ANALISIS TATANIAGA BIJI KAKAO DI KECAMATAN DAGANGAN, KARE DAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN
SKRIPSI
RIYAN ARTHUR FIRMANSYAH H34104107
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
RINGKASAN RIYAN ARTHUR FIRMANSYAH. Analisis Tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Kabupaten Madiun. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan JUNIAR ATMAKUSUMA).
Usaha perkebunan merupakan usaha yang berperan penting bagi perekonomian nasional. Kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu komoditi perkebunan yang sangat baik diantaranya sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber bahan baku industri, dan penyumbang devisa bagi negara. Pembudidayaan tanaman Kakao (Theobroma cacao) di Kabupaten Madiun awalnya dimulai di wilayah Kecamatan Dagangan pada tahun 1991 dengan luas 250 ha. Pada tahun 2010 luas lahan tanaman Kakao naik menjadi 3374 ha. Dari perkembangan luas lahan tersebut terdapat 3 kecamatan dari 15 kecamtan yang memiliki luas lahan cukup luas dan dapat dikatakan sebagi daerah sentra yaitu Kecamatan Dagangan, Kecamatan Kare dan Kecamatan Gemarang. Pemasaran merupakan hal yang sangat penting setelah selesainya proses produksi pertanian. Biaya tataniaga yang besar mengarah pada perbedaan harga antara petani dengan konsumen. Kondisi pemasaran menimbulkan suatu siklus atau lingkaran pasar suatu komoditas. Hubungan antara harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen sangat bergantung pada struktru pasar dan biaya tataniaga. Untuk meningkatkan pendapatan petani selain dengan meningkatkan produksi juga diperlukan suatu sistem pemasaran efektif dan efisien. Dengan melihat permasalahan mengenai saluran tataniaga dan fungsi – fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tataniaga pada komoditas Kakao, struktur dan perilaku pasar pada masing – masing lembaga tataniaga yang terlibat dan efisiensi saluran tataniaga Kakao berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: (1)Menganalisis saluran tataniaga dan fungsi – fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tataniaga pada komoditas Kakao; (2)Menganalisis struktur dan perilaku pasar pada masing – masing lembaga tataniaga yang terlibat.; dan (3)Menganalisis efisiensi saluran tataniaga Kakao berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya. Penelitian dilakukan di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut termasuk penghasil biji kering Kakao terbanyak di Pulau Jawa. Penelitian dilakukan pada bulan November-Desember 2012. Petani dan pedagang yang terpilih sebagai responden berasal dari anggota kelompok tani yang berasal dari 3 kecamatan ( Dagangan, Kare dan Gemarang). Jumlah responden secara snowball sampling dipilih 30 orang karena berdsarkan informasi dari wawancara dengan beberapa ketua kelompok tani. Selanjutnya, pemilihan pedagang responden melalui metode snowball sampling berdasarkan informasi hasil wawancara sebelumnya
yang diperoleh dari petani responden karena tidak diketahui kerangka sampelnya (sampling frame) pedagang responden berjumlah 20 orang. Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Proses analisis data kualitatif menggambarkan secara deskriptif yang terdiri dari saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga serta struktur dan perilaku pasar. Sedangkan analisis data kuantitatif dipergunakan untuk menganalisis besaran marjin tataniaga, farmers’s share dan rasio keuntungan biaya. Alat analisis data kuantitatif yang digunakan berupa kalkulator, program komputer Microsof Excel. Sistem tataniaga Biji Kakao di Kecamtan Dagangan, Kare dan Gemarang secara garis besar terbentuk empat pola saluran tataniaga. Berdasarkan fungsi tataniaga, fungsi-fungsi yang dilakukan oleh lembaga yang terlibat dalam sistem tataniaga Biji Kakao tidak merata. Hal tersebut dapat dilihat dari biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga yang terlibat, dimana semakin besar biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga maka semakin banyak fungsi-fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga tersebut. Efisiensi tataniaga berdasarkan saluran tataniaga yang pendek belum bisa dikatakan efisiensi, tetapi harus dilihat berdasarkan besar kecilnya volume penjualan. Apabila dilihat berdasarkan margin, farmer’s share, rasio keuntungan, volume penjualan dan pendeknya saluran di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Besar kecilnya nilai margin, farmer’s share, rasio keuntungan, volume penjualan sebenarnya bukan berarti tidak efisien. Menurut hasil penelitian bahwa disetiap saluran sudah efisien karena memamng saluran yang di jalankan memang harus seperti itu karena berdasarkan keadaan kondisi lapangan yang terjal dan kondisi jalan yang rata-rata kurang bagus sehinnga memerlukan bantuan lembagalemabga tataniaga. Berdasarkan struktur pasar setiap lembaga tataniaga, secara umum struktur pasar yang terbentuk pada sistem tataniaga biji kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang lebih mengarah pada struktur pasar oligopsoni. Sedangkan perilaku pasar yang terjadi pada setiap lembaga tataniaga juga cukup beragam.
ANALISIS TATANIAGA BIJI KAKAO DI KECAMATAN DAGANGAN, KARE DAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN
Riyan Arthur Firmansyah H34104107
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Kabupaten Madiun. Nama
: Riyan Arthur Firmansyah
NRP
: H34104107
Menyetujui, Pembimbing
Ir. Juniar Atmakusuma, MS NIP. 19530104 197903 2 001
Mengetahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “Analisis Tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Kabupaten Madiun” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2013
Riyan Arthur Firmansyah H34104107
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 10 Mei 1989. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Alm. Bapak Tedjo Lelono dan Ibu Pri Sulistiyati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Palebon VI Semarang pada tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP 14 Semarang. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMA 15 Semarang diselesaikan pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa diploma pada Program Studi Agroindustri Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2007 dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang strata satu di Program Sarjana Agribisnis Alih Jenis Departemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare Dan Gemarang Kabupaten Madiun”. Penelitian ini bertujuan menganalisis tataniaga Biji Kakao. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi bagi semua pihak yang berkepentingan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan sehingga diperlukan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga dengan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas.
Bogor, Maret 2013 Riyan Arthur Firmansyah
UCAPAN TERIMAKASIH Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1.
Ir. Juniar Atmakusuma, MS. selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
2.
Dr. Amzul Rifin, SP, MA. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan ilmu, masukan, kritik, saran untuk perbaikan penulisan skripsi ini dan memberikan kesempatan untuk ikut serta dalam penelitian mengenai Kakao di Kabupaten Madiun.
3.
Arif Karyadi Uswandi, SP. selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan ilmu, masukan, kritik dan saran untuk perbaikan penulisan skripsi ini.
4.
Seluruh dosen pengajar dan staf Departemen Agribisnis yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama kegiatan perkuliahan.
5.
Kedua orang tua tercinta, Bapak, Ibu, serta kakak-adik tercinta Firman Danni Ardianto dan Rizki Ardiansyah yang selalu memberikan doa, kasih sayang, semangat, dukungan baik moral maupun materi, serta menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
6.
Aryanti Ramadhan yang telah menjadi pembahas pada seminar penulis dan memberikan masukan-masukan terhadap penyelesaian skripsi.
7.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Madiun terutama Bapak Supadi yang bersedia memberikan bantuan dan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian serta Bapak Wono, Bapak Kusno yang menemani saat di lapangan serta staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang namanya tidak disebutkan satu-satu.
8.
Bapak Sunardi, Bapak Sukardi serta petani dan pedagang yang tidak bisa disebutkan satu-satu namanya penelitian ini.
yang telah bersedia menjadi responden
9.
Teman-teman Alih Jenis Agribisnis angkatan 1, yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
10. Teman-teman seperjuangan Agroindustri UGM yang telah memberikan dukungan kepada penulis, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannya.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………
xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………..……....
xii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………..…….. ..
xiii
I.
II.
III.
IV.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………………………………………... 1.2. Perumusan Masalah ………………………………….. 1.3. Tujuan …………………………………………………. 1.4. Manfaat ……………………………………………….. 1.5. Ruang Lingkup ………………………………………..
1 6 7 7 8
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Komoditas Kakao ………………………… 2.2. Analisis Sistem Tataniaga Kakao (Biji Kakao) ...…….
9 11
KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ………………………… 3.1.1. Konsep Tataniaga …………………………….. 3.1.2. Lembaga-lembaga Tataniaga ………………… 3.1.3. Saluran Tataniaga ………..………………….... 3.1.4. Fungsi-Fungsi Tataniaga ……………………... 3.1.5. Struktur Pasar ………………………………….. 3.1.6. Perilaku Pasar ………………………………..… 3.1.7. Keragaan Pasar …………………………………. 3.1.8. Efisiensi Tataniaga …………………………...… 3.1.9. Margin Tataniga ………………………………… 3.1.10. Farmer’s Share ………………………………….. 3.1.11. Rasio Keuntungan Pada Biaya …………………. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ……………………….
16 16 17 19 20 21 22 23 24 25 27 27 27
METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………..…… 4.2. Metode Pengumpulan Data ……………………...…….. 4.3. Metode Pengambilan Data ………………………...….. 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data …………..……. 4.4.1. Analisis Saluran Tataniaga …………………….. 4.4.2. Analisis Lembaga Tataniaga …………….…...... 4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar ………..… 4.4.4. Analisis Margin Tataniaga ……………….……..
30 30 30 31 31 31 32 33
V.
VI.
4.4.5. Analisis Farmer’s Share ………………...…….. 4.4.6. Analisis Rasio Keuntungan Biaya ……………...
34 34
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Kondisi Geografi dan Demografi .................................. 5.2. Karakteristik Petani Responden ................................... ... 5.2.1. Umur ............................................................. .... 5.2.2. Tingkat Pendidikan ....................................... .... 5.2.3. Mata Pencaharian Responden ……………….. 5.2.4. Pengalaman Bertani ...................................... ... 5.2.5. Pohon yang Dimiliki Petani Kakao ………….. 5.3. Karakteristik Pedagang Responden .............................. 5.3.1. Umur dan Pengalaman Bertani ....................... 5.3.2. Tingkat Pendidikan ....................................... ...
35 38 38 39 40 40 41 42 43 44
HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Saluran Tataniaga …………………………..… 6.1.1. Saluran Tataniaga I ………………………..…. 6.1.2. Saluran Tataniaga II………………………..…. 6.1.3. Saluran Tataniaga III…………………….….... 6.1.4. Saluran Tataniaga IV…………………………. 6.1.5. Saluran Tataniaga V………………………….. 6.2. Analisis Lembaga dan Fungsi……………………..…… 6.2.1. Petani……………………………………..…… 6.2.2. Pedagang Desa…………………………..…….. 6.2.3. Pedagang Kecamatan………………………….. 6.2.4. Pedagang Kabupaten………………………….. 6.2.5. Pedagang Besar………………………...……… 6.3. Analisis Struktur Pasar…………………………………. 6.3.1. Petani…………………………..………………. 6.3.2. Pedagang Desa…………………………………. 6.3.3. Pedagang Kecamatan…………………………. 6.3.4. Pedagang Kabupaten………….………………. 6.3.5. Pedagang Besar………………………………... 6.4. Perilaku Pasar………………………….………………… 6.4.1. Paraktek Pembelian dan Penjualan…….…….. 6.4.2. Sistem Penentuan Harga………………………. 6.4.3. Sistem Pembayaran…………………..……….. 6.4.4. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga….…….. 6.5. Analisis Keragaaan Pasar……………………………….. 6.5.1. Analisis Margin Tataniaga………….………… 6.5.2. Farmer’s Share…………………………………… 6.5.3. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya.…………. 6.5.4. Efisiensi Tataniaga…………………………….
46 47 48 48 49 49 49 51 52 53 55 57 58 59 59 59 60 60 60 60 61 61 62 62 62 67 68 70
VII.
KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan …………………………………………….. 7.2. Saran ……………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA …………………………………….. .....
72 73 74
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Nilai Biji Kakao Indonesia Menurut Negara Tujuan Tahun 2012......
1
2. Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Kakao Tahun 2000-2011...
2
3. Produksi Kakao di Daerah Sentra Tahun 2012……………………...
3
4. Perkembangan Areal, Produksi dan Produktivitas Komoditas Kakao di Jawa Timur Tahun 2007-2011 ....................................................
3
5. Wilayah Pengembangan Kakao di Jawa Timur Tahun 2012 ............
4
6. Luas Lahan dan Produksi Kakao Per Kecamatan di Kabupaten Madiun Tahun 2011 – 2012 …………........................
5
7. Penelitian Terdahulu Mengenai Kakao ………….....………….......
11
8. Penelitian Terdahulu Mengenai Analisis Sistem Tataniaga ............
15
9. Karakteristik Struktur Pasar Berdasarkan Sudut Penjualan dan Sudut Pembelian ..............................................................................
21
10. Fungsi-fungsi Tataniaga Yang Dilaksanakan Oleh Lembaga-Lembaga Tataniaga Biji Kakao .......................................
32
11. Karakteristik Struktur Pasar ……………………….....……….........
33
12. Luas Daerah Berdasarkan Kemiringan Lereng di Kabupaten Madiun Tahun 2012 .........................................................................
35
13. Penggunaan Lahan Wilayah Kabupaten Madiun Tahun 2012..........
35
14. Jumlah Desa dan Kelurahan di Kabupaten Madiun Tahun 2012 ....................................................................................... 15. Jumlah Penduduk Kabupaten Madiun Tahun 2009 .........................
36 37
16. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Umur Tahun 2012 ....
38
17. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2012 .......................................................................................
39
18. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2012 ………………………………………………………………
40
19. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Bertani Tahun 2012 .......................................................................................
41
20. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Banyaknya Pohon Tahun 2012 …………………………………………………………
42
21. Jenis Pedagang di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Tahun 2012 …………………………………………………………. 42 22. Karakteristik Pedagang Responden Berdasarkan Umur dan Pengalaman Berdagang Tahun 2012 .................................................
44
23. Karakteristik Pedagang Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2012 ................................................................................ ....... 45 24. Fungsi Tataniaga Masing-Masing Lembaga Tataniaga Biji Kakao Tahun 2012………………………………………………………….
50
25. Biaya Tataniaga, Margin Tataniaga, Harga Penjualan dan Harga Pembelian di Masing-Masing Saluran Tataniaga…………………..
63
26. Farmer’s Share pada Saluran Tataniaga Biji Kakao Kering di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang………………………..
67
27. Rasio Keuntungan Pada Setiap Saluran Tataniaga………………....
69
28. Nilai Efisiensi Tataniaga Masing-Masing Saluran di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Tahun 2012 ……………………....
70
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Marjin Tataniaga ........................................................................... 2. Kerangka Pemikiran Operasional ...................................................
26 29
3. Saluran Tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Tahun 2012 …………………………….……………..
46
4.
Saluran Tataniaga I ……………………………….………………
47
5.
Saluran Tataniaga II ……………………………….……………..
48
6.
Saluran Tataniaga III …………………………………………….
48
7.
Saluran Tataniaga IV …………………………………………….
49
8.
Saluran Tataniaga V ………………………………………………
49
I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu komoditi perkebunan yang
penting dalam pembangunan sub sektor perkebunan antara lain untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun sebagai komoditi ekspor penghasil devisa negara. Selain itu para pedagang terutama trader asing lebih senang mengekspor dalam bentuk Biji Kakao non olahan. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok utama Kakao dunia (13,6 persen) setelah Pantai Gading (38,3 persen) dan Ghana (20,2 persen)1. Permintaan dunia terhadap komoditas Kakao semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2011, ICCO (International Cocoa Organization) memperkirakan produksi Kakao dunia akan mencapai 4,05 juta ton, sementara konsumsi akan mencapai 4,1 juta ton, sehingga akan terjadi defisit sekitar 50 ribu ton per tahun (ICCO, 2011). Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik bagi Indonesia karena sebenarnya Indonesia berpotensi untuk menjadi produsen utama Kakao dunia. Berikut merupakan Negara - negara yang menjadi tujuan ekspor Biji Kakao terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai Biji Kakao Indonesia Menurut Negara Tujuan Tahun 2012 (000US$) Negara 2005 2006 2007 2008 2009 Malaysia 153.440,14 234.811,72 296.882,02 468.788,27 451.582,51 Amerika 297.204,10 163.986,70 83.287,00 128.154,10 297.012,90 Serikat Singapura 36.231,25 57.824,63 74.093,09 102.529,08 139.238,80 Brazil 35.693,50 83.771,80 75.021,90 68.173,00 103.380,40 Jerman 2.135,10 13.416,60 1.827,10 1.493,70 20.714,90 Negara lain 60.694,60 65.205,30 91.489,20 85.446,70 75.555,20 Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia 2012
Perkebunan Kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan pada tahun 2002 areal perkebunan Kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha. Perkebunan Kakao tersebut sebagian besar (87,4 persen)
1
ICCO. 2011. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. http://www.icco.org/about-us/icco-news/197may-2012-quarterly-bulletin-of-cocoa-statistics.html. [11 Oktober 2012]
dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6 persen dikelola perkebunan besar negara serta 6,7 persen perkebunan besar swasta yang dimana luas lahan, produksi dan produktivitasnya yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Kakao Indonesia Tahun 2000 – 2011 Thn 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Luas Lahan (Ha) PR 641.133 710.044 798.628 861.099 1.003.252 1.081.102 1.219.633 1.272.781 1.326.784 1.491.808 1.555.596 1.641.130
PBN 52.690 55.291 54.815 49.913 38.668 38.295 48.930 57.343 50.584 49.489 50.104 54.443
PBS 56.094 56.114 60.608 53.211 49.040 47.649 52.257 49.155 47.848 45.839 45.839 50.216
Produksi (Ton) PR 363.628 476.924 511.379 634.877 636.783 693.701 702.207 671.370 740.681 741.981 773.707 828.255
PBN 34.790 33.905 34.083 32.075 25.830 25.494 33.795 34.643 31.130 34.604 36.844 38.068
PBS 22.724 25.975 25.693 31.864 29.091 29.633 33.384 33.993 31.783 32.998 34.075 36.769
Produktivitas (Ton/Ha) PR PBN PBS 1,76 1,51 2,47 1,49 1,63 2,16 1,56 1,61 2,36 1,36 1,56 1,67 1,58 14,97 0,17 1,56 1,50 1,61 1,74 0,14 1,57 18,96 1,66 1,45 1,79 16,25 23,30 2,01 1,43 22,49 2,01 1,36 1,35 1,98 1,43 1,37
Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat PBN = Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta Sumber : Ditjenbun, 2012 (diolah)
Jenis tanaman Kakao yang dihasilkan oleh petani sebagian besar adalah jenis Biji Kakao kering. Biji Kakao kering ini adalah Biji Kakao kering asalan yang dijemur di bawah terik matahari dimana Biji Kakao yang berasal dari Buah Kakao yang sudah matang dan kadang ada juga yang belum dicampur menjadi satu. Sentra produksi utama Biji Kakao kering adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
2
Tabel 3. Produksi Kakao Di Daerah Sentra Tahun 2012 Produksi Kakao (ton) No Provinsi 2006 2007 2008 2009 1 Aceh 17.071 19.249 27.295 29.130 2 Sumatera Utara 58.949 64.782 60.253 78.255 3 Sumatera Barat 18.623 20.725 32.183 33.430 4 Lampung 25.611 24.671 25.690 26.037 5 Jawa Timur 19.672 16.613 18.270 22.677 6 Sulawesi Tengah 131.942 146.778 151.949 138.149 7 Sulawesi Selatan 144.533 119.293 112.037 164.444 8 Sulawesi Barat 112.927 88.436 149.458 96.860 9 Sulawesi Tenggara 125.279 135.113 116.994 132.189 Jumlah 769.386 740.006 694.129 721.171
2010 28.429 69.106 34.099 25.919 23.056 187.179 177.472 101.012 146.650 792.922
Sumber : Ditjenbun (2012)
Jawa Timur merupakan salah satu sentra perkebunan rakyat di pulau Jawa. Di Jawa Timur, komoditi Kakao merupakan komoditi strategis untuk mengangkat martabat masyarakat dengan meningkatkan pendapatan petani perkebunan dan tumbuhnya sentra ekonomi regional. Komoditi Kakao dikembangkan pada Perkebunan Rakyat (PR) sebesar 30,14 persen , Perkebunan Besar Negara (PTPN) sebesar 26,48 persen dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) sebesar 4,54 persen. Berikut ini data perkembangan areal, produksi dan produktivitas komoditi Kakao di Jawa Timur dalam kurun waktu 2007- 2011 pada Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan Areal, Produksi dan Produktivitas Komoditi Kakao di Jawa Timur Tahun 2007-2011 Tahun Areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Kg/Ha) 2007 44.313 19.672 1.065 2008 52.537 18.269 681 2009 54.007 22.667 842 2010 54.657 23.192 884 2011 61.167 23.522 846 Sumber : Ditjenbun Jatim (2012)
Sentra penanaman Kakao pada Perkebunan Rakyat di Jawa Timur terbagi atas 20 Kabupaten. Sedangkan yang memiliki Luas lahan yang cukup besar diantaranya adalah Kabupaten Madiun 4.184 Ha, Pacitan 3.619 Ha, Trenggalek 3.093 Ha, Blitar 2.544 Ha, serta 16 kabupaten lain di Jawa Timur seperti Ponorogo, Malang dan lain-
3
lain. Untuk lebih lengkapnya untuk melihat luas lahan disetiap Kabupaten hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Wilayah Pengembangan Kakao di Jawa Timur Tahun 2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kabupaten Bangkalan Banyuwangi Blitar Bondowoso Gresik Jember Jombang Kediri Lumajang Madiun Magetan Malang Nganjuk Ngawi Pacitan Pamekasan Ponorogo Sumenep Trenggalek Tulungagung Jumlah
Luas Lahan 4 490 3.201 78 45 2.119 1.523 1.550 252 4.393 565 2.475 2.089 2.290 3.855 1 1.723 140 3.657 523 30.973
(Sumber Dinas Perkebunan Jawa Timur,2012) (diolah)
Dapat dilihat pada tabel luas perkebunan rakyat di daerah Kabupaten Madiun memiliki luas lahan yang paling besar yaitu 4.393 Ha. Hal tersebut di dukung dengan kondisi iklim dan keadaan tanah yang subur yang terletak diantara Gunung Wilis dan Gunung Lawu. Kabupaten Madiun memiliki 15 Kecamatan yang menghasilkan produksi Biji Kakao. Tiga Kecamatan yang berpotensi dan memiliki lahan dan produksi yang tinggi diantaranya adalah Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang. Untuk lebih lengkapnya data dapat dilihat pada Tabel 6.
4
Tabel 6. Luas Lahan dan Produksi Kakao Per Kecamatan di Kabupaten Madiun Tahun 2011 – 2012 2011 2012 No Kecamatan Produksi Produksi Luas (Ha) Luas (Ha) (Ton) (Ton) 1 Kebonsari 70 6,79 62 8 2 Geger 9 0,6 9 1 3 Dolopo 523 43,16 523 71 4 Dagangan 1.120 147,32 1.165 275 5 Wungu 43 2,03 30 8 6 Kare 1.422,7 142,28 1.739 209 7 Gemarang 880 59,87 1.114 91 8 Saradan 31 1,2 9 6 9 Pilangkenceng 12 1,43 22,5 4 10 Mejayan 17 0,56 24 1 11 Wonoasri 9 0,9 7 1 12 Balerejo 13 0,3 6,5 13 Madiun 12 0,3 10 1 14 Sawahan 7 5 0,5 15 Jiwan 13,5 0,66 15 1 Jumlah 4.184 407,37 4.741 677,5 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Madiun (2012) (diolah)
Sebagai tiga kecamatan sentral Kakao yaitu Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang merupakan daerah sentra yang menghasilkan produksi Kakao terbesar. Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang memproduksi Biji Kakao dengan volume yang besar hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan volume dari tahun 2011 sampai dengan 2012. Peningkatan volume produksi Kakao tersebut dikarenakan tanaman Kakao yang belum menghasilkan Buah Kakao mulai menghasilkan Buah Kakao setelah lima sampai enam tahun kedepan sehingga pada tahun 2012 mengalami peningkatan produksi Kakao yang hampir dua kali lipat dari tahun 2011. Dengan volume produksi yang besar yang nantinya akan dikirimkan sampai ke konsumen akhir. Dalam pendistribusian Biji Kakao sampai ke konsumen akhir tataniaga Biji Kakao sangat berperan. Pendistribusian tataniaga Biji Kakao juga di pengaruhi oleh keadaan infrastruktur di masing-masing kecamatan yang menyebabkan biaya-biaya tataniaga berbeda yang nantinya berdampak pada efisiensi tataniaga yang berada di setiap saluran tataniaga.
5
1.2.
Perumusan Masalah Pembudidayaan tanaman Kakao (Theobroma cacao) di Kabupaten Madiun
awalnya dimulai di wilayah Kecamatan Dagangan pada tahun 1991 dengan luas 250 ha. Pada tahun 2010 luas lahan tanaman Kakao naik menjadi 3374 ha. Dari perkembangan luas lahan tersebut terdapat 3 kecamatan dari 15 kecamatan yang memiliki luas lahan cukup luas dan dapat dikatakan sebagai daerah sentra yaitu Kecamatan Dagangan (943 ha), Kecamatan Kare (1324 ha) dan Kecamatan Gemarang (729 ha). Selain itu, produksi Kakao dari 15 kecamatan yang menjadi sentra produksi terdapat 3 kecamtan yang terbesar diantara Kecamatan Dagangan (225 ton), Kecamatan Kare (169 ton) dan Kecamatan Gemarang (69 ton). Petani Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang merupakan sebagai pihak penerima harga (price taker). Berdasarkan informasi yang diperoleh dilapangan harga Biji Kakao kering di tingkat petani berfluktuatif yaitu Rp 11.000,00 – Rp 14.500,00/ kilogram. Sedangkan harga yang diterima pedagang besar (konsumen perantara) mencapai Rp 17.500,00 – Rp 20.500,00. Perbedaan tersebut di pengaruhi oleh keadaan infrastruktur yang kurang baik dimana keadaan lokasi penelitian terjal dan relatif jauh jarak satu tempat ke tempat lainnya. Oleh karena itu, berpindahnya barang-barang niaga dari pusat produksi kepusat konsumsi kadangkadang membutuhkan waktu yang cukup lama. Adanya jarak ini memungkinkan timbulnya resiko yang perlu ditangani dan berhubungan dengan masalah biaya-biaya pemasaran yang harus dikeluarkan. Selama tenggang waktu tersebut, haruslah ada lembaga tataniaga yang dapat menjembataninya. Oleh karena itu, dalam tataniaga Biji Kakao tersebut diperlukannya analisis mengenai saluran tataniaga yang mengingat bervariasinya saluran tataniaga yang ditempuh petani Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang. Analisis Tataniaga pada pola saluran Biji Kakao perlu dilakukan sehingga dapat diketahui saluran mana yang lebih efisien. Dengan adanya pola saluran yang efisien dapat diketahui saluran tataniaga yang dapat memberikan maanfaat bagi petani dan lembaga yang terlibat dari saluran tataniaga yang efisien dengan melihat keadaan infrastruktur yang berada di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang.
6
Dengan melihat permasalahan di atas yang terjadi di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang maka penelitian ini akan mengangkat topik mengenai analisis tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang di Kabupaten Madiun dengan perumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana saluran tataniaga Biji Kakao dan fungsi – fungsi tataniaga Biji Kakao yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tataniaga pada komoditas Biji Kakao? 2. Bagaimana struktur dan perilaku pasar pada masing – masing lembaga tataniaga Biji Kakao yang terlibat? 3. Bagaimana efisiensi saluran tataniaga Biji Kakao berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya? 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka adapun tujuan yang
ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi saluran tataniaga Biji Kakao dan fungsi – fungsi tataniaga Biji Kakao yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tataniaga pada komoditas Biji Kakao. 2. Mengidentifikasi struktur dan perilaku pasar pada masing-masing lembaga tataniaga Biji Kakao yang terlibat. 3. Mengidentifikasi efisiensi saluran tataniaga Biji Kakao berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya. 1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diantaranya adalah :
1. Sebagai bahan informasi bagi petani dan lembaga tataniaga dalam pembentukan saluran tataniaga Biji Kakao yang menguntungkan kedua belah pihak. 2. Sebagai
bahan
acuan
lebih
lanjut
bagi
penelitian
serupa
untuk
mengetahui perkembangan pemasaran Kakao. 3. Bagi peneliti sebagai penerapan ilmu atau teori yang telah didapat selama masa perkuliahan dan dapat diterapkan dalam permasalahan yang terjadi di masyarakat dan dapat memberikan alternatif pemecahan masalah tersebut. 7
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian ini merupakan analisis tataniaga di Kabupaten Madiun Kecamatan
Kare, Dagangan, dan Gemarang terhadap Biji Kakao. Hal ini dikarenakan Biji Kakao merupakan hasil dari perkebunan yang memiliki harga jual yang tinggi dan fluktuasi harga di tingkat petani hingga di pedagang besar (konsumen perantara). Harga yang dijadikan acuan merupakan harga yang berlaku pada saat penelitian. Analisis efisiensi tataniaga menggunakan indikator ukuran efisiensi operasional (teknis) yaitu analisis margin tataniaga, analisis farmer’s share, serta analisis rasio keuntungan dan biaya. Biji Kakao yang dijadikan obyek dalam penelitian ini adalah hasil dari Kakao perkebunan rakyat.
8
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Komoditas Kakao Indonesia merupakan negara penghasil Kakao terbesar ke-3 dunia setelah
Pantai Gading dan Ghana. Ditinjau dari segi produktivitas, Indonesia masih berada di bawah produktivitas rata-rata negara lain penghasil Kakao. Selama ini Kakao lebih banyak diekspor dalam wujud biji kering. Kegiatan budidaya Kakao meliputi : pemangkasan, penyiangan, pemupukan, penyiraman, pemberantasan hama dan penyakit dan panen2. Kakao Indonesia memiliki daya saing yang rendah (tidak memiliki keunggulan komparatif) pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 dan daya saing tinggi (memiliki keunggulan komparatif) pada tahun 1996 sampai dengan 2006, faktor-faktor yang menghambat perkembangan industri pengolahan Kakao nasional adalah infrastruktur yang terbatas, sulitnya akses terhadap sumber permodalan, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada komoditi primer serta kualitas Biji Kakao yang rendah, faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan Kakao Indonesia adalah harga ekspor, volume ekspor dan krisis ekonomi, sedangkan faktor yang tidak berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan Kakao Indonesia adalah tingkat produktivitas industri pengolahan Kakao (Rahmanu, 2009). Idris (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku menjelaskan bahwa kinerja finansial dan ekonomi memperlihatkan usahatani Kakao rakyat di Kabupaten Buru layak untuk di kembangkan, hal tersebut ditunjukkan dengan diperoleh nilai B/C ratio yang lebih besar dari satu, NPV yang positif dan nilai IRR yang jauh lebih besar dari suku bunga bank yang berlaku. Walaupun pada kenyataannya dalam analisis finansial cukup sensitif terhadap suku bunga bank. Integrasi pasar komoditi Kakao di tingkat petani dengan pasar referensi dalam jangka pendek terjadi keterpaduan pasar, namun dalam jangka panjang tidak terjadi keterpaduan, sehingga distribusi profit marjin yang diterima petani lebih kecil dibandingkan yang diterima pedagang pengumpul dan pedagang besar. Luas 2
Dinas Perkebunan. 2012. Budidaya Kakao. http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php/dinasperkebunan.html. [10 Oktober 2012]
areal sangat respon terhadap perubahan harga Kakao, luas areal sebelumnya dan pengaruh kebijakan otonomi daerah, yang memungkinkan pemerintah daerah untuk membangun lebih banyak infrastruktur, sehingga memudahkan petani dalam mengakses informasi pasar dan memperbaiki harga komoditi perkebunan, pada akhirnya semakin memotivasi petani dalam meningkatkan nilai usahanya. Dalam pengembangan usahatani Kakao rakyat di Kabupaten Buru belum tampak adanya kebijakan pemerintah yang berarti bagi petani terhadap proteksi harga input produksi, seperti peralatan usahatani, pupuk, pestisida, serta pembangunan infrastruktur yang kurang memadai. Sehingga petani mengalami kehilangan surplus seharusnya diterimanya dan kehilangan surplus petani ini, ternyata dinikmati oleh pelaku pasar input dan output. Penelitian Ali dan Rukka (2011) yang berjudul peran pedagang Kakao dalam peningkatan efisiensi pasar di Sulawesi Selatan, hasil analisis mengenai efisiensi pemasaran pada setiap tingkatan pedagang dan saluran pemasaran Biji Kakao besarnya margin pemasaran, didasarkan atas tingkat harga Biji Kakao basah adalah Biji Kakao yang masih memiliki kadar air kira-kira 25 persen dengan harga Rp 9.315 per kilogram dan harga Biji Kakao kering adalah Biji Kakao yang memiliki kadar air kira-kira 10 persen Rp 23.000 per kilogram. Sementara harga di tingkat eksportir didasarkan pada tingkat harga US$ 3.000 per ton atau US$ 3 per kilogram (Rp 28.800 pada kurs Rp 9.600 per US$ 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa margin terbesar diperoleh lembaga pemasaran eksportir yang mencapai Rp 5.570 per kilogram pada kurs US$ 1 = Rp 9.600. Semakin menjauhi sentra produksi, cenderung semakin kecil margin pemasaran yang diterima pedagang, kecuali eksportir karena berhubungan langsung dengan permintaan luar negeri dan ditunjang dengan kurs dollar yang tinggi. Berdasarkan penelitian Idris (2006), Rahmanu (2009) dan Ali dan Rukka (2011), mengenai Kakao diketahui bahwa Kakao memiliki daya saing, layak dikembangkan untuk peningkatan efisiensi pasar namun harus didukung oleh berbagai pihak mulai dari petani hingga pemerintah daerah. Sehingga dengan adanya keterkaitan tersebut dapat menciptakan saluran tataniaga Biji Kakao yang efisien. Tabel 7 menunjukkan penelitian terdahulu mengenai Kakao.
10
Tabel 7. Penelitian Terdahulu Mengenai Kakao No Nama Topik 1. Idris (2006) Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat Di Kabupaten Buru Provinsi Maluku 2. Rahmanu Analisis Daya Saing Industri (2011) Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia 3. Ali dan Rukka Peran Pedagang Kakao dalam (2011) Peningkatan Efisiensi Pasar di Sulawesi Selatan
2.2
Bahasan Pengembangan Kakao Analisis Saing
Daya
Peningkatan Efisiensi Pasar
Analisis Sistem Tataniaga Kakao (Biji Kakao) Penelitian Putri (2009) berjudul Penanganan Pasca Panen dan Pemasaran
Biji Kakao di Kecamatan Simpang Alahan Mati Kabupaten Pasaman ini mengidentifikasi perbedaan penanganan pasca panen antara Biji Kakao fermentasi dan Biji Kakao non fermentasi dari aspek teknis dan ekonomis serta untuk menganalisa saluran pemasaran dan margin tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Simpang Alahan Mati. Kegiatan pemasaran menurut peneliti ini dilakukan secara berantai dari tingkat petani sampel hingga tingkat eksportir di Padang. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh, bahwa pengolahan Biji Kakao fermentasi secara teknis membutuhkan waktu 9 - l1 hari, sedangkan Biji Kakao non fermentasi membutuhkan waktu 4 – 6 hari. Secara ekonomis, harga Biji Kakao fermentasi sekitar Rp.21.500 - Rp.23.000 per kilogram dan Biji Kakao non fermentasi sekitar Rp. 19.000 - Rp. 2l .000 per kilogram. Pada daerah penelitian, ditemukan dua bentuk pola saluran pemasaran, yaitu pola I : Petani - Pedagang Pengumpul - Pedagang Antar Daerah - Eksportir sebanyak 71,92 persen dan pola II : Petani - Pedagang Antar Daerah - Eksportir sebanyak 28,080 . Pendapatan petani dalam 100 kilogram Biji Kakao basah pada pola saluran l, dalam bentuk Biji Kakao fermentasi Rp. 1.265.179 dan dalarn bentuk non fermentasi Rp. 1.326.104,22. Sedangkan pada pola saluran II, dalam bentuk fermentasi Rp. 1.308.492 dan non fermentasi Rp. 1.385.236. Hal ini terlihat, bahwa pendapatan petani yang menjual Biji Kakao non fermentasi, baik pada pola saluran I dan II lebih tinggi dibandingkan petani yang menjual dalam bentuk Biji Kakao fermentasi. Dari segi teknis, pengolahan Biji Kakao secara fermentasi membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pengolahan secara non 11
fermentasi. Pada daerah penelitian, peranan kelompok tani dalam bidang pemasaran belum optimal. Penelitian Sisfahyuni, Ludin, Taufik, Yantu MR (2008) berjudul Efisiensi Tataniaga Komoditas Kakao Biji Asal Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah ini bertujuan menghitung efisiensi tataniaga komoditas Biji Kakao asal Kabupaten Parigi. Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti menggunakan analisis margin tataniaga. Asumsi yang digunakan oleh peneliti adalah bahwa efisiensi tataniaga komoditi Kakao biji berbanding lurus dengan efektivitas pasar komoditi tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa tataniaga Biji Kakao di Kabupaten Parigi tergolong efisien, karena pasangan efektif yang diindikasikan oleh persentase harga yang diterima oleh petani Kakao lebih besar daripada 75 persen yaitu 83 persen. Namun, dalam penelitian disebutkan bahwa sebenarnya efisiensi pasar tersebut adalah semu, karena berdasarkan kontrak (kemitraan petani dengan pedagang pengumpul) di mana petani harus menjual kepada pedagang pengumpul tertentu, karena telah meminjam uang. Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti bahwa Biji Kakao petani di hargai dengan harga berlaku, tetapi petani harus membayar bunga pinjaman yang diistilahkan bonus kepada pedagang pengumpul setiap transaksi dan bonus yang disetorkan adalah menyerahkan bonus 4 kilogram setiap transaksi, hal tersebut berarti bahwa persentase harga Biji Kakao yang diterima petani sebenarnya secara riil adalah rendah. Jadi, bentuk kemitraan yang berlangsung selama ini sebenarnya merugikan petani Biji Kakao. Penelitian Septria (2011) berjudul Analisis Perbandingan Tingkat Keuntungan Petani dengan Tingkat Keuntungan Perdagangan dalam Pemasaran Kakao di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok tentang analisa perbandingan tingkat keuntungan petani dengan tingkat keuntungan pedagang dalam pemasaran Kakao di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok telah dilaksanakan di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa terdapat dua saluran tataniaga Kakao di Kecamatan Kubung, yaitu 1) petani menjual kepada pedagang pengumpul, pedagang pengumpul menjual Kakao kepada pedagang besar, dan terakhir pedagang besar menjual Kakao kepada eksportir, dan 2) petani menjual Kakaonya kepada pedagang besar, kemudian
12
pedagang besar menjual kembali kepada eksportir. Diantara 2 saluran ini saluran II merupakan saluran tataniaga Kakao yang efisien karena saluran yang dilalui lebih pendek sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh oleh petani lebih tinggi dibandingkan dengan saluran I. Petani memperoleh keuntungan yang paling besar dibandingkan dengan pedagang perantara baik pada saluran tataniaga Kakao I (saluran I) maupun saluran tataniaga Kakao II (saluran II). Pada saluran tataniaga Kakao I (saluran I), tingkat keuntungan yang diperoleh oleh petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan eksportir berturut – turut adalah sebesar 41,10 persen, 6,36 persen, 4,48 persen, dan 6,43 persen terhadap harga ekspor dengan total keuntungan yang diperoleh lembaga niaga sebesar Rp. 16.926,66 per kilogram. Saluran tataniaga Kakao II (saluran II) tingkat keuntungan petani, pedagang besar, dan eksportir berturut – turut sebesar 41,77 persen, 9,29 persen, dan 8,15 persen terhadap harga ekspor dengan total keuntungan yang diperoleh lembaga niaga sebesar Rp. 17.171,59 per kilogram. Penelitian Wally (2001) berjudul
Analisis Ekonomi Tataniaga Kakao
Rakyat dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Opsi Kelembagaan Tataniaga Petani Kakao Kabupaten Jayapura ini bertujuan menganalisis struktur dan sistem tataniaga dan faktor-faktor yang mempengaruhi serta dampaknya terhadap peningkatan
produksi
Kakao
rakyat.
Serta
menganalisis
bentuk-bentuk
kelembagaan tataniaga Kakao rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhi opsi petani terhadap kelembagaan tataniaga dalam menjual Biji Kakao. Dari hasil peneletian menunjukkan bahwa struktur pasar Biji Kakao di daerah penelitian bersifat oligopsonistik yang mempunyai kecenderungan mengarah ke pasar lebih bersaing. Sedangkan untuk margin tataniaga pada kelembagaan kemitraan jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kelembagaan tradisional. Harga Biji Kakao di tingkat petani pada kelembagaan kemitraan lebih dominan dipengaruhi oleh persentase perubahan yang terjadi pada harga di pasar lokal, sedangkan pada kelembagaan tradisional pembentukan harga dipengaruhi oleh tingkat harga FOB (Free On Board) di Jayapura sebagai pasar acuan. Penelitian Rahman, Kadir (2006) berjudul Analisis Saluran dan margin Pemasaran Kakao di Desa Timbuseng Kecamatan Pattalassang Kabupaten Gowa ini bertujuan untuk menganalisis saluran pemasaran Kakao dan besarnya margin
13
yang diterima oleh petani pada setiap lembaga pemasaran. Hasil analisis terdapat tiga saluran pemasaran yang dimana dari ketiga saluran tersebut menunjukan saluran yang ketiga menunjukkan saluran pemasaran III sangat menguntungkan yaitu sebesar Rp. 11.045,- dengan margin pemasaran sebesar 20,11 persen atau Rp 655 per kilogram dimana petani langsung menjual Kakaonya ke pedagang besar (eksportir). Petani Kakao masih perlu bimbingan secara berketerlanjutan terutama dalam hal pemasaran. Berdasarkan dari penelitian yang terdahulu dapat disimpulkan untuk tataniaga Biji Kakao saluran pemasarannya tidak terlalu panjang yaitu paling panjang hanya sampai saluran tiga. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk saluran pemasaran Biji Kakao memiliki karakteristik yang hampir sama di tempat yang berbeda.
14
Tabel 8 . Penelitian Terdahulu Mengenai Analisis Sistem Tataniaga No Nama Topik Metode 1. Putri (2009) Penanganan Pasca Panen dan Margin tataniaga, Pemasaran Biji Kakao di farmer’s share dan Kecamatan Simpang Alahan Mati rasio keuntungan Kabupaten Pasaman dan biaya 2. Sisfahyuni, Efisiensi Tataniaga Komoditas - Margin Ludin, Taufik, Kakao Biji Asal Kabupaten tataniaga, Yantu (2008) Parigi Moutong Provinsi farmer’s share Sulawesi Tengah dan rasio keuntungan dan biaya. - Analisis regresi linear berganda 3. Septria (2011) Analisis Perbandingan Tingkat Margin tataniaga, Keuntungan Petani dengan farmer’s share dan Tingkat Keuntungan rasio keuntungan Perdagangan dalam Pemasaran dan biaya Kakao di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok 4. Wally (2001) Analisis Ekonomi Tataniaga Margin tataniaga, Kakao Rakyat dan Faktor-Faktor farmer’s share dan yang Mempengaruhi Opsi rasio keuntungan Kelembagaan Tataniaga Petani dan biaya Kakao Kabupaten Jayapura 5 Rahman dan Analisis Saluran dan margin Margin Tataniaga Kadir (2006) Pemasaran Kakao di Desa Timbuseng Kecamatan Pattalassang kabupaten Gowa
15
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis digunakan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian yang akan dilakukan. Batasan-batasan tersebut terkait dengan variabel-variabel yang akan diteliti. Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah analisis tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Kare, Kecamatan Dagangan dan Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun terdiri dari saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Selain itu variabel yang akan diteliti meliputi margin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya untuk menilai efisiensi pemasaran secara operasional. 3.1.1.
Konsep Tataniaga Istilah tataniaga diartikan sama dengan istilah pemasaran. Pemasaran
adalah suatu proses sosial yang di dalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Kotler, 2002). Tataniaga merupakan rangkaian tahapan fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah atau membentuk input produk mulai dari titik produsen sampai konsumen akhir. Serangkaian fungsi tersebut terdiri dari proses produksi, pengumpulan, pengolahan, dan penyaluran oleh grosir, pedagang pegecer sampai konsumen (Dahl dan Hammond, 1977). Kohls dan Uhl (2002), mendefinisikan pemasaran maupun tataniaga pertanian merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang atau jasa komoditas pertanian mulai dari tingkat produksi (petani) sampai konsumen akhir, yang mencangkup aspek input dan output pertanian. Kohls dan Uhl (2002) menggunakan beberapa pendekatan dalam menganalisis sistem tataniaga yaitu : 1.
Pendekatan Fungsi (The Fungsional Approach) Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fungsi
tataniaga apa saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam tataniaga.
Fungi-fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik
(penyimpanan, transportasi,
dan pengolahan) dan fungsi
fasilitas
(standarisasi, resiko, pembiayaan, dan informasi pasar). 2.
Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach) Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui
beberapa
macam lembaga atau pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Pelaku-pelaku ini adalah pedagang perantara (menchant middleman) yang terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang pengecer, pedagang
spekulatif, agen, manufaktur dan
organisasi lainnya yang terlibat. 3. Pendekatan Sistem (The Behavior System Approach) Merupakan pelengkap dari pendekatan fungsi kelembagaan untuk mengetahui aktivitas-aktivitas dalam proses tataniaga, seperti perilaku lembaga yang terlibat dalam tataniaga dan kombinasi dari fungsi tataniaga. Pendekatan ini terdiri dari the input-output system, the power system dan the communication system. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), tataniaga merupakan serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang ditujukan untuk menyalurkan barang-barang atau jasa-jasa dari titik produsen ke konsumen. Konsep yang paling mendasar yang melandasi pemasaran adalah kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia adalah pernyataan rasa kehilangan, berdasarkan kebutuhan inilah maka konsumen akan memenuhi kebutuhannya dengan mempertukarkan produk dan nilai dari produsen. Suatu produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk memenuhi keinginan konsumen. 3.1.2.
Lembaga-Lembaga Tataniaga Lembaga tataniaga adalah bagian-bagian yang menyelenggarakan kegiatan
atau fungsi tataniaga dengan mana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen. Lembaga tataniaga ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa (Hanafiah dan Saefuddin, 1986). Golongan produsen adalah golongan yang tugas utamanya menghasilkan barangbarang. Golongan produsen ini adalah petani ikan, nelayan, dan pengolahan hasil perikanan. Di samping berproduksi, golongan produsen sering kali aktif melaksanakan beberapa fungsi tataniaga tertentu untuk menyalurkan hasil 17
produksinya kepada konsumen. Perorangan, perserikatan atau perseroan yang berusaha dalam bidang tataniaga dikenal sebagai pedagang perantara (middlemen, atau intermediary). Lembaga ini membeli dan mengumpulkan barang-barang yang berasal dari produsen dan menyalurkannya kepada konsumen. Lembaga pemberi jasa (facilitating agencies) adalah beberapa lembaga yang memberi jasa atau fasilitas untuk memperlancar fungsi tataniaga yang dilakukan produsen atau pedagang perantara. Contoh dari lembaga ini antara lain bank, usaha pengangkutan, biro iklan dan sebagainya. Limbong dan Sitorus (1987) mendefinisikan lembaga-lembaga tataniaga dapat digolongkan berdasarkan fungsi yang dilakukannya seperti penguasaan terhadap barang, kedudukan dalam struktur pasar, dan bentuk usaha. 1.
Berdasarkan fungsi yang dilakukan, lembaga tataniaga dapat dibedakan atas: a. Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi fisik pemasaran, meliputi: lembaga pengolahan, lembaga pengangkutan, pergudangan; b. Lembaga
perantara tataniaga yaitu suatu lembaga yang
khusus mengadakan fungsi pertukaran, seperti: pedagang pengecer, grosir, dan lembaga perantara lainnya; c. Lembaga fasilitas tataniaga yaitu lembagalembaga
yang melaksanakan fungsi-fungsi fasilitas seperti: Bank, Badan
Perkreditan, dan KUD. 2.
Berdasarkan penguasaan suatu badan terhadap barang dan jasa, lembaga tataniaga terdiri dari: a. Lembaga tataniaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, antara lain agen,
perantara dan broker; b. Lembaga
tataniaga yang memiliki dan menguasai barang, seperti pedagang pengumpul pedagang pengecer, pedagang besar, eksportir dan importir; c. Lembaga tataniaga yang tidak memiliki dan tidak menguasai barang, seperti badan transportasi, pergudangan, dan asuransi. 3.
Penggolongan lembaga tataniaga menurut kedudukannya dalam struktur pasar dapat digolongkan sebagai berikut; a. Lembaga tataniaga yang bersaing sempurna, seperti pedagang pengecer rokok, pengecer beras, dan lain-lain; b. Lembaga tataniaga bersaing monopolistik, seperti pedagang asinan, pedagang benih, pedagang bibit, dan lain-lain; c. Lembaga tataniaga oligopolis; dan d. Lembaga tataniaga monopolis. 18
4.
Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan bentuk usahanya, dapat digolongkan atas; a. Berbadan hukum; b. Tidak berbadan hukum. Hanafiah dan Saefuddin (1986) mengungkapkan bahwa peranan lembaga
tataniaga sangat penting terutama untuk komoditas pertanian yang bersifat cepat atau mudah rusak (perishable). Barang-barang hasil pertanian adalah organisme hidup dan karenanya mudah atau cepat mengalami kerusakan atau pembusukkan akibat dari kegiatan bakteri, enzimatis dan oksidasi. Karena itulah, membutuhkan usaha atau perawatan khusus dalam proses tataniaganya guna mempertahankan mutu untuk menentukan harga pasar. Limbong dan Sitorus (1987) menjelaskan, diperlukan koordinasi lembaga tataniaga dalam melaksanakan fungsi-fungsi untuk mencapai efisiensi tataniaga yang tinggi serta efektif, dengan cara; a. Integrasi vertikal, yaitu lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi yang berbeda dihubungkan satu dengan yang lainnya menurut saluran barang tersebut. Integrasi vertikal akan menurunkan pengeluaran tataniaga sehingga barang dapat dijual dengan harga lebih murah, hal ini dikarenakan perbedaan harga antara tingkat produsen dengan tingkat konsumen tidak terlalu besar sehingga dapat menguntungkan konsumen. b. Integrasi
horizontal,
dimana
lembaga-lembaga
tataniaga
yang
menyelenggarakan fungsi yang sama disatukan di dalam suatu tindakan pemasaran suatu barang. Integrasi horizontal dapat merugikan konsumen, karena integrasi semacam ini dimaksudkan untuk memperkuat posisi dan menghindari adanya persaingan dari perusahaan atau lembaga tataniaga yang sejenis sehingga lembaga tersebut dapat mengontrol harga barang.
3.1.3.
Saluran Tataniaga Limbong dan Sitorus (1987) mendefinisikan saluran tataniaga sebagai
suatu himpunan perusahaan atau perorangan atau serangkaian lembaga-lembaga tataniaga yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak atas barang dan jasa tertentu selama barang dan jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih saluran tataniaga yaitu a) adanya pertimbangan pasar, yang meliputi konsumen sebagai tujuan akhir mencakup pembeli potensial, konsentrasi pasar secara geografis, 19
volume pesanan dan kebiasaan membeli; b). Pertimbangan barang yang meliputi nilai barang per unit, besar dan berat barang, tingkat kerusakan, sifat teknis barang, dan apakah barang tersebut untuk memenuhi pesanan atau pasar; c). Pertimbangan internal perusahaan yang meliputi sumber permodalan, kemampuan dan pengalaman penjualan; d). Pertimbangan terhadap lembaga perantara, yang meliputi pelayanan lembaga perantara, kesesuaian lembaga perantara dengan kebijaksanaan produsen dan pertimbangan biaya. 3.1.4.
Fungsi-Fungsi Tataniaga Fungsi tataniaga merupakan suatu kegiatan ataupun tindakan yang dapat
memperlancar dalam proses penyampaian barang atau jasa dari tingkat produsen ke tingkat konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Fungsi tataniaga dapat dikelompokkan atas tiga fungsi yaitu: 1. Fungsi Pertukaran adalah kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik dan jasa yang di pasarkan. Fungsi pertukaran ini terdiri dari dua fungsi yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Pembelian merupakan kegiatan melakukan penetapan jumlah dan kualitas barang, mencari sumber barang, menetapkan harga dan syarat-syarat pembelian. Kegiatan penjualan diikuti mencari
pasar, menetapkan jumlah, kualitas serta menentukan saluran
tataniaga yang paling sesuai. 2. Fungsi Fisik adalah suatu tindakan langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Fungsi ini terdiri dari a) fungsi penyimpanan yaitu untuk membuat komoditi selalu tersedia pada saat konsumen menginginkannya, b) fungsi pengangkutan yaitu pemindahan, melakukan kegiatan membuat komoditi selalu tersedia pada tempat tertentu yang diinginkan. dan c) fungsi pengolahan yaitu untuk komoditi pertanian, kegiatan yang dilakukan merubah bentuk melalui proses yang diinginkan sehingga dapat meningkatkan kegunaan, kepuasan
dan
merupakan usaha untuk memperluas pasar dari komoditi asal. 3. Fungsi Fasilitas adalah semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari : a) Fungsi standarisasi dan grading yaitu mempermudah pembelian barang, mempermudah pelaksanaan jual beli, mengurangi biaya 20
pemasaran dan memperluas pasar. b) Fungsi penanggungan resiko dengan menerima kemungkinan kehilangan dalam proses pemasaran yang disebabkan resiko fisik dan resiko pasar. c) Fungsi pembiayaan yaitu kegiatan pembayaran dalam bentuk uang untuk memperluas proses tataniaga. dan d) Fungsi informasi pasar dengan mengumpulkan interpretasi dari sejumlah data sehingga proses pemasaran menjadi lebih sempurna.
3.1.5.
Struktur Pasar
Struktur pasar adalah dimensi
yang menjelaskan sistem pengambilan
keputusan oleh perusahaan, jumlah perusahaan, dalam suatu pasar, konsentrasi perusahaan, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syarat-syarat masuk pasar (Limbong dan Sitorus, 1987). Struktur pasar adalah sifat-sifat atau karakteristik pasar. Ada empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar : a) jumlah atau ukuran pasar : b) kondisi atau keadaan produk : c) kondisi keluar atau masuk pasar : d) tingkat pengetahuan informasi pasar yang memiliki oleh partisipan dalam pemasaran misalnya biaya, harga dan kondisi pasar antar partisipan (Dahl dan Hammond, 1977). Tabel 9. Karakteristik Struktur Pasar Berdasarkan Sudut Penjual Dan Sudut Pembeli No
1
Jumlah Pembeli dan Penjual Banyak
Karakteristik Keluar Sifat Produk Masuk Pasar Standarisasi Mudah Homogen
Banyak 2 3 4
Sedikit Sedikit
Diferensiasi
Relatif Mudah
Standar
Sulit
Diferensiasi
Sulit
Unik
Sulit
Struktur Pasar Pengendalian Harga Tidak Ada Tergantung Tingkat Perbedaan Cenderung Stabil Cenderung Stabil
Satu 5
Ada
Sudut Penjual Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopoli Murni Oligopoli Diferensiasi Monopoli
Sudut Pembeli Persaingan Murni Persaingan Monopolit ik Oligopoli Murni Oligopoli Diferensia si Monopoli
Sumber : Dahl dan Hammond, (1977)
Struktur pasar persaingan sempurna murni memiliki ciri-ciri sebagai berikut : terdapat banyak penjual dan pembeli. Setiap pembeli maupun penjual menguasai sebagian kecil dari barang/jasa yang ada di pasar. Pembeli dan penjual 21
sebagai penerima harga (price taker), bebas keluar masuk pasar dan barang atau jasa homogen. Pasar monopolistik terdapat banyak pembeli dan penjual yang melakukan transaksi pada berbagai tingkat harga dan bukan atas dasar satu harga pasar. Produk yang dijual tidak homogen, produk dapat dibedakan menurut kualitas, ciri atau gaya, pelayanan yang berbeda, perbedaan pengepakan warna bungkus dan harga. Penjual melakukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling. Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka akan strategi pemasaran dan penetapan harga perusahaan lainnya. Produk dapat berupa produk homogen (baja, alumunium) atau berupa produk heterogen (mobil, komputer). Sedikitnya jumlah penjual ini disebabkan tingginya hambatan untuk memasuki industri yang bersangkutan. Hambatan ini seperti paten, kebutuhan modal yang besar, pengendalian bahan baku, pengetahuan yang sifatnya perorangan dan lokasi yang langka. Seorang oligopoli tidak pernah merasa pasti apa yang akan dinikmati secara tetap dari penurunan harga. Sebaliknya jika suatu perusahaan oligopolis menaikkan harga, pesaing tidak mengikutinya. Perusahaan yang oligopolis harus memberikan perhatian penuh pada taktik pesaing serta keinginan langganan. Tingkat harga pada dasar oligopolistik relatif stabil. Pasar monopoli terjadi ketika suatu industri atau pasar hanya memiliki satu produsen. Pemasok tunggal menikmati kendali penuh atas harga produkproduknya. Halangannya hanya terletak pada menurunnya permintaan pelanggan dalam menanggapi meningkatnya harga (Griffin dan Elbert, 2003). Pada struktur pasar dijelaskan bagaimana perilaku penjual dan pembeli yang terlibat (market conduct) dan selanjutnya akan menunjukkan keragaan yang terjadi dari struktur dan perilaku pasar (market performance ) yang ada di dalam sistem tataniaga tersebut. 3.1.6.
Perilaku Pasar Perilaku pasar adalah pola tingkah laku dari lembaga pemasaran yang
menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga dan kerjasama antara lembaga pemasaran (Hammond dan Dahl, 1977). 22
Menurut Asmarantaka (2006), bahwa perilaku pasar ada tiga cara yaitu 1) penentuan harga dan setting level of output : menetapkan penentuan harga tidak berpengaruh terhadap perusahaan lain, melainkan ditetapkan secara bersama-sama oleh penjual atau penetapan harga berdasarkan pemimpin harga. 2) product promotion policy ; melalui pameran dan iklan atas nama peusahaan. 3) predatory and exlusivenary factics; strategi ini bersifat illegal karena bertujuan mendorong perusahaan pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi ini berusaha menguasai bahan baku, sehingga perusahaan pesaing tidak berproduksi dengan menggunakan bahan baku yang sama. Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan bahwa dalam menggambarkan perilaku pasar, terdapat empat hal yang harus diperhatikan yaitu: (1) Input-output system, sistem input-output ini menerangkan bagaimana tingkah laku perusahaan dalam mengelola sejumlah input menjadi satu set output, (2) Power system, sistem kekuatan ini menjelaskan bagaimana suatu perusahaan dalam suatu sistem tataniaga, misalnya kedudukan perusahaan dalam suatu sistem tataniaga sebagai perusahaan yang memonopoli suatu produk sehingga perusahaan tersebut dapat sebagai penentu harga, (3)
Communications system,
sistem komunikasi ini
mempeiajari tentang perilaku perusahaan mengenai mudah tidaknya mendapatkan informasi dan, (4) System for adapting to internal and external change, sistem adaptif menerangkan bagaimana perilaku perusahaan dalam beradaptasi pada suatu sistem tataniaga agar dapat bertahan di pasar. 3.1.7.
Keragaan Pasar Keragaan pasar menunjukkan akibat keadaan struktur dan perilaku pasar
dalam kenyataan sehari-hari yang ditunjukkan dengan harga, biaya, volume, produksi yang akhirnya memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem tataniaga (Dahl dan Hammond, 1977). Analisis terhadap keragaan pasar dapat diketahui melalui analisis perkembangan harga, margin tataniaga dan penyebaran korelasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen, elastisitas transmisi dan integrasi pasar.
23
3.1.8.
Efisiensi Tataniaga Sistem tataniaga yang efisien akan tercipta apabila seluruh lembaga
tataniaga yang terlibat dalam kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut (Limbong dan Sitorus, 1987). Penurunan biaya input dari pelaksanaan pekerjaan tertentu tanpa mengurangi kepuasaan konsumen akan output barang dan jasa, menunjukkan efisiensi. Setiap kegiatan fungsi tataniaga memerlukan biaya yang selanjutnya diperhitungkan ke dalam harga produk. Lembaga tataniaga menaikkan harga per satuan kepada konsumen atau menekan harga di tingkat produsen. Dengan demikian efisiensi tataniaga perlu dilakukan melalui penurunan biaya tataniaga. Mubyarto (1995) menambahkan efisiensi tataniaga dapat terjadi jika: 1.
Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya.
2.
Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu. Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara yaitu efisiensi
operasional dan harga. Menurut Dahl dan Hammond (1977) efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik dan fasilitas. Efisiensi harga menunjukkan pada kemampuan harga dan tanda-tanda harga untuk penjual serta memberikan tanda kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumber daya produksi dari sisi produksi dan tataniaga. Dengan menggunakan konsep biaya tataniaga, suatu sistem tataniaga dikatakan efisiensi bila dapat dilaksanakan dengan biaya yang rendah. Hanafiah dan Saefuddin (1986), menambahkan bahwa pasar yang tidak efisien akan terjadi jika biaya pemasaran semakin besar dan nilai produk yang dipasarkan jumlahnya tidak terlalu besar. Karena itu efisiensi pemasaran akan terjadi apabila biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran dapat lebih tinggi, persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan
24
produsen dapat lebih tinggi, dan tersedia fasilitas fisik pemasaran, serta adanya kompetisi pasar yang lebih sehat. 3.1.9.
Margin Tataniaga Margin tataniaga didefinisikan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan
kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir. Semua kegiatan tataniaga memerlukan biaya yang disebut biaya tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987). Biaya tataniaga meliputi semua jenis biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam sistem tataniaga Biji Kakao. Menurut Dahl dan Hammond (1977) mendefinisikan margin tataniaga sebagai perbedaan harga di tingkat petani (Pf) dengan harga pedagang pengecer (Pr). Nilai margin tataniaga (value or marketing margin) merupakan perkalian antara margin tataniaga dengan volume produk yang terjual (Pr-Pf) x Qrf yang mengandung pengertian marketing cost (biaya-biaya pemasaran) dan marketing changes (lembaga pemasaran). Dari Gambar 1 tersebut dapat dilihat besarnya nilai Margin Tataniaga yang merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga pada dua tingkat lembaga tataniaga (dalam hal ini selisih harga eceran dengan harga petani) dengan jumlah produk yang dipasarkan.
Semakin besar perbedaan harga antara lembaga-
lembaga tataniaga yang terlibat, terutama antara harga yang terjadi di tingkat eceran dengan harga yang diterima petani, maka semakin besar pula margin tataniaga dari komoditi yang bersangkutan.
25
P Sr Sf Pr
Pf
Dr Df Q r,f
Q
Keterangan : Pr = Harga di tingkat konsumen akhir Pf = Harga di tingkat petani Sr = Penawaran di konsumen akhir Sf = Penawaran di tingkat petani Dr = Permintaan di konsumen akhir Df = Permintaan di tingkat petani Qr, f = Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan konsumen akhir
Gambar 1. Margin Tataniaga Sumber : Asmarantaka (2012) Terkadang tinggi atau rendahnya margin tataniaga menjadi salah satu perbandingan apakah kegiatan tataniaga tersebut sudah efisien atau belum. Menurut Limbong dan Sitorus (1987) tinggi atau rendahnya margin tataniaga tidak selamanya dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi kegiatan tataniaga. Tingginya margin tataniaga dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan tataniaga antara lain, ketersediaan fasilitas fisik tataniaga meliputi pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, risiko kerusakan dan lain-lain (Limbong dan Sitorus, 1987). Nilai dari perbedaan nilai margin antara harga di tingkat pedagang dan di tingkat petani diukur berdasarkan komoditi per unit. Margin tataniaga terdiri dari dua komponen yaitu biaya dan keuntungan tataniaga. Biaya tataniaga adalah semua jumlah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam tataniaga suatu komoditi mulai dari produsen hingga ke konsumen. Secara umum suatu sistem pemasaran dikatakan efisiensi, apabila dalam memasarkan suatu komoditi yang sama terdapat penyebaran margin yang merata 26
di semua pelaku pemasaran. Dalam kondisi ini diharapkan terjadi suatu keadaan dimana masing-masing pihak memiliki keuntungan, baik pada produsen, pelaku pemasaran dan konsumen. 3.1.10. Farmer’s share Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s share ) terhadap harga yang dibayar konsumen akhir. Bagian yang diterima lembaga tataniaga dinyatakan dalam bentuk persentase (Limbong dan Sitorus, 1987). Kohls dan Uhl ( 1985) mendefinisikan farmer’s share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani sebagai imbalan dari kegiatan usaha tani yang dilakukannya dalam menghasilkan produk. Dalam analisis efisiensi pemasaran farmer’s share lebih sering digunakan sebagai alat analisis yang baik. 3.1.11. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Tingkat efisiensi tataniaga dapat juga diukur melalui besarnya rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga ialah untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan pada
lembaga tataniaga. Dengan demikian semakin meratanya
penyebaran rasio keuntungan dan biaya,
maka dari segi operasional sistem
tataniaga semakin efisien (Limbong dan Sitorus,1987). 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Pada usahatani Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang memerlukan saluran tataniaga yang terjadi pada suatu pasar komoditi Biji Kakao, hal ini terbentuk dengan beberapa lembaga pemasaran yang terlibat. Diantara lembaga pemasaran pada sistem pemasaran tersebut dapat terbentuk adanya perbedaan harga yang cukup besar di tingkat petani Kakao dan harga ditingkat pedagang pengumpul, dimana antara petani dan pedagang pengumpul terdapat lembaga pemasaran yang terlibat. Penelitian mengenai tataniaga Biji Kakao dilakukan dengan analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif meliputi analisis fungsi-fungsi tataniaga, saluran tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar mulai dari petani sampai dengan pedagang pengumpul. Analisis 27
kuantitatif meliputi analisis margin tataniaga untuk mengetahui perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran yang terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran, untuk mengetahui perolehan petani digunakan analisis farmer’s share dengan membandingkan harga yang dibayarkan konsumen akhir dan dinyatakan dalam persentase. Analisis rasio keuntungan dan biaya untuk mengetahui merata tidaknya penyebaran rasio keuntungan dan biaya di setiap lembaga pemasaran. Untuk mengetahui efisiensi tataniaga dapat diukur melalui efisiensi operasional dengan memperhatikan nilai Margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya. Efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik dan fasilitas. Dengan melihat hasil dari efisiensi operasional sehingga dapat dilihat saluran tataniaga mana yang efisien dan dapat meningkatkan pendapatan petani dengan perbedaan harga yang tidak terlalu berbeda dan harga yang terjadi konstan.
28
Terdapat perbedaan harga Biji Kakao di tingkat petani dengan pedagang besar (konsumen perantara) di Kec. Dagangan,Kare dan Gemarang, Kab. Madiun
Identifikasi Saluran Pemasaran
Analisis Kuantitatif
Analisis Kualitatatif
1. Margin Tataniaga 2. Farmer’s Share 3. Rasio Keuntungan dan Biaya
1. Saluran tataniaga dan lembaga tataniaga 2. Fungsi-fungsi tataniaga 3. Struktur Pasar 4. Perilaku Pasar
Efisiensi Tataniaga
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
29
IV.
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut termasuk penghasil biji kering Kakao terbanyak di Pulau Jawa. Penelitian dilakukan pada bulan November-Desember 2012. 4.2 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pembagian daftar pertanyaan yang telah di siapkan dengan teknik wawancara langsung kepada petani serta lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat seperti pedagang pengumpul, dan pedagang pengecer. Pengamatan responden dilakukan dengan menggunakan metode informasi dari pelaku pasar pada saat penelusuran saluran tataniaga, sehingga responden yang diambil adalah responden yang benar-benar memasok Kakao ke pasar. Penarikan sampel petani dilakukan secara sengaja yaitu petani yang sedang memproduksi atau melakukan penjualan Kakao pada saat penelitian sedang dilakukan. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Madiun, Badan Pusat Statistik, serta literatur-literatur dan sumber –sumber lain yang terkait dengan judul penelitian. 4.3 Metode Pengambilan Data Petani dan pedagang yang terpilih sebagai responden berasal dari anggota kelompok tani yang berasal dari 3 kecamatan ( Dagangan, Kare dan Gemarang). Jumlah responden secara snowball sampling dipilih 30 orang. Pemilihan responden karena keadaan petani Kakao didaerah tersebut terjal dan kondisi infrastruktur yang kurang bagus sehingga penggambilan responden berdasarkan informasi hasil wawancara Dinas Perkebunan Kab. Madiun dan ketua kelompok tani di setiap kecamatan. Sehingga dengan jumlah responden 30 orang dianggap telah dapat menggambarkan kondisi petani Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang. Proporsi petani yang diambil di setiap Kecamatan yaitu
Kecamatan Dagangan sebanyak 15 orang, Kecamatan Kare 9 orang dan Kecamatan Gemarang 6 orang. Sedangkan, pemilihan pedagang responden menggunakan
metode
snowball sampling yang berdasarkan informasi hasil wawancara sebelumnya yang diperoleh dari petani responden karena tidak diketahui kerangka sampelnya (sampling frame) pedagang responden berjumlah 20 orang. Proporsi pedagang yang diambil yaitu pedagang desa 9 orang, pedagang kecamatan 6 orang, pedagang kabupaten 3 orang dan pedagang besar 2 orang (Blitar dan PT. Pagilaran). 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Proses analisis data kualitatif menggambarkan secara deskriptif yang terdiri dari saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga serta struktur dan perilaku pasar. Sedangkan analisis data kuantitatif dipergunakan untuk menganalisis besaran margin tataniaga, farmers’s share dan rasio keuntungan biaya. Alat analisis data kuantitatif yang digunakan berupa kalkulator, program komputer Microsof Excel. 4.4.1 Analisis Saluran Tataniaga Saluran tataniaga Kakao di tiga Kabupaten Madiun diamati mulai dari petani dengan menghitung persentase pasokan sampai pedagang pengecer dan hingga pada akhirnya sampai ke konsumen akhir. Jalur tataniaga tersebut akan menggambarkan peta saluran tataniaga. Saluran tataniaga Biji Kakao di tiga Kabupaten Madiun dianalisis dengan mengamati lembaga-lembaga tataniaga berperan sebagai pihak perantara dalam proses penyampaian produk dari produsen ke konsumen serta pembentukan peta saluran tataniaga. 4.4.2 Analisis Lembaga Tataniaga Analisis lembaga tataniaga dilakukan untuk mengetahui fungsi-fungsi tataniaga yang dilaksanakan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Analisis fungsi-fungsi tataniaga digunakan untuk mengevaluasi biaya tataniaga. Manfaat lain dari analisis fungsi dari tataniaga adalah sebagai bahan perbandingan biaya 31
yang dihasilkan oleh setiap lembaga pemasaran. Perbandingan biaya tersebut terdapat hubungan diantara lembaga tataniaga. Fungsi tataniaga merupakan kegiatan-kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam proses tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga diamati melalui kegiatan pokok yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga dalam proses penyaluran komoditas Kakao dari titik produsen ke titik konsumen. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Fungsi-fungsi Tataniaga Yang Dilaksanakan Oleh Lembaga-Lembaga Tataniaga Biji Kakao Lembaga Tataniaga Fungsi Tataniaga Perdagangan Pedagang Pedagangan Petani Pengumpulan Besar Pengecer 1. Fungsi Pertukaran Penjualan Pembelian 2. Fungsi Fisik Penyimpanan Pengangkutan Pengolahan 3. Fungsi Fasilitas Standarisasi dan Grading Penanggungan Risiko Pembiayaan Informasi Pasar Sumber : Limbong dan Sitorus, 1987 4.4.3 Analisis Struktur dan Perilaku Pasar Metode analisis struktur pasar digunakan untuk mengetahui apakah struktur pasar cenderung mendekati bentuk pasar persaingan sempurna atau tidak sempurna. Untuk mengetahui struktur pasar Kakao dapat dilakukan pengamatan dan penelusuran terhadap jumlah lembaga tataniaga, mudah tidaknya memasuki pasar, sifat produk dan sistem informasi pasar dapat dilihat pada Tabel 10. Metode analisis perilaku pasar dilakukan melalui pengamatan terhadap praktek penjualan dan pembelian sistem penentuan. Selain itu perilaku pasar dapat
32
dianalis melalui dan pembayaran harga serta sistem kerjasama yang terjalin diantara lembaga-lembaga tataniaga. Tabel 11. Karakteristik Struktur Pasar Karakteristik No
1
Struktur Pasar
Jumlah Pembeli dan Penjual
Sifat Produk
Keluar Masuk Pasar
Pengendali an Harga
Sudut Penjual
Sudut Pembeli
Banyak
Standarisasi Homogen
Mudah
Tidak Ada
Persaingan Murni
Persaingan Murni
2
Banyak
Diferensiasi
Relatif Mudah
3
Sedikit
Standar
Sulit
4
Sedikit
Diferensiasi
Sulit
5
Satu
Unik
Sulit
Tergantung Persaingan Tingkat Monopolistik Perbedaan Cenderung Oligopoli Stabil Murni Cenderung Oligopoli Stabil Diferensiasi Ada Monopoli
Persaingan Monopolitik Oligopoli Murni Oligopoli Diferensiasi Monopoli
Sumber : Dahl dan Hammond, (1977) 4.4.4 Analisis Margin Tataniaga Analisis margin tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efisiensi teknis tataniaga Biji Kakao. Margin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Margin tataniaga terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan biaya. Besarnya margin tataniaga dipengaruhi oleh jalur tataniaga komoditas yang bersangkutan. Margin tataniaga diperoleh dari perbedaan harga di tingkat petani (Pf) dengan
harga
di
tingkat
konsumen
akhir
(Pr)
dapat
dirumuskan
(Asmarantaka,2012) sebagai berikut MT = Pr – Pf Keterangan : MT Pr Pf
: Margin (Rp/Kg) : Harga ditingkat konsumen akhir : Harga beli ditingkat petani
33
Sedangkan besarnya keuntungan yang diperoleh setiap lembaga pemasaran dihitung dengan rumus : Mi = Pji–Pbi Keterangan : Mi : Margin Tataniaga di tingkat ke i, dimana i = 1,2,….,n Pji : Harga Penjualan untuk lembaga pemasaran ke- i Pbi : Harga Pembelian untuk lembaga pemasaran ke-i 4.4.5 Analisis Farmer’s Share Farmer’s Share digunakan untuk membandingkan harga yang dibayar konsumen terhadap harga produk yang diterima petani (Asmarantaka, 2012). Besarnya nilai bagian petani dapat dihitung berdasarkan rumus : x 100% Keterangan : Pf = harga di tingkat petani Pr = harga yang dibayarkan konsumen akhir 4.4.6 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Rasio keuntungan dan biaya tataniaga mendefinisikan besarnya kentungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Dengan demikian semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya, maka dari segi operasional sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong dan Storus, 1987). Berikut ini merupakan rumusan Rasio Keuntungan dan Biaya : Rasio Keuntungan dan Biaya = Keuntungan (Li) / Biaya Pemasaran (Ci) Keterangan : Li = Keutungan Ci = Biaya Pemasaran
34
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1. Kondisi Geografi dan Demografi Kabupaten
Madiun
merupakan
salah
satu
Kabupaten
dari
38
Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Timur dengan luas 1.010,86 km2. Secara geografis letak Kabupaten Madiun berada pada posisi 7o12’-7o48’30” Lintang Selatan dan 111o25’45”-111o51” Bujur Timur, diantara Gunung Lawu dan Gunung Wilis dengan batas wilayah: Sebelah Utara
: Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Ngawi
Sebelah Timur
: Kabupaten Nganjuk
Sebelah Selatan : Kabupaten Ponorogo Sebelah Barat
: Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ngawi
Pada bagian tengah wilayah Kota Madiun Bentuk permukaan lahan wilayah Kabupaten Madiun sebagian besar (67.576 Ha) relatif datar dengan tingkat kemiringan lereng 0-15 persen. Secara terinci kemiringan lereng Kabupaten Madiun pada Tabel 12. Tabel 12. Luas Daerah Berdasarkan Kemiringan Lereng di Kabupaten Madiun Tahun 2012 No Kemiringan (%) Luas (Ha) 1 2 3 4
0-12 2-15 15-40 >40
44.278,38 23.298,92 15.585 17.140
Sumber : BPS Kab. Madiun (2012) (diolah)
Sedangkan berdasarkan penggunaan lahan wilayah Kabupaten Madiun terbesar adalah area persawahan yaitu sebesar 30.951 Ha pada tahun 2012. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Penggunaan Lahan Wilayah Kabupaten Madiun Tahun 2012 No 1 2 3
Keterangan Pemukiman Sawah Tegal
Sumber : BPS Kab. Madiun (2012) (diolah)
Luas (Ha) 15.322,26 30.951 7.091
Sedangkan untuk faktor iklim yang mencakup aspek lamanya musim kemarau dan musim penghujan serta banyaknya curah hujan juga akan berpengaruh terhadap lingkungan seperti terhadap tingkat kesuburan lahan, kekeringan, banjir dan sebagainya, yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Sebagian besar wilayah Kabupaten Madiun terletak di dataran rendah dengan curah hujan sebesar 1.803,75 mm3 setahun. Musim kemarau di Kabupaten Madiun biasanya pada bulan April sampai bulan September, sedangkan musim hujan terjadi bulan Oktober sampai bulan Maret, dan curah hujan rata adalah 135 mm3, serta curah hujan teringgi dan terendah masing-masing adalah 235 mm3 dan 30 mm3. Topografi wilayah Kabupaten Madiun terbagi atas daerah dataran dan perbukitan. Kabupaten Madiun dibagi menjadi 15 wilayah Kecamatan yang terdiri dari 206 Desa atau Kelurahan dengan perincian sebagai berikut : Tabel 14. Jumlah Desa dan Kelurahan di Kabupaten Madiun Tahun 2012 No Kecamatan Desa Kelurahan 1 Kebonsari 14 2 Geger 19 3 Dolopo 10 4 Dagangan 17 5 Wungu 12 6 Kare 8 7 Gemarang 7 8 Saradan 15 9 Pilangkenceng 18 10 Mejayan 11 11 Wonoasri 10 12 Balerejo 18 13 Madiun 12 14 Sawahan 13 15 Jiwan 14 Jumlah 198
2 2
3
1
8
Sumber : Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Madiun 2012
Berdasarkan data penduduk dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Madiun per tanggal 20 Januari 2012, menyebutkan jumlah penduduk di Kabupaten Madiun pada tahun 2011 adalah sebesar 769.497 orang. Dari jumlah tersebut yang berusia 7 – 12 tahun sebanyak 55.345 orang, 28.132 orang berusia 13 – 15 tahun , dan 39.864 orang berusia 16 – 18 tahun. (Dapat di lihat pada Tabel 15). 36
Tabel 15. Jumlah Penduduk Kabupaten Madiun Tahun 2009 No Komponen Jumlah 1 Seluruh Penduduk 2 Penduduk 7 – 12 Tahun 3 Penduduk 13 – 15 Tahun 4 Penduduk 16 – 18 Tahun 5 Angkatan Kerja a. Bekerja b. Mencari Pekerjaan
769.497 55.345 28.132 39.864 386.537 341.378 45.259
Selain itu berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran daerah Kab. Madiun khususnya di Kec. Dagangan, Kare dan Gemarang merupakan daerah perbukitan. Sedangkan untuk infrastukturnya masih kurang baik. Untuk Kec. Dagangan, Kare dan Gemarang untuk jalan utamanya sudah beraspal. Namun, untuk daerah kedalamnya (dusun) masih jalan batu yang di susun (makadam). Sedangkan untuk angkutan sendiri untuk ke tiga Kecamatan tersebut masih di katakan susah dan mahal untuk menuju ke kecamatan tersebut. Angkutan kota hanya tersedia pada jam-jam tertentu saja dan angkutan tersebut tidak mengantarkan penumpang sampai ke tempat tujuan. Agar dapat sampai tujuan, penumpang harus menggunakan transportasi ojek motor yang biayanya pun tidak murah karena kondisi jalan yang kurang bagus dan letak lokasinya yang terjal. Kecamatan Dagangan merupakan daerah yang dapat dikatakan memiliki infrastruktur yang kurang baik di bandingkan dengan Kecamatan Kare dan Gemarang. Berdasarkan kondisi daerah tersebut jika dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan, infrastruktur tersebut mempengaruhi kegiatan tataniaga Biji Kakao. Karena dengan kondisi tersebut dapat mempengaruhi fungsi-fungsi tataniaga sehingga biaya tataniaga menjadi lebih besar. Hal tersebut juga membuat perbedaan harga di setiap kecamatan karena perbedaan kondisi alam. Kondisi alam ini berpengaruh terhadap lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga Biji Kakao. Panjangnya lembaga yang terlibat dikarenakan kondisi daerah tersebut terjal dan susah dijangkau sehingga memerlukan peran beberapa lembaga untuk menyalurkan tataniaga Biji Kakao. Dengan demikian untuk mengukur efisiensi tidak dapat ditentukan dari banyaknya lembaga yang terlibat dalam tataniaga tersebut. 37
5.2. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden diperoleh data dan informasi untuk menggambarkan karakteristik petani. Karakteristik umum petani yang akan diuraikan meliputi: umur petani, tingkat pendidikan, mata pencaharian, pengalaman menjadi petani kakao serta jumlah tanaman yang dimiliki petani.
5.2.1 Umur Umur petani responden di daerah penelitian ini berkisar antara 25-88 tahun. Persentase umur terbagi menjadi empat yaitu, yaitu sebesar tiga persen berada pada kelompok umur 21 – 30 tahun yang berjumlah satu orang, 17 persen berada pada kelompok 31-40 tahun, 33 persen berada pada umur 41-50 tahun, dan 47 persen lebih dari 51 tahun. Rincian sebaran umur responden dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Umur Tahun 2012 Jumlah Responden No. Kelompok Umur (tahun) Persentase (%) (orang) 1 21-30 1 3 2
31-40
5
17
3
41-50
10
33
4
> 51
14
47
30
100
Total
Apabila ditinjau berdasarkan umur responden dapat dilihat pada Tabel 16 tersebut bahwa sebagian besar petani responden berada pada usia produktif, yaitu umur 30-50 tahun. Berdasarkan hasil penelitian di Kab. Madiun khususnya di Kec. Dagangan, Kare dan Gemarang membuktikan bahwa petani yang berusia 3050 tahun dalam bertani kakao. Umumnya, orang-orang yang masih berusia produktif memiliki semangat yang tinggi untuk mengembangkan usahanya karena pada usia tersebut terdapat dorongan kebutuhan yang tinggi. Selain itu, petani responden pada usia produktif tersebut lebih memilih untuk bertani dengan tujuan untuk mengembangkan sektor perkebunan di Kabupaten Madiun dan menjadikan profesi bertani sebagai pekerjaan utama untuk mencari penghasilan. Untuk 38
responden yang berusia di atas 51 tahun masih tetap berusahatani. Petani responden tersebut menganggap bertani merupakan mata pencaharian pokok yang telah turun temurun dan dapat disimpulkan bahwa usia produktif mempengaruhi kemajuan usahatani khususnya pada Kakao. 5.2.2 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan petani yang dijadikan responden akan berpengaruh pada tingkat penyerapan teknologi dan ilmu pengetahuan. Sebagian besar responden yang diwawancarai pernah mengikuti pendidikan formal. Namun tingkat pendidikan yang diikuti oleh petani tersebut masih rendah. Ditinjau dari tingkat pendidikan yang pernah diikuti oleh responden maka dapat digolongkan atas beberapa kategori. Berdasarkan tingkat pendidikan yang diperoleh maka proporsi terbesar adalah petani Kakao yang tamat dari Sekolah Dasar (SD), yaitu sebesar 37 persen. Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17.Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2012 Jumlah Responden No. Tingkat Pendidikan Persentase (%) (orang) 1 Tidak tamat sekolah 2 7 2 Tamat SD/sederajat 11 37 3 Tamat SLTP/sederajat 7 23 4 Tamat SLTA/sederajat 9 30 5 Tamat Sarjana 1 3 Total 30 100 Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa mayoritas petani responden merupakan tamatan dari SD/sederajat. Ada pula responden yang tidak tamat SD. Hal ini dikarenakan keluarga petani tidak memiliki banyak biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, umumnya pada saat masih bersekolah dasar dan berusia diatas delapan tahun, mereka sudah membantu orangtuanya bertani. Hal ini yang mendorong para petani tamatan SD maupun yang tidak meneruskan kembali sekolahnya pada tingkat SD untuk tidak melanjutkan pendidikan dan memilih bekerja membantu orangtua untuk bertani. Jadi, kemampuan petani responden yang tamatan SD maupun yang tidak tamat 39
SD untuk bertani sebagian besar merupakan pengalaman yang telah dilakukan langsung dilapangan. Berbeda dengan petani responden yang berasal dari tamatan SLTP, SLTA, dimana ilmu usahatani dan manajemen usahatani tidak hanya berdasarkan pengalaman tetapi juga ilmu pengetahuan yang diperoleh dibangku pendidikan tersebut. Sehingga untuk produktivitasnya sendiri berdasarkan hasil penelitian tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempengaruhi produktivitas kakao yang dihasilkan karene manajemennya lebih baik ditambah dengan pengalamannya. 5.2.3 Mata Pencaharian Petani Responden Sebagian besar petani responden memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Namun tidak sedikit pula petani responden menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai buruh bangunan, pegawai, pedagang dan lainlain. Berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat mata pencarian petani kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2012 No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Petani - Petani Pemilik Tanah 8 27 - Buruh Tani 4 13 2 3 4 5 6
Buruh Bangunan Buruh Kebun Pedagang Pensiunan Perhutani Total
1 2 9 5 1 30
3 7 30 17 3 100
5.2.4 Pengalaman Bertani Pengalaman bertani dapat menentukan keberhasilan budidaya Kakao dan juga dapat mempengaruhi tingkat produktivitas Kakao. Petani yang telah lama bertani umumnya lebih memiliki banyak pengalaman dalam usahatani Kakao
40
sehingga dapat memperoleh produksi yang lebih tinggi dibandingkan petani yang baru bertani dan kurang berpengalaman. Pengalaman petani responden pada budidaya Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang berkisar 9-26 tahun terakhir. Pada umumya petani responden melakukan budidaya Kakao karena keuntungan yang didapat tinggi. Persentase pengalaman bertani budidaya Kakao memiliki ukuran yang berbedabeda. Karakteristik petani responden berdasarkan pengalaman bertani
Kakao
dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Bertani Tahun 2012 Pengalaman Bertani Jumlah Responden No. Persentase (%) (tahun) (orang) 1 6-10 6 20 2 11-15 7 23 3 16-20 11 37 4 21-25 4 13 5 26-30 2 7 Total 30 100 Berdasarkan Tabel 19 diatas dapat disimpulkan bahwa pengalaman usahatani kakao rata-rata petani mempunya pengalaman lebih dari 15 tahun. Hal tersebut ternyata mempengaruhi petani dalam menghasilkan Biji Kakao. Petani yang mempunyai pengalaman bertani Kakao semakin lama kualitas produksi yang dihasilkan pun mempengaruhi. Karena jika dilihat dari hasil penelitian petani yang mempunyai pengalaman lebih dari 15 tahun kualitas produksi Kakaonya lebih bagus di banding dengan yang masih awalan. 5.2.5 Pohon yang dimiliki Petani Kakao Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa jumlah pohon yang dimiliki petani paling banyak berjumlah kurang dari 200 yaitu sebanyak dua belas orang. Sedangkan untuk petani yang memiliki jumlah pohon di atas 600 hanya beberapa orang. Kepemilikan jumlah pohon ini berdasarkan penelitian mempengaruhi jumlah produksi Kakao. Semakin banyak jumlah pohon yang dimiliki petani produksi yang dihasilkan pun juga lebih banyak. Sehingga jumlah pohon ini 41
mempengaruhi jumlah produksi yang berada di setiap saluran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 . Jumlah Petani Responden Berdasarkan Banyaknya Pohon Tahun 2012 No. Banyak Tanaman Jumlah (pohon) Persentase (%) 1 ≤ 200 12 40 2 201 – 400 8 27 3 401 – 600 5 17 4 601 – 800 2 7 5 801 – 1000 2 7 6 > 1000 1 3 Total 30 100 5.3. Karakteristik Pedagang Responden Berdasarkan hasil wawancara terhadap pedagang diperoleh sebanyak 20 pedagang yang terdiri dari 9 pedagang desa, 6 pedagang kecamatan, 3 pedagang kabupaten dan 2 pedagang besar yaitu pedagang besar dari Blitar dan pedagang besar dari PT. Pagilaran. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Jenis Pedagang di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Tahun 2012 No. Jenis Pedagang Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Pedagang Desa 9 45 2 Pedagang Kecamatan 6 30 3 Pedagang Kabupaten 3 15 4 Pedagang Besar 2 10 Total 20 100 Pedagang Desa yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan pedagang yang berada di dusun-dusun . Peran pedagang ini sangat membantu para petani yang memiliki rumah atau lahan yang susah dijangkau oleh pedagang desa. Karena untuk mencapainya tidak memerlukan biaya tataniaga yang besar dibanding petani harus menyalurkan Biji Kakao ke pedagang tingkat kecamatan atau kabupaten yang jaraknya jauh dan memakan biaya transportasi yang mahal. Beberapa pedagang desa mendatangi petani dalam melakukan kegiatan tataniaga untuk mendapatkan Biji Kakao. Namun, ada beberapa pedagang juga yang menunggu di rumah menunggu petani menjual Biji Kakaonya. 42
Pedagang Kecamatan merupakan pedagang yang lokasinya berada di daerah kecamatan. Pedagang ini memiliki tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang desa. Pedagang kecamatan lebih memilih menunggu petani di rumahnya untuk menjual Biji Kakaonya sedangkan ada beberapa pedagang kecamatan yang menunggu di titik-titik tertentu yang di jadikan pasar sementara untuk mendapatkan Biji Kakao yang berasal dari petani. Sedangkan pedagang kabupaten merupakan pedagang yang memiliki tingkat lebih tinggi dari pedagang kecamatan. Pedagang kabupaten mendapatkan Biji Kakao dengan mendatangi pedagang kecamatan atau petani cecara langsung. Ada juga beberapa pedagang kabupaten yang menunggu di titik-titik tertentu seperti yang dilakukan oleh pedagang kecamatan dan ada pula pedagang kabupaten untuk mendapatkan Biji Kakao memilih menunggu petani di rumahnya untuk mendapatkan Biji Kakao dari petani. Pedagang Besar (Konsumen Perantara) mendapatkan Biji Kakao dari pedagang kecamatan dan pedagang kabupaten. Pedagang besar (konsumen perantara) pada penelitian terdapat dua pedagang yaitu berasal dari Blitar dan berasal dari PT.Pagilaran. Kebanyakan saluran tataniaga Biji Kakao mengalir ke arah Blitar. Sedangkan yang mengarah ke PT. Pagilaran hanya bearasal dari Pedagang Kecamatan yang berasal dari daerah Dagangan. Hal tersebut dilakukan karena awal mulanya Kakao berasal dari daerah Dagangan dan yang mengenalkan tananaman Kakao adalah PT. Pagilaran. Namun, semakin berkembangnya tanaman Kakao maka semakin luas pula pesaing dari Blitar yang memasuki pasar Kakao di Kabupaten Madiun. Hal tersebut menjadikan para petani Kakao berpindah menjual Biji Kakao ke Blitar karena lebih transparan dalam masalah harga. Selain itu ada beberapa karakteristik yang dimiliki oleh pedagang responden antara lain : umur pedagang, pengalaman berdagang dan tingkat pendidikan pedagang Kakao.
5.3.1. Umur dan Pengalaman Berdagang Umur pedagang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya kinerja berdagang. Pengalaman berdagang dapat mempengaruhi cara 43
dan keahlian berdagang Kakao, misalnya dalam menentukan volume penjualan, kerjasama dengan dengan petani dan antar pedagang serta kecepatan memperoleh informasi pasar. Pada Tabel 22 disajikan karakteristik pedagang responden berdasarkan umur dan pengalaman berdagang.
Tabel 22. Karakteristik Pedagang Responden Berdasarkan Umur dan Pengalaman Berdagang Tahun 2012 Karakteristik Jumlah Responden Persentase (%) (Orang) Umur (Tahun) 21-30 1 5 31-40 4 20 41-50 11 55 > 51 4 20 Total 20 100 Pengalaman Berdagang (Tahun) 1-5 9 45 6-10 3 15 11-15 5 25 >15 3 15 Total 20 100 Tabel 22 menunjukkan bahwa sebesar 55 persen persen pedagang berusia antara 41-50 tahun, 20 persen pedagang sama-sama berusia diantara 31-40 tahun dan diatas 51 tahun dan 5 persen berusia 21-30 tahun. Pengalaman berdagang sebagian besar berkisar 1-5 tahun yaitu sebanyak 45 persen dari total responden, sejumlah pedagang lainnya memiliki pengalaman berdagang antara 6-10 tahun sebesar 15 persen, 11-15 tahun sebesar 25 persen dan diatas 15 tahun sebesar 15 persen.
5.3.2. Tingkat Pendidikan Sebagian besar responden yang diwawancarai pernah mengikuti pendidikan formal. Namun tingkat pendidikan yang diikuti oleh pedagang tersebut masih rendah. Ditinjau dari tingkat pendidikan yang pernah diikuti oleh responden maka dapat digolongkan atas beberapa kategori. Berdasarkan tingkat pendidikan yang diperoleh maka proporsi terbesar adalah pedagang Kakao yang tamat dari 44
Sekolah Dasar (SD), yaitu sebesar 40 persen. Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23.Karakteristik Pedagang Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2012 Jumlah Responden No. Tingkat Pendidikan Persentase (%) (orang) 1 Tidak tamat sekolah 2 10 2 Tamat SD/sederajat 8 40 3 Tamat SLTP/sederajat 5 15 4 Tamat SLTA/sederajat 3 25 5 Tamat Sarjana 2 10 Total 20 100 Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa mayoritas pedagang responden merupakan tamatan dari SD/sederajat. Ada pula responden yang tidak tamat SD, atau responden tersebut hanya bersekolah pada kelas 2 dan 4 SD saja. Sebagian responden lain memiliki tingkat pendidikan sebanyak 25 persen yaitu responden yang tamat SLTA/sederajat, 15 persen responden tamat SLTP/sederajat, 10 persen responden tidak tamat sekolah dan ada pula responden yang telah menyelesaikan pendidikan sampai dengan sarjana sebanyak 10 persen dari total responden.
45
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Analisis Saluran Tataniaga Dalam penelitian ini analisis tataniaga Biji Kakao kering yang berada di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang di dapatkan lima pola saluran tataniaga Biji Kakao. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa petani Biji Kakao sangat mengandalkan peran lembaga tataniaga dalam memasarkan produknya.
Oleh sebab itu, dari hasil penelitian di Kecamatan
Dagangan, Kare dan Gemarang terdapat lima saluran pemasaran yang diantaranya yaitu : a.
SaluranI : petanipedagang desapedagang kecamatanpedagang besar.
b.
SaluranII : petanipedagang desapedagang kabupatenpedagang besar.
c.
SaluranIII : petanipedagang kecamatanpedagang besar.
d.
SaluranIV : petanipedagang kecamatanpedagang besar.
e.
SaluranV : petanipedagang kabupatenpedagang besar. Secara grafis alur sistem tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan,
Kare dan Gemarang dapat dilihat pada Gambar 3. Saluran IV
Petani Saluran V 16,7% Saluran III 13,3%
Pedagang Kabupaten
13,3% 26,7% Saluran II
Saluran I 30%
Pedagang Desa
Pedagang Kecamatan
Pedagang Besar I
Pedagang Besar II
Gambar 3. Saluran Tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Tahun 2012
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 50 responden yang terdiri dari 30 petani dan 20 pedagang. Diketahui bahwa total volume Biji Kakao yang diserap oleh pedagang besar blitar sebanyak 2654 kilogram dan yang diserap oleh pedagang yang dari PT. Pagilaran sebanyak 840 kilogram untuk setiap bulannya. Jadi, dapat diartikan kelima saluran tataniaga yang terdapat di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang dalam per bulan minimal menyalurkan 2654 kilogram ke Blitar dan 840 kilogram yang menuju ke PT. Pagilaran.
6.1.1. Saluran Tataniaga I Saluran Tataniaga satu terdiri dari petani, pedagang desa, pedagang kecamatan dan pedagang besar. Jumlah petani yang digunakan responden dalam saluran satu ini berjumlah sembilan orang sedangkan jumlah pedagang desa yang berada di saluran 1 berjumlah lima orang, untuk pedagang tingkat kecamatan berjumlah empat orang dan satu pedagang besar yang berakhir di pedagang besar Blitar. Petani
Pedagang Desa
Pedagang Kecamatan
Pedagang Besar I
Gambar 4. Saluran Tataniaga 1
Alasan petani menggunakan saluran tataniaga ini adalah karena petani tidak perlu memasarkan sendiri produk yang dihasilkannya. Selain itu karena adanya sistem kepercayaan di setiap lembaga tataniaga sehingga terjadi suatu hubungan saling berkelanjutan dalam pemasaran Biji Kakao. Harga yang berlaku pada saluran tataniaga ini adalah harga yang ditentukan oleh pedagang dimana pedagang besar melakukan harga kontrak ke pedagang kecamatan dan kabupaten sehingga untuk kebawahnya pedagang melakukan penentuan harga berdasarkan harga yang berlaku di New York yang ditetapkan oleh pedagang besar. Sistem pembelian dan penjualan umumnya dibayar secara tunai. Namun, ada juga beberapa pembayaran yang tidak full di pihak petani atau di pedagang dikarenakan adanya peminjaman uang. Sedangkan di tingkat pedagang desa hanya
47
melakukan penjualan ke pedagang kecamatan dan berlanjut pedagang besar yang berada di Blitar. Untuk pengangkutan pedagang kecamatan tidak mengeluarkan biaya karena Biji Kakao kering yang berada di pedagang kecamatan di ambil langsung oleh pedagang besar. 6.1.2. Saluran Tataniaga II Saluran Tataniga yang kedua adalah saluran tataniaga yang terdiri dari petani, pedagang desa, pedagang kabupaten dan pedagang besar. Pada saluran dua tidak jauh berbeda dengan saluran pertama. Namun, yang membedakan dari saluran dua ini dari pedagang desa menuju ke pedagang kabupaten bukan pedagang kecamatan lalu baru ke pedagang besar. Dari segi pengangkutan pada saluran dua ini sama dengan saluran satu pedagang besar mengambil Biji Kakao kering di pedagang kabupaten. Petani
Pedagang Desa
Pedagang Kabupaten
Pedagang Besar I
Gambar 5. Saluran Tataniaga 2
6.1.3. Saluran Tataniaga III Pada saluran tiga yang terdiri dari petani, pedagang kecamatan dan pedagang besar yang mengarah ke PT. Pagilaran. Saluran tiga ini merupakan satusatunya aliran pemasaran Biji Kakao yang dikuasai oleh PT. Pagilaran. Untuk saluran yang ketiga ini berbeda dari saluran satu dan dua, dimana pedagang besar tidak mengambil Biji Kakao kering di pedagang kecamatan tapi pedagang yang mengantar ke pedagang besar. Saluran tiga ini termasuk saluran pemasaran yang terdiri dari tiga lembaga tataniaga. Petani
Pedagang Kecamatan
Pedagang Besar I
Gambar 6. Saluran Tataniaga 3
48
6.1.4. Saluran Tataniaga IV Saluran yang empat merupakan saluran yang terdiri dari petani, pedagang kecamatan dan pedagang besar. Saluran empat sama dengan saluran tataniaga tiga. Namun yang membedakan di saluran ini terletak pada hasil akhirnya, dimana aliran Biji Kakao kering berakhir di pedagang besar yang berada di Blitar. Selain itu yang membedakan lagi adalah pedagang besar mengambil Biji Kakao di pedagang kecamatan sehingga pedagang kecamatan tidak perlu mengeluarkan biaya pengangkutan. Petani
Pedagang Kecamatan
Pedagang Besar II
Gambar 7. Saluran Tataniaga 4
6.1.5. Saluran Tataniaga V Saluran tataniaga lima adalah saluran yang terdiri dari petani, pedagang kabupaten dan pedagang besar. Saluran tataniaga lima sama seperti saluran tataniaga empat yaitu Biji Kakao mengalir ke pedagang besar yang berada di Blitar. Dari segi pengangkutan sama halnya yang dilakaukan pedagang besar pada saluran empat. Namun, yang membedakan disini dari petani ke pedagang kabupaten.
Gambar 8. Saluran Tataniaga 5
6.2. Analisis Lembaga dan Fungsi Penelitian mengenai analisis perbandingan tingkat kentungan petani dengan tingkat keuntungan pedagang dalam pemasaran Biji Kakao kering di Kabupaten Madiun yang dilaksanakan di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang mulai November sampai dengan Desember 2012. Dari hasil penelitian mengenai analisis perbandingan tingkat kentungan petani dengan tingkat keuntungan pedagang dalam pemasaran Biji Kakao kering tersebut dimana adanya
49
rantai tataniaga yang panjang melibatkan lima lembaga tataniaga yang dilalui mulai dari petani sebagai produsen Biji Kakao kering, pedagang desa, pedagang kecamatan, pedagang kabupaten dan pedagang besar sehingga menyebabkan perbedaan harga di tingkat petani produsen dengan pedagang perantara yang terlibat dalam pemasaran Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang. Dimana analisis lembaga tataniaga tersebut untuk mengetahui lembaga-lembga tatniaga yang terlibat dalam proses distribusi Biji Kakao kering. Selain itu untuk melihat aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga untuk menunjang kelancaran proses tataniaga Biji Kakao kering dengan menggunakan analisis fungsi tataniaga. Fungsi-fungsi dalam tataniaga dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu fungsi pertukaran, fisik dan penyediaan fasilitas. Tabel 24. Fungsi Tataniaga Masing-Masing Lembaga Tataniaga Biji Kakao Tahun 2012 Saluran dan Lmbg.Tataniaga Saluran 1 Petani Pdg.Desa Pdg.Kecamatan Pdg.Besar Saluran 2 Petani Pdg.Desa Pdg.Kabupaten Pdg.Besar Saluran 3 Petani Pdg.Kecamatan Pdg.Besar Saluran 4 Petani Pdg.Kecamatan Pdg.Besar Saluran 5 Petani Pdg.Kabupaten Pdg.Besar
Fungsi-Fungsi Tataniaga Fisik
Pertukaran Jual
Beli
v v v v
v v v
v v v v
Simpan
Olah/ Jamur
Angkut
Sortasi/ Grading
v v
v v v v
v v v v
v v v
v v v
v v
v v v v
v v v v
v v v
v v v
v v
v v
v v v
v v v
v v
v v v
v v
v v
v v v
v v v
v v
v v v
v v
v v
v v v
v v v
v v
Fasilitas
Risiko
Biaya
Info.Pasar
v v
v v v v
v
v v
v v v v
v
v v
v v v
v
v v
v v v
v
v v
v v v
v
50
6.2.1. Petani Petani merupakan produsen penghasil Biji Kakao kering. Fungsi tataniaga yang dilakukan petani Biji Kakao kering di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang yaitu fungsi pertukaran (fungsi penjualan), fungsi fisik (penjemuran dan pengangkutan), fungsi fasilitas (Informasi pasar). a. Fungsi Pertukaran Petani di Kecamatan Gemarang, Kare dan Gemarang melakukan aktivitasaktivitas fungsi tataniga berupa fungsi penjualan. Petani Biji Kakao kering di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang menjual hasil produksinya ke pedagang desa, ke pedagang kecamatan dan ke pedagang kabupaten. Kegiatan penjualan kebanyakan dilakukan di langganan pedagang setiap petani. Alasan penjualan ke pedagang langganan yaitu untuk menjaga hubungan kelanjutan kedepanya. Namun, ada beberapa pedagang yang mengambil Biji Kakao kering di rumah petani. Penjualan Biji Kakao kering dilakukan petani setiap minggu dengan rata-rata penjemuran Kakao empat sampai dengan lima hari. Bentuk Kakao yang di jual rata-rata berupa Kakao kering asalan (non fermantasi). Sedangkan petani menjual Biji Kakao ke pedagang dengan harga Rp 11.000,00 – Rp 15.000,00 dan harga tersebut berdasarkan harga yang ada di pasar yang menganut dari pedagang besar yang di Blitar. b. Fungsi Fisik Fungsi fisik yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang berupa fungsi penjemuran dan pengangkutan. Fungsi penjemuran dilakukan petani selama empat sampai dengan lima hari. Biji yang di jemur berasal dari buah Kakao yang matang untuk menghasilkan kualitas yang bagus tetapi ada juga petani yang menjemur Biji Kakao yang berasal dari buah yang belum matang. Penjemuran Biji Kakao menggunakan telopo yang terbuat dari anyaman bambu atau dengan menggunakan terpal. Sedangkan fungsi berikutnya yaitu fungsi pengangkutan, dimana petani melakukan fungsi ini untuk menjual Biji Kakao dengan jalan kaki ke rumah pedagang tetapi ada juga petani yang melakukan pengangkutan Biji Kakaonya dengan menggunakan sepeda motor atau dengan sepeda.
51
c. Fungsi Fasilitas Sedangkan untuk fungsi yang ketiga yaitu fungsi fasilitas dimana dalam fungsi ini aktivitas yang dilakukan petani adalah fungsi informasi pasar. Informasi yang
dimaksud
disini
adalah
petani
memperoleh
informasi
mengenai
perkembangan harga untuk setiap kilonya. Informasi harga itu di dapatkan dari ketua kelompok tani di setiap perkumpulan mingguan dan sesama petani. Fasilitas yang digunakan petani dalam memperoleh informasi tersebut beberapa ada yang menggunakan telepon genggam ada juga secara tatap muka langsung.
6.2.2. Pedagang Desa Pedagang desa merupakan salah satu tujuan petani menjual Biji Kakao keringnya. Pedagang ini umumnya berada di desa, sedang fungsi yang dilakukan oleh pedagang desa ini adalah fungsi pertukaran (menjual dan membeli), fungsi fisik (penjemuran dan pengangkutan), dan fungsi fasilitas (sortasi dan informasi pasar). Fungsi yang dilakukan pedagang desa ini tidak jauh beda yang dilakukan oleh petani hanya di tingkat pedagang desa ini melakukan funsi standarisasi dan grading. a. Fungsi Pertukaran Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang desa ini yaitu fungsi pembelian dan penjualan. Aktivitas pembelian ini berasal dari petani yang berada di sekitar pedagang desa tersebut. Pembelian yang dilakukan pedagang desa tersebut berupa Biji kering tapi terkadang pedagang desa juga membeli Biji Kakao yang masih basah (penjemuran dua hari). Pembelian Biji Kakao kering dari petani dilakukan dengan tunai. Untuk setiap kilonya Biji Kakao yang dibeli pedagang desa dari petani berkisar antara Rp 11.000,00 – Rp 15.000,00 tergantung kualitas Kakao. Rata-rata pedagang tiap bulannya membeli Biji Kakao dari petani 150-200 kilo tergantung musimnya. Sedangkan untuk fungsi penjualan yang dilakukan pedagang desa penjualan dilakukan di tingkat pedagang kecamatan atau tingkat pedagang kabupaten. Harga yang di beli dari pedagang kecamatan atau kabupaten antara Rp 12.000,00 – Rp 16.000,00. Pembelian dan penjualan Biji Kakao semua di bayar dengan tunai.
52
b. Fungsi Fisik Untuk aktivitas fungsi selanjutnya yang dilakukan oleh pedagang desa yaitu fungsi fisik, dimana fungsi fisik tersebut berupa penjemuran dan pengangkutan. Untuk fungsi penjemuran yang dilakukan pedagang desa adalah menjemur Biji Kakao semisal pedagang desa tersebut membeli Biji Kakao yang masih basah dengan kadar air yang belum sesuai. Biasanya di tingkat pedagang selanjutnya meminta dengan kadar air 10 persen ( jemur empat atau lima hari). Sedangkan untuk aktivitas pengangkutan pedagang desa untuk menjual kembali ke pedagang selanjutnya menggunakan sarana sepeda motor. Jarak tempuh penjualan ke pedagang selanjutnya masih dalam satu wilayah sekitar pedagang desa. Namun, beberapa pedagang desa ada juga yang sistemnya dapat barang langsung dijual ke pedagang selanjutnya untuk menghindari biaya penyimpanan dan risiko yang mungkin akan terjadi. c. Fungsi Fasilitas Untuk fungsi selanjutnya yang dilakukan oleh pedagang desa adalah fungsi fasilitas. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang desa diantaranya adalah sortasi dan informasi pasar. Untuk funsi sortasi yang dilakukan pedagang desa adalah memilah antara Biji Kakao yang masih basah ( penjemuran dua hari), Biji Kakao yang yang kering asalan (penjemuran empat sampai dengan 5 hari) atau terkadang Biji kako yang sudah di fermentasi. Namun terkadang di tingkat petani juga terjadi kecurangan dimana antara Biji basah dicampur dengan Biji yang kering atau Biji yang kering di campur dengan sudah fermentasi. Dimana hal tersebut yang mempengaruhi perbedaan harga di setiap petani. Sedangkan untuk fungsi informasi pasar mengenai harga Kakao pedagang mendapatkan informasi dari sesama pedagang dengan media telepon genggam, pada saat pertemuan atau pada saat tatap muka langsung. 6.2.3. Pedagang Kecamatan Pedagang kecamatan merupakan pedagang yang posisi umumnya berada di desa atau di tingkat kecamatan. Pedagang kecamatan ini cakupannya lebih besar dari pedagang desa. Aktivitas fungsi yang dilakukan pedagang kecamatan ini lebih banyak dibanding dengan peadagang desa. Fungsi yang dilakukan oleh pedagang kecamatan diantaranya adalah fungsi pertukaran (pembelian dan 53
penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, penjemuran dan pengangkutan) dan fungsi fasilitas (Sortasi, pembiayaan dan informasi pasar). a. Fungsi Pertukaran Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang kecamatan diantaranya adalah fungsi penjualan dan pembelian. Untuk fungsi pembelian ini pedagang kecamatan memperoleh Biji Kakao dari pedagang desa atau langsung dari petani. Pembelian Biji Kakao yang dilakukan oleh pedagang kecamatan ini dilakukan dengan tunai. Pembelian Biji kako dari petani atau dari pedagang desa dibeli dengan harga Rp 11.500,00 – Rp 15.500,00. Sedangkan untuk penjualan pedagang kecamatan menjual Biji Kakao ke pedagang selanjutnya yaitu pedagang kabupaten atau pedagang besar. Penjualan Biji Kakao di tingkat tersebut berkisaran harga Rp 12.000,00 – Rp 19.000,00. Pembayaran dilakukan dengan tunai. Penjualan berdasarkan harga kontrak dari pedagang besar. Dimana 1 minggu sebelum pengambilan Biji Kakao pedagang besar sudah mengontrak harga ke pedagang kecamatan atau ke pedagang kabupaten, sehingga pedagang kecamatan dan kabupaten bisa menentukan harga berdasarkan harga kontrak dari pedagang besar. b. Fungsi Fisik Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang kecamatan diantaranya adalah penyimpanan, penjemuran dan pengangkutan. Fungsi penyimpanan pedagang kecamatan dilakukan jika Kakao yang didapatkan pedagang kecamatan belum memenuhi syarat sehingga perlu dilakukan penyimpanan tetapi ada juga beberapa pedagang kecamatan tidak melakukan penyimpan jadi Biji yang di dapat pada waktu itu juga langsung di jual ke pedagang selanjutnya baik ke pedagang kabupaten atau pedagang besar. Sedangkan untuk fungsi penjemuran dilakukan pedagang kecamatan jika terdapat Biji Kakao yang masih memiliki kadar air yang disyaratkan oleh pedagang selanjutnya yaitu kadar air minimal sepuluh persen. Sedangkan untuk fungsi pengangkutan dalam penjualan ke pedagang kabupaten atau besar ini pedagang kecamatan melakukannya dengan menggunakan motor. Menggunakan motor karena jarak tempuh ke pedagang kabupaten masih dalam satu wilayah. Namun, jika langsung di jual ke pedagang besar pedagang
54
kecamatan tidak perlu menggunakan motor karena Biji Kakao diambil oleh pedagang besar. c. Fungsi Fasilitas Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang kecamatan ini diantaranya adalah sortasi, pembiayaan dan informasi pasar. Sortasi dalam fungsi ini sama dengan yang dilakukan oleh pedagang desa dimana pedagang kecamatan juga memilah Biji Kakao yang kiranya dipilah berdasarkan kualitas Biji Kakao. Kemudian untuk fungsi pembiayaan sendiri ini pedagang kecamatan melakukan pembiayaan dengan tujuan jika ada pedagang atau petani yang memerlukan modal sehingga pedagang kecamatan berani untuk melakukan spekulasi dalam pembiayaan tersebut. Selain itu pembiayaan ini dilakukan dengan tujuan agar petani atau pedagang menjual Biji Kakaonya ke pedagang kecamatan. Selain itu pembiyaan ini juga dilakukan untuk pembelian karung untuk di berikan ke petani atau pedagang yang digunakan untuk tempat Biji Kakao. Sedangkan untuk fungsi fasilitas yang terakhir yaitu fungsi informasi pasar , dimana informasi pasar ini mengenai perkembangan harga Biji Kakao. Informasi tersebut didapat oleh pedagang kecamatan dari sesama pedagang melalu media telpon genggam atau mengguanakan komunikasi tatap muka secara langsung saat pertemuan anatar pedagang dan petani.sehingga untuk masalah harga terjadi keterbukaan tidak ada yang di tutupi. 6.2.4. Pedagang Kabupaten Pedagang kabupaten itu hampir sama dengan pedagang kecamatan tapi dari segi volume pedagang kecamatan lebih besar. Pedagang kabupaten ini merupakan pedagang yang bisa dikatakan pedagang besar tetapi hanya menguasai lingkup tertentu masih dalam satu kabupaten. Fungsi yag dilakukan oleh pedagang kabupaten ini diantaranya adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjulan), fungsi fisik (sortasi,pembiayaan dan informasi pasar). a. Fungsi Pertukaran Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang kabupaten ini adalah fungsi pembelian dan penjualan. Fungsi penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh pedagang kabupaten tak jauh beda yang dilakukan oleh pedagang desa atau kecamatan perbedaannya terletak di volumenya saja dan luasan daerahnya. 55
Sumber Biji Kakao diperoleh dari petani, pedagang desa dan pedagang kecamtan. Pembelian Biji Kakao di tingkat kabupaten ini antara harga Rp 12.000,00 – Rp 16.500,00. Sedangkan penjualan Biji Kakao ke pedagang besar dibeli dengan harga Rp 17.000,00 – Rp 19.000,00. Pembayaran yang dilakukan pedagang kabupaten ke petani, pedagang desa dan pedagang kecamatan pembelian dengan tunai atau sebaliknya pedagang kabupaten menjual Biji Kakao ke pedagang besar juga di bayar secara tunai. Namun, sebelumnya dari pedagang besar sudah melakukan kontrak harga sebelumnya sehingga pedagang kabupaten ini bisa memperkirakan nantinya untuk membeli Biji Kakao di tingkat petani, pedagang desa dan pedagang kecamatan. b. Fungsi Fisik Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang kabupaten diantaranya adalah penyimpanan, penjemuran dan pengangkutan. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang kabupaten ini tidak berbeda jauh dengan yang dilakukan oleh pedagang kecamatan. Namun untuk fungsi pengangkutan pedagang kabupaten tidak melakukan pengangkutan dimana pengangkuatan Biji Kakao di ambil langsung oleh pedagang besar. Pengambilan yang dilakukan oleh pedagang besar ini dilakukan setiap dua minggu sekali. Sehingga untuk pengangkutan di tingkat pedagang kabupaten tidak mengeluarkan biaya. c. Fungsi Fasilitas Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang kabupaten sama dengan yang dilakukan oleh pedagang kecamatan. Dimana fungsi yang dilakukan diantaranya adalah fungsi sortasi, pembiayaan dan informasi pasar. Sortasi yang dilakukan oleh pedagang kabupaten sama dengan yang dilakukan oleh pedagang kecamatan. Sedangkan pembiayaan yang dilakukan pedagang kabupaten digunakan untuk modal untuk melakukan pembelian Biji Kakao dan digunakan untuk memodali pedagang atau petani jika ada yang membutuhkan. Sumber pembiayaan di dapat dari pedagang besar atau pinjaman dari bank. Sedangkan informasi pasar mengenai harga Biji Kakao di dapat langsung dari pedagang besar dengan menggunakan sistem kontrak dua minggu sebelum pengambilan Biji Kakao.
56
6.2.5. Pedagang Besar Pedagang besar ini merupakan posisi teratas di pemasaran Biji Kakao di Kabupaten Madiun. Pedagang besar ini memiliki lingkup yang sangat luas dimana pedagang besar ini melakukan pemasaran hingga keluar Kabupaten Madiun. Pedagang Besar yang berada di Kabupaten Madiun terdapat dua yaitu pedagang besar dari Blitar dan pedagang besar dari PT. Pagilaran. Pedagang besar dari PT. Pagilaran hanya memilik kekuasan sebagian di Kecamatan Dagangan. Namun, untuk pedagang besar dari Blitar memiliki jalur yang banyak di semua Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang. Perbedaan lingkup daerah dibedakan karena dalam bersosialisasi Blitar lebih unggul dibandingkan dengan PT. Pagilaran. Padahal awal mula adanya Kakao di daerah Kabupaten Madiun berasal dari PT. Pagilaran yang berpusat di Kecamatan Dagangan. Namun, saat ini terjadi pergeseran ke pedagang besar dari Blitar. Sistem informasi penentuan harga pedagang besar dari Blitar dilakukan dengan lebih terbuka.Untuk keterbukaan harga juga lebih terbuka Blitar. Fungsi-fungsi yang dilakukan pedagang besar dilakukan diantaranya fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan,penjemuran dan pengangkutan) dan fungsi Fasilitas (sortasi, penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar) a. Fungsi Pertukaran Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang besar sama halnya dengan yang dilakukan oleh pedagang lainya yaitu fungsi pembelian dan penjualan. Sumber pembelian Biji Kakao didapat dari pedagang kecamatan dan pedagang kabupaten. Harga pembelian di tingkat pedagang besar ini antara Rp 15.000,00 – Rp 19.000,00. Sedangkan untuk penjualannya pedagang besar ini melakukan penjualan ke pabrik yang membutuhkan Biji Kakao. Pedagang besar ini menjual Biji Kakao dengan harga Rp 19.500,00 – Rp 22.000 untuk setiap kilonya. b. Fungsi Fisik Fungsi Fisik yang dilakukan oleh pedagang besar adalah fungsi penyimpanan, penjemuran dan pengangkutan. Penyimpanan yang dilakukan oleh pedagang besar dengan cara disimpan di dalam gudang besar. Ketahanan Biji Kakao yang memiliki kadar air minimal sepuluh persen bisa disimpan selama 3
57
bulan. Selain itu pedagang besar juga melakukan penjemuran dimana penjemuran ini dilakukan untuk menjaga kadar air dengan tujuan menghindari penjamuran pada Biji Kakao. Pengangkutan yang dilakukan pedagang besar yaitu mengambil Biji Kakao yang berada di pedagang kecamatan atau pedagang kabupaten. c. Fungsi Fasilitas Fungsi Fasilitas yang dilakukan oleh pedagang besar ini adalah fungsi sortasi, penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar. Sortasi yang dilakukan oleh pedagang besar sama halnya dengan yang dilakukan oleh pedagang yang lainya. Sedangkan untuk penanggungan resiko yang dilakukan oleh pedagang besar ketika terjadi kenaikan harga karena sistem yang digunakan untuk membeli Biji Kakao di tingkat pedagang kecamatan dan kabupaten menggunakan sistem kontrak sehingga hal tersebut dapat menyebabkan risiko yang mungkin terjadi. Selanjutnya untuk pembiayaan yang dilakukan oleh pedagang besar digunakan untuk memodali pedagang kecamatan maupun kabupaten untuk kegiatan pembelian ataupun untuk kegiatan lainnya sehingga hal tersebut dapat digunakan untuk menjalin ikatan dengan antar pedagang. Selanjutnya mengenai informasi pasar pedagang besar mendapatkan informasi dengan menggunakan akses internet. Untuk penentuan harga tersebut mengacu harga perdagangan Kakao di pasar berjangka. Selain itu mengenai harga yang di berikan oleh pedagang di Kabupaten Madiun dilakukan secara terbuka sehingga tidak ada kesenjangan mengenai masalah harga. 6.3. Analisis Struktur Pasar Struktur pasar dapat juga didefinisikan sebagai karakteristik pasar. Selain itu struktur pasar di dalam proses tataniaga dianalisis berdasarkan jumlah produsen dan konsumen, sifat dari produk yang dipasarkan, kebebasan keluarmasuk pasar dan informasi harga pasar dari produk tersebut. Struktur pasar sangat mempengaruhi dalam terciptanya perilaku pasar dari masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses transaksi jual beli. Pada kasus tataniaga Biji Kakao produk yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu Biji Kakao kering. Selain itu petani dan lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga Biji Kakao kering di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang menghadapi struktur pasar yang berbeda 58
6.3.1. Petani Struktur pasar yang dihadapi oleh petani Biji Kakao yang berada di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang bersifat pasar persaingan sempurna karena jumlah petani yang banyak, tidak dapat mempengaruhi harga dan petani bebas untuk keluar masuk pasar. Produk petani bersifat homogen, hal ini terlihat melalui keseragaman kualitas dari produk Biji Kakao kering yang dihasilkan petani. Pada saat penelitian dilakukan jumlah petani responden Biji Kakao kering sebanyak 30 orang. Informasi harga yang dimiliki petani cukup baik. Petani tidak memerlukan biaya untuk mendapatkan informasi tentang harga. Petani mendapatkan informasi harga dari pedagang pengumpul ataupun dari petani lainnya. Sistem penentuan harga dilakukan oleh pedagang berdasarkan harga yang berlaku di pasar sehingga kedudukan petani dalam sistem tataniaga sangat lemah. Petani tidak memiliki posisi tawar yang memadai dan hanya bertindak sebagai price taker.
6.3.2. Pedagang Desa Pedagang desa di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang dapat dikatakan memiliki jumlah sedikit dibandingkan jumlah petani. Struktur pasar pedagang desa ini termasuk ke dalam struktur pasar Oligopsoni. Karena dari segi karakteristiknya jumlah pembeli sedikit dibandingkan dengan petani Pada umumnya pedagang pengumpul memiliki hubungan yang erat dengan petani. Setiap pedagang desa telah memiliki petani langganan,meskipun demikian petani mungkin saja menjual produk yang dihasilkannya ke pedagang desa yang bukan langganannya. Jumlah pedagang desa lebih sedikit jika dibandingkan jumlah petani. Informasi pasar diperoleh pedagang pengumpul melalui survei pasar dan dari pedagang lainnya. 6.3.3. Pedagang Kecamatan Pedagang kecamatan memiliki karakteristik sama dengan pedagang desa, dimana jumlah pedagang kecamatan lebih sedikit sementara pedagang kecamatan sebagian membeli dari petani dan sebagian membeli dari pedagang desa. Dari struktur pasar pedagang kecamatan bisa disebut sebagai oligopsoni.
Namun,
pedagang kecamatan ini hanya sebagai penerima harga dari pedagang besar.
59
Sehingga untuk mempengaruhi harga pedagang kecamatan tidak mempunyai kekuatan. 6.3.4. Pedagang Kabupaten Pedagang Kabupaten dapat disebut sebagai oligopsoni karena memiliki jumlah yang sedikit dibandingkan dengan jumlah konsumennya yang lebih banyak. Barang yang dijual sama dengan pedagang lain yaitu berupa Biji Kakao kering . Pedagang kabupaten juga sebagai penerima harga dan tidak punya kuasa dalam menentukan harga. 6.3.5. Pedagang Besar Pedagang besar ini bisa dikatakan sebagai pembuat harga. Dimana harga yang diacu pedagang besar adalah harga yang berada di New York. Dapat dikatakan pedagang besar dalam struktur pasar termasuk oligopsoni karena jumlah pedagang lebih sedikit. Posisi pedagang besar dalam pemasaran Biji Kakao merupakan posisi tertingi di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang. Pedagang besar dalam saluran tataniaga ini ada dua macam yaitu pedagang besar yang berasal dari Blitar dan pedagang besar yang berasal dari PT. Pagilaran. 6.4. Perilaku Pasar Perilaku pasar adalah pola tingkah laku lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar
dimana lembaga tersebut melakukan
kegiatan penjualan dan pembelian serta bentuk-bentuk keputusan yang diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku
pasar meliputi kegiatan
pembelian dan penjualan, penentuan harga, dan kerjasama antar lembaga tataniaga 6.4.1. Paraktek Pembelian dan Penjualan Saluran tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang diawali dari petani sebagai penghasil Biji Kakao kering. Untuk selanjutnya petani melakukan proses penjualan Biji Kakao kering ke lembaga tataniaga seperti pedagang desa, pedagang kecamatan,pedagang kabupaten dan pedagang besar. Berdasar analisis yang dilakukan petani, dapat dilihat bahwa dalam memasarkan Biji Kakao kering petani sudah berlangganan dalam memasarkan Biji Kakao kering. Sehingga dalam pembentukan saluran yang 60
terjadi di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang lebih menggambarkan hubungan berkelanjutan yang erat. Hal tersebut dapat dilihat dari hubungan petani dan pedagang, karena walaupun ada pedagang lain yang menawarkan harga yang lebih tinggi petani lebih memilih dengan harga pedagang langganannya. Namun, ada juga beberapa petani yang tidak sesuai dengan hal tersebut dimana ada petani yang memilih tawaran harga tertinggi di pedagang, hal tersebut lebih beralasan karena untuk memenuhu kebutuhan sehari-hari. 6.4.2. Sistem Penentuan Harga Dalam penentuan harga erat kaitannya dengan permintaan dan penawaran yang terjadi pada suatu komoditas. Penentuan harga pada Biji Kakao kering dilakukan berdasarkan harga pasar yang sedang berlaku. Dimana harga tersebut berdasarka harga pasar yang berada di Blitar yang mengacu dari harga pasar berjangka. Harga Biji Kakao kering lebih cenderung stabil yaitu berada di kisaran Rp 12.000 per kilogram di tingkat petani dan Rp 20.500 per kilogramnya harga di konsumen akhir. Sehingga di lembaga tataniaga dari petani sampai dengan pedagang kabupaten disebut penerima harga dan di tingkat pedagang besar disebut sebagai penentu harga karena harga dijadikan patokan oleh pedagang berdasarkan harga dari pedagang besar. Dalam penetapan harga beli dan harga jual Biji Kakao kering antara pedagang satu dan lainnya (yang setingkat) tidak ada kesepakatan, artinya setiap pedagang menetapkan harga jual dan harga belinya masing-masing berdasar pada nota pasar. Harga-harga tersebut tidak akan jauh berbeda, perbedaan harga hanya berkisar antara Rp 100 hingga Rp 300. 6.4.3. Sistem Pembayaran Sistem pembayaran lima saluran tataniaga dilakukan secara tunai dengan cara petani langsung mendatangi rumah pedagang tetapi ada juga beberapa pedagang yang mendatangi petani. Namun, ditingkat pedagang kabupaten ketika menjual Biji Kakao kering ke pedagang besar tidak jarang pembayaran dilakukan dalam dua tahap yaitu pembayaran dengan sistem pembayaran setengah terlebih dahulu dari harga sejumlah banyak Kakao dan setelah tiga hari akan dibayar lunas melalui transfer ke rekening pedagang kabupaten. Sedangkan tipe pembayaran
61
yang kedua yaitu pedagang besar membayar secara tunai kepada pedagang kabupaten. Sistem pembayaran seperti yang dilakukan pedagang besar dengan pedagang kabupaten ini didasarkan atas rasa saling percaya antara kedua belah pihak. 6.4.4. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga Kerjasama yang dijalin antara petani dengan lembaga tataniaga menunjukkan hubungan yang saling timbal balik, dimana petani membutuhkan lembaga tataniaga untuk memasarkan produk dan pedagang juga saling membutuhkan dalam mendapatkan pasokan Biji Kakao kering secara kontinyu. Kerjasama yang erat terjalin dengan berlandaskan kepercayaan antar kedua belah pihak, walaupun tanpa adanya pernyataan tertulis/kontrak kerjasama. 6.5. Analisis Keragaan Pasar Analisis pada keragaan pasar ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besarnya margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya, dan efisiensi tataniaga pada saluran tataniaga Biji Kakao kering yang berada di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang. 6.5.1. Analisis Margin Tataniaga Margin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga atau perbedaan harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Besarnya margin tataniaga pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biayabiaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh oleh lembaga tataniaga. Biaya tataniaga terdiri dari biaya penyimpanan, biaya pengolahan (penjemuran), biaya pengangkutan, biaya sortasi dan biaya dalam mendapatkan informasi pasar. Sedangkan keuntungan tataniaga diukur dari besarnya imbalan jasa yang diperoleh atas biaya yang dikeluarkan dalam penyaluran suatu produk Biji Kakao kering. Sedangkan untuk uraian biaya tataniaga dan margin yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga di setiap saluran dapat dilihat di Tabel 25.
62
Tabel 25. Biaya Tataniaga, Margin Tataniaga, Harga Penjualan dan Harga Pembelian di Masing-Masing Saluran Tataniaga No
Saluran Pemasaran
Jenis Kegiatan I
1
(Rp/kg)
Biaya Produksi
3
4
II
Share (%)
III
Share (%)
Share (%)
IV
V
Share (%)
Petani Harga Jual
2
Share (%)
12000
58.54%
389,29
11000
57.89%
1085,68 1.59%
877.78
12250
70.00%
440,20 4.62%
63.41%
221,21 1.31%
(Rp/kg)
326.04
Keuntungan
(Rp/kg)
11284,67
Harga Beli
(Rp/kg)
12000
58.54%
11000
57.89%
Biaya Tataniaga
(Rp/kg)
1127.99
5.50%
265.63
1.40%
Harga Jual
(Rp/kg)
15600
76.10%
14250
75.00%
Keuntungan Margin Pemasaran Pedagang Kecamatan
(Rp/kg)
2472.01
12.06%
2984.38
15.71%
(Rp/kg)
3600
17.56%
3250
17.11%
Harga Beli
(Rp/kg)
15600
76.10%
12250
70.00%
13000
63.41%
Biaya Tataniaga
(Rp/kg)
734.45
3.58%
485.29
2.77%
2070.70
10.10%
Harga Jual
(Rp/kg)
17500
85.37%
14000
80.00%
17000
82.93%
Keuntungan Margin Pemasaran Pedagang Kabupaten
(Rp/kg)
1165.55
5.69%
1264.71
7.23%
1929.30
9.41%
(Rp/kg)
1900
9.27%
1750
10.00%
4000
19.51%
Harga Beli
(Rp/kg)
11580,64
408.06
14500
70.73%
333,60
Biaya Tataniaga
9036,55
229.17
13000
1.99%
12370,73
660.24
3.22%
13506,16
Pedagang Desa
14250
75.00%
14500
70.73%
63
Tabel 25. Biaya Tataniaga, Margin Tataniaga, Harga Penjualan dan Harga Pembelian di Masing-Masing Saluran Tataniaga (Lanjutan)
5
6
Harga Jual Keuntungan Margin Pemasaran
(Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg)
Pedagang Besar Blitar Harga Beli Biaya Tataniaga Harga Jual Keuntungan Margin Pemasaran
(Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg)
Pedagang Besar PT. Pagilaran Harga Beli Biaya Tataniaga Harga Jual Keuntungan Margin Pemasaran
(Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg)
Total Keuntungan Total Margin Total Biaya Tataniaga
17500 1440.92 20500 1559.08 3000
16481,31 20110,71 3629.40
85.37% 7.03% 100.00% 7.61% 14.63%
25.35% 41.46% 17.70%
17250 531.49 3000
90.79% 2.80% 15.79%
17250 1562.5 19000 187.5 1750
90.79% 8.22% 100.00% 0.99% 9.21%
12739,91 17914,34 5174.41
19.49% 42.11% 27.23%
14000 2058.82 17500 1441.18 3500
80.00% 11.76% 100.00% 8.24% 20.00%
14286,52 17059,80 2773.28
15.46% 30.00% 15.85%
17500 1187.50 3000
85.37% 5.79% 14.63%
17000 2083.33 20500 1416.67 3500
82.93% 10.16% 100.00% 6.91% 17.07%
17500 1190.48 20500 1809.52 3000
85.37% 5.81% 100.00% 8.83% 14.63%
14286,52 17059,80 4562.09
16.32% 36.59% 22.25%
15716,70 20278,79 3663.22
14.62% 29.27% 17.87%
64
Biaya tataniaga terbesar dikeluarkan oleh saluran tataniaga dua yaitu sebesar Rp 5174.41. Hal tersebut disebabkan karena saluran tataniaga dua adalah saluran tataniaga yang paling banyak melibatkan lembaga tataniaga didalamnya sehingga biaya tataniaga yang dikeluarkan pun lebih besar. Saluran tataniaga tiga adalah saluran dengan biaya tataniaga terendah, yaitu sebesar 2773.28. Saluran tataniaga tiga adalah saluran terpendek diantara saluran tataniaga lainnya, yaitu hanya melibatkan pedagang kecamatan dan pedagang besar sebagai
lembaga tataniaga. Setelah
menghitung biaya tataniaga, dapat diketahui margin tataniaga masing-masing lembaga yang terlibat dalam setiap saluran tataniaga dan total margin tataniaga tiap saluran tataniaga. a. Margin Tataniaga Saluran I Pada saluran satu ini melibatkan petani, pedagang desa, pedagang kecamatan dan pedagang besar yang berasal dari Blitar. Volume Biji Kakao kering yang dijual melalu saluran ini sebanyak 694 kilogram. Harga jual di tingkat petani pada saluran satu adalah Rp 12.000,00 per kilogram didapatkan berdasarkan harga rata-rata di petani yang ada di saluran satu dan harga jual di konsumen akhir sebesar Rp 20.500,00 per kilogram. Total biaya tataniaga saluran satu sebesar Rp 3.629,40 per kilogram dan total keuntungan sebesar Rp 16.481,31 per kilogram, dan total margin tataniaga saluran satu adalah sebesar Rp 20.110,00 per kilogram. Pada saluran satu ini merupakan margin terbesar di antara saluran yang lain. Untuk lebih jelasnya mengenai keuntungan tataniaga, margin tataniaga, harga beli, dan harga jual Biji Kakao kering di masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran tataniaga satu dapat dilihat pada Tabel 25. b. Margin Tataniaga Saluran II Pada saluran dua ini melibatkan petani, pedagang desa, pedagang kabupaten dan pedagang besar yang berasal dari Blitar. Volume Biji Kakao kering yang dijual melalu saluran ini sebanyak 640 kilogram. Harga jual di tingkat petani pada saluran dua adalah Rp 11.000,00 per kilogram dan harga jual di konsumen akhir sebesar Rp
65
19.000,00 per kilogram. Total keuntungan tataniaga saluran dua sebesar Rp 12.739,91 per kilogram dan total biaya sebesar Rp 5.196,64 per kilogram, dan total margin tataniaga saluran dua adalah sebesar Rp 17.914,34 per kilogram. Pada saluran dua ini merupakan saluran tataniaga yang memiliki biaya tertinggi dan margin terbesar kedua setelah saluran satu. Untuk lebih jelasnya mengenai keuntungan tataniaga, margin tataniaga, harga beli, dan harga jual Biji Kakao kering di masingmasing lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran tataniaga dua dapat dilihat pada Tabel 25. c. Margin Tataniaga Saluran III Pada saluran tiga ini melibatkan petani, pedagang kecamatan, pedagang dan pedagang besar yang berasal dari PT. Pagilaran. Volume Biji Kakao kering yang dijual melalu saluran ini sebanyak 680 kilogram. Harga jual di tingkat petani pada saluran tiga adalah Rp 12.250,00 per kilogram dan harga jual di konsumen akhir sebesar Rp 17.500,00 per kilogram. Total biaya tataniaga saluran tiga sebesar Rp 2.773,28 per kilogram dan total keuntungan sebesar Rp 14.282,52 per kilogram, dan total margin tataniaga saluran tiga adalah sebesar Rp 17.059,80 per kilogram. Pada saluran tiga ini merupakan saluran yang memiliki margin paling kecil diantara saluran yang lainnya. Untuk lebih jelasnya mengenai keuntungan tataniaga, margin tataniaga, harga beli, dan harga jual Biji Kakao kering di masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran tataniaga tiga dapat dilihat pada Tabel 25. d. Margin Tataniaga Saluran IV Pada saluran empat ini melibatkan petani, pedagang desa, pedagang kecamatan, pedagang kabupaten dan pedagang besar yang berasal dari Blitar. Volume Biji Kakao kering yang dijual melalu saluran ini sebanyak 480 kilogram. Harga jual di tingkat petani pada saluran empat adalah Rp 13.000,00 per kilogram dan harga jual di konsumen akhir sebesar Rp 20.500,00 per kilogram. Total biaya tataniaga saluran empat sebesar Rp 4.562,09 per kilogram, total keuntungan sebesar Rp 14.286,52 per kilogram, dan total margin tataniaga saluran empat adalah sebesar Rp 17.059,80 per
66
kilogram. Untuk lebih jelasnya mengenai keuntungan tataniaga, margin tataniaga, harga beli, dan harga jual Biji Kakao kering di masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran tataniaga satu dapat dilihat pada Tabel 25. e. Margin Tataniaga Saluran V Pada saluran satu ini melibatkan petani, pedagang desa, pedagang kecamatan, pedagang kabupaten dan pedagang besar. Petani yang digunakan responden berjumlah sembilan orang. Volume Biji Kakao kering yang dijual melalu saluran ini sebanyak 840 kilogram. Harga jual di tingkat petani pada saluran satu adalah Rp 14.500,00 per kilogram dan harga jual di konsumen akhir sebesar Rp 20.500,00 per kilogram. Total biaya tataniaga saluran satu sebesar Rp 3.662,22 per kilogram, total keuntungan sebesar Rp 15.716,70 per kilogram, dan total margin tataniaga saluran satu adalah sebesar Rp 20.278,79 per kilogram. Untuk lebih jelasnya mengenai keuntungan tataniaga, margin tataniaga, harga beli, dan harga jual Biji Kakao kering di masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran tataniaga satu dapat dilihat pada Tabel 25. 6.5.2. Farmer’s Share Pendapatan yang diterima petani (farmer’s share) merupakan perbandingan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir dan dinyatakan dalam bentuk persen. Besarnya bagian yang diterima petani jamur tiram putih dapat dilihat pada Tabel 26 berikut. Tabel 26. Farmer’s Share pada Saluran Tataniaga Biji Kakao Kering di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang Saluran pemasaran I II III IV V
Harga di tingkat petani (Rp/Kg) 12000 11000 12250 13000 14500
Harga di tingkat konsumen (Rp/Kg) 20500 19000 17500 20500 20500
Farmer’s Share (%) 58.54 57.89 70.00 63.41 70.73
67
Farmer’s share tertinggi diantara lima saluran yaitu pada saluran lima yaitu sebesar 70,73 persen yaitu terdiri petani, pedagang kabupaten dan pedagang besar. Hal tersebut disebabkan karena jumlah Biji Kakao yang mengalir di saluran lima ini merupakan yang paling banyak karena pada saluran ini banyak petani yang jumlah produksi Biji Kakaonya melimpah. Pada saluran lima ini jumlah Biji Kakao kering sebanyak 840 kilogram. 6.5.3. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Analisis rasio keuntungan dan biaya digunakan untuk mengukur penyebaran keuntungan pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam setiap saluran tataniaga.
Persentase keuntungan tataniaga terhadap biaya tataniaga teknis
(operasional) untuk mengetahui tingkat efisiensinya. Rasio keuntungan diperoleh dari pembagian keuntungan tataniaga lembaga tataniaga tingkat ke-i (Li) dengan biaya tataniaga di lembaga tataniaga tingkat ke-i
(Ci). Keuntungan tataniaga
diperoleh dari selisih harga jual dengan harga beli pada masing-masing lembaga tataniaga dikurangi dengan biaya tataniaga. Pada saluran I total rasio keuntungan dan biaya mencapai 39,47 yang menandakan bahwa setiap Rp 1/kilogram yang dikeluarkan maka akan mmeghasilkan keuntungan sebesar Rp 39,47,-. Untuk saluran II memiliki rasio keuntungan dan biaya sebesar 21,87. Hal tersebut menyatakan bahwa setiap Rp 1/kilogram yang dikeluarkan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 21,87. Sedangkan utuk saluran III rasio keuntungan dan biaya adalah 53,84. Dimana di setiap Rp 1/kilogram yang dikeluarkan menghasilkan keuntungan sebesar 53,84. Untuk saluran IV rasio keuntungan dan biayanya mencapai 31,93. Hal tersebut dapat diartikan bahwa setiap Rp 1/ kilogram yang dikeluarkan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 31,93/ kilogramnya. Sedangkan untuk saluran V rasio keuntungan dan biaya sebesar 22,63. Keuntungan setiap Rp 1/kilogramnya yang dikeluarkan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 22,63. Berdasarkan rasio keuntungan dan biaya terbesar berdasarkan uraian diatas dapat dilihat pada saluran III yaitu sebesar 53,84. Namun, hal tersebut belum bisa menyimpulkan jika pada saluran III yang terbaik karena masing-masing saluran
68
memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Pada Tabel 27 dapat dilihat analisis rasio dan keuntungan biaya pada lembaga tataniaga Biji Kakao kering di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang. Tabel 27. Rasio Keuntungan dan Biaya Pada Setiap Saluran Tataniaga Lembaga Tataniaga Petani Li Ci Rasio Li/Ci Pedagang Desa Li Ci Rasio Li/Ci Pedagang Kecamatan Li Ci Rasio Li/Ci Pedagang Kabupaten Li Ci Rasio Li/Ci Pedagang Besar Blitar (Konsumen Perantara) Li Ci Rasio Li/Ci Pedagang Besar PT. Pagilaran (Konsumen Perantara) Li Ci Rasio Li/Ci
I
II
Saluran Tataniaga III
11284.67 326.04 34.61
9036.55 877.78 10.29
2472.01 1127.99 2.19
2984.38 265.63 11.24
1165.55 734.45 1.59
11580.64 229.17 50.53
1264.71 485.29 2.61
IV
12370.73 13506.16 408.06 660.24 30.32 20.46
1929.30 2070.70 0.93
531.49 2468.51 0.22
1559.08 1440.92 1.082
V
1187.50 1812.50 0.66
187.50 1562.50 0.12
1416.67 2083.33 0.68
1809.52 1190.48 1.52
1441.18 2058.82 0.7
69
6.5.4. Efisiensi Tataniaga Saluran tataniaga yang terdapat di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang terdapat lima saluran tataniaga. Efisiensi tataniaga juga didefinisikan sebagai suatu kegiatan perubahan yang dapat meminimalkan biaya input tanpa harus mengurangi kepuasaan konsumen dengan output barang dan jasa. Biaya tataniaga merupakan tingkat efisiensi tataniaga yang terjadi. Analisis tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang secara garis besar terbentuk lima saluran tataniaga. Efisiensi tataniaga berdasarkan saluran tataniaga yang panjang belum tentu dikatakan saluran yang efisien. Namun, harus dilihat juga berdasarkan margin, farmer’s share, rasio keuntungan, volume penjualan dan karakteristik masing-masing saluran. Berdasarkan kriteria diatas menunjukkan bahwa setiap saluran memiliki kekurangan dan kelebihan di masing-masing saluran. Jadi setiap saluran walaupun memiliki farmer share’s, margin, volume yang besar dan panjang rantai belum bias mengambarka efisien setiap saluran. Pada setiap saluran juga memiliki keunikan yang masing-masing dalam memngambarkan efisiennya. Hal tersebut di pengaruhi oleh infrastruktur yang kurang baik sehingga hal tersebut yang membuat perbedaan tersebut. Besar kecilnya nilai sebenarnya bukan berarti tidak efisien. Menurut hasil penelitian bahwa disetiap saluran sudah efisien karena memamng saluran yang di jalankan memang harus seperti itu karena berdasarkan keadaan kondisi lapangan yang terjal dan kondisi jalan yang rata-rata kurang bagus sehinnga memerlukan bantuan lembaga-lemabga tataniaga. Berdasarkan struktur pasar setiap lembaga tataniaga, secara umum struktur pasar yang terbentuk pada sistem tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang lebih mengarah pada struktur pasar oligopsoni. Sedangkan perilaku pasar yang terjadi pada setiap lembaga tataniaga juga cukup beragam.
70
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari analisis tataniaga Biji Kakao di Kecamatan Dagangan, Kare dan Gemarang di Kabupaten Madiun yaitu : 1. Terdapat lima saluran pemasaran biji kakao kering di Kecamatan Daganagan, Kare dan Gemarang yang keseluruhannya melibatkan lembaga tataniaga sebelum sampai ke tangan konsumen akhir. Lembaga tataniaga yang terlibat adalah pedagang desa terdapat 9 pedagang, pedagang kecamatan terdapat 6 pedagang, pedagang kabupaten terdapat 3 pedagang dan pedagang besar terdapat 2 pedagang. Pada pedagang besar terdapat 2 pedagang yaitu pedagang besar dari Blitar dan pedagang besar dari PT. Pagilaran. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga tersebut meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi
penyediaan fasilitas sudah
dilakukan dengan baik tapi masih kurang tepat. 2. Struktur pasar yang terjadi di pasar biji kakao kering adalah struktur pasar bersaing sempurna (competitive market) dan struktur pasar oligopoli. Penentu harga pada Biji Kakao kering dalah berasal dari pedagang besar. Kerjasama yang dilakukan antara petani dengan lembaga tataniaga dan antar lembaga tataniaga berdasarkan kepercayaan karena tidak adanya kontrak kerjasama tertulis. 3. Berdasarkan hasil analisis efisien menunjukkan bahwa margin di setiap lembaga berbeda-beda. Perbedaan tersebut dikarenakan kondisi daerah yang berbeda-beda. Semua saluran efisien.
7.2. Saran 1. Untuk mendapatkan efisiensi tataniaga Biji Kakao yang lebih maksimal perlu diadakan perbaikan
infrastruktur yang baik. Sehingga untuk efisiensi
tataniaga Biji Kakao bisa lebih maksimal. 2. Koperasi lebih diaktifkan lagi karena sebagai solusi untuk membantu petani dalam menampung Biji Kakao sehingga petani yang mempunya kebun dan rumah yang terjal bisa menjadi solusi bahwa peran koperasi disini bisa membantu tataniaga Biji Kakao yang tidak terlalu memakan biaya yang besar jika ingin meningkatkan pendapatan petani.
73
DAFTAR PUSTAKA Ali D, Rukka Rusli M. 2011. Peran Pedagang Kakao Dalam Peningkatan Efisiensi Pasar di Sulawesi Selatan. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Volume : 8 Nomor 1 Arleen. 2006. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Kakao Indonesia. [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Asmarantaka, Ratna W. 2009.
Pemasaran Produk-Produk Pertanian dalam
Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Editor Nunung Kusnadi,dkk. Bogor: IPB press. Asmarantaka, RatnaW. 2012. Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Bogor : Departemen Agribisnis FEM-IPB [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Nilai Biji Kakao Indonesia Menurut Negara Tujuan. Jakarta : Badan Pusat Statistik [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kecamatan Dalam Angka Kabupaten Madiun. Kabupaten Madiun : Badan Pusat Statistik Dahl, D.C. and J.W. Hammond. 1977. Market and Price Analysis The Agricultura Industries. McGraw-Hill Book Company. New York. Deliarnov. 1995. Pengantar Ekonomi Makro. UI Press. JakartaSalvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Jakarta Dinas Pertanian dan Kehutanan. 2012. Pengertian Perkebunan. Purworejo Dinas Perkebunan dan Kehutanan . 2012. Buku Tahunan Kakao . Kabupaten Madiun Dinas
Perkebunan.
2012.
Budidaya
http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php/dinas-perkebunan.html. Oktober 2012]
Kakao. [10
[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan.2012. Luias Lahan, Produksi dan Produktivitas Kakao .Jakarta : Departemen Perkebunan Putri, Maira D. 2009. Penanganan Pasca Panen dan Pemasaran Biji Kakao di Kecamatan Simpang Alahan Mati Kabupaten Pasaman. [Skripsi]. Padang :Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. Griffin, R.W., R.J. Elbert. 2003. Bisnis. Edisi keenam. Prehallindo. Jakarta. Hanafiah dan Saefuddin. 1986. Tataniaga Hasil Perikanan. Universitas Indonesia.Jakarta [ICCO] International Cocoa Organization. 2011. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics, Vol. XXXIV, No.3, Cocoa Year 2009/10. London: ICCO Annual Report. Loilatu, Idris. 2006. Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat Di Kabupaten Buru Provinsi Maluku. [tesis]. Bogor : Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kohls, R.L. and J.N. Uhl. 1985. Marketing Of Agricultural Products. MacMillian Publishing Company. New York. uuu Kotler, P.
and G. Armstrong. 1991. Principles of Marketing. Fifth Edition.
Prentice-Hall Inc. New Jersey. Kotler, P. 2003. Marketing Management. Eleventh Edition. Prentice-Hall Inc. New Jersey. Kotler,
P. 2002.
Manajemen Pemasaran. Edisi Kesepuluh.
Jakarta:
PT.
Prenhalindo. Kohls, R..L. dan
J.N Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. London:
New York an Coller Macmillan Publishing. Limbong, W.H. dan P. Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
75
Napitupulu, Simon.K.V. 2008. Evaluasi Perkembangan Usahatani Kakao di Kabupaten Tapanuli Utara (Studi Kasus : Desa Pagaran Pisang Kecamatan Adian Koting Kabupaten Tapanuli Utara). [Skripsi]. Medan : Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Nurdiyani, Fitri. 2007. Analisis Dampak Rencana Penerapan Pungutan Ekspor Kakao Terhadap Intergrasi Pasar Kakao Indonesia. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Nurland, F. 1986. Pemasaran Produk Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin. Makasar : Lembaga Penerbit UNHAS Mubyarto. 1995. Pengantar
Ekonomi Pertanian (Cetakan Keempat,Agustus
1995).Jakarta : PT Pustaka LP3ES Indonesia. Pambudi, A.D. 2011. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Biji Kakao Indonesia Ke Malaysia Dan Singapura. [Skripsi]. Semarang : Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro Rahmanu, Riza. 2009. Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor Rahman, Kadir Edi. 2006. Analisis Saluran dan margin Pemasaran Kakao di Desa Timbuseng Kecamatan Pattalassang kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem : Vol. 4 No. 2 (Desember 2008) Saragih, Bungaran. 1998. Agribisnis (Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian). CV Nasional. Jakarta Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasinal. Erlangga. Jakarta. Septria, Yel. 2011. Analisis Perbandingan Tingkat Keuntungan Petani dengan Tingkat Keuntungan Perdagangan dalam Pemasaran Kakao di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok. [Skripsi]. Padang :Fakultas Pertanian, Universitas Andalas Sisfahyuni, Ludin, Taufik, Yantu. 2008. Efisiensi Tataniaga Komoditas Kakao Biji Asal Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. J. Agrisains 9 (3): 150-159 76
Wally, Frits. 2001. Analisis Ekonomi Tataniaga Kakao Rakyat dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Opsi Kelembagaan Tataniaga Petani Kakao Kabupaten Jayapura. [Tesis]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
77