i
PEMBENIHAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus Vannamei) SKALA RUMAH TANGGA (BACK YARD) DI STASIUN LAPANGAN PRAKTEK PEMBENIHAN AKADEMI PERIKANAN SIDOARJO (SLPP-APS), KECAMATAN PACIRAN, KABUPATEN LAMONGAN PROPINSI JAWATIMUR
PRAKTEK KERJA LAPANG PROGRAM STUDI S-1 BUDIDAYA PERAIRAN
Oleh : DWI ARI WAHYUNI KEDIRI – JAWA TIMUR
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2011
ii
PEMBENIHAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus Vannamei) SKALA RUMAH TANGGA (BACK YARD)DI STASIUN LAPANGAN PRAKTEK PEMBENIHAN AKADEMI PERIKANAN SIDOARJO (SLPP-APS), KECAMATAN PACIRAN, KABUPATEN LAMONGAN PROPINSI JAWATIMUR
Praktek Kerja Lapang sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga
Oleh : DWI ARI WAHYUNI NIM 060810359 P
Mengetahui , Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga
Menyetujui,
Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh., DEA NIP. 19520517 197803 2 001
Yudi Cahyoko, Ir., M.Si NIP. 19620927 198903 1 003
Dosen Pembimbing
iii
Setelah mempelajari dan menguji dengan sungguh-sungguh, kami berpendapat bahwa Praktek Kerja Lapang (PKL) ini, baik ruang lingkup maupun kualitasnya dapat diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan.
Tanggal Ujian : Menyetujui, 28 Juni 2011 Panitia Penguji, Ketua
Ir. Yudi Cahyoko, M. Si NIP. 19620927 198903 1 003
Sekretaris
Anggota
Ir.H. Muhammad Arief, M.Kes. NIP. 19600823 198601 1 001
Prayogo., S.Pi, MP NIP. 19750522 200312 1 002
Surabaya, 28 Juni 2011 Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Dekan,
Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh., DEA NIP. 19520517 197803 2 001
iv
RINGKASAN
DWI ARI WAHYUNI. Pembenihan Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei ) Skala Rumah Tangga di Stasiun Lapangan Praktek Pembenihan Akademi Perikanan Sidoarjo. KecamatanPaciran. Kabupaten Lamongan. Jawa Timur. Dosen Pembimbing Yudi Cahyoko, Ir., M.Si
Ketersediaan benih (benur) yang bermutu merupakan satu diantara faktor penentu keberhasilan budidaya udang di tambak. Benur dari alam hanya dapat memenuhi 20% dari total kebutuhan tambak udang, sedangkan 80 % kekurangannya diharapkan dari produksi benur hatchery (Sugama, 1993). Menurut Utama dkk, kebutuhan benur ditambak sekitar 30 Milyar ekor benur dalam satu tahun, sedangkan yang terpenuhi hanya 24 Milyar ekor benur. Tujuan dari Praktek Kerja Lapang ini adalah untuk pengetahui teknik,faktor pendukung dan faktor penghambat (kendala) dalam pembenihan udang vanamei. Praktek Kerja Lapang ini dilaksanakan di Stasiun Lapangan Praktek Pembenihan Akademi Perikanan Sidoarjo, pada tanggal 8 Februari sampai dengan 13 Maret 2011. Metode kerja yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapang ini adalah metode deskriptif dengan teknik pengambilan data meliputi data primer dan data sekunder. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara partisipasi aktif dan studi pustaka. Pembenihan yang dilakukan di SLPP APS mulai dari nauplius III sampai post larva 10. Kegiatan pembenihan meliputi pengolahan air, persiapan bak, penebaran nauplius, pemberian pakan, pengamatan pertumbuhan, kontrol kualitas air, pengendalian penyakit, dan panen. Sumber air laut yang digunakan untuk pembenihan diperoleh dari perairan laut sekitar hatchery. Peningkatkan kualitas air laut yang akan digunakan untuk media pembenihan dilakukan dengan cara pemberian kaporit, karbon aktif, dan natrium tiosulfat, serta penyaringan bertahap.
v
SLPP APS menggunakan pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang digunakan berupa Sceletonema dan Artemia. Pakan buatan yang digunakan antara lain GAP, ultra diet 0 (UD 0) dan I (UDI), serta seaster flake. Pemberian pakan dilakukan 8 kali dalam satu hari. Pakan yang diberikan pada fase zoea yaitu Sceletonema 75.000.000.000-150.000.000.000 sel dan GAP 5 gram yang diberikan untuk 14.364.000 ekor zoea. Pakan yang diberikan pada fase mysis yaitu Sceletonema 150.000.000.000-175.000.000.000 sel, GAP 5 gram, UD0 3 gram, UD1 3 gram, dan seaster flake 2- 3 gram yang diberikan untuk 12.795.000 ekor mysis. Pada fase post larva pakan yang diberikan berupa 3 ekor Artemia untuk tiap ekor post larva, UD1 5 gram dan seaster fleke 10 gram yang diberikan untuk 10.440.000 ekor post larva. Larva ditebar dengan jumlah awal 15.000.000 ekor nauplius dalam bak dengan kapasitas 10 ton air. Tindakan pencegahan penyakit dilakukan dengan pemberian treflan, EDTA, dan erytromysin. Pengukuran kualitas air antara lain suhu, salinitas, pH, dan DO dilakukan setiap hari. Hasil pengukuran suhu, salinitas, pH selama kegiatan pembenihan sudah sesuai dengan syarat untuk pemeliharaan larva, akan tetapi kandungan oksigen terlarut (DO) air kurang sesuai. Oksigen terlarut pada air pemeliharaan larva yaitu 3,1- 3,4 ppm . Tingkat kelulushidupan dari larva yaitu 26,33 %. Angka mortalitas larva tertinggi pada proses moulting dari mysis ke post larva. Pemasaran larva dilakukan secara langsung yaitu pembeli datang di hatchery. Larva dipasarkan di daerah Lamongan. Usaha pembenihan udang vannamei di SLPP APS menguntungkan jika dilihat dari analisis usaha mempunyai nilai B/C Ratio 2,09.
vi
SUMMARY
DWI ARI WAHYUNI. The Back Yard Hatchery of Vanamei (Litopenaeus vannamei) Shrimp in Station Square Academy of Fishery Hatchery Practice Sidoarjo. Lecturer of Concelor : Yudi Cahyoko, Ir., M. Si
The availability of fry that has a good quality is one of factors determining the successful of ponds shrimp. Natural fry only fulfill 20% of the total shrimp ponds, while 80% expected shortcomings of hatchery fry production (Sugama, 1993). Utama et al (2011) the pons need about 30 milliard fry for one year, but has only fulfill 24 milliard fry. The purpose of this Field Work Practice is to get knowledge about technique, supporting and inhibiting faktors in vannamei shrimp. Field Work Practice was held at the Field Station of the Academy of Fishery Hatchery Sidoarjo on February, 8th to March,13rd 2011. Work method was used in this Field Work Practice was descriptive with data intake techniques included primary and secondary data. Data was taken by active participation, observation, interview and literature study. The seeding larvae was held in hatchery from nauplius III until post-larvae 10. The hatchery activities included water treatment, preparation cistern, nauplius stocking, feeding, observation of growth, water quality control, disease control, and harvesting. The sources of sea water used for seeding derived from ocean waters around hatchery. Improvement of water quality was done by adding chlorine, activated carbon, and sodium thiosulfate, and water filtered. The hatchery used natural and artificial feeds. The natural feed was sceletonema and artemia. The artificial feeds included GAP, ultra diets 0 (UD0) and ultra diet 1 (UD1), and seaster flake. Feeding frequency was 8 times a day. The feeds given for zoea phase was sceletonema 75.000.000.000-150.000.000.000
vii
cell, 5 grams GAP for 14.364.000 zoeas. The feeds given for mysis phase was 150.000.000.000-175.000.000.000 cell, GAP 5 grams , UD 0 3 grams, UD 1 3 grams, seaster flake 2- 3 grams for 12.795.000 mysises. The phase of post larvae, was given feeds 3 of artemias per post larvae, UD I 5 grams and seaster flake 10 grams for 10.440.000 post larvae. The first
stocked of larvae was about
15.000.000 naplius in the cistern with water capasity 10 tons. Prevention action of disease was done with treflan, EDTA, and erytromysin. The water quality measurement included temperature, salinity, pH, and dissolved oxygen (DO) every day. The results measurement of temperature, salinity, pH, and DO during the hatchery activities were suitable with standard to culture media of the larvae, but DO was not. Dissolved oxygen for maintenance of the larvae was 3.1- 3.4 ppm. The highest mortality of larvae in moulting process was 26.33%. Highest mortality obtained on phase, mysis to post-larvae. The marketing of larvae was done directly, like the buyers came in hatchery directly. The larvae was marketed in Lamongan. The bussines of shrimp hatchery had a high profit, while B/ C ratio is 2.09.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rakhmat dan hidayahnya, sehingga laporan Pratek Kerja Lapang tentang Pembenihan Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) Skala Rumah Tangga (beckyard) di Stasiun Lapang Praktek Pembenihan Akademi Perikanan Sidoarjo (SLPP APS), Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur ini dapat terselesaikan. Laporan ini disusun berdasarkan hasil Praktek Kerja Lapang yang telah dilaksanakan di SLPP APS pada tanggal 8 Februari sampai dengan 13 Maret 2011. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan dan kesempurnaan laporan selanjutnya. Akhirnya penulis berharap semoga laporan Praktek Kerja Lapang ini bermanfaat dan memberikan informasi bagi semua pihak.
Surabaya, Juni 2011
Penulis
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Drh. Hj. Sri Subekti B. S., DEA selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya; 2. Bapak Yudi Cahyoko, Ir., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, petunjuk dan bimbingan sejak penyusunan usulan hingga selesainya penyusunan laporan PKL ini; 3. Bapak Ir.H. Muhammad Arief, M.Kes. dan Bapak Prayogo, S.Pi., MP sebagai dosen penguji, terimakasih yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan laporan PKL ini; 4. Bapak Endang Suhaedy, A. Pi, MM, M.Si sebagai direktur Akademi Perikanan Sidoarjo, terimakasih atas kesempatan yang diberikan untuk dapat melaksanakan PKL di SLPP APS Paciran; 5. Bapak Dwi Laksono. S.Pd., MT, sebagai kepala SLPP APS, terimakasih atas kesemapakan untuk PKL di SLPP APS Paciran; 6. Bapak M. Abrori, M.Si, sebagai pembimbing lapangan, terimakasih atas bimbinganya; 7. Bapak Djian dan Bapak Azis sebagai teknisi pembenihan di lapangan, terimakasih atas bimbinganya; 8. Ibunda dan Ayahanda, atas doa yang selalu terlantun dan nasehat bijak yang menjadi penguat dalam studi; 9. Saudaraku tercinta, Mbak Nana, atas doa dan dukungan yang diberikan;
x
10. Teman-teman selama PKL Galuh Pramusinta terima kasih atas bantuan dan atas kekeluargaan yang hangat dan manis; 11. Sahabat – sahabatku, Vita, Gakko, Elok, terimakasih telah menjadi teman yang baik dan tempat berbagi; 12. Semua pihak yang telah membantu sehingga Laporan Praktek Kerja Lapang ini bisa terselesaikan.
xi
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ……..............................................................................
iv
SUMMARY ……….............................................................................
vi
KATA PENGANTAR …….................................................................
viii
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................
ix
DAFTAR ISI ……………….................................................................
xi
DAFTAR TABEL ………....................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... I PENDAHULUAN ..................................................................
xviii 1
II
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1.2 Tujuan ................................................................... 1.3 Manfaat ................................................................... TINJAUAN PUSTAKA ........................................................
1 3 3 4
2.1 Biologi Udang Vanamei ............................................ 2.1.1. Klasifikasi Udang Vannamei ................................ 2.1.2 Morfologi .................................................................... 2.1.3 Sifat Udang Vannamei ............................................ 2.1.4 Kebiasaan Makan ....................................................... 2.1.5 Sistem Reproduksi Udang Vannamei .................... 2.2 Hatchery Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ...... 2.2.1 Lokasi Hatchery ....................................................... 2.2.2 Skala Usaha Unit Pembenihan ...............................
4 4 4 7 9 10 14 14 15
2.3 Sarana Pembenihan ........................................................ 2.3.1 Induk Udang Vannamei ............................................ 2.3.2 Bak Induk ................................................................... 2.3.3 Bak Pemeliharaan Larva ............................................ 2.3.4 Bak Kultur Pakan Alami ............................................ 2.3.5 Tenaga Listrik ........................................................ 2.3.6 Tandon .................................................................... 2.4 Persiapan Pembenihan ...................................................... 2.4.1 Persiapan Bak dan Pemasangan Aerasi .................. 2.4.2 Persiapan Air sebagai Media Pembenihan .................. 2.4.3 Pemijahan Induk Udang Vannamei .................. 2.4.4 Pakan untuk induk ......................................................
16 16 17 18 19 20 20 20 20 21 22 23
xii
III
IV
2.4.5 Penetasan ....................................................................
23
2.5 Pemeliharaan Larva ...................................................... 2.5.1 Kualitas Air untuk Pemeliharaan larva .................. 2.5.2 Pemberian Pakan Larva ..........................................
24 24 24
2.6 Sampling Larva Udang Vanname ........................................ 2.6.1 Pengambilan Sampel .................................................. 2.6.2 Standar Kualitatif Nauplius dan Benur ................. 2.6.3 Standar Kuantatif Nauplius dan Benur ...................
26 26 27 28
2.7 Pemberantasan Penyakit ....................................................... 2.9 Pemanenan ...................................................................
28 30
PELAKSANAAN KEGIATAN ..................................................
31
3.1 Tempat dan Waktu ................................................................ 3.2 Metode Kerja .......................................................................... 3.3 Metode Pengumpulan data .................................................... 3.3.1 Data Primer ……………............................................... A. Observasi …………................................................ B. Wawancara ………................................................. C. Partisipasi Aktif ....................................................... 3.3.2 Data Sekunder …………..............................................
31 31 31 31 32 32 32 33
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................
34
4.1 Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang ....................... 4.1.1 Sejarah Berdiri dan Perkembangan APS.......................... 4.1.2 Tugas Pokok dan Fungsi APS ………………………… 4.1.3 Keadaan Geografi.............................................................. 4.1.4 Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja .............................
34 34 35 36 37
4.2 Sarana Pembenihan ................................................................. 4.2.1 Sumber Air …................................................................... A. Air Tawar….................................................................. A. Air Laut ….................................................................... 4.2.2 Bak Pemeliharaan Larva .................................................. 4.2.3 Bak Pakan Alami ............................................................. 4.2.4 Tandon ............................................................................ 4.2.5 Aerasi ............................................................................... 4.2.6 Litrik .................................................................................
38 38 38 39 40 42 43 43 44
4.3 Prasarana .................................................................................. 4.3.1 Bangunan ......................................................................... 4.3.2 Jalan ................................................................................. 4.3.3 Transportasi........................................................................
45 45 46 46
xiii
4.3.4 Komunikasi ................................................................ 46 4.4 Kegiatan Pembenihan ......................................................... 46 4.4.1 Pengolahan Air Laut untuk Pemeliharaan larva ............. 47 4.4.2 Persiapan Bak Pemeliharaan Larva .............................. 50 A. Pengeringan dan Pencucian .................................... 50 B. Pemasangan Instalasi Aerasi ................................... 50 C. Pemberian Desinfektan ............................................... 51 D. Pemasukan Air ............................................................ 52 E. Pemberian EDTA dan Treflan ..................................... 52 4.4.3 Penebaran Nauplius ke Bak Pembesaran Larva ............... 52 A. Adaptasi Suhu .................................................54 B. Adaptasi Salinitas ............................................ 54 4.4.4 Pemberian Pakan ............................................... 55 Pakan Alami ...................................................... 56 A. Scletetonema ................................................ 56 B. Artemia Salina ................... ......................... 57 Pakan Buatan ..................................................... 57 4.4.5 Pengamatan Pertumbuhan .................................... 59 4.4.6 Pengelolaan Kualitas Air ...................................... 61 4.4.7 Pengendalian Penyakit ..................................................... 66 A. Pencegahan .................................................................... 66 B. Pengobatan ...................................................................... 67 4.5 Panen ....................................................................................... 4.5.1 Persiapan Panen ........................................................ 69 4.5.2 Proses Pemanenan ............................................................ 4.5.3 Pengemasan dan Pengangkutan ....................................... 4.5.4 Pemasaran .........................................................................
68 70 71 72
4.6 Hambatan dan Kemungkinan Pengembangan Usaha ................ 72 4.6.1 Hambatan yang dihadapi ................................................ 72 4.6.2 Kemungkinan Pengembangan Usaha ............................ 73 4.7 Analisis Usaha .......................................................................... 73 V. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 74 5.1 Kesimpulan .............................................................................. 74 5.1 Saran ...................................................................................... 74 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
75
LAMPIRAN ..........................................................................................
78
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Nilai Parameter Kualitas Air Selama Proses Pemijahan Induk………
22
2. Kualitas Air untuk Pemeliharaan Larva Udang Vannamei………..…
24
3. Standar Kuantatif Nauplius dan Benur…………………………..….
28
4. Kualitas Air…………………………………………………….…….
40
5. Pengamatan Kualitas Larva di SLPP APS …………………………
60
6. Kualitas Air pada Kegiatan Pembenihan di SLPP APS …..…….….
62
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Morfologi Udang Vannamei…………………………………………...
5
2. Tingkatan Perkembangan Nauplius………………………….………..
11
3. Tingkat Perkembangan Zoea………………………………………….
12
4. Tingkat Perkembangan Mysis…………………………………………
13
5. Struktur Oganisasi SLPP APS...............................................................
38
6. Sumber Air Tawar dari PDAM.............................................................
39
7. Bak Pemeliharaan Larva……………………………………….…....
41
8. Bak Panen............................................................................................
41
9. Bak Panen Sceletonema.......................................................................
42
10. Bak Penetasan Artemia…………………………………..…….……
43
11. Blower………………………………………………………….……
44
12. Genset………………………………………………….……………
45
13. Pencucian Tandon Air Laut ……………………….………………
47
14. Paralon untuk Mengambil Air Laut ………………………………..
48
15. Pemberian Karbon dan Aerasi………..………………….………….
49
16. Penyaringan ……………………………………………..………….
49
17. Pemasangan Aerasi………………………………………………….
51
18. Sterilight dan Formalin…………………………………………..…
51
19. Pemberian Treflan …………………………….……………..……
52
20. Pencucian Wadah Nauplius Sebelum Ditebar……………………..
53
21. Adaptasi Suhu …………………………………………….......……
54
22. Adaptasi Salinitas …………………………………….…………..
55
23. Pupuk untuk Sceletonema………………………………..........……
56
24. Pakan Buatan……………………………………………….…….
58
25. Grafik Pertambahan Panjang……………………………………..
61
26. Alat Pengukur Kualitas Air………………………………..…......
62
27. Grafik Perubahan Suhu Harian………………………….….…..
63
xvi
28. Grafik Perubahan Salinitas Harian………….………………..
64
29. Grafik Perubahan pH Harian…………………………….…...
65
30. Sirolpidium …………………………………………….........
68
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Peta Lamongan ............................................................................................
78
2. Denah Bangunan Sarana dan Prasarana di SLPP APS..…...…..................
79
3. Cara Kultur dan Pemeberian Pakan Sceletonema .....................................
80
4. Cara Kultur Artemia……………........………...........................................
81
5. Kandungan Nutrisi Pakan larva Udang Vannamei di SLPP APS ..…......
82
6. Cara Pemberian Pakan Buatan untuk Larva................................................
83
7. Dosis Pemberian Pakan ..............................................................................
84
8. Jadwal Pemberian Pakan..............................................................................
85
9. Data Pengamatan Pertumbuhan Larva .......................................................
87
10. Pengukuran Kualitas Air .............................................................................. 88 11. Data Jumlah Larva Harian di SLPP APS .................................................... 89 12. Proses Panen ..............................................................................................
91
13. Analisis Usaha ...........................................................................................
92
1
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang diharapkan dapat meningkatkan devisa negara. Permintaan pasar dalam maupun luar negeri untuk udang yang terus meningkat. Sumber daya perikanan Indonesia yang mendukung memberikan peluang besar untuk pengusaha udang. Peningkatan produksi udang akan mengakibatkan permintaan benih udang yang bermutu juga bertambah (Wardiningsih, 1999). Tahun 1996 produksi udang yang sebelumnya terus meningkat cenderung menurun. Penurunan produksi disebabkan karena timbulnya berbagai macam penyakit (terutama white spot dan vibriosis) (Subaidah dkk., 2009). Upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi dengan mengusahan benih udang yang tahan terhadap penyakit, cepat tumbuh dan mampu diterima pasar. Udang vannamei (Litopenaues vannamei) merupakan solusi alternatif dalam memperkaya dan menambah produksi udang budidaya. Kelebihan jenis udang ini adalah lebih resisten terhadap penyakit dan kualitas lingkungan yang rendah. Udang vanamei yang sering disebut dengan udang putih tumbuh pada salinitas 5 ppt hingga 35 ppt pada kisaran suhu 24-32 0C, kadar oksigen 4 ppm, pH air 7-8,5 (Subaidah dkk., 2009). Udang vanamei juga toleran terhadap kepadatan yang tinggi yaitu lebih dari 70 ekor/ m2, dan udang vanamei mampu tumbuh baik dengan pakan berprotein rendah (DKP, 2007).
2
Litopenaeus vannamei memiliki karakteristik budidaya yang unggul. Berat udang ini dapat bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan 2
densitas tinggi (100 ekor/ m ). Berat udang dewasa dapat mencapai lebih dari 20 gram. Penaeus vannamei dikatakan mengalami pertumbuhan lambat jika pertamabahan berat sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat daripada udang jantan (Wyban and Sweeney, 1991). Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) saat ini telah dibudidayakan diberbagai negara seperti Equador, Amerika latin, Honduras, Guatemala, Mexico, Texas, Brazil, Venezuela, Hawai, Florida, Columbia, Philipina, China dan Thailand, dan telah memberikan keuntungan setelah dibudidayakan udang vannamei ini (Elovoora, 2001). Ketersediaan benih (benur) yang bermutu merupakan satu diantara faktor penentu keberhasilan budidaya udang di tambak. Tambak udang di Indonesia diperkirakan memiliki areal seluas 300.000 Ha, dari jumlah tersebut sekitar 3.500 Ha dikelola secara intensif dengan padat penebaran tinggi yakni 400.000-600.000 benur/ Ha/ musim. Benur dari alam hanya dapat memenuhi 20 % dari total kebutuhan tambak udang, sedangkan 80 % kekurangannya diharapkan dari produksi benur hatchery (Sugama, 1993). Kendala dalam kegiatan pembenihan adalah kurang stok induk udang yang berkualitas, makanan yang kurang cocok, teknik pemeliharaan larva dan pengelolaan yang belum memadai, hal ini menyebabkan produksi benih yang berkualitas masih rendah. Salah satu upaya untuk mendapatkan benur berkualitas baik yaitu selalu mengupayakan agar media pembenihan selalu optimal untuk
3
pemeliharaan larva, misalnya dengan melakukan pengelolaan air media larva, pengelolaan pakan dan pengendalian penyakit sebaik mungkin. 1.2 Tujuan Tujuan pelaksanaan Praktek Kerja Lapang ini adalah : 1. Untuk mengetahui teknik pembenihan udang vannamei (Litopenaeus vannamei). 2. Mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat (kendala) yang mempengaruhi pemeliharaan larva dalam pembenihan udang vannamei (Litopenaeus Vannamei) di hatchery. 1.3 Manfaat Manfaat pelaksanaan Praktek Kerja Lapang ini adalah : 1. Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan menambah wawasan mengenai teknik pembenihan udang vannamei (Litopenaeus vannamei). 2. Membandingkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang didapat dari perkuliahan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diterapkan di lapangan.
4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Udang Vannamei 2.1.1. Klasifikasi Udang Vannamei Menurut Wyban and Sweeny (1991), klasifikasi udang vannamei berdasarkan taksonominya adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Subordo
: Dendrobranchiata
Famili
: Penaeidae
Genus
: Litopenaeus
Spesies
: Litopenaeus vannamei
2.1.2 Morfologi Tubuh udang vannamei dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian chepalothorax yang terdiri atas kepala dan dada serta bagian abdomen yang terdiri atas perut dan ekor. Chepalothorax dilindungi oleh kulit chitin yang tebal atau disebut juga karapas (carapace). Bagian chepalothorax ini terdiri atas lima ruas kepala dan delapan ruas dada, sementara tubuhnya (abdomen) terdiri atas enam ruas dan satu ekor (telson). Bagian depan kepala yang menjorok merupakan kelopak kepala yang memanjang dengan bagian pinggir bergerigi yang disebut juga dengan cucuk (rostrum) (Amri dan Kanna, 2004). Rostrum L. vannamei
5
terletak pada bagian dorsal, terdapat 2-4 atau 5-8 gigi pada ventral yang cukup panjang. Gigi-gigi tersebut akan menjadi lebih pendek ketika udang menjadi dewasa. Biasanya gigi-gigi tersebut mencapai sampai bagian tengah dari segmen antenula kedua. Udang vannamei secara morfologis dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Morfologi Udang Vannamei (Sholeh, 2006) Secara morfologi tubuh udang Penaeid terdiri dari tiga bagian yaitu: A. Kepala Kepala terdiri dari enam ruas, pada ruas pertama terdapat mata majemuk yang bertangkai. Beberapa ahli berpendapat bahwa mata bertangkai ini bukan suatu anggota badan seperti pada ruas-ruas yang lain, sehingga ruas kepala dianggap berjumlah lima buah. Pada ruas kedua terdapat antena I atau antennule yang mempunyai dua buah flagella pendek yang berfungsi sebagai alat peraba dan pencium (Wyban and Sweeny, 1991). Ruas ketiga yaitu Antena II atau antennae mempunyai dua buah cabang yaitu cabang pertama (Exopodite) yang berbentuk pipih dan tidak beruas dinamakan prosartema. Cabang yang lain (Endopodite) berupa cambuk yang panjang yang berfungsi sebagai alat perasa dan peraba. Tiga ruas terakhir dari bagian kepala mempunyai
6
anggota badan yang berfungsi sebagai pembantu mulut. Tiga ruas terakhir berupa sepasang mandibula yang bertugas menghancurkan makanan yang keras dan dua pasang maxilla yang berfungsi sebagai pembawa makanan ke mandibula. Ketiga pasang anggota badan ini letaknya berdekatan satu dengan lainnya sehingga terjadi kerjasama yang harmonis antara ketiganya (Haliman dan Adijaya, 2005). B. Dada Bagian dada terdiri dari delapan ruas yang masing-masing ruas mempunyai sepasang anggota badan yang disebut thoracopoda. Thoracopoda pertama sampai dengan ketiga dinamakan maxilla yang berfungsi sebagai pelengkap bagian mulut dalam memegang makanan. Thoracopoda kelima sampai dengan kedelapan berfungsi sebagai kaki jalan yang disebut pereiopoda. Pereiopoda pertama sampai dengan ketiga memiliki capit kecil yang merupakan ciri khas dari jenis udang penaeid (Martosudarmono dan Runumiharjo, 1983). C. Perut/ Abdomen Abdomen terdiri dari enam ruas yaitu lima pasang kaki renang dan sepasang uropoda (mirip ekor). Ruas yang pertama sampai dengan ruas yang kelima masing-masing memiliki sepasang pleopoda yang berfungsi sebagai alat untuk berenang. Pleopoda mempunyai bentuk pendek dan kedua ujungnya pipih dan berbulu (setae). Pada ruas yang keenam pleopoda berubah bentuk menjadi pipih dan melebar yang dinamakan uropoda. Uropoda bekerjasama dengan telson berfungsi sebagai kemudi (Haliman dan Adijaya, 2005).
7
2.1.3 Sifat Udang Vannamei A. Sifat nokturnal Udang memiliki sifat nokturnal yaitu udang aktif mencari makan pada keadaan gelap. Pada siang hari atau pada keadaan tarang udang lebih suka beristirahat, baik membenamkan diri dalam lumpur maupun menempel pada benda. Pada keadaan normal udang jarang sekali menampakan diri pada waktu siang (Darmono, 1991). B. Sifat kanibalisme Mujiman dan Suyanto (1987) meyatakan bahwa udang memiliki sifat kanibalisme, yaitu suka memangsa sesama jenis. Sifat ini muncul pada udang yang sehat, dengan memangsa udang lain terutama pada saat ganti kulit. Pada saat udang ganti kulit kondisi tubuh menjadi lemah, selain itu cangkang yang belum terbentuk sempurna akan mempermudah udang lain untuk memangsanya. Sifat kanibalisme akan tampak lebih nyata jika keadaan kurang makan. C. Ganti kulit Genus Penaeid mengalami pergantian kulit (moulting) secara periodik untuk tumbuh, termasuk udang vannamei. Moulting adalah suatu proses pergantian kutikula. Kutikula yang lama akan dilepas dan diganti dengan kutikula yang baru. Udang memiliki kerangka luar yang keras. Pada proses pembentukan kulit unsur kalsium (Ca) sangat diperlukan (Mudjiman dan Suyanto, 1987). Ciri udang akan berganti kulit yaitu warna mata udang terlihat agak buram nafsu makan dan aktifitas gerak menurun.
8
Menurut Saravanan et al. (2008), proses ganti kulit atau moulting berlangsung dalam 4 tahap yaitu pre-moult, moult, post-moult, dan inter-moult, Pre moult (Proecdysis) Tahapan premoult dimulai saat suatu peningkatan konsentrasi hormon moulting dalam hemolymph (darah). Pada tahap ini, mulai terbentuk epikutikel baru di bawah lapisan endokutikel, kemudian terbentuk lagi lapisan eksokutikel baru di bawah lapisan epikutikel baru yang terbentuk sebelumnya. Setelah epikutikel dan eksokutikel diikuti dengan pemisahan cangkang lama dengan cangkang yang baru terbentuk. Tahap pre moult membutuhkan waktu 6-10 hari. Moult (Ecdysis) Tahap moult yaitu udang keluar dari eksoskeleton lama, dimana eksoskeleton yang baru sudah terbentuk. Tahapan ini dimulai dengan membukanya cangkang lama pada jaringan penghubung bagian dorsal antara thorax dengan abdomen. Proses moult selesai ketika udang melepaskan diri dari cangkangnya yang lama. Tahap moult membutuhkan waktu 30-40 detik. Post moult (Metecdysis) Postmoult adalah tahapan beberapa saat setelah proses penanggalan eksoskeleton yang lama. Pada tahapan ini terjadi pengembangan eksoskeleton yang disebabkan oleh meningkatnya volume hemolymph akibat terserapnya air ke dalam tubuh. Air terserap melalui epidermis, insang dan usus. Setelah beberapa jam atau hari (tergantung pada panjangnya siklus moulting), eksoskeleton yang baru akan mengeras. Tahap post moult membutuhkan waktu yang 1-1,5 hari.
9
Inter moult (Anecdysis) Inter moult merupakan tahap antar moulting. Pada tahapan ini, eksoskeleton menjadi semakin keras karena adanya deposisi mineral dan protein. Eksoskeleton (cangkang) udang relatif lebih tipis dan lunak dibandingkan dengan kepiting dan lobster. Tahap inter moult membutuhkan waktu 4-5 hari. D. Eurihaline (kisaran salinitas lebar) Penaeus vannamei memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 2 sampai 40 ppt, tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah, saat lingkungan dan darah isoosmotik (Amri dan Kanna, 2004).
2.1.4 Kebiasaan Makan Udang vannamei merupakan hewan omnivora atau detritus feeder (BBAP Situbondo, 2009). Makanan utama larva udang vannamei adalah plankton, baik phytoplankton
seperti
diatomae
(skeletonema,
navicula,
ampora)
dan
dinoflagellata (tetraselmis), maupun zooplankton, seperti protozoa, porifera, copepoda, dan artemia. Udang vannamei mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal berupa getaran dengan bantuan organ sensor yan terdiri dari bulu-bulu halus (setae). Organ sensor ini terpusat pada ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antena, dan maxilliped. Sinyal tersebut akan ditangkap dan direspon oleh udang untuk mendekati sumber pakan (Tricahyo, 1995). Udang akan bergerak menggunakan kaki jalan yang memiliki capit untuk mendekati sumber pakan. Makanan akan dijepit menggunakan capit kaki jalan, kemudian dimasukkan kedalam mulut. Pakan yang berukuran kecil masuk
10
kedalam kerongkongan dan esophagus. Bila pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu (Sholeh, 2006).
2.1.5 Sistem Reproduksi Udang Vannamei Udang Penaeid termasuk hewan heteroseksual, yaitu mempunyai jenis kelamin jantan dan betina yang terpisah. Perbedaan antara udang jantan dan betina dapat diamati dari luar atau secara eksternal. Udang jantan mempunyai organ reproduksi yaitu petasma, testis, vasa derefensia, dan apendiks maskulina. Petasma terletak pada kaki renang pertama, berfungsi sebagai lat untuk penyalur sperma. Udang betina mempunyai organ reproduksi yang disebut thelicum, sepasang ovarium, oviduk, lubang genital. Thelicum terletak diantara kaki jalan keempat dan kelima berfungsi untuk menampung sperma sebelum terjadi pembuahan (Martosudarmo dan Ranumiharjo, 1983) Menurut Wyban and Sweeney (1991) perkembangan larva udang vannamei setelah terjadi proses reproduksi, mengalami beberapa stadia yang terdiri dari : 1. Stadia nauplius Nauplius bersifat planktonik dan phototaksis positif yaitu bergerak mengikuti arus dan mendekati sumber cahaya. Pada stadia ini masih memiliki kuning telur sehingga belum memerlukan makanan. Perkembangan stadia nauplius pada udang putih vaname terdiri dari enam sub stadium. Nauplius memiliki tiga pasang antena yaitu antena pertama, antena kedua dan mandibule. Antena pertama uniramous, sedangkan dua alat lainnya biramous. Tingkatan perkembangan nauplius, dapat dilihat pada gambar 2.
11
Gambar 2. Tingkatan perkembangan nauplius (Pudadera et al., 1985) Keterangan : a. Nauplius I b. Nauplius II c. Nauplius III d. Nauplius IV e. Nauplius V f. Nauplius VI Stadia nauplius terdiri dari enam tingkatan dapat dicirikan sebagai berikut : Nauplius I
: Bentuk badan bulat telur dan mempunyai anggota badan 3 pasang.
Nauplius II
: Pada ujung antena pertama terdapat rambut (setae) yang satu panjang dan dua lainnya pendek.
Nauplius III
: Furcal dua buah mulai jelas terlihat masing– masing dengan tigaduri (spine) yang terdiri dari tunas maxilla dan maxilliped.
Nauplius IV
: Pada masing– masing furcal terdapat 4 buah duri yang terdiri dari exopoda pada antena kedua beruas– ruas.
Nauplius V
: Struktur tonjolan tumbuh pada pangkal maxilla. Organ bagian depan mulai tampak jelas.
Nauplius VI
: Perkembangan bulu– bulu makin sempurna dan duri pada furcal tumbuh makin panjang.
12
2.
Stadia Zoea Stadia zoea adalah perubahan bentuk dari nauplius menjadi zoea, stadia ini
memerlukan waktu sekitar 40 jam setelah penetasan. Pada stadia zoea larva berkembang dengan cepat dan sensitif terhadap cahaya. Stadia ini membutuhkan pakan tambahan selain phytoplankton sebagai pakan alami, pada stadia akhir zoea juga memakan zooplankton. Zoea terdiri dari tiga sub stadia. Tiga substadia tersebut dapat dibedakan berdasarkan segmentasi abdomen dan perkembangan dari lateral dan dorsal pada setiap segmen. Secara kasar tubuhnya dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu carapace, thorax dan abdomen. Tingkat perkembangan zoea dapat dilihat pada gambar 3.
Keterangan : a. Zoea I b. Zoea II c. Zoea III
Gambar 3. Tingkat perkembangan zoea (Pudadera et al., 1985) Stadia zoea terdiri dari tiga tingkatan dapat dicirikan sebagai berikut :
13
Zoea I
: Badan pipih dan carapace mulai nyata, mata mulai tampak, maxilla pertama dan kedua serta maxilliped pertama dan kedua mulai berfungsi, proses furcal mulai sempurna dan alat pencernaan makanan tampak.
Zoea II
: Mata bertangkai yang terdiri dari carapace sudah terlihat rostrum dan duri supra orbital yang bercabang.
Zoea III
: Sepasang uropoda yang biramus (bercabang dua) mulai bercabangdan duri pada ruas– ruas perut mulai tumbuh.
3. Stadia Mysis Pada stadia mysis, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Pakan alami yang diberikan pada stadia mysis dapat berupa fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva pada stadia ini berkisar 3,50– 4,80 mm. Stadia mysis memiliki tiga substadia, yaitu mysis satu, mysis dua, dan mysis tiga yang berlangsung selama tiga sampai empat hari sebelum masuk pada stadia post larva (PL). Tingkat perkembangan mysis dapat dilihat pada gambar 4. Keterangan : a. b. c. d.
Mysis I Mysis II Mysis II Postlarva
14
Gambar 4. Tingkat perkembangan mysis (Pudadera et al., 1985)
Stadia mysis terdiridari tiga tingkatan yaitu terdiri dari : Mysis I : Bentuk badan sudah seperti dewasa. Mysis II : Tunas pleopoda mulai tampak nyata tetapi belum beruas–ruas. Mysis III : Pleopoda bertambah panjang dan beruas– ruas. 4. Stadia Post Larva (PL) Pada stadia ini benih udang vaname sudah tampak seperti udang dewasa. Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari. Misalnya, PL l berarti post larva berumur satu hari seperi pada gambar 4. Stadia PL1 mempunyai ciri pleopoda memilki rambut(setae) yang digunakan untuk membantu renang. Pada stadia ini larva udang sudah mulai aktif bergerak lurus ke depan. Sifatnya cenderung karnivora. Umumnya, petambak akan menebar PL 10- PL 15 yang sudah berukuran rata-rata 10 mm.
2.2 Hatchery Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) 2.2.1
Lokasi Hatchery Pemilihan lokasi dalam usaha pembenihan sangat menentukan benih yang
dihasilkan. Kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi untuk hatchery antara lain: a. Suplai air laut Sumber air laut dekat dengan hatchery. Air laut yang digunakan bersifat stabil dari perubahan suhu dan salinitas. Air laut untuk pembenihan harus bersih dan tersedia sepanjang tahun. Sumber air laut hendaknya jauh dari pabrik,
15
kawasan industri atau tempat berlabuh kapal motor untuk mengurangi polusi (pencemaran) (Adisukresno, 1983). b. Suplai air tawar Suplai air tawar cukup dan mudah didaptkan. Air tawar diperlukan untuk mencuci bak dan peralatan pembenihan. Air tawar juga digunakan untuk menurunkan kadar garam air laut (Adisukresno, 1983). c. Lokasi strategis Pemilihan tempat untuk usaha hatchery mudah dijangkau. Lokasi strategis yaitu transportasi, distribusi dan komunikasi dari kegiatan mudah dilakukan (BBAP Situbondo, 2009).
2.2.2 Skala Usaha Unit Pembenihan Secara umum skala usaha pembenihan/ hatchery dibagi menjadi dua jenis usaha yaitu unit usaha pembenihan skala besar atau lengkap dan unit usaha pembenihan skala rumah tangga (BBAP Situbondo, 2009). A. Hatchery skala besar atau lengkap Kegiatan pembenihan pada hatchery skala besar meliputi penyediaan induk, pemijahan, penetasan, pemelihraan larva dan budidaya pakan alami Hatchery skala besar atau lengkap umumnya dimiliki oleh perusahaan besar yang memiliki modal yang cukup besar. Tenaga kerja yang dibutuhkan lebih banyak dibanding hatchery skala rumah tangga. Hatchery skala besar umumnya melakukan seluruh rangkaian proses produksi meliputi: a. Pengelolaan induk yaitu mematangkan gonad dan memijahkan untuk menghasilkan telur.
16
b. Pemeliharaan larva hingga menjadi benih yang siap tebar. c. Produksi pakan alami dari kultur murni dan masal Hatchery skala besar tidak hanya menjual benih siap tebar, akan tetapi menjual nauplius untuk kebutuhan pembenihan skala rumah tangga. Sarana yang diperlukan dalam usaha hatchery skala besar antara lain bak induk, bak pemeliharaan larva, bak kultur pakan dari laboraturium sampai skala massal. Sarana pendukung yang diperlukan seperti pompa air, sistem filtrasi, sistem aerasi, dan sarana lain yang menunjang usaha pembenihan (BBAP Situbondo, 2009). B. Hatchery skala rumah tangga Hatchery skala rumah tangga hanya melakukan salah satu kegiatan dari pembenihan misalnya produksi benih, nauplius, atau pakan alami saja. Usaha pemebenihan skala rumah tangga (beckyard) umumya memanfaatkan halaman rumah sebagai tempat usaha yang dibantu oleh beberapa teknisi. Nauplius biasanya dipasok dari hatchery besar atau dari hatchery rumah tangga lainya yang menghasilkan nauplius. Sarana yang diperlukan yaitu bak pemeliharaan larva dan bak kultur pakan alami (BBAP Situbondo, 2009).
2.3
Sarana Pembenihan
2.3.1 Induk Udang Vannamei Udang vannamei yang akan digunakan sebagai indukan harus diseleksi. Seleksi induk bertujuan untuk memperoleh induk yang mempunyai sifat baik yang diharapkan dapat menurun pada generasi berikutnya (Hadie dan Hadie, 1992). Seleksi induk vannamei sesuai SNI 01-7253-2006 yaitu umur induk lebih dari 12
17
bulan. Panjang induk betina lebih dari 18 cm dengan berat 40 g dan mampu menghasilkan 100.000 telur untuk setiap pemijahan. Induk jantan minimal 17 cm dengan berat 35 g. Induk udang vannamai yang berkualitas memiliki ciri fisik yaitu tubuh tidak cacat, memiliki warna tubuh yang cerah, organ tubuh lengkap dan normal, organ reproduksi kondisi baik serta bebas penyakit ( Manijo, 2010). Ciri lain dari induk yang baik yaitu memilki karakteristik organ reproduksi induk udang vannamei bagus. Spermatophore jantan berkembang baik dan berwarna putih mutiara. Udang betina matang secara seksual dan menunjukkan perkembangan ovarium (Erwinda, 2008). 2.3.2
Bak Induk Subyakto (2006) membedakan bak untuk induk sesuai dengan fungsinya
sebagai berikut: a. Bak penampungan/ karantina Bak penampungan berfungsi untuk menampung induk sementara setelah transportasi. Pada bak ini dilakukan adaptasi dan pengecekan penyakit. Bentuk bak bulat, oval, atau empat persegi panjang, bersudut tumpul dengan luas dasar minimal 20 m2, dengan ketinggian bak minimal 1 m dan kedalaman air minimal 0,6 m (jarak antara permukaan air dan bibir bak minimal 0,3 m). Warna dasar bak cerah dan warna dinding bak gelap, atau warna keseluruhannya cerah. Bak karantina ini biasanya terbuat dari semen, fiber glass atau plastik. b. Bak pemijahan Bak pemijahan berfungsi untuk memijahkan induk yang telah matang gonad. Bak pemijahan biasanya memiliki bentuk bulat, oval atau empat persegi
18
panjang, bersudut tumpul dengan ketinggian bak 0,8 m sampai dengan 1 m dan kedalaman air minimal 0,6 m serta luas dasar bak minimal 2 m2. Penggatian air pada bak induk dilakukan setiap hari dengan volume 50% dari jumlah total. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas air, membuang sisa pakan dan kotoran udang. c. Bak penetasan Bak penetasan berfungsi media penetasan telur dari bak pemijahan. Bak penetasan mempunyai volume minimal 300 liter dengan ketinggian bak
0,8 m
sampai dengan 1 m dan kedalaman air minimal 0,6 m. Bak penetasan terbuat dari semen, fiber glass atau plastik. Temperatur 30 –31 C, salinitas 31 –32 ppt, DO 5 – 7 mg/l (Manijo, 2010). 2.4.3 Bak Pemeliharaan Larva BBAP Situbondo (2009) menjelaskan bahwa larva dari udang vanamei dapat dipelihara pada bak yang tebuat dari semen (bak beton) atau fiber glass. Bak pemeliharaan larva dapat berbentuk bulat, oval, atau persegi empat yang bersudut tumpul. Bak bulat kurang efisien dalam pemanfaatan lahan. Bak dalam ukuran kecil sulit untuk menjaga kestabilan suhu. Bak yang ideal untuk memelihara udang vaname adalah bak yang berbentuk persegi panjang dengan kapasitas minimal 10m3 dengan ketinggian bak minimal 1,5 m dan kedalaman 1,2 m. Bak dibuat dengan sudut tumpul untuk menghindari penumpukan kotoran, selain itu untuk mempermudah sirkulasi air (BBAP Situbondo, 2009). Bak pemeliharaan larva dilengkapi dengan bak panen dengan ukuran 2 x 0,5x 0, 5m (p x l x t). Bak pemeliharaan larva dilengkapi dengan pipa
19
pembuangan pada dasar bak. Bak dengan kapasitas 10m3 pipa pembuangan berukuran antara 3-4 inci. Dasar bak dibuat dengan kemiringan 2- 5 % kearah pembuangan (BBAP Situbondo, 2009). Bak pemeliharaan larva sebaiknya ditempatkan pada ruangan tertutup untuk menjaga kestabilan suhu dan menjaga intensitas cahaya. Atap dari bak dapat terbuat dari asbes dengan 40 % diantaranya menggunakan atap fiber untuk pencahayaan. Screen/ jaring atau kain kelambu yang diletakkan dibawah fiber akan menghindari cahaya matahari secara langsung, sehingga hanya panas dan pantulan dari sinar matahari yang masuk dalam bak larva (BBAP Situbondo, 2009). 2.4.4 Bak Kultur Pakan Alami Bak kultur pakan alami dapat dibuat dari kayu yang dilapisi plastik atau semen (Juliar, 2011). Jumlah dan kapasitas bak plankton harus disesuaikan dengan jumlah bak pemeliharaan larva yaitu 20-30 % dari kapasitas bak larva. Posisi bak plankton pada area terbuka untuk mempermudah phytoplankton untuk melakukan fotosintesis. Bak kultur pakan untuk zooplankton sepeti artemia digunakan wadah fiber glass atau plastik dengan volume minimal 20 liter. Wadah dapat berbentuk kerucut untuk mempermudah dalam pemanenan plankton (BBAP Situbondo, 2009).
20
2.3.5
Tenaga Listrik Pada usaha pemebenihan udang vannamei aliran listrik harus tersedia
selama 24 jam penuh. Energi listrik digunakan sebagai penggerak blower, pompa (baik pompa air tawar maupun air laut), dan penerangan. Sumber energi listrik diperoleh dari mesin genset atau PLN (Juliar, 2011). Menurut Nurjanah dan Adisukresno (1983), pemakaian listrik yang tidak melebihi 50 KVA dapat menggunakan sumber listrik dari PLN saja. Pemakaian listrik sebanyak 50 KVA atau lebih, akan lebih menguntungkan jika mengunakan sumber listrik dari PLN dan genset. Pamakaian 2.3.6
Tandon Tandon merupakan bak yang digunakan untuk menampung air. Pada usaha
pembenihan udang vannamei dibutuhkan beberapa tendon antara lain tandon untuk air laut dan air tawar, tendon threatment air untuk media pembenihan udang vannamei (Juliar, 2011).
Bak tandon air terbuat dari beton dengan volume
minimal 30 % dari kapasitas total bak pemeliharaan (SNI 7311:2009).
2.5
Persiapan Pembenihan
2.4.1 Persiapan Bak dan Pemasangan Aerasi Persiapan bak dimulai dari pengeringkan bak (dijemur), kemudian dasar dan dinding bak disikat. Desinfektan yang digunkan dapat berupa klorin dengan dosis 100 ppm, KMnO4 (kalium permanganat) 10 ppm, dan formalin 50 ppm (Juliar, 2011).
21
Pemasangan instalasi aerasi yang terdiri dari selang areasi, regulator, batu aerasi yang dilengkapi dengan pemberat. Sumber aerasi pada pembenihan dapat diperoleh dari blower, atau kompresor (BBAP Situbondo, 2009). Jarak antara selang aerasi 0,4 m sampai 0,6 m dan jarak batu aerasi dari dasar bak 0,05 m sampai dengan 0,1 m. Pengecekan aerasi sebelum kegiatan pembenihan berlangsung dengan cara melihat gelembung dari batu aerasi, jika gemembung rata maka instalasi aerasi telah terpasang dengan baik. Aerasi ini juga meningkatkan kandungan oksigen sehingga gas-gas beracun akan menguap keluar (Juliar, 2011). 2. 4. 2 Persiapan Air sebagai Media Pembenihan Udang vannamei merupakan udang air payau sehingga air untuk media pembenihan udang vannamei membutuhkan dua jenis air, yaitu air laut dan air tawar. Pengadaan air laut dapat diusahakan dengan menyedot air laut dengan menggunakan pompa dan pipa paralon (PVC) yang dipasang horizontal dan dilengkapi dengan penyaring kotoran. Pengambilan air secara horizontal untuk mendapatkan laut yang lebih bersih dan terjamin. Jarak pengambilan air dari garis pantai sekitar 300 m (Kiki, 2011). Sterilisasi air laut menggunakan klorin 100 % (5 g/l sampai dengan10 g/l) atau kaporit 60 % (15 g/l sampai dengan 20 g/l) dan dinetralkan dengan aerasi kuat atau natrium tiosulfat maksimum 40 g/l (SNI 7311:2009). Kadar garam yang digunakan dalam usaha pembenihan antara 24-32 ppt, sedangkan kadar garam untuk air laut antara 33-34 ppt. Penambahan air tawar dapat dilakukan untuk menurunkan salinitas air laut.
22
2. 4. 3 Pemijahan Induk Udang Vannamei Perilaku pemijahan pada Penaeus vannamei dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti temperatur air, kedalaman, intensitas cahaya, fotoperiodisme, dan beberapa faktor biologis seperti feromon dan rasio kelamin (Yano et al., 1988). Udang jantan hanya akan memijah dengan udang betina yang memiliki ovarium yang sudah matang. Kontak antena yang dilakukan oleh udang jantan pada udang betina dimaksudkan untuk pengenalan reseptor seksual pada udang (Yano, et al., 1988). Nilai parameter kualitas air untuk pemijahan induk udang vannamei pada tabel 1. Tabel 1. Nilai parameter kualitas air selama proses pemijahan induk Parameter
Satuan
Suhu air
0
Salinitas
0
Kisaran
C
27-29
/00
31-34
pH
7,5-8,5
Oksigen terlarut
ppm
Minimal 5
Nitrit
ppm
Maksimal 0,1
Bakteri pathogen (Vibrio)
Cfu
103
Sumber: Afandi (2009) Padat tebar dalam bak induk berkisar 1-2 ekor/ m2. Perbandingan induk jantan dan betina 2:3 (Nurdjanah dkk., 1983). Proses pemijahan alami pada kebanyakan udang biasanya terjadi pada waktu malam hari, tetapi udang Penaeus vannamei melakukan proses pemijahan pada saat matahari tenggelam (Yano et
23
al., 1988). Spesies Penaeus vannamei memiliki tipe thelycum tertutup sehingga udang tersebut memijah saat udang betina pada tahap intermolt atau setelah maturasi ovarium selesai, dan udang akan bertelur dalam satu atau dua jam setelah proses pemijahan (Wyban and Sweeny 1991). 2.4.4
Pakan untuk induk Kemampuan bertelur induk dapat ditingkatkan dengan cara pemberian
makan berupa hewan laut segar atau beku, seperti tiram, cumi, atau poliseta. Udang induk yang diberi makan oleh organisme tersebut memiliki kemampuan reproduksi yang lebih tinggi daripada udang yang diberi makan pakan kering. Nutrisi yang baik dapat meningkatkan reproduksi udang dengan meningkatkan sintesis hormon steroid, kuning telur, dan transportasi kuning telur dari hepatopankreas menuju ovarium. Selama masa reproduksi, udang membutuhkan lebih banyak vitamin C. Vitamin C pada proses pemijahan berperan untuk mengubah kolesterol menjadi steroid (Wyban and Sweeny 1991). Pakan diberikan empat kali sehari dengan alternatif pakan berupa cumi dan cacing darah. Cacing darah dibuat menjadi semi cair dan dipotong-potong menjadi sepertiga dari panjangnya, sedangkan cumi dipotong kotak-kotak. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi turbiditas air (Wyban and Sweeny, 1991). Jumlah makanan yang diberikan 20% dari berat udang (Nurdjanah dkk., 1983). 2.4.5
Penetasan Udang vannamei umumnya mengeluarkan telur pada sore hari. Telur
tersebut akan menetas menjadi nauplius dalam waktu 12- 16 jam. Perkembangan
24
dari telur dipengaruhi kondisi lingkungan terutama suhu dan salinitas(Nurdjanah dkk., 1983). Aerasi harus segara ditambah setelah telur menetas, karena kebutuhan oksigen juga meningkat. Pada stadia nauplius larva tidak perlu beri makan karena masih mempunyai persediaan makanan dari kantong kuning telur (Nurdjanah dkk., 1983). 2.5 Pemeliharaan Larva 2.5.1 Kualitas Air untuk Pemeliharaan larva Memurut Manido (2010), padat tebar di bak pemeliharaan larva udang vannamei 200-250 ekor/ liter. Kualitas air untuk
pemeliharaan larva udang
vannamei dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Kualitas air untuk pemeliharaan larva uadang vannamei Parameter
Satuan
Suhu air
0
Salinitas
0
Kisaran
C
29-32
/00
29-34
pH
7,5-8,5
Oksigen terlarut
ppm
Minimal 5
Nitrit (NO N)
Ppm
Maksimal 0,1
Nitrar (NO3N)
Ppm
0.1-0.2
Amoniak (NH3))
Ppm
Maksimal 0,1
2
Sumber: Manijo (2010) 2.5.2
Pemberian Pakan Larva Jenis pakan yang diberikan pada larva udang vannamei selama proses
pemeliharaan meliputi pakan alami (phytoplankton dan zooplankton) dan pakan tambahan. Ukuran dan jumlah pakan yang diberikan harus tepat. Pemberian
25
pakan yang kurang tepat akan mengakibatkan pertumbuhan udang menjadi lambat, ukuran tidak seragam, tubuh menjadi keropos, dan timbul kanibalisme (Wijayanti, 2004). Pertumbuhan udang vanamei sangat dipengaruhi oleh manajemen pakan yang digunakan (Mudjiman dan Suyanto, 1987). Konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti umur/ stadia larva kualitas pakan, kondisi lingkungan, dan kesehatan udang. Pemberian pakan untuk larva udang vannamei pada berbagai stadia sebagai berikut: a. Stadia nauplius, pada stadia ini larva belum memerlukan makanan dari luar karena masih mempunyai cadangan makanan dari kuling telur. b. Stadia zoea, pada stadia ini larva sudah mempunyai saluran pencernaan yang sempurna dan aktif mencari makan. Pakan yang diberikan berupa phytoplankton (Skeletonema costatum, Nitzchia closterium) c. Stadia mysis, pada stadia ini larva udang sudah memilki bentuk mirip dengan udang dewasa. Pakan yang diberikan berupa zooplankton (Artemia sp.). d. Stadia post larva, pada stadia ini pakan yang diberikan berupa zooplankton (Artemia sp., copepoda) Menurut Manik dan Djunaidah (1983) ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih jenis plankton untuk pakan larva udang vannamei antara lain: a. Mudah dicerna dan mempunyai ukuran sesuai dengan bukaan mulut larva.
26
b. Apabila plankton
yang digunakan untuk
pakan dapat
bergerak
(zooplankton), kecepatan gerak zooplankton harus disesuaikan dengan kecepatan gerakan larva udang. c. Mudah dan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk kultur. d. Plankton yang digunakan untuk pakan selama daur hidupnya tidak menghasilkan racun atau gas yang yang membahayakan larva. Pakan tambahan perlu diberikan untuk melengkapi kebutuhan gizi bagi larva udang. Pakan tambahan merupakan pelengkap dari pakan alami, maka kandungan gizi didalamnya seperti protein harus cukup tinggi antara 20-70%, karbohidat kurang dari 20 % (Manik dan Djunaidah, 1983). Pemberian pakan buatan harus memperhatikan ukuran dan dosis pakan harus sesuai dengan umur larva (Hadie dan Hadie, 1992).
2.6 Sampling Larva Udang Vannamei 2.6.1 Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan pengambilan secara acak sebanyak minimal 30 ekor untuk pengukuran panjang tubuh, pengujian parasit atau bakteri. Deteksi virus dengan uji PCR (Polymerase chain reaction), sampel diambil dari beberapa titik dalam bak sebanyak 150 ekor (SNI 01-7252-2006). Menurut SNI 01-7252 (2006) sampel yang telah diambil dilakukan berbagai pengamatan sebagai berikut: a. Pengamatan visual Pengamatan visual digunakan untuk memeriksa tingkah laku benih, kecukupan pakan dan gejala klinis pada larva udang vannamei.
27
b. Pemeriksaan mikroskopis Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop untuk memeriksa parasit dan kondisi fisik benih.
c. Pengujian virus (TSC, IHHV, WSSV ) Pengujian adanya virus pada larva dilakukan dengan uji PCR (Polymerase chain reactio d. Pengujian respon benih Pengujian respon pada stadia nauplius dengan pemberian cahaya, naupius yang sehat akan mendekati datangnya cahanya (phototaksispositif). Pengujian benur dapat dilakukan dengan cara, pemutaran air pada wadah (baskom atau ember
berwarna cerah) yang berisi benur. Benur yang sehat akan berenang
melawan arus dengan posisi kepala yang mengarah kebawah. e. Penentuan prevalensi nekrosis Penentuan prevalensi nekrosis berdasarkan adanya infeksi bakteri yang menyebabkan pembusukan organ tubuh. f. Penetuan prevalensi parasit Penetuan prevalensi parasit dilakukan berdasarkan adanya bekteri yang secara visual mengakibatkan pembusukan. 2.6.2
Standar Kualitatif Nauplius dan Benur Berdasarkan SNI 01-7252 (2006) nauplius berkualitas memiliki ciri yaitu
warna tubuh orange, pergerakan aktif, memilki organ tubuh yang lengkap dengan
28
ukuran yang normal dan bebas patogen, memiliki respon terhadap rangsang cahaya pototaksis positif. Berdasarkan SNI 01-7252 (2006) benur berkualitas memiliki ciri yaitu warna tubuh transparan, isi usus tidak terputus, gerakan benerang aktif dengan kepala yang mengarah kebawah, kondisi tubuh setelah mencapai PL
10
memilki
organ yang lengkap dan ekor yang mengembang. Benur yang berkualitas akan melentik jika diberi kejutan getaran. 2.6.3
Standar Kuantatif Nauplius dan Benur Standar kuantatif nauplius dan benur udang vannamei terdapat pada tabel 3. Tabel 3. Standar kuantatif nauplius dan benur
No. 1. 2. 3.
Kriteria
Satuan Nauplius Benur Jam 16- 18 Minimal PL 10 mm 0,5 8,5 (tehadap % 0 20
Umur Panjang Prevalensi parasit populasi) maksimal 4. Infeksi virus (TSV, IHHV, % 0 WSSV) 5. Keseragaman % 6. Daya tahan terhadap a. Penurunan salinitas 3 0/00 ke % 0 0/00 selama minimal 5 % menit. b. Perendaman dengan formalin 200 ppm selama minimal 30 menit 7. Prevalensi nekrosis* (terhadap % populasi) CATATAN * Ditentukan berdasarkan adanya infeksi bakteri yang menyebabkan terjadinya pembusukan organ. Sumber : SNI 01-7252 (2006) 2.7 Pemberantasan Penyakit
0 80 80 80
5
29
Penyakit terjadi karena ketidakseimbangan antara lingkungan, inang dan patogen. Beberapa jenis penyakit yang menyerang larva udang vannamei disebabkan oleh parasit, bakteri dan jamur serta virus. Infeksi penyakit pada udang vannamei dapat diminimalkan dengan melakukan beberapa hal yaitu menggunakan benih udang vannamei yang berkualitas baik, mendeteksi dan memonitoring kesehatan udang secara rutin dan teratur, serta menjaga kualitas air agar tetap stabil sehingga udang tidak stres. Pemberian probiotik dan imunostimulan untuk meningkatkan imunitas udang terhadap serangan penyakit dan menerapkan prinsip-prinsip biosecuritas (Haliman dan Adijaya, 2005). Anderson (1988) melaporkan adanya dua jenis gen penyakit yang menyerang udang. Penyakit berasal dari bakteri bentuk filamamen merupakan penyakit yang menyerang pada kondisi air yang banyak mengandung bahan organik dan oksigen rendah. Penyakit asal protozoa bentuk ciliata merupakan parasit yang menyerang udang pada periode larva sampai post larva, yang menyebabkan sesak nafas dan kematian. Jenis penyakit yang sering ditemukan menyerang udang vannamei Bacterial White Spot Syndrome (BWSS), Taura Syndrome Virus (TSV), Black Gill Disease (BGD) dan Infectious Hypodermal Hematopoeitic Necrosis Virus (IHHNV). Arief (2004) menjelaskan, untuk pengobatan terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, dapat digunakan antibiotic, seperti; Oxytetracycline dengan dosis 1 g/kg pakan, Erythromycine 1 – 3 g/kg pakan, dan Prefuran 0,5 g/m3 air. Menanggulangi jamur dan parasit, dapat digunakan Treflan 0,02 – 0,1 ml/m3 dan formalin 50 ml/m3. Peningkatkan daya tahan tubuh udang terhadap
30
stress akibat pengaruh lingkungan, dapat menggunakan vitamin C dengan dosis 2 g/kg pakan. 2.9 Pemanenan Pemanenan benur dilakukan mulai stadia PL10 atau ukauran PL mencapai 1 cm. Pemanenan lebih baik dilakukan waktu malam hingga pagi hari atau diusahakan pada suhu rendah dengan tujuan untuk mengurangi resiko kerusakan mutu udang (DKP, 2002). Pemanenan lebih baik dilakukan pada malam hari untuk menghindari terik matahari, selain itu juga bertujuan untuk mengurangi resiko udang ganti kulit selama panen akibat stress. Udang yang berganti kulit saat panen akan menyebabkan penurunan harga jual (Darmono, 1991)
31
III PELAKSANAAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
3.1 Tempat dan Waktu Praktek Kerja Lapang ini dilaksanakan di Hatchery Akademi Perikanan Sidoarjo, Desa Sekrikil, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Kegiatan dilaksanakan mulai 8 Februari sampai dengan 13 Maret 2011.
3.2 Metode Kerja Metode yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapang ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang menggambarkan keadaan atau kejadian pada suatu daerah tertentu. Metode deskriptif adalah metode untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 1993).
3.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengambil dua data yang meliputi data primer dan data sekunder.
3.3.1 Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat dalam prosedur dan teknik pengambilan data yang berupa wawancara, observasi, dan partisipasi aktif. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung sesuai dengan tujuannya (Azwar, 1998).
32
A.Observasi Observasi atau pengamatan secara langsung dilakukan dengan pengamatan secara sistematik terhadap gejala atau fenomena, diselidiki tanpa mangajukan pertanyaan-pertanyaan kepada narasumber. Pada Praktek Kerja Lapang ini observasi akan dilakukan terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan kegiatan pembenihan udang vannamei meliputi persipaan bak, seleksi induk, pemeliharaan larva, panen, penyakit yang menyerang larva serta sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan pembenihan.
B.Wawancara Wawancara merupakan cara pengumpulan data dengan cara tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dan berdasarkan pada tujuan praktek kerja lapang. Wawancara memerlukan komunikasi yang baik dan lancar antara penanya (pewawancara) dengan penjawab (narasumber), sehingga pada akhirnya bisa didapatkan data yang dapat dipertanggungjawabkan secara keseluruhan (Nazir, 1998). Wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab mengenai sejarah berdirinya struktur organisasi, tenaga kerja, permodalan, proses produksi, pemasaran , permasalahan dalam produksi dan pemasaran, serta hambatan yang dihadapi di Hatchery Akademi Perikanan Sidoarjo dalam kegiatan pembenihan udang vannamei. C. Partisipasi Aktif Partisipasi aktif adalah keterlibatan dalam suatu kegiatan yang dilakukan secara langsung di lapangan (Nazir, 1998). Kegiatan yang dilakukan adalah usaha pembenihan udang vannamei. Kegiatan tersebut diikuti secara langsung mulai dari
33
pengolahan air, persiapan bak, penebaran benih, kontrol kulitas air, pemberian pakan, serta kegiatan lainnya yang berkaitan dengan praktek kerja lapang yang dilakukan.
3.3.2 Data Sekunder Data sekunder adalah data tangan kedua yaitu data yang diperoleh dari pihak lain, yang tidak langsung diperoleh dari subjek yang diteliti (Azwar, 1998). Data sekunder dapat diperoleh dari studi-studi sebelumnya yang dikumpulkan dan disatukan atau yang diterbitkan oleh berbagai instansi lain misal biro statistika, majalah, keterangan atau badan publikasi lainnya. Data sekunder dalam Praktek Kerja Lapangan ini dapat diperoleh dari pihak hatchery Akademi Perikanan Sidoarjo.
34
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang 4.1.1 Sejarah Berdiri dan Perkembangan Akademi Perikanan Sidoarjo Akademi Perikanan Sidoarjo (APS) sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi perikanan diploma III kedinasan. APS yang didirikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 1998. Berdirinya APS dilatarbelakangi adanya keinginan untuk menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas dibidang perikanan. APS berlokasi pada desa Buncitan, Kecamatan Sedati, Sidoarjo. Akademi Perikanan Sidoarjo merupakan Unit Pelaksana teknis dibawah Sekretariat Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan. APS merupakan sebuah perguruan tinggi kedinasan, sehingga sistem pendidikan berbeda dengan perguruan tinggi pada umumnya. Sebelum masa reformasi, lembaga ini ada di bawah Departemen Pertanian dengan status sebagai Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM). Pada masa reformasi SUMP berubah menjadi Akademi Penyuluh Perikanan (APP). Perubahan status menjadi Akademi Perikanan Sidoarjo dimulai sejak tahun 1988. Peresmian gedung baru, dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, pada tanggal 11 Nopember 1999. APS memiliki lahan praktek tambak di desa Banjar Kemuning Kecamatan Sedati Kabupaten Sidoarjo seluas 20 Ha dan di desa Pulokerto Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan seluas 12 Ha, serta lahan Hatchery skala rumah tangga di Desa Paciran Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Hatchery ini
35
memiliki luas 2500 m2 dan biasa disebut Stasiun Lapangan Praktek Pembenihan (SLPP). SLPP APS diresmikan oleh Direktorat Jendral Kelautan dan Perikanan, pada tanggal 17 September 2004. Pembanguanan SLPP APS selian untuk lahan praktek pembenihan oleh mahasiswa, juga untuk memenuhi kebutuhan benih yang berkualitas. 4.1.2
Tugas Pokok dan fungsi Akademi Perikanan Sidoarjo Tugas pokok dan fungsi Akademi Perikanan Sidoarjo sesuai dengan visi
dari Departemen Kelautan dan Perikanan yaitu mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan yang bertanggungjawab bagi kesatuan dan kesejahteraan bangsa. Visi Akademi Perikanan Sidoarjo adalah menjadikan APS sebagai lembaga pendidikan terkemuka (center of excellent) dalam menunjang terwujudnya sumberdaya manusia perikanan modern yang bertanggung jawab. Sedangkan Misi Akademi Perikanan Sidoarjo antara lain: 1. Meningkatkan dan mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi 2. Meningkatkan Sumberdaya Pendidikan yang dimiliki 3. Meningkatkan Kejasama Eksternal Strategi yang digunakan untuk meyempurnaan sarana dan prasarana pendidikan yaitu : 1. Meningkatkan Sumberdaya Perikanan secara berencana dan bertahap melalui koordinasi dan keterpaduan instansi pemerintah yang terkait dan masyarakat perikanan. 2. Meningkatkan Koordinasi dan Konsultasi dengan Departemen Kelautan dan Perikanan yang menaungi Akademi Perikanan Sidoarjo dan melalui
36
Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan untuk melengkapi sarana dan prasarana pendidikan serta penggadaan tenaga pengajar yang berkualitas. 3. Memberdayakan Staf bersama dengan upaya meningkatkan kemampuan staff dengan kompetensi masing-masing. 4. Penerapan Sistem Informasi mengikuti pekembangan IPTEK secara optimal. 5. Meningkatkan Koordinasi antara unit untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Adanya visi, misi dan strategi tersebut tak lepas dari tugas pokok dan fungsi dari Akademi Perikanan Sidoarjo. Tugas pokok dari Akademi Perikanan Sidoarjo adalah melaksanakan Pendidikan Diploma III Bidang Perikanan, sedangkan Fungsinya adalah : 1. Pelaksanaan dan Pengembangan Pendidikan Profesiaonal yang meliputi Pengajaran dan Penelitian. 2. Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. 3. Pengelolaan
Perpustakaan,
Laboratorium,
Sarana
dan
Prasarana
Pendidikan lainnya. 4. Pengelolaan Administrasi Umum, Akademik dan Ketarunaan. 4.1.3 Keadaan Geografi Stasiun Lapangan Praktek Pembenihan Akademi Perikanan Sidoarjo terletak di desa Tunggul, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Kabupaten Lamongan secara geografis terletak pada 6º 51’ 54” sampai dengan 7º 23’ 6”
37
Lintang Selatan dan 122° 4’ 4” sampai dengan 122° 33’12” Bujur Timur. Kabupaten Lamongan memiliki luas wilayah sekitar 1.812,8 km² dan memilki panjang garis pantai sepanjang 47 km. Batas wilayah Kabupaten Lamongan yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Gresik, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Jombang dan Kabupaten Mojokerto, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bojonergoro dan Kabupaten Tuban. SLPP APS terletak di desa Tunggul, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan terletak antara desa Kranji dan Genting. Lokasi hatchery APS ini sekitar 1 km dari Wisata Bahari Lamongan, dan memiliki jarak 20 meter dari garis pantai. Lokasi SLPP APS merupakan daerah pesisir yang jauh hari kawasan industri sehingga terhindar dari pencemaran. Pantai di sekitar desa Tunggul merupakan marupakan perairan berbatu dengan gelombang air yang tidak terlalu besar, sehingga kualitas air cukup bagus untuk kegiatan pembenihan udang. Peta lokasi SLPP APS Kecantan Paciran, Kabupaten Lamongan terdapat pada lampiran 1. 4.1.4 Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja Struktur organisasi dan tenaga kerja Akademi Perikanan Sidoarjo (APS) terdiri dari direktur, kepala unit, koordinator lapangan, dan teknisi. Struktur organisasi APS dapat dilihat pada gambar 5.
38
Direktur APS
Pudir I
Kepala Satsiun Lapangan Praktek
Koordinator Lapangan Praktek
Pelaksana Lapangan Praktek
Pelaksana Lapangan Praktek
(teknis produksi)
( fasilitas produksi)
Gambar 5. Struktur Oganisasi Akademi Perikanan Sidoarjo 4.2 Sarana Pembenihan Sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan suatu budidaya. Sarana adalah seluruh komponen yang harus ada dan berhubungan langsung dengan aspek teknis dalam kegiatan pembenihan udang vannamei. Sarana yang dimiliki SLPP APS adalah sebagai berikut: 4.2.1 Sumber Air Air yang digunakan untuk kegiatan pembenihan udang adalah air tawar dan air laut. Sumber air tawar di hatchery SLPP APS berasal dari air air bor, dan air PDAM, sedangkan air laut didapat didapat dari perairan desa Tunggul. A. Air Tawar Air tawar yang digunakan untuk pembenihan diperoleh dari sumur bor dan PDAM setempat. SLPP APS memiliki satu bauh sumur bor dengan kedalaman
39
30 meter dari permukaan tanah. Air bor dipompa dengan pompa otomatis yang memiliki daya 7,5 kW dan 2900 rpm.. Air bor digunakan untuk mencuci peralatan pembenihan, pelarut pakan dan untuk menurunkan salinitas. Air PDAM digunakan untuk kebutuhan sehari- hari seperti mencuci peralatan laboratorium, memasak, mandi dan lain- lain. Sumber air PDAM dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Sumber Air Tawar dari PDAM B. Air Laut Air laut merupakan kebutuhan penting dalam kegiatan pembenihan udang vannamei. Air yang digunakan untuk hatchery harus bersih, jernih dan relatif bebas dari lumpur. Mutu air harus stabil dan perubahan salinitas tidak terlalu tinggi. Lokasi yang baik untuk pengambilan air laut adalah pantai yang berkarang dan berpasir. Pada daerah ini air relatif jernih memiliki mutu yang baik sepanjang tahun. Sumber air yang digunakan untuk sarana pembenihan berasal dari perairan desa Tunggul yang jaraknya sekitar 20 meter dari hatchery APS. Lokasi perairan di desa Tunggul sudah sesuai pendapat Kiki (2011) tentang lokasi perairan yang baik yaitu pantai berbatu, dan berpasir, sehingga mempunyai kualitas yang cukup
40
baik untuk pembenihan. Pengamatan kualitas air dapat dilakukan menggunakan alat termometer, refraktometer, dan pH pen. Kisaran kualitas air pada SLPP APS yang didapat berdasarkan pengukuran adalah suhu antara
27 0C- 33 0C,
salinitas 29- 33 ppm, pH 8,1 – 8,5. Perbandingan kualitas air di SLPP APS dengan kualitas menurut Manijo (2010) pada tabel 4. Tabel 4. Kualitas Air Parameter Suhu air Salinitas Ph
Kisaran a 270- 350 C 29-33 ppm 8,1- 8,5
Kisaran b 29-32 0C 29-32 ppm 7,5-8,5
Keterangan : a). Kisaran kualitas air laut di SLPP APS b). Kisaran kualitas air (Manijo, 2010)
4.2.2
Bak Pemeliharaan Larva SLPP APS memiliki 10 buah bak pemeliharaan larva dengan kapasitas
masing- masing bak 10 ton. Bak pemeliharaan larva udang vanamei terbuat dari semen (bak beton). Berbentuk persegi panjang dengan ukuran 5 x 2 x 1 meter. Bak pemeliharaan larva dibuat tumpul pada ujungnya untuk mengindari penempelan kotoran dan mempermudah sirkulasi air (BBAP Situbondo, 2009). Bak pemeliharaan larva yang dimiliki SLPP APS berada dalam ruangan tertutup dan sebagian dari atapnya terbuat dari fiber glass. Penggunaan fiber glass bertujuan agar cahaya matahari dapat masuk. Bak pemeliharaan larva juga ditutup dengan terpal untuk mempertahankan kesetabilan suhu dan menghindari cahanya matahari yang langsung masuk dalam bak. Suhu memegang peranan yang penting
41
dalam proses pembesaran larva. Suhu akan mempengaruhi kecepatan molting sehingga berpengaruh pada pertumbuhan larva.
Bak pemeliharaan larva yang terbuat dari semen tidak dapat langsung digunakan, karena akan menimbulkan efek buruk untuk larva. Dinding bak harus dilapisi dengan cat ”epoxy” untuk menutupi pori- pori dari semen (BBAP Situbondo, 2009). Gambar bak pembesaran larva dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Bak Pemeliharaan larva Bak pemeliharaan larva dilengkapi dengan pipa pembuangan pada dasar bak. Pipa pembuangan berukuran 7- 10 cm. Dasar dari bak dibuat miring sekitar 3% dan dilengkapi dengan bak panen dengan ukuran 0,5 x 0,5 x 0,5 m. Hal ini digunakan untuk mempermudah pengeluaran air dan panen. bak panen dapat dilihat pada gambar 8.
42
Gambar 8. Bak Panen
4.2.3 Bak Pakan Alami Pakan alami yang digunakan pada pembenihan yaitu Sceletonema dan Artemia. SLPP APS memilki lima buah bak untuk kultur Sceletonema dan enam buah bak untuk kultur Artemia. Bak kultur Sceletonema terbuat dari beton dengan ukuran 2 x 2 x 1 m yang mempunyai kapasitas air 4 ton. Sceletonema merupakan fitoplanton yang membutuhakan cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis sehingga bak kultur Sceletonema terdapat diluar ruangan yang mendapat cahaya yang cukup. Bak dilapisi cat dengan warna cerah bertujuan untuk mendukung proses fotosintesis yang dilakukan oleh Sceletonema. Bak kultur Sceletonema juga dilengkapi dengan bak panen yang dibuat miring, seperti pada gambar 9.
Gambar 9. Bak panen Sceletonema
43
Bak penetasan Artemia terbuat dari fiber dengan bentuk kerucut kebawah. Bak penetasan artemia ini dilengkapi selang pengeluaran air untuk mempermudah pengeluaran Artemia saat panen. Bak kultur Artemia memiliki volume maksimal 60 liter. Bak penetasan artemia dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 10. Bak penetasan Artemia 4.2.4 Tandon Air SLPP APS memiliki 5 buah tandon besar yang terbuat dari beton. Tandon tersebut terdiri dari 4 tandon air laut dan 1 tandon air tawar. Tandon air laut biasa disebut dengan tandon 1 dan 2, yang masing- masing berjumlah 2 buah. Tandon 1 mempunyai kapasitas volume air 9 x 9 x 1,4 m (113, 40 m3), tetapi pengisian air di tandon 1 biasaya hanya sampai 81 m3 atau 81 ton. Tandon 1 berfungsi untuk penampungan dan pengendapan air laut. Pada tandon 1 juga dilakukan treatmen untuk meningkatkan kualitas air sehingga layak untuk kegiatan pembenihan. Air dari tandon 1 akan disaring menggunkan filter bag masuk ke tandon 2. Tandon 2 mempunyai ukuran yang masing- masing lebih kecil dari tandon 1. Tandon 2 berfungsi untuk mengendapan lumpur yang tidak tersaring oleh filter bag. Air dari tandon 2 ini akan digunakan untuk mengisi 10 bak pembesaran larva
44
dan digunakan untuk media kultur pakan alami. Tandon air tawar, dalam kegiatan pembenihan tandon ini tidak digunakan. 4.2.5 Aerasi Aerasi digunakan untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dan mencegah pengendapan sisa pakan dan sisa metabolisme. Sistem aerasi yang digunakan SLPP APS untuk seluruh aktifitas pembenihan berasal dari blower yang dihubungkan dengan berbagai bak dan tandon dengan menggunakan pipa paralon diameter 2,5 cm. Mesin ini bekerja selama 24 jam penuh. Pada setiap bak dilengkapi dengan selang, dan batu aerasi sesuai dengan kebutuhan. Aerasi digunakan untuk menambah difusi oksigen terlarut, dan untuk mempercepat pengupanan gas racun. Blower yang dimiliki SLPP APS dapat dilihat pada gambar 11.
Gambar 11. Blower 4.2.6 Listrik Tenaga listrik digunakan untuk mengoperasikan blower, heater, lampu penerangan dan operasional hatchery. Sumber tenaga listrik untuk kegiatan pemebenihan di SLPP APS berasal dari PLN (6600 watt) dan genset (6000 watt). Sumber listrik dari PLN lebih sering digunakan dengan alasan memiliki lebih besar daya dan lebih praktis dalam operasionalnya.
45
Genset digunakan sebagai alternatif saat terjadi pemadaman PLN dan jika listrik dari PLN tidak mencukupi untuk kegiatan pembenihan. Genset atau generator set adalah alat pembangkit listrik dengan tenaga diesel dan menggunakan bahan bakar solar. Rangkaian pembangkit listrik genset seperti pada gambar 12.
Gambar 12. Genset 4.3 Prasarana Prasarana merupakan faktor pelengkap atau pendukung faktor teknis yang dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi usaha sehingga kegiatan pembenihan dapat berjalan dengan lancar. Denah bangunan sarana dan prasarana di SLPP APS terdapat pada lampiran 2. 4.3.1 Banguanan Bangunan yang melengkapi sarana untuk kegiatan di SLPP APS antara lain gudang pakan, laboratorium, asrama, kantor, musola, dan rumah jaga. Gudang pakan pakan yang dimiliki oleh SLPP APS berukuran 3 x 3 meter dengan lantai dan dinding putih, tetapi gudang ini jarang digunakan. Pakan lebih sering disimpan dilaboratorium karena jumlah pakan yang digunakan hanya sedikit. Laboratorium memiliki peralatan yang cukup lengkap mulai dari alat untuk
46
mengukur kualitas air, mikroskop dan lemari pendingin. Kantor yang dimiliki SLPP APS dilengkapi dengan komputer dan internet. SLPP APS dilengkapi dengan ruang kelas dan asrama. Asrama memiliki kapsitas 40 orang, luas masingmasing kamar 4 x 4 meter. 4.3.2 Jalan Jalan merupakan prasarana yang digunkan untuk menunjang kegiatan pembenihan. Kondisi jalan yang baik sangat menentukan kelancaran transportasi selama kegiatan. SLPP APS terletak 50 meter dari jalan raya. Jalan menuju lokasi menggunakan jalan kecil yang sudah dipaving dengan lebar sekitar 5 meter yang cukup digunakan untuk lalulintas kendaraan. 4.3.3 Transportasi Sarana transportasi yang dimiliki SLPP APS berupa dua buah sepeda motor. Sepeda motor digunakan untuk transportasi jarak pendek misalnya untuk pembelian pupuk, obat- obatan dalam jumlah sedikit. 4.3.3 Komunikasi Alat komunikasi yang digunakan untuk menunjang kegiatan pembenihan udang vanname adalah handphone dan telephone di kantor SLPP APS. 4.4 Kegiatan Pembenihan SLPP APS merupakan hatchery skala rumah tangga. Kegiatan pembenihan dimulai dari penebaran nauplius yang dipelihara hingga stadia post larva. Pemanenan dilakukan setelah mencapai stadia PL
10,
atau sesuai dengan
permintaan pembeli. Kegiatan pembenihan udang vannamei di SLPP APS dimulai
47
dari persiapan, penebaran naupli, pemeliharaan larva yang terdiri dari pemberian pakan, kontrol kualitas air, pengendalian penyakit dan panen.
4.4.1. Pengolahan Air Laut untuk Pemeliharaan larva Air laut yang digunakan pada kegiatan pembenihan udang vannamei di SLPP APS berasal dari peraiaran desa Tunggul. Air laut tersebut ditampung dan diolah pada tandon biasa disebut tandon I. Tandon I sebelum digunakan untuk mengolah air dicuci dan dikeringkan selama 1 minggu. Tandon yang telah dikeringkan kemudian dicuci kembali menggunakan air tawar. Pencucian bak tandon dapat dilihat pada gambar 13.
Gambar 13. Pencucian tandon air laut Air laut diambil dengan 2 pompa air laut yang mempunyai kapasitas 200 liter/ menit, kemudian dimasukkan pada tandon I. Setelah itu, dilakukan pengukuran salinitas menggunakan refraktometer. Salinitas optimal untuk pemeliharaan larva yaitu 29- 32 0/00. Jika salinitas menunjukkan angka 33 0/00 maka air laut harus ditambah dengan air tawar untuk menurukan salinitasnya. Jika
48
salinitasnya kurang dari 290/00, maka air laut diberi garam untuk meningkatkan salinitasnya sesuai dengan pendapat Supito (2011). Air laut diambil dengan menggunakan pipa paralon (PVC) dengan ukuran diameter 6 cm, dan panjang 250 meter dari bak tandon ke laut, dapat dilihat pada gambar 14.
Gambar 14. Paralon untuk mengambil air laut Pengolahan air laut dengan langkah sebagai berikut: air laut di pompa masuk pada tandon I. Setelah 24 jam, air diberi kaporit Ca (OCl)2 dengan dosis 20 ppm atau 1,62 kg per 81 ton (volume tandon I) dan dibiarkan selama 2 hari. Dosis penggunaan kaporit kurang sesuai dengan pendapat Aimyaya (2009) yaitu 15 ppm. Kaporit digunakan untuk menjernihkan air, membunuh jamur dan patogen pada air laut. Menurut Hadie dan Hadie (1992), pemberian kaporit pada kegiatan pembenihan bertujuan untuk sterilisasi dari organisme patogen dalam air. Air pada tandon I diberi aerasi pada dua titik aerasi, digunakan untuk membantu pengadukan setelah pemberian kaporit. Setelah 2 hari dari pemberian kaporit, air diberi karbon aktif dengan dosis 6, 17 ppm atau 0,5kg/ 81 ton. Karbon aktif digunakan sebagai filter untuk mengikat partikel lumpur yang melayang pada air. Karbon aktif pada air diaduk dengan cara pemberian
49
aerasi dibeberapa titik. Pengadukan selama 3 jam, kemudian aerasi dimatikan agar partikel lumpur mengendap di dasar tandon. Pemberian karbon dan aerasi dapat dilihat pada gambar 15.
Gambar 15. Pemberian karbon dan aerasi. Air dari tandon 1 disaring dan dimasukkan pada tandon 2. Tandon 2 berfungsi bak pengendapan, dan netralisasi kaporit. Penyaringan air dengan menggunakan filter bag seperi pada gambar 16. Penetralan kaporit menggunakan natrium tiosulfat selama 1 hari. Natrium tiosulfat yang digunakan 25 % dari kaporit yaitu 0,405 kg per 81 ton atau 5 ppm. Menurut Direktoran Bina Pembenihan (2005), pemberian natrium tiosulfat kurang sesuai dimana pemberia natrium tiosulfat sebesar 40 ppm.
Gambar 16. Penyaringan Air pada tandon 2 adalah air yang digunakan selama kegiatan pembenihan udang vannamei di SLPP APS. Dari tandon 2 air dimasukkan pada bak pemeliharaan larva dengan menggunkan pompa yang dilengkapi filter.
50
4.4.2 Persiapan Bak Pemeliharaan Larva Memelihara larva udang pada bak perlu memperhatikan kondisi bak dan kualitas air sebagai media pemeliharaan larva. Oleh karena itu, untuk menciptakan kondisi bak yang memenuhi syarat dilakukan persiapan bak pembesaran. Kegiatan persiapan bak pemeliharaan larva sebagai berikut : A. Pengeringan dan Pencucian Pengeringan bak di SLPP APS sepenuhnya memanfaatkan sinar matahari, sehingga jika cuaca mendung membutuhkan waktu untuk pengeringan yang lebih lama. Pengeringan bertujuan untuk menguapkan sisa bahan organik yang terdapat pada bak dan untuk menghilangkan jamur. Pengeringan yang baik dilakukan selama 1 minggu. Pencucian berguna untuk membuang air sisa yang ada di dalam bak. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang ditambah dengan deterjen, kemudian dikeringkan selama 1- 2 hari. Deterjan digunakan untuk menghilangkan jamur dan kotoran seperti lemak yang ada pada dinding bak. Deterjen juga sebagai desinfektan untuk membunuh patogen yang
sersisa pada pemeliharaan larva
sebelumnya. B. Pemasangan Instalasi Aerasi Pemasangan instalasi aerasi dimulai dari pemasangan tali untuk menggantung pipa aerasi pada bak pemeliharaan larva. Pipa aerasi dipasang 5 lajur (memanjang) pada bibir dinding bak. Pada setiap lajur diberi tali untuk menggantung pipa aerasi. Pipa aerasi dilengkapi dengan batu aerasi sebanyak 10 buah, sehingga dalam 1 bak terdapat 50 buah aerasi. Pemasangan batu aerasi
51
dengan jarak 10 cm dari dasar bak. Pemasangan batu aerasi yang terlalu dekat dengan dasar bak mengakibatkan pengadukan endapan pada dasar bak. Pemasangan instalasi aerasi dapat dilihat pada gambar 17.
Gambar 17. Pemasangan aerasi C. Pemberian Desinfektan Pemberian desinfektan dilakukan pada akhir persiapan bak. Desinfektan berguna untuk membunuh mikroorganisme pategen yang dapat menggangu perkembangan larva. Desinfektan yang digunakan SLPP APS berupa formalin 95% yang diencerkan dengan air tawar hingga konsentrasi 400 ppm. Pemberian formalin tidak sesuai dengan pendapat dari Direktorat Bina Pembenihan (2005), yaitu 50 ppm. Sterilisasi tempat juga dapat menggunakan alat sterilight, tetapi alat ini jarang digunakan karena kurang efektif. Pemberian formalin dibiarkan selama 24 jam, kemudian bak dibilas dengan air tawar bersih agar tidak meracuni larva. Sterilight dan formalin dapat dilihat pada gambar 18.
52
a
b.
Gambar 18. Keterangan gambar a). Formalin 95%. b). Sterilight D. Pemasukan Air Air yang digunakan untuk kegiatan pembenihan udang dari bak tandon 2. Air dialirkan masuk pada bak pemeliharaan larva hingga kapasitas 9 ton dari kapasitas maksimal 10 ton. Pemindahan air menggunakan pompa yang dilengkapi dengan filter bag, kasa, dan kapas untuk menyaring kotoran pada air.
E. Pemberian EDTA dan Treflan Pemberian EDTA 1 ppm pada kegiatan pembenihan udang bertujuan untuk menghilangkan logam berat pada air laut yang mungkin akan mengganggu dari perkembangan larva. Pemberian Treflan 0,1 ppm digunakan untuk zat anti jamur pada bak pemeliharaan larva sesuai pendapat Wyban and Sweeny (1991). Selama pemberian EDTA dan treflan aerasi yang digunakan lebih besar,bertujuan untuk memerataan dari bahan tersebut. Pemberian treflan dapat dilihat pada gambar 19.
53
Gambar 19. Pemberian treflan 4.4.3 Penebaran Nauplius ke Bak Pembesaran Larva Pada kegiatan pembenihan udang, pemilihan nauplius sangat menentukan keberhasilan usaha. Nauplius yang akan ditebar sebaiknya dipilih dari induk yang sama atau berasal dari satu tempat pembenihan yang sama. Asal nauplius yang sama bertujuan untuk menyeragamkan tingkat pertumbuahan dari larva (benur). Sumber nauplius yang digunakan di SLPP-APS dari PT Mutiara Blambangan Permai, Banyuwangi. Umur nauplius yang ditebar sekitar 16 jam, atau pada stadia nauplius III. Naupli yang akan ditebar diamati secara visual kondisi nauplius, nauplius yang yang berkualitas memiliki kondisi fototaksis positif, aktifitas gerakan cepat, dan tidak mengumpul didasar. Nauplius yang akan ditebar memiliki umur 16- 18 jam, dengan panjang 0,5 mm, bebas virus dan parasit (SNI 01-7252-2006). Proses penebaran nauplius diawali dengan pencucian kantong plastik pembungkus napulius, kemudian adaptasi suhu dan salinitas. Pencucian dilakukan dengan memasukkan kantong pada air tawar yang mengalir untuk menghilangkan kotoran yang mungkin menempel saat transportasi. Pencucian kantong nauplius seperti pada gambar 20.
54
Gambar 20. Pencucian wadah naupli sebelum ditebar Proses adaptasi suhu dan salinitas bertujuan untuk menghindari kematian nauplius yang dikarenakan perbedaan suhu dan salinitas pada kantong pengemasan dan bak pembesaran larva (Sutaman, 1993). 1. Adaptasi suhu Tujuan dari adaptasi suhu adalah agar suhu yang ada dalam kontong plastik sama atau mendekati suhu air dalam bak. Adaptasi suhu dilakukan dengan cara memasukkan kontong plastik ke dalam bak pemeliharaan larva tanpa membuka talinya. Proses adaptasi membutuhkan waktu 10-15 menit (sampai plastik berembun) setelah plastik dimasukkan dalam bak, dapat dilihat pada gambar 21.
Gambar 21. Adaptasi suhu 2. Adaptasi salinitas
55
Tujuan dari adaptasi salinitas agar salinitas air dalam plastik sama atau mendekati sama dengan salinitas air pada bak. Adaptasi salinitas dengan cara membuka tali kantong plastik dan plastiknya dilipat. Plastik dilipat agar air dan nauplius dapat keluar sedikit demi sedikit sampai salinitas air dalam kantong plastik mendekati sama. Nauplius yang masih ada dalam kantong plastik ditebar dengan hati-hati dengan mengangkat ujung plastik, nauplius diusahakan keluar dengan sendiri tanpa dibantu oleh tangan, dapat dilihat pada gambar 22.
Gambar 22. Adaptasi salinitas Jumlah nauplius dalam satu kantung (1 liter) sekitar 150 ekor . Padat tebar untuk satu bak dengan volume 10 ton sekitar 1,5 juta ekor nauplius atau 150 ekor naupli/ liter. Menurut Sutaman (1993), padat tebar nauplius yang baik yaitu antara 75-150 ekor nauplius/ liter air. Padat tebar pada bak pembesaran larva SLPP APS termasuk besar. Pemeliharaan larva dilakukan mulai dari nauplius II hingga PL 10 yang membutuhkan waktu sekitar 3- 4 minggu. 4.4.4 Pemberian Pakan Pakan yang digunakan untuk larva udang vanamei adalah pakan alami dan pakan buatan. Pakan buatan yang digunakan yaitu tipe powder (bubuk) dan flake (lempengan). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam manajemen
56
pemberian pakan yaitu frekuensi, waktu dan jumlah pakan. Setiap perubahan stadia pakan yang diberikan juga berubah baik jenis maupun jumlah pakan. Kualitas pakan yang diberikan pada kondisi baik karena pakan disimpan di dalam gudang pakan yang terjaga kelembabannya. Selain itu pakan yang diberikan tidak disimpan terlalu lama sehingga tidak rusak. Jumlah pakan yang diberikan juga tergantung dari stadia udang, semakin dewasa udang maka pemberian pakannya semakin banyak juga. Pemberian pakan pada SLPP APS dilakukan setiap 3 jam. Pemberian pakan setiap jam 02.00, 05.00, 08.00, 11.00, 02.00, 17.00, 20.00, dan 23.00. Pakan Alami Pemberian pakan pada pembesaran larva udang berbeda jenis maupun jumlah yang disesuaikan dengan umur atau stadia larva. Pada stadia nauplius belum diberikan pakan karena kondisi pencernaan yang masih belum berkembang selain itu larva masih mempunyai cadangan makanan berupa kuning telur. Pakan alami yang digunakan yaitu Sceletonema costatum dan Artemia salina. A. Scletetonema costatum Scletetonema diberikan pada larva stadia zoea dan mysis. Pada stadia zoea dan mysis gerakan larva masih belum aktif sehingga makan diperlukan makanan berupa fitoplankton Kandungan gizi dari 100 gram Skeletonema costatum yaitu protein : 33,30 %, lemak : 8,10 %, karbohidrat : 11,60 %, dan total abu 36 %. Sceletonema dikultur pada bak yang memiliki kapasitas 4 ton. Pada kultur Sceletonema diperlukan pupuk dan vitamin untuk meningkatkan meningkatkan ketahanan dari Sceletonema terhadap jamur dan parasit. Pupuk yang digunakan di
57
SLPP APS adalah pupuk NPK dengan merek tawon dan mutiara seperti pada gambar 23 . Perbandingan komposisi nitrogen : phospor: kalium untuk pupuk tawon yaitu 15: 15: 15, sedangkan untuk pupuk mutiara yaitu 16: 16: 16.
a
b
Gambar 23. Pupuk untuk Sceletonema keterangan a. Pupuk NPK cap Mutiara b. Pupuk NPK cap Tawon Kultur Sceletonema yang dilakukan di SLPP APS termasuk kultur secara masal, karena menggunakan bak kultur dengan kapasitas 4 ton. Kultur Sceletonema membutuhkan pupuk NPK cap Tawon dan Mutiara masing- masing 14 gram, vitamin B12 0,5 ml, dan 10 liter bibit Sceletonema. Kultur Sceletonema membutuhkan 12- 24 jam. Pemanenan dilakukan dengan cara penyaringan Sceletonema dari bak kultur menggunakan filter bag di bak panen. Sceletonema yang yang tersaring diencerkan dengan air tawar sebelum diberikan pada larva. Cara kultur dan pemberian pakan Sceletonema dapat dilihat pada lampiran 3. B. Artemia Salina Pada stadia post larva gerakan larva semakin aktif, makan yang diberikan dapat berupa Artemia. Artemia dikultur dengan menggunakan sistem hidrasi atau perendaman menggunakan bak kultur dengan volume 60 liter. Cysta Artemia (bibit) direndam dengan air laut dan diberi aerasi. Cysta Artemia akan menetas
58
dalam waktu 18-24 jam ( Jusadi, 2003). Cara kultur artemia dapat dilihat pada lampiran 4. Jumlah artemia untuk pakan harus disesuaikan dengan umur post larva. Menurut Mastantra dan Suriandayani (2004), jumlah artemia yang diberikan pada tiap ekor larva pada PL 1-10 masing- masing adalah 2, 2, 3, 4, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30. Pemberian artemia di SLPP APS kurang sesuai karena jumlah artemia yang diberikan selalu sama dalam tiap tingkatan PL. Pakan Buatan Pakan buatan yang digunakan untuk larva udang vannamei ada empat jenis yaitu GAP, UD 0, UD 1, seaster flake. Vitamin yang digunakan yaitu Eicoso dibuat oleh Genchem Biotechnologi. Pakan buatan tersebut memiliki kandungan protein yang tinggi untuk udang yaitu sekitar 45-57%. Kandungan nutrisi pakan buatan dapat dilihat pada lampiran 5. Pakan buatan dapat dilihat pada gambar 24
a
b
d .
Gambar 24. Pakan Buatan
c
e .
59
Keterangan: a).GAP b). Eikoso c).Ultra diet 0 d). Ultra diet 1 e). Flake GAP merupakan pakan tambahan berupa bubuk atau powder untuk larva udang vannmei pada stadia zoea sampai stadia mysis. Mengandung 15 % spirulina. Pemberian GAP dilakukan setiap tiga jam dengan dosis 5- 10 gram atau 5- 10 ppm. Pemberian GAP dapat ditambah dengan pakan alami berupa Sceletonema, Artemia maupun suplemen. Perbedaan ultra diet 0 dan ultra diet 1 pada ukuran partikelnya. Ultra diet 1 mempunyai ukuran lebih besar dari ultra diet 0 yaitu 60-100 µm. UD 0 memiliki ukuran partikel lebih kecil yaitu 20-80 µm, sehingga UD 0 diberikan pada stadia mysis. UD 1 diberikan pada stadia post larva disesuaikan dengan bukaan mulut yang lebih besar. Seaster flake merupakan pakan buatan yang berbentuk lempengan. Seaster flake pakan yang terbuat dari tepung ikan, mineral premix, vitamin, mineral dan pewarna alami. Seaster flake diberikan pada stadia akhir mysis dan post larva. Pemberian pakan buatan untuk larva udang vannmaei dengan memasukkan bahan pakan pada saringan ukuran 250 mikron meter. Cara pemberian pakan dapat dilihat pada lampiran 6. Dosis pemberian pakan dapat dilihat pada lampiran 7. Jadwal pemberian pakan dapat dilihat pada lampiran 8.
4.4.5 Pengamatan Pertumbuhan Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap hari dapat dilakukan secara visual, maupun mikroskopis. Pengamatan secara visual dengan mengambil sampel langsung dari bak pemeliharaan menggunakan beaker glass, kemudian diarahkan
60
ke cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva. Pengamatan visual bertujuan untuk mengetahui perkembangan larva, gerakan, dan sisa pakan. Pengamatan mikroskopis dapat dilakukan dengan cara mengambil beberapa ekor larva kemudian dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop. Pengamatan ini dilakukan untuk melihat dan mengamati morfologi tubuh larva, keadaan parasit, pathogen yang menyebabkan larva terserang penyakit. Melalui pengamatan harian dapat diketahui perkembangan larva sehingga dapat menentukan perubahan stadia. Gerakan aktif dari larva menandakan bahwa larva tersebut dalam keadaan baik dan sehat. Hasil pengamatan kualitas larva selama pemeliharaan larva di SLPP APS dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Pengamatan kualitas larva di SLPP APS Kriteria Warna tubuh Mata Ekor Posisi diam Rangsang gerak (kejutan) Rangsang pakan Arah renang Anggota tubuh Rangsang cahaya Keseragaman Panjang
a. Coklat/ gelap Mengkilat Mengembang Horisontal Aktif Aktif Menentang arus Lengkap Fotaksispositif 80% 8,5 mm
b. Coklat muda Mengkilat Mengembang Horisontal Aktif Kurang aktif Menentang arus Lengkap Fotaksispositif 59 % 6,5 mm
Keterangan : a. Kriteria larva udang berkualitas menurut Marindo (2008) dan SNI 01-7252 (2006) b. Hasil pengamatan pada SLPP APS Kualitas larva di SLPP APS tergolong bagus jika dilihat dari kriteria kualitas larva menutut Marindo (2008) dan SNI 01-7252 (2006). Warna tubuh dari larva mempunyai hubungan dengan tingkat konsumsi pakan. Larva udang
61
mempunyai tubuh yang trasparan, sehingga warna tubuh larva tergantung dari jenis dan jumlah makanan yang dimakan dari larva tersebut. Tingkat konsumsi pakan larva kurang aktif, hal ini menyebabkan warna dari larva yang sedikit pucat. Konsumsi pakan juga tidak merata dapat dilihat dari tingkat keseragaman larva yang menunjukkan angka 59 % yaitu dibawah dari standar yang seharusnya mencapai 80%. Pertambahan panjang larva dapat dilihat pada gambar 25 dan
Panjang larva (mm)
lampiran 9.
Hari ke-
Gambar 25. Grafik Pertumbuhan Larva. 4.4.6 Pengelolaan Kualitas Air Kualitas air dalam proses pemeliharaan larva ada kemungkinan mengalami penurunan. Penurunan kualitas air dapat disebabkan karena timbunan kotoran dari larva maupun sisa makanan yang tidak termakan. Menjaga kualitas air dilakukan dengan cara pengontrolan kualitas air secara berkelanjutan, penyiponan ataupun penggantian air.
62
Parameter kualitas air yang diukur di SLPP APS meliputi suhu, pH, DO, dan salinitas. Peralatan yang digunakan untuk mengukur kualitas air selama kegiatan pembenihan udang vannamei antara lain pH meter yang berfungsi untuk mengukur tingkat keasaman air. Termometer yang berfungsi untuk mengukur suhu air. DO meter yang digunakan untuk mengukur kadar oksigen terlarut dalam air. Refraktometer yang digunakan untuk melihat kadar garam pada air. Alat yang digunakan untuk mengukur kualitas air di SLPP APS dapat dilihat pada gambar 26.
a .
b .
c .
Gambar 26. Alat pengukur kualitas air Keterangan
d .
: a). pH meter b). DO meter c). Termometer d). Refarktometer
Kisaran hasil pengamatan kualitas air di SLPP APS dengan kualitas air menurut Manijo (2010) dapat dilihat tabel 6. Tabel 6. Kualitas air pada kegiatan pembenihan udang vannamei di SLPP APS Parameter
Nilai a
Suhu Salinitas DO pH
29-32 0C 29-34 0/00 Lebih dari 5 ppm 7,5- 8,5
Nilai b 27-35 0C 29-32 0/00 3,1- 3,4 ppm 8,28- 8,45
63
Keterangan : a). Kualitas air berdasarkan Manijo (2010) b). Kualitas air berdasarkan pengamatan di SLPP APS Berdasarkan hasil pengukuran oksigen terlarut di SLPP APS tidak sesuai dengan standar yang digunakan untuk usaha pembenihan. Kandungan oksigen terlarut air terlalu rendah yaitu 3,1- 3,4 ppm yang seharusnya lebih dari 5 ppm. Kandungan oksigen terus menurun dari stadia naupli yaitu 3,4 ppm hingga stadia post larva yaitu 3,1 ppm. Hal ini disebabkan karena sumber oksigen untuk pembenihan hanya berasal dari aerator, selain itu kandungan bahan organik yang terlarut dalam air bertambah. Bahan organik pada air berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dan hasil metabolisme yang menumpuk. Hasil pengukuran harian kualitas air di SLPP APS dapat dilihat pada lampiran 10. Pengukuran suhu dilakukan setiap hari dengan termometer. Pada kegiatan pembenihan suhu merupakan parameter yang sangat penting. Perubahan suhu sebesar 5 0C secara tiba- tiba akan menimbulkan stress pada larva udang bahkan akan menimbulkan kematian. Suhu akan mempengaruhi konsumsi pakan, proses metabolisme dan kecepatan moulting, sehingga pengukuran suhu harus dilakukan setiap hari. Proses pencernaan makanan pada udang sangat lambat, suhu hangat akan mempercepat konsumsi pakan udang, sehingga pertumbuhan akan semakin cepat. Suhu air pada bak pemeliharaan larva di SLPP APS cukup stabil yaitu 30- 320 C, hal ini karena bak pemeliharaan larva berada diruang tertutup dan setiap bak ditutup dengan terpal untuk menjaga suhu air agar tetap stabil. Jika terjadi penurunan suhu air yang signifikan, untuk meningkatkan suhu bak dapat diberi heater. Heater yang digunakan di SLPP APS mempunyai daya 3000 watt, untuk menaikan suhu 1 0C membutuhkan waktu selama 6 jam. Perubahan suhu air
64
sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Grafik perubahan suhu air selama
Suhu 0 C
kegiatan pembenihan udang vannamei dapat dilihat pada gambar 27.
Hari ke-
Gambar 27. Grafik perubahan suhu harian di SLPP APS.
Salinitas merupakan kadar garam yang terlarut pada air. Salinitas mempunyai hubungan dengan suhu, jika suhu air tinggi maka kadar garamnya juga tinggi. Salinitas di SLPP APS termasuk stabil yaitu 29- 32 0/00 . Kadar salinitas juga berhubungan dengan kecepatan tumbuh udang. Salinitas yang terlalu tinggi akan mengakibatkan proses osmoregulasi meningkat. Proses osmoregulasi adalah proses penyeimbangan tekanan osmosis antara lingkungan dan tubuh. Salinitas yang tinggi akan mengakibatkan pertumbuhan udang menjadi lambat, karena
energi
lebih
banyak
digunakan
untuk
kegiatan
osmoregulasi
(Haliman dan Adijaya, 2005). Grafik perubahan salinitas air selama kegiatan pembenihan udang vannamei dapat dilihat pada gambar 28.
Salinitas ‰
65
0
4
8
12
17
Hari ke-
Gambar 28. Grafik perubahan salinitas harian di SLPP APS. Derajat keasaman (pH) adalah nilai dari pengukuran (H+) dalam air. pH gigunakan untuk mengetahui sifat dari perairan, jika pH kurang dari 7 makan suatu perairan bersifat asam. Menaikkan kadar asam dapat dilakukan dengan menambah kapur, untuk menurunkan kadar asam dapat ditambah dengan HCl yang jumlahnya disesuaikan dengan kondisi air. Grafik perubahan pH air selama
Derajat keasaman(pH)
kegiatan pembenihan udang vannamei dapat dilihat pada gambar 29.
0
4
8
12
17
Hari keGambar 29. Grafik perubahan pH harian di SLPP APS
Menjaga kualitas air dilakukan dengan cara penyiponan dan penggantian air. Tujuan dari penggantian air adalah mengurangi sisa pakan dan kotoran yang mengendap atau menempel pada dinding bak dan untuk memperbarui kualitas air
66
media (Hadie dan Hadie, 1992). Pergantian air jarang dilakukan di SLPP APS, karena ukuran dari larva yang masih terlalu kecil sehingga membutuhkan waktu yang lama dan resiko larva stress lebih besar. Meningkatkan kualitas air dilakukan dengan cara menambah air. Penambahahan air dilakukan pada stadia mysis. Pada stadia mysis biasanya permukaan air telah banyak mengandung gelembung hal ini diasumsikan air pada kondisi jenuh dan telah terjadi banyak perombakan gas di dalam air sehingga perlu dilakukan perbaikan kualitas air. Penggantian air pada bak pemeliharaan larva di SLPP APS dilakukan 1 kali, yaitu pada stadia awal post larva. Penggantian air dilakukan pada stadia post larva dengan pertimbangan ukuran larva yang sudah cukup besar, sehingga lebih mudah untuk prosesnya. Menurut Menurut Mastantra dan Suriandayani (2004), penggantian air seharusnya dilakukan tiap hari dengan prosentase pergantian air berbeda tiap stadia yaitu stadia Zoea III 20%, Mysis I- III 30%, PL 1-5 40%, dan PL6-10 50%. Proses penggantian air pada bak pemeliharaan larva dimulai dari pengeluaran air hingga 50 %, dan dilanjutkan hingga semua air keluar. Larva disaring mengunakan jaring besar di bak panen. Bak pemeliharaan diisi kembali dengan air dan diberi pakan sester flake 30- 50 gram untuk tiap bak, kemudian postlarva ditebar.
4.4.7 Pengendalian Penyakit Darmono (1991) menyatakan bahwa penyakit adalah salah satu kendala dalam kegiatan pembenihan udang. Timbulnya penyakit pada kegiatan pembenihan udang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti kualitas air yang
67
buruk serta pakan yang diberikan. Kondisi lingkungan seperti kualitas air yang baik dan ketersediaan pakan yang cukup akan meningkatkan daya tahan tubuh udang terhadap penyakit. Penyakit terjadi karena ketidakseimbangan antara lingkungan, inang dan patogen. Beberapa jenis penyakit yang menyerang larva udang vannamei disebabkan oleh parasit, bakteri dan jamur serta virus. Dampak dari serangan penyakit adalah penurunan fungsi dan struktur jaringan. Penurunan fungsi dan struktur dari jaringan akan berakibat pada gangguan pertumbuhan, gangguan sistem koordinasi dan jika kondisi akut akan menyebabkan kematian. Pengendalian penyakit di SLPP APS antara lain pencegahan dan pengobatan A. Pencegahan Menurut Sutaman (1993), salah satu tujuan dari pencegahan penyakit adalah agar suatu organisme tidak menyebar dari satu bak ke bak lainnya. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan cara strelilisasi alat yang akan digunakan, dan pemberian pakan harus sesuai dengan kebutuhan. Pemberian pakan yang tidak sesuai akan menimbulkan pengendapan pakan yang akan menjadi media pertumbuhan dari mikroorganisme. Kondisi larva di SLPP APS cukup stabil pada stadia nauplius sampai mysis. Pada stadia akhir mysis atau saat moulting menjadi post larva kematian larva meningkat drastis. Menurut Murtidjo (2003), untuk menghidari timbulnya organisme parasit, media pemeliharaan larva perlu diberi antibiotik. SLPP APS menggunakan treflan dan eritromysin yang merupakan obat anti jamur. Penggunaan anti jamur karena jamur sering menyerang larva. Pemberian treflan dengan dosis 0,1 gram untuk satu bak (9ton) atau 0,1 ppm. Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan pendapat
68
Wyban and Sweeny (1991) yaitu 0,1 ppm. Treflan diberikan di awal sebelum naupli ditebar dan setiap pergantian stadia. Erytromysin yang digunakan untuk pencegahan jamur kurang dari 2 ppm. Erytromysin diberikan pada stadia zoea dan mysis. Pemberian obat harus memperhatikan kondisi dari larva, misalnya pada saat moulting pemberian obat harus dihentikan karena kondisi larva yang lemah dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Menurut Sutaman (1993), pemberian antibiotik akan mengganggu pertumbuhan dari pakan alami. Pemberian antibiotik juga harus dihentikan sebelum panen karena dikhawatirkan akan menimbulkan residu. Pemberian antibiotik pada pemelihaaran larva efektif untuk menghambat perkembangan mikroorganisme patogen. B. Pengobatan Pengobatan adalah alternatif terakhir apabila tindakan pencegahan tidak berhasil. Tindakan pengobatan dilakukan apabila dalam satu bak mengalami kematian lebih dari 50 %. Kematian selama pemeliharaan karena mikroorganisme patogen disebabkan oleh jamur Sirolpidium. Sirolpidium biasanya menyerang larva pada stadia mysis akhir sampai PL awal. Gejala dari infeksi jamur Sirolpidium yaitu nafsu makan menurun, gangguan proses moulting, adanya hifa atau micelia pada permukaan tubuh dari larva udang, gerakan renang lambat atau diam di dasar bak,. Jamur Sirolpidium yang menyerang larva di SLPP APS dapat dilihat pada gambar 30.
69
Gambar 30. Sirolpidium Jamur Sirolpidium diduga timbul karena sisa dari bahan pakan dan hasil metabolisme pada dinding dan dasar bak. Koloni dari jamur Sirolpidium terlihat pada dinding bak yang berwarna merah. Tindakan pengobatan dapat dilakukan dengan cara perendaman selama 24 jam dengan menggunakan treflan 0,2 ppm atau menggunakan formalin 10- 25 ppm selama 24 jam. Perendaman dilakukan dengan cara mengurangi voleme air hingga 60- 80%. Setelah perendaman selesai bak diisi lagi dengan air dan diberi pakan alami, kondisi larva akan kembali sehat dalam waktu 24 jam. 4.5 Panen Pemanenan benur dilakukan mulai stadia PL10 atau ukauran PL mencapai 1cm. Pemanenan lebih baik dilakukan waktu malam hingga pagi hari atau diusahakan pada suhu rendah dengan tujuan untuk mengurangi resiko kerusakan mutu udang (DKP, 2002). Kegiatan panen di SLPP APS meliputi persiapan panen, pemenan, pengemasan dan pemasaran. 4.5.1 Persiapan Panen Persiapan
panen
dimulai
dari
grading
dilakukan
dengan
cara
mengeluarkan air dan memindahkan larva. Tujuan dari grading adalah menyeleksi larva yang berkualitas bagus, dipisahkan dari larva yang kualitasnya kurang
70
bagus. Seleksi larva dapat dilakukan secara visual dengan cara melihat kondisi fisik dari larva. Berdasarkan SNI 01-7252 (2006) larva udang vannamei yang berkualitas memiliki ciri yaitu warna tubuh transparan, isi usus tidak terputus, gerakan benerang aktif dengan kepala yang mengarah kebawah. Larva yang mencapai PL 10 memilki organ yang lengkap dan ekor mengembang seperti kipas. Larva yang berkualitas akan melentik jika diberi rangsangan kejutan. Pemindahan larva untuk proses grading dilakukan 1 minggu sebelum panen. Proses grading dimulai dengan pengeluaran larva dari bak pemeliharaan ke bak panen yang sudah diberi jaring. Bak pemeliharaan larva yang sudah kosong dicuci dengan air tawar. Setelah bak bersih pengisian air dengan menggunakan pompa yang diambil dari tandon 2. Dua sampai tiga hari sebelum panen dilakukan penurunan salinitas air, sesuai dengan permintaan pembeli. Penurunan salinitas dilakukan secara bertahap agar larva tidak mengalami stress yang berlebih. Persiapan lain yang dilakukan yaitu penyiapan kantong plastik rangkap dua, karet, tabung oksigen yang digunkan untuk pengemasan benur. 4.5.2 Proses Pemanenan Pemanenan dilakukan setelah umur larva 3 minggu atau mencapai PL 8 - PL 10. Alat yang digunakan untuk panen antara lain seser kecil, scouple net, bak penampungan benur dan keranjang. Jumlah alat harus disesuaikan dengan banyaknya benih yang akan dipanen.
Pemanenan di SLPP APS biasanya
dilakukan pada malam atau pagi hari sesuai dengan permintaan dari pembeli. Pemanenan lebih baik dilakukan pada malam hari untuk menghindari terik
71
matahari, selain itu juga bertujuan untuk mengurangi resiko udang ganti kulit selama panen akibat stress. Udang yang berganti kulit saat panen akan menyebabkan penurunan harga jual (Darmono, 1991). Keuntungan lain dari pemanenan pada pagi hari yaitu belum maksimalnya cahaya matahari yang dapat menyebabkan kenaikan suhu media. Suhu media akan mempengaruhi tingkat metabolisme dari benur. Kenaikan suhu juga mengakibatkan stress pada udang sehingga ada kemungkinan angka mortalitas akan meningkat selama transportasi (Sutaman, 1993) Kegiatan pemanenan dimulai dari penurunan volume air dengan cara membuka saluran pengeluaran sampai air dalam bak habis. Saluaran pengeluaran yang berada pada bak panen dilengkapi dengan saringan (filter). Pemasangan filter bertujuan untuk menahan agar larva tidak lepas hanyut bersama arus pada proses pengurangan air. Pengambilan larva dari saringan dilakukan dengan hatihati menggunakan seser kecil dari bahan yang halus. Pengambilan larva harus hati- hati agar tidak menimbulkan cacat fisik pada larva. Larva yang tersaring dimasukkan pada bak penampunngan larva. SLPP APS mempunyai 2 buah bak penampungan larva untuk panen. Bak penampungan larva tersebut berbentuk bulat, dari bahan fiber glass dengan kapasitas volume air 2 ton. Larva udang yang telah masuk dalam bak penampungan dihitung dengan menggunakan scouple net. Satu scoulpe net penuh berisi 2500- 3000 ekor larva. Penakaran ini bertujuan untuk menghitung jumlah karva dalam satu plastik. Larva yang telah terambil dengan scouple net, ditaruh pada ember untuk dihitung
72
kembali. Penghitungan dengan menggunakan bantuan karet gelang, untuk 100 ekor larva diwakili 1 buah karet gelang.
Penghitungan tingkat kelulushidupan atau survival rate dilakukan setelah mengetahui jumlah larva udang. Penghitungan survival rate (SR) dapat dihitung dengan rumus (Hadie dan Hadie, 1992) sebagai berikut: SR = Jumlah larva yang dihasilkan Jumlah padat tebar awal =
3.950.000 x 100 % 15.000.000
=
26, 33 %
x 100 %
Data jumlah larva harian dapat dilihat pada lampiran 11. 4.5.3 Pengemasan dan Pengangkutan Proses pengemasan harus dilakukan dengan cepat dan hati- hati, karena kondisi dari larva yang masih labil sangat rentan terhadap kematian. Pengemasan di SLPP APS dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih. Kegiatan pengemasan meliputi pengisian air pada kantong plastik, kemudiaan diisi benur dan diberi oksigen. Perbandingan antara volume air dan oksigen adalah 1 : 1 menurut Martidjo (2003). Pengisian oksigen dilakukan dengan perlahan dan hati- hati. Sutaman (1993) mengatakan bahwa pengisian oksigen yang cepat akan menimbulkan stress pada larva. Kontong plastik diikat dengan menggunakan karet gelang dengan kuat tetapi usahakan mudah dibuka. Kantong plastik yang telah
73
diikat dimasukkan dalam karung glangsing dengan posisi melintang, dalam 1 gansing berisi 30 kantong. Karung glangsing menggunakan tali rafia. Pengangkutan benih menggunakan mobil pick up, karena kapasitas angkut dari pick up lebih besar. Selama pengangkutan bagian bawah dan atas dari pick up ditutup dengan terpal. Terpal berfungsi untuk menghindari sinar matahari secara langsung, dan menjaga kualitas dari benur. Panen benur dapat dilihat pada lampiran 12. 4.5.4 Pemasaran Pemasaran yang dilakukan oleh SLPP APS yaitu pemasaran langsung. Pemasaran secara langsung yang dimaksud adalah pembeli datang langsung ke SLPP APS dan dilakukan kegiatan jual beli. Larva biasanya sudah dipesan mulai dari stadia PL 1. Pembeli kebanyakan adalah pemilik tambak lokal di sekitar Paciran dan Lamongan, sehingga jarak tempuh dari SLPP APS dan tambak tidak terlalu lama. Harga jual larva antara Rp.7 – 9, penentuan harga dengan cara negosiasi dari pihak APS dan pembeli.
4.6 Hambatan dan Kemungkinan Pengembangan Usaha 4.6.1 Hambatan yang Dihadapi Hambatan yang dihadapi dalam kegiatan pembenihan adalah pasokan nauplius yang tidak stabil. Kegiatan pembenihan di SLPP APS termasuk hatchery skala rumah tangga atau beckyard. SLPP APS mendapatkan naupli dari hatchery lain yang kualitasnya tidak bisa dikontrol secara langsung. Hambatan yang lain adalah tenaga kerja yang kurang, sehingga kegiatan pembenihan kurang
74
maksimal. Untuk mengatasi hal tersebut SLPP APS sebaiknya menambah jumlah tenaga kerja. 4.6.2 Kemungkinan Pengembangan Usaha Pengembangan
usaha
pada
pembenihan
udang
vanamei
adalah
menciptakan kondisi yang terkontrol dengan pencegahan dan pemberantasan penyakit secara optimal dan teratur. Hal ini dapat mengurangi kematian yang tinggi pada pemeliharaan larva udang vanamei . Berdasarkan perhitungan nilai B/C ratio usaha pembenihan udang vannamei sebesar 2,09 yang menunjukkan bahwa usaha ini layak untuk dikembangkan. Pengembangan usaha yang mungkin dilakukan oleh SLPP APS dengan menambah jumlah tenaga kerja. Tenaga kerja yang cukup akan memberi peluang SLPP APS mengembangkan usahanya dari hatchery skala rumah tangga menjadi hatchery skala besar. Jika SLPP APS mempu memproduksi naupli sendiri maka akan menekan biaya produksi dari pembelian naupli, sehingga diharapkan akan meningkatkan penghasilan dari SLPP APS.
4.7 Analisis Usaha Analisis usaha adalah suatu cara untuk mengetahiu tingkat keberhasilan suatu usaha. Menurut Hambali, dkk (2002) analisis usaha dapat memberikan gambaran tentang kelayakan suatu usaha untuk dijalankan, dimana usaha tersebut memberi keuntungan atau tidak. Analisis usaha pada SLLP APS memerlukan biaya investasi sebesar Rp. 49.000.000, dalam setiap siklus memerlukan biaya tetap sebesar Rp. 6.725.000 jadi biaya produksi sebesar Rp. 17.040.000. Hasil penjualan benur dari
75
modal tersebut sebesar Rp. 35.550.000, dengan nilai SR 26,33 %. B/C ratio digunakan untuk mengetahui besar keuntungan per biaya yang dikeluarkan dari suatu usaha. Hasil perhitungan B/C Ratio menunjukkan nilai 2,09 yang berarti setiap penggunaan biaya produksi sebesar Rp 1 akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 2,09. Menurut Subyakto dan Cahyaningsih (2003), bahwa suatu usaha dikatakan untung jika B/C mempunyai nilai lebih dari 1. Nilai BEP atau titik impas pada usaha ini jika harga larva mencapai Rp 4,3, per ekor dengan total produksi sebanyak 1.893.333,3 ekor ekor. Modal usaha pembenihan udang vannamei ini akan kembali dalam jangka waktu 2,64 tahun (PP). Analisis usaha pembenihan udang vannamei dapat dilihat pada lampiran 13.
76
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Teknik pembenihan udang vannamei di SLPP APS yaitu persiapan, manajemen pakan, pengontolan kualitas air, pencegahan penyakit, panen. Persiapan dimulai dari pengolahan air menggunakan kaporit 20 ppm, karbon aktif 6 ppm, dan natium tiosulfat 40 ppm. Persiapan bak yaitu pencucian, pemberian desifektan berupa formalin 400 ppm. Larva ditebar dengan kepadatan 150 ekor larva/ liter air. Pakan yang diberikan adalah pakan alami (Sceletonema dan Artemia) pakan buatan berupa (GAP, UD 0, UD 1, dan Seaster flake) dengan frekunsi 8 kali dalam sehari. Pengamatan pertumbuhan dan analisis kualitas air meliputi suhu, pH, salinitas, DO. Penyakit karena jamur Sirolpidium menyerang larva pada stadia mysis. Panen dilakukan pada post larva 10 dengan SR 26,33 %. 2. Faktor pendukung dalam kegiatan pembenihan udang di SLPP APS adalah dilakukan pengolahan air untuk meningkatkan kualitasnya, padat tebar nauplius yang sudah sesuai standar yaitu 150 ekor/ liter air, pemberian pakan tiap tiga jam, pengamatan pertumbuhan, kualitas air dan penyakit dilakukan tiap hari. 3. Kendala yang terjadi selama kegiatan pembenihan di SLPP APS adalah penurunan kualitas air yang sulit dikontrol. Terjadi kematian larva dalam jumlah banyak pada fase mysis dan awal post larva. Penggantian air hanya dilakukan 1 kali dalam 1 siklus, sehingga nilai DO rendah yaitu 3,1 – 3,4.
77
Jumlah Artemia yang diberikan pada tingkatan stadia post larva selalu sama. 5.2 Saran Penurunan kualitas air sangat mempengaruhi kegitan pembenihan khususnya pada proses. Moulting pada larva udang vannamei merupakan saat kritis, sehingga penurunan kualitas air seperti DO sangat berpengaruh terhadap tingkat kelulushidupan larva. Sebaiknya dilakukan pengeloaan kualitas air misalnya penyiponan dan penggantian air secra teratur untuk memperbaiki kualitas air. Dosis pemberian pakan harus lebih diperhatikan, karena residu dari pakan akan mempengaruhi kualitas air. Pemberian pakan misalnya Artemia seharusnya disesuaikan dengan umur dan stadia larva.
78
DAFTAR PUSTAKA Adisukresno, S. 1983. Persyaratan Pembenihan Udang Penaeid. Dalam : Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. Aimyaya. 2009. Kumpulan Teknik Penyaringan Air Sederhana. Aimyaya.com. diakses pada 17 Juli 2011.
www.
Afandi, M. 2009. Manajemen Pemeliharaan Induk Udang Vannamei Nusantara-1 (VN-1). Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Situbondo. Amri, K dan I.Kanna. 2004. Budidaya Vannamei. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Anderson, I. G. 1988. Disease Problems Faces by Marine Pawns Farms and Hatcheries. Malaysia. Arif, T. 2004. Petunjuk Teknis Pengendalian Hama dan Penyakit Pada Budidaya Udang. Departemen kelautan dan Perikanan. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Azwar, S. 1998. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 146 hal. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. 2009. Pembenihan Udang Vannamei. Balai Budidaya Air Payau. Situbondo. Darmono. 1991. Budidaya Udang Windu. Kanisius. Yogyakarta. Direktorat Jenderal Perikana. Statistik Perikanan Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Budidaya Udang Vannamei. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya www.Dkp.Go.id. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Budidaya Udang Vannamei. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya www.Dkp.Go.id. Direktorat Bina Pembenihan.2005.Budidaya Perikanan. Departemen Perikanan dan Kelautan. Jakarta Elovoora A.K, 2001. Shrimp Forming Manual. Practical Tecnology Intensive Commercial Shrimp Production. United States Of Amerika, 2001. Erwinda, E.Y. 2008. Pembenihan Udang Putih (Penaeus vannamei) secara Intensif. Sripsi. Biologi. Institute teknologi Bandung. Bandung. 7 hal.
79
Hadie, W. dan EL. Hadie. 1992. Pembenihan Udang Galah. Kanisius. Jakarta. Haliman dan Adijaya. 2005. Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit.Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta. Hambali, E., A. Suryani dan Wadli. 2002. Membuat aneka olahan rumput laut. Penebar swadaya. Jakarta. 87hal. Juliar, H. 2011. Teknik Pemeliharaan Larva Udang Vannnamei (Litopenaeus vannamei). http://viendy10blogspot.com. Diakses pada 2 April 2011 Jusadi, D. 2003. Budidaya Pakan Alami. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta Kiki. 2011. Pembenihan udang vannamei. http://riskyhandayani.wordpress.com. Diakses pada 1 Mei 2011. Manijo. 2010. Pembenihan udang Vannamei. Dalam : pembenihan Udang Vannamei. Balai Budidaya Air Payau Situbondo Manik, R. dan IS. Djunaidah. 1983. Biologi Udang Penaeid. Dalam Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. Marindo. 2008. Kriteria Kualitas Benur. Fakultas Perikanan Institute Pertanian Bogor. Martosudarmo dan Ranumiharjo. 1983. Biologi Udang Penaeid. Dalam : Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. Mudjiman dan Suyanto. 1987. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya. Jakarta. 87 hal. Masntantra, K. dan N. Suriandayani. 2004. Pemeliharaan Larva Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Penambahan Prebiotik Aeromonas sp. BY9. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali. Bali Murtidjo, 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kanisius. Yogjakarta. 75 hal. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. 622 hal. Nurdjanah, LM., Anindiastuti dan B. Saleh. 1983. Produksi Induk Matang telur Udang Penaeid. Dalam : Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta.
80
Nurjanah, LM. dan S. Adisukresno. 1983.Sarana Pembenihan Udang Vannamei . Dalam : Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. Pudadera, Borlogan, and Unggui. 1985. Training Manual Shrimp Hatchery Design, Operation and Management. Network of Aquaculture Centres in Asia. Bangkok Saravanan, S., B.S. Kamalan and J. S. S. Kumar. 2008. Moulting and Behaviour Changes in Freshwater Prawn. www.thefishsite.com/.../moulting-andbehaviour-changes-in-freshwater-prawn. 12 Juni 2010. Sholeh, M. 2006. Biologi Udang Vannamei. BBPBAP Jepara. Produksi Induk Matang Telur Udang Penaid. Dalam : Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. SNI 01-7252-2006. Benih Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Badan Satandardisasi Nasional. SNI 7311-2009. Produksi benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar. Badan Standardisasi Nasional. Subaidah, S.,S. Pramudjo, dan Manijo. 2009. Pembenihan Udang Vaname. Situbondo.Seleksi Standardisasi dan Informasi Balai Budidaya Air Payau Subyakto, S. 2006. Sarana Pembenihan. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Situbondo. Subyakto, dan S. Cahyaningsih. 2005. Pembenihan Kerapu Skala Rumah Tangga Kiat Mengatasi Masalah Praktis. PT.Agromedia Pustaka. Jakarta. Sugama, K, 1993. Panduan Pembenihan Udang Windu monodon).Proyek Penelitian Pembenihan Udang (ATA-379).
(Penaeus
Supito. 2011. Budidaya Udang Pada Salinitas Rendah. BBPBAP Jepara. Jepara Suryabrata, S. 1993. Metodologi Penelitian. Rajawali. Jakarta. 115 hal. Sutaman. 1993. Petunjuk Praktis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga. Kanisius. Yogjakarta Tricahyo, E. 1995. Biologi Kultur Udang Windu (Penaeus monodon). Jakarta CV. Akademika Pressindo. Utama, S., Peni dan I. Retno. 2011. Peta Bisnis benur. www.agrina-online.com. Diakses pada 17 Juli 2011.
81
Wardiningsih. 1999. Teknik Pembenihan Udang .Universitas Terbuka. Jakarta. Wijayati, A. 2004. Biologi Udang Sebagai Penunjang Keberhasilan Budidaya Di Tambak. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 15 hal. Wyban dan Sweeney, 1991. Relation Total Length and Body Weight of White Shrimp(Indonesian).http://www.scribd.com/doc.14856544/RelationTotaLe ngthAndBodyWeightOfWhiteShrimp. 23 Desember 2010. 2 Hal. Yano, I., R.A. Kanna, R.N. Oyama, and J.A. Wyban. 1988. Mating Behavior in the Penaeid Shrimp Penaeus vannamei. Marine Biology. 97:171-175
82
Lampiran 1. Peta Lokasi SLPP APS Lamongan
83
Lampiran 2. Denah Bangunan Sarana dan Prasarana di SLPP APS
84
Lampiran 3. Cara kultur dan pemberian pakan Sceletonema
a.
d.
b.
e.
g.
c.
f.
h
kererangan gambar: a. Pengisian air pada bak kultur. Air yang diguanakan dari tandon 2 dan air bor b. Pemberian pupuk NPK c. Pemberian vitamin B 12 d. Penebaran bibit Sceletonema e. Sceletonema yang siap digunakan untuk pakan f. Panen Sceletonema g. Sceletonema diencerkan dengan air bor. h. Pemberian Sceletonema pada bak pemeliharaan larva
85
Lampiran 4. Cara kultur artemia
a.
b.
d. Keterangan gambar : a. Artemia cyste b. Penimbangan Artemia cyste c. Pemberian artemia cyste d. Kultur artemia dengan hidrasi e. Panen artemia
c.
e
86
Lampiran 5. Kandungan nutrisi pakan buatan a. Kandungan gizi dari GAP Protein kasar Lemak kasar Abu Moisture
43% 25% 15% 10%
Serat kasar HCl
3% 2%
b. Komposisi UD 0 dan UD 1 Protein 57% EPA Lemak kasar 19% DHA Ash 5% Moisture 7% Ukuran: UD 0 20-80 µm, UD 1 60-100 µm
11,2mg/l 12,7mg/l
c. Kandungan gizi dari seaster flake Protein Lemak kasar Ash / abu Serat kasar Moisture d. Kandungan gizi vitamin eikoso β karoten 1 gr. Calciferol 0,5 gr. Vitamin E 2,5 gr. Vitamin K 0,1 gr. Thiamin HCL 1,5 gr. Riboflavin 3 gr. Phyridoxin HCL 0,6 gr. B 12 2 gr. Dosis 0,5- 1% dari pakan yang diberikan.
45% 5% 15 % 3% 9%
Nicotinic Acid Ascorbic Acid Folic Biotin Cal. Pantotenate Inositol PABA
10 gr. 10 gr. 0,3 gr. 5 gr. 4 gr. 10 gr. 5 gr.
87
Lampiran 6. Cara pemberian pakan buatan
b
a
c.
.
d
e.
.
Keterangan gambar: a. Saringan pakan dengan mess size 250 µm b. Gelas pakan c. Seaster flake d. Hijau GAP, coklat UD1 e. Penimbangan f. Pelarutan pakan
f.
88
Lampiran 7. Dosis pemberian pakan pada larva Stadia Nauplius Zoea I Zoea II Zoea III Mysis I Mysis II Mysis III PL 1 PL 2 PL 3 PL 4 PL 5 PL 6 PL 7 PL 8 PL 9 PL 10
Pakan alami Sceletonema Artemia 150- 200 liter 200- 250 liter 250- 300 liter 300- 350 liter 300- 350 liter 300- 350 liter 3 artemia/ larva 3 artemia/ larva 3 artemia/ larva 3 artemia/ larva 3 artemia/ larva 3 artemia/ larva 3 artemia/ larva 3 artemia/ larva 3 artemia/ larva 3 artemia/ larva
GAP 5 gr 5 gr 5 gr 5 gr 5 gr 3 gr -
Pakan buatan UD 0 UD 1 3 gr 3 gr 3 gr 2 gr 5 gr
Flake 2 gr 3 gr 10 gr
Vitamin Eikoso 4 gr 4 gr 4 gr 4 gr 4 gr 4 gr -
-
-
5 gr
10 gr
-
-
-
5 gr
10 gr
-
-
-
5 gr
10 gr
-
-
-
5 gr
10 gr
-
-
-
5 gr
10 gr
-
-
-
5 gr
10 gr
-
-
-
5 gr
10 gr
-
-
-
5 gr
10 gr
-
-
-
5 gr
10 gr
-
Keterangan : Dalam 1 ml Sceletonema terdapat 500.000 sel a. b. c. d.
Sceletonema yang diberikan pada fase zoea I 75.000.000.000 - 100.000.000.000 sel. Sceletonema yang diberikan pada fase zoea II 100.000.000.000- 125.000.000.000 sel. Sceletonema yang diberikan pada fase zoea III 125.000.000.000- 150.000.000 sel. Sceletonema yang diberikan pada fase mysis I, II, III 150.000.000.000- 175.000.000 sel
yaitu yaitu yaitu yaitu
89
1
11.00 Sceletonema
14.00 GAP
Jam 17.00 Sceletonema
Sceletonema
GAP
Seletonema
Sceletonema
GAP
Seletonema
Sceletonema
GAP
Seletonema
Sceletonema
GAP
GAP
Sceletonema
GAP UD.0 Flake
GAP UD.0 Flake
7.
20-02-11 (Mysis III)
UD.0 Eikoso
Sceletonema
UD.0 Flake
8.
21-02-11 (PL1)
UD.0 Eikoso
Sceletonema
UD.0 Flake
9.
22-02-11 (PL I)
UD.0 UD.1 Eikoso
Sceletonema
UD.0 UD.1
10.
23-02-11 (PL I)
Artemia
Sceletonema
UD.1
2. 3. 4. 5. 6.
20.00 GAP
23.00 Sceletonema
02.00 GAP
05.00 GAP
GAP Eikoso GAP Eikoso GAP Eikoso GAP Eikoso GAP UD.0
Sceletonema
GAP
GAP
Sceletonema
GAP
GAP
Sceletonema
GAP
GAP
Sceletonema
GAP
GAP
GAP UD.0
GAP UD.0
GAP UD.0
UD.0 Flake Eikoso UD.0 Flake Eikoso Flake
UD.0
UD.0
UD.0
UD.0
UD.0
UD.0
UD.0
UD.0
UD.0 UD.1
Flake
Flake
Flake
Flake
UD.1
Flake
Flake
Flake
Lampiran 8. Jadwal pemberian pakan(lanjutan)
08.00 GAP Eikoso GAP Eikoso GAP Eikoso GAP Eikoso GAP Eikoso GAP UD.0 Eikoso
Lampiran 8. Jadwal pemberian pakan
Tanggal 14-02-11 (Zoea I) 15-02-11 (Zoea II) 16-02-11 (Zoea II) 17-02-11 (Zoea III) 18-02-11 (Mysis I) 19-02-11 (Mysis II)
No. 1.
2
11.
14.
24-02-11 (PL I) 25-02-11 (PL II) 26-02-11 (PL III) 27-02-11
15.
28-02-11
16.
01-03-11
17.
02-03-11
18.
03- 03- 11
19.
04- 03- 11
20.
05- 03- 11
21.
06- 03- 11
12. 13.
UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1
Flake Flake Flake Flake Flake Flake Flake Flake Flake Flake Flake
Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1
Flake Flake Flake Flake Flake Flake Flake Flake Flake Flake Flake
Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1 Artemia UD.1
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
Flake
87
Lampiran 9. Data Pengamatan Pertumbuhan larva Udang Tanggal 13 Feb 2011 14 Feb 2011 15 Feb 2011 16 Feb 2011 17 Feb 2011 18 Feb 2011 19 Feb 2011 20 Feb 2011 21 Feb 2011 22 Feb 2011 23 Feb 2011 24 Feb 2011 25 Feb 2011 26 Feb 2011 27 Feb 2011 28 Feb 2011 1 Maret 2011 2 Maret 2011 3 Maret 2011 4 Maret 2011 5 Maret 2011 6 Maret 2011
Umur (hari) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Panjang (mm) 0,2 0,3 0,5 0,8 1,2 1,5 2 2,5 2,7 3,2 3,8 3,8 4 4,2 4,5 5 5 5,3 5,6 6 6,3 6,5
Stadia Naupli Zoea 1 Zoea 2 Zoea 2 Mysis 1 Mysis 2 Mysis 2 Mysis 3 Mysis 3 PL 1 PL 1 PL 1 PL 1 PL 2 PL 3 PL 3 PL 4 PL 5 PL 6 PL 7 PL 8 PL 10
88
Lampiran 10. Data Hasil Pengukuran Harian Kualitas Air pada SLPP APS Tanggal 13 Feb 2011 14 Feb 2011 15 Feb 2011 16 Feb 2011 17 Feb 2011 18 Feb 2011 19 Feb 2011 20 Feb 2011 21 Feb 2011 22 Feb 2011 23 Feb 2011 24 Feb 2011 25 Feb 2011 26 Feb 2011 27 Feb 2011 28 Feb 2011 1 Maret 2011 2 Maret 2011 3 Maret 2011 4 Maret 2011 5 Maret 2011 6 Maret 2011
Stadia Naupli Zoea 1 Zoea 2 Zoea 2 Mysis 1 Mysis 2 Mysis 2 Mysis 3 Mysis 3 PL 1 PL 1 PL 1 PL 1 PL 2 PL 3 PL 3 PL 4 PL 5 PL 6 PL 7 PL 8 PL 10
Suhu 0 C 29 30 31 29 30 27 32 35 33 30 30 31 30 31 32 30 32 32 33 30 32 30
pH 8,28
Salinitas 0 / 00 32
DO ppm 3,45
8,1
31
3,31
8,35
31
3,13
8,5
30
3,2
8,4
32
3,1
89
Lampiran 11. Data jumlah larva harian di SLPP APS Tanggal 13 Feb 2011 14 Feb 2011 15 Feb 2011 16 Feb 2011 17 Feb 2011 18 Feb 2011 19 Feb 2011 20 Feb 2011 21 Feb 2011 22 Feb 2011 23 Feb 2011 24 Feb 2011 25 Feb 2011 26 Feb 2011 27 Feb 2011 28 Feb 2011 1 Maret 2011 2 Maret 2011 3 Maret 2011 4 Maret 2011 5 Maret 2011 6 Maret 2011
Umur (hari) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Stadia Naupli Zoea 1 Zoea 2 Zoea 2 Mysis 1 Mysis 2 Mysis 2 Mysis 3 Mysis 3 PL 1 PL 1 PL 1 PL 1 PL 2 PL 3 PL 3 PL 4 PL 5 PL 6 PL 7 PL 8 PL 10
Jumlah larva (ekor) 15.000.000 14.795.000 14.364.000 14.130.000 13.770.000 13.194.000 12.795.000 13.330.000 11.880.000 11.520.000 10.440.000 8.496.000 7.222.100 6.308.000 5.850.000 5.590.000 4.979.000 4.777.000 4.536.000 4.480.500 4.176.000 3.950.000
90
Lampiran 12. Proses Panen
a.
b.
d.
e.
g.
j.
c.
f.
h.
k
i
.l
91
Lampiran 12. Proses Panen (lanjutan)
m. Keterangan gambar : a. Kantong plastik untuk packing benih. b. Karung c. Pengurangan volume air . Air disedot menggunakan pipa dilengkapi dengan filter, akan masuk di bak penen. d. Penyaringan benih dari bak pemeliharaan larva ke bak panen e. Pengambilan benih menggunkan seser halus f. Benih ditaruh pada bak fiber, dilaakukan pengurangan volume air dengan selang yang dilengkapi filter. g. Penghitungan benih. h. Pemasukan benih pada kantong plastik i.
Benih diberi oksigen dan diikat dengan karet
j. Benih yang sudah siap di pasarkan k. Kantong plastik dimasukkan gangsing untuk mempermudah pengankutan l. Pengankutan penggunakanpick up m. Pick up ditutup dengan terpal selama transpotasi
92
Lampiran 13. Analisis Usaha Pembenihan Udang Vannamei di SLPP APS
Modal Investasi I. Biaya Investasi Uraian Bangunan Blower Genset Pipa PVC Pompa air laut Pompa air tawar Batu aerasi Selang aerasi Terpal plastik Pemberat aerasi Gayung, serok, ember Biaya Investasi
Satuan
Jumlah Unit
Buah Set Set Buah Buah Pak Rol Meter Kg
1 1 1 2 1 2 2 60 10
Harga (Rp)
2.000.000 4000.000 100.000 5.000.000 1000.000 150.000 150.000 10.000 50.000
Jumlah (Rp) 30.000.000 2.000.000 4.000.000 100.000 10.000.000 1.000.000 300.000 300.000 600.000 500.000 200.000 49.000.000
II. Biaya Tetap Uraian
Satuan
Jumlah unit
Harga (Rp)
II. Biaya Tetap Penyusutan Tahun 1 peralatan Listrik Bulan 12 Gaji pegawai Bulan 12 (2 orang ) Jumlah Biaya Tetap 1 tahun Dalam 1 tahun 4 kali siklus, Jumlah biaya 1 siklus
500.000
Jumlah (Rp) 500.000
200.000 2.400.000 2.000.000 24.000.000 26.900.000 6.725.000
93
Lampiran 13. Analisis Usaha Pembenihan Udang Vannamei di SLPP APS (Lanjutan)
III. Biaya Variabel Uraian Naupli Pakan alami: - Artemia Pakan buatan: - GAP - UD 0 - UD 1 - Flake Kaporit Treflan Eikoso EDTA Eritromysin Raffia Plastic Oksigen Biaya panen Transportasi Karung panen Karet Total variable
Satuan 1 juta ekor
Jumlah unit 15.000.000
Harga per unit 450.000
kaleng
2
350.000
700.000
kg ½ kg kg 5 kg kg
1 2 1 1 3
245.000 190.000 390.000 450.000 15.000
245.000 380.000 390.000 450.000 45.000
ml ½ kg gr ons rol rol tabung
100 1 30 1 1 3 2
500 100.000 60.000 150.000 15.000 75.000 100.000
kg
1
15.000
50.000 100.000 180.000 150.000 15.000 225.000 200.000 300.000 100.000 20.000 15.000 10.315.000
Biaya Produksi - Biaya tetap - Biaya variable Total biaya total produksi Hasil penjualan
Jumlah 6.750.000
Jumlah (Rp.) 6.725.000 10.315.000 17.040.000
SR 26,33 % dan harga jual Rp. 9 per ekor Jumlah benih yang dipanen
26,33 % x 15.000.000 ekor = 3.949.500 ekor
Hasil penjualan
Rp. 9 x 3.949.500 ekor
= Rp. 35.545.500
94
Lampiran 13. Analisis Usaha Pembenihan Udang Vannamei di SLPP APS (Lanjutan) hasil penjualan – biaya total produksi
Keuntungan bersih dalam 1 kali siklus
= Rp. 35.545.500- Rp. 17.040.000 = Rp. 18.505.500 B/C Ratio
= Penerimaan Biaya produksi = Rp. 35.545.500Rp. 17.040.000 = 2,09
Hasil perhitungan B/C Ratio menunjukkan nilai 2,09 yang berarti setiap penggunaan biaya produksi sebesar Rp 1 akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 2,09 BEP (Break Even Point) BEP (Harga)
= Biaya produksi Total produksi = Rp. 17.040.000 3.949.500
= Rp. 4, 3 Titik impas pada usaha pembenihan udang vannamei akan tercapai bila harga jual udang vannamei per ekor yaitu Rp 4,3 BEP (Produksi)
= Biaya produksi Harga jual per ekor = Rp 17.040.000 Rp 9 = 1.893.333,3 ekor
95
Pada produksi larva udang ke 1.893.333,3 ekor dengan harga Rp 4,3 maka usaha pembenihan udang vannamei tidak akan mengalami kerugian.
PP (Payback Period)
= Total investasi Keuntungan = Rp 49.000.000 Rp 18.505.500 = 2,64 tahun
Dalam jangka waktu 2,64 tahun modal usaha yang diinvestasikan pada usaha pembenihan udang vannamei akan kembali.