PROCEEDING WORKSHOP PRESIDIUM DKN “PENATAAN KAWASAN HUTAN BAGI KEBANGKITAN KEHUTANAN NASIONAL” Hotel Grand Aston - Yogyakarta, 17 – 18 Juli 2013 Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas terselenggaranya Workshop Presidium Dewan Kehutanan Nasional – Penataan Kawasan Hutan Bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional. Kegiatan workshop selama dua hari, tanggal 17 – 18 Juli 2013 tersebut diselenggarakan di Hotel Grand Aston, Yogyakarta. Tujuan diselenggarakannya workshop Presidium DKN ini adalah untuk merumuskan peran strategis DKN dalam mendukung agenda dan kegiatan yang terkait dengan perubahan kebijakan kehutanan di Indonesia. Dukungan tersebut melalui pengembangan kerjasama dan dukungan terhadap implementasi NKB 12 kementerian dan lembaga yang dikoordinasikan dengan KPK. Selain itu, workshop juga bertujuan untuk mengidentifikasi pandangan tentang substansi dan merumuskan masukan konkrit berupa policy brief Presidium DKN tentang strategi implementasi Rencana Aksi NKB 12 kementerian dan lembaga. Merangkum Keputusan MK tentang hutan adat dan rumusan peran masyarakat adat dan komunitas lokal, serta menyusun dan menyepakati rencana kerja (work plan) sebagai tindak lanjut workshop. Workshop Presidium DKN diharapkan menghasilkan rumusan tentang peran strategis DKN dalam perumusan rencana aksi NKB 12 kementerian dan lembaga. Selain itu juga menghasilkan dokumen rancangan policy brief Presidium DKN sebagai masukan substansi yang akan menjadi masukan bagi KPK dan 12 kementerian dan lembaga dalam implementasi rencana aksi untuk mengakselerasi pengukuhan kawasan hutan di Indonesia. Menghasilkan rencana kerja (work plan) berupa kegiatan-kegiatan tindak lanjut dari workshop ini, diantaranya konsultasi atau dialog publik di tingkat nasional dan region, serta proyek percontohan implementasi NKB 12 kementerian dan lembaga di sejumlah region. Kami menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung dan mensukseskan pelaksanaan workshop Presidium DKN ini. Baik pihak sekretariat DKN, EO maupun para anggota Presidium DKN dari semua kamar sebagai peserta workshop dan para narasumber. Proceeding ini berisi catatan proses yang telah dilalui dalam workshop Presidium DKN “Penataan Kawasan Hutan Bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional”. Mencerminkan gambaran dinamika yang terjadi dalam forum maupun hasil-hasil yang dicapai. Harapannya semoga apa yang Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
1
telah dihasilkan dalam workshop ini baik berupa sikap, pandangan maupun masukan dari para peserta bermanfaat bagi pengawalan program FIP di Indonesia untuk tujuan keadilan dan kelestarian hutan.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada 11 Maret 2013, 12 Kementerian dan Lembaga menandatangani Nota Kesepahaman Bersama (NKB) tentang “Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia”. NKB 12 K/L ini lahir dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Tujuan NKB ialah untuk meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam percepatan pengukuhan kawasan hutan serta meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam mendorong percepatan pembangunan nasional dan pencegahan korupsi. Tiga agenda utamanya adalah harmonisasi kebijakan dan peraturan perundangundangan. Penyelarasan teknis dan prosedur. Serta resolusi konflik berprinsip keadilan dan HAM. Kejelasan agenda dan kegiatan yang dijalankan menyusul terbitnya NKB 12 K/L ini akan sangat tergantung pada rencana aksi bersamanya. Termasuk di dalamnya, terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai status hutan adat. Keputusan MK ini tentu akan membawa implikasi serius dan luas, baik terhadap perjuangan masyarakat (lokal dan adat) atas hutan, juga menyangkut keseluruhan kebijakan kehutanan nasional di Indonesia. Sinergitas para pihak sangat vital. Dalam hal ini, kedua belas kementerian/ lembaga yang menandatangi NKB (Kemendagri, Kemenkum HAM, Kemenkeu, Kemen ESDM, Kementan, Kemenhut, Kemen PU, Kemen LH, Kemen PP/ Bappenas, BPN, BIG, dan Komnas HAM) harus benar-benar responsif, kredibel dan bekerja nyata dalam mensukseskan maksud NKB ini. Dewan Kehutanan Nasional (DKN) sebagai salah satu wadah dimana duduk wakil konstituen dalam sektor kehutanan (Masyarakat Adat dan Lokal, Pemerintah, Bisnis, LSM/ Pemerhati, dan Akademisi/Peneliti) yang berkepentingan atas penataan kehutanan nasional, tentu saja sangat penting untuk memberikan respon khusus atas terbitnya NKB ini, termasuk Keputusan MK mengenai Hutan Adat. Respon DKN ini didudukkan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi semua pihak agar substansi NKB ini dipahami dengan utuh dan implementasi rencana aksinya di lapangan dapat dikawal secara kritis, objektif dan efektif. Sebagai langkah awal, guna mendiskusikan dan merumuskan respon tersebut, DKN memandang perlu untuk mengadakan workshop yang dihadiri oleh semua pihak yang merupakan unsur anggota DKN. Dalam Workshop ini didiskusikan, dirumuskan dan ditetapkan pandangan DKN atas rencana aksi NKB 12 K/L, termasuk di dalamnya keputusan MK terkait hutan adat. Dari workshop ini diharapkan keluar rencana aksi DKN yang konkrit Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
2
dalam mengawal implementasi rencana aksi NKB dan tindak lanjut dari keputusan MK tersebut. Beberapa isu strategis yang perlu elaborasi khusus dalam workshop ini adalah kaitan NKB 12 K/L dan Keputusan MK dengan: reforma agraria, land reform plus, forestry land tenure, hak masyarakat adat atas hutan, dan resolusi konflik agraria. Tentu rangkaian kegiatan ini tidak akan berhenti di sini, berdasarkan diskusi dengan KPK, ke depan diharapkan DKN bersama KPK akan mengawal sosialisasi rencana aksi ini di 7 (tujuh) regio. Diharapkan, perwakilan dari kamar pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia usaha, dan LSM dapat memberikan kontribusi pemikirannya. Sehingga, percepatan pengukuhan kawasan hutan dapat diarahkan guna memastikan penguasan dan pengusahaan hutan sungguh jadi bagian dari perwujudan spirit ideologis Pancasila dan Konstitusi, yakni keadilan sosial dan kemakmuran rakyat.
B. Materi dan Agenda Pembahasan Materi dan substansi acara yang akan dibahas dalam workshop ini mencakup: 1. Pemaparan konteks dan substansi serta rencana aksi yang dikandung dalam NKB 12 K/L, serta langkah-langkah tindak lanjut dalam implementasi rencana aksi NKB tersebut; 2. Pemaparan konteks dan substansi judicial review terhadap UU Kehutanan dan Putusan MK, serta tindak lanjut dan konsekuensinya terhadap kebijakan kehutanan nasional dari perspektif Kementerian Kehutanan; 3. Pemaparan pakar mengenai implikasi NKB 12 K/L dan Putusan MK serta hubungannya dengan penataan kebijakan kehutanan dan reforma agraria dan pengelolaan SDA; 4. Pembahasan peran DKN terhadap permasalahan dan kebijakan nasional kehutanan, khususnya merespon NKB 12 K/L dan Putusan MK terkait hutan adat; 5. Pembahasan respon Presidium DKN berdasarkan kamar-kamar DKN untuk mengidentifikasi pandangan dan masukan terhadap konteks, substansi dan pelaksanaan rencana aksi NKB 12 K/L, dan kaitannya dengan Putusan MK tentang hutan adat; 6. Perumusan substansi hasil workshop ini menjadi sebuah dokumen yang utuh dan terintegrasi (policy brief) berdasarkan masukan dari setiap Kamar DKN, dan rencana kerja (work plan) sebagai tindak lanjut workshop.
Agenda pembahasan dalam workshop selama dua hari adalah sebagai berikut: 1. Pengantar dan Pembukaan: Penjelasan tentang pandangan dan sikap DKN terhadap permasalahan dan kebijakan nasional kehutanan, khususnya merespon terbitnya NKB 12 K/L dan Putusan MK terkait hutan adat. Oleh Ketua Presidium DKN, Prof. Dr. Hariadi Kartodohardjo.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
3
2. Pemaparan Materi I: Uraian mengenai konteks dan substansi serta rencana aksi yang dikandung oleh NKB 12 kementerian dan lembaga, serta langkah-langkah tindak lanjut dalam implementasi rencana aksi NKB 12 K/L. Oleh Pimpinan KPK, dalam hal ini diwakili Dian Patria (Tim Monitoring dan Evaluasi NKB-KPK). 3. Pemaparan Materi II: Uraian mengenai konteks dan substansi judicial review terhadap UU Kehutanan dan Putusan MK terkait hutan adat, serta tindak lanjut dan konsekuensinya terhadap kebijakan kehutanan nasional dari perspektif Kementerian Kehutanan RI. Oleh Dirjen Planologi Kemenhut, Ir. Bambang Soepijanto, MM. 4. Pemaparan Materi III: Uraian pakar mengenai implikasi NKB 12 K/L dan Putusan MK terkait hutan adat serta hubungannya dengan penataan kebijakan kehutanan dan reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Oleh Direktur Eksekutif SAINS, Noer Fauzi Rachman, PhD. 5. Diskusi dan Klarifikasi: Peserta memberikan respon berupa pertanyaan dan pandangan terhadap apa yang sudah diuraikan oleh narasumber, lalu narasumber menyampaikan respon baliknya yang dipandu oleh fasilitator. 6. Pengantar Sidang Kamar: Penjelasan singkat mengenai substansi materi yang akan dibahas, dan proses pelaksanaan diskusi kelompok atau sidang kamar yang dipandu oleh fasilitator. 7. Pelaksanaan Sidang Kamar: Membahas respon Presidium DKN berdasarkan kamarkamar DKN untuk mengidentifikasi pandangan dan masukan terhadap konteks, substansi dan pelaksanaan rencana aksi NKB 12 K/L, dan kaitannya dengan Putusan MK terkait hutan adat yang dipimpin oleh ketua kamar dan dibantu sekretaris kamar masing-masing. 8. Perumusan Hasil Sidang Kamar: Para Ketua dan Sekretaris Kamar merumuskan hasil Sidang Kamar dan menyiapkan bahan pemaparan pleno. 9. Review dan Pengantar: Penjelasan tentang proses yang sudah berjalan pada hari pertama, dan yang akan berlangsung pada hari kedua yang dipandu fasilitator. 10. Pleno Pemaparan Hasil Sidang Kamar: Uraian mengenai rumusan hasil sidang setiap kamar DKN terhadap substansi dan implementasi NKB 12 kementerian dan lembaga, serta tindak lanjut dalam implementasi rencana aksinya. Oleh ketua kamar masingmasing dan dipandu fasilitator. 11. Perumusan Hasil: Merumuskan substansi hasil workshop ini menjadi sebuah dokumen yang utuh dan terintegrasi (policy brief) berdasarkan masukan dari setiap Kamar DKN, dan rencana tindak lanjut setelah lokakarya yang dipandu oleh fasilitator. 12. Perumusan Rencana Kerja: Menyusun rencana kerja (work plan) sebagai tindak lanjut dari workshop ini yang dipandu pleh fasilitator. 13. Penetapan Hasil dan Penutupan: Menetapkan hasil-hasil workshop, rencana tindak lanjut, dan penutupan workshop. Oleh Ketua Presidium DKN, Prof. Dr. Hariadi Kartodohardjo. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
4
II. DINAMIKA FORUM A. Hari Pertama 1. Pembukaan Oleh Ketua Presidium DKN, Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo. Ketua menyampaikan terimakasih kepada anggota presidium DKN serta Dirjen Planologi Kemenhut, Tim KPK dan UKP4 yang akan menjadi narasumber.
Kinerja nasional terkait kehutanan dan pengelolaan lahan: a). Masalah kelola hutan konservasi & lindung, penurunan kinerja usaha besar, terutama hutan alam, dan stagnasi peran usaha kecil; b). Gap antara de jure dan de facto dari kawasan hutan negara. Dari konteks de jure kawasan hutan Indonesia cukup luas. Meskipun persentase penetapan masih kecil tapi secara de facto sebenarnya tidak terlalu menggembirakan karena banyak potensi konflik yang terkait dengan kawasan hutan; c). Rendahnya tata kelola hutan dan lahan, terkait dengan pelaksanaan kebijakan transparansi, akuntabilitas, korupsi dst. Ini sudah dikaji dan sudah diserahkan ke Presidium DKN. Masalah ini perlu mendapatkan perhatian khusus yang sekarang oleh tim UNDP dan UKP4 sedang berkeliling ke 10 propinsi untuk melihat bagaimana peningkatan tata kelola hutan dan lahan.
Memahami kondisi dan perubahan kebijakan kehutanan dan pertanahan: Pegangan kedepan harus memperhatikan RKTN •
(Permenhut 49/2011)—
•
MP3EI (Perpres 32/2011)—
•
RAN GRK (Prespres 61/2011)—
•
Stranas REDD+ (02/Satgas Redd+/09/2012)—
•
(P 6/2007 jo P 3/2008) kaitannya dengan upaya kemenhut untuk mengoperasionalkan KPH.
Arah kedepan dari kebijakan-kebijakan ini sudah jelas yaitu untuk memastikan di satu sisi pelestarian hutan, di sisi lain adalah distribusi pendapatan kepada masyarakat. Tetapi tidak seluruhnya sinkron satu sama lain. Ada hal-hal yang terkait dengan pertentangan-pertentangan prioritas. Misalnya antara RKTN dan MP3EI. Kebijakan terkait dengan penetapan kawasan hutan negara Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
5
•
Putusan MK (45/2011)
•
NKB 12/KL, dikoordinasikan oleh KPK. Fokus pada kawasan hutan dan percepatan pengukuhannya serta seluruh aspek yang terkait dengan persoalan kawasan hutan.
•
Putusan MK (35/2012) yang menyatakan bahwa hutan adat berada di luar kawasan hutan negara.
DKN sudah bicara dengan KPK tentang bagaimana DKN bisa mendukung proses ini terutama dalam implementasinya. Agenda NKB 12/KL direncanakan hingga tahun 2015. Ini merupakan program jangka panjang dan tidak ingin terpengaruh dengan politik praktis.
Berkaitan dengan MDG’s dan penanggulangan Kemiskinan (right base approah) •
UU P3H (Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan)
•
Revisi UU 32/2004 dan PP 38/2007. Pada akhir Juni di Surabaya, Dirjen BUK melakukan diskusi mengenai revisi berbagai peraturan perijinan untuk meningkatkan pelayanan publik. Dalam acara tersebut Kemendagri mempresentasikan arah perubahan PP 38. Kemendagri berpandangan bahwa kehutanan dalam konteks sebagai lanskap dan ekosistem sehingga peran propinsi sangat tinggi dibandingkan kebupaten.
•
FIP dan DGM, yang juga menjadi tema di DKN.
Tampaknya ini akan menjadi tema besar di dunia setelah tahun 2015.
Penjelasan tentang FIP dan DGM Forest Investment Program (FIP) adalah satu dari tiga program di bawah Dana Iklim Strategis (SCF), sebuah dana perwalian multi-donor yang dibentuk pada tahun 2009 untuk memberikan pembiayaan jalur cepat. Jadi akan ada proses tertentu yang terkait dengan pembiayaan ini yang tujuannya adalah pengurangan deforestasi dan degradasi. Kemenhut sudah membentuk SC ketuanya adalah Sekjen Kementerian Kehutanan. DKN diminta sebagai anggota SC, termasuk eselon 1 Kementerian keuangan dst. Di pertemuan ini akan dibicarakan secara khusus bagaimana FIP dan DGM itu. Dedicated Grand Mechanism (DGM) adalah mekanisme hibah khusus bagi masyarakat adat dan lokal, sebuah inisiatif global dalam rangka memberikan hibah kepada masyarakat adat dan lokal untuk meningkatkan kapasitas dan mendukung inisiatif tertentu, sehingga dapat lebih banyak berpartisipasi dalam FIP dan prosesproses REDD+ lainnya di tingkat lokal, nasional, dan global. Komitmen dana 70 juta Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
6
US $ akan digunakan untuk maksud tsb. Basis pengembangan FIP adalah melalui pembangunan KPH;
Diperlukan pembaruan dan pelaksanaan kebijakan (peraturan-perundangan dan kelembagaan) —NKB 12 K/L adalah salah satu proses yang sedang dilakukan. Kamar bisnis menyatakan bahwa policy reform lebih penting daripada softloan, untuk kondisi Indonesia sekarang.
Catatan DKN berkaitan dengan FIP dan DGM
DKN bukan pelaksana dari FIP dan DGM. DKN hanya sebagai anggota SC. Persoalan DKN dengan FIP sebetulnya bukan DKN menolak atau menerima FIP, karena menolak atau menerima, FIP tetap jalan, tapi yang sangat penting adalah catatan DKN yang akan disampaikan di dalam SCFIP, untuk memastikan perbaikan FIP jika ada temuan kelemahan di masing-masing kamar.
Ketua Presidium DKN belum bisa memberikan hal yang lebih detil lagi karena SCFIP belum pernah mengadakan pertemuan sehingga DKN belum bisa mendapatkan informasi terkait pelaksanaan FIP.
Pemetaan Agenda NKB 12 K/L Pertama, terkait dengan seluruh aspek pemanfaatan kawasan hutan beserta pengukuhannya serta penyelesaian pihak ketiga. Pihak ketiga itu bisa kampung, desa, masyarakat adat. Ada juga pedoman tersendiri untuk memastikan bagaimana penempatannya. Lalu ada juga revisi P 44 dan P 47 yang terkait dengan panitia tata batas dan pengukuhan kawasan hutan. Disamping itu juga tersedia sistem pengaduan dan tindak lanjut dari proses-proses pengukuhan dan masalah tenurial. Diharapkan kedepan ada semacam informasi yang terbuka bagi masyarakat jika ada masalah terkait sehingga ada komunikasi secara langsung mengenai pengaduan dan prosesnya. Hal ini tidak mudah karena banyak juga lembaga yang melakukan itu, termasuk Komnas Ham dan DKN. Hampir setiap tahun dua lembaga ini menerima beberapa puluh konflik. Yang penting adalah bagaimana tindak lanjut dari pangaduan tersebut. Di samping ini ada juga segenap hal lain yang diperlukan, seperti peta dasar yang harus seragam dst. Kedua, berkaitan dengan operasional KPH dengan kelengkapan regulasinya, pelaksanaan program pendampingan masyarakat di KPH itu, lalu mempercepat Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
7
pelaksanaan pencadangan untuk HTR, HKM, HD dst yang diharapkan KPH punya peranan penting dalam konteks ini. Yang selama ini relatif sulit masyarakat dapat menyampaikan proposal perijinan dst, diharapkan KPH punya peran seperti itu. Ketiga terkait dengan review dan proses perbaikan kebijakan perijinan. Yang diharapkan tidak hanya ijin pinjam pakai terkait kawasan hutan tapi seluruh perijinan karena pada saat bulan lalu DKN memfasilitasi di Surabaya banyak sekali terkait dengan perijinan yang lain yang berada di kawasan hutan yang sedang berjalan. Bukan hanya persoalan penggunaan dan pelepasan kawasan hutan tapi eksisting ijin itu juga mempunyai peran penting. Keempat, ada khusus penyelesaian konflik sendiri, regulasi penyelesaian sengketa di dalam kawasan hutan, kemudian juga terbangun konsensus penyelesaian konflik ini oleh Kementerian dan Lembaga. Ini sangat penting karena konflik, terutama keterlanjuran itu banyak sekali interpretasi yang berbeda. Apalagi kemudian menggunakan UU Kehutanan, yang satu menggunakan cara bekerjanya BPN, dst. Ini juga perlu bukan hanya jangka pendek tapi juga jangka panjang karena persoalanpersoalan yang terkait dengan konteks sengketa ini. Ini juga sangat terkait dengan UU Pertanahan yang akan segera muncul; bagaimana sebenarnya peradilan pertahan dsb bisa menyelesaikan konflik. Kelima, berkaitan dengan penguatan peraturan-peraturan rencana yang intinya adalah penjabaran RKTN menjadi hal-hal yang sifatnya operasional; bagaimana itu bisa dilaksanakan di setiap pulau, bagaimana tata batas bisa bekerja dengan penguatan kapasitas. Idenya adalah satu tahun sebelum panitia tata batas bekerja, ada survey sosial untuk mengetahui desa dsb. Ketua Presidium DKN sedang menyarankan, memberikan input kepada tim KPK untuk melakukan klustering dari 93 rencana aksi.
Garis Besar Agenda NKB—12K/L: Harapan Peran DKN a) Penyempurnaan kebijakan dan peraturan serta percepatan pengukuhan kawasan hutan, termasuk kepastian status pihak ke-3 dalam kawasan hutan negara; b) Beroperasinya 120 KPH serta berjalannya kemitraan dan pemberdayaan masyarakat, RHL, di dalam areal kerja KPH itu; c) Proses perizinan secara integratif dan transparan dengan jaminan masa depan perizinan sesuai peraturan-perundangan dan bebas konflik; d) Terdapat regulasi penyelesaian sengketa kehutanan dan terwujud konsensus penyelesaian konflik oleh 12 K/L; e) Terdapat perencanaan nasional yang lebih rinci dalam penyelesaian pengukuhan kawasan hutan. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
8
Dalam konteks percepatan pengukuhan kawasan hutan, UKP4 mengadakan pertemuan antara pak Untoro dengan gubernur Kalimantan Tengah di Barito Selatan. Diharapkan KPK juga menggagas tindakan serupa bersama kementerian dan lembaga mungkin ada fokus menyelesaikan tata ruang dan tata batas di propinsi tertentu. Dalam konteks operasional di lapangan, terhadap 5 kluster rencana aksi ini, DKN diharapkan bisa melihat pelaksanaan ini. Seperti yang diketahui bersama, pada saat membicarakan ekonomi, peran masyarakat adat, termasuk juga konservasi, mustahil bisa tercapai ketika kawasan hutan tidak menjadi prioritas. Setiap pergantian menteri selalu mengambil program populis, tetapi kawasan hutan selalu menjadi bagian yang tidak prioritas. Ini terlihat dari anggaran kementerian kehutanan dimana 46% ditujukan untuk membuat persemaian. Sebaiknya anggaran itu untuk Dirjen Planologi.
Program yang didukung oleh KPK ini adalah program fundamental yang harusnya selesai dalam 10 tahun mendatang, setelah itu baru hal-hal lain dibicarakan untuk memastikan pembangunan kedepan. 2. Pengantar oleh Usep Setiawan (Fasilitator) Usep Setiawan menjelaskan tentang tujuan dan keluaran yang hendak dicapai dalam workshop serta alur dan acara hari pertama.
3. Pemaparan materi NKB Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia Sebagai Upaya Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan oleh Tim Monev NKB-KPK, Dian Patria Tanggal 3 Desember 2010 KPK melakukan paparan hasil kajian Sistem Perencanaan Kawasan Hutan di Dirjen Planologi. KPK masuk ke perencanaan di planologi karena KPK menganggap upaya perbaikan harus mulai dari perencanaan. Proses belangsung hingga 11 Maret 2013 dengan ditandantanginya NKB Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan.
Ada sejumlah syarat rekomendasi KPK di Dirjen Planologi. Salah satunya adalah perlu adanya satu peta yang menjadi acuan bersama. Dalam kajiannya, KPK menemukan banyak versi kawasan hutan dengan skala yang tidak operasional sehingga KPK menyarankan adanya one map sebagai acuan semua pihak. Syarat yang lainnya adalah adanya jaminan pelepasan kawasan hutan. Kajian KPK juga menemukan banyak tanah-tanah terlantar yang dilepaskan tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
9
Persoalan kehutanan tidak mudah dan tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Dirjen Planologi. Perlu berbagai peran dari Kementerian dan lembaga yang lain. Oleh karena itu KPK melakukan pengkajian dan pendalaman dengan mengundang para pakar. Berberapa kali KPK berdiskusi dengan CSO, LSM akademisi dan K/L. Dari pengkajian, pendalaman dan diskuti tersebut lahirlah 3 naskah tematik yaitu Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan, Penyelarasan Teknis dan Prosedur, serta Resolusi Konflik. Kalau bicara dalam konteks KPK, korupsi bisa terjadi karena keijakan yang bermasalah. Oleh karena itu perlu ada perbaikan dan harmonisasi kebijakan. Dalam operasionalisasi pun terjadi penyimpangan-penyimpangan, ada kolusi, suap dalam pemberian ijin dsb. Salah satu sumber konflik adalah karena adanya penyelewengan pada saat operasional.
Rencana Aksi NKB 12 K/L
Dalam rencana aksi NKB terdapat tiga tema yang saling terkait dan outputnya pun beririsan; ada rencana aksi yang menjadi prasyarat untuk rencana aksi yang lain di kementerian yang sama atau kementerian yang lain. Total ada 93 Renaksi dan sudah disimplifikasi oleh pak Hariadi menjadi satu tabel.
Latar Belakang Di Sektor kehutanan banyak sekali masalah yang sudah lama berlangsung akibat tata kelola dan korupsi di sektor sumberdaya alam. Masalah-masalah di sektor kehutanan diantaranya tingginya deforestasi, tingginya kerugian negara di sektor kehutanan, dan adanya ketidakpastian hukum atas kawasan hutan yang menyebabkan tumpang tindih izin.
KPK concern dengan masalah di sektor kehutnan karena KPK ingin berkontribusi untuk menyelamatkan sumberdaya alam atau menghilangkan korupsi atau faktor-faktor penyebab korupsi di dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
10
Salah satu penyebab yang ditemukan KPK mengapa tambang tidak clean dan celar adalah belum selesainya masalah batas administrasi. Baru sekitar 17% segmen yang telah mempunyai batas administrasi yang jelas. Jika tidak ada kejelasan batas administrasi, ketika lokasi tambang yang berbatasan dengan kabupaten atau propinsi yang lain, biasanya terjadi konflik. Dari sisi PNPB SDA penerimaan dari hutan dan tambang tidak terlalu banyak. Jauh di bawah APBN. Angka tidak seimbang dengan konflik-konflik di area hutan yang sangat besar dan tingginya kerusakan lingkungan. Ada biaya sosial korupsi. UU KPK mengatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. KPK dibentuk dalam perspektif Penjagaan Hak-hak Sosial dan Ekonomi untuk Kesejahteraan Rakyat. Jadi, KPK tidak hanya menangkap koruptor tapi juga memberikan perubahan nyata di masyarakat. KPK masuk ke chapter sumberdaya alam karena di dalam strategy map KPK ada 3 hal, yaitu ketahanan pangan, pendapatan dan ketahanan energi serta sektor kesehatan. KPK sampai tahun 2003-2015 fokus pada 3 sektor tersebut. Tahun lalu KPK mengkaji tata niaga daging sapi. KPK menemukan dugaan-dugaan penyimpangan. KPK bekerjasama antara pencegahan dan penindakan. Selain perbaikan sistem, KPK juga melakukan tindakan ketika ada kasus. Hal serupa juga dilakukan di chapter pendapatan berkaitan dengan perpajakan dll. KPK juga melibatkan CSO. Hal ini sangat tepat karena dengan pertimbangan sumberdaya KPK yang terbatas. Misalnya dalam, konteks NKB, peran CSO adalah memantau impelementasi NKB di lapangan atau memberikan masukan secara substansial sehingga KPK bisa bekerja lebih efektif dan efisien.
Tugas KPK Dalam NKB
Tugas KPK merupakan kombinasi antara pencegahan dan penindakan. Sebenarnya peran KPK dalam NKB lebih banyak memberikan koordinasi dan supervisi. Jadi tidak hanya dalam bidang penindakan, KPK melakukan koordinasi, tapi juga dalam pencegahan, dalam rangka perbaikan sistem. Termasuk dalam NKB ini. Seringkali KPK memberikan saran, menjadi mediator dan fasilitator serta menjaga koordinasi antar Kementerian.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
11
Tugas Monitor KPK sesuai pasal 14 diantaranya Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara & pemerintah. Tahun 2010 KPK melakukan kajian di Dirjen Planologi, BPN, Imigrasi, Bea Cukai, dll. Memberi saran perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi kepada semua pimpinan lembaga negara & pemerintah. Dan melaporkan jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan kepada Presiden, DPR, & BPK. Salah satu instansi yang dinilai kooperatif yaitu Kementerian Kehutanan.
Masalah di NKB sudah lama tapi tidak ada penyelesaian. Sudah ada TAP MPR 9/2001 tapi dinilai tidak ada implementasi. Untuk menyelesaikan masalah ini KPK menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi untuk mempercepat implementasi Renaksi NKB. Intinya KPK berusaha mendorong bagaimana akar masalah bisa hilang sehingga koruptor makin sulit bersembunyi di balik masalah yang tidak kunjung selesai. Pemetaan Permasalahan dan Komitmen Bersama Tema 1: Harmonisasi kebijakan dan Peraturan Perundagan. Renaksi Tema 1 diantaranya a) Harmonisasi kebijakan dalam rangka penyelarasan wilayah usaha sektoral, dengan kebijakan tata ruang dll. b) Mendorong proses perizinan terintegrasi. BPK sering menemukan tidak adanya ijin pinjam pakai bagi perusahaan tambang di Kawasan hutan. Misalnya di Aceh tidak satu pun perusahaan tambang mempunyai ijin pinjam pakai. Pihak Kehutanan hanya tahu yang lapor dan berharap dinas kehutanan di daerah melakukan pengawasan. Tapi di daerah, pengendalian sangat lemah. Sama juga dengan pertambangan.
Alasan pengusaha tidak memiliki ijin pinjam pakai adalah sudah mendapatkan IUP dari Bupati dan pengurusan ijin pinjam pakai butuh waktu lama. Akhirnya pengusaha jalan terus. Ditambah lagi dengan ketidakjelasan peta kawasan hutan. c) Mendorong instrumen pengendalian dalam pengelolaan SDA. Dengan otonomi daerah tidak mudah mengendalikan ijin. Ijin-ijin usaha perkebunan oleh Bupati, sangat sedikit yang dilaporkan ke pusat. Tahun lalu tidak ada satupun Pemda yang melaporkan IUP. Sangsi sulit diterapkapkan kepada Pemda. Pemda selalu beralasan lokasi tambang yang jauh dan sumberdaya Pemda yang terbatas.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
12
Bisa dikatakan tidak ada pengawasan atas industri tambang. Data yang dipakai adalah data surveyor. Data tersebut dipakai oleh pemerintah dan negara, sementara surveyor dibayar oleh perusahaan tambang.
Tema 2: Penyelarasan Teknik dan Prosedur Pengukuhan Kawasan Hutan Renaksi Tema 2, diantaranya: a) Mendorong one map yang jadi acuan semua stakeholders sehingga bisa single reference, single standard. b) Pengembangan integrasi informasi geospasial dengan memperkuat peran BIG, memperkuat jaringan data spasial nasional. Sesuai data kajian, masih 16% yang clear dan clean serta 16% batasan administrasi yang selesai sehingga perlu dipercepat. c) Percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia, Pembentukan KPH. Data terakhir ada 60.000 km yang belum memiliki tata batas. Tapi dengan usulan perubahan tata ruang, menjadi 170.000 km lari.
Tema 3: Resolusi Konflik Renaksi tema 3 diantaranya: a) Membangun basis data dan informasi konflik agraria. Di sini juga ada peran Komnas HAM; b) Membangun konsesus perlunya lembaga penyelesaian konflik agrarian; c) Memperluas wilayah kelola masyarakat.
Terkait Harmonisasi Kebijakan, tidak ada yang pas antara UU sektoral, UU 4/2009, UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Tata Ruang, karena masih jalan masing-masing.
Di tema 1 ada peran-peran dari Kemenhut, ESDM, Lingkungan Hidup, Pertanian, dan PU untuk harmonisasi regulasi baik di internal K/L maupun diantara K/L itu sendiri. Banyak hal yang perlu dilakukan di renaksi tema 1. Tema 2, penyelarasan teknik dan prosedur pengukuhan kawasan hutan. Seperti diketahui ada putusan MK 45 bahwa penunjukkan saja tidak cukup untuk pengukuhan kawasan hutan. Ada masalah-masalah di dalamnya. Ada yang sudah terlanjur ditunjuk tapi belum sempat diinventarisasi, baik itu kayu maupun masyarakat di dalamnya. Tata batas juga masih banyak sekali PR-nya. Terakhir ada putusan MK 35 tentang hutan adat. Putusan itu setelah NKB ditandatangani. Akibatnya adalah lemahnya legitimasi kawasan hutan dan konflik yang tidak kunjung habis. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
13
Tema 2 terdorong oleh visi PP 44, PP 50 dan PP 47 untuk penguatan Panitia Tata Batas. Ada di kajian KPK tahun 2010, dimana Bupati sebagai ketua Panitia Tata Batas tidak mengindahkan saran dari tim sehingga tidak ada solusi. KPK juga mendorong Pemda, melalui Mendagri untuk mensosialisasikan setiap rencana tata batas dan membuka ruang partisipasi masyarakat dalam penataan tata batas di wilayahnya. Agar masyarakat tahu wilayah mana yang akan ditatabatas sehingga konflik bisa diminimalisir dan diaplikan di APBD. Tema 3 menunjukkan bahwa peran masyarakat sangat dikedepankan di dalam NKB.
Ijin untuk masyarakat sangat kecil dibandingkan ijin untuk usaha. Porsinya tidak sampai 0,5%. Perlu mendorong kepastian hukum yang berkadilan untuk rakyat. Tindak Lajut NKB a) Menyusun Tim dan Kelembagaan Monev Pelaksanaan Renaksi Bersama NKB; b) Membentuk Satgas Pelaksanaan NKB (gabungan dari perwakilan 12 K/L); c) Penajaman dan finalisasi renaksi NKB dengan 10 K/L dengan melibatkan Pakar dan CSO; d) Pleno dengan 12 K/L (akhir Juli 2013); e) Pemantauan implementasi renaksi dengan melibatkan Pakar dan CSO. KPK menggunakan aplikasi F8K dan IMH (Indonesia Memantau Hutan). IMH akan dilaunching pada 17 Agustus 2013. Diharapkan CSO bisa berperan memberikan masukan atas data-data spasial, tidak hanya kehutanan tapi juga pertambangan dan perkebunan.
4. Pemaparan materi mengawal reformasi tatakelola hutan dan lahan gambut di Indonesia oleh Tim UKP4, Josi Khatarina
Sekilas UKP-PPP (UKP4) Dasar pendirian UKP4 adalah Perpres 54/2009 jo Perpres 10/2012.Tugasnya antara lain membantu Presiden dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan sehingga mencapai sasaran pembangunan nasional dengan penyelesaian penuh. Prioritas tugasnya antara lain meningkatan efektivitas dan percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi dan perbaikan layanan umum, meningkatan efektivitas penegakan hukum serta perwujudan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
14
Fungsi UKP4 antara lain pencegahan dan pemberantasan mafia hukum, penyempurnaan peraturan dan informasi pertanahan, sumber daya alam dan tata ruang, penguatan kontribusi Indonesia dalam isu perubahan iklim global, lingkungan, dan upaya persiapannya.
Tugas awal UKP4, antara lain monitoring dan evaluasi prioritas nasional. Debottlenecking; memastikan apabila ada persoalan-persoalan dalam prioritas nasional maka ada upaya-upaya untuk melakukan terobosan-terobosan. Penguatan Lembaga Penegakan Hukum. Contoh tugas-tugas terkait tugas utama adalah REDD+, TEPA (Penyerapan Anggaran), Satgas PMH (Pemberantasan Mafia Hukum), sampai tahun 2011, Open Government Indonesia.
Memonitor dan Mengawal Prioritas Nasional Dari 11 prioritas nasional Kabinet Indonesia Bersatu 2010-2014 dua diantaranya yang terkait langsung dengan NKB 12/KL adalah Reformasi Birokrasi dan Pemerintahan serta Lingkungan Hidup dan Tatakelola Daerah Pasca Bencana. Tiga prioritas bidangnya adalah politik, hukum dan Keamanan, Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat.
Mengawal REDD+ dan Tata Kelola Hutan & Lahan Gambut Karena sampai akhir Juni lalu Ketua Satgas REDD+ adalah Pak Untoro, maka program-program reformasi tata kelola dan lahan gambut di Indonesia yang dikawal UKP4 banyak dilakukan dan terkait dengan prioritas di bidang penurunan emisi atau perubahan iklim secara umum.
Gambaran Umum Persoalan Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut Perencanaan a) Belum selesainya penataan ruang; b) Belum selesainya pengukuhan kawasan hutan; c) Terdapat beberapa perbedaan dalam pengaturan kriteria kawasan lindung dan budidaya di dalam kawasan hutan dan APL; d) Proses perencanaan yang belum transparan, partisipatif dan akuntabel. Pemanfaatan a) Perizinan yang belum transparan, efisien dan efektif serta harmonis antar sektor dan pusat dan daerah; Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
15
b) Tidak tersedianya sarpras yang memadai termasuk ketiadaan database perizinan yang terkoneksi antar pusat-daerah, dan antar sektor, sehingga data-data perijinan tidak terbaharui dengan baik di tingkat pusat. Bahkan di tingkat propinsi pun data-data perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tingkat II tidak diketahui. Di beberapa kasus ditemukan pemerintahan yang ada saat ini tidak memiliki data perijinan yang diberikan oleh pemerintahan tahap sebelumnya.
Database perijinan menjadi salah satu yang krusial yang harus ditangani. c) Akses masyarakat yang relatif tertutup di dalam pengelolaan SDA. Pengawasan dan penegakan hukum a) Rumusan delik yang tidak efektif dalam memberikan efek jera; b) Lemahnya koordinasi antar APH dan kapasitas serta sarpras yang belum memadai. SDM juga belum memadai dan jauh dari mencukupi untuk memastikan adanya penegakan hukum yang efektif; c) Judicial corruption. Ini adalah salah satu alasan presiden mendirikan Satgas PHM pada tahun 2009. Berbagai Rencana Aksi a) Inpres 1/2013 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Salah satu poin dalam rencana aksi adalah aspek transparansi perijinan. Ada outline untuk memastikan sektor pertambangan memiliki perijinan berbasis teknologi informasi; b) Inpres 2/2013 tentang Keamanan dan Ketertiban Dalam Negeri (dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik); salah satu item yang ada di rencana aksi adalah percepatan pengukuhan kawasan hutan; c) Inpres 6/2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini ditindaklanjuti dengan sebuah rencana aksi yang didalamnya terdapat berbagai rencana aksi yang harus dilakukan oleh kementerian dan lembaga yang dilaporkan dan dipantau juga oleh UKP4; d) NKB 12 K/L tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan. Bisa dikatakan ada beberapa rencana aksi yang keliatannya overlapping untuk mencapai tujuan yang berbeda-beda. Tapi perlu dipahami bahwa pengawasan di UKP4 hanya satu. Mungkin ada beberapa rencana aksi yang terkait beberapa Inpres, rencana aksinya sama tapi pelaporannya cukup satu dan pemantauannya terintegrasi;
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
16
e) MOU dan Peraturan Bersama (6 K/L: Kemenhut, KemenLH, Kemenkeu, Kejaksaan Agung, POLRI, PPATK) Penanganan Perkara Tindak Pidana Terkait SDA-LH Di Atas Hutan dan Lahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor+; f) MOU antara Satgas REDD+ dengan Pemda Prov Kalteng, Kaltim dan Jambi. Di Kalteng ada dua kegiatan utama terkait MoU, yaitu penataan perijinan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan. Sementara di Kaltim kegiatannya terfokus pada penataan perijinan. Untuk di Jambi, selain penataan perijinan ada juga pemanfaatan data-data one map. Pada dasarnya MoU-MoU ini itu adalah melaksanakan sebuah kegiatan di tingkat teknis sehingga hasil dari kegiatan ini bisa menjadi input bagi pembenahan tata kelola di tingkat nasional. Nanti akan dilihat bagaimana implementasi MoU menyumbang pada beberapa perubahan peraturan di tingkat nasional. Kegiatan-kegiatan yang diupayakan untuk menjawab masalah-masalah dalam tata kelola hutan dan lahan gambut: a) Reformasi Peraturan Perundang-undangan: Mempersiapkan dan memberi kerangka hukum bagi reformasi tata kelola hutan dan lahan gambut serta memberi dasar bagi REDD+. Kegiatan ini sedikit berbeda dengan NKB yang tujuannya lebih kepada pencegahan korupsi. Kegiatan ini diarahkan bagi pengurangan emisi melalui penyempurkan tata kelola hutan dan lahan gambut; b) Gerakan One Map; c) Percepatan pengukuhan kawasan hutan; d) Penataan perjinan; e) Penguatan penegakan hukum.
“Policy Paper” Pengkajian & Perancangan Peraturan Perundang-undangan Mempersiapkan dan Memberi Kerangka Hukum bagi REDD+
UKP4 bekerjasama dengan kementerian Hukum dan Ham membangun sebuah policy paper yang isinya adalah prinsip-prinsip, mengkaji dan merancang peraturan perundang-undangan untuk mempersiapkan dan memberi kerangka hukum bagi REDD+. Isi Policy Paper secara umum: a) Menganalisa kondisi kerangka hukum yang mengatur tata kelola hutan dan lahan gambut yang ada saat ini. Bagaimana mengkaji secara sistematis berbagai peraturan perundangundangan yang ada terkait hutan dan lahan gambut, Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
17
Mengidentifikasi persoalan-persoalan di dalam peraturan perundangundangan tersebut. Dan pada akhirnya memberikan masukan-masukan tentang peraturanperaturan mana yang mungkin perlu direvisi, peraturan mana yang perlu dicabut, atau peraturan mana yang perlu dibuat. Misalnya secara khusus perlu dibuat peraturan tentang masyarakat adat. b) Membangun Konsep hukum yang tepat dalam konteks Indonesia untuk melakukan pembenahan pengurusan SDH dan lahan gambut Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan REDD+ (lembaga REDD+, badang REDD+, instrumen pendanaan, mekanisme MAV) Selain secara substantif memberikan arahan tentang bagaimana menyempurnakan tata kelola hutan dan lahan gambut, di dalam policy paper ini juga ada mekanisme kelembagaannya. Berdasarkan diskusi dengan berbagai K/L dan juga masyarakat sipil yang dilakukan dalam membangun peraturan perundang-undangan ini maka disepakati bahwa diperlukan sebuah mekanisme dan kelembagaan untuk mengawal policy paper ini. Salah satu opsi yang ada yaitu Kementerian Hukum dan Ham lewat GBHN dari Dirjen Perundang-undangan. Itu diharapkan nantinya akan mengawal seluruh proses reformasi peraturan perundang-undangan ini. c) Memberi dasar yang kuat bagi pelaksanaan mekanisme REDD+.
Pengukuhan Kawasan Hutan; Studi Kasus Barito Selatan Kalau misalnya di NKB itu dibicarakan rencana aksi di tingkat nasional, sebetulnya rencana aksi itu juga dibangun berdasarkan kerja dari studi kasus yang kita lakukan di Barito Selatan. Di Barito Selatan ada sebuah tim percepatan pengukuhan kawasan hutan yang terdiri dari Kementerian Kehutanan, Direktur Pengukuhan, Dirjen Planologi, Kemendagri (berkaitan dengan penyelesaian batas wilayah), UKP4, BPN (berkaitan dengan hak pihak ketiga), Pemda (sebagai penanggungjawab pengukuhan kawasan hutan), dan Akademisi. Setelah penandatanganan MoU, lalu ada Tim Percepatan Pengukuhan tersebut, ada pertemuan dengan Bupati dan Dinas Kehutanan. Pada tahap ini ada pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan yang sudah berjalan. Tahun sebelumnya sudah ada pembentukan BPKH sebagai salah satu bagian dari Renaksi dan kebetulan sesuai dengan rencana di Kemenhut untuk membentuk BPKH khusus di Kalimantan Tengah. Mudah-mudahan bisa membantu secara umum proses pengukuhan kawasan hutan di Kalimatan Tengah. Saat ini yang sedang berjalan di Barito Selatan adalah pengembangan juklak resolusi konflik dan bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
18
Pada saat pembahasan mengenai prioritas wilayah mana yang akan ditatabatas, karena keterbatasan anggaran, maka disepakati di dalam Tim Percepatan Pengukuhan yang kemudian difollowup di lapangan yaitu penatabatasan ini diarahkan pada penyelamatan hutan yang tersisa dan saat yang bersamaan memiliki ancaman tinggi. Daerah yang dipilih sesuai dengan data-data yang ada, termasuk citra resolusi tinggi yang saat ini sudah tersedia.
Pengembangan Juklak Resolusi Konflik & Proses Partisipatif Pada saat pembahasan percepatan pengukuhan saat itu, P50 sudah berubah dengan P44, dan banyak hal di dalam P44 sudah sangat membantu agar proses pengukuhan bisa jauh lebih cepat dibandingkan proses sebelumnya. Salah satu yang masuk adalah patok virtual. Tapi di sisi lain, ada beberapa hal yang kelihatannya masih perlu ditindaklanjuti, antara lain:
Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti untuk percepat pengukuhan kawasan hutan a). Keterlibatan masyarakat adat dan lokal; b). Bagaimana resolusi konflik di lapangan atas indentifikasi hak-hak yang ada; c). Peningkatan transparansi proses; d). mekanisme keberatan apabila dalam proses pengukuhan ada pihak yang tidak setuju dengan tata batas. Tim percepatan kemudian menginisiasi sebuah penyusunan Juklak teknis untuk berbagai pengaturan tersebut sehingga pengukuhan kawasan hutan ini bukan hanya cepat selesai tapi juga tidak menyisakan konflik-konflik di lapangan. Jadi, tingkat akseptabilitas-nya jadi jauh lebih tinggi. Saat ini draft tersebut sudah ada di Kemenhut dan akan disinkronkan dengan proses di NKB dimana diharapkan akan menjadi bagian terintegrasi dari perubahan P44 dan P47.
Penataan Perizinan Penataan perijinan didasarkan pada MoU dengan tiga daerah, Kaltim, Kalteng dan Jambi. Inisiatif penataan perijinan bukan hanya dari pemerintah pusat tapi juga pemerintah daerah. Jadi, ada demand dari pemerintah daerah menyambut berbagai perkembangan pemikiran tentang perijinan yang sudah dibangun di Satgas REDD+-UKP4. Ketiga provinsi inisiator ini secara sukarela memasukkan diri ke dalam MoU.
Tiga Kegiatan utama Penataan Perijinan 1) Pengembangan sistem pengelolaan informasi perijinan (SPIP) Kegiatan ini sudah berjalan di Kalimantan Tengah. Kegiatan turunan a) Pengumpulan data.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
19
Selama ini yang dimiliki oleh Pemprov adalah daftar perijinan tanpa ada data-data dukung. Dengan adanya SPIP ini diharapkan pemprov dan pemerintah pusat memiliki akses terhadap seluruh data dukung perijinan. b) Pengembangan infrastruktur SPIP yang terintegrasi (software SPIP) c) Registrasi izin (Upload dan penomoran data secara digital). Untuk mempermudah akses oleh policy maker. d) Verifikasi data oleh pemegang izin Tahap ini sedang dijajaki dengan Kalimantan Tengah, dan akan dilanjutkan dengan Kaltim dan Jambi. Data-data yang asalnya adalah dari Pemda, pada satu tahap dirasa perlu untuk dibuka dan diberikan waktu kepada pemegang ijin untuk melakukan verifikasi, apakah datadata tersebut mutakhir atau tidak. e) Penerapan sistem perizinan on-line terintegrasi f) Publikasi informasi publik perizinan, hanya untuk data yang memang bisa dikonsumsi oleh publik. Sebagian merupakan data yang diperlukan oleh K/L untuk proses administrasi perijinan itu sendiri. Yang akan berjalan secara paralel adalah kajian tentang data-data mana yang harus terbuka pada publik dan mana yang merupakan bagian dari informasi internal pemerintahan. 2) Uji tuntas a) Penyediaan dokumen b) Pelaksanaan audit oleh law firm (Kalimatan Tengah) c) Penyusunan rekomendasi. Rekomendasi dibangun pada dua tingkat,
Tingkat kegiatan Dari data yang masuk dilihat kegiatan mana saja yang perlu difollow up. Rekomendasi di tingkat kegiatan yang saat itu dibangun berdasarkan MoU nanti akan diberikan kepada pemerintah daerah karena pemerintah daerah adalah pihak yang memberikan ijin dan nantinya akan punya kewenangan mengenai tindakan-tindakan tertentu.
Tingkat kebijakan Di tingkat ini dilihat kebijakan-kebijakan apa saja yang berpengaruh pada kondisi perijinan yang ada saat ini. Rekomendasi didapatkan dari lawfirm dan akademisi.
3) Implementasi a) Penertiban; b) Penyelesaian konflik lahan; c) Pembenahan kebijakan
Tahap implementasi akan lebih banyak dilakukan oleh badan REDD+. Sedangkan tahap 1 dan 2, di awalnya akan lebih banyak dilakukan oleh UKP4 bersama-sama dengan K/L yang lainnya. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
20
Lingkup Audit Ijin Di aspek sosial di sini diupayakan identifkasi kemungkinan adanya overlapping klaim atas satu bidang lahan. Aspek Revenues saat ini baru berfokus pada pajak saja dan bekerjasama dengan Dirjen pajak untuk mengidentifikasi kepatuhan membayar pajak dari berbagai perusahaan yang masuk. Berdasarkan MoU yang ada serta kapasitas dan sumberdaya yang ada, fokus penataan perijinan baru pada kebun dan tambang.
Sistem Database yang terintegrasi Harapannya SPIP ini hanya ada satu saja secara nasional dan nantinya masing-masing daerah akan bisa mengakses dan memperbaharui datanya melalui microsites. Di masing-masing Pemda tingkat II dan I akan punya akun khusus untuk mengupload data-data perijinan yang mereka miliki. Untuk tambang sudah ada peraturan perundang-undangan yang menjamin adanya akses data dari pemda ke pemerintah pusat, sementara untuk kebun, seperti masukan ke draft terkahir dari program Permentan 2006/2007, mewajibkan pemda maupun pemegang ijin untuk mengupload data-data mereka melalui database yang sudah disediakan.
Lingkup informasi dalam SPIP a). Permohonan Izin dan Pemrosesan
Dokumen permohonan izin dan kelengkapan-nya; I
nformasi proses perizinan yang real time.
b). Penerbitan Izin Dokumen izin, meliputi antara lain: izin lokasi, AMDAL, izin lingkungan, izin usaha perkebunan, izin pelepasan kawasan hutan. c). Pelaporan dan Pengawasan
Dokumen laporan perusahaan;
Dokumen laporan pengawasan
d). Penegakan Hukum Surat keputusan yang berisi tindakan penegakan hukum kepada pengusaha, meliputi antara lain surat peringatan, dll.
Penguatan Penegakan Hukum Pendekatan Multidoor Alasan menggunakan pendekatan Multidoor: a) Kejahatan di sektor kehutanan dan sumber daya alam merupakan kejahatan lintas sector;
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
21
b) Keterbatasan Peraturan Perundang-undangan yang satu dapat diisi dengan Peraturan perundangundangan yang lain; c) Kejahatan kehutanan hampir selalu dibarengi oleh pencucian uang, suap, gratifikasi dan penghindaran pajak.
Pendekatan Multidoor adalah Pendekatan penegakan hukum atas rangkaian/gabungan tindak pidana terkait Sumber Daya Alam-Lingkungan Hidup (SDA-LH) di atas hutan dan lahan gambut yang mengandalkan berbagai peraturan perundangan antara lain Kehutanan, Perkebunan, Pertambangan, Penataan ruang, Lingkungan hidup, Perpajakan, Tindak pidana Korupsi, dan TP Pencucian uang. Diharapkan secara optimal bisa diupayakan sebuah efek jera apabila ditemukan pelanggaran di atas hutan maupun lahan gambut.
Tujuan dan Manfaat Multidoor a) Sistem Penegakan Hukum Terpadu b) Menghindarkan disparitas tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis c) Menghindari peluang lolosnya pelaku kejahatan (ijin terbang) d) Efek Jera e) Pertanggung jawaban Korporasi apabila terjadi kejahatan kerusakan lingkungan f) Pemulihan Lingkungan g) Kerjasama Internasional (asset recovery) h) Pengembalian Kerugian Negara
Pada dasarnya latar belakang multidoor adalah mendorong Koordinasi dan kerjasama antar Aparat Penegak Hukum. Aparat Penegak Hukum bisa melihat satu kasus dengan pendekatan multi rezim hukum. Di sini peran fasilitator dan confiner sangat dibutuhkan.
5. Pemaparan materi perspektif kebijakan atas putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang uji konstitusionalitas UU No. 41/1999 terkait hak masyarakat hukum adat oleh Dirjen Planologi Kemenhut, Ir. Bambang Soepijanto, MM
KPK dan UKP4 adalah mitra kementerian kehutanan untuk memperbaiki tata kelola. Penandatangan NKB 12/KL adalah puncak dari pemahaman KPK tentang kesulitan kementerian kehutanan untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Dan pembentukan BPKH yang baru merupakan rekomendasi dari ABK. Semula kita mengajukan ke Menpan, ditolak. Tapi setelah ada hasil telaah dari lembaga-lembaga Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
22
yang ditugaskan oleh kami maka yang sekarang ini ada di Kalteng, di Riau, Lampung, Aceh dan Kendari, merupakan salah satu renaksi yang kami tindaklanjuti. Kehutanan berbeda dengan Kementerian Pertanian yang houlding company karena eksekutor Kehutanan adalah Menteri.
Urusan perijinan di kehutanan tidak sederhana. P 38 menyatakan bahwa ijin bidang dikeluarkan oleh daerah, ditambah dengan AMDAL, rekomendasi Gubernur, ada CNC-nya, dan juga pertimbangan teknis dari perkebunan, baru kemudian ke Kementerian Kehutanan. KPK sungguh memahami itu. Oleh karena itu Kementerian kehutanan diberikan rencana aksi untuk memudahkan itu, antara lain adanya single reference dalam bentuk peta dasar yang tunggal. Peta dasar hanya dikeluarkan oleh BIG. Dalam implementasi ini, kemenhut terus menerus dipandu oleh KPK dan UKP4. Pemohon uji konstitusionalitas UU No. 41/1999 terkait hak masyarakat hukum adat adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu. Pasal yang diuji meliputi: Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat (1) ayat (2), ayat (3), ayat (4); Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3). Sebagian permohonan dikabulkan, yaitu Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat (1) ayat (2), ayat (3), ayat (4).
Uraian Pasal Yang Diuji a) Pasal 1 angka 6, berbunyi Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. b) Pasal 4 ayat (3), berbunyi Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. c) Pasal 5
Aayat (1), berbunyi Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara, dan hutan hak.
Ayat (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
Ayat (3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
23
Ayat (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
d) Pasal 67 1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. 2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
AMAR PUTUSAN YANG DIKABULKAN MK No. Pasal Dalam UU No. 41 Tahun 1999 1. Kata ”negara” dalam pasal 1 angka 6, yaitu: “Hutan adat adalah hutan “negara” yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Amar Putusan MK Pasal 1 angka 6 UU No. 41 Tahun 1999 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal 1 angka 6 dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat”.
2.
Pasal 4 ayat (3), yaitu: “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.
Pasal 4 ayat (3) dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
3.
Pasal 5 ayat (1), yaitu: Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak
4.
Pasal 5 ayat (2) bertentangan dengan UUD Tahun Pasal 5 ayat (2), yaitu: Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. a, dapat berupa hutan adat.
Pasal 5 ayat (1), dimaknai “hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat” Pasal 5 ayat (1) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
24
5.
Pasal 5 ayat (3), yaitu: pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “dan ayat (2)” dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
Frasa “dan ayat (2)” dalam pasal 5 ayat (3) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 ; Frasa “dan ayat (2)” dalam pasal 5 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal 5 ayat (3) dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.
Pada pasal 5 ayat (3), kata “sepanjang” tidak berani dihilangkan. Yang dilakukan oleh MK adalah penyempurnaan. AMAR PUTUSAN YANG DITOLAK MK No.
Pasal Dalam UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 67 (1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pertimbangan Hukum MK Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan mengandung substansi yang sama dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam konteks frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”. Oleh karenanya, pertimbangan hukum terhadap Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan menyangkut konteks frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”mutatis mutandis berlaku terhadap dalil permohonan Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan;
Perspektif Kebijakan Pasca Putusan MK No.. 35/PUU-X/2012 A. Pertimbangan MK atas pengujian Pasal 67 UU 41/1999 Pengujian Pasal 67 yang tidak dikabulkan oleh MK, didasarkan pertimbangan sebagai berikut: 1. Frasa “dan Hutan Adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, Frasa dimaksud sudah tepat dan sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) dan pasal 28I ayat (2) UUD 1945 (vide halaman 176)
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
25
2. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat dikembalikan kepada Pemerintah, dan status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara (vide halaman 182)
Sepanjang UU yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 belum terbentuk, dalam mengisi kekosongan hukum, maka pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dapat dibenarkan (vide halaman 184). B. Langkah-Langkah 1. Membentuk tim sosialisasi putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012. 2. Telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Kehutanan No SE.1/Menhut-II/2013 tanggal 16 Juli 2013 kepada Gubernur/Bupati/Walikota Seluruh Indonesia dan Kepala Dinas Provinsi /Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan yang memuat penjelasan putusan MK. 3. Mempercepat penyelesaian RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (inisiatif DPR). 4. Meminta Kemendagri untuk mendorong Pemda menetapkan Perda tentang Penetapan Wilayah Masyarakat Hukum Adat. 5. Wilayah masyarakat hukum adat yang berdasarkan Perda berada dalam kawasan hutan, maka sesuai Permenhut No P.44/Menhut-II/2012 dikeluarkan dari kawasan hutan.
Inventarisasi Masyarakat Hukum Adat A. Hasil Inventarisasi Perda Perda Provinsi 1. Perda Provinsi Maluku No 14 Tahun 2005 dan Perda No 3 Tahun 2008; 2. Perda Provinsi Sumatera Barat No 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya (tidak dilampiri peta); 3. Perda Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (tidak dilampiri peta); 4. Perda Provinsi Riau No 1 Tahun 2012 Tentang Lembaga Adat Melayu Riau (tidak dilampiri peta).
Perda Kabupaten
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
26
1. Perda Kab. Kampar No 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat (tidak dilampiri peta); 2. Perda Kab. Lebak No 65 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy (tidak dilampiri peta namun terdapat batas-batas wilayah); 3. Perda Kabupaten Maluku Tenggara No 03 Tahun 2009 Tentang Ratshap dan Ohoi (tidak dilampiri peta); 4. Perda Kabupaten Nunukan No 03 Tahun 2004 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Nunukan (tidak dilampiri peta).
B. Syarat-syarat pengakuan masyarakat hukum adat (Kumulatif) Syarat-syarat berdasarkan penjelasan Pasal 67 UU 41 Tahun 1999: 1. Masyarakat dalam bentuk paguyuban, 2. Ada kelembagaan adat, 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas, 4. Ada pranata adat, khususnya peradilan adat, 5. Mengadakan pemungutan hasil hutan. Ini adalah masukan dalam rangka penyusunan Perda karena nanti kementerian kehutanan akan merespon Perda-Perda yang memang merupakan penetapan wilayah masyarakat hukum adat. Jadi, ada tanggungjawab. Contoh pembuktian untuk ditetapkan sebagai wilayah hukum adat: makam menggunakan batu berwarna hitam, ada tulisan meninggal tahun 1881. Pemerintah daerah harus punya tanggungjawab bagaimana menetapkan itu karena mereka harus mencari pembuktian baik itu saksi hidup ataupuan tanda-tanda yang masih ada. Atau juga kebiasaan yang terpelihara baik. Bukti-bukti itu akan menjadi ruh dari perda.
Putusan MK bagi Kemenhut tidak ada masalah. Semua bisa dilaksanakan dengan baik sepanjang sudah ada Perda yang menetapkan itu atau sekarang segera menetapkan perda atas wilayah masyarakat hukum adat. Jadi, tidak ada masalah kita akan bisa bekerja secara cepat sepanjang itu menyangkut tindak lanjut dari putusan MK. 6. Pemaparan materi ralat kebijakan agraria kehutanan oleh MK: apresiasi dan konsekuensinya oleh Direktur Eksekutif SAINS, Noer Fauzi Rachman
Adat merupakan retorika legitimasi bagi hampir semua pengguna praktek atau hak yang dituntut. Adat bukan suatu bagian dari peristiwa masa lampau yang masih Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
27
bersisa pada masa sekarang. Adat adalah suatu cara dimana kelompok masyarakat yang berada dalam situasi konflik untuk melegitimasi klaimnya. Konflik yang dimaksud adalah konflik yang berkenaan dengan, pertama-tama dimasukkannya hutan adat dalam kawasan hutan negara, tapi lebih dari itu, setelah dimasukkan dalam kategori hutan negara, kementerian kehutanan dalam hal ini Menteri mengalokasikan, memberikan ijin hak dan pengelolaan hutan kepada industri di atas tanah dan wilayah yang diklaim oleh masyarakat adat itu. Jadi, situasinya konflik. Kalau masyarakat adat itu menyingkir, tidak masalah. Masalah akan timbul jika masyarakat adat menolak untuk menyingkir dan mempertanyakan legitimasi dari pemberian lisensi itu dan bekerjanya konsesi, baik itu taman nasional, hutan tanaman industri, hutan produksi, atau sekarang adalah konsesi restorasi ekosistem. Pada situasi konflik seperti itu, dan memang karena latar belakang demikianlah, AMAN dengan dua komunitas anggotanya mengajukan constitutional review ke MK.
Latar belakang situasinya adalah konflik. Konfliknya bukan sekedar pertentangan klaim tapi sudah melibatkan bagaimana kelompok masyarakat tersebut berhadapan secara kekerasan dengan aparatus keamanan maupun dengan pemegang konsesi itu sendiri. Yang dilaporkan oleh masyarakat adat di dalam MK itu adalah peristiwa-peristiwa kekerasan, bahkan masyarakat dari Manggarai melaporkan kematian sejumlah orang. MK diminta untuk meninjau konstitusionalitas kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan hutan adat.
Garisbawah terhadap keputusan MK Dikabulkannya klaim masyarakat adat itu didasarkan pada pasal-pasal tertentu, diantaranya adalah pasal 18b. Uraian tentang pasal 18b dinyatakan bahwa ada hal yang fundamental. Berikut kutipan pasal 18b, “hal yang penting dan fundamental adalah masyarakat hukum adat tersebut secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai penyandang hak yang dengan demikian tentu dapat pula dibebani kewajiban. Dengan demikian masyarakat hukum adat adalah subyek hukum. Sebagai subyek hukum di dalam suatu masyarakat di dalam negara maka masyarakat hukum adat haruslah mendapatkan perhatian sebagaimana subyek hukum yang lain.”
Masyarakat adat adalah penyandang hak dan subyek hukum atas tanah wilayah adatnya yang harus diperlakukan sama dengan subyek hukum yang lain yakni dalam hal ini negara dan pihak ketiga seperti pemegang lisensi-lisensi yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan itu.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
28
Kebijakan sebelumnnya yang berkaitan dengan hutan adat dianggap keliru secara konstitusional harus diralat, karena ini ditemukan di dalam semangat putusan MK, seperti yang diungkapkan oleh hakim MK itu bahwa, jika dikaitkan dengan pasal 33 ayat 3 UUD45, yang menjadi tugas negara adalah bagaimaa pengusahaan sumberdaya alam yang di bumi, air ….secara adil dan merata.”, hal itu tidak dapat dicapai dengan menegakkan hukum semata karena hukum yang berkenaan dengan sumberdaya alam mengandung cacat yang jika ditegakkan justru akan menimbulkan ketidakadilan sosial. Penegakan hukum sumberdaya alam yang tidak adil akan mengancam eksistensi masyarakat hukum adat yang sangat rentan penggusuran oleh mereka yang mengatasnamakan atau izin dari negara.” Ini adalah kalimat dari salah satu hakim MK, Ahmad Shodiqin Jadi jelas sekali definisi bahwa pasal yang diluruskan oleh MK itu adalah hukum yang menciptakan ketidakadilan itu atau yang dianggap pak Ahmad Sodiqin sebagai cacat konstitusional. Sekarang bagaimana peristiwanya apabila situasi kenyataannya kawasan atau tanah wilayah adat ada di dalam kawasan konsesi suatu persusahaan tertentu, kawasan konsesi taman nasional? Hal-hal yang diuraikan pak Bambang sangat indah apabila situasinya bukan di dalam konflik agraria. Tetapi akan tidak mudah dan menjadi ada masalah ketika wilayah adatnya ada di dalam kawasan konsesi yang masih berjalan. Kalau saja diserahkan Kementerian Kehutanan untuk melakukan indentifikasi, ada konflik-konflik interest, yakni tidak mungkin wilayah adat yang diidentifikasi itu ditunjukkan ada di dalam klausul konsesi. Ini potensialnya besar menjadi konflik interest. Oleh karena itu, ini adalah sesuatu yang perlu penanganan khusus. Kalau pak Bambang sendiri sebagai ketua tim yang menyusun daftar isian masalah terhadap RUU PPMA (Pengakuan dan Perlindungan atas Masyarakat Hukum Adat) yang diajukan oleh DPR secara inisiatif, maka soal ini harusnya diurus secara sungguh-sungguh. Uraian pak Bambang menunjukkan hal itu belum mendapat perhatian. Lisensi-lisensi yang berkenaan dengan wilayah adat sangat besar. Hampir wilayah-wilayah anggota komunitas masyarakat adat di dalam AMAN itu dalam situasi konflik; pertambangan, kehutanan, konservasi. Yang ini masalahnya adalah bagaimana wilayah adat itu telah terfragmentasi dan untuk mengembalikannya ke dalam situasi yang utuh, memerlukan penyelesaian konflik dengan pemegang konsesi-konsesi itu. Konflik tersebut bukan sesuatu yang terjadinya satu kali dua kali tapi sudah kronis dan meluas. Sifat kronis dan meluas ini sudah berlangsung bertahun-tahun, bukan hanya konflik antara masyarakat hukum adat tersebut dengan pemegang lisensi dan pemerintah yang memberikan lisensi, akan tetapi meluas hingga, misalnya konflik antara masyarakat hukum adat dengan pekerja perusahaan. Konflik-konflik ini sebaiknya menjadi masalah Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
29
kebijakan yang dibicarakan di dalam penyelesaian terhadap putusan-putusan mengenai pemberian lisensi yang ada di dalam kawasan hukum adat. Ada beberapa pandangan mengenai hal ini, tetapi yang paling penting adalah bahwa ralat ini berkenaan dengan putusan yang telah diberikan oleh Menteri Kehutanan terhadap satu wilayah hutan negara yang di dalamnya terdapat wilayah adat. Ralat ini apakah akan berujung pada ralat terhadap kawasan-kawasan yang konsesinya telah diberikan itu? Apakah hendak dikeluarkan, wilayahnya itu? Permen Agraria 5/99 menyatakan wilayah hukum adat itu tidak bisa ditetapkan pada kawasan yang telah diberikan hak oleh pejabat publik di atasnya.
Jika Permen 5/1999 diterapkan di dalam urusan ini, wilayah adat tidak bisa diterapkan. Pemda yang mengikuti peraturan penyelesaian masalah ulayat oleh Permen 5/1999 ini tidak akan memberikan pemulihan secara sepenuhnya terhadap wilayah adat. Dia hanya bisa dipergunakan untuk wilayah sisa saja, yaitu yang
Tantangannya saat ini adalah mencari cara yang manjur agar wilayah adat bisa
tidak dikenakan kawasan konsesi.
keluar dari hutan negara dan menjadi hutan hak. Menunggu Perda, seperti yang ditindaklanjuti oleh Kementerian Kehutanan, bukanlah sesuatu yang bisa ditunggu oleh AMAN. AMAN, begitu keluar keputusan MK, Abdon Nababan, Sekjen AMAN, menyampaikan ke Presiden untuk minta maaf karena sebelumnya keputusan-keputusan Kementerian Kehutanan diberikan lisensi pada kawasan wilayah adat, anggota-anggota AMAN. Kemudian para pejuang-pejuang adat yang bertarung di dalam konflik itu, sebagian dikriminalisasi. Karena masih ada yang dipenjara, mereka diminta untuk diamnesti. Karena menang sebagian, AMAN merayakan. Salah satu perayaannya adalah apa yang disebut sebagai Plangisasi. Plangisasi adalah gerakan dimana masyarakat hukum adat memberikan tanda mengenai wilayah adat mereka. Masalahnya, wilayah itu masih dalam wilayah konsesi. Sementara Menteri Kehutanan mengatakan bahwa kementeriannya berposisi menunggu. Sebaliknya Pemda kabupaten dan kota harus aktif mengajukan Perda karena yang mengetahui kawasan hutan adat adalah pemerintah daerah. Sekjen Kementerian Kehutanan mengatakan perlu mendorong pemerintah di berbagai daerah untuk mempercepat penyusunan perda. Dia sangat mengandalkan Perda. Pada perspektif konflik, cara yang mengandalkan Perda agak sulit bekerja karena sebagian dari yang memotivasi AMAN melakukan tuntutan ke MK itu adalah perbuatan hukum yang dilakukan dari Menteri Kehutanan dalam memberikan izin ataupun hak atas wilayah yang didalamnya wilayah itu ada kawasan atau wilayah adat. Pejabat publik telah berbuat sesuatu pada masa lampau yang pada situasi sekarang mengakibatkan sebagian besar atau kecil atau seluruhnya dari wilayah adat itu masuk dalam kawasan konsesi. Lalu sekarang dibiarkan Pemda untuk melakukan identifikasi. Pemda mungkin akan melakukan Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
30
identifikasi. Kalau pakai pedoman Permen 5/1999, Perda akan ambil wilayah sisanya saja. Sedangkan kalau pakai pedoman yang lain maka dia akan masuk ke dalam kawasan konsesi. Ujiannya DKN di sini, karena ini akan menjadi peristiwa yang sifatnya pertarungan. Karena ini menjadi masalah nasional, presiden mengungkapkan
I am personally committed to initiating a process that registers and recognizes the collective ownership of adat territories in Indonesia. Seharusnya presiden mengungkapkan hal itu bukan sebagai personal, melainkan sebagai pejabat publik karena presiden punya otoritas untuk membuat Perpu, karena jelas dalam putusan MK yang dibutuhkan adalah Undangundang.
Dan ketika Undang-undang tidak bisa dijalankan, ada Perpu yang dapat dilakukan dengan inisiatif dari presiden. Situasi konflik ini berlangsung terus di lapangan dan memerlukan penyelesaian yang luar biasa. Belum bisa ada analisis yang firm tentang bagaimana kementerian kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, dan BIG bekerja untuk membuat satu kesepahaman bersama apakah dalam bentuk surat putusan bersama untuk kepastian mengenai wilayah adat ini. Dari pengalaman masa lampau, sinergi kerja ataupun harmonisasi kerja diantara badan-badan ini adalah peristiwa langka. Badan Pertanahan Nasional takut kalau melakukan tindakan menyelesaikan, apa yang diistilahkan “hak pihak ketiga dalam kawasan hutan”. Bagi mereka haram masuk ke dalam urusan memastikan hak masyarakat bila itu ada di dalam kawasan hutan negara. Mereka akan menjadi objek kriminalisasi juga. Dan bukan sedikit pejabat-pejabat dari BPN yang dikriminalisasi karena memberikan satu sertifikat di atas kawasan hutan negara. Problematik yang ada sekarang sebenarnya mengacu pada suatu prinsip apakah pejabat publik atau pemegang kekuasaan negara itu punya kesediaan untuk mengakui eksistensi masyarakat hukum adat yang otonomi dan pada satu pihak itu juga memberikan kemungkinan bagi mereka untuk melanjutkan hidup berkenaan dengan penguasaan tanah dan sumberdaya alam yang berada diatasnya, yang itu juga vital bagi kelestarian fisik dan non-fisik masyarakat tersebut. Ini bukan hanya perjuangan keadilan sosial, ini perjuangan kewarganegaraan yang diusir. Prinsip dasar penguasaan negara atas wilayah hutan negara adalah kriminalisasikanlah masyarakat hukum adat yang berada dalam kawasan hutan yang mau dikuasai oleh negara. Prinsip itu sudah berlaku sejak jaman kolonial. Menurut Alm. Edhar Lauden, yang juga anggota Dewan Kehutanan Nasional, itu adalah hukum
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
31
kolonial di alam Indonesia merdeka yang diteruskan dengan UU 5/67 dan masih dilanjutkan dengan UU 41. Ralat seharusnya dilakukan tidak hanya pada tingkat kalimat, seperti yang telah MK nyatakan, tetapi pada prakteknya. Ini adalah hubungan-hubungan sosial. Pendekatan hubungan sosial berbeda dengan pendekatan tekstual. Pendekatan tekstual bisa dilihat dalam teksnya, berubah. Teks berubah belum tentu praktek berubah. Seperti yang diketahui putusan MK terhadap cara penunjukkan kawasan hutan negara, yang tidak lagi dianggap inkonstitusional, tapi harus melalui proses sampai dengan pengukuhan, itu berakhir tidak melakukan koreksi terhadap penguasaan hutan negara yang sebelumnya. Persoal ini seperti gong yang membuka pertarungan. Pertarungan dalam kebijakan level yang paling tinggi, yakni perundang-undangan, sampai pertarungan di lapangan. Pertarungannya berlapis-lapis dan membuka pertarungan di berbagai arena, yang memungkinkan terjadinya berbagai bahaya. Semua pihak harus memastikan hal ini tidak menjadi konflik dimana masyarakat-masyarakat yang lemah semakin tersingkir. Dengan memberikan wilayah adat kepada masyarakat adat bukan berarti membuat masyarakat marjinal di dalam wilayah itu lebih baik. Berbagai penelitian berkenaan dengan pembentukan kontrol wilayah adat oleh masyarakat hukum adat, menyatakan bahwa kaum perempuannya menjadi kehilangan akses pada wilayah itu, kaum miskinnya tidak berhasil mendapatkan aset lagi. Karena biar bagaimana pun, negara-bangsa itu memiliki norma-norma perlindungan terhadap kaum yang lemah. Dan begitu adat dikembalikan pada situasi feodal misalnya, masyarakat elit feodalnya dapat menggunakannya lebih dahsyat daripada kalau tidak ada kontrol negara. Pihak-pihak seperti kementerian Kehutanan, BPN, Kemendagri, dan BIG perlu bekerja dan mematangkan bagaimana menemukan formula baru di dalam komunikasikomunikasi. Antar KPK dan mereka, satu per satu, belum ditemukan satu terobosan yang membuat putusan MK dapat menjadi riil. Prosesnya masih masing-masing mengkoordinasi, masing-masing membuat suatu aturan, aturan bersama, yang nantinya diketahui antara rencana, antara proses internal di dalam internal kebijakan dengan implementasi, dan hasilnya masih berjalan.
7. Catatan kritis pemaparan oleh fasilitator, Usep Setiawan
Untuk Dian Patria (KPK) a) Bagaimana KPK melakukan pengawasan dan monitoring dan kontrol terhadap 12 kementerian dan lembaga setelah renaksi tuntas disusun? Termasuk apa sanksi bagi menteri dan kementerian yang bandel?
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
32
b) Bagaimana formulasi kongkrit pelibatan CSO/masyarakat sipil dalam pengawalan da pengimplementasian NKB? c) Apa harapan KPK terhadap DKN terkait pengawalan NKB?
Untuk Josi Khatrina (UKP4) a) Bagaimana UKP4 memastikan 12 Kementerian dan Lembaga menjalankan renaksinya secara efektif? Fungsi UKP4 adalah memberikan pengawasan dan pengendalian, bagaimana posisi spesifik UKP4 terhadap implementasi NKB 12 K/L? b) Posisi UKP4 sifatnya Ad Hoc dan akan berakhir masa pemerintahan ini di tahun 2014. Setelah 2014 UKP4 tidak jelas lagi baik secara eksistensi lembaga dan programnya. Bagaimana mengatasi transisi eksistensi lembaga UKP4 dan program-programnya? c) Apa harapan UKP4 terhadap DKN berkaitan dengan NKB 12 K/L?
Untuk Bambang Soepijanto (Kemenhut) a) Bagaimana Kemenhut berkoordinasi dengan Kemendagri dalam upaya mendorong Pemda? Koordinasi dengan Kemendagri sangat penting agar keputusan MK bisa menjadi satu gerakan nasional antara kementerian kehutanan dan kemendagri khususnya supaya Pemda mengetahui, memahami dan memang terdorong untuk melakukan percepatan penetapan wilayah-wilayah adat atau hutan-hutan rakyat, atau pengakuan terhadap eksistensi satu komunitas masyarakat adat tertentu di wilayahnya. b) Bagaimana Kemenhut berkomunikasi dengan masyarakat adat dan komunitaskomunitas lokal dalam implementasi atau tindak lanjut dari keputusan MK? Selain Pemda dan Kemendagri yang menaungi para Pemda itu, putusan MK ini akan secara langsung berpengaruh terhadap eksistensi masyarakat adat dan komunitas lokal yang bersentuhan dengan kawasan hutan. Di Jawa maupun di luar Jawa. c) Apa harapan Kemenhut atas DKN untuk berperan dalam mengawal tindak lanjut putusan MK?
Untuk Noer Fauzy Rachman (SAINS) Nur Fauzi diharapkan bisa menanggapi respon para narasumber, serta memberikan penajaman-penajaman yang nantinya bisa mengarahkan presidium DKN untuk membuat sesuatu yang kongkrit, dari NKB maupun putusan MK.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
33
Respon Narasumber a). Dian Patria (KPK) Fungsi kontrol yang selama ini KPK lakukan dalam konteks NKB adalah saran perbaikan pada Kementerian/Lembaga dan pemantauan atas implementasi saran perbaikan. Ada juga fungsi pencegahan terhadap pelaporan LHKPN, pelanggaran negara dan pelaporan gratifikasi. Khusus terkait NKB, KPK bersama-sama UKP4 menggunakan tools aplikasi webbased F8K (Formulir 8 kolom). Kementerian/Lembaga setiap 3 bulan melaporkan progressnya. Ada kesepakatan dengan masing-masing K/L tentang target-target yang akan dilakukan 3 tahun kedepan. Itu masuk dalam webbased dan tiap 3 bulan melaporkan bukti pendukungnya, misalnya peraturan yang baru atau dokumen yang lain. Kemudian tim Monev KPK melakukan pemantauan di lapangan. Persoalannya, SDM KPK sangat terbatas. Litbang KPK yang mengurus NKB hanya dua orang. Oleh karena itu, dibutuhkan pelibatan-pelibatan CSO, pakar dan NGO. Misalnya dalam melakukan verifikasi dokumen-dokumen yang disampaikan pada KPK, kelengkapannya, substansinya, keterlibatan CSO, pakar, dan NGO sangat membantu KPK melihat apakah peraturan-peraturan yang disampaikan ke KPK menjawab saran perbaikan. Menjawab Renaksi. Karena bisa jadi, renaksi kita dijawab tapi ada jebakan-jebakan di dalamnya yang luput. DKN adalah salah satu CSO yang bisa diajak bekerjasama karena DKN memiliki 5 kamar dan punya 5 perspektif. KPK dalam pemantauannya menggunakan mekanisme berbasis web dan ada pelibatan pakar. KPK dibantu 10 pakar, termasuk Prof. Dr. Hariadi Kartodiharjo dan Noer Fauzi Rachman, PhD. Keterlibatan pakar bertujuan untuk memastikan KPK tidak melenceng. KPK adalah lembaga yang mengurusi pemberantasan korupsi, bukan mengurusi kehutanan. Jadi, KPK berharap sisi governance-nya di sektor kehutanan dibantu oleh pakar.
Selain F8K, KPK juga melaunching IMH (Indonesia Memantau Hutan). Sistem itu akan dibuka ke publik dan media sehingga CSO atau NGO bisa memberikan masukan atau informasi bahwa peta kawasan hutan atau ijin suatu kawasan hutan tertentu sedang bermasalah dsb. Ada dua kebutuhan KPK baik untuk keluar maupun untuk kepentingan ke dalam. Untuk ke dalam, informasi diolah jika memang ternyata K/L-K/L-nya ada yang bandel. Informasi yang didapatkan mungkin bisa ditangani oleh bagian penindakan KPK. Peran DKN, DKN memiliki 7 region dengan 5 kamar. Saat ini 12 K/L juga sedang menyepakati lokus-lokus daripada Renaksi NKB di daerah. Lokus-lokus itu Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
34
akan dibagi disepakati dalam prioritas-prioritas untuk dikerjakan bertahap secara bersama-sama. Ini sudah dimulai oleh teman-teman UKP4 yang sudah memiliki lokasi implementasi karena mungkin prasyarat-prasyarat di sana sudah lebih lengkap. Itu bisa menjadi prioritas lokasi untuk implementasi NKB. Atau mungkin ada tempattempat lain, tentu saja dengan melihat kekuatan dan sumberdaya yang ada di KPK.
b). Josi Khatarina (UKP4) UKP4 dalam hal ini pemantau program, sudah memiliki sebuah sistem establish karena selama ini yang dipantu UKP4 bukan hanya NKB tapi juga berbagai prioritas nasional. Sudah banyak INPRES yang ada selama ini dengan cara yang terukur dimana Kementerian dan Lembaga itu semuanya menyampaikan laporan berdasarkan format 8 kolom, setiap 3 bulan dan menyampaikan dokumen-dokumen pendukung melalui sistem wholecase. Setelah itu baru diberi catatan. Mekanisme pelaporan UKP4 langsung ke presiden. Raport Merah adalah mekanisme monev yang ada di UKP4 dan sudah establish. UKP4 hanya ada pada masa pemerintahan saat ini. UKP4 bukan penanggungjawab program tetapi lebih kepada pengawasan. Implementator adalah masing-masing K/L. Fungsi pengawasannya sendiri saat ini sedang dalam masa transisi ke Bappenas, sesuai dengan INPRES 1/2013 tentang Pemantauan yang dilakukan oleh Bappenas, format 8 kolom ini yang digunakan oleh Bappenas, sehingga bisa langsung dimanfaatkan di kemudian hari. Tugas dan Fungsi pengawasan akan dilakukan oleh Bappenas setelah tahun 2014. Sementara itu berbagai kegiatan, misalnya percepatan pengukuhan kawasan hutan, yang menjadi penanggungjawab utama di tingkat nasional adalah Kemenhut. Ini hanyalah komitmen untuk saling sama-sama belajar aspek-aspek mana dalam proses pengukuhan kawasan hutan yang perlu untuk diimprove. NKB merupakan exit strategy bagi UKP4 karena masa hidup NKB lebih panjang dibandingkan UKP4. Berbagai program di UKP4 akan diupayakan masuk ke dalam NKB. Sejauh ini sebagian sudah masuk ke dalam NKB.
DKN diharapkan bisa terlibat dalam proses perencanaan, dalam proses pelaksanaan maupun proses monev. Diharapkan dari forum DKN bisa didapatkan input untuk pelaksanaan NKB.
c). Bambang Soepijanto (Dirjen Planologi Kemenhut) Dalam upaya mendorong Pemda, Kemenhut melakukan pertemuanpertemuan dengan Pemda. Kemenhut sudah 3 kali meeting dengan Dirjen yang Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
35
membidangi untuk membicarakan langkah-langkah kedepan. Persoalan kesepakatan pengukuhan dilakukan secara sistemik. Karena di Kehutanan hampir seluruhnya concruent authority. Ketika tata batas diserahkan kepada pemerintah daerah 5 tahun hanya bisa 7000. Ketika sudah ditarik ke sini, setiap tahun 3000. Akhir tahun 2014 akan diselesaikan 63.000. Tahun ini akan diselesaikan 19.000 km lari dan tahun depan 20.000 km lari. Tapi yang namanya tata batas tidak akan pernah selesai, karena selalu ada perubahan karena dinamika tata ruang 5 tahunan, parsial, permohonan pelepasan, dan permohonan pinjam pakai. Kehutanan unik karena istilahnya macam-macam; pengelolaan, pelepasan, pemanfaatan, penggunaan. Oleh karena itu Kemenhut bersama Pemda menyepakati bahwa sekarang de Jure menurut PP 38, yang mengukur adalah tim Kemenhut tapi yang memegang jabatan Bupati. Ngga bakal selesai kalau Kementerian dalam negeri tidak bisa menyelesaikan, membantu ada edaran pada Bupati-Walikota untuk menyelesaikan itu. Kalau Bupati rapat dan tidak datang, berita acaranya batal. Oleh karena itu perlu ada penyederhanaan yaitu Berita acara bisa dikuasakan Butapi kepada siapa yang menghadiri. Jika tidak begitu, penentuan tata batas tidak akan selesai. Jadi yang mengukur adalah pihak Kemenhut, biaya juga dari Kemenhut, tata batasnya oleh Bupati dengan timnya. Oleh karena itu Kemenhut sudah berkoordinasi sebelum putusan MK tentang masyarakat hukum adat. Sekarang lebih intens pada tataran menteri dalam upaya mendorong lahirnya Perda. Di tataran eselon 1 dan 2 sudah jalan.
Berkaitan dengan sosialisasi putusan MK, Pemerintah telah membentuk tim untuk melakukan sosialisasi dengan masyarakat adat dan lokal tentang substansi dan langkah-langkah yang akan ditempuh Pemerintah. Proses Sosialisasi ini tidak sederhana karena tim sosialisasi harus paham betul akan content dan situasi yang dihadapi. Kemenhut adalah pemerintah yang punya policy, tidak hanya policy statement tapi juga policy decision. DKN diharapkan bisa memberikan masukan dalam rangka reformulasi policy. Putusan MK adalah policy decision maka dalam ekonomi politik kebijakan publik, state harus kuat tapi tidak dominan. Yang dilakukan adalah rekonstruksi policy, bukan dekonstruksi. Tidak perlu juga konstruksi karena policy sudah ada, maka direkonstruksi policy itu mengacu pada putusan MK. Kita bicaranya rule of the game. Yang disampaikan oleh pak Noer Fauzy di atas tadi ada 3 hal persoalan yaitu sosiologi hukum, sosiologi konflik, atau masalah reformasi kebijakan. Seharusnya tidak demikian. Begitu ada policy decision yang baru maka Kemenhut sebagai turunan harus melakukan rekonstruksi kebijakan terkait adat. Kalau dicampur dengan Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
36
masalah klaim kawasan dan konflik, urusannya jadi berbeda. Tidak semua disebut konflik. Ketika belum jelas persoalan hak, sebutannya adalah klaim kawasan. Situasi dimana satu kelompok merasa punya hak, berhadapan dengan administrasi bukan hak, itu disebut dengan konflik. Tapi ketika hanya merasa memiliki kawasan hutan, itu disebut dengan klaim kawasan. Klaim kawasan bicara sosisologi hukum, konflik bicara resolusi konflik. Klaim dan konflik adalah dua hal yang berbeda. Putusan MK, langkahnya adalah rekonstruksi kebijakan untuk implementasi. Tidak perlu lagi bicara latar belakang yang ruwet karena sudah putusan MK, sehingga harus dilakukan oleh Pemerintah. Bahwa ada sejarah yang buruk, iya. Justru di situlah puncaknya adalah menguji konstitusional di MK. Bahwa ada hal-hal yang perlu disosialisasikan, benar. Tapi yang dilakukan pemerintah dalam welfare state ini adalah merekonstruksi kebijakan yang ada. Tidak ada lain. Tidak akan ngawurngawuran. Ini ilmiah. Kalau ada masalah diselesaikan dengan putusan MK. Kalau Perdanya memang menyatakan bahwa konsesi itu wilayah masyarakat adat, maka harus dilakukan revisi atas area bukan ijin. Akan tetapi hal itu harus diuji terlebih dahulu. Jika tidak demikian, negara ini akan jadi bukan negara hukum. Di sini state harus kuat tapi tidak dominan. Jika state tidak kuat maka yang terdorong adalah sosialisme modern. Itu tidak boleh ada di negeri ini. Negara harus berpikir kesejahteraan tapi dalam koridor negara hukum dan dalam bingkai NKRI. Jika mau baik di depan publik maka harus benar di depan hukum. Kalau tidak benar di depan hukum maka tidak perlu baik di depan publik.
Jika Perda menetapkan suatu kawasan sebagai wilayah hukum adat maka itu adalah hak masyarakat adat, dan yang berada di dalam wilayah hukum adat adalah hutan adat. Hutan adat adalah bukan hutan negara sebagaimana putusan MK kendati UU 41 belum dilakukan revisi tapi berlaku sejak diundangkan pada sidang paripurna. d). Noer Fauzi Rachman (Direktur Eksekutif SAINS) DKN adalah satu channel bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, pengusaha, pemerintah, akademisi dan pemerhati/LSM agar masuk menjadi bagian dalam proses penyusunan kebijakan. Putusan MK ini sudah direspon dan akan terus direspon melalui proses sosial, diantaranya plangisasi yang dilakukan oleh AMAN dan rasa bahagia para kesultanan karena dengan adanya putusan MK ini mereka bisa melakukan klaim atas tanah-tanah mereka. Sejumlah Pemda-pun bekerja keras dan cepat untuk menetapkan wilayah-wilayah masyarakat hukum adat. Kesemua itu perlu masuk ke dalam proses kebijakan Kementerian Kehutanan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
37
Yang penting dikerjakan oleh DKN adalah membuat suatu pemetaan mengenai bagaimana di 7 region yang menjadi bagian kerjanya memiliki identifikasi peta bagaimana putusan MK direspon oleh masing-masing wilayah itu.
Contoh-contoh respon tersebut diantaranya intensifikasi konflik antara masyarakat adat dengan pemegang konsesi, intensifikasi pembuatan perda kabupaten, intensifikasi hidupnya kembali pembentukan masyarakat hukum adat dalam bentuk kerajaan/kesultanan serta klaim wilayah adatnya, dan terjadi post-mobilitasi. Responrespon tersebut harus masuk ke dalam proses kebijakan. Tanpa perlu khawatir dengan koridor NKRI, kelompok-kelompok ini sebelumya secara sosiologis dianggap sebagai bukan bagian dari yang dilindungi ketika keputusan-keputusan konsesi diberikan, dan terjadi kekerasan-kekerasan terhadap mereka atau kriminalisasi. Mereka yang telah dikriminalisasi di masa lampau mengalami rasa luka yang besar. Kini mereka mengambil sikap untuk protes atau sebagian lagi menghindar dan menjadi perambah lahan. DKN sebaiknya punya pemetaan respon-respon itu di masing-masing region kemudian pemetaan itu masuk ke kebijakan nasional. Posisinya sudah bisa diketahui dimana ujungnya adalah keluarnya hutan adat dari kawasan hutan negara, tinggal bagaimana itu bisa berlangsung di dalam suatu mekanisme yang secara pegangan belum ada. Karena kedekatannya dengan problematik tersebut Kemenhut perlu membuat mekanisme bagaimana putusan MK dijalankan, kemudian bekerjasama dengan BPN, BIG, dan Pemda dan Kemendagri. DKN bisa bekerja membuat suatu proses bagaimana fakta sosiologis bisa naik ke dalam proses-proses kebijakan. Konflik-konflik yang ada di masyarakat membutuhkan mekanisme penyelesaian konflik. Klaim-klaim adat atas wilayah konsesi banyak terjadi, mulai dari yang proyek raksasa hingga ke skala unit. Apa yang dikerjakan oleh KPK dan NKB dapat memfasilitasi proses koordinasi di antara ke-4 kelembagaan itu. Kami masih akan terus bekerja bagaimana keempat lembaga nasional ini bisa bekerja menjamin bahwa terdapat suatu mekanisme yang mewadahi supaya putusan MK punya jalur dan menjadi implementasi yang nyata dan berefek nyata pada status dari penguasaan tanah masyarakat-masyarakat adat.
8. Diskusi dan pendalaman materi a). Marthen Kayoi (Kamar Pemerintah)
Perlu ada definisi jelas tentang hutan negara dan hutan adat di Papua. Mengingat ada 200 lebih suku yang tersebut merata di tanah Papua.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
38
Keadaan yang ada saat ini harus dianggap sebagai kerja bersama sehingga perlu duduk bersama. Pusat tidak boleh mengklaim diri atas putusan MK dan lalu menugaskan pemda dan masyarakat. Secara bersama-sama juga harus mengakui bahwa kesalahan tempo dulu adalah kesalahan bersama, diantaranya kesalahan atas Papua.
Setelah putusan MK perlu ada spesifikasi wilayah. Pelaksananya akan dipikirkan bersama.
Apakah putusan MK berlaku surut atau berlaku sejak tanggal ditetapkan? Jika berlaku surut maka kesalahan tempo dulu adalah kesalahan bersama tapi jika berlaku sejak tanggal ditetapkan maka HPH harus angkat kaki dari Papua. Prioritas pencabutan HPH dilakukan terhadap HPH tidak aktif. Sedangkan yang masih aktif diajak duduk bersama. Indikator aktif tidaknya HPH di tiap level pemerintahan, berbeda-beda. Perbedaan indikator ini melahirkan penilaian dan juga mempengaruhi kebijakan. Walaupun rekomendasi gubernur adalah cabut ijin HPH tidak aktif akan tetapi Keputusan Menteri tidak menyatakan demikian, maka ijin tidak akan dicabut. Oleh karena itu perlu ada standar prosedur mengenai indikator aktif tidaknya HPH. Standar yang berbeda-beda akan memunculkan tindakan saling menyalahkan. Yang jadi korban adalah pelaksana.
Perlu ada kesepakatan mengenai pihak yang akan menentukan peta dasar. Peta dasar merujuk pada Bakosurtanal. Peta dasar kemudian dioverlay dengan peta tematik agar semuanya bisa terlihat.
Harmonisasi dan Sinkronisasi kebijakan dan aturan sudah dibicarakan sejak 6 tahun lalu di Papua tapi tidak dihiraukan. Harmonisasi dan sinkronisasi aturan sebaiknya terlebih dahulu dilakukan. Aturan-aturan diinventarisir. Aturan yang tidak cocok, yang disusun berdasarkan aturan kolonial dan tidak mempunyai nilai pemanfaatan bagi pemberdayaan ekonomi rakyat, harus dinyatakan batal. Jika aturan seperti itu masih dipakai maka yang membuat aturan tersebut harus disalahkan terlebih dahulu baru kemudian pelaksananya.
Pembentukan Perda harus ada instruksi secara nasional kepada Gubernur. Papua sudah punya Perda berkaitan dengan masyarakat adat akan tetapi hanya mengatur tentang bagaimana posisi adat diperlakukan. Belum sampai kepada bagaimana memberdayakan masyarakat di dalam hutan adat.
Memisahkan hutan negara dan hutan adat. Perlu dilihat indikator penentuan tata batas. Dulu indikator tata batas adalah batas fungsi kemudian dirubah
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
39
menjadi batas ruang. Dalam penentuan batas hutan negara harus aspek sosial, ekonomi dll harus diperhitungkan agar tidak terjadi konflik.
b). David (Kamar Bisnis)
Penataan kawasan hutan merupakan salah satu alternatif yang cukup baik untuk membenahi hutan Indonesia, yang menjadi masalah semua hutan sudah diberikan ijin konsesi. Jika setelah selesai penataaan kawasan hutan dan didapati ternyata sebagian berada di hutan adat, apakah konsesinya nanti akan berkurang atau tidak?
Apakah pengelolaan hutan adat kedepannya bersifat otonomi atau semuanya diserahkan untuk masyarakat adat? Apakah masyarakat adat cukup mereka kelola sendiri atau tetap memerlukan perijinan dari instansi teknis Kehutanan? Apakah di tingkat kabupaten-Kota, Propinsi, ataukah tetap masih di pusat? Ini untuk pengelolaan hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu. Hal yang berkaitan dengan mekanisme hak pengelolaan hutan adat perlu diklarifikasi kedepannya, mengingat coverage hutan adat sangat besar.
Bagaimana konsesi-konsesi yang sudah diberikan apabila masyarakat adat tidak berkenan terhadap ijin konsesi HPH yang telah diberikan.
Apakah pengelolaan hutan oleh masyarakat adat masih memerlukan ijin pengelolaan, baik hasil hutan kayu maupun hutan bukan kayu.
c). Agus Justianto (Kamar Pemerintah) Terkait pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat Pemisahan konsepsi hutan adat dari hutan negara akan berimplikasi pada keberadaan masyarakat hukum adat dan pengelolaan hutan adat itu sendiri. Saat ini yang tersisa hanya komunitas tertentu yang terdiri dari beberapa desa. Tidak ada lagi wilayah masyarakat hukum adat yang secara hukum masih utuh, seperti tahun 80-an. Padahal pertimbangan hakim pada putusan MK ini jika keberadaan masyarakat hukum adat tidak hidup lagi maka hak pengelolaan kembali kepada negara. Artinya status hutan adat menjadi hutan negara. Konstruksi dan fakta hukum ini rancu karena di satu sisi pengakuan hutan adat terpisah dari hutan negara, di sisi lain keberadaan masyarakat hukum adat sulit dibuktikan jika harus kembali seperti tahun 1980-an. Oleh karena itu diperlukan penyamaan pemahaman atau persepsi karena kebijakan pemerintah dalam hal pengakuan masyarakat hukum adat harus didasarkan peraturan atau hukum yang berlaku. Di sinilah peran DKN untuk bisa membantu menyamakan persepsi atau menjembatani antara pemerintah dan masyarakat hukum adat.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
40
d). Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat)
Harapannya NKB bukan merupakan bagian dari cara pembendungan departemen-departeman terhadap korupsi yang dilakukan sebelum NKB karena kalau dalam penataan kawasan hutan kedepan untuk lebih baik dan jauh dari korupsi dsb, sebelumnya itu ternyata dugaan kita banyak yang terjadi. Contohnya pengalihan kawasan hutan di pulau-pulau kecil. Pulaupulau yang sebenarnya tidak bisa diijinkan, tapi itu diijinkan. Pulau Roma yang kecil yang besarnya dua kali mall di Jakarta, itu diijinkan untuk pertambangan. Kepulauan Aru yang karangnya begitu banyak tapi diijinkan ribuan hektarnya untuk ditanami tebu. Pasti ada sesuatu di pemberian ijin-ijin tersebut.
Harapannya KPK tidak hanya melihat kedepan tapi juga mengungkapkan korupsi sebelum adanya NKB.
Terkait dengan keputusan MK. Kata “sepanjang masih hidup” itu tidak beda dengan pernyataan pak Bambang bahwa itu harus dibuktikan dulu. Jadi sepanjang-masing-hidup itu artinya masyarakat adat dipaksa untuk mengidentifikasikan dirinya lalu meminta pemerintah untuk melegitimasi, padahal masyarakat adat sudah ada jauh sebelum negara ini ada. Tapi di Maluku, pembuktian dilakukan melalui sidang-sidang pengadilan dimana masyarakat adat menggugat PT. Wahana Potensi Nusa dan Koperasi Wahana Lestari di pulau Buru karena menghancurkan tempat-tempat keramat dari marga-marga yang ada di sana. Gugatan itu dikabulkan oleh pengadilan. Tanpa peta. Marga-marga bersangkutan datang dan melakukan ritual-ritual adat di wilayahnya dan itu diakui. Peta jangan dijadikan satu-satunya alasan bahwa kawasan hutan ini harus ditetapkan dengan peta. Perda 14/2005 di Maluku merupakan Perda penetapan kembali negeri menjadi persekutuan masyarakat hukum adat. Kita turut mengawal perda itu. Hanya saja yang tidak diakomodir oleh DPRD ketika itu adalah pengakuan terhadap agamaagama suku yang ada di Maluku. Hutan yang berada di belakang negeri tetap menjadi hutan dan bukan berarti tidak dikelola karena di dalamnya terdapat binatang buruan, tanaman obat-obatan dll. Hubungan masyarakat hukum adat dengan hutannya jelas ada. Kalau hal itu dibawa ke peta, tidak ada yang namanya hutan negara di Maluku. Batasan antar negeri adalah batas antar marga. Implementasi dengan pengakuan kawasan hutan harus dibedakan antara pulau-pulau kecil dan pulau-pulau besar.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
41
e). Endro Siswoko (Kamar Bisnis) Untuk pak Bambang Soepijanto:
Perlu ada antisipasi pemekaran kabupaten. Bisa jadi wilayah yang semula berada di satu kabupaten, karena ada pemekaran kabupaten, sebagian wilayahnya tidak diakui oleh kabupaten baru.
Perlu ada antisipasi kemungkinan masyarakat adat yang meminta kembali hutannya yang semula sudah diserahkan kepada negara.
Area konsesi bisa jadi akan terkurangi karena adanya enclave, pengakuan atas wilayah konsesi. Berkurangnya wilayah konsesi juga perlu menjadi catatan.
Untuk pak Dian Patria: Perlu pencerahan mengenai interpretasi illegal logging. Interpretasi illegal logging yang berbeda-beda menimbulkan ketidakpastian di dunia usaha. Ini membingungkan dunia usaha. Siapakah yang akan menjadi wasit ketika timbul masalah-masalah seperti ini? f). Mateus Pilin (Kamar LSM)
Dengan fakta-fakta sosial yang ada sekarang, dalam konteks kehutanan di Indonesia, KPK harus segera melakukan tindakan-tindakan strategis.
Apa terminologi online dalam perijinan online? Perijinan online di satu sisi membuka akses pada banyak pihak tapi di sisi yang lain masih ada masalah akses di tingkat masyarakat.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dirasa cukup serius. Di Kalimantan Barat, akses masyarakat terhadap wilayah tinggal 6,68%. Ini paradoks. Ijin-ijin yang diberikan masih tetap jalan tapi di sisi lain ada persoalan di lokal.
Stop perijinan dan proses kebijakan-kebijakan yang selama ini mengkriminalisasi masyarakat.
Tuntutan-tuntutan lain yang disampaikan oleh AMAN agar segera difollowup oleh pemerintah.
g). Hariadi Himawan (Kamar Pemerintah) Untuk pak Noer Fauzy: Tadi ada statemen yang mengatakan bahwa konsekuensi dari putusan MK ini akan menimbulkan potensi pertarungan. Pertarungan ini bisa berupa perang intelek, Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
42
bisa juga perang tubuh. Bisakah pertarungan ini dibawa menjadi dialektika yang dilandasi dengan persaudaraan? Ada beberapa provinsi yang sudah punya rintisan ke arah itu. Jika tadi banyak yang mengatakan bahwa ini sudah terlanjur menjadi konsesi, ini hak, ini batas, banyak kaitannya dengan hak. Pernahkah kita melihat bahwa nanti kalau masyarakat adat berdaulat, prinsip hutan lestari tetap akan inkonsisten? Ini belum disinggung. Kita punya kepentingan di situ. Jangan sampai nanti ini berdaulat otonom, disalipkan semua. Di propinsi yang hutan adatnya dominan, di Sumatera Barat dan NTT, sebelum ada putusan MK ini kami sudah sepakat dengan pemerintah daerahnya, ini akan dikompatibelkan dengan hutan-hutan desa yang ada di dalam kerangka regulasi. Maksudnya adalah supaya mereka ini dilatih dan didampingi bagaimana mengelola hutan secara benar.
Pemerintah ingin mengawal masyarakat. Kalaupun nanti mereka menjadi masyarakat adat yang otonom di dalam pengelolaan hutan, dia tetap bisa mengelola hutan dengan prinsip-prinsip lestari. Kami menyampaikan dengan cara santun bahwa ini bukan soal menang kalah namun Pemerintah ingin mengawal dan mengantarkan. Tapi ini hanya ada pada provinsi yang sejarah konsesinya tipis. NTT tidak pernah ada HPH sejak dulu. Masalah akan terjadi pada provinsi-provinsi yang sebagian wilayahnya sudah terfragmentasi. Pasti akan terjadi perang saling klaim. Penyelesaian masalahnya harus dilakukan dengan duduk bersama.
Tidak fair jika persoalan penataan hutan diserahkan kepada daerah. Kementerian Kehutanan juga harus ikut duduk bersama dan difasilitasi DKN. Kalau ini dibiarkan bisa berpotensi dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan.
Untuk pak Dian Patria: Delapan bulan lagi pemerintahan efektif. NKB baru sampai pada tataran instrumental kebijakan, belum sampai tataran ideologis. KPK harus mengantisipasi kemungkinan pemerintah yang baru akan tergagap-gagap yang dikhawatirkan akan kembali pada kebijakan yang populis.
Untuk pak Bambang Soepijanto: Harapannya pak Bambang menularkan ke eselon 1 yang lain agar tidak hanya menjadi urusan planologi saja.
Respon Narasumber Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
43
a). Bambang Soepijanto (Dirjen Planologi Kemenhut)
Duduk bersama pasti dilakukan tapi yang dikaji hanyalah hal yang pasti, karena putusan MK tidak berubah, bahwa hutan adat adalah bukan hutan negara melainkan hutan hak. Segala sesuatunya akan berlaku hutan hak. Tata usaha kayunya berlaku hutan hak. Jadi, tidak ada lagi yang namanya interpretasi ganda. Pembuktiannya dilakukan dengan Undang-undang. Jika belum ada Undang-undang, Perda. Itu mandat, jangan ditafsir-tafsir lagi. Duduk bersama dilakukan hanya untuk membicarakan bahwa itu harus dilaksanakan.
Putusan MK tidak berlaku surut. Tidak ada putusan majelis manapun yang backward looking, pasti forward looking. Tetapi adat itu ada sejak dulu. Ketika Perda yang baru atas symptom, atas bukti-bukti, atas hal-hal yang baru, maka Perda baru itu akan mengeliminasi ijin. Putusan memang tidak retroaktif tapi adat itu ada sejak dulu, kemarin belum diperdakan. Kalau sekarang sudah diperdakan oleh daerah maka adat itu diakui.
Tidak masalah jika masyarakat adat tidak menggunakan peta. Yang penting bisa menunjukkan dimana letak kawasan masyarakat adat. Peta dasar sudah ada UU-nya, bahwa single referencenya BIG. Kedepan, BIG dimita untuk membuat peta dasar seluruh Indonesia dengan skala 50.000 per propinsi. Kalau pakai skala 250.000 batas-batas kawasan bisa mencong.
Ada tiga tata batas, tata batas fungsi, tata batas luar dan tata batas perijinan. Dalam rangka bareng ini, untuk tata batas luar maupun tata batas fungsi, kalau kemudian ada masyarakat adat yang sudah ada perda-nya itu bersamaan kita akan lakukan tata batas itu. Saya tidak terlalu mengandalkan patok batas karena vocated. Saya menggunakan koordinat geografis. Jika menggunakan batok batas, rentan hilang. Titik koordinat tidak mungkin hilang. Patok tidak terlalu penting tapi patok adalah stick boundary yang di peta merupakan koordinat geografis.
Kewajiban, kewenangan pemegang ijin merupakan konsekuensi hukum azas hukum. Kalau ada yang baru maka yang lama diabaikan. Kalau ada yang tinggi, yang rendah diabaikan. Kalau ada yang khusus, yang umum diabaikan. Kalau ada hutan baru maka yang lama diabaikan. Perijinan itu akan tereliminasi dengan besiking yang baru. Untuk yang baru harus ada pembuktian dulu. Mandatnya dalam MK adalah Perda. Introspeksi internal Kemenhut, sebenarnya banyak SK-SK HPH/HTI yang cacat karena belum tata batas. Besiking itu kongkrit, final, individual. Tidak ada lagi luasan plus-
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
44
minus. Kalau plus-minus namanya belum final. Seharusnya ketika memberikan ijin itu harus sudah tata batas. SK yang masih menjanjikan dua tahun penyelesaian tata batas adalah SK yang belum final. Saat ini bahkan pada perpanjangan baru tata batas. Telah terjadi kesalahan-kesalahan berjamaah dalam pengurusan ijin. Angka pasti dalam tata batas menghindari kesalahan sanksi administrasi atas boundary. Sudah pasti pidana kalau keluar dari itu.
Kalau masyarakat adat sudah bisa membuktikan wilayahnya, pengurangan working area pasti terjadi.
Karena pembuktian tata batas tidak sederhana maka perlu ada instrumen untuk membuktikan bahwa masyarakat hukum adat berhak berada di satu kawasan tertentu. DKN bisa memberikan masukan kepada UU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Berkaitan dengan ijin di pulau-pulau kecil, teguran bisa langsung disampaikan ke Bupatinya karena ijin diberikan langsung oleh Bupati. Kalau kemudian dia sampai ke Jakarta pada kawasan hutan yang dapat dikonversi, kalau syarat kecukupannya oke, tidak ada jalan lain menteri akan melepas. Yang harus dipersoalkan kenapa Bupati memberi ijin. Pada HPK, peruntukkannya adalah untuk kegiatan non-kehutanan. HPK adalah bukan hutan tetap. Jadi boleh dilepaskan. Harus dipertanyakan langsung kepada Bupati setempat mengapa pulau-pulau kecil diberikan ijin konsesi.
Peta spasial sangat penting ketika pemekaran kabupaten terjadi. Ketika kabupaten berkembang, spasial tidak berubah. Yang berubah hanya judul wilayah spasial. Letak masyarakat hukum adat berdasarkan spasialnya walaupun nomenklatur pemdanya bisa berbeda.
Jika ada pejabat yang memberikan ijin tidak sesuai dengan peruntukkannya bisa ditindak dengan menggunakan UU 26/2007. UU tersebut sangat mengikat kuat pejabat yang memberikan ijin manfaat yang tidak sesuai dengan ruangnya. Pejabat yang melanggar bisa dicopot dari jabatannya dan dipidana.
Hutan adat yang berada di posisi hutan lindung juga punya fungsi lindung, tidak hanya statusnya kawasan hutan. Ini adalah persoalan status. Letak yang akan menentukan peran.
Sosialisasi mengenai kawasan dan ruang di internal Kemenhut sangat diperlukan. Biasanya persoalan kawasan dan ruang diurus oleh Planologi. 70% urusan Kehutanan berada di Planologi, termasuk menjadi kuasa hukum
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
45
Menteri. Perubahan, peruntukkan, pelepasan, ijin pinjam pakai, semuanya di Planologi. Tugas Planologi adalah mensosialisasikan persoalan-persoalan ini di internal Kemenhut. Pak Hariadi yang selama membantu kami dalam halhal seperti ini.
b). Dian Patria (KPK)
KPK tidak perlu menjadi bagian dalam implementasi NKB jika pimpinan pemerintah komit untuk perbaikan tata kelola sumberdaya alam kehutanan. DKN dan KPK bisa saja hanya memberikan saran dan yang menjalankan komitmen adalah pemerintah. KPK memiliki fungsi pencegahan dan penindakan, disamping koordinasi dan supervisi.
Renaksi penindakan tidak mungkin dimasukan ke dalam NKB karena kemungkinan tidak akan ada K/L yang bersedia menandatangani MoU. Dalam menjalankan fungsi pencegahan KPK bekerja bersama bagian penindakan. Di bagian pencegahan pun KPK memiliki fungsi-fungsi deteksi RHKPN, ada gratifikasi, bahkan punya nation interest; ketahanan pangan, ketahanan energi dan pendapatan.
Dalam pemberantasan korupsi, ada 3 lembaga yang menangani yaitu KPK, polisi dan kejaksaan. Tapi kalau bukan korupsi, misalnya illegal logging semata, bukan urusan KPK. Tapi kalau korupsi, KPK bisa menangani, dan ada dua penegak hukum yang lain, KPK menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi atas penanganan kasus yang ada di kepolisian dan kejaksanaan. Itu ditangani secara spesifik dikerjakan oleh Korsub penindakan yang kerjanya keliling polda dan melakukan koordinasi-supervisi kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani oleh Polda setempat. KPK dimungkinkan untuk mengambil alih kasus ketika dianggap penanganan polisi tidak seperti yang seharusnya.
KPK sangat berharap ada masukan dari kamar masyarakat jika ada pengaduan-pengaduan yang bisa disampaikan melalui bagian pengaduan masyarakat KPK, surat, atau website Indonesia Memantau Hutan.
KPK adalah lembaga independen. KPK bukan di bawah presiden, legislatif ataupun yudikatif. Secara teoritik, tidak masalah jika pemerintahnya ganti karena yang dipegang oleh KPK adalah MoU dengan kementerian.
c). Noer Fauzi Rachman (Direktur Eksekutif SAINS)
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
46
DKN harus menguatkan kemampuan untuk mengurus konflik dengan skala yang besar. Selama ini DKN mengurus konflik yang skalanya kasus per kasus. Pulaupulau kecil seperti Maluku Utara atau Maluku Tenggara bisa saja satu pulau keluar dari kawasan hutan negara karena seluruhnya wilayah hutan adat. Maka jika dikerjakan prosesnya, dimana sudah ada konsesi pada waktu itu maka itu akan menjadi konflik dengan pemegang konsesi. Dan itu akan datang begitu besar arusnya dalam DKN. Tidak ada yang tidak bisa diurus, termasuk konflik. Pengalaman di Filipina, National Commision on Indegineous People mencanangkan 7 juta hektar dari 70 juta hektar. 70 juta itu adalah keseluruhan kawasan nasional Filipina. Tujuh juta hektar adalah wilayah teritorial adat. Saat ini kawasan yang sudah mendapatkan CADC dan CADT, Certificate of Ancestral Domain Claim dan Certificate of Ancestral Domain Title mencapai di atas 1 juta hektar. Dari claim ke title membutuhkan 10-15 tahun. Besaran di Indonesia belum bisa diketahui jumlahnya. Kalau DKN punya pengalaman dengan mediasi konflik maka ini jumlahnya akan jauh lebih besar lagi, begitu dia masuk ke dalam dan membuka prosesnya. Karena konsesinya bekerja dengan proses dimana hutan adat dianggap hutan negara. Gerakan Plangisasi sangat mungkin terjadi, dan jumlahnya sangat banyak karena jumlah HPH-HTI juga tidak sedikit. Itupun jika Perdanya bener. Di sinilah kemampuan mengurus konflik dalam skala yang besar diperlukan.
DKN juga harus meningkatkan pengalamannya memediasi kasus konflik menjadi pengalaman mengelola teritorial. Dari kasus ke teritorial. Oleh karena perlu dilihat lagi cara manajemen pengelolaan konflik yang selama ini dijalankan di 7 region DKN. Tidak sederhana ketika National Land Commision Filipina membuat kamar penyelesaian konflik. Di situ berkenaan dengan bagaimana konflik diajudikasi, datadata dari kementerian kehutanan, bagaimana bisa keluar ijin di wilayah itu, bagaimana masyarakat tidak terlihat ketika ijin itu keluar, bagaimana sekarang visibilitas dilakukan supaya masyarakat adat bisa kelihatan. Proses verifikasi itu membutuhkan skill yang tidak sedikit. Kita belum sampai pada membayangkan seperti itu. Itu akan tumbuh dari kemampuan yang ada naik ke dalam kelas berikutnya.
9. Sidang Kamar a). Pengantar oleh Ketua Presidium DKN, Hariadi Kartodihardjo •
Dokumen pendukung sidang Kamar
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
47
–
Handout presentasi pemaparan workshop;
–
Draft Naskah Kebijakan DKN: Penataan Kawasan Hutan bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional; masalah kebijakan dan peran DKN;
–
Tiga Lampiran NKB 12/KL;
–
Detail Rencana Aksi detail;
–
Garis Besar Haluan Kehutanan (GBHK), yang merupakan hasil rumusan pada saat kongres kehutanan Indonesia ke-5. GBHK berisi cakupan mandat yang diamanatkan oleh kongres. Ada 10 aspek yang dirumuskan di dalam kongres Kehutanan Indonesia ke-5 tahun 2011.
–
Surat-surat berkaitan dengan intervensi World Bank. Ketua presidium dan perwakilan tiap kamar akan melakukan pertemuan dengan World Bank untuk membahas sikap DKN terhadap hubungan kerjasama dengan World Bank. Ini dalam rangka mengembalikan DKN sesuai dengan statutanya.
•
Hasil sidang kamar –
Diinput langsung ke dalam naskah draft kebijakan;
–
Catatan-catatan penting untuk ditambahkan ke dalam naskah kebijakan;
–
Follow up dari KPK dan DKN berkaitan dengan implementasi NKB 12 K/L.
•
Sidang dipimpin Ketua Kamar, dibantu sekretaris
•
Substansi yang didiskusikan dan dirumuskan: –
Apa pandangan masing-masing kamar terhadap keberadaan NKB 12 K/L, dan Putusan MK 35/2012 ?
–
Apa saja masukan substansi dan strategis kamar terhadap 3 kelompok Renaksi NKB 12 K/L ?
–
Apa saja kegiatan yang penting dijalankan oleh kamar atau komisi dan DKN secara keseluruhan ?
•
Setiap kamar menyiapkan: –
Bahan presentasi (power point);
–
Mempresentasikan hasil sidang kamar.
Pembagian Kamar 1. Kamar Pemerintah (Ketua: Agus Yustianto) 2. Kamar Masyarakat (Ketua: Leonard Imbiri) 3. Kamar Akademisi (Ketua: Hariadi Kartodhardjo) 4. Kamar Bisnis
(Ketua: Agus Wahyudi)
5. Kamar LSM
(Ketua: Matheus Pilin)
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
48
b). Pembekalan oleh Noer Fauzi Rachman Renaksi NKB 12 K/L tidak mempertimbangkan putusan MK karena pada saat itu belum ada. Naskah lampiran ketiga NKB 12 K/L tentang Resolusi Konflik belum mempertimbangkan putusan MK. Maka naskah ini memiliki bentuk khusus karena ada konflik antara konsesi, Kementerian Kehutanan, dan masyarakat hukum adat. Konflik tersebut akan berlangsung di lapangan dan diperkirakan memiliki intensitas yang lebih besar.
Yang bisa dilakukan DKN dalam kaitannya dengan KPK adalah membuat resolusi konflik menjadi bagian yang diusulkan untuk dijadikan topik
Putusan MK seperti memberi isi bahwa akan ada jenis konflik melalui mana
interaksinya. Masing-masing kamar memiliki andil khusus karena merupakan
status dari masyarakat hukum adat menjadi lebih kuat karena dia akan keluar dari
channel bagiPadahal tiap konstituennya. hutan negara. hutan negaranya sebagian sudah ada di dalam kawasankawasan konsesi kehutanan. Konsesi kehutanan dapat berbentuk konsesi hutan produksi seperti HPH, bisa hutan tanaman, bisa hutan konservasi, bisa juga konsesi restorasi ekosistem. Butir-butir yang dibicarakan di dalam sidang kamar 1. Pandangan DKN atas konflik yang akan terjadi; 2. Pandangan DKN atas konflik yang akan diurus oleh DKN; 3. Rencana Kerja DKN.
B. Hari Kedua Pleno Pemaparan Hasil Sidang Kamar 1. Kamar Masyarakat Peserta Sidang Kamar Masyarakat a) Leonard Imbiri; b) Yanes Balubun; c) Jomi Suhendri; d) Sungging Septivianto; e) Andreas Lagimpu. Input Draft Kebijakan DKN Terkait NKB 12/KL a) Proses pelaksanaan program percepatan pengukuhan kawasan hutan/ NKB 12 KL (dasar : putusan MK No.45/2011) harus selaras dengan upaya implementasi keputusan MK No.35/2012 tekait dengan status hutan adat. b) Proses pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memperhatikan dan menghormati hak perorangan dan hak komunal/pertuanan/ulayat terkait dengan hutan adat sesuai putusan MK No.35/2013. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
49
c) Penggunaan kalimat “masyarakat perlu membuktikan hutan adatnya”, merupakan bagian dari proses penetapan kawasan hutan adat yang berbelit dan mempersulit masyarakat adat untuk menguasai dan mengelola kawasan hutannya. d) Perlu diatur dengan PP yang memungkinkan pemerintah memfasilitasi dan mendanai proses penetapan hutan adat. e) Peta kawasan hutan adat adalah salah satu alat dan bukan satu-satunya alat dalam membantu identifikasi kawasan hutan adat. f) Perumusan kebijakan kehutanan dalam kaitan dengan pengukuhan kawasan hutan secara khusus hutan adat di provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat haruslah merujuk pada UU otonomi khusus Papua dan Aceh. g) Penunjukkan kawasan hutan pada pulau-pulau kecil yang akan dikukuhkan perlu dikaji dengan mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan budaya masyarakat setempat. h) Rumusan Materi pokok dan peran bagi masyarakat adat/lokal pada halaman 4 dan aktifitas pada halaman 5 perlu dirumuskan kembali dengan mempertimbangkan keputusan MK No.35/2013. i)
Pada bagian peran masyarakat adat/lokal (halaman 4 & 5) perlu memasukkan posisi BUMN Kehutanan (Perum Perhutani,Inhutani) sebagai pihak yang selama ini juga mendapatkan alokasi besar dalam pengelolaan hutan.
j)
Pada halaman 6 perlu memasukkan peran UKM kehutanan yang telah memiliki konstribusi positif melalui hutan tanaman/hutan rakyat, namun belum mendapatkan perhatian yang baik melalui kebijakan pemerintah.
k) Dalam kluster renaksi (gambar 1. hal 5) perlu memasukkan upaya perluasan pencadangan kawasan hutan untuk HTR, HKM dan Hutan Desa. l)
FIP/DGM akan mencapai kesetaraan dan legitimasi jika rancangan, implementasi dan alokasi berbagai manfaatnya mencerminkan kebutuhan dan aspirasi di tingkat nasional dan subnasional.
Berkaitan dengan penanganan konflik, perlu; 1) memperkuat sistem yang telah dimiliki DKN (komisi mediasi konflik, mekanisme dan protokol penanganan konflik, infrastruktur pengaduan berbasis Web based online/offline, jejaring sosial, SMS Center); 2) memperkuat koordinasi dengan pihak terkait terutama Kementerian Kehutanan; 3) memperkuat kapasitas mediasi konflik.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
50
Berkaitan dengan fungsi supervisi yang dilakukan KPK terhadap implementasi NKB 12 KL, peran strategis yang perlu dilakukan DKN adalah memberikan masukan berupa informasi yang berkaitan dengan isu kehutanan. Tambahan Kamar Masyarakat Leonard Imbiri: Dalam perumusan kebijakan, terutama peraturan perundangundangan, biasanya ada kalimat-kalimat yang kadangkala menjadi jebakan dan tidak memperhitungkan mekanisme internal atau kearifan lokal masyarakat adat dalam menentukan batas-batas wilayah. Kalimat “masyarakat perlu membuktikan tanah adatnya.” menurut kita itu adalah suatu bentuk penyangkalan terhadap keberadaan masyarakat adat di wilayah Republik Indonesia. Kami menyarankan kalimat seperti itu tidak digunakan karena secara hukum itu kadangkala mempersulit masyarakat dalam proses-proses pengurusan hak-haknya.
Kamar masyarakat mengusulkan agar penentuan hutan adat perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah yang memungkinkan pemerintah memfasilitasi proses-proses penentuan batas wilayah masyarakat adat. Dan itu tidak hanya pada pemanfaatan peta tapi juga dengan memperhitungkan bagaimana mekanisme lokal masyarakat dalam menentukan batas wilayah adatnya.
Diskusi dan Klarifikasi Zulfikar (Kamar Pemerintah): saya mempertanyakan implementasi dari pernyataan “tidak diperlukan pembuktian terhadap batas wilayah masyarakat hukum adat.” Pertama, saya informasikan bahwa kondisi masyarakat hukum adat di setiap wilayah Indonesia berbeda-beda, karena masing-masing memiliki sejarah yang berbeda. Kedua, kaitannya dengan peraturan perundangan. Keputusan MK masih mengiyakan yang 67, lalu diatur dengan Undang-undang, dan dalam konteks diatur dengan undang-undang itu pengertiannya, sesuai dengan peraturan perundangan.
Apabila UU itu belum ada maka UU sebelumnya yang mengatur hal tersebut yang tidak berlawanan dengan substansi keputusan MK, masih berlaku. Dengan demikian maka tetap diperlukan pengakuan terhadap batas wilayah masyarakat hukum adat melalui Perda. Leonard Imbiri (Kamar Masyarakat): Dalam penjelasan teman-teman lebih banyak berkaitan dengan proses-proses penataan yang dilakukan terhadap tanah/hutan adat.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
51
Dalam pandangan kami bahwa, pertama, masyarakat adat memiliki kearfian lokal dalam menentukan batas wilayah. Peta bukan satu-satunya alat untuk menentukan batas wilayah masyarakat adat. Kedua, pembuktian tentang hutan adat tidak merupakan kerja masyarakat adat.
Di sini masyarakat adat disuruh untuk membuktikan hutan adatnya, melalui peta tadi. Menurut kami itu adalah suatu kerja yang membutuhkan kapasitas yang besar dan dalam proses-proses hukumnya masyarakat adat akan mengalami satu proses yang berbelit-belit dan itu akan membawa dia pada posisi sekarang. Itu satu kekhawatiran setelah menginterpretasikan kalimat “masyarakat adat perlu membuktikan hutan adatnya.” Kita tidak mengatakan “tidak membuktikan”, tapi penggunaan kalimat “masyarakat adat perlu membuktikan hutan adatnya.” dalam mekanisme, itu menyangkal posisi masyarakat adat dalam kaitannya dengan kearifan lokalnya menentukan batas-batasnya. Zulfikar (Kamar Pemerintah): Saya menyarankan kita perlu memberi perhatian khusus terhadap proses dan mekanisme di dalam Perda. Kita paham masyarakat punya kelemahan untuk melakukan pembuktian karena pembuktian butuh waktu, biaya serta berpotensi konflik. Perhatian khusus yang dimaksud adalah Pemerintah daerah dan DPR yang akan membuat Perda perlu ada persiapan dan perhatian khusus karena hal itu mengandung konsekuensi tertentu. Usep Setiawan (Fasilitator): Poin pak Zulfikar adalah memang harus jelas betul mengenai proses dan tatacara dalam penentuan mana yang disebut hutan adat dan mana yang bukan. Kita ingin memastikan bahwa proses penentuan wilayah adat betul-betul dijalankan dengan baik, dengan melibatkan banyak pihak, saling bersinergi, dan tidak ada yang menegasikan satu pihak dengan pihak yang lain. Leonard Imbiri (Kamar Masyarakat): Pertama, Perda untuk menentukan mekanisme sangat penting. Kearifan lokal dalam menentukan batas perlu dimasukkan ke dalam perda sebagai satu bentuk mekanisme. Jika kearifan lokal tidak dipakai, masyarakat tidak akan memiliki kapasitas untuk itu.
Kalau kearifan lokal dipakai, masyarakat akan jauh mempunyai kapasitas dalam mendorong proses-proses penenntuan batas wilayah adat. Mekanisme dari luar yang terlalu dipaksakan di luar mekanisme masyarakat adat, akan selalu membawa konflik baru bagi masyarakat.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
52
Hasby: kekhawatiran Kamar Masyarakat sudah ada di NKB, bahwa sebelum kita menetapkan kawasan atau wilayah hukum masyarakat adat, pertama kali perlu melakukan identifikasi. Identifikasi dilakukan melalui survey sosial yang melibatkan seluruh stakeholder. Disitulah kearifan lokal digunakan. Di dalam survey sosial, kearifan lokal bisa masuk untuk mengidentifikasi. Setelah itu menentukan batas-batas di lapangan.
Setelah batas-batas di lapangan ada, barulah dipetakan. Jadi, tidak terbalik; dipetakan baru dibuktikan. Survey sosial yang mengakomodir kearifan lokal dalam mengindentifikasi wilayah bisa meminimalisir konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah juga antara masyarakat adat satu dengan yang lain. David (Kamar Bisnis): di dalam pembuktian hutan adat, yang sering dipikirkan adalah potensi konflik dengan perusahaan atau dengan pemerintah. Kalau di Kalimantan Timur ada hambatan ketidaksepakatan antara masyarakat adat itu sendiri. Tidak ada solusi untuk masalah seperti itu. Pemegang ijin terpaksa menunggu mereka menyelesaikan persoalan, bahkan pro aktif menghubungi Panglima Dayak dsb. Dalam perencanaan penataan kawasan hutan perlu dipikirkan mekanisme penyelesaian masalah jika terjadi ketidaksepakatan antar sesama kelompok masyarakat. Di Sumatera juga terjadi hal serupa. Ada beberapa areal di Sumatera terjadi overlapping klaiming, masyarakat yang berbeda merasa memiliki areal yang sama sehingga terjadi dualisme kepemimpinan masyarakat adat di wilayah yang sama.
Dalam rangka kelancaran penataan hutan, jika terjadi konflik antar masyarakat adat, perlu ditentukan pihak mana yang akan menyelesaikan konflik tersebut. Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): Pertama, kemarin kita mendiskusikan sejarah keluarnya MK 45/2012. Putusan MK 45 dari sebuah proses penunjukan yang oleh MK menyatakan bahwa itu bertentangan dengan hukum sehingga harus dilakukan yang dinamakan pengukuhan. Menjadi pertanyaan diskusi kemarin adalah apakah pengukuhan itu akan dilakukan di atas wilayah-wilayah hasil penunjukan. Kalau itu dilakukan di atas wilayah hasil penunjukan, maka konflik akan terjadi, karena sejarah penunjukkan di masa lalu selalu bertentangan dengan hukum, selalu terjadi pelanggaran HAM, dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat. Kalau memang dari pemerintah sendiri meyakinkan kita, masyarakat adat atau masyarakat lokal, bahwa proses pengukuhan kawasan hutan bukan serta merta di Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
53
atas wilayah-wilayah yang sudah mendapat penunjukan kawasan hutan, atau pengukuhan kawasan hutan itu di wilayah baru yang diajukan oleh dunia usaha, maka mungkin mekanisme proses identifikasi itu bisa dilakukan secara terbuka dan secara partisipatif dengan masyarakat. Kalau proses pengukuhan kawasan itu dilakukan lagi di atas kawasan hutan yang sudah ditunjuk, hanya untuk memenuhi sebuah syarat legalitas hukum, setelah MK menyatakan itu tidak sah, maka itu yang tidak kita inginkan. Akan menjadi persoalan karena itu berarti bahwa sudah dibayangkan proses mengindentifikasi semua pranata-pranata sosial untuk menentukan, mengeluarkan hak ulayat, mengeluarkan hak perorangan terkait dengan masyarakat-masyarakat lokal, itu pun juga akan menjadi persoalan. Untuk mengantisipasi konfliknya bisa menggunakan peran DKN. Kedua, berkaitan dengan konflik antar masyarakat adat. Berdasarkan pengalaman kita, masyarakat adat memiliki kearifan untuk menyelesaikan konflik antar masyarakat adat. Tapi kalau tidak ada penyelesaian, ada intervensi dari oknum dunia usaha terhadap konflik itu. Oleh karena itu pemerintah harus memfasilitasi proses-proses penyelesaian konflik antar masyarakat adat agar semua pihak bisa duduk bersama-sama. Dunia usaha juga memberikan ruang kepada masyarakat adat untuk masuk ke dalam wilayahnya untuk melakukan pemetaan wilayah adat, tanpa merasa takut akan dikeluarkan dari wilayah investasi, dan masyarakat adat juga terbuka menyatakan titik-titik penguasaannya secara adat.
Di Maluku, ketika terjadi konflik antar negeri, maka Latupati, Forum Rajaraja di kawasan itu yang akan rapat dan memutuskan penyelesaian konflik. Masyarakat adat harus diberi ruang untuk menyelesaikan konfliknya.
Usep Setiawan (Fasilitator): Dua catatan kritis: mekanisme penanganan konflik yang mungkin terjadi dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan proses identifikasi hutan-hutan adat harus disusun sedemikian rupa. Marthen (Kamar Pemerintah): Pertama, percepatan proses penataan dan pengukuhan kawasan hutan bukan satu-satunya alat untuk menyelesaikan konflik tenurial. Kamar masyarakat menyatakan proses itu harus melibatkan masyarakat. Mekanisme proses penentuan batas dirinci dengan baik karena ini sangat berkaitan dengan hukum. Berdasarkan pengalaman, di H-2 dilakukan proses inventarisasi trayek batas terlebih dahulu sebagai prakondisi untuk melakukan penataan batas. Proses penentuan batas sangat bergantung pada mental sang Pengukur. Proses Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
54
penataan batas kawasan dan Penentuan batas bukan satu-satunya alat untuk menyelesaikan konflik, terutama di Papua karena 200 suku menyebar merata di seluruh tanah Papua. Kedua, bicara soal identifikasi hak-hak masyarakat adat harus dengan hati, tidak hanya dengan pikiran. Hati dan pikiran harus sinergis. Konflik kehutanan dan tenurial sudah berlangsung sangat lama dan basisnya hanya masyarakat dan pengusaha. Seharusnya Kemenhut harus ikut terlibat dalam penyelesaian konflik. Tidak bisa hanya mengandalkan Pemda. Penataan batas merupakan kata kunci, peta buka satu-satunya cara. Masing-masing kelompok masyarakat adat memiliki cara identifikasi kepemilikan hak ulayat yang berbeda-beda. Pengakuan kepemilikannya pun berbeda salah satunya berdasarkan sejarah perjuangan, seperti Papua. Usep Setiawan: Implementasi NKB tidak diperuntukkan bagi penyelesaian konflik tapi NKB punya kontribusi positif terhadap upaya-upaya penyelesaian konflik tenurial kehutanan. Noer Fauzy mengingatkan bahwa NKB punya potensi konflik karena terjadi tarik menarik kepentingan baik antar K/L, K/L dengan dunia usaha, dunia usaha dengan masyarakat, bahkan antar kelompok masyarakat. Dalam implementasi NKB ada tahapan-tahapan kritis yang harus disiapkan; mekanisme penyelesaian konflik. Oding (Kamar Akademisi): Di Papua dan Maluku sebagian besar kawasan hutannya berstatus hutan adat. Bisa jadi tidak ada hutan negara. Nanti kalau itu benarbenar terjadi, dengan berlaku putusan MK 35 maka potensi konfliknya sangat besar. Penting untuk mencermati dan menghilangkan potensi konflik itu. Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): memperjelas poin memperkuat koordinasi dengan pihak terkait terutama Kemenhut. Poin ini berkaitan dengan penangan konflik-konflik kehutanan. Usep Setiawan (Fasilitator): identifikasi pihak terkait selain Kemenhut dalam urusan penanganan konflik? Sungging Septivianto (Kamar Masyarakat): ketika proses penangangan konflik sudah berjalan dengan baik di awal, di pertengahan dan menjelang akhir proses biasanya Kemenhut berjalan sendiri dalam pengambilan keputusan. Salah satu contohnya yang ditangani di Sumatera. Ada upaya memperkuat koordinasi agar itu tidak terjadi lagi. Leonard Immbiri (Kamar Masyarakat): menambahkan mekanisme lokal dalam penanganan konflik.
2. Kamar LSM dan Pemerhati Ketua
:
Matheus Pilin
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
55
Sekretaris
:
Ita Natalia
Anggota
:
Paramita Iswari Rafles Ahmad Zazali
Catatan dan Masukan a) Lampiran 1; Harmonisasi kebijakan dan Peraturan Perundangan tabel hal 5 Renaksi Kementerian Kehutanan mengenai penyempurnaan aturan tentang pengukuhan kawasan hutan perlu penegasan mengenai: 1. Penerbitan aturan tentang STATUS kawasan hutan, 2. Penyempurnaan aturan terkait FUNGSI kawasan hutan. b) Terkait dengan hal tersebut, pada lampiran 5, draft naskah kebijakan DKN perlu di tambahkan catatan kaki mengenai belum adanya SK penunjukan/penetapan terhadap STATUS KAWASAN hutan di Indonesia c) Usulan; Tabel 5 pada draft Naskah Kebijakan DKN tidak perlu di cantumkan. d) Sebelum adanya kepastian hukum atas kawasan hutan sebaiknya revisi atas RTRWP di tangguhkan karena belum ada kepastian legal mengenai kawasan hutan. Implikasi dari melanjutkan RTRWP akan melegalkan pemutihan pelanggaran. e) Lampiran 3; Resolusi konflik. Terbangunnya konsensus penyelesaian konflik secara terpadu dan perlu ditetapkan penyelesaian konflik 1 pintu di kementerian atau lembaga terkait. f) Lampiran 3 ; bagi konsesi yang belum tata batas penyelesaian konflik (hak pihak ke tiga/ hutan adat) diselaraskan dengan proses tata batas. Bagi konsesi yang sudah tata batas tapi masih ada konflik (hak pihak ke tiga/hutan adat) penyelesaian dengan mekanisme dialog dan mediasi. Poin ini mendukung kerjakerja di poin 5. g) Secara khusus untuk KPK, perlu secara jeli menindak lebih lanjut kementerian atau lembaga yang mengabaikan renaksi NKB nya h) Catatan khusus kepada Presiden, untuk memberikan sanksi kepada kementerian atau lembaga yang mengabaikan renaksi NKB yang ditetapkan
Pandangan umum terhadap Carut Marutnya Tata Kelola Kehutanan Di Indonesia a) Dalam konteks Putusan MK 35/2012 & No.45/2012; Masalah kehutanan saat ini adalah sebagai masalah bersama dan masalah sektoral yang perlu perubahan cara pandang; kebijakan dan cara kerja. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
56
b) Inkonsistensi terhadap proses pengukuhan kawasan hutan yang telah ada selama ini sehingga diperlukan transparansi terhadap seluruh dokumen dalam pengukuhan kawasan hutan (peta dan berita acara) sehingga dapat diverifikasi oleh publik.
Pandangan Kamar LSM/Pemerhati terhadap NKB 12 K/L a) Partisipasi masyarakat sangat penting mengawal proses NKB K/L sampai ke tujuan. b) Bahwa NKB 12 K/L bisa menjadi terobosan untuk mengatasi carut marutnya persoalan kehutanan dengan catatan semua pihak (pemerintah, CSO, masyarakat adat dan komunitas lokal, sektor usaha, akademisi) mengambil peran/bagian sesuai dengan fungsinya terkait dengan putusan MK ini. c) Bahwa dalam upaya memperkuat Indonesia Memantau Hutan (IMH) menghimbau kepada semua pihak untuk mendukung upaya tersebut yang di fasilitasi KPK. d) Memastikan transparansi dari setiap proses serta uji akuntabilitas terhadap output yang dihasilkan
Rekomendasi a) Memastikan prinsip keadilan gender dalam NKB b) Legalitas perijinan akan bermasalah ketika kepastian hukum belum ada sehingga moratorium menjadi alasan yang paling kuat.Ijin-ijin tidak diterbitkan di wilayah yang belum ditata batas menjadi hutan Negara, tidak dipertukarkan dan tidak dipinjamkan, sebagaimana penjelasan UUK pasal 12. c) KPK bersama DKN membangun sebuah sistem monitoring yang transparan dan inklusif d) Dalam upaya memperkuat Indonesia Memantau Hutan IMH) menghimbau untuk mendukung bentuk pemantauan hutan yang di fasilitasi KPK. Tidak harus semua melalui DKN, bisa juga bentuknya himbauan untuk memperkuat IMH yang difasilitasi KPK. Secara explicit kita biulang yang difasilitasi e) KPK bersama DKN mendiseminasikan hasil NKB 12 K/L dan rencana aksinya seluruh wilayah di Indonesia, termasuk pulau kecil. f) KPK bersama DKN melakukan peningkatan kapasitas terhadap masyarakat sipil untuk dapat memantau pelaksanaan NKB ini g) Kementerian Kehutanan harus mempunyai desk terpadu untuk penyelesaian konflik kawasan hutan. Ini juga berlaku untuk Papua dan pulau-pulau kecil.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
57
Dalam Tabel 5 pada naskah Kebijakan DKN, yang dijelaskan hanya fungsi saja. Sementara yang menyangkut status tidak dibahas sehingga tentang hutan negara, hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan rakyat, dll tidak ada kejelasan. Pernyataan bahwa bisa jadi di Papua tidak ada hutan negara, dikarenakan persoalan status yang tidak jelas. Dalam konteks fungsi, diasumsikan fungsi kawasan hutan merupakan hutan negara. Status menjadi isu yang penting. Hubungannya dengan moratorium dan kepastian hukum, aspek penetapan dengan memperhatikan aspek status menjadi sangat penting.
Momentum Terkait dengan UU 41 banyak sekali terjadi kriminalisasi sehingga masyarakat adat menginginkan segera adanya amnesti terhadap kasus-kasus yang ada. Implikasinya adalah soal kepastian hukum kalau kita bicara mengenai hutan adat, aspek pengukuhan. Moratorium juga berimplikasi pada kepastian hukum. Kalau kepastian hukum ini dalam konteks mendukung NKB 12/KL maka revisi rencana RTRWP itu dalam konteks kepastian hukum.
Tambahan Kamar LSM Rafles: Status kawasan hutan diatur dalam pasal 5 UU 41 sedangkan fungsi kawasan hutan diatur dalam pasal 6 UU 41. Yang terjadi dalam aturan-aturan pelaksanaanya itu adalah mengacaukan istilah status dan fungsi di dalam PermenPermen yang kemudian keluar.
Dalam status kawasan hutan sebetulnya tidak perlu adanya PU 45 maupun PU 35 kalau mandat ini dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan. Karena terhadap status kawasan hutan, itu terkait dengan hak penguasaan; hak penguasaan oleh masyarakat, hak penguasaan oleh negara. Sementara, fungsi kawasan hutan adalah tentang bagaimana hutan itu dikelola. Jadi kedua-dua halnya itu membagi habis seluruh wilayah Indonesia. Jadi tidak bisa fungsi menegasikan status. Sama saja ketika kita mempersoalkan antara kawasan hutan dengan batas administrasi negara karena memang kepemilikan pasti dibagi habis. Kalau tidak dimiliki oleh rakyat, pasti dimiliki oleh negara. Sampai saat ini, dari 8 SK penunjukan kawasan hutan yang ada di pulau Sumatera, tidak satupun SK penunjukan yang mengatakan itu adalah status kawasan hutan, tapi fungsi kawasan hutan. Itu kenapa kita berani mengatakan bahwa ini tidak dilaksanakan. Mungkin paradigma ini yang perlu dilihat ulang. Artinya, sepertinya sudah ada penerjemahan-penerjemahan yang keliru dan ini mungkin perlu diperdebatkan kedepan kalau memang konteks Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
58
hukumnya perlu dipersoalkan. Ini sangat menarik sekali karena memang akar persoalannya ada di status dan tidak pernah dilaksanakan dan yang muncul kemudian adalah interpretasi-interpretasi yang cenderung menyesatkan.
Diskusi dan Klarifikasi Agus Yustianto (Kamar Pemerintah): Mengomentari diagram. Tadi disampaikan “status kawasan hutan”, ini rancu karena diposisikan ada hutan negara, hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat. Hutan desa dan hutan kemasyarakatan adalah ijin yang diberikan oleh pemerintah yang berada di hutan negara.
Perlu merekonstruksi lagi hal yang berkaitan dengan status kawasan hutan karena pemahaman dan implementasi dari hutan-hutan tersebut masih rancu.
Pola-pola pemanfaatan hutan harus direkonstruksi agar tidak membingungkan. Misalnya posisi hutan desa dan hutan kemasyarakatan, yang dipahami adalah ijin yang diberikan. Hutan desa, hutan negara dan hutan kemasyarakat tidak bisa disejajarkan.
Rafles (Kamar LSM): memang betul di dalam beberapa Permenhut, hutan desa dan Hutan kemasyarakatan dimaknai sebagai ijin. Tapi kalau melihat konstruksi dari UU 41 di pasal 5 dan pejelasan pasal 5, sepanjang hutan desa dan hutan kemasyarakatan itu dimaknai sebagai ijin, itu justru bertentangan dengan UU 41. Banyak hal yang mis dari UU 41 karena banyak aturan-aturan yang tidak ditemukan. Misalnya tentang pembatasan ijin, ada di UU tapi tidak ada PP maupun Permen yang mengatur itu. Itu adalah aspek monopoli.
Usep Setiawan (Fasilitator): Point tentang status dan fungsi kawasan hutan adalah perlu mengkaji ulang, merekonstruksi dan mendudukan kembali UU 41, UU Kehutanan, dikaitkan dengan implementasi NKB. Zulfikar (Kamar Pemerintah): Rekomendasi kamar LSM menggiring DKN seolah-olah menjadi operasional pelaksana eksekusi. Tidak setuju dengan rekomendasi itu. Tidak masalah DKN melakukan pemantauan tapi jangan tempatkan DKN bersama KPK untuk melakukan sesuatu yang operasional. Apalagi DKN bersama KPK menonitor kerja NKB, kemudian mendesimenasikan ke seluruh Indonesia. Itu sudah keluar dari garis besar haluan di DKN.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
59
Matheus Pilin (Kamar LSM): Perspektif kamar LSM dalam poin rekomendasi adalah disadari bahwa anggota presidium DKN berada di beberapa wilayah di Indonesia. Maka ketika melakukan proses diseminasi terkait dengan dokumen NKB, ini akan sangat strategis untuk disampaikan kepada banyak orang. Kamar LSM tidak melihat ini dalam konteks operasional melainkan mendayagunakan fungsi-fungsi yang ada dalam tubuhnya DKN ini ketika berada di wilayah-wilayah yang ada di tiap kamar yang bisa berkontribusi.
Usep Setiawan (Fasilitator): Poinnya DKN mendorong KPK untuk melakukan rekomendasi poin 3, 5 dan 6, tapi tidak dalam posisi DKN mengerjakan pekerjaannya KPK. Perlu ada reformulasi redaksi rekomendasi.
Zulfikar (Kamar Pemerintah): Kalau yang dimaksudkan bahwa DKN ingin mendiseminasikan informasi apa yang telah dilakukan oleh DKN kepada konstituen, itu tidak ada masalah. Itu satu keharusan bagi DKN karena DKN berdasarkan konstituen. Tapi kalau misalnya DKN bersama KPK mendiseminasikan hasil NKB dan rencana aksinya pada seluruh wilayah Indonesia, termasuk pulau kecil, itu sama dengan DKN didorong untuk menjadi operasional eksekusi. Redaksi rekomendasinya mengarah ke situ.
Eny Faridah (Kamar Akademisi): di dalam draft Naskah Kebijakan DKN, di bagian terakhir tertera bahwa DKN akan mendukung proses perencanaan maupun desimenasi dan pelaksanaan renaksi NKB dan akan masuk ke 5 kelompok. Agar DKN tidak menjadi pelaksana KPK, bentuk dukungan DKN bisa mengikuti apa yang diperlukan. Redaksi rekomendasi menjadi “KPK dengan dukungan DKN melakukan desiminasi.” Bentuk dukungan bisa dibicarakan lebih lanjut.
Paramitha Iswari (kamar LSM): DKN bukan hanya presidium. AD menyebutkan bahwa DKN termasuk juga orang-orang yang pernah mengikuti kongres DKN. Artinya DKN punya konstituen di seluruh wilayah Indonesia. Maksud dari rekomendasi ini adalah KPK menyelenggarakan diseminasi NKB lalu DKN memberikan informasi mengenai konstituen DKN. Ini tidak keluar dari kewenangan DKN karena ini bukan proyek atau DKN menjadi konsultan bagi KPK.
Marthen (Kamar Pemerintah): berkaitan dengan rekomendasi poin 5 dan 6, “mendukung” bentuknya bisa “bersama-sama KPK”, bisa juga “sendiri tapi substansi sama”. “Melakukan sendiri” juga termasuk mendukung. Yang penting semua sepakat Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
60
untuk menindaklanjuti NKB maka semua punya tanggungjawab yang sama untuk melakukan itu. Sosialisasi adalah tugas KPK dan 12 K/L.
Zulfikar (kamar Pemerintah): Mohon klarifikasi lebih lanjut tentang pernyataan penundaan revisi RTRWP sampai ada kepastian hukum atas kawasan hutan.
Rafles (Kamar LSM):
RTRWP perlu ditunda karena fungsi maupun status kawasan hutan menjadi data dasar dalam penyusunan rencana tataruang. Rencana tataruang menjadi tidak pasti jika datanya ilegal. Legalitas tata ruang bisa dipertanyakan ketika legalitas kawasan hutannya bermasalah. RTRWP justru menjadi alat untuk melegalkan ijin-ijin yang bermasalah di masa lalu. Memutihkan pelanggaran ijin. Tapi tidak ada proses transparansi dari setiap proses tim terpadu kepada publik. Contohnya di Kalimantan Tengah. Dokumen Tim terpadu belum pernah ditemukan secara publik sehingga tidak bisa dilakukan penilaian apakah kajian tim terpadu itu berdasarkan otoritas ilmiah yang bisa diverifikasi pula secara ilmiah. Jika itu tidak dilakukan, maka bisa dikatakan bahwa ini adalah sebuah upaya untuk mengebiri semangat yang luar biasa dari UU Penataan ruang. Karena proses keluarnya PP 10/2010 itu setelah UU 26/2007 keluar, tentang Tata Ruang. Memang benar itu mandat dari UU 41 tapi keluarnya pasca UU Tata Ruang keluar. Dan menariknya, satu mandat dari UU Tata Ruang tidak dilaksanakan oleh pemerintah; Audit Perijinan. Karena di sana resmi batal demi hukum dan batal dengan kompensasi. Artinya semangatnya itu adalah menertibkan ijin-ijin. Ini seirama dengan NKB. Persoalannya adalah seberapa parah persoalan, ketika tidak teridentifikasi akan menumpuk akumulasi persoalan. Penyelesaian juga bersifat parsial, akhirnya. Yang kasihan adalah pihak pengusaha.
Usep Setiawan (Fasilitator): poin kritisnya adalah isu kaitan antara percepatan pengukuhan kawasan hutan dan revisi RTRW. Lampiran 1 NKB berkaitan dengan harmonisasi kebijakan maka perlu dilihat harmonisasi sinkronisasi antara UU Kehutanan, pelaksanaan NKB dan UU RTRW dan pelaksanaanya.
Leonard Imbiri (Kamar Masyarakat): Posisi DKN bisa merupakan satu kesimpulan bersama. Tapi posisi DKN juga bisa keluar dalam posisi kamar-kamar, jika DKN tidak bisa sampai pada konsensus. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
61
Usep Setiawan (Fasilitator): Ada dua model penyikapan atas kebijakan, bisa DKN secara keseluruhan merumuskan sikap bersama secara bulat tapi dalam hal-hal tertentu tiap kamar bisa punya sikap yang otonom. Rekomendasi LSM perlu diberi konteks yang lebih luas terkait hubungan antara kebijakan tata ruang dan penataan kawasan hutan.
Matheus Pilin (Kamar LSM): Ini adalah pandangan kamar. Kamar punya kepentingan terhadap konteks dan teminologi. Muncul kata “ditangguhkan” di dalam catatan dan masukan poin 4 karena perhatian kita lebih pada land-use ketika bicara soal tataruang. Land-tenure sering terabaikan. Ketika kita selalu bicara dalam konteks land-use nya dan mengabaikan land-tenure-nya maka berhubungan ketika kita bicara soal tata ruang. Contoh kasus untuk menegaskan bahwa RTRW perlu ditangguhkan adalah masyarakat tidak diperbolehkan membuat sekolah di kampungnya karena masih masuk di dalam kawasan hutan sementara masyarakat butuh sekolah. Ketika itu dipaksakan masuk ke dalam bagian tataruang yang ditetapkan maka konflik yang terjadi. Rekonstruksi rekomendasi tidak boleh menghilangkan kata “ditangguhkan”. Mohon tanggapan atas rekomendasi mengenai penyelesaian konflik satu pintu di Kementerian atau lembaga terkait. (catatan dan masukan kamar LSM poin 5)
Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): penyelesaian konflik harus berkoordinasi dengan pihak terkait, dalam hal ini kehutanan. Pengalaman Komisi Mediasi Konflik DKN, penyelesaian konflik justru hilang di tingkat Kementerian kehutanan. Penyelesaian konflik harus berada di dalam satu kewenangan tertentu yang benar-benar bisa punya kepastian hukum.
Jomi Suhendri (Kamar Masyarakat/Komisi Mediasi Konflik DKN) Sepakat dengan adanya mekanisme penyelesaian konflik 1 pintu di kementerian atau lembaga tertentu. Proses penyelesaian konflik terkait dengan keterbatasan di DKN, terutama Komisi Konflik. Komisi Konflik DKN sifatnya hanya rekomendasi, tidak bisa memutuskan segala sesuatu yang sifatnya eksekusi. Eksekusi tetap ada di wilayah kemenhut. Jika arah dorongannya ke penyelesaian konflik 1 pintu, harus ditentukan ada di kementerian mana. Di Kemenhut sebenarnya sudah ada tim kerja yang bekerja menyelesaikan konflik kehutanan. Perlu diperjelas apakah yang dimaksudkan dengan 1 pintu ini mendorong ke arah Rekomendasi Kamar LSM poin 7; Kemenhut harus mempunyai desk terpadu untuk penyelesaian konflik kawasan hutan. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
62
Jali (Kamar LSM): proses penyelesaian konflik di internal Kemenhut tersebar di beberapa direktorat. Tahap penyelesaian penataan batasnya dipegang Dirjen Planologi(?). Terhadap konflik yang terjadi antara masyarakat dan pemegang konsesi diurus oleh Dirjen BUK. Bahkan sekarang ada PUPDAL, di bawah Sekjen langsung yang punya fungsi mediasi. Tiga proses ini terkadang tidak terkoneksi. Ketika DKN ditunjuk sebagai mediator, untuk menyelesaikan satu kasus, DKN harus rapat sendirisendiri dengan masing-masing bagian tersebut. Untuk penyelesaian melalui mekanisme tata batas harus berurusan dengan planologi. Untuk yang berurusan RKT, proses perijinan dll, melalui BUK. Dan sekarang ditambah dengan lembaga PUSDAL yang langsung di bawah Sekjen.
Perlu ada penyelesaian konflik satu pintu agar birokrasinya tidak terlalu panjang. DKN pernah mengusulkan adanya direktorat khusus yang menangani penyelesaian konflik. Minimal 1 direktur penyelesaian konflik di bawah Kementerian Kehutanan. Menurut Kementerian Kehutanan penambahan itu tidak mudah karena itu membutuhkan persetujuan DPR dan Menpan karena butuh penambahan eselon. Akhirnya jalan tengahnya adalah penambahan tupoksi yang akibatnya tupoksi tersebar.
Karena ini NKB, yang kita pikirkan adalah konflik kawasan hutan yang terkait dengan fungsi departemen atau kementerian lain. Tentu penyelesaiannya tidak di desk Kementerian Kehutanan tapi harus ada kelembagaan yang bisa menjadi payung. Barangkali ada lembaga penyelesaian konflik yang bisa lintas departemen. Usep Setiawan (Fasilitator): kamar LSM dan kamar masyarakat mengusulkan agar mekanisme penanganan dan penyelesaian konflik kawasan kehutanan ini diperbaharui dan ditata ulang dengan satu usulan kongkrit mekanisme dan kelembagaan yang selama ini tersebar kewenangannya di sejumlah unit, dikumpulkan dalam satu unit. Perlu juga didesain mekanisme penyelesaian konflik yang ada di kemenhut dan kementerian yang lain, serta antara kementerian.
David (Kamar Bisnis): di dalam NKB 12 K/L ada satu bagian yang khusus masalah penyelesaian konflik. Di dalam satu Kementerian saja sering tidak terbangun koordinasi yang baik, apalagi antar kementerian.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
63
Penyelesaian konflik tidak bisa diserahkan kepada satu kementerian saja karena konflik pasti terjadi lintas kementerian. Dengan adanya NKB 12 K/L akan dibentuk saru organisasi yang didalamnya salah satu khusus untuk menyelesaikan konflik. Usep Setiawan (Fasilitator): lampiran ketiga NKB berkaitan dengan resolusi konflik, yaitu mengidentifikasi tugas-tugas atau aksi-aksi yang akan dilakukan setiap kementerian/lembaga dalam konteks resolusi konflik. Kedepannya akan dibentuk satu badan khusus atau mengoptimalkan fungsi koordinasi antar kementerian dan lembaga, perlu ada konfirmasi dari KPK.
3. Kamar Akademisi dan Peneliti Peserta Sidang Kamar Akademisi a) Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo (IPB) b) Dr. Eny Faridah (UGM) c) Dr. Agus Kastanya (Universitas Pattimura) d) Teguh Yuwono, M.Si (UGM) e) Oding Affandi, M.P (USU) f) Dr. Edy Batara Siregar (USU)
Masukan Terhadap Naskah KebijakanDKN a) Bagian Pendahuluan Penambahan “hutan desa” pada kalimat “Sementara itu bagi usaha kecil seperti hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan desa, maupun ….. Dst” b) Bagian Kinerja Nasional dan Perkembangan Kebijakan
Kondisi dan kinerja nasional point (3) penambahan kata “(ill forestry and land governance)”
Rencana pembangunan dan problemanya point (6) penambahan kalimat” Kebijakan ini juga nyaris tidak berkomunikasi dengan kebijakan pengurusan kehutanan terutama dalam bidang perencanaan kehutanan sebagaimana termaktub pada UU 41/1999 Tentang Kehutanan”.
Bagian Kawasan Hutan dan Ruang point (7) penambahan kata “Namun dalam konteks lapangan, adanya putusan MK ini dapat menjadi tameng dari kebijakan bupati/gubernur dalam hal “alih fungsi/peruntukan kawasan hutan” menjadi perkebunan/pertambangan dll yang selama ini banyak terjadi di banyak daerah”.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
64
c) Bagian Kinerja Nasional dan Perkembangan Kebijakan
Bagian Kawasan Hutan dan Ruang point (10) penambahan kata Oleh karena itu perlu segera diketahui bagaimana konstelasi terkait penguasaan kawasan hutan dan lahan di tingkat tapak dan potensi konflik antara “masyarakat hukum adat” dengan pemilik ijin-ijin konsensi.
Penambahan point (11) Pemerintah telah mencanangkan kebijakan penggunaan ruang di dalam kawasan hutan melalui kerangka Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), sebagaimana dimandatkan oleh UU 41/1999 dan PP 6/2007 Jo. PP 3/2008. Kebijakan ini menggariskan bahwa kawasan hutan harus terbagi habis ke dalam satu anakuntabilitas dan permanen di tingkat tapak. Melalui KPH, implementasi kebijakan yang berkaitan dengan keruangan, serta hubungan antar aktor di sektor primer kehutanan, dan pencapaian/pemeliharaan fungsi social, lingkungan (termasuk peran dalam penurunan emisi karbon) dan ekonomi dapat didesentralisasikan kepada KPH.
d) Bagian Agenda 12 Kementerian/Lembaga
Peran bagi Masyarakat Adat/Lokal penambahan kata Pemerintah/Pemda sendiri misalnya dalam pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung. Keberadaan …dst… Hutan ini dapat diselesaikan dengan dilakukannya revisi UU 41/1999 tentang kehutanan
Penambahan kalimat Dengan kenggotaaan Panitia Nasional Tata Batas yang tidak hanya dari Kemenhut tapi juga beranggotakan representasi K/L yang lain.
Peran bagi Usaha Besar Kehutanan Penambahan kalimat alinea 2 “Yang tidak kalah penting adalah adanya mafia perizinan yang berdampak pada mahalnya biaya perizinan khususnya untuk izin pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang.”
Pandangan DKN a) Pembahasan Kebijakan point Kelompok Pengukuhan Kawasan Hutan penambahan kata “terutama untuk menentukan kriteria legalitas masyarakat hukum adat di tingkat lapangan”. b) Penambahan alinea penutup dengan kalimat “Tentu, kelima kelompok tersebut tidak bekerja secara independen, karena kelimanya saling terkait dan saling berinteraksi. Muara atau sasaran akhir yang harus dipantau adalah perbaikan tata kelola baik di tingkat koherensi kebijakan, efektivitas pemantapan kawasan, efektivitas organisasi pengelola sumber daya Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
65
kehutanan, terjaminnya peningkatan ruang kelola dan pendapatan masyarakat, serta terjaminnya usaha dan bisnis berbasis kehutanan lestari.”
Naskah kebijakan DKN harus dapat menjelaskan bahwa pembangunan nasional sekarang sagat sektoral dan tidak terpadu, baik antar Departemen maupun dalam Departemen kehutanan sendiri (Antar Dirjen), sehingga setiap program yang dikembangkan tidak ada prioritas untuk penyelesaian masalah yang dihadapi. Seluruh rencana pembangunan harus terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Nasional yang terpadu termasuk MP3EI, RAN GRK, Stranas REDD+, Pengelolaan hutan lestari seluruhnya diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat. Konsep pembangunan nasional inilah yang harus dijabarkan dalam pembangunan daerah (keterpaduan RTRW, TGH/K dan pembangunan sector lainya) Dengan adanya keputusan MK No. 35/2012 tentang hak masyarakat adat, perlu dipikirkan bagaimana pengelolaan hutan lestari bisa berjalan. Ada acaman terhadap eksistensi hutan lestari yaitu KPH, apabila hutan adat dikeluarkan dari hatan Negara, dan tidak ada aturan yang tegas menyangkut pengelolaan KPH. Wilayah-wilayah yang hampir seluruhnya menyangkut hak adat (seperti Maluku dan Papua) terutama Maluku sebagai kawasan pulau-pulau kecil, perlu dikelola dalam kesatuan KPH hutan adat, untuk menjamin kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk kawasan pulau-pulau kecil, maka pemberian ijin untuk pertambangan harus dihentikan karena sangat berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan, terutama lingkungan laut pesisir yang juga memiliki biodeversitas tinggi Peran KPK dalam NKB 12 K/L, selain terfokus pada 12 kementerian dan lembaga, juga harus benar-benar difokuskan ke pemerintah daerah untuk mengatasi pemberian ijin yang tidak sesuai prosedur dan menyalahi RTRW dan tumpang tindih ijin
Pandangan Umum Terhadap NKB 12 K/L •
NKB merupakan program jangka panjang dan bersifat lintas sektoral maka dibutuhkan komitmen penyelenggara pemerintahan baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
•
Perlu dibangun kesepahaman yang sama terkait NKB, khususnya dengan legislatif. Kesepahaman yang sama akan memudahkan tercapai harmonisasi
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
66
kebijakan dan peraturan perundangan jika dalam aksi NKB akan mengarah pada proses penyusunan atau amandemen sebuah kebijakan (undang-undang) •
Jikapun ada komitmen besar di tingkat menteri/ketua lembaga dalam renaksi NKB, yang juga penting adalah bagaimana antisipasi implementasi ketia kegiatan ini di tingkat2 lebih rendah/di lapangan, apalagi jika mempertimbangkan perbedaan kondisi/budaya kerja di setiap daerah;
•
Terwujudnya NKB 12 K/L dengan peran KPK yang kuat, adalah kesempatan untuk mereformasi kebijakan termasuk peraturan pelaksana yang tidak sesuai untuk mendudukkan pengelolaan yang benar dan mendukung kesejahteraan masyarakat. Untuk itu memadukan Renaksi NKB 12 K/L dengan memfokuskan integrasi semua jenis program kehutanan yang ada dengan pembangunan KPH hendaknya menjadi prioritas utama;
Pandangan Umum Terhadap Putusan MK 35/2012 •
Putusan MK telah menempatkan kembali masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai subjek hak dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan;
•
Putusan MK diharapkan menjadi pintu masuk rekonsiliasi antara pemerintah, masyarakat adat, dan pngusaha Pemerintah bersama masyarakat adat memetakan wilayah hutan adat yang selama ini masih belum ada kejelasan penunjukan dan penetapannya;
•
Dalam menindaklanjuti putusan (constitutional review) MK/45 maupun MK/35 diusulkan agar sementara dilakukan penundaan perijinan yang baru (HPH/HTI dsb) di kawasan hutan yang belum ditetapkan, agar pengukuhan status (hutan adat) tidak banyak hambatan;
•
Perlu disusun strategi/kebijakan dengan mempertimbangkan ketidak-netralan Pemda terhadap percepatan penetapan hutan adat, mengingat dari kepentingannya Pemda akan lebih diuntungkan dng pengukuhan kawasan untuk tujuan selain itu;
•
Perlu kepastian hukum bagaimana hak (kepemilikian) hutan adat ini secara administratif didaftarkan ke Negara (register) apakah berstatus seperti hak milik atau ada hak komunal, sehingga terdapat kejelasan statusnya.
Kegiatan Yang Penting untuk Dilaksanakan oleh DKN
DKN akan memberikan input substansial terhadap perbaikan peraturanperundangan, berupa: masalah-masalah di lapangan serta pemecahan masalah yang dapat dijalankan;
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
67
Dalam 6 bulan sekali diusulkan ada pertemuan antara KPK dan DKN untuk mereview pelaksanaan NKB dan mekanisme penyelesaian hambatanhambatan yang dihadapi;
Identifikasi/inventarisasi hasil pemetaan hutan yang secara de facto dan de jure yang merupakan kawasan hutan adat untuk mempercepat penetapan legalitas masyarakat hukum adat yang sah sebagai pemangku kawasan hutan adat;
Akademisi dapat berperan dalam percepatan pembangunan KPH melalui peningkatan kapasitas SDM nya;
Mengingat anggota DKN/DKD terbatas, mungkin perlu disampaikan bahwa terbuka kemungkinan bahwa DKN –dalam mendukung NKB 12 K/L iniakan bekerjasama dengan lembaga terkait jika dipandang perlu;
Peran DKN untuk merealisasikan NKB 12 K/L, sebaiknya mendorong pembentukan DKD di tiap Provinsi dan meningkatkan kapasitas DKD untuk membantu merealisasikan seluruh Renaksi NKB;
DKN sebagai wadah multi-pihak diharapkan mampu keluar dengan satu pandangan bahwa dengan adanya Keputusan MK No. 35/12 eksistensi hak masyarakat adat dengan hutan adatnya harus tetap dapat berbentuk sebagai hutan/lestari di dalam KPHP, KPHL, KPHK dan tidak mengkonversi fungsi hutan sehingga daya dukung lingkungan terabaikan.
Diskusi dan Klarifikasi Imam (Kamar Bisnis): Setuju atas usulan Kamar akademisi berkaitan dengan amandemen UU 41 karena dalam 14 tahun ini sudah banyak yang harus disesuaikan. Dengan NKB diharapkan kita bisa memberikan pendewasaan kepada konstituen bahwa kita tidak berdiri sendiri. Setiap kamar pasti ingin kepentingan kostituennya didahulukan. Diterbitkannya NKB adalah kemajuan pemerintah. Implementasi NKB harus memperhitungkan kelangsungan hidup dari konstituen lain. Harapannya DKN bisa diterima oleh semua konstituen dari seluruh stakeholder. Kerjasama antar kamar perlu ditingkatkan karena DKN adalah milik bersama. Mendukung penyelesaian konflik satu pintu yang penting bisa menyerap aspirasi 5 kamar.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
68
Zulfikar (Kamar Pemerintah): Panitia tata batas anggotanya antara lain BPN, perkebunan, kehutanan dll.
Marthen (Kamar Pemerintah): Amandemen UU 41 pasti membutuhkan waktu. Sambil menunggu amandemen UU 41 yang bisa dipercepat adalah harmonisasi dan sinkronisasi aturan-aturan tiap KL dalam waktu 2 minggu.
Usep Setiawan (Fasilitator): dua poin dari Kamar Pemerintah; (1) penjelasan panitia tata batas perlu diperdalam dan (2) revisi UU Kehutanan serta percepatan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan-peraturan kementerian/Lembaga. Panitia tata batas sebagai ujung tombak dari proses percepatan pengukuhan kawasan hutan mendapatkan perhatian khusus.
Agus K. (Kamar Akademisi): Semangat untuk membangun ini kembali betul-betul dilakukan dengan proses-proses yang terbuka dan tidak menggunakan cara-cara lama.
Marthen (Kamar Pemerintah): Pembentukan Panitia Tata Batas harus merujuk kepada NKB 12/KL, bukan hanya kepada panitia tata batas yang ada sekarang. Itu bisa dilakukan di daerah. Dinas Kehutanan setempat mengusulkan ke Gubernur. Langsung saja bisa karena ketuanya itu Bupati.
Usep Setiawan (Fasilitator): Kewenangan, inovasi dari pemerintah daerah dibutuhkan untuk menjadikan panitia tata batas lebih melibatkan banyak pihak, dan lebih efektif dalam pekerjaannya. Bukan hanya terbentuk format tapi juga efektif di lapangan.
Zulfikar (Kamar Pemerintah): Ada masalah ketatanegaraan terkait dengan Panitia Tata Batas. Panitia Tata Batas diketuai oleh Bupati atas sepengetahuan menteri. Anggotanya adalah Disbun, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian dan semua SKPD yang berkaitan dengan penggunaan lahan. Masalahnya lembaga-lembaga ini tidak ada hubungannya dengan K/L. Disbun tidak ada hubungannya dengan K/L Pertanian, Dinas kehutanan tidak punya hubungan dengan K/L Kehutanan. Hanya ada satu lembaga yang punya hubungan vertikal langsung dengan pusat, yaitu kantor pertanahan.
Yang perlu menjadi catatan, apa yang dimaksudkan dengan instansi K/L itu tidak serta merta dalam tata pemerintahan kita itu bisa didelegasikan pada dinas-dinas tingkat kabupaten. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
69
Contohnya kebijakan kementerian pertanian tidak serta merta bisa dijabarkan oleh dinas perkebunan ketika menjadi panitia tata batas. Wakil pemerintah di daerah itu adalah Gubernur. Gubernur membentuk panitia, tapi dia tidak punya link secara langsung. Hubungannya dengan Bupati adalah koordinasi dan monev.
Usep Setiawan (Fasilitator): butuh penjelasan lebih lanjut hubungan antar unsur pemerintahan.
Agus (Kamar Akademisi): Harus dilihat substansi apa yang mau dilakukan dalam penentuan tata batas. Semua komponen yang masuk ke dalam kepanitiaan tata batas harus melihat substansi itu; apa yang harus diselesaikan.
Eny Faridah (Kamar Akademisi): NKB di atas meja terlihat mulus tapi belum tentu pelaksanaan di lapangan juga akan mulus. Di bagian masukan untuk draft kebijakan DKN kamar akademisi menegaskan bahwa yang terpenting adalah bagaimana mengantisipasi implementasi setiap kegiatan. Diantaranya Panitia Tata batas, diupayakan kedepannya tidak akan seperti sekarang.
Usep Setiawan (Fasilitator): Implementasi NKB membutuhkan sinergisitas dari semua unsur pemerintahan dan itu harus tercermin dari Panitia Tata Batas.
Jali (Kamar LSM): Tata batas merupakan titik masuk pengentasan soal status maupun soal konflik-konflik di dalam kawasan hutan. Ada dua tata batas yang berbeda; tata batas untuk pengukuhan kawasan hutan dan tata batas terhadap wilayah yang sudah dibebani hak pihak, dalam hal ini sudah diberikan ijin-ijin konsesi di atas kawasan hutan itu. Kedua jenis tata batas itu memiliki Permenhut yang berbeda. Khusus untuk kawasan hutan yang sudah dibebani konsesi IUPHHK-HT, itu diatur dalam Permenhut 9/2011, sedangkan untuk pengukuhan kawasan hutan diatur Permenhut 44/2012 tentang pengukuhan kawasan hutan. Penatabatasan wilayah yang sudah dibebani ijin konsesi berada di bawah koordinasi BPKH yang kewajibannya hanya 11% dari total tata batas, selebihnya diserahkan kepada konsultan/pihak ketiga yang disewa oleh pemegang konsesi. Rata-rata pemegang konsesi belum melakukan tata batas walaupun di Permenhut 44/2012 menyatakan bahwa dua tahun sejak ijin didapat tata batas harus sudah selesai. Tapi dalam prakteknya masih banyak yang belum punya tata batas Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
70
padahal sudah puluhan tahun konsesi dipegang. Titik ini paling mungkin digunakan untuk penyelesaian konflik yaitu diselaraskan dengan proses penatabatasan konsesi. Poinnya adalah di dalam Permenhut diatur bahwa dalam proses penatabatasan ada proses identifikasi dan penyelesaian hak pihak ketiga. Yang tidak ada adalah penyelesaian hak pihak ketiga. Tidak ada panduan yang dibuat oleh Kemenhut tentang cara mengidentifkasi, cara memverifikasi pihak ketiga dan skema penyelesaiannya. Itu diserahkan kepada kesepakatan masingmasing pihak dalam proses dialog maupun mediasi. Akibatnya yang kita hadapi selama ini adalah usulan mana yang paling meyakinkan. Kalau perusahaan, selama ini selalu mengusulkan bentuk penyelesaian kemitraan dan kerjasama untuk menyelesaikan hak-hak pihak ketiga yang sudah ada di dalam konsesi. Sementara masyarakat biasanya tuntutannya adalah dikeluarkan dari konsesi perusahaan. Tentu kalau dikeluarkan implikasinya harus ada adendum terhadap perijinan. Tapi karena tidak adanya panduan, hanya berdasarkan proses perundingan dari pada pihak, penyelesaian konfliknya jadi lebih lama. Tarik ulurnya lebih lama.
Usulan kongkritnya, untuk tata batas kawasan konsesi perlu pengaturan tentang prosedur penyelesaian hak pihak ketiga dalam proses penetapan tata batas. Selama ini yang terjadi adalah kreasi masing-masing pihak di perundingan antar pihak. Sedangkan untuk tata batas dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, juga perlu ada panduan penyelesaian hak pihak ketiga.
Permenhut P44/2012 tidak berbeda dengan Permenhut P9/2011.
Agus Wahyudi (Kamar Bisnis): Berkaitan dengan penataan tata batas konsesi oleh pemegang konsesi. Sebagian besar pemegang konsesi belum bisa menata batas bukan karena tidak mau tapi karena pada realitanya menentukan tata batas sangat sulit. Biasanya di tahun awal sudah melakukan penataan tata batas tapi penyelesaian sampai dengan pengukuhan sangat rumit. Rumitnya antara lain karena sebagaian batas area kerjanya itu adalah batasan kawasan. Ketika batas kawasannya belum selesai, karena batas kawasan menyangkut Panitia Tata Batas yang beranggotakan banyak pihak maka sulit mengambil keputusan, sehingga penataan batas beberapa konsesi tertunda. Langkah lebih lanjut sebenarnya Pemerintah sudah menyederhanakan pelaksanaan tata batas. Peran BPKH Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
71
sebenarnya bukan hanya 11% tapi karena keterbatasan tenaga dan semua pedoman trayek tata batas sudah dibuat sehingga Pemerintah hanya mengontrol pelaksanaan dan porsinya 10% saja. Setidaknya pedoman sudah dibuat dan disepakati bersama antara pihak-pihak terkait batasnya maupun dengan Pemerintah. Kamar Bisnis akan mengusulkan penyederhanaan pelaksanaan penataan tata batas baik di penetapan kawasan maupun kawasan konsesi.
Hasby: mengkomentari penyampaian pak Jali.
Sebenarnya kewajiban tata batas untuk ijin yang diberikan kepada unit usaha di tangan pemegang ijin, tetapi yang melakukannya tidak boleh pemegang ijin. Ini yang membuat betapa sedikitnya penyelesaian tata batas hutan yang berijin dari kementerian Kehutanan sehingga realisasinya sampai saat ini kurang dari 26% terhadap semua konsesi yang sudah diberikan pemerintah Indonesia.
Untuk melakukan tata batas harus dibentuk panitia tata batas. Panitia tata batas di tingkat kabupaten, ketuanya adalah Bupati. Untuk membentuk panitia tata batas membutuhkan waktu yang sangat lama. Di beberapa tempat, temanteman di konsesi sudah meminta melakukan tata batas sampai 10 tahun. Suratnya sudah dilayangkan tapi panitia tata batasnya belum terbentuk. Pembentukan panitia tata batas harus diberi tenggat waktu sehingga percepatan pelaksanaan tata batas bisa dilakukan. Seandainya penentuan tata batas bisa dilakukan oleh konsesi sendiri, prosesnya bisa cepat. Konsesi menginginkan kepastian. Di beberapa tempat, untuk kepentingan sertifikasi maka mereka melakukan sendiri tata batasnya hanya minta berita acara kedua belah pihak, tanpa ada pengesahan dari pihak yang diberikan kewenangan, untuk memastikan bahwa satu sama lain itu tidak melanggar antara batas masing-masing. Putusan MK 35/2012 sifatnya bukanlah tata batas untuk ijin melainkan pengukuhan tata batas pada fungsi maupun statusnya. Tata batas ijin baru bisa dilakukan setelah semua pengukuhan atau penetapan batas-batas fungsi maupun status selesai dilaksanakan.
Usep Setiawan (Fasilitator): Prosedur dan mekanisme penatabatasan kawasan hutan perlu diperbaiki karena hal itu terkait langsung juga dengan kepentingan dunia usaha dan kepastian hukum bagi masyarakat adat.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
72
4. Kamar Bisnis Anggota Kamar Bisnis a) Agus Wahyudi b) David c) Bambang Soekartiko d) Bambang Supriyambodo e) Aldrianto Priadjati f) Endro Siswoko g) Iman Harmain h) Hasbillah (ABK)
Pandangan terhadap NKB 12 K/L Percepatan Penataan dan Pengukuhan Kawasan Hutan •
Masalah belum selesainya penataan dan pengukuhan kawasan hutan sebenarnya sudah dirasakan sejak lama oleh banyak pihak. Putusan MK No 45/PUUIX/2011, membuat banyak pihak tersentak dan menyadarkan kita semua untuk segera menyelesaikan penataan dan pengukuhan kawasan hutan.
•
Pengukuhan kawasan hutan, bagi siapapun sangat penting. Karenanya percepatan pelaksanaan dan penelesaiannya merupakan kebutuhan mendesak dan harus dijadikan prioritas
•
Kesulitan dan hambatan pelaksanaan penataan batas dan pengukuhan kawasan hutan sangat komplek dan melibatkan banyak pihak terkait, baik di pusat maupun di daerah, harus diselesaikan dan dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Maka NKB 12 K/L untuk percepatan penataan dan pengukuhan kawasan hutan Indonesia adalah langkah strategis dan penting. Maka perlu dipastikan kelancaran implementasinya.
•
Walaupun Percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia sangat penting, tetapi belum cukup untuk menjamin bangkitnya kehutanan nasional. Dibutuhkan prasyarat lain yang sangat prioritas untuk diselesaikan.
•
Terpuruknya kehutanan nasional, antara lain diakibatkan masih banyaknya kebijakan-kebijakan yang tidak kondusif
•
Harga kayu log di luar negeri 2,5 kali lebih tinggi dari harga log dalam negeri.
•
Tetapi industri kayu lapis nasional tidak mampu bersaing dengan industri luar negeri, akibatnya kinerjanya makin menurun,
•
Kayu gergajian (sawn timber) yang dilarang ekspor harganya di pasar dunia jauh lebih mahal dari kayu lapis.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
73
•
Produk Industri kayu sekunder nasional belum mampu memberikan nilai tambah dan nilai devisa yang besar karena ada pembatasan luas penampang yang bisa ekspor (max 4.000 mm2), padahal produk dengan luas penampang besar harganya jauh lebih mahal.
•
Perlu ada Revisi kebijakan al dengan membuka kesempatan ekspor log selekif dan mencabut larangan ekpsor kayu gergajian, mempermudah ekspor veener (turunkan pajak ekspor), mencabut batasan luas penampang produk moulding/wood working ekspor, serta mendorong pemanfaatan kayu maksimal dan optimal (kisah sop ayam) untuk memperoleh nilai tambah dan devisa tinggi.
•
Mendorong terbitnya Permenhut yang mengatur pemanfaatan HHBK dan agroforestry.
•
Kebangkitan kehutanan nasional harus didukung dengan implementasi roadmap pembangunan indutri kehutanan bebasis hutan tanaman. Pengembangan hutan tanaman menjadi prioritas untuk mengurangi tekanan dan pelestarian hutan alam nasional, pembukaan lapangan kerja, pembangunan wilayah dll.
•
Pembangunan Hutan Tanaman seluas 14,5 juta ha netto diproyeksikan akan mampu menghasilkan kayu lestari sebanyak 362,5 jt m3 pertahun dan diharapkan mampu menghasilkan devisa 10 kali devisa saat ini
•
Segera selesaikan pelaksanaan penataan dan pengukuhan kawasan hutan, prioritaskan di daerah-daerah yang dibebani ijin dan banyak komunitas di sekitarnya. Sederhanakan prosedur dan persingkat waktu pelaksanaan, buat target ketat yang disepakati oleh semua pihak terkait (pemerintah pusat dan daerah) untuk menyelesaikan berita acara dan kesepakatan antar instansi terkait yang selama ini menjadi kendala utama pelaksanaan pemetaan dan pengukuhan kawasan hutan.
•
Percepat dan permudah proses pemberian ijin pemanfaatan kawasan hutan (HTI, HPH, HTR dll) baru, untuk implementasi road map pembangunan kehutanan. Jangan biarkan open acces terlalu lama kawasan hutan yang habis masa ijin sebelumnya karena hanya akan mendorong terjadinya perambahan, penebangan liar dan bahkan kebakaran lahan-hutan.
Pandangan Terhadap Putusan MK No. 35/2012 •
Putusan MK No 35 sesuai bunyinya adalah tidak retroaktif, tidak berlaku surut.
•
Kondisi tersebut penting untuk memberikan jaminan usaha bagi unit-unit usaha dan unit menajemen yang telah memperoleh ijin dan telah berinvestasi sebelum putusan MK tersebut.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
74
•
Jaminan tersebut selain penting untuk kepastian usaha juga untuk memngapresiasi investasi dan capain-capaian lain seperti sertifikasi dll, yang diperlukan untuk kebangkinan kehutanan nasional.
•
Pemerintah perlu membuat pedoman penyelesaian terhadap hutan adat yang telah dibebani ijin pemanfaatan. Tidak boleh merugikan siapapun termasuk pemegang ijin pemanfaatan.
UU tentang P3H •
Menyambut baik terbitnya UU tersebut. Namun juga berharap penerapannya harus tepat, definisi dan batasan-batasan harus dipahami dan diterapkan sesuai makna yang sebenarnya, tidak diintrepretasikan salah sehingga menumbuhkan ketidak-pastian hukum baru misalnya kesalahan adminstrasi kehutanan dianggap pelanggaran pidana.
•
Harus diikuti dengan langkah seperti penerbitan PP turunannya agar tidak terjadi kekosongan hukum dan salah intrepretasi dan kesalahan dalam pemahaman dan penerapan UU tersebut.
•
Sebaiknya DKN aktif berpartisipasi dalam penyusunan PP tersebut agar menjamin kepentingan semua pihak.
•
Untuk menjamin implementasinya, upaya kebangkitan kehutanan nasional yang didukung dengan upaya percepatan penataan dan pengukuhan kawasan hutan, roadmap pembangunan kehutanan, dan membutuhkan kebijakan yang kondusif, maka sangat mendesak agar Negara memiliki Garis Besar Haluan Kehutanan Nasional bagian dari Garis Besar Halauan Negara, sehingga terjamin adanya kesinambungan pembangunan kehutanan.
Prioritas Aksi DKN a) DKN mengusulkan adanya GBHKN b) DKN mengusulkan minimal aktif dalam penyusunan PP turunan UU P3 HH c) Komunikasi reguler misalnya 4 bulan sekali, antara DKN dan KPK, Kemenhut untuk memastikan implementasi NKB 12 K/L d) Mengusulkan agar pemerintah segera membuat Pedoman penyelesaian adanya hutan adat yang sudah dibebani ijin pemanfaatan hutan. e) DKN mendorong percepatan revisi/penyederhanaan pedoman pelaksanaan penataan dan pengukuhan batas kawasan hutan serta penataan dn pengukuhan batas areal kerja UM
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
75
f) DKN mendorong percepatan pelaksanaan penataan dan pengukuhan batas kawasan hutan di daerah-daerah dimana terdapat keberadaan hutan adat. (memprioritaskan, untuk mencegah konflik antar pihak) g) Kamar Bisnis DKN akan melakukan pertemuan internal berkala untuk memberi masukan ke DKN
Diskusi dan Klarifikasi Marthen (Kamar Pemerintah): Pertama menyangkut pemberian kesempatan untuk export log. Dalam sejarah HPH, Papua sangat dirugikan oleh Export Log.
Papua saat ini punya kebijakan untuk tidak mengeksport log. Hubungannya dengan industri, dengan kebijakan kemenhut, dari 600-an HPH, Papua hanya kebagian 4. Kalau distribusi pemerataan pembangunan kehutanan, Papua itu satu entry point. Oleh sebab itu, kebijakan yang sudah diambil oleh Papua adalah logs tidak boleh keluar dan industri harus dimulai dari Papua. Tidak mudah untuk memulai itu, tapi kapan lagi kalau tidak memulainya sekarang. Setelah dihitunghitung, Papua tidak mendapat fee dari export logs. Kedua, berkaitan dengan penyederhanaan prosedur tata batas. Hal itu terdengar kongkrit juga karena mekanisme penataan tata batas cukup panjang. Salah satu prosedur dalam proses penentuan tata batas adalah substansi dari konsultan, dan itu harus dipertimbangkan jika ingin menyederhanakan prosedur. Dalam Penentuan tata batas di Papua, Konsultan harus didatangkan dari Jakarta dan jumlahnya bisa mencapai 15 orang. Penentuan tata batas di daerah perlu mengembangkan konsultan dari daerah. Ketiga berkaitan dengan open access. Apakah HPH-HPH yang pegang ijin tapi tidak aktif masuk dalam kategori open access? Perlu mengartikulasikan open access karena open access yang diberikan di Papua berbeda dengan di tempat lain. Di Papua, dari 31 HPH, yang aktif hanya 14 . 17 HPH tidak aktif diusulkan ke Kemenhut untuk ditinjau kembali SK-nya karena open access. Dia memberikan ruang kepada siapa saja untuk mengaksesnya. Setelah dihitung-hitung, jika 17 HPH tidak aktif tersebut tetap bekerja, Papua bisa mendapatkan pemasukan cukup besar. Saya usulkan, HPH yang tidak aktif dicabut SK-nya. Area dan tata batas kembali ke hutan adat. Keempat, salah satu yang menjadi faktor di Papua adalah tata batas menjadi panjang karena area konsesinya menjadi luas dan areal-areal yang tidak produktif di dalam area HPH. Di dalam area HPH banyak kampung dll. Bahkan kebijakan yang kami ambil waktu menjadi Kakanwil Kehutanan, saya membuat redesain area HPH. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
76
Waktu saya bikin redesain area HPH, seluruh mitra kehutanan bilang bahwa redesain tersebut mereduksi area konsesi. Saya mengatakan bahwa sesungguhnya tidak demikian. Redesain ini memfokuskan HPH pada ruang yang efektif sesuai dengan area bisnis HPH. BUK sendiri menerapkan konsep itu. Saat ini konsep itu dipakai sebagai RKU untuk menentuan area HPH. Jika tidak keberatan, kita juga bisa mengusulkan Redesain atas area HPH supaya HPH bekerja pada areal yang tertib dan produktif sesuai dengan bisnisnya. Kelima, putusan MK tidak berlaku surut. Putusan MK menjadi catatan kita untuk memberi rekomendasi ke Kemenhut tentang ijin-ijin yang sudah ada dan bentuk penyelesaiannya. Harus ada bentuk kongkrit dari putusan MK.
Zulfikar (Kamar Pemerintah): Kamar Bisnis menyampaikan pesan bahwa penataan kawasan hutan tidak cukup untuk kita bangkit dari Kehutanan Nasional. Bahasa pesimisnya, kalau bangkit dari kehutanan nasional bukan penataan hutan. Penataan hutan itu menangani konflik. Masih ada satu masalah yang tersembunyi. Ada informasi yang masih tersimpan, yaitu kita punya potensi kayu yang bisa untuk nilai tambah ekonomi bisa diekspor, tapi ada larangan ekspor. Maksud dari melarang ekspor adalah nilai tambah dan lebih. Tapi setelah kita lakukan pengelolaan dalam negeri, dijual. Harganya lebih tinggi daripada pasar dunia. Ini blunder. Sementara ada batasan-batasan dimensi.
Pertanyaannya, dimana biaya tinggi itu? Apakah biaya tinggi pada investasi dan teknologinya, atau biaya tinggi pada pajaknya atau biaya tinggi pada hal yang lain? Kalau ini menjadi hal penting, kita bongkar saja, untuk menemukan dimana masalah yang sebenarnya. Kemudian batasan dimensi. Jika batasan dimensi menyebabkan kayu kita tidak bisa kompetitif di luar dan tidak bisa ekspor, maka perlu dicarikan penyebabnya. Apakah ada tekanan dari pasar dunia kepada kita supaya kita terjepit sehingga mempengaruhi peraturan yang memaksa batasan dimensi, sehingga kita menjual dengan batasan dimensi yang harganya jatuh dan cukup masuk ke segment tertentu. Dan sebagian besar masalahnya bukan di Kehutanan melainkan Perdagangan dan Perindustrian. Artinya, kita harus buka, bangkitnya kehutanan itu kendalinya ada dimana? Jika Kehutanan tidak bisa bangkit karena ada masalah di Perdagangan dan Perindustrian, maka kita harus bicara. Tidak relevan mengatakan masalah di bisnis dikarenakan masalah penataan kawasan hutan. Ini ada sesuatu yang tidak tuntas ditangani.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
77
David (Kamar Bisnis): secara analisa komparasi antar negara, seharusnya sektor hutan Indonesia menjadi pemenang, atau sebagai pemain dominan di tingkat global. Berdasarkan historical data, ternyata hari ini hutan Indonesia mengalami koleps. Banyak kebijakan larangan ekspor, tepat pada waktunya. Dari awal munculnya industri di Indonesia, dengan pelarangan ekspor, itu seperti jamur di musim hujan, terjadi pembangunan industri besar-besaran. Sehingga sekitar tahun 91 kita bisa menghasilkan plywood lebih dari 10 juta meter kubik petahun. Waktu itu kita dikatakan raja kayu untuk menguasai pasar dunia. Tapi hari ini dari yang 10 juta sekarang produksinya hanya 3 juta meter kubik plywood. Pada saat itu di Cina hanya 1 juta kubik plywood tapi tahun lalu china sudah memproduksi 224 juta meter kubik panel, yang mana plywood lebih dari 100 juta, lalu ada MDM dan partikel board. Jadi, peta persaingan sudah berubah. Sepuluh tahun terkahir, dengan pelarangan ekspor ini malahan industri yang ada di luar Papua semua satu persatu berguguran. Itu aneh. Mendapatkan bahan baku murah tapi rugi. Kalau kita lihat dari proses HPH, sekitar 20 tahun yang lalu kita masih ada sekitar 580 HPH. Hari ini sekitar 294 HPH. Luas area dulu sekitar 60 juta, sekarang tinggal 24 juta. Dan pengusaha itu realistis. Kalau mendapat satu area HPH itu tidak jatuh dari langit. Kita perlu satu proses waktu dan biaya untuk memperolehnya. Setelah kita peroleh, pertanyaannya, kenapa tidak dikerjakan. Itu aneh. Ijin HPH tidak bisa dijaminkan. HPH bukan aset perusahaan. Sehingga pertanyaannya, kenapa mereka tidak memproduksi. Kalau kita lihat dari catatan, 9,1 juta itu adalah angka 5-6 tahun yang lalu, realisasi hanya sekitar 6 juta. Lebih parah lagi tahun lalu. Realisasi dari 9,1 juta hanya 3,77 juta. Ada apa? Mungkin selama ini kita bergerak di HPH juga bagi masyarakat juga susah mencerna, mengambil kayu di hutan yang tidak ditanam, kok rugi? Kan aneh pertanyaanya. Sebelum 2008, 1 liter BBM hanya dibayar sekitar 2000 rupiah. Sekarang BBM kita bayar sampai ke logging operation itu sudah di atas 10.000-15.000. Terjadi peningkatan sekitar 5-6 kali lipat harga BBM satuannya. Begitu juga dengan jarak hooling. Awal memperoleh HPH jarak hoolingnya relatif masih dekat. Sekarang jarak hooling sudah mencapai peningkatan 4-5 kali lipat. Untuk biaya BBM per meter kubik, kalau dulunya 1 kubik log diperlukan 2 dollar untuk jarak hooling, sekarang biayanya 2 dollar x 5 jarak hooling x 6 harga kenaikan satuan. biaya hooling melompat 2 dollar langsung ke 60 dollar. HPH juga menghadapi perbedaan harga. Di luar negeri, harga Meranti 300 dollar, Kapur 500 dollar, Merbau 800 dollar. Tetapi di dalam negeri, untuk Merbau di Surabaya hanya dihargai sekitar 3 juta, 300 dollar. Meranti hanya dihargai sekitar 120 dollar. Kondisi saat ini analoginya kita melakukan ekspor 40%, sisa kayu yang 60% Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
78
dibuang ke laut, dimana harga terdistorsi sangat parah. Akibatnya HPH memilih tidak aktif karena biaya produksi kayu jauh lebih tinggi daripada harga jual. Sehingga kalau pun kita cabut HPH-nya, kita serahkan lagi ke yang lain, penyakitnya tidak akan selesai. Dalam pengelolaan HPH, dunia bisnis tidak mengharuskan ekspor log tetapi menginginkan agar harga tidak terdistorsi. Kalau hal itu tidak dilakukan akan banyak HPH yang hanya untuk bayar pegawai saja kesulitan. Tujuan dunia bisnis adalah bisa melakukan ekspor log secara selektif dan perlu periodisasi tertentu yang kita evaluasi sehingga harga tidak terdistorsi. Sekarang kita mengorbankan sumberdaya kita. Yang seharusnya bisa jual 300, karena ada kebijakan pelarangan ekspor log, jualnya tinggal 120. Masuk di dalam industri. Dapat harga 120 dollar harusnya industri sangat untung, tapi yang terjadi industri malah bangkrut. Pabrik plywood yang tergabung di AKINDO, yang semula 130 saat ini tinggal 20an pabrik. Hal ini terjadi karena dengan membeli seharga 120 plus DRPSDH 20 dollar, jual produk plywood, antara break event dan rugi. Jadi, pertanyaannya, kenapa orang mau beli kayu kita 300? Karena kayu ini seharusnya kita gunakan untuk produk yang bernilai tinggi dulu. Shawn timber. Itu kualitas 1 meranti putih, 2000 dollar. Dilarang ekspor. Akibatnya di dalam industri kita, tidak sempurna. Harusnya produk yang bernilai tinggi kita melakukan ekspor, itu dilarang. Itu yang kemarin saya sempat sampaikan kepada bapak Gubernur di Papua Barat, “pak, bapak industrialisasi sederhana sekali. Beri kebijakan ekspor shawn timber dan ekspor log, tidak ada pembatasan luas penampang di Papua, itu otomatis industri akan menjamur.” Dulu Papua agak terlambat karena letak lokasi sehingga masalah pengapalan dsb memang ada satu kendala sehingga jaman dulu itu industri kayu lapis dilarang dibangun, jaman-nya pak Bob Hasan, dimasukkan ke dalam daftar negatif investasi, kecuali untuk Timor Timur dan Papua. Yang lain tidak diijinkan lagi karena untuk memberikan kesempatan. Ternyata kesempatan yang sudah diberikan tersebut tidak begitu banyak dimanfaatkan. Banyak teman-teman yang investasi di Papua yang sampai hari ini tidak memiliki banyak cerita sukses karena kendala infrastruktur dsb. Yang harus kita benahi adalah bagaimana kita bisa memaksimalkan nilai kayu di industri primer. Di Industri sekunder ada kebijakan pemerintah yang melarang ekspor yang luas penampangnya lebih dari 4000mm, kecuali Merbau. Merbau batasannya antara 8000-10.000mm. Padahal kita tahu semakin tebal produk shawn timber dan moulding maka harganya makin mahal. Seharusnya tidak perlu perlu dipotong kecil-kecil
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
79
karena dalam ukuran besar bisa dijual lebih mahal. Di dalam proses industri ada yang namanya anomali. Tidak selamanya setiap proses akan menciptakan nilai tambah.
Masalah yang dihadapi lebih banyak menyangkut Perindustrian dan Perdagangan. Perindustrian dan Perdagangan tidak mungkin masuk ke dalam NKB 12 K/L karena NKB menyangkut penataan kawasan. Kalau bicara tentang kebangkitan kehutanan ada agenda besar yang harus diselesaikan, yaitu kenapa kita dulunya the winner sekarang menjadi the losser. Ini sangat tergantung dengan kebijakan di Kementerian Perdagangan, yang mendapatkan input dari Perindustrian. Dengan ekspor log secara selektif, harga terdistorsi bisa dikurangi. Dengan kebijakan ekspor shawn timber kita memaksimalkan nilai industri primer. Dengan mencabut larangan pembatasan luas penampang, kita bisa menaikkan harga produk industri sekunder pada harga normal. Ini adalah agenda yang sangat penting, karena kalau tidak HPH akan koleps. Industri juga tinggal menunggu waktu. Sementara ini kita berbicara masalah penataan kawasan hutan. Padahal ada hal yang lebih jauh lebih penting selain penataan kawasan hutan yang harus dibenahi.
Marthen (Kamar Pemerintah):
Penjelasan dan analisis pak David disusun secara tertulis.
Pilihannya jangan eksport log. Perlu dijelaskan bentuk dari eskspor log selektif dan sasarannya daerah mana saja. Kaitannya dengan Papua, kalau pilihannya Export Log, Papua tidak akan mendapatkan apapun.
5. Kamar Pemerintah Anggota Kamar Pemerintah
Agus Justianto
Zulfikhar
Marthen Kayoi
Hariyadi Himawan
Pandangan Kamar Pemerintah Terhadap NKB 12 K/L
Posisi DKN adalah sebagai mitra yang dapat memberikan masukan sesuai keahlian / keilmuan kehutanan.
DKN dapat memberi masukan dan mengkritisi formulasi dan re-formulasi kebijakan dalam implementasi NKB. Banyak kebijakan yang dinilai belum tepat sasaran. NKB akan berdampak pada peraturan-peraturan yang lain.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
80
Pandangan Kamar Pemerintah Terhadap Keputusan MK 35/2012
DKN meminta Kemenhut untuk melakukan koordinasi secara aktif dengan K/L terkait dalam proses-proses penyusunan Perda Penetapan Masyarakat Hukum Adat.
DKN meminta Kemenhut untuk melakukan rekonstruksi kebijakan dan peraturan perundangan di bidang kehutanan untuk menindaklanjuti Keputusan MK No. 35/2012
Mendorong percepatan penyelesaian RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Mengidentifikasi seluruh kawasan hutan negara berdasarkan UU 41/1999 setelah keluarnya keputusan MK, terutama hutan yang tidak dibebani hak dan tidak termasuk Hutan Adat.
Pemetaan kawasan konflik yang selama ini dinyatakan oleh masyarakat sebagai hutan hak dan hutan adat, untuk membedakan mana yang baru tahap “klaim dan mana yang riil “konflik”.
Pemikiran Baru
Mensikapi keberadaan NKB dalam konteks penyelesaian masalah klaim dan konflik kawasan hutan dengan masyarakat, serta mensikapi keputusan MK, sebagai “Reforma Agraria Kehutanan”.
Melakukan identifikasi hutan adat Ini baru menyelesaikan claim dan konflik kawasan hutan dengan masyarakat adat.
Bagaimana dengan : masyarakat setempat didalam dan disekitar kawasan hutan, dan juga eks masyarakat hukum adat ?
Pemberian Sertifikat Hak Pengelolaan Kawasan Hutan kepada Masyarakat, untuk Usaha di Bidang Kehutanan. Di Indonesia kewenangan dibagi dua; hutan, diampu oleh kemenhut dengan UU kehutanan dan Agraria dengan UU Agraria. Kalau Agraria bisa memberikan sertifikat, maka hutan bisa memberikan sertifikat juga.
Sebagai sertifikat penggunaan kawasan hutan kepada masyarakat untuk usaha di bidang kehutanan (Sertifikat Hak Pengelolaan Kawasan Hutan). Kawasan hutan negara diharapkan tidak berkurang terus. Dengan memberikan legalitas maka tidak perlu dienclave atau dikeluarkan dari kawasan hutan negara. Pemberian sertifikat harus dilakukan dengan persyaratan yang ketat.
Kemanfaatan sebagai solusi : a) Antisipasi pertumbuhan kebutuhan ruang kawasan hutan untuk masyarakat; b) Memberikan kepastian hak pengelolaan kawasan hutan; c) Usaha masyarakat akan lebih bankable;
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
81
d) Sebagai implementasi kemitraan antara KPH dengan Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Hutan.
Analisa Resiko : a) Konflik kawasan hutan dengan masyarakat menurun; b) Rekonstruksi kebijakan dan peraturan perundangan di bidang pengelolaan kawasan hutan; c) Percepatan pembentukan kelembagaan KPH sebelum diimplementasikan, karena relatif masyarakat sudah lebih siap /telah hadir di kawasan.
Diskusi dan Klarifikasi David (kamar Bisnis):
Setuju dengan redesain HPH sehingga HPH bisa mengelola area yang benar-benar dikelola. HPH juga agar tidak perlu membayar PBB area-area yang tidak masuk dalam ijin. HPH koleps salah satunya karena harga jual jauh lebih rendah daripada biaya produksi. Bukan karena tidak mampu bersaing atau karena tidak punya pasar melainkan karena kebijakan, salah satunya pelarangan ekspor logs. Khusus Papua, untuk mempercepat industri di Papua, maka perlu ada pemberian insentif yang sama. Misalnya dengan melakukan ekspor shawn timber. Salah satu langkah kompromi yang dikatakan selektif tadi, bisa berdasarkan ijin pengolahan PHPR, FIC, bahwa dia benar-benar sudah menerapkan sustainable forest management di pengolahan hutan. Masalah lokasi masih terbuka ruang untuk diskusi. Khusus untuk Papua misalnya dalam rangka untuk peningkatan industrialisasi, malahan sebelum ini kita bahas sudah mempercepat untuk melakukan kebijakan ekspor shawn timber dari Papua. Jangan kayunya kayu bulat, dari Papua, dikirim ke pulau Jawa, kemudian diekspor. Proses itu membutuhkan logistic cost yang sangat besar sehingga kita tidak akan kompetitif. Kalau bisa ekspor dilakukan langsung dari Papua. Ada dua variabel dalam peta persaingan HPH; logistic cost dan scale of economic. Kalau tidak mencapai satu skala ekonomis, kita akan kesulitan. Masalah penyederhanaan prosedur tata batas. Diperlukan diskusi lebih detil tentang hal ini. APHI mengusulkan adanya pemotongan langkah prosedur tata batas. Tapi perlu ada pembicaan mengenai kriteria untuk memaksimalkan sumberdaya di lokal, seperti konsultan. Imam Harmain (Kamar Bisnis): Khusus Papua, agar bisa mendapatkan manfaat dari ekspor logs, Papua bisa menerapkan retribusi ekspor. Yang penting bagi Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
82
HPH, ekspor bisa dilakukan. Retribusi juga bisa jadi salah satu sumber dana untuk menumbuhkan perekonomian dan masyakat yang signifikan. Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): Sertifikat untuk hak pengelolaan kawasan hutan harus benar-benar dikaji. Jangan sampai di dalamnya muncul sertifikat-sertifikat lain. Kalau sertifikat ini hanya terkait dengan hak pengelolaan hutan saja, tidak masalah. Tapi kalau sertifkiat itu berkaitan dengan wilayah hutan, itu akan menjadi persoalan baru di tingkat masyarakat. Agus (Kamar Pemerintah): Masyarakat yang tinggal di dalam hutan perlu penyelesaian yang tuntas. Masalah sertifikat akan dikaji ulang termasuk implikasiimplikasi yang akan timbul. Opsinya adalah pemberian ijin property right di dalam kawasan hutan. Ini adalah usulan yang kontroversial karena sangat progresif. Usep Setiawan (Fasilitator): Poin mengenai sertifikat akan dibicarakan lebih lanjut. Bukan sesuatu yang final. Poin kamar pemerintah adalah diperlukannya semacam hak legalitas atas kepemilikan dan pengelolaan atas kawasan hutan oleh masyarakat. Bentuknya akan dibicarakan lebih lanjut. Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): kalau sertifikat itu berlaku untuk masyarakat lokal yang sudah bertahun-tahun ada di dalam kawasan hutan, dan hutan itu tidak berada dalam status hutan adat, itu tidak masalah. Tetapi untuk masyarakat adat yang yang menempati kawasan hutan adat pemberian hak harus memperhatikan mekanisme kepemilikian lokal. Usep Setiawan (fasilitator): Apapun bentuknya, legalitas tidak boleh melanggar budaya lokal adat setempat. Kekhawaritan sertifikasi wilayah adat berhubungan dengan kemungkinan komersialisasi atas tanah atau kawasan hutan adat tersebut. Marthen (Kamar Pemerintah): Usul: tahap awal jangan log tetapi memperbesar luas penampang shawn timber. Ekspor log sangat merugikan Papua. Standing stok Merbau saat ini perlu mendapat perlindungan walaupun Papua Barat keluar dari SKB 2 Gubernur.
Input KPK, oleh: Dian Patria Pada saat kita menyusun NKB, kita banyak berhubungan dengan pemerintah, ada pertisipasi dari CSO, LSM dan juga dari Akademisi. Di DKN ada pihak yang kongkrit, yaitu user; masyarakat dan pebisnis. Merekalah yang paling tahu masalahmasalah kongkrit yang ada di lapangan. Pemerintah bisa jadi membuat sesuatu yang tidak operasional di lapangan. Kesepakatan kita adalah peraturan harus dibuat tidak koruptif sekaligus operasional di lapangan.
KPK sampai kapan pun sumberdayanya terbatas sehingga perlu Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi bekerjasama jaringan yang ada. Dalam konteks NKB, DKN bisa Nota Kesepakataan Bersama 12dengan Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Hutan membantu KPKKawasan untuk memastikan implementasi NKB sesuai dengan
konteks yang kongkrit di lapangan, operasional, sekaligus tidak koruptif.
83
Tadi juga ada masukan dari kamar LSM untuk melakukan sosialisasi di seluruh Indonesia. Menurut kami, yang terpenting adalah implementasinya. Ada kekhawatiran jika terlalu banyak melakukan sosialisasi, waktunya akan habis. Untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut, KPK mengusulkan semacam ToT dengan LSM. Pihak LSM membantu meneruskan jaringan-jaringan yang ada ke seluruh Indonesia sehingga nanti ada simpul-simpul yang lengkap yang ikut membantu memantau NKB. Sekali lagi, NKB bukan satu-satunya penyelesaian masalah kehutanan. Prosesnya pun jangka panjang 3 tahun. Masukan dari tiap-tiap kamar sebagian sudah masuk di dalam NKB karena dalam penyiapan renaksinya sudah melibatkan pemerintah, CSO dan Akademisi.
Kesepakatan di NKB untuk konflik adalah mengoptimalkan peranperan atau fungsi-fungsi yang ada di 12/KL, sekaligus mendorong kelembagaan 1 pintu. Itu sudah masuk ke dalam butir-butir NKB.
Hal konkrit yang bisa dilakukan kedepan
Masalah itu ada di daerah sedangkan KPK 12/KL di pusat. Karena kapasitas sangat terbatas maka dibuatkan prioritas. Jaringan-jaringan DKN diharapkan bisa optimal di prioritas-prioritas implementasi NKB.
KPK sudah memiliki aplikasi monev yang dinamakan F8K, bersama UKP4 plus Indonesia Memantau Hutan yang sedang dikembangkan. LSM diharapkan bisa memberikan masukan atas isi dari Indonesia Memantau Hutan atau isi dari F8K itu sendiri.
Sistem IT direncanakan terimplementasi pada tahun ini.
Masing-masing sesuai kewenangannya dan melakukan perannya masing-masing. Intinya, yang baik-baik kita dorong bersama-sama. Setiap pihak harus melepaskan kepentingannya untuk hal-hal yang lebih besar.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
84
Perumusan Draft Naskah Kebijakan Dilakukan oleh Tim Perumus yang terdiri dari: a) Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo (Ketua Presidium DKN) b) Leo Imbiri (Kamar Masyarakat) c) Agus Wahyudi (Kamar Bisnis) d) Zulfikar (Kamar Pemerintah) e) Oding (Kamar Akademisi) f) Mateus Pilin (Kamar LSM)
III. RANGKUMAN RENCANA KERJA
1. Mediasi konflik DKN
Kelemahan Komisi Mediasi Konflik terletak di database. Kasus-kasus yang masuk ke DKN tidak terdokumentasi dengan baik. a) DKN pernah bekerjasama dengan Epistema dan Huma mengembangkan alat untuk mendokumentasikan kasus-kasus yang masuk ke DKN. Sepanjang tahun 2013 sistem tidak berjalan dengan baik. Database dan dokumentasi kasus sangat penting untuk mengukur kinerja divisi mediasi konflik. Harapannya, alat yang dikembangkan bisa dimaksimalkan. Sepanjang Januari sampai Juli 2013 Komisi Mediasi Konflik belum mendapatkan laporan dari sekretariat mengenai pengaduan-pengaduan yang masuk ke DKN. Kasus terakhir yang masuk ke DKN adalah peristiwa di Pasaman, akan tetapi komisi mediasi konflik tidak mendapatkan informasi kasus tersebut. (Jomi Suhendri) b) Mempertimbangkan masuknya usulan adanya desk terpadu penyelesaian konflik kehutanan. c) Bahasanya masih bahasa rekomendasi. Perlu merubah bahasanya menjadi bahasa kegiatan. (Agus) d) Poin 1 dan 2 menjamin kelanjutan desk. e) Di KPK ada pengembangan pengaduan dan penyelesaiannya. Mekanisme penyelesaian 1 pintu bisa dibicarakan lebih luas. Pengaduan dibuka dan bagaimana koordinasinya dengan kementerian kehutanan. (Hariadi)
Pada bulan ke-9 dan bulan ke-12 poin tentang mekanisme penyelesaian 1 pintu bisa dibicarakan dengan Kemenhut berdasarkan NKB karena ada mekanisme evaluasi 3 bulanan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
85
f) Jika ini disepakati, divisi mediasi konflik akan mendiskusikannya kembali, mendetilkannya ke dalam kegiatan-kegiatan, termasuk mencari support dari media strategis. g) Pak leo mengusulkan untuk mengacu ke GBHK DKN dalam perumusan tindak lanjut. Di dalam GBHK sudah ada program-program kongkrit yang dilakukan tiap komisi. Ratih mengatakan bahwa pernah ada renstra sebagai turunan GBHK yang menghasilkan kompilasi Program Kerja DKN 2011-2016 yang di dalamnya terdapat usulan aktivitas dan rekomendasi komisi yang menjalankan, usulan output, dan alokasi waktu pelaksanaan. Ratih mengusulkan untuk mengoverlaykan rekomendasi kegiatan kali ini dengan GBHK dan kompilasi program kerja DKN 2011-2016. Mita mengusulkan rencana dari workshop ini mendetilkan ke dalam kegiatan dan harus mengacu kepada dokumen GBHK dan turunanya. 2. Mengawal Implementasi NKB 12 K/L Berkaitan dengan Poin 5, Marthen mengatakan masukan boleh apa saja tapi fungsinya bisa beda. Perlu ada pertimbangan informasi seperti apa yang harus diberikan. Informasi seperti apa yang harus diberikan oleh DKN harus diberikan batasan yang jelas. Mita mengusulkan untuk menunda pembahasan poin 5 dan akan dilihat apakah poin 5 ini sudah masuk ke poin-poin yang lain atau tidak.
Hingga poin 10 Rekomendasi Kegiatan, usulan konkritnya adalah adanya komunikasi reguler antara DKN dan KPK.
Bagi Kamar LSM, komunikasi reguler ini dipakai untuk mereview NKB-nya dan mekanisme penyelesaian hambatan-hambatan yang ada. Sedangkan bagi kamar bisnis, memastikan implementasi dan hambatan-hambatan. Perlu mempelajari NKB yang lebih dalam hingga ke target bulanan sehingga DKN bisa menentukan informasi apa yang akan disebar. Poin 5 bisa masuk ke poin 6. Perlu ditentukan penanggungjawab dari pertemuan koordinasi DKN-KPK. (Hariadi) Dalam konteks informasi, Pilin mengusulkan judul programnya disederhakan menjadi penguatan sistem IMH yang di dalamnya akan bicara soal prosedur, sumber informasi, kriteria serta bagaimana informasi diterima, didistribusian dan diproduksikan. Mita menegaskan bahwa hal itu dilakukan dengan pertemuan rutin dsb. Usulan kegiatan Penguatan sistem IMH berada di bawah Komisi Pemerintahan/Komisi I yang diketuai oleh pak Zulfikar. Pak Zulfikar masih belum jelas tentang apa itu IMH. Kalau konsep IMH sudah clear, baru DKN bisa menentukan bentuk dukungannya dan dari sisi mana akan mendukung. Karena situasinya seperti itu, dan itu akan menjadi bagian dari posisi DKN, pak Hariadi mengusulkan agar surat DKN ke KPK Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
86
mengatakan bahwa di pertemuan dua hari ini DKN sepakat untuk melakukan koordinasi dengan KPK berkaitan dengan pelaksanaan NKB. Respon ini harus resmi. Di pertemuan pertama, DKN sudah bisa menentukan informasi apa yang harus diberikan di pertemuan selanjutnya. Oleh karena itu bentuk informasi seperti apa yang akan disampaikan tidak perlu didefinisikasi dari sekarang.
Bentuk kegiatannya adalah DKN mendampingi proses itu melalui koordinasi periodik. Di internal DKN, kegiatan ini ditangani oleh komisi 1. Pak Marthen menegaskan bahwa bentuk informasi yang diberikan kepada KPK harus substantif, sesuai dengan kapasitas dan fungsi lembaga DKN. Jangan sampai DKN memberikan masukan teknis yang merupakan tugas Kemenhut. Pertemuan rutin DKN dan KPK dilakukan setiap 3 bulan, mengikuti jadwal F8K. Pertemuan DKN dengan World Bank tanggal 17 Juli 2013, Werner dan Mubariq meminta DKN mengajukan sebuah rencana kerja dalam jangka waktu satu tahun. Mita mengusulkan DKN mengajukan rencana kerja berkaitan dengan mendukung KPK.
KPK sudah menyatakan akan mengajak kerjasama dengan DKN untuk melakukan ToT kepada CSO untuk beberapa wilayah sehingga bisa melakukan sosialisasi NKB ke jaringan-jaringan DKN. Forum sepakat dengan usulan ini. 3.
Keputusan MK No. 35 Mengenai Hutan Adat a) Poin 13 inti dari Kamar Akademisi adalah menyatakan bahwa hutan adat tetap hutan dan itu masuk ke dalam implementasi keputusan MK. (Hariadi) b) Inventarisasi, adat dsb di dalam NKB dinyatakan sudah akan dikerjakan oleh Kemenhut, BIG, BPN dan Kemendagri.
Oleh karena itu Poin 14 harus ditambahkan dengan mendorong percepatan proses identifikasi dst. Hasil identifikasinya bisa dikaitkan dengan kamar masyarakat. Ketika hasil identifikasi sudah ada, Kamar Masyarakat perlu mengecek dll. Jangan sampai DKN berperan seperti K/L juga. (Hariadi) c) Sekedar pertemuan tidak akan efektif.
DKN dalam konteks isu tersebut membuat semacam policy paper yang bisa disampaikan melalui pertemuan atau melalui surat. Policy paper itu sebagai bahan pertemuan. (Agus Justianto) d) Usulan mengenai policy paper diperuntukkan untuk semua pertemuan. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
87
e) inti dari poin 9 usulan kegiatan adalah kalau hutan adat baik maka hutan negara baik via versa. f) Penanggungjawab: komisi pemerintah khususnya yang mengerjakan kamar masyarakat. g) DKN juga harus memperhatikan RUU Pengakuan Perlidungan Masyarakat Adat. Selama ini pembicaraan RUU Masyarakat Adat berjalan sendiri.
Pak Zulfikar mengusulkan adanya agenda tersendiri yang membahas RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. h) Pak Zulfikar menawarkan diri untuk mengkoordinasikan poin-poin usulan yang akan disampaikan ke DPR. Mita menambahkan dengan RUU Desa.
4. Terkait Kebijakan Poin 19 Rekomendasi Kegiatan a) GBHK nasional yang dimaksud oleh Kamar Bisnis adalah GBHK untuk kehutanan bukan GBHK untuk DKN. Kehutanan hanya memiliki RPJM 5 tahun. Lima tahun dianggap terlalu singkat. Zulfikar dan Agus dari Kamar Pemerintah menginformasikan bahwa Kemenhut memiliki RKTN untuk tingkat nasional dan RKTD di tingkat propinsi yang jangka waktunya 25 tahun. RKTN masih baru dan sudah ada PP sistem perencanan kehutanan untuk penyusunan RKTN dan RKTD dan sudah ada mekanisme penyambungan dengan perencanaan di Bappenas.
Leo mengusulkan untuk mengawal mekanisme yang sudah dikerjakan oleh pemerintah. Poin 19 rekomendasi kegiatan tetap ada tapi tidak dalam rangka membuat sesuatu yang baru b) Pak Hariadi menyebutkan komitmen lisan dari Bappenas, yaitu RPJM 2015-2019 dan Renstra 2015-2019 yang berkaitan dengan kehutanan akan dikonsultasikan dengan DKN. c) Kaitannya dengan proses konsultasi publik yang dilakukan, pak Leo menegaskan bahwa proses persiapan pra konsultasi publik perlu mendapatkan perhatian dari DKN. Pengalaman tahun lalu dokumen diberikan pada saat DKN diundang sehingga masukan DKN tidak signifikan. Mita menjelaskan bahwa aturan DKN berkaitan dengan konsultasi publik diatur di dalam Protokol Konsultasi Publik, yaitu dua minggu sebelum pelaksanaan konsultasi publik, sudah harus ada bahan yang masuk ke pihak DKN.
Poin 17 Rekomendasi Kegiatan a) Dari 93 Renaksi NKB sama sekali tidak menyentuh spesifikasi otsus. Kelemahannya adalah hubungan dengan Papua, Papua Barat dan Aceh, berbeda. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
88
Jika sepakat untuk mengajukan masalah otsus, pak Hariadi mengajukan diri untuk membicarakannya di rapat KPK, dan sekalian bisa menjadi agenda NKB. Pak Marthen mengingatkan bahwa dirinya sudah memberikan catatan tambahan redaksi di Naskah Kebijakan DKN, yaitu bahwa khusus untuk daerah yang mendapatkan Otonomi Khusus, segala seusatunya harus mengacu pada UU Otsus. Dalam PP 38 tentang pembagian kewenangan juga dinyatakan bahwa untuk Papua dan Aceh penjabaran lebih lanjutnya harus mengacu pada UU Otsus. b) Pak Leo berharap kehadiran pak Hariadi di rapat-rapat KPK atas nama presidium, sementara SK mengenai NKB memposisikan pak Hariadi sebagai pakar. Pak Hariadi mengatakan prosesnya cukup informal saja, yang penting informasi bisa mengalir. Zulfikar mengingatkan bahwa DKN memiliki protokol ketika presidium menyampaikan sesuatu. Jangan sampai menjadi beban berat bagi pak Hariadi yang posisinya sebagai pakar dan harus mengajukan sesuatu sebagai presidium yang belum menjadi komitmen bersama. c) Posisi DKN terhadap UUP3H. Ada informasi bahwa sebagian konstituen dari kamar LSM akan mempersoalkan UUP3H ke MK. Pandangan mengenai UUP3H juga sudah dikeluarkan oleh kamar masyarakat dan kamar LSM. Pak Hariadi ikut merumuskan UUP3H bersama ICW dan Komnas HAM. Pak Hariadi belum memposisikan UUP3H dalam konteks DKN dan menyerahkan kepada presidium apakah akan menentukan posisi terhadap UUP3H atau tidak. Zulfikar mengusulkan agar usul JR oleh kamar masyarakat dan kamar LSM harus hati-hati. Tidak ada hubungan antara posisi DKN dengan pandangan kedua kamar tersebut. Mita menjelaskan bahwa di DKN dimungkinan tiap kamar menyatakan sikapnya ke publik atas nama Kamar. Seperti yang diinisiasi oleh kamar LSM terkait dengan HTI dengan mengeluarkan naskah atas nama Kamar LSM DKN. Zulfikar menyanggah dengan menyatakan bahwa sesuai Protokol DKN tidak bisa seperti itu. Zulfikar menginginkan adanya ketegasan apakah sikap kamar ada di dalam mekanisme internal DKN atau untuk keluar. Seingat Zulfikar, kesepakatan di Bandung menyatakan bahwa sikap kamar untuk keluar tidak diperbolehkan. Yang boleh keluar hanya sikap DKN. Menurut Mita diskusi Bandung memperbolehkan sikap kamar. Bung Yanes menguatkan bahwa kamar boleh membawa sikapnya, internal maupun eksternal, tapi tidak atas nama DKN. Pak Edy menyatakan bahwa kamar boleh menyatakan sikapnya di internal maupun eksternal, tidak ada batasan. Kamar-kamar di dalam DKN boleh berbeda pendapat. Sikap DKN yang keluar harus menyertakan catatan sikap tiap kamar. Zulfikar mengatakan bahwa poin ini dibahas ketika ada pembicaraan tentang mekanisme untuk pengambilan keputusan yang ada komposisi. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
89
Agar tidak larut dengan pembicaraan mengenai sikap kamar dan sikap DKN, pak Leo mengusulkan untuk kembali melihat beberapa protokol DKN. Menurut pak Leo, pernyataan pak Zulfikar sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan dengan posisi anggota presidium, posisi presidium, dan posisi kamar. Mita mengingatkan tentang protokol komunikasi DKN yang sudah didesain tapi belum ditetapkan. Menurut Zulfikar belum ada pembicaraan secara khusus mengenai UUP3H baik di dalam kamar maupun antar amar. Sikap DKN terhadap UUP3H adalah menyesalkan kenapa tidak dibicarakan dengan DKN.
Rencana kedepan DKN adalah mendiskusikan UUP3H di dalam presidium agar bisa dilanjutkan dengan perdebatan di dalam kamar mengenai kekuatan dan kelemahan UU tersebut. Zulfikar dan Agus Justianto mengusulkan keluarannya merupakan masukan untuk PP turunan dalam bentuk policy paper.
No. 19 Rekomendasi Kegiatan Yanes mengingatkan agar DKN tetap harus mempertimbangkan dengan usulan kamar masyarakat terkait dengan putusan MK 35. Jangan sampai proses pengukuhan ini akan menyebabkan konflik.
5. Lain-lain Poin 21 Rekomendasi Kegiatan Menurut Mita, poin ini sudah masuk ke rencana turunan GBHK yang dirumuskan di Bandung. Pak Hariadi mengusulkan untuk menentukan DKD yang potensial untuk didorong.
Presidium sepakat menentukan DKD Papua yang didorong pembentukannya dan bekerjasama dengan DKD Sumatera Utara, Maluku dan Kalimantan Timur. DKD Sumatera Utara dibentuk berdasarkan SK Gubernur. Penanggungjawabnya adalah sekretariat atau lintas Komisi.
Poin 22 Rekomendasi Kegiatan Poin ini bertujuan untuk menyamakan kapasitas mengingat kapasitas akademisi sangat beragam. Bentuknya bisa ToT.
Poin 24 Rekomendasi Kegiatan a) Poin ini adalah masukan dari pak Noer Fauzy. DKN diasumsikan sangat kaya oleh orangorang yang punya pengalaman terkait dengan banyak hal dengan berbagai macam perspektif Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
90
sehingga diusulkan adanya pendidikan kehutanan kontemporer. Bentuknya bisa diskusi atau kursus dan diisi oleh berbagai narasumber. Inti dari pendidikan ini adalah berbagi pengetahuan yang ada di dalam presidium DKN ke khalayak yang lebih luas. b) Pak Zulfikar mengusulkan DKN tidak perlu menyelenggarakan, tapi memberikan ke diklatdiklat yang dilakukan pihak yang lain yang relevan dengan DKN, misalnya Lemhanas yang juga punya kajian strategi nasional tentang kehutanan. Pak Agus Justianto mengusulkan untuk bekerjasama dengan Pusdiklat kemenhut sehingga DKN tidak hanya menjadi narasumber tapi juga berkontribusi pada perumusan kurikulum. Pak Marthen mengusulkan peserta pendidikan adalah kepala-kepala dinas kehutanan di daerah.
Perbedaan pandangan soal “kebangkitan kehutanan” Tema workshop kali ini adalah penataan hutan bagi kebangkitan hutan nasional. Kalau penataan hutan saja tidak begitu signifikan untuk kebangkitan hutan nasional. Kamar bisnis mengusulkan untuk ada pembicaraan mengenai revitalisasi sektor kehutanan mulai dari HPH, industri primer, industri sekunder. Ada kebijakan yang dalam jangka pendek harus segera direvisi. Untuk jangka menengah kamar bisnis juga mengusulkan adanya upaya mendorong percepatan permen mengenai HHBK maupun agro forestry. Untuk jangka panjang usulannya adalah untuk mengimplementasikan workplan tanah garapan. Apakah isu ini perlu kita sampaikan ke dalam NKB 12/KL, agar mereka tahu bahwa dengan adanya rencana-rencana ini kebangkitan kehutanan bisa tercapai. Menurut Rafles kamar bisnis mengusulkan hal tersebut karena melihat kebangkitan kehutanan dari sisi ekonomi. Berbeda dengan kamar LSM yang melihat kebangkitan kehutanan dari sisi lingkungan yaitu jumlah perlindungan ekologinya. Pak Hariadi berusaha mengakomodir perbedaan pandangan mengenai Kebangkitan Kehutanan. Di dalam NKB ada Kementerian Keuangan. Walaupun belum tahu persis dari Kementerian Kehutanan yang terkait dengan ekonomi. Jika dilihat dari perspektif ekonomi berpendapat bahwa lingkungan dan sosial tidak akan bisa dipikirkan jika usahanya bangkrut. Upaya-upaya ekonomi harus komprehensif dengan yang lainnya. Sangat penting di dalam naskah posisi DKN, posisi ekonomi diletakkan sebagai salah satu unsur penting di dalam renaksi NKB.
Tambahan Input Menurut pak Hariadi, DKN selama ini didominasi oleh komisi mediasi dan lingkungan. Ini menyebabkan proporsi aktivitas presidum menjadi tidak seimbang. Setelah NKB ini komisi Pemerintah diharapkan mendapatkan porsi yang cukup, tapi justru ekonomi tidak. Salah satu opsi yang bisa dilakukan agar bisa menyeimbangkan aktivitas presidium pak
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
91
Hariadi mengusulkan peleburan komisi. Misalnya anggota komisi ekonomi didistribusikan ke komisi yang lain. Wacana peleburan ini perlu dipikirkan. Pak Zulfikar mengusulkan adanya revitalisasi organisasi DKN. Selama ini yang revitalisasi dilakukan di tingkatan supporting, administrasi dsb. Khususnya untuk ABK, pak Zulfikar meminta ada keberanian untuk mengambil langkah agar tidak menjadi beban. Berkaitan dengan komisi, pak Zulfikar menjelaskan bahwa ketidakseimbangan juga terjadi di dalam komisi itu sendiri. Ketidakseimbangan aktivitas di dalam komisi DKN akan berakibat kontraproduktif terhadap DKN sendiri. Kaitannya dengan usul pak Zulfikar, pak Hariadi mengingatkan hasil Rapim I yang menyepakati adanya pertemuan periodik sekretariat yang dihadiri oleh ketua presidium, wakil ketua presidium, ketua harian dan wakil, serta sekretariat. Lalu itu ditingkatkan menjadi ketua presidium, wakil ketua presidium dan ketua-ketua kamar. Rapim I memutuskan dua hal; pertama, bahwa kalau ada komisi yang sedang bekerja lalu anggota komisi tertentu tidak hadir, itu bisa menunjukkan orang lain meskipun bukan anggota komisi itu. Yang penting representasi kamar selalu terpenuhi. Sebaliknya, keanggotaan komisi sebenarnya fleksibel di tiap kamar. Kedua, khusus untuk mediasi konflik yang ke lapangan tidak harus presidium yang turun langsung. Bisa menunjuk mediator sebagai wakil dari presidium. Jadi, setiap kamar mendefinisikan sendiri berdasarkan kamarnya. Rapim I berusaha mengambil terobosan-terobosan. Pak Marthen mengusulkan pembicaraan lebih lanjut di DKN untuk menganalisis tentang export logs. Pak Marthen mengusulkan fokusnya tidak harus logs tapi kayu gergajian dengan memperjuangkan luas penampangnya. Asal jangan dalam bentuk square logs. Itu bisa masuk ke dalam agenda revitalisasi ekonomi kehutanan. Pak Hariadi mengusulkan hal ini menjadi agenda kamar bisnis untuk melakukan pertemuan yang pertama dengan mengundang anggota presidium yang lain, terutama Papua. Pak Leo membacakan protokol Konsultasi Publik DKN, pasal 6 dan 7. Pasal (6) Komunikasi antar pemangku kepentingan atau kamar DKN disampaikan secara terbuka tetapi santun sesuai dengan protokol sikap sebagaimana disebutkan pada bagian 3. Pasal (7) komunikasi hasil konsultasi kesepahaman persetujuan sikap, posisi, perbedaan pandang, rekomendasi dan langkah tindak lanjut disampaikan kepada peserta konsultasi tatap muka dan menjadi informasi publik. Pada bab II menjelaskan tentang proses dimana bisa dilakukan atas penunjukkan atau rekomendasi ketua presidium. Dari protokol tersebut, pak Leo berpandangan bahwa kamar mempunyai kewenangan untuk melakukan pernyataan sikap sesuai sikap kamar, sesuai dengan konsensus yang dilakukan oleh kamar, baik dalam pertemuan presidium maupun oleh pertemuan kamar. Karena kita juga sepakat bahwa hasil dari pertemuan presidium bisa merupakan satu konsensus bersama tapi itu juga bisa merupakan hasil dari perbedaan pandangan kamar. Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
92
Terkait dengan anggota DKN di daerah, perlu ada keleluasaan penyampaian sikap bagi mereka. Yang penting pernyataan sikap tersebut bukan pernyataan pribadi atau merupakan klarifikasi terhadap konsensus yang dibuat oleh DKN. Atau konsensus yang dibuat oleh kamar DKN. Dalam hal-hal tertentu itu perlu rekomendasi atau penunjukkan dari ketua presidium DKN.
Penutupan Oleh: Hariadi Kartodihardjo (Ketua Presidium DKN) Pertama, terkait dengan sikap kamar. Hal itu penting untuk dilihat lagi karena merupakan aktivitas sehari-hari DKN. Ketua presidium bukan menteri yang memberikan arahan kepada anak buahnya melainkan mensarikan dari bawah. Pihak-pihak lain harus tahu mengenai hal itu. termasuk juga bagaimana sikap kamar dst. Kita bisa menyampaikan sesuatu ke menteri dengan perbedaan pendapat antar kamar. Tidak harus selalu bulat. Menteri yang akan menilai. Oleh karena itu tidak selalu harus dipaksakan mekanisme voting. Tetapi instrumen voting suatu saat bisa dipakai. Intinya ini menjadi penegasan penting yang akan kita lihat bersama untuk memastikan itu. Kedua, saya memandang kegiatan dua hari ini sangat baik. Kebetulan yang hadir banyak. Yang penting sebetulnya, seperti juga harapan banyak orang, termasuk juga middle class kehutanan, berikutnya tidak harus selalu populis. Sementara persoalan tenurial selalu ditinggal dari waktu ke waktu. Kita punya kesempatan yang baik untuk kerjasama dengan KPK karena formulasi dan pikiran awalnya juga dari kita sendiri, untuk memastikan ini sampai pada tahun 2015. Mudah-mudahan kita juga punya energi cukup besar untuk mengantarkan ini dan saya kira tadi malam dengan World Bank dst, termasuk juga sekretariat, siap mendorong ini semua. Ketiga, terkait dengan pengantar FGD 19 Juli 2013, posisi DKN jangan dibuat sulit. DKN terhadap FIP sebenarnya tidak dalam posisi setuju atau menolak. FIP bisa berjalan sebagaimana program pemerintah yang lain, dengan atau tanpa DKN. Saat ini DKN ditunjuk sebagai anggota SC FIP. Oleh karena itu, yang penting adalah memastikan bagaimana FIP mempunyai kelemahan dan kekuatan dan input DKN terhadap FIP. Tentunya sangat baik kalau pandangan dan input berasal dari semua kamar, yang kemudian menjadi mandat ketua presidium dan mbak Mita sebagai anggota untuk membawa input tiap kamar ke dalam pertemuan SC.
Hingga saat ini SC belum mengadakan pertemuan maka DKN akan melayangkan surat ke ketua SC untuk segera melakukan pertemuan dan dalam pertemuan itulahdisampaikan butir-butir yang akan dihasilkan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
93
Ketua presidium akan melaporkan kepada seluruh anggota seberapa jauh butir-butir itu diterima. Kemudian DKN memutuskan. Jika sebagian besar tidak diterima, saya mengusulkan DKN mengundurkan diri dari SCFIP, tapi itu tergantung presidium, karena saya yakin yang diusulkan tiap kamar adalah hal-hal yang prinsip. Hasil SC pertama akan diputuskan bersama untuk memastikan apakah DKN masih di dalam SCFIP atau tidak. Sedangkan DGM, itu adalah prakarsa hubungan kamar masyarakat dengan AMAN. Itu bisa kita lanjutkan sampai dengan terbentuknya SC dst, itupun sangat tergantung dengan komunikasi antara kamar masyarakat dan AMAN. Jadi DKN adalah channel saja.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
94