PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) DENGAN PEMUPUKAN NITROGEN+KALIUM DAN INTERVAL PANEN
HILDA SUSANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Wild) dengan Pemupukan Nitrogen+Kalium dan Interval Panen adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012 Hilda Susanti A262080011
ABSTRACT HILDA SUSANTI. Protein and Anthocyanin Production of Waterleaf Shoot (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) with Nitrogen+Potassium Application and Harvest Interval. Under direction of SANDRA ARIFIN AZIZ, MAYA MELATI, and SLAMET SUSANTO. The research was conducted in Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia from November 2009 until December 2010 to increase waterleaf shoot protein and anthocyanin production with nitrogen+potassium application and harvest interval. The research consisted of 4 experiments. The first experiment was conducted from November 2009 until Februari 2010 to study the effect of different levels of nitrogen+potassium and harvest interval on waterleaf shoot protein and anthocyanin production. The result showed that combination of 100 kg urea/ha + 100 kg KCl/ha and 15 days harvest interval gave the highest protein production (4.72 g/plant). The highest anthocyanin production was resulted by treatments of 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha (152.23 µmol/plant) and 10 days harvest interval (165.27µmol/plant), but it was not influenced by interaction between level of N+K fertilizer and harvest interval. The second experiment was conducted from April until July 2010 to study the effect of different harvest intervals and splitting application of nitrogen+potassium on waterleaf shoot protein and anthocyanin production. The result showed that combination of 15 days harvest interval and three times fertilization with total dosages of 150 kg urea+ 150 kg KCl/ha produced the highest protein production (13.90 g/plant) and anthocyanin (250.61 µmol/plant) of marketable shoots. The third experiment was conducted from April until July 2010 to study the effect of foliar application of nitrogen+potassium and harvest interval on waterleaf shoot. The result showed that 4 times of foliar application and 100 kg urea + 100 kg KCl/ha of basal fertilizer produced the highest shoot protein (5.69 g/plant) and anthocyanin production (109.44 µmol/plant) on the waterleaf which harvested every 15 days interval. The fourth experiment was conducted from October until December 2010 to study the effect of soil and foliar applications of nitrogen+potassium fertilizer on waterleaf shoot protein and anthocyanin production. The result showed that the highest protein and anthocyanin production of waterleaf shoot for 75 days were produced by 100% soil application of N+K; protein production was 16.98 g/plant while anthocyanin production was 170.27µmol/plant. From those 4 experiments, it can be concluded that to obtain the highest protein and anthocyanin production, waterleaf must be harvested every 15 days from 30 until 75 days after planting. Furthermore, waterleaf must be fertilized in three steps with 100 kg urea + 100 kg KCl/ha at planting, 25 kg urea + 25 kg KCl/ha at 30 and 60 days after planting. The correlation between protein or anthocyanin content with the growth and other physiologis components were not consistent. Keywords : leafy vegetable, protein, anthocyanin, fertilizer, harvest.
RINGKASAN HILDA SUSANTI. Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dengan Pemupukan Nitrogen+Kalium dan Interval Panen. Dibimbing oleh SANDRA ARIFIN AZIZ, MAYA MELATI, dan SLAMET SUSANTO.
Kolesom merupakan sayuran bergizi berkhasiat obat karena mengandung protein dan antosianin pada pucuknya. Peningkatan kualitas pucuk kolesom melalui teknik budidaya pertanian harus dilakukan sebagai langkah untuk menyusun panduan praktek budidaya yang baik (Good Agriculture Practices/GAP) sayuran kolesom yang dapat diterapkan oleh masyarakat luas. Penelitian untuk meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom dengan pemupukan nitrogen+kalium dan interval panen telah dilakukan di kebun percobaan IPB, Leuwikopo, Bogor. Percobaan pertama untuk mempelajari pengaruh berbagai dosis pupuk nitrogen+kalium dan interval panen terhadap produksi protein dan antosianin pucuk kolesom telah dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai Februari 2010. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Dua faktor tersebut adalah dosis pupuk N+K (50 kg urea + 50 kg KCl/ha, 50 kg urea + 100 kg KCl/ha, 100 kg urea + 50 kg KCl/ha, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha) dan interval panen (30, 15, dan 10 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis pupuk 100 kg urea + 100 kg KCl/ha dan interval panen 15 hari memberikan produksi protein pucuk kolesom tertinggi yaitu sebesar 4.72 g/tanaman. Produksi antosianin pucuk kolesom tertinggi dihasilkan oleh masingmasing perlakuan 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha (152.23 µmol/tanaman) atau interval panen 10 hari (165.27 µmol/tanaman), namun tidak dipengaruhi oleh interaksi antara kedua perlakuan tersebut. Terdapat korelasi positif antara kandungan protein dengan klorofil; kandungan antosianin dengan gula; kandungan antosianin dengan semua komponen pertumbuhan, kecuali bobot kering daun. Percobaan ke dua untuk mempelajari pengaruh berbagai pemupukan N+K secara bertahap dan interval panen terhadap produksi protein dan antosianin pucuk kolesom telah dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2010. Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Dua faktor tersebut adalah interval panen (15 dan 30 hari) dan pemupukan N+K bertahap yang meliputi frekuensi dengan total dosis N+K yang berbeda (1 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha, 3 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha, 5 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha, 3 kali dengan 150 kg urea + 150 kg KCl/ha, 5 kali dengan 150 kg urea + 150 kg KCl/ha). Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan interval panen 15 hari dengan pemupukan bertahap pada frekuensi 3 kali dengan total dosis 150 kg urea+ 150 kg KCl/ha menghasilkan produksi protein (13.90 g/tanaman) dan antosianin (250.61 µmol/tanaman) tertinggi dalam pucuk kolesom layak jual. Kandungan protein berkorelasi positif dengan klorofil. Percobaan ke tiga untuk mempelajari pengaruh aplikasi pemupukan N+K melalui daun pada dua interval panen terhadap produksi protein dan antosianin
pucuk kolesom telah dilaksanakan pada bulan april sampai juli 2010. Penelitian pot menggunakan rancangan petak terpisah dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah interval panen yaitu 15 dan 30 hari. Faktor ke dua adalah aplikasi pupuk daun N+K yang meliputi frekuensi penyemprotan pupuk daun dengan dosis pupuk dasar N+K yang berbeda yaitu 0 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha, 2 kali dengan 50 kg urea + 50 kg KCl/ha, 4 kali dengan 50 kg urea + 50 kg KCl/ha, 2 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha, 4 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha. Konsentrasi pupuk daun yang digunakan adalah 0.2% urea + 0.1% KCl. Penyemprotan pupuk daun sebanyak 4 kali dan pemberian pupuk dasar sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha pada kolesom yang dipanen 15 hari sekali menghasilkan produksi protein dan antosianin pucuk tertinggi yaitu masingmasing sebesar 5.69 g/tanaman dan 109.44 µmol/tanaman. Kandungan protein berkorelasi positif dengan klorofil dan gula. Percobaan ke empat dilakukan untuk mempelajari pengaruh berbagai aplikasi pupuk nitrogen+kalium melalui tanah dan daun terhadap produksi protein dan antosianin pucuk kolesom pada bulan Oktober sampai Desember 2010. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan 3 ulangan dan 4 perlakuan aplikasi pupuk N+K melalui tanah dengan atau tanpa aplikasi pupuk melalui daun. Perlakuan tersebut adalah aplikasi 100% dosis pupuk N+K melalui tanah (150 kg urea + 150 kg KCl); aplikasi 100, 75, dan 50% dosis pupuk N+K melalui tanah dengan penambahan aplikasi pupuk daun 0.2% urea dan 0.1% KCl. Pemupukan melalui tanah dilakukan pada 0, 30, dan 60 HST, sedangkan aplikasi pupuk daun dilakukan pada 15, 30, 45, dan 60 HST. Hasil percobaan menunjukkan bahwa produksi protein dan antosianin pucuk tertinggi selama 75 HST dihasilkan oleh kolesom yang mendapatkan perlakuan aplikasi 100% dosis pupuk N+K melalui tanah, yaitu berturut-turut sebesar 16.98 g/tanaman dan 170.27 µmol/tanaman. Kandungan protein dan antosianin tidak berkorelasi dengan semua komponen pertumbuhan dan fisiologis lainnya. Berdasarkan hasil 4 percobaan maka dapat disimpulkan bahwa usaha peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom selama periode tanam 75 hari yang dapat dijadikan informasi awal dalam penyusunan panduan Good Agriculture Practices (GAP) sayuran kolesom adalah melalui pemanenan pucuk setiap 15 hari sekali, penggunaan 5 ton pupuk kandang ayam/ha dan 50 kg SP-18/ha sebagai pupuk dasar, serta pemupukan urea + KCl yang dilakukan dalam 3 tahapan yaitu 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha pada saat tanam, 25 kg urea + 25 kg KCl/ha pada 30 dan 60 HST. Kandungan protein mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan umur tanaman pada masa vegetatif dan akan mengalami penurunan pada masa reproduktif. Kandungan antosianin akan menurun sejalan dengan pertambahan umur tanaman dan akan mengalami peningkatan kembali pada saat kolesom mengalami stres abiotik akibat pemanenan yang intensif. Kandungan protein secara konsisten tidak berkorelasi dengan biomassa tanaman dan kandungan antosianin, sedangkan kandungan antosianin secara konsisten tidak berkorelasi dengan kandungan klorofil. Korelasi antara kandungan protein dengan klorofil dan gula, maupun kandungan antosianin dengan biomassa tanaman dan gula bervariasi antar percobaan. Kata Kunci :
Sayuran daun, protein, antosianin, pemupukan, pemanenan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) DENGAN PEMUPUKAN NITROGEN+KALIUM DAN INTERVAL PANEN
HILDA SUSANTI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M. Si Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M. Si Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr Dr. Ir. Yul H. Bahar
Judul Disertasi :
Nama NIM
: :
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Wild) dengan Pemupukan Nitrogen+Kalium dan Interval Panen Hilda Susanti A262080011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S. Ketua
Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Agr Anggota
Mengetahui
Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 16 Januari 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah budidaya sayuran berkhasiat obat, dengan judul Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Wild) dengan Pemupukan Nitrogen+Kalium dan Interval Panen. Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S; Dr. Ir. Maya Melati, M.S, M.Sc; dan Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Agr selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan berupa pengalaman, saran, dan kritik, serta membukakan cakrawala pemikiran. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional atas beasiswa selama penulis menjalankan pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di IPB, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan atas bantuan sebagian dana penelitian, serta kepada ayah, ibu, suami dan seluruh keluarga atas segala dukungannya. Sebuah artikel berjudul Protein and Anthocyanin Production of Waterleaf Shoots (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) at Different Levels of Nitrogen+Potassium and Harvest Intervals yang merupakan bagian dari disertasi diterbitkan pada Jurnal Agronomi Indonesia, Agustus 2011, volume 39, nomor 2, halaman 119-123.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pelaihari pada tanggal 31 Januari 1980 dari ayah Syakhril Syukur, B.Sc dan ibu Tuti Hariyati. Penulis merupakan putri ke dua dari tiga bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan dr. R.M.N. Haryono Novianto dan dikaruniai seorang putra yang diberi nama Agung Haryo Susanto. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat dan lulus pada tahun 2002. Penulis diterima di Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2004 dan lulus pada tahun 2006. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Mayor Agronomi dan Hortikultura Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2008 dengan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional RI. Penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat sejak tahun 2002. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi Ketua Forum Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura SPs IPB peride 2009-2010.
DAFTAR ISI Halaman ……………………………………………………….
iv
……………………………………………………..
v
……………………………………………………
vi
PENDAHULUAN ……………………………………………………… Latar Belakang ……………………………………………………. Rumusan Masalah ………………………………………………… Tujuan Penelitian …………………………………………………. Hipotesis …………………………………………………………. Ruang Lingkup Penelitian ……………………………………….
1 1 3 4 4 5
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………. Kolesom …………………………………………………………. Antosianin ………………………………………………………… Protein ……………………………………………………………. Pemupukan ……………………………………………………….. Nitrogen …………………………………………………………. Kalium …………………………………………………………… Pupuk Daun ……………………………………………………… Pemanenan ……………………………………………………….
7 7 8 10 12 12 14 15 15
…………………………………….
17
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
KEADAAN UMUM PENELITIAN
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) PADA BERBAGAI DOSIS PUPUK NITROGEN+KALIUM DAN INTERVAL PANEN ……………………. Abstrak …………………………………………………………… Pendahuluan ……………………………………………………… Bahan dan Metode ……………………………………………… Waktu dan Tempat ………………………………………. Bahan dan Alat …………………………………………… Metode Penelitian ………………………………………… Pelaksanaan Percobaan ……………………………………. Pengamatan ………………………………………………. Hasil dan Pembahasan ………………………………………….. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam ………………………… Komponen Fisiologis Tanaman …………………………….. Komponen Pertumbuhan Tanaman ………………………… Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan Fisiologis …………………………………………………….. Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom …………… Kesimpulan ……………………………………………………….
21 21 22 23 23 22 24 25 26 27 27 27 39
44 45 46
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) DENGAN PEMUPUKAN BERTAHAP NITROGEN+KALIUM PADA DUA INTERVAL PANEN ……………. Abstrak ………………………………………………………… Pendahuluan …………………………………………………… Bahan dan Metode ……………………………………………… Waktu dan Tempat ………………………………………… Bahan dan Alat …………………………………………… Metode Penelitian ………………………………………. Pelaksanaan Percobaan ……………………………………. Pengamatan ……………………………………………… Hasil dan Pembahasan …………………………………………. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam …………………………. Komponen Fisiologis Tanaman ……………………………. Komponen Pertumbuhan Tanaman ……………………… Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan Fisiologis …………………….. ……………………………… Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom ………… Kesimpulan ………………………………………………………
47 47 48 49 49 49 49 51 52 52 52 53 64
69 70 70
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) DENGAN APLIKASI PUPUK DAUN NITROGEN+KALIUM PADA DUA INTERVAL PANEN ……………. Abstrak ………………………………………………………. Pendahuluan …………………………………………………. Bahan dan Metode ……………………………………………… Waktu dan Tempat ………………………………………. Bahan dan Alat …………………………………………… Metode Penelitian ………………………………………. Pelaksanaan Percobaan …………………………………… Pengamatan ……………………………………………… Hasil dan Pembahasan …………………………………………. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam …………………………. Komponen Fisiologis Tanaman ……………………………. Komponen Pertumbuhan Tanaman ………………………. Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan Fisiologis ……………………..………………………………. Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom…………….. Kesimpulan ……………………………………………………
92 93 94
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) PADA BERBAGAI APLIKASI PUPUK NITROGEN+KALIUM MELALUI TANAH DAN DAUN ……. Abstrak ………………………………………………………… Pendahuluan …………………………………………………. Bahan dan Metode …………………………………………….
95 95 96 97
71 71 72 73 73 73 73 74 75 76 76 77 86
Waktu dan Tempat ……………………………………. Bahan dan Alat ………………………………………… Metode Penelitian ……………………………………… Pelaksanaan Percobaan ………………………………… Pengamatan …………………………………………… Hasil dan Pembahasan ………………………………………… Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam ………………………… Komponen Fisiologis Tanaman ……………………………. Komponen Pertumbuhan Tanaman ….……………………… Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan Fisiologis ……………………..………………………………. Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom ……………. Kesimpulan …………………………………………………… PEMBAHASAN UMUM
97 97 97 98 99 100 100 101 107
110 110 111
………………………………………. 113
KESIMPULAN
………………………………………… 129
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………. 131
LAMPIRAN
……………………………………………………… 145
DAFTAR TABEL Halaman 1
Profil asam amino dari daun kolesom dan rekomendasi FAO/WHO ...... 11
2
Data iklim penelitian pada bulan Nopember 2009-Desember 2010 ....... 17
3
Jadwal pemanenan pucuk kolesom pada perlakuan interval panen yang berbeda selama 80 HST .......................................................................... 24
4
Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman .................................................................................................. 27
5
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K pada umur 20, 50 dan 80 HST .................. 30
6
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara interval panen dan dosis pupuk N+K umur 80 HST .................... 31
7
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K pada umur 20, 50 dan 80 HST .................. 34
8
Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dan interval panen pada umur 20, 50 dan 80 HST .............. 36
9
Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K pada umur 20, 50 dan 80 HST .................. 38
10
Bobot basah pucuk kolesom pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K umur 20, 50, dan 80 HST ................................................... 41
11
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara interval panen dan dosis pupuk N+K pada umur 50 dan 80 HST serta total selama 80 hari ................................................................................. 42
12
Bobot basah dan kering daun, batang, dan umbi kolesom pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K pada umur 80 HST ...................... 43
13
Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis kolesom pada berbagai perlakuan dosis pupuk N+K dan interval panen pada umur 80 HST ........................................................................................................... 44
14
Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K ....................................... 45
15
Produksi protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara interval panen dan dosis pupuk N+K ............................................ 45
16
Jadwal pemanenan pucuk kolesom pada perlakuan interval panen yang berbeda selama 90 hari ............................................................................ 50
17
Pemupukan bertahap nitrogen dan kalium berdasarkan waktu dan total dosis ......................................................................................................... 50
18
Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman (percobaan II) ............................................................................ 53
19
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K dan interval panen pada umur 30, 60, dan 90 HST .......................................................................................................... 55
20
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara interval panen dan tahapan pemupukan N+K pada umur 90 HST ................................................................................................................... 56
21
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60, dan 90 HST ........... 58
22
Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60, dan 90 HST ........... 60
23
Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur 90 HST ...... 61
24
Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60, dan 90 HST ........... 63
25
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60, dan 90 HST ...................... 65
26
Bobot basah pucuk kolesom layak jual umur 60 HST dan total selama 90 hari pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K .......................................................................................... 66
27
Bobot basah dan kering kolesom umur 90 HST pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K .................................................... 68
28
Bobot basah dan kering umbi kolesom umur 90 HST pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K ............ 69
29
Korelasi antara kandungan protein dan antosianin umur 90 HST dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis kolesom pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K ........................................ 69
30
Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual selama 90 hari pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K............................................................................................ 70
31
Aplikasi pupuk N+K melalui daun dengan berbagai frekuensi penyemprotan dan dosis pupuk dasar urea + KCl .................................. 74
32
Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman (percobaan III) .......................................................................... 76
33
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST ............ 79
34
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST ............ 81
35
Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST ............ 84
36
Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST ............ 86
37
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST ....................... 84
38
Bobot basah pucuk kolesom layak jual umur 60 HST dan total selama 90 hari pada berbagai kombinasi antara interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K ...................................................................................... 89
39
Bobot basah daun, batang, dan umbi kolesom umur 90 HST pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K .......................... 90
40
Bobot basah daun, batang, dan umbi kolesom umur 90 HST pada berbagai kombinasi antara interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K .................................................................................................................. 91
41
Bobot kering daun, batang, dan umbi kolesom umur 90 HST pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K ........................... 92
42
Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom umur 90 HST dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis kolesom pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K ... 93
43
Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K selama 90 hari .......................................................................................... 93
44
Berbagai perlakuan aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun .......... 98
45
Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan kolesom (percobaan IV) .......................................................................... 100
46
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N + K melalui tanah dan daun selama 90 hari ............................. 102
47
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari ............................... 103
48
Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari ................................. 105
49
Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari ................................ 107
50
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari ........................................... 108
51
Bobot basah daun, batang, dan umbi kolesom pada umur 90 hari dengan berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun ............... 109
52
Bobot kering daun, batang, dan umbi kolesom pada umur 90 hari dengan berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun .. .............. 110
53
Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom umur 90 HST dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis kolesom pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K melalui tanah dan daun ......................................................................................................... 110
54
Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual selama 75 hari pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun .............. 111
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan kegiatan penelitian …….………………………………………
6
2
Foto tanaman kolesom
…….…………………………………………
7
3
Struktur umum antosianin
……………………………………………
9
4
Jalur biosintesis antosianin …………………………………………….
10
5
(a) Kerusakan yang ditimbulkan oleh secondary pathogen; (b) kerusakan yang ditimbulkan oleh belalang ……………………………
19
(a) Kuncup daun gejala penyakit busuk batang dan akar; (b) kolesom yang terserang penyakit busuk batang …………………………………
19
7
Daun yang terserang penyakit bercak merah …….…………………….
20
8
(a) Pigmen antosianin yang terdapat pada batang; (b) pigmen antosianin yang terdapat pada daun kolesom ……..……………………
20
6
9
Setek kolesom berukuran panjang 10 cm ……………………………… 23
10
Pucuk kolesom berukuran panjang 10 cm ……………………………… 26
11a Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 30 hari ………….…………………
28
11b Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 15 hari ……………………………
28
11c Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 10 hari ……..….………………….
28
12a Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 30 hari ………..………………….
32
12b Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 15 hari ………..………………….
33
12c Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 10 hari …….….………………….
33
13a Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 30 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST ……………………………………………………………..……
34
13b Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 15 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST ……………………………………………………………….……
35
13c Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 10 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST ……………………………………………………………….……
35
14a Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 30 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST …..
37
14b Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 15 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST …
37
14c Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 10 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST ….
38
15a Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 30 hari …….…………………………….
39
15b Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 15 hari ….………………………………
40
15c Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 10 hari ….………………………………
40
16a Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari …………………………………………………………… 54 16b Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 30 hari ……………………………………………………………
54
17a Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari …….…………………………………………………….
57
17b Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 30 hari …….…………………………………………………….
57
18a Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari ……………………………………………………….….
59
18b Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 30 hari ……………………………………………………….….
59
19a Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari ….
62
19b Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 30 hari …
62
20a Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari …
64
20b Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari ….
65
21a Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan interval panen 15 hari …………………………..………………………
77
21b Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan interval panen 30 hari …………………..………………………………
78
22a Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan interval panen 15 hari …………………………………………
80
22b Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan interval panen 30 hari ………………………………………….. 81 23a Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan interval panen 15 hari …………………………………………………..
83
23b Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan interval panen 30 hari ………………………………………………….
83
24a Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan interval panen 15 hari ………………………………………………….
85
24b Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan interval panen 30 hari …………………………………………………..
85
25a Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan interval panen 15 hari ………………………………..………………………………… 86
25b Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan interval panen 15 hari ………………………………………………………………….
87
26
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun ………….………………………… 101
27
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun …………………………. 103
28
Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun ………..………………………… 104
29
Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun …………………………………… 106
30
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun ………….……………………………… 108
31
Mekanisme antosianin sebagai modulator sinyal stres ………………... 121
32
Jalur mekanisme biosintesis protein dan antosianin ………………….. 122
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Hasil analisis sifat kimia tanah ................................................................ 147
2
Metode Lowry untuk analisis protein ..................................................... 148
3
Metode analisis antosianin dan klorofil .................................................. 150
4
Metode penentuan gula total ................................................................... 151
PENDAHULUAN Latar Belakang Kolesom merupakan salah satu tumbuhan gulma yang berkhasiat obat. Tumbuhan ini asli dari Amerika Tropis dan pada tahun 1915 diimpor ke Jawa melalui Suriname (Heyne 1987). Kolesom aman dikonsumsi berdasarkan uji toksisitas akut (Nugroho 2000). Bagian tanaman yang dapat dikonsumsi adalah umbi dan daun. Umbi tanaman ini cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai obat kuat dalam campuran minuman dan
telah lama digunakan nenek
moyang kita sebagai pengganti ginseng (Panax ginseng) karena ada kesamaan morfologi akar, sedangkan daun kolesom dapat dikonsumsi segar sebagai sayur lalapan (Hargono 1995; Hernani et al. 2002). Daun kolesom memiliki potensi sebagai sayuran berkhasiat obat karena memiliki nilai gizi dan antioksidan yang tinggi. Kandungan gizi yang terkandung dalam 100 g bahan kering adalah 4.6 g protein, 1.0 g serat, 4.4 g karbohidrat, 280 mg asam askorbat, 2.44 mg Ca, 6.10 mg K, 2.22 mg Mg, 0.28 mg Na, dan 0.43 mg Fe (Mensah et al. 2008). Salah satu gizi penting yang terdapat pada daun kolesom adalah protein. Kolesom mengandung 18 macam asam amino. Kandungan asam amino tertinggi yang terkandung di dalamnya adalah asam glutamat (586.3 g/kg) dan leusin (563.8 g/kg). Berdasarkan kandungan tersebut maka kolesom menjadi salah satu dari 3 sayuran terpilih di Afrika selain Amaranthus cruentus dan Telferia occidentalis
yang direkomendasikan sebagai sayuran murah sumber protein
karena kemampuannya dalam mensintesis asam amino (Fasuyi 2007). Penelitian Susanti et al. (2008) menunjukkan bahwa daun kolesom mengandung bahan bioaktif flavonoid, steroid, dan alkaloid. Hasil penelitian Mualim et al. (2009) menunjukkan bahwa salah satu senyawa flavonoid yang telah terdeteksi adalah antosianin. Menurut Castañeda-Ovando et al. (2009), antosianin merupakan pigmen penting pada jaringan tanaman yang menentukan warna jingga, merah tua, merah muda, violet dan biru. Peranannya terhadap kesehatan manusia adalah sebagai antioksidan alami.
Studi epidemiologi
menunjukkan bahwa sayuran yang mengandung antioksidan dapat melindungi
tubuh dari kerusakan oksidatif dengan menghambat radikal bebas dan oksigen reaktif. Usaha peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom diduga dapat dilakukan dengan pemupukan. Penelitian kolesom dengan menggunakan pupuk kandang ayam yang dilakukan oleh Susanti et al. (2008) mendapatkan bahwa dosis pupuk kandang ayam 5 ton/ha dapat direkomendasikan sebagai pupuk dasar dalam budidaya kolesom.
Penelitian Mualim et al. (2009)
menunjukkan bahwa produksi antosianin kolesom juga dipengaruhi oleh pemupukan anorganik dan unsur yang menjadi faktor pembatas pada produksi antosianin kolesom adalah kalium, namun dosis pupuk kalium yang memberikan produksi antosianin kolesom yang optimal belum diketahui. Mengingat kolesom yang dikonsumsi diharapkan mengandung protein yang tinggi maka pemupukan nitrogen diperlukan. Kombinasi antara pemupukan kalium dan nitrogen perlu diketahui untuk mendapatkan daun kolesom yang mengandung protein dan antosianin yang tinggi. Pucuk kolesom dapat dipanen berkali-kali (Sugiarto 2006), namun umur produksi pucuk kolesom hanya berkisar 2 bulan kemudian menurun (Fontem & Schipper 2004).
Pemanenan pucuk kolesom diduga mengakibatkan tanaman
memerlukan hara tambahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan rejuvenasi, pertumbuhan, dan produksi. Oleh karena itu perlu dipelajari teknik pemupukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman agar dapat diperpanjang umur produksinya.
Salah satu usaha yang mungkin dapat dilakukan adalah
pemberian pupuk N dan K melalui tanah dan daun secara bertahap. Penelitian mengenai pemberian pupuk N secara bertahap telah dilakukan pada tanaman lain. Pemberian pupuk N secara bertahap berdasarkan frekuensi dan dosis yang diberikan dapat meningkatkan kualitas dan kandungan protein gandum (Garrido-Lestache et al. 2004; Delin et al. 2005; Fuertes-Mendizabal et al. 2010). Pemberian pupuk N dan K melalui tanah secara bertahap berdasarkan waktu dan dosis yang diberikan untuk memperpanjang umur produksi, meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom belum dilakukan. Pemberian pupuk N dengan konsentrasi 2% urea melalui daun dapat meningkatkan kandungan klorofil, protein, dan menunda senescence pada
tanaman blackgram (Sritharan et al. 2005). Pemberian pupuk K melalui daun dapat meningkatkan klorofil, hara mineral, serta kualitas buah tomat (Chapagain & Wiesman 2004).
Aplikasi kombinasi pupuk N dan K melalui daun yang
dilakukan oleh Marman (2010) menunjukkan bahwa pemberian pupuk daun dengan konsentrasi 0.2% urea dan 0.1% KCl dapat meningkatkan produksi dan kandungan klorofil pucuk kolesom. Teknik pemanenan seperti cara panen, waktu panen pertama dan interval panen memainkan peranan penting untuk mendapatkan produksi maksimum dari pucuk tanaman yang dipangkas (Patterson et al. 1998). Pemanenan dengan cara pemangkasan pucuk pada tanaman Arabidopsis thaliana dapat meningkatkan kandungan antosianin (Li & Strid 2005). Interval panen diduga juga mempengaruhi produksi dan kandungan protein daun. Kandungan protein pada Napier grass dan Cratylia argentea mengalami penurunan ketika interval panen diperpanjang (Manyawu et al. 2003; Sanchez et al. 2007). Penelitian mengenai interval panen daun kolesom terhadap produksi protein dan antosianin belum dilakukan. Peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom sebagai sayuran berkhasiat obat sangat penting dilakukan sebagai langkah untuk menyusun pedoman praktek budidaya yang baik (Good Agriculture Practice/ GAP) sayuran kolesom. Sejauh ini belum ada pedoman praktek budidaya yang baik untuk tanaman kolesom yang relevan dengan kondisi Indonesia (Indo-GAP).
Rumusan Masalah Kolesom merupakan sayuran bergizi berkhasiat obat karena mengandung protein dan antosianin. Pemanenan pucuk dapat dilakukan berkali-kali tetapi dengan masa produksi yang terbatas, oleh karena itu diperlukan usaha untuk memperpanjang masa produksi, meningkatkan produksi protein dan antosianin dari pucuk kolesom yang dipanen. Unsur N dan K merupakan unsur yang paling dominan terlibat dalam proses metabolisme primer dan sekunder tanaman. Pemberian kedua unsur ini dalam bentuk kombinasi pupuk diharapkan dapat meningkatkan produksi protein dan antosianin dari pupuk kolesom. Belum ada hasil penelitian yang memberikan
informasi mengenai teknik pemupukan yang meliputi penentuan dosis pupuk, metode dan waktu aplikasi yang tepat terhadap produksi protein dan antosianin pucuk kolesom. Pemberian pupuk N dan K melalui daun sebagai pelengkap dari pupuk yang diberikan melalui tanah diharapkan dapat membantu untuk meningkatkan produksi protein dan antosianin kolesom karena pemberian pupuk daun menawarkan metode pemberian hara kepada tanaman yang lebih cepat daripada aplikasi melalui tanah. Interval panen merupakan bagian dari teknik pemanenan yang juga perlu diperhatikan untuk menghasilkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom. Interval panen yang tepat diperlukan untuk memberikan waktu yang cukup untuk meningkatkan rejuvenasi dan proses penyembuhan luka jaringan yang cepat pasca pemanenan agar tidak menurunkan produksi dan menyebabkan kematian tanaman.
Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk : 1.
Mempelajari respon produksi protein dan antosianin pucuk kolesom terhadap aplikasi pupuk nitrogen + kalium melalui tanah dan daun serta kombinasi keduanya pada berbagai interval panen.
2.
Mempelajari keterkaitan antara pertumbuhan tanaman kolesom dengan perubahan kandungan protein dan antosianin pucuk.
3.
Mempelajari keterkaitan antar komponen fisiologis tanaman kolesom dengan perubahan kandungan protein dan antosianin pucuk.
4.
Memberikan informasi awal untuk penyusunan GAP sayuran kolesom.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Peningkatan dosis pupuk nitrogen+kalium yang diberikan melalui tanah dan daun serta kombinasi keduanya pada interval panen tertentu dapat meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom.
2.
Perubahan kandungan protein dan antosianin pucuk terkait dengan perubahan pertumbuhan tanaman kolesom.
3.
Perubahan kandungan protein dan antosianin pucuk terkait dengan perubahan komponen fisiologis lain pada tanaman kolesom.
Ruang Lingkup Penelitian Berbagai percobaan yang saling terkait diperlukan untuk menjawab tujuan dan menguji kebenaran hipotesis yang telah diajukan. Oleh karena itu, penelitian ini dibagi menjadi 4 percobaan yang saling terkait, yaitu (1) penentuan dosis pupuk nitrogen + kalium dan interval panen; (2) pemupukan nitrogen + kalium secara bertahap berdasarkan frekuensi dan dosis pupuk dasar pada interval panen tertentu; (3) aplikasi pupuk nitrogen + kalium melalui daun dengan berbagai frekuensi penyemprotan dan dosis pupuk dasar pada interval panen tertentu; (4) aplikasi pemupukan nitrogen + kalium melalui tanah dan daun.
Gambar 1
memperlihatkan rangkaian percobaan tersebut yang tertuang dalam bagan alir penelitian.
Percobaan I Penentuan dosis pupuk N+K dan interval panen
Output : Dosis pupuk N+K standar dan interval panen terbaik
Percobaan pendahuluan : Penentuan dosis konsentrasi pupuk N+K melalui daun
Output : Dosis konsentrasi terbaik pupuk N+K melalui daun
Percobaan II Pemupukan N+K secara bertahap berdasarkan frekuensi dan dosis pupuk dasar pada interval panen tertentu
Percobaan III Aplikasi pupuk N+K melalui daun dengan berbagai frekuensi penyemprotan dan dosis pupuk dasar pada interval panen tertentu
Output : Frekuensi pemberian pupuk N+K melalui tanah dengan dosis pupuk dasar tertentu dan interval panen terbaik
Output : Frekuensi penyemprotan pupuk N+K melalui daun dengan dosis pupuk dasar tertentu dan interval panen terbaik
Percobaan IV Aplikasi kombinasi pemupukan N+K melalui tanah dan daun
Output : Metode aplikasi pemupukan N+K terbaik
1. Peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom 2. Informasi awal untuk penyusunan GAP sayuran kolesom
Gambar 1 Bagan alir penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Kolesom Kolesom
merupakan
tanaman
sukulen
yang
memiliki
lintasan
metabolisme C3 dan inducible CAM (Crassulacean Acid Metabolism) (Pieters et al. 2003). Tumbuhan ini asli dari Amerika Tropis dan pada tahun 1915 diimpor ke Jawa melalui Suriname (Heyne 1987). Tanaman ini diklasifikasikan ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, bangsa Caryophyllales, suku Portulacaceae, marga Talinum. Sinonim tanaman ini secara botani adalah Talinum racemosum Rohrbach (Hutapea 1994).
Gambar 2 Foto tanaman kolesom Kolesom merupakan tanaman herba menahun yang tumbuh tegak. Batang tanaman ini berbentuk bulat, pangkalnya berwarna ungu kemerahan, sedangkan batang bagian tengah sampai ujung berwarna hijau (Wahyuni & Hadipoentyanti 1999). Daunnya berbentuk oblongus-spatulatus, hijau muda, tebal berdaging, filotaksis spiral dan kadang-kadang berhadapan.
Secara anatomi, daunnya
memiliki tipe dorsiventral, stomata parasitik (epidermis atas dan bawah), parenkim daun (jaringan sponsa) yang mengandung kristal kalsium oksalat bentuk roset dan kelenjar minyak atsiri, berkas pembuluh kolateral. Bunganya berwarna merah jambu keunguan.
Bentuk tangkai bunga adalah segitiga dan bentuk
rangkaian bunganya adalah tandan (racemus).
Bunga mekar pada pagi hari.
Buahnya berbentuk bulat memanjang, berwarna hijau kekuningan, dan berisikan biji hitam mengkilat. Biji dari kolesom berbentuk lonjong pipih dan berdiameter ± 1 mm. Akarnya menebal (membengkak) menyerupai akar ginseng (Panax ginseng).
Masyarakat sering sukar membedakan antara kolesom (Talinum
triangulare) dan som jawa (Talinum paniculatum). Ciri-ciri anatomi kedua jenis
tanaman tersebut sukar dibedakan. Perbedaannya terletak pada ciri-ciri morfologinya yaitu filotaksis, tipe infloresensi, bentuk buah, warna, dan waktu bunga mekar. Som jawa memiliki filotaksis berhadapan, tipe infloresensi malai (panicula) dengan tangkai bunga bersudut tumpul, buah berbentuk kapsula (bulat dan berwarna merah-coklat), dan bunga mekar pada sore hari (Santa & Prajogo 1999). Kolesom aman dikonsumsi berdasarkan uji toksisitas akut (Nugroho 2000). Umbi akarnya dimanfaatkan untuk mengobati neurasthenia (kelelahan tubuh), debilitas (kelemahan tubuh) setelah sembuh dari penyakit kronik (Hargono 2005), dan obat lemah syahwat (Hutapea 1994). Penelitian Susanti et al.
(2008) menunjukkan bahwa akar kolesom mengandung alkaloid, steroid,
saponin, dan tanin. Daun tanaman kolesom memiliki potensi sebagai sayuran berkhasiat obat karena memiliki nutrisi dan antioksidan yang penting.
Kandungan gizi dan
mineral dalam 100 g bahan kering daun kolesom adalah 4.4 g karbohidrat, 4.6 g protein, 1.0 g serat, dan 280 mg asam askorbat; sedangkan kandungan mineralnya adalah 2.44 mg kalsium (Ca), 6.10 mg kalium (K), 2.22 mg magnesium (Mg), 0.28 mg natrium (Na), dan 0.43 mg besi (Fe) (Mensah et al. 2008). Penduduk Kalimantan Selatan menggunakan daun kolesom sebagai campuran bedak wajah (Susanti et al. 2008). Mualim et al. (2009) menyatakan bahwa daun kolesom mengandung antosianin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Ofusori et al. (2008) menyatakan bahwa kandungan antioksidan dari ekstrak daun kolesom dapat memberikan pengaruh baik terhadap persyarafan otak dan meningkatkan kemampuan kognitif pada tikus albino Swiss. Hasil penelitian Odukoya et al. (2007) menunjukkan bahwa nilai aktivitas antioksidan dari ekstrak daun kolesom adalah 19.76% dengan kandungan fenol total dan asam askorbat masing-masing sebesar 21.83 dan 116.35 mg/ 100 g bobot kering.
Antosianin Antosianin (dari bahasa Yunani, anthos artinya bunga dan kyanos artinya biru) merupakan pigmen penting dalam tanaman yang menentukan warna jingga, merah tua, merah muda, violet dan biru pada tanaman. Pigmen ini merupakan
senyawa fenolik yang dapat larut dalam air dan termasuk dalam kelompok flavonoid. Umumnya antosianin banyak terdapat pada jaringan epidermis, tetapi juga terdapat pada jaringan palisade dan spon mesofil daun, kulit buah, dan umbi (Oren-Shamir 2009). Struktur dasar dari antosianin adalah antosianidin.
Antosianidin atau
aglikon terdiri dari cincin aromatik (A) yang berikatan dengan cincin heterosiklik (C) yang berisikan oksigen dan diikat oleh ikatan karbon-karbon pada cincin aromatik ketiga (B). Ketika antosianidin dijumpai dalam bentuk glikosida, maka disebut antosianin. Antosianin sangat tidak stabil dan peka terhadap kerusakan. Stabilitasnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, suhu, struktur kimia, cahaya, pelarut, enzim, flavonoid, protein, dan ion metal (Castañeda-Ovando et al. 2009).
Gambar 3 Struktur umum antosianin (Castañeda-Ovando et al. 2009) Antosianin disintesis dalam jalur biosintesis shikimat dan menggunakan fenilalanin sebagai prekursornya (Gambar 4). Enzim-enzim yang bekerja adalah PAL (phenylalanineammonialyase), CHS (chalcone synthase), CHI (chalcone isomerase), F3H (flavonone 3-hydroxylase), F3‘H (flavonoid 30-hydroxylase), DFR ( dihydroflavonol reductase), LDOX ( anthocyanidin synthase), GST (glutathione-S-transferase) (Guo et al.2001). Antosianin pada tanaman berfungsi sebagai tabir terhadap cahaya ultraviolet B dan melindungi kloroplas terhadap intensitas cahaya tinggi. Antosianin juga dapat berperan sebagai sarana transport untuk monosakarida dan sebagai pengatur osmotik selama periode kekeringan dan suhu rendah. Secara umum, antosianin diyakini dapat meningkatkan respon antioksidan tanaman untuk
pertahanan hidup pada stres biotik atau abiotik. Selain itu, antosianin juga memainkan peranan penting dalam reproduksi tanaman yaitu menarik polinator yang dapat membantu dalam penyerbukan bunga (Mori et al. 2007).
Gambar 4 Jalur biosintesis antosianin (Guo et al.2001) Antosianin dianggap sebagai komponen penting pada nutrisi manusia sebagai antioksidan yang lebih tinggi daripada vitamin C dan E. Senyawa ini dapat menangkap radikal bebas dengan sumbangan atom hidrogen fenolik. Antosianin dapat ditransportasikan dalam tubuh manusia dan menunjukkan aktivitas sebagai antitumor, antikanker, antivirus, anti peradangan, menghambat agregasi trombosit, menurunkan permeabilitas dinding kapiler darah dan meningkatkan kekebalan tubuh (Stintzing & Carle 2004).
Protein Protein merupakan suatu rantai panjang dari asam amino yang saling berkaitan satu sama lain dengan ikatan peptida, di mana kutub positifnya adalah gugus amino (NH2) dan kutub negatifnya adalah gugus karboksil (COOH). Komposisi dan ukuran tiap protein bergantung kepada jenis dan sub unit asam aminonya. Umumnya terdapat 18 sampai 20 jenis asam amino yang berbeda dan
sebagian besar protein mempunyai secara lengkap 20 asam amino. Perbedaan tersebut menyebabkan beragamnya bobot molekul protein.
Sebagian besar
protein tumbuhan yang telah dicirikan mempunyai bobot molekul > 40 000 g/mol (juga disebut dalam satuan Dalton) (Campbell & Farrell 2006). Konsumsi protein sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia sebagai zat pembangun, struktur setiap enzim atau bertindak sebagai enzim, dan reseptor yang sangat penting dalam metabolisme dalam tubuh (Cseke et al. 2006). Protein merupakan sumber N untuk tubuh dalam pembentukan zat-zat yang mengandung N dan sebagai sumber asam amino esensial yang tidak dapat dibentuk dalam tubuh. Selain itu, protein dapat juga digunakan untuk energi kerangka karbon asam amino yang dikonversi menjadi glukosa (asam amino glukogenik) dan disimpan sebagai glikogen atau trigliserida (Montgomery et al. 1993). Tabel 1 menunjukkan profil asam amino dari daun kolesom yang dibandingkan dengan kandungan asam amino untuk diet manusia yang dianjurkan oleh FAO/WHO (1973) dalam satuan g/kg asupan sayuran daun. Tabel 1 Profil asam amino daun kolesom dan rekomendasi FAO/WHO Jenis Asam amino
Kandungan asam amino Kolesom Rekomendasi FAO/WHO (1973) ……………….. g/kg …………………. Alanin 382.5 Asam aspartat 438.1 Arginin 372.5 Glisin 350.6 Asam glutamat 586.3 Histidin 125.6 Isoleusin 351.3 250.0 Lisin 167.5 343.7 Metionin 131.3 Sistein 81.3 Met+Sis 212.5 218.8 Leusin 563.8 437.5 Serin 251.3 Treonin 256.3 250.0 Fenilalanin 388.1 Valin 381.3 312.5 Tirosin 294.4 375.0 Triptofan 113.8 62.5 Sumber : Fasuyi (2007)
Tabel 1 menunjukkan bahwa kolesom mengandung 18 asam amino. Kandungan asam amino tertinggi yang terkandung di dalam daun kolesom adalah asam glutamat (586.3 g/kg) dan leusin (563.8 g/kg). Berdasarkan kandungan tersebut maka kolesom direkomendasikan menjadi salah satu dari 3 sayuran terpilih di Afrika selain Amaranthus cruentus dan Telferia occidentalis sebagai sayuran daun sumber protein karena kemampuannya dalam mensintesis asam amino (Fasuyi 2007). Aletor & Adeogun (1995) menyatakan kandungan protein daun kolesom berdasarkan bobot basah adalah 2.5 g/100 g.
Pemupukan Ketersediaan hara pada media tanam merupakan faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Ketersediaan hara pada media tanam dapat dilakukan melalui usaha pemupukan.
Pemupukan pada
umumnya dapat diartikan sebagai penambahan zat hara tanaman ke dalam tanah, namun pupuk juga dapat dilarutkan dalam air kemudian disemprotkan pada daun (Hardjowigeno 2007).
Nitrogen Unsur nitrogen (N) merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman yang pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif seperti daun, batang, dan akar. Tanaman mengabsorpsi N pada waktu tanaman tumbuh aktif, tetapi tidak selalu pada tingkat kebutuhan yang sama. Banyaknya N yang dapat diabsorpsi tiap hari per satuan berat tanaman adalah maksimum pada saat masih muda dan berangsurangsur menurun dengan bertambahnya usia tanaman (Hardjowigeno 2007). Unsur N sangat berperan dalam meningkatkan produksi dan kualitas sayuran. Peningkatan dosis pupuk N sejalan dengan peningkatan biomassa dan kandungan nitrat pada sayur kubis dan bayam (Chen et al. 2004). Fontem & Schippers (2004) menyatakan bahwa kolesom sangat membutuhkan unsur N selama hidupnya. Saat kekurangan N, daun-daun tampak kuning dan gugur. Kehilangan N dari kloroplas pada daun-daun yang tua menghasilkan daun yang
kuning atau klorosis. Klorosis tampak pertama kali pada daun yang terletak di bawah. Nitrat (NO3) dan amonium (NH4) adalah sumber utama N anorganik yang diserap oleh tumbuhan. N anorganik harus mengalami proses asimilasi untuk menjadi senyawa organik, terutama asam amino yang diperlukan untuk pembentukan protein. NH4 dapat digunakan langsung untuk sintesis asam amino, sedangkan NO3 harus direduksi menjadi NH4 terlebih dahulu.
Reduksi NO3
menjadi NH4 merupakan proses asimilasi yang memerlukan energi oksidasi dari karbohidrat dan terbagi dalam 2 reaksi utama. Reaksi pertama adalah mereduksi NO3 menjadi nitrit (NO2) yang dikatalisis oleh enzim nitrat reduktase, sedangkan reaksi ke dua adalah pengubahan NO2 menjadi NH4 yang dikatalisis oleh enzim nitrit reduktase. NH4 baik yang berasal dari asimilasi NO3 maupun yang diserap langsung oleh akar agar dapat digunakan dalam sintesis asam amino maka harus dirubah menjadi glutamat dan glutamin yang dikatalisis oleh enzim glutamat synthetase dan glutamine synthetase.
Modifikasi biokimia dari glutamat dan
glutamin yang dihasilkan dari reaksi transaminasi menghasilkan 20 asam amino yang dibutuhkan untuk pembentukan protein. Rangka karbon untuk berbagai asam amino diperoleh dari siklus Calvin, glikolisis, dan siklus krebs (Marschner 1995). Delgado et al. (2005) menyatakan bahwa pemberian N yang berlebihan dapat menurunkan kandungan total antosianin pada anggur tempranillo, namun pemberian N dalam dosis yang cukup dibutuhkan untuk membentuk antosianin pada tanaman tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian Szostak et al. (2005) yang menunjukkan bahwa pemberian 0-30 kg N/ha tidak mempengaruhi kandungan senyawa flavonoid pada biji buckwheat, namun kandungan tersebut mengalami penurunan secara nyata pada pemberian 60 kg N/ha. Hasil penelitian Mualim et al. (2009) pada tanaman kolesom menunjukkan bahwa unsur N tidak menjadi faktor pembatas pembentukan antosianin, namun perlakuan pemupukan NK (100 kg urea/ha dan 100 kg KCl/ha) memberikan produksi
antosianin tertinggi
(59.34
mol/tanaman) pada
petakan yang
menggunakan media tanah dan pupuk kandang sapi dalam penelitian tersebut.
Kalium Kalium merupakan unsur yang sangat mobil dalam tanaman.
Unsur
+
kalium diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K . Muatan positif dari kalium akan membantu menetralisir muatan listrik yang disebabkan oleh muatan negatif nitrat, fosfat atau unsur lain, baik di dalam tanah maupun di dalam tanaman. Kalium diserap tanaman dalam jumlah mendekati atau bahkan kadang-kadang melebihi jumlah nitrogen. Kalium dapat diberikan ke dalam tanah melalui pupuk organik dan anorganik. Pupuk anorganik yang sering digunakan diantaranya adalah kalium klorida (KCl).
Pupuk KCl mengandung 50-52% K (60-63% K2O).
Pupuk
tersebut bervariasi dalam warnanya yaitu merah muda, merah tua, coklat, atau putih.
Variasi warna tersebut tergantung kepada penambangan dan proses
pembuatannya. Bentuk pupuk kalium lainnya adalah kalium sulfat (K2SO4) dan kalium nitrat (KNO3) yang masing-masing mengandung 50-52% dan 44% K2O (Havlin et al. 2005). Kalium pada tanaman berperan dalam proses fisiologis dan metabolisme dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur-unsur lain, serta mempertinggi daya tahan terhadap cekaman kekeringan dan penyakit (Hardjowigeno 2007). Proses fotosintesis membutuhkan K+. Pada proses fotosintesis, K sangat esensial melalui beberapa fungsi antara lain sintesis ATP, produksi dan aktivitas enzim fotosintesis spesifik, absorbsi CO2 melalui stomata daun, serta menjaga netralitas elektron selama fotofosforilasi dalam kloroplas. Pergerakan tanaman seperti membuka dan menutupnya stomata digerakkan oleh K+ melalui tekanan turgor. Selain itu, akumulasi K+ dalam sel juga mengendalikan tekanan osmotik dan digunakan untuk pembesaran sel dan daun. Peranan K dalam sintesis protein adalah untuk aktivasi enzim yang terlibat dalam reaksi dan pemanjangan ikatan peptida (Szczerba et al. 2009). Penelitian Mualim et al. (2009) menunjukkan bahwa kalium sangat dibutuhkan dalam produksi kolesom. Unsur K menjadi faktor pembatas pada semua komponen produksi yaitu daun, batang, cabang, dan tajuk, serta daun segar layak jual.
Unsur K juga berperan sebagai faktor pembatas dalam produksi
antosianin. Rata-rata produksi antosianin nyata tertinggi sebesar 39.60
mol/tanaman didapatkan dari perlakuan pemupukan 100 kg KCl/ha. Menurut Delgado et al. (2006), apabila K diberikan dalam jumlah yang berlebihan akan menurunkan kandungan antosianin jika tidak disertai dengan pemberian N dalam dosis yang cukup.
Pupuk Daun Pupuk daun adalah pupuk yang dapat larut dalam air dengan aplikasi langsung disemprotkan ke daun. Pupuk daun dapat berupa unsur mikro, makro dan mikro, atau makro saja. Unsur hara yang diberikan melalui metode ini akan menembus kutikula atau stomata daun dan kemudian memasuki sel. Kelebihan pupuk daun dibandingkan dengan pupuk akar adalah penyerapan hara berjalan lebih cepat sehingga dapat segera mengetahui perbaikan defisiensi tanaman. Frekuensi pemberian pupuk daun dapat dilakukan 2 sampai 3 kali dalam interval waktu yang pendek, terutama jika defisiensi hara tanaman sudah berat (Havlin et al. 2005). Kekurangan pupuk daun adalah bila dosis yang diberikan terlalu besar akan menyebabkan kerusakan daun, yaitu terjadinya nekrosis dan terbakar (Tagliavini et al. 2002). Penelitian Chapagan dan Wiesman (2004) menunjukkan bahwa pemberian pupuk K melalui daun dengan konsentrasi 1% pada 40, 70, dan 100 HST dapat meningkatkan kandungan klorofil, glukosa, padatan terlarut total, dan N total tomat dibandingkan tanpa pupuk daun. Pemberian pupuk N melalui daun dengan konsentrasi 1% yang dilakukan oleh Smolen dan Sady (2009) dapat meningkatkan kandungan nitrat, nitrogen total, dan penyerapan N pada wortel.
Aplikasi
kombinasi pupuk N dan K melalui daun yang dilakukan oleh Marman (2010) menunjukkan bahwa pemberian pupuk daun dengan konsentrasi 0.2% urea dan 0.1% KCl dapat meningkatkan produksi dan kandungan klorofil pucuk kolesom. Penelitian pengaruh pemberian N dan K melalui daun terhadap kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom belum pernah dilakukan.
Pemanenan Pemanenan merupakan faktor yang sangat penting diperhatikan pada budidaya tanaman obat. Kegiatan ini harus dilakukan secara benar karena akan
berpengaruh terhadap mutu dan zat berkhasiat yang terkandung di dalam tanaman obat. Periode panen merupakan waktu yang diperlukan untuk memanen hasil tanaman terhitung mulai dari tanaman tersebut ditanam. Waktu panen tanaman obat tidak seluruhnya tergantung pada umur tanaman, tetapi didasarkan pada pemanfaatannya. Hampir semua bagian dari tanaman obat dapat dimanfaatkan maka waktu panen juga beragam; ada tanaman obat yang dipanen pada waktu pertumbuhan vegetatif dan ada pula yang dipanen pada masa pertumbuhan generatif (Syukur & Hernani 2003). Penelitian mengenai umur dan frekuensi panen terhadap pertumbuhan dan produksi pucuk kolesom telah dilakukan oleh Sugiarto (2006). Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara umur dan frekuensi panen tanaman kolesom yang ditanam pada wadah plastik (polybag). Interaksi keduanya secara nyata mempengaruhi tinggi tanaman, jumlah cabang, dan jumlah pucuk setiap kali panen. Kombinasi perlakuan umur panen 8 MST dan interval panen 3 minggu nyata menghasilkan jumlah tajuk tertinggi setiap kali panen yaitu sebanyak 20 pucuk/tanaman.
Penelitian tersebut tidak mempelajari pengaruh waktu dan
interval panen terhadap kandungan senyawa kimia kolesom. Penelitian Li & Strid (2005) menunjukkan bahwa pemanenan dengan cara pemangkasan pucuk pada tanaman Arabidopsis thaliana dapat meningkatkan kandungan antosianin. Antosianin meningkat secara linear antara 2-8 hari setelah pemangkasan yang menyebabkan tanaman berubah menjadi ungu. Hal ini diduga karena pemangkasan dapat menginduksi ekspresi gen CHS
yang mengkode
enzim chalcone synthase. Enzim chalcone synthase adalah enzim yang berperan dalam biosintesis antosianin. Interval panen diduga juga dapat mempengaruhi produksi dan kandungan protein daun. Kandungan protein pada Napier grass mengalami penurunan dari 204 g/kg BK menjadi 92 g/kg BK ketika interval panen diperpanjang dari 2 minggu menjadi 8 minggu (Maryawu et al. 2003).
Hal ini sejalan dengan
penelitian Sanchez et al. (2007) yang menunjukkan bahwa kandungan protein pada Cratylia argentea mengalami penurunan dari 219 g/kg BK menjadi 185 g/kg BK ketika interval panen diperpanjang dari 8 minggu menjadi 16 minggu.
KEADAAN UMUM PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan IPB, Leuwikopo, Bogor. Hasil analisis tanah yang dilakukan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Lahan Fakultas pertanian IPB (lampiran 1) menunjukkan bahwa tanah yang digunakan pada penelitian ini tergolong netral dengan pH H 2O sebesar 6.90. Kapasitas tukar kation tanah tergolong sedang yaitu 16.46 me/100 g sehingga memungkinkan tanah mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik bagi tanaman. Tekstur tanah yang digunakan tergolong berliat karena kandungan liatnya lebih dari 30%. Tabel 2 menunjukkan data mengenai temperatur, kelembaban, dan curah hujan selama penelitian berlangsung.
Data diambil dari Stasiun Klimatologi
Darmaga Bogor yang terletak pada 06.33 LS, 106.45 BT, dan elevasi 190 m. Tabel 2 Data iklim penelitian pada bulan Nopember 2009-Desember 2010 Bulan Rata-rata
Maksimum
Minimum
Kelembaban (%) Rata-rata
Percobaan I Nopember 2009 Desember 2009 Januari 2010 Pebruari 2010
26.3 26.1 25.3 25.0
31.8 31.8 30.2 31.8
23.2 22.9 22.9 23.3
81.0 85.0 88.0 85.0
407.0 258.2 252.0 460.7
Percobaan II & III April 2010 Mei 2010 Juni 2010 Juli 2010
27.1 26.7 25.9 25.8
33.2 32.7 31.2 31.5
23.2 23.7 23.1 22.9
77.0 84.0 85.9 84.0
43.0 331.0 303.4 237.0
Percobaan IV Oktober 2010 Nopember 2010 Desember 2010
25.4 25.0 25.5
31.5 31.6 30.3
22.7 23.2 22.9
86.0 82.0 83.0
436.2 284.3 177.3
Temperatur (0C)
Curah hujan (mm/ bulan)
Perlakuan interval panen sangat mempengaruhi waktu pembungaan tanaman. Kolesom yang mendapatkan perlakuan interval panen 30 dan 15 hari pada percobaan 1 masing-masing secara berurutan berbunga pada umur 40 dan 50 HST, sedangkan kolesom yang dipanen 10 hari sekali tidak sempat berbunga
karena intensifnya pemanenan. Kolesom yang mendapatkan perlakuan interval panen 30 hari pada percobaan II berbunga pada umur 45 HST, sedangkan kolesom yang dipanen 15 hari sekali berbunga pada umur 50 HST.
Waktu
pembungaan pada percobaan III tampak seragam yaitu pada umur 50 HST baik pada kolesom yang mendapatkan perlakuan interval panen 30 hari maupun 15 hari, sedangkan pada percobaan IV sebagian besar tanaman telah berbunga pada umur 60 HST. Keseragaman dinilai berdasarkan kriteria bahwa ≥70% tanaman pada suatu perlakuan telah berbunga. Frekuensi panen yang terlalu sering mengakibatkan tanaman yang dipanen dengan interval 10 hari sekali hanya dapat menghasilkan pucuk sampai umur 60 HST saja. Perlakuan tersebut dapat mempersingkat umur produksi dan mempercepat kematian tanaman. Kolesom yang mendapatkan interval panen 15 dan 30 hari sekali dapat menghasilkan pucuk sampai umur 90 HST meskipun ukuran pucuk semakin mengecil sejalan dengan pertambahan umur tanaman. Pembungaan yang terjadi tidak menghalangi munculnya pucuk pasca pemanenan. Perbedaan perkembangan tajuk sangat terlihat antara kolesom yang ditanam di lahan dengan wadah plastik (polybag).
Kolesom yang ditanam di lahan
menghasilkan tajuk yang lebih berkembang dan banyak cabang daripada kolesom di wadah plastik.
Kolesom yang ditanam di wadah plastik cenderung
perkembangannya vertikal sehingga tanaman tampak lebih tinggi daripada kolesom yang ditanam di lahan. Gambar 5 memperlihatkan kerusakan daun kolesom akibat secondary pathogen dan belalang yang menyerang tanaman kolesom selama percobaan berlangsung. Secondary pathogen menyebabkan hilangnya epidermis daun dan meninggalkan lubang kecil pada permukaan daun, sedangkan belalang menimbulkan kerusakan daun berupa robekan akibat gigitan mulutnya. Penyakit yang menyerang adalah penyakit yang menimbulkan busuk batang dan akar. Gejala awal dari adanya penyakit ini adalah menguncupnya daun kolesom pada siang hari, beberapa hari kemudian batang berwarna coklat sampai hitam dan berlendir (Gambar 6).
Bila dicabut, maka umbi telah busuk
dan daging umbi berwarna merah darah serta menimbulkan bau tidak sedap. Penyakit pada umumya mulai menyerang pada saat tanaman berumur 60 HST.
Tanaman yang mengalami busuk batang dan akar segera dicabut dan dijauhkan dari lokasi percobaan agar tidak menular ke tanaman lainnya.
b
a
Gambar 5 (a) Kerusakan yang ditimbulkan oleh secondary pathogen; (b) Kerusakan yang ditimbulkan oleh belalang.
a
b
Gambar 6 (a) Kuncup daun gejala penyakit busuk batang dan akar; (b) Kolesom yang terserang penyakit busuk batang. Penyakit yang hanya dijumpai pada percobaan II dan IV adalah penyakit yang menyebabkan bercak merah di bagian belakang permukaan daun (Gambar 7). Daun yang terserang penyakit ini segera dipetik dari tanaman agar tidak terjadi penularan yang lebih luas. Kondisi ini menyebabkan menurunnya bobot basah total tanaman. Serangan hama dan penyakit yang terjadi pada percobaan ini masih di bawah ambang batas ekonomis sehingga belum membutuhkan penanganan serius.
Gambar 7 Daun yang terserang penyakit bercak merah. Pigmen antosianin sangat terlihat nyata pada daun dan batang tanaman yang diduga telah terinfeksi penyakit di percobaan IV (Gambar 8).
Pigmen
antosianin tersebut berwarna keunguan tampak pada bagian belakang permukaan daun dan cabang yang mendukung daun tersebut.
a
b
Gambar 8 (a) Pigmen antosianin yang terdapat pada batang; (b) Pigmen antosianin yang terdapat pada daun kolesom.
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) PADA BERBAGAI DOSIS PUPUK NITROGEN+KALIUM DAN INTERVAL PANEN Protein and Anthocyanin Productions of Waterleaf Shoot (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) at Different Rates of Nitrogen+Potassium and Harvest Intervals Abstrak Penelitian untuk mempelajari pengaruh berbagai dosis pupuk nitrogen+kalium dan interval panen terhadap produksi protein dan antosianin pucuk kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) telah dilaksanakan di Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia pada bulan November 2009 sampai Februari 2010. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Kedua faktor tersebut adalah dosis pupuk N+K (50 kg urea + 50 kg KCl/ha, 50 kg urea +100 kg KCl/ha, 100 kg urea + 50 kg KCl/ha, 100 kg urea +100 kg KCl/ha) dan interval panen (30, 15, dan 10 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis pupuk 100 kg urea + 100 kg KCl/ha dan interval panen 15 hari menghasilkan produksi protein pucuk kolesom tertinggi yaitu sebesar 4.72 g/tanaman. Produksi antosianin pucuk kolesom tertinggi dihasilkan oleh masingmasing perlakuan 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha (152.23 µmol/tanaman) atau interval panen 10 hari (165.27 µmol/tanaman), namun tidak dipengaruhi oleh interaksi antara kedua perlakuan tersebut. Ditemukan korelasi positif antara kandungan protein dan klorofil; kandungan antosianin dan gula; kandungan antosianin dan semua komponen pertumbuhan, kecuali bobot kering daun. Kata Kunci : sayuran daun, protein, antosianin, pemupukan, panen Abstract The experiment was conducted in Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia from November 2009 until Februari 2010 to study the effect of different rates of nitrogen+potassium and harvest intervals on waterleaf shoot (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) protein and anthocyanin production. A randomized complete block design was used with three replications of two factors, which were rates of N+K fertilizer (50 kg urea + 50 kg KCl/ha, 50 kg urea +100 kg KCl/ha, 100 kg urea + 50 kg KCl/ha, 100 kg urea +100 kg KCl/ha) and harvest intervals (30, 15, dan 10 days). The result showed that combination of 100 kg urea + 100 kg KCl/ha and 15 days harvest interval gave the highest protein production (4.72 g/plant). The highest anthocyanin production was resulted by treatments of 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha (152.23 µmol/plant) or 10 days harvest interval (165.27µmol/plant), but it was not influenced by interaction between rates of N+K fertilizer and harvest interval. There was a positive correlation between protein and chlorophyll content; anthocyanin and sugar content; anthocyanin content and all growth components ,except leaf dry weight. Keywords : leafy vegetable, protein, anthocyanin, fertilization, harvest
Pendahuluan Kolesom
(Talinum triangulare) merupakan tanaman yang aman
dikonsumsi berdasarkan uji toksisitas akut (Nugroho 2000).
Daun kolesom
memiliki potensi sebagai sayuran berkhasiat obat karena memiliki nutrisi dan senyawa bioaktif yang penting bagi kesehatan. Salah satu nutrisi penting yang terdapat pada daun kolesom adalah protein yang mengandung 18 macam asam amino, di mana kandungan asam amino tertinggi yang terkandung di dalamnya adalah asam glutamat (586.3 g/kg) dan leusin (563.8 g/kg) (Fasuyi 2007). Penelitian Susanti et al. (2008) menunjukkan bahwa daun kolesom mengandung senyawa bioaktif flavonoid, steroid, dan alkaloid. Penelitian Mualim et al. (2009) menunjukkan bahwa salah satu senyawa flavonoid yang telah terdeteksi adalah antosianin. Menurut Castañeda-Ovando et al. (2009), antosianin merupakan pigmen penting pada tanaman yang berperan sebagai antioksidan alami bagi kesehatan manusia. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ofusori et al. (2008) yang menunjukkan bahwa kandungan antioksidan dari ekstrak daun kolesom dapat memberikan pengaruh baik terhadap syaraf otak dan meningkatkan kemampuan kognitif. Peningkatan produksi dan kualitas sayuran daun dapat dilakukan melalui usaha pemupukan. Hasil penelitian Chen et al. (2004) menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pupuk N sampai pada dosis optimal (0.30 g/kg tanah) pada sayuran daun Brassica campestris L., Brassica chinensis var. Oleifera Makino et nenoto, dan Spinacia oleracea L. dapat meningkatkan aktivitas nitrat reduktase yang diperlukan dalam sintesis protein. Mualim et al. (2009) menyatakan bahwa unsur kalium merupakan faktor pembatas dalam produksi antosianin daun kolesom. Kombinasi perlakuan pemupukan N dan K (100 kg urea/ha dan 100 kg KCl/ha) memberikan produksi antosianin
tertinggi,
namun dosis kombinasi
pemupukan N dan K yang optimal untuk mendapatkan daun kolesom yang mengandung protein dan antosianin yang tinggi belum diketahui. Tanaman kolesom dapat dipanen berkali-kali dengan cara memangkas pucuk dengan masa produksi hanya berkisar 2 bulan (Fontem & Schippers 2004; Sugiarto 2006). Interval panen berpengaruh penting terhadap produksi biomassa, nilai nutrisi, potensi pertumbuhan kembali, dan ketahanan hidup spesies setelah
dipanen (Man & Wiktorsson 2003). Pemanenan dengan cara pemangkasan pucuk pada Arabidopsis thaliana dapat meningkatkan kandungan antosianin (Li & Strid 2005). Kandungan protein pada Napier grass dan Cratylia argentea mengalami penurunan ketika interval panen diperpanjang (Manyawu et al. 2003; Sanchez et al. 2007). Penelitian mengenai interval panen daun kolesom terhadap kandungan protein dan antosianin belum dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan dosis pupuk nitrogen+kalium dan interval panen yang dapat meningkatkan produksi protein dan antosianin pada pucuk kolesom.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai Februari 2010, bertempat di kebun percobaan Ilmu dan Teknologi Benih IPB Leuwikopo, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis komponen fisiologis tanaman dilakukan di laboratorium Plant Analysis and Chromatography, sedangkan analisis komponen pertumbuhan dilakukan di Laboratorium Molecular Marker and Spectrophotometry UV-VIS Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain setek kolesom berukuran panjang 10 cm (Gambar 9), pupuk kandang ayam petelur, urea, KCl, SP-18, arang sekam.
Gambar 9 Setek kolesom berukuran panjang 10 cm
Peralatan yang digunakan antara lain kantong plastik (polybag) berukuran 40 cm x 50 cm (kapasitas 10 kg), spektrofotometer shimadzu UV-1800, sentrifuge heraeus labofuge-400R.
Metode Penelitian Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok lengkap dengan 2 faktor (Two factor experiment in randomized complete block design). Faktor pertama adalah interval panen yaitu 30, 15, dan 10 hari dengan jadwal panen yang tercantum pada Tabel 3. Faktor kedua adalah dosis pupuk N + K yaitu 50 kg urea + 50 kg KCl/ha, 50 kg urea + 100 kg KCl/ha, 100 kg urea + 50 kg KCl/ha, dan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha. Tabel 3
Jadwal pemanenan pucuk kolesom pada perlakuan interval panen yang berbeda selama 80 HST
Interval panen (hari) 30 15 10
HST 20 √ √ √
30
35
40
50
√
√ √ √
√ √
60
65
70
80
√
√ √ √
√ √
Total panen (kali) 3 5 7
Keterangan : √ = panen. HST = hari setelah tanam.
Terdapat 12 kombinasi perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali sehingga diperoleh 36 unit percobaan dan setiap unit percobaan terdiri dari 10 tanaman. Model statistik untuk rancangan acak kelompok faktorial adalah sebagai berikut : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk Keterangan : Yijk
=
nilai pengamatan pada faktor dosis pupuk N + K taraf ke-i, faktor interval panen taraf ke-j dan kelompok ke-k
µ
=
nilai rata-rata umum
αi
=
pengaruh perlakuan dosis pupuk N + K taraf ke-i (i = 1, 2,3, 4)
βj
=
pengaruh perlakuan interval panen taraf ke-j (j = 1, 2, 3)
(αβ)ij
=
pengaruh interaksi antara perlakuan dosis pupuk N + K ke-i dengan interval panen ke-j
ρk
=
pengaruh kelompok ke-k (k = 1, 2, 3)
εijk
=
pengaruh galat percobaan perlakuan dosis pupuk N + K ke-i, interval panen ke-j, dan kelompok ke-k
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Pelaksanaan Percobaan Persiapan bahan tanam. Bahan tanam yang digunakan adalah setek karena tingkat keberhasilannya lebih tinggi daripada biji (Susanti et al. 2008). Pembibitan dilakukan lebih dahulu untuk keperluan bahan tanam agar mendapatkan bibit yang seragam. Pembibitan dilakukan 2 bulan sebelum tanam. media tanam yang digunakan adalah campuran tanah dan pupuk kandang ayam petelur (2:1/v:v). Penyiapan media tanam. Media tanam yang digunakan adalah campuran antara tanah dan arang sekam (3:2/v:v). Pupuk kandang ayam diberikan sebanyak 25 g/polybag atau setara dengan 5 ton/ha yang telah dicampur 2 minggu sebelum tanam. Sebelum penanaman dilakukan analisis sifat fisik dan kimia terhadap tanah dan pupuk kandang ayam. Media tanam disiapkan dengan memasukkan campuran media tersebut ke dalam polybag. Penanaman. Setek batang ditanam di polybag yang telah berisi media tanam. Setek batang diambil dari bibit yang memiliki pertumbuhan sehat dan seragam pada persemaian. Setek batang yang digunakan berukuran panjang 10 cm dan tanpa daun. Pangkal batang dipotong miring. Batang yang dipilih adalah batang yang berwarna hijau. Setiap polybag ditanam 1 tanaman.
Pemberian
pupuk kalium dan nitrogen sesuai dosis perlakuan diberikan pada saat setek tanaman telah berdaun 2 helai dan membuka sempurna. Pupuk SP-18 diberikan pula dengan dosis 50 kg/ha untuk semua perlakuan. Pemeliharaan.
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman,
penyiangan gulma, dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan sekali sehari pada pagi hari pada awal pertumbuhan dan 2 hari sekali jika tajuk telah berkembang. Penyiangan dilakukan setiap saat secara manual sehingga pot perlakuan bebas dari gulma. Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan memperhatikan gejala serangan.
Panen.
Panen dilakukan dengan memetik pucuk tanaman kolesom
sepanjang ± 10 cm yang diukur dari ujung daun bagian atas yang ditegakkan dari setiap cabang yang ada (Gambar 10).
Gambar 10 Pucuk kolesom berukuran panjang 10 cm
Pengamatan Pengamatan meliputi komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman. Komponen fisiologis tanaman 1.
Analisis kandungan protein kasar pucuk dilakukan pada umur 20, 50, dan 80 hari menggunakan metode Lowry dengan kurva standar dari Bovin Serum Albumin (Waterborg 2002) (Lampiran 2).
2.
Analisis kandungan antosianin dan klorofil total pucuk dilakukan pada umur 20, 50, dan 80 hari dengan menggunakan metode Sims & Gamon (2002) (Lampiran 3).
3.
Analisis gula total pucuk dilakukan pada umur 20, 50, dan 80 hari dengan menggunakan metode antronic (Yemm & Willis 1954) (Lampiran 4).
Komponen pertumbuhan tanaman 1.
Bobot basah pucuk layak jual (g) diukur pada saat panen tanaman umur 20, 50, dan 80 hari dengan cara menimbang hasil pangkasan pucuk yang dihasilkan setiap individu tanaman.
2.
Bobot basah tanaman total (g) terdiri atas daun, batang dan cabang, serta akar diukur pada saat panen 80 HST dengan menggunakan timbangan.
3.
Bobot kering tanaman total (g) terdiri atas daun, batang dan cabang, serta akar diukur pada saat panen 80 HST dengan menggunakan timbangan setelah dioven pada suhu 105 C selama 2 hari.
Hasil dan Pembahasan Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4
Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman
Variabel Pengamatan Kandungan protein 20 HST Kandungan protein 50 HST Kandungan protein 80 HST Kandungan antosianin 20 HST Kandungan antosianin 50 HST Kandungan antosianin 80 HST Kandungan klorofil total 20 HST Kandungan klorofil total 50 HST Kandungan klorofil total 80 HST Kandungan gula total 20 HST Kandungan gula total 50 HST Kandungan gula total 80 HST Bobot basah pucuk 20 HST Bobot basah pucuk 50 HST Bobot basah pucuk 80 HST Bobot basah pucuk total Bobot basah daun total Bobot kering daun total Bobot basah batang total Bobot kering batang total Bobot basah umbi total Bobot kering umbi total Produksi protein Produksi antosianin
Dosis pupuk N+K tn ** ** tn tn tn tn tn ** tn tn tn ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** *
Perlakuan Interval Panen tn ** ** tn tn tn tn tn tn tn ** ** tn ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** **
Interaksi tn tn ** tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn ** ** ** tn tn tn tn tn tn ** tn
KK(%) 14.15 24.58 12.95 20.64 29.27 13.20 8.95 28.59 21.30 36.98 47.60 35.21 15.79 6.87 12.58 10.11 12.65 15.51 10.97 9.67 10.59 10.62 20.64 22.10
Keterangan : * = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 5%; ** = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 1%; tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman.
Komponen Fisiologis Tanaman Kandungan Protein Kandungan protein pucuk kolesom layak jual dengan berbagai dosis pupuk urea + KCl pada interval panen 30, 15, dan 10 hari secara berurutan ditunjukkan oleh Gambar 11a, 11b, dan 11c.
Kandungan protein (mg/g bb)
15 14 12 11 9 8 6 5 3 2 0
100 kg urea + 50 kg KCl/ha 80
15 14 12 11 9 8 6 5 3 2 0 20
35 50 65 Waktu Pemanenan (HST)
80
50 kg urea + 50 kg KCl/ha 50 kg urea + 100 kg KCl/ha 100 kg urea + 50 kg KCl/ha 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N + K dengan interval panen 15 hari 15 14 12 11 9 8 6 5 3 2 0
50 kg urea + 50 kg KCl/ha 50 kg urea + 100 kg KCl/ha 100 kg urea + 50 kg KCl/ha 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 20
Gambar 11c
50 Waktu pemanenan (HST)
100 kg urea + 100 kg KCl/ha
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N + K dengan interval panen 30 hari
Kandungan Protein (mg/g bb) Kandungan protein (mg/g bb)
50 kg urea + 100 kg KCl/ha
20
Gambar 11a
Gambar 11b
50 kg urea + 50 kg KCl/ha
30 40 50 60 70 Waktu pemanenan (HST)
80
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N + K dengan interval panen 10 hari
Gambar 11a, 11b, dan 11c menunjukkan bahwa semua perlakuan dosis pupuk urea + KCl pada berbagai interval panen menghasilkan kandungan protein pucuk kolesom layak jual yang mengalami peningkatan seiring pertambahan umur panen sampai umur 50 HST dan selanjutnya mengalami penurunan pada panen berikutnya.
Ketiadaan pucuk kolesom layak jual yang dapat dipanen
mengakibatkan tidak ada data kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada umur 70 dan 80 HST pada tanaman yang dipanen dengan interval 10 hari. Kandungan protein yang terus meningkat hingga umur 50 HST diduga terkait dengan kisaran waktu fase vegetatif kolesom. Fase vegetatif tanaman menjadikan pucuk merupakan organ yang paling aktif melakukan proses metabolisme dan aktivitas ini akan menurun pada saat tanaman memasuki fase reproduktif. Fase reproduktif yang ditandai oleh munculnya bunga pada percobaan ini terjadi antara umur 40-60 HST. Kemudian kandungan protein akan terus menurun pada saat tanaman memasuki masa senescence. Masa senescence terlihat pada umur 80 HST dimana daun-daun dewasa kolesom telah menguning akibat kekurangan hara N. Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian pupuk urea + KCl dengan berbagai dosis tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada umur 20 HST. Diduga bahwa kandungan protein pucuk kolesom pada umur yang masih muda ini ditentukan oleh kapasitas metabolisme tanaman yang dibatasi oleh fase pertumbuhan tanaman.
Artinya berapapun
jumlah hara yang diberikan tidak dapat meningkatkan kandungan protein pucuk kolesom karena ada kapasitas maksimum sintesis protein pada umur tertentu. Pemanenan pucuk yang dimulai pada umur 20 HST menyebabkan perlakuan interval panen tidak berpengaruh terhadap kandungan protein pucuk layak jual pada umur 20 HST. Semakin tinggi total dosis pupuk urea + KCl yang diberikan maka semakin tinggi pula kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada umur 50 HST. Semakin panjang interval panen akan menurunkan kandungan protein. Pucuk kolesom yang dipanen setiap 15 atau 10 hari menghasilkan kandungan protein pucuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan kolesom yang dipanen setiap 30 hari sekali pada umur 50 HST. Kandungan protein pucuk layak jual
pada semua perlakuan telah mengalami penurunan pada pemanenan umur 80 HST. Perlakuan interval panen 10 hari tidak dibandingkan karena tidak menghasilkan pucuk layak jual pada umur 80 HST, sehingga interval panen tersebut tidak dapat direkomendasikan pada budidaya kolesom karena akan memperpendek masa produksi pucuk kolesom. Tabel 5 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N + K pada umur 20, 50, dan 80 HST Perlakuan Interval panen (hari) 30 15 10 Dosis pupuk urea + KCl (kg/ha) 50 + 50 50 + 100 100 + 50 100 + 100 Interaksi
Waktu panen (HST) 20 50 80 …………………..mg/g bb………………………. 3.54 3.93 3.57
7.99 b 9.77 a 8.78 ab
4.72 b 6.33 a -
3.38 3.74 3.94 3.66 tn
7.91 c 8.51 b 8.39 b 10.60 a tn
4.31 c 4.73 c 5.97 b 7.09 a **
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. - = tidak ada pucuk.
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada umur 80 HST dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan dosis pupuk urea + KCl dan interval panen. Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian pupuk 100 kg urea + 100 kg KCl/ha atau 100 kg urea + 50 kg KCl/ha pada kolesom yang dipanen setiap 15 hari sekali menghasilkan kandungan protein pucuk kolesom tertinggi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan unsur N lebih dibutuhkan dibandingkan unsur K dalam pembentukan protein dalam pucuk kolesom.
Namun,
keseimbangan hara merupakan faktor kunci yang berpengaruh terhadap kualitas hasil tanaman. Kombinasi antara unsur N dan K dalam dosis yang tepat sangat dibutuhkan untuk pembentukan protein karena kedua unsur tersebut merupakan unsur yang sangat fundamental dalam proses biokimianya. Marschner (1995) menjelaskan bahwa unsur N yang diberikan melalui akar akan dimetabolisme untuk membentuk asam amino yang akan ditransportasikan ke tajuk yang
selanjutnya membentuk ikatan peptida untuk menghasilkan protein, sedangkan Szczerba et al. (2009) menyatakan bahwa unsur K berperan penting dalam aktivasi enzim dan pemanjangan ikatan peptida pada proses pembentukan protein. Tabel 6 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara interval panen dan dosis pupuk N + K umur 80 HST Dosis pupuk urea + KCl (kg/ha) 50 + 50 50 + 100 100 + 50 100 + 100
Interval panen (hari) 30 15 …………… mg/g bb…………….. 3.97 c 4.64 bc 4.38 c 5.07 bc 4.70 bc 7.24 a 5.84 b 8.35 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah.
Kandungan protein pucuk kolesom yang dipanen dengan interval 15 hari lebih tinggi dibandingkan dengan kolesom yang dipanen dengan interval 30 hari. Hal ini disebabkan karena pemanenan pucuk secara periodik dengan interval panen yang lebih pendek mengakibatkan peningkatan aktivitas rejuvenasi dan menjadikan pucuk kolesom menjadi sink utama translokasi hara N yang akan digunakan untuk sintesis asam amino menjadi protein pada pucuk muda, sedangkan pemanenan pucuk dengan interval waktu yang lebih panjang akan memberikan peluang waktu lebih cepat bagi kolesom untuk memasuki masa reproduktif dan terjadi remobilisasi kandungan hara N dari pucuk kepada organ sink lain yang menyebabkan sintesis protein pada pucuk menurun. Penurunan kandungan protein yang disebabkan karena interval panen yang panjang juga ditemukan oleh Manyawu et al. (2003) dan Sarwar et al. (2006) pada rumput Napier dan Pennisetum.
Kandungan Antosianin Gambar 12a dan 12b secara berurutan menunjukkan bahwa kandungan antosianin pada pucuk kolesom layak jual pada berbagai perlakuan dosis pupuk urea + KCl dengan interval panen 30 dan 15 hari terus mengalami penurunan sejalan dengan pertambahan umur panen.
Gambar 12c menunjukkan bahwa
kandungan antosianin mengalami penurunan hingga umur 50 HST dan kemudian terjadi peningkatan kembali pada umur 60 HST, namun kandungan antosianin
pada umur 60 HST tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan antosianin pada umur 20 HST. Kandungan antosianin tertinggi pada gambar 12a, 12b, dan 12c terdapat pada kolesom yang dipanen pada umur 20 HST. Hasil ini menunjukkan bahwa pucuk kolesom mengakumulasi antosianin lebih tinggi pada awal pertumbuhan vegetatif dan akan terjadi penurunan kandungan antosianin sejalan dengan pertambahan umur. Adanya peningkatan kandungan antosianin pucuk pada umur 60 HST pada kolesom yang mendapatkan perlakuan pupuk urea + KCl yang dipanen setiap 10 hari sekali kemudian diikuti oleh ketiadaan pucuk pada umur 70 dan 80 HST menunjukkan bahwa peningkatan kandungan antosianin pucuk kolesom dapat berperan sebagai penanda bahwa tanaman telah mengalami cekaman yang mengakibatkan tanaman mengalami senescence yang lebih cepat. Oleh karena itu, pemanenan pucuk kolesom setiap 10 hari sekali dapat dianggap sebagai pemanenan yang sangat intensif dan tidak memberikan waktu yang lebih panjang untuk proses recovery jaringan tanaman. Berdasarkan penjelasan Hatier & Gould (2008) mengenai berbagai macam stres pada tanaman yang dapat menginduksi pigmen antosianin, maka pemanenan yang terlalu intensif dapat dikategorikan sebagai pelukaan jaringan yang menyebabkan stres abiotik.
Kandungan Antosianin (µmol/g bb)
0.6 0.5 0.4
50 kg urea + 50 kg KCl/ha
0.3
50 kg urea + 100 kg KCl/ha
0.2
100 kg urea + 50 kg KCl/ha
0.1
100 kg urea + 100 kg KCl/ha
0 20
Gambar 12a
50 Waktu Pemanenan (HST)
80
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N + K dengan interval panen 30 hari
Kandungan Antosianin (µmol/g bb)
0.6 0.5 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 50 kg urea + 100 kg KCl/ha 100 kg urea + 50 kg KCl/ha 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
0.4 0.3
0.2 0.1 0 20
Gambar 12b
35 50 65 Waktu Pemanenan (HST)
80
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N + K dengan interval panen 15 hari
Kandungan antosianin (µmol/g bb)
0.6 0.5 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 50 kg urea + 100 kg KCl/ha 100 kg urea + 50 kg KCl/ha 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
0.4 0.3 0.2 0.1 0 20
Gambar 12c
30 40 50 60 70 Waktu pemanenan (HST)
80
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N + K dengan interval panen 10 hari
Tabel 7 menunjukkan bahwa kandungan antosianin pucuk kolesom pada umur 20, 50, dan 80 HST tidak dipengaruhi oleh berbagai dosis pupuk urea + KCl yang diberikan pada awal tanam dan interval panen. Diduga berbagai dosis pupuk urea + KCl yang diberikan masih berada dalam selang kecukupan yang sama untuk pembentukan antosianin. Hasil percobaan ini dapat menjelaskan bahwa dosis 100 kg urea + 100 kg KCl/ha yang merupakan kombinasi terbaik untuk pembentukan antosianin pada pucuk kolesom pada penelitian Mualim et al. (2009) tidak dapat dijadikan sebagai acuan untuk meningkatkan kandungan antosianin pucuk kolesom yang dipanen secara berulang. Penelitian pengaruh kombinasi dosis pupuk N+K pada tanaman anggur yang dilakukan oleh Delgado
et al.
(2006) menunjukkan bahwa peningkatan kandungan antosianin dapat
dilakukan dengan pemberian kombinasi antara dosis K tinggi dengan N sedang. Tabel 7 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N + K umur 20, 50, dan 80 HST Waktu panen (HST) 20 50 80 ………………µmol/g bb………………
Perlakuan Interval panen (hari) 30 15 10 Dosis pupuk urea + KCl (kg/ha) 50 + 50 50 + 100 100 + 50 100 + 100 Interaksi
0.49 0.47 0.48
0.28 0.30 0.27
0.16 0.10 -
0.44 0.49 0.51 0.48 tn
0.32 0.28 0.28 0.26 tn
0.11 0.13 0.12 0.14 tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak nyata – = tidak ada pucuk.
Kandungan Klorofil Gambar 13a, 13b, dan 13c masing-masing secara berurutan menunjukkan bahwa kolesom yang mendapatkan berbagai perlakuan dosis pupuk urea + KCl pada semua interval panen menghasilkan kandungan klorofil pucuk yang
Kandungan klorofil (µmol/g bb)
mengalami penurunan sejalan pertambahan umur tanaman.
2.5
Interval panen 30 hari
2.0
50 kg urea + 50 kg KCl/ha 50 kg urea + 100 kg KCl/ha 100 kg urea + 50 kg KCl/ha 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
1.5 1.0 0.5 0.0 20
Gambar 13a
50 Waktu pemanenan (HST)
80
Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 30 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST
Kandungan klorofil (µmol/g bb) Kandungan klorofil (µmol/g bb)
Gambar 13b
Gambar 13c
2.5
Interval panen 15 hari
2.0
50 kg urea + 50 kg KCl/ha 50 kg urea + 100 kg KCl/ha 100 kg urea + 50 kg KCl/ha 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
1.5 1.0 0.5 0.0 20
50 Waktu pemanenan (HST)
80
Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 15 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST Interval panen 10 hari 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 20
50 Waktu pemanenan (HST)
80
50 kg urea + 50 kg KCl/ha 50 kg urea + 100 kg KCl/ha 100 kg urea + 50 kg KCl/ha 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N+K dengan interval panen 10 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST
Tabel 8 menunjukkan bahwa berbagai dosis pupuk urea + KCl yang hanya mempengaruhi kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada umur 80 HST. Semakin tinggi jumlah dosis pupuk urea yang dikombinasikan dengan berapapun dosis pupuk KCl menyebabkan semakin tinggi pula kandungan klorofil pucuk kolesom yang dipanen pada umur 80 HST.
Hal ini dapat terlihat bahwa
pemberian pupuk 100 kg urea + 50 kg KCl/ha atau 100 kg urea + 100 kg KCl/ha diperlukan untuk menghasilkan kandungan klorofil pucuk kolesom tertinggi pada
umur 80 HST. Interval panen tidak berpengaruh terhadap kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada umur 20, 50, dan 80 HST. Tabel 8 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K umur 20, 50, dan 80 HST Perlakuan Interval panen (hari) 30 15 10 Dosis pupuk urea + KCl (kg/ha) 50 + 50 50 + 100 100 + 50 100 + 100 Interaksi
Waktu panen (HST) 20 50 80 ………………..µmol/g bb……………… 1.90 1.78 1.75
0.85 0.98 0.91
0.26 0.31 -
1.74 1.80 1.95 1.75 tn
0.87 0.93 0.85 1.02 tn
0.19 c 0.28 bc 0.32 ab 0.38 a tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak nyata. – = tidak ada pucuk.
Respon kolesom terhadap berbagai dosis pupuk urea + KCl untuk menghasilkan kandungan klorofil pucuk memperlihatkan bahwa unsur N lebih berpengaruh terhadap kandungan klorofil pucuk kolesom dibandingkan unsur K. Hal ini mendukung pernyataan Fridgen & Varco (2004) dan Havlin et al. (2005) bahwa N merupakan unsur utama untuk sintesis molekul klorofil pada kloroplas, sedangkan unsur K tidak memberikan pengaruh langsung terhadap kandungan klorofil daun. Namun, kekurangan hara K dapat mengakibatkan kerusakan klorofil yang ditandai dengan munculnya nekrosis pada daun tanaman. Hasil penelitian pada tanaman kapas dan gandum menunjukkan bahwa kandungan klorofil pada daun tanaman dapat digunakan sebagai indikator status N tanaman sehingga keterkaitan antara klorofil dan N pada tanaman dapat pula dikaitkan dengan semua elemen yang terlibat dalam metabolisme sel yang menggunakan N sebagai hara utama terutama protein (Bronson et al. 2003; Houles et al. 2007). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa dosis pupuk sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha atau 100 kg urea + 50 kg KCl/ha yang diberikan pada awal tanam menghasilkan kandungan protein (lihat Tabel 6) dan klorofil pucuk kolesom tertinggi pada umur 80 HST.
Kandungan Gula Gambar 14a, 14b, dan 14c menunjukkan bahwa kandungan gula pucuk kolesom mengalami peningkatan dari umur 20 sampai 50 HST kemudian mengalami penurunan pada umur 80 HST pada semua perlakuan dosis pupuk urea + KCl dengan berbagai interval panen.
Kandungan gula (mg/g bb)
Interval panen 30 hari 1.6 1.4
50 kg urea + 50 kg KCl/ha
1.2 1.0
50 kg urea + 100 kg KCl/ha
0.8
100 kg urea + 50 kg KCl/ha
0.6 0.4
100 kg urea + 100 kg KCl/ha
0.2 0.0 20
50 Waktu pemanenan (HST)
80
Gambar 14a Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N + K dengan interval panen 30 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST
Kandungan gula (mg/g bb)
Interval panen 15 hari 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 20
Gambar 14b
50 Waktu pemanenan (HST)
80
50 kg urea + 50 kg KCl/ha 50 kg urea + 100 kg KCl/ha 100 kg urea + 50 kg KCl/ha 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N + K dengan interval panen 15 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST
Interval panen 10 hari Kandungan gula (mg/g bb)
1.6 1.4
50 kg urea + 50 kg KCl/ha 50 kg urea + 100 kg KCl/ha 100 kg urea + 50 kg KCl/ha 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 20
50 Waktu pemanenan (HST)
80
Gambar 14c Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N + K dengan interval panen 10 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST Tabel 9 menunjukkan bahwa kandungan gula pucuk kolesom hanya dipengaruhi oleh interval panen. Semakin panjang interval panen maka akan semakin tinggi pula kandungan gula pucuk kolesom. Pemanenan pucuk dengan interval 30 hari dapat menghasilkan kandungan gula tertinggi pada umur 50 dan 80 HST. Tabel 9
Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K umur 20, 50, dan 80 HST
Perlakuan Interval panen (hari) 30 15 10 Dosis pupuk urea+KCl (kg/ha) 50 + 50 50 + 100 100 + 50 100 + 100 Interaksi
Waktu panen (HST) 20 50 80 ……………….mg/g bb……………… 1.44 1.29 1.35
1.04 a 0.64 b 0.57 b
0.54 a 0.25 b -
1.19 1.31 1.75 1.19 tn
0.79 0.87 0.86 0.48 tn
0.32 0.44 0.33 0.50 tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak nyata. – = tidak ada pucuk.
Interval panen yang lebih panjang dapat menghasilkan kandungan gula tertinggi kemungkinan karena kolesom pada perlakuan ini memiliki peluang untuk mengakumulasi C pada pucuk lebih besar daripada perlakuan yang mendapatkan interval panen yang lebih pendek karena memiliki luas daun efektif yang lebih banyak untuk berfotosintesa. Simon et al. (2004) & Teixera et al. (2007) menyatakan bahwa pemanenan daun dengan interval panen yang lebih pendek akan mengurangi daun yang berpotensi untuk meningkatkan laju fotosintesis, sehingga akan mengurangi asimilasi C untuk tanaman. Inisiasi tunas baru untuk membentuk pucuk kembali setelah pemanenan akan mengakibatkan mobilisasi cadangan N organik dan C organik akan dilepaskan pada respirasi sebagai energi yang
dibutuhkan untuk aktivitas pertumbuhan, sehingga
kandungan gula akan lebih rendah.
Komponen Pertumbuhan Tanaman Bobot Basah Pucuk Layak Jual Gambar 15a dan 15b secara berurutan menunjukkan bahwa bobot basah pucuk kolesom layak jual mengalami peningkatan dari umur 20 HST sampai 50 HST kemudian mengalami penurunan pada semua perlakuan dosis pupuk urea +
Bobot basah pucuk layak jual (g/tanaman)
KCl dengan interval panen yang berbeda.
Gambar 15a
60 50
50 kg urea + 100 kg KCl/ha
40
50 kg urea + 50 kg KCl/ha
30 20
100 kg urea + 50 kg KCl
10
100 kg urea + 100 kg KCl/ha
0 20
50 Waktu pemanenan (HST)
80
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N + K dengan interval panen 30 hari
Bobot basah pucuk layak jual (g/tanaman)
60 50 40
50 kg urea + 50 kg KCl/ha
30
50 kg urea + 100 kg KCl/ha
20
100 kg urea + 50 kg KCl/ha
10
100 kg urea + 100 kg KCl/ha
0 20
Gambar 15b
35 50 65 Waktu pemanenan (HST)
80
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N + K dengan interval panen 15 hari
Gambar 15c menunjukkan bahwa bobot basah pucuk kolesom layak jual yang dipanen dengan interval 10 hari mengalami peningkatan dari umur 20 sampai 40 HST kemudian mengalami penurunan.
Kolesom yang mendapat
perlakuan interval panen 10 hari memiliki masa produksi yang lebih pendek karena menghasilkan pucuk layak jual hanya sampai umur 60 HST.
Bobot basah pucuk layak jual (g/tanaman)
60 50 40
50 kg urea + 50 kg KCl/ha
30
50 kg urea + 100 kg KCl/ha
20
100 kg urea + 50 kg KCl/ha
10
100 kg urea + 100 kg KCl/ha
0 20
Gambar 15c
30 40 50 60 70 Waktu pemanenan (HST)
80
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk N + K dengan interval panen 10 hari
Adanya fluktuasi bobot basah pucuk layak jual selama periode tanam 80 hari yang disebabkan oleh berbagai berbagai dosis pupuk urea + KCl dan interval panen menunjukkan bahwa peningkatan bobot basah pucuk hanya terjadi pada saat fase vegetatif tanaman dan menurun pada saat memasuki fase reproduktif tanaman.
Semakin pendek interval panen yang menandakan semakin tinggi
intensitas panen maka akan menurunkan hasil yang lebih cepat dibanding interval panen lainnya. Semakin tinggi total dosis pupuk urea + KCl yang diberikan pada awal tanam maka akan semakin tinggi pula bobot basah pucuk kolesom yang dihasilkan pada umur 20 HST, sedangkan bobot basah pucuk kolesom umur 50 dan 80 HST dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan dosis pupuk urea+KCl dan interval panen (Tabel 10). Bobot basah pucuk tertinggi pada umur 50 HST dihasilkan oleh kolesom yang mendapatkan pupuk sebesar 100 kg urea + 100 kg/ha KCl dan dipanen 15 hari sekali. Namun, bobot basah pucuk tertinggi pada umur 80 HST dihasilkan oleh kolesom yang mendapatkan pupuk sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha atau 100 kg urea + 50 kg KCl/ha yang dipanen setiap 30 hari dan telah berbunga. Tabel 10 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K umur 20, 50, dan 80 HST Perlakuan Interval panen (hari) 30 15 10 Dosis pupuk urea+KCl (kg/ha) 50 + 50 50 + 100 100 + 50 100 + 100 Interaksi
Waktu panen (HST) 20 50 80 ……………….g/tanaman……………… 16.66 17.18 17.28
31.23 b 45.17 a 21.09 c
7.27 a 5.19 b -
14.82 c 18.42 ab 15.56 bc 19.37 a tn
24.34 d 31.24 c 35.01 b 39.41 a **
4.22 c 6.05 b 7.11 a 7.55 a **
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. tn = tidak nyata. – = tidak ada pucuk.
Hasil pada Tabel 11 menunjukkan bahwa pada umur 80 HST, kolesom yang dipanen dengan interval yang lebih pendek tidak mampu lagi menghasilkan produksi pucuk maksimal karena intensifnya pemanenan.
Tabel 11 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara interval panen dengan dosis pupuk N+K pada umur 50 dan 80 HST serta total selama 80 hari Dosis pupuk urea+KCl (kg/ha) 50 + 50 50 + 100 100 + 50 100 + 100 50 + 50 50 + 100 100 + 50 100 + 100 50 + 50 50 + 100 100 + 50 100 + 100
Interval panen (hari) 30 15 10 …………50 HST (g/tanaman)………. 26.85 fg 28.86 ef 17.31 i 28.39 ef 44.43 c 20.91 hi 31.81 e 50.21 b 23.01 gh 37.88 d 57.19 a 23.15 gh …………80 HST (g/tanaman)………. 5.33 b 3.10 c 6.42 b 5.69 b 8.34 a 5.87 b 8.98 a 6.11 b …………total (g/tanaman)………. 46.27 h 74.55 cd 68.80 de 52.75 gh 96.27 b 84.54 bc 55.12 fgh 107.93 a 86.29 bc 66.49 def 112.67 a 92.97 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Data bobot basah pucuk kolesom pada umur 80 HST yang terdapat pada Tabel 11 mendukung hasil penelitian Fontem & Schipper (2004) yang menunjukkan bahwa kolesom yang sudah berbunga masih dapat menghasilkan pucuk, walaupun ukuran pucuk semakin kecil. Pupuk sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
atau 100 kg urea + 50 kg KCl dengan interval panen 15 hari
diperlukan untuk menghasilkan total bobot basah pucuk layak tertinggi selama peride tanam 80 hari.
Bobot Basah dan Kering Tanaman Tabel 12 menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah dosis urea + KCl dan semakin panjang interval panen pucuk yang diberikan akan meningkatkan biomassa kolesom. Kolesom yang mendapatkan perlakuan interval panen 10 hari tidak dapat menghasilkan pucuk layak jual pada umur 80 HST, tetapi tanaman masih hidup dan memiliki biomassa yang dapat diukur. Pemberian pupuk dengan dosis melebihi 50 kg urea + 50 kg KCl dalam percobaan ini dapat meningkatkan bobot basah daun, batang, dan akar. Namun,
bobot basah yang tinggi tidak selalu selaras dengan bobot kering. Bobot kering daun, batang, dan umbi kolesom dipengaruhi oleh unsur N, di mana terlihat bahwa semakin tinggi dosis pupuk urea yang diberikan maka semakin tinggi pula bobot keringnya. Hal ini menunjukkan bahwa unsur N tampak lebih dominan untuk meningkatkan biomassa kolesom. Pengaruh N terhadap produksi bobot kering tanaman dijelaskan oleh Peng et al. (2010) melalui peranan N terhadap peningkatan indeks luas daun dan kandungan N per unit luas daun untuk mendukung peningkatan laju fotosintesis. Namun, unsur N secara tunggal tanpa unsur K tidak dapat meningkatkan biomassa. Kanzikwera et al. (2001) dan Csizinsky (2002) menyatakan bahwa keberadaan unsur K dalam jumlah yang cukup sangat diperlukan untuk pembentukan biomassa tanaman karena unsur K sangat berperanan penting untuk aktivasi enzim dan meningkatkan transport asimilat dari daun ke bagian tanaman lainnya. Tabel 12 Bobot basah dan kering daun, batang, dan umbi kolesom pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K umur 80 HST Perlakuan Interval Panen (hari) 30 15 10 Dosis pupuk urea+KCl (kg/ha) 50 + 50 50 + 100 100 + 50 100 + 100 Interaksi
Daun
Batang
Umbi
BB BK BB BK BB BK ……………………… g/tanaman…………………………….
35.76 a 29.96 b 21.51 c
2.15 a 1.93 b 1.43 c
31.03 a 24.99 b 18.66 c
2.64 a 2.26 b 1.61 c
15.16 a 11.50 b 6.65 c
2.53 a 1.93 b 1.06 c
25.16 b 28.65 ab 31.22 a 32.61 a tn
1.24 c 1.83 b 2.05 b 2.22 a tn
20.99 b 24.38 ab 26.53 a 27.67 a tn
1.95 c 2.09 bc 2.25 ab 2.39 a tn
9.81 b 11.70 a 11.20 ab 11.69 a tn
1.65 b 1.82 ab 1.91 a 1.99 a tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. BB= bobot basah . BK = bobot kering. tn = tidak nyata.
Kolesom yang dipanen dengan interval 30 hari menghasilkan biomassa yang lebih tinggi daripada yang dipanen dengan interval 15 hari. Diduga hal ini terjadi karena interval panen yang lebih panjang menyebabkan tanaman mendapatkan waktu yang cukup untuk proses pertumbuhan dan perkembangan
organ lain seperti perluasan daun, pemanjangan batang dan pembentukan umbi. Perluasan daun yang lebih banyak pada kolesom yang dipanen dengan interval 30 hari penting untuk meningkatkan aktivitas fotosintesis sehingga menghasilkan asimilat yang lebih banyak untuk terbentuknya akumulasi bahan kering tanaman, sedangkan interval panen yang lebih pendek menyebabkan translokasi N dan penggunaan asimilat untuk rejuvenasi dan sintesis protein pada pucuk. Mann & Wiktorsson (2003) dan Hare et al. (2004) melaporkan bahwa interval panen yang lebih panjang akan menghasilkan biomassa yang lebih tinggi karena translokasi asimilat dapat digunakan secara proporsional untuk membentuk biomassa, di mana terjadi peningkatan proses lignifikasi dan pembentukan serat untuk memperkuat dinding sel tanaman.
Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan Fisiologis Kandungan protein pucuk kolesom dalam percobaan ini tidak berkorelasi dengan semua komponen pertumbuhan tanaman, sedangkan kandungan antosianin berkorelasi positif dengan komponen pertumbuhan tanaman yang meliputi bobot basah pucuk dan daun serta bobot basah dan kering batang serta umbi. Kandungan protein berkorelasi positif dengan kandungan klorofil, sedangkan kandungan antosianin berkorelasi positif dengan kandungan gula (Tabel 13). Tabel 13
Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis kolesom pada berbagai perlakuan interval panen dan dosis pupuk N + K pada umur 80 HST
Antosianin Klorofil Gula Bobot basah pucuk Bobot basah daun total Bobot basah batang Bobot basah umbi Bobot kering daun total Bobot kering batang Bobot kering umbi Keterangan : ** = sangat nyata
Protein Antosianin ………………… % ….................... -20.13 88.66** 14.19 -19.18 88.91** 12.12 83.61** 12.89 88.25** 6.39 93.27** -45.58 90.15** 45.09 64.29 4.28 92.49** -38.77 92.48**
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom Perkalian antara total bobot basah pucuk layak jual dengan total protein dan antosianin pucuk kolesom selama periode tanam 80 hari menghasilkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual (Tabel 14). Produksi protein pucuk kolesom layak jual dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan dosis pemupukan N+K dan interval panen. Pemberian pupuk dengan dosis melebihi 50 kg urea + 50 kg KCl atau pemanenan pucuk kolesom dengan interval 15 dan 10 hari memberikan produksi antosianin pucuk kolesom layak jual tertinggi. Tabel 14 Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K Perlakuan Interval panen (hari) 30 15 10 Dosis pupuk urea+KCl (kg/ha) 50 + 50 50 + 100 100 + 50 100 + 100 Interaksi
Produksi protein (g/tanaman)
Produksi antosianin (µmol/tanaman)
0.90 c 3.45 a 2.28 b
84.58 b 157.72 a 165.47 a
1.45 c 2.16 b 2.38 b 2.85 a **
104.97 b 139.64 a 146.85 a 152.23 a tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. ** = sangat nyata. tn = tidak nyata.
Kolesom membutuhkan pupuk sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha dengan pemanenan pucuk setiap 15 hari sekali untuk menghasilkan produksi protein pucuk layak jual tertinggi (Tabel 15). Tabel 15 Produksi protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara interval panen dan dosis pupuk N+K Dosis pupuk urea+KCl (kg/ha) 50 + 50 50 + 100 100 + 50 100 + 100
Interval panen (hari) 30 15 10 …………… … g/tanaman……………… 0.68 g 1.98 def 1.68 ef 0.83 g 3.24 bc 2.40 cde 0.86 g 3.84 bc 2.44 cde 1.23 fg 4.72 a 2.61 cd
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05
Kesimpulan Produksi protein dan antosianin pucuk layak jual tertinggi dihasilkan oleh kolesom yang mendapatkan pupuk sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl dan dipanen setiap 15 hari sekali. Ditemukan korelasi positif antara kandungan protein dan klorofil; kandungan antosianin dan gula; kandungan antosianin dan semua komponen pertumbuhan, kecuali bobot kering daun.
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) DENGAN PEMUPUKAN BERTAHAP NITROGEN+KALIUM PADA DUA INTERVAL PANEN Protein and Anthocyanin Productions of Waterleaf Shoot (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) with Split Application of Nitrogen+Potassium Fertilizer at Two Harvest Intervals Abstrak Penelitian untuk mempelajari pengaruh berbagai pemupukan N+K secara bertahap dan interval panen terhadap produksi protein dan antosianin pucuk kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) telah dilaksanakan di Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia pada bulan April sampai Juli 2010. Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Dua faktor tersebut adalah interval panen (15 dan 30 hari) dan pemupukan N+K bertahap yang meliputi frekuensi dan total dosis urea+KCl (1 kali dan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha (kontrol), 3 kali dan 100 kg urea +100 kg KCl/ha, 5 kali dan 100 kg urea +100 kg KCl/ha, 3 kali dan 150 kg urea +150 kg KCl/ha, 5 kali dan 150 kg urea +150 kg KCl/ha). Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan interval panen 15 hari dengan pemupukan bertahap pada frekuensi 3 kali dan total dosis 150 kg urea+ 150 kg KCl/ha menghasilkan produksi protein (13.90 g/tanaman) dan antosianin (250.61 µmol/tanaman) tertinggi pucuk kolesom layak jual. Kandungan protein berkorelasi positif dengan klorofil pucuk kolesom. Kata Kunci : Pucuk layak jual, protein, antosianin, pemupukan, panen Abstract The experiment was conducted in Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia from April until July 2010 to study the effect of different harvest intervals and splitting of nitrogen+potassium application on waterleaf shoot (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) protein and anthocyanin production. A split plot design was used with three replications of two factors. The first factor was harvest interval (15 and 30 days) and the second factor was frequency of fertilization splitted with different total dosages of urea+KCl (one times with the total of 100 kg urea +100 kg KCl/ha (control), three times with the total of 100 kg urea +100 kg KCl/ha, five times with the total of 100 kg urea +100 kg KCl/ha, three times with the total of 150 kg urea +150 kg KCl/ha, five times with the total of 150 kg urea +150 kg KCl/ha) . The result showed that combination of harvest interval at 15 days and three times fertilization with the total dosage 150 kg urea+ 150 kg KCl/ha produced the highest protein production (13.90 g/plant) and anthocyanin (250.61 µmol/plant) of marketable shoots. There was a positive correlation between protein and chlorophyll content. Keywords : Marketable shoot, protein, anthocyanin, fertilization, harvest
Pendahuluan Kolesom pada saat ini telah dianggap sebagai tanaman asli Indonesia yang berkhasiat obat karena penyebarannya di berbagai wilayah Indonesia dan telah digunakan sejak zaman nenek moyang kita (Andarwulan et al. 2010). Peningkatan kualitas pucuk kolesom sebagai sayuran berkhasiat obat harus terus dilakukan karena mengandung protein (Mensah et al.
2008) dan antosianin
(Mualim et al. 2009) yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia. Kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom sangat ditentukan oleh teknik budidaya dan faktor lingkungan. Teknik budidaya dengan berbagai dosis pemupukan N+K dan interval panen untuk meningkatkan kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom telah dilakukan terlebih dahulu dalam rangkaian penelitian ini, di mana pemberian pupuk hanya dilakukan pada awal tanam saja dan pemanenan pertama dilakukan pada umur 20 HST.
Percobaan tersebut
menghasilkan dosis pupuk standar sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha untuk menghasilkan produksi protein dan antosianin tertinggi selama 80 hari. Namun, produktivitas dan kualitas pucuk kolesom yang dipanen berulang hanya sampai umur 50 hari kemudian menurun. Hal ini diduga bahwa umur tanaman pada saat pemanenan pertama dilakukan masih terlalu muda sehingga pemangkasan pucuk kolesom secara berulang akan mempercepat penurunan kemampuan rejuvenasi dan produksi. Faktor lain yang diduga menyebabkan penurunan kualitas pucuk kolesom adalah pemberian pupuk N+K seluruhnya pada awal pertumbuhan tidak dapat diserap seluruhnya oleh tanaman. Oleh karena itu perlu mengubah umur panen pertama menjadi 30 HST dan mempelajari teknik pemupukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman agar dapat meningkatkan umur produksi dan kualitas pucuk kolesom. Peningkatan hasil dan kualitas tanaman dapat dilakukan dengan metode pemupukan bertahap yang menggabungkan antara jumlah dosis, waktu, dan frekuensi pupuk yang diberikan (Grant et al. 2001).
Penelitian mengenai
pemberian pupuk N secara bertahap telah dilakukan pada tanaman lain. Pemberian pupuk N secara bertahap berdasarkan frekuensi dan dosis yang diberikan dapat meningkatkan kualitas dan kandungan protein gandum (GarridoLestache et al. 2004; Delin et al. 2005; Fuertes-Mendizabal et al. 2010). Belum
ada informasi mengenai pengaruh pemberian pupuk N atau K secara bertahap terhadap kandungan antosianin tanaman. Pemberian pupuk N dan K melalui tanah secara bertahap berdasarkan frekuensi dan dosis untuk meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom belum dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari teknik pemupukan N+K secara bertahap berdasarkan frekuensi dan total dosis melalui tanah pada dua interval panen untuk meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2010, bertempat di kebun percobaan Ilmu dan Teknologi Benih IPB Leuwikopo, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis komponen fisiologis tanaman dilakukan di laboratorium Plant Analysis and Chromatography, sedangkan analisis komponen pertumbuhan dilakukan di Laboratorium Molecular Marker and Spectrophotometry UV-VIS Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain setek kolesom berukuran panjang 10 cm, pupuk kandang ayam petelur, urea, KCl, SP-18, arang sekam, dan bahan-bahan analisis kimia. Peralatan yang digunakan antara lain oven listrik, spektrofotometer shimadzu UV-1800, dan sentrifuge heraeus labofuge-400R.
Metode Penelitian Percobaan disusun berdasarkan rancangan petak terpisah (split plot design) dengan interval panen sebagai petak utama dan pemupukan bertahap nitrogen+kalium sebagai anak petak. Petak utama terdiri atas dua taraf interval panen yaitu 15 dan 30 hari. Dua interval panen tersebut adalah interval panen
terbaik yang didapatkan dari percobaan I dengan jadwal pemanenan yang tercantum pada Tabel 16. Tabel 16 Jadwal pemanenan pucuk kolesom pada perlakuan interval panen yang berbeda selama 90 hari Interval panen (hari) 15 30
30 √ √
Umur panen (HST) 45 60 75 √
√
√
√
90 √ √
Keterangan : √ = panen. HST = hari setelah tanam.
Anak petak terdiri atas lima taraf pemupukan bertahap nitrogen+kalium yang meliputi frekuensi dan total dosis pemberian pupuk urea + KCl seperti yang disajikan pada Tabel 17. Kontrol merupakan dosis urea + KCl (kg/ha) yang memberikan produksi protein dan antosianin tertinggi pada percobaan I. Tabel 17 Pemupukan bertahap nitrogen dan kalium berdasarkan waktu dan total dosis Frekuensi, total dosis urea + KCl (kg/ha)
Umur tanaman (HST) 0
15
30
45
60
…………………Dosis urea + KCl (kg/ha)……………… 1 kali, 100+100 (kontrol) 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150
100+100
-
-
-
-
50+50 50+50 100+100 100+100
12.5+12.5 12.5+12.5
25+25 12.5+12.5 25+25 12.5+12.5
12.5+12.5 12.5+12.5
25+25 12.5+12.5 25+25 12.5+12.5
Keterangan : 100 + 100 adalah dosis terbaik masing-masing urea + KCl yang diberikan pada percobaan I. Pemupukan pada umur 30, 45, dan 60 HST dilakukan setelah panen.
Terdapat 10 kombinasi perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali sehingga diperoleh 30 unit percobaan. Model statistik untuk rancangan petak terpisah adalah sebagai berikut : Yijk = µ + αi +κk +δik +βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk
=
nilai pengamatan pada perlakuan petak utama ke-i, anak petak ke-j dan ulangan ke-k
µ
=
nilai rata-rata umum
αi
=
pengaruh perlakuan interval panen taraf ke-i
κk
=
pengaruh ulangan ke-k
δik
=
galat petak utama
βj
=
pengaruh perlakuan pemupukan bertahap N+K taraf ke-j
(αβ)ij
=
pengaruh interaksi antara perlakuan petak utama ke-i dengan anak petak ke-j
εijk
=
pengaruh galat karena pengaruh faktor interval panen taraf ke-i dan faktor pemupukan bertahap N+K ke-j pada ulangan ke-k
i
=
interval panen (1,2)
j
=
pemupukan bertahap N+K (1,2,3,4,5)
k
=
ulangan (1,2,3)
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Pelaksanaan Percobaan Penyiapan lahan. Lahan yang akan digunakan dibersihkan dari gulma dan sisa tanaman hasil pertanaman sebelumnya.
Tanah pada lahan kemudian
digemburkan dan dibuat petakan dengan ukuran 3 m x 5 m sebanyak 30 petakan. Pupuk kandang ayam sebanyak 5 ton/ha dan arang sekam sebanyak 2 ton/ha diberikan dengan cara dilarik per baris tanam 2 minggu sebelum tanaman dipindah ke lapang. Penanaman. Bibit yang berasal dari setek batang ditanam di lahan dengan jarak 100 cm x 50 cm. Setek dapat ditumbuhkan lebih dahulu pada polybag kecil di persemaian. Penanaman dilakukan apabila bibit yang berasal dari setek batang telah berdaun 2 helai dan membuka sempurna (± 5-7 hari di persemaian). Bibit yang ditanam tersebut adalah bibit yang memiliki pertumbuhan yang sehat dan seragam pada persemaian. Pemupukan dilakukan sesuai perlakuan pada dosis dan waktu yang telah ditentukan. Pemeliharaan.
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman,
penyiangan gulma, dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan sekali sehari pada pagi hari dan disesuaikan dengan musim.
Penyiangan
dilakukan setiap saat secara manual sehingga petak perlakuan bebas dari gulma. Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan memperhatikan gejala serangan.
Panen. Panen dilakukan dengan memetik pucuk tanaman kolesom sepanjang ± 10 cm yang diukur dari ujung daun bagian atas yang ditegakkan dari setiap cabang yang ada pada umur panen yang telah ditentukan. Hasil panen dibersihkan dan dipersiapkan untuk berbagai pengujian laboratorium.
Pengamatan Pengamatan meliputi komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman. Komponen fisiologis tanaman 1.
Analisis kandungan protein kasar pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan 90 hari dengan menggunakan metode Lowry.
2.
Analisis kandungan antosianin dan klorofil total pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan 90 hari dengan menggunakan metode Sims & Gamon (2002).
3.
Analisis gula total pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan 90 hari dengan menggunakan metode antronic (Yemm & Willis 1954).
Komponen pertumbuhan tanaman : 1.
Bobot basah pucuk layak jual (g) diukur pada saat panen tanaman umur 30, 60, dan 90 hari dengan cara menimbang hasil pangkasan pucuk yang dihasilkan setiap individu tanaman.
2.
Bobot basah tanaman total (g) terdiri atas daun,batang dan cabang, serta akar diukur pada saat panen tanaman umur 90 hari dengan menggunakan timbangan.
3.
Bobot kering tanaman total (g) terdiri atas daun,batang dan cabang, serta akar diukur pada saat panen tanaman umur 90 hari dengan menggunakan timbangan setelah dioven pada suhu 105 C selama 2 hari.
Hasil dan Pembahasan Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen kimia dan pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18
Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman Perlakuan
Variabel Pengamatan Kandungan protein 30 HST Kandungan protein 60 HST Kandungan protein 90 HST Kandungan antosianin 30 HST Kandungan antosianin 60 HST Kandungan antosianin 90 HST Kandungan klorofil total 30 HST Kandungan klorofil total 60 HST Kandungan klorofil total 90 HST Kandungan gula total 30 HST Kandungan gula total 60 HST Kandungan gula total 90 HST Bobot basah pucuk 30 HST Bobot basah pucuk 60 HST Bobot basah pucuk 90 HST Bobot basah pucuk total Bobot basah daun total Bobot kering daun total Bobot basah batang total Bobot kering batang total Bobot basah umbi total Bobot kering umbi total Produksi protein Produksi antosianin Keterangan :
Interval panen tn ** ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** * ** * ** * tn * tn * ** ** **
Pupuk N+K
Interaksi
tn ** ** tn tn tn * ** ** tn tn * * ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** **
tn tn ** tn tn tn tn tn ** tn tn tn tn ** tn ** tn tn tn tn ** ** ** **
KK(%) 19.45 12.38 31.88 20.11 18.56 14.88 19.56 17.34 11.75 23.97 21.56 15.84 18.32 10.26 29.64 7.51 18.61 20.43 18.61 22.15 15.36 14.82 28.66 15.13
* = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 5%; ** = berbeda sangat nyata menurut uji F pada taraf 1%; tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman.
Komponen Fisiologis Tanaman Kandungan Protein Gambar 16a dan 16b secara berurutan menunjukkan bahwa pemupukan urea+KCl secara bertahap menghasilkan kandungan protein pucuk kolesom layak jual yang bervariasi dari 2.76 -13.53 dan 2.35 - 7.04 mg/g bb masing-masing pada interval panen 15 dan 30 hari. kandungan protein terus meningkat dari umur 30 sampai 90 HST dalam pucuk kolesom yang mendapatkan pupuk sebanyak 3 kali dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha pada interval panen 15 hari dan
sebanyak 5 kali dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha pada interval panen 30 hari. Perlakuan pemupukan urea + KCl dengan berbagai frekuensi dan total dosis urea + KCl lainnya pada interval panen 15 maupun 30 hari mengalami peningkatan dari umur 30 sampai 60 HST kemudian menurun. Kolesom yang mendapatkan perlakuan kontrol dan pemupukan sebanyak 3 kali dengan total dosis 100 kg urea + 100 kg KCl/ha pada interval panen 15 hari tidak memiliki data mengenai kandungan protein pada umur 90 hari karena ketiadaan pucuk kolesom layak jual. Kandungan Protein (mg/g bb)
16 14
1 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 5 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha 5 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
12 10 8 6 4 2 0 30
Gambar 16a
45 60 75 Waktu Pemanenan (HST)
90
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari
Kandungan Protein (mg/g bb)
16 14
1 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 5 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha 5 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
12 10 8 6 4 2 0 30
Gambar 16b
60 Waktu Pemanenan (HST)
90
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 30 hari
Tabel 19 menunjukkan bahwa pemanenan pucuk dengan interval 15 hari dapat menghasilkan kandungan protein pucuk kolesom layak jual lebih tinggi dibandingkan interval panen 30 hari, sedangkan pemberian pupuk sebanyak 3 dan 5 kali dengan total dosis sebesar 150 kg urea + 150 kg KCl/ha masing-masing dapat meningkatkan kandungan protein sebesar 46.32 dan 33.39% dibandingkan kontrol pada umur 60 HST. Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada umur 90 HST mendapatkan pengaruh interaksi antara perlakuan interval panen dan pemupukan N+K secara bertahap. Tabel 19 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K dan interval panen umur 30, 60 dan 90 HST Waktu panen (HST) 30 60 90 …………………. mg/g bb……………….
Perlakuan Interval panen (hari) 15 30 Frekuensi, total dosis urea+KCl (kg/ha) 1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150 Interaksi
3.08 3.23
7.32 a 5.55 b
8.33 a 4.59 b
3.34 3.05 2.93 3.49 2.98 tn
5.57 b 5.39 b 5.64 b 8.15 a 7.43 a tn
2.35 b 2.95 b 3.71 b 10.18 a 7.43 a **
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb= bobot basah. ** = sangat nyata. tn = tidak nyata.
Tabel 20 menunjukkan bahwa kolesom membutuhkan pemberian pupuk sebanyak 3 kali dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha dan dipanen 15 hari sekali untuk dapat menghasilkan kandungan protein pucuk layak jual tertinggi pada umur 90 HST. Kolesom yang mendapatkan total dosis pupuk urea+KCl dan interval panen yang sama namun frekuensi pemberian pupuk sebanyak 5 kali justru menghasilkan kandungan protein pucuk kolesom yang lebih rendah. Diduga bahwa kolesom memerlukan dosis pupuk yang lebih besar pada setiap kali tambahan pemupukan urea + KCl frekuensi pupuk urea+KCl dan waktu pemberian yang tepat untuk menghasilkan kandungan protein pucuk yang lebih tinggi.
Pemupukan urea + KCl sebanyak 3 kali memberikan 50% dosis
pupuk yang lebih besar untuk setiap kali tambahan pemupukan dibandingkan
frekuensi 5 kali. Hasil ini memberikan gambaran bahwa frekuensi pemupukan yang lebih rendah dengan dosis pupuk yang lebih besar setiap kali aplikasi akan lebih terdistribusi sepanjang siklus perkembangan tanaman dan memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi pemupukan yang lebih sering namun dengan dosis pupuk yang lebih kecil setiap kali aplikasi. Tabel 20
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual dengan berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K pada umur 90 HST Frekuensi, total dosis urea+KCl (kg/ha) 1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150
Interval panen (hari) 15 30 ……………… mg/g bb………………. 2.35 d 2.95 d 3.63 cd 3.79 cd 13.53 a 6.84 bc 7.83 b 7.04 bc
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. - = tidak ada pucuk
Pucuk kolesom yang dipanen dengan interval panen 15 hari pada umur 90 HST menghasilkan kandungan protein sebesar 81.48% yang lebih tinggi jika dibandingkan pucuk kolesom yang dipanen dengan interval panen 30 hari. Hal ini karena rejuvenasi akibat pemanenan pucuk dengan interval yang lebih pendek menyebabkan translokasi N yang lebih besar ke pucuk muda sebagai organ sink yang kuat. Akumulasi N tersebut akan digunakan sebagai unsur utama dalam sintesis asam amino untuk pembentukan protein. Pemanenan pucuk kolesom dengan interval panen 30 hari mengakibatkan kolesom berbunga lebih awal yang menandainya fase reproduktif bagi tanaman. Pembungaan yang terjadi akan mengakibatkan penurunan kapasitas penyerapan N dan akan terjadi mobilisasi N yang tersimpan dalam pucuk kepada organ lain, sehingga terjadi penurunan sintesis protein pada pucuk.
Kandungan Antosianin Kandungan antosianin pucuk kolesom dengan berbagai perlakuan pemupukan bertahap urea + KCl menghasilkan kandungan antosianin pucuk
kolesom yang bervariasi dari 0.07- 0.20 dan 0.09 – 0.28 µmol/g bb masing-
Kandungan antosianin (µmol/g bb)
masing pada interval 15 dan 30 hari (Gambar 17a dan 17b). 0.25 0.2
1 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 5 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha 5 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
0.15
0.1 0.05
Kandungan antosianin (µmol/g bb)
Gambar 17a
0 30
45 60 75 Waktu pemanenan (HST)
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari
0.3 0.25
1 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 5 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha 5 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
0.2 0.15 0.1 0.05 0 30
Gambar 17b
90
60 Waktu pemanenan (HST)
90
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 30 hari
Kandungan antosianin pucuk kolesom yang mendapatkan berbagai perlakuan pemupukan bertahap urea + KCl pada pemanenan 15 hari sekali cenderung meningkat dari umur 60 sampai 90 HST (Gambar 17a), sedangkan kandungan antosianin kolesom yang
mendapatkan berbagai perlakuan
pemupukan bertahap urea + KCl pada pemanenan 30 hari sekali cenderung
menurun dari umur 20 sampai 60 HST kemudian mengalami peningkatan kembali pada umur 90 HST (Gambar 17b). Perlakuan interval panen berpengaruh terhadap kandungan antosianin pucuk kolesom pada umur 90 HST, di mana pemanenan pucuk kolesom dengan interval 15 hari menghasilkan kandungan antosianin 46.15% lebih tinggi dibandingkan dengan interval 30 hari (Tabel 21).
Padahal pada percobaan
sebelumnya tidak ditemukan pengaruh interval panen terhadap kandungan antosianin pucuk kolesom selama periode tanam 80 hari.
Diduga bahwa
pemanenan setiap 15 hari sekali selama periode tanam 90 hari menimbulkan stres bagi kolesom sehingga menghasilkan kandungan antosianin yang lebih tinggi. Stres yang terjadi karena jaringan tanaman mendapatkan pelukaan jaringan dalam waktu yang relatif lama, sehingga energi banyak terbuang untuk proses rejuvenasi dan respirasi. Hal ini dapat mendukung pernyataan Hatier & Gould (2008) bahwa antosianin dapat berperan sebagai sinyal stres bagi tanaman. Tabel 21
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60 dan 90 HST
Perlakuan Interval panen (hari) 15 30 Frekuensi, total dosis urea+KCl (kg/ha) 1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150 Interaksi
Waktu panen (HST) 30 60 90 ……….………µmol/g bb………………… 0.12 0.14
0.11 0.10
0.19 a 0.13 b
0.11 0.11 0.08 0.15 0.20 tn
0.10 0.12 0.11 0.10 0.12 tn
0.11 0.13 0.16 0.16 0.18 tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak nyata.
Kandungan klorofil Gambar 18a dan 18b masing-masing secara berurutan menunjukkan bahwa kandungan klorofil pucuk kolesom yang mendapatkan berbagai
pemupukan urea + KCl secara bertahap dengan interval panen 15 dan 30 hari yang diukur pada umur 30, 60, dan 90 HST mengalami peningkatan pada umur 60 HST kemudian menurun pada umur 90 HST, kecuali kandungan klorofil pucuk kolesom pada perlakuan pemupukan urea + KCl secara bertahap dengan interval panen 15 hari yang terus meningkat hingga umur 90 HST.
Kandungan klorofil (µmol/g bb)
1.4
Interval panen 15 hari
1.2
1 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 5 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha 5 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2
0.0 30
Kandungan klorofil (µmol/g bb)
Gambar 18a
Gambar 18b
60 Waktu pemanenan (HST)
90
Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari 1.4
Interval panen 30 hari
1.2 1 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 5 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha 5 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 30
60 Waktu pemanenan (HST)
90
Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 30 hari
Tabel 22 menunjukkan bahwa kolesom yang mendapatkan pupuk standar sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha pada awal tanam menghasilkan kandungan klorofil pucuk tertinggi pada umur 30 HST, yaitu pada perlakuan kontrol, pemupukan bertahap urea + KCl sebanyak 3 dan 5 kali dengan total dosis 150 + 150 kg/ha. Semakin besar dosis pupuk urea + KCl yang ditambahkan pada tahapan pemupukan berikutnya maka akan meningkatkan kandungan klorofil pucuk kolesom sebesar 43.58 dan 29.09% dibandingkan kontrol pada umur 60 HST yaitu secara berurutan pada pemupukan bertahap urea + KCl sebanyak 3 dan 5 kali dengan total dosis 150 + 150 kg/ha pada umur 60 HST. Peningkatan kandungan klorofil sampai umur 60 HST dengan peningkatan dosis pupuk urea+ KCl sangat penting untuk meningkatkan aktivitas fotosintesis kolesom, karena periode ini merupakan masa vegetatif kolesom yang ditandai dengan produksi pucuk yang tinggi.
Kandungan klorofil pucuk kolesom pada umur 90 HST
dipengaruhi oleh interaksi antara interval panen dan pemupukan bertahap urea + KCl. Tabel 22 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60, dan 90 HST Perlakuan Interval panen (hari) 15 30 Frekuensi, total dosis urea+KCl (kg/ha) 1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150 Interaksi
Waktu panen (HST) 30 60 90 …….………µmol/g bb………………… 0.87 0.96
0.94 0.96
1.05 a 0.79 b
0.97 a 0.77 b 0.78 b 0.88 ab 0.97 a tn
0.78 c 0.72 c 0.94 b 1.12 a 1.10 a tn
0.47 d 0.44 d 0.86 c 1.02 b 1.21 a **
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. ** = sangat nyata. tn = tidak nyata. bb=bobot basah.
Tabel 23 memperlihatkan kandungan klorofil pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K pada umur 90 HST. Pemberian pupuk urea + KCl sebanyak 3 kali atau 5 kali dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha pada interval panen 15 hari dan sebanyak 5 kali dengan
total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha pada interval panen 30 hari, diperlukan untuk menghasilkan kandungan klorofil pucuk kolesom tertinggi pada umur 90 HST. Tabel 23 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur 90 HST Frekuensi, total dosis urea+KCl (kg/ha) 1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150
Interval panen (hari) 15 30 …………….. µmol/g bb……………… 0.47 e 0.44 e 0.76 d 0.97 bc 1.12 ab 0.93 cd 1.26 a 1.16 ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. - : tidak ada pucuk.
Adanya peningkatan kandungan klorofil pucuk kolesom yang terus meningkat sampai umur 90 HST diduga mencerminkan bahwa pupuk yang diberikan terutama unsur N dapat memenuhi kebutuhan kolesom untuk melangsungkan pertumbuhan dan perkembangan sampai umur 90 HST sehingga tidak terjadi senescence dini. Senescence pada daun merupakan fase terakhir dari perkembangan tanaman yang meliputi perubahan biokimia dan fisiologi tanaman. Ohe et al. (2005) menyatakan bahwa kloroplas merupakan tempat yang pertama kali dikatabolisme pada masa senescence, sehingga menyebabkan kandungan klorofil akan semakin menurun selama perkembangan senescence tanaman dan terkait dengan penurunan aktivitas fotosintesis. Kandungan Gula Gambar 19a dan 19b masing-masing secara berurutan menunjukkan bahwa kandungan gula dalam pucuk yang diukur pada umur 30, 60, dan 90 HST pada kolesom yang mendapatkan perlakuan pemupukan bertahap urea + KCl dengan interval panen 15 dan 30 hari mengalami peningkatan pada umur 60 HST kemudian mengalami penurunan pada umur 90 HST. Perlakuan interval panen dan pemupukan bertahap urea + KCl hanya berpengaruh terhadap kandungan gula pucuk kolesom pada umur 90 HST. Kolesom yang dipanen dengan interval 30 hari menghasilkan kandungan gula
pucuk yang lebih tinggi sebesar 22.94% daripada kolesom yang dipanen dengan interval 15 hari, sedangkan pemupukan bertahap urea + KCl dengan berbagai frekuensi dan total dosis dapat meningkatkan kandungan gula pucuk sebesar 40 – 45.52% dibandingkan kontrol (Tabel 24).
Interval panen 15 hari Kandungan gula (mg/g bb)
3.0
1 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
2.5 2.0
3 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
1.5
5 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
1.0
3 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
0.5
5 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
0.0 30
Gambar 19a
60 Waktu pemanenan (HST)
90
Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari
Interval panen 30 hari Kandungan gula (mg/g bb)
3.0 1 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 5 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha 5 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
2.5 2.0
1.5 1.0 0.5 0.0 30
Gambar 19b
60 Waktu pemanenan (HST)
90
Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 30 hari
Interval panen yang lebih panjang dapat menghasilkan kandungan gula tertinggi diduga karena kolesom pada perlakuan ini memiliki peluang untuk mengakumulasi C pada pucuk lebih besar daripada perlakuan yang mendapatkan interval panen yang lebih pendek karena memiliki luas daun efektif untuk berfotosintesis. Gula merupakan kelompok karbohidrat hasil fotosintesis dengan unsur karbon (C) sebagai rangkanya yang dapat ditranslokasikan dan disimpan sebagai cadangan dalam organ tumbuhan. Simon et al. (2004) & Teixera et al. (2007) menyatakan bahwa pemanenan daun dengan interval panen yang lebih pendek akan mengurangi daun yang berpotensi untuk meningkatkan laju fotosintesis, sehingga akan mengurangi asimilasi C untuk tanaman. Inisiasi tunas baru untuk membentuk pucuk kembali setelah pemanenan akan mengakibatkan mobilisasi cadangan N organik dan C organik akan dilepaskan pada respirasi sebagai energi yang
dibutuhkan untuk aktivitas pertumbuhan, sehingga
kandungan gula akan lebih rendah. Tabel 24 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60 dan 90 HST Waktu panen (HST) 30 60 90 …………………. mg/g bb………………….
Perlakuan Interval panen (hari) 15 30 Frekuensi, total dosis urea+KCl (kg/ha) 1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150 Interaksi
1.81 1.95
2.34 2.59
1.70 b 2.09 a
1.73 2.16 1.85 1.84 1.85 tn
2.49 2.50 2.65 2.36 2.33 tn
1.45 b 2.11 a 1.87 ab 2.03 a 2.09 a tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak nyata.
Penambahan pupuk secara bertahap dengan berbagai frekuensi dan total dosis pupuk urea + KCl tidak dapat meningkatkan kandungan gula pucuk kolesom, kecuali terhadap kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh pemupukan urea + KCl secara bertahap terhadap kandungan gula pucuk kolesom sangat rendah.
Belum ada hasil penelitian lain yang menjelaskan mengenai
pengaruh pemberian kombinasi pupuk N dan K secara bertahap yang meliputi waktu pemberian dan total dosis terhadap kandungan gula melainkan hanya melaporkan pengaruh N dan K secara terpisah saja. Hasil penelitian Wang et al. (2006) menunjukkan bahwa peningkatan gula total daun oleh peningkatan dosis N sangat bervariasi tergantung kepada posisi daun dan membentuk kurva parabola terhadap peningkatan dosis N, sedangkan penelitian Zhao-Hui et al. (2008) menunjukkan bahwa kandungan gula pada tanaman sayur dipengaruhi oleh peningkatan dosis K pada berbagai aplikasi pemupukan N.
Komponen Pertumbuhan Tanaman Bobot Basah Pucuk Layak Jual Gambar 20a dan 20b secara berurutan menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan urea + KCl yang meliputi frekuensi dan total dosis pada interval panen 15 dan 30 hari masing-masing menghasilkan bobot basah pucuk kolesom
Bobot basah pucuk layak jual (g/tanaman)
layak jual yang bervariasi dari 16.84 – 105.16 dan 15.43 – 60.94 g/tanaman. 120 100
1 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 5 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha 5 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
80 60 40 20
0 30
Gambar 20a
45 60 75 Waktu Pemanenan (HST)
90
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan N+K bertahap (frekuensi, total dosis) pada interval panen 15 hari
Peningkatan bobot basah pucuk layak jual pada interval panen 15 hari terdapat dari umur 30 sampai 45 HST kemudian mengalami penurunan hingga umur 90 HST. Kolesom yang mendapatkan perlakuan kontrol dan pemupukan bertahap urea+KCl sebanyak 3 kali dengan total dosis sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha tidak menghasilkan pucuk layak jual pada umur 75 dan 90 HST. Peningkatan bobot basah pucuk kolesom layak jual pada interval panen 30 hari
terdapat dari umur 30 sampai umur 60 HST kemudian mengalami penurunan pada umur 90 HST, kecuali pada perlakuan kontrol yang terus mengalami penurunan hingga umur 90 HST.
Bobot basah pucuk layak jual (g/tanaman)
120 100 1 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 5 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 3 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha 5 kali, 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
80 60 40 20 0 30
Gambar 20b
60 Waktu pemanenan (HST)
90
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan N +K bertahap (frekuensi, total dosis) pada interval panen 30 hari
Tabel 25 menunjukkan bahwa interval panen dan pemupukan bertahap urea + KCl mempengaruhi bobot basah pucuk kolesom pada umur 60 dan 90 hari. Tabel 25 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60, dan 90 HST Perlakuan Interval panen 15 hari 30 hari Frekuensi, total dosis urea+KCl (kg/ha) 1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150 Interaksi
Waktu panen (HST) 30 60 90 ……………. g/tanaman……………... 27.44 25.18
54.91 a 43.72 b
15.69 b 28.01 a
27.39 25.74 25.02 23.62 29.77 tn
23.42 d 31.94 c 54.55 b 70.83 a 65.83 a **
7.72 d 9.19 d 19.96 c 41.15 a 31.26 b tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. tn = tidak nyata; ** = sangat nyata
Kolesom yang dipanen dengan interval 30 hari menghasilkan bobot pucuk kolesom layak jual yang lebih tinggi sebesar 78.52% dibandingkan interval panen 15 hari pada umur 90 HST. Padahal kolesom yang dipanen dengan interval 15 hari menghasilkan bobot pucuk kolesom layak jual yang lebih tinggi sebesar 8.97 dan 25.59% dibandingkan interval panen 30 hari masing-masing pada umur 30 dan 60 HST.
Hal ini memperlihatkan bahwa pemanenan pucuk yang lebih
intensif pada interval panen 15 hari memberikan bobot pucuk yang lebih tinggi di masa vegetatif dan memiliki batasan waktu untuk berproduksi maksimal sehingga di akhir masa tanam menghasilkan bobot pucuk yang semakin menurun. Penurunan bobot pucuk terjadi karena ukuran pucuk yang dipanen semakin kecil dari panen sebelumnya. Tabel 26 menunjukkan bahwa Bobot basah pucuk kolesom layak jual umur 60 HST dan total selama 90 hari mendapatkan pengaruh interaksi antara perlakuan interval panen dan pemupukan bertahap urea + KCl. Tabel 26 Bobot basah pucuk kolesom layak jual umur 60 HST dan total selama 90 hari pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K Frekuensi, total dosis urea+KCl (kg/ha)
1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150
1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150 Keterangan :
Interval panen (hari) 15 30 Bobot basah pucuk layak jual 60 HST (g/tanaman) 27.31 ef 19.54 f 31.74 e 32.13 e 63.78 bc 45.31 d 80.98 a 60.68 c 70.71 b 60.94 c Total Bobot basah pucuk layak jual (g/tanaman) 135.29 c 61.42 e 141.88 c 75.04 ef 262.10 b 89.85 d 307.67 a 131.98 c 289.58 a 126.29 c
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. BB = bobot basah.
Kolesom memerlukan interval panen 15 hari dan pemupukan urea + KCl sebanyak 3 kali dengan total dosis 150 + 150 kg /ha untuk dapat menghasilkan bobot basah pucuk layak jual tertinggi pada 60 HST. Pupuk urea + KCl yang telah
diberikan pada kombinasi perlakuan tersebut sampai umur 60 HST adalah sebesar 125 kg urea + 125 kg KCl/ha. Total dosis pupuk yang diberikan tersebut masih lebih rendah dibandingkan pemupukan urea + KCl sebanyak 5 kali dengan total dosis 150 + 150 kg /ha pada interval panen yang sama yaitu sebesar 137.5 kg urea + 137.5 kg KCl/ha pada umur 60 HST tetapi perlakuan ini menghasilkan bobot basah pucuk kolesom yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi pemupukan dan dosis pupuk yang ditambahkan memegang peranan penting dalam menentukan bobot basah pucuk. Frekuensi pemupukan yang terlalu sering tetapi dosis pupuk yang ditambahkan lebih rendah tidak dapat mencukupi kebutuhan hara tanaman. Secara keseluruhan, Kolesom memerlukan interval panen 15 hari dan frekuensi pemberian pupuk urea + KCl sebanyak 3 atau 5 kali dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha untuk dapat menghasilkan total bobot basah pucuk kolesom layak jual tertinggi selama 90 hari. Bobot Basah dan Kering Tanaman Tabel 27 menunjukkan bahwa semakin panjang interval panen maka akan meningkatkan biomassa kolesom, yaitu batang dan umbi pada umur panen 90 HST. Diduga hal ini terjadi karena interval panen yang lebih panjang menyebabkan
tanaman mendapatkan waktu
yang
cukup
untuk
proses
pertumbuhan dan perkembangan organ lain seperti perluasan daun, pemanjangan batang dan pembentukan umbi. Perluasan daun yang lebih banyak pada kolesom yang dipanen dengan interval 30 hari penting untuk meningkatkan aktivitas fotosintesa sehingga menghasilkan asimilat yang lebih banyak untuk terbentuknya akumulasi bahan kering tanaman, sedangkan interval panen yang lebih pendek menyebabkan translokasi N dan penggunaan asimilat untuk rejuvenasi dan sintesis protein pada pucuk. Mann & Wiktorsson (2003) dan Hare et al. (2004) melaporkan bahwa interval panen yang lebih panjang akan menghasilkan biomassa yang lebih tinggi karena translokasi asimilat dapat digunakan secara proporsional untuk membentuk biomassa, di mana terjadi peningkatan proses lignifikasi dan pembentukan serat untuk memperkuat dinding sel tanaman. Semakin tinggi frekuensi dan total dosis urea + KCl (kg/ha) akan meningkatkan biomassa, kecuali untuk bobot kering umbi. Pemupukan bertahap
dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha dengan frekuensi pemberian 3 dan 5 kali dapat menghasilkan bobot basah dan kering tajuk kolesom yang lebih tinggi dibandingkan kontrol dan pemupukan bertahap urea+KCl lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah dosis pupuk urea+KCl sangat penting untuk membentuk biomassa tajuk kolesom. Tabel 27 Bobot basah dan kering kolesom umur 90 HST pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K Perlakuan Interval panen (hari) 15 30 Frekuensi, total dosis urea+KCl (kg/ha) 1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150 Interaksi
Daun Batang Umbi BB BK BB BK BB BK ……………………… g/tanaman ………………………….
115.12 149.99
16.58 18.36
160.52 b 21.23 b 285.33 a 27.77 a
18.04 b 37.94 a
2.34 b 7.69 a
58.81 b 94.37 b 90.55 b 235.55 a 183.51 a tn
13.17 b 15.55 b 14.11 b 23.79 a 20.75 a tn
142.14 b 149.49 b 187.74 b 320.00 a 315.29 a tn
24.71bc 21.79 c 30.99 a 33.65 a 28.81 ab **
4.20 c 4.19 c 6.79 a 5.55 b 4.36 c **
16.45 d 18.38 cd 24.76 bc 31.03 ab 31.88 a tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. BB = bobot basah. BK=bobot kering. ** = sangat nyata. tn = tidak nyata.
Kolesom yang dipanen 30 hari sekali dan mendapatkan pupuk N+K sebanyak 5 kali dengan total dosis 100 kg urea + 100 kg KCl/ha diperlukan untuk menghasilkan bobot basah dan kering umbi kolesom pada umur 90 HST (Tabel 28). Hasil ini menunjukkan bahwa bobot basah dan kering umbi tertinggi yang dihasilkan oleh kolesom menggunakan total dosis urea+KCl yang lebih rendah bila dibandingkan dengan bobot basah dan kering tajuk. Hal ini diduga bahwa dosis total N+K yang lebih tinggi akan memacu pertumbuhan vegetatif tanaman dibandingkan untuk pertumbuhan organ reproduktif seperti umbi. Kanzikwera et al. (2001) melaporkan bahwa interaksi antara N+K pada dosis yang tinggi akan menghasilkan bahan kering yang rendah pada umbi, karena kedua unsur ini pada
dosis yang tinggi akan lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tajuk dengan menginduksi kerja fitohormon dan sitokinin. Tabel 28 Bobot basah dan kering umbi kolesom umur 90 HST pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K Frekuensi, total dosis urea+KCl (kg/ha) 1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150 1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150
Interval panen (hari) 15 30 ………BB umbi (g/tanaman)……. 27.00 c 22.42 c 3.59 e 39.97 b 13.07 d 48.92 a 25.68 c 41.61 ab 20.84 c 36.78 b ………BK umbi (g/tanaman)……. 3.44 d 4.97 c 0.28 e 8.09 b 1.50 e 12.09 a 3.23 d 7.88 b 3.26 d 5.45 c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. BB = Bobot basah. BK = Bobot kering.
Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan Fisiologis Kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom dalam percobaan ini tidak berkorelasi dengan semua komponen pertumbuhan tanaman. Kandungan protein pucuk kolesom berkorelasi positif dengan kandungan klorofil (Tabel 29). Tabel 29
Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom umur 90 HST dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis kolesom pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K
Antosianin Klorofil Gula Bobot basah pucuk Bobot basah daun total Bobot basah batang Bobot basah umbi Bobot kering daun total Bobot kering batang Bobot kering umbi Keterangan : ** = sangat nyata
Protein Antosianin ………………..% ......................... 64.78 82.34** 63.60 -0.34 -10.05 64.12 14.36 69.37 19.06 13.59 25.53 -19.69 -35.79 73.12 15.79 24.87 -55.71 -42.38 -64.61
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom Kualitas pucuk kolesom layak jual yang dibudidayakan selama 90 hari dapat diukur dari
produksi protein dan antosianin yang masing-masing
merupakan hasil perkalian antara bobot basah total pucuk kolesom dengan kandungan total protein dan antosianin. Pemanenan pucuk kolesom dengan interval 15 hari sekali dan pemupukan urea + KCl secara bertahap sebanyak 3 kali dan total dosis 150 kg urea+ 150 kg KCl/ha diperlukan untuk menghasilkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom tertinggi selama 90 hari (Tabel 30). Tabel 30 Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual selama 90 hari pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K Frekuensi, total dosis urea+KCl (kg/ha)
Interval panen (hari) 15 30 Produksi protein (g/tanaman) 2.56 de 0.67 e 2.50 de 1.06 de 5.51 c 1.11 de 13.90 a 3.10 d 9.77 b 2.61 de Produksi antosianin (µmol/tanaman) 65.38 d 19.95 f 70.59 d 31.49 ef 164.42 c 30.87 ef 250.61 a 58.33 de 215.17 b 81.17 d
1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150
1 kali, 100+100 3 kali, 100+100 5 kali, 100+100 3 kali, 150+150 5 kali, 150+150
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Kesimpulan Produksi protein dan antosianin pucuk layak jual tertinggi selama 90 hari dihasilkan oleh kolesom yang dipanen setiap 15 hari sekali dan mendapatkan pupuk N+K dengan dosis total 150 kg urea + 150 kg KCl/ha dalam 3 kali tahapan pemberian (0, 30, dan 60 HST). Terdapat korelasi positif antara kandungan protein dan klorofil pucuk kolesom.
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) DENGAN APLIKASI PUPUK DAUN NITROGEN+KALIUM PADA DUA INTERVAL PANEN Protein and Anthocyanin Productions of Waterleaf Shoot (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) with Foliar Application of Nitrogen+Potassium under Two Harvest Intervals Abstrak Penelitian untuk mempelajari pengaruh aplikasi pemupukan N+K melalui daun pada dua interval panen terhadap produksi protein dan antosianin pucuk kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) telah dilaksanakan di Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia pada bulan April sampai Juli 2010. Penelitian pot menggunakan rancangan petak terpisah dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah interval panen yaitu 15 dan 30 hari. Faktor kedua adalah aplikasi pupuk daun N+K yang meliputi frekuensi penyemprotan pupuk daun dengan berbagai dosis pupuk dasar urea+KCl yaitu 0 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha (kontrol), 2 kali dengan 50 kg urea + 50 kg KCl/ha, 4 kali dengan 50 kg urea + 50 kg KCl/ha, 2 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha, 4 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha. Penyemprotan pupuk daun sebanyak 4 kali dengan pemberian pupuk dasar sebesar 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha pada kolesom yang dipanen 15 hari sekali menghasilkan produksi protein dan antosianin pucuk tertinggi yaitu masing-masing sebesar 5.69 g/tanaman dan 109.44 µmol/tanaman. Kandungan protein berkorelasi positif dengan kandungan klorofil dan gula. Kata Kunci:
Tanaman obat, pucuk layak jual, protein, antosianin, pupuk daun
Abstract The experiment was conducted in Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia from April until July 2010 to study the effect of foliar application of nitrogen+potassium and harvest interval on waterleaf shoot (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) protein and anthocyanin production. A split plot design was used with three replications of two factors,i.e harvest intervals (15 and 30 days) and foliar spraying frequencies with different dosages urea+KCl of basalt fertilizer (zero with 100 kg urea+100 kg KCl/ha (control), 2 times with 50 kg urea+50 kg KCl/ha, 4 times with 50 kg urea+50 kg KCl/ha, 2 times with 100 kg urea+100 kg KCl/ha, 4 times with 100 kg urea+100 kg KCl/ha). The result showed that 4 times of foliar spraying with 100 kg urea + 100 kg KCl/ha of basalt fertilizer produced the highest shoot protein (5.69 g/plant) and anthocyanin production (109.44 µmol/plant) on the waterleaf which harvested every 15 days interval. There was a positive correlation between protein with chlorophyll and sugar content. Keywords :
Medicinal plant, marketable shoot, protein, anthocyanin, foliar application
Pendahuluan Pemanfaatan kolesom sebagai tanaman sayuran berkhasiat obat harus terus dikembangkan melalui usaha budidaya pertanian. Percobaan sebelumnya dalam rangkaian penelitian ini mendapatkan dosis pupuk standar sebesar 100 kg urea dan 100 kg KCl/ha untuk menghasilkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom tertinggi selama 80 hari. Namun, umur produksi kolesom yang dipanen berulang tersebut hanya berkisar 50 hari dan kemudian menurun. Pemanenan pucuk kolesom diduga mengakibatkan tanaman memerlukan hara tambahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan rejuvenasi dan memperpanjang umur produksi. Aplikasi pupuk melalui daun pada konsentrasi tertentu dapat dijadikan pilihan sebagai metode pemberian nutrisi tambahan kepada tanaman karena lebih mudah diabsorbsi dan cepat didistribusikan melalui jaringan daun daripada aplikasi tanah (Stancheva et al. 2005).
Keuntungan lain dari aplikasi pupuk
melalui daun adalah dapat memberikan suplai hara pada saat kondisi tanah membatasi penyerapan hara oleh akar atau pada saat periode pertumbuhan cepat dimana permintaan akan hara melebihi suplai akar (del Amor & Cuadra-Crespo 2011). Aplikasi pupuk daun N dapat mengurangi jumlah N yang diberikan ke tanah karena kelebihan N di tanah dapat merusak lingkungan dan menurunkan produksi tanaman (Fernandez-escobar 2009). Aplikasi pupuk daun N dan K sebagai suplemen dari pemupukan tanah telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Pemberian pupuk N berupa urea 2% melalui daun dapat meningkatkan kandungan klorofil, protein, dan menunda senescence pada tanaman blackgram (Sritharan et al.
2005).
Pemberian pupuk K melalui daun dapat meningkatkan klorofil, hara mineral, serta kualitas buah pada tomat (Chapagain & Wiesman 2004). Aplikasi kombinasi pupuk N dan K melalui daun yang dilakukan oleh Marman (2010) menunjukkan bahwa pemberian pupuk daun dengan konsentrasi urea 0.2% dan K 0.1% dapat meningkatkan produksi dan kandungan klorofil pucuk kolesom. Penelitian pengaruh frekuensi pemberian pupuk daun N dan K terhadap produksi protein dan antosianin pucuk kolesom belum dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom
dengan aplikasi pupuk nitrogen+kalium melalui daun pada berbagai interval panen. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2010, bertempat di kebun percobaan Ilmu dan Teknologi Benih IPB Leuwikopo, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis komponen fisiologis tanaman dilakukan di laboratorium Plant Analysis and Chromatography, sedangkan analisis komponen pertumbuhan dilakukan di Laboratorium Molecular Marker and Spectrophotometry UV-VIS Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain setek kolesom berukuran panjang 10 cm, pupuk kandang ayam petelur, urea, KCl, SP-18, arang sekam. Peralatan yang digunakan antara lain kantong plastik (polybag) berukuran 40 cm x 50 cm (kapasitas 10 kg), spektrofotometer shimadzu UV-1800, sentrifuge heraeus labofuge-400R.
Metode Penelitian Percobaan disusun berdasarkan rancangan petak terpisah (split plot design) dengan interval panen sebagai petak utama dan aplikasi pupuk N+K melalui daun sebagai anak petak. Petak utama terdiri atas dua taraf interval panen yaitu 15 dan 30 hari. Keduanya adalah interval panen terbaik yang didapatkan dari percobaan I. Anak petak terdiri atas lima taraf aplikasi pupuk N+K melalui daun yang terdiri atas berbagai frekuensi penyemprotan dan dosis pupuk dasar urea + KCl (Tabel 31). Kontrol merupakan dosis urea + KCl (kg/ha) yang memberikan produksi protein dan antosianin tertinggi pada percobaan I. Terdapat 10 kombinasi perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali sehingga diperoleh 30 unit percobaan dan setiap unit percobaan terdiri dari 10 tanaman.
Tabel 31 Aplikasi pupuk N+K melalui daun dengan berbagai frekuensi penyemprotan dan dosis pupuk dasar urea + KCl Dosis pupuk dasar urea+KCl (kg/ha) 100 + 100 50 + 50 50 + 50 100 + 100 100 + 100
Frekuensi penyemprotan (kali) 0 (kontrol) 2 4 2 4
Waktu penyemprotan (HST) 15 30 45 60 √ √
√ √ √ √
√ √
√ √ √ √
keterangan : √ = konsentrasi pupuk daun sebesar 0.2% urea + 0.1% KCl (Marman 2010)
Model statistik untuk rancangan petak terpisah adalah sebagai berikut : Yijk = µ + αi +κk +δik +βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk
=
nilai pengamatan pada perlakuan petak utama ke-i, anak petak ke-j dan ulangan ke-k
µ
=
nilai rata-rata umum
αi
=
pengaruh perlakuan interval panen taraf ke-i (1,2)
κk
=
pengaruh ulangan ke-k (1, 2, 3)
δik
=
galat petak utama
βj
=
pengaruh perlakuan aplikasi pupuk daun N+K taraf ke-j (1,2,3,4,5)
(αβ)ij
=
pengaruh interaksi antara perlakuan petak utama ke-i dengan anak petak ke-j
εijk
=
pengaruh galat karena pengaruh faktor interval panen taraf ke-i dan faktor aplikasi pupuk daun N+K ke-j pada ulangan ke-k
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%. Pelaksanaan Percobaan Penyiapan media tanam. Media tanam yang digunakan adalah campuran antara tanah dan arang sekam (3:2/v:v). Pupuk kandang ayam diberikan sebanyak 25 g/polybag atau setara dengan 5 ton/ha yang telah dicampur 2 minggu sebelum tanam. Sebelum penanaman dilakukan analisis sifat fisik dan kimia terhadap tanah dan pupuk kandang ayam. Media tanam disiapkan dengan memasukkan campuran media tersebut ke dalam polybag.
Penanaman. Setek batang yang digunakan berukuran panjang 10 cm dan tanpa daun. Pangkal batang dipotong miring. Setiap polybag ditanam 1 tanaman. Pemberian pupuk nitrogen dan kalium melalui tanah sesuai dosis perlakuan diberikan pada saat setek tanaman telah berdaun 2 helai dan membuka sempurna. Pupuk SP-18 diberikan pula dengan dosis 50 kg/ha untuk semua perlakuan. Aplikasi pupuk melalui daun sesuai perlakuan diberikan dengan menyemprotkan larutan pupuk menggunakan sprayer pada seluruh permukaan daun sampai basah dan larutannya menetes ke tanah. Pemeliharaan.
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman,
penyiangan gulma, dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan sekali sehari pada pagi hari dan disesuaikan dengan musim.
Penyiangan
dilakukan setiap saat secara manual sehingga pot perlakuan bebas dari gulma. Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan memperhatikan gejala serangan. Panen.
Panen dilakukan dengan memetik pucuk tanaman kolesom
sepanjang ± 10 cm yang diukur dari ujung daun bagian atas yang ditegakkan dari setiap cabang yang ada.
Panen dilakukan dengan memetik pucuk tanaman
kolesom sepanjang ± 10 cm yang diukur dari ujung daun bagian atas yang ditegakkan dari setiap cabang yang ada pada umur panen yang telah ditentukan. Panen pertama dilakukan pada 30 HST untuk semua perlakuan.
Pengamatan Pengamatan meliputi komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman. Komponen fisiologis tanaman 1.
Analisis kandungan protein kasar pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan 90 hari dengan menggunakan metode Lowry.
2.
Analisis kandungan antosianin dan klorofil total pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan 90 hari dengan menggunakan metode Sims & Gamon (2002).
3.
Analisis gula total pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan 90 hari dengan menggunakan metode antronic (Yemm & Willis 1954).
Komponen pertumbuhan tanaman : 1.
Bobot basah daun layak jual (g) diukur pada saat panen tanaman umur 30, 60, dan 90 hari dengan cara menimbang hasil pangkasan pucuk yang dihasilkan setiap individu tanaman.
2.
Bobot basah tanaman total (g) terdiri atas daun,batang dan cabang, serta akar diukur pada saat panen 90 HST dengan menggunakan timbangan.
3.
Bobot kering tanaman total (g) terdiri atas daun,batang dan cabang, serta akar diukur pada saat panen 90 HST dengan menggunakan timbangan setelah dioven pada suhu 105 C selama 2 hari.
Hasil dan Pembahasan Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan kolesom selama 90 hari dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman
Variabel Pengamatan Kandungan protein 30 HST Kandungan protein 60 HST Kandungan protein 90 HST Kandungan antosianin 30 HST Kandungan antosianin 60 HST Kandungan antosianin 90 HST Kandungan klorofil total 30 HST Kandungan klorofil total 60 HST Kandungan klorofil total 90 HST Kandungan gula total 30 HST Kandungan gula total 60 HST Kandungan gula total 90 HST Bobot basah pucuk 30 HST Bobot basah pucuk 60 HST Bobot basah pucuk 90 HST Bobot basah pucuk total Bobot basah daun total Bobot kering daun total Bobot basah batang total
Interval panen tn ** * tn tn tn tn tn ** tn tn tn tn ** ** tn ** * **
Perlakuan Pupuk Interaksi ** ** ** tn tn tn tn ** ** tn tn ** * ** ** * ** * **
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn ** tn tn ** tn **
KK (%) 21.52 9.08 16.22 14.59 12.20 18.59 9.96 11.11 12.83 11.41 10.04 14.63 20.50 8.49 11.53 8.03 7.82 33.35 6.61
Lanjutan Tabel 32 Variabel Pengamatan
Perlakuan Pupuk
Interval panen
Bobot kering batang total Bobot basah umbi total Bobot kering umbi total Produksi protein Produksi antosianin
** ** ** ** **
** ** ** ** **
Interaksi tn ** tn ** **
KK (%) 16.73 9.98 16.90 17.45 8.94
Keterangan : * = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 5%; ** = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 1%; tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman.
Komponen Fisiologis Tanaman Kandungan Protein Gambar 21a dan 21b menunjukkan bahwa kandungan protein pucuk layak jual kolesom yang mendapatkan aplikasi pupuk daun urea + KCl masing-masing pada interval panen 15 dan 30 hari mengalami peningkatan sampai umur 60 HST, kemudian terus mengalami penurunan hingga umur 90 HST. Kandungan protein pucuk kolesom dengan berbagai aplikasi pupuk daun urea + KCl tersebut bervariasi dari 3.95 – 11.57 dan 3.92 – 10.1 mg/g bb masing-masing pada interval panen 15 dan 30 hari.
Kandungan protein (mg/g bb)
14 12 0 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 2 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 4 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 2 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 4 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
10 8 6 4 2
0 30
Gambar 21a
45 60 75 Waktu pemanenan (HST)
90
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar) dengan interval panen 15 hari
Kandungan protein (mg/g bb)
14 12 0 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 2 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 4 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 2 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 4 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
10 8 6
4 2 0 30
Gambar 21b
60 Waktu pemanenan (HST)
90
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar) dengan interval panen 30 hari
Tabel 33 menunjukkan bahwa pemanenan pucuk kolesom yang baru dimulai pada umur 30 HST menyebabkan kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada umur 30 HST belum dipengaruhi oleh perlakuan interval panen. Perlakuan kontrol dan semua aplikasi pupuk daun urea + KCl yang menggunakan pupuk dasar sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha menghasilkan kandungan protein pucuk kolesom yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kolesom yang mendapatkan pupuk dasar yang lebih rendah pada umur 30 HST.
Hal ini
menunjukkan bahwa kolesom membutuhkan pupuk urea + KCl yang diberikan melalui tanah pada awal tanam dalam jumlah yang lebih besar karena unsur N dan K sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif dan metabolisme protein pada pucuk. Aplikasi pupuk daun urea+KCl dengan frekuensi penyemprotan sebanyak 4 kali dan pupuk dasar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha untuk dapat meningkatkan kandungan protein sebesar 16.18 dan 28.21% dibandingkan kontrol masing-masing pada umur 60 dan 90 HST.
Hasil ini
menunjukkan bahwa pupuk urea+KCl yang diberikan melalui daun kolesom harus dilakukan dengan frekuensi yang lebih sering untuk memberikan kecukupan hara N+K dalam sintesis protein. Yildirim (2007) menyatakan bahwa aplikasi pupuk urea melalui daun akan mempercepat metabolisme N dan sintesis protein karena urea memiliki ukuran molekul yang kecil, kelarutannya tinggi, dan cepat diserap
oleh kutikula. Abad et al. (2004) melaporkan bahwa peningkatan frekuensi penyemprotan pupuk N melalui daun dapat meningkatkan kandungan protein gandum. Namun, Borowski & Michalek (2009) menegaskan bahwa penyemprotan pupuk N+K merupakan suatu sinergi terbaik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kandungan protein tanaman. Penyemprotan pupuk urea secara tunggal tidak dapat menghasilkan protein secara sempurna tanpa kehadiran pupuk K. Unsur K penting untuk pembentukan protein karena ion K+ berperan sebagai aktivator atau koenzim beberapa enzim yang dibutuhkan dalam meningkatkan kandungan nitrat daun dan sintesis protein. Tabel 33 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST Waktu panen (HST) 30 60 90 ……………mg/g bb……………..
Perlakuan Interval panen (hari) 15 30 Aplikasi pupuk daun N+K (Frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar urea+KCl (kg/ha)) 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100 Interaksi Keterangan :
5.36 5.67
10.00 a 7.91 b
6.94 a 6.01 b
6.35 a 3.93 b 4.65 b 6.48 a 6.18 a tn
9.33 b 7.07 d 8.18 c 9.38 b 10.84a tn
6.77 b 4.14 c 5.82 b 6.99 b 8.68 a tn
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak nyata
Pemanenan pucuk dengan interval 15 hari menghasilkan kandungan protein yang lebih tinggi sebesar 26.42 dan 13.40% dibandingkan kontrol masingmasing secara berurutan pada umur 60 dan 90 HST. Hal ini diduga karena rejuvenasi akibat pemanenan pucuk dengan interval yang lebih pendek akan menyebabkan pucuk menjadi organ sink yang kuat, sehingga terjadi akan terjadi translokasi N ke pucuk muda. Akumulasi N tersebut akan digunakan sebagai unsur utama dalam sintesis asam amino untuk pembentukan protein. Pemanenan pucuk kolesom dengan interval panen 30 hari mengakibatkan kolesom berbunga lebih awal yang menandainya fase dewasa bagi tanaman. Pembungaan yang
terjadi akan mengakibatkan penurunan kapasitas penyerapan N dan akan terjadi mobilisasi N yang tersimpan dalam pucuk kepada organ lain, sehingga terjadi penurunan sintesis protein pada pucuk. menunjukkan
bahwa
interval
panen
Penelitian Kabi & Bareeba (2008) yang
panjang
akan
mempercepat
pendewasaan tanaman yang ditandai dengan peningkatan biomassa, lignifikasi dan serat pada daun, sehingga menurunkan kandungan protein pada daun Morus Alba dan Calliandra calothyrsus.
Peristiwa tersebut juga dilaporkan oleh
Manyawu et al. (2003) dan Sarwar et al. (2006) sebagai penyebab penurunan kandungan protein pada rumput Napier dan Pennisetum. Kandungan Antosianin Gambar 22a dan 22b secara berurutan menunjukkan bahwa kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual yang mendapatkan berbagai aplikasi pupuk daun N+K pada interval panen 15 dan 30 hari meningkat pada umur 90 HST. Kandungan antosianin pucuk kolesom dengan berbagai aplikasi pupuk daun urea + KCl tersebut bervariasi dari 0.14 – 0.20 dan 0.13 – 0.26 µmol/g bb masingmasing pada interval panen 15 dan 30 hari.
Kandungan antosianin (µmol/g bb)
0.3
0 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 2 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 4 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 2 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 4 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
0.2
0.1
0 30
Gambar 22a
45 60 75 Waktu pemanenan (HST)
90
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar) dengan interval panen 15 hari
Kandungan antosianin (µmol/g bb)
0.3 0 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 2 kali,50 kg urea + 50 kg KCl/ha 4 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 2 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 4 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
0.2
0.1
0 30
Gambar 22b
60 Waktu pemanenan (HST)
90
Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar) dengan interval panen 30 hari
Tabel 34 menunjukkan bahwa kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada umur 30, 60, dan 90 HST tidak dipengaruhi oleh interval panen dan aplikasi pupuk daun maupun interaksi keduanya. Tabel 34 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST Perlakuan Interval panen (hari) 15 30 Aplikasi pupuk daun N+K (Frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar urea+KCl (kg/ha)) 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100 Interaksi
Waktu panen (HST) 30 60 90 ……………µmol/g bb…………… 0.15 0.15
0.15 0.14
0.18 0.20
0.15 0.15 0.16 0.15 0.16 tn
0.16 0.17 0.14 0.14 0.14 tn
0.21 0.18 0.20 0.17 0.19 tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak nyata
Berdasarkan hasil pada Tabel 34 dapat diduga bahwa peningkatan kandungan antosianin yang terjadi pada umur 90 HST diduga disebabkan oleh
stres abiotik terhadap perpanjangan periode panen hingga umur 90 HST. Stres terjadi karena tanaman mendapatkan pelukaan mekanik secara terus-menerus dan memaksa tanaman untuk terus berejuvenasi yang membutuhkan suplai hara dan energi yang cukup, sedangkan
penyerapan hara tanaman secara alami akan
menurun dengan pertambahan umur. Hal ini juga sejalan dengan hasil percobaan sebelumnya yang memperlihatkan bahwa perpanjangan periode panen dari umur 80 menjadi 90 HST pada kolesom yang mendapatkan pemupukan urea+KCl secara bertahap melalui tanah akan menyebabkan peningkatan kandungan antosianin pucuk kolesom pada umur 90 HST.
Kandungan Klorofil Gambar 23a dan 23b menunjukkan bahwa kandungan klorofil pucuk yang diukur pada umur 30, 60, dan 90 HST pada kolesom yang mendapatkan berbagai aplikasi pupuk daun N+K masing-masing secara berurutan pada interval panen 15 dan 30 hari mengalami peningkatan pada umur 60 HST kemudian mengalami penurunan pada umur 90 HST. Tabel 35 menunjukkan bahwa semakin sering penyemprotan pupuk urea + KCl melalui daun dan semakin tinggi dosis pupuk dasar maka semakin tinggi pula kandungan klorofil pucuk kolesom pada umur 60 dan 90 HST. Aplikasi pupuk daun urea + KCl sebanyak 4 kali dengan dosis pupuk dasar sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha dapat meningkatkan kandungan klorofil sebesar 26.50 dan 60.71% dibandingkan kontrol masing-masing secara berurutan pada umur 60 dan 90 HST. Peningkatan kandungan klorofil melalui aplikasi pupuk urea + KCl melalui daun juga ditemukan oleh Borowski & Michalek (2009) pada daun bayam dibandingkan jika unsur urea dan KCl diaplikasikan masing-masing secara tunggal. Pemanenan kolesom dengan interval 15 hari menghasilkan kandungan klorofil pucuk yang lebih tinggi sebesar 17.86% dibandingkan interval 30 hari. Kandungan klorofil yang lebih tinggi pada interval panen yang lebih pendek diduga karena aktivitas rejuvenasi yang lebih tinggi menyebabkan pucuk menjadi sink yang kuat untuk translokasi hara N. Keterkaitan antara hara N dan klorofil dijelaskan oleh Netto (2005) dan Arregui et al. (2006) karena sintesis klorofil
memerlukan hara N sebagai unsur utamanya sehingga klorofil dapat dijadikan parameter sederhana untuk mengukur kandungan N daun.
Kandungan klorofil (µmol/g bb)
Interval panen 15 hari 1.2 1.0
0 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 2 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 4 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 2 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 4 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 30
60 Waktu pemanenan (HST)
90
Gambar 23a Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar) dengan interval panen 15 hari
Kandungan klorofil (µmol/g bb)
Interval panen 30 hari 1.2 1.0
0 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 2 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 4 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 2 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 4 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
0.8 0.6 0.4 0.2
0.0 30
60 Waktu pemanenan (HST)
90
Gambar 23b Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar) dengan interval panen 30 hari
Tabel 35 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60 dan 90 HST Perlakuan Interval panen (hari) 15 30 Aplikasi pupuk daun N+K (Frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar urea+KCl (kg/ha)) 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100 Interaksi
Waktu panen (HST) 30 60 90 …………µmol/g bb……………… 0.91 0.92
0.81 0.81
0.33 a 0.28 b
0.97 0.84 0.88 0.92 0.98 tn
0.83 bc 0.50 d 0.77 c 0.89 b 1.05 a tn
0.28 bc 0.24 c 0.26 bc 0.30 b 0.45 a tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb= bobot basah. tn=tidak nyata.
Kandungan Gula Gambar 24a dan 24b masing-masing secara berurutan menunjukkan bahwa kandungan gula pucuk yang diukur pada umur 30, 60, dan 90 HST pada kolesom yang mendapatkan berbagai aplikasi pupuk daun dengan interval panen 15 dan 30 hari cenderung mengalami penurunan sejalan dengan pertambahan umur tanaman, kecuali pada perlakuan aplikasi pupuk daun sebanyak 2 dan 4 kali masing-masing dengan dosis pupuk dasar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha dan interval panen 15 hari mengalami peningkatan pada umur 90 HST. Tabel 36 menunjukkan bahwa interval panen dan aplikasi pupuk daun urea+KCl tidak mempengaruhi kandungan gula pucuk kolesom pada umur 30 dan 60 HST. Frekuensi penyemprotan pupuk daun sebanyak 2 dan 4 kali dengan pupuk dasar 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha masing-masing menghasilkan kandungan gula pucuk kolesom yang lebih tinggi sebesar 33.80 dan 28.19% dibandingkan kontrol pada umur 90 HST. Aplikasi pupuk daun sebanyak 2 dan 4 kali dengan pupuk dasar 50 kg urea + 50 kg KCl/ha masing-masing menghasilkan kandungan gula yang lebih rendah dibandingkan kontrol pada umur 90 HST.
Frekuensi penyemprotan pupuk daun urea + KCl sebanyak 2 atau 4 kali masing-masing menghasilkan kandungan gula yang tidak berbeda nyata baik pada kolesom yang mendapatkan pupuk dasar 50 kg urea + 50 kg KCl/ha maupun 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan pupuk urea + KCl melalui daun hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap kandungan gula dalam pucuk kolesom dibandingkan dosis pupuk dasar urea + KCl melalui tanah.
Kandungan gula (mg/g bb)
Interval panen 15 hari 2.5 0 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 2 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 4 kali,50 kg urea + 50 kg KCl/ha 2 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 4 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
30
Gambar 24a
60 Waktu pemanenan (HST)
90
Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar) dengan interval panen 15 hari Interval panen 30 hari
Kandungan gula (mg/g bb)
2.5 0 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 2 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 4 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 2 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 4 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 30
Gambar 24b
60 Waktu pemanenan (HST)
90
Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar) dengan interval panen 30 hari
Tabel 36 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST Waktu panen (HST) 30 60 90 …………………..mg/g bb…………………
Perlakuan Interval panen (hari) 15 30 Aplikasi pupuk daun N+K (Frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar urea+KCl (kg/ha)) 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100 Interaksi
2.19 2.06
1.93 2.07
1.40 1.54
1.93 2.14 2.22 2.26 2.08 tn
2.02 2.09 1.86 1.92 2.12 tn
1.42 b 1.11 c 1.10 c 1.90 a 1.82 a tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn=tidak nyata
Komponen Pertumbuhan Tanaman Bobot Basah Pucuk Layak Jual Gambar 25a menunjukkan bahwa kolesom yang mendapatkan perlakuan berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun urea + KCl pada interval panen 15 hari menghasilkan bobot basah pucuk layak jual yang bervariasi dari 8.94 –
Bobot basah pucuk layak jual (g/tanaman)
36.18 g/tanaman. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 2 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 4 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 2 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 4 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 30
Gambar 25a
45 60 75 Waktu pemanenan (HST)
90
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar) dengan interval panen 15 hari
Bobot basah pucuk layak jual pada Gambar 25a mengalami peningkatan dari umur 30 sampai 60 HST kemudian mengalami penurunan, kecuali pada perlakuan kontrol dan aplikasi pupuk daun sebanyak 2 kali dengan total dosis 50 kg urea+50 kg KCl/ha. Gambar 25b menunjukkan bahwa kolesom yang mendapatkan perlakuan berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun urea + KCl pada interval panen 30 hari menghasilkan bobot 10.15 – 43.43 g/tanaman. Bobot basah pucuk layak jual tersebut mengalami peningkatan dari umur 30 sampai 60 HST kemudian mengalami penurunan untuk semua perlakuan aplikasi pupuk daun urea + KCl. Penurunan yang terjadi pada umur 90 HST menghasilkan bobot basah pucuk layak jual yang lebih tinggi daripada umur 30 HST; kecuali pada kolesom yang mendapatkan perlakuan kontrol atau aplikasi pupuk daun sebanyak 2 kali dengan pupuk dasar sebesar 50 kg urea + 50 kg KCl/ha melalui tanah pada pemanenan pucuk 15 hari sekali. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan bobot basah pucuk yang mencerminkan aktivitas rejuvenasi akan berlangsung singkat pada kolesom yang dipanen dengan interval yang lebih pendek dan mendapatkan dosis pupuk
Bobot basah pucuk layak jual (g/tanaman)
urea + KCl yang lebih rendah.
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 2 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 4 kali, 50 kg urea + 50 kg KCl/ha 2 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 4 kali, 100 kg urea + 100 kg KCl/ha 30
Gambar 25b
60 Waktu Pemanenan (HST)
90
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar) dengan interval panen 30 hari
Tabel 37 menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi pupuk daun urea + KCl dengan frekuensi 4 kali dan dosis pupuk dasar sebesar 100 kg urea + 100 kg
KCl/ha dapat menghasilkan bobot pucuk kolesom layak jual yang lebih tinggi sebesar 11.16% dibandingkan kontrol pada umur 30 HST. Diduga bahwa aplikasi pupuk daun urea + KCl sejak umur 15 HST dapat meningkatkan bobot basah pucuk layak jual dibandingkan perlakuan lain yang mendapatkan dosis pupuk dasar yang sama. Tabel 37 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST Perlakuan Interval panen (hari) 15 30 Aplikasi pupuk daun N+K (Frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar urea+KCl (kg/ha)) 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100 Interaksi
Waktu panen (HST) 30 60 90 …………………..mg/g bb………………… 13.75 12.19
24.48 b 36.02 a
14.45 b 31.55 a
14.52 ab 11.27 bc 10.75 c 12.17 bc 16.14 a tn
22.16 c 19.95 c 38.15 a 31.17 b 39.80 a **
16.53 c 10.24 d 31.47 a 24.00 b 32.76 a tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. ** = sangat nyata. tn = tidak nyata
Tabel 37 juga menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan interval panen dan aplikasi pupuk daun mempengaruhi bobot basah pucuk layak jual kolesom pada umur 60 HST. Pemanenan pucuk dengan interval 15 hari menghasilkan bobot basah pucuk yang lebih rendah pada umur 90 HST sebesar 54.26% dibandingkan interval 30 hari pada umur 90 HST.
Padahal hasil
percobaan sebelumnya menunjukkan bahwa Pemanenan pucuk dengan interval 15 hari menghasilkan bobot basah pucuk yang lebih tinggi.
Diduga bahwa
pemanenan pucuk yang dimulai pada umur 30 hari dan perpanjangan masa produksi hingga 90 hari menyebabkan kolesom yang dipanen dengan interval 15 hari akan menghasilkan bobot pucuk yang lebih tinggi di awal vegetatif dan kemudian kemampuannya untuk berrejuvenasi cepat menurun. Aplikasi pupuk daun urea + KCl sebanyak 4 kali dengan dosis pupuk dasar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha atau 50 kg urea + 50 kg KCl/ha dapat menghasilkan bobot basah pucuk
yang lebih tinggi masing-masing sebesar 98.19 dan 90.38% dibandingkan kontrol pada umur 90 HST. Kolesom pada umur 90 HST diduga telah mengalami penurunan produksi pucuk karena telah berada pada masa senescence. Daun-daun bagian bawah telah rontok dan menguning karena telah terjadi remobilisasi hara. Diduga frekuensi penyemprotan pupuk N+K yang lebih sering akan memberikan kecukupan hara untuk memenuhi proses rejuvenasi daun. Jabeen & Ahmad (2009) menyatakan bahwa aplikasi pupuk daun N dan K sampai pada dosis tertentu sangat diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan menunda senescence daun. Interaksi kedua unsur ini sangat sangat efektif diserap oleh sel daun sebagai anion dan kation, sehingga dapat menghambat aktivitas asam absisat dan meningkatkan aktivitas sitokinin yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman. Tabel 38 menunjukkan bahwa bobot basah pucuk layak jual tertinggi pada umur 60 HST dihasilkan oleh kolesom yang dipanen setiap 30 hari sekali dan mendapatkan aplikasi pupuk sebanyak 4 kali dengan pupuk dasar sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha atau 50 kg urea + 50 kg KCl/ha. Tabel 38 Bobot basah total pucuk kolesom layak jual umur 60 HST dan total selama 90 hari pada berbagai kombinasi antara interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K Aplikasi pupuk daun (Frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar urea+KCl (kg/ha)) 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100
Interval panen (hari) 15
30
BB pucuk layak jual 60 HST (g/tanaman) 13.31 e 31.01 cd 12.19 e 27.71 d 34.02 bc 42.28 a 26.68 d 35.67 bc 36.18 b 43.43 a BB pucuk layak jual total (g/tanaman) 76.25 c 69.59 cd 55.28 e 58.43 de 121.67 a 92.14 b 104.49 b 79.55 c 133.02 a 99.39 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Kombinasi antara interval panen 15 hari dengan aplikasi pupuk urea + KCl melalui daun sebanyak 4 kali dan dosis pupuk dasar urea + KCl sebesar 50 + 50 atau 100 + 100 kg/ha menghasilkan total bobot basah pucuk layak jual tertinggi selama 90 hari.
Bobot Basah dan Kering Tanaman Bobot basah daun, batang, dan umbi pada umur 90 HST dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan interval panen dan aplikasi pupuk daun urea + KCl (Tabel 39). Tabel 39 Bobot basah daun, batang, dan umbi kolesom umur 90 HST pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K Perlakuan Interval panen (hari) 15 30 Aplikasi pupuk daun (Frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar urea+KCl (kg/ha)) 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100 Interaksi
Bobot basah Daun Batang Umbi ………………. g/tanaman……………. 42.17 b 68.86 a
81.95 b 116.15 a
17.04 b 27.28 a
59.46 b 26.25 d 46.36 c 64.02 b 81.49 a **
102.94 b 69.60 d 88.92 c 107.05 b 126.73 a **
22.03 c 11.90 d 19.39 c 25.55 b 31.96 a **
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. ** = sangat nyata.
Pemanenan pucuk setiap 30 hari sekali dan aplikasi pupuk urea + KCl melalui daun sebanyak 4 kali dengan dosis pupuk dasar sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha menghasilkan bobot basah daun total, batang, dan umbi tertinggi pada panen terakhir kolesom umur 90 HST (Tabel 40). Kolesom yang mendapatkan frekuensi penyemprotan yang sama namun mendapatkan interval panen yang lebih pendek akan menghasilkan bobot basah tanaman yang lebih rendah. Hal ini diduga karena pasokan hara yang didapatkan tanaman melalui aplikasi pupuk daun pada interval panen yang lebih pendek akan digunakan untuk proses
rejuvenasi; sedangkan pada interval panen yang lebih panjang akan digunakan untuk pembesaran ukuran dan peningkatan biomassa tanaman. Peningkatan biomassa tanaman yang meliputi bobot kering daun total, batang, dan akar dipengaruhi oleh perlakuan interval panen dan frekuensi penyemprotan pupuk N+K masing-masing secara tunggal (Tabel 41). Tabel 40 Bobot basah daun, batang, dan umbi kolesom umur 90 HST pada berbagai kombinasi antara interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K Aplikasi pupuk daun (Frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar urea+KCl (kg/ha)) 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100
Interval panen (hari) 15
30
Bobot basah daun (g/tanaman) 50.19 de 68.72 c 5.60 g 46.90 e 34.48 f 58.24 d 47.68 de 80.36 ab 72.99 bc 90.09 a Bobot basah batang (g/tanaman) 88.61 f 117.27 bc 36.13 h 103.07 de 70.72 g 107.12 cd 93.68 ef 120.43 b 120.59 b 132.86 a Bobot basah umbi (g/tanaman) 19.56 cd 24.49 c 7.17 f 16.63 de 13.87 e 24.91 c 19.56 cd 31.53 b 25.06 c 38.85 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Tabel 41 menunjukkan bahwa interval panen 30 hari menghasilkan biomassa kolesom tertinggi yang meliputi bobot kering daun, batang, dan umbi. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Hare et al. (2004) bahwa interval panen yang lebih panjang akan mempercepat pendewasaan tanaman yang meningkatkan produksi polisakarida dan lignin pada dinding sel yang merupakan komponen dari bahan kering tanaman. Pemupukan urea+KCl dengan frekuensi penyemprotan pupuk daun sebanyak 4 kali dan dosis pupuk dasar 100 kg urea+100 kg KCl/ha menghasilkan bobot kering daun, batang, dan akar tertinggi. Ini membuktikan
bahwa kolesom membutuhkan frekuensi penyemprotan yang sering sebagai suplemen dari pupuk dasar yang diaplikasikan lewat tanah untuk peningkatan bobot keringnya. Borowski & Michalek (2009) menyatakan bahwa penyemprotan pupuk N+K dalam bentuk urea+KCl merupakan asosiasi terbaik untuk menghasilkan biomassa yang tinggi pada tanaman.
Tatar et al.
(2010)
melaporkan bahwa N secara tunggal tidak dapat meningkatkan biomassa tanaman tanpa berinteraksi dengan K, sedangkan Sawan et al. (2009) menjelaskan bahwa K berperanan untuk meningkatkan laju fotosintesis, laju asimilasi CO 2, dan memfasilitasi pergerakan karbon yang penting untuk pembentukan biomassa tanaman. Tabel 41 Bobot kering daun, batang, dan umbi kolesom umur 90 HST pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K Perlakuan Interval panen (hari) 15 30 Aplikasi pupuk daun N+K (Frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar urea+KCl (kg/ha)) 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100 Interaksi
Bobot kering Daun batang Umbi ………………. g/tanaman……………… 2.30 b 3.22 a
4.04 b 5.89 a
2.28 b 3.39 a
3.30 ab 1.98 c 2.19 bc 2.77 abc 3.57 a tn
5.23 ab 3.83 c 4.55 bc 5.17 ab 6.06 a tn
3.27 ab 1.62 d 2.39 c 3.15 b 3.79 a tn
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan Fisiologis Kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom dalam percobaan ini tidak berkorelasi dengan semua komponen pertumbuhan tanaman. Kandungan protein pucuk kolesom tidak berkorelasi dengan kandungan antosianin, namun berkorelasi positif dengan kandungan klorofil dan gula (Tabel 42).
Tabel 42
Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom umur 90 HST dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis kolesom pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K
Antosianin Klorofil Gula Bobot basah pucuk Bobot basah daun total Bobot basah batang Bobot basah umbi Bobot kering daun total Bobot kering batang Bobot kering umbi
Protein Antosianin ………………. % ....................... 30.72 65.89** -12.04 66.43** -25.71 11.80 -47.64 52.68 -6.03 41.45 -10.57 54.45 -10.23 48.56 10.63 30.13 -2.56 48.56 34.53
Keterangan : ** = sangat nyata
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom Pemberian pupuk urea+KCl dengan frekuensi penyemprotan daun sebanyak 4 kali dan dosis pupuk dasar 100 kg urea+100 kg/ha KCl pada kolesom yang dipanen 15 hari sekali menghasilkan produksi protein dan antosianin tertinggi selama 90 hari (Tabel 43). Tabel 43 Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K selama 90 hari Aplikasi pupuk daun (Frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar urea+KCl (kg/ha)) 0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100
0 kali, 100+100 2 kali, 50+50 4 kali, 50+50 2 kali, 100+100 4 kali, 100+100
Interval panen (hari) 15
30
Produksi protein (g/tanaman) 3.02 c 1.48 e 1.63 df 0.83 e 4.22 b 1.59 de 4.21 b 1.57 de 5.69 a 2.36 cd Produksi antosianin (µmol/tanaman) 61.45 d 38.10 efg 46.09 e 30.02 g 99.25 b 42.56 ef 80.61 c 36.13 fg 109.44 a 47.69 e
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Kesimpulan Produksi protein dan antosianin pucuk layak jual tertinggi selama 90 hari dihasilkan oleh kolesom yang dipanen dengan interval 15 hari serta mendapatkan pemupukan urea+KCl dengan frekuensi penyemprotan daun sebanyak 4 kali dan pupuk dasar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha. Terdapat korelasi positif antara kandungan protein dengan klorofil dan gula pucuk kolesom.
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) PADA BERBAGAI APLIKASI PUPUK NITROGEN+KALIUM MELALUI TANAH DAN DAUN Protein and Anthocyanin Production of Waterleaf Shoot (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) at different Combination soil and foliar applications of Nitrogen+Potassium fertilizer Abstrak Penelitian untuk mempelajari pengaruh berbagai aplikasi pupuk nitrogen+kalium melalui tanah dan daun terhadap kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) telah dilaksanakan di Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia pada bulan Oktober sampai Desember 2010. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan 3 ulangan dan 4 perlakuan aplikasi pupuk N+K melalui tanah dengan atau tanpa aplikasi daun. Perlakuan tersebut adalah aplikasi 100% dosis pupuk N+K melalui tanah (150 kg urea + 150 kg KCl); aplikasi 100, 75, dan 50% dosis pupuk N+K melalui tanah dengan penambahan aplikasi pupuk daun 0.2% urea dan 0.1% KCl. Pemupukan melalui tanah dilakukan pada 0, 30, dan 60 HST, sedangkan aplikasi pupuk daun dilakukan pada 15, 30, 45, dan 60 HST. Hasil percobaan menunjukkan bahwa produksi protein dan antosianin pucuk tertinggi selama 75 HST dihasilkan oleh kolesom yang mendapatkan perlakuan aplikasi 100% dosis pupuk N+K melalui tanah, yaitu berturut-turut sebesar 16.98 g/tanaman dan 170.27 µmol/tanaman. Kata Kunci : Sayuran daun, tanaman obat, nilai gizi, pigmen, pupuk Abstract The experiment was conducted in Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia from October until December 2010 to study the effect of soil and foliar applications of nitrogen+potassium fertilizer on waterleaf shoot (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) protein and anthocyanin production. A randomized complete block design was used with 3 replications and 4 treatments. The treatments were different rates of N+K for soil application with or without foliar application, they were 100% N+K rates of soil application (150 kg urea + 150 kg KCl/ha); 100, 75, and 50% N+K rates of soil application added with foliar application of 0.2% urea and 0.1% KCl. Fertilizers were applied on soil on 0, 30, and 60 days after planting, while foliar applications were conducted on 15, 30, 45, and 60 days after planting. The result showed that the highest protein and anthocyanin production of waterleaf shoot for 75 days were produced by 100% soil application of N+K; protein production was 16,98 g/plant while anthocyanin production was 170,27µmol/plant. Keywords : leafy vegetable, medicinal plant, nutritive value, pigment, fertilizer
Pendahuluan Peningkatan kualitas pucuk kolesom sebagai sayuran berkhasiat obat melalui teknik budidaya pertanian harus tetap dilakukan sebagai langkah untuk mendapatkan standar operasional budidaya yang dapat diterapkan oleh masyarakat luas. Dua percobaan sebelumnya dalam rangkaian penelitian ini telah menghasilkan konsep pemupukan bertahap untuk peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom baik melalui tanah maupun daun. Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom tertinggi dihasilkan oleh pemupukan bertahap melalui tanah pada frekuensi pemupukan 3 kali dengan dosis pupuk berturut-turut sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha pada saat tanam dan 25 kg urea + 25 kg KCl/ha masing-masing pada umur 30 dan 60 HST, sedangkan pemupukan bertahap melalui daun pada frekuensi penyemprotan 4 kali (15 hari sekali) dengan pupuk dasar 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha.
Konsentrasi pupuk daun yang
digunakan adalah 0.2% urea + 0.1% KCl yang merupakan konsentrasi pupuk N+K terbaik terhadap produktivitas pucuk kolesom pada penelitian Marman (2010). Produksi pucuk dari hasil percobaan-percobaan tersebut hanya meningkat sampai umur 60 HST kemudian mengalami penurunan hasil pada panen berikutnya. Kemungkinan kolesom masih membutuhkan peningkatan hara untuk meningkatkan kemampuan rejuvenasi, sehingga diperlukan teknik pemupukan yang dapat meningkatkan produksi protein dan antosianin. Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa teknik pemupukan berupa kombinasi aplikasi pupuk melalui tanah dan daun dapat meningkatkan produksi dan kualitas tanaman gandum (Abad et al. 2004; Garrido-Lestache et al. 2005; Varga & Svecnjak 2006). Keuntungan dari kombinasi aplikasi pupuk N melalui tanah dan daun adalah dapat mengurangi resiko pemupukan N yang berlebihan pada tanah, antara lain pencucian N dan eutrofikasi (FernandezEscobar et al. 2009). Penelitian mengenai kombinasi aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun pada kolesom belum dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan produksi protein dan antosianin pada pucuk kolesom dengan aplikasi pupuk nitrogen+kalium melalui tanah dan daun.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2010, bertempat di kebun percobaan Ilmu dan Teknologi Benih IPB Leuwikopo, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis komponen pertumbuhan
dilakukan
di
Laboratorium
Molecular
Marker
and
Spectrophotometry UV-VIS, sedangkan analisis komponen fisiologis tanaman dilakukan di laboratorium Plant Analysis and Chromatography Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain setek kolesom berukuran panjang 10 cm, pupuk kandang ayam petelur, urea, KCl, SP-18, arang sekam, dan bahan-bahan analisis kimia. Peralatan yang digunakan antara lain spektrofotometer shimadzu UV-1800, sentrifuge heraeus labofuge-400R. Metode Penelitian Percobaan disusun dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Empat perlakuan yang diberikan adalah dosis N+K melalui tanah dengan atau tanpa pupuk daun yaitu 100% dosis N+K melalui tanah; 100, 75, dan 50% dosis N+K melalui tanah ditambah dengan pemupukan melalui daun dengan konsentrasi 0.2% urea dan 0.1% KCl. Tabel 44 memberikan penjelasan secara rinci mengenai berbagai perlakuan tersebut. Model statistika untuk rancangan acak kelompok adalah sebagai berikut: Yij = µ + Ti + βj + εij Keterangan : Yij
= nilai pengamatan dari perlakuan ke-i (1, 2, 3, 4) dan ulangan ke-j (1, 2, 3)
µ
= nilai rata-rata umum
Ti
=
pengaruh perlakuan aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun kei (i = 1, 2, 3, 4)
βj
= pengaruh blok ke-j (j = 1, 2, 3)
εij
= pengaruh galat percobaan dari perlakuan aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun ke-i (1, 2, 3, 4) dan ulangan ke-j (1, 2, 3).
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%. Tabel 44 Berbagai perlakuan aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun Aplikasi pupuk N+K 100% pupuk via tanah
0 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
Waktu aplikasi (HST) 15 30 45 25 kg urea + 25 kg KCl/ha
√
100% pupuk via tanah + daun
100 kg urea + 100 kg KCl/ha
75% pupuk via tanah + daun
50% pupuk via tanah + daun
√
√
25 kg urea + 25 kg KCl/ha
√ 75 kg urea + 75 kg KCl/ha
√
√
√ 12,50 kg urea +12,50 kg KCl/ha
√ 25 kg urea + 25 kg KCl/ha
√
18,75 kg urea +18,75 kg KCl/ha
50 kg urea + 50 kg KCl/ha
60 25 kg urea + 25 kg KCl/ha
√ 18,75 kg urea +18,75 kg KCl/ha
√
√ 12,50 kg urea +12,50 kg KCl/ha
Keterangan : √ = aplikasi pupuk daun dengan konsentrasi 0.2% urea + 0.1% KCl (Marman 2010).
Pelaksanaan Percobaan Penyiapan lahan. Lahan yang akan digunakan dibersihkan dari gulma dan sisa tanaman hasil pertanaman sebelumnya.
Tanah pada lahan kemudian
digemburkan dan dibuat petakan dengan ukuran 3 m x 5 m sebanyak 15 petakan. Pupuk kandang ayam sebanyak 5 ton/ha dan arang sekam sebanyak 2 ton/ha diberikan dengan cara dilarik per baris tanam 2 minggu sebelum tanaman dipindah ke lapang. Penanaman.
Setek ditumbuhkan lebih dahulu pada polybag kecil di
persemaian. Penanaman dilakukan apabila bibit yang berasal dari setek batang telah berdaun 2 helai dan membuka sempurna (± 5-7 hari di persemaian). Bibit yang berasal dari setek batang ditanam di lahan dengan jarak 100 cm x 50 cm. Pemupukan urea + KCl dilakukan sesuai perlakuan pada dosis dan waktu yang
telah ditentukan. Pupuk SP-18 sebanyak 50 kg/ha diberikan pada saat tanam untuk semua perlakuan. Pemeliharaan.
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman,
penyiangan gulma, dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan sekali sehari pada pagi hari dan disesuikan dengan musim. Penyiangan dilakukan setiap saat secara manual sehingga petak perlakuan bebas dari gulma. Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan memperhatikan gejala serangan. Panen. Panen dilakukan dengan memetik pucuk tanaman kolesom sepanjang ± 10 cm yang diukur dari ujung daun bagian atas yang ditegakkan dari setiap cabang yang ada pada umur panen yang telah ditentukan. Panen pertama dilakukan pada 30 HST untuk semua perlakuan.
Pengamatan Pengamatan meliputi komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman. Komponen fisiologis tanaman 1.
Analisis kandungan protein kasar pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan 90 hari dengan menggunakan metode Lowry.
2.
Analisis kandungan antosianin dan klorofil total pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan 90 hari dengan menggunakan metode Sims & Gamon (2002).
3.
Analisis gula total pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan 90 hari dengan menggunakan metode antronic (Yemm & Willis 1954).
Komponen pertumbuhan tanaman : 1.
Bobot basah daun layak jual (g) diukur pada saat panen tanaman umur 30, 60, dan 90 hari dengan cara menimbang hasil pangkasan daun yang dihasilkan setiap individu tanaman.
2.
Bobot basah tanaman total (g) terdiri atas daun,batang dan cabang, serta akar diukur pada saat panen terakhir dengan menggunakan timbangan.
3.
Bobot kering tanaman total (g) terdiri atas daun,batang dan cabang, serta akar diukur pada saat panen terakhir dengan menggunakan timbangan setelah dioven pada suhu 105 C selama 2 hari.
Hasil dan Pembahasan Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan kolesom yang ditanam selama 90 hari dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45 Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan kolesom
Variabel pengamatan Kandungan protein 30 HST Kandungan protein 45 HST Kandungan protein 60 HST Kandungan protein 75 HST Kandungan protein 90 HST Kandungan antosianin 30 HST Kandungan antosianin 45 HST Kandungan antosianin 60 HST Kandungan antosianin 75 HST Kandungan antosianin 90 ST Kandungan klorofil 30 HST Kandungan klorofil 45 HST Kandungan klorofil 60 HST Kandungan klorofil 75 HST Kandungan klorofil 90 HST Kandungan gula 30 HST Kandungan gula 45 HST Kandungan gula 60 HST Kandungan gula 75 HST Kandungan gula 90 HST Bobot pucuk layak jual 30 HST Bobot pucuk layak jual 45 HST Bobot pucuk layak jual 60 HST Bobot pucuk layak jual 75 HST Bobot pucuk layak jual 90 HST Bobot basah daun 90 HST Bobot basah batang 90 HST Bobot basah umbi 90 HST Bobot kering daun 90 HST Bobot kering batang 90 HST Bobot kering umbi 90 HST Produksi protein 75 hari Produksi antosianin 75 hari
Perlakuan pemupukan N+K melalui tanah dan daun tn tn tn tn tn tn tn tn tn * tn tn tn tn * tn tn tn ** tn * * tn ** ** ** ** ** ** ** tn * *
KK (%) 22.69 13.15 14.25 23.00 17.25 3.19 39.17 13.33 12.30 12.62 8.29 10.58 12.79 9.23 12.79 17.38 47.64 21.00 11.16 31.09 7.13 29.61 10.97 12.40 7.77 8.71 7.96 9.24 10.83 18.31 24.51 16.12 15.92
Keterangan : * = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 5%; ** = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 1%; tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman.
Komponen Fisiologis Tanaman Kandungan protein Gambar 26 menunjukkan bahwa kandungan protein pucuk kolesom layak jual mengalami peningkatan dari umur 30 sampai umur 60 HST, kemudian terus mengalami penurunan pada umur 75 sampai 90 HST. Kandungan protein tersebut bervariasi dengan kisaran nilai dari 5.35 sampai 19.51 mg/g bb. Kandungan protein yang dihasilkan selama 90 hari masih lebih rendah dibandingkan kandungan protein daun kolesom yang dilaporkan oleh Aletor & Adeogun (1995) yaitu sebesar 25 mg/g bb. Kandungan protein (mg/g bb)
25 20 100% pupuk via tanah
15 100% pupuk via tanah + daun 75% pupuk via tanah + daun 50% pupuk via tanah + daun
10 5 0 30
45
60
75
90
Waktu pemanenan (HST)
Gambar 26 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun Berbagai aplikasi pemupukan N+K melalui tanah dan daun tidak berpengaruh terhadap kandungan protein pucuk kolesom layak jual umur 30-90 HST (Tabel 46). Hal ini diduga bahwa kolesom memiliki batasan kapasitas penyerapan pupuk sehingga semua perlakuan tersebut diserap dalam jumlah yang sama untuk menghasilkan kandungan protein pucuk atau adanya faktor penggangu yang mempengaruhi penyerapan hara oleh kolesom baik melalui akar dan daun untuk menghasilkan nilai kandungan protein yang berbeda. Delin et al. (2005) menyatakan bahwa pemupukan yang terdiri atas unsur N tidak selalu dapat meningkatkan kandungan protein karena beberapa hal, yaitu terganggunya penyerapan hara oleh adanya infeksi penyakit, waktu pemberian pupuk yang tidak tepat, dan kehilangan hara N oleh pengaruh cuaca dan lingkungan. Abad et al.
(2004) juga melaporkan bahwa peningkatan pemupukan N akan berpengaruh terhadap kandungan protein baik melalui aplikasi tanah dan daun apabila keadaan hara tanah sebelumnya berada pada titik suboptimal. Tabel 46 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari Perlakuan 100% pupuk via tanah 100% pupuk via tanah + daun 75% pupuk via tanah + daun 50% pupuk via tanah + daun
Waktu pemanenan (HST) 30 45 60 75 90 ….……….............. mg/g bb…………………….. 5.79 8.91 18.07 9.40 7.29 6.73 8.45 17.56 9.24 6.58 5.35
7.95
19.51
9.78
8.97
5.42
7.26
13.47
9.25
7.19
Keterangan : bb = bobot basah.
Faktor umur tanaman kolesom yang dipanen secara berulang terlihat memberikan pengaruh terhadap peningkatan dan penurunan kandungan protein. Peningkatan kandungan protein hingga umur 60 HST menunjukkan bahwa kandungan protein pucuk terus meningkat pada saat kolesom dalam masa vegetatif dan menurun pada saat kolesom telah berbunga atau memasuki masa reproduktif akibat remobilisasi hara N ke organ lain. Hal ini didukung oleh pernyataan Noquet et al. (2004) dan Varga & Svecnjak (2006) bahwa sintesis protein pada pucuk terkait dengan ketersedian dan penggunaan senyawa N yang terakumulasi pada pucuk, kemudian keadaan ini dapat berubah akibat remobilisasi senyawa N ke organ lainnya yang dikendalikan oleh kapasitas sink pada saat masa reproduktif karena terjadi penurunan serapan hara N.
Kandungan Antosianin Gambar 27 menunjukkan bahwa kandungan antosianin pucuk kolesom dengan perlakuan berbagai aplikasi pupuk urea+KCl melalui tanah dan daun menghasilkan kandungan antosianin yang bervariasi dari 0.08 sampai 0.14 µmol/g bb. Kandungan antosianin pucuk kolesom terlihat mengalami peningkatan pada umur 90 HST dari seluruh waktu pemanenan yang lain.
Kandungan antosianin (µmol/g bb)
0.25 0.20
100% pupuk via tanah
0.15
100% pupuk via tanah + daun
0.10
75% pupuk via tanah + daun
0.05
50% pupuk via tanah +daun
0.00 30
45
60
75
90
Waktu pemanenan (HST)
Gambar 27 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun Tabel 47 menunjukkan bahwa berbagai aplikasi pupuk urea + KCl melalui tanah dan daun tidak mempengaruhi kandungan antosianin pada umur 30-75 HST. Aplikasi dosis pupuk urea + KCl melebihi 50% melalui tanah dengan atau tanpa penambahan pupuk melalui daun dapat meningkatkan kandungan antosianin pada pucuk kolesom pada umur 90 HST. Tabel 47 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari Perlakuan 100% pupuk via tanah 100% pupuk via tanah + daun 75% pupuk via tanah + daun 50% pupuk via tanah + daun Keterangan :
Waktu pemanenan (HST) 30 45 60 75 90 ………………….. µmol/g bb…………………… 0.14 0.09 0.10 0.09 0.17 ab 0.14 0.12 0.11 0.11 0.21 a 0.14
0.13
0.10
0.11
0.19 ab
0.14
0.08
0.10
0.11
0.15 b
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah
Data yang tercantum dalam Tabel 47 menunjukkan bahwa pupuk daun tidak berperan penting terhadap peningkatan kandungan antosianin pucuk kolesom. Peningkatan kandungan antosianin pucuk kolesom yang sejalan dengan peningkatan dosis pupuk urea + KCl melalui tanah selama 90 hari
memperlihatkan bahwa kandungan antosianin pucuk kolesom mengikuti ritme pertumbuhan tanaman yang dibatasi oleh dosis pupuk urea + KCl, sehingga menimbulkan dugaan bahwa antosianin merupakan komponen fisiologis permanen dalam pucuk kolesom yang konsentrasinya mengikuti ritme pertumbuhan. Hasil ini bertentangan dengan konsep yang dinyatakan oleh Kytridis et al. (2008) dan Peng et al. (2008) bahwa peningkatan kandungan antosianin akan terjadi pada tanaman yang defisit hara N.
Kandungan Klorofil Gambar 28 menunjukkan bahwa kandungan klorofil cenderung mengalami peningkatan dari umur 30 sampai 60 HST kemudian mengalami penurunan pada umur 75 dan 90 HST. Pola tersebut menyerupai peningkatan dan penurunan kandungan protein pucuk kolesom layak jual. Kandungan klorofil dapat dikaitkan dengan kandungan protein pucuk kolesom karena keduanya
sama-sama
membutuhkan unsur N dalam biosintesisnya. Netto (2005) menyatakan bahwa hubungan yang erat antara akumulasi N dengan kandungan klorofil karena mayoritas N pada daun terkandung dalam molekul klorofil sehingga kandungan klorofil yang menunjukkan tingkat kehijauan dapat mencerminkan status N dalam tanaman. Status N yang tinggi dapat meningkatkan kandungan protein dalam
Kandungan klorofil (µmol/g bb)
pucuk. 2.00 1.50
100% pupuk via tanah
1.00
100% pupuk via tanah + daun
0.50
75% pupuk via tanah + daun
0.00
50% pupuk via tanah + daun
30
45
60
75
90
Waktu pemanenan (HST)
Gambar 28 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun
Tabel 48 menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi pupuk N+K tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan klorofil pucuk kolesom selama masa vegetatif (30-60 HST). Hal ini diduga bahwa kandungan klorofil pucuk kolesom tersebut memiliki kandungan maksimal selama masa vegetatif dalam keadaan cukup hara yang dapat dipenuhi oleh semua perlakuan tersebut.
Namun,
Venkatesan et al. (2005) melaporkan bahwa peningkatan kandungan klorofil tidak dapat tercapai hanya dengan pemberian pupuk N+K saja. Penambahan unsur P merupakan syarat mutlak yang dapat memberikan perbedaan hasil yang nyata, sedangkan pada percobaan pupuk SP-18 hanya diberikan sekali pada awal tanam dengan jumlah yang sama untuk seluruh perlakuan. Tabel 48
Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari Perlakuan
100% pupuk via tanah 100% pupuk via tanah + daun 75% pupuk via tanah + daun 50% pupuk via tanah + daun Keterangan :
Waktu pemanenan (HST) 30 45 60 75 90 ………………….. µmol/g bb…………………… 1.29 1.59 1.78 1.71 0.96 a 1.13
1.75
1.78
1.45
0.67 b
1.14
1.60
1.65
1.70
1.00 a
1.21
1.73
1.57
1.39
0.78 ab
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah
Pola yang ditunjukkan oleh Tabel diatas menunjukkan bahwa peningkatan dan penurunan kandungan klorofil sangat dipengaruhi oleh umur tanaman kolesom. Peningkatan kandungan klorofil secara umum yang terlihat pada umur 30-60 HST diduga berkaitan dengan aktivitas fotosintesis yang semakin meningkat pada masa vegetatif tanaman.
Kemudian penurunan kandungan
klorofil pada umur 75-90 HST diduga karena tanaman telah memasuki masa reproduktif dan menjelang senescence. Choinski et al. (2003) menjelaskan bahwa kandungan klorofil yang rendah pada awal pertumbuhan terjadi karena rendahnya laju fotosintesis, CO2 interselular, dan konduktansi stomata. Kandungan klorofil akan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Gossauer & Engel (1996) melaporkan bahwa kandungan klorofil akan menurun pada saat memasuki masa reproduktif karena perkembangan proplastid
untuk kloroplas terbagi untuk pembentukan kromoplas yang biasanya berisikan banyak karotenoid daripada klorofil.
Kandungan Gula Gambar 29 menunjukkan bahwa kandungan gula pucuk kolesom layak jual sangat fluktuatif dan membentuk pola yang tidak teratur. Namun, kandungan gula pucuk kolesom ini terlihat meningkat pada umur 90 HST.
Kandungan gula (mg/g bb)
2.50 2.00 100% pupuk via tanah
1.50 100% pupuk via tanah + daun 75% pupuk via tanah + daun 50% pupuk via tanah +daun
1.00 0.50 0.00 30
45
60
75
90
Waktu pemanenan (HST)
Gambar 29 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun Tabel 49 menunjukkan bahwa aplikasi pupuk urea + KCl melalui tanah dan daun tidak berpengaruh terhadap kandungan gula pucuk kolesom pada umur 30-60 HST. Kandungan gula yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan pada umur 30-60 HST diduga karena kolesom masih berada pada fase vegetatif dalam kondisi yang relatif normal. Fase vegetatif merupakan suatu fase dalam pertumbuhan tanaman dimana aktivitas fotosintesa meningkat dan hasil asimilat berupa gula akan ditransportasikan kebagian lain tanaman sebagai sink, sehingga tidak terjadi akumulasi pada pucuk. Hasil penelitian McCormick et al. (2008) pada daun tebu menunjukkan bahwa 80% hasil asimilat berupa sukrosa akan ditranslokasikan ke organ lain pada periode fotosintesis. Peningkatan kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada umur 75 HST dapat diperoleh dengan cara meningkatkan dosis pupuk urea+KCl melalui tanah dan daun
yaitu pada perlakuan 100% pupuk via tanah + daun.
Namun,
kesimpulan yang dapat diberikan pada hasil percobaan ini tidak dapat dijelaskan
dengan baik karena kandungan gula yang tertinggi tersebut tidak berbeda nyata dengan kandungan gula pada perlakuan 50% pupuk via tanah + daun. Diduga ada faktor lain di luar perlakuan pada percobaan ini yang mempengaruhi adanya perbedaan kandungan gula pada pucuk kolesom pada umur 75 HST. Peningkatan kandungan gula yang terjadi pada umur 90 HST diduga terkait dengan masa senescence, di mana kolesom telah mengalami gangguan dalam penyerapan hara dan air yang menyebabkan gangguan translokasi karbohidrat ke organ lain sehingga terjadi akumulasi gula pada daun. Akumulasi karbohidrat pada daun yang terjadi pada masa senescence ditemukan juga oleh de Lacerda et al. (2003) pada tanaman sorgum. Tabel 49 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari Perlakuan 100% pupuk via tanah 100% pupuk via tanah + daun 75% pupuk via tanah + daun 50% pupuk via tanah + daun Keterangan :
Waktu pemanenan (HST) 30 45 60 75 90 …………………....mg/g bb….………………… 1.18 1.35 0.98 0.86 b 1.07 1.62
1.23
0.90
1.13 a
1.94
1.23
1.76
0.82
0.76 b
1.35
1.10
1.60
1.22
1.09 a
1.17
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah
Komponen Pertumbuhan Tanaman Bobot Basah Pucuk Layak Jual Gambar 30 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan bobot basah pucuk kolesom dari umur 30 sampai umur 60 hari, kemudian terjadi penurunan pada umur 75 hingga 90 hari. Perlakuan aplikasi pemupukan N+K memberikan pengaruh sangat nyata terhadap bobot basah pucuk kolesom layak jual selama 90 hari, kecuali pada bobot basah pucuk kolesom layak jual umur 60 HST (Tabel 50).
Bobot basah pucuk (g/tanaman)
160 140 120 100 80 60 40 20 0
100% pupuk via tanah 100% pupuk via tanah + daun 75% pupuk via tanah + daun 50% pupuk via tanah + daun
30
45
60
75
90
Waktu pemanenan (HST)
Gambar 30 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada umur 30, 45, 75, 90 HST menunjukkan bahwa aplikasi pupuk 100% via tanah dengan dosis total 150 kg urea + 150 kg KCl/ha menghasilkan bobot basah pucuk kolesom layak jual tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk N+K bertahap yang hanya diaplikasikan melalui tanah lebih baik daripada perlakuan kombinasi antara aplikasi tanah dan daun, walaupun pada umur 60 HST semua perlakuan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata. Penurunan hasil yang terjadi pada umur 75 dan 90 HST menunjukkan bahwa penambahan pupuk daun yang diberikan pada saat 60 HST tidak dapat meningkatkan aktivitas rejuvenasi kolesom dan memperpanjang masa produksi. Tabel 50 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari Perlakuan 100% pupuk via tanah 100% pupuk via tanah + daun 75% pupuk via tanah + daun 50% pupuk via tanah + daun Keterangan :
Waktu pemanenan (HST) 30 45 60 75 90 …..…………………. g/tanaman…..…………………… 29.36 a 114.04 a 143.33 117.04 a 81.70 a 27.38 ab
77.17 ab
141.17
76.90 b
31.33 d
25.43 bc
64.92 b
131.16
54.05 c
52.39 c
23.42 c
47.74 b
120.01
44.04 c
68.54 b
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Bobot Basah dan Kering Tanaman Tabel 51 menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi antara pupuk N+K yang diaplikasikan melalui tanah dan daun tidak dapat memberikan peningkatan hasil dibandingkan perlakuan aplikasi 100% pupuk via tanah. Tabel 51
Bobot basah daun, batang, dan umbi kolesom pada umur 90 hari pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun Perlakuan
100% pupuk via tanah 100% pupuk via tanah + daun 75% pupuk via tanah + daun 50% pupuk via tanah + daun
Bobot basah Daun Batang Umbi …………………… g/tanaman…………………….. 517.69 a 595.45 a 58.59 a 391.62 b
450.22 b
46.41 b
421.88 b
475.39 b
49.48 b
303.96 c
363.45 c
34.73 c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Tabel 52 menunjukkan bahwa perlakuan 100% pupuk urea + KCl via tanah menghasilkan bobot kering daun dan batang tertinggi pada kolesom yang dipanen umur 90 hari, sedangkan perlakuan aplikasi pupuk urea + KCl tidak berpengaruh terhadap bobot kering umbi kolesom. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan pupuk urea + KCl melalui daun tidak diperlukan untuk meningkatkan bobot basah dan bobot kering kolesom.
Padahal beberapa
penelitian terdahulu (Sultana et al. 2001; Sawan et al. 2009) menyatakan bahwa aplikasi pupuk N+K melalui daun akan meningkatkan biomassa tanaman. Kemungkinan perlakuan 100% pupuk via tanah yaitu sebesar 150 kg urea + 150 kg KCl/ha dalam percobaan ini telah mencukupi kebutuhan hara untuk pertumbuhan dan perkembangan kolesom sehingga aplikasi pupuk daun pada kolesom menjadi tidak efektif. Pendapat yang dikemukakan oleh Xiaoping et al. (2008) menyatakan bahwa biomassa tanaman tidak dapat meningkat bahkan menurun dengan peningkatan dosis N apabila konsentrasi N lebih tinggi daripada nilai kritis N pada tanaman tersebut.
Tabel 52 Bobot kering daun, batang, dan umbi kolesom pada umur 90 hari pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun Aplikasi pupuk N+K 100% pupuk via tanah 100% pupuk via tanah + daun 75% pupuk via tanah + daun 50% pupuk via tanah + daun
Bobot kering Daun Batang Umbi .............................g/tanaman…………………. 35.54 a 44.68 a 9.63 21.30 bc
22.33 b
6.68
23.33 b
26.84 b
6.38
17.52 c
29.04 b
5.56
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan Fisiologis Kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom dalam percobaan ini tidak berkorelasi dengan semua komponen pertumbuhan tanaman dan fisiologis lainnya (Tabel 53). Tabel 53
Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom umur 90 HST dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis kolesom pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun
Antosianin Klorofil Gula Bobot basah pucuk Bobot basah daun total Bobot basah batang Bobot basah umbi Bobot kering daun total Bobot kering batang Bobot kering umbi
Protein Antosianin ………………. % ………………. -1.89 80.87 -24.19 -35.86 85.89 12.04 -37.89 16.49 24.48 11.14 18.91 18.34 33.98 4.48 -1.44 -1.33 -50.46 -13.28 0.80
Keterangan : ** = sangat nyata
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom Adanya penurunan kandungan protein dan bobot basah pucuk, serta sinyal stres pada kolesom yang ditunjukkan oleh peningkatan kandungan antosianin pada umur 90 HST menyebabkan pemanenan pucuk kolesom sampai umur 90
HST tidak dianjurkan karena dapat menurunkan kualitas pucuk dan melemahkan tanaman. Berdasarkan hasil ini maka umur produksi pucuk kolesom layak jual ditentukan sampai umur 75 HST. Tabel 54 memperlihatkan data produksi protein dan antosianin pucuk kolesom yang merupakan hasil perkalian antara bobot basah total pucuk kolesom dengan masing-masing kandungan total protein dan antosianin pucuk kolesom selama 75 hari.
Produksi protein dan antosianin tertinggi dihasilkan oleh
perlakuan aplikasi pemupukan 100% via tanah yang diberikan secara bertahap dengan dosis total 150 kg urea + 150 kg KCl/ha. Tabel 54 Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual selama 75 hari pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun Perlakuan 100% pupuk via tanah 100% pupuk via tanah + daun 75% pupuk via tanah + daun 50% pupuk via tanah + daun Keterangan :
Produksi protein (g/tanaman) 16.98 a 13.61 ab 12.26 b 9.31 b
Produksi antosianin (µmol /tanaman) 170.27 a 155.52 a 130.11 ab 100.11 b
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Kendati produksi protein pucuk kolesom layak jual tertinggi tersebut tidak berbeda nyata dengan perlakuan 100% pupuk via tanah + daun dan produksi antosianin pucuk kolesom layak jual tertinggi tidak berbeda nyata dengan perlakuan 100% pupuk via tanah + daun atau 75% via tanah + daun, tetapi atas pertimbangan kemudahan aplikasi maka aplikasi pemupukan 100% via tanah yang diberikan secara bertahap dapat direkomendasikan untuk budidaya kolesom.
Kesimpulan Produksi protein dan antosianin pucuk layak jual tertinggi selama 75 hari dihasilkan oleh kolesom yang mendapatkan aplikasi pupuk N+K yang diberikan 100% melalui tanah sebesar 150 kg urea + 150 kg KCl/ha dalam 3 tahapan yaitu 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha pada saat tanam dan 25 kg urea + 25 kg KCl/ha masing-masing pada 30 dan 60 HST.
PEMBAHASAN UMUM Respon Kolesom terhadap Pemupukan Nitrogen + Kalium dan Interval Panen Aplikasi pupuk N+K sangat berpengaruh terhadap produksi protein dan antosianin pucuk kolesom. Dosis pupuk sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha merupakan dosis standar yang dapat dijadikan sebagai pupuk dasar dalam budidaya kolesom karena dapat menghasilkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis pupuk urea + KCl yang lebih rendah, namun dosis pupuk urea + KCl yang diberikan hanya pada awal tanam tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan hara kolesom selama masa tanam 80 hari. Hal ini dapat terlihat dengan adanya penurunan hasil setelah umur 50 hari. Oleh karena itu dilakukan percobaan pemupukan secara bertahap dengan meningkatkan total dosis urea + KCl. Pemupukan secara bertahap dengan total dosis lebih tinggi dan 2/3 dosis tersebut diberikan pada saat tanam, dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi kolesom. Pemupukan urea + KCl dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha yang terbagi dalam 3 tahapan pemberian yaitu 100 kg urea + 100 kg KCl/ha pada saat tanam; 25 kg urea + 25 kg KCl/ha masing-masing pada 30 dan 60 HST mampu memberikan produksi protein dan antosianin tertinggi pada kolesom yang dipanen sebanyak 3 kali selama periode tanam 90 hari. Tiga tahapan waktu pemberian pupuk urea + KCl tersebut dapat direkomendasikan dalam budidaya kolesom karena merupakan waktu yang bertepatan dengan masa perkembangan kolesom yang membutuhkan peningkatan hara. Pemberian pupuk urea + KCl pada awal tanam dibutuhkan kolesom untuk memulai pertumbuhan vegetatif, 30 HST merupakan masa perkembangan batang dan cabang, sedangkan 60 HST merupakan masa transisi dari vegetatif ke reproduktif dan pembentukan umbi. Pemberian pupuk urea + KCl pada umur 60 HST berperan penting untuk meningkatkan kandungan hara dalam organ vegetatif agar tidak terjadi penurunan hara secara drastis dan senescence dini pada saat terjadi remobilisasi hara ke organ reproduktif. Pemberian pupuk urea + KCl dengan total dosis yang sama tetapi dengan frekuensi yang lebih tinggi dalam percobaan ini menghasilkan
produksi protein dan antosianin yang lebih rendah karena dosis urea + KCl yang diberikan pada setiap aplikasi menjadi lebih rendah dan tidak mencukupi kebutuhan hara kolesom. Upaya lain yang telah dilakukan untuk meningkatkan produksi protein dan antosianin serta memperpanjang masa produksi kolesom adalah penambahan pupuk melalui daun. Kombinasi antara pemupukan 0.2% urea + 0.1% KCl yang diberikan secara bertahap melalui daun dengan pemupukan urea + KCl yang diberikan melalui tanah hanya pada saat tanam atau secara bertahap bersamaan dengan waktu aplikasi pupuk melalui daun menunjukkan bahwa pemberian pupuk urea + KCl melalui daun tidak dapat meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom jika dibandingkan dengan pemupukan urea + KCl secara bertahap melalui tanah saja. Oleh karena itu, pupuk urea + KCl cukup diberikan secara bertahap melalui tanah saja untuk meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom. Respon kolesom terhadap interval panen tampaknya terkait dengan beberapa hal, yaitu proses recovery, rejuvenasi, dan organ source-sink. Proses rejuvenasi pada kolesom akan berjalan lambat bahkan menurun apabila waktu yang tersedia untuk proses recovery setelah pemanenan sangat pendek atau tidak ada karena dilanjutkan dengan pemanenan berikutnya. Rejuvenasi yang terjadi akibat pemanenan pucuk kolesom mengakibatkan pucuk kolesom menjadi organ sink yang kuat dibandingkan organ lainnya. Kompetisi antara organ sink dapat terjadi dengan perubahan interval panen. Pentingnya waktu yang cukup untuk proses recovery pasca pemanenan dijelaskan oleh Kabi & Bareeba (2008) sebagai sesuatu yang harus diperhatikan untuk meningkatkan produksi tanaman karena pemanenan merupakan proses pelukaan terhadap jaringan tanaman. Interval panen 15 hari dapat direkomendasikan untuk budidaya kolesom yang mengutamakan hasil dan kualitas pucuk. Pemanenan pucuk dengan interval 15 hari menghasilkan produksi protein dan antosianin yang lebih tinggi selama periode tanam 80 atau 90 hari dibandingkan pemanenan pucuk dengan interval 10 dan 30 hari. Pemanenan pucuk dengan interval panen 15 hari dapat menunda waktu pembungaan dan masa senescence, tetapi tidak dapat menghambat munculnya bunga setelah panen ke tiga yang menyebabkan penurunan hasil yang
ditandai dengan ukuran pucuk yang mengecil.
Hal ini menunjukkan bahwa
kolesom memiliki masa rejuvenasi yang terbatas yang menyebabkan penurunan hasil dengan meningkatnya umur tanaman dan frekuensi panen. Pemanenan pucuk kolesom dengan interval panen 10 dan 30 hari tidak dapat direkomendasikan pada budidaya kolesom. Interval panen 10 hari menyebabkan aktivitas rejuvenasi kolesom yang rendah, lebih cepat mengalami penurunan hasil dan kualitas pucuk serta masa produksi yang lebih pendek dibandingkan perlakuan interval panen yang lebih panjang. Masa produksi yang pendek hanya sampai umur 60 HST ditandai dengan senescence dini yang diduga terjadi akibat masa recovery pasca pemanenan yang pendek. Pemanenan pucuk yang terlalu intensif dapat merusak jaringan dan mempercepat kematian. Pemanenan pucuk dengan interval panen 30 hari menyebabkan kolesom lebih cepat memasuki masa reproduktif yang ditandai dengan munculnya bunga dan buah. Pemanenan yang dilakukan setelah masa reproduktif menghasilkan pucuk dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan masa vegetatif. Oleh karena itu akumulasi produksi pucuk selama periode tanam dengan interval panen 30 hari menjadi rendah. Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom yang mendapatkan perlakuan pemupukan urea + KCl dan interval panen yang sama menunjukkan fluktuasi antar percobaan dalam penelitian ini. Kolesom yang ditanam pada kondisi curah hujan yang lebih tinggi menghasilkan bobot basah pucuk total, kandungan protein dan antosianin yang lebih tinggi pula. Kolesom yang ditanam pada kondisi curah hujan yang sama tetapi dalam wadah tanam yang berbeda menghasilkan produksi protein dan antosianin yang berbeda pula. Penanaman kolesom dalam polybag menghasilkan bobot basah pucuk total yang lebih rendah, kandungan protein dan antosianin yang lebih tinggi dibandingkan penanaman di lahan.
Berdasarkan paparan tersebut, maka penanaman kolesom harus
memperhatikan pula wadah tanam dan pengairan yang baik untuk mendapatkan produksi protein dan antosianin pucuk layak jual yang tinggi.
Keterkaitan antara Pertumbuhan Tanaman Kolesom dengan Perubahan Kandungan Protein dan Antosianin Perubahan kandungan protein pucuk sebagai respon atas berbagai perlakuan pupuk urea + KCl dan interval panen pada seluruh percobaan dalam penelitian ini tidak memiliki keterkaitan dengan perubahan biomassa yang menjadi parameter pengamatan komponen pertumbuhan, sedangkan keterkaitan antara perubahan kandungan antosianin dengan perubahan biomassa bervariasi antar percobaan. Korelasi positif antara kandungan antosianin pucuk dengan biomassa kolesom yang meliputi bobot basah daun dan pucuk, bobot basah dan kering batang maupun umbi hanya terjadi pada saat kolesom mendapatkan perlakuan pemupukan urea + KCl yang hanya diberikan pada awal tanam dan pemanenan berulang selama periode tanam 80 hari. Keterkaitan tersebut bertentangan dengan beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kandungan antosianin akan berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan tanaman yang dicerminkan oleh biomassa tanaman (Kytridis et al. 2008; Guo et al. 2011). Korelasi positif antara kandungan antosianin dengan biomassa dapat terjadi dengan mengikuti konsep ―over flow metabolism‖ yang menyatakan pada saat hasil fotosintesis melebihi kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman, maka kelebihan C akan disumbangkan untuk biosintesis metabolit sekunder berbasis C (Matsuki 1996). Jika konsep ini dikaitkan dengan pertumbuhan kolesom, maka ada kemungkinan bahwa kolesom mengalami suatu kondisi yang menyebabkan suatu urgensi pembagian hasil asimilasi secara proporsional untuk pembentukan biomassa dan biosintesis antosianin.
Tidak diketahui secara pasti kondisi apa yang menyebabkan
terjadinya peristiwa tersebut dalam percobaan ini, namun
tampaknya ini
merupakan suatu mekanisme kolesom untuk mempertahankan eksistensi pertumbuhannya dalam suatu kondisi tidak menguntungkan bagi peningkatan biomassa tanaman yang membutuhkan sinergisme dengan antosianin. Manetas (2006) menyatakan bahwa peranan antosianin seringkali tidak dapat diketahui secara pasti karena sangat tergantung kepada spesies, fase perkembangan tanaman dan lingkungan. Adanya korelasi positif antara kandungan senyawa metabolit berbasis C dengan biomassa
yang dianggap mengikuti konsep ―over flow
metabolism‖ ditemukan oleh Mosaleeyanon et al.
(2005) pada tanaman
Hypericum perforatum L. Korelasi positif antara kandungan antosianin dengan biomassa tanaman terdapat pada hasil penelitian Yu-fan et al. (2008) pada ubi jalar, namun hasil ini tidak konsisten pada berbagai varietas dan fase perkembangan tanaman. Perubahan kandungan antosianin pucuk tidak memperlihatkan keterkaitan dengan biomassa kolesom pada percobaan pemupukan urea + KCl secara bertahap baik melalui tanah dan daun maupun kombinasi keduanya yang dipanen secara periodik selama periode tanam 90 hari. Hal ini dapat disebabkan karena pemberian pemupukan urea + KCl secara bertahap baik melalui tanah dan daun maupun kombinasi keduanya pada kolesom yang dipanen secara periodik mampu memberikan keseimbangan antara laju rejuvenasi dan pertumbuhan total tanaman. Pernyataan ini didasarkan pada biomassa yang lebih besar antara kolesom yang mendapatkan pupuk urea + KCl secara bertahap dibandingkan diberikan hanya pada awal tanam. Oleh karena itu, konsep ―over flow metabolism‖ tidak berlaku pada kolesom yang mendapatkan pemupukan urea + KCl secara bertahap. Perubahan kandungan protein dan bobot basah pucuk pada setiap percobaan terlihat memiliki pola yang sama yaitu mengikuti fase perkembangan tanaman. Kandungan protein dan bobot basah pucuk kolesom terus meningkat seiring dengan pertambahan umur tanaman dalam masa vegetatif dan mengalami penurunan pada saat memasuki masa reproduktif. Pola perubahan kandungan protein dan bobot basah pucuk yang sama mengikuti fase perkembangan tanaman juga ditemukan oleh Abbasi et al. (2011) pada tanaman bayam yang mendapatkan perlakuan berbagai interval panen dan dosis pupuk N. Peningkatan bobot basah pucuk pada masa vegetatif kolesom terjadi karena peningkatan aktivitas rejuvenasi pasca pemanenan pucuk yang berulang dan pemupukan urea + KCl. Unsur N dan K yang terkandung dalam pupuk tersebut sangat berperan dalam peningkatan bobot basah pucuk sejalan dengan penjelasan Kanzikwera et al. (2001) yang menyatakan bahwa sinergisme antara unsur N dan K menyebabkan peningkatan sitokinin yang merupakan fitohormon penting untuk pertumbuhan vegetatif.
Srivastava (2002) menunjukkan bahwa
sitokinin dapat mendorong aktivitas pembelahan dan pembesaran sel pada jaringan tumbuhan. Peningkatan aktivitas rejuvenasi akan menyebabkan pucuk menjadi organ sink yang kuat, oleh karena itu terjadi translokasi hara yang tinggi ke pucuk. Akumulasi hara N pada pucuk menyebabkan antara lain peningkatan asam amino yang disintesis menjadi protein, sehingga protein yang terkandung dalam pucuk sebenarnya merupakan deposit sementara asam amino pada masa vegetatif sebelum diremobilisasi ke organ lain. Penurunan kandungan protein dan bobot basah pucuk setelah umur 50 atau 60 hari terjadi karena kolesom memasuki masa reproduktif yang menyebabkan terjadinya kompetisi dalam pembagian asimilat antara pucuk dengan organ sink lain yang terbentuk. Kompetisi tersebut menyebabkan menurunnya suplai asimilat dari tajuk ke akar, sehingga pertumbuhan akar terganggu dan terjadi penurunan penyerapan hara N oleh akar. Peng et al. (2010) melaporkan bahwa perbedaan laju penyerapan hara N oleh akar antara masa vegetatif dan reproduktif ditentukan oleh jumlah permintaan hara yang dikendalikan oleh potensial pertumbuhan tajuk. Penurunan
penyerapan
hara
oleh
akar
pada
masa
reproduktif
mengakibatkan remobilisasi hara N dari pucuk ke organ reproduktif sehingga terjadi penurunan kandungan protein pada pucuk kolesom. Mekanisme remobilisasi N yang dilaporkan oleh Barneix (2007) menunjukkan bahwa remobilisasi dilakukan oleh enzim proteolitik yang menghidrolisis protein daun dan melepaskan asam amino untuk ditransportasikan ke organ sink lain. Konsentrasi asam amino yang dilepaskan tergantung kepada total konsentrasi N dan metabolisme fotosintesis, sedangkan komposisi asam amino tergantung kepada spesies tanaman. Pentingnya remobilisasi hara N dari daun dijelaskan oleh Noquet et al. (2004) sebagai bentuk konservasi hara dalam tanaman untuk menjamin kelangsungan hidupnya selama siklus perkembangan tanaman. Penurunan bobot basah pucuk yang terjadi pada masa reproduktif karena pucuk yang dihasilkan mempunyai ukuran yang lebih kecil dibandingkan pada masa vegetatif. Menurunnya bobot basah pucuk kolesom pada masa reproduktif dapat mencerminkan adanya penurunan aktivitas meristem apikal. Penurunan produksi pucuk tanaman anggur pada saat aktivitas meristem apikal menurun
dilaporkan oleh Grechi et al. (2007) karena rendahnya suplai hara N ke pusat pertumbuhan pucuk untuk pembentukan materi dinding sel baru (xyloglucan). Percobaan pemupukan urea + KCl secara bertahap baik melalui tanah dan daun atau kombinasi keduanya menunjukkan bahwa kandungan klorofil memiliki pola perubahan yang sama dengan kandungan protein dan bobot basah pucuk selama fase pertumbuhan kolesom, sedangkan pemupukan urea + KCl yang diberikan hanya pada awal tanam menghasilkan kandungan klorofil pucuk kolesom yang terus menurun sejalan dengan pertambahan umur tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan klorofil dapat menjadi indikator sederhana dalam menentukan kecukupan hara bagi kolesom. Perubahan kandungan antosianin pucuk berdasarkan fase pertumbuhan kolesom dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 pola, yaitu : (1) terus menurun sejalan dengan pertambahan umur tanaman; (2) terus menurun sejalan dengan pertambahan umur tanaman kemudian mengalami peningkatan pada umur 60 atau 90 HST. Meskipun demikian, kandungan antosianin selalu terdeteksi pada pucuk kolesom sejak awal panen baik pada umur 20 maupun 30 HST hingga panen terakhir baik pada umur 80 maupun 90 HST.
Hal ini menunjukkan bahwa
antosianin merupakan tipe komponen yang permanen dalam pucuk kolesom dan bukan tipe inducible anthocyanin. Kandungan antosianin pucuk kolesom yang terus mengalami penurunan sejalan dengan pertambahan umur tanaman terjadi pada saat kolesom mendapatkan perlakuan pemupukan urea + KCl hanya pada awal tanam dan dipanen setiap 15 atau 30 hari sekali selama periode 80 hari.
Peristiwa ini
menunjukkan bahwa antosianin dalam pucuk kolesom lebih banyak terakumulasi pada masa awal pertumbuhan saja dan diduga antosianin dalam fase ini berperan sebagai juvenile anthocyanin. Istilah tersebut digunakan oleh Chalker-Scott (2002) yang menunjukkan bahwa antosianin pada pucuk berperan sebagai penjaga turgor sel dalam level yang tinggi sehingga mendorong ekspansi dinding sel untuk perkembangan daun sampai pada ukuran yang optimal. Penurunan yang terjadi dengan pertambahan umur terjadi karena adanya pengenceran pigmen antosianin pada jaringan sejalan peningkatan pertumbuhan.
Penurunan kandungan antosianin pucuk sejalan dengan pertambahan umur tanaman kemudian kembali meningkat pada umur 60 HST terjadi pada kolesom yang mendapatkan perlakuan pemupukan urea + KCl hanya pada awal tanam dan dipanen setiap 10 hari sekali selama periode 80 hari, sedangkan peningkatan kembali kandungan antosianin pada umur 90 HST terjadi pada kolesom yang mendapatkan pemupukan urea + KCl secara bertahap yang dipanen 15 atau 30 hari sekali dengan panen terakhir pada umur 90 HST. Berdasarkan deskripsi tersebut maka peningkatan kembali kandungan antosianin pucuk kolesom dalam masa pertumbuhan tanaman karena kolesom mengalami stres abiotik yang disebabkan oleh (1) peningkatan frekuensi panen; (2) pertambahan umur panen terakhir. Stres yang dialami kolesom yang mendapatkan perlakuan interval panen 10 hari menyebabkan senescence dini sehingga hanya dapat memproduksi pucuk sampai umur 60 HST saja. Peningkatan kandungan antosianin pada saat kolesom mengalami stres akibat pemanenan pucuk dapat dikaitkan dengan peranan antosianin sebagai modulator sinyal stres dan antioksidan dengan mekanisme yang berlaku umum pada tanaman seperti yang dilaporkan oleh Hatier & Gould (2008) dan ditunjukkan oleh Gambar 31. Laporan Hatier & Gould (2008) menjelaskan bahwa stres yang dialami oleh tanaman membawa serta gelombang reactive oxygen species (ROS) misalnya H2O2 yang membahayakan tanaman dengan menggangu berbagai proses metabolisme sel. Tanaman harus memiliki suatu mekanisme untuk menurunkan atau menetralkan ROS untuk mencegah kerusakan oksidatif.
Salah satunya
adalah dengan cara memproduksi antosianin pada sel daun.
Antosianin
berinteraksi langsung dengan sinyal stres dengan cara menyerap sebagian energi cahaya pada kloroplas untuk mengurangi laju produksi ROS karena kloroplas merupakan tempat akumulasi ROS pada saat tanaman mengalami cekaman. selanjutnya antosianin juga bertindak sebagai antioksidan untuk melindungi jaringan tanaman yang sehat dengan memerangkap berbagai radikal bebas dalam vakuola
untuk
menghambat
keseimbangan ROS dalam sel.
pergerakan,
melemahkan
dan
mengatur
Gambar 31 Mekanisme antosianin sebagai modulator sinyal stres. Interaksi positif (panah) dan negatif ( T bar) (Hatier & Gould 2008)
Keterkaitan antar Komponen Fisiologis Kolesom dengan Perubahan Kandungan Protein dan Antosianin Kandungan protein pucuk kolesom dari berbagai percobaan dalam penelitian ini secara konsisten menunjukkan tidak ada keterkaitan dengan kandungan antosianin dan secara konsisten berbagai perlakuan pemupukan urea + KCl sampai pada dosis tertentu hanya berpengaruh terhadap kandungan protein dan tidak berpengaruh terhadap kandungan antosianin pucuk kolesom. Konsep mengenai kompetisi antara biosintesis kandungan protein dan antosianin untuk memperoleh fenilalanin dalam jalur shikimat (Gambar 32) sehingga menghasilkan korelasi negatif antara keduanya seperti yang dikemukakan oleh Bragazza & Freeman (2007) dan Stefanelli et al. (2010) tidak ditemukan dalam penelitian ini. Merujuk pada data yang terdapat pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa kandungan asam amino tertinggi yang terdapat pada daun kolesom adalah asam glutamat, leusin, dan asam aspartat maka protein yang dihasilkan oleh daun
kolesom lebih banyak disintesis melalui senyawa asam α-ketoglutarat dan oksaloasetat yang berasal dari siklus krebs dibandingkan dengan jalur shikimat. Oleh karena itu, kemungkinan sintesis protein melalui siklus krebs merupakan penyebab ketiadaan korelasi antara kandungan protein dan antosianin. Siklus krebs merupakan fase respirasi dalam sel tumbuhan yang merupakan kelanjutan dari glikolis, sedangkan jalur shikimat merupakan serangkaian reaksi yang menghasilkan asam amino aromatik dan senyawa fenol dengan menggunakan asam shikimat sebagai prekursor. Asam shikimat terbentuk dari fosfoenolpiruvat dari lintasan respirasi glikolisis dan eritrosa-4-fosfat dari lintasan pentosa fosfat. Ketiadaan korelasi antara protein dan antosianin juga ditemukan oleh Vaknin et al. (2005) pada bunga Brunfelsia calycina yang menunjukkan bahwa degradasi protein tidak menyebabkan perubahan terhadap kandungan antosianin.
Gambar 32 Jalur mekanisme biosintesis protein dan antosianin (Sullivan 1998)
Berdasarkan penjelasan Oren-Shamir (2009) mengenai pigmen antosianin pada berbagai organ tanaman, maka pigmen antosianin yang terdeteksi pada pucuk kolesom yang selalu berwarna hijau mengindikasikan bahwa kandungan antosianin tersebut berada pada level rendah dan diproduksi dengan laju biosintesis yang lambat. Oleh karena itu, tampaknya kolesom memiliki suatu mekanisme sendiri untuk terus memproduksi antosianin dengan jumlah tertentu dan menjadi komponen yang permanen dalam pucuk kolesom dalam siklus hidupnya tanpa mengganggu sintesis protein. Perubahan kandungan protein pucuk kolesom pada berbagai percobaan dalam penelitian ini secara konsisten menunjukkan keterkaitan yang erat dan berkorelasi positif terhadap kandungan klorofil, kecuali pada percobaan kombinasi pupuk urea + KCl yang diberikan melalui tanah dan daun. Keterkaitan antara kandungan protein dan klorofil pucuk kolesom disebabkan oleh keterkaitan biosintesis antara keduanya yang secara umum juga terjadi pada tanaman lain. Heldt (2005) menyatakan bahwa sintesis protein dan klorofil membutuhkan glutamat sebagai prekursor. Glutamat merupakan hasil asimilasi N yang telah melalui siklus metabolisme dalam sel. Mekanisme sintesis protein dan klorofil dengan prekursor glutamat dijelaskan oleh Richter et al. (2010) melalui langkahlangkah sebagai berikut : (1) glutamat berligasi dengan tRNAglu menjadi glutamyl tRNA reductase (Glu-tRNA) dikatalisis oleh glutamyl–tRNA synthetase (GluRS); (2) Glu-tRNA memasuki 2 percabangan biosintesis tanpa kompetisi; (3) percabangan 1 : Glu-tRNA ditransaminasi menghasilkan protein ; (4) percabangan 2 : Glu-tRNA direduksi menjadi glutamat 1- semialdehyde (GSA) oleh enzim glutamyl-tRNA reductase (GluTR) yang kemudian ditransaminasi menjadi 5aminolevulinic acid (ALA) yang diubah menjadi klorofil sebagai produk akhir. Keterkaitan antara sintesis protein dan klorofil dengan perkembangan plastida juga telah ditemukan oleh Drum & Margulies (1970)
pada daun buncis
(Phaseolus vulgaris) yang menunjukkan bahwa kemampuan plastida untuk mensintesis protein akan meningkat selama plastida aktif berkembang dan membelah untuk membentuk struktur lamela kloroplas dalam proses sintesis klorofil. Plastida merupakan organel yang akan berkembang menjadi kloroplas untuk menghasilkan klorofil, selain itu plastida juga merupakan bagian dari
ribosom yang memiliki kromosom sirkular sebagaimana enzim untuk duplikasi gen, ekspresi gen, dan sintesis protein. Ketiadaan korelasi antara kandungan protein dan klorofil dalam pucuk yang terjadi pada saat kolesom mendapatkan kombinasi pemupukan urea + KCl yang diberikan melalui tanah dan daun karena perlakuan tersebut hanya mempengaruhi kandungan klorofil dan tidak berpengaruh terhadap kandungan protein pucuk kolesom. Pengaruh yang berbeda ini menunjukkan bahwa sintesis protein pucuk kolesom memiliki sensitivitas yang lebih tinggi daripada klorofil terhadap pemupukan urea + KCl. Sensitivitas sintesis protein pucuk kolesom diduga terkait dengan perubahan kondisi larutan sel sebagai respon terhadap pemupukan urea + KCl yang diberikan.
Sideris (1946) menyatakan bahwa
perubahan kemasaman atau pH larutan sel dengan nilai yang tidak sesuai dengan titik isoelektrik protein akan mempengaruhi sintesis protein dan mengubah korelasi antara protein dan klorofil. Ketiadaan korelasi antara protein dan klorofil ditemukan oleh Botha et al. (2006) pada daun kentang karena perbedaan pengaruh kandungan N terhadap kandungan protein dan klorofil antar kultivar. Seluruh percobaan dalam penelitian ini menunjukkan secara konsisten bahwa tidak terdapat keterkaitan antara kandungan antosianin dengan klorofil pucuk kolesom. Hal ini dapat mencerminkan bahwa antosianin dalam pucuk kolesom tidak berperan penting sebagai photoprotectant. Penjelasan ini didasarkan hasil laporan Stintzing & Carle (2004), Kytridis et al. (2008), dan Oren-Shamir (2009) yang menyatakan bahwa antosianin dapat berperan sebagai photoprotectant pada saat kandungan klorofil masih rendah atau terdegradasi sehingga terdapat korelasi negatif antar keduanya. Keterkaitan antara kandungan protein dan gula pucuk kolesom sangat bervariasi antar percobaan. Korelasi antara kandungan protein dan gula tidak ditemukan dalam pucuk kolesom yang dipanen secara periodik dan mendapatkan pemupukan urea + KCl baik yang dilakukan hanya pada awal tanam maupun secara bertahap melalui tanah atau kombinasi melalui tanah dan daun. Ketiadaan korelasi tersebut dapat dipahami karena secara konsisten peningkatan kandungan protein pucuk kolesom yang dipanen secara periodik sejalan dengan peningkatan dosis urea+KCl sampai pada dosis tertentu, sedangkan kandungan gula sangat
fluktuatif dan tidak memperlihatkan pola yang jelas. Adanya fluktuasi gula dalam pucuk kolesom diduga terkait dengan mekanisme sintesis gula yang dijelaskan oleh Heldt (2005) bahwa sintesis gula sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis seperti CO2, cahaya, dan temperatur. Oleh karena itu, akumulasinya pada daun tergantung kepada laju fotosintesis dan penggunaan asimilat pada organ lain. Korelasi positif antara protein dan gula dalam pucuk kolesom yang dipanen secara periodik ditemukan pada percobaan berbagai frekuensi penyemprotan pupuk urea + KCl melalui daun setelah pemberian pupuk urea + KCl melalui tanah pada saat tanam. Belum ada penelitian yang membuktikan secara pasti tentang korelasi positif antara kandungan protein dan gula. Aplikasi pupuk urea + KCl melalui daun diduga merupakan penyebab utama terjadinya korelasi positif antara kandungan protein dan gula dalam pucuk kolesom. Hal ini mengacu pada hasil penelitian Smolen & Sady (2009) pada tanaman wortel yang menunjukkan bahwa aplikasi pupuk daun menyebabkan penurunan reaksi apoplas sel daun sehingga meningkatkan aktivitas enzim acid invertase yang menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa, kemudian melalui reaksi biokimia kedua molekul ini berperan sebagai penyedia ―C skleton‖ yang digunakan untuk penggabungan N menjadi senyawa organik N. Peristiwa ini menyebabkan peningkatan akumulasi gula pada daun wortel sejalan dengan peningkatan sintesis senyawa organik N dan menurunkan translokasi gula ke organ lain. Pengaruh pemupukan urea + KCl dan interval panen terhadap kandungan antosianin dan gula pucuk kolesom dalam penelitian ini sangat tidak konsisten, sehingga mempengaruhi korelasi antara keduanya.
Korelasi positif antara
kandungan antosianin dan gula pada penelitian ini ditemukan pada percobaan berbagai dosis pupuk urea + KCl yang diberikan hanya pada awal tanam pada berbagai interval panen, di mana semakin panjang interval panen akan meningkatkan baik kandungan antosianin dan gula. Korelasi tersebut mendukung hasil penelitian Hara et al. (2003) pada hipokotil lobak yang menunjukkan bahwa gula berperan sebagai molekul sinyal dengan cara mengaktifkan gen yang mengkodekan enzim chalcone synthase (pembentukan naringenin chalcone) dan
anthocyanidin
synthase
(pembentukan
anthocyanidins)
dalam
biosintesis
antosianin. Adanya perbedaan pengaruh pupuk urea + KCl dan interval panen terhadap kandungan antosianin dan gula menjadikan korelasi antar keduanya tidak ditemukan lagi pada percobaan-percobaan berikutnya. Mengacu kepada berbagai hasil penelitian diduga bahwa ketidakstabilan korelasi antara kandungan antosianin dan gula dalam pucuk kolesom terjadi karena beragamnya mekanisme gula dalam mempengaruhi biosintesis antosianin, antara lain: 1.
Respon gula terhadap biosintesis antosianin tampaknya lebih dipengaruhi oleh perubahan fluks/aliran transportasi gula dibandingkan kandungan gula dalam sel daun.
Gangguan transportasi gula dalam floem yang
ditemukan oleh Murakami et al. (2008) menyebabkan akumulasi gula yang sejalan dengan peningkatan antosianin dalam daun mapel, sedangkan berbagai konsentrasi gula yang diaplikasikan dalam penelitian Hara et al. (2003) tidak dapat meningkatkan kandungan antosianin daun lobak. 2.
Respon gula terhadap biosintesis antosianin merupakan pengaruh interaksi gula dengan fitohormon. Pernyataan ini didasarkan pada hasil penelitian Hiratsuka et al.
(2001) pada tanaman anggur menunjukkan aktivasi
ekspresi gen dalam biosintesis antosianin oleh gula dimediasi oleh hormon ABA. Adanya korelasi yang tidak konsisten antara antosianin dan gula yang terkandung dalam pucuk dapat menunjukkan bahwa pucuk kolesom bukan organ yang tepat untuk mempelajari kedua senyawa tersebut. Penelitian Hara et al. (2003) menunjukkan bahwa kerkaitan antara kandungan antosianin dan gula dalam pucuk lobak tidak dapat dipelajari dengan baik karena pucuk bukan merupakan tempat akumulasi kedua senyawa tersebut. Konsistensi korelasi antara kandungan antosianin dan gula pada berbagai penelitian terlihat pada organ reproduktif tanaman yaitu bunga dan buah (Hiratsuka et al. 2001; Hara et al. 2003; Bodelon et al. 2010).
Potensi Pucuk Kolesom sebagai Sayuran Bergizi Berkhasiat Obat Kandungan protein pucuk tertinggi pada seluruh percobaan ini yaitu sebesar 19.51 mg/g bobot basah atau sebesar 1.95%. Kandungan protein ini masih lebih rendah daripada kandungan protein daun kolesom berdasarkan bobot basah yang dilaporkan oleh Aletor & Adeogun (1995) dan Saidu & Jideobi yaitu masing-masing secara berurutan sebesar 2.50 dan 2.52%. Perbedaan lokasi dan iklim dalam pelaksanaan penelitian dapat menyebabkan perbedaan kandungan protein tersebut. Kandungan antosianin pucuk tertinggi pada seluruh percobaan yaitu sebesar 0.22 µmol/g bobot basah tetapi kadar tersebut tidak dapat dibandingkan karena belum ada penelitian yang memberikan standar untuk kandungan antosianin dalam sayuran daun. Meskipun dengan kadar yang beragam, namun antosianin selalu tersedia dalam pucuk kolesom pada semua umur panen dan dapat memberikan fungsi antioksidan pada saat dikonsumsi. Peningkatan kandungan protein dan antosianin secara bersamaan dalam pucuk kolesom layak jual tidak dapat dicapai pada penelitian ini. Meskipun demikian, produksi protein dan antosianin pucuk kolesom selama masa tanam dapat dijadikan parameter yang menggambarkan total kandungan protein dan antosianin yang terakumulasi dalam pucuk kolesom yang dihasilkan dan dapat dijadikan pertimbangan dalam budidaya sayuran kolesom yang mengutamakan hasil dan kualitas. Upaya peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom dengan pemupukan nitrogen+kalium dan interval panen dalam penelitian ini dapat memberikan informasi awal dalam rangka penyusunan GAP sayur kolesom berkhasiat obat karena telah memenuhi sebagian dari tujuan dan ruang lingkup pedoman budidaya buah dan sayur yang baik berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No.48/Permentan/OT.140/2009. Tujuan dari penyusunan GAP yang telah terpenuhi adalah meningkatkan produksi dan produktivitas serta mutu hasil, sedangkan perlakuan pemupukan dan interval panen termasuk dalam ruang lingkup GAP.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa : 1.
Usaha peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom selama periode tanam 75 hari yang dapat dijadikan informasi awal dalam penyusunan panduan Good Agriculture Practices (GAP) sayuran kolesom adalah melalui pemanenan pucuk setiap 15 hari sekali, penggunaan 5 ton pupuk kandang ayam/ha dan 50 kg SP-18/ha sebagai pupuk dasar, serta pemupukan urea + KCl yang dilakukan dalam 3 tahapan yaitu 100 kg urea + 100 kg KCl/ha pada saat tanam, 25 kg urea + 25 kg KCl/ha pada 30 dan 60 HST.
2.
Kandungan protein mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan umur tanaman pada masa vegetatif dan akan mengalami penurunan pada masa reproduktif, sedangkan kandungan antosianin akan menurun sejalan dengan pertambahan umur tanaman dan akan mengalami peningkatan kembali pada saat kolesom mengalami stres abiotik akibat pemanenan yang intensif.
3.
Kandungan protein pucuk kolesom secara konsisten tidak berkorelasi dengan kandungan antosianin dan biomassa tanaman. Korelasi antara kandungan protein dengan klorofil dan gula bervariasi antar percobaan.
4.
Kandungan antosianin pucuk kolesom secara konsisten tidak berkorelasi dengan kandungan klorofil. Korelasi antara kandungan antosianin dengan gula dan biomassa tanaman bervariasi antar percobaan.
DAFTAR PUSTAKA Abad A, Lloveras J, Michelena A. 2004. Nitrogen fertilization and foliar urea effects on durum wheat yield and quality and on residual soil nitrate in irrigated Mediterranean conditions. Field Crops Research 87 : 257-269. Abbasi D, Rouzbehan Y, Rezaei J. 2011. Effect of harvest date and nitrogen fertilization rate on the nutritive value of amaranth forage (Amaranthus hypochondriacus). Animal Feed Science and Technology [Article in Press]. doi:10.1016/J.anifeedsci.2011.09.014. Aletor VA, Adeogun OA. 1995. Nutrient and anti-nutrient components of some tropical leafy vegetables. Food Chemistry 53: 375-379. An LV, Frankow-Lindberg BE, Lindberg JE. 2003. Effect of harvesting interval and defoliation on yield and chemical composition of leaves, stems and tubers of sweat potato (Ipomeae batatas L. (Lim.)) plant parts. Field Crops Research 82 : 49-58. Andarwulan N, Batari R, Sandrasari DA, Bolling B, Wijaya H. 2010. Flavonoid content and antioxidant activity of vegetables from Indonesia. Food Chemistry 121: 1231-1235. Andrew M, Raven JA, Sprent JL, Lea PJ. 2007. Is shoot growth correlated to leaf protein concentration. Trends in Plant Science 12 (12): 531-532. Arregui LM, Lasa B, Lafarga A, Iraneta I, Baroja E, Quemada M. 2006. Evaluation of chlorophyll meter as tools for N fertilization in winter under humid Mediterranean conditions. European Journal of Agronomy 24: 140-148. Barneix AJ. 2007. Physiology and Biochemistry of source-regulated protein accumulation in the wheat grain. Journal of Plant Physiology 164 : 581590. Bellomo MG, Fallico B. 2007. Anthocyanins, chlorophylls and xanthophylls in pistachio nuts (Pistacia vera). Journal of Food Composition and Analysis 20: 352-359. Bernstein N, Loffe M, Luria G, Bruner M, Nishri Y, Philosof-hadas S, Salim S, Bori I, Matan E. 2011. Effects of K and N nutrition on function and production of Ranunculus asiaticus. Pedosphere 21(3): 288–301. Bodelon OG, Blanch M, Sanchez-Ballesta MT, Escribano MI, Merodio C. 2010. The effect of high CO2 levels on anthocyanin composition, antioxidant activity and soluble sugar content of strawberries stored at low nonfreezing temperature. Food Chemistry 122:673-678.
Borowski E, Michalek S. 2009. The effect of foliar feeding of potassium salts and urea in spinach on gas exchange, leaf yield and quality. Acta Agrobotanica 62 (1): 155–162. Botha EJ, Zebarth BJ, Leblon B. 2006. Non-destructive estimation of potato leaf chlorophyll and protein contents from hyperspectral measurements using the PROSPECT radiative transfer model. Canadian Journal of Plant Science 86 : 279-291. Bragazza L, Freeman C. 2007. High nitrogen availability reduces polyphenol content in Sphagnum peat. Science of the Total Environment 377:439-443. Bronson KF, Chua TT, Booker JD, Keeling JW, Lascano RJ. 2003. In season nitrogen status sensing in irrigated cotton : II. Leaf nitrogen and biomass. Soil Science Society of America Journal 67:1439-1448. Campbell MK, Farrell SO. 2006. Biochemistry. 5th edition. USA : Thomson Learning, Inc. 689 p. Castañeda-Ovando A, Pacheco-Hernández ML, Páez-Hernández ME, Rodríguez JA, Galán-Vidal CA. 2009. Chemical studies of anthocyanins : a review. Food Chemistry 113:859-871. Chapagain BP, Wiesman Z. 2004. Effect of Nutri-Vant-PeaK foliar spray on plant development, yield, and fruit quality in greenhouse tomatoes. Scientia Horticulturae 102 : 177–188. Chalker-Scott L. 2002. Do anthocyanins function as osmoregulators in leaf tissues? Advance of Botanical Research 37: 103-127. Chen BM, Wang ZH, Li SX, Wang GX, Song HX, Wang NX. 2004. Effects of nitrate supply on plant growth, nitrate accumulation, metabolic nitrate concentration and nitrate reductase activity in three leafy vegetables. Plant Science 167 : 635–643. Choinski JR, Ralph P, Eamus D. 2003. Changes in photosynthesis during leaf expansion in Corymbia gummifera. Australian Journal of Botany 51: 111118. Cseke LJ, Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber SL, Duke JA, Brielmann HL. 2006. Natural Product from Plant. USA : Taylor & Francis Group. 691 p. Davis MR et al. 2007. Relationships between soil and foliar nutrients in young densely planted mini-plots of Pinus radiata and Cupressus lusitanica. Forest Ecology and Management 240: 122–130. de Lacerda CF, Cambraia J, Oliva MA, Ruiz HA, Prisco JT. 2003. Solute accumulation and distribution during shoot and leaf development in two
sorghum genotypes under salt stress. Environmental and Experimental Botany 49: 107-120. del Amor FM, Cuadra-Crespo P. 2011. Gas exchange and antioxidant response of sweet pepper to foliar urea spray as affected by ambient temperature. Scientia Horticulturae 127: 334–340. Delgado R, Gonzalez M, Martin P. 2006. Interaction effects of nitrogen and potassium fertilization on anthocyanin composition and chromatic features of Tempranillo grapes. International Journal of Vine and Wine 40(3):141150. Delin S, Linden B, Berglund K. 2005. Yield and protein response to fertilizer nitrogen in different parts of a cereal field: potential of site-spesific fertilization. European Journal of Agronomy 22: 325-336. Dong S, Cheng L, Scagel CF, Fuchigami LH. 2002. Nitrogen absorption, translocation and distribution from urea applied in autumn to leaves of young potted apple (Malus domestica) trees. Three Physiology 22: 13051310. Drum HE, Margulies MM. 1970. In vitro protein synthesis by plastids of Phaseolus vulgaris. Plant Physiology 45: 435-442. Fasuyi AO. 2006. Nutritional potentials of some tropical vegetable leaf meals : Chemical characterization and functional properties. African Journal of Biotechnology 5(1) : 49-53. Fasuyi AO. 2007. Bio-nutritional evaluations of three tropical leaf vegetables (Telfaria occidentalis, Amaranthus cruentus and Talinum triangulare) as sole dietary protein sources in rat assay. Food Chemistry 103:757-765. Fernandez-escobar, Marin L, Sanzhez-Zamora MA, Garcia-Novelo JM, MolinaSoria C, Parra MA. 2009. Long-term effects of N fertilization on cropping and growth of olive trees and on N accumulation in soil profile. European Journal of Agronomy 31: 223–232. Ferrise R, Triossi A, Stratonovitch P, Bindi M, Martre P. 2010. Sowing date and Nitrogen fertilisation effect on dry matter and nitrogen dynamics for durum wheat: An experimental and simulation study. Field Crops Research 117: 245-257. Field TS, Lee DW, Holbrook NM. 2001. Why leaves turn red in autumn. The role of anthocyanin in senescing leaves of red-osier dogwood. Plant Physiology 127: 566-574. Fontem DA, Schippers RR. 2004. Talinum triangulare (Jacq.) Willd. http//prota2: vegetables/legumes record/Talinum 20%triangulare_En.htm [1 April 2010].
Fridgen JL, Varco JJ. 2004. Dependency of cotton leaf nitrogen, chlorophyll, and reflectance on nitrogen and potassium availability. Agronomy Journal 96:63-69. Fuertes-Mendizabal T, Aizpurua A, Moro MBG, Estavillo. 2010. Improving wheat breadmaking quality by splitting the N fertilizer rate. European Journal of Agronomy 33: 52-61. Garrido-Lestache E, Lopez-Bellido RJ, Lopez-Bellido L. 2004. Effect of N rate, timing and splitting and N type on bread-making quality in hard red spring wheat under rainfed Mediterranean conditions. Field Crops Research 85: 213-236. Garrido-Lestache E, Lopez-Bellido RJ, Lopez-Bellido L. 2005. Durum wheat quality under Mediterranean conditions as affected by N rate, timing and splitting, N form and S fertilization. European Journal of Agronomy 23: 265-278. George E, Seith B. 1998. Long-term effects of high nitrogen supply to soil on the growth and nutritional status of young Norway spruce trees. Environmental Pollution 102: 301-306. Gonzalez-Salvatierra C, Andrade JL, Escalante-Erosa F, Garcia-Sosa K, PenaRodriguez LM. 2010. Antioxidant content in two CAM bromeliad species as a response to seasonal light changes in a tropical dry deciduous forest. Journal of Plant Physiology 167: 792–799. Gossauer A, Engel N. 1996. New Trends in Photobiology (Invited Review) : Chlorophyll catabolism- structures, mechanisms, conversions. Journal of Photochemistry and Photobiology B: Biology 32: 141-151. Grant CA, Brown KR, Racz GJ, Bailey LD. 2001. Influence of source, timing and placement of nitrogen on grain yield and nitrogen removal of durum wheat under reduced and conventional tillage management. Canadian Journal of Plant Science 81:17-27. Grechi I, Vivin Ph, Hilbert G, Milin S, Robert T, Gaudil‘ere J-P. 2007. Effect of light and nitrogen supply on internal C:N balance and control of root-toshoot biomass allocation in grapevine. Environmental and Experimental Botany 59 :139–149. Guiboileau A, Sormani R, Meyer C, Masclaux-Daubresse C. 2010. Senescence and death of plant organs: Nutrient recycling and developmental regulation. Comptes Rendus Biologies 333 : 382–391. Guo R, Yuan G, Wang Q. 2011. Sucrose enhances the accumulation of anthocyanins and glucosinolates in Broccoli sprouts. Food Chemistry 129 (20) : 1080-1087.
Hara M, Oki K, Hoshino K, Kuboi T. 2003. Enhancement of anthocyanin biosynthesis by sugar in radish (Raphanus sativus) hypocotyl. Plant Science 164: 259-265. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Pressindo. 288 hal.
Cetakan ke-6.
Jakarta : Akademika
Hare MD, Tatsapong P, Lunpha A, Wongpichet K. 2004. Effect of plant spacing, cutting and nitrogen on establishment and production of Digitaria milanjiana cv. Jarra in north-east Thailand. Tropical Grasslands 38:217226. Hargono D. 2005. Menambah energi tubuh dengan bahan alami. Herba 35 : 1821. Hatier JHB, Gould KS. 2008. Foliar anthocyanins as modulator of stress signals. Journal of Theoretical Biology 253: 625-627. Havlin JL, Tisdale SL, Beaton JD, Nelson WL. 2005. Soil Fertility and Fertilizer. An Introduction to Nutrien Management. 7th Edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall. 515 p. Heldt H-W. 2005. Plant Biochemistry. 3rd edition. USA : Elsevier Academic Press. 630 p. Hernani, Nugroho YA, Hayati E. 2002. Identifikasi senyawa kimia akar kolesom (Talinum triangulare). Buletin Tanaman Rempah dan Obat XIII (1). Herrera A. 1999. Effect of photoperiod and drought on the induction of crassulacean acid metabolism and the reproduction of plants of Talinum triangulare. Canadian Journal of Botany 77 : 404-409. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Badan Litbang Departemen Kehutanan, penerjemah; Jakarta : Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari : De Nuttige Planten Van Indonesie. Hiratsuka S, Onodera H, Kawai Y, Kubo T, Itoh H, Wada R. 2001. ABA and sugar effects on anthocyanin formation in grape berry cultured in vitro. Scientia Horticulturae 90:121-130. Hortensteiner S. 2006. Chlorophyll degradation during senescence. Annual Review of Plant Biology 57: 55-57. Houles V, Guerif M, Mary B. 2007. Elaboration of a nitrogen nutrition indicator for winter wheat based on leaf area index and chlorophyll content for making nitrogen recommendations. European Journal of Agronomy 27: 111. Hui LZ et al. 2008. Effect of N and K fertilizers on yield and quality of greenhouse vegetable crops. Pedosphere 18(4):496-502.
Hung KT, Cheng DG, Hsu YT, Kao CH. 2010. Abscisic acid-induced hydrogen peroxide is required for anthocyanin accumulation in leaves of rice seedlings. Journal of Plant Physiology 165 : 1280—1287. Hutapea JR. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia III. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Jabeen R, Ahmad R. 2009. Alleviation of the adverse effects of salt stress by foliar application of sodium antagonistic essential minerals on cotton (Gossypium Hirsutum). Pakistan Journal of Botany 41(5): 2199-2208. Jeppsson N. 2000. The effect of fertilizer rate on vegetative growth, yield and fruit quality, with special respect to pigments, in black chokeberry (Aronia melanocarpa) cv. ‗Viking‘. Scientia Horticulturae 83:127-137. Kabi F, Bareeba FB. 2008. Herbage biomass production and nutritive value of mulberry (Morus alba) and Calliandra calothyrsus harvested at different cutting frequencies. Animal Feed Science and Technology 140:178-190. Kangatharalingam N, Pierce ML, Bayles MB, Essenberg M. 2002. Epidermal anthocyanin production as an indicator of bacterial blight resistance in cotton. Physiological and Molecular Plant Pathology 61: 189-195. Kanzikwera CR, Tenywa JS, Osiru DSO, Adapala E, Bhagsari AS. 2001. Interactive effect of nitrogen and potassium on dry matter and nutrien partioning in true potato seed mother plants. African Crop Science Journal 9(1):127-146. Khan AS, Malik AU, Pervez MA, Saleem BA, Rajwana IA, Shaheen T, Anwar R. 2009. Foliar application of low-biuret urea and fruit canopy position in the tree influence the leaf nitrogen status and physico-chemical characteristics of kinnow mandarin(citrus reticulata blanco). Pakistan Journal of Botany 41(1): 73-85. Kovacik J, Klejdus B, Backor M, Repcak M. 2007. Phenylalanine ammonia-lyase activity and phenolic compounds accumulation in nitrogen-deficient Matricaria chamomilla leaf rosettes. Plant Science 172: 393-399. Kytridis VP, Karageorgou, Levizou E, Manetas Y. 2008. Intra-species variation in transient accumulation of leaf anthocyanin in Cistus cretius during winter : Evidence that anthocyanins may compesate for an in inherent photosynthetic and photoprotective in interiority of the red-leaf phenoype. Journal of Plant physiology 162 : 952-959. Leesawatwong M, Jamjod S, Kuo J, Dell B, Rerkasem B. 2005. Nitrogen fertilizer increases seed protein and milling quality of rice. Cereal Chemistry 82 : 588–593.
Li S, Strid A. 2005. Anthocyanin accumulation and changes in CHS and PR-5 gene expression in Arabidopsis thaliana after removal at the inflorence stem (decapitation). Plant Physiology and Biochemistry 43 : 521–525 Linder MC. 1992. Nutrional Biochemistry and Metabolism. Elsevier Science Publishing Company, Inc. 781 p. Lopez-Bellido L, Lopez-Bellido RJ, Castillo JE, Lopez-Bellido FJ. 2001. Effect of long-term tillage, crop rotation and nitrogen fertilization on breadmaking quality of hard red spring wheat. Field Crops Research 72: 197210. Man NV, Wiktorsson H. 2003. Forage yield, nutritive value, feed intake and digestibility of three grass species as affected by harvest frequency. Tropical Grassland 37:101-110. Manetas Y, Petropoulou Y, Psaras GK, Drinia A. 2003. Exposed red (anthocyanic) leaves of Quercus cocifera display shade characteristics. Functional Plant Biology 30:265-270. Manetas Y. 2006. Why some leaves are anthocyanic and why most anthocyanic leaves are red? Flora 201: 163-177. Manyawu GJ, Chakoma C, Sibanda S, Mutis C, Chakoma IC. 2003. The effect of harvesting interval on herbage yield and nutritive value of napier grass and hybrid Pennisetum. Asian-Australian Journal of Animal Science 16(7):996-1002. Marman M. 2010. Pengaruh kombinasi pupuk N-K melalui daun terhadap produksi pucuk daun kolesom (Talinum triangulare Wild) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants (2nd edition). London : Academic Press Limited. 889 p. Matsuki M. 1996. Regulation of plant phenolic synthesis: from biochemistry to ecology and evolution. Australian Journal of Botany 44: 613–634. McCormic AJ, Cramer MD, Watt DA. 2008. Regulation of photosynthesis by sugars in sugarcane leaves. Journal of Plant Physiology 165 : 1817-1829. Mensah JK, Okoli RI, Obodo JO, Eifediyi K. 2008. Phytochemical, nutritional and medical properties of some leafy vegetable consumed by Edo people of Nigeria. African Journal of Biotechnology 7 (14) : 2304-2309. Miyasaka SC, Hansen JD, Mc Donal TG, Fukumoto GK. 2007. Effects of nitrogen and potassium in kikuyu grass on feeding by yellow sugarcane aphid. Crop Protection 26: 511-517. Montgomery R, Dryer RL, Conway TW, Spector AA. 1993. Biochemistry : A Case-Oriented Approach. Iowa : C.V. Mosby Company. 1377 p.
Mori K, Yamamoto NG, Kitayama M, Hashizume K. 2007. Loss of anthocyanins in red-wine grape under high temperature. Journal of Experimental Botany 58(8) : 1935-1945. Mosaleeyanon K, Zobayed SMA, Afreen F, Kozai T. 2005. Relationships between net photosynthetic rate and secondary metabolite contents in St. John‘s wort. Plant Science 169 : 523–531. Mualim L, Aziz SA, Melati M. 2009. Kajian pemupukan NPK dan jarak tanam pada produksi antosianin daun kolesom. Jurnal Agronomi Indonesia 37 (1) : 55-61. Murakami PF, Schaberg PG, Shane JB. 2008. Stem girdling manipulates leaf sugar concentrations and anthocyanin expression in sugar maple trees during autumn. Tree Physiology 28: 1467-1473. Netto AT, Campostrini E, de Oliveira JG, Bressan-Smith RE. 2005. Photosynthetic pigments, nitrogen, chlorophyll a fluorescence and SPAD502 readings in coffee leaves. Scientia Horticulturae 104: 199-209. Ning H, Liu Z, Wang Q, Lin Z, Chen S. 2009. Effect of nitrogen fertilizer application on grain phytic acid and protein. Journal of Cereal Science 50: 49–55 Noquet C, Avice J-C, Rossato L, Beauclair P, Henry M-P, Ourry A. 2004. Effects of altered source-sink relationships on N allocation and vegetative storage protein accumulation in Brassica napus L. Plant Science 166: 1007-1018. Nugroho YA. 2000. Khasiat dan keamanan som jawa (Talinum paniculatum Gaertn) dan kolesom (Talinum triangulare Wild). http :// digilib. litbang. depkes. go. id/ go. php? node = 132 jkpkbppk-gdl-res-2001-yun-198kolesom [8 Maret 2009]. Odukoya OA, Agha SII, Segun FI, Sofidiya MO, Ilori OO. 2007. Antioxidant activity of selected Nigerian green leafy vegetables. American Journal of Food Technology 2 (3) : 169-175. Ofusori DA et al. 2008. Waterleaf (Talinum triangulare) enhances cerebral function in Swiss Albino Mice. Journal of Neurological Sciences (Turkish) 25(4) : 239-246. Ohe M, Rapolu M, Mieda T, Miyagawa Y, Yabuta Y, Yoshimura K, Shigeoka S. 2005. Decline in leaf photooxidative-stress tolerance with age in tobacco. Plant Science 168 : 1487-1493. Oren-Shamir M. 2009. Does anthocyanin degradation play a significant role in determining pigment concentration in plants? Plant Science 177 : 310-316. Patil RP, Chetti MB, Hiremath SM. 2009. Influence of agrochemical on morphophysiological characters yield and yield component of sugarcane under
moisture stress. Karnataka Journal of Agricultural of Science 22(4): 759761. Patterson RT, Karanja GM, Roothaert RL, Nyaata OZ, and Kariuki IW. 1998. A review of tree fodder production and utilization within smallholder agroforestry systems in Kenya. Agroforestry Systems 41: 181-199. Peng M, Hudson D, Schofield A, Tsao R, Yang R, Gu H, Bi YM, Rothstein SJ. 2008. Adaptation of Arabidopsis to nitrogen limitation involves induction of anthocyanin synthesis which is controlled by the NLA gene. Journal of Experimental Botany 59(11) : 2933-2944. Peng Y, Niu J, Peng Z, Zhang F, Li C. 2010. Shoot growth potential drives N uptake in maize plants and correlates with root growth in the soil. Field Crops Research 115: 85-93. Pieters AJ, Tezara W, Herrera A. 2003. Operation of the xanthophyll cycle and degradation of D1 protein in the inducible CAM plant, Talinum triangulare, under water deficit. Annals of Botany 92 : 393-399. Restrepo-Diaz H, Benlloch M, Navarro C, Ferna´ndez-Escobar R. 2008. Potassium fertilization of rainfed olive orchards. Scientia Horticulturae 116: 399–403. Richter A, Peter E, Pors Y, Lorenzen S, Grimm B, Czarnecki O. 2010. Rapid dark repression of 5-aminolevulinic acid synthesis in green barley leaves. Plant & Cell Physiology 51 (5) : 670-681. Ronen E. 2000. Foliar feeding : Another successful way of feeding plants. http://www.haifachem.com/download/files/foliar.pdf [15 pebruari 2011]. Rubio-Covarrubias OA, Brown PH, Weinbaum SA, Johnson RS, Cabrera RI. 2009. Evaluating foliar nitrogen compounds as indicators of nitrogen status in Prunus persica trees. Scientia Horticulturae 120: 27-33. Saidi MM, Ngouajio FM, Itulya, Ehler J. 2007. Leaf Harvesting initiation time and frequency affect biomass partitioning and yield of cowpea. Crop Science 47:1159-1166. Saidu AN, Jideobi NG. 2009. The Proximate and elemental Analysis of some Leafy Vegetables Grown in Minna and Environs. Journal of Applied Science and Environmental Management 13 (4):21-22. Sanchez E, Soto JM, Garcia PC, Lopez-Lefebre LR, Rivero RM, Ruiz JM, Romero L. 2000. Phenolic compounds and oxidative metabolism in green bean plants under nitrogen toxicity. Australian Journal of Plant Physiology 27 : 272-277
Sanchez NR, Ledin S, Ledin I. 2007. Biomass production and nutritive composition of ―Cratylia argentea‖ under different planting densities and harvest intervals. Journal of Sustainable Agriculture 29(4) : 5-22. Santa IGP, Prajogo SB. 1999. Studi taksonomi Talinum paniculatum (JACQ.) Gaertn. dan Talinum triangulare (JACQ.) Willd. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 5(4) : 9-10. Sarrwy SMA, Mohamed EA, Hasan HAS. 2010. Effect of foliar sprays with potassium nitrate and mono-potassium phosphate on leaf mineral contents, fruit set, yield and fruit quality of picual olive trees grown under sandy soil conditions. American-Eurasian Journal of Agricultural & Environmental Scence 8(4):420-430. Sarwar M, Nisa M, Khan MA, Mushtaque M. 2006. Chemical composition, herbage yield and nutritive value of Panicum antidole and Pennisetum orientale for Nili buffaloes at different clipping intervals. AsianAustralian Journal of Animal Science 19(2):176-180. Sawan ZM, Fahmy AH, Yousef SE. 2009. Direct and residual effects of nitrogen fertilization, foliar application of potassium and plant growth retardant on Egyptian cotton growth, seed yield, seed viability and seedling vigor. Acta Ecologica Sinica 29: 116–123. Sideris CP. 1946. Chrophyll and protein interrelationships in Ananas comosus (L.) Merr. Plant Physiology : 160-173. Sideris CP, Young HY. 1945. Effect of Potassium on chlorophyll, acidity, ascorbic acid, and carbohydrates of Ananas comosus (L.) Merr. Plant Physiology 20(4): 649-670. Simon JC, Jacquet A, Decau ML, Goulas E, Dily FL. 2004. Influence of cutting frequency on the morphology and the C and N reserve status of two cultivars of white clover (Trifolium repens L.). European Journal of Agronomy 20: 341-350. Sims DA, Gamon JA. 2002. Relationships beetween leaf pigment content and spectral reflectance across a wide range of species, leaf structures, and development stages. Remote Sensing of Environment 81:337-354. Smolen S, Sady W. 2009a. The effect of various nitrogen fertilization and foliar nutrition regimes on the concentrations of nitrates, ammonium ions, dry matter and N-total in carrot (Daucus carota L.) roots. Scientia Horticulturae 119: 219–231. Smolen S, Sady W. 2009b. The effect of various nitrogen fertilization and foliar nutrition regimes on the concentrations of sugar, carotenoid and phenolic compounds in carrot (Daucus carota L.). Scientia Horticulturae 120 : 315324.
Sritharan N, Aravazhi A, Vanangamudi M. 2005. Effect of foliar spray of nutrients and plant growth regulators (PGRs) for yield maximazation in blackgram. Madras Agricultural Journal 92 (4-6): 301-307. Srivastava LM. Plant Growth and Development : Hormones and Environment. USA : Academic Press. 722 p. Stagnari F, Bitetto VD, Pisante M. 2007. Effects of N fertilizers and rates on yield, safety and nutrients in processing spinach genotypes. Scientia Horticulturae 114: 225–233. Stancheva I, Geneva M, Zehirov G, Georgiev G. 2005. Effect of foliar fertilizer concentration on the biomass accumulation and nitrate assimilation rate of milk thistle (Silybum marianum L.). Proceeding of the Balkan Scientific conference of Biology in Plovdiv (Bulgaria) from 19 th till 21st of May 2005: 343-348. Stefanelli D, Goodwin I, Jones R. 2010. Minimal nitrogen and water use in horticulture: Effects on quality and content of selected nutrients. Food Research International 43: 1833-1843. Stino RG, Fayed TA, Ali MM, Alaa SA. 2010. Enhancing fruit quality of Florida Prince Peaches by some foliar treatments. Journal of Horticultural Science & Ornamental Plants 2(1): 38-45. Stintzing FC, Carle R. 2004. Functional properties of anthocyanins and betalains in plants, food, and in human nutrition. Trends in Food Science & Technology 15 : 19-38. Sugiarto NT. 2006. Pengaruh umur dan frekuensi panen pada produksi pucuk kolesom (Talinum triangulare Wild.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sultana N, Ikeda T, Kashem MA. 2001. Effect of foliar spray of nutrient solutions on photosynthesis, dry matter accumulation and yield in seawater-stressed rice. Environmental and Experimental Botany 46: 129– 140. Susanti H, Aziz SA, Melati M. 2008. Produksi Biomassa dan bahan bioaktif kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd ) dari berbagai asal bibit dan dosis pupuk kandang ayam. Buletin Agronomi 36 (1) : 48-55. Syukur C, Hernani. 2003. Budidaya Tanaman Obat Komersil. Jakarta : Penebar Swadaya. 136 hal. Szczerba MW, Britto DT, Kronzucker HJ. 2009. K+ transport in plants : physiology and molecular biology. Journal of Plant Physiology 166 : 447466.
Szostak D, Burda S, Podolska G. 2005. Effect of N fertilization and Growth regulator on buckwheat yield and some phenolic compounds in seeds. Proceedings of the 10th international symposum on buckwheat : 313-317. Tagliavini M, Drahorad W, Dalla VJ. 2002. Preface. Acta Horticulturae : 594. Tatar O, Ilker E, Tonk FA, Aygun H, Caylak O. 2010. Impact of different nitrogen and potassium application on yield and fiber quality of ramie (Boehmeria nivea). International Journal of Agriculture & Biology 12:369-372. Teixera EI, Moot DJ, Brown HE, M Keith, Pollock KM. 2007. How does defolition management impact on yield, canopy forming processes and light interception of lucerne (Medicago sativa L.) crops? European Journal of Agronomy 27: 154–164. Tisdale SL, Nelson WL. 1975. Soil Fertility and Fertilizer. 3th Edition. New York : Mc Millan. Tsukaya H, Ohshima T, Naito S, Chino M, Komeda Y. 1991. Sugar dependent expression of the CHS-A gene for chalcone synthase from petunia in transgenic Arabidopsis. Plant Physiology 97: 1414-1421. Umar S, Bansal SK, Imas P, Magen H. 1999. Effect of foliar fertilization of potassium on yield, quality, and nutrient uptake of groundnut. Journal of Plant Nutrition 22(11): 1785-1795. Vaknin H, Bar-Akiva A, Ovadia R, Nissim-Levi A, Forer I, Weiss D, OrenShamir M. 2005. Active anthocyanin degradation in Brunfelsia calycina (yesterday-today-tomorrow) flowers. Planta 222:19-26. Venkatesan S, Murugesan S, Pandian VKS, Ganapathy MNK. 2005. Impact of sources and doses of potassium on biochemical and greenleaf parameters of tea. Food Chemistry 90: 535-539. Wahyuni S, Hadipoentyanti E. 1999. Karakteristik Talinum paniculatum Gaertn. dan Talinum triangulare Willd. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 5(4) : 5-6. Wang S, Zhu Y, Jiang H, Cao W. 2006. Positional differences in nitrogen and sugar concentrations of upper leaves relate to plant N status in rice under different N rates. Field Crop Research 96:224-234. Wang WH, Kohler B, Cao FQ, Liu LH. 2008. Molecular and physiological aspect of urea transport in higher plants. Plant Science 175: 467-477. Waterborg JH. 2002. The Lowry method for protein in : Walker JM (ed). The protein protocols handbook. 2nd Ed. New Jersey : Humana Press Inc. p 79.
Xiaoping X, Yizhuo S, Wenqi G, Zhiguo Z. 2008. Accumulation characteristics of biomass and nitrogen and critical nitrogen concentration dilution model of cotton reproductive organ. Acta Ecologica Sinica 28 (12) : 6204-6211. Yemm EW, Willis AJ. 1954. The estimation of carbohydrates in plant extracts by antrone. Biochemistry Journal 57: 508-514. Yu-Fan F, Min C, Xiao-li Y, Qi-tang Z, Zhi-hua L, Chun-Xian Y, Ping H. 2008. Variation laws of anthocyanin content in roots and their relationships with major economic traits in purple-fleshed sweetpotato [Ipomoea batatas (L.) Lam]. Agricultural Sciences in China 7(1): 32-40. Zhao-Hui L, Li-Hua J, Xiao-Lin L, Hardrter R, Wen-Jun Z, Yu-Lan Z, DongFeng Z. 2008. Effect of N and K Fertilizers on Yield and Quality of Greenhouse Vegetable Crops. Pedosphere 18(4): 496–502.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Analisis sifat kimia tanah
Lampiran 2 Metode Lowry untuk analisis protein (Waterborg 2002)
Peralatan : -
Mortar
-
Pipet Mohr (volumetrik)
-
Pipet mikro 1 mL
-
Microtube 2 mL
-
Tabung reaksi 10 mL
-
Waterbath
-
Spektrofotometer
Bahan : -
Na-Phosphate
-
Reagen A : 7 mM K-Na Tartrate.4H2O (garam Rochelle); 0.81 M Na2CO3 dalam 500 mL NaOH 1 N; H2O sampai 1 L bisa tahan 2 sampai 3 bulan.
-
Reagen B : 70 mM K-Na Tartrate. 4H2O; 40 mM CuSO4.5H2O dalam 10 mL NaOH 1 N; H2O sampai 100 mL.
-
Reagen C : 1 mL Folin-Ciocalteu dilarutkan dengan 15 mL H2O.
-
Standar Bovin Serum Albumin (BSA).
Prosedur : A. Ekstraksi 1 mL 0.01 M buffer Na-Phosphate (pH 6) ditambahkan ke dalam 100 mg jaringan yang telah digerus halus kemudian di sentrifuge.
5-200 µL
supernatan ditera menjadi 1 mL dalam buffer ekstrak yang digunakan untuk penentuan protein. B. Penentuan 1. Supernatan ditambahkan 0.90 mL Reagent A lalu dikocok dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 500 C kemudian dinginkan. 2.
Tambahkan 0.10 mL Reagent B lalu kocok dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar.
3. Tambahkan 3 mL Reagent C dengan cepat dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 500 C kemudian dinginkan sampai suhu kamar. 4. Ukur absorbans pada 650 nm. C. Perhitungan Protein µg/g = A x (B/Wt) x fp Keterangan : A = protein dalam ekstrak (µg/mL) B = volume ekstrak (mL) Wt = Bobot contoh (g) fp = faktor pengencer
Lampiran 3
Metode analisis antosianin dan klorofil (Sims & Gamon 2002)
Cara kerja : 1. Sampel daun diambil yang telah terbentuk sempurna. 2. Sampel daun segar diberi pelubang untuk diambil sampel luasan daun berbentuk lingkaran dan diukur diameternya. 3. Sampel tersebut digerus dengan menggunakan mortal porselen dan ditambahkan 2 ml asetris, kemudian masukkan ke mikrotube 2 ml. 4. Sampel dalam mikrotube di centrifuge 14 000 rpm selama 10 menit 5. Pipet 1 ml supernatan, tambahkan 3 ml asetris, lalu masukkan ke dalam tabung reaksi 6. Pengukuran absorban menggunakan spektrofotometer UV/VIS pada panjang gelombang 663, 647, dan 537 nm.
Perhitungan : Antosianin total (µmol/cm2) = ((0.08173 x A537) – (0.00697 x A647) – (0.002228 x A663) x fp x vol)) / luas daun Klorofil a (µmol/cm2)
= ((0.01373 x A663) – (0.000897 x A537) – (0.003046 x A647) x fp x vol)) / luas daun
2
Klorofil b (µmol/cm )
= ((0.02405 x A647) – (0.004305 x A537) – (0.005507 x A663) x fp x vol)) / luas daun
Klorofil total
= klorofil a + klorofil b
A
= nilai absorban pada panjang gelombang
fp
= faktor pengencer
vol
= volume 2
Konversi µmol/cm ke µmol/g dengan cara menghitung terlebih dahulu bobot basah sampel per luasan daun.
Lampiran 4 Metode penentuan gula total (Yemm & Willis 1954) Peralatan Bahan
Mortar dan Pestle Pipet Mohr ; Volumetrik Pipet Mikro 1mL Gelas Piala 100mL Kertas saring Tabung Reaksi 10mL Labu takar 50mL Waterbath Spektrofotometer
Ethanol 80% Anthrone 1% Standar Glukosa Prosedur A. Ekstraksi 1 g daun segar digerus bersama dengan ethanol 80% 10mL lalu disaring kedalam gelas piala 100mL, bilas dengan 10 mL ethanol 80%. Uapkan ethanol diatas penangas air sampai tidak tercium bau alkohol. Tera sampai 50 mL menggunakan labu takar (larutan A) B. Penentuan 1. Siapkan 1mL larutan A ditambah air 1mL; 2 mL blanko (H2O) ; 2mL deret standar Glukosa dengan konsentrasi 25;50;100;250;500 ug/mL 2. Tambahkan 5mL Anthrone lalu kocok, inkubasi 12 menit pada suhu 100OC 3. Dinginkan sampai suhu kamar 4. Ukur Absorbans pada 620nm 5. Hitung konsentrasi contoh dengan menggunakan kurva kalibrasi standar C. Perhitungan Gula total = A x (B/Wt) x fp A = gula dalam ekstrak (ug/mL) B = volume ekstrak (mL) Wt= Bobot contoh (g) fp = faktor pengencer