POTENSI KITOSAN DAN AGENS ANTAGONIS DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT (Phakopsora pachyrhizi Syd.) KEDELAI
HAGIA SOPHIA KHAIRANI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ABSTRAK HAGIA SOPHIA KHAIRANI. Potensi Kitosan dan Agens Antagonis dalam Pengendalian Penyakit Karat (Phakopsora pachyrhizi Syd.) Kedelai. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA. Penyakit karat (Phakopsora pachyrhizi Syd.) merupakan penyakit utama pada tanaman kedelai yang mampu menurunkan produksi hingga 90%. Kemampuan penyebaran inokulum yang cepat, adanya inang alternatif, dan potensi yang tinggi untuk melakukan perubahan yang mengatur virulensi P.pachyrhizi mengondisikan penyakit ini sulit dikendalikan. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi kitosan, Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis, dan kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp. pada dua galur kedelai. Percobaan dilakukan menggunakan rancangan faktorial acak lengkap (4x2) dengan 3 ulangan. Peubah yang diamati adalah perkembangan tanaman, kejadian penyakit, dan keparahan penyakit karat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan T.harzianum, B.subtilis, dan kitosan kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp. efektif memiliki keparahan penyakit penyakit yang lebih rendah daripada kontrol pada kedua galur kedelai. Perlakuan T.harzianum merupakan taktik pengendalian yang paling efektif dan efisien menghambat penyakit karat dan meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman tanpa menimbulkan fitotoksik. Kata kunci: B.subtilis, kitosan, penyakit karat, Streptomyces sp., T.harzianum.
ABSTRACT HAGIA SOPHIA KHAIRANI. Potential Uses of Chitosan and Antagonist Agents in Controlling Soybean Rust Disease (Phakopsora pachyrhizi Syd.). Supervised by MEITY SURADJI SINAGA. The soybean rust disease (Phakopsora pachyrhizi Syd.) is the most important disease of soybean and may cause 90% yield loss. The ability to spread rapidly, present of alternative hosts, and the rapid changes of P.pachyrhizi virulence are the causal of the difficulty to control the disease. This study is to evaluate potential uses of chitosan, Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis, and chitosan-Streptomyces sp. combination to control the rust disease in two soybean lines. The experiments were conducted using a complete randomized factorial design (4x2) with three replications. Plant developments, disease incidence and severity of rust infection were observed. The studies have shown that all treatments have significantly suppressed soybean rust disease incidence and severity in both soybean lines compared to that of control. The use of T.harzianum has found the most effective and efficient in suppressing disease severity and in increasing plant vegetative growth with no phytotoxic effect. Keywords: B.subtilis, chitosan, rust disease, Streptomyces sp., T.harzianum.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2014 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
POTENSI KITOSAN DAN AGENS ANTAGONIS DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT (Phakopsora pachyrhizi Syd.) KEDELAI
HAGIA SOPHIA KHAIRANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi
: Potensi Kitosan dan Agens Antagonis dalam Pengendalian Penyakit Karat (Phakopsora pachyrhizi Syd.) Kedelai Nama Mahasiswa: Hagia Sophia Khairani NIM : A34100003
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, Msi Ketua Departemen
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan petunjuknya sehingga usulan tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Tugas akhir ini akan dilaksanakan dari bulan Desember 2013 sampai Maret 2014 dengan topik pengendalian penyakit karat pada tanaman kedelai. Terima kasih penulis ucapkan Ibu Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang banyak memberi arahan dan bimbingan selama masa perkuliahan dan pelaksanaan tugas akhir dan Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc sebagai dosen penguji yang memberikan masukan untuk penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Desta Wirnas, M.Si dari Departemen Agronomi dan Hortikultura untuk ketersediaan galur kedelai uji, Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc dari Departemen Agronomi dan Hortikultura yang mengizinkan penggunaan rumah plastik sebagai area pengujian; dan Dr. Ir. Giyanto, M.Si yang mengizinkan penggunaan isolat bakteri endofit uji. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Nana, Bapak Milin, Bapak Saefudin; Bapak Yusuf; Bapak Endang untuk bantuannya dalam penyediaan benih inokulum, perizinan penggunaan rumah kaca, kegiatan-kegiatan teknis penyiapan peralatan dan bahan penelitian, dan diskusi; Bapak Dadang Surachman untuk bantuan dan arahannya pada saat orientasi laboratorium; rekanrekan Laboratorium Mikologi Tumbuhan untuk dukungan, kerjasama, dan diskusinya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua, keluarga, dan seluruh dosen dan tenaga kependidikan Departemen Proteksi Tanaman, rekanrekan Proteksi Tanaman angkatan 47, dan rekan-rekan lain yang banyak membantu kelancaran studi hingga menyelesaikan program pendidikan S1 dengan memberikan semangat dan dukungan. Semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2014 Hagia Sophia Khairani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xiv DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR LAMPIRAN xiv PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 BAHAN DAN METODE 4 Waktu dan Tempat Penelitian 4 Bahan dan Alat 4 Metode Penelitian 4 Sumber Inokulum Karat 4 Persiapan Agens Antagonis Uji 5 Penyiapan Larutan Kitosan 5 Rancangan Percobaan 5 Pengamatan 6 Analisis Data 7 HASIL DAN PEMBAHASAN 8 Penyebab Penyakit Karat Kedelai 8 Keefektifan Kitosan dan Agens Antagonis dalam Penghambatan Penyakit Karat Kedelai pada Uji In Planta 9 Perbandingan Karakter Agronomi Tanaman Kedelai dari Perlakuan Kitosan dan Agens Antagonis 17 KESIMPULAN DAN SARAN 19 Kesimpulan 19 Saran 19 DAFTAR PUSTAKA 20
DAFTAR TABEL 1 Skoring penyakit karat daun kedelai berdasarkan jumlah bercak 2 Proporsi jumlah daun kedelai terinfeksi karat 60 HST 3 Kejadian penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST 4 Keparahan penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST 5 Laju infeksi penyakit karat 6 Jumlah daun kedelai galur Kresna 15 dan Kresna 8 dengan perlakuan kitosan dan agens antagonis 7 Jumlah tanaman berbunga dan berpolong dengan perlakuan kitosan dan agens antagonis
7 9 10 12 13 17 18
DAFTAR GAMBAR 1 Gejala karat daun kedelai (makroskopis dan mikroskopis) 2 Perkembangan kejadian penyakit karat kedelai berbagai perlakuan pada galur Kresna 15 dan Kresna 8 3 Perkembangan keparahan penyakit karat kedelai berbagai perlakuan pada galur Kresna 15 dan Kresna 8 4 Tanaman dengan gejala yang diduga fitotoksik
8 11 12 16
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Larutan kitosan dan agens antagonis yang digunakan Kejadian penyakit karat 40 sampai 60 HST Laju infeksi penyakit karat 40 sampai 60 HST Keparahan penyakit karat 40 sampai 60 HST
26 26 26 27
PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max L.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai mengalami peningkatan baik terhadap produk asli maupun produk olahan seperti tahu, tempe, dan kecap. Produksi kedelai Indonesia hanya memenuhi 35%-40% dari kebutuhan (Sumartini 2010). Berdasarkan data dari BPS (2013), produksi kedelai pada tahun 2012 mengalami penurunan sebesar 0.96% dibandingkan dengan tahun 2011. Pada tahun 2013, produksi kedelai yang sebelumnya diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 0.47% ternyata mengalami penurunan sebesar 7.47% (BPS 2014). Penurunan produksi kedelai pada tahun 2013 terjadi karena adanya penuruan produktivitas sebesar 4.65% dan penurunan luas panen sebesar 2.96%. Kedelai optimal dibudidayakan pada ketinggian tidak lebih tinggi dari 500 mdpl, suhu 23-27 ºC untuk pertumbuhan, dan suhu dan 30 ºC untuk perkecambahan (Balitkabi 2012). Area produksi mayor kedelai adalah pada daerah subtropis (Hartman et al. 1999). Budidaya kedelai pada kondisi tropis di Indonesia mengalami beberapa kendala seperti lahan penanaman kedelai terdesak ke lahan marginal yang kondisinya kering karena kompetisi dengan padi dan jagung. Faktor lain yang secara signifikan dapat mempengaruhi produktivitas kedelai adalah gangguan dari organisme pengganggu tanaman (OPT). Berbagai penyakit tanaman merupakan faktor pembatas yang penting dalam produksi kedelai, seperti penyakit karat yang disebabkan oleh Phakopshora pachyrhizi (Balitkabi 2012). Penyakit ini menyebar di sentra-sentra produksi kedelai di Indonesia sejak awal tahun 1900-an. Kehilangan hasil akibat penyakit karat bergantung pada ketahanan varietas yang digunakan. Namun, secara umum diketahui bahwa penyakit karat mampu menurunkan produksi sebesar 36%-91% (Sumartini 2010). Patogen ini menyebar dan mengokulasi pada fase uredospora. Uredospora berukuran 18-34 µm terbentuk di dalam uredium yang berdiameter 25-50 µm. Uredium berkumpul dan terlihat sebagai bercak pustul. Uredospora berbentuk bulat dan berwarna coklat. Uredospora akan berkembang menjadi teliospora namun fase ini tidak ditemukan di lapangan (Sumartini 2010). Gejala penyakit karat kedelai berupa bercak-bercak klorotik kecil berwarna kecoklatan pada daun dan batang. Bercak daun karat merupakan halangan fisik dari daun untuk berfotosintesis (Santoso dan Sumarmi 2013). Secara umum, inokulum patogen karat mudah menyebar dengan bantuan angin dan hujan pada suhu optimum 25 ºC dan kelembapan udara 80% (Sinaga dan Wiyono 1997). Penyebab karat kedelai dapat menginfeksi tanaman kedelai mulai 3-4 MST hingga fase generatif (Sinaga dan Wiyono 2007). Infeksi karat pada daun dapat menyebabkan daun rontok dan polong kosong. Kerontokan daun dapat terjadi ketika patogen karat menginfeksi berat pada 40 HST, sedangkan polong kosong dapat terjadi ketika infeksi karat terjadi pada musim hujan menjelang fase generatif kedelai (Santosa 2013). Karat merupakan patogen obligat yang sporanya dapat bertahan pada gulma golongan daun lebar dan 27 jenis tanaman dari famili Fabaceae ketika tidak terdapat tanaman kedelai (Ramlan dan Nurjanani 2011).
2
Sejak diketahui infeksi patogen karat kedelai berpotensi tinggi menurunkan hasil, telah dikembangkan beberapa metode untuk pengendaliannya. Pada awal pengembangan teknologi pengendalian, penggunaan fungisida masih menjadi pilihan utama. Pengendalian lain yang dilakukan untuk menekan perkembangan P.pachyrhizi adalah perakitan varietas tahan dengan pemuliaan tanaman namun belum diperoleh varietas yang tahan karat. Pengendalian dengan fungisida dan perakitan varietas tahan yang awalnya dianggap efektif, ternyata dalam jangka waktu tidak terlalu lama tidak efektif lagi karena terjadi perubahan virulensi yang cepat dari P.pachyrhizi (Fikri 1994). Oleh karena itu, perlu dikembangkan taktik pengendalian yang tidak menstimulasi perubahan virulensi patogen yang lebih ganas. Beberapa agens antagonis yang telah diketahui berpotensi dalam pengendalian P.pachyrhizi adalah Gliocladium dan Pseudomonas sp. (Fikri 1994), cendawan mikoparasit dan minyak cengkeh (Ramlan dan Nurjanani 2011), berbagai mikrob filosfer (Santoso dan Sumarmi 2013). Kitosan adalah poli–(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak di alam. Kitosan banyak dikenal di masyarakat karena dapat dimanfaatkan sebagai suplemen makanan, peningkatan produksi pangan dengan teknologi pelapisan benih, penghambatan ganti kulit serangga hama, pencegahan dan penekanan perkembangan penyakit tanaman, sampai eliminasi organoklorin dari air yang tercemar (Goosen 1997). Kitosan telah banyak diteliti untuk mengendalikan penyakit tanaman. Menurut penelitian Benhamou et al. (1994), kitosan mampu menginduksi ketahanan tomat terhadap busuk buah dengan perlakuan benih. Penelitian Hamdayanti et al. (2012) juga menunjukkan bahwa perlakuan kitosan dapat menghambat infeksi Colletotrichum gloesporioides pada pepaya baik secara in vitro maupun in vivo. Asetil amino dan glukosamin pada kitosan yang bermuatan positif akan berikatan dengan bagian negatif dari makromolekul cendawan. Hal inilah yang menyebabkan cendawan mengalami gangguan dalam pertumbuhannya. Kitosan juga menstimulasi biosintesis asam salisilat yang berperan dalam pengendalian patogen. Selain menghambat perkembangan patogen, pelapisan kitosan tersebut juga dapat menunda pematangan, mengurangi respirasi, dan mengurangi kerusakan tanaman. Hadrami et al. (2010) menyatakan bahwa kitosan menunjukkan banyak aktivitas sebagai antimikrob. Keefektifan dari aktivitas tersebut bergantung pada jenis kitosan (murni atau turunan), derajat polimerasi, inang, komposisi substrat, dan kondisi lingkungan. Aktivitas antimikroba juga meningkat seiring dengan peningkatan bobot molekul dari kitosan tersebut. Patogen-patogen yang telah diketahui berhasil dikendalikan oleh kitosan berdasarkan kajian pustaka Hadrami (2010) adalah virus PVX (Potato Virus X), TMV (Tobacco Mozaic Virus), AMV (Alfalfa Mozaic Virus); bakteri Escherichia coli, Staphylococus aureus, dan beberapa spesies Bacillus patogenik; cendawan Botrytis cinerea, Pyricularia oryzae, dan Neurospora crassa. Selain memanfaatkan kitosan, dalam penelitian ini juga dievaluasi perlakuan Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis, dan Streptomyces sp. sebagai agens antagonis. Trichoderma harzianum merupakan salah satu agens antagonis yang disarankan untuk pengendalian karat kedelai. T.harzianum memiliki sifat dapat menyebar melalui tanah, berkoloni pada akar tanaman, membantu tanaman dalam pengikatan nutrisi dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap OPT.
3 T.harzianum telah banyak digunakan dalam pengendalian cendawan patogen karena mengeluarkan antibiotik antifungi yang disebut trichodermin. T.harzianum juga dapat memicu biosintesis enzim kitinase, memiliki kemampuan berkompetisi yang tinggi, dan hiperparasit. Selain itu, T.harzianum memiliki potensi dalam menginduksi ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (Hermosa et al. 2012). Beberapa cendawan tular tanah yang dapat dikendalikan oleh T.harzianum adalah Ganoderma boninense pada kelapa sawit, Sclerotium spp. pada kacang tanah, dan Colletotrichum truncatum pada kedelai. T.harzianum (Santoso 2013). Bacillus subtilis adalah agens antagonis yang banyak digunakan dalam pengendalian penyakit tanaman karena mengeluarkan senyawa antimikrob. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi potensi antimikrob dari B.subtilis. Beberapa penelitian yang menunjukkan patogen yang dapat dikendalikan oleh B. subtilis adalah Erwinia carotovora pada kentang (Javandira et al. 2013), Peronosclerospora maydis pada jagung (Zainudin et al. 2014), Colletotrichum capsici pada cabai (Gunawan 2005), dan Fusarium oxysporum f.sp gladioli pada gladiol (Wardhana et al. 2009). Potensi B.subtilis sebagai pengendali cendawan patogen salah satunya dipicu oleh produksi enzim kitinolitik (Khaeruni dan Rahman 2012). Leifert et al. (1995) bahkan menyatakan bahwa B.subtilis mampu mengendalikan Botrytis cinerea dengan aktivitas penghambatan yang sama dengan fungisida komersial. Streptomyces merupakan genus terbesar dari aktinomiset dan dapat memproduksi senyawa bioaktif yang bersifat antifungi dalam spektrum luas. Misalnya, Streptomyces aurofaciens mampu melawan infeksi Candida albicans pada jahe merah. Selain menjadi pesaing terhadap cendawan-cendawan patogen, Streptomyces dapat memberikan pengaruh baik terhadap tanaman. Streptomyces berinteraksi dengan mekanisme lain dalam proses fisiologi, biokimia, sitologi, dan molekuler sehingga menghasilkan fenomena pembentukan ketahanan tanaman (Hasegawa et al. 2006). Penggunaan filtrat Streptomyces spp. dapat menurunkan intensitas penyakit karat berdasarkan penelitian dari Kurniawan (2006). Potensi Streptomyces spp. terhadap pengendalian penyakit karat tersebut diketahui bahwa terdapat senyawa aktif yang mampu menghambat perkecambahan uredospora dari P.pachyrhizi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi kitosan dan agens antagonis dalam mengendalikan perkembangan Phakopsora pachyrhizi penyebab penyakit karat pada kedelai dan mengetahui pengaruh fitotoksiknya terhadap tanaman kedelai. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam pengembangan strategi metode pengendalian hayati penyakit karat pada tanaman kedelai.
4
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2013 hingga Maret 2014 di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor, Rumah Kaca dan Rumah Plastik University Farm Unit Lapangan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah benih kedelai varietas Anjasmoro untuk sumber inokulum patogen, benih kedelai galur IPB Kresna 15 dan IPB Kresna 8 untuk tanaman uji, top soil, pupuk kandang, pupuk NPK, media PDA (Potato Dextrose Agar), media NA (Nutrient Agar), media YCED (Casamino Acid-yeast extract-glucose agar), isolat Trichoderma harzianum, isolat Bacillus subtilis, isolat Streptomyces sp., jagung pipil (pakan burung) steril, beras steril, asam asetat konsentrasi 1.5%, dan serbuk kitosan. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah laminar air flow, oven, mikropipet, autoklaf, dan polibag. Metode Penelitian Sumber Inokulum Karat Sumber inokulum karat dibiakkan pada varietas kedelai rentan (Anjasmoro) dari Laboratorium Benih Leuwikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Benih ditanam sebanyak dua butir per lubang menggunakan polibag berkapasitas 2 kg. Media tanam yang digunakan adalah top soil, kompos, dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1. Penanaman dilakukan dalam dua tahap karena pada penanaman tahap pertama terjadi etiolasi sehingga penanaman tahap kedua dilakukan di dua tempat, yaitu di dalam dan di luar rumah kaca masing-masing sebanyak 10 polibag. Perawatan dilakukan dengan penyiraman satu kali sehari pada sore hari (intensitas cahaya matahari sudah berkurang) dan pemberian pupuk NPK. Pupuk NPK diberikan dengan dosis 75 kg urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl per hektar. Penularan penyakit karat dilakukan dengan melakukan pemanenan karat dari lapangan. Uredium karat dari tanaman kedelai terinfeksi di lapangan diambil sebanyak 20 daun yang dipotong kecil dan dimasukkan ke dalam 100 ml air steril. Air berisi potongan daun dikocok selama 15 menit untuk membuat uredospora terlepas dari uredium dan tersuspensi dengan air. Tanaman sumber inokulum yang berumur 3 MST diinokulasi dengan suspensi uredospora sebanyak 200 ml/liter air. Sebelum diinokulasi, larutan ditambah Agristick dengan konsentrasi 1% (v/v). Persiapan tanaman sumber inokulum karat dilakukan dengan tujuan mengondisikan keberadaan penyakit karat di lapangan. Hal tersebut berkaitan dengan bioekologi patogen penyebab penyakit karat yang bersifat obligat. Inokulasi dilakukan ulang pada umur 5 MST karena sebelumnya kondisi suhu rumah kaca yang terlalu tinggi mengakibatkan infeksi tidak berhasil. Inokulasi kedua dilakukan di luar rumah kaca dengan kondisi kelembaban, suhu, dan angin yang mendukung perkecambahan dan pemencaran spora karat. Gejala
5 karat muncul 9 hari setelah inokulasi. Gejala karat terlihat jelas pada umur tanaman 43 hari berupa pustul-pustul yang menyebar di permukaan bawah daun. Persiapan Agens Antagonis Uji 1. Trichoderma harzianum Isolat Trichoderma harzianum yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Trichoderma harzianum diremajakan pada media PDA dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Pembiakan massal dilakukan pada 300 gram jagung pipil steril yang telah direndam satu malam dan disterilisasi. Inkubasi dilakukan selama 14 hari untuk mendapatkan massa T.harzianum yang telah menutupi seluruh permukaan jagung. 2. Bacillus subtilis Isolat B.subtilis yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Peremajaan isolat B.subtilis dilakukan pada media NA miring dan diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Biakan B.subtilis yang telah tumbuh disimpan pada lemari pendingin untuk dijadikan stok kultur. Ketika akan digunakan, satu lup inokulum digoreskan pada media NA cawan gores dan diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Selanjutnya, sebanyak 20 ml air steril dituang ke masingmasing cawan yang berisi biakan B.subtilis untuk membuat suspensi bakteri. Konsentrasi B.subtilis yang digunakan dalam percobaan adalah 1x107 cfu/ml. 3. Streptomyces sp. Isolat Streptomyces sp. yang akan digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Peremajaan isolat Streptomyces sp. dilakukan pada media YCED, kemudian diinkubasi pada suhu ruang. Isolat Streptomyces sp. yang telah berumur 12 hari disuspensikan pada 20 ml air steril dan diinokulasi pada beras steril yang telah direndam semalam untuk pembiakan massal Streptomyces sp. Sebanyak 2 ml Streptomyces sp. disemprotkan pada media beras steril dan diinkubasi selama 14 hari. Biakan Streptomyces sp. dihaluskan dengan menggunakan blender. Konsentrasi Streptomyces yang digunakan dalam percobaan adalah 1x106 cfu/ml. Penyiapan Larutan Kitosan Kitosan yang digunakan didapatkan dari koleksi Departemen Teknologi Hasil Perairan. Kitosan yang digunakan berasal dari cangkang udang. Sebanyak 1 gram kitosan dicampurkan dengan 20 ml asam asetat 1.5% dan 80 ml aquades untuk menghasilkan 100 ml larutan kitosan dengan konsentrasi 1%. Kitosan disiapkan sebanyak 600 ml untuk setiap aplikasi. Aplikasi dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada 2 dan 4 minggu setelah berkecambah. Rancangan Percobaan Pengujian metode pengendalian karat dilakukan dengan menggunakan benih kedelai galur koleksi Laboratorium Pemuliaan Tananaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB (IPB Kresna-8 dan IPB Kresna-15). Penanaman dilakukan di dalam rumah kaca dan pada hari kesepuluh dilakukan pemindahan tanaman ke
6
rumah plastik untuk mencegah terjadinya etiolasi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Faktorial Acak Lengkap (4x2) dengan tiga ulangan dan terdapat lima unit percobaan untuk setiap ulangan. Percobaan dilakukan dengan empat perlakuan dan satu pembanding, yaitu: (1) Kontrol; (2) B.subtilis. Benih kedelai direndam pada suspensi B.subtilis sebanyak 200 ml selama 15 menit. Selanjutnya, benih dikering-anginkan sebelum ditanam. Aplikasi suspensi B.subtilis juga dilakukan pada 2 MST dengan dosis 10 ml/tanaman; (3) T.harzianum. T.harzianum diletakkan pada lubang tanam lima hari sebelum penanaman benih dengan dosis 10 gram/lubang tanam; (4) Kitosan. Kitosan dengan konsentrasi 1% disemprotkan pada batang kedelai dengan dosis 10 ml/tanaman pada 2 dan 4 minggu setelah benih berkecambah; dan (5) Kombinasi kitosan dan Streptomyces sp. Kitosan dengan konsentrasi 1% dan suspensi Streptomyces sp. dengan konsentrasi 100 ml/liter air disemprotkan pada batang kedelai masing-masing dengan dosis 10 ml/tanaman. Hasil pengujian diamati dengan menghitung kejadian penyakit dan keparahan penyakit penyakit karat pada 40, 45, 50, 55, dan 60 HST. Pengamatan Peubah yang diukur untuk menilai keefektifan metode pengendalian uji yaitu periode laten, kejadian penyakit (KjP) (%), dan keparahan penyakit penyakit (KpP) (%). Pengukuran dilakukan dari masing-masing dua daun bagian atas, n tengah, dan bawah. Kejadian penyakit karat dihitung dengan persamaan: KjP = N x 100% dengan n adalah jumlah tanaman yang terinfeksi dan N adalah jumlah tanaman yang diamati. Keparahan penyakit penyakit dihitung dengan menggunaan persamaan: KpP =
7 i=0 ni .vi
N.V
x 100%
ni : jumlah tanaman terinfeksi pada skor ke-i vi : skor ke-i N : jumlah tanaman yang diamati V : skor tertinggi Skoring penyakit karat dilakukan dengan pengamatan berdasarkan metode Santosa (2003) yang dimodifikasi. Tabel 1 Skoring penyakit karat daun kedelai berdasarkan jumlah bercak Skor 0 1 2 3 4 5 6 7
Bercak karat/daun (%)
Jumlah bercak per cm2
0<x≤5 5 < x ≤ 15 15 < x ≤ 25 25 < x ≤ 35 35 < x ≤ 45 45 < x ≤ 55 55 < x ≤ 65 x > 65
0-10 11-20 21-40 41-60 61-80 81-100 101-120 121-140
7
Selain itu, diamati laju infeksi karat dari kitosan dan agens antagonis yang e Xt Xo digunakan. Laju infeksi dihitung dengan persamaan: r = t (log 1−Xt - log 1−Xo ) dengan r adalah laju infeksi, e adalah konstanta hasil konversi yang nilainya adalah 2.3, t adalah selang waktu pengamatan, Xt adalah keparahan penyakit penyakit pada waktu-t, dan Xo adalah keparahan penyakit pada pengamatan sebelumnya. Pengamatan lain adalah gejala fitotoksik kitosan dan agens antagonis terhadap tanaman kedelai. Analisis Data Tabel dan grafik dari hasil percobaan diolah menggunakan Microsoft Office Excel versi 2007. Analisis sidik ragam dari data percobaan dilakukan dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) for Windows versi 9.1.3. Hasil yang berpengaruh diuji lanjut dengan uji taraf berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebab Penyakit Karat Kedelai Phakopsora pachyrhizi dapat ditemukan di lapangan dengan gejala bercak kecoklatan dan adanya pustul pada daun kedelai. Tanaman kedelai yang terinfeksi P.pachyrhizi akan menunjukkan bercak kecoklatan pada permukaan atas daun dengan dikelilingi oleh halo berwarna kuning terang. Pada daun terinfeksi tersebut menunjukkan adanya pustul yang umumnya bergerombol dan tidak dibatasi oleh tulang daun. Pustul karat tersebut berukuran sekitar 2 mm. Patogen ini melakukan penetrasi ke jaringan daun melalui stomata yang banyak terdapat pada permukaan bawah daun. Gejala ini sesuai dengan pernyataan Hartman et al. (1999) bahwa gejala karat kedelai adalah bercak berwarna kecoklatan dengan uredia yang menonjol pada permukaan bawah daun. Keparahan penyakit yang tinggi dapat menimbulkan gejala pustul karat menyebar pada petiol, polong, dan batang.
Gambar 1
Gejala karat pada permukaan atas daun (a), gejala karat pada permukaan bawah daun (b), kumpulan uredium (c), mikroskopis uredospora P.pachyrhizi dengan perbesaran 40x10
Cendawan P.pachyrhizi yang berasal dari daun kedelai terinfeksi dapat berkecambah pada media PDA da WA (water agar). Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa uredospora P.pachyrhizi berwarna kecoklatan dan berbentuk bulat. Menurut Hartman et al. (1999), uredospora P.pachyrhizi memiliki ukuran 15-24 x 18-34 µm dengan bentuk membulat dan memiliki ketebalan dinding sekitar 1.0 µm, tidak berwarna atau berwarna kuning pucat dan berkecambah pada 3 sampai 6 jam setelah inkubasi pada suhu 14-29 ºC. Hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis serta data pendukung menunjukkan bahwa gejala yang ditemukan pada daun kedelai merupakan gejala infeksi P.pachyrhizi. Gejala yang ditimbulkan oleh P.pachyrhizi pada daun kedelai dapat berbeda sesuai dengan genotip kedelai dan ras dari patogen. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari warna bercak pustul, jumlah uredia yang muncul, dan periode laten penyakit. Bercak pustul yang timbul umumnya berkorelasi dengan klorosis daun. Jumlah bercak yang tinggi dapat menyebabkan gugur daun prematur dan kematangan dini pada tanaman baik pada fase vegetatif maupun generatif. Umumnya, kejadian penyakit karat yang tinggi terjadi pada suhu di bawah 28 ºC dan kelembapan udara di atas 80%. Perkecambahan dan penetrasi uredospora membutuhkan film air dan terjadi pada suhu 8-28 ºC. Uredia muncul sekitar 9-10 hari setelah terjadi infeksi dan uredospora muncul 3 minggu setelah
9 infeksi. Seluruh fase penanaman kedelai rentan terhadap infeksi karat, namun biasanya gejala muncul pada pertengahan hingga akhir musim tanam, berkaitan dengan kondisi suhu dan kelembaban tanaman yang mendukung terjadinya infeksi dan sporulasi. Uredospora karat menyebar dengan bantuan angin. P.pachyrhizi bukan merupakan patogen tular benih pada kedelai. Keefektifan Kitosan dan Agens Antagonis dalam Penghambatan Penyakit Karat Kedelai pada Uji In Planta Berdasarkan hasil pengujian potensi penghambatan in planta, kitosan, Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis, serta kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp. dapat mengendalikan perkembangan penyakit karat kedelai dibandingkan dengan kontrol. Pada awalnya, percobaan mengevaluasi potensi antagonisme Streptomyces sp. secara tunggal terhadap perkembangan penyakit karat. Namun, hasil penelitian Kurniawan (2006) telah menyatakan bahwa filtrat Streptomyces sp. dapat menghambat perkecambahan uredospora Phakopsora pachyrhizi dan menahan perkembangan penyakit pada percobaan in planta. Hasil penelitian tersebut mendorong dilaksanakannya evaluasi potensi kitosan jika dikombinasikan dengan Streptomyces sp. Hasil dari pengujian tersebut dapat memberikan informasi tentang sinergisme kitosan dengan agens antagonis dari golongan aktinomiset dalam pengendalian penyakit karat kedelai. Tabel 2 Proporsi jumlah daun kedelai terinfeksi karat 60 HST Galur
Perlakuan
Kresna 15
T.harzianum B.subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
Proporsi daun terinfeksi per daun total (%)a 3.18d 25.39c 55.28a 39.34b 64.43a
Kresna 8
T.harzianum B. subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
10.19d 11.53d 43.11 b 14.91 cd 41.63 b
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%.
Tabel 2 menunjukkan bahwa perkembangan penyakit karat pada perlakuan T.harzianum dan B.subtilis lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dalam satu tanaman. Sementara itu, perlakuan kitosan dan kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp. pada galur Kresna 15 dan perlakuan kitosan pada galur Kresna 8 menunjukkan proporsi daun terinfeksi yang sama dengan kontrol. Proporsi daun kedelai yang terinfeksi penyakit karat paling kecil terdapat pada perlakuan T.harzianum pada galur Kresna 15. Proporsi daun terinfeksi tidak dapat memberikan informasi tentang keparahan penyakit pada masing-masing perlakuan. Namun, proporsi daun terinfeksi dapat memberikan informasi tentang potensi
10
penghambatan kitosan dan agens antagonis pada lingkungan mikro dalam hal ini satuan percobaan. Tabel 3 Kejadian penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST Galur
Kresna 15
Kresna 8
Perlakuan T.harzianum B.subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol T.harzianum B. subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
Kejadian penyakit (%)a 20.00d 53.30c 100.00a 86.70b 100.00a 40.00d 46.67c 80.00b 53.30c 100.00a
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%.
Kejadian penyakit karat dapat ditekan oleh aplikasi T.harzianum dan Bacillus subtilis serta kombinasi kitosan dengan Streptomyces (Tabel 3). Sementara itu, perlakuan kitosan menunjukkan tingkat kejadian yang sama dengan kontrol. Efektivitas kitosan bergantung pada konsentrasi yang digunakan, jenis kitosan (murni atau turunan), derajat polimerasi, inang, komposisi substrat, dan kondisi lingkungan. Aktivitas antimikroba juga meningkat seiring dengan peningkatan bobot molekul dari kitosan tersebut (Hadrami et al. 2010). Spesifisitas dari karateristik kitosan tersebut membutuhkan ukuran parametrik yang tepat dalam aplikasinya terhadap penekanan perkembangan penyakit tanaman. Penggunaan kitosan pada konsentrasi yang berlebihan dapat menurunkan ekfektivitas penghambatan patogen dan juga dapat menyebabkan pengaruh negatif lain pada tanaman. Perkembangan kejadian penyakit karat kedelai meningkat relatif pada 50 HST (hari setelah tanam) yang ditunjukkan pada Gambar 2. Pada 50 HST, tanaman kedelai berada pada awal fase generatif yaitu pembungaan. Intensitas infeksi penyakit karat meningkat pada awal fase pembungaan tersebut. Hal ini sesuai dengan teori dari Hartman et al. (1999) yang menyatakan bahwa seluruh fase perkembangan kedelai reseptif terhadap infeksi P.pachyrhizi namun gejala paling umum ditemukan pada akhir masa vegetatif (awal fase generatif). Hal tersebut berkaitan dengan kondisi lingkungan yang menjadi syarat cukup perkembangan bunga relatif sama dengan syarat cukup perkembangan dan pemencaran dari spora P.pachyrhizi yaitu pada suhu di atas 24 ºC dan kelembaban di atas 70%.
11 100
A
Kejadian penyakit (%)
90 80 70
T.harzianum
60
B.subtilis
50
Kitosan
40
Kitosan + Streptomyces
30
Kontrol
20 10 0 35 100
45
50
55
60
B
90
Kejadian penyakit (%)
40
80 70 60
T.harzianum
50
B.subtilis
40
Kitosan
30
Kitosan +Streptomyces
20
Kontrol
10 0 35
40
45
50
55
60
Hari setelah tanam Gambar 2 Perkembangan kejadian penyakit karat kedelai berbagai perlakuan pada galur Kresna 15 (A) dan Kresna 8 (B) Berdasarkan hasil percobaan, diketahu bahwa perlakuan kitosan, T.harzianum, B.subtilis, serta kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp. mampu menekan perkembangan penyakit karat. Gambar 3 menunjukkan bahwa perkembangan keparahan penyakit karat meningkat untuk semua perlakuan selama waktu pengamatan. Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh perlakuan memiliki keparahan penyakit yang lebih rendah dari kontrol. Keparahan penyakit terendah terdapat pada perlakuan T.harzianum baik pada galur Kresna 15 maupun Kresna 8. Penekanan perkembangan keparahan penyakit karat oleh B subtilis sama dengan T.harzianum dan lebih tinggi dari penekanan keparahan penyakit oleh kitosan dan kombinasi antara kitosan dan Streptomyces sp. Peningkatan keparahan penyakit pada keempat perlakuan memiliki slope yang relatif landai. Sementara itu, peningkatan keparahan penyakit pada kontrol memiliki slope yang relatif lebih curam.
12
Tabel 4 Keparahan penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST Galur
Keparahan penyakit penyakit (%)a 6.99c 12.72bc 17.75b 19.71b 39.10a
Perlakuan
Kresna 15
T.harzianum B.subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
Kresna 8
T.harzianum B. subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
9.37c 7.50bc 12.52b 9.94b 26.19a
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%.
Keparahan penyakit (%)
40
A
35 30 T.harzianum
25
B.subtilis
20
Kitosan
15
Kitosan + Streptomyces
10
Kontrol
5 0 35
Keparahan penyakit (%)
40 35
40
45
50
55
60
B
30 25
T.harzianum
20
B.subtilis
15
Kitosan
10
Kitosan +Streptomyces
5
Kontrol
0 35
40
45
50
55
60
Hari setelah tanam Gambar 3 Perkembangan keparahan penyakit karat kedelai berbagai perlakuan pada galur Kresna 15 (A) dan Kresna 8 (B)
13 Tabel 5 Laju infeksi penyakit karat kedelai Rata-rata laju infeksi pada perlakuan-xa Galur T.harzianum
B.subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
Kresna 15
0.160a
0.274ab
0.413b
0.402b
0.971c
Kresna 8
0.313ab
0.262ab
0.464b
0.366ab
0.751c
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%.
Perhitungan laju infeksi penyakit karat untuk masing-masing perlakuan pada kedua galur dapat dilihat pada tabel 4. Laju infeksi setiap perlakuan secara signifikan lebih rendah dari kontrol. Nilai rata-rata laju infeksi setiap perlakuan yang lebih rendah dari 0.5 dapat disebabkan karena patogen tidak terlalu agresif, varietas inang tahan, dan faktor lingkungan internal dan eksternal yang tidak mendukung perkembangan patogen (Manengkey dan Senewe 2011). Laju infeksi terendah terdapat pada perlakuan T.harzianum pada galur Kresna 15. Perbandingan antar kontrol menunjukkan bahwa galur Kresna 8 relatif lebih tahan terhadap infeksi penyakit karat. Berdasarkan data perkembangan kejadian dan keparahan penyakit karat, diketahui bahwa kitosan, T.harzianum, B.subtilis, dan kombinasi antara kitosan dan Steptomyces sp. efektif dalam pengendalian penyakit karat pada tanaman kedelai. Penghambatan Trichoderma harzianum terhadap cendawan patogen secara umum dapat terjadi dengan beberapa mekanisme. Mekanisme tersebut adalah hiperparasitisme dengan cara pelilitan hifa, produksi toksin yang bersifat antibiotik, perusakan sitoplasma yang menyebabkan terganggunya rangkaian sistesis protein cendawan patogen, penguasaan rhizosfer dan nutrisi, dan produksi enzim kitinase sebagai penghancur dinding sel cendawan (Howell 2014). Namun, mekanisme yang terjadi pada percobaan diduga merupakan hasil induksi ketahanan tanaman oleh T.harzianum terhadap patogen karat. Sriram et al. (2009) menyatakan bahwa T.harzianum dapat meningkatkan aktivitas enzim glukanase pada tanaman sebesar 22% dan meningkatkan kandungan fenol. Induksi ketahanan oleh T.harzianum tidak menyebabkan reaksi hipersensitif, nekrosis, dan fitotoksik. Hasil pengamatan agronomi juga menunjukkan bahwa perlakuan T.harzianum memiliki jumlah daun, jumlah bunga, dan jumlah polong yang lebih tinggi dari perlakuan lain. Potensi T.harzianum dalam pengendalian patogen-patogen tular tanah telah banyak diketahui. Potensi T.harzianum tersebut berkaitan dengan produksi toksin (trichodermin). Beberapa cendawan tular tanah yang dapat dikendalikan oleh T.harzianum adalah Rhizoctonia solani, Sclerotinia americana, Pythium ultimum, dan Macrophomia phaseolina (Howell 2014). Potensi antifungi T.harzianum dapat dioptimalkan dengan stimulasi tertentu. Penelitian terkini tentang pemanfaatan toksin dari T.harzianum adalah penambahan gen mutan untuk peningkatan efektivitas dari toksin tersebut. T.harzianum diketahui memiliki berbagai mekanisme yang memberikan pengaruh positif terhadap tanaman. T.harzianum dapat melakukan penetrasi ke jaringan epidermis dan korteks akar tanaman yang terinfeksi tanpa memberikan
14
pengaruh negatif jaringan tanaman yang tidak terinfeksi. T.harzianum memiliki dua jenis enzim kitinase, yaitu endokitinase dan eksokitinase. Endokitinase T.harzianum dapat meningkatkan ketahanan tanaman tembakau dan kentang terhadap patogen dalam spektrum yang luas, sementara eksokitinase dapat meningkatkan ketahanan tanaman apel terhadap penyakit kudis (Venturia inaequalis). Penelitian tentang peningkatan efektivitas T.harzianum juga dilakukan oleh Limon et al. (1999) dengan peningkatan ekspresi dari 33-kda kitinase. Perlakuan T.harzianum yang memiliki tingkat kejadian dan keparahan penyakit paling rendah pada percobaan ini didukung oleh peningkatan ketahahan tanaman. Peningakatan ketahanan tanaman tersebut terjadi dengan peningkatan kandungan enzim peroksidase dan peningkatan kandungan kalosa pada dinding sel tanaman. Peningkatan enzim peroksidase dan kalosa dapat menjadi penghalang fisik dan kimia terhadap penetrasi patogen pada bagian akar maupun daun (Howell et al. 2014). Penekanan penyakit karat kedelai juga dapat dilakukan oleh Bacillus subtilis. Kejadian dan keparahan penyakit karat pada perlakuan B.subtilis relatif rendah dan perkembangan penyakit pada perlakuan B.subtilis relatif tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat aktivitas antagonisme yang tinggi dari B.subtilis terhadap P.pachyrhizi. Selain sering digunakan sebagai agens biokontrol, beberapa strain B.subtilis juga digunakan sebagai pemicu pertumbuhan tanaman dengan memicu peningkatan produksi asam salisilat pada tanaman (Saharan dan Nehra 2011). Umumnya, mekanisme kerja bakteri sebagai agens biokontrol adalah produksi antibiotik. Produksi antibiotik bakteri memiliki aktivitas antifungi pada spektrum yang luas. Beberapa antibiotik yang dapat dihasilkan oleh bakteri dan patogenik terhadap cendawan adalah asam sianida, hidrogen sianida, mutan negatif sianida. Setiap bakteri antagonis memiliki antibiotik spesifik yang dapat berspektrum sempit maupun luas terhadap cendawan patogen. B.subtilis dapat menghasilkan mikosubtilin yang dapat mengendalikan Saccharomyces cerevisiae, Pythium sp., (Leclare et al. 2005) dan basicubin yang dapat mengendalikan Pyricularia oryzae, Sclerotinia scleotiorum, Rhizoctonia solani, Alternaria oleracea, A.brassicae, dan Botrytis cinerea (Yongfei et al. 2006). Fiddaman dan Rosall (1993) melakukan deteksi terhadap antibiotik volatil yang diproduksi oleh B.subtilis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas produksi antibiotik B.subtilis sangat bervariasi tergantung dari media dan suhu inkubasi yang digunakan. Media yang paling baik dalam menunjang produksi antibiotik tersebut adalah media potato dextrose agar (PDA) dan produksi antibiotik tidak optimal pada media nutrient agar (NA) dan tryptic soy agar (TSA). Untuk suhu inkubasi, produksi senyawa antibiotik volatil tersebut optimal pada suhu 30 ºC dan produksi tidak dapat berlangsung di bawah suhu 25 ºC. Aktivitas penghambatan B.subtilis terhadap cendawan patogen adalah kombinasi akumulasi toksin dan enzim pendegradasi sel cendawan. Dua kelas cendawan yang dapat dikendalikan secara efektif oleh B.subtilis adalah oomycetes dan basidiomycetes. B.subtilis dapat mengganggu pembentukan hifa dan mengganggu metabolisme di dalam vakuola. Streptomyces sp. merupakan bakteri berfilamen gram positif yang berasal dari golongan aktinomiset. Banyak spesies dan strain Streptomyces sp. yang sering dimanfaatkan sebagai agens biokontrol. Streptomyces sp. memiliki peran-
15 peran fisiologis yang bermanfaat untuk tanaman. Peran-peran tersebut di antaranya adalah peningkatan fungsi fisiologis tanaman inang, peningkatan toleransi tanaman terhadap kekeringan, dan penekanan populasi mikrob patogen dengan antibiosis dan kompetisi. Streptomyces sp. memproduksi berbagai senyawa bioaktif yang patogenik terhadap fungi, seperti novobiosin, alnomisin, munumbisin, kakadumisin, dan coronamisin. Mekanisme kerja dari Streptomyces sp. adalah mendegradasi dinding sel cendawan penyebab penyakit karat. Proses penghancuran tersebut merupakan aktivitas dari enzim kitinase. Penelitian Kim et al. (2003) menyatakan bahwa enzim kitinase dari Streptomyces sp. bekerja apaling optimal pada pH 5.0 sampai pH 6.0 dan suhu 30 ºC. Pada pH di bawah 4.0 dan suhu mencapai 60 ºC, enzim kitinase Streptomyces sp. kehilangan aktivitas antagonismenya. Pada kondisi optimal, enzim kitinase dapat digunakan untuk menghidrolisis kitin, kitotriosa, dan kitooligosakarida yang digunakan untuk pembentukan dinding sel cendawan patogen. Penelitian lain menunjukkan bahwa metabolit sekunder dari S.aureofaciens CMUAc 130 dapat mengendalikan Colletotrichum musae dan Fusarium oxysporum dengan produksi metabolit sekunder 5,7-dhimethoxy-4-pmethoxylphenilcoumarine yang dalam uji in vitro menyebabkan pengacauan sinyal pembentukan hifa sehingga terjadi penggumpalan metabolit pada pertumbuhan hifa cendawan (Taechowisan et al. 2005). Aktivitas antifungi pada aktinomiset lain (S.campsonii) terjadi karena adanya produksi antibiotik poliene yang dapat menyebabkan hidrolisis pati, kasein, gelatin, dan reduksi nitrat (Jain dan Jain 2007). Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam pengendalian cendawan patogen. Komponen utama kitosan dalam aktivitas antagonismenya adalah polikationik. Aasetil amino dan glukosamin pada kitosan yang bermuatan positif akan berikatan dengan bagian negatif dari makromolekul cendawan sehingga pertumbuhan cendawan terganggu. Selain menghambat pertumbuhan cendawan, kitosan juga dapat menyebabkan gangguan pada morfologi, struktur sel, dan molekuler cendawan patogen (Banos et al. 2006). Perubahan morfologi cendawan patogen yang disebabkan oleh kitosan adalah percabangan miselia yang terlalu banyak, bentuk miselia yang abnormal, dan reduksi ukuran hifa. Mekanisme ini terjadi pada cendawan Fusarium oxysporum, Rhizopus stolonifer, dan Slerotinia sclerotiorum yang diberi perlakuan kitosan. Selain penekanan terhadap patogen, kitosan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan peningkatan ketahanan tanaman terhadap patogen. Banos et al. (2006) juga menyatakan bahwa aktivitas kitinase dan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kedelai lebih bergantung pada periode pemaparan kitosan dibandingkan denhan konsentrasi dari kitosan tersebut. Kelebihan kitosan dibandingkan dengan agens pengendali lainnya adalah dapat dimanfaatkan pada setiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan berbagai organ tanaman. Contoh dari pernyataan tersebut adalah kitosan dapat memperlambat munculnya gejala busuk akar pada tanaman hortikultura dan menekan perkembangan penyakit tular tanah pada perbenihan (Banos et al. 2006), menekan perkembangan penyakit busuk buah pada jambu kristal (Kusumawardhany 2013) dan pepaya (Barus 2013). Selain dapat diaplikasikan secara tunggal, aktivitas kitosan juga sinergis dengan agens antagonis lain sepertiaktinomiset. Hal ini dibuktikan oleh
16
Amallia (2013) bahwa kombinasi kitosan dengan aktinomiset dapat mencegah penyakit antraknosa dan meningkatkan daya simpan buah cabai sampai 10 hari. Fitotoksisitas adalah potensi terjadinya keracunan pada tanaman pokok akibat aplikasi dari input eksternal baik input fisik, input kimia, dan input biologi. Fitotoksisitas pada tanaman dapat disebabkan karena adanya interaksi negatif dari input eksternal dengan ekosistem mikro tanaman. Fitotoksisitas merupakan salah satu rangkaian pengujian kelayakan dalam penggunaan bahan dan agens yang akan digunakan sebagai pengendali hayati penyakit tanaman. Gejala fitotoksik yang dapat ditemui akibat aplikasi input biologi diantaranya adalah daun menguning, layu, kerdil, bercak, dan mosaik dengan sebaran yang relatif merata baik dalam satu bagian tanaman maupun dalam satu tanaman.
Gambar 4 Tanaman dengan gejala yang diduga fitotoksik dari perlakuan Bacillus subtilis (a dan b), kitosan (c) Perlakuan T.harzianum serta kombinasi kitosan dan Streptomyces sp. tidak menunjukkan gejala fitotoksik. Tanaman yang diduga mengalami gejala fitotoksik ditemui pada perlakuan B.subtilis dan kitosan. Gambar 4 menunjukkan beberapa contoh tanaman yang diduga mengalami gejala keracunan akibat aplikasi kitosan dan agens antagonis yang digunakan. Pada perlakuan B.subtilis ditemukan 6 dari 15 tanaman yang pada bagian daunnya terdapat bercak berwarna merah kecoklatan. Bercak tersebut berbentuk bulat beraturan, menyebar pada permukaan atas daun, dan memiliki ukuran yang relatif sama. Hasil isolasi dan uji gram dengan larutan KOH 3% menunjukkan bahwa bercak tersebut disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif dengan ciri terdapat lendir pada saat pengujian gram. Gejala lain pada perlakuan B.subtilis yang awalnya diduga merupakan gejala fitotoksik adalah layu. Gejala tersebut ditemui pada 4 dari 15 tanaman pada galur Kresna 15 dan 2 dari 15 tanaman pada galur Kresna 8. Tanaman pada gejala tersebut berwarna coklat terang merata pada keseluruhan bagian tanaman. Hasil isolasi dan uji gram juga menunjukkan bahwa gejala tersebut disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif. Pada uji fitotoksisitas dengan menggunakan kitosan, ditemukan 7 dari 15 tanaman pada galur Kresna 15 yang batang bagian bawahnya terkelupas. Terkelupasnya batang bagian bawah tersebut ditunjukkan dengan kulit batang yang mengering dan jaringannya terpisah seperti serabut. Batang bagian bawah yang mengalami gejala tersebut merupakan area aplikasi kitosan pada 2 dan 4 MST. Penelitian Hadrami et al. (2010) menyatakan bahwa konsentrasi kitosan mempengaruhi aktivitasnya terhadap tanaman. Pernyataan lanjutan dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa jika diaplikasikan pada konsentrasi yang terlalu tinggi, kitosan dapat menyebabkan gejala seperti gosong pada buah, kering pada
17 daun dan batang tanaman, serta penggumpalan. Konsentrasi kitosan minimal yang dapat digunakan untuk menekan perkembangan cendawan patogen adalah 1 000 sampai 5 000 ppm sedangkan percobaan ini menggunakan konsentrasi 20 000 ppm. Hasil pengamatan terhadap gejala terkelupasnya batang bagian bawah kedelai diduga disebabkan oleh konsentrasi aplikasi kitosan yang terlalu tinggi, yaitu 1%. Gejala terkelupasnya batang bagian bawah juga terjadi pada tanaman dalam uji antagonisme namun dalam jumlah yang lebih sedikit dari tanaman dalam plot uji fitotoksisitas. Gejala tersebut diduga juga dapat disebabkan oleh aktivitas asam asetat yang konsentrasinya relatif tinggi dalam larutan kitosan, yaitu 20%. Perbandingan Karakter Agronomi Tanaman Kedelai dari Perlakuan Kitosan dan Agens Antagonis Perlakuan kitosan dan ketiga agens antagonis tidak hanya memberikan pengaruh terhadap penekanan perkembangan penyakit, tetapi juga memberikan pengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Parameter yang diamati pada pengamatan karakter agronomi kedelai adalah ukuran daun, jumlah tanaman berbunga dan jumlah tanaman berpolong pada awal fase generatif. Menurut Balitkabi (2013), awal fase generatif tanaman kedelai adalah pada 35 HST. Ukuran daun terbesar terdapat pada perlakuan T.harzianum. Ukuran daun yang besar dapat meningkatkan kapasitas penerimaan cahaya matahari untuk fotosintesis. Proses fotosintesis yang optimal akan mendukung perkembangan tanaman yang dapat diukur dari keragaan tanaman dan hasil panen yang tinggi. Hasil tersebut merupakan interaksi antara potensi kitosan agens antagonis yang diaplikasikan dengan karakter genetik dari masing-masing galur. Tabel 6 Jumlah daun kedelai galur Kresna 15 dan Kresna 8 dengan perlakuan kitosan dan agens antagonis Galur
Perlakuan
Kresna 15
T.harzianum B.subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
Kresna 8
T.harzianum B. subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
Rata-rata jumlah dauna Uji antagonisme Uji fitotoksisitas 21a 16a 10ab 12ab 11ab 10ab 12ab 9bc 9bc 13ab 14ab 11ab 11ab 11ab 10ab
19a 11ab 12ab 13ab 11ab
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%.
Jumlah daun kedelai pada aplikasi T.harzianum lebih tinggi daripada kontrol sedangkan perlakuan lain memiliki jumlah daun yang sama dengan kontrol (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa T.harzianum memiliki peran penting dalam peningkatan pertumbuhan tanaman selain memberikan sifat antagonis terhadap patogen. Sementara itu, tanaman pada uji fitotoksisitas galur
18
Kresna 15 serta data pada Kresna 8 memiliki jumlah daun yang sama pada pada kedua uji dan pengaruh perlakuan tidak ada yang berbeda dengan kontrol. Jika dibandingkan dengan jumlah daun usia tanaman 8 MST yang ditanam di lapangan, jumlah daun pada perocobaan ini relatif sedikit pada seluruh perlakuan kecuali perlakuan T.harzianum. Pada usia 8 MST, jumlah daun normal dalam keadaan optimum adalah 14 daun (Naibaho 2006). Jumlah daun yang relatif sedikit pada berbagai perlakuan ini diakibatkan oleh cekaman lingkungan. Cekaman lingkungan yang dialami oleh tanaman kedelai pada perlakuan ini adalah tanaman tidak terpapar cahaya matahari secara maksimal. Selain jumlah daun yang relatif sedikit, pada perlakuan juga ditemukan tanaman yang mengalami etiolasi. Etiolasi adalah pertumbuhan tanaman yang sangat cepat di tempat gelap namun kondisi tumbuhan lemah, batang tidak kokoh, daun kecil dan tumbuhan tampak pucat karena kekurangan atau ketiadaan cahaya matahari. Gejala etiolasi mencakup penambahan tinggi tanaman secara abnormal, melemahnya dinding sel pada daun dan batang, jarak antara ruas tanaman yang lebih panjang, dan klorosis (Whippo dan Hangarter 2006). Tabel 7 Jumlah tanaman berbunga dan berpolong dengan perlakuan kitosan dan agens antagonis
Kresna 15
T.harzianum B.subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
Jumlah tanaman Berbunga Berpolong (+) (-) (+) (-) 15a 15a 11b 13ab 4f 11b 2f 6def 8def 9cd 5e 6def 9cd 9cd 8c 6def 11b 15a 8c 13ab
Kresna 8
T.harzianum B. subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
11b 15a 15a 15a 10c
Galur
a
Perlakuan
15a 11b 12b 15a 9cd
6def 15a 14a 15a 10c
15a 7def 10c 13ab 7def
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%.
19
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan in planta, perlakuan T.harzianum, B.subtilis, dan kombinaasi kitosan dan Streptomyces sp. mampu menekan perkembangan infeksi dari Phakopsora pachyrhizi secara nyata dan tidak bersifat fitotoksik terhadap tanaman kedelai. Perlakuan kitosan secara tunggal mampu menekan perkembangan infeksi tetapi menunjukkan adanya gejala fitotoksik. Galur Kresna 8 relatif lebih tahan terhadap penyakit karat. Perlakuan Trichoderma harzianum direkomendasikan sebagai perlakuan yang memberikan hasil yang paling efektif. Saran Berdasarkan data yang diperoleh, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui konsentrasi kitosan dan ketiga agens antagonis yang paling baik dalam mekanisme penghambatan perkembangan penyakit karat dan tidak fitotoksik. Selain itu, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui potensi kitosan dan ketiga agens antagonis yang digunakan terhadap produksi kedelai.
20
DAFTAR PUSTAKA Amallia R. 2013. Keefektifan kitosan dan aktinomiset dalam pencegahan busuk antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby) Buah Cabai Merah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Balitkabi] Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. 2012. Teknologi Produksi Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Ubikayu, dan Ubi Jalar. Malang (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. [Balitkabi] Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. 2013. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918-2012. Malang (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Banos SB, Lauzardo ANH, Valle MGV, Lopez MH, Barka EA, Molina EB, Wilson CL. 2006. Chitosan as a potential natural compound to control pre and postharvest diseases of horticultural commodities. Crop Protection. 25(4):108-118. Barus DA. 2013. Pencegahan rebah dan busuk kecambah (Colletotrichum gloesoporioides (Penz.) Sacc.) pada pepaya Calina oleh beberapa agens biokontrol [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Benhamou N, Lafontaine PJ, Nicole M. 1994. Induction of systemic resistance to Fusarium crown and root rot in tomato plants by seed treatment by chitosan. Phytopathology. 11(8):25-31. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi padi, jagung, dan kedelai. [Internet]. [diunduh 2013 Sept 15]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi padi, jagung, dan kedelai. [Internet]. [diunduh 2014 Apr 15]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id Fiddaman PJ, Rossall S. 1998. The production of antifungal volatiles by Bacillus subtilis. Journal of Applied Bacteriology. 74(12):119-126. Fikri EN. 1994. Kemampuan mikroorganisme antagonis dan varietas moderat resisten untuk pengendalian patogen karat (Phakopsora pachyrhizi Syd.) pada kedelai [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Goosen MFA. 1997. Application of Chitin and Chitosan. Pennsylvania (US): Technomic Publishing Company Inc. Habazar T, Resti, Yanti Y, Trisno J, Diana. 2012. Penapisan bakteri endofit akar kedelai in planta untuk mengendalikan penyakit pustul bakteri. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 8(4):103-108. Hadrami AE, Adam LR, Hadrami IE, Daayf F. 2010. Chitosan in plant protection. Marine Drugs. 8(4):968-987. Hamdayanti, Yunita R, Amin N.N, Damayanti TA. 2012. Pemanfaatan kitosan untuk mengendalikan antraknosa pada pepaya (Colletotrichum gloeosporioides) dan meningkatkan daya simpan buah. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 8(4):97-102. Hartman GL, Sinclair JB, Rupe JC. 1999. Compendium of Soybean Diseases. Ed ke-4. Minnesota (US): American Phytopathological Society Press. Hasegawa S, Meguro A, Shimizu M, Nishimura T, Kunoh H. 2006. Endophytic actinomycetes and their intercations with host plants. Actinomycetologica. 20(2):72-81.
21 Hermosa R, Viterbo A, Chet I, Monte E. 2012. Plant-beneficial effects of Trichoderma and of it genes. Microbiology. 158(1):17-25. Howell CR. 2014. Mechanism employed by Trichoderma species in the biological control plant diseases: the history and evolution of current concepts. Plant Disease. 87(1):4-10. Jain PK, Jain PC. 2007. Isolation, characterization, and antifungal activity of Streptomyces campsonii GS 1322. Indian Journal of Experimental Biology. 46(1):203-206. Javandira C, Aini LQ, Abadi AL. 2013. Pengendalian penyakit busuk lunak umbi kentang (Erwinia carotovora) dengan memanfaatkan agens hayati. Jurnal Hama dan Penyakit Tanaman. 1(1):90-97. Khaeruni A, Rahman A. Penggunaan bakteri kitinolitik sebagai agens biokontrol penyakit busuk batang oleh Rhizoctonia solani pada tanaman kedelai. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 8(2):37-43. Kim KJ, Yang YJ, Kim JG. 2002. Purification and characterization of chitinase from Streptomyces sp. M-20. Journal of Biochemistry and Molecular Biology. 36(2):185-189. Kurniawan H. 2006. Penapisan Streptomyces spp. penghasil senyawa penghambat pertumbuhan Phakopsora pachyrhizi secara in vitro dan in planta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusumawardhany D. 2013. Potensi kitosan, khamir, aktinomiset, dan kombinasinya dalam menghambat busuk antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc) buah jambu kristal [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Leclare V, Bechet M, Adam A, Gues JS, Wathelet B, Ongena M, Thonart P, Gancel F, Chollet-Imbert M, Jacques P. 2005. Mycosubtilin overproduction by Bacillus subtilis BBG100 enhances the organism’s antagonistic and biocontrol activities. Applied and Environmental Microbiology. 71(8):4577-4584. Leifert C, Chidburee HLI, Hampson S, Workman S, Sigee D, Epton HAS, Harbour A. 1995. Antibiotic production and biocontrol activity by Bacillus subtilis CL27 and Bacillus pumilus CL45. Journal of Applied Bacteriology. 78(2):97-108. Limon MC, Pintor-Torro JA, Benitez T. 1999. Increased antifungal activity of Trichoderma harzianum transformants that overexpress a 33-kda chitinase. Phytopathology. 89(3):253-261. Manengkey GSJ, Senewe E. 2011. Intensitas dan laju infeksi penyakit karat daun Uromyces phaseoli pada tanaman kacang merah. Eugenia. 17(3):218-223. Naibaho K. 2006. Pengaruh jarak tanam dan pemupukan N lewat daun terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max (L.) Merril) pada budidaya jenuh air [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ramlan, Nurjanani. 2011. Pengenalan penyakit karat daun (Phakopsora pachyrhizi) dan pengelolaannya pada kedelai. Suara Perlindungan Tanaman. 1(4):9-15. Saharan BS, Nehra V. 2011. Plant growth promoting rhizobacteria: a critical review. Life Science and Medicine Research. 2011(1):1-15. Santosa B. 2003. Penyaringan galur kedelai terhadap penyakit karat daun isolat arjosari di rumah kaca. Buletin Plasma Nutfah. 9(1):26-31.
22
Santoso, Sumarmi. 2013. Pengendalian hayati patogen karat daun dan antraknosa pada tanaman dengan mikrobia filoplen. Jurnal Inovasi Pertanian. 11(1):35-43. Sinaga MS, Wiyono S. 1997. Hubungan tingkat serangan patogen karat (Phakopsora pachyrhizi Syd.) pada fase reproduktif dengan kehilangan hasil tanaman kedelai. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan. 9(1):25-31. Sriram S, Manasa SB, Savitha MJ. 2009. Potential use of elicitors from Trichoderma in induces systemic resistance for the management of Phytophthora capsici in red pepper. J.Biol.Control. 23(4):449-456. Sumartini. 2010. Penyakit karat pada kedelai dan pengendaliannya yang ramah lingkungan. Jurnal Litbang Pertanian. 29(3):107-113. Taechowisan T, Chunhua Lu, Shen Y, Lumyong S. 2005. Secondary metabolites from endophytic Streptomyces aureofaciens CMUAc130 and their antifungal activity. Microbiology. 151(1):1691-1695. Wardhana DW, Soesanto L, Utami DS. 2009. Penekanan hayati penyakit layu fusarium pada subang gladiol. Jurnal Hortikultura. 19(2):199-206. Whippo CR, Hangarter RP. 2006. Phototopism: bending towards englightenment. The Plant Cell. 18(5):1110-1119. Yongfei Liu, Zhiyi Chen, Ng TB, Jie Zhang, Mingguo Zhou, Fuping Song, Fan Lu, Youzhou Liu. 2006. Bacisubin, an tifungal protein with ribonuclease and hemagglutinating acitiviteis from Bacillus subtilis strain B-916. Crop Protection. 28(3):553-559. Zainudin, Abadi AL, Aini AL. 2014. Pengaruh pemberian plant growth promoting rhizocateria (Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens) terhadap penyakit bulai pada tanaman jagung. Jurnal Hama dan Penyakit Tanaman. 2(1):11-18.
23
LAMPIRAN
24 Lampiran 1 Larutan kitosan dan formulasi agens antagonis
Keterangan: Larutan kitosan (a), biakan Trichoderma harzianum (b), suspensi Bacillus subtilis (c), biakan Streptomyces sp. (d) Lampiran 2 Kejadian penyakit karat pada 40 sampai 60 HST Galur
Perlakuan
Kresna 15
T.harzianum B.subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
Kresna 8
T.harzianum B. subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
40 13.33 46.67 93.33 80
Persentase kejadian penyakit karat pada n-HST (%) 45 50 55 60 20 20 20 20 46.67 46.67 46.67 53.3 93.33 93.3 100 100 80 80 86.67 86.7
93.3
93.3
100
100
100
13.3 20 80 13.3
13.33 20 80 13.33
33.3 40 80 46.6
33.3 40 80 46.6
40 46.67 80 53.3
80
80
100
100
100
Lampiran 3 Laju infeksi karat pada 40 sampai 60 HST Galur
Perlakuan
Kresna 15
T.harzianum B.subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
Kresna 8
T.harzianum B. subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol
40-45 0.227 0.323 0.487 0.489
Laju infeksi pada selang pengamatan tertentu 45-50 50-55 55-60 0.174 0.177 0.062 0.399 0.060 0.311 0.799 0.247 0.119 0.294 0.681 0.080
1.241
2.197
1.167
1.162
0.447 0.150 0.506 0.155
0.293 0.506 0.534 0.453
0.239 0.116 0.606 0.775
0.272 0.275 0.212 0.080
0.723
1.073
1.602
0.405
Kresna 8
Kresna 15
Galur
T.harzianum 2.86 B. subtilis 3.8 Kitosan 2.86 Kitosan + 0.95 Streptomyces Kontrol 9.52
40 T.harzianum 3.81 B.subtilis 4.76 Kitosan 7.61 Kitosan + 12.38 Streptomyces Kontrol 20
Perlakuan
4.76 5.71 11.42 2.86 16.19
4.76 4.76 9.52 1.9
9.52
34.28
24.7
20
4.76 5.71 11.42 5.71
20.95
Atas 50 55 4.76 5.71 9.52 9.52 8.57 10.47 15.23 18.09
45 3.81 5.33 8.57 14.28
Lampiran 3 Keparahan penyakit karat pada 40 sampai 60 HST
23.6
5.89 7.86 13.1 6.26
38.4
10.48
1.9 0.95 2.85 2.85
18.09
15.2
4.76 2.86 2.85 2.85
20.95
21.01
7.62 6.67 5.71 5.71
34.28
25.71
10.47 7.61 9.52 9.52
34.67
28.79
13.34 9.81 10.02 10.03
38
12.38
2.86 0 1.9 1.9
20
Tingkat infeksi karat pada hari ke-x setelah tanam (%) Tengah 60 40 45 50 55 60 40 5.85 2.85 4.76 4.76 4.76 5.52 3.81 11.79 6.67 10.47 11.43 10.47 11.89 9.52 10.89 12.38 16.19 19.05 20.95 21.07 7.62 19.04 14.28 19.04 19.04 20.95 21.7 7.62
19.04
5.71 0 3.81 3.81
31.42
45 5.71 10.29 10.47 8.57
23.08
7.61 3.81 7.62 7.62
41.93
39.05
8.57 4.76 13.33 13.33
37.14
Bawah 50 55 7.61 9.52 11.42 13.33 20 20 11.42 17.14
43.89
8.88 4.83 14.45 13.54
40.9
60 9.61 14.49 21.3 18.4
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kisaran pada tanggal 24 Nopember 1992 dari Muhammad Sofian dan Erni Hayati. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK dan SD Diponegoro Kisaran pada tahun 2004, SMP Negeri 1 Kisaran pada tahun 2007, dan SMA Plus AlAzhar Medan tahun 2010. Penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2010 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Kegiatan intra dan ekstrakurikuler yang pernah diikuti penulis di IPB adalah menjadi asisten praktikum Dasar-Dasar Proteksi Tanaman (2012/2013), Pengendalian Hayati dan Pengelolaan Habitat (2013/2014), Biologi Cendawan (2013/2014), dan Ilmu Hama Tumbuhan Dasar (2013/2014). Penulis juga aktif sebagai pengurus Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan (2012), Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) pada divisi Potensi Sumber Daya Mahasiswa (2013) dan divisi Keprofesian (2014), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (2013). Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan dalam kegiatan departemen, fakultas, dan IPB. Pada tahun 2012 penulis mengikuti magang keprofesian di Laboratorium Nematologi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2013 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Desa Babakan Jaya, Kecamatan Gabus Wetan, Kabupaten Indramayu. Penulis merupakan mahasiswa berprestasi Departemen Proteksi Tanaman tahun 2014. Di tahun yang sama, penulis mengikuti Short Summer Course yang dilaksanakan oleh IPB dan Universitas Ibaraki, Jepang. Selama masa perkuliahan, penulis mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dari Direktorat Pendidikan Tinggi.