Prayitno,
MENGATASI KRISIS IDENTITAS PROFESI KONSELOR Hak Cipta dilindungi undang-undang pada penulis
Prof. Dr. Prayitno. M. Sc. Ed. Prayitno Desain Sampul
Nasbahry Couto
Mengatasi Krisis Identitas Profesi Konselor
oleh Prof. Dr. Prayitno, M. Sc. Ed.
PENGANTAR
P
ada suatu hari yang baik, saya dikunjungi seorang teman. Tanpa komentar apa pun, ia memberikan sebuah buku, mungil dan menarik, dengan judul Krisis Identitas Profesi Bimbingan dan Konseling. Kami sama sekali tidak membahas buku itu; mungkin teman itupun belum membacanya. Saya membaca buku hadiah teman saya itu. Asyik sekali; hebat. Isinya, sungguh menyentuh dunia kehidupan yang sudah saya geluti selama puluhan tahun, sampai sekarang, dan isyaallah pada sisa-sisa hidup saya mendatang. Saya benar-benar terperangkap oleh seluruh paparan dalam buku itu. Terlebih-lebih, karena nama saya secara harfiah disebut dan dikiaskan berkali-kali, saya berketetapan hati untuk meresponsnya. Respons saya ini bukanlah tandingan ataupun reaksi atas buku hadiah dari teman saya itu, melainkan merupakan pikiran, perasaan, sikap, keyakinan, dan kemungkinan bertindak serta hal yang pernah saya lakukan dalam kiprah profesionalisasi pelayanan konseling di tanah air. Respons saya terwujud dalam tulisan berjudul Mengatasi Krisis Identitas Profesi Konselor yang menjadi isi buku ini. Uraiannya langsung terkait dengan apa-apa yang menjadi isi dan makna paparan dalam buku “Krisis Identitas” dan saya mengupasnya disertai kutipan yang relevan dari ketentuan pemerintah dan lain-lain. Isi
buku “Krisis Identitas” saya kupas secara terbuka agar dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan tentang apa yang sebenarnya terjadi dan ke mana hal itu menuju. Lebih jauh, uraian tersebut saya lengkapi dengan paparan singkat tentang Trilogi Profesi Konselor yang diharapkan dapat menjadi titik tuju dan titik temu bagi seluruh upaya profesionalisasi konseling. Paparan tambahan itu dimaksudkan juga untuk menjadi arah dalam mengatasi krisis identitas dan krisis apapun juga, kalau hal itu memang terjadi dalam dunia konseling. Seluruh komponen dan uraian dalam buku Mengatasi Krisis Identitas Profesi Konselor saya simpulkan dalam bentuk Rangkuman yang dapat diikuti pembaca sebelum dan/atau sesudah membaca isi buku Mengatasi Krisis Identitas ini secara keseluruhan. Rangkuman tersebut diharapkan mewakili seluruh inti sari respons saya terhadap segenap paparan Krisis Identitas dengan keinginan untuk mengatasi apa yang dimaksudkan. Mudah-mudahan siapapun juga, termasuk penulis buku “Krisis Identitas” dapat bertemu, bertemu dalam kalbu, bertemu dalam ilmu, dan bertemu dalam laku untuk berpadu dalam profesi yang satu.
Padang, Oktober 2008
Daftar Isi Pengantar RANGKUMAN A. PROSES PEMBELAJARAN DAN KONTEKS TUGASNYA 1. Konselor dan Konteks Tugasnya ...................................... 2. Perbedaan Konteks Tugas Konselor dan Guru.................. 3. Pendidik sebagai Agen Pembelajaran............................... 4. Konteks Tugas Konselor....................................................
14 16 16 17
B. KETENTUAN PEMERINTAH TENTANG BK DAN GURU PEMBIMBING 1. SK Menpan No. 84/1993 sebagai Titik Tolak Reformasi BK di Indonesia............................................................... 2. Sebutan Guru Pembimbing sebagai Awal untuk Sebutan Konselor............................................................................ 3. Jabatan Fungsional Guru Pembimbing............................. 4. Kriteria Guru Pembimbing................................................. 5. Administrasi Kepegawaian Guru Pembimbing.................. 6. Kegiatan Operasional Guru Pembimbing.......................... 7. Pengawas Sekolah Bidang BK..........................................
21 23 24 25 26 28
C. BUKU PANDUAN 1. SPP-BKS: Panduan Kegiatan BK.................................... 2. Buku PKP-BKS: Panduan Kegiatan Pengawasan BK..... 3. Buku DSPK.......................................................................
31 34 35
19
D. PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI KONSELOR (PPK) 1. Persiapan dan Pembentukan............................................. 2. Penyelenggaraan Program PPK........................................
46 47
3. Beasiswa PPK (BPPK)......................................................
50
E. KURIKULUM 1. Pengertian Kurikulum dan Unsur-unsurnya....................... 2. Kurikulum 1975.................................................................. 3. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: KTSP....................
55 57 59
F. PERMENDIKNAS No. 22 Tahun 2006 1. Materi Dasar...................................................................... 2. Lagi: Muatan KTSP...........................................................
65 69
G. PUSKUR DAN P4TK PENJAS/BK 1. Peran Puskur ................................................................... 2. Peran P4TK-Penjas dan BK.............................................
74 79
H. RAKERNAS ABKIN DAN UPAYA “PENATAAN” 1. Rakernas ABKIN.............................................................. 2. Suasana Kerja.................................................................. 3. Produk Hasil Penataan..................................................... 4. Pelibatan Otoritas Birokrasi..............................................
82 83 87 98
I. ARAH PROFESIONALISASI BK 1. Ciri-ciri Profesi................................................................... 104 2. Trilogi Profesi Pendidik...................................................... 107 3. Profesi yang Bermartabat................................................. 114 Penutup ....................................................................................
117
RANGKUMAN
B
uku Mengatasi Krisis Identitas Profesi Konselor ini ditulis sebagai respons terhadap buku yang berjudul Krisis Identitas Profesi Bimbingan dan Konseling. Seluruh isi “Mengatasi Krisis Identitas” dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Meskipun logo dan nama ABKIN digunakan oleh penulisnya, saya tidak yakin isi buku “Krisis Identitas Profesi Bimbingan dan Konseling” (selanjutnya disingkat “Krisis Identitas”) mencerminkan pandangan dan sikap sebagian besar pengurus, apalagi anggota ABKIN secara keseluruhan. Buku “Krisis Identitas” ditulis oleh mereka yang kurang memahami, tidak mengikuti secara cermat dan tidak ikut serta menjalani apa yang telah terjadi selama 15 tahun terakhir, sejak tahun 1993, tentang perkembangan profesi konseling (BK) di tanah air, serta terperangkap oleh konsep-konsep dan tujuan jangka pendek yang kalau dibiarkan memang akan mengakibatkan krisis identitas yang justru harus dihindari dan diatasi. 2. Dasar kerancuan dan sifat krisis sebagian besar isi buku “Krisis Identitas” adalah keinginan penulisnya untuk membedakan konteks tugas konselor dan guru, namun justru mengaburkannya. Penulis itu mengaburkan bahkan tidak mengakui tugas konselor sebagai pendidik yang membelajarkan, sebagai agen pembelajaran, meskipun hal itu disebutkan secara nyata pada Pasal 39 Ayat (2) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penulis itu bersikukuh bahwa kata pembelaPrayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
1
jaran adalah istilah hanya untuk guru, sedangkan untuk konselor harus yang lain. Lalu, mereka mencari dan memakai yang lain. Pemakaian istilah yang lain itulah yang merancukan dan menimbulkan krisis identitas pada diri mereka sendiri. 3. Perancuan oleh mereka itu berlanjut dengan digunakannya konsep untuk konteks tugas konselor, yang ternyata absurd dan tidak aplikabel, padahal konteks tugas konselor sudah lama dispesifikasi, yaitu pengembangan kemampuan pribadi, sosial, belajar dan karir (untuk peserta didik di satuan pendidikan dasar dan menengah) serta ditambah dengan kemampuan berkehidupan berkeluarga dan beragama (untuk individu dewasa). Lagilagi, konsep absurd dan tidak aplikabel itu menimbulkan kerancuan dan krisis pada diri mereka. 4. Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami bahwa eksistensi dan peran spesifik Guru Pembimbing (sebagai sebutan awal untuk Konselor pada satuan-satuan pendidikan dasar dan menengah) telah ditetapkan sejak tahun 1993 melalui SK Menpan No.24/1993, SK Mendikbud No. 025/U/1995, dan SKB Mendikbud dan Kepala BAKN No. 118/1996. Mereka ngotot mengatakan bahwa SK-SK tersebut justru merancukan konteks tugas konselor, yang tidak membelajarkan, karena membelajarkan itu hanya tugas guru. Dalam kaitan itu, mereka tidak memahami bahwa: a. Di sekolah/madrasah sejak 1993 ada empat jenis guru, yaitu Guru Kelas, Guru Mata Pelajaran, Guru Praktik, dan Guru Pembimbing. Guru Pembimbing itulah yang bertugas melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling (BK) b. Tugas Guru Pembimbing sudah dispesifikasi, yaitu menyusun program BK, melaksanakan program BK,
2
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
mengevaluasi hasil pelaksanaan BK, melalui jenisjenis layanan dan kegiatan pendukung BK c. Kriteria penetapan sebagai Guru Pemimbing sudah ada aturannya d. Administrasi Guru Pembimbing dan angka kreditnya sudah ada aturannya e. Kepengawasan atas kinerja Guru Pembimbing sudah diatur petugasnya dan sudah diarahkan tugas fungsionalnya. Lebih jauh, agaknya mereka berpikir bahwa sejak istilah konselor resmi berlaku (ditetapkan dalam UU No. 20/2003) maka semua ikhwal tentang BK dan Guru Pembimbing tidak berlaku lagi dan harus diganti dengan aturan baru untuk konselor. Dalam hal ini sepertinya ada usaha memutus rantai sejarah. 5. Tentang buku-buku panduan yang sudah ada dan digunakan di sekolah sejak 1995 penulis “Krisis Identitas” berpendapat dan bersikap: a. Menafikan peran buku-buku tersebut dan menganggapnya merancukan konteks tugas konselor, padahal buku-buku tersebut telah disusun dan diverifikasi oleh tim penilai sesuai dengan SK-SK Menpan/Mendikbud dan digunakan sampai sekarang. Dalam hal ini sepertinya ada upaya memutus rantai sejarah b. Bahkan menganggap buku-buku itu tidak perlu karena lapangan pada waktu itu belum siap; di sini sepertinya ada gaya “perfeksionis”. c. Tidak mempercayai kebenaran isian oleh Guru Pembimbing dalam menggunakan format-format yang ada dalam buku-buku panduan itu, meskipun Guru Pembimbing menyambut buku-buku itu dengan antusias Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
3
6. Penulis buku “Krisis Identitas” bersikap oposisi terhadap naskah Dasar Standarisasi Profesi Konseling (DSPK) dengan membuat naskah tandingan untuk menggantikan DSPK, padahal: a. DSPK telah disusun, di-sanction dan disosialisasikan ke seluruh Indonesia menurut prosedur resmi nasional. b. DSPK merupakan tonggak awal dimulainya profesionalisasi bidang BK yang didukung sepenuhnya oleh Dikti sejak tahun 2004. c. DSPK telah disosialisasikan dan diinstruksikan untuk digunakan oleh jurusan/prodi BK LPTK bagi pengembangan kurikulum dan kegiatan akademik BK. d. DSPK adalah rambu-rambu dari otoritas birokrasi yang berwenang memberlakukan kebijakan tanpa tergantung pada persetujuan dari ABKIN. Dengan demikian ABKIN meremehkan fungsi dan otoritas birokrasi. 7. Penulis “Krisis Identitas” bersikap mendua terhadap program Pendidikan Profesi Konselor (PPK). Sejak awalnya Ketua Umum ABKIN bersedia hadir dan melantik para Konselor lulusan PPK di UNP setiap tahun, namun oposisinya terlihat pada: a. Sikap oposisinya terhadap DSPK sebagai landasan formal program PPK yang dikeluarkan Dikti, yang didukung oleh ketentuan Undang-undang No.20/2003 tentang adanya pendidikan profesi di perguruan tinggi dan ditetapkannya sebutan konselor sebagai salah satu jenis pendidik. b. Tidak mau mamahami bahwa dosen program pendidikan profesi, menurut aturan perundangan (PP
4
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
no. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan) haruslah berkualifikasi Magister (S2) dan memiliki kompetensi keahlian dalam bidang profesi itu (dalam hal ini lulusan PPK). c. Ingin membuka program PPK dengan model sendiri selain model yang sudah ada, dengan tidak memperhatikan aturan perundangan tentang dosennya sebagaimana tersebut pada butir b di atas. d. Membuat penduan sendiri yang berupa panduan tandingan sebagai rambu-rambu untuk program PPK versi mereka sendiri. Selain itu: a.
Mereka tidak memahami bahwa program PPK adalah hasil perjuangan ABKIN (dahulu IPBI) yang mendapat dukungan dan fasilitas dari pemerintah; dalam hal ini sepertinya ada upaya memutus rantai sejarah.
b.
Mereka tidak mau menggunakan beasiswa PPK (BPPK) yang disediakan oleh pemerintah untuk meningkatkan kemampuan dosen-dosen BK dengan keterampilan, keahlian praktik profesi, baik sebagai dosen program BK S1, dan terlebih-lebih untuk disiapkan menjadi dosen program PPK, apabila mereka ingin membuka program PPK. Mereka ingin membuka program PPK tetapi tidak mau menyiapkan dosen-dosen meskipun ada beasiswa yang memadai dari pemerintah. Mereka tidak mau berpartisipasi bersama sebagian besar LPTK untuk memprofesionalkan dosendosen BK itu. Diketahui sampai sekarang sudah 37 LPTK/ universitas dari seluruh indonesia (dari Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh sampai Universitas Cendrawasih di Jayapura) yang memanfaatkan beasiswa PPK; mereka tidak termasuk ke dalam hitungan itu.
c.
Mereka mencari-cari kelemahan program PPK yang sudah ada beserta DSPK dan BPPK-nya, sampai sekecil-kecilnya, kalau ada. Dalam kaitan itu, mereka bahkan mengatakan bahwa adanya DSPK merupakan bentuk pelibatan otoritas birokratik yang mengukuhkan perancuan ekspektasi kinerja
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
5
konselor. Sesungguhnyalah mereka perlu mencamkan pesan bijak dan berisi pandangan cerdas ke depan dari Bapak Prof. Dr. Sukamto, M.Sc. (Direktorat PPTK-KPT pada waktu itu) yang ditujukan kepada masyarakat konseling Indonesia, yaitu:
• Daripada ber-S2-ria, lebih baik upaya difokuskan kepada pendidikan profesi. • Saya cuma ingin ide Prof. Satryo --(maksudnya Bapak Dirjen Dikti)--- tentang PPK 1 tahun setelah S1 diamankan. 8. Penulis “Krisis Identitas” bersikukuh bahwa pengertian kurikulum yang ada di dalam undang-undang (UU No. `20/2003) hanya cocok untuk konteks tugas guru, tidak untuk pendidik-pendidik lainnya, apalagi konselor. Di samping itu mereka memahami makna kurikulum dalam arti yang sempit, yaitu sebagai kumpulan mata pelajaran, padahal dewasa ini pengertian yang lebih banyak digunakan adalah pengertian yang lebih mencakup, yaitu kurikulum sebagai rangkaian pengalaman belajar peserta didik yang menjadi tanggung jawab satuan pendidikan menyelenggarakan proses pembelajarannya. Pengertian yang lebih mencakup itulah yang digunakan di dalam Undang-undang, PP dan Permendiknas. Akibat pemahaman yang sempit ini adalah bahwa mereka:
6
a.
merancukan pengertian Kurikulum 1975
b.
merancukan, mengaburkan, dan mempersempit pengertian KTSP
c.
mengeluarkan komponen BK (pelayanan konseling) dari KTSP
d.
menolak dan mengaburkan pengertian Pengembangan Diri sebagaimana dimaksud dalam KTSP (Permendiknas No.22/ 2006 tentang Standar Isi). Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Kenyataannya di lapangan, dewasa ini di sekolah/ madrasah (SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA/SMK/MAK) telah diberlakukan KTSP berdasarkan Permendiknas tersebut. Konsep kurikulum yang digunakan oleh penulis “Krisis Identitas” ditolak oleh Pengurus Daerah ABKIN karena konsep “baru” itu justru akan menimbulkan kerancuan, kebingungan dan malahan benturan dalam pelaksanaan pelayanan BK di sekolah/madrasah. Guru Pembimbing di sekolah/madrasah berpegang pada peraturan pemerintah (Puskur, BSNP, Permendiknas). 9. Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami secara tepat dan menyeluruh substansi Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi. Pemahaman sempit dan ketidaktahuan mereka tentang materi dasar Permendiknas tersebut mengakibatkan pemikiran yang rancu, kerdil dan kontraproduktif. Dalam kaitan ini mereka menganggap bahwa: a. Substansi Standar Isi seharusnya hanya berisi hal-hal tentang mata pelajaran yang diampu oleh guru saja. b. KTSP yang dilandasi oleh standar isi adalah KTSP untuk guru saja. c. Standar Isi yang ada (dalam Permendiknas) isinya “kering” karena “tidak memuat arah dan panduan pencapaian kompetensi oleh peserta didik untuk tiap mata pelajaran perjenjang pendidikan”. Rupanya mereka tidak tahu bahwa Standar Isi dalam Permendiknas No. 22/2006 meliputi juga standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang dilampirkan dengan volume sampai 2143 halaman. Lebih jauh, yang lebih musykil: Tentang KTSP mereka mempersoalkan komponen muatan lokal dan komponen pengembangan diri (yang di dalamnya terdapat subkomponen pelayanan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler). Diadakannya kedua komponen selain Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
7
mata pelajaran dalam KTSP itu, anggapan mereka, adalah untuk memberikan lahan garapan nantinya bagi tim penyusun komponen yang ada dalam KTSP itu. 10. Penulis “Krisis Indentitas” semula ingin berkolaborasi dengan Pusat Kurikulum (Puskur) Balitbang Diknas dan Pusat Pelatihan Guru Penjas dan BK (P4TK Penjas/BK), setelah diketahui bahwa konsep-konsep mereka berbeda, keinginan mereka itu ditolak. Pengurus Daerah ABKIN juga mempertanyakan apakah konsep-konsep mereka itu tidak justru merancukan dan mengacaukan apa yang sudah berjalan belasan tahun di lapangan, yang dibina sejak 1993. a. Puskur telah membuat panduan pelayanan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler (yang terhimpun di dalam panduan Pengembangan Diri), sedangkan ABKIN terus berusaha membuat tandingannya. Dalam hal itu, secara bijak dinyatakan bahwa “panduan tandingan itu silahkan dipakai dilingkungan ABKIN sendiri tetapi tidak di sekolah/madrasah”, namun kemudian panduan tandingan itu dipaksakan untuk dipakai di sekolah/madrasah. b. Penulis “Krisis Identitas” tidak tahu apa yang terjadi di P4TK Penjas/BK. Dengan ketidaktahuannya itu mereka menyatakan bahwa “Pelatihan Guru Pembimbing di P4TK Penjas/BK itu adalah pelatihan untuk guru”, dan bahkan memvonis “pelatihan itu mencederai integritas BK”. Padahal yang dilatihkan itu sesuai dengan KTSP (Permendiknas No. 22/2006), panduan dari Puskur, dan sosok kinerja BK sebagaimana seharusnya di lapangan. Sementara itu P4TK Penjas/BK telah menspesifikasi tersendiri Pedoman Pelaksanaan Pelayanan BK yang sepenuhnya diambil dari panduan yang disusun Puskur. 11. Diawali dengan Rakernas bulan Januari 2008, ABKIN memulai upaya, yang katanya, penataan ke arah pro-
8
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
fesionalisme profesi BK. Oke, hal itu baik-baik saja. Masalahnya adalah bagaimana upaya itu dilakukan dan apa hasilnya. Rupanya langkah-langkahnya bersuasana “kejar tayang”, dipolakan “dari atas” dan mencari formalitas, serta hasil-hasilnya menjadi tandingan atau merupakan penyimpangan terhadap aturan perundangan yang berlaku dan kondisi lapangan yang sedang berjalan. Gambaran singkatnya sebagai berikut: a. Rekernas diawali oleh penolakan Dirjen Dikti untuk menerima audiensi PB ABKIN karena Dirjen tahu ada gejala pro-kontra di kalangan ABKIN sendiri, terutama berkenaan dengan DSPK, PPK, BK dalam KTSP, dan panduan pelayanan BK di sekolah. Karena dimohon untuk dua acara, yaitu audiensi dan hadir di Rakernas, Dirjen berkenan hadir di Rakernas. Dalam pengarahannya di Rakernas itu, ada pernyataan beliau yang menggigit, yaitu dipesankan kepada peserta Raker agar “tidak timbul ABKIN Perjuangan”. Tentunya yang dimaksud dalam pesan tersebut adalah agar Raker dan kegiatan selanjutnya berjalan lancar, kompak, harmonis, dan kolegial untuk menghasilkan produk terbaik. b. Dalam pelaksanaannya kegiatan pasca Raker suasananya tidak seperti dipesankan oleh Dirjen Dikti itu, tetapi justru dikendalikan agar tidak ada “gangguan”; masukan dianggap sebagai gangguan akademik atau bahkan dianggap tandingan. Usul-usul tidak ditanggapi secara keilmuan ataupun dibahas secara tuntas; semuanya kembali kepada “pola dari atas” sampai-sampai produk-produk yang sudah resmi dibicarakan dalam Konvensi Nasional pun diganti dengan materi lain yang entah berasal dari mana. c. Diberitakan ada tujuh buah buku sebagai produk hasil kegiatan pasca Raker. Kadar/kualitas dari produkproduk itu diwarnai hal-hal sebagai berikut: Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
9
1) Terjadinya penyempitan dan penyimpangan makna sejumlah aturan perundangan, sebagaimana dibahas sejak awal pembicaraan ini, sehingga produk yang dimaksudkan itu diragukan kesahihan dan keterandalannya. Penyempitan/ penyimpangan makna itu terjadi untuk sejumlah pasal/ayat dari, antara lain: •
SK Menpan, SK Mendikbud dan SKB Mendikbud/ Menpan yang menyatakan eksistensi dan kinerja Guru Pembimbing
•
UU No. 20/2003 yang terkait dengan pendidik dan pembelajaran
•
PP 19/2005
•
Permendiknas dan KTSP
•
DSPK dan PPK
•
Panduan pelaksanaan BK dan kegiatan kepengawasannya
•
Panduan pelayanan konseling yang ada di dalam panduan Pengembangan Diri
2) Buku panduan yang merupakan produk-produk yang dimaksudkan itu diposisikan sebagai tandingan (dan sejak semula memang dimaksudkan) untuk menggantikan aturan resmi yang ada, seperti DSPK, Standar Kompetensi, prosedur penyetalaan, program sertifikasi guru dan dosen, panduan pelayanan BK di sekolah. 3) Produk yang berupa buku-buku itu dihasilkan dengan mencederai aspek-aspek prosedural, kolegalitas, transparansi, keilmuan dan kepatuhan terhadap aturan perundangan yang berlaku. Dalam pada itu dipertanyakan bagaimana produk-produk itu mendapat legitimasi dari otoritas birokrasi, padahal penulis “Krisis Identitas” cenderung
10
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
beroposisi terhadap pelibatan otoritas birokrasi. Memang diketahui pada waktu itu di kalangan Dikti sedang terjadi suasana mutasi yang cukup menyeluruh. 4) Berkenaan dengan buku tentang standar kompetensi pendidik konselor (satu dari tujuh buku yang dimaksud) dapat dikemukakan penyusunan standar pendidik seperti itu menjadi hak BSNP, bukan hak ABKIN. ABKIN dapat berpartisipasi dalam memberikan masukan. Jadi adanya buku itu melampaui kewenangan BSNP. 5) Berkenaan dengan penerbitan izin praktik, semestinyalah dilakukan oleh pihak yang telah berpengalaman praktik profesi yang ditandai dengan dimilikinya gelar profesi yang dimaksud oleh pihak pemberi izin praktek. Penyusunan buku izin praktik oleh pihak-pihak yang tidak berpengalaman praktik profesi adalah sesuatu yang di luar kelayakan. 6) Berkenaan dengan telah diberlakukannya Permendiknas No. 27/2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (SKAKK), maka produk yang berupa tujuh buku itu, yang langsung berkenaan atau di dalamnya memuat substansi “standar kompetensi konselor” secara resmi menjadi cacat substansi karena isinya itu tidak sesuai yang ada pada Permendiknas No. 27/2008 tentang SKAKK itu. Oleh karenanya buku-buku itu tidak dapat diberlakukan. 7) Sepanjang sesuai dengan dinamika lapangan dan dalam rangka kajian keilmuan, barangkali produk yang berupa buku-buku itu masih dapat dimanfaatkan di lingkungan ABKIN sendiri, tetapi tidak bisa dijadikan sebagai referensi resmi, apalagi kalau dipaksakan untuk kegiatan kelembagaan pemerintah. Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
11
8) Hal yang ganjil dan cukup mengganjal ialah adanya tanda-tanda bahwa produk yang berupa buku-buku itu ditampilkan sebagai modal dan alat untuk “membuat lahan garapan” dalam bidang BK bagi mereka yang mempersoalkan dan menghendakinya. Hal itu ada pada semangat penulis “Krisis Identitas” ditandai dengan digunakannya kata-kata motif altruistik dan juga istilah lahan garapan di awal sampai akhir paparan buku “Krisis Identitas” itu. Kata-kata indah motif altruistik dipakai oleh penulis itu justru dengan konotasi yang salah karena dikaitkan dengan lahan garapan, padahal makna yang sesungguhnya adalah tuntutan profesi agar konselor berdedikasi secara tulus dengan kompetensi optimal dalam memenuhi kebutuhan klien sebagai kepentingan utama sambil mengesampingkan kepentingan pribadi konselor sendiri. 9) Keikutsertaan Rektor UNP dalam pembicaraan tentang produk yang berupa tujuh buku itu karena beliau secara resmi menjadi tahu tentang selukbeluk permasalahannya, sehingga sebagai pejabat yang bertanggung jawab dan sangat berkepentingan dengan kemajuan profesionalisasi BK, yang juga menjadi wilayah tugas beliau, tindakan beliau adalah sangat wajar dalam mengamankan dan melindungi wilayah kerja BK di LPTK pada umumnya dan UNP pada khususnya, dari pengaruh tertentu yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam hal itu Dekan FIP dan Pimpinan Jurusan BK UNP sewajarnya pula mengamankan apa yang menjadi kebijakan Rektor tersebut. 12. Akhirnya, segenap bahasan tertulis yang ditampilkan oleh penulis “Krisis Identitas” itu telah memperoleh respons secukupnya agar pihak-pihak terkait memakluminya. Lebih dari itu, sesungguhnyalah, ada krisis atau tidak ada krisis profesionalisasi profesi konseling harus berjalan
12
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
terus melalui pengkajian, pembinaan dan pengembangan praktik keahlian profesi sejalan dengan apa yang disebut trilogi profesi konselor. Semua pihak dihimbau untuk saling isi-mengisi sehingga kalau pun ada krisis segera bisa diatasi. Marilah semua teman bertekad membesarkan dan menjunjung tinggi profesi yang tercinta ini.
JIKA HATI sejernih air bening, jangan biarkan menjadi keruh JIKA HATI seputih dan selembut awan, jangan biarkan ia menjadi mendung dan badai JIKA HATI seindah bulan purnama, hiasi ia dengan iman jangan biarkan krisis identitas ada di dalam dada, arahkan tegakkan dan kokohkan trilogi profesi untuk konselor bermartabat
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
13
URAIAN MENYELURUH
A. PROSES PEMBELAJARAN DAN KONTEKS TUGASNYA Penulis “Krisis Identitas” ingin menegaskan perbedaan antara konteks tugas konselor dan guru, tetapi justru mengaburkannya.
1. Konselor dan Konteks Tugasnya
P
enulis “Krisis Identitas” sangat konsisten ingin membedakan konteks tugas guru dan konteks tugas konselor dengan mengatakan:
Ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan, sedangkan guru yang menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan (hlm. 1 dan berbagai halaman lainnya)
Kata kunci yang dipermasalahkan di sini adalah kata pembelajaran. Apakah benar kinerja konselor tidak terkait dengan pembelajaran, sedangkan guru terkait? Jawabannya terletak pada pengertian pendidik dan tugas pendidik. Pertama, pendidik, siapa orangnya? “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan” (UU
14
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
No. 20/2003 Pasal 1 Butir 6). Kedua, apa tugas pendidik? “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik di perguruan tinggi” (UU. No. 20/2003 Pasal 39 Ayat 2). Penulis “Krisis Identitas” mengaburkan makna konselor sebagai pendidik yang harus melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Nah, konselor pendidik apa bukan? Bagi siapa yang mematuhi undang-undang pasti mengakui, setidak-tidaknya menjadi tahu bahwa konselor adalah pendidik. Kalau konselor itu pendidik, haruslah diakui bahwa termasuk tugas konselor adalah merencanakan proses pembelajaran dan menilai hasil pembelajaran, seperti juga guru, dosen, dan pendidik lainnya. Konselor menggunakan kegiatan pembelajaran dalam melaksanakan layanannya. Bukankah ketika seorang konselor melaksanakan layanan orientasi, informasi, konseling perorangan, dan lain-lain layanan, ia sedang membelajarkan klien? Dalam layanan-layanan tersebut digunakan materi pembelajaran tertentu (yaitu materi layanan konseling) untuk membelajarkan klien sehingga ia mampu mengentaskan masalahnya. Bagaimana klien mampu mengentaskan masalahnya atau menjadi mandiri kalau ia tidak belajar? Apa kemampuan mengentaskan masalah atau kemandirian klien itu datang dari langit, atau disuapkan oleh konselor? Ketahuilah bahwa konselor harus mampu membelajarkan klien kalau ia (konselor) hendak memberikan pelayanan yang benarbenar profesional 1). 1)
Adalah kekeliruan yang amat fatal ketika penulis “Krisis Identitas” mengatakan bahwa: “Pasal 39 ayat (2) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang sebenarnya mengatur ekspektasi kinerja guru yang menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan” (hlm. 19). Rupanya penulis itu tidak tahu bahwa pasal itu berlaku untuk semua pendidik, termasuk konselor dan pendidik lainnya, tidak hanya guru. Kesalahan fatal itulah yang agaknya mendasari penulisan buku “Krisis Identitas”. Terkait dengan itu semua pemikiran dan produkproduk yang didasarkan pada pemahaman yang benar-benar salah itu otomatis gugur karena tidak berdasarkan aturan perundangan yang berlaku.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
15
2. Perbedaan Konteks Tugas Konselor dan Guru Penulis “Krisis Identitas” merancukan konteks tugas konselor dan guru. Perlu diketahui juga bahwa tugas pembelajaran oleh konselor memang berbeda dibandingkan guru. (Nah, di sinilah kalau ingin tahu bedanya konteks tugas konselor dan guru). Konteks tugas pembelajaran yang dilakukan guru adalah mata pelajaran bidang studi, seperti mata pelajaran Matematika, IPA, IPS, dsb 2) , sedangkan konteks tugas konselor adalah kondisi pribadi klien misalnya penyesuaian diri, sikap dan kebiasaan belajar, informasi dan pilihan karir, dsb. Bukankah mata pelajaran bidang studi dan kondisi pribadi klien itu berbeda? Begitulah caranya membedakan ekspektasi tugas konselor dan tugas guru. Semua pendidik melakukan pembelajaran terhadap peserta didik dengan konteks tugas yang berbeda-beda. Guru, konteks tugasnya apa, konselor apa, dosen apa, widyaiswara apa, dan sebagainya. Modus pembelajarannya pun berbeda-beda. Guru dengan modus pengajaran mata pelajaran bidang studi sedangkan konselor dengan modus pelayanan konseling dan kegiatan pendukungnya. Dengan konteks tugas yang berbeda-beda itu, semua pendidik melaksanakan pembelajaran dengan modus pembelajaran yang berbeda-beda pula. 3. Pendidik sebagai Agen Pembelajaran Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami peran pendidik sebagai agen pembelajaran. 2)
Di perguruan tinggi, konteks tugas dosen (sebagai pendidik yang melakukan pembelajaran) disebut mata kuliah
16
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Perhatikan juga Pasal 28 ayat (1) PP No. 19/2005: “Pendidik haruslah memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Nah, mampukah konselor sebagai pendidik (konselor pendidik, kan?) untuk menjadi agen pembelajaran; yang menyorak-nyorakkan kepada peserta didik (dalam hal ini klien) untuk mau belajar? Seperti, mohon maaf, agen minyak yang setiap kali bersorak “minyak.....” agar orang-orang mau membeli minyaknya; agar orang-orang yang membutuhkan mau memanfaatkan minyak yang dijajakannya. Bersediakah konselor menjadi agen pembelajaran? Kalau tidak mau, berhentilah menjadi pendidik kalau tidak hendak melanggar undang-undang.
4. Konteks Tugas Konselor Konteks tugas konselor yang dikemukakan penulis “Krisis Identitas” absurd dan tidak aplikabel. Penulis “Krisis Identitas” tampaknya ngotot betul untuk menegaskan konteks tugas konselor, yang berbeda dari guru, oleh karenanya “tidak terkait dengan pembelajaran”, yaitu bahwa konteks tugas konselor adalah: “proses pengenalan diri konseli dengan memperhadapkan kekuatan dan kelemahannya dengan peluang dan tantangan yang terdapat dalam lingkungannya, dalam rangka menumbuhkan kemandirian dalam mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya sehingga mampu memilih, meraih serta mempertahankan karir untuk mencapai hidup produktif dan sejahtera, dalam konteks kemaslahatan umum” (hlm. 13).
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
17
Ya, tentu hebat betul; luar biasa, lebih-lebih kalau yang disebutkan dalam kutipan di atas dapat diperhadapkan, dapat diraih dan dapat dicapai oleh para siswa di SD, SLTP, dan SLTA. Itu adalah rumusan yang terlalu amat indah, untuk klien dewasa sekalipun. Mana mungkin siswa-siswa SLTP/SLTA, apalagi SD mampu memilih, meraih serta mempertahankan karir, kemudian mencapai hidup produktif dan sejahtera. Kok repot-repot amat; apa tidak cukup hal itu semua disederhanakan saja menjadi: materi pengembangan kemampuan pribadi, sosial, belajar, dan karir 3). Lebih jelas, mencakup, operasional dan dapat disesuaikan dengan tugastugas perkembangan anak pada setiap tahap perkembangannya, dan juga dapat disesuaikan dengan tingkat kelasnya. Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami bahwa konteks tugas konselor digarap melalui kegiatan pembelajaran. Itu yang pertama; yang kedua adalah kalau toh hal yang “hebat” di atas itu benar, bagaimana caranya sehingga klien mampu memilih, meraih serta mempertahankan karir, kemudian mencapai hidup produktif dan sejahtera? Disuruh atau diapakan anak, siswa, klien atau konseli, atau peserta didik, supaya bisa memilih, meraih dan mencapai itu? Pastilah disuruh, atau dirangsang, atau diberikan suasana yang kondusif untuk belajar, kalau tidak hendak mencekokinya atau menghipnotisnya. Atau ada cara lain? Kok repot amat. Ya belajar dong; dan itu namanya pembelajaran. Dengan demikian, tugas konselor adalah membelajarkan peserta didik, klien atau konseli atau apapun namanya, dengan konteks tugas pengembangan kemampuan pribadi, sosial, belajar dan karir. 3)
Untuk klien-klien dewasa materi pengembangan itu ditambah dengan: pengembangan kehidupan berkeluarga dan kehidupan keberagamaan.
18
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Caranya dengan mengoperasionalkan jenis-jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling. Sedangkan tugas guru adalah membelajarkan peserta didik dengan konteks tugas materi pelajaran Matematika, IPA, Bahasa, dll, caranya dengan mengoperasionalkan metode dan cara-cara mengajar. Dengan demikian perlu diketahui dan dicamkan bahwa inti pendidikan adalah belajar dan pembelajaran. Tidak ada pendidikan tanpa belajar dan pembelajaran.
B. KETENTUAN PEMERINTAH TENTANG BK DAN GURU PEMBIMBING Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami bahwa eksistensi dan peranan Guru Pembimbing/Konselor telah direformasi sejak 1993, sehingga sasaran dan tugasnya menjadi jelas dan spesifik. Ditegaskan oleh penulis “Krisis Identitas” bahwa biang keladi kerancuan atau bahkan krisis identitas adalah rujukan yang mengacu pada SK Menpan No. 84 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, karena lagilagi, merancukan tugas konselor dan guru, katanya. Cermati kutipan-kutipan dan uraian di bawah ini.
1. SK Menpan No. 84/1993 sebagai Titik Tolak Reformasi BK di Indonesia Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami bahwa telah terjadi lompatan besar dalam eksistensi dan substansi tentang BK, dari SK Menpan No. 26/1989 ke SK Menpan No. 84/1993.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
19
SK Menpan no. 026/1989, adalah SK Menpan lama sebelum diperbaharui. Secara singkat, tentang tugas guru SK itu hanya menyatakan: “Tugas guru adalah mengajar dan atau membimbing”. Nah, itu benar, oleh SK Menpan yang lama tugas konselor dan tugas guru konselor dirancukan, karena dengan kata dan/atau guru dapat ke sana ke mari, bekerja mengajar atau menjadi pelaku bimbingan dan penyuluhan (istilah BP pada waktu itu). Di samping itu, kegiatan pelayanan BP dilecehkan, karena boleh dilakukan oleh guru yang tidak tahu menahu perihal BP. Itu kondisi sebelum awal tahun 1993. Menyadari kerancuan terebut di atas, pada tahun 1993 PB IPBI waktu itu (yang kebetulan Ketua Umumnya adalah, mohon maaf, Prayitno) berusaha melakukan perubahan atau reformasi. Melalui lobi yang intensif dengan para petinggi Depdikbud dan Menpan, akhirnya disepakati istilah Bimbingan dan Penyuluhan (BP) diganti menjadi Bimbingan dan Konseling (BK). Istilah dan/atau bagi kegiatan mengajar dan membimbing diganti dengan istilah atau, sehingga terjadilah pemisahan yang jelas apakah seseorang akan bekerja mengajar atau membimbing. Tidak boleh lagi ke sana ya, ke sini ya. Hal itu semua termaktub pada SK Menpan No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dengan SK Menpan yang baru ini dimulailah era pemisahan yang tegas secara formal antara petugas yang mengajar dan petugas yang membimbing. SK Menpan No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya itu menegaskan bahwa tugas pokok guru adalah: a.
Menyusun program pengajaran, menyajikan program pengajaran, evaluasi belajar, analisis hasil evaluasi hasil belajar, serta menyusun program perbaikan dan pengayaan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawab; ATAU:
b.
Menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut pelaksanaan program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung
20
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
jawabnya.
Perhatikanlah kata ATAU. Tidakkah perbedaan antara guru yang mengajar dan guru yang membimbing menjadi jelas? Atau masih rancu juga?
2. Sebutan Guru Pembimbing sebagai Awal untuk Sebutan Konselor Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami bahwa sebutan “Guru Pembimbing” merupakan awal untuk sebutan “Konselor”. Penulis itu sepertinya memutus rantai sejarah. Serentak dengan perjuangan memisahkan tugas mengajar dari tugas membimbing itu diupayakan juga ditetapkannya nama resmi bagi petugas yang membimbing atau melaksanakan pelayanan BK. Pada waktu itu telah dengan gigih diusulkan untuk dipakainya istilah konselor untuk mengganti sebutan “petugas BP” yang pada waktu itu dipakai. Namun usaha itu belum dapat dikabulkan karena peraturan pada waktu itu belum ada yang memberikan celah untuk digunakannya istilah konselor 4). Peraturan yang ada adalah PP No. 28/1990 tentang Pendidikan Dasar dan PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah yang menyebutkan bahwa “Bimbingan diberikan oleh Guru Pembimbing”. Terkait dengan hal itu, SK Mendikbud No. 25/1995 yang merujuk kepada SK Menpan No. 84/1993 menegaskan adanya empat jenis guru, yaitu:
4)
Dewasa ini, ketika istilah konselor sudah secara resmi terukir di dalam undang-undang (UU No. 20/2003) malahan dihembus-hembuskan tentang krisis identitas. Bukankah yang lebih perlu diupayakan adalah mengisi profesi konselor itu agar semakin mantap dan bermartabat?
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
21
a. Guru kelas, adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam proses belajar mengajar seluruh mata pelajaran di kelas tertentu di TK, SD, SDLB, dan SLB Tingkat Dasar, kecuali mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan serta Pendidikan Agama b. Guru mata pelajaran, adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam proses belajar mengajar pada satu mata pelajaran tertentu di sekolah c.
Guru praktik, adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam proses belajar mengajar pada kegiatam praktik di sekolah kejuruan atau BLT
d. Guru Pembimbing, adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik
Nah, memperhatikan kutipan tersebut di atas; apanya yang rancu? Tugas guru kelas, guru praktik, guru mata pelajaran, dan guru pembimbing benar-benar jelas dan tidak ada keraguan 5). Lebih jauh, marilah kita ikuti pengertian bimbingan dan konseling yang menjadi spesifikasi tugas guru pembimbing (dikutip dari SK Mendikbud No. 025/0/1995): Bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar dan bimbingan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku. 5)
Dewasa ini ada orang yang mendorong agar untuk guru pembimbing itu digunakan istilah guru BK. Nah, ini baru merancukan dengan sengaja. Guru BK? Sebutan guru BK justru dapat dirancukan dengan guru mata pelajaran. Sejalan maknanya dengan guru IPA, bukan?; yaitu guru yang mengajarkan mata pelajaran IPA. Dengan demikian, guru BK adalah guru yang mengajarkan mata pelajaran BK. Rancu, kan? Apa guru BK tugasnya mengajarkan mata pelajaran BK? Celakanya, istilah guru BK itu ada di dalam panduan sertifikasi guru dalam jabatan. Kalau mau konsekuen, panduan itu tidak bisa digunakan karena di lapangan (sekolah) tidak ada guru yang bertugas dengan nama guru BK; yang ada adalah guru pembimbing sesuai dengan SK Mendikbud no. 25/0/ 1995 itu.
22
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Pengertian bimbingan dan konseling di atas jelas memberikan arahan dan batasan tentang konteks tugas kinerja guru pembimbing, yang pasti sangat berbeda dari konteks tugas guru mata pelajaran yang mengarah dan dalam batasan pengajaran mata pelajaran bidang studi itu.
3. Jabatan Fungsional Guru Pembimbing Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami spesifikasi tugas fungsional Guru Pembimbing. Kutipan dari SKB Mendikbud dan Kepala BAKN no. 0433/P/1993 dan No. 25 Tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Pasal 1: •
Guru pembimbing adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik.
•
Menyusun program bimbingan dan konseling adalah membuat rencana pelayanan bimbingan dan konseling dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir.
•
Pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah melaksanakan fungsi pelayanan pemahaman, pencegahan, pengentasan, pemeliharaan dan pengembangan dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan sosial dan bimbingan sosial.
•
Evaluasi pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah menilai hasil evaluasi pelaksanaan bimbingan dan konseling yang mencakup layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, dan
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
23
bimbingan pembelajaran, serta kegiatan pendukungnya. Lagi, kutipan di atas membedakan dan memisahkan dengan gamblang tugas guru pembimbing dari tugas guru mata pelajaran. Guru pembimbing bekerja dalam bidang bimbingan dan konseling, guru mata pelajaran bekerja dalam kegiatan pengajaran mata pelajaran bidang studi. Jelas sekali dan tidak ada kerancuan.
4. Kriteria Guru Pembimbing Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami kriteria yang ditetapkan bagi Guru Pembimbing. Dari sumber yang sama dengan no. 3 di atas, dapat dikutip pula: a.
Setiap guru pembimbing diberi tugas bimbingan dan konseling 6) sekurang-kurangnya terhadap 150 siswa.
b.
Bagi sekolah yang tidak memiliki guru pembimbing yang berlatar belakang bimbingan dan konseling, guru yang telah mengikuti penataran bimbingan dan konseling sekurang-kurangnya 180 jam dapat diberi tugas sebagai Guru Pembimbing. Penugasan ini bersifat sementara sampai guru yang ditugasi itu mencapai taraf kemampuan bimbingan dan konseling sekurang-kurangnya D3 atau di sekolah tersebut telah ada guru Pembimbing yang berlatar belakang minimal D3 bidang bimbingan dan konseling.
Penugasan untuk menjadi guru pembimbing sebagaimana kutipan di atas tidaklah sembarangan atau memakai kriteria seperti disebut oleh penulis “Krisis Identitas”; yang menyatakan begini: 6)
Perhatikan: tugas bimbingan dan konseling, bukan tugas mengajar.
24
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
“..... Konselor adalah pendidik yang arif akibat pengalaman hidupnya yang kaya dan panjang, sehingga memang layak ditugasi untuk memberikan pencerahan atau suluh kepada peserta didik yang belia dan tentu saja secara alamiah memang masih kurang pengalaman hidup itu” (hlm. 6).
Dikhawatirkan, kalimat tentang “pendidik yang arif akibat pengalaman” yang ditulis pada buku “Krisis Identitas” itu adalah angan-angan penulis sendiri yang justru tidak didukung oleh peraturan yang berlaku. Apabila angan-angan seperti itu memang mendasari karya penulis tentang “Krisis Identitas” maka “krisis identitas” yang dituliskannya itu sebenarnya hanya ada di angan-angan penulis itu sendiri, meskipun mungkin terjadi di lapangan. Itulah krisis identitas yang sebenarnya ada pada diri penulis “Krisis Identitas”, yang pasti hal itu bertentangan dengan peraturan resmi yang berlaku tentang BK.
5. Administrasi Kepegawaian Guru Pembimbing Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami administrasi kepegawaian Guru Pembimbing. Kutipan berikut dari sumber SKB Mendikbud dan Kepala BAKN: Pegawai negeri sipil yang diangkat untuk pertama kali untuk jabatan guru (kutipan: SPPK-BKS hlm. 11) memiliki ijazah serendah-rendahnya: a.
dan sebagainya
b. Diploma III Keguruan atau Diploma III atau setingkat dan memiliki Akta III dalam bidang sesuai dengan kualifikasi pendidikan, baik untuk Mata Pelajaran maupun untuk Guru Pembimbing tingkat SLTP Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
yang yang Guru pada
25
c.
Sarjana Pendidikan (S1 Keguruan) atau S1 yang mempunyai Akta IV dalam bidang yang sesuai dengan kualifikasi pendidikan, baik untuk Guru Mata Pelajaran, Guru Praktik, maupun untuk Guru Pembimbing pada SLTA
d. dan sebagainya e.
Untuk menetapkan angka kredit jabatan guru seperti tersebut di atas aspek yang diperhitungkan yang berasal dari unsur pendidikan adalah proses belajar mengajar (bagi Guru Kelas. Guru Mata Pelajaran, Guru Praktik) atau bimbingan dan konseling untuk Guru Pembimbing, dan/atau pengembangan profesi serta unsur penunjang PBM atau bimbingan yang diperoleh semenjak yang bersangkutan menjadi calom Pegawai Negeri Sipil, sebelum diangkat dalam jabatan guru
Jelas, untuk administrasi kepegawaian pun pengangkatan untuk menjadi guru pembimbing telah dispesifikasi. Demikian juga untuk penerapan angka kredit mereka. Tidak ada kesamaan, kecuali mereka tidak mengerti dan/atau mau sengaja merancukan.
6. Kegiatan Operasional Guru Pembimbing Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami kegiatan operasional Guru Pembimbing. Dari sumber yang sama dikutip sebagai berikut: Dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling: a.
7)
Setiap kegiatan menyusun program, melaksanakan program mengevaluasi, menganalisis, dan melaksanakan kegiatan tindak lanjut, kegiatannya meliputi 7):
Nomor 1 sd No. 7 adalah jenis-jenis layanan, dan No. 8 sd. No. 12 adalah jenis-jenis kegiatan pendukung.
26
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
(1) Layanan orientasi (2) Layanan informasi (3) Layanan penempatan dan penyaluran (4) Layanan pembelajaran (5) Layanan konseling perorangan (6) Layanan bimbingan kelompok (7) Layanan konseling kelompok (8) Instrumentasi bimbingan dan konseling (9) Himpunan data (10) Konferensi kasus (11) Kunjungan rumah (12) Alih tangan kasus b. Kegiatan bimbingan dan konseling secara keseluruhan harus mencakup (1)
bimbingan pribadi
(2) bimbingan sosial (3) bimbingan belajar (4) bimbingan karir c.
Layanan orientasi wajib dilaksanakan pada awal caturwulan pertama terhadap siswa baru
d. Satu kali kegiatan bimbingan dan konseling memakai waktu rata-rata 2 (dua) jam tatap muka
Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami konteks perkembangan BK, dari “BK Pola Tidak Jelas” ke “BK Pola 17” dan selanjutnya “BK Pola 17 Plus”.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
27
Sudah sangat spesifiklah apa yang mestinya dilakukan oleh guru pembimbing. Sesungguhnyalah spesifikasi tugastugas guru pembimbing itu telah dirumuskan sejak tahun 1993 ketika pertama kali IPBI menjadi mitra bagi P3G keguruan di Parung (yang sekarang menjadi P4TK Pendidikan Jasmani dan Bimbingan Konseling) yang menyelenggarakan penataran nasional guru pembimbing. Pada tahun 1993 itulah kesempatan pertama kali guru pembimbing (secara nasional) terjangkau oleh pemerintah untuk ditatar, yang mana sebelumnya seperti “dianaktirikan” dibanding guruguru mata pelajaran yang sering mendapat kesempatan secara nasional. Hal itu adalah sebagai berkah dari upaya pembaharuan terutama sekali yang dimotori oleh SK Menpan No. 84/19938).
7. Pengawas Sekolah Bidang BK Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami eksistensi dan peran Pengawas Sekolah Bidang BK.
Lebih jauh, SK Menpan No.118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya, merumuskan:
8)
Dalam penataran nasional guru pembimbing itu, kepada mereka diperkenalkan spesifikasi tugas guru pembimbing, yang mana hal itu bagi mereka merupakan hal baru. Mereka sangat antusias sehingga timbul ide untuk menandai apa yang mereka peroleh itu dengan label “BK Pola 17” yang merupakan satu rangkaian kemampuan yang terdiri dari: satu konsep tentang pengertian dan wawasan BK, empat bidang pelayanan, tujuh jenis layanan, dan lima kegiatan pendukung. Konsep “BK Pola 17” ini dimunculkan sebagai pengganti dari “BK Pola Tidak Jelas” yang merajalela di lapangan/sekolah sampai dengan awal tahun 1993. Selanjutnya, “BK Pola 17” ini dikembangkan lebih jauh menjadi “BK Pola 17 Plus”, terutama sejak awal abad 20, oleh orang-orang yang peduli BK tanpa terperangkap oleh “Krisis Identitas”, tetapi dengan tulus memperkembangkan profesi BK menjadi semakin mantap dan bermartabat. Contoh pengembangan menjadi “BK Pola 17 Plus” adalah ditambahnya bidang pelayanan BK dengan “bidang kehidupan berkeluarga dan kehidupan keberagamaan” (untuk di luar pendidik formal dasar dan menengah), ditambahnya jenis layanan BK dengan “layanan konsultasi dan layanan mediasi”, dan ditambahnya kegiatan pendukung BK dengan “tampilan kepustakaan ”.
28
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Pasal 1 : 1.
Pengawas Sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan prasekolah, dasar dan menengah 2. Pengawas sekolah sebagaimana dimaksudkan dalam angka 1 tersebut di atas mempunyai bidang pengawasan sebagai berikut: a.
Bidang Pengawasan Taman Kanak-kanak/ Raudlatul Athfal, Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayiyah/Madrasah Diniyah/ Sekolah Dasar Luar Biasa
b. Bidang pengawasan Rumpun Mata Pelajaran/Mata Pelajaran c.
Bidang Pengawasan Pendidikan Luar Biasa
d. Bidang Pengawasan Bimbingan dan Konseling
Pasal 23: Pegawai Negeri Sipil yang diangkat untuk pertama kali dalam jabatan pengawas sekolah harus memenuhi syarat sebagai berikut: a.
Syarat umum, yaitu: (1) memiliki keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan bidang pengawasan yang akan dilakukan (2) berkedudukan dan berpengalaman sebagai guru sekurangkurangnya selama 6 (enam) tahun secara berturut-turut; (3) telah mengikuti pendidikan dan pelatihan kedinasan di bidang pengawasan sekolah dan memperoleh Surat Tanda Tamat Pendidikan Pelatihan; (4) setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan (5) usia setinggi-tingginya 5 (lima) tahun sebelum mencapai batas usia pensiun jabatan Pengawas Sekolah
b.
Syarat khusus, yaitu: (1) Bagi pengawas Bimbingan dan Konseling: (a) Pendidikan serendah-rendahnya Sarjana atau sederajat;
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
29
(b) Berkedudukan serendah-rendahnya Guru Dewasa; dan (c) Memiliki spesialisasi atau jurusan/ program studi atau keahlian dalam bimbingan dan konseling atau bimbingan dan penyuluhan
Dengan kutipan di atas, tampaklah bahwa pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk “menuntaskan” aturan-aturan formal berkenaan dengan konteks tugas guru pembimbing, sampai dengan kepengawasannya. Dengan demikian apanya yang rancu? Sangat disayangkan penulis “Krisis Identitas” tidak memahami apa yang telah diatur oleh pemerintah sejak tahun 1993 itu, dengan mengatakan: “..... semua ketentuan perundang-undangan yang berlaku selama ini tidak/belum mengatur ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan” (hlm. 18).
Dalam kaitan itu, penulis “Krisis Identitas” keliru dalam dua hal. Pertama, tidak tahu bahwa sejak tahun 1993 pemerintah telah mengatur spesifikasi kinerja konselor (guru pembimbing) di sekolah, yang sampai sekarang masih berlaku, karena belum ada aturan penggantinya. Kedua, seperti telah disebutkan di depan, tidak memahami makna kata pembelajaran dalam undang-undang No.20/2003 Pasal 39 ayat 2. Dengan demikian, penulis “Krisis Identitas”, ibarat kereta api, tidak berjalan di atas rel, atau sepertinya tergelincir atau anjlok dari rel yang telah dipasang oleh pemerintah, tentang spesifikasi guru pembimbing dan kurang tahu arah yang sudah ditunjukkan oleh Pasal 9 ayat 2 UU No. 20/2003 bermakna bahwa kegiatan pembelajaran juga dikenakan kepada konselor sebagai pendidik.
30
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
C. BUKU PANDUAN Penulis “Krisis Identitas” menafikan peran buku-buku panduan yang ada; bahkan menganggap buku panduan itu merancukan dan menyesatkan. Buku-buku panduan, khususnya Seri Pemandu Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah (SPP-BKS), Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling di Sekolah (PKP-BKS), dan Dasar Standarisasi Profesi Konseling (DSPK) banyak mendapat sorotan. Penulis “Krisis Identitas” menganggap bahwa ketiga panduan itu sebagai sumber perancuan identitas BK. Mari kita lihat bersama.
1. SPP-BKS: Panduan kegiatan BK Penulis “Krisis Identitas” yang mungkin utopis dan/atau terlalu kritis, menganggap buku panduan tidak perlu karena lapangan belum siap. Buku-buku SPP-BKS (untuk SD 9), SMP, SMA dan SMK) disusun berdasarkan ketentuan-ketentuan pemerintah yang sejumlah kutipannya telah dipaparkan di atas, yang 9)
Penulis “Krisis Identitas” menyatakan bahwa memposisikan guru SD sebagai pelaksana BK untuk siswa yang menjadi tanggung jawab adalah sebagai “sebuah kinerja yang tidak realistik” (hlm. 21). Mana yang lebih tidak realistik, terlaksananya BK di SD oleh Guru Kelas, atau tidak terlaksana sama sekali karena belum ada Guru Pembimbing? Apa penulis itu beranggapan pekerjaan yang realistik untuk mengangkat Guru Pembimbing di SD, sedangkan di SLTP/SLTA masih sangat kekurangan? Lagi-lagi, pikiran utopis dan tidak realistik. Tentang pelaksanaan BK di SD (hlm. 21) tentang aturan sama dengan aturan tentang Guru Pembimbing sebagaimana untuk sekolah-sekolah lainnya.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
31
dipadu dengan materi keilmuan BK. Apabila penulis “Krisis Identitas” tidak tahu, tidak mengerti atau tidak mau tahu tentang isi kutipan-kutipan yang berasal dari SK-SK Menpan, Mendikbud, BAKN dan PP tentang spesifikasi tugas-tugas konselor yang telah dipaparkan, ya menjadi susah berbicara dengan “ahli” seperti itu. Kalau kutipan-kutipan itu dianggap tidak ada atau ada tapi salah, maka tentu “ahli” tersebut akan memandang buku-buku panduan itu serba salah. Padahal buku itu dipandang oleh khalayak BK di tanah air sebagai buku tentang “BK Pola 17”, pengganti “BK Pola-Tidak Jelas”10). Penulis “Krisis Identitas” menyatakan: “dalam SPP-BKS, dinyatakan bahwa layanan BK di SD, SMP, SMA dan SMK dan SLB itu dilaksanakan oleh Guru Pembimbing, terlepas dari kenyataan apakah pada semua jenjang dan jenis satuan pendidikan tersebut, memang ada atau tidak konselor yang memang dididik untuk menyelenggarakan layanan BK dalam jalur pendidikan. Terlepas juga dari tidak adanya nomenklatur sebutan konselor, dan nomenklatur Guru Pembimbing digunakan sebagai payung untuk konselor yang semakin membaurkan dan mengaburkan ekspektasi kinerja dan konteks layanan tugas konselor”. (hal 6-7).
Dalam hal ini beberapa perancuan oleh penulis “Krisis Identitas” tampak dengan jelas: a.
Penulis “Krisis Identitas” tidak menyadari bahwa sebutan Guru Pembimbing adalah sebutan sementara sebelum sebutan konselor diresmikan adanya11). Agaknya penulis “Krisis Identitas” berpengertian bahwa setelah sebutan
10)
Perlu disampaikan di sini bahwa keempat buku SPP-BKS itu telah disahkan penggunaannya di sekolah, baik negeri maupun swasta, oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dengan suratnya No. 11919/C.C6/PT/1998 Tanggal 16 Nopember 1998.
11)
Perlu diingat bahwa pada tahun 1993 telah diusulkan agar sebutan petugas BP untuk pelaksanaan BK (pada waktu itu BP) diganti dengan sebutan konselor, namun belum bisa dikabulkan karena belum ada peraturan yang dapat dijadikan cantolan usulan tersebut. Ternyata baru terkabul pada tahun 2003 melalui Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
32
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
konselor dinyatakan berlaku, semua produk yang tidak memakai sebutan konselor tidak berlaku lagi. Jadi menurut penulis itu, ketentuan yang memakai sebutan Guru Pembimbing tidak berlaku lagi, dan .... guru-guru yang disebut Guru Pembimbing sebaiknya “dipensiunkan” saja sampai sebutannya diganti menjadi konselor. Penulis itu tidak mengerti bahwa menggantikan sebutan Guru Pembimbing menjadi konselor itu tidak mudah dan memakan waktu, sementara itu pelayanan BK kepada siswa tidak boleh berhenti, dan oleh karenanya petugas yang disebut Guru Pembimbing harus tetap eksis dan berfungsi. b.
Dengan menanyakan “apakah pada semua jenjang dan jenis pendidikan memang ada atau tidak konselor yang memang dididik untuk menyelenggarakan BK dalam jalur pendidikan”, menunjukkan bahwa penulis itu seorang “perfeksionis” yang menghendaki semuanya harus lengkap dulu, baru kerja bisa dimulai. Rupanya penulis itu belum belajar dari Bung Karno yang di sekitar hari-hari proklamasi kemerdekaan mengkritik sejumlah politikus yang mengatakan: “kita belum bisa merdeka sekarang, karena semuanya belum beres, kita baru bisa merdeka kalau keadaan ekonomi kita beres, pendidikan beres, dll.
Penulis itu tidak tahu bahwa buku-buku SPP-BKS itu justru sangat diperlukan di awal-awal tahun ketika para penyelengara BK itu baru lepas dari “BK Pola Tidak Jelas”, agar “BK Pola 17” dapat berjalan pada jalur yang benar. Pemerintah telah meretas jalan dengan diberlakukannya peraturan tentang spesifikasi tugas Guru Pembimbing, dan SPP-BKS itulah panduannya di lapangan demi terlaksananya dengan baik peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah itu. Mengapa SPP-BKS dipersoalkan? Apakah karena, mohon maaf, karena Prayitno-nya? Padahal buku-buku SPP-BKS itu ditulis oleh Tim IPBI yang terdiri dari Prof. Dr. M.Surya (IKIP Bandung, sekarang UPI), Drs Thantawy, R, MA. (IKIP Jakarta, sekarang UNJ), Dr. Mungin Eddy Wibowo, M. Pd. (IKIP Semarang, sekarang UNNES, Drs Karno To, M.Pd. (IKIP Bandung, sekarang UPI), Drs. Afif Zamzami, Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
33
M.Si. (Puskur, Balitbang Dikbud), Dra. Elida Prayitno (IKIP Padang, sekarang UNP), Dra. Dharma Setiawaty R. (IKIP Jakarta, sekarang UNJ). Drs Gito Setyohutomo (IKIP Padang, sekarang UNP), dan C.H. Moenir, S.Pd. (Guru Pembimbing SMA di Jakarta), dengan Prayitno sebagai Ketua Tim. Penulis SPP-BKS tersebar di empat LPTK dan praktisi di lapangan. Buku-buku SPP-BKS adalah karya bersama berdasarkan aturan perundangan yang berlaku dan keilmuan BK.
2. Buku PKP-BKS: Panduan Kegiatan Pengawasan BK Penulis “Krisis Identitas” tidak mempercayai apa yang diisikan oleh Guru Pembimbing dalam format-format BK. Buku panduan kegiatan pengawasan BK di sekolah ditulis pada tahun 1999 dan mulai diedarkan tahun 2001. Buku ini di-oke-kan oleh pemerintah setelah Tim Penilai mencermati dan mengatakan bahwa isi buku itu sesuai dengan SK Menpan No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya dan SK Menpan No.118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawasan Sekolah dan Angka Kreditnya. Buku PKP-BKS berisi panduan dalam pengawasan kinerja Guru Pembimbing sesuai dengan panduan SPP-BKS. Berkenaan dengan keberlakuan buku-buku panduan tersebut penulis “Krisis Identitas” menyatakan: “Panduan ini memperoleh sambutan hangat dari para Guru Pembimbing karena dilengkapi dengan format-format yang praktis digunakan untuk perhitungan angka kredit jabatan fungsional guru, meskipun secara substantif, isinya tidak sesuai dengan kenyataan, khususnya untuk konteks SD dan SLB. Akan tetapi, yang bersangkutan sudah terlanjur merasa sangat terbantu dalam memperoleh tunjangan fungsional, tidak peduli apakah isinya sesuai dengan kenyataan atau tidak”. (hlm. 7-8)
Untuk pernyataan dari penulis “Krisis Identitas” di
34
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
atas, dapat diberikan komentar sebagai berikut: a. Penulis itu tahu bahwa para Guru Pembimbing menyambut hangat dan bersenang hati menggunakan buku itu. Mengapa hal positif itu masih dipersoalkan? Apakah karena Guru Pembimbing tidak sepakat dengan pendapat penulis itu yang menganggap materi buku tersebut rancu, sehingga penulis itu merasa tidak pas/ tidak happy dengan kegembiraan Guru Pembimbing? Jawabannya terserah kepada penulis itu sendiri dan penilaian para Guru Pembimbing di lapangan terhadap penulis itu. b. Dari mana penulis itu tahu bahwa substansi buku itu sesuai atau tidak? Apakah penulis lebih kapabel (mampu) menilai substansi buku itu dibanding Tim Penilai yang ditunjuk pemerintah dan meng-oke-kan buku itu? Padahal oleh Tim Penilai dinyatakan bahwa buku itu telah sesuai dengan SK Menpan No, 84/1993 dan No. 118/1996? Atau karena penulis itu tidak menyukai atau tidak membenarkan substansi kedua SK Menpan tersebut, apa pun yang terjadi kesesuaiannya diragukan. c. Penulis itu menyangsikan tentang kebenaran isian yang dibuat para Guru Pembimbing yang mengantarkan mereka untuk memperoleh tunjangan fungsional. Mana yang benar?; si penulis itu atau para guru pembimbing yang terlibat langsung dengan pengisian itu sendiri? Jawabannya terserah kepada Guru Pembimbing di lapangan.
3. Buku DSPK Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami atau mengakui bahwa DSPK merupakan tonggak awal dimulainya profesionalisasi bidang BK
Pada awal tahun 2001, atas kebijakan Dirjen Dikti (pada waktu itu Bapak Prof. Dr. Ir. Satryo Soemantri Brojonegoro) Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
35
dan selanjutnya direalisasikan oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi (P2TK-KPT, pada waktu itu Bapak Prof. Dr. Sukamto, M.Sc.) akan dimulai langkah-langkah profesionalisasi bidang pendidikan di Indonesia. Untuk memulainya Dikti mencari bidang kependidikan apa yang akan diberi kesempatan memprofesionalkan dirinya. Dikti akan memberikan dukungan untuk upaya tersebut. Menurut pertimbangan Dikti, terpilihlah kependidikan bidang konseling dengan organisasi profesinya IPBI12). Niat tersebut pada awal bulan April 2001 oleh seorang kepala sub-disekretariat disampaikan kepada saya (Prayitno)13) bahwa Dikti akan memulai langkah-langkah profesionalisasi pendidik tersebut. Dengan suka cita saya terima berita itu, sebagai suatu anugerah yang luar biasa tidak disangka-sangka. Selanjutnya, sebagai prajurit yang setia kepada organisasi, dengan senang hati pula berita itu saya sampaikan kepada komandan besar saya, yaitu Ketua Umum yang baru, yaitu Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. Alhamdulillah beliau menyambut dengan baik dan segera pula kami berdua mengidentifikasi teman-teman ABKIN yang akan diusulkan untuk membantu Direktorat. Melalui pertimbangan tertentu oleh Direktur P2TK-KTP akhirnya disepakati bahwa teman-teman dari ABKIN adalah: Prof. Dr. Prayitno, MSc.Ed, (dari UNP), Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. (dari UPI), Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd, Kons (dari UNNES), Dr. Ahman, M.Pd. (dari UPI) dan Drs. Syamsuddin S.U., Kons (dari UNY). Personalia dari ABKIN tersebut disertai temanteman dari sub-direktorat membentuk tim kerja yang secara langsung di bawah koordinasi dan tanggung jawab Direktur. Tim Direktorat ini mulai bekerja dengan fasilitas sepenuhnya dari Direktorat. 12)
Pada awal April 2001 waktu itu, agaknya Dikti belum mengetahui bahwa IPBI baru saja mengadakan Kongres di Lampung (bulan Maret 2001) yang menghasilkan digantinya nama IPBI menjadi ABKIN dan kepengurusannya. Mengapa organisasi profesi ini yang dipilih oleh Dikti? Mungkin karena ada kesan bahwa organisasi IPBI (yang sudah menjadi ABKIN) sebagai organisasi profesi kependidikan yang aktif, benar-benar memperkembangkan profesi (profesi BK) dan menjadi mitra yang baik bagi pemerintah dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan resmi pemerintah.
13)
Pada waktu itu agaknya Dikti belum tahu bahwa Pengurus Besar IPBI/ABKIN baru saja diganti, sehingga kepada saya yang sudah mantan Ketua Umum berita itu disampaikan.
36
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
a. Penyusunan DSPK Penulis “Krisis Identitas” tidak menempatkan ABKIN secara proporsional terhadap DSPK, dan menafikan peran otoritas birokrasi. Langkah-langkah penyusunan DSPK adalah: 1) Menyusun arah dan gagasan awal pengembangan keprofesian bidang, konseling. Dalam kegiatan ini diinventarisasikan hal-hal yang sudah ada yang perlu diadakan sebagai titik tolak dan arah pembahasan. Hasil kegiatan ini adalah draf awal yang masih sangat kasar tentang substansi yang dimaksud. 2) Hasil kegiatan no. 1 di atas dibawa ke dalam pertemuan di Yogyakarta tahun 2001 yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Pengurus Besar (PB) dan Pengurus Daerah (PD) ABKIN. beserta pakar konseling untuk membahas, melengkapi dan memantapkan draf awal tersebut. Pertemuan ini langsung dipimpin dan diberi pengarahan oleh Direktur PPTK dan KPT. 3) Berdasarkan hasil pertemuan di Yogyakarta tersebut Tim terus bekerja menyusun naskah yang lebih terurai. Tim mengadakan berbagai pertemuan selama kurang lebih satu tahun (tahun 2001-2002) sehingga tersusun naskah yang “setengah jadi”. 4) Naskah yang “setengah jadi” itu kembali dibawa ke pertemuan di Jakarta awal tahun 2003 yang dihadiri oleh PB dan PD ABKIN beserta pakar dalam bidang konseling. Naskah itu dicermati lebih rinci dan mendalam oleh para peserta dari substansi yang bersifat konsep-keilmuan sampai dengan yang mengarah kepada praktis-teknis-operasional yang keseluruhnya mengarah kepada pengembangan dan praktik profesi konseling. 5) Tim kembali menyempurnakan naskah dengan mengintegrasikan masukan dari pertemuan tersebut pada no.4. Kegiatan ini menghasilkan naskah yang “hampir jadi” yang siap dibawa ke pertemuan sanctioning. Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
37
6) Pertemuan sanctioning diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 17-18 Oktober 2003. Pertemuan ini dihadiri langsung oleh Direktur PPTK dan KPT, anggota tim (dari ABKIN dan Dit PPTK dan KPT), personalia PB dan PD ABKIN, Divisi ABKIN, Pimpinan Jurusan BK-LPTK, dan Pakar BK. Masukan yang diperoleh melalui pertemuan sanctioning ini dijadikan bahan untuk lebih menyempurnakan lagi naskah yang disusun menjadi naskah final. Setelah mengalami penyempurnaan akhir dan secara langsung dilaporkan kepada Direktur PPTK dan KPT, naskah arah pengembangan keprofesian bidang konseling itu diberi judul: Dasar Standarisasi Profesi Konseling (DSPK).
b. Sosialisasi DSPK Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami/ menerima bahwa DSPK telah disosialisasikan dan diterima oleh masyarakat BK di seluruh Indonesia dan telah diberlakukan dengan surat resmi oleh Dikti. 1) Sebagai naskah yang sudah jadi, DSPK disosialisasikan. Tujuan Sosialisasi adalah:
perlu
a) Menyebarluaskan isi DSPK untuk dapat dipahami dalam rangka pengimplementasiannya b) Mendapatkan masukan dari para peserta, baik berkenaan dengan substansi DSPK maupun pengimplementasiannya. 2) Sosialisasi DSPK dilaksanakan untuk dunia konseling di seluruh Indonesia dan dilaksanakan oleh Tim (yang sejak awalnya diyakini telah mewakili unsu- unsur ABKIN dan personalia Dit. PPTK dan KPT) dengan fasilitas sepenuhnya dari Dit. PPTK dan KPT. Sosialisasi dilaksanakan di:
38
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
•
Padang, untuk wilayah Sumatera
•
Samarinda, untuk wilayah Kalimantan
•
Makasar, untuk wilayah Indonesia Bagian Tengah dan Timur
•
Semarang, untuk wilayah Banten, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
•
Surabaya, untuk wilayah Jawa Timur, Bali, Nusa Tengara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Acara sosialisasi di semua tempat itu dihadiri oleh dosen senior BK, PD ABKIN, Pengurus Musyawarah Guru Pembimbing (MGP), Pengawas BK, Dinas Pendidikan Propinsi, Kepala Sekolah, Pimpinan Jurusan/Program Studi dan dosen BK-LPTK, Pakar BK dan mahasiswa jurusan/prodi BK di seluruh wilayah Indonesia. b. Dari kegiatan sosialisasi diperoleh kesan bahwa: 1) Para peserta menyambut baik bahwa bidang konseling telah memiliki dasar dan arah untuk pengembangan keprofesiannya, apalagi penyusunan dasar dan arah pengembangan serta implementasinya itu difasilitasi oleh pemerintah. 2) Implementasi DSPK diharapkan dapat mengikutsertakan komponen yang ada di daerah 3) Masukan yang cukup, signifikan adalah agar jurusan/program studi BK yang selama ini off dapat di-on-kan kembali. Berkenaan dengan DSPK, penulis ”Krisis Identitas” menyatakan: •
Perancuan ekspektasi kinerja Guru dan Konselor terus berlanjut. dengan pelibatan otoritas birokrasi (hlm. 8)
•
Draf DSPK mengandung permasalahan akademik yang perlu dikaji sehingga penerbitan DSPK
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
39
diusulkan untuk ditunda (hlm.8) •
DSPK sudah tidak lagi mendapat dukungan ABKIN (hlm.9)
Terhadap butir-butir yang tertulis di dalam ”Krisis Identitas” itu diberikan pembahasan sbb:
Penulis “Krisis Identitas” meremehkan fungsi dan otoritas birokrasi.
•
40
Tentang pelibatan otoritas birokrasi. Apa salahnya? Pertama, justru birokrasi yang memiliki otoritas dan fasilitas itu hendaknya “dimanfaatkan” secara arif, bijaksana dan santun untuk tersalurkannya ide-ide bagus yang dikehendaki. Kehendak Direktorat/Direktorat Jenderal Dikti yang sangat baik itu, yang menghargai ABKIN (dahulu IPBI) perlu disambut dengan antusias, bahkan semestinya disyukuri, diperansertai secara aktif untuk dihasilkannya produk-produk yang terbaik. Kedua, lapangan aplikasi pelayanan BK adalah lembaga-lembaga di bawah otoritas birokrasi. Kalau ide-ide kita ingin digunakan pada lembaga-lembaga itu, mengapa tidak berbaik-baik dengan otoritas yang membawahi lembaga-lembaga tersebut. Atau, apakah kita khawatir ide atau keilmuan kita akan terkebiri apabila kita terlibat di dalam otoritas birokrasi? Hal itu sangat tergantung pada kebijaksanaan, kearifan dan kelihaian kita dalam berilmu dan beraplikasi keilmuan. Yang jelas, sehebat-hebatnya apa yang kita punya, kalau otoritas birokrasi mengatakan tidak!, kita mau apa? Protes memang boleh; menggunakan jalur hukum silahkan; tetapi kita rugi waktu, tenaga dan biaya, serta belum tentu Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
memang. Oleh karena itu, kembalilah kepada kearifan dan kebijakan serta kepiawaian berilmu. Otoritas birokrasi mudah-mudahan dapat memfasilitasi ide-ide kita yang baik. Adanya risalah aspal. •
Tentang usul penangguhan penerbitan DSPK. Memang, sesudah DSPK selesai disusun, disanction dan difinalisasi, serta disosialisasikan ke seluruh tanah air, beberapa waktu kemudian terbetik berita bahwa ada usaha agar (sebelum diterbitkan) draf DSPK ditunda dulu. Dari mana usulan itu datang? Katanya dari Rakernas PB ABKIN tanggal 8 Desember 2003 (tertulis pada naskah “Krisis Identitas” bulan Agustus 2003 --- mana yang benar?). Yang disebut Rakernas PB ABKIN tanggal 8 Desember 2003 sesungguhnya tidak ada; yang ada adalah pertemuan para fungsionarisasi PB dan PD ABKIN yang hadir pada acara resmi Konvensi Nasional ABKIN di Bandung pada waktu itu, dikumpulkan oleh Ketua Umum. Pertemuan yang katanya “Rakernas” itu tidak diagendakan, tidak secara khusus membicarakan draf DSPK, tidak ada usul apalagi keputusan tentang penundaan draf DSPK. Acara pertemuan itu, pada umumnya adalah membicarakan permasalahan organisasi, termasuk sedang digarapnya DSPK.
Demikian tentang “usulan penundaan”. Dari fenomena usulan penundaan yang katanya diajukan tetapi tidak jelas itu, muncul kepermukaan tiga hal: i)
Kalau memang usulan itu resmi ada, kenapa tidak disampaikan secara resmi pula kepada Direktorat yang mempertanggungjawabi penyusunan DSPK?
ii) Risalah yang seolah-olah berisi usulan penundaan itu memang akhirnya dimunculkan pada kira-kira bulan Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
41
Juni 2008, kurang lebih lima tahun sesudah tanggal dimunculkannya (katanya) usulan itu, tetapi ternyata aspal; asli karena ditandatangani oleh pihak yang berhak bertandatangan, tetapi palsu karena tidak dibuat secara prosedural yang memperhatikan waktu dan kesahihan materi. Risalah yang dimunculkan itu tidak bertanggal kapan dibuatnya dan ditandatanganinya; tanggal yang ada adalah tanggal pertemuan yang katanya memutuskan adanya usulan itu. Kalau memang risalah itu dibuat pada tanggal itu (8 Desember 2003) kenapa tidak langsung saja diberikan kepada teman-teman ABKIN peserta penyusunan DSPK yang juga hadir pada pertemuan yang dimaksud. Dan kalau memang betul-betul ada, kenapa tidak diserahkan secara resmi ke Direktorat untuk ditanggapi? iii) Yang tampaknya mempersoalkan DSPK itu adalah satu orang dari lima anggota tim dari ABKIN, sedangkan empat lainnya berpartisipasi aktif secara penuh sampai disosialisasikannya DSPK ke seluruh tanah air. Apa dan sampai berapa jauh signifikansi kejarangan hadir14) beliau itu, padahal diundang untuk setiap pertemuan/kegiatan, sampai-sampai DSPK dipersoalkan terus? Apakah aktivitas penuh semua anggota (selain yang satu tadi) bersama staf Direktorat, berbagai pertemuan telaah draf di berbagai tempat dengan melibatkan unsur-unsur ABKIN pusat maupun daerah dan LPTK, sanctioning, finalisasi dan sosialisasi ke seluruh tanah air harus dikalahkan oleh kejarangan hadir dari salah seorang anggota tim?
14)
Kejarangan hadir ini memang pernah beliau utarakan ketika salah seorang hadirin pada suatu pertemuan bertanya mengapa beliau menolak DSPK. Jawaban beliau: “Karena saya jarang hadir”
42
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Padahal seluruh kegiatan dikoordinasi oleh dan dipertanggungjawabkan kepada Direktorat dan bahkan sosialisasi hasilnya (yaitu naskah DSPK) ke seluruh tanah air dihadiri dan diarahkan secara langsung oleh Bapak Direktur. Klaim bahwa perlu adanya dukungan dari ABKIN adalah tidak benar.
c. Pemberlakuan DSPK DSPK adalah produk Dikti, bukan produk ABKIN. ABKIN boleh saja tidak setuju, tetapi itu tidak berarti DSPK batal atau menjadi tidak berlaku. Yang memberlakukan DSPK adalah Dikti, bukan ABKIN, dengan surat Direktur P2TK-KPT No. 4019/D4/2005 tanggal 16 Agustus 2005 yang menyatakan: 1) Isi DSPK mengacu kepada kondisi profesi konseling yang diharapkan serta usaha pengembangannya, terutama berkenaan dengan kompetensi standar, pendidikan tenaga profesi, kredensialisasi, kode etik dan organisasi profesi. 2) Sehubungan dengan pentingnya isi DSPK, diharapkan naskah tersebut dapat digunakan sebagai salah satu acuan, khususnya bagi para dosen jurusan/program studi Bimbingan dan Konseling, melalui pengembangan kurikulum serta kegiatan akademik lainnya dalam rangka pembinaan tenaga profesi yang dimaksudkan. Surat resmi dari Dikti tentang pemberlakuan DSPK sudah ada. Adapun ABKIN setujui atau tidak, kalau setuju alhamdulillah, kalau tidak setuju itu terserah ABKIN. Sebab pemberlakuan ketentuan dari otoritas Dikti tidak tergantung pada persetujuan ABKIN. Sementara itu telaah akademik serta bukti-bukti empirik yang mengatakan bahwa substansi Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
43
DSPK itu salah sampai sekarang belum pernah ada; yang ada hanyalah sikap “tidak setuju” yang mungkin dilandasi oleh berbagai kerancuan yang ada pada pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya penulis “Krisis Identitas”. Pengantar DSPK tidak menyatakan telah ada dukungan dari ABKIN sejak semula. Penulis “Krisis Identitas” lebih jauh mempersoalkan tentang dukung mendukung DSPK. Sepertinya Pengantar DSPK telah mengklaim (dan bergembira dengan) adanya dukungan dari ABKIN. Tidak benar bahwa Pengantar DSPK mengandung pernyataan bahwa DSPK telah mendapat dukungan sejak semula dari ABKIN. Pernyataan yang dapat dikait-kaitkan dengan ABKIN yang ada di dalam pengantar tersebut agaknya adalah kalimat yang dapat dikutip sebagaiberikut: 1) Diperlukannya kerjasama dan tindak lanjut kolaboratif antara Dikti (dalam hal ini LPTK) dan organisasi profesi konseling (--tidak disebutkan secara eksplisit ABKIN). 2) Telah di-sanction bersama oleh pihak-pihak dari Direktorat PPTK dan KPT, LPTK, para pakar konseling dan organisasi profesi konseling (dalam hal ini Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia, disingkat ABKIN).
Dengan memperhatikan kutipan yang diambil dari Pengantar DSPK di atas, tampak bahwa betapa bijaksana dan berwawasan luaslah penulis Pengantar DSPK itu. Tidak ada nuansa yang mengandung pengertian bahwa ABKIN telah mendukung DSPK. Berkenaan dengan kutipan 1) Dalam Pengantar DSPK memang ada harapan tentang perlunya kerjasama antara pihak-pihak terkait, khususnya LPTK, dan organisasi profesi. Menarik untuk disimak, di sana organisasi profesi tidak secara eksplisit disebutkan ABKIN; hal ini mungkin untuk mengantisipasi adanya organisasi lain, yang
44
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
tidak memakai nama ABKIN, tetapi bisa dan perlu berkolaborasi. Pada kutipan 2) disebutkan bahwa unsur-unsur yang ikut serta dalam sanctioning tidak hanya ABKIN, melainkan juga pakar BK, LPTK dan Direktorat. Kalimat itu berarti bahwa keempat komponen yang mengikuti acara sanctioning itu berbeda-beda, yang satu tidak otomatis menjadi bagian dari yang lain. “Pakar BK” tidak harus identik dengan ABKIN, dan sebaliknya ABKIN belum tentu pakar BK, atau ABKIN merekrut seseorang yang bukan pakar BK. Kesimpulannya, DSPK tidak mengklaim telah didukung oleh ABKIN dan juga tidak ada keharusan akan adanya dukungan itu. Penulis Pengantar DSPK itu tidak mempersyaratkan atau tidak melihat adanya ketergantungan DSPK pada adanya dukungan dari ABKIN. Didukung oke, terimakasih; tidak didukung juga tidak mengurangi makna dan eksistensi DSPK itu sendiri.
D. PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI KONSELOR (PPK) Penulis “Krisis Identitas” bersikap mendua terhadap progam PPK; kelihatannya setuju, tetapi kalau tidak mendukung kepentingannya, lalu menolak dan membuat tandingannya; membuat tandingan DSPK dan ingin pula membuat tandingan PPK.
Sejak awalnya, penyelenggaraan program Pendidikan Profesi Konselor (PPK) digagas dan dipersiapkan melalui wacana, pembicaraan dan perencanaan yang cukup panjang dan matang. Demikian juga operasional penyelenggaraannya demi tercapainya tujuan program yang bermutu tinggi, yaitu konselor yang bisa diandalkan sebagai pembawa misi pelayanan konseling profesional.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
45
1. Persiapan dan Pembentukan Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami bahwa program PPK adalah hasil perjuangan ABKIN (dahulu IPBI) yang mendapat dukungan dan fasilitas dari pemerintah; ada upaya memutus rantai sejarah. a. Gagasan awal tentang perlunya program PPK dicanangkan oleh Ketua Umum IPBI di Yogyakarta pada Kongres/Konvensi Nasional IPKON (Divisi IPBI) tanggal 10-12 Agustus 1995. Gagasan yang dikemukakan oleh Ketua Umum IPBI itu kemudian dibahas dan dimatangkan pada Temu Karya yang dihadiri oleh Jurusan/Program Studi BK se-Indonesia di PPPG-Keguruan Jakarta (di Parung) tanggal 57 Oktober 1995. Pertemuan ini didukung oleh PB IPBI bersama Konsorsium Ilmu Pendidikan dan PPPG-Keguruan Jakarta, dihadiri oleh wakil-wakil dari 10 IKIP Negeri (termasuk program Pascasarjana), sebagian besar FKIP Negeri, serta sejumlah IKIP, FKIP dan STKIP Swasta. Pertemuan ini menegaskan perlunya segera diselenggarakan program PPK sesuai dengan SK Mendikbud No. 056/U/1995 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Hasil Belajar Mahasiswa, khususnya pasal tentang ”Pendidikan Profesi”, dan mengamanatkan kepada PB IPBI untuk memprakarsai upaya penyelenggaraan program PPK di LPTK. b. Upaya penyelenggaraan program PPK dikukuhkan sebagai salah satu program Nasional PB IPBI (masa bakti 1995-2000) hasil Kongres Nasional IPBI ke VIII di Surabaya tanggal 14-16 Desember 1995. Berkenaan dengan penyelenggaraan program kerja PB IPBI itu,
46
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
khususnya tentang program PPK pada tahun 1996 PB IPBI mengeluarkan Memorandum tentang Pendidikan Profesi Konselor, sebagai arah dan salah satu fokus kegiatan organisasi. Lebih jauh melalui Konvensi Nasional IPBI ke XI di Mataram tanggal 17-19 Juli 1998 penggunaan istilah konselor ditegaskan, dan program PPK lebih didorong upaya pembukaan dan penyelenggaraannya. c. Dengan memperhatikan Surat Ditjen Dikti No. 2047/D/T/99 tanggal 9 Agustus 1999, khususnya butir tentang pendidikan profesi konselor, konsultasi antara Pimpinan Universitas Negeri Padang (UNP--yang pada waktu itu baru berubah nama dari IKIP Padang) dengan Pimpinan IPBI dan Surat Ketua Umum IPBI No. 078/PB-IPBI/VIII-1999 tanggal 18 Agustus 1999 tentang pembukaan program Pendidikan Profesi Konselor di UNP, Rektor UNP menyatakan dibukanya program Pendidikan Profesi Konselor (PPK) dengan SK Rektor No. 118/K.12/KP/1999 tanggal 26 Agustus 1999.
2. Penyelenggaraan Program PPK Penulis “Krisis Identitas” tidak memahami persyaratan bagi dosendosen pendidikan profesi, dalam hal ini PPK.
a. Program PPK di UNP diselenggarakan oleh dan merupakan bagian integral dari Jurusan Bimbingan dan Konseling FIP-UNP. Jurusan ini terakreditasi dengan nilai A sejak tahun 1998 (dan kembali memperoleh Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
47
akreditasi A pada tahun 2006) dan memiliki laboratorium pembelajaran, instrumentasi, dan pelayanan konseling. Sejak awal perintisannya (tahun 1999) program PPK diselenggarakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu SK Mendikbud No. 056/U/1994 sebagaimana disebutkan di atas. Sejalan dengan hal itu, melalui Surat No. 30909/D/T/2001 tanggal 21 Desember 2001 Dirjen Dikti mengharapkan agar program PPK yang dirintis di UNP itu dapat diorientasikan kepada mutu profesi konseling yang berstandar internasional. Kemudian, keberadaan pendidikan profesi itu diperkuat oleh UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 20 ayat (3) yang menyatakan bahwa ”perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi”. Berikutnya, PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 31 ayat (3) menyatakan bahwa ”..... pendidik pada program profesi harus memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi”. b. Program PPK bertujuan menghasilkan tenaga profesional ahli penyandang gelar profesi Konselor yang mampu melaksanakan pelayanan profesi konseling bagi masyarakat luas baik dalam setting persekolahan, keluarga, instansi, dunia usaha dan industri, organisasi, dan kelompok yang berkebutuhan khusus 15). Syarat untuk mengikuti program PPK adalah Sarjana (S1) BK dengan nilai baik. Kurikulum PPK berbobot 36-40 sks yang diselenggarakan selama 2 (dua) semester, dengan penekanan (minimal 75%) pada praktik pengalaman lapangan setara dengan 600 jam nyata (sesuai dengan Standar CACREP, 2002). Dosen-dosen program PPK adalah dosen jurusan BK 15) Salah satu alasan yang mendorong kuatnya sokongan Dikti atas dibu-
kanya program PPK ialah karena lulusannya akan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, yaitu berpraktik privat profesi konseling, tidak semata-mata mencari pekerjaan sebagai pegawai negeri
48
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
yang sudah berkualifikasi S2/S3 dan bergelar profesi konselor, kecuali dosen untuk program PPK Angkatan16). c. Program PPK di UNP mula-mula (Angkatan 1) diikuti oleh dosen-dosen BK UNP, dan mulai Angkatan 2 sudah diikuti oleh dosen-dosen BK dan Sarjana BK lainnya dari luar UNP. Mulai Angkatan 5 program PPK UNP menerima dosen-dosen BK dari seluruh Indonesia dengan beasiswa dari Ditjen Dikti. Sejak Angkatan 5 itu pula program PPK mulai dimasuki oleh lulusan S1-BK yang baru (fresh). Peserta PPK ada yang secara serentak mengambil program Magister (S2) BK pada PPs-UNP. Peserta atau tamatan PPK yang mengambil program S2 BK mendapatkan akreditasi atas kuliah-kuliahnya yang diambilnya pada program PPK sebesar 16 sks. d. Lulusan program PPK dianugerahi ijazah yang membubuhkan gelar profesi Konselor, disertai transkrip nilai dan sertifikat kompetensi (dalam bidang BK), serta mengucapkan Janji Konselor. Wisuda lulusan PPK diselenggarakan secara terintegrasi dalam wisuda universitas/fakultas. Khusus untuk lulusan PPK acara wisuda dihadiri oleh pimpinan ABKIN dan pengucapan Janji Konselor dipimpin langsung oleh Ketua Umum ABKIN. e. Selain di UNP, program PPK juga sudah dibuka dan mulai operasional sejak tahun 2007 di UNNES (Semarang), yang diikuti oleh dosen-dosen jurusan BK dan para Guru Pembimbing di wilayah Jawa Tengah, serta peserta dari Jakarta. Dosen program PPK di UNNES adalah dosen jurusan BK UNNES tamatan PPK yang sudah bergelar konselor. Di samping itu, ada LPTK lain yang sedang mempersiapkan diri untuk membuka program PPK, yaitu UNESA (Surabaya) dan UNDIKSA (Singaraja). 16)
Karena lulusan program PPK belum ada, pengajar (dosen) program PPK Angkatan 1 adalah dosen senior yang berkualifikasi Guru Besar (pangkat IV E) dengan keahlian khusus BK (S1, S2, dan S3 dalam bidang BK) yang telah berpengalaman luas dalam keilmuan dan pendidikan BK (baik di dalam maupun di luar negeri), serta berpengalaman praktik langsung selama berpuluh tahun dalam pelayanan BK baik pada setting sekolah (dasar, menengah, perguruan tinggi) maupun luar sekolah.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
49
3. Beasiswa PPK (BPPK). Penulis “Krisis Identitas” tidak menyadari bahwa BPPK merupakan fasilitas/pemberian kesempatan bagi dosen-dosen BK untuk membina profesionalitas BK. Pemerintah (dalam hal ini Ditjen Dikti) konsisten dengan pengembangan keprofesian bidang konseling, antara lain melalui peningkatan kemampuan dosen-dosen BK di LPTK. Dosen-dosen BK inilah yang sesungguhnya secara langsung mendidik para calon tenaga profesional konseling (khususnya pada jenjang S1). Oleh karena itu, dosen-dosen BK S-1 perlu ditingkatkan kemampuannya, khususnya berkenaan dengan kompetensi praktik pelayanan. Terkait dengan hal ini, dalam sambutan dan pengarahan pada acara sosialisasi DSPK di daerah-daerah, Direktur PPTK dan KPT menyatakan antara lain: ”daripada ber-S2-ria, lebih baik upaya difokuskan kepada pendidikan profesi”. Untuk ini, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah memberikan fasilitas berupa beasiswa kepada para dosen BK yang mengikuti program PPK. Ditekankan oleh Direktur PPTK dan KPT: Daripada ber-S2-ria, lebih baik upaya difokuskan kepada pendidikan profesi. a. Menurut surat Dikti yang berisi tawaran kepada seluruh jurusan BK LPTK se-Indonesia untuk mengikuti program PPK dengan Beasiswa Dikti (setiap tahun), tujuan pemberian beasiswa program PPK (disingkat BPPK) kepada para dosen adalah untuk: (a) meningkatkan kualitas dan relevansi Jurusan/Program
50
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Studi Bimbingan dan Konseling, serta (b) mempercepat pertumbuhan profesi konseling melalui pendidikan profesi berbasis kompetensi. Dengan memiliki keterampilan praktik lapangan, dosen-dosen yang sudah berkualifikasi Konselor (pada jurusan/program studi BK-LPTK) akan lebih berkompeten membina mahasiswa menjadi (calon) tenaga profesional konseling yang handal. Sampai dengan tahun 2008 ini, peserta BPPK berasal dari 37 perguruan tinggi di seluruh wilayah tanah air, dari Sabang sampai ke Merauke yaitu dari: UNSYIAH (Banda Aceh), Univ. Abdulyatama (Banda Aceh), UNIMED (Medan), Univ. Alwasliyah (Medan), Univ. Muhammadiyah Sumatera Utara (Medan), Univ. Muhammadiyah Tapanuli Selatan (Padang Sidempuan), UNP (Padang), IAIN Imam Bonjol (Padang), STAIN Batusangkar (Batusangkar), UNRI (Pekanbaru), UNJA (Jambi), UNIB (Univ. Bengkulu), Univ. Hazairin (Bengkulu), STAIN Curup (Curup), Univ. PGRI Palembang (Palembang), UNILA (Lampung), UNSRI (Palembang), UNJ (Jakarta), Univ. HAMKA (Jakarta), Univ. Assafi’iyah (Jakarta), Univ. Atmajaya (Jakarta), Univ. PGRI (Jakarta), UNNES (Semarang), Univ. Muhammadiyah Magelang (Magelang), UNY (Yogyakarta), UNESA (Surabaya), Univ. PGRI (Surabaya), Univ. Kanjuruhan (Malang), Univ. PGRI (Jember), Univ. Pendidikan Ganesha (Singaraja), UNS (Makasar), UNG (Gorontalo), UNIMA (Manado), UNDANA (Kupang), Univ. Widya Mandira (Kupang), STKIP Selong (NTB), UNPATTI (Ambon) dan UNCEN (Jayapura). b. Dari berbagai komentar yang diberikan seluruh peserta BPPK menyatakan bersyukur dan berterima kasih kepada pemerintah (Ditjen Dikti: khususnya Direktur PPTK dan KPT) yang telah memfasilitasi mereka untuk memperoleh peningkatan kualifikasi dan kompetensi konseling melalui program PPK. Ada di antara mereka yang bahkan menyatakan: ”Sebelum mengikuti PPK kami hanya berani bicara tentang BK di dalam kelas (sewaktu mengajar di jurusan) sekarang, setelah mengikuti PPK Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
51
beberapa bulan saja, kami berani secara langsung memberikan pelayanan konseling kepada klien, termasuk di luar kampus”. 4. Lontaran dan Tanggapan Penulis “Krisis Identitas” kurang memahami seluk beluk program PPK dan prospek program pendidikan profesi ini di LPTK selain UNP. Terhadap penyelenggaraan program PPK sebagaimana dipaparkan di atas, penulis “Krisis Identitas” melontarkan hal-hal yang intinya sebagai berikut: •
Gelar profesi Konselor hasil PPK di UNP dijadikan syarat untuk pembentukan PPK di tempat lain,
•
Hal itu menyalahi ketentuan perundangan,
•
Ada dosen lulusan S2 di luar BK boleh masuk PPK.
Tanggapan terhadap ketiga hal tersebut, adalah sebagai berikut: a. Perlu diketahui bahwa persyaratan untuk menjadi dosen pada program profesi adalah (PP No. 19/2005 Pasal 31 Ayat 3): Selain kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) butir b)17), pendidik pada program profesi harus memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan dan dihasilkan oleh perguruan tinggi.
17)
Yaitu lulusan program Magister (S2)
52
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Mencermati makna ayat tersebut di atas bahwa untuk menjadi dosen pendidikan profesi, seseorang tidak cukup hanya berpendidikan Magister (S2) tetapi juga harus memiliki sertifikat kompetensi setelah sarjana, sesuai dengan keahlian yang diajarkan, yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Sertifikat keahlian setelah sarjana yang dimaksudkan itu diperoleh melalui pendidikan profesi dalam bidang yang relevan. Untuk bidang BK, tentulah program PPK)18). Jelaslah bahwa untuk Lulusan PPK dari mana? Siapa yang mempersyaratkan dari UNP? Tidak ada; DSPK pun tidak mempersyaratkan seperti itu. Yang dipersyaratkan adalah S2 dan PPK, lulusan universitas manapun19). Kebetulan pada mulanya yang ada baru di UNP; untuk selanjutnya tentulah lulusan PPK dari universitas mana pun yang telah memenuhi persyaratan menyelenggarakan program PPK, seperti UNNES (Semarang). b. Kebijakan mempersyaratkan lulusan PPK (selain S2) bagi dosen-dosen program PPK justru sesuai dengan Pasal 31 ayat 2 PP No. 19/2005 di atas. Sedang untuk program S1 BK dosen-dosennya belum dipersyaratkan untuk lulusan PPK, baru S2 saja20).
18)
Diberitakan bahwa Fakultas Kedokteran telah mulai mempersyaratkan bagi mereka yang akan direkrut menjadi dosen program Sarjana (S1) Kedokteran, selain memiliki kualifikasi Magister (S2) juga memiliki sertifikat keahlian kedokteran yang diperoleh dari pendidikan profesi (Sp.1) Kedokteran. Program PPK setara dengan Pendidikan Profesi Kedokteran Sp.1. Dalam kaitan itu, untuk menjadi dosen PPK diperlukan, selain ijazah (S2), juga ijazah PPK.
19)
Salah satu tujuan Dikti memberikan beasiswa kepada dosen-dosen BK mengikuti program PPK, agaknya adalah untuk memberikan kualifikasi tambahan bagi dosendosen tersebut, untuk memenuhi persyaratan menjadi dosen PPK; sehingga LPTK yang telah memiliki dosen-dosen yang memenuhi persyaratan itu dapat menyelenggarakan program PPK.
20)
Di masa datang agaknya memang perlu dosen-dosen program Sarjana (S1) BK perlu dipersyaratkan (selain S2) lulusan PPK (Sp.1) seperti di Fakultas Kedokteran itu. Hal ini mengingat bahwa program S1 BK adalah dasar bagi program pendidikan program pendidikan profesi BK (PPK) yang dosen-dosennya dikehendaki memiliki kemampuan teori dan praktik lapangan yang sungguh-sungguh memadai yang diperoleh dari program PPK.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
53
Pemberian beasiswa/BPPK untuk dosen-dosen S1 BK yang mengikuti program PPK adalah dengan tujuan memperkaya dosen-dosen S1 itu dengan kompetensi praktik lapangan sehingga lebih berkompetensi lagi mendidik mahasiswa program S1 BK yang terarah kepada keprofesionalan BK yang seharusnya. Keuntungan lain bagi dosen-dosen program S1 BK yang menggunakan beasiswa itu adalah sebagai persiapan pembukaan program PPK nantinya. Sesungguhnyalah, LPTK diberi kesempatan yang cukup luas (dengan beasiswa itu) oleh Dikti untuk meningkatkan kemampuan ketrampilan keahlian dosen-dosen BK-nya, termasuk di dalamnya untuk mempersiapkan diri bagi dibukanya program PPK di LPTK yang bersangkutan. c. Program PPK mempersyaratkan para pesertanya adalah lulusan sarjana (S1) BK. Mereka yang lulusan S1 BK tetapi S2 dan bahkan S3-nya bukan BK, bagaimana? Ya, ia memenuhi persyaratan dasar masuk ke PPK; mengenai bidang S2-nya atau S3-nya bukan menjadi urusan PPK. Syukur ia sudah S2 atau bahkan S3 (meskipun bukan BK); kemampuan Magister atau bahkan Doktornya itu mudahmudahan dapat membantu pencapaian tujuan studi di PPK secara lebih terandalkan. Dalam hal ini patut dicatat bahwa hampir di setiap angkatan peserta program PPK di UNP ada yang bergelar Doktor (S3), banyak yang bergelar Magister (S2), bahkan ada yang sudah berpangkat Guru Besar (Profesor). Betapa penting dan sifatnya yang monumental program PPK itu, sampai-sampai Bapak Prof. Dr. Sukamto, M.Sc. mengingatkan kita semua sebagai berikut21): Prof. Dr. Sukamto, M.Sc : “Saya cuma ingin ide Prof. Satryo tentang PPK 1 tahun sesudah S1 diamankan”.
21)
Pesan ini saya terima lewat sms.
54
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
E. KURIKULUM Hal-hal yang bersangkut paut dengan kurikulum banyak mendapat sorotan dari penulis “Krisis Identitas”. Oleh karena itu, di bawah ini dikemukakan beberapa hal tentang kurikulum, terutama dalam kaitannya dengan pelayanan BK.
1. Pengertian Kurikulum dan Unsur-unsurnya Penulis “Krisis Identitas” memiliki pemahaman bahwa pengertian kurikulum yang ada di dalam undangundang hanya cocok dengan konteks tugas guru. Undang-undang No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Butir 1 menyebutkan: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan peraturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.
Meskipun tidak dikemukakan, agaknya dapat dikira bahwa penulis ”Krisis Identitas” akan mengatakan: ”Pengertian bahan pelajaran adalah konteks tugasnya guru; kegiatan pembelajaran adalah kegiatan guru”. Demikian juga tentang tujuan, isi serta cara sebagai unsur-unsur kurikulum yang semuanya hanya terkait dengan guru. Padahal pengertian bahan pelajaran dapat diaplikasikan pada kegiatan pendidik selain guru. Bahan pelajaran maknanya adalah bahan yang dipelajari oleh seseorang atau peserta didik yang hendak atau sedang belajar dengan pendidik. Apabila pendidiknya adalah guru, maka bahan pelajarannya adalah materi yang terkait dengan mata pelajaran bidang Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
55
studi yang diampu oleh guru, seperti bahan pelajaran IPS, Bahasa Indonesia, Matematika dan sebagainya. Apabila pendidiknya adalah konselor, maka bahan pelajarannya adalah materi yang terkait dengan kondisi diri pribadi klien seperti bahan informasi karir, bahan tentang penyesuaian diri, sikap dan kebiasaan belajar, dan sebagainya. Jadi istilah bahan pelajaran itu dapat digunakan dalam konteks semua jenis pendidik, bukan hanya guru. Dalam kaitan ini, tujuan dan isinya tentulah mengikuti bahan pelajaran yang dimaksud. Penulis “Krisis Identitas” memiliki pemahaman bahwa kegiatan pembelajaran hanya diaplikasikan oleh guru.
Padahal pembelajaran adalah tugas semua pendidik untuk melaksanakannya dengan konteks tugas dan modus penyelenggaraan yang berbeda-beda sesuai dengan kekhususan jenis pendidik. Hal terakhir itulah, yaitu modus penyelenggaraan yang pada kutipan pasal/butir di atas disebut cara yang digunakan dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Sesuai dengan bahan pelajarannya maka masing-masing pendidik merencanakan dan menggunakan cara-caranya sendiri sebagaimana menjadi kekhasan jenis pendidiknya. Ini artinya, semua pendidik menggunakan pengertian kurikulum dengan segenap unsur-unsurnya sebagaimana dikutip dari undang-undang itu. Penulis “Krisis Identitas” memahami pengertian kurikulum dalam arti sempit.
56
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Sesungguhnyalah pengertian tentang kurikulum telah berkembang dengan variasi yang amat luas, dari pengertian yang sangat disederhanakan sampai sangat mencakup. Pengertian yang sangat disederhanakan misalnya menyatakan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang diikuti siswa, sedangkan pengertian yang sangat mencakup menyatakan bahwa kurikulum adalah apa yang dialami seseorang di tempat ia belajar22). Pengertian yang sangat menyederhanakan sudah banyak ditinggalkan, sedangkan pandangan yang lebih mencakup sudah banyak diadopsi/ diakomodasi. Terkait dengan variasi pengertian tersebut, pengertian kurikulum yang dikutip dari undang-undang pada awal bagian itu sudah beranjak dari pengertian yang sangat disederhanakan. Pengertian kurikulum yang dikutip itu tidak membatasi isinya dengan mata pelajaran yang menjadi urusan guru di sekolah saja, melainkan mewadahi semua bahan pelajaran dengan jenis pendidik apapun, tidak hanya guru.
2. Kurikulum 1975 Penulis “Krisis Identitas” merancukan Kurikulum 1975. Penulis “Krisis Identitas” memberikan gambaran tentang Kurikulum 1975 yang berlaku di tanah air dari tahun 1975 sd. 1984 sebagai berikut.
22)
Brubaker, D.L. (1982). Curriculum Planning: The Dynamic of Theory and Practice. Glenview, Ilinois: Scott, Foresman and Company.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
57
Gambar 1. Pengertian Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 1975 (Versi Penulis “Krisis Identitas”)
Gambar 1 di atas dideskripsikan sebagai berikut: “pemetaan Kurikulum 1975 ditata secara rapi memilah 3 jenis layanan dalam jalur pendidikan formal, yaitu (a) layanan manajemen, (b) layanan pembelajaran yang mendidik, (c) layanan bimbingan dan konseling” (hlm. 4-5). Gambarnya memang rapi, tetapi pemikirannya agaknya rancu. Gambar yang dikemukakan oleh penulis “Krisis Identitas” itu aslinya berasal dari uraian Mortensen dan Schmuller lebih tiga puluh tahun yang lalu23) tentang bidang-bidang tugas atau pelayanan yang terkait di sekolah, bukan yang ada di dalam kurikulum sekolah.
23)
Mortensen, D.G. & Schmuller, A.N. (1976). Guidance in Today’s Schools. New York: John Willy & Sons, Inc.
58
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Bidang-bidang yang saling terkait itu adalah (1) bidang kurikulum dan pengajaran, (2) bidang administrasi dan kepemimpinan, dan (3) bidang kesiswaan. Kerancuan yang ada pada penulis “Krisis Identitas” adalah memasukkan bidang administrasi dan kempemimpinan ke dalam kawasan kurikulum, padahal bidang administrasi dan kepemimpinan itu mengurusi fungsi-fungsi berkenaan dengan tanggung jawab dan pengambilan kebijakan, serta bentuk-bentuk pengelolaan dan administrasi sekolah, seperti perencanaan, pembiayaan, pengadaan dan pengembangan staf, prasarana secara fisik, serta pengawasan. Pemasukan bidang kesiswaan ke dalam kawasan kurikulum bersama bidang kurikulum dan pengajaran adalah oke, karena hal itu merupakan aplikasi dari pengertian kurikulum yang lebih mencakup sebagaimana dikemukakan di atas. Adalah lucu dan rancu memasukkan bidang administrasi dan kepemimpinan ke dalam kurikulum; Mortensen dan Schmuller pun tidak memaksudkannya demikian. Begitu juga, mereka yang terlibat pada penyusunan Kurikulum 1975 agaknya berpendapat seperti Mortensen dan Schmuller. Bahwa bidang administrasi dan kepemimpinan ditata juga dalam rangka pelaksanaan Kurikulum 1975, hal itu sudah menjadi keharusan, tetapi tidak dimaksudkan bahwa bidang administrasi dan kepemimpinan merupakan bagian atau komponen dari Kurikulum 1975. Pembidangan dalam Kurikulum 1975 oleh penulis “Krisis Identitas” diklasifikasikan sebagai sangat cerdas (hlm. 16), tetapi meleset. Bukan kurikulum 1975 yang meleset tetapi penulis itu tergelincir memasukkan bidang administrasi dan kepemimpinan ke dalam wilayah kurikulum.
3. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: KTSP Penulis “Krisis Identitas” merancukan, mengaburkan, dan mempersempit pengertian KTSP. Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
59
Kerancuan pikir penulis “Krisis Identitas” rupanya dibawa juga ke dalam pemahaman tentang KTSP, padahal KTSP adalah produk resmi Permendiknas No.24/2006. Berikut adalah gambarannya yang dibuat oleh penulis “Krisis Identitas” yang tidak sesuai dengan konsep resmi Permendiknas itu (hlm. 22).
Gambar 2. Posisi Bimbingan dan Konseling dan KTSP dalam Jalur Pendidikan Formal (Versi penulis “Krisis Identitas”)
Dengan memperhatikan gambar versi penulis “Krisis Identitas” itu tampaklah kerancuan pikir sebagai berikut: Penulis “Krisis Identitas” mengeluarkan BK dari KTSP. a. Memisahkan atau mengeluarkan bimbingan dan konseling (BK) dari KTSP. Barangkali maksudnya baik, yaitu hendak
60
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
menyejajarkan BK setara dengan KTSP, tetapi dua hal disesatkan: 1) BK tidak menjadi bagian dari KTSP 2) Pengertian kurikulum disempitkan menjadi kumpulan mata pelajaran (dengan pengertian muatan lokal dapat menjadi mata pelajaran tersendiri atau sebagai materi mata pelajaran tertentu). Pola pikir rancu seperti itu dikhawatirkan menimbulkan kenyataan bahwa, pertama, kalau seseorang (misalnya Kepala Sekolah) bicara tentang KTSP maka ia akan berpemahaman bahwa di sana tidak ada BK. Sikap seperti itu akan mengabaikan eksistensi dan perlunya BK24). Padahal yang semestinya terjadi adalah, ketika Kepala Sekolah, dan siapa pun juga, bicara tentang KTSP sudah dengan sendirinya bicara tentang BK, karena BK “setara” dengan mata pelajaran dan komponen kurikulum lainnya; karena BK akan menunjang proses pembelajaran secara keseluruhan; karena BK merupakan bagian integral dari kurikulum sebagai satu kesatuan yang sekarang disebut KTSP. Kedua, menggiring orang berpikiran sempit tentang kurikulum. Kepala Sekolah, dan siapa pun juga, digiring berpikiran sempit seperti itu sehingga tidak menganggap penting peranan komponen-komponen lain di dalam kurikulum. “Yang penting adalah kurikulum; kurikulum sekarang adalah KTSP: karena BK di luar KTSP maka BK tidak penting”. Bagaimana kalau Kepala Sekolah, guru-guru, siswa orang tua, pimpinan Dinas Pendidikan, Komite Sekolah berpaham dan bersikap seperti itu?
24)
Hal ini justru bertentangan dengan ketentuan tentang KTSP sebagaiman termuat di dalam Permendiknas No. 22/2006 dan No. 24/2006.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
61
Maka akan terjadi malapetaka terhadap eksistensi dan peranan BK di sekolah dan dalam dunia pendidikan pada umumnya. Hal seperti itu harus dicegah dan tidak boleh terjadi.
Penulis “Krisis Identitas” menolak dan mengaburkan pengertian pengembangan diri yang dimaksudkan KTSP. b. Mengaburkan pengertian pengembangan diri. Perlu diketahui istilah pengembangan diri yang digunakan di dalam Permendiknas No.22/2006 tentang Standar Isi diberi makna khusus, yaitu sebagai salah satu komponen dari kurikulum (KTSP) di luar mata pelajaran (sehingga tidak diampu oleh guru), terdiri dari dua sub-komponen (yaitu sub-komponen pelayanan konseling dan subkomponen ekstra kurikuler), yang bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat peserta didik, sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan/ atau dibimbing oleh konselor (yaitu yang terkait dengan bimbingan dan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan karir) atau oleh guru atau oleh tenaga kependidikan lain (yaitu yang berupa kegiatan ekstra kurikuler). Demikianlah penegasan di dalam Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Kalau dipahami bahwa makna pengembangan diri adalah sebagaimana dimaksudkan di atas, sebenarnya tidak ada persoalan sama sekali. Namun, apabila istilah pengembangan diri itu diberi makna yang lain, maka akan timbul berbagai masalah, bukan hanya kerancuan yang akan terjadi
62
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
tetapi bahkan penyimpangan, dan lain sebagainya. Agaknya penulis ”Krisis Identitas”, mungkin karena di dorong oleh “naluri akademiknya yang luar biasa”, memaknai pengembangan diri selain dari maksud yang dikemukakan di dalam Permendiknas tersebut. Penulis itu mengartikan pengembangan diri dalam makna yang lebih luas, yang ada di manamana, di dalam mata pelajaran, di dalam BK, mungkin malahan sampai pada pengembangan diri sepanjang hayat, dunia dan akhirat. Kalau itu yang dimaksud, ya menjadi susah; apa bentuknya; di mana adanya pengembangan diri itu; dan untuk memudahkan mereka sebut ”wilayah komplementer”. Apa artinya ”wilayah komplementer” itu? Wilayah bersama antara mata pelajaran dan BK?; garapan bersama antara guru dengan konselor? Apa bentuknya; di mana adanya; bagaimana caranya, dll.Tidak jelas. Mengikuti pemahaman pengembangan diri versi penulis ”Krisis Identitas” menjadi menyulitkan. Padahal apa yang dikemukakan oleh Permendiknas No. 22/2005 adalah sederhana dan sangat jelas: pengembangan diri adalah kegiatan di luar mata pelajaran/muatan lokal yang meliputi kegiatan pelayanan konseling dan kegiatan ekstra kurikuler. Perlu disimak, dengan pengertiannya tentang pengembangan diri penulis ”Krisis Identitas” menghilangkan eksistensi kegiatan ekstra kurikuler yang menjadi bagian terintegrasikan dari KTSP (lihat Gambar 2). Daripada mengikuti pemahaman penulis ”Krisis Identitas” yang ternyata sulit dipahami, akan lebih bijaksana dan operasional mengikuti ketentuan tentang komponen KTSP sebgaimana termaksud di dalam Permendiknas No. 22/ 2006, sebagaimana terlihat pada Gambar 3 berikut.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
63
Gambar 3. Komponen KTSP (Menurut Permendiknas No. 22/2006)
Gambar 3 di atas menampilkan komponen KTSP secara utuh yang meliputi tiga komponen, yaitu: (a) komponen mata pelajaran, (b) komponen muatan lokal, dan (c) komponen pengembangan diri yang terdiri dari dua subkomponen, yaitu (1) pelayanan konseling, dan (2) kegiatan ekstra kurikuler. Komponen mata pelajaran dan muatan lokal merupakan wilayah yang diampu oleh guru, sub-komponen pelayanan konseling oleh konselor, dan sub-komponen ekstra kurikuler oleh pembina khusus25).
25)
Pembina khusus ini bisa berasal dari guru atau konselor atau tenaga lain yang mampu dan berkewenangan untuk membelajarkan peserta didik berkenaan dengan jenis kegiatan ekstra kurikuler tersebut.
64
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
KTSP dengan komponen-komponen itulah yang diberlakukan di satuan-satuan pendidikan formal26) sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku, khususnya berkenaan dengan Permendiknas No.22/2006, No. 23/2006 dan No. 2004/2006 masing-masing tentang Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, dan pemberlakuan kedua Permendiknas itu pada satuan pendidikan dasar dan menengah.
F. PERMENDIKNAS No. 22 Tahun 2006 Menyalahartikan substansi pendidikan menimbulkan berbagai kerancuan. Sebagaimana diketahui bahwa Permendiknas No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah merupakan ketentuan pemerintah, jabaran dari PP. No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang berinduk pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Materi Permendiknas itu berasal dari hasil karya Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang secara khusus diberi tugas dan kewenangan oleh pemerintah menyususn konsep-konsep tentang standar pendidikan yang selanjutnya akan diberlakukan oleh pemerintah melalui diterbitkannya Permendiknas.
1. Materi Dasar Pemahaman sempit dan ketidaktahuan memperangkap pemikiran, mengakibatkan kerancuan, pengkerdilan dan kontra produktif.
26)
Bandingkan Gambar 2 dan Gambar 3. Gambar 2 memperlihatkan KTSP yang dirancukan, sedangkan Gambar 3 menampilkan KTSP sesuai dengan Permendiknas No. 22/206 yang diberlakukan di satuan-satuan pendidikan formal (dasar dan menengah).
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
65
Materi dasar Permendiknas No. 22/2006 disiapkan oleh BSNP hampir sepanjang tahuan 2005 dengan melibatkan sejumlah besar komponen dengan berbagai warna suasana dinamik yang cukup mengesankan. Apalagi penyiapan materi dasar tersebut merupakan kegiatan serupa yang pertama kali diselengggarakan oleh BSNP. Hasil kerja keras ini, setelah menjadi permendiknas, selain memperoleh sorotan tajam sebagaimana telah terurai pada bahasan tentang KTSP terdahulu, penulis “Krisis Identitas” mempersoalkan pula hal yang lebih “mendasar” katanya, sebagai berikut: “Hal yang terabaikan dalam Standar Isi adalah arahan Pasal 5 ayat (1) PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai tingkat kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, sehingga mestinya menghasilkan standar isi yang terkait dengan tingkat kompetensi peserta didik yang mempelajarinya, yang secara langsung dapat dijadikan panduan dalam keseharian pelaksanaan tugas fungsional guru sesuai dengan mata pelajaran serta tingkat kelas yang diampunya….” (hlm. 11)
Memperhatikan pendapat penulis “Krisis Identitas” di atas dapat dikemukakan bahasan berikut: a. Tampaknya penulis “Krisis Identitas” tetap terperangkap pandangan bahwa berbagai hal berkenaan pembelajaran hanya menyangkut guru, sebagaimana telah agak panjang lebar dikemukakan terdahulu. Memang ada sedikit kemajuan, yaitu telah mulai memahami bahwa konteks tugas kinerja guru adalah mata pelajaran. Namun sayangnya, perihal mata pelajaran itu justru memperangkapnya lebih sempit lagi, sehingga dianggapnya frase “mencakup ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi” yang ada pada Pasal 5 ayat (1) PP No. 19/2005 itu hanya menyangkut mata pelajaran saja. Dianggapnya “ruang lingkup materi” itu seharusnya hanya materi pelajaran saja, tidak boleh materi di luar mata pelajaran; kata “mencakup” diartikan seharusnya
66
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
hanya berisi mata pelajaran. Dianggapnya standar isi seharusnya hanya berisi sesuatu tentang mata pelajaran saja; kalau pun standar isi membicarakan kurikulum maka kurikulum itu cakupannya hanya mata pelajaran saja; isi kurikulum hanya mata pelajaran saja. Pandangan itu persis menganut pemahaman yang sangat disederhanakan tentang kurikulum yaitu sejumlah mata pelajaran yang diikuti siswa, yang mana paham tersebut sudah selayaknya ditinggalkan. Penulis itu rupanya tidak sadar bahwa ayat yang dimaksud justru tidak mencantumkan kata mata pelajaran sehingga membuka ruang agar hal-hal positif selain mata pelajaran dapat dimasukkan ke dalam standar isi. Kata “mencakup” dalam ayat itu tidaklah berarti hanya; hal-hal yang harus ada memang harus masuk, tetapi masih ada ruang untuk hal yang lain yang diperlukan. Demikian juga “materi” dapat menampung materi apa saja asal sesuai dengan konteksnya, tidak harus materi mata pelajaran. Demikian juga kata “kompetensi” dapat menampung kompetensi apa saja asal sesuai dengan konteksnya, tidak harus kompetensi yang terkait dengan mata pelajaran saja. Demikian, standar isi yang menjadi substansi Permendiknas No. 22/2006 menganut paham tentang kurikulum dalam pengertian yang lebih mencakup. Dengan semangat seperti itu maka tersusunlah konsep, struktur dan substansi yang dikemas menjadi KTSP yang menjadi isi pokok Permendiknas tentang Standar Isi itu. b. Penulis “Krisis Identitas” belum tahu, mungkin karena belum pernah melihat bahwa Permendiknas No. 22/ 2006 tentang Standar Isi itu mencantumkan kedalaman muatan kurikulum komponen mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan yang dituangkan dalam kompetensi yang terdiri atas standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) pada setiap tingkat dan/ atau semester. SK dan KD itu menjadi lampiran yang tak terpisahkan dari Permendiknas No. 22/2006 itu, Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
67
yang seluruhnya berjumlah: • SD/MI/SDLB • SMP/MTS/SMPLB • SMA/MA/SMALB/SMK/MAK Jumlah
: : :
834 hlm 595 hlm 714 hlm
: 2.143 hlm
SK dan KD itulah yang secara langsung dapat dijadikan panduan dalam keseharian pelaksanaan tugas fungsional guru sesuai dengan mata pelajaran serta tingkat kelas yang diampunya. Dengan demikian apa yang dianggap tidak ada dan merupakan kesalahan penyusunan standar isi ternyata sudah sepenuhnya ada dan dapat diakses oleh siapapun. c. Dalam keterperangkapannya terkait dengan konsep sempit pembelajaran dan konteks tugas kegiatan pembelajaran (yang dianggapnya hanya untuk guru saja) dan materi serta kompetensi pembelajaran (yang dianggap hanya berupa mata pelajaran saja), orientasi penulis ”Krisis Identitas” menjadi terbawa sempit; sampai-sampai standar isi pun hanya untuk guru; KTSP pun hanya untuk guru. Pandangan seperti itu justru berakibat mendegradasi posisi konselor, yang oleh penulis itu katanya hendak diangkat, hendak dimurnikan konteks tugas profesionalnya, dan sebagainya. Dengan pandangan sempit seperti tersebut di atas, apabila tidak diubah jelas-jelas posisi konselor akan tercampakkan keluar dari standar isi, dari KTSP yang menjadi ketetapan Permendiknas No. 22/2005. Pandangan penulis yang seperti itu justru menjadi kontra-produktif dari tujuan yang hendak dicapainya. Pandangan dan sikap yang sempit tersebut atas sangat bertolak belakang dengan apa yang perlihatkan oleh Ketua Umum ABKIN dan anggota lainnya pada waktu diselenggarakan oleh BSNP
68
di di PB uji
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
publik draf Standar Isi yang dimaksud. Pada waktu itu beliau-beliau cukup gembira, menyalami dengan hangat dan bahkan mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun Standar Isi karena dapat mempertahankan dan memposisikan BK di dalam draf yang diujicobakan itu. Sekarang menjadi pertanyaan, mengapa penulis “Krisis Identitas” menulis pandangan-pandangan yang sempit, memperlihatkan ketidaktahuan, dan memajukan hal-hal yang kontra-produktif seperti itu. Upaya yang mestinya dibangun adalah berbagai ajakan dan iklim kerjasama yang sebaik-baiknya agar konselor dapat terjun dengan amat bermartabat dalam kancah KTSP yang penuh dan mantap demi keberhasilan optimal peserta didik.
2. Lagi: Muatan KTSP a. Tentang muatan KTSP selain yang terdahulu sudah dibahas, penulis ”Krisis Identitas” melontarkan lagi halhal berikut: •
”Isi pendidikan menurut Permendiknas No. 22/2006 adalah (i) muatan lokal (ii) kelompok mata pelajaran, (iii) materi pengembangan diri, dengan dampak: (a) memaksa konselor ke wilayah guru mata pelajaran dalam rangka penyampaian materi pengembangan diri, (b) menafikan kontribusi guru mata pelajaran dalam pengembangan diri, dan (c) mencederai pencapaian misi KTSP untuk mendekatkan peserta didik pada lingkungannya, karena muatan lokal dipisahkan dari kelompok mata pelajaran” (hlm.2021).
•
”Muatan lokal dipisahkan dari kelompok materi pelajaran sehingga tampil lebih sebagai bagian dari menata lahan garapan yang telah dirintis sejak tahun 1995” (hlm.21)
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
69
Tugas profesi guru: wilayah untuk berdedikasi atau lahan garapan untuk investasi? Inilah tanggapannya: 1) Penulis “Krisis Identitas” tidak mau mengerti bahwa komponen muatan KTSP yang diberi nama “pengembangan diri” itu meliputi dua sub-komponen, yaitu sub-komponen pelayanan konseling (atau mau disebut BK?; boleh juga) dan sub-komponen kegiatan ekstra kurikuler. Apa alasannya, dan pola pikir yang bagaimana, konselor yang melaksanakan pelayanan konseling meluncur ke wilayah guru yang mengajar? Itu bukan pekerjaan konselor profesional. Kalau profesional dia, pasti tahu arah, daerah dan batasbatas wilayah pelayanan konseling; dan tahu juga wilayah kerja guru, sehingga ia tidak akan merambah wilayah kerja profesional lain, dalam hal ini guru. 2) Menafikan kontribusi kerja guru dalam pengembangan diri? Lagi-lagi pengembangan diri. Sekali lagi, perhatikan dua sub-komponen pengembangan diri dalam KTSP. Guru punya tugas, yaitu dalam bidang pengajaran mata pelajaran bidang studi, dan konselor punnya tugas dalam konseling. Kalau keduanya profesional pasti tahu tugas masing-masing, dan lagi, pasti tahu pula bagaimana bekerjasama di antara keduanya. Mengapa mesti repot-repot mengingat-ngingatkan ”jangan-jangan sumbangan kerjasama dari guru tidak dimanfaatkan”. Didik saja kedua tenaga profesional itu dengan baik; mereka pasti bisa bekerja sama secara profesional pula. 3) Merugikan peserta didik karena muatan lokal dipisahkan dari kelompok mata pelajaran? Dalam hal ini penulis ”Krisis Identitas” juga tidak tahu salah satu ketentuan dari KTSP, yaitu muatan lokal dapat menjadi bagian dari
70
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
materi mata pelajaran yang ada; dan kalau tidak bisa diintegrasikan atau menjadi bagian dari mata pelajaran yang ada, maka ia menjadi mata pelajaran sendiri. Dalam hal ini dapat dimengerti bahwa kelompok mata pelajaran dalam KTSP adalah sejumlah mata pelajaran wajib untuk semua jenis satuan pendidikan yang sama, sedangkan muatan lokal adalah materi pelajaran pilihan yang setiap satuan pendidikan boleh tidak sama. Dan ada satu lagi. Kalau mau membaca dan mencermati kalimat-kalimat dalam Permendiknas No. 22/2006, khususnya tentang prinsip penyelenggaraan kurikulum, akan dijumpai prinsip alam takambang jadi guru27). Apa lagi? Dengan prinsip itu, guru atau pendidik siapapun, termasuk konselor dapat memanfaatkan alam lingkungan peserta didik untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta didik. Ternyata: mau merebut lahan garapan! 4) Nah, yang terakhir ini lebih asyik dan dahsyat. Rupanya penulis ”Krisis Identitas” memulai tulisannya dan mengakhirinya dengan kata-kata motif altruistik (hlm.1 dan hlm.22). Lihat kutipan butir 2 di atas tentang lahan garapan. Dengan pencantuman dua kata itu di awal dan di akhir karangan, agaknya seluruh tulisan yang ada itu dilandasi oleh pemikiran tentang bagaimana mendapatkan lahan garapan. Hal itulah kiranya yang memicu berkembangnya motif altruistik28). Bayangan yang ada barangkali tentang lahan garapan dari tahun 1995 sampai sekarang atau bahkan sampai waktuwaktu yang akan datang.
27)
Bahasa Minangkabau yang artinya menjadikan alam lingkungan sebagai sumber, alat dan teladan dalam kegiatan belajar.
28)
Padahal motif altruistik mestinya tidak membicarakan tentang bagaimana mendapatkan lahan garapan, melainkan bagaimana memperlakukan lahan garapan (dalam hal ini klien, sasaran layanan) dengan tulus dan berdedikasi, menomorsatukan kepentingan klien dan meredam sampai sejauh dan serendahrendahnya kepentingan pribadi sendiri (konselor)
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
71
Mungkin dalam bayangan penulis ”Krisis Identitas”, untuk menghentikan ”krisis identitas” BK dewasa ini ialah dengan jalan merebut lahan garapan dari ”penguasa lahan” yang lama. Siapa itu ”penguasa lahan” yang lama? Apakah saya, Prayitno? Kalau ya, wah saya mengucapkan terima kasih dan merasa tersanjung. Saya ini bukan apa-apa lho, bukan Rektor, bukan pejabat di Jakarta atau di kota besar, palingpaling saya pejabat kecil/lokal di Padang yang tidak bisa menjadi terkenal melalui jabatan saya itu. Tetapi terus terang, saya memang hidup bahagia dengan lahan garapan saya yang saya pangku dengan penuh kemesraan, yang saya cintai dengan sepenuh hati, yang saya geluti dengan sepenuh tenaga dan daya, yang saya mau berkorban apa saja untuk dia; lahan garapan saya itu adalah pelayanan konseling dan pendidikan tempat bekerja, mengabdi dan berdedikasi. Saya menjelajahi Nusantara dan beberapa daerah luar negeri, bukan karena saya pejabat, tetapi karena konseling dan pendidikan. Saya menulis buku, benar sejak 1995, bahkan sejak jauh sebelumnya, karena dan untuk konseling dan pendidikan; tetapi saya tidak menjadi kaya dengan buku-buku yang saya tulis itu; saya ditugasi untuk kegiatan nasional tertentu, seperti banyak disebut-sebut dalam buku ”Krisis Identitas” itu, karena konseling dan pendidikan; saya dibayar karena konseling dan pendidikan, dan saya akan berkarya terus Insyaallah, karena dan demi konseling dan pendidikan. Itulah lahan garapan saya. Anda mau merebutnya? Silahkan; rebut pikiran dan ide-ide saya serta para penggunanya; rebut buku-buku saya dan para pembacanya; rebut produk-produk yang saya ada andil di dalamnya dan nikmatilah. Saya mohon maaf kalau apa yang saya kerjakan di lahan garapan saya itu mengganggu dan merancukan pikiran Anda sehingga timbul krisis identitas. Pikiran rancu dan krisis seperti itu memang tidak perlu dibeli dan diikuti.
72
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Adalah benar-benar naif membayangkan saya menata lahan garapan ketika membahas penyusunan konsep komponen KTSP. Standar isi dengan KTSPnya bukan karya pribadi, apalagi karya saya sendiri. Anggota BSNP 15 orang; anggota tim belasan orang; staf departemen, direktorat jenderal, direktorat, dan pejabat lainnya puluhan orang; kompoenen ahli dan praktisi lapangan ratusan orang, baik di Jakarta maupun di kota-kota laim di seluruh Indonesia. Semuanya ”menyeroyok” draf Standar Isi yang nantinya menjadi Permendiknas No.22/2006. Saya ini orang kecil yang kebetulan ditunjuk menjadi Ketua Tim, suruhan dari BSNP dan orang banyak untuk suksesnya Standar Isi. Di DSPK saya juga orang kecil suruhan Direktorat untuk suksesnya naskah yang dikehendaki itu. Saya berada di Puskur, di Parung dan lain-lain tempat adalah sebagai suruhan orang untuk konseling dan pendidikan. Dan untuk semuanya, saya adalah suruhan demi profesi saya, konseling dan pendidikan. Apakah dengan demikian saya melanggar asas profesi tentang motif altruistik? Mudah-mudahan adalah salah kalau ada anggapan bahwa di sana (penulis ”Krisis Identitas”) sekarang sedang terjadi gejala semacam ”proyeksi”nya Sigmund Freud; ”diri sendiri yang ingin berbuat tetapi tidak bisa, orang lain dijadikan kambing hitam”. Apabila, di sana sedang terjadi krisis identitas, maka di sini dilancarkan upaya mengatasinya.
G. PUSKUR DAN P4TK PENJAS/BK ABKIN susun panduan tandingan, ditolak oleh Puskur, Dir. Bin. Diklat, P4TK Penjas/ BK, dan Pengurus Daerah.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
73
Inilah kutipan dari tulisan “Krisi Identitas” yang mudah-mudahan pembahasannya menarik dan mengesankan: •
“Selanjutnya, berdasarkan Standar Isi yang diatur melalui Permendiknas nomor 22 tahun 2006 itu, maka digulirkanlah oleh Pusbang Kurandik Balitbang Diknas dan bersama-sama dengan P4TK Pendidikan Jasmani dan Bimbingan dan Konseling, Parung, yang terutama juga diampu oleh pemeran yang sama, serentetan panjang pelatihan yang mengacu kepada Panduan Pengembangan Diri yang,-secara de facto-mengamanatkan kepada konselor untuk menyelenggarakan pembelajaran dalam pengembangan diri yang dinilai secara sistematis layaknya yang berlaku dalam pembelajaran, yang dilaksanakan guru, yang menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan (hlm. 13).
•
Ini jelas-jelas mencederai integritas layanan Bimbingan dan Konseling yang memandirikan, yang menggunakan proses pengenalan diri konseli dengan memperhadapkan kekuatan dan kelemahannya dengan peluang dan tantangan yang terdapat dalam lingkungannya, dalam rangka menumbuhkan kemandirian dalam mengambil berbagai keputusan penting dalam pengalaman hidupnya sehingga mampu memilih, meraih serta mempertahankan karir untuk mencapai hidup yang produktif dan sejahtera, dalam konteks kemaslahatan umum (hlm. 13).
Pasti semua orang sudah tahu bahwa sebagai organ pemerintah Puskur Balitbang Diknas dan P4TK Penjas dan BK bekerja sesuai dengan kebijakan dan ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kalau tidak demikian nanti ada komentar : apa kata dunia?
74
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
1. Peran Puskur Panduan yang dibuat ABKIN silahkan dipakai dalam lingkungan sendiri, bukan di sekolah-sekolah/ madrasah.
Sejalan dengan hal itu, segera setelah Permendiknas No. 22/2006, No. 23/2006 dan No. 24/2006 diberlakukan, Puskur melaksanakan tugas utamanya, yaitu menyusun berbagai panduan agar Standar Isi dengan berbagai perangkatnya bisa berjalan. Panduan yang berkaitan dengan BK adalah “Panduan Pengembangan Diri” dengan pengertian yang amat jelas dan tegas bahwa “Pengembangan Diri” dalam KTSP meliputi dua sub-komponen, yaitu pelayanan konseling dan kegiatan ekstra kurikuler. Panduan ini, khususnya berkenaan dengan pelayanan konseling disusun dengan memperhatikan butir-butir ketentuan yang berlaku (seperti SK Menpan, SK Mendikbud), buku-buku panduan yang selama itu ada, serta kondisi lapangan yang dialami para guru pembimbing/konselor di sekolah. Panduan Pelayanan Konseling29) yang disusun Puskur itu berusaha sekuat tenaga mengaplikasikan semua ketentuan yang berlaku, materi panduan yang sudah ada dan pengalaman lapangan, dengan arah, sebisa mungkin, menyempurnakan, melengkapi, menyederhanakan, dan memudahkan bagi aplikasinya di lapangan. Panduan ini selesai dan segera disosialisasikan ke sekolah-sekolah.
29)
Panduan Pengembangan Diri yang disusun oleh Puskur secara kategori dibagi dua bagian, yaitu bagian tentang pelayanan konseling dan bagian tentang kegiatan ekstra kurikuler. Kedua bagian itu benar-benar dipisahkan; oleh karenanya panduan yang khas Tentang pelayanan konseling (yang merupakan bagian sangat dominan dalam panduan Pengembangan Diri) dapat dengan mudah disendirikan.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
75
Dalam pada itu, ABKIN rupanya berinisiatif pula untuk menyusun panduan Pelayanan Konseling yang katanya, di dalamnya juga memuat menurut pengembangan diri30). Atas prakarasa ini Puskur merespons dengan suratnya No. 5/G3/LL/2007 tanggal 28 Februari 2007 dengan butir pokok sebagai berikut: •
Pengembangan Diri adalah bagian Struktur Kurikulum yang di dalamnya terdapat Bimbingan dan Konseling dan Kegiatan Ekstrakurikuler. Telah dikuatkan berdasarkan Permendiknas No. 22 Tahun 2006, dan telah disebarkan ke seluruh Indonesia.
•
Keinginan ABKIN menyusun Pedoman Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah, yang di dalamnya memuat pengembangan diri, adalah baik untuk menjelaskan konsep, tetapi bukan bagian dari perangkat kurikulum, karena Bimbingan dan Konseling bagian Pengembangan Diri, bukan sebaliknya.
Rupanya usaha “merebut” lahan tersebut berjalan terus. Mereka telah menyiapkan ”Panduan BK Jalur Formal” dan siap mensosialisasikannya, bahkan telah memberi tahu daerah-daerah untuk mempersiapkan diri menerima sosialisasi panduan ”tandingan” itu. Berikut antara lain respons dari daerah terhadap seruan ABKIN berkenaan dengan wacana sosialisasi itu (dipetik dari surat PD ABKIN Sumatera Barat No. 02/PD-ABKIN/SB/2008 Tanggal 29 Januari 2008 kepada Direktur Direktorat Pembinaan Diklat Ditjen PMPTK): •
30)
Kami mohon kepada bapak agar kiranya para penyelenggara pelayanan konseling/BK di sekolah/madrasah memperoleh kepastian tentang panduan yang mereka gunakan sesuai dengan peraturan yang berlaku (Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi) demi kelancaran dan kesuksesan tugas pokok mereka di lapangan.
Dari fenomena ini dapat ditarik dua pengertian, yaitu: (a) mungkin penyusunan panduan itu dianggap sebagai lahan garapan yang menguntungkan, dan (b) panduan yang disusun oleh pihak nonpemerintah dapat sebagai tandingan dari panduan yang sudah ada, yang disusun oleh pemerintah --- istilah “tandingan” ini dipakai seperti pemakaiannya dalam buku “Krisis Identitas”.
76
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Dalam hal ini kami mengusulkan, apabila sosialisasi yang dimaksudkan itu memang akan diselenggarakan, materi yang akan disosialisasikan adalah Panduan Pelayanan Konseling/ BK yang telah disusun oleh Pusat Kurikulum Balitbang Diknas yang mengacu kepada Permendiknas No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi tersebut.
Surat tersebut disertai lampiran yang berisi tanggapan PD ABKIN Sumatera Barat terhadap himbauan PB yang akan melakukan sosialisasi Panduan BK versi mereka, sebagai berikut: •
Apabila hendak dikembangkan panduan yang baru, pertimbangannya adalah: a. Apakah panduan yang baru itu suplemen dari yang sudah ada (yaitu Panduan Pelayanan Konseling yang dikeluarkan oleh Pusat Kurikulum/ Balitbang)? b. Apabila panduan yang baru itu berbeda, apalagi kalau ada/banyak materi di dalam panduan yang baru itu tidak bersesuaian dengan panduan yang sudah ada, apakah tidak justru menimbulkan kebingungan bagi para pelaksana (Guru Pembimbing) di sekolah/madrasah? •
Apabila hal sebagaimana tersebut di atas terjadi: a. Panduan yang baru itu tidak sesuai dengan Permendiknas No. 22/2003, khususnya dikaitkan dengan Pelayanan Konseling. b. Kerugian yang lebih besar adalah kebingungan para pelaksana BK di sekolah yang menyebabkan kerancuan serta terkendalanya pelaksanaan layanan. ”Panduan BK Jalur Formal”, yang dibuat ABKIN akan menimbulkan kebingungan , kerancuan dan benturan dalam pelaksanaan BK di Sekolah/Madrasah
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
77
Surat PD ABKIN itu dibalas oleh Direktorat Bin Diklat, dengan surat No. 343/F5.3/LL/2008 tanggal 25 Februari 2008, yang intinya adalah: •
Yang digunakan sebagai acuan di sekolah/madrasah adalah buku Panduan Layanan Konseling yang telah disusun oleh Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
•
Puskur telah mempersiapkan pelaksanaan Bimbingan Teknis secara nasional pada 460 kabupaten/kota pada akhir Februari 2008 yang mengacu kepada Permendiknas No. 22/2006.
Surat Bin. Diklat itu seiring dengan surat dari P4TK Penjas dan BK No. 120/F/F10/KP/2008 tanggal 13 Februari 2008 dengan lampiiran yang berisi: •
Puskur telah menolak ABKIN untuk menyusun Buku Panduan Layanan Konseling di Sekolah karena Puskur telah munyusun buku yang dimaksud. Sekiranya ABKIN akan menyusun, agar digunakan dalam lingkungan ABKIN sendiri, bukan di sekolahsekolah di lingkungan Depdiknas.
•
Pengingat Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi cukup jelas dan telah dilaksanakan sebagai uji di berbagai satuan pendidikan di berbagai wilayah Indonesia, maka P4TK Penjas dan BK sebagai Pusat Pengembanga BK di Indonesia harus tetap berpedoman kepada Permendiknas tersebut.
Selain PD ABKIN Sumatera Barat, PD ABKIN Jawa Tengah pun memberikan respons berupa keengganan mereka memenuhi desakan PB ABKIN untuk mensosialisasikan naskah (produk ABKIN) ke cabang-cabang ABKIN di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Dalam Pra Rakerda ABKIN Jawa Tengah tanggal 30 Juli 2008 yang dihadiri oleh anggota Pengurus Daerah, Dewan Pembina dan Dewan Pertimbangan Kode Etik disepakati keputusan bahwa mereka belum bisa melaksanakan sosialisasi ke Pengurus-Pengurus Cabang dengan alasan yang intinya sebagai berikut:
78
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
1.
Pengurus cabang dan anggotanya sebagian besar adalah guru-guru pembimbing SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA/ MAK yang selama ini melaksanakan pelayanan konseling (BK) di sekolah/madrasah berdasarkan produk Puskur yang sudah diujicobakan dan disetujui BSNP, dalam bentuk KTSP yang berinduk pada Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi.
2.
Sosialisasi bahan yang dimaksudkan oleh PB ABKIN justru akan menimbulkan benturan dan kebingungan di lapangan, karena mereka lebih percaya pada produk formal (Puskur, BSNP dan KTSP).
3.
PD ABKIN Jawa Tengah baru bersedia melaksanakan sosialisasi apabila bahan yang akan di sosialisasikan itu sesuai dengan produk Puskur, disetujui BSNP dan melalui serangkaian uji coba.
Kesepakatan rapat PD ABKIN Jawa Tengah itu dimaksukan sebagai penjelasan kepada Pengurus-Pengurus Cabang dan Guru Pembimbing melalui organisasi interen mereka (yaitu MGP : Musyawarah Guru Pembimbing) se Propinsi Jawa Tengah. Hal ini merupakan bentuk tanggungjawab organisasi profesi dan komitmen PD ABKIN Jawa Tengah terhadap unjuk kerja Guru Pembimbing.
2. Peran P4TK-Penjas dan BK Tidak tahu apa yang terjadi dan pandangan sempit, mengira pelatihan GuruPembimbing di P4TK Penjas/BK adalah seperti pelatihan guru. Komitmen dan operasional kegiatan Puskur Bin Diklat, dan P4TK Penjas dan BK adalah kompak dan searah, yaitu Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
79
melaksanakan Panduan Pelayanan Bimbingan Konseling sebagaimana terdapat di Panduan Pengembangan Diri berdasarkan Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi31). Tulisan di dalam “Krisis Identitas” yang menyatakan bahwa “pelatihan di P4TK penjas/BK itu “mengamanatkan” kepada konselor untuk menyelenggarakan pembelajaran dalam pengembangan diri yang di nilai secara sistematis layaknya berlaku dalam pembelajaran, yang dilaksanakan guru” (hlm. 13), dapat diberi arti sebagai berikut: a.
Pernyataan itu adalah angan-angan hasil kerancuan berpikir yang didasarkan pada konsep yang tidak memperhatikan pasal-pasal 39 ayat 2 UU No.20/2003 yang menyatakan bahwa semua pendidik wajib melakukan kegiatan pembelajaran, bukan hanya guru.
b.
Materi pengembangan diri yang dilatihkan di P4TK Penjas/BK adalah sub-komponen pelayanan konseling. Pada penataranpenataran di P4TK Penjas dan BK tidak pernah dibicarakan apalagi dilatihkan, hal-hal mengenai tugas guru (guru mata pelajaran); yang didalami dan dilatihkan hanya BK, dan guru pembimbing atau konselor, terutama tentang jenis-jenis layanan, kegiatan pendukung, manajemen dan penilaian dalam BK.
c.
Konteks tugas yang dibelajarkan kepada guru-guru pembimbing adalah kemampuan jenis-jenis layanan dan kegiatan pendukung BK, penilaian dan manajemen, dengan materi pengembangan pribadi, sosial, belajar dan karir. Hasil pelayanan konseling juga perlu dinilai, yang mana hal ini diperlukan untuk memenuhi akuntabilitas pelayanan itu sendiri. Tentu saja, mohon diperhatikan, penilaian BK itu berbeda dari penilaian oleh guru. Dalam penilaian oleh konselor itu ada penilaian segera (laiseg), penilaian jangka pendek (laijapen) dan penilaian jangka panjang (laijapang).
31)
P4TK Penjas/BK telah menspesifikasi tersendiri Pdoman Pelaksanaan Pelayanan Konseling pada Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (mengambil sepenuhnya dari Panduan Pengembangan Diri yang disusun Puskur).
80
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Dengan demikian, apabila pelatihan di P4TK Penjas/ BK itu dibatalkan “mencederai” intergritas BK, cedera apanya? Yang jelas cedera adalah konsep bahwa konselor tidak membelajarkan, sebagaimana menjadi pemahaman penulis “Krisis Identitas”. Cedera minimal dalam dua hal: satu, dari sudut keilmuan yaitu bahwa inti pendidikan adalah belajar dan pembelajaran, tidak ada pendidikan tanpa belajar dan pembelajaran; dua, tidak memahami dan mematuhi undang-undang (Pasal 39 ayat 2 UU No.20/2003).
H. RAKERNAS ABKIN DAN UPAYA “PENATAAN” Rakernas yang diawali oleh penolakan Dirjen Dikti atas permohonan ABKIN untuk beraudiensi, ABKIN tidak memahami penolakan atas permohonan mereka itu. Berkenaan Rakernas ABKIN pada 7 Januari 2007 di UNJ tentang upaya “penataan” oleh ABKIN, penulis “Krisis Identitas” menyatakan sejumlah hal yang butir-butinya berkenaan dengan: •
Arahan Dirjen Dikti (hlm 17)
•
Gangguan dari pemangku kepentingan DSPK (hlm 17)
•
Naskah akademik tandingan (hlm 17)
•
Kajian yuridis (18)
•
Pelibatan otoritas birokrat (18)
•
Pelanggaran ketentuan undang-undang (19)
•
Hasil berupa tujuh dokumen (17)
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
81
1. Rakernas ABKIN Amanat Dirjen dalam rakor: jangan sampai timbul “ABKIN Perjuangan”. Rakernas ABKIN bulan Januari 2007 diawali dengan permohonan ABKIN untuk beraudiensi dengan Bapak Dirjen Dikti dengan surat ABKIN No.37/PB-ABKIN/XII/2006 tanggal 23 Desember 2006. Rencananya audiensi yang diusulkan tanggal 5 Januari 2008 itu akan dihadiri oleh 31 orang. Sebelum mempertimbangkan permohonan tersebut terlebih dahulu diadakan semacam telaah staf. Setelah membaca hasil telaah staf akhirnya Bapak Dirjen Dikti tidak mengabulkan permohonan audiensi tersebut. Permohonan audiensi itu disusul undangan untuk menghadiri Raker ABKIN yang diselenggarakan di UNJ tanggal 5-7 januari 2007. Agaknya Bapak Dirjen tidak ingin menolak kedua permohonan itu, yaitu beraudiensi dan menghadiri/ membuka Raker. Akhirnya Bapak Dirjen memilih menghadiri Raker tanggal 7 januari 2008. dalam Raker tersebut, saya (Prayitno)32) melaporkan tentang pelaksanaan/perkembangan program PPk yang sudah buka di UNP. Satu hal yang menarik ialah, dalam pembicaraan beliau di depan peserta Raker beliau mengemukakan satu hal menarik dan menggigit, yaitu ungkapan kalimat: kalimat “jangan sampai timbul ABKIN Perjuangan”. Hal ini mencerminkan bahwa beliau telah melihat gelagat adanya ketidaksepahaman dalam tubuh ABKIN, terutama gejala kontra terhadap DSPK dan program PPK. 32)
Saya di undang untuk ikut Raker tetapi tidak termasuk kedalam daftar nama untuk beraudiensi
82
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Hal itu pulalah agaknya yang melatarbelakangi penolakan beliau atas usulan ABKIN untuk beraudiensi. Sebenarnyalah pernyataan beliau “jangan sampai timbul ABKIN Perjuangan” hendaknya diterima dan dicermati sebagai arahan beliau kepada peserta Raker untuk menjaga kekompakan dan keharmonisan di antara peserta Raker khususnya dan anggota ABKIN pada umumnya. Kegiatan Raker tanggal 7 Januari 2008 menghasilkan terbentuknya sejumlah tim yang ditugasi untuk bekerja menyusun berbagai panduan ABKIN tentang BK. Saya (Prayitno) memimpin salah satu tim untuk menyusun rambu-rambu pendidikan BK. Di samping itu, saya juga mengusulkan untuk diperkenankan memberikan usulan kepada tim-tim lain. 2. Suasana Kerja Tidak boleh ada gangguan: masukan pun dianggap konsep tandingan. a. Tidak Boleh Diganggu Saya baru tahu setelah membaca buku “Krisis Identitas” bahwa suasana kerja tim dalam berbagai kesempatan dikategorikan oleh penulis “Krisis Identitas” sebagai, banyak mendapat banyak gangguan yaitu pada pertemuan di Malang Yogyakarta, Semarang (hal 18)33), gangguan apa yang dimaksudkan itu? Saya menjadi berpikir-pikir, mungkin inilah (antara lain, barangkali) yang dimaksud gangguan akademik: 33)
Dalam buku “Krisis Identitas” disebutkan adanya pertemuan di Bukittinggi dan Manado (hlm. 18). Pertemuan di kedua kota itu adalah pertemuan FIP/JIP seluruh Indonesia yang tidak ada kaitannya dengan Raker tanggal 7 Januari 2008 dan tindak lanjutnya. Memang ada beberapa orang yang mencoba membawa permasalahan ABKIN ke pertemuan khusus Jurusan/ Prodi BK. Cara-cara seperti itu mencampuradukkan antara persoalan ABKIN dengan persoalan jurusan/prodi.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
83
1) Laporan saya kepada Bapak Dirjen ABKIN dalam raker ABKIN. Waktu beliau hadir pada Raker tanggal 7 januari 2008 di UNJ, Saya melaporkan pelaksanaan/ perkembangan program PPK di UNP. Memang benar PPK di UNP yang di buka sejak tahun 1999 itu kemudian mendapat penguatan dari DSPK (diberlakukan oleh Dikti 2004) ,dan bahkan mendapat legitimasi perundangan dengan ditetapkannya konselor sebagai salah satu jenis pendidik dan dinyatakan bahwa salah satu jenis program pendidikan di perguruan tinggi adalah program pendidikan profesi (UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Agaknya laporan saya kepada Bapak Dirjen tentang PPK itu dianggap sebagai gangguan akademik. Rupanya pimpinan Raker menghendaki agar peserta Raker diam saja. Menerima apa yang dibeberkan. Tahu-tahu saya melapor, dan laporan saya itu “menyinggung” mereka, karena ternyata kemudian mereka (setidak-tidaknya penulis “Krisis Identitas“) sudah bersikap kontra terhadap DSPK dan PPK (PPK di UNP) 2) Agaknya dianggap gangguan juga ketika hampir di setiap kesempatan saya mengingatkan agar temanteman tidak mengabaikan atau mengesampingkan aturan perundangan yang berlaku. Dalam kajian yuridis, bersikap kritis boleh, tetapi jangan sampai tidak mau menggunakan dan memberikan arti yang berbeda terhadap peraturan perundangan yang ada. Kajian yuridis yang mereka lakukan justru seringkali bertabrakan dengan peraturan yang ada itu, seperti sebagaimana telah dibahas/diuraikan terdahulu antara lain terhadap. • SK Menpan, SK Mendikbud dan BAKN yang mengatur
eksistensi BK dan kedudukan serta tugas guru pembimbing dan kepengawasannya.
•
84
UU No.20/2003 yang ada kaitanya dengan pendidikan----karena konselor adalah pendidik. Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
•
PP 19/2005
•
Permendiknas dan KTSP, khususnya yang di dalamnya ada substansi bimbingan dan konseling.
•
DSPK dan PPK
•
Panduan pelaksanaan BK di sekolah yang sudah ada dan kegiatan kepengawasannya
•
Panduan pelayanan konseling yang ada di dalam panduan pengembangan diri
Peringatan saya itu dianggap sebagai gangguan akademik. Peringatan tersebut tidak didengar dan bahkan dianggap gangguan dan diabaikan atau diartikan lain. Ternyata banyak hal yang saya ingatkan itu menjadi ganjalan dalam semua konsep dan pemikiran yang ada di dalam buku “Krisis Identitas“. 3) Hal yang cukup menarik adalah disikapinya masukan saya untuk penyusunan konsep naskah akademik sebagai naskah akademik tandingan. Bagaimana disebut tandingan, padahal kegiatan penyusunan berbagai pedoman/panduan baru saja dimulai. Saya memang memberikan masukan yang cukup luas dalam format yang sudah tertata, namun kiranya pimpinan “di atas” arah pikirannya sudah terpola sehingga tidak bisa lagi diberi masukan. Apa yang datang dari pihak lain justru dianggap tandingan yang tidak boleh ada, dan kalau ada harus ditolak/disingkirkan34). 4) Gangguan yang dianggap besar pula mungkin adalah apa yang saya kemukakan dalam pertemuan di Semarang, pada waktu semua tim khusus menyiapkan draf panduan yang akan dibawa ke Konvensi Nasional XV ABKIN di Palembang 1-3 Juli 2007. 34)
Tentang tandingan ini, nanti saya akan kemukakan bahwa produk-produk yang dihasilkan oleh kegiatan pasca Raker bulan Januari 2007, dan juga sebelumnya, adalah tandingan terhadap apa yang sudah diberlakukan oleh pemerintah.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
85
Dalam pertemuan itu oleh PB diedarkan surat resmi yang sudah jadi yang siap diedarkan khalayak (Pengurus Daerah) yang memberitahu bahwa PB telah menyelesaikan seperangkat panduan yang akan segera menggantikan panduan-panduan yang sudah ada, sehingga panduan-panduan yang sudah ada itu tidak berlaku lagi. Surat tersebut, saya usulkan agar diganti, sebab panduan-panduan itu belum jadi, baru difinalkan dan akan dibawa ke Palembang. Lagi pula, apa hak ABKIN untuk mengganti panduan-panduan resmi yang berlaku. Usulan saya itu didukung oleh sebagian teman yang hadir. Rupanya apa yang saya lakukan itu dipandang sebagai gangguan atau malahan pelanggaran yang berat, padahal apa yang mereka lakukan itu merupakan kebohongan publik dan mengarah kepada sikap arogansi yang melampaui hak dan kewenangan sebagai organisasi di luar lembaga resmi. Mengapa saya berani melakukan hal-hal tersebut di atas, karena posisi saya sebagai Dewan Pembina dalam jajaran PB. Saya benar-benar merasa ikut bertanggungjawab atas keadaan dan pengembangan ABKIN. Rupanya apa yang saya lakukan diterima sebagai gangguan.
b. Produk Final Diganti Produk final yang sudah secara resmi dibicarakan dalam Konvensi Nasional diganti dengan materi yang entah dari mana datangnya Salah satu fenomena yang menarik adalah produk final yang merupakan hasil kerja Tim yang dibentuk ABKIN, yang sudah dibawa, disajikan dan dibahas dalam konvensi
86
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Nasional XV di Palembang, akhirnya tidak tentu rimbanya, dan ternyata diganti 100 % dengan naskah lain. Nasib seperti itu merupakan hasil Tim saya yang berjudul Rambu-rambu Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Konselor; diganti dengan naskah lain dengan judul yang sama, isi dan jajaran penulisnya sama sekali berbeda)35). Kabarnya produk-produk yang lain pun beberapa di antaranya mengalami nasib yang sama dangan hal di atas. Dalam hal itu agaknya, bagi penulis “Krisis Identitas”tim yang dibentuk secara resmi dan bekerja dengan sepenuh hati, serta penyajian dan pembahasan dalam Konvensi Nasional tidak banyak artinya; yang menentukan semuanya adalah yang “di atas” sana.
3. Produk Hasil “Penataan” Produk penataan yang menghasilkan krisis identitas.
a. Berbagai produk diberitakan telah dihasilkan dalam rangka penataran oleh ABKIN. 1) Telah pula diberitakan bahwa ada 7 (tujuh)36) buku pedoman/rambu-rambu/panduan yang disetujui dan ditandatangani oleh Bapak Dirjen Dikti: Apa cermati Kata Pengantar dari buku-buku yang maksudkan itu akan ditemui 9 (sembilan) tema, padahal bukannya hanya 7 (tujuh), sebagai berikut: 35)
Saya sangat bisa menduga mengapa naskah final saya itu diganti, yaitu karena dasarnya adalah UU. No. 20/2003, PP No. 19/2005, DSPK dan menampilkan program PPK
36)
Rangkuman Eksekutif tidak dianggap sebagai buku panduan
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
87
(a) Tema: Naskah Akademik, dengan judul (yang ternyata berbeda-beda untuk satu hal yang sama): •
Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor
•
Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam jalur Pendidikan Formal
•
Naskah Akademik Pendidikan Profesional Konselor dan Penataan, Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (b) Tema: Pendidik Profesional Konselor •
Rambu-rambu Penyelenggaraan Pendidik Profesional Konselor Prajabatan
•
Rambu-rambu Penyelenggaraan Pendidik Konselor Prajabatan Terintegrasi
•
Rambu-rambu Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Konselor
(c) Tema: BK Jalur Pendidikan Formal •
Pedoman Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal
•
Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal
(d) Tema : Sertifikasi Konselor, dengan judul: •
88
Rambu-rambu Penyelenggaraan Sertifikasi Konselor Dalam Jabatan Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
(e) Tema: Pendidik Konselor, dengan judul: •
Rambu-rambu Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Pendidik Konselor Prajabatan
(f) Tema: Kompetensi Konselor, dengan judul: •
Standar Kompetensi Konselor
(g) Tema: Pendidik Konselor, dengan judul: •
Standar Kompetensi Pendidik Konselor
(h) Tema: Kemampuan Dasar, dengan judul: •
Rambu-rambu Program Penyetalaan Kemampuan Pendidik Konselor dalam Jabatan
(i) Tema: Izin Praktik, dengan judul: •
Pedoman Penerbitan Izin Praktik bagi Konselor
2) Demikian judul-judul buku produk yang katanya ada, sebagaimana diidentifikasi melalui pencermatan Kata Pengantar buku-buku itu. Sekarang kita perhatikan apa yang tertulis di dalam buku ”Krisis Identitas” tentang produk yang dimaksud (sebagai judul buku-buku hasil ”penataan”? ), yaitu meliputi (halaman 17): (a) Rambu-rambu Penyelenggaraan Program S1-Bimbingan Konseling dilengkapi dengan Standar Kompetensi Konselor, yang disambung dengan Pendidikan Profesi Konselor, yang disambung dengan Pendidikan Profesi Profesional Pendidik Konselor berupa (b) Rambu-rambu Penyelenggaraan Program S-2 Bimbingan dan Konseling yang dilengkapi dengan Standar Kompetensi Profesional Pendidik Konselor yang juga Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
89
disambung dengan Pendidikan Profesi Pendidik Konselor. (Kutipan ini diambil setepat-tepatnya dari buku ”Krisis Identitas”) (c) Pedoman Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (d) Rambu-rambu Sertifikasi Konselor Dalam Jabatan (e) Rambu-rambu Penyelenggaraan Program Pengetahuan Kompetensi Pendidik Konselor (f) Pedoman Penelitian Izin Praktik b. Tanggapan terhadap Produk “Penataan” Ada tema fiktif; satu tema, judul bukunya lebih dari satu dan berbeda-beda; tidak konsisten dan tidak cermat. 1) Tema produk ada 9 (sembilan), kenyataan yang menjadi buku hanya 6 (enam). Dalam hal ini tampaknya kepada Bapak Dirjen 37) Dikti diususlkan untuk menyetujui sembilan tema meski pun kenyataan menjadi bukubuku hanya ada enam. Adalah terlalu vulgar kiranya kalau dikatakan bahwa di sana ada tema-tema yang difiktifkan oleh yang merancang produk yang (hendak) dibukukan itu. 37) Termasuk satu buku untuk Bapak Dirjen PMPTK
90
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
2) Tentu lucu, adanya kenyataan satu tema dan bukunya hanya satu, tetapi judul yang terpampang di berbagai tempat (yaitu Kata Pengantar) tertulis berbeda-beda, padahal di situ terdapat tanda tangan figure yang sangat terhormat, yaitu Bapak Dirjen Dikti dan Bapak Dirjen PMPTK dengan cap lembaganya. 3) Mengenai substansi dari produk-produk yang berupa buku itu bias dibayangkan kadarnya dengan memperhatikan bahwa para penyusun yang menghasilkan buku-buku itu dalam kondisi sebagai berikut: Produk yang berupa buku-buku itu substansinya diragukan kesahihan dan keterandalannya; menyempitkan dan menyimpangkan makna aturan perundangan
(a) Tidak memahami bahwa kelemahan UU No. 2/1989, danbahwasanya turunannya berupa SK Menpan No. 026/1989, telah diatasi dengan diberlakukannya SK Menpan No. 84/1993, SK Mendikbud dan Kepala BAKN No. 0433/P/1993 dan No. 025/0/1995, serta SK Menpan No. 118/1996. Dengan SK-SK yang baru tersebut sosok Guru Pembimbing telah mulai tampil setara dengan Guru Mata Pelajaran. Posisi dan spesifikasi tugas pengampu layanan BK pada waktu it terus berlanjut sampai sekarang, telah diatur dan dikembangkan. Tanpa memahami dan mempertimbangkan perkembangan yang terjadi waktu itu, maka produk-produk yang dihasilkan oleh upaya “penataan” itu diragukan kesahihan dan Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
91
keterandalannya. b) Mencederai makna UU. No 20/2003 tantang Sistem Pendidikan Nasional yang disempitkan maknanya, sehingga seolah-olah hanya bias dipakai untuk konteks tugas guru, dan tidak bisa digunakan untuk tugas konselor (hlm. 14 buku “Krisis Identitas”). Produk yang berpandangan sempit seperti itu berarti berada di luar undang-undang dan tidak dapat menjadi muatan atau pun sarana dalam rangka implementasi undang-undang tersebut. (c) Secara terang-terangan berani melanggar Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi melalui ketidakpahamannya tentang makna Pasal 5 ayat 1 PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (hlm. 9 buku “Krisis Identitas”), menjadikan produk-produk itu dengan sendirinya terpental dari aturan yang dimaksudkan itu dan tidak relevan dengan maksud pengimplementasian aturan perundangan tersebut. Oposisi terhadap DSPK dan panduan BK yang disusun Puskur/P4TK Penjas dan BK (d) Bersikap apriori terhadap DSPK, padahal dokumen Dikti ini sejak tahun 2004/2005 secara luas menjadi acuan bagi pengembangan profesionalitas BK di LPTK-LPTK. Dokumen-dokumen hasil “penataan” tersebut tampaknya disengaja untuk membelokkan atau bahkan menentang arus yang sedang berkembang menuju BK professional, termasuk program PPK di dalamnya. (e) Dengan juga bersikap oposisi terhadap panduan Pelayanan Konseling yang dikembangkan oleh
92
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Puskur dan P4TK Penjas dan BK, produk-produk tersebut hendak membelokkan atau bahkan menentang arus berkenaan dengan konsolidasi aturan dan kinerja Guru Pembimbing menuju peran dan kinerja konselor yang lebih bermartabat. Arah konsolidasi ini menjadi semakin jelas dan cerah dengan diberlakukannya Permendiknas No. 27/ 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (SKAKK). Standar kualifikasi konselor, yaitu S1BK plus PPK dan standar kompetensi konselor yang dapat diberi label “Kompetensi BK Pola 17” (karena meliputi 17 bidang kompetensi) secara langsung akan menyegerakan LPTK (jurusan/prodi BK) untuk mengembangkan program Sarjana (S-1) BK beserta PPK-nya. Upaya tersebut akan didorong lagi, apabila satu aturan pokok yang disebutkan di dalam Permendiknas No. 17/2008 hendak dilaksanakan secara konsekuen, yaitu bahwa: Penyelenggaraan pendidikan yang satuan pendidikannya memperkerjakan konselor wajib menerapkan standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri paling lambat 5 tahun setelah Peraturan Menteri ini mulai diberlakukan.
Buku “Standar Kompetensi Konselor” hasil produk “penataan “ABKIN perlu ditarik dari peredaran karena substansinya tidak sesuai dengan Permendiknas No. 27/2008. Demikan juga buku-buku yang di dalamnya memuat “standar kompetensi konselor” dinyatakan cacat substansi dan harus ditarik dari peredaran.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
93
(f) Secara spesifik, dengan diberlakukannya Permendiknas No. 27/2008 itu, produk-produk di atas yang di dalamnya memuat apa yang mereka namakan “standar kompetensi konselor” secara langsung tidak dapat digunakan, karena “standar” yang mereka rumuskan pada produk itu secara pasti berbeda dari substansi yang ada di dalam Permendiknas No. 27/2008, yaitu: -
Buku yang berjudul Standar Kompetensi Konselor
-
Buku-buku yang di dalamnya terkandung tentang “standar kompetensi konselor”
Buku-buku tersebut cacat substansi karena tidak sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku, sehingga tidak layak edar. Hak menyusun kompetensi pendidik ada di tangan BSNP. Buku ABKIN tentang hal itu berada di luar kewenangan/prosedur yang berlaku. (g) Secara spesifik pula terhadap tiga produk itu yang bukunya belum ada, yaitu: (i)
94
Tema “kompetensi pendidik konselor” dengan buku (mungkin sedang direncanakan) Standar Kompetensi Pendidik Konselor. Perlu diketahui bahwa badan yang berwenang menyusun standar kompetensi pendidik adalah BSNP, bukan ABKIN, yang nantinya hasilnya akan dijadikan Permendiknas.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Panduan izin praktik profesi hanya valid kalau disusun dan diberikan oleh pihak yang berpengalaman praktik profesi yang dimaksud. (ii)
Tema “Izin Praktik” dengan bukunya ( mungkin sedang direncanakan) Pedoman Penerbitan Izin Praktik Konselor. Perlu diketahui bahwa siapa yang layak memberikan izin praktik ialah mereka yang sudah berpengalaman praktik yang dimaksudkan itu. Jadi, kalau belum pernah, lalu memberi izin tentang praktik itu, apalagi ini adalah praktik professional, kan lucu jadinya)38)
(iii) Tema “pernyetalaan dosen” dengan bukunya Rambu-rambu Program Penyetalaan Kemampuan Pendidik Konselor Dalam Jabatan. Perlu diketahui bahwa dewasa ini telah mulai dilaksanakan program sertifikasi seperti itu, disamping itu, program penyetalaan seperti akan memberikan beban tambahan yang tidak perlu bagi dosen-dosen BK.
38)
Pada waktunya nanti masyarakat profesi konseling akan mempunyai lembaga Konsil Konseling Indonesia (semacam Konsil Kedokteran Indonesia) badan independen yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil dari organisasi profesi, lembaga pendidikan profesi, lembaga pelayanan profesi, tokoh masyarakat, dan Depdiknas. Konsil ini akan memiliki otoritas luas dalam pengembangan dan produk pelayanan profesi, termasuk di dalamnya izin praktik
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
95
(h) Buku Rambu-rambu Penyelenggaraan Sertifikasi Konselor dalam jabatan juga menjadi tandingan terhadap program sertifikasi guru dalam jabatan (guru di sini artinya Guru Pembimbing) yang akan membebani mereka. Lebih baik mereka diberi kesempatan untuk mencapai kualifikasi …. PPK sebagaimana diamanatkan oleh Permendiknas No. 27/2008 (i) Buku Rambu-rambu Penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional Pendidik Konselor, seperti mengada-ada, seperti gado-gado, program akademik dicampur profesi; justru akan merancukan, mana program akademiknya mana program profesinya. Laksanakan saja program luas seperti diutarakan oleh undang-undang, ambil S1 BK, lanjut PPK, dan lanjut S1/S2 BK, atau S1 BK, lanjut S2/S3 BK, dan ambil PPK. Jelas tegas, operasional dan lembaganya sepertinya diada-adakan.
Produk yang berupa tujuh buku ABKIN itu disusun dengan mencederai aspekaspek prosedural, kolegialitas, transparansi, keilmuan dan kepatuhan kepada aturan perundangan.
4) Produk-produk yang akhirnya berbentuk buku itu, menurut mekanisme dan suasana penyusunnya tampaknya jauh dari prosedur, tidak seperti yang ditempuh dalam penyusunan DSPK, apalagi Permendiknas yang keduanya disikapi kontra oleh penulis “Krisis Identitas”. Kontra dari penyusunan seperti DSPK misalnya, yang di sana
96
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
ada beberapa telaah kemajuan dan sanctioning secara luas dan mendalam, sebaliknya penyusun produk yang menjadi keenam buku justru mencurigai masukan, tidak transparan dan diputuskan di tingkat atas saja. Sampai-sampai otoritas Konvensi Nasional pun ditanggalkan, sampai-sampai ada produk Konvensi Nasional yang dilibas begitu saja dan diganti oleh “produk” lain yang entah dari mana datangnya. Ironisnya lagi, ialah, kalau dalam dinamika penyusunannya dinafikan adanya masukan-masukan tandingan, banyak di antara produk -produk “penataan” justru merupakan tandingan atau pun penyimpangan terhadap ketentuan yang sudah diberlakukan oleh pemerintah. DSPK diberikan tandingan berupa rambu-rambua pendidikan professional konselor versi mereka; program PPK diberikan tandingan dengan rambu-rambu Program PPK versi mereka; KTSP menurut Permendiknas No. 22/2005 ditandingi oleh konsep kurikulum versi mereka. Produk yang dihasilkan itu digunakan untuk merebut lahan garapan yang selama ini tidak mereka kuasai. 5) Tanggapan kunci: sepertinya, kalau produk-produk “penataan” seperti diutarakan di atas sukses dipergunakan di dalam kiprah dinamikanya upaya profesionalisasi BK di tanah air, penulis “Krisis identitas” dan sejawatnya serta para aktivisnya yang mendorong terwujudnya produk-produk tandingan akan menguasai lahan garapan (di sini dipakai istilah yang digunakan penulis “Krisis Identitas”) yang luas, empuk dan subur. Lahan seperti itu, kalau itu memang ada, mereka bayangkan sekarang sedang dikuasai pihak lain; dari “penguasa lama” itulah lahan itu harus direbut. Apa ini yang dimaksud oleh penulis “Krisis Identitas” motif altruistik yang harus diperkuat? Kalau memang benar seperti itu yang Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
97
terjadi, benarlah kita berada dalam krisis identitas yang memerlukan kekuatan besar untuk mengatasinya.
4. Pelibatan Otoritas Birokrasi Otoritas birokrasi, dikritik dan dikejar. Terbaca, penulis “Krisis” Identitas mengkritik keterlibatan otoritas birokrasi berlawanan dengan profesionalisasi BK (hal 8 dan 18), namun ternyata dalam mengupayakan terwujudnya produk-produk yang digambarkan di atas otoritas birokrasi di atas justru diharapkan dan dikejar untuk merestui dan mendukungnya. a. Dari Gagal Audiensi sampai Produk Tandingan Meskipun gagal beraudiensi kepada Dirjen Dikti, pimpinan Raker tanggal 7 Januari 2007 merasa bangga atas kunjungan Bapak Dirjen Dikti itu. Tanpa memperhatikan peringatan Dirjen bahwa “jangan sampai timbul ABKIN Perjuangan”, pimpinan Raker menganggap kunjungan Dirjen itu sebagai restu dan dukungan penuh atas hasilhasil Raker nantinya dan segala sesuatu yang dari ABKIN. Peringatan atau pesan Dirjen itu tentunya dimaksudkan agar Raker itu dan kegiatan-kegiatan selanjutnya berjalan lancar, terbuka, transparan, harmonis, kolegial, keilmuan dan sebagainya, untuk mencapai hasil yang terbaik. Kenyataannya berbeda, bahkan sebaliknya dan yang dipesankan itu. Sepertinya, apa yang dilakukan untuk mengejar produk-produk yang dimaksud, segalanya sudah dipolakan “dari atas” sehingga masukan-masukan dianggap sebagai gangguan, bahkan dianggap tandingan. Pertemuan-pertemuan kerja tim, bahkan Konvensi Nasional pun diperlakukan hanya sekedar sebagai formalitas saja, sehingga hasil-hasilnya bisa dikesampingkan begitu saja dan diganti dengan naksah lain yang disiapkan “dari atas”. Pernyataan dari Dewan Pembina pun tidak
98
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
diacuhkan, sampai-sampai anggota Dewan Pembina itu tidak dilibatkan lagi dalam berbagai kegiatan. Hasil produk telah dipolakan “dari atas”, masukan dianggap tandingan; peringatan, kepercayaan, dan dukungan dari birokrasi dicederai; mengejar lahan garapan mejadi motivasi dasar.
Produk-produk terakhir ditentukan oleh para elit “dari atas” dengan arah yang sudah dipolakan sejak awal. Tidak ada telaah yang intensif, tidak ada verivikasi, tidak ada pembahasan kolegial yang terbuka, sanctioning atau uji publik, apalagi uji coba, sehingga kenyataan pelanggaran terhadap aturan acuan yang sudah ada dan arah-arah tandingan menjadi terpateri di dalam produk-produk itu.Yang penting adalah, produk harus selesai, dan mengejar lahan garapan dengan kedok manis “motif altruistik”. Upaya “kejar tayang” membuahkan hasil. Tujuh naskah (tandingan) siap di bawa ke otoritas birokrasi (tu kan, otoritas birokrasi juga). Rupanya dirasakan juga bahwa tanpa tanda tangan dan cap dari birokrasi produk-produk itu tidak bisa dipasarkan. Produk-produk itu tidak memiliki kekuatan atau nilai instrinsik untuk pengembangan profesi BK di tanah air. Oleh karenanya tanda tangan dan cap harus diperoleh, bagaimanapun juga caranya. Dibubuhkan tanda tangan dan cap Dirjen pada produk-produk tersebut merupakan bukti bahwa Bapak Dirjen memang menghargai dan mempercaya ABKIN. Hal itu memang tidak diragukan lagi. Kenyataan menunjukkan bahwa Bapak Dirjen (Prof. Dr. Ir. Satriyo Brojonegoro) selama belasan tahun menjabat di Dikti bersama dengan Bapak Direktur PPTK-KTP (Prof. Dr. Sukamto, M.Sc) sangat Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
99
besar perhatian dan jasa beliau untuk pengembangan keprofesian BK. Untuk itu seluruh masyarakat BK di tanah air mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.Dengan demikian, yang dipersoalkan di sini bukanlah tanda tangan Bapak Dirjen dan cap Dikti, melainkan substansi produk-produk itu yang diakui sendiri oleh penulis buku “Krisis Identitas” memang ada ketidak sesuaian dan bahkan pelanggaran terhadap berbagai aturan resmi yang diberlakukan oleh pemerintah. Dan lagi, produkproduk itu justru merupakan produk-produk tandingan yang minimal dapat merancukan, membahayakan dan mengkedalai kondisi lapangan dan pelaksanaan pelayanan konseling, khususnya di sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan formal lainnya. Dalam pada itu, memang ada pertanyaan bagaiman legitimasi dari Dikti itu bisa diperoleh mengingat pada waktu itu sedang terjadi mutasi cukup menyeluruh di lingkungan Dikti dan juga PMPTK. b. Dari Produk Tandingan sampai Intervensi Kelembagaan. Lahan mulai digarap, melampaui peran dan etika kelembagaan Merasa seperti mendapat modal dan peralatan yang cukup canggih, yaitu dengan adanya tanda legitimasi di atas produk-produk yang dihasilkan itu, pemilik produk mulai melangkah menggarap lahan yang di rasa telah direbutnya39). LPTK, khusus jurusan/prodi BK dimasukinya dengan arah pengembangan kurikulum, kegiatan akademik, dosen dan lain-lain, padahal undang-undang menyatakan (UU No. 20/ 2003 Pasal 38): 39)
Direbut dari siapa? Diyakini, dalam hal-hal yang dipersoalkan itu, tidak ada pihak yang merasa bahwa lahan garapan telah direbut, kecuali orang yang mempersoalkannya seperti tersebut pada buku “Krisis Identitas” (hlm. 21)
100
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Ayat (3) :
Kurikulum perguruan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi
Ayat (4) :
Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguaruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi
Tanpa izin dari Dikti atau Rektor misalnya 40) mereka “pemilik” produk-produk (tandingan) itu memanggili pemegang otoritas program di fakultas untuk bidang BK dalam rangka sosailisasi dan sekaligus implementasi produkproduk “tandingan” itu41). Kegiatan itu dikerjakan secara intensif, layaknya “kejar tayang” saja. Dalam suasana seperti itu, Rektor UNP bersama dua orang pimpinan BK/PPK diundang oleh Direktur Ketenagaan Dikti pada 19 Februari 2008 menghadiri pertemuan berkenaan dengan lulusan PPK/BK. Pada pertemuan resmi itu pemangku kepentingan produk-produk itu mengemukakan perihal telah disahkannya produk yang berbentuk tujuh buku itu, dan siap untuk disosialisasikan. Dua personalia PPK/BK dari UNP yang hadir, yang sangat berkepentingan dengan produk-produk ABKIN, merasa tidak tahu-menahu tentang pengesahan tersebut, . Kemudian terjadi perbincangan yang cukup intensif dan seru, dengan materi bahasan tentang bagaimana produk-produk itu bisa dibawa ke Dikti. Padahal sejak berakhirnya Konvensi Nasional di Palembang tidak terdengar beritanya. Tiba-tiba diedarkan buku-buku yang telah disahkan. 40)
Tidak seperti DSPK, misalnya yang disusun dan disosialisasikan dan diinstruksikan oleh Dikti untuk digunakan oleh jurusan/prodi BK di LPTK, produk-produk (tandingan) itu tidak diinstruksikan oleh Dikti untuk diimplementasikan pada jurusan/prodi BK
41)
Kondisi tandingan itu antara lain terhadap DSPK, program PPK, kurikulum BK, sertivikasi dosen dan PLBK
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
101
Akhirnya, pada waktu itu diusulkan agar ketujuh buku itu substansinya dibenahi dulu sebelum disosialisasikan. Rektor UNP dengan tekun mengikuti semua hal yang dibicarakan sehingga beliau tahu persis seluk-beluk ketujuh buku yang dipersoalkan itu. Pada 14-15 Maret di Bandung diadakan Rakor untuk membahas (atau sekaligus mensosialisasikan?) ketujuh buku itu. Kembali usul perubahan terlebih dahulu diusulkan, agar substansi produk-produk itu secara mulus dipakai dan diterima oleh khalayak. Rupanya dengan semangat “kejar tayang” untuk menggarap lahan, ketujuh buku dengan format dan substansi tetap sebagaimana tampilannya dalam pembahasan di kantor Direktorat Ketenagaan, yang mana isi bahasan dan usul-usul dikemukakan di kantor tersebut, serta Rakor di Bandung, meminta untuk terlebih dahulu membenahi substansi buku-buku itu, diabaikan sama sekali, tahu-tahu buku-buku hasil ”penataan” tersebut disampaikan oleh pemangku ketujuh buku itu kepada Rektor-Rektor LPTK seluruh Indonesia. Nah, Rektor UNP mengetahui permasalahan selukbeluk ketujuh buku itu dan usul-usul perubahannya, sangat terkejut atas tindakan pemangku kepentingan produk-produk tandingan itu. Rektor UNP kemudian, dengan memperhatikan ketentuan pasal/ayat sebagaimana dikutip di atas, merespons. Tidaklah berlebihan apabila Rektor yang sangat memperhatikan dan merasa berkepentingan serta ikut bertanggungjawab atas perkembangan profesi BK, mengharapkan agar organisasi ABKIN (a) memperhatikan aturan perundangan yang berlaku, (b) tidak mencampuri urusan perguruan tinggi yang menjadi hak perguruan tinggi untuk mengurusnya, dan (c) menempuh strategi status quo untuk urusan BK yang menyangkut perguruan tinggi, artinya tidak menyodor-nyodorkan apalagi memaksakan produkproduk barunya itu42). 42)
Untuk lahan garapan di satuan-satuan pendidikan, intervensi pemangku produk-produk tandingan itu tidak kurang gencarnya. Di sana ada peran Puskur, P4TK Penjas/BK, Bin Diklat/PMPTK, dan Ditjen Mandikdasmen yang akan menaggapi kegiatan merebut lahan itu.
102
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Untuk respons yang wajar itu tentu saja didukung dan diamankan oleh Dekan FIP dan Ketua Jurusan BK UNP. Inilah hal yang dianggap sebagai gangguan akademik oleh penulis “Krisis Identitas” (hlm. 18).
I. ARAH PROFESIONALISASI BK Pengembangan dan pembinaan profesi konseling diupayakan sehingga memenuhi seoptimal mungkin ciri-ciri profesi, komponen trilogi profesi, dan kemartabatan profesi. Profesi BK di tanah air telah dibina secara berkelanjutan setidaknya-tidaknya sejak didirikannya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI, tahun 1975), dan lebih intensif lagi sejak tahun 1993 yang mana pada waktu itu dirangkai dan diposisikan secara jelas sosok dan kinerja konselor dengan sebutan guru pembimbing sebagai pelaksana pelayanan BK di satuan pendidik formal. Sampai sekarang sesedikit- demi sedikit sosok dan kinerja itu telah semakin kokoh dihayati dan diupayakan untuk pelaksanaannya. Tugas semua pihak, siapa pun yang menjadi pemangku kepentingan dari perkembangan profesi konseling, adalah pertama-tama menciptakan suasana yang kondusif bagi pengembangan profesi itu sendiri, serta memberikan rangsangan yang benarbenar mengarahkan semua pihak untuk pengembangan yang dimaksudkan secara optimal. Usaha-usaha yang bersifat tandingan, perebutan lahan yang menimbulkan kerancuan sebagaimana menjadi tema sentral penulisan buku “Krisis Identitas” hendaknya dikritisi. Kalau pun berbagai kendala dan krisis identitas diakui dan memang ada, hal itu menjadi kewajiban semua pihak untuk mengatasinya.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
103
1. Ciri-ciri Profesi Ciri-ciri pekerjaan profesional itu telah banyak ditulis oleh para pakar, yang keseluruhannya dapat dikembalikan kepada tulisan Abraham Flexner tahun 191543) yang melihat ciri-ciri profesi dalam enam karakteristik, yaitu: keintelektualan, kompetensi profesional yang dipelajari, objek praktik spesifik, komunikasi, motivasi altruistik, dan organisasi profesi. a. Keintelektualan. Kegiatan profesional merupakan pelayanan yang lebih berorientasi mental daripada manual (kegiatan yang memerlukan keterampilan fisik); lebih memerlukan proses berpikir daripada kegiatan rutin. Melalui proses berpikir tersebut, pelayanan profesional merupakan hasil pertimbangan yang matang, berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. b. Kompetensi profesional yang dipelajari. Pelayanan profesional didasarkan pada kompetensi yang tidak diperoleh begitu saja, misalnya melalui pewarisan “ilmu” dari pewaris kepada keturunannya, melainkan melalui pembelajaran secara intensif. Kompetensi profesional itu tidak diperoleh dalam sekejap, misalnya melalui mimpi, melalui semedi atau bertapa sekian lama, atau melalui penyajian sesaji kepada pemegang tuah sakti. Seorang profesional harus dengan sungguh-sungguh, serta mencurahkan segenap pikiran dan usaha, untuk mempelajari materi keilmuan, pendekatan, metode dan teknik, serta nilai berkenaan dengan pelayanan yang dimaksud. c. Objek praktik spesifik. Pelayanan suatu profesi tertentu terarah kepada objek praktik spesifik yang tidak ditangani oleh profesi lain. Tiap-tiap profesi menangani objek praktik spesifiknya sendiri. 43)
Dalam Full, H. 1967. Controversy in American Education: An Onthology of Crucial Issues. London: Collier-McMillan Limited
104
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Dokter sebagai tenaga profesional misalnya menangani penyembuhan penyakit, psikolog memberikan gambaran tentang kondisi dinamik aspek-aspek psikis individu, sedangkan psikiater menangani ketidakseimbangan atau penyakit psikis, apoteker menangani pembuatan obat, akuntan menangani perhitungan keuangan berdasarkan peraturan yang berlaku, konselor menangani individuindividu normal yang mengalami masalah dalam kehidupan sehari-hari. Secara lebih umum misalnya, untuk guru dan konselor, yang keduanya adalah pendidik, dapat ditanyakan apa objek praktik spesifik pekerjaan pendidik profesional? Tidak lain adalah pelayanan berkenaan dengan pelaksanaan proses pembelajaran terhadap peserta didik dalam bidang pelayanan yang menjadi kekhususan pekerjaan guru atau konselor. Objek praktik spesifik masing-masing profesi tidaklah tumpang tindih sehingga satu profesi dengan profesi lainnya tidak saling mengaku objek praktik spesifiknya sama dengan objek praktik spesifik profesi yang berbeda. Objek praktik spesifik profesi konselor dan guru adalah berbeda dan memang harus dibedakan secara tegas. d. Komunikasi. Segenap aspek pelayanan profesional, meliputi objek praktik spesifik profesinya, keilmuan dan teknologinya, kompetensi dan dinamika operasionalnya, aspek hukum dan sosialnya, termasuk kode etik dan aturan kredensialisasi, serta imbalan yang terkait dengan pelaksanaan pelayanannya, semuanya dapat dikomunikasikan kepada siapapun yang berkepentingan, kecuali satu hal, yaitu materi berkenaan dengan asas kerahasiaan yang menurut kode etik profesi harus dijaga dan tidak dibocorkan kepada siapapun. Komunikasi ini memungkinkan dipelajari dan dikembangkannya profesi tersebut, dipraktikkan dan diawasi sesuai dengan kode etik, serta diselenggarakan perlindungan terhadap profesi yang dimaksud. e. Motivasi altruistik. Motivasi kerja seorang profesional bukanlah berorientasi kepada kepentingan dan Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
105
keuntungan pribadi, melainkan untuk kepentingan, keberhasasilan, dan kebahagiaan sasaran layanan, serta kemaslahatan kehidupan masyarakat pada umumnya. Motivasi altruistik diwujudkan melalui peningkatan keintelektualan, kompetensi dan komunikasi dalam menangani objek praktik spesifik profesi. Motivasi altruistik ini akan menjauhkan tenaga profesional mengutamakan pamrih atau keuntungan pribadi, dan sebaliknya, mengutamakan kepentingan sasaran layanan. Bahkan, jika diperlukan, tenaga profesional tidak segan-segan mengorbankan kepentingan sendiri demi kepentingan/ kebutuhan sasaran layanan yang benar-benar mendesak. f.
Organisasi profesi. Tenaga profesional dalam profesi yang sama membentuk suatu organisasi profesi untuk mengawal pelaksanaan tugas-tugas profesional mereka, melalui tridarma organisasi profesi, yaitu: (1) ikut serta mengembangkan ilmu dan teknologi profesi, (2) meningkatkan mutu praktik pelayanan profesi, dan (3) menjaga kode etik profesi. Organisasi profesi ini secara langsung peduli atas realisasi sisi-sisi objek praktik spesifik profesi, keintelektualan, kompetensi dan praktik pelayanan, komunikasi, kode etik, serta perlindungan atas para anggotanya. Organisasi profesi membina para anggotanya untuk memiliki kualitas tinggi dalam mengembangkan dan mempertahankan kemartabatan profesi. Organisasi profesi di samping membesarkan profesi itu sendiri, juga sangat berkepentingan unutk ikut serta memenuhi kebutuhan dan membahagiakan masyarakat luas.
Memperhatikan karakteristik yang menjadi tuntutan suatu profesi, dapatlah dipahami sepenuhnya bahwa tenaga profesional perlu dipersiapkan di Perguruan Tinggi, mulai dari pendidikan program sarjananya sampai dengan program pendidikan profesinya. Aspek-aspek keintelektualan/ keilmuan, kompetensi dan teknologi operasional, kode etik, dan aspek-aspek sosialnya seluruhnya dipelajari melalui Program Sarjana Pendidikan dan Pendidikan Profesi.
106
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
2. Trilogi Profesi Konselor a. Komponen Dasar Profesi Untuk menjadi profesional, profesional dalam bidang apa pun, seseorang harus menguasai dan memenuhi ketiga komponen trilogi profesi, yaitu (1) komponen dasar keilmuan, (2) komponen substansi profesi, dan (3) komponen praktik profesi, sebagaimana gambar berikut: Praktik Profesi
Trilogi Profesi
Dasar Keilmuan
Substansi Profesi
Komponen dasar keilmuan memberikan landasan bagi calon tenaga profesional dalam wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap berkenaan dengan profesi yang dimaksud. Komponen substansi profesi membekali calon profesional apa yang menjadi fokus dan objek praktis spesifik pekerjaan profesionalnya. Komponen praktik mengarahkan calon tenaga profesional untuk menyelenggarakan praktik profesinya itu kepada sasaran pelayanan atau pelanggan secara tepat dan berdaya guna. Penguasaan dan penyelenggaraan trilogi profesi secara mantap merupakan jaminan bagi suksesnya penampilan profesi tersebut demi kebahagiaan Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
107
sasaran pelayanan. Penguasaan ketiga komponen profesi tersebut diperoleh di dalam program pendidikan profesi, didahului pendidikan akademik (program pendidikan sarjana-- S1) yang mendasarinya44). Konselor, yang adalah pendidik (UU No.20 Tahun 2003 Pasal 1 Butir 6) , sebagai tenaga professional dituntut untuk menguasai dan memenuhi trilogi profesi dalam bidang pendidikan pada umumnya, khususnya bidang konseling, yaitu : •
Komponen Dasar Keilmuan Pendidikan
: Ilmu
•
Komponen Substansi Profesi : Proses pembelajaran terhadap pengembangan diri/ pribadi individu melalui modus pelayanan konseling.
•
Komponen Praktik Profesi : Penyelenggaraan proses pembelajaran terhadap sasaran pelayanan melalui modus pelayanan konseling.
b. Komponen Trilogi Profesi Konselor 1) Ilmu Pendidikan Konselor diwajibkan menguasai ilmu pendidikan45) sebagai dasar dari keseluruhan kinerja profesionalnya dalam bidang pelayanan konseling, karena konselor digolongkan ke dalam kualifikasi pendidik; dan oleh karenanya pula kualifikasi akademik seorang konselor pertama-tama adalah Sarjana Pendidikan.
44)
Terkait dengan ini kompetensi pokok pertama yang ada pada Standar Kompetensi Konselor sebagaimana menjadi isi Permendiknas No. 27/ 2008 adalah: Menguasai teori dan fraksisi pendidikan.
45)
Sesuai dengan yang dinyatakan di dalam Permendiknas No. 27/2008, yaitu bahwa: Konselor adalah tenaga professional dengan kualifikasi Sarjana (S1) BK dan lulusan PPK.
108
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Dengan keilmuan inilah konselor akan menguasai dengan baik kaidah-kaidah keilmuan pendidikan sebagai dasar dalam memahami peserta didik (sebagai sasaran pelayanan konseling) dan memahami seluk-beluk proses pembelajaran yang akan dijalani peserta didik (dalam hal ini klien) melalui modus pelayanan konseling. Dalam hal ini proses konseling tidak lain adalah proses pembelajaran yang dijalani oleh sasaran layanan (klien) bersama konselornya. Dalam arti yang demikian pulalah, konselor sebagai pendidik diberi label juga sebagai agen pembelajaran. 2) Substansi Profesi Konseling Di atas kaidah-kaidah ilmu pendidikan itu konselor membangun substansi profesi konseling yang meliputi objek praktis spesifik profesi konseling, pendekatan, dan teknologi pelayanan, pengelolaan dan evaluasi, serta kaidah-kaidah pendukung yang diambil dari bidang keilmuan lain. Semua subtansi tersebut menjadi isi dan sekaligus fokus pelayanan konseling. Secara keseluruhan substansi tersebut sebagai modus pelayanan konseling46). Objek praktis spesifik yang menjadi fokus pelayanan konseling adalah kehidupan efektif seharihari (KES). Dalam hal ini, sasaran pelayanan konseling adalah kondisi KES yang dikehendaki untuk dikembangkan dan kondisi kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu (KES-T). Dengan demikian, pelayanan konseling pada dasarnya adalah upaya pelayanan dalam pengembangan KES dan penanganan KEST. 46)
Bandingkan modus pelayanan konseling yang dijalankan oleh konselor, misalnya dengan modus pengajaran oleh guru dan modus pelayanan kesehatan oleh dokter.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
109
Berkenaan dengan pendekatan dan teknologi, pengelolaan dan evaluasi pelayan konseling, konselor wajib menguasai berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukungnya dengan landasan teori, acuan praksis, standar prosedur operasional (SPO), serta implementasinya dalam praktik konseling. Pendekatan dan teknologi, pengelolaan dan evaluasi pelayanan itu perlu didukung oleh kaidah-kaidah keilmuan dan teknologi seperti psikologi, sosiologi, teknologiinformasi-komunikasi semuanya sebagai “alat” untuk lebih menepatgunakan dan mendayagunakan pelayanan konseling. 3) Praktik Pelayanan Konseling Praktik pelayanan konseling terhadap sasaran pelayanan merupakan puncak dari keberadaan bidang konseling pada setting tertentu47). Mutu pelayanan konseling diukur dari penampilan paktik pelayanan oleh konselor terhadap sasaran pelayanan. Pada setting satuan pendidikan misalnya, mutu kinerja konselor di sekolah/ madrasah dihitung dari penampilannya dalam praktik pelayanan konseling terhadap siswa yang menjadi tanggung jawabnya. Penguasaan konselor atas materi ketiga komponen trilogi profesi konseling tersebut diperoleh dari studi pada program bidang konseling tingkat sarjana (S-1) konseling ditambah dengan program pendidikan profesi konselor (PPK). Seluruh materi tersebut dipadukan dalam bentuk praktik pelayanan konseling melalui persiapan yang matang berupa berbagai program pelayanan sesuai dengan kebutuhan sasaran pelayanan. 47)
Setting tempat konselor bekerja dapat berupa satuan pendidikan formal/ nonformal, keluarga, instansi negeri/swasta, dunia usaha/industri, organisasi pemuda/kemasyarakatan, praktek pribadi (privat).
110
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
c. Pengelolaan Pelayanan Berbasis Kinerja Pengelolaan kegiatan pelayanan konseling pada satuan kerja (misalnya di sekolah/madrasah) diselenggarakan dengan pola pengelolaan berbasis kinerja dengan pengawasan/pembinaan yang efektif baik dari pihak interen maupun eksteren sekolah/ madrasah. 1) Kinerja Konselor Pengelolaan pada dasarnya terfokus pada empat pilar kegiatan, yaitu perencanaan (planning-P), pengorganisasian (organizingO), pelaksanaan (actuating-A), dan pengontrolan (controlling-C). Pengelolaan berbasis kinerja mendasarkan pelaksanaannya pada kinerja konselor berkenaan dengan POAC penyelenggaraan pelayanan konseling terhadap sasaran pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya. Arah POAC adalah : • P: Bagaimana konselor membuat perencanaan layanan dan kegiatan pendukung, mulai dari membuat program tahunan, semesteran, bulanan, dan mingguan sampai dengan harian (berupa SATLAN dan SATKUNG)48). • O: Bagaimana konselor mengorganisasikan berbagai unsur dan sarana yang akan dilibatkan di dalam kegiatan. Unsur-unsur ini meliputi unsur-unsur personal (seperti peranan pimpinan sekolah, wali kelas, guru, orang tua), sarana fisik dan lingkungan (seperti ruangan dan mobiler, alat bantu seperti komputer, film, dan objek-objek yang dikunjungi), urusan administrasi, dana, dll. 48)
SATLAN (Satuan Layanan) dan SATKUNG (Satuan Pendukung) ini sejenis RPP (Rencana Program Pembelajaran) yang dibuat oleh guru dalam mempersiapkan kegiatan pengajarannya.
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
111
•
A: Bagaimana konselor mewujudkan dalam praktik jenis-jenis layanan dan kegiatan pendukung melalui SPO masing-masing kegiatan yang telah direncanakan dan diorganisasikan.
•
C: Bagaimana konselor mengontrol praktik pelayanannya dalam bentuk penilaian hasil dan mempertanggungjawabkannya kepada stakeholders. Kegiatan ini melibatkan peran pengawasan dan pembinaan baik dari pihak interen maupun eksteren satuan pendidikan (lembaga kerja), serta organisasi profesi.
Kinerja konselor ditujukan kepada seluruh sasaran pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya. Volume kerja konselor secara berkala dipertanggungjawabkan kepada pimpinan lembaga satuan pendidikan (lembaga kerja) tempat konselor bertugas49). 2) Kinerja Konselor Satuan Pendidikan
dalam
Pengelolaan
Unsur pengelolaan satuan pendidikan dapat digambarkan melalui organigram sederhana sebagai berikut:
49)
Bagi konselor yang menyelenggarakan pratik pribadi (privat), pengelolaan berbasis kinerja pun harus diwujudkan dengan sebaikbaiknya.
112
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
Mekanisme pengelolaan: •
Semua unsur dalam organigram tersebut (kecuali unsur siswa) menyusun dan menyelenggarakan POAC-nya sendiri dengan sebaik mungkin. POAC konselor sebagaimana dikemukakan di atas ditujukan kepada seluruh siswa yang menjadi tanggung jawabnya (minimum 150 arang siswa) dengan volume kerja pelayanan minimal 24 jam pembelajaran per minggu.
•
Kondisi yang sangat menguntungkan terjadi apabila semua unsur yang ada (terutama konselor, guru, wali kelas, dan TU) saling mengharmonisasikan POAC – POAC mereka dalam suasana kerjasama.
•
POAC pimpinan satuan pendidikan (kepala sekolah/ madrasah) mengkoordinasikan POAC-POAC semua unsur bawahannya untuk menciptakan ketepatgunaan dan kedayagunaan yang optimal di seluruh satuan pendidikan sesuai dengan fungsi dan tugas pokok setiap unsur sekolah/madrasah
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
113
(lembaga kerja) secara keseluruhan. 3) Pengawasan Kegiatan Kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah dipantau, dievaluasi, dan dibina melalui kegiatan pengawasan. •
Pemantauan/pengawasan/pembinaan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara: i)
interen, oleh pimpinan satuan pendidikan (lembaga kerja).
ii) eksteren, oleh petugas yang ditunjuk atasan satuan pendidikan (lembaga kerja). iii) ekstra kelembagaan (oleh pengawas, komite sekolah, dan organisasi profesi). •
Fokus pengawasan adalah kemampuan profesional konselor dan implementasi kegiatan pelayanan konseling yang menjadi kewajiban dan tugas konselor di satuan satuan pendidikan (lembaga kerja).
•
Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis, dan ditindaklanjuti untuk peningkatan mutu perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling di satuan pendidikan (lembaga kerja).
3. Profesi yang Bermartabat Di atas semua ciri keprofesionalan, apabila trilogi profesi telah dibina dan diplikasikan dengan baik melalui pengelolaan berbasis kinerja, maka profesi yang ditampilkan itu semestinyalah profesi yang bermartabat. Kemartabatan profesi yang ditampilkan sangat tergantung pada pendidik
114
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
yang mempersiapkan diri untuk menjadi tenaga profesional itu. Program Pendidikan Profesi Konselor (PPK) yang terdiri dari dua tingkat program yang berkesinambungan (Program Sarjana dan Program Profesi) itu diselenggarakan tidak lain adalah untuk membina kemartabatan profesi konselor, mengacu kepada kebutuhan akan pelayanan konseling yang harus dilaksanakan secara profesional dan sesuai pula dengan peraturan perundangan yang berlaku. Kemartabatan profesi yang dimaksudkan itu meliputi ciri-ciri bahwa : a. Pelayanan profesional yang diselenggarakan benarbenar bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan secara luas. Sebagaimana diketahui, kehidupan efektif sehari-hari (KES) merupakan hajat hidup semua orang dalam kadar yang sangat mendasar dan penting, untuk kepentingan semua individu. Oleh karenanya, upaya pelayanan konseling, apalagi yang bersifat formal dan diselenggarakan berdasarkan aturan perundangan, tidak boleh sia-sia atau terselenggara dengan cara-cara yang salah (malpraktik), melainkan terlaksana dengan manfaat yang setinggitingginya bagi sasaran pelayanan dan pihak-pihak lain yang terkait. b. Pelayanan profesional diselenggrakan oleh petugas atau pelaksana yang bermandat. Sesuai dengan sifatnya yang profesional itu, maka pelayanan yang dimaksud haruslah dilaksanakan oleh tenaga yang benar-benar dipercaya untuk menghasilkan tindakan dan produk-produk pelayanan dalam mutu yang tinggi. Program pendidikan sarjana dan profesi konselor yang terpadu dan sinambung dalam rangka trilogi profesi merupakan sarana dasar dan esensial untuk menyiapkan pelaksana Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
115
yang dimaksudkan itu. Lulusan program pendidikan profesi diharapkan benar-benar menjadi tenaga profesional handal yang layak memperoleh kualifikasi bermandat, baik dalam arti akademik, kompetensi, maupun posisi pekerjaannya. c. Pelayanan profesional yang dimaksudkan itu diakui secara sehat oleh pemerintah dan masyarakat. Dengan kemanfaatan yang tinggi dan dilaksanakan oleh pelaksana yang bermandat, pemerintah dan masyarakat tidak ragu-ragu mengakui dan memanfaatkan pelayanan yang dimaksudkan itu. Peraturan perundangan telah secara umum menyatakan pentingnya keprofesionalan tenaga pendidik, dalam hal ini konselor, disamping tenaga pendidiknya seperti guru, yang selanjutnya mudah-mudahan dilanjutkan dengan pengakuan yang sehat atas lulusan Pendidikan Profesi Konselor dan pelayanan yang mereka praktikkan. Demikian juga masyarakat diharapkan memberikan pengakuan secara terbuka melalui pemanfaatan dan penghargaan yang tingi atas profesi konselor tersebut.
116
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
PENUTUP
A
lhamdulillah, dengan menggunakan berbagai dokumen yang ada tulisan berkenaan dengan respons saya terhadap buku Krisis Identitas Profesi Bimbingan Dan Konseling dapat saya akhiri. Sepanjang saya mengurai dan merangkai respons, dan juga sebagaimana saya berpikir, merasa, berkeyakinan, bersikap, dan berkemungkinan untuk bertindak serta berbagai hal yang telah saya perbuat untuk pelayanan konseling di tanah air, saya selalu teringat dan mengulangi kembali do’a saya di tanah suci ketika pada tahun 1993 saya berkesempatan beribadah di sana. Do’a itu berkenaan dengan kemartabatan profesi konseling yang sedang mulai direformasi waktu itu, yaitu:
•
Ya Allah, jadikanlah pelayanan konseling di tanah air benar-benar bermanfaat
•
Ya Allah, jadikanlah pelayanan konseling di tanah air benar-benar dilaksanakan oleh tenaga yang bermandat
•
Ya Allah, jadikanlah pelayanan konseling di tanah air benar-benar mendapatkan pengakuan yang sehat dari pemerintah dan masyarakat
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008
117
Saya mengajak teman-teman untuk bermunajat juga sejalan dengan apa yang saya maksudkan di atas, agar profesi konseling yang kita cintai benar-benar bisa mencapai taraf kemartabatan sebagaimana kita harapkan bersama. Kita berusaha sekuat tenaga mengatasi segenap kendala dan krisis sebesar apapun, demi kejayaan pelayanan konseling kita dan pendidikan pada umumnya. Marilah kita berusaha dan berbuat, bekerja sama, menghindari dosa, fitnah dan khianat, berdedikasi untuk kemaslahatan klien dan umat, melalui profesi konseling bermartabat.
118
Prayitno, Mengatasi Krisis Identitas, 2008