Potret Sinetron Remaja di RCTI dan SCTV Periode 2007-2008 Sadakita Br Karo 1
Dosen Ilmu Komunikasi IISIP Jakarta
Abstrak Tayangan Sinetron remaja di TV menjadi pengisi jam-jam utama. Dari rating memperlihatkan 50 % pengisi Top 20 program TV adalah sinetron. Gejala yang terlihat bahwa tayangan sinetron cenderung berisi kekerasan, mistis, maupun pornografi. Tujuan penelitian untuk memperlihatkan seberapa sering isi yang menyangkut kekerasan ditampilkan, mengelompokkan berdasarkan tema cerita, karakter utama, permasalahan yang muncul dan mengekspresikan bagaimana kekerasan digambarkan dalam sinetron remaja priode 2007-2008. Motede yang digunakan analisis isi secara kuantitatif maupun kualitatif. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif. Hasil penelitian menunjukkan tayangan cenderung berisi kekerasan psikologis. Laki-laki dan perempuan cenderung berbeda melakukan bentuk kekerasan. Pelaku dan korban kekerasan cenderung perempuan yang berusia remaja dengan motif tidak sengaja. T eenage soap opera filled prime time hours on TV. Rating shows 50% of Top 20 TV program are soap opera. We can see that soap opera are tend to show violence, mistic, even pornography. The aim of this research is to show how often does violence content shown, grouping based on story theme, main character, problem that arise, and to expressed how violence is pictured in teenage soap opera in 2007-2008 period. Metode used was content analysis, both quantitatively and qualitatively. Sampling was done purposively. Results showed psychological impressions tend to contain violence. Men and women tend to engage in various forms of violence. Perpetrators and victims of violence tend to be a teenage girl with a pattern of unintended. Key words: soap opera, violence
Latar Belakang Masalah Remaja adalah salah satu target penonton TV yang terlihat dari maraknya program acara yang membidik remaja sebagai segmennya. Mulai dari kuis, penayangan film, video klip, infotainment, reality show, Sinetron dan lanlain. Di antara semuanya, sinetron remaja tampak cukup menonjol. Sekitar 172 judul sinetron remaja diputar pada kurun waktu 2006, meliputi 1933 episode, menghabiskan waktu 2106 jam. Pada tahun 2007, jumlah judul yang diputar menjadi 274 judul, meliputi 1.476 episode, menghabiskan waktu tak kurang dari 1.791 jam. 1
Angka ini mencakup film lepas, serial lepas, maupun serial bersambung. Dengan durasi rata-rata tidak kurang dari 1 jam, bisa dibayangkan bahwa acara semacam ini menjadi “primadona” yang diunggulkan TV. Terlebih, banyak sinetron remaja menjadi pengisi jam-jam utama (prime time) di TV. Dari rating memperlihatkan, 50 %, pengisi Top 20. program TV adalah drama (sinetron). Terlepas dari kritik-kritik yang bermunculan, jelas terlihat betapa signifikannya posisi sinetron, baik bagi stasiun TV, maupun bagi pemirsa. Fakta semacam inilah yang lantas melatarbelakangi niat untuk meneliti sinetron
Alamat: Kampus IISIP Jakarta Jl.Raya Lenteng Agung No.32 Jakarta Selatan 12610. Tel.021-7806223, 7806224. Fax.021-7817630. HP. 081382505062
Potret Sinetron Remaja di Televisi
27
remaja Indonesia. Penelitian sinetron Remaja (PSR 1) dilaksanakan pada tahun 2007, diikuti oleh koalisi 18 Perguruan Tinggi seluruh Indonesia. PSR 1 menghabiskan waktu 4 bulan, menghasilkan temuan-temuan yang mencemaskan. Pertama, tayangan remaja sarat dengan adegan yang mengandung kekerasan. Di antara semua bentuk kekerasan yang muncul, kekerasan psikologis (41,04 %) dan kekerasan verbal (56 %) mendominasi. Kedua, ditemukan unsur-unsur mistis dan pornografi dalam tayangan remaja. Jumlahnya memang tidak sebanyak frekuensi adegan kekerasan, tetapi tetap saja fenomena ini mencemaskan. Ketiga, beberapa lingkungan yang seharusnya ramah pada remaja dan anak-anak, justru menjadi ajang kekerasan dan pelecehan. Misalnya, sekolah dan rumah (Cholifah, 2008). Masalah penelitian Mengacu pada gejala yang dipaparkan pada latar belakang maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui: 1) Sejauhmana tayangan sinetron mengandung kekerasan. 2) Bagaimana pengekspresian kekerasan dalam sinetron remaja. 3) Bagaimana tema cerita, umur, karakter utama, stasiun TV yang menayangkan dan waktu penayangan sinetron. Dari pertanyaan penelitian tersebut dirumuskan masalah penelitian “Bagaimana Potret Sinetron Remaja yang Ditayangkan Televisi pada Periode 2007-2008.” Hasil penelitian ini merekomendasikan perlunya kontrol terus menerus terhadap sinetron-sinetron remaja. Tujuannya tidak lain mengembalikan atau setidaknya mengingatkan agar sinetron bagi remaja kita berisi lebih banyak materi yang edukatif dan menekankan nilai-nilai prososial. Bertitiktolak dari kenyataan tersebut, maka pada tahun ini digagas kembali Penelitian Sinetron Remaja 2 (PSR-2) yang bermaksud untuk melanjutkan penelitian terhadap sinetron-sinetron remaja periode tahun 2007-2008. Penelitian tahap kedua selain bertujuan melanjutkan penelitian tahun pertama
28
Januari 2010
dengan visi, misi, dan tujuan yang sama, juga dimaksudkan untuk mengembangkan database yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak guna mengkritisi media. Penelitian ini dimaksudkan sebagai bentuk tanggungjawab moral dan sosial perguruan tinggi terhadap permasalahan yang ada di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan seberapa sering isi yang menyangkut kekerasan ditampilkan, mengekspresikan bagaimana kekerasan digambarkan dan mengelompokkan sinetron remaja Indonesia periode 2007-2008 berdasarkan tema cerita, umur, karakter utama, permasalahan yang muncul, stasiun TV yang menayangkan dan waktu penayangan. Hasil studi yang teruji secara ilmiah dapat menjadi sumber informasi dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Yang pertama agar masyarakat memiliki informasi mengenai isi dan kualitas sinetron remaja Indonesia sehingga mereka lebih bisa menentukan sikap. Kedua sebagai bahan advokasi ke pengelola televisi, lembaga regulator penyiaran di Indonesia dan berbagai institusi lainnya agar kualitas sinetron remaja kita meningkat. Landasan Konseptual Sinetron remaja adalah sinema elektronik di televisi baik yang berseri panjang/pendek ataupun sekali tayang yang karakter utamanya masih berusia 12-18 tahun (ditandai dengan seragam sekolah putih biru atau putih abu-abu) atau yang alur ceritanya berada seputar masalah remaja ( sekolah, pertemanan, pacaran, dll) Kekerasan secara sempit adalah ancaman atau paksaan secara fisik dan non fisik yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap orang/kelompok orang lain dengan akibat tidak menyenangkan atau penderitaan secara fisik dan non fisik. Secara luas adalah kondisi-kondisi negatif yang sebenarnya bisa dihilangkan tapi dengan alasan ideologis tertentu tetap dibiarkan (Sunarto, 1997) Metode Penelitian Metode yang digunaka analisis isi secara kuantitatif dan kualitatif yang menggunakan
JURNAL ISIP Sadakita Br Karo
statistik diskriptif, frekuensi, mean, median, modul, dll). Sedang analisis data secara kwalitatif akan mendeskripsikan bagaimana adegan kekerasan ditempatkan dalam sinetron. Populasi dan Sampel penelitian adalah sinetron remaja yang diputar di televisi nasional sepanjang Juni 2007 hingga Juli 2008. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif, yaitu dua judul sinetron berseri dan tiga sinetron lepas yang masuk dalam top 20 program per bulan berdasarkan data AGB Nielsen setiap bulan pada tahun 2007-2008. (Top 20 Rating Program bulan Februari 2008, AGB Nielsen)
Dari setiap judul sinetron yang terpilih akan diambil enam buah episode yang akan diobservasi (masing-masing dua episode di awal, tengah, dan akhir masa tayang sinetron) Kategori dan Definisi Kategori dapat dilihat pada Tabel 1. Isi yang dianalisas adalah pesan audio visual yang dihasilkan berdasarkan prinsip sinematografi. Artinya pesan tersebut merupakan rangkaian gambar yang digerakkan sehingga menghasilkan citra bergerak . Unit analisis setiap judul sinetron baik lepas maupun berseri (masing-masing episode) adalah adegan (setiap perpindahan adegan).
Tabel 1: Katagori dan Definisi Kategori Variabel Jenis kelamin Tokoh
Dimensi Laki-laki Wanita
Posisi tokoh
Utama
Pembantu
Bentuk kekerasan
Fisik
Psikologis
Lain-lain Ekspresi kekerasaan
Verbal
Operasonalisasi Tokoh secara visual mempunyai karakterstik atau sebutan sebagai pria Tokoh secara visual mempunyai karakterstik atau sebutan sebagai wanita Tokoh yang ambil bagian dalam sebagian besar peristiwa dalam cerita, biasanya peristiwa-peristiwa tersebut menyebabkan terjadinya perubahan sikap diri tokoh atau perubahan pandangan penonton terhadap tokoh tersebut. Peran yang menggambarkan keberadaan seseorang dalam suatu cerita hanya berfungsi untuk membantu atau mendampingi keberadaan tokoh utama. Kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dan dengan tangan kosong atau dengan alat/ senjata, menganiaya, membunuh, serta perbuatan lain yang relevan. Kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap mental korban dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan memerintah, melecehkan, menguntit dan memata-matai atau tindakan lain yang menimbulkan rasa takut Bentuk kekerasan lain di luar kekerasan psikologis dan kekerasan fisik Kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang diucapkan dan ditulis, berupa memakai, menyindir, sumpah serapah, mengancam, mengeluarkan kata-kata kasar.
Potret Sinetron Remaja di Televisi
29
Variabel Ekspresi Kekerasan
Dimensi Non Verbal
Motif Kekerasan
Gabungan Sengaja Tidak Sengaja
Setting/lokasi Relasi antar karakter
Operasonalisasi Kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan tindakan secara langsung, misalnya: memukul, menendang, menampar, mendorong, menjambak, memperkosa,membunuh,menodong, memalak, mencekik, melempar, dijedotin, bullying, dan lain-lain. Gabungan kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan yang disertai maksud dalam diri pelaku yang dinyatakan secara verbal atau visual. Kekerasan yang tanpa disertai maksud dalam diri pelakunya, tetapi tetap memberikan efek penderitaan. Misalnya: gurauan yang berakibat kesakitan, hanya ikut-ikutan, membela diri dari aksi kekerasan. Tempat terjadinya peristiwa. Seperti: sekolah,rumah, restoran, jalan raya, dan lain-lain. Bagaimana hubungan antar karakter yang terlibat dalam peristiwa. Seperti teman, saudara/sibling. Orangtu-anak, kerabat, atasan-bawahan, dan sebagainya.
Sebelum dilakukan analisis peneliti akan membuat transkrip tiap episode yang diteliti. Kontrol terhadap kualitas penelitian dapat dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu: 1) Tahap penyusunan rancangan penelitian (face validity). 2) Pretest terhadap satu atau dua sinetron. 3) Tahap pengodingan dan analisa data (inter-rate reliability), satu sinetron dikoding dan dianalisis oleh dua tim peneliti atau dua orang peneliti) Hasil Penelitian Pada bagian ini penulis akan menyajikan hasil penelitian dengan pemaparan judul dan jumlah babak keseluruhan sinetron, sinopsis sinetron dan hasil penelitian seluruh kategori, yaitu sebagai berikut. Judul dan Jumlah Babak Sinetron Penelitin ini meneliti lima judul sinetron. Empat judul sinetron ( Gua gak Takut Patah Hati , Sissy Ajah, Harum Namanya, dan Cinta Super Ketat) ditayangkan di SCTV dan satu Sinetron (Aisyah) ditayangkan di RCTI. Dilihat dari jumlah babak, sinetron Gua gak Takut Patah Hati (46 babak), Sissy Ajah
30
Januari 2010
(146 babak), Harum Namanya ( 80 babak), Cinta Super Ketat (45 babak), dan Aisyah (141 babak). Sinetron yang Mengandung Kekerasan Sinetron yang paling tinggi presentasi kekerasannya adalah sinetron Aisyah ( 44,60 %), diikuti dengan sinetron Sissy Ajah ( 32,86 %), Cinta Super Ketat ( 11,27 %), Harum Namanya (6,58 %) dan yang terendah adalah Gua Gak Takut Patah Hati ( 4,69%). Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa tayangan sinetron 46,50 % mengandung kekerasan dan 53,50 % tidak mengandung kekerasan. Bentuk Kekerasan Tayangan Sinetron Bentuk kekerasan yang diperlihatkan sebagian besar (61,50%) adalah kekerasan psikologis dan selebihnya adalah bentuk kekerasan bukan fisik sebanyak 19,72 % serta kekerasan fisik sebanyak 18,78 %. Bentuk kekerasan dalam kategori lain-lain seperti menggerutu, mengumpat, mengomel tanpa sasaran yang jelas. Jadi bentuk kekerasan yang dipertunjukkan dalam sinetron cenderung kekerasan psikologi
JURNAL ISIP Sadakita Br Karo
Bentuk kekerasan yang tercermin dari sinetron remaja sebagian besar (61,50 %) kekerasan psikologis. Hal ini juga terjadi pada penelitian sinetron remaja satu. Dari dua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tayangan sinetron remaja belum mengalami perubahan dari segi isi yang ditampilkan. Ekspresi Kekerasan Dari keseluruhan sinetron yang diteliti dapat disimpulkan bahwa ekspresi kekerasan cenderung berdimensi verbal (62,91 %) diikuti dengan ekspresi non verbal 26,29 % dan ekspresi gabungan sebesar 10,80 %. Ekspresi kekerasan bersifat verbal dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang diucapkan dan ditulis berupa memaki, menyindir, sumpah serapah, mengancam, mengeluarkan kata-kata kasar. Motif Kekerasan Dari seluruh sinetron yang diteliti, hasil penelitian mengenai motif kekerasan dalam sinetron sebagian besar berdimensi tidak sengaja, yaitu 81,22 %. Motif kekrasan yang disengaja 18,78 %. Artinya sebagian besar tayangan sinetron dalam penelitian ini mengandung motif kekerasan yang berdimensi tidak disengaja. Pelaku kekerasan melakukan kekerasan tanpa disertai maksud untuk melakukan kekerasan tetapi masih muncul efek yang dapat menyakitkan hati, penderitaan pada diri korban. Dalam hal ini pelaku kekerasan melakukan kekerasan secara verbal atau visual. Motif kekerasan tidak sengaja berupa gurauan yang berakibat kesakitan, hanya ikutikutan dan membela diri dari aksi kekerasan. Motif kekerasan yang sengaja berarti kekerasan dilakukan disertai maksud dalam diri pelaku yang dinyatakan secara verbal atau visual. Pelaku kekerasan Pelaku kekerasan seluruh sinetron yang diteliti cenderung perempuan (74,65%) sedangkan pelaku laki-laki hanya (25,35 %). Dari hasil tersebut maka stigma perempuan semakin menonjol seiring dengan berbagai isu
tentang kesetaraan gender dan ditambah lagi dengan tayangan-tayangan yang menunjukkan keberpihakan pada perempuan seperti tayangan “Suami-suami takut Istri”. Perempuan lebih dominan sebagai pelaku kekerasan yang bersifat verbal. Fenomena ini sudah berbalik arah dengan masa yang lalu di mana perempuan adalah objek yang lemah yang tidak berdaya dan selalu menjadi mahluk yang dianggap tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Dari segi budaya bangsa Indonesia juga mendukung bahwa perempuan harus tunduk pada suami, dan dalam percaturan politik pun demikian. Bentuk Kekerasan Berdasarkan Jenis Kelamin Pelaku Kekerasan Pelaku kekerasan laki-laki cenderung berbentuk fisik (32,5 %) sedangkan perempuan cenderung melakukan kekerasan psikologis (76,80 %). Artinya ada perbedaan antara pelaku laki-laki dan perempuan dalam melakukan tindak kekerasan. Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan dalam sinetron remaja yang diteliti cenderung perempuan (56,81%). Jika dikaitkan dengan pelaku kekerasan maka dapat disimpulkan bahwa pelaku dan korban kekerasan cenderung perempuan dengan bentuk kekerasan yang bersifat psikologis. Dengan demikian stigma perempuan yang lebih gampang dan sering mengungkapkan perasaan benci, kesal, marah, memaki, dan sebagainya dalam bentuk kata-kata sesuai dengan kenyataannya. Sedangkan laki-laki lebih banyak menggunakan pola pikir yang simpel dan rasional. Perempuan lebih mengarah pada emosionalnya. Usia Pelaku Kekerasan Usia pelaku kekerasan pada empat dari lima judul sinetron, yaitu Gua Gak Takut Patah Hati, Sissy Ajah, Harum Namanya, dan Cinta Super Ketat cenderung remaja, sedangkan pelaku kekerasan pada satu sinetron cenderung dewasa (Aisyah). Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa usia pelaku kekerasan dalam sinetron cenderung usia remaja (60,09%). Potret Sinetron Remaja di Televisi
31
Usia Korban Kekerasan Usia korban kekerasan pada masingmasing sinetron mempunyai persentase tertinggi korban remaja, yaitu 72,30%. Kecenderungan korban kekerasan dalam sinetron remaja adalah remaja (70,42%). Hal ini sesuai dengan sasaran sinetron tersebut yang juga remaja walaupun kenyataannya sering juga ditonton oleh anak-anak. Artinya pelaku dan aksi kekerasan didominasi oleh remaja Motif Pelaku Kekerasan Motif pelaku kekerasan pada semua sinetron cenderung tidak disengaja, yaitu 81,69%. Motif Kekerasan Berdasarkan Usia Berkaitan dengan motif dan usia pelaku kekerasan dalam seluruh sinetron yang diteliti dapat digambarkan bahwa usia remaja dan dewasa cenderung mempunyai motif kekerasan tidak sengaja sedangkan anak mempunyai motif sengaja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak 100 % melakukan kekerasan yang disertai maksud yang dinyatakan secara verbal atau visual. Dalam hal ini terjadi dalam sinetron Aisyah yang dicerminkan dengan perilaku anak tersebut yang sudah mempunyai niat dan persiapan untuk mencelakai pembantunya sejak beberapa waktu sebelumnya. Sedangkan pelaku remaja dan dewasa pada umumnya melakukan kekerasan tersebut secara tidak sengaja. Artinya terjadi secara langsung tanpa persiapan terlebih dahulu. Motif Kekerasan Berdasarkan Jenis Kelamin Pelaku laki-laki maupun perempuan cenderung mempunyai motif yang sama dalam melakukan kekerasan yaitu tidak sengaja. Jadi tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam melakukan kekerasan. Pembahasan Hasil penelitian PSR2 jika dibandingkan dengan hasil penelitian PSR 1 ternyata sama, yaitu sama-sama cenderung menampilkan
32
Januari 2010
bentuk kekerasan psikologis. Dengan demikian tidak ada perubahan bentuk kekerasan yang ditayangkan walaupun sudah direkomendasikan bahwa tayangan kekerasan melalui sinetron perlu dikurangi. Mengenai dampak tayangan kekerasan di televisi, pihak industri televisi, para akademisi dan pengamat media mempunyai pendapat yang berbeda. Hal yang serupa pun dikemukakan oleh Widyastuti (1997) tentang pro dan kontra dampak tayangan kekerasan di televisi. Mengenai efek tayangan kekerasan melalui televisi, Alwi Dahlan mengatakan, pengaruh tayangan televisi terhadap pemirsanya tidaklah berlangsung sesaat tetapi terakumulasi dari hari ke hari. Himmelweit dan kawan-kawan, juga mengatakan bahwa televisi membuat penonton menjadi pasif. Mereka akan duduk di depan televisi menonton acara demi acara sehingga mengurangi kesempatan untuk melakukan tindakan-tindakan lain termasuk agresif (Comstock, dalam Gebner, 2001). Para pengamat Amerika juga mengatakan bahwa ada dugaan bahwa film kekerasan dapat mendorong agresifitas seseorang. Sedangkan National Institute of Mental Health (NIMH) mengatakan bahwa pengaruh tayangan televisi ditentukan oleh proses. Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tayangan sinetron yang dominan berisi tayangan kekerasan berdampak negatif bagi anak remaja di mana behaviour negative terjadi dalam satu proses yang memakan waktu yang lama, tidak seketika. Terlebih-lebih bagi masyarakat termasuk remaja yang belum kritis menonton televisi. Hasil penelitian Sadakita (2008) menunjukkan bahwa remaja dalam hal ini siswa SMA Depok baru sampai pada tahap cukup kritis dalam menonton tayangan televisi, belum sampai pada tingkat kritis dan sangat kritis. Memang tidak bisa disalahkan satu pihak saja dalam hal ini pihak industri televisi tetapi juga perlu kita sadari bahwa televisi yang frekuensi penayangannya cenderung berisi kekerasan maka tidak mustahil dengan satu proses tertentu di mana penonton mempunyai
JURNAL ISIP Sadakita Br Karo
pengalaman yang sama dengan isi tayangan akan membentuk satu sikap dan perilaku yang sama dengan isi tayangan tersebut. Proses tayangan televisi membentuk sikap dan perilaku baik positif maupun negatif melalui proses peniruan. Dalam hal penonton menjadi agresif atau pasif bukan hanya ditentukan oleh hasil, tetapi lebih memperhatikan kondisi yang terjadi sebelum, sedang , dan setelah menonton televisi. Comstock, 1978 mensejajarkan TV dengan pengalaman, tindakan, atau observasi perorangan yang dapat menimbulkan konskuensi terhadap pemahaman ataupun tingkah laku tetapi juga mampu bertindak sebagai stimulus untuk membangkitkan tingkah laku yang telah dipelajari dari sumber-sumber lain. Apabila seseorang menonton suatu acara TV yang menggambarkan suatu tingkah laku tertentu maka ia akan mendapatkan masukanmasukan (input) yang berkaitan dengan tingkah laku tersebut. Masukan utama adalah gambaran mengenai aksi tertentu (TV act). Masalahmasalah lainnya mencakup tingkat kesenangan getaran yang ditimbulkan dalam diri penonton (arousal) daya tarik (attractiveness) minat atau kepentingan (interest) dan motivasi (motivation) untuk berterimakasih sesuai dengan apa yang disajikan dalam acara TV tersebut ( semuanya ini secara kolektif disebut sebagai TV arousal), serta aksi-aksi alternatif atau bentuk-bentuk tingkah laku lainnya yang ditayangkan TV dalam konteks yang sama. Dua faktor lainnya yang menjadi masukan, yaitu persepsi mengenai akibat sebagaimana digambarkan TV ( TV Perceived Consequences) dan persepsi mengenai realitas tentang apa yang digambarkan dalam TV( TV Perceived Reality). Proporsi utama dari model Comstock bahwa gambaran yang ditayangkan di TV akan mendorong khalayak untuk mempelajarinya. Semakin menonjol atau dianggap penting (secara psikologis) gambaran tingkah laku tersebut oleh seseorang semakin kuat getarangetaran yang muncul (arousal) dan semakin kuat pengaruhnya terhadap pembentukan tingkah laku dari orang tersebut.
Merujuk pemikiran Comstock, proses tayangan kekerasan di televisi ditiru dan membentuk sikap dan perilaku remaja dalam kehidupan sehari-hari seperti apa yang mereka tonton melalui satu proses yang sangat panjang. Artinya memerlukan tahapan yang dimulai dari pengalaman si remaja dengan realita kehidupan mereka, seperti bagaimana ia melihat secara langsung peristiwa orang terdekat mereka dihina, dicemooh, dimarahi dengan kata-kata yang kasar, dipukul, ditampar dan sebagainya. Pengalaman tersebut akan dapat menjadi salah satu faktor pemicu untuk masuk pada tahapan selanjutnya. Selain pengalaman yang didapat secara kontak langsung, ada juga yang diperoleh secara kontak tidak langsung, yaitu melalui media-media lain selain televisi. Banyak peristiwa yang terkait dengan kekerasan di luar tayangan televisi. Selain itu kemenonjolan dan kemenyolokan tayangan sinetron yang mengandung kekerasan fisik dan psikologi juga akan memicu sikap dan perilaku penonton seperti apa yang ditonton. Apa yang ditampilkan dalam konsep display dalam model Comstock tidak dapat berdiri sendiri tetapi merupakan satu kesatuan yang diawali dari anteseden, interveining dan display. Dengan demikian analisis isi yang dilakukan terhadap sinetron remaja yang cenderung berisi kekerasan psikologis dengan ekspresi kekerasan bersifat verbal, besar peluangnya ditiru oleh penonton tayangan sinetron walaupun sifat tayangan tersebut hiburan. Mengenai ekspresi kekerasan yang cenderung bersifat verbal sesuai dengan bentuk kekerasan yang bersifat psikologis. Kata-kata kasar yang diucapkan oleh para pelaku yang berperan utama maupun pembantu dalam tayangan sinetron sudah dianggap masyarakat soal biasa karena dikemas dalam bentuk humor. Kata-kata makian, cemoohan, sindiran, sumpah serapah yang sering diucapkan dalam sinetron dan didengar oleh anak remaja dapat mempengaruhi perilaku yang sama. Artinya kata-kata yang sama juga keluar dari mulut Potret Sinetron Remaja di Televisi
33
anak remaja tersebut di dunia kehidupan mereka. Dengan demikian kata-kata yang tidak sopan, tidak sedap didengar telinga, dan kurang etis dalam berkomunikasi sudah menjadi hal yang dianggap biasa, tidak menyalahi etika dan perilaku bergaul di tengah-tengah masyarakat terlebih-lebih di kalangan remaja sendiri. Kita sering mendengar bagaimana remaja dengan mudah dan lantang mengucapkan katakata “begok lo, mampus lo, Gua hajar lo, Sialan lo, brengsek, dll” di tengah-tengah pergaulan masyarakat. Kata-kata tersebut keluar seperti air mengalir tanpa merasa ada yang salah. Menurut Idi Subandi, pengamat media, “Hujan makian, hujan celaan, hujan cemoohan” merupakan kata-kata yang sudah biasa bagi kaum remaja. Hal tersebut menuurut D.H Yatim (1998) bahwa media tidak sekedar jadi cermin (suatu realitas sosial) dia juga ikut membentuk realitas itu. Proses peniruan terhadap penggunaan katakata tidak sopan, seperti yang didengar dan dilihat secara kontinyu tanpa ada pengarahan dari orangtua akan dapat mengakibatkan penonton khususnya anak-anak dan remaja merasa dan meyakini bahwa hal seperti itu tidak menyalahi. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi pada perilaku komunikasi mereka yang sering menggunakan kata-kata yang tidak sopan seperti “ begok lo, brengsek lo, dll” yang disampaikan kepada orang yang lebih tua dari mereka. Perilaku kekerasan verbal tersebut sudah menjadi hal biasa didengar dan diucapkan oleh anak-anak remaja di dalam pergaulannya sehari-hari baik di depan orangtua maupun guru di sekolahnya. Kebiasaan yang didengar dan dilihat melalui tayangan sinetron tersebut berpeluang besar untuk ditiru oleh penonton, khususnya penonton berat yang belum memiliki atau masih rendah kemampuan menonton secara kritis. Mengenai kemampuan menonton secara kritis merupakan satu keharusan yang dimiliki oleh penonton tayangan televisi secara khusus. Yang dimaksud dengan sikap kritis menonton televisi adalah kemampuan yang dimiliki penonton dalam memberikan penilaian, menyeleksi, menganalisis dan mengambil kesimpulan tentang tayangn yang ditonton. Semakin besar pengetahuan penonton
34
Januari 2010
tentang realitas media sebagai media penyampai informasi, hiburan dan mengisi waktu luang serta bagaimana realitas sosial yang ada pada masyarakat maka penonton semakin kritis dalam menonton tayangan televisi. Apa yang diungkapkan tentang sikap kritis menonton sering dimasukkan dalam konsep literasi media. Keberadaan industri televisi yang lebih cenderung mengarah pada selera penonton, untuk mengejar rating yang tinggi tidak dapat dielakkan lagi.Sering sekali industri televisi harus mengesampingkan faktor edukasi demi mengejar pemasukan materi dari pemasangan iklan. Karena itu dalam tayangan sinetron yang mempunyai rating tinggi akan semakin banyak porsi iklannya. Bila dikaitkan dengan faktor regulasi terkait dengan keberadaan Badan Sensor Film (BSF) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seharusnya dapat lebih diefektifkan. Dan selama ini pun sebetulnya kedua badan tersebut sudah bekerja namun belum maksimum. Dikaitkan dengan keberadaan Indonesia yang belum menjalankan peraturan secara konsekuen dimana faktor regulasi belum berfungsi dengan baik tetapi masyarakat dan bangsa Indonesia yang sedang berkembang, tidak boleh terlena, tidak boleh membiarkan generasi penerus bangsa sebagai pengganti generasi sekarang ini berkembang tanpa identitas diri yang jelas, yaitu bangsa Indonesia yang berbudaya. Tentu kita harus memperhatikan dari segala faktor termasuk komunikasi melalui teknologi televisi yang cenderung kurang mendidik seperti tayangan sinetron sebagai salah satu tayangan yang digemari kaum remaja yang isinya penuh dengan kekerasan maka dalam jangka waktu tertentu secara perlahan-lahan melalui proses dapat membentuk sikap dan perilaku yang hampir sama dengan isi tayangan tersebut melalui proses peniruan. Salah satu cara yang visible dilakukan adalah melalui pendidikan yang berorientasi pada pembentukan sikap dan perilaku menonton. Anak remaja harus mengetahui lebih jauh bahwa televisi adalah salah satu industri yang mengejar keuntungan di samping fungsi-fungsi sosial lainnya. Selain itu masyarakat pun harus
JURNAL ISIP Sadakita Br Karo
tahu bahwa tayangan sinetron tersebut hanyalah sebagai hiburan yang dapat membuat penonton ketawa, memanfaatkan waktu luang serta untuk mendapatkan informasi. Dan yang paling penting, anak remaja harus dapat memahami, menganalisis, menilai dan menyeleksi tayangantayangan yang berkualitas dan bermanfaat bagi remaja. Ambil makna dalam setiap tayangan berdasarkan kemampuan analisa masing-masing sehingga tayangan tersebut tidak sampai pada pengikisan nilai-nilai atau terjadi perubahan tingkah laku yang tidak sesuai dengan budaya dan aturan yang kita sepakati bersama sebagai bangsa Indonesia. Sikap kritis menonton televisi harus dibangun secepatnya sehingga apa pun isi tayangan televisi tersebut tidak berdampak negatif. Inilah yang harus diciptakan terutama pada generasi muda. Perkembangan teknologi komunikasi harus dibarengi dengan kemampuan menyeleksi, kemampuan menganalisis, memahami, mengambil kesimpulan apakah ditiru atau tidak. Tentu hal ini tidak segampang membalikkan telapak tangan, tetapi memerlukan proses yang dapat ditembus melalui jalur pendidikan formal, mengoptimalkan peran orangtua sebagai orang yang terdekat dengan anak-anak, dan sosialisasi melalui media massa. Pemerintah harus turun tangan menangani pembentukan sikap kritis menonton televisi ataupun menghadapi terpaan media yang semakin hari semakin bervariasi baik dari kualitas maupun kuantitas. Penutup Setelah dipaparkan hasil penelitian berdasarkan bentuk, ekspresi, pelaku, korban, motif kekerasan maka dapat disimpulkan: Terdapat persamaan antara semua judul sinetron yang diteliti dalam menayangkan sinetron yaitu tayangan cenderung berisi kekerasan psikologis, seperti kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap mental korban dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, dan memata-matai atau tindakan lain yang menimbulkan rasa takut. Laki-laki dan perempuan dalam melakukan
bentuk kekerasan, ada perbedaan, yaitu laki-laki cenderung kekerasan fisik sedangkan perempuan cenderung kekerasan psikologis. Laki-laki sebagai makhluk yang cenderung menggunakan rasionalitas pada umumnya terjadi dalam sinetron remaja. Sebagian besar korban kekerasan dalam sinetron remaja adalah perempuan dengan bentuk kekerasan psikologis dan ekspresi kekerasan yang berdimensi verbal. Perempuan sebagai mahluk yang lemah sering diperlakukan sebagai objek yang lemah karena selama ini kemampuan dan kemandirian serta budaya lokal mendukung hal tersebut. Hujan kata-kata makian, celaan, cemoohan, mengancam, mencibir, dan menyumpahi semakin sering frekuensinya dalam sinetron remaja tersebut. Kata-kata yang tidak baik tersebut sudah dianggap biasa dan tidak menyalahi norma dan etika yang berlaku di Indonesia karena dikemas dalam acara yang dapat menghibur masyarakat. Mayoritas pelaku dan korban kekerasan dalam sinetron berusia remaja dengan bentuk kekerasan cenderung psikologis. Kata-kata yang diucapkan dalam perkelahian seperti memaki, mencela, memojokkan, menekan, mengancam, memfitnah mempunyai frekuensi yang tinggi. Motif kekerasan yang dilakukan remaja mayoritas tidak disengaja, artinya kekerasan tanpa disertai maksud dalam diri pelakunya tetapi tetap memberikan efek penderitaan. Misalnya gurauan yang berakibat kesakitan, hanya ikutikutan serta membela diri dari aksi kekerasan. Kesimpulan secara menyeluruh, sinetron remaja sangat mengkhawatirkan karena remaja Indonesia sebagai sasaran sinetron belum kritis dalam menonton di lain pihak frekuensi kekerasan psikologis yang diekspresikan secara verbal sangat tinggi serta pengontrolan isi tayangan sinetron masih kurang. Berkaitan dengan temuan peneliti sebaiknya industri televisi perlu mengurangi tayangan sinetron yang mengandung kekerasan fisik maupun psikologis sampai batas remaja dapat lebih bersikap kritis dalam menonton televisi. Selain itu, perlu mengefektifkan faktor regulasi dan bersamaan dengan itu pemerintah dalam hal Potret Sinetron Remaja di Televisi
35
ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan perlu membuat satu program yang dapat membentuk anak didik lebih krtis menghadapi terpaan media massa. Bagi para orangtua remaja dan anakanak perlu mengajari bagaimana bersikap dan bertingkah laku berhadapan dengan media massa. Artinya perlu komunikasi antara anak dan orangtua tentang apa yang dibaca, ditonton, didengar, dan dilakukan anak-anak bila berhadapan dengan media massa, baik dari segi isi, fisik, maupun nilai-nilai etika, budaya yang ditangkap anak setelah mengkonsumsi media tersebut. Daftar Pustaka Cholifah (2008),” Potret Kekerasan Sinetron Remaja”, Jurnal ISIP, Edisi 07 Juli 2008 Dominick, Joseph R (1990) The Dynamics of
36
Januari 2010
Mass Communication, New York McGraw Hill Gebner, Gross, Morgan Michael Signorelli & Shanahan,”Growing Up With Television Cultivation Process” dalam J Bryant & D Zilman (eds) 2001 Media Effects Advance Teory and Research (second editon) New York: Erlibaum Br Karo, Sadakita (2008),”Faktor-Faktor Yang berhubungan dengan Sikap Kritis Siswa SMA Depok Dalam Menonton Tayangan Sinetron di Televisi” Tesis Institut Pertanian Bogor. Soenarto RM. 2007, Program Televisi dari Penyusunan Sampai Pengaruh Siaran, FFTV-IKJ Press. Widyastuti (1997), “Pro Dan Kontra Dampak Negatif Televisi”, Jurnal Kampus Tercinta, No 5 Tahun II, Agustus 1997
JURNAL ISIP Sadakita Br Karo