PRINSIP KESANTUNAN BERBAHASA MENURUT LEECH PADA NOVEL PERTEMUAN DUA HATI KARYA NH. DINI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Mia Nurdaniah NIM 1110013000095
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK MIA NURDANIAH. NIM: 1110013000095. Skripsi. Prinsip Kesantunan Berbahasa Menurut Leech pada Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Djoko Kentjono, M. A. Kesantunan berbahasa merupakan aspek yang sangat penting saat berinteraksi dengan lawan tutur. Apalagi pada dunia pendidikan, kesantunan berbahasa memiliki peran penting dalam kemampuan berbahasa siswa. Novel sebagai media ajar dapat digunakan pengajar untuk menyampaikan pengajaran mengenai kesantunan berbahasa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Manfaat dari penelitian ini meliputi dua hal, yaitu manfaat teoritis yang dapat memberikan wawasan tentang kesantuan berbahasa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas dan manfaat praktis yang dapat memberikan sumber referensi baru untuk penelitian selanjutnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan pragmatik. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu sumber data primer yang merupakan sumber data pokok berupa novel karya Nh. Dini yang berjudul Pertemuan Dua Hati dan sumber sekunder yang merupakan buku ataupun sumber lain yang berhubungan dengan permasalahan objek penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut (1) membaca keseluruhan data primer sambil memahami isi dari data tersebut, (2) pengumpulan data, yaitu menandai hal-hal penting yang terdapat pada sumber primer. Hasil penelitian menunjukkan lebih banyak tuturan yang mematuhi maksim kesantunan berbahasa menurut Leech. Berikut adalah jumlah hasil penelitian, terdapat 45 tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan dan 38 tuturan yang melanggar prinsip kesantunan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini sangat layak untuk dijadikan bahan ajar Bahasa Indonesia pada materi yang berhubungan dengan novel, terutama mengenai membaca novel. Walaupun novel Nh. Dini adalah novel lama, namun Nh. Dini sangat piawai menggunakan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca dan memiliki nilai kehidupan untuk pembacanya, terutama untuk guru dan orang tua dalam mendidik anak-anak. Selain siswa dapat mengusai materi pelajaran mengenai membaca novel, siswa pun dapat mempelajari kesantunan berbahasa yang terdapat dalam novel dan dapat langsung dipraktekkan pada kehidupan sehari-harinya dalam segala situasi sosial, baik dalam lingkungan masyarakat ataupun di lingkungan sekolah.
Kata kunci: kesantunan berbahasa, prinsip kesantunan, novel Pertemuan Dua Hati
i
ABSTRACT MIA NURDANIAH. NIM: 1110013000095. The title of the research paper is “Language Politeness Principle Based on Leech in the Novel Entitled Pertemuan Dua Hati by Nh. Dini and its Implication towards Teaching Learning Process in Senior High School”, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Djoko Kentjono, M. A. Language politeness is the important aspect when someone interact with other people. In the education environment, language politeness has an important role in the students speaking ability. Novel as the media of teaching learning process can be used by the teacher to convey materials about language politeness. The aim of this research is to know language politeness principle based on Leech in the novel entitled Pertemuan Dua Hati by Nh. Dini and its implication towards teaching and learning process in Senior High School. The benefit of this research includes two aspects; the theoretic benefit which could give knowledge about language politeness on teaching and learning process in Senior High School, and practical benefit which could give new reference source for the next research. This research used descriptive method with pragmatic approach. The source of data that used in this research is divided into two: the primary source of the data that is the main source in the form of novel by Nh. Dini entitled Pertemuan Dua Hati, and secondary source of the data in the form of book or another source related to the problem of object research. Collecting data technique that is used in this research were in this following list; (1) read overall the primary source and try to understand about its content, (2) collected the data, marking important things in the primary source. Result of the research showed that most of the discourses obey the language politeness maxim based on Leech. The following is the amount of research result, there were forty-five discourses which obey the politeness principle and thirty-eight discourses which contravene the politeness principle. Based on the result of the research, it could be said that the novel entitled Pertemuan Dua Hati by Nh. Dini is very suitable to be used as a material for teaching and learning Bahasa Indonesia in the topic related with novel, especially about reading a novel. Even though this novel belongs to old novel, Nh. Dini is very adept of using language style that is easy to be understood by the readers and has so many life values for the readers, especially for the teacher and the parents who educate their children. Students are not only able to acquir the material about reading novel, but also able to study about language politeness from the novel and able to practice it directly in their daily life in every social situation, not only in the society environment but also in the school environment. Keywords: language politeness, politeness principle, novel entitle Pertemuan Dua Hati
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas segala nikmat dan karunia-Nya serta limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang yang berjudul ”Prinsip Kesantunan Berbahasa Menurut Leech Pada Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana Strata (S1) pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Faktultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan inipenulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1) Dra. Nurlena Rifai, M. A., P.h.D., selaku Dekan FTIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2) Didin Syafruddin, M. A., Ph.D., selaku PLT Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; 3) Dra. Hindun, M. Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi; 4) Djoko Kentjono, M.A selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, bimbingan serta kesabaran dalam membimbing penulis; 5) Bapak dan Ibu dosen Jurusan Pendidikan Sastra dan Bahasa Indonesia, yang telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan;
iii
6) Ayahanda Cuparno, S. Sos dan Ibunda Aidah selaku orangtua penulis, serta adik-adik Agung Permana dan M. Argya. Raffa yang senantiasa mendoakan, memberikan dorongan moral, dan moril, serta memotivasi penulis sehingga penelitian dapat terselesaikan dengan baik; 7) Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2010, terimakasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini; 8) Aris Fadilah, Deby Rachma Rizka, Nisa Kurniasih, Rizka Amalia Sapitri, Widia Cahya Pratami, Ajeng Rosmala, Siti Halimatussadiah, Anggi Pramesti. Terimakasih telah mundukung, mengingatkan, membantu, menyemangati penulis dalam proses pembuatan skripsi; 9) Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi para pembaca.
Jakarta, 21 November 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK
.............................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...............................................................................
iii
DAFTAR ISI .............................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
vii
BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................
1
A. B. C. D. E. F. G.
1 4 4 5 5 5 5
BAB II
BAB III
Latar Belakang Masalah ................................................ Identifikasi Masalah ...................................................... Pembatasan Masalah ..................................................... Perumusan Masalah ...................................................... Tujuan Penelitian .......................................................... Manfaat Penelitian ........................................................ Sistematika Penulisan ...................................................
LANDASAN TEORI ......................................................... A. Pragmatik ...................................................................... 1. Pengertian Pragmatik .............................................. 2. Kesantunan .............................................................. 3. Prinsip Kesantunan Menurut Leech ........................ 4. Konteks ................................................................... B. Sastra .............................................................................. a. Pengertian Sastra ..................................................... b. Pengertian Novel .................................................... c. Jenis-Jenis Novel ..................................................... d. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel ...................... e. Biografi Nh. Dini ..................................................... f. Sinopsis Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini ........................................................................ C. Penelitian Relevan .........................................................
7 7 7 8 8 15 17 17 18 20 21 23
METODOLOGI PENELITIAN ......................................
30
A. B. C. D.
30 31 31 31
Metode Penelitian.......................................................... Sumber Data .................................................................. Metode Pengumpulan Data ........................................... Teknik Analisis Data ..................................................... v
25 28
BAB IV
HASIL PENELITIAN ....................................................... A. Tabel Tuturan dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini .............................................................. B. Analisis Deskriptif Prinsip Kesantunan Berbahasa Menurut Leech pada Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini .............................................................. C. Hasil Analisis Prinsip Kesantunan dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini ............................ D. Implikasi Penelitian dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA .........................................................
BAB V
33 33
60 103 103
SIMPULAN DAN SARAN ...............................................
106
A. Simpulan ....................................................................... B. Saran ..............................................................................
106 107
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
Daftar Lampiran
Lampiran 1
Surat Pernyataan Karya Sendiri
Lampiran 2
Lembar Uji Referensi
Lampiran 3
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Lampiran 4
Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 5
Cover novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini
Lampiran 6
Profil Penulis
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu tata bahasa yang berkaitan erat dengan tindak tutur. Konteks dalam suatu tindak tutur adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Apabila seorang mitra tutur menafsirkan maksud dari penutur tanpa memperhatikan konteks maka dapat dikatakan orang itu belum sepenuhnya menangkap informasi atau tujuan apa yang disampaikan oleh penutur. Begitu pula dengan penutur, jika ia berbicara seenaknya saja sekedar basa-basi tanpa memperhatikan konteks, maka tujuan dari tuturan tersebut pun tidak tercapai. Agar tercapainya tujuan penutur kepada mitra tutur maka penutur harus memiliki kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan bukan hal yang asing lagi bagi masyarakat, apalagi masyarakat Indonesia yang kental akan budaya dan adat istiadat. Kesantunan dapat berupa tindak tutur, sikap dan sebagainya yang menggambarkan identitas diri seseorang. Maka dari itu kesantunan merupakan hal yang sangat penting saat berinteraksi dengan orang lain agar hubungan baik selalu terjaga. Pragmatik, dalam hal ini kesantunan berbahasa dapat dilihat dari karya sastra, misalnya novel. Sastra
merupakan
karya
lisan
ataupun
tulisan
yang
menggambarkan, dan membahas segala macam kehidupan manusia. Kehidupan dalam sastra dibangun oleh tema, penokohan, alur cerita, latar maupun gaya bahasa pengarang dalam penciptaannya. Bahasa yang digunakan pada sastra pun bukan bahasa sehari-hari, tapi bahasa yang memiliki ciri khas, ciri khas tersebut diciptakan oleh para pengarang agar menambah keindahan dari karya sastra yang dihasilkan. Novel berisi tentang gambaran kehidupan sehari-hari yang biasanya diangkat dari realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Ide-ide yang pengarang ekspresikan dalam karyanya tidak dapat dipisahkan dari situasi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, pengalaman, kejadian,
1
2
dan situasi yang pengarang alami diolah sedemikian rupa sehingga menciptakan karya sastra berupa novel. Totalitas ekspresi pengarang yang dituangkan dalam karyanya yang berupa novel menjadi lebih hidup karena disisipkan interaksi antar tokoh dalam suatu konteks atau situasi kehidupan sehari-hari. Konteks atau situasi kehidupan sehari-hari pada novel biasanya berkaitan dengan masalah pendidikan, percintaan, kemiskinan, kekuasaan, kekeluargaan, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, novel dapat dikaji menggunakan ilmu pragmatik tentang kesantunan berbahasa karena terdapat interaksi antar tokoh dengan konteks atau situasi seperti pada kehidupan sehari-hari. Aspek kesantunan sangat penting saat berinteraksi dengan lawan tutur. Apalagi pada dunia pendidikan, aspek kesantunan memiliki peran penting dalam kemampuan berbahasa siswa. Hal tersebut berkaitan dengan buku yang digunakan dalam pengajaran terutama pada pelajaran Bahasa Indonesia. Pada siswa SMA kelas XI terdapat pelajaran tentang “menceritakan isi novel”, maka dapat dijadikan media untuk siswa mendapatkan pengajaran kesantunan. Siswa dapat mengetahui kesantunan dari buku yang bahasanya santun, dan memiliki amanat yang bermanfaat bagi kehidupan siswa. Novel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah Pertemuan Dua Hati karya seorang pengarang wanita bernama Nh. Dini. Novel ini bertema tentang kehidupan guru sekolah dasar yang mengalami konflik batin dengan siswa, dan keluarganya. Walaupun novel ini bukan novel yang baru, karena cetakan pertamanya tahun 1986, namun konflik yang terkandung dalam novel ini masih menarik pada era modern ini yaitu masalah pada dunia pendidikan, keprofesionalan guru yang dipertaruhkan. Sekilas tentang novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini menceritakan tentang kehidupan guru Sekolah Dasar yang bijak, dan sepenuh hati dalam menjalankan tugasnya. Ia menjadi guru baru di suatu sekolah dasar, ada siswa yang menarik perhatiannya bernama Waskito. Waskito merupakan murid yang nakal. Hati bu Suci pun tergerak untuk
3
menyelesaikan masalah Waskito, dan ingin membantu membimbingnya agar menjadi anak yang lebih baik. Namun, disaat yang bersamaan anak kedua bu Suci dinyatakan menyidap penyakit ayan oleh dokter, maka harus dijaga dan tidak boleh beraktivitas. Bu Suci pun merasa ingin di kelas untuk mengetahui perkembangan Waskito, namun di sisi lain dia harus mengantar anaknya ke rumah sakit. Karena bu Suci tidak memiliki informasi yang cukup tentang Waskito, akhirnya ia memutuskan untuk ke kediaman kakek, dan nenek Waskito. Di sana bu Suci mendapatkan informasi, bahwa Waskito sebenarnya bukanlah anak nakal hanya saja orangtuanya salah mendidiknya. Dari situ bu Suci mulai mendekati Waskito, ia membuat Waskito lebih dianggap ada keberadaannya oleh teman-teman sekelasnya. Waskito dipercayakan oleh bu Suci melakukan hal-hal
yang
sebelumnya
belum
pernah
ia
lakukan,
termasuk
mengantarkan makanan kepada anak bu Suci yang sedang di rumah sakit. Di akhir cerita, Waskito berhasil menjadi anak yang baik, dan dapat naik kelas. Terdapat banyak nilai kehidupan dari novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini, sehingga penulis tertarik memilih novel ini sebagai sumber penelitian. Perjuangan seorang guru untuk muridnya sangat terlihat pada novel ini. Selain isi dari novel ini peneliti pun tertarik karena pengarang novel ini adalah Nh. Dini, seorang sastrawan wanita yang berjaya pada masanya. Novel ini pun bisa menjadi bahan bacaan siswa pada pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA dalam materi yang membahas novel. Maka dari itu peneliti memilih judul Prinsip Kesantunan “Berbahasa Menurut Leech Pada Novel Pertemuan Dua Hati Karya N.H Dini dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”.
4
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut. 1. Kurangnya siswa dalam menggunakan kesantunan dalam berbahasa. 2. Kurangnya minat siswa terhadap pembelajaran bahasa. 3. Keterbatasan
kemampuan
siswa
dalam
memahami
kesantunan
berbahasa. 4. Rendahnya minat siswa dalam membaca karya sastra. 5. Kurangnya presentase pengajaran sastra pada siswa SMA. 6. Tindak tutur tidak hanya terjadi pada karya sastra.
C. Pembatasan Masalah Pembatasan suatu masalah dalam suatu penelitian sangat penting agar permasalahan yang akan diteliti lebih terarah dan tidak menyimpang dari masalah yang diterapkan. Peneliti lebih berfokus pada prinsip kesantunan menurut Leech pada novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini yang diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas.
D. Perumusan Masalah Untuk mencapai hasil penelitian yang maksimal dan terarah, maka diperlukan rumusan masalah dalam suatu penelitian. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech pada novel Pertemuan Dua Hati karya N.H Dini dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan prinsip kesantunan
5
berbahasa menurut Leech dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas.
F. Manfaat Penelitian Manfaat teoretis Dapat memberikan wawasan tentang kesantunan berbahasa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas. Manfaat praktis Dapat memberikan sumber referensi baru untuk mahasiswa lain yang ingin meneliti hal yang sama dengan penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, yaitu: BAB I
: Pendahuluan Dalam bab pendahuluan ini penulis akan memaparkan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
masalah,
perumusan
masalah,
tujuan
penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II
: Landasan Teori Dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian sastra, pengertian novel, jenis-jenis novel, unsur intrinsik dan ekstrinsik novel, biografi Nh. Dini, sinopsis novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini, pengertian pragmatik,
kesantunan,
prinsip
kesantunan
Leech,
penelitian relevan, serta implikasi penelitian dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. BAB III
: Metodologi Penelitian Dalam bab ini penulisakan menguraikan tentang metode penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan
6
teknik analisis data. BAB IV
: Hasil Penelitian Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang gambaran umum prinsip kesantunan berbahasa
dalam
novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini serta deskripsi, data, analisis data dan interpretasi data. BAB V
: Penutup Dalam bab ini penulis memberikan kesimpulan dan saransaran.
BAB II LANDASAN TEORI A. Pragmatik 1. Pengertian Pragmatik Menurut Leech pada tahun 1983, fonologi, sintaksis dan semantic merupakan bagian dari tata bahasa atau gramatika, sedangkan pragmatik merupakan bagian dari pengunaan tata bahasa (language use).1 Telah banyak ahli yang mendefinisikan pengertian pragmatik. Istilah pragmatik berasal dari pragmatika diperkenalkan oleh Charles Moris (1938).2 Dalam sumber lain dikatakan pula, :‖… pragmatik adalah tindakan aliran struktural yang berkonteks, dan yang pada hakikatnya ada karena digunakan di dalam komunikasi.‖3 Pragmatik adalah telaah umum tentang cara kita menafsirkan kalimat dalam suatu konteks (unsur waktu dan tempat mutlak dituntut oleh suatu ujaran).4 Menurut Heatherington (1980:155), pragmatik adalah ilmu yang menelaah mengenai ucapakan-ucapan khusus dalam situasi-situasi tertentu dan memandang performasi ujaran sebagai suatu kegiatan sosial yang ditata oleh aneka ragam konvensi sosial.5 Pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). 6 Menurut Ninio dan Snow pada tahun 1998 dan Verschueren pada tahun 1999, pragmatik adalah studi tentang penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan orang lain dalam masyarakat yang sama. 7 Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan pragmatik adalah ilmu yang merupakan bagian dari linguistik, meneliti ujaran yang memiliki konteks dan digunakan dalam berkomunikasi. Cara penutur menafsirkan kalimat dalam
1 2
h.60.
Kunjana Rahardi, Sosiopragmatik, (Yogjakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h.20. Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik (Bandung: PT Refika Aditama, 2012),
3
Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984 (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h.16. 4 Hindun, Pragmatik untuk Perguruan Tinggi (Depok: Nofa Citra Mandiri, 2012), h.3. 5 Ibid., h. 3. 6 Geoffrey Leech, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Terj. Dari The Principles Of Pragmatics oleh M. D. D. Oka, (UI-Press, 2011), h.8. 7 Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 264.
7
8
suatu konteks bergantung pada tanda yang melibatkan unsur waktu dan tempat yang digunakan setiap ujaran. 2. Kesantunan Leech mengatakan bahwa ―kesantunan merupakan ujaran yang membuat orang lain dapat menerima dan tidak menyakiti perasaannya.‖ Sedangkan Yule menyatakan bahwa ―kesantunan adalah usaha mempertunjukan kesadaran yang berkenaan dengan muka orang lain. Kesantunan dapat dilakukan dalam situasi yang bergayut dengan jarak sosial dan keintiman.‖ 8 Selanjutnya, Baryadi dalam PELBBA 18 mengartikan kesantunan sebagai ―salah satu wujud penghormatan seseorang kepada orang lain‖.9 Berdasarkan pemaparan para ahli di atas, kesantunan adalah suatu usaha pola penyampaian pesan dengan menjaga perasaan mitra tutur dengan menghomati mitra tutur agar tidak menyakiti perasaannya dalam situasi tertentu. Cara penghormatan guna menjaga perasaan mitra tutur dilakukan dengan menjaga bahasa yang digunakan dalam berinteraksi, tidak asal bicara dan menyampaikan ujaran dengan bahasa yang sopan. 3. Prinsip Kesantunan Menurut Leech Prinsip kesantunan yang dianggap paling lengkap adalah prinsip kesantunan menurut Leech pada tahun 1983. Prinsip kesantunan ini dituangkan dalam enam maksim. Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual. Kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucaapan mitra tuturnya. Selain itu, maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. Berikut ini enam maksim yang merupakan prinsip kesantunan menurut Leech:
8
George Yule dalam buku Hindun, “Pragmatik untuk Perguruan Tinggi”, (Depok: Nofa Citra Mandiri, 2012), h. 67. 9 Yassir Nasanius (peny.), PELBBA 18:Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atmajaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h.101.
9
1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) Kurangi kerugian orang lain, tambahi keuntungan orang lain. Contoh: : ―Ayo dimakan bakminya! Di dalam masih banyak, kok.‖
Ibu
Rekan Ibu : ―Wah, segar sekali. Siapa yang memasak ini tadi, Bu?‖ Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang ibu kepada teman dekatnya pada saat ia berkunjung ke rumahnya. Kalau dalam tuturan penutur berusaha memaksimalkan keuntungan orang lain, maka mitra tutur harus pula memaksimalkan kerugian dirinya, bukan sebaliknya..
Bandingkan
pertuturan
(25)
yang
mematuhi
maksim
Pragmatics,
maksim
kebijaksanaan dan petuturan (26) yang melanggarnya. (25) A: Mari saya bawakan tas Bapak! B: Jangan, tidak usah! (26) A: Mari saya bawakan tas Bapak! B: Ini, begitu dong jadi mahasiswa!10 2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) Menurut
Leech
dalam
The
Principles
Of
kedermawanan mengacu pada, “Minimize benefit to self: maximize cost to self.”11 Kurangi keuntungan diri sendiri, tambahi pengorbanan diri sendiri. Contoh: Bapak A
: ―Wah, oli mesin mobilku agak sedikit kurang.‖
Bapak B
: ―Pakai oliku juga boleh. Sebentar, saya ambilkan dulu!‖
Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seseorang kepada tetangga dekatnya di sebuah perumahan ketika mereka sedang sama-sama merawat mobil masingmasing di garasi.12 10 11
h. 133.
Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 57. Geoffrey Leech, The Principles Of Pragmatics (London and New York: Longman, 1989),
10
Menurut Abdul Chaer dalam Kesantunan Berbahasa, maksim ini disebut juga sebagai maksim penerimaan, yaitu maksim yang menghendaki setiap peserta
pertuturan
untuk
memaksimalkan
kerugian
diri
sendiri
dan
meminimalkan keuntungan diri sendiri. Tuturan (27) dan (28) dipandang kurang santun bila dibandingkan dengan tuturan (29) dan (30). (27) Pinjami saya uang seratus ribu rupiah! (28) Ajaklah saya makan di restaurant itu! (29) Saya akan meminjami Anda uang seratus ribu rupiah. (30) Saya ingin mengajak Anda makan siang di restaurant. Tuturan (27) dan (28) serasa kurang santun karena penutur berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya dengan mengusulkan orang lain. Sebaliknya tuturan (29) dan (30) serasa lebih santun karena penutur berusaha memaksimalkan kerugian diri sendiri.13 3) Maksim Penghargaan (Approbation Maxim) Menurut Leech pada The Princiles Of Pragmatics, approbation maxim adalah sebagai berikut. Minimize dispraise of other; maximize praise of other. An unflattering subtitle for the Approbation Maxim would be „the Flattery Maxim‟ – but the term „flattery‟ is generally reserved for insincere approbation. In its more important negative aspect, this maxim says „avoid saying unpleasant things about others, and more particulary, about h‟. Hence whereas a compliment like What a marvelous meal you cooked! Is highly valued according to the Aprobation Maxim, †What an awful meal you cooked! Is not.14 Approbation maxim yang telah dijelaskan di atas berarti kurangi cacian pada orang lain, tambahi pujian pada orang lain. Approbatin maxim bisa diberi nama lain, namun kurang baik, yaitu, ‗Maksim Rayuan‘ – tetapi istilah ‗rayuan‘ biasanya digunakan untuk pujian tidak tulus. Pada approbation maxim, aspek negatif yang paling penting, yaitu jangan mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai orang lain, terutama mengenai mitra tutur. Karena itu, menurut approbation maxim, sebuah pujian seperti ―Masakanmu enak 12
Kunjana Rahardi, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), h.59. 13 Chaer, op. cit., h.57. 14 Leech, op. cit., h. 135.
11
sekali‖ sangat dihargai, sedangkan ucapan ―Masakanmu samasekali tidak enak!‖ tidak dihargai. Contoh: Dosen A
: ―Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas
Business English.‖ Dosen B
: ―Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari
sini.‖ Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi. Abdul Chaer menyatakan bahwa Approbation Maxim disebut juga maksim kemurahan. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. (31) A: Sepatumu bagus sekali! B: Wah, ini sepatu bekas; belinya juga di pasar loak. (32) A: Sepatumu bagus sekali! B: Tentu dong, ini sepatu mahal; belinya juga di Singapura! Penutur A pada (31) dan (32) bersikap santun karena berusaha memaksimalkan keuntungan pada (B) mitra tuturnya. Lalu, mitra tutur pada (31) juga berupaya santun dengan berusaha meminimalkan penghargaan diri sendiri; tetapi (B) pada (32) melanggar kesantunan dengan berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Jadi, (B) pada (32) tidak berlaku santun.15 4) Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim) 15
Chaer, op. cit., h. 58.
12
Kurangi pujian pada diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri. Contoh: Sekretaris A: ―Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya! Anda yang memimpin! Sekretaris B: ― Ya, Mbak. Tapi, saya jelek, lho.‖ Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka. Dalam Kesantunan berbahasa, Modesty Maxim disebut sebagai maksim kerendahan hati. Maksim kerendahan hati menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. (40) A: Kamu memang sangat berani. B: Ah tidak; tadi ‗kan cuma kebetulan saja. 5) Maksim Permufakatan (Agreement Maxim) Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang orang lain, tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Contoh: Noni: ―Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!‖ Yuyun: ―Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.‖ Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruang kelas.16
16
Ibid,. h. 64.
13
Abdul Chaer dalam Kesantunan Berbahasa menyebut Agreement Maxim dengan sebutan maksim kecocokan, yang berarti menghendaki agar setiap penutur dan mitra tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka; dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka. (41) A: Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat memalukan. B: Ya, memang! (42) A: Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat memalukan. B: Ah, tidak apa-apa. Itulah dinamikanya demokrasi. Tuturan B pada (41) lebih santun dibandingkan dengan tuturan B pada (42), mengapa? Karena pada (42), B memaksimalkan ketidaksetujuan dengan pernyataan A. Namun bukan berarti orang harus senantiasa setuju dengan pendapat atau pernyataan mitra tuturnya. Dalam hal ia tidak setuju dengan pernyataan mitra tuturnya, dia dapat membuat pernyataan yang mengandung ketidaksetujuan parsial (partial agreement) seperti tampak pada pertuturan berikut. (43) A: Kericuhan dalam siding umum DPR itu sangat memalukan. B: Memang, tetapi itu hanya melibatkan beberapa oknum anggota DPR saja. Pertuturan (43) terasa lebih santun daripada pertuturan (42) karena ketidaksetujuan B tidak dinyatakan secara total, tetapi secara parsial sehingga tidak terkesan bahwa B adalah orang yang sombong.17 6) Maksim Simpati (Sympathy Maxim)
17
Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.59-61.
14
Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain, perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. (Tarigan, 1990: 82-83). Contoh: Ani: ―Tut, nenekku meninggal.‖ Tuti: ―Innalillahiwainnailaihi rojiun. Ikut berduka cita.‖ Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka. 18 Menurut Abdul Chaer dalam Kesantunan Berbahasa, Sympathy Maxim disebut juga sebagai maksim kesimpatian. Maksim ini mengharuskan semua peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipasti kepada mitra tuturnya. Bila mitra tutur memperoleh keberuntungan atau kebahagiaan penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika mitra tutur mendapat kesulitan atau musibah penutur sudah sepantasnya menyampaikan rasa duka atau bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Simak pertuturan (45) dan (46) yang cukup santun karena si penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada mitra tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan pada (45) dan kedukaan pada (46). (45) A: Bukuku yang kedua puluh sudah terbit. B: Selamat ya, Anda memang orang hebat. (46) A: Aku tidak terpilih jadi anggota legislatif; padahal uangku sudah banyak keluar. B: Oh, aku ikut prihatin; tetapi bisa dicoba lagi dalam pemilu mendatang.19 Berdasarkan pemaparan di atasa dapat disimpulkan bahwa menurut Leech
prisip kesantunan ada 6, yaitu tact maxim (maksim
kebijaksanaan), generosity maxim (maksim kedermawanan atau maksim penerimaan), approbation maxim (maksim penghargaan atau maksim 18
Kunjana Rahardi, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), h.59. 19 Chaer, op.cit., h. 61
15
kemurahan), modesty maxim (maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati), agreement maxim (maksim permufakatan atau maksim kecocokan), dan sympathy maxim (maksim simpati atau maksim kesimpatian). Keenam maksim pada prinsip kesantunan, dilihat dari keuntungan terhadap diri sendiri, pengorbanan, pujian, cacian, penyesuaian diri dan simpati serta antisimpati. Maksim kemufakatan dan maksim simpati berhubungan dengan penilaian penutur kepada dirinya sendiri ataupun pada mitra tuturnya. Sedangkan maksim kebijaksanaan dan maksim kesederhanaan mempunyai kesamaan, karena keduanya berpusat pada orang lain. Maksim kedermawanan dan maksim kesederhanaan berpusat pada diri sendiri, baik penutur ataupun mitra tutur. 4. Konteks Dalam pragmatik, konteks sangatlah penting dan tidak dapat dipisahkan. Menurut KBBI, konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna.20 Sedangkan menurut Mey pada tahun 1993, dalam F.X. Nadar adalah the surrounding, in the widest sense, that enable the participants the communication process their interaction intelligible,
yang
berarti
situasi
lingkungan
dalam
arti
luas
yang
memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami. Selain itu, pentingnya konteks dalam pragmatik ditekankan oleh Wijana pada tahun 1996, yang menyebutkann bahwa pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks.21 Leech mengartikan konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur, dan yang membantu mitra tutur menafsirkan makna tuturan.22 Sehingga, dapat disimpulkan bahwa konteks sangat penting dalam pragmatik yang mengkaji makna dari setiap ujaran dalam suatu situasi. Konteks merupakan latar belakang yang sama-sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur. 20
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi ke-3, h. 728. 21 F.X. Nadar, Pragmatik & Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h.3-4. 22 Geoffrey Leech, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Terj. Dari The Principles Of Pragmatics oleh M. D. D. Oka, (UI-Press, 2011), h.20.
16
Menurut John. J. Gumperz dan Dell Hymes, konteks dapat mempermudah pola-pola komunikatif dengan menggunakan klasifikasi kisi-kisi yang diajukan Hymes yang dikenal dengan istilah SPEAKING. Istilah SPEAKING, merupakan akronim yang tiap hurufnya merupakan unsur dari konteks. Unsurunsur itu adalah: 1) Setting dan scene / adegan (S). Setting mengacu pada waktu dan tempat. Contohnya adalah lingkungan yang secara fisik dapat dilihat pada peristiwa tutur berlangsung. Sedangkan dapat pula terjadi suatu ujaran tertentu menjelaskan scene/ adegan. 2) Participant/ peserta (P), termasuk penutur dan mitra tutur, yang menuturkan dan yang mendengarkan, pengirim dan penerima. Tuturan tersebut antara penutur dan mitra tutur dan pedengar yang saling berganti peran. 3) End/ hasil akhir (E), mengacu pada hasil akhir dari respon dalam percakapan yang dilakukan dan juga tujuan akhir personal yang dicari oleh peserta percakapan. 4) Act sequence/ urutan tindakan (A), mengacu pada bentuk dan isi yang actual dari kata-kata yang digunakan, sehingga terhubung antara apa yang dituturkan dengan urutan tindakan dengan tema yang actual saat itu. 5) Key/ Kunci (K), mengacu pada nada/ tone, perilaku atau semangat saat pesan tersebut digunakan, di antaranya adalah serius, bahagia, mencekam, menakutkan, kegembiraan, kelembutan. Kunci yang dimaksud adalah body language atau bahasa tubuh yaitu dengan perilaku gerak tubuh. 6) Instrument (I), mengacu pada pilihan channel/ jalur yaitu sesuatu yang digunakan agar pesan itu dapat tersampaikan seperti ujaran lisan, tulisan, sms, dan bentuk ujaran yang digunakan seperti bahasa, simbol-simbol, kode dan dialek. 7) Norm/ cara interaksi dan interpretasi (N), merupakan perilaku tertentu yang berkaitan erat dengan peristiwa tutur, baik dari volume suara, ekspresi dan gerak tubuh bahkan diam. 8) Genre (G), merupakan jenis bahasa ujaran, seperti ungkapan pantun, peribahasa, motto, nasihat, lelucon, kampanye yang keseleluruhannya
17
ditandai dengan cara yang tidak biasa. 23 Menurut Swales pada tahun 1990 dirangkum dalam bahasa Indonesia, menyatakan bahwa suatu genre terdiri atas suatu kelas peristiwa-peristiwa komunikatif yang para anggotanya bersama-sama memiliki beberapa perangkat tujuan komunikatif.24 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hymes memberikan penjelas pada setiap unsur dengan akurat. Unsur dari akronim SPEAKING tersebut digunakan untuk memperjelas konteks setiap tuturan dalam analisis deskriptif pada BAB IV, yaitu peristiwa tutur, tempat, waktu, tujuan, mitra tutur dan situasi.
B. Sastra 1. Pengertian Sastra Sastra adalah bahasa, kata-kata, gaya bahasa yang dipakai dalam kitabkitab, bukan bahasa sehari-hari.25 Karya sastra adalah karya imajinatif pengarang yang menggambarkan kehidupan masyarakat pada waktu karya sastra itu diciptakan.26 Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari akar kata Ças atau sâs dan –tra. Ças dalam bentuk kata kerja yang diturunkan memiliki arti mengarahkan, mengajar, memberikan suatu petunjuk ataupun intruksi. Akhiran –tra menunjukan satu sarana atau alat. Sastra secara harfiah berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi ataupun pengajaran.27 Karya sastra (novel, cerpen, dan puisi) adalah karya imajinatif, fiksional, dan ungkapan ekspresi pengarang. Karya sastra adalah produk budaya, dan sebagai produk budaya karya sastra mencerminkan ataupun merepresentasikan realitas masyarakat sekitarnya dan pada zamannya. Dengan asumsi itu, karya 23
Nuri Nurhaidah, Wacana Politik Pemilihan Presiden di Indonesia, (Yogyakarta: Smart Writing, 2014), h. 55-56. 24 Fatimah Djajasudarma, Wacana- Pemahaman dan Hubungan Antarunsur, (Bandung: Refika Aditama, 2006), h.29. 25 A.A. Waskito, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: WahyuMedia, 2009), h. 508. 26 Yuana Agus Dirgantara, Pelangi Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia, (Garudhawaca, 2012), h. 123. 27 Dwi Susanto S.S., M. Hum. Pengantar Teori Sastra, (Yogyakarta: Caps, 2012), h. 1
18
sastra hanya mencerminkan jiwa zamannya saja.28 Dapat
dikatakan
bahwa
sastra
adalah
karya
imajinatif
yang
menggambarkan kehidupan sehari-hari namun bahasa yang digunakannya bukan bahasa sehari-hari. Bahasa yang digunakan pada karya sastra adalah bahasa yang mempunyai ciri khas pengarang, karena itu karya sastra disebut karya yang mempunyai keorsinilan pada penciptaannya. Bahasa yang digunakan mempunyai ciri khas karena sastra diciptakan untuk dinikmati pembacanya.
2. Pengertian Novel Kata novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti ―baru‖. Dikatakan baru karena jika dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama dan lain-lain maka jenis novel ini muncul kemudian. 29 Novel merupakan genre sastra baru dibandingkan puisi, drama, dan lainlain, karena novel baru muncul setelah jenis sastra lainnya. Novel merupakan karya sastra yang mempunyai konteks seperti kehidupan sehari-hari. Ada beberapa pengertian novel yang dikemukakan oleh para ahli. The American College Dictionary of Current English yang disebut dalam buku Henry Guntur Tarigan, menyebut novel adalah suatu cerita yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang menuliskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.30 Dewasa ini novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang namun tidak juga terlalu pendek.31 Novel merupakan cerita fiktif yang panjang. Di dalam novel terdapat
28
Ibid., h. 32-33. Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2011), h. 164. 30 Ibid,. h. 164. 31 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 9-10. 29
19
tokoh, gerakan, dan kehidupan nyata yang diwakilkan pada jalan cerita yang mempunyai konflik. Pengertian selanjutnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel adalah karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang sekelilingnya dengan menonjolkan watak sifat pelaku.32 Pengertian novel menurut R.J. Rees pada tahun 1973, “A fictitious prose narrative of considerable length in which characters and actions representative of real life are portrayed in a plot of more or less complexity.” Dapat diartikan, menurut R.J. Rees novel merupakan sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata, dan yang digambarkan dalam suatu plot yang cukup kompleks.33 Berdasarkan penjabaran dari beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa novel merupakan karangan prosa yang mencerminkan kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya yang digambarkan dalam suatu alur yang cukup kompleks dengan beragam bahasa keseharian yang mengandung ciri khas dari kepribadian pengarangnya. Dalam novel, setiap pelaku mempunyai watak dan berinterkasi antara tokoh satu dengan tokoh lainnya, hal itu yang menonjol dalam novel dibandingkan dengan puisi. Dapat dibuktikan pada puisi tidak terdapat tokoh pun bisa dinikmati oleh pembaca.
3. Jenis-Jenis Novel Novel memiliki kategori yang beragam, walaupun kategorisasi novel kerap kali menimbulkan pertentangan karena perbedaan pendapat antara pihak satu dengan pihak lainnya. Namun kategorisasi novel sangatlah diperlukan untuk mengetahui serta memahami karakteristik, dan cerita novel. Berikut ini adalah jenis novel dalam Teori Pengkajian Fiksi. a. Novel serius Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru 32
Pusat Bahasa Depdiknas, op.cit., h. 788. Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 1. 33
20
dengan cara pengucapan yang baru pula. Novel serius memerlukan daya konsentrasi yang tinggi, dan kemauan jika ingin memahaminya. Novel ini merupakan makna sastra yang sebenarnya. Pengalaman, dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti, dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan sebuah ―dunia-baru‖ lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus.34 Novel serius biasanya mengangkat cerita yang lebih kompleks, bukan hanya kisah asmara antara sejoli. Kisah asmara atau kisah cinta yang diangkat pada novel serius bukan hanya kepada pasangan tetapi bisa saja kepada keluarga, orang tua, teman dan lain sebagainya. Cerita yang disuguhkan dalam novel popular pun lebih rumit. Novel popular tidak berkiblat pada selera pembaca seperti novel popular. Karya novel popular biasanya lebih abadi dari novel popular yang tidak akan diingat pembaca dalam waktu yang lama. b. Novel Populer Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak
penggemarnya.
Khususnya
pembaca
dikalangan
remaja.
Ia
menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan kehidupan secara intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Novel ini pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Biasanya banyak dilupakan orang, apalagi denhan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada asa sesudahnya. Menurut Stanton dalam Teori Pengkajian Fiksi, novel popular lebih mudah dibaca, dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita.35 Novel popular tidak masuk dalam masalah kehidupan yang rumit, kebanyakan novel popular hanya menunjukan emosi-emosi yang biasa remaja
34 35
Nurgiyantoro, op. cit., h. 18-20. Ibid., h. 18.
21
alami, misalnya masalah asmara. Maka dari itu, jenis novel ini banyak diminati oleh kalangan remaja. Jika sudah habis jamannya, novel jenis ini tidak lagi diingat lagi. Jalan cerita novel popular biasanya sederhana karena novel popular mengincar selera pembaca. Dari jenis-jenis novel yang disampaikan, maka novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini merupakan novel serius. Hal tersebut karena Pertemuan Dua Hati mengangkat masalah yang perlu direnungkan oleh para pembaca. Novel ini memiliki nilai kehidupan, dan nilai pendidikan yang tidak habis dimakan zaman. 4. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel Unsur-unsur pembangun sebuah novel—yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas itu— di samping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur tersebut secara tradisional dapat dikelompokan menjadi dua bagian, walau pembagian ini tidak benar-benar pilah. Pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik.
a. Unsur Intrinsik Unsur Intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita.
36
Unsur intrinsik yang
dimaksud dalam Wellek & Warren adalah sebagai berikut, 1) Sastra dan seni; 2) modus keberadaan karya sastra; 3) efoni, irama dan matra; 4) gaya dan stilistika; 5) citra, metafora, symbol, dan mitos; 6) sifat dan ragam fiksi naratif; 7) genre sastra; 36
Ibid., h. 23.
22
8) penilaian; 9) sejarah sastra;37
b. Unsur Ekstrinsik Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri, tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek & Warren, 1956 : 75—135) antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik psikologi pengarang, psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. 38
5. Biografi Nh. Dini Bernama pena Nh. Dini atau N.H Dini, penulis novel dan biografi yang bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, lahir di Sekay Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 29 Februari 1936. Ia mengenyam pendidikan di SMA Sastra Bojong pada tahun 1956, selanjutnya Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta pada tahun 1956, dan dilanjutkan Kursus B-1 Jurusan Sejarah pada tahun 1957. Nh. Dini menikah dengan Yves Coffin, seorang diplomat yang bekerja di Konsulat Perancis di Kobe, Jepang pada tahun 1960, namun bercerai pada 37
Renne Wellek and Austin Wareen, Teori Kesusastraan, oleh Melani Budianta, (Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 1993), h.160-338 38 Nurgiyantoro, op.cit., h. 23-24.
23
tahun 1984. Dari pernikahannya tersebut Nh. Dini dikaruniai dua orang anak bernama Marie Claire Lintang dan Pierre Louis Padang Coffin, sutradara dan animator film Despicable Me dan Despicable Me 2. Nh.
Dini
diakui
sebagai
salah
seorang
penulis
pertama
yang
mengetengahkan pengalaman wanita Indonesia secara blak-blakan ke dalam tulisan. Kini ia tinggal di Yogyakarta walaupun kenangannya berpusat pada kehidupannya di Semarang dan Paris. Ia mulai menulis sajak dan prosa berirama pada tahun 1951 dan membacakannya sendiri di RII Semarang, Jawa Tengah. Pada tahun 1952, ia mengirimkan sajak-sajaknya ke siaran nasional RRI Jakarta, dan karyanya mulai ditebitkan di majalah. Cerita-cerita pendeknya mulai diterbitkan majalah Kisah, Mimbar Indonesia, dan Siasat pada tahun 1953. Nh. Dini menulis naskah sandiwara radio yang dimainkan oleh kelompoknya sendiri yang diberi nama Kuncup Berseri di RRI Semarang, Jawa Tengah (1953). Ia sempat membentuk sandiwara di sekolahnya, SMA Sastra Bojong dan diberi nama Pura Bhakti pada tahun 1954. 39 Lebih dari 20 tahun ia berpindah-pindah tinggal di Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, Belanda, dan Prancis. Tahun 1980 kembali ke Indonesia dan segera aktif dalam Wahana Lingkungan Hidup dan Forum Komunikasi Generasi Muda Keluarga Berencana. Tahun 1986 ia mendirikan Pondok Baca Nh. Dini, taman bacaan untuk anak-anak. Pada tahun 1988, ia memenangkann hadiah pertama lomba penulisan cerpen dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan surat kabar Le Monde, Kedutaan Prancis di Jakarta, dan Radio Franche Internationale, dengan cerpen berjudul Le Nid de Poison dans le Bale de Jakarta. Berbagai penghargaan telah diterimanya, antara lain: ―Hadiah Seni untuk Sastra, 1989‖ (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan); ―Bhakti Upapradana
39
Taman Ismail Marzuki, ‘Tokoh nh dini’, 2013, h.1, (http://www.tamanismailmarzuki.com).
24
Bidang Sastra‖ (1991, Pemerintah Daerah Jawa Tengah); dan ―South-East Asia Writes‘ Award‖ (2003). Karya: a) Seri Cerita Kenangan
Sebuah Lorong di Kotaku (1989)
Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987)
Langit dan Bumi Sahabat Kami (1988)
Sekayu (1988)
Kuncup Berseri (1996)
Kemayoran (2000)
Jepun Negerinya Hiroko (2001)
Dari Parangakik ke Kampuchea (2003)
Dari Fontenay ke Magallianes (2005)
La Grande Borne (2007)
Hidup Memisahkan Diri (2008)
b) Novel-novel lain
Pada Sebuah Kapal (1985)
Pertemuan Dua Hati (1986)
Namaku Hiroko (1986)
Keberangkatan (1987)
Tirai Menurun (1993)
25
Jalan Bandungan (2009)40 Nh. Dini merupakan pengarang wanita yang menempati kedudukan istimewa. Nh. Dini berhasil menerobos dan menempatkan dirinya sebagai novelis wanita yang sejajar dengan novelis pria pada zamannya.41
6. Sinopsis Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini Bu Suci adalah seorang guru Sekolah Dasar di Purwodadi. Purwodadi merupakan kota kecil yang gersang tetapi kota itu tempat kelahirannya. Ia adalah seorang guru yang bijak dan sangat menyayangi keluarganya serta murid-muridnya. Bu Suci pindah ke Semarang karena tempat bekerja suaminya dipindahkan ke sana. Di Semarang ia tinggal dengan suami, ketiga anaknya, dan bibi yang menjaga anak-anaknya. Suami bu Suci orang yang pengertian dan selalu mendukung keinginan bu Suci. Semenjak pindah ke Semarang, bu Suci belum bekerja hanya di rumah saja menjaga anak-anaknya. Ia pun rindu dengan pekerjaannya, hingga suatu hari ia mengantar anaknya ke Sekolah dan ditawari menjadi guru di sana, bu Suci pun menerimanya. Hari pertama dilalui bu Suci baik-baik saja, namun ada yang mengganjal dalam pikirannya. Hari kedua pun dilalui bu Suci dengan lancar, namun ia mulai mengetahui apa yang mengganjal dalam pikirannya itu. Seorang murid bernama Waskito telah menarik perhatiannya. Ia pun bertanya tentang Waskito pada teman-teman sekelasnya, namun tidak ada yang mau membuka mulut. Bu Suci semakin bingung dengan apa yang terjadi pada Waskito. Sampai suatu saat, bu Suci akhirnya mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Ternyata Waskito adalah anak yang sukar, begitulah bu Suci menyebutnya. Sukar menurut bu Suci adalah anak yang nakal dan selalu membuat keonaran. Teman-teman Waskito merasa segan dan tidak mau bermasalah dengannya. Mengetahui hal tersebut, bu Suci semakin 40
Nh. Dini, Pertemuan Dua Hati, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 87-88. Maman S. Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: PR Raja Grafindo Persada, 2007), h. 60-61. 41
26
ingin masuk lebih dalam ke masalah Waskito dan ingin menyelesaikannya. Hatinya terdorong untuk melakukan lebih dari apa yang dilakukannya sekarang. Seolah-olah cobaan sedang menghampiri bu Suci. Anak kedua bu Suci dinyatakan mengidap penyakit ayan oleh dokter, sehingga harus dijaga dan tidak boleh banyak beraktivitas. Bu Suci pun harus menjaga anaknya, tapi di sisi lain, ia ingin sekali di kelas mengetahui perkembangan Waskito dan dia pun harus mengantar anaknya ke rumah sakit untuk berobat. Untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut, bu Suci mendatangi rumah kakek dan nenek Waskito. Ia pun mendapatkan informasi tentang asal usul kenapa Waskito bersikap seperti itu. Menurut kakek dan neneknya, Waskito sebenarnya
adalah
anak
yang
baik
tetapi
karena
orangtuanya
memperlakukannya kurang baik maka Waskito menjadi anak yang nakal. Neneknya mengatakan bahwa ayahnya sering memukuli Waskito tanpa sebab yang jelas ketika Waskito melakukan kesalahan, bukan pengarahan yang diberikannya malah pukulan. Sementara ibunya terlalu memanjakan Waskito sehingga ia tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Dahulu, sewaktu Waskito tinggal bersama kakek dan neneknya Waskito jadi anak yang disiplin dan tahu aturan, namun semenjak ia kembali kepada orang tuanya ia kembali menjadi anak yang nakal. Bu
Suci
berusaha
membantu
permasalahan
Waskito.
Ia
selalu
memperhatikan sikap Waskito ketika sedang berada di kelas. Perlahan bu Suci mendekati Waskito, lalu memintanya mengantarkan makanan ke anaknya yang sedang sakit di rumah sakit. Hal tersebut dimaksudkan bu Suci agar Waskito tahu bahwa ia masih beruntung karena masih diberikan kesehatan dan dapat menjalankan aktivitas sebagaimana mestinya tanpa harus melakukan hal-hal yang tidak berguna dalam hidupnya. Awalnya keberadaan Waskito tidak dihiraukan oleh teman-temannya, namun kini bu Suci membuat Waskito ada keberadaannya. Waskito dipercayai
27
bu Suci untuk membuat sesuatu, hingga pekerjaannya mendapatkan penghargaan dari teman-temannya. Kini Waskito tinggal bersama bibinya, sehingga sudah mulai mendapatkan pelajaran tentang kasih sayang. Waskito senang tinggal di sana meskipun keadaan ekonomi mereka sulit, bahkan kadang mereka harus berbagi makanan. Bu Suci mulai sedikit tenang melihat perubahan yang Waskito tunjukan. Namun hal itu tidaklah berlangsung lama. Pada suatu hari, Waskito marah kepada seeorang yang menghina tanaman yang ia tanam. Padahal maksud dari seseorang itu hanyalah bercanda. Waskito mengacungkan sebuah cutter, namun bu Suci mengambil cutter dari tangan Waskito dengan berani. Karena kejadian tersebut, semua guru di sekolah sepakat untuk mengeluarkan Waskito dari sekolah. Hal itu dihalangi oleh bu Suci, ia meminta agar diberi waktu untuk membimbing Waskito dan mempertaruhkan pekerjaannya jika ia gagal. Ia pun menekankan kepada Waskito bahwa ia bisa berubah, jika ia gagal, selain Waskito harus pindah dari sekolah itu, pekerjaannya pun dipertaruhkan. Hal buruk tersebut membuat Waskito dan bu Suci semakin dekat. Waskito sudah mulai memberanikan diri berbagi cerita kepada bu Suci. Waskoto naik kelas pada akhir semester, seluruh keluarganya sangat berterimakasih kepada bu Suci karena dapat membuat Waskito mengubah sikapnya bahkan dapat naik kelas. Seusai itu, Waskito ikut berlibur ke desa Purwodadi bersama keluarga bu Suci sesuai dengan janji bu Suci. Semenjak bertemu dengan Waskito, bu Suci merasa hatinya telah dipertemukan dengan hati Waskito. C. Penelitian Relevan Suatu penelitian yang baik, merupakan penelitian hasil dari diri sendiri, tidak boleh menyadur dari hasil penelitian orang lain. Sebuah penelitian diharapkan mampu memberikan informasi baru. Informasi baru tentu saja didapatkan dari penelitian yang baru. Untuk menghindari adanya penyaduran, maka diperlukan penelitian yang relevan. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, peneliti menemukan beberapa judul skripsi yang terkait dengan permasalahan serupa. Berikut ini
28
adalah judul skripsi yang terkait. Pertama, Skripsi yang berudul ‗Realisasi Kesantunan Berbahasa Anak Kelas X di SMA Muhammadyah 8 Ciputat‘ disusun oleh Lilis Suci Melati pada tahun 2012, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Peneliti menganalisis kesantunan berbahasa menggunakan prinsip kesantunan Geoffrey Leech. Hasil dari analisis peneliti adalah bentuk petuturan yang terjadi pada kelas X-A di SMA Muhammadiyah 8 Ciputat menunjukan lebih banyak yang melanggar prinsip kesantunan (politeness principle) di bandingkan yang mematuhinya. Kedua, Skripsi yang berjudul ‗Bentuk Kesantunan Berbahasa Dalam Interaksi Verbal Pada Kegiatan Pembelajaran Nonformal Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Studi Kasus pada Kelas VII SMP Cilandak Jakarta Selatan Tahun Pelajaran 2011-2012‘ di susun oleh Ina pada tahun 2012, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Peneliti menganalisis bentuk kesantunan berbahasa pada kegiatan pembelajaran nonformal Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Dalam penelitiannya, peneliti memasukan
empat
maksim,
yaitu
maksim
kedermawanan,
maksim
penghargaan, maksim kebijaksanaan, dan maksim kesederhanaan. Ketiga, skripsi yang berjudul „Kesantunan Berbahasa Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami (Suatu Kajian Pragmatik) dan Implementasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA‘ disusun oleh Nurul Syaefitri pada tahun 2012, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis memfokuskan permasalahan pada penelitian pragmatik terkait kesantunan berbahasa dalam tindak tutur percakapan antar tokoh di dalam novel Saman karya Ayu Utami dengan menggunakan prinsip kesantunan yang
dirumuskan
oleh
Leech.
Penulis
juga
mengaitkannya
dengan
implementasi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang ada di SMA dengan membuat RPP. Kesimpulan yang penulis peroleh adalah tidak selamanya kata-kata seks atau segala sesuatu yang berhubungan dengan seks itu menjadi kata-kata yang tidak sopan dalam prinsip maksim kesantunan berbahasa menurut Leech. Berdasarkan tiga penelitian relevan yang peneliti temukan, maka
29
penelititian yang berjudul Prinsip Kesantunan Berbahasa Menurut Leech Pada Novel Pertemuan Dua Hati Karya N.H Dini dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA) penting dilakukan. Hal tersebut karena penelitian ini diimplikasikan pada pembelajaran bahasa Indonesia siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Peneliti juga belum menemukan adanya penelitian tentang
prinsip kesantunan berbahasa yang
dikaji melalui novel Pertemuan Dua Hati karya Nh.Dini. Prinsip kesantunan sangat penting diketahui oleh siswa SMA, dengan penelitian ini guru dapat menjadikan novel Pertemuan Dua Hati sebagai buku bacaan siswa pada saat pembelajaran tentang novel berlangsung.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian
(dalam mengumpulkan data).1
Metode penelitian yang dipakai peneliti adalah metode deskriptif dengan pendekatan pragmatik. Metode deskriptif merupakan suatu cara yang digunakan untuk membahas objek penelitian secara apa adanya berdasarkan data-data yang diperoleh. Metode deskriptif disebut juga sebagai metode yang bertujuan membuat deskripsi; maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti.2 Pendekatan pragmatik mempelajari strategi-strategi yang ditempuh oleh penutur di dalam mengkomunikasikan maksud-maksud pertuturannya (I Dewa Putu Wijana dalam Kris Budiman (ed.), 2002: 57-58). Pendekatan Pragmatik mengasumsikan bahwa setiap tuturan dilandasi tujuan tertentu, dan setiap peserta tutur bertanggung jawab atas segala penyimpangan bentuk tuturan yang dibuatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut, maksud-maksud tuturan, terutama maksud yang tersirat, hanya dapat teridentifikasi melalui penggunaan bahasa secara konkret dengan mempertimbangkan secara seksama komponen situasi tutur atau konteks (I Dewa Putu Wijana, 1996:3). 3 Pendekatan pragmatik mempelajari proses penutur dalam berkomunikasi untuk menyampaikam maksud pada tuturannya. Pada pendekatan pragmatik, semua tuturan memiliki maksud tertentu dan dipertimbangkan konteks ujaran saat tuturan berlangsung.
1
Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik- Ancangan Metode Penelitian dan Kajian, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h.4 2 Ibid,. h.9 3 Nurhayati, “Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”, 2014, h.57, (http://eprints.uns.ac.id/9482/1/185730811201110211.unlocked.pdf).
30
31
B. Sumber Data Terdapat dua sumber data pada penelitian ini, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data-data yang didapatkan dari sumber data yang utama. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah Judul Buku
: Pertemuan Dua Hati
Penulis
: N.H Dini
Jumlah Halaman
: 88 Halaman
Penerbit
: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan
: Keempat belas, Desember 2009
Sumber data sekunder adalah sumber data yang digunakan peneliti untuk menganalisis sumber data primer. Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah sumber yang berhubungan dengan permasalahan objek penelitian.
C. Metode Pengumpulan Data 1. Membaca Membaca adalah melihat lalu melafalkan apa yang tertulis. Dalam membaca, seorang pembaca bukan hanya melafalkan namun harus memahami isi dari yang tertulis. Pada penelitian ini, peneliti membaca sumber primer yaitu novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini. 2. Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti membaca sumber primer. Pada tahap ini peneliti menentukan klasifikasi maksim kesantunan yang terdapat pada sumber primer.
D. Teknik Analisis Data Dalam teknik analisis data, peneliti berusaha untuk memberikan uraian mengenai hasil penelitian. Tahap ini merupakan tahap lanjutan
32
setelah peneliti membaca novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini. Teknik ini dilakukan dengan mendata hasil temuan satu persatu, lalu menganalisisnya. Agar pembaca lebih mudah memahami analisis, maka penulis memberi kode penamaan tuturan untuk setiap bagian dari novel, beserta halamannya. Terdapat enam bagian dalam novel, yaitu dengan judul Pindah, Waskito, Tugas, Perkenalan, Lingkungan, dan Pertemuan. Maka penulis memberi kode sebagai berikut: B.1: untuk tuturan yang terdapat pada bagian berjudul Pindah; B.2: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Waskito; B.3: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Tugas; B.4: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Perkenalan; B.5: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Lingkungan; B.6: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Pertemuan. 1. Tuturan (B.2, hlm.23) “Disana lebih banyak pohon buah ya, Bu,” kata sulungku. “Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan,” sahutku. “Di rumah kita malahan ada tiga macam: golek, lalijiwo, lalu apa Bu satunya lagi?” “Gadung.” Jawabku, dan kuteruskan, “Di tempat kakek lebih banyak lagi. Hampir semua jenis mangga, ada.” “Di sana itu bukan rumah kita, Sayang. Sekarang, di Semarang inilah rumah kita!”4 Konteks: (1) Peristiwa tutur: Tokoh anak sulung dan Bu Suci membandingkan tempat tinggalnya yang dulu (Purwodadi) dengan tempat tinggal yang sekarang (Semarang); (2) tempat: becak; (3) waktu: pagi hari, saat perjalan menuju sekolah; (4) tujuan: untuk mengenang Purwodadi; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal. Analisis: ….
4
Nh. Dini, Pertemuan Dua Hati, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 23
30
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Tabel Tuturan dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini Berdasarkan landasan teori pada Bab II, maka diperoleh tabel tuturan sebagai berikut. No.
1.
Kode, Hlm
Penutur
B.2, Anak hlm. 23 Sulung Bu Suci Bu Suci
3.
B.2, hlm.24
Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan.
Di rumah kita malahan ada tiga macam: golek, lalijiwo, lalu apa Bu satunya lagi?
Bu Suci
Gadung. Di tempat kakek lebih banyak lagi. Hampir semua jenis mangga, ada. Karena tempat kakek lebih luas dari rumah kita di sana.
B.2, Anak hlm. 23 Sulung Bu Suci Bu Suci
Bu Suci Anak Sulung Bu
Keterangan
Disana lebih banyak pohon buah ya, Bu.
Anak Sulung Bu Suci
Anak Sulung Bu Suci Bu Suci
2.
Tuturan
Di sana itu bukan rumah kita, Sayang. Sekarang, di Semarang inilah rumah kita! Di Purwodadi, Bapak tidak pernah pulang terlambat Purwodadi kota kecil. Kantor Bapak dipergunakan hanya sebagai tempat singgah. Di sini lain halnya. Semua kendaraan berangkat dari sini, atau menuju kemari. Lihat! Di Purwodadi tidak ada sekolah sebagus ini! Apanya yang bagus?
33
Mematuhi maksim kesederhanaan dan maksim permufakatan
Mematuhi maksim kesederhanaan Mematuhi maksim kesederhanaan dan permufakatan Melanggar maksim permufakatan
Mematuhi maksim kesimpatisan
Melanggar maksim permufakatan
34
Suci Bu Suci
4.
5.
6.
B.2, Kepala hlm. 24 Sekolah
B.2, hlm.2526
Perhatikan baik-baik! Atapnya lain dari atap yang di sana itu. Gedungnya demikian pula. Bentuk tiang dan pintunya! Tidakkah kamu menyukainya? Di zaman sekarang tidak banyak gedung seperti ini. Ini Bu Suci. Selama beberapa Mematuhi maksim hari, dua kelas digabung. penghargaan Berusahalah tenang, jangan nakal. Tunjukkan kepada Bu Suci bahwa kalian anak-anak kota besar juga sepatuh anakanak kota kecil Purwodadi di mana Bu Suci sudah mengajar sepuluh tahun lamanya.
Muridmurid Bu Suci
(diam)
Muridmurid
(Tangan-tangan juga tidak diacungkan, dua kelompok berbisik-bisik).
Bu Suci
Ya? Siapa yang tahu? Rumahnya jauh atau dekat?
Muridmurid Bu Suci
(Tidak ada jawaban).
B.2, Bu Suci hlm. 26
Mematuhi maksim kedermawanan
Siapa tahu di mana rumah Waskito?
Kalau ada yang tahu, cobalah menengok ke sana. Janganjangan dia sakit.
Melanggar maksim kedermawanan
Melanggar maksim kedermawanan Mematuhi maksim kesimpatisan
Raharjo! Pergilah ke rumah Waskito sepulang dari sekolah nanti! Atau sore, sambil jalan-jalan! Tanyakan mengapa dia lama tidak masuk!
Mematuhi maksim kesimpatisan
Raharjo
(Tidak menjawab)
Melanggar maksim kedermawanan
Bu Suci
Ya Raharjo?
35
7.
Raharjo
(Menghindari pandangan Bu Suci)
Bu Suci
Mengapa tidak menjawab, Raharjo? Kamu tidak tahu rumah Waskito?
Raharjo
Tahu, Bu.
Bu Suci
Lalu? Terlalu jauh buat kamu?
Raharjo
Oh, tidak, Bu! Saya selalu melaluinya kalau berangkat atau pulang!
B.2, Bu Suci hlm. 26
Raharjo
8.
B.2, hlm. 27
Mengapa kamu tidak singgah selama ini? Apakah kamu tidak ingin mengetahui mengapa dia tidak masuk? (Menggerakan badan ke kanan, ke kiri).
Melanggar maksim kedermawanan
Mematuhi maksim permufakatan
Melanggar maksim permufakatan
Melanggar maksim kedermawanan
Bu Suci
Siapa lagi yang mengetahui rumah Waskito?
Muridmurid Bu Suci
(Tidak ada yang Melanggar maksim mengacungkan lengan). kedermawanan Marno! Coba, tolonglah Bu Suci! Beritahu mengapa kamu tidak mau menengok Waskito.
Marno
Takut, Bu.
Bu Suci
Mengapa? Raharjo! Ganti kamu yang menjelaskan! Mengapa kalian takut pergi ke rumah Waskito!
Raharjo
Marno saja, Bu!
Bu Suci
Kamu yang menjadi ketua kelas di sini. Saya kira kamu seharusnya memberitau apa yang terjadi di dalam kelasmu. Bu Suci orang baru di sini, bukan? Kamulah yang memberi penjelasan apa yang saya perlukan mengenai kelas
Mematuhi maksim kesederhanaan
Melanggar maksim kedermawanan
36
ini.
9.
Raharjo
(Menghindari pandangan Bu Suci)
B.2, Raharjo hlm. 27
Rumahnya besar, Bu. Selalu ada anjing yang menggonggong di halamannya. Dia orang kaya, Bu.
Murid lain
10.
B.2, hlm. 27-28
Melanggar maksim kedermawanan
Bu Suci
Hanya itu? Apa lagi lainlainnya? Tentunya kalian sudah mengetahui bahwa orang kaya tidak perlu ditakuti. Kalau takut kepada anjing, lain persoalannya.
Melanggar maksim permufakatan
Murid perempuan
Biar Waskito tidak masuk, Bu! Kami malahan senang!
Melanggar maksim kedermawanan
Murid laki- Ya betul, Bu! Kelas tenang laki kalau dia tidak ada.
Mematuhi maksim permufakatan
Bu Suci
O, ya? Mengapa? Karena Waskito suka bergurau? Membikin keributan?
Murid perempuan
Oh, tidak! Bukan bergurau! Kalau itu, kami juga suka!
Melanggar maksim permufakatan
Murid perempuan
Dia jahat! Jahat sekali, Bu!
Melanggar maksim penghargaan
Bu Suci
Ah, masa! Tidak ada anakanak yang jahat, kalian masih tergolong tingkatan umur yang dapat dididik. Memang kalian bukan kanak-kanak lagi! Tetapi kalian sudah bisa diajar berpikir teratur, ditunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, Bu Suci beritahu sejelasjelasnya: tidak ada anak jahat. Kalaupun seandainya terjadi kenakalan yang keterlaluan, anak itu mempunyai kelainan. Tapi dia nakal. Bukan jahat!
Melanggar maksim permufakatan
37
Seorang murid
11.
12.
B.2, Bu Suci hlm. 28 Muridmurid
Waskito jahat atau nakal, saya tidak tahu, Bu! Tapi dia mempunyai kelainan. Suka memukul! Menyakiti siapa saja!
Melanggar maksim penghargaan
Siapa yang pernah dipukul? Disakiti? (Sepertiga kelas mengacungkan lengan)
Bu Suci
Bagaimana terjadinya? Kalian bergelut? Bertengkar kemudian berkelahi?
Murid
Tidak, Bu!
Raharjo
Kalau saya, memang bertengkar! Lalu dipukul!
Raharjo
Kebanyakan kali tanpa ada yang dipersoalkan, Bu. Tibatiba saja saya memecut atau memukul. Yang paling sering menjegal. Sesudah itu dia pura-pura tidak tahu!
Bu Suci
Bagaimana dia memukul? Sampai berdarah?
Muridmurid
(Tidak ada jawaban)
Bu Suci
Menurut peraturan, kalau ada luka berdarah, harus lapor kepada Kepala Sekolah.
B.2, Seorang hlm. 29 murid
Mematuhi maksim kesederhanaan
Melanggar maksim permufakatan Mematuhi maksim permufakatan
Melanggar maksim kedermawanan
Satu kali, dahi saya dipukul. Sorenya, bengkak sebesar telur!
Bu Suci
Apa kata orang tuamu?
Seorang murid
Saya bilang jatuh, Bu.
Bu Suci
Mengapa berdusta?
Seorang murid
Saya takut dimarahi karena bertengkar di sekolah.
Melanggar maksim kebijaksanaan
Mematuhi maksim kesederhanaan
38
13.
14.
15.
B.2, Bu Suci hlm. 29
Siapa lagi yang pernah berurusan dengan Waskito?
Murid
Saya dilempari batu-batu besar, Bu. Untung tidak kena. Tetapi lampu sepeda saya pecah. Saya kena marah di rumah!
Bu Suci
Kamu katakan bahwa Waskito yang memecahkannya?
Murid
Saya bilang tabrakan dengan teman.
Bu Suci
Mengapa?
Murid
Saya tidak suka Bapak bikin perkara di sekolah.
B.2, Seorang hlm. 29 murid
Melanggar maksim kebijaksanaan
Lebih baik dia tidak masuk, Bu!
Murid lain
Ya, mudah-mudahan dia pindah!
Mematuhi maksim permufakatan
Murid lain (2)
Untung kalau begitu! Tanpa dikeluarkan, dia keluar sendiri!
Melanggar maksim kedermawanan
B.2, Raharjo hlm. 29
Dulu dia pernah dikeluarkan sekolah lain.
Bu Suci
Dari sekolah mana?
Raharjo
Sekolah swasta, Bu.
Murid lain
Bukan! SD negeri juga tapi di kota.
Melanggar maksim permufakatan
Murid lain (2)
Sekolah swasta, betul!
Mematuhi maksim permufakatan
Raharjo
Memang SD swasta.
Mematuhi maksim permufakatan
Raharjo
Neneknya yang memasukan dia di sana. Tetapi karena sering membolos, lalu dikeluarkan.
39
16.
17.
B.2, hlm. 29-30
Bu Suci Murid perempuan
Waskito tinggal bersama neneknya? Dulu, Bu. Sekarng sudah diambil kembali oleh bapak dan ibunya.
Bu Suci
Diambil kembali?
Raharjo
Ya, Bu.
Bu Suci
Apakah orang tuanya pernah pindah ke kota lain atau bagaimana?
Raharjo
Tidak tahu, Bu!
Bu Suci
Dari siapa kalian mengetahui semua ini?
Raharjo
(Tidak menjawab)
B.2, Bu Suci hlm. 30 Raharjo
Kamu pernah ke rumah neneknya? Lalu pindah ke tempat orang tuanya? Tidak, Bu. Saya belum kenal ketika dia tinggal bersama neneknya.
Bu Suci
Jadi dari mana kamu tahu semua itu?
Raharjo
Waskito sendiri yang mengatakannya. Setiap dia kambuh menjadi bengis, lalu berteriak-teriak. Macammacam yang dikatakan. Yang sering diulang-ulang: Seperti barang. Nih, begini, dilempar ke sana kemari. Dititipkan! Apa itu! Persetan! Aku tidak perlu kalian semua!
Murid lelaki
Kemudian menyebut kakeknya, neneknya, orang tuanya. Semua dicaci-maki! Kami yang ada di dekatnya terkena cambukan atau pukulan.
Bu Suci
Apa kata-kata lainnya lagi?
Mematuhi maksim permufakatan
Melanggar maksim permufakatan
40
Murid Tidak semua jelas, Bu. Perempuan Paling-paling: aku benci! Aku benci! 18.
B.2, Murid hlm. 30 perempuan
Rini
19.
20.
Anehnya, kalau dia kambuh begitu, yang menjadi sasaran pertama selalu Raharjo, Marno, Denok. Aku juga! Selalu kalau aku Mematuhi maksim berada jauh pun, seolah-olah permufakatan dia sengaja mencari aku untuk kena sabetannya!
Marno
Saya tidak pernah tahu apa kesalahan saya.
Mematuhi maksim kesederhanaan
Raharjo
Saya juga tidak tahu.
Denok
Mematuhi maksim permufakatan Mematuhi maksim permufakatan
Apalagi kami anak perempuan! Kami tidak pernah main dengan dia! Tua-tua masih paktek, Jeng. Hanya dua kali seminggu. Dia Mematuhi maksim bergantian dengan dokter kesedrhanaan muda, muridnya sendiri. Sekalian menolong, hasilnya buat tambah-tambah belanja.
B.3, Bu Suci hlm. 36 Nenek Waskito
Bu Suci
Di samping itu Bapak tidak bekerja di mana-mana lagi, Bu?
Nenek Waskito
Masih. Setiap pagi ke Rumah Sakit Karyadi. Gaji pemerintah, Jeng! Katanya hanya supaya tidak ketinggalan metode-metode baru. Diminta ke rumah sakit lain yang lebih dapat menghasilkan uang, tetapi sudah cape. Katanya biar yang muda-muda saja. Yang pentingkan sekarang mengajar. Bekas sopir kami tadi datang, Jeng. Memberitahu anaknya ketabrak kolt, sekarang di rumah sakit. Dia sama tua dengan Bapak, tidak bekerja
B.3, Nenek hlm. 36 Waskito
Mematuhi maksim kesederhanaan
41
Bu Suci Nenek Waskito
lagi. Jaga warung bersama isterinya. Bayangkan, akan masuk rumah sakit orang harus bayar dulu sebagian. Mau cari hutangan ke mana! Untung dia kenal Anda berdua! Ya, kami bantu sebisanya. Tadi Bapak sudah menelepon rumah sakit. Kami yang menanggung pondokan dan dokternya. Tapi pengeluaran untuk lain-lainnya pasti juga bertambah. Harus menengok setiap hari, naik bis atau Daihatsu.
Mematuhi maksim penghargaan Mematuhi maksim kesederhanaan
42
21.
B.3, hlm. 37-38
Nenek Waskito
Bu Suci Nenek Waskito
Anak kami belum pernah menghukum, apalagi memukul Waskito! Barangkali inilah kesalahannya. Ada anak-anak yang memerlukan perhatian, yang menganggap hukuman jasmaniahsebagai ganti perhatian yang diinginkan. Saya pernah menyaksikan sendiri anak-anak saudara saya. Mereka baru sadar akan kekeliruannya jika kena tangan ayah dan ibu mereka. Waskito sudah terlanjur tidak mendapatkan kata-kata manis atau bujukan, dia mungkin harus dipukul. Ah, kalau Anda melihat dia di rumah mereka, Jeng! Tidak pernah ditegur, tidak pernah diberitahu mana yang baik dan mana yang jelek. Seumpama anak berjalan, kaki menyuntuh pot sehingga jatuh pecah. Di rumah kami, saya bilang: hatihati kalau berjalan, Sayang! Tolong sekarang tanaman dan pot pecah itu dibenahi! Seumpama ibunya ada, langsung dia akan membela: ah, enggak apa-apa, nanti saya ganti. Biar pembantu yang membenahi! Nah begitu setiap kali waskito berbuat kekeliruan. Maksud saya, saya hanya ingin mendidik anak bersikap rapi dan teratur, Jeng. (Mendengarkan Nenek Waskito) Saya akui bahwa bapaknya Melanggar maksim Waskito menjadi laki-laki yang penghargaan seperti sekarang karena didikan serta pengaruh suami saya. Dia cerdas, pandai, tetapi kaku dan sukar bergaul. Oleh karena itu, setelah kawin lalu mempunyai anak, menjadi bapak yang kakau pula. Didampingi istri yang tidak tahu-menahu soal
43
pendidikan! Naluri punwanita itu tidak punya! Kalau anak rewel, dia mau menggendong, mau memberi makanan atau barang permainan. Tetapi permainan itu diberikan saja begitu! Tidak ditunjukan bagaimanacaranya supaya benda itu menarik bagi si anak. Jadi, bayi hanya memegangi benda permainan tanpa dapat mempergunakannya. Jika memang anak sudah memiliki dasar aktif, lain halnya. Tetapi yang umum, anak-anak memerlukan diajak bicara, dibujuk dengan kata-kata ataupun ciuman, belaian. Saya menjadi cerewet mengulangulanginya memberitahukan hal ini kepada mereka, Jeng. Baik secara diskusi serius maupun bergurau. Dengan Bapak sendiri, berpuluh-puluh tahun hidup bersama, saya tidak berhasil mempengaruhi dia. Ketika anak kami masih muda, bapaknya terlalu mengarahkan dia ke berbagai lapangan. Semua serba bersungguhsungguh. Di antaranya, katanya harus bisa memaikan satu alat musik! Bu Suci
(Memperhatikan tuturan Nenek Waskito)
44
22.
B.3, hlm. 40-41
Nenek Waskito
Katanya lagi, yang paling Melanggar maksim anggun dan kelihatan serius kesederhanaan adalah biola. Maka bapaknya Waskito pun dileskan supaya dapat menggesek biola. Dengan sendirinya dijubeli dengan serba pengetahuan musik klasik. Tidak itu saja! Pergaulannya juga diteliti. Suami saya berpendapat bahwa anaknya “hanya” boleh bergaul dengan anak-anak yang berorang tua saderajat dengan kami. Artinya sependidikan. Kalau bisa malahan suami saya mengenal orang tua itu! Waktu kawin pun, seumpama bapaknya bilang tidak menyetujui pilihan anak kami, pastilah tidak jadi!
Nenek Waskito
Padahal kalau keputusankeputusan lain, saya dapat mempengaruhi Bapak, Jeng!
Bu Suci
(Bu Suci terdiam)
Nenek Waskito
Anak kami hanya satu, Jeng. Ya bapak Waskito itu!” demikianlah si nenek menjawab pertanyaanku. Dialah satusatunya yang hidup setelah saya mengalami lima kali keguguran. Kata orang saya lemah. Maklumlah kita wanita, selalu menjadi tumpuan kesalahan. Kalau suami-isteri tidak punya anak, katanya si isteri gabuk, steril. Kalau terus-menerus keguguran, katanya kandungannya yang lemah. Sekarang sudah banyak bacaan medical, saya baru tahu bahwa hal itu bisa saja disebabkan karena bibit laki-laki yang steril atau yang lemah. Zaman saya dulu, belum ada pendalaman pemeriksaan yang macammacam di sini. Jadi, ya semua salah saya. Tetapi akhirnya,
Mematuhi maksim kesederhanaan
45
Bu Suci Nenek Waskito
Nenek Waskito
23.
B.3, hlm. 41-43
Nenek Waskito Bu Suci
Nenek Waskito
setelah banyak tinggal di tempat tidur, anak saya bisa selamat seorang. Dapat dimengerti mengapa suami saya ingin menjadikan anak itu manusia yang diidamkannya. Apalagi anak lelaki. Tetapi Ibu „kan juga memberikan didikan! Oh, tidak banyak, Jeng! Sewaktu bayi, kemudian kanakkanak, saya memang turut membesarkannya. Tetapi sebegitu dia dapat berpikir sendiri, bapaknyalah yang menjadi model. Suami saya menjadi pusat dunia, dicontoh segala-galanya. Kalau anak saya duduk sambil menggoyangkan kursi, saya tegur karena gerakannya membahayakan selain mungkin merusak kursi pula. Jawabnya: Bapak juga begitu. Kalau saya jelaskan karena bapaknya memakai gigi depan palsu sehingga tidak mudah menahan untuk tidak membunyikan suara hirupannya, dia tidak percaya. Hingga dia besar, menjadi insinyur, tepat segala-galanya adalah potret bapaknya. Suami yang mencari makan, Mematuhi maksim Jeng. Biar dia yang memutuskan kesederhanaan dan mengambil prakarsa dalam hidup ini. Seminggu sekali, dia kami beri „upah‟ untuk kepatuhannya Padahal kelakuan sopan dan menolong mengerjakan tugastugas kecil itu sebenarnya kewajiban biasa, Bu. Apakah dengan memberi upah uang itu tidak membuat anak menjadi mata-duitan? Semula juga kami berpikir begitu, Jeng! Tetapi teman kami, ahli ilmu jiwa anak
46
mempunyai debatan yang meyakinkan kami. Katanya, anak seperti Waskito berada dalam umur-umuran yang masih bisa dirobah. Dan cara terbaik untuk merobahnyaadalahdengan jalan ini. Dia biasa memegang ribuan rupiah tanpa berbuat sesuatu pun yang berguna bagi orang lain. Cukup merengek, mengatakan kebohongan, tibatiba lima ribu diulurkan ke tangannya. Dia harus disadarkan, bahwa hidup tidak selamanya demikian mudah, apalagi berlangsung seperti kehendaknya! Jadi, uang merupakan keperluan utama. Kemudian, setelah sebulan dua bulan tinggal bersama kami ternyata kami melihat bahwa dia juga memerlukan perhatian dan dialog. Bu Suci
(Mendengarkan Nenek Waskito)
Nenek Waskito Bu Suci
Itu semua disebabkan karena omongan pembantu, Jeng. (Mendengarkan Nenek Waskito)
Nenek Waskito
Waskito mengatakan ingin mempunyai burung parkit. Dia sering bercerita bahwa teman sekelasnya memilikinya. Kadang-kadang cucu kami bermain ke sana, dan kami tahu siapa anak itu. Untuk membeli dengan uangnya sendiri, tabungannya belum mencapai. Burung itu cukup mahal, sebaiknya dibeli berpasangan. Lalu kakeknya berunding dengan saya. Sejak Waskito tinggal bersama kam, suami saya banyak berobah. Kebanyakan kali,keputusan tentang anak itu dipasrahkan kepada saya. Tiba-tiba saya merasa lebih berguna dalam
47
hidup ini, Jeng! Barangkali karena suami saya terpengaruh dengan umur, atau oleh rekanrekannya yang banyak mengetahui dalam persoalan anak-anak. Begitulah, kami berdua setuju akan membelikan burung parkit, asal Waskito berjanji mengurus sendiri peliharaannya. Dia harus memberi makanan dan minuman sebelum berangkat ke sekolah, sore membersihkan kurungan dan sebagainya. Waskito sanggup. Nah, begitu, Jeng. Pada suatuhari,dia sedang mencuci sangkar si parkit, datang seorang pembantu dari rumah orang tuanya. Sudah biasa demikian, sering ada yang membawakan pakaian, makanan atau buah. Saya tidak dapat mencegah ibunya mengirim sesuatu, bukan? Ketika kembali di rumah sana, si ibu tanya kepada pembantu Waskito sedang apa, jawabannya ya jujur: sedang mencuci kurungan burung. Katanya, langsung saja menantu saya menjadi gusar! Dia mengadu kepada suaminya bahwa Waskito di rumah kakek dan neneknya diperlakukan seperti pembantu. Anak itu harus diambil kembali! Bu Suci
(Bu Suci merasa kasihan terhadap Waskito, mendengar cerita Nenek Waskito)
Nenek Waskito
Bukan maksud kami menyiksa cucu, Jeng! Betul-betul kami sangat mencintainya!
Bu Suci
(Mendengarkan cerita Nenek Waskito)
Nenek Waskito
Dua hari sebelum kejadian itu, Waskito pulang dari sekolah
Mematuhi maksim kesimpatisan
48
mengatakan, bahwa penjaga halaman di sana sedang membuat cangkokan kembang soka. Yang saya punyai di kebun ini berwarna merah dan satu lagi putih. Sedangkan di sekolah, berwarna kuning. Kata Waskito, Jeng, penjaga sekolah dia beri uang supaya membikin cangkokan buat saya.
24.
Bu Suci
(Bu Suci mendengarkan Nenek Waskito)
Nenek Waskito
Dia anak baik, Jeng.Walaupun pemberian itu belum saya terima, saya sudah sangat bahagia rasanya! Ketika dia mengatakan maksud pemberian tersebut, langsung saya peluk dan saya ciumi. Baru kali itulah saya merasa rangkulan lengannya yang tidak ragu-ragu dan erat. Dulu, kalau saya cium, tidak pernah mau ganti menunjukan kesayangannya. Tangannya terlukai saja di samping tubuh.
Mematuhi maksim penghargaan
Tidak, Bu! Saya disini saja!
Melanggar maksim permufakatan
B.4, Waskito hlm. 54 Bu Suci
Mengapa? (sambil mengatur anak-anak lain)
Bu Suci
Narsih ke bangku sana,dibelakang! Di samping Rusidah!
Bu Suci
Kalau kamu tidak mau pindah, coba katakan apa sebabnya! Pasti ada alasanmu, bukan? (mengarah pandangan pada Waskito)
Waskito
(Tetap tinggal di tempat semula)
Bu Suci
Baiklah! Saya kira, saya tahu mengapa kamu tidak mau pindah!
49
25.
B.4, Bu Suci hlm. 55
Waskito
Bu Suci 26.
B.4, Murid hlm. 56 perempuan
B.5, hlm. 65-66
Terimakasih! Nanti akan saya periksa.
Mematuhi maksim penghargaan
Ah, Waskito! Mengapa sih kamu!
Bu Suci
Kalau terdengar lagi kapur yang Mematuhi maksim dilempar, Waskito, akan saya permufakatan geledah dirimu! Saya akan ambil sejumlah uang dari sakumu sebagai pembayar kapur yang kau hambur-hamburkan. Sekolah bisa rugi karena kehabisan kapur buat main-main begitu!
Waskito
Bukan saya! Mengapa selalu saya yang salah! Itu tidak benar!
Bu Suci
27.
Raharjo! Buku bacaan akan dipergunakan kelas lain setelah istirahat ini. Kamu cepat mengembalikannya ke lemari kantor, ya! Waskito Tolong bawakan buku-buku tugas! Saya tidak dapat membawa semuanya sendiri. (Beberapa saat kemudian, Waskito datang ke kantor membawa buku tugas)
Bu Suci
Yang bersalah tidak selalu kamu. Ingat kemarin? Ada pot pecah, itu bukan salahmu. Dan seisi kelas mengetahuinya! Kali ini, seisi kelas juga tahu bahwa hanya kamu yang kaya, sehingga dapat membayar kapur hanya buat dibuang-buang!
Bu Suci
Kalian ke tukang pateri untuk melekatkan lobang buat pipa ini? Tidak, Bu!
Wahyudi Wahyudi
Waskito mempunyai alat sendiri.
Mematuhi maksim kesederhanaan Melanggar maksim permufakatan
Melanggar maksim permufakatan
50
28.
Bu Suci
Bahan-bahannya dari dia?
Murid lain
Waskito memberi potongan seng yang ditempel.
Wahyudi
Kalengnya, saya yang minta dari kelurahan, Bu. Kalengnya, saya yang minta dari kelurahan, Bu.
Wahyudi
Saya lihat bertumpuk di belakang tempat kami bermain ping-pong. Dulu bekas latihan pemadam kebakaran di kampung.
Bu Suci
Diminta atau dipinjam?
Bu Suci
Kalau pinjam harus dikembalikan. Kelak kalau latihan lagi mereka kekurangan.
Wahyudi
Di sana masih banyak sekali,Bu!
B.5, Murid lain hlm. 66 Murid lain
29.
B.5, hlm. 67-68
Nampaknya dia biasa sekali mengerjakan kerajinan tangan begitu, Bu! Semua terbuat dari kayu tipis, Bu! Dicat, bagus! Wah saya iri melihat perlengkapannya buat mengerjakan kayu sedemikian tipis dan rapuh. Semua kecil!
Mematuhi maksim penghargaan Mematuhi maksim penghargaan
Bu Suci
Jangan iri!
Bu Suci
Sudah kuterangkan, Waskito sangat menderita batinnya karena kekurangan perhatian. Untuk mengimbanginya, Tuhan memberi hiburan benda-benda tersebut.
Seorang Murid
Bu Suci! Waskito kambuh, Bu! Dia mengamok! Dia mau membakar kelas! Mengapa begitu? Apa yang menyebabkan dia marah? Kalian bertengkar? Tidak, Bu! Melanggar maksim
Bu Suci
Seorang
51
permufakatan
Murid Seorang Murid
30.
31.
B.5, Kepala hlm. 68 Sekolah
B.5, hlm. 69-70
Dia tidak mau keluar istirahat. Wahyudi dan beberapa kawan mau menemaaninya, juga tidak kluar. Tadinya saya ikut-ikut, tapi saya hanya sebentar terus keluar. Tidak tahu lagi apa yang terjadi! Saya kembali dari kamar kecil, dari jauh terdengar Waskito berteriak-teriak seperti dulu! Betul sama, Bu! Katanya: aku benci! Aku benci kalian semua! Saya masuk kelas, Waskito menodongkan gunting! Entah dari mana! Begitu tibatiba, saya berbalik, lari ke kantor! Berikan gunting itu, Waskito!
Bu Suci
Ah, kamu ini ada-ada saja! Dari mana kau dapatkan gunting ini!
Mematuhi maksim kedermawanan
Bu Suci
Berilah saya waktu sebulan lagi.
Seorang Guru
Sebulan! (suaranya jengkel)
Seorang Guru
Sementara itu, sebelum waktu satu bulan habis, barangkali besok atau tiga hari lagi dia membakar kelas Anda! Membakar sekolah kita!
Melanggar maksim penghargaan
Bu Suci
Pastilah telah terjadi sesuatu di rumah, di antara keluarganya atau di kelas sehingga dia menjadi geram. Kemarahannya dilampiaskannya kepada siapa kalau tidak kepada kita, lingkungannya terdekat? Karena dia tidak memiliki orang tua yang dapat disebutnya sebagai lingkungan terdekatnya!
Mematuhi maksim kesimpatisan
Seorang Guru
Kalau setiap kali dia marah, kita yang menanggung akibatnya,kita menjadi korbannya, itu tidak adil! Tidak
Melanggar maksim permufakatan
52
termasuk dalam program maupun kurikulum! Tugas kita mengajar! Bu Suci
Berbicara mengenai tugas, saya kira tugas kita juga termasuk menolong murid-murid sukar. Selama hampir tiga bulan, ya hampir tiga bulan sekarang saya bertanggung-jawab akan kelas dan murid ini, saya merasa mulai mengenal dan mengerti dia. Barangkali dia juga demikian terhadap saya. Tetapi kami berdua masih memerlukan waktu lagi.
Bu Suci
Satu bulan, Pak! Saya mohon diberi satu bulan lagi!
Bu Suci
Kalau dalam batas waktu itu tidak ada perobahan yang membaik, kalau malahan terjadi kekambuhan dengan sikap yang membahayakan, terserahlah! Kalau boleh sekali lagi saya mengingatkan, bukan tugas kita mengucilkan anak yang malang seperti Waskito. Dia betul-betul sangat menderita. Hanya pelampiasannya yang meledak begitu, lalu semua orang takut kepadanya.
Melanggar maksim permufakatan
Mematuhi maksim kesimpatisan
53
32.
B.5, hlm. 70-71
Bu Suci
Waskito
Karsih! Mulai hari ini saya minta kamu ganti tempat duduk di belakang. Waskito maju, menempati bangku Karsih! Jadi kamu duduk paling depan, di muka Bu Suci! Guru-guru memutuskan bahwa mulai hari ini saya bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya akan segala yang kamu kerjakan, Waskito! Kalau kamu berbuat sesuatu yang keji, yang membahayakan kamu sendiri atau kawan-kawan serta gurumu, Bu Suci dikeluarkan! Kamu juga! (Waskito tidak bergerak dari tempatnya)
Bu Suci
Ketika saya datang di hari pertama sudah saya jelaskan bagaimana kedudukan saya di sini. Saya dalam masa percobaan karena menunggu surat keputusan pindah dari Departemen. Belum sebagai guru tetap. Sekarang, sekali lagi di sini saya mengulangi: kedudukan saya tidak kuat di sekolah ini. Tetapi meskipun begitu, Bu Suci orang yang nekad! Saya berani berjanji kepada guru-guru lain bahwa selama sebulan akan dicoba lagi kemampuan saya, apakah dapat memiliki murid-murid yang berdisiplin, berbudi dan berprestasi. Kalau ada seorang anak yang mengacau keadaan, biar! Bu Suci dikeluarkan tidak apa-apa. Tentu saja keluarga saya akan rugi karena kalau saya tidak bekerja, tidak ada pemasukan gaji. Kami harus hidup lebih menghemat.
Bu Suci
(Bu Suci menoleh ke arah Waskito, lalu meneruskan
Melanggar maksim kedermawanan Mematuhi maksim kesederhanaan
54
tuturannya) Bu Suci
33.
B.5, Bu Suci hlm. 72
Waskito
34.
B.6, Bu Suci hlm. 76
Waskito
Tetapi belum tentu Waskito akan membuat tontonan yang mengagetkan lagi seperti tadi! Siapa tahu dia mempunyai sedikit pengertian bahwa Bu Suci juga turut menanggung biaya hidup tiga anaknya dan dua saudaranya di sekolah kejuruan di kota lain.
Mematuhi maksim penghargaan
Buku-buku tugas harus dibungkus dengan sampul yang sama. Waskito! Tolong ambilkan gulungan kertas yang ada di meja Bu Suci di kantor! (berdiri dan pergi ke kantor guru)
Betul, bukan? Seorang ibu yang memanjakan anaknya secara berlebihan itu dapat dimengerti. Bu Suci memastikan, bahwa ibumu berusaha menyenangkan hatimu. (Diam sambil menundukan kepala menggarisi buku tulis besar)
Bu Suci
Hanya, kadang-kadang keinginan memanjakan itu salah karena terlalu berlebihan.
Waskito
(Tidak menjawab)
Bu Suci
Ya, bukan?
Waskito
Ya, Bu.
Bu Suci
Ya yang bagaimana? Ibu memberi kamu uang atau membawakan makanan lezatlezat!
Waskito
Bawa makanan. Tapi itu saya taruh di meja makan, buat
Mematuhi maksim permufakatan
55
semua.
35.
B.6, hlm. 76-77
Bu Suci
Uangnya kamu tabung?
Waskito
Saya tidak punya tabungan. Kalau Ibu memberi uang, saya teruskan kepada Bu De. Sewaktu-waktu saya memerlukan, saya minta. Setiap hari saya minta uang kendaraan dan jajan sedikit.
Bu Suci
Mengapa tidak diperbolehkan?”
Waskito
Tidak tahu!
Bu Suci
Mereka tidak menerangkan alasan larangan itu?
Waskito
Tidak!
Bu Suci
Barangkali karena orangtuamu khawatir kamu terjatuh ke dalam sungai, atau hanyut, atau mendapat kecelakaan?
Waskito
Entah, Bu! Mereka kalau sudah berkata tidak boleh, ya tidak boleh! Dulu saya selalu bertanya, mengapa saya tidak seperti kawan-kawan lain? Orangtua mereka membiarkan mereka bersepedahan ke manamana. Di waktu liburan, mereka diizinkan naik gunung, jalan kaki jauh. Kalau saya mau ikut, dijawab: Nanti saja bersamasama sekeluarga, naik mobil ke Bandungan, ke Kopeng!
Bu Suci
Jadi kamu tidak pernah berpergian bersama-sama teman-teman sebayamu?
Waskito
Tidak, Bu! Kecuali kalau mencuri-curi waktu sebentar seperti membolos.
Bu Suci
Kalau membolos, dengan siapa kamu pergi?
Mematuhi maksim permufakatan
Mematuhi maksim permufakatan
56
Waskito
36.
37.
38.
B.6, Bu Suci hlm. 77
Dengan anak-anak kampung. Siapa saja yang mau diajak buat teman. Kamu bisa berenang? Seumpama jatuh ke sungai?
Waskito
Dulu saya ingin belajar Melanggar maksim berenang, tapi tidak boleh oleh kesederhanaan Ibu. Katanya kolam renang umum selalu kotor. Orang-orang pada kencing dan sebagainya di sana. Harus tunggu sampai kami bikin kolam sendiri.
Bu Suci
Akan membuat kolam renang?
Waskito
Ya, katanya begitu. Di belakang rumah masih ada tempat luas.
B.6, Bu Suci hlm. 78
Mematuhi maksim permufakatan
Mengapa kamu suka memancing?
Waskito
Karena makan ikan hasil jerih payah sendiri, Bu. Rasanya lebih enak. Kata Kakek dan Nenek, memancing juga baik buat melatih kesabaran.
Bu Suci
Mereka tahu kamu suka memancing?
Waskito
Ya, Bu. Mereka yang membawa saya memancing pertama kalinya dulu.
Mematuhi maksim permufakatan
Bu Suci
Kalau kamu naik kelas, kelak kubawa ke kota kecil kami. Di sana masih ada sungai yang berair jernih. Ikannya banyak sekali! Kita bersama-sama memancing. Keluargaku juga suka makan ikan hasil jerih payah sendiri!
Mematuhi maksim kesederhanaan
B.6, Wahyudi hlm. 80 Bu Suci Wahyudi
Mematuhi maksim kesederhanaan
Mematuhi maksim permufakatan
Waskito, Bu! Mengamuk lagi dia? (Tertawa terkikih) Tidak, Bu.
Melanggar maksim permufakatan
57
Tanaman kami dirusak!
39.
Bu Suci
Tanaman mana? Pot-pot di sudut kelas? Di samping pintu?
Wahyudi
Bukan! Tanaman percobaan yang tadi pagi kita letakan di jendela supaya kena panas.
Bu Suci
Dicabuti? semua?
Wahyudi
Hanya kepunyaan beberapa orang, dibanting kalengnya!
B.6, Bu Suci hlm. 81 Seorang
Melanggar maksim permufakatan
Melanggar maksim permufakatan
Di mana Waskito? Keluar, Bu?
murid Murid lain
Saya cari, Bu?
Bu Suci
Tidak! Jangan! Biarkan dulu! Dia harus datang atas kemauannya sendiri. Kita tunggu sebentar.
Wahyudi
(Hendak membersihkan tebaran tanah serta kaleng)
dan
Melanggar maksim permufakatan
seorang anak perempuan
40.
B6, hlm. 82-83
Bu Suci
Jangan! Sementara ini biar kotor, tidak apa-apa sebentar saja.
Bu Suci
Nanti dibersihkan bersamasama.
Bu Suci
Sedang mengapa kamu di sini?
Waskito
(Tidak menjawab)
Melanggar maksim permufakatan
58
Bu Suci
Sejak tadi seisi kelas mencarimu. Kami semua khawatir! Jangan-jangan kamu mengamuk di tempat lain! Malahan ada yang mengatakan barangkali kamu tidak akan mau masuk sekolah lagi, setiap hari ke Banjirkanal, memancing!
Waskito
(Tidak menjawab dan dibawa Bu Suci ke kantor)
Bu Suci
Apakah kau menyadari telah melakukan pembunuhan?
Waskito
(Membelalakan mata, wajahnya cemberut, bibirnya bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar)
Bu Suci
Ya, betul! Pembunuhan!
Bu Suci
Kamu membanting dan menginjak-nginjak tanaman yang tidak berdosa! Bayi-bayi tanaman itulah yang kamu bunuh. Bu Suci tidak mengira kamu bisa berbuat sekejam itu. Kamu yang demikian sayang kepada kucing, kepada parkit dan anak-anak kecil! Sudah berapa kali Bu Suci mengulangi, alam ini serba penuh keajaiban. Biji yang kecil mungil, hanya satu, kamu masukan ke dalam tanah. Itu dapat tumbuh bertunas, bercabang, yang kadang-kadang lebih dari satu. Keluar daunnya yang bentuknya pun bermacam-macam. Kalau sudah cukup dewasa, memberi buah atau akar yang dimakan makhluk sedunia. Manusia demikian pula. Seoerti adikadikmu, seperti anak-anak Bu
Mematuhi maksim kesimpatisan
Melanggar maksim penghargaan
59
De, seperti anakku yang kedua, kamu semua yang masih anakanak. Kalian juga akan menjadi besar. Kamu membantu mengawasi anak-anak Bu De, menemani anakku. Mereka akan menjadi sebesar kamu, dan kamu akan menjadi dewasa. Tetapi dewasa tidak hanya berarti berbadan besar, tinggi. Pikiran dan perasaan harus tumbuh dengan baik pula. Coba kalau kamu dewasa, apakah kau kira akan menjadi manusia yang baik?Apakah kamu akandapat hidup bersama-sama orang lain kalau tetap tidak mampu mengendalikan kemarahanmu? 41.
B.6, hlm. 83-85
Bu Suci
Ceritakan apa yang terjadi!
Waskito
(Tetap bungkam)
Bu Suci
Aku ingin mendengar sebabnya mengapa kamu berbuat semacam itu. Anak-anak lain sudah bercerita, tetapi mereka bukan kamu. Pikiran mereka lain dari pikiranmu.
Waskito
Mereka mengejek saya.
Bu Suci
Kalau memang betul tanamanmu kurang subur, jangan malu mengakui kenyataan.
Bu Suci
Bagaimana yang sesungguhnya? Subur atau tidak?
Waskito
(Tidak menjawab)
Bu Suci
Kutunggu jawabanmu, bagaimana menurut pendapatmu apakah tanamanmu subur atau tidak?
Mematuhi maksim kesederhanaan
60
Waskito
(Tetap tidak menjawab, badannya tidak tenang)
Bu Suci
Tidak ada orang yang baik atau Mematuhi maksim pandai atau cekatan dalam penghargaan segala-galanya. Kamu terampil dalam hal pertukangan, otakmu cerdas meskipun pelajaranmu biasa-biasa saja. Bukankah itu sudah sangat mencukupi? Kalau memang kamu hendak membalas dendam terhadap teman-temanmu, tidak dengan cara membanting dan menginjak-nginjak tanaman mereka. Bikinlah presentasi dalam hal lain yang kamu kira lebih mampu. Tekunilah pelajaranmu misalnya! Bejanamu dipasang di ruang keterampilan, dipergunakan sebagai contoh untuk kelaskelas lain! Itulah prestasimu! Tunjukan lain-lainnya! Kalau memang kamu lemah dalam tumbuh-menumbuhkan biji, itu bukan merupakan masalah. Cari sebab-sebabnya. Barangkali kurang air, atau kurang matahari. Anak seperti ksmu tidak seharusnya cepat berputus asa. Memalukan sekali!
B. Analisis Deskriptif Prinsip Kesantunan Berbahasa Menurut Leech Pada Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini Agar dapat mengetahui lebih jelas mengenai bentuk prinsip kesantunan berbahasa pada novel “Pertemuan Dua Hati” karya Nh. Dini beserta alasannya, peneliti menganalisis dengan analisis deskriptif, berikut adalah hasilnya. 1.
Tuturan (B.2, hlm. 23) : “Disana lebih banyak pohon buah ya, Bu,” kata sulungku. “Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan,” sahutku.
61
“Di rumah kita malahan ada tiga macam: golek, lalijiwo, lalu apa Bu satunya lagi?” “Gadung.” Jawabku, dan kuteruskan, “Di tempat kakek lebih banyak lagi. Hampir semua jenis mangga, ada.” “Karena tempat Kakek lebih luas dari rumah kita di sana!” “Di sana itu bukan rumah kita, Sayang. Sekarang, di Semarang inilah rumah kita!” Konteks: (1) Peristiwa tutur: Tokoh anak sulung dan Bu Suci membandingkan tempat tinggalnya yang dulu (Purwodadi) dengan tempat tinggal yang sekarang (Semarang); (2) tempat: becak; (3) waktu: pagi hari, saat perjalan menuju sekolah; (4) tujuan: untuk mengenang Purwodadi; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.
Analisis: “Disana lebih banyak pohon buah ya, Bu,” kata sulungku. “Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan,” sahutku. Tuturan di atas mematuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim). Tokoh anak sulung bu Suci memuji rumah di Purwodadi memiliki banyak pohon buah, namun tokoh bu Suci menjawab karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan. Bukan hanya rumah yang ditempatinya saja memiliki banyak buah. Selain itu juga, tuturan tersebut mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim), saat tokoh anak sulung mengatakan “Disana lebih banyak pohon buah ya, Bu,”. Tokoh Bu Suci menyetujuinya walaupun tidak berkata “iya” sebagai tanda setuju tapi tokoh Bu Suci mengatakan sebab dari di sana banyak pohon buah. “Di tempat kakek lebih banyak lagi. Hampir semua jenis mangga, ada.” Tuturan tersebut mematuhi maksim kesederhanaan, karena tokoh bu Suci mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan membandingkan di rumah kakek lebih banyak memiliki pohon buah ketimbang rumahnya. Selain itu, “Karena tempat Kakek lebih luas dari rumah kita di sana!” mematuhi maksim kemufakatan. Walaupun tokoh anak sulung Bu Suci tidak mengatakan “ya” atau “setuju” tetapi melalui tuturan tersebut sudah digambarkan kesetujuan anak
62
sulung Bu Suci atas pernyataan Bu Suci dengan mengutarakan alasan mengapa di rumah kakek lebih banyak pohon buah. Selain itu, terdapat juga tuturan yang melanggar Agreement Maxim atau maksim permufakatan, yang ditunjukan dalam kutipan, berikut. Anak sulung Bu Suci : “Karena tempat Kakek lebih luas dari rumah kita di sana!” Bu Suci : “Di sana itu bukan rumah kita, Sayang. Sekarang, di Semarang inilah rumah kita!.” Tuturan tersebut melanggar maksim permufakatan karena bu Suci tidak menyetujui pernyataan anak sulungnya bahwa rumah di Purwodadi adalah rumah mereka. Tokoh anak sulung bu Suci sering membandingkan dan beranggapan di Purwodadi lebih baik dan lebih bagus. Bu Suci tidak ingin anaknya terus tenggelam pada kenangan masa lalunya di Purwodadi. Sesuai dengan kutipan berikut. Dia terlalu sering mengingat kembali suasana di Purwodadi. Menurut pendapatnya, semua yang ada di sana lebih baik dan lebih bagus. Aku tidak mau memberiarkan dia tenggelam dalam kenangan yang terlalu berlarur-larut.(hlm. 23) 2.
Tuturan (B.2, hlm.23) : “Di Purwodadi, Bapak tidak pernah pulang terlambat,” tanpa kuduga anak sulungku menambahkan. Aku agak terkejut. Kalimat itu merupakan keluhan yang belum pernah kudengar selama ini. Barangkali telah lama dia menahannya! “Purwodadi kota kecil. Kantor Bapak dipergunakan hanya sebagai tempat singgah. Di sini lain halnya. Semua kendaraan berangkat dari sini, atau menuju kemari.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Tokoh Anak sulung mengeluh kepada Bu Suci; (2) tempat: becak; (3) waktu: pagi hari; (4) tujuan: mengungkapkan perasaannya tentang ayahnya yang semenjak pindah rumah sering pulang terlambat; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.
63
Analisis: “Di Purwodadi, Bapak tidak pernah pulang terlambat,” tanpa kuduga anak
sulungku
menambahkan.
“Purwodadi
kota
kecil.
Kantor
Bapak
dipergunakan hanya sebagai tempat singgah. Di sini lain halnya. Semua kendaraan berangkat dari sini, atau menuju kemari.” Tuturan tersebut mematuhi maksim kesimpatisan (sympathy maxim). Hal itu karena tokoh Bu Suci simpati terhadap keluhan anaknya dan memberi penjelasan agar tokoh anak sulung memahami sebab dari bapaknya selalu pulang terlambat. 3.
Tuturan (B.2, hlm.24) : “Lihat! Di Purwodadi tidak ada sekolah sebagus ini!” “Apanya yang bagus?” suara anakku kedengaran lugu. “Perhatikan baik-baik! Atapnya lain dari atap yang di sana itu. Gedungnya demikian pula. Bentuk tiang dan pintunya! Tidakkah kamu menyukainya? Di zaman sekarang tidak banyak gedung seperti ini.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci mengatakan bahwa sekolah baru tempat anaknya sekolah, bagus; (2) tempat: becak; (3) waktu: pagi hari; (4) tujuan: agar anak sulung menyukai sekolah baru; (5) mitra tutur: anak sulung (6) situasi: non formal.
Analisis: Tuturan tersebut melanggar maksim permufakatan (agreement maxim). “Lihat! Di Purwodadi tidak ada sekolah sebagus ini!”. “Apanya yang bagus?” suara anakku kedengaran lugu. Tokoh anak sulung bu Suci tidak menanggapi dengan jawaban setuju. Tokoh anak bu Suci tidak melihat apa yang dikatakan ibunya, menurutnya sama saja. Ditandai dengan kata “Apanya yang bagus?”. 4.
Tuturan (B.2, hlm. 24): “Ini Bu Suci,” katanya kepada murid. “Selama beberapa hari, dua kelas digabung. Berusahalah tenang, jangan nakal. Tunjukan kepada Bu Suci bahwa kalian anak-anak kota besar juga sepatuh anak-anak kota kecil Purwodadi di mana Bu Suci sudah mengajar sepuluh tahun lamanya.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Kepala sekolah mengenalkan Bu Suci kepada murid; (2) tempat: dalam kelas; (3) waktu: jam pelajaran pertama; (4) tujuan:
64
agar seisi kelas mengenal Bu Suci; (5) mitra tutur: Bu Suci, murid; (6) situasi: formal. Analisis: Tunjukan kepada Bu Suci bahwa kalian anak-anak kota besar juga sepatuh anak-anak kota kecil Purwodadi di mana Bu Suci sudah mengajar sepuluh tahun lamanya.Tuturan yang sampaikan oleh tokoh kepala sekolah mematuhi approbation maxim atau maksim penghargaan, karena kepala sekolah memuji anak-anak kota kecil yang patuh dihadapan Bu Suci dan memaparkan pengalaman mengajar bu Suci yan sudah sepuluh tahun. 5.
Tuturan (B.2, hlm.25-26): “Siapa tahu di mana rumah Waskito?” tanyaku. Suaraku biasa. Pertanyaan itu sebenarnya kutunjukan kepada ketua kelas. Tetapi aku melayangkan pandang ke seluruh ruang, memberi kesempatan kepada murid-murid lain. Tidak ada yang menyahut. Tangan-tangan juga tidak diacungkan. Kuperhatikan dua kelompok berbisik-bisik. “Ya? Siapa yang tahu? Rumahnya jauh atau dekat?” Tetap tidak ada jawaban. “Kalau ada yang tahu, cobalah menengok ke sana. Jangan-jangan dia sakit.” Aku kembali menundukan kepala, pura-pura sibuk dengan buku catatan. Tetapi aku masih mendengar beberapa murid saling berbisik. Tiba-tiba kusebut nama ketua kelas.
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Tokoh Bu Suci sebagai penanggung jawab kelas menanyakan kabar Waskito dan rumahnya kepada teman-teman sekelasnya, namun tidak ada yang menjawab; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: mengetahui kabar dan alamat rumah Waskito; (5) mitra tutur: murid; (6) situasi: non formal.
Analisis: Suaraku biasa. Pertanyaan itu sebenarnya kutunjukan kepada ketua kelas. Tetapi aku melayangkan pandang ke seluruh ruang, memberi kesempatan kepada murid-murid lain. Tidak ada yang menyahut. Tangan-tangan juga tidak diacungkan. Kuperhatikan dua kelompok berbisik-bisik. Kutipan tersebut menunjukan bahwa siswa melanggar maksim kedermawanan (generosity maxim), karena tidak ada yang mau menjawab pertanyaan Bu Suci. Siswa tidak menghormati Bu Suci dengan mengacuhkan pertanyaan bu Suci.
65
Selain itu, terdapat tuturan yang mematuhi maksim kesimpatisan (sympathy maxim). Hal itu ditunjukan pada tuturan bu Suci, “kalau ada yang tahu, cobalah menengok ke sana. Jangan-jangan dia sakit”. Bu Suci meminta teman-teman Waskito untuk menongok, khawatir terjadi sesuatu kepada Waskito. 6.
Tuturan (B.2, hlm. 26) : “Raharjo! Pergilah ke rumah Waskito sepulang dari sekolah nanti! Atau sore, sambil jalan-jalan! Tanyakan mengapa dia lama tidak masuk! Perintah itu kuberi tekanan lembut. Kuucapkan perlahan namun tegas. Karena tidak menerima sahutan, aku mengangkat muka, melihat ke tempat Raharjo. “Ya Raharjo?” Anak laki-laki itu menghindari pandanganku. Tubuhnya beringsut ke kanan ke kiri. Teman di sampingnya mengatakan sesuatu, mulutnya hampir tidak bergerak. Aku tidak dapat menerka satu kata pun. “Mengapa tidak menjawab, Raharjo? Kamu tidak tahu rumah Waskito?” “Tahu, Bu.” “Lalu? Terlalu jauh buat kamu?” “Oh, tidak, Bu! Saya selalu melaluinya kalau berangkat atau pulang!” Jawaban itu langsung, jujur dan kedengaran keluar tanpa dipikir. Namun justru menambah rasa keherananku. Mengapa sejak tadi dia diam, purapura tidak mengenal tempat tinggal kawannya!
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan rumah Waskito kepada Raharjo dan menyuruhnya ke sana; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: untuk mengetahui letak rumah Waskito dan agar Raharjo pergi ke rumah Waskito; (5) mitra tutur: Raharjo; (6) situasi: formal. Analisis: “Raharjo! Pergilah ke rumah Waskito sepulang dari sekolah nanti! Atau sore, sambil jalan-jalan! Tanyakan mengapa dia lama tidak masuk!.” Kalimat yang dituturkan oleh Bu Suci tersebut merupakan kalimat perintah. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat Tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperative).1 Jadi, berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan tuturan bu Suci kurang santun. Namun menurut prinsip kesantunan Leech, tuturan bu Suci mematuhi maksim kesimpatisan (sympathy 1
Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010). h. 57.
66
maxim), dapat dilihat pada kutipan tuturan“Tanyakan mengapa dia lama tidak masuk!”. Bu Suci merasa khawatir akan keadaan Waskito, maka menyuruh Raharjo pergi ke rumah Waskito. Raharjo tidak menghiraukan apa yang dikatakan bu Suci, hal itu menunjukan tokoh Raharjo melanggar maksim kedermawanan (generosity maxim). Sebagai guru di sekolah yang bertanya kepada siswa, seharusnya siswa menjawabnya. Hal ini terkait pada skala keotoritasan yang merupakan skala pengukur kesantunan menurut Leech, hubungan sosial antara Bu Suci dan Raharjo terbilang berjarak jauh, seorang guru baru dan siswa. Sehingga Raharjo tidak terbuka kepada bu Suci. Tuturan Raharjo melanggar maksim permufakatan, ditunjukan pada tuturan berikut. Bu Suci: “Mengapa tidak menjawab, Raharjo? Kamu tidak tahu rumah Waskito?”. Raharjo: “Tahu, Bu”. Bu Suci mengira Raharjo tidak mengetahui rumah Waskito, ternyata Raharjo mengetahuinya. Tuturan Raharjo yang melanggar maksim permufakatan juga terdapat pada kutipan tuturan berikut, Bu Suci: “Lalu? Terlalu jauh buat kamu?” Raharjo: “Oh, tidak, Bu! Saya selalu melaluinya kalau berangkat atau pulang!” Tuturan tersebut dikatakan melanggar maksim permufakatan ditandai dengan kata “tidak”. Raharjo menyatakan tidak sepakat dengan ada yang ditanyakan Bu Suci. Namun, tuturan “Tahu, Bu” dan “Oh, tidak, Bu…” merupakan tuturan yang berkaitan dengan pengetahuan penutur mengenai hal yang ditanyakan oleh peserta tutur lain. 7.
Tuturan (B.2, hlm. 26) : “Mengapa kamu tidak singgah selama ini? Apakah kamu tidak ingin mengetahui mengapa dia tidak masuk?” Sekali lagi Raharjo menggerakan badan ke kanan, ke kiri. Aku merasa kasihan, mencoba mengalihkan perhatian.
67
“Siapa lagi yang mengetahui rumah Waskito?” (Tidak ada yang mengacungkan lengan). Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci bertanya kepada Raharjo, namun Ia tidak tidak menjawab, begitu pula murid di kelas; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: mengetahui rumah Waskito; (5) mitra tutur: Raharjo dan murid di kelas; (6) situasi: formal.
Analisis: Sekali lagi Raharjo menggerakan badan ke kanan, ke kiri. Aku merasa kasihan, mencoba mengalihkan perhatian. Sikap Raharjo yang tidak menjawab pertanyaan bu Suci melanggar maksim kedermawanan (generosity maxim). Karena tidak seharusnya Raharjo sebagai murid, tidak menjawab pertanyaan Bu Suci sebagai guru. Selain pelanggaran maksim kedermawanan yang di lakukan Raharjo, semua murid di kelas juga melanggar maksim kedermawanan pada tuturan berikutnya, ketika bu Suci menanyakan kepada semua murid mengenai rumah Waskito, karena tidak ada satu pun yang mengacungkan lengan untuk menjawab saat Bu Suci mengajukan pertanyaan maka semua murid dapat dikatakan melanggar maksim kedermawanan. 8.
Tuturan (B.2, hlm. 27) : “Marno! Coba, tolonglah Bu Suci! Beritahu mengapa kamu tidak mau menengok Waskito.” “Takut, Bu.” “Mengapa?” “Raharjo! Ganti kamu yang menjelaskan! Mengapa kalian takut pergi ke rumah Waskito!” “Marno saja, Bu!” “Kamu yang menjadi ketua kelas di sini.” “Saya kira kamu seharusnya memberitau apa yang terjadi di dalam kelasmu. Bu Suci orang baru di sini, bukan? Kamulah yang memberi penjelasan apa yang saya perlukan mengenai kelas ini.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan alasan Marno dan Raharjo yang tidak mau menengok Waskito; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: mengetahui alasan Marno dan Raharjo yang tidak mau menengok Waskito; (5) mitra tutur: Marno dan Raharjo; (6) situasi: formal.
68
Analisis: Tuturan Marno yang menyatakan takut untuk menengok Waskito, memenuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim). Hal itu karena pada maksim kesederhanaan, peserta tutur diharapkan untuk mengurangi pujian pada dirinya sendiri. Raharjo: “Marno saja, Bu!”, kutipan tuturan tersebut melanggar maksim kedermawanan. Hal tersebut karena, tokoh Raharjo memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri, dengan tidak mau menjawab pertanyaan Bu Suci. Raharjo melemparkan yang menjadi keharusannya untuk menjawab kepada tokoh Marno. 9.
Tuturan (B.2, hlm. 27) : “Rumahnya besar, Bu. Selalu ada anjing yang menggonggong di halamannya,” kata anak didikku itu. “Dia orang kaya, Bu,” seorang murid lain tiba-tiba berani menyeletuk. “Hanya itu? Apa lagi lain-lainnya?” “Tentunya kalian sudah mengetahui bahwa orang kaya tidak perlu ditakuti. Kalau takut kepada anjing, lain persoalannya.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Siswa di kelas memberi alasan mengapa mereka tidak mau menengok Waskito; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: agar bu Suci mengetahui alasan siswa yang tidak ma menengok Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: formal.
Analisis: Raharjo dan seorang murid lain memberikan alasan mengapa mereka tidak mau menengok Waskito, namun bu Suci tidak sependapat dengan pernyataan
mudid-muridnya
itu.
ketidaksetujuannya dengan kata,
Bu
Suci
berusaha
menghindari
“Hanya itu? Apa lagi lain-lainnya?.
Selanjutnya, bu Suci memberikan pernyataan bahwa orang kaya itu tidak perlu ditakuti, yang bertentangan dengan pernyataan murid-muridnya, dapat dilihat pada kutipan, “Tentunya kalian sudah mengetahui bahwa orang kaya tidak perlu ditakuti. Kalau takut kepada anjing, lain persoalannya.” Maka tuturan bu Suci pada konteks tersebut melanggar maksim permufakatan (agreement maxim) dengan penjelasan yang sudah dipaparkan di atas.
69
10.
Tuturan (B.2, hlm. 27-28) : “Biar Waskito tidak masuk, Bu! Kami malahan senang!” “Ya betul, Bu! Kelas tenang kalau dia tidak ada,” suara murid laki-laki lain yang sama tegasnya menguatkan pendapat itu. “O, ya?” “Mengapa? Karena Waskito suka bergurau? Membikin keributan?” “Oh, tidak! Bukan bergurau! Kalau itu, kami juga suka!” “Dia jahat! Jahat sekali, Bu!” “Ah, masa!” “Tidak ada anak-anak yang jahat, kalian masih tergolong tingkatan umur yang dapat dididik. Memang kalian bukan kanak-kanak lagi! Tetapi kalian sudah bisa diajar berpikir teratur, ditunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, Bu Suci beritahu sejelas-jelasnya: tidak ada anak jahat. Kalaupun seandainya terjadi kenakalana yang keterlaluan, anak itu mempunyai kelainan. Tapi dia nakal. Bukan jahat!” “Waskito jahat atau nakal, saya tidak tahu, Bu! Tapi dia mempunyai kelainan. Suka memukul! Menyakiti siapa saja!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Siswa mengutarakan pendapat tentang Waskito yang sedang tidak masuk sekolah; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: Agar Bu Suci mengetahui tentang Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: formal. Analisis: “Biar Waskito tidak masuk, Bu! Kami malahan senang!” Tuturan tersebut dikatakan oleh siswa perempuan, menurut prinsip kesantunan Leech, tuturan tersebut melanggar maksim kedermawanan (generosity maxim). Karena murid perempuan tersebut menambah keuntungan bagi dirinya sendiri dan meminimalkan keuntungan bagi Waskito yang sedang dibicarakan. Untuk keuntungan dirinya sendiri, tokoh murid perempuan mengorbankan Waskito agar tidak masuk sekolah saja, hal tersebut bertentangan dengan ketentuan maksim kedermawanan. Selanjutnya, respon dari murid laki-laki yang menanggapi pernyataan tersebut mematuhi maksim permufakatan, karena murid laki-laki sepakat serta sepemikiran dengan murid perempuan tadi. Ditunjukan dengan kalimat berikut, “Ya betul, Bu! Kelas tenang kalau dia tidak ada,”. Seanjutnya, terdapat tuturan yang melanggar maksim permufakatan karena peserta tutur tidak saling membina kecocokan atau kemufakatan, berikut tuturan yang menunjukan melanggar maksim permufakatan pada tuturan 2.10:
70
Bu Suci
: Mengapa? Karena Waskito suka bergurau? Membikin keributan?
Murid perempuan
: Oh, tidak! Bukan bergurau! Kalau itu, kami juga suka!
Melanggar maksim permufakatan pada tuturan di atas di tunjukan dengan pernyataan “Oh, tidak! Bukan bergurau…..”. “Dia jahat! Jahat sekali, Bu!”. Tuturan tersebut dituturkan oleh murid perempuan, melanggar maksim penghargaan (approbation maxim). Dalam maksim penghargaan (approbation maxim), penutur harus sopan tidak hanya pada waktu menyuruh ataupun menawarkan sesuatu, tetapi dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapatnya.2 Setelah murid perempuan mengatakan bahwa Waskito jahat, bu Suci berkata “Ah, masa!”. Menandakan bu Suci tidak sependapat dengan pernyataan murid perempuan tersebut. Diteruskan dengan pernyataan bu Suci, Tidak ada anak-anak yang jahat, kalian masih tergolong tingkatan umur yang dapat dididik. Memang kalian bukan kanak-kanak lagi! Tetapi kalian sudah bisa diajar berpikir teratur, ditunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, Bu Suci beritahu sejelas-jelasnya: tidak ada anak jahat. Kalaupun seandainya terjadi kenakalana yang keterlaluan, anak itu mempunyai kelainan. Tapi dia nakal. Bukan jahat!. Maka tuturan bu Suci tersebut melanggar maksim permufakatan (agreement maxim), karena peserta tutur tidak membina kecocokan atau kemufakatan dalam tuturan. Selai itu, terdapat juga tuturan yang melanggar maksim penghargaan namun mematuhi maksim kesederhanaan, “Waskito jahat atau nakal, saya tidak tahu, Bu! Tapi dia mempunyai kelainan. Suka memukul! Menyakiti siapa saja!.” Pada tuturan tersebut, tokoh seorang murid dalam kelas mengungkapkan keluhannya dengan kalimat yang kurang santun. Namun, tookoh seorang murid mengakui bahwa dirinya tidak tahu harus menyebut Waskito nakal atau jahat, menandakan tokoh tersebut meminimalkan pujian terhadap dirinya sendiri.
2
F.X. Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h.30.
71
11.
Tuturan (B.2, hlm. 28) : “Siapa yang pernah dipukul? Disakiti?” (Sepertiga kelas mengacungkan lengan) “Bagaimana terjadinya? Kalian bergelut? Bertengkar kemudian berkelahi?” “Tidak, Bu!” “Kalau saya, memang bertengkar! Lalu dipukul!” “Kebanyakan kali tanpa ada yang dipersoalkan, Bu. Tiba-tiba saja saya memecut atau memukul. Yang paling sering menjegal. Sesudah itu dia pura- pura tidak tahu!” “Bagaimana dia memukul? Sampai berdarah?” (Tidak ada jawaban) “Menurut peraturan, kalau ada luka berdarah, harus lapor kepada Kepala Sekolah.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci bertanya kepada seisi kelas, lalu beberapa murid mengutarakan keluhannya mengenai sikap Waskito; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: untuk mengetahui lebih banyak mengenai Waskito; (5) mitra tutur: murid-murid; (6) situasi: formal.
Analisis: Bu Suci
: Bagaimana terjadinya? Kalian bergelut? Bertengkar kemudian berkelahi?
Murid
: Tidak, Bu!
Tuturan tersebut melanggar maksim permufakatan (agreement maxim), karena tokoh murid mengatakan kata “tidak” sebagai tanda tidak mufakat, atau tidak sepakat dengan apa yang ditanyakan oleh Bu Suci. Terdapat juga, tuturan Raharjo yang mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim), “Kalau saya, memang bertengkar! Lalu dipukul!”. Tuturan tersebut menyatakan kecocokan atau kemufakatan dengan pertanyaan yang disampaikan oleh bu Suci, Bagaimana terjadinya? Kalian bergelut? Bertengkar kemudian berkelahi?. Selanjutnya, terapat juga tuturan yang melanggar maksim kedermawanan (generosity masim) pada konteks 2.11, yaitu pada kutipan berikut,
72
Bu Suci
: Bagaimana dia memukul? Sampai berdarah?
Murid-murid : (Tidak ada jawaban) Respon murid-murid yang tidak memberi tanggapan terhadap pertanyaan bu suci, melanggar maksim kedermawanan karena murid-murid meminimalkan rasa hormat terhadap Bu Suci. Murid-murid meminimalkan keuntungan Bu Suci, untuk mengetahui sebernarnya apa yang terjadi dalam kelas tersebut. 12.
Tuturan (B.2, hlm. 29) : “Satu kali, dahi saya dipukul. Sorenya, bengkak sebesar telur!” “Apa kata orang tuamu?” “Saya bilang jatuh, Bu.” “Mengapa berdusta?” “Saya takut dimarahi karena bertengkar di sekolah.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: seorang murid laki-laki mengeluh kepada Bu Suci akibat perbuatan Waskito kepadanya; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui perbuatan buruk Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: formal.
Analisis: Terdapat tuturan yang melanggar maksim kebijaksanaan (taxt maxim), yaitu pada tuturan, “Saya bilang jatuh, Bu.” Dituturkan oleh seorang murid lakilaki kepada bu Suci, murid laki-laki tersebut berbohong kepada orangtuanya sehingga ia memaksimalkan keuntungan diri sendiri dan meminimalkan keuntungan pihak lain. Hal yang dimaksud dengan memaksimalkan keuntungan diri sendiri adalah ia berbohong agar tidak dimarahi dapat dilihat dalam kutipan, “Saya takut dimarahi karena bertengkar di sekolah.” Selanjutnya, meminimalkan keuntungan pihak lain, adalah ia meminimalkan keuntungan orangtuanya sehingga tidak mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Kebohongan yang dilakukan oleh tokoh murid laki-laki tersebut bertujuan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari situasi tang tidak menyenangkan baginya. Selain itu, terdapat juga tuturan yang mematuhi maksim kesederhanaan, “Saya takut dimarahi karena bertengkar di sekolah.” Tuturan tersebut masih dituturkan oleh murid laki-laki, tokoh murid laki-laki mengurangi pujian terhadap
73
dirinya sendiri dengan mengatakan takut dimarahi jika berkata jujur kepada orangtuanya. 13.
Tuturan (B.2, hlm. 29) : “Siapa lagi yang pernah berurusan dengan Waskito?” “Saya dilempari batu-batu besar, Bu. Untung tidak kena. Tetapi lampu sepeda saya pecah. Saya kena marah di rumah!” “Kamu katakana bahwa Waskito yang memecahkannya?” “Saya bilang tabrakan dengan teman.” “Mengapa?” Sebentar murid itu berdiam diri. Lalu menyahut: “Saya tidak suka Bapak bikin perkara di sekolah.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan siapa saja yang bernah berurusan dengan Waskito dan seorang murid menceritakan pengalamannya; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: agar Bu Suci lebih mengetahui mengenai sikap Waskito selama ini; (5) mitra tutur: seorang murid; (6) situasi: formal.
Analisis: Seorang murid menceritakan pengalamannya tentang akibat perbuatan Waskito yang mengakibatkan lampu sepedanya pecah. Lalu murid tersebut dimarahi oleh orangtuanya, tapi ia berbohong mengenai penyebab pecahnya lampu sepedanya, “Saya bilang tabrakan dengan teman.” Kebohongan yang dilakukan oleh murid itu melanggar maksim kebijaksanaan, karena murid tersebut berbohong demi keuntungan dirinya sendiri agar Bapaknya tidak datang ke sekolah untuk membuat perkara, dapat dilhat dalam kutipan “Saya tidak suka Bapak bikin perkara di sekolah.” Tokoh murid tersebut meminimalkan keuntungan orangtuanya, sehingga orangtuanya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. 14.
Tuturan (B.2, hlm. 29) : Sesaat kelas menjadi sepi. Mendadak terdengar seorang murid berkata perlahan: “Lebih baik dia tidak masuk, Bu!” “Ya, mudah-mudahan dia pindah!” sambung murid lain. “Untung kalau begitu! Tanpa dikeluarkan, dia keluar sendiri!” kawannya menyahuti.
74
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Beberapa murid lebih menyukai Waskito tidak masuk sekolah; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui keinginan murid mengenai Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: formal.
Analisis: Seorang murid
:Lebih baik dia tidak masuk, Bu!
Murid lain
:Ya, mudah-mudahan dia pindah!
Tuturan murid lain menanggapi tuturan seorang murid, Ya, mudahmudahan dia pindah! mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim). Hal tersebut karena tokoh murid lain sebagai mitra tutur berusaha membina kecocokan atau kemufakatan dengan penutur. Selanjutnya terdapat juga tuturan yang melanggar maksim kedermawanan (generosity maxim), yaitu Untung kalau begitu! Tanpa dikeluarkan, dia keluar sendiri!, tuturan tersebut diucapkan oleh Murid Lain (2). Tuturan tersebut melanggar maksim kedermawanan karena berpusat pada diri sendiri, hal tersebut menguntungkan dirinya sendiri namun tidak demikian dengan Waskito. Maksim kedermawanan mengharuskan peserta tutur mengurangi keuntungan diri sendiri, tetapi pada tuturan tersebut sebaliknya. 15.
Tuturan (B.2, hlm. 29) : “Dulu dia pernah dikeluarkan sekolah lain,” kata Raharjo. “Dari sekolah mana?” tanyaku. “Sekolah swasta, Bu.” “Bukan!” bantah murid lain, “SD negeri juga tapi di kota.” “Sekolah swasta, betul!” murid lain membenarkan ketua kelas. “Memang SD swasta,” Raharjo menjelaskan lagi. “Neneknya yang memasukan dia di sana. Tetapi karena sering membolos, lalu dikeluarkan.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: murid-murid sedang menceritakan masa lalu Waskito; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui informasi mengenai Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: formal.
75
Analisis: Raharjo mengatakan bahwa Waskito pernah dikeluarkan sekolah lain, yaitu sekolah swasta. Namun ada murid lain yang membantah, yang menunjukan adanya tuturan yang melanggar maksim permufakatan (agreement maxim), yaitu pada kutipan “Bukan! SD Negeri juga tapi di kota”. Ada juga murid lain yang membenarkan pernyataan Raharjo, yang menunjukan bahwa penutur tersebut mematuhi maksim permufakatan antara dirinya dan Raharjo, yaitu “Sekolah swasta, betul”. Dan Raharjo menegaskan kembali, “memang SD swasta” yang menunjukan tuturan tersebut mematuhi maksim permufakatan. Bantahan ataupun persetujuan pada tuturan 2.15 di atas, merupakan bantahan ataupun persetujuan yang merupakan opini dan pengetahuan penutur, tidak dapat dipastikan mana tuturan yang benar dan mana yang salah. 16.
Tuturan (B.2, hlm. 29-30) : “Waskito tinggal bersama neneknya?” tanyaku. “Dulu, Bu,” murid perempuan ganti memberi keterangan. “Sekarng sudah diambil kembali oleh bapak dan ibunya.” “Diambil kembali?” “Ya, Bu,” suara Raharjo membenarkan. “Apakah orang tuanya pernah pindah ke kota lain atau bagaimana?” “Tidak tahu, Bu! “Dari siapa kalian mengetahui semua ini?” Raharjo tidak menjawab. Seperti ada kesepakatan, murid-murid lain juga diam.
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan mengenai tempat tinggal Waskito; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: untuk mengetahui tempat tinggal Waskito; (5) mitra tutur: murid-murid; (6) situasi: non formal.
Analisis: Terdapat tuturan yang mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim), yaitu pada tuturan, “Ya, Bu.” Yang di tuturkan oleh Raharjo, ketika bu Suci bertanya mengenai Waskito yang diambil kembali oleh orangtuanya dari rumah neneknya. Tokoh Raharjo memaksimalkan kecocokan atau kemufakatan terhadap mitra tuturnya, sehingga dapat dikatakan tuturan Raharjo tersebut mematuhi maksim permufakatan.
76
Saat Bu Suci bertanya dari siapa murid-murid mengetahui semua informasi mengenai Waskito, Raharjo dan murid lainnya pun diam. Maka sikap diam Raharjo beserta teman-temannya melanggar maksim kedermawanan (generosity maxim). 17.
Tuturan (B.2, hlm. 30) : “Kamu pernah ke rumah neneknya? Lalu pindah ke tempat orang tuanya?” Sambil mengucapkan ini aku tetap memandang ke arah ketua kelas. “Tidak, Bu. Saya belum kenal ketika dia tinggal bersama neneknya.” “Jadi dari mana kamu tahu semua itu?” Setelah membungkam sesaat dia menatap mataku dan menjawab: “Waskito sendiri yang mengatakannya. Setiap dia kambuh menjadi bengis, lalu berteriak-teriak. Macam-macam yang dikatakan. Yang sering diulangulang: Seperti barang. Nih, begini, dilempar ke sana kemari. Dititipkan! Apa itu! Persetan! Aku tidak perlu kalian semua!” “Kemudian menyebut kakeknya, neneknya, orang tuanya. Semua dicacimaki! Kami yang ada di dekatnya terkena cambukan atau pukulan,” seorang murid laki-laki menyambung. “Apa kata-kata lainnya lagi?” Mataku mengedar ke seisi kelas. “Tidak semua jelas, Bu. Paling-paling: aku benci! Aku benci!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan lebih jauh mengenai Waskito, dan murid bergantian menyampaikan apa yang mereka ketahui; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: untuk mengetahui keseharian Waskito; (5) mitra tutur: murid-murid; (6) situasi: non formal.
Analisis: Bu Suci : Kamu pernah ke rumah neneknya? Lalu pindah ke tempat orang tuanya? Raharjo neneknya.
: Tidak, Bu. Saya belum kenal ketika dia tinggal bersama
Tuturan tersebut melanggar maksim permufakatan (agreement maxim) karena ditunjukan oleh tuturan Raharjo “Tidak, Bu….”. Bu Suci mengira Raharjo pernah mengunjungi rumah nenek Waskito sebelumnya, lalu pindah ke tempat orangtuanya, namun Raharjo menampik hal itu, bahwa dia tidak pernah ke rumah nenek Waskito karena saat itu mereka belum saling kenal.
77
Selanjutnya, Bu Suci ingin mengetahui kata-kata apa lagi yang sering diucapkan oleh Waskito ketika kambuh. Seorang murid perempuan menjawabnya, “Tidak semua jelas, Bu….”. Tuturan tersebut menunjukan murid perempuan tersebut tidak memiliki pengetahuan banyak mengenai hal yang ditanyakan mitra tuturnya. 18.
Tuturan (B.2, hlm. 30) : “Anehnya, kalau dia kambuh begitu, yang menjadi sasaran pertama selalu Raharjo, Marno, Denok,” kata murid perempuan. “Aku juga! Selalu kalau aku berada jauh pun, seolah-olah dia sengaja mencari aku untuk kena sabetannya!” Rini mengadu kepada kawannya. “Saya tidak pernah tahu apa kesalahan saya,” kata Marno. “Saya juga tidak tahu,” Raharjo menyambung. “Apalagi kami anak perempuan! Kami tidak pernah main dengan dia!” Denok yang duduk di belakang menyeletuk perlahan.
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Beberapa murid mengeluhkan perlakuan Waskito terhadap mereka; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui perilaku Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.
Analisis: Terdapat tuturan yang mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim) pada tuturandi atas, yaitu pada kutipan berikut “Aku juga!...” yang dituturkan oleh Rini. Rini memaksimalkan kemufakatan terhadap pernyataan yang dituturkan oleh tokoh Murid Perempuan di kelasnya yang menyatakan kalau Waskito kambuh selalu Raharjo, Marno dan Denok. Tokoh Rini pun menyatakan bahwa dia juga menjadi sasaran Waskito. “Saya tidak pernah tahu apa kesalahan saya,” kata Marno. Tuturan tersebut mematuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim) sebab Marno mengurangi terhadap dirinya sendiri di depan murid-murid lain dan juga Bu Suci. Marno mengatakan tidak pernah tahu kesalahannya, kenapa selalu menjadi sasaran Waskito. Selanjutnya, terdapat juga tuturan yang mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim), Raharjo “Saya juga tidak tahu”. Terdapat kata “juga” dalam tuturan tokoh Raharjo yang berarti Raharjo juga tidak tahu apa kesalahannya sehingga Waskito menjadikannya sasaran kemarahannya jika
78
kambuh. “Apalagi kami anak perempuan! Kami tidak pernah main dengan dia!”, kata Denok. Kata “apalagi” yang dituturkan oleh denok menguatkan pernyataan Marno dan Raharjo. Denok juga tidak tahu apa kesalahannya, apalagi denok dan anak perempuan lainnya tidak pernah bermain dengan Waskito. Sehingga, tuturan Denok dapat dikatakan mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim). 19.
Tuturan (B.3, hlm. 36) : “Tua-tua masih paktek, Jeng,” kata nenek muridku. “Hanya dua kali seminggu. Dia bergantian dengan dokter muda, muridnya sendiri. Sekalian menolong, hasilnya buat tambah-tambah belanja.” “Di samping itu Bapak tidak bekerja di mana-mana lagi, Bu?” tanyaku untuk basa-basi. “Masih. Setiap pagi ke Rumah Sakit Karyadi. Gaji pemerintah, Jeng! Katanya hanya supaya tidak ketinggalan metode-metode baru. Diminta ke rumah sakit lain yang lebih dapat menghasilkan uang, tetapi sudah cape. Katanya biar yang muda-muda saja. Yang pentingkan sekarang mengajar.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci mengunjungi rumah Kakek dan Nenek Waskito; (2) tempat: rumah kakek dan nenek Waskito; (3) waktu: sore hari; (4) tujuan: untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang Waskito; (5) mitra tutur: Nenek Waskito; (6) situasi: non formal. Analisis: “Hanya dua kali seminggu. Dia bergantian dengan dokter muda, muridnya sendiri. Sekalian menolong, hasilnya buat tambah-tambah belanja,” kata Nenek Waskito. Tuturan nenek Waskito tersebut mematuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim), karena Nenek waskito meminimalkan pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatakan “…sekalian menolong, hasilnya buat tambah-tambah belanja.” Nenek Waskito terkesan merendah, penghasilan dokter dikatakannya buat menambah uang belanja, seakan-akan hasilnya tidak seberapa. Maksim kesederhanaan (modesty maxim) juga terpenuhi pada tuturan Nenek Waskito berikutnya, “Masih. Setiap pagi ke Rumah Sakit Karyadi. Gaji pemerintah, Jeng! Katanya hanya supaya tidak ketinggalan metode-metode baru. Diminta ke rumah sakit lain yang lebih dapat menghasilkan uang, tetapi sudah cape. Katanya biar yang muda-muda saja. Yang pentingkan sekarang mengajar.” Nenek Waskito mengatatakan “… gaji pemerintah, Jeng…”, kutipan tuturan
79
tersebut singkat dikatakan oleh Nenek Waskito, seakan-akan mitra tutur juga mengetahui makna dari gaji pemerintah, gaji yang tidak seberapa, sehingga Nenek Waskito terlihat tidak menyombongkan diri yang menjadi salah satu ketentuan maksim kesederhanaan. “…Diminta ke rumah sakit lain yang lebih dapat menghasilkan uang, tetapi sudah cape. Katanya biar yang muda-muda saja. Yang pentingkan sekarang mengajar.” Nenek Waskito menceritakan bahwa suaminya diminta ke rumah sakit lain, namun katanya itu bagian yang muda dan ia yang tua yang penting mengajar saja. Tuturan tersebut juga menandakan memenuhi maksim kesederhanaan. 20.
Tuturan (B.3, hlm. 36) : “Bekas sopir kami tadi datang, Jeng,” si nenek menjelaskan. Memberitahu anaknya ketabrak kolt, sekarang di rumah sakit. Dia sama tua dengan Bapak, tidak bekerja lagi. Jaga warung bersama isterinya. Bayangkan, akan masuk rumah sakit orang harus bayar dulu sebagian. Mau cari hutangan ke mana!” “Untung dia kenal Anda berdua!” sahutku. “Ya, kami bantu sebisanya. Tadi Bapak sudah menelepon rumah sakit. Kami yang menanggung pondokan dan dokternya. Tapi pengeluaran untuk lain-lainnya pasti juga bertambah. Harus menengok setiap hari, naik bis atau Daihatsu.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Nenek Waskito membicarakan mengenai anak bekas sopirnya yang mendapat musibah; (2) tempat: rumah Nenek Waskito; (3) waktu: sore hari; (4) tujuan: untuk mengisi pembicaraan; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal. Analisis: “Untung dia kenal Anda berdua!” Tuturan tersebut diujarkan oleh Bu Suci, mematuhi maksim penghargaan (approbation maxim). Hal itu karena Bu Suci memberikan pujian terhadap mitra tutur. Kata “untung” yang diujarkan oleh Bu Suci berarti guna atau manfaat bekas sopir Nenek Waskito mengenal Nenek dan Kakek Waskito tersebut. “Ya, kami bantu sebisanya. Tadi Bapak sudah menelepon rumah sakit. Kami yang menanggung pondokan dan dokternya. Tapi pengeluaran untuk lainlainnya pasti juga bertambah. Harus menengok setiap hari, naik bis atau Daihatsu.” Nenek waskito mengatakan mereka membantu bekas sopirnya
80
sebisanya saja, menangung biaya menginap dan dokternya. Tuturan tersebut mematuhi maksim kesederhanaan ditandai dengan kalimat awal dari tuturan “Ya, kami bantu sebisanya…”, Nenek Waskito mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri sehingga terakesan Nenek Waskito orang yang rendah hati. 21.
Tuturan (B.3, hlm. 37-38): “Anak kami belum pernah menghukum, apalagi memukul Waskito!” “Barangkali inilah kesalahannya. Ada anak-anak yang memerlukan perhatian, yang menganggap hukuman jasmaniahsebagai ganti perhatian yang diinginkan. Saya pernah menyaksikan sendiri anak-anak saudara saya. Mereka baru sadar akan kekeliruannya jika kena tangan ayah dan ibu mereka. Waskito sudah terlanjur tidak mendapatkan kata-kata manis atau bujukan, dia mungkin harus dipukul. Ah, kalau Anda melihat dia di rumah mereka, Jeng! Tidak pernah ditegur, tidak pernah diberitahu mana yang baik dan mana yang jelek. Seumpama anak berjalan, kaki menyuntuh pot sehingga jatuh pecah. Di rumah kami, saya bilang: hati-hati kalau berjalan, Sayang! Tolong sekarang tanaman dan pot pecah itu dibenahi! Seumpama ibunya ada, langsung dia akan membela: ah, enggak apa-apa, nanti saya ganti. Biar pembantu yang membenahi! Nah begitu setiap kali waskito berbuat kekeliruan. Maksud saya, saya hanya ingin mendidik anak bersikap rapi dan teratur, Jeng.” “Saya akui bahwa bapaknya Waskito menjadi laki-laki yang seperti sekarang karena didikan serta pengaruh suami saya. Dia cerdas, pandai, tetapi kaku dan sukar bergaul. Oleh karena itu, setelah kawin lalu mempunyai anak, menjadi bapak yang kakau pula. Didampingi istri yang tidak tahu-menahu soal pendidikan! Naluri punwanita itu tidak punya! Kalau anak rewel, dia mau menggendong, mau memberi makanan atau barang permainan. Tetapi permainan itu diberikan saja begitu! Tidak ditunjukan bagaimanacaranya supaya benda itu menarik bagi si anak. Jadi, bayi hanya memegangi benda permainan tanpa dapat mempergunakannya. Jika memang anak sudah memiliki dasar aktif, lain halnya. Tetapi yang umum, anak-anak memerlukan diajak bicara, dibujuk dengan kata-kata ataupun ciuman, belaian. Saya menjadi cerewet mengulang-ulanginya memberitahukan hal ini kepada mereka, Jeng. Baik secara diskusi serius maupun bergurau. Dengan Bapak sendiri, berpuluh-puluh tahun hidup bersama, saya tidak berhasil mempengaruhi dia. Ketika anak kami masih muda, bapaknya terlalu mengarahkan dia ke berbagai lapangan. Semua serba bersungguh-sungguh. Di antaranya, katanya harus bisa memaikan satu alat musik!” “Katanya lagi, yang paling anggun dan kelihatan serius adalah biola. Maka bapaknya Waskito pun dileskan supaya dapat menggesek biola. Dengan sendirinya dijubeli dengan serba pengetahuan musik klasik. Tidak itu saja! Pergaulannya juga diteliti. Suami saya berpendapat bahwa anaknya
81
“hanya” boleh bergaul dengan anak-anak yang berorang tua saderajat dengan kami. Artinya sependidikan. Kalau bisa malahan suami saya mengenal orang tua itu! Waktu kawin pun, seumpama bapaknya bilang tidak menyetujui pilihan anak kami, pastilah tidak jadi!” “Padahal kalau keputusan-keputusan lain, saya dapat mempengaruhi Bapak, Jeng!” (Bu Suci terdiam) Konteks: (1) Peristiwa tutur: Nenek Waskito menceritakan perlakuan orang tua Waskito terhadap Waskito; (2) tempat: rumah Nenek Waskito; (3) waktu: sore hari; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui didikan orang tua Waskito terhadap Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal. Analisis: Nenek Waskito bertutur sendiri pada tuturan ini, Bu Suci sebagai mitra tutur hanya mendengarkan cerita dari Nenek Waskito. Berikut adalah kutipan tuturan Nenek Waskito yang tidak menyukai menantunya yaitu, Ibu Waskito, “… Didampingi istri yang tidak tahu-menahu soal pendidikan! Naluri pun wanita itu tidak punya!....” . Kutipan tuturan tersebut menunjukan bahwa melanggar maksim penghargaan. Hal itu terjadi karena Nenek Waskito mencela Ibu Waskito. Dirasa kurang santun, apabila dalam budaya Indonesia membicarakan keburukan orang lain kepada orang yang baru saja dikenalnya. Selanjutnya terdapat kutipan tuturan Nenek Waskito yang melanggar maksim kesederhanaan, yaitu sebagai berikut, “… Suami saya berpendapat bahwa anaknya “hanya” boleh bergaul dengan anak-anak yang berorang tua sederajat dengan kamu….” Tuturan tersebut melanggar maksim kesederhanaan, sebab tidak santun apabila sebagai makluk sosial membeda-bedakan hanya karena status sosial saja, dan tidak santun jika kita berbicara dengan tinggi hati kepada orang lain. Tokoh Nenek Waskito, menceritakan tentang didikan suaminya terhadap Ayah Waskito yang terkesan sempurna.
22.
Tuturan (B.3, hlm. 40-41) : “Anak kami hanya satu, Jeng. Ya bapak Waskito itu!” demikianlah si nenek menjawab pertanyaanku. Dialah satu-satunya yang hidup setelah
82
saya mengalami lima kali keguguran. Kata orang saya lemah. Maklumlah kita wanita, selalu menjadi tumpuan kesalahan. Kalau suami-isteri tidak punya anak, katanya si isteri gabuk, steril. Kalau terus-menerus keguguran, katanya kandungannya yang lemah. Sekarang sudah banyak bacaan medical, saya baru tahu bahwa hal itu bisa saja disebabkan karena bibit laki-laki yang steril atau yang lemah. Zaman saya dulu, belum ada pendalaman pemeriksaan yang macam-macam di sini. Jadi, ya semua salah saya. Tetapi akhirnya, setelah banyak tinggal di tempat tidur, anak saya bisa selamat seorang. Dapat dimengerti mengapa suami saya ingin menjadikan anak itu manusia yang diidamkannya. Apalagi anak lelaki.” “Tetapi Ibu „kan juga memberikan didikan!” aku tidak kuasa menahan menyelakan isi hatiku. “Oh, tidak banyak, Jeng! Sewaktu bayi, kemudian kanak-kanak, saya memang turut membesarkannya. Tetapi sebegitu dia dapat berpikir sendiri, bapaknyalah yang menjadi model. Suami saya menjadi pusat dunia, dicontoh segala-galanya. Kalau anak saya duduk sambil menggoyangkan kursi, saya tegur karena gerakannya membahayakan selain mungkin merusak kursi pula. Jawabnya: Bapak juga begitu. Kalau saya jelaskan karena bapaknya memakai gigi depan palsu sehingga tidak mudah menahan untuk tidak membunyikan suara hirupannya, dia tidak percaya. Hingga dia besar, menjadi insinyur, tepat segala-galanya adalah potret bapaknya.” “Suami yang mencari makan, Jeng. Biar dia yang memutuskan dan mengambil prakarsa dalam hidup ini.” Konteks: (1) Peristiwa tutur: Nenek Waskito bercerita lebih banyak mengenai keluarganya, terutama tentang didikan suaminya terhadap ayah Waskito; (2) tempat: rumah Nenek Waskito; (3) waktu: sore hari; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui tentang didikan keluarganya; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal. Analisis: “…kita wanita, selalu menjadi tumpuan kesalahan…” kutipan tuturan tersebut diujarkan oleh Nenek Waskito, mematuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim). Tuturan tersebut mematuhi maksim kesederhanaan sebab maksim kesederhanaan berpusat pada dirinya sendiri, Ia mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri, berbicara seakan-akan posisi wanita rendah di mata lelaki.
83
23.
Tuturan (B.3, hlm. 41-43) : “Seminggu sekali, dia kami beri „upah‟ untuk kepatuhannya,” kata nenek itu kepadaku. “Padahal kelakuan sopan dan menolong mengerjakan tugas-tugas kecil itu sebenarnya kewajiban biasa, Bu. Apakah dengan memberi upah uang itu tidak membuat anak menjadi mata-duitan?” “Semula juga kami berpikir begitu, Jeng! Tetapi teman kami, ahli ilmu jiwa anak mempunyai debatan yang meyakinkan kami. Katanya, anak seperti Waskito berada dalam umur-umuran yang masih bisa dirobah. Dan cara terbaik untuk merobahnyaadalahdengan jalan ini. Dia biasa memegang ribuan rupiah tanpa berbuat sesuatu pun yang berguna bagi orang lain. Cukup merengek, mengatakan kebohongan, tiba-tiba lima ribu diulurkan ke tangannya. Dia harus disadarkan, bahwa hidup tidak selamanya demikian mudah, apalagi berlangsung seperti kehendaknya! Jadi, uang merupakan keperluan utama. Kemudian, setelah sebulan dua bulan tinggal bersama kami ternyata kami melihat bahwa dia juga memerlukan perhatian dan dialog.” “Itu semua disebabkan karena omongan pembantu, Jeng.” Kata Nenek, sambil matanya berkaca-kaca mengenangkan kejadian yang mematahkan hatinya. “Waskito mengatakan ingin mempunyai burung parkit. Dia sering bercerita bahwa teman sekelasnya memilikinya. Kadang-kadang cucu kami bermain ke sana, dan kami tahu siapa anak itu. Untuk membeli dengan uangnya sendiri, tabungannya belum mencapai. Burung itu cukup mahal, sebaiknya dibeli berpasangan. Lalu kakeknya berunding dengan saya. Sejak Waskito tinggal bersama kam, suami saya banyak berobah. Kebanyakan kali,keputusan tentang anak itu dipasrahkan kepada saya. Tiba-tiba saya merasa lebih berguna dalam hidup ini, Jeng! Barangkali karena suami saya terpengaruh dengan umur, atau oleh rekan-rekannya yang banyak mengetahui dalam persoalan anak-anak. Begitulah, kami berdua setuju akan membelikan burung parkit, asal Waskito berjanji mengurus sendiri peliharaannya. Dia harus member makanan dan minuman sebelum berangkat ke sekolah, sore membersihkan kurungan dan sebagainya. Waskito sanggup. Nah, begitu, Jeng. Pada suatuhari,dia sedang mencuci sangkar si parkit, datang seorang pembantu dari rumah orang tuanya. Sudah biasa demikian, sering ada yang membawakan pakaian, makanan atau buah. Saya tidak dapat mencegah ibunya mengirim sesuatu, bukan? Ketika kembali di rumah sana, si ibu tanya kepada pembantu Waskito sedang apa, jawabannya ya jujur: sedang mencuci kurungan burung. Katanya, langsung saja menantu saya menjadi gusar! Dia mengadu kepada suaminya bahwa Waskito di rumah kakek dan neneknya diperlakukan seperti pembantu. Anak itu harus diambil kembali!”
84
“Bukan maksud kami menyiksa cucu, Jeng! Betul-betul kami sangat mencintainya!” “Dua hari sebelum kejadian itu, Waskito pulang dari sekolah mengatakan, bahwa penjaga halaman di sana sedang membuat cangkokan kembang soka. Yang saya punyai di kebun ini berwarna merah dan satu lagi putih. Sedangkan di sekolah, berwarna kuning. Kata Waskito, Jeng, penjaga sekolah dia beri uang supaya membikin cangkokan buat saya.” “Dia anak baik, Jeng.Walaupun pemberian itu belum saya terima, saya sudah sangat bahagia rasanya! Ketika dia mengatakan maksud pemberian tersebut, langsung saya peluk dan saya ciumi. Baru kali itulah saya merasa rangkulan lengannya yang tidak ragu-ragu dan erat. Dulu, kalau saya cium, tidak pernah mau ganti menunjukan kesayangannya. Tangannya terlukai saja di samping tubuh.” Konteks: (1) Peristiwa tutur: Nenek Waskito bercerita kepada Bu Suci menganai Waskito ketika masih tinggal bersamanya; (2) tempat: rumah Nenek Waskito; (3) waktu: sore hari; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui sisi baik dari Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal. Analisis: Nenek dan Kakek Waskito sangat menyayangi Waskito, “Bukan maksud kami menyiksa cucu, Jeng! Betul-betul kami sangat mencintainya!.” Tuturan tersebut diujarkan oleh Nenek Waskito kepada Bu Suci dan memenuhi maksim kesimpatisan (sympathy maxim), hal itu karena Nenek Waskito memaksimalkan rasa simpati terhadap cucunya, Waskito. Nenek Waskito menyadari bahwa didikan dari orangtua Waskito tidaklah baik bagi cucunya, sehingga Ia dan suaminya mendidik Waskito dengan cara yang berbeda, namun Ibu Waskito menganggap hal itu adalah cara yang kejam, maksud dari Nenek dan Kakek Waskito adalah menjadikan cucunya lebih baik lagi. “Dia anak baik, Jeng….,” begitulah tuturan yang dikatakan oleh Nenek Waskito mengenai cucunya, Waskito. Tuturan tersebut memenuhi maksim penghargaan (approbation maxim), sebab Nenek Waskito memberikan pujian untuk cucunya sesuai dengan maksim penghargaan yang mengharuskan peserta tutur memberikan penghargaan terhadap peserta tutur lain tidak saling mengejek ataupun merendahkan. Jika mengejek ataupun merendahkan peserta tutur lain itu terjadi, maka dapat dikatakan penutur tersebut tidak santun dalam bertutur.
85
24.
Tuturan (B.4, hlm. 54) : “Tidak, Bu! Saya disini saja!” “Mengapa?” “Narsih ke bangku sana,dibelakang! Di samping Rusidah!” “Kalau kamu tidak mau pindah, coba katakan apa sebabnya! Pasti ada alasanmu, bukan?” “Baiklah!” kataku. “Saya kira, saya tahu mengapakamu tidak mau pindah!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menyuruh murid-murid pindah tempat duduk, semua menuruti pindah ke bangku yang ia tunjuk, kecuali Waskito; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari itu; (4) tujuan: agar murid dalam kelas berpribadi; (5) mitra tutur: Narsih, Waskito; (6) situasi: formal.
Analisis: Semua murid menuruti perintah Bu Suci, namun Waskito membantah, “Tidak, Bu! Saya disini saja!”. Bantahan Waskito tersebut menurut Leech pada prinsip kesantunan berbahasa, melanggar maksim permufakatan (agreement maxim). Hal tersebut karena pada konteks tersebut, Waskito tidak memaksimalkan kecocokan atau kemufakatan terhadap ujaran Bu Suci, malah membantah. Seharusnya, Waskito menyertakan alasannya mengapa ia tidak mau pindah, agar Bu Suci tidak tersinggung dengan sikap Waskito. 25.
Tuturan (B.4, hlm. 55) : “Raharjo! Buku bacaan akan dipergunakan kelas lain setelah istirahat ini. Kamu cepat mengembalikannya ke lemari kantor, ya! Waskito Tolong bawakan buku-buku tugas! Saya tidak dapat membawa semuanya sendiri.” “Terimakasih! Nanti akan saya periksa.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci meminta tolong kepada Raharjo untuk mengmbalikan buku bacaan ke ruang kantor dan kepada Waskito untuk membawakanbuku-buku tugas; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: jam istirahat; (4) tujuan: untuk mempermudah Bu Suci, karena Ia tidak bisa membawanya sendiri; (5) mitra tutur: Raharjo, Waskito; (6) situasi: formal. Analisis: Waskito mengantarkan buku-buku tugas kepada Bu Suci, lalu Bu Suci berkata, “Terimakasih! Nanti akan saya periksa.” Ucapan terimakasih yang
86
diujarkan Bu Suci adalah sesuatu bentuk penghargaan kepada Waskito yang telah menolongnya membawakan buku tugas murid kelas ke kantor guru. Bentuk kesantunan yang ditunjukan Bu Suci dalam tuturan 2.25 merupakan kebiasaan baik dan dapat menciptakan keakraban antara penutur dan mitra tuturnya. Maka dari itu, tuturan Bu Suci tersebut mematuhi maksim penghargaan (approbation maxim). 26.
Tuturan (B.4, hlm. 56) : “Ah, Waskito! Mengapa sih kamu!” “Kalau terdengar lagi kapur yang dilempar, Waskito, akan saya geledah dirimu! Saya akan ambil sejumlah uang dari sakumu sebagai pembayar kapur yang kau hambur-hamburkan. Sekolah bisa rugi karena kehabisan kapur buat main-main begitu!” “Bukan saya! Mengapa selalu saya yang salah!” “Itu tidak benar!” “Yang bersalah tidak selalu kamu. Ingat kemarin? Ada pot pecah, itu bukan salahmu. Dan seisi kelas mengetahuinya! Kali ini, seisi kelas juga tahu bahwa hanya kamu yang kaya, sehingga dapat membayar kapur hanya buat dibuang-buang!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Waskito mengganggu murid lain dengan melempari kapur, dan seorang murid perempuan mengeluh, kemudian Bu Suci bertindak; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: di tengah-tengah waktu pelajaran; (4) tujuan: agar Waskito menghentikan tindakannya; (5) mitra tutur: murid lain, Bu Suci; (6) situasi: formal.
Analisis: Di tengah jam pelajaran, Waskito mengganggu murid lain dengan melempar kapur, “Kalau terdengar lagi kapur yang dilempar, Waskito, akan saya geledah dirimu! Saya akan ambil sejumlah uang dari sakumu sebagai pembayar kapur yang kau hambur-hamburkan. Sekolah bisa rugi karena kehabisan kapur buat main-main begitu!,” kata Bu Suci. Tuturan Bu Suci mematuhi maksim permufakatan terhadap tuturan murid lain yang dilempari kapur oleh Waskito. Tujuan pertuturan tokoh murid dengan Bu Suci mempunyai kesamaan, yaitu menghentikan tindakan Waskito. “…Mengapa selalu saya yang salah!” tuturan tersebut diujarkan oleh Waskito ketika ditegur oleh Bu Suci ditengah waktu belajar dalam kelas. Tuturan
87
tersebut mematuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim) sebab tokoh Waskito merasa dia selalu salah di mata Bu Suci ataupun teman-temannya. Respon Bu Suci, tidak membenarkan bahwa selalu Waskito yang salah, dapat dilihat pada kutipan, “itu tidak benar!.” Respon Bu Suci atas tuturan Waskito tersebut melanggar maksim permufakatan. Sebab Bu Suci tidak menjalin kecocokan terhadap tuturan Waskito. Namun, Bu Suci memberi penjelasan agar Waskito tidak kecil hati pada tuturan selanjutnya. 27.
Tuturan (B.5, hlm. 65-66) : “Kalian ke tukang pateri untuk melekatkan lobang buat pipa ini?” “Tidak, Bu!” kata Wahyudi yang termasuk dalam kelompok itu. “Waskito mempunyai alat sendiri.” “Bahan-bahannya dari dia?” tanyaku penuh kecurigaan. “Waskito memberi potongan seng yang ditempel,” kata murid lain. “Kalengnya, saya yang minta dari kelurahan, Bu,” kata Wahyudi lagi. “Saya lihat bertumpuk di belakang tempat kami bermain ping-pong. Dulu bekas latihan pemadam kebakaran di kampung.” “Diminta atau dipinjam?” “Kalau pinjam harus dikembalikan. Kelak kalau latihan lagi mereka kekurangan!” “Di sana masih banyak sekali, Bu!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Murid-murid mengumpulkan hasil karya kelompok mereka, hasil kelompok Waskito yang terbaik; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari pengumpulan hasil karya; (4) tujuan: agar dinilai oleh Bu Suci; (5) mitra tutur: Wahyudi, murid lain; (6) situasi: formal.
Analisis: Bu Suci
: Kalian ke tukang pateri untuk melekatkan lobang buat pipa ini?
Wahyudi
: Tidak, Bu! Waskito mempunyai alat sendiri.
Bu Suci menyangka bahwa kelompok Waskito dalam pengerjaan bejana pergi ke tempat patri untuk membuat lobang pada pipa. Namun Wahyudi sebagai anggota kelompok menampiknya, dengan mengatakan “Tidak, Bu! Waskito mempunyai alat sendiri.”Tuturan tersebut melanggar maksim permufakatan, karena mitra tutur menyambut negatif pertanyaan dari penutur. Namun, terdapat penyelesaian
88
dalam tuturan tersebut, dengan mengatakan kejadian yang sebenarnya terjadi, agar kecurigaan Bu Suci tidak berkelanjutan. 28.
Tuturan (B.5, hlm. 66) : “Nampaknya dia biasa sekali mengerjakan kerajinan tangan begitu, Bu!” kata murid yang lain. “Semua terbuat dari kayu tipis, Bu! Dicat, bagus! Wah saya iri melihat perlengkapannya buat mengerjakan kayu sedemikian tipis dan rapuh. Semua kecil!” “Jangan iri!” selaku memotong pembicaraan mereka. “Sudah kuterangkan, Waskito sangat menderita batinnya karena kekurangan perhatian. Untuk mengimbanginya, Tuhan memberi hiburan benda-benda tersebut.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Seorang murid yang sempat ke rumah Waskito menceritakan kemahiran Waskito mengenai kerajinan tangan dan menceritakan ada model-model pesawat karya sendiri yang bergantungan di sebuah kamar khusus; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari pengumpulan hasil karya; (4) tujuan: untuk memberitahu Bu Suci; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal. Analisis: “Nampaknya dia biasa sekali mengerjakan kerajinan tangan begitu, Bu!.” Tuturan tersebut diujarkan oleh seorang murid Bu Suci. Ia mengatakan bahwa Waskito mahir membuat kerajinan tangan, ia mengakui kelebihan yang dimiliki Waskito. Maka tuturan tersebut mematuhi maksim penghargaan (approbation maxim), sebab tokoh murid tersebut mengakui kelebihan pihak lain, Waskito. Tokoh murid mengatakan Waskito seperti terbiasa mengerjakan kerajinan tangan, sebab hasil kerajinan tangannya bagus. Tokoh murid menambahkan pujiannya terhadap kemahiran Waskito namun ia merasa iri. Tuturan tersebut mematuhi maksim penghargaan seperti tuturan sebelumnya, ditandai dengan kutipan tuturan berikut, “Semua terbuat dari kayu tipis, Bu! Dicat, bagus!”. Tuturan tersebut mematuhi maksim penghargaan karena tokoh Murid memberikan penghargaan berupa pujian terhadap kemahiran Wasakito dalam mengerjakan kerajinan pertukangan.
89
29.
Tuturan (B.5, hlm. 67-68) : “Bu Suci! Waskito kambuh, Bu! Dia mengamok! Dia mau membakar kelas!” “Mengapa begitu? Apa yang menyebabkan dia marah? Kalian bertengkar?” “Tidak, Bu!” bantah anak itu keras. “Dia tidak mau keluar istirahat. Wahyudi dan beberapa kawan mau menemaaninya, juga tidak kluar. Tadinya saya ikut-ikut, tapi saya hanya sebentar terus keluar. Tidak tahu lagi apa yang terjadi! Saya kembali dari kamar kecil, dari jauh terdengar Waskito berteriak-teriak seperti dulu! Betul sama, Bu! Katanya: aku benci! Aku benci kalian semua! Saya masuk kelas, Waskito menodongkan gunting! Entah dari mana! Begitu tiba-tiba, saya berbalik, lari ke kantor!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Seorang murid Bu Suci mendatangi Bu Suci dan membawa kabar buruk; (2) tempat: di kantor guru; (3) waktu: jam istirahat sekolah; (4) tujuan: untuk memberitahu Bu Suci tentang Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.
Analisis: Terdapat tuturan yang melangar maksim permufakatan pada tuturan seorang murid yang datang membawa kabar buruk tentang Waskito, yaitu tanggapan negatif terhadap pertanyaan yang diajukan padanya. Bu Suci menanyakan apakah penyebab dari sikap Waskito adalah pertengkaran antar murid, tokoh Murid tersebut mengatakan, “Tidak, Bu!.” Walaupun melanggar maksim permufakatan, tokoh Murid tersebt menjelaskan kejadian sebelum Waskito mengamuk tersebut. Hal tersebut agar tokoh Bu Suci dapat mengetahui kejadian yang sebenarnya, tidak seperti perkiraan yang Bu Suci ungkapkan sebelumnya. 30.
Tuturan (B.5, hlm. 68) : Suara Kepala Sekolah menggelegar: “Berikan gunting itu, Waskito!” “Ah, kamu ini ada-ada saja! Dari mana kau dapatkan gunting ini!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Waskito mengamuk, memegang gunting. Lalu Bu Suci dan Kepala sekolah datang; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: jam istirahat sekolah; (4) tujuan: untuk memberhentikan Waskito berbuat yang tidak baik; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: non formal.
90
Analisis: Bu Suci khawatir suara kasar Kepala Sekolah membuat Waskito gelap mata, maka Bu Suci mendahului Kepala Sekolah untuk mendekati Waskito lalu mengambil gunting yang ada ditangan Waskito sambil berkata, “Ah, kamu ini ada-ada saja! Dari mana kau dapatkan gunting ini!.” Tuturan Bu Suci tersebut mematuhi maksim kedermawanan, karena Bu Suci meminimalkan keuntungan dirinya sendiri dan berkorban untuk orang lain. Bisa saja Bu Suci mengalami hal yang membahayakan dirinya sendiri dengan mengambil tindakan nekad tersebut. 31.
Tuturan (B.5, hlm. 69-70) : “Berilah saya waktu sebulan lagi,” itulah permintaanku dalam rapat. “Sebulan!” seru seorang guru, suaranya jengkel. “Sementara itu, sebelum waktu satu bulan habis, barangkali besok atau tiga hari lagi dia membakar kelas Anda! Membakar sekolah kita!” Aku menambahkan pembelaan: “Pastilah telah terjadi sesuatu di rumah, di antara keluarganya atau di kelas sehingga dia menjadi geram. Kemarahannya dilampiaskannya kepada siapa kalau tidak kepada kita, lingkungannya terdekat? Karena dia tidak memiliki orang tua yang dapat disebutnya sebagai lingkungan terdekatnya!” “Kalau setiap kali dia marah, kita yang menanggung akibatnya, kita menjadi korbannya, itu tidak adil! Tidak termasuk dalam program maupun kurikulum! Tugas kita mengajar!” “Berbicara mengenai tugas,” aku cepat menyela, karena terlalu bersenang hati mendapat kesempatan mengutarakan isi hatiku mengenai pendidikan. “Saya kira tugas kita juga termasuk menolong murid-murid sukar. Selama hampir tiga bulan, ya hampir tiga bulan sekarang saya bertanggung-jawab akan kelas dan murid ini, saya merasa mulai mengenal dan mengerti dia. Barangkali dia juga demikian terhadap saya. Tetapi kami berdua masih memerlukan waktu lagi.” “Satu bulan, Pak! Saya mohon diberi satu bulan lagi!” “Kalau dalam batas waktu itu tidak ada perobahan yang membaik, kalau malahan terjadi kekambuhan dengan sikap yang membahayakan, terserahlah! Kalau boleh sekali lagi saya mengingatkan, bukan tugas kita mengucilkan anak yang malang seperti Waskito. Dia betul-betul sangat menderita. Hanya pelampiasannya yang meledak begitu, lalu semua orang takut kepadanya.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci memohon waktu untuk Waskito agar diberi kesempatan untuk memperbaiki sikapnya; (2) tempat: di ruang guru; (3) waktu: setelah kejadian mengamuknya Waskito; (4) tujuan: agar Kepala Sekolah
91
dan guru lain menyetujui usulannya; (5) mitra tutur: Kepala Sekolah, Guru; (6) situasi: formal.
Analisis: Ketika Bu Suci memohon untuk diberi waktu sebulan, rekan guru menanggapi dengan suara jengkel, “Sebulan! Sementara itu, sebelum waktu satu bulan habis, barangkali besok atau tiga hari lagi dia membakar kelas Anda! Membakar sekolah kita!.” Tanggapan negatif disampaikan oleh rekan guru tersebut melanggar maksim penghargaan, karena terdapat kata-kata yang menyudutkan pihak lain, Waskito. Tidak seharusnya tokoh Guru mengira-ngira keonaran akan dilakukan lagi oleh Waskito. “Pastilah telah terjadi sesuatu di rumah, di antara keluarganya atau di kelas sehingga dia menjadi geram. Kemarahannya dilampiaskannya kepada siapa kalau tidak kepada kita, lingkungannya terdekat? Karena dia tidak memiliki orang tua yang dapat disebutnya sebagai lingkungan terdekatnya!” adalah pembelaan Bu Suci. Pembelaan tersebut mematuhi maksim kesimpatisan (sympath maxim), sebab tokoh Bu Suci merasa ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh Waskito dan menjelaskannya kepada Kepala sekolah dan rekan guru. Rekan guru menyanggah pembelaan Bu Suci, “Kalau setiap kali dia marah, kita yang menanggung akibatnya, kita menjadi korbannya, itu tidak adil! Tidak termasuk dalam program maupun kurikulum! Tugas kita mengajar!.” Sanggahan rekan guru tersebut melanggar maksim permufakatan, sebab tidak memaksimalkan kecocokan dengan penutur. Rekan guru merasa tidak adil jika harus menanggung akibat dari ulah Waskito, bertentangan dengan pembelaan Bu Suci sebelumnya. Tuturan dilanjutkan dengan sanggahan Bu Suci, tetap pada pendiriannya yang ingin mempertahankan Waskito, Bu Suci berkata, “Berbicara mengenai tugas (Bu Suci menyela). Saya kira tugas kita juga termasuk menolong muridmurid sukar. Selama hampir tiga bulan, ya hampir tiga bulan sekarang saya bertanggung-jawab akan kelas dan murid ini, saya merasa mulai mengenal dan mengerti dia. Barangkali dia juga demikian terhadap saya. Tetapi kami berdua masih
memerlukan
waktu
lagi.”
Tuturan
tersebut
melanggar
maksim
92
permufakatan, karena tokoh Bu Suci dan tokoh Rekan guru saling bertentangan pendapatnya, terlebih lagi tokoh Bu Suci menyela karena terlalu bersemangat. “…Kalau boleh sekali lagi saya mengingatkan, bukan tugas kita mengucilkan anak yang malang seperti Waskito. Dia betul-betul sangat menderita. Hanya pelampiasannya yang meledak begitu, lalu semua orang takut kepadanya.” Tuturan tersebut diujarkan oleh Bu Suci dengan tujuan meyakinkan Kepala Sekolah dan Rekan Guru untuk mengabulkan permintaannya. Tuturan tersebut mematuhi maksim kesimpatisan (sympath maxim), karena tokoh Bu Suci merasa simpati terhadap anak sukar seperti Waskito. 32.
Tuturan (B.5, hlm. 70-71) : “Karsih! Mulai hari ini saya minta kamu ganti tempat duduk di belakang. Waskito maju, menempati bangku Karsih! Jadi kamu duduk paling depan, di muka Bu Suci! Guru-guru memutuskan bahwa mulai hari ini saya bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya akan segala yang kamu kerjakan,Waskito! Kalau kamu berbuat sesuatu yang keji, yang membahayakan kamu sendiri atau kawan-kawan serta gurumu, Bu Suci dikeluarkan! Kamu juga!” “Ketika saya datang di hari pertama sudah saya jelaskan bagaimana kedudukan saya di sini. Saya dalam masa percobaan karena menunggu surat keputusan pindah dari Departemen. Belum sebagai guru tetap. Sekarang, sekali lagi di sini saya mengulangi: kedudukan saya tidak kuat di sekolah ini. Tetapi meskipun begitu, Bu Suci orang yang nekad! Saya berani berjanji kepada guru-guru lain bahwa selama sebulan akan dicoba lagi kemampuan saya, apakah dapat memiliki murid-murid yang berdisiplin, berbudi dan berprestasi. Kalau ada seorang anak yang mengacau keadaan, biar! Bu Suci dikeluarkan tidak apa-apa. Tentu saja keluarga saya akan rugi karena kalau saya tidak bekerja, tidak ada pemasukan gaji. Kami harus hidup lebih menghemat.” “Tetapi belum tentu Waskito akan membuat tontonan yang mengagetkan lagi seperti tadi! Siapa tahu dia mempunyai sedikit pengertian bahwa Bu Suci juga turut menanggung biaya hidup tiga anaknya dan dua saudaranya di sekolah kejuruan di kota lain.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci kembali ke kelas dan memindahkan tempat duduk Waskito di kelas, namun Waskito tidak menuruti Bu Suci; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: jam pelajaran; (4) tujuan: untuk merubah sikap Waskito menjadi anak yang baik; (5) mitra tutur: Karsih, Murid; (6) situasi: formal.
93
Analisis: Bu Suci menjelaskan kedudukannya di sekolah kepada murid di kelasnya dengan tujuan murid mengerti, terutama Waskito. “… kedudukan saya tidak kuat…” itulah yang diujarkan oleh Bu Suci mengenai kedudukan dirinya yang menunjukan tuturan Bu Suci mematuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim) yang mengharuskan penutur bersikap rendah hati. Dilanjutkan dengan tuturan, “…Bu Suci dikeluarkan tidak apa-apa. Tentu saja keluarga saya akan rugi karena kalau saya tidak bekerja, tidak ada pemasukan gaji. Kami harus hidup lebih menghemat.” Tuturan tersebut pun mematuhi maksim keseerhanaan, sebab Bu Suci merendakan hatinya di hadapan murid dalam kelas. Bu Suci mengatakan tidak apa-apa jika dikeluarkan dari sekolah,agar Waskito dapat tersentuh hatinya. Tuturan dilanjutkan dengan, “Tetapi belum tentu Waskito akan membuat tontonan yang mengagetkan lagi seperti tadi! Siapa tahu dia mempunyai sedikit pengertian bahwa Bu Suci juga turut menanggung biaya hidup tiga anaknya dan dua saudaranya di sekolah kejuruan di kota lain.” Bu Suci berpikir positif mengenai Waskito, ia tidak mengejek ataupun mencaci Waskito meskipun Ia tahu Waskito lah yang selalu membuat onar. Hal tersebut menandakan tuturan Bu Suci mematuhi maksim penghargaan (approbation maxim). Di depan umum Bu Suci tidak mencaci Waskito, agar Waskito tidak semakin merasa tersudutkan dan teman-teman menyayangi Waskito. 33.
Tuturan (B.5, hlm. 72) : “Buku-buku tugas harus dibungkus dengan sampul yang sama. Waskito! Tolong ambilkan gulungan kertas yang ada di meja Bu Suci di kantor!” Waskito berdiri dan pergi.
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Waskito sudah duduk ditempat yang perintahkan oleh Bu Suci kemarin, Bu Suci meminta tolong kepada Waskito dan Waskito menuruti keinginan Bu Suci; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: jam pelajaran pertama; (4) tujuan: untuk menunjukan kepada Bu Suci perubahan sikap Waskito; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: formal.
94
Analisis: Bu Suci meminta tolong kepada Waskito dengan sopan santun sebab disertai dengan kata tolong, tidak langsung saja dengan kalimat imperatif, sehingga dirasa lebih santun. Waskito pun berdiri dan pergi mengambil gulungan kertas yang berada di meja Bu Suci di kantor guru. 34.
Tuturan (B.6, hlm. 76) : “Betul, bukan? Seorang ibu yang memanjakan anaknya secara berlebihan itu dapat dimengerti. Bu Suci memastikan, bahwa ibumu berusaha menyenangkan hatimu.” “Hanya, kadang-kadang keinginan memanjakan itu salah karena terlalu berlebihan,” sambutku lagi. “Ya, bukan?” “Ya, Bu,” sahutnya. “Ya yang bagaimana? Ibu memberi kamu uang atau membawakan makanan lezat-lezat!” “Bawa makanan. Tapi itu saya taruh di meja makan, buat semua.” “Uangnya kamu tabung?” “Saya tidak punya tabungan. Kalau Ibu memberi uang, saya teruskan kepada Bu De. Sewaktu-waktu saya memerlukan, saya minta. Setiap hari saya minta uang kendaraan dan jajan sedikit.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci sedang mengawasi Waskito menggarisi buku besar sambil bercengkrama tentang keluarga Waskito; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: jam istirahat; (4) tujuan: untuk mengetahui keseharian Waskito; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: non formal. Analisis: “Ya, Bu,” jawaban itulah yang keluar dari mulut Waskito saat Bu Suci mendesaknya untuk menjawab pendapatnya mengenai seorang ibu yang memanjakan anaknya itu adalah sesuatu hal yang salah karena berlebihan. Waskito memaksimalkan kecocokan dengan peserta tutur lain, Bu Suci. Sehingga dapat dikatakan, tuturan tersebut mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim). 35.
Tuturan (B.6, hlm. 76-77) : “Mengapa tidak diperbolehkan?” “Tidak tahu!” sahut murid sukarku. “Mereka tidak menerangkan alasan larangan itu?” “Tidak!”
95
“Barangkali karena orangtuamu khawatir kamu terjatuh ke dalam sungai, atau hanyut, atau mendapat kecelakaan?” “Entah, Bu! Mereka kalau sudah berkata tidak boleh, ya tidak boleh! Dulu saya selalu bertanya, mengapa saya tidak seperti kawan-kawan lain? Orangtua mereka membiarkan mereka bersepedahan ke mana-mana. Di waktu liburan, mereka diizinkan naik gunung, jalan kaki jauh. Kalau saya mau ikut, dijawab: Nanti saja bersama-sama sekeluarga, naik mobil ke Bandungan, ke Kopeng!” “Jadi kamu tidak pernah berpergian bersama-sama teman-teman sebayamu?” “Tidak, Bu!” “ Kecuali kalau mencuri-curi waktu sebentar seperti membolos.” “Kalau membolos, dengan siapa kamu pergi?” “Dengan anak-anak kampung. Siapa saja yang mau diajak buat teman.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan kegiatan Waskito selama membolos sepekan penuh berserta alasannya; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: jam istirahat; (4) tujuan: untuk mengetahui kegiatan Waskito selama membolos sepekan penuh beserta alasannya; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: non formal.
Analisis: Waskito tidak pernah diperbolehkan memancing oleh orangtuanya. Ketika Bu Suci bertanya, mengapa tidak diperbolehkan. Namun, Waskito tidak megetahui apa alasan kedua orangtuanya melarangnya. Peruturan dapat dikatakan gagal jika mitra tutur tidak mengetahui apa yang dibicarakan penutur. “Mereka tidak menerangkan alasan larangan itu?,” kata Bu Suci. Dijawab oleh Waskito, “tidak.” Tuturan tersebut mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim) sebab peserta tutur saling memaksimalkan kecocokannya. Bu Suci mengira-ngira bahwa alasan Waskito tidak mengetahui sebab orangtuanya melarangnya memancing, karena orangtuanya tidak menerangkan alasannya kepada anak itu. Waskito menyatakan benar, dengan jawaban “tidak.” Yang dimaksudkan “tidak” oleh Waskito adalah tidak menerangkan alasan larangan itu. Tuturan yang memenuhi maksim permufakatan juga terdapat dalam tuturan ketika Bu Suci menanyakan apakah Waskito tidak pernah pergi bersama teman-temannya, dapat dilihat pada kutipan berikut:
96
Bu Suci
: Jadi kamu tidak pernah berpergian bersama-sama teman-teman
sebayamu? Waskito
: Tidak, Bu! Kecuali kalau mencuri-curi waktu sebentar seperti
membolos. Waskito menyatakan benar terhadap dugaan Bu Suci, dengan mengatakan “Tidak, Bu!”. Maksud dari Waskito mengatakan tidak adalah benar kalau ia tidak pernah bepergian dengan 36.
Tuturan (B.6, hlm. 77) : “Kamu bisa berenang? Seumpama jatuh ke sungai?” “Dulu saya ingin belajar berenang, tapi tidak boleh oleh Ibu. Katanya kolam renang umum selalu kotor. Orang-orang pada kencing dan sebagainya di sana. Harus tunggu sampai kami bikin kolam sendiri.” “Akan membuat kolam renang?” “Ya, katanya begitu. Di belakang rumah masih ada tempat luas.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci dan Waskito berbincang mengenai berenang; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: jam istirahat; (4) tujuan: untuk mengetahui minat Waskito terhadap berenang; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: non formal.
Analisis: Ibu Waskito menganggap kolam renang umum selalu kotor, sehingga anaknya yaitu Waskito tidak boleh belajar berenang. Tuturan tersebut melanggar maksim kesederhanaan (modesty maxim) sebab Ibu Waskito dari tuturan yang diujarkan Waskito, sombong dan tidak mau anaknya berbaur dengan teman-teman sebayanya, tidak rendah hati karena mereka adalah orang kaya. Dilanjutkan dengan tuturan Bu Suci yang mengulangi pernyataan Waskito, untuk meyakinkan bahwa yang didengarnya adalah hal yang benar, “Akan membuat kolam renang?”. Waskito pun membenarkan, “Ya, katanya begitu. Di belakang rumah masih ada tempat luas.” Tuturan tersebut mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim), sebab peserta tutur memaksimalnya kemufakatannya.
97
37.
Tuturan (B.6, hlm. 78) : “Mengapa kamu suka memancing?” “Karena makan ikan hasil jerih payah sendiri, Bu. Rasanya lebih enak. Kata Kakek dan Nenek, memancing juga baik buat melatih kesabaran.” “Mereka tahu kamu suka memancing?” “Ya, Bu. Mereka yang membawa saya memancing pertama kalinya dulu.” “Kalau kamu naik kelas, kelak kubawa ke kota kecil kami. Di sana masih ada sungai yang berair jernih. Ikannya banyak sekali! Kita bersama-sama memancing. Keluargaku juga suka makan ikan hasil jerih payah sendiri!” (hlm. 78)
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci mengetahui Waskito suka memancing karena cerita sebelumnya. Bu Suci menanyakan alasannya; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: sebelum pulang sekolah; (4) tujuan: untuk mengatahui alasan Waskito menyukai memancing; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: non formal.
Analisis: Bu Suci menanyakan kepada Waskito, mengapa Ia menyukai memancing. Waskito pun menjawab, “Karena makan ikan hasil jerih payah sendiri, Bu. Rasanya lebih enak. Kata Kakek dan Nenek, memancing juga baik buat melatih kesabaran.” Waskito menjawabnya dari hati, dan alasannya begitu masuk akal. Tuturan Waskito tersebut mematuhi maksim kesederhanaan , Waskito merasa ikan hasil jerih payahnya sendiri lebih enak dibandingkan hasil dari membeli meskipun Waskito adalah orang yang berkecukupan. Tuturan selanjutnya, Bu Suci menanyakan apakah Kakek dan Neneknya mengetahui kesukaan cucunya. Waskito menjawab, “Ya, Bu.” Tuturan Waskito santun karena menyebutkan nama Bu dalam jawabannya, pertanda Ia menghormati gurunya dan memaksimalkan kecocokan dengan peserta tutur lain yaitu, Bu Suci. Waskito pun menyertakan alasan mengapa Kakek dan Neneknya mengetahui kesukaannya itu. Dengan demikian, tuturan Waskito mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim). Tuturan selanjutnya diujarkan oleh Bu Suci, “Kalau kamu naik kelas, kelak kubawa ke kota kecil kami….” Tuturan tersebut mematuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim) , karena Bu Suci tidak hanya menyebut kampung
98
halamannya dengan kota saja, namun kota kecil. Masih pada tuturan yang sama, Bu Suci mengatakan “… keluargaku juga suka makan ikan hasil jerih payah sendiri.” Maksud dari tuturan Bu Suci adalah keluarga Bu Suci dan Waskito mempunyai kesukaan yang sama yaitu makan ikan hasil jerih payah sendiri. Tuturan Bu Suci tersebut yang menyatakan kesukaan yang sama memenuhi maksim
permufakatan
(agreement
maxim),
karena
Bu
Suci
berusaha
memaksimalkan kecocokan dengan peserta tutur lain, yaitu Waskito. 38.
Tuturan (B.6, hlm. 80) : “Waskito, Bu!” “Mengamuk lagi dia?” (Wahyudi tertawa terkikih) “Tidak, Bu. Tanaman kami dirusak!” “Tanaman mana? Pot-pot di sudut kelas? Di samping pintu?” “Bukan! Tanaman percobaan yang tadi pagi kita letakan di jendela supaya kena panas.” “Dicabuti? semua?” “Hanya kepunyaan beberapa orang, dibanting kalengnya!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Wahyudi memberitahukan bahwa Waskito merusak tanaman percobaan yang telah murid-murid kerjakan; (2) tempat: di jalan menuju kelas; (3) waktu: setelah jam istirahat; (4) tujuan: agar Bu Suci segera ke kelas mendamaikan keadaan; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.
Analisis: Bu Suci terkejut ketika Wahyudi memberitahukan padanya mengenai Waskito. Bu Suci menduga, Waskito mengamuk lagi. Namun, dugaannya tidak benar. Wahyudi menjawab, “Tidak, Bu. Tanaman kami dirusak!.” Dengan begitu, tuturan Wahyudi yang tidak memaksimalkan kecocokan tersebut melanggar maksim permufakatan karena Wahyudi tertawa terkikih seperti meledek itu tidak santun jika membuat oranglain panik, namun Wahyudi mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Walaupun maksud dari tuturannya benar, tetap saja tuturan Wahyudi tersebut melanggar maksim permufakatan. Dilanjutkan dengan tuturan Bu Suci dengan kepanikannya menuturkan dugaan demi dugaan, “Tanaman mana? Pot-pot di sudut kelas? Di samping pintu?.” Wahyudi pun menjawab, “Bukan! Tanaman percobaan yang tadi pagi
99
kita letakan di jendela supaya kena panas.” Dengan demikian, tuturan Wahyudi yang menepis dugaan Bu Suci melanggar maksim permufakatan sebab tidak memaksimalkan kecocokan diantara Bu Suci dan Wahyudi sebagai peserta tutur. Tuturan yang melanggar maksim permufakatan pun terdapat pada tuturan Wahyudi yang selanjutnya, yaitu “Hanya kepunyaan beberapa orang, dibanting kalengnya!.” 39.
Tuturan (B.6, hlm. 81) : “Di mana Waskito?” “Keluar, Bu?” “Saya cari, Bu?” “Tidak! Jangan!” “Biarkan dulu! Dia harus datang atas kemauannya sendiri. Kita tunggu sebentar.” “Jangan! Sementara ini biar kotor, tidak apa-apa sebentar saja.” “Nanti dibersihkan bersama-sama.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci ke dalam kelas melihat hasil perbuatan Waskito, tetapi Waskito tidak ada di bangkunya, kemudian Bu Suci menanyakan kepada murid-murid yang lain; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: setelah jam istirahat; (4) tujuan: untuk mengetahui keberadaan Waskito; (5) mitra tutur: murid-murid; (6) situasi: formal. Analisis: “Tidak! Jangan! Biarkan dulu! Dia harus datang atas kemauannya sendiri. Kita tunggu sebentar.” Tuturan tersebut diujarkan oleh Bu Suci ketika seorang murid berinisiatif ingin mencari Waskito yang keluar kelas. Tuturan tersebut melanggar maksim permufakatan sebab Bu Suci melarang murid tersebut mencari Waskito, namun Bu Suci memberi alasan sebagai pengertian terhadap muridnya tersebut. “Jangan! Sementara ini biar kotor, tidak apa-apa sebentar saja.” Tuturan tersebut diujarkan oleh Bu Suci ketika Wahyudi dan seorang murid perempuan ingin membersihkan tebaran kaleng dan tanah akibat ulah Waskito. Tuturan tersebut
melanggar
maksim
permufakatan
sebab
peserta
tutur
tidak
memaksimalkan kecocokan. Wahyudi dan seorang murid perempuan bermaksud ingin membersihkan tebaran kaleng dan tanah akibat ulah Waskito, namun Bu Suci melarangnya dengan alasan agar dibersihkan bersama-sama, namun
100
sepertinya kedua muridnya tersebut dan murid lainnya belum memahami maksud Bu Suci. 40.
Tuturan (B6, hlm. 82-83) : “Sedang mengapa kamu di sini?” “Sejak tadi seisi kelas mencarimu. Kami semua khawatir! Jangan-jangan kamu mengamuk di tempat lain! Malahan ada yang mengatakan barangkali kamu tidak akan mau masuk sekolah lagi, setiap hari ke Banjirkanal, memancing!” “Apakah kau menyadari telah melakukan pembunuhan?” “Ya, betul! Pembunuhan!” “Kamu membanting dan menginjak-nginjak tanaman yang tidak berdosa! Bayi-bayi tanaman itulah yang kamu bunuh. Bu Suci tidak mengira kamu bisa berbuat sekejam itu. Kamu yang demikian sayang kepada kucing, kepada parkit dan anak-anak kecil! Sudah berapa kali Bu Suci mengulangi, alam ini serba penuh keajaiban. Biji yang kecil mungil, hanya satu, kamu masukan ke dalam tanah. Itu dapat tumbuh bertunas, bercabang, yang kadang-kadang lebih dari satu. Keluar daunnya yang bentuknya pun bermacam-macam. Kalau sudah cukup dewasa, memberi buah atau akar yang dimakan makhluk sedunia. Manusia demikian pula. Seoerti adikadikmu, seperti anak-anak Bu De, seperti anakku yang kedua, kamu semua yang masih anak-anak. Kalian juga akan menjadi besar. Kamu membantu mengawasi anak-anak Bu De, menemani anakku. Mereka akan menjadi sebesar kamu, dan kamu akan menjadi dewasa. Tetapi dewasa tidak hanya berarti berbadan besar, tinggi. Pikiran dan perasaan harus tumbuh dengan baik pula. Coba kalau kamu dewasa, apakah kau kira akan menjadi manusia yang baik?Apakah kamu akan dapat hidup bersama-sama orang lain kalau tetap tidak mampu mengendalikankemarahanmu?”(hlm. 82- 83)
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan kepada Waskito tentang mengapa Ia tidak di kelas; (2) tempat: di pinngir selokan kelas di arah depan kelas-kelas termuda, kantor guru; (3) waktu: setelah kejadian merusak tanaman; (4) tujuan: untuk mengetahui alasan Waskito tidak masuk kelas; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: non formal.
Analisis: Bu Suci mengatakan kepada Waskito bahwa seisi kelas khawatir dan mencarinya. Tuturan Bu Suci mematuhi maksim kesimpatisan (sympathy maxim), sebab Bu Suci memaksimalkan sikap simpati kepada pihak lain yaitu, Waskito. Tuturan Bu Suci yang mematuhi maksim kesimpatisan dapat dilihat, sebagai berikut “Sejak tadi seisi kelas mencarimu. Kami semua khawatir! Jangan-jangan
101
kamu mengamuk di tempat lain! Malahan ada yang mengatakan barangkali kamu tidak akan mau masuk sekolah lagi, setiap hari ke Banjirkanal, memancing!.” Selanjutnya, tuturan Bu Suci “Apakah kau menyadari telah melakukan pembunuhan?,” Tuturan tersebut adalah tuturan yang langsung dan kurang santun. Sebab, tidak seharusnya Bu Suci berkata demikian, walaupun maksud Bu Suci benar. Akibat dari kata-kata Bu Suci tersebut, mata Waskito pun terbelalak dan wajahnya cemberut. Bibir Waskito pun seperti ingin mengatakan sesuatu, namun disambar oleh Bu Suci sebelum Waskito membantahnya. “Ya, betul! Pembunuhan!,” itulah yang diucapkan Bu Suci sebelum muncul pembelaan dari Waskito atas perbuatannya. Dengan demikian tuturan Bu Suci melanggar maksim penghargaan, sebab tidak seharusnya kata-kata langsung seperti itu diucapkan kepada anak muridnya. Namun, Bu Suci pun menjelaskan, maksud dari pembunuhan yang Ia tuduhkan.
41.
Tuturan (B.6, hlm. 83-85) “Ceritakan apa yang terjadi!” “Aku ingin mendengar sebabnya mengapa kamu berbuat semacam itu. Anak- anak lain sudah bercerita, tetapi mereka bukan kamu. Pikiran mereka lain dari pikiranmu.” “Mereka mengejek saya.” “Kalau memang betul tanamanmu kurang subur, jangan malu mengakui kenyataan.” “Bagaimana yang sesungguhnya? Subur atau tidak?” “Kutunggu jawabanmu, bagaimana menurut pendapatmu apakah tanamanmu subur atau tidak?” “Tidak ada orang yang baik atau pandai atau cekatan dalam segalagalanya. Kamu terampil dalam hal pertukangan, otakmu cerdas meskipun pelajaranmu biasa-biasa saja. Bukankah itu sudah sangat mencukupi? Kalau memang kamu hendak membalas dendam terhadap temantemanmu, tidak dengan cara membanting dan menginjak-nginjak tanaman mereka. Bikinlah presentasi dalam hal lain yang kamu kira lebih mampu. Tekunilah pelajaranmu misalnya! Bejanamu dipasang di ruang keterampilan, dipergunakan sebagai contoh untuk kelas-kelas lain! Itulah prestasimu! Tunjukan lain-lainnya! Kalau memang kamu lemah dalam tumbuh-menumbuhkan biji, itu bukan merupakan masalah. Cari sebabsebabnya. Barangkali kurang air, atau kurang matahari. Anak seperti ksmu tidak seharusnya cepat berputus asa. Memalukan sekali!” “Kita semua cenderung memuaskan nafsu kekesalan dan kemarahan semau kita. Itu memang sifat manusia. Bu Suci berusaha memberi didikan
102
kerendahan hati dan menahan perasaan kepada murid-murid. Hingga saat ini kamu berhasil mendapat pujian para guru dan Kepala Sekolah. Pertahankanlah ini! Jangan selalu membuat seisi kelas dan aku ketakutan semacam tadi.” “Ayo, kembali ke kelas! Tadi kawan-kawanmu akan menyapu dan membenahi hasil pelampiasan kemarahanmu. Baik hati mereka, bukan? Meskipun tadi mereka mengejekmu, ternyata mereka mau membantu juga. Tapi mereka kularang menyapu. Aku yakin, sebegitu kamu akan membersihkan lantai, pastilah ada yang menolongmu tanpa kusuruh.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan apa yang terjadi sebenarnya sehingga Waskito begitu marah dan merusak tanaman teman-temannya; (2) tempat: kantor guru; (3) waktu: setelah kejadian merusak tanaman; (4) tujuan: untuk mengetahui alasan Waskito; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: non formal.
Analisis: Bu Suci mendesak Waskito agar Ia menceritakan kepadanya mengenai sebab Waskito berbuat ulah seperti itu. Bu Suci mengatakan, “Aku ingin mendengar sebabnya mengapa kamu berbuat semacam itu. Anak-anak lain sudah bercerita, tetapi mereka bukan kamu. Pikiran mereka lain dari pikiranmu.” Tuturan tersebut bertujuan, agar Waskito lebih terbuka kepada Bu Suci dan menjawab pertanyaan Bu Suci. Waskito menjawab, “Mereka mengejek saya.” Jawaban Waskito tersebut mematuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim) sebab Waskito mengakui bahwa Ia diejek. Bu Suci menasihati Waskito agar tidak lagi berbuat hal seperti itu, “Tidak ada orang yang baik atau pandai atau cekatan dalam segala-galanya. Kamu terampil dalam hal pertukangan, otakmu cerdas meskipun pelajaranmu biasabiasa saja. Bukankah itu sudah sangat mencukupi?….” Kutipan tutran tersebut diujarkan oleh Bu Suci agar Waskito menyadari kelebihannya. Tuturan tersebut mematuhi maksim penghargaan (approbation maxim). Bu Suci tidak mencaci maki Waskito karena malah menyadarkannya dengan cara menasehatinya dengan mengingatkan kelebihan yang dimiliki oleh murid sukarnya itu.
103
C. Tabel Jumlah Tuturan yang Mematuhi dan Melanggar Prinsip Kesantunan Menurut Leech. Agar dapat mengetahui jumlah maksim kesantunan yang mematuhi dan melanggar pada novel Pertemuan Hati karya Nh. Dini maka peneliti membuat tabel sebagai berikut. No
Maksim
Mematuhi
Melanggar
1.
Maksim kebijaksanaan (Tact maxim)
-
2
2.
Maksim kedermawanan
2
11
7
5
15
2
15
18
7
-
46
38
(Generosity Maxim) 3.
Maksim penghargaan (Approbation maxim)
4.
Maksim kesederhanaan (Modesty maxim)
5.
Maksim permufakatan (Agreement Maxim)
6.
Maksim
kesimpatisan
(Sympathy
Maxim) Jumlah
D. Implikasi Penelitian dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Lembaga pendidikan yang memiliki moto tut wuri handayani bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa dengan segala komponen di dalamnya yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Siswa mendapatkan pelajaran mengenai banyak hal yang mendukung kehidupannya kelak, termasuk pelajaran mengenai kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa tidak dapat dipisahkan alam kehidupan sehari-hari karena setiap makhluk sosial berinteraksi satu sama lain setiap harinya. Melalui pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di lembaga pendidikan, kesantunan berbahasa dapat disisipkan menjadi pembelajaran yang menyenangkan.
104
Terdapat materi “menceritakan isi novel” pada pelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas XI. Untuk mengajarkan materi tersebut, guru harus menyediakan novel sebagai bahan ajar yang memiliki bahasa yang mudah dipahami dan memiliki nilai-nilai moral. Agar setelah pelajaran selesai siswa selain mencapai kompetensi juga dapat mempraktekannya dalam kehidupannya sehari-hari. Maka dari itu, penelitian ini memilih novel Pertemuan Dua Hati sebagai objek penelitian dan diharapkan bagi guru bahasa dan sastra Indonesia untuk mempertimbangkan tentang penggunaan novel tersebut sebagai bahan ajar. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada masalah bentuk prinsip kesantunan menurut Leech pada novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini. Peneliti melihat seberapa banyak jumlah tuturan yang mematuhi maksim kesantunan berbahasa dan yang tidak mematuhi. Salah satu novel yang memiliki tuturan sehari-hari seperti pada tuturan kehidupan sehari-hari adalah novel Pertemuan Dua Hati. Selain terdapat tuturan sehari-hari, bahasanya pun mudah dipahami sehingga tidak menyulitkan siswa dalam memahami isi novel dan menceritakan isi novel kepada teman sekelas di depan kelas, dan mendiskusikan hal-hal yang menarik di dalamnya bersama teman-teman sekelas. Terdapat tuturan antar teman sebaya, tuturan antara murid dengan guru, tuturan dengan orang yang lebih tua pada novel Pertemuan Dua Hati. Dari hasil analisis kesantunan berbahasa, lebih banyak tuturan yang mematuhi kesantunan berbahasa sehingga dapat dijadikan bahan ajar untuk siswa pada saat pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas. Hal itu karena novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini memiliki bahasa yang santun, mudah dipahami, dan memiliki nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi cerminan untuk kehidupan sehari-hari para pembacanya, terutama untuk guru dan orang tua agar dapat mengetahui cara mendidik anak. Selain guru dan orang tua yang dapat mengetahui cara mendidik anak pada novel Pertemuan Dua Hati, siswa juga dapat mempergunakan kesantunan berbahasa untuk berinteksi pada segala situasi sosial, baik di lingkungan masyarakat ataupun di lingkungan tempat tinggal. Berkaitan dengan kesantunan berbahasa dapat digunakan dalam situasi sosial, berikut adalah beberapa situasi sosial yang dapat siswa terapkan
105
kesantunan berbahasanya, dikutip dari A Study Dictionary Of Social English. Siswa dapat memakai kesantunan berbahasa untuk menyatakan kemampuan atau ketidakmampuannya dalam mengerjakan sesuatu (ability / inability), pada saat siswa menasihati teman sebayanya atau orang yang lebih muda darinya (advising), saat siswa menyatakan kesetujuannya atau ketidak setujuannya dalam kegiatan diskusi di kelas atau berdiskusi dengan keluarga (agreeing / disagreeing), saat siswa meminta maaf saat melakukan kesalahan (apolozing / making excuses), saat siswa memberikan apresiasi (appreciation), saat siswa menanyakan suatu informasi kepada mitra tutur (asking for information), saat siswa menarik perhatian mitra tuturnya (attracting someone’s), saat siswa mengoreksi temannya dalam segala hal (correcting), saat siswa mengambil kesimpulan (deducting, drawing a conclusions), saat siswa menyangkal atau mengakui apa yang mitra tuturnya katakana (denying / admitting), saat siswa menyatakan kekecewaannya (disappointment), saat siswa mengungkapkan rasa takut atau khawatir ataupun gelisah (fearing, expressing worry, anxiety), saat siswa mengidentifikasi mitra tuturnya
(identifying),
saat
siswa
menyatakan
kesukaannya
ataupun
ketidaksukaannya kepada mitra tutur (liking / disliking), saat siswa bersimpati ataupun tidak bersimpati terhadap mitra tuturnya (sympathizing / not sympathizing), saat siswa memuji mitra tuturnya (praising) saat siswa berterimakasih terhadap mitra tuturnya (thanking).3 Jadi, kesantunan berbahasa dapat digunakan dalam berbagai situasi sosial agar komunikasi tetap terjaga tanpa menyakiti hati mitra tutur.
3
vii-viii.
William R. Lee, A study Dictionary Of Social English, (Oxford: Pergamon Press, 1983), h.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan bentuk prinsip kesantunan berbahasa dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini dan dianalisis menggunakan prinsip kesantunan Geoffrey Leech dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, yaitu lebih banyak tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan daripada yang melanggarnya. Berikut adalah jumlah hasil penelitian, terdapat 46 tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan dan 38 tuturan yang melanggar prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan yang dipatuhi adalah maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan dan maksim kesimpatisan. Sedangkan, prinsip kesantunan yang dilanggar adalah maksim kebijaksanaan, maksim kedermawaan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, dan maksism permufakatan. Namun, tuturan tidak ada yang mematuhi maksim kebijaksanaan dan melanggar maksim kesimpatisan. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dikatakan bahwa novel Pertemuan Dua Hati karya Nh Dini sangat layak untuk dijadikan bahan ajar Bahasa Indonesia pada materi menceritakan isi novel, sebab walaupun novel lama namun Nh. Dini sangat piawai menyajikannya dengan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca dan memiliki nilai-nilai kehidupan bagi pembacanya, terutama untuk guru dan orangtua untuk mendidik anak-anak. Selain siswa dapat mengusai materi pelajaran mengenai menceritakan isi novel, siswa pun dapat mempelajari kesantunan berbahasa yang terdapat dalam novel dan dapat langsung dipraktekkan pada kehidupan sehari-harinya dalam segala situasi sosial, baik dalam lingkungan masyarakat ataupun di lingkungan sekolah.
106
107
B. Saran Saran yang perlu penulis berikan terkait penelitian yang telah dilakukan, yaitu: 1. Bagi siswa, penerapan prinsip kesantunan berbahasa perlu ditingkatkan bukan hanya dengan media komunikasi langsung, melainkan dengan media pembelajaran seperti novel. 2. Bagi penelitian selanjutnya, penelitian mengenai kesantunan berbahasa perlu diperbanyak mengingat kesantunan berbahasa sangat berguna bagi kehidupan bermasyarakat. 3. Bagi pembelajaran di sekolah, prinsip kesantunan berbahasa dapat disisipkan untuk menambah wawasan siswa dan ilmu siswa berkaitan dengan muatan pendidikan karakter. 4. Bagi
pembaca,
sopan
santun
dalam
bermasyarakat
perlu
ditingkatkan agar hubungan antar peserta tutur dapat terjaga dengan baik.
108
Daftar Pustaka Aziez, Furqonul., dan Hasim, Abdul. Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Chaer, Abdul. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Yayasan Obor Indonesia, 2005. Dini, Nh. Pertemuan Dua Hati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009. Dirgantara, Yuana Agus. Pelangi Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia. Garudhawaca, 2012. Djajasudarma, Fatimah. Metode Linguistik- Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Refika Aditama, 2006. ___. Wacana- Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: PT Refika Aditama, 2006 ___. Wacana dan Pragmatik. Bandung: PT Refika Aditama, 2012. Hindun. Pragmatik untuk Perguruan Tinggi. Depok: Nofa Citra Mandiri, 2012. Lee, William R. A study Dictionary Of Social English. Oxford: Pergamon Press, 1983. Leech, Geoffrey. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terj. Dari The Principles Of Pragmatics oleh M. D. D. Oka. UI-Press, 2011. ___. The Principles Of Pragmatics . London and New York: Longman, 1989. Mahayana, Maman S. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PR Raja Grafindo Persada, 2007. Nadar, F.X. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009. Nurhaidah, Nuri. Wacana Politik Pemilihan Presiden di Indonesia. Yogyakarta: Smart Writing, 2014. Nasanius, Yassir (peny.). PELBBA 18:Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atmajaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.
109
Nurhayati, “Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”. http://eprints.uns.ac.id/9482/1/185730811201110211.unlocked.pdf. 2014 Purwo, Bambang Kaswanti. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius, 1990. Pusat Bahasa Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Edisi ke-3. Rahardi, R. Kunjana. Sosiopragmatik. Yogjakarta: Penerbit Erlangga, 2009. ___. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.Jakarta: Erlangga, 2005. Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Caps, 2012. Taman Ismail Marzuki, „Tokoh nh dini‟, (http://www.tamanismailmarzuki.com), 2013. Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa, 2011. Wellek, Renne and Warren, Austin. Teori Kesusastraan. Oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993. Waskito, A. A. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: WahyuMedia, 2009.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( RPP ) Sekolah Mata Pelajaran Kelas / Semester Alokasi Waktu
: SMA Negeri 7 Tangerang : Bahasa dan Sastra Indonesia : XI / 2 : 2 X 45 Menit
A. Standar Kompetensi: 11. Membaca isi novel B. Kompentensi Dasar: 11.1. Menceritakan isi novel Pertemuan Dua Hati dan menentukan nilai-nilai yang terdapat pada novel Pertemuan Dua Hati 11.2. Mengetahui maksim kesantunan berbahasa dalam novel Pertemuan Dua Hati dan merealisasikan kesantunan berbahasa saat pelajaran berlangsung. C. Materi Pembelajaran:
Membaca novel. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel. Kesantunan berbahasa menurut Leech.
D. Indikator Pencapaian NO Indikator Pencapaian Kompetensi
1
Mampu membaca serta memahami novel Pertemuan Dua Hati secara menyeluruh.
2
Mampu merangkum dan menceritakan kembali isi novel.
3
Mampu mengomentari hal-hal yang menarik serta nilai-nilai yang terkandung dalam novel Pertemuan Dua Hati.
Nilai Budaya dan Karakter Bangsa
Kreatif Rasa ingin tahu Rasa hormat Percaya Diri
Kewirausahaan/E konomi kreatif
Kemandirian Keorsinilan Dapat dipercaya
Mengetahui maksim kesantunan berbahasa dalam novel Pertemuan Dua Hati, membedakan antar maksim dan mempraktekannya saat berdiskusi dalam kelas.
4
E. Tujuan Pembelajaran Siswa dapat: Membaca serta memahami isi novel Pertemuan Dua Hati. Merangkum dan menceritakan kembali isi novel Pertemuan Dua Hati. Mengomentari dan menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam novel Pertemuan Dua Hati. Membedakan maksim kesantunan berbahasa. F. Metode Pembelajaran Tanya jawab Diskusi Ceramah Penugasan Presentasi G. Strategi Pembelajaran Tatap Muka
Membaca novel Pertemuan Dua Hati
Terstruktur
Menandai hal-hal yang menarik dalam novel Pertemuan Dua Hati.
Mandiri
Siswa dapat menceritakan kembali isi novel Pertemuan Dua Hati di depan kelas. Siswa dapat membedakan maksim kesantunan berbahasa.
H. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran NO
1.
Kegiatan Belajar
Nilai Budaya dan Karakter Bangsa
Kegiatan awal :
Bersahabat/Komunikatif
2.
Guru mengucapkan salam. Guru tersenyum dan menanyakan kabar. Guru mengabsen siswa. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Guru menanyakan pembelajaran tentang materi lalu. Guru menanyakan mengenai pengalaman membaca novel siswa. Kegiatan ini : Kreatif Eksplorasi Dalam kegiatan eksplorasi :
Bersahabat/Komunikatif
Guru menjelaskan tentang pengertian novel, sekilas tentang novel Pertemuan Dua Hati, menjelaskan tentang pentingnya kesantunan berbahasa.
Siswa membaca Pertemuan Dua Hati..
novel
Elaborasi Dalam kegiatan elaborasi ,
Membentuk kelompok kecil 5-6 orang. Mendiskusikan materi pokok dengan teman sekelompok Menentukan hal-hal yang menarik yang terdapat dalam
novel Pertemuan Dua Hati dan menentukan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Berdiskusi dengan kesantunan berbahasa yang telah dijabarkan sekilas pada eksplorasi.
Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:
3.
Menyimpulkan tentang halhal yang belum diketahui. Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui
Kegiatan akhir:
Bersahabat/ Komunikatif
Refleksi Guru meminta siswa menyimpulkan pelajaran. Guru memberi penguatan pada kesimpulan pembelajaran. Penugasan
I. Alokasi Waktu 2 X 45 Menit J. Sumber Belajar/ Alat/ Bahan Buku Belajar Efektif Bahasa Indonesia 2 Kelas XI K. Penilaian Jenis Tagihan: Tugas Kelompok Tugas Individu Bentuk Instrumen: 1. Bacalah novel Pertemuan Dua Hati! 2. Buatlah ringkasan ceritanya dan ceritakan kembali isi cerita novel di depan kelas!
3. Sebutkan masing-masing contoh maksim kesantunan berbahasa yang terdapat pada novel Pertemuan Dua Hati!
Jakarta, 21 November 2014 Guru Bahasa Indonesia
(Mia Nurdaniah)
PROFIL PENULIS Mia Nurdaniah, lahir di Cianjur 19 Juli 1992. Anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Cuparno dan Ibu Aidah. Ia menuntaskan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDN Cikokol 4 Tangerang, lulus pada tahun 2004. Kemudian Ia melanjutkan pendidikannya ke SMP Negeri 13 Tangerang. Setelah lulus pada tahun 2007, pendidikannya pada jenjang Sekolah Menengah Akhir ditempuhnya di SMA Negeri 7 Tangerang dan mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Sejak kecil Ia bercita-cita ingin menjadi seorang dokter, namun setelah memasuki bangku SMA, ia lebih tertarik dengan profesi guru, sehingga ia melanjutkannya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2010 sampai dengan 2014.