Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
POTENSI PRODUKSI ITIK TURI DI WILAYAH PANTAI SELATAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Production Potential of Turi Duck at South Coastal Area of Yogyakarta Special Province) NINIEK KUSUMA WARDHANI Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta ABSTRACT Turi duck farming was been developed at the south coastal area of Special Region Yogyakarta. Farmers and local Government of Bantul District regards this duck as local specific and excellent duck to increase farmer income. To measure productivity and genetics characteristics an asscesment was held, using participatory rural appraisal (PRA) and an on farm method. Located at Bambanglipuro and Kretek Subdistricts of Bantul District. Result showed that Turi duck were generally raised under a combination of herded and confined system, and recorded as good layers. This breed did not have phenotypic characteristics including feather colours compared to other local ducks. High level of crude fibre (15%) did not influence on egg production and quality. Differences were noted ion genetic distant compared to other local ducks based an isozyme method. Key words: Turi duck, production potential ABSTRAK Budidaya itik Turi telah berkembang di wilayah pantai selatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ternak ini oleh peternak dianggap sebagai komoditi yang spesifik, dan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul dinilai sebagai ternak unggul dalam meningkatkan penghasilan petani. Pengkajian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengukur potensi produksi dan genetik itik Turi, dalam kaitan pengembangannya sebagai itik petelur di wilayah pantai Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan dilaksanakan dengan metode participatory rural appraisal (PRA) yang diikuti dengan penelitian secara on farm. Pengkajian dilaksanakan di lokasi peternakan itik Turi di Kecamatan Bambanglipuro dan Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul. Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa itik Turi memiliki bentuk badan dan warna bulu yang tidak berbeda dibandingkan itik lokal lain, dan merupakan penghasil telur yang cukup baik. Umumnya, itik dipelihara dengan kombinasi cara diumbar dan dikandangkan. Pemberian pakan berserat tinggi (sampai dengan 15%) tidak menyebabkan pengaruh negatif terhadap penampilan produksi dan kualitas telur. Perbaikan kualitas pakan memberikan respon yang baik pada peningkatan produksi telur. Penelusuran jarak genetik yang dilakukan dengan metode isozim memberikan gambaran bahwa secara genetik itik Turi berbeda dengan itik lokal yang lain. Kata kunci: Itik turi, potensi produksi
PENDAHULUAN Itik di Indonesia mampu menyumbangkan 1,5% daging dan 22% total telur yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (YUWANTA dan WIBOWO, 1997). Pasar daging itik belum menunjukkan angka yang cukup tinggi, tetapi munculnya berbagai tempat makan yang menyediakan masakan daging itik di beberapa kota besar seperti Malang, Surabaya, Yogyakarta memberikan gambaran akan prospek pasar yang cukup menggembirakan. Tidak berkembangnya pasar daging itik, diantaranya dapat 655
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
dikarenakan tidak tersedianya daging itik dalam jumlah yang cukup, dilain pihak sebagian masyarakat beranggapan daging itik kurang disukai karena ada “flavour” khas yang tidak semua orang suka. Telur itik dipasarkan dalam satuan butir, ini menunjukkan bahwa harga jualnya cukup stabil. Harga telur itik tidak fluktuatif seperti telur ayam ras. Telur asin dikenal dan disukai masyarakat. Telur itik juga merupakan bahan dasar pembuatan aneka roti/kue yang cukup bersaing dengan telur ayam. YUWANTA (1998) melaporkan bahwa dalam lima tahun terakhir, populasi itik di Asia termasuk Indonesia cukup pesat yaitu 4,8% setahun. Hal ini dapat menjadi harapan bahwa usaha peternakan itik dapat berkembang dalam mendukung kebutuhan daging dan telur untuk waktu-waktu kedepan. HETZEL (1985) menjelaskan bahwa itik lokal yang ada di Indonesia kemungkinan berasal dari beberapa hasil persilangan itik lokal maupun import sehingga dijumpai bermacam-macam jenis itik: seleksi alam yang dilalui selama bertahun-tahun menimbulkan keanekaragaman penampilan yang dicerminkan dalam bentuk produksi telur. Demikian banyak jenis itik di Indonesia, tetapi yang banyak dikenal sementara ini adalah itik Tegal, Mojokerto, Alabio dan Bali. Itik Turi, merupakan itik lokal Bantul yang diyakini peternak di wilayah pantai selatan DI Yogyakarta sebagai itik asli yang berasal dari daerah ini. Nama Turi berasal dari nama “pasar desa” di Kecamatan Kretek kabupaten Bantul, Yogyakarta. Itik Turi menyebar di Jawa Tengah bagian selatan dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan itik Turi diuraikan dalam tulisan ini. METODOLOGI Pengamatan dilakukan melalui serangkaian penelitian. Pengkajian dilaksanakan di wilayah Kecamatan Bambanglipuro dan Kecamatan Kretek di Kabupaten Bantul dan pengkajian skala laboratorium melalui kerjasama IP2TP Yogyakarta dan Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Existing technology diamati di dua wilayah pemeliharaan itik Turi di Kecamatan Bambanglipuro dan Kretek. Percobaan pakan I, dengan mengikut sertakan 12 peternak di desa Sidomulyo Bambanglipuro dengan memberikan perlakuan perbaikan pakan penambahan 20% jagung (I); 10% tepung ikan (II); 20% jagung+10% tepung ikan (III); dan tanpa tambahan pakan. Sebagai ransum dasar dedak padi. Percobaan pakan II dengan kandungan serat kasar yang berbeda (5%; 10% dan 15%) dan analisis isozim dilaksanakan dalam skala laboratorium di Fakultas Peternakan UGM. BUDIDAYA Budidaya itik Turi pada umumnya terbagi dalam 2 kelompok besar yaitu dikurung/semi intensif dan digembalakan. Sistem kletekan masih dijumpai tetapi tidak begitu banyak. Sistem gembala banyak dijumpai di daerah wilayah pantai selatan ataupun di daerah yang dilewati sungai. Pemeliharaan sistem gembala, dijumpai 3 modifikasi/variasi. Dilepas di sungai. Pagi hari setelah itik diberi pakan, dilepas di sungai. Di beberapa daerah, dengan berkelompok itik-itik akan beriringan menuju sungai (tanpa digiring) yang berada tidak jauh dari rumah peternak kurang lebih 500 m dari kandang. Kelompok itik ini akan pulang sendiri pada sore hari+jam 15.00–16.00. Dan sampai di kandang itik baru mendapat pakan lagi. 656
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Dilepas di muara sungai/di pantai. Model ini dijumpai di desa-desa sepanjang pantai selatan DIY. Pagi-pagi setelah itik diberi pakan, itik digiring ke pantai untuk mencari pakan tambahan berupa rumput laut dan binatang-binatang kecil lain termasuk kerang-kerangan. Siang hari+jam 14.00– 15.00 peternak mengirim pakan. Dan ini berakhir sampai+jam 16.00 itik dijemput untuk kembali ke kandang. Ini berjalan pada musim kemarau. Pada musim penghujan karena faktor hujan, pakan di laut juga sangat langka pada saat ini biasanya itik dikurung di kandang. Dilepas di muara sungai dan digembalakan di luar daerah. Pada musim kemarau itik digembalakan di muara sungai atau di pantai, dan pada musim penghujan itik akan digiring keluar daerah untuk mencari sawah lepas panen untuk tempat penggembalaan. Penggembalaan dapat sampai di wilayah Purworejo, Sleman ataupun di wilayah Bantul. Bagi peternak yang tidak mampu menyediakan pakan dan tidak mampu menggembalakan keluar daerah umumnya akan berhenti memelihara itik pada musim penghujan. Pengamatan tahun 2000 kasus di desa Tirtohargo Kecamatan Kretek Bantul, dari 27 peternak pada musim kemarau, 24 menghentikan usahanya pada musim penghujan. Hal ini terjadi tidak hanya di satu desa, tetapi juga dijumpai di desa yang lain, yang mengandalkan sumber pakan dari wilayah pesisir pantai (WARDHANI et al., 2000). MANAJEMEN PAKAN Nutrisi itik di wilayah kantong-kantong pemeliharaan sangat variatif, sebagai akibat cara pemeliharaan sistem gembala. Pakan tambahan yang disediakan peternak tidak menjamin kebutuhan gizi, utamanya bagi itik yang sedang berproduksi. Pengamatan yang dilakukan di dua lokasi yang berbeda; perbedaan ketersediaan pakan dari alam jelas sekali mengakibatkan perbedaan pengeluaran biaya pakan (Tabel 1). Pengamatan dilakukan, masing-masing pada 12 peternak yang memiliki itik dewasa antara 60–80 ekor. Tabel 1. Rata-rata kebutuhan pakan dalam setahun, peternak itik di Kecamatan Bambanglipuro dan Kretek dengan pemilikan antara 60–80 ekor ternak dewasa Peternak: Rata-rata pemilikan (ekor) Kebutuhan katul (kg/pet./th)
Bambanglipuro
Kretek
68
79
1.996
2.037
Konsentrat itik (kg)
462,70
-
Jagung (kg)
287,75
75
Gabah (kg)
-
4
Nasi kering (kg)
-
413
3.093.791
1.889.933
Biaya pakan (Rp/tahun) Sumber data: WARDHANI et al., 2000
Peternak itik di wilayah kecamatan Kretek berada di desa-desa sepanjang pantai selatan sedang di kecamatan Bambanglipuro berada di sepanjang sungai Oyo. Itik yang digembalakan di sepanjang pantai selatan, memanfaatkan lumut laut, gangsing jenis udang-udangan yang tersedia berlimpah pada musim kemarau, sedang itik yang digembalakan di sungai, memanfaatkan biota di sungai yang tidak sebanyak yang dijumpai di pantai selatan. Hal inilah yang mengakibatkan kebutuhan penyediaan pakan oleh peternak di sepanjang pantai lebih rendah. Peternak itik di sepanjang pantai 657
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
selatan tidak pernah membeli konsentrat itik sebagai sumber protein. Peternak itik di kecamatan Bambanglipuro tidak dapat mengandalkan alam untuk penyediaan sumber protein. Pakan yang disediakan peternak pada umumnya hanya pagi dan sore hari, kecuali beberapa peternak yang memelihara sistem dikandangkan (semi intensif). POTENSI PRODUKSI DAN POTENSI GENETIK Standar berat badan itik lokal Indonesia menurut YUWANTA (1988) antara 1,3–1,6 kg. Produksi telur rata-rata pada pemeliharaan secara intensif 220 butir dan 249 butir untuk itik persilangan Alabio–Tegal (SETIOKO et al., 1994). Hasil pengamatan tahun 2000 rata-rata berat badan dari 121 ekor itik betina berada antara 1,21–1,38 kg , hasil yang hampir sama diperoleh YUWANTA et al. (2000) yaitu 1,21–1,29 kg. Nilai tersebut masih lebih rendah dibanding standar rata-rata berat itik lokal Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa itik Turi termasuk type ringan. Berat badan itik Turi yang ringan dibanding itik jenis lain disenangi peternak setempat karena dianggap lebih tahan terhadap jarak penggembalaan yang jauh dengan kebutuhan pokok hidup relatif rendah dan produksi tinggi. Itik Turi yang mendapat pakan dasar dedak padi, digembalakan di sungai selama+6 jam, apabila mendapat tambahan pakan tepung ikan 10% dan jagung 20% dalam ransum dasar dedak padi, dapat meningkatkan produksi dan fertilitas telur (Tabel 2). Tabel 2. Rata-rata produksi dan fertilitas itik Turi gembala yang mendapat pakan tambahan tepung ikan dan jagung dalam ransum dasar dedak padi Jenis pakan tambahan Pengamatan
Dedak padi
Dedak padi
Dedak padi
Jagung 20%
tepung ikan 10%
Dedak padi tepung ikan 10% jagung 20%
Kandungan gizi Protein kasar %
12,00
11,94
15,26
14,74
ME (kcal/kg)
2,124
1,630
1,690
1,994
Serat kasar
3,0
3,2
2,2
2,3
Produksi telur (%)
19,67a
19,56a
33,50ab
54,33b
80a
71,97a
71,06a
80,67b
Fertilitas (%) SUMBER : AGUS, A et al. (1999)
Pemberian pakan tambahan tepung ikan 10% dan jagung 20% merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produksi telur itik gembala yang secara tradisional hanya mendapat pakan dedak padi dari peternak tradisional. Penelaahan terhadap potensi itik Turi pada pemberian pakan berserat tinggi telah pula diujicobakan: pada 36 itik yang dibagi dalam 3 perlakuan. Percobaan skala laboratorium ini dilakukan di Fakultas Peternakan UGM melalui kerjasama antara IP2TP Yogyakarta dengan Lembaga Penelitian UGM (2000). Tabel 3. Rata-rata produksi dan kualitas karkas itik Turi yang mendapat pakan dengan kandungan serat kasar yang berbeda
658
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Serat Kasar
Pengamatan
5%
10%
15%
16,58
17,07
17,57 15,12
Kualitas pakan (%) Protein kasar Serat kasar
4,80
9,96
ME (kkal/kg)
2815
2609 a
Konsumsi pakan (g/ekor/hari)
114,25
121,13
a
Berat badan (kg)
1,22
1,21
ab
2404 ab
54,17b 47,02ab
45,14
40,08
Persentase karkas
48,28b
46,47a
Persentase lemak abdomen
1,84
2,01
1,29b
a
Produksi telur (%)
b
146,60c
a
ab
1,6ab
Keterangan: a,b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,01) Yuwanta et al. (2000)
Tabel 3 menunjukkan bahwa penggunaan serat kasar sampai 15% dalam ransum dapat diterapkan tanpa menyebabkan penurunan produksi. Tingginya konsumsi pakan pada pemberian 15% serat kasar dalam ransum, kemungkinan disebabkan karena rendahnya energi ransum pada perlakuan ini, sehingga itik berusaha meningkatkan masukan energi dengan meningkatkan konsumsi ransumnya. Studi terhadap potensi genetik juga telah dilakukan melalui uji isozim. Analisis isozim merupakan salah satu cara untuk mengevaluasi keragaman genetik berdasarkan penanda Biokimia. Menurut GARDNER et al. (1991) variasi isozim dapat digunakan sebagai dasar penanda genetik, karena merupakan refleksi dari variasi genetik. Berdasarkan analisis isozim protein darah itik Turi, Tegal dan itik Mojosari digunakan untuk membedakan genetik ketiga jenis itik tersebut. Pada pengamatan ini menerapkan 6 sistem enzym yaitu Diaphrose (DIA), Esterase (EST), Glutamate dehydrogenase (GDH), Glutamate Oxaloacetate Transaminase (GOT), Shikimate Dehydrogenase (ShDH) dan Peroxidase (POD). Hasilnya tersusun dalam Tabel 4. Tabel 4. Gambaran pola berkas sistem enzim itik Turi, itik Tegal dan itik Mojosari Sistem enzim Jenis itik
DIA
EST
GDH
GOT
ShDH
POD
Turi
++
+++
+
+
++
+
Tegal
++
+
++
+
+++
++
Mojosari
+
+++
+
++
++
+
Keterangan: + pola berkas tampak samar; + + pola berkas agak jelas; +++ sangat jelas Sumber: YUWANTA et al. (2000)
Tabel 4 memberikan gambaran pola berkas setiap sistem enzym dan buffer ekstrak hasil analisis isozim, yang memberikan hasil perbedaan dari 6 sistem enzim yang bervariasi. Dari ketiga itik lokal tersebut ternyata menunjukkan ada perbedaan dalam sistem enzim dalam protein darahnya; artinya itik Turi berbeda dengan itik Tegal dan itik Mojosari. Perbedaan isozim protein ini diduga sebagai penyebab perbedaan fenotip itik Turi sehingga memberikan perbedaan penampilan produksi dan reproduksinya (YUWANTA et al., 1999). Untuk mempertegas hasil analisis isozim ini diperlukan analisis yang lebih mendalam tentang DNA, sehingga jarak genetik antara itik Turi dengan itik lokal lain lebih jelas. 659
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan -
Itik Turi termasuk itik petelur tipe ringan.
-
Penambahan tepung ikan 10% dan jagung 29% dalam ransum dasar dedak padi pada itik Turi yang digembalakan dapat meningkatkan produksi telur dan fertilitasnya.
-
Itik Turi cukup toleran dengan ransum berkadar serat kasar 15%.
-
Melalui uji isozim itik Turi secara genetik berbeda dengan itik Tegal dan itik Mojosari.
Saran -
Menuju pengembangan itik Turi secara komersial, standarisasi bibit merupakan tuntutan.
-
Diperlukan uji DNA untuk mempertegas jarak genetik diantara itik lokal.
-
Perbaikan manajemen pemeliharaaan itik Turi masih diperlukan, untuk meningkatkan produksinya. DAFTAR PUSTAKA
AGUS, A., TRI YUWANTA, R. UTOMO, J.H.P. SIDADOLOG, ISMAYA DAN ZUPRISAL. 1999. Upaya Penggunaan Bahan Pakan Lokal Untuk Optimasi Produksi Sapi Potong dan Itik Turi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian Kerjasama Lembaga Penelitian UGM dengan IP2TP Yogyakarta, In Press. GARDNER, E.J., M.J. SIMON York.
AND
SNUSTAD. 1991. Principles of Genetics. 8th. Ed. John willey
AND
Sons. New
HETZEL, D.J.S.1985. Duck Breeding Strategies–The Indonesia Example. In: Duck Production. Edited by D.J. Farrel AND P. Stapleton University of New England. TRI YUWANTA. 1998. Performance of Asia Native Ducks Raised Under Extensive Rural Condition. Proc. 6th. APPC. Nagoya, Japan. TRI YUWANTA DAN A. WIBOWO. 1997. The Effect of Feeding Interval and Sex Ratio on Production and Reproduction of Tegal Native Ducks. Proc. Of the 11th. Europ. Symp. On Waterfowl. Nantes. France. TRI YUWANTA, ZUPRIZAL, A. MUSOFIE DAN N.K. WARDHANI. 2000. Studi Potensi Genetik, Produksi dan Reproduksi Serta Bahan Pakan Lokal Pada Itik Turi Sebagai Itik Petelur. Penelitian kerjasama antara Lembaga Penelitian UGM dan IP2TP Yogyakarta. In press. WARDHANI, NK., A. MUSOFIE, E. WINARTI. 2000. Laporan Pengkajian Budidaya Itik lokal Bantul dalam Upaya Perbaikan Produksi dan Efisiensi Pemeliharaan di tingkat Petani. IP2TP Yogyakarta.
660