Prediksi Relationship Contingency dan Self-Efficacy dalam Hubungan Romantis terhadap Desakan Menikah pada Dewasa Muda Annisa Arnindita, Dian Wisnuwardhani, dan Nurul Arbiyah Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia E-mail :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan penjelasan mengenai hubungan antara relationship contingency dan self-efficacy dalam hubungan romantis dalam memprediksi desakan menikah pada dewasa muda yang belum menikah, khususnya di wilayah Jabodetabek. Relationship contingency diukur dengan menggunakan Relationship Contingency Scale yang dikembangkan oleh Sanchez, Good, Kwang, dan Saltzman (2008), self-efficacy dalam hubungan romantis diukur dengan menggunakan Self-Efficacy in Romantic Relationship yang dikonstruksikan oleh Riggio, Weiser, Valenzuela, Lui, Montes, dan Heuer (2011), serta desakan menikah diukur dengan menggunakan Skala Desakan Menikah yang dikembangkan oleh tim peneliti (2014). Partisipan penelitian yang berjumlah 186 orang yang memiliki karakteristik sebagai orang-orang yang sedang berada dalam tahap perkembangan psikososial dewasa muda, berstatus sebagai mahasiswa atau sudah bekerja, dan baik mereka yang belum atau sudah memiliki pasangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa relationship contingency dapat memprediksi desakan menikah pada dewasa muda, namun prediksi tidak dapat dilihat melalui self-efficacy dalam hubungan romantis, maupun interaksi antara kedua variabel tersebut. Kata Kunci: relationship contingency, self-efficacy dalam hubungan romantis, desakan menikah.
Relationship Contingency and Self-Efficacy in Romantic Relationship as Prediction towards Mate Urgency among Young Adults Abstract This research is conducted to get explanation about the relationship between relationship contingency and selfefficacy in romantic relationship in predicting mate urgency towards unmarried young adults, particularly in Greater Jakarta area. Relationship contingency is measured using Relationship Contingency Scale which was developed by Sanchez, Good, Kwang, and Saltzman (2008), self-efficacy in romantic relationship is measured using Self-Efficacy in Romantic Relationship which was constructed by Riggio, Weiser, Valenzuela, Lui, Montes, and Heuer (2011), while mate urgency is measured with Mate Urgency Scale which was developed by research team (2014). Total participant in this research is 186 people who have characteristics as those who are in the stage of young adult in psychosocial development stage, having status as a college student or a worker already, and either already involved in romantic relationship or not. The result of this research indicates that the relationship contingency can predict mate urgency towards young adults, however the prediction cannot be seen either through self-efficacy in romantic relationship nor the interaction between both variables Keywords: relationship contingency, self-efficacy in romantic relationship, mate urgency.
Pendahuluan “Kapan menikah?”, merupakan sebuah pertanyaan yang sangat umum ditanyakan, khususnya dalam budaya Indonesia. Pertanyaan ini seringkali muncul baik saat acara keluarga besar, maupun acara reuni dengan teman lama. Orang yang menanyakan pun beragam, mulai dari keluarga inti, keluarga besar, teman, tetangga, bahkan orang yang baru dikenal.
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
Umumnya pertanyaan ini akan ditujukan bagi mereka yang dianggap sudah dewasa dan sudah siap untuk membangun sebuah rumah tangga, namun masih melajang. Walaupun pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang sangat sering ditanyakan, bagi sebagian orang pertanyaan ini dianggap sebagai sesuatu yang cukup mengganggu dan dapat memunculkan perasaan terdesak untuk segera menikah. Pada hakikatnya, memiliki hubungan dengan orang lain merupakan aspek inti dari kehidupan manusia. Sebagai makhluk sosial, seseorang akan menderita ketika harus kehilangan kontak dengan orang lain, karena kebutuhan untuk memiliki hubungan intim dengan orang lain merupakan inti dari kehidupan sosial kita (Miller, 2012). Miller menjelaskan lebih lanjut bahwa hubungan intim ini mencakup enam hal, antara lain pengetahuan tentang satu sama lain, kepedulian satu sama lain, saling ketergantungan, rasa kebersamaan yang tinggi, kepercayaan, dan saling berkomitmen. Keenam hal tersebut bisa ada dalam sebuah hubungan intim, namun juga terdapat hubungan intim yang hanya memiliki sebagian dari hal-hal tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat melihat beberapa jenis hubungan intim, seperti hubungan dengan orang tua, pertemanan, hubungan dengan saudara, dan salah satu yang sering diperbincangkan adalah hubungan romantis dengan lawan jenis. Dewasa ini, terdapat banyak hal yang dipertimbangkan oleh seseorang dalam memutuskan untuk menjalankan sebuah hubungan romantis dengan lawan jenis, khususnya hubungan penikahan (Mukharliza, 2013). Hal ini terlihat jelas khususnya di daerah ibu kota, baik pria maupun wanita, meskipun secara usia dan ekonomi mereka sudah mencukupi untuk melangsungkan pernikahan. Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menikah antara lain pertimbangan mengenai tempat tinggal, bagaimana untuk membesarkan anak-anakm kekhawatiran mengenai kondisi ekonomi, seperti kurangnya pendapatan dalam keluarga ketika hanya suami yang mencari nafkah, dan yang paling penting adalah pertimbangan mengenai siapa yang akan menjadi pasangan kita nanti (S. Diarni, komunikasi personal, Juni 8, 2014). Jika dilihat dalam kehidupan sehari-hari, populasi wanita yang dapat hidup mandiri pun semakin meningkat jumlahnya. Purba (2013, dalam Mukharliza, 2013) menyatakan bahwa sudah banyak wanita yang berani menjalani kehidupan keras seperti kaum pria. Selain itu mengejar karier merupakan hal yang utama daripada memikirkan kapan waktu yang tepat untuk menikah. Fakta ini didukung pula oleh Bisono (2014, dalam Lestari, 2014) yang menyatakan bahwa khususnya pada wanita, usia perkawinan di kota menjadi lebih lama daripada sebelumnya. Hal ini dikarenakan juga adanya faktor kebutuhan primer bagi wanita yang juga didesak kebutuhan ekonomi.
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
Banyaknya hal yang dipertimbangkan untuk menikah, membuat seseorang menunda untuk menikah. Tanpa disadari, orang-orang yang masih lajang tersebut cenderung mendapatkan stigma negatif dari lingkungan. DePaulo (2010) menyebut stigma negatif ini sebagai singlism, yaitu prasangka negatif dan diskriminasi terhadap mereka yang tidak memiliki pasangan. Dalam penelitian yang dilakukan, DePaulo dan Morris (2006) meminta sekitar 1000 mahasiswa untuk menyebutkan daftar karakteristik yang muncul dalam pikiran mereka ketika mereka berpikir tentang orang-orang yang sudah menikah dan orang yang masih lajang. Hasilnya adalah orang yang menikah cenderung memiliki karakteristik yang lebih dewasa, stabil, jujur, bahagia, baik hati, dan penyayang jika dibandingkan dengan orang lajang. Di lain sisi, orang lajang lebih sering dianggap tidak dewasa, senantiasa merasa tidak aman, egois, tidak bahagia, kesepian, dan jelek (tetapi juga pada sisi positifnya, orang lajang dianggap mandiri). Isu mengenai hubungan romantis merupakan isu yang erat pada mereka yang berada dalam rentang usia dewasa muda. Erikson (dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2009) menyatakan bahwa dalam tahap perkembangan psikososial, dewasa muda dihadapkan dengan isu intimacy versus isolation, yaitu mencari pasangan untuk membangun sebuah hubungan romantis merupakan tugas yang penting bagi mereka. Erikson percaya bahwa membangun sebuah hubungan yang dekat dan berkomitmen adalah sesuatu yang penting bagi kehidupan seseorang. Kesuksesan akan mengarah pada hubungan yang kuat, sedangkan kegagalan akan menyebabkan seseorang terisolasi dan terasingkan, dalam arti mereka cenderung terlalu sibuk dengan dirinya sendiri atau terlalu fokus dengan pekerjaan sehingga dapat menghambat tugastugas perkembangan di tahap selanjutnya. Berdasarkan penjabaran di atas, adanya kebutuhan seseorang untuk membina sebuah hubungan romantis, baik secara kehidupan sosial maupun sebagai tugas perkembangan dapat menimbulkan keinginan seseorang untuk segera menikah, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa menikah merupakan sebuah pilihan, dimana ada yang merencanakan untuk menikah dan ada juga yang tidak ingin sama sekali. Akan tetapi ketika seseorang belum menikah, ia cenderung akan mendapatkan konsekuensi negatif dari lingkungan sosialnya, seperti dalam budaya Indonesia, seseorang dapat dikucilkan dan dianggap tidak laku. Selain itu jika dilihat dari teori perkembangan psikososial yang juga didukung banyak studi yang sudah dilakukan, orang-orang yang tidak mampu membangun sebuah hubungan yang lebih intim akan cenderung kurang dapat berkomitmen dalam sebuah hubungan dan lebih mungkin untuk terisolasi secara emosional, merasa kesepian, dan depresi.
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Stutzer dan Fey (2004) mengenai hubungan kausal antara pernikahan dan kesejahteraan subjektif seseorang, disebutkan bahwa salah satu manfaat dari pernikahan adalah orang yang menikah cenderung memiliki kesehatan fisik dan psikologis yang lebih baik (seperti lebih sedikit terlibat dalam penyalahgunaan zat dan lebih sedikit depresi), dan mereka juga cenderung hidup lebih lama jika dibandingkan dengan orang-orang lajang. Selain itu pernikahan juga berhubungan dengan kebahagiaan, dimana orang yang menikah cenderung untuk melaporkan kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak pernah menikah, yang sudah bercerai, maupun janda. Dalam penelitian ini ditekankan bahwa terdapat dua alasan mengapa pernikahan berkontribusi pada kesejahteraan seseorang. Alasan yang berdasarkan pada Argyle (1999) tersebut pertama adalah pernikahan memberikan sumber tambahan pada self-esteem, misalnya sebagai pelarian dari stres yang berasal bagian lain dari kehidupan seseorang, misalnya stres kerja atau masalah dengan anggota keluarga. Alasan kedua yaitu orang-orang yang menikah memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan manfaat dari hubungan kesejahteraan subjektif seseorang intim yang langgeng dan suportif, serta memiliki kecenderungan yang rendah untuk merasakan kesedihan ketika kesepian. Berdasarkan penjelasan di atas, salah satu manfaat dari pernikahan pada adalah sebagai sumber self-esteem atau harga diri. Perlu diketahui bahwa sumber self-esteem seseorang bisa berbeda antara satu dengan yang lainnya (Crocker & Wolfe, 2001). Terdapat orang-orang yang merasa dirinya berharga karena memiliki kecerdasan di bidang akademis, namun ada juga yang tidak seperti itu dan lebih menilai bahwa dirinya berharga ketika ia memiliki penampilan yang menarik dan disukai banyak orang. Adanya area sumber harga diri yang menjadi dasar penilaian harga diri seseorang tergantung pada keberhasilan dan kegagalan atau pencapaiannya terhadap standar area tersebut, kondisi ini merupakan contingencies of self-worth (Crocker & Wolfe, 2001). Secara umum, area sumber harga diri yang individu jadikan sebagai dasar penilaian terhadap rasa berharga dirinya dipercaya memiliki komponen motivasional yang mendorong seseorang untuk mencapai kesuksesan dan menghindari kegagalan, serta mampu memprediksi tingkah laku yang terkait pada area sumber harga dirinya tersebut (Crocker dkk., 2003, dalam Sanchez, Good, Kwang, dan Saltzman, 2008). Dalam studi yang dilakukannya, mereka membagi area sumber keberhargaan diri seseorang tersebut menjadi tujuh, antara lain dukungan keluarga, kompetisi, penampilan, cinta Tuhan, kompetensi sekolah, kebaikan, dan penerimaan oleh orang lain. Begitu pula dengan orang yang menempatkan harga dirinya pada sebuah hubungan romantis (relationship contingency), ia akan terdorong pada tingkah laku dan sikap yang konsisten
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
untuk mencari dan membina hubungan romantis, dan mereka yang memperoleh harga diri dari hubungan romantis juga akan lebih termotivasi untuk mencari pasangan romantis dan menjaganya (Sanchez dkk, 2008). Seiring dengan berkembangnya teori contingencies of self-worth, Sanchez dan Kwang (2007) mencoba untuk menguji sumber keberhargaan diri lain yaitu melalui hubungan romantis, yang kemudian disebut sebagai relationship contingency, atau area sumber harga diri seseorang yang berasal dari memeroleh dan memelihara hubungan romantis dengan orang lain sehingga persepsi akan keberhasilan dan kegagalan di area tersebut memengaruhi evaluasi dirinya. Konsep mengenai relationship contingency ini sejalan dengan manfaat dari pernikahan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu sebagai sumber self-esteem. Berdasarkan penjelasan di atas, ketika seseorang memiliki kecenderungan relationship contingency maka untuk dapat memenuhi kebutuhan akan rasa berharga dirinya, orang tersebut akan mencoba untuk mendapatkan pasangan. Menurut peneliti, relationship contingency menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut khususnya pada dewasa muda, karena dalam kenyataannya tidak semua orang yang sedang berada dalam tahap perkembangan psikososial dewasa muda menempatkan area sumber harga dirinya pada hubungan romantis. Kemudian peneliti menduga bahwa ketika seseorang memiliki kecenderungan relationship contingency belum tentu dengan mudah dapat menemukan pasangan. Sekalipun sudah mendapatkan pasangan, hal tersebut tidak menjamin hubungan romantis yang dimiliki akan berjalan dengan baik dan bertahan lama. Memiliki pasangan dalam hubungan romantis diperlukan agar rasa berharga diri (self-worth) yang dimiliki oleh orang yang memiliki relationship contingency tetap terjaga, sehingga self-esteem yang dimiliki juga tetap dalam keadaan stabil atau tinggi. Salah satu yang bisa menjadi masalah dalam kehidupan sehari-hari adalah orang dengan kecenderungan relationship contingency belum memiliki pasangan. Hal ini tentu bisa mengancam self-worth yang mereka miliki. Firestone (2014) mengemukakan beberapa alasan yang membuat seseorang tidak dapat mencapai sebuah hubungan yang intim, yaitu cinta dapat membuat seseorang merasa rentan, membangkitkan masa lalu yang menyakitkan, menantang identitas lama yang dimiliki, mengubah kesenangan menjadi sesuatu yang menyakitkan, cinta terkadang tidak adil, dapat merenggangkan hubungan dengan keluarga, dan cinta dapat menumbuhkan ketakutan akan eksistensi seseorang. Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan studi lanjutan dari penelitian yang dilakukan oleh Sanchez, Good, Kwang, dan Saltzman (2008). Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat hubungan antara relationship contingency dengan body shame pada seseorang. Sanchez dkk., ingin menguji apakah ketika seseorang memeroleh rasa berharga diri dari
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
sebuah hubungan romantis akan memprediksi desakan menikah atau mate urgency, yang kemudian dapat meningkatkan body shame. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa memiliki kemenarikan fisik dipersepsikan sebagai sebuah prediktor penting pada status hubungan yang kemudian dapat meningkatkan kecenderungan seseorang untuk mendapatkan pasangan. Desakan menikah diketahui berhubungan dengan kepedulian seseorang atas penampilannya, terutama body shame, karena mereka yang merasa tertekan atas kebutuhan untuk mencari pasangan akan cenderung mengutamakan penampilan fisiknya, sehingga relationship contingency dapat memprediksi body shame pada laki-laki dan perempuan melalui desakan menikah yang tinggi. Sebagai salah satu area sumber harga diri, relationship contingency menyiratkan tujuan untuk menemukan pasangan sebagai strategi yang diperlukan untuk menjaga kestabilan harga diri, yang selanjutnya dapat mempengaruhi perasaan seseorang terhadap urgensi mencari pasangan (mate urgency) - adanya preokupasi dan keadaan mendesak untuk menemukan pasangan romantis yang permanen (Sanchez dkk, 2008). Untuk dapat mencapai sebuah tujuan, seseorang perlu memiliki self-efficacy, yaitu keyakinan akan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengatur dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Bandura, 1997, dalam Riggio, Weiser, Valenzuela, Lui, Montes, dan Heuer, 2011). Dijelaskan pula bahwa terdapat keyakinan tertentu yang dapat mempengaruhi perilaku dan harapan seberapa baik seseorang akan melakukannya. Dalam konteks hubungan interpersonal, hal ini sudah diteliti sebelumnya dengan berfokus pada kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah dengan pasangan (Cui, Fincham, & Pasley, 2008) dan kemampuan seseorang untuk terikat dalam perilaku spesifik dan positif dalam sebuah hubungan (Lopez, Morua, & Rice, 2007, dalam Riggio dkk., 2011). Ketika seseorang memiliki self-efficacy yang tinggi dalam hubungan romantis, maka orang tersebut akan memiliki keyakinan untuk berhasil dalam sebuah hubungan dibandingkan dengan mereka yang memiliki keyakinan rendah (Riggio dkk., 2011). Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti lebih lanjut ingin melihat apakah terdapat hubungan antara relationship contingency dengan desakan menikah pada dewasa muda yang belum menikah, dan apakah self-efficacy dalam hubungan romantis dapat memengaruhi hubungan antara keduanya. Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan untuk melihat peran self-efficacy dalam hubungan romantis yang selama ini masih belum banyak mendapat sorotan dalam kajian mengenai hubugan romantis, serta untuk melihat interaksinya dengan relationship contingency sebagai sumber self-esteem seseorang dalam mendukung seseorang
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
untuk mendapatkan pasangan, yang mana di sini memiliki tujuan untuk mempertahankan harga dirinya dan juga merupakah tugas dari tahap perkembangan psikososialnya. Penelitian ini merupakan bagian dari payung penelitian “Mate Selection” yang bertujuan untuk mengetahui dan memperkaya informasi mengenai fenomena mencari pasangan, khususnya desakan menikah yang saat ini banyak terjadi pada dewasa muda di daerah Ibu Kota dan sekitarnya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan model regresi untuk mengetahui besar prediksi tiap variabel. Penelitian ini melibatkan laki-laki dan perempuan dewasa muda sebagai target populasinya. Tinjauan Pustaka Desakan Menikah Desakan menikah pertama kali dikemukakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Sanchez dkk. (2008) dengan istilah mate urgency. Penelitian tersebut memaparkan bahwa desakan menikah atau mate urgency merupakan adanya preokupasi dan keadaan mendesak untuk menemukan pasangan romantis yang permanen (Sanchez dkk, 2008). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, desakan menikah memiliki arti sebagai keadaan dimana seseorang merasa terdorong secara eksternal maupun internal untuk segera menemukan pasangan hidup untuk menikah. Seseorang yang merasa dirinya terdesak untuk menikah dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Hasil wawancara dengan para dewasa muda menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan seseorang mengalami desakan menikah, antara lain: a. Usia: Semakin dewasa usia seseorang, maka akan semakin ingin menemukan pasangan hidupnya dan menikah, karena terdapatnya kekhawatiran tertentu yang disebabkan oleh semakin sedikitnya waktu yang dimiliki untuk menemukan pasangannya. b. Lingkungan Keluarga: Ketika menginjak usia yang sudah dianggap dewasa untuk membangun sebuah keluarga sendiri, seringkali keluarga sendiri mengajukan pertanyaan-pertanyaan yangmendesak untuk segera menikah. c. Lingkungan Sosial: Adanya keinginan dari seseorang untuk segera menikah dikarenakan melihat teman-teman sebaya yang juga sudah menikah dan juga seringkali ditanyakan kapan akan segera menikah. d. Agama: Dalam sebagian agama, terdapat adanya anjuran untuk menikah agar terhindar dari dosa dan fitnah dari masyarakat. Seperti dalam Islam, menikah merupakan salah satu sunnah Rasul yang dianjurkan untuk dilaksanakan.
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
e. Biologis: Adanya keinginannya untuk memiliki keturunan. Hal ini sejalan dengan teori evolusi yang menunjukkan bahwa manusia membangun sebuah hubungan dengan lawan jenis untuk bereproduksi. f. Companionship: Keinginan untuk memiliki pendamping atau teman hidup. Seseorang yang senantiasa memberikan kehangatan, pengertian, kepercayaan, dukungan, dan untuk berbagi dalam keadaan yang stabil dan selalu dipelihara. g. Relationship Contingency (Sanchez & Kwang, 2007: area sumber harga diri seseorang yang berasal dari memeroleh dan memelihara hubungan romantis dengan orang lain sehingga persepsi akan keberhasilan dan kegagalan di area tersebut memengaruhi evaluasi dirinya. Relationship Contingency of Self-Worth Relationship
contingency
of
self-worth
merupakan
sebuah
dimensi
dalam
contingencies of self-worth, yaitu area sumber harga diri yang menjadi dasar penilaian harga diri seseorang tergantung pada keberhasilan dan kegagalan atau pencapaiannya terhadap standar area tersebut (Crocker & Wolfe, 2001). Relationship contingency of self-woth dapat didefinisikan sebagai area sumber harga diri seseorang yang berasal dari memeroleh dan memelihara hubungan romantis dengan orang lain sehingga persepsi akan keberhasilan dan kegagalan di area tersebut memengaruhi evaluasi dirinya (Sanchez & Kwang, 2007). Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi relationship contingency of selfworth, Crocker dan Wolfe (2001) menjelaskan faktor-faktor tersebut, antara lain: a. Seberapa mudah untuk terus dicapai: Contingencies of self-worth ada yang mudah dicapai dan ada yang sulit. Sebagai contoh, ketika seseorang meletakkan keberhargaan dirinya pada penerimaan oleh orang lain maka hal ini dapat berdampak pada selfesteem yang rendah atau tidak stabil, karena akan sulit untuk menghindar dari opini negatif yang berasal dari orang lain. Sedangkan ketika kita meletakkan keberhargaan diri pada cinta Tuhan, dapat menghasilkan self-esteem yang lebih tinggi karena cinta Tuhan merupakan cinta tak bersyarat. b. Lingkungan: Ketika terjadi perubahan lingkungan, secara perlahan orang dapat merevisi atau memperbarui domain contingency untuk beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Akan lebih mudah untuk berpindah dari satu sumber subordinate rasa berharga diri, seperti pandai dalam fisika berpindah menjadi pandai dalam psikologi, jika dibandingkan perpindahan sumber superordinate rasa berharga diri, misalnya bersumber dari kepandaian berpindah menjadi kebaikan.
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
c. Usia: Self-esteem secara umum tidak akan berkurang dengan bertambahnya usia seseorang,
walaupun
kenyataannya
seiring
bertambahnya
usia,
orang-orang
mengalami kehilangan dan penolakan dalam sumber rasa berharga diri mereka (misalnya kehilangan hubungan dengan orang lain, pekerjaan, maupun kemenarikan). Orang-orang akan merevisi sumber rasa berharga diri mereka selama usia mereka bertambah, biasanya dapat menjadi lebih selektif, dan mungkin akan lebih internal keberadaannya. Selain faktor-faktor di atas, Sanchez dkk. (2008) juga menambahkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi relationship contingency of self-worth, faktor tersebut antara lain: d. Status Hubungan: status hubungan diketahui dapat mempengaruhi relationship contingency of self-worth seseorang, secara signifikan orang-orang yang terllibat dalam sebuah hubungan cenderung lebih relationship contingent dibandingkan mereka yang tidak sedang terlibat dalam sebuah hubungan. Hal ini dapat dipengaruhi pula oleh gender, dimana wanita yang memiliki pasangan cenderung lebih relationship contingent dibandingakan perempuan lajang, sedangkan perbedaan signifikan ini tidak ditemukan pada laki-laki yang memiliki hubungan maupun yang lajang. e. Jenis
Kelamin:
perempuan
memiliki
kecenderungan
sebagai
pribadi
yang
interdependen jika dibandingkan dengan laki-laki sebagai pribadi yang independen (Cross & Madson, 1997). Perempuan juga cenderung untuk menyertakan orang lain yang dianggap penting dalam self-concept-nya dan cenderung mendapatkan dorongan yang banyak ketika diingatkan tentang orang-orang yang penting baginya. Self-Efficacy dalam Hubungan Romantis Self-efficacy dalam hubungan romantis merupakan perkembangan dari studi mengenai self-efficacy secara umum. Bandura (1997, dalam Riggio dkk., 2011) menjelaskan bahwa selfefficacy merupakan keyakinan akan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengatur dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Keyakinan ini akan mempengaruhi tingkah laku dan harapan akan sebaik apa seseorang untuk mencapai tujuannya. Dalam konteks hubungan interpersonal, Riggio dkk. (2011) mendefinisikan selfefficacy dalam hubungan romantis sebagai sebuah keyakinan positif maupun negatif yang dimiliki seseorang atas kemampuannya sebagai pasangan untuk menyelesaikan konflik dengan pasangan dan untuk terlibat dalam perilaku hubungan romantis spesifik dan positif.
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
Self-efficacy dalam hubungan romantis terbentuk oleh berbagai faktor, dari hasil pengembangan teori-teori yang sudah ada sebelumnya, Riggio, dkk. (2011) menyimpulkan bahwa terdapat empat faktor di dalam self-efficacy dalam hubungan romantis, yaitu kemampuan untuk mendapatkan hasil positif dari hubungan, kebersediaan untuk mengeluarkan usaha dalam hubungan, mempersepsikan hubungan sebagai sesuatu yang sulit, dan keyakinan tentang bagaimana kemampuan pribadi mempengaruhi masalah dalam hubungan. Berdasarkan teori self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997), Riggio (2011) menjelaskan faktor yang mempengaruhi self-efficacy, yaitu pengalaman langsung. Pengalaman langsung merupakan sumber informasi yang paling penting mengenai kemampuan seseorang. Pengalaman ini didapat melalui pengalaman sepanjang hidup seseorang dan berbagai macam pengalaman lainnya yang berhubungan dengan konteks (dalam hal ini adalah hubungan romantis). Dewasa Muda dan Tahap Perkembangannya Menurut teori tahap perkembangan psikososial milik Erik Erikson, sejak lahir hingga masa tua, manusia akan melewati delapan tahap perkembangan psikososial dimana manusia dihadapkan pada sebuah krisis yang harus diselesaikan di setiap tahapnya. Ketika seseorang berada dalam usia dewasa muda, mereka akan memasuki tahap ke enam yaitu intimacy versus isolation. Pada tahap ini, seorang dewasa muda memiliki tugas untuk membangun sebuah hubungan yang intim dengan orang lain. Jika seseorang yang sedang berada di tahap ini gagal untuk menyelesaikan tugas tersebut, maka orang tersebut berisiko menjadi terisolasi (terasingkan) dan menjadi egois (Papalia, Olds, & Feldman, 2009. Menurut Erikson, hasil penyelesaian dari tahap dewasa muda ini adalah virtue of love: kesetiaan timbal balik dengan pasangan yang telah dipilih untuk berbagi kehidupan, memiliki anak, dan membantu anakanak mencapai perkembangan yang sehat bagi mereka sendiri. Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), ketika seseorang memutuskan untuk tidak memenuhi tuntutan dalam tahapan ini, maka ia akan mendapat konsekuensi serius bagi perkembangannya. Tugas pekembangan ini lah yang menyebabkan adanya kebutuhan seseorang untuk segera mencari pasangan agar terhindar dari konsekuensi dari gagalnya menjalankan tugas perkembangan tersebut.
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
Metodologi Penelitian Terdapat tiga variabel utama yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu relationship contingency, self-efficacy dalam hubungan romantis, dan desakan menikah. Relationship contingency dapat diartikan sebagai area sumber harga diri seseorang yang berasal dari memeroleh dan memelihara hubungan romantis dengan orang lain sehingga persepsi akan keberhasilan dan kegagalan di area tersebut memengaruhi evaluasi dirinya (Sanchez & Kwang, 2007). Kemudian self-efficacy dalam hubungan romantis didefinisikan sebagai sebuah keyakinan positif maupun negatif yang dimiliki seseorang atas kemampuannya sebagai pasangan untuk menyelesaikan konflik dengan pasangan dan untuk terlibat dalam perilaku hubungan romantis spesifik dan positif. Sedangkan desakan menikah merupakan keadaan dimana seseorang merasa terdorong secara eksternal maupun internal untuk segera menemukan pasangan hidup untuk menikah. Berdasarkan tipe dan desain penelitian, penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dikarenakan peneliti bertujuan untuk menghitung variasi dalam sebuah fenomena, situasi,masalah atau kejadian. Selain itu penelitian tergolong sebagai explanatory research, yaitu penelitian mencoba untuk mengklarifikasi mengapa dan bagaimana hubungan antara dua aspek situasi atau fenomena dapat terjadi. Sampel yang terlibat dalam penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan yang tergolong dalam dewasa muda berusia antara 21-40 tahun. Penulis mengutamakan sampel yang berdomisili di daerah Jabodetabek agar dapat merepresentasikan populasi. Kemudian sampel berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir, atau yang sudah bekerja. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability accidental sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan bersasarkan kenyamanan dalam mengakses populasi sampel. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur desakan menikah adalah Skala Desakan Menikah yang dikonstruksi oleh tim payung penelitian “Mate Selection”. Skala ini terdiri dari 14 item yang mencakup enam faktor yang memengaruhi desakan menikah pada dewasa muda. Skala Desakan Menikah ini terdiri dari 6 skala likert yang digunakan untuk menanyakan pesersetujuan partisipan pada pernyataan-pernyataan mengenai desakan menikah. Skala dimulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju. Pada prinsipnya semakin tinggi skor dan skor total yang didapat, maka semakin tinggi pula desakan seseorang untuk menikah. Untuk
mengukur
relationship
Contingencies of Self-Worth Scale
contingency,
penulis
menggunakan
subskala
(Crocker dkk., 2003), yaitu subskala relationship
contingency yang dikembangkan oleh Sanchez dan Kwang (2007). Skala ini terdiri dari empat
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
item yang memiliki enam skala likert. Semakin tinggi skor yang diperoleh seseorang maka semakin tinggi pula kecenderungan orang tersebut untuk memiliki harga diri yang bersumber dari hubungan romantis. Data yang sudah terkumpul dengan menggunakan kuesioner, selanjutnya diolah menggunakan IBM SPSS Statistics Version 21. Analisis statistik yang dilakukan adalah analisis statistik deskriptif, kemudian diolah lebih lanjut dengan menggunakan analisis multiple regression.
Hasil Penelitian Dari 282 set kuesioner yang dibagikan, terdapat 220 kuesioner yang kembali, dan sebanyak 186 set yang dapat digunakan. Berikut merupakan tabel mengenai karakteristik partisipan pada penelitian ini: Tabel Gambaran Karakteristik Partisipan Aspek Demografis Jenis Kelamin Laki - Laki Perempuan Total Usia
Status
Pekerjaan
21 – 25 26 – 30 31 – 35 36 – 40 Total Tidak Memiliki Pasangan Memiliki Pasangan Tidak Menjawab Total Mahasiswa Karyawan Profesional TNI/Polri Wirausaha Tidak Bekerja Total
Frekuensi 85 101 186 140 37 8 1 186 90 95 1 186 36 128 9 1 5 7 186
Presentase (%) 45.7 54.3 100 75.3 19.9 4.3 0.5 100 48.4 51.1 0.5 100 19.4 68.8 4.8 0.5 2.7 3.8 100
Berdasarkan tabel di atas, mayoritas sampel dari penelitian ini berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 101 orang atau setara dengan 54.3%. Selain itu berdasarkan persebaran usia, sebagian besar sampel berada dalam rentang usia 21-25 tahun, sedangkan hanya satu orang yang berada dalam rentang usia 36-40 tahun. Sebanyak 128 sampel bekerja sebagai karyawan, 36 sebagai mahasiswa, dan terdapat pula yang tidak bekerja yaitu berjumlah 7 orang. Pendidikan terakhir yang ditempuh
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
mayoritas sampel adalah S1, dan paling sedikit adalah sampel yang menempuh pendidikan terakhir S2, yaitu sebanyak 8 orang. Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa persebaran sampel jika dilihat dari statusnya cukup merata, yaitu sampel yang tidak memiliki pasangan sebanyak 90, memiliki pasangan sebanyak 95 orang, dan terdapat satu orang sampel yang tidak memberikan jawaban. Tabel Gambaran Umum Persebaran Variabel Rata-rata Variabel Skor Total Desakan Menikah 53.2
Nilai Terendah 25
Nilai Tertinggi 84
Standar Deviasi 10.709
Relationship Contingency
13.77
5
24
3.716
Self-Efficacy dalam Hubungan Romantis
69.02
28
99
15.244
Berdasarkan Tabel 4.2 di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata skor total desakan menikah pada dewasa muda di Jabodetabek adalah sebesar 53.2. Rentang skor yang mungkin didapatkan dari alat ukur desakan menikah adalah 14 – 84, dimana sampel yang mendapatkan skor total ≤ 49 tergolong kelompok yang memiliki desakan menikah rendah, sedangkan ≥ 49 tergolong ke dalam kelompok yang memiliki desakan menikah tinggi. Dengan ini rata-rata skor total desakan menikah pada dewasa muda terbilang tinggi. Selain itu dapat dilihat pula skor terendah yang didapat adalah 25 dan skor tertinggi yang diperoleh adalah 84 dengan standar deviasi sebesar 10.709. Pada variabel relationship contingency of self-worth, rata-rata skor total yang diperoleh adalah sebesar 13.77, dengan nilai terendah 5 dan nilai tertinggi sebesar 24. Rentang skor yang mungkin diperoleh dalam Relationship Contingency Scale adalah 4 – 24, dimana sampel yang mendapat skor 4 – 14 tergolong memiliki relationship contingency of self-worth yang rendah, sedangkan sampel yang memiliki skor 15 – 24 memiliki relationship contingency of self-worth yang tinggi. Dengan ini dapat dilihat bahwa relationship contingency sampel penelitian adalah rendah. Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata skor total self-efficacy dalam hubungan romantis pada dewasa muda di Jabodetabek adalah sebesar 69.02, dengan skor terendah yang didapat adalah 28 dan skor tertinggi sebesar 99. Standar deviasi yang diperoleh sebesar 15.244. Rentang skor yang mungkin diraih adalah antara 11 – 99, dimana peserta yang mendapat skor total ≤ 55 dikategorikan memiliki self-efficacy dalam hubungan romantis yang rendah, sedangkan sampel dengan skor total ≥ 55 dikategorikan memiliki self-efficacy dalam hubungan romantis yang tinggi. Dengan ini dapat dilihat bahwa self-efficacy dalam
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
hubungan romantis pada dewasa muda yang belum menikah di wilayah Jabodetabek terbilang tinggi. Tabel Rangkuman Hasil Multiple Regression Variable B Step 1 Constant 30.101
2.464
Relationship Contingency
1.677
0.173
0.582*
Step 2 Constant
31.999
3.976
0.579*
Relationship Contingency
1.669
0.174
-0.04
Self-Efficacy dalam Hubungan Romantis
-0.026
0.042
Step 3 Constant
28.9
10.741
Relationship Contingency
1.95
0.718
0.674
Self-Efficacy dalam Hubungan Romantis
0.03
0.151
0.044
-0.004
0.1
-0.0122
Relationship Contingency dengan Self-Efficacy dalam Hubungan Romantis
SE B
β
* signifikan pada los 0.05, ** signifikan pada los 0.01
Dalam mengetahui hubungan interaksi antara relationship contingency dan selfefficacy dalam hubungan romantis dengan desakan menikah, analisis statistik yang digunakan adalah moderated regression. Pada tahap pertama, relationship contingency of self-worth dimasukkan ke dalam model untuk diuji sebagai variabel prediktor yang pertama. Hasil uji statistik signifikan dengan F(1, 184) = 94.248, p < 0.001, yang artinya 33.9% varians dari desakan menikah dapat dijelaskan oleh relationship contingency of self-worth dan sisanya dapat disebabkan oleh variabel lain. Pada tahap selanjutnya, self-efficacy dalam hubungan romantis dimasukkan ke dalam model sebagai variabel prediktor kedua. Hasil uji statistik menunjukkan F(2, 183) = 0.371 yang tidak signifikan (p > 0.05). Hasil menunjukkan bahwa terdapat kenaikan total varians sebesar 0.1% menjadi 34% dari desakan menikah dapat dijelaskan oleh relationship contingency of self-worth dan self-efficacy dalam hubungan romantis. Walaupun terdapat kenaikan varians, namun model kedua ini dianggap tidak signfikan, dengan jumlah kenaikan varians yang dapat dibilang sangat kecil. Pada tahap ketiga, variabel interaksi antara relationship contingency of self-worth dengan self-efficacy dalam hubungan romantis dimasukkan ke dalam model. Dengan tidak
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
signifikannya model kedua seperti penjelasan di atas, maka ketiga pun tidak terbukti. Jika dilihat F(3, 182) = 0.154 tidak signifikan (p > 0.05). Kenaikan total varians sebesar 0.1% menjadi 34.1% tidak signifikan pula pada los 0.05. Dengan ini maka hipotesis nol 3 tidak berhasil untuk ditolak dan hipotesis alternatif tidak diterima. Artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara interaksi relationship contingency of self-worth dan self-efficacy dalam hubungan romantis dengan desakan menikah. Koefisien nilain standardized Beta pada bagaimana relationship contingency of selfworth dalam memprediksi desakan menikah adalah β = 0.674, hal ini memiliki arti bahwa setiap kenaikan 1 SD yang terjadi pada variabel relationship contingency of self-worth akan diikuti dengan kenaikan sebesar 0.674 SD pada variabel desakan menikah. Sedangkan nilai standardized Beta pada bagaimana self-efficacy dalam hubungan romantis dalam memprediksi desakan menikah adalah β = 0.44, yang memiliki arti bahwa setiap kenaikan 1 SD yang terjadi pada variabel self-efficacy dalam hubungan romantis akan diikuti oleh kenaikan sebesar 0.44 SD pada varabel desakan menikah. Kemudian nilai koefisien standardized Beta pada bagaimana interaksi antara relationship contingency of self-worth dan self-efficacy dalam hubungan romantis dalam memprediksi desakan menikah adalah β = 0.0122, hal ini menandakan bahwa setiap kenaikan 1 SD yang terjadi pada interaksi antara relationship contingency of self-worth dan self-efficacy dalam hubungan romanti akan diikuti penurunan sebesar 0.0122 SD pada desakan menikah. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan yang signifikan antara relationship contingency of self-worth dengan desakan menikah pada dewasa muda yang belum menikah, yang berarti semakin tinggi relationship contingency of self-worth yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi desakan menikah yang dimilikinya. 2. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara self-efficacy dalam hubungan romantis dengan desakan menikah pada dewasa muda yang belum menikah, yang memiliki arti semakin tinggi self-efficacy dalam hubungan romantis yang dimiliki seseorang tidak diikuti dengan semakin tinggi desakan menikah yang dimiliki. 3.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara interaksi rata-rata skor total relationship contingency of self-worth dan self-efficacy dalam hubungan romantis
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
dengan desakan menikah yang dimiliki, dimana semakin tinggi interaksi relationship contingency of self-worth dan self-efficacy dalam hubungan romantic tidak diikuti dengan semakin tinggi desakan menikah yang dimiliki. Diskusi Isu mengenai hubungan romantis merupakan salah satu isu yang banyak diperbincangkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi mereka yang sedang berada dalam tahap perkembangan dewasa muda. Sejalan dengan Erikson (dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2009) yang menyatakan bahwa dewasa muda memiliki tugas perkembangan yaitu untuk membangun sebuah hubungan yang intim dengan orang lain. Penelitian ini bertujuan menjelaskan salah satu isu mengenai hubungan romantis, yaitu desakan menikah. Penelitian ini berusaha untuk menjelaskan hubungan antara relationship contingency dengan desakan menikah, serta pengaruh self-efficacy dalam hubungan romantis pada kedua variabel tersebut. Hasil penelitian berhasil menunjukkan bahwa relationship contingency mampu menyumbangkan varians yang cukup besar dan signifikan terhadap desakan menikah pada dewasa muda di wilayah Jabodetabek. Hal ini menunjukkan ketika seseorang menempatkan sumber harga dirinya pada sebuah hubungan romantis maka ia akan memiliki kecenderungan terdesak untuk menikah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sanchez dkk. (2008)
dimana relationship contingency sebagai salah satu sumber rasa berharga diri
seseorang memiliki fungsi self-regulator. Dalam hal ini tujuan yang dimiliki seseorang yang memiliki kecenderungan relationship contingency adalah menemukan pasangan, yang kemudian mendorong perilaku dan sikap konsisten terhadap mencapai dan memelihara hubungan romantis. Selanjutnya dari hasil penelitian ditemukan bahwa self-efficacy dalam hubungan romantis tidak berhubungan secara signifikan dengan desakan menikah pada dewasa muda di wilayah Jabodetabek. Hasil multiple regression menunjukkan bahwa self-efficacy dalam hubungan romantis mampu memberikan penambahan koefisien yaitu sebesar 0.01%, namun tidak signifikan (p > 0.05). Jika dilihat dari penambahan koefisiennya, sekalipun jika model ini signifikan, penambahan yang terjadi sangatlah kecil dan bisa dibilang tidak memiliki arti apa-apa pada desakan menikah yang dimiliki seseorang. Dengan tidak dapatnya self-efficacy dalam hubungan romantis untuk memprediksi desakan menikah, maka tidak ditemukan pula peran self-efficacy dalam hubungan romantis sebagai variabel untuk memoderatori hubungan antara relationship contingency dengan desakan menikah, artinya interaksi antara relationship
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
contingency dengan self-efficacy dalam hubungan romantis tidak akan mengubah perasaan terdesak seseorang untuk menikah. Riggio dkk. (2011) menjelaskan persepsi mengenai keberhasilan dalam hubungan romantis terkait dengan harapan seseorang untuk mencapai kebahagiaan, dan hubungan yang tahan lama, sementara orang yang memiliki kemampuan rendah untuk merespon secara efektif atas tuntutan tugas dalam sebuah hubungan akan memiliki harapan yang lebih rendah untuk mencapai kesuksesan dalam sebuah hubungan. Harapan tersebut berpengaruh bagi perilaku dan interaksi dalam hubungan intim termasuk pernikahan (Etcheverry & Le, 2005, dalam Riggio dkk., 2011). Hal ini terlihat pula dalam hasil penelitian yang dilakukan, dimana sebagian besar sampel penelitian memiliki self-efficacy dalam hubungan romantis yang tinggi memiliki desakan menikah yang juga tinggi, dimana ketika seseorag memiliki self-efficacy dalam hubugan romantis yang tinggi akan memiliki harapan tertentu untuk mencapai kesuksesan dalam sebuah hubungan. Harapan akan kesukesesan ini lah yang dapat mendorong seseorang untuk merasakan adanya desakan untuk segera menikah dan membina sebuah keluarga, Akan tetapi patut disayangkan bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Salah satu yang bisa menjadi penyebab dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa self-efficacy dalam hubungan romantis tidak dapat memprediksi desakan menikah pada dewasa muda adalah karena tidak terdapat pengaruh langsung dari keyakinan yang dimiliki seseorang untuk menjalankan hubungan dengan desakan menikah. Diduga hal yang mungkin terjadi adalah sebaliknya, sebagai contoh ketika seseorang memiliki keyakinan untuk sukses dalam menjalankan sebuah hubungan romantis, ia akan cenderung lebih santai dalam mencari pasangan dan memutuskan untuk menikah karena ia menyadari bahwa cepat atau lambat ia akan tetap berhasil dalam menjalankan sebuah hubungan romantis. Selain itu karena terdapatnya pertimbangan lain yang harus dipikirkan oleh para dewasa muda sebelum mereka memutuskan untuk menikah (Mukharliza, 2013). Hal ini dapat menyebabkan self-efficacy dalam hubungan romantis yang tinggi tidak terlalu dipertimbangkan oleh dewasa muda dalam membuat keputusan untuk menikah. Hasil tambahan dari penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan secara signifikan memiliki desakan menikah yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sanchez dkk. (2008), dimana desakan menikah sama-sama berhubungan dengan jenis kelamin, dan perempuan memiliki desakan menikah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan laki-laki. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih relationship contingency jika dibandingkan
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
dengan perempuan. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Sanchez dkk. (2008) tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara kecenderungan relationship contingency antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan hasil yang ditemukan ini dapat disebabkan adanya perbedaan budaya antara penelitian yang dilakukan Sanchez dkk. (2008) dengan penelitian yang dilakukan di Indonesia. Akan tetapi hasil penelitian yang didapat menunjukkan kesesuaian dalam konteks di Indonesia. Ketika seorang wanita semakin bertambah dewasa, akan lebih cepat unruk mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, seperti adanya istilah “perawan tua” dan anggapan tidak laku bagi perempuan yang belum menikah. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor mengenai mengapa perempuan lebih terdesak untuk segera menikah. Kemudian untuk hasil tambahan dari relationship contingency, di Indonesia seorang laki-laki dianggap memiliki derajat yang lebih tinggi ketika mereka memiliki harta, tahta, dan wanita. Ini menyiratkan arti bahwa memiliki seorang pasangan adalah hal yang dianggap penting bagi kaum laki-laki. Hasil analisis tambahan selanjutnya menunjukkan bahwa status hubungan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan relationship contingency, maupun dengan desakan menikah. Artinya baik mereka yang sedang terlibat dalam hubungan romantis maupun yang sedang tidak terlibat dalam hubungan romantis tidak berbeda secara signifikan pada desakan menikah yang dirasakan, maupun pada self-efficacy dalam hubungan romantis yang dimiliki. Tidak terdapatnya perbedaan mengenai desakan menikah ini dapat disebabkan oleh karakteristik responden yang didapat, dimana mayoritas responden masih berada dalam rentang usia yang termuda, yaitu antara 21 – 25 tahun, dimana mereka belum sepenuhnya berada dalam tahap dewasa muda dan belum sepenuhnya merasakan adanya krisis yang harus mereka selesaikan pada tahap ini. Selain itu sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh DePaulo dan Morris (2006) yang menyatakan bahwa stigma negatif bagi mereka yang lajang akan semakin terlibat ketika usia seseorang juga semakin dewasa, responden dalam penelitian ini masih terbilang muda sehingga stigma negatif bagi mereka yang masih melajang belum begitu terasa. Dalam melakukan proses penelitian ini, peneliti menyadari bahwa dalam setiap penelitian pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, begitu pula dengan penelitian ini. Penelitian ini terdiri dari tiga hipotesis utama, namun hanya terdapat satu hipotesis yang berhasil dibuktikan, yaitu hubungan antara relationship contingency dan desakan menikah yang terbukti memiliki hubungan yang signifikan. Terdapatnya keterbatasan teori mengenai self-efficacy dalam hubungan romantis dan juga desakan menikah dapat menjadi salah satu alasan mengapa kedua hipotesis lainnya tidak berhasil untuk dibuktikan.
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
Hal ini dikarenakan variabel-variabel yang digunakan tersebut masih terbilang baru, terutama mengenai desakan menikah (2008) dan self-efficacy dalam hubungan romantis (2011) yang merupakan pengembangan dari teori self-efficacy secara umum. Field (2009) menjelaskan bahwa untuk menggunakan teknik statistik hierarchical multiple regression, salah satu syaratnya adalah prediktor yang akan dimasukkan ke dalam model harus dipilih berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan peneliti menentukan pada urutan yang mana prediktor akan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam model dalam rangka kepentingan mereka dalam memprediksi hasil. Hal yang harus dihindari dalam penentuan prediktor adalah dengan memasukkan variabel acak yang belum diketahui kemampuannya untuk memprediksi. Dalam penelitian ini peneliti sudah benar untuk memasukkan relationship contingency sebagai prediktor utama karena sudah didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sanchez, dkk. (2008). Akan tetapi untuk variabel self-efficacy dalam hubungan romantis belum terbukti secara statistik sebelumnya, karena selama ini yang banyak dibahas adalah self-efficacy secara general. Hal lainnya yang menjadi kekurangan dari penelitian ini adalah sebagian besar partisipan masih dalam rentang usia 21 – 25 tahun, hal ini perlu diantisipasi bahwa kemungkinan partisipan yang masih dalam tahapan emerging adulthood dan belum menyelesaikan krisis dalam tahap perkembangan sebelumnya, yaitu remaja, karena hal ini dapat memengaruhi tugas perkembangan selanjutnya di tahap dewasa muda (Erikson, dalam Bentley, 2007). Dalam penelitian ini self-efficacy dalam hubungan romantis dapat dilihat pada sampel populasi baik yang berstatus pacaran, maupun yang belum memiliki pasangan sama sekali. Hal ini merupakan kelebihan dari penelitian ini karena alat ukur yang digunakan dapat mencakup semua target populasi yaitu dewasa muda yang belum memiliki pasangan (menikah). Saran Metodologis Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan beberapa saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu sebagai berikut: 1. Dalam penyusunan kuesioner, sebaiknya diperhatikan kembali mengenai jumlah skala yang digunakan, terutama dalam alat ukur self-efficacy dalam hubungan romantis. Skala yang digunakan berjumlah 1 – 9, hal ini membuat beberapa sampel menanyakan mengapa rentang skala yang digunakan cukup banyak dan membuat sampel merespon lebih lama pada alat ukur tersebut. Untuk meminimalkan risiko jawaban kurang
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
menggambarkan keadaan partisipan, ada baiknya peneliti mendampingi para partisipan dalam proses pengisian kuesioner. 2. Mencoba mengembangkan kemungkinan adanya teori lain yang juga berhubungan dengan desakan menikah, relationship contingency relationship contingency of selfworth dan self-efficacy dalam hubungan romantis, maupun self-efficacy dalam hubungan romantis. Salah satunya adalah dalam penelitian ini sudah dilihat mengenai keyakinan seseorang untuk berhasil dalam sebuah hubungan romantis, namun belum terdapat penelitian yang melihat hubungan antara relationship beliefs (Sprecher & Metts, 2009) yang dimiliki seseorang untuk memprediksi desakan menikah. Saran Praktis Selain saran metodologis, terdapat beberapa saran praktis yang dapat diberikan untuk kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai berikut: 1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai tambahan informasi konseling, pada dewasa muda belum memiliki pasangan, salah satu penyebabnya mungkin berasal dari selfefficacy dalam hubungan romantis yang dimilikinya. 2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu topik diskusi yang menarik dalam seminar mengenai hubungan romantis. Secara lebih spesifik, seminar ditujukan untuk mereka yang sedang merasa terdesak untuk segera menikah. Membahas mengenai self-efficacy dalam hubungan romantis, yaitu ketika mereka memiliki keyakinan yang baik dalam menjalankan suatu hubungan, maka akan diikuti juga dengan kecenderungan memiliki hubugan yang sukses di masa yang akan datang. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kekhawatiran yang dirasakan, sehingga mereka yang berada pada tahap dewasa muda dapat memfokuskan diri untuk meningkatkan rasa keberhargaan yang dimiliki sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Daftar Pustaka Aiken, L. R., & Groth-Marnat, G. (2006). Psychological testing and assessment. (12th ed.). Boston: Pearson Education. Bentley, E. (2007). Adulthood. New York: Routledge. Cohen, J. R., & Swerdlik, M. E. (2010). Psychological testing and assessment: an introduction to tests and measurement. New York: McGraw Hill. Crocker, J., Luthanen, R. K., Cooper, M. L., & Bouvrette, A. (2003). Contingencies of self-
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
worth in college students: theory and measurement. Journal of Personality and Social Psychology, 85(5), 894–908. DOI: 10.1037/0022-3514.85.5.894 Crocker, J., & Wolfe, C.T. (2001). Contingencies of self-worth. Psychological Review, 108, 593–623. Cross, S. E., & Madson, L. (1997). Models of the self: Self-construals and gender. Psychological Bulletin, 122, 5-37. DePaulo, B. M., & Morris, W. L. (2006). The unrecognized stereotyping and discrimination against singles. Current Directions in Psychological Science, 15(5), 251-254. DOI: 10.1111/j.1467-8721.2006.00446.x DePaulo, B. M. (2010, September 20). Singlism: what it is and is not, and why it should be in the
dictionary.
Psychology
Today.
Diunduh
dari
http://www.psychologytoday.com/blog/living-single/201009/singlism-what-it-is-and-isnot-and-why-it-should-be-in-the-dictionary. Field, A. (2009). Discovering statistics using SPSS. London: Sage Publication Ltd. Fincham, F.D., Harold, G.T., & Gano-Phillips, S. (2000). The longitudinal association between attributions and marital satisfaction: direction of effects and role of efficacy expectations. Journal of Family Psychology, 14(2), 267-285. DOI: 10.10371/08933200.14.2.267 Firestone, L., (2014, Januari 16). 7 Reasons most people are afraid of love: What keeps us from finding and keeping the love we say we want? Psychology Today. Diunduh dari http://www.psychologytoday.com/blog/ compassion-matters/201401/7-reasons-mostpeople-are-afraid-love?tr=MostViewed Knee, C. R., Bush, A. L., Canevello, A., & Cook, A. (2008). Relationship-contingent selfesteem and the ups and downs of romantic relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 95(3), 608–627 DOI: 10.1037/0022-3514.95.3.608 Kumar, R. (2005). Research methodology: A step by step guide for beginners. London: SAGE Publications. Leary, M. R., & Tangney, J. P. (ed.). (2003). Handbook of self and identity. New York: The Guildford Press Lestari, M. (2014, April 5). Sulit jodoh, wanita modern banyak lari ke biro jodoh. Merdeka.com. Diunduh dari http://www.merdeka.com/peristiwa/sulit-jodoh-wanitamodern-banyak-lari-ke-biro-jodoh.html
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014
Lopez, F. G., Monia, W., & Rice, K. G. (2007). Factor structure, stability, and predictive validity of college students' relationship self-efficacy beliefs. American Counseling Association, 40, 80-96. Miller, R. S. (2012). Intimate Relationships. New York: McGraw-Hill. Mukharliza, A. (2013, November 30). Wanita karier ogah nikah muda? Okezone.com. Diunduh
dari
http://lifestyle.okezone.com/read/
2013/11/30/198/905218/wanita-
karier-ogah-nikah-muda Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (11th Ed.). New York: McGraw Hill. Sanchez, D.T., & Kwang, T. (2007). When the relationship be- comes her: Revisiting women’s body concerns from a relation- ship contingency perspective. Psychology of Women Quarterly, 31, 401–414. Sanchez, D. T., Good, J. J., Kwang, T., & Saltzman, E. (2008). When finding mate feels urgent: Why relationship contingency predicts men’s and women’s body shame. Social Psychology, 39(2), 90-102. DOI: 10.1027/1864-9335.39.2.90 Sprecher, S., & Metts, S. (1999). Romantic beliefs: their influence on relationships and patterns of change over time Susan. Journal of Social and Personal Relationships, 16, 834-851 DOI: 10.1177/0265407599166009 Stutzer, A., & Frey, B. S., (2006). Does marriage make people happy, or do happy people get married? The Journal of Socio-Economics, 35(2), 326-347. Riggio, H. R., Weiser, D., Valenzuela, A., Lui, P., Montes, R., & Heuer, J. (2011). Initial validation of a measure of self-efficacy in romantic relationships. Personality and Individual Differences, 51, 601–606. DOI:10.1016/j.paid. 2011.05.026 Willerton, J. (2010). The psychology of relationship. Great Britain: Palgrave Macmillan. Wisnuwardhani, D., & Mashoedi, S. F. (2012). Hubungan interpersonal. Jakarta: Salemba Humanika.
Prediksi relationship…, Annisa Arnindita, FPsi UI, 2014