Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi PROBLEMATIKA FATWA ULAMA’ DALAM MURABAHAH PERBANKAN SYARIAH Oleh: Ahmad Fauzi1 ABSTRAK Seorang muslim yang ingin bertransaksi dengan mura>bah}ah yang ditawarkan oleh perbankan shari>‘ah, tentunya selain ada niat bisnis, mereka juga berniat ingin menjalankan shari>‘ah secara benar. Padahal, akad ini diduga terdapat perkara-perkara yang tidak diperbolehkan, seperti riba. Artinya, akad yang ditawarkan oleh perbankan, "Sudahkah sesuai dengan akad yang disebut di dalam kitab-kitab fiqih". "Apakah praktek akad mura>bah}ah perbankan shari>‘ah sudah mematuhi ketentuan jual beli yang ada dalam kitab fiqih". Hasil kajian ini Mura>bah}ah adalah akad jual beli antara bank dan nasabah di mana bank membeli barang yang diperlukan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin/ keuntungan yang disepekati antara bank dan nasabah . Para Ulama' berbeda pendapat tentang hukum akad seperti ini. Pendapat yang tidak membolehkan yaitu al-Ma>likiyah. Pendapat yang membolehkan adalah pendapat al-Sha>fi‘iyah, al-Hana>fiyah, dan alH}ana>bilah, dengan syarat jika fase perjanjian itu tidak mengikat secara hukum, tetapi jika perjanjian itu mengikat secara hukum, hukumnya haram. Pendapat yang ketiga adalah pendapat dari Dewan Syariah Nasional dan pendapat hasil Mu'tamar al-Mas}raf al-Islami di Dubai yaitu hukumnya boleh dan perjanjiannya mengikat secara hukum. Abdullah Saeed salah satu ulama' kontemporer menyoalkan keabsahaan akad mura>bah}ah perbankan shari>‘ah. hal ini karena akad ini tidak jauh beda dengan pembiayaan yang dilakukan oleh bank-bank konvensional.
Pendahuluan Bank Syariah di Indonesia walaupun perkembangannya tidak cepat dan pesat seperti di Negara-negara lain akan tetapi kalau di hitung dari pengguna atau nasabahnya masih bisa dibilang lumayan, Indonesia dengan populasi penduduk muslim terbanyak masih bisa mendukung keberadaan bank Syariah di 1
156
Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri.
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Indonesia, begitu banyaknya nasabah yang ada di Bank Syariah di Indonesia saya merasa perlu mengkaji kembali salah satu akad yang paling banyak digunakan di Bank Syariah yaitu Murabahah, akad ini sangat disukai baik oleh pihak bank maupun nasabah, ini dikarenakan akad ini sangat simple dan bank dapat dengan langsung mengerti nisbah profitnya. Demikian juga problematika akad ini sudah semestinya akan berkembang sesuai perkembangan penggunaan akad ini dan permasalahan-permasalahnnya. Maka di sini kita perlu mengkaji hokum akad ini dan bagaimana pendapat para ulama’ dalam menanggapi permasalah-permasalahan akad murabahah, dan ternyata akad ini banyak mengandung kontroversi antara yang membolehkan dan yang mengharamkan, pendapat mereka selalu diikuti dengan dalil-dalil yang kuat. Argument mereka juga dilengkapi dengan kritik pendpaat lawan mereka. "Apakah Akad ini sudah sesuai dengan akad yang disebut di dalam kitab-kitab fiqih". "Apakah praktek akad mura>bah}ah perbankan shari>‘ah sudah mematuhi ketentuan jual beli yang ada dalam kitab fiqih". Maka bagaimana hokum dendapada akad mura>bah}ah yang ditawarkan oleh perbankan, sudahkah sesuai dengan akad yang ada pada kitab fiqih, perlu adanya kajian tentang fiqih denda, pembolehannya, maupun keputusan para ulama’ terhadap denda tersebut, sehingga kita bisa menganalisis, apakah denda pada akad murabahah bisa merusak pembolehan akad tersebut.
Mura>bah}ah dalam praktek perbankan Perbedaan antara mura>bah}ah fiqih dan praktek mura>bah}ah perbankan shari>‘ah: Mura>bah}ah adalah akad jual beli antara bank dan nasabah di mana bank membeli barang yang diperlukan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin/keuntungan yang disepakati antara bank dan nasabah. 157
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Pembayaran dalam transaksi mura>bah}ah dapat dilakukan secara cicilan/angsuran, sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Praktek akad ini diawali dengan permintaan nasabah, nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank, kemudian jika bank menerima permohonan tersebut, bank harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang, bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. Denda bagi nasabah yang dengan sengaja menunggak pembayaran (hutang pokok dan atau margin), bank diperkenankan untuk memunggut denda tunggakan sebesar 5% pertahun dihitung dari besarnya angsuran yang tertunggak. Dan pendapatan atas denda ini bank mengalokasikan untuk danadana sosial. Pemberian denda tersebut dapat dicantumkan dalam akad pembiayaan mura>bah}ah. Ganti rugi hanya boleh digunakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian dari pihak lain. Besarnya ganti rugi sesuai dengan nilai kerugian yang riil yang pasti dialami, dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi, karena adanya peluang yang hilang. Ganti rugi yang diterima diakui sebagai pendapatan bank dan tidak boleh dicantumkan dalam akad. Praktek jual beli ini memang secara sepintas tidak sesuai dengan definisi mura>bah}ah, baik menurut perbankan shari>‘ah, maupun definisi fiqih, hanya sesuai pada komponennya yang berupa harga pertama dan keuntungan yang diprosentasikan dari harga pertama, sedangkan permintaan dan perjanjian tidak ada dalam definisi fiqih, akan tetapi sebagian ulama’ telah 158
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi memasukan permintaan akad mura>bah}ah termasuk dalam kategori jual beli mura>bah}ah, jadi mura>bah}ah itu adakalanya mura>bah}ah tanpa permintaan terlebih dahulu, sebagaimana mura>bah}ah pada literatur fiqih, dan yang kedua adalah mura>bah}ah yang dilakukan karena adanya pesanan atau permintaan pembelian yang disebut al-mura>bah}ah li ’a>mir bi alshira>’ atau al-mura>bah}ah li wa>‘id bi al-shira>’. Mura>bah}ah yang kedua berbeda dengan yang pertama dalam prakteknya dalam beberapa hal sebagai berikut: a. Barang pada mura>bah}ah yang ada pada literatur fiqih ada di tempat akad, dan tentunya dalam mura>bah}ah yang ada pada literatur perbankan barang tersebut tidak ada di tempat akad. b. Akad yang terjadi pada mura>bah}ah yang ada pada literatur fiqih hanya satu kali pada tempat akad, sedangkan pada mura>bah}ah yang ada pada literatur perbankan terjadi dua fase, fase perjanjian, dan fase akad. c. Perjanjian pada mura>bah}ah yang ada pada literatur perbankan terkadang mengikat wajib, padahal sebenarnya harga secara pasti belum diketahui, jika pihak perbankan belum memiliki dan tidak tahu beban biaya yang harus ditangung biaya perolehan, sedangkan harga pada mura>bah}ah yang ada pada literatur fiqih harga dapat diketahui di tempat akad. d. Penjual pada mura>bah}ah yang ada pada literatur fiqih membeli sendiri barang tersebut tanpa ragu, apakah itu untuk dimanfaatkan, atau untuk diperdagangkan, dan ada waktu tenggang antara ketika penjual membelinya, dan menjualnya kembali, sedangkan pada mura>bah}ah pada perbankan, pihak perbankan tidak akan membelinya kecuali ada permintaan dari nasabah, dan ada perjanjian dari pihak nasabah untuk membeli 159
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi barang tersebut, sehingga bank membeli bukan dalam rangka untuk memanfaatkannya, tetapi bank tidak membeli barang tersebut kecuali untuk menjual kembali secara langsung. e. Pembayaran pada mura>bah}ah adakalanya angsuran dan tunai, sedangkan dalam mura>bah}ah yang ada pada literatur perbankan kebanyakan angsuran, artinya bank membeli barang tersebut dengan pembayaran tunai, untuk menjualnya dengan pembayaran angsuran. f. Para ulama’ pada mura>bah}ah yang ada pada literatur fiqih berbeda pendapat antara apa yang bisa masuk pada harga pertama, dan tidak, sedangkan pada mura>bah}ah yang ada pada literatur perbankan perkaranya lebih mudah, karena seluruh beban perolehan menjadi harga pertama, sedang apa yang tidak masuk pada harga pertama dapat masuk ke dalam golongan keuntungan seperti biaya asuransi. g. Pada mura>bah}ah yang ada pada literatur fiqih penjual dapat membebankan biaya pengobatan, perbaikan, kreasi, atau jahitan pada harga barang, sedangkan pada mura>bah}ah perbankan, perbankan tidak membebankan hal-hal apapun, perbankan hanya membeli barang, kemudian menjualnya kepada nasabah seketika itu. h. Barang dalam mura>bah}ah fiqih terkadang bisa berkembang atau bertumbuh seperti pada ternak yang melahirkan, atau pada pohon yang tumbuh buahnya, sedangkan pada mura>bah}ah yang ada pada literatur perbankan, pihak perbankan membeli, sekaligus menjualnya pada nasabah, karena perbankan tidak ada tanggungan tentang hal tersebut. i. Mura>bah}ah yang ada pada literatur fiqih jika dilakukan dengan tunai, maka keuntungannya adalah keuntungan 160
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi kontan sesuai dengan resiko biaya usahanya dan waktunya, sedangkan keuntungan mura>bah}ah yang ada pada literatur perbankan yang muncul adalah keuntungan dikarenakan tenggang waktu. Jika perbankan menginginkan laba yang lebih dari selain itu, maka harga barang akan menjadi lebih tinggi lagi, dan jika dipraktekkan pada akad ini, maka akan lebih membebani nasabah, sedangkan nasabah tidak berasumsi pada bank kecuali hanya sebagai pembiaya saja, sedangkan peran pencari laba adalah peran nasabah nantinya. Uraian di atas jelas-jelas menyatakan bahwa mura>bah}ah yang ada pada perbankan shari>‘ah seperti yang disebut di atas adalah mura>bah}ah yang berbeda dengan yang ada pada literatur fiqih, hanya saja sama pada namanya saja. Oleh karena itu para ulama’ memberi tambahan li a>mir bi al-shira>’,2atau li wa>‘id bi al-shira>’ atau bay‘ muwa>‘adah.3 Dalam literatur bahasa Indonesia disebut mura>bah}ah pesanan, selain memang ada persamaan pada mura>bah}ah fiqih dalam mencari keuntungan, dan persamaan yang berkaitan dengan hukum rukun dan syarat jual beli. Ulama’-ulama’ kontemporer terbagi menjadi dua, mereka berbeda pendapat tentang akad ini. Sebagian dari mereka ada yang membolehkan, sebagian ada yang mengh}aramkan, dan harus dihapus dari akad-akad yang diperbolehkan atau dijalankan pada bank-bank yang menjalankan prinsip shari>‘ah. 4 2
Ibra>him Fad}il al-Dabu, "al-Mura>bah}ah li 'a>mir bi al-Shira>', " makalah dalam Majalah Majma‘ al-Fiqh al-Islamy al-Tabi' Li Mu'tamar al-Islami bi Jeddah, http://www.ahlalhdeeth.com. 3 Bakar Bin Abdullah, " Mura>bah}ah li 'a>mir bi al-Shira' wa hadith – la> tabi' ma> laisa 'Indak", "makalah dalam Majalah Majma‘ al-Fiqh al-Islamy al-Tabi' Li Mu'tamar al-Islami bi Jeddah, http://www.ahlalhdeeth.com. 4 Nejatullah al-S}iddiqy, Issue in Islamic Banking, 139. dalam Abdullah Saeed, Menyoal Bank Shari'ah: Islamic Banking And Interest (Jakarta: Paramadina, 2006),147.
161
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Salah satu wakil dari ulama’-ulama’ yang tergolong membolehkan adalah Muhammad Shibi>r. Beliau berpendapat bahwa akad mura>bah}ah yang ada pada perbankan setelah diteliti mengandung 4 unsur akad: Pertama akad perjanjian yang mengikat wajib antara bank dan pembeli. Kedua akad jual beli antara pedagang (suplier) dan bank. Ketiga akad mura>bah}ah antara bank dan nasabah yang kebanyakan dilakukan dengan angsuran, di mana mengakibatkan harga bertambah dan dinamakan jual beli kredit (Taqsi>t}). Keempat akad ini memuat kombinasi berbagai macam akad dalam satu akad.5 Hukum unsur yang pertama: perikatan perjanjian wajib antara bank dan nasabah, ulama’ berbeda pendapat dalam hal ini: al-H}ana>fiyah, dan al-Sha>fi‘iyah al-H}ana>bilah dan alMa>likiyah dalam satu riwayat bahwa sebuah perjanjian itu mengikat secara moral agama saja dan tidak mengikat secara hukum, hal itu dikarenakan perjanjian adalah bagian dari tabarru', dan tabaru' tidak wajib mengikat sebagaimana hibah.6 Pendapat yang kedua adalah pendapat dari Ibnu Shibrimah, Ishaq Bin Ra>hawaih, al-Hasan al-Bas}ri dan salah satu dari pendapatnya al-Ma>likiyah bahwa perikatan perjanjian itu mengikat secara hukum.7 Hal ini berdasar pada firman Allah: ِ ) َ ُ َ َم ْف تًا ِنْف َ اَّل ِ أ ْفَو َ ُواُو َما ال٢ ( آمنُو َِ َ ُواُو َو َما ال َ ْف َ ُو َو َ يي َ )يَا أَيُّ َها اَّل 8
()٣(َ ْف َ ُو َو
Dan hadith yang menerangkan tanda-tanda munafiq 9 ) إِ َ ْفؤُِ َي َ ا َو, َ َ َ إِ َ َ َ َ أ, َ َ َ َ َ َ َ ِ إ, (آيي انَااِ ِ َالَ ٌث ُ 5
Muhammad ‘Uthman Shibi>r, Fiqh al-Mu‘a>mala>t al-Mu'a>s}irah,312. Raud}at al-Ta>libin, 5/321. kashaf al-Kina', 3/323. al-Is}a>f al-Marda>wi, 5/190, dalam Muhammad ‘Uthman Shibi>r, Fiqh al-Mu‘a>mala>t al-Mu'a>is}rah, 310. 7 Ibnu H}azm, 8/28. Tahrir al-Kalam li al-H}t}a>b,154. Muhammad ‘Uthman Shibi>r, Fiqh al-Mu‘a>mala>t al-Mu'a>si}rah, 310. 8 Al-Qur'an, 61(al-S}af):2-3. 6
162
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Pendapat ketiga adalah pendapat sebagian al-Ma>likiyah yang berpendapat bahwa akad perjanjian itu mengikat wajib secara hukum, jika ada kaitannya dengan sebab, walaupun sebab tersebut adalah waktu, seperti: "Aku ingin mengawinimu", "Aku akan membeli barang itu", "Aku ingin bepergian dan pinjamilah Aku kendaraan", maka jika dijawab "Iya", wajiblah mengawini, atau membeli atau bepergian. Pendapat keempat adalah pendapat yang paling mashhur dari al-Ma>likiyah, yang juga pendapatnya Ibnu Qasim bahwa perjanjian adalah mengikat wajib secara hukum, jika perjanjian itu berkaitan dengan sebab, dan perkara yang dijanjikan masuk pada perjanjian tersebut. Seorang berjanji membeli seorang budak jika dia ditolong dengan 1000 Dirham, maka jika ada yang berkata: "Aku akan menolongmu dengan 1000 Dirham", maka wajib bagi seorang tersebut untuk membeli budak. Para ulama’ kontemporer mengunggulkan pendapat yang keempat, bahwa perjanjian itu mengikat wajib jika berhubungan dengan sebab yang masuk pada perjanjian itu. Dengan ini Majma' alFiqhi al-Islami memutuskan pada muktamarnya yang Kelima yang diadakan di Kuwait tanggal 10-15 Desember 1988, bahwa perjanjian itu adalah yang keluar dari orang yang memerintah atau orang yang diperintah mengikat wajib secara agama kecuali ada 'udhur, dan menjadi ikatan yang wajib secara hukum jika berkaitan dengan sebab, dan perkara yang dijanjikan masuk dalam beban yang dijanjikan, dan kewajiban itu adakalanya dengan cara melanjutkan perjanjian tersebut dengan melaksanakannya, atau dengan cara ganti rugi yang diakibatkan karena tidak adanya pelaksanaan perjanjian tersebut.10
9
Muhammad Bin Isma>'il Bin Ibrabi>m al-Bukha>ry, S}ah}ih} al-Bukha>ry, 1/58/32. Muslim Bin Hajaj, S}ah}ih} Muslim, 2/46., al-Nasa’i, Sunan al-Nasa>'i, 15/220/4935., Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmi>dhi (Makabah Shamela II), 9/221/2555 . 10 Muhammad Uthma>n Shibir, al-Mua>mala>t al-Ma>lyah al-Mu'a>s}irah, 313.
163
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Unsur Mura>bah}ah adalah unsur kedua adalah unsur jual beli, maka jelas diperbolehkan sesuai dengan uraian landasan teori di atas. Unsur mura>bah}ah antara Bank dan Nasabah, adalah unsur yang ketiga yaitu mura>bah}ah yang dilakukan dengan tambahan harga yang disebabkan karena waktu, maka terjadi perbedaan antara ulama’ di sini: Pendapat pertama: al-H}ana>fiyah, al-Ma>likiyah, alSha>fi‘iyah, al-H}ana>bilah bahwa boleh jual beli seperti ini termasuk dari ulama’ kontemporer yang memperbolehkan adalah Syeh Abdul Aziz Bin Baz dan Qardawi. Pendapat yang kedua adalah pendapat dari kalangan Shi'ah seperti al-Qasimiyah, dan Imam Yahya dan termasuk pendapat dari Ibni Sirin dan Shuraih, Ibnu Hazmin al-D}a>hiri bahwa jual beli dengan tambahan harga karena waktu tidak boleh atau h}aram.11Dari kalangan kontemporer Syeh Rafiq alMis}ri, Syeh Abd al-Rahman Abd al-Khaliq.12berdasar pada hadis: ِ اا َ َ اا َ َ ََ ( َ ْفي أَِ َ َ َ يَ َ ْفي أَِ ُ َيْف َ َ صَّلى اَّل ُ َ َْف َ َ َّل َ َم ْفي َ ُّ ِاا انَّل ) َْف َتَ ْف ِ ِ َْف َ ٍةي اَ َ ُ أَْف َ ُس ُه َ ا أَْف اَِّا13 ِ َ وا اَّل ِ صَّلى اَّل َ ُ َ ( َ ْفي َ ْف ِ ْف ِي ُ َ ْف ٍة َ ْفي أَِ ِ َ ْفي َ ِّ ِ أ َّلَو ُ َ ْف َ ِ َ َ َّل14( ِ َ َ َال َ َ او ِ َْف ٍة ََال َْف ُ َما اَْف َ ِ ْفن اا َال َ ُّ َ َ ٌث َ َْف ٌث َ ْف َ ََ 11
Muhamad Bin Ali Bin Muhammad al-Shaukani, Nail al-Aut}ar, 5/172.,Ibnu H}azmin, al-Muh}alla, 9/627. 12 Abd al-Rahman Abd al-Khaliq, al-Qaul al-Fas}l fi bay' al-a>ja>l, 31. makalah Rafiq al-Mis}ri, bay' al-Mura>bah}ah kama> tajri>hi al-Mas}arif al-Isla>miyah, Majalah al-Ummah no: 16, 24. 13 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 9/323/3002.www.al-Islam.com., alHa>kim Muhammad Bin Abdullah Bin Muhammad al-H}afid},al-Mustadrak li al-S}ah}i>h}ain, 5/397/2252., Ibnu H}ibba>n, S}ah}ih} Ibn H}ibba>n, 20/477/5064. www.al-sunnah.com. 14 Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, 9/377/3041. www.al-Islam.com., alTirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, 5/11/1155.www.al-Islam.com., al-Nasa>'I, Sunan al-Nasa>'I, 14/180/4532, www.al-Islam.com.,al-Hakim Muhammad
164
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Alasan jual beli ini mengandung riba, karena adanya tambahan dalam harga yang sebagai ganti tempo tidak tunai. Muhammad Shibir adalah pendapatnya Jumhhur Ulama’ yang membolehkan bay‘ taqsi>t}. Sedangkan hadith yang menerangkan tentang ( )اا ت dengan riwayat ( )أ سه اadalah riwayat yang d}a'if, karena dalam riwayatnya ada perawi Muhammad Bin Al-Qamah dan kalaupun itu dianggap s}ah}i>h} maka berarti hadith itu tertuju pada kenyataannya, tidak diamalkan pada d}ah> ir hadith. Karena kalau beramal dengan d}ah> irnya maka mengandung jual beli akad penipuan dan ketidakjelasan.15 Sedangkan kejadian sebagai kandungan hadith ini adalah seorang yang menghutangi pada rekannya satu Dinar dalam dua roti dari gandum sampai satu bulan, kemudian ketika sudah waktunya tiba, maka dia meminta gandum, kemudian penghutang berkata: "Juallah satu rotimu yang harus Saya bayar sampai satu bulan." Jual beli seperti ini yang kedua masuk pada jual beli awal, maka itu, jadilah dua jual beli dalam satu akad jual beli, maka keduanya harus saling mengembalikan ke yang lebih sedikit, dan jika tidak maka tambahannya adalah riba'.16 Pada masalah ini tidak sah berpegang pada riwayat ini. Sedangkan riwayat yang tanpa ada tambahan akhir itu, maka itu adalah riwayat yang s}ah}i>h}. Artinya itu tidak berarti pengh}araman jual beli dengan harga tambah karena tenggang waktu, dan hadith itu mempunyai arti bahwa seorang yang ingin berakad menggunakan dua harga tanpa ada maksud menentukan salah satu harga, hal ini memang pada akhirnya membuat pertikaian, dan ketidakjelasan. Sedangkan jika akad Bin Abdullah Bin Muhammad al-H}a>fid}, al-Mustadrak li al-S}ah}i>h}ain, 5/289/2146. www.al-sunnah.com. 15 Muhamad Bin Ali Bin Muhammad al-Shaukani, Nail al-Autar Sharh}i Muntaqa al-Akhbar, 5/172. 16 Muhammad Uthma>n Shibir, al-Mua>mala>t al-Ma>lyah al-Mu'a>s}irah, 315.
165
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi terjadi dengan salah satu harga dari dua harga tersebut maka akadnya tentunya s}ah}i>h} tanpa ada yang menentangnya. Shaukani berpendapat bahwa alasan pelarangan dua akad jual beli dalam satu akad, karena tidak adanya ketentuan harga secara pasti dalam satu akad jual beli dengan dua harga.17 Hadith yang mengatakan "( ) انهي يlarangan jual beli dan hutang", ini juga tidak menunjukkan pada larangan jual beli dengan tambahan harga yang disebabkan tenggang waktu, karena yang dimaksud dengan salaf di situ adalah hutang. Sehingga larangan itu dalam bentuk salah satu dari kedua orang yang berakad kepada rekan yang menghutanginya beberapa Dirham atau Dinar untuk menyempurnakan akad seperti ini tidak ada pada akad jual beli mura>bah}ah. Sedangkan pelarangan pada dua syarat, maka ulama’ berbeda pendapat dalam menafisiri hadith tersebut, dan yang paling banyak menafsirinya sesuai makna hadith (ي ) انهي ي ت sebagaimana itu telah dibahas di depan. 18 Pendapat yang mengatakan bahwa "Akad ini adalah menyerupai riba, karena adanya tambahan harga disebabkan tenggang waktu", maka pendapat ini tidak bisa diterima 19. Karena yang dimaksud dengan tambahan dalam jual beli riba adalah suatu hal serupa, Dinar dengan dinar beserta tenggang waktu tertentu. Sesungguhnya dalam hal ini tambahan itu ada, dan secara hakikatnya ada, sedangkan tambahan dalam barang bukan merupakan riba', karena keduanya berbeda. Artinya dinar ditukar dengan barang bukan dengan dinar lagi plus tanbahan harga. Padahal jika terjadi tambahan pada dinar atas harga waktu kekinian, maka bukanlah termasuk riba, karena itu para fuqaha>’ memutuskan bahwa "Waktu itu dalam jual beli 17
Muhammad al-Shaukani, Nail al-Autar Sharh}i Muntaqa al-Akhbar, 5/172. Muhammad Uthma>n Shibir, al-Mua>mala>t al-ma>lyah al-mu'a>s}irah, 314. 19 Ibid, 315. 18
166
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi terkadang mempunyai harga tersendiri, seperti pada akad salam, di mana jual beli ini berbeda dengan waktu yang ada pada hutang, maka tidak boleh pada hutang ada tambahan sebagai ganti dari waktu tunda.20 Hukum unsur yang keempat bahwa telah terjadi kombinasi akad dalam satu akad. Para ulama’ berbeda pendapat dalam hal ini. Pertama tidak boleh. Sedangkan pendapat kedua sebaliknya. Pendapat pertama adalah pendapat dari al-H}ana>fiyah, alSha>fi‘iyah, al-Ma>likiyah, dan satu riwayat pada al-H}anabilah tidak boleh terjadinya beberapa akad pada satu akad kecuali pad>a satu masalah saja menurut al-Ma>lkiyah dan al-Sha>fi‘iyah, yaitu kombinasi akad bay‘ dan ’ija>r.21 Dalil pelarangan tersebut 22 ) (ن ى ي ت ِ ِ ِ ص ْف َ تَ ْف َ َ ( َ ِ يث ِْفي َم ْفس ُود َ صَّلى اَّل َ َْف َ َ َّل َ َ ْفي َ اا " نَ َهى َ ُ وا اَّل 23 ،) ص ْف َ ي َ )
ي,
(هنى ي
Tafsir kedua dari hadith ini adalah "Saya menjual barang ini dengan harga 100 dibayar selama setahun, tetapi saya membelinya 80 tunai". Dalam hal ini memang dia telah mengumpulkan dua s}afqah tunai dan tunda dalam satu s}afqah dan barang yang satu, jual beli seperti ini adalah jual beli dirham kontan dengan tambahan lagi jika dibayar tunda, maka
20
al-Sayaghi, al-Raud} Nad}i>r, 3/526.dalam, Muhammad al-Shibili, 316 Ibnu Qudamah, al-Mughni, 316. 22 al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, 5/7/1152., al-Nasa>'I, Sunan Al-Nasa'I, 14/214/4553. 23 Muh}ammad shamsu al-H}aq al-'Az}im A>b}adi, 'Aun al-Ma'bu>d, 7/453. 21
167
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi hukumnya dia tidak berhak kecuali dengan harga modal, jika dia mengambilnya, berarti dia telah mengambil riba' 24 Seluruh hadith ini mempunyai makna pelarangan kombinasi akad atau beberapa syarat akad dalam satu akad, dan mereka mengecualikan akad jual beli dan sewa menyewa, karena tidak ada saling menafikan akad di antara keduanya, walaupun ijarah tersebut pada barang yang dijual, seperti orang yang membeli baju dengan harga tertentu dan menjahit sebagiannya sebagai ganti dari baju, maka akad ini jual beli, dan sebagiannya akad ijarah yaitu menjahit. Pendapat yang kedua adalah pendapat dari al-Ashhab dari al-Ma>likiyah dan Ibnu Taymiyah dari al-H}ana>bilah, pembolehan kombinasi akad dalam satu akad. Alasan pokok, karena pada dasarnya "Akad itu boleh atau tidak terlarang". 25 Paling rajih menurut al-Shibili adalah pendapat yang nomer dua yaitu pembolehan kombinasi akad dalam satu akad dengan dasar pada kaidah bahwa pada dasarnya akad itu boleh, sedangkan hadith yang dibuat pedoman oleh ulama’ tidak menunjukkan pelarangan kombinasi akad. Larangan yang dimaksud dalam hadith-hadith tersebut jual beli pada dua harga yang berbeda, karena waktu yang berbeda tanpa kejelasan salah satu dari keduanya. Penjelasan ini dapat menyimpulkan bahwa jual beli mura>bah}ah li a>mir bi al-shira>’ adalah boleh.26 Pembolehan ini harus mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Barang yang akan dibeli secara mura>bah}ah benarbenar dimiliki oleh bank, dan masuk pada garansi jaminan bank sebelum akad kedua bersama nasabah. b. Harga pada akad mura>bah}ah tidak boleh bertambah tatkala adanya ketidakmampuan untuk membayar. 24
Ibid., 7/453. Ibnu Taymiyah, Naz}ariyat al-Aqd, 188. 26 Muhammad Uthman Shibi>r, al-Mu'amala>t al-Ma>liya>t al-Mu'a>s}irah, 317. 25
168
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Akad mura>bah}ah tidak dilakukan sebagai penghindar dari riba', yaitu pembeli menghendaki memperoleh uang, dan mengambil barang hanya sebagai alat untuk mencapai tujuannya, seperti pada jual beli al‘inah, (jual beli dengan gambaran seorang pedagang menjual sesuatu kepada yang lainnya dengan harga tidak tunai, dan menyerahkannya kepada pembeli, kemudian penjual membeli sebelum menerima uangnya dengan kontan lebih sedikit dari harga yang sudah ditentukan), jual beli al-tawarruq (yaitu seseorang membeli barang dengan tidak tunai kemudian menjual barang tersebut dengan tunai kepada selain penjual dengan harga yang lebih sedikit, supaya memperoleh dengan akad ini uangya), jual beli barang dengan harga yang lebih tinggi karena tenggang waktu dan menjual barang tersebut kepada pembeli atau kepada yang lainnya dengan harga yang lebih rendah. Sami Hasan Mahmud dalam makalahnya yang berjudul bay‘ al-mura>bah}ah li a>mir bi al-'ashira>' mengatakan bahwa mura>bah}ah ini adalah bentuk baru mura>bah}ah, diperbolehkan secara shar‘i, karena kebutuhan masyrakat pada akad ini untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, sehingga disebut mura>bah}ah modern, di mana hal tersebut membuka peluang bagi para mujtahid kontemporer untuk berijtihad di dalamnya, Sami Mahmud mengatakan bahwa mu‘a>malah ini adalah bentuk perjanjian jual beli, di mana sebuah perjanjian diperbolehkan menurut hukum Islam dengan syarat jual beli yang di h}alalkan, sehingga akad ini sudah tidak perlu diragukan lagi perolehannya.27 c.
Sami Hasan Mahmud, "Bay‘ al-mura>bah}ah li a>mir bi al-'ashira>'", dalam Majalah Majma‘ al-Fiqh al-Islamy al-Ta>bi' li Mu'tamar al-Islami bi Jeddah, http://www.ahlalhdeeth.com. 27
169
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Abdullah Saeed adalah salah satu ulama’ kontemporer yang menyoalkan keabsahaan akad mura>bah}ah yang dipraktekkan pada perbankan shari>‘ah. Beliau berpendapat bahwa akad ini tidak jauh beda dengan pembiayaan yang dilakukan oleh bank-bank konvesional, bahwa dalam akad mura>bah}ah ini kontrak jual-beli membawa sesuatu hubungan debitur-kreditur antara nasabah dan bank, pembeli setuju untuk membayar harga barang plus mark up secara angsuran, jumlah dan tanggal jatuh tempo angsuran ditentukan dalam kontrak. Begitu bank dan nasabah memasuki kontrak jual beli, maka harga jual menjadi tanggungan hutang nasabah kepada bank. Jadi, hubungan antara nasabah dan bank menjadi debiturkreditur. Pendapat ini disetujui juga oleh Muhammad Nejatullah Sidiq, bahkan dia setuju kalau akad ini dihapus dari akad-akad yang diperbolehkan dan dijalankan pada bank-bank sha>ri'ah.28 Kejanggalan tentang keabsahan mura>bah}ah yang dipraktekkan pada perbankan Shari>‘ah mengacu pada komponen mura>bah}ah sendiri, di mana para ulama’ selalu berbeda pendapat ada melarang dan ada yang membolehkan. Seperti adanya nilai waktu uang dalam mura>bah}ah. Banyak fuqaha>’ ternama nampaknya menolak mengakui setiap peningkatan dalam pinjaman atau harga penjualan dapat dibenarkan dengan dasar waktu, karena, waktu itu sendiri bukanlah uang, atau obyek material yang menjadi kounter nilai dalam pinjaman, karena, mempercepat pembayaran pinjaman pada waktu kreditur mengalami kekurangan dalam jumlah pinjaman adalah riba'. Pandangan ini didasarkan pada kisah Zaid Bin Thabit, Abdullah Bin Umar, para ulama’ generasi awal menyamakan pengurangan berkaitan dengan waktu 28
Muhammad Nejatullah Siddiq, Issues ini Islamic Banking: selected papares, (lecister: Islamic Fondation, 1983). 139. dalam Abdullah Saed, Menyoal Bank Islam, 80.
170
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi pinjaman dengan riba', Zaid bin Thabit berkata perolehan dari pengurangan itu tidak boleh diberikan kepada orang lain.29 Peran Bank Shari>‘ah dalam hal ini dapat digambarkan lebih tepat dengan istilah pembiaya, bukan penjual. Bank tidak memegang barang, tidak pula mengambil resiko atasnya. Kerja bank hampir semuanya terkait dengan penanganan dokumendokumen terkait. Kontrak penjualan adalah sekedar formalitas belaka. Permintaan untuk pembelian oleh nasabah dilengkapi dengan satu janji untuk membeli yang disertai dengan pembayaran uang muka untuk menjamin bahwa nasabah memang serius dalam permintaan pembeliannya dan bahwa ia akan mencukupkan pembayaran ketika bank menunjukkan kesiapannya untuk menyelesaikan kontrak jual-beli, begitu bank memberitahukan kepada nasabah bahwa barang telah siap diserahkan, atau bahwa dokumen-dokumen yang berkenaan dengan barang telah tiba. Kontrak penjualan akan segera diselesaikan setelah bank diberitahu oleh bank rekanannya bahwa eksportir telah siap mengirimkan barang, atau setelah dokumen terkait tiba di bank. Bank tidak perlu menunggu tibanya barang untuk diperiksa sebelum diserahkan kepada pembeli. Justru, kondisi barang tidak terlalu dipedulikan oleh bank, karena tanggung jawab pembelilah untuk mengecek spesifikasinya, sebelum penandatanganan kontrak yang nasabah menyatakan bahwa ia tidak memproses hukumkan bank atas cacat yang ada pada barang. Jika ada cacat dalam penanganan, maka cacat ini ditangani oleh perusahaan asuransi yang biaya asuransinya telah dimasukkan ke dalam total harga barang dan oleh karenanya, ditanggung oleh pembeli, karena kurir (perusahaan pengapalan atau lainnya) dianggap sebagai wakil bank dalam kaitannya dengan barang, maka pembeli dapat menyelesaikan semua masalah pengiriman dengan kurir 29
Abdullah Saed, Menyoal Bank Islam, 80.
171
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi tersebut, tanpa berurusan dengan bank lagi, lebih dari itu, Bank Shar>i'ah terkadang menghilangkan segala kemungkinan untuk harus membayar biaya tak terduga dalam transaksi mura>bah}ah.30 Uaraian di atas menunjukkan meskipun mura>bah}ah dipermukaaan tampak sebagai kontrak jual-beli dalam fiqih, tapi dalam prakteknya mura>bah}ah adalah suatu praktek pembiayaan berdasarkan bunga tetap. Dengan melihat beberapa aspek ini, dan dengan menggunakan kaedah ( َ ِإِ َ ِ ْف تَ َ َ حلَ ََل ُا َ َحلَ ُم ُغ ) َ َْف ِ حلََ ُمjika terkumpul aspek keh}araman dan aspek keh}alalan maka dimenangkan aspek keh}araman. Artinya barang yang h}alal dih}aramkan, karena menjaga agar tidak jatuh kepada hal yang dih}aramkan. Maka Abdullah Saeed berpendapat bahwa mura>bah}ah yang dipraktekkan perbankan shari>‘ah tidak termasuk akad yang disahkan menurut sha>ri'ah. Uraian analisa para ulama’ di atas telah menunjukkan pada kita bahwa praktek akad mura>bah}ah yang dilaksanakan oleh perbankan shari>‘ah memang diperbolehkan, akan tetapi pembolehannya harus mematuhi batas-batas yang sudah ditentukan, dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan fiqih jual beli. Sebagaimana akad jual beli dan mu‘a>malah yang lainnya, yang di praktekkan perbankan sebisa mungkin harus menghindar dari penyamaan antara akad yang dipraktekkan di Bank Shari>‘ah dan pembiayaan pada Bank Konvensional. Bahkan sebisa mungkin prakteknya nanti, misalkan dalam mura>bah}ah juga menggunakan pendapat al-fuqaha>’ terdahulu dengan memberikan hak khiya>r pada kedua belah pihak dan tidak mewajibkan secara hukum atas kelanjutan akad, sebagaimana pendapat fuqaha>’ yang telah diuraikan di atas.
30
Abdullah Saed, Menyoal Bank Islam, 91.
172
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Pendapat yang tidak membolehkan yaitu al-Ma>likiyah, dan dari kalangan ulama’ kontemporer adalah Syeh Muhammad al-Uthaimin, Syeh Abdul Aziz Bin Baz. al-Ma>likiyah berpendapat itu termasuk jual beli al-‘inah yang dih}aramkan sedangkan menurut al-Uthaimin itu adalah termasuk h}ilah dari meminjam uang berbunga yang dih}aramkan.31 Pendapat yang membolehkan adalah pendapat alShafi‘iyah, al-H}ana>fiyah, dan al-H}ana>bilah, jika fase perjanjian itu tidak mengikat secara hukum, tetapi jika perjanjian itu mengikat secara hukum, maka hukumnya h}aram. Pendapat yang ketiga adalah pendapat dari Dewan Syari'ah Nasional dan pendapat hasil Mu‘tamar al-Mas}raf alIslami di Dubai yaitu hukumnya boleh dan perjanjiannya mengikat secara hukum. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat ulama’ madhhab empat. Karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. Ini kalau dilihat dari nas} ulama’ perjanjian tersebut, walaupun harus dilalui tetapi tidak mengikat wajib secara hukum, tetapi DSN menfatwakan perjanjian itu mengikat wajib, sedangkan fase kedua adalah fase mura>bah}ah sehingga hukumnya seperti hukum mura>bah}ah menurut fiqih yang di atas. Perjanjian yang mengikat wajib itu memang difatwakan oleh Muktamar Bank Islam yang pertama, cuma pengambilan mereka tentang madhhab yang sebaiknya perlu dikritik. Pembolehan ini dengan berdasar pada madhhab Ma>liki dalam hal perjanjian yang mengikat wajib dan Shafi‘i dalam hal mura>bah}ah jadi terjadi talfiq yang tidak boleh menurut kedua madhhab tersebut. al-Malikiyah berpendapat bahwa perjanjian itu boleh wajib mangikat menurut moral dan hukum, sedangkan
31
Yusuf Bin Abdullah Shibili, Fiqh al-Muamalat al-Mas}rafiyah, 6/8.
173
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi al-Shafi‘iyah, al-H}ana>fiyah, dan al-H}ana>bilah mengatakan bahwa perjanjian itu mengikat secara moral saja tidak mengikat secara hukum. Mereka, selain madhhab Maliki membolehkan praktek mura>bah}ah perbankan itu dengan syarat harus tidak mengikat wajib secara hukum, sedangkan pada madhhab Maliki jual beli mura>bah}ah yang dipraktekkan perbankan termasuk kategori bay‘ al-‘inah yang dilarang, akan tetapi menurut mereka perjanjian itu mengikat secara hukum jadi mereka mengambil pendapat jumhur pada hal mura>bah}ah, dan mengambil hal perjanjian yang mengikat wajib pada madhhab Maliki. Padahal keduanya saling melarang menurut pendapat yang membolehkannya. Di sinilah akan terjadi praktek talfiq yang dilarang karena semua madhhab sebenarnya melarangnya. Dalam kajian fiqih klasik sebenarnya ada madhhab yang berpendapat bahwa pada dasarnya mura>bah}ah itu mengikat wajib antara penjual dan pembeli, pendapat ini memang berbeda dengan jumhur ulama’ pendapat ini adalah pendapatnya al-'Auza>'i, akan tetapi karena pendapat ini tidak terkenal seperti madhhab empat ulama’-ulama’ kontemporer tidak ada yang membicarakannya. Ulama’ yang membolehkan akad mura>bah}ah dengan perjanjian yang mengikat berdasar pada: Perkataan mereka bahwasanya memang para ulama’ madhhab tidak ada yang membolehkan mura>bah}ah dengan adanya perjanjian yang mengikat, tetapi dengan melihat kondisi masa kini ini, banyak para ulama’ yang membolehkan, sebagaimana ulama’-ulama’ yang tergabung pada Dewan Shari>‘ah Nasional. Mereka berdasar pada sebuah logika bahwa perjanjian itu mewajibkan kedua pihak dan barang itu adalah yang dimaksudkan dalam akad tersebut (akad ini adalah nyata bukan cuma sebatas gambaran saja). Nasabah menghendaki pemanfaatan barang tersebut, dan nasabah tidak menghendaki barang tersebut sebagai perantara untuk mendapatkan uang yang 174
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi dibutuhkannya. Sedangkan jual beli yang dilarang menurut ( بيع )ما ليس عندهhanya khusus pada jual beli yang tunai dan harus menyerahkan barang yang dibeli di tempat akad sedangkan pada mura>bah}ah ini tidak termasuk dalam larangan kategori hadith tersebut, karena barang tersebut jelas adanya pada waktu yang sudah ditentukan menurut adatnya. Sedangkan pelarangan jual beli yang tidak ada barangnya maksud dari hadith tersebut adalah pelarangan barang yang ada dugaan kecil atau besar tidak ada pada masa yang akan datang, sedangkan pada mura>bah}ah ini barang jelas ada menurut kebiasaan, kalau tidak ada itu adalah hal yang sangat na>dir, karena perbankan punya keinginan menjaga nama baiknya dan melayani pelanggannya. Perjannjian tersebut juga berisi bahwa harga tidak akan bertambah bagaimanapun keadaannya dan perjanjian ini sangat dibutuhkan pada masa kini, sebagaimana kebutuhan orang akan akad salam, istis}na>‘, maka aspek gharar di dalamnya itu dianggap terampuni, karena besarnya kebutuhan, dan kebutuhan mendorong pada perluasan dalam berfatwa, apalagi jika pembiayaan yang dilakukan adalah sangat besar, seperti alatalat bangunan yang tidak bisa ditanggung resikonya secara sendiri oleh bank, dan jika akad perjanjian tersebut tidak ada, maka orang muslim akan merasa kesulitan dalam mu‘a>malatnya yang akan mengakibatkan seorang muslim akan mendapatkan pinjaman uangnya pada pihak bank yang bermu‘a>malat dengan riba, sehingga untuk menghindari hal tersebut, dengan berdasar pada d}arurat kebutuhan, dan adanya kemaslahatan dan untuk menghindari seorang muslim bermu‘a>malat dengan bank ribawi dibolehkan perjanjian murabaah yang mengikat. 32
32
Bakar Bin Abdullah Abu zaid, " Mura>bah}ah li 'a>mir bi al-Shira' wa hadith – la> tabi' ma> laisa 'Indak", "makalah dalam Majalah Majma‘ al-Fiqh alIslamy al-Tabi' Li Mu'tamar al-Islami bi Jeddah, http://www.ahlalhdeeth.com
175
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Sesungguhnya permasalahan yang mendasar kiranya terletak pada, apakah pihak perbankan masih konsisten terhadap Pedoman Pelaksanaan Mura>bah}ah Islami atau perbankan sudah ganti misi sebagai mesin penghasil uang dengan hanya melihat barang jaminannya saja, tanpa peduli nasabah dalam keadaan resiko tinggi, lebih-lebih ketika terjadi kemacetan pembayaran karena kesulitan atau dalam keadaan terkena bencana. Penyelesaian angsuran pembayaran kelompok kaya penunda pembayaran, Bank Shari>‘ah, untuk menghindari hal tersebut memberlakukan denda bagi mereka yang dengan sengaja dan berniat tidak baik dengan menunda pembayaran kewajiban mereka pada pihak bank. Tentunya mereka melaksanakan hukuman denda tersebut berdasar pada Fatwa Dewan Shari>‘ah Nasional. 33 Fatwa tersebut kalau dianalisa, boleh dikatakan lemah, dan bisa diinterpretasikan yang macam-macam, seperti riba', karena adanya persamaan antara Bank Shari>‘ah dan Bank Konvensional. Fatwa tersebut tidak ada keterangan sampai di mana batasan diperbolehkan denda, sehingga fatwa tersebut walaupun dianggap tidak keliru tetapi bisa berakibat keliru dalam prakteknya, karena denda dalam masalah ini denda yang mirip dengan riba' bahkan diduga para ulama’ yang tergabung dalam Dewan Shari>‘ah sepakat itu adalah riba' dengan menjadikan dana itu sebagai dana sosial, saya rasa itu fatwa semakin membolehkan riba' untuk dana sosial, padahal jelas itu bertentangan dengan perinsip shari>‘ah atau nas} yang mengatakan pengharaman riba' secara absolut, maka dari itu harus ada kejelasan dalam berfatwa. Ulama’-ulama’ kontemporer berbeda pendapat tentang pembolehan denda seperti ini karena sepintas secara lahir saja
33
Fatwa Dewan Syariah Nasional 2005 temntang Denda.terlampir.
176
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi itu adalah hakikat riba', sehingga hukumnya jelas-jelas h}aram, akan tetapi ada yang membolehkan dengan ketentuanketentuan dan pedoman sebagai berikut. Ulama’ yang membolehkan berdasar pada bahwa orangorang yang kaya tersebut sebenarnya mereka berbuat menganiaya perbankan, karena kalau mereka membayarnya tentunya jadilah uang itu bisa diinvestasikan kepada yang lainnya, dan perbankan sudah dapat laba dari investasinya, kalau mereka tidak menunda pembayarannya, sehingga orang yang menunda dalam kategori z}alim, karena dibenarkan bagi pihak perbankan mengambil denda yang diambil dari prosentasi laba yang diperkirakan akan didapat oleh perbankan kalau perbankan menginvestasikan uang yang dihutang oleh penunda tersebut pada waktu penundaan. Mereka berpedoman pada hadith: ِ َ ي أَِ ي َ أ َّلَو.أ ِ ِ َ َ َ صَّلى اَّل ُ َ َْف ِ َ َ َّل َ وا اَّل ُ َ َ َ ْف ُ َ ْف اا َم ْف ُ اْف َِ ِّ ُْف ٌث َ إ َ أُْف َ أَ َ ُ ُ ْف 34 ِ ٍة َ َى َم يي اَ ْفَتْفَ ْف ِ ِ اا َُّ اْفو ِ ي ِ ِي َّل. ِ ِ ِ َ َ َ صَّلى اَّل ُ َ َْف ِ َ َ َّل َ ْف َ ْف ْف َ ال ِي َ ْفي أَِ َ ْفي َ ُ وا اَّل َ 35 ِ ِ َ َ ُ َُُ ُّ ِ ْف ُ ُ َ ُ ُوَت ُ َاا ْف ُي اْف ُ َا َ َُ ُّ ْف ُ ُ يُ ََّل ُ اَ ُ َ ُ ُوَتُ ُ ُْفَ ُ ا 36 ِ ِ َ أ َّلَو.ج َ َ َ صَّلى اَّل ُ َ َْف ِ َ َ َّل َ وا اَّل َُ َ َ ضى أ ْفَو َال َ َ َ ََال Hadith yang awal adalah hadith muttafaq alaih dalam Fath al-Bari, Ibnu Hajar berkata: bahwa yang disebut al-Mat}lu adalah orang yang mengakhirkan membayar hutang yang harus 34
Al-Bukhari, Muhammad Bin Ismail Bin Mughirah, S}ah}ih} al-Bukhari (Kairo: Da>r al-Hadith, 2004)8/68/no: 2126., Muslim Bin al-Hajjaj Bin Muslim Bin Warad, S}ah}ih} Muslim (Riyad}: Da>r 'A>lam al-Kutub, 1986) 8/248/no: 2924.Ibnu Majah Muhammad Bin Yazid, Sunan Ibni Majah (Beirut: Da>r al-Jayl), 7/238/n0:2395.,Ahmad Bin Shu'aib Bin Sinan al-Nasa>'i, Sunan al-Nasa>i (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), 14/301/4612. 35 Ibnu Majah Muhammad Bin Yazid, Sunan Ibni Majah, 7/271/no: 2418., Ahmad Bin Shu'aib Bin Sinan al-Nasa>'i, Sunan al-Nasa>I, 14/298/no:4610 (Maktabah shamela II). 36 Ibnu Majah Muhammad Bin Yazid, Sunan Ibni Majah, 7/143/no:2331 (Maktabah shamela II).
177
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi dibayar tanpa ‘udhur. Dalam hal ini ‘ulama’ berbeda pendapat: "Apakah orang yang menunda-nunda itu termasuk dosa besar atau tidak?" Semua sepakat kalau perbuatan menunda bayar hutang adalah perbuatan fa>siq tetapi sebutan fa>siq itu apakah cukup dia melakukan satu kali atau beberapa kali? al-Nawawi berkata: "Ketentuan madhhab kita (al-Shafi‘iyah) tentunya disyaratkan sebutan fa>siq kalau dilakukan berulang kali, berbeda dengan al-Subki, tidak mensyaratkan berulang-ulang, beliau berpedoman bahwa orang yang mencegah hak orang lain setelah ada permintaan adalah dosa besar, dan dosa besar tidak harus berulang-ulang hanya saja disebut z}a>lim kalau sudah tidak dapat mengungkapkan alasan yang bisa diterima. 37 Hadith yang kedua menurut al-Suyu>t}i adalah hadith yang s}ah}i>h} diriwayatkan oleh Ahmad, Abu dawud, al-Nasa>‘i, Ibnu Majah, al-H}akim. al-Manawi dalam kitab Faid} al-Qa>dir kata ( ) dimaksud di sini adalah dengan berkata: "Kamu z}alim, Kamu menunda-nunda hutangnya", kata-kata yang tidak sampai menuduh zina. Dendanya adalah hukuman dari hakim yang berupa pukulan atau penjara hingga hutang tersebut terbayar. Menurut Sufyan bahwa maksud dari hadith ini dengan berkata: ''Engkau telah menunda-nunda hutangku dan hukumannya adalah penjara". Hadith yang pertama dan kedua secara makna memang menerangkan penundaan dalam hutang dan seluruh ulama’ sepakat bahwa hadith itu adalah h}ujjah, sedangkan hadith yang nomer tiga pelarangan membahayakan orang lain, dan hadith itu sudah menjadi qa>‘idah shar‘iyah ( اض )يز اbahwa bahaya itu harus dihilangkan. Pihak perbankan mendapat hak untuk menghilangkan bahaya yang menimpa dirinya. Walaupun begitu sebenarnya kewajiban penghutang 37
Ahmad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Hajar al-Athqala>ni, Fath
al-Ba>ri Sharh S{ah{ih{ al-Bukha>ri, 7/68/no: 2126.dalam http://www.alIslam.com (Maktabah shamela II).
178
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi hanyalah membayar hutangnya saja, tidak boleh ada tambahan, walaupun ada penundaan. Tidak satupun dari fuqaha>’ yang membolehkan adanya penambahan dari hutang disebabkan denda bagi orang yang menunda, karena hal tersebut jelas-jelas adalah riba'. Mas}lah}}at mencegah menunda bayar hutang (mumat}il) pada dasarnya dalam rangka melindungi harta orang muslim dari kez}aliman. Jika saja bunga bank termasuk obat yang mujarrab bagi orang yang menunda, maka tentunya prinsip shari>‘ah juga lebih mampu mengatasi perkara yang merugikan pihak perbankan, dan jika para ulama’ terdahulu hanya memperbolehkan hukuman pada muma>t}il adalah penjara saja, dan tentunya pada zaman ini hukuman itu tidak efektif, maka diharapkan pada ulama’ kontemporer untuk berijtihad untuk mengatasi masalah ini. Mereka para ulama’ membolehkan hukuman berupa denda dengan prosentasi dari laba saja, maka hal tersebut bukan termasuk riba'. Hal ini berbeda kalau prosentasi itu diambil dari pokok pinjaman atau sisa pinjaman yang jelas-jelas riba'. Sehingga pengambilan prosentasi dari perkiraan laba bank yang akan diperoleh, jika tidak ada penundaan, dianggap hanya sebagai langkah pencegahan kerugian yang harus ditanggung oleh perbankan.38 Kalau pendapat seperti ini masih tidak dapat diterima karena sepintas tetap saja itu adalah riba' menurut orang-orang yang tidak membolehkan, maka menurut hematnya harus ada fatwa yang detail tentang hal ini, atau harus ada jalan keluar bagi orang-orang yang kaya yang suka menunda membayar hutangnya. Paling tidak denda itu bukan dilaksanakan pihak dalam bank. Artinya dilakukan oleh Basyarnas, misalnya. 38
Ali Ahmad al-Sa>lu>s, "Naz}ara>t Fi Tatbiq al-‘ Amali al-Mura>bah}ah", Makalah dalam Majma‘ al-Fiqh al-Islami bi Jeddah, http://www.ahlalhdeeth.com
179
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Sehingga denda itu bukan masuk secara jelas pada bank yang berperan sebagai orang yang dibayari hutang atau kreditur. Kesimpulan a. Mura>bah}ah perbankan shari>‘ah dalam prakteknya berbeda dengan mura>bah}ah fiqih dalam hal perjanjian akad, waktu akad, tahapan proses akad, yang mengakibatkan ulama'-ulama' berbeda pendapat. b. Para ulama' berbeda pendapat dalam menganalisa hukum mura>bah}ah perbankan. Pendapat yang tidak membolehkan yaitu al-Ma>likiyah, dan dari kalangan ulama' kontemporer adalah Syeh Muhammad alUthaimin. al-Ma>likiyah berpendapat itu termasuk jual beli al-‘inah yang diharamkan, sedangkan menurut al-Uthaimin itu adalah termasuk h}ilah dari meminjam uang berbunga yang diharamkan. Pendapat yang membolehkan adalah pendapat alSha>fi‘iyah, al-Hana>fiyah, dan al-H}ana>bila, jika fase perjanjian itu tidak mengikat secara hukum, tetapi jika perjanjian itu mengikat secara hukum, maka hukumnya h}aram. Pendapat yang ketiga adalah pendapat dari Dewan Syariah Nasional dan pendapat hasil Mu'tamar al-Mas}raf al-Islami di Dubai yaitu hukumnya boleh dan perjanjiannya mengikat secara hukum. Pendapat ini memang berdasar, bahwa mura>bah}ah adalah akad yang baru dan harus dicarikan jalan keluar hukumya secara ijtihad baru walaupun tetap harus memandang pada pendapatpendapat Mujtahidi>n yang sudah lalu, mengingat akad ini telah digunakan dan telah dibutuhkan oleh masyarakat dan demi memenuhi kebutuhan fatwa dalam masalah ini,
180
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi c. Jika terjadi penundaan pembayaran dan habis masa waktunya wajib segera menjadwalkan kembali waktu pembayaran tanpa adanya penambahan nilai uang yang harus dibayar karena ini juga salah satu aspek yang membedakan antara akad jual beli dan pembiayaan hutang murni. Hukuman tentang denda sebaiknya dilaksanakan oleh pihak selain bank sebagai pihak yang dibayar hutangnya, agar jelas hal itu bukan termasuk riba.
181
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi DAFTAR PUSTAKA al-Janadi, Muhammad Shaikha>n, ‘Aqd al-Mura>bah}ah Bain alFiqh wa al-Ta‘a>mul al-Mas}rafy (Kairo: Da>r al-Nahd}ah al-‘Arabiyah, 1986). Ali Bin Ahmad Bin Sa'id Bin H}azm al-Andalusy, Al-Muh}ala bi al-'A>tha>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 1984), 9/17. Muhammad Sheikh al-Janady, Bay' al-Mura>bah{ah. Dawud (Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah, 1990) Muhammad Bin Idris Bin Sha>fi' Abu dawud, Sunan Abi Daud, dalam Shamsu al-H}aq al-'Az}im, Muh}ammad A>b}adi, 'Aun al-Ma'bud Sharhi Sunan Abi Ibra>him Fad}il al-Dabu, "al-Mura>bah}ah li 'a>mir bi al-Shira>', " makalah dalam Majalah Majma‘ al-Fiqh al-Islamy alTabi' Li Mu'tamar al-Islami bi Jeddah, . http://www.ahlalhdeeth.com Bakar Bin Abdullah, " Mura>bah}ah li 'a>mir bi al-Shira' wa hadith – la> tabi' ma> laisa 'Indak", "makalah dalam Majalah Majma‘ al-Fiqh al-Islamy al-Tabi' Li Mu'tamar al-Islami bi Jeddah, http://www.ahlalhdeeth.com. Bakr Bin Abdullah, Makalah Bakr Bin Abdullah, Abu Zaid, "Mura>bah}ah li 'a>mir bi al-Shira' wa hadith – la> tabi' ma> laisa 'Indak", makalah dalam Majalah Majma‘ al-Fiqh al-Islamy al-Tabi' Li Mu'tamar al-Islami bi Jeddah, http://www.ahlalhdeeth.com Muhamad Bin Idris Bin Sha>fi' al-Shafi'I, al-'Um, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1990. Ibnu Qayyim al-Jauzi, Muhammad Bin Abu Bakar ‘I‘la>m alMuwa>qi‘'i>n an Rab al-‘A>lami>n , Beirut: Da>r al-Kutub al‘Ilmiyah, 1993. Abdul Wahahb Bin Ahmad Bin Ahmad al-Ans}ari, al-Mizan alKubra (Semarang: Maktabah Taha Putra. 182
Volume 24 Nomor 2 September 2013
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Yusuf Bin Abdullah al-Shibili, Fiqh al-Mu‘a>mala>t alMas}rafiyah (ditebitkan oleh Abu Muhanda, htp:www.
[email protected]). Abdullah Saeed, Menyoal Bank Shari'ah: Islamic Banking And Interest (Jakarta: Paramadina, 2006). www.al-Islam.com. www.al-Islam.com.,al-Hakim Muhammad Bin Abdullah Bin Muhammad al-H}a>fid}, alMustadrak li al-S}ah}i>h}ain, 5/289/2146. www.alsunnah.com. Sami Hasan Mahmud, "Bay‘ al-mura>bah}ah li a>mir bi al'ashira>'", dalam Majalah Majma‘ al-Fiqh al-Islamy alTa>bi' li Mu'tamar al-Islami bi Jeddah, http://www.ahlalhdeeth.com. Muhammad Nejatullah Siddiq, Issues ini Islamic Banking: selected papares, (lecister: Islamic Fondation, 1983). Bakar Bin Abdullah Abu zaid, " Mura>bah}ah li 'a>mir bi al-Shira' wa hadith – la> tabi' ma> laisa 'Indak", "makalah dalam Majalah Majma‘ al-Fiqh al-Islamy al-Tabi' Li Mu'tamar al-Islami bi Jeddah, http://www.ahlalhdeeth.com Miftahul Huda, Wawncara, 6 Maret 2008. Fatwa Dewan Syariah Nasional 2005 terlampir. Buku Pedoman Kebijakan dan Prossedur Pembiayaan Kecil Syariah, Proses Pembiayaan Syariah.1-6. Muhammad Iqbal, Wawancara, Kediri, 6 Maret 2008. Supriono Turasto, Wawancara, Surabaya,15 Maret 2008. Abd al-Na>s}ir Taufiq al-‘At}ar, Naz}ariyat al-’A>jal fi al-’iltiza>m (Matba‘ah al-Sa‘a>dah, 1978), 178. Fatwa Dewan Syariah Nasional 2005 temntang Denda.terlampir. Al-Bukhari, Muhammad Bin Ismail Bin Mughirah, S}ah}ih} alBukhari (Kairo: Da>r al-Hadith, 2004. 183
Problematika Fatwa … Oleh: Ahmad Fauzi Muslim Bin al-Hajjaj Bin Muslim Bin Warad, S}ah}ih} Muslim (Riyad}: Da>r 'A>lam al-Kutub, 1986). Ibnu Majah Muhammad Bin Yazid, Sunan Ibni Majah (Beirut: Da>r al-Jayl). Ahmad Bin Shu'aib Bin Sinan al-Nasa>'i, Sunan al-Nasa>i (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1992) Ahmad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Hajar alAthqala>ni, Fath al-Ba>ri Sharh S{ah{ih{ al-Bukha>ri, 7/68/no: 2126.dalam http://www.al-Islam.com (Maktabah shamela II). Ali Ahmad al-Sa>lu>s, "Naz}ara>t Fi Tatbiq al-‘ Amali alMura>bah}ah", Makalah dalam Majma‘ al-Fiqh al-Islami bi Jeddah, http://www.ahlalhdeeth.com
184
Volume 24 Nomor 2 September 2013