TINJAUAN P U W m
Pravr Adopsi IaovrrSi d..~~d~@Pfbk@r Yang M~~genw-w
Pengertian Proses Adopsi Iaovasi Dalam pandangan t r a d i s i d , proses kcputman iaovasi disebut proses adopsi. Proses adopsi merupakan semngkaian kegiatan d a b mgttuhiskan untuk menerima a m menolak suatu inovasi selama periode waktu terta&i (Rogers dan Shoemaker, 1971). ini mempunyai lima tahapan, yaitu:
.
.
p Sadar, yaitu seseorang sud& rrdai men,genal adany& suatu inovasi, tetapi ia
.
ih kekurangan informasi mengenei ha1tersebut. Minat, yaitu seseorang mdai mengembangkan minat pada imvasi tersebut dan informasi tambahan tentang ha1 itu. Penilaian, yaitu seseorang mulai membuat penilaian terhadap ina
(5) Tahap Adopsi, yaitu sescumg tc1ah'rnmggtdm ~~i
tetaP dalam
skala yang lebuh has. Konseptualisasi proses adopsi telah sangat dikenal dan dipaka~oleh para peneliti difusi selarna ini, tetapi akhir-akhir ini beberapa kritik mengacakan bahwa model ini tedalu sederhana (Rogers dan Shoemaker, 1971), seperti:
.
R.
4 ~ ' jProses tersebut selalu diakhiri dengan keputusan untuk mengadopsi, padahal 9.
D''
5
taannya mungkin saja diakhiri deagn penolakan. Oleh karena itu dibutuhlun
1
.*
F a, '
istilah yang &pat menampung k&
pengeman tersebut.
(2) Kelima tahap proses tersebut, tidak seldu dilalui secara b e m t a n . Mungkin bebenip
mamba. Penilaian biasanya terjadt
-
pada keseluruhan proses, tidak hanya salah satb rahap saja (3) Proses tersebut jarang berakhir dengan dapsi. Bimmya mencari infonnasi pendukung untuk mcngk& terscbut.
itu bedanjut den-
nmguatkan keplvspn
Atas dasar uraian di atas, maka Kogcm (1983) misumuskaa kembali pengatmn
proses adopsi inovasi sebagai berikut: -"
pa&
immsi adatah proses yang tejadi
seseorang atau unit pembuat k e p u q r s ~Wnnya,
adanya suatu inovasi sampai mengambil smengirnplementasikan serta m e - i
".
1971; Rogers, 1983; dan ~ionbega &@win,,
bertaugsung m e k k tim-
seJak
pertama kali mengetahui
kqmtwm mengadopsi atau menolak dan Lcpllmrn tawbut (Rogers dan Shoemaker, 1991). Proses kcputusan inovasi tersebut
(<"napbar Qjaitur ,-
( I ) Tahap rnagmhui, yaitu ketilra -rang mengetahui adanya suatu inod
atau unit pengambil keputusan lainnya
clan memperoleh beberapa p e n m a n mengenai
berfungsinya inovasi itu secara umum. (2) Tahap berminat, yaitu ketika seseorang atau unit pengarnbii keputusan lainnya mem-
bentuk sikap berkenan atau tidak terhadap suatu inovasi dan betusaha mencari informasi yang lebih banyak tentang keberadaan inovasi itu. (3) Tahap keputusan, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya berada
dalam kegiatan penilaian terhadap inovasi, dihubungkan dengan dirinya saat seicarang
Saluran Komunikasi
--*T-a
-
Terima Terus Lambat
Var. Sistem Sosial: Norma Sistem
Terus
-
Ciri-ciri Inovasi: Memberi keuntmgan relatif * Sesuai dengan norma, budaya daerah setempat Tidak terfalu rumit cfilakukan * Dapat dicoba * Dapat Qamati
Garnbar 1 . Proses Pengambilan Keputusan Inovasi (Rogers dan Shoemaker, 197 1;dan Rogers, 1983)
g5-., i
dan di masa yang akan datang yang mengarah pada pemili menolak suatu inovasi.
(4) Tahap peiaksmm, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil k %
mulai menggunakan inovasi tersebut, meskipun &lam skala kecil. (5) Tahap konfirmasi, yaitu ketika seseomng atau unit pengambil keputusan lainnya men-
cari bukti-bukti untuk memperkuat keputusm yang telab diambilnya. Rogers (1986) mengatakan bahwa proses keptusan t d u t terdiri atas refitetan aktivitas dan pemilihan sepanjang waktu melaiui sescoraRg atau suatu organisas, dPtam
rangka mengevaluasi suatu inovasi dan mernutuskannya sesuai atau tidahrya mtuk dikaksadcan. Benuti pda proses tersebut, t e d m d u n g u h t p n peqpxban tent&ngkcputuw
inovasi opsional, koiektif dan otoritas. Sejalan dengan uraian di atas, maka Feder, Just, dan Ziiberman (1982) mengatdm bahwa pengambilan keputusan inovasi oieh suatu organrsasi atau kumpulan iodividu
(aggregate) merupakan implikasi dari proses tersebanrya teknoiogi barn dalam suatu
daerah tertentu. Ini w,adopsi ino~asitersebut diukw dengan carsl menilai tingkatan
jwnM
. ... .
(UWaFof~ikrn tingkat pmgpman (level of use) inovasi tersebut.
Terdapat tiga aspck utama yang bcrtKda dalarn proses keputusan ini (Rogers,1986), yaitu: (1) sifat kritis sasaran (critical mass nature), yang berarb bahwa setiap nilai komunikasi teknologi baru meningkat pada sasaran akan menpkim akibat pen@atm pada
sasaran sebelumnya; (2) penyempurnaan (re-invention) inovasi, yaitu tingkat suatu inovasi &pat drubah atau dimodifikasi (penyesuaian) oleh sasaran &am
proses adopsi beriang-
sung dan (3) penekanan pa& tahap pelaksanaan lebih dari hanya sekedar keputusan untuk mengadopsi.
keberanian mengambil resiko, dan oriencasi unNk bergrcstasi; dan (2) ptubah dtasiomd yang mencakup: lingkungan sosial (lingkungan keluarga, kelompok persahabatan, kelom-
pok kerja, kelompok kepemyaan, dan keIompok rujukan), lingkungan swnberdaya fisik,
dan sistem nilai dan kepercayaan yang melingkupi kehidupan mereka ":
Dalam kaitannya dengan pnerimoan suatut,inovasi, jenis-jenis informasi inovasi
yang dibutuhkan sasaran selayaknya dsesuaikan dengan tahapan proses adopsinya
(Rogers, 1983; dan Lionberger dan Gwin (1991). Lebih ianjut Lionberger dan Gwin mengemukakan bahwa pada tahap sadar,jenis informasi yang dibutuhkan lebih bersiht urnurn atau pernberitahuan saja, misalaya keberadaan inovasi (Gambar 2). Lebih khusus
lagi Rogers ( 1983) mengatakan bahwa daiam tahap pengenalan terdapat tiga tipe infonnasi yang dibutuhkan, yaitu: (1 ) informasi tentang adanya inovasi, (2) informmi teknis (cam atau p r d u r penggunaan inovasi), dan (3) informasi prinsip, yakm berkenaan dengan
prinsipprinsip behgsinya suatu inovasi
Pada tahap minat, jenis informasi yang dibutuhkan lebih ke arah operasionalisasi dan kegunaan inovasi, misalnya: cara beke rjanya inovasi itu, manfaatnya untuk pemakainya, dan sebagainya (Lionberger dan Gwin, 1991 ). Menurut Rogers ( 1983), aktivitas mental yang bekerja pada tahap persuasi adalah afektif, yakni seseorang akan membentuk sikap berkenan atau tidak terhadap suatu inovasi. Berarti sasaran membutuhkan informasi ciriciri inovasi yaitu: ( 1 ) keuntungan relatif inovasi, (2) kesesuaian inovasi dengan i q x k sosial budaya sasaran, (3) tidak rumit dilakukan bagi sasaran, (4) &pat dicoba, dan (5) dapat diamati. Menurut Rogers ( 1983), pada tahap keputusan sasaran membutuhkan informasi menyangkut bahan pertimbangan untuk menerima atau menolak suatu inovasi. Secara
khusus menurut Lionberger dan Gwin (1991), informasi yang dibutuhkan pada tahap ini lebih bersifat saran pertimbangan untuk melakukan evaluasi terhadap inovasi tersebut, seperti: konsekuensi sosial, ekonomi dan budayanya; penilaian-penilaian dm orang-orang yang dipercaya terhadap inovasi tersebut, dan hasil percobaan-percobaan pa& tingkat lokal/regional. Pada tahap pelaksanaan, - proses keputusan inovasi tidak lagi berpusat pa& aktivitas mental, tetapi sudah melibatkan perubahan perilaku s e b a p pelaksanaan dan ide-ide itu. Rogers selanjutnva mengatakan bahwa informasi yang dibutuhkan dalam tahap ini seperti: asal ~novasidiperoleh, cara menggunakan inovasi, masalah operasional yang dihadapi, cam memecahkan rnasalah tersebut, dan sebagamva. Secara rinci Lionberger dan Gwin (1991) mengatakan pa& tahap melaksanakan,
jenis informasi yang dibutuhkan lebih bersifat aplikasi atau cara k e j a inovasi, misalnya: berapa jurnlah vang hams digunakan, bentuknya, tingkatannya, waktu harus digunakan, fiekuensinya, intervalnya, dan sebagainya.
Pada tahap konfirmasi, jenis informasi yang dibutuhkan lebih ke arah hasil-hasil percobaan inovasi yang teiah dilakukan selarna ini baik secara langsung oleh sasaran maupun oleh orang lainnya, yang akan semakin memperkuat keputusannya (Lionberger dan Gwin, 1991 ). Bukti-bukti penelitian empiris menunjukkan bahwa proses keputusan suatu inovasi tidak berakhir seteiah orang mengarnbil keputusan untuk menerima atau menolak inovasi itu (Rogers, 1986). Menurut Mason (Rogers, 1983), seseorang akan mencari informasi untuk menguatkan keputusannya, akan tetapi mungkin juga ia akan mengubah keputusannya semula jika ia memperoleh pesan-pesan yang bertentangan dengan inovasi itu. Pa& tahap ini seseorang berusaha untuk menghindan kenyataan yang menyi mpang dan bertentangan dengan keputusannya. Gonzalez (Jahi, 1988) mengatakan bahwa jika hasil inovasi dapat dengan cepat dilihat, maka calon pengadopsi lainnya tidak perlu lagi menjalani tahap mencoba melainkan dapat terus ke tahap adopsi. Ini bukan berarti bahwa calon pengadopsi langsung memulai dari tahap adopsi untuk menerima suatu inovasi, tetapi mereka itu juga menjalani keempat tahap sebelumnya, namun dalarn waktu relatif singkat. .
...*
Menurut Rogers dan Shoemaker ( 1971) dan Rogers ( 1983), unsur saluran komunika-
si juga penting &lam mempercepat proses adopsi inovasi karena merupakan alat b a g ideide baru diperoleh dan seseorang dan diberi kan kepada orang Iainnya. Saluran komunikasi tersebut sangat penting dalarn rnenentukan keputusan sasaran, untuk menerima atau menolak suatu inovasi. Pada dasarnya terdapat dua saluran komunikasi yaitu (Berlo, 1960; Rogers dan Shoemaker, 1971; dan Rogers, 1983): (1 ) saluran antarprim, yakni segala bentuk pertukamn pesan antar dua orang atau lebih secara langsung (tatap muka) dengan atau
tanpa alat bantu yang memungkinkan semua pihak yang berkomunikasi dapat memberikan
umpan balik secara langsung, dan (2) saluran media massa, yakni segala bentuk media massa (baik media cetak maupun media elektronik) yang memungkinkan seseorang atau sekelompok kecil orang tertentu dapat menvampaikan pesan kepada masvarakat luas. Jika dikaitkan dengan peranan masing-masing saluran komunikasi terhadap tahap tahap proses adopsinya, maka menurut Rogers dan Shoemaker ( 1971 ), Rogers ( 1983) dan Lionberger dan Gwin ( 1991), pada tahap sa&r dan minat, saluran komunikasi yang efektif
digunakan adalah media massa karena mampu menjangkau sasaran secara cepat dan luas dalam rangka memberikan informasi dan pengertian tentang suatu inovasi. Pa& tahap proses berikutnya, peran media massa kurang efektif lagi. Disamping media massa menurut Schramm (Jahi. 19881, dalam sejurniah kampanye gizi dan KB di beberapa negara dunia ketiga, saluran-saluran antarpribadi bahkan berhasil menyebarkan informasi penting sebelum kampanye tersebut dimulai.
Menurut hasil
penelitian Pardoko dan Soemartono (1978), sumber-sumber pemberitaan KB yang paling banyak memberikan informasi dan pengertian b a g ibu akseptor KB di Jawa Timur adalah petugas kesehatan (4 1,6 %), petugas pemerintahan (32,6 %), anggota keluarga dan teman ( 1 0,4 -96 ),
dan Petugas Lapangan Keluarga Berencana ( 8,l %), sedangkan sal uran media
massa hanva sebesar 3,0 persen. Ini berarti selain saluran media massa, saiuran antarpribadi juga berperan &lam tahap sadar dan minat, sedangkan pada tahap menilai, mencoba
dan adopsi, menurut Rogers dan Shoemaker ( 1971), Rogers (1983) clan Lionberger dan Gwin ( I99 1 ) saluran antarpn badi vang paling efektif. Rogers dan Shoemaker ( I97 1 ) mencoba membedakan saluran komunikasi saat pertama kaii para sasaran antara golongan penerap awal dan penerap lambat daiam mengetahui suatu inovasi.
Menurut hasil penelit~an Ryan dan Gross tahun 1941 (Rogers dan
Shoemaker, 1971 ), golongan petani penerap awal (earlier adopter) pertama kali mendengar
inovasi bibit jagung hibrida melalui penjual (salesman) bibit jagung tersebut, sedangkan golongan petani penerap lambat (later adopter) mendengar pertama kali melalui tetangganya. Ini menandakan bahwa masing-masing golongan sasaran penerima inovasipun mempunyai perbeciaan saluran komunikasi yang digunakan untuk mengadopsi suatu inovasi. Selain pemakaian saluran komunikasi oleh sasaran secara sendiri-sendiri, menurut Rogers dan Shoemaker ( I97 1 ) dan Rogers dan Kincaid ( I98 1 ), interaksi komunikasi massa
dan komunikasi antarpribadi sangat efektif untuk mengubah perilaku sasaran. Rogers dan Shoemaker ( 1971) mengemukakan bahwa pengkombinasian saluran komunikasi ini disebut forum media, dengan sasaran beberapa anggota masyarakat diorganisasikan dalam suatu kelompok yang bertemu secara teratur untuk menerima pesan-pesan media massa dan selanjutnya mendiskusikan dengan anggota kelompoknya. Di Indonesia, menumt Hanafi (1987), kelompok ini disebut Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa (kelompencapir). Proses Difusi Inovasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Pengertian Proses Difusi Inovasi
Model difusi mempakan model penyuluhan yang pertarna kali dikenal dan ditenma secara luas terutama oleh para ahli yang terlibat dalam pembangunan perta~an. Menurut Rogers dan Shoemaker ( I971 ) dan Rogers ( 1983), difusi adalah proses tersebarnya suatu inovasi ke dalam sistem sosial melalui saluran komunikasi selama periode waktu tertentu. Dalarn kaitan dengan sistem sosial, d i h i juga me~piIkansuatu jenis pembahan sosial, yaitu proses terjadmya pembahan struktur dan fungsi dalam suatu sistem sosial.
Ketika inovasi baru diciptakan, disebarkan, dan diadopsi atau ditolak anggota sistem sosial, maka konsekuensinya yang utama adalah tejadinya perubahan sosial. Proses difusi inovasi &lam bi&ng pertanian khususnya adalah menyebarnya inovasi kepada petani yang prosesnya bukannya hanya selangkah demi selangkah menuju ke arah adopsi suatu inovasi, melainkan lebih jauh mengarah kepada cara inovasi tersebut menjadi diadopsi oleh lebih banyak petani (Mosher, 1978). Proses difusi inovasi mempunyai unsur-unsur yang menyusunnya, yaitu (Rogers dan Shoemaker, 1 97 1 ; dan Rogers, 1983): ( 1 ) inovasi, yang (2) dikomunikasikan melalui saluran tertentu, (3) dalam jangka waktu tertentu, kepada (4) anggota suatu sistem sosial. Yang dimaksud inovasi adalah ide-ide, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang atau suatu unit adopsi (Rogers dan Shoemaker, 1971; dan Rogers, 1983). Lionberger dan Gwin ( 1991 ) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang baru menurut seseorang, akan tetapi bisa lebih luas dan sesuatu yang dinilai baru oleh sekelompok masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu. Tidak menjadi soal, seberapa jauh dihubungkan dengan perilaku manusia, apakah ide-ide itu betul-betul baru secara obyektif atau tidak jika diukur &lam selang waktu sejak ditemukannya pertama kali ? \ . Akan~etapi, kebaruan ide-ide itu bagi seseorang atau suatu kelompok tertentu tergantung pa& reaksinya terhadap ide-ide tersebut. Jika ide-ide tersebut dianggap baru bagi seseorang atau suatu kelompok, maka ha1 itu merupakan inovasi bagrnya Terdapat perbedaan perilaku antara penerima inovasi dengan penerima pesan biasa. Oleh karena pesan yang disampaikan dalam proses d i h i itu bersifat "bans" maka terdapat resiko bag penerimanya, sedangkan kajian komunikasi menelaah semua bentuk pesan &lam rangka mencari safing pengertian antara satu dengan yang lain. Dalam proses komunikasi. kita senng mengarahkan perhatian pada usaha-usaha untuk mengubah kawasan
pengetahuan atau sikap saja, dengan cara mengubah bentuk sumber, pesan, saluran atau penerima. Lain halnya dalam difusi, biasanya lebih memusatkan perhatian pada tejadinva perubahan perilaku yang kelihatan, yaitu menerima atau menolak ide-ide baru tersebut, daripada hanya sekedar merubah pengetahuan atau sikap saja. Telah di bahas sebelumnya bahwa saluran komunikasi berfungsi untuk menyampaikan pesan (inovasi) kepada sasaran (Berlo, 1960). Ada dua jenis saluran komunikasi yang dikenal selama ini, yaitu: ( I ) media massa, dan (2) antarpribadi (Rogers dan Shoemaker, 1 97 1;Rogers, 1983; dan Lionberger dan Gwin, 1991).
Biasanya pemilihan saluran komunikasi terletak di tangan sumber dan hams dilakukan dengan memperhatikan: ( I ) tujuan diadakannya komunikasi, dan (2) sasaran dengan orang lain saluran itu disambungkan. Jika sumber hanya ingn memperkenalkan sasaran mengenai suatu inovasi, maka lebih tepat kalau memilih saluran media massa karena lebih cepat dan lebih efisien, terutama jika sasarannya banyak dan tersebar di daerah luas. Di lain pihak, jika tujuan sumber untuk mempengaruhi sasaran agar setuju pada suatu inovasi, maka saluran interpersonal lebih tepat (Rogers clan Shoemaker, 1971 ;
dan Rogers, 1983). Rogers (Depari dan MacAndrews, 1985) mengatakan bahwa banyak hasil penelitian telah membuktikan saluran media massa telah berperan secara aktif dan efektif dalarn mengubah pendapat (misalnya menambah pengetahuan), sedangkan komunikasi antarpribadi lebih efektif dalam mengubah sikap. Pesan-pesan melalui m d a massa memang kurang kuat dalarn mengubah sikap, kecuali jika pesan-pesan tersebut justru memperkuat nilai-nilai dan kepercayaan sasaran, sedangkan pesan-pesan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan keprcayaan tersebut, akan disaring oleh sawvan melalui tingkat selektivitas mereka.
Menurut Schramm (Jahi, 1988), ada tiga fungsi media massa dalam pembangunan, yaitu: ( 1 ) memberitahu masyarakat tentang pembangunan nasional, memusatkan perhatian mereka pada kebutuhan untuk berubah, kesempatan untuk menimbulkan perubahan, metoda dan cara menimbulkan perubahan, dan jika mungkin meningkatkan aspirasi; (2) membantu masyarakat berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, memperluas dialog dan menjaga agar informasi mengalir ke atas maupun ke bawah; dan (3) mendidik masyarakat agar memiliki keterarnpilan. Berkaitan dengan ha1 tersebut di atas, menurut Asngari, Pambudy dan Lumintang ( 1 992), dengan semakin pesatnya perkembangan media komunikasi, maka saluran media
massa secara langsung mempengaruhi proses adopsi inovasi penerima sebesar 38 persen, dan 18 persen secara tidak langsung. Hal ini memberikan bukti bahwa saluran komunika-
si media massa sudah mulai berperan dalam proses adopsi inovasi. Menurut Rogers (1 983), perkembangan efek media massa pada sasaran yang tejadi kemudian tidakiah selangsung dan sedahsyat yang diperkirakan semula. Bukti-bukti menunjukkan bahwa perilaku sasaran lebih dipengaruhi oleh interaksi tatap muka sasaran dengan pemuka pendapat.
Rogers mengemukakan bahwa bak ide maupun pendapat
terlebi h dahulu mengalir dan media massa ke pemuka pendapat, dan setelah itu diteruskan ke sasaran-sasaran lainnya.
Selain saluran komunikasi, waktu merupakan pertimbangan yang penting &lam membicarakan proses difisi. Dimensi waktu a& dalam: ( 1) proses pengambiian keputusan inovasi yakni proses mental sejak seseorang mulai mengenal suatu inovasi sampai
menenma atau menolaknva, (2) keinovatifan seseorang yakni relatif lebih awal atau lebih lambatnya seseorang dalam menerima suatu inovasi, dan (3) kecepatan pengadopsian suatu inovasi dalam sistem sosial (Rogers dan Shoemaker, 1971 ; dan Rogers, 1983).
Unsur terakhir proses difusi a a a h sistem sosial. Sistem sosial dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan unit (anggota) yang berbeda secara fungsional dan terikat dalarn kejasarna untuk memecahkan masalah, &lam rangka pencapaian tujuan bersama. Anggota sistem sosial tersebut bisa berupa perorangan (individu), kelompok informal, atau organisasi-organisasi modem (Sanders, 1958; Loomis, 1967; Rogers dan Shoemaker, 1971; dan Rogers, 1983).
Setiap unit &lam suatu sistem sosial dapat dibedakan secara fungsional dan anggota atau unit lainnya. Semua anggota bekerjasarna untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh sistem atau untuk mencapai suatu tujuan secara timbal balik, h k antara sistem dengan anggotanya maupun antara anggota dengan anggota sistem tersebut. Pencapaian tujuan bersama inilah yang mengikat sistem sosial (Rogers dan Shoemaker, 1971; dan Rogers, 1983).
Proses Difusi Inovasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Proses dihsi suatu inovasi, keberhasilannya diketahui dengan cara mengukur tingkat adopsi sasaran terhadap inovasi tersebut. Tingkat adopsi inovasi adalah kecepatan relatif suatu inovasi diadopsi oleh anggota suatu sistem sosial (Rogers dan Shoemaker, 1971; dan Rogers, 1983 ). Kecepatan adopsi suatu inovasi biasanya diukur dengan jangka waktu yang drperiukan oleh sekian persen anggota masyarakat untuk mengadopsi inovasi tersebut (Rogers dan Shoemaker, 1971; Havelock, 1971;Mosher, 1978; Rogers; 1983; van den Ban
dan Hawkins, 1988; dan Lionberger dan Gwin, 1991 ).
Untuk menjelaskan kecepatan adopsi, dapat dilakukan dengan menggunakan "kurva difusi." Kurva ini menggambarkan hubungan antara periode ~vaktupada sumbu horizontal dengan persentase kumulatif pada sumbu vertikai. Pada umumnya kurva difusi suatu inovasi cenderung akan meningkat secara lambat pada periode pertama, kemudian setelah beberapa saat menjadi lebfh cepat, tetapi setelah sudah banyak orang yang mengadopsi inovasi tersebut, maka kecepatan adopsinya cenderung menurun kembali, sehingga kurva ini sering disebut kurva "S" (Rogers dan Shoemaker, 1971; Havelock, 1971; Mosher, 1978; Rogers, 1983; van den Ban dan Hawkins, 1988; dan Lionberger dan Gwin, 1991 ).
Fenomena di atas menciptakan adanya klasi fikasi sasaran menjadi beberapa golongan tertentu, yaitu (Rogers dan Shoemaker, 1971 ; Mosher, 1978: Rogers, 1983; dan Lionberger dan Gwin, 1991): ( 1 ) inovator yakni orang-orang yang pertama mengadopsi inovasi dalam suatu daerah tertentu; ( 2 ) penerap awal vakni orang-orang yang cepat mengikuti jejak inovator; (3) majoritas awal yakni orang-orang yang mengadopsi inovasi karena melihat golongan inovator dan penerap awal; (4) majoritas akhir yakni golongan orang-orang yang konservatif, sangat hati-hati dan tidak akan mengadopsi sebelum sebaman besar anggota masyarakat menerima inovasi tersebut;. dan (5) penerap lambat vakni orang-orang yang paling terakhir menerima suatu inovasi. Berikut uraian beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1971 ;Slamet, 1975: dan Rogers, 1983) (Gambar 3). Menurut Rogers dan Shoemaker ( I97 1 ) dan Rogers ( 1983), perbedaan tingkat adopsi suatu inovasi, sekitar 49-87 persen dapat dijelaskan oleh ciriciri inovasinya (keuntungan relatif: kesesuaian dengan adat/kebiasaan masyarakat, kerumitan, &pat dicoba, dan dapat diamati ). Selanjutnya tipe keputusan inovasi (keputusan opsional, keputusan kolektif, dan keputusan otoriter) juga akan mempengaruhi tingkat adopsi suatu inovasi. Demikian
26
Peu bah terwn~aruh
Peubah pen~aruh I . Ciri-ciri inovasi:
- Keuntungan relatif
- Kesesuaian - Kerumitan - Dapat dicoba - Dapat diamati
2. Tipe keputusan inovasi:
- Optional - Kolehf - Otoritas
I
Tingkat Adopsi Inovasi
3. Saluran komunikasi :
- Antarpribadi - Media massa 4. Ciri-ciri sistem sosial: (nonna, kepemimpinan, dsb.) 5. Cakupan promosi penpluh:
Gambar 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi Inovasi (Rogers dan Shoemaker, 197 1 ) pula dengan saiuran komunikasi (media massa dan antarpnbd) yang bervariasi penggunaannya sesuai dengan tahap keputusan inovasi tersebut. Kemudian, ciriciri sistem sosial juga tumt mempengaruhi tingkat adopsi suatu inovasi, seperti struktur sosial yang di dalamnya melahirkan struktur komunikasi, sistem norma, peranan kepemimpinan masyarakat dan sebagainya. Terakhir, luasnya usaha promosi dan penyuluh juga turut mempengaruhi tingkat adopsi inovasi tersebut.
Kelancaran proses tersebar dan diterimanya suatu inovasi sangat tergantung pada keberadaan inovasi itu sendiri. Atas dasar pengamatan sasaran, suatu inovasi mempunyai ciri-ciri tertentu. Ada lima ciri suatu inovasi, yaitu (Rogers dan Shoemaker, 1971; Rogers, 1983; dan Lionberger dan Gwin, 1991 ): ( I ) Keuntungan Relatif (Relative Advantage) merupakan tingkatan suatu ide baru dianggap
lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Tingkat keuntungan relatif ini seringkali dinyatakan dalarn bentuk keuntungan ekonomi (biaya lebih rendah atau keuntungan lebih tinggi), teknis (produktivitas tinggi, tahan terhadap resiko kegagalan dan gangguan yang menyebabkan ketidakberhasilan), dan sosial-psikologis (pemenuhan kebutuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis). (2) Kesesuaian (Compatibility) adalah tingkat suatu inovasi dianggap konsisten dengan kebutuhan, pengalaman masa lalu, kepercayaan, sistem nilai dan norma penerima atau masyarakat.
Inovasi yang tidak sesuai dengan ciri-ciri sistem sosial tidak akan
d~adopsisecepat inovasi yang sesuai, serta jarninan keberhasilan lebih kecil dan resiko kegagalan lebih besar bag penerima. ( 3 ) Kerumitan (Complefity) adalah tingkat suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk
dimengerti dan digunakan jika dibandingkan dengan inovasi sebelumnya.
Suatu
inovasi dapat digolongkan ke &lam kontinum "Rumit-Sederhana sarnpai dengan Rumit-Kompleksnberdasarkan urutan wahunya. .Ini berarti makin rumit suatu inovasi bag seseorang, maka makin lambat proses adopsinya. Kenunitan suatu inovasi dapat juga dilihat dari penerimanya, ada inovasi yang mudah dterima oleh penerima tertentu, sedangkan penerima laimya belum tentu.
(4) Dapat Dicoba (Triability) adalah tingkat suatu inovasi &pat dicoba dalam skala kecil. Inovasi yang &pat dicoba, biasanya lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat dicoba leb~hdahulu dan akan memperkecil resiko kegagalan bagi adopter. (5) Dapat Diamati (Observability) adalah tingkat suatu inovasi dapat diamati oleh orang
lain. Beberapa inovasi tertentu mudah diamati dan dikomunikasikan kepada orang lain, dibandingkan beberapa inovasi lainnya. Semakin tinggi tingkat suatu inovasi dapat diarnati, maka semakin cepat proses adopsinya di dalam masyarakat. Sehubungan dengan berbagai ciri suatu inovasi tersebut, maka Roy (Marhicanto, 1988) mengungkapkan adanya jenjang tingkat kepentingan dari ciriciri inovasi berturuttumt dari besar ke kecil sebagai berikut: ( I ) tingkat keuntungan (profitability), (2) biaya yang diperlukan (cost of innovation), (3) tingkat kenunitan (complexity), (4) kesesuaian fisik (physical compatibility), (5) kesesuaian budaya (cultural compatibility), (6) tingkat kemudahan dikomunikasi kan (communicabiiity), (7) penghematan tenaga kerja dan waktu (saving labour and time), dan (8) dapat dibagi (divisibility). Ini berarti ciri-ciri inovasi tersebut mempunyai pengaruh yang cukup diperhitungkan dalam menentukan tingkat adopsi suatu inovasi. Oleh sebab ity- menurut Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1983), sekitar 49-87 persen perbedaan tingkat adopsi suatu inovasi ditentukan oleh ciriciri inovasinya itu sendiri. Semakin baik ciriciri kurnulatif suatu inovasi, maka semakin besar tingkat adopsinya. Dalam beberapa penel iti an para ah1i penyul uhan dan komunikasi menunjukkan bahwa beberapa inovasi akan berbeda tingkat kecepatan adopsinya j i ka dibandingkan dengan
lainnya. Menurut Havelock ( 1971), terdapat empat kriteria yang berperan dalam mempercepat proses adopsi suatu inovasi, yaitu: validitas tin=,
kemanfaatan besar, tidak rumit,
dan kesesuaiannva tinggi. Bila suatu inovasi mempunyai validitas tingg, kemanfaatan
besar, tidak rumit, dan kesesuaiannya tinggi, maka relatif akan mempengaruhi sewrang untuk mengadopsi inovasi tersebut &lam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, menurut Mosher ( 1978), kecepatan adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh beberapa ha], yaitu: (1) Kesesuaian inovasi dengan kondisi lokal di daerah inovasi tersebut diperkedkan. Dalam bidang gizi misalnya, ketersediaan pangan di daerah sasaran merupakan faktor penentu penerapan inovasi tersebut. Ini berarti meskipun inovasi sudah diperkenalkan kepada sasaran, tetapi jika kondisi clan situasi daerah tidak mendukung, maka proses adopsi tidak akan bejalan dengan baik.
(2) Keuntungan inovasi dapat dihitung secara pasti dengan perbandingan antara harga input dan produk yang dihasilkan oleh suatu inovasi. Kecepatan difusi suatu inovasi dapat diharapkan hanya pada inovasi yang memberikan keuntungan tinggi. (3) Pengaturan distribusi perolehan input yang dibutuhkan inovasi tersebut. (4) Faktor budaya termasuk sistem nilai biasanya menghambat proses adopsi dan difusi
inovasi. Kadang-kadang suatu inovasi tidak diadopsi sebagian atau semuanya oleh a : ,
,
suath masyarakat karena ada konflik dengan sistem nilai yang ada, misalnya menyediakan dagmg babi pada daerah berpenduduk muslim. Tipe-tipe keputusan inovasi juga mempengaruhi tingkat adopsi suatu inovasi (Rogers
dan Shoemaker, 1971 ; dan Rogers, 1983). Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1983) mengatakan bahwa biasanya kita mengharapkan suatu inovasi yang diputuskan
secara opsional diadopsi lebih cepat dibandingkan ketika inovasi tersebut diadopsi oleh suatu kelompok atau organisasi. Ini berarti, bilamana banyak orang yang terlibat dalam suatu keputusan inovasi, maka tingkat adopsinva akan menjadi lambat. Oleh karena itu
dalam pengambilan keputusan inovasi &pat
mungkin melibatkan sedikit unit pengambil
keputusan agar tingkat adopsinya menjadi tinggi. Keberadaan saluran komunikasi yang juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan proses adopsi dan difusi inovasi sudah banyak dibuktikan, baik melalui saluran media massa (telah banyak dijelaskan pada uraian-uraian terdahulu) maupun saluran antarpribadi. Khususnya dalam penggunaan saluran antarpribadi, pa& umurnnya &lam suatu program penyuluhan terdapat beberapa saluran yang efektif untuk penyampaian pesan, seperti: penyuluh (akan dijelaskan secara khusus pa& bagian terakhir &lam uraian ini) dan pemuka masyarakat (pimpinan formal dan informal) (Rogers &n Shoemaker, 197 1 ; Rogers, 1983; dan Lionberger dan Gwin, 1991). Bahkan menurut Rogers dan Kincaid ( 1 98 1 )
dan Lionberger dan Gwin ( 199 1 ). peranan keluarga, teman, tetangga, mertua,
orangtua, dan orang-orang terpercaya lainnya dalam pembuatan keputusan untuk mengadopsi sesuatu juga telah diperhitungkan akhir-akhir ini. Umurnnya dalam suatu masyarakat, ada tokoh-tokoh tertentu yang mempunyai respon tinggi t e r h h p inouasi, tetapi adapula sebaliknya, rendah. Mereka ini disebut pemimpin. Seorang pemimpin biasanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan yang dikehendakinya, baik mereka itu sedang menduduki suatu jabatan formal tertentu maupun tidak. Yang jelas, mereka memiliki kemarnpuan menggerakkan
dan berhubungan dengan masyarakat yang sangat kuat (Rogers dan Shoemaker, 1971; Rogers, 1983; dan Ortiz dan Meneses, 1991), sehingga mereka dapat mempercepat tersebarnya suatu inovasi ke dalam masyarakat, tetapi dapat pula menghambatnya. .Hasi l peneli tian Susanto ( 1985) menunjukkan bahwa kesinambungan proses adopsi sayuran daun hijau pada sasaran dalam program penyuluhan yang dilakukan, hanya dapat
31
berlangsung dengan baik bilamana ada dukungan dari pimpinan desa. Ini berarti menurut Rogers (1983), pemimpin desa sangat berperan dalam penyampaian inovasi dari media massa ke sasaran. Ciri pemimpin masyarakat berbeda dengan ciri pengikutnya. Misalnya, pemimpin itu memiliki hubungan sosiai yang lebih luas, lebih sering berhadapan dengan media massa, lebih sering mengadakan pejalanan ke luar daerahnya, lebih sering berhubungan dengan pengantar pembaruan, dan memiliki keahlian dan kemampuan tertentu yang melebihi kemampuan orang kebanyakan. Dengan demikian, untuk &pat menjalankan peranannya dengan baik, mereka harus selalu dekat dengan masyarakat dan harus diterima oleh pengikutnya sebagai pemimpinnva. Olehnya itu, pemimpin harus selalu aktif dalarn kegiatan-kegiatan sosial, &lam pertemuan-pertemuan, diskusidiskusi lainnya, yang dalam forum itu juga inovasi itu di komuni kasi kan. Mendukung uraian di atas, hasil penelitian Esman dan Uphoff (1984) di negaranegara berkembang menunjukkan bahwa beberapa organisasi lokal yang paling berhasil ". . .
justru dipimpin oleh petani-petani yang buta h m f yang menunjuk orang lain untuk
*I.
membuat administrasi organisasi, karena menurut Wharton (Jahi, 1988) justru ciri-ciri "kelokalan" pemimpin tersebut yang menjalin twnbuhnya jaringan komunikasi yang merupakan keuntungan, tenrtama dalam perencanaan dan pelaksanaan program k e j a d~ tingkat lokal. Dalam kaitan dengan tingkat kemampuan seseorang untuk rnempenganhi pembahan perilaku orang lain, maka seorang pemimpin masyarakat ada yang bersifat monomorfik
dm polimorfi k (Rogers dan Shoemaker, 1 97 1; dan Rogers, 1983). Pemimpin masyarakat yang bersifat monomorfik adalah pemimpin vang hanya dapat mempengaruhi satu urusan
saja, misalnya masalah pertanian atau kesehatan saja. Pemimpin masyarakat yang bersifat pol imorfTk adalah pemimpin yang berpengamh terhadap semua masalah kehidupan, apa saja, kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, para penyuluh harus dapat memperhatikan secara khusus pada golongan ini dan berusaha memanfaatkannya secara optimal sebagai akselerator dalam mempercepat proses diterimanya inovasi dalam rangka pentkhan perilaku masyarakat. Selain pemimpin formal dan informal masyarakat, keberadaan saluran antarpnbadi lainnya seperti: dukun, tetangga, teman, mertua, orangtua, dan orang-orang kepercayaan lainnya, sangat membantu dalam mengalirkan informasi dm mereka sebagai sumber informasi kepada para ibu sebagai sasaran usaha peningkatan status gizi anak balitanya ( Akhsan, 199 1 ; dan
Amelia dan Sri Muljati, 1993).
Selain peranan saluran antarpribadi seperti tersebut di atas, komunikasi di antara para ibupun sangat efektif dalarn proses pertukaran informasi baik itu tentang segi-segi kehidupan secara umum, maupun masalah-masalah perbaikan gm dan kesehatan khususnya bagi anggota keluarganya. Rogers dan Kincaid ( 198 1) menemukan bahwa ibu-ibu yang terikat dalam suatu jaringan komunikasi temtama karena keanggotaan mereka dalarn perkumpulan ibu-ibu, maka mereka akan mengadopsi KB, sedangkan ibu-ibu lain yang tidak terikat dalarn jaringan komunikasi itu, hanva sedikit yang mengadopsi KB. Ini menunjukkan bahwa jaringan komunikasi sesarna ibu sangat -ran
dalarn proses difusi.
Faktor lain yang tidak kalah penting pengaruhnva pada tingkat adopsi suatu inovasi adalah keberadaan sistem sosial (Rogers dan Shoemaker, 1971; dan Rogers, 1983). Struktur sosial sebagai perwujudan sistem sosial yakni suatu gambaran keterhubungan status dan peranan para anggota masyarakat (Johnson. 1988).
Struktur sosial terbentuk karena hubungan status dan peranan para anggota dalam suatu sistem sosial yang berbeda-beda dan bersifat hirarkis. Struktur sosial ada yang bersifat formal adapula yang bersifat tidak formal. Sebagai struktur formal, organisasi menggambarkan hubungan status dan peranan yang tersusun secara kirarkis dalam posisi jabatan, ada yang menduduki posisi status ketua, dan adapula yang menjadi anggota. Demikian pula dalam organisasi sebagai struktur informal seperti keluarga, terdapat pembagian status &n peranan yang akan menentukan siapa yang boleh berhubungan dengan siapa dan dalam situasi yang bagaimana hubungan itu dilakukan (Rogers dan Shoemaker, 197 1 ;dan Johnson, 1988). Rogers dan Shoemaker dan Rogers mengatakan bahwa baik struktur formal ataupun informal berpengaruh terhadap perilaku manusia dan perubahannya &lam menjawab rangsangan komunikasi dalam masyarakat. Dalam proses difusi inovasi, struktur sosial mempunyai hubungan saling pengaruh yang kompleks dengan proses tersebamya inovasi ke dalam suatu sistem sosial. Demiki'an pula, struktur sosial dapat merintangi dan memudahkan cepatnya penyebaran dan pengadopsian suatu inovasi yakni yang disebut "efek difusi," vaitu seseorang atau suatu kelompok akan mengadopsi suatu inovasi ..-~ karena - ,:-.. ia/mereka mendapat pengaruh dari sistem sosial yang telah mengadopsi inovasi tersebut lebih dahulu. Dalam efek difusi ini, norma-norma dan hirarkis yang ada &lam sistem sosial masyarakat akan mempengaruhi perilaku anggotanya. Adanya perbedaan status dan peranan dalam suatu masyarakat. dipastikan akan menimbulkan adanya perbedaan dalarn pemilikan dan penguasaan surnberdaya yang ada dan pada glirannya &an membentuk stratifikasi atau klas-klas sosial dalam masyarakat, bai k berdasarkan tingkat ekonomi maupun lainnya (Rogers dan Shoemaker, 197 1 ).
Homogenitas atau heterogenitas suatu masyarakat dalam kaitan dengan relatif banyaknya klas-klas tersebut, akan mempengaruhi tersebarnya suatu inovasi ke/di &lam masyarakat tersebut. Dalam proses penyebaran suatu inovasi ke dalam sistem sosial tertentu, Rogers dan Shoemaker ( 1971) maupun Rogers ( 1983) menekankan bahwa tejadinva proses difusi tersebut, didasan asumsi bahwa inovasi yang didifusikan itu benarbenar bersifat ban. Dengan demikian semua sasarannya belum pernah ada yang mengadopsi inovasi tersebut. Jadi seluruh anggota sistem sosial bagi Rogers merupakan komunitas dengan ciri-ciri yang sama. Bahkan menurut Roling ( 1988), golongan penerima lambat dan inovatorpun, dipertimbangkan oleh Rogers (1983) sebagai anggota sistem sosial yang sama, karena mereka hidup dalam sistem sosial yang sama. Padahal &lam kenyataannya, populasi pada suatu daerah tertentu tidak mungkin homogen sempurna. Oieh karena itu, Roling ( 1988) mencoba mengkaji sasaran inovasi dari segi kesamaan ciricirinya yang dikelompokkan ke dalam sasaran yang bersifat homogen atau heterogen. Selanjutnya Roling (1988) memberikan contoh bahwa pada suatu populasi yang bersifat heterogen, suatu inovasi yang didifusikan dengan menggunakan strate@ petani maju, akan \.
I
sulit menembus klas-klas sosial yang ada, sehingga periu dilakukan homogenisasi dengan cam mengelompokkan sasaran menjadi beberapa golongan baik atas dasar ekonomi maupun aspek sosial, adanya fungsi kepentingan, pemilikan sumberdaya alam, fisik, serta kemampuan yang berbeda. Lebih khusus Engel (Jahi, 1988) mengatakan bahwa dalam kampanve informasi publik, besar sasaran dan kemampuan menjangkau mereka melalui saluran komunikasi tertentu merupakan landasan kategonsasi yang penting.
Dengan
demikian, kategonsasi sasaran akan memudahkan proses difusi suatu inovasi, karena kebutuhan, kemampuan sumberdava fisik dan kemampuan lainnya relatif sama antara sasaran dalam golongan klasnva.
. .,.. ,.-
Kegagalan suatu program penyuluhan tidak sedikit disebabkan oleh kondisi sasaran yang tidak memungkinkan untuk menerima inovasi yang diberikan kepadanya, tanpa adanya penyesuaian-penyesuaian tertentu terhadap paket inovasi tersebut. Sebagai contoh dikemukakan oleh Roling ( 1988)- ketika keadaan populasi tidak homogen (heterogen) pada suatu daerah pertanian di saat diperkenalkan suatu inovasi, maka petani yang tidak mengadopsi inovasi tersebut, bukan berarti mereka bodoh, tradisional, konservatif atau berbagai sifat-sifat lain yang melekat padanya, melain kan kebanyakan dari sawah mereka tidak dilalui jalur irigasi, yang berarti tanpa pengawasan air yang baik akan menyebabkan penggunaan pupuk tidak mungkin dapat berhasil dengan baik. Ini berarti petani sebagai sasaran inovasi tidak dapat disamakan semuanya, sehingga perlu penggolongan petani (paling tidak atas dasar sawah beririgasi dan tidak beririgasi) agar perlakuan pada masingmasing sasaran dapat berlainan. Menurut Slamet ( 1978), karakteristik individu sangat besar pengaruhnya terhadap cepat lambatnya proses adopsi suatu inovasi, seperti: umur, pendidikan, status sosial e k e nomi, pola hubungan ( lokalitkosmopolit), keberanian mengambil resiko, sikap terhadap sesuatu, motivasi berkarya. aspirasi, fatalisme atau ketidakmarnp*,
membgca masa
depan, dan dogmatisme atau sistem kepercavaan tertutup. Selain faktor di atas, keinovatifan (innovativeness) sasaran juga berperan mempercepat proses adopsi suatu tnovasi. Keinovativan adalah tingkatan seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya relatif cepat mengadopsi suatu inovasi dm anggota sistem sosial lainnva. Menurut Rogers dan Shoemaker ( I97 I ), Rogers ( 1983) dan Roling ( 1988). ciri-ciri sosial ekonomi, ciri-ciri kepribadian dan ciri-ciri komunikasi golongan masyarakat yang lebih inovatif adalah sebagai berikut: ( 1 ) ciri-ciri sosial ekonomi: lebih berpendidrkan, mempunvai status sosial lebih tinggi, mempunyai mobilitas lebih tinggi, mempunvai
usaha yang lebih luas, lebih berorientasi pada ekonomi komersial, mempunyai sikap yang lebih positif, dan mempunyai pekejaan yang lebih spesifik; (2) ciri-ciri kepribadian, yaltu: memiliki simpati lebih besar, dogmatis, mempunyai kemampuan abstraksi lebih besar, mau mengambil resiko, mempunyai intelegensi tinggi, bersikap positif terhadap perubahan, lebih rasional, tidak menyerah pada nasib, dan mempunyai motivasi dan aspirasi untuk meningkatkan taraf hidup; dan (3) ciri-ciri komunikasi, yaitu: partisipasi sosialnya tin@, sering mengadakan komunikasi antarpribadi dengan anggota sistem sosial lainnya, sering mengadakan hubungan dengan agen pembaru atau orang asing, kemampuan memimpinnya lebih baik, selalu mencari inovasi, dan bemorma lebih moderen. Roling ( 1 988) selanjutnya menyeleksi dan memberi kejelasan bentuk pengaruh peubah-peubah keinovativan tersebut, sebagai berikut: ( I ) peubah sosial ekonomi, yaitu: pendidikan (positif), literasi (positif), status sosial (pendapatan, kesehatan, strata sosial) (positif), dan luas usaha ( positif); (2) peubah kepribadian, yakni: rasionalitas (positif), sikap terhadap perubahan (positif), sikap terhadap ilmu pengetahuan (positif), dan fatalisme (negatif); dan (3) peubah komunikasi, yaitu: pamsipasi sosial (positif), kekosmopolitan ( posi ti 0,
kontak dengan pengantar pem baharuan ( positif), keterdedahan dengan mecia
massa (positif), penggunaan saluran komunikasi antarpribadi (positif), keakctivan mencari informasi (positif), dan kemampuan memimpin (positif). Norma atau kebiasaan adalah pedoman tingkah laku yang telah mapan dan diakui bersama vang tumbuh dan berkembang dalam masvarakat dan merupakan bagian tak terpisahkan dan suatu sistem soslal. Norma-noma tersebut akan membatasi boleh tidaknya suatu perilaku dilakukan dalarn sistem sosial tersebut. Nonna-norma ini mempengaruhi perilaku seseorang atau masyarakat dalam mengadopsi suatu ~novasi,yaitu dapat
menunjang atau merintangi masuknya suatu inovasi ke dalam sistem sosial (Rogers dan Shoemaker, 197I ; dan Rogers, 1983). Satu ha1 yang berkaitan dengan masalah norma dalam masyarakat adalah kepercayaan (tabu). Tabu, biasanya dalam bentuk pantangan atau anjuran untuk mengkonsumsi jenis pangan tertentu dan juga dalam bentuk perilaku-perilaku tertentu. Menurut Hubeis (1 985) dan Susanto (1985), masyarakat yang berada pada strata menengah cenderung
untuk tetap mempertahankan tabu bahkan melestarikannya melalui keturunannya dengan anggapan bahwa menjalankan tabu adalah orang yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman terhadap kehidupan. Masyarakat strata atas dan bawah cenderung tidak melestarikan tabu karena goiongan atas lebih mudah terdedah oleh berbagai informasi yang menyebabkan mereka mampu mensubstitusi pangan atau perilaku yang ditabukan tadi dengan pangan atau perilaku lainnya yang tejangkau oleh daya beli mereka, sedangkan pada masyarakat golongan bawah cenderung tidak melestarikan tabu karena pada urnurnnya pangan atau perilaku yang ditabukan tersebut tidak dapat tejangkau oleh daya beli mereka. 'I
Penyuluh sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi adalah orang yang &if berusaha menyebarkan inovasi ke dalam suatu sistem sosial. Mereka adalah tenaga profesional yang biasanya mewaluli lembaga-lembaga tertentu yang berusaha mengadakan pembaruan dalam masyarakat. Tugas utamanya adalah berusaha mempengaruhi keputusan anggota masyarakat dalam rangka melaksanakan program yang telah ditetapkan oleh lembaga tempat mereka bekej a (Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers ( 1983). Terdapat beberapa peran penyuluh dalam kaitannya dengan perubahan berencana, yaltu (Lippitt, Watson, dan Westley, 1958; dan Slamet, 1985): (1) menumbuhkan
kebutuhan untuk berubah pada sasaran, (2) membangun hubungan untuk perubahan, ( 3 ) mendiagnosis dan menjelaskan masalah yang dihadapi oleh sasaran perubahan, (4) mencari dan menemukan berbagai alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, (5) mengubah tekad menjadi usaha nyata ke arah pencapaian tujuan perubahan, (6) mem-
perluas dan memantapkan perubahan, dan (7) memutuskan hubungan untuk pembahan agar sikap ketergantungan dari sasaran kepada penyuluh dapat segera diakhiri demi kelangsungan perubahan. Dalam dimensi lain, Harun ( 1995) mengatakan bahwa dalam penyuluhan pertanian khususnya, penyuluh harus bertindak sebagai mitralkawan terdekat petani. Tanpa menjadi mitra terdekat, akan sulit bagi penyuluh tersebut untuk "masuk" dan diterima dalam l ingkungan petani. Karena i tu para penyuluh hams mempunyai karakteristik yang diharap
kan seperti: ( I ) memiliki keyakinan bahwa petani dan keluarganya mempunyai kemampuan yang potensial; (2) bertindak selaku fasilitator, bukan sebagai guru atau pendidik; (3) bergaya hidup sesuai dengan lingkungan masyarakat petani: sederhana, jujur, berdedikasi, dan sabar; (4) mengenal masyarakat yang dilayaninya serta keadaan dan masalah sosial ekonominya; (5) mengu"asai metode analisis, sintesis, dan pernecahan masalah; (6) marnpu mengubah peran dan fasilitator menjadi konsultan W a g r i b i s n i s bag^ petani; (7) bertanggunglawab atas profesinya sebagai fungsional penyuluh pertanian; dan (8) pengembangan profesional diri secara berkelanjutan. Oleh karena kemampuan mereka itu dalarn membina hubungan dengan para petani, maka mereka ini biasanya sangat dipercaya oleh masyamkat. Menurut hasil penelitian Rogers dan Svening (Rogers dan Shoemaker, 1971; dan Rogers, 1983), para petani Kolombia relatif menaruh kepercayaan lebih tinggi kepada penyuluh pertanian dibandngkan sumber-surnber informasi iainnya.
Dalam menyebarkan inovasi, penyuluh seringkali bekejasama dengan pem uka pendapat dalam suatu masyarakat. Pemuka pendapat sering menjadi pembantu yang berjasa bagi agen pembaru dalam penyebaran inovasi tadi. Namun demikian, menurut hasilhasi l penelitian menunjukkan bahwa para pemuka pendapat ini biasanya "dilupakan" setelah inovasi berhasil diadopsi oleh masyarakat tersebut (Rogers dan Shoemaker, 1971;
dan Rogers, 1983). Program Penyuluhan Gizi Istilah "penyuluhan" berasal dan kata "suluh" yang berarti "obor" atau "pelita" yakni pemberi terang dalam kegelapan. Oleh karena itu, penyuluhan dapat diartikan sebagai usaha memberi terang bagi orang yang bejalan dalam kegelapan (Pranadji, 1992). Ini berarti melalui penyuluhan seseorang akan menjadi tahu, mau dan mampu melakukan ha1 yang berguna baginya sesuai tujuan yang dicita-citakan. Berbagai ahli telah memberikan pendapatnva tentang pengertian penyuluhan. Sebagai rangkwnan pendapat-pendapat itu adalah penyuluhan pada hakekatnya me~pztkan
..
-
;btu sistem pendidikan luar sekolah (non-formal) yang bermjuan untuk mengubah perilaku ke arah yang lebih baik dengan pendekatan belajar sambil berbuat (learning by doing) sehingga sasaran menjadi tahy mau dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi baik secara sendiri-sendiri maupun bersarna-sama, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan diri, kelwga dan bahkan masyarakatnva (Dahama dan Bhatnagar, 1980; Kartasapoetra, 1991; Slamet, 1990; Mardikanto, 1993; dan Anonim, 1994").
Akhir-akhir ini pengertian penyduhan perlu mengalami reorientasi sebagai implikasi tejadinya perubahan pada masyarakat dan kebijaksanaan pemerintah tentang pembangunan selama ini. Menurut Slamet ( 1 995), penyuluhan pembangunan adalah industri jasa
yang menawarkan pelayanan pendidikan (non formal) dan infonnasi pembangunan kepada masyarakat sasaran yang memerlukannya. Lebih lanjut Slamet mengatakan bahwa jika penyuluhan dipandang sebagai industri jasa yang menawarkan pelayanan, maka jelas hams ada pi hak-pi hak yang dilayani, yakni masyarakat. Pelayanan penyuluhan harm didasan oleh pemuasan kebutuhan dan harapan masyarakat sasaran. Ini membuka kesempatan bagi partisipasi sasaran untuk menyusun program-program penyuluhan mereka sendiri. Penyuluhan yang bermutu baik adalah penyuluhan yang memenuhi atau melebihi pemenuhan kebutuhan dan harapan-harapan pi hak-pihak yang disuluh atau sasaran. Beberapa tahun lalu, jika orang berbicara tentang "penyuluhan," maka ha1 ini selalu berarti "penyuluhan pertanian" karena sektor pertanianlah yang pertama kali menggunakan konsep ini dalam upaya mencapai tujuan-tujuan pembanguna~ya(Mardikanto, 1993). Namun demikian, persepsi anggota masyarakat akhir-akhir ini sudah mulai berubah dengan dipakainya juga konsep ini dalarn bidang sepeni: penyuluhan KB, penyuluhan koperasi, penyuluhan hukum, penyuluhan kesehatan, dan berbagai sektor kehidupan lainnva (Slamef, 1990). Dalam rangka peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat untuk mencapai "Kemandirian Masyarakat dalam Bidang Kesehatan," maka World Health Organization (WHO) di Alma Ata menyepakati bahwa penyluhan kesehatan masyarakat (PKM) dianggap sebagai inti pelayanan kesehatan dasar (Pusat Penyuluhan Kesehatan Masvarakat (PPKM), 1993). Untuk mendukung program tersebut, maka Departemen Kesehatan membuat Undang-undang No. 23 tahun 1992 vang salah satu intinya bahwa PKM diselenggarakan guna meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat dan aktif berperanserta dalam upaya kesehatan.
Untuk itu, pelaksanaan PKM melekat pada setiap kegiatan program kesehatan (PPKM, 1 993). Ini berarti aspek penyuluhan selalu ada dalam setiap program kesehatan bai k ymg
dilakukan oleh pemerintah, swasta, maupun oleh masyarakat. Untuk memperoleh hasil keja yang memuaskan pada setiap kegiatan PKM pada khususnya dan pelayanan kesehatan pada umumnya, maka para tenaga kesehatan telah diatur dalam kerangka fungsi tugas yang tergambar pada struktur organisasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Gambar 4). Pada Gambar 4 terlihat bahwa fungsi aparat PKM ada pada setiap tingkatan, dimulai dari tingkat nasional yang bernaung di bawah PPKM dan bertanggungjawab langsung kepada Menteri Kesehatan RI (PPKM, 1995). Lebih lanjut pembagian fungsi tugas PPKM terbagi atas empat bagian, yaitu: ( I ) Bagian Metodologi Penyul uhan mem bawahi Subbagian Metodologi, Pengembangan Sosial Budaya, dan Bentuk Pesan; (2) Bagian Media Penyuluhan membawahi Subbagian Media Elektronika, Media Grafika, dan Media Rahyat dan Tradisional; (3) Bagian Pelayanan antar Program membawahi Subbagian Kesehatan Masyarakat, Kesehatan Lingkungan, Pelayanan Medis, dan Pengawasan Obat dan Makanan; dan (4) Bagian Pelayanan antar Seksi membawahi Subbagian Organisasi Wanita. Organisasi Pemuda, &n Organisasi Sosial dan Keagarnaan. Pada Kantor Wilavah Kesehatan tingkat propinsi, fungsi tugas PKM berada di salah satu seksi dari berbagai seksi lainnya, yang membawahi tiga subseksi, yaitu: ( 1 ) Komunikasi, (2) Partisipasi Masvarakat, dan (3) Usaha Kesehatan Sekolah. Pada Dinas Kesehatan tingkat kabupaten, fungsi tugas PKM juga berada pada salah satu seksi dan beberapa seksi lainnya, yang membawahi subseksi pengembangan sarana komunikasi, pelayanan program, dan pelaporan dan evaluasi (tergantung pada tingkat kebutuhan masing-masing kabupaten). Pada Puskesmas di tingkat kecamatan. fungsi tugas PKM juga berada pada salah satu unit dari berbagai unit kerja lainnya (PPKM, 1995).
i Menteri Kesehatan
1
Di rjen
Dirjen
Pusat PKM
Pusat
1
I
Bagian Bagian Metode Penyuluhan
I
Bagian
Bal i tbang
Di jen
Pusat
I
1
1
1
1
1
+
Pusat
Kepala Kantor Wilayah Kesehatan I
J
1
Seksi
Seksi
1
Seksi PKM
I ' Subseksi Komuni kasi
Subseksi Partisipasi
Kepala Dinas Kesehatan
EIl Kabupaten
4
6
Seksi PlfM
Seks~
+
4
I Pem binaan - KIA - KB - Gizi
Subseksi
I Subseksi ( Peng. Sarana 1 Komunikasi Kepala Puskesrnas
Pengem bangan - PKM - UKS
Subseksi
4
Subseksi
I-
Pelayanan
- Pengobatan & Obat
- Kes. gigi & jiwa
Pencegahan - P3M - Kesling
- Laboratorium
Gambar 4. Gambaran Fungsi Tugas Tenaga Kesehatan dalam Struktur Organisasi Depanemen Kesehatan R1 (Data Primer Setelah Diolah, 1997)
Baik pada tingkat propinsi, kabupaten, lebih-lebih pada tingkat kecamatan, petugas
PKM dan petugas kesehatan dari unit-unit kerja lainnya, secara bersama-sama melaksanakan tugas-tugas pelayanan kesehatan di lapngan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Khususnya dalam program perbaikan gtzi rnasyarakat, penyuluhan gizi di Indonesia diawali dengan kampanye perbaikan menu makanan rakyat yang terkenal dengan slogan "Empat Sehat Lima Sempurna." Kemudian berlanjut menjadi strategi dasar gerakan penganekaragaman menu makanan rakyat (Mantra, 1993). Penyuluhan gizi merupakan kegiatan alih pengetahuan dan teknologi yang rnengarah kepada semakin terciptanya perilaku gizi yang positif
Untuk mencapai ha1 tersebut,
diperlukan suatu strategl penyuluhan yang memadai dan didukung oleh semua unsur terkait yang antara satu unsur dengan unsur lainnya tidak dapat dipisahkan karena semuanya saling menunjang dalam suatu aktivitas (Pranadji, 1992; dan Mantra, 1993). Adapun unsur-unsur penyuluhan gizi tersebut adalah: ( I ) penyuluh, (2) sasaran, (3) materi atau inovasi, (4) metode, (5) teknik, dan (6) peralatan penyuluhan. Penyuluh Gizi
OIeh karena penyuluhan kesehatan dianggap sebagai inti pelayanan kesehatan dasar, maka kegatan ini harus dikuasai secara lengkap dan marnpu dilaksanakan oleh petugas penyuluh kesehatan dan petugas lainnya serta masyarakat (kader) yang berperanserta dalarn pelayanan kesehatan dasar (PPKM, 1993).
Ini berarti bahwa semua petugas
kesehatan berfungsi sebagai penyuluh kesehatan masyarakat. Dengan demikian, secara formal struktural belum ada tenaga kesehatan yang berstatus sebagai penyuluh gzi, tetapi
secara fungsional beberapa hasii kerja di antara mereka telah ditemukan dalarn pelayanan gizi dan kesehatan masyarakat. Kualifikasi pendidikan formal penyuluh kesehatan masih terbatas pa& lulusan pendidikan keahlian misalnya: bidan, perawat, asisten apoteker, dan tenaga sanitasi. Namun demikian, sebagian kecil tenaga kesehatan tersebut telah mendapat latihan khusus tentang tatacara pelaksanaan program-program PKM, sedangkan sebagian besar iainnya belum mendapat latihan serupa.
Di samping tenaga kesehatan, kader Posyandu cukup berperan dalam perbaikan gizi masyarakat terutarna melalui penyuluhan di Posyandu. Kader Posyandu adalah tenaga sukarelawan yang sudah tergerak kesadarannya untuk turut serta membantu menyukseskan pembangunan nasional dengan cara membantu usaha perbaikan gizi masyarakat tanpa mendapat imbalan. Pada umumnya kader gizi adalah wanita, baik yang telah berkeluarga maupun belum, dan biasanya dengan pendidikan yang relatif rendah (Sitohang dan Rianto Adi, 1989; dan Pranadji, 1992). Pranadji ( 1992) mengatakan bahwa latar belakang pendidikan formal akan mempengaruhi pemahaman materi penyuluhan gzi yang diterima oleh seorang kader. Oleh . . ,.,
karena itu, kader yang berpendidikan rendah kemampuannya terbatas dalam menerapkan inovasi dan untuk menyampaikan kepada orang lain. Selain ity kader juga akan kesulitan dalam mempersiapkan cara-cara penyampaian materi, bahasa atau macarn istilah yang akan digunakan serta alat-alat bantu pengajaran yang akan dipilihnya.
Hasi I-hasi I penelitian membuktlkan bahwa fungsi kader gizi masih terbatas dalam ha1 pencatatan dan belum berfungsi sebagai penyuluh gizi. Misalnya, konsep anak sehat adalah anak yang naik berat badannya, telah dikuasai oleh kader, akan tetapi kemampuannya dalam membaca KMS masih rendah, sehingga keterbatasan tersebut akan banyak
.
..
mengurangi peranan dan fungsi kader untuk mengkomunikasi kan berbagai konsep perbai kan gizi kepada sasaran penyuluhan (Sayogyo, 1973; dan Tim IPB, 1980). Tim IPR mengatakan bahwa garnbaran hasil evaluasi program UPGK yang sudah berjalan, sangat jelas kader gzilah yang paling menentukan pengetahuan atau bahkan peri laku gizi ibu-i bu sasaran. Oleh karena itu, penyelenggaraan iatihan-lati han penyegaran
perlu secara mtin dilaksanakan dan lebih ditingkatkan. Menunrt Suhardjo (1989), kader yang baik adalah kader yang telah dilatih, mempunyai motivasi dan dedikasi yang tinggi, kemungkinan besar mampu mdakukan transfer inovasi gzi dan kesehatan kepada sasaran Posyandu.
Sasaran Penyuluhan Gizi Sasaran penyuluhan gizi baik di Posyandu maupun di luar Posyandu adalah seluruh lapisan masyarakat, dengan prioritas (Suhardjo, 1989; Kodyat dkk., 1993): (I)
Golongan anak umur 0-6 tahun.
( 2 ) Golongan ibu hamil dan ibu menyusui serta pasangan usia subur (PUS). ( 3)
Golongan pekej a terutarna yang berpenghasi Ian rendah. -.. ,
.
( 4 ) Golongan penduduk di daerah rawan pangan.
Dalam perspektif lain, sasaran program UPGK menurut Buku Pegangan Kader a&lah keluarga, yang meliputi seluruh anggota keluarga: bapak, ibu, anak atau anggota keluwga lainnva ( Anonim, 199 1 ). Namun demikian, pada kenvataannya orang yang paling bertanggung jawab terhadap penvediaan makanan sebagai surnber gizi keluarga dan pengasuh anak balita adalah kaum wanita, atau ibu daiam keluarga tersebut. Sejalan dengan ha1 tersebut, menurut Hubeis
( 1991),
upaya perbaikan gizi
masvarakat dalam gerakan sadar pangan dan gizi mutlak memerlukan partisipasi khalavak
sasaran. Secara empiris, khalayak sasaran penyuluhan gzi terbagi menjadi empat sementasi, yakni perorangan, kelompok, organisasi dan masvarakat. Keempat sistem tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi kecepatan dan kesinambungan adopsi inovasi, dan pembahan peri laku inovasi di suatu segmen khalayak akan mempengaruhi perubahan segmen khalayak lainnya sebagai perwujudan respon solidaritas. Hubeis (1991) mengatakan bahwa selama ini sasaran penyuluhan gizi adalah kaum wanita terutama yang berumur muda, mempunyai anak balita, sedang hamil dan menyusui. Pada kenyataannya tidak jarang mereka yang tidak dijadikan sasaran penyuluhan gizi seperti pria dan wanita usia lanjut justru turut menentukan pengambilan keputusan dalam ha1 menu makanan keluarga atau masalah lainnya. Akibatnya, karena ada kesenjangan pengetahuan gizi di antara mereka, terjadi pertentangan aplikasi norma gizi dalam bentuk khalayak nonsasaran akan mempertahankan norma gizi yang lama, sedangkan khalayak sasaran akan berusaha untuk menggolkan norma gizi yang bam. Untuk mengatasi persoalan seperti ini, maka fokus perbaikan gizi keluarga perlu dilakukan melalui berbagai pendekatan. Kaum bapak, lebih tepat bila diintegrasikan dalam penyul uhan pertanian, sehingga antara PPL den-gn kader giz~p d a prQgrarn UPGK dilakukan jalinan kerjasama yang lebih tegas. Bagi kaum wanita usia lanjut, penyuluhan gizi diintegrasikan dalam kegiatan keagamaan, seperti strategi yang ditempuh BKKBN dalam penyuluhan KB. Dernikian pula anggota keluarga, yaitu: anak-anak yang masih sekolah, anak remaja, penyuluhan gizi bisa juga dititipkan pada pelajaran-pelajaran di sekolah dan dalarn kegiatan organisasi (Hubeis, 1991 ).
Materi Penyuluhan Gizi Materi atau inovasi gizi hams mengacu pada kebutuhan sasaran penyuluhan. Di samping itu, menurut Kartasapoetra ( 1991), materi penyuluhan juga hams memperhatikan kesesuaian dengan tingkat kemampuan sasaran, mengena pada perasaannya atau tidak bertentangan dengan adat istiadat dan sistem kepercayaan mereka, dan memberikan atau mendatangkan berbagai keuntungan pada khalayak sasaran. Hal ini dipertegas oleh Asngari (1 992) bahwa materi penyuluhan yang baik adaiah materi yang dapat memberikan makna pa& khalayak sasaran, ditandai oleh empat hal, yaitu: (1) teknis dapat dilakukan,
(2) ekonomi menguntungkan, (3) sosial memungkinkan, dan (4) politis sesuai kebijaksanaan pemerintah. Menurut Pranadji (1992), pemberian materi kepada khalayak sasaran, dapat dilihat dari berbagai segi.
Dari segi pendidikan: bila materi ditujukan kepada sasaran yang
berpendidikan rendah, maka sebaiknya materi disusun dengan menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti (kalau perlu ditejemahkan ke dalam bahasa daerah sasaran), dan disertai dengan penjelasan yang nyata dan masuk akal. Bila sasaran berasal dari golongan masyarakat yang berpendapatan rendah, maka matexi hendakiya dtsusun dengan sedikitdikitnya memberikan contohcontoh makanan yang sulit dijangkau oleh ekonomi mereka. Bilamana dttinjau dan segi budaya, maka rnateri yang dtsarnpkan sebaiknya tidak menylmpang dm sistem nilai dan noma, serta adat kebiasaan yang telah berakar dan menjadi ciri peri lak u masyarakat tersebut. Untuk kelancaran jaiannya pemberian materi penyuluhan pada khalayak sasaran, ada baiknva semua ha1 yang diuraikan di atas beriaku juga pada &ri pribadi penyuluh, agar materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan hati nuraninya.
Metode Penyuluhan Gizi
Metode penyuluhan adaiah cara penyampaian pesan dari penyuluh kepada sasaran, yaltu metode perorangan, kelompok dan massal. Metode penyuluhan dapat digolongkan ke dalam beberapa macam berdasarkan jarak, indera, dan jumlah sasaran (van den Ban dan Hawkins, 1988; Suhardjo, 1989; dan Pranadji, 1 992). Menurut jarak sasaran, metode penyuluhan dapat dibedakan secara: ( 1 ) langsung, yaitu dengan melakukan tatap muka, dan (2) tidak langsung, yaitu melalui perantaraan medla penyuluhan seperti radio, koran, dan sebagainya. Menurut indera sasaran, metode penyuluhan dapat dibedakan secara: ( I ) terlihat, yaitu: televisi, film, bahan cetakan, dan sebagainya; (2) terdengar, yaitu: radio, televisi, dan sebagainya; dan (3) kom binasi antara rnetode terdengar dan terlihat (Audio-Visual). Menurut jumlah sasaran penyuluhan dapat dijurnpai metode ( I ) perorangan, (2) kelompok, dan (3) massal. Dalam uraian lebih lanjut, kedua metode sebelurnnya Cjarak dan indera penerima), tidak akan dibahas di sinl. Metode perorangan dilakukan untuk mencapal sasaran penyuluhan strategis, yang diperkirakan akan mendorong atau mengharnbat berlangsungnya kegiatan penyuluhan. Pendekatan perorangan dalarn program UPGK di Posyandu, terutama drlakukan terhadap pemuka pendapat dan pada golongan masyarakat tertentu yang dinilai sulit untuk berubah karena kondisi soslal ekonominya (Pranadji, 1992). Keunggulan pendekatan perorangan in1 karena perubahan peri laku pada &ri sasaran relati f mantap, sedangkan kelemabannya
rnemerlukan banyak tenaga, waktu dan dana. Olehnya ~tu,dbutuhkan pendekatan lain yang leblh efektif, yakni pendekatan kelompok.
Metode kelompok me~pt3kanpendekatan utama dalam program UPGK 1 Posyandu karena leblh cepat dan prakhs bila dibandingkan dengan pendekatan perorangan. Sasaran
penyuluhan dikelompok-kelompokkan berdasarkan tempat tinggalnya atau wilayah k e j a Posyandu di saat mereka tercatat sebagai anggotanya (Susanto, 1985; dan Pranadji, 1992). Metode lain yang cukup handal adalah metode massal terutama &lam memperkenalkan inovasi baru. Akhir-akhir ini, pendekatan massal juga telah mulai menjanjikan hasil yang cukup memuaskan, yakni secara langsung mempengaruhi pengambilan keputusan inovasi sebesar 38 persen dan 18 persen secara tidak langsung (Asngari dkk, 1992). Di Departemen Kesehatan, penyuluhan gizi dan kesehatan melalui media massa sudah cukup banyak dilakukan, baik melalui media massa cetak maupun media audio-visual, seperti acara spot radio dan televisi dalam program pemasaran sosial (Anonim, 1992).
Teknik Penyuluhan Gizi
b.
Teknik penyuluhan adalah cara mempertemukan sasaran penyuluhan dengan materi penyuluhan (Slamet, 1975). Penentuan teknik yang akan digunakan dalam penyuluhan sangat tergantung pada tujuan penyuluhan yang dirumuskan, metode penyuluhan yang dipakai, karakteristik khalayak sasaran, media dan situasi penyuluhan yang tejadi. Untuk memilih teknik penyuluhan yang akan digunakan dalam kegiatan penyuluhan gizi. harus didasarkan pada beberapa persyaratan yakni; ( I ) sesuai dengan keadaan sasaran, ( 2 ) sesuai jumlah dan mutunya, (3) tepat mengenai sasaran pada waktunya, (4) pesan hams mudah diterima dan dimengerti, dan (5) murah biayanya (Pranadji, 1992). Lebih lanjut dikatakan beberapa macam teknik penyuluhan yang sering digunakan dalam penyuluhan p i , dapat dibedakan berdasarkan pendekatan penyuluhan yang digunakan, yaitu: ( I ) pendekatan perorangan: anjangsana, anjangkarya, dan demonstrasi; ( 2 ) pendekatan kelompok: cerarnah, diskusi, pameran, karyawisata, demonstrasi; dan (3) pendekatan massal: ceramah dan media massa, seperti teievisi, dan media cetak.
Peralatan Penyuluhan Gizi Agar mater~ penyuluhan &pat diterima sasaran penyuluhan dengan baik, maka dibutuhkan alat bantu mengajar dalam kegiatan penyuluhan. Alat peraga adalah alat bantu yang digunakan penyuluh untuk mempejeias materi pelajaran yang diberikan. Berdasarkan s~fatnya,alat bantu ini dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu (Suhardjo, 1989; dan Pranadji, 1992):
( I ) Alat bantu dua dimensi atau alat cetakan, terdiri atas garnbar, peta, bagan, lukisan, foto, lembaran, cetakan (flip charts), skema organisasi, dan sebagainya. (2) Alat bantu tiga dimensi, terdiri atas barang tinran, papan contoh (display boards),
pesawat-pesawat latihan yang sebenamya, film, benda aslinya, dan sebagainya. ( 3) Alat bantu berupa alat proyeksi, seperti overhead projector (OHP), slide projector, dan
sebagainya. Dalarn penyuluhan gizi di Posyandu, alat bantu yang paling banyak digunakan adalah alat bantu tiga dimensi. Misalnya saja, &lam memberikan materi penyuluhan tentang sayuran hijau yang mengandung banyak vitamin, pada umumnya contoh benda~barang aslinya i kut di pertunjukkan, apalag materi yang berkaitan dengan ukuran-ukuran (sedik~tbanyak, besar-kecil) dan sayuran tersebut. Di sarnping itu juga dgunakan alat bantu dua dimensi, seperti pertunjukan gambar-garnbar, foto-foto clan bahkan film-film. Kurang Energi dan Protein dan Pemberian Makanan Tambahan Terjadinya KEP baik pada orang dewasa, lebih-lebih pada anak-anak yang menyebabkan badan mereka kurus dan pertumbuhannya terganggu, adalah ketidakseimbangan kebutuhan zat gizi energi dan proteln dengan yang tersedia pada makanan mereka (WHO,
1985; Sajogjo, Goenardi, Roesli, Harjadi, dan Khumaidi, 1986; Satoto, 1990; Pudjiadi, 1990; dan Enoch dan Saraswati, 1990). Lebih lanjut Pudjiadi mengatakan bahwa ditemukan berbagai macam keadaan patologis yang disebabkan oleh KEP dalam proporsi yang bermacam-macam. Akibat kekurangan zat gizi tersebut timbul keadaan KEP pada derajat yang sangat ringan sampai berat. Pa& keadaan yang sangat ringan tidak banyak ditemukan kelainan dan hanya terdapat perturnbuhan yang terganggu, sedangkan kelainan biokimiawi maupun gejala kliniknya tidak ditemukan. Akan tetapi, menurut Pudjiadi (1990). dan Sudjasmin dkk. (1993), pada KEP keadaan berat ditemukan dua tipe kelainan, yaitu tipe kwashiorkor bilamana konsumsi pangan mengandung cukup energi tetapi kekufangan protein (berjumlah 4,6 % dari sampel penelitian), tipe marasmus bilarnana konsumsi pangan kurang mengandung energi yang menyebabkan pengurasan lemak tubuh yang berlebihan (berjumlah 90-8 %) dan kombinasi yang berada di tengah-tengah keduanya adalah kwashiorkor-marasmik (berjurnlah 4,6 %). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola penyapihan bayi pada usia terlalu dini ataupun terlalu lama, menjadi penyebab secara langsung timbulnya KEP pada bayi dan anak Balita, apalagi jika tanpa memperhatikan PMT yang mamadai kandungan zat gizinya, sehingga bayi dan anak Balita mereka mudah mengalami penurunan status gm (Jahari dkk., 1988). Pada usia bayi empat sarnpai enam bulan pertama &lam kehidupannya, mereka biasanya masih berada dalam status gizi baik. Pada masa enam bulan berikutnya jumlah bavi dengan status gzi baik tadi menurun menjadi 50 persen. Ini membdcdkan bahwa AS1 hanya marnpu memberikan kontribusi zat gizi secara penuh (100 %) selama enarn bulan, sedangkan selanjutnya peranan PMT sangatlah dibutuhkan (Jamil, Sudigbya, dan Sumantri, 1977; Suhardjo, 1989; Akhsan, 1991 ; dan Akhsan 1993). Menurut Suhardjo
(1989), ada beberapa akibat yang kurang menguntungkan terhadap pengenalan PMT
52
terlalu dini, yaitu: gangguan menyusui, beban ginjal terlalu berat sehingga dapat mengakibatkan hyperosmolitas plasma, alergi makanan, mungkin gangguan pengaturan selera makan. Demikian pula, pengenalan PMT terlalu lama menyebabkan bayi mengalami penurunan status gizi sebagai akibat tejadinya pengurasan zat gizi dan berbagai jaringan tubuh secara terus-menerus. Rendahnya kandungan zat gizi PMT yang diberikan pada bayi dan anak Balita disebabkan oleh masih rendahnya penghasilan nunah tangga dan pengetahuan gizi ibu (Sajogjo dkk., 1986; Hermina, 1992; Amelia dkk., 1992; dan Sri Muljati dkk., 1992). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa KEP pada anak berumur tujuh tahun di pedesaan sama meluasnya pada ~ m i tangga h "cukup pangan" dibanding yang "kurang pangan," yakni 37 persen anak tergolong "di bawah normal" dan 16 persen tergolong KEP "sedang dan berat." Ini berarti bahwa pendapatan bukan satu-satunya faktor yang dapat memperbaiki keadaan grzi masyarakat, akan tetapi faktor lain seperti pengetahuan gizi ibu juga cukup berperan di dalamnya (Sajogjo, 1973; dan Sajogjo dkk., 1986; Amelia dan S n Muljati, 1991;Hermina, 1992), sehingga penyuluhan gizi yang tertuju pada para ibu dan pengasuh anak kecil yang terkena KEP paling efisien jik&dipusatkan pada sembilan persen nunah tangga yang mengasuh 35 persen anak d~bawah urnur dua tahun yang terkena KEP "di bawah normal" ( Sajoglo,
1973; Sajogjo dkk., 1986; dan Hermina, 1992).
Prevalensi KEP anak Balita baik dalarn bentuk ringan lebih-lebih daiarn keadaan berat, dalam jangka panjang akan memberi dampak terhadap perturnbuhan dan perkembangan manusia seperti: dampak infeksi terhadap status gizi yang menyebabkan penurunan berat badan, dampak infeksi terhadap metaboiisme tubuh yang menyebabkan penguraian
nitrogen secara cepat, dampak KEP terhadap infeksi yang menyebabkan imunitas tubuh menurun, dan dampak KEP terhadap perkembangan mental sebagai akibat gangguan
fungsi otak karena kurangnya jumlah sel penyusunnya (Pudjiadi, 1990). Lebih lanjut Pudjiadi mengatakan bahwa untuk memperbaiki status gizi anak Balita yang menderita KEP tersebut, dapat dilakukan melalui program perbaikan konsumsi pangan anak-anak ya-ng mengandung cukup energi dan protein maupun zat gizi esensial lainnya, dan dengan cara pengobatan. Program perbaikan konsumsi pangan bayi dan anak Balita baik jumlah maupun rnutunya selayaknya disesuaikan dengan tingkat kebutuhan zat grzi mereka, yang didasarkan pada golongan umurnya. Menurut WHO (1985), kebutuhan energi dan protein bayi yang berumur 3-6 bulan adalah sebesar 700 Kalori dan 13 gram protein per hari. Pada umur 6-9 bulan dan 9-12 bulan berikutnya, kebutuhan energi dan protein adalah masingmasing sebesar 610 Kalori dan 14 gram protein per hari, dan 950 Kalori dan 14 gram protein per hari. Sebaliknya, pada tahun kedua kebutuhan energi m e n ~ n ~ kmenjadi at 1.1 50 Kalori dan protein menurun menjadi 13,5 gram protein per hari. Kebutuhan energi dan protein anak pada umur 2-3 tahun clan 3-5 tahun adalah masing-masing sebesar 1.350 Kalori dan 1.550 Kalori per hari dan 15,5 dan 17,5 gram protein per tiari. Kebutuhan zat gzi bayi dan anak Balita seperti tersebut di atas, dapat dipenuhi dan sumber makanan tarnbahan, baik vang dibuat sendiri sebagaimana lazimnya dilakukan dengan menggunakan sumber bahan pangan yang diperoleh di sekitar rumah, maupun makanan setengah jadi produk pabrik vang dapat dperoleh di toko-toko (Suhardjo, 1989; dan Amelia dan Sri Muljati, 1993). Misalnva, menurut Suhardjo ( 1989), sari buah diberikan lebih dini dibandingkan sayur-sayuran. Demikian pula, nasi tim diberikan pada bay1 mulai usia enam bulan dengan cara: ( 1 ) pertama-tarna diberikan nasi tlm vang disaring, ( 2 ) kemudian nasi tim yang dihaluskan, dan (3) pada usia mendekati 12 bulan dibenkan dalam bentuk vang lebih padat.
Seiain untuk memenuhi kebutuhan zat gizi bayi, PMT juga merupakan suatu proses pendidikan, yakni ibu belajar menjadi ibu melalui proses pemberian makanan pada bayinya dan bayi belajar makan dari ibunya (Akhsan, 1993). Menurut Suhardjo ( 1989), bayi diajarkan cara mengunyah dan menelan makanan padat, dan membiasakannya kepada seiera-selera baru. Jika makanan padat tidak diberikan pada saat kepandaian mengunyah sedang muncul, maka mengajar kepandaian ini di masa pertumbuhan berikumya akan lebih sulit. Juga disarankan bahwa sebaiknya pengenalan PMT dengan sendok mungkin akan lebih mudah dilakukan pa& saat gigi belum tumbuh daripada sesudah turnbuh, karena gusinya akan menjadi sakit. Suhardjo ( 1989) mengatakan bahwa makanan campuran yang berasal dari berbagai kombinasi bahan pangan &pat memberikan mutu yang lebih tinggi daripada mutu bahanbahan penyusunnya. Dengan bercampurnya bahan-bahan pangan tersebut, maka bahan pangan yang kurang dalam zat gizi tertentu dapat tertutupi oleh kekayaan zat gizi bahan pangan lainnya. Misalnya, campuran antara sumber pangan karbohidrat dengan sumber protein pada perbandingan tertentu, menurut Cameron dan Hofiander (Suhardjo, 1989), akan memberikan niiai sebesar 5-6 gram protein dan 350 Kalori energi. Ini berarti bahwa biia makanan itu diberikan pada bayi umur dua tahun maka dapat memenuhi kebutuhan zat gzlnya sebesar sepertiga bagian.
KERANGKA BERPIKIR
Definisi Operasional
Dalam rangka memudahkan pembahasan peubah-peubah penelitian dalam uraian selanjutnya, maka dilakukan penunusan definisi operasional peubah yang dimaksudkan untuk mempejelas pengertian tentang peubah yang diteliti dan cara mengukurnya. Batasan-batasan tersebut adalah: (I )
Inovasi PM7' Buvi adalah segala bentuk makanan tambahan utarna yang diberikan
pada bayi sarnpiu usia dua tahun, yang "sebagian atau seluruh cara kej a atau produk tersebut benar-benar baru diketahui ibu-ibu" sejak mereka mempersiapkan diri menjadi "ibu" sarnpai telah mengasuh anak-anaknya.
Inovasi tersebut di atas
mempunyai ciriciri sebagai berikut: (a) Keuntungun Relutrf Inovusi adalah perbandingan manfaat yang diperoleh ibu baik secara fisik maupun nonfisik antara ide-ide
PMT yang baru dan PMT yang telah lama dikenal. Peubah ini diukur dengan cara memperoleh jawaban dalam skala nilai hedoni k dari: sangat menguntungkan: 5, menguntungkan: 4, sarna saja: 3, tidak menguntungkan:2, dan sangat tidak menguntungkan: 1; (b) Ke.vesuuian /novu.si adalah kecocokan antara budaya. nilai, norma yang turnbuh dalarn masyarakat dengan ide-ide banr PMT yang lsuluhkan kepada ibu. Peubah ini diukur dengan cara memperoleh jawaban dalam skala nilai hedonik dari: sangat sesuai: 5, sesuai: 4, sama saja: 3, tidak sesuai: 2, dan sangat tidak sesuai: 1; (c) Kerurnitan /novasi adalah tingkat kesulitan untuk lpahami antara ide-ide
PMT yang baru dibandingkan dengan ide-ide PMT yang sudah lama. Peubah ini diukur dengan cara memperoleh jawaban dalarn skala nilai hedonik dan: sangat gampang: 5, gampang: 4, sama saja: 3. tidak garnpang: 2, dan sangat tidak gampang:
,,
-.--. .-.
1 ; (d) lnovmr yung llupar I)rcohu adalah dapat dipraktekkannya suatu ide-ide baru
PMT yang telah disuluhkan kepada ibu terutarna dalam skala kecil. Peubah ~ n i diukur dengan cara memperoleh jawaban dalam skala nilai hedonik dari: sangat mudah dicoba: 5, mudah dicoba: 4, sarna saja: 3, tidak mudah dicoba: 2, dan sangat tidak mudah dicoba: 1 ; dan (e) lnovasr vung Iluput 1)iumutr adalah dapat disaksikannya secara nyata suatu ide-ide baru PMT yang disuluhkan kepada ibu di masyarakat. Peubah ini diukur dengan cara memperoleh jawaban &lam skala nilai hedonik dari: sangat jelas teramati: 5, jelas teramati: 4, sama saja: 3, tidak jelas teramati: 2, dan sangat tidak jelas teramat~:1. (2) /'enyesuuran inovu.sr (Re-Invention) adalah modifikasi atau perubahan inovasi PMT bayi sebagian atau seluruhnya yang dilakukan oleh penyuluh dan sasaran sebelum inovasi tersebut sepenuhnya diadopsi. Peubah ~ n diukur i dengan memperoleh jawaban dalam skala nilai nominal dari ibu tentang ada tidaknya usaha melakukan modifikasi inovasi. ( 3 ) 1)flkssr lnovusr adalah proses dikomunikasikannya suatu ha1 baru ke dalarn sistem
sosial melalui saluran komunikasi tertentu selama periode waktu tertentu. Proses difusi inovasi diukur dengan cara mengetahui tingkat adopsi masing-masing ibu. ( 4 ) 7ingkar Aclopsr lnovasr PMT adalah suatu kondsi "pemahaman" terhadap materi
penyuluhan berupa inovasi PMT bay1 yang telah dadopsi oleh sasaran melalux kegratan penyuluhan selama jangka waktu tertentu. Tingkat adopsi tersebut dukur berdasarkan skala nilai tingkat intensitas dengan jawaban yang bertingkat mulai dari: jauh di bawah anjuran: I , sedikit di bawah anjuran: 2, sesuai dengan anjuran: 3, dan jawaban lainnya: 4.
( 5 ) Adopsr 1novu.vr adalah suatu proses yang melibatkan aktivitas mental pertarna kali
suatu ha1 baru diketahui oleh seseorang sampai kepada diterima atau ditolak untuk dilakukan, kemudian dilaksanakan, dan dikonfirmasi. Cara mengukur peubah ini adalah melakukan pengukuran terhadap setiap tahap proses adopsi, yaitu: mengetahui, berminat, memutuskan, melaksanakan, dan konfirmasi. ( 6 ) 7'ultup Mengeruhui, ketika seseorang atau unit pengarnbil keputusan lainnya mengeta-
hui adanya suatu ha1 dan memperoleh beberapa pengertian mengenai bagaimana ha1 baru itu berfungsi. Tahap ini diidentifikasi dengan cara mengajukan pertanyaanpertanyaan kepada sasaran yang jawabannya mengarah kepada jenis informasi yang si fatnya keterangan umum keberadaan inovasi. (7)
7uhap Herminut, ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya membentuk
sikap berkenaan atau tidak terhadap suatu ha1 baru dan berusaha mencari infonnasi lebih banyak tentang ha1 baru tersebut. Tahap ini diidentifikasi dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada sasaran yang jawabannya mengarah kepada jenis informasi inovasi yang sifatnya kegunaan inovasi dan ciriciri inovasi (misalnva: keuntungan relatif inovasi, kesesuaian dengan adatfkebiasaan, dapat diwnati ..-, . . ., secara jelas, dan sebagainya). (8)
.
Tu/zup K e p u t m . ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya berada
dalam kegiatan penilaian terhadap ha1 baru yang dihubungkan dengan dirinya sekarang dan di masa mendatang yang mengarah pada pemilihan untuk menenma atau menolak suatu ha1 baru. Tahap ini diidentifikasi dengan cara mengajukan pertanvaan-pertanyaan kepada sasaran yang jawabannya mengarah kepada jenis informasi inovasi yang sifatnya penilaian, seperti: keuntungan dalarn rupiah, keuntungan kejasama kelompok, dan sebagainya.
(9)
lhiwp I'efuksunuun, ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya mulai
menggunakan ha1 baru tersebut, meskipun dalam skala kecil. Tahap ini diidentifikasi dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada sasaran yang jawabannya mengarah kepada jenis informasi inovasi yang sifatnya prosedur kerja inovasi, seperti: berapa banyak, dimana, dan kapan digunakan. ( 10) 7uhup konfirmusi, ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya mencari
bukti-bukti untuk memperkuat keputusan yang telah diambilnya. Tahap ini diidenti-
fikasi dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanvaan kepada sasaran yang jawabannya mengarah kepada jenis informasi inovasi yang sifatnya hasi I-hasi l penelitian lokal/regional atau pengalaman orang-orang terpercaya. (I I)
7ipe Keputuwn /novu.sr adalah jenis-jenis cara pengambilan keputusan yang dilakukan oleh unit pengambil keputusan, seperti: keputusan opsional, keputusan koiektif. dan keputusan otoriter.
( 12) ./en13lnf0rmu.sr adalah
macam keterangan inovasi PMT berdasarkan tahap adopsinva,
yakni: (a) keterangan umum tentang PMT baru (pemberitahuan), (b) manfaat dan iiri-ciri PMT baru ( operasionalisasi), (c) keuntungan sosial ekonomi PMT baru (penilaian), (d) cara membuat PMT baru (aplikasi), dan (e) keberhasilan penerapan PMT barn selama ini (hasil-hasil). ( 13)
Sulurun Komunikuvr &lam Peryuluhan (;cr adalah jalur antarpribadi (pimpinan
formal-informal. dukun, kader, tetangga, mertua~orangtua,dan orang-orang terpercaya lainnva), jalur media massa (radio, televisi, dan koran), dan jalur bidan desa sebagai "penyuluh giz~.'' (
14) Alctode /'enyuluhun (irzr adalah cara menyampaikan pesan dan penyuluh kepada
sasaran, vaitu: metode perorangan, kelompok dan massal.
( 15)
7kknrk l'enyuluhun (;cr adalah cara yang digunakan penyuluh untuk mempertemu-
kan sasaran dengan materi penyuluhan, misalnya: anjangsana, demonstrasi, cerarnah, diskusi, televisi, media cetak, dan sebagainya. ( 16 )
I'erulutun f'envuluhun (;nr adalah benda-benda yang digunakan untuk membantu
penyuluh mempejelas materi penyuluhan yang diberikan pada sasaran, misalnya: bahan cetakan, barang tiruan, barang asli, dan alat proyeksi. ( 17) jr'ernpat
Penyuluhun Gizi adalah wadah yang digunakan oleh penyuluh untuk melaku-
kan penyuluhan gizi, seperti: Posyandu, pengajian, rumah, dan sebagainya. ( 18)
Pengetuhuun Gizi lbu adalah kondisi tingkat pemahaman ibu terhadap masalah gizi
yang dinyatakan dalam nilai skor. Hal ini diukur dari benar salahnya jawaban yang diberikan ibu terhadap sepuluh item pertanyaan tentang masalah gizi yang telah diajukan kepadanya. ( 19)
Sikup Ihu terhadup Pungun adalah kecenderungan ibu untuk memberikan penilaian
atau respons terhadap masalah gizi baik secara positif maupun secara negatif Respons ini menyangkut keadaan suka atau tidak suka terhadap sesuatu dan diukur dengan skala nilai ordinal (Singarimbun dan Effendi, 1989; Oppenheim, 1992)..,,,. .atau. , ,, skala hedonik dengan lima alternatif jawaban bejenjang dengan skor 1 sampai 5 atau 5 sarnpai I , yaitu: sangat setuju, setuju, tidak tahu, tidak setuju, sangat tidak setuju. ( 20 )
Keterurnpilun f'angan Ibu adalah kemampuan respons i bu dalam menyiapkan pangan
yang bergizi berdasarkan penilaian terhadap pemilihan dan pengolahan pangan dalam upaya memperkecil kehilangan zat grzi dan dalarn melakukan pemeliharaan kesehatan bayi dan ibunya. Hal ini diukur dari benar salahnya jawaban yang diberikan ibu terhadap lima item pertanvaan tentang masalah pangan yang telah diajukan
kepadanya. Kriteria pengukuran yang digunakan adalah kebenaran melakukan pekerjaan dan ketepatan dalam mengatur bahan-bahanltata cara yang diperlukan untuk pekerjaan tersebut ( 2 1 ) Kepercuvuun Ibu terhudup l'ungun adalah pandangan ibu tentang sesuatu ha1 yang
biasanya membolehkan atau tidak untuk melakukan kegiatan tertentu dalam kaitannya dengan masalah pemberian ASI, pemberian makanan tambahan, pemeliharaan kesehatan bayi, perbaikan konswnsi pangan dan pemeli haraan kesehatan ibu. Kepercayaan gizi diukur dengan skala nilai tingkat intensitas dengan jawaban yang bertingkat dari: tidak ada: 4, ada dan tidak mengikat: 3, ada dan mengikat: 2, dan ada dan sangat mengikat: 1 (22) fiferdeduhun M e d u Mc~.v.vaadalah keterlibatan ibu pada beberapa sarana komunikasi melalui membaca (majalah, koran, "leaflet"), mendengar (radio), dan menonton (televisi dan film), dan diukur dengan frekuensi melakukan dalam seminggu. Jika ibu terlibat, maka diberi skor 1 dan jika tidak, diberi skor 2. ( 2 3 ) Perun Ibu dulam PengumhiIan Kepuruvun PAIT Huyr adalah pihak-pihak yang terlibat "
,-
Secara dominan &lam proses penetapan PMT pada bayi seperti: ibu, bapak, kakeknenek, paman-bibi, ibu-bapak mertua, pembantu, dan sebagainya. Jika perannya dominan, maka diberi skor I dan jika tidak, diberi skor 0
(24) f'endrd~kunIhu adalah pernah tidaknya ibu duduk di bangku sekolah formal baik yang mendapatkan ijazah negeri maupun tidak, yaitu: Tidak Pernah Sekolah, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat (SLTA), dan Perguruan Tinggi (PT). ( 2 5 ) Staru~f'ekerjaun Ihu adalah keadaan ibu, bekeja atau tidak. Ibu bekej a adalah ibu
vang melakukan kegatan di luar rumah dan memperoleh penghasilan, diberi skor 1,
sedangkan ibu tidak bekerja adalah ibu yang melakukan pekejaan di &lam rumah atau sebagai ibu rumah tangga penuh, diberi skor 2. (26) Status Keluarga Ihu adalah keadaan keluarga ibu, keluarga luas atau keluarga inti.
Keluarga luas adalah unit keluarga yang terdiri atas sejumlah besar orang meliputi: bapak, ibu, anak-anak, kakek-nenek, paman-bibi, kemanakan, dan orang lain yang ikut tinggal bersarna daiarn satu rurnah, diberi skor 1. Sebaliknya, keluarga inti adalah unit keluarga yang terdiri atas sejumlah orang, meliputi; bapak, ibu, dm anak-
anak mereka yang tinggal &lam satu rurnah, diberi skor 2. (27) Pendapatan Rumah Tanma Ibu adalah jurnlah penghasilan seluruh anggota keluarga
yang bekeja,dinyatakan &lam bentuk pendapatan rata-rata rupiah per bulan selama setahun terakhir. (28) Persep.vi Ihu tentang Keterlihatan Pemimpin Mu.syarakut dulam Penyuluhan G t i
adalah tingkat keterlibatan tokoh formal dan informal desa terhadap kegiatan-kegiatan penyebaran inovasi gizi ke dalam masyarakat. Peubah ini diukur dengan cara memperoleh jawaban dan ibu tentang bentuk dan fiekuensi keterlibatan tokoh formal atau i n f o d l desa dalam skala nilai tingkat intensitas dengan jawaban yang bertingkat dan: tidak pernah: 4, jarang: 3, sering: 2, dan selalu: I . ( 2 9 )Persepsi Ibu fenfangKeinovutivan Masyarakut adalah tingkat suatu anggota masyara-
kat di dalarn menunjukkan sifat-sifat kekosmopolitan atau kelokalitannya dalam menanggapi situasi-situasi promosi inovasi gizi dan kesehatan yang memasulu daerahnya. Peubah ini diukur dengan cara memperoleh jawaban dari ibu (mewakili masyarakat) tentang mudah tidaknya masyarakat pada urnumnya menerima pesanpesan berupa p y a hidup yang dikembangkan oleh saluran m d a massa maupun saluran antarpribadi dalam skala nilai tingkat intensitas dengan jawaban yang
bertingkat dari: tidak ada: 5, ada tetapi sebagian kecil: 4, ada dan seimbang dengan yang tidak: 3, ada dan sebagan besar: 2, dan semua anggota masyarakat: 1. (30) Per.vep.vr Ihu tenrang Norma l'ungun Musyarakur adalah suatu kebiasaan-kebiasaan, pegangan, aturanftatanan terutama yang berkaitan erat dengan masalah gizi dan pemeliharaan kesehatan ibu dan anak yang biasanya d~anutoleh anggota masyarakat. Peubah ini diukur dengan cara memperoleh jawaban dari ibu tentang keterikatan norma yang berlaku dalarn masyarakat dalam skala nilai tingkat intensitas dengan jawaban yang bertingkat dari: tidak ada: 4, ada tetapi tidak mengikat: 3, ada dan mengikat: 2, dan ada dan sangat mengi kat : 1 . (3 1 ) Kererseciraan Sumher Bahan Mukanun Tumbuhan Bayr &am
Mu.yarukaf adalah
banyaknya jenis bahan makanan untuk makanan tambahan bayi yang tersedia dalam masyarakat yang dapat diperoleh di toko-toko, pasar, warung-warung, kios-kios, dan tempat penjualan laimya, seperti: berbagai jenis bahan sayuran, lauk-pauk, buahbuahan, makanan instan bayi termasuk susu buatan, dan sebagainya. (32) Ihu adalah wanita usia subur yang mempunyai anak kandung berusia 0-24 bulan. (33) H q v r adalah anak yang berumur 0-24 bulan.
...
,
(34) Makunun 7amhahun B q r adalah pangan untuk bayi selain AS1 dan susu buatan. (35) Pemherran Makanan Twnbahan Havr adalah praktek pemberian pangan yang meliputi tata cara dan jenis serta jumlah pangan yang diberikan pada bayi sampai usia saat penelitian lni dilakukan. (36) Makunan Pengganrr AS1 adalah pangan untuk bay1 selain susu buatan yang diberikan dengan maksud untuk mengganti peranan AS1 terutarna pada masa pralaktasi.
FaMor-faktor yang Mempengaruhi Proses Adopsi dan Difusi Inovasi PMT Bayi Proses adopsi inovasi PMT bayi pada ibu berlangsung dalam tahaptahap sebagai beri kut : ( 1)
Tahap mengetahui, yaitu pada saat seorang ibu atau unit pengambil keputusan laimya mengetahui adanya inovasi PMT yang terdifusi ke dalam masyarakat.
(2) Tahap berminat, yaitu pada saat seorang atau unit pengambil keputusan lainnya mengambil sikap berkenan atau tidak terhadap inovasi PMT dan berusaha mencari informasi lebih banyak tentang keberadaan inovasi tersebut. (3) Tahap keputusan, yaitu pada saat seorang ibu atau unit pengambil keputusan lainnya
menilai konsekuensi sosial budaya ekonomi inovasi PMT terhadap dirinya di masa kini dan yang akan datang dalam rangka menetapkan menerima atau menolak inovasi tersebut. (4) Tahap pelaksanaan, yaitu seorang ibu atau unit pengambil keputusan lainnya mulai
memberikan inovasi PMT pa& anaknya meskipun dalam skala kecil. ( 5 ) Tahap konfirmasi; yaitu gada saat seorang ibu atau unit pengambil keputusan l a i ~ y a
mencari bukti-bukti untuk mendukung keputusannya. Terdapat tiga faktor utarna yang mempengaruhi proses adopsi inovasi PMT pada ibu yaitu: sumber informasi atau saluran komunikasi, teknik penyuluhan dan jenis-jenis informas1 inovasi. Saluran komunikasi sangat menentukan keberhasilan proses adopsi inovasi PMT pada ibu. Saluran komunikasi yang dimaksud adalah: ( 1)
SaIuran komunikasi antarpribadi sepem: bidanlmantri (penyuluh), pemimpin formal, pemimpin informal, pengurus PKK, dukun, Posyandy temanltetangga, mertua, orangtua, dan orang-orang terpercaya lainnya.
(2) Saluran media massa, seperti: televisi, radio, koran, majalah, leaflet, dan sebagainya.
Pada tahap mengetahui dan berminat, umumnya saluran komunikasi yang digunakan adalah media massa karena sangat efektif untuk menjangkau sasaran dalam jumlah banyak. Selain itu penyuluh, pemimpin formal dan informal biasa juga digunakan pada tahap ini. Pada tahap keputusan, saluran komunikasi yang lazim digunakan adalah saluran antarpribadi, seperti: penyuluh, pemimpin formal dan informal, serta orang-orang terpercaya lainnya. Pada tahap pelaksanaan dan konfirmasi, saluran komunikasi yang sering dipakai relatif sama, yaitu saluran antarpribadi, seperti: penyuluh, pemimpin informal, dan orang-orang terpercaya lainnya. Dalam menyarnpaikan inovasi PMT bayi kepada ibu-ibu pa& proses adopsi inovasi, saluran komunikasi menggunakan beberapa jenis teknik penyuluhan sesuai dengan tahap tahap proses adopsinya. Pada tahap mengetahui dan berminat, diduga teknik penyuluhan yang paling banyak digunakan oleh saluran komunikasi adalah nasehat, diskusi, media cetak dan televisi. Pada tahap memutuskan dan melaksanakan, teknik penyuluhan yang paling banyak digunakan oleh saluran komunikasi adalah diskusi, anjangsana, dan demonstrasi. Pada tahap konfirmasi, teknik penyuluhan yang paling banyak digunakan oleh sumber informasi adalah nasehat, diskusi, dan anjangsana. Jenis-jenis informasi inovasi menentukan setiap tahap pada proses adopsi. Jenis informasi yang dmaksud adalah: (1)
Informasi inovasi yang bersifat umum menentukan pencapan hasil pada tahap pengenalan.
(2) lnformasi manfaat inovasi menentukan pencapsuan hasil pada tahap persuasi. (3)
lnformasi konsekuensi sosial budaya ekonomi mempengaruhi keberhasilan tahap keputusan
(4) Informasi cara kej a inovasi mempengaruhi keberhasilan tahap pelaksanaan. (5) Informasi tentang kesuksesan peiaksanaan inovasi menentukan keberhasilan tahap
konfirmasi. Proses difusi inovasi merupakan proses tersebarnya inovasi ke dalarn masyarakat melalui saluran komunikasi dalam jangka waktu tertentu. Inovasi sebagai materi yang didifhikan ke dalam masyarakat, mempunyai ciriciri tertentu yakni keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, dapat diarnati dan dapat dicoba. Selain inovasi, saluran komunikasi seperti yang telah diterangkan sebelwnnya, juga merupakan unsur pendukung proses d i b i . Masyarakat sebagai sasaran difusi, terdiri atas berbagai unsur yang a& seperti: ibu-ibu, para pemimpin, sistem norma, keinovatifan masyarakat, keterse-
diaan bahan makanan (PMT) bayi, dan sebagainya. Demikian pula waktu sebagai batasan periode kej a proses difusi menentukan tingkat keinovatifan masyarakat. Untuk mengetahui keberhasilan proses difusi inovasi PMT bayi ke cialam masyarakat khususnya pada ibu-ibu, dapat dilakukan dengan cara mengukur tingkat adopsi (kecepatan adopsi) inovasi PMT bayi ibu sebagai sasaran penyuluhan. Tingkat adopsi inovasi PMT bayi adalah kecehtan relatif inovasi PMT bayi Ladopsi oleh ibu-ibu sebagai anggota masyarakat yang biasanya diukur dengan lamanya jangka waktu yang dibutuhkan oieh ibuibu untuk mengadopsi inovasi tersebut yang lnyatakan dalarn persen. DaIam penelitian ini diduga terdapat berbw faktor yang mempengaruhi proses adopsi dan Lfusi inovasi PMT bayi pada ibu-iby yaitu: ( I ) karakteristik sasaran (ibu-ibu), meliputi: perilaku (pengetahuan, keterarnpilan dan sikap) pangan dan gizi, kepercayaan terhadap pangan, keterdedahan m d a massa, peran ibu dalam pengambilan keputusan PMT bayi, status keluarga, dan status sosial ekonomi (pendidikan, status pekerjaan, dan pendapatan) sasaran; (2) kondisi masyarakat yang meliputi: persepsi ibu-ibu tentang
keterlibatan pemimpin masyarakat dalam penyuluhan gizi, persepsi ibu tentang keinovatifan masyarakat, dan persepsi ibu tentang norma pangan masyarakat; dan (3) keragaan program penyuluhan, meliputi: materilinovasi (keuntungan reiatif PMT yang baru bila dibandingkan dengan PMT sebelumnya, tingkat kesesuaiannya dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat, tingkat kerurnitannya j ika dibandingkan dengan PMT sebelurnnya, dapat diamati, dan dapat dicoba meskipun dalam skala kecil), penyesuaian inovasi (reinvention), jenis informasi, saluran komunikasi (antarpribadi, bidan desa, dan m d a massa), tipe keputusan {keputusan opsional (keputusan yang &ambii oleh ibu sendiri), keputusan kolektif (keputusan yang diambil secara kelompok oleh ibu-ibu), dan keputusan otoritas (keputusan yang diambil oleh pihak berwenang)}, teknik (nasehat, diskusi, demonstrasi, anjangsana, dan sebagainya), peralatan (leaflet, poster, lembar peraga, dan sebagainya), dan tempat penyuluhan (Posyandy balai desa, puskesmas, rumah sasaran, dan tempat pengajian). Proses adopsi inovasi PMT bayi (Y,) dipengaruhi oleh saluran komunikasi antarpri b a d (XI7), saluran komuni kasi bidan desa (X lR), saluran komunikasi media massa (XI9), teknik penyuluhan (X2,) dan jenis inforinasi (XI6)(Gambar 5). Begitu pula tingkat adopsi inovasi sebagai indikator keberhasilan proses difusi inovasi PMT bayi (Yz) dipengaruhi oleh beberapa faktor yang lebih kompleks dan drangkum dalam tiga kelompok peubah utama (Gambar 5) yaitu: ( 1 ) Faktor karakteristik sasaran penyuluhan meliputi: pengetahuan gizi (X,), sikap ibu
terhadap pangan (X2), keterarnpilan pangan (X3), kepercayaan ibu tehadap pangan
( X ) ,keterdedahan m a h a massa (X5), peran ibu cialam pengambilan keputusan PMT bay; (&), pendidlkan (X,),status pekejaan (&), status keluarga (X9), dan pendapatan rumah tangga (X,,,).
1 Kondisi Masyarakat:
XI Persepsi Ibu ttg keterlibatan pemimpin masy. &lam penyuluhan gizi X 2 Persepsi Ibu tentang keinovatifan masyarakat XI Persepsi Ibu ttg norma pangan masyarakat
X l 4 Materillnovasi XI Penyesuaian inovasi XI6 Jenis informasi XI Saluran antarpribadi XI8 Saluran bidan desa X19 Saluran media massa X2(, Tipe keputusan X2 Teknik penyuluhan Xz2 Peralatan penyuluhan XZ3Tempat penyuluhan
Karakteristi k Sasaran: XI Pengetahuan gizi X2 Sikap terhadap pangan X3 Keterarnpilan pangan X , Kepercayaan thd pangan X5 Keterdedahan m. massa & Peran Ibu dalam pengambil. keputusan X7 Pendidikan X8 Status pekejaan X9 Status keluarga Xlo Pendapatan r. tangga
Proses Adopsi ( Y I Proses Difusi (Yz)
Status Gizi Bayi
Garnbar 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Adopsi dan D i h i Inovasi PMT Bayi pada Ibu-ibu
(2) Faktor kondisi masyarakat meliputi: persepsi ibu tentang keterlibatan pemimpin
masyarakat dalam penyuluhan gizi, (XI
persepsi ibu tentang keinovatifan masyara-
kat (XI z), dan persepsi ibu tentang norma pangan masyarakat (XI3 ) .
(3) Faktor keragaan program penyuluhan meliputi: materi penyuluhan (inovasi) (XI4), penyesuaian inovasi (XIS), jenis informasi (XI6), saluran komunikasi antarpribadi (XI,), saluran komunikasi bidan desa (XIS),saluran komunikasi media massa (X19), tipe keputusan inovasi (Xz0),teknik penyuluhan (Xzl),peralatan penyuluhan (X22),dan tempat penyuluhan (Xz3). Keberhasilan proses adopsi dan difusi inovasi PMT bayi ibu-ibu diduga &pat menyebabkan meningkatnya status gizi bayi mereka.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis utama penelitian ini adalah: (1) proses adopsi inovasi PMT bayi dipengaruhi oieh sumber informasi (saluran komunikasi antarpribadi, bidan desa, dan saluran media massa) dan jenis-jenis informasi, serta kelangsungan proses tersebut lebih baik di daerah perkotaan h p a d a di daerah pedesaani dan (2) proses difusi inovasi PMT bayi, kecepatannya ditentukan oleh peubah-peubah status sosial ekonomi, status keluarga, pengetahuan gizi, sikap ibu terhadap pangan, keterampilan pangan, dan persepsi ibu-ibu tentang keterlibatan pemimpin masyarakat &lam penyuluhan gzi, keinovatifan masyarakat dan norma pangan masyarakat. Untuk pengujian hipotesis utama tersebut, perlu duraikan menjadi hipotesis-hipotesis kej a sebagai berikut (Kerlinger, 1995): ( 1 ) Penyuluh dan ibu-ibu melakukan penyesuaian inovasi (re-invention) PMT bayi pada
situasi lapangan sebelurn inovasi tersebut ladopsi sepenuhnya oleh ibu-ibu.
(2) Peran bidan desa sebagai "penyuluh gizi" secara nyata lebih lemah daripada saluran
antarpribadi lainnya (mertua/orangtua, kader, dukun, ketua RT, dan temanltetangga) pada tahap mengetahui, berminat, memutuskan, melaksanakan, dan konfirmasi &tam proses adopsi inovasi PMT bayi. (3) Peran saluran komunikasi antarpribadi secara nyata lebih kuat daripada saluran media
massa pada tahap mengetahui dan berminat dalam proses adopsi inovasi PMT bayi. (4) Pemanfaatan jenis-jenis informasi pada setiap tahap proses adopsi (mengetahui, berrni-
nat, mengambil memutuskan, melaksanakan dan konfirmasi) inovasi PMT bayi secara nyata lebih bervariasi pada ibu-ibu di daerah perkotaan dar~padadi daerah pedesaan. (5) Tingkat adopsi inovasi PMT bayi sasaran berstatus sosial ekonomi tinggi dan rendah
secara nyata lebih tinggi daripada mereka yang berstatus sosial ekonomi sedang. (6) Tingkat adopsi inovasi PMT bayi secara nyata lebih tinggi pada sasaran yang mempu-
nyai pengetahuan gizi, sikap terhadap pangan, dan keterampilan pangan yang tinggi, daripada sasaran yang mempunyai pengetahuan gizi, sikap terhadap pangan, dan keterarnpilan pangan yang sedang dan rendah.
..
i
(7) Tingkat adopsi inovasi PMT bayi secara nyata lebih tinggi pada sasaran yang rnempu-
nyal persepsi tentang keterlibatan pemimp~nmasyaralcat, keinovatifan, dan norma pangan masyarakat yang tinggi danpada sasaran yang mempunyai persepsi sedang dan rendah. ( 8 ) Peran dominan ibu-ibu &lam pengambilan keputusan PMT bayi secara nyata lebih
lemah di daerah perkotaan danpada di daerah pedesaan. (9) Tingkat adopsi inovas~PMT bayi sasaran berstatus keluarga luas secara nyata lebih
tlngg danpada sasaran berstatus keluarga int~.