TINJAUAN PUSTAKA
Pott’s Disease Danny Jaya Jacobus Dokter Internship RSUD Dolopo dan Puskesmas Kare, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Indonesia
ABSTRAK Pott’s Disease (PD) adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang yang awalnya didahului oleh keluhan nyeri punggung, jika memberat dapat bermanifestasi defisit neurologis berupa paraplegia. Memastikan adanya infeksi primer tuberkulosis di paru-paru menjadi kunci diagnosis PD. Penatalaksanaan komprehensif dan multidisiplin sangat penting untuk menekan angka kejadian, angka kecacatan, serta morbiditas. Kata Kunci : Pott’s disease, tuberkulosis, tulang belakang, nyeri punggung
ABSTRACT Pott’s Disease (PD) is Mycobacterium tuberculosis infection that affect spine with chief complaints of back pain and may cause paraplegia. The key to diagnosis is to ensure the existence of primary tuberculosis infection in the lungs. Comprehensive and multidisciplinary management is essential to reduce the incidence, morbidity and disability. Danny Jaya Jacobus. Pott’s Disease Key words: Pott’s Disease, tuberculosis, spinal, back pain
PENDAHULUAN Spondilitis tuberkulosis atau yang lebih populer disebut Pott’s Disease (PD) adalah tuberkulosis diseminata yang mengenai tulang belakang. PD merupakan jenis tuberkulosis muskuloskeletal paling berat karena dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas, dan paraplegia. Vertebra thorakal bawah adalah lokasi yang paling sering terkena, berkisar 40-50%. Penyakit ini ditemukan oleh Pervical Pott tahun 1779 sebagai infeksi tuberkulosis ekstrapulmonal. Penatalaksanaan komprehensif diperlukan untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi organ dan mencegah komplikasi.1,2 EPIDEMIOLOGI Prevalensi PD berkisar 1-2% dari seluruh kejadian tuberkulosis. Di Belanda dari tahun 1993-2001, prevalensi PD mencapai 3,5% dari seluruh kasus tuberkulosis (0,2-1,1% pada penduduk asli Eropa, dan 2,3-6,3% pada penduduk non-Eropa). Data dari Los Angeles dan New York menunjukkan tuberkulosis muskuloskeletal menyerang penduduk Afro-Amerika, Hispanik, Asia-Amerika, dan penduduk yang berasal dari luar Amerika. Sama seperti jenis tuberkulosis lain, PD diAlamat korespondensi
676
pengaruhi faktor sosioekonomi dan paparan infeksi sebelumnya. Beberapa penelitian tidak menunjukkan predileksi jenis kelamin tertentu, namun lebih sering ditemukan pada laki-laki (perbandingan laki-laki dan perempuan 1,5-2:1). Di Amerika Serikat dan negara berkembang lainnya, PD sering terjadi pada anak-anak. Di negara dengan prevalensi PD tinggi, angka kejadian paling tinggi justru pada usia remaja dan anak.3-5 Prevalensi PD mencapai 50% kasus tuberkulosis muskuloskeletal, 15% dari semua kasus tuberkulosis ekstrapulmonal. Penelitian pada 82 kasus PD tidak satupun yang mengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus), sedangkan penelitian lain pada kelompok pasien tuberkulosis-HIV melaporkan beberapa pasien PD setelah pemantauan jangka lama.6 ETIOPATOGENESIS Ada konsensus umum bahwa penyebaran tuberkulosis (TB) pada tulang belakang merupakan akibat penyebaran basil tuberkel secara hematogen dari fokus primer atau yang mengalami reaktivasi. Mycobacterium tuberculosis bisa tetap berada dalam kondisi dorman di dalam tulang belakang untuk
waktu panjang sebelum muncul manifestasi klinis. TB tulang belakang jarang akibat perluasan infeksi paraspinal. Drainase limfatik dari daerah berdekatan yang terkena seperti pleura atau ginjal merupakan alternatif penyebaran basil tuberkulosis. Setelah berada di dalam vertebra, lesi granulomatosa berkembang menjadi nekrosis kaseosa sentral, sel-sel raksasa multinuklear, sel epithelioid dan limfosit perifer. Reaksi inflamasi dengan pembentukan jaringan granulasi, dapat menyebabkan perluasan dengan destruksi trabekula bertahap, demineralisasi progresif, destruksi tulang dan, dalam tahap selanjutnya, akhirnya destruksi tulang rawan melibatkan celah diskus terdekat.7 Fokus utama penyakit tuberkulosis adalah visera (paru, ginjal, kelenjar getah bening), keterlibatan sistem muskuloskeletal terjadi melalui hematogen.8,9 Sekali terendap di suatu tempat, organisme ditangkap oleh sel mononuklear. Sel mononuklear kemudian menyatu ke dalam sel epitheloid, dan tuberkulum terbentuk saat limfosit membentuk cincin di sekitar sekelompok sel epitheliod. Kemudian terbentuk pengkejuan di pusat tuberkulum tersebut. Respons
email:
[email protected]
CDK-220/ vol. 41 no. 9 th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA inflamasi tubuh meningkat, mengakibatkan eksudasi dan pencairan, dan terbentuklah cold abscess. Cold abscess terdiri dari serum, leukosit, pengkejuan, debris tulang, dan basil. Hasilnya tergantung pada karakteristik dan sensitivitas organisme, status sistem kekebalan tubuh host, tahap penyakit, dan pengobatan. Hasil akhir mungkin meliputi resolusi dengan minimal atau tanpa morbiditas, sembuh dengan deformitas sisa, dinding lesi menghilang dengan kalsifikasi jaringan pengkejuan, lesi granular kronis derajat ringan, dan penyebaran lokal atau milier penyakit yang dapat menyebabkan kematian.8 Tulang belakang merupakan manifestasi tuberkulosis muskuloskeletal yang paling sering dijumpai yaitu 50% kasus. Lokasi predileksinya adalah perbatasan vertebrae torakalis dan lumbalis. Sebagian besar dimulai di area subkondral bagian anterior korpus vertebra yang melekat dengan diskus intervertebralis (Gambar 1). Penyebaran ke diskus intervertebralis akibat perluasan secara perkontinuitatum melewati subligamen (Gambar 2) menuju perluasan infeksi hingga ke jaringan lunak dan membentuk abses. (Gambar 1c). Abses ini akan menyebar pada lokasi sesuai aliran limfe seperti lipat paha, bokong, atau dada. Penyakit ini melibatkan muskulus iliopsoas pada rantai penyebarannya. Kolaps beberapa vertebrae karena proses destruksi tulang akan membentuk formasi gibus (Gambar 3). Komplikasi neurologis terjadi karena kompresi medulla spinalis dan meningitis. Struktur posterior jarang sekali
menjadi lokasi penyebaran PD (Gambar 4), pelebaran diskus intervertebralis, perluasan ke struktur vertebrae yang berjauhan ditandai dengan gambaran sklerosis reakitf. Kasus ini memiliki angka morbiditas tinggi.10
Reaksi tubuh setelah terserang kuman tuberkulosis dibagi menjadi lima stadia, yaitu11: 1. Stadium I (Implantasi) Stadium ini terjadi awal, bila keganasan
Gambar 2 Penyebaran PD subligamen pada anak berusia 10 tahun. (a) Potongan Sagital T1 menunjukkan penyempitan celah diskus intervertebralis L1/2 (tanda panah). Korpus vertebrae L1 dan L2 tampak hipointens karena inflamasi medula spinalis dan edema. Perluasan infeksi ke jaringan lunak subligamen (kepala anak panah). (b) Tampak penyangatan akibat penekanan jaringan lemak pada potongan sagital T1 pada korpus vertebra L1 dan L2, tampak inflamasi jaringan subligamen (kepala panah).10
Gambar 1 PD pada pasien laki-laki 38 tahun. (a) Foto Ro Torakolumbal AP menunjukkan penurunan tinggi korpus vertebrae Th9(*), hilangnya struktur diskus dan iregularitas di Th8/Th 9. Tampak masa di paravertebral (ditunjuk anak panah). (b) Foto Ro Torakolumbal Lateral menunjukkan erosi regio subkondral antero-superior korpus vertebrae Th9 (kepala anak panah). Tampak penyempitan celah diskus intervertebralis Th8/Th9 (anak panah). (c) Potongan axial CT Scan tampak proses destruksi korpus vertebra Th9 (kepala anak panah), dengan massa pada jaringan lunak di sekitarnya (anak panah).10
CDK-220/ vol. 41 no. 9, th. 2014
677
TINJAUAN PUSTAKA kuman lebih kuat dari daya tahan tubuh. Pada umumnya terjadi pada daerah torakal atau torakolumbal soliter atau beberapa level.
2. Stadium II (Destruksi awal) Terjadi 3-6 minggu setelah implantasi. Mengenai diskus intervertebralis. 3. Stadium III (Destruksi lanjut dan kolaps) Terjadi 8-12 minggu setelah stadium II. Bila stadium ini tidak diterapi maka akan terjadi destruksi hebat dan kolaps dengan pembentukan bahan pengejuan dan pus (cold abscess). 4. Stadium IV (Gangguan Neurologis) Terdapat komplikasi neurologis, dapat berupa gangguan motoris, sensoris dan otonom.
Gambar 4 Keterlibatan struktur posterior pada PD di Gambar 3 Deformitas berupa Gibus ditemukan dengan
vertebrae servikalis-2 pada potongan aksial CT Scan
riwayat operasi di daerah torakolumbar. Foto Ro laeral
ditandai sklerosis reaktif dan destruksi segmen anterior dan
menunjukkan proses ankilosis pada tulang posisi kifosis.10
posterior.10
Gambar 5 Penyebaran spondilitis TB melalui otot psoas kiri ke pangkal paha pada anak laki-laki usia 14 tahun. (a) Peningkatan aksial gambar CT yang diambil melalui corpus vertebra L3 menunjukkan destruksi tulang di pedikel kiri (panah hitam), abses psoas kiri yang besar (anak panah putih besar), penyebaran subligamen (kepala anak panah) dan terlihat invasi kanalis spinalis ekstradural (tanda panah putih kecil). (b) Gambar aksial CT menunjukkan abses psoas yang menyebar ke daerah inguinal kiri (anak panah).11
Gambar 6 Spondilitis tuberkulosis biasanya melibatkan columna anterior tulang belakang. Anak-anak dengan keterlibatan beberapa tingkat tulang belakang daerah thoraks cenderung menjadi kifosis yang progresif (a) bahkan setelah pengobatan medis yang tepat. (b) dan (c) menggambarkan deformitas kifosis yang berat dan tajam pada pasien dengan “penyembuhan” penyakitnya.12
678
5. Stadium V (Deformitas dan Akibat) Biasanya terjadi 3-5 tahun setelah stadium I. Kifosis atau gibus tetap ada, bahkan setelah terapi. RIWAYAT PENYAKIT DAN MANIFESTASI KLINIS Pasien TB tulang belakang dengan onset nyeri punggung yang meningkat bertahap, kekakuan, nyeri tekan lokal dan kadangkadang demam. Kompresi tulang belakang dan kelumpuhan dapat terjadi akibat jaringan granulasi, destruksi tulang dan kolaps, atau perluasan ke kanalis spinalis. Kelainan neurologis dapat terjadi hingga 50% kasus. Selain paraplegia dan paresis, gangguan sensasi, nyeri akar saraf, atau cauda equina syndrome juga dapat terjadi. Cervical spine disease jarang terjadi tapi berpotensi lebih berbahaya karena komplikasi neurologis dapat berat. Nyeri daerah leher, kekakuan, suara serak, disfagia dan torticollis dapat muncul sebagai gejala TB tulang belakang. Perluasan penyakit ke dalam otot psoas dapat menghasilkan massa pangkal paha, keterbatasan gerakan pinggul dan nyeri yang menjalar (Gambar 5).10 Secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 1.11 Pembentukan abses umum terjadi, dan dapat mengakibatkan kolapsnya satu vertebra atau lebih. Kehilangan dukungan columna anterior membuat deformitas kifosis, yang mungkin terjadi baik pada fase aktif dan fase penyembuhan, dengan atau tanpa bedah arthrodesis. Perkembangan kifosis paling umum terjadi pada anak dengan berbagai tingkat keterlibatan tulang belakang daerah thoraks (Gambar 6). Gambaran radiografi peningkatan risiko kifosis yang progresif termasuk dislokasi faset, retropulsi tulang,
CDK-220/ vol. 41 no. 9 th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA Tabel 1 Riwayat Penyakit dan Gambaran Klinis Pott’s Disease11
• •
• • • •
•
Onset penyakit biasanya beberapa bulan–tahun berupa kelemahan umum. Nafsu makan turun, berat badan turun, keringat malam hari, suhu tubuh meningkat sedikit pada sore dan malam hari. Nyeri punggung merupakan gejala awal dan sering ditemukan. Gibus. Cold abscess. Abnormalitas neurologis terjadi pada 50% kasus, meliputi kompresi spinal cord berupa gangguan motoris, sensoris maupun autonom sesuai beratnya destruksi tulang belakang, kifosis dan abses yang terbentuk. Tuberkulosis vertebra servikal jarang ditemukan tetapi lebih serius karena komplikasi neurologis berat. Kondisi ini khususnya diikuti dengan nyeri dan kaku. Pasien penyakit vertebra servikal bawah disertai disfagia atau stridor. Gejala meliputi tortikolis, serak dan defisit neurologis.
translasi vertebral lateral, dan bertumpuknya satu vertebra atas vertebra lain. Jika tiga kolumna tulang belakang semuanya terlibat, ketidakstabilan tulang belakang (kelainan translasi atau rotasi) dapat makin berat. Abses dapat bermigrasi ke posterior, ke kanalis tulang belakang, ke anterior di bawah ligamentum longitudinal anterior, serta ke dalam struktur visera. Di bawah diafragma, abses biasanya bermigrasi sepanjang selubung m. psoas dan keluar melalui sinus di daerah paha atau bokong.12 KRITERIA DIAGNOSIS Gambaran klinis Mayor: a. Riwayat nyeri punggung kronis lebih dari 3 bulan b. Gejala konstitusi; demam tidak terlalu tinggi, keringat malam, kehilangan selera makan dan kehilangan berat badan c. Peningkatan laju endap darah Minor: a. Riwayat tuberkulosis sebelumnya/kontak dengan pasien tuberkulosis b. Deformitas gibbus c. Defisit neurologis d. Cold abscess e. Mantoux test positif Gambaran radiologis a. Lesi paradiskal (hilangnya tepi paradiskal dari corpus vertebra) b. Hilangnya vertebra anterior c. Penyempitan celah sendi
CDK-220/ vol. 41 no. 9, th. 2014
d. Bayangan paravertebra (para vertebral shadow) PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan Bakteriologi Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis secara umum, bukan hanya untuk PD, sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Bahan pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari dahak, cairan pleura, cairan serebropinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses dan biopsi jaringan (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Bahan pemeriksaan hasil Biopsi Jarum Halus (BJH) dapat dibuatkan sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan ditambahi NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan patologi anatomi. Pemeriksaan bakteriologi cara mikroskopis biasa dengan pewarnaan ZiehlNielsen dan mikroskopis fluoresens dengan pewarnaan auramin-rhodamin.14 Pemeriksaan Biakan Kuman Secara tradisional Mycobacterium dibiak/ dikultur menggunakan media LowensteinJensen, Ogawa dan Kudoh (Egg-base media), Middle brook (Agar-base media), MGITT (Mycobacteria growth indicator tube test). Kultur dengan Lowenstein-Jensen memerlukan waktu 2-4 minggu jika hasil mikroskop positif dan sampai 8 minggu jika hasil mikroskop negatif. Teknik-teknik baru (BACTEC) dapat mengurangi waktu kultur.14,15 Pemeriksaan Hematologi Hitung leukosit biasanya normal dan terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang rata-rata mencapai 100 mm/jam. Pada beberapa kasus anemia terjadi akibat penyakit PD yang bersifat kronis dan faktor malnutrisi. Dapat juga ditemukan hipoalbuminemia.15 Uji Intradermal Pemeriksaan kulit intra-dermal untuk mendapatkan respons inflamasi telah banyak digunakan. Ini termasuk tes Mantoux, tes Heaf dan tes Tine. Pemeriksaan ini relatif murah dan secara teknis mudah. Namun kelemahannya harus dibaca pada saat tertentu mengikuti waktu inokulasinya; hal ini dapat menyebabkan ketidakakuratan jika pasien tidak kembali pada saat yang ditentukan. Hasil positif palsu karena pasien peka dengan vaksinasi BCG (Bacilli Calmette
Guerin) atau paparan terhadap lingkungan mycobacterium. Negatif palsu terjadi karena imunosupresi HIV, atau infeksi tuberkulosis sitotoksik atau kejadian luar biasa serta malnutrisi. Uji tuberculin umumnya dipakai untuk mengetahui seseorang telah terinfeksi kuman tuberkulosis atau menentukan tuberkulosis laten. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis tinggi uji tuberkulin kurang berarti sebagai alat bantu diagnostik penyakit pada dewasa.14,15 PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode pemeriksaan imunologis sedang dikembangkan salah satunya dengan PCR. Amplifikasi asam nukleat dengan PCR hanya membutuhkan waktu singkat, namun harus ditunjang dengan fasilitas laboratorium yang memadai.15 Sensitivitas PCR berkisar 42-93% pada spesimen kultur, dan siap interpretasi dalam 3 hari sehingga memungkinkan diagnosis dan penatalaksanaan awal. Kelemahan pemeriksaan ini adalah tidak dapat mengetahui aktivitas kuman dan progresifitas penyakit, sehingga diperlukan data penunjang baik pemeriksaan hematologi maupun radiologi untuk memantau aktivitas kuman dan respons terhadap pemberian obat.13,15 Histopatologi Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi. Sebaiknya diambil 2 sediaan biopsi, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.14 Adanya granuloma pengkejuan dengan temuan bakteri tahan asam/Acid Fast Bacilli (AFB) merupakan diagnostik. Granuloma adalah kecurigaan suatu tuberkulosis dan diagnosis tergantung pada konteks klinis.15 Radiologi Radiografi polos mempunyai keterbatasan untuk evaluasi lengkung posterior, terutama tulang belakang thorak. Selain itu tidak ada temuan khusus atau patognomonis radiografi polos yang dapat membedakan TB dari infeksi piogenik tulang belakang.7 Radiografi polos spondylodiscitis tuberkulosis mungkin menunjukkan kehilangan tinggi tulang belakang, penyempitan
679
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 7 Pria 30 tahun dengan PD L1-L2 dengan nyeri punggung bawah sejak beberapa minggu, hemoptisis, demam saat malam hari dan penurunan berat badan. Foto polos menunjukkan sedikit penyempitan ruang diskus. B, Aksial dan C, corona, yang diperkuat kontras setinggi T1 menampilkan gambar perbaikan abses paravertebra perifer dan peningkatan perbaikan sumsum tulang corpus vertebra L1 dan L2. Terlihat destruksi korteks tulang yang berdekatan dan endplates vertebra.7
Gambar 8 Kolaps korpus vertebrae pada anak 10 tahun dengan PD pada L1-3. (a) Foto Ro Lumbal lateral menunjukkan kolaps vertebrae L1-3. Terdapat pula penyempitan diskus intervertebralis dengan gambaran lineasi yang buruk (anak panah).
Gambar 10 Pasien 63 tahun dengan tuberkulosis paru
(b) CT aksial pada vertebrae L2 menunjukkan perluasan erosi pada sisi kiri korpus vertebrae (anak panah). Terdapat kalsifikasi
dengan manifestasi kelemahan kedua tungkai. CT
jaringan lunak pada kanalis spinalis, yang menyebabkan kompresi (kepala anak panah).10
mielogram menunjukkan material kontras (anak panah kecil) meliputi jaringan medula spinalis yang terkompresi (kepala anak panah). Kompresi disebabkan oleh komponen jaringan lunak (anak panah besar) dari proses destruksi korpus vertebra Th9 karena tuberkulosis.10
Gambar 9 PD pada anak usia 2 tahun. (a) Foto toraks AP menunjukkan masa di paraspinal (anak panah) pada area vertebrae Th7-Th9 yang kolaps. (b) Potongan aksial CT pada Th8 menunjukkan destruksi korpus vertebrae (anak panah). Formasi abses paravertebrae (kepala anak panah), dengan perluasan ke kanalis spinalis(anak panah kecil).10
ruang diskus, erosi, pengaburan end plate, massa paravertebra, dan kalsifikasi jaringan lunak. Namun, radiografi polos tidak sensitif untuk mendeteksi dini TB tulang belakang. Penyempitan ruang diskus yang mungkin sangat ringan dan keterlibatan tulang
680
belakang tidak terdeteksi sampai setidaknya 50% trabekula tulang hilang. Pemeriksaan Computed Tomography (CT) dapat menggambarkan keadaan sklerosis dan proses destruksi tulang dalam korpus
Gambar 11 Biopsi dengan panduan CT. Potongan aksial CT diambil lewat korpus vertebrae L2 menunjukkan biopsi jarum melewati korpus vertebrae yang mengalami PD.10
CDK-220/ vol. 41 no. 9 th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA vertebrae. CT digunakan untuk menunjang pemeriksaan radiografi polos. Selain itu gambaran abses epidural, fragmentasi tulang, kompresi kanalis pinalis juga terlihat sangat baik. CT mielografi dapat mengevaluasi medula kompresi medula spinalis, jika tidak tersedia Magnetic Resonance (MR). CT juga dapat untuk panduan biopsi perkutaneus struktur tulang maupun jaringan lunak yang terinfeksi.10 MR dapat mendeteksi perubahan vertebrae dan iregularitas struktur lebih dini daripada radiografi polos maupun skintigrafi. Penggunaan kontras bertujuan untuk memberikan resolusi gambaran jaringan lunak dan kemampuan multiplanar pada MR. Pada tahap awal PD, pemeriksaan MR sangat sensitif untuk mengevaluasi perubahan medula spinalis, serta mengetahui kondisi diskus intervertebralis. Abses epidural dan jaringan lunak dapat dilakukan dengan injeksi kontras intravena. MR juga berfungsi untuk memantau evaluasi PD yang telah diterapi.10 Gambar 12 Gambaran MR pada PD stadium awal. (a) Potongan sagital T1 menunjukan korpus vertebrae L3-L4 hipointens (anak panah) karena keterlibatan medula spinalis. (b) Potongan sagital T2 menunjukan iregularitas pada bagian superior L4 (anak panah besar). Diskus intervertebralis antara L3-L4 menunjukkan hipointens dibandingkan diskus intervertebral yang lain. Hiperintens dapat diamati pada korpus vertebra L3.10
Gambar 13 Pemantauan gambaran MR pada laki-laki usia dua dengan riwayat PD sebelumnya, dan saat ini mengeluh nyeri punggung. Potongan sagital (a) T1 dan (b) T2 menunjukkan ankilosis tulang vertebrae L3-L4 yang menghasilkan kifosis. Didapatkan infiltrasi ke jaringan medulla spinalis dari dalam korpus vertebrae. Selain itu juga didapatkan deformitas dan penyempitan kanalis spinalis.10
CDK-220/ vol. 41 no. 9, th. 2014
DIAGNOSIS BANDING Diagnosis tuberkulosis penting terutama pada stadium awal. Tidak ada penemuan khusus pada PD, dan secara radiologi diagnosis bandingnya meliputi infeksi piogenik dan infeksi jamur. Secara klinis pasien lebih toksik pada infeksi piogenik. PD bersifat kronis dengan progresifitas lambat, dibandingkan spondilitis piogenik, tercermin secara radiologi dengan ditemukannya peningkatan area sklerotik. Abses jaringan lunak dan perluasan ke paravertebral pada PD biasanya lebih luas dibandingkan spondilitis piogenik. PD lebih sering mengenai lebih dari satu vertebrae.16 Metastasis seperti limfoma dan multipel myeloma menyebar melalui subligamen dan diskus tidak terlihat jelas. Jaringan sekitar yang mengalami inflamasi juga tidak ditemukan pada infiltrasi tumor. Semua kasus harus dipastikan menggunakan metode diagnosis definitif dan biopsi spinal di bawah panduan CT.17 PENATALAKSANAAN 1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Isoniazid (INH) merupakan golongan bakterisidal paling efektif, namun rifampisin (RIF) juga harus digunakan. RIF dan pirazinamid (PZA) merupakan obat dengan kerja sterilisasi kuman. Keduanya digunakan untuk membunuh kuman persisten yang tidak dideteksi oleh imun tubuh, sehingga memicu reaktivasi.
681
TINJAUAN PUSTAKA INH dan RIF merupakan kombinasi paling efektif untuk menekan resistensi terhadap obat lain sehingga terapi obat multipel penting.15 Durasi terapi PD masih kontroversial. Manajemen intensif tuberkulosis paru adalah 2 bulan, dan diikuti fase selanjutnya dengan 2 obat selama 4 bulan. Pada PD terdapat kematian tulang dan jaringan yang mengurangi penetrasi antibiotik, sehinggga terapi PD lebih lama. Durasi terapi lebih pendek memiliki keuntungan kepatuhan pasien baik, namun risikonya adalah angka rekurensi tinggi. The British Thoracic Society menyarankan terapi selama 6 bulan jika tanpa keterlibatan saraf pusat; apabila mengenai saraf pusat dilanjutkan RIF dan INH hingga 12 bulan.15,18 The Canadian Thoracic Society merekomendasikan terapi tuberkulosis muskuloskeletal lebih panjang dari tuberkulosis paru, dengan batas waktu tidak ditentukan.19 Penelitian MRC di Hongkong mengkaji terapi PD dengan obat dan operasi. Dengan 5 tahun pemantauan, terapi 6 bulan, 9 bulan dengan INH/RIF/Streptomisin menunjukkan hasil baik. Pada tahun ke 14 pengamatan kelompok terapi 6 bulan, 9 bulan, serta 18 bulan memiliki hasil klinis tidak berbeda jauh.15 Penelitian di Madras menggunakan pengobatan tanpa operasi. Mereka melaporkan durasi terapi 6 bulan dan 9 bulan dengan angka ketaatan 91% dan 98% setelah 10 tahun pengamatan tidak berbeda signifikan.15 Penelitian terakhir oleh British Medical Research Council mengindikasikan PD harus diterapi selama 6-9
bulan.20 Efek samping obat harus dipantau. Ketajaman visus harus dievaluasi pada penggunaan etionamid dan dapat ireversibel, obat ini tidak digunakan pada anak karena pemeriksaan yang lebih sulit dan kompleks. Streptomisin dan etambutol dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Banyak obat bersifat hepatotoksik. Adanya nausea harus dicurigai mungkin hepatitis. Apabila Transaminase (AST/ALT) meningkat 5 kali nilai normal atau terjadi hiperbilirubin, INH, RIF, PZA harus dihentikan; jika kembali normal, pengobatan dapat dimulai kembali dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap. Multi Drugs Resistance (MDR) dijumpai pada 1,8-5% kasus. Biasanya menyebabkan kegagalan terapi medis dan operatif, ditunjang hasil sensitivitas. Saat MDR ditegakkan maka pengobatan diubah menjadi amikasin atau kanamisin (6 bulan), ofloksasin, etionamide, etambutol, PZA, INH, dan RIF dapat dipertimbangkan untuk mencegah resistensi. Protokol MDR juga mengharuskan injeksi intravena golongan aminoglikosida sehingga membutuhkan kepatuhan pasien dan dukungan keluarga. Pemberian subkutan dapat dipertimbangkan pada anak untuk menghindari nyeri akibat injeksi intramuskular.15 2. Dekompresi Indikasi pembedahan adalah PD dengan defisit neurologis, paling sering paraplegia. Tindakan yang dilakukan adalah dekompresi medula spinalis untuk menunjang stabiliasi
Gambar 14 (a) Klinis anak usia 3 tahun dengan PD, menunjukkan deformitas kifosis berat vertebrae torakalis. (b) Foto lateral sisi dorsal pasien yang sama menunjukkan kifosis berat. Kifosis ini akan tumbuh sesuai pertumbuhan anak, bahkan setelah penyakitnya sembuh, koreksi masih merupakan indikasi. (c) Klinis pasien menunjukkan koreksi yang tepat pada kifosis.21
682
tulang belakang. Indikasi yang jelas untuk tindakan dekompresi adalah pada kompresi ekstradural karena jaringan granulasi dengan komponen cairan yang menekan medula spinalis, dan dengan gambaran edema medula, myelitis atau myelomalasia.21 3. Instrumentasi Stabilisator Stabilisasi dengan instrumen dapat menjadi cara aman apabila terjadi infeksi trabekula. Pada sebagian besar kasus pasien dengan kifosis 30o-35o bertujuan mencegah deteriorasi. Indikasi tindakan ini adalah penyakit panvertebral, yang mengenai segmen panjang yang mana cangkok tulang setelah dekompresi anterior lebih dari dua korpus vertebrae. Instrumentasi posterior seperti implant Hartshill mengambil lokasi satu segmen di atas dan bawah. Fiksasi dengan pedicle screw juga dapat digunakan.21 4. Koreksi Kifosis Indikasi adalah kifosis berat dengan sudut ≥60o atau bila kifosis memicu deformitas dan gangguan fungsional. Hal ini terjadi jika tiga atau lebih vertebrae mengalami kerusakan struktur. Anak usia kurang dari 7 tahun dengan kelainan lebih dari 3 vertebrae pada sisi dorsal atau sisi dorsolumbal harus segera dikoreksi. Pada saat operasi dilakukan dekompresi anterior, pemendekan kolumna posterior, stabilisasi instrument posterior, cangkok untuk menyambung segmen anterior dan posterior korpus vertebrae.21 PROGNOSIS Modalitas terapi terbaru sangat efektif untuk melawan progresifitas PD jika tidak muncul komplikasi berupa deformitas berat atau defisit neurologis. Deformitas dan defisit motorik merupakan komplikasi serius PD dan berlanjut menjadi masalah serius jika diagnosis terlambat.22 Kepatuhan terapi dan resistensi obat merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kesembuhan. Paraplegia akibat kompresi medula spinalis yang disebabkan oleh penyakit aktif biasanya berespons baik terhadap pengobatan. Paraplegia dapat bermanifestasi dan bertahan karena kelainan medula spinalis yang permanen. Dekompresi operatif dapat mempengaruhi pemulihan pasien, dibandingkan dengan terapi obat yang lambat. Harus diwaspadai komplikasi lambat jangka panjang termasuk reaktivasi penyakit serta deformitas lainnya.23
CDK-220/ vol. 41 no. 9 th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA 1.
Taylor GM, Murphy E, Hopkins R, et al. First report of Mycobacterium bovis DNA in human remains from the Iron Age. Microbiology. Apr 2007;153:1243-9.
2.
Pott P. The chirurgical works of Percivall Pott, FRS., surgeon to St. Bartholomew’s Hospital, a new edition, with his last corrections. 1808. Clin Orthop Relat Res. May 2002;4-10.
3.
te Beek LA, van der Werf MJ, Richter C, et al. Extrapulmonary tuberculosis by nationality, The Netherlands, 1993-2001. Emerg Infect Dis. Sep 2006;12(9):1375-82.
4.
Benzagmout M, Boujraf S, Chakour K, Chaoui Mel F. Pott’s disease in children. Surg Neurol Int. Jan 11 2011;2:1.
5.
Moon MS, Kim SS, Lee BJ, Moon JL. Spinal tuberculosis in children: Retrospective analysis of 124 patients. Indian J Orthop. Mar 2012;46(2):150-8.
6.
G.C.Mbata, E.Ofondu, B.Ajuonuma, V.C.Asodike, D.Chukwumam. Tuberculosis of the spine (Pott’s disease) presenting as hemiparesis. African Journal of Respiratory Medicine. 2012;8:18-
7.
De Backer A,I., Mortele K.J., Vanschoubroeck I.J. Tuberculosis of The Spine: CT and MR Imaging Feature. Proceedings of The SRBR-KBVR Osteroarticular Section. 2005:92-7.
8.
Tuli SM. General principles of osteoarticular tuberculosis. Clin Orthop Rel Res 2002;398:11-9.
9.
Tuli SM. Tuberculosis of the Skeletal System: Bones, Joints, Spine and Bursal Sheaths, 3rd ed. Bangalore: Jaypee Brothers, 2004.
20.
10. E L H J Teo, W C G Peh. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med J 2004 Vol 45(9):439-45. 11. Hildago JA, George A, Burke AC, Thomas EH, Joseph FJ, Fransisco T. Pott’s Disease (Tuberculous Spondylitis). Emedicine. Updated 13 Juli 2012. Diakses tanggal 23 Juli 2013. 12. Shrestha OP, Sitoula P, et al. Bone and Joint Tuberculosis. University of Pennyslvania Orthopaedic Journal. 2010: 23-8. 13. Rasit AH, Ibrahim SF, Wong CC. The Role of Polymerase Chain Reaction (PCR) in Diagnosis of Spine Tuberculosis after Pre-operative Anti-tuberculosis Treatment. Malaysian Orthopaedic J. 2011 Vol 5 No 1. 14. Tim Kelompok Kerja TB Perhimpunan Dokter Spesialis Paru (PDPI). Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta, 2011. 15. Dunn R. The medical management of spinal tuberculosis. SA Orthopaedic J. 2010:37. 16. Magnus KG, Hoffman EB. Pyogenic spondylitis and early tuberculous spondylitis in children : differential diagnosis with standard radiograph and computed tomography. J Pediatr Orthop. 2000;20:39-43. 17. Moore SL, Rafii M. Imaging of musculoskeletal and spinal tuberculosis. Radiol Clin North Am. 2001;39:329-42. 18. National Collaborating Centre for Chronic Conditions Tuberculosis: clinical diagnosis and management of tuberculosis and measures for its prevention and control. London: Royal College of Physician, 2006. ISBN 1860162770. 19. Canadian tuberculosis standards 6th ed. Published online by authority of the Minister of Health 2007. HP40-18/2007E-PDF. ISBN 978-0-662-45955-2. 20. Leibert E, Haralambou G. Tuberculosis. In: Rom WN, Garay S, eds. Spinal tuberculosis. Lippincott, Williams and Wilkins; 2004:565-77. 21. Jain AK. Tuberculosis of the spine : a fresh look at an old disease. J Bone Joint Surg (Br) 2010;92:905-13. 22. Pola E, Rossi B, Nasto LA, Colangelo D, Logroscino CA. Surgical treatment of tuberculous spondylodiscitis. Eur Rev Med Pharmacol Sci. Apr 2012;16 Suppl 2:79-85. 23. Cheung WY, Luk KD. Clinical and radiological outcomes after conservative treatment of TB spondylitis: is the 15 years’ follow-up in the MRC study long enough?. Eur Spine J. May 2012.
CDK-220/ vol. 41 no. 9, th. 2014
683