NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL PERTEMUAN DUA HATI KARYA NH. DINI Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun oleh Devia Rahmawati 801111300037
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
: Devia Rahmawati
Tempat/Tgl Lahir
: Bogor, 6 Juli 1981
NIM
: 801111300030
Jurusan/ Prodi
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi
: Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya NH. Dini
Dosen Pembimbing
: Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Jakarta, 08 Desember 2014
Devia Rahmawati NIM. 801111300030
ABSTRAK
DEVIA RAHMAWATI, NIM: 1811013000030. “Nilai-nilai Pendidikan dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul Skripsi, Pembimbing Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum. 2014. Tujuan skripsi ini adalah mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada novel Pertemuan Dua hati karya Nh. Dini. Penulis pun memilih novel ini karena merupakan salah satu karya yang mampu menarik hati dan minat pembacanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Novel Pertemuan Dua Hati ini menafsirkan data yang berkenaan dengan situasi yang terjadi, sikap dan pandangan yang menggejala di masyarakat. Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan memilih bahan, membaca dan memahami, mencari dan mengidentifikasi, dan memasukan hasil identifikasi data ke dalam tabel. Hasil penelitian dapat penulis simpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini meliputi: Nilai Religi meliputi doa; bersyukur, dan salat. Nilai Moral meliputi menghormati; menghargai, Nilai Budaya, dan Nilai Sosial meliputi saling tolong menolong. Nilai-nilai yang terdapat pada novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini terdiri dari 135 kutipan yang meliputi 14 kutipan nilai pendidikan religi, 61 kutipan nilai pendidikan nilai moral, 5 kutipan nilai pendidikan budaya, dan 5 kutipan nilai pendidikan nilai sosial. Kata Kunci : Nilai Pendidikan, Pertemuan Dua Hati, Nh. Dini.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa berbagai kesulitan penulis alami. Namun, berkat adanya dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu baik moril maupun materil, kendala-kendala tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan-bantuannya, khususnya kepada: 1. Nurlena Rifai, Ph, D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2. Didin Syafrudin, M. A., Ph.D Plt, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 3. Dra. Hindun, M.Pd., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 4. Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum. Selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, 5. Dra. Hindun, M.Pd dan Novi Diah Haryanti M. Hum, selaku dosen penguji tercinta yang telah banyak memberikan banyak saran dan masukannya, 6. Staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Program Studi DMS Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 7. Sahabat-sahabatku yang senantiasa bersama dalam suka maupun duka: Bu Emi, Bu Novi, Bu Ade, Teteh Nurul, Bunda Lastri, Bu Mar, Bu Ade dan semua angkatan 2011 khususnya kelas DMS PBSI; ii
8. Suami dan anak-anakku tercinta tiada henti memberikan dukungan, semangat, doa, kasih sayang, dan cintanya, dan 9. Papah, Mamah, kakak, dan Adikku yang telah berkorban baik moril maupun materil, memberikan dorongan, dan mendoakan dengan penuh keikhlasan yang tiada hentinya kepada penulis. Semoga amal dan budi baik yang telah mereka berikan mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah swt. Penulis menyadari, bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, 26 Agustus 2014
Penulis (Devia Rahmawati)
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIDI
ABSTRAK........................................................................................
i
KATA PENGANTAR ......................................................................
ii
DAFTAR ISI ....................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ............................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................
vii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.............................................
1
B. Identifikasi Masalah...................................................
4
C. Pembatasan Masalah ..................................................
5
D. Rumusan Masalah......................................................
5
E. Tujuan Penelitian .......................................................
5
F. Manfaat Penelitian .....................................................
6
G. Metode Penelitian ......................................................
7
KAJIAN TEORI A. Definisi Sastra dan Karya Sastra ................................
10
B. Definisi Novel ...........................................................
11
C. Jenis-jenis Novel........................................................
13
D. Unsur-unsur Novel.....................................................
14
1. Unsur Instrinsik ...................................................
14
2. Unsur Ekstrinsik ..................................................
20
E. Definisi Nilai .............................................................
23
1. Jenis-jenis Nilai ...................................................
24
2. Definisi Pendidikan ..............................................
26
iv
BAB III
BAB IV
3. Nilai-nilai Pendidikan ..........................................
27
4. Macam-macam Nilai Pendidikan..........................
27
F. Penelitian yang Relevan .............................................
31
PROFIL NH. DINI A. Biografi Nh. Dini .......................................................
33
B. Sinopsis .....................................................................
36
PENUTUP A. Analisis Unsur dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya
BAB V
Nh. Dini .....................................................................
39
B. Analisis Temuan Nilai-nilai Pendidikan .....................
47
C. Analisis Nilai Pendidikan Beberapa Tokoh ................
74
PENUTUP A. Kesimpulan................................................................
76
B. Saran .........................................................................
77
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
78
LAMPIRAN-LAMPIRAN UJI REFERENSI BIODATA PEBULIS
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Rekapitulasi Data Nilai-Nilai Pendidikan
Tabel 2
Nilai Pendidikan Religi
Tabel 3
Nilai Pendidikan Moral
Tabel 4
Nilai Pendidikan Budaya
Tabel 5
Nilai Pendidikan Sosial
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Nilai-nilai Pendidikan dalam novel Pertemuan Dua hati Lampiran 2 : Surat Bimbingan Skripsi Lampiran 3 : Surat Keterangan Ibadah Qiroah Lampiran 4 : Kartu Bimbingan Skripsi
vii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertamatama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya.1 Sastra memiliki arti karangan atau lukisan yang indah. Sastra berarti segala tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Suatu karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra apabila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya.2 Sastra mengemukakan berbagai peristiwa yang masuk akal dan harus terjadi berdasarkan tuntutan konsistensi dan logika cerita.3 Sastra dapat mengemukakan hal-hal yang mungkin terjadi, hal-hal yang bersifat hakiki dan universal. Sastra dapat mengemukakan ungkapan seseorang dalam menciptakan sesuatu. Isi dari setiap karya sastra harus saling mengisi, yaitu dapat menimbulkan kesan yang mendalam di hati para pembacanya sebagai perwujudan nilai-nilai karya seni. Apabila isi tulisan cukup baik tetapi cara pengungkapan bahasanya tidak baik, karya tersebut tidak dapat dikatakan sebagai cipta sastra dan begitupun sebaliknya. Contoh karya sastra yang sering kita lihat adalah puisi, cerpen, novel, dan drama. Masing-masing dari karya sastra tersebut memiliki ciri khas dan isinya pun beragam bergantung pada pembuat karya sastra. Pembuat karya 1
Java Van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, Terjemahan Dick Hartoko, (Jakarta; Gramedia,1982), h. 5. 2 Ibid. 3 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 121.
2
sastra menjadikan karya tersebut menjadi karya yang dapat menarik hati dan minat para pembacanya. Dalam kehidupan masyarakat, sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu, dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya karena nila-nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Sastra dapat memberikan keindahan bagi pembaca karena sifat keindahannya, mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca sehingga mengetahui moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi. Kemudian tidak kalah penting, sastra mampu memghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat atau pembaca sastra. Karya sastra merupakan hasil dari cipta karya manusia. Karya sastra memiliki nilai estetis apabila dapat memberikan dan menyajikan sesuatu yang mampu menjadikan karya sastra tersebut sebagai suatu karya yang indah. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang mencerminkan kehidupan realitas yang tinggi dan psikologi yang mendalam. Novel merupakan sebuah karya sastra prosa fiksi yang tertulis dan bersifat naratif. Pada umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari dengan menitikberatkan pada sisi kehidupan naratif tersebut. Novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini yang diterbitkan oleh PT Gramedia Jakarta pada 1986. Novel ini memberikan kisah insfiratif, dimana kisah dalam novel ini mencerminkan sisi kehidupan seorang guru sekolah dasar yang selalu memiliki tanggung jawab besar dalam menjalankan profesinya. Novel ini merupakan salah satu karya yang mampu menarik hati dan minat pembacanya. Peneliti memilih novel ini sebagai bahan kajian penilitian proposal, karena novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini merupakan novel yang memiliki pelajaran bermakna akan nilai-nilai kehidupan. Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini menyajikan kisah inspiratif yang dapat dijadikan sebagai pelajaran hidup yang bermakna. Memiliki nilai-nilai pendidikan
3
yang sangat tinggi. Tapi pada novel ini, pengarang menyajikan alur cerita yang mampu mengubah suatu hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Nilai merupakan sesuatu yang diharapkan oleh manusia. Nilai juga merupakan sesuatu yang baik yang diciptakan manusia. Contohnya, semua manusia mengharapkan keadilan. Keadilan sebagai nilai adalah normatif. Nilai menjadikan manusia terdorong untuk melakukan tindakan agar harapan itu terwujud dalam kehidupannya. Nilai diharapkan manusia sehingga mendorong manusia berbuat atau melakukan sesuatu. Misalnya, seorang guru berharap siswanya pandai, maka guru itu memerintahkan siswanya mengerjakan setiap tugas yang diberikan. Kegiatan manusia pada dasarnya digerakkan atau di dorong oleh nilai. Nilai pendidikan adalah nilai yang mengandung unsur-unsur pendidikan yang dapat ditinjau dari berbagai macam nilai-nilai kehidupan. Diantaranya, nilai religius yaitu nilai yang merupakan nilai sudut pandang yang mengikat manusia dengan Tuhan pencipta alam dan isinya. Berbicara tentang hubungan manusia tidak terlepas dari pembahasan agama. Agama merupakan pegangan hidup bagi manusia. Agama dapat pula bertindak sebagai pemicu faktor kreatif kedinamisan hidup atau pemberi makna kehidupan. Nilai religius bersifat mutlak dan bersumber pada keyakinan manusia. Melalui agama manusia dapat mempertahankan kebutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Selain nilai religius, nilai pendidikan pun dapat dilihat dari segi nilai pendidikan moral. Nilai moral sering disamakan dengan menilai etika, yaitu nilai yang menjadi ukuran patut/tidaknya manusia bersosialisasi dalam kehidupan masyarakat. Moral merupakan tingkah laku atau perbuatan yang dipandang dari nilai individu itu berada. Sikap disiplin termasuk nilai moral yang tidak hanya dilakukan dalam hal beribadah saja, tetapi dalam segala hal. Sikap yang penuh dengan kedisiplinan akan menghasilkan kebaikan. Seperti halnya, jika dalam agama seorang hamba menjalankan
4
shalat tepat waktu akan mendapatkan pahala lebih banyak. Demikian juga disiplin pada pelajaran lainnya dan tanpa memandang siapa yang berperan dalam melakukan perbuatan disiplin tersebut. Nilai tercipta secara sosial, bukan secara biologis atau bawaan sejak lahir. Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya, bahkan memandang nilai telah ada sebelum adanya manusia sebagai penilai. Baik dan buruk, benar dan salah, bukan hadir karena hasil persepsi dan penafsiran manusia, tetapi ada sebagai sesuatu yang ada dan menuntun manusia dalam kehidupannya. Persoalannya bukan bagaimana seseorang harus menemukan nilai yang telah ada tersebut tetapi lebih kepada bagaimana menerima dan mengaplikasikan nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Nilai estetika adalah nilai yang membahas tentang segala sesuatu yang memiliki unsur keindahan, seperti keindahan dalam arti estetik yang menyangkut pengalaman seseorang dalam hubungannya dengan sesuatu yang diserapnya, atau keindahan dalam arti terbatas yang menyangkut benda-benda yang diserap dengan penglihatan, yakni berupa keindahan bentuk dan warna, karena nilai keindahan atau nilai estetis bersumber pada perasaan manusia. Dalam kajian ini, peneliti akan meneliti sejauh mana nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini. Dalam novel ini, banyak sekali nilai kehidupan yang mengandung nilainilai positif yang dapat dijadikan pembelajaran hidup.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diuraikan masalah yang dapat di identifikasi sebagai berikut: 1. Dalam karya sastra khususnya novel terdapat nilai-nilai yang bisa diajarkan.
5
2. Nilai-nilai pendidikan dapat digali dari karya sastra khususnya dari novel. 3. Nilai-nilai pendidikan merupakan suatu yang sangat penting untuk diajarkan dan ditanamkan dalam diri para siswa, termasuk melalui karya sastra. 4. Nilai-nilai pendidikan sangat bermanfaat bagi kehidupan seluruh manusia. 5. Karya sastra memiliki
nilai estetis apabila dapat memberikan dan
menyajikan karya sastra tersebut sebagai suatu karya sastra yang indah.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi pada nilai-nilai pendidikan dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini yang meliputi nilai religi, nilai moral, nilai budaya, nilai estetika dan nilai sosial.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas, dapat dirumuskan penelitian sebagai berikut; Nilai-nilai pendidikan apa sajakah yang terdapat dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini.
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
6
1. Manfaat Teoritis a. Manfaat ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan khususnya dibidang sastra. b. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya penggunaan teori-teori sastra secara teknik analisis terhadap karya sastra. 2. Manfaat Praktis a) Bagi Peneliti 1.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memberikan masukan untuk dapat menciptakan karya sastra yang lebih baik.
2.
Penelitian ini dapat menambah pembelajaran bagaimana pentingnya meneliti nilai-nilai yang terdapat di dalam suatu karya sastra khususnya novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini ini.
3.
Penelitian ini dapat memperkaya wawasan sastra dan menambah khasanah penelitian sastra Indonesia sehingga bermanfaat bagi perkembangan sastra Indonesia.
b) Bagi Pembaca Umum 1.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah minat baca dan pengetahuan pembaca umum dalam mengapresiasikan karya sastra.
2.
Penelitian ini dapat menjelaskan bagaimana pentingnya nilai-nilai pendidikan yang terdapat di dalam suatu karya sastra khususnya novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini.
7
G. Metode Penelitian Adapun metode penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat yang digunakan dalam penelitian ini tidak terikat pada suatu tempat karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) novel. Artinya setiap tempat dapat digunakan jika memungkinkan dan mendukung untuk dilaksanakan penelitian. Waktu yang digunakan dalam penelitian mulai dari 08 April 2014 sampai dengan 26 Agustus 2014. 2. Sumber Data Sumber data merupakan tempat ditemukannya data-data yang akan ditulis. Adapun sumber data dalam penelitian ini berupa sumber data tertulis yang terdapat pada novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini. Sumber data yang diperoleh yaitu berdasarkan cerita atau analisis tentang novel Pertemuan Dua Hati dan analisis pengarang dengan karya-karyanya. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik pustaka yaitu dengan menganalisis isi. Pada analisis ini peneliti kemudian mencatat dokumen-dokumen yang diambil dari data primer yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Datanya berupa novel, maka peneliti mencoba menelaah isi novel. Adapun langkahlangkah pengumpulan data dalam novel Pertemuan Dua Hati yaitu: a. Membaca secara cermat novel Pertemuan Dua hati karya Nh. Dini, b. Menentukan unsur intrinsik dalam novel Pertemuan Dua Hati, c. Mencatat
kalimat
yang
menggambarkan
adanya
nilai-nilai
pendidikan dalam novel Pertemuan Dua hati karya Nh. Dini, d. Menganalisis nilai-nilai pendidikan dalam novel Pertemuan dua Hati karya Nh. Dini. 4. Teknik Analisis Data
8
Penelitian ini dilakukan melalui berbagai tahapan untuk mendapatkan kesempurnaan sesuai dengan yang peneliti harapkan. Maka dari itu, dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan bentuk analisis data berupa tabel analisis data dan penggolongan nilainilai pendidikan, terkait dengan kajian terhadap novel yang peneliti analisis. Kelompok kategori penggolongan nilai-nilai pendidikan dari novel tersebut di antaranya, nilai religi, nilai moral, nilai sosial dan nilai budaya yang terdapat pada novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini. Dari pengumpulan data di atas, dapat dijelaskan dalam tabel analisis sebagai berikut: Tabel 1 FORMAT ANALISIS DATA NILAI-NILAI PENDIDIKAN NOVEL PERTEMUAN DUA HATI No Kutipan/Kalimat
Hal
Nilai-nilai Pendidikan NR
NM
NB
NE
Tabel 2 FORMAT PENGGOLONGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN
NS
9
NOVEL PERTEMUAN DUA HATI No
Nilai-nilai Pendidikan
1.
Nilai Religi
2.
Nilai Moral
3.
Nilai Budaya
4.
Nilai Estetika
5.
Nilai Sosial
Cek
Halaman
Jumlah
Keterangan: NR
: Nilai Religi
NM
: Nilai Moral
NB
: Nilai Budaya
NS
: Nilai Estetika
NE
: Nilai Sosial
Analisis Nilai Religi ......................................................................... Analisis Nilai Moral .......................................................................... Analisis Nilai Budaya ......................................................................... Analisis Nilai Estetika ......................................................................... Analisis Nilai Sosial .............................................................................
8
BAB II LANDASAN TEORI
A. Definisi Sastra dan Karya Sastra Berdasarkan asal-usulnya, istilah kesusastraan berasal dari bahasa
sansekerta, yaitu susastra. Su berarti “bagus” atau “indah”,
sedangkan sastra bararti “buku", “tulisan”, atau “huruf”. Berdasarkan dua kata itu susastra diartikan sebagai tulisan atau teks yang bagus atau tulisan yang indah. Istilah tersebut kemudian mengalami perkembangan. Kesusastraan tidak hanya berupa tulisan. Adapula yang berbentuk lisan. Karya semacam itu dinamakan sastra lisan. Oleh karena itu, sekarang kesusastraan meliputi karya lisan dan karya tulisan dengan ciri khas pada keindahan bahasanya. 1 Mempelajari sifat-sifat teks sastra secara sistematik serta fungsinya di dalam masyarakat dapat membantu kita untuk mengerti teks itu dengan lebih baik sehingga kita lebih banyak pengertian untuk menjadi seorang penggemar sastra, yakni nafsu ingin tahu dan kesabaran, pengalaman dalam membaca karya-karya sastra dan pengalaman mengenai hidup itu sendiri. Dalam penelitian yang bersifat hermeneuitik (menerangkan teks) penafsiran serta penilaian terhadap karya-karya sastra sendiri justru menjadi kancah perhatian.2 Pendek kata pengertian tentang sastra sendiri sering dimutlakkan dan dijadikan sebuah tolak ukur universal; padahal perlu diperhatikan kenisbian historik sebagai titik pangkal.3 Sastra adalah karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, 1
E. Kosasih. Apresiasi Sastra Indonesia. (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h.1. Java Van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, Terjemahan Dick Hartoko, (Jakarta: Grameedia,1982), h. 2. 3 Ibid., h. 4. 2
10
9
serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Ada tiga aspek yang harus ada dalam sastra, yaitu keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Kalau ada sastra yang mengorbankan salah satu aspek ini, misalnya karena alasan komersial, maka sastra itu kurang baik. Sastra pun terdiri atas tiga jenis, yaitu puisi, prosa dan drama.4 Banyak sudah definisi sastra yang telah dikemukakan oleh para ahli sastra. Pada dasarnya, definisi tersebut mempunyai dasar pengertian yang sama, meskipun diuraikan dengan kalimat dan bahasa yang berbeda.5 Secara intuitif, memang siapapun mengetahui apa yang disebut sastra itu. Namun, deskripsi dari pengertian yang ada pada pikiran kita itulah yang masih sulit dirumuskan dalam bentuk kalimat yang tepat. Jika kita mencoba merumuskan definisi sastra berdasarkan intuisi tersebut biasanya banyak gejala yang luput dari kalimat yang kita susun. Sebagai contoh, merumuskan kata sastra saja, masih banyak perbedaan persepsi. Sastra misalnya dalam bahasa sansekerta berasal dari kata sas yang berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi, sedang tra berarti alat atau sarana.6 Pengertian tentang sastra yang berlaku pada zaman Romantik tidak merupakan suatu kesatuan. Tidak semua tokoh Romantik mempunyai pendapat yang sama mengenai sastra. Sekalipun demikian kita dapat menyebut beberapa ciri yang selalu muncul kembali. a. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertamatama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan. 4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 1, (Jakarta Timur, Cetakan keenam, 2009), h. 159. 5 Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2002), h.3. 6 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 23.
10
b. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain; sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri.7 Karya sastra adalah artefak, adalah benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik
8
bila diberi arti oleh
manusia pembaca sebagaimana artefak peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog. Seperti telah dikemukakan bahwa karya sastra sebagai artefak tidak mempunyai makna tanpa diberi makna oleh pembaca. Disini faktor pembaca menjadi penting sebagai pemberi makna. Dalam memberi makna kepada karya sastra itu, tentulah kritikus (pembaca) tidak hanya semau-maunya melainkan terikat kepada teks karya sastra sendiri sebagai sistem tanda yang mempunyai konvensi sendiri berdasarkan kodrat atau hakikat karya sastra. 9 Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong, tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dan yang baru.10 Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra, maka prinsip kesejarahan harus diperhatikan. Definisi-definisi sastra yang ada yang selama ini sering dijadikan patokan tentang pengertian sastra, umumnya masih bersifat parsial sehingga belum mampu memberikan gambaran pengertian sastra secara utuh. Keparsialan definisi tersebut oleh Jan Van Luxemburg, digolongkan menjadi 4 bagian yang meliputi:
7
Luxemburg. Op. cit., h. 5 Ibid., h.191 9 Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Belajar,1995), h. 107. 10 Ibid., h. 112. 8
11
1. Definisi yang mencakup aspek terlalu banyak, sering lupa antara definisi deskriptif mengenai sastra itu apa dengan definisi evaluatif yang berkaitan dengan nilai yang menentukan suatu karya bernilai tinggi atau tidak; 2. Definisi yang ada merupakan definisi ontologis yaitu definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra sambil melupakan bahwa hendaknya didefinisikan di dalam situasi para pemakai atau pembaca sastra, norma, dan deskripsi sering dicampurbaurkan sehingga tidak disadari bahwa sementara karya untuk orang ini termasuk sastra sedang menurut orang lain bukan sastra; 3. Definisi yang terlalu dititikberatkan pada contoh sastra barat khususnya sejak jaman Renaissance, tanpa memperhitungkan sastra di luar jaman tersebut. Padahal di luar kebudayaan sastra Eropa, banyak dijumpai karya sastra yang berbeda yang mempunyai kekhasan; 4. Definisi yang hanya berkecenderungan dengan jenis-jenis sastra tertentu sehingga tidak relevan apabila diterapkan pada semua jenis sastra.11
B. Definisi Novel Novel merupakan salah satu hasil karya sastra yang diciptakan oleh seorang sastrawan. Biasanya novel disebut juga sebuah fiksi atau karya rekaan hasil imajinasi sastrawan itu sendiri, ada yang hanya imajinasi atau khayalan. Novel berasal dari
novella (yang dalam
bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah Abrams mengungkapkan novella sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah novelet (inggris:
11
Fananie, op. cit., h. 5.
12
novellet), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjang, namun juga tidak terlalu pendek.12 Dari istilah bahasa Inggris novel dan Prancis roman. Prosa rekaan
yang
panjang
yang
menyuguhkan
tokoh-tokoh
dan
menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Cerita rekaan
yang
melukiskan
puncak-puncak
peristiwa
kehidupan
seseorang, mengenai kejadian-kejadian yang luar biasa dalam kehidupannya, secara melompat-lompat, dan berpindah-pindah. Dari berbagai peristiwa itu lahirlah konflik, suatu pertikaian yang kemudian justru mengubah nasib orang tersebut.13 Novel merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Hal inilah, antara
lain,
yang
menyebabkan
sulitnya
pembaca
untuk
menafsirkannya. Untuk itu, diperlukan suatu upaya (boleh dibaca: kritik) untuk dapat menjelaskannya, dan biasanya, hal itu disertai bukti-bukti hasil kerja analisis. Dengan demikian, tujuan utama kerja analisis kesastraan, fiksi, puisi, ataupun yang lain, adalah untuk dapat memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan, di samping untuk membantu menjelaskan pembaca yang kurang dapat memahami karya itu. 14 Dari segi panjang cerita, novel (jauh) lebih panjang daripada cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.15
12
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Bulaksumur, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2005), h. 9-10. 13 Perpustakaan Nasional RI, Dewan Direksi, Ensiklopedi Sastra Indonesia,(Bandung: Titian Ilmu;2004), h. 546. 14 Nurgiyantoro,op. cit., h. 31-32. 15 Ibid., h. 11.
13
C. Jenis-Jenis Novel Dalam dunia kesusastraan sering ada usaha untuk mencoba membedakan antara novel serius dengan novel populer. Usaha itu dibandingkan dengan perbedaan antara novel dengan cerpen, atau antara novel dengan roman, sungguh tidak lebih mudah dilakukakan, dan lebih dari itu bersifat riskan. Pada kenyataannya sungguh tidak mudah untuk menggolongkan sebuah novel ke dalam kategori serius atau populer.16 Dari kedua jenis novel tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Novel Serius Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya; unsur kebaruan diutamakan. Novel serius bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan memang, pembaca novel jenis ini tidak (mungkin) banyak. Hal itu tidak perlu dirisaukan benar (walau tentu saja hal itu tetap saja memprihatinkan). Jumlah novel dan pembaca serius, walau tidak banyak, akan punya gaung dan bertahan dari waktu ke waktu. Karena cuma novel serius inilah yang selama ini banyak dibicarakan pada dunia kritik sastra walau ada juga kritikus yang secara intensif membahas novel-novel populer.17 b. Novel Populer Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menjaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak 16 17
Ibid., h.17. Ibid., h. 20-21.
14
menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat, dan berubah menjadi novel serius dan boleh jadi ditinggalkan oleh pembacanya. Oleh karena itu, novel populer bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Ia biasanya, cepat dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya.18 Novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini ini bisa disebut novel yang tergolong novel populer, karena novel ini novel yang populer pada masanya.
D. Unsur-unsur Novel Karya sastra seperti halnya novel terbentuk atas unsur-unsur yang membentuknya, yaitu unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membentuk utuhnya sebuah novel yang meliputi tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, sudut pandang (point of view), gaya cerita, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi bangunan suatu karya sastra. Kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan, karena saling berkaitan satu sama lainnya. Peneliti akan menjabarkan masing-masing unsur yang membangun sebuah novel. 1. Unsur Instrinsik Berbicara mengenai novel maka akan dapat kita ketahui bahwasannya sebuah novel dibangun oleh beberapa unsur, salah satunya yaitu unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang 18
Ibid., h. 18.
15
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra.19 a. Tema Kata tema seringkali disamakan dengan pengertian topi; padahal kedua istilah itu mengandung pengertian yang berbeda. Kata topik berasal dari bahasa Yunani topoi yang berarti tempat. Topik dalam suatu tulisan atau karangan berarti pokok pembicaraan. Sedangkan tema merupakan tulisan atau karya fiksi. 20 Tema merupakan gagasan pokok atau subject matter yang dikemukakan oleh penyair.21 Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat.22 Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa, tema adalah suatu cerita yang di dalamnya terdapat ide atau gagasan yang akan disampaikan pengarang lewat cerita yang disajikannya. b. Tokoh dan Penokohan Tokoh cerita adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan cenderung tertentu seperti yangdiekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dalam hal ini, khususnya dari pandangan teori 19
Nurgiyantoro, op. cit., h. 23. Prof. M. Atar, Semi. Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya), h. 42. 21 Herman J, Waluyo, Teori Apresiasi Sastra,(Jakarta: Erlangga, 1987), h. 106. 22 Fananie, op. cit., h. 84. 20
16
resepsi, pembacalah sebenarnya yang memberi arti semuanya. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemahaman itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.23 Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Tokoh, watak, dan segala emosi yang dikandungnya itu adalah aspek isi, sedangkan teknik perwujudannya dalam karya fiksi adalah bentuk. Jadi, dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek: isi dan bentuk. c. Alur Alur termasuk salah satu unsur intrinsik yang terpenting dalam suatu cerita. Alur ialah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.24 Alur sebuah cerita dapat disimpulkan dari data yang disajikan dalam teks. Secara intuitif ini dilakukan oleh seorang murid yang menceritakan kembali apa yang dibacanya. Alur merupakan bagian terpenting dalam cerita fiksi. Alur tersebut membentuk pola sambung sinambung 23 24
Nurgiyantoro,op. cit., h. 165-166 Luxemburg. Op. cit., h. 149.
17
dalam sebuah peristiwa yang berdasarkan sebab-akibat. Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Dapat disimpulkan bahwa alur adalah bagian terpenting dalam cerita fiksi yang dialami para pelaku dalam suatu rentetan peristiwa. d. Latar Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu, yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.25 Latar atau tandas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah tempat atau ruang yang dapat diamati, seperti di kampus, di sebuah kapal yang berlayar ke Hongkong, di kafetaria, di dalam penjara, di sebuah puskesmas dan sebagainya. Termasuk di dalam unsur latar atau landas tumpu ini adalah waktu, hari, tahun, musim, atau periode sejarah. 26 Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa latar adalah tempat peristiwa yang diceritakan oleh sastrawan. Latar bukan hanya menunjukkan tempat dan waktu saja, namun juga menceritakan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang di ceritakan. e. Sudut Pandang Sudut pandang, point of view, viewpoint, merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton digolongkan sebagai 25 26
Nurgiyantoro,op. cit., h. 216. Semi. Op. cit., h. 46.
18
sarana cerita, literary device. Walaupun demikian, hal itu tidak berarti bahwa perannya dalam fiksi tidak penting. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian
cerita.
Sudut
pandang
dalam
karya
fiksi
mempersoalkan; siapa yang menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Dengan demikian, pemilihan bentuk pesona yang dipergunakan, di samping mempengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan, juga kebebasan dan keterbatasan, ketajaman, ketelitian,
dan
keobjektifan
terhadap
hal-hal
yang
diceritakan.27 Berdasarkan definisi ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah strategi, teknik maupun siasat yang dikemukakan oleh pengarang dalam menceritakan sebuah cerita karya fiksinya. f. Gaya Bahasa Bahasa adalah seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung nilai lebih daripada sekedar bahannya itu sendiri. Sastra khususnya fiksi, di samping sering diseebut dunia dalam kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal itu disebabkan “dunia” yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa.28
27 28
Ibid., h. 246-247. Ibid., h. 273.
19
Gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis di atas lempengan lilin. Walaupun style berasal dari bahasa latin, orang Yunani sudah mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Gaya bahasa
atau
style
dapat
dijelaskan
sebagai
cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.29 Bahasa dalam seni sastra disamakan dengan cat dalam seni lukis, keduanya merupakan unsur suatu bahan, alat, dan sarana yang dapat diolah untuk dijadikan sebuah karya sastra yang mengandung “nilai lebih” daripada sekedar bahannya itu sendiri. Sastra, khusunya fiksi di samping sering disebut dunia dalam kemungkinan juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal itu disebabkan “dunia” yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa.30 Dapat disimpulkan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa nonsastra atau bahasa yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Dimana gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa pengarang untuk mengungkapkan sesuatu yang akan di kemukakan melalui cipta hasil karya sastranya. g. Amanat Pada dasarnya amanat berisikan ajakan moral yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat juga salah satu makna yang terkandung dalam sebuah cerita. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup 29
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001),
30
Nurgiyantoro, op.cit., h. 272.
h. 112.
20
pengarang yang bersangkutan, pandangannya tantangan nilainilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral ini merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Moral ini bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya, dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya. 2. Unsur Ekstrinsik Selain unsur instrinsik, sebuah novel dibangun pula oleh unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik merupakan segala sesuatu yang menginspirasikan penulisan karya sastra dan mempengaruhi karya sastra secara keseluruhan. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya
sastra
itu,
tetapi
secara
tidak
langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra, atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi dan mempengaruhi di dalamnya. 31 a. Unsur Biografi Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri. Biografi hanya
bernilai sejauh
memberi masukan tentang penciptaan karya sastra. Tetapi biografi dapat juga dinikmati karena mempelajari hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, 31
Ibid., h. 23.
21
mental, dan intelektualnya, yang tentu menarik. Biografi dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif.32 Jadi, unsur biografi dalam sastra ini merupakan suatu karya sastra yang berasal dari kehidupan pribadi pengarang yang dibentuk dalam suatu karya sastra melalui penyaringan terlebih dahulu, agar mendapatkan gambaran biografi yang jelas dan baik. b. Unsur Masyarakat Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat.33 Pengarang adalah seorang warga masyarakat yang tentunya memiliki pendapat mengenai masalah-masalah politik dan sosial yang sangat penting dan mengikuti perkembangan zaman yang sedang terjadi. Dapat disimpulkan bahwa pendekatan masyarakat ini, melibatkan sosial, dan politik masyarakat itu sendiri. Pengarang adalah bagian dari masyarakat dan makhluk sosial, maka itu membutuhkan satu sama lain dalam suatu kehidupan masyarakat. c. Unsur Psikologi Istilah “psikologi sastra”
mempunyai empat
kemungkinan pengertian, yaitu:
32
Rene Wellek&Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia, 1989), h.
33
Ibid., h. 109.
82.
22
1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi 2) Studi proses kreatif 3) Dampak sastra bagi pembaca.34 Berikut penjelasan masing-masing dari istilah psikologi sastra, di antaranya: 1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi Memiliki arti bahwa penyair atau seorang pengarang
adalah
masyarakat. pengertiannya,
pelamun
Penyair ia
tidak boleh
yang
diterima
perlu
oleh
mengubah
meneruskan
dan
mempublikasikan lamunannya. 2) Studi proses kreatif Studi ini meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah pengarang, bagian akhir ini yang merupakan tahapan yang paling kreatif. Setiap pembahasan modern mengenai proses kreatif pasti menyorot kepada peran alam bawah sadar pengarang. Pengarang yang sering membicarakan proses kreatifnya akan lebih suka menyinggung prosedur teknis yang dilakukan dengan sadar daripada membicarakan “bakat alam” atau pengalaman yang
34
Rene Wellek & Austin Warren. Op. cit., h. 90.
23
menjadi bahan karya, atau karya sebagai cermin atau prisma dari pribadi mereka. 3) Dampak sastra bagi pembaca Dampak sastra ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu, yang bersifat fositif dan dampak yang bersifat
negatif.
Dampak
yang
bersifat
positif
ditunjukkan dengan si pembaca mampu mengambil hikmah dari sebuah cerita yang dibacanya dan mampu meniru hal-hal yang positif. Sedangkan dampak yang bersifat negatif ditunjukkan oleh pembaca dengan meniru serta mengambil hal-hal atau prilaku yang lebih tertuju kepada hal yang jelek dalam suatu cerita. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kebenaran psikologi merupakan suatu karya seni mutlak keberadaannya dalam sebuah karya sastra.
E. Definisi Nilai Nilai merupakan sesuatu yang berhubungan dan diyakini oleh seseorang atau masyarakat sebagai acuan dalam bertindak. Nilai bermanfaat bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin jika difungsikan dengan baik dan benar. Nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak.35 Berdasarkan pendapat Kaelan di atas, pada prinsipnya nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat dalam kehidupan. Sehingga manusia dapat mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, nilai juga dapat dijadikan landasan serta motivasi untuk bertingkah laku baik itu secara sadar atau 35
Kaelan. Pendidikan Pancasila,. (Yogyakarta: Paradigma, 2004), h. 98.
24
sebaliknya, jadi dengan adanya sikap seperti ini maka manusia ada alasan untuk bersikap baik atau buruk terhadap orang lain tergantung bagaimana manusia itu sendiri yang menjalankannya. Spranger mengungkapkan, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dengan demikian, nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial untuk membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai. Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh individu ke dalam dirinya serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya.
Nilai merupakan standar
konseptual yang relatif stabil yang secara eksplisit atau implisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.36 Jadi kesimpulan yang peneliti bisa ambil bahwa nilai adalah sesuatu yang penting dan berguna yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. 1. Jenis-jenis Nilai Nilai dipandang penting oleh setiap orang, namun pandangan orang tentang nilai tentulah berbeda-beda, itulah sebabnya
nilai
memiliki
pengertian
dan
jenis.
Nilai
berhubungan erat dengan kegiatan manusia menilai. Menilai 36
Prof. Dr. H. Mohammad Asrorii, M.Pd. Psikologi Pembelajaran, Wacana Prima, 2009), h.153.
(Bandung: Cv
25
berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil suatu keputusan. Keputusan nilai dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau buruk, manusiawi atau tidak manusiawi, religius atau tidak religius. Penilaian ini dihubungkan dengan unsur-unsur atau hal-hal yang ada pada manusia, seperti jasmani, cipta, karsa, rasa dan keyakinan. Sesuatu dipandang bernilai karena sesuatu itu berguna, maka disebut nilai kegunaan, bila benar dipandang bernilai maka disebut nilai kebenaran, indah dipandang bernilai maka disebut nilai keindahan (estetis), baik dipandang bernilai maka disebut nilai moral, religius dipandang bernilai maka disebut nilai keagamaan. Jenis-jenis
nilai
yang
dikemukakan
oleh
Notonegoro membagi nilai menjadi tiga macam:37 1. Nilai Material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia. 2. Nilai Vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas. 3. Nilai Kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai ini dapat dibedakan atas empat
macam: a. Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta) manusia
37
Ibid., h.89.
26
b. Nilai keindahan atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan manusia c. Nilai Kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak manusia d. Nilai religius, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber pada kepercayaan atau keyakinan. Peneliti menyimpulkan bahwa nilai merupakan landasan penting bagi kehidupan manusia. Nilai membatasi manusia dalam menilai sesuatu, dan dengan berpedoman pada nilai- nilai kehidupan, manusia akan dapat terjaga etika, kesopanan dan sikap dalam hidup bermasyarakat. 2. Definisi Pendidikan Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap.38 Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipal (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya.39 Selanjutnya dikatakan pula bahwa, memanusiakan manusia atau proses humanisasi melihat manusia sebagai suatu 38
Tirtarahardja, Umar, dan S.L. La Sulo. Pengantar Pendidikan Edisi Revisi, (PT Rineka Cipta, 2013), h. 37. 39 Ibid., h. 3.
27
keseluruhan di dalam eksistensinya. Eksistensi ini menurut penulis adalah menempatkan kedudukan manusia pada tempatnya yang terhormat dan bermartabat. Kehormatan itu tentunya tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang selalu dipegang umat manusia. 3. Nilai-nilai Pendidikan Nilai
pendidikan
adalah
nilai
yang
dapat
menyiapkan peserta didik dalam peranannya di masa yang akan datang melalui pengajaran dan latihan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan bagian integral pengajaran itu sendiri. Adapun macam-macam nilai pendidikan terdiri dari nilai religius, nilai moral, nilai sosial, nilai budaya dan nilai estetika. 4. Macam-macam Nilai Pendidkan a. Nilai Religius Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntutan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam karya sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai religius dalam bersifat individual dan personal. Agama merupakan kunci sejarah, kita baru dapat memahami jiwa suatu masyarakat, bila kita memahami agamanya.40 Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri.41 Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa 40 41
Semi. Op. cit., h. 21. Nurgiyantoro. Op. cit., h. 326.
28
Nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak bersumber pada kepercayaan aatau keyakinan manusia. b. Nilai Moral Moral merupakan landasan bagaimana manusia harus bertindak atau berprilaku. Jika manusia tidak menjalankan landasan tersebut maka terjadilah perilakuperilaku yang menyimpang yang tidak diinginkan dalam kehidupan bermasyarakat. Moral merupakan ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kelakuan mengenai
akhlak,
budi
pekerti,
kewajiban,
dan
sebagainya.42 Pendapat yang dikemukakan Kenny, bahwa moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu sarana yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, dapat diambil (ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Moral merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. 43 Nilai moral yang terkandung dalam karya seni bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilainilai apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi masyarakat yang dianggap baik.
42
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pengembangan Bahasa, 1988), h. 592. 43 Nurgiyantoro. Op. cit., h. 321.
(Jakarta: Pusat Pembinaan dan
29
Pendapat yang dikemukakan oleh Kenny lebih berhubungan dengan pembaca karena pengarang sengaja menghubungkan masalah kehidupan seperti tingkah laku, sikap, serta kesantunan dalam pergaulan, karena moral sipatnya praktis, oleh sebab itu moral bisa ditonjolkan atau ditampilkan dalam cerita lewat tingkah laku para tokoh secara nyata. Ada perbedaan antara Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kenny tentang moral yaitu, dalam KBBI lebih mengarah kepada bagaimana manusia itu berprilaku terhadap dirinya sendiri, terhadap orang lain, terhadap tuhan, serta menekankan manusia sadar dan memahami supaya tidak terjadi perilaku-perilaku yang menyimpang dalam menjalani kehidupan. Kenny menyatakan lebih menghubungkan masalah sikap manusia dalam pergaulan, karena menurutnya moral itu sifatnya praktis, sehingga mudah untuk ditiru oleh manusia, tetapi bagaimana manusia itu sendiri menanggapinya. Pada dasarnya nilai moral adalah landasan yang telah disepakati dan dijadikan tolak ukur untuk menetukkan baik buruk tingkah laku, budi pekerti seseorang. Remaja dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran hal-hal yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Tindakantindakan tidak bermoral terjadi ketika orang menghindari proses menjadi diri sendiri dengan berbagai alasan atau komitmen untuk membiarkan diri dikuasai dan diarahkan oleh nilai moral itu sendiri. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa moral adalah sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia
30
yang dilakukan secara sadar kepada dirinya, orang lain, serta kepada Tuhannya supaya tidak terjadi perilaku menyimpang dalam pergaulan. c. Nilai Sosial Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenan dengan masyarakat
atau
kepentingan
umum.
Nilai
sosial
merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berfikir, dan hubungan
sosial
bermasyarakat
antar
individu.
Manusia tidak terlepas dari pengaruh masyarakat, rumah, sekolah dan lingkungan yang lebih besar dalam kehidupannya. Oleh karena itu, manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang di dalam kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan
orang
lain.
Ada
kebutuhan
untuk
hidup
berkelompok dengan manusia lain, seperti kebutuhan atau sikap tolong menolong, kasih sayang, kepedulian sosial, kepekaan terhadap sesama. d. Nilai Estetika Berbicara tentang sastra tidak dapat terlepas dari berbicara tentang keindahan karena sastra itu adalah salah satu karya seni, dan karya seni itu adalah karya yang
31
mengandung unsur keindahan. Keindahan adalah persoalan sulit yang belum dapat dipisahkan. 44 Sastra sebagai suatu karya seni jelas merupakan hasil ciptaan seniman, karena itu keindahan yang terdapat padanya
bukanlah
keindahan
alamiah
melainkan
merupakan daya cipta dan hasil kreasi. F. Penelitian yang Relevan 1. Kori Lovita Dewi dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Nilai Sosial Pada Novel dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang karya Nh. Dini”. Dalam kesimpulannya novel ini menganalisis nilai sosial yang terkandung di dalamnya yaitu pada novel Rue Saint Simon karya Nh. Dini, novel ini menceritakan keadaan suhu di Eropa selain itu perbedaan tingkah laku dan pola pikir manusia yang memang dapat mempengaruhi individu lainnya. 2. Panji Pradana dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Interstektual Dalam Novel Namaku Hiroko karya Nh. Dini”. Dalam kesimpulannya kajian ini dimaksudkan sebagian kajian terhadap sejumlah teks sastra yang mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur instrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa dan lain sebagainya diantara teks yang dikaji. 3. Nani Frigiawati dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Nilai Moral dalam Novel Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi nilai moral yang ada dalam novel Pada Sebuah Kapal, yang 44
Semi. Op. cit., h. 25.
32
terdiri atas hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan suami dengan istri, hubungan manusia dengan tuhan. Nilai moral yang dominan digambarkan pengarang ialah hubungan manusia dengan manusia lain, yaitu hubungan kasih sayang orang tua dengan anak dan keegoisan dalam hubungan suami dan istri.
BAB III PROFIL NH. DINI
A. Biografi Nh. Dini Nh. Dini nama lengkapnya Nurhayati Sri Hardini lahir tanggal 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Dia adalah putri bungsu dari pasangan Salyowijoyo, seorang pegawai perusahaan kereta api, dan Kusaminah. Nh. Dini berkakak empat orang, yaitu (1) Heratih, (2) Mohamad Nugroho, (3) Siti Maryam, dan (4) Teguh Asmar. Dari keempat saudaranya itu yang paling akrab dengan Dini adalah Teguh Asmar karena keduanya sama-sama seniman. Nh. Dini juga dekat dengan ayahnya yang telah membimbingnya dalam mencintai seni. Sebelum meninggal, ayahnya berpesan agar Dini belajar menari dan memukul gamelan yang tujuannya untuk mendidiknya supaya memahami kelembutan dalam kehidupan. Itulah sebabnya, mengapa tokoh utama wanita dalam novelnya Pada Sebuah Kapal sangat menonjol kelembutannya. Nh. Dini juga berdarah Bugis, selain Jawa.1 Tahun 1960 Nh. Dini dipersunting seorang diplomat Prancis bernama Yves Coffin yang pada saat itu sedang bertugas di Indonesia selama empat tahun. Setelah menikah, mereka pindah ke Jepang. Setahun kemudian, yaitu tahun 1961 lahir anak pertamanya yang diberi nama Marie Glaire Lintang. Dari Jepang mereka pindah ke Kamboja tahun 1967 lahir pula anak kedua (laki-laki) bernama Louis Padang di L‟Hay„les Roses, Prancis. Akhirnya, mereka menetap di Prancis. Akan tetapi, rumah tangga pasangan Nh. Dini dan Yves Coffin ini akhirnya setelah 1
Perpustakaan Nasional RI, Dewan Direksi, Ensiklopedi Sastra Indonesia,(Bandung: Titian Ilmu;2004), h. 190.
33
34
mereka jalani selama kurang lebih dua puluh tahun. Setelah menyelesaikan urusan perceraiannya, tahun 1980 Nh. Dini kembali ke tanah air dalam keadaan sakit kanker. Akan tetapi, kini kesehatannya telah pulih kembali dan aktif menulis sambil memupuk bakat menulis kepada anak-anak bersama pondok bacanya di desa Kedung Pani, beberapa kilometer arah barat laut kota Semarang. Pondok baca yang semula berada di Semarang itu pindah ke Yogyakarta mengikuti kepindahan Nh. Dini yang kini tinggal di Graha Wredha Mulya 1-A (2003). Selain itu, ada pula pondok baca cabang Jakarta, dan Kupang Timur. Dalam hal keyakinan, Nh. Dini tidak tegas memeluk salah satu agama, hanya diakuinya bahwa dia pernah mendapat pendidikan agama Islam Jawa. Kepada anaknya dia juga tidak memaksakan agama apa yang harus mereka anut walaupun dia mengirim anak-anaknya ke gereja ketika mereka masih kecil. Dini memberikan kebebasan memilih agama kepada anak-anaknya, hanya pendidikan tentang budaya yang harus dianut anakanaknya dia berikan. Mereka diberi kesempatan untuk mendengarkan Indonesia, seperti gamelan Jawa, Bali, Sunda, di samping menari. Dini tidak sempat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi karena ketika usianya tiga belas tahun, ayahnya meninggal dunia. Akan tetapi, dia sangat haus akan ilmu. Oleh karena itu, setiap ada kesempatan, dia menyempatkan diri mengikuti pendidikan, seperti mengikuti pendidikan untuk menjadi pegawai GIA. Di samping itu, dengan kelincahannya dia juga mengikuti Kursus BI Sejarah dan bahasa asing pada tahun 1957. Nh. Dini pernah bekerja sebagai penyiar RRI Semarang. Setelah lulus pendidikan di GIA, dia bekerja sebagai pramugari di Jakarta (19571960). Akan tetapi, setelah bersuami pada tahun 1960, Dini berhenti dari pekerjaannya karena mengikuti suami.
35
Sebagai sastrawan, Nh. Dini menulis berbagai genre sastra, yaitu puisi, drama, cerita pendek, dan novel. Akan tetapi, dia sangat terkenal sebagai novelis. Bakat kepengarangannya terbina sejak kecil, terutama karena dorongan ayahnya yang selalu menyediakan bacaan bagi putri bungsunya ini. Dia baru menyadari bahwa bakat menulisnya muncul ketika gurunya di sekolah mengatakan bahwa tulisannya merupakan yang terbaik di antara tulisan kawan-kawannya dan tulisannya dijadikan sebagai contoh tulisan yang baik. Dia memupuk bakatnya dengan selalu mengisi majalah dinding di sekolahnya. Dia juga menulis esai dan puisi secara teratur dalam buku hariannya. Tahun 1952 puisi Nh. Dini dimuat dalam majalah Budaja dan Gadjah Mada di Yogyakarta dan juga dibacakan pada acara “Kuntjup Mekar” di Radio Jakarta. Cerpennya dimuat di dalam majalah Kisah dan Mimbar Indonesia, seperti “Kelahiran” (1956), “Persinggahan” (1957), dan “Hati yang Damai” (1960). Di dalam lembar kebudayaan majalah Siasat dimuat cerita pendek yang berjudul “Penungguan” (1955), “Pagi Hudjan” (1957), “Pengenalan” (1959), “Sebuah Teluk” (1959), “ Hati yang Damai” (1959). Dan “Seorang Paman” (1960). Bakat kesenimanannya tidak terbatas pada karya sastra. Bersama kakaknya, Teguh Asmar, Nh. Dini mendirikan perkumpulan seni “Kuntjup Seri” yang kegiatannya berlatih karawitan atau gamelan, bermain sandiwara, dan menyanyi, baik lagu-lagu Jawa maupun lagu Indonesia. Di samping aktif dalam kegiatan itu, Nh. Dini juga masih sempat bekerja sebagai anggota redaksi ruangan “Kebudayaan” dalam majalah pelajar kota Semarang, Gelora Muda. Kariernya sebagai sastrawan diawali dengan menulis puisi dalam buku harian. Selanjutnya, dia aktif menulis drama yang disajikan di RRI Semarang. Dalam acara lomba drama, cerita pendek juga merupakan kegiatan lain yang digarapnya. Cerita-cerita pendek itu kemudian dimuat
36
dalam berbagai media massa. Ada juga cerita pendeknya yang sudah diterbitkan dalam kumpulan cerita pendek. Tentang kesusastraannya, A. Teeuw berpendapat dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II, 1989 bahwa Nh. Dini adalah pengarang sastra prosa Indonesia modern terkemuka. Menurut Teeuw, novel-novelnya sangat mengesankan, baik jumlah maupun mutunya. Karya-karyanya dipuji sebagai karya yang menunjukkan jejak-jejak kecenderungan dan pengalaman internasional sang pengarang, bukan sebagai novelis pertamatama. Walaupun demikian, dia hampir tidak terpengaruh oleh penulisan novel Barat Modern, tetapi berpegang pada pribadinya.2 B. Sinopsis Bu Suci adalah seorang guru SD yang selalu memiliki tanggung jawab besar untuk menjalankan profesinya. Pada suatu hari, ia harus pindah mengajar ke Semarang karena suaminya dipindahtugaskan ke kota tersebut. Dalam hatinya telah terbayang masa penantian yang lama sebelum ia mendapatkan tempat mengajar yang baru. Ia membayangkan bahwa hari-harinya yang dilalui di kota itu akan dirasakan sangat panjang dan menyiksa. Namun, semua yang dibayangkan itu menjadi sirna ketika diterima disebuah sekolah dasar yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Bahkan, ia dipercaya memegang dua kelas sekaligus. Sejak saat itu Bu Suci menjadi guru disekolah tersebut. Ia mendapat sambutan yang hangat dari rekan-rekan sesama guru. Ia tidak mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungannya yang baru, sehingga ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Pada hari keempat, Bu Suci baru menyadari bahwa salah seorang muridnya bernama Waskito tidak pernah masuk sekolah tanpa ada keterangan yang pasti. Tak ada satu muridpun yang mengetahui alasan ketidakhadiran Waskito. Ketika ia 2
Ibid., h. 192.
37
menanyakan tentang murid tersebut kepada rekan guru, ia mendapat jawaban yang tidak memuaskan hatinya. Bahkan, ia diminta untuk tidak memperdulikan ketidakhadiran Waskito karena kedatangan anak itu disekolah hanya akan menambah masalah bagi dirinya. Kenakalannya terkadang melewati batas. Tentu saja sebagai seorang guru, hati Bu Suci terpanggil untuk melakukan pendekatan intensif kepadanya. Menurutnya, anak semacam Waskito perlu mendapatkan perhatian ekstra darinya. Pada saat yang sama, anak bungsunya terserang penyakit ayan. Kedua hal ini membebani pikirannya. Ia bingung untuk menentukkan mana yang lebih dulu ditanganinya. Ketika ia memilih anaknya, panggilan hatinya
sebagai
seorang
guru
menyentak-nyentak
hatinya.
Ia
mengharapkan semua muridnya menjadi anak yang baik yang berguna bagi nusa dan bangsa. Sebaliknya, bila ia mengutamakan muridnya, ia akan mengalami berdosa jika si bungsu mengalami penderitaan yang panjang karena kurang mendapat perhatian darinya sehingga masa depannya akan menjadi suram. Diantara kebimbangan itulah, ia memutuskan untuk memilih keduanya. Ia tetap memperhatikan anak bungsunya, namun ia juga berusaha melakukan pendekatan dengan Waskito. Pada mulanya usaha Bu Suci tidak sia-sia karena Waskito mulai rajin sekolah dan tidak menampakkan kenakalannya. Namun, beberapa hari kemudian ia kembali pada sifatnya semula. Bu Suci mulai membenarkan pendapat rekan-rekan sesama guru bahwa Waskito tidak akan pernah berubah menjadi murid yang baik karena ia telah terbiasa dimanja dengan harta. Kepala sekolah yang mengetahui masalah Waskito memberikan waktu satu bulan kepada Bu Suci untuk melakukan pendekatan kepada anak itu. Dalam hati Bu Suci muncul keyakinan bahwa ia harus mencari cara pendekatan yang tepat untuk menghilangkan kenakalan anak itu. Usahanya tidak sia-sia karena tak berapa lama kemudian tingkah laku Waskito menunjukkan perubahan kearah yang positif. Ia menjadi murid
38
yang baik, bahkan ia berhasil naik kelas. Bu Suci merasa bangga karena tujuannya tercapai. Kebahagiaan Bu Suci semakin bertambah ketika anak bungsunya dinyatakan sembuh dari penyakitnya.
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisis Unsur Intrinsik dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini Di bawah ini akan dipaparkan struktur novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini yang terdiri atas tema, tokoh, alur, latar (setting), sudut pandang, dan gaya bahasa. 1. Tema Tema yang diangkat dari novel Pertemuan Dua Hati ini adalah menceritakan tentang penyatuan hati dan masalah yang sangat berlainan menjadi satu titik. Selain itu, novel Pertemuan Dua Hati ini memiliki tema lain yaitu tanggung jawab seorang guru SD dalam menjalankan kehidupannya dengan pilihan hidup yang harus dia hadapi. Hal ini dibuktikan dalam kutipan sebagai berikut: tuhan memberikan dua percobaan sekaligus kepadaku, penyakit anakku dan murid sukar, beban berat yang bersamaan datangnya barangkali mengandung maksud tertentu.akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa mungkin keduanya ada hubungan.1
Dari kutipan di atas tergambar bahwa Ibu Suci benar-benar menjalani hidupnya dengan berat.
2. Tokoh Cerita dalam sebuah novel tidak akan ada tanpa tokoh yang menggerakkan cerita dan membentuk alur dengan segala macam permasalahan yang dialaminya. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh merupakan hal penting dalam sebuah novel. a. Orangtua Ibu Suci: Baik Adapun bukti kutipannya sebagai berikut:
1
Nh. Dini, Pertemuan Dua Hati, (PT Gramedia, Jakarta:1989),h.47.
39
40
Ibu dan ayahku membujukku untuk memilih bersekolah sebagai guru, kemudian ayahku mengantarkanku ke Semarang untuk mendaftarkan diri di sekolah pendidikan guru walaupun berkeberatan, tapi kini aku tidak menyesal mengambil karir sebagai guru.2
Dari kutipan di atas tergambar bahwa orang tua selalu memilihkan yang terbaik untuk anaknya, dan bu Suci pun ternyata mulai menerima keputusan orang tuanya. b. Ibu Suci 1. Tidak mudah menyerah Adapun bukti kutipannya sebagai berikut: Meskipun kemampuan otakku memadai, namun bapak tidak menyanggupi untuk membiayai, adikku tiga orang dan kuputuskan untuk bekerja guna menambah pemasukan uang.3
Dari
kutipan
tersebut
maka
dapat
diketahui
kondisi
perekonomian keluarga bu Suci sangat sulit, ia kemudian memutuskan untuk bekerja agar bisa melanjutkan sekolah dan tidak memberatkan hidupnya kepada kedua orangtuanya. 2. Sabar Adapun bukti kutipannya sebagai berikut: Beberapa kali ku tanya pada muridku, namun tetap tidak ada jawaban. Aku berusaha bersikap sebiasa mungkin, tanpa mendesak, tanpa memperlihatkan keherananku. 4
Dari kutipan tersebut, maka bisa terlihat bahwa bu Suci tidak ingin mendesak para muridnya untuk memberikan informasi. Ia memilih untuk bersabar dan mengganti cara lain, agar semua pertanyaan di pikirannya dapat terjawab. 3. Waskito 1. Jahil Adapun bukti kutipannya sebagai berikut: 2
Ibid.h.10 Ibid. 4 Ibid. h. 26 3
41
Di tengah-tengah waktu pelajaran terdengan suara benda kecil sebentuk kelereng jatuh. Itulah Waskito mengganggu teman-temannya dengan melempari kapur. Setelah berkalikali, seorang murid perempuan berani mengatakan keluhan. “ah, Waskito! Kenapa sih kamu!” 5
Dari kutipan tersebut, tokoh Waskito memang sangat senang mengganggu temannya. 2. Mudah emosi Adapun bukti kutipannya sebagai berikut: Dalam tanya jawab yang ku paksakan itu dia mengaku bahwa dia marah karena kawan-kawannya mengejek tanaman miliknya yang kurang subur, kalah dari tunas-tunas lain. 6
Bukti kutipan itu menjelaskan tentang salah satu sifat Waskito yaitu mudah marah, karena setiap kali ada teman yang mengejeknya ia langsng melampiaskan kemarahan itu tanpa mengoreksi diri terlebih dahulu. 3. Alur Alur yang terdapat dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini yakni Alur maju. Karena dalam novel tersebut diceritakan tentang masalah yang selalu menghampiri hidup tokoh Ibu Suci dan Ia dituntut untuk memecahkan masalhnya hingga akhir. Berikut ini pemaparan alur dalam novel Pertemuan Dua hati: a. Tahap Perkenalan Tahap pertama dari sebuah alur yaitu perkenalan. Dalam novel ini Ibu Suci memulai cerita dengan memilih profesi sebagai guru, hal ini terdapat dalam kutipan sebagai berikut. Bapak mengantarkan Aku ke Semarang untuk mendaftarkan diri ke sekolah pendidikan guru, lalu kesempatan libur aku gunakan untuk menengok keluarga di Purwodadi. Sesudah bertahun-tahu mengajar aku tidak menyesal telah menuruti nasehat orang tuaku, aku merasa senang dengan pekerjaanku.7 5
Ibid.h.55 Ibid.h.83 7 Ibid. h. 10. 6
42
Dari kutipan di atas, Ibu Suci memulai hidupnya dengan mengabdi sebagai guru ia belajar di kota Semarang dan sesekali ia pulang sebagai obat rindu kepada keluarga dan kampung halaman. b. Konflik Adapun konflik dari cerita di mulai saat tokoh Bu Suci yang telah menjalani pofesi sebagai guru, ia dihadapkan pada pilihan untuk hijrah dari desanya yaitu Purwodadi menuju ke Semarang. Hal ini dapat di pahami dari kutipan sebagai berikut: Aku turut gembira dengan kenaikan pangkat suamiku,aku dan anak-anakku harus meninggalkan purwodadi dan tempat kerjaku selama ini, kantor di kota memerlukan suamiku sebagai ahli mesin dan pengawas bengkel, dia harus mengawasi kelancara jalanya semua kendaraan angkutan yang keluar dari bengkel. ini sangat penting bagi dirinya.8
Berdasarkan kutipan di atas, kerena suaminya pindah bekerja maka mereka semua memutuskan untuk pindah di tempat kerja baru suaminya yaitu Semarang. c. Klimaks Pada tahap ini Bu Suci dihadapkan pada sekolah baru, dimana ia masih belum mengenal secara detail kondisi para muridnya. Namun, disisi lain ia juga dihadapkan pada masalah keluarga dengan munculnya penyakit aneh yang berada pada tubuh anak keduanya. Hal ini dibuktikan pada kutipan sebagai berikut: Hari ke empat pelajaran pertama , anak didikku yang bernama Waksito belum juga masuk, kutanya pada seisi kelas, tak satupun menjawab seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal dalam hati mereka. Saat ku ulangi ucapanku semua anak baru mau berbicara, dan yang membuatku aneh tak ada satupun anak yang mau menengok, justru mereka lebih memilih waksito tidak masuk atau bahkan ia lebih baik pindah saja. Sampai di rumah aku mencoba menghilangkan nama dan masalah tentang Waskito petang itu suamiku menyampaikan sampul perusahaan, isinya lembaran-lembaran kertas hasil pemeriksaan kesehatan kami 8
Ibid. h.12
43
sekeluarga, sepintas tak ada yang aneh dengan kesehatan kami, namun tercantum nama dokter lain, dengan tulisan ahli syaraf yang ditujukan pada anak kedua ku.9
Berdasarkan kutipan tersebut, bu Suci merasa heran dengan semua sikap muridnya kepada Waksito, ia terus memikirkan masalah ini hingga ia sampai di rumah, Sesampainya di rumah, ia dan suaminya terkejut melihat hasil kesehatan,, tertulis perintah dari dokter ahli syaraf untuk anak keduaku yang harus segera dibawa ke neurology secepat mungkin. d. Anti Klimaks Dalam tahap anti klimaks, bu Suci menemui masalah terhadap muridnya yang selalu membuat ulah dan keributan di kelas, ditambah lagi ia harus menghadapi kenyataan bahwa anaknya terkena penyakit yang sangat kronis. Bukti kutipan sebagai berikut: Meskipun dia yang berbuat kesalahan,tetapi ia masih terkekang oleh kebiasanya pemarah.dia tidak akan meminta maaf ,kalau betul itu salahnya salahnya.10 Orang tua mana tidak terkejut mendengar anaknya mengidap penyakit yang bagaimanapun juga bisa dikatakan jarang. anggapan sekeliling yang rendah terhadap penderita beberapa jenis penyakit semakin membikin hati kami kecil hati. 11
Dari pernyataan tersebut, tokoh mengalami kondisi yang sangat kacau, dimana tokoh bu Suci menghadapi kenyataan tentang keluarganya, namun disisi lain ia juga masih memikirkan kondisi muridnya yaitu Waksito. e.
Penyelesaian Setelah berbulan-bulan ia mencoba meluluhkan hati waksito akhirnya sikap sang anak menjadi lebih baik, dan santun. Kemudian dengan pengawasan yang ekstra pada anak keduanya, akhirnya kondisi anak Bu Suci semakin membaik. Hal ini di tercantum dalam kutipan sebagai berikut:. 9
Ibid. h.46 Ibid. h.82 11 Ibid. h. 48 10
44
Rapot berikutnya, berisi angka-angka normal, ia kini meraih penghargaan sebagai murid biasa. Akhir tahun pelajaran . Bu De nya datang kesekolah dia berterima kasih kepada kepala sekolah, para guru dan kepadaku sendiri. Aku menjawab bahwa aku gembira dapat menolong waksito.12 Ketabahan itu berkat kelegaan pertama karena telah selesainya seruntutan test bagi anakku,kami tinggal menuruti nasehat dokter ahli syaraf sambil meneruskan perawatan melalui obatobatan.tidak berhentinya aku bersyukur, ke hadirat illahi karena kemudahan-kemudahan yang kami terima selama itu.13
Dari kutipan diatas, maka kita ketahui bahwa bagaimana kuatnya hati bu Suci dalam menghadapi dan menyikapi setiap masalah dalam hidupnya, dengan segala usahanya itu maka segala masalah akhirnya dapat terselesaikan satu persatu. 4. Sudut Pandang Sudut pandang yang di pakai dalam novel Pertemuan Dua Hati adalah sudut pandang pertama pelaku utama. Bisa dilihat dalam kutipan di bawah ini: Tuhan memberikan percobaan dua sekaligus kepadaku, penyakit anakku dan murid sukar. Hal itu kurenungkan baik-baik. Beban berat yang bersamaan datangnya barangkali mengandung maksud tertentu.14
Kutipan diatas, menunujukan bahwa tokoh Aku , mengalami banyak masalah dan dalam setiap masalah itu ia harus membagi pikiran antara murid dan anaknya sendiri, tokoh Aku merasa bingung kemudian ia memutuskan untuk menyatukan dua pikiran yang terpisah menjadi satu.
5. Latar Dalam latar novel pertemuan dua hati, terdapat tiga latar yaitu tempat, waktu dan suasana. adapun latar-latar tersebut akan di paparkan secara lebih jelas dalam beberapa pembagian sebagai berikut.
12
Ibid. h.85 Ibid. h. 58 14 Ibid. h.74 13
45
a.
Latar Tempat Novel pertemuan dua hati mempunyai dua latar tempat, yang pertama di tempat asal tokoh utama yaitu bu Suci, dan latar tempat yang kedua dimana latar ini menjadi tempat utama terjadinya berbagai permasalahan yang selalu membayangi hidup sang tokoh utama yaitu tokoh bu Suci. Adapun latar tempatnya adalah sebagai berikut. 1. Purwodadi Purwodadi merupakan tempat dimana bu Suci menjalani keseharian dan aktivasnya semasa ia masih kecil.hal ini di buktikan pada kutipan di bawah ini. Lalu pada kesempatan liburan, aku pulang berlibur, melewati jalan atau tempat tertentu, seringkali hatiku terasa terharu. kenangan terhadap kejadian-kejadian yang pernah ku alami di sana muncul di kepalaku.15
Dari kutipan di atas, maka jelas tergambar bahwa saat ibu Suci datang ke Purwodadi,memori masa lalunya muncul kembali. 2. Semarang Dalam cerita ini, Semarang merupakan tempat baru bu Suci bersama keluarga dan menjalani aktivitasnya sebagai guru. Aku berusaha sedapat mungkin memisahkan pekerjaan dari kehidupan keluarga. Aku mempunyai peraturan yang hampir selalu dapat ku patuhi, yaitu tidak membicarakan apa pun perihal murid dan pekerjaan yang sedang ku hadapi kepada keluargaku.
Dari kutipan tersebut, maka dapat kita ketahui bahwa kota Semarang merupakan aktivitas keluarga bu Suci pada masa itu. b. Latar Waktu Cerita pertemuan dua hati merupakan sebuah novel yang di terbitkan antara tahun 1980-an, maka kejadian waktu yang di
15
Ibid. h. 10
46
ceitakan berkisar antara tahun 1970-an. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut. Sejak tahun 1975,ternyata pelaksanaan kurikulum baru dimulai pada tahun 1976. Kepala sekolah menunjukan programnya kepadaku. 16
Dari kutipan di atas, menunjukan rencana kepala sekolah tentang perubahan kurikulum yang seharusnya dilaksanakan pada tahun lalu, namun dilaksanakan baru tahun ini, tepatnya pada tahun 1976. c.
Latar Suasana Beberapa suasana yang terjadi dalam cerita ada banyak sekali,namun tempat yang paling mempengaruhi cerita ini terbagi menjadi beberapa suasana sadapun pembagian suasananya sebagai berikut. 1. Menyedihkan Bukti kutipan sebagai berikut: Dari pola EEG itulah dokter mengetahui dan memastikan bahwa anakku menderita penyakit sawan atau ayan. Orang tua mana yang tak terkejut mendengar anaknya mengidap penyakit yang bagaimanapunjuga dapat di katakan jarang.17
Dari bukti kutipan tersebut, tokoh bu Suci sangat terpukul dan terkejut mendengar bahwa anaknya harus menderita penyakit yang sangat tidak diharapkan. Maka dapat kita ketahui bahwa saat itu suasana hati bu Suci sangat sedih dan syok. 2. Menegangkan Bukti kutipanmya sebagai berikut: Aku berjalan menuju ke kelas,wahyudi mencegatku. “Waksito bu”. Hanya itulah pemberitahuanya. Apalagi ini!, jantuungku berdebar keras,sambil mempercepat langkah aku bertanya :
16 17
Ibid. h. 19 Ibid. h. 48
47
“mengamuk lagi dia”.18
Dari kutipan diatas, maka jelas terlihat bagaimana gambaran perasaan bu Suci saat mengetahui Waksito berbuat ulah kembali.
B. Analisis Temuan Nilai-nilai Pendidikan Temuan-temuan yang ada dalam novel Pertemuan Dua hati karya Nh. Dini ini menggambarkan sedikit banyak nilai-nilai yang ada dalam kehidupan sehari-hari. 1. Deskripsi Hasil Analisis Nilai Religi pada Novel Pertemuan Dua Hati Nilai religi dalam cerita fiksi merupakan pesan atau saran yang bersifat ajaran agama yang ditampilkan melalui sikap atau prilaku tokoh-tokohnya dan mencerminkan seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma dan nilai keagamaan, diantaranya, bisa dilihat dari kutipan di bawah ini: “Kami berterima-kasih kepada Tuhan karena dikaruniai anak pertama perempuan yang lembut dan cukup mengerti.” (PDH. 13).
Dari kutipan di atas, sangat terlihat kalau tokoh Ibu Suci dan Suami selalu berterima-kasih dan bersyukur atas anak pertama mereka yang sangat lembut dan mengerti keadaan kedua orangtuanya. Jadi, penulis simpulkan nilai religi ini nilai yang sangat positif dan terlihat apapun yang Ibu Suci miliki Dia selalu mengingat sang pencipta. Adapun kutipan berikutnya: “Kami bersyukur mempunyai jam dinding.” (PDH. 17).
Rasa syukurpun terus terucap dari mulut Ibu Suci walaupun itu hanya memiliki sebuah jam dinding. Hal tersebut terlihat dengan sekecil 18
Ibid. h.80.
48
apapun Ibu Suci miliki rasa syukur tidak pernah berhenti terucap dia ucapkan. Pada setiap kutipan sangat terlihat tokoh Ibu Suci benarbenar keibuan. “Namun di samping itu, aku percaya, bahwa Tuhan selalu mendengarkan dan memperhatikan yang mencintainya. Semoga dia memberi kekuatan kepadaku, dam melimpahkam kesejahteraan kepada keluargaku.” (PDH. 21).
Namun, di samping rasa syukur dan doa yang Ibu Suci ucapkan. Ibu Suci pun masih memiliki kepercayaan bahwa apa yang dia lakukan dan syukuri karena sang pencipta pun masih menccintainya. Percaya dan yakin kepada sang pencipta adalah cerminan nilai religi kepada tuhan. “Ketika sembahyang subuh, menunjam.” (PDH. 22).
kurasakan
kedinginan
yang
Kutipan di atas mencerminkan nilai religi. Hal tersebut terlihat dari kata “sembahyang” itu sendiri merupakan salah satu nilai religi yang wajib kita laksanakan atas perintahNya. “Aku berterima kasih kepada Tuhan karena teringat kepada nasib beberapa bekas kawan sekolahku.” (PDH. 25).
Secara dramatik, kutipan di atas pun mencerminkan seorang Ibu yang terus dan terus mengucap rasa syukur akan apa yang dialaminya. Hal tersebut terlihat pada kutipan kata “Aku” disini adalah Ibu Suci yang sedang bersyukur atau berterima kasih yang tak habis-habisnya atas apa yang selalu dia alami, dan apa yang dia alami saat ini. Sekalipun teringat akan nasib beberapa bekas kawan sekolahnya, dimana mereka masih saling berkabar dan menceritakan kesulitan dan kegigihan mereka, dalam menghadapi murid-murid dalam tingkatan kelas berbeda. “Aku ingin, dan aku minta kepada Tuhan, agar diberi kesempatan mencoba mencakup tugasku di dua bidang. Sebagai ibu dan sebagai guru. Dengan pertolonganNya, pastilah aku akan berhasil. Karena dia mahabisa dalam segala-galanya.” (PDH. 47).
49
Hal tersebut terlihat dalam setiap situasi dan keadaan dia selalu berdoa dan tidak bosan meminta apa yang dia inginkan. Doa pun mencerminkan nilai religi karena selain berusaha kita wajib berdoa. “Tiada hentinya aku bersyukur kehadirat Illahi karena kemudahan-kemudahan yang kami terima selama ini.” (PDH. 58).
Hal tersebut terlihat dari kutipan kalimat di atas yang menggambarkan rasa syukur yang teramat dalam kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah yang telah diberikanNya karena kemudahan-kemudahan yang keluarga Ibu Suci terima selama ini. “Dan setiap akan berangkat, hatiku langsung berbicara kepada Tuhan: apakah yang akan terjadi hari ini? Berikanlah kekuatan serta jalan guna merampungkan tugas sehari itu dengan baik.” (PDH. 58).
Kutipan di atas mencerminkan nilai religi. Hal tersebut terlihat pada tokoh Ibu Suci yang tidak lupa akan sang pencipta kapanpun dan dimanapun berada. “Aku benar-benar bersyukur karena kami telah diberi tahu Tuhan jalan mana yang dapat dipergunakan untuk mendekati anak didikku yang terkenal sukar itu.” (PDH.67).
Kutipan Ibu Suci di atas mencerminkan nilai religi. Terlihat pada kutipan di atas Ibu Suci selalu bersyukur apapun yang Tuhan berikan kepadanya. Sekalipun dalam kehidupan sehari-harinya dalam menjalankan rutinitasnya. “Dalam sujudku menghadap Tuhan sebelum dinihari tiba, rasa kerendahan diriku semakin kutekan. Kami ini manusia sangat hina, kecil dan tak berdaya jika Tuhan tidak menghendaki keunggulan kami!” (PDH. 71).
Kutipan tersebut sebagai bukti bahwa tokoh Ibu Suci sangat religius dimana terlihat kutipan pada tokoh Ibu Suci yang sedang melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Dia bersujud
50
menghadap Tuhan sebelum dinihari tiba, dimana pada saat itu biasanya orang muslim melaksanakan sholat Tahajud. “Hari itu berlalu tanpa amukan pisau, atau golok, atau benda tajam lainnya! Siang sewaktu tiba kembali dengan selamat di bawah atap rumah keluarga, aku bersyukur menyebut nama Tuhan.” (PDH. 72).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas, Ibu Suci mensyukuri tidak ada peristiwa atau kejadian apapun yang terjadi dari pergi sampai dia kembali pulang. Ditandai dengan menyebut nama Tuhan. “Tuhan memberikan dua percobaan sekaligus kepadaku: penyakit anakku dan murid sukar.” (PDH. 74).
Terlihat apapun yang terjadi baik senang, susah, suka dan duka dalam kehidupan keluarganya, Ibu Suci selalu ingat itu adalah suatu cobaan dari sang pencipta. Ibu Suci : “Aku bersyukur kepada Tuhan telah menemukan jalan yang menuju ke pertemuanku dengan hati dan perasaan Waskito. Karena ya, benarlah aku merasa seolah-olah hati kami berdua telah bertemu.” (PDH. 78).
Hal tersebut terlihat pada tokoh Ibu Suci yang bersyukur akan pertemuan hati dan perasaannya dengan murid sukarnya Waskito. Dimana Ibu Suci mensyukuri semua perjalanan kehidupannya demi mengenal murid sukarnya. “Mudah-mudahan Tuhan selalu melaksanakan tugas ini.” (PDH. 85)
menolongku
dalam
Hal tersebut terlihat dalam kutipan tersebut agar manusia selalu ingat kepada Tuhan dalam segala hal, karena hanya kepadaNya kita meminta.
51
2. Deskripsi Hasil Analisis Nilai Moral pada Novel Pertemuan Dua Hati Nilai moral dalam cerita fiksi merupakan pesan/saran yang mencerminkan perbuatan dan tingkah laku baik atau buruk, benar atau salah yang ditampilkan melalui sikap/prilaku tokoh-tokohnya. Nilai moral merupakan ajaran tentang baik atau buruk perbuatan, kelakuan, akhlak dan kewajiban seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku. Selain itu, bisa disimpulkan bahwa nilai moral juga bisa disebut perbuatan manusia yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar kepada dirinya sendiri, orang lain, terhadap alam serta kepada Tuhannya supaya tidak terjadi perilaku menyimpang. “Orang tuaku menasehatkan agar masuk ke sekolah guru. Katanya sangat cocok bagi wanita.” (TOL) (PDH. 9).
Dari kutipan di atas, semakin memperjelas bahwa pesan yang ingin disampaikan pengarang bahwa prilaku ataupun sikap kedua orangtua Ibu Suci sangat mencerminkan nilai moral. Hal tersebut terlihat pada kata-kata orang tua Ibu Suci yang menampilkan atau mengarahkan perbuatan atau bertingkah laku baik terhadap orang lain, dengan memberikan nasehat terhadap anaknya sendiri. “Aku patuh, menuruti nasehat orang tua.” (TDS) (PDH. 10).
Dari kutipan di atas, terlihat bagaimana tokoh Ibu Suci sangat menuruti apa kata orang tuanya dimana sikap itu mencerminkan nilai moral. Nilai moral terhadap dirinya sendiri terlihat dengan mengikuti nasehat orang tuanya dan itu merupakan tingkah laku yang baik. “Purwodadi tidak memiliki satu daya tarik pun bagi pengunjung. Namun demikian ketika aku pulang berlibur, melewati jalan atau tempat tertentu, seringkali hatiku terharu.” (TA) (PDH. 10).
Kutipan di atas mencerminkan nilai moral. Nilai moral disini ditampilkan terhadap alam dimana Ibu Suci masih memiliki dan memperhatikan alam sekitar jalan di tempat dia tinggal.
52
“Aku tidak menyesal telah menuruti nasehat orang tua. Aku senang kepada pekerjaanku.” (TDS) (PDH.10).
Dari kutipan di atas terlihat jelas bahwa Ibu Suci tidak mempunyai rasa penyesalan sedikitpun karna keputusannya dengan mengikuti apa nasehat orang tuanya. Terlihat nilai moral disini terhadap diri sendiri, Karena Ibu Suci juga sangat senang kepada pekerjaannya. “Tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari, aku lebih sering mengalah. Dalam mengalah aku mengira bisa mencapai suasana damai lebih cepat.” (TDS) (PDH. 11).
Dapat terlihat dari kutipan di atas mengalah adalah salah satu sifat moral terhadap diri sendiri. Dimana Ibu Suci dalam kehidupannya sehari-hari lebih sering memilih mengalah dengan beranggapan akan mendapatkan ketenangan dan kedamaian dalam hatinya dengan cepat. “Aku dididik orang tua agar hidup sebisa mungkin. Segala perselisihan pendapat diselesaikan dengan terbuka dan terus terang. Tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari, aku lebih sering mengalah. Dalam mengalah aku mengira bisa mencapai suasana damai lebih cepat. Sudah dapat dibayangkan akulah yang paling menderita di seluruh ruangan seandainya aku jadi bekerja sebagai sekertaris! Tentulah aku berdiam diri meskipun sakit hati dan tertekan karena sifatku itu.” (TDS) (PDH.11).
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan di atas bahwa Ibu Suci mendapat didikan yang sangat baik dari kedua orang tuanya, apapun masalahnya harus dapat diselesaikan dengan terbuka dan terus terang. Walaupun, Ibu Suci selalu merasa tertekan dan sakit hati karena sifat mengalahnya itu. “Ya, memang benar-benar aku tidak menyesal mengambil karir sebagai guru.” (TDS) (PDH. 11).
Hal tersebut nilai moral terhadap diri sendiri, apapun keputusan yang telah Ibu Suci ambil tidak sedikitpun dia menyesalinya, sekalipun menjadi seorang guru. Menurut pendapatku, “justru di situlah sebaiknya anak-anak menerima didikan sepatutnya. Kekuatan pendidikan SD terlihat pada si anak seumur hidupnya. Anak yang mendapat ajaran
53
seperlunya guna pembentukan watak, di kemudian hari menjadi manusia bersifat kokoh. Tidak sering berobah pendapat.” (TOL)(PDH. 12).
Terlihat pada kutipan di atas menunjukkan pesan baik terhadap orang lain atau semua orang tua, dimana memang seharusnya pendidikan SD ini ajaran yang benar-benar perlu diterima semua murid untuk pembentukkan karakternya. “Ketika mencari rumah, suamiku memikirkan jarak yang harus kami tempah setiap hari.” (TOL) (PDH. 12).
Kutipan di atas mencerminkan nilai moral. Hal tersebut bisa terlihat pada kutipan di atas suami Ibu Suci masih memikirkan jarak yang akan ditempuh oleh anak istrinya sehari-hari, dan ini menunjukkan nilai moral terhadap orang lain. “Aku mengetahui bahwa seorang guru mendapat kecelakaan. Karena menderita gegar otak, barangkali lama baru akan masuk.” (TOL) (PDH. 18).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa kabar yang Ibu Suci dengar merupakan rasa atau ungkapan iba atau moral terhadap orang lain walaupun memang dia senang akan dampak dari berita tersebut “Aku berfikir kepada anakku. Mudah-mudahan dia segera sehat kembali. Sejak kami pindah, seringkali dia rewel, menangis tanpa sebab yang nyata kelihatan. Kalau ditanya, katanya kepalanya pusing. Lain dari kebiasaannya, dia cepat sekali tersinggung.” (TOL) (PDH.19).
Ibu Suci berharap anaknya segera sehat kembali, karena semenjak kepindahannya anaknya selalu menangis tanpa sebab yang jelas dan nilai moral disini nilai moral terhadap orang lain sekalipun anaknya sendiri. “Aku turut prihatin”. (TOL) (PDH. 21). Jelas terlihat kutipan di atas Ibu Suci merasa prihatin kepada anaknya yang sedang demam dan mendapatkan perawatan sementara dari
54
dokter berupa obat penenang dan vitamin, disinipun nilai moral terhadap orang lain. Kepala Sekolah : “Tunjukkan kepada Bu Suci bahwa kalian anak-anak kota besar juga sepatuh anak-anak kota kecil Purwodadi di mana Bu Suci sudah mengajar sepuluh tahun lamanya.” (TOL) (PDH. 24).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa perbuatan baik bapak Kepala Sekolah menunjukkan pesan agar murid-murid di sekolah baru tempat Ibu Suci bekerja yaitu dii sekolahnya bisa menunjukkan apa yang biasa Ibu Suci dapatkan di kota kecilnya Purwodadi. “Aku menyadari bahwa bekerja kembali menyebabkan hatiku merasa lebih lapang.”(TDS) (PDH. 25).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas Ibu Suci merasa pekerjaan yang dia jalani sekarang membuat hatinya merasa lebih lapang, walaupun belum lama dia menjalaninya. “Aku ingin menanamkan kesadaran yang sama, betapa bahagia serta beruntung kami mempunyai sekolah bagus dan kokoh. Guru bersama murid dapat menunaikan tugas masing-masing tanpa rasa ketakutan.” (TDS) (PDH. 25).
Hal tersebut terlihat pada bahwa perbuatan yang Ibu Suci lakukan merupakan perbuatan baik, dimana menanamkan kesadaran dan berfikir kepada murid-muridnya betapa beruntung mereka semua dapat belajar tanpa rasa ketakutan akan hujan deras ataupun kecelakaan. “Tidak ada anak-anak yang jahat,” cepat aku menyambung berusaha melembutkan keheranan yang baru kuperlihatkan secara terang-terangan.” Kalian masih tergolong tingkatan umur yang dapat dididik. Memang kalian bukan kanak-kanak lagi! Tetapi kalian sudah bisa diajar teratur, ditunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk.. Jadi, Bu Suci beritahu sejelas-jelasnya: tidak ada anak yg jahat. Kalaupun seandainya terjadi kenakalan yang keterlaluan, anak itu mempunyai kelainan. Tapi dia nakal. Bukan jahat!” (TOL) (PDH. 28).
55
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci meyakinkan murid-muridnya akan siapa Waskito sebenarnya, dan memberikan penjelasan secara terang-terangan bahwa muridnya tidak ada yang jahat melainkan nakal. Dan itu perbuatan yang baik memberikan penjelasan kepada anak didiknya. “Maka dia tumbuh menjadi anak yang bersifat pemarah dan pemberontak. Dia selalu mengganggu adiknya. Selalu membantah dan menyanggah nasehat. Jika disuruh mengerjakan sesuatu, selain tidak melaksanakannya, dia juga menyahut dengan kata-kata tidak sopan. Apalagi kalau berhadapan dengan ibunya! Waskito menjadi anak yang kurang ajar. Kelakuan dan permainannya membahayakan adik-adik di rumah maupun teman-teman di sekolah.” (TOL) (PDH. 32).
Pada kutipan di atas terlihat bahwa Nenek Waskiro coba menjelaskan bagaimana watak dan sikap cucu tercintanya kepada Ibu Suci, semua dikarenakan kurangnya perhatian kedua orang tuanya dimana menjadi pribadi yang pemarah dan pemberontak, selalu mengganggu adiknya, selalu membantah dan menyanggah nasehat. “Aku ingin menunjukan turut berprihatin mengenai cucu sulungnya.” (TOL) (PDH. 33).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci menunjukkan rasa
prihatin kepada neneknya akan susu sulungnya atas semua
kelakuan dan sifat buruk yang selalu cucunya lakukan. “Rasa ingin tahu bercampur rasa wajib demikian kuat mendorongku untuk “kehilangan waktu dengan sia-sia.” (TDS) (PDH.33).
Terlihat jelas pada kutipan di atas Ibu Suci merasa ingin tahu dan merasa wajib mengetahui bagaimana perkembangan murid sukarnya Waskito. “Bagaimanapun juga, aku tetap pada maksudku mengunjungi nenek Waskito. Apa pun yang akan terjadi, aku merasa harus mencoba mengerjakan sesuatu untuk menolong anak itu.” (TOL) (PDH. 33).
56
Jelas terlihat pada kutipan di atas Ibu Suci melakukan perbuatan baik yaitu mengunjungi nenek Waskito, guna membantuku mendapatkan semua informasi akan cucu sulungnya. “Di sana, pada umunya yang disebut sukar lebih disebabkan karena sifat pendiam, atau anak yang kurang bisa berkomunikasi. Perasaan yang terpendam membuat anak memberontak pada saatsaat kepenuhan. Ada pula anak pelamun; atau cengeng, sedikitsedikit merengek dan menangis jika diganggu kawankawannnya.” (TOL) (PDH. 34).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa menurut Ibu Suci di kota kecilnya anak yang sukar lebih condong ke anak yang pendiam bukan dikarenakan anak yang kurang perhatian, atau kurang bisa berkomunikasi. Namun, di sekolah barunya sukar itu memiliki arti yang berbeda. “Sebegitu orang masuk ke rumah itu, terasa resapan keramahan dan kesejahteraan. Kini setelah duduk, baru beberapa menit berkenalan dan melihat keterbukaan hati, wanita itu, aku merasa kerasan.” (TOL) (PDH. 36).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa sikap dan perbuatan si nenek merupakan moral terhadap orang lain, sehingga suasana rumah dan keterbukaan hatinya membuat Ibu Waskito kerasan. Adapun kutipan berikutnya yang bisa dilihat: “Konon Waskito dihajar habis-habisan. Mukanya dipukul, badannya dicambuk dengan ikat pinggang.” (TOL) (PDH. 37).
Nilai moral disini moral terhadap orang lain, dimana perbuatan dalam kutipan di atas merupakan perbuatan buruk atau negatif orang tua Waskito. Nenek Waskito : “Saya hanya ingin mendidik anak bersikap rapi dan teratur, Jeng.” (TOL) (PDH. 37).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas moral terhadap orang lain, dimana seorang nenek ingin mendidik cucu sulungnya bersikap rapi dan teratur dengan semua peraturannya.
57
Nenek Waskito : “Anak-anak harus diajar berdisiplin atau keteraturan dalam hidup sehari-hari. Ini akan memberi pengaruh besar dalam cara berpikirnya kelak pada umur dewasa.” (TOL) (PDH. 38).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas merupakan moral terhadap orang lain, dimana memang anak-anak harus diajarkan keteraturan dalam kehidupan sehari-harinya karena semua akan berdampak pada saat dia dewasa kelak. “Aku datang buat mencari latar belakang selengkap mungkin guna menimbulkan pengertianku terhadap anak didikku. Kalau memang dia masih dapat diarahkan ke perbaikan, inilah kewajiban utamaku. Demi itulah maka aku berhak berbuat untuk menemukan latar belakang tersebut.” (TOL) (PDH. 40).
Jelas terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci masih mencari latar belakang Waskito untuk memberikan pengertian dan pengarahan ke arah yang lebih baik, dimana Ibu Suci merasa ini kewajiban utamanya. Nenek Waskito : “Dia harus disadarkan, bahwa hidup tidak selamanya demikian mudah, apalagi berlangsung seperti kehendaknya! Jadi, uang merupakan keperluan utama.” (TOL)(PDH. 41).
Terlihat jelas pada kutipan di atas bahwa nilai moral disini perbuatan baik terhadap orang lain, dimana nenek Waskito ingin merubah cucu sulungnya menjadi lebih baik bahwa hidup itu tidak selalu seperti apa maunya, walaupun uang tetap menjadi keperluan utama. Nenek Waskito : “Dia anak yang baik, Jeng. Walaupun pemberian itu belum saya terima, saya sudah sangat bahagia rasanya! Ketika dia mengatakan maksud pemberian tersebut, langsung saya peluk dan saya ciumi.” (TOL) (PDH. 43).
Jelas terlihat pada kutipan di atas bahwa Nenek Waskito merasakan perbuatan baik Waskito terhadap dirinya walaupun belum dia terima pemberian tersebut, dimana perbuatan disini nilai moral terhadap orang lain yaitu dari Waskito terhadap Neneknya. “Leherku terasa tercekik oleh keterharuan. Hatiku kubujuk jangan sampai menangis. Pelapukan mataku terasa panas.
58
Bukannya aku malu menitikkan air mata di depan wanita yang telah menjadi nenek ini. Tidak. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku kuat menahan perasaanku.” (TDS) (PDH. 43).
Jelas terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci merasakan haru atas semua cerita Nenek Waskito yang membuat dia merasakan pelupuk mata yang terasa panas karena menahan perasaan yang ada. “Hatiku tidak tenang.” (TDS) (PDH. 45.
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci merasa tidak tenang, karena setibanya di rumah suaminya menyampaikan sampul dari dokter perusahaan. Namun bukan karena hasil kondisi badan kami yang membuat tidak tenang, tapi karena keadaan anak kami. “Sepintas lalu, tentu saja aku mementingkan anakku daripada muridku. Tetapi benarkah sikap itu? Benarkah pilihan ini didiktekan oleh suara hatiku yang sesungguhnya dan setulustulusnya? Aku menyukai pekerjaanku sebagai guru.” (TDS) (PDH. 46).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci merasa bimbang akan sikapnya, apakah harus mementingkan anaknya daripada murid sukarnya. “Tarikan Waskito sedemikian besar bagiku, karena jauh di lubuk hati, aku menyadari bahwa aku harus mencoba menolong anak itu. Demi menyelamatkan seorang calon anggota masyarakat, tetapi barangkali juga demi kepuasan pribadiku.” (TDS) (PDH. 46).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci merasakan daya pikat Waskito sangat besar bagiku, sehingga membuat Ibu Suci merasa harus terus menolong dan menyelamatkannya. Terlepas demi calon anggota masyarakat dan demi kepuasan pribadiku. Ibu Suci : “Kucoba membuka hati anak-anak didikku agar rela menerima Waskito jika dia kembali ke sekolah.” (TOL) (PDH. 51).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci mencoba memberikan pengarahan atau pesan
59
baik terhadap anak-anak didiknya, agar mereka mau menerima Waskito kembali apabila kembali ke sekolah. Ibu Suci : “Demikianlah bersama-sama kami meneliti dan melembari setiap kejadian dan setiap kalimat yang dikatakan Waskito. Lalu kami menemukannya. Dan naluriku untuk kesekian kalinya memastikan bahwa itulah yang menyebabkan Waskito selalu geram terhadap anak-anak tertentu di kelasku. Di antara berpuluh anak didikku, hanya merekalah yang diantar oleh ayah mereka! Bahkan juga kadang-kadang dijemput ketika pulang.” (TOL) (PDH.52).
Jelas terlihat pada kutipan di atas bahwa nilai moral terhadap orang lain, yaitu perbuatan iri Waskito terhadap teman-temannya karena mereka selalu diantar oleh ayah mereka sedangkan Waskito tidak. “Jenis anak-anak lain tidak akan memandang hal itu sebagai satu masalah. Namun bagi Waskito, yang sedari kecil merasa ditolak, tidak diperhatikan, hal itu merupakan beban yang mengganjal di hatinya. Dia sedih, dia merana.” (TOL) (PDH.52).
Jelas terlihat pada kutipan di atas bahwa Waskito merasakan beban di hatinya, karena masalah penolakan dari sewaktu dia kecil oleh kedua orang tuanya. “Alangkah besar penderitaan batin Waskito.” (TOL) (PDH. 52).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci merasakan betapa besarnya beban atau penderitaan batin Waskito semasa hidupnya, dan ini moral terhadap orang lain yaitu Ibu Suci terhadap Waskito. “Pesanku yang selalu kuulang ialah jangan sekali-kali menunjukkan rasa tidak suka kepada Waskito atau takut kepadanya.” (TOL) (PDH. 53).
Terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci selaku guru memberikan pesan kepada murid-muridnya agar tidak menunjukkan rasa tidak suka kepada Waskito dan itu merupakan perbuatan baik agar Waskito tidak merasa dijauhi oleh teman-temannya pula.
60
“Aku berharap menguji ketenangan batinku sendiri di saat menghadapi murid sukar pertama dalam karirku di kota ini. Selama aku sibuk dengan urusan anakku.” (TDS) (PDH. 53).
Pada kutipan di atas terlihat jelas bahwa apa yang Ibu Suci hadapi di sekolah barunya menghadapi murid sukarnya merupakan ujian ketenangan batinnya sendiri, inipun merupakan moral terhadap diri sendiri. Kepala Sekolah : Katanya, “aku diberi keleluasan mondar-mandir demi kebaikkan anakku, asal tetap mau mengajar di sekolahnya.” (TOL) (PDH. 53).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Kepala Sekolah memberikan keleluasaan terhadap Ibu Suci, disini bisa dinilai merupakan nilai moral terhadap orang lain. Dimana maksud Kepala Sekolah pun demi kebaikan anak Ibu Suci, dan agar Ibu Suci tetap mau mengajar di sekolahnya. Ibu Suci : “Aku ingin mempunyai murid yang kelak menjadi manusia yang berdiri sendiri.” (TDS) (PDH. 54).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Pada kutipan di atas terlihat perbuatan baik pada diri Ibu Suci yang mengharapkan memiliki murid yang kelak menjadi manusia yang dapat berdiri sendiri, dan ini moral terhadap diri Ibu Suci sendiri. Waskito : “Dia membantah: “Tidak, Bu! Saya di sini saja!” (TOL) (PDH. 54).
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Waskito membantah dan menolak rujukan atau pilihan bangku untuknya yang dipilhkan oleh Ibu Suci, dan itu nilai moral merupakan perbuatan buruk terhadap orang lain apalagi terhadap gurunya sendiri. Ibu Suci : “Tiba-tiba kulihat Waskito masuk, menuju ke tempatku. Tanpa berkata sesuatu pun, dia meletakkan timbunan buku tugas di depanku. Aku terpesona. Heran bercampur bingung, masih bisa mengucapkan: “Terima kasih! Nanti akan saya periksa.” (TOL) (PDH. 55).
61
Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci merasa terpesona dan heran bercampur bingung akan sikap yang Waskito lakukan hari itu yang sedikit berbeda dari biasanya. Ibu Suci : “Kadang-kadang ada keinginan padaku untuk merengkuhnya dengan lenganku, lalu berkata sehalus mungkin kepadanya bahwa aku ingin sekali menolongnya. Aku memang betul-betul ingin memberinya perhatian yang selama ini tidak didapatkannya dari orang tuanya.” (TDS) (PDH. 56).
Pada kutipan di atas jelas terlihat moral terhadap diri sendiri yaitu terhadap diri Ibu Suci pribadi yang kadang-kadang merasa ingin memeluk dengan lengannya dan berkata “aku ingin menolongnya” apabila melihat murid sukarnya itu, yang tidak dia dapatkan dari orang tuanya. Ibu Suci : “Ketabahan itu berkat kelegaan pertama karena telah selesainya seruntunan test bagi anakku.” (TDS) (PDH. 58).
Hal terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci merasa ketabahan yang dia lakukan karena selesainya seruntunan test buat anaknya, dan Ibu Suci pun tidak henti-hentinya bersyukur. Ibu Suci : “Hatiku mulai agak tenang. Meskipun ketenangan itu juga kesiagaan untuk menghadapi sesuatu kejutan.” (TDS) (PDH. 58).
Nilai moral disini terhadap diri Ibu Suci sendiri, dimana hatinya sudah mulai agak tenang walaupun kesiagaan masih ada untuk menghadapi sesuatu kejutan. Kejutan disini, baik dari pihak murid sukarnya atau dari anaknya. Ibu Suci : “Aku ingat ketika masih kecil, pada hari itulah guru menyuruh kami sekelas meletakkan tangan di meja bangku dengan telapak mengarah ke bawah. Dari depan ke belakang, dari belakang ke muka, guru memeriksaa kuku murid seorang demi seorang. Kalau dia menemukan kuku yang kotor atau panjang, langsung belahan bambu atau rotan yang dipegangnya dipukulkan ke tangan si anak. Dan tidak hanya tangan yang diperiksa! Dia juga meneliti kuping anak-anak! Kalau bersih, dia meneruskan melihat anak yang lain. Tetapi bila telinga itu berdaki, jari tengan dan jempol tangan kanannya membentukkan
62
bulatan, kemudian “tak”! Dia menyelentik kuping yang dekil itu!” (TOL) (PDH. 60).
Hal tersebut terlihat moral yang terdapat pada kutipan di atas bahwa moral terhadap orang lain, dimana Ibu Suci mengingat dimasa sekolahnya ibu guru selalu memeriksa kuku-kuku dan telinga semua murid-muridnya. Hal itu merupakan perbuatan baik yang diberikan seorang guru kepada muridnya agar selalu menjaga kebersihan hanya mungkin dengan cara yang buruk yaitu dengan memukul tangan dan menyelentik kuping yang kotor. Ibu Suci : “Pemeriksaan kebersihan semacam itu kuteruskan terhadap anak-anak didikku. Tetapi aku tidak memukul atau menyelentik keras. Cukup sebagai syarat untuk memperlihatkan kepada murid lain, sehingga yang bersangkutan merasa malu. Dengan begitu kuharapkan pada hari-hari selanjutnya dia berobah menjadi lebih bersih.” (TOL) (PDH. 61).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa perbuatan baik seorang guru kepada muridnya, begitu pula yang dilakukan Ibu Suci yang dilakukan di sekolah barunya. Namun, disini Ibu Suci benar-benar menanamkan nilai kebersihan kepada murid-muridnya. Ibu Suci : “Karena ternyata murid-muridku yang tahu akan kuselentik sedikit kebanyakan laki-laki, selalu menelengkan kepala untuk menghindari sentuhan jari-jariku, atau umpamanya tangannya yang kotor dan berkuku panjang, sebelum aku sempat menggelitikkan batang rotan ke atas tangan tersebut, murid itu sudah berani menarik tangan dan menyembunyikannya di bawah meja bangku.” (TOL) (PDH. 61).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa setelah pemeriksaan semacam itu kuteruskan, muridmuridku sudah berani menarik tangan dengan menyembunyikannya di bawah meja bangku dan itu menggambarkan perbuatan buruk muridmurid Ibu Suci. Teman Waskito : “Wah, saya iri melihat perlengekapannya buat mengerjakan kayu sedemikian tipis dan rapuh.”(TOL) (PDH. 66).
63
Kutipan mencerminkan nilai moral. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Teman Waskito merasa iri dengan apa yang Waskito miliki di dalam kamarnya. Dimana nilai moral yang ada perbuatan buruk sekalipun hanya iri dengan apa yang orang lain miliki. Teman Waskito : “Bu Suci! Waskito kambuh, Bu! Dia mengamuk! Dia mau membakar kelas!” (TOL) (PDH. 67).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa nilai moral yang ada merupakan nilai moral perbuatan buruk Waskito, dimana Waskito mengamuk dan mau membakar kelasnya. Ibu Suci : “Aku desak kerumunan murid yang menonton di pintu. Kulihat Kepala Sekolah maju sambil membentak dan menghardik para penonton. Waskito berdiri di muka kelas, membelakangiku deretan bangku-bangku. Memang dia memegang gunting, tetapi tidak terbuka. Suara Kepala Sekolah menggelegar.” (TOL) (PDH. 68).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Pada kutipan di atas terlihat nilai moral terhadap orang lain, baik Ibu Suci terhadap kerumunan murid, baik bentakan Kepala Sekolah terhadap para penonton dengan suara yang menggelegar. Ibu Suci : “Satu bulan, Pak! Saya mohon diberi satu bulan lagi!” (TOL) (PDH. 69).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci meminta perpanjangan waktu lagi kepada Kepala Sekolah untuk menolong dan lebih mengenal murid sukarnya, dan itu merupakan perbuatan baik terhadap orang lain. Ibu Suci : “Kutarik nafas dalam-dalam, mataku memandangi anak-anak didikku, mengedar ke semuanya.” (TDS) (PDH. 71).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Nilai moral disini terhadap diri Ibu Suci sendiri, dimana Ibu Suci masih merasa guru pendatang di sekolah yang baru, dan masih dalam masa percobaan sehingga
64
membuatnya menarik nafas sambil melihat sekelilingnya. Yaitu anakanak didiknya. Ibu Suci : “Saya berani berjanji kepada guru-guru lain bahwa selama sebulan akan dicoba lagi kemampuan saya, apakah dapat memiliki murid-murid yang berdisiplin, berbudi dan berprestasi.” (TOL) (PDH. 71).
Kutipan mencerminkan nilai moral. hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci berjanji terhadap guru-guru yang ada di sekolah barunya, bahwa dia bisa memiliki murid-murid berdisiplin, berbudi dan berprestasi. Dan janji itu merupakan perbuatan baik yang ingin dicapai oleh Ibu Suci. Ibu Suci : “Malamnya aku gelisah. Tidurku sangat terganggu. Dugaanku bermacam-macam. Barangkali Waskito tidak masuk esok pagi! Atau masuk, membawa pisau, atau golok, atau senjata lain yang lebih mengerikan guna membalas dendam terhadapku!” (TDS) (PDH. 71).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci merasa gelisah akan kericuhan yang terjadi di sekolah, dan sangat mengganggu tidurnya. Sehingga membuat Ibu Suci memikirkan dugaan-dugaan yang bermacam-macam apabila Waskito esok masuk. Ibu Suci : “Buku-buku tugas harus dibungkus sampul yang sama. Waskito! Tolong ambilkan gulungan kertas yang ada di meja Bu Suci di kantor!” (TOL) (PDH. 72).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa apa yang diinginkan Ibu Suci merupakan perbuatan baik terhadap murid-muridnya agar bersikap kebersamaan, dengan meminta anak didiknya menyampul buku dengan sampul yang sama. Ibu Suci : “Dalam hati aku meragukan jawaban mengenai uang itu. Tetapi aku tidak mendesak lagi. Seandainya dia berbohong, itu bukan urusanku. Yang penting dia tidak mencuri di kelas.” (TDS) (PDH. 76).
65
Kutipan mencerminkan nilai moral. Nilai moral disini terhadap diri Ibu Suci sendiri dimana dalam hatinya meragukan apa yang diucapkan anak didiknya waskito soal apa yang Ibu Suci tanyakan. Ibu Suci : “Tetapi itu cukup membikinku terlonjak karena terkejut. Apalagi ini jantungku berdebar keras.” (TDS) (PDH. 80).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci merasakan kembali terkejut akan apa yang murid sukarnya lakukan kali ini, yaitu dengan merusak tanaman percobaan teman-temannya. Disini nilai moral yang terlihat yaitu pada diri Ibu Suci sendiri akan apa yang dilakukan Waskito, yaitu tegang dan terkejut. Ibu Suci : “Suasana kelas tenang, tetapi tegang. Aku merasa anak-anak khawatir.” (TOL) (PDH. 81).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci merasa semua anak didiknya merasa khawatir akan apa yang sedang terjadi. Ibu Suci : “Kamu membanting dan menginjak-injak tanaman yang tidak berdosa! Bayi-bayi tanaman itulah yang kamu bunuh.” (TOL) (PDH. 82).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Nilai moral yang terlihat pada kutipan di atas merupakan perbuatan buruk Waskito terhadap lingkungan di sekitarnya. Disini Ibu Suci mencoba memberikan arahan apa yang Waskito lakukan merupakan perbuatan buruk yang tidak seharusnya dia lakukan. Waskito : “Mereka mengejek saya, akhirnya itulah yang keluar dari bibirnya.” (TDS) (PDH.83).
Kutipan mencerminkan nilai moral. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa nilai moral di atas menggambarkan apa yang sesungguhnya Waskito pendam dan alami sesungguhnya, yang akhirnya dia mengungkapkan kepedihan hatinya karena kawan-
66
kawannya mengejek tanamannya yang kurang subur, kalah dari tunastunas lainnya. 3. Deskripsi Hasil Analisis Nilai Budaya pada Novel Pertemuan Dua Hati Dalam analisis nilai budaya disini semua kutipan mencerminkan kebiasaan-kebiasaan yang selalu terjadi di kehidupan sehari-hari. Pada kutipan di bawah ini terlihat adanya nilai budaya, diantaranya: Ibu Suci : “Tiga anak lebih mudah dididik dan dibesarkan daripada empat, lima, atau enam. Biaya hidup semakin tinggi. Filsafat orang-orang tua yang mengatakan bahwa setiap anak lahir dengan bawaan rezeki masing-masing sangat sukar diterapkan di zaman sekarang.” (PDH. 14).
Kutipan mencerminkan nilai budaya. Hal tersebut terlihat dari kutipan di atas bahwa “setiap anak lahir dengan membawa rezeki masingmasing” itu benar, dimana kata-kata itu sering terdengar dari orangtua terdahulu. Ibu Suci : “Memenuhi tatacara, aku memperkenalkan diri ke Rukun Tetangga. Aku bertemu dengan isteri RT, sebab suaminya sedang mengurus keperluan di tempat lain. Ramah dan sopan dia menyambutku. Setelah basa-basi, pembicaraan sampai perihal anak-anak dan pekerjaan. Lalu dia menceritakan kesibukannya.” (PDH. 14).
Kutipan mencerminkan nilai budaya. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa adanya adat istiadat dan budaya dimanapun kita tinggal kita harus memperkenalkan diri kepada Rukun Tetangga setempat setidaknya bersosialisasi bahwa kita adalah warga yang baik. Ibu Suci : “Dan ketika anakku demam, aku memutuskan sendiri untuk memeriksakannya ke dokter mana saja. Dari dokter ini anakku menerima obat guna menanggulangi flu. Belum selesai menghabiskan semua obat, kulitnya ditumbuhi bintik-bintik merah. rasa Gatal membikin dia semakin rewel. Uwak ku menumbuk kunyit, ditambah air masak, gula merah dan beberapa tetes air kapur. Anakku disuruh menghadap ke arah Timur dan minum jamu itu sebanyak lima atau tujuh tegukan.” (PDH. 20).
67
Kutipan mencerminkan nilai budaya. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa nilai budaya yang terlihat adalah ketika si Uwak menumbuk kunyit, ditambah air masak, gula merah dan beberapa tetes air kapur. Anak Ibu Suci disuruh menghadap ke arah Timur dan minum jamu itu sebanyak lima atau tujuh tegukan. “Tetapi dalam kebudayaan Jawa, apakah pendapat seorang anak, apalagi di bawah umur belasan tahun, pernah diacuhkan? Bukankah orang-orang tua selalu berkata, bahwa umur seberapa pun seorang anak tetap anak dalam sebuah keluarga? Dia tetap dianggap berkedudukan di bawah derajat orang tua sehingga dalam waktu-waktu atau suasana tertentu tetap dikalahkan. Kuakui bahwa hal-hal ini ada baiknya. Itu melestarikan rasa hormat, keseganan, kesopanan dan segala tata huku m tradisi keJawa-an. Itu baik asal komunikaasi tetap terbuka, asal hubungan dekat hati ke hati terjalin secara kekeluargaan yang wajar.” (PDH. 44).
Kutipan di atas mencerminkan nilai budaya. Hal tersebut jelas terlihat dalam kutipan di atas bahwa dalam kebudayaan Jawa bahwa seorang anak tetap dianggap berkedudukan di bawah derajat orang tua demi melestarikan rasa hormat, keseganan, kehormatan dan segala tata hukum tradisi ke-Jawa-an. 4. Deskripsi Hasil Analisis Nilai Sosial pada Novel Pertemuan Dua Hati Nilai sosial dalam cerita fiksi merupakan pesan atau saran yang berkenaan dengan masyarakat atau kepentingan umum. Dimana nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berfikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Oleh karena itu, manusia dikatakan sebagai mahluk sosial, yaitu makhluk yang di dalam kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Ada kebutuhan untuk
68
hidup berkelompok dengan manusia lain, seperti kebutuhan atau sikap tolong menolong, kasih sayang, kepedulian sosial, kepekaan terhadap sesama. Ibu Suci : “Hampir sepuluh tahun aku menjadi guru di sana. Pekerjaan ini bukan pilihanku sendiri.” (PDH.9)
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Dimana Ibu Suci sudah sangat lama menekuni pekerjaannya, walaupun itu bukan pilihannya. Namun, Ibu Suci sadar sebagai manusia ada dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain khususnya dengan murid-murid di sekolahnya. Ibu Suci : “Untuk pertama kalinya aku berada jauh dari orang tua, sehingga mempunyai kebebasan mengambil beberapa prakarsa sendiri. Untuk pertama kalinya pula aku keluar dari lingkungan yang kuanggap mulai menjadi sempit.” (PDH. 10).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci memang sudah terbiasa ada di dalam lingkungan besarnya, hanya untuk pertama kalinya dia berada jauh dari orang tua dan memiliki kebebasan cara berfikir untuk hidupnya. Ibu Suci : Kata Bapak, “kini aku sudah bisa mencari nafkah. Adikku tiga orang. Lebih baik aku bekerja untuk menambah pemasukan uang.” (PDH. 10).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa orang tua Ibu Suci menyarankan untuk mencari nafkah untuk menambah pemasukan, setidaknya bisa terlihat dengan bekerja Ibu Suci pun berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain. Ibu Suci : “Setiap hari aku berhadapan dengan anak-anak yang berlainan watak dan geraknya. Murid kelas-kelas rendahan memberi pengalaman yang berlainan dari anak-anak kelas empat hingga kelas enam. Hari yang satu berbeda dari yang sekarang maupun yang bakal datang kemudian.” (PDH. 10).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa murid kelas-kelas rendahan memberi pengalaman kepada murid lainnya. Makanya manusia disebut dengan mahluk
69
sosial, karena pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Ada kebutuhan untuk hidup berkelompok dengan manusia lain, begitupula dengan murid-murid disekolah. Ibu Suci : “Seperti kota-kota pesisir lain, kepadatan penduduk amat dikuasai pengaruh golongan Tionghoa. Selama masa sekolah, aku tidak banyak bergaul langsung dengan golongan tersebut.” (PDH. 11).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Terlihat jelas pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci merupakan mahluk sosial dimana pada masanya dia sekolah, Ibu Suci pun bergaul dengan golongan Tionghoa. Walaupun tidak bergaul langsung. Ibu Suci : “Namun pada waktu-waktu tertentu kami bersamasama ke bawah untuk menonton pertunjukan wayang wong atau filem. Mendekati libur panjang, biasanya pengurus sekolah mengadakan acara kunjungan perkenalan.” (PDH. 11).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas pihak sekolah mengadakan kunjungan perkenalan, dan hal itupun tidak dilakukan sendiri pasti adanya interaksi dengan orang banyak. Ibu Suci : “Ketika masuk sekolah baru, di hari pertama aku menemani anak-anak. Aku memperkenalkan diri kepada Kepala Sekolah. Selain sebagai orang tua murid, juga sebagai guru yang menunggu keputusan pengangkatan dari pihak atasan.” (PDH. 13).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci di hari pertamanya menemani dan memperkenalkan diri kepada Kepala Sekolah dan itu suatu interaksi dalam lingkungan yang salah satu ciri mahluk sosial. Ibu Suci : “Dari ibu itu aku mendengar keterangan bahwa penghuni kampung terdiri dari campuran golongan tingkat masyarakat. Ada pensiunan kepala polisi, pegawai kejaksaan, pensiunan kepala sekolah atau guru. Tidak kurang pula pedagang tengahan yang merupakan pendatang dari daerah lain. Yang paling banyak tentu saja yang disebut rakyat rendahan, terdiri
70
dari penjual-penjual makanan dorongan, penjaga pintu gedunggedung tontonan, tukang becak dan kuli-kuli pelabuhan atau pasar.” (PDH. 15).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa dalam satu kampung pun terdiri dari berbagai macam campuran golongan masyarakat. Ibu Suci : “Tetapi ukuran yang dipergunakan orang untuk menentukan tempat dalam masyarakat seringkali keadaan keuangan. Orang lebih mudah menentukannya dari segi kemewahan atau kemiskinan.” (PDH. 15).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di
atas
bahwa
ukuran
dalam
menentukkan
tempat
dalam
masyarakatpun masih serimgkali dilihat dari segi kemewahan atau kemiskinan, begitulah hidup bermasyarakat bahwa makhluk yang di dalam kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Ibu Suci : “Anak-anak kami menjadi besar di sana. Dengan sendirinya mereka menyukai semua yang berhubungan dengan rumah itu. Memang daerah sekitarnya nyaman. Penduduk saling mengenal. Rata-rata mempunyai tingkat hidup setaraf.” (PDH. 16).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa semua warga tempat tinggal Ibu Suci saling mengenal dan berinteraksi, dan anak-anaknya mulai menyukai dengan semua yang ada di rumah itu dan merasa nyaman. Ibu Suci : “Pria menjadi buruh pabrik atau kuli pelabuhan, gadisgadis menjadi pembantu rumah tangga atau pengasuh anak-anak dan bayi. Perkembangan masyarakat kini menghendaki banyak ibu yang bekerja di luar rumah. Bayi dan anak-anak dipasrahkan kepada pengasuh yang mendapat nama suster.” (PDH. 16).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa sudah menjadi kebiasaan dari perkembangan masyarakat Ibu Suci tinggal, dan semua berinteraksi menurut bidangnya masing-masing.
71
Ibu Suci : “Untuk pergi ke sekolah kami biasa melewati tempat itu. Di kota besar, manusia jarang mendapat kesempatan mengawasi dari dekat binatang ternak semacam itu. Aku menyadari bahwa letak pasar itu sangat bermanfaat.” (PDH. 17).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Dimana pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci dan anak-anaknya biasa melakukan interaksi atau pergi ke sekolah dengan melewati tempat itu, dan jelas kata “letak pasar” di atas tempat berinteraksi semua orang begitu juga bagi Ibu Suci dan anak-anaknya. Ibu Suci : “Melihat keadaan anak kami demikian, dokter segera memeriksanya. Kemudian dia memberikan obat penenang serta berbagai vitamin.” Katanya, “itu hanya perawatan sementara.” (PDH. 20).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa adanya interaksi antara Ibu Suci, anaknya dan dokter, dimana dengan pemeriksaan dokter kepada anak Ibu Suci dan memberikan obat penenang dan vitamin. Ibu Suci : “Aku mengulangi memperkenalkan diri kepada muridmurid, supaya suasana menjadi lebih santai, aku menceritakan sedikit karirku sebagai guru. Kukatakan pula berapa anakku dan apa pekerjaan suamiku. Tidak lupa kusebut bahwa dua anakku bersekolah di sana. Dan akhirmya kutambahkan kesibukan kami pagi itu menerka jenis pohon-pohon mangga. Lalu aku bertanya siapa yang mempunyai pohon buah-buahan. Berangsur-angsur keadaan kurang tegang, aku membuka daftar nama. Aku memanggil seorang demi seorang. Untuk memudahkan ingatan, di samping setiap nama murid kuberi tanda. Ada lima deretan bangku memanjang. Kuhitung nomor satu dari kiri ke kanan. Misalnya nama Rusidah kutandai dengan pensil tulisan 3-te. Artinya murid itu duduk di deretan bangku ke-3 dikelompok tengah. Karso 4-mu, karena murid itu duduk di banku ke-4 di kelompok muka. Murid perempuan ternyta ada dua puluh satu. Semua masuk. Dari seluruh isi kelas, yang absen tiga murid. Seorang dipamitkan karena sakit. Seorang lainnya ke luar kota karena neneknya meninggal. Satu murid lagi tidak ketahuan sebabnya mengapa tidak masuk.” (PDH. 24).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa dengan perkenalan yang dilakukan Ibu Suci itu udah menandakan awal dari interaksi yang akan dilakukan, dengan
72
selanjutnya apa yang Ibu Suci lakukan kepada murid-muridnya agar hubungan Ibu Suci dan semua anak didiknya berbaur dan tidak tegang. Ibu Suci : “Siapa yang pernah dipukul? Disakiti?” “Tangantangan terunjuk ke atas. Keherananku semakin bertambah karena kuhitung lebih dari sepertiga kelas mengacungkan lengan! Sedemikian banya yang pernah menjadi korban Waskito! Aku terpaksa mengakui kenyataan bahwa dia anak yang “jahat”, mengikuti sebutan seisi kelas.” (PDH. 28).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibu Suci melakukan tanya jawab atau interaksi dengan seluruh anak didiknya dengan mempertanyakan siapa yang pernah dipukul dan disakiti Waskto. Teman Waskito : “Saya tidak suka Bapak bikin perkara ke sekolah.” Sesaat kelas menjadi sepi. Mendadak terdengar seorang murid berkata perlahan: “Lebih baik dia tidak masuk, Bu! Ya, mudah-mudahan dia pindah!” sambung murid lain.” (PDH. 29).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa apa yang teman-teman Waskito inginkan merupakan dasar dari perilaku yang telah Waskito lakukan, yang membuat akhirnya perilaku seluruh temannya berubah menjadi hubungan yang tidak harmonis. Teman Waskito : “Untung kalau begitu! Tanpa dikeluarkan, dia keluar sendiri!:” kawannya menyahuti. “Dulu dia pernah dikeluarkan sekolah lain,” kara Raharjo. “Dari sekolah mana?” tanyaku. “Sekolah swasta, Bu.” “Bukan!” bantah murid lain, “SD negeri juga, tapi di kota.” “Sekolah swasta, betul!” murid lain membenarkan ketua kelas.”“Memang SD swasta.” Raharjo menjelaskan lagi. ”Neneknya yang memasukkan dia disana. Tetapi karena sering membolos, lalu dikeluarkan.” “Waskito tinggal bersama neneknya?” tanyaku. “Dulu, Bu,” murid perempuan ganti memberi keterangan.“ Sekarang sudah diambil kembali oleh bapak dan ibunya.” (PDH. 29).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas adanya interaksi antara Nenek Waskito dengan sekolah yang dulu pernah Waskito menjalani pembelajaran, hanya karena interaksi
73
yang berjalan kurang baik akhirnya Waskito dikeluarkan dari sekolahnya. Ibu Suci : “Apakah orang tuanya pernah pindah ke kota lain atau bagaimana?” Teman Wakito : “Tidak tahu, Bu!” Ibu Suci : “Dari siapa kalian mengetahui semua ini?” Raharjo tidak menjawab. Seperti ada kesepakatan, murid-murid lain juga diam. “Kamu pernah melihat dia di rumah neneknya? Lalu pindah ke tempat orang tuanya?” sambil mengucapkan ini aku tetap memandang ke arah ketua kelas. Teman Waskito : “Tidak, Bu. Saya belum kenal ketika dia tinggal bersama neneknya.” Ibu Suci : “Jadi dari mana kamu tahu semua itu?” Setelah membungkam sesaat, dia menatap mataku dan menjawab: “Waskito sendiri yang mengatakannya. Setiap dia kambuh menjadi bengis, selalu berteriak-teriak. Macam-macam yang dikatakannya. Yang sering diulang-ulang: Seperti barang. nih, begini, dilempar ke sana kemari. Dititipkan! Apa itu! Persetan! Aku tidak perlu kalian semua!” (PDH. 30).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa interaksi yang dilakukan Ibu Suci dengan teman-teman Waskito merupakan tanya jawab seputar apa yang mereka ketahui tentang perilaku sosial Waskito di sekolah. Nenek Waskito : “Dia lebih menginginkan satu atau dua kalimat manis dari bapaknya. Usapan tangan di kepalanya, atau pandang penuh perhatian keibuan.” (PDH. 31).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa interaksi yang dilakukan Nenek Waskito dan Ibu Suci hanya menceritakan apa yang Waskito inginkan hanya perhatian dari bapaknya. Ibu Suci : “Dulu wanita itu tidak jarang datang ke sekolah. Dia berunding dengan para guru dan mendengarkan pendapat mereka mengenai cucunya. Dari percakapan itu, kemudian ketahuan bahwa si Nenek tidak pernah setuju dengan menantunya, yaitu ibu Waskito.” (PDH. 32).
74
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Nenek Waskito dulu sering datang ke sekolah dan berinteraksi dengan seluruh guru yang ada di sekolah cucunya dan mendengarkan pendapat tentang cucunya. Ibu Suci : “Perbincangan dengan para guru menghasilkan dua keputusan. Dari pihak sekolah, akan dikirim surat menanyakan mengapa Waskito selama ini tidak masuk. Dari pihakku sendiri, akan kukirim surat kepada si Nenek.” (PDH. 33).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa setiap makhluk tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh manusia lain, dimana disinipun Ibu Suci dan semua guru berhasil
melakukan
perbincangan
dengan
mendapatkan
dua
keputusan. Itu merupakan nilai sosial dimana kebutuhan hidup berkelompok. Ibu Suci : “Sebegitu orang masuk ke rumah itu, terasa resapan keramahan dan kesejahteraan. Kini setelah duduk, baru beberapa menit berkenalan dan melihat keterbukaan hati, wanita itu, aku merasa kerasan.” (TOL) (PDH. 36).
Kutipan mencerminkan nilai sosial. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas bahwa Nenek Waskito sangat peka dan terbuka terhadap Ibu Suci sehingga membuatnya merasa kerasan, dimana manusia tidak terlepas dari pengaruh masyarakat lainnya begitupun dengan Nenek Waskito sebagai mahluk sosial.
C. Analisis Nilai Pendidikan Beberapa Tokoh Dalam sub bab ini penulis akan menganalisis data dari pembahasan temuan nilai-nilai pendidikan di atas untuk menguatkan atas apa yang telah di analisis sebelumnya. Dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini bisa dilihat bahwa nilai moral lebih dominan di dalamnya, sekalipun masih ada nilai-nilai pendidikan lainnya seperti nilai religi, nilai budaya, dan nilai sosial.
75
Adapun perilaku sosial dari tokoh-tokoh dalam novel ini yang sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang ada, diantaranya: 1) Ibu Suci : bisa dilihat dari didikan dan tanggung jawabnya terhadap murid-murid di sekolah barunya, dengan menanamkan berbagai macam pelajaran yang sangat berharga tentang lika liku kehidupan sebagai seorang ibu dan seorang guru. Selain itu, Ibu Suci memberikan pandangan baik terhadap murid-muridnya bahwa tidak ada anak nakal yang ada anak jahat. 2)
Waskito: bisa dilihat dari setiap kejadian dan peristiwa yang diperbuatnya dalam novel Pertemuan Dua Hati bahwa semua berawal dari apa yang dialaminya sehari-hari, dari rasa iri terhadap temantemannya dan dampak dari kurangnya perhatian dari kedua orang tuanya.
3) Nenek Waskito: bisa dilihat dari semua ucapannya bahwa dia betulbetul menyayanginya, dan apa yang diajarkannya semata-mata untuk membuat cucu sulungnya belajar disiplin dan teratur dalam hidupnya.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan analisis yang telah peneliti lakukan tentang nilai-nilai pendidikan dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang meliputi nilai pendidikan religi, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan budaya, dan nilai pendidikan sosial. Nilai-nilai yang terdapat pada novel Pertemuan Dua hati karya Nh. Dini terdapat 134 kutipan yang meliputi 14 kutipan nilai pendidikan religi, 61 kutipan nilai pendidikan moral, 4 kutipan nilai pendidikan budaya, dan 53 kutipan nilai pendidikan sosial. Simpulan dari data di atas bahwa empat nilai-nilai pendidikan yang paling dominan dalam Novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini ini, adalah nilai moral di dalamnya dibanding nilai-nilai pendidikan lainnya, yaitu nilai sosial, nilai religi , dan nilai budaya. Sekalipun nilai-nilai moral yang terdapat pada Novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini ada positif negatifnya, bukan berarti kita harus mencontoh moral negatifnya justru kita dapat mengambil hikmah dari nilai-nilai moral positif yang ada baik dari Bu Suci maupun dari Waskito. Novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini ini layak dijadikan bahan pengajaran sastra yang mencakup kesahihan (validity), tingkat kepentingan (significance), kebermanfaatan (utility), layak dipelajari (learnability), dan menarik hati (interest). Khususnya dalam bidang pendidikan moral.
76
77
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah saya lakukan dalam Novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini, maka saya menyarankan antara lain: 1. Siswa Siswa hendaknya bisa memilah-milah mana novel yang baik dan buruk untuk pembelajaran dari semua novel yang dibaca. Sekalipun novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini ini sangat menarik untuk dibaca namun jangan mencontoh apapun apabila ada nilai negatif dari tokoh di dalamnya. Nilai-nilai positif yang ada dapat menjadi dasar bagi siswa untuk menerapkannya dalam berperilaku di kehidupan di masyarakat. 2. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Guru hendaknya dapat memaksimalkan penggunaan bahan pembelajaran sastra, dalam hal ini adalah novel. Novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini yang di dalamnya memiliki empat macam nilai pendidikan yaitu, diantaranya nilai religi, nilai moral, nilai budaya, dan sosial. Guru dalam pelajaran sastra sebaiknya lebih menekankan pada isi karya sastra dan nilai moral yang ada di dalamnya. Selain itu, guru harus menjadi teladan yang baik dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai moral. Karena novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini ini cocok dipakai untuk mata pelajaran moral dan sosial di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Asrori, Muhamad. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima, 2009. Bahtiar, Ahmad. Metode Penelitian Sastra. Jakarta: Pujangga Rabani Press, 2013. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988. Dini, Nh. Pertemuan Dua Hati. Jakarta: PT Gramedia, 1989. Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011. Fananie, Zaenuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2002. Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma, 2004. Keraf, Gorys.Seri Retorika; Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001. Kosasih, E. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Nobel Edumedia, 2008. Luxemburg, Java Van. Mieke Bal dan Willem G. Westseijn, Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia, 1984. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Edisi Revisi, 2013. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,2005. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003. Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Semi, Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa raya. Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007. Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya,1984.
78
79
Tirtarahardja, Umar, dan S. L. La Sulo. Pengantar Pendidikan; Edisi Revisi, 2013. Waluyo, Herman J. Teori Apresiasi Sastra. Jakarta: Erlangga, 1995. Wellek,
Rene
dan
Austin
Warren.
Teori
Kesusastraan.
Jakarta:PT
Gramedia,1989. Ws, Hasanudin, Dkk. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: PT Titian Ilmu. Zulkarnaen, dkk. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta Timur: Pusat Bahasa, Cet. 6, 2009.
Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini Pada Subbab ini penulis ingin merekapitulasi nilai-nilai pendidikan yang ada menjadi beberapa tabel seperti dibawah ini, antara lain:
Tabel 1 Rekapitulasi Data Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Pertemuan Dua Hati No
Nilai-nilai Pendidikan
Kalimat Kutipan Hlm
1. 2. 3.
Ibu Suci : “Hampir sepuluh tahun aku menjadi guru di sana. Pekerjaan ini bukan pilihanku sendiri.” Ibu Suci : “Orang tuaku menasehatkan agar masuk ke sekolah guru. Katanya sangat cocok bagi wanita.” (TOL) Ibu Suci : “Aku patuh, menuruti nasehat orang tua.” (TDS) Ibu Suci : “Purwodadi tidak memiliki satu
NR
NM
NB
NE
NS
9
9
10
10
10
daya tarik pun bagi pengunjung. Namun
4.
demikian ketika aku pulang berlibur, melewati
jalan
atau
tempat
tertentu,
seringkali hatiku terharu.” (TA) Ibu Suci : “Aku tidak menyesal telah
5.
menuruti nasehat orang tua. Aku senang kepada pekerjaanku.” (TDS) Ibu Suci : “Untuk pertama kalinya aku
6.
berada jauh dari orang tua, sehingga mempunyai
kebebasan
beberapa prakarsa sendiri.
mengambil
10
1
2
Hlm
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : Kata Bapak, “kini aku sudah 7.
bisa mencari nafkah. Adikku tiga orang. Lebih baik aku bekerja untuk menambah
10
10
pemasukan uang.” Ibu Suci : “Setiap hari aku berhadapan dengan anak-anak yang berlainan watak dan geraknya. Murid kelas-kelas rendahan 8.
memberi pengalaman yang berlainan dari anak-anak kelas empat hingga kelas enam. Hari yang satu berbeda dari yang sekarang maupun yang bakal datang kemudian.” Ibu Suci : “Tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari, aku lebih sering mengalah.
9.
Dalam
mengalah
aku
mengira
bisa
11
11
mencapai suasana damai lebih cepat.” (TDS)
10.
Ibu Suci : “Aku dididik orang tua agar hidup sebisa mungkin. Segala perselisihan pendapat diselesaikan dengan terbuka dan terus terang. Tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari, aku lebih sering mengalah. Dalam mengalah aku mengira bisa mencapai suasana damai lebih cepat. Sudah dapat dibayangkan akulah yang paling menderita di seluruh ruangan seandainya aku jadi bekerja sebagai sekertaris! Tentulah aku berdiam diri meskipun sakit hati dan tertekan karena sifatku itu.” (TDS)
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Ya, memang benar-benar aku 11.
tidak menyesal mengambil karir sebagai
11
guru.” (TDS) Ibu Suci : “Seperti kota-kota pesisir lain, kepadatan 12.
penduduk
amat
dikuasai
pengaruh golongan Tionghoa. Selama
11
11
masa sekolah, aku tidak banyak bergaul langsung dengan golongan tersebut.” Ibu Suci : “Namun pada waktu-waktu tertentu kami bersama-sama ke bawah 13.
untuk menonton pertunjukan wayang wong atau filem. Mendekati libur panjang, biasanya pengurus sekolah mengadakan acara kunjungan perkenalan.” Ibu Suci : Menurut pendapatku, “justru di situlah sebaiknya anak-anak menerima didikan sepatutnya. Kekuatan pendidikan
14.
SD terlihat pada si anak seumur hidupnya. Anak yang mendapat ajaran seperlunya
12
12
guna pembentukan watak, di kemudian hari menjadi manusia bersifat kokoh. Tidak sering berobah pendapat.” (TOL) Ibu Suci : “Ketika mencari rumah, 15.
suamiku memikirkan jarak yang harus kami tempah setiap hari.” (TOL)
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Ketika masuk sekolah baru, di hari pertama aku menemani anak-anak. Aku memperkenalkan diri kepada Kepala 16.
Sekolah. Selain sebagai orang tua murid, juga
sebagai
keputusan
guru
yang
pengangkatan
13
menunggu dari
pihak
atasan.” Ibu Suci : “Kami berterima-kasih kepada 17.
Tuhan karena dikurniai anak pertama perempuan
yang
lembut
dan
cepat
13
mengerti.” Ibu Suci : “Tiga anak lebih mudah dididik dan dibesarkan daripada empat, lima, atau enam. Biaya hidup semakin tinggi. Filsafat 18.
orang-orang tua yang mengatakan bahwa
14
14
setiap anak lahir dengan bawaan rezeki masing-masing sangat sukar diterapkan di zaman sekarang.” Ibu Suci : “Memenuhi tatacara, aku memperkenalkan diri ke Rukun Tetangga. Aku bertemu dengan isteri RT, sebab suaminya sedang mengurus keperluan di 19.
tempat
lain.
Ramah
menyambutku.
dan
Setelah
sopan
dia
basa-basi,
pembicaraan sampai perihal anak-anak dan pekerjaan.
Lalu
kesibukannya.”
dia
menceritakan
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Dari ibu itu aku mendengar keterangan bahwa penghuni kampung terdiri dari campuran golongan tingkat masyarakat. Ada pensiunan kepala polisi, pegawai
kejaksaan,
pensiunan
kepala
sekolah atau guru. Tidak kurang pula 20.
pedagang
tengahan
yang
merupakan
15
15
16
pendatang dari daerah lain. Yang paling banyak tentu saja yang disebut rakyat rendahan,
terdiri
dari
penjual-penjual
makanan dorongan, penjaga pintu gedunggedung tontonan, tukang becak dan kulikuli pelabuhan atau pasar.” Ibu
Suci
:
“Tetapi
ukuran
yang
dipergunakan orang untuk menentukan 21.
tempat
dalam
masyarakat
seringkali
keadaan keuangan. Orang lebih mudah menentukannya dari segi kemewahan atau kemiskinan.” Ibu Suci : “Anak-anak kami menjadi besar di
sana.
menyukai 22.
dengan
Dengan
sendirinya
semua
yang
rumah
sekitarnya
mereka
berhubungan
itu.
Memang
daerah
nyaman.
Penduduk
saling
mengenal. Rata-rata mempunyai tingkat hidup setaraf.”
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Pria menjadi buruh pabrik atau kuli
pelabuhan,
gadis-gadis
menjadi
pembantu rumah tangga atau pengasuh anak-anak 23.
dan
bayi.
Perkembangan
masyarakat kini menghendaki banyak ibu
16
17
yang bekerja di luar rumah. Bayi dan anakanak dipasrahkan kepada pengasuh yang mendapat nama suster.” Ibu Suci : “Untuk pergi ke sekolah kami biasa melewati tempat itu. Di kota besar, manusia jarang mendapat kesempatan 24.
mengawasi dari dekat binatang ternak semacam itu. Aku menyadari bahwa letak pasar itu sangat bermanfaat.” Ibu Suci : “kami bersyukur mempunyai
25.
jam dinding itu.”
18
Ibu Suci : “Aku mengetahui bahwa seorang guru mendapat kecelakaan. Karena 26.
menderita gegar otak, barangkali lama baru akan masuk.” (TOL)
18
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Aku berfikir kepada anakku. Mudah-mudahan dia segera sehat kembali. Sejak kami pindah, seringkali dia rewel, 27.
menangis
tanpa
kelihatan.
Kalau
sebab
yang
ditanya,
nyata
19
katanya
kepalanya pusing. Lain dari kebiasaannya, dia cepat sekali tersinggung.” (TOL) Ibu Suci : “Dan ketika anakku demam, aku memutuskan
sendiri
untuk
memeriksakannya ke dokter mana saja. Dari dokter ini anakku menerima obat guna menanggulangi flu. Belum selesai menghabiskan 28.
semua
obat,
kulitnya
ditumbuhi bintik-bintik merah. rasa Gatal
20
membikin dia semakin rewel. Uwak ku menumbuk kunyit, ditambah air masak, gula merah dan beberapa tetes air kapur. Anakku disuruh menghadap ke arah Timur dan minum jamu itu sebanyak lima atau tujuh tegukan.” Ibu Suci : “Melihat keadaan anak kami demikian, dokter segera memeriksanya. 29.
Kemudian dia memberikan obat penenang serta berbagai vitamin.” Katanya, “itu hanya perawatan sementara.”
20
1 30.
2
3
Dokter : “Aku turut prihatin”. (TOL)
NR
NM
21
Ibu Suci : “Namun di samping itu, aku percaya,
bahwa
Tuhan
selalu
mendengarkan dan memperhatikan yang mencintainya. 31.
Semoga
dia
memberi
kekuatan kepadaku, dam melimpahkam
21
22
kesejahteraan kepada keluargaku. Dengan kepercayaan serta keyakinan ini aku akan mulai bekerja kembali.” Ibu Suci : “Ketika sembahyang subuh, 32.
kurasakan kedinginan yang menunjam.” Kepala sekolah : “Tunjukkan kepada Bu Suci bahwa kalian anak-anak kota besar
33.
juga
sepatuh
anak-anak
kota
kecil
Purwodadi di mana Bu Suci sudah mengajar sepuluh tahun lamanya.” (TOL)
24
NB
NE
NS
1
2 Ibu
Suci
:
“Aku
3
NR
NM
NB
NE
NS
mengulangi
memperkenalkan diri kepada murid-murid, supaya suasana menjadi lebih santai, aku menceritakan sedikit karirku sebagai guru. Kukatakan pula berapa anakku dan apa pekerjaan suamiku. Tidak lupa kusebut bahwa dua anakku bersekolah di sana. Dan akhirmya kutambahkan kesibukan kami pagi itu menerka jenis pohon-pohon mangga. Lalu aku bertanya siapa yang mempunyai
pohon
buah-buahan.
Berangsur-angsur keadaan kurang tegang, aku
membuka
daftar
nama.
Aku
memanggil seorang demi seorang. Untuk 34.
memudahkan ingatan, di samping setiap nama murid kuberi tanda. Ada lima deretan bangku memanjang. Kuhitung nomor satu dari kiri ke kanan. Misalnya nama Rusidah kutandai
dengan
pensil
tulisan
3-te.
Artinya murid itu duduk di deretan bangku ke-3 dikelompok tengah. Karso 4-mu, karena murid itu duduk di banku ke-4 di kelompok muka. Murid perempuan ternyta ada dua puluh satu. Semua masuk. Dari seluruh isi kelas, yang absen tiga murid. Seorang dipamitkan karena sakit. Seorang lainnya ke luar kota karena neneknya meninggal. Satu murid lagi tidak ketahuan sebabnya mengapa tidak masuk.”
24
1
2
3
NR
NM
Ibu Suci : “Aku menyadari bahwa bekerja 35.
kembali menyebabkan hatiku merasa lebih
25
lapang.”(TDS) Ibu Suci : “Aku berterima kasih kepada 36.
Tuhan
karena
teringat
kepada
nasib
25
beberapa bekas kawan sekolahku.” Ibu Suci : “Aku ingin menanamkan kesadaran yang sama, betapa bahagia serta 37.
beruntung kami mempunyai sekolah bagus dan kokoh. Guru bersama murid dapat
25
28
menunaikan tugas masing-masing tanpa rasa ketakutan.” (TDS) Ibu Suci : “Tidak ada anak-anak yang jahat,” cepat aku menyambung berusaha melembutkan
keheranan
kuperlihatkan
secara
yang
baru
terang-terangan.”
Kalian masih tergolong tingkatan umur yang dapat dididik. Memang kalian bukan 38.
kanak-kanak lagi! Tetapi kalian sudah bisa diajar teratur, ditunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk.. Jadi, Bu Suci beritahu sejelas-jelasnya: tidak ada anak yg jahat.
Kalaupun
seandainya
terjadi
kenakalan yang keterlaluan, anak itu mempunyai kelainan. Tapi dia nakal. Bukan jahat!” (TOL)
NB
NE
NS
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Siapa yang pernah dipukul? Disakiti?” “Tangan-tangan
terunjuk
ke
atas.
Keherananku semakin bertambah karena 39.
kuhitung
lebih
dari
sepertiga
kelas
28
29
mengacungkan lengan! Sedemikian banya yang pernah menjadi korban Waskito! Aku terpaksa mengakui kenyataan bahwa dia anak yang “jahat”, mengikuti sebutan seisi kelas.” Teman Waskito : ““Saya tidak suka Bapak bikin perkara ke sekolah.” Sesaat kelas menjadi sepi. Mendadak terdengar seorang 40.
murid berkata perlahan: “Lebih baik dia tidak masuk, Bu!”“Ya, mudah-mudahan dia pindah!” sambung murid lain.”
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Teman Waskito : “Untung kalau begitu! Tanpa dikeluarkan, dia keluar sendiri!:” kawannya menyahuti. “Dulu dia pernah dikeluarkan sekolah lain,” kara Raharjo. “Dari sekolah mana?” tanyaku. “Sekolah swasta, Bu.” “Bukan!” bantah murid lain, “SD negeri juga, tapi di kota.” 41.
“Sekolah swasta, betul!” murid lain membenarkan ketua kelas.”“Memang SD swasta.” Raharjo menjelaskan lagi. ”Neneknya yang memasukkan dia disana. Tetapi karena sering membolos, lalu dikeluarkan.” “Waskito tinggal bersama neneknya?” tanyaku. “Dulu, Bu,” murid memberi keterangan.
perempuan
ganti
“Sekarang sudah diambil kembali oleh bapak dan ibunya.”
29
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Apakah orang tuanya pernah pindah ke kota lain atau bagaimana?” Teman Wakito : “Tidak tahu, Bu!” Ibu Suci : “Dari siapa kalian mengetahui semua ini?” Raharjo tidak menjawab. Seperti ada kesepakatan, murid-murid lain juga diam. “Kamu pernah melihat dia di rumah neneknya? Lalu pindah ke tempat orang tuanya?” sambil mengucapkan ini aku tetap memandang ke arah ketua kelas. Teman Waskito : “Tidak, Bu. Saya belum 42.
kenal
ketika
dia
tinggal
bersama
neneknya.” Ibu Suci : “Jadi dari mana kamu tahu semua itu?” Setelah membungkam sesaat, dia menatap mataku dan menjawab: “Waskito sendiri yang mengatakannya. Setiap dia kambuh menjadi bengis, selalu berteriak-teriak. Macam-macam yang dikatakannya. Yang sering diulang-ulang: Seperti barang. Anih, begini,
dilempar
ke
sana
kemari.
Dititipkan! Apa itu! Persetan! Aku tidak perlu kalian semua!”
30
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Nenek Waskito : “Dia lebih menginginkan 43.
satu atau dua kalimat manis dari bapaknya. Usapan tangan di kepalanya, atau pandang
31
32
penuh perhatian keibuan.” Ibu Suci : “Dulu wanita itu tidak jarang datang ke sekolah. Dia berunding dengan para guru dan mendengarkan pendapat 44.
mereka
mengenai
cucunya.
Dari
percakapan itu, kemudian ketahuan bahwa si Nenek tidak pernah setuju dengan menantunya, yaitu ibu Waskito.” Nenek Waskito : “Maka dia tumbuh menjadi anak yang bersifat pemarah dan pemberontak. Dia adiknya.
45.
Selalu
selalu
mengganggu
membantah
menyanggah
nasehat.
Jika
mengerjakan
sesuatu,
selain
melaksanakannya,
dia
juga
dan disuruh tidak
menyahut
dengan kata-kata tidak sopan. Apalagi kalau berhadapan dengan ibunya! Waskito menjadi anak yang kurang ajar. Kelakuan dan permainannya membahayakan adikadik di rumah maupun teman-teman di sekolah.” (TOL)
32
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Perbincangan dengan para guru menghasilkan dua keputusan. Dari pihak 46.
sekolah, akan dikirim surat menanyakan mengapa Waskito selama ini tidak masuk.
33
Dari pihakku sendiri, akan kukirim surat kepada si Nenek.” Ibu Suci : “Aku ingin menunjukan turut 47.
berprihatin mengenai cucu sulungnya.”
33
33
33
34
(TOL) Ibu Suci : “Rasa ingin tahu bercampur rasa 48.
wajib demikian kuat mendorongku untuk “kehilangan waktu dengan sia-sia.” (TDS) Ibu Suci : “Bagaimanapun juga, aku tetap pada
49.
maksudku
mengunjungi
nenek
Waskito. Apa pun yang akan terjadi, aku merasa
harus
mencoba
mengerjakan
sesuatu untuk menolong anak itu.” (TOL) Ibu Suci : “Di sana, pada umunya yang disebut sukar lebih disebabkan karena sifat pendiam, atau anak yang kurang bisa berkomunikasi. Perasaan yang terpendam 50.
membuat anak memberontak pada saatsaat kepenuhan. Ada pula anak pelamun; atau cengeng, sedikit-sedikit merengek dan menangis
jika
kawannnya.” (TOL)
diganggu
kawan-
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Pada suatu sore yang telah ditentukkan, aku berkunjung ke rumah kakek dan nenek tersebut. Aku bertemu 51.
dengan sepasang suami-istri sebaya dengan
35
orang tuaku. Si suami hanya sebentar menyalamiku, kemudian masuk kembali ke kamar praktek.” Ibu Suci : “Sebegitu orang masuk ke rumah itu, terasa resapan keramahan dan 52.
kesejahteraan. Kini setelah duduk, baru beberapa menit berkenalan dan melihat
36
37
37
38
keterbukaan hati, wanita itu, aku merasa kerasan.” (TOL) Nenek Waskito : “Konon Waskito dihajar 53.
habis-habisan. badannya
Mukanya
dicambuk
dipukul,
dengan
ikat
pinggang.” (TOL) Nenek Waskito : “Saya hanya ingin 54.
mendidik anak bersikap rapi dan teratur, Jeng.” (TOL) Nenek Waskito : “Anak-anak harus diajar berdisiplin atau keteraturan dalam hidup
55.
sehari-hari. Ini akan memberi pengaruh besar dalam cara berpikirmya kelak pada umur dewasa.” (TOL)
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Nenek Waskito : “Suami saya berpendapat bahwa anaknya “hanya” boleh bergaul 56.
dengan anak-anak yang berorang tua sederajat
dengan
kami.
Artinya
38
sependidikan. Kalau bisa malahan suami saya mengenal orang tua itu!.” Ibu Suci : “Aku datang buat mencari latar belakang
selengkap
mungkin
guna
menimbulkan pengertianku terhadap anak 57.
didikku. Kalau memang dia masih dapat diarahkan ke perbaikan, inilah kewajiban
40
41
utamaku. Demi itulah maka aku berhak berbuat untuk menemukan latar belakang tersebut.” (TOL) Nenek Waskito : “Dia harus disadarkan, bahwa hidup tidak selamanya demikian 58.
mudah,
apalagi
kehendaknya!
berlangsung
Jadi,
uang
keperluan utama.” (TOL)
seperti
merupakan
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Nenek Waskito : “Dua hari sebelum kejadian itu, waskito pulang dari sekolah mengatakn, bahwa penjaga halaman di sana sedang membuat cangkokan kembang 59.
soka. Yang saya punyai di kebun ini berwarna merah dan satu lagi putih.
43
Sedangkan di sekolah, berwarna kuning. Kata Waskito, Jeng, penjaga sekolah dia beri uang supaya membikin cangkokan buat saya.” Nenek Waskito : “Dia anak yang baik, Jeng. Walaupun pemberian itu belum saya 60.
terima, saya sudah sangat bahagia rasanya! Ketika dia mengatakan maksud pemberian
43
43
tersebut, langsung saya peluk dan saya ciumi.” (TOL) Ibu Suci : “Leherku terasa tercekik oleh keterharuan.
Hatiku
kubujuk
jangan
sampai menangis. Pelapukan mataku terasa 61.
panas. Bukannya aku malu menitikkan air mata di depan wanita yang telah menjadi nenek ini. Tidak. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku kuat menahan perasaanku.” (TDS)
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Tetapi dalam kebudayaan Jawa, apakah pendapat seorang anak, apalagi di bawah
umur
belasan
tahun,
pernah
diacuhkan? Bukankah orang-orang tua selalu berkata, bahwa umur seberapa pun seorang anak tetap anak dalam sebuah keluarga? 62.
Dia
tetap
dianggap
berkedudukan di bawah derajat orang tua sehingga dalam waktu-waktu atau suasana
44
tertentu tetap dikalahkan. Kuakui bahwa hal-hal ini ada baiknya. Itu melestarikan rasa hormat, keseganan, kesopanan dan segala tata hukum tradisi ke-Jawa-an. Itu baik asal komunikaasi tetap terbuka, asal hubungan dekat hati ke hati terjalin secara kekeluargaan yang wajar.” Ibu Suci : “Anak semacam inilah yang akan kuhadapi di kelasku. Dapatkah aku menolongnya keluar dari persoalannya? Umur yang disandangnya akan lebih memberatinya dengan segala kelakuan 63.
remaja.
Semua
akan
dipertanyakan:
mengapa demikian? Mengapa begitu? Dapatkah aku mengarahkannya ke satu perkembangan sehat dan wajar, sebagai anak “biasa”? Dan siapakah yang akan membantuku dalam tugas ini?”
45
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Waskito dapat hidup dengan kebiasaan lingkungannya, hanya perlu bimbingan dan pengarahan. Dia hanya 64.
memerlukan
tambahan
“suntikan”
45
pengetahuan untuk tidak merugikan atau membahayakan
manusia
lain
di
lingkungannya.” 65.
Ibu Suci : “Hatiku tidak tenang.” (TDS)
45
46
46
Ibu Suci : “Sepiintas lalu, tentu saja aku mementingkan anakku daripada muridku. Tetapi benarkah sikap itu? Benarkah 66.
pilihan ini didiktekan oleh suara hatiku yang sesungguhnya dan setulus-tulusnya? Aku menyukai pekerjaanku sebagai guru.” (TDS) Ibu Suci : “Tarikan Waskito sedemikian besar bagiku, karena jauh di lubuk hati, aku menyadari bahwa aku harus mencoba
67.
menolong anak itu. Demi menyelamatkan seorang calon anggota masyarakat, tetapi barangkali juga demi kepuasan pribadiku.” (TDS)
1
2
3
NR
47
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Aku ingin, dan aku minta kepada Tuhan, agar diberi kesempatan mencoba 68.
mencakup
tugasku
di
dua
bidang. Sebagai ibu dan sebagai guru. Dengan pertolonganNya, pastilah aku akan berhasil. Karena dia mahabisa dalam segala-galanya.” Ibu Suci : “Dokter menyebutnya dengan nama lebih berbau medikal: epilepsi. Khalayak ramai menempatkannya sejajar dengan
penyakit
gila.
Sama
seperti
mempunyai anak cacat, baik sejak lahir 69.
maupun karena kecelakaan pada masa pertumbuhannya.
Orang
membicarakan
yang bersangkutan tidak secara terangterangan, melainkan dengan bisik-bisik suara
rendah,
disertai
berlebihan atau cemoohan.”
rasa
kasihan
49
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Bagaimana mengabarkan kepada lingkungan dengan cara setenang dan sejelas mungkin mengenai keadaan anakku ini? Pertama-tama, anak itu sendiri harus tahu. Juga dia harus diberi pengertian bahwa penyakitnya dapat disembuhkan 70.
jika kami mengikuti baik-baik nasehat
49
49
50
dokter, patuh dan tepat minum obat-obat yang diberikan. Dia
harus disiapkan
supaya tidak merasa rendah diri seandainya ada
teman
atau
lingkungan
yang
mengganggu perihal penyakitnya.” Ibu Suci : “Menurut nasehat dokter anak 71.
kami tidak boleh terlalu lelah.” Ibu Suci : “Walaupun
sibuk mengurusi
anakku, aku tetap berhubungan dengan kelasku. Waktu-waktu yang kupergunakan untuk mengantar anakku tidak selalu 72.
sehari-hari yang bersambungan. Dengan demikian
aku
sempat
mengetahui
perkembangan atau perobahan yang terjadi di sekolah dan yang bersangkutan dengan murid-murid.
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Sampai saat Waskito tinggal di rumah kakeknya, sepupu perempuan itu 73.
juga sering datang. Begitu pula Waskito
51
51
tidak jarang bertandang ke tempat Bu Denya.” Ibu Suci : “Aku menyempatkan diri mengunjungi nenek Waskito untuk kedua 74.
kalinya. Dari dia aku mendengar, bahwa makanan
sehari-hari yang dihidangkan
harus dibagi rata.” Ibu Suci : “Kucoba membuka hati anak75.
anak didikku agar rela menerima Waskito
51
52
jika dia kembali ke sekolah.” (TOL) Ibu Suci : “Demikianlah bersama-sama kami
meneliti
dan
melembari
setiap
kejadian dan setiap kalimat yang dikatakan Waskito. Lalu kami menemukannya. Dan naluriku 76.
untuk
kesekian
kalinya
memastikan
bahwa
itulah
yang
menyebabkan
Waskito
selalu
geram
terhadap anak-anak tertentu di kelasku. Di antara berpuluh anak didikku, hanya merekalah yang diantar oleh ayah mereka! Bahkan juga kadang-kadang dijemput ketika pulang.”
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Jenis anak-anak lain tidak akan memandang hal itu sebagai satu masalah. 77.
Namun bagi Waskito, yang sedari kecil merasa ditolak, tidak diperhatikan, hal itu
52
52
merupakan beban yang mengganjal di hatinya. Dia sedih, dia merana.” (TOL)
78.
Ibu Suci : “Alangkah besar penderitaan batin Waskito.” (TOL) Ibu Suci : “Kuminta mereka memaafkan Waskito yang suka memukul dan pemarah. Kucoba meyakinkan anak-anak didikku
79.
bahwa jauh di lubuk hatinya, Waskito
52
tidak membenci, seperti yang selalu dia katakan. Yang sebenarnya ialah dia merasa iri.” Ibu Suci : “Pesanku yang selalu kuulang 80.
ialah jangan sekali-kali menunjukkan rasa tidak suka kepada Waskito atau takut
53
53
kepadanya.” (TOL) Ibu
Suci
ketenangan 81.
:
“Aku
berharap
batinku
sendiri
menguji di
saat
menghadapi murid sukar pertama dalam karirku di kota ini. Selama aku sibuk dengan urusan anakku.” (TDS)
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Karena rasa seganku kepada 82.
para
rekan
dan
dia
sendiri,
pernah
kuusulkan lebih baik diambil orang lain
53
untuk menggantiku." Kepala Sekolah : Katanya, “aku diberi 83.
keleluasan mondar-mandir demi kebaikkan anakku, asal tetap mau mengajar di
53
54
54
sekolahnya.” (TOL) Ibu Suci : “Aku ingin mempunyai murid 84.
yang kelak menjadi manusia yang berdiri sendiri.” (TDS)
85.
Waskito : “Dia membantah: “Tidak, Bu! Saya di sini saja!” (TOL) Nenek Waskito : “Waskito bukan anak
86.
yang kasar, yang tidak bisa didekati
54
dengan perasaan.” Ibu Suci : “Tiba-tiba kulihat Waskito masuk,
menuju
ke
tempatku.
Tanpa
berkata sesuatu pun, dia meletakkan 87.
timbunan buku tugas di depanku. Aku terpesona.
Heran
bercampur
bingung,
masih bisa mengucapkan: “Terima kasih! Nanti akan saya periksa.” (TOL)
55
1
2 Di
tengah-tengah
3 waktu
NR
NM
NB
NE
NS
pelajaran,
terdengar suara benda kecil sebentuk 88.
kelereng
jatuh.
mengganggu
Itulah
kawan-kawannya
Waskito
55
dengan
melempar kapur. Ibu Suci : “Kadang-kadang ada keinginan padaku
untuk
merengkuhnya
dengan
lenganku, lalu berkata sehalus mungkin 89.
kepadanya
bahwa
aku
ingin
sekali
menolongnya. Aku memang betul-betul
56
ingin memberinya perhatian yang selama ini tidak didapatkannya dari orang tuanya.” (TDS) Ibu 90.
Suci
:
“Waskito
tidak
pernah
kehilangan akal, selalu mengisi hari-hari
56
57
lain dengan gangguan lain pula.” Ibu Suci : “Orang tua murid dan guru 91.
bergotong royong, masing-masing murid datang dengan membawa meja dan bangku mereka.” Ibu Suci : “Ketabahan itu berkat kelegaan
92.
pertama karena telah selesainya seruntunan test bagi anakku.” (TDS)
58
1
2
3
NR
58
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Tiada hentinya aku bersyukur 93.
kehadirat
Illahi
karena
kemudahan-
kemudahan yang kami terima selama ini.” Ibu Suci : “Hatiku mulai agak tenang. 94.
Meskipun ketenangan itu juga kesiagaan
58
untuk menghadapi sesuatu kejutan.” (TDS) Ibu Suci : “Dan setiap akan berangkat, hatiku langsung berbicara kepada Tuhan: 95.
apakah
yang
akan
terjadi
hari
ini?
Berikanlah kekuatan serta jalan guna
58
merampungkan tugas sehari itu dengan baik.” Ibu Suci : “Setiap waktu istirahat ada anak96.
anak berkelompok memperhatikan sesuatu, aku berdebar dan segera ingin mengetahui apa yang mereka kerjakan atau lihat.”
59
1
2
3
NR
NM
Ibu Suci : “Aku ingat ketika masih kecil, pada hari itulah guru menyuruh kami sekelas meletakkan tangan di meja bangku dengan telapak mengarah ke bawah. Dari depan ke belakang, dari belakang ke muka, guru memeriksaa kuku murid seorang demi seorang. Kalau dia menemukan kuku yang kotor atau panjang, langsung belahan 97.
bambu atau rotan yang dipegangnya dipukulkan ke tangan si anak. Dan tidak
60
61
hanya tangan yang diperiksa! Dia juga meneliti kuping anak-anak! Kalau bersih, dia meneruskan melihat anak yang lain. Tetapi bila telinga itu berdaki, jari tengan dan
jempol
tangan
kanannya
membentukkan bulatan, kemudian “tak”! Dia menyelentik kuping yang dekil itu!” (TOL) Ibu
Suci
:
“Pemeriksaan
kebersihan
semacam itu kuteruskan terhadap anakanak didikku. Tetapi aku tidak memukul atau menyelentik keras. Cukup sebagai 98.
syarat untuk memperlihatkan kepada murid lain, sehingga yang bersangkutan merasa malu. Dengan begitu kuharapkan pada hari-hari selanjutnya dia berobah menjadi lebih bersih.” (TOL)
NB
NE
NS
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Karena ternyata murid-muridku yang
tahu
akan
kuselentik
sedikit
kebanyakan laki-laki, selalu menelengkan kepala untuk menghindari sentuhan jari99.
jariku, atau umpamanya tangannya yang kotor dan berkuku panjang, sebelum aku
61
sempat menggelitikkan batang rotan ke atas tangan tersebut, murid itu sudah berani menarik tangan dan menyembunyikannya di bawah meja bangku.” (TOL) Suatu siang, Honda-nya (Kepala Sekolah) macet. Dia berhenti di depan beberapa rumah berselang dari tempat kediaman kami. Anakku yang sulung kebetulan melihatnya bdan mempunyai prakarsa 100.
mengundangnya ke rumah kami. Suamiku sudah pulang waktu itu. Dia menolong memperbaiki rekanku.
kerusakan
Kemudian
kendaraan
hubungan
kami
berobah menjadi lebih dekat. Dia datang berkunjung
membawa
menjadi guru di SD IKIP.
istrinya
yang
62
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Pada suatu kesempatan lain, guru Agama membawa kelasku ke Kantor Urusan Agama. Dia sudah kuberitahu siapa Waskito. Aku minta tolong kepadanya 101.
untuk mengamati anak ini agak lebih dari
63
64
65
lain-lainnya, memperhatikan percakapan serta tingkah lakunya. Siapa tahu dia dapat menemukan sesuatu yang lain yang lolos dari pengamatanku sendiri.” Ibu 102.
Suci
:
“Kawanku
itu
mau
memperdulikan kegemaran Waskito, maka dia berhasil memecah kelakuan sifat murid sukarku itu.” Ibu Suci : “Waskito menjadi kurang raguragu. Dia tidak malu bertanya langsung
103.
kepada pengantar yang menyambut serta menemani penjelasan.”
kami
sambil
memberi
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Hari pengumpulan tiba, masing-masing regu membawa hasil karya mereka. Seluruih kelas terbagi ke dalam enam kelompok. Ada bejana yang terbuat 104.
dari bekas kaleng susu, kaleng coklat, bahan dari botol plastik keras yang
65
dipotong bagian atasnya. Hanya kelompok Waskito yang lain. Ketika masuk kelas, mereka kelihatan seperti pindahan. Yang dipergunakan ialah dua kaleng besar.” Ibu Suci : “Pendek kata, hasil kerja Waskito
bersama
regumya
menjadi
tontonan seisi kelas. Di waktu istirahat, 105.
guru-guru lain memerlukan datang ke ruang keterampilan untuk menyaatakan
66
sendiri bahwa murid sukarku bersama kelompoknya mampu berkarya dengan baik.” Teman Waskito : “Wah, saya iri melihat 106.
perlengkapannya buat mengerjakan kayu sedemikian tipis dan rapuh.”(TOL)
66
1
2
3
NR
67
NM
Ibu Suci : “Aku benar-benar bersyukur karena kami telah diberi tahu Tuhan jalan 107.
mana yang dapat dipergunakan untuk mendekati anak didikku yang terkenal sukar itu.” Teman Waskito : “Bu Suci! Waskito
108.
kambuh, Bu! Dia mengamuk! Dia mau
67
68
membakar kelas!” (TOL) Ibu Suci : “Aku desak kerumunan murid yang menonton di pintu. Kulihat Kepala Sekolah maju sambil membentak dan menghardik 109.
para
penonton.
Waskito
berdiri di muka kelas, membelakangiku deretan
bangku-bangku.
Memang
dia
memegang gunting, tetapi tidak terbuka. Suara (TOL)
Kepala
Sekolah
menggelegar.”
NB
NE
NS
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Aku menambahkan pembelaan: “Pastilah telah terjadi sesuatu di rumah, di antar keluarganya atau di kelas sehingga dia 110.
menjadi
geram.
Kemarahannya
dilampiaskannya kepada siapa kalau tidak kepada
ita,
lingkungannya
69
terdekat?
Karena dia tidak memiliki orang tua yang dapat
disebutnya
sebagai
lingkungan
terdekatnya!”
111.
Ibu Suci : “Satu bulan, Pak! Saya mohon diberi satu bulan lagi!” (TOL)
69
71
71
Ibu Suci : “Kutarik nafas dalam-dalam, 112.
mataku memandangi anak-anak didikku, mengedar ke semuanya.” (TOL) Ibu Suci : “Saya berani berjanji kepada guru-guru lain bahwa selama sebulan akan
113.
dicoba lagi kemampuan saya, apakah dapat memiliki murid-murid yang berdisiplin, berbudi dan berprestasi.” (TOL)
1
2
3
NR
NM
Ibu Suci : “Malamnya aku gelisah. Tidurku sangat terganggu. Dugaanku bermacammacam. Barangkali Waskito tidak masuk 115.
esok pagi! Atau masuk, membawa pisau,
71
atau golok, atau senjata lain yang lebih mengerikan
guna
membalas
dendam
terhadapku!” (TDS) Ibu Suci : “Dalam sujudku menghadap Tuhan 116.
sebelum
dinihari
tiba,
rasa
kerendahan diriku semakin kutekan. Kami ini manusia sangat hina, kecil dan tak
71
berdaya jika Tuhan tidak menghendaki keunggulan kami!” Ibu Suci : “Buku-buku tugas harus 117.
dibungkus sampul yang sama. Waskito! Tolong ambilkan gulungan kertas yang ada
72
di meja Bu Suci di kantor!” (TOL) Ibu Suci : “Hari itu berlalu tanpa amukan pisau, atau golok, atau benda tajam 118.
lainnya! Siang sewaktu tiba kembali dengan selamat di bawah atap rumah keluarga, aku bersyukur menyebut nama Tuhan.”
72
NB
NE
NS
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Selain kerja sambilan sulaman atau 119.
menolong
anak-anak
dalam
keterampilan mereka, tidak jarang aku menyiapkan
pelajaran
yang
73
73
73
termasuk
program.” Ibu Suci : “Sambil mengerjakan sesuatu, mereka kuajak 120.
berbicara. Dan pokok
percakapan tidak hanya mengenai hal-hal sekolah. Dari hari ke hari aku bertambah pengetahuan
mengenai
murid-muridku,
terutama mengenai Waskito diri pribadi.” Ibu Suci : “Pada waktu istirahat, aku minta tolong 121.
Waskito
supaya
memberikan
kepadanya di barisan kelas-kelas termuda. Kusuruh
muridku
menunggu
sampai
anakku itu makan sedikit, atau kalau mungkin malahan sampai bekal itu habis.” Ibu Suci : “Tuhan memberikan dua 122.
percobaan sekaligus kepadaku: penyakit 74 anakku dan murid sukar.”
1
2 Ibu
Suci
:
3
“Lama-kelamaan,
NR
NM
NB
NE
NS
aku
merasakan adanya semacam sambungan 123.
atau jalur penghubung anatar Waskito dan diriku. Hubungan itu juga terasa ada di
75
seluruh kelas, di antara para murid dengan anak didikku yang satu ini.” Ibu Suci : “Dalam hati aku meragukan jawaban mengenai uang itu. Tetapi aku 124.
tidak mendesak lagi. Seandainya dia 76 berbohong, itu bukan urusanku. Yang penting dia tidak mencuri di kelas.” (TDS) Ibu Suci : “Aku bersyukur kepada Tuhan telah menemukan jalan yang menuju ke
125.
pertemuanku dengan hati dan perasaan Waskito. Karena ya, benarlah aku merasa seolah-olah bertemu.”
hati
kami
berdua
telah
78
1
2
3
NR
NM
NB
NE
NS
Ibu Suci : “Seolah-olah Dia menandaskan bahwa belum saatnya aku mengendorkan pengawasanku terhadap anak ini. Bahwa aku harus tetap waspada. Memang betul Waskito banyak berubah. Kakek dan 126.
neneknya satu kali singgah beberapa menit dan
mengatakannya
kepada
79
Kepala
sekolah. Bu De yang serumah dengan dia bercerita
tentang
kemenakannya. Namun
kepatuhan perobahan itu
semua masih terlalu baru. Masih rapuh.” Ibu Suci : “Tetapi itu cukup membikinku 127.
terlonjak karena terkejut. Apalagi ini
80
81
82
jantungku berdebar keras.” (TDS) Ibu Suci : “Suasana kelas tenang, tetapi 128.
tegang. Aku merasa anak-anak khawatir.” (TOL) Ibu Suci : “Kamu membanting dan
129.
menginjak-injak
tanaman
yang
tidak
berdosa! Bayi-bayi tanaman itulah yang kamu bunuh.” (TOL)
1
2 Waskito
130.
:
3
“Mereka
mengejek
NR
NM
NB
NE
NS
saya,
akhirnya itulah yang keluar dari bibirnya.”
83
(TDS) Ibu Suci : “Ayo kembali ke kelas! Tadi 131.
kawan-kawannmu membenahi
akan
menyapu
hasil
dan
pelampiasan
85
85
85
kemarahanmu.” Ibu Suci : “Pada waktu liburan Waskito kami bawa menengok kota kecil kami Purwodadi. 132.
Dia
diajak
suamiku
memancing sepuas-puas hatinya. Dan aku tidak menyesal memenuhi janjiku itu terlalu dini, karena sekembali dari liburan, kuperhatikan dia semakin berubah.” Bu De Waskito : “Dia berterima kasih
133.
kepada Kepala Sekolah, para guru, dan kepadaku sendiri. Aku menjawab bahwa aku gembira dapat menolong Waskito.” Ibu Suci : “Mudah-mudahan Tuhan selalu
134
menolongku dalam melaksanakan tugas ini.”
85
A. Pengelompokkan Nilai-nilai Pendidikan Tabel 2 Nilai Pendidikan Religius dalam Novel Pertemuan Dua hati Karya Nh. Dini Dalam tebel 2 ini penulis hanya akan memasukkan semua nilai-nilai pendidikan yang berhubungan dengan nilai religi atau keagamaan. Dimana merupakan pesan atau saran yang bersifat ajaran agama yang ditampilkan melalui sikap atau prilaku tokoh-tokohnya dan dapat ditinjau dari segi aqidah, syariat dan akhlak. No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Kami berterima-kasih kepada Tuhan
1.
Religi
karena dikurniai anak pertama perempuan yang lembut dan cepat mengerti.” (PDH. 13)
2.
Religi
Ibu Suci : “kami bersyukur mempunyai jam dinding itu.” (PDH. 17) Ibu Suci : “Namun di samping itu, aku percaya, bahwa
3.
Religi
Tuhan
selalu
mendengarkan
dan
memperhatikan yang mencintainya. Semoga dia memberi kekuatan kepadaku, dam melimpahkam kesejahteraan kepada keluargaku.” (PDH. 21)
4.
Religi
Ibu Suci : “Ketika sembahyang subuh, kurasakan kedinginan yang menunjam.” (PDH. 22) Ibu Suci : “Aku berterima kasih kepada Tuhan
5.
Religi
karena teringat kepada nasib beberapa bekas kawan sekolahku.” (PDH. 25)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Aku ingin, dan aku minta kepada Tuhan,
6.
Religi
agar
diberi
kesempatan
mencoba
mencakup tugasku di dua bidang. Sebagai ibu dan sebagai guru. Dengan pertolonganNya, pastilah aku akan berhasil. Karena dia mahabisa dalam segala-galanya.” (PDH. 47) Ibu Suci : “Tiada hentinya aku bersyukur
7.
Religi
kehadirat Illahi karena kemudahan-kemudahan yang kami terima selama ini.” (PDH. 58) Ibu Suci : “Dan setiap akan berangkat, hatiku langsung berbicara kepada Tuhan: apakah yang
8.
Religi
akan terjadi hari ini? Berikanlah kekuatan serta jalan guna merampungkan tugas sehari itu dengan baik.” (PDH. 58) Ibu Suci : “Aku benar-benar bersyukur karena
9.
Religi
kami telah diberi tahu Tuhan jalan mana yang dapat dipergunakan untuk mendekati anak didikku yang terkenal sukar itu.” (PDH.67) Ibu Suci : “Dalam sujudku menghadap Tuhan sebelum dinihari tiba, rasa kerendahan diriku
10.
Religi
semakin kutekan. Kami ini manusia sangat hina, kecil
dan
tak
berdaya
jika
Tuhan
menghendaki keunggulan kami!” (PDH. 71)
tidak
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Hari itu berlalu tanpa amukan pisau, atau golok, atau benda tajam lainnya! Siang
11.
Religi
sewaktu tiba kembali dengan selamat di bawah atap rumah keluarga, aku bersyukur menyebut nama Tuhan.” (PDH. 72) Ibu Suci : “Tuhan memberikan dua percobaan
12.
Religi
sekaligus kepadaku: penyakit anakku dan murid sukar.” (PDH. 74) Ibu Suci : “Aku bersyukur kepada Tuhan telah menemukan jalan yang menuju ke pertemuanku
13.
Religi
dengan hati dan perasaan Waskito. Karena ya, benarlah aku merasa seolah-olah hati kami berdua telah bertemu.” (PDH. 78) Ibu Suci : “Mudah-mudahan Tuhan selalu
14.
Religi
menolongku dalam melaksanakan tugas ini.” (PDH. 85)
Tabel 3 Nilai Pendidikan Moral dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini Dalam tebel 3 ini penulis hanya akan memasukan semua nilai-nilai pendidikan yang berhubungan dengan nilai moral. Dimana nilai moral adalah ajaran tentang baik atau buruk perbuatan, kelakuan, akhlak dan kewajiban seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku. Bisa disimpulkan bahwa nilai moral juga bisa disebut perbuatan manusia yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar kepada dirinya sendiri, orang lain, terhadap alam serta kepada Tuhannya supaya tidak terjadi perilaku menyimpang. No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Orang tuaku menasehatkan agar masuk
1.
Moral
ke sekolah guru. Katanya sangat cocok bagi wanita.” (TOL) (PDH. 9)
2.
Moral
Ibu Suci : “Aku patuh, menuruti nasehat orang tua.” (TDS) (PDH. 10) Ibu Suci : “Purwodadi tidak memiliki satu daya tarik pun bagi pengunjung. Namun demikian
3.
Moral
ketika aku pulang berlibur, melewati jalan atau tempat tertentu, seringkali hatiku terharu.” (TA) (PDH. 10) Ibu Suci : “Aku tidak menyesal telah menuruti
4.
Moral
nasehat
orang
tua.
Aku
senang
kepada
pekerjaanku.” (TDS) (PDH.10) Ibu Suci : “Tetapi dalam kenyataan hidup sehari5.
Moral
hari, aku lebih sering mengalah.” (TDS) (PDH. 11)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Aku dididik orang tua agar hidup sebisa mungkin. Segala perselisihan pendapat diselesaikan dengan terbuka dan terus terang. Tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari, aku
6.
Moral
lebih sering mengalah. Sudah dapat dibayangkan akulah yang paling menderita di seluruh ruangan seandainya aku jadi bekerja sebagai sekertaris! Tentulah aku berdiam diri meskipun sakit hati dan tertekan karena sifatku itu.” (TDS) (PDH.11) Ibu Suci : “Ya, memang benar-benar aku tidak
7.
Moral
menyesal mengambil karir sebagai guru.” (TDS) (PDH. 11) Ibu Suci : Menurut pendapatku, “justru di situlah sebaiknya
anak-anak
menerima
didikan
sepatutnya. Kekuatan pendidikan SD terlihat pada 8.
Moral
si anak seumur hidupnya. Anak yang mendapat ajaran seperlunya guna pembentukan watak, di kemudian hari menjadi manusia bersifat kokoh. Tidak sering berobah pendapat.” (TOL)(PDH. 12) Ibu Suci : “Ketika mencari rumah, suamiku
9.
Moral
memikirkan jarak yang harus kami tempuh setiap hari.” (TOL)(PDH. 12) Ibu Suci : “Aku mengetahui bahwa seorang guru
10.
Moral
mendapat kecelakaan. Karena menderita gegar otak, barangkali lama baru akan masuk.”(TOL) (PDH. 18)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Aku berfikir kepada anakku. Mudahmudahan dia segera sehat kembali. Sejak kami
11.
Moral
pindah, seringkali dia rewel, menangis tanpa sebab yang nyata kelihatan. Kalau ditanya, katanya kepalanya pusing. Lain dari kebiasaannya, dia cepat sekali tersinggung.” (TOL) (PDH.19)
12.
Moral
Dokter : “Aku turut prihatin”. (TOL) (PDH. 21) Kepala sekolah : “Tunjukkan kepada Bu Suci bahwa kalian anak-anak kota besar juga sepatuh
13.
Moral
anak-anak kota kecil Purwodadi di mana Bu Suci sudah mengajar sepuluh tahun lamanya.” (TOL) (PDH. 24) Ibu Suci : “Aku menyadari bahwa bekerja kembali
14.
Moral
menyebabkan hatiku merasa lebih lapang.”(TDS) (PDH. 25) Ibu Suci : “Aku ingin menanamkan kesadaran yang sama, betapa bahagia serta beruntung kami
15.
Moral
mempunyai sekolah bagus dan kokoh. Guru bersama murid dapat menunaikan tugas masingmasing tanpa rasa ketakutan.” (TDS) (PDH. 25)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Tidak ada anak-anak yang jahat,” cepat aku
menyambung
berusaha
melembutkan
keheranan yang baru kuperlihatkan secara terangterangan.” Kalian masih tergolong tingkatan umur yang dapat dididik. Memang kalian bukan kanak16.
Moral
kanak lagi! Tetapi kalian sudah bisa diajar teratur, ditunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk.. Jadi, Bu Suci beritahu sejelas-jelasnya: tidak ada anak yg jahat. Kalaupun seandainya terjadi kenakalan yang keterlaluan, anak itu mempunyai kelainan. Tapi dia nakal. Bukan jahat!” (TOL) (PDH. 28) Nenek Waskito : “Maka dia tumbuh menjadi anak yang bersifat pemarah dan pemberontak. Dia selalu mengganggu adiknya. Selalu membantah dan
menyanggah
mengerjakan 17.
Moral
nasehat.
sesuatu,
Jika
disuruh
selain
tidak
melaksanakannya, dia juga menyahut dengan kata-kata tidak sopan. Apalagi kalau berhadapan dengan ibunya! Waskito menjadi anak yang kurang
ajar.
Kelakuan
dan
permainannya
membahayakan adik-adik di rumah maupun teman-teman di sekolah.” (TOL) (PDH. 32) Ibu Suci : “Aku ingin menunjukan turut 18.
Moral
berprihatin mengenai cucu sulungnya.” (TOL) (PDH. 33)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Rasa ingin tahu bercampur rasa wajib
19.
Moral
demikian kuat mendorongku untuk “kehilangan waktu dengan sia-sia.” (TDS) (PDH.33) Ibu Suci : “Bagaimanapun juga, aku tetap pada maksudku mengunjungi nenek Waskito. Apa pun
20.
Moral
yang akan terjadi, aku merasa harus mencoba mengerjakan sesuatu untuk menolong anak itu.” (TOL) (PDH. 33) Ibu Suci : “Di sana, pada umunya yang disebut sukar lebih disebabkan karena sifat pendiam, atau anak yang kurang bisa berkomunikasi. Perasaan
21.
Moral
yang terpendam membuat anak memberontak pada
saat-saat
kepenuhan.
Ada
pula
anak
pelamun; atau cengeng, sedikit-sedikit merengek dan menangis jika diganggu kawan-kawannnya.” (TOL) (PDH. 34) Ibu Suci : “Sebegitu orang masuk ke rumah itu, terasa resapan keramahan dan kesejahteraan. Kini 22.
Moral
setelah duduk, baru beberapa menit berkenalan dan melihat keterbukaan hati, wanita itu, aku merasa kerasan.” (TOL) (PDH. 36)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Nenek Waskito : “Konon Waskito dihajar habis-
23.
Moral
habisan. Mukanya dipukul, badannya dicambuk dengan ikat pinggang.” (TOL) (PDH. 37) Nenek Waskito : “Saya hanya ingin mendidik
24.
Moral
anak bersikap rapi dan teratur, Jeng.” (TOL) (PDH. 37) Nenek Waskito : “Anak-anak harus diajar berdisiplin atau keteraturan dalam hidup sehari-
25.
Moral
hari. Ini akan memberi pengaruh besar dalam cara berpikirmya kelak pada umur dewasa.” (TOL) (PDH. 38) Ibu Suci : “Aku datang buat mencari latar belakang selengkap mungkin guna menimbulkan pengertianku terhadap anak didikku.
26
Moral
Kalau
memang dia masih dapat diarahkan ke perbaikan, inilah kewajiban utamaku. Demi itulah maka aku berhak berbuat untuk menemukan latar belakang tersebut.” (TOL) (PDH. 40) Nenek Waskito : “Dia harus disadarkan, bahwa
27.
Moral
hidup tidak selamanya demikian mudah, apalagi berlangsung seperti kehendaknya! Jadi, uang merupakan keperluan utama.” (TOL) (PDH. 41)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Nenek Waskito : “Dia anak yang baik, Jeng. Walaupun pemberian itu belum saya terima, saya
28.
Moral
sudah
sangat
bahagia
rasanya!
Ketika
dia
mengatakan maksud pemberian tersebut, langsung saya peluk dan saya ciumi.” (TOL) (PDH. 43) Ibu Suci : “Leherku terasa tercekik oleh keterharuan. Hatiku kubujuk jangan sampai menangis. 29.
Moral
Pelapukan
mataku
terasa
panas.
Bukannya aku malu menitikkan air mata di depan wanita yang telah menjadi nenek ini. Tidak. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku kuat menahan perasaanku.”(TDS) (PDH. 43)
30.
Moral
Ibu Suci : “Hatiku tidak tenang.” (TDS) (PDH. 45) Ibu Suci : “Sepintas lalu, tentu saja aku mementingkan anakku daripada muridku. Tetapi
31.
Moral
benarkah
sikap
itu?
Benarkah
pilihan
ini
didiktekan oleh suara hatiku yang sesungguhnya dan setulus-tulusnya? Aku menyukai pekerjaanku sebagai guru.” (TDS) (PDH. 46) Ibu Suci : “Tarikan Waskito sedemikian besar bagiku, karena jauh di lubuk hati, aku menyadari
32.
Moral
bahwa aku harus mencoba menolong anak itu. Demi menyelamatkan seorang calon anggota masyarakat, tetapi barangkali juga demi kepuasan pribadiku.” (TDS) (PDH. 46)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Kucoba membuka hati anak-anak
33.
Moral
didikku agar rela menerima Waskito jika dia kembali ke sekolah.” (TOL) (PDH. 51) Ibu Suci : “Demikianlah bersama-sama kami meneliti dan melembari setiap kejadian dan setiap kalimat yang dikatakan Waskito. Lalu kami menemukannya. Dan naluriku untuk kesekian
34.
Moral
kalinya
memastikan
bahwa
itulah
yang
menyebabkan Waskito selalu geram terhadap anak-anak tertentu di kelasku. Di antara berpuluh anak didikku, hanya merekalah yang diantar oleh ayah
mereka!
Bahkan
juga
kadang-kadang
dijemput ketika pulang.” (TOL) (PDH.52) Ibu Suci : “Jenis anak-anak lain tidak akan memandang hal itu sebagai satu masalah. Namun 35.
Moral
bagi Waskito, yang sedari kecil merasa ditolak, tidak diperhatikan, hal itu merupakan beban yang mengganjal di hatinya. Dia sedih, dia merana.” (TOL) (PDH.52)
36.
Moral
Ibu Suci : “Alangkah besar penderitaan batin Waskito.” (TOL) (PDH. 52)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Pesanku yang selalu kuulang ialah
37.
Moral
jangan sekali-kali menunjukkan rasa tidak suka kepada Waskito atau takut kepadanya.” (TOL) (PDH. 53) Ibu Suci : “Aku berharap menguji ketenangan
38.
Moral
batinku sendiri di saat menghadapi murid sukar pertama dalam karirku di kota ini. Selama aku sibuk dengan urusan anakku.” (TDS) (PDH. 53) Kepala Sekolah : Katanya, “aku diberi keleluasan
39.
Moral
mondar-mandir demi kebaikkan anakku, asal tetap mau mengajar di sekolahnya.” (TOL) (PDH. 53) Ibu Suci : “Aku ingin mempunyai murid yang
40.
Moral
kelak menjadi manusia yang berdiri sendiri.” (TDS) (PDH. 54)
41.
Moral
Waskito : “Dia membantah: “Tidak, Bu! Saya di sini saja!” (TOL) (PDH. 54) Ibu Suci : “Tiba-tiba kulihat Waskito masuk, menuju ke tempatku. Tanpa berkata sesuatu pun,
42.
Moral
dia meletakkan timbunan buku tugas di depanku. Aku terpesona. Heran bercampur bingung, masih bisa mengucapkan: “Terima kasih! Nanti akan saya periksa.” (TOL) (PDH. 55)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Kadang-kadang ada keinginan padaku untuk merengkuhnya dengan lenganku, lalu berkata sehalus mungkin kepadanya bahwa aku
43.
Moral
ingin sekali menolongnya. Aku memang betulbetul ingin memberinya perhatian yang selama ini tidak didapatkannya dari orang tuanya.” (TDS) (PDH. 56) Ibu Suci : “Ketabahan itu berkat kelegaan pertama
44.
Moral
karena telah selesainya seruntunan test bagi anakku.” (TDS) (PDH. 58) Ibu Suci : “Hatiku mulai agak tenang. Meskipun
45.
Moral
ketenangan itu juga kesiagaan untuk menghadapi sesuatu kejutan.” (TDS) (PDH. 58)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Aku ingat ketika masih kecil, pada hari itulah guru menyuruh kami sekelas meletakkan tangan di meja bangku dengan telapak mengarah ke bawah. Dari depan ke belakang, dari belakang ke muka, guru memeriksaa kuku murid seorang demi seorang. Kalau dia menemukan kuku yang kotor atau panjang, langsung belahan bambu atau
46.
Moral
rotan yang dipegangnya dipukulkan ke tangan si anak. Dan tidak hanya tangan yang diperiksa! Dia juga meneliti kuping anak-anak! Kalau bersih, dia meneruskan melihat anak yang lain. Tetapi bila telinga itu berdaki, jari tengan dan jempol tangan kanannya
membentukkan
bulatan,
kemudian
“tak”! Dia menyelentik kuping yang dekil itu!” (TOL) (PDH. 60) Ibu Suci : “Pemeriksaan kebersihan semacam itu kuteruskan terhadap anak-anak didikku. Tetapi aku tidak memukul atau menyelentik keras. Cukup 47.
Moral
sebagai syarat untuk memperlihatkan kepada murid lain, sehingga yang bersangkutan merasa malu. Dengan begitu kuharapkan pada hari-hari selanjutnya dia berobah menjadi lebih bersih.” (TOL) (PDH. 61)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Karena ternyata murid-muridku yang tahu akan kuselentik sedikit kebanyakan lakilaki,
selalu
menghindari 48.
Moral
menelengkan sentuhan
kepala
untuk
jari-jariku,
atau
umpamanya tangannya yang kotor dan berkuku panjang, sebelum aku sempat menggelitikkan batang rotan ke atas tangan tersebut, murid itu sudah
berani
menarik
tangan
dan
menyembunyikannya di bawah meja bangku.” (TOL) (PDH. 61) Teman Waskito : “Wah, saya iri melihat 49.
Moral
perlengkapannya
buat
mengerjakan
kayu
sedemikian tipis dan rapuh.”(TOL) (PDH. 66) Teman Waskito : “Bu Suci! Waskito kambuh, 50.
Moral
Bu! Dia mengamuk! Dia mau membakar kelas!” (TOL) (PDH. 67) Ibu Suci : “Aku desak kerumunan murid yang menonton di pintu. Kulihat Kepala Sekolah maju sambil
51.
Moral
membentak
dan
menghardik
para
penonton. Waskito berdiri di muka kelas, membelakangiku
deretan
bangku-bangku.
Memang dia memegang gunting, tetapi tidak terbuka. Suara Kepala Sekolah menggelegar.” (TOL) (PDH. 68)
52.
Moral
Ibu Suci : “Satu bulan, Pak! Saya mohon diberi satu bulan lagi!” (TOL) (PDH. 69)
No
Nilai Pendidkan
Kutipan Ibu Suci : “Kutarik nafas dalam-dalam, mataku
53.
Moral
memandangi anak-anak didikku, mengedar ke semuanya.” (TDS) (PDH. 71) Ibu Suci : “Saya berani berjanji kepada guruguru lain bahwa selama sebulan akan dicoba lagi
54.
Moral
kemampuan saya, apakah dapat memiliki muridmurid yang berdisiplin, berbudi dan berprestasi.” (TOL) (PDH. 71) Ibu Suci : “Malamnya aku gelisah. Tidurku sangat terganggu. Dugaanku bermacam-macam.
55.
Moral
Barangkali Waskito tidak masuk esok pagi! Atau masuk, membawa pisau, atau golok, atau senjata lain yang lebih mengerikan guna membalas dendam terhadapku!” (TDS) (PDH. 71) Ibu Suci : “Buku-buku tugas harus dibungkus
56.
Moral
sampul yang sama. Waskito! Tolong ambilkan gulungan kertas yang ada di meja Bu Suci di kantor!” (TOL) (PDH. 72) Ibu Suci : “Dalam hati aku meragukan jawaban mengenai uang itu. Tetapi aku tidak mendesak
57.
Moral
lagi. Seandainya dia berbohong, itu bukan urusanku. Yang penting dia tidak mencuri di kelas.” (TDS) (PDH. 76)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Tetapi itu cukup membikinku
58.
Moral
terlonjak karena terkejut. Apalagi ini jantungku berdebar keras.” (TDS) (PDH. 80) Ibu Suci : “Suasana kelas tenang, tetapi tegang.
59.
Moral
Aku merasa anak-anak khawatir.” (TOL) (PDH. 81) Ibu Suci : “Kamu membanting dan menginjak-
60.
Moral
injak tanaman yang tidak berdosa! Bayi-bayi tanaman itulah yang kamu bunuh.” (TOL) (PDH. 82) Waskito : “Mereka mengejek saya, akhirnya
61.
Moral
itulah yang keluar dari bibirnya.” (TDS) (PDH.83)
Tabel 4 Nilai Pendidikan Budaya dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya NH. Dini Dalam tebel 4 ini penulis hanya akan memasukan semua nilai-nilai pendidikan yang berhubungan dengan nilai budaya. Dimana nilai budaya ini masih mengacu kepada adat istiadat atau sikap tradisional suatu masyarakat dalam suatu kehidupan.
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Tiga anak lebih mudah dididik dan dibesarkan daripada empat, lima, atau enam.
1.
Budaya
Biaya hidup semakin tinggi. Filsafat orang-orang tua yang mengatakan bahwa setiap anak lahir dengan bawaan rezeki masing-masing sangat sukar diterapkan di zaman sekarang.” (PDH. 14) Ibu
Suci
:
“Memenuhi
tatacara,
aku
memperkenalkan diri ke Rukun Tetangga. Aku bertemu dengan isteri RT, sebab suaminya 2.
Budaya
sedang mengurus keperluan di tempat lain. Ramah dan sopan dia menyambutku. Setelah basa-basi, pembicaraan sampai perihal anakanak dan pekerjaan. Lalu dia menceritakan kesibukannya.” (PDH. 14)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Dan ketika anakku demam, aku memutuskan sendiri untuk memeriksakannya ke dokter mana saja. Dari dokter ini anakku menerima obat guna menanggulangi flu. Belum selesai menghabiskan semua obat, kulitnya
3.
Budaya
ditumbuhi
bintik-bintik
membikin
dia
semakin
merah. rewel.
rasa
Gatal
Uwak
ku
menumbuk kunyit, ditambah air masak, gula merah dan beberapa tetes air kapur. Anakku disuruh menghadap ke arah Timur dan minum jamu itu sebanyak lima atau tujuh tegukan.” (PDH. 20) Ibu Suci : “Tetapi dalam kebudayaan Jawa, apakah pendapat seorang anak, apalagi di bawah umur
belasan
tahun,
pernah
diacuhkan?
Bukankah orang-orang tua selalu berkata, bahwa umur seberapa pun seorang anak tetap anak dalam sebuah keluarga? Dia tetap dianggap berkedudukan di bawah derajat orang tua 4.
Budaya
sehingga dalam waktu-waktu atau suasana tertentu tetap dikalahkan. Kuakui bahwa hal-hal ini ada baiknya. Itu melestarikan rasa hormat, keseganan, kesopanan dan segala tata hukum tradisi ke-Jawa-an. Itu baik asal komunikaasi tetap terbuka, asal hubungan dekat hati ke hati terjalin secara kekeluargaan yang wajar.” (PDH. 44)
Tabel 5 Nilai Pendidikan Sosial Dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini Dalam tebel 4 ini penulis hanya akan memasukan semua nilai-nilai pendidikan yang berhubungan dengan nilai sosial. Nilai sosial dalam cerita fiksi merupakan pesan atau saran yang berkenaan dengan masyarakat atau kepentingan umum. Dimana nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Hampir sepuluh tahun aku menjadi
1.
Sosial
guru di sana. Pekerjaan ini bukan pilihanku sendiri.” (PDH. 9) Ibu Suci : “Untuk pertama kalinya aku berada jauh dari orang tua, sehingga mempunyai
2.
Sosial
kebebasan mengambil beberapa prakarsa sendiri. Untuk pertama kalinya pula aku keluar dari lingkungan
yang kuanggap mulai menjadi
sempit.” (PDH. 10) Ibu Suci : Kata Bapak, “kini aku sudah bisa 3.
Sosial
mencari nafkah. Adikku tiga orang. Lebih baik aku bekerja untuk menambah pemasukan uang.” (PDH. 10) Ibu Suci : “Setiap hari aku berhadapan dengan anak-anak yang berlainan watak dan geraknya.
4.
Sosial
Murid
kelas-kelas
rendahan
memberi
pengalaman yang berlainan dari anak-anak kelas empat hingga kelas enam.” (PDH. 10)
No
Nilai Pendidikan
Kutipan Ibu Suci : “Seperti kota-kota pesisir lain, kepadatan penduduk amat dikuasai pengaruh
5.
Sosial
golongan Tionghoa. Selama masa sekolah, aku tidak banyak bergaul langsung dengan golongan tersebut.” (PDH. 11) Ibu Suci : “Namun pada waktu-waktu tertentu kami bersama-sama ke bawah untuk menonton
6.
Sosial
pertunjukan wayang wong atau filem. Mendekati libur
panjang,
mengadakan
biasanya
acara
pengurus
kunjungan
sekolah
perkenalan.”
(PDH. 11) Ibu Suci : “Ketika masuk sekolah baru, di hari pertama 7.
Sosial
aku
menemani
anak-anak.
Aku
memperkenalkan diri kepada Kepala Sekolah. Selain sebagai orang tua murid, juga sebagai guru yang menunggu keputusan pengangkatan dari pihak atasan.” (PDH. 13)
f
I
UJI REFERENSI
.-ir
Nama
: Devia Rahmawati
Nim
:1811013000030
Jurusan
: PendidikanBahasadansastraIndonesia : Nilai-nilai PendidikandalamnovelPertemuanDua Hati karya
Judul
Nh. Dini
Dosen REFERENSI
No
Asrori, Muhamad. Prof. Dr. l.
2.
Pembimbing H.
Psiknlogi
Pembelaiaran. Bandung: CV. Wacana Primq 2009. Bahtiar, Ahmad, M. Hum. Metode Penelitian Sastro.Jakarta:PujanggaRabaniPtess,20t3.
C t[
pepait
1988. Bahasa,
/:
Dlni,- Nh. Pertemuan Dua' Hati- Jakarta: PT 4.
Gramedia1989. t1
5.
Erowati,Rosida"M. Hum dan Ahmad BahtiarM' Hum. Seiarah SastraIndonesia.Jakarta:Lembaga PenelitianUIN SyarifHidayatullah,2011'
K
f'
Telaah Sastra- Surakarta:
ffi.
UniversityPress,2002. Muhamadiyah
K"eta*
?endidiknn
Pancasila.
Yogyakarta:
Ke,rA- Gots.Seri Retorika; Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama'
200t. fosasih, E. Apresiasi Sastra Indonesia.Jakarta:
Kosasitf, E. Menulis Karangan llmiah. Jakarta: \trobelEdumedia"2009. tuxernUurg,JavaVan. Mieke Bal dan Willem G' Westseijn,Pengantarllmu Sastra- Jakarta:PT 1984. Gramedia. Moleong, Lexy J, Prof, Dr. Metodologi Penelitian
Kualitatif,,Bandung:PT RemajaRosdakarya'Edisi Revisi,2013. Nurgiyantoro,Burhan.'Teori Pengkajian Fiksi. . gadjahMadaUniversiyPress,2005. Yogyakarta: ptrsat gahasa DepartemenPendidikai Nasional. EnsiHopediaSastraIndonesiaModern. Bandung: ab2003. PT RemajaRosdakarY
#
t
Pradopo, Rachmal Djgko, Prqf, Dr, Bqbgrqpq
15.
Teori Sastra, Metode Kritih dan Penerapannyo.
/7 l/ (-
r
Yogyakarta: PustakaPelajar, 1995
Semi, Atar, Prof, M. Anatomi sasfta. Padang:
16.
t4
Angkasa raya.
Stanton, Robert. Teori litsi. Yogyakarta: Pustaka
17.
V:
Pelajar,2007.
Teeuw, A. Sastra dan llmu Sastra, Pengantar 4
1 8 . . Teorissstra.Jakarta:PustakaJaya"1984.
I' t(
l/-
Tirtarahardj4Umar, Prof, Dr, dan Drs. S. L. La 19.
Sulo.Pengantar Pendidikan; Edisi Revisi, 2013.
v\
Waluyo, Herman J. Teori Apresiasi Sastra.
20.
',1
Jakarta:Erlangga,I 995.
t/t rv
Wellek, Rene dan Austin Warren
2t.
GramediaI 989. Kesusastraan.Jakarta:PT
Ws,
22.
T'eori
Hasanudin, Dkk.
L2
Ensiklopedi Sastra
Indonesia.Bandung:PT Titianllmu.
t/'7
Zulkarnaen,dkk. Buht Pradis BahascIndonesia-
23.
JakartaTimur: PusatBahasa,Cet.6, 2009. /:
;
E n
n
g $ i
,'{
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING UNTUK pnnioaTTARAN UJIAN SI(RIPSI
NamaMahasiswa
Devia Ratrmawati
NIM
1811013000030
Jurusan
PendidikanBahasadan SastraIndonesia(PBSI)
Judul Skripsi
Nilai-nilai PendidikandalamNovel PertemuanDua Hati KryaN.H. Dini.
Iakarq z6 Agustus2014 Menyatakanmahasiswatersebutdi atassudahselesaimasaBimbingan Skripsi, dan
disetujuiuntukpendaftaran UjianSkripsi.
2 DosenPembimbing
*'4
L ul
(Drs.JamalD. Ralman,M. Hum)
,l
I K E M E N T E R I AA NG A M A U I NJ A K A R T A FITK
F O R M( F R )
Jl lr 11 Juanda No 95 CipLtla! 15412 lt)donesa
S U R A TB I M B I N G A NS K R I P S I
I
l i .l < N 4 |..03 1 . . . . . . . . . . 1 2 0 1 4 N o r n o :r U r r . 0 l / F Slu'ipsi I-lal : Rinrbingan
K e p a d aY t h . B p k . D j a r n aD l . Rahrnan P e n r b i r n b i nSgk r i p s i darrKegltt'ttatt FakultasI luru'l-arbiyah U I N S y a r i fH i d a y a t L r l l a h .lakarta. amtt' ulu i ktrttt tvr.v,h. As,ral Dengarr irri dihar.apkankesediaau Saudara untuk rnenjadi penrbirl[iirr iswa: (nratcri/tekni s) penu I isarrskripsi nralras Narna
: DeviaRahntawati
NIM
:801111300037
.lulr.rsart
: PBSIDIr4S
Serlester
:Vlll (delapart)
4
J u c l uS l k r i p s i : N i l a i - n i l a iP e n c l i d i k adrar l a r nN o v e l P e r t e t t t t t aDt t r al - l a t iK p r y t ti \ lii:,
Dirri
i,tl
er,:r)it, I yang v?*(r bersattgkutan hersarrrrkrrfar padatarrggal29 N4at Juclultersebuttelalrdisetuiuioleh .lunrsan terlarlpir. Sauclaradapilt nrelakttkaltperttbaltattredaksioltalpalla .;irc abstraksi/olrl/iric t e r s e b u tA . p a b i l a p e r u b a l r asuu b s t a r r s idaila n g g a pp e r l t t ,m o l t o n p e t t t b i r n b i r tngl e n p i l t q t b ( r r t
Ju n rsatenr'l e bdi lar h u l u.
II i
rvaktu6 (enarn)bulan,clandapatclipCrpirlir, skripsiini diIarapkanselesaiclalarn Birnbirrgan perpalljangan. strrat (errarn) tallpa beriktltllva bulan selanra6 A t a s p e r h a t i a r cr l a nk e r l a s a n r aS l r t r c l a r ak ,a t r t i t r c a p k a t t e r i r t l al : a s i h . I l ' t t s s tI u t t tt u 'u I u i k u n t r l r . t t ' 0 .
iffaurix/) an.zt,. N,l.l'el 'fentbusarr: l. 2.
02t2r997032001
D c k a ni f l T K M a h a s i s r vyab s . I i
t.
ti
l4
* --\
AGAMA KEMENTERIAN
,1Qb, urNJAKARTA
FoRM(FR)
luin I FrrK L-=,-J
Jl. lr. H. Juanda I\!o 95 Ciputat 15412 lndonesia
No.Dokumen : : Tgl.Terbit No. Revisi: Hal
:
FITK-FR-LABF-402 1 Maret2010 01 1t1
SURATKETERANGAN 4 1/DMS/201 No,Un.O1/F1 /PP,001, (FITK) danKeguruan (DMS)Fakultas llmuTabiyah KetuaPengelola DualModeSysfem bahwa: menerangkan UINSyarif Hidayatullah Jakarta Nama
RAHMAWATI : DEVIA
NIM
:1811013000030
: PBSI Jurusan/Prodi Semester : lX Tahun Akademik: 2011 12012
yangtelahluluspraktikum sbb: Adalah mahasiswa No, 1.
2.
JenisPraktikum lbadah Qiroah
Pembimbing Dosen MA, SitiKhadiiah, MA. SitiKhadiiah,
Nilai Anqka Huruf A 84,8
70,8
B
mestinya, sebagaimana Demikian suratinidibuatagardapatdipergunakan
2014 20September Jakarta,
S.Pd,l. AjiPayi/mi,
NIP.
,.J
t
KARTU BIMBINGAN SKRIPSI
Nama
DeviaRahmawati
NIM
I 8l 1013000030
Pembimbing
Drs.JamalD. Rahman,M. Hum.
JudulSkripsi
Nilai-nilai Pendidikandalam NovelPertemuan Dua Hati karya NH. Dini.
Fakultas
Ilmu TarbiyahdanKeguruan
ProgramStudi
PendidikanBahasadan SastraIndonesia(PBSD
No
Tanggal
Materi Bimbingan
Konsultasi
Tanda Tangan Pcmbimbing
Ke l.
8 April2014
I
PengajuanProposal Penelitian
2.
1 5A p ri l 2 0 1 4
il
RevisiBab I danII
3.
22 Apil20l4
ilI
BimbinsanBab III danIV
\ c ----1
4.
I Mei 2014
IV
RevisiBab III danIV
5.
l 5 Me i2 0 1 4
V
BimbinganBabV
6.
12Juni2014
VI
Uji Referensi
{.-
7.
7 lvli2014
VII
Revisi
L^
8.
26 Agustus
VNI
ACC
L-___-.'
t",
lL-.
l'/
2014
Drs.
/
i
BIODATA PENULIS Devia Rahmawati, lahir di Bogor, tanggal 6 Juli 1981. Ibu beranak dua ini merupakan putri dari pasangan Ade Zeinal Muttaqien, SH. dan R. Lilis Sukaesih. Anak kedua dari lima bersaudara, sekarang ini saya berdomisili di Bogor tepatnya di Jalan Raya Puncak Megamendung No. 07 Rt. 02 Rw. 03 Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor Cipayung Girang Bogor. Ibu dua anak ini memulai pendidikan dibangku Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda Cipayung Girang Megamendung Bogor dan lulus tahun 1990, kemudian saya melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Tingkat Pertama di Madrasah Tsanawiyah Miftahul Huda Cipayung Girang Bogor dan lulus pada tahun 1996, kemudian pada tahun 1999 saya menyelesaikan studi Sekolah Menengah Tingkat Atas di PGRI 62 Ciawi Bogor. Mulai tahun 2005 sampai sekarang saya mengabdikan diri di Yayasan Pembina Lembaga Miftahul Huda dan melanjutkan Studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah Pendidikan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia untuk meraih gelar S-1, yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini” diselesaikan pada bulan Desember 2014.