghasilkan bobot basah pucuk 1.4 kali lebih tinggi dari kolesom yang diberi pupuk inorganik (217.79 g/tanaman). Tabel 4.5 Rekapitulasi hasil uji t-student’s pada berbagai peubah di musim hujan Organik vs inorganik Peubah 2 MST 4 MST 6 MST Produksi Bobot basah pucuk (g/tanaman) ** ** ** Metabolit primer Kandungan total gula (mg SG/g BK) tn ** ** Kandungan vitamin C (mg/g BB) tn tn tn Kandungan protein (mg SBSA/g BB) tn tn tn Metabolit sekunder Kandungan total fenolik (mg SAG/g BK) tn tn tn Kandungan total flavonoid (mg SK/g BK) ** * ** Kandungan total antosianin (x 10-2 μmol/g BB) tn tn tn Kandungan total klorofil (x 10-1 μmol/g BB) tn ** * Enzim yang terkait dengan biosintesis senyawa fenolik Aktivitas PAL (x 10-2 U/mg protein) tn tn tn Aktivitas CAD (x 10-2 U/mg protein) tn tn tn Aktivitas POD (x 10-2 U/mg protein) * tn * Kapasitas antioksidan IC 50 (mg BK/ml) ** tn tn Kandungan hara jaringan C-organik (%) td td tn Nitrogen (%) td td ** Fosfor (%) td td tn Kalium (%) td td ** BB = bobot basah, BK = bobot kering, SG = setara glukosa, SBSA = setara bouvine serum albumine, SAG = setara asam galat, SK = setara kuersetin, U = unit; * = berbeda nyata (P < 0.05), ** = berbeda nyata (P < 0.01), tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda; td = tidak diamati
68
Tabel 4.6 Bobot basah pucuk kolesom dengan pemupukan organik dan inorganik di musim kemarau pada umur 6 MST Bobot basah pucuk Perlakuan (g/tanaman) Pupuk kandang (ton/ha) + guano (kg/ha) + abu sekam Organik (ton/ha) 1 6.1 + 75.6 + 2.7 261.43 b 2 9.2 + 151.2 + 4.1 234.47 b 3 12.3 + 226.8 + 5.5 308.95 ab 4 15.4 + 302.4 + 6.8 272.50 b 5 18.4 + 378.0 + 8.2 417.07 a Rata-rata 298.88 Inorganik Urea (kg/ha) + SP-36 (kg/ha) + KCl (kg/ha) 1 50 + 20 + 50 182.90 a 2 75 + 40 + 75 172.85 a 3 100 + 60 + 100 228.45 a 4 125 + 80 + 125 241.62 a 5 150 + 100 + 150 263.12 a Rata-rata 217.79 Organik vs inorganik ** Angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji REGWQ; ** = berbeda nyata (P < 0.01) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda
**
**
**
Gambar 4.1 Bobot basah pucuk kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim kemarau. ** = berbeda nyata (P < 0.01) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda. Garis vertikal di atas tiap titik data menunjukkan selang kepercayaan 95 %.
4.4.2 Metabolit Primer: Kandungan Total Gula, Kandungan Vitamin C, dan Kandungan Protein Uji t-student’s pada akhir pengamatan menunjukkan kandungan total gula pada musim hujan ditemukan lebih rendah pada tanaman yang mendapat pupuk
69
organik dibandingkan yang mendapat pupuk inorganik. Peubah lainnya tidak berbeda antar kedua jenis pemupukan (Gambar 4.2).
A
B
tn
**
tn
**
tn
tn
C
tn
tn
tn
Gambar 4.2 Metabolit primer kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim kemarau. (A) Kandungan total gula, (B) kandungan vitamin C, dan (C) kandungan protein. BB = bobot basah, BK = bobot kering, SG = setara glukosa, SBSA = setara bouvine serum albumine. ** = berbeda nyata (P < 0.01) dan tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda. Garis vertikal di atas tiap titik data menunjukkan selang kepercayaan 95 %.
Secara umum kandungan total gula pada kolesom dengan pemberian pupuk organik lebih rendah dari kolesom dengan pemberian pupuk inorganik (Gambar 4.2.A). Kandungan total gula tertinggi untuk kedua jenis pemupukan terjadi pada umur 6 MST (P < 0.01). Pemberian pupuk inorganik menghasilkan kandungan total gula 1.3 kali lebih tinggi dari pemberian pupuk organik pada akhir pengamatan.
70
Kandungan vitamin C pada kedua jenis pemupukan meningkat seiring dengan meningkatnya umur tanaman. Akan tetapi, jika dibandingkan antara kedua jenis pemupukan maka tidak terdapat perbedaan kandungan vitamin C kolesom pada semua umur pengamatan (Gambar 4.2.B, P > 0.05). Kandungan protein kolesom yang diberi pupuk organik atau inorganik tidak berbeda pada setiap umur pengamatan (P > 0.05), namun meningkat seiring dengan meningkatnya umur tanaman (Gambar 4.2.C). Kandungan protein untuk kedua jenis pemupukan pada umur 2 dan 4 MST memiliki kandungan kurang dari 10 mg SBSA/g BB. Akan tetapi terjadi peningkatan kandungan protein yang besar dari umur 2 ke 6 MST, lebih kurang 6 kali untuk kedua jenis pemupukan.
4.4.3
Metabolit Sekunder: Kandungan Total Fenolik, Kandungan Total Flavonoid, Kandungan Total Antosianin, dan Kandungan Total Klorofil Uji t-student’s pada akhir pengamatan menunjukkan kandungan total
flavonoid dan kandungan total klorofil pada musim hujan ditemukan lebih rendah pada tanaman yang mendapat pupuk organik dibandingkan yang mendapat pupuk inorganik. Peubah lainnya tidak berbeda antar kedua jenis pemupukan (Gambar 4.3). Kandungan total fenolik kolesom meningkat seiring dengan meningkatnya umur tanaman (Gambar 4.3.A). Pemberian pupuk organik maupun inorganik tidak menyebabkan perbedaan kandungan total fenolik kolesom pada semua umur pengamatan (P > 0.05). Kandungan total flavonoid kolesom pada pemberian pupuk organik selalu lebih rendah dibandingkan dengan pemberian pupuk inorganik pada umur 2 dan 6 (P < 0.01), serta 4 MST (P < 0.05) (Gambar 4.3.B). Kandungan total flavonoid kolesom dengan pemupukan inorganik lebih tinggi 1.2-1.5 kali dari pemupukan organik pada semua umur pengamatan. Tidak terdapat perbedaan kandungan total antosianin pada kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada semua umur pengamatan (Gambar 4.3.C, P > 0.05). Tidak terjadi banyak perubahan pada kandungan total klorofil seiring dengan meningkatnya umur tanaman (Gambar 4.3.D). Kandungan total klorofil pada kolesom dengan pemberian pupuk inorganik selalu didapati lebih tinggi dari
71
kolesom dengan pemberian pupuk organik (P < 0.05), kecuali pada umur 2 MST (P > 0.05).
A
B
tn
tn
tn
**
*
**
tn
**
*
D
C
tn
tn
tn
Gambar 4.3 Metabolit sekunder kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim kemarau. (A) Kandungan total fenolik, (B) kandungan total flavonoid, (C) kandungan total antosianin, (D) kandungan total klorofil. BB = bobot basah, BK = bobot kering, SAG =setara asam galat, SK = setara kuersetin. * = berbeda nyata (P < 0.05), ** = berbeda nyata (P < 0.01), dan tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda. Garis vertikal di atas tiap titik data menunjukkan selang kepercayaan 95 %.
4.4.4 Enzim yang Terkait dengan Biosintesis Senyawa Fenolik Uji t-student’s pada akhir pengamatan menunjukkan aktivitas POD pada musim hujan ditemukan lebih rendah pada tanaman yang mendapat pupuk organik dibandingkan yang mendapat pupuk inorganik. Peubah lainnya tidak berbeda antar kedua jenis pemupukan (Gambar 4.4).
72
Aktivitas PAL kolesom tertinggi untuk kedua jenis pemupukan terjadi pada umur 2 MST (Gambar 4.4.A, P > 0.05). Kemudian aktivitas PAL menurun hampir 4.3 kali jika dibandingkan dengan awal pengamatan (rata-rata 99.50 x 10-2 U/mg protein untuk kedua jenis pemupukan). Aktivitas CAD kolesom pada kedua jenis pemupukan memiliki nilai yang tidak berbeda (P > 0.05, Gambar 4.4.B). Aktivitas POD kolesom pada kedua jenis pemberian pupuk hanya berbeda pada umur 2 dan 6 MST (P < 0.05, Gambar 4.4.C). Pemberian pupuk organik menyebabkan aktivitas POD pada umur 2 MST 1.2 kali lebih tinggi dari kolesom yang diberi pupuk inorganik (882.27 x 10-2 U/mg protein). Akan tetapi, aktivitas POD pada kolesom dengan kedua jenis pemupukan menurun pada umur 6 MST; dimana pemberian pupuk inorganik menyebabkan aktivitas POD 14 kali lebih tinggi dibandingkan pemberian pupuk organik (9.35 x 10-2 U/mg protein).
4.4.5 Nilai IC 50 Uji t-student’s pada akhir pengamatan menunjukkan kapasitas antioksidan yang dinyatakan dengan nilai IC 50 pada musim kemarau ditemukan tidak berbeda pada tanaman yang mendapat pupuk organik dibandingkan yang mendapat pupuk inorganik (Gambar 4.5). Nilai IC 50 antara kolesom yang diberi pupuk organik dan inorganik tidak berbeda pada setiap umur pengamatan (P > 0.05), kecuali umur 2 MST (P < 0.05). Terjadi peningkatan nilai IC 50 kolesom dari umur 2 ke 4 MST, namun kemudiannya menurun (Gambar 4.5.). Kapasitas antioksidan tertinggi (nilai IC 50 terendah) untuk kedua jenis pemupukan terjadi pada umur 6 MST (+ 3 mg BK/ml).
73
4.4.6 Kandungan Hara Jaringan Pemberian pupuk organik menyebabkan kolesom memiliki kandungan nitrogen dan kalium yang lebih lebih rendah dibandingkan dengan pemberian pupuk inorganik (Tabel 4.7, P < 0.01). Tidak terdapat perbedaan kandungan Corganik dan fosfor pada kolesom dengan kedua jenis pemupukan (P > 0.05).
B
A
tn
tn
tn
tn
tn
tn
C
*
tn
*
Gambar 4.4 Enzim yang terkait dengan biosintesis senyawa fenolik kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim kemarau. (A) Aktivitas PAL, (B) aktivitas CAD, dan (C) aktivitas POD. U = unit, PAL = phenylalanine ammonia lyase, CAD = cinammyl alcohol dehidrogenase, POD = peroksidase, keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 4.3.
74
**
tn
tn
Gambar 4.5 Nilai IC 50 kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim kemarau. BK = bobot kering, keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 4.3. Tabel 4.7 Hara jaringan kolesom dengan kedua jenis pemupukan pada musim kemarau Hara jaringan Perlakuan C-organik Nitrogen Fosfor Kalium ------------------------%-----------------------Organik 46.30 2.61 0.29 2.21 Inorganik 45.64 3.43 029 2.31 Organik vs inorganik tn ** tn ** ** = berbeda nyata (P < 0.01), tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda
4.5 Pembahasan 4.5.1 Peranan Pemupukan terhadap Produksi Pucuk Kolesom Tidak adanya perbedaan bobot basah pucuk kolesom diantara taraf pemupukan inorganik mungkin disebabkan kolesom mengambil hara dalam jumlah besar, sehingga tidak responsif bila diberi pupuk kurang dari taraf tertinggi yang dicobakan. Penelitian sebelumnya oleh Mualim dan Aziz (2011) juga menunjukkan hal yang sama bahwa pemberian pupuk P mulai dari dosis 0 sampai 800 kg SP-18/ha tidak menyebabkan perbedaan produksi pucuk kolesom. Pemberian pupuk organik menyebabkan produksi pucuk yang tinggi, karena pemberian bahan organik menyebabkan tanah dapat menyimpan air lebih banyak; sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik dibandingkan dengan kolesom yang diberi pupuk inorganik. Pemberian pupuk organik juga menyebabkan akar berkembang dengan baik. Hasil pengamatan menunjukkan kolesom yang diberi pupuk organik dan inorganik masing-masing menghasilkan bobot basah akar per
75
tanaman sebesar 13.80 g dan 9.56 g (P < 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian pupuk organik mampu memberikan suasana yang kondusif bagi pertumbuhan akar. Akar yang tumbuh dengan baik akan mendukung pertumbuhan tajuk sehingga produksi pucuk meningkat. Pengaruh bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah terhadap pertumbuhan akar, volume akar, dan struktur tanah telah banyak dilaporkan (Montagu et al. 2001, Lado et al. 2004, Iijima et al. 2004, Watson & Kelsey 2006, Hakl et al. 2007, Mari & Changying 2008, Grzesiak 2009, Ahmad et al. 2009).
4.5.2 Kualitas Kolesom Terkait dengan Metabolit Primer dan Biosintesisnya Pemberian pupuk inorganik memberikan kandungan total gula yang lebih tinggi dari yang diberi pupuk organik. Hal ini disebabkan tanaman mengalami kekeringan sehingga terjadi akumulasi gula. Penelitian pada jagung mendapatkan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi gula di tajuk, namun kandungan pati menurun ketika terjadi cekaman kekeringan (Mohammadkhani & Heidari 2008). Ketika terjadi cekaman pada sorgum, proporsi kandungan fruktosa didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan glukosa dan sukrosa (Gill et al. 2001). Selain menyebabkan terjadinya akumulasi gula, kurangnya air juga menyebabkan peningkatan serapan K pada tanaman (Mousavi et al. 2009). Hal ini menunjukkan akumulasi gula merupakan mekanisme tanaman (osmotic adjustment) dalam menghadapi kekeringan. Kandungan total gula merupakan hasil aktivitas fotosintesis pada siklus Calvin. Gula dalam bentuk glukosa pada tumbuhan merupakan prekursor umum pembentukan vitamin C (Valpuesta & Bottela 2004, Giovannoni 2007). Walaupun terdapat perbedaan kandungan total gula pada kolesom dengan kedua jenis pemupukan; namun tidak terdapat perbedaan kandungan vitamin C yang dihasilkan. Hal ini disebabkan pada penelitian ini yang dianalisis adalah prekursor umum berupa glukosa, sedangkan proporsi senyawa antara yang terbentuk tidak diketahui sehingga mempengaruhi produk akhir berupa vitamin C. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa biosintesis vitamin C melalui tahapan konversi glukosa yang rumit dengan melibatkan berbagai enzim untuk membentuk senyawa antara hingga akhirnya terbentuk L-asam askorbat (Valpuesta & Bottela
76
2004, Giovannoni 2007). Selain itu juga, hal ini menunjukkan kandungan vitamin C kolesom hanya terkait dengan perubahan umur tanaman. Kandungan protein yang tinggi pada umur 6 MST disebabkan kolesom mengalami kekeringan akibat kurangnya curah hujan (rata-rata 5.34 mm/minggu) pada masa pertumbuhan sebelumnya sehingga terjadi akumulasi protein. Penelitian pada legum menunjukkan terjadinya akumulasi prolin dan glisin betain sebagai mekanisme menghadapi cekaman kekeringan (Asraf & Iram 2005). Kedua senyawa tersebut merupakan kelompok protein yang berperan sebagai osmoregulator. Lebih lanjut, hasil penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya oleh Susanti (2012) yang menunjukkan kandungan protein kolesom akan terus meningkat seiring dengan pertambahan umur tanaman dalam masa vegetatif. Abbasi et al. (2011) menyatakan bahwa pola perubahan kandungan protein akan mengikuti fase perkembangan tanaman.
4.5.3
Kualitas
Kolesom
Terkait
dengan
Metabolit
Sekunder
dan
Biosintesisnya Penelitian ini mengamati dua jenis pigmen pada daun kolesom, yaitu antosianin dan klorofil. Kedua jenis pemupukan memberikan kandungan total antosianin yang tidak berbeda. Kandungan total klorofil kolesom pada pemupukan inorganik didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan organik. Telah diketahui bahwa N merupakan salah satu penyusun klorofil. Oleh sebab itu, N lebih banyak diserap pada kolesom dengan pemberian pupuk inorganik sehingga pembentukan klorofil terpacu. Aktivitas PAL menurun dan kandungan total fenolik meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Kaitan antara peningkatan aktivitas PAL dengan senyawa fenolik yang terbentuk telah banyak dilaporkan, seperti pada strawberry (Cheng & Breen 1991), bawang merah (Benkeblia 2000), tomat (Rivero et al. 2001), dan jagung (Gholizadeh 2011). Akan tetapi, pada penelitian ini tidak terjadi hubungan yang positif antara aktivitas PAL dan kandungan total fenolik. Hal ini menunjukkan sintesis senyawa fenolik pada kolesom lebih banyak berasal dari lintasan asam malonat dengan prekursornya asetil koenzim A (CoA) daripada lintasan fenilpropanoid dengan prekursornya fenilalanin (kelompok asam
77
amino aromatik). Telah diketahui bahwa phenylalanine ammonia-lyase (PAL, EC 4.3.1.24) merupakan enzim yang terkait langsung dengan fenilalanin sebagai prekursor terbentuknya senyawa fenolik (Cheng & Breen 1991, Rivero et al. 2001). Selain itu juga, aktivitas PAL yang tinggi pada umur 2 MST menunjukkan bahwa sintesis senyawa fenolik kolesom pada awal pertumbuhan masih melalui lintasan fenilpropanoid, namun seiring dengan bertambahnya umur maka senyawa fenolik dibentuk melalui lintasan asam malonat. Selanjutnya, karena asetil CoA yang merupakan hasil dari glikolisis banyak dibentuk maka sintesis protein pada kolesom lebih banyak berupa asam amino alifatik daripada asam amino aromatik. Penelitian ini menunjukkan kandungan total fenolik (dihitung sebagai asam galat, termasuk kelompok asam fenolat) dan kandungan total flavonoid (dihitung sebagai kuersetin) berpengaruh terhadap kapasitas antioksidan, namun pengaruhnya berbeda pada setiap umur pengamatan kolesom. Kapasitas antioksidan dari ekstrak metanol kolesom yang diuji menggunakan radikal bebas DPPH menunjukkan pada umur 6 MST, IC 50 memiliki nilai terendah (rata-rata 3.11 mg BK/ml untuk kedua jenis pemupukan). Selain itu juga, terjadi peningkatan kandungan total fenolik dari umur 4 ke 6 MST rata-rata sebesar 30 % untuk kedua jenis pemupukan. Peningkatan kandungan total flavonoid hanya didapatkan dalam persentase yang kecil sebesar 2 %. Hal ini menunjukkan pada umur tersebut terjadi efek antioksidan terkuat dari senyawa fenolik kolesom, terutama sumbangan dari senyawa non-flavonoidnya, namun kandungan pastinya tidak diketahui. Kandungan total flavonoid pada umur 6 MST diketahui rata-rata sebesar 20.14 mg SK/g BK, sedangkan kandungan total fenolik rata-rata 5.66 mg SAG/g BK masing-masing untuk kedua jenis pemupukan. Kedua jenis pemupukan memberikan kapasitas antioksidan yang tidak berbeda. Tidak terdapat pola yang jelas pada kandungan total flavonoid kolesom akibat fluktuasi curah hujan. Pemupukan organik menyebabkan peningkatan kandungan total flavonoid dalam jumlah kecil seiring dengan meningkatnya umur tanaman. Pola sebaliknya ditemukan pada kolesom yang diberi pupuk inorganik. Kandungan total flavonoid yang tinggi pada pemupukan inorganik disebabkan kolesom mengalami kekeringan karena kurangnya bahan organik di sekitar perakaran yang dapat menyimpan air. Penelitian pada Cistus ladanifer
78
menunjukkan ketika tanaman mengalami kekeringan dan dibarengi dengan iradiasi sinar UV maka flavonoid akan meningkat, terutama kelompok flavonoid dengan banyak gugus metil yang bersifat hydropathic (kaemferol dan 7-metil apigenin). Efek sinergis seperti ini merupakan mekanisme pertahanan tanaman terhadap stres yang disebabkan selama musim kemarau (Chaves et al. 1997). Kekeringan
juga
menyebabkan
peningkatan
kandungan
flavonoid
pada
Glycyrrhiza inflata Batal (Yang et al. 2007), Glechoma longituba (Zhang et al. 2012) sebagai respon terhadap perubahan aktivitas redoks. Aktivitas cinnamyl-alcohol dehydrogenase (CAD, EC 1.1.1.195) dan peroksidase (POD, EC 1.11.1.14) berkaitan erat dengan biosintesis lignin pada sebagian besar jaringan tanaman (Anterola & Lewis 2002, Boerjan et al. 2003). Aktivitas CAD pada kedua jenis pemupukan yang tidak berbeda (rata-rata 10.75 x 10-2 U/mg protein untuk kedua jenis pemupukan) sepanjang umur pengamatan menunjukkan pucuk kolesom belum membentuk banyak serat yang dapat mempengaruhi citarasanya. Aktivitas POD pada kedua jenis pemupukan saat umur 2 MST didapatkan + 14 kali lebih tinggi dibandingkan umur 6 MST (ratarata 70.77 x 10-2 U/mg protein untuk kedua jenis pemupukan). Hal ini disebabkan pada umur 2 MST tidak terdapat hujan (0 mm/minggu) sehingga terjadi cekaman. Kolesom dalam menghadapi cekaman seperti ini akan menginduksi terbentuknya POD yang memiliki sifat antioksidan untuk mengatasi stres oksidatif. Peningkatan aktivitas POD ketika terjadi kekeringan telah banyak dilaporkan, misalnya pada Gmelina arborea Robx. (Crespo et al. 2011), Allium sp. (Csiszar et al. 2007), gandum (Iqbal & Bano 2009), dan Brassica napus L. (Abedi & Pakniyat 2010). Lebih lanjut, hal ini juga menjelaskan kandungan protein yang rendah pada awal pertumbuhan kolesom, karena asam amino yang dihasilkan lebih banyak digunakan dalam pembentukan enzim daripada protein. Hal yang sama telah dikemukakan oleh Verma dan Huystee (1970). 4.6 Simpulan Berdasarkan hasil Percobaan 2 “Produksi dan Kualitas Kolesom: Pengaruh Pupuk Organik dan Inorganik di Musim Kemarau” maka dapat disimpulkan: 1. Kolesom dengan pupuk organik di musim kemarau memberikan produksi pucuk 37 % lebih tinggi dari kolesom yang diberi pupuk inorganik.
79
2. Kolesom dengan pupuk organik di musim kemarau memberikan kandungan total gula 26 % lebih rendah dan kandungan total flavonoid 13 % lebih rendah dari kolesom yang diberi pupuk inorganik. 3. Kolesom dengan kedua jenis pemupukan di musim kemarau memberikan nilai IC 50-DPPH (3.01-3.20 mg BK/ml) yang tidak berbeda.
80
BAB V PRODUKSI DAN KUALITAS KOLESOM: PENGARUH RESIDU PUPUK ORGANIK DAN INORGANIK DI MUSIM KEMARAU WATERLEAF PRODUCTION AND QUALITY: THE EFFECT OF ORGANIC AND INORGANIC FERTILIZER RESIDUE IN DRY SEASON Abstrak Penelitian lapangan dilakukan di kebun percobaan IPB (Bogor, Indonesia) pada bulan Mei-Juli 2011 dengan tujuan mempelajari pengaruh pemberian dua jenis pupuk dan residunya terhadap produksi pucuk, metabolit primer, metabolit sekunder, dan kapasitas antioksidan kolesom [Talinum triangulare (Jacq.) Willd.] di musim kemarau; sedangkan analisis laboratorium dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2011;. Percobaan ini terdiri atas empat set perlakuan, yaitu perlakuan pupuk organik dan residu; serta pupuk inorganik dan residu. Masingmasing perlakuan diberikan pada plot yang berbeda menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Set perlakuan pupuk organik [pupuk kandang sapi (ton/ha) + guano (kg/ha) + abu sekam (ton/ha)] terdiri atas tiga taraf, yaitu 6.1 + 75.6 + 2.7, 12.3 + 226.8 + 5.5, dan 18.4 + 378.0 + 8.2. Set perlakuan pupuk inorganik [urea (kg/ha) + SP-36 (kg/ha) + KCl (kg/ha)] terdiri atas tiga taraf, yaitu 50 + 20 + 50, 100 + 60 + 100, dan 150 + 100 + 150. Set perlakuan residu pupuk organik atau inorganik merupakan perlakuan tanpa pupuk. Nilai rata-rata akibat perlakuan organik dan residu organik, serta akibat perlakuan inorganik dan residu inorganik dibandingkan menggunakan uji t-student’s. Hasil percobaan menunjukkan tanpa penambahan pupuk organik atau inorganik di musim tanam berikutnya menyebabkan produksi pucuk masing-masing 50 dan 26 % lebih rendah, kandungan total fenolik 23 dan 30 % lebih tinggi, dan nilai IC 50-DPPH 18 dan 16 % lebih rendah dari yang diberi pupuk. Tanpa penambahan pupuk inorganik memberikan kandungan vitamin C 21 % lebih tinggi dan tanpa penambahan pupuk organik memberikan kandungan total flavonoid 14 % lebih tinggi dari yang diberi pupuk. Kata kunci: sayuran daun, produk alami tumbuhan, kapasitas antioksidan, studi komparatif, variasi musiman metabolit tumbuhan Abstract This field experiment was conducted at the IPB experimental station (Bogor, Indonesia), in May-July 2011 and to study the effect of two types of fertilizer and their residues on waterleaf [Talinum triangulare (Jacq.) Willd.] shoot production, primary metabolite, secondary metabolite, and antioxidant capacity during dry season; while laboratory analysis was conducted from June to December 2011. This experiment consisted of four sets of treatment, i.e. organic fertilizer and residue; inorganic fertilizer and residue. The sets of treatment were applied to different plots using complete randomized block design. Three rates of
82
organic fertilizer treatment [cow manure (ton/ha) + guano (kg/ha) + hull ash (ton/ha)], i.e. 6.1 + 75.6 + 2.7, 12.3 + 226.8 + 5.5, and 18.4 + 378.0 + 8.2. Three rates of inorganic fertilizer treatment [urea (kg/ha) + SP-36 (kg/ha) + KCl (kg/ha)], i.e. 50 + 20 + 50, 100 + 60 + 100, and 150 + 100 + 150. Set of organic or inorganic residue treatment was a treatment without fertilizer re-application. The means from each treatment was compared by using t-student’s test. The experiment showed that without re-application of organic or inorganic fertilizer in the second season resulted in 50 and 26 % lower shoot production, 23 and 30 % higher total fenolic content, 18 dan 16 % lower IC 50-DPPH values, respectively, compared to the waterleaf with re-application of fertilizer. Without re-application of fertilizer in the second season resulted in 21 % lower vitamin C content for inorganic residue; and 14 % lower total flavonoid content for organic residue compared to to the waterleaf with re-application of fertilizer. Keywords: leafy vegetable, plant natural product, antioxidant capacity, comparative study, plant metabolite seasonal variation 5.1 Pendahuluan Kolesom termasuk kedalam familia Portulacaceae dan berkerabat dekat dengan som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.), biasanya dimanfaatkan sebagai sayuran (Rifai 1994). Sayuran yang dihasilkan dengan masukan organik dipercaya memiliki kualitas (misalnya, cita rasa, kandungan fitokimia, dan nutrisi) yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil pertanian konvensional yang menggunakan pupuk inorganik dalam jumlah banyak. Secara umum, kualitas merupakan semua hal yang dimiliki produk yang menentukan derajat keunggulan suatu produk untuk tujuan tertentu. Telah dilaporkan pengaruh pemberian pupuk organik, misalnya pupuk kandang (Ibeawuchi et al. 2006, Susanti et al. 2008) dan pupuk inorganik NPK (Mualim et al. 2009, Mualim & Aziz 2011) pada kolesom. Hasil penelitian tersebut lebih banyak menjelaskan pengaruh pemupukan terhadap produksi kolesom, namun belum dijelaskan mengenai pengaruh terhadap kualitas kolesom terutama yang terkait metabolit primer, metabolit sekunder, dan kapasitas antioksidannya. Kelebihan lain dari pertanian organik juga telah dilaporkan Melati et al. (2008), misalnya dalam pemanfaatan sisa residu sebagai sumber hara pada penanaman musim berikutnya. Ditambahkan oleh Linquist et al. (2007) bahwa penambahan residu secara on-farm merupakan salah satu upaya peningkatan
83
produkitivitas bagi petani dengan sumber daya yang kurang. Akan tetapi, belum ada informasi tentang perbandingan kualitas kolesom antara yang diberi pupuk dan tanpa penambahan pupuk. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari kaitan residu pupuk organik dan inorganik terhadap produksi dan kualitas kolesom pada musim kemarau.
5.2 Metode Penelitian 5.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB di Leuwikopo, Darmaga, Bogor pada bulan bulan Mei-Juli 2011. Lokasi kebun berada pada ketinggian tempat lebih kurang 190 m di atas permukaan laut. Analisis dan pengamatan lainnya di laboratorium dilakukan pada bulan Mei 2011-Januari 2012. Laboratorium yang digunakan adalah Plant Analysis and Chromatography Laboratory, Spectrophotometry Laboratory, Post-Harvest Laboratory, dan Plant Molecular Biology Laboratory (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB); Laboratorium Analisis Tanah (Balai Tanah, Bogor); dan Laboratorium Biologi Tanah (Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB).
5.2.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk percobaan lapang adalah setek kolesom, arang sekam, kapur pertanian (85 % CaCO3), pupuk kandang sapi, guano, abu sekam, urea, SP-36, KCl, bakterisida (streptomisin sulfat 20 %), fungisida (mankozeb 80 %), dan nematisida/insektisida (karbofuran 3 %). Bahan untuk analisis kimia yang digunakan adalah D-glukosa, pereaksi folin-ciocalteu, sodium carbonate, aluminium chloride, potassium acetate, dan ethanol absolute produksi Merck Co. (Jerman). Bouvine Serum Albumin (BSA), 1,1-Diphenyl-2-picryl hydrazil (DPPH), gallic acid, quercetin, dan L-ascorbic acid produksi SigmaAldrich (St. Louis, MO). Semua bahan kimia yang digunakan dalam analisis kimia memiliki kualitas pro analysis (analytical grade). Peralatan yang digunakan untuk analisis kimia meliputi Shimadzu UV1800 spectrophotometer (Japan) yang dihubungkan dengan UV probe 2.34 untuk
84
analisis spektrofotometri, Eyela water bath SB-24 untuk inkubasi larutan campuran ekstrak, water purification system Eyela untuk mendapatkan air destilata, atomic absorbtion spectrometer (AAS), dan freeze dryer Flexy-Dry™ MP (USA).
5.2.3 Rancangan Percobaan dan Perlakuan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) satu faktor dengan tiga ulangan. Penelitian ini terdiri atas empat set perlakuan, yaitu set perlakuan pupuk organik, set perlakuan pupuk inorganik, set perlakuan residu pupuk organik, dan set perlakuan residu pupuk inorganik (Tabel 5.1). Set perlakuan residu pupuk organik atau inorganik merupakan perlakuan tanpa pemupukan (dosis 0%) pada plot dengan pemupukan jenis yang sama (dosis 100 %) di musim sebelumnya.
Tabel 5.1 Perlakuan pupuk organik, pupuk inorganik, residu pupuk organik, dan residu pupuk inorganik di musim kemarau Pupuk Abu KCl6 Perlakuan Guano2* Perlakuan Urea4 SP-365 1* 3 kandang sapi sekam (kg organik (kg/ha) inorganik (kg/ha) (kg/ha) (ton/ha) (ton/ha) /ha) 1 6.1 75.6 2.7 1 50 20 50 3 12.3 226.8 5.5 3 100 60 100 5 18.4 378.0 8.2 5 150 100 150 Perlakuan Perlakuan residu residu organik inorganik 1 0 0 0 1 0 0 0 3 0 0 0 3 0 0 0 5 0 0 0 5 0 0 0 1 kandungan N 1.29 %, kadar air 71%; 2kandungan P2O5 10.43 %, kadar air 8.69%; 3kandungan K2O 1.10 %; 4kandungan N 46 %; 5kandungan P2O5 36 %; 6kandungan K2O 60%; *dosis dalam basis basah dengan faktor konversi kadar air.
5.2.4 Pelaksanaan Percobaan Percobaan dilakukan menggunakan petakan dengan ukuran 4 m x 4 m (16 m2/petak). Jarak tanam yang digunakan mengacu pada Mualim et al. (2009), yaitu 100 cm x 50 cm. Perlakuan pupuk inorganik diberikan per tanaman saat penanaman setek, sedangkan perlakuan pupuk organik diberikan 2 minggu sebelum tanam. Pupuk kandang dan abu sekam diberikan dengan cara dilarik per baris tanam, sedangkan guano diberikan per tanaman. Nematisida/insektisida (40 kg/ha) diberikan pada saat tanam dengan cara ditebar merata dalam larikan tanam.
85
Percobaan ini menggunakan bahan tanam asal setek batang mengacu pada Susanti et al. (2008). Sebelum digunakan setek batang direndam dalam larutan campuran bakterisida (2g/l air) dan fungisida (3 g/l air) selama 15 detik. Setek batang ditanam secara langsung di lapangan untuk menghindari putusnya akar tanaman akibat pindah tanam sehingga infeksi awal patogen penyakit dapat dikurangi.
5.2.5 Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap (1) produksi pucuk dengan kriteria memiliki panjang + 15 cm; (2) komponen metabolit primer: kandungan total gula menurut metode Yem dan Willis (1954), kandungan vitamin C menurut metode Kurniawati et al. (2010), dan kandungan protein menurut metode Waterborg dan Matthews (2002); (3) komponen metabolit sekunder: kandungan total fenolik menurut metode Waterhouse (2002), kandungan total flavonoid menurut metode Chang et al. (2002), bahan untuk analisis menggunakan pucuk kolesom kering hasil freeze drying yang diekstrak menggunakan metanol panas dan supernatannya digunakan untuk analisis; kandungan total antosianin dan kandungan total klorofil menurut metode Sims dan Gamon (2002); (4) enzim yang terkait dengan biosintesis senyawa fenolik: phenylalanine ammonia lyase (PAL) dan cinnamyl alcohol dehydrogenase (CAD) menurut metode Dangcham et al. (2008), serta peroksidase (POD) menurut Morita et al. (1988), (5) kapasitas antioksidan (nilai IC 50) menurut metode Brand-Williams et al. (1994) dan Payet et al. (2005), dan (6) analisis hara jaringan tanaman: C-organik, N, P, dan K menurut metode Balittanah (2009). Semua peubah diamati dan dianalisis pada umur 2, 4, 6 MST; kecuali analisis hara jaringan tanaman yang hanya dilakukan pada umur 6 MST.
5.2.6 Analisis Data Data dianalisis menggunakan statistika inferensia. Post-hoc test dilakukan menggunakan uji Ryan-Einot-Gabriel-Welsch (REGWQ) pada taraf nyata (α) 5%. untuk membedakan nilai tengah antar perlakuan
86
5.3 Kondisi Umum 5.3.1 Persentase Kolesom yang Berbunga Pengamatan persentase populasi kolesom yang berbunga dilakukan pada umur 3 MST di pagi hari lebih kurang pukul 09.00. Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata 74 % dari populasi kolesom yang diberi kedua jenis pupuk telah berbunga. Persentase berbunga pada kolesom yang mendapat kedua jenis residu pupuk hanya mencapai rata-rata 63 % dari keseluruhan populasi tanaman. 5.3.2 Kondisi Iklim Data iklim selama penelitian di musim kemarau dapat dilihat pada Tabel 5.2. Selama penelitian berlangsung, curah hujan sedikit. Akan tetapi, beberapa kali turun hujan cukup deras, namun singkat waktunya. Kondisi langit cerah, dengan tingkat keawanan rendah.
Tabel 5.2 Kondisi iklim per minggu selama penelitian di musim kemarau Minggu ke1 2 3 4 5 6 Ratarata
Curah hujan (mm) 3.74 0.00 10.61 4.93 7.43 14.81 6.92
Cahaya matahari Lama Intensitas penyinaran (kal/cm2/menit) (%) 97.50 332.57 91.79 337.86 63.04 244.46 82.50 288.29 86.07 298.00 90.71 334.29 85.27
305.91
Temperatur (°C) Ratarata
Maksimum
Minimum
Kelembaban (%)
25.84 26.13 25.69 26.10 25.66 25.61
32.43 32.43 31.57 31.91 31.93 32.10
21.71 21.97 22.67 22.50 22.11 22.07
76.25 76.07 83.40 78.61 81.96 81.82
25.84
32.06
22.17
79.68
Lama penyinaran 100 % adalah 8 jam. Data diambil dari Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor.
5.3.3 Kimia Tanah Hasil analisis tanah yang dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Bogor dapat dilihat pada Tabel 5.3 dan 5.4. Pemberian pupuk organik menyebabkan pH-H2O (P < 0.01), pH-KCl (P < 0.01), P2O5 (P < 0.01), K (P < 0.01), NO3- (P < 0.05) tanah yang lebih tinggi dari residunya. Akan tetapi peubah lainnya tidak berbeda (P > 0.05). Berikutnya, pemberian pupuk inorganik menyebabkan NO32- tanah yang lebih tinggi dari residunya (P < 0.01), sedangkan residu pemupukan inorganik menyebabkan NH4+ tanah yang lebih tinggi dari pemupukan inorganik (P < 0.01) dan peubah lainnya tidak berbeda (P > 0.05).
87
Tabel 5.3 Kimia tanah pada lahan dengan pemupukan organik, inorganik dan residu di musim kemarau Dosis pupuk organik Peubah kimia Perbandingan antara Satuan Harkat Harkat tanah kedua dosis 100 % 0 % hara5 hara5 Agak pH-H20 5.65 5.40 Masam ** masam pH-KCl 4.79 4.57 ** C-organik1 % 2.67 Sedang 1.98 Rendah tn N2 % 0.23 Sedang 0.17 Rendah tn Rasio C:N 11.68 Sedang 11.46 Sedang tn Sangat Sangat 3 P2O5 ppm 91.59 54.30 ** tinggi tinggi K4 ppm 163.38 75.72 ** NH4+, 4 ppm 21.83 19.00 tn NO3-, 4 ppm 129.90 93.37 * KTK cmolc/kg 21.00 Sedang 20.17 Sedang tn Dosis pupuk inorganik Peubah kimia Perbandingan antara Satuan Harkat Harkat tanah kedua dosis 100 % 0% 5 5 hara hara pH-H20 Agak Agak 5.58 5.51 tn masam masam pH-KCl 4.73 4.67 tn C-organik1 % 1.74 Rendah 1.74 Rendah tn N2 % 0.14 Rendah 0.13 Rendah tn Rasio C:N 12.75 Sedang 13.35 Sedang tn P2O53 Sangat Sangat ppm 65.55 72.72 tn tinggi tinggi 4 K ppm 80.70 64.73 tn NH4+, 4 ppm 23.18 28.47 ** NO3-, 4 ppm 94.27 42.38 ** KTK cmolc/kg 20.63 Sedang 20.22 Sedang tn 1 metode Walkley dan Black; 2metode Kjeldahl; 3ekstraktan Bray 1; 4ekstraktan Morgan Wolf; 5 kriteria berdasarkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Laporan Teknis No.7, versi 10 April 1994; LREP-II/C); contoh tanah untuk analisis diambil dengan kedalaman 0-15 cm; analisis dilakukan menurut metode oleh Balittanah Deptan (2009); * = berbeda nyata (P < 0.05), ** = berbeda nyata (P < 0.01)’ tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis perlakuan sama.
5.3.4 Mikroflora Tanah Hasil analisis tanah yang dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tidak terdapat perbedaan kandungan total mikrob, fungi, dan bakteri pada lahan yang diberikan pupuk organik dan residunya (P > 0.05). Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan inorganik dan residunya (P > 0.05).
88
Tabel 5.4 Mikroflora tanah dengan pemupukan organik, inorganik, dan residunya di musim kemarau Total mikrob Total fungi Total bakteri1 Perlakuan 4 ---------------x 10 SPK/g tanah--------------Organik 100 % 2150.00 12.98 2137.02 0% 1365.00 11.30 1353.70 100 % vs 0 % tn tn tn Inorganik 100 % 1146.67 3.38 1143.28 0% 1193.33 3.08 1190.25 100 % vs 0 % tn tn tn 100 % = diberi pupuk, 0 % = tanpa penambahan pupuk; 1Total bakteri = total mikrob – total fungi, SPK = satuan pengamatan koloni, analisis menggunakan metode Anas (1989), contoh tanah yang dianalisis diambil secara komposit dengan kedalaman 0-15 cm; tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis perlakuan sama.
5.4 Hasil Analisis menggunakan uji REGWQ pada sebagian besar data peubah pengamatan menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P > 0.05) antar dosis perlakuan. Dengan demikian data dari kedua set perlakuan diolah dengan dirata-ratakan untuk masing-masing set; dan hasil olahannya disebut sebagai ratarata kelompok organik atau inorganik. Pembandingan untuk masing-masing kelompok menggunakan uji t-student’s pada taraf nyata (α) 1 dan 5 %. Uji tstudent’s dilakukan menggunakan perangkat lunak EXCEL 2007 atau MINITAB 14 dengan kriteria distribusi two-tail dan asumsi ragam contoh (s2) kedua kelompok
perlakuan
sama/homoscedastic.
Data
kemudian
diplotkan
menggunakan perangkat lunak SIGMAPLOT 10.0. Garis di atas titik data pada grafik menggambarkan selang kepercayaan 95 % ( 1.96 x galat baku) sehingga data pada grafik dinyatakan sebagai rata-rata kelompok pemupukan + (1.96 x galat baku). Hasil uji t-student’s yang menunjukkan perbedaan antara perlakuan organik atau inorganik dengan residu pada berbagai peubah di musim kemarau dapat dilihat pada Tabel 5.5. Kedua jenis kelompok perlakuan pupuk dan residu menyebabkan perbedaan pada peubah bobot basah pucuk, kandungan total fenolik, dan nilai IC 50. Perlakuan pupuk organik dan residu pupuk organik hanya menyebabkan perbedaan pada peubah kandungan total flavonoid dan kandungan hara kalium pada tajuk, sedangkan peubah aktivitas POD dan kandungan hara
89
nitrogen pada tajuk berbeda hanya pada perlakuan inorganik dan residu pupuk inorganik. Tabel 5.5 Rekapitulasi hasil uji t-student’s pada berbagai peubah di musim kemarau saat umur 6 MST Organik vs Inorganik vs residu Peubah residu organik inorganik Produksi Bobot basah pucuk (g/tanaman) ** * Metabolit primer Kandungan total gula (mg SG/g BK) tn tn Kandungan vitamin C (mg/g BB) tn * Kandungan protein (mg SBSA/g BB) tn tn Metabolit sekunder Kandungan total fenolik (mg SAG/g BK) ** ** Kandungan total flavonoid (mg SK/g BK) * tn Kandungan total antosianin (x 10-2 μmol/g BB) tn tn Kandungan total klorofil (x 10-1 μmol/g BB) tn tn Enzim yang terkait dengan biosintesis senyawa fenolik Aktivitas PAL (x 10-2 U/mg protein) tn tn Aktivitas CAD (x 10-2 U/mg protein) tn tn Aktivitas POD (x 10-2 U/mg protein) tn * Kapasitas antioksidan IC 50 (mg BK/ml) ** ** Kandungan hara jaringan C-organik (%) tn tn Nitrogen (%) tn * Fosfor (%) tn tn Kalium (%) ** tn BB = bobot basah, BK = bobot kering, SG = setara glukosa, SBSA = setara bouvine serum albumine, SAG = setara asam galat, SK = setara kuersetin, U = unit; * = berbeda nyata (P < 0.05), ** = berbeda nyata (P < 0.01), tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis pemupukan berbeda
5.4.1 Produksi Pucuk Uji REGWQ pada akhir pengamatan menunjukkan terdapat perbedaan antar dosis pupuk organik dan residu yang dicobakan, sebaliknya semua dosis pupuk inorganik dan residu yang dicobakan memberikan bobot basah pucuk yang tidak berbeda (Tabel 5.6). Dengan demikian disarankan untuk produksi pucuk kolesom di musim kemarau menggunakan dosis organik-5 (18.4 ton pupuk kandang sapi/ha + 378.0 kg guano/ha + 8.2 ton abu sekam/ha) dan inorganik-1 (50 kg urea/ha + 20 kg SP-36/ha + 50 kg KCl/ha). Pemanfaatan residu untuk menghasilkan produksi pucuk di musim kedua dapat dilakukan dengan memanfaatkan sisa hara dari perlakuan organik-5 dan inorganik-1 dari musim sebelumnya.
90
Uji t-student’s menunjukkan kolesom yang diberi pupuk dan tanpa penambahan pupuk di musim kemarau memberikan bobot basah pucuk yang berbeda (Gambar 5.1). Kolesom yang diberi pupuk organik (P < 0.01) atau inorganik (P < 0.05) sama-sama memberikan bobot basah pucuk yang lebih tinggi dari residunya. Bobot basah pucuk kolesom dengan pemberian pupuk organik hampir 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan residunya (164.87 g/tanaman); sedangkan, pemberian pupuk inorganik hanya 1.4 kali lebih tinggi dari residunya (165.76 g/tanaman).
Tabel 5.6 Bobot basah pucuk dengan perlakuan pupuk organik, inorganik, dan residu di musim kemarau pada umur 6 MST Bobot basah pucuk Perlakuan (g/tanaman) Pupuk kandang (ton/ha) + guano (kg/ha) + abu Organik sekam (ton/ha) 1 6.1 + 75.6 + 2.7 261.43 b 3 12.3 + 226.8 + 5.5 308.95 b 5 18.4 + 378.0 + 8.2 417.07 a Rata-rata 329.15 Residu organik 1 0+0+0 150.12 b 3 0+0+0 133.00 b 5 0+0+0 211.48 a Rata-rata 164.87 Organik vs residu organik ** Bobot basah pucuk Perlakuan (g/tanaman) Inorganik Urea (kg/ha) + SP-36 (kg/ha) + KCl (kg/ha) 1 50 + 20 + 50 182.90 a 3 100 + 60 + 100 228.45 a 5 150 + 100 + 150 263.12 a Rata-rata 224.82 Residu inorganik 1 0+0+0 116.70 a 3 0+0+0 192.05 a 5 0+0+0 188.52 a Rata-rata 165.76 Inorganik vs residu inorganik * Angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji REGWQ; * = berbeda nyata (P < 0.05), ** = berbeda nyata (P < 0.01) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis perlakuan sama.
91
**
*
Gambar 5.1 Bobot basah pucuk kolesom dengan kedua jenis pemupukan dan residunya pada musim kemarau. * = berbeda nyata (P < 0.05) dan ** = berbeda nyata (P < 0.01) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis perlakuan sama. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan selang kepercayaan 95 %.
5.4.2 Metabolit Primer: Kandungan Total Gula, Kandungan Vitamin C, dan Kandungan Protein Uji t-student’s menunjukkan kolesom yang diberi pupuk dan tanpa penambahan pupuk di musim kemarau memberikan kandungan total gula (Gambar 5.2.A) dan kandungan protein (Gambar 5.2.C) yang tidak berbeda (P > 0.05). Kandungan vitamin C tidak berbeda (P > 0.05) pada pemupukan organik dan residunya (Gambar 5.2.B) Tanpa penambahan pupuk inorganik menyebabkan kandungan vitamin C lebih tinggi 1.2 kali dibandingkan dengan yang diberi pupuk inorganik (12.07 mg/g BB, P < 0.05).
5.4.3
Metabolit Sekunder: Kandungan Total Fenolik, Kandungan Total Flavonoid, Kandungan Total Antosianin, dan Kandungan Total Klorofil Uji t-student’s menunjukkan kolesom yang diberi pupuk dan tanpa
penambahan pupuk di musim kemarau memberikan kandungan total antosianin (Gambar 5.3.C) dan kandungan total klorofil (Gambar 5.3.D) yang tidak berbeda (P > 0.05). Kandungan total fenolik tertinggi (Gambar 5.3.A) dihasilkan dari residu pemupukan organik atau inorganik. Tanpa penambahan pupuk organik atau inorganik (residu) menghasilkan kandungan total fenolik 1.2-1.3 kali lebih tinggi dari yang diberi pupuk (rata-rata 5.49 mg SAG/g BK untuk kedua jenis pemupukan, P < 0.01). Kandungan total flavonoid tidak berbeda (P > 0.05) pada
92
yang diberi pupuk inorganik dan tanpa penambahan pupuk (Gambar 5.3.B). Tanpa penambahan pupuk organik memberikan kandungan total flavonoid lebih tinggi 1.1 kali dari yang diberi pupuk (18.66 mg SK/g BK, P < 0.05).
5.4.4 Enzim yang Terkait dengan Biosintesis Senyawa Fenolik Uji t-student’s menunjukkan kolesom yang diberi pupuk dan tanpa penambahan pupuk di musim kemarau memberikan aktivitas PAL (Gambar 5.4.A) dan aktivitas CAD (Gambar 5.4.B) yang tidak berbeda (P > 0.05). Aktivitas POD tidak berbeda pada kolesom yang diberi pupuk organik dan tanpa penambahan pupuk (Gambar 5.4.C, P > 0.05). Aktivitas POD dengan pemupukan inorganik memberikan aktivitas hampir 3.5 kali lebih tinggi dibandingkan kolesom yang tidak diberi pupuk (9.11 x 10-2 U/mg protein, P < 0.05).
A
B
tn
tn
tn
*
C
tn
tn
Gambar 5.2 Metabolit primer kolesom dengan kedua jenis pemupukan dan residunya pada musim kemarau. (A) Kandungan total gula, (B) kandungan vitamin C, dan (C) kandungan protein. BB = bobot basah, BK = bobot kering, SG = setara glukosa, SBSA = setara bouvine serum albumine; * = berbeda nyata (P < 0.05) dan tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis perlakuan sama. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan selang kepercayaan 95 %.
93
5.4.5 Nilai IC 50 Uji t-student’s pada akhir pengamatan menunjukkan kapasitas antioksidan yang dinyatakan dengan nilai IC 50 pada musim kemarau ditemukan berbeda pada tanaman yang diberi pupuk dibandingkan dengan yang tanpa penambahan pupuk (Gambar 5.5). Nilai IC 50 terendah dihasilkan dari kolesom yang tidak diberi pupuk organik atau inorganik, dengan nilai sebesar + 2.66 mg BK/ml untuk kedua perlakuan tersebut. A
B
**
*
**
C
tn
D
tn
tn
tn
tn
Gambar 5.3 Metabolit sekunder kolesom dengan kedua jenis pemupukan dan residunya pada musim kemarau. (A) Kandungan total fenolik, (B) kandungan total flavonoid, (C) kandungan total antosianin, (D) kandungan total klorofil. BB = bobot basah, BK = bobot kering, SAG =setara asam galat, SK = setara kuersetin; * = berbeda nyata (P < 0.05), ** = berbeda nyata (P < 0.01), dan tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s2) kedua jenis perlakuan sama. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan selang kepercayaan 95 %.
5.4.6 Kandungan Hara Jaringan Kalium didapatkan lebih tinggi pada jaringan kolesom yang diberi pupuk organik dibandingkan dengan yang tidak diberi pupuk (P < 0.01). Akan tetapi, peubah lainnya tidak berbeda antara pemupukan organik dengan residunya (P >
94
0.05). Semua peubah tidak berbeda antara yang diberi pupuk inorganik dengan yang tidak diberi pupuk (P > 0.05), kecuali pada kandungan nitrogen (P < 0.05). Pemberian pupuk inorganik menyebabkan kandungan nitrogen yang lebih tinggi dari residunya (Tabel 5.7). A
B
tn
tn
tn
tn
C
tn
*
Gambar 5.4 Enzim yang terkait dengan biosintesis senyawa fenolik kolesom dengan kedua jenis pemupukan dan residunya pada musim kemarau. (A) Aktivitas PAL, (B) aktivitas CAD, dan (C) aktivitas POD. U = unit, PAL = phenylalanine ammonia lyase, CAD = cinammyl alcohol dehidrogenase, POD = peroksidase, keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 5.3.
**
**
Gambar 5.5 Nilai IC 50 kolesom dengan kedua jenis pemupukan dan residunya pada musim kemarau. BK = bobot kering, keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 5.3.
95
Tabel 5.7 Hara jaringan kolesom dengan pemupukan organik dan residunya pada musim kemarau Hara jaringan Perlakuan C-organik Nitrogen Fosfor Kalium ------------------------%-----------------------Organik 100 % 46.96 2.61 0.30 2.23 0% 46.84 2.86 0.29 2.37 100 % vs 0 % tn tn tn ** Inorganik 100 % 46.22 3.46 0.27 2.29 0% 46.53 2.89 0.25 2.37 100 % vs 0 % tn * tn tn 100 % = diberi pupuk, 0 % = tanpa penambahan pupuk; * = berbeda nyata (P < 0.05) dan tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s dengan asumsi ragam contoh (s 2) kedua jenis pemupukan sama
5.5 Pembahasan 5.5.1 Peranan Pemupukan terhadap Produksi Pucuk Kolesom Kedua jenis pemupukan yang diberikan ke kolesom menyebabkan produksi pucuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan kolesom yang tidak diberi pupuk. Hal ini menunjukkan untuk mendapatkan produksi pucuk yang maksimal kolesom perlu dipupuk, karena tanpa pemupukan kolesom hanya menghasilkan produksi sebesar 50-74 % dari yang diberi pupuk. Akan tetapi, dari penelitian ini juga menunjukkan terdapat peluang pemanfaatan residu dari pemupukan sebelumnya untuk menghasilkan bobot basah pucuk yang cukup tinggi di waktu panen berikutnya. Artinya pupuk cukup diberikan pada musim tanam I, sedangkan musim tanam II tidak diberi pupuk. Dengan demikian, selama dua periode musim tanam (2 x 6 minggu) dimana pemupukan dengan dosis 100 % hanya dilakukan pada musim tanam I maka akan didapatkan rata-rata produksi pucuk total sebesar 352.14 dan 375.67 g/tanaman untuk masing-masing kolesom yang diberi pupuk organik dan inorganik.
5.5.2 Kualitas Kolesom Terkait dengan Metabolit Primer dan Biosintesisnya Kolesom yang diberi kedua jenis pemupukan memiliki kandungan total gula yang tidak berbeda dengan kolesom yang tidak diberi pupuk. Kandungan total gula merupakan hasil aktivitas fotosintesis pada siklus Calvin. Pemberian pupuk menyebabkan fotosintesis pada kolesom berjalan dengan baik sehingga gula banyak dibentuk; sedangkan pada kolesom yang tidak diberi pupuk, gula dihasilkan sebagai mekanisme dalam menghadapi cekaman lingkungan, seperti
96
kekeringan. Hal ini menunjukkan kolesom responsif terhadap perubahan lingkungan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan tumbuhan untuk mengakumulasi solut (misalnya gula dan prolin) berkontribusi terhadap toleransi kekeringan (Vajrabhaya et al. 2001) yang berperan dalam osmotic adjustment (Mohammadkhani & Heidari 2008). Kolesom yang tidak diberi pupuk inorganik memiliki kandungan vitamin C yang tinggi. Hal ini disebabkan ukuran tajuk yang kecil pada kolesom yang tidak diberi pupuk sehingga cahaya matahari dapat masuk ke dalam tajuk menyebabkan aktivitas fotosintesis berjalan baik dan sintesis vitamin C tinggi. Telah diketahui bahwa kandungan vitamin C pada tanaman dipengaruhi/terkait oleh cahaya (Tabata et al. 2002). Gula hasil fotosintesis dalam bentuk glukosa pada tumbuhan merupakan prekursor pembentukan vitamin C (Valpuesta & Bottela 2004, Giovannoni 2007), namun tidak terdapat perbedaan kandungan total gula pada kolesom yang diberi pupuk inorganik atau tanpa penambahan pupuk. Hal ini disebabkan pada penelitian ini yang dianalisis adalah prekursor umum berupa glukosa, sedangkan proporsi senyawa antara yang terbentuk tidak diketahui sehingga mempengaruhi produk akhir berupa vitamin C. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa biosintesis vitamin C melalui tahapan konversi glukosa yang rumit dengan melibatkan berbagai enzim untuk membentuk senyawa antara hingga akhirnya terbentuk L-asam askorbat (Valpuesta & Bottela 2004, Giovannoni 2007). Dengan demikian, kandungan total gula yang tinggi ada kalanya tidak menyebabkan kandungan vitamin C yang tinggi pula. Kolesom
yang diberi pupuk organik, inorganik, maupun tanpa
penambahan pupuk ternyata memberikan kandungan protein yang tidak berbeda. Telah diketahui bahwa protein merupakan senyawa mengandung N. Hasil analisis pada jaringan tanaman menunjukkan kandungan N tajuk yang tidak berbeda pada kolesom yang diberi pupuk organik dengan yang tidak diberi pupuk; namun kandungan N tajuk yang diberi pupuk inorganik ditemukan lebih tinggi dari yang tidak diberi pupuk. Kandungan N tajuk kolesom yang diberi pupuk inorganik tidak menyebabkan kandungan protein yang lebih tinggi karena kemungkinan besar N yang ada digunakan untuk sintesis metabolit lain selain protein yang mengandung N. Beberapa metabolit yang mengandung N misalnya prolin, glisin
97
betain, alkaloid, dan lain-lain (Vajrabhaya et al. 2001, Cseke et al. 2006, Mohammadkhani & Heidari 2008).
5.5.3
Kualitas
Kolesom
Terkait
dengan
Metabolit
Sekunder
dan
Biosintesisnya Kolesom yang tidak diberi pupuk (residu) menghasilkan kandungan total fenolik dan kandungan total flavonoid yang lebih tinggi dibanding kolesom yang diberi kedua jenis pupuk. Hal ini disebabkan kolesom mengalami cekaman hara yang akan memacu terbentuknya fenolik dan flavonoid (kelompok senyawa fenolik). Hal ini mendukung penelitian pada beberapa tanaman lain, seperti Phaseolus vulgaris L. (Juszczuk et al. 2004) dan Dittrichia viscosa (Karageorgou et al. 2002) yang menunjukkan terjadinya peningkatan kandungan total fenolik akibat kurangnya hara untuk mengatasi terbentuknya senyawa intermediat H2O2 yang bersifat toksik hasil siklus asam glikolat. Hasil analisis tanah menunjukkan kandungan NO3- pada tanah yang tidak diberi pupuk organik sebesar 93.37 ppm, sedangkan pada tanah yang tidak diberi pupuk inorganik sebesar 42.38 ppm. Selain itu, keadaaan di lapangan yang cukup kering karena curah hujan kurang (6.92 mm/minggu selama penelitian) juga berpengaruh terhadap pembentukan senyawa fenolik kolesom. Lebih lanjut, hasil analisis kandungan hara jaringan tanaman menunjukkan kolesom yang tidak diberi pupuk organik memiliki kandungan K yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kolesom yang diberi pupuk. K banyak diserap dari tanah karena K berperan didalam osmoregulator yang mengatur mekanisme pergerakan stomata (Talbott & Zeiger 1996, Amodeo et al. 1996, Pettigrew 2008). Nilai IC 50 yang rendah pada kolesom yang tidak diberi pupuk disebabkan kandungan total fenolik dan kandungan total flavonoidnya yang tinggi. Hal ini menunjukkan kolesom yang dihasilkan tanpa pemberian pupuk memiliki kapasitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kolesom yang diberi pupuk. Artinya senyawa fenolik yang dihasilkan oleh kolesom yang tidak diberi pupuk memiliki kemampuan yang baik dalam menangkap radikal 2,2-diphenyl-1picrylhydrazyl.
98
Biosintesis senyawa fenolik dengan prekursor fenilalanin melalui lintasan fenilpropanoid terkait dengan aktivitas phenylalanine ammonia-lyase (PAL, EC 4.3.1.24; Cheng & Breen 1991, Rivero et al. 2001). Kaitan antara peningkatan aktivitas PAL dengan senyawa fenolik yang terbentuk telah banyak dilaporkan, seperti pada strawberry (Cheng & Breen 1991), bawang merah (Benkeblia 2000), tomat (Rivero et al. 2001), dan jagung (Gholizadeh 2011). Akan tetapi, pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan aktivitas enzim tersebut pada kedua jenis pemupukan dan residunya. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa fenolik yang dihasilkan sebagian besar berasal dari lintasan asam malonat dengan prekursornya asetil koenzim A, sehingga protein yang dihasilkan juga kebanyakan berasal dari jenis asam amino alifatik. Secara umum, aktivitas cinnamyl-alcohol dehydrogenase (CAD, EC 1.1.1.195) dan peroksidase (POD, EC 1.11.1.14) yang terkait dengan biosintesis lignin (Anterola & Lewis 2002, Boerjan et al. 2003) juga tidak berbeda pada kedua jenis pemupukan dan residunya. Dengan demikian, kolesom belum membentuk banyak serat yang akan berpengaruh terhadap citarasanya. Penelitian ini mengamati dua pigmen daun kolesom, yaitu antosianin dan klorofil. Kedua jenis pigmen ini tidak berbeda pada kedua jenis pemupukan dan residunya. Kandungan total antosianin yang tidak berbeda pada kedua jenis pemupukan dan residunya disebabkan kandungan total flavonoid yang tidak berbeda. Telah diketahui bahwa antosianin merupakan bagian dari senyawa flavonoid yang disintesis melalui jalur fenilpropanoid. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kolesom yang tidak diberi pupuk akan menghasilkan produk dengan kualitas warna yang sama baiknya dengan yang diberi pupuk.
5.6 Simpulan Berdasarkan hasil Percobaan 3 “Produksi dan Kualitas Kolesom: Pengaruh Residu Pupuk Organik dan Inorganik di Musim Kemarau” maka dapat disimpulkan: 1. Tanpa penambahan pupuk organik atau inorganik di musim tanam berikutnya menyebabkan produksi pucuk kolesom menurun masing-masing sebesar 50 dan 26 % dari yang diberi pupuk.
99
2. Tanpa penambahan pupuk organik di musim berikutnya memberikan kandungan vitamin C yang tidak berbeda, sedangkan tanpa penambahan pupuk inorganik memberikan kandungan 21 % lebih tinggi dari yang diberi pupuk. 3. Tanpa penambahan pupuk organik atau inorganik di musim tanam berikutnya menyebabkan kandungan total fenolik masing-masing 23 dan 30 % lebih tinggi dan nilai IC 50-DPPH masing-masing 18 dan 16 % lebih rendah dari yang diberi pupuk. 4. Tanpa penambahan pupuk organik di musim tanam berikutnya memberikan kandungan total flavonoid 14 % lebih tinggi dari yang diberi pupuk, sedangkan tanpa penambahan pupuk inorganik memberikan kandungan yang tidak berbeda.
100
BAB VI PEMBAHASAN UMUM 6.1 Produksi dan Kualitas Kolesom: Pupuk Organik vs Pupuk Inorganik 6.1.1 Peranan Pemupukan terhadap Produksi Pucuk Kolesom Secara umum rata-rata pada dua musim, produksi pucuk kolesom yang diberi pupuk organik 33 % lebih tinggi dari kolesom yang diberi pupuk inorganik (Gambar 6.1.A). Terjadi peningkatan produksi pucuk kolesom seiring dengan meningkatnya umur tanaman pada kedua jenis pemupukan. Pemberian pupuk organik mampu memberikan kondisi yang lebih kondusif di daerah perakaran tanaman sehingga pertumbuhan kolesom baik. Pertumbuhan yang baik menyebabkan produksi pucuk meningkat. Data menunjukkan bobot basah akar pada kolesom yang diberi pupuk organik adalah 13.57 g/tanaman, dan yang diberi pupuk inorganik adalah 10.61 g/tanaman (P < 0.01). Telah banyak dilaporkan pengaruh bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah, misalnya pertumbuhan akar yang lebih baik, volume akar yang lebih besar, dan struktur tanah yang lebih berpori (Hakl et al. 2007, Mari & Changying 2008, Grzesiak 2009, Ahmad et al. 2009). Peran utama dari pupuk organik antara lain sebagai sumber bahan organik tanah. Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah menyebabkan terjadinya granulasi agregat tanah sehingga struktur tanah menjadi stabil (Lado et al. 2004). Pengamatan di lapangan menunjukkan plot yang diberi pupuk organik memiliki tekstur yang lebih remah dan terjadi granulasi jika dibandingkan dengan plot yang diberi pupuk inorganik. Terjadinya granulasi disebabkan oleh aktivitas fungi dan bakteri. Akibatnya, tanah memiliki pori-pori yang lebih banyak sehingga permukaan serapan menjadi luas dan hal ini membantu dalam menyimpan air dan menjerap hara. Hasil analisis mikroflora tanah menunjukkan jumlah mikrob, fungi, dan bakteri yang tinggi pada lahan dengan pemupukan organik (P < 0.05).
102
A
B
**
*
tn
C
*
*
**
**
tn
tn
**
*
tn
D
tn
tn
tn F
E
tn
**
tn
Gambar 6.1. Pengaruh kedua jenis pemupukan terhadap (A) produksi pucuk, (B) kandungan total gula, (C) kandungan vitamin C, (D) kandungan protein, (E) kandungan total fenolik, dan (F) kandungan total flavonoid. BB = bobot basah, BK = bobot kering, SG = setara glukosa, SBSA = setara bouvine serum albumine, SAG =setara asam galam, SK = setara kuersetin. * = berbeda nyata (P < 0.05), ** = berbeda nyata (P < 0.01), tn = berbeda tidak nyata (P > 0.05) menurut uji t-student’s. Garis di atas titik data menunjukkan selang kepercayaan 95 %.
103
Produksi pucuk tertinggi pada penelitian ini terjadi pada umur 6 MST, sehingga dengan data tersebut dapat dihitung produktivitas kolesom per hektar. Telah diketahui jarak tanam yang digunakan adalah 100 cm x 50 cm, maka didapatkan populasi tanaman per hektar adalah 200 000 tanaman. Dengan demikian, produktivitas kolesom yang diberi pupuk organik adalah 48.7 ton pucuk segar/ha dan produktivitas kolesom yang diberi pupuk inorganik adalah 43.7 ton pucuk segar/ha.
6.1.2 Kualitas Kolesom Terkait Metabolit Primer dan Biosintesisnya Secara umum, kolesom yang diberi pupuk inorganik memiliki kandungan total gula (Gambar 6.1.B) rata-rata 22 % lebih tinggi; serta kandungan vitamin C (Gambar 6.1.C) dan kandungan protein (Gambar 6.1.D) yang tidak berbeda jika dibandingkan dengan kolesom yang diberi pupuk organik. Kandungan ketiga metabolit primer ini meningkat seiring dengan meningkatnya umur tanaman pada kedua jenis pemupukan. Kandungan total gula yang tinggi mungkin disebabkan tanaman tercekam akibat kurang air pada kolesom yang diberi pupuk inorganik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan tumbuhan untuk mengakumulasi solut (misalnya gula dan prolin) berkontribusi terhadap toleransi kekeringan (Vajrabhaya
et
al.
2001)
yang
berperan
dalam
osmotic
adjustment
(Mohammadkhani & Heidari 2008). Meskipun diketahui bahwa gula merupakan prekursor umum dalam biosintesis vitamin C, namun kandungan total gula yang tinggi pada kolesom yang diberi pupuk inorganik tidak memberikan kandungan vitamin C yang tinggi. Secara statistik, tidak terdapat perbedaan kandungan vitamin C pada kolesom yang diberi kedua jenis pemupukan. Hal ini disebabkan pada penelitian ini menggunakan metode Arthrone yang menganalisis gula sebagai kandungan total gula (dihitung setara dengan glukosa), namun tidak diketahui proporsi fraksi gula lainnya. Dengan demikian, hanya dapat diketahui kandungan total gula sebagai prekursor umum dari biosintesis vitamin C (Valpuesta & Botella 2004, Giovannoni 2007), namun kandungan L-galaktono-1,4-lakton sebagai substrat utama dan senyawa antara lain tidak diketahui (Gambar 6.2). Jadi ada
104
kemungkinan ketika kandungan total gula tinggi, justru kandungan substrat atau senyawa antaranya rendah sehingga sintesis vitamin C rendah.
Gambar 6.2 Senyawa antara atau prekursor lain yang terbentuk dalam biosintesis vitamin C dengan prekursor umum glukosa. Garis putus-putus menunjukkan senyawa yang dibentuk melalui berbagai tahapan yang dikatalisis dengan berbagai enzim.
Walaupun tidak berbeda secara statistik, kolesom yang diberi pupuk inorganik memiliki rata-rata kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan kolesom yang diberi pupuk organik. Hal ini dapat dijelaskan karena protein merupakan senyawa mengandung N, sehingga kandungan hara N (2.92 % N) yang tinggi pada jaringan kolesom yang diberi pupuk inorganik membantu terbentuknya protein. 6.1.3 Kualitas Kolesom Terkait Metabolit Sekunder dan Biosintesisnya Secara umum, kandungan total fenolik (Gambar 6.1.E) dan nilai IC 50 (Gambar 6.7.C) tidak berbeda di antara kedua jenis pemupukan; sedangkan kandungan total flavonoid (Gambar 6.1.F) pada kolesom yang diberi pupuk inorganik lebih tinggi dibandingkan dengan kolesom yang diberi pupuk organik. Kapasitas antioksidan yang dinyatakan dalam nilai IC 50 berubah seiring dengan perubahan umur. Hal ini jika dibandingkan dengan kandungan total fenolik dan kandungan total flavonoid kolesom (Gambar 6.3), maka terlihat bahwa (1) dari umur 2 ke 4 MST, kemampuan antioksidan kolesom sebagian besar didapatkan dari kandungan total flavonoid karena kandungan total fenoliknya rendah; (2) dari umur 4 ke 6 MST, kemampuan antioksidan kolesom didapatkan dari kandungan total flavonoid dan terdapat sumbangan dari senyawa non-flavonoid lainnya. Aktivitas phenylalanine ammonia-lyase (PAL, EC 4.3.1.24, Gambar 6.7.D), cinnamyl-alcohol dehydrogenase (CAD, EC 1.1.1.195, Gambar 6.7.E), dan peroksidase (POD, EC 1.11.1.14, Gambar 6.7.F) tidak berbeda pada kedua jenis pemupukan. Akan tetapi, ketiga enzim ini memiliki pola yang sama, yaitu aktivitasnya menurun seiring dengan meningkatnya umur tanaman.
105
A
B
Gambar 6.3 Dinamika kandungan senyawa fenolik yang terkait dengan kapasitas antioksidan kolesom dengan kedua jenis pemupukan. (A) kandungan total fenolik, (B) kandungan total flavonoid. Nilai positif menunjukkan peningkatan dan nilai negatif menunjukkan penurunan.
Aktivitas PAL yang menurun menunjukkan senyawa fenolik (kandungan total fenolik dan kandungan total flavonoid) yang terbentuk juga menurun (Gambar 6.4). Hal ini karena PAL merupakan enzim yang terkait langsung dengan fenilalanin sebagai prekursor terbentuknya senyawa fenolik (Cheng & Breen 1991, Rivero et al. 2001). Kaitan antara aktivitas PAL dengan senyawa fenolik yang terbentuk telah banyak dilaporkan, seperti pada strawberry (Cheng & Breen 1991), bawang merah (Benkeblia 2000), tomat (Rivero et al. 2001), dan jagung (Gholizadeh 2011).
106
Gambar 6.4
Peranan phenylalanine ammonia lyase (PAL) dalam mengatalis terbentuknya senyawa antara bagi biosintesis kelompok besar senyawa fenolik. Singkatan huruf kapital yang dicetak miring menunjukkan senyawa yang berperan sebagai enzim. Garis putus-putus menunjukkan senyawa yang dibentuk melalui berbagai tahapan yang dikatalisis dengan berbagai enzim.
Aktivitas CAD dan POD berkaitan erat dengan biosintesis lignin pada sebagian besar jaringan tanaman (Anterola & Lewis 2002, Boerjan et al. 2003). Aktivitas CAD dan POD yang tinggi pada umur 2 MST menyebabkan rendahnya kandungan total flavonoid. Hal ini akibat persaingan prekursor didalam pembentukan lignin dan flavonoid (Gambar 6.5). Prekursor yang digunakan dalam pembentukan kedua senyawa tersebut adalah p-koumaril koenzim A (CoA), yang dihasilkan dari fenilalanin (Vogt 2010). Akibat flavonoid yang terbentuk rendah maka kandungan total antosianin juga rendah (Gambar 6.7.A). Hal ini disebabkan antosianin sebagai pigmen daun merupakan bagian dari senyawa flavonoid.
107
Gambar 6.5 Perananan p-koumaril koenzim A sebagai prekursor dalam biosintesis kelompok senyawa lignin dan flavonoid. CAD = cinnamyl alcohol dehidrogenase, POD = peroksidase. Keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 6.4.
Kandungan total klorofil kolesom pada pemupukan inorganik selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan organik (Gambar 6.7.B). Telah diketahui bahwa N merupakan salah satu penyusun klorofil. Oleh sebab itu, N lebih banyak diserap pada kolesom dengan pemberian pupuk inorganik (2.92 % N) sehingga pembentukan klorofil terpacu. Terdapat keterkaitan antara kandungan total klorofil; aktivitas CAD dan POD; aktivitas PAL, kandungan total fenolik dan kandungan total antosianin; serta kandungan protein (Gambar 6.6). Hal ini dapat dijelaskan bahwa kandungan klorofil yang meningkat dari umur ke umur disebabkan penurunan sintesis senyawa fenolik (aktivitas PAL dan kandungan total fenolik menurun) dan lignin (aktivitas CAD dan POD menurun). Akan tetapi, terjadi peningkatan pembentukan protein yang menunjukkan pada saat itu banyak terbentuk asam amino alifatik. Hal ini menyebabkan pembentukan klorofil meningkat melalui tetrapirol dan terjadi peningkatan sintesis flavonoid namun dalam bentuk antosianin (kandungan total antosianin meningkat) melalui
108
lintasan asam malonat. Walaupun kandungan total flavonoid rendah pada umur 6 MST, namun hal ini tidak menunjukkan bahwa kandungan antosianin rendah.
6.1.4 Sumbangan Fitonutrien Kolesom dalam Diet Kolesom memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sayuran bergizi berkhasiat obat atau pangan fungsional. Kolesom yang diberi kedua jenis pupuk memiliki kandungan fitonutrien yang berbeda (Tabel 6). Ketika dikonsumsi secara teratur maka diharapkan kolesom dapat memberikan fungsi kesehatan bagi masyarakat. Menurut pedoman nutrient content claim yang dikeluarkan Food and Drug Administration USA (www.fda.gov), maka kolesom dapat digolongkan sebagai pangan yang “high”, “rich in”, atau “excellent source of” jika mengandung 20 % atau lebih nutrisi tertentu per takaran sajinya. Lebih lanjut lagi, untuk menyatakan bahwa kolesom memiliki sifat antioksidan maka kolesom harus mengandung senyawa bersifat antioksidan yang telah dibuktikan secara ilmiah dan senyawa tersebut memenuhi kriteria “high”, “good source” atau “more”. Dengan demikian, menurut kriteria yang telah dikeluarkan FDA tersebut maka kolesom yang diberi pupuk organik atau inorganik merupakan pangan fungsional yang “high in antioxidant” vitamin C dan “excellent source of” magnesium, dan mangan.
109
Gambar 6.6 Mekanisme terbentuknya klorofil pada kolesom terkait dengan biosintesis senyawa fenoliknya. PAL = phenylalanine ammonia lyase. Garis putus-putus menunjukkan senyawa yang dibentuk melalui berbagai tahapan yang dikatalisis dengan berbagai enzim. Garis yang diakhiri dengan tiga garis mendatar menunjukkan penurunan, sedangkan yang diakhiri dengan dua ujung panah menunjukkan peningkatan.
110
A
B
**
*
tn
C
**
**
**
tn
tn
tn
D
tn
tn
tn
E
F
tn
tn
tn
tn
tn
tn
Gambar 6.7 Pengaruh kedua jenis pemupukan terhadap (A) kandungan total antosianin, (B) kandungan total klorofil, (C) nilai IC 50, (D) aktivitas PAL, (E) aktivitas CAD, dan (F) aktivitas POD. BB = bobot basah, BK = bobot kering, U = unit; * = berbeda nyata (P > 0.05), ** = berbeda nyata (P > 0.01), tn = berbeda tidak nyata menurut uji t-student’s. Garis di atas titik data menunjukkan selang kepercayaan 95 %.
111
Tabel 6 Informasi nilai gizi kolesom pada kedua jenis pemupukan pada umur 6 MST Pupuk organik Pupuk inorganik Fitonutrien1 % AKG3 % AKG3 Kandungan per Kandungan per 2 takaran saji takaran saji Pria Wanita Pria Wanita Metabolit primer (g) Protein 0.82 (3.3) 8.2 8.2 0.90 (3.6) 9.0 9.0 Gula 0.10 (0.4) 0.11 (0.4) Vitamin C 0.23 (0.9) 455.4 455.4 0.21 (0.9) 425.1 425.1 Metabolit sekunder (mg) Fenolik 10.51 (< 0.1) 10.11 (< 0.1) Flavonoid 29.43 (0.1) 34.54 (0.1) Unsur mineral4 (mg) P 18.06 1.8 1.8 17.14 1.7 1.7 K 49.81 20.02 Ca 24.33 2.4 2.4 22.96 2.3 2.3 Mg 39.54 23.3 22.0 35.54 20.9 19.7 Fe 0.26 2.0 1.3 0.34 2.6 1.7 Cu 0.23 0.17 Zn 0.13 0.9 1.0 0.15 0.9 1.2 B 0.04 0.04 Mn 0.40 20.8 24.7 0.51 26.6 31.6 1 Kandungan fitonurien dalam basis basah, dengan kadar air 90 %; 2satu takaran saji setara dengan 25 g (~ 1 cangkir); 3AKG = angka kecukupan gizi, % AKG dihitung berdasarkan kebutuhan energi 2050 kkal merujuk kepada pedoman AKG 2004 bagi orang Indonesia (www.depkes.go.id); 4 analisis menggunakan ICP-MS dengan contoh komposit; angka dalam kurung menunjukkan persentase dalam 100 g basis kering; - = tidak dirujuk dalam pedoman AKG
6.2 Produksi dan Kualitas Kolesom: Musim Hujan vs Musim Kemarau 6.2.1 Produksi Pucuk Saat awal pertumbuhan tanaman (2 MST), produksi pucuk kolesom pada musim hujan lebih tinggi dari musim kemarau. Akan tetapi, pada akhir pengamatan (6 MST), kolesom yang ditanam saat musim kemarau memberikan produksi pucuk yang lebih tinggi dari musim hujan (Gambar 6.8.A). Kolesom ditanam secara langsung di lapangan menggunakan bahan tanam asal setek batang; sehingga kolesom yang ditanam saat musim hujan memiliki kondisi yang kondusif untuk tumbuhnya akar dari setek. Perakaran yang baik akan mendukung pertumbuhan tanaman, sehingga pertumbuhan tajuk baik. Selanjutnya, dengan berlalunya waktu maka kolesom memiliki perakaran yang berkembang dengan baik sehingga di akhir pengamatan pada musim kemarau memungkinkan tanaman untuk memperoleh cahaya matahari yang cukup dan proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik. Fotosintesis yang berjalan baik akan menghasilkan energi untuk pertumbuhan tajuk. Data iklim saat musim kemarau menunjukkan lama
112
penyinaran sebesar 85 % dan intensitas radiasi matahari sebesar 305.91 cal/cm2/menit. Produksi pucuk tertinggi pada penelitian ini terjadi pada umur 6 MST , sehingga
dengan data tersebut dapat dihitung produktivitas kolesom per hektar. Telah diketahui jarak tanam yang digunakan adalah 100 cm x 50 cm, maka didapatkan populasi tanaman per hektar adalah 200 000 tanaman. Dengan demikian, produktivitas kolesom pada musim hujan adalah 40.7 ton pucuk segar/ha dan produktivitas kolesom pada musim kemarau adalah 51.7 ton pucuk segar/ha.
6.2.2 Kualitas Kolesom Terkait Metabolit Primer dan Biosintesisnya Kolesom yang ditanam saat musim hujan menyebabkan kandungan total gula yang tinggi (Gambar 6.8.B) dan kandungan vitamin C yang rendah (Gambar 6.8.C). Pola sebaliknya terjadi pada kolesom yang ditanam saat musim kemarau. Penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak sejalan dengan biosintesis vitamin C. Biosintesis vitamin C menggunakan gula dalam bentuk glukosa sebagai prekursor umum (Valpuesta & Botella 2004, Giovannoni 2007), sehingga ketika kandungan gula meningkat terjadi juga peningkatan kandungan vitamin C. Kandungan total gula yang tinggi di musim hujan merupakan salah satu mekanisme kolesom dalam menghadapi keadaan lingkungan yang tidak kondusif. Curah hujan yang tinggi menyebabkan keadaan perakaran terdapat banyak air, hal ini akan menimbulkan cekaman. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa akumulasi gula merupakan salah satu mekanisme tanaman menghadapi cekaman lingkungan (flooding atau excess water), misalnya pada Syzygium samarangense Merr. et Perry. (Hsu et al. 1999), dan Picea mariana, Larix laricina (Islam & Macdonald 2004), serta tebu (Tetsushi & Karim 2007). Menurut Islam dan Macdonald (2004) karbohidrat (gula) yang diakumulasi di tajuk hasil fotosintesis akan ditranslokasikan ke akar untuk membantu perbaikan akar yang rusak. Ditambahkan oleh Celik dan Turhan (2011) pola akumulasi gula (tajuk atau akar) akan berbeda tergantung genotipe species tanaman yang akhirnya menyebabkan variasi dalam respon pertumbuhan dan fisiologisnya. Berikutnya, kandungan vitamin C yang tinggi di musim kemarau disebabkan keadaan lingkungan yang kering sehingga vitamin C terpacu untuk
113
terbentuk. Mekanisme seperti ini terjadi sebagai strategi kolesom dalam menghadapi radical oxygen species (ROS) atau radikal lain yang terbentuk. Menurut Gill dan Tuteja (2010) ROS dapat terbentuk akibat bermacam-macan stres abiotik, misalnya kekeringan. Lebih lanjut, peran vitamin C dalam menetralkan zat toksik terjadi dalam siklus askorbat-glutation. Dua molekul asam askorbat akan digunakan oleh glutation reduktase (APX) untuk mereduksi H2O2 menjadi air sehingga tidak bersifat toksik bagi sel tanaman (Gapper & Dolan 2006, Shao et al. 2008). Data iklim menunjukkan rata-rata curah hujan di musim hujan adalah 11.56 mm/minggu, sedangkan rata-rata curah hujan di musim kemarau hanya setengah dari musim hujan. Walaupun tidak terdapat keterkaitan langsung antara kandungan total gula dan kandungan vitamin C, namun sebenarnya hal ini dapat dijelaskan bahwa kandungan total gula hanya dihitung sebagai glukosa. Glukosa merupakan prekursor umum dari vitamin C. Substrat sebenarnya dari vitamin C adalah Lgalaktono-1,4-lakton, namun dalam penelitian ini tidak diukur proporsi fraksi gula dalam kandungan total gula (Gambar 6.1). Hal ini menunjukkan pada saat musim hujan kolesom menghasilkan gula dalam bentuk galaktosa atau senyawa antara lain yang rendah, sehingga kandungan vitamin C rendah. Pola sebaliknya ditemukan pada musim kemarau. Kolesom yang ditanam di kedua musim menghasilkan kandungan protein yang meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 6.8.D); dan kandungan protein musim kemarau ditemukan lebih tinggi dari kandungan protein di musim hujan. Protein merupakan senyawa mengandung N, sehingga ketika N banyak diserap maka protein akan banyak terbentuk. Hasil analisis di musim kemarau menujukkan kandungan hara N kolesom sebesar 3.02 %, sedangkan kandungan N total tanah adalah 0.18 %. Selain itu juga, tinggi kandungan protein di musim kemarau disebabkan kurangnya curah hujan (rata-rata 6.92 mm/minggu) sehingga terjadi akumulasi protein. Penelitian pada legum menunjukkan terjadinya akumulasi prolin dan glisin betain sebagai mekanisme menghadapi cekaman kekeringan (Asraf & Iram 2005). Kedua senyawa tersebut merupakan kelompok protein yang berperan sebagai osmoregulator.
114
A
B
**
*
**
C
**
**
**
**
**
**
**
**
**
D
**
**
**
E
F
**
**
**
Gambar 6.8 Pengaruh kedua musim terhadap (A) produksi pucuk, (B) kandungan total gula, (C) kandungan vitamin C, (D) kandungan protein, (E) kandungan total fenolik, dan (F) kandungan total flavonoid. Keterangan gambar ini sama dengan Gambar 6.1.
115
6.2.3 Kualitas Kolesom Terkait Metabolit Sekunder dan Biosintesisnya Kandungan total fenolik, kandungan flavonoid, aktivitas PAL, dan nilai IC 50 merupakan beberapa peubah yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Pola beberapa peubah ini berbeda antara musim hujan dan musim kemarau. Saat musim hujan, terbentuknya kandungan total fenolik kolesom (Gambar 6.8.E) sejalan dengan aktivitas PAL (Gambar 6.9.D). Hal ini menunjukkan prekursor senyawa fenolik berupa fenilalanin banyak terbentuk pada awal pertumbuhan, namun menurun seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 6.4). Dengan demikian, senyawa fenolik kolesom yang terbentuk disintesis melalui lintasan fenilpropanoid dengan prekursornya berasal dari lintasan shikimat. Jika hal ini dibandingkan dengan kandungan protein kolesom maka dapat diketahui bahwa kandungan protein kolesom sebagian besar berasal dari kelompok asam amino aromatik. Saat musim kemarau, kandungan total fenolik kolesom meningkat, sedangkan aktivitas PAL menurun seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Terdapat perbedaan mekanisme biosintesis senyawa fenolik pada awal (Gambar 6.10) dan akhir pengamatan (Gambar 6.11) di musim kemarau. Saat awal pengamatan (2 MST) di musim kemarau, kandungan total fenolik didapatkan rendah, sedangkan aktivitas PAL tinggi. Hal ini disebabkan fenilalanin yang dibentuk dari lintasan shikimat digunakan untuk pembentukan lignin, hal ini ditunjukkan dengan aktivitas cinnamyl-alcohol dehydrogenase (CAD, EC 1.1.1.195, Gambar 6.9.E), dan peroksidase (POD, EC 1.11.1.14, Gambar 6.9.F) yang tinggi, masing-masing sebesar 17.12 x 10-2 dan 979.38 x 10-2 U/mg protein. Lebih lanjut, selain terjadi sintesis lignin, dapat juga yang dibentuk adalah senyawa fenolik lain seperti kelompok flavonoid (antosianin). Kandungan total flavonoid dan antosianin pada umur 2 MST masing-masing sebesar 20.50 mg SK/g BK dan 11.11 μmol/g BB. Kandungan total flavonoid didapatkan tinggi pada semua umur tanaman. Hal ini menunjukkan kandungan total flavonoid tidak dipengaruhi umur tanaman, namun oleh musim.
116
A
B
**
**
tn
C
tn
tn
**
**
**
**
**
**
**
D
**
**
**
E
F
**
**
**
Gambar 6.9 Pengaruh kedua musim terhadap (A) kandungan total antosianin, (B) kandungan total klorofil, (C) nilai IC 50, (D) aktivitas PAL, (E) aktivitas CAD, dan (F) aktivitas POD. Keterangan gambar ini sama dengan Gambar 6.7.
117
Gambar 6.10 Peranan lintasan fenilpropanoid terhadap biosintesis senyawa fenolik kolesom pada umur 2 MST di musim kemarau. PAL = phenylalanine ammonia lyase, CAD = cinnamyl alcohol dehidrogenase, POD = peroksidase. Keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 6.6.
118
Saat akhir pengamatan (6 MST) di musim kemarau, kandungan total fenolik tinggi, namun aktivitas PAL rendah. Hal ini menunjukkan senyawa fenolik yang terbentuk sebagian besar berasal dari lintasan asam malonat dengan prekursornya berupa asetil koenzim A hasil glikolisis, bukan dari lintasan fenilpropanoid. Jika hal ini dibandingkan dengan kandungan protein kolesom maka terlihat bahwa protein kolesom berasal dari kelompok asam amino alifatik.
Gambar 6.11 Peranan lintasan asam malonat terhadap biosintesis senyawa fenolik kolesom pada umur 6 MST di musim kemarau. PAL = phenylalanine ammonia lyase. Keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 6.6.
119
Saat musim hujan, terjadi penurunan nilai IC 50 kolesom dari umur 2 ke 4 MST, namun meningkat sesudahnya (Gambar 6.9.C). Jika dibandingkan dengan kandungan total fenolik (Gambar 6.3.E) dan kandungan total flavonoid kolesom (Gambar 6.8.F), maka terlihat bahwa (1) dari umur 2 ke 4 MST, kemampuan antioksidan kolesom sebagian besar didapatkan dari kandungan total flavonoid karena kandungan total fenoliknya rendah; (2) dari umur 4 ke 6 MST, kemampuan antioksidan kolesom didapatkan dari kandungan total flavonoid dan kandungan fenolik non-flavonoidnya. Akan tetapi, besar kemungkinan aktivitas antioksidan senyawa flavonoid lebih besar dari senyawa fenolik non-flavonoid karena pada umur 4 MST didapatkan nilai IC 50 terendah dengan kandungan total flavonoidnya yang tinggi. Telah diketahui bahwa kemampuan antioksidan flavonoid dan asam fenolat terkait dengan jumlah dan posisi dari gugus hidoksil pada molekul tersebut; peningkatan jumlah gugus hidroksil menyebabkan peningkatan aktivitas antioksidan (Cartea et al. 2011). Dengan demikian, kemampuan antioksidan kolesom sangat bergantung kepada kandungan total fenolik non-flavonoid, kandungan total flavonoid, umur tanaman, dan musim (Gambar 6.12). Saat musim kemarau, terjadi peningkatan nilai IC 50 kolesom dari umur 2 ke 4 MST, namun menurun sesudahnya. Jika dibandingkan dengan kandungan total fenolik dan kandungan total flavonoid kolesom, maka terlihat bahwa pada dari umur 2 ke 4 MST dan 4 ke 6 MST, kemampuan antioksidan kolesom sebagian besar didapatkan dari kandungan total flavonoid karena kandungan total fenolik rendah. Walaupun terjadi peningkatan senyawa fenolik dari umur ke umur, namun jika dibandingkan dengan kandungan di musim kemarau maka kandungan total fenolik musim kemarau lebih kecil dari kandungan di musim hujan dan rata-rata kandungan total flavonoid di musim kemarau hampir 2-4 kali lebih tinggi dari kandungan di musim hujan. Hal ini menunjukkan kecil kemungkinan terdapat sumbangan antioksidan dari senyawa fenolik nonflavonoid.
120
A
B
Gambar 6.12 Dinamika kandungan senyawa fenolik yang terkait dengan kapasitas antioksidan kolesom pada kedua musim. (A) kandungan total fenolik, (B) kandungan total flavonoid. Keterangan gambar ini sama dengan Gambar 6.3.
Selanjutnya, kandungan total klorofil kolesom di musim hujan didapatkan lebih tinggi dari kandungan total klorofil di musim kemarau pada umur 6 MST (Gambar 6.9.B). Jika dibandingkan dengan kandungan total fenolik, PAL, dan kandungan protein maka penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya bahwa pembentukan klorofil melalui tetrapirol dengan prekursornya asam glutamat (Beale 1990, Wettstein et al. 1995, Meskauskiene et al. 2001, Rissler et al. 2002); dan hal ini terjadi pada kedua musim. Saat musim hujan tidak terjadi persaingan prekursor berupa asetil koenzim A dalam pembentukan klorofil dan senyawa fenolik (Gambar 6.13). Akan tetapi, saat musim kemarau terjadi persaingan penggunaan asetil koenzim A, prekursor ini digunakan dalam lintasan asam malonat untuk sintesis senyawa fenolik dan siklus asam trikarboksilat untuk membentuk tetrapirol (Gambar 6.14). Persaingan prekursor ini menyebabkan fluktuasi kandungan total klorofil di kedua musim. Walaupun klorofil merupakan senyawa mengandung N, namun pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan
121
yang konsisten antara kedua peubah tersebut. Hasil analisis hara jaringan menunjukkan di musim hujan dan kemarau kolesom masing-masing mengandung 2.11 dan 3.02 % N. Dengan demikian, terbentuknya klorofil di kedua musim bergantung kepada lintasan yang digunakan dalam biosintesisnya.
Gambar 6.13 Biosintesis klorofil kolesom di musim hujan. PAL = phenylalanine ammonia lyase. Keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 6.6.
Antosianin didapatkan tinggi di musim kemarau, namun rendah di musim hujan (Gambar 6.9.A). Hal ini terutama berkaitan dengan fungsinya dalam tanaman, yaitu fotoprotektif dan perannya sebagai antioksidan dalam menangkal radikal bebas. Antosianin yang berada dalam vakuola sel akan melindungi kloroplas dari efek fotoinhibitori dan fotooksidatif yang ditimbulkan energi cahaya yang kuat (Field et al. 2001, Pietrini et al. 2002, Steyn et al. 2002, Gould 2004, Karageorgou & Manetas 2006). Ketika kolesom ditanam saat musim kemarau, maka akan terjadi keadaan kurang air. Keadaan ini memacu kolesom
122
untuk membentuk antosianin. Curah hujan selama penelitian di musim hujan berkisar antara 3.50-25.40 mm/minggu dan di musim kemarau berkisar antara 014.81 mm/minggu. Rata-rata suhu maksimun di musim hujan dan kemarau masing-masing sebesar 31.91 dan 32.06 °C.
Gambar 6.14 Biosintesis klorofil kolesom di musim kemarau. PAL = phenylalanine ammonia lyase. Keterangan lain pada gambar ini sama dengan Gambar 6.6.
6.3 Produksi dan Kualitas Kolesom: Pupuk vs Residu 6.3.1 Produksi Pucuk Kolesom yang diberi pupuk memberikan produksi pucuk 68 % lebih tinggi dibandingkan dengan kolesom yang tidak diberi pupuk (165.31 g/tanaman). Produksi pucuk yang rendah pada perlakuan residu menunjukkan kolesom dalam
123
menghasilkan produksi yang tinggi perlu mendapatkan pemupukan. Pemupukan yang diberikan terutama sumber N akan menunjang pertumbuhan kolesom sehingga menghasilkan tajuk yang besar, dengan demikian pucuk yang dihasilkan juga banyak. Hasil analisis pada kolesom dengan pemupukan menunjukkan kandungan hara jaringan dan tanah masing-masing sebesar 3.04 % N dan 112.08 ppm NO3-. Potensi produksi pucuk kolesom dapat dilakukan dengan menghitung produktivitas per hektar. Telah diketahui jarak tanam yang digunakan adalah 100 cm x 50 cm, maka didapatkan populasi tanaman per hektar adalah 200 000 tanaman. Dengan demikian, produktivitas kolesom dengan pemupukan adalah 55.4 ton pucuk segar/ha dan produktivitas kolesom dengan residu adalah 33.1 ton pucuk segar/ha.
6.3.2 Kualitas Kolesom Terkait Metabolit Primer dan Biosintesisnya Tidak terdapat perbedaan kandungan total gula (rata-rata 38.09 mg SG/g BB untuk kedua jenis perlakuan) dan kandungan protein (rata-rata 56.74 mg SBSA/g BB untuk kedua jenis perlakuan) kolesom dengan pemupukan dan residunya. Hal ini menunjukkan kolesom dengan pemupupukan ataupun tanpa pemupukan akan menghasilkan kualitas yang tidak berbeda. Protein merupakan senyawa mengandung N, namun kandungan hara N kolesom tidak berbeda (ratarata 2.96 % N untuk kedua jenis perlakuan) antara yang diberi pupuk atau residunya sehingga kandungan protein keduanya tidak berbeda. Kolesom yang diberi pupuk memberikan kandungan vitamin C 13 % lebih rendah dibandingkan dengan kolesom yang mendapat residu (14.88 mg/g BB). Kolesom yang tidak diberi pupuk akan menghasilkan vitamin C yang tinggi karena keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti kekurangan hara dan kekeringan. Lebih lanjut, keadaan tajuk yang kecil pada kolesom yang tidak diberi pupuk memungkinkan cahaya matahari masuk ke dalam tajuk, sehingga aktivitas fotosintesis meningkat yang menyebabkan gula banyak terbentuk. Valpuesta dan Botella (2004) dan Giovannoni (2007) menjelaskan bahwa gula merupakan prekursor umum dari vitamin C, namun pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan kandungan total gula yang menyebabkan perbedaan
124
kandungan vitamin C. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan fraksi gula dalam kandungan total gula kolesom (dihitung sebagai glukosa), seperti gula dalam bentuk fruktosa, manosa, dan galaktosa. Dengan demikian, ketika kolesom tidak diberi pupuk maka kolesom akan menghasilkan beberapa senyawa antara lain yang bukan glukosa dalam jumlah besar sehingga sintesis vitamin C meningkat. Hal yang sebaliknya dapat ditemukan pada kolesom yang diberi pupuk.
6.3.3 Kualitas Kolesom Terkait Metabolit Sekunder dan Biosintesisnya Kolesom yang diberi pupuk menghasilkan kandungan total antosianin dan nilai IC 50 yang lebih tinggi; kandungan total fenolik yang lebih rendah; serta kandungan total flavonoid, kandungan total klorofil, aktivitas PAL, CAD, dan POD yang tidak berbeda jika dibandingkan dengan kolesom yang tidak diberi pupuk. Penelitian ini menunjukkan kolesom yang tidak diberi pupuk memiliki kandungan total fenolik (6.85 mg SAG/g BK) yang tinggi sehingga menyebabkan nilai IC 50 (2.66 mg BK/ml) yang rendah atau kapasitas antioksidan yang tinggi. Walaupun flavonoid merupakan bagian dari senyawa fenolik, namun dalam penelitian ini flavonoid kurang berperan dalam kemampuan antioksidan kolesom. Hal ini ditunjukkan dengan kandungan total flavonoid kolesom yang tidak berbeda antara pemupukan dan residunya. Dengan demikian terdapat senyawa fenolik non-flavonoid lain yang memiliki sifat antioksidan yang lebih kuat. Aktivitas PAL (rata-rata 22.41 x 10-2 U/mg protein untuk kedua jenis perlakuan) tidak berbeda antara kolesom yang diberi pupuk atau residunya. Hal ini menunjukkan PAL kurang berperan dalam pembentukan senyawa fenolik, sehingga pembentukannya sebagian besar tidak melalui lintasan fenilpropanoid, namun melalui lintasan asam malonat. Dengan demikian protein yang terbentuk sebagian besar berasal dari asam amino alifatik. Beberapa literatur menyatakan untuk membentuk rantai alifatik dan cincin aromatik membutuhkan energi yang berbeda (Araujo et al. 1999, Matulis et al. 2001). Protein yang berasal dari asam amino alifatik kemungkinan besar merupakan strategi efisiensi energi kolesom karena kolesom dalam keadaan tidak kondusif, seperti kekeringan, kekurangan hara, dan sebagainya.
125
Pigmen daun pada kolesom ada dua, yaitu antosianin dan klorofil. Kandungan total antosianin 34 % lebih tinggi pada kolesom yang diberi pupuk dibandingkan dengan kolesom yang tidak diberi pupuk (9.19 x 10-2 μmol/g BB). Hasil ini tidak sesuai dengan beberapa penelitian, misalnya pada Arabidopsis thaliana yang menunjukkan bahwa antosianin akan banyak disintesis ketika terjadi kekurangan hara, seperti N dan P (Peng et al. 2008). Dapat dijelaskan bahwa adanya antosianin pada kolesom tidak dipengaruhi oleh pemupukan, namun antosianin akan terus ada selama pertumbuhan kolesom. Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Susanti (2012) yang menyatakan hal yang sama. Kandungan total klorofil (rata-rata 9.20 x 10-1μmol/g BB untuk kedua jenis perlakuan) tidak berbeda antara kolesom yang dipupuk atau tanpa pupuk. Hal ini menunjukkan kolesom akan tetap menghasilkan daun yang hijau pada pemberian pupuk atau residunya. Aktivitas CAD (rata-rata 6.51 x 10-2 U/mg protein untuk kedua jenis perlakuan) dan POD (rata-rata 15.34 x 10-2 U/mg protein untuk kedua jenis perlakuan) tidak berbeda antara kolesom yang diberi pupuk atau residunya. Hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan pembentukan lignin antara kolesom dengan pemupukan dan residunya.
126
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil Percobaan 1, 2, dan 3 maka dapat disimpulkan: 1. Secara umum, kolesom dengan pemupukan organik menghasilkan produksi pucuk yang tidak berbeda di musim hujan dan lebih tinggi di musim kemarau dibandingkan dengan pemupukan inorganik. 2. Kolesom dengan kedua jenis pemupukan memiliki kapasitas antioksidan yang tidak berbeda di dalam musim yang sama. 3. Metabolit primer (vitamin C) dan sekunder (flavonoid) yang bersifat antioksidan pada kolesom dengan pemupukan organik dan inorganik didapatkan lebih tinggi di musim kemarau dibandingkan dengan musim hujan. 4. Kolesom dengan pemupukan organik dan inorganik diduga memiliki lintasan biosintesis senyawa fenolik yang berbeda di kedua musim. Biosintesis senyawa fenolik di musim hujan diduga lebih banyak melewati lintasan fenilpropanoid; sedangkan di musim kemarau diduga lebih banyak melewati lintasan asetat malonat. 5. Tanpa penambahan pupuk organik atau inorganik di musim tanam berikutnya menyebabkan produksi pucuk menurun 26-50 %, namun tidak menurunkan kualitas.
7.2 Saran Mengacu pada hasil percobaan 1, 2, dan 3 maka dapat disarankan: 1. Produksi pucuk kolesom yang tinggi dilakukan dengan pemberian pupuk organik. 2. Penanaman kolesom di musim hujan memerlukan drainase yang baik. 3. Pemupukan organik berulang diperlukan untuk mempertahankan produksi yang tinggi di musim tanam berikutnya.
128
DAFTAR PUSTAKA [Balittanah Deptan] Balai Penelitian Tanah, Departemen Pertanian. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Ed ke-2. Bogor: Balittanah. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. Pupuk Guano SNI 02-2871-1992. Jakarta: BSN. [Deptan] Departemen Pertanian. 2003. Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 238/Kpts/OT.210/4/2003 tentang Pedoman Penggunaan Pupuk An-organik. Jakarta: Deptan. Abad A, Lloveras J, Michelena A. 2004. Nitrogen fertilization and foliar urea effects on durum wheat yield and quality and on residual soil nitrate in irrigated mediterranean conditions. Field Crops Res 87:257-269. Abbasi D, Rouzbehan Y, Rezaei J. 2011. Effect of harvest date and nitrogen fertilization rate on the nutritive value of amaranth forage (Amaranthus hypocohondriacus). Animal Feed Sci Technol, in press. Abedi T, Pakniyat H. 2010. Antioxidant enzyme changes in response to drought stress in ten cultivars of Oilseed Rape (Brassica napus L.). Czech J Genet Plant Breed 46:27–34. Abusuwar AO, Ahmed EO. 2010. Seasonal variability in nutritive value of ruminant diets under open grazing system in the semi-arid rangeland of Sudan (South Darfur State). Agric Biol J N Am 1: 243-249. Abu-Zahra TR, Al-Ismail K, Shatat F. 2007. Effect of organic and conventional systems on fruit quality of strawberry (fragaria x ananassa duch) grown under plastic house conditions in the Jordan Valley. Acta Hort (ISHS) 741:159–171. Adekayode FO, Olojugba MR. The utilization of wood ash as manure to reduce the use of mineral fertilizer for improved performance of maize (Zea mays L.) as measured in the chlorophyll content and grain yield. J Soil Sci Environ Manag 1:40-45. Adil WH, Sunarlim N, Roostika I. 2006. Pengaruh tiga jenis pupuk nitrogen terhadap tanaman sayuran. Biodiversitas 7:77-80. Ahaiwe MO. 2008. Field performance of palm bunch ash on ginger growth in a humid environtment. J Agri Soc Res 7:1-4. Ahmad N, Hassan FU, Belford RK. 2009. Effect of soil compaction in the subhumid environment in Pakistan on uptake of NPK and grain yield in wheat (Triticum aestivum): I. Compaction. Field Crop Res 110:54-60.
130
Ahmed YM, Shalaby EA, Shanan NT. 2011. The use of organic and inorganic cultures in improving vegetative growth, yield characters and antioxidant activity of roselle plants (Hibiscus sabdariffa L.). African J Biotechnol 10:1988-1996. Aja PM, Okaka ANC, Onu PN, Ibiam U, Urako AJ. 2010a. Phytochemical composition of Talinum triangulare (water leaf) leaves. Pakistan J Nutr 9:527-530. Aja PM, Okaka ANC, Onu PN, Ibiam U, Urako AJ. 2010b. Proximate analysis of Talinum triangulare (water leaf) leaves and its softening principle. Pakistan J Nutr 9:524-526. Ali MB, Khandaker L, Oba S. 2009. Comparative study on functional components, antioxidant activity and color parameters of selected colored leafy vegetables as affected by photoperiods. J Food Agri Environ 7:392398. Al-Kharusi LM, Elmardi MO, Ali A, Al-Said Al-Juanda F, Abdelbasit KM, AlRawahy S. 2009. Effect of mineral and organic fertilizer on the chemical characteristics and quality of date fruit. Int J Agri Biol 11:290-296. Al-Moshileh AM, Errebi MA. 2004. Effect of various potassium sulfate rates on growth, yield, and quality of potato crown under sandy soil and arid conditions. IPI Regional Workshop on Potassium and Fertigation Development in West Asia and North Africa; Rabat, 24-28 November 2004. Morocco: IPI. Alsafar MS, Al-Hassan YM. 2009. Effect of nitrogen and phosphorus fertilizers on growth and oil yield of indigenous mint (Mentha longifolia L.). Biotechnol 8:380-384. Amic D, Davidovic-Amic D, Beslo D, Trinajstic N. 2003. Structure-radical scavenging activity relationship of flavonoid. Croatia Chem Act 76:55-61. Amodeo G, Talbott LD, Zeiger E. 1996. Use of Potassium and Sucrose by Onion Guard Cells during a Daily Cycle of Osmoregulation. Plant Cell Physiol 37:575-579. Amodio ML, Colelli G, Hasey JK, Kader AA. 2007. A comparative study of composition and postharvest performance of organically and conventionally grown kiwifruits. J Sci Food Agric 87:1228-1236. Anas I. 1989. Menghitung Agar-Cawan untuk Menghitung Jumlah Total Mikroorganisme Tanah.. Di dalam: Soepardi G, editor. Biologi Tanah dalam Praktek. Bogor: IPB. hlm 10-20. Andarwulan N, Batari R, Sandrasari DA, Bolling B, Wijaya H. 2010. Flavonoid content and antioxidant activity of vegetable from Indonesia. Food Chem 121:1231-1235.
131
Andarwulan N, Wijaya CH, Cahyono DT. 1996. Aktivitas antioksidan dari daun sirih (Piper betle L.). Bul Tek Industri Pangan 7:29-37. Anterola AM, Lewis NG. 2002. Trends in lignin modification: A comprehensive analysis of the effects of genetic manipulations/mutations on lignification and vascular integrity. Phytochemistry 61:221-294. Apak R, Guclu K, Demirata B, Ozyurek M, Celik SE, Bektasoglu B, Berker KI, Ozyurt D. 2007. Comparative evaluation of various total antioxidant capacity assays applied to phenolic compounds with CUPRAC assay [ulasan]. Molecules 12:1496-1547. Arancibia-Avila P, Toledo F, Park YS, Jung ST, Kang SG, Heo BG, Lee SH, Sajewicz M, Kowalska T, Gorinstein S. 2008. Antioxidant properties of durian fruit as influenced by ripening. Food Sci Technol 41:2118-2125. Araujo AFP de, Pochapsky TC, Joughin B. 1999. Thermodynamics of interactions between amino acid side chains: experimental differentiation of aromaticaromatic, aromatic-aliphatic, and aliphatic-aliphatic side-chain Interactions in Water. Biophysic J 76:2319–2328. Arbianti R, Utami TS, Kurmana A, Sinaga A. Comparison of antioxidant activity and total phenolic content of Dillenia indica extracts obtained using various techniques. 14th Regional Symposium Chemical Engineering, Yogyakarta-Indonesia, 4-5 Des 2007. Yogyakarta: Chemical Engineering Department, Gadjah Mada University. Ardiansyah. 2005. Daun beluntas sebagai bahan antioksidan dan antibakteri alami [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ashraf M, Iram A. 2005. Drought stress induced changes in some organic substances in nodules and other plant parts of two potential legumes differing in salt tolerance. Flora 200 :535–546. Averbeke W van, Juma KA, Tshikalange TE. 2007. Yield response of African leafy vegetable to nitrogen, phosphorus and potassium: The case of Brassica rapa L. subsp. chinensis and Solanum retroflexum Dun. Water S A 33:355-362. Ayeni LS. 2010. Effect of cocoa pod ash, NPK fertilizer, and their combinations on soil chemical properties and yield of tomato on two soil types. New York Sci J 3:1-11. Azhar N, Hussain B, Ashraf MY, Abbasi K. 2011. Changes in growth, physiology and secondary metabolites of Desi Ajwain (Trachyspermum Ammi L.) [edisi khusus]. Pak J. Bot 43:15-19. Aziz EE, Nadia G, Nadia MB. 2007. Effect of cobalt and nickel on plant growth, yield and flavonoids content of Hibiscus sabdariffa L. Australian J Basic Appl Sci 1:73-78.
132
Azzaz NA, Hassan EA, Hamad EH. 2009. The chemical constituent and vegetative and yielding characteristics of fennel plants treated with organic and bio-fertilizer instead of mineral fertilizer. Australian J Basic Appl Sci 3:579-587. Baker BP, Benbrook CM, Groth III E, Benbrook KL. 2002. Pesticide residues in conventional, IPM-grown and organic foods: Insights from three U.S. data sets. Food Addit Contam 19:427-46. Baligar VC, Fageria NK, He ZL. 2001. Nutrient of use efficiency in plants. Commun Soil Sci Plant Anal 32:921-950. Beale SI. 1990. Biosynthesis of the tetrapyrrole pigment precursor, δaminolevulenic acid, from glutamate [ulasan]. Plant Physiol 93:12731279. Benbrook C, Zhao X, Yanez J, Andrews P. 2008. New evidence confirms the nutritional superiority of plant-based organic foods. State of Science Review. The Organic Center. www.organic-center.org. Benkeblia N. 2000. Phenylalanine ammonia-lyase, peroxidase, pyruvic acid, and total phenolics variation in onion bulbs during long-term storage. Lebensm-Wiss u-Technol 33:112-116. Berardo A, Grattone F, Rizzali R, Garcia F. 1997. Long-term effects of phosphorous fertilization on wheat yields, efficiency, and soil test levels. Better Crops International 12. Birnin-Yauri UA, Yahaya Y, Bagudo BU, Noma SS. 2011. Seasonal variation in nutrient content of some selected vegetables from Wamakko, Sokoto State, Nigeria. J Soil Sci Environ Management 2:117-125. Blamel-Cox PJ, Barker TGF, Eastin JD. 1991. Selection and testing Environments for improved performance under reduced-input condition. Di dalam: Sleper DA, editor. Plant Breeding and Suitanable Agriculture Consideration for Objectives and Methods. Madison: CSSA, Inc. Boerjan E, Ralph J, Baucher M. 2003. Lignin biosynthesis. Annu Rev Plant Biol 54:519-546. Bombardelli E, Morazzoni P. 1993. The flavonoids: New perspectives in biological activities and therapeutics. Chimicaoggi 25-28. Brand-Williams W, Cuvelier ME, Berset C. 1995. Use of a free radical method to evaluate antioxidant activity. Lebensm-Wiss u-Technol 28:25-30. Brielmann HL, Setzer WN, Kaufman PB, Kirakosyan A, Cseke LJ. 2006. Phytochemical: The chemical components of plants. Di dalam: Cseke LJ, Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber S, Duke JA, Brielmann HL, editor. Natural Products from Plants. Ed ke-2. USA: CRC Press. hlm 1-49.
133
Brohi AR, Karaman MR, Topbas MT, Aktas A, Savasli E. 2000. Effect of potassium and magnesium fertilization on yield and nutrient content of rice crop crown on artifical siltation soil. Turk J Agric For 24:429-435. Burford JR, Bremner JM. 1975. Relationships between the denitrification capacities of soils and total, water-soluble and readily decomposable soil organic matter. Soil Biochem 7:389–394. Burkart MR, James DE. 1999. Agricultural-nitrogen contributions to hypoxia in the Gulf of Mexico. J Environ Qual 28:850–859. Butkuviene E, Skuodiene R, Daugeliene N. 2006. Effect of wood ash rates on red beet and potato yields and their quality. Sodininkyste ir Darzininkyste 25:207-215. Carbonaro M, Mattera M, Nicoli S, Bergamo P, Cappelloni M. 2002. Modulation of antioxidant compounds in organic vs. conventional fruit (peach Prunus persica L., and pear Pyrus communis L.). J Agric Food Chem 50:9-11. Caris-Veynard C, Amiot MJ, Tyssandier V, Grasselly D, Buret M, Mikolajczak M, Guilland JC, Bouteloup-Demange C, Borel P. 2004. Influence of organic versus conventional agricultural practice on the antioxidant microconstituent content of tomato and derived purees, consequence on antioxidant plasma status in humans. J Agric Food Chem 52:6503-6509. Carlson JR, Bauer BA, Vincent A, Limburg PJ, Wilson T. 2007. Reading the tea leaves: anticarcinogenic properties of (-)-epigallocatechin-3-gallate. Mayo Clin Proc 82:725-732. Cartea ME, Francisco M, Soengas P, Velasco P. Phenolic compounds in Brassica vegetables [ulasan]. Molecules 16:251-280. Celik G, Turhan E. 2011. Genotypic variation in growth and physiological responses of common bean (Phaseolus vulgaris L.) seedlings to flooding. African J Biotechnol 10:7372-7380. Chang CC, Yang MH, Wen HM, Chern JC. 2002. Estimation of total flavonoid content in propolis by two complementary colorimetric methods. J Food Drug Anal 10:178-182. Chatzitheodorou IT, Sotiropoulos TE, Mouhtaridou GI. 2004. Effect of nitrogen, phosphorus, potassium fertilisation and manure on fruit yield and fruit quality of the peach cultivars ‘Spring Time’ and ‘Red Haven’. Agron Res 2:135-143. Chaves N, Escudero JC, GutierrezMerino C. 1997. Role of ecological variables in the seasonal variation of flavonoid content of Cistus ladanifer exudate. J Chem Ecol 23:579-603.
134
Cheng GW, Breen PJ. 1991. Activity of phenylalanine ammonia-lyase (PAL) and concentration of anthocyanins and phenolics in developing strawberry fruit. J Amer Soc Hort Sci 116:865-869. Clark RB. 1990. Physiology of cereals for mineral nutrient uptake, use, and efficiency. Di dalam: Bakigar VC, Duncan RR, editor. Crops as Enhancers of Nutrient Use. London: Acad. Press Inc. Connor AM. 2005. Genotypic and environmental variation in antioxidant activity and total phenolic content among blackberry and hybridberry cultivars. J Amer Soc Hort Sci 130:527-533. Coppen PP. 1983. The use of antioxidant. Di dalam: Alien JC, Hamilton RJ, editor. Rancidity in Foods. London: Applied Science Publishers. Crespo SC, Moreno-Chacón AL, Rojas A, Melgarejo LM. 2011. Principal component analysis of changes due to water stress for some osmolytes, pigments and antioxidant enzymes in Gmelina arborea Robx: leaves from trees planted in northern Colombia. J Brazilian Chem Soc 22:2275-2280. Cseke LJ, Kaufman PB. 1999. How and why these compounds are synthesized by plants. Di dalam: Kaufman PB, Cseke LJ, Warber S, Duke JA, Brielmann HL, editor. Natural Products from Plants. USA: CRC Press. hlm 37-90. Cseke LJ, Lu CR, Kornfeld A, Kaufman PB, Kirakosyan A. 2006. How and why these compounds are synthesized by plants. Di dalam: Cseke LJ, Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber S, Duke JA, Brielmann HL, editor. Natural Products from Plants. Ed ke-2. USA: CRC Press. hlm 51-100. Csiszár J, Lantos E, Tari I, Madoşă E, Wodala B, Vashegyi A, Horváth F, Pécsváradi A, Szabó M, Bartha B, Gallé A, Lazăr A, Coradini G, Staicu M, Postelnicu S, Mihacea S, Nedelea G, Erdei L. 2007. Antioxidant enzyme activities in Allium species and their cultivars under water stress. Plant Soil Environ 53:517–523. Cushman JC. 2001. Crassulacean acid metabolism: a plastic photosynthetic adaptation to arid environtments. Plant Physiol 127:1439-1448. Daiss N, Lobo GM, Socorro AR, Bruckner U, Heller J, Gonzales M. 2008. The effect of three organic pre-harvest treatments on swiss chard (Beta vulgaris L. var. cycla L.) quality. Eur Food Res Technol 226:345-353. Dangcham S, Bowen J, Ferguson BI, Ketsa S. 2008. Effect of temperature and low oxygen on pericarp hardening of mangosteen fruit stored at low temperature. Postharvest Biology and Technology 50:37-44.
135
Davies JM, Atkinson CJ, Burns C, Woolley JG, Hipps NA, Arroo RRJ, Dungey N, Robinson T, Brown P, Flockart I, Hill C, Smith L, Bentley S. 2009. Enhancement of artemisin concentration and yield in response to optimization of nitrogen and potassium supply to Artemisia annua. Annals Bot 104:315-323. De Lima VLAG, Melo EDA, Lima LDS. 2001. Physicochemical characteristics of bilimbi (Averrhoa bilimbi L.) [komunikasi singkat]. Rev Bras Frutic Jaboticabal-SP 23:421-423. Du H, Zhang L, Liu L, Tang XF, Yang WJ, Wu YM, Huang YB, Tang YX. 2009. Biochemical and Molecular Characterization of Plant MYB Transcription Factor Family [ulasan]. Biokhimiya 74:5-16. Dubey RS, Pessarakli M. 1995. Physiological mechanism of N absorption and assimilation in plant under stressful conditions. Di dalam: Pessarakli M, editor. Handbook and Crop Physiology. New York: Marcel Dekker Inc. El-Maksoud MF Abd. 2008. Effects of levels and splitting of N-fertilization on growth, yield components, yield and grain quality of some rice cultivars. Res J Agri Biol Sci 4:392-398. Errebhi M, Wilcox GE. 1990. Plant species response to ammonium‐nitrate concentration ratios. J Plant Nutr 13:1017-1029. Estiasih T, Kurniawan DA. 2006. Aktivitas antioksidan ekstrak umbi akar ginseng jawa (Talinum triangulare Willd.). J Teknol Industri Pangan 18:166-182. Field TS, Lee DW, Holbrook NM. 2001. Why Leaves Turn Red in Autumn. The Role of Anthocyanins in Senescing Leaves of Red-Osier Dogwood. Plant Physiol 127:566–574. Frei B, Higdon JV. 2003. Antioxidant activity of tea polyphenols in vivo: evidence from animal studies. J Nutr 133:3275. Fresco P, Borges F, Diniz C, Marques MPM. 2006. New insights on the anticancer properties of dietary polyphenols. Med Res Rev 26:747. Gapper C, Dolan L. 2006. Control of plant development by reactive oxygen species. Plant Physiol 141:341-345. Gascho GJ et al. 1998. Nitrate-nitrogen, soluble, and bioavailable phosphorus runoff from simulated rainfall after fertilizer application. Soil Sci Soc Am J 62:1711–1718. Gharib FA, Moussa LA, Massoud ON. 2008. Effect of compost and bio-fertilizer on growth, yield, and essential oil of sweet marjoram (Majorana hortensis) plant. Int J Agri Biol 10:381-387.
136
Ghasemi M, Arzani K, Yadollahi A, Ghasemi S, Sarikhani-Khorrami S. Estimate of Leaf Chlorophyll and Nitrogen Content in Asian Pear (Pyrus serotina Rehd.) by CCM-200. Not Sci Biol 3:91-94. Gholizadeh A. 2011. Effect of drought on the activity of phenylalanine ammonia lyase in the leaves and roots of maize inbreds. Australian J Basic Appl Sci 5:952-956. Gill KP, Sharma AD, Singh P, Bhullar SS. 2001. Effect of various abiotic stresses on the growth, soluble sugars and water relations of sorghum seedlings grown in light and darkness. Bulg J Plant Physiol 27:72-84. Gill SS, Tuteja N. 2010. Reactive oxygen species and antioxidant machinery in abiotic stress tolerance in crop plants. Plant Physiol Biochem 48:909-930. Giorgio D De, Sisto D, Ubaldo D, Vonella AV. 2004. The effects of Nfertilization levels and root mycorrhizal colonization on plant-growth and grain yield in durum wheat. Conserving Soil and Water for Society: Sharing Solutions. 13th International Soil Conservation Organisation Conference; Brisbane, Jul 2004. Brisbane: ISCO. Hlm 1-4. Giovannoni JJ. 2007. Completing a pathway to plant vitamin C synthesis. Proc Natl Acad Sci USA 104:9109–9110. Gordon MH. 1990. The mechanism of antioxidants action in vitro. Di dalam: Hudson BJF, editor. Food Antioxidant. London: Elsevier Applied Science. hlm 1-18. Goss MJ, Goorahoo D. 1995. Nitrate contamination of groundwater: measurement and prediction. Fert Res 42:331–338. Gould KS. Nature’s Swiss Army Knife: The Diverse Protective Roles of Anthocyanins in Leaves [ulasan]. J Biomed Biotecnol 5:314–320. Goveas SW, Miranda EC, Seena S, Sridhar KR. 2006. Observations on guano and bolus of Indian flying fox, Pteropus giganteus. Current Sci 90:160-162. Grzesiak MT. 2009. Impact soil compaction on root architecture, leaf water status, gas exchange, and growth of maize and triticale seedlings. Plant Root 3:10-16. Hadad R, Anderson RG. 2004. Analysis of organic fertilizers for use ini vegetable transplant production. Floriculture Res Rep 19-04. Hakl J, santrucek J, Kocourkova D, Fuksa P. 2007. The effect of the soil compaction on the contents of alfalfa root reserve nutrients in relation to the stand density and the amount of root biomass. Soil Water Res 2:54-58.
137
Hallman E, Rembialkowska E. 2007. Comparison of the nutritive quality of tomato fruits from organic and conventional production in Poland. 3rd QLIF Congress: Improving Sustainability in Organic and Low Input Food Production Systems, Germany, 20-23 Mar 2007. Germany: University of Hohenheim. Hartatik W, Widowati LR. Pupuk Kandang. Di dalam: Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W, editor. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 59-82. Hashim AB, Aminuddin, Siva KB. 1996. Nutrient content in rice husk ash of some malaysian rice varieties. Pertanika J Trop Agric Sci 19:77-80. Helton TJ, Butler TJ, McFarland ML, Hons FM, Mukhtar S, Muir JP. 2008. Effects of dairy manure compost and supplemental inorganic fertilizer on Costal Bermudagrass. Agron J 100:924-930. Herencia JF, Ruiz-Porras JC, Melero S, Garcia-Galavis PA, Morillo E, Maqueda C. 2007. Comparisson between organic and mineral fertilization for soil fertility levels, crop macronutrient concentrations, and yield. Agron J 99:973-983. Herrera A, Delgado J, Paraguatey I. 1991. Occurence of inducible crassulacean acid metabolism in leaves of Talinum triangulare (Portulacaceae). J Experimen Bot 42:493-499. Herrera A. 2009. Crassulacean acid metabolism and fitness under water deficit stress: if not for carbon gain, what is facultative CAM good for? Annal Bot 103:645-653. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Volume ke-2. Badan Litbang Departemen Kehutanan, penerjemah. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari: De Nuttige Planten Van Indonesie. Hichri I, Barrieu F, Bogs J, Kappel C, Delrot S, Lauvergeat V. 2010. Recent advances in the transcriptional regulation of the flavonoid biosynthetic pathway [ulasan]. J Exp Bot:1-19. Hilbert G, Soyer JP, Molot C, Giraudon J, Milin S, Gaudillere JP. 2003. Effects of nitrogen supply on must quality and anthocyanin accumulation in berries of cv. Merlot. Vitis 42:69-76. Hsu YM, Tseng MJ, Lin CH. 1999. The fluctuation of carbohydrates and nitrogen compounds in flooded wax-apple trees. Bot Bull Acad Sin 40:193-198. Hutapea JR. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Volume ke-3. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
138
Ibeawuchi II, Onweremadu EU, Oti NN. 2006. Effect of poultry manure on green (Amarranthus cruentus) and water leaf (Talinum triangulare) on degraded ultisols of Owerri southeastern Nigeria. J Anim Vet Adv JAVA 5:53-56. Iijima M, Highuci T, Barlow PW. 2004. Contribution of root cap mucilage and presence of an intact root cap in maize (Zea mays) to the reduction of soil mechanical impedance. Short Com, Ann Bot. Ijoyah MO. 2007. Effects of different levels of decomposed poultry manure on yield of muskmelon at Anse Boileau, Seychelles. African J Biotechnol 6:1882-1884. Iqbal S, Bano A. 2009. Water stress induced changes in antioxidant enzymes, membrane stability and seed protein profile of different wheat accessions. African J Biotechnol 8:6576-6587. Islam MA, Macdonald SE. 2004. Ecophysiological adaptations of black spruce (Picea mariana) and tamarack (Larix laricina) seedlings to flooding. Trees 18:35–42. Javanmardi, J, Stushnoff, Locke E, Vivanco JM. 2003. Antioxidant activity and total phenolic content of Iranian Ocimum accessions. Food Chem 83:547550. Jones JB. 1998. Plant Nutrition Manual. Florida: CRC Press. Juszczuk IM, Wiktorowska A, Malus´a E, Rychter AM. 2004. Changes in the concentration of phenolic compounds and exudation induced by phosphate deficiency in bean plants (Phaseolus vulgaris L.). Plant and Soil 267:4149. Kale VS. 2010. Variable rates of primary and secondary metabolite during different seasons and physiological stages in Convolvulus, Datura, and Withania. Asian J Exp Biol Sci Spl 50-53. Kampa M, Nifli AP, Notas G, Castanas E. 2007. Polyphenols and cancer cell growth. Rev Physiol Biochem Pharmacol 159:79-113. Kanampiu FK, Raun WR, Johnson GV. 1997. Effect of nitrogen rate on plant nitrogen loss in winter wheat varieties. J Plant Nutr 20:389–404. Karageorgou P, Levizou EFI, Manetas Y. 2002. The influence of drought, shade and availability of mineral nutrients on exudate phenolics of Dittrichia viscosa. Flora 197:285-289. Karageorgou P, Manetas Y. 2006. The importance of being red when young: anthocyanins and the protection of young leaves of Quercus coccifera from insect herbivory and excess light. Tree Physiol 26:613-621.
139
Kasno A, Rochayati S, Prasetyo BH. 2006. Deposit, penyebaran, dan karakteristik fosfat alam. Di dalam: Kasno A, Hartatik W, editor. Fosfat Alam. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 1-21. Kazimierczak R, Hallman E, Rusaczonek A, Rembialkowska E. 2008. Antioxidant content in black currats from organic and conventional cultivation. Food Sci Technol Res 2:57-61. Khalil MY, Moustafa AA, Naguib NY. 2007. Growth, phenolic compounds and antioxidant activity of some medicinal plants grown under organic farming condition. World J Agri Sci 3:451-457. Khan MJ, Qasim M. 2008. Integrated use of boiler ash as organic fertilizer and soil conditioner with NPK in calcareous soil. Songklanakarin J Sci Technol 30:281-289. Kohda H, Yamaoka Y, Morinaga S, Ishak M, Darise M. 1992. Saponins from Talinum triangulare. Chem Pharm bull 40:2557-2558. Kumar S, Kumar D, Prakash O. 2008. Evaluation of antioxidant potential, phenolic, and flavonoid contents of Hibiscus tiliaceus flowers. EJEAFChe 7:2863-2871. Kurniawati A, Poerwanto R, Sobir, Effendi D, Cahyana H. 2010. Evaluation of fruit character, xanthones content, and antioxidant properties of various qualities of mangosteens. J Agron Indonesia 38:232-237. Lado M, Paz A, Ben-Hur M. 2004. Organic matter and aggregate size interaction in infiltration, seal formation and soil loss. Soil Sci Soc Am J 68:935-942. Laegreid M, Bockman OC, Koarstad O. 1999. Agriculture Fertilizers and the Environment. Cambridge: University Press, CABI Publishing. Laszlo M. 2010. Effects of potassium mineral fertilization on potato (Solanum tuberosum L.) yield on chernozem soil in Hungary. Geophysic Res Abs 12. Leiwakabessy FM, Sutandi A. 1998. Pupuk dan Pemupukan. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Li
MB. 2000. Management-Oriented Modelling: Optimizing Nitrogen Management with Artificial Intelligence. Amsterdam: Agricultural System Elsevier.
Liferdi, Poerwanto R, Susila AD, Idris K, Mangku IW. 2008. Correlation test of leaf phosphorus nutrient with mangosteen production. Indonesian J Agri 1:95-102. Lima VLAG, Maciel MIS, Prazeres FG, Musser RS, Lima DES. 2005. Total phenolic and carotenoid contents in acerola genotypes harvested at three ripening stages. Food Chem 90:565-568
140
Linquist BA, Phengsouvanna V, Pheng SX. 2007. Benefits of organic residues and chemical fertilizer to productivity of rain-fed lowland rice and to soil nutrient balances. Nutr Cycl Agroecosyst 79:59–72. Low-Ogbomo KE, Ajayi SO. 2009. Growth and yield performance of Amaranthus cruentus influenced by planting density and poultry manure apllication. Not Bot Hort Agrobot Cluj 37:195-199. Luttge U. 2004. Ecophysiology of crassulacean acid metabolism (CAM). Annal Bot 93:629-652. Luyen LT, Preston PR. 2004. Effect of level of urea fertilizer on biomass production of water spinach (Ipomoea aquatica). Livestock Res Rural Dev 16. Lynch SJ, Goldwebeh S. 1956. Some effects of nitrogen, phosphorous, and potassium fertilization on the yield and tree growth of avocados. Proc Fal State Hort Soc 69:289-292. Ma QH. 2010. Functional analysis of cinnamyl alcohol dehydrogenase involved in lignin biosynthesis in wheat. J Exp Bot 61:2735-2744. Magkos F, Arvaniti F, Zampelas A. 2003. Organic food: nutritious food or food for thought? A review of the evidence. Int J Food Sci Nutr 54:357-371. Mahmoud E, Abd El-Kader N, Robin P, Akkal-Corfini N, Abd El-Rahman L. 2009. Effects of different organic and inorganic fertilizer on cucumber yield and some soil properties. World J Agri Sci 5:408-414. Mari GR, Changying J. 2008. Influence of agriculture machinery traffic on soil compaction patterns, root development, and plant growth, overview. American-Eurasian J Agric Environ Sci 3:49-62. Markham KR. 1975. Isolation techniques for flavonoids. Di dalam: Harborne JB, Mabry TJ, Mabry H, editor. The Flavonoids. New York: Academic Press. Marman M. 2010. Pengaruh kombinasi konsentrasi pupuk N-K melalui daun terhadap produksi pucuk daun kolesom (Talinum triangulare Willd) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Ed ke-2. London: Academic Press Limited. Marsic NK, Gasperlin L, Abram V, Budic M, Vidrih R. 2011. Quality parameters and total phenolic content in tomato fruits regarding cultivar and microclimatic conditions. Turk J Agric For 35:185-194. Marvi MSP. 2009. Effect of nitrogen and phosphorous rates on fertilizer use efficency in lettuce and spinach. J Hort Forest 1:140-147.
141
Maslarova Y. 2001. Inhibiting oxidation. Di dalam: Pokorny et al., editor. Antioxidant in Food. New York: CRC Press. Matulis D, Bloomfield VA. 2001. Thermodynamics of the hydrophobic effect. II. Calorimetric measurement of enthalpy, entropy, and heat capacity of aggregation of alkylamines and long aliphatic chains. Biophysic Chem 93:53-65. McIntyre GI. 1997. The role of nitrate in the osmotic and nutritional control of plant development. Australian J Plant Physiol 24: 103–118. Melati M, Asiah A, Rianawati D. 2008. Aplikasi pupuk organik dan residunya untuk produksi kedelai panen muda. Bul Agron 37:204-213. Mensah JK, Okoli RI, Ohaju-Obodo JO, Eifediyi K. 2008. Phytochemical, nutritional, and medical properties of some leafy vegetables consumed by Edo people of Nigeria. African J Biotechnol 7:2304-2309. Meskauskiene R, Nater M, Goslings D, Kessler F, op den Camp R, Apel K. 2001. FLU: a negative regulator of chlorophyll biosynthesis in Arabidopsis thaliana. Proc Natl Acad Sci USA 98: 12826-12831. Mohammadkhani N, Heidari R. 2008. Drought-induced Accumulation of Soluble Sugars and Proline in Two Maize Varieties. World Appl Sci J 3:448-453. Montagu KD, Conroy JP, Atwell BJ. 2001. The position of localized soil compaction determines root and subsequent shoot growth responses. J Exp Bot 364:2127-2133. Morita Y, Yamashita H, Mikami B, Iwamoto H, Aibara S, Terada M, Minami J. 1988. Purification, crystallization, and characterization of peroxidase from Coprinus cinereus. J Biochem 103:693-699. Mosali J, Girma K, Teal RK, Freeman KW, Martin KL, Raun WR. 2005. Effect of foliar application on winter grain yield, phosporus uptake and use efficiency. J Plant Nutr 29:2147-2163. Mousavi EA, Kalantari KM, Jafari SR. 2009. Change of some osmolytes accumulation in water-stressed colza (Brassica Napus L.) as affected by 24-epibrassinolide. Iranian J Sci Technol 33:A1. Mualim L, Aziz SA, 2011. Leaf, anthocyanin, and protein production of Talinum triangulare Jacq. Willd with various rates of P fertilizer. J Agron Indonesia 39: 200 -204. Mualim L, Aziz SA, Melati M. 2009. Kajian pemupukan NPK dan jarak tanam pada produksi antosianin daun kolesom. J Agron Indonesia 37:55-61. Mualim S. 2010. Respon pertumbuhan kolesom terhadap pemupukan P [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
142
Muthadi A, Anitha R, Kothandaraman S. 2007. Rice husk ash-properties and its uses: A review. J Institut Eng India 88:50-56. Niki E, Noguchi N. 2000. Evaluation of antioxidant capacity: Which capacity is being measured by which method? IUBMB Life 50:323-329. Olaniyi JO. 2008. Comparative effects of the source and level of nitrogen on the yield and quality of lettuce. American-Eurasian J Sustain Agri 2:225-228. Olson RV, Murphy LS, Moser HC, Swallow CW. 1979. Fate of tagged fertilizer nitrogen applied to winter wheat. Soil Sci Soc Am J 43:973–975. Onwuka MI, Osodeke VE, Okolo NA. 2007. Amalioration of soil acidity using cocoa husk ash for maize production in Umudike area of South East Nigeria [komunikasi singkat]. Tropic Subtropic Agroecosys 7:41-45. Ortuno A, Benavente-Garcia O, Castillo J, Alcaraz M, Vicente V, Del Rio JA. 2007. Beneficial action of citrus flavonoid on multiple cancer related biological pathways. Curr Cancer Drug Targets 7:795-809. Osman SM. 2010. Effect of potassium fertilization on yield, leaf mineral content, and fruit quality of bartamoda date palm propagated by tissue culture technique under Aswan conditions. J Appl Sci Res 6:184-190. Othman H, Mohammed AT, Dolamt MT. 2005. Bunch ash: An efficient and costeffective K fertilizer source for mature oil palm on peat under high rainfall environtment. MPOB Information Series 254. Pacheco C, Calauro F, Vieira S, Santos F. 2008. Effect of nitrogen and potassium on yield and fruit quality in kiwifruit. 4th IASME/WSEAS International Conference on Energy, environtment, Ecosystems, and Suistainable Development; Algarve, 11-13 Jun 2008. Portugal: EEESD. Paramasivam S, Alva AK. 1997. Leaching of nitrogen forms from controlledrelease nitrogen fertilizers. Commun Soil Sci Plant Anal 28:1663–1674. Payet B, Sing ASC, Smadja J. 2005. Assessment of antioxidant activity of cane brown sugars by ABTS and DPPH radical scavenging assays: Determination of their polyphenolic and volatile constituents. J Agric Food Chem 53:10074-10079. Peng MS, Hudson D, Schofield A, Tsao R, Yang R, Gu HL, Bi YM, Rothstein SJ. 2008. Adaptation of Arabidopsis to nitrogen limitation involves induction of anthocyanin synthesis which is controlled by the NLA gene. J Exp Bot 59:2933–2944. Pettigrew WT. 2008. Potassium influences on yield and quality production for maize, wheat, soybean and cotton [ulasan]. Physiologia Plantarum 133: 670–681.
143
Pietrini F, Iannelli MA, Massacci A. Anthocyanin accumulation in the illuminated surface of maize leaves enhances protection from photo-inhibitory risks at low temperature, without further limitation to photosynthesis. Plant Cell Environ 25:1251-1259. Policegoudra RS, Aradhya SM. 2007. Biochemical changes and antioxidant activity of mango ginger (Curcuma amada Roxb.) rhizomes during postharvest storage at different temperatures. Postharvest Biol Technol 46:189-194. Poojari M, Padyana S. 2009. Evaluation of antioxidant and antimicrobial properties of Ixora brachiata Roxb. E-Journal Chem 6:625-628. Prakash A, Rigelhof F, Miller. 2006. Antioxidant Activity. Minnesota: Medalion Laboratories. Prangdimurti E, Muchtadi D, Astawan M, Zakaria FR. 2006. Aktivitas antioksidan ekstrak daun suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown). J Teknol Indus Pangan 18: 79-86. Prasad B, Sinha SK. 2000. Long-term effects of fertilizers and organic manure on crop yields, nutrient balance, and soil properties in rice-wheat cropping system in Bihar. Di dalam: Abrol IP, Bronson KF, Duxbury JM, Gupta RK, editor. Long-term Soil Experiments in Rice-Wheat Cropping Systems. New Delhi: Rice-Wheat Consortium for the Indo-Gangetic Plains. hlm 105-118. Pratt DE, Hudson BJF. 1992. Natural antioxidant not exploited commercially. Di dalam: Hudson BJF, editor. Food Antioxidants. London: Elsevier Applied Science. hlm 171-192. Prawiranata W, Haran S, Tjondronegoro P. 1991. Fisiologi Tumbuhan. Volume ke-2. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Priyadharshini J, Seran TH. 2009. Paddy husk ash as a source of potassium for growth and yield of cowpea (Vigna unguiculata L.). J Agri Sci 4:67-75. Rahadi VP. Pengaruh pupuk kandang sapi dan pupuk guano terhadap produksi kedelai (Glycine max (L.) Merr) organik panen muda [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ramos S. 2007. Effects of dietary flavonoids on apoptotic pathways related to cancer chemoprevention. J Nutr Biochem 18:427. Reddy KR, Hodges HP, Varco J. 2000. Potassium Nutrition of Cotton. Buletin 1094. Mississippi Agricultural and Forestry Experiment Station, Mississippi State, Mississippi.
144
Rembialkowska E, Srednicka D. 2009. Organic food quality and impact on human health. Organic food quality and impact on human health. Agro Res Ed khusus 2:719-727. Ren H, Endo H, Hayashi T. 2001. Antioxidative and antimutagenic activities and polyphenol content of pesticide-free and organically cultivated green vegetables using water-soluble chitosan as a soil modifier and leaf surface spray. J Sci Food Agic 81:1426-1432. Rifai MA. 1994. Bibliography 8: Vegetables, Bagian ke-1 & 2 [bibliografi]. Bogor: Prosea Foundation. Rissler HM, Collakova E, DellaPenna D, Whelan J, Pogson BJ. 2002. Chlorophyll biosynthesis, expression of a second Chl I gene of magnesium chelatase in Arabidopsis supports only limited chlorophyll synthesis. Plant Physiol 128:770-779. Rivero RM, Ruiz JM, Garcia PC, Lopez-Lefebre LR, Sanchez E, Romero L. 2001. Resistance to cold and heat stress: accumulation of phenolic compounds in tomato and watermelon plants. Plant Sci 160:315-321. Rohman A, Riyanto S. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol daun kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack) secara in vitro. Majalah Farmasi Indonesia 16:136-140. Rossetto MRM, Vianello F, da Rocha SA, Lima GPP. 2009. Antioxidant substances and pesticide in parts of beet organic and conventional manure. African J Plant Sci 3:245-253. Sandrasari DA. 2008. Kapasitas antioksidan dan hubungannya dengan nilai total fenol ekstrak sayuran indigenous [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Santa IGP, Prajogo SB. 1999. Studi taksonomi Talinum paniculatum (Jacq.) Gaertn. dan Talinum triangulare (Jacq.) Willd. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 5:9-10. Sawan ZM, Hafez SA, Basyony AE, Alkassas AR. 2006. Cottonseed, protein, oil yields, and oil properties as affected by nitrogen fertilzation and foliar application of potassium and plant growth retardant. World J Agri Sci 2:56-65. Sediyarso, M. 1999. Fosfat Alam sebagai Bahan Baku dan Pupuk Fosfat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Shankar S, Ganapathy S, Srivastava RK. 2007. Green tea polyphenols biology and therapeutic implications in cancer. Front Biosci 12:4881.
145
Shao HB, Chu LY, Lu ZH, Kang CM. Primary antioxidant free radical scavenging and redox signaling pathways in higher plant cells [ulasan]. Int J Biol Sci 4:8-14. Siatka T, Kasparova M. 2010. Seasonal variation in total phenolic and flavonoid contents and DPPH scavenging activity of Bellis perennis L. flowers. Molecules 15:9450-9461. Sikazwe O, Waele B de. 2004. Assesment of the quality and reserves of bat guano at Chipongwe and kapongo caves near Lusaka as fertiliser material. UNZA J Sci Technol Ed Khusus 32-42. Sims DA, Gamon JA. 2002. Relationships between leaf pigment content and spectral reflectance across a wide range of species, leaf structures, and development stages. Remote Sensing Environt 81:337-354. Sitio J, Widodo, Barchia F. 2007. Pemanfaatan EM4 dan abu sekam padi untuk peningkatan pertumbuhan dan hasil padi surya di tanah gambut. J Akta Agrosia Ed khusus 1:36-40. Soeksmanto A, Hapsari Y, Simanjuntak P. 2007. Kandungan antioksidan pada beberapa bagian tanaman mahkota dewa, Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl. (Thymelaceae). Biodiversitas 8:92-95. Sridhar KR, Ashwini Km, Seena S, Sreepada KS. 2006. Manure qualities of guano of insectivorous cave bat Hipposideros speoris. Tropic Subtropic Agroecosyst 6:103-110. Stertz SC, Santos Rosa MI, Sossela de Freitas RJ. 2005. Nutritional quality and contaminants of conventional and organic potato (Solanum tuberosum L., Solanaceae) in the metropolitan region of Curitiba–Parana–Brazil. Boletim do Centro de Pesquisa e Processamento de Alimentos 23:383-396. Steyn WJ, Wand SJE, Holcroft DM, Jacobs G. 2002. Anthocyanins in vegetative tissues: a proposed unified function in photoprotection [ulasan]. New Phytol 155:349–361. Supasatienchai P, Chanchareonsook J, Sarabol E. Utilization of slop ash as a source of potassium for corn grown on the pakchong soil series. Kasetsart J (Nat Sci) 44:17-23. Suriadikarta DA, Simanungkalit RDM. Pendahuluan. 2006. Di dalam: Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W, editor. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 1-10. Susanti H, Aziz SA, Melati M. 2008. Produksi biomassa dan bahan bioaktif kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd.) dari berbagai asal bibit dan dosis pupuk kandang ayam. Bul Agron 36:48-55.
146
Susanti H. 2012. Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd.) dengan pemupukan nitrogen+kalium dan interval panen [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Susanti H, Aziz SA, Susanto S, Melati M. 2011. Protein and anthocyanin productions of waterleaf shoot (Talinum triangulare (Jacq.) Willd.) at different levels of nitrogen+potassium and harvest intervals. J Agron Indonesia 39. Sutedjo MM. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta: Rineka Cipta. Syukur C, Hernani. 2002. Budi Daya Tanaman Obat Komersil. Jakarta: Penebar Swadaya. Tabata K, Takaoka T, Esaka M. 2002. Gene expression of ascorbic acid-related enzymes in tobacco. Phytochem 61:631-635. Taisma MA, Herrera A. 1998. A relationship between fecundity, survival, and the operation of crassulacean acid metabolism in Talinum triangulare. Can J Bot 76:1908-1915. Talbott LD, Zeiger E. 1996. Central Roles for Potassium and Sucrose in GuardCell Osmoregulation. Plant Physiol 111:1051-1057. Tensiska, Wijaya CH, Andarwulan N. 2003. Aktivitas antioksidan ekstrak buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) dalam beberapa sistem pangan dan kestabilan aktivitasnya terhadap kondisi suhu dan pH. J Teknol Industri Pangan 14:29-39. Tesleem I, Folusho A, Gani A, Gani O, Rasak M. 2009. Mineral and phytochemical content in leaves of Talinum triangulare (water leaf) subjected to different processing methods. Internet J Nutr Wellness 7(2). Tetsushi H, Karim Md A.Flooding tolerance of sugarcanein relation to growth, physiology, and root structure. South Pacific Studies 28:9-22. Tisdale SL, Nelson WL. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. Ed ke-3. New York: Mc Millan Publishing Co., Inc. Toor RK, Savage GP, Heeb A. 2006. Influence of different types of fertilisers on the major antioxidant components of tomatoes. J Food Compos Anal 19:20-27. Tresnawati E. 1999. Pengaruh pemberian pupuk nitrogen dan tingkat populasi terhadap pertumbuhan dan produksi radiks kolesom (Talinum paniculatum Gaertn.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 5:5-6.
147
Turk M, Albayrak S, Balabanli C, Yuksel O. 2009. Effects of fertilization on root and leaf yields and quality of forage turnip (Brassica rapa L.). J Food Agri Environ 7(3-4):339-342. Tzin V, Galili G. New insights into shikimate and aromatic amino acids biosynthesis pathways in plants [ulasan]. Molecular Plant 3:956-972. Vajrabhaya M, Kumpun W, Chadchawan S. 2001. The solute accumulation: The mechanism for drought tolerance in RD23 rice (Oryza sativa L.) lines. ScienceAsia 27:93-97. Valpuesta V, Botella MA. 2004. Biosynthesis of L-ascorbic acid in plants: new pathways for an old antioxidant. Plant Sci Supl 9:12. Verma DPS, Van Huystee RB. 1970. Relationship between peroxidase, catalase, and protein synthesis during cellular development in cell cultures of peanut. Canadian J Biochem 48: 444-449. Vijay N, Kumar A, Bhoite A. 2009. Influence of nitrogen and potasium fertilizer on biochemical contents of Asparagus racemosus (Willd.) root tubers. Res J Environ Sci 3:285-291. Vincent AG, Turner BL, Tanner EVJ. 2010. Soil organic phosphorus dynamics following perturbation of litter cycling in a tropical moist forest. European J Soil Sci 61:48–57. Vogt T. 2010. Phenylpropanoid Biosynthesis. Mol Plant 3:2-20. Wahyuni S, Hadipoentyanti E. 1999. Karakteristik Talinum paniculatum Gaertn. dan Talinum triangulare Willd. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 5:5-6. Wang ZH, Li SX, Malhi S. 2008. Effects of fertilization and other agronomic measures on nutritional quality of crops [ulasan]. J Sci food Agric 88:7-23. Wangcharoen W, Morasuk W. 2007. Antioxidant capacity and phenolic content of holy basil. Songklanakarin J Sci Technol 29:1407-1415. Waterborg JH, Matthews HR. 2002. The Lowry method for protein quantitation. p. 7-9. In J.M. Walker (Eds.). The Protein Protocols Handbook 2nd Ed. Humana Press Inc, New Jersey. Waterhouse LA. 2002. Determination of total phenolics. Current Protocols in Food Analytical Chemistry. USA: John Wiley & Sons, Inc. hlm I1.1.1I1.1.8. Watson GW, Kelsey P. 2006. The impact of soil compaction on soil aeration and fine root density of Quercus palustris. Urban Forest Urban Green 4:69-74. Westermann DT, Tindall TA. Potassium fertilization of russet burbank potatoes. Better Crops 82:8-12.
148
Wettstein D von, Gough S, Kannangara CG. Chlorophyll biosynthesis. Plant Cell 7:1039-1057. Wijaya CH. 1999. Andaliman, rempah tradisional Sumatera Utara dengan aktivitas antioksidan dan antimikroba [komunikasi singkat]. Bul Teknol Industri Pangan 10:59-61. Worthingthon V. 2001. Nutritional quality of organic versus conventional fruits, vegetables, and grains. J Alternat Complement Med 7:161-173. Xi S, Hua RL, Song ZY, Hao YQ, Xian TC,Xiang QL. 1989. Effect of Potassium Fertilizer Application on Physiological Parameters and Yield of Cotton grown on a Potassium deficient Soil. Z Pflanzenernaehr Bodenk 152:269– 272. Yang RY, Tsou SCS, Lee TC, Wu WJ, Hanson PM, Kuo G, Engle LM, Lai PY. 2006. Distribution of 127 edible plant species for antioxidant activities by two assays. J Sci Food Agri 86:2395-2403. Yang Y, He F, Yu LJ, Chen XC, Lei J, Ji JX. 2007. Influence of Drought on Oxidative Stress and Flavonoid Production in Cell Suspension Culture of Glycyrrhiza inflata Batal. Verlag der Zeitschrift für Naturforschung, Tübingen 62c. Yemm EW, Willis AJ. 1954. The estimation of carbohydrates in plant extracs by antrone. Biochem J 57:508-514. Young JE, Zhao X, Carey EE, Welti R, Yang SS, Wang W. 2005. Phytochemical phenolics in organically grown vegetables. Mol Nutr Food Res 49:11361142. Zhang LX, Wang QY, Guo QS, Chang QS, Zhu ZB, Liu L, Xu HJ. 2012. Growth, physiological characteristics and total flavonoid content of Glechoma longituba in response to water stress. J Medicinal Plant Res 6:1015-1024.
LAMPIRAN
150
151
Lampiran 1 Persiapan contoh untuk analisis kandungan total fenolik, kandungan total flavonoid, dan kapasitas antioksidan Pucuk kolesom yang telah dipanen dicuci bersih dengan air mengalir, ditiriskan, kemudian segera disimpan dalam freezer (-20°C, 2 × 24 jam). Selanjutnya, pucuk kolesom beku dikeringkan menggunakan freeze dryer (+ 2 × 24 jam, -50°C, < 12 Pa). Pucuk kolesom yang telah kering kemudian dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk halus. Ekstraksi dilakukan dengan menimbang serbuk kolesom sebanyak 0.1 g yang diekstrak dalam 5 ml metanol dan dipanaskan (60 menit, 60°C). Selanjutnya, campuran tersebut dipisahkan fase cair dan padat menggunakan sentrifus (4 500 × g, 10 menit). Hasil berupa supernatan (ekstrak cair) kemudian digunakan untuk analisis selanjutnya. Lampiran 2 Analisis kandungan total fenolik metode folin-ciocalteau (microscale protocol, Waterhouse 2002 dengan sedikit modifikasi) Prosedur analisis dilakukan dengan mengambil ekstrak cair kolesom (20 μl) atau standar fenolik lalu secara terpisah ditambahkan berturut-turut dengan air destilata (1.58 ml) dan pereaksi Folin-Ciocalteu (100 μl), divorteks, kemudian didiamkan selama 8 menit. Selanjutnya, campuran ditambahkan dengan larutan sodium karbonat (300 μl, 25 %), divorteks, dan diinkubasi dalam water bath (15 menit, 45°C). Total fenolik ditetapkan secara kolorimetri pada panjang gelombang 765 nm menggunakan spektrofotometer. Kurva standar dibuat menggunakan 0-80 mg/l asam galik dalam metanol (y = 410.8 x + 15.34, R2 = 0.99). Hasilnya kemudian dinyatakan sebagai miligram ekuivalen asam galat per gram bobot kering (mg GAE/g BK).
Lampiran 3
Analisis kandungan total flavonoid (metode aluminium chloride colorimetric, Chang et al. (2002) dengan sedikit modifikasi)
Prosedur analisis dilakukan dengan mengambil ekstrak cair kolesom (0.1 ml) kemudian secara terpisah berturut-turut ditambahkan etanol (1.9 ml), aluminium klorida (0.1 ml, 10 %), potasium asetat (0.1 ml, 1 M), air destilata (2.8 ml), dan divorteks. Setelah inkubasi pada suhu ruang (27°C) selama 30 menit, absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 415 nm menggunakan
152
spektrofotometer. Blanko menggunakan aluminium klorida 10 % yang disubstitusi dengan air destilata dalam jumlah yang sama. Kurva standar dibuat menggunakan 0-400 mg/l kuersetin dalam metanol (y = 679.2 x + 21.49, R2 = 0.99). Hasilnya dinyatakan sebagai miligram ekuivalen kuersetin per gram bobot kering (mg kuersetin/g BK).
Lampiran 4 Analisis kapasitas antioksidan (metode radikal bebas stabil, 1,1diphenyl-2-picryl hydrazyl (DPPH) assay, modifikasi dari BrandWilliams et al. 1995 & Payet et al. 2005) Prosedur analisis dilakukan dengan mengambil ekstrak cair kolesom (0.1 ml; IC50 didapatkan dengan menggunakan konsentrasi ekstrak cair 1 mg/ml-12.5 mg/ml) kemudian ditambahkan larutan DPPH (5 ml, 0.1 mM DPPH dalam etanol) dan divorteks. Campuran disimpan pada suhu 27ºC selama 20 menit di tempat gelap. Kontrol disiapkan tanpa penambahan ekstrak cair. Absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 517 nm. Kapasitas antioksidan dinyatakan sebagai persen inhibisi (penghambatan) dan pembanding menggunakan asam askorbik (0-100 mg/l). Adapun rumus yang digunakan adalah Penghambatan (%) =
–
x 100 %
Lampiran 5 Analisis kandungan vitamin C (modifikasi dari Kurniawati et al. 2010) Analisis kandungan vitamin C dilakukan menggunakan metode titrimetri. Bagian tanaman yang digunakan untuk analisis kandungan vitamin C adalah daun pucuk segar. Berturut-turut + 5 g daun segar ditambahkan + 30 ml buffer vitamin C dan + 5 g CaO kemudian campuran dihaluskan menggunakan disperser. Campuran yang telah halus berbentuk larutan disentrifugasi (4 500 × g) untuk mengendapkan ampas daun. Selanjutnya, 10 ml alikuot (bagian dari larutan utama) ditambahkan dengan 1 ml amilum (1 %), dan dititrasi sampai terbentuk warna biru yang stabil selama 5 menit.
153
Lampiran 6
Persiapan contoh untuk analisis protein dan aktivitas enzim (Dangcham et al. 2008)
Daun kolesom (1 g) ditambahkan buffer ekstrak (5 ml; 100mmol/L Tris– HCl, pH 7.5; 1mmol/L EDTA; 5mmol/L MgCl2, 0.05% Triton X-100; 2.5mmol/L dithiothreitol) dan dihaluskan menggunakan disperser (18 000 rpm). Selanjutnya, campuran disentrifugasi dua kali masing-masing dengan kecepatan 4 500 × g (10 menit) dan 25 000 × g (15 menit) untuk mendapatkan supernatan.
Lampiran 7 Analisis protein (metode Lowry 1951, Waterborg 2002)
Supernatan (0.05-0.1 ml) alikuot ditambahkan air destilata sampai 1 ml. Selanjutnya, campuran tersebut ditambahkan 0.9 ml pereaksi A (7 mM K-Na Tartrate.4H2O (Garam Rochelle) ; 0,81 M Na2CO3 dalam 500 mL NaOH 1N ; H2O sampai 1 L bisa tahan 2-3 bulan); kocok dengan vorteks kemudian inkubasi (50 ºC, 10 menit). Campuran kemudian didinginkan pada suhu ruang, kemudian tambahkan pereaksi B (0.1 ml; 70 mM K-Na Tartrate.4H2O; 40 mM CuSO4.5H2O dalam 10 mL NaOH 1N ; H2O sampai 100 mL); kocok dan inkubasi pada suhu ruang. Tambahkan pereaksi C (3 ml; 1 mL Folin-Ciocalteau dilarutkan dengan 15 mL H2O); kocok dan inkubasi (50 ºC, 10 menit). Absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 650 nm. Standar Bouvine Serum Albumin (BSA) 0-200 mg/l. (Sigma Aldrich). Persamaan kurva standar yang digunakan adalah y = 293.0 x – 9.96 (R2 = 0.99).
Lampiran 8 Analisis aktivitas PAL (Dangcham et al. 2008)
Supernatan (0.1 ml) ditambahkan larutan L-Phe [2.4 ml; 0.5 M Tris-HCl buffer (pH 8.5) yang mengandung 6 µM L-Phenylalanine]; kemudian diinkubasi (37 ºC, 1 jam). Hasil inkubasi ditambahkan HCl (0.5 ml; 5 M). Absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 290 nm. Persamaan kurva standar yang digunakan adalah y = 8.38 x + 1.69 (R2 = 0.99).
154
Lampiran 9 Analisis aktivitas POD (menurut Morita et al. 1988 seperti yang telah dilakukan Dangcham et al. 2008) Supernatan
(0.1
ml)
ditambahkan
buffer
ekstrak
(1.85
ml),
aminoantipyrine (0.5 ml), fenol (0.5 ml), dan air destilata (0.05 ml). Absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 512 nm selama 4.5 menit.
Lampiran 10 Analisis aktivitas CAD (menurut Goffner et al. 1992 seperti yang telah dilakukan Dangcham et al. 2008) Supernatan (0.1 ml) ditambahkan larutan 100 mM Tris base-HCl pH 7.5 (2.87 ml); 0.2 mM NADP (0.02 ml); dan 0.1 mM coniferyl alcohol (0.01 ml). Absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 400 nm selama 3 menit.
Lampiran 11 Analisis kandungan total gula (Yemm & Willis 1954)
Sampel kering (0.1 g) diekstrak dua kali menggunakan etanol panas (5 ml, 80 %), kocok, dan sentrifugasi (4 500 × g, 10 menit). Supernatan diuapkan sampai tersisa air, tera hingga 100 ml. Larutan (1 ml) berturut-turut ditambahkan air (1 ml) dan arthrone (5 ml, 0.1 %), kemudian panaskan (100°C, 12 menit). Absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 620 nm. Standar glukosa 0-80 ppm (Merck). Persamaan kurva standar yang digunakan adalah y = 102.8 x – 5.31 (R2 = 0.99).
Lampiran 12 Persiapan contoh untuk analisis kandungan hara jaringan tajuk
Bagian tanaman yang dianalisis adalah keseluruhan tajuk kolesom (tidak termasuk pucuk dan bagian akar). Tajuk dikeringkan melalui dua tahap, yaitu dikeringkan dengan bantuan panas matahari (+ 7 hari di rumah kaca), kemudian dikeringkan dalam oven (60°C, + 3 hari) sampai mencapai bobot konstan. Pengeringan dalam dua tahapan ini dilakukan untuk mengurangi kadar air yang tinggi di kolesom. Contoh kering dihaluskan dengan alat penggiling.
155
Lampiran 13 Analisis mikroflora tanah (Anas 1989)
Tanah (10 g) dimasukkan kedalam erlenmeyer berukuran 250 ml yang berisi 90 ml larutan fisiologis. Larutan fisiologis dibuat dengan dosis 8.5 g NaCl/l air. Larutan kemudian di shaker selama 30 menit. Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 ml alikuot larutan tanah dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan fisiologis. Pengamatan total mikrob biasanya dilakukan dengan pengenceran 105 dan 106, sedangkan total fungi menggunakan pengenceran 103 dan 104. Dari masing-masing pengenceran kemudian diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri, dan kemudian dimasukkan media agar (+ 10 ml) yang tidak terlalu panas. Pengamatan total mikrob menggunakan media nutrient agar (NA) dengan konsentrasi 28 g NA/l air. Pengamatan total fungi menggunakan media martin agar (MA) dengan komposisi per liter air: 1 g KH2PO4, 0.05 g MgSO4.7H2O, 5 g pepton, 10 g dekstros, 20 g agar, dan indikator rose bengal (merah) secukupnya. Penghitungan mikroflora dilakukan setelah inkubasi selama 3 hari. Semua peralatan yang digunakan disterilisasi dengan autoklaf (20 menit, 121°C) dan pengerjaan analisis dilakukan dalam laminar flow cabinet.
Lampiran 14 Analisis kandungan total antosianin dan kandungan total klorofil (Sims & Gamon 2002) Contoh daun segar dihaluskan, ditambahkan dengan asetris (2 ml), dan disentrifus (14000 rpm, 10 menit). Selanjutnya, supernatan (1 ml) ditambahkan dengan asetris (3 ml) dan dicampur rata. Absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 663, 647, dan 537 nm. Kandungan total antosianin (μmol/g) = [(0.08173 x Abs 537) – (0.00697 x Abs 647) – (0.002228 x Abs 663) x fp x v)]/bobot basah daun x 100. Klorofil A (μmol/g) = [(0.01373 x Abs 663) – (0.000897 x Abs 537) – (0.003046 x Abs 647) x fp x v)]/bobot basah daun x 100. Klorofil B (μmol/g) = [(0.02405 x Abs 647) – (0.004305 x Abs 537) – (0.005507 x Abs 663) x fp x v)]/bobot basah daun x 100. Kandungan total klorofil = klorofil a + klorofil b. Abs = nilai absorban pada panjang gelombang λ, fp = faktor pengenceran, v = volume.
156