1
POTENSI Trichoderma spp. SEBAGAI AGENS HAYATI DALAM PENGENDALIAN Ganoderma sp. YANG MENYERANG TANAMAN SENGON
BENYAMIN DENDANG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Trichoderma spp. Sebagai Agens Hayati dalam Pengendalian Ganoderma sp. yang Menyerang Tanaman Sengon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Benyamin Dendang NIM 451090111
3
SUMMARY BENYAMIN DENDANG. The potency of Trichoderma spp. as biological agent in controling Ganoderma sp. atacking sengon plant. Under direction of ACHMAD, ELIS NINA HERLIYANA, AND DARMONO TANIWIRYONO.
Sengon (Falcataria mollucana) is one of the forestry plant that widely developed by the community of Indonesia farmers especially in Java Island. Nowadays, sengon is widely planted with a monoculture system, therefore emerging many serious problems in silvi-culture. One of the serious problems was attacked by the pathogenic fungi, Ganoderma sp., which mainly caused root rot diseases. This research was aimed to investigate the ability of Trichoderma spp. in controlling the in vitro growth of Ganoderma sp. and to evaluate the capability of T. harzianum in inhibiting the growth of Ganoderma sp. on sengon timber substrate at greenhouse. This research was carried out in three experimental stages as follow: stage 1: study the growth activity of Ganoderma sp.; stage 2: study the inhibition activity of Trichoderma spp. towards the growth of Ganoderma sp. and stage 3: control the growth of Ganoderma sp. on Sengon timber substrate at greenhouse. Our results showed that the growth rate of Ganoderma sp. was expert on PDA and MEA medium each 12 days and 14 days incubation, respectively. Afterwards, the petridish was full of the Ganoderma sp. mycelium after 14 days incubation. In this study, the average value of the growth of Ganoderma sp. on PDA medium (7.09 mm day-1) was significantly differs to the growth of Ganoderma sp. on MEA medium (5.41 mm day-1). Besides of that, the fastest growth of Trichoderma spp. was shown by T. pseudokoningii such as 38.14 mm day-1 and significantly differs to T. viride, 27.71 mm day-1 and T. harzianum, 26.31 mm day-1. Based on antagonistic test, T. harzianum exhibited the best inhibition to Ganoderma sp. on PDA medium up to 74.19% and significantly differ to T. pseudokoningii 59.37% and T. viride 41.36%. Similarly on MEA medium treatment T. harzianum exhibited the best inhibition to Ganoderma sp. up to 73.00% and significantly differ to T. pseudokoningii 60.22% and T. viride 51.58%. The inhibition growth of Ganoderma sp. on sengon timber substrate at greenhouse showed that after 1 week, there was a decreasing growth of Ganoderma sp. mycelium when the sengon timber was submerged (Xt1) and obtained the highest value of inhibition up to 1.12 cm on sterile soil treatment + T. harzianum, whilst on sterile soil treatment without T. harzianum, there was an increasing growth of Ganoderma sp. mycelium up to 0.67 cm. Likewise, after 2 weeks of sengon timber submersion (Xt2) on sterile soil treatment + T. harzianum there was a decreasing growth of Ganoderma’s mycelium up to 2.41 cm, whereas on sterile soil treatment without T. harzianum, there was an increasing growth of Ganoderma sp. mycelium up to 1.22 cm. Keywords: biological agent, Ganoderma sp., sengon, Trichoderma spp.
4
RINGKASAN BENYAMIN DENDANG. Potensi Trichoderma spp. Sebagai Agens Hayati dalam Pengendalian Ganoderma sp. yang Menyerang Tanaman Sengon. Dibimbing oleh ACHMAD, ELIS NINA HERLIYANA, DAN DARMONO TANIWIRYONO. Sengon (Falcataria mollucana) merupakan tanaman hutan rakyat yang banyak dikembangkan oleh petani hutan rakyat Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Dewasa ini penanaman sengon lebih banyak ditanam secara monokultur sehingga menimbulkan berbagai permasalahan yang serius. Salah satu masalah yang muncul adalah serangan penyakit Ganoderma sp. yaitu cendawan patogen yang dapat menyebabkan penyakit busuk akar. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mempelajari kemampuan Trichoderma spp. dalam menghambat pertumbuhan Ganoderma sp. secara in vitro dan mengevaluasi kemampuan Trichoderma spp. untuk mengendalikan Ganoderma sp. pada substrat balok kayu sengon di rumah kaca. Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan percobaan. Penelitian I, studi pertumbuhan Ganoderma sp. dan Trichoderma spp. secara in vitro. Penelitian II, uji penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan Ganoderma sp. Penelitian III, pengendalian Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di Rumah Kaca. Hasil penelitian studi pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. menunjukkan bahwa laju pertumbuhan koloni Ganoderma sp. tercepat pada media PDA selama 12 hari dan pada media MEA selama 14 hari cawan Petri terisi penuh dengan koloni. Rata-rata pertumbuhan koloni isolat Ganoderma sp. sebesar 7.09 mm hari-1 pada media PDA nyata lebih cepat dibanding pertumbuhan koloni isolat Ganoderma sp. pada media MEA sebesar 5.41 mm hari-1. Hasil penelitian studi pertumbuhan diameter koloni Trichoderma spp. menunjukkan bahwa laju pertumbuhan diameter koloni Trichoderma spp. secara berturut-turut tertinggi pada T. pseudokoningii sebesar 38.14 mm hari-1 nyata lebih cepat dibanding T. viride sebesar 27.71 mm hari-1 dan T. harzianum 26.31 mm hari-1. Uji penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan Ganoderma sp. pada media PDA diperoleh rata-rata persentase penghambatan terbaik pada T. harzianum sebesar 74.19% nyata lebih cepat dibanding T. pseudokoningii sebesar 59,37% dan T. viride sebesar 41.36%. Demikian halnya pada media MEA diperoleh rata-rata persentase penghambatan terbaik pada perlakuan T. harzianum (73.00%), berbeda nyata dengan T. pseudokoningii (60.22%), dan T. viride (51.58%). Hasil penelitian pengendalian Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di rumah kaca diperoleh penurunan pertumbuhan panjang koloni Ganoderma sp. satu minggu setelah balok kayu dibenam (Xt1) diperoleh nilai penurunan panjang koloni tertinggi pada perlakuan tanah steril + T. harzianum (1.12 cm), sedang pada perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum terjadi pertambahan panjang koloni sebesar 0.67 cm. Demikian halnya pada dua minggu setelah balok kayu di benam (Xt2) pada perlakuan tanah steril + T. harzianum terjadi penurunan panjang koloni tertinggi sebesar 2.41 cm, sedang pada perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum terjadi pertambahan panjang koloni Ganoderma sp. sebesar 1.22 cm. Kata kunci : agensia hayati, Ganoderma sp., sengon, Trichoderma spp.
5
POTENSI Trichoderma spp. SEBAGAI AGENS HAYATI DALAM PENGENDALIAN Ganoderma sp. YANG MENYERANG TANAMAN SENGON
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
6
POTENSI Trichoderma spp. SEBAGAI AGENS HAYATI DALAM PENGENDALIAN Ganoderma sp. YANG MENYERANG TANAMAN SENGON
BENYAMIN DENDANG
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
7
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Bonny Purnama Wahyu Soekarno, MS
Judul Tesis : Potensi Trichoderma spp Sebagai Agens Hayati dalam Pengendalian Ganoderma sp. yang Menyerang Tanaman Sengon : Benyamin Dendang Nama : E451090111 NIM
Disetujui oleh
Dr Ir Achmad, MS
Ketua
Dr Ir Elis Nina Herliyana, MSi Anggota
Dr It Dannono Taniwiryono, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Silvikultur Tropika
, Dr Ir Basuki Wasis, MS
Tanggal Ujian : 28 Juni 2013
-
Tanggal Lulus:
L 9 JUL LU 13
8
Judul Tesis Nama NIM
: Potensi Trichoderma spp. Sebagai Agens Hayati dalam Pengendalian Ganoderma sp. yang Menyerang Tanaman Sengon : Benyamin Dendang : E451090111
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Achmad, MS Ketua
Dr Ir Elis Nina Herliyana, MSi
Dr Ir Darmono Taniwiryono, MSc Anggota
Anggota
Diketahui oleh . Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Silvikultur Tropika
Dr Ir Basuki Wasis, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 28 Juni 2013
Tanggal Lulus :
9
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 sampai bulan Juli 2012 ini dengan judul Potensi Trichoderma spp. Sebagai Agens Hayati Dalam Pengendalian Ganoderma sp. yang Menyerang Tanaman Sengon. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Achmad, MS, Ibu Dr Ir Elis Nina Herliyana, MSi, dan Bapak Dr Ir Darmono Taniwiryono, MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pusat Diklat Kehutanan Kementrian Kehutanan yang telah memberikan waktu dan dana untuk melaksanakan studi. terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Benyamin Dendang
10
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
x xi
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA
1 1 2 2 2
Sengon (F. moluccana) Ganoderma sp. Potensi Mikroorganisme Saprofitik Sebagai Agens Pengendali Hayati Trichoderma spp.
2 4 5 5
METODE PENELITIAN
6
Tempat dan Waktu Bahan dan Alat
6 6
Prosedur Penelitian Percobaan I Pertumbuhan Diameter Koloni Ganoderma sp.
7 7
Pertumbuhan Diameter Koloni Trichoderma spp. Percobaan II Uji penghambatan Trichoderma spp. Percobaan III Pengendalian Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di Rumah Kaca HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Diameter Koloni Ganoderma sp. Pertumbuhan Diameter Koloni Trichoderma spp. Penghambatan Trichoderma spp. terhadap Pertumbuhan Ganoderma sp.
7 8 10 12 12 12 13 15
Pengendalian Ganoderma sp. pada Balok Kayu Sengon di Rumah Kaca Pembahasan
17 19
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
23 23 23 24
11
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Metode biakan ganda Ganoderma sp. dan Trichoderma spp. pada cawan konfrontasi berdiameter 9 cm Pengukuran panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu sengon Pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. pada media PDA dan MEA Rata-rata pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. pada media PDA dan MEA Pertumbuhan diameter koloni Trichoderma spp. pada media PDA dan MEA Rata-rata pertumbuhan diameter koloni Trichoderma spp. pada media PDA dan MEA Penghambatan pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. dengan Trichoderma spp. pada media PDA dan MEA Persentase penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. pada media PDA dan MEA Pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu sengon di rumah kaca Rata-rata pertumbuhan panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu sengon di rumah kaca
9 11 12 12 14 15 16 17 18 18
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Sidik ragam laju pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. Sidik ragam pertumbuhan diameter koloni Trichoderma spp. Sidik ragam penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. Sidik ragam panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu (Xt1) Sidik ragam panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu (Xt2) Komponen penyusun media PDA dan MEA
28 28 28 28 28 29
12
PENDAHULUAN Latar Belakang Sengon (Falcataria mollucana) merupakan salah satu jenis tanaman hutan rakyat yang paling banyak dikembangkan oleh masyarakat dalam sistem agroforestry di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena pertumbuhannya yang cepat, nilai ekonominya tinggi dan pemasaran yang relatif mudah. Secara umum, di Jawa terdapat hutan rakyat seluas hampir 400 000 hektar dan mampu memasok 895 000 m3 kayu pertahunnya. Jumlah tersebut terdapat 10% serapan kayu berbagai industri di pulau jawa. Pasokan kayu sengon pada hutan rakyat di pulau Jawa sebesar 2.29% ha-1tahun-1 (Mile 2003). Sengon menghasilkan kayu yang berwarna terang, umumnya sebagai bahan baku veneer dan juga dipakai sebagai bahan untuk kayu pertukangan. Dengan semakin maraknya penanaman sengon yang ditanam dengan pola monokultur, maka menimbulkan berbagai permasalahan yang serius. Salah satu masalah yang muncul adalah adanya serangan penyakit Ganoderma sp. Serangan Ganoderma sp. di lapangan sulit dideteksi karena gejala yang ditimbulkan mirip dengan gejala serangan penyakit akar lainnya termasuk gejala kekeringan. Meskipun tanaman sudah menunjukkan gejala sakit, namun tubuh buah Ganoderma sp. kadang-kadang belum terbentuk. Di lain pihak, pada tanaman yang tampak sehat dapat ditemukan tubuh buah Ganoderma sp. pada pangkal batang. Kerusakan hutan tanaman industri A. mangium di Sumatera dan Kalimantan yang diakibatkan oleh Ganoderma sp. mencapai 3-28% (Irianto et al. 2006). Ganoderma sp. telah dilaporkan menyerang tanaman tanaman sengon dan pohon jenis penaung pada tanaman kopi dan kakao di Jawa Barat dan Jawa Timur (Herliyana et al. 2012). Munculnya serangan penyakit yang disebabkan cendawan Ganoderma sp. meresahkan semua pengelolah hutan, terutama untuk hutan rakyat karena sulit untuk dikendalikan. Ketika gejala dan tanda serangannya sudah parah, maka tanaman tersebut sudah tidak mungkin diselamatkan lagi. Serangan Ganoderma sp. dapat terjadi apabila ada interaksi antara akar dengan Ganoderma sp.. Interaksi tersebut mengakibatkan tunggul hasil tebangan dapat menjadi sumber penyakit. Tunggul yang terserang Ganoderma sp. tidak mampu untuk bertunas. Segala upaya pengendalian harus ditujukan terutama untuk melindungi tanaman yang sehat pada semua tingkat umur dan melindungi tunggul tanaman pasca penebangan pohon dari penularan serangan Ganoderma sp.. Dalam upaya pengendalian penyakit pada tanaman sengon para pengelola hutan termasuk petani hutan rakyat lebih memilih menggunakan fungisida sintetik dengan alasan praktis, mudah diperoleh dan hasilnya lebih cepat terlihat. Oleh karena dampak penggunaan fungisida sintetik yang merusak lingkungan maka perlu dilakukan upaya pengendalian yang ramah lingkungan. Pengendalian yang ramah lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan agens hayati yaitu dengan memanfaatkan cendawan yang bersifat antagonistik terhadap cendawan patogen. Pengendalian Ganoderma sp. pada sengon pada saat ini masih ke arah efektivitas dan ekonomis, belum ke arah kelestarian terhadap lingkungan. Perlindungan tanaman sebaiknya berwawasan terhadap keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Konsep tersebut sesuai dengan UU No. 12 Tahun 1992,
13
pasal 22 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang dan/atau badan hukum dilarang menggunakan sarana dan atau cara yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan atau lingkungan hidup. Konsep perlindungan hutan juga dijabarkan dalam PP No. 6 Tahun 1995 yang menyatakan agar setiap orang tidak sembarangan menggunakan cara dan sarana melakukan perlindungan tanaman. Ayat ini memprioritaskan cara-cara perlindungan tanaman non-kimiawi agar tidak mengganggu kesehatan, merusak sumber daya alam dan membunuh agens hayati. Pengendalian Ganoderma sp. yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan membutuhkan agens hayati yang berpotensi sebagai pengendali. Salah satu agens hayati adalah Trichoderma spp., yang merupakan salah satu dari agens hayati dalam mencari bahan pengganti pestisida kimia untuk mengendalikan penyakit patogen tular tanah termasuk Ganoderma sp.. Trichoderma dilaporkan mempunyai sifat antagonistik terhadap patogen tular tanah (Widyastuti. 1998; Widyastuti et al. 1999).
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Mempelajari kemampuan Trichoderma spp. dalam menghambat pertumbuhan Ganoderma sp. secara in vitro. 2. Mengevaluasi kemampuan Trichoderma spp. untuk mengendalikan Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di rumah kaca. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai informasi mengenai potensi Trichoderma spp. sebagai agensia hayati terhadap pengendalian Ganoderma sp. pada kayu sengon sehingga dapat mengurangi kerugian ekonomis yang diakibatkannya.
TINJAUAN PUSTAKA Sengon (F. mollucana) Sengon dalam bahasa latin disebut F. mollucana termasuk famili Mimosaceae, keluarga peta-petaian. Di Indonesia, sengon memiliki beberapa nama daerah seperti jeunjing (Sunda), kalbi, sengon landi, sengon laut, atau sengon sabrang (Jawa). Maluku : seja (Ambon), sikat (Banda), tawa (Ternate), dan gosui (Tidore). Sengon dapat mencapai tinggi sekitar 30-45 meter dengan diameter batang sekitar 7080 cm. Bentuk batang bulat dan tidak berbanir. Kulit luarnya berwarna putih atau kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas. Berat jenis kayu rata-rata 0.33 dan termasuk kelas awet IV-V. Kayu sengon digunakan untuk tiang bangunan rumah, papan peti kemas, peti kas, perabotan rumah tangga, pagar, kotak korek api, veneer, kertas dan lain-lainnya (Martawijaya et al. 1989).
14
Tajuk sengon berbentuk menyerupai payung, rimbun, dan daun yang tidak terlalu lebat. Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dengan anak daun yang kecil-kecil dan mudah rontok. Warna daun sengon hijau pupus, berfungsi untuk menyerap energi dari cahaya dan sekaligus sebagai penyerap karbon dioksida dari udara bebas. Sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus ke dalam tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun dan tidak menonjol ke permukaan tanah. Bintil akar berfungsi untuk menyimpan zat nitrogen, oleh karena itu tanah di sekitar tanaman sengon menjadi subur. Bunga sengon tersusun dalam malai berukuran panjang 12 mm, berwarna putih kekuningan dan sedikit berbulu, berbentuk seperti saluran atau lonceng. Bunganya biseksual, terdiri dari bunga jantan dan bunga betina. Buah sengon berbentuk polong, pipih, tipis, tidak bersekat-sekat dan berukuran panjang 10-13 dan lebar 2 cm. Setiap polong buah berisi 15-20 biji. Biji sengon berbentuk pipih, lonjong, tidak bersayap, berukuran panjang 6 mm, berwarna hijau ketika masih muda dan berubah menjadi kuning sampai coklat kehitaman jika sudah tua, agak keras dan berlilin (Soerianegara dan Lemmens 1993). Sengon dapat tumbuh optimal pada ketinggian antara 0-800 m dpl. Walapun demikian, sengon masih dapat tumbuh sampai ketinggian 1500 m di atas permukaan laut. Sengon termasuk jenis tanaman tropis, sehingga memerlukan suhu sekitar 18-27 °C untuk pertumbuhannya. Curah hujan mempunyai beberapa fungsi untuk tanaman, diantaranya sebagai pelarut zat nutrisi, pembentuk gula dan pati, sarana transportasi hara dalam tanaman, pertumbuhan sel dan pembentukan enzim, serta menjaga stabilitas suhu. Sengon membutuhkan batas curah hujan minimum yang sesuai, yaitu 15 hari hujan dalam 4 bulan terkering dan memiliki curah hujan tahunan yang berkisar antara 2000-4000 mm dengan kelembaban sekitar 50-75%. Di Jawa, sengon dilaporkan dapat tumbuh di berbagai jenis tanah kecuali tanah grumusol (Charomaini dan Suhaendi 1997). Pada tanah latosol, andosol,aluvial dan podzolik merah kuning, sengon tumbuh sangat cepat. Pada tanah marginal, pupuk mungkin diperlukan pada awal petumbuhan, selanjutnya pertumbuhan sengon akan lebih cepat karena kemampuan untuk mengikat nitrogen meningkat. Sengon termasuk jenis pionir yang dapat tumbuh di hutan primer, hutan hujan dataran rendah sekunder dan hutan pegunungan, padang rumput dan di sepanjang pinggir jalan dekat laut. Di habitat alaminya di Papua, sengon berasosiasi dengan Agathis labillardieri, Celtis spp., Diospyros spp., Pterocarpus indicus, Terminalia spp., dan Toona sureni (Soerianegara dan Lemmens 1993). Peningkatan produktivitas persatuan luas (peningkatan produksi secara vertikal), merupakan faktor penting yang berdampak nyata terhadap peningkatan pendapatan petani. Awang et al. (2002) mengemukakan bahwa, kajian tentang sosial ekonomi hutan rakyat sudah banyak dilakukan oleh para ilmuwan dan peneliti namun upaya yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas belum banyak tersedia. Hal ini disebabkan oleh upaya peningkatan produktivitas per satuan luas belum dikembangkan melalui uji coba pengembangan teknologi tepat guna di lapangan. Mile (2003) mengemukakan bahwa tanaman sengon yang dikembangkan di hutan rakyat saat ini banyak yang tidak optimal pertumbuhannya, sekalipun berada pada kondisi yang sesuai baik dari segi kesesuaian tanah maupun dari segi kesesuaian agroklimat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu semakin menurunnya kesuburan tanah, munculnya berbagai
15
serangan hama dan penyakit dan kurangnya monitoring yang dilakukan oleh para petani hutan rakyat. Ganoderma sp. Ganoderma sp. termasuk dalam kelas Basidiomycetes yang dapat menyebabkan busuk akar pada berbagai jenis tanaman keras, melalui kemampuannya dalam menghancurkan lignin, menghancurkan selulosa dan berkaitan dengan pengaruhnya terhadap polisakarida (Hepting 1971; Blanchette 1984; Adaskaveg dan Ogawa 1990). Ganoderma sp. pertama kali dilaporkan oleh Karsten (1881) dengan G. lucidum sebagai satu-satunya jenis. Ganoderma sp. digolongkan ke dalam Ganodermataceae, Aphylophorales, Basidiomycetes, dan Basidiomycotina. Ganoderma sp. mempunyai tubuh buah yang berpori pada bagian bawahnya dengan bentuk, ukuran, dan warna yang beragam. Ganoderma sp. dijumpai secara luas menyerang tanaman inang berdaun lebar (Phillips dan Burdekin 1989), namun gejala terjadinya busuk akar yang disebabkan oleh Ganoderma sp. telah ditemukan pada tanaman akasia di Australia bagian utara, di Peninsular Malaysia dan Sumatera Utara (Lee 1996). Penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Ganoderma sp. telah tercatat sebagai penyakit yang paling berbahaya menyerang A. mangium di Bengal Barat, India (Sharma dan Florensce 1996). Di Indonesia, Ganoderma sp. merupakan penyakit utama pada berbagai tanaman kehutanan termasuk sengon (Basset dan Peters 2003; Salomon et al. 1993). Ganoderma sp. juga menyerang tanaman kelapa sawit dengan tingkat kematian 50% (Turner 1981). Gejala yang timbul akibat penyakit Ganoderma sp. adalah daun menguning, kering dan akhirnya rontok (Semangun 2000). Sedangkan pada akar terlihat adanya selaput miselium berwarna merah bata. Miselium yang baru tumbuh umumnya berwarna putih krem dan warna merah yang khas apabila miselium menjadi tua. Pada tingkatan serangan lebih lanjut, Ganoderma sp. membentuk badan buah (basidiokarp) pada pangkal batang (Rahayu 1994). Infeksi Ganoderma sp. diakibatkan oleh adanya kontak antara akar yang sehat dengan akar yang sakit. Meskipun cendawan membentuk rizomorf, tetapi rizomorfnya tidak dapat berjalan bebas dalam tanah terlepas dari alas makanannya. Spora tidak dapat menginfeksi tanaman yang sehat, tetapi spora dapat menginfeksi tunggul-tunggul yang segar dari tanaman yang rentan dan dapat menjadi sumber infeksi baru. Sengon terinfeksi dari tunggul dan sisa-sisa akar pohon atau pohon-pohon yang tua. Ganoderma sp. tumbuh dengan baik pada medium yang mempunyai pH 6.0-7.0. dapat bertahan lebih lama pada akar tanaman dan pada tonggak-tonggak kayu di dalam tanah dibanding dengan cendawan patogen lainnya (Semangun 2000). Perkembangan Ganoderma sp. berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan biasanya lebih dari delapan tahun (Allen 1994).
16
Potensi Mikroorganisme Saprofitik Sebagai Agensia Pengendali Hayati Ganoderma sp. Pengendalian hayati merupakan penurunan jumlah inokulum atau aktivitas menghasilkan penyakit suatu patogen yang dilaksanakan dengan atau melalui satu atau lebih mikroorganisme selain manusia (Cook dan Baker 1983). Pengendalian hayati dapat dilaksanakan melalui praktek budidaya dan pemuliaan tanaman untuk meningkatkan resistensi terhadap patogen atau kesesuaian tanaman inang untuk aktivitas antagonis; melalui introduksi massal antagonis, ras nonpatogenik, organisme atau agens berguna lainnya (Lewis dan Papavizas 1991). Aktivitas penyakit termasuk didalamnya adalah pertumbuhan, virulensi, dan agresifitas. Faktor lain dari patogen adalah termasuk 1) individu atau populasi avirulen atau hipovirulen dari spesies patogen itu sendiri, 2) manipulasi genetik tanaman inang, kultur teknis, atau dengan menggunakan mikroorganisme untuk meningkatkan ketahanan tanaman inang terhadap patogen, dan 3) pemanfaatan antagonis patogen yang diartikan sebagai mikroorganisme yang menginterfensi pertahanan atau aktivitas produksi penyakit dari patogen. Pengendalian hayati dapat berupa kultur teknis (pengelolaan habitat) sehingga membuat lingkungan mendukung untuk pertumbuhan antagonis, penggunaan tanaman inang yang resisten, atau keduanya, persilangan tanaman untuk meningkatkan ketahanan terhadap patogen atau keadaan tanaman inang yang mendukung (disukai) untuk aktivitas antagonis, introduksi antagonis, strain non-patogenik, dan agen atau organisme lain yang mempunyai manfaat yang sama. Salah satu contoh pengendalian hayati adalah dengan memanfaatkan Trichoderma spp. sebagai organisme yang mempunyai kemampuan antagonistik dalam mengendalikan penyakit tanaman. Trichoderma spp. merupakan cendawan yang sangat umum dijumpai dalam tanah dan merupakan cendawan yang bersifat antagonistik terhadap cendawan. Trichoderma spp. Trichoderma spp. merupakan cendawan inperfekti (tidak sempurna) dari Subdivisio Deuteromycotina, Kelas Hyphomycetes, Ordo Moniliaceae. Konodiofor tegak, bercabang banyak, agak berbentuk kerucut, dapat membentuk klamidiospora, pada umumnya koloni dalam biakan tumbuh dengan cepat, berwarna putih sampai hijau (Cook dan Baker 1989). Bentuk sempurna dari cendawan ini secara umum dikenal sebagai Hipocreales atau kadang-kadang Eurotiales, Clacipitales dan Spheriales. Morfologi beberapa spesies Trichoderma menurut Cook dan Baker (1989) sebagai berikut: 1) Trichoderma viride, konidiofor berakhir pada fialid, fialospora mempunyai dinding yang kasar, berwarna hijau, berukuran antara 2.8-5.0 X 2.8-4.5 mm, dan koloni cepat tumbuh. 2) Trichoderma harzianum, konidiofor berakhir pada fialid, fialospora halus, berwarna hijau, berukuran antara 2.4-3.2 X 2.2-2.8 mm, dan koloni cepat tumbuh. 3) Trichoderma pseudokoningii; konidiofor berakhir pada fialid, fialospora halus, berwarna hijau, eliptik-silindris, berukuran 3-4.8 X 1.9-2.8 mm, dan koloni cepat tumbuh. Trichoderma spp. merupakan salah satu cendawan tanah yang dominan yang bersifat saprotrof sehingga secara ekologis mampu berkompetisi dengan cendawan yang lain dan mampu mengkolonisasi berbagai substrat yang ada di
17
hutan, sehingga Trichoderma spp. dapat dikembangkan sebagai agensia pengendali hayati cendawan patogen tular tanah (Reese dan Mendels 1959; Hadar et al. 1979; Elad et al. 1983). Trichoderma spp. menghasilkan 3 tipe propagul yang dapat digunakan sebagai bahan formula, yaitu : hifa, klamidiospora dan konidia (Papavizas 1985). Trichoderma spp. mempunyai daya antagonis yang tinggi dan dapat menghasilkan racun, sehingga dapat menghambat dan mematikan cendawan lain (Webster dan Dennis 1971). Widyastuti et al. (2001) menyatakan bahwa isolat Trichoderma spp. telah menghambat secara penuh miselia cendawan patogen skala in vitro. Daya hambat Trichoderma spp. tersebut sebesar 91.13-93.49% dengan menggunakan konsentrasi 103 dan 105 . Mekanisme Trichoderma spp. sebagai agens hayati berlangsung setelah konidianya tumbuh dan berkembang di sekitar perakaran tanaman yang berfungsi sebagai mikoparasitik dan akan menekan populasi cendawan patogen yang ada pada akar tanaman. Pengendalian penyakit yang disebabkan oleh cendawan patogen dengan menggunakan cendawan Trichoderma spp. selain dapat menekan pertumbuhan penyakit akar putih, juga diduga dapat mempengaruhi keragaman serta kepadatan populasi cendawan tanah. Mekanisme pengendalian Trichoderma spp. dengan cara membelit atau tumbuh disepanjang hifa inang dan membentuk sruktur semacam kait yang membentuk penetrasi ke dalam dinding sel inang (Chet et al. 2004).
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Juli 2012 di Laboratorium Patologi Hutan dan di Rumah Kaca Ekologi, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah : Biakan Trichoderma harzianum yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Perkebunan Bogor, Trichoderma viride yang diperoleh dari Laboratorium Mikologi UGM, Trichoderma pseudokoningii yang diperoleh dari Seameo Biotrop, tubuh buah Ganoderma sp. diperoleh dari tunggul sengon di Desa Baregbeg Kabupaten Ciamis, aquades, media Potato Dextrose Agar (PDA), media Malt Extact Agar (MEA), tanah steril, tanah tidak steril, alkohol, spirtus, dan balok kayu sengon. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : otoklaf, Laminar Air Flow, oven, inkubator, cawan Petri, bunsen, sundip, kapas, timbangan analitik, mikroskop, polibag, kamera digital, mistar, dan alat tulis.
18
Prosedur Penelitian Penelitian dilakukan dengan 3 percobaan. Percobaan 1: Pertumbuhan koloni Ganoderma sp., dan pertumbuhan koloni Trichoderma spp. Percobaan 2: Uji penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan Ganoderma sp., dan Percobaan 3: Pengendalian Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di Rumah Kaca. Percobaan 1 Pertumbuhan Diameter Koloni Ganoderma sp. Ganoderma sp. diisolasi dari tubuh buah yang diambil dari tunggul sengon. Tubuh buah dipotong secara melintang menjadi beberapa bagian, kemudian mengambil daging buah (konteks) untuk ditanam pada media PDA di dalam cawan Petri yang berdiameter 9 mm (Steyaert 1967). Setiap cawan Petri ditanam tiga potongan konteks. Setelah isolat tumbuh, maka dilanjutkan dengan pemurnian, yaitu mengambil bagian dari isolat yang tidak terkontaminasi oleh cendawan atau mikroorganisme lain, kemudian diisolasi kembali pada cawan Petri. Selanjutnya biakan hasil pemurnian diisolasi pada dua macam media yaitu media PDA dan MEA dengan menggunakan kok bor 6 mm dan diletakkan pada bagian tengah cawan Petri. Pengamatan dan Analisis Data Pengambilan data dilakukan dengan mengukur pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. sampai cawan Petri terisi penuh dan dilakukan setiap hari. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dimana faktor perlakuannya adalah dua macam media yaitu media PDA dan MEA dengan tiga kali ulangan. Model linier dari pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. yaitu:
Yijk = μ + δi + εij Keterangan : Yij : Diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada media ke-i, ulangan ke-j μ : Nilai tengah pengamatan δi : Pengaruh media ke-i εij : Pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j Data kuantitatif dari diameter pertumbuhan koloni dianalisis dengan menggunakan SAS 9.00. Apabila terdapat data yang signifikan akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Pertumbuhan Diameter Koloni Trichoderma spp. Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan diameter koloni dari tiga jenis Trichoderma (T. harzianum, T. viride, dan T. pseudokoningii) pada media PDA dan MEA. Pengujian masing-masing dilakukan pada ketiga isolat
19
Trichoderma yaitu dengan meletakkan potongan koloni isolat yang diambil dari pada tengah cawan Petri berdiameter 9 cm yang berisi media PDA dan MEA dengan menggunakan kok bor 6 mm Biakan tersebut diinkubasi pada suhu ruangan sampai cawan Petri terisi penuh. Pengamatan dan Analisis Data Peubah yang diamati pada percobaan ini adalah mengukur pertumbuhan diameter koloni masing-masing jenis Trichoderma sampai cawan Petri terisi penuh dan pengukuran dilakukan setiap hari. Penelitian ini disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dimana faktor perlakuannya adalah T. harzianum, T. viride, T. pseudokoningii dan dua macam media yaitu media PDA dan MEA. masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Model linier dari pertumbuhan koloni Trichoderma spp. adalah sebagai berikut: Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk : Diameter koloni isolat jenis Trichoderma ke-i, media ke-j dan ulangan ke-k μ : Nilai tengah pengamatan αi : Pengaruh jenis Trichoderma ke-i βj : Pengaruh jenis media ke-j (αβ)ij : Pengaruh interaksi jenis Trichoderma ke-i, media ke-j εijk : Pengaruh galat pada jenis Trichoderma ke-i, media ke-j, dan ulangan kek Data kuantitatif dari diameter pertumbuhan koloni dianalisis dengan menggunakan SAS 9.00. Apabila terdapat data yang signifikan akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Percobaan 2 Uji Penghambatan Trichoderma spp. terhadap Pertumbuhan Ganoderma sp. Penelitian ini dilakukan dengan biakan ganda (Coșkuntuna dan Özer 2007). Uji penghambatan dilakuan pada ketiga jenis Trichoderma dengan menggunakan media PDA dan MEA. Petri (9 cm) diinokulasikan dengan biakan Ganoderma sp. diameter 6 mm usia 10 hari. Setelah biakan Ganoderma sp. berumur 5 hari, kemudian masing-masing biakan Trichoderma dengan ukuran yang sama di kulturkan dari arah yang berlawanan (Gambar 1). Petri disimpan dalam inkubator 23 0c. Kontrol yang digunakan adalah isolat tanpa Trichoderma dengan ulangan sebanyak 3 kali. Perlakuan yang memberikan penghambatan yang lebih bagus akan digunakan untuk penelitian selanjutnya di rumah kaca.
20
Trichoderma spp.
Ganoderma sp.
b
a
Gambar 1 Metode biakan ganda Ganoderma sp. dan Trichoderma spp. pada cawan konfrontasi berdiameter 9 cm. Untuk mengetahui daya hambat Trichoderma spp. digunakan rumus Fokkema (1973) sebagai berikut: a-b I= x 100% a Keterangan : I = Persentase penghambatan a = Jari-jari koloni patogen (Ganoderma sp.) menjauhi antagonis (Trichoderma spp.) b = Jari-jari koloni patogen ke arah antagonis Pengamatan dan Analisis Data Pengamatan dilakukan dengan mengukur pertumbuhan koloni ganoderma sp. secara radial dan mengukur diameter perkembangan koloni tersebut pada perlakuan kontrol (tanpa Trichoderma spp.). Data tersebut akan digunakan untuk menghitung perkembangan miselium dan persen penghambat jenis Trichoderma terhadap pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp.. Uji penghambatan dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor yaitu faktor jenis cendawan (T. harzianum, T. viride, T. pseudokoningii) dan jenis media (PDA dan MEA). Model linier dari uji penghambatan Trichoderma spp. adalah sebagai berikut: Yijk = µ + άi +βj + (άβ)ij + εijk i, = 1,2,3,4 j = 1,2 Keterangan : Yijk : Persentase penghambatan jenis Trichoderma untuk jenis ke-i, media ke-j, dan ulangan ke-k µ : Nilai tengah pengamatan άi : Pengaruh jenis Trichoderma ke-i βj : Pengaruh medi ke-j (άβ)ij : Pengaruh interaksi jenis Trichoderma ke-i pada media ke- j εijk : Pengaruh galat pada jenis Trichoderma ke-i, media ke-j, dan ulangan kek
21
Data kuantitatif dari diameter pertumbuhan koloni dianalisis dengan menggunakan SAS 9.00. Apabila terdapat data yang signifikan akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
Percobaan 3 Pengendalian Ganoderma sp. pada Balok Kayu Sengon di Rumah Kaca Percobaan ini mengacu kepada metode yang dikembangkan oleh Hadiwiyono (1996) yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu : a. Pembuatan Formula Trichoderma sp. Formula Trichoderma sp. dilakukan dengan menggunakan media jagung + dedak (1:1). Media jagung direbus terlebih dahulu selama 30 menit, kemudian diaduk dengan dedak dan ditambahkan air secukupnya sampai media agak lengket kemudian dimasukkan ke dalam botol. Selanjutnya media disterilisasi dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121 0C selama 30 menit. Media yang sudah steril diinokulasikan dengan Trichoderma sp. yang memberikan hasil penghambatan terbaik pada cawan Petri. Formula tersebut di inkubasi selama 12 hari (Hadiwiyono 1996). b. Persiapan Patogen Uji Substrat yang digunakan adalah balok kayu sengon berukuran 3 x 2 x 10 cm. Balok kayu sengon di bungkus dengan plastik kemudian disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 0C selama 30 menit. Setelah disterilisasi, balok kayu didinginkan dan segera diinokulasi dengan biakan Ganoderma sp. yang di kulturkan di dalam toples. Balok kayu diletakkan secara tegak lurus pada permukaan koloni Ganoderma sp. yang berumur 10 hari di dalam toples. Setiap toples diberi 4 balok kayu, kemudian diinkubasi pada suhu ruangan selama 7 hari. c. Pembenaman Balok Kayu pada Polibag di Rumah Kaca Balok kayu yang telah diinokulasi dengan Ganoderma sp. dibenam pada polibag yang telah diisi dengan media tanah ditambah formula Trichoderma sp. dan media tanah tanpa formula Trichoderma sp. Tanah yang digunakan terdiri dari dua macam, yaitu tanah steril dan tanah tidak steril. Tanah disterilisasi dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121 0C selama 30 menit. Perlakuan formula Trichoderma sp. pada polibag dilakukan bersamaan dengan pembenaman balok kayu dengan dosis 10 gram per polibag. Balok kayu dibenam secara tegak lurus sedalam 3 cm dan masing-masing polibag dibenam 3 balok kayu. Setelah balok kayu dibenam pada polibag, disungkup dengan plastik bening dan di simpan di rumah kaca. Pengamatan dan Analisi Data Pengamatan dilakukan dengan mengukur panjang koloni Ganoderma sp. pada permukaan balok kayu yaitu saat balok kayu dibenam (Xt0), 6 hari setelah balok kayu di benam (Xt1), dan 12 hari setelah balok kayu di benam (Xt2). Pengamatan laju pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada balok kayu menggunakan rumus Van Der Plank (1963) sebagai berikut:
22
r=
2.3 Xt log t X0
Keterangan : r = Laju pertumbuhan patogen (unit-1 hari-1) Xt = Panjang koloni patogen pada balok kayu setelah waktu t X0 = Panjang koloni patogen pada balok kayu saat t = 0 t = Waktu selang pengukuran Xt dan X0 (hari)
Xt
Xo Gambar 2 Pengukuran panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu sengon. Penelitian pada balok kayu di rumah kaca disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama (A) adalah tanah dengan dua taraf yaitu A0 (tanpa sterilisasi tanah) dan A1 (sterilisasi tanah). Faktor kedua (B) adalah aplikasi Trichoderma sp. dengan dua taraf yaitu B0 (tanpa Trichoderma) dan B1 (dengan Trichoderma sp.). Model statistik pada penelitian ini adalah Model Faktorial RAL, sebagai berikut : Yijk = μ + άi +βj + (άβ)ij + εijk Keterangan : Yijk : Nilai pengamatan peubah yang dipengaruhi oleh sterilisasi tanah ke-i, Trichoderma sp. ke-j, dan ulangan ke-k μ : Rataan umum άi : Pengaruh sterilisasi tanah ke-i βj : Pengaruh Trichoderma sp. ke-j (άβ)ij : Pengaruh interaksi sterilisasi tanah ke-i dan jenis Trichoderma sp. ke-j εijk : Pengaruh galat sterilisasi tanah ke-i, Trichoderma sp. ke-j dan ulangan ke-k Data kuantitatif dari diameter pertumbuhan koloni dianalisis dengan menggunakan SAS 9.00. Apabila terdapat data yang signifikan akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Pertumbuhan Diameter Koloni Ganoderma sp. Hasil pengamatan pada agar cawan menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada media PDA lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan koloni isolat pada media MEA (Gambar 3.1). Pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. selama 12 hari pada media PDA dan MEA berturut-berturut adalah 89.9 dan 62.3 mm. Secara visual miselia Ganoderma sp. pada kedua media terlihat sama, baik dari segi warna yaitu putih kapas dan dari segi tekstur adalah halus. Miselia pada media PDA lebih tebal dan merata dibandingkan dengan miselia pada MEA. A
B
Diameter koloni isolat Ganoderma sp. (mm)
Gambar 3.1 Pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada cawan Petri pada hari ke-12. A) isolat Ganoderma sp. pada media PDA, B) isolat Ganoderma sp. pada media MEA 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14
Waktu (hari)
Gambar 3.2 Rata-rata pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada media PDA dan MEA. ‒▲‒ Media PDA, ‒♦‒ Media MEA
24
Pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada media PDA lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan diameter koloni isolat pada media MEA (Gambar 1.2). Pada media PDA diameter pertumbuhan koloni Ganoderma sp. mampu memenuhi cawan Petri pada hari ke-12, sedang pada media MEA pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. memenuhi cawan Petri pada hari ke-14. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan rata-rata pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. isolat pada kedua media. Rata-rata pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. sebesar 7.09 mm h-1 pada media PDA berbeda nyata dengan pertumbuhan diameter koloni isolat pada media MEA dengan nilai 5.41 mm h-1. Pertumbuhan Diameter Koloni Trichoderma spp. Hasil pengamatan pada agar cawan menunjukkan bahwa pertumbuhan ketiga koloni isolat Trichoderma spp. pada masing-masing media memiliki perbedaan secara umum baik dari segi pertumbuhan diameter koloni miselia, warna, tekstur dan ketebalan miselia. Secara umum pertumbuhan diameter koloni yang tercepat pada T. viride adalah di hari kedua pada media PDA, sedangkan pada T. pseudokoningii adalah pada media MEA (Gambar 4.2). Pengamatan visual pertumbuhan T. harzianum pada media PDA terlihat sirkuler, bagian tengah berwarna putih kehijauan dan bagian luar berwarna hijau tua (Gambar 4.1A). Pengamatan visual koloni isolat T. harzianum pada media MEA terlihat sirkuler, dan terdiri dari lapisan warna yang berbeda yaitu bagian dalam berwarna hijau tua, lapisan ke-2 agak transparan, lapisan ke-3 berwarna hijau tua, lapisan ke-4 berwarna putih tipis dan lapisan paling luar berwarna hijau tua (Gambar 4.1B). Koloni isolat T. pseudokoningii pada media PDA tumbuh menyebar, berwarna hijau muda dan berukuran tipis (Gambar 4.1C). Koloni isolat T. pseudokoningii pada media MEA terlihat menyebar, berwarna hijau muda, dan agak tebal (Gambar 4.1D). Koloni isolat T. viride pada media PDA berbentuk kapas tebal, bagian tengah berukuran tipis, dan berwarna putih (Gambar 4.1E), sedangkan koloninya pada media MEA membentuk titik-titik berwarna hijau muda, dan tebal (Gambar 4.1F). Isolat T. pseudokoningii dan T. harzianum pada media PDA di hari pertama memiliki pertumbuhan diameter yang sama yaitu 13.67 mm, namun untuk isolat T. viride pertumbuhan diameter koloninya lebih besar dari kedua isolat, yaitu 29.50 mm. Pada hari ke-2 terjadi penambahan pertumbuhan diameter koloni pada ketiga isolat yaitu T. pseudokoningii sebesar 9.30 mm, T. harzianum sebesar 35.50 mm dan T. viride sebesar 40.70 mm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan isolat T. viride pada hari ke-2 lebih cepat dibandingkan kedua isolat lainnya. Memasuki hari ke-3 terjadi penurunan laju pertumbuhan isolat T. harzianum menjadi 23.90 mm dan T. viride menjadi 18.80 mm, sedangkan T. pseudokoningii meningkat dengan nilai 18.50 mm. Ketiga jenis isolat memenuhi cawan Petri pada hari ke-4 (Gambar 4.2A).
25
A
B
C
D
E
F
Gambar 4.1 Pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada cawan petri. A) Isolat T. harzianum pada media PDA, B) T. harzianum pada media MEA, C) isolat T. pseudokoningii pada media PDA, D) isolat T. pseudokoningii pada media MEA, E) isolat T. viride pada media PDA, dan F) isolat T. viride pada media MEA. Pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada media MEA untuk hari pertama diperoleh hasil pada isolat T. viride sebesar 16.20 mm, T. harzianum sebesar 28 mm dan T. pseudokoningii sebesar 39.2 mm. Pada hari ke-2 terjadi penambahan laju pertumbuhan diameter koloni pada ketiga isolat T. harzianum (29.70 mm), T. viride (34.20 mm) dan T. pseudokoningii (50.80) mm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan isolat T. pseudokoningii pada hari ke-2 lebih cepat dibanding kedua isolat lainnya. Memasuki hari ke-3 dan ke-4
26
Diameter koloni isolat (mm)
Diameter koloni isolat (mm)
terjadi penurunan laju pertumbuhan isolat T. pseudokoningii sampai titik nol yang menghasilkan ukuran diameter yang tetap yaitu 90 mm. Isolat T. harzianum juga mengalami penurunan pada hari ke-3 dan ke-4, sedangkan T. viride mengalami penurunan pada hari ke-4 (Gambar 4.2B). A 100 80 60 40 20 0
B 100 80 60 40 20 0
1 2 3 4 Waktu pengamatan (hari)
1 2 3 4 Waktu pengamatan (hari)
Gambar 4.2 Rata-rata pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. A) pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada media PDA, B) pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada media MEA. ‒■‒ T. harzianum, ‒♦‒ T. pseudokoningii, ‒▲‒ T. viride. Hasil analisis ragam pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada media PDA diperoleh pertumbuhan diameter koloni isolat tertinggi pada T. viride tidak berbeda nyata dengan pertumbuhan diameter koloni isolat pada T. pseudokoningii dan T. harzianum. Sedang pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada media MEA diperoleh pertumbuhan diameter koloni isolat tertinggi pada T. pseudokoningii yang berbeda nyata dengan pertumbuhan diameter koloni isolat T. viride dan T. harzianum (Tabel 1). Tabel 1 Pertumbuhan diameter koloni Trichoderma spp. pada media PDA dan MEA. Isolat Media T. harzianum T. viride T. pseudokoningii b b PDA 25.44 27.08 25.45b MEA
27.17b
28.33b
50.83a
a
Angka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji berganda Duncan). Penghambatan Trichoderma spp. terhadap Pertumbuhan Ganoderma sp. Hasil pengamatan penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. menunjukkan bahwa ketiga jenis Trichoderma dapat menghambat pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp.. Penghambatan ketiga jenis Trichoderma yang digunakan ditandai dengan adanya zona penghambatan (Gambar 5.1). Hal tersebut didukung oleh Achmad (1997)
27
yang menyatakan bahwa Trichoderma sp. bersifat sebagai antagonis secara in vitro dengan terbentuknya zona penghambatan yang merupakan indikasi awal terlibatnya antibiotik dan antagonisme baik pada media PDA maupun MEA. MEA
PDA
G
Th
PDA
G
Gambar 5.1
Th
MEA
Tv
PDA
G
G
G
Tv
MEA
Tp
G
Tp Penghambatan pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. oleh Trichoderma spp. pada media PDA dan MEA. G = Ganoderma sp. Th = T. harzianum, Tv = T. viride, Tp = T. pseudokoningii
Persentase penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. pada media PDA diperoleh rata-rata penghambatan tertinggi pada perlakuan T. harzianum (74.19%), T pseudokoningii (59.37%), dan T. viride (41.36%) (Gambar 5.2). Persentase penghambatan pada media MEA secara berturut-turut diperoleh rata-rata penghambatan tertinggi yaitu T. harzianum (73.00%), T. pseudokoningii (60.22%), dan T. viride (51.58%).
Persentase penghambatan (%)
28
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Th
Tp
Tv
Jenis Trichoderma
Gambar 5.2 Persentase penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. pada media PDA dan MEA. Th = T. harzianum, Tp = T. pseudokoningii, Tv = T. viride. (■) Media PDA, ( ) Media MEA. Pengendalian Ganoderma sp. pada Balok Kayu Sengon di Rumah Kaca Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni Ganoderma sp. dan T. harzianum pada substrat balok kayu secara visual terlihat jelas (Gambar 6.1). Pada perlakuan tanah tidak steril tanpa T. harzianum terlihat koloni Ganoderma sp. berwarna putih terang (Gambar 6.1A). Pada perlakuan tanah tidak steril + T. harzianum telihat sporulasi T. harzianum pada permukaan balok kayu sengon yang berwarna hijau, bila diperhatikan terlihat banyak konidia yang berwarna hijau, dan terlihat koloni Ganoderma sp. berwarna putih dengan luasan yang lebih kecil dibanding dengan perlakuan yang lain (Gambar 6.1B). Perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum terlihat koloni Ganoderma sp. yang hampir memenuhi permukaan balok kayu sengon dengan warna putih kapas (Gambar 6.1C). Pada perlakuan tanah steril + T. harzianum terlihat sporulasi T. harzianum yang berwarna hijau dan koloni Ganoderma sp. pada permukaan balok kayu sengon dengan warna putih (Gambar 6.1D). Rata-rata nilai pertumbuhan panjang koloni Ganoderma sp. pada balok kayu dapat dilihat pada Gambar 6.2. Penurunan pertumbuhan panjang koloni Ganoderma sp. saat satu minggu setelah balok kayu dibenam (Xt1) diperoleh nilai penurunan panjang koloni tertinggi sebesar 1.12 cm pada perlakuan tanah steril + T. harzianum, sedang pada perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum terjadi pertambahan panjang koloni sebesar 0.67 cm. Demikian halnya pada saat dua minggu setelah balok kayu di benam (Xt2) pada perlakuan tanah steril + T. harzianum terjadi penurunan panjang koloni sebesar 2.41 cm, sedang pada perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum justru terjadi pertambahan panjang koloni Ganoderma sp. sebesar 1.22 cm. Weller (1988) menyatakan bahwa pengendalian hayati sering dipengaruhi oleh faktor biotik maupun abiotik. Hal tersebut diduga diakibatkan oleh kemampuan pengaruh sterilisasi tanah yang mengakibatkan T. harzianum tidak berkompetisi dengan mikroorganisme tanah lain sehingga mampu menghambat pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu.
29
C
B
A
D
V
Rata-rata pertumbuhan koloni Ganoderma sp. (cm)
Gambar 6.1 Pertumbuhan koloni Ganoderma sp. dan sporulasi T. harzianum pada balok kayu sengon di rumah kaca. A) perlakuan tanah tidak steril tanpa T. harzianum (A0B0), B) perlakuan tanah tidak steril + T. harzianum (A0B1), C) perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum (A1B0), dan D) perlakuan tanah steril + T. harzianum (A1B1). 6 5 4 3 2 1 0 A0B0
A0B1
A1B0
A1B1
Perlakuan
Gambar 2.3 Pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu di rumah kaca. A0B0 = tanah tidak steril tanpa T. harzianum, A0B1= tanah tidak steril dengan T. harzianum, A1B0 = tanah steril tanpa T. harzianum, dan A1B1 = tanah steril dengan T. harzianum. ( ) Xt0, ( ) Xt1, ( ) Xt2. Xt0 = panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu saat dibenam, Xt1 = panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu satu minggu setelah pembenaman, dan Xt2 = panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu dua minggu setelah pembenaman.
30
PEMBAHASAN Secara visual miselia Ganoderma sp. pada media PDA dan MEA terlihat sama, baik dari segi warna yaitu putih kapas dan dari segi tekstur adalah halus. Miselia Ganoderma sp. pada media PDA lebih tebal dan merata dibandingkan dengan miselia pada media MEA. Pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada media PDA lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan diameter koloni isolat pada media MEA. Perbedaan tersebut diduga terjadi karena kedua jenis media memiliki kandungan nutrisi yang berbeda. Chang dan Miles (1989), menyatakan bahwa cendawan untuk dapat tumbuh membutuhkan beberapa elemen nutrisi dalam jumlah yang spesifik dalam media sesuai dengan spesies dari cendawan tersebut. Media yang banyak digunakan di laboratorium terbuat dari ekstrak bahan alami yang mengandung karbohidrat dan hara lain. Bahan alami yang banyak digunakan untuk menumbuhkan cendawan secara invitro adalah ekstrak kentang, tepung jagung, dan malt ekstrak atau kecambah gandum (Agrios 1997). Media PDA memiliki kandungan nutrisi karbohidrat, air, dan protein yang berasal dari ekstrak kentang, glukosa dan agar. Menurut Achmad (1997) bahwa PDA merupakan media kaya dengan gula sederhana sebagai sumber karbon. Dari setiap 100 g dalam bentuk utuh mengandung protein 1.6 g, serat 0.6 g, fosfor 40 mg, vitamin C 17 mg, vitamin B2 0.01 mg, magnesium 30 mg, kalium 2.47 mg, karbohidrat 22.6 g, lemak 0.1 g, kalsium 10 mg, zat besi 0.1 mg, vitamin B1 0.1 mg, niacin 1.2 mg, dan sodium 11 mg (Al-Weshahy dan Rao 2012). Bagaimanapun juga kandungan beberapa unsur tersebut tersedia di dalam ekstrak kentang sudah barang tentu lebih rendah. Media MEA mengandung nitrogen, karbohidrat, dan sodium klorida. Disamping malt ekstrak juga vitamin yang berbeda jumlahnya dengan ekstrak kentang, baik dalam jenis maupun jumlahnya. Sumber karbon pada PDA berasal dari gula sederhana. Karbohidrat diperlukan untuk pertumbuhan koloni cendawan, pembentukan struktur dan keperluan energi bagi sel cendawan. Dalam ekstrak kentang terkandung senyawa-senyawa asam amino, asam organik, enzim, fenol, solanin dan unsur (Smith 1968). Nitrogen digunakan oleh cendawan dalam sistesis protein, purine, pirimidin dan komponen kitin pada dinding sel cendawan (Chang dan Miles 1989). Nitrogen dibutuhkan oleh semua organisme untuk mensintesa asam amino dan membentuk protein yang dibutuhkan untuk membentuk protoplasma. Tanpa protein, pertumbuhan tidak dapat terjadi. Cendawan dapat menggunakan nitrogen anorganik untuk pembentukan nitrat, nitrit, ammonia atau nitrogen organik untuk pembentukan asam amino. Tidak semua cendawan menggunakan sumber nitrogen dengan jenis yang sama dan setiap cendawan membutuhkan nitrogen dalam bentuk yang berbeda-beda (Moore 1982). Seperti telah disebutkan di atas bahwa ekstrak malt dan ekstrak kentang juga mengandung mineral dan vitamin. Mineral berfungsi sebagai aktivator enzim dan vitamin berfungsi sebagai katalisator di dalam sel yaitu sebagai koenzim atau merupakan bagian yang menyusun koenzim (Chang dan Miles 1989; Hadi 1999). Moore (1972) menjelaskan akan pentingnya unsur karbon bagi cendawan karena cendawan membutuhkan unsur karbon dalam jumlah yang besar daripada unsurunsur esensial yang lain dan karbon merupakan nutrisi yang pokok dan terpenting pada cendawan.
31
Pertumbuhan serta perkembangan cendawan akan sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Menurut Dhingra dan Sinclair (1985), faktor tersebut di antaranya ialah suhu, cahaya, udara, pH serta nutrisi. Apabila kandungan nutrisi kurang dan kondisi ruang tumbuh sempit maka pertumbuhan Trichoderma spp. akan melambat dan tidak mampu untuk membentuk konodium. Danielson dan Davey (1973), menyatakan bahwa konidia Trichoderma spp. memerlukan nutrisi dari luar agar berkecambah. Uji penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan koloni isolat Ganoderma sp. menunjukkan bahwa ketiga jenis Trichoderma spp. yang di uji dapat menghambat pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp.. Penghambatan ketiga jenis Trichoderma yang digunakan terlihat dengan adanya zona penghambatan (Gambar 5.1). Trichoderma sp. bersifat sebagai antagonis secara in vitro dengan terbentuknya zona penghambatan yang merupakan indikasi awal terlibatnya antibiotik dan antagonisme baik pada media PDA maupun MEA (Achmad 1997). Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Abadi (1987) dan Dharmaputra (1989) yang menyatakan bahwa Trichoderma spp. dapat menghambat pertumbuhan Ganoderma boninense. Pertumbuhan koloni Trichoderma spp. pada media PDA dan MEA lebih cepat dari pada pertumbuhan koloni Ganoderma sp. sehingga Trichoderma spp. mempunyai kemampuan kompetisi lebih tinggi. Dennis dan Webster (1971) menyatakan bahwa Trichoderma sp. mempunyai daya antagonis yang tinggi dan dapat mengeluarkan racun (mikotoksin) yaitu senyawa yang dapat menghambat bahkan dapat mematikan cendawan lain. Penghambatan pada perlakuan T. harzianum lebih kuat dibanding dengan T. viride, dan T. pseudokoningii. Hal ini didukung oleh Achmad et al. (2010) yang mengemukakan bahwa T.harzianum lebih kuat menghambat pertumbuhan patogen lodoh secara in vitro pada patogen lodoh Pinus merkusii, mengakibatkan terbentuknya zona hambatan yang lebih besar dan menghasilkan kitinase yang lebih efektif mendegradasi kitin dibanding T. pseudokoningii. Terbentuknya zona penghambatan antagonisme pada media padat menunjukkan bahwa cendawan antagonis mendifusikan metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen (Achmad 1997). Lebih lanjut Baker dan Scher (1987) menyatakan bahwa pengujian antibiosis melalui pembentukan zona hambatan pada media agar, dapat disebabkan oleh mikroba yang menghasilkan antibiotik yang larut atau tidak larut. Mekanisme dalam antagonisme antar jasad renik, yaitu antibiosis, kompetisi, dan mikoparasitisme (Baker dan Cook 1974). Terbentuknya zona penghambatan pada media padat merupakan indikasi bekerjanya mekanisme antibiosis. Bekerjanya mekanisme antibiosis tersebut dikuatkan oleh tertekannya pertumbuhan cendawan patogen pada media padat. Terbentuknya penghambatan terhadap pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. diduga karena adanya enzim dan senyawa metabolit yang diproduksi oleh Trichoderma spp. yang mungkin mampu merusak dinding sel Ganoderma sp.. Kerusakan pada dinding sel mengakibatkan rusaknya susunan dan perubahan mekanisme permeabilitas dari mikrosom, lisosom dan dinding sel. Kerusakan pada membran ini memungkinkan ion anorganik yang penting, nukleotida, koenzim dan asam amino berosmosis ke luar sel. Selain itu, kerusakan membran dapat mencegah masuknya bahan-bahan penting ke dalam sel karena membran sitoplasma juga mengendalikan pengangkutan aktif dalam sel (Volk dan Wheeler 1993).
32
Mekanisme antibiosis dapat melibatkan metabolit beracun (toksin) atau enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh cendawan antagonis. Trichorderma sp. menghasilkan toksin trikhor dermin yang merupakan suatu senyawa sesquiterpen, dermadin yaitu asam berbasa tunggal yang aktif terhadap cendawan dengan kisaran yang luas dan meliputi bakteri gram positif dan gram negatif, serta dua senyawa peptida yang bersifat antifungal sekaligus anti bakterial. Tertekannya pertumbuhan cendawan patogen menunjukkan mekanisme kompetisi dalam antagonisme, dalam hal ini cendawan antagonis lebih kompetitif dalam memanfaatkan ruang tumbuh dan nutrisi. Selama Trichoderma spp. tumbuh aktif menghasilkan sejumlah besar enzim ekstra selular ß (1.3) glukonase, dan kitinase, yang dapat melarutkan dinding sel patogen (Lewis dan Papavizas 1984). Hasil pengamatan pengendalian Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di rumah kaca menunjukkan adanya penekanan pertumbuhan koloni Ganoderma sp. sebagai akibat perlakuan T. harzianum. Kemampuan T. harzianum dalam menekan pertumbuhan Ganoderma sp. diduga merupakan bentuk dari kemampuannya sebagai kompetitor yang unggul dalam mendapatkan ruang dan nutrisi atau merupakan bentuk dari kemampuannya sebagai antagonis. Hal ini sesuai dengan pendapat Wells (1988) yang menyatakan bahwa T. harzianum dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai substrat dan memiliki kemampuan kompetisi yang baik terhadap makanan dan ruang. Pada permukaan balok kayu sengon dengan perlakuan Ganoderma sp. terjadi perubahan warna dari putih menjadi putih kecoklatan. Ini terjadi karena adanya kemampuan Ganoderma sp. menghasilkan enzim hidrolitik terutama selulase sebagai pelapuk (Domsch et al. 1980). Kemampuan T. harzianum yang secara konsisten melakukan kompetisi tidak terlepas dari kemampuannya dalam merubah strategi berdasarkan kondisi lingkungannya. Dalam kondisi lingkungan yang sesuai T. harzianum mampu menghasilkan konidia yang melimpah dan menyebar dengan cepat sehingga memiliki daya kompetitif yang tinggi. Karena itu T. harzianum diklasifikasikan sebagai ruderal dan oportunis (Williams et al 2003). Mekanisme interaksi antara T. harzianum dan Ganoderma sp. pada substrat balok kayu terjadi melalui kompetisi terhadap sumber makanan. Kompetisi biasanya terjadi terhadap nutrisi dan ruang atau faktor-faktor pertumbuhan penting lainnya (Achmad. 1997). Selain mekanisme kompetisi, antagonisme yang terjadi pada substrat balok kayu, kemungkinan terjadi melalui mikoparasitisme sekrotrofik (Papavizas 1985). Hasil pengamatan pada substrat balok kayu yang diperlakukan dengan T. harzianum menunjukkan terjadinya sporulasi yang menutupi semua permukaan substrat. Untuk menghancurkan inokulum, maka antagonis yang efektif memarasit patogen, dengan kemampuan saprofitiknya kuat dan beradaptasi dengan baik pada lingkungan fisik tanah tempat antagonis tersebut diinfestasikan (Achmad 1997). Pertumbuhan Ganoderma sp. pada balok kayu sengon pada perlakuan tanah tidak steril + T. harzianum lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanah tidak steril tanpa T. harzianum. Pada balok kayu nampak adanya perubahan warna dari putih menjadi coklat. Hal tersebut diduga adanya pengaruh perlakuan T. hazianum dan mikroorganisme tanah pada tanah tidak steril yang bekerja sebagai agens antagonis yang mampu menghambat pertumbuhan koloni Ganoderma sp. Pertumbuhan Ganoderma sp. pada balok kayu sengon dengan
33
perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum yang ditandai dengan perubahan warna dari putih menjadi coklat kehitaman. Hal ini diduga pada tanah steril tanpa T. harzianum tidak terjadi kompetisi terhadap nutrisi yang dibutuhkan Ganoderma sp. dalam pertumbuhannya sehingga Ganoderma sp. mampu menghasilkan enzim hidrolitik terutama selulase sebagai pelapuk (Domsch et al. 1980). Selanjutnya Abadi (1987) menyatakan bahwa G. boninense dapat tumbuh pada tanah steril dan tidak pada tanah tidak steril dalam cawan petri. Kerry dan Bourne (1996) menegaskan bahwa tanah tidak steril berisi mikroba lain yang telah berada sebelumnya dalam hal ini dapat berperan sebagai kompetitor. Pada tanah tidak steril diperkirakan menghadapai kompetisi nutrisi atau mikrohabitat dengan mikroba lain, mengalami predasi oleh protozoa (Hossain dan Alexander 1984) atau lisis karena bakteriofage (Keel et al. 2002; Janowitz 2004) dapat terjadi sehingga mempengaruhi kemampuan antagonis dalam memberikan penekanan terhadap patogen. Trichoderma spp. adalah salah satu jenis cendawan yang digunakan sebagai pengendali hayati karena terdapat di mana-mana, mudah diisolasi dan dibiakkan, tumbuh dengan cepat pada beberapa macam substrat, mempengaruhi patogen tanaman, jarang bersifat patogenik pada tanaman tingkat tinggi, bereaksi sebagai mikoparasit, bersaing dengan baik dalam hal makanan, tempat dan menghasilkan 24 antibiotik (Wells 1988). Trichoderma sp. dapat digunakan sebagai agen biokontrol melawan beberapa cendawan petogenik tular tanah (Anggraeni 2004). Mekanisme pengendalian T. harzianum bersifat khusus terhadap sasaran, sehingga tidak menimbulkan musnahnya organisme yang bukan sasaran. Darmono (1994) mengemukakan bahwa penggunaan cendawan antagonis sebagai pengendali patogen merupakan salah satu alternatif yang dianggap aman dan dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pengendalian hayati terhadap patogen dengan menggunakan mikroorganisme antagonis dalam tanah memiliki harapan yang baik untuk dikembangkan karena pengaruh negatif terhadap lingkungan tidak ada. T. harzianum mempunyai kemampuan untuk menghasilkan enzim hidrolitik β-1-3 glukanase, kitinase dan selulase. Enzimenzim inilah yang secara aktif merusak sel-sel cendawan lain yang sebagian besar tersusun dari 1,3 glukan (linamirin) dan kitin sehingga dengan mudah T. harzianum dapat melakukan penetrasi ke dalam hifa cendawan inangnya (Elad et al. 1983). Degradasi kitin T. harzianum dilakukan secara bertahap, dan hal tersebut menunjukkan dihasilkannya kitinase secara terus-menerus (Achmad 1997).
34
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Trichoderma spp. dapat menghambat pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. pada cawan Petri secara in vitro. Persentase daya hambat Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada media PDA diperoleh persentase penghambatan tertinggi pada perlakuan T. harzianum (74.19%), T. pseudokoningii (59.37%), dan T. viride (41.36%). Sedangkan Persentase penghambatan terhadap pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada media MEA secara berturut-turut diperoleh persentase penghambatan tertinggi yaitu T. harzianum (73.00%), T. pseudokoningii (60.22%), dan T. viride (51.58%). Penghambatan tersebut terjadi melalui mekanisme antagonisme dengan terbentuknya zona penghambatan. Kemampuan T. harzianum pada tanah steril mampu menurunkan pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di rumah kaca sebesar 1.12 cm pada satu minggu setelah balok kayu dibenam dan 2.41 cm pada dua minggu setelah balok kayu dibenam. Saran Trichoderma spp. dapat dipertimbangkan sebagai salah satu agens hayati dalam pengendalian Ganoderma sp. yang menyerang tanaman sengon secara in vitro dan skala rumah kaca.
35
DAFTAR PUSTAKA Abadi AL. 1987. Biologi Ganoderma boninense Pat. pada kelapa sawit (Elaesis guineensis Jacg.) dan pengaruh beberapa mikroba tanah antagonistik terhadap pertumbuhannya. [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Achmad. 1997. Mekanisme serangan patogen dan ketahanan inang serta Pengendalian Hayati Penyakit Lodoh pada Pinus merkusii. [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Achmad, Hadi S, Harran S, Gumbira SE, Satiawiharja B, Kosim. 2010. Aktivitas antagonisme in vitro T. harzianum dan T. pseudokoningii terhadap patogen lodoh Pinus merkusii. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 7(5): 233-240. Adaskaveg JE, Ogawa JM. 1990. Wood decay pathology of fruit and nut trees in California. Plant Disease. 74: 341-352. Agrios GN. 1997. Plant Pathology. New York (US): Academic Press. Allen GU. 1994. Pedology. London: Trans By T.R.Patton. Al-Weshahy A, Rao VA. 2012. Potato Peel as a Source of Important Phytochemical Antioxidant Nutraceuticals and Their Role in Human Health - A Review. Di dalam: Venketeshwer Rao, editor. Phytochemicals as Nutraceuticals - Global Approaches to Their Role in Nutrition and Health. Chapter 11. InTech Europe. Rijeka, Croatia: 207-224. Anggraeni I. 2004. Identifikasi dan patogenitas penyakit akar pada Acacia mangium Willd. Buletin Penelitian Hutan. 645: 61-73. Awang, San Afri W, Andayani B, Himmah WT. Widayanti A, Afianto. 2002. Hutan rakyat, sosial ekonomi, dan Pemasaran. Fakultas Ekonomi Universitas Gaja Mada, Yogyakarta. Bassett K, Peters RN. 2003. Ganoderma; a significant root pathogen). Arborilogical Services Inc. Publication. Baker KF, Cook RJ. 1974. Biological control of plant pathogens. Freeman WH and Co. San Fransisco. 433 p. Baker RY, Scher FM. 1987. Enhancing the activity of biological control agents. New York. PP. 1-8 Blanchette RA. 1984. Screening wood decayed by white rot fungi for preferential lignin degradation. Applied Environmental Microbiology. 48: 647-653. Chang ST, Miles PG. 1989. Edible Mushrooms and Their Cultivation. Boca Raton: CRC Press, Inc. Charomaini M, Suhaendi H. 1997. Genetic variation of Paraserianthes falcataria seed sources in Indonesia and its potential in tree breeding programs. Dalam: Zabala, N. (ed.) Workshop international tentang spesies Albizia dan Paraserianthes, 151–156. Prosiding workshop, 13–19 November 1994, Bislig, Surigao del Sur, Filipina. Forest, Farm, and Community Tree Research Reports (tema khusus). Winrock International, Morrilton, Arkansas, AS. Chet I. 1987. Trichoderma-application, mode of action, and potential as biocontrol agent of soil-borne plant pathogenic fungi. Innovative approaches to plant diseases control. John Wiley and Sons, A WileyInterscience Publication, USA. pp. 11-210.
36
Chet I, Viterbo A, Shoresh M. 2004. Enhancement of plant disease resistance by the biocontrol agent T. asperellum. Departement of Biology. Chemistry. www.weizmann.ac.il. 2013. Cook RJ, Baker KF. 1983. The nature and practice of biological control of plant pathogens. The American Phytopathological Society, St. Paul, Minnesota 539 p. Coșkuntuna A, Özer N. 2007. Biological control of onion rot disease using Trichoderma harzianum and induction of antifungal compounds in onion set following seed treatmen. Departement of plant protection, Faculti of Agriculture, Namik Kemal University, Tekirdağ 59030, turkey 27 : 330336. Darmono T. 1994. Kemampuan beberapa isolat Trichoderma spp. dalam menekan inokulum Phytophthora sp. di dalam jaringan buah kakao. Menara Perkebunan. 62(2):25-29. Dennis C, Webster J. 1971. Antagonistic properties of species groups of Trichoderma. III. Hyphal interaction. Trans. Br. Mycol. Soc. 57 : 363-369. Dharmaputra OS. 1989. Fungi antagonistik terhadap ganoderma boninense Pat. penyebab penyakit busuk batang kelapa sawit. Sumatera Utara. Laporan Tahunan kerjasama penelitian PP Marihat-Biotrop. P.28-45. Dhingra OD, Sinclair JB. 1985. Basic plant pathology methods. Boca Raton, Florida. CRC Press, Inc Domsch KH, Anderson TH. 1980. Compendium of soil fungi. Vol. I. Academic Press. London. Elad Y, Chet I, Boyle P, Henis Y. 1983. Parasitism of Trichoderma spp. on Rhizoctonia Solani and Sclerotium rolfsii. Scanning electron microscopy and fluorescense microscopy. Phytopathology. 73:85-88. Hadar Y, Henis Y, Chet I. 1979. Biological control of Rhizoctonia solani Dumping-off with bran culture of Trichoderma harzianum. Phytopathology. 69:64-68. Hadiwiyono. 1996. Pengendalian hayati Ganoderma boninense Pat. (Penyebab busuk pangkal batang kelapa sawit) Oleh Trichoderma, Gliocladium, dan Pseudomonas Kelompok fluoresen. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hepting GH. 1971. Diseases of forest dan shade trees of the United states. US Department of Agriculture, Agricultural Handbook 386; 1- 658. Herliyana EN, Darmono T, Minarsih, Hayati. 2012. Root diseases Ganoderma sp. on the Sengon in West and East Java. Journal of Tropical Forest Management 18 (2):94-99. DOI:10.7226/jtfm.18.2.94. Hossain AKM, Alexander M. 1984. Enhancing soybean rhizosphere colonization by Rhizobium japonicum. Appl Environ Microbiol. 48: 468-472. Janowitz J. 2004. Culture independence characterization of soil bacteriophage in agroecosystems. CASNR. Honors research and creative achievement project. University of Tennessee, Knoxville. Karsten P. 1881. Numeratio boletinearum et Polyporearum fennicarum, Systemate novo dispositarum. Rev. Mycol. 3: 16-19.
37
Keel C, Ucurum Z, Michaux P, Adrian M, Haas D. 2002. Deleteroius impact of a virulent bacteriophage on survival and biocontrol activity of Pseudomonas fluorescens strain CHA0 in natural soils. Mol Plant Microbe Interact. 15: 567-576. Kerry BR, Bourne JM. 1996. The important of rhizosphere interaction in the biological control of plant-parasitic nematodes-case study using Verticillium chlamydosporium. Pestic Sci. 47: 69-75. Irianto RSB, Barry K.N, Hidayati, Ito S, Fiani A, Rimbawanto A, Mohammed C. 2006. Incidence and spatial analysis of root rot of Acacia mangium in Indonesia. Journal of Tropical Forest Science. 18(3): 157-165. Lee SS. 1996. Diseases of some tropical plantation Acacias in Peninsular Malaysia, in K. M. Old, Lee S. S. and J. K. Sharma. Diseases of tropical Acacias. Proc. Internat. Workchop Subanjeriji (South Sumatra). CIFOR, Jakarta. Lewis JR, Papavizas GC. 1991. Biocontrol of plant disease: The approach for tomorrow. Crop Protect. 10:95-105. Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor, Indonesia. Mile Y. 2003. Penilaian tingkat produktivitas dan kelestarian hutan rakyat. Prosiding seminar sehari prospek pengembangan hutan rakyat di era otonomi daerah, Loka Litbang Hutan Monsoon. Badan Litbang Departemen Kehutanan. Papavizas GC. 1985. Trichoderma and Gliocladium: bioecology, ecology, and potential for biocontrol. Ann. Rev. Phytopathol. 23:23-54. Phillips DH, Burdekin DA. 1989. Diseases of forest and ornamental trees. The Macmillan Press LTD. London. 435p. Rahayu S. 1994. Pola Penyebaran Penyakit Akar pada Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) di Hutan Rakyat pada Berbagai Ketinggian Tempat. Laporan Penelitian. DPP Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Reese ET, Mendels M. 1959. β_1.3 Glucanases in fungi. Can. J. Microbiology. 5: 173-185. Salomon JD, Leiniger TD, Anderson RL, Thompson LC, McCracken FI. 1993. Ash Pesta: A guide to major insects, diseases, air pollution injury and chemically injury. Gen. Tech. Rep. SO-96. New Orleans, LA; U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Southern Forest Experiment Station. 45 p. Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit tanaman perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. 808p. Sharma JK, Florence EJ. 1996. Fungal pathogens as potential threat to tropical Acacias-Case Study of India in K. M. Old, Lee s. s. and J. K. Sharma. Diseases of Tropical Acacias. Proc. Internat. Workshop Subanjeriji South Sumatra). Cifor. Jakarta. Soerianegara I, Lemmens RH. 1993. Plant resources of South-East Asia 5(1): Timber trees:major commercial timbers. Pudoc Scientific Publishers, Wageningen, Belanda.
38
Steyaert RL. 1967. Les Ganoderma palmicoles.Bull.Jard. Bot. Nat. Belg. :J7: 465 - 492. Turner PD. 1981. Oil palm diseases and disorder. Oxford University Press. Kualalumpur. 280p. Van der Plank JE. 1963. Plant disease. Epidemics and control. Academic Press. New York. 344p. Webster J, Dennis. 1971. Antagonistic properties of the different species group of Trichoderma. II. Production of Volatile Antibiotics. Trans. Mycol.Soc. 57 (I): 41-48. Weller DM. 1988. Biological control of soil borne plant pathogens in rhizosphere with bacteria. Ann. Rev. Phytopathol. 26:379-407. Wells HD. 1988. Trichoderma as a biocontrol agent. Pp. 71-79. in Murkeji KG (EDS). Biocontrol of Plant Diseases. Vol. I. CRC Press, Inc. Boca Raton. Florida. Widyastuti SM. 1998. Trichoderma spp. As decomposing and biological control agens isolated from Dipterocarp forest in Jambi. Prosiding internasional seminar ecology aproach for productivity and sustainability of dipterocarp Forest. Yogyakarta. Indonesia. 58-60. Widyastuti SM, Sumardi, Harjono. 1999. Potensi antagonistik tiga Trichoderma spp. terhadap delapan penyakit akar tanaman kehutanan. Buletin Kehutanan. 36:24-38. Widyastuti SM, Sumardi, Sumantoro P. 2001. Efektivitas Trichoderma spp. sebgai pengendali hayati terhadap tiga patogen tular tanah pada beberapa jenis tanaman kehutanan. Jurnal Perlindungan Hutan Tanaman. Indonesia. 7(2):98-107. Williams J, Clarkson JM, Mills PR, Cooper RM. 2003. Saprotrophic and mycoparasityc components of aggressiveness of Trichoderma harzianum groups towards the commersial mushroom Agaricus bisporus. Appl Environ Microbiol. 96(7): 4192-4199. Yates IE, Meredith F, Smart W, Bacon CW, Jaworski AJ. 1999. Trichoderma viride suppresses fumonisin B1 production by Fusarium moniliforme, J. Food Prot. 62(11): 1326 – 1332.
39
LAMPIRAN Lampiran1 Sidik ragam diameter koloni Ganoderma sp. Source DF Sum of Mean Squares Square media 1 4.25041667 4.25041667 Error 4 0.97386667 0.24346667 Corrected 5 5.22428333 Total
F Value
Pr > F
17.46
0.0139
Lampiran 2 Sidik ragam diameter koloni Trichoderma spp. Source DF Sum of Mean Square Squares Media 1 402.1448000 402.1448000 trichoderma 2 501.7124778 250.8562389 media*trichoderma 2 571.3780333 285.6890167 Error 12 207.818000 17.318167 Corrected Total 17 1683.053311 Lampiran 3
Sidik ragam penghambatan Trichoderma pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp.
Source
DF
Media trichoderma edia*trichoderma Error Corrected Total
1 2 2 12 17
Lampiran 4 SK perlakuan Error Total
Sum of Squares 48.972006 2207.278978 111.086178 330.563733 2697.900894
Mean Square 48.972006 1103.639489 55.543089 27.546978
F Value 23.22 14.49 16.50
spp.
Pr > F 0.0004 0.0006 0.0004
terhadap
F Pr > F Value 1.78 0.2072 40.06 <.0001 2.02 0.1758
Sidik ragam panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu (Xt1) db JK KT F -hit p-value 3 0.50340150 0.16780050 13.24 0.0018 8 0.10141583 0.01267698 11 0.60481733
Lampiran 5 Sidik ragam panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu (Xt2) SK db JK KT F -hit p-value perlakuan 3 0.78091902 0.26030634 42.31 <.0001 Galat 8 0.04922138 0.00615267 Total 11 0.83014040
40
Lampiran 6 Komponen penyusun media PDA dan MEA Media Komponen penyusun Karbohirdat PDA Protein Air Nitrogen MEA Karbohirat Sodium klorida
41
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tiropadang, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 30 Desember 1976 dari ayah Thomas Dendang dan ibu Germana Palanda. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian UNHALU, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2009, penulis diterima di Program Studi Silvikultur Tropika pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Calon Peneliti di Balai Penelitian Kehutanan sejak tahun 2005 dan di tempatkan Balai Teknologi Agroforestry Ciamis.