POTENSI SAGU DALAM PENGANEKARAGAMAN BAHAN PANGAN POKOK DITINJAU DARI PERSYARATAN LAHAN1 Tejoyuwono Notohadiprawiro2 & Julius E. Louhenapessy3
Pengertian Sagu Menurut Heyne (1950) pengertian sagu belum terbatasi secara tajam. Baik Heyne (1950) maupun Deinum (1948) membatasi pengertian sagu sejati pada tumbuhan yang termasuk genus Metroxylon. Flech & Schuiling (1986) membatasi lebih tajam lagi, yaitu hanya yang termasuk spesies Metroxylon sagu (sagus) Rottb. Kalau pendirian ini diikuti maka penamaan tepung sagu mestinya juga terbatas pada tepung yang dihasilkan oleh Metroxylon spp. Nama Metroxylon elatum Mart. dan Metroxylon filare Mart. yang digunakan Deinum (1948) dalam buku Heyne (1950) diubah masing-masing menjadi Pigafettia elata H. Wendl. dan Pigafettia filiera Merr. atau filaris Becc. Berdasarkan penamaan Deinum kedua tumbuhan tadi termasuk sagu sejati, akan tetapi menjadi bukan sagu sejati menurut penamaan Heyne. Tumbuhan sagu sejati oleh Heyne (1950) dipilahkan menjadi dua kelompok menurut berduri atau tidaknya tangkai daun. Yang berduri mencakup Metroxylon rumphii Mart. yang merupakan jenis utama dalam kelompok ini. Selanjutnya ialah M. longispinum Mart., M. micracanthum Mart., M. sylvester Mart., dan dengan penamaan menurut Deinum tercakup pula M. elatum Mart. dan M. filare Mart. Yang tidak berduri ialah M. sagus Rottb. sebagai jenis uatama yang mempunyai berbagai forma. Deinum (1948) memilahkan tumbuhan sagu sejati menjadi dua kelompok menurut kekerapan berbuah selama hidup. Yang berbuah sekali ialah M. rumphii Mart., M. sagus Rottb., M. longispinum Mart., M. micracanthum Mart., dan M. sylvestre Mart. Yang berbuah beberapa kali ialah M. elatum Mart. dan M. filare Mart. Tetapi menurut penamaan Heyne yang berbuah beberapa kali tersebut tidak termasuk sagu sejati. Deinum (1948) juga berpendapat bahwa sagu sejati adalah yang berbuah sekali. Ditambahkannya bahwa yang berbuah beberapa kali bukan
1
2
3
Makalah untuk Simposium Sagu Nasional. Diselenggarakan oleh UNPATTI, PEMDA Tingkat I Maluku dan BPPT di Ambon. 12-13 Oktober 1992 Guru Besar Ilmu Tanah dan Ketua Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM, dan anggota Dewan Riset Nasional bidang Sumberdaya Alam, Energi dan Lingkungan. Lektor Fakultas Pertanian UNPATTI dan Karyasiswa pasca sarjana S3 UGM program studi Ilmu Tanah.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
1
tumbuhan rawa murni dan lebih banyak ditemukan di daerah berbukitan dan di lerenglereng. Sebutan sagu sering digunakan untuk menamai tepung yang dihasilkan dari pokok batang berbagai macam pohon palma, tidak khusus yang berasal dari Metroxylon. Maka sebutan pohon penghasil sagu juga mencakup berbagai genus palma. Genera palma yang tercakup disamping Metroxylon ialah Arecastrum (Cocos), Arenga (aren), Borassus (lontar), Caryota (nibung), Copernicia, Corypha (gebang), Eugeissona (jato atau kajatoa, Dayak; tunjang pipit, Melayu Kalimantan Barat), Manicaria, Mauritia, Phoenix (sebangsa kurma), dan Roystonea. Bahkan Cycas (pakis haji) yang bukan palma dimasukkan pula dalam kelompok pohon penghasil sagu (Deinum, 1948; Heyne, 1950; PERSAKI, 1965; Moore, 1973; Dissanayake, 1977; Ruddle, 1977; Dransfield, 1977; Johnson, 1977; Schuiling &Flach, 1985). Untuk menjernihkan pengertian barangkali palma atau pohon lain yang bukan Metroxylon akan tetapi menghasilkan tepung dari pokok batangnya (stem-starch palms or trees) bolehlah dinamakan pohon sagu-saguan.
Kawasan Agihan Sagu Meskipun secara nisbi kawasan agihannya terbatas, namun Metroxylon sagu merupakan palma paling penting di dunia untuk penghasilan tepung batang. Palma sagu secara alami terdapat mulai dari Kepulauan Pasifik Selatan meluas ke arah barat melalui Melanesia, masuk ke Asia Tenggara, sampai ke India (Johnson, 1977). Di seluruh nusantara terdapat pohon sagu dan sagu-saguan. Daerah-daerah yang merupakan sagu utama ialah Irian Jaya, Maluku (terutama Seram dan Halmahera), Sulawesi, Kalimantan (terutama Kalimantan Barat) dan Sumatera (terutama Riau). Hutan sagu alam yang luas terdapat di sepanjang dataran rendah pantai dan muara sungai di Irian Jaya, Seram, Halmahera dan Riau. Di daerah lain hutan sagu yang ada sekarang kebanyakan merupakan kebun sagu yang meliar menjadi hutan karena tidak ada pemeliharaan (Heyne, 1950). Di Jawa sagu tidak terdapat umum dan ditemukan secara terbatas di Banten dan di beberapa tempat sepanjang pantai utara Jawa Tengah. Di daerah Maluku Tenggara yang berhujan kurang, sagu ditemukan lebih sedikit atau tidak ada. Di Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur serta Timor Timur tidak terdapat sagu. Yang ada ialah sagu-saguan.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
2
Di bagian barat Nusantara sagu yang lebih umum ditemukan ialah Metroxylon sagu Rottb., sedang di bagian timur lebih banyak ditemukan M. rumphii Mart. Di Ambon M. Rumphii Mart. dikenal dengan nama daerah sagu tuni atau lapia tuni. Di Seram dan Halmahera terdapat banyak M. sylvestre Mart, dengan sebutan daerah lapiahihur. Disanping itu, di Seram terdapat banyak M. micracanthum Mart. dengan sebutan daerah sagu dari rotan, sagu rotan atau lapia uwa. Di Maluku dan Irian Jaya terdapat banyak M. longispinum Mart. yang di Ambon bernama daerah sagu merah atau lapia makanaru. M. sagu Rottb. Juga ada di Maluku dan Irian Jaya akan tetapi tidak banyak dan dikenal dengan nama daerah lapia molat atau sagu perempuan (Deinum, 1948). Penamaan sagu perempuan mungkin karena pohon tidak berduri. Rupa-rupanya ada pemisahan jelas antara bagian barat dan timur Nusantara mengenai sagu yang merajai. Di bagian barat terutama ditemukan sagu yang tidak berduri, sedang di bagian timur terutama ditemukan yang berduri. Dari satu segi sagu berduri lebih menguntungkan karena kurang diganggu oleh hama babi hutan. Menemukan statistik yang andal di Indonesia tidak mudah, khususnya mengenai luasan bentuk penggunaan lahan. Berbagai sumber mengajukan angka luasan lahan sagu berbeda-beda. Dengan menyingkirkan angka luasan lahan sagu yang terlalu berbeda, dicoba membuat angka pendekatan (approximation) berdasarkan angka-angka luasan yang dipaparkan oleh berbagai sumber. Angka pendekatan untuk seluruh Indonesia ialah 999.000 ha atau boleh dibulatkan menjadi 1.000.000 ha. Kawasan agihannya secara pendekatan ialah 800.000 ha di Irian Jaya, 50.000 ha di Maluku, 30.000 ha di Sulawesi, 45.000 ha di Kalimantan, 72.000 ha di Sumatera, dan 2.000 ha di Jawa (ditetapkan berdasarkan angka-angka Wijandi dkk., 1981; BPPT, 1982a, 1982b, 1982c; Flach, 1983; Soedewo & Haryanto, 1983; Soekarto & Wijandi, 1983; BAKOSURTANAL &UNCEN, 1983; Turukay, 1986; Louhenapessy, 1987; BPPT & INHUTANI I, 1988). Menurut Flach (1983) luasan lahan sagu di Irian Jaya terdiri atas 3% tanaman (budidaya) dan 97% hutan alam. Perimbangannya di Maluku ialah 33% tanaman dan 67% hutan alam. Di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera seluruhnya berupa tanaman. Mengenai Sumatera pendapat Flach ini berbeda dengan pendapat Heyne (1950) tersebut terdahulu yaitu hutan sagu alam terdapat luas di Riau.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
3
Ekologi Sagu Tanah dan hidrologi Menurut Turukay (1986) 43% luasan lahan sagu di Maluku berada di lahan kering (atasan), 36% di rawa, dan 21% di tepi sungai. Ini berarti bahwa sagu bukan tumbuhan khusus lahan basah. Akan tetapi Deinum (1948) berpendapat lain. Dikatakannya habitat aseli sagu ialah tepian parit dan sungai yang becek, tanah berlumpur, akan tetapi secara berkala mengering. Habitat aseli sagu menurut Heyne (1950) ialah tempat-tempat yang sewaktu hujan deras menjadi kubangan.pendapat ini secara tersirat juga mengunjuk pengeringan berkala. Flach (1977, 1983) menyebutkan genangan tidak boleh sampai merendam akar nafas. Apabila akar nafas terendam terus menerus, pertumbuhan sagu terhambat dan dengan sendirinya akan menghambat pembentukan karbohidrat berupa pati dalam pokok batangnya. Pada lahan kurang basah pohon sagu dapat tumbuh lebih tinggi. Pada lahan terlalu basah pertumbuhan sagu kalah cepat dengan pertumbuhan rerumputan dan herba sehingga kalah bersaing dalam memperoleh ruang tanah. Pada lahan kering pertumbuhan sagu kalah cepat dengan pertumbuhan pepohonan hutan yang lain sehingga kalah bersaing dalam memperoleh sinar matahari (Flach, 1977, 1983; Flach & Scuiling, 1986). Untuk pertumbuhannya sagu memerlukan sinar matahari banyak, berarti kurang tahan naungan (Deinum, 1948). Pada lahan kering pembentukan anakan sangat kurang, jumlah rumpun per hektar sangat kurang, akan tetapi produksi pati per pohon masih cukup tinggi. Ruparupanya persaingan ekologi menjadi gatra penting kesesuaian habitat untuk sagu. Hal ini perlu diperhatikan berkaitan dengan pembudidayaa sagu. Kalau hanya dilihat dari segi kemungkinan hidup, kisaran keadaan hidrologi tempat tumbuh sagu sangat lebar. Sagu dapat hidup pada keadaan lahan yang tergenang tetap sampai yang tidak pernah tergenag asal kandungan lengas tanah terjamin cukup tinggi, baik oleh genangan berkala, daya tanah menyimpan air banyak (misalnya karena mengandung bahan organik banyak), maupun oleh air tanah dangkal. Pada genangan tetap pertumbuhan sagu pada fase semai masih baik. Akan tetapi pada fase pembentukan batang (tiang dan pohon) laju pertumbuhannya sangat lambat dengan akibat produksi pati per pohon rendah dan jumlah pohon masak tebang per hektar sedikit. Pertumbuhan dan produksi tampak cukup baik pada lahan dengan penggenangan berkala atau yang tidak tergenang.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
4
Di daerah rawa pantai dengan kegaraman tinggi sagu masih tahan hidup, ditemukan bercampur dengan nipah. Akan tetapi perkembangan fase pembentukan batang dan pembentukan pati terhambat. Menurut Flach & Schuiling (1986) apabila DHL lebih tinggi daripada 10 mS.cm-1 sagu tidak membentuk pokok batang. Secara alamiah di daerah rawa pasang surut mintakat (zone) sagu berada di belakang mintakat nipah yang tenggang garam. Disamoing tanah berlumpur sagu juga menghendaki tanah kaya akan bahan mineral dan organik. Kriteria kecocokan lain ialah air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak masam. Keadaan tapak demikian memiliki kehidupan mikroorganisme yang aktif (Flach, 1977, 1983). Warna coklat air tanah menandakan air mengandung zat organik tersuspensi atau terlarut yang merupakan sumber energi penting bagi mikroorganisme. Rupa-rupanya keadaan ekosistem tanah menjadi faktor penting dalam menentukan kesesuaian lahan bagi sagu. Hal ini perlu diperhatikan berkaitan dengan pembudidayaaan sagu. Sagu dapat tumbuh di tanah gambut, bahkan di Serawak sagu terutama ditanam di tanah gambut (Flach & Schuiling, 1988). Di daerah Arandai (Bintuni, Irian Jaya) ditemukan sagu masih tumbuh di tanah gambut setebal lebih daripada 4,5 m dengan hasilpanen mencapai 425 kg per pohon. Akan tetapi biasanya di tanah gambut pohon sagu memperlihatkan berbagai gejala kekahatan hara, yang ditandai oleh jumlah daun kurang dan umur masak tebang lebih panjang sampai 15-17 tahun karena laju pertumbuhan lebih lambat. Meskipun hasilpanen per pohon tidak berselisih banyak dengan yang tumbuh di tanah lempungan, akan tetapi produksi per satuan waktu kira-kira 25% lebih rendah (Flach, 1977; Flach & Schuiling, 1988). Pada daerah gambut yang agak kering, sagu biasanya bertumbuh bersama dengan tumbuhan hutan lain, sehingga jumlah rumpun per hektar lebih sedikit. Sagu akan bertumbuh baik kalau memperoleh bekalan hara dari air tanah dangkal atau dari air pasng tawar atau agak payau, khususnya K, P, Ca dan Mg (Flach & Schuiling, 1988; Haryanto & Pangloli, 1988). Akan tetapi di daerah pasang surut dengan pengaruh laut nyata, pertumbuhan sagu pada fase pembentukan batang sangat terhambat. Hal ini bukan hanya karena kegaraman yang tinggi, akan tetapi juga karena pH yang meninggi. Sagu tumbuh baik pada pH sangat masam sampai agak masam. Pada pH alkalin pembentukan batang dan tepung terhambat.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
5
Sagu juga dapat hidup dan berproduksi baik di tanah pasiran asal mengandung bahan organik tinggi. Hal ini berkenaan dengan penyediaan air cukup. Di tanah dengan kandungan pasir tinggi dan bahan organik rendah, produksi tepung rendah. Menurut Manan dkk. (cit. Haryanto & Pangloli, 1988) dan Turukay (1986) tidak ada syarat tanah khusus bagi sagu. Tumbuhan ini dapat tumbuh di lahan atasan (upland) dengan tanah volkanik, latosol, andosol, podsolik merah-kuning dan grumusol, atau di lahan baruh (lowland) dengan tanah aluvial, hidromorfik kelabu dan tanah lempung kaya bahan organik di rawa-rawa yang berbatasan dengan hutan mangrove atau nipah, berarti tanah berlumpur payau. Akan tetapi berdasarkan pengamatan lapangan Dransfield (1977) berpendapat bahwa tumbuhan sagu agaknya tumbuh terbatas pada lahan rawa. Flach & Schuiling juga mengatakan bahwa secara alamiah sagu merupakan vegetasi yang terutama merajai lahan baruh berawa tetap atau musiman (bonorowo). Rawa sagu sering berbatasan dengan rawa nipah asin. Batas antara kedua kawasan vegetasi tersebut berada pada suatu garis sempadan dengan aras kegaraman 10 mS.cm-1. Johnson (1977) melaporkan hal senada, yaitu tegakan sagu murni secara alamiah terdapat di lahan baruh berawa air tawar. Pengamatan lapangan Louhenapesay di lahan baruh Ambon, Seram, Halmahera dan Irian Jaya menemukan tumbuhan sagu di berbagai macam tanah. Tanah-tanah ituberupa tanah belum berkembang berpengatusan (drainage) tidak sempurna sampai buruk, yaitu sulfaquent (mengandung bahan sulfidik), hydraquent (sering tumpat air; waterlogged), tropaquent (berada dalam kawasan iklim tropika), flavaquent (tanah aluvial) dan psammaquent (tanah pasiran), tanah sedang berkembang berpengatusan tidak sempurna sampai buruk, yaitu tropaquent (berada dalam kawasan iklim tropika) dari subgolongan typic (normal) dan vertic (berlempung berat), tanah gambut troposarist (taraf perombakan
jauh),
tropohemist
(taraf
perombakan
menengah)
dan
sulfihemist
(mengandung bahan sulfurik, pH rendah), dan tanah aluvial yang tertimbun gambut thaptohistic (tropic) fluvaquent.
Tinggi tempat dan iklim Sagu ditemukan di lahan-lahan berketinggian tempat 0 sampai sekitar 700 m d.m.l. ketinggian tempat terbaik dilihat dari segi produksi ialah 400 m atau kurang. Diatas 400 m pertumbuhan sagu terhambat dan produksi menurun. Pada ketinggian tempat diatas 600 m pohon sagu hanya mencapai tinggi sekitar 6 m dengan lilit batang kecil sebagaimana ditemuakan Manusela, Seram. Tegakan sagu alamiah biasa ditemukan pada ketinggian
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
6
tempat 0 - 300 m. yang ditemukan diatas ketinggian tempat 300 m biasanya berupa tegakan budidaya (Deinum, 1984; Heyne, 1950; Flach, 1983; Schuiling & Flach, 1985; Manan dkk., cit Haryanto & Pangloli, 1988). Dalam tulisannya terdahulu Flanch (1977) menyebutkan pohon sagu dapat tumbuh pada ketinggian tempat sampai 1.000 m d.p.l. Suhu udara terendah bagi pertumbuhan sagu ialah 150 C. Pertumbuhan terbaik terjadi pad suhu udara 250 C dengan kelembaban nisbi udara sekitar 90% dan intensitas penyinaran matahari sekurang-kurangnya 900 J.cm-2.. hari-1 (Flanch, 1980; Flanch dkk., 1986). Dengan persamaan Braak suhu udara 250 C terdapat pada ketingggian tempat kirakira 200 m. intensitas penyinaran matahari 900 J.cm-2.hari-1 sama dengan 16% intesitas maksimum rerata yang mencapai permukaan bumi, yang didapati kira-kira pada suasana mendung. Kelembaban nisbi udara 90% didapati di daerah banyak hujan dengan tegakan pohon rapat. Berdasarkan klasifikasi ragam hujan Schmidt & Ferguson, daerah sagu terdapat dalam kawasan ragam hujan A (luar biasa basah - sangat basah) dan B (sangat basah basah), curah hujan tahuanan purata antara 2500 dan 3500 mm, dan jumlah hari hujan tahunan purata antara 142 dan 209 hari (Turukay, 1986). Flanch (1980) berpendapat bahwa curah hujan tahunan dapat lebih rendah asal puratanya masih diatas 1800 mm dan panjang musim lembab diatas 200 hari setiap tahunnya (musim lembab bercurah hujan bulanan purata lebih tinggi daripada 60 mm). Menurut pengamatan Louhenapessy di Maluku dan Irian Jaya
dengan
mengggunakan peta agroiklim susunan Oldeman dkk. (1980), daerah agihan sagu dengan potensi produksi memadai berada dalam mintakat agroiklim A, B1, Cl, C2, Dl, D2 dan El. Jadi sagu dapat bertumbuh baik dalam kisaran kebasahan iklim yang lebar, mulai dari yang terbasah dengan bulan basah berturut-turut lebih daripada 9 (mintakat A) sampai dengan yang berbulan basah berturut-turut kurang daripada 3 akan tetapi bulan keringnya berturut-turut juga sedikit, yaitu kurang daripada 2 (mintakat El). Musim kering terpanjang yang masih dapat diterima tumbuhan sagu ialah 2 - 3 bulan asal panjang musim basah nya tidak kurang daripada 3 - 4 bulan ( mintakat D2, C2, dan B2). Yang disebut bulan basah ialah bulan dengan curah hujan purata diatas 200 mm dan bulan kering ialah bulan dengan curah hujan purata dibawah 100 mm.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
7
Kawasan potensial sagu Pengamatan Louhenapessy di Maluku dan Irian Jaya mengunjukkan bahwa memperhatikan keadaan higrologi lahan, tanah terbaik secara umum untuk sagu ialah tropoquept, baik yang termasuk subgolongan tyipic maupun vertic. Tanah yang secara nisbi terburuk untuk sagu ialah fluvaquent dari subgolongan sulfic (mengandung bahan sulfuric). Pengharkatan tersebut didasarkan produksi purata pati kering perpohon dan kurve struktur tegakan vegetasi sagu. Kurve struktur tegakan vegetasi sagu ialah kurve frekuensi penjumpaan berbagai taraf pertumbuhan sagu dalam suatu petak perhitungan berukuran 1.000 m2. Taraf pertumbuhan sagu dipilahkan menjadi 4, yaitu semaian (termuda), sapihan, tegakan (terdiri atas taraf tiang dan pohon) dan pohon siap panen (tertua). Makin kecil landaian kurvenya, berarti makin kecil perbedaan populasi antar taraf pertumbuhan, atau makin dekat perimbangan jumlah individu antar taraf pertumbuhan masing-masing, makin baik kurve pertumbuhan tegakan sagu. Rupa-rupanya ada nasabah yang baik antara produksi purata pati kering per pohon dan kurve struktur tagakan vegetasi sagu. Makin tinggi produksi, landaian kurve struktur tagakan makin kecil. Produksi pati kering per pohon purata di tanah tropaquept dapat mencapai angka tertinggi sebesar 345 kg dengan kurve struktur tegakan berlandaian sangat kecil dan terkecil. Sebaliknya, produksi di tanah sulfic fluvaquent hanya 135 kg yang merupakan angka terendah dengan kurve struktur tegakan berlandaian sangat besar dan terbesar. Lihat Lampiran 1. Apabila produksi dan kurve tegakan ditetapkan berdasarkan keadaan hidrologi lahan tanpa memperhatikan jenis tanah, ditemikan hal sebagai berikut. Keadaan hidrologi lahan terbaik secara nisbi ialah (1) lama genangan antara kurang daripada 3 bulan dan 6 bulan, tebal genangan pada musim hujan antara 10 dan 50 cm dan pada musim kemarau tidak ada genangan dengan jeluk air tanah lebih daripada 100 cm, atau (2) lama genangan 6 - 9 bulan, tebal genangan pada musim hujan 10-lebih daripada 50 cm dan pada musi kemarau tidak ada genangan dengan jeluk air tanah antara 10-40 cm. Kisaran produksi di tapak tersebut ialah 328 - 348 kg dengan kurve struktur tegakan berlandaian sangat kecil (terkecil) sampai sedang. Keadaan hidrologi terburuk secara nisbi ialah (1) lama genangan sepanjang tahun (genangan tetap) dengan kisaran lebi daripada 75 cm pada musim hujan dan lebih daripada 10 cm pada musim kemarau, atau (2) lama genangan 9-12 sebulan, tebal
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
8
genangan pada musim hujan diatas 50 cm dan pada musim kemarau tidak ada genangan dengan jeluk air tanah dibawah 10 cm atau antara 10 - 40 cm. Produksi di tapak semacam ini berkisar anatara 94 (terrendah) dan 192 kg dengan kurve struktur tegakan berlandaian besar samapai sangat besar (terbesar). Produksi terendah dan landaian kurve struktur tegakan sangat besar berkaiatan dengan genangan tetap. Lihat Lampiran 2. Dapat disimpulkan bahwa untuk produksi yang baik, sagu memerlukan tanah yang kaya hara, tidak ada hambatan mekanis atau kimiawi terhadap perkembangan akar, berkonsistensi lumpur, tidak masam dan tidak bersifat garaman, tapak terbuka sehingga dapat menerima sinar matahari cukup, dan penggenangan tidak lebih lama daripada 9 bulan yang diselingi dengan pengatusan dangkal sampai sedang. Ketinggian tempat yang sepadan tidak lebih daripada 400 m d.m.l. Berdasarkan persyaratan lahan yang telah dikemukakan dapatlah ditaksir secara kasaran bahwa di Indonesia diantara tanah-tanah mineral yang berada di dataran rawa pasang surut, dataran banjir, cekungan dan lembah sungai terdapat sekitar 21 juta hektar yang sesuai untuk sagu. Bagian terbesar terdapat di Irian Jaya seluas sekitar 8 juta hektar, diikuti oleh Kalimantan dengan luas sekitar 5 juta hektar dan Sumatra dengan luas sekitar 4,5 juta hektar. Selebihnya terdapat di Sulawesi, Jawa dan Maluku. Hampir seluruh kawasan tanah gambut berada di dalam kawasan iklim yang sesuai untuk sagu, dengan luas sekitar 13 juta hektar. Seluruh tanah gambut di Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya berada di dalam kawasan iklim yang sesuai untuk sagu. Di Sulawesi 21% luas lahan gambut beriklim tidak sesuai untuk sagu. Akan tetapi oleh karena tidak semua jenis tanah gambut sesuai untuk sagu, luas kawasan gambut yang sesuai untuk sagu tentu kurang daripada luas lahan gambut yang beriklim sesuai untuk sagu. Barangkali dapat diambil perkiraan konservatif bahwa 25% luas lahan gambut bertanah dan beriklim sesuai untuk sagu. Maka ada tambahan 3 juta hektar lahan gambut yang dapat digunakan mengembangkan pertanaman sagu. Dengan demikian di Indonesia dapat diperkirakan ada 24 juta hektar lahan bertanah mineral dan organik yang potensial untuk produksi sagu.
Pengharkatan Kesesuaian Lahan Sagu Untuk dapat mengembangkan produksi sagu secara berkelanjutan perlu didahului dengan pemilihan lahan yang sesuai benar. Untuk dapat memilih secara benar diperlukan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
9
suatu sistem pengharkatan lahan yang andal. Berikut ini diusulkan suatu cara menyusun sistem pengharkatan tersebut. Sistem yang terbentuk dengan cara yang diusulkan menggunakan dua kriteria pembeda harkat, yaitu kurva struktur tegakan dan sifat-sifat lahan. Sifat-sifat lahan menggabungkan sifat-sifat tanah dan perilaku hidrologi lahan. Kriteria pembeda harkat diterapkan sebagai berikut: 1.
Langkah pertama dikerjakan di daerah-daerah yang sudah ada vegetasi sagu, baik yang berupa hutan alam maupun yang berupa kebun lama yang sudah meliar. Di daerah semacam ini pengharkatan lahan dikerjakan dengan kriterium kurva struktur tegakan. Sistem pengharkatan ini berlaku berdasarkan fakta yang ditemukan sebelumnya bahwa bentuk kurva struktur tegakan bernasabah baik dengan produksi pati kering per pohon. Ini berarti bahwa kurva struktur tegakan menggambarkan potensi produk sagu.
2.
Langkah berikut ialah menetapkan sifat-sifat lahan yang menjadi penentu utama bentuk kurva struktur tegakan. Langkah ini bertujuan menjabarkan kurva struktur tegakan menjadi seperangkat sifat lahan dan menggunakannya sebagai kriteria pemilah harkat lahan di daerah-daerah yang belum ada vegetasi sagu. Sistem ini diperlukan untuk menemukan lahan-lahan baru yang berpotensi baik bagi perluasan lahan sagu. Langkah pertama berguna memilih kawasan sagu yang berpotensi baik untuk
dikembangkan dengan intensifikasi. Selebihnya dapat dibiarkan berproduksi seadanya atau dikonversikan menjadi pertanaman lain.
Daftar Pustaka BAKOSURTANAL & UNCEN. 1983. Penerapan penginderaan jauh untuk penelitian dan pemetaan penyebaran areal sagu daerah Agats, Irian Jaya. BPPT. 1982a. Hasil survei potensi sagu di Kep. Maluku. Bagian I. Kerjasama BPPT dengan UNPATTI. _____ 1982b. Hasil survei agronomi dan sosial ekonomi sagu di Kep. Maluku. Bagian II dan III. Kerjasama BPPT dengan UNPATTI. _____
1982c. Hasil survei potensi, sosial ekonomi dan pengolahan sagu di Jawa Barat. Bagian IV, V dan VI. Kerjasama BPPT dengan IPB.
BPPT & INHUTANI I. 1988. Laporan hasil survei potensi tegakan sagu Kelompok Hutan Sagu Seram Timur Propinsi Maluku. Bidang Potensi Tegakan sagu (konsep).
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
10
Deinum, Hk. 1948. Sago. Dalam : C.J.J. van Hall & C. van de Koppel, De Landbouw in de Indische Archipel. Deel IIA. N.V. Uitgeverij W. Van Hoeve. 's-Gravenhage. h 604621. Dissanayake, B.W. 1997. Use of the Caryota urens in Sri Lanka. Sago-76: Papers of the First International Sago Symposium. Kuala Lumpur (ed. Koonlin Tan). h 85-90. Dransfield, J. 1997. Dryland sago palms. Sago-76: Papers of the First International Sago Symposium. Kuala Lumpur (ed. Koonlin Tan). h 77-83. Flach, M. 1997. Yield potential of the sago palm, Metroxylon sagu Rootb., and its realisation. Sago-76: Papers of the First International Sago Symposium. Kuala Lumpur (ed. Koonlin Tan). h 157-177. _____ 1980. The main moisture - rich starchy staples, sago. The equatorial swampa as a natural sources. Proceedings of the Second International Sago Symposium. Martinus Nijhoff Publishers. The Hague. H 110-127. _____ 1983. The sago palm. Plant Production and Protection Paper. FAO. Rome. Flach, M., & D.L. Schuiling. 1986. The sago palm; a perennial crop for development of tropical lowlands under tidal influence. Symposium lowland Development in Indonesia. Jakarta. Supporting papers. ILRI. Wageningen. h 307-317. _____ 1988. Revival of an ancient starch crop; a review of the agronomy of the sago palm. Dept. of Tropical Crop Science. Agric. Univ. of Wageningen. The Netherlands. 29 h. Flanc, M., K. den Braber, M.J.J. Fredrix, E.M. Monster, & G.A.M. van Hasselt. 1986. Temperature and relative humidity requirements of young sago palm seedlings. Sago-85: Noburo Yamada & Keiji Kainuma (eds). The Sago Palm Research Fund (publ.). h 139-143. Haryanto, B., & P. Pangloli. 1988. Sagu, manfaat dan kegunaannya. BPPT. 182 h. Heyne, K. 1950. De nuttige planten van Indonesie. Deel I. N.V. Uitgeverij W. van Hoeve's-Gravenhage. 1450 h. Johnson, D. 1977. Distribution of sago making in the old world. Sago-76 : Papers of the First International Sago Symposium. Kuala Lumpur (ed Koonlin Tan). h 65-75. Louhenapessy, J.E. 1987. Tanah sagu di daerah Merauke Propinsi Irian Jaya. Fak. Pertanian UNPATTI. Ambon. Moore, Jr., H.E. 1973. The major group of palms and their distribution. L.H. Bailey Hortorium, New York State College of Agriculture and Life Sciences. New York. Oldeman, L.R., I. Las, & Muladi. 1980. The agroclimatic maps of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya and Bali, West and East Nusa Tenggara. Contrib. Central Res. Inst. For Agric. Bogor. No. 60. 32 h. PERSAKI. 1965. Beberapa keterangan tentang sagu (Metroxylon sp.). Lembaga Penelitian Hutan. Bogor. Ruddle, K.R. 1977. Sago in the new world. Sago-76: Papers of the First International Sago Symposium. Kuala Lumpur (ed. Koonlin Tan). h Schuiling, D.L., & M. Flach. 1985. Guidelines for the cultivation of sago palm. Dept. of Tropical Crop Science. Agric. Univ. of Wageningen. The Netherlands. H
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
11
Soedewo, D., & B. Haryanto. 1983. Prospek pengembangan dayaguna sagu sebagai bahan industri. Seri Monitoring Strategis Perkembangan IPTEK. No. Monstra/5/1983. LIPI. Soekarto, S.T., & S. Wijandi. 1983. Prospek pwngwmbangan sagu sebagai bahan pangan di Indonesia. Seri Monitoring Strategis Perkembangan IPTEK. No. Monstra/4/1983. LIPI. Turukay, B. 1986. The role of the sagopalm in the development of integrated farm system in tehe Maluku Province of Indonesia. Sago-85: Proceedings of the Third International Sago Symposium. Tokyo. H 7-15. Wijandi, S., Ch. Pandji, S. Hardjo, Machmud, & E. Gumbira. 1981. Pengembangan pengelolaan sagu di Sulawesi Tenggara dan Maluku. Fak. Teknologi & Hasil Pertanian IPB. «»
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
12
Lampiran 1 Pengaruh tanah atas produksi pati kering per pohon sagu dan kurve struktur tegakan vegetasi sagu, tanpa memperhatikan keadaan hidrologi lahan. Luas satuan petak pengamatan 1.000 m2.
Kurve Struktur Tegakan
800
223 Σ tumbuhan
Typic sulfaquent
Produksi per pohon kg
800 Σ tumbuhan
Jenis Tanah
600 400 200
Mollic Psammaquent
160
0
Se Sa PB PG
800
400 200
Typic & Vertic Tropaquept
345
800
306
0
Typic Sulfihemist
300
400
0
Σ tumbuhan
Σ tumbuhan
Se Sa PB PG
800
600 400
600 400 200 0
Se Sa PB PG
Se Sa PB PG
800 Σ tumbuhan
312
400
Se Sa PB PG
200
Terric Sulfihemist
600
200
800
0
Se Sa PB PG
800
600
0
400
Se Sa PB PG
200
Thapto-Hystic Tropic Fluvaquent
600
200
Σ tumbuhan
0
Σ tumbuhan
153
Se Sa PB PG
800
600
Sulfic Fluvaquent
400 200
Σ tumbuhan
253
Σ tumbuhan
Typic hydraquent
0
600
600 400 200
Troposaprist
249
0
Se Sa PB PG
Taraf pertumbuhan: Se = semaian, Sa = sapihan, PB = tegakan (tiang + pohon; taraf vegetatif), PG = siap panen (masak tebang + lewat masak tebang; taraf generatif)
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
13
Lampiran 2 Pengaruh keadaan hidrologi lahan atas produksi pati kering per pohon sagu dan kurve struktur tegakan vegetasi sagu, tanpa memperhatikan jenis tanah. Luas satuan petak pengamatan 1.000 m2.
192
Lama genangan 9–12 bulan Genangan MH + > 50 cm Genangan MK – 10–40 cm
137
400
348
0
800
400
0
Σ tumbuhan
600 400
345
400
0
Se Sa PB PG
Se Sa PB PG
Σ tumbuhan
800
600 400
600 400 200 0
Se Sa PB PG
Se Sa PB PG
800 Σ tumbuhan
Lama genangan 3 bulan Genangan MH + 10–50 cm Genangan MK – > 100 cm
342
600
200
800
0
Se Sa PB PG
800
200
Lama genangan 3–6 bulan Genangan MH + 10–50 cm Genangan MK – > 100 cm
400
Se Sa PB PG
200
273
600
200
800
0
Se Sa PB PG
800
200
328
400
Se Sa PB PG
600
0
600
200
Σ tumbuhan
Lama genangan 6–9 bulan Genangan MH + > 50 cm Genangan MK – 10–40 cm
0
Σ tumbuhan
216
Lama genangan 6–9 bulan Genangan MH + 10–50 cm Genangan MK – 50–100 cm
600
200
Lama genangan 9–12 bulan Genangan MH + 10–50 cm Genangan MK – 10–40 cm
Lama genangan 6–9 bulan Genangan MH + 10–50 cm Genangan MK – 10–40 cm
800 Σ tumbuhan
Lama genangan 9–12 bulan Genangan MH + > 50 cm Genangan MK – < 10 cm
800 Σ tumbuhan
94
Kurve Struktur Tegakan
Σ tumbuhan
Lama genangan 12 bulan Genangan MH + > 7 cm Genangan MK + > 10 cm
Produksi per pohon kg
Σ tumbuhan
Jenis Tanah
600 400 200 0
Se Sa PB PG
MK = musim hujan. MK = musim kemarau. Genangan + berarti membanjiri. Genangan berarti di bawah muka tanah (angka menunjukkan jeluk air tanah) Taraf pertumbuhan: Se = semaian, Sa = sapihan, PB = tegakan (tiang + pohon; taraf vegetatif), PG = siap panen (masak tebang + lewat masak tebang; taraf generatif). «»
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
14