PERAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA (KPI) DALAM MENGAWASI TAYANGAN SINETRON TUKANG BUBUR NAIK HAJI DI RCTI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh RANNI JUWITA NIM: 109051000165
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2013 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, November 2013 Penulis
Ranni Juwita
ABSTRAK Ranni Juwita “Peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Mengawasi Tayangan Sinetron Tukang Bubur Naik Haji di RCTI”. Ditengah perkembangan zaman era globalisasi sekarang ini, televisi merupakan salah satu media yang paling berpengaruh bagi khalayak, berbagai macam informasi baik yang bersifat edukatif, hiburan maupun keagamaan dapat tersampaikan kepada khalayak melalui televisi. Sinetron religi merupakan salah satu program yang menjadi prioritas di berbagai stasiun televisi. Salah satunya sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji yang saat ini sedang marak sekali di stasiun televisi RCTI dan menjadi sinetron terfavorit. Namun yang kita ketahui ada pelanggaran yang terjadi pada peran antagonis di dalam sinetron ini, maka disinilah peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen Negara memiliki tugas dan wewenang yang diatur dalam Undang-undang Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. Berdaskarkan konteks diatas, maka pertanyaan mayor dalam penelitian ini adalah bagaimana peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam mengawasi tayangan sinetron religi di televisi? Pertanyaan minornya bagaimana regulasi penyiaran dapat di aplikasikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Undang-Undang penyiaran No. 32/2002? Bagaimana regulasi penyiaran dapat diaplikasikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Pedoman Perilaku penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS)? Peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang lebih terlihat adalah fungsi lembaga regulator yang berjalan di KPI sebagai regulatory body media penyiaran di Indonesia. Dua fungsi yang terlihat dominan dilaksanakan oleh KPI adalah peran sebagai complain commission (komisi komplain) atau wadah aduan masyarakat serta fungsi kontrol dan pemberi sanksi mulai dari denda hingga pencabutan izin. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan desain deskriptif. Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui bagaiamana KPI sebagai lembaga regulasi melaksanakan pengawasanya dengan menggunakan Undang-undang Penyiaran No.32 Tahun 2002 dan menggunakan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Model yang dipakai dalam penelitian ini adalah Demokratis-Partisipan Model. Model Demokratis-Partisipan ini digunakan di banyak negara demokratis. Sifat komunikasi dalam model ini adalah komunikasi dua arah (two-way-communication). Regulasi hukum penyiaran di Indonesia berpangkal pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002, sedangkan Komisi Penyiaran Indonesia telah menyusun P3 dan SPS disusun dengan dasar pertimbangan bahwa dalam rangka pengaturan perilaku lembaga penyiaran dan lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam dunia penyiaran di Indonesia dibutuhkan suatu pedoman yang wajib dipatuhi. Proses Pengawasan yang dilakukan KPI pada akhirnya menegaskan pentingnya regulasi di bidang penyiaran, dan pentingnya lembaga regulasi penyiaran sepperti KPI dengan menggunakan UU Penyiaran No.32/2002 dan P3 dan SPS. Keywords: sinetron religi, regulasi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dengan mengucapkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya. Sekalipun skripsi yang berjudul “Peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Mengawasi Tayangan Sinetron Tukang Bubur Naik Haji di RCTI” ini masih jauh dari sempurna, namun ini merupakan suatu usaha yang maksimal, karena dalam proses penyelesaiannya tidak sedikit kesulitan dan hambatan dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat pertolongan Allah SWT yang memberikan nikmat-Nya dan kesungguhan kepada penulis serta bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.
Dr. Arief Subhan, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Suprapto, M.Ed selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Drs. Jumroni, M.si, selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Drs. Wahidin Saputra, M.A selaku Wakil Dekan ii
Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Ibu Umi Musyarofah, M.A sebagai Sekertaris Jurusan KPI, dan Pak Fatoni yang telah membantu dalam memberikan informasi akademik dan penyusunan transkrip nilai penulis. Ibu Siti Napsiyah, M.SW, sebagai Dosen Penasehat Akademik KPI E angkatan 2009, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan proposal skripsi. 3.
Dr. Rulli Nasrullah M.si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya serta memberi arahan dan masukan dalam membantu penulisan skripsi ini.
4.
Iddy Muzayad selaku Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat yang bersedia saya wawancara, Bpk Irvan Senjaya selaku Koordinator Pemantauan Langsung, Mas Huda, dan Mas Andi Arianto yang bersedia membantu saya dalam proses wawancara di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
5.
Seluruh dosen yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis dari semester I hingga semester VIII. Semoga ilmu yang diberikan menjadi amal baik di akhirat kelak, Amin.
6.
Para staf Tata Usaha (TU) yang telah membantu surat menyurat untuk penelitian skripsi ini, dan para staf perpustakaan yang telah memberikan pelayanan dan fasilitas buku-buku referensi.
7.
Ayahanda dan Mamahku tercinta, Bapak Rachmanudin dan Ibu Asyiah Slamet, terimakasih telah membesarkan anakmu ini dengan penuh kasih sayang serta selalu mendukung dan mendoakan saya hingga saat ini.
iii
8.
Keluarga besar penulis, yang mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Adik dan kakak-kakak ku tersayang, Anita Rachman, Harry Irawan, dan Anggi Rachman, terima kasih semua atas dukungannya.
9.
Rahman Maulana, Kekasih merangkap sebagai sahabat, teman cerita, yang selalu mau mendoakan dan mengantarkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini, terima kasih.
10. Teman-teman seperjuangan KPI E 2009 yang memberikan banyak motivasi untuk penulis. Sahabat tercinta Sita dan Vira yang selalu menjadi teman sharing untuk penulis, berbagi canda dan tawa, Fawah, Enis, Inyo, Meta, Ifah, Anisa, Ela, Yusli, Fadli, Dava, Eci, Yunia kalian semua adalah sahabat sampai kapan pun. 11. Sahabatku tersayang yang selalu memotivasi dan mendukung penulis agar penulis cepat selesai dalam penyusunan skripsi ini Dera, Indah, Aris, Tyas, Indri kalian baik. Thank you very much. 12. Kawan-kawan KKN Kelompok Empat Belas Devi, Lala, Nia, Riska, Asma, Ikim, Gita dan kawan-kawan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu per satu. 13. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Walau tak tertulis, Insya Allah perbuatan kalian menjadi sebuah amal yang baik tertulis “di lembaran lain”. Amin
iv
Akhir kata, penulis mohon maaf jika dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Namun, penulis berharap saran serta kritik dalam rangka perbaikan perbaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jakarta, November2013
Ranni Juwita
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................ i KATA PENGANTAR .............................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................. vi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 7 D. Metodologi Penelitian …………………………………… 8 E. Tinjauan Pustaka …………………………………… ........ 10 F. Sistematika Penulisan ........................................................ 12
BAB II
LANDASAN TEORITIS A. Regulasi Penyiaran di Indonesia ........................................ 13 B. Sinetron Sebagai Produk Acara di Televisi ........................ 27 C. Sinetron Sebagai Media Dakwah ........................................ 35
BAB III
GAMBARAN UMUM KOMISI PENYIARAN INDONESIA(KPI) DAN SINETRON TUKANG BUBUR NAIK HAJI A. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) .................................... 43 B. Gambaran Program Sinetron Religi Tukang Bubur Naik Haji ............................................................................................. 51 C. Proses Pengawasan Isi Siaran oleh KPI ............................. 54
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISA A. Pengawasan Isi Siaran Terhadap Sinetron Religi Tukang Bubur Naik Haji ............................................................................ 58 B. Analisis Pelanggaran Program Sinetron Tukang Bubur naik Haji ..................................................................................... 67 C. Implementasi Undang-Undang No.32 Tahun 2002 dan P3 dan SPS
vi
dalam Program Sinetron Religi Tukang Bubur Naik Haji . 78 D. Alur Pengawasan Isi Siaran KPI……..………………….. 86 E. Proses Pengawasan Isi Siaran Sebagai Wujud Fungsi KPI.. 92
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................ 100 B. Saran .................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 104 LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Pascapergantian pemerintah tahun 1998 terjadi perkembangan cukup pesat dalam perindustrian pertelevisian di Indonesia. Jika pada masa Orde Baru hanya ada 6 stasiun TV yang bersiaran keseluruh wilayah Indonesia seperti TVRI, RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, dan ANTV, pada tahun 2000-an berdiri 5 stasiun televisi swasta baru yaitu Trans TV, Trans 7 (TV-7), Global TV, Metro TV, dan TV One (Lativi).1 Perkembangan juga terjadi pada TV lokal. Di tahun 2007 jumlah TV lokal lebih dari 30 stasiun. Pada tahun 2009, menurut Jimmy Silalahi, Direktur Eksekutif Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), diperkirakan ada 224 televisi lokal yang tersebar pada 33 provinsi di Indonesia (Surya, 2009, par. 8). Dalam satu wilayah bisa berdiri beberapa TV lokal. Misalnya, di Jakarta ada beberapa stasiun TV lokal, yakni O Channel, Jak TV, Elshinta TV, Daai TV, dan B-Channel. Kemajuan teknologi satu sisi telah berhasil mengatasi keterbatasan jarak dan waktu yang cepat, tetapi di sisi lain mempertajam ketidakseimbangan arus informasi.2 Kemajuan teknologi ini juga telah dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Khususnya di bidang komunikasi. Hal ini dinikmati melalui radio, televisi, film, dan surat kabar. Bahkan seluruh pelosok Indonesia dapat menikmati kemajuan teknologi tersebut.
1
Suratnoaji, Catur, artikel “Strategi Bisnis TV Dalam Situasi Krisis”, Penyiaran Indonesia, Newsletter KPI. (Jakarta: KPI Pusat 2008). Edisi September-Desember 2008, hal 21 2 Bakri, Abbas. Komunikasi Internasional Peran dan Permasalahannya. (Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta IISIP. 2003). Cet ke 1 h 32.
1
2
Tayangan menurut bahasa adalah sesuatu yang ditayangkan (dipertunjukkan), pertunjukan (film, dan sebagainya) persembahan. Televisi adalah sistem elektronik yang mengirimkan gambar diam dan gambar hidup bersama suara melalui kabel dan ruang. Sistem ini menggunakan peralatan yang mengubah cahaya dan suara ke dalam gelombang elektrik dan mengkorvesinya kembali ke dalam cahaya dan suara yang dapat di dengar. 3 Televisi adalah sistem penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat didengar.4 Televisi memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, sudah banyak orang yang mengetahui dan merasakannya. Akan tetapi sejauh mana pengaruh positif dan negatif belum diketahui banyak.Menurut Prof. Dr. R. Mar’at dari Unpad, acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi, dan perasaan para penonton.5 Sebuah data menunjukkan, tingkat penetrasi televisi di banding media lain jauh lebih besar, yakni melampau angka 90%. Artinya, televisi merupakan media yang diakses dan dinikmati lebih banyak sedemikian banyak orang. Apalagi, keberadaan televisi tidak hanya di ruang keluarga rumah, tetapi di banyak tempat-tempat strategis
3
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi 3, 2003). (alMihrab, Rubrik : Telaah Utama, Edisi 16 Tahun ke-2, Semarang, 2005). 4 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi 3, 2003). (alMihrab, Rubrik : Telaah Utama, Edisi 16 Tahun ke-2, Semarang, 2005). 5 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.1984.).Cet ke 11 h 41.
3
lain, mislnya ruang tunggu dokter, loket karcis kereta api, ruang guru, sampai warung makan.6 Tayangan sinetron bertema religius sangat marak di stasiun-stasiun televisi swasta nasional. Terlebih lagi ketika memasuki Bulan Ramadhan. Tujuan akhir dari sinetron yang menggambarkan “pertarungan” antara kejahatan yang disimbolkan dalam wujud setan melawan kebenaran lewat jargon agama tertentu adalah untuk meningkatkan moral masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya akhir cerita dimenangkan oleh kebenaran.7 Agar pembodohan kepada para pemirsa tidak berkelanjutan perlu adanya sensor ketat dalam penayangan sinetron-sinetron bernuansa religius. Sehingga tujuan mendidik dan mencerdaskan masyarakat Indonesia melalui pemutaran sinetron religius dapat tercapai dengan baik, bukan hanya sekedar kejar tayang mumpung sedang diminati. Jika mempelajari sinetron religi ala Indonesia dari waktu ke waktu dengan bangga dan beraninya para produser membuat sinetron religi tanpa merasa takut salah dan menodai nilai-nilai Islam, padahal banyak sekali dampak negatif yang ditimbulkan acara sinetron tersebut. Sinetron religi menyeruak pertelevisian Indonesia sehingga hampir semua stasiun televisi swasta menayangkan sinetron bernuansa religi. Mereka terpicu membuat sinetron religi karena pada umumnya masyarakat Indonesia beragama Islam, lain halnya dengan sinetron yang satu ini seperti sinetron religi yang saat ini sedang naik daun dan mendapatkan penghargaan Panasonic Award sebagai sinetron 6
Komisi Penyiaran Indonesia(KPI), KEMKOMINFO. Buku Saku Literasi Media Televisi (Jakarta. 2012). Hal. 2. 7 Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa hal. 110.
4
terfavorit yaitu Sinetron Tukang Bubur Naik Haji, sinetron yang sangat diminati masyarakat ini berhasil menjadikannya sebagai sinetron terfavorit. Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suuara dan gambar secara umum,baik
terbuka
maupun
tertutup,
berupa
program
yang
teratur
dan
berkesinambungan.8Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa.9 Televisi kini merupakan media dominan komunikasi massa di seluruh dunia, dan sampai sekarang masih terus berkembang. Dengan sekitar 900 stasiun televisi, belanja iklan ditelivisi terus melonjak dari US$ 561 juta di tahun 1949 menjadi US$ 3,6 miliar ditahun 1969.10 Banyaknya audien televisi menjadikannya sebagai medium dengan efek yang besar terhadap orang dan kultur dan juga terhadap media lain. Sekarang televisi adalah medium massa dominan untuk hiburan dan berita.11 Tayangan sinetron religi yang diputar di berbagai stasiun televisi Indonesia sudah banyak melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan yakni berupa penyampaian pesan yang disampaikan oleh pemeran antagonis dengan kata-kata kasar dan makian. Snapshot pemetaan persoalan didasarkan pada beberapa fenomena terakhir yang menonjol, khususnya terkait aspek rendahnya kreativitas dan mutu
8
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) UU Tentang PenyiaranNo. 32 tahun 2002.(Jakarta: 2007.)
h.5. 9
Uchjana Effendy, Onong.Op.Cit. h 20. Rivers L, William, et al. Media Massa dan Masyarakat Modern Edisi Kedua (Jakarta: Kencana.2008).Cet Ke 3 h 22 11 Vivian, John. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedelapan (Jakarta: Kencana, 2008). Cet Ke 1 h 224 10
5
sinteron sebagai sebuah karya seni yang seharusnya tidak hanya menjadi tontonan (hiburan), tetapi juga sekaligus menjadi tuntunan (sarana edukasi). Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Dalam menjalankan fungsi penyiaran juga mempunyai ekonomi dan kebudayaan, untuk itu KPI sebagai lembaga penyiaran ingin agar semua fungsi komunikasi massa dapat tercapai secara utuh. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga Negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. KPI melakukan peran-perannya sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Dalam menjalankan fungsinya, KPI juga mempunyai beberapa wewenang yaitu: 1. Menetapkan standar program siaran. 2. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran. 3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran. 4. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran terhadap pelanggaran peraturan dan pedoaman perilaku penyiaran serta standar program siaran. 5. Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat. Penelitian skripsi ini mengkaji tentang peran dan fungsi KPI dalam mengawasi tayangan sintron religi di televisi.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam kajian ini, peneliti membatasi kajian tentang peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam mengawasi tayangan sinetron religi di televisi. Agar pembahasan dalam peneltian ini lebih terarah maka rumusan masalah dalam penelitian ini dirangkum melalui pernyataan di bawah ini. KPI sebagai lembaga independen yang bertugas menyaring tayangan yang baik dan buruk. Maka penelitian ini akan dibatasi pada tayangan sinetron religi yang ditayangkan di stasiun RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) yaitu Tukang Bubur Naik Haji yang ditayangkan setiap hari pada pukul 20.00-22.00 malam. Peneliti akan menganalisis adegan dari tanggal 1-5 Mei 2013. Oleh karena itu pada penelitian kali ini akan mencoba mengkaji permasalahan tayangan sinetron religi yang menabrak norma-norma yang telah ditentukan oleh KPI yakni sejauh mana stasiun televisi Indonesia melewati batas-batas yang telah ditentukan dengan perincian masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam mengawasi tayangan sinetron Tukang Bubur Naik Haji di RCTI? 2. Bagaimana regulasi penyiaran dapat di aplikasikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002? 3. Bagaimana regulasi penyiaran dapat diaplikasikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS)? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian adalah:
7
1. Untuk mengetahui bagaimana peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam mengawasi tayangan sinetron religi di televisi. 2. Untuk mengetahui bagaimana regulasi penyiaran Undang Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002. 3. Untuk mengetahui bagaimana regulasi penyiaran Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian secara akademis yaitu untuk mengembangakan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang jurnalistik televisi. Serta memmberikan gambaran tentang tayangan-tayangan yang layak dan kurang layak ditayangkan di televisi. Manfaat penelitian secara praktis adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peminat studi penyiaran sebagai bahan bacaan ketika menjawab permasalahan kontemporer dalam kehidupan. Khususnya permasalahan penyiaran televisi.
D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan
yang
digunakan
adalah
pendekatan
kualitatif,
yaitu
pendekatan yang menghasilkan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati dan diteliti oleh peneliti. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang diharapkan, peneliti menggunakan
8
pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis, Adapun data yang dikumpulkan dari metode deskriptif ini adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan model kualitatif.12 2. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sedangkan objek penelitiannya adalah Sinetron Tukang Bubur Naik Haji.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik merupakan cara yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data. Data adalah bahan keterangan tentang sesuatu objek penelitian yang diperoleh di lokasi penelitian. 1) Wawancara (interview) adalah sebuah proses memperoleh sebuah keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara.13 Wawancara ini dilakukan untuk memeperoleh data dari sumber tentang masalah yang akan diteliti. Wawancara ini dilakukan secara bebas, tetapi tetap menggunakan pedoman wawancara agar pertanyaan terarah. 2) Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain panca 12
J Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2007), cet. Ke23, h.9-10. 13
Burhan Bungin, Metode penelitian Kuantitatif, (Jakarta; Prenada Media Group, 2005) h.126.
9
indera lainnya seperti telinga, mulut, dan kulit. Yang dimaksud metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian, data-data penelitian ini dapat diamati oleh peneliti. Dalam arti bahwa data tersebut dapat dihimpun melalui pengamatan peneliti melalui penggunaan panca indra.14Pengamatan yang dilakukan peneliti adalah dengan mendatangi langsung lokasi penelitian, kemudian mengamati tayangan religi Tukang Bubur Naik Haji. 3) Dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang lengkap, sah, dan bukan berdasarkan perkiraan. Metode ini hanya mengambil data-data yang sudah ada dan tersedia dalam catatan dokumen.15 Dalam penelitian ini, fungsi data yang berasal dari dokumen lebih banyak digunakan sebagai data pendukung dan pelengkap bagi data primer yang diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam. Peneliti mengumpulkan data yang diperoleh dari buku, makalah, artikel, catatan, dan sebagainya yang berhubungan dengan komunikasi massa.
4. Teknik Analisis Data Unit Analisis: Teks dan Organisasi
14 15
hal. 158
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kuantitatif, (Jakarta; Prenada Media Group, 2005), h.134. Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008),
10
melihat teks sebagai unit analisis terlebih dahulu peneliti bagaimana KPI sebagai lembaga regulasi melaksanakan pengawasannya, dengan menganalisis dokumen-dokumen tertulis, rekaman program, seperti buku, artikel, jurnal, dokumen resmi, press release, Undang-Undang Penyiaran, P3 dan SPS, karya akademis lainnya yang relevan dengan kasus yang dipilih, yaitu pengawasan terhadap program sinetron religi. Lalu pada tingkatan organisasi peneliti melihat bagaimana proses pengawasan isi siaran yang dilakukan oleh KPI pada program sinetron religi hal ini dapat melalui interaksi lembaga KPI dengan pihak stasiun televisi yaitu RCTI. Penelitian studi kasus ini menggunakan multilevel analisis yakni penelitian menganalisis data-data dari beberapa sumber yang berbeda. E. Tinjauan Pustaka Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut dan menyusunnya menjadi sebuah karya ilmiah, peneliti telah melakukan tinjauan pustaka dan menelaah terlebih dahulu beberapa skripsi dan karya ilmiah yang berkaitan atau hampir sama dengan penelitian yang peneliti lakukan. Sebagaimana yang telah ditulis Minfitratillah 104051101947 tahun 2008 mahasiswi komunikasi penyiaran Islam dengan judul “Peran Komisi Penyiaran Islam dalam Mengawasi Tayangan Mistik di Televisi” Dalam skripsinya Minfitratillah objek yang diteliti sama dengan peneliti yaitu Komisi penyiaran Indonesia (KPI) tetapi subjek penelitiannya berbeda peneliti tentang tayangan religi atau sinetron religi di televisi sedangakan Minfiratillah tentang tayangan-tayangan mistik yang ada di televisi.
11
Pada skripsi yang berjudul “Mekanisme Pengawasan Lembaga Regulasi Penyiaran Terhadap Program Televisi Yang telah Mendapatkan Sanksi (Studi Kasus Pengawasan KPI Terhadap Program “Empat Mata” dan “Bukan Empat Mata” di Trans 7) yang ditulis oleh Mahasiswi dari Universitas Indonesia Dwithia Wara Utari tahun 2009 menjelaskan tentang dalam mekanisme pengawasan isi siaran terhadap program “Empat Mata” dan “Bukan Empat Mata”, terlihat bahwa KPI belum menjalankan fungsi sebagai lembaga pengawas regulasi penyiaran secara optimal. Pada skripsi yang berjudul “Analisis Produksi terhadap program
sinetron
Tukang Bubur Naik Haji The Series(episode 402-403)” yang ditulis oleh Suci Nurul Khairiyah 109051000215 tahun 2013 menjelaskan tentang produksi sinetron tersebut. Perbedaan skripsi peneliti dengan penelitian yang lain di atas adalah adalah penelitian ini lebih mengarah
kepada sejauh mana lembaga Komisi Penyiaran
Indonesia mengawasi tayangan sinetron religi di televisi dan bagaimana regulasi penyiaran dapat di aplikasikan
oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam
Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dan P3SPS.
F. Sistematika Penulisan BAB I PendahuluanBab ini berisi mengenai Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, Sistematika Penelitian. BAB II Landasan TeoriBab ini berisi mengenai konsep dan teori-teori yang digunakan yang berisikan teori-teori yang relevan yang digunakan untuk menganalisis
12
dalam penelitian yang mencakup: Regulasi Penyiaran di Indonesia, Sinetron Sebagai Produksi Acara di Televisi, Sinetron Sebagai Media Dakwah. BAB III Gambaran Umum Obyek PenelitianBab ini mengenai gambaran umum yang meliputi: Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan tayangan sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji. BAB IVPembahasan Hasil PenelitianBab ini menjelaskan bagaimana pengujian hasil analisis penelitian. BAB V KesimpulanKesimpulan dan saran dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Regulasi Penyiaran di Indonesia 1. Definisi Penyiaran dan Regulasi Kehidupan media massa juga diatur dalam peraturan-peraturan perundangundangan tentang penyiaran, yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 tentang penyiaran kemudian di ganti dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran dan Peraturan-peraturan Pemerintah (PP) tentang pelaksnaannya.1 Penyiaran
adalah
kegiatan
pemancarluasan
siaran
melalui
sarana
pemancarluasan atau sarana transmisi di darat, di laut, atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.2 Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penyiaran adalah proses pemancarluasan siaran dengan menggunakan gelombang elektromagnetik melalui jalur darat, laut, udara secara serentak dengan media penyiaran. Penyiaran pada hakikatnya adalah salah satu keterampilan dasar manusia ketika berada pada posisi tidak mampu untuk menciptakan dan menggunakan pesan secara efektif untuk berkomunikasi. Penyiaran dalam konteks ini adalah alat untuk mendongkrak kapasitas dan efektivitas komunikasi massa.
1
Sudirman Tebba, Hukum Media Massa Nasional, (Ciputat: Penerbit Pustaka irVan, 2007) hal
71 2
Muhammad Mufid, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 67
13
14
Dalam sebuah karya, Ogus dan Selznick membahas definisi tentang regulasi, yakni menunjukkan peraturan yang berkelanjutan, terfokus dan terkontrol yang dilakukan oleh sebuah lembaga publik melalui kegiatan yang sedang dilakukan oleh sebuah komunitas.3 Regulasi adalah semua proses yang mempunyai fungsi mengubah proses lain, pengalaman aksi, yang ditimbulkan oleh situasi stimulus. Dengan demikian ada dualisme regulasi, yakni sebagai kegiatan yang mengatur dan sebagai kegiatan yang diatur.4
2. Bentuk dan Model Regulasi Penyiaran Etika dimana media dikontrol dalam suatu masyarakat yang demokratis mereflesikan ketidakmampuan media menyalurkan diri pada bisnis, politik, nilai sosial sehari-hari dan kehidupan berbudaya, serta imunitas relatif mereka terhadap regulasi pemerintah. Sebagian kontrol pemerintah, pembatasan, dan aturan perlu dilakukan, namun prinsip freedom of speech memerlukan pendekatan kontrol regulasi yang hati-hati. Term „governance‟ atau kontrol dalam hal ini digunakan untuk menggambarkan rangkaian hukum, regulasi, aturan, dan adat yang melayani tujuan untuk mengontrol kepentingan umum, termasuk industri media.5 Kontrol media dalam berbagai negara berbeda tergantung dari aturan standar dan tujuan, juga prosedur yang bervariasi atas ketegasan kebijakan dan pelaksanaan kontrol media. Variasi bentuk
3
Mike Feintuck, Media Regulation, Public Interest and Law, (Edinburg University Press) hal
202. 4
Muhammad Mufid, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, hal 67 Denis McQuail, Mass Communication Theory , 5th edition hal. 234
5
15
dari kontrol pemerintah pada media merefleksikan luasnya cakupan tujuan yang ingin dicapai, seperti 6: 1. Perlindungan kepentingan Negara yang diperlukan dan keteraturan publik; 2. Perlindungan keamanan terhadap hak individu dan kepentingan; 3. Mempertemukan kebutuhan industri media demi terwujudnya lingkungan yang stabil dan suportif; 4. Mempromosikan kebebasan dan nilai komunikasi serta budaya lain; 5. Mendukung inovasi teknologi dan pertumbuhan ekonomi; 6. Menetapkan standar teknis dan infrastruktural; 7. Mempertemukan kebijakan internesional, termasuk ketaatan terhadap hak asasi manusia; 8. Mendukung media yang bertanggungjawab. Regulasi kontrol media dapat diaplikasikan pada sistem media, organisasi atau firma media tertentu, atau pada aspek konten atau isi media. Sebagai aturan dasar, kontrol dapat jauh diaplikasikan pada masalah aplikasi isi media. Hal ini tentunya berhubungan dengan structure, conduct, dan performance dari media. Structure berkaitan dengan kondisi kepemilikan, kompetisi pasar, infrastruktur, pelayanan umum, atau kewajiban lainnya. Conduct terkait dengan independensi editorial, hubungan dengan narasumber dan pemerintah, masalah yang berhubungan dengan sistem keadilan, formal self-regulation, dan akuntabilitas media. Sedangkan, pada
6
Denis McQuail, Mass Communication Theory , 5th edition hal. 234
16
level performance menyangkut semua hal yang berhubungan dengan referensi tertentu atas dugaan kejahatan atau merugikan atau menyinggung masyarakat.7 Prinsip utama dari media governance adalah8: 1. Bentuk kontrol yang berbeda dapat diaplikasikan pada media yang berbeda pula; 2. Kontrol lebih diperlukan dan dapat diterima untuk media massa daripada untuk media skala kecil; 3. Kontrol dapat lebih diaplikasikan dengan legitimasi pada structure dari pada content; 4. Baik
sensor
pra-publikasi
maupun
hukuman
untuk
publikasi
tidak
diperbolehkan. 5. Secara umum self-regulation lebih disukai daripada kontrol dari luar media (eksternal). Dalam hubungannya dengan kepemerintahan suatu negara, Leen d‟Haenens membagi model regulasi penyiaran menjadi lima, yakni: 1. Model Otoriter Tujuan dalam model ini lebih sebagai upaya menjadikan penyiaran sebagai alat negara. Radio dan televisi sedemikian rupa diarahkan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan melestarikan kekuasaan. Ciri khas dalam model ini adalah kuatnya lembaga sensor terutama yang menyangkut keberbedaan. Hal ini sebagai konsekuensi keberbedaan yang dipandang sebagai 7
Denis McQuail, Mass Communication Theory (Sage Publications: 2005) 5th edition hal. 235-
236 8
Denis McQuail, Mass Communication Theory , 5th edition hal. 236
17
sesuatu yang tak berguna dan cenderung tidak bertanggung jawab karena kadang kala bersifat subversif. Sebaliknya, konsesus dan standarisasi dilihat sebagai tujuan dari komunikasi massa. Dunia penyiaran selama Orde Baru praktis berada pada kondisi seperti ini. 2. Model Komunis Walau merupakan subkategori dari model otoriter, namun dalam model komunis, penyiaran memiliki semacam tritunggal fungsi, yaitu propaganda, agitasi, dan organisasi. Aspek lain yang membedakan model ini dari model otoriter adalah dilarangnya kepemilikan swasta, karena media dalam model ini dilihat sebagai milik kelas pekerja biasanya terlembagakan dalam partai komunis, dan media merupakan sarana sosialisasi, edukasi, informasi, motivasi dan mobilisasi. 3. Model Barat-Paternalistik Sistem penyiaran ini banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa Barat semisal Inggris. Disebut “Paternalistik”, karena sifatnya yang top-down, di mana kebijakan media bukan apa yang audiens inginkan tapi sebagai keyakinan penguasa bahwa kebijakan yang dibuat memang dibutuhkan dan diinginkan oleh rakyat. Dalam model ini, penyiaran juga memiliki “tugas” untuk melekatkan fungsi-fungsi sosial individu atas lingkungan sosialnya.
4. Model Barat-Liberal
18
Secara umum sama dengan model Barat – Paternalistik, hanya berbeda dalam fungsi media komersialnya. Di samping sebagai penyedia informasi dan hiburan, media juga memiliki fungsi “ mengembangkan hubungan yang penting dengan aspek-aspek lain yang mendukung independensi ekonomi dan keuangan”. 5. Demokratis-Partisipan Model Model ini yang dikembangkan oleh mereka yang mempercayai sebagai powerful medium, dan dari banyak hal terinspirasi oleh mahzab kritis. Termasuk dalam model ini adalah berbagai media penyiaran alternatif. Sifat komunikasi dalam model ini adalah dua arah (two-way-communication). Di banyak negara demokratis, proses legislasi tetap dilakukan oleh parlemen, sedangkan institusi regulatory body berfungsi untuk: 1. Mengalokasikan lisensi penyiaran 2. Mengontrol dan memberi sanksi bagi pengelola penyiaran yang melanggar mulai dari bentuk denda sampai pencabutan izin 3. Memberi masukan kepada institusi legislatif 4. Sebagai watchdog bagi indepedensi penyiaran dari pengaruh pemerintah dan kekuatan modal 5. Memberi masukan terhadap penunjukkan jajaran kepemimpinan lembaga penyiaran publik. Hal ini banyak terjadi di Perancis. 6. Berperan sebagai minor judicial power dan complain commission. Menurut Feintuck, dewasa ini regulasi penyiaran mengatur tiga hal, yakni struktur, tingkah laku, dan isi. Regulasi struktur (structural regulation) berisi pola-
19
pola kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku (behavioural regulation) dimaksudkan untuk mengatur tata laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi (content regulation) berisi batasan material siaran yang boleh dan tidak boleh untuk disiarkan. Mengutip McQuail, Sendjaja selanjutnya menguraikan urgensi media penyiaran publik adalah untuk menjunjung nilai-nilai yang banyak ditinggalkan oleh media komersil, seperti independensi, solidaritas, keanekaragaman, opini dan akses, objektivitas, dan kualitas informasi.9
3. Regulasi Penyiaran di Indonesia Perubahan teknologi memungkinkan media penyiaran menjangkau jutaan orang melalui networked system yang menyelimuti seluruh negara. Hal ini mengubah media secara dramatis dalam memperluas jangkauan dan efek atau pengaruh media. Produser produk media yang mengandung kekerasan sering berargumentasi bahwa mereka hanya mereflesikan kekerasan yang sudah ada dalam masyarakat. Merespon hal itu, beberapa pemerintah memperkenalkan batas-batas terbaru dalam program, bahkan sampai kepada pengaturan dan pengawasan jumlah dan frekuensi iklan.10 Pemerintah berperan dalam membuat hukum dan peraturan bagi media massa. Kelonggaran regulasi yang dibuat pemerintah dapat mengakibatkan kekacauan dalam proses media massa baik elektronik maupun cetak. Regulasi yang memaksa satu pihak dapat menguntungkan pihak yang lain. Beberapa regulasi pemerintah, seperti izin 9
S Djuarsa Sendjaja dan Ashadi Siregar, Kumpulan Makalah Seminar Televisi Publik(Yogyakarta:UGM 2001), hal 3. 10 David William Hoynes, Croteau, Media/Society, Industries, Images, & Audiences(California: Pine Forge Press 1997) hal 72-88
20
penyiaran ditujukan untuk melindungi kepentingan finansial dari bisnis media. Industri media tidak akan bertahan tanpa kontrol dan regulasi dari pemerintah. Bisa dikatakan, industri media tidak bisa ada seperti sekarang tanpa regulasi dan kontrol pemerintah yang aktif. Karena itu industri media akan aktif mendukung beberapa regulasi, yaitu tentu saja, menguntungkan industri media.11 Regulasi juga dibuat untuk melindungi kepentingan publik dari pengaruh industri media yang kuat. Industri media biasanya akan mendukung regulasi ketika mereka menghadapi pembatasan gerak mereka ke publik, di lain pihak akan mendukung ketika terlindungi dari regulasi pemerintah yang lain. Peraturan dan regulasi media saat ini telah berubah seiring dengan perkembangan teknologi dan iklim politik. Perubahan teknologi dan evolusi legislatif membuat regulasi media menjadi ruang yang cepat berubah.12Pada hakikatnya, regulasi di bidang penyiaran adalah suatu keharusan. Alasannya, produk media akan selalu diarahkan dan berada di wilayah publik, karenanya publik adalah pihak yang harus dilindungi.13 Proses keabsahan Undang-Undang Penyiaran awalnya sangat kontroversial, karena tidak ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada akhirnya berlaku, karena ditetapkan berdasarkan Hak Inisiatif DPR RI, dan kemudian disahkan menjadi produk hukum yang mengikat bagi penyelenggaraan kegiatan radio dan televisi. Undang-Undang Penyiaran dibentuk dengan semangat bahwa dunia penyiaran akan memasuki era baru yang lebih demokratis sekaligus memecah
11
David William Hoynes, Croteau, Media/Society, Industries, Images, & Audiences, hal 64-66 David William Hoynes, Croteau, Media/Society, Industries, Images, & Audiences hal. 64-66 13 Darmawan Josep J, “Wacana”TV Lokal” Dalam Pertelevisian Indonesia” (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya 2003) Jurnal ISIP, Jurnal Masalah-Masalah Sosial dan Politik, Vol- 4/No. 4/ Des 2002-Feb 2003, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, hal 34 12
21
cengkeraman sekelompok pemodal yang selama ini mengangkangi keberadaan lembaga penyiaran di republik tercinta. Undang-Undang Penyiaran adalah regulasi dengan visi menyerahkan regulasi penyiaran kepada publik direpresentasikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mendorong adanya keragaman kepemilikan untuk menciptakan keragaman muatan. Demokratisasi penyiaran memberikan kewenangan lebih besar bagi publik untuk turut serta mengawal keberadaan lembaga penyiaran, radio dan televisi.14 Oleh karena itulah penyiaran di Indonesia diarahkan, selain untuk menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional, menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup. Di sisi lain didorong untuk mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran serta serta mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi. Selain itu, penyiaran juga diarahkan untuk memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab, serta memajukan kebudayaan nasional. 15 Di manapun sebuah program siaran membutuhkan lembaga yang mengatur lalu lintas pesan yang disiarkan. Bahkan bagi kelompok ini, regulasi yang ketat pun tidak
14
Judhariksawan, Hukum Penyiaran (Jakarta: Rajawali Pers 2010), Cetakan Ke-1 hal 91-92 Judhariksawan, Hukum Penyiaran hal. 92
15
22
menjadi masalah. Negara yang mengklaim demokratis pun perlu regulasi, termasuk keberadaan komisi penyiaran seperti KPI di Indonesia dan memberikan sanksi.16 Regulasi hukum penyiaran di Indonesia berpangkal pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran (UU Penyiaran). Pasal 33 ayat (1) mengatur secara tegas bahwa17: Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran. Setiap orang atau pihak yang hendak menyelenggarakan penyiaran, wajib terlebih dahulu memiliki Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Bilamana terdapat lembaga penyiaran yang mengudara tanpa mengantongi IPP, maka yang bersangkutan telah melanggar Undang-Undang Penyiaran dan karenanya aparat penegak hukum berkewajiban melakukan tindakan hukum dan bagi pelaku tindakan pidana penyiaran tersebut dapat dikenakan hukuman pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000 (lima milyar rupiah) untuk penyiaran televisi. Berdasarkan Undang-Undang Penyiaran, diketahui bahwa jasa penyiaran yang diregulasi hanya penyiaran radio dan penyiaran televisi. Untuk menyelenggarakan jasa penyiaran tersebut, Undang-Undang Penyiaran juga telah membagi lembaga penyiaran dalam 4 (empat) jenis. Yaitu: Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga
16
Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo 2004) hal 96. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dinamika Perizinan Penyiaran di Indonesia.(Jakarta: 2012.) hal.14. 17
23
Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Lembaga Penyiaran Berlangganan.18 Beberapa aturan yang terkait dengan program siaran yang tercantum dalam Undang-Undang Penyiaran dapat dikategorisasi dalam bentuk “kewajiban” dan “larangan” terhadap isi siaran. Terdapat empat kewajiban isi siaran bagi lembaga penyiaran dalam menyampaikan program siarannya, yaitu: 1. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. 2. Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurangkurangnya 60% mata acara yang berasal dari dalam negeri. 3. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. 4. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Sementara itu, terdapat beberapa larangan kandungan isi siaran yang tidak boleh disiarkan oleh lembaga penyiaran, yaitu dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan atau bohong, menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, 18
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dinamika Perizinan Penyiaran di Indonesia hal.14
24
penyalahgunaan narkotika, memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Komisi Penyiaran Indonesia telah menyusun suatu Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) disusun dengan dasar pertimbangan bahwa dalam rangka pengaturan perilaku lembaga penyiaran dan lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam dunia penyiaran di Indonesia dibutuhkan suatu pedoman yang wajib dipatuhi agar pemanfaatan frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam terbatas dapat senantiasa ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat sebesar-besarnya. Alasan lain adalah dengan munculnya stasiun-stasiun televisi dan radio baru di seluruh pelosok Indonesia, harus disusun standar yang mampu mendorong lembaga penyiaran untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera. Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) ditetapkan oleh KPI berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, nilai-nilai agama, norma-norma yang berlaku dan diterima dalam masyarakat, kode etik, serta standar profesi dan pedoman profesi yang dikembangkan masyarakat penyiaran. Pedoman Perilaku Penyiaran ditetapkan berdasarkan asas kepastian hukum, asas kebebasan dan bertanggung jawab, asas manfaat, asas adil dan merata, asas keberagaman, asas kemandirian, asas kemitraan, asas keamanan, dan etika profesi.
25
Menurut KPI, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) bertujuan agar lembaga penyiaran19: 1. menjunjung tinggi dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. meningkatkan kesadaran dan ketaatan terhadap hukum dan segenap peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia; 3. menghormati dan menjunjung tinggi norma dan nilai agama dan budaya bangsa yang multikultural; 4. menghormati dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi; 5. menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia; 6. menghormati dan menjunjung hak-hak dan kepentingan publik; 7. menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak anak, remaja dan perempuan; 8. menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak kelompok masyarakat minoritas dan marginal; dan 9. menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik. KPI juga menekankan kewajiban bagi lembaga penyiaran untuk melakukan penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan. Dengan penekanan bahwa lembaga penyiaran harus berhati-hati agar tidak merugikan dan menimbulkan efek negatif terhadap keberagaman khalayak baik dalam agama, suku, budaya, usia, gender dan latar belakang ekonomi. Serta lembaga penyiaran wajib menghormati norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. dalam hal ini, kritikan
19
Judhariksawan, Hukum Penyiaran hal. 96-97
26
masyarakat terhadap tayangan-tayangan tidak mendidik yang disajikan oleh penyiaran televisi telah banyak dilontarkan. Dalam tataran inilah efektivitas Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) ini diuji termasuk mengkaji bagaimana eksistensi KPI sebagai regulator yang eksekutor dalam hal isi siaran. Fakta menunjukkan, walaupun telah banyak tayangan acara televisi yang telah ditegur dan dijatuhkan sanksi oleh KPI, akan tetapi seolah tidak memberikan efek jera bagi lembaga penyiaran. Ironisnya, lembaga penyiaran justru berlindung dibalik “rating” acara dan acara yang ditegur justru merupakan acara yang tinggi peminatnya. Sehingga terjadi paradoksal antara peran KPI sebagai representasi publik dengan “keinginan” (versi rating) publik itu sendiri.20
B. Sinetron Sebagai Produk Acara di Televisi Sinetron sebagai sebuah hasil karya seni adalah produk dari sebuah kebudayaan masyarakat pada periode tertentu. Sebagai sebuah produk yang dihasilkan oleh media dan dikonsumsi oleh massa maka sinetron bisa disebut sebagai budaya massa. Sinetron merupakan wacana atau teks audiovisual yang bermuatan gambaran realitas sosial virtual atau tiruan dari realitas sosial nyata. Sinetron menyajikan versi persepsi hubungan-hubungan sosial terkini, mengandung pesan-pesan respon terhadap perubahan persepsi dan hubungan sehingga audience menjadi sadar atas adanya
20
Judhariksawan, Hukum Penyiaran hal. 98-99
27
pilihan-pilihan ganda yang kontradiktif. Sinetron disajikan secara sekilas, bertutur dalam bingkai episode, konkret dan dengan cara yang dramatis.21 1. Definisi Sinetron Sinetron adalah sebuah sinema elektronik tentang sebuah cerita yang di dalamnya membawa misi tertentu kepada pemirsa. Misi ini dapat berbentuk pesan moral untuk pemirsa yang ada di kehidupan masyarakat sehari-hari.22 Sinetron atau sinema elektronika sama dengan TV-play, sama dengan teledrama, sama dengan sandiwara televisi, sama dengan film-televisi, sama dengan lakon-televisi. Persamaannya: sama-sama ditayangkan medium audio-visual bernama televisi.23Berbeda bila dibandingkan dengan film layar lebar yang ditayangkan di televisi. Sinetron juga berbeda dengan pementasan teater yang direkam lantas disiarkan televisi. Sebagai sinema yang dikhususkan untuk tayangan televisi, perhitungan dan kemungkinan eksplorasi estetiknya pun menjadikan sinetron berlainan dengan sinema bioskop. Perbedaan yang paling terasa pertama kali adalah bahwa layar kaca televisi tidak selebar layar bioskop. Perbedaan kedua, jenis penontonnya pun relatif berbeda. Penonton bioskop sejak awal masuk gedung sudah menyiapkan diri untuk menyaksikan tayangan yang akan ditonton, sementara penonton sinema televisi
21
Siti Nurbaya,” Budaya dalam Sinetron Indonesia: Kajian Kritis Terhadap Produksi Sinetron Betawi “Kecil-Kecil Jadi Manten” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2006), hal 56 22 Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa(Jakarta: PT. Rineka Cipta 2008) hal.120. 23 Ashadi Siregar, Sinetron Indonesia Untuk Pasar dan Budaya(Yogyakarta: LP3Y 2005) hal 9
28
menontonnya bisa dikatakan sambil lalu, bersama sanak keluarga, sambil melayani tamu kalau ada tamu, atau sambil-sambilan lainnya.24 Perbedaan karakter pemirsa dan perbedaan masing-masing layar ini tentu membutuhkan perlakuan yang berbeda-beda atau masing-masing tayangan. Dramaturgi sinema televisi jadinya berbeda dibandingkan dramaturgi sinema bioskop. Contoh yang paling simpel, akan sangat riskan menganggap sinetron kolosal, yang penuh tokoh itu, sementara yang tersedia hanyalah layar yang tidak semuanya besar-besar ukuran incinya. Demikian halnya dengan kemungkinan adanya penonton yang serba sambilan dan sambil lalu itu, juga akan sangat riskan bagi sinetron yang sejak awal hingga akhir tayangan tidak memberi kesempatan pada penonton di rumah-rumah untuk menyempatkan diri ke kamar kecil, ke meja makan, atau mengantar tamu yang pamit pulang. Begitu banyak sinetron yang menempatkan sisi logika ini diurutan ke terakhir. Yang penting, penonton ketawa, yang penting pemirsa suka, yang penting penonton tidak mau ambil pusing , Survey Research Indonesia(RSI) melegitimasikan peringkat itu.25 Setidaknya alasan-alasan terakhir inilah yang dijadikan senjata pamungkas para pengelola siaran televisi swasta dan para kreator sinetron. Senjata pamungkas pengelola siaran televisi menjadikan kreator sinetron tidak lagi perlu mendalami produksi sinetronnya. Nyaris tidak bisa ditemukan paket-paket sinetron televisi swasta yang kualitasnya sekelas atau tidak mendekati mini seri Siti
24 25
Ashadi Siregar, Sinetron Indonesia Untuk Pasar dan Budaya hal 12 Ashadi Siregar, Sinetron Indonesia Untuk Pasar dan Budayahal 12
29
Nurbaya, seri-seri awal Jendela Rumah Kita, atau Aksara Tanpa Kata, Di Timur Matahari, Sayekti dan Hanafi, Tambusa, Di Balik Tobong, Tayub, Dua Orang Perempuan, Bertahan dalam Badai, Ketika Tebu Berbunga, dan sejumlah judul lainnya, yang ternyata lebih banyak di produksi oleh TVRI. 26 Film cerita yang dibuat untuk media televisi, yang dalam wacana televisi Indonesia disebut sinema elektronik (sinetron), sudah menjadi bagian dari wacana publik dalam ruang sosial masyarakat. Cerita sinetron tidak hanya sekedar menjadi sajian menarik di layar kaca, tetapi juga telah menjadi bahan diskusi atau bahan “ngerumpi baru” di antara para ibu di sekelompok arisan, antara anggota keluarga, bahkan tidak jarang, nilai-nilai sosial di dalamnya hadir sebagai rujukan perilaku para penggemarnya.27 Salah satu tayangan televisi yang marak ditayangkan dan terus menerus mengejar rating adalah sinetron. Sinetron tidak hanya menjadi salah satu komoditi bagi stasiun televisi, tetapi juga pengiklan. Dari sinetron, stasiun televisi mendapatkan keuntungan dari pengiklan. Sedangkan pengiklan mendapatkan khalayak untuk mempromosikan produknya.28
2. Karekteristik Sinetron Perkembangan sinetron televisi di Indonesia saat ini sangat pesat, banyaknya paket sinetron sireal maupun lepas di TV swasta, secara langsung mencerminkan prospek cerah bagi Production House (Rumah Produksi) maupun biro periklanan 26
Ashadi Siregar, Sinetron Indonesia Untuk Pasar dan Budaya hal 13 Muh. Ladib, Potret Sinetron Indonesia; Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial (Jakarta: PT Mandar Utama Tiga Books Division 2002) hal. 1 28 Mochtar Lubis, Budaya, Masyarakat, dan Manusia Indonesia: himpunan “Catatan Kebudayaan”(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1993) hal 201 27
30
yang berperan sebagai salah satu pemasok dana untuk mensponsori pembuatan dan penayangan sinetron televisi.29 Menjamurnya paket sinetron di televisi, bukan hal yang luar biasa. Kehadiran sinetron merupakan salah satu bentuk aktualisasi komunikasi dan interaksi manusia yang diolah berdasarkan alur cerita, untuk mengangkat permasalahan hidup manusia sehari-hari. Dalam membuat paket sinetron, baik sutradara, pengarah acara dan produser, pihak televisi harus memasuki isi pesan yang positif bagi pemirsa. Sinetron, seperti yang banyak diberitakan media massa adalah paket acara lokal yang diasumsikan sangat digemari pemirsa. Setiap rating yang dikeluarkan Survey Research Indonesia(SRI) selalu menunjukkan bahwa sinetron adalah mata acara yang paling banyak penontonnya. Memang cukup layak, kalau sinetron mendapatkan julukan sebagai primadona acara televisi. Namun, tampaknya julukan primadona itu kini berangsur-angsur mulai pudar karena pembuatan sinetron bukan lagi menekankan aspek kualitas melainkan hanya dikerjakan untuk memenuhi tuntutan kuota paket lokal televisi dan kejar tayang sekaligus membendung film-film asing maupun telenovela. Akibatnya, tema cerita, tidak adanya pengenalan antropologis dan skenario yang lemah, floating yang overlaping, penjiwaan karakter pemain yang dangkal, bahkan kurangnya kewajaran adegan (logika) terkesan dipaksakan sehingga dramaturginya kacau. 30 DR. Eduard Depari, dalam sebuah workshop “Pasca Primadona Sinetron” di Yogyakarta beberapa waktu silam, melihat sinetron Indonesia sudah mengalami pasca
29
Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa hal. 74 Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa hal. 119-120
30
31
primadona. Hal ini terjadi karena pemerintah mempersyaratkan pihak TV untuk memenuhi 80% produksi lokal (sinetron) di TV.31 Persoalannya, kini kembali pada pihak griya produksi dalam memproduksi sinetron. Mana yang cenderung mereka pilih dari dua misi (pesan moral atau realitas moral) di atas atau barangkali mereka memadukannya. Karakteristik apa saja yang dibutuhkan agar sebuah sinetron menjadi berkualitas dalam dua misi itu. Ini merupakan sebuah tantangan konkret bagi griya produksi nasional. DR. Sasa Djuasa Sendajaya, menyebutkan, sebuah sinetron seyogianya memiliki karakteristik, yaitu32: 1. Mempunyai gaya atau style terdiri dari aspek artistiknya, orisinalitas, penggunaan bahasa film dan simbol-simbol yang tepat, penataan artistik seperti cahaya, screen-directing dan art-directing, fotografi yang bagus, penyampaian sajian dramatik yang harmonis, adanya unsur suspense dan teaser. 2. Memiliki isi cerita termasuk di dalamnya hubungan logis dalam alur cerita, irama dramatik, visi dan orientasi, karakteristik tokoh, permasalahan/tema yang aktual dan konstektual. 3. Memiliki karakter dan format medium, penguasaan teknik peralatan dengan kemungkinan-kemungkinannya, manajemen produksi. Untuk mencapai itu, sebuah sinetron diusahakan agar memenuhi kualitas standar lebih dahulu, yaitu menyentuh basic instinct human-being.
31
Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa hal. 120
32
Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa hal. 121
32
Dari beberapa karakteristik sinetron yang disebutkan oleh DR Sasa Djuarsa, ternyata sinetron TV kita banyak yang tidak memiliki format gaya atau style dan aspek teknis. Mungkin ini disebabkan sumber daya manusianya yang terbatas dan tidak mampu. Pihak griya produksi juga tidak mengikuti perkembangan mutakhir teknologi sinematografi. Terlepas dari apa yang dikemukakan dua pakar di atas, griya produksi sudah terlanjur menjamur di Indonesia. Selain itu, beberapa TV swasta yang telah hadir di layar kaca harus diisi berbagai acara untuk menarik pemirsa dan pemasang iklan sebagai nyawa TV swasta. Perlu diketahui pula bahwa isi pesan sinetron adalah cermin nilai dan norma moral masyarakat.33 Mengapa sinetron begitu banyak ditonton pemirsa? Ada beberapa faktor yang membuat paket acara ini disukai, yaitu34: 1. Isi pesannya sesuai dengan realitas sosial pemirsa 2. Isi pesannya mengandung cerminan tradisi nilai luhur dan budaya masyarakat (pemirsa) 3. Isi pesannya lebih banyak mengangkat permasalahan atau persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Karena ketiga faktor di atas itulah, maka acara sinetron selalu mendapat sambutan hangat dari pemirsa.
3. Faktor yang Mempengaruhi Isi Sinetron
33
Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa hal. 121-122 Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Sebuah Analisis Isi Media Televisi(Jakarta: PT. Rineka Cipta1996) hal.130 34
33
Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi isi sinetron penulis mengadopsi dari faktor yang mempengaruhi isi berita media menurut Pamela J. Shoemeker dan Stephen Reese menyebutkan berbagai hirarkis yang dapat mempengaruhi isi media, yaitu:35 1. Faktor Individu Faktor individu ini merupakan garda paling depan dalam penetuan isi berita wartawan atau jurnalis merupakan orang yang terkait langsung (menyaksikan) langsung sebuah realitas yang akan dilaporkannya. Mereka bisa merekrronstruksi event atau peristiwa yang akan ditayangkan di media masingmasing. 2. Faktor Rutinitas Media Para jurnalis dan editor dalam merekrontstruksi berita tunduk pada media rutin. Yang dimaksud media rutin adalah praktik-praktik media di mana keputusan dan persepsi mengenai event yang dibawa oleh jurnalis ke ruang pemberitaan dipengaruhi oleh cara para profesional media di perusahaan di mana mereka bekerja mengorganisasikan sistem kerja mereka. 3. Faktor organisasi Media Di samping rutinitas media, organisasi media juga ikut terlibat dalam proses rekontruksi berita atau peristiwa. Pada level ini, organisasi sebagai perangkat struktur industri media, ikut menentukan proses rekonstruksi event atau peristiwa yang terjadi.
35
Pamela J. Shoemeker dan Stephen Reese, Mediating the Message:Theories of Influences on Mass Media Content, 2nd edition(New York: Longman Publisher 1996)
34
4. Faktor Ekstra Media Terdapat lima faktor di luar organisasi media yang bisa mempengaruhi isi media yaitu: sumber berita, iklan, dan pelanggan, kontrol pemerintah, pasar dan teknologi. Sumber berita bisa mempengaruhi isi berita karena kedekatan wartawan dengan sumber berita atau sebaliknya. 5. Faktor Ideologi Level ideologi umumya berkaitan dengan struktur kekuasaan dalam arti sejauhmana kekuasaan, melalui berbagai peraturan yang diterapkan, mampu memberi pengaruh atas proses pengambilan keputusan rekonstruksi berita atau peristiwa dalam ruang pemberitaan media.
C. Sinetron Sebagai Media Dakwah 1. Media Dakwah Dilihat dari asal katanya, media berasal dari bahasa latin yaitu median yang berarti alat atau perantara, sedangkan menurut istilah, media ialah segala sesuatu yang dijadikan sebagai alat perantara untuk mencapai suatu tujuan tertentu.36 Dalam kamus istilah komunikasi, “media” berarti sarana yang digunakan sebagai alat bantu dalam berkomunikasi disebut media komunikasi adapun bentuk-bentuk dan jenisnya beraneka ragam.37Education Association mendefinisikan media sebagai benda yang dapat dimanipulasikan, didengar, dilihat, dibaca, atau dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan dengan baik.38
36
Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983) hal 163 Ghazali BC.TT, Kamus Istilah komunikasi, (Bandung Djambatan, 1922), hal 227. 38 Asmawi, M. Basyiruddin Usman, Media Pembelajaran (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) 37
35
Sedangkan Antonio Gramsci melihat media sebagai ruang dimana berbagai ideologi di representasikan. Ini berarti, disatu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Namun disisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan.39 Berdasarkan pengertian diatas, maka media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah yang dimaksud dapat berupa barang (material), orang, tempat kondisi tertentu dan sebagainya.40 Media dakwah sendiri adalah peralatan yang digunakan untuk menyampaikan materi-materi dakwah, pada zaman modern misalnya televisi, radio, kaset rekaman, majalah, surat kabar, dan yang sekarang ini marak adalah internet. Dakwah selama ini diidentikkan dengan ceramah melalui media lisan. Namun, seiring era globalisasi, dimanatren informasi dan komunikasi semakin berkembang, media sinetron seharusnya dapat mengambil peranan yang cukup signifikan dalam menyebarkan pesan-pesan keagamaan. Sejalan dengan mass media yang menjadi unsur dalam komunikasi, di mana memegang peranan penting, maka dalam rangka modernisasi dakwah pada saat ini, film tidak dapat dilewatkan begitu saja.41 Disini tidak membicarakan hukum film menurut ajaran Islam, karena kedudukannya sama saja dengan hukum radio, televisi,sound equipment dan beberapa
39
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001) hal 30. Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-ikhlas, 1983) hal 176. 41 Amura, Perfilman di Indonesia: Dalam Era Orde Baru(Jakarta: Lembaga Komunikasi Massa IslamIndonesia 1989) hal 115 40
36
alat tehnik modern, seperti tape recorder. Seluruh alat itu sifatnya polos, tidak berwarna. Yang memberikan ketentuan dalam penilaian hukumnya adalah isinya. Jika disadari bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah pemeluk agama Islam, dan dengan sendirinya pula mayoritas penonton film di Indonesia adalah pemeluk agama Islam, maka tidak akan sulit para produser memasukkan unsur dakwah di dalam film. Bagi para produser yang mempunyai tujuan primer membuat film adalah segi komersil, sekiranya mayoritas penontonnya yang terdiri dari pemeluk agama Islam tidak mau melihatnya, maka tujuan komersil itu tidak tercapai. Sebaliknya, dengan memasukkan unsur dakwah di dalam film berarti sekaligus dua tujuan dapat tercapai. Pertama para produser akan memperoleh keuntungan komersil dengan banyaknya penonton, Kedua para penonton yang mayoritasnya terdiri dari pemeluk agama Islam akan memperoleh keuntungan pula disamping hiburan dapat memperoleh bimbingan keagamaan.42 Sinetron drama yang mengandung nilai-nilai agama dapat bersaing dengan sinetron remaja, drama keluarga, dan sinetron misteri. Sinetron bernuansa religius akan segera menggantikan booming reality showmisteri yang sebelumnya melanda layar kaca. Sinetron-sinetron jenis ini patut dipuji karena isinya penuh dengan makna. Sinetron tersebut tidak hanya menghibur, tetapi tayangan semacam ini membawa nilai-nilai tertentu untuk disampaikan kepada pemirsa. Itulah sebabnya ada yang menyebut sinetron tersebut sebagai “tontonan sekaligus tuntunan”.43
42 43
Amura, Perfilman di Indonesia: Dalam Era Orde Baru hal.115 Majalah Alia, edisi Juni 2005. “Banjir Sinetron Religius”
37
Sinetron sebagai salah satu produk kemajuan teknologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap arus komunikasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Bila dilihat lebih jauh, sinetron bukan hanya sekedar tontonan atau hiburan belaka, melainkan sebagai suatu media komunikasi yang efektif. Karena sinetron mempunyai kelebihan bermain pada sisi emosional, ia mempunyai pengaruh yang lebih tajam untuk memainkan emosi pemirsa. Berbeda dengan buku yang memerlukan daya fikir aktif, penonton cukup bersifat positif. Hal ini dikarenakan sajian sinetron adalah sajian siap untuk dinikmati. Sinetron sebagai media komunikasi dapat berfungsi sebagai media dakwah yang bertujuan mengajak kepada kebenaran. Dengan kelebihannya, sinetron menjadikan pesan-pesan yang ingin disampaikan dapat menyentuh penonton tanpa harus menggurui. Maka penonton tanpa disadari akan berprilaku serupa dengan peran dalam suatu film yang pernah ditontonnya. Halini senada dengan ajaran Allah SWT bahwa untuk mengomunikasikan dengan pesan, hendaknya dilakukan secara qawlan sayyidan, yaitu pesan yang dikomunikasikan dengan benar, menyentuh, dan membekas dalam hati.44 Dengan karakter yang dapat berfungsi sebagai qawlan sayyidan inilah diharapkan dapat menggiring pemirsanya kepada ajaran Islam yang akan menyelamatkan. Mungkin ada benarnya media televisi dianggap sebagai bagian dari “syiar” kebenaran, kebaikan, dan ketuhanan melalui wujud sinetron bertema religius.
44
Aep Kusmawan, Komunikasi Penyiaran Islam (Bandung: Benang Merah Press, 2004) hal 95
38
Trendprogram acara sinetron televisi bertema religius sangat menarik untuk dikaji lebih jauh dalam hubungannya dengan fakta kehidupan masyarakat sehari-hari. Persoalan menjadi semakin menarik lagi, ketika semua tayangan sinetron itu lebih banyak memunculkan ajaran agama tertentu sebagai fokus cerita. Ini terlihat dari banyaknya kalimat atau ungkapan dialog bersifat religi yang meluncur dari seorang tokoh agama tertentu ketika menghadapi kejahatan dalam simbol setan yang merasuki tokoh yang terlibat dalam cerita. Ada beberapa faktor yang membahas mengenai efektivitas tayangan yang bertema religius di dalam suatu program.Pertama, agama atau ayat suci agama tertentu dalam kehidupan manusia sehari-hari memang sudah menjadi pegangan hidup masyarakat sejak masih hidup sampai meninggal dunia. Agama merupakan medium komunikasi antara manusia dengan Tuhan yang bersifat sakral dan individual. Kedua, seluruh tayangan televisi merupakan hasil final dari proses kreativitas yang dikerjakan oleh sekumpulan orang kreatif di media televisi dan telah melalui proses imajinasi, kreasi dan daya cipta sehingga hasilnya menjadi menarik untuk ditonton. Artinya, tayangan televisi tidak seluruhnya bersifat objektif tetapi juga sangat kental mengandung unsur subjektif.45 Jadi, jika diamati memang benar tayangan religi dapat memberi kesadaran religius. Sepintas terlihat sinergi yang sangat ideal antara pilihan stasiun televisi mengedepankan program religius dengan kebutuhan pemirsa akan siraman rohani, yang tujuannya adalah meneguhkan keimanan hingga membuat pelaksanaan ibadah 45
Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa hal. 111.
39
berlangsung optimal. Namun yang juga dikhawatirkan, unsur horor dan mistis mulai banyak mengisi bagian sinetron-sinetron tersebut. Agama, bagaimanapun memiliki wilayah-wilayah tersendiri yang tidak bisa disamaratakan dengan wilayah lain dalam kehidupan manusia. Pembagian wilayah sekuler dan nonsekuler memperlihatkan bahwa kehidupan agama walau dalam realitasnya sulit dan tak perlu dipisahkan dari kehidupan sehari-hari sesungguhnya memilki memiliki dimensi ruang yang berbeda dengan kehidupan sehari-hari. sebagai panduan normatif ideal, nilai-nilai agama bagaimanapun tidak bisa disamaratakan dengan nilai-nilai pragmatis dalam praktik kehidupan sehari-hari. seperti yang diungkapkan oleh Peck, Religion is explicitly concerned with both ontological and experiental dimensions of existence with being and meaning. Religion provides meaning for individual existance by grounding it in a larger. Cocmic framework of significance.46 Seperti dinyatakan Peck, agama menyediakan makna bagi eksistensi individu berlandaskan pada kerangka signifikasi kosmis yang luas. Karena menyampaikan nilai agama melalui sinetron dengan berdasarkan hadis Nabi, khawatir hanya akan mereduksi nilai-nilai agama saja. Kajian agama mengenai Al-Qur‟an dan hadis Nabi, selama ini berlangsung dalam mimbar agama berupa dakwah di dalam masjid. Dengan adanya sinetron religi, mempresentasikan secara simbolik di ruang publik mimbar agama ke dalam televisi melalui sinetron yang di produksi dalam kerangka mekanisme standar produksi program televisi.
46
Hoover, Stewart M. (ed), Rethinking Media, Religion, and Culture(London: Sage Publication, 1997) hal 17
40
2. Isi Pesan Sintron Televisi Sinetron religi yang ada pada saat ini sudah menjadi tayangan wajib setiap stasiun televisi di Indonesia. Karena tayangan-tayangan tersebut saat ini banyak diminati oleh pemirsa. Industri televisi di Indonesia sudah memasuki era di mana produk-produk (program acara) media televisi lebih ditentukan oleh the invisible hand mekanisme pasar yang bertumpu pada kaidah permintaan-penawaran, logika sirkuit modal, dan rasionalitas maksimalisasi produksi dan konsumsi (media televisi).47 Berbicara mengenai isi pesan sinetron televisi, bukan hanya melihat dari segi budaya, tetapi juga berhubungan erat dengan masalah ideologi, ekonomi maupun politik. Dengan kata lain, tayangan sinetron merupakan cerminan kehidupan nyata dari masyarakat sehari-hari. Paket sinetron yang tampil ditelevisi adalah salah satu bentuk untuk mendidik masyarakat dalam bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan tatanan norma dan nilai budaya masyarakat. Isi pesan yang terungkap secara simbolis, dalam paket sinetron berbentuk kritik sosial dan kontrol sosial terhadap penyimpanganpenyimpangan terjadi dalam masyarakat.48 Masalah yang sangat krusial dalam isi pesan sinetron ialah soal kualitas dan objektivitas. Tidak semua sinetron berkualitas. Banyak sinetron yang tidak dapat menunjukkan atau mengungkapkan objektivitas sosial.
47
Agus Sudibiyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran (Yogyakarta: LKIS bekerjasama dengan ISAI Jakarta, 2004) hal 64 48 Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa hal. 80
41
Dalam penyampaian pesan melalui film, terjadi proses yang berdampak signifikan bagi para penonton. Penonton memahami dan merasakan seperti apa yang dialami salah satu pemeran. Pesan-pesan yang terdapat dalam sejumlah adegan film akan membekas dalam jiwa penonton. Sehingga pada akhirnya pesan-pesan itu membentuk karakter penonton.49
49
Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdinaya, Pengantar(Bandung: Simbiosa Rektama Media, 2004)hal 136
Komunikasi
Massa
Suatu
BAB III GAMBARAN UMUM KOMISI PENYIARAN INDONESIA (KPI) DAN SINETRON TUKANG BUBUR NAIK HAJI
A. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya di atur dalam undangundang sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. Hal ini disebut dalam Bab 1 Ketentuan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Sedangkan, pada situs resmi KPI, dikatakan bahwa lembaga regulasi KPI berdiri untuk mendukung pengelolaan sistem penyiaran, yang merupakan ranah publik, untuk dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.1 Berbeda dengan semangat dalam Undang-Undang Penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi “penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah”, menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah. Undang-Undang itu tidak berlaku lagi, karena sudah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2002, tetapi tidak meninggalkan sama sekali konsep Undang-undang
1
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) UU tentang penyiaran No. 32 Tahun 2002. (Jakarta:2007).
Hal, 7
43
44
yangterdahulu itu. Misalnya mengenai pengertian-pengertian yang berkaitan dengan penyiaran antara keduanya banyak kesamaannya.2
1. Sejarah Berdirinya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002. Pada hakikatnya Undang-Undang ini didasari oleh dua alasan mendasar, yang pertama, pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena media penyiaran menggunakan spektrum frekuensi yang merupakan ranah publik, dan digunakan bagi kepentingan publik. Kedua, adalah untuk menguatkan industri media lokal melalui sistem siaran berjaringan. UU No. 32/2002 merubah tata pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan paling mendasar adalah adanya limited
transfer of authority dari
pengelolaan penyiaran yang selama ini merupakan hak eksklusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen (Independent regulatory body) bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)3. Posisi independen ini mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi kepentingan modal atau kekuasaan. Pada setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI, UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 menjadi landasan prinsip pelayanan informasi yang sehat. Pertama, Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) adalah tersedianya informasi yang beragam dari publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan kedua,
2
Sudirman Teba, Hukum Media Massa Nasional(Ciputat: Pustaka irVan, 2006).hal: 75 Profil KPI, situs resmi, diakses pada 22 Agustus 203 pukul 13.29 WIB dari http:/www.kpi.go.id/ 3
45
Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) merupakan jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh sekelompok orang atau atau lembaga saja. Prinsip ini juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia maya penyiaran di Indonesia.4
2. Wewenang, Tugas, dan Kewajiban KPI Dalam menjalankan peran dan fungsinya, KPI memiliki patokan dan dasar dalam setiap tindakannya. Berdasarkan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, wewenang, tugas, dan kewajiban KPI adalah sebagai berikut: Adapun wewenang KPI, yakni : 1. Menetapkan standar program siaran 2. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh asosiasi atau masyarakat kepada KPI) 3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran 4. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran 5. Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat. Selain wewenang, KPI juga memiliki tugas dan kewajiban, yakni:
4
Profil KPI, situs resmi, diakses pada 22 Agustus pukul 13.29 WIB dari http:/www.kpi.go.id/
46
1. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia 2. Ikut membantu pengaturaj infrastruktur bidang penyiaran 3. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait 4. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang 5. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran 6. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran Sedangkan, dalam menjalankan wewenang, tugas dan kewajiban KPI memiliki visi dan misi. Visi KPI adalah mendukung pelaksanaan peran dan fungsi KPI dalam regulasi penyiaran di Indonesia. Visi KPI adalah ingin mewujudkan sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.Sedangkan Misi KPI adalah Membangun dan memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang, lalu dapat membantu mewujudkan infrastruktur bidang penyiaran yang tertib dan teratur, serta arus informasi yang harmonis antara pusat dan daerah, antarwilayah Indonesia, juga antara Indonesiadan dunia interanasional. KPI juga akan Membangun iklim persaingan usaha di bidang penyiaran yang sehat dan bermartabat, lalu agar dapat mewujudkan program siaran yang sehat, cerdas, dan berkualitas untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan bangsa, persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-
47
nilai dan budaya Indonesia. Hal lain adalah KPI juga menetapkan perencanaan dan pengaturan serta pengembangan SDM yang menjamin profesionalitas penyiaraan. Faktor-faktor di atas jelas menegaskan bahwa KPI sebenarnya memiliki kewenangan yang cukup besar dealam mengatur dan mengawasi masalah regulasi media penyiaran di Indonesia. Lembaga independen ini dapat menjadi institusi yang cukup strategis wewenangnya.
3. Struktur Kepengurusan KPI Komisi penyiaran Indonesia terdiri atas KPI pusat, dan KPI daerah (tingkat provinsi) yang saling bekerja sama dengan koordinasi dan masing-masing dibawah pengawasan DPR dan DPRD. Masing-masing anggotanya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 9 orang anggota KPI pusat dipilih oleh DPR dan 7 orang anggota KPI Daerah dipilih oleh DPRD. Selain itu, anggaran program KPI Pusat dibiayai oleh APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), sedangkan KPI Daerah dibiayai oleh APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). KPI Pusat saat ini berkantor di Gedung Sekertariat Negara, Lantai VI, Jl. Gajah Mada No. 8, Jakarta Barat. Lembaga ini memperoleh sekertariat dengan dikeluarkannya
Surat
Keputusan
Menteri
Komunikasi
dan
Informasi
No.
51A/KEP/M.KOMINFO/8/2004 tentang organisasi dan tata kerja sekertariat Komisi Penyiaran Indonesia Pusat dengan tingkat Eselon 2a yang stafnya terdiri dari staf Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta staf profesional non PNS. Dalam pelaksanaan tugasnya, Sekertariat KPI didukung oleh 1 Kepala Sekertariat, 4 Kepala Bagian, 10 Kepala Sub-Bagian, dengan dukungan 23 personal staff. Pegawai sekertariat terdiri
48
dari staf PNS dan staf profesional yang datang dari berbagai lembaga, antara lain Depkominfo, BPKP, Depkeu, dan Depdagri. Sedangkan bagi staf profesional direkrut secara terbuka dan diseleksi berdasarkan kapasitas masing-masing pelamar sesuai kebutuhan KPI. Staf profesional non PNS antara lain adalah staf ahli, asisten ahli dan sekertaris.5 Guna mendukung wewenang, tugas, dan kewajiban, KPI dibagi menjadi tiga bidang, yaitu bidang kelembagaan, struktur penyiaran dan pengawasan isi siaran. Bidang kelembagaan menangani persoalan hubungan antar kelembagaan KPI, koordinasi KPID serta pengembangan kelembagaan KPI. Bidang struktur penyiaran bertugas menangani perizinan, industri, dan bisnis penyiaran. Sedangkan, bidang pengawasan isi siaran menangani pemantauan isi siaran, pengaduan masyarakat, advokasi dan literasi media. Masing-masing bidang tersebut memiliki anggota dua atau lebih komisioner. Mekanisme pembentukan dan rekrutmen anggota KPI diatur oleh UU No. 32 tahun 2002, diharapkan hal itu dapat menjamin pengaturan sistem penyiaran di Indonesia agar dikelola secara parsitipatif, transparan, dan akuntabel sehingga independensi KPI terjamin.
4. Pengawasan Isi Siaran oleh KPI KPI berfungsi untuk mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran (UU Penyiaran, pasal 8 ayat 1). Secara politik, posisi KPI
5
Profil KPI, situs resmi, diakses pada 22 Agustus pukul 13.29 WIB dari http:/www.kpi.go.id/
49
dalam kehidupan kenegaraan secara tegas diatur oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran (UU penyiaran, pasal 7 ayat 2). Secara konsptual posisi ini menundukkan KPI sebagai lembaga kuasi negara atau dalam istilah lain juga bisa dikenal dengan auxilary state institution.6 Dalam rangka menjalankan fungsi KPI memiliki kewenangan (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua proses
kegiatan
penyiaran,
mulai
dari
tahap
pendirian,
operasionalisasi,
pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan semua tugasnya, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga lain. Misalnya, ketika terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran dan yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran manapun terhadap dunia penyiaran pada umumnya. 7 Hal ini berarti, KPI wajib menindaklanjuti setiap aduan dan kritik dari masyarakat yang mereka sampaikan pada KPI terkait dengan keberadaan suatu program penyiaran tertentu. Pada pelaksanaan peran dan fungsinya, KPI membuat suatu pedoman bagi lembaga penyiaran yang disebut sebagai Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). P3 dan SPS ini adalah panduan tentang batasan apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam menyelenggarakan penyiaran dan 6 7
Profil KPI, situs resmi, diakses pada 22 Agustus pukul 13.29 WIB dari http:/www.kpi.go.id/ Profil KPI, situs resmi, diakses pada 22 Agustus pukul 13.29 WIB dari http:/www.kpi.go.id/
50
mengawasi sistem penyiaran nasional Indonesia. P3 dan SPS ditetapkan oleh KPI berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, nilai-nilai agama, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, kode etik serta standar profesi dan pedoman profesi yang dikembangkan masyarakat penyiaran.8 Media televisi dinggap sebagai media yang memilki potensi pengaruh sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Karena itu perlu ada jaminan khusus bahwa media tidak dapat mengancam kehidupan masyarakat. jaminan tersebut bisa diperoleh salah satunya lewat adanya aturan yang hendaknya mengatur beberapa isu kunci tertentu yang memiliki potensi terjadinya pengaruh negatif, diantaranya adalah9: 1. Perlindungan Anak dan Remaja 2. Pornografi 3. Kekerasan 4. Takhayul 5. Suku Agama Ras (SARA) dan Etnik 6. Pelecehan Perempuan 7. Kemewahan Isu-isu ini menjadi sebagian isu kunci yang digunakan dalam pedoman pengawasan sebuah program stasiun televisi oleh KPI, melalui perangkat P3 dan SPS. Pada praktiknya, UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dijadikan pedoman standar oleh KPI sebagai alat atau perangkat untuk menjalankan tugasnya mengawasi isi siaran setiap program televisi. Pelaksanaan pengawasan isi siaran KPI dilakukan lewat sistem analisis isi siaran yang dilakukan oleh 11 orang analis dan 6 orang panelis,
8
Judhariksawan, Hukum Penyiaran(Jakarta: Rajawali Pers 2010), Cet Ke-1, hal.96-97 Kusmawarni, Infantri Safizar, Afdal Makkuraga, Laporan Utama “Komisi Penyiaran Indonesia” Jurnal Media Watch and Consumer Center edisi 5, September 2000,( Jakarta:The Habibi Center 2007) hal 19-21 9
51
yang mulai diaktifkan KPI sekitar tahun 2008.Seperti yang dikatakan oleh pak Iddy Muzayad dalam wawancaranya: “kalo pengawasan kan ada orang-orang yang kita bayar yang kita gaji yang khusus memang meneliti lalu kemudian ada ceklis yang kemudian mereka pegang dengan parameter P3SPS tentunya, kemudian dari situlah nanti temuan ditingkat pertama itu kita naikkan ke tim analis baru di tindak lanjuti oleh tim komisioner apakah itu melanggar atau tidak”.10 B. Gambaran Program Sinetron Religi Tukang Bubur Naik Haji Dalam perkembangannya, format sinetron pun beragam, dari sinetron serial, sinetron seri, sinetron lepas, sinetron miniseri, hingga film televisi (misalnya FTV yangpopuler di SCTV atau I-Sinema yang dipopulerkan ANTV). Jenis
sinetron
berkembang dari drama, keluarga, komedi, laga, misteri, kolosal, dan sebagainya. Tukang Bubur Naik Haji merupakan sebuah sinetron yang ditayangkan di RCTI setiap hari mulai pukul 19.30 WIB. Sinetron ini diproduksi oleh SinemArt, pertamakali ditayangkan pada tanggal 28 Mei 2012, dan sampai saat ini masih terus berjalan. Pemainnya antara lain ialah Mat Solar, Uci Bing Slamet, Citra kirana, Andi Arsyil Rahman,Aditya Herpavi Rachman, Latief Sitepu dan masih banyak lagi. Sinetron ini terus mengalami peningkatan rating meski tokoh utama sudah tidak kelihatan lagi. Pada tanggal 27 Februari2013Sinetron ini mampu melewati sinetron Anugerahdengan
10
473
episode,dan
pada
tanggal
29
April2013,sinetron
Wawancara pribadi, Iddy Muzayad, Wakil Ketua KPI Pusat, 9 september 2013.
ini
52
mengalahkan Islam KTP dengan 558 episode,sehingga sekarang ini Tukang Bubur Naik Haji merupakan sinetron dengan episode terbanyak ke - 3 di Indonesia.11
1. Sinopsis Program Sinetron Tukang Bubur Naik Haji Cerita keseluruhan Tukang Bubur Naik Haji seperti menonton kehidupan masyarakat sehari-hari, yang di dalamnya termasuk perilaku manusia. Mereka yang seolah-olah
seorang
dermawan
sejati,
padahal
sebenarnya
mereka
sangat
mengharapkan pujian orang lain dan sebenanrnya ada kecenderungan ingin pamer. Bagaimana mereka selalu berpenampilan suci, padahal apa yang mereka lakukan seringkali keji. Bahkan kepada orang yang pernah menolong sekalipun. Kepalsuankepalsuan yang hanya diri sendiri yang tahu, selalu membuat penonton tersenyum jengah. Kesemuanya disajikan secara manis dan lucu dalam serial ini.12 Ada tokoh Bang Sulam yang penyabar, selalu tersenyum, ia memiliki usaha bubur ayam. Berkat ketekunan dan keikhlasannya, akhirnya ia bisa naik haji dan memperbesar usaha bubur ayamnya. Bang Sulam tinggal bersama Rodiah diperankan oleh Uci Bing Slamet, dan Emak yang diperankan oleh Nani Wijaya. Tetangga Bang Sulam, H. Muhidin diperankan oleh Latief Sitepu dan Hj. Maemunah, entah mengapa selalu memusuhi keluarganya. Bahkan anak mereka, Rumanah diperankan oleh Citra Kirana dilarang berhubungan dengan Robby yang
11
Wikipedia Indonesia diakses pada 20 Juni 2013 http://www.rcti.tv/programs/view/325/tukang-bubur-naik-haji-the-series 12 Wikipedia Indonesia diakses pada 20 Juni 2013 http://www.rcti.tv/programs/view/325/tukang-bubur-naik-haji-the-series
pukul
14.28
WIB
dari
pukul
14.28
WIB
dari
53
diperankan oleh Andi Arsyil, adik ipar Bang Sulam. Fitnah-fitnah tentang keluarga Bang Sulam pun berdatangan. Jika memperhatikan daftar acara tayangan film atau sinetron, akan ditemukan di semua stasiun televisi yang banyak menampilkan tayangan semacam ini. Pada waktu sebelumnya, tayangan bernuansa "religi", biasanya hanya muncul saat Ramadhan dan Syawwal. Namun belakangan ini, tayangan sinetron "religi" seolah menjadi acara utama televisi. Berbagai tema dimunculkan. Dari yang wajar-wajar saja mengangkat persoalan kehidupan sosial masyarakat, hingga tema-tema keIslaman yang hakikatnya mengusung masalah bid'ah dan kesyirikan. P3 dan SPS tahun 2012 telah melewati proses yang menurut KPI sudah sangat benar. KPI menyusunnya mengacu pada peraturan yang ada, ditetapkan sesuai dengan kewenangan KPI. P3 dan SPS tahun 2012 ini pun sudah sangat berpihak kepada publik. Sesuai dengan sifat lembaga KPI, yakni sebagai lembaga negara yang bersifat independen mewakili aspirasi kepentingan publik. Hal ini dikarenakan frekuensi milik publik. Oleh sebab itu KPI juga meminta publik untuk membantu KPI.13 Mengenai mekanisme pemantauan langsung. KPI Pusat melakukan pemantauan langsung 24 jam. Demikian pula KPI Daerah, namun caranya berbeda. Ada KPI Daerah yang belum punya peralatan pemantauan langsung. Tetapi yang dilakukan KPI Daerah pada prinsipnya di wilayah manapun berkewajiban memantau isi siaran. Hasil dari pemantauan ini adalah keluarnya sanksi. KPI sementara ini masih khusus memantau televisi. Kalau pengaduan radio lebih kami dapatkan dari pengaduan
13
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Bidang Kelembagaan, Meretas Jalan Sosialisasi Literasi Media di Indonesia. (Jakarta: 2012) hal 24
54
masyarakat. kami memang mencari dosa televisi, namun kami juga memuji dihadapan masyarakat kalau ada acara yang bagus. Sayangnya, acara yang dipuji itu kerap tidak berumur panjang.14 “Banyak pula sinetron religi lain yang sudah mendapatkan teguran dari KPI, contohnya adalah program sinetron Islam KTP, yang mendapatkan sanksi teguran I dan II, lalu sanksi ke III nya melakukan kesalahan yang sama, maka ketiganya kami berikan pembatasan durasi. Kemudian muncul lagi banyak kata-kata kasar. Lalu ketika mereka diberikan pembatasan durasi, yakni penghentian sekitar 60 % untuk 2 hari. Acaranya berdurasi 3 jam. Jadi hanya boleh bersiaran 1.5 jam selama 2 hari. mereka mengatakan rugi 750 juta. Mereka bilang kalau kami tidak bisa jual maka kerugiannya 1Milyar. Jadi ternyata, pembatasan durasi itu sudah sanksi denda untuk mereka.”15 C. Proses Pengawasan Isi Siaran oleh KPI Berbicara tentang pengawasan isi siaran tujuan pengawasan isi siaran oleh KPI dilakukan untuk menjaga kepentingan masyarrakat, bangsa dan industri penyiaran Indonesia. Dapat dilihat dari pasal 3 UU Penyiaran, yang bunyinya adalah: “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia .”16 Idealnya, pengawasan isi siaran dilakuan untuk seluruh program televisi Indonesia, namun pada praktiknya hal ini belum mencakup semua. Adapun dalam UU Penyiaran, pasal yang menyebutkan kewajiban KPI ini adalah pasal 8 (3) e, yang
14
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Bidang Kelembagaan, Meretas Jalan Sosialisasi Literasi Media di Indonesia. (Jakarta: 2012) hal 24 15 Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Bidang Kelembagaan, Meretas Jalan Sosialisasi Literasi Media di Indonesia. (Jakarta: 2012) hal 23 16 Pasal 3, UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002
55
berbunyi: “Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran.” Terkait kewajiban ini, ada pula pasal 50 yang berbunyi: 1) KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran. 2) KPI wajib menerima aduan dari setiap orang atau kelompok yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran. 3) KPI wajib menindaklanjuti aduan resmi mengenai hal-hal yang bersifat mendasar sebagaimana dimaksud dalam pasala 8 ayat (3) huruf e. 4) KPI wajib meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan dan memberikan kesempatan hak jawab. 5) KPI wajib menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada pihak yang mengajukan aduan dan Lembaga Penyiaran terkait. Dari pasal ini juga dapat dilihat bahwa proses pemberian teguran bagi stasiun televisi, KPI wajib meneruskan aduan dari masyarakat kepada stasiun televisi terkait serta memberikan hak jawab. Mekanisme penetapan pelanggaran dan pemberian sanksi bagi stasiun televisi atau program yang diberikan oleh KPI dilakukan berdasarkan UU Penyiaran pasal 55 ayat 2 dan 3, dan keputusan diambil berdasarkan rapat pleno. Adapun bunyi pasal tersebut adalah: “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a) Teguran tertulis; b) Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu; c) Pembatasan durasi dan waktu siaran; d) Denda administratif; e) Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
56
f) Tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran; g) Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.” Pemberian sanksi dalam pelanggaran yang dilakukan oleh stasiun televisi dilakukan berdasarkan jenjang sanksi sesuai pasal di atas. KPI tidak memiliki wewenang untuk mencabut izin penyiaran.
Dalam
proses
pemantauan
atau
pengawasan isi siaran, KPI dibantu oleh sejumlah pihak, seperti tim analis seperti yang telah disebutkan dalam wawancara oleh bapak Iddy Muzayad : “Pengawasan isi siaran terbagi secara dua hal, yang pertama pemantauan kita, ada tim yang melakukan pemantauan disini ada alat-alat yang kita set-up untuk melakukan pemantauan, ada orang-orang yang kita pekerjakan setelah kita melakukan pemantauan langsung. Yang kedua, kita juga menerima pengaduan dari masyarakat, nah nanti kalo yang pemantauan oleh kita itu akan melakukan temuan potensi pelanggaran , kalo yang pengaduan dari masyarakat akan ditindak lanjuti apakah itu memang melanggar atau tidak.”17 Akhirnya, pada pasal 51 menyatakan: “(1) KPI dapat mewajibkan lembaga penyiaran untuk menyiarkan dan atau menerbitkan pernyataan yang berkaitan dengan aduan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 50 ayat (2) apabila terbukti benar, (2) semua lembaga penyiaran wajib menaati keputusan yang dikeluarkan oleh KPI yang berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran.”
17
Wawancara pribadi , Iddy Muzayad, Wakil Ketua KPI Pusat, 9 september 2013.
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pengawasan Isi Siaran Terhadap Sinetron Religi Tukang Bubur Naik Haji Salah satu tujuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran adalah ingin mengubah sistem penyiaran televisi selama ini yang dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Mengingat bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak, maka penyelenggaraan penyiaran wajib bertanggungjawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.1 Tidak jarang beberapa tayangan di televisi melanggar kaidah penyiaran, padahal mereka telah memahami peraturan tersebut. Seolah UU Penyiaran hadir hanya untuk menyemarakan dunia penyiaran. Bagaimana mereka bisa mengimplemntasikan UU Penyiaran yang telah disahkan pada tanggal 28 Desember 2002. Sanksi administratif berlaku bagi mereka yang keluar koridor yang telah ditentukan oleh pemerintah terhadap lembaga penyiaran. Diantaranya dapat berupa teguran tertulis, penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu, pembatasan waktu dan durasi siaran, denda administratif, pembekuan kegiatan siaran tertentu, tidak diberikan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, sampai pencabutan
1
Masduki, Regulasi Penyiaran : Dari Otoriter ke Liberal (Yogyakarta: LKIS, 2007), hal: 232
58
59
izin penyelenggaraan penyiaran. Dalam keterangan wawancara oleh Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Iddy Muzzayad menegaskan: “Iya, itu hak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memberi sanksi administratif. Sanksi administratif di UUD No. 20 tahun 2002 itu adalah sanksi teguran tertulis, penghentian sementara, pengurangan durasi, pembekuan kegiatan siaran, dan pencabutan izin. Terutama untuk pencabutan izin penyiaran, KPI lagi-lagi bisa merekomendasi tetapi nanti harus di dasarkan pengadilan. Yang tidak ada di sanksi ini adalah sanksi plandian di sebuah mata acara kita. Jadi, sanksi di setiap UUD hanya penghentian sementara, dan kalau ada tayangan tetapi tidak di hentikan secara total maka memang UUD sudah menerapkan seperti itu.”2 Tukang Bubur Naik Haji sebagai program sinetron religi yang dalam misinya mengajak orang untuk melakukan hal yang lebih baik dengan tayangan sinetron tersebut tapi tetap saja dipandang melanggar kaidah penyiaran yang ada. Mulai dari cerita masalah keluarga yang dijadikan topik cerita dalam setiap episodenya, adanya adegan kekerasan, kata-kata kasar dan makian. Melihat kasus tersebut nampaknya tim dari sinetron Tukang bubur naik haji belum 100% mengimplementasikan UU Penyiaran dalam programnya. Karena pada dasarnya indikator sinetron yang baik juga harus mengandung sisi kebaikan dan tidak hanya sekedar hiburan semata, seperti yang di sampaikan oleh Iddy Muzayad dalam wawancara. “Ya pastinya sinetron religi itu kan harus berisi tentang kebaikankebaikan, pesan yang disampaikan tentang kebaikan, lalu menarik dan pastinya menghibur. Karena kalau hanya yang baik-baik saja tapi tidak menarik juga tidak akan ditonton. Lalu sinetron itu harus bisa menjadi sebagai juru dakwah karena negatif atau positif sinetron religi itu tergantung dari isinya. Tapi jangan sampai juga sinetron itu sampai melakukan kekerasan, dan melakukan kata-kata kasar seperti sinetron apa itu Islam KTP yang pemerannya si bang madit itu sampai mencemooh orang lain, atau terlalu kasar kata-katanya.“3 2
Wawancara Pribadi dengan Iddy Muzayad, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, 9 September 2013 3 Wawancara Pribadi dengan Iddy Muzayad, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, 9 September 2013
60
Dalam program sinetron Tukang Bubur Naik Haji episode 561-571 yang ditayangkan pada tanggal 1 sampai 5 Mei 2013 telah banyak menggunakan kata-kata kasar dan makian di dalam episode tersebut. Hal itu tentu menyimpang dari ketentuan yang telah ada, mengingat bahwa setiap siaran yang ditayangkan melelui televisi memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan sikap dan khalayak. Terlebih sinetron ini ditayangkan setiap hari pada pukul 19.30 WIB dan kadang ditayangkan di jam 18.00 WIB. Dapat dibayangkan jika seorang anak di bawah umur menonton tayangan ini. Hal yang sangat mungkin bila mereka meniru perbuatan tersebut, karena kata-kata makian dan kata-kata kasar yang digunakan sangat sering sekali muncul dalam sinetron tersebut. Memang yang kita tahu pada sinetron religi tersebut mengangkat kisah seharihari masyarakat betawi. Tapi tidak seharusnya masyarakat betawi atau kultur yang ada di sinetron tersebut sering menggunakan kata-kata makian atau kata-kata kasar yang terucap dari mulut sang aktor tersebut. Tidak sepantasnya acara yang ditayangkan pada jam prime time tetapi tidak mematuhi etika yang ada pada P3 dan SPS. Tayangan sinetron yang kurang layak memang masih menjamur di televisi swasta lainnya, dalam wawancara dengan Iddy Muzayad tentang kelayakan tayangan di televisi Indonesia. “Menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), memang tayangan di Indonesia belum terlalu optimal. Dalam level regulasi/aturan produksinya yaitu bagaimana sebuah lebel TV atau PH masih memberikan tayangan yang kurang mendidik. Karena bahwasannya KPI bukan lembaga sensor, maka yang sangat di tekankan adalah internal sensor mereka. Mereka harus punya sensor sendiri/sensor mandiri di tingkat para produser. Dan bagaimana komitmen mereka, yang manakala SDM nya masih kurang berkualitas sehingga output nya juga kurang berkualitas. Lalu level kosumsi, masyarakat juga harus mulai
61
bergerak untuk mengkonsumsi siaran yang lebih mendidik, lebih beradab, lebih mencerahkan. Tetapi faktanya masyarakat sebagian besar kurang peduli, mangkanya mengapa infotaiment/sinetron masih ada? ya karena faktanya peminat/penontonnya banyak dan tingkat ratingnya pun tinggi.” Televisi adalah media yang sangat efektif memberikan pengaruh yang sangat luar biasa. Tayangan pada televisi kerap kali dipahami sebagai apa yang sebenarnya terjadi. Media penyiaran memang sebuah ruang publik yang memberikan kesempatan luas terhadap semua jenis manusia dan kultur. Akan tetapi segala sesuatu yang berlebihan yang ditampilkan oleh televisi dapat berakibat buruk kepada pemirsa. Terutama anak-anak yang akan menjadi cikal bakal generasi mendatang. Untuk membentuk generasi yang baik, maka tampilkan tayangan televisi yang memiliki norma sehat dan mendidik. Tindak tegas semua stasiun televisi yang menghadirkan tayangan yang tidak berguna dan tidak sesuai dengan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia. KPI harus bertindak tegas terhadap tayangan yang dinilai menyesatkan. Sudah banyak masyarakat yang terpengaruh akan adanya tayangan yang menyesatkan pada televisi. Jangan biarkan masyarakat atau khalayak menjadi rusak akibat para pengusaha hiburan yang selalu menayangkan tayangan yang hanya mengejar rating. Apalagi anak-anak memang menjadi korban yang paling rentan dari sebuah penayangan acara yang salah kaprah. Hal ini dikarenakan produk acara televisi dalam negeri masih memberikan prioritas tontonan kepada orang dewasa seperti drama, sinetron atau infotainment.4 Padahal dari segi jumlah, penonton anak-anak jauh lebih besar dari orang dewasa. Ironisnya, program acara anak-anak sebagian besar masih
4
Darwanto sastro subroto, Produksi Acara Televisi (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1994), hal: 24
62
dibeli dari distributor acara televisi luar negeri.5 Jika negeri ini menjadi negeri yang sehat, maka tampilkan tayangan televisi yang memiliki norma yang sehat dan mendidik. Tentu semua pihak juga setuju jika televisi kita kelak manampilkan nilainilai edukatif dan perjuangan, yang dikemas dengan entertain yang berkualitas. Kegiatan Komisi Penyiaran Indonesia dalam mengawasi siaran inimasuk kepada bidang yang ketiga yaitu pengawasan isi siaran karena pada dasarnya KPI dibagi menjadi tiga bidang yaitu bidang kelembagaan, bidang struktur penyiaran, dan bidang pengawasan isi siaran. “Komisi Penyaiaran Indonesia (KPI), punya peran pertama dari sisi perizinan. Perizinan televisi itu pintu masuknya adalah KPI. Ada forum namanya evaluasi dengar pendapat yang nanti membuat satu rekomendasi layak atau tidak layak sebuah/calon lembaga penyiaran itu sebelum mendapat izin. Evalu dengar pendapat adalah EDP, yaitu tahap awal perizinan. Lalu selanjutnya ketika EDP mendapatkan rekomendasi kelayakan dari KPI, kemudian masuk kepada forum rapat bersama namanya FRD. FRD itu bersama KPI dan pemerintah yaitu KOMINFO, lalu setelah FRD itu nanti ada namanya evaluasi uji coba siaran. Jadi, pasca FRD itu lembaga penyaiaran atau televisi mendapat namanya IPP sementara atau IPP prinsip istilahnya. Setelah IPP prinsip nanti di uji coba selama 1 tahun, dan kalau belum bisa di perpanjang sampai 1 tahun lagi, maka nanti kalau sudah siap di uji namanya menjadi uji coba siaran menguji yang 1 tahun atau 2 tahun. Setelah lulus dapatlah izin, dan perizinan ke 2 di pegawasan isi siara atau pemantauan monitoring. Di KPI Pusat juga ada tenaga-tenaga pemantauan yang memonitor siaran televisi, kalau di KPI Pusat mengawasi televisi yang bersiaran nasional sementara KPID yang mengawasi televisi lokal.”6
KPI memiliki beberapa kegiatan dalam mengawasi tayangan religi di televisi KPI melakukan beberpa kegiatan yakni dengan melakukan beberapa kajian, menerima aduan masyarakat, serta mengadakan pengawasan atau pementauan langsung.
5
Morissan, Manajemen Media penyiaran, (Jakarta: Kencana, 2008), hal: 171 Wawancara Pribadi dengan Iddy Muzayad, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, 9 September 2013 6
63
Pertama, pada dasarnya setiap komisioner memiliki tim kajian masing-masing. Kajian dilakukan setiap satu bulan sekali oleh para tim pengkaji. Kegiatan pengkajian ini berguna untuk mengkoreksi serta meneliti suatu tayangan yang melakukan pelanggaran. Kegiatan pengkajian sangat penting dilakukan sebab secara tidak langsung kegiatan ini bisa dijadikan tolok ukur seberapa jauh suatu tayangan melakukan tindakan pelanggaran. Kedua, KPI menerima aduan dari masyarakat. Setiap orang atau sekelompok orang yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap standar program siaran dapat mengadukan pelanggaran tersebut kepada Komisi Penyiaran Indonesia, KPI juga menerima aduan melalui media internet yakni dengan membuka situs resmi KPI yaitu www.kpi.go.id. Selain itu KPI menerima aduan dalam bentuk layanan twitter dan dalam bentuk lainnya. Dari sanalah KPI mengetahui aduan yang masuk dari masyarakat untuk KPI. KPI menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran. Pengaduan dari masyarakat merupakan inti yang sangat penting mengingat masyarakat orang yang paling banyak mengkonsumsi tayangan televisi, jadi masyarakat paling banyak mengetahui serta merasakan tayangan apa saja yang memberikan dampak negatif serta melanggar aturan penyiaran. Pada selama tahun 2013 dari bulan januari sampai bulan agustus saja sudah sekitar 42 aduan dari masyarakat yang diterima oleh KPI. Dengan demikian masyarakat merupakan sumber yang cukup diperhitungkan. Ketiga, adalah pengawasan secara langsung, yaitu dengan mengawasi langsung melalui fasilitas monitoring selama 24 jam penuh, pengawasan ini berlaku untuk
64
semua stasiun televisi, dan fasilitas monitoring ini bisa merekam semua siaran yang ada di seluruh stasiun televisi. Kegiatan monitoring sangatlah penting, karena kegiatan tersebut ditujukan untuk mengawasi kegiatan penyiaran, sekaligus mengoreksi tayangan yang melakukan pelanggaran. Komisioner melakukan kajian serupa agar tayangan konsen melakukan pemberdayaan khususnya memberikan edukasi untuk masyarakat. Selain itu juga KPI juga mengadakan pengawasan yakni dengan: 1. KPI mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran 2. Pedoman perolaku penyiaran harus menjadi pedoman lembaga penyiaran dalam memproduksi suatu program siaran 3. Pedoman perilaku penyiaran wajib dipatuhi oleh semua lembaga penyiaran. Beberapa kegiatan KPI dalam mengawasi tayangan-tayangan televisi di atas merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh KPI. Saat ini tayangan yang bertema religi sangat marak di stasiun-stasiun televisi, seperti sinetron Tukang Bubur Naik Hajiyang berada pada televisi swasta RCTI, Pesantren dan Rock n Rolldi SCTV, Emang Ingin ke Mekkah di SCTV, Anak-Anak Manusiadi RCTI, dan masih banyak lagi. Sinetron religi yang hingga saat ini sudah melanggar dan mendapatkan teguran dari KPI yakni, Islam KTP, Pesantren dan Rock n Roll, Emak Ingin ke Mekkah. Ketiga sinetron ini sudah banyak melanggar norma-norma yang terdapat dalam Undang-Undang Penyiaran Tahun 2002 No. 32 dan P3 dan SPS.
65
Pasal 36 ayat 3 juga menyebutkan bila isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dan meyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. Pengaruh televisi sangatlah besar dalam pembentukan karakter dan perilaku seseorang. Untuk itu, media penyiaran harus selalu dikontrol, dalam hal ini KPI yang mengawasi seluruh kegiatan media penyiaran. Menurut McQuail, media penyiaran dikontrol ketat pada dua wilayah dan alasan. Pertama, wilayah isi dikontrol karena ada alasan politik dan kultural (political and moral/cultural reasons). Kedua, wilayah infrastruktur terutama frekuensi dikontrol karena alasan ekonomi dan teknologi (technical and economic reasons). Aturan yang kedua menunjukkan bahwa isi siaran perlu diatur karena sangat mudah mempengaruhi sikap dan perilaku audience, khususnya yang belum memilki kerangka referensi yang kuat seperti usia muda atau remaja.7 Pada dasarnya model regulasi yang di gunakan oleh negara Indonesia adalah menggunakan Demokratis-Participan Model, model ini yang dikembangkan oleh mereka yang mempercayai sebagai powerful medium, dan dari banyak hal terinspirasi oleh mahzab kritis. Termasuk dalam model ini adalah berbagai media penyiaran alternatif. Sifat komunikasi dalam model ini adalah dua arah (two-waycommunication).
7
Dennis McQuail, Mass Communication Theory: An Introduction, Third Edition, (London: Sage Publication, 1994), hal 25.
66
Di banyak negara demokratis, proses legislasi tetap dilakukan oleh parlemen, sedangkan institusi regulatory body berfungsi untuk: 1. Mengalokasikan lisensi penyiaran 2. Mengontrol dan memberi sanksi bagi pengelola penyiaran yang melanggar mulai dari bentuk denda sampai pencabutan izin 3. Memberi masukan kepada institusi legislatif 4. Sebagai watchdog bagi indepedensi penyiaran dari pengaruh pemerintah dan kekuatan modal 5. Memberi masukan terhadap penunjukkan jajaran kepemimpinan lembaga penyiaran publik. Hal ini banyak terjadi di Perancis. 6. Berperan sebagai minor judicial power (sejenis penyelidik) dan complain commission (komisi komplain). Menurut Feintuck, dewasa ini regulasi penyiaran mengatur tiga hal, yakni struktur, tingkah laku, dan isi. Regulasi struktur (structural regulation) berisi polapola kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku (behavioural regulation) dimaksudkan untuk mengatur tata laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi (content regulation) berisi batasan material siaran yang boleh dan tidak boleh untuk disiarkan. Mengutip McQuail, Sendjaja selanjutnya menguraikan urgensi media penyiaran publik adalah untuk menjunjung nilai-nilai yang banyak ditinggalkan oleh media
67
komersil, seperti independensi, solidaritas, keanekaragaman, opini dan akses, objektivitas, dan kualitas informasi.8
B. Analisis Pelanggaran program Sinetron Religi Tukang Bubur Naik Haji Pada bagian ini, peneliti akan menganalisis pelanggaran yang terjadi pada program sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji, dari tanggal 1 sampai 5 Mei 2013, peneliti akan menganalisis pelanggaran pada masing-masing episode tersebut, berdasarkan UU Penyiaran No. 32/ tahun 2002 serta P3 dan SPS sebagai dasar dari program penyiaran. Adapun analisis ini dilakukan untuk memperlihatkan pelanggaran apa yang telah dilakukan oleh RCTI pada program sinetron religi tukang bubur naik haji. 1. Tukang Bubur Naik Haji Episode 561-562 Tanggal 1 Mei 2013 Analisis: Saat acara berlangsung, klasifikasi acara ini R-BO, kurang cocok dengan content acara program sinetron religi ini, karena pada episode ini Pemeran yang bernama Badar yang diperankan oleh Ricky Malau didalam tayangan tersebut marah-marah karena tahu Rumanah yang diperankan oleh Citra Kirana masuk Rumah Sakit karena di jambret oleh maling, lalu Badar menemui maling tersebut dan marah-marah sambil mengeluarkan kata-kata kasar seperti kata bajingan dan kurang ajar. Pada scene ini badar mencekik leher dan memukul leher jambret tersebut secara berulang kali sambil mengeluarkan kata-kata makian “banjingan, kurang ajar”. 8
S Djuarsa Sendjaja dan Ashadi Siregar, Kumpulan Makalah Seminar Televisi Publik(Yogyakarta:UGM 2001), hal 3.
68
Pelanggaranberdasarkan UU Penyiaran No. 32/2002 pada episode tersebut masuk ke dalam Pasal 4 (1) yang berbunyi “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.” Lalu pelanggaran juga terjadi pada Pasal 36 (1)yang berbunyi “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.” Pada Pasal 36 ayat (6) juga menyebutkan bahwa “Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.” Berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) sinetron Tukang Bubur Naik Haji juga mengalami pelanggaran yaitu pada Bab X Perlindungan Anak Pasal 14 (1) dan (2) yang berbunyi “Lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran.” Di dalam produksi siaran yang dimuat padaBab XIII Program Siaran Bermuatan Kekerasan Pasal 17“Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan.” Berdasarkan Standar Program Siaran:Bab X Perlindungan Kepada Anak Bagian Pertama Perlindungan Remaja dan Anak-Anak Pasal 15 ayat
69
(1)menyebutkan
bahwa“Program
siaran
wajib
memeperhatikan
dan
melindungi kepentingan anak-anak dan/atau remaja.” Terlihat jelas di Bab XIII Pelarangan dan Pembatasan Kekerasan Bagian pertama Pelarangan Adegan Kekerasan Pasal 23 ayat (a) “Menampilkan secara detail peristiwa kekerasan, seperti:
tawuran,
pengeroyokan,
penyiksaan,
perang,
penusukan,
penyembelihan, mutilasi, terorisme, pengerusakan barang-barang secara kasar atau ganas, pembacokan penembakan, dan /atau bunuh diri”.
2. Tukang Bubur Naik Haji The Series Episode 563 Tanggal 2 Mei 2013 Analisis: Pada episode ini dalam adegan lain istri kardun yang bernama Eti Suketi sambil menelpon majikan Kardun yang bernama Romlah yang diperankan oleh Nova Soraya mengeluarkan kata mampus, “Mampus lo kardun gue aduin ke bos lo”.Adegan selanjutnya Kardun menyebutkan kata dasar pea nih orang, menyebutkan kata pea kepada istrinya sendiri, kata pea ini juga bisa disebut bodoh, atau kata-kata yang sangat tidak mendidik. Dalam perannya Kardun memang selalu mengeluarkan kata “Pea” kepada kedua istrinya. Pelanggaran berdasarkan UU Penyiaran No. 32/2002 yang terdapat di dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.” Lalu Pasal 36 ayat (1) “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan
70
dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.” Pasal 36 ayat(6)berbunyi “Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.” Berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3)Bab X Perlindungan Anak Pasal 14 ayat (1) dan (2) berbunyi “Lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran.” Dalam adegan tersebut memang terlihat bahwa adegan pada kata-kata tersebut tidak sepantasnya dikeluarkan pada tayangan sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji karena penontonnya bukan di kalangan ibu-ibu atau orang dewasa saja melainkan anak-anak, sebab tayangan sinetron Tukang Bubur Naik Haji ini ditayangkan pada jam prime time. Berdasarkan Standar Program Siaran (SPS) di dalam Bab X Perlindungan Kepada Anak Bagian Pertama Perlindungan Remaja dan Anak-Anak Pasal 15 ayat (1) berbunyi “Program siaran wajib memeperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak dan/atau remaja.” Sudah jelas dikatakan pada pasal ini bahwa tayangan sinetron religi apalagi pada jam prime time wajib memperhatikan isi siarannya. Bab XIII Pelarangan dan Pembatasan Kekerasan Bagian Kedua Ungkapan Kasar dan Makian Pasal 24 ayat (1) (2) berbunyi “Program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai kecendrungan menghina atau merendahkan
71
martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan.” Kata-kata kasar dan makian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas mencakup kata-kata dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
3. Tukang Bubur Naik Haji Episode 564 Tanggal 3 Mei 2013 Analisis: Pada episode ini sosok Kardun yang diperankan oleh Eddy Oglek ini sering mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan, tokoh kardun disini mengucapkan kembali adegan “emang dasar bini pea kalo bukan karna anak gue cerein lo!”Sambil membentak. Lalu di bagian adegan lainnya kembali Kardun mengucapkan kata “pea” kepada kedua istrinya Pelanggaran diatas berdasarkan UU Penyiaran No. 32/2002 masuk pada Pasal 4 ayat (1) berbunyi “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.” Pada Pasal 36 ayat (1)berbunyi “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.” Dan pada Pasal 36 ayat(6)berbunyi “Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.”
72
Berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) adegan diatas masuk kedalam Bab X Perlindungan Anak Pasal 14 ayat (1) dan (2) mengenai perlindungan kepada anak yang berbunyi “Lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran.” Berdasarkan Standar Program Siaran (SPS)
pelanggaran yang terjadi
masuk kedalam Bab X Perlindungan Kepada Anak Bagian Pertama Perlindungan Remaja dan Anak-Anak terdapat pada Pasal 15 ayat (1) berbunyi “Program siaran wajib memeperhatikan dan melindungi kepentingan anakanak dan/atau remaja.” Bab XIII Pelarangan dan Pembatasan Kekerasan Bagian Kedua Ungkapan Kasar dan Makian Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) pasal ini berbunyi “Program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai kecendrungan menghina
atau
merendahkan
martabat
manusia,
memiliki
makna
jorok/mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan.” “Kata-kata kasar dan makian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas mencakup katakata dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.”
4. Tukang Bubur Naik HajiEpisode 565-567 Tanggal 4 Mei 2013 Analisis: Dalam episode ini seorang tokoh yang bernama Mak Enok membentak dan berbicara kasar kepada dua ibu-ibu yang sedang membicarakan anaknya
73
yang bernama Epih yang tidak mendapatkan jodoh, “ Heh ibu-ibu ngapain bisik-bisik diditu mana ngatain saya kejam-kejam, yee dasar gelo maneh teh”. “Gelo” bahasa sunda yang berarti Gila dalam bahasa Indonesia ini sering sekali diucapkan oleh sosok Mak Enok yang diperankan oleh Lenny Charlotte. Lalu adegan selanjutnya adalah Restu dan Ketie yang sedang minumminuman keras didalam bar dengan kamera close-up ke arah mereka berdua. Kamera yang mengambil gambar gelas yang berisi minuman keras di dalam adegan tersebut mereka berdua terlihat mabuk. Adegan tersebut masuk ke dalam pelanggaran berdasarkan UU Penyiaran No. 32/2002 Pasal 4 ayat (1) berbunyi “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.” Lalu pada Pasal 36 ayat (1)berbunyi “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.” Di dalam pasal
36 ayat(6) pasal ini berbunyi “Isi siaran dilarang
memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.” Berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran Bab X Perlindungan Anak Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) “Lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran.”
74
Berdasarkan Standar Program Siaran di dalam
Bab X Perlindungan
Kepada Anak Bagian Pertama Perlindungan Remaja dan Anak-Anak Pasal 15 ayat (1) berbunyi “Program siaran wajib memeperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak dan/atau remaja.” Bab XIII Pelarangan dan Pembatasan Kekerasan Bagian Kedua Ungkapan Kasar dan Makian Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) bab ini juga menjelaskan tentang Program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai kecendrungan menghina
atau
merendahkan
martabat
manusia,
memiliki
makna
jorok/mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan.Kata-kata kasar dan makian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas mencakup katakata dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bab XIV Pelarangan dan Pembatasan Materi Siaran Rokok, Napza, dan Minuman Beralkohol.Bagian Pertama Pelarangan Rokok, NAPZA, dan Minuman Beralkohol dalam Program Siaran Pasal 26 (a)Program siaran dilarang
membenarkan
penyalahgunaan
rokok,
NAPZA
(narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif), dan/atau konsumsi minuman beralkohol sebagai hal lumrah dalam kehidupan sehari-hari.
5. Tukang Bubur Naik Haji Episode 568-571 Tanggal 5 Mei 2013 Analisis: Di dalam episode ini Kardun dan Bu Romlah datang menjenguk Rumanah yang sedang sakit lalu pemeran Pak Haji Muhidin mencela tokoh Kardun “eehh
75
Bu Romlah.. si Cemong ikut juga nih”. Mengatakan Cemong adalah termasuk kata memperolok sesorang dengan keadaan fisik yang dimiliki. Lalu tokoh Bu Romlah mengatakan kepada Rumanah dengan menyebut kata “Sarap” yang bisa juga diartikan gila. “maklum yee emang kan dari dulu udah tau orang sarap kaya gitu.” Di adegan berikutnya tokoh Pak Haji Muhidin yang diperankan oleh Latief Sitepu ini mengatakan seperti ini kepada Kardun “ ini nih tampangtampang neraka jahanam.” Apakah pantas seorang haji berbicara hal demikian dengan orang lain. Lalu pemeran Kardun mengatakan lagi hal yang sering dikatakan yaitu “Pea”, berbicara kepada hansip yang bernama Malih dan Tarmizi. Adegan berbeda lagi pemeran yang bernama Hari yang diperankan oleh Adipura mengucapkan kata-kata brengsek kepada kardun. Lalu Aki Dawud yang diperankan oleh Wingky Harun ini mengucapkan kata “Goblok” kepada hansip maliki dan tarmizi. Lalu Mak Enok mengucapkan kata-kata “gelo” lagi kepada Sakyat. Eti Suketi istri pertama Kardun mengucapkan kata-kata kasar sambil membentak kepada Kardun suaminya dan tidak sepantasnya seorang istri berkata demikian kepada seorang suami. “lu waras kaga sih otaknya, makan bareng sama ayam udah setres goblok lagi, emang elu setres makan ama ayam dilarang malah marah-marah”. Lalu Kardun menjawab istrinya “ ngapa lu yang ribet, gue makan sama ayam kek, sama apa kek ngapa jadi lu yang ribet, dasar bini pea lo”.
76
Adegan selanjutnya Pak Haji Muhidin berbicara kepada orang-orang “ ngapa lu liat-liat gua gampar lu”. Lalu Kardun berbicara kepada H. Muhidin ketika Pak H. Muhidin lewat di depan Kardun “ wehh.. wehh… saya salut nih sama makhluk Allah yang satu ini, rajin banget ibadahnya bedug belom dipukul dia udah dateng, nih saya rasa pak haji abis minum jamu nafsu sembahyang kali ya, eh pak haji nih ceritanya pak haji mau jadi ahli syurga nih tapi maafmaaf kata, bukannya ape-ape pak haji, pak haji kan dulu banyak dosanya sebelum ke sorga mau kaga mau pak haji mapir dulu ke neraka di gecek dulu di neraka.” Lalu di adegan yang berbeda Kardun datang menghampiri tempat kerja Badar lalu mengacak-acak meja kerja badar sambil marah-marah dan berteriakteriak kepada badar“ heh Badar pea, jangan sekali-kali lu ngejual tanah tanah kampung ini ke orang yang namanya Hari Sukardi”. Lalu adegan lain Badar menonjok Kardun sampai Kardun mengekuarkan darah dari mulut dan hidungnya.Pada episode ini memang banyak sekali pelanggaran yang terjadi Pelanggaran berdasarkan UU Penyiaran No. 32/2002 Pasal 4 ayat (1) berbunyi “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.” Pada pasal 36 ayat (1) berbunyi “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.” Dan di dalam pasal 36
77
ayat(6) “Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.” Berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Bab X Perlindungan Anak Pasal 14 ayat (1) dan (2)Lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran. Berdasarkan Standar Program Siaran (SPS) Bab X Perlindungan Kepada Anak Bagian Pertama Perlindungan Remaja dan Anak-Anak Pasal 15 ayat (1)Program siaran wajib memeperhatikan dan melindungi kepentingan anakanak dan/atau remaja.Bab XIII Pelarangan dan Pembatasan Kekerasan Bagian Kedua Ungkapan Kasar dan Makian Pasal 23 ayat (a) dan 24 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi “Program siaran yang memuat adegan kekerasan dilarang: a. Menampilkan secara detail peristiwa kekerasan, seperti tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, perang, penusukan, penyembelihan, mutilasi terorisme, pengerusakan barang-barang secara kasar atau ganas, pembacokan, penembakan, dan/atau bunuh diri. Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2)Program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai kecendrungan menghina atau merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan.Kata-kata kasar dan makian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas mencakup kata-kata dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
78
C. Implementasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 dan P3 dan SPS dalam Program Sinetron Religi Tukang Bubur Naik Haji Untuk mengatur secara teknis serta mengawasi isi siaran, UU Penyiaran memberikan kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia membuat suatu Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3) dan (SPS). Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) adalah ketentuan-ketentuan bagi lembaga penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sebagai panduan tentang batasan perilaku penyelenggaraan penyiaran dan pengawasan penyiaran nasional.9 Dalam UU No. 32 Tahun 2002 pasal 2 tentang dasar penyiaran dikatakan bahwa penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.10 “Menjawab kekuasaan penuh atau tidak itu tergantung pada basis kelahirannya KPI yaitu UUD No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Kalau mau di bilang tidak penuh itu adalah dalam sisi perizinannya, karena keluarnya izin penyelenggaraan penyiaran dan kali ini tetap yang memegang adalah MENKOMINFO. Jadi, Izin Penyelenggaraan Penyaiaran (IPP) itu yang menandatangani ialah MENKOMINFO bukan KPI. Sebenarnya awalnya KPI itu didirikan adalah untuk menjadi satu-satunya lembaga Negara yang di tunjuk untuk mengurusi hal-hal mengenai penyiaran, tetapi layaknya UUD Penyiaran No. 32 tahun 2002 yang pembahasannya itu adalah 4 tahun dari 98-2002 itu sangat alot sehingga membuat atau mengeluarkan satu postur KPI yang seperti sekarang ini. Di mana kewenangan perizinannya hanya sebatas rekomendasi kelayakan tetapi tidak mengeluarkan IPP.”11 9
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).(Jakarta: 2012.) hal. 5 10 Sudirman Tebba, Hukum Media Massa Nasional, (Ciputat:Pustaka Irvan, 2007), hal 12. 11 Wawancara pribadi dengan Iddy Muzayad, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, 9 September 2013
79
Pedoman perilaku Penyiran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) ditetapkan untuk mengatur perilaku lembaga penyiaran Indonesia. P3 dan SPS harus dipatuhi oleh setiap stasiun penyiaran. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan dikenakan sanksi mulai dari yang ringan hingga yang berat. Stasiun penyiaran wajib mensosialisasikan isi P3 dan SPS kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses pengolahan, pembuatan, pembelian, penayangan, dan pendanaan program siaran lembaga penyiaran yang bersangkutan. P3 merupakan produk KPI yang mengandung ketentuan-ketentuan mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak dalam proses pembuatan pprogram siaran, sedangkan SPS memuat ketentuan-ketentuan secara lebih spesifik mengenai apa yang boleh dan tidak boleh tersaji dalam siaran. Untuk itu, P3 dan SPS adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi acuan bagi stasiun penyiaran dan KPI untuk menyelenggarakan dan mengawasi sistem penyiaran nasional di Indonesia. Pemberlakuan P3 dan SPS didasarkan pada Undang-Undang Penyiaran yang diwajibkan KPI selaku lembaga negra independen untuk menentukan pedoman perilaku penyiaran, serta mengawasi dan memberikan sanksi atas pelanggaran pedoman tersebut. Pemerintah menghendaki agar KPI mempunyai fungsi memberikan saran pertimbangan yang menyangkut isi siaran, memfasilitasi penyusunan rancangan pedoman perilaku penyelenggaraan penyiaran (kode etik), membantu mengawasi isi siaran, melaporkan pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyelenggaraan penyiaran kepada yang berwenang.12
12
Muhammad Mufid, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, (Jakarta: Kencana, 2007), hal: 150
80
Pada P3 yang tertera di Bab IV tentang penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras dan antargolongan pada pasal 8 yang berisi tentang lembaga penyiaran dalam memproduksi dan atau menyiarkan sebuah program siaran yang berisi tentang keunikan suatu budaya dan atau kehidupan sosial masyarakat tertentu wajib mempertimbangkan kemungkinan munculnya ketidaknyamanan khalayak atas program siaran tersebut. Untuk itu, pada program sinetron religi tukang bubur naik haji lebih menceritakan masyarakat betawi yang seolah-olah banyak yang memiliki sifat tidak terpuji pada pemeran antagonis yang ada di dalam sinetron tersebut. Seperti pada kasus yang ada pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji, dapat dilihat bahwa penetapan sanksi yang akan dilakukan oleh KPI kepada pihak tim Tukang Bubur Naik Haji tidak adanya ketegasan yang dilakukan oleh KPI. Keputusan ini dikeluarkan sebagai hasil pertemuan antara KPI-RCTI untuk mendengarkan klarifikasi serta hak jawab dari RCTI . KPI terlihat tidak konsisten, karena tidak menjatuhkan teguran yang berarti untuk sinetron ini, tetapi hanya melakukan klarifikasi saja. Tetapi sudah mulai ada perubahan yang terjadi pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji ini, peran antagonis yang berperan menjadi Pak Haji Muhidin ini kini sudah bertaubat dan sudah menjadi baik. Tetapi pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh Pak Haji Muhidin saja tetapi dilakukan oleh pemeran antagonis yang lain, seperti yang sudah terlihat di paparan analisis sinetron Tukang Bubur Naik Haji tersebut. Tetapi dalam mengambil sanksi dan teguran yang seharusnya diambil berdasarkan UU Penyiaran dan P3 dan SPS. Dalam hal ini terlihat bahwa keputusan KPI dalam hal pemberian sanksi dapat berubah akibat pertemuan-pertemuan dengan
81
pihak stasiun televisi. Hal ini memperlihatkan bahwa keputusan pemberian sanksi oleh KPI terkesan dapat dinegosiasikan. “Sekarang lebih ke Sinetron Tukang Bubur Naik Haji, kalo soal TBNH, KPI belum pernah pernah menegur Sinetron TBNH, belum pernah memanggil, memanggil iya untuk klarifikasi tetapi menegur belum pernah, kenapa? Karena gini kita lihat data aduan dari Januari sampai Agustus 2013 aduan tentang sinetron TBNH ada 142 aduan itu masuk lewat SMS, lewat E-mail, lewat Twitter, terus lewat tatap muka, telepon, surat, ada 142 aduan, apa yang diadukan. Pada saat itu KPI melakukan klarifikasi dan audiency, stasiun televisi, mereka PH nya dipanggil PH nya itu merangkap di TV, dan pengadu itu kita datangkan kita audiency dan pada saat itu juga kan tokoh H.Muhidinnya berubah gitu kan, nah itu bisa saja, tapi begini kalau kita bicara alur KPI engga bisa serta merta masuk begitu saja kita turun tangan di alur cerita atau tema, karena kenapa? Itu kreatifitas ada Undang-Undang yang menjamin itu, apa yang dilakukan, ada kesalahan fatal TBNH ini belum pernah kami menemukan dari pemantauan yang melanggar P3SPS.”13 KPI juga tidak memiliki prosedur yang baku pada pelaksanaan fungsi pengawasan isi siaran. KPI tidak memiliki standar operation procedur (SOP) yang jelas dan konkret. Pengawasan isi siaran yang dilakukan melalui pemantauan langsung reguler seperti yang terlihat pada hasil penelitian juga memperlihatkan proses pengawasan KPI yang tidak lancar. Contohnya: tersendatnya distribusi rekaman tayangan bagi Analis dan Tim Panelis dari bagian monitoring atau sering terjadinya kerusakan rekaman yang diterima Analis dan Tim Panelis. Selain itu, KPI tidak selalu menindaklanjuti hasil rekomendasi Tim Panelis atau teguran yang dikenakan atas aduan masyarakat. Dalam kasus sinetron Tukang Bubur Naik Haji, stasiun televisi terlihat memiliki daya pengaruh yang cukup kuat dalam pengambilan keputusan lembaga regulasi penyiaran di Indonesia. Padahal seharusnya lembaga regulasi bersifat independen dan 13
2013
Wawancara pribadi dengan Irvan Senjaya, Koordinator Pemantauan Langsung, 17 September
82
bebas dari intervensi lembaga atau kelompok manapun, baik pemerintah atau industri. Adanya tarik ulur antara RCTI dengan KPI dalam hal pengambilan keputusan jatuhnya sanksi, menunjukkan masih lemahnya fungsi dan wewenang lembaga tersebut sebagai pengawas regulasi sekaligus tidak tegas atau konsistennya lembaga ini dalam hal pengambilan keputusan. Peneliti melihat pentingnya hal ini untuk diperhatikan oleh KPI, mengingat pada SPS pasal 77 disebutkan hendaknya KPI untuk melakukan penilaian kembali atas SPS, “Standar Program Siaran secara berkala dinilai kembali oleh KPI sesuai dengan perubahan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan norma-norma yang berlaku, serta pandangan dari masyarakat.” Pada akhir penelitian ini, peneliti dapat melihat fungsi lembaga regulator yang berjalan di KPI sebagai regulatory body media penyiaran di Indonesia. Sesuai dengan pemaparan pada Bab 2 tentang fungsi lembaga penyiaran, peneliti pada akhirnya melihat fungsi mana yang lebih dominan dijalankan KPI. Dua fungsi yang terlihat dominan dilaksanakan oleh KPI adalah peran sebagai complain commission (komisi komplain) serta fungsi kontrol dan pemberi sanksi mulai dari denda hingga pencabutan izin. Hal ini sebenarnya cukup memperlihatkan betapa posisi KPI belum cukup optimal dalam menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana yang diamantkan dalam UU Penyiaran. Fungsi yang paling terlihat berjalan hanyalah sebagai wadah aduan masyarakat atau complain commission. KPI selalu menerima dan terlihat berusaha untuk menindaklanjuti aduan-aduan tersebut. Sayangnya, seperti yang terjadi pada kasus sinetron Tukang Bubur Naik Haji, KPI tidak menjalankan penindaklanjutan aduan
83
masyarakat dengan baik. Teguran yang disampaikan KPI tidak memiliki pengaruh signifikan pada perubahan program tersebut. Tetapi hanya cukup terlihat perubahan peran pada peran Pak Haji Muhiin yang terlihat semakin baik atau bertaubat, ini disebabkan pemanggilan Tim sinetron Tukang Bubur Naik Haji dan pihak RCTI. Sehingga pada akhirnya perubahan trjadi pada peran antagonis tersebut. Walaupun masih ada beberapa peran antagonis yang seringkali mengeluarkan kata-kata kasar dan makian tetapi sudah mulai berkurang dibanding sebelum adanya klarifikasi antara pihak RCTI dan pihak KPI. Fungsi KPI lainnya yang cukup dominan dilaksanan adalah fungsi untuk mengontrol dan memberi sanksi bagi pengelola penyiaran yang melanggar mulai dari bentuk denda sampai pencabutan izin. KPI secara reguler melakukan pengawasan isi siaran terhadap tayangan televisi, dan melakukan teguran serta memberikan sanksi pada program yang melanggar dan bermasalah. Namun, sayangnya walaupun fungsi ini merupakan fungsi yang juga paling dikenal dan terlihat dari KPI, fungsi ini belum dijalankan KPI dengan optimal. Paparan analisis ini juga pada akhirnya dapat menunjukkan posisi KPI seharusnya berada di tengah hubungan segitiga antara media-pemerintah-publik, justru terlihat tidak berjalan. KPI terlihat tidak bisa menjalani peran mediasi, yang secara tidak langsung hadir dalam fungsinya sebagai lembaga pengawas. KPI seharusnya dapat menjadi wakil masyarakat, mengawasi industri penyiaran dan isi siaran, dan bekerja sama dengan pemerintah. Tetapi kasus penelitian ini menunjukkan KPI tidak memegang teguh posisi tersebut, karena media tampak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi hubungan tersebut. Fungsi KPI kurang berjalan sebagaimana
84
mestinya. Dengan kata lain, jembatan mediasi tidak berhasil karena kepentingan masyarakat untuk mendapat tontonan yang layak tidak dicapai. Hasil penelitian ini, pada akhirnya menegaskan pentingnya regulasi di bidang penyiaran, dan pentingnya lembaga regulasi penyiaran. Selain itu, pihak stasiun televisi seharusnya bisa lebih waspada terhadap kemungkinan pelanggaran dan sensor sebaiknya tidak hanya dari pihak produksi, tapi juga semua yang berada dalam acara tersebut, baik sutradara, penulis, maupun aktris atau aktor tersebut. Pada Bab X pasal 14 berisi lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran. Pada program sinetron tukang bubur naik haji yang ditayangkan pada pukul 19.30 WIB yang di tayangkan pada jam prime time yang di takutkan banyak anak-anak yang masih menyaksikan program acara ini. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran pada pasal XIII tentang program siaran bermuatan kekerasan pada pasal 17 lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan. Adegan tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan peniruan terhadap penonton. Untuk itu, pengaturan media penyiaran perlu diatur karena efeknya yang begitu besar terhadap khalayak. Efek media penyiaran meliputi dua hal. Pertama, efek dikotomi, yaitu efek kehadiran media itu sendiri dan efek pesan yang ditimbulkannya kepada masyarakat dalam bentuk kognitif, afektif, dan behavioural. Kedua, efek trikotomi, yaitu efek sasaran yang terdiri dari individual, interpersonal, dan sistem dalam bentuk kognitif, afektif, dan behavioural. Efek kognitif mempengaruhi
85
pengetahuan, pemahaman, dan persepsi masyarakat menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan. Efek afaektif mempengaruhi perasaan, seperti perasaan senang dan benci yang menyangkut emosi, sikap, dan nilai. Efek behavioural mempengaruhi perilaku, seperti pola tindakan dan kebiasaan.14
D. Alur Pengawasan Isi Siaran KPI Terkait alur dan mekanisme, pada pemantauan langsung KPI ada alur yang biasanya perlu dilewati sampai akhirnya kesimpulan program yang melanggar dan bermasalah itu diperoleh. Menurut Iddy Muzayad, dalam proses pemantauan atau pengawasan isi siaran, KPI dibantu oleh sejumlah pihak, seperti 11 orang Analis dan enam orang anggota Tim Panelis. Keberadaan Tim Panelis mulai diaktifkan sekitar februari 2008. Proses pemantauan reguler KPI saat ini dilakukan setiap bulan oleh analis dan Tim Panelis tersebut. Alur pekerjaan Tim Panelis pada pemantauan langsung dimulai dari analisis 11 analis pada tayangan program yang sudah direkam dan dikumpulkan sesuai dengan permintaan atau fokus pemantauan dari komisioner atau Tim Panelis bagian monitoring KPI yang merekam acara setiap hari selama 24 jam. Para analis kemudian akan memperoleh rekaman acara televisi yang sudah dipilih, selama dua minggu menganalisis 5 hingga 6 jam setiap harinya berdasarkan P3 dan SPS, terutama dan UU Penyiaran. Hasil analisis yang dibuat oleh analis, berbentuk tabel, diisi beserta keterangannya. Kemudian diperiksa oleh Tim Panelis dengan dibagi dua sebagai 14
Masduki, Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal (Yogyakarta: LKIS, 2007) hal 13.
86
petunjuk awal program mana atau episode mana yang sekiranya bermasalah atau melanggar. Adapun dua kategori melanggar dan bermasalah tersebut maksudnya adalah program dikatakan melanggar jika pasal yang dilanggarnya jelas dan kuat terlihat. Sementara, dikatakan bermasalah jika pelanggaran tidak telak terjadi namun jika dibiarkan bisa berulang, karena itu perlu dingkat. Setelah analisis lanjutan selesai, maka kemudian mereka mengadakan rapat Tim Panelis dan hasil tersebut disajikan baik yang melanggar atau yang bermasalah. Penyajiannya tidak hanya dalam rumusan tapi juga dalam potongan-potongan adegan yang terkait. Dalam rapat tersebut akan ditentukan kemudian mana yang benar melanggar dan mana yang benar bermasalahdengan pertimbangan semua anggota Tim Panelis. Setelah kesepakatan hasil melanggar dan bermasalah diambil, maka akan dibuat resume rumusan akhir Tim Panelis yang akan diajukan pada komisioner KPI. Hasil akhir dengan resume kategori baru dimulai sejak bulan Juli 2009. Resume rumusan akhir tersebut berisi daftar semua program yang dipantau, kemudian mana yang masuk kategori melanggar dan bermasalah, termasuk pasal-pasal, UU Penyiaran dan P3 dan SPS dipertimbangkan. Saat ini, analisis dibuat bagi satu program dalam jangka waktu satu bulan, sehingga hasil analisanya dan bukti lebih kuat serta meyakinkan. KPI juga bisa lebih mudah menunjukkan pada media apa kandungan program mereka. Dalam pengawasan reguler ini, acara atau fokus pemantauan ditentukan oleh para Tim panelis atau berdasarkan diskusi dengan para komisioner KPI. Akan lebih mudah untuk menentukan fokus oleh Tim Panelis karena mereka lah yang paling memahami acara yang mana yang sudah pernah atau masih kurang-kurang fokusnya.
87
Pengambilan keputusan pelanggaran laporan pemantauan reguler, juga dapat dibuat lewat proses rapat pleno. Bedanya, hal ini untuk menentukan hasil rekomendasi Tim Panelis pada proses pemantauan langsung yang dilakukan reguler. Sebelumnya, Tim Panelis disertai oleh komisioner membuat rapat pleno, untuk memberikan keputusan akhir program apa yang melanggar dan program apa yang bermasalah saja. Pada rapat pleno ini, komisioner dan Tim Panelis sama-sama hadir agar bisa menyamakan visi dan pandangan pada pelanggaran yang ditemukan sekaligus mempersiapkan konfrensi pers yang perlu dilakukan. “Rapat pleno itu adalah rapat rutin mingguan yang kita lakukan kalau sekarang setiap hari senin dan hari sabtu untuk memutuskan hal-hal yang krusial terkait kebijakan penyiaran. Rapat pleno itu harus berupa rapat yang memang kuorum pelaksanaanya, kuorum itu kalau ada sembilan komisioner berarti lima diantaranya harus hadir menghadiri rapat pleno itu baru benar kuorum. Nah sebisa mungkin mekanisme itu musyawarah dan mufakat antara peserta pleno kemudian kita putuskan hal yang secara musyawarah mufakat itu.”15 Hasil rapat pleno Tim panelis kemudian akan diajukan ke Komisioner yang akan membuat rapat pleno kembali dengan seluruh Komisioner, guna menentukan hasil laporan yang mana yang akan dikenakan sanksi atau diumumkan, pelanggaran mana yang akan membahas hasil pemantauan langsung di luar pemantau reguler, melainkan hasil pemantauan langsung atau aduan masyarakat. pada pleno ini, Tim Panelis tidak ikut serta karena mereka tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, hanya memberikan rekomendasi sebelumnya. “Kalau alurnya kita tadi ada dua sumber kan, pertama kalau pengawasan yang langsung itu kan ada tenaga ahli, tenaga ahli itu melihat isi siaran. Kemudian ada check list hasil dari pelanggaran terus nanti dikumpulkan hasil itu baru naik ke rekapitulasi, di rekapitulasi kemudian ada tim analis yang 15
Wawancara Pribadi dengan Iddy Muzzayad, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, 9 September 2013
88
mengkaji tadi menyaring lagi dari saringan awal, untuk itu nanti direkomendasikan ke komisioner untuk memutuskan, nah itu kalau pengawasan langsung. Kalau dari pengaduan berarti dari masyarakat, dari masyarakat kita teliti aduannya apa isinya kalau itu menyangkut tayangan berarti kita putar lagi rekamannya, lalu kemudian kita lihat rekamannya kemudian kita analisa apakah itu melanggar atau tidak. Kalau kemudin melanggar baik dari tim pemantau maupun pihak pengaduan maka kita berikan sanksi yaitu berupa surat teguran.”16 Menurut Tim Panelis, mereka tidak selalu terlibat dalam analisa dan pengambilan keputusan pemantauan langsung. Ketika suatu program mendapatkan teguran dari hasil pemantauan langsung, keterlibatan Tim Panelis tergantung dari permintaan pihak KPI atau Komisioner. Karena pada kasus pemantauan langsung, sering kali KPI juga meminta perhatian. Misalnya, pada kasus “Empat Mata” di tahun 2008, KPI meminta pertimbangan analisis Tim Panelis pada episode Sumantopemakan Mayat sebelum akhirnya mereka membuat keputusan pelanggaran dan sanksi. Permintaan ini sifatnya accidental dan biasanya tanpa melalui proses para analis, karena komisioner KPI lah yang menentukan acara-acara yang dianalisis atau sesuai dengan pelanggaran yang mereka temukan pada pemantauan langsung atau lewat aduan membberikan teguran atau sanksi pada stasiun televisi yeng bersangkutan. Namun, pada prakteknya KPI tidak selalu mengangkat semua hasil resume panelis, misalnya terkadang dalam resume ada 10 program yang melanggar, 8 bermasalah, namun yang diangkat KPI hanya akan separuhnya atau kurang. Tim Panelis menyayangkan hal itu, menurutnya meski hal itu adalah sepenuhnya hak KPI, 16
Wawancara Pribadi dengan Iddy Muzayad, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, 9 Sepetember 2013
89
namun terkadang program yang pelanggarannya atau masalahnya patut diangkat justru tidak diangkat. Hal ini dapat dikatakan bahwa KPI belum menjalankan fungsi, wewenang, serta tugasnya dalam memantau isi siaran, karena jika semua pelanggaran suatu program diungkapkan ke masyarakat, masyarakat dapat menilai apakah program tersebut baik atau tidak. Selain itu, masyarakat berhak mendapatkan sosialisasi dari KPI mengenai pemantauan KPI, terkait laporan pemantauan langsung. Berkenaan dengan adanya lagi konfrensi pers reguler mengumumkan hasil pemantauan langsung isi siaran reguler, menurut tim panelis hal ini terjadi akibat hhabisnya jatah bagi KPI untuk mengadakan forum sejenis pada tahun 2009 yang lalu. Hal ini sebenarnya bisa mempengaruhi bagaimana kinerja KPI dinilai. Konfrensi pers merupakan ajang khusus untuk menunjukkan kerja pemantauan KPI, menunjukkan pada media dan masyarakat serta stasiun televisi terkait seperti apa pelanggaran dan masalah yang ditemukan pada pemantauan KPI. KPI juga bisa berdialog langsung, dan hal ini memiliki kemungkinan untuk mendapatkan perhatian lebih besar dari pada hanya sekedar mengirimkan press release ke beberapa media karena belum tentu dimuat. Hal ini juga menjadi perhatian Tim Panelis karena menurutnya lewat konfrensi pers masyarakat akan memberi perhatian lebih. Dari sini dapat dilihat bahwa tindakan KPI yang menghentikan program press confrence justru dapat mempengaruhi keefektifan fungsi, wewenang, dan tugasnyya. Pengumuman KPI dengan hanya lewat siaran pers belum tentu dianggap sebagai hal yang peting. Masyarakat yang memberikan aduan juga belum tentu dapat mengetahui bahwa aduannya memberikan hasil. Sementara seharusnya KPI juga memberikan
90
evaluasinya pada masyarakat yang memberikan aduannya, seperti yang tetera pada UU Penyiaran No. 32/2002, pasal 50 (5) “ KPI wajibb menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada pihak yang mengajukan aduan dan Lembaga Penyiaran yang terkait.” Melalui konfrensi pers media dapat mengetahui apa kerja Tim Paneli KPI, apalagi dalam konfrensi pers yang diperlihatkan bukan hanya yang melanggar tapi juga yang bermasalah lengkap dengan potongan gambarnya. Dari ajang itu, dapat dilihat pula bagaimana reaksi media yang lain atau yang terkait (terkena teguran atau bermasalah). Dalam mekanisme pemantauan langsung ini, Tim Panelis menyampaikan beberapa hal tentang belum berjalannya fungsi KPI yang sebaik-baiknya sesuai dengan yang semestinya. Menurutnya kadang ada kesalahpahaman dalam pemberian materi rekaman dari KPI pada analis atau Tim Panelis. Pada tahap awal pemantauan reguler, Tim Panelis sering tidak bisa mendapatkan akses program atau tayangan yang mereka inginkan. Terkadang ketika mereka meminta sejumlah tayangan dalam satu bulan, yang analis peroleh hanya beberapa tayangan saja atau file rekamannya rusak. Hal ini menurutnya perlu dipertanyakan mengapa bisa terjadi karen seharusnya tidak seperti itu dan kerja Tim Panelis bisa tidak maksimal karena hal itu. Hal ini menunjukkan kinerja tim KPI itu sendri tidak merata, ada fungsi, wewenang, dan terutama kewajiban yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, sesuai dengan UU Penyiaran dan Standar program Siaran.
E. Proses Pengawasan Isi Siaran Sebagai Wujud Fungsi KPI
91
media massa hadir bukan hanya sebagai sarana hiburan, tetapi juga memberikan informasi, pendidikan, serta sebagai sarana transfer budaya, hal inilah yang perlu diatur dan diawasi agar berjalan sesuai dengan porsinya. Di negara demokratis manapun media penyiaran senantisa diatur oleh hukum. Media penyiaran memiliki regulasi ketat ketimbang media cetak. Disamping itu, UU Penyiaran yang demokratis semestinya bersumber dari harapan, cita-cita dan rasa keadilan masyarakat. sistem penyiaran nasional harus menjamin eksistensi jasa penyiaran publik, komunitas dan komersial, menjamin industri penyiaran dimiliki, dan dikontrol oleh rakyat. 17 Di Indonesia, regulasi yang mengatur media massa terwujud melalui Undang-undang seperti UU Pers dan UU Penyiaran serta adanya lembaga regulator penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia. KPI hadir sebagai wujud demokrasi berdasarkan UU Penyiaran No. 32/2002. Pada akhirnya, ketika RUU Penyiaran No.32/2002 disahkan oleh DPR, ditetapkan bahwa KPI merupakan lembaga negara independen mengatur hal-hal mengenaim penyiaran (tersebut pada pasal 27 ayat 2). Namun, ternyata kemenangan demokrasi penyiaran tidak terwujud dengan penetapan UU Penyiaran dan KPI. Banyak pihak justru panik dan menentang implementasi demokratisasi penyiaran tersebut, terutama dari pihak pemerintah yang merasa terancam kehilangan kekuasaannya terhadap media dan praktisi industri media yang takut kehilangan keleluasaannya dalam geliat industri yang selama ini ditopang oleh pemerintah. Semangat UU Penyiaran mengisyaratkan dijaminnya hak-hak rakyat dalam mendapatkan informasi secara bebas dan adil, beserta dijaminnya kemandirian 17
Panjaitan, Hinca I. “Menguji „Baju‟ Desentralisasi”. Dalam Jawa Pos, 24 September 2002
92
kelompok masyarakat dalam mengelola lembaga-lembaga penyiaran. Sementara pemerintah sendiri hanya secara administratif mengetahui, namun tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin, sebagaimana dulu terjadi pada jaman soeharto.18 Namun, seperti yang diungkapkan Agus Sudibyo dalam jurnal prisma, implementasi UU Penyiaran tidak berjalan mulus. Transisi menuju ruang publik penyiaran bercorak kepublikan yang independen justru berbalik pada reorganisasi kekuatan modal dan birokrasi yang mengontrol media penyiaran. Pada Juli 2004, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Uji Material (judicial review) terhadap UU Penyiaran. Dari 22 pasal yang diujimaterrialkan hanya 2 pasal yang dikabulkan MK. Salah satunya menyangkut fundamental bagi reformasi penyiaran di Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945, sehingga KPI, sebagai lembaga regulator penyiaran, justru tidak dapat turut PP Penyiaran.19 Keputusan MK tersebut menutup peluang bagi KPI untuk terlibat dalam perumusan PP, apalagi sebenarnya PP Penyiaran lebih operasional sebagai regulasi penyiaran dibandingkan UU Penyiaran. Sementara pemerintah pada akhirnya justru menggunakan PP Penyiaran sebagai langkah untuk mengambil alih otoritas KPI dibidang penyiaran.20 Melalui PP Penyiaran tentang Penyiaran No. 49, 50, 51, dan 52, pemerintah membuat aturan yang mengarahkan semua perizinan kepada Depkominfo dan mendelegitimasikan KPI sebagai lembaga regulator.
18
Wirodono, sunardian, Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia(Yogyakarata: Resist Book 2006) hal110 19 Sudibyo, Agus, Ekonomi Politik Media Penyiaran(Yogyakarta: LkiS, Jakarta:ISAI 2004), hal 59 20 Sudibyo, Agus, Ekonomi Politik Media Penyiaran, hal 60
93
Terlepas dari penolakan DPR dan masyarakat pada PP Penyiaran tersebut, pemerintah seakan tidak mempertimbangkan keberatan mereka, justru berpihak pada pengusaha dan industri medi. Paket PP Penyiaran ini justru pada akhirnya memperlihatkan market-based powers dibandingkan dengan public-based powers. Negara justru seakan menjamin kontinuitas ekspansi bisnis para pengusaha penyiaran. UU Penyiaran yang dimaksudkan untuk menertibkan penyimpangan seperti praktik jual beli frekuensi, perizinan koruptif, monopoli kepemilikan media, serta produksi siaran yang berorientasi pada iklan dan rating, dan sebagainya21 Terkait dengan produksi siaran, KPI hadir sebagai lembaga yang fungsinya dijamin oleh UU Penyiaran pasal 8 (1) sebagai lembaga yang mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Wewenang dan tugas serta kewajibannya juga terkait dengan pengawasan terhadap produksi isi siaran. Hal ini juga diatur dalam UU Penyiaran pasal 8 (2 dan 3) diantaranya: (2)Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPI mempunyai wewenang: a. Menetapkan standar program siaran; b. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; c. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; d. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siar;
21
Wirodono, sunardian, Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia, hal 59-62
94
e. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
(2)KPI mempunyai tugas dan kewajiban: a.
Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;
b.
Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;
c.
Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait;
d.
Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;
e.
Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti, aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan
f.
Menyusun perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. Fungsi KPI jelas mendukung tugas dan wewenang dan kewajibannya dalam
melakukan pengawasan isi siaran terhadap program dan tayangan televisi. Adanya uji material MK tahun 2004 dan paket PP Penyiaran sebenarnya tidak begitu saja menafikan posisi KPI sebagai pengawas isi siaran. Pasal 8 ini juga didukung dengan beberapa pasal lainnya yang masih bisa mendukung kinerja KPI. Memang cukup disayangkan KPI tidak lagi bisa terlibat dalam pembuatan PP dan hal ini mengurangi kekuatannya dalam menegakkan pengawasan isi siaran. Namun, ketika semua aturan dan fungsi tersebut dapat dijalankan dengan sebagaimana mestinya, KPI masih bisa
95
memberikan implikasi yang kuat pada ranah penyiaran Indonesia. Pada akhirnya memberikan kontribusi media penyiaran yang kondusif bagi masyarakat. Terkait dengan penelitian ini, posisi KPI yang tidak bisa lagi terlibat dalam pembuatan PP Penyiaran karena JR MK 2004, memang sedikit terjepit. Di satu sisi media penyiaran swasta memiliki kedekatan khusus dengan pemerintah dengan adanya tarik ulur kepentingan, dan di sisi lain KPI kesulitan untuk bertindak tegas tanpa adanya dukungan PP yang operasional dari pemerintah. Pada penelitian ini, RCTI sebagai stasiun televisi tampaknya tidak menjalankan niat perubahan dengan sepenuhnya, hal ini terlihat dari isi (content) yang tetap menampilkan peran antagonis dengan kata-kata kasar dan makian yang masih digunakan dalam adegan tersebut dan sinetron religi ini masih tidak mencerminkan keIslaman didalamnya. RCTI sebagi lembaga penyiaran tidak mau kehilangan kue iklan dan rating yang mau tidak mau atas nama industri dianggap sebagai nafas dan dewa stasiun televisi. Peran antagonis yang dimainkan didalam nya dianggap sebagai kekuatan besar untuk menarik penonton agar dapat menyaksikan tayangan tersebut. Walaupun demikian penggolongan yang digunakan pada tayangan sinetron religi tersebut menggunakan penggolongan R-BO nampaknya tidak mengindahkan isi cerita yang ada didalamnya. Pasalnya pada tayangan tersebut remaja tidak seharusnya menonton tayangan tersebut. Banyak kata-kata kasar yang nantinya dapat berimbas pada kelakuan seharihari remaja tersebut dan dapat di aplikasikan pada kehidupan dalam bergaul. Dalam acara Dialog Publik di KPI (28/8) dengan tajuk “Optimalisasi Tayangan Religi dan Perlindungan Anak bagi Masyarakat: Berkacadari Program Ramadhan 1433H di TV” Menteri Agama Suryadharma Ali berharap para pimpinan media
96
televisi membatasi program dan acara keagamaan yang didominasi unsur lawakan, canda, dan jenaka yang dapat menghilangkan esensi nilai keagamaan. “Di masa-masa terakhir ini saya merasa ada sesuatu yang hilang, dimana peran ulama yang berceramah di TV yang masa lalu cukup menonjol, kini peran mereka digantikan dengan para artis dan pelawak yang nampaknya kurang cocok untuk bulan yang istimewa itu.”22 Media juga diimbau agar turut andil menambah program dan acara
yang
bernilai edukatif dan informatif bagi pembangunan masyarakat Indonesia yang religius dan berbudaya, dalam kutipannya Suryadharma Ali menegaskan “Kita bermimpi TV-TV Indonesia berperan besar membentuk keimanan dan keshalehan masyarakat. tidak sekedar memenuhi selera pasar, apalagi di masa kini agama sudah bergeser dan makin jauh dari seharusnya”.23 Sementara KPI seperti tidak bisa berlaku tegas karena semuanya hanya bisa dilakukan secara administratif dan sementara. Klarifikasi yang diberikan kepada sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji ini semuanya hanya bersifat sementara dan efek jera yang menjadi tujuan sanksi KPI pun tidak tercapai. Proses pengawasan KPI terhadap sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji tampaknya bukan hanya dilemahkan oleh wujud regulasi, tetapi juga pelaksana dari fungsi lembaga regulator itu sendiri. KPI tidak memaksimalkan fungsinya yang masih didukung oleh UU Penyiaran dan wewenangnya atas P3 dan SPS. Penggunaan P3 dan SPS yang kurang aplikatif juga menjadi faktor tersendiri, peneliti melihat hal ini sebagai wujud tidak berjalannya fungsi KPI yang tepat dan sesuai dengan UU Penyiaran No. 32/2002. Yang disertai dengan pelaksanaan wewenang, tugas, dan
22 23
Newsletter KPI, “Potret Ramadhan di Layar Kaca”: Edisi Juli-Agustus 2012, Hal 4 Newsletter KPI, “Potret Ramadhan di Layar Kaca”: Edisi Juli-Agustus 2012, Hal 4
97
kewajiban yang seharusnya dapat berjalan jika kembali melihat pada jalur UU Penyiaran. Fungsi pendidikan pada media penyiaran hendaknya lebih ditingkatkan baik dalam segi kualitas maupun kuantitasnya, sesuai fungsi penyiaran sebagaimana tertuang pada pasal 4 UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Dan tayangan sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji hendaknya lebih ditujukan untuk meningkatkan spritual masyarakat ketimbang hanya hiburan semata. Disamping belum terlalu berjalannya fungsi KPI secara maksimal dalam pengawasannya, tetapi sudah ada perubahan pda peran antagonis Pak Haji Muhidin terhadap sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji, KPI juga memiliki prestasi dalam pengawasan isi siaran terhadap tayangan televisi lainnya. Hingga agustus 2013, kurang lebih sudah ada 100 tayangan yang mendapat teguran dari KPI. Pada tahun 2009 KPI bahkan berhasil menghentikan tayangan yang dinilai melanggar UU Penyiaran dan P3 dan SPS, seperti Curhat Anjas di TPI yang sekarangg menjadi MNC TV, video klip Shakira, dan yang terakhir program Makin Malam Makin Mantap di ANTV. Selain itu, KPI juga menindak tegas sinetron Hareem di Indosiar yang akhirnya berubah konten dan isi ceritanya dengan judul Inayah. Di luar kualitas sinetron tersebut, dalam hal ini KPI terbukti sudah melakukan tindakan yang sesuai dengan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya berdasarkan UU Penyiaran dan P3 dan SPS.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Proses Pengawasan yang dilakukan KPI pada program sinetron religi Tukang Bubur Naik Hajisudah terlihat walaupun belum sepenuhnya terjadi perubahan pada sinetron tersebut tetapi peran antagonis yang ada pada peran Pak Haji Muhidin sudah bertaubat.Hal ini bisa terlihat terjadi perubahan pada pemeran didalam sinetron tersebut. 2. Peneliti dapat melihat fungsi lembaga regulator yang berjalan di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
sebagai regulatory body media penyiaran di
Indonesia. 3. P3 dan SPS sebagai dasar dalam melakukan pengawasan isi siaran tidak bisa digunakan dengan aplikatif. Bahasa dalam pasal-pasal yang terkandung di P3SPS terasa bias dan ambigu, sehingga interpretasi bisa berbeda pada tiap orang yang membacanya. Untuk itu, KPI sepertinya perlu menilai lebih lanjut P3SPS agar bisa dilakukan perbaikan. KPI juga melakukan sosialisasi yang lebih lanjut terhadap media dan masyarakat terkait P3 dan SPS. 4. Disamping belum berjalannya fungsi KPI secara maksimal dalam pengawasan terhadap sinetron religi Tukang Bubur Naik Haji, KPI juga memiliki prestasi tersendiri dalam pelaksanaan pengawasan isi siarannya. Hal ini terlihat dari keberhasilannya menghentikan beberapa tayangan televisi. Contohnya pada kasus Curhat Anjas di TPI yang sekarangg menjadi MNC TV, video klip 100
101
Shakira, dan yang terakhir program Makin Malam Makin mantap di ANTV. Selain itu, KPI juga menindak tegas sinetron Hareemdi Indosiar yang akhirnya berubah konten dan isi ceritanya dengan judul Inayah.
B. Saran
1. Peneliti mengusulkan dalam penelitian selanjutnya oleh peneliti lain untuk lebih mengupas pihak-pihak yang terkait seperti pemimpin lembaga regulasi penyiaran, pemimpin stasiun televisi, dan anggota lembaga pemerintah untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh mengenai rangkaian regulasi media dan proses kontrol pemerintah terhadap media penyiaran. 2. Peneliti memberikan anjuran pada peneliti selanjutnya untuk menggali informasi dari pihak lembaga legislatif, seperti DPR, untuk mendapatkan gambaran tentang fungsi dan wewenang lembaga regulasi penyiaran independen yang ada diIndonesia, dari sisi pembuat kebijakan. Apa hakikat demokrasi penyiaran di Indonesia, bagaimana tanggapan mereka atas pelaksanaan fungsi KPI, dan bagaimana atau apa tindakan DPR guna mengawasi pelaksanaan fungsi lembaga regulasi penyiaran di Indonesia. 3. Peneliti juga menganjurkan peneliti berikutnya untuk memperhatikan latar belakang pengambilan keputusan dalam lembaga regulasi penyiaran, untuk dapat melihat lebih jauh tentang proses terbentuknya keputusan dalam lembaga tersebut, serta melihat pengaruhnya terhadap proses pengawasan isi siaran lembaga regulasi penyiaran.
102
4. Peneliti juga memberikan saran bagi peliti selanjutnya untuk juga meneliti dan menganalisis proses kerja dari bidang-bidang lainnya dilembaga regulasi penyiaran. Hal ini untuk dapat melihat dan mengupas kinerja dan latar belakang lembaga regulasi penyiaran secara keseluruhan. 5. Selain itu, melihat keberadaan KPI sebagai lembaga regulator penyiaran di Indonesia, peneliti menemukan pentingnya kontrol pada kebijakan KPI serta pelaksanaan fungsi, wewenang, tugas dan kewajibannya. Hal ini diperlukan agar KPI dapat berjalan lebih tegas, lebih konsisten.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Bakri. Komunikasi Internasional Peran dan Permsalahannya. Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta IISIP , 2003. Amura. Perfilman di Indonesia : Dalam Era Orde Baru. Jakarta: Lembaga Komunikasi Massa Islam Indonesia, 1989. Ardianto, Elvinaro, dan Lukiati Komala Erdinaya. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rektama Media, 2004. Asmawi, M. Basyiruddin Usman. Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Asmuni, Syukir. Dasar-Dasar Stratergi Dakwah Islam. Surabaya: Al-ikhlas, 1983. Basrowi dan Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rieneka Cipta, 2008 Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Prenada Media Group, 2005. Depdiknas, Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2003 Effendy, Onong Ucjhana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1984. Feintuck, Mike. Media Regulation, Public Interested Law. Edinburg University Press, 2008. Ghazali, BC, TT. Kamus Istilah Komunikasi. Bandung Djambatan, 1992. Hoover, Stewart M (ed). Rethingking Media, Religion, and Culture. London: Sage Publication, 1997. Hoynes, William David, Croteau. Media/Society, Industries, Images, & Audiences. California: Pine Forge Press, 1997. J. Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007. J. Shoemeker, Pamela, stephen Reese. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content 2nd Edition. Newyork: Longman Publisher. 1996. Judhariksawan, Hukum Penyiaran, Cetakan Ke-1. Jakarta: Rajawali Pres, 2010. 103
104
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Undang-Undang Tentang penyiaran No. 32 Tahun 2002. Jakarta, 2007. .Dinamika Perizinan di Indonesia. Jakarta, 2012. . P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran). Jakarta, 2007. .Meretas Jalan Sosialisasi Literasi Media di Indonesia. Jakarta: Pusat Bidang Kelembagaan, 2012. Kusmawan, Aep. Komunikasi Penyiaran Islam. Bandung: Benang Merh Press, 1983. Kuswandi, Wawan. Komunikasi Massa: Analisis Interaktif Budaya Massa. Jakarta: PT Rieneka Cipta, 2008. Ladib, Muhammad. Potret Sinetron Indonesia: Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial. Jakarta: PT Mandar Utama Tiga Books Division, 2002. Lubis, Muchtar. Budaya, Masyarakat, dan Manusia Indonesia: Himpunan “Catatan Kebudayaan”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993. Masduki, Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter Ke Liberal. Yogyakarta: LkiS, 2007. McQuail, Dennis. Mass Comunication Theory 5th Edition, London: Sage Publications, 2005. .Mass Comunication Theory: An Introduction, Third Edition. London: Sage Publications, 1994. Morissan, Manajemen Media Penyiaran. Jakarta: Kencana, 2008. Mufid, Muhammad. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Kencana, 2007. Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004. Sendjaja, S Djuarsa, Ashadi Siregar. Kumpulan Makalah Seminar Televisi Publik. Yogyakarta: UGM, 2001. Siregar, Ashadi. Sinetron Indonesia Untuk Pasar dan Budaya. Yogyakarta: LP3Y, 2005. Sobur, Alex. Analisis Isi Teks media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001. Subroto, Darwanto Satro. Produksi Acara Televisi. Yogyakarta: Duta Wacana University, 1994.
105
Sudibyo, Agus. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LkiS, Jakarta: ISAI, 2004. Sunardian, Wirodono. Matikan TV-Mu! Teror Media Telvisi di Indonesia. Yogyakarta: Resist Book, 2006. Tebba, Sudirman. Hukum Media Massa Nasional. Ciputat: Penerbit Pustaka irVan, 2007. Vivian, John. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedelapan. Jakarta: Kencana, 2008. William, Rivers L, et al. Media Massa dan Masyarakat Modern Edisi Kedua. Jakarta: Kencana, 2008.
JURNAL: Darmawan, Josep J. “Wawancara “TV Lokal Dalam Pertelevisian Indonesia”. (Yogyakarta: Univrsitas Atma Jaya 2003) Jurnal IISIP, Jurnal MasalahMasalah Sosial dan Politik, Vol-4/No 4/Des 2002 –Feb 2003, Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial. Kusmawarni, Infantri safizar, Afdal Makuraga. Laporan Utama, “Komisi penyiaran Indonesia” Jurnal Media Watch and Consumer Center, Edisi 5, September 2000. Jakarta: The Habibi Center, 2007.
NEWSLETTER: Jawa Pos, Panjaitan, Hinca I. “Menguji „Baju‟ Desentralisasi”. 24 September 2002.Majalah Alia, “Banjir Sinetron Religius”, Edisi Juni 2005. Newsletter KPI, “Potret Ramadhan di Layar kaca. Jakarta: KPI Pusat 2012 Edisi JuliAgustus 2012. Newsletter KPI, Suratnoaji, Catur. Artikel “Strategi Bisnis TV Dalam Situasi Krisis”, Penyiaran Indonesia. Jakarta: KPI Pusat 2008 Edisi September-Desember 2008.
TESIS:
106
Tesis, Siti Nurbaya,” Budaya dalam Sinetron Indonesia: Kajian Kritis Terhadap Produksi Sinetron Betawi “Kecil-Kecil Jadi Manten” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2006
WEBSITE: Profil Situs Resmi KPI http://www.kpi.gp.id//, diakses diakses pada 22 Agustus 2013 pukul 13.29 WIB http://moissa.wordpress.com/2008/04/14/sinetron-religi-kurang-mendidik, pada tanggal 27Mei 2013 pukul 13.15 WIB.
diakses
http://www.rcti.tv/programs/view/325/tukang-bubur-naik-haji-the-seriesWikipedia indonesia diakses pada 20 Juni 2013 pukul 14.28 WIB http://www.antaranews.com/berita/369387/kpi-didesak-tegur-sinetron-rendahkansimbol-agama diakses pada 5 November 2013 pukul 12.00 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/23/mlolup-dipanggil-kpi-pakhaji-di-sinetron-akan-bertobat diakses pada 5 november 2013 pukul 13.15
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran (Wawancara dengan Narasumber)
Wawancara dengan Bpk Idy Muzayyad selakuWakil Ketua KPI Pusat
Wawancara dengan Bpk Irvan Senjaya selaku Koordinator Pemantauan Langsung KPI Pusat
Lampiran (Ruangan KPI) Gambar Ruang Editing
Gambar Ruang Monitoring Pemantauan Langsung
Dipanggil KPI, 'Pak Haji' di Sinetron Akan Bertobat
sinetron 'Tukang Bubur Naik Haji' REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akhirnya memanggil lembaga penyiaran atau stasiun televisi yang menayangkan tokoh 'Pak Haji' berperangai buruk dalam sinetron yang ditayangkan di RCTI dan SCTV. Dari hasil pertemuan tersebut, disepakati adanya beberapa perubahan dan masukan dalam tayangan sinetron dan penokohan 'Pak Haji' itu. Kepala Divisi Program dan Akuisisi SCTV, Banardi Rachmad, mengakui akan mengubah karakter haji dalam sinetron 'Ustad Fotocopy'. "Alur cerita dan karakter tokohnya sudah mulai kita ubah, sudah mulai memperbaiki perangainya," kata Banardi kepada Republika usai rapat bersama KPI, Senin (22/4). Dia mengatakan, dalam cerita itu juga sudah dimunculkan seorang ustaz lain yang sangat kontra dengan karakter sebelumnya, sebagai perbandingan. Hal senada disampaikan Sekretaris Perusahaan RCTI, Adjie S Soeratmadjie. Ia memastikan akan ada perubahan terkait isi dan karakter sinetron 'Tukang Bubur Naik Haji' dan 'Berkah'. Dan itu sudah dimulai untuk episode berikut-berikutnya. "Kita sedang menyinkronkan masukan dari KPI untuk perubahan itu, ada beberapa yang sudah kita lakukan dan ada beberapa yang masih butuh penyesuaian," ujar Adjie. Reporter : Amri Amrulla Redaktur : Heri Ruslan
KPI Diminta Hentikan Sinetron yang Merendahkan Simbol Islam
Jakarta, C&R Digital - Pembina Masyarakat TV Sehat Indonesia, Fahira Idris, meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menghentikan tayangan sejumlah sinetron seperti Haji Medit (SCTV), Islam KTP (RCTI), Tukang Bubur Naik Haji (RCTI) dan Ustad Foto Kopi (SCTV). Menurutnya, tayangantayangan tersebut, merendahkan simbol umat Islam dengan menempatkan Islam sebagai "tersangka" kejelekan (Sine Sara). Pernyataan tersebut diungkapkan Fahira saat bertemu komisioner KPI Azimah Subagio, Ezki Suyanto dan Irwandi Syahputra, Senin (15/4). Selain Fahira, dalam pertemuan itu juga hadir Koordinator dan Sekretaris Masyarakat TV Sehat Indonesia Ardy Purnawan Sani dan Bayu Priyoko. Lebih lanjut Fahira mengatakan, tayangan-tayangan sinetron tersebut menggunakan judul terminologi Islam, tapi isi dan jalan ceritanya jauh dari perilaku Islami. Tidak jarang dalam tayangan itu menampilkan karakter ustad dan haji yang merupakan tokoh panutan di tengah-tengah masyarakat, namun mereka melakukan tindakan di luar kepatutan seperti suka mencela, iri, dengki dan sama sekali tidak ada pesan Islam di dalamnya. "Tayangan sinetron-sinetron tersebut telah memunculkan persepsi buruk tentang tokoh panutan dalam agama Islam. Jelas hal ini sangat meresahkan masyarakat," tutur Fahira yang juga Ketua Yayasan Anak Bangsa Mandiri dan Berdaya ini seperti dikutip dari siaran pers, Rabu (17/4). Masyarakat TV Sehat Indonesia juga mengajak aktor dan artis untuk lebih selektif dalam memilih peran sehingga tidak menimbulkan kegelisahan, bahkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. "Tentu saja, yang tidak kalah pentingnya, kami juga mengajak masyarakat Indonesia agar lebih cerdas dalam memilih tayangan yang bermanfaat bagi diri dan keluarga," ungkapnya.
Hasil Wawancara dengan Komisi Penyiaran Indonesia
Nama
: Bapak Idy Muzayyad
Jabatan
: Wakil Ketua KPI Pusat
Hari/tanggal
: Senin, 09-September-2013
1. Struktur Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) secara keseluruhan seperti apa? Jawab: Struktur Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itu meliputi KPI Pusat dan KPID. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) tersebut ada di 33 propinsi dan belum termasuk daerah Kalimantan Utara, karena di daerah tersebut belum ada KPID itu sendiri. Anggota KPI Pusat yang disebut dengan komisioner ada 9 dan di KPID ada 7. KPI Pusat di pilih oleh komisi 1 DPR-RI, sedangkan KPID di pilih oleh DPRD atau di sebut dengan komisi A atau 1. Jadi, KPID bukan di pilih oleh KPI Pusat, beda dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat struktur dan hirarkis. Sedangkan KPI Pusat dan KPID bersifat secara struktur dan koordinatif. 2.
komisioner itu apa? Dan di pilih oleh siapa? Jawab: Komisi Penyaiaran Indonesia (KPI), punya peran pertama dari sisi perizinan. Perizinan televisi itu pintu masuknya adalah KPI. Ada forum namanya evaluasi dengar pendapat yang nanti membuat satu rekomendasi layak atau tidak layak sebuah/calon lembaga penyiaran itu sebelum mendapat izin. Evalu dengar pendapat adalah EDP, yaitu tahap awal perizinan. Lalu selanjutnya ketika EDP mendapatkan rekomendasi kelayakan dari KPI, kemudian masuk kepada forum rapat bersama namanya FRD. FRD itu bersama KPI dan pemerintah yaitu KOMINFO, lalu setelah FRD itu nanti ada namanya evaluasi uji coba siaran. Jadi, pasca FRD itu lembaga penyaiaran atau televisi mendapat namanya IPP sementara atau IPP prinsip istilahnya. Setelah IPP prinsip nanti di uji coba selama 1 tahun, dan kalau belum bisa di perpanjang sampai 1 tahun lagi, maka nanti kalau sudah
siap di uji namanya menjadi uji coba siaran menguji yang 1 tahun atau 2 tahun. Setelah lulus dapatlah izin, dan perizinan ke 2 di pegawasan isi siara atau pemantauan monitoring. Di KPI Pusat juga ada tenaga-tenaga pemantauan yang memonitor siaran televisi, kalau di KPI Pusat mengawasi televisi yang bersiaran nasional sementara KPID yang mengawasi televisi lokal. 3.
Bagaimana Komisi Penyaiaran Indonesia (KPI) berperan dalam pertelevisian Indonesia? Jawab: Menjawab kekuasaan penuh atau tidak itu tergantung pada basis kelahirannya KPI yaitu UUD No. 32 tahun 2002. Kalau mau di bilang tidak penuh itu adalah dalam sisi perizinannya, karena keluarnya izin penyelenggaraan penyiaran dan kali ini tetap yang memegang adalah MENKOMINFO. Jadi, Izin Penyelenggaraan
Penyaiaran
(IPP)
itu
yang
menandatangani
ialah
MENKOMINFO bukan KPI. Sebenarnya awalnya KPI itu didirikan adalah untuk menjadi satu-satunya lembaga Negara yang di tunjuk untuk mengurusi hal-hal mengenai penyiaran, tetapi layaknya UUD Penyiaran No. 32 tahun 2002 yang pembahasannya itu adalah 4 tahun dari 1998-2002 itu sangat alot sehingga membuat atau mengeluarkan satu postur KPI yang seperti sekarang ini. Dimana kewenangan perizinannya hanya sebatas rekomendasi kelayakan tetapi tidak mengeluarkan IPP. 4. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itu lembaga independen, tetapi apakah KPI tidak mempunyai kedudukan penuh dalam mengawasi pertelevisian? Dan apakah KPI tidak mempunyai hak sepenuhnya dalam memilih tayangan yang mendidik? Jawab. Iya, itu hak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memberi sanksi administratif. Sanksi administratif di UUD No. 20 tahun 2002 itu adalah sanksi teguran tertulis, penghentian sementara, pengurangan durasi, pembekuan kegiatan siaran, dan pencabutan izin. Terutama untuk pencabutan izin penyiaran, KPI lagilagi bisa merekomendasi tetapi nanti harus di dasarkan pengadilan. Yang tidak ada di sanksi ini adalah sanksi plandian di sebuah mata acara kita. Jadi, sanksi di setiap UUD hanya penghentian sementara, dan kalau ada tayangan tetapi tidak di hentikan secara total maka memang UUD sudah menerapkan seperti itu.
5. Peran Komisi Pnyiaran Indonesia (KPI) dalam pemberhentian jam tayang, apakah tidak terlalu keras? Apakah KPI kalah dengan pemilik televisi (owner)? Dan apakah hukum bisa dibeli? Jawab: KPI tidak bisa memberikan sanksi selain yang diberikan kewenangan oleh UUD. Kalau nanti KPI bisa sampai memberikan sanksi yang tidak sesuai dengan UUD, artinya KPI melebihi kewenangan yang diberikan oleh UUD. Jadi, namanya bisa dikatakan A Piss Of Power, dan kalau memang dikatakan belum sesuai dengan apa ketegasan yang di harapkan, itu kembali pada UUD yang memang demikian. Tanggal 29 Mei 2013, sedang ada perubahan UUD penyiaran No. 33 yang di harapkan akan memberikan kewenangan lebih dari yang sekedar ada saat ini. 6. Apakah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berafiliasi atau bergabung dengan instasi lain? Jawab: Komisi penyiaran Indonesia (KPI) tidak bergabung dengan instasi manapun, karena KPI adalah lembaga Independen. Baik dari KOMINFO sekalipun, KPI harusnya independen apalagi dari industri. Maka dari itu keanggotaan KPI sepenuhnya adalah wakil dari masyarakat dan tidak ada unsur pemerintah, jadi hanya mewakili masyarakat. 7. Bagaimana prosedur pembentukan rapat pleno? Jawab: Rapat pleno itu adalah rapat rutin mingguan yang kita lakukan kalau sekarang setiap hari senin dan hari sabtu untuk memutuskan hal-hal yang krusial terkait kebijakan penyiaran. Rapat pleno itu harus berupa rapat yang memang kuorum pelaksanaanya, kuorum itu kalau ada sembilan komisioner berarti lima diantaranya harus hadir menghadiri rapat pleno itu baru benar kuorum. Nah sebisa mungkin mekanisme itu musyawarah dan mufakat antara peserta pleno kemudian kita putuskan hal yang secara musyawarah mufakat itu. 8.
Penyiaran yang Ideal bagi Indonesia seperti apa? Jawab: Kalau berbicara penyiaran yang ideal bahwasannya yang pertama adalah berkeadilan. Ada keadilan, pemerataan, tidak Jakarta sentries, masyarakat daerah juga mendapatkan haknya, mendapatkan siarannya secara adil. Kemudian regulasinya juga adil antara penguasa media yang katakanlah memiliki modal lebih
besar dengan pengusaha yang modalnya tidak terlalu kuat, itu juga ada keadilan dan ada persaingan usaha yang sehat. Dari sisi isi tentu kalau tidak ideal adalah sesuai dengan UUD yaitu: 1. mengandung informasi yang layak dan benar, 2. mengandung unsur pendidikan, 3. Hiburan yang sehat, tidak semata menghibur tetapi hiburan sehat itu adalah paket kemudian menjadi sarana kontrol dan perekat sosial, 4. Tidak profokatif, 5. Tidak membuat miss integrasi. Dan di samping itu harus ada juga fungsi ekonomi, karena dengan tumbuhnya industri media itu juga harusnya berkelindan dengan kebutuhan ekonomi, dan terakhir adalah fungsi kebudayaan. Jadi, bagaimana muatan-muatan lokal juga diangkat di media televisi kita, dan tidak menunggu yang berbau asing atau Jakarta tetapi juga di daerahdaerah, karena banyak kesenian, tradisi, kearifan lokal yang juga diangkat di media yang merupakan fungsi kebudayaan yang secara idealnya. 9.
Prosedur perizinan tayang seperti apa? Jawab: Bukan perizinan tayang, karena Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bukan lembaga sensor. Yang menangani tentang penyensoran adalah LSS. Lembaga sensor (LSS) ini pertama-tama melihat dulu lebel film di televisi, kemudian di lihat apakah tayangan di televisi ini sudah lolos sensor atau tidak. Tetapi tugas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bukan seperti itu, KPI tidak punya kewenangan untuk memiliki sensor terhadap sebuah mata acara, KPI hanya memiliki casting di pedoman peliputan siaran dengan memilih mana yang boleh dan tidak. Ini harus menjadi sebuah pegangan ketika sebuah lembaga penyiaran itu memproduksi TV siaran. Kalau memang nanti ada pelanggaran, itu berarti pelanggaran setelah tayang. Mangkanya KPI sering kali dianggap kecolongan, padahal bukan kecolongan, tetapi karena KPI menghukumi mana yang sudah di tayangkan, dan bukan sebelum tayang.
Lalu setelah itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
menghubungi ke lembaga sensor. Jadi, pertama adalah tayang dulu, setelah itu harapan KPI S3SPS ini menjadi acuan. Dan ketika ada pelanggaran, baru KPI berikan sanksi sesuai dengan kewenangan yang di berikan oleh UUD. 10. Sejauh ini, tayang di Indonesia apakah sudah layak?
Jawab: Menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), memang tayangan di Indonesia belum terlalu optimal. Dalam level regulasi/aturan produksinya yaitu bagaimana sebuah lebel TV atau PH masih memberikan tayangan yang kurang mendidik. Karena bahwasannya KPI bukan lembaga sensor, maka yang sangat di tekankan adalah internal sensor mereka. Mereka harus punya sensor sendiri/sensor mandiri di tingkat para produser. Dan bagaimana komitmen mereka, yang manakala SDMnya masih kurang berkualitas sehingga out putnya juga kurang berkualitas. Lalu level kosumsi, masyarakat juga harus mulai bergerak untuk mengkonsumsi siaran yang lebih mendidik, lebih beradab, lebih mencerahkan. Tetapi faktanya masyarakat sebagian besar kurang peduli, mangkanya mengapa infotaiment/sinetron masih ada? ya karena faktanya peminat/penontonnya banyak dan tingkat ratingnya pun tinggi. 11. Banyak yang mengeluh dari masyarakat, bahwasannya kalau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itu tidak tegas mengawasi tayangan televisi, bagaimana cara mengatasinya? Jawab: Sudah di jelaskan sebelumnya, bahwasannya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itu tidak melakukan sensor. Karena, semua tayangan di televisi tidak sepenuhnya di setorkan ke KPI dahulu baru di tayangkan, tetapi ada pedoman penyiaran. Kalau masih tayang dan melanggar maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berikan sanksi. 12. Bagaimana alur pengawasan dan mekanisme isi siaran oleh KPI? Jawab: Kalau alurnya kita tadi ada dua sumber kan, pertama kalau pengawasan yang langsung itu kan ada tenaga ahli, tenaga ahli itu melihat isi siaran. Kemudian ada check list hasil dari pelanggaran terus nanti dikumpulkan hasil itu baru naik ke rekapitulasi, di rekapitulasi kemudian ada tim analis yang mengkaji tadi menyaring lagi dari saringan awal, untuk itu nanti direkomendasikan ke komisioner untuk memutuskan, nah itu kalau pengawasan langsung. Kalau dari pengaduan berarti dari masyarakat, dari masyarakat kita teliti aduannya apa isinya kalau itu menyangkut tayangan berarti kita putar lagi rekamannya, lalu kemudian kita lihat rekamannya kemudian kita analisa apakah itu melanggar atau tidak. Kalau
kemudin melanggar baik dari tim pemantau maupun pihak pengaduan maka kita berikan sanksi yaitu berupa surat teguran. 13. Kebijakan-kebijakan apa saja yang dilakukan KPI terhadap regulasi penyiaran? Jawab: Kebijakan-kebijakan itu diantaranya aturan-aturan harus ditegakkan, lalu pada level produksi juga harus mengajak produser melakukan isi acaranya melalui panduan P3SPS agar bisa mempertanggungjawabkan apa yang di lakukannya sebagai pertanggung jawabn sosial. Lalu pada level konsumsi juga, karena kebanyakan acara juga acara yang baik belum tentu diminati oleh penonton, makanya penonton juga harus memiliki selera yang baik. 14. Indikator-indikator tayangan sinetron religi seperti apa yang lulus sensor menurut KPI? Jawab: Ya pastinya sinetron religi itu kan harus berisi tentang kebaikan-kebaikan, pesan yang disampaikan tentang kebaikan, lalu menarik dan pastinya menghibur. Karena kalau hanya yang baik-baik saja tapi tidak menarik juga tidak akan ditonton. Lalu sinetron itu harus bisa menjadi sebagai juru dakwah karena negatif atau positif sinetron religi itu tergantung dari isinya. Tapi jangan sampai juga sinetron itu sampai melakukan kekerasan, dan melakukan kata-kata kasar seperti sinetron apa itu islam KTP yang pemerannya si bang madit itu sampai mencemooh orang lain, atau terlalu kasar kata-katanya.
Hasil Wawancara dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Nama
: Bapak Irvan Senjaya
Jabatan : Koordinator Pemantauan Langsung Hari/tanggal : Selasa, 17-September-2013
1. Apakah ada sinetron religi yang mematuhi 100 persen P3SPS dan Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002? Jawab:Iya, oke kalau ditanya apakah ada tayangan religi yang mematuhi standar program siaran dan pedoman perilaku penyiaran, tentunya ada tapi kita harus lihat dulu religi itu apa? Religi itu adalah tema kalau kita lihat, kalau tema kalau kita lihat di tayangan televisi kita tentu tema itu displit di bagi menjadi ke beberapa genre atau format acara. Kalau sekarang kita bicara dakwah, dakwah juga religi. Iya kan? Senandung ramadhan misalnya, nyanyi-nyanyian musik juga religi, trus ada sinetron atau FTV juga religi. Tema yang diangkatnya trus adalagi jg kan selain itu ya apa kuis atau pun apa ada pula, nah sekarang kalo kita lihat apakah tayangan ceramah itu relatif aman ketika mengikuti P3SPS? Jawabannya belum tentu aman, kalau tidak kan ditanya sekarang gini apakah ada? Ada gitu kan. Terus kalo displit itu lagi itu kan sebuah tema payung besar religi disebutnya, terus kalau kita ambil contoh yang sangat simple religi, kekerasan, pornografi dan anak. Itu substansi, tapi kalo bicara tentang religi ceramah kata siapa itu bisa mematuhi P3SPS? KPI pernah loh menegur tayangan ceramah tahun 2012, ada surat tegurannya, disitu satu yang melecehkan, jadi begini kalo konteks ceramahnya itu di ruang tertutup atau di suatu tempat itu tidak masalah, katakanlah melecehkan kaum marginal, tonggoslah, jandalah yang biasanya dijadikan guyonan, itu tidak boleh. Tapi kalau di ruangan tertutup, ruangannya terbatas, audience nya terbatas, itu silahkan saja tapi kalu menggunakan sarana publik dimana frekuensi adalah milik publik itu tentu harus ada aturan yang disebut dengan P3SPS. Dan apakah sinetron aman? Tidak juga sinetron aman apakah dulu tayangan musik gema ramadhan itu aman? Tentu tidak tergantung dari lirik, tergantung dari
angle kamera dan lain sebagainya yang kita lihat. Terus kemudian pak sinetron bagaimana? Sinetron dan FTV, kalau sinetron tuh parsial, parsial tuh kita kalo itu misalnya kita lihat payung programnya kalo KPI melihat contohnya layar kemilau, itu payung program, misteri illahi, itu kan payung program. Gitu loh, nah dan dari payung program itu ada beberapa judul yang satu episode selesai, Film Televisi(FTV) namanya. Nah terus ada lagi sinetron series gitu kan, kalo series itu yang continue, stripping, terus terdiri dari beberapa episode-episode, nah kalo itu KPI melihatnya judul. Kalo lihat yang FTV kita lihat payung program itu kaya oh mama oh papa, misteri illahi, terus azab dari apa gitu kan, dari situ kan misalnya misteri illahi misalnya di situ anaknya durhaka pada ibunya judulnya anak apa, payung programnya yang kita tegur seperti itu. Kalo ditanya ada, ya tentu ada ee.. ditanyakan tadi di awal apakah ada yang mematuhi P3SPS? Ada, contohnya misalnya di FTV tidak semuanya melanggar kan hanya judulnya saja. Program ini yang kita tegur ini episode ini, episode judul misalnya apa, seperti itu. Kalau pertanyaannya ada atau tidak yang mengikuti aturan atau pedoman yang dikeluarkan oleh KPI. 2. Kalau misalnya sinetron itu tidak mematuhi atau acara itu tidak mematuhi berarti regulasi itu terlalu sempit untuk dijalani oleh tim produksinya dong pak? Sampai melanggar seperti itu. Jawab: Nah begini, kalau itu kita harus lihat apa sih yang rule dikeluarkan oleh KPI, pedoman apa sih, aturan apa sih yang dikeluarkan oleh KPI? KPI membuat SPS, kita bicara content, dan KPI bicara tentang P3 apa yang boleh dan tidak boleh lembaga penyiaran lakukan, gitu kan. Mas itu berarti mengekang kreatifitas? Jawabannya tidak sama sekali kenapa tidak sama sekali? Jadi begini, pembuatan P3SPS itu KPI hanya meramu, meramu dari mana? Masukkan dari stake holder, siapa stake holder? Tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, pemerhati media, pakar komunikasi, dan lembaga penyiaran itu sendiri. otomatis ini masukan dari mereka, berarti kita mengekang dong, jadi mereka tahu apa yang wajar dan apa yang tidak wajar. Hanya saja memang KPI ini meramu dalam meramu ini harus masuk lah masukan dari masyarakat, tokoh agama, LSM, tokoh masyarakat, pakar komunikasi dan pendidikan gitu kan. Kita
ramu, karena kan tarik ulur nih, yang misalkan saya ambil contoh, televisi orang lembaga penyiaran ini boleh, lembaga pendidikan loh ini mendidik, terus ada lagi pemerhati lain anak loh ini mendidik, terus ada lagi pemerhati yang lain anak oh ini engga mendidik gitu loh. Ini ada tarik ulur disitu makanya KPI meramu itu semua, meramu menjadikan bahasa yang komperhensif. Diharapkan mudah diaplikasi dalam pelaksanaan produksi seperti itu. 3. Bagaimana tanggapan bapak tentang sinetron religi yang baik yang harus mendidik masyarakat sesuai dengan norma dan nilai budaya masyarakat tapi kenyataannya sinetron tidak mencerminkan itu. Jawab:Relatif dari sudut pandang mana kita bisa men judge bahwa itu adalah tidak mendidik, tidak baik, dan lain sebagainya. Jadi begini kalau kita bicara menggunakan frame pribadi mungkin saja berbeda-beda, ada yang mengatakan bahwa misalkan seperti ini, saya ambil sample satu contoh, ini kita bicara tayangan religi saya mau buat film tentang temanya religi, judulnya preman insyaf, apa yang terbesit oleh mbak ranni begitu mendengar kata-kata preman? Konteksnya apa? Gondrong, urakan, mabok, nodong, judi, main perempuan, gitu kan, lalu malak, anting, rante, gitu loh terus ada bekas luka golok dan lain sebagainya misalnya. Itu kan yang akan terbesit oleh audience sebagai creator saya harus melihat memperlihatkan itu dulu dong? Masa tau-tau preman insyaf, alur ceritanya bagaimana? Gitu kan, itu kan harus diperlihatkan dulu hanya saja, berlebihan atau tidak saat menampilkan apa yang ada dalam benak fikiran masyarakat, contohnya misalnya gini apakah dengan mabukmabukkan, merk minuman diperlihatkan? Tentu tidak boleh, dibalikkan atau di blur, terus pada saat menodong apakah apakah harus diperlihatkan pisau dihunuskan ke dalam ke leher, tidak perlu hanya cukup di todong dan apakah pada saat dia mohon maaf ya melecehkan wanita dengan cara di perkosa apakah diperlihatkan adegan itu? Tentu tidak iya kan. Nah batasan-batasan itu berlebihan atau tidak, pada sat menusuk sudah ditusuk di kuwek-kuwek itu kan ngga boleh gitu kan. Nah batasan-batasan frame itu lah yang kita coba sepakati seperti itu. Kalau dibilang misalnya mas sekarang kan relatif, kalau saya menyebutnya relatif ya, relatif tidak mendidik, tidak
menerapkan dan jauh dari apa yang diharapkan tergantung dari orang melihat. Contohnya misalkan kita lihat pesantren dan rock n roll, mohon maaf saya harus keluar konteks sebelum tukang bubur naik haji nanti kita eksplisit lagi tukang bubur naik haji. Sinetron pesantren dan rock n roll, mas kisah pesantren kan tidak seperti itu, dimana ada santriwati dan santri bisa pacaran disitu, begitu kan nah konteksnya adalah ini adalah fiksi tapi tidak berlebihan kan engga juga dia peluk-pelukan, ciumciuman di sinetron pesantren dan rock n roll itu kan, dinamika itu yang coba diangkat bahwa ada santriwati atau santri yang merasa perlu adanya kasih sayang, itu yang coba digambarkan oleh mereka tentunya kalau kita lihat produksi, maaf saya harus menutup nielsen, tingkat pendidikan kita berapa sih yang menonton TV? Dari 10 kota? Pendidikan sarjana itu sekitar 4% sampai 5%, D3 itu sekitar 10%, SMA berapa persen dan sisanya 54% itu adalah yang tingkat pendidikannya sampai dengan SD. Kalau saya membuat film saya saya harus membuat yang mudah dimengerti dengan target khalayak saya otomatis kalau saya bidikkan itu adalah 54% gaya perceritaan, alur, itu kan harus disesuaikan supaya diminati dan ditonton. Kalau kita melihat kesitu, kita coba memahami creator akan mengejar target audience yang lebih besar kan, dibanding yang kecil, ada alasan mereka. Mereka selalu bilang bahwa aku buat suatu program yang bagus contohnya kick andy atau petualangan si bolang share dan ratting nya gak bagus tuh mas, gitu maka yang bermutu tidak dapat ratting, kembali lagi kalau saya bilang anda salah, kenapa anda ditempatkan di jam segitu? Berani engga industri tempatkan acara yang berkualitas di prime time, prime time kita kan melebar sekarang dulu kan cuma dari jam 7 sampai jam 9, sekarang jam 6 sampai jam 11, jam 10. Prime time kita melebar sekarang karena Heavy Viewers atau si penonton itu jam terbangny itu di Indonesia semakin wah, anak-anak saja sampai sehari 5 jam sedangkan di Amerika Cuma 2-3 jam, tingkat pendidikan kembali lagi. Nah kalo dikatakan tadi mas relatif, relatifnya kenapa? Kita melihat dari sudut pandang mana? Kalo KPI melihat dari sudut pandang frame P3SPS yang telah diramu bersama, jadi kita tidak bisa nyentuh alur, kalau kita nyentuh alur atau format cerita, itu sama dengan kita mengekang kreatifitas dong, ada Undang-Undang hak cipta disitu ada kebebasan berkreasi, kebebasan kreasi yang mana yang diatur melalui koridor P3SPS.
Ada satu sample, temen saya Anjasmara tahun 2010 dia dulu megang acara Suami Suami Takut Istri di salah satu stasiun televisi, sering kita tegur, karena jam tayang, terus kemudian dimana anak-anak digambarkan seperti apa dan lain sebagainya, SSTI setelah kita tegur kita sering kasih pendekatan secara personal juga mendekat kita saling sharing, saya kalau sama orang kreatif itu saya lepaskan baju KPI saya, saya menjadi sosk publik kalau saya ingin melihat ini, nah saya melihat ini tentu bertentangan atau tidak dengan P3SPS, baru kita tarik P3SPS jadi sebelum kita masuk juga pakai gaya kita, kalau pakai gaya kita langsung, benteng pasti mereka akan justru menyerang balik kita, tapi kalau kita menggunakan gaya mereka, makanya sekarang kita ambil dulu frame creator kita ambil frame penonton gitu kan target audience, kita ambil target industri, industri kan mau untung, nah saya kembali menantang, Anjas pada saat itu bagus, di salah satu TV dia ada acara talk show Curhat Anjas itu keras banget baru promo programnya saja saya telpon, mas ini engga salah nih program? Jadi kalau kita bicara analisa itu fashion sama jam terbang gitu kan, saya bilang saya baru lihat promo programnya saja ini bermasalah, oke sudah jalan satu episode, kita langsung kenakan, dua episode kita kenakan kita langsung kenakan periodik saya panggil Anjas secara personal, njas kamu ini gimana kok kamu bisa begini? Lalu dia bilang saya hanya bekerja dan saya sudah memberitahukan ini, tapi mereka engga mau, mereka tetap saja jalan nah itu bagi mereka yang tidak tahu. Makanya sekarang KPI dalam konteks pembinaan jadi kita frame, jadi begini KPI lebih kepada pertama mendirikan pondasi dulu, KPI kedua mencoba mendirikan tiang dengan kita berjibaku dengan pemerintah tentunya KOMINFO, KPI ketiga lebih cenderung kepada pengawasan gimana sanksi terus pendekatan sanksi adalah pendekatan pengawasan, dan yang keempat sekarang pembinaan dan pengawasan seperti itu. Jadi kalau dilihat mas kok alurnya begitu? Mungkin kita tidak suka dengan alurnya seperti itu, jadi begini apa bedanya Para Pencari Tuhan (PPT) dengan FTV lainnya? Tahu tidak apa yang membedakan? Kalau berkualitas semua sinetron pasti berkualitas dong, kalau banyak ditonton berarti berkualitas, apa coba? Benang merahnya seri, tapi setiap episode endingnya dia langsung saat itu juga, benang merahnya apa? Pamainnya tetap, settingnya tetap, gitu coba di hari pertama misalnya pencuri sandal, hari kedua
apa, dan seterusnya, sebenarnya itu tuh FTV yang dikemas baik, jadi penonton tidak engeh kalau itu tuh seri, tapi kalau kita lihat, kita telaah itu tuh parsial kalo sinetron mainstream kita tuh parsial, digantung di tengah-tengah, ada yang seperti itu dan itu yang membedakan Dedi Mizwar bagus yang saya ingin beritahukan kepada temanteman produksi, sebetulnya ramadhan kemarin saya bukan subyektif ya tapi objektif PPT kalah dengan Kami Bukan Malaikat, karena format framingnya hampir sama, berarti kan ada sinetron yang bagus, ada tayangan yang bagus, gitu kan walaupun hanya di moment-moment tertentu saja, sekarang gini apa yang membedakan FTV di MNC TV dengan di indosiar? Pernah menonton? Satu adalah target audience mereka yang lebih dikemas MNC TV menengah kebawah lebih cenderung ke golongan bawah sehingga disitu ibu-ibu miskin gitu kan, coba kalau settingannya indosiar rumahnya mewah, walaupun memang teraniaya tetap wanita berarti dia mengambil segmen menengah dan mencoba rich ke yang atas dikit itu yang membedakan, padahal itu sama-sama religi loh FTV nya sekarang. Coba liat deh sekarang itu lebih cenderung ke religi indosiar dan MNC TV gitu loh, kecuali SCTV dan RCTI lebih ke remaja, umum, dan lain sebagainya jadi ada segmennya, MNC tuh berhadapan dengan Indosiar, SCTV berhadapan dengan RCTI, lalu ada Global berhadapan dengan Trans 7, gitu jadi kita berbicara dengan lembaga penyiaran dulu, ini berhadapan dengan ini, kalau bisnis itu sudah biasa. 4. Selama memantau apakah Sinetron Tukang Bubur naik Haji pernah mengalami pelanggaran atau kesalahan terfatal? Jawab: Sekarang lebih ke Sinetron Tukang Bubur Naik Haji, kalo soal TBNH, KPI belum pernah pernah menegur Sinetron TBNH, belum pernah memanggil, memanggil iya untuk klarifikasi tetapi menegur belum pernah, kenapa? Karena gini kita lihat data aduan dari Januari sampai Agustus 2013 aduan tentang sinetron TBNH ada 142 aduan itu masuk lewat SMS, lewat E-mail, lewat Twitter, terus lewat tatap muka, telepon, surat, ada 142 aduan, apa yang diadukan? Begini kalau kita bicara tentang aduan misalnya “ TBNH tidak sesuai dengan ajaran islam, TBNH terlalu mendeskriditkan islam” tapi konten yang mana sih yang mendeskriditkan? Kita kan harus jelas, di
dalam P3SPS kita jelas adegan apa yang ngga boleh , andai kata pengadu itu ngomong TBNH melakukan adegan ini jam segini tanggal sekian gitu loh, kita lihat ada yang melanggar P3SPS atau tidak? Lalu kita lihat ternyata tidak melanggar, kita pernah dapat aduan dari televisi sehat sebuah LSM, itu LSM nya Jihan Fahira yang anaknya Idris Golkar yang dari DPR, nah dia datang kesini, dia menceritakan bahwa sosok haji yang disimbolkan oleh agama islam tapi berkelakuan berbalik 180, gitu kan licik, marah, pokonya yang negatif semua ada di dia, yang negatif-negatifnya gitu yang dimunculkan itu yang diasukan oleh mereka. Pada saat itu KPI melakukan klarifikasi dan audiency, stasiun televisi, mereka PH nya dipanggil PH nya itu merangkap di TV, dan pengadu itu kita datangkan kita audiency dan pada saat itu juga kan tokoh H.Muhidinnya berubah gitu kan, nah itu bisa saja, tapi begini kalau kita bicara alur KPI engga bisa serta merta masuk begitu saja kita turun tangan di alur cerita atau tema, karena kenapa? Itu kreatifitas ada Undang-Undang yang menjamin itu, apa yang dilakukan, ada kesalahan fatal TBNH ini belum pernah kami menemukan dari pemantauan yang melanggar P3SPS. 5. Kalau saya sebagai kacamata penonton kata-kata kasar itu sudah termasuk melanggar di dalam P3SPS kan? Jawab: Betul, jadi begini kata-kata kasar yang seperti apa? 6. Pernah saya menonton pak peran H.Muhidin yang ada di sinetron TBNH pernah mengeluarkan kata-kata “goblok” di dalam adegan itu, dengan mencaci maki orang lalu menggebrak pintu, apalagi itu ditayangkan di jam prime time, itu bagaimana? Jawab. Kalau kata-kata makian itu sudah kita klarifikasi pada saat klarifikasi dan pada saat audiency, setelah itu kesininya itu sudah tidak ada. 7. Itu kapan pak? Saya menonton sebulan yang lalu masih ada Jawab: Gini, konteks “goblok” itu kan, prime time TBNH itu kan sampai diatas jam 10, kalau diatas jam 10 tentunya kita ada pertimbangan khusus, dimana tentunya anak dan remaja tidak menonton, jadi kita tidak melihat part itu ada dimana. 8. Sedangkan TBNH penggolongannya itu R-BO pak Jawab: Nah kalau Remaja dan Bimbingan Orangtua ada sanksi administratif, ada sanksi teguran, jadi itu kita masukkan kedalam pembinaan mungkin itu kedepannya
oleh pemangku kebijakan itu akan dilakukan pembinaan nanti kedepannya itu kita akan panggil produksi, dibidang produksi terus lembaga penyiaran, kita sudah mulai jadi begitu. Begitu ada kata-kata makian tahun 2009 jelas P3SPS kita kata-kata “anjing, goblok, setan” itu tidak boleh, tapi begitu disini ini semua menjadi umum, menjadi sangat multitafsir contoh ungkapan kasar dan makian program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai kecendrungan menghina atau merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/vulgar atau menghina agama dan Tuhan. Lalu kata-kata kasar dan makian sebagaiamana yang dimaksud pada ayat (1) diatas mencakup katakata dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Sekarang saya tanya, kalau kita dalam posisi mau menampilkan sosok antagonis orang yang suka marah, misalnya “kampret”, kalau frame itu masuk ke frame umum itu masuk, tapi kalau kita lihat kasta kampret dan anjing kayanya lebih parahan anjing ya, kalau kampret lalu apa bedanya kalau saya ngomong kucing, orang bilangnya makian gitu kan, jadi ini yang kedepan PR yang mau kita inikan lagi sehingga P3SPS kita lebih aplikatif lagi. Jadi kalau di Amerika ada 7 kata-kata yang tidak boleh diungkapkan seperti pump, bulshit, ashole, dan lainnya itu tidak boleh dalam program apapun, kalau di kita kan engga jelas. Jadi ini masih dalam artian masih multitafsir, untuk menghilangkan multitafsir itu satu-satu nya jalan di bidang aplikatifnya langsung harus aplikatif, harus rijit apa sih yang boleh dan tidak boleh. Kalau kita bicara konteks betawi kata “goblok” sudah biasa gitu kan, “goblok” sudah bukan kata kasar lagi kalau betawi itu bahasa sehari-hari mereka. 9. Tapi kalau dari kacamata penonton bagaimana? Jawab: Betul, jadi budaya suatu daerah tidak bisa jadi pembenaran budaya disemua tempat. Gitu kan tapi kembali lagi kita bicara itu kan bicara kreatifitas. Tapi bukan berarti budaya itu tidak boleh tampil gitu kan, kita beri catatan kembali, jadi itu harus dikaji siapa, frekuensi, kalau kita bicara sinetron TBNH pengaduan kami pun begitu, pemantauan kami mungkin melihat pada saat pukul 22 gitu kan, itu sudah relatif walaupun penggolongannya R-BO kalau sudah pukul 22 itu sudah bukan anak-anak menonton, diharapkan pengetahuan kita yang lebih dewasa gitu kan. Itu bukan berarti
saya membenarkan kata-kata “goblok”, sebenarnya saya sepakat kata-kata “goblok” tidak boleh, walaupun dalam konteks budaya apapun tetap tidak boleh. Nah kalau ditanya tentang pengaduannya, pada alur cerita ada pengaduan seperti ini “kok engga habis-habis sinetronnya” pengaduannya juga yang kaya gitu kan, orang juga jenuh tapi jangan salah loh sinetron yang loyal viewerd nya ibu-ibu. Katakan kita yang masih muda, tinggal di Jakarta pasti jarang kan. Tapi kalau di saerah sampai angling dharma yang jadi betmen, jdi apa lah itu mereka tunggu loh, apakah kita mau memaksakan kehendak kita dengan kehendak orang lain yang banyak? Daerah yang banyak dan bukan juga berarti pembenaran gitu kan jadi gini loh ada yang menyatakan begini itu riset dari siapa saya lupa, jadi katanya begini jadi program acara televisi itu mengungkapkan realitas gitu kan, baik itu fiksi maupun non fiksi tetapi tanpa disadari dia membentuk realitas baru, contohnya tadi konteks budaya betawi dengan kata “goblok” mungkin hal-hal yang biasa, tapi untuk didaerah tertentu “goblok” itu sudah kasar, nah itu ada kajian seperti itu. Seperti itu jadi tanpa disadari dia akan membentuk realitas baru. 10. Berarti program sinetron religi yang menurut P3SPS itu salah yang seperti apa? Jawab: Oke gini ya, disini jelas kalo di P3SPS kita bicara P3SPS adalah kalau P3SPS kalau P3 itu bicara mengenai acaranya, SPS itu kontent apa yang boleh dan tidak boleh ditayangkan, contohnya disini ada pelarangan dan pembatasan seksual, disini menayangkan ketelanjangan, menampilkan adegan aktifitas seks, terus menayangkan kekerasan seksual. Jadi ada kalau misalnya ada adegan yang mengesankan ketelanjangan atau adegan ciuman bibir, ada laki-laki dan perempuan hadap-hadapan kepalanya gerak sedikit kalo diambil angle dari belakang pasti dilihat mengesankan ciuman bibir. Jadi ada batasan-batasan ada yang pelarangan dan ada yang pembatasan pelarangan itu kekerasan seks. Lalu ada seks di luar nikah, aborsi, pemerkosaan, terus kemudian ada adegan kekerasan, pembatasan kekerasan itu ada bisa dilihat itu nanti ada di pasal 17,18,19 itu kita bicara konten. Ada lagi yang memang multitafsir seperti kata-kata kasar dan makian. Dan pada saat kita berbicara tentang adegan kekerasan yang dilarang itu menampilkan secara detil peristiwa kekerasan seperti tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, peperangan, penusukan, penyembelihan, mutilasi,
terorisme, pengerusakan barang secara kasar dan ganas itu biasanya ada di kartun kalau Tom and Jerry itu semua ada kan, tapi kembali lagi ada beberapa mahzab yang mengatakan, kita nonton dari dulu biasa-biasa aja tuh, tapi kalau di beberapa negara Jerman dan Australia sudah dilarang kartun Tom n Jerry. Lalu misalnya pembacokan, penembakan dan bunuh diri, misalnya pada saat pembacokan di cut lalu tau-tau berdarah, itu tidak masalah kan. Tapi kalau tidak di cut lalu diperlihatkan keluar darah itu yang tidak boleh. 11. Kalau memukul kayu ke badan? Jawab: Kalau itu kita lihat dulu konteksnya apa, jadi gini terkadang kita melihat bahwa ini juga tugas, PR KPI dalam penggunaan jam tayang dan program itu tidak sesuai, iya kan itu peran KPI kedepan, jadi begini kalau kita bicara industri kita tidakbisa seperti membalikkan telapak tangan, kita harus berusaha terus. Contohnya sekarang adegan merokok sudah mulai di blur, lalu belahan dada sudah mulai di blur tanpa disadari itu usaha KPI yang sudah 3 periode menuju ke 4 periode sudah 9 tahun, jadi konsep KPI itu konsep advokasi ada yang advokasi ada yang KEI. Apa itu advokasi? Advokasi itu menimbulkan kesadaran, itu yang kita tumbuhkan kepada masyarakat, apa tolak ukur atau barometer berapa lama? Tidak ada kalau advokasi itu. Lalu KEI atau Komunikasi Edukasi dan Informasi, tahun 1994 ke-atas kita menggunakan konsep advokasi konsep penyadaran, dan KPI pun tanpa disadari sekarang sudah ada progress jadi makanya adanpembinaan dan mengawasi dan kalau periode 3 lebih kepada pengawasan, periode 2 pengawasan dan pembinaan, periode 4 pembinaan dan pengawasan lagi, standarisasi sudah tinggi nih tinggal I bina, kita sudah punya ekspektasi tinggi tinggal kita bina, binanya seperti apa? Dengan cara merijitkan yang multitafsir seprti itu. 12. Berarti apakah ada sinetron yang benar-benar sudah kena sanksi teguran selain sinetron religi Islam KTP? Jawab: Selain islam KTP, hanya itu saja yang lain hanya di klarifikasi ya sampai tingkat tahap klarifikasi dan audiency dan mereka berubah. 13. Sebenarnya kesalahannya itu sama ya terletak pada kata-kata kasar?
Jawab: Iya betul, memang isinya lebih kesitu kata-kata kasar dan penyosokkan tokoh agama tersebut yang tentu kreatifnya yang justru lebih kental dibandingkan dia harus orang yang haji yang bijaksana, dengan titel hajinya itu. 14. Terakhir nih mas, apa harapan KPI sendiri dengan isi siaran yang ada di Indonesia khususnya sinetron religi itu sendiri seperti apa? Jawab: Kalau harapan KPI sendiri secara lembaga mungkin lebih baik yang punya kebijakan ya, tapi kalau saya sebagai bagian dari kesekertariatan KPI berharap apa yang telah disepakati tidak hanya untuk religi, terutama religi apa yang telah disepakati bersama dan diramu di dalam P3SPS itu dilaksanakan, karena hakekatnya itu untuk publik jadi begini KPI berada di tengah-tengah disini ada publik disini ada pemerintah dan disini ada industri, ini kan triangle KPI terlalu ke publik juga tidak bagus, tidak terlalu ke industri, ke regulasi yang acak-acakan jadi KPI harus berada di tengah-tengah. Karena kita harus menumbuh kembangkan industri melakukan pembinaan dan pengawasan, mengembangkan infrastruktur, dalam UU Penyiaran bagaimana KPI bisa mengsinkronisasi tidak diantara ketiga itu tadi, stake holder itu bukan hanya masyarakat tapi ada NGO, ada tokoh masyarakat, macam-macam termasuk industri juga stake holder, tapi stake holder yang paling ini sekali publik secara umum, ada pemerintah yang mengeluarkan regulasi, KPI juga menggunakan regulasi, terus industri juga berkembang. Kebayang tidak kita balik lagi kaya dulu TVRI, Cuma satu sudah gitu hitam putih lagi, saya ingat dulu waktu kecil itu nunggu SAFARI di TVRI, kebayang tidak seperti itu. Sebetulnya yang paling ini tuh bukan bukan hanya ini tetapi juga new media, itu yang belum ada. Rule nya hanya ITE, belum ada lembaga yang mengawasi itu implikasinya ya televisi.