PENGANEKARAGAMAN PANGAN KONSEP, REALITAS DAN APLIKASI PROSIDING SERI SEMINAR “PEMANTAPAN ROADMAP PENGANEKARAGAMAN PANGAN”
Institut Pertanian Bogor, Bogor 24 April 2004 Universitas Muhammadiyah Malang, Malang 26 April 2004 Universitas Gajah Mada, Yogyakarta 1 Mei 2004 Universitas Andalas, Padang 6 Mei 2004 Universitas Hasanuddin, Makassar 11 Mei 2004 Universitas Tanjungpura, Pontianak 15 Mei 2004
diselenggarakan atas kejasama
PT. Indofood Sukses Makmur tbk. Bogasari flour mills & Forum Kerja Penganekaragaman Pangan
dalam rangka Program Sosialisasi Bogasari Nugraha "Pengharhagaan Bagi Peneliti Unggul"
Roadmap Penganekaragaman Pangan: konsep, realitas dan aplikasi
PENGANEKARAGAMAN PANGAN konsep, realitas dan aplikasi
PROSIDING SERI SEMINAR “PEMANTAPAN ROADMAP PENGANEKARAGAMAN PANGAN”
Editor Purwiyatno Hariyadi Puspo Edi Giriwono
Hak Cipta @2004 Forum Kerja Penganekaragaman Pangan 2004 Pertama kali diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Forum Kerja Penganekaragaman Pangan 2004 Bogor, September 2004
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN 9 7 9 - 9 8 9 5 0 - 0 - 6 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip, menjiplak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Forum Kerja Penganekaragaman Pangan 2004
Kata Pengantar
Seri seminar “Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan" merupakan langkah awal dalam proses sosialisasi yang krusial terhadap revitalisasi Penganekaragaman Pangan di Indonesia. Seminar untuk memberikan wawasan dan kesadaran bahwa mambangun kembali program Penganekaragaman Pangan dengan sukses memerlukan pendekatan yang terarah, komprehensif, multidisipliner dan multisektoral serta membutuhkan pemikiran dan daya imajinasi yang tajam untuk memungkinkan perencanaan kebutuhan dan solusinya yang tepat di masa mendatang. Semua aspek inilah yang dibutuhkan dalam sebuah Roadmap Penganekaragaman Pangan untuk Indonesia. Pembangunan ketahanan pangan dan keanekaragaman pangan nasional sulit dilaksanakan secara terpusat, sehingga pendekatan secara spesifik daerah menjadi kunci keberhasilannya. Seri seminar ini diselenggarakan bersama program sosialisasi bogasari nugraha di enam universitas di Indonesia, dari Sumatera Barat hingga Sulawesi Selatan. Serangkaian seminar ini berhasil dilaksanakan berkat dukungan penuh dari PT. Indofood Sukses Makmur Bogasari Flour Mills dan universitas yang bersangkutan. Seminar yang melibatkan ahli-ahli dari berbagai daerah dan berbagai bidang dilaksanakan pada tanggai 24 April 2004 hingga 15 Mei 2004. Bogasari nugraha adalah program bantuan dana penelitian dari PT. ISM bogasari flour mills kepada para peneliti yang melakukan riset dan memajukan bidang pangan. Bogasari nugraha mempunyai posisi yang strategis dalam program revitalisasi kembali program nasional Penganekaragaman Pangan sehingga tema pada program Bogasari Nugraha VII - 2004 adalah Penganekaragaman Pangan berbasis tepung. Sosialisasi merupakan sebuah proses yang terus menerus berjalan, dengan dampak yang akan timbul di kemudian hari. Proses yang terkesan panjang dan kadangkala menimbulkan rasa pesimisme dan keputusasaan, namun jika tidak diawali dengan sebuah usaha dan komitmen yang nyata dan sistematis, maka proses tersebut akan menjadi sebuah proses yang sangat panjang. Kepedulian terhadap masa depan bangsa dan kondisi pangan serta ketergantungannya terhadap bantuan dan pasokan dari luar negeri sudah mulai dirasakan dan dipikirkan oleh beberapa orang dan organisasi. Sehingga timbulah komitmen yang mulai dirasakan saat ini untuk memajukan kondisi pangan kita.
Roadmap Penganekaragaman Pangan: konsep, rea/itas dan aplikasi
Roadmap Penganekaragaman Pangan berisikan kepedulian tersebut, serta berusaha menjawab bagaiamana kita dapat mengatasi masalah yang akan timbul di masa mendatang. Perancangan, pembuatan dan kemudian mensosialisasikan peta menuju pencapaian ketahanan pangan dengan keanekaragaman pangan untuk seluruh masyarakat Indonesia merupakan tugas yang besar dan penuh dengan tanggung jawab. Peta berisikan petunjukpetunjuk jalan solusi beserta rambu-rambu untuk memungkinkan pengguna mengetahui rintangan yang akan ia hadapi, merencanakan tindakan apa yang akan ia pilih, serta mengantarkan sampai pada tujuan. Dengan serangkaian acara seminar, forum diskusi, dan kerjasama yang terencana maka Roadmap Penganekaragaman Pangan dapat disusun dengan terperinci, teknis serta dapat digunakan oleh bangsa Indonesia mencapai tujuan ketahanan pangan yang mandiri.
- Editor -
Penghargaan Dalam penyelenggaraan seri seminar “Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan” yang berlangsung selama kurang lebih satu bulan dari 24 April hingga 15 Mei 2004. Kami ingin mengucapkan banyak terima dan penghargaan bagi para ahli dan pakar yang telah bersedia meluangkan waktu berharganya untuk memandu dan berperan serta aktif selama acara seminar berlangsung. Para ahli tersebut juga adalah anggota tim penilai Bogasari Nugraha, yaitu: Prof. Dr. F.G. Winarno, sebagai ketua dan Pakar Teknologi Pangan; Dr. Abdurrachim, pakar teknik mesin ITB; Dr. Bayu Krisnamurthi, pakar Sosial Ekonomi dan Politik dari PSP-IPB; Ir. Budianto Wijaya, M.App.Sc, ahli dalam Aplikasi Industry dan Marketing Bogasari; Dr. Budi Prasetyo Widyobroto, ahli dalam Peternakan-UGM; Dr. Purwiyatno Hariyadi, pakar Rekayasa Proses Pangan, IPB; dr. Widjaja Lukito, Ph.D, dokter dan ahli dalam Gizi dan Kesehatan, UI. Selama perjalanan dalam rangka penyelenggaraan seri seminar ini, kami juga ingin memberi penghargaan dan tanda terima kasih kepada Bapak Anton Djuwardi, Direktur PT. Sinar Sukses Sentosa; Bapak Roland Taunay, PR & Communication Manager dan Manager program Bogasari Nugraha; Ibu Rafaini, PR & Communication Officer anggota tim Bogasari Nugraha; dan Bapak Johannes Sugiarto, PR & Communication Officer anggota tim Bogasari Nugraha, atas tenaga dan kegigihannya dalam menyelenggarakan dan mensukseskan acara seminar tersebut.
v
Daftar Isi Kata Pengantar _________________________________________ iii I.
Roadmap Penganekaragaman Pangan Purwiyatno Hariyadi, Bayu Krisnamurthi, Dahrul Syah, dan F. G. Winarno________________________________________ -1 Pengantar............................................................................................. -1 Strategi Penganekaragaman Pangan.................................................. - 2 Penelitian dan pengkajian Sebagai Salah Satu Unsur Utama CIP .... -7Batasan Roadmapping........................................................................ - 8 Roadmap Penganekaragaman Pangan.............................................. - 9 Roadmap Generik: Penganekaragaman Pangan............................... -11 Draft Roadmap penganekaragaman berbasis ubi jalar ......................-17 Draft Roadmap penganekaragaman berbasis pisang ........................-17 Agenda Penelitian & Pengembangan Penganekaragaman Pangan .. -19 Prakarsa Penganekaragaman Pangan Lokal .....................................- 21 -
II.
Penganekaragaman Pangan dan Politik Pangan Indonesia Bayu Krisnamurthi _______________________________________ - 25 Pengantar............................................................................................ - 25 Ketahanan Pangan ...................................................................- 25 Kemandirian Pangan ................................................................ - 26 Penganekaragaman Pangan ..............................................................- 27 Masalah-masalah Besardan Ketahanan Pangan ...............................- 2 8 Arti Penting (Lain) Penganekaragaman Pangan ................................ - 3 0 Evaluasi Hingga Saat Ini dan Melihat ke Depan: Aspek Politik Pangan... - 3 1 -
vi
Roadmap Penganekaragaman Pangan: konsep, realitas dan aplikasi
III. Aplikasi Konsep Penganekaragaman Pangan: Studi Kasus Industri Tiwul Instan Anton Djuwardi__________________________________________ - 39 I. Latar Belakang ...............................................................................- 39 Masalah Pangan dan upaya mengatasi................................. - 39 Mengapa Tiwul yang menjadi pilihan .....................................-40 Tujuan Pendirian Industri Tiwul Instan ...................................- 41 II. Konsep dan Model .........................................................................-42 Model Kemitraan .................................................................... - 43 Proses Pembuatan Tiwul Instan ............................................ - 46 III. Aplikasi Tiwul instan menjawab Mega trend pangan......................- 49 Mega Trend pangan ...............................................................- 49 Karakteristik Tiwul instan........................................................ - 50 -
IV. Rusnas Sebagai Akselerator Penganekaragaman Pangan Pokok Slamet Budijanto ________________________________________ - 55 Latar Belakang ....................................................................................- 55 Tujuan Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok........................................ - 56 Industrialisasi Diversifikasi Pangan..................................................... - 57 Program Riset ..................................................................................... - 58 Kasus 1: Pengembangan Bassang..................................................... - 59 Kasus 2: Produk berbasis Tepung Ubi Jalar....................................... - 61 Aplikasi Diversifikasi Pangan Pokok.................................................... - 62 Butir-Butir Diskusi................................................................................ - 64 -
V Peluang dan Tantangan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Lokal di Sulawesi Selatan Badron Zakariah dan Abu Bakar Tawali ______________________ - 65 Pendahuluan .......................................................................................- 65 Permasalahan Pangan dan Gizi Sulawesi Selatan ............................ - 66 Potensi Pangan Lokal Sulawesi Selatan ............................................- 67 Strategi Penganekaragaman Pangan Sulawesi Selatan ....................- 69 Pengkajian Untuk Peningkatan Citra Pangan Lokal ...........................-71 Jejaring Kerjasama ............................................................................. - 72 Penutup................................................................................................- 73 -
VI.
Prospek sagu (Metroxylon sp.) dalam Penganekaragaman Pangan Saeri Sagiman __________________________________________ - 75 Pendahuluan .......................................................................................- 75 Ketergantungan pangan Indonesia..................................................... - 76 Potensi Sagu....................................................................................... - 77 Syarat Tumbuh Sagu .......................................................................... - 78 Budidaya Sagu.....................................................................................- 79 Komoditas Prospektif Roadmap Penganekaragaman Pangan ..........- 81 -
VII. Program Bogasari Nugraha: Sebuah Model
Peran Serta Swasta dalam Upaya Penganekaragaman Pangan Indonesia Purwiyatno Hariyadi & Puspo Edi Giriwono____________________ - 85 Perjalanan Bogasari Nugraha..............................................................- 85 Keragaman Cakupan Penelitian .........................................................- 88 Komitmen Program Bogasari Nugraha ...............................................- 92 Perkembangan Peserta Penelitian ..................................................... - 93 Peran Swasta dan Penganekaragaman Pangan................................ - 94 -
viii
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
I Roadmap Penganekaragaman Pangan______ Memadukan Sumber Daya Pemerintah, Swasta, Perguruan Tinggi dan Swasta
Dr. Purwiyatno Hariyadi 1, Dr. Bayu Krisnamurthi 2 Dr. Dahrul Syah 3, Prof. Dr. F.G Winamo 4
"The majority of men meet with failure because of their lack of persistence in creating new plans to take the place of those which fail." Napoleon Hill
Pengantar Tujuan pembangunan nasional di bidang pangan, antara lain adalah tercapainya suatu ketahanan pangan nasional yang kokoh. Dalam UU No 7 tentang Pangan (1996) dinyatakan dalam bab VII, pasal 45 (ayat 1) bahwa “Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan”. Ketahanan pangan itu sendiri dinyatakan dalam BAB I (Ketentuan Umum) Pasal 1, titik 17, yang berbunyi “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Selanjutnya, dalam pasal-pasal pada BAB VII (Ketahanan Pangan) diuraikan mengenai peranan penganekaragaman pangan sebagai salah satu pilar strategis pencapaian ketahanan pangan; diantaranya adalah : Pasal 46, yang menyatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka pemerintah menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan mutu pangan nasional dan penganekaragaman pangan
1
Dr. Purwiyatno Hariyadi adalah Kepala Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, IPB dan Sekretaris Jenderal Forum Kerja Penganekaragaman Pangan Dr. Bayu Krisnamurthi adalah Kepala Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor dan anggota pengurus Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. Dr. Dahrul Syah adalah Ketua Pengelola Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok, Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Prof. Dr. F.G Winarno adalah Ketua Umum Forum Kerja Penganekaragaman Pangan
1
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Pasal 49., menyatakan antara lain bahwa Pemerintah melaksanakan pembinaan yang meliputi upaya: (i) untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan usaha kecil, penyuluhan di bidang pangan, serta penganekaragaman pangan, dan (ii) untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat serta pemantapan mutu pangan tradisional. Terlihat bahwa upaya penganekaragaman pangan memang merupakan salah satu prasyarat pokok dalam konsumsi pangan yang cukup mutu dan gizinya. Dan usaha menganeka-ragamkan pangan masyarakat sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Beberapa tonggak sejarah yang penting dalam usaha penganekaragaman pangan, pada tahun 1950an telah dilakukan usaha melalui Panitia Perbaikan Makanan Rakyat; tahun 1963 dikembangkan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga, tahun 1974 dikeluarkan Inpres 14/1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (PMMR) yang kemudian disempurnakan dengen Inpres 20/1979, melanjutkan proses sebelumnya pada Pelita VI telah pula dikembangkan Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG).
Strategi Penganekaragaman Pangan Berdasarkan pemikiran yang dikembangkan pada Simposium Penganekaragaman Pangan tahun 2003, maka penganekaragaman pangan masa depan adalah usaha penganeka ragam pangan menuju status gizi yang lebih baik dan sehat, menghindari ketergantungan pangan, dan berkembang atas partisipasi masyarakat (Gambar 1)5. Hal tersebut dapat tercapai jika : 1.
Dilihat dari aspek konsumsi pangannya, penganekaragaman pangan terfokus pada penganekaragaman sumber karbohidrat, dari dominasi beras menjadi lebih beragam; serta dari komposisi menu makan yang dominan karbohidrat menjadi menu makan yang lebih seimbang (karbohidrat, protein, vitamin, serat, dan sebagainya).
2.
Dilihat dari aspek basis produksi dan ‘vocal point’ dalam pengembangannya, penganekaragaman pangan akan lebih didasarkan pada keanekaragaman sumberdaya lokal dan daerah, serta dengan peningkatan peran swasta dan pemerintah daerah.
5
Diambil dari Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah: Menuju Keanekaragaman Pangan Masyarakat Indonesia, Di dalam Hariyadi, P; Krisnamurti, B; dan Winarno, F.G. (2003). Penganekaragaman Pangan, Forum Kerja Penganekaragaman Pangan.
2
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Mencermati prinsip dasar, serta peluang dan tantangan diatas, penganekaragaman pangan perlu dikembangkan dalam tiga langkah strategis berikut: 1. Strategi Internalisasi dan Sosialisasi Keanekaragaman Pangan Salah satu faktor penting yang menyebabkan belum maksimalnya pencapaian keanekaragaman pangan adalah masih minimnya program implementasi yang berhubungan dengan proses internalisasi dan sosialisasi. Padahal, salah satu faktor yang menentukan kemajuan dari kebijakan keanekaragaman pangan ini sebenarnya adalah dukungan program komunikasi terpadu yaitu program komunikasi yang sistematis, efektif dan terus menerus.
Gambar 1. Arah Pengembangan Penganekaragaman Pangan. Komunikasi yang sistematis dan efektif, hanya akan tercapai apabila pemerintah mampu melihat jelas problem komunikasi sesungguhnya, mempunyai sasaran yang jelas, mengidentifikasi
3
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
stakeholder yang perlu dilibatkan dan menyusun pesan komunikasi yang jelas serta didukung oleh infrastruktur dan sistem yang tepat. Penggunaan pendekatan yang meletakkan masyarakat pada posisi sebagai konsumen adalah sentral untuk memahami hambatan sesungguhnya dalam proses internalisasi dan sosialisasi penganekaragaman pangan. Kedua proses ini pada hakekatnya adalah proses komunikasi pemasaran dimana masyarakat sebagai subyeknya, di sisi lain, pemerintah pusat, pemerintah daerah sebagai pemasar yang menyampaikan pesan. Komisi I, melihat ada 7 hambatan atau kendala sebagai berikut: •
Pertama, tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia terutama kelas menengah dan menengah bawah, yang merupakan 80 % dari total penduduk Indonesia relatif rendah. Kondisi seperti ini, jelas menjadi kendala yang sangat besar dalam proses komunikasi. Mereka tidak mudah memahami suatu pesan yang relatif kompleks.
•
Kedua, budaya makan adalah kebiasaan yang sulit diubah. Bila tidak ada perubahan lingkungan eksternal yang besar, masyarakat akan cenderung mempertahankan kebiasaan yang sudah dilakukan bertahun-tahun. Seseorang mengatakan belum makan apabila belum makan nasi, walaupun sudah mengkonsumsi berbagai makanan alternatif.
•
Ketiga, sudah sejak lama, beras, secara sengaja atau tidak sengaja, telah diposisikan sebagai makanan unggulan. Beras adalah simbol kemakmuran. Masyarakat yang belum mampu mengkonsumsi beras dianggap sebagai kelompok yang belum makmur. Beras juga diposisikan sebagai komoditas politik. Keberhasilan pemerintah dalam bidang pangan, diukur dari kemampuan untuk menyediakan beras semata. Ada kesan yang kuat bahwa ketersediaan beras adalah hal fundamental untuk menjaga kestabilan politik.
•
Keempat, harus diakui bahwa beras memiliki rasa yang relatif enak. Dengan kata lain, berbagai bahan makanan alternatif lain belum mampu meyakinkan lidah sebagian besar masyarakat Indonesia. Inovasi dalam bidang alternatif pangan yang lain relatif terlambat. Keberhasilan mie siap saji merupakan fenomena yang dapat dijadikan contoh bagi alternatif pangan yang lain. Beberapa bahan alternatif pangan lain relatif tidak terjangkau harganya. Tidak mengherankan, proses penganekaragaman pangan sangat mudah terjadi untuk masyarakat golongan atas. Masyarakat yang mempunyai penghasilan yang “pas-pasan”, akan lebih memilih makanan yang sesuai dengan kondisi daya beli mereka. Mereka
4
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
cenderung makan beras dalam jumlah yang banyak mengorbankan sebagian makanan komplemen termasuk pauknya.
dan lauk
•
Kelima adalah masalah ketersediaan. Saat ini, proses produksi dan distribusi pangan banyak difokuskan kepada beras. Tidak mengherankan, ketersediaan pangan alternatif seringkah dianggap sebagai pelengkap saja.
•
Keenam adalah tidak maksimalnya peran berbagai stakeholder di luar pemerintah. Tidak cukup insentif bagi industri untuk mengembangkan pangan alternatif. Lembaga-lembaga riset juga belum maksimal dalam melakukan studi-studi pengembangan alternatif pangan. Stakeholder lain seperti media massa, seringkali tidak memberikan dukungan yang maksimal pula dalam memberikan informasi mengenai alternatif pangan.
•
Ketujuh, komitmen pemerintah yang belum maksimal. Tidak mengherankan, program penganekaragaman ini sering bersifat sporadis dan reaktif. Kurangnya komitmen ini juga terlihat tidak adanya sasaran yang jelas seperti berapa persen peran beras harus diturunkan sebagai makanan sumber karbohidrat di masa mendatang.
Dari ketujuh hambatan di atas, komunikasi terlihat jelas memainkan peran yang sangat penting. Komunikasi yang efektif akan memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai penganekaragaman pangan yang memadai. Komunikasi yang terus menerus akan mengubah persepsi dan attitude masyarakat terhadap alternatif pangan yang lain seperti jagung dan singkong. Akhirnya, komunikasi yang terpadu akan mempengaruhi perilaku pola makan masyarakat dalam jangka panjang. Karena itu, sangatlah penting untuk menyusun program komunikasi yang mendorong proses internalisasi dan sosialisasi penganekaragaman pangan.
Jangka Pendek (1-2 tahun) Diperlukan iklan layanan masyarakat mengenai penganekaragaman pangan. Untuk mencapai hal ini, diperlukan kerja sama dengan berbagai media massa. Ini merupakan langkah awal yang memberikan informasi bahwa penganekaragaman pangan diperlukan. Beras bukanlah simbol kemakmuran dan makanan prestisius. Harus diakui, kendala dalam program ini adalah menyangkut biaya iklan sendiri yang relatif tinggi. Mendorong berbagai industri untuk memberikan informasi seluasluasnya bahwa alternatif pangan yang lain juga memiliki keunggulan
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
dibandingkan dengan beras atau minimal mempunyai kandungan gizi yang memadai. Cara komunikasi yang melibatkan industri swasta ini akan mengurangi beban pemerintah dalam hal pembiayaan. Oleh karena itu, kebijakan yang mendorong peran industri ini, haruslah disampaikan kepada mereka sebagai peluang bisnis.
Jangka Menengah Pada periode ini, Pemda mulai dari Gubernur hingga Lurah, akan mempunyai peran yang besar dalam proses sosialisasi. Oleh karena itu, perlu alat-alat komunikasi seperti brosur atau buku kecil yang dapat menjadi pegangan dari jajaran Pemda. Agar efektif, diperlukan proyek percontohan di daerah tertentu. Dengan melihat keberhasilan suatu daerah, akan lebih mudah untuk mendorong Pemda lain untuk melakukan aktifitas serupa.
Jangka Panjang Anak adalah bagian masyarakat yang reseptif. Mereka cenderung untuk mudah menerima perubahan. Selain itu, anak adalah influencer yang penting dalam keluarga. Oleh karena itu, perubahan pola pangan yang bersifat sistematik haruslah dimulai dari anak. Pola pikir dan perilaku anak sangat tergantung dari orang tua dan guru-guru sekolah. Bila komunikasi terhadap orang tua diasumsikan dapat tercapai melalui program jangka pendek dan menengah, maka peran para guru ini dapat ditingkatkan melalui pendidikan di sekolah-sekolah. Gambaran 4 sehat 5 sempurna yang terlalu menonjolkan kepada beras sebagai sumber karbohidrat perlu direvisi. Kepada anak-anak di sekolah, diajarkan mengenai pola makan yang sehat.
Jadi terlihat bahwa penganekaragaman pangan mestinya mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah sesuai dengan amanat UU no 7 tentang pangan. Dengan demikian, kunci keberhasilan program penganekaragaman pangan adalah adanya komitmen politik pemerintah yang kuat; hal ini dikaitkan dengan kerangka membangun ketahanan pangan nasional. Komitmen pemerintah ini perlu secara jelas dirumuskan dalam Country Invesment Plan (CIP) untuk penganekaragaman pangan. Secara eksplisit, CIP perlu dikembangkan untuk membangun sistim inovasi nasional; yang merangsang penganekaragaman pangan. Selain itu, CIP tersebut perlu dinyatakan mengenai pentingnya
6
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
peranan industri swasta nasional; khususnya dalam program pengembangan industrialisasi anekaragam pangan alternatif. Karena itu, CIP perlu disusun secara terpadu; melibatkan semua stakeholders', mencakup semua program yang perlu dikembangkan; mulai dari aspek produksi, pengolahan, pemasaran, kelembagaan, finansial, dan aspek berkaitan lainnya. Country Investment Plan (CIP) adalah rencana investasi suatu negara dalam artian luas untuk memecahkan suatu permasalahan atau mencapai suatu tujuan. Pada dasarnya CIP memuat rencana jangka panjang (5-10 tahun), strategi, program, budget serta, karena ada istilah investasi di sini, perhitungan kelayakan ekonomisnya yang disarikan dalam salah satu satuan ekonomis seperti misalnya NPV, IRR atau B/C. Dalam hal ini, CIP digunakan untuk mencapai tujuan keanekaragaman pangan.
Penelitian dan pengkajian Sebagai Salah Satu Unsur Utama CIP Salah satu unsur utama dari CIP tersebut adalah kegiatan penelitian dan pengkajian (research and studies), yang merupakan hal yang sangat penting dalam kemampuan dan kapasitas suatu bangsa dalam menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapi rakyatnya. Dinamika permasalahan dan tantangan tersebut - sekaligus juga berbagai peluang yang tercipta didalamnya - terus berkembang sejalan dengan dinamika perkembangan dunia.. Oleh sebab itu penelitian tidak dapat dijadikan sebagai sesuatu yang rutin dan parsial, tetapi harus menjadi sesuatu yang progresif, antisipatif, komprehensif, dan berkesinambungan. Hal ini juga didukung oleh kenyataan yang menunjukkan bahwa kemajuan penelitian akan sejalan dengan kemajuan suatu bangsa atau negara. Bahkan besarnya kegiatan penelitian telah pula diwacanakan sebagai indikator tingkat kemajuan suatu negara. Ditengah berbagai keterbatasan dan luasnya permasalahan yang dihadapi, pemilihan dan prioritas topik penelitian yang tepat menjadi hal yang sangat menentukan. Bagi Indonesia, pangan tampaknya merupakan salah satu pilihan yang harus diprioritaskan. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi masyarakat Indonesia, dimana kemiskinan dan keterkaitannya dengan ketahanan masih menjadi fenomena yang tidak dapat dipungkiri. Disamping itu berbagai indikator kualitatif dan kuantitatif dengan jelas menunjukkan bahwa pangan memiliki peran penting dalam kehidupan individu, rumah tangga, dan masyarakat, baik secara sosial, ekonomi, politik, bahkan budaya. Dalam hal ini masih harus diakui bahwa hingga saat ini ketahanan pangan
7
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
masih belum dicapai pada seluruh rumah tangga walaupun pada tingkat nasional dan bagi beberapa produk pangan keseimbangan kebutuhan dan ketersediaan telah tercapai. Masih banyak rumah tangga yang belum mampu mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup, terutama dalam hal mutu dan tingkat gizinya dimana keanekaragaman pangan menjadi salah satu pilar utama dalam ketahanan pangan. Keanekaragaman pangan memang merupakan salah satu prasyarat pokok dalam konsumsi pangan yang cukup, bermutu dan bergizi. » Pengembangan penganekaragaman pangan memiliki berbagai dimensi yang kompleks dan integratif. Penganekaragaman memiliki dimensi konsumsi dan produksi, teknologi dan sosial ekonomi, peran swasta dan industrialisasi, promosi dan perubahan budaya, partisipasi masyarakat dan peran pemerintah daerah, bahkan dimensi politik dan tekanan internasional. Dimensi-dimensi tersebut juga bersifat dinamik dan membutuhkan pengkajian yang dapat secara aktif mengantisipasi perkembangannya, sekaligus menjawab berbagai permasalahan aktual yang dihadapi saat ini. Penelitian dan pengkajian yang perlu dilakukan tidak dapat lagi hanya sekedar “penelitian untuk penelitian”, tetapi harus benar-benar menjadi kegiatan yang membuka pemahaman-pemahaman baru, membuka peluang-peluang baru, dan menegaskan kebijakan-kebijakan baru dalam penganekaragaman pangan. Penelitian dan pengkajian tersebut perlu pula bersifat komprehensif sekaligus berkelanjutan. Oleh sebab itu pendekatan penelitian untuk membangun “road-map” pengembangan keanekaragaman pangan dinilai merupakan hal yang tepat untuk dilakukan. Agenda penelitian, bahkan sebagian sudah merupakan hasil penelitian, sebenarnya telah tersebar diantara berbagai lembaga penelitian, khususnya lembaga penelitian pemerintah, perguruan tinggi, dan kegiatan penelitian yang dilakukan oleh kalangan industri. Oleh sebab itu, pengembangan ‘road-map' penelitian dan pengkajian keanekaragaman pangan perlu dilakukan dengan menyertakan lembaga-lembaga tersebut, baik untuk menjaga kesinambungan dengan kegiatan yang selama ini telah dilakukan, maupun untuk mensinergikan kegiatan dan sumberdaya penelitian. Guna memadukan kegiatan dan sumberdaya penelitian tersebut, dipandang perlu dilaksanakan Lokakarya “Road-Map” Penelitian Penganekaragaman Pangan di Indonesia”.
Batasan Roadmapping Inovasi teknologi yang terus menerus telah terbukti merupakan kunci sukses berbagai jenis industri. Inovasi yang dijalankan haruslah
8
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
selaras dengan peluang pasar dan kebutuhan konsumen. Hanya dengan cara inilah tuntutan pasar akan berjalan seiring dengan kemajuan produsen dan memberikan manfaat yang optimal untuk seluruh pihak. Penyelarasan tuntutan pasar dengan inovasi teknologi merupakan aksioma dasar yang melandasi perumusan technology roadmap6. Roadmap merupakan suatu kesinambungan dalam proses ‘building knowledge’ secara akumulatif, yang mencakup dan memiliki ciri-ciri: pandangan ke depan; menampilkan suatu objek yang terfokus; merupakan hasil dari suatu akumulasi (koleksi) pemikiran, pengetahuan, dan imajinasi; menjelaskan faktor pendorong perubahan yang paling utama; dapat mengkomunikasikan visi; mampu menarik sumberdaya; mampu memandu proses monitoring dan evaluasi; merupakan daftar kemungkinan-kemungkinan. Dengan kata lain, dalam kaitannya dengan teknologi, technology roadmapping pada dasarnya merupakan serangkaian proses perencanaan teknologi yang didorong oleh proyeksi kebutuhan-kebutuhan (projected needs) atas kondisi masa yang akan datang. Jadi, technology roadmapping adalah proses perencanaan teknologi yang bersifat needs driven untuk membantu mengidentifikasi, memilih, dan mengembangkan beberapa alternatif untuk memenuhi serangkaian kebutuhan produk. Oleh karena itu roadmap harus memperlihatkan peluang-peluang inovasi teknologi yang ada dikaitkan dengan tuntutan pasar yang terus berkembang. Roadmap juga akan memperlihatkan beberapa rekomendasi pendukung yang dibutuhkan agar inovasi-inovasi teknologi yang dilaksanakan bermuara ke dalam tujuan yang diinginkan. Roadmap juga memberikan kerangka mekanisme koordinasi dan dukungan sumber daya yang diperlukan untuk memulai tindak lanjut sekaligus sebagai katalis pelaksanaan langkah-langkah yang disepakati. Dengan karakteristik yang dimilikinya ini, maka terlihat dengan jelas bahwa roadmap harus disusun secara holistik dengan melibatkan seluruh pihak yang berhubungan dengan penganekaragaman dan pemenuhan kebutuhan pangan.
Roadmap Penganekaragaman Pangan Penganekaragaman pangan merupakan upaya untuk menganekaragamkan konsumsi pangan dalam rangka meningkatkan
"A roadmap is extended look at the future of a chosen field of inquiry composed from the collective knowledge and imagination of the brightest drivers of change in that field" (Robert Galvin, Motorola). Roadmaps communicate visions, attract resources from business and government, stimulate investigations, and monitor progress. They become the inventory of possibilities for particular field". Ini adalah salah satu pengertian roadmap yang bisa dipakai, sebagai acuan. 6
9
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
tingkat kesehatan. Konsumsi yang beraneka ragam dicapai melalui pelibatan industri dalam memproduksi aneka ragam pangan. Oleh karena itu upaya ini diharapkan dapat menimbulkan tarikan ke hulu sesuai dengan karakter bahan yang dibutuhkan oleh industri. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) memberikan peluang pengembangan teknologi dalam rangka penganekaragaman pangan dengan lebih luas. Upaya ini sangatlah penting terutama jika dikaitkan dengan upaya meningkatkan nilai guna sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan persoalan dan tantangan yang cenderung makin kompleks. Untuk bisa memulai suatu kegiatan roadmapping, maka perlu ditetapkan terlebih dulu tujuan yang ingin dicapai. Tujuan utama penganekaragaman pangan adalah terjadinya pola konsumsi masyarakat yang beraneka ragam, berkelanjutan, merata, sesuai dengan karakteristik daerah. Pengertian berkelanjutan disini mencakup keberlanjutan ketersediaan dan sekaligus keterjangkauan. Adapun kriteria utama tercapainya penganekaragaman pangan ini diukur dengan dua tolok ukur kinerja utama; yaitu pola pangan harapan (PPH) dan angka kecukupan gizi (AKG). Dengan demikian, secara ilustratif, roadmap yang perlu dikembangkan adalah seperti terlihat pada Gambar 2A. Dari ilustrasi tersebut, diketahui bahwa saat ini (2003) kedua indikator penganekaragaman pangan baru mencapai PPH 69,7 dan AKG 1987. Dengan roadmap yang baik, maka diharapkan pada tahun sasaran (2020) nilai PPH akan mencapai 100 dan nilai AKG akan mencapai 2200. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh penganekaragaman pangan adalah penganekaragaman pangan pokok, dimana diketahui bahwa sampai saat ini pangan pokok kita didominasi oleh beras (lihat Gambar 2B). Kembali kepada ilustrasi diatas, maka pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa mengembangkan peta jalan secara khusus, yang akan mampu memasukkan berbagai sumber karbohidrat lainnya (ubijalar, jagung, dan lain-lain sumber sesuai dengan potensi daerah) bisa masuk ke dalam mainstream pangan pokok.
10
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Gambar 2. Ilustrasi pengembangan roadmap menuju keanageragaman pangan. Untuk itu, perlu dikembangkan roadmap penganekaragaman pangan secara generik (sesuai dengan Gambar 2B) dimana di dalamnya terdapat upaya pengembangan keanekaragaman pangan pokok, keanekaragaman pangan sumber protein hewani, nabati, serta keanekaragaman sumber serat, vitamin dan mineral. Secara khusus, perlu dikembangkan model roadmap untuk penganekaragaman pangan
11
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
berbasis sumber pangan lokal (jagung, ubi kayu dan ubi jalar) yang nantinya bisa dikembangkan sesuai dengan potensi daerah.. Produkproduk ini diharapkan dapat memperluas pilihan pemenuhan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia tanpa kehilangan nilai-nilai yang didapatnya pada saat mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok.
Roadmap Generik: Penganekaragaman Pangan Secara umum penyusunan technology roadmap terdiri dari tiga tahap yaitu tahap inisiasi, tahap pengembangan dan tahap tindah lanjut. Tahap inisiasi adalah tahap penciptaan kondisi kondusif untuk penyusunan roadmap. Kondisi kondusif ditandai dengan keikutsertaan seluruh pihak yang berkepentingan dalam perencanaan pengembangan roadmap penganekaragaman pangan pokok. Selain itu ditetapkan pula cakupan/lingkup dan batasan technology roadmap yang berkenaan dengan penganekaragaman pangan pokok. Tabel 1 berikut ini menjelaskan mengenai cakupan kegiatan yang diperlukan dalam rangka pengembangan technology roadmap secara lebih detail. Tabel 1. Tahapan penyusunan Roadmap
12
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
{lanjutan tabel 1).
13
*
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
(lanjutan tabel 1.)
Disamping itu, perlu pula diidentifikasi driving forces yang dapat mempengaruhi kesuksesan produk, serta alternatif-alternatif yang ada dengan mempertimbangkan kontribusi ekonomi dan karakter produk. Dengan demikian, pilihan-pilihan yang disajikan dalam roadmap ini betulbetul telah mempertimbangkan semua faktor kritis yang mempengaruhinya. Selanjutnya tahap tindak lanjut adalah mengkritisi dan memvalidasi roadmap yang dihasilkan sekaligus dengan rencana implementasi. Dalam perjalanannya roadmap merupakan suatu rolling plan yang dimutakhirkan terus-menerus sesuai dengan kondisi terakhir. Gambar 3. memperlihatkan bahwa proses penyusunan roadmap merupakan suatu kegiatan lintas bidang yang melibatkan banyak pihak. Roadmap untuk suatu komoditi dikembangkan sesuai dengan pengembangan daerah. Pengembangan satu komoditi di daerah yang berbeda tentu saja akan memiliki strategi dan visi yang berbeda pula. Sebagai contoh, roadmap pengembangan jagung dengan latar belakang Gorontalo akan sangat berbeda dengan roadmap jagung dengan latar belakang propinsi lain. Kerangka proses technology roadmapping penganekaragaman pangan pokok disajikan pada Gambar 3 berikut ini.
14
untuk
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Gambar 3. Kerangka proses technology roadmapping untuk penganekaragaman pangan (Taufik, 2002 dengan modifikasi)
Berdasarkan kerangka proses dan pendekatan strategis dengan mamanfaatkan analisis SWOT dan situasi dapat dikonstruksi suatu roadmap umum untuk program penganekaragaman pangan pokok, seperti yang disajikan dalam Gambar 4 berikut.
15
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Gambar 4. Roadmap generik penganekaragaman pangan pokok.
Roadmap di atas memperlihatkan kelompok-kelompok kajian yang harus ditekuni demi keberhasilan penganekaragaman pangan di Indonesia. Jika dirinci lebih lanjut maka kelompok kajian tersebut di atas mencakup aspek-aspek berikut ini:
1)
Kelompok lingkungan meliputi aspek pewilayahan komoditi, pelestarian sumberdaya dan lingkungan, serta pemetaan lokasi potensial
2)
Kelompok benih meliputi aspek Seleksi dan Pemuliaan benih, Teknik Perbaikan genetika, Teknik perbenihan, Peralatan untuk perbenihan dan Sarana produksi
3)
Kelompok Budidaya meliputi aspek Pola budidaya optimal, Pencegahan dan penanganan penyakit, Teknik panen dan grading, Penanganan Pasca panen
4)
Kelompok industri meliputi aspek Pengolahan menjadi aneka produk berkualitas sesuai tuntutan pasar, Peralatan pengolahan, Sistem penjaminan mutu dan Pola distribusi optimal
5)
Kelompok perdagangan meliputi aspek Proyeksi demand/supply, Alur tataniaga, serta Keterkaitan komoditi dengan sektor ekonomi ril
16
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
6)
Kelompok sosial dan kebiasaan makan meliputi aspek Konsumsi untuk pemenuhan gizi, Pengembangan kebiasaan makan pangan pokok alternatif, Strategi promosi yang komprehensif
Perlu diperhatikan disini bahwa urgensi pembuatan roadmap ini adalah memetakan jenis-jenis kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang melakukannya dan strategi untuk mensinergikannya secara optimal. Roadmap ini selanjutnya yang dikembangkan lebih lanjut berbasiskan komoditi yang akan digarap. Berikut akan diilustrasikan roadmap untuk penganekaragaman pangan berbasis ubi jalar. Pembahasan pada tahap ini meliputi aspek deskripsi produk, visi produk dikaitkan dengan tuntutan pasar, driving forces yang mempengaruhi kesuksesan produk, kontribusi produk dalam perekonomian, teknologi yang saat ini digunakan dalam pembuatan produk, inovasi teknologi untuk peningkatan produk, hasil yang telah dicapai pada saat ini dan rencana pengembangan selanjutnya. Gambaran singkat masing-masing aspek tersebut di atas disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Penjelasan berbagai aspek dalam meninjau roadmap produk Aspek
Penjelasan
Deskripsi produk
Rincian karakter produk berdasarkan berbagai parameter dalam rangka memenuhi tuntutan pasar
Visi
Visi pengembangan produk 10-15 tahun ke depan. Berisikan sasaran dan parameter yang realistis terkait dengan kondisi sosial, ekonomi dan teknologi yang aktual
Driving force
Faktor-faktor yang mempengaruhi inovasi teknologi di masa depan. Terdapat lima driving forces dominan yaitu bahan baku, biaya pengolahan, karakter dan keterandalan produk, kehadiran produk baru dan lingkungan.
Kontribusi Ekonomi
Menampilkan kontribusi ekonomi produk baik dari segi penyerapan bahan baku maupun aspek pengolahan
Teknologi Saat ini
Menyajikan beberapa teknologi yang saat ini digunakan untuk membuat produk atau hasil olahan yang sejenis
Inovasi Teknologi
Beberapa peluang inovasi teknologi untuk meningkatkan mutu produk dalam rangka memenuhi tuntutan pasar
17
■
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Draft Roadmap penganekaragaman berbasis ubi jalar Jika ditelaah dengan paradigma industri, produk pertanian akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat jika dapat diolah terlebih dahulu menjadi tepung. Oleh karena itu pendekatan ini diambil dalam rangka pengembangan roadmap penganeka ragaman pangan berbasis ubi jalar. Kerangka awai roadmap disajikan pada gambar 5. berikut.
Gambar 5. Roadmap penganekaragaman bahan pangan pokok berbasis ubi jalar.
Draft Roadmap penganekaragaman berbasis pisang Produk pertanian lain yang dapat digunakan sebagai bahan pangan pokok adalah kerabat dekat pisang yang dikenal dengan sebutan Plantain (Musa X paradisiaca). Dengan sebutan “kentang udara” atau “pisang untuk dimasak”, Plantain telah dikenal dan sangat populer di negara-negara Amerika Latin, disamping Afrika, Asia dan India. Namun yang berbeda dengan pisang adalah cara mengkonsumsi, yaitu Plantain harus mengalami pemasakan terlebih dahulu.
18
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Plantain dapat dikonsumsi pada berbagai tahapan kematangan buah, dengan rasa yang berbeda tergantung pada tingkat kematangan buah. Pada saat kulit berwarna hijau ke kuningan, daging buah Plantain terasa hambar dan memiliki tekstur seperti berpati (starchy). Namun pada saat kulit berubah warna menjadi coklat atau hitam, daging buah akan terasa lebih manis dengan aroma pisang, namun tetap mempertahankan ketegaran bentuknya setelah dimasak. Karena istilah “kentang udara”, maka Plantain yang masih muda dapat diolah seperti halnya kentang, ditepungkan dan dijadikan potongan chips. Berbagai cara pengolahan Plantain yang telah diterapkan adalah penggorengan, perebusan, mashing, pulping, pemanganggan (grilled), pengovenan (baked).
Tabel 3. Nilai Gizi Plantain mentah dan masak (per 100 g) Mentah Energi (Kcal)
Matang 122
116
31.89
31.15
Protein (g)
1.3
0.79
Lemak (g)
0.37
0.18
Serat (g)
2.3
2.3
3
2
Potassium (mg)
499
465
Besi (mg)
0.60
0.58
Vitamin C (mg)
18.4
10.9
0.686
0.756
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Niacin (mg) (USDA, Nutrient Data Lab, 2004)
Sifat bahan plantain yang menyerupai kentang pada tahap pramasak memungkinkan aplikasi pengolahan dan technological roadmap yang telah dikonsep untuk ubi jalar.
19
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Gambar 6. Roadmap penganekaragaman bahan pangan pokok berbasis Plantain.
Agenda Penelitian & Pengembangan Penganekaragaman Pangan Upaya penganekaragaman pangan banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama faktor sosial budaya masyarakat. Karena itulah maka kajian sosiologis, antropologis untuk kemandirian pangan perlu dilakukan dengan cukup komprehensif. Dengan demikian, dalam penyusunan agenda penelitian dan pengembangan (agenda R&D) perlu mencakup semua aspek yang diperlukan. Secara skematis, cakupan penelitian penganekaragaman pangan tersebut kemudian dapat diformulasikan dengan mengisi ‘sel-sel’ dalam matriks, seperti terlihat pada Gambar 7.
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Gambar 7. Matriks Perkembangan Pengetahuan dan Teknologi Hasil Riset dalam Konteks Kemanfaatan Aplikasinya. Untuk bisa menyusun agenda R&D yang diperlukan, maka perlu terlebih dahulu dilakukan upaya pemetaan kegiatan penelitian yang telah dilakukan selama ini. Penelitian dapat di-‘peta’-kan pada matriks diatas sesuai dengan tingkat kemanfaatan aplikasinya.serta arah perkembangan penelitian selanjutnya. Rencana riset selanjutnya juga dapat dipetakan untuk mengisi berbagai aspek yang belum cukup komprehensif diketahui melalui penelitian yang selama ini telah dilakukan. Secara umum, berdasarkan roadmap di atas, maka area utama penelitian dan pengembangan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1)
Pemotretan (evaluasi diri) tentang kondisi penganekaragaman pangan saat ini.
2)
Kajian aspek sosiologis, antropologis untuk kemandirian pangan.
3)
Kajian aspek advokasi, kampanye dan promosi kemandirian pangan.
4)
Kajian aspek penganekaragaman pangan dan kemandirian pangan dalam skema otonomi daerah.
21
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
5)
Kajian teknik perbanyakan benih, teknik budidaya cocok lokasi dan ramah lingkungan.
6)
Kajian penanganan pasca panen untuk mendapatkan bahan baku bermutu (relatif seragam spesifikasinya).
7)
Teknik pengeringan dan penepungan untuk mendapatkan bahan baku tepung mutu dan sifat fisik yang baik.
8)
Rekayasa proses pembuatan produk sesuai tuntutan konsumen, termasuk kajian dalam aspek lingkungan.
9) Kajian teknik penggandaan skala (scaling up). 10) Kajian aspek gizi dan kesehatan terutama fungsional dan budaya
makan.
11)
Kajian aspek sosio-ekonomi dan perdagangan.
12 ) Kajian terhadap hambatan pemasaran dan saluran distribusi aneka produk pangan. 13) Kajian terhadap kemungkinan (feasibility study) untuk membangun saluran distribusi yang baru dan pola distribusi yang tepat untuk meng intensifkan distribusi (penetration dan coverage). 14) Kajian aspek sosio-budaya dalam rangka pemasaran aneka produk
berbasis bahan lokal.
Prakarsa Penganekaragaman Pangan Lokal Keberhasilan program Penganekaragaman Pangan pada akhirnya ditentukan oleh penerimaan konsumen serta keputusannya untuk mendukung atau tidak. Sehingga langkah sosialisasi yang meliputi promosi dan kampanye berisi pesan-pesan pentingnya menganekaragamkan pangan merupakan upaya yang kritis. Program penganekaragaman pangan nasional guna mewujudkan ketahanan pangan dapat difragmentasi dan dimulai pada tingkatan masing-masing daerah dan wilayah. Pendekatan yang berorientasi pada hasil pertanian lokal membutuhkan sebuah media untuk memungkinkan sosialisasi berlangsung untuk wilayah tersebut. Proses sosialisasi berupa kampanye memberi kesadaran pada masyarakat dan konsumen lokal akan pentingnya mendukung hasil pertanian lokal dalam rangka mewujudkan kemandirian lokal. Serta promosi hasil pertanian yang berisi informasi “bagaimana”, “dimana” dan “kapan” memungkinkan komplementasi proses sosialisasi secara utuh. Sebuah prakarsa (buy California initiative) yang telah dimulai pada tahun 2001 untuk wilayah Negara bagian California, AS bertema
22
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
“Be Californian. Buy California Grown” merupakan upaya mengkampanyekan konsumsi hasil-hasil pertanian wilayah California oleh penduduk California sendiri. Prakarsa ini mengajak para produsen dan pengusaha bidang pertanian dan hortikultur, termasuk juga peternakan, hasil perikanan hingga asosiasi hasil perhutanan, untuk bergabung bersama dan memikirkan, yang pada dasarnya adalah strategi marketing kepada penduduk wilayahnya sendiri. Prakarsa tersebut mendorong kemajuan dan berkembang berbagai bidang bukan hanya pertanian dan peternakan, namun juga roda perekonomian wilayah dan sosial budaya setempat, mengajak penduduknya bangga menjadi seorang “Californian”. Agenda penganekaragaman pangan untuk Indonesia yang melalui pendekatan spesifik wilayah dapat belajar dan menerapkan prakarsa seperti ini. Dengan memanfaatkan momentum otonomi daerah yang masih belum optimal arah dan program pengembangannya, pembentukan sebuah prakarsa untuk mengkampanyekan dan mempromosikan hasil pertanian daerah merupakan langkah yang baik guna memajukan pertanian dan perekonomian wilayah. Perkembangan media penyiaran televisi lokal di berbagai daerah, seperti Jawa Timur dan Bali, memungkinkan promosi dan kampanye sampai pada masyarakat luas, namun tetap spesifik. Seperti halnya dengan “Buy California Initiative” peran dan dukungan pemerintah adalah sangat penting, dengan paket-paket bantuan dan hibah diberikan untuk pengembangan usaha, terutama untuk usaha kecil menengah dan para petani untuk operasional peningkatan pertanian. Peran pemerintah yang didampingi oleh kekuatan dan perencanaan ekonomi real dari asosiasi industri akan melahirkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan penduduk. Melalui prakarsa seperti ini misi penganekaragaman pangan dapat ikut direncanakan dan diperhitungkan dan berpeluang untuk mencapai realisasi yang nyata. Perwujudan dan keberhasilan prakarsa penganekaragaman lokal akan kembali bergantung pada komitmen semua pihak, pemerintah, asosiasi pengusaha dan industri, serta konsumen. Dibutuhkan juga manajemen yang independen dan efisien untuk memungkinkan prakarsa tersebut berjalan dan berhasil.
23
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Daftar Pustaka Hariyadi, P., Krisnamurti, B., dan Winarno, F.G. Eds. 2003. Penganekaragaman Pangan; prakarsa swasta dan pemerintah daerah. Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. Jakarta. Taufik, T.A., dan IGN Subagjo. 2001. Menumbuhkembangkan Pemanfaatan Sumber Daya Lokal. BPPT. Tim Pengelola. 2003. Laporan Akhir Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok Alternatif. Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. USDA. 2004. Nutrient Data Laboratory, NDB: 09277 & 09278
24
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
II Penganekaragaman Pangan dan Politik Pangan Indonesia_________________________________ Dr. Bayu Krisnamurthi *
Pengantar Pangan merupakan kebutuhan pokok terpenting bagi kehidupan manusia, setelah udara dan air. Tanpa pangan manusia tidak dapat hidup, bahkan tanpa pangan yang baik manusia tidak dapat hidup layak. Oleh karenanya, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak azasi untuk setiap manusia, yang harus dihormati dan mendapat kesempatan untuk diwujudkan. Disamping itu, dalam berbagai tatanan sosial-ekonomi-kultural bahkan religius, memastikan bahwa manusia mampu memenuhi kebutuhan pangannya juga merupakan kewajiban azasi, baik bagi individu manusia sebagai anggota masyarakat maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini seharusnya menjadi dasar berpikir - dan bersikap - dalam setiap diskusi mengenai pangan. Pangan tidak dapat hanya dipandang sebagai ‘komoditi’ atau sebuah aktivitas mata pencaharian. Pangan harus dilihat sebagai salah satu esensi kehidupan manusia.
Ketahanan Pangan Ketahanan pangan didefinisikan sebagai "usaha mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu", (Undang-undang nomor 7, tahun 1996 tentang Pangan). Definisi ini mengandung empat unsur penting yaitu: (i) ketersediaan, (ii) (jenis) mutu dan gizi yang layak, (iii) keamanan; dan (iv) keterjangkauan pangan. Ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup dan setiap waktu merupakan dimensi pertama ketahanan pangan. Pencapaiannya harus
*
Dr. Bayu Krisnamurthi adalah Kepala Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor dan anggota pengurus Forum Kerja Penganekaragaman Pangan.
25
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
memperhatikan aspek produksi pangan, pengaturan dan pengelolaan stok atau cadangan pangan, serta penyediaan dan pengadaan pangan yang mencukupi. Ketahanan pangan juga harus menjaga mutu dan gizi yang baik untuk dikonsumsi oleh publik. Mutu dan gizi yang baik dihasilkan dari pangan yang beragam, bergizi, bermutu baik dan bermartabat untuk dikonsumsi. Kemartabatan pangan untuk dikonsumsi seringkali terlupakan atau tidak banyak diketahui, sehingga sering terjadi keterbalikan pendapat umum mengenai pangan yang bermartabat dan layak untuk dikonsumsi. Pangan yang sering dikonsumsi dan diimpor dari negara industri umumnya diangap makanan yang mahal dan bergengsi, dan sebaliknya makanan tradisional/indigenus sering diabaikan dan dianggap inferior. Namun pada kenyataanya, pangan yang diimpor dapat berupa makanan yang dianggap buangan oleh negara asai tersebut (sebagai contoh paha ayam di Amerika Serikat), dan sebaliknya makanan tradisional Indonesia (seperti tiwul dan bassang) merupakan makanan yang secara kultural “pernah” menduduki ‘posisi’ yang sangat terhormat (menjadi makanan raja-raja) yang sekarang sering dipandang sebagai makanan untuk kaum marginal dalam keadaan terpaksa. Pandangan publik seperti ini masih berlaku dan harus diluruskan untuk dapat lebih memajukan penganekaragaman pangan dan mencapai ketahanan pangan nasional. Aspek keamanan pangan pada ketahanan pangan harus sesuai dengan kaedah-kaedah dan standar yang berlaku, serta tidak dapat dikompromikan. Makanan untuk dikonsumsi tunduk dan mengikuti standar keamanan, kesehatan, dan nilai religius yang telah distandarkan atau ditentukan oleh badan yang berwenang, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan - BPOM dan Majelis Ulama Indonesia - MUI untuk aspek kehalalan pangan. Aspek ini juga memerlukan unsur dan misi pendidikan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pengaturan pembelian mengutamakan pemenuhan gizi yang baik. Aspek terakhir yang harus dipenuhi untuk pencapaian ketahanan pangan nasional ialah ketersediaan pangan yang merata dan terjangkau bagi seluruh populasi Indonesia. Hal ini menjadi sangat menentukan mengingat Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan masih ribuan pulau yang belum memiliki sarana transportasi yang baik. Ketersediaan dan keterjangkauan pangan yang merata menuntut sistem distribusi nasional yang baik, handai dan efisien untuk memungkinkan terjangkaunya pangan bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan pendapatan dan daya beli.
26
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Kemandirian Pangan Ketahanan pangan nasional secara berkesinambungan dapat dicapai jika kemandirian pangan dapat diwujudkan. Kemandirian pangan tidak harus berarti swasembada dalam produksi semua komoditas pangan, melainkan mampu mengurangi atau bahkan tidak bergantung pada pihak lain. Ketergantungan pada pihak asing yang selama ini terjadi berpengaruh secara nyata pada banyak segi, diantaranya pasokan bahan baku komoditas pangan, teknologi pengolahan dan proses, dan pola konsumsi masyarakat. Bahkan secara tidak langsung ketergantungan pangan pada pihak asing dapat mempengaruhi pemerintah Indonesia dalam pengambilan keputusan dan sikap yang erat kaitannya dengan aspek politik, ekonomi hingga pertahanan dan keamanan. Jika dikaitkan dengan teori awai bahwa dominasi global dapat menggunakan pangan sebagai instrumen politik, maka mewujudkan kemandirian pangan sangat bernilai melebihi hanya sebagai cara mencapai ketahanan pangan. Kemandirian pangan sangat diperlukan untuk tetap dapat menjaga kedaulatan dan integritas politik bangsa. Pemasokan bahan baku dan impor komoditas pangan dari luar negeri dapat disikapi dengan lebih mandiri dan tidak bergantung pada satu negara, untuk komoditas pangan.
Penganekaragaman Pangan Keanekaragaman pangan pada dasarnya merupakan fondasi dari ketahanan pangan. Bermula dari pandangan ahli gizi yang menyatakan bahwa pangan yang beragam akan lebih dapat memenuhi kebutuhan gizi manusia, keanekaragaman pangan juga memiliki dimensi lain bagi ketahanan pangan. Bagi produsen, Keanekaragaman pangan (diversifikasi pangan) akan memberi insentif pada produksi yang lebih beragam, termasuk produk pangan dengan nilai ekonomi tinggi dan pangan berbasis sumberdaya lokal. Sedangkan jika ditinjau dari sisi konsumen, konsumsi dan pangan yang dikonsumsi menjadi lebih beragam, bergizi, bermutu dan bermartabat. Disamping itu, dilihat dari kepentingan kemandirian pangan, penganekaragaman pangan juga dapat mengurangi ketergantungan konsumen pada satu jenis bahan pangan.
27
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Masalah-masalah Besar dan Ketahanan Pangan Masalah ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari berbagai masalah-masalah besar dalam skala nasional lainnya. Penyelesaian satu masalah akan dapat berakibat pada penyelesaian masalah berikutnya. Masalah-masalah besar dimaksud adalah: 1.
Kemiskinan. Ketidakmampuan atau keterbatasan masyarakat dalam memperoleh pendapatan dan kesejahteraan akibat berbagai hal. Kemiskinan ini kemudian menyebabkan sangat terbatasnya kemampuan dalam menjangkau pangan, walaupun jumlah pangan cukup tersedia.
2.
Daya dukung alam. Peningkatan jumlah penduduk, berkurangnya ketersediaan sumberdaya alam (lahan) untuk kegiatan pertanian, dan menurunnya kondisi SDA lain (air) sangat menentukan kemampuan produksi pangan. Masalah-masalah seperti konversi lahan dan kompetisi penggunaan SDA untuk penggunaan pertanian dan non-pertanian menjadi masalah yang kian serius.
3.
Peningkatan penduduk. Indonesia memiliki laju pertumbuhan penduduk sekitar 1.5% per tahun, walaupun sebenarnya bukan merupakan tingkat pertumbuhan yang tertinggi, namun berarti terdapat tambahan lebih dari 3 juta penduduk setiap tahun yang perlu mendapatkan pangan. Hal ini merupakan masalah dasar yang menuntut peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan.
4.
Pola hidup dan konsumsi. Pola hidup masyarakat yang pada sebagian kelompok relatif boros dan berlebih, sedangkan pada kelompok lain kekurangan, dan pada kelompok lain tanpa pemahaman yang benar atas pola hidup dan konsumsi yang sehat akan sangat berpengaruh terhadap sikap konsumen pangan. Hal ini termasuk pola hidup (pola pangan) yang menimbulkan ketergantungan pada bahan pangan tertentu.
5.
Globalisasi dan agenda dominasi. Penguasaan pangan pasar atau ‘agenda dominasi’ dengan berbagai bentuk dan implementasinya memberikan kesimpulan logis bahwa penguasaan atas pangsa pasar pangan akan sangat ampuh menjadi instrumen dalam memenangkan persaingan global.
Berkaitan dengan hal diatas, kemiskinan di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius, dimana jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih banyak dari seluruh penduduk Malaysia, Singapura dan Brunei dijumlahkan, seperti yang tertera pada Tabel 4. di bawah ini.
28
Presiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Tabel 4. Jumlah Penduduk miskin di Indonesia. Tahun 1990 1996 1998 2000 2002
Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) Desa Kota Desa + Kota 17,8 9,4 27,2 15,3 7,2 22,5 31,9 17,6 49,5 26,4 12,3 38,7 38,4 25,1 13,3
Disisi lain, sektor pertanian (yang didominasi oleh kegiatan produksi dan distribusi pangan) telah menunjukkan peran yang signifikan dalam pengurangan kemiskinan di Indonesia. Pertumbuhan di sektor pertanian Indonesia merupakan kontributor terbesar dalam menurunkan kemisikinan. Pertumbuhan pertanian mampu mengurangi kemiskinan sebanyak 55% untuk daerah perkotaan dan 74% untuk daerah pedesaan, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan pertanian Indonesia dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia sebanyak 66% (Smeru, 2003). Dalam kaitannya dengan masalah ketersediaan sumberdaya alam, pertumbuhan di sektor pertanian Indonesia memiliki berbagai masalah dan hambatan. Salah satunya yang cukup serius adalah konversi lahan produktif pertanian. Pusat Studi Pembangunan IPB (2001) mencatat terjadinya peningkatan konversi lahan pertanian dari 36.500 hektar per tahun (periode 1983-1993) menjadi 50.500 hektar per tahun pada periode 1993-1997. Untuk tahun 1997-2000 diperkirakan konversi lahan tetap terjadi secara ekstensif, sebesar 22.000 hektar per tahun. Angka-angka tersebut merupakan rata-rata dari perkiraan tertinggi dan terendah di Pulau Jawa, serta tidak termasuk konversi lahan hutan menjadi "non-hutan non-pertanian". Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. berikut. Tabel 5. Konversi Lahan Pertanian Jawa dan Bali. Perkiraan Perkiraan Tinggi Perkiraan Rendah Rata-rata
Periode konversi lahan (hektar/tahun) 1983-1993 1993-1997
1997-2000
45.000
61.000
48.000
28.000
40.000
22.000
36.500
50.500
35.000
Konversi lahan merupakan masalah yang sangat serius terjadi secara terus menerus di pulau Jawa dan Bali. Hal ini diakibatkan oleh pembangunan yang terpusat dan penyebaran penduduk yang terlalu
29
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
berkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali. Sehingga lahan pertanian dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan lain yang mendesak seperti perumahan dan keperluan perekonomian penduduk. Pulau Jawa memang mengandung tanah vulkanik yang sangat subur dan menjadi pemasok utama kebutuhan pangan penduduk se-lndonesia. Sebagai contoh pulau Jawa menjadi penghasil 56% komoditas padi Indonesia dan hampir 90% susu untuk seluruh penduduk Indonesia. ‘Ketergantungan’ pada pulau Jawa dan dominasi wilayah padat penduduk dalam produksi pangan dapat menimbulkan masalah tersendiri. Pengaruh globalisasi dalam perdagangan pangan bukan merupakan hal yang sederhana. Data dari Food and Agriculture Organisation of the UN (FAO) menunjukan perkiraan jumlah penduduk dunia pada tahun 2030 mencapai 8 miliar. Pada tahun 2015, sebanyak 580 juta penduduk dunia akan mengalami kekurangan pangan. Perhitungan itu juga menunjukkan bahwa negara-negara berkembang di dunia akan semakin tergantung pada impor komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya yang sangat besar, dan diperkirakan kebutuhan tersebut akan meningkat dari 170 juta ton pada tahun 1995 menjadi 270 Juta ton pada tahun 2030 kelak. Namun ironisnya, ekspor komoditas pangan negara-negara industri (maju) juga mengalami peningkatan dari 142 juta ton (1995) menjadi 280 juta ton (2030). Dengan demikian tergambarkan ketergantungan negara-negara berkembang pada negara-negara maju akan kebutuhan mendasar, yaitu pangan, sehingga memungkinkan dan memudahkan komoditas pangan dijadikan komoditas dan senjata politik untuk pengaturan hingga terjadinya dominasi dunia.
Arti Penting (Lain) Penganekaragaman Pangan Strategi Penganekaragaman pangan - disamping memiliki arti sangat esensial bagi peningkatan mutu gizi pangan masyarakat ternyata juga memiliki arti penting lain jika dikaitkan dengan berbagai masalah besar diatas. Penganekaragaman pangan mempunyai berbagai dampak yang harus diperhatikan pada beberapa aspek sosial, terutama yang memberi dampak pada dua golongan utama masyarakat yaitu: Produsen dan Konsumen. Aspek sosial penting tersebut meliputi: 1.
Kemiskinan. Akibat dari kemiskinan dapat diringankan dengan penganekaragaman pangan, dimana konsumen diberikan alternatif bahan pangan yang mudah dan terjangkau; juga memberi kesempatan untuk produsen mengusahakan yang lebih menguntungkan.
30
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
2.
Daya dukung alam. Penganekaragaman pangan memungkin kan sumberdaya alam dipergunakan lebih optimal oleh produsen sesuai dengan tingkat kesesuaian sumberdaya lokal.
3.
Peningkatan penduduk. Tuntutan kebutuhan pangan akibat peningkatan penduduk dapat diatasi dengan menganeka ragamkan pangan, dimana produsen dapat mengoptimalkan sumberdaya yang tidak berkompetisi dengan kebutuhan lain. Sedangkan untuk mengatasi kebutuhan pangan, konsumen harus mulai sadar bahwa terdapat lebih banyak alternatif pangan yang tersedia.
4.
Pola hidup dan pola konsumsi. Penganekaragaman pangan memberikan pola konsumsi masyarakat yang lebih sehat dan bermutu, dan mengurangi ketergantungan pada satu jenis pangan, misalnya ketergantungan pada beras.
5.
Globalisasi. Menghadapi tantangan globalisasi, penganekaragaman pangan memberi peluang bagi produsen memproduksi pangan unik dan spesifik lokal yang lebih memiliki keunggulan dengan spesifikasi tersebut. Sedangkan penerapan penganekaragaman pangan untuk konsumen dapat kembali mengurangi ketergantungan pada pangan tertentu, terutama yang bersifat impor dan asing.
Ketahanan dan kemandirian pangan memang sangat erat berhubungan dengan kemiskinan penduduk, jumlah penduduk, daya dukung alam, pola hidup dan konsumsi, serta dipengaruhi oleh berkembangnya globalisasi. Hubungan tersebut adalah hubungan sebab akibat dua arah dan saling memberi dampak. Dan dalam kaitan itu, penganekaragaman pangan menjadi salah satu usaha untuk menuju pencapaian tujuan nasional di bidang pangan tersebut.
Evaluasi Hingga Saat Ini dan Melihat ke Depan: Aspek Politik Pangan Tingkat kepentingan pangan yang sangat tinggi bagi kehidupan masyarakat, menjadikan pangan memiliki dimensi politik yang - disadari atau tidak - sangat signifikan. Dengan demikian, perkembangan yang terjadi pada kondisi pangan mau tidak mau harus dilihat juga dalam konteks politik, atau dalam hal ini politik pangan. Kondisi dan berbagai perangkat kebijakan pangan saat ini telah berubah dan membutuhkan langkah-langkah strategis baru dalam penanganan pangan. Untuk menghadapi tantangan dan sistem pasar pangan dunia, mewujudkan ketahanan pangan nasional menjadi penting. Dalam hal ini ketahanan pangan untuk Indonesia merupakan satu
31
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
kesatuan yang terdiri dari tiga elemen penting. Tiga elemen tersebut meliputi Ketahanan Pangan tingkat Rumah Tangga, tingkat Wilayah dan tingkat Nasional, dimana saling sangat erat berkaitan dan harus dapat diwujudkan guna mencapai ketahanan pangan secara keseluruhan. Sistem ketahanan pangan dan perwujudannya dinilai sangat penting dalam rangka mewujudan kemandirian untuk menghadapi pasar pangan dunia. Hal ini mendesak dilakukannya rekonstruksi kebijakan pangan secara menyeluruh, disesuaikan dengan kondisi aktual saat ini, dan harus dapat mengantisipasi perkembangan di masa yang akan datang. Langkah-langkah kebijakan pangan nasional sudah sebagian mengalami rekonstruksi dan perubahan, tetapi masih jauh dari yang diharapkan. Pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang menjadi acuan Departemen Pertanian, membuka perspektif baru bahwa ternyata 70% urusan penanganan masalah pertanian justru berada di luar Departemen Pertanian. Disamping itu, agenda desentralisasi baru menjanjikan potensi, namun sudah menimbulkan banyak masalah. Masalah "parsialisme" antar sektor/instansi, pusat dan daerah, antar daerah, serta rencana jangka pendek dan penjang yang terjadi menjadi semakin serius. Kesemua itu membutuhkan arahan politik pangan yang jelas dan dilaksanakan secara konsisten. Terlebih bila dilihat dari perjalanan proses ‘sejarah’ politik pangan yang sebelumnya didominasi oleh “beras-isasi” Akibat pengaruh "Politik Beras" tersebut, beras menjadi sangat penting dan menjadi standar satuan untuk berbagai hal. Sebagai contoh, gaji Pegawai Negeri sipil dan TNI pernah sebagian diberikan dalam bentuk beras, standar ukuran untuk kemiskinan di Indonesia berdasarkan konsumsi dan daya beli terhadap beras, cadangan pangan, program Bimas, bahkan ukuran keberhasilan kepala daerah juga berdasarkan kuantitas beras. Politik beras kemudian juga berkait dengan “Politik Swasembada (beras)”. Pengaruh "Politik Swasembada" yang didasari pada pendekatan produksi (produksi sama dengan konsumsi) telah sangat mempengaruhi pola pikir pembangunan pangan, sekaligus berbagai program, institusi, dan infrastruktur yang dikembangkan. Disamping itu, politik beras dan politik swasembada juga telah menempatkan peran pemerintah yang besar. Dominasi peran pemerintah kemudian terkait pula dengan penciptaan sistem dan elemen yang serba seragam, serba menjadi "proyek" pemerintah, dan semua serba terpusat. Hal ini kemudian terkait dengan masalah serius “moral hazard” para pengambil keputusan, mulai dari tingkat yang tinggi hingga petugas operasional. Secara sistematik, bidang impor dan distribusi dikuasai dan menjadi lahan usaha untuk pengusaha (usaha) besar, sedangkan produksi komoditas pangan diserahkan kepada petani kecil. Kolusi yang terjadi
32
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
antara penguasa dan pengusaha menghasilkan inefisiensi, biaya tinggi, misalokasi, dan berbagai masalah lain. Indonesia sebenarnya memiliki sejarah yang cukup panjang dalam mengembangkan politik pangan. Apabila pelajaran sejarah tersebut ditarik mulai dari jaman kolonial hingga masa transisi reformasi saat ini, maka ‘peta’ politik pangan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6. berikut.
Tabel 6. Sejarah Politik Pangan di Indonesia. Unsur Politik Pangan Political Consciousness
Kolonial
Orde Lama
Orde Baru
Reformasi
Eksploitasi
Kemerdekaan
Stabilisasi
Desentralisasi
Desentralisasi, Globalisasi, Proteksi dan Promosi?
Inpres 9/2001 &2002; TAP MPR 5/2003
Political Will
Kolonialisasi
Nasionalisasi
Swasembada, stabilitasi harga, pangan murah, insentif bagi petani “memadai”
Political decision
Tanam paksa, perusahaan besar bersenjata (VOC)
Nasionalisasi perkebunan, land reform?
Serba pemerintah, seragam, terpusat
Political Action
Kuli perkebunan
Pembangunan semesta berencana
Bimas berikut perangkatnya
??
Tabel 6. tersebut menunjukkan bahwa kebijakan (operasional) dalam pangan dan pertanian memang sangat dipengaruhi oleh kesadaran, pemahaman dan penempatan politik (political consciousness), kemauan politik, keputusan politik, dan ‘aksi’ politik; yang kemudian memandu berbagai kebijakan operasional tersebut. Prakiraan sementara Politik Pangan pasca Pemilu 2004 meliputi berbagai aspek. Aspek pertama adalah bentuk komitmen partai-partai dan capres terhadap pangan dan pertanian beragam. Banyak aspek dalam "janji partai politik" yang masih berada pada tataran isu-isu "tradisional" dan belum operasional. Hal penting yang perlu diingat dan diperhatikan adalah pada calon legislatif (DPR, DPD, DPRD) sebagian
33
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
besar tidak memiliki track record dibidang pangan dan pertanian. pemahaman terhadap pangan dan pertanian masih berkisar orientasi jangka pendek yang bersifat tahunan. Oleh karena itu, profesional bidang pangan dan pertanian perlu mengedukasi pengambil keputusan.
Serta pada para para
Kebutuhan membangun politik pangan dan pertanian adalah memposisikan pangan dan pertanian secara proporsional dalam struktur ekonomi Indonesia dalam 5-10 tahun ke depan. Perdagangan internasional pangan dan pertanian juga perlu dijadikan pertimbangan untuk hal ini. Juga keagrarian, kegiatan produksi pertanian dan distribusi, pasar dan harga produk pertanian. Berkaitan dengan hal tersebut, usaha mengatasi masalah pangan dimulai dengan diadakan perubahan paradigma berpikir untuk posisi pangan dan pertanian di sistem kehidupan Indonesia. Pandangan konvensional yang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun adalah bahwa perkembangan kemajuan suatu bangsa, khususnya negara industri, diawali dengan membangun dan memperkuat pertanian sebagai tahapan awai. Setelah sektor pertanian terbentuk dengan kuat, maka tahapan pembangunan selanjutnya adalah pembentukan industri untuk menggerakan roda perekonomian bangsa, yang dilanjutkan atau dikomplementer oleh bidang jasa. Pemikiran ini sudah terasa ‘ketinggalan jaman’ dan banyak membuat masalah di Indonesia karena pengembangan industri dan jasa yang meninggalkan pertanian bertentangan dengan kenyataan bahwa sebagian besar penduduk masih di pertanian. Jika pemikiran itu dilanjutkan, sama saja dengan berpikiran untuk ‘meninggalkan’ sebagian besar penduduk. Pertimbangan kemanusiaan, keadilan, dan prinsip demokrasi tidak memperbolehkan hal tersebut terjadi. Disisi lain, kenyataan yang terjadi di negara Industri adalah pertanian tetap maju karena pembangunan dilakukan secara terintegrasi. Pertanian dimajukan bersama dengan industri dan jasa secara paralel, bukan bertahap dan berurutan. Pola pemikiran seperti inilah yang harus mulai ditanamkan pada bangsa kita. Kejelasan dan ketegasan politik dalam pangan dan pertanian diperlukan untuk rekonstruksi kebijakan nasional yang dapat menjawab tantangan kemandirian pangan dan mewujudkan ketahanan pangan di masa sekarang dan masa mendatang. Politik pangan dan pertanian harus dilandasi pokok pemikiran bahwa pangan dan hasil pertanian bukan hanya soal "produk" yang ada di pasar, tetapi bersifat aset dengan pengaruh dan dampak yang lebih luas. Pandangan dan pendekatan terhadap pangan dan pertanian mencakup peranan untuk mengurangi kemiskinan, menunjang daya tahan ekonomi bangsa, mengelola pelestarian lingkungan, mewujudkan ketahanan pangan,
34
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
hingga aspek kesinambungan identitas dan "nilai" norma-sosial-budaya bangsa, serta memperkokoh ketahanan dan kedaulatan bangsa. Konsistensi kebijakan dan program pembangunan sosioekonomi nasional meliputi berbagai halo Proteksi dan sistem tertutup harus mulai terbuka dan bersamanya dilakukan promosi pangan, produksi pertanian hingga pertanian Indonesia. Kebijakan dibuat secara terintegrasi dan disipiin dalam kebijakan pusat dan daerah, dalam dan luar bidang pertanian, kebijakan untuk kepentingan domestik dan kaitannya dengan internasional, serta integritas peran pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Pembangunan sosio-ekonomi perlu dilakukan melalui pendekatan peningkatan pendapatan bukan lagi peningkatan produksi dengan perencanaan berorientasi antisipasi terhadap trend masa datang, serta memberikan apresiasi dan mendorong pengembangan keragaman dalam bidang pangan maupun pertanian. Langkah terakhir adalah diperlukannya terobosan teknologi, organisasi dan sumber daya manusia. Terobosan teknologi sangat dibutuhkan untuk konsentrasi pada masalah pengurangan - kehilangan pasca-panen serta peningkatan nilai produk. Sehingga sebuah konsep agroindustrialisasi pedesaan perlu dikembangkan dan diterapkan. Dalam pengembangan konsep dan usaha ini, pemanfaatan dan pengembangan lahan kering dan "non land-base agriculture" perlu mendapatkan perhatian khusus. Dalam konteks penganekaragaman pangan, perlu pendekatan industrial produk tepung yang berbasis pada bahan baku lokal, dan jelas sekali dibutuhkan teknologi khusus untuk menangani penepungan berbagai bahan baku lokal yang spesifik. Aplikasi terobosan tekonologi secara luas memerlukan penyuluhan dan promosi sehingga penguatan dan pengembangan serta pengaitan penyuluhan dengan R&D (Research and Development) menjadi esensial. Selain terobosan teknologi, dibutuhkan juga terobosan yang signifikan dalam penguatan kemampuan negosiasi internasional serta kemampuan penegakan dan negosiasi hukum.
35
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Daftar Pustaka ADB
(2003), “Agriculture and Rural Development Interim Report,ADB TA No. 3843-INO.
Strategy
Study”,
Alexandratos, N (1995), World Agriculture: Towards 2010, An Study, published by FAO and John Willey &Sons: Chichester
FAO
Banerjee, A and H. Siregar (2002), “Agriculture As the Leading Sector: An Industrial Policy Framework”, Working Paper Series no.02/02, UNSFIR Bruinsma, J (2004), “Prospects for World Agricuture and Their Implications for Indonesia”, paper presented at the Thematic Workshop on Agriculture Policy for The Future”, organised by Bappenas, FAO and UNDP (project UNSFIR), Jakarta 12-13 February 2004. Gulati, A dan S. Narayanan (2002), “Rice Trade Liberalization and Poverty”, MSSD Discussion Paper no. 51, IFPRI IFPRI (2003), “Revitalizing the Drive for Rural Infrastructure”, IFPRI Forum, September. Available on line at www. ifpri. org/pubs/newsletters/ ifpriforum/ if200309. htm Kasryno, F (2004), “The Linkage Between Agriculture Development, Poverty Alleviation and Employment”, paper presented at the Thematic Workshop on Agriculture Policy for The Future”, organised by Bappenas, FAO and UNDP (project UNSFIR), Jakarta 12-13 February 2004. Krisnamurti, B., F. Agus S. Sumarto, A. Idrayono, E. Pasandaran, and I.M. O. Manikmas (2004), “A Socio Economic and Policy Analysis of the Role of Agriculture in Indonesia”, National Synthesis Report for FAO Krisndmurthi, B. 2004. Kadin Indonesia.
Road
Map
Pembangunan
Pertanian.
KPEN
McCulloch, N (2004), “Trade and Poverty in Indonesia: What Are The Links”, paper presented at the Thematic Workshop on Why Trade and Industry Policy Matters? organised by Bappenas, Deperindag and UNDP (project UNSFIR), Jakarta 14-15 January 2004. Mellor,
J (2004), “Putting Agriculture Back in The Development Framework”, paper presented at the Thematic Workshop on Agriculture Policy for The Future”, organised by Bappenas, FAO and UNDP (project UNSFIR), Jakarta 12-13 February 2004.
36
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Ravallion, M(1995), "Growth and Poverty: Evidence for the Developing World”, Economics Letters Rosegrant, M.W, M. Agcaoili-Sombilla, and N.D. Perez (1995), “Global Food Projections to 2020: Implications for Investment” Food, Agriculture, and the Environment Discussion Paper no.5, IFPRI: Washington DC. Simatupang, I.W. Rusastra, and M. Maulana (2004), “How to Solve Supply Bottleneck in Agricultural Sector”, paper presented at the Thematic Workshop on AgriculturePolicy for The Future”, organised by Bappenas, FAO and UNDP (project UNSFIR), Jakarta 12-13 February 2004. Simatupang, P dan A. Purwoto (1990), “Pengembangan Agro Industri sebagai Penggerak Pembangunan Desa” dalam P. Simatupang dkk (eds.), Agro Industri Faktor Penunjang Pembangunan Pertanian di Indonsia, PSE Badan Litbang Pertanian: Bogor Tabor, S.R, M.H Sawit, and HS Dillon (2002), “Indonesian Rice Policy and the Choice of a Trade Regime for Rice in Indonesia”, report prepared for a roundtable workshop, hosted by INDEF at LPEM Ul, Jakarta, 11 Maret
37
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
III Aplikasi Konsep Penganekaragaman Pangan: Studi Kasus Industri Tiwul Instan 1 Drs. Anton Djuwardi2 Pertama-tama marilah kita merenungi kebiasaan sering mengolok-olok budaya sendiri, terlalu mengagung-agungkan budaya orang lain, sehingga tidak menghargai apa yang telah diciptakan oleh tradisi dan budaya kita sendiri. Akibatnya dari perilaku ini maka tanpa disadari mempengaruhi pola pikir, persepsi sampai perilaku keseharian yang penuh ragu, tidak percaya diri, disorientasi serta menjadikan kita bermental lemah untuk membangun kemandirian dan kreasi. (Refleksi penulis terinspirasi dari buku Prof. Dr. Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, penerbit Gramedia, cetakan ke 15, Jakarta 1992)
I. Latar Belakang Masalah Pangan dan upaya mengatasi Masalah utama pada ketersediaan pangan nasional adalah jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar. Pada tahun 2002 tercatat penduduk Indonesia sebanyak kurang lebih 205 juta jiwa. Diperkirakan pada tahun 2012 angka tersebut akan mencapai 250 juta jiwa, jika pertambahan populasi dihitung secara linier sebesar 1,6% per tahun. Hal ini menandakan dibutuhkannya persediaan pangan yang cukup besar. Berbagai upaya yang telah dan dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini meliputi berbagai hal. Pertama adalah menghilangkan persepsi pangan yang identik dengan beras. Hal ini dinilai sangat nyata dengan sering terdengarnya kalimat yang berbunyi “belum makan kalau belum makan nasi.” Dengan mulai menghilangkan persepsi tersebut, maka konsumsi bahan pangan pokok lainnya untuk memenuhi rasa lapar mendapat peluang yang lebih besar.
' Paper yang sama juga telah Dipresentasikan pada acara Widyakarya Nasional Pangan dan gizi, Jakarta 17-19 Mei 2004 2 Drs. Anton Djuwardi adalah Direktur PT. Sinar Sukses Sentosa
39
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Upaya kedua adalah mengkoreksi kebijaksanaan masa lalu yang sangat bertumpu pada beras, untuk beralih pada keanekaragaman pangan. Bertumpu pada satu jenis bahan pangan sudah terlihat tidak sehat dan tidak dapat mendukung berkelanjutan bagi pertanian di Indonesia. Upaya ketiga adalah pengembangan teknologi pengolahan pangan, menjadikan manufacturing pangan lebih efisien dengan hasil yang tinggi. Perkembangan teknologi memungkinkan menjawab masalah ketersediaan pangan dengan menghasilkan berbagai jenis produk pangan yang mampu diproduksi secara massal, disimpan dalam jangka waktu yang relative lama tanpa kerusakan, dan mudah untuk didistribusikan secara meluas.
Mengapa Tiwul yang menjadi pilihan Sebagai upaya keempat adalah upaya yang nyata dalam memberikan dukungan mengatasi kerawanan pangan, dengan meng’industrialisasi’ Tiwul. Sebagai salah satu jawaban untuk mengatasi masalah ketersediaan pangan, Tiwul dapat dijadikan sebagai salah satu makanan untuk beralih dari beras ke pangan yang lebih beragam. Tiwul adalah makanan yang semata dari gaplek singkong yang ditumbuk atau dihaluskan, kemudian dikukus. Tiwul itu, adalah: Tiwul tradisional, warisan budaya yang sudah dikenal baik oleh penduduk di pulau Jawa sebagai makanan pokok. Tiwul mempunyai profil yang cocok untuk dijadikan makanan alternative beras, karena dibuat dari bahan baku yang tersedia dan tersebar secara luas di pulau-pulau seluruh Indonesia,yang namanya pun macam macam a.l. yaitu Ubi Kayu, Kaspe, Telo Puhung atau Singkong. (Untuk selanjutnya kita sebut Singkong saja). Singkong telah dikenal baik oleh para petani akan pembudidayaannya yang mudah. Singkong dapat hidup di tanah yang relative tidak subur, tidak memerlukan banyak pupuk ataupun pestisida, serta dapat menghasilkan 7-9 ton perhektar. “Hasil yang dicapai per ha Singkong jauh lebih banyak daripada padi dan gandum. Padi lebih kurang 3,8 ton per hektar, dan gandum 1,8 ton per hektar”.
40
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Tabel 7. Rekap Produksi Padi, Jagung, Ubi kayu, Ubi jalar dan Kedelai di Indonesia, tahun 1996 - 1999 No. 1
1996 51.101.506
1997 49.337.054
1998 49.236.692
1999 50.866.387
2 Jagung 9.307.423 3 Ubi kayu 17.002.455 4 Ubi jalar 2.017.516 5 Kedelai 1.517.181 Sumber: BPS Statistik 1999
8.770.851 15.134.021 1.847.492 1.356.891
10.169.488 14.696.203 1.935.044 1.305.640
9.204.036 16.458.544 1.665.547 1.382.848
Komoditi Padi
Dari tabel rekap produksi lima komoditi hasil tanaman pangan yang kami olah dari BPS Statistik 1999, jelas tampak bahwa Singkong (Ubi Kayu) menempati posisi terbesar kedua setelah padi. Maka dalam ketersediaan singkong sebagai tanaman pangan dan bahan baku industri pengolahan pangan, memiliki peluang yang prospektif dan riil. Singkong merupakan tanaman tropik yang menghasilkan umbi besar berpati, mengandung banyak kalori, berkabohidrat tinggi namun memiliki kandungan protein yang rendah. (Buku Makanan dan Gizi, Pustaka llmu “Life”, penerbit Tira Pustaka, Jakarta). Untuk mengatasi kekurangan ini, tepung singkong dicampur dengan tepung jagung, tepung terigu dan difortifikasi dengan vitamin dan mineral yang dibutuhkan bisa menjadi makanan bermutu, berenergi dan bergizi tinggi. Terlebih dengan penampilan yang menarik dengan sentuhan tataboga, menjadi makanan bergengsi. Inilah formula Tiwul penampilan baru, yang kita sebut sebagai Tiwul Instan, yang adalah hasil uji laboratorium PT Indofood Sukses Makmur Tbk Div.Bogasari flour mills, (untuk penulisan disingkat Bogasari saja)
Tujuan Pendirian Industri Tiwul Instan Dari paparan latar belakang masalah pangan yang dihadapi bangsa, sampai alasan mengapa Tiwul menjadi pilihan alternative pangan selain beras, maka kita dapat menetapkan tujuan pendirian Industri Tiwul Instan. Adapun pendirian Industri Tiwul Instan memiliki dua tujuan utama.Tujuan pertama adalah yang bersifat ideal, yaitu guna membantu dalam peningkatan ketersediaan pangan dan penganekaragaman pangan, serta produk-produk pangan olahan sesuai potensi sumberdaya lokal. Disamping itu, pendirian industri
41
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
tersebut ditujukan juga untuk memberdayakan dan masyarakat dan mewujudkan ketahanan pangan yang Tujuan kedua bersifat materiil, untuk meningkatkan masyarakat dan petani, juga dapat mendorong laju lokal, untuk membentuk kerjasama dalam kemitraan menguntungkan.
memandirikan berkelanjutan. kesejahteraan perekonomian yang saling
II. Konsep dan Model Pendirian Pabrik Tiwul Instan oleh PT. Sinar Sukses Sentosa (untuk penulisan disingkat SSS saja) memiliki korelasi visi, misi dan rencana strategis dengan Bogasari.Visi Bogasari adalah menjadi industri pangan yang berbasis tepung tepungan, serta misi untuk membantu penganekaragaman pangan. Visi dan misi tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan strategis untuk mengubah persepsi lama tentang tiwul. Persepsi lama memandang tiwul sebagai makanan tradisional orang miskin, bersifat inferior dan tidak bermutu, serta kandungan nutrisinya rendah. Dengan produksi tiwul instan, persepsi lama dirobah beralih ke persepsi baru bahwa tiwul dapat menjadi makanan bergengsi, bergizi, dan bermutu serta menjadi kultur yang baik. Tiwul instant: adalah makanan olahan modern yang kaya dengan protein dan nutrisi, menjadi makanan yang mendekati bahkan setara dengan beras. Tiwul instan ini merupakan hasil dari studi pada laboratorium Bogasari sebagaimana telah diutarakan di atas, sehingga hak licensing berada pada Bogasari. Visi, misi dan rencana strategis Bogasari ini kemudian dikembangkan oleh SSS, yang memperoleh lisensi Bogasari dan secara khusus menjalankan operasional industri tiwul instan. Visi SSS adalah meningkatkan derajat tiwul sebagai makanan “alternatif’ selain beras, dengan misi membantu penganekaragaman makanan bermutu, memberikan nilai tambah untuk tanaman singkong (ubi kayu), serta meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat lokal. Dengan visi dan misi tersebut, SSS merumuskan rencana strategis yang berisi: ► Penetapan lokasi sasaran usaha dengan pertimbangan otonomi daerah dan investasinya. (Mengingat diberlakukannya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah) ► Membangun pabrik pada skala mini atau industri rakyat dengan menerapkan “cluster system”. Yang dimaksud bahwa dari
42
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
rangkaian kegiatan (in put, proses dan output) dalam Industri Tiwul Instan, masing masing kegiatan agar dapat memetik manfaat, memperoleh nilai tambah sesuai dengan kontribusi yang diberikan. ► Mengaplikasikan pola kerjasama kemitraan didasarkan pada tata nilai untuk membangun kemandirian dalam suasana keterbukaan dan kebersamaan (kegotongroyongan), serta menetapkan keberhasilan yang terukur pada pencapaian nilai tambah yang didapat para pihak yang terlibat secara fair & wajar
Model Kemitraan Dalam mengembangkan industri Tiwul Instan ini, SSS berpedoman menerapkan “cluster system” ; oleh karena itu dalam menjalankan bisnisnya berorientasi pada pola hubungan kerjasama kemitraan usaha yang kokoh dan mendalam, membangun usaha yang berkelanjutan, untuk tumbuh bersama dalam kemandirian, berjangka panjang, saling percaya dan dalam kedudukan yang setara. Model kemitraan dibawah ini, kiranya akan mengambarkan secara nyata, apa yang kami maksud.
Gambar 8. contoh skema perseroan dengan stakeholders lokal Pelaksanaan kerjasama kemitraan menganut nilai-nilai keterbukaan, kebersamaan, kesejahteraan dan integritas.
43
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Keterlibatan Pemerintah Daerah setempat dengan SSS untuk membangun pabrik tiwul instan dapat dilihat pada gambar berikut. Pemerintah Daerah dan Investor lokal bersama SSS membentuk sebuah perseroan untuk pemberdayaan perekonomian masyarakat lokal dengan pembentukan PT. X (Blitar), sebagai contoh. Komposisi saham untuk PT. X tersebut pada awainya adalah 51 % dimiliki SSS, 25-34 % dimiliki oleh Pemda, serta 24-15 % saham dimiliki oleh Investor lokal. Namun komposisi saham tersebut dapat terus berubah sesuai dengan perkembangan perseroan tersebut. Sedangkan posisi Bogasari akan terus terlibat untuk memberikan konsultasi manajemen, bantuan mesin produksi, formula dan control mutu, perwujudan license untuk produk tiwul instan. Model kemitraan usaha yang dapat dikembangkan perseroan dengan para petani ubi kayu dapat ditempuh dengan tiga cara (lihat Gambar 9). ► Model pertama (Gambar 9a) adalah melibatkan Keluarga Petani Plasma Produsen Sawut (chip kering) untuk menghasilkan bahan baku berbentuk chip kering ubi kayu. Keluarga PPPS merupakan kelompok yang berperan untuk mengkoordinasi bahan baku dari petani dan kemudian menghasilkan sawut atau chip kering ubi kayu. ►
Model kedua (Gambar 9b) adalah melibatkan kelompok para petani tanaman ubi kayu untuk mengkoordinir keluarga petani singkong menghasilkan sawut ubi kayu. Kelompok ini diberi nama, sebagai contoh, Kelompok Petani Plasma Produsen Sawut (kelompok P3S). Kelompok ini dapat berbentuk kelanjutan dari model pertama yang mengkoordinasi keluarga-keluarga PPPS, atau mendapatkan sawut ubi kayu secara independen dari petani singkong.
► Model ketiga (Gambar 9c) adalah pembentukan Kelompok Petani Inti Produsen Tepung Kasava (kelompok PIPTK) yang membuka peluang untuk usaha penepungan sawut ubi kayu. Kelompok PIPTK berperan dalam menghasilkan tepung singkong dari sawut kering yang dihasilkan oleh sebagai contoh, Keluarga Petani Plasma Produsen sawut (KPPPS). Tepung singkong yang dihasilkan kemudian dipasok pada SSS sebagai bahan baku memproduksi tiwul instan. Pemasokan bahan baku pada SSS dapat juga masih berupa sawut ubi kayu, namun semua harus sesuai dengan standard dan kriteria mutu yang telah ditentukan untuk menjaga keamanan dan mutu produk pangan yang dihasilkan.
44
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Gambar 9. Tiga jenis model kemitraan perseroan dengan petani singkong
45
*
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Proses Pembuatan Tiwul Instan Proses pembuatan tiwul instan,secara singkat dapat dipaparkan sebagai berikut ini; dengan formula dan komposisi yang telah ditetapkan yang bahan-bahannya adalah: tepung singkong, tepung jagung, tepung terigu, vitamin, mineral dan air, maka dilakukan pengadukan (mixing), selesai proses mixing “bahan adukan” yang adalah tiwul mentah, kemudian dikukus sampai tanak. Dari pengukusan (steaming) dilakukan pengeringan (drying). Selepas pengeringan, langkah selanjutnya dilakukan penghancuran, diayak, siap dikemas sebagai proses terakhir (lihat Gambar 10).
Gambar 10. Proses pembuatan tiwul instan Pembuatan tepung singkong (tepung kasava) merupakan proses tersendiri dan dapat dilakukan oleh kelompok petani sebagai pemasok bahan baku dasar. Untuk memperoleh kualitas tepung singkong agar sesuai dengan kualifikasi yang ditentukan, maka pasokan singkong mensyaratkan singkong segar dengan jenis singkong konsumsi (Aldira I, Aldira II, Malang I, Malang II, Valenca, Gading dan Darul Hidayah) yang tidak lebih 3 (tiga) hari dari saat dipanen. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari singkong menjadi poyo.
46
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Pembuatan tepung singkong dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama (lihat Gambar 11 a) diawali dengan pencucian singkong segar, untuk membersihkan tanah dan kotoran yang menempel. Singkong yang telah dibersihkan kemudian dikupas dan direndam selama kurang lebih 15 menit, kemudian dilanjutkan dengan pencucian ulang sebanyak tiga kali. Setelah pembilasan, singkong diparut atau dirajang untuk menghasilkan sawut basah. Sawut basah tersebut ditiriskan untuk menghilangkan sisa air berlebih sebelum dikeringkan, untuk menghasilkan sawut kering. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan solar cell, rotary dryer atau oven hingga mencapai batas kadar air minimum yang telah ditentukan oleh perseroan. Sawut kering yang dihasilkan kemudian digiling dan disaring sehingga menghasilkan tepung singkong dengan ukuran yang relatif seragam. Pembuatan tepung singkong dengan cara kedua menyerupai cara pertama (lihat Gambar 11 b), namun dengan penambahan proses pemerasan dan penyaringan sebagai usaha awai untuk menghilangkan air. Proses pembuatan tepung sama seperti cara pertama dimulai dari pencucian hingga perajangan singkong untuk menghasilkan sawut basah. Setelah dihasilkan sawut basah, sawut tersebut diperas dan disaring untuk memisahkan air dari ampasnya. Ampas yang terkumpul disimpan karena merupakan bagian yang diinginkan. Cairan hasil pemerasan dibiarkan terlebih dahulu untuk memisahkan bagian yang mengendap (pati) dari air. Pati yang mengendap ditahan untuk kemudian dicampur kembali dengan ampas singkong yang telah terurai terlebih dahulu. Campuran pati dan ampas (serat) kemudian mengalami proses pengeringan seperti pada cara pertama , yaitu dengan bantuan sinar matahari, rotary dryer ataupun oven. Setelah mencapai batas kadar air maksimum, kemudian digiling dan disaring untuk menghasilkan tepung singkong. Tepung singkong yang dihasilkan oleh kedua cara dikemas dalam kemasan plastik yang rapat dan dapat disimpan hingga lebih dari enam bulan.
47
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Gambar 11. (a) Model I dan (b) Model II proses pembuatan tepung kasava
48
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
III. Aplikasi Tiwul instan menjawab Mega trend pangan Mega Trend pangan Mega trend pangan yang sedang berlangsung dipasar meliputi tiga aspek penting yang telah menjadi tuntutan konsumen pada saat ini. ► Aspek pertama adalah optimalisasi waktu yang semakin terbatas dimiliki konsumen, sehingga convenience dan kepraktisan produk menjadi salah satu penilaian yang penting bagi konsumen. Unsur waktu yang terbatas pada konsumen adalah akibat pengaruh : peningkatan waktu jam kerja, struktur budaya rumah tangga yang berubah dimana wanita bekerja sehingga waktu terbatas untuk memasak, belanja, belajar masak mengenal bumbu, menu dll. Dan sering kali konsumen memilih Makanan Siap Saji dan atau sering makan diluar. ► Aspek kedua adalah kandungan gizi dan dampak konsumsi produk terhadap konsumen. Akibat peningkatan pendidikan dan ketersediaan informasi bagi konsumen, maka tuntutan nilai kesehatan (healthy) pada sebuah produk pangan telah menjadi prioritas. Konsumen telah mengenal “Kesadaran Makan Sehat dan atau Makan sebagai Obat Kesehatan" sebagai akibat pengaruh dari berbagai faktor seperti peningkatan pengetahuan & pendidikan, dan perkembangan teknologi informatif sehingga prioritas dalam preferensi konsumen adalah menjaga kesehatan (preventif) melalui pangan jauh lebih murah ketimbang melakukan pengobatan (kuratif). ► Aspek ketiga adalah nilai indulgence konsumen yang memerlukan perhatian, dimana istilah “Konsumen tidak akan membeli makanan yang tidak disukai atau kurang menarik, sekalipun menyehatkan”. Memenuhi indulgence konsumen menjadi begitu penting sehingga produk pangan (tiwul Instan) harus jelas target positioningnya sehingga menyenangkan untuk dikonsumsi sebagai sarapan, camilan dan seterusnya; serta memiliki sifat eksotis yang memperlihatkan nilai etnik asal-usul produk. Tiwul instan merupakan makanan warisan budaya dengan nilai gizi yang tinggi yang dapat menjawab mega trend pangan. Tiwul instan memenuhi tuntutan convenience konsumen sebagai makanan instan cepat saji, praktis dan ekonomis, serta merupakan makanan sehat dan bergizi tinggi, diolah secara hygienis lewat pabrikan memenuhi tuntutan mutu pangan, serta merupakan makanan khas yang eksotis dengan rasa memenuhi selera.
49
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Karakteristik Tiwul instan Tiwul instan merupakan makanan pokok tradisional dari jawa yang telah mengalami kemajuan dalam pengembangan formulasi bahan-bahan dasar dan teknologi pengolahannya. Sehingga tiwul instan memiliki berbagai perbedaan dan keunggulan jika dibandingkan dengan tiwul tradisional. Tiwul tradisional pada umumnya dibuat hanya menggunakan gaplek singkong, sedangkan tiwul instan terbuat dari formulasi campuran tepung singkong, tepung jagung, terigu, dan difortifikasi dengan berbagai vitamin (A, B6, B12, asam folat) dan mineral (besi, seng, yodium). Teknik pembuatan tiwul tradisional hanya melibatkan teknologi sederhana yaitu penumbukan gaplek menjadi tepung kemudian dikukus dan siap disajikan sebagai tiwul untuk konsumsi pengganti nasi atau camilan. Sedangkan tiwul instan melibatkan proses yang lebih rumit dengan formulasi tepung singkong, tepung jagung, dan terigu untuk kemudian dikukus dan dilanjutkan dengan pengeringan. Setelah kering, dilakukan penumbukan dan penyaringan untuk ukuran yang lebih seragam lalu dikemas. Untuk penyajian tiwul instan diperlukan pengukusan selama 15-20 menit untuk produk tiwul tawar, atau diseduh dengan air mendidih selama 3-5 menit untuk produk tiwul berbumbu. Karakteristik produk tiwul tradisional adalah basah dengan penampilan kurang menarik yang mempunyai usia simpan sangat pendek (24 jam) untuk langsung disantap, serta variasi produk terbatas. Namun pengembangan karakteristik pada produk tiwul instan memungkinkan produk kering dengan penampilan lebih menarik dengan usia simpan yang lebih lama (hingga satu tahun). Variasi produk terus berkembang dan terbuka untuk dijadikan bahan aneka makanan olahan dengan berbagai resep, namun yang lebih penting adalah perbaikan kandungan gizi sehingga terdapat penjngkatan kandungan protein, vitamin dan mineral, serta dapat dijadikan cadangan makanan dengan usia simpan yang lama. Perbandingan nilai gizi tiwul instan dengan tiwul tradisional, bahkan dengan nasi putih, (lihat Tabel 8). Kandungan gizi produk tiwul instan secara keseluruhan melebihi tiwul tradisional dan nasi putih. Dimana pengembangan pada proses pengolahan dan formulasi bahan dasar, serta fortifikasi memungkinkan perbandingan mutu produk pangan tradisional.
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Tabel 8. Perbandingan nilai gizi Tiwul Instan, Tiwaul Tradisional dan Nasi Putih
PERBANDINGAN NILAI GIZI TIWUL INSTAN, TIWUL TRADISIONAL DAN NASI PUTIH KANDUNGAN GIZI PER 100 Gr
TIWUL INSTAN
TIWUL TRADISIONAL
NASI PUTIH
K. Abu (g)
Max. 4
Max. 3
Max. 3
Protein (g)
5
1,5
2,1
Lemak (g)
1,4-5
0,7
0,1
Karbohidrat (g)
76,4 - 80
80
65-70
Gula (g)
7-13
-
Serat Makanan (g)
4,6
1-2
<1
Vitamin A (l/i)
1.300
-
-
Vitamin B6 (mg)
0,8
-
-
Vitamin B 12 (mcg)
0,5
-
-
Asam Folat (mcg)
100
-
-
1,9
0,5
Besi (mg)
20
Seng (mg)
7
-
-
lodium (mcg)
20
-
-
Sumber: Uji lab. PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Div. Bogasari flour mills Berbagai jenis produk tiwul instan beserta karakteristik masingmasing produk yang telah dikembangkan dan dipasarkan oleh SSS (lihat Tabel 9). Beberapa keunggulan dari produk Saritiwul, dan Dewi Ratih adalah sebagai tepung tiwul dapat digunakan untuk resep makanan lain seperti arem-arem, nagasari tiwul, cake tiwul sukade, nastar tiwul, perkedel tiwul, kroket tiwul isi daging, bolu tiwul lapis vla coklat dan sebagainya.
51
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Tabel 9. Aneka Produk Tiwul Instan produksi PT. SSS
Aneka Produk Tiwul Instan Persembahan PT SSS
Demikianlah, kiranya pendirian industri tiwul instan merupakan langkah yang baik dan strategis untuk meningkatkan kembali citra produk tiwul tradisional yang selama ini dipandang sebagai produk inferior dan menjadi makanan darurat atau kelompok marjinal, bisa menjadi makanan olahan yang bermutu, bergizi, sehat dan dapat dipandang sebagai produk bergengsi. Hal mana, guna memberi gambaran bahwa penganekaragaman pangan alternatif terhadap beras dapat terus dikembangkan dan mempunyai prospek yang sangat nyata. Berserta konsep kerjasama kemitraannya dan rasa rasa tanggung jawab sosial terhadap masyarakat lokal, perwujudan ketahanan pangan dan ekonomi bangsa menjadi semakin dekat untuk dicapai. Semoga demikian, langkah mewujudkan impian ini menjadi langkah bersama setiap insan warga masyarakat bangsa Indonesia, yang berkesadaran menghargai karya bangsa sendiri, peduli terhadap pengembangan tanaman pangan sumber bahan local dan ingin mandiri dalam pangan.
52
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Daftar Pustaka Anonim, 2001. Pangan, Kearifan Lokal & Keanekaragaman Hayati. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas (CPRC), Yogyakarta. Anonim, 2002. Prospek dan Peluang Agribisnis Ubi Kayu. Dit. Jen. Bina Produksi Tanaman Pangan, Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Departemen Pertanian Rl, Jakarta. Koentjaraningrat, 1992. Kebudayaan,Mentalitas, dan Pembangunan. Gramedia, cetakan ke limabelas, Jakarta. Koentjaraningrat, 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan Cetakan ke - 19, Jakarta. Linlon, I., 1997. Kemitraan Meraih Keuntungan Bersama. Halirang Bisnis, Jakarta. Makalah-makalah Seminar Ketahanan Pangan. Majalah Indonesian Food & Beverage (F&B). GAPMMI, Jakarta dan Kliping Koran Sebrell, H. dan J. J. Haggerty, 1981. Makanan dan gizi, Pustaka llmu “Life”. Tira Pustaka, edisi Kedua, Jakarta. Suprapti, M. L, 2002. Teknologi Tepat Guna, Tepung Kasava, Pembuatan dan Pemanfaatannya. Kanisius cetakan Ke 5, Yogyakarta.
53
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
IV Rusnas Sebagai Akselerator Penganekaragaman Pangan Pokok Dr. Slamet Budijanto *
Latar Belakang Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas) sebagai salah satu instrumen kebijakan Kementerian Riset dan Teknologi merupakan upaya sistematis untuk meningkatkan komplementaritas antara kegiatan litbang dengan kegiatan produksi. Program Rusnas dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa dalam situasi persaingan global yang semakin terbuka, kemampuan inovasi dan difusi teknologi menjadi penentu perkembangan ekonomi suatu negara. Kemampuan inovasi tersebut sangat ditentukan oleh intensitas kegiatan riset dan pengembangan (R&D) baik oleh swasta maupun pemerintah. Dalam GBHN 1999 pembangunan pangan merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi, Sampai saat ini ketahanan pangan di Indonesia masih bertumpu pada beras. Di Indonesia, beras menyumbang 53% kebutuhan kalori dan 47% kebutuhan protein penduduk per hari. Peningkatan produksi beras sendiri tidak sepesat peningkatan jumlah penduduk yang mengakibatkan terjadinya peningkatan impor beras, dan pada akhirnya bermuara pada ketergantungan terhadap impor pangan. Usaha diversifikasi pertanian adalah usaha untuk menyediakan berbagai ragam produk pangan baik dalam jenis maupun bentuk, sehingga tersedia banyak pilihan bagi konsumen untuk menu makanan harian. Konsep diversifikasi pangan meliputi 3 hal, yaitu: Diversifikasi horizontal (usaha mengubah usaha tani yan berbasisi padi menjadi usaha tani berbasis tanaman pangan lainnya), diversifikasi vertikal (pengembangan produksi setelah panen) dan diversifikasi regional (penganekaragaman komoditi pangan bedasarkan pendekatan wilayah dan keragaman sosial budaya).
* Dr. Slamet Budijanto adalah Koordinator Komersialisasi Hasil Penelitian Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok, Pusat Studi Pangan dan Gizi, IPB; dan Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
55
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Diversifikasi pangan pokok ini diarahkan untuk peningkatan pemanfaata, pengembangan dan penguasaan berbagai Iptek terkait guna mewujudkan pola konsumsi pangan penduduk yang beragam dan bermutu dalam kerangka ketahananpangan dan ketahanan ekonom nasional. Karena itu, program Iptek penganekaragaman pangan harus mampu memunculkan pangan alternatif potensial yang 1) mampu berperan sebagai pengganti impor (import subsitute), 2) mampu berperan sebagai produk ekspo (export commoditiesi)\ dan 3) membangun kebiasaan pangan (food habit) masyarakat berbasiskan pada sumberdaya lokal yang unggul. Dengan kata lain Iptek penganekaragaman pangan ini dikembangkan dalam kerangka yang lebih luas dalam rangka menyediakan pilihan-pilihan bermutu untuk menu masyarakat dan sekaligus juga memberikan terobosan-terobosan dan peluang-peluang untuk memperkuat struktur ekonomi nasional.
Tujuan Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok Program Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok dimaksudkan untuk menggalang kemitraan dan kerjasama jangka panjang antara lembaga litbang, perguruan tinggi dan industri sehingga terbentuk jaringan kemampuan Iptek yang mengaitkan simpul-simpul produksi, pengembangan produk dan penguasaan teknologi. Sehingga mampu menciptakan keunggulan inovasi untuk mendorong keberhasilan diversifikasi pangan pokok yang sesuai dengan potensi setempat dan pada akhirnya berkontribusi dalam pengembangan wialayh lokal tersebut. Secara khusus tujuan Rusnas Diversifikasi terbagi menjadi empat bagian, sebagai berikut:
Pangan
1. Mengorientasikan kemampuan yang telah terakumulasi di lembaga penelitian dan perguruan tinggi dalam rangka penguasaan sejumlah teknologi kunci yang mendukung .diversifikasi pangan pokok. 2. Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan diversifikasi pangan/pertanian yang berpusat kepada sumber daya yang dimilikinya melalui suatu jaringan kerjasama sinergi antara perguruan tinggi, lembaga penelitian, industri pangan dan pemerintah daerah. 3. Meningkatkan kompetensi dan kemampuan inovasi dunia usaha dalam merumuskan strategi bisnisnya sesuai dengan arah diversifikasi pangan/pertanian.
56
Pokok
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
4.
Meningkatkan keterkaitan suatu komoditas pangan dengan sektor ekonomi yang lainnya melalui pembentukan klaster industri yang terkait.
Industrialisasi Diversifikasi Pangan Ranah riset untuk Industrialisasi Diversifikasi Pangan mempunyai arah dan tujuan untuk menghasilkan teknologi proses secara scale-up, serta prospek untuk pengembangan bisnis. Teknologi proses dan scaling-up yang berhasil dikembangkan dan kemudian diaplikasikan, kembali mempunyai kontribusi (dalam kemajuan teknis) terhadap lingkup Industrialisasi Diversifikasi Pangan tersebut. Di sisi lain, pengembangan bisnis yang juga merupakan kesatuan hasil dan tujuan ranah riset, menghasilkan strategi bisnis baru untuk pengembangan Industrialisasi Diversifikasi Pangan. Sehingga perkembangan Industrialisasi Diversifikasi Pangan di Indonesia merupakan sebuah siklus yang terus maju dan berkembang, menyesuaikan dengan perkembangan teknologi atau Tarikan Teknologi. Berbagai faktor yang menentukan Industrialisasi Diversifikasi Pangan adalah ketersediaan, mutu dan pasokan bahan baku; spesifikasi produk yang dihasilkan; serta lingkungan yang strategis untuk mewujudkan eksistensi dan perkembangannya. Sedangkan aspek penting yang berperan dan perlu mendapat perhatian adalah kondisi dan perkembangan pertanian dan pengolahan primer; nilai gizi dan kebiasaan makan masyarakat umum; serta kebijakan dan dukungan dari pemerintah untuk dapat mencipatakan dan memungkinkan perkembangan industrialisasi diversifikasi pangan secara nyata. Pengembangan bisnis dalam diversifikasi pangan dapat diawali dengan melibatkan dan keikutsertaan Usaha Kecil Menengah (UKM). Mengikutsertakan UKM mengandung beberapa keuntungan diantaranya adalah melakukan semacam pilot project pada kondisi bisnis nyata. Disamping itu, resilence UKM dinilai sangat tinggi yang dapat terlihat dengan bertahannya UKM pada masa krisis ekonomi Asia Tenggara 1997-1998. Melibatkan UKM juga membawa dampak yang sangat positif untuk memperluas lapangan kerja dan ikut bertanggung jawab atas memajukan kesejahteraan masyarakat. Langkah awal ini kemudian dilanjutkan dengan tahap scaling-up dan investasi. Keberhasilan UKM dalam bisnis diversifikasi pangan perlu dilanjutkan untuk skala nasional dan untuk mencapai tujuan ini, scaling up dirasa cara yang baik untuk secara bertahap mempersiapkan menumbuhkan industri diversifikasi pangan ini. Scaling up akan melibatkan investasi yang lebih besar serta keterlibatan stakeholders yang lebih banyak juga.
57
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Berbagai stakeholders yang kemudian terlibat dalam (pra) industri diversifikasi pangan ini perlu diidentifikasi untuk menetukan komponen bagian mana dalam klaster industri yang akan dibentuk. Identifikasi dan pembentukan klaster industri dimaksudkan untuk mengoptimalkan kerjasama dan pembentukan jaringan yang integral, serta memfungsikan semua komponen untuk dapat mewujudkan dan mengembangkan diversifikasi pangan di Indonesia. Peran Pemerintah Daerah dalam mewujudkan keanekaragaman pangan sangat penting mulai dari program daerah khusus yang membina UKM tumbuh dan berkembang, hingga perannya dalam klaster Industri Diversifikasi Pangan yang kelak terbentuk. Dengan memanfaatkan momentum otoritas regional, peran pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerah dan keanekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal mempunyai dampak yang sangat besar. Program penganekaragaman pangan
Program Riset Riset memiliki keterkaitan antar semua stakeholders yang erat dalam kerangka kerja dan tujuan yang jelas. Riset yang dikembangkan dalam penganekaragaman pangan memiliki tiga unsur penting yang terkandung dalam kerangka kerja. Ketiga unsur tersebut sangat berperan dalam memberi dampak dan memerlukan dukungan pada elemen masyarakat seperti Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, Pemerintah Pusat dan Daerah, Asosisasi, serta Partner Industri. Unsur pertama adalah pendidikan (edukasi) yang tertuju pada masyarakat luas. Unsur pendidikan memiliki arti yang sangat penting dimana edukasi yang baik menjadi platform dasar yang sangat menentukan keberhasilan program perkembangan penganekaragaman pangan di Indonesia. Edukasi tidak hanya terbatas pada konsumen, tetapi secara holistik memberi awareness pada semua elemen masyarakat akan pentingnya mengadopsi kemajuan dalam riset tersebut. Unsur kedua adalah serta out-reach (penjangkauan) untuk pemberdayaan masyarakat. Menjangkau masayarakat merupakan langkah yang penting untuk memungkinkan mengadopsi konsep penganekaragaman pangan. Kembali lagi, penjangkauan masyarakat tidak terbatas pada publik umum sebagai konsumen, tetapi secara luas melibatkan semua stakeholders yang dibutuhkan keterlibatannya, terutama Usaha Kecil Menengah (UKM) yang sangat kritis dalam perekonomian negara. Unsur ketiga yang sangat penting dalam riset ini kolaborasi dengan industri, dan kerjasama mutual sebagai partner.
adalah
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Industri merupakan aplikator nyata dengan dampak yang paling signifikan pada roda perekonomian dan kehidupan pepolasi sebuah bangsa. Riset yang kemudian ditransfer untuk industrialisasi membutuhkan komitmen yang erat dan standar nilai feasibility yang sama. Program riset Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok merupakan analisis situasi Produksi, Pemanfaatan dan Konsumsi Pangan non Beras serta bagaiaman Implikasinya pada Kebijakan Diversifikasi Pangan. Tiga Riset utama yang dilakukan adalah riset dalam kemajuan pengembangan teknologi proses produk tradisional; riset dalam pengembangan produk baru; serta riset dalam pengkajian kelebagaan dan kemitraan. Dua agenda riset pertama berimplikasi secara langsung menghasilkan sebuah prototype produk untuk diversifikasi pangan dengan sasaran aplikasi secara nyata pada pasar dan konsumen. Sedangkan Agenda riset ketiga adalah sebuah upaya untuk mewujudkan bentuk kerjasama sebuah sistem antar sektoral yang memungkinkan untuk Industri Pangan. Berbagai analisis yang dilakukan meliputi analisis kekuatan dan kelemahan program diversifikasi pangan; Trend produksi dan konsumsi (beserta produk turunannya) serta ketersediaan dan potensi produksi jagung, ubi kayu, dan ubi jalar; studi profil produk berbasis jagung, ubi kayu dan ubi jalar yang ada di masyarakat dan kemungkinan pengembangnnya. Disamping itu, analisis peluang pasar berdasarkan “Gap Analysis" antara permintaan dan penawaran; serta analisis kebutuhan riset operasional dan bantuan teknis juga dilaksanakan oleh program Rusnas. Lokasi yang telah ditentukan dan ditujukan untuk analisis-analisis tersebut meliputi wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.
Kasus 1: Pengembangan Bassang Bassang adalah makanan tradisional khas Sulawesi Selatan yang terbuat dari bahan baku jagung. Penelitian lapangan berupa survei yang dilakukan di Kota Madya Makassar dan Kabupaten Jeneponto (salah satu daerah penghasil jagung terbesar di Sulawesi Sulatan) untuk mendapatkan data-data tentang bahan baku bassang (jagung putih); preferensi konsumen terhadap produk bassang dan teknologi/metode yang digunakan untuk produksi bassang tersebut. Produk tradisional bassang memiliki beberapa kelebihan yaitu bahan baku yang cuup tersedia, memiliki nilai gizi yang baik sebagai sumber karbohidrat, serta murah dan dapat disajikan sebagai sarapan. Namun produk bassang juga memiliki beberapa masalah seperti waktu penyiapan yang lama yaitu sekitar 8 hingga 18 jam, penyajian yang
59
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
kurang menarik, proses produksi yang kurang saniter, serta terkesan sebagai makanan “daeng (tukang) becak”. Tahapan proses yang dilakukan dalam pembuatan bassang meliputi: perendaman (8-13 jam), pemasakan (4-9 jam), pemberian bahan tambahan, pemasakan sampai kental (+ 1 jam) dan pendinginan untuk penyajian. Waktu total yang diperlukan untuk pengolahan bassang relatif lama yakni mencapai 23 jam. Bahan tambahan yang digunakan dalam pebuatan bassang meliputi: santan, garam, gula dan tepung terigu. Secara umum para produsen mengemukakan pandangan tentang kendala utama dalam pengolahan bassang adalah: sulit dipasarkan karena masa simpan yang singkat, pengolahan yang terlalu lama akibat perendaman dan pemasakan jagung yang lama. Riset yang telah dilakukan atas kerjasama Rusnas Diversifikasi Pangan-Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) dengan Universitas Hasanuddin, Makassar, menghasilkan sebuah inovasi produk bassang instan. Riset laboratorium dilakukan untuk mendapatkan bahan baku bassang yang praktis dalam penyiapannya menjadi bassang dan terakhir dicoba memperbesar skala proses dan mencari industri yang cocok untuk memproduksi hasil penelitian laboratorium. Hasil riset ini adalah menghasilkan bassang siap masak yang praktis dapat diwujudkan dalam bentuk jagung sosoh instan dengan tambahan pasta santan dalam penyiapannya menjadikan bassang instan siap disajikan dalam waktu 30 menit. Pengembangan produk bassang instan dapat dilakukan dengan pembentukan matriks kerja terlebih dahulu seperti pada Gambar 12. di bawah ini.
Teknologi dan produksi Sosialisasi Infrastruktur (keterkaitan hulu-hilir)
Rusnas (unhas) Pengembang bantuan teknis Riset dasar, penyedia dan konsep Konsep
UKM
Pemda
Produsen
Fasilitasi (pilot project)
Pelaksana bisnis
Kampanye
Pelaksana bisnis
Penyedia.
Gambar 12. Contoh matriks kerja produk Bassang Sebagai contoh: Industri kecil jagung marning (langkoseng) sebagai UKM memiliki peralatan dan teknologi yang dapat diarahkan
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
untuk memproduksi bahan baku bassang yang praktis. Dengan penambahan masin penyosoh dan alat pengering buatan, industri ini dapat memproduksi jagung sosoh instan sebagai bahan baku bassang.
Kasus 2: Produk berbasis Tepung Ubi Jalar Pemanfaatan komoditas ubi jalar sebagai pangan pokok non beras sebenarnya bukan hal yang baru. Sayangnya komoditas ini menjadi tergeser oleh beras, mengingat kebijakan pangan yang selama ini sangat bias terhadap beras. Selain itu, produk pangan pokok berbasis ubi jalar menjadi tidak menarik dan pada akhirnya terjadi disinsetif dalam pengembangannya. Selain itu produk-produk ini pada umumnya cukup sulit untuk dikelola dengan paradigma industri. Padahal pengadaan bahan baku untuk industri pangan berbasis ubijalar juga tidak sulit asalkan dibudidayakan secara intensif. Keistimewaan ubi jalar dalam hal kandungan gizi terletak kandungan beta-karoten yang cukup tinggi dibanding dengan tanaman pangan lainnya. Kandungan beta-karoten pada ubi jalar daging merah dapat mencapai 7,100 IU, namun untuk jenis berwarna kuning atau putih memiliki kandungan beta karoten yang rendah.
pada jenis jenis yang lebih
Pengolahan ubi jalar di Indonesia sangat terbatas dan sederhana, seperti direbus, dipanggang, digoreng dan dibuat menjadi makanan tradisional lainnya. Dimana semua memilikii kesamaan masalah, yaitu infleksibilitas dengan umur simpan yang sangat pendek. Pengolahan ubi jalar yang memungkinkan penyimpanan lebih lama dan fleksibilitas tinggi, dalam konteks aplikasi pembuatan produk bersnekaragam, adalah dengan teknologi penepungan dan pembuatan tepung ubi jalar. Tepung ubi jalar yang dapat dihasilkan dapat beranekaragam, misalkan tepung ubi jalar mentah, tepung ubi jalar pra-masak hingga pati ubi jalar (seperti tepung tapioka-pati ubi kayu). Matriks kerja yang dapat dirancang untuk pengembangan bisnis diversifikasi pangan pokok berbahan baku ubi jalar mellibatkan semua komponen yang berperan dalam berbagai aspek, mulai benih dan budidaya hingga aplikasi tepung yang dapat dihasilkan. Sehinga sebuah rancangan bentuk matriks kerja yang memungkinkan semua komponen tadi erat berkaitan dapat dilihat seperti bagan berikut:
61
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Rusnas Benih dan Budidaya Tepung
Aplikasi Tepung
Penyedia teknologi, Bantuan teknis Pengembang dan penyedia Teknologi Asistensi Teknologi dan Riset Dasar Pendukung
UKM
Flour Applicator
Pemda
Penampung Ubi Jalar
-
Fasilitasi (lahan, pembiayaan)
Produksi Massal Asistensi teknologi
Penampung tepung Ubi Jalar Pengembangan Formulasi, Strategi Pemasaran
Fasilitasi (pilot project) Sosialisasi, Kampanye dll.
Gambar 13. Matriks kerja untuk produk berbasis Ubi Jalar Beberapa contoh aplikasi yang dapat dikembangkan dari sekian banyak kemungkinan adalah pembuatan Sweet Potato Flake (SPF) atau kepingan ubi jalar. SPF dirancang sebagai bentuk alternatif sarapan berbasis ubi jalar, sehingga dapat mengurangi konsumsi beras/nasi. Produk prototype ini berhasil dikembangkan dengan kandungan protein dan lemak yang setara dengan makanan sarapan yang telah tersedia secara komersil. Namun SPF memiliki keunggulan kaya serat (dietary fibre), beta karoten dan prebiotik. Sebuah exit policy (kebijakan jalan keluar) untuk prototype Sweet Potato Flakes diawali dengan tahap Inisiasi Komersialisasi. Tahap Inisiasi Komersialisasi berisi berbagai hal diantaranya desain kemasan, perizinan dan regiterasi produk, percobaan produk dan scale up, serta aplikasi sampel ke agen/distributor dengan target pasar modern dan tradisional. Tahap ini telah menghasilkan produk SPF untuk pasar modern dalam kemasan aluminium foil dan karton dengan nama SPF sebagai alternatif sarapan pagi. Sedangkan untuk segmentasi pasar tradisional kemasan berupa plastik dengan ketebalan 0.8 mm dengan label bertuliskan “Emping Ubijalar1’.
Aplikasi Diversifikasi Pangan Pokok Diversifikasi pangan pokok juga menghasilkan berbagai contoh produk lain yang memanfaatkan bahan baku lokal di luar beras. Di samping produk Bassang Instan dan Sweet Potato Flake yang telah diuraikan di atas, Produk lain termasuk berbahan baku Ubi Kayu dan Nasi Jagung Instan, serta Tiwul Instan. Produk hasil riset Rusnas Diversifikasi Pangan yang memanfaatkan bahan baku Ubi Kayu terdapat dua jenis yang telah diberi nama Cassava Plus dan French Fries Singkong.
62
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Prototype produk ubi kayu instan yang berupa kepingan berbentuk lingkaran agak pipih (cassava chip) dan serpihan (cassava flakes) telah berhasil dibuat dengan menggunakan bahan utama ubi kayu segar ataupun tepung gaplek yang dicampur dengan tepung jagung pramasak, serta bahan lain yang tersedia secara lokal. Produk cassava flake dapat dikonsumsi sebagai snack atau sebagian dari sarapan pagi jika disajikan dengan penambahan air atau kaldu panas. Berdasarkan sifat-sifat sensorisnya, maka produk cassava flake maupun cassava chip masih baik dikonsumsi sekalipun telah disimpan hingga tiga bulan dalam kemasan aerobik dalam kantung plastik. Sedangkan French Fries Singkong merupakan prototype terbaru dimana produk berbentuk beku dan berbentuk batangan panjang seperti halnya French Fries kentang yang sudah umum dijumpai pada pasaran komersil. Prototype produk ini masih memerlukan optimalisasi dan pengembangan proses rekayasa untuk menghasilkan produk yang dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Perencanaan untuk pengembangan ke depan akan meliputi proses scaling up dan strategi bisnis guna dapat melepaslandaskan produk tersebut ke pasaran umum. Prototype produk yang berbahan baku jagung adalah Beras Jagung Instant sebagai altenatif pangan pokok komersial di daerah yang memiliki potensi produksi jagung. Riset yang telah dilakukan pada produk protoype ini telah mencakup aspek produksi jagung yang cukup komprehensif dengan kerjasama PSPG-IPB dan Fakultas Teknologi Pertanian UGM dalam rangka perbaikan proses pengolahan Beras Jagung Instan dan perencanaan pendirian industri jagung di Kabupaten Kebumen. Sedangkan produk prototype berbahan baku jagung lainnya yang masih perlu mendapatkan pengembangan dan perbaikan adalah produk mie dengan bahan dasar tepung jagung. Mie Jagung masih memerlukan pengembangan dan optimalisasi dalam bidang rekayasa proses, serta memerlukan tahapan scaling up untuk kemudian menjadi industri tersendiri.
63
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Butir-Butir Diskusi Beberapa butir diskusi yang perlu dipikirkan dan dipertimbangkan bersama meliputi adalah sebagai berikut: 1. Ketersediaan bahan baku secara kontinyu sesuai dengan spesifikasi industri pengolah mencakup pemikiran: a. Penyediaan benih dan praktek budidaya di masyarakat b. Penanganan primer di lapang c.
Pembiayaan usaha tani dan perdagangan komoditi
2. Sistem pembinaan unit pengolahan yang mampu bersaing dalam arti secara teknis, manajerial dan finansial. 3. Pola promosi yang sehat demi terlaksananya diversifikasi pangan berbasis sumberdaya yang dimiliki. 4. Orientasi perdagangan dan keuntungan jangka pendek memerlukan penguatan visi industriawan 5. Koordinasi yang masih lemah antar sektor dan masih mengedepankan pendekatan proyek.
64
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
V Peluang dan Tantangan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Lokal di Sulawesi Selatan_________________________ Prof. Dr. Ir. Badron Zakariah, M.Sc 1 dan Dr. Ir. Abu Bakar Tawali2
Pendahuluan Pemikiran Penganekaragaman Pangan berbasis sumberdaya lokal pada awainya dimulai dengan landasan yang kuat. Pemerintah dan negara telah menaruh perhatian pada masalah pangan, terutama pada masalah Ketahanan Pangan Nasional. Sehingga pada GBHN 1999 - 2002 telah dinyatakan perlunya: “Mengembangkan Sistem Ketahanan Pangan berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan....” (Anonim, 2003) Di samping perhatian negara terhadap Ketahanan Pangan tertuang dalam GBHN, pemerintah RI telah menetapkan pada UU No. 7 tentang Pangan, pada tahun 1996, yang membahas bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan (Anonim, 2003). Ditambah pada undang-undang no. 22 tentang Otonomi Daerah, bahwa pemerintah daerah berperan pada otonomi dalam pengembangan ketahanan pangan. Tanggung jawab pangan dan pencapaian ketahanan pangan sudah lama menjadi tanggung jawab negara, dan dalam rangka pengembangan otonomi daerah, program-program perwujudan ketahanan pangan dimulai dengan peran serta yang aktif dan antisipatif dari tiap daerah lokal. Permasalahan pangan dan gizi yang sangat spesifik dan khas untuk masing-mas|ng daerah pada umumnya berisi masalah mutu pangan, masalah distribusi pangan serta ketergantungan pada beras. 1
2
Prof. Dr. Badron Zakariah adalah Ketua Lembaga Penelitian, Universitas Hasanuddin, Makassar Dr. Ir. Abu Bakar Tawali adalah Ketua Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar
65
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Permasalahan pangan lokal akan mengacu pada penyelesaian yang melibatkan pengembangan potensi pangan lokal, dimana Agroekosistem dan budaya akan berbeda antara satu daerah dengan yang lain. Aset yang dimiliki tiap daerah adalah potensi dalam Bahan baku, Makanan khas/tradisional daerah serta Teknologi indigenus yang khusus. Sehingga sudah saatnya membangun ketahanan pangan dilakukan melalui pendekatan spesifik dan unik untuk masing-masing wilayah, dan lepas dari paket kebijakan pusat guna memacu pertumbuhan dan perkembangan otonomi daerah.
Permasalahan Pangan dan Gizi Sulawesi Selatan Permasalahan yang berkaitan dengan pangan dan gizi di Sulawesi Selatan adalah ketergantungan pada beras yang tinggi, sehingga konsumsi jenis makanan kurang beragam, kurang berimbang dan pada akhirnya kurang bergizi. Masyarakat Sulawesi Selatan memenuhi 70,7 % kebutuhan energi karbohidrat berasal dari kelompok padi - padian. Sedangkan kelompok pangan sumber energi lainnya seperti kacang - kacangan, hewani, umbi - umbian , buah dan sayur kurang dikonsumsi (Nasiruddin, 2003) Pola kebiasaan makan untuk penduduk rata-rata Sulawesi Selatan terlihat pada tabel di bawah ini, menunjukkan bahwa kelompok pangan padi-padian merupakan kelompok pangan yang dikonsumsi melebihi nilai kecukupan gizi ideal. Sedangkan kelompok pangan kewani dan umbi-umbian adalah kelompok pangan yang kurang dikonsumsi, sehingga terjadi nilai negatif pada selisih dari nilai ideal kecukupan gizi (konsumsi kurang). Hasil pengamatan terhadap konsumsi rata-rata penduduk Sulawesi Selatan seperti yang terlihat pada tabel di atas menyimpulkan bahwa kelompok pangan yang memerlukan penurunan konsumsi (seperti besarnya dalam persentase) adalah padi-padian (4,6 %), minyak (1,4 %), dan gula (0,8 %). Sedangkan kelompok pangan yang perlu peningkatan dalam konsumsi masyarakat adalah pangan hewani (6,5 %), umbi-umbian (4,3 %), kacang- kacangan (3,2 %), buah/biji berminyak (2,4 %) serta sayur dan buah (2,0 %).
66
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Tabel 10. Kontribusi Konsumsi Energi Kelompok Pangan di Propinsi Sulawesi Selatan (Nasiruddin, 2003) No
Kelompok Pangan
Kekurangan
Rerata Sulawesi Selatan (%)
AKG Ideal
(%)
Kelebihan (+)
(-)
1.
Padi - padian
54,6
50,0
4,6
2.
Umbi - umbian
1,7
6,0
-4,3
3.
Pangan hewani
5,5
12,0
-6,5
4.
Minyak dan Lemak
11,4
10,0
1,4
5.
Buah/biji berminyak
0,6
3,0
-2,4
6.
Kacang - kacangan
1,8
5,0
-3,2
7.
Gula
5,8
5,0
0,8
8.
Sayur dan buah
4,0
6,0
-2,0
Potensi Pangan Lokal Sulawesi Selatan Wilayah Sulawesi Selatan memiliki potensi untuk memproduksi bahan baku pangan sumber karbohidrat selain beras seperti jagung, sagu, pisang dan umbi-umbian. Budidaya dan produksi bahan pangan tersebut telah berlangsung bergenerasi serta telah menjadi bagian dari budidaya masyarakat Sulawesi Selatan. Sehingga terbentuk berbagai jenis makanan khas indigenus yang memanfaatkan hasil pertanian, seperti pemanfaatan jagung menjadi makanan khas Sulawesi Selatan dengan nama Barobbo dan Bassang; juga makanan dari bahan baku pisang yang disebut Lakaanjoroe. Di samping pisang dan jagung, terdapat juga pemanfaatan sagu menjadi makanan siap makan disebut Kapurung; serta Sokko’lameaju yang diolah dari bahan baku umbiumbian. Sumber daya alam Sulawesi Selatan memungkinkan dan mendukung pertanian karbohidrat non-beras untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Sebagai contoh adalah tabel berikut yang memaparkan data pertanian beberapa contoh komoditas karbohidrat non beras.
67
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Tabel 11. Luas Lahan dan Produksi Komoditi Sumber Karbohidrat di Sulawesi Selatan (Anonim, 2002a) no
Komoditi
1 Jagung
Luas Panen
Realisasi Produksi
Produktivitas
191.593 (ha)
534.782 ton
2.79 Ton/Ha
2
Sagu
8.673 (ha)
38.249 ton
4.41 Ton/Ha
3
Ubi kayu
39.655 (ha)
474.298 ton
11.96 Ton/Ha
4
Ubi Jalar
9.585 (ha)
77.212 ton
8.06 Ton/Ha
5 Pisang
810.160 pohon
92.315 ton
20 kg/pohon
7 Sukun
58.147 pohon
1.735 ton
30 kg/pohon
8 Talas
tdk ada data
tdk ada data
tdk ada data
Peningkatan produksi komoditi di atas masih dapat dilakukan melalui perbaikan input produksi seperti sarana produksi dan teknik budidaya. Selain itu masih terbuka peluang besar usaha ekstensifikasi dengan memanfaatkan lahan kering atau lahan lain yang belum optimal penggunaannya. Untuk sumber protein, komoditi perikanan dan kelautan terutama ikan menjadi andalan utama. Produksi ikan pada wilayah ini mencapai rata-rata 306.115 ton/tahun. Selain dikonsumsi langsung sebesar ratarata 210.305 ton/tahun, juga diolah lebih lanjut menggunakan teknologi lokal seperti penggaraman/pengeringan (8.383 ton/tahun), pemindangan (3.230 ton/tahun), pengasapan (2.722 ton/tahun) serta fermentasi, terasi dan peda, (36 ton/tahun) (Anonim, 2002b). Di samping sumber daya alam yang berpotensi yang dapat berguna untuk memajukan penganekaragaman pangan, sumber daya manusia dan kekayaan budaya setempat juga menjadi aset yang potensial. Sulawesi Selatan merupakan rumah bagi empat jenis etnis yang terdiri dari suku Bugis, Mandar dan Toraja. Masing-masing suku memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai dan hanya dapat ditemukan di Sulawesi Selatan. Salah satu unsur yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan budaya dan tradisi adalah kemampuan alam memproduksi kebutuhan penduduknya, termasuk jenis pertanian dan hasil komoditas pertanian. Sehingga berkembang makanan-makanan tradisional yang telah memanfaatkan bahan baku selain beras, seperti jenis-jenis makanan yang tercantum di bawah ini.
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Tabel 11. Makanan Tradisional Berbahan Baku Lokal yang Potensial (Tawali, 2000) Komoditi Beras Jagung Sagu
Makanan pokok/lauk Legese, leppe-lepe, piong, lemmang Barobbo , bassang Kapurung, sinole, dange
Pisang
Loka anjoroe
Umbiumbian
Sokko’lameaju
Ikan
Bajabu, bale tunu, bale tapa, bolu kambu, piong bale, lawa, pallu-cella, -kaloa, mara, acar ikan
kudapan Baruasa langkoseng bagea pisang epek, pisang ijo, barongko dll bandang-bandang/ mallojo, kuballa, poteng
Seiring dengan perkembangan budaya suku etnis Sulawesi Selatan, teknologi tradisional yang khas ikut berkembang dan merupakan potensi untuk dimanfaatkan dalam penganekaragaman pangan. Teknologi tradisional yang didesain dalam sejarahnya untuk mengatasi kebutuhan pangan penduduk suku, sekarang merupakan aset dan potensi, bukan hanya warisan budaya. Karena teknologi tersebut bersifat khas dan indigenus, serta didesain khusus untuk mengolah dan menghasilkan makanan tradisional tersebut. Sebagai contoh dalam pengembangan teknologi tradisional adalah untuk menghasilkan Bassang. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin bersama Pusat Kajian Makanan Tradisonal IPB, telah mengembangkan teknologi tradisional untuk menghasilkan Bassang dalam waktu yang lebih singkat, waktu simpan yang lebih lama serta penampakan yang lebih baik (Abu Bakar Tawali, 2003). Dalam pengembangan teknologi, sangat jelas terlihat peran dan dampak penelitian begitu besar untuk akselerasi mekanisme teknologi tradisional.
Strategi Penganekaragaman Pangan Sulawesi Selatan Wilayah Sulawesi Selatan telah mengembangkan pertanian dan budaya makanan tradisional penduduknya selama bergenerasi untuk memungkinkan penganekaragaman pangan. Namun untuk mewujudkan keanekaragaman pangan berkelanjutan serta memenuhi ketahanan pangan adalah memperluas peran serta masyarakat dalam memproduksi pangan lokal baik untuk konsumsi maupun untuk tujuan komersial. Sehingga diharapkan tersedianya aneka ragam pangan lokal dan makanan khas daerah/makanan tradisional, dan tumbuhnya industri pengolahan pangan lokal. Dengan demikian, keanekaragaman dan diversifikasi akan terbentuk pada sektor produksi dan konsumsi, yang
69
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
saling dapat bertaut dan saling memenuhi. Sebagai hasil akhir dan utama yang diharapkan terwujud adalah ketahanan pangan nasional. Dalam pengembangan pangan permasalahan yang sering muncul dan penyelesaian.
lokal terdapat beberapa memerlukan perhatian serta
Masalah pertama adalah mutu bahan baku yang seringkali di bawah standar, atau jika bermutu baik seringkali tidak konsisten. Hal ini menjadi masalah yang cukup serius untuk pengembangan pangan atau produk lokal ke tahap industrialisasi. Masalah kedua adalah mutu produk olahan yang sering ditemukan bervariasi. Hal ini dikarenakan belum adanya standar yang baku serta pengaturan untuk produk olahan pangan lokal. Di samping itu, pada umumnya usaha yang bergerak memproduksi produk lokal tradisional adalah usaha kecil menengah (UKM) yang sangat terbatas atas akses terhadap informasi praktek produksi yang baik (GMP), pengendalian dan standar mutu, serta manajemen yang memungkinkan berkembang maju. Masalah ketiga adalah teknologi dan pengetahuan pengolahan yang masih bersifat tradisional. Pengetahuan pengolahan yang bersifat tradisional serta pemanfaatan teknologi yang masih rendah akan menghasilkan operational cost yang cukup tinggi, sehingga hasil usaha produk tradisional akan bersifat marjinal. Sebagai contoh adalah proses pembuatan Bassang yang membutuhkan waktu hingga 23 jam, di mana masalah ini masih terus berlangsung karena tidak adanya kemajuan dalam pengetahuan ataupun penggunaan teknologi proses. Masalah Keempat adalah cara penyajian yang kurang baik sehingga mengakibatkan ketertarikan konsumen menurun. Sisi organoleptik pada sebuah produk merupakan unsur yang sangat penting dan sangat menentukan keberhasilan produk tersebut untuk dikonsumsi. Masalah kelima adalah masalah yang umum dijumpai ketika berbicara tentang penganekaragaman pangan alternatif terhadap beras. Bahan pangan pokok karbohidrat selain beras telah dianggap sebagai makanan untuk kaum marjinal, sehingga ditinggalkan untuk mencapai derajat yang lebih tinggi, yaitu dengan mengkonsumsi beras. Hal ini yang menjadi imbas dari kebijakan nasionalisasi beras. Sehingga masalah kelima ini merupakan masalah yang sangat berat untuk diatasi karena telah tertanam sangat dalam pada pemikiran dan pola pandang masyarakat.
70
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Pengkajian Untuk Peningkatan Citra Pangan Lokal Masalah keempat dan kelima pada pengembangan pangan tradisional lokal sangat erat berkaitan. Persepsi masyarakat sebagai konsumen sangat dipengaruhi oleh masalah sebelumnya. Yaitu penampakan dan cara penyajian yang kurang baik, sehingga akan mengurangi minat mengkonsumsi pangan tradisional tersebut serta memberi kesan umum bahwa makanan tersebut tidak layak, atau dikonsumsi untuk kaum marjinal. Menyikapi masalah persepsi dan citra yang telah terbentuk mengenai pangan tradisional, sebuah penelitian untuk meningkatkan citra makanan tradisional akan sangat berguna. Penelitian dan pengkajian tersebut bertujuan untuk mengangkat citra dan meningkatkan daya tarik pangan tradisional lokal, terutama untuk sumber karbohidrat menjadi esensial untuk proses pengembangan pangan tradisional. Penelitian dan pengkajian yang dirancang diharapkan mempunyai fokus kajian pada beberapa aspek penting seperti berikut:
1.
Convenience (kemudahan), merupakan aspek yang sangat penting untuk meningkatkan daya tarik produk dan keterkaitan konsumen untuk menggunakan produk tersebut. Kemudahan dalam pengolahan dan penyajian produk dari bentuk baku menjadi siap makan dalam waktu singkat dan usaha yang sedikit merupakan salah satu permintaan konsumen terbesar dewasa ini, di mana permintaan untuk segala bentuk makanan instan terus meningkat.
2.
Cara Penyajian, cara penyajian menentukan selera konsumen. Cara penyajian ini selain aspek seni penyajian, juga satuan/porsi sajian. Pada kasus kapurung, yang lima tahun lalu masih sulit dijumpai, saat ini dengan cara penyajian dan porsi sajian yang variatif misalnya dengan memisahkan komponen pada penyajian dan mengurangi porsi sagu, daya tarik konsumen semakin meningkat dan saat ini kapurung yang berbahan baku sagu sudah dapat dijumpai di mana-mana.
3.
Pengemasan dan Kemasan, cara pengemasan dan bentuk kemasan yang didesain khusus sesuai dengan standar ekspektansi konsumen merupakan aspek yang penting guna menghilangkan kesan kurang higienis dan “asai jadi”, serta menjadikan makanan tradisional terlihat “lebih terhormat”. Salah satu contoh kuat di mana bentuk kemasan dan cara pengemasan yang baik membantu penjualan dan ketertarikan konsumen adalah di Jepang. Kemasan
71
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
yang didesain baik dan unik menjadi nilai jual tersendiri dan banyak diaplikasikan pada produk hasil pertanian lokal. 4.
Nutrisi dan Cita Rasa, adalah unsur utama sebuah produk dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Perkembangan pengetahuan masyarakat telah menuntut makanan yang lebih bergizi, serta perdagangan dan distribusi produk asing yang semakin luas juga telah membantu mengembangkan citarasa masyarakat lokal. Aspek ini perlu mendapat perhatian untuk pengembangan produk tradisional lokal dapat bersaing dengan produk lain.
Jejaring Kerjasama Pengembangan pangan tradisional di Sulawesi Selatan dapat diwujudkan dengan kerja sama yang baik antar berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Sebuah jejaring kerja sama dapat diawali dengan kerjasama antara Lembaga Penelitian dengan Pihak Donatur untuk merealisasikan penelitian yang komprehensif dan akurat menjawab masalah-masalah yang telah diutarakan diatas. Hasil penelitian kemudian ditindak lanjuti dengan dikembangkan ketahap kedua, yaitu proses scaling up guna mengkaji faktor real serta feasibilitas ekonomi maupun industri untuk produk nasional tersebut. Pada tahap ini diperkirakan pihak-pihak yang berperan besar untuk dilibatkan adalah Pemda, dan dalam hal ini Badan Ketahanan Pangan Daerah Sulawesi Selatan bekerjasama dengan UKM dan lembaga keuangan, dengan catatan tidak memutuskan keterlibatan lembaga penelitian dan donatur pada tahap pertama. Bentuk kerjasama tersebut dapat berkembang sesuai dengan kondisi produk dan penerimaan konsumen, untuk masuk ketahap berikutnya yaitu produksi secara komersial. Tahap ini akan melibatkan lebih banyak lagi stakeholders mulai dari pemasok bahan baku yang konsisten mutu dan jumlah, hingga distributor dengan jaringan distribusi produk yang handai. Usaha sosialisasi dan kampanye sudah tentu sangat penting peranannya sebagai strategi untuk mulai membuka kesadaran masyarakat akan pentingnya mendukung program konsumsi hasil produksi lokal untuk pembangunan ekonomi dan ketahanan pangan lokal. Sosialisasi atau kampanye mempunyai artian yang luas, mulai dari promosi komersial produk tradisional hasil jejaring kerjasama, hingga pesan-pesan pendidikan untuk meningkatkan status gizi masyarakat dengan menganekaragamkan konsumsi sehari-hari. Namun semua mempunyai tujuan yang jelas, yaitu mengupayakan berkembangnya produk tradisional atau lokal guna mewujudkan keanekaragaman pangan dalam usaha mencapai ketahanan pangan.
72
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Gambar 14. Bagan jejaring kerjasama Pengembagan Pangan Lokal di Sulawesi Selatan
Keberhasilan usaha sosialisasi dan kampanye dapat ditandai dengan terjadinya peningkatan produksi dan konsumsi pangan lokal. Di mana tolok ukur untuk keberhasilan tersebut dapat ditentukan sebagai contoh mulai dari peningkatan konsumsi pangan tradisonal atau lokal, peningkatan jumlah usaha bidang pangan tradisional atau lokal hingga penurunan permintaan pasokan beras dari luar Sulawesi Selatan. Dengan demikian diversifikasi pangan telah tercapai dan juga terbentuk diversifikasi dalam produksi dan konsumsi.
Penutup Keberadaan bahan baku lokal potensial di Sulawesi Selatan baik sebagai sumber karbohidrat seperti sagu, pisang, jagung maupun sumber protein seperti ikan serta teknologi lokal yang melahirkan berbagai produk makanan tradisional dan olahan lainnya menjadi modal
73
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
utama dalam mempercepat program diversifikasi pangan di daerah ini. Namun demikian pangan lokal menghadapi kendala dalam pengembangannya terutama karena mutu bahan baku, proses pengolahan yang membutuhkan waktu lama, penyajian dan penampilan yang kurang menarik dan kebanyakan memberi kesan sebagai makanan masyarakat kurang mampu. Perbaikan citra dan daya tarik pangan lokal sangat dibutuhkan untuk menarik minat masyarakat di dalam memproduksinya baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk tujuan komersial (industri pangan). Untuk itu selain kampanye atau penyebarluasan informasi mengenai keunggulan pangan lokal, dukungan penelitian dan penyebarluasan informasi serta kesediaan Pemda bersama UKM untuk men-scale-up hasil penelitian dan melakukan investasi sangat dibutuhkan agar tumbuh Usaha Kecil Menengah-Pangan berbasis potensi lokal yang tidak hanya menghasilkan beraneka ragam pangan tetapi juga membuka lapangan pekerjaan baru. Dengan sendirinya akan terjadi diversifikasi produksi dan konsumsi pangan di masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan ketahanan pangan masyarakat di daerah ini.
Daftar Pustaka Anonim, 2002a. Pembinaan Pengembangan Pangan Lokal Sumber Karbohidrat Alternatif Propinsi Sulawesi Selatan, BKPD propinsi Sulsel Anonim, 2002b. Laporan Tahunan Perikanan dan Kelautan, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2003 Anonim, 2003. Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan. Rencana Strategis dan Program Kerja Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan tahun 2002-2004 Nasiruddin Amiruddin, 2003. Pengalaman Pelaksanaan Penganekaragaman Pangan di Propinsi Sulawesi Selatan serta Kemungkinan Kerjasama Antar Propinsi, Pertemuan Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Pangan, Manado. Tawali, A. B., dkk., 2000. Laporan Penelitian Kajian Nilai Gizi, Perbaikan Formulasi dan Penyusunan Menu Seimbang Makanan Tradisional Asai Sulawesi Selatan, PKMT-Pusat Pangan Gizi dan Kesehatan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Tawali, A. B., dkk. 2003. Pengembangan Produk Bassang. Laporan Penelitian Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok.
74
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
VI Prospek sagu (Metroxylon sp.) dalam Penganekaragaman Pangan__________________ Dr. Saeri Sagiman *
Pendahuluan Kebutuhan pangan Indonesia sangat tinggi dan sangat tergantung terhadap beras. Menurut studi yang dilakukan oleh Husodo (2003), import beras Indonesia mencapai 2 juta ton per tahun. Sehingga Indonesia dapat dikategorikan sebagai konsumen beras (per kapita) terbesar di dunia. Hal ini dilihat dari konsumsi beras per kapita yang mencapai rata-rata 133 kg per tahun. Ketergantungan dan konsumsi beras yang mengakibatkan impor begitu besar juga disebabkan oleh konsumen yang pada awainya tidak mengkonsumsi beras melainkan jagung, ubi kayu, dan sagu bergeser untuk ikut mengkonsumsi beras. Kebutuhan beras yang begitu tinggi menyebabkan penyelundupan beras impor meningkat, dan pada tahun 2000 tercatat negara kehilangan pajak pendapatan sebesar Rp. 700 Milyar akibat penyelundupan tersebut (Daorueng, 2004). Disamping impor beras untuk mencukupi kebutuhan pangan Indonesia, impor jagung dan kedelai juga terjadi. Impor jagung untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik mencapai kurang lebih 1 juta ton per tahun, sedangkan impor kedelai mencapai 0.8 juta ton per tahun (Husodo, 2003). Kebutuhan impor yang begitu besar untuk memenuhi kebutuhan pangan disebabkan oleh jumlah populasi Indonesia yang besar, dengan pertumbuhan yang cukup pesat juga. Data perbandingan pertumbuhan penduduk Indonesia dengan kebutuhan impor komoditas pangan dapat dilihat pada tabel 12 & 13. berikut.
*
Dr. Saeri Sagiman adalah Pembantu Dekan I Fakultas Pertanian, Universitas Tanjung Pura, Pontianak.
75
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Tabel 12. Tabel laju penduduk Indonesia (Husodo, 2003) Jumlah Penduduk 40.000.000 60.000.000 95.000.000 180.000.000 210.000.000 400.000.000
Tahun 1900 1930 1960 1990 2000 2035
Tabel 13. Impor komoditas pangan tahun 2000 (Husodo, 2003) Jumlah Impor (ton) 3.576.665 1.236.764 550.514 1.277.685 1.262.040 111.284 1.680.275 174.702
Komoditas Gandum Jagung Beras Kedelai Bungkil Kedelai Kacang tanah Gula pasir Bawang Putih
Pada peringatan Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2002, FAO telah memberi sebuah gambaran mengenai kondisi kerawanan dan kebutuhan pangan di dunia. FAO menyatakan bahwa terdapat 815 juta penduduk di dunia mengalami kelaparan hebat, sedangkan 777 juta penduduk mengalami kelangkaan pangan. Sebanyak 55% dari 12 juta penduduk kategori anak-anak di dunia meninggal setiap tahun akiba kekurangan gizi. Data pada tahun 2003 menunjukan bahwa kebutuhan pangan masyarakat dunia mengalami peningkatan sebesar 60% dari tahun 2002. Fenomena yang terjadi mengindikasikan bahwa kehidupan masyarakat dunia sangat tergantung pada kelestarian pangan, terutama pada negara-negara berkembang.
Ketergantungan pangan Indonesia Ketergantungan pangan bangsa Indonesia terhadap beras dan gandum sudah mencapai tingkatan yang memprihatinkan. Nasution (2003) mencatat bahwa impor beras oleh Republik Indonesia pada tahun 2001 mencapi 1,35 juta ton yang setara nilainya dengan US$ 319 juta. Diperkirakan pada tahun 2005 mendatang, Indonesia akan mengimpor hingga 4,7 juta ton beras yang senilai US$ 940 juta, dan setara dengan konsumsi untuk 32 juta rakyat Repiblik Indonesia. Disamping beras, Indonesia juga mengimpor sekitar 4 juta ton Gandum dan dinyatakan sebagai importir gandum terbesar sedunia. Sebagai negara yang besar dan subur, Indonesia tidah harus tergantung pada
76
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
impor beras dan gandum, karena ha! tersebut menghidupkan roda perekonomian negara pemasok .
hanya
akan
Prioritas pembangunan untuk mengatasi masalah yang sedang kita hadapi dimulai dengan pembangunan ekonomi yang mengharuskan pada sektor riil dalam negeri, untuk dapat mengurangi 8 juta penganggur dan 49 juta penduduk miskin. Sedangkan potensi sumber daya di Indonesia sangat beranekaragam dan terdapat dalam jumlah yang melimpah. Sebagai contoh disamping beras, tanaman pangan penghasil karbohidrat yang mudah didapatkan adalah garut, ubi kayu, keladi dan sagu. Umbi-umbian tersebut dan tanaman pangan lainnya dapat dijadikan komoditas strategis dan perlu mendapat dukungan sehingga program swasembada pangan tidak hanya berorientasi pada beras dan gandum saja. Selebihnya, pengembangan sistem ketahanan pangan harus dapat menciptakan lapangan kerja dan kemandirian nasional.
Potensi Sagu Sagu (Metroxylon sp) berpotensi dijadikan sebagai tanaman pangan ataupun industri karena memiliki berbagai keuntungan. Ketersediaan lahan di Kalimantan Barat berpotensi untuk memproduksi sagu yang tinggi dengan dukungan llmu Pengetahuan dan Teknologi serta aplikasi Budaya mengkonsumsi Sagu. Potensi pasar untuk sagu juga demikian, dimana sagu dapat digunakan pada industri pangan dan minuman, serta industri non pangan. Sebagai contoh ialah potensi sagu dijadikan alkohol untuk komponen biodiesel di masa mendatang. Sagu memiliki berbagai kelebihan sebagai tanaman penghasil karbohidrat, hingga Ishizaki (1997) menyebutkan bahwa sagu dapat menjadi sebuah tanaman pangan karbohidrat yang penting di dunia. Sagu memiliki potensi untuk dijadikan tepung dengan produksi 25-30 ton per hektar, atau empat kali lebih tinggi dari padi. Sagu dapat tumbuh subur di daerah rawa dan tanah gambut masam yang merupakan kondisi sulit untuk ditanami dengan tanaman lain, dimana lahan seperti ini tersedia luas di Kalimantan. Tanaman sagu membentuk banyak anakan sehingga tidak memerlukan peremajaan dan sedikit mengalami gangguan hama penyakit. Bahkan larva kumbang sagu di Malaysia dijadikan santapan oleh petani dan memiliki harga yang tingi. Keunggulan sagu lainnya adalah banyaknya kegunaan, yaitu dapat dijadikan bahan untuk pangan dan non pangan. Sagu sebagai bahan baku untuk keperluan pangan sering dijadikan sagu mutiara, cendol, lempeng, mie, bihun kue, kerupuk roti,untuk industri MSG serta dapat dikonversi menjadi gula syrup. Sedangkan kegunaan sagu untuk
77
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
industri non-pangan meliputi aplikasi pada plastik biodegradable, lem industri, alkohol, asam sitrat serta dapat dijadikan pakan ternak.
Syarat Tumbuh Sagu (Louhenapessy, 1994) Kondisi lingkungan yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman sagu adalah kisaran suhu udara rata-rata 23-30°C dengan curah hujan 2000-4000 mm per tahun. Sedangkan kondisi tanah dapat terbagi menjadi dua jenis. Tanaman sagu dapat tumbuh di tanah mineral dengan ketentuan dataran rawa pasang surut; dataran banjir; cekungan dan lembah sungai. Jenis tanah lain yang dapat ditumbuhi sagu adalah tanah gambut meliputi wilayah dataran rawa pasang surut, sekungan dan lembah sungai. Tanaman sagu yang mempunyai kemampuan tumbuh di berbagai wilayah dan berbagai jenis tanah, dapat ditemukan tersebar luas di Indonesia. Walau asai usul sagu secara alami diperkirakan dari Indonesia bagian timur (Maluku dan Papua) serta Papua Nugini, namun perkembangan kebutuhan industri telah menuntut pembudidayaan sagu di beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 14. di bawah ini. Tabel 14. Data penyebaran sagu Asia Tenggara dan Pasifik Wilayah INDONESIA Papua Maluku Sulawesi Kalimantan Sumatera Total PAPUA NUGINI Propinsi Sepik Propinsi Gulf Propinsi lain Total THAILAND FILIPINA KEPULAUAN PASIFIK
Total Keseluruhan Sumber: Flach (1983)
Tumbuh Liar (Ha)
Budidaya (Ha)
1,000,000
14,000 10,000 10,000 20,000 60,000 114,000
500,000 400,000 100,000 1,000,000
5,000 5,000 10,000 20,000
980,000 20,000 -
5,000 5,000 10,000 187,000
-
2,000,000
78
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Budidaya Sagu I. Kalimantan Barat Pembudidayaan sagu di Kalimantan Barat dilakukan dengan sangat sederhana oleh para petani sagu. Tanaman sagu ditanam dari anakan (tunas) pohon sagu dengan jarak tanam 8x8 m dan kemudian dibiarkan tanpa dilakukan pemeliharaan oleh petani. Pembersihan daun yang dilakukan oleh petani hanya mengambil daun tua dengan tujuan sebagai bahan untuk atap rumbia. Setelah usia tanaman mencapai 8-11 tahun, tanaman sagu ditebang dan diolah untuk diekstrak tepungnya. Penebangan yang dilakukan tidak mengikuti sistem pemanenan yang sistematis dan lebih bersifat sesuai dengan permintaan. Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rotth) banyak diusahakan di Kalimantan Barat dengan total lahan pembudidayaan mencapai hingga 2,430 Hektar. Daerah utama pembudidayaan sagu dilakukan di Kubu, Sei Ambawang, Sambas, dan Sei Kakap). Pembudidayaan sagu di Kalimantan Barat masih sangat sederhana dengan produksi tepung basah mencapai 150-200 kg per pohon. Satu Hektar lahan sagu dapat menghasilkan 20 pohon per hektar sehingga produksi tepung sagu basah dapat mencapai 4 ton per hektar setiap tahun. Tepung sagu kasar (Lementaki) yang dihasilkan petani pada umumnya dijual ke PT. Bina sago Lestari di Pontianak untuk proses selanjutnya guna meningkatkan mutu dan menghasilkan tepung sagu bermutu tinggi. Tahun 2003, mencatat ekspor tepung sagu sebesar 1,780 ton ke Jepang. Secara skematis, proses pengolahan sagu terdiri dari beberapa tahapan seperti yang digambarkan pada diagram alir berikut.
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Gambar 15. Skema produksi tepung sagu
80
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
II. Serawak Pembudidayaan sagu di Serawak, Malaysia sudah lebih maju dengan luas lahan sebesar 19,720 hektar di Sibu (ann, Isa dan Mohayidin, 1998). Sagu telah menjadi penghasil devisa keempat terbesar setelah minyak kelapa sawit, lada dan kakao menghasilkan RM 23,15 Juta dalam ekspor pada tahun 1993. Para petani sagu di Serawak rata-rata memiliki lahan sagu seluas 5,03 hektar yang dapat menghasilkan 14 pohon sagu per hektar setiap tahun. Pola budidaya petani Serawak tidak jauh berbeda dengan petani di Kalimantan Barat, yaitu sangat sederhana tanpa pemberian pupuk dan perawatan khusus. Namun sebaliknya, 11 pabrik pengolah tepung sagu di Serawak menggunakan teknologi penepungan sagu paling efisien di dunia sehingga tiap pabrik dapat menghasilkan 200 hingga 600 ton sagu kering per bulan dengan kualitas yang tinggi. Kemajuan budidaya dan industri tepung Serawak yang maju juga memiliki beberapa kendala. Mesin penepung sagu yang sangat efisien meneybabkan kemampuan mesin melebihi pasokan batang sagu, sehingga banyak pabrik yang bekerja dibawah kapasitas dan efisiensi menurun. Hal ini juga menyebabkan pabrik-pabrik tradisional penghasil lementak (tepung sagu basah mutu rendah) mengalami kebangkrutan. Namun Serawak tetap menjadi eksportir sagu terbesar dengan volume ekspor mencapai 25,000 ton hingga 40,000 ton per tahun tepung sagu mutu tinggi. Negara tujuan ekspor diantaranya adalah Malaysia, Jepang, Taiwan, Singapura dan negara lain. Untuk masa mendatang, Serawak telah merencanakan perluasan budidaya sagu pada lokasi tanah gambut seluas 1,69 juta hektar. Disamping rencana perluasan lahan budidaya sagu, industri sagu di Malaysia juga terus berupaya mmperbaiki prospek sagu untuk masa datang. Upaya yang terus menerus dilakukan meliputi peningkatan hasil aci (tepung) sagu, batang pohon sagu dan benih tanaman sagu. Sehingga umur produksi sagu diusahakan dipersingkat menjadi 5 atau 6 tahun, dibanding 8-11 tahun untuk tanaman sagu biasa. Selain pihak riset dan penelitian, pihak pemerintahan pun memberi sumbangan untuk meningkatkan prospek industri sagu. Hal ini tercermin dengan mengeluarkan kebijakan izin pemanfaatan lahan gambut dengan biaya murah, guna menekan biaya produksi sagu.
Komoditas Prospektif Roadmap Penganekaragaman Pangan tujuan
Penganekaragaman pangan pokok di Indonesia mempunyai pencapaian ketahanan pangan secara berkelanjutan dengan
81
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
mengurangi ketergantungan pada satu jenis komoditi bahan pangan pokok untuk meningkatkan kondisi gizi bangsa. Sagu berpotensi menjadi salah satu komoditi yang prospektif sebagai sumber karbohidrat dengan pengolahan dasar berbentuk tepung untuk kemudian diolah lebih lanjut menjadi bahan siap masak, siap saji maupun siap santap. Makanan tradisional yang berbahan baku sagu atau mengandung sagu telah dikenal di masyarakat dengan nama lempeng, cendol, ongol-ongol, mie, bihun, roti sagu dan sebagainya. Pengembangan dan peningkatan pemanfaatan sagu sebagai bahan pangan pokok membutuhkan penelitian dalam berbagai aspek mulai dari pembudidayaan hingga penelitian dampak terhadap lingkungan dan pariwisata. Penelitian dibidang pertanian dapat meliputi penelitian budidaya untuk mencapai produksi optimal dengan waktu yang singkat. Untuk hal ini diperlukan pencarian benih yang akan menghasilkan pohon dengan umur singkat namun produksi yang tinggi. Selain itu, penelitian rekayasa alsin diperlukan untuk meningkatkan proses penepungan sagu yang efisien, serta alat pengolah tepung menjadi produk siap santap. Pengolahan tepung menjadi produk pangan dan minuman memungkinkan memproduksi mie, bihun, roti, biskuit, kerupuk, MSG, gula syrup, cendol dan produk lainnya yang berbahan baku sagu. Penelitian untuk pengembangan pemanfaatan sagu tidak harus berhenti pada penelitian dibidang pertanian atau pangan. Penelitian bidang non-pangan diperlukan untuk mengkaji pengelolaan limbah industri sagu menjadi produk yang lebih berguna, seperti media tumbuh jamur, pupuk organik dan sebagainya. Hasil samping industri sagu untuk konsumsi manusia juga perlu diteliti peranannya dalam menghasilkan pakan ternak, unggas, dan ikan sehingga dapat mengurangi impor terhadap pakan berbasis jagung. Sedangkan penelitian dibidang industri berat dapat menyentuk aspek kajian sintesis kimia organik dari sagu seperti produksi alkohol untuk bahan baku biodiesel. Dengan daya kreasi yang tinggi, penelitian juga dapat bergerak ke aspek sosial dimana pengembangan tanaman sagu tidak hanya membawa dan memperluas lapangan kerja, tetapi juga dapat memiliki nilai estetika yang baik untuk tujuan pariwisata.
82
Prosiding Seri Seminar Pemantapan Roadmap Penganekaragaman Pangan Indonesia
Daftar Pustaka Ann, C.T., A.H. Isa dan M.G. Mohayidin. 1998. Estimating the Environmental Benefits of sago Cultivation. Di dalam: Final Report for IRPA Project no. 51171: An Economic Study of Sagu Industry in Malaysia. Doelle, H.W. 2001. Biotechnology and Human Development in Developing Countries. Electronic Journal of Biotechnology. Ishizaki, A. 1997. Concluding Remarks for the 6th International Sago Symposium at Riau, Indonesia Sago Communication 8:22-25, Tsukuba Sago Fund, Japan. Louhenapessy, J.E. 1994. Evaluasi dan Klasifikasi Lahan bagi sagu. Disertasi Doktor pada Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Nasution, M. 2003. Membangun Ketahanan Pangan, Menciptakan Lapangan Kerja dan Kemadirian Nasional. Events, Magister Manajemen Agribisnis, Program Pasca Sarjana, IPB Bogor. Daorueng, P. 2002. Indonesia Rice Woes Pushing Economy to Food Crisis. World Food Summit-Five Years After, Rome 10-13 June 2002. Husodo, S.Y. 2003. Membangun Kemandirian di Bidang Pangan: Suatu Kebutuhan bagi Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel th. II, no. 6, Sepetember 2003. Http://www.ekonomirakyat.org
83
Program Bogasari Nugraha: Sebuah Model Peran Serta Swasta dalam Upaya
___________________________ Penganekaragaman Pangan Indonesia
VII Program Bogasari Nugraha: Suatu model peran serta swasta dalam upaya penganekaragaman pangan Indonesia___________________________ Purwiyatno Hariyadi Puspo Edi Giriwono
Salah satu pilar utama ketahanan pangan nasional adalah penganekaragaman pangan. Salah satu tujuan utama penganekaragaman pangan adalah tercapainya pola menu makan beragam, bergizi, berimbang. Proses penganekaragaman pangan dianggap berhasil jika terjadi (i) peningkatan investasi pada berbagai proses industrialisasi (budidaya, pengolahan, distribusi, dll) aneka ragam pangan berbasis potensi lokal, (ii) peningkatan keanekaragaman produksi bahan pangan, dan (iii) peningkatan keanekaragaman konsumsi pangan. Hal ini akan relatif mudah tercapai jika terjalin partisipasi masyarakat dalam upaya penganekaragaman pangan ini. Dalam rangka menggalang partisipasi masyarakat; khususnya masyarakat industri pangan, maka keberadaan program Bogasari Nugraha menjadi menarik untuk dikaji; terutama sebagai model peran serta swasta dalam menumbuh-kembangkan minat penelitian dan pengembangan dalam rangka menunjang penganekaragaman pangan.
Perjalanan Bogasari Nugraha Bogasari Nugraha telah dirintis semenjak 1998 dan telah berjalan selama 6 tahun hingga kini. Program Bogasari Nugraha dikembangkan oleh PT. ISM Bogasari Flour Mills, sebuah perusahaan penepungan raksasa di Indonesia dan dunia. Bogasari Nugraha merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan oleh PT. INDOFOOD SUKSES MAKMUR bogasari flour mills; berupa pemberian penghargaan kepada peneliti, dosen dan mahasiswa. Kegiatan ini telah dimulai tahun 1998. Sampai dengan tahun 2002, Bogasari Nugraha telah melibatkan ratusan peneliti, baik dari Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta; maupun peneliti dari Lembaga Penelitian non Perguruan Tinggi dari seluruh Indonesia. Awal permulaan Program Bogasari Nugraha adalah di tahun 1998 sebagai kerjasama dengan Kantor Menpangan & Hortikultura dan Institut Pertanian Bogor dengan program penganugerahan kepada hasil penelitian dalam 10 tahun sebelumnya yang berkaitan dengan gandum. Ruang lingkup penelitian tersebut meliputi (1) Budidaya gandum di Indonesia (2) Teknologi
85
Roadmap Penganekaragaman Pangan: konsep, realitas dan aplikasi
ekstraksi gandum (3) Aplikasi terigu; yang mencakup tepung komposit serta produk samping yang digunakan untuk industri pangan dan non pangan, termasuk pakan, serta (4) Aspek ekonomi, sosial dan budaya. Dalam perjalanannya, Bogasari Nugraha juga telah mengalami banyak perkembangan. Sampai saat sekarang ini, Bogasari Nugraha diberikan kepada peneliti dalam bidang yang diperluas, meliputi berbagai aspek di bidang penganekaragaman pangan berbasis tepung. Gambar 7.1. di bawah memperlihatkan perkembangan cakupan bidang penelitian yang dibiayai dengan program Bogasari Nugraha; dari hanya 4 bidang penelitian pada awai permulaan Program Bogasari Nugraha, hingga kini menjadi 10 bidang penelitian.
Gambar 7.1. Perkembangan jumlah bidang penelitian yang didukung oleh
Bogasari Nugraha Perkembangan jumlah bidang penelitian juga ditandai dengan perkembangan bidang kajian penelitian. Pada permulaan Program Bogasari Nugraha memberi dukungan pada bidang penelitian bertemakan gandum dan penelitian berfokus pada budidaya pertanian, dan pangan serta kajian dampak ekonomik dan sosial budaya. Namun dalam perkembangannya, Bogasari Nugraha telah mendukung perluasan topik dan subjek penelitian dalam jumlah bidang kajian dan komoditas untuk diteliti. Seperti yang terlihat pada Gambar 7.1. di atas, permulaan Bogasari Nugraha pada tahun 1998 hanya memberikan empat pilihan bidang penelitian yang dapat disponsori, yaitu bidang budidaya
86
Program Bogasari Nugraha: Sebuah Model Peran Serta Swasta dalam Upaya
___________________________ Penganekaragaman Pangan Indonesia pertanian, teknologi ekstraksi gandum, pemanfaatan tepung dari gandum, serta kajian ekonomi, sosial dan budaya yang berkaitan dengan gandum. Empat topik penelitian dalam program Bogasari Nugraha terus berlanjut hingga tahun 2001, dan kemudian mendapatkan tambahan bidang khusus yang memfokuskan penelitian dilakukan terhadap unsur engineering, disebut dengan bidang teknologi permesinan. Namun pada tahun 2002, jumlah bidang kajian pada program Bogasari Nugraha mengalami perkembangan yang sangat besar, yaitu mencapai 13 sub-bidang penelitian, dimana 6 sub-bidang penelitian tersebut terdapat di dalam cakupan teknologi permesinan. Pada tahun 2004, program Bogasari Nugraha sudah berorientasi terhadap perkembangan yang berkelanjutan, dimana tercermin dari kategori penelitian multi-tahunan. Penelitian yang didukung dan diinginkan oleh program Bogasari Nugraha adalah yang dapat menghasilkan sebuah bentuk aplikasi yang nyata dan mempunyai sejarah pengembangan yang jelas dan terarah. Sehingga hasil yang didapatkan bukan hanya merupakan kesimpulan namun dapat diwujudkan untuk kemudian diaplikasikan. Hal inilah yang ingin dicapai dengan bantuan matriks penelitian, mulai dari hulu (dari pengetahuan/penelitian dasar) hingga refinement dan siap untuk dilepas dan diaplikasikan pada kehidupan masyarakat (hilir). Seperti yang terlihat pada Gambar 7.2. di bawah ini.
*) Kecuali budidaya gandum
Gambar 7.2. Matriks perkembangan pegetahuan dan teknologi hasil riset
dalam konteks kemanfaatan aplikasinya.
87
Roadmap Penganekaragaman Pangan: konsep, realitas dan aplikasi
Perkembangan cakupan penelitian dalam program Bogasari Nugraha tidak hanya terletak pada jumlah bidang penelitian yang diperluas, namun terdapat juga perluasan terhadap komoditas subjek penelitian. Hingga tahun 2001, penelitian di berbagai bidang masih terkait dan erat dengan pemanfaatan gandum yang menjadi bahan baku utama PT. ISM Bogasari Flour Mills. Namun pada tahun 2001, dimulailah langkah untuk fokus pada penganekaragaman pangan, walau masih menggunakan byproduct dari gandum. Hal ini kemudian dilanjutkan untuk topik penelitian pada tahun berikutnya, dengan tetap memfokuskan diri pada pengembangan gizi dan penganekaragaman pangan. Namun demikian; secara formal topik penganekaragaman pangan mulai mendapatkan perhatian khusus pada Program Bogasari Nugraha VI pada tahun 2003, dimana semua bidang penelitian ditujukan untuk dapat menunjang penganekaragaman pangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk memperoleh daya guna yang lebih baik, maka pada Program Bogasari Nugraha VII, 2004, dilakukan pembatasan jenis komoditas pangan; untuk berfokus pada ubi kayu (singkong), ubi jalar, jagung dan pisang, juga gandum; termasuk aspek budidayaan; kecuali bidudaya gandum. Diharapkan jalur penelitian dapat terbentang mulai dari dasar produksi komoditas {on farm) hingga menghasilkan produk siap aplikasi untuk konsumen, seperti yang telah dikonsep pada matriks (Gambar 7.2.). Dengan fokus subjek penelitian dalam 5 komoditas, maka diharapkan scope penelitian dalam bidang penganeka ragaman pangan lebih terfokus dan memungkinkan hasil yang lebih komprehensif. Topik dan jenis komoditas yang dipilih dalam cakupan Bogasari Nugraha sekarang ini diharapkan dapat membantu membangun pemberdayaan masyarakat lokal dalam pertanian, produksi hingga perekonomian berbasiskan komoditas keanekaragaman pangan.
Keragaman Cakupan Penelitian Pada mulanya, program bogasari nugraha adalah sebuah penghargaan bagi hasil penelitian selama kurun waktu 10 tahun (1888-1998) yang meneliti tentang gandum. Kemudian program hibah bantuan penelitian tersebut berkembang untuk membantu pembiayaan penelitian yang masih dalam kategori gandum dan tepung terigu, serta aspek ekonomi yang berkaitan. Namun seiring dengan waktu, perkembangan program bogasari nugraha juga mengembangkan berbagai aspek penelitian lainnya, dan pada program tahun 2004, sudah tidak lagi memfokuskan pada gandum, melainkan penambahan 4 komoditas pertanian lainnya untuk subjek penelitian. Jika kita perhatikan diagram dibawah ini (Gambar 7.3.) maka terlihat keragaman penelitian yang terbatas hanya pada dua aspek penelitian, yaitu bidang budidaya dan aplikasi tepung untuk teknologi pangan. Hal lain yang menarik adalah, walaupun penetapan komoditas subjek penelitian adalah komoditas tunggal, yaitu gandum, namun dari awai sudah sudah terdapat upaya penelitian kearah penganekaragaman dengan munculnya singkong (penelitian substitusi tepung terigu dan diperkaya dengan tepung tempe) sebagai subjek penelitian. Hal ini menandakan sudah mulai terjadi perkembanagn keragaman penelitian yang dapat menandakan kecenderungan untuk penelitian di masa mendatang.
88
Program Bogasari Nugraha: Sebuah Model Peran Serta Swasta dalam Upaya
___________________________ Penganekaragaman Pangan Indonesia
Gambar 7.3. Diagram keragaman penelitian Bogasari Nugraha I.
Untuk kemudian dibandingkan dengan Gambar 7.4. maka terlihat perkembangan jumlah penelitian yang menunjukkan perkembangan pesat terjadi pada bidang aspek ekonomi yang berkaitan dengan gandum. Sedangkan bidang teknologi ekstraksi masih kurang diminati untuk penelitian dan memerlukan dorongan untuk berkembang. Sedangkan masih terdapat satu contoh penggunaan komoditas selain gandum pada periode ini, yaitu penelitian tentang dekstrinasi pati gandum dan pati garut untuk makanan bayi tambahan dan balita.
Roadmap Penganekaragaman Pangan: konsep, realitas dan aplikasi
Gambar 7.4. Diagram keragaman penelitian Bogasari Nugraha I.
Keragaman penelitian yang didorong oleh program bogasari nugraha berkembang lebih luas lagi pada periode tahun 2004 ketika dibuka penelitian untuk mengembangkan dan meneliti 4 komoditas pertanian baru, diantaranya: ubi jalar, singkong, jagung, dan pisang disamping gandum. Keragaman penelitian inipun telah diperluas dengan adanya 10 bidang kajian penelitian untuk tiap-tiap subjek komoditas, sehingga kekayaan hasil ilmiah yang diperoleh keragaman penelitian meningkat dengan sangat pesat. Walau demikian, terdapat penelitian yang mengambil subjek komoditas di luar 5 komoditas yang telah ditentukan, diantaranya adalah pemanfaatan labu, umbi dahlia dan karagenan. Jumlah penelitian terbanyak dilakukan untuk satu jenis komoditas adalah penelitian pembudidayaan dan rekayasa proses pangan untuk pisang, sedangkan bidang penelitian yang belum tersentuh adalah pengelolaan atau yang berkaitan dengan lingkungan, sedangkan penelitian di bidang pemanfaatan limbah atau produk samping (secara tidak langsung berhubungan dengan lingkungan) banyak dilakukan terhadap gandum (Gambar 7.5.a.).
90
Program Bogasari Nugraha: Sebuah Model Peran Serta Swasta dalam Upaya
___________________________ Penganekaragaman Pangan Indonesia
Gambar 7.5. a. Jumlah penelitian untuk masing-masing bidang; b. Keragaman penelitian dan interaksinya antar bidang
91
Roadmap Penganekaragaman Pangan: konsep, realitas dan aplikasi
Gambar 7.5.b. memperlihatkan interaksi penelitian yang dilakukan antar bidang penelitian, dan menunjukkan bahwa kecenderungan umum penelitian untuk semua jenis komoditas pertanian terletak pada bidang rekayasa proses pangan, gizi dan kesehatan sosial ekonomi dan budaya hingga pemasaran. Sehingga terlihat bahwa kecenderungan penelitian sudah banyak yang menyentuh dampak terhadap konsumen dan publik dan diperkirakan telah berada pada bagian (sel-sel) FGHJKL yang menunjukkan kedekatannya terhadap bagian hilir (Gambar 7.2.). Hal ini menandakan beberapa kemungkinan diantaranya adalah kesiapan dan kecenderungan publik (peneliti) menempatkan beberapa komoditas seperti ubi jalar dan pisang dan gandum (sudah tentunya) siap untuk diterima dan dikomersilkan terhadap masyarakat luas. Jika asumsi tersebut memang benar, maka harapan komersialisasi untuk penganekaragaman pangan (baik secara langsung ataupun tidak langsung) dan segala aspek yang berkaitan dapat diwujudkan dalam jangka waktu menengah.
Komitmen Program Bogasari Nugraha PT. ISM Bogasari Flour Mills memberikan komitmennya dalam ikut mengelola Bogasari Nugraha untuk mendukung dan mempromosikan kegiatan riset dan studi untuk para peneliti. Komitmen tersebut ditandakan dengan terus berkembangnya program Bogasari Nugraha dari tiap tahun ke tahun, yang terlihat dari jumlah peserta yang mendaftar terus meningkat (Gambar 7.7.) dan dengan dukungan alokasi dana untuk memperlancar program tersebut (Gambar 7.6.), dimana jumlah dana tersebut telah mencapai Rp. 1 Milyar pada program Bogasari Nugraha VII untuk tahun 2004. Serta dimana dukungan terhadap penelitian yang bersifat berkelanjutan telah dimulai pada tahun 2004 dengan memperkenalkan kelompok penelitian yang bersifat multi-years.
Gambar 7.6. Jumlah dana program Bogasari Nugraha 92
Program Bogasari Nugraha: Sebuah Mode/ Peran Serta Swasta dalam Upaya _____ Penganekaragaman Pangan Indonesia
Perkembangan dana yang disediakan untuk program Bogasari Nugraha dan jumlah peserta yang terus meningkat menandakan bahwa program CSR dalam memberikan sumbangan terhadap pembangunan sosial bukanlah sebuah kerugian, melainkan suatu bagian yang hidup dan dapat terus berkembang berkelanjutan. CSR juga merupakan skema yang penting untuk memajukan keadaan penganekaragaman pangan bangsa, dimana akan melibatkan kekuatan besar dari industri-industri untuk mendukung program pengembangan sosial. Sehingga perkembangan dan kemajuan keaneka ragaman pangan bangsa dan industri yang terkait dapat bersam-sama tumbuh dan berkembang.
Perkembangan Peserta Penelitian Pada awai program Bogasari Nugraha, jumlah peneliti dan bidang penelitian yang dilibatkan langsung masih sangat terbatas, dimana bentuk program pada awainya adalah sebuah award untuk hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap komoditas gandum dan aspek yang berkaitan. Namun perkembangan program Bogasari Nugraha telah membuka luas peluang para peneliti untuk dapat berpartisipasi dalam memperoleh hibah bantuan penelitian. Jumlah peningkatan peminat dan kepedulian peneliti pada program Bogasari Nugraha dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya adalah jumlah proposal yang terdaftar pada panitia dan jumlah tim peneliti yang berhasil mendapatkan persetujuan untuk mendapatkan dukungan penelitian dari Bogasari Nugraha. Peningkatan iklim penelitian terlihat dengan peningkatan jumlah proposal yang dikirimkan ke Bogasari Nugraha dimana pada awainya berjumlah 28 proposal (1998) hingga mencapai 364 proposal (2004). Hal ini menunjukkan dampak yang positif dari program CSR PT. ISM Bogasari Flour Mills dapat meningkatkan minat dan partisipasi para peneliti untuk berpartisipasi mengembangkan riset dan studi. Seperti yang terlihat pada Gambar 7.6. berikut ini. Namun perlu pertimbangan dimana jumlah proposal yang berhasil mendapatkan persetujuan untuk pembiayaan penelitian berada dalam kisaran yang sama untuk tiap tahun yaitu 20 - 50 proposal. Hal ini mengundang pertanyaan apakah terjadi penurunan mutu proposal penelitian seiring dengan perkembangan Bogasari Nugraha.
93
r
Roadmap Penganekaragaman Pangan: konsep, realitas dan aplikasi
Gambar 7.7. Jumlah peserta bogasari nugraha. Sedangkan perkembangan partisipasi institusi penelitian yang ikut serta dalam program Bogasari Nugraha masih didominasi oleh lembaga perguruan tinggi baik negeri (PTN - 43) maupun swasta (PTS - 30), dan kemudian lembaga penelitian non perguruan tinggi (16). Hal ini sesuai dengan kelompok peserta yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan dosen (komunitas perguruan tinggi) dan diikuti oleh kelompok peneliti lainnya. Jumlah kelompok dari masyarakat umum yang berpotensi untuk ikut serta (karang taruna, kelompok pelajar ilmiah dll) masih terbatas, namun dengan mengembangkan kategori peserta menjadi kelompok dan bersifat multi years, maka diharapkan untuk di masa mendatang, iklim penelitian dapat dirasakan oleh semua kelompok masyarakat (terlebih yang bersifat studi dan pengamatan sosial). Melibatkan kelompok yang lebih umum sangat berguna dalam memajukan dan mengkomunikasikan pesan dan misi penganeka ragaman pangan untuk Indonesia. Dimana langkah yang sangat penting untuk penganekaragaman pangan adalah menyampaikan pesan dan penerimaan serta adopsi pemikiran tersebut ke masyarakat yang luas.
Peran Swasta dan Penganekaragam Pangan Telah dikemukakan di depan bahwa program penganekaragaman pangan akan bergulir dengan sukses jika terjadi partisipasi masyarakat. Salah satu faktor yang penting adalah partisipasi dari masyarakat industri. Industri mempunyai peran strategis dalam penganekaragaman pangan karena industri -khususnya industri pangan - bisa berperan langsung sebagai penyedia anekaragam pangan untuk ditawarkan kepada konsumen. Dalam hal ini; industri pangan juga telah berpengalaman dalam melakukan penelitian dan pengembangan dalam rangka penganekaragaman produk yang dihasilkannya. 94
Program Bogasari Nugraha: Sebuah Model Peran Serta Swasta dalam Upaya
___________________________ Penganekaragaman Pangan Indonesia Peranan penelitian dan pengembangan (R&D) jelas cukup menonjol untuk bisa memberikan driving force bagi penganekaragaman pangan. Dalam kaitannya dengan penganekaragaman pangan, maka peranan R&D ini antara lain adalah dalam usaha-usaha peningkatan dan penjaminan mutu, baik mutu produk (baik mutu gizi maupun fisik), kemasan, penampilan produk secara keseluruhan, pemilihan dan penggunaan bahan baku dan teknologi secara tepat, termasuk sosialisasi dan inisiasi penganekaragaman pangan. Dalam hal ini, dalam keterbatasannya, pemerintah melalui kebijakankebijakannya berusaha mendororng kegiatan R&D di bidang penganeka ragaman pangan ini. Pemerintah perlu terus menggalakkan kegiatan R&D yang mendukung usaha tersebut, apakah itu melalui program-program Hibah Bersaing, RUT, RUTi, Rusnas, dll. Khususnya untuk mengangkat pamor dan citra pangan lokal dan pangan indigenus lainnya, serta mengeksplorasi keunggulan-keunggulan fungsional pangan indigenus tersebut, maka diperlukan prakarsa akftif pemerintah. Dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini, maka peranan pemerintah daerah menjadi sangat diperlukan. Salah satu kendala utama dalam pelaksanaan R&D di Indonesia adalah keterbatasan dana. Karena itu, pemerintah perlu pula mengembangkan sistem insentif dan regulasi yang kondusif; sehingga peran serta swasta dalam pembiayaan penelitian dapat tumbuh dengan baik. Dalam hal inilah maka program Bogasari Nugraha; sebagai suatu model peran serta swasta dalam pembiayaan penelitian pengenakaragaman pangan, perlu diberi penghargaan yang khusus. Alangkah baiknya jika industri swasta semakin bisa memainkan peran sertanya dalam upaya penganekaragaman pangan; yang disadari penuh sebagai pilar utama ketahanan nasional.
95