SELEKSI DAN IDENTIFIKASI AKTINOMISET SEBAGAI AGENS HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT KRESEK YANG DIAKIBATKAN OLEH Xanthomonas oryzae pv. oryzae PADA PADI
NUR ‘IZZA FAIQOTUL HIMMAH
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRAK NUR ‘IZZA FAIQOTUL HIMMAH. Seleksi dan Identifikasi Aktinomiset sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Kresek yang Diakibatkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Padi. Dibimbing oleh GIYANTO.
Padi merupakan tanaman yang sangat penting sebagai sumber bahan pangan utama di Indonesia. Salah satu penyakit yang sering menyerang padi adalah penyakit kresek oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan mengidentifikasi isolat aktinomiset yang berpotensi untuk mengendalikan penyakit kresek pada padi oleh bakteri X. oryzae pv. oryzae. Lima belas isolat aktinomiset telah diisolasi dari tanah perakaran bambu, tanah sawah, dan tanah perakaran sawit di Bogor. Lima isolat, yaitu AB10, AB11, ATS6, ATS8 dan APS7, menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap X. oryzae pv. oryzae. Empat isolat, yaitu AB10, AB11, ATS6, dan APS7 kembali diuji untuk perlakuan perendaman benih padi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan perendaman benih padi dengan aktinomiset tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persen perkecambahan, tinggi tunas, panjang akar, dan bobot kecambah. Namun demikian, perlakuan dengan isolat ATS6 dan APS7 memberikan persen perkecambahan, tinggi tunas, panjang akar, dan bobot kecambah yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Perlakuan perendaman benih padi dengan aktinomiset dapat mengurangi jumlah inokulum bakteri X. oryzae pv. oryzae terbawa benih. Isolat ATS6 merupakan isolat aktinomiset yang menunjukkan hasil terbaik dalam penekanan bakteri X. oryzae pv. oryzae dan pertumbuhan kecambah padi. Dua isolat yang paling berpotensi dipilih dan diidentifikasi. Berdasarkan hasil identifikasi dari sekuen parsial gen 16S rRNA, isolat ATS6 dan APS7 termasuk ke dalam genus Streptomyces. Isolat ATS6 memiliki kesamaan terdekat (98%) dengan S. katrae HQ607777.1, dan isolat APS7 memiliki kesamaan terdekat (99%) dengan Streptomyces sp. HE577953.1. Kedua isolat aktinomiset tersebut berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai agens hayati untuk pengendalian penyakit kresek.
Kata kunci:
Aktinomiset, penyakit kresek, Xanthomonas oryzae pv. oryzae, agens hayati
SELEKSI DAN IDENTIFIKASI AKTINOMISET SEBAGAI AGENS HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT KRESEK YANG DIAKIBATKAN OLEH Xanthomonas oryzae pv. oryzae PADA PADI
NUR ‘IZZA FAIQOTUL HIMMAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul skripsi
: Seleksi dan Identifikasi Aktinomiset sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Kresek yang Diakibatkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Padi Nama mahasiswa : Nur ‘Izza Faiqotul Himmah NIM : A34070013
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Giyanto, M.Si. NIP 19670709 199303 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. NIP 19640204 199002 1 002
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 7 Juli 1989. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan Ir. Agus Setyarso dan drh. Luluk Maryam Fatchurrahmah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di SD Nasional I Pondok Gede, kemudian melanjutkan ke SMP Islam Terpadu IQRO’ Bekasi sampai tahun 2004, dan lulus dari SMA Negeri 1 Madiun pada tahun 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007 sebagai mahasiswi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Penulis mengambil minor supporting course. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan tingkat fakultas dan departemen. Penulis bergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM Faperta) sebagai staf Departemen Komunikasi dan Informasi pada periode 2008/2009. Kemudian, penulis menjabat sebagai Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi BEM Faperta periode 2009/2010. Penulis tergabung dalam anggota redaksi Redaksi Majalah METAMORFOSA Departemen Proteksi Tanaman sejak tahun 2008 dan diberi amanah sebagai pimpinan redaksi pada periode 2010/2011. Penulis juga tergabung sebagai anggota Entomology Club Proteksi Tanaman IPB. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) yang didanai pada tahun 2009 dengan judul “Pemanfaatan Bakteri Kitinolitik dalam Pengendalian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) sebagai Penyakit Penting Pascapanen pada Buah Cabai Merah”. Penulis dipercaya untuk menjadi asisten praktikum mata kuliah Biologi Patogen Tumbuhan (2009), Ilmu Penyakit Tumbuhan Dasar (2010 & 2011), Entomologi Umum (2010), dan Biologi Cendawan (2011).
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Seleksi dan Identifikasi Aktinomiset sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Kresek yang Diakibatkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Padi”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian tugas akhir dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman pada bulan Februari sampai dengan September 2011. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Giyanto, M.Si. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak ilmu, bantuan, dan bimbingan selama penelitian dan penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si. sebagai dosen penguji tamu yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi. Rasa terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, yaitu kepada Ida P, Nurul W, Tatit S, Yayu SN, Mbak Ratdiana, Mbak Tita W, Mbak Adelin ET, Ibu Haliatur R, Bapak Rustam, dan Bapak Agus E Prasetyo, atas bantuan dan nasihatnya selama penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Djoko Prijono, MAgr.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan nasihat dan bimbingan selama masa kuliah. Rasa terima kasih penulis sampaikan pula kepada kepada seluruh sahabat di Proteksi Tanaman 44, khususnya kepada Alchemi PJK, Etika Ayu K, dan Nur’asiah yang senantiasa memberi semangat dan menjadi teman diskusi bagi penulis, serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Ucapan terima kasih secara khusus ingin penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Agus Setyarso dan Luluk MF) serta adik-adik tercinta (Wildan, Firda, Fadli, dan Rifqi) yang senantiasa memberikan dukungan moral maupun materil, doa, dan kasih sayang yang tiada hentinya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Tiada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Januari 2012
Nur ‘Izza Faiqotul Himmah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
x
PENDAHULUAN .................................................................................. Latar Belakang ............................................................................... Tujuan Penelitian ........................................................................... Manfaat Penelitian .........................................................................
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... Penyakit Kresek oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae .................. Gejala Penyakit Kresek ........................................................ Patogen Penyakit Kresek ...................................................... Pengendalian Penyakit Kresek ............................................. Aktinomiset ....................................................................................
4 4 4 4 5 5
BAHAN DAN METODE ....................................................................... Tempat dan Waktu ......................................................................... Bahan dan Alat .............................................................................. Metode Penelitian .......................................................................... Isolasi Aktinomiset ............................................................... Isolasi Bakteri X. oryzae pv. oryzae ..................................... Uji Potensi Antibiosis Aktinomiset terhadap X. oryzae pv. oryzae ................................................................................... Metode Plate Diffusion ............................................... Metode Cross-Streak .................................................. Uji Reaksi Hipersensitivitas Isolat Aktinomiset Terpilih .... Pengujian Aktinomiset terhadap Perkecambahan Benih Padi Pengujian Aktinomiset terhadap Penekanan Populasi X. oryzae pv. oryzae pada Benih dan Kecambah Padi ......... Identifikasi Isolat Aktinomiset yang Berpotensi sebagai Agens Hayati X. oryzae pv. oryzae ...................................... Ekstraksi DNA Aktinomiset ....................................... Amplifikasi dan Sekuensing Gen 16S rRNA Aktinomiset .................................................................. Analisis Statistik ...................................................................
8 8 8 8 8 9
13 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... Isolasi Aktinomiset ........................................................................ Isolasi Bakteri X. oryzae pv. oryzae .............................................. Uji Potensi Antibiosis Aktinomiset terhadap X. oryzae pv. oryzae . Metode Plate Diffusion ........................................................ Metode Cross-Streak ............................................................ Uji Reaksi Hipersensitivitas Isolat Aktinomiset Terpilih ..............
15 15 17 18 18 19 21
9 10 10 10 11 11 12 12
vii Pengujian Aktinomiset terhadap Perkecambahan Benih Padi ....... Pengujian Aktinomiset terhadap Penekanan Populasi X. oryzae pv. oryzae pada Benih dan Kecambah Padi ......................................... Identifikasi Isolat Aktinomiset yang Berpotensi sebagai Agens Hayati X. oryzae pv. oryzae ........................................................... Ekstraksi DNA Aktinomiset ................................................. Amplifikasi dan Sekuensing Gen 16S rRNA Aktinomiset ..
21
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... Kesimpulan .................................................................................... Saran ..............................................................................................
30 30 30
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
31
LAMPIRAN ............................................................................................
35
24 26 26 27
DAFTAR TABEL Halaman 1
Isolat aktinomiset hasil isolasi dari setiap sampel tanah .................
15
2
Pembentukan zona hambatan oleh aktinomiset terhadap koloni X. oryzae pv. oryzae pada media NA dengan metode plate diffusion
18
Pembentukan zona penghambatan aktinomiset terhadap X. oryzae pv. oryzae dengan metode cross-streak ...........................................
19
Persentase perkecambahan benih padi setelah perlakuan perendaman benih dengan aktinomiset ................................................................
22
Jumlah koloni X. oryzae pv. oryzae hasil pencawanan dari gerusan 25 butir benih padi ...........................................................................
25
Jumlah koloni X. oryzae pv. oryzae hasil pencawanan dari gerusan 25 kecambah padi ............................................................................
26
Hasil pencarian kesamaan gen 16S rRNA antara isolat ATS6 dan APS7 dengan NCBI genebank database menggunakan BLAST ....
28
3 4 5 6 7
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Koloni isolat aktinomiset hasil isolasi dari tanah dan koleksi laboratorium pada media WYE/YCED ..............................................
16
2
Koloni bakteri X. oryzae pv. oryzae pada media YDCA ...................
17
3
Hasil uji antibiosis aktinomiset terhadap X. oryzae pv. oryzae dengan metode cross-streak ...........................................................................
20
Hasil uji reaksi hipersensitif empat isolat aktinomiset terpilih pada tanaman tembakau .............................................................................
21
Kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih dengan aktinomiset ..................................................................
22
Tinggi tunas kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih ..............................................................................
23
Panjang akar kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih ..............................................................................
23
Bobot basah per 10 kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih .............................................................
24
Visualisasi hasil ekstraksi DNA aktinomiset isolat ATS6 dan APS7..
27
10 Visualisasi hasil amplifikasi PCR DNA aktinomiset ATS6 dan APS7 dengan elektroforesis gel agarose ......................................................
27
11 Bentuk hifa berspora aktinomiset diamati pada perbesaran 400x dengan mikroskop compound ............................................................
28
4 5 6 7 8 9
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Komposisi media yang digunakan dalam penelitian ..........................
36
2
Hasil uji patogenisitas isolat X. oryzae pv. oryzae .............................
36
3
Sekuen parsial gen 16S rRNA isolat ATS6 .......................................
37
4
Sekuen parsial gen 16S rRNA isolat APS7 .......................................
37
5
Hasil analisis ragam persentase perkecambahan benih padi setelah perlakuan perendaman benih dengan aktinomiset .............................
38
Hasil analisis ragam tinggi tunas kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih .................................................
38
Hasil analisis ragam panjang akar kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih .................................................
38
Hasil analisis ragam bobot per 10 kecambah padi pada umur 7 hari setelah perlakuan perendaman benih .................................................
38
6 7 8
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian merupakan sektor komoditas utama di Indonesia. Negara yang terdiri dari kepulauan dengan lahan yang luas adalah faktor yang mendukung Indonesia untuk menjadi negara yang berbasis pertanian. Pertanian di Indonesia masih menggunakan sistem yang konvensional, karena adanya anggapan bahwa petani adalah orang yang tidak berpendidikan, padahal sektor pertanian yang dominan dalam mendukung kelangsungan perekonomian negara. Dengan demikian perlu adanya petani berdasi yang dapat memajukan pertanian di Indonesia. Pertanian secara sempit terdiri atas pertanian pada subsektor tanamanan pangan dan hortikultura serta perkebunan. Pertanian pangan dan hortikultura adalah pertanian yang menghasilkan kebutuhan pokok makanan untuk manusia. Sedangkan pertanian perkebunan menghasilkan tanaman tahunan yang dapat menambah devisa negara serta untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada semua subsektor pertanian tersebut banyak kendala yang dihadapi seperti keadaan cuaca atau iklim yang tidak menentu, ketersediaan air, dan yang paling mengganggu adalah Organisme Pengganggu
Tanaman
(OPT).
Organisme
pengganggu
tanaman
ini
dapat
menimbulkan kerugian secara ekonomis terhadap petani maupun masyarakat. Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Tikus sawah merupakan salah satu hama utama padi yang dapat menimbulkan kerusakan di seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Tikus pohon biasanya hidup di perkebunan, pekarangan, dan persawahan sedangkan tikus rumah biasanya hidup di permukiman manusia, rumah, dan gudang. Pada saat ini tikus pohon dan tikus rumah dapat menyebabkan kerusakan di permukaan maupun di areal perkebunan. Hal ini disebabkan banyaknya areal perkebunan yang tidak jauh dari tempat permukiman manusia dan tidak tersedianya pakan yang cukup untuk tikus disalah satu habitat tersebut. Tikus pohon dan tikus rumah dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan yang disimpan di rumah seperti jagung, gandum,
2
gabah, dan beras. Selain itu tikus pohon dan tikus rumah juga dapat menyebabkan kerusakan pada bahan bangunan karena sifat mengeratnya, kemampuannya menurunkan produksi pertanian dan menyebarkan penyakit pada manusia. Berdasarkan hal tersebut tikus sering dipandang oleh manusia sebagai hewan yang memiliki efek negatif dalam ekosistem (Dickman 1988). Pengendalian tikus dapat dikelompokkan ke dalam beberapa metode pengendalian antara lain: pengendalian secara kultur teknis, fisik mekanis, biologi, dan kimia. Pengendalian secara fisik mekanis bertujuan untuk mengubah faktor lingkungan fisik menjadi di atas atau di bawah toleransi tikus secara langsung dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan alat. Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan racun, baik yang bersifat akut maupun kronis (Priyambodo 2003). Metode pengendalian yang dilakukan harus sesuai dengan konsep IPM (Integrated Pest Management) dengan harapan agar populasi hama dapat terus ditekan di bawah ambang ekonomi, penggunaan redentisida dikurangi sehingga mengurangi bahaya akibat samping, penggunaan non-rodentisida ditingkatkan, keseluruhan program itu harus efektif, efisien, aman, dan tidak mahal (Sigit 2006). Pengendalian tikus yang sering dilakukan saat ini dan mendapatkan hasil yang efektif adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida sintetik. Rodentisida yang diaplikasikan dengan baik akan didapatkan hasil produksi yang melebihi hasil rata – rata petani. Metode tersebut sekarang banyak digunakan, meskipun menurut konsep PHT seharusnya metode ini digunakan sebagai alternatif terakhir jika semua cara lain yang digunakan belum memberikan hasil yang memadai (Priyambodo 2003). Rodentisida sintetik yang diberikan pada tikus menunjukkan daya bunuh yang efektif serta memberikan hasil kematian tikus yang nyata meskipun penggunaan rodentisida sintetik tidak ramah terhadap lingkungan. Alternatif dari rodentisida sintesis adalah rodentisida nabati yang termasuk pestisida organik atau pestisida nabati, yaitu merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang biasa digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman.
3
Tikus sebagai hewan omnivora (pemakan segala) biasanya mau mengonsumsi semua makanan yang dapat dimakan oleh manusia, baik yang berasal dari tumbuhan (nabati) maupun yang berasal dari hewan (hewani). Sifat tikus yang mudah curiga terhadap setiap benda yang ditemuinya, termasuk pakannya, disebut dengan neophobia. Adapun sifat tikus yang enggan memakan umpan beracun yang diberikan karena tidak melalui umpan pendahuluan disebut dengan jera umpan (bait shyness) atau jera racun (poison shyness) (Priyambodo 2003). Indera tikus khususnya penciuman, pendengaran, perasa, dan peraba sangat berperan dalam sifat jera umpan dan jera racun terhadap beberapa jenis rodentisida (akut dan kronis) serta neophobia atau mudah curiga untuk beberapa jenis umpan dan perangkap. Neophobia jika diartikan menurut arti katanya adalah ketakutan pada sesuatu yang baru tetapi jika dilihat dari maknanya adalah menghindari benda yang tidak dikenali, termasuk bau, rasa, suara, dan makanan asing yang ada disekitarnya. Sifat neophobia berbeda antara setiap spesies tikus, respon tikus bervariasi dan mempunyai rangsangan yang unik. Pertumbuhan dari perilaku neophobia terhadap tikus merupakan hal yang biasa oleh karena itu seleksi untuk banyak generasi selama perolehan dan pemeliharaan dari habitat biasanya. Kegagalan pada aplikasi rodentisida di lapang berdasarkan pada resistensi perilaku (behavioral resistance) yaitu kondisi keengganan terhadap rodentisida, bukan berdasarkan resistensi fisiologis (physiological resistance). Perilaku demikian dapat membantu tikus untuk menghindari mengonsumsi dosis yang mematikan dari rodentisida. (Priyambodo 2002). Sampai saat ini semakin banyak pengendalian secara kimia dengan menggunakan rodentisida sintetik yang tidak sesuai aturan pakai, menyebabkan tikus tersebut lebih jera umpan (bait shyness) dan jera racun (poison shyness), karena sifat tikus yang mudah curiga. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian tentang tingkat kejeraan umpan (beras dan gabah) dan kejeraaan racun dari tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap beberapa rodentisida sintetis dan nabati serta mencari faktor penyebab dari tingkat kejeraan umpan dan racun tersebut.
4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menghitung tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida (akut, kronis, dan nabati) yang sering diaplikasikan di lapangan dan permukiman, dan terhadap umpan dasar (gabah dan beras), serta mengetahui faktor yang menyebabkan tingkat kejeraan tersebut. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida dan umpan yang sering diaplikasikan di lapang dan permukiman. Demikian juga untuk mengetahui faktor yang menyebabkan tingkat kejeraan rodentisida dan umpan tersebut sehingga dapat memberikan informasi dan tindakan pengendalian alternatif.
5
TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah (Rattus argentiventer)
Taksonomi dan Morfologi Tikus sawah mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Mymorpha, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae, Genus Rattus, Spesies R. argentiventer (CPC 2002). Tikus sawah mempunyai ciri morfologi yaitu tekstur rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, warna badan dorsal coklat kelabu kehitaman, warna badan ventral kelabu pucat atau putih kotor, warna ekor ventral coklat gelap, bobot badan 70-300 g, panjang badan 130-210 mm, panjang ekor 110-160 mm, panjang secara keseluruhan dari kepala sampai ekor 240-370 mm, lebar daun telinga 19-22 mm, panjang telapak kaki belakang 32-39 mm, lebar sepasang gigi seri pengerat pada rahang atas 3 mm, formula puting susu 3 + 3 pasang (Priyambodo 2003). Biologi dan Ekologi Tikus sawah bersifat omnivora serta memerlukan pakan yang banyak mengandung zat tepung (karbohidrat) seperti biji padi, kelapa, dan umbi. Jagung dan tebu pada umumnya kurang disukai oleh tikus sawah (Kalshoven 1981). Tikus sawah menyerang padi pada malam hari. Pada siang hari tikus bersembunyi di dalam lubang pada tanggul irigrasi, jalan sawah, pematang, dan daerah perkampungan dekat sawah. Pada periode sawah bera sebagian besar tikus sawah bermigrasi ke daerah perkampungan dekat sawah dan kembali ke sawah setelah pertanaman padi menjelang generatif. Kehadiran tikus di daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran, lubang aktif, dan gejala serangan. Tikus betina bunting sekitar 21-23 hari dan mampu beranak rata-rata sejumlah 10 ekor. Tikus dapat berkembang biak apabila makanannya banyak mengandung zat tepung. Populasi tikus sawah sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan dan tempat persembunyian yang memadai.
6
Tempat persembunyian tikus antara lain tanaman, semak belukar, rumpun bambu, pematang sawah yang ditumbuhi gulma, dan kebun yang kotor (Sudarmaji 2005). Tanaman padi merupakan pakan utama bagi tikus sawah dan semua stadia pertumbuhan dapat dirusak. Daur perkembangan hidup tikus betina dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah berkaitan erat dengan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi. Jumlah anakan padi yang dikerat oleh seekor tikus sawah dalam semalam tergantung musim dan fase pertumbuhan tanaman. Kerusakan tanaman padi pada waktu bunting dan bermalai adalah yang sangat berpengaruh terhadap turunnya produksi (Brooks dan Rowe 1979).
Tikus Rumah (Rattus rattus diardii)
Taksonomi dan Morfologi Tikus rumah mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Mymorpha, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae, Genus Rattus, Spesies R. rattus (CPC 2002). Tikus rumah memiliki ciri morfologi tekstur rambut agak kasar, bentuk badan silindris, bentuk hidung kerucut, telinga berukuran besar tidak berambut pada bagian dalam dan dapat menutupi mata jika ditekuk ke depan, warna badan bagian perut dan punggung coklat hitam kelabu, warna ekor coklat hitam, bobot tubuh 60-300 g, panjang badan 130-210 mm, ukuran ekor terhadap kepala dan badan bervariasi (lebih pendek, sama, atau panjang) (Priyambodo 2003). Pada tikus betina memiliki puting susu 2 pasang di dada dan 3 pasang di perut (10 buah) (Rochman 1992). Biologi dan Ekologi Tikus rumah mempunyai distribusi geografi yang menyebar di seluruh dunia sehingga disebut hewan kosmopolit (Priyambodo 2003). Tikus rumah biasanya hidup di lingkungan perumahan, pasar, dan membuat sarang di loteng atau atap. Apabila bahan makanan berkurang, tikus rumah ini akan mencari pakan di sawah sekitar rumah atau gudang dan pekarangan di sekitar kandang ternak (Rochman dan Soekarna 1988).
7
Tikus rumah mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat dan melahirkan anak sepanjang tahun tanpa mengenal musim, oleh sebab itu tikus disebut sebagai hewan poliestrus. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh faktor habitat, iklim, dan pakan. Selama mempertahankan kelangsungan hidupnya, tikus rumah memanfaatkan pakan yang mengandung karbohidrat (gula pasir), lemak, protein, mineral, dan vitamin (Meehan 1984). Tikus rumah memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kemampuan melahirkan anak sebanyak 5-8 ekor dalam sekali melahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan tergantung ketersediaan makanan. Masa bunting tikus selama 21 hari dan pada saat dilahirkan anak tikus tidak memiliki rambut dan mata tertutup. Pada umur 4-5 minggu tikus mulai mencari makan sendiri, terpisah dari induknya. Pada usia tersebut tikus dapat dengan mudah diperangkap. Tikus rumah mencapai usia dewasa setelah berumur 35-65 hari (Kalshoven 1981). Tikus rumah termasuk hewan arboreal yang dicirikan dengan adanya ekor yang panjang serta tonjolan pada telapak kaki yang relatif besar dan kasar (Priyambodo 2003). Tikus termasuk hewan omnivora, menyukai makanan yang berasal dari bijibijian, buah-buahan, sayur-sayuran, daging, ikan, dan telur. Dalam sehari tikus biasanya membutuhkan pakan dalam keadaan kering sebanyak 10% dari bobot tubuhnya, namun apabila pakan dalam keadaan basah kebutuhan pakan dapat mencapai 15% dari bobot tubuhnya. Tikus rumah biasanya akan mengenali dan mengambil pakan yang telah tersedia atau yang ditemukan dalam jumlah sedikit untuk mencicipi atau untuk mengetahui reaksi yang terjadi pada tubuhnya. Apabila tidak terjadi reaksi yang membahayakan, maka tikus akan menghabiskan pakan yang tersedia atau pakan yang ditemukan (Priyambodo 2003).
8
Tikus Pohon (Rattus tiomanicus) Taksonomi dan Morfologi Tikus pohon mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Mymorpha, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae, Genus Rattus, Spesies R. tiomanicus (CPC 2002). Tikus pohon termasuk sebagai spesies tikus yang berukuran kecil hingga menengah. Ciri khas yang dapat membedakan tikus pohon dengan spesies tikus yang lainnya yaitu mempunyai ekor yang lebih panjang dari pada kepala dan badan, tubuh bagian dorsal berwarna coklat kekuningan dan bagian ventralnya berwarna putih, putih kekuningan, atau krem (Aplin, Brown, Jacob, Krebs, Singleton 2003). Tikus pohon memiliki memiliki bentuk rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris serta warna ekor bagian atas dan bawah coklat hitam. Tikus pohon memiliki bobot tubuh 55-300 g, panjang kepala dan badan 130-200 mm. Tikus betina memiliki lima pasang puting susu yaitu dua pasang di dada dan tiga pasang di perut (Rochman 1992). Biologi dan Ekologi Tikus pohon merupakan jenis tikus yang memiliki kemampuan meloncat, mengerat, memanjat, dan berenang dengan baik (Rochman 1992). Kemampuan tikus pohon dalam memanjat didukung oleh adanya tonjolan pada telapak kaki yang disebut dengan footpad yang relatif besar dan dengan permukaan yang kasar. Footpad ini masih ditambah oleh cakar yang berguna untuk memperkuat pegangan, serta ekor sebagai alat untuk keseimbangan pada saat memanjat (Priyambodo 2003). Selain itu, tikus pohon mempunyai kemampuan mengerat yang tinggi sebagai aktivitas untuk mengurangi pertumbuhan gigi seri yang tumbuh terus menerus. Hal ini dapat dilihat dari adanya keratin pada kelapa, tebu, dan benda lain yang dikeratnya (Walker 1999). Penyebaran dari tikus pohon dipengaruhi oleh penyebaran sumberdaya pakan di lingkungannya. Habitat setiap spesies tikus berbeda-beda, tetapi hal tersebut tidak membatasi wilayah penyebaran dari spesies tikus tersebut (Meehan 1984). Tikus
9
pohon pada umumnya ditemukan pada berbagai tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, tebu, dan kakao. Pada tanaman kelapa sawit, tikus pohon membuat sarang di antara pelepah daun kelapa sawit atau celah – celah yang ada diantara pohon. Selain itu tikus pohon juga ditemukan pada lahan persawahan, areal pertanian, lapangan terbuka, dan pekarangan rumah (Priyambodo 2003). Tikus pohon termasuk golongan omnivora (pemakan segala) tetapi cenderung untuk memakan biji-bijian atau serealia. Kebutuhan pakan dalam bentuk kering bagi seekor tikus pohon setiap hari kurang lebih sekitar 10% dari bobot tubuhnya, sedangkan untuk pakan dalam bentuk pakan basah sekitar 15% dari bobot tubuhnya (Priyambodo 2003).
Kerugian yang Disebabkan oleh Tikus Sawah, Tikus Rumah dan Tikus Pohon Tikus sawah (R. argentiventer) merupakan hama utama padi yang dapat menimbulkan kerusakan besar pada semua stadia pertumbuhan padi dari persemaian hingga panen, bahkan juga di gudang penyimpanan. Kerusakan parah terjadi jika tikus menyerang padi pada stadia generatif, karena tanaman padi tidak mampu lagi membentuk anakan yang baru. Tikus merusak tanaman padi mulai dari tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir, dan menyisakan satu sampai dua baris padi di pinggir petakan pada keadaan serangan berat. Kerusakan tanaman padi pada waktu bunting dan bermalai adalah yang sangat berpengaruh terhadap turunnya produksi (Brooks & Rowe 1979). Asosiasi tikus dengan manusia banyak bersifat parasitisme. Tikus rumah (R. rattus diardii) menyebabkan banyak kerugian yaitu kerusakan pada bangunan rumah, kantor, gudang, dan pabrik. Aktivitas tikus dalam mengeratkan gigi serinya dan menggali tanah atau membuat sarang dapat menimbulkan kerusakan pada bangunan kantor, pabrik, gudang, atau rumah. Tikus rumah juga dapat menyebabkan berkurangnya simpanan bahan makanan di rumah dan gudang makanan, kontaminasi pada bahan makanan, terbawanya patogen seperti bakteri Salmonella sp. dan
10
Leptospira sp., amoeba Entamoeba histolytica, Giardia muris dari tikus ke manusia dan hewan peliharaan (zoonosis) (Priyambodo 2003). Serangan tikus pohon (R. tiomanicus) menyebabkan kerugian yang cukup besar pada bidang pertanian di Indonesia dan di banyak negara. Tikus pohon mampu menyerang tanaman kelapa sawit, baik yang belum maupun yang sudah menghasilkan. Pada tanaman yang baru ditanam dan belum menghasilkan, tikus mengerat serta memakan bagian pangkal pelepah daun, sehingga mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat atau bahkan tanaman dapat mati jika keratan tikus mengenai titik tumbuhnya. Pada tanaman kelapa sawit yang sudah menghasilkan, tikus pohon dapat memakan buahnya (Sipayung, Sudharto, Lubis 1987). Bila pakan yang ada di sekitar tikus berlimpah, maka tikus akan berkembang biak sangat cepat sehingga kerusakan yang ditimbulkan juga semakin besar. Perkembangan tikus sangat dipengaruhi oleh keadaan pakan dan lingkungan sekitar (Aplin et al 2003). Metode Pengendalian Tikus Sawah, Tikus Rumah dan Tikus Pohon Pengendalian tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon telah banyak dikembangkan, hal ini bertujuan untuk mengurangi dampak kerugian yang ditimbulkan. Pengendalian yang dapat dilakukan antara lain dengan cara kultur teknis yaitu dengan membuat lingkungan yang tidak menguntungkan atau tidak mendukung bagi kehidupan dan perkembangan populasi tikus, seperti membatasi makanan dan tempat
perlindungannya.
Modifikasi
lingkungan
atau
sanitasi
merupakan
pengendalian jangka panjang, sedangkan penggunaan perangkap dan umpan beracun merupakan pengendalian jangka pendek. Pengendalian sanitasi dengan melakukan tindakan mengelola dan memelihara lingkungan sehingga tidak menarik dan tidak sesuai bagi kehidupan dan perkembangbiakan tikus (Priyambodo 2003). Pengendalian fisik-mekanis dengan usaha untuk mengubah lingkungan fisik menjadi di atas atau di bawah toleransi tikus dan juga merupakan usaha manusia untuk mematikan atau memindahkan tikus secara langsung dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan alat (Priyambodo 2003). Penggunaan perangkap merupakan pengendalian fisik-mekanik terhadap tikus yang paling tua digunakan,
11
dalam aplikasinya metode ini merupakan cara yang efektif, aman, dan ekonomis karena perangkap dapat mengurangi jumlah tenaga kerja (Darmawansyah 2008). Penggunaan perangkap juga merupakan cara yang ramah lingkungan karena dalam aplikasinya tidak menggunakan bahan kimia. Pengendalian biologis adalah pengendalian menggunakan parasit, patogen dan predator dan secara genetik yang dilakukan dengan pelepasan individu tikus yang membawa gen perusak dan pelepasan individu steril atau mandul pada populasi tikus untuk menurunkan laju reproduksi tikus. Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia yang mampu mematikan atau mengganggu aktivitas tikus (Priyambodo 2003). Dalam upaya menekan kerusakan oleh tikus, pengendalian hama tikus secara kimia merupakan alternatif
yang paling umum dilakukan dibandingkan dengan
upaya pengendalian lainnya. Metode ini sangat mudah diaplikasikan dan didapatkan hasil yang nyata. Meskipun demikian penggunaan bahan kimia dapat menimbulkan beberapa masalah yaitu dapat meracuni hewan bukan sasaran, berbahaya bagi lingkungan, serta harganya yang mahal menyebabkan cara ini kurang ekonomis. Menurut cara kerjanya, rodentisida dibedakan menjadi racun akut dan racun kronis. Racun akut bekerja lebih cepat dalam membunuh tikus dengan cara merusak system syaraf dan melumpuhkannya. Racun kronis (antikoagulan) bekerja lebih lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2003). Rodentisida Rodentisida merupakan bahan kimia yang digunakan dalam mengendalikan tikus. Ditinjau dari cara penggunaannya, terdapat dua macam rodentisida yang umum digunakan yaitu fumigasi dan umpan beracun. Fumigasi bersifat racun nafas dan bahan yang biasanya banyak digunakan yaitu belerang oksida. Umpan beracun bersifat racun perut yang berdasarkan cara kerjanya dibagi menjadi dua golongan yaitu racun akut dan racun kronis atau antikoagulan (Prakash 1988).
12
Rodentisida sintetik memberikan dampak negatif seperti keracunan bagi manusia juga mencemari lingkungan tetapi keracunan pada manusia akibat racun tikus tergantung kepada kandungan bahan aktif. Gejala keracunan akibat konsumsi rodentisida ini akan terlihat dalam waktu yang cukup lama yaitu lebih dari dari 24 jam (Meehan 1984), sehingga diperlukan penggunaan rodentisida nabati yang lebih ramah lingkungan. Keunggulan rodentisida nabati adalah murah dan mudah dalam proses pembuatan, aman terhadap lingkungan, serta sulit menimbulkan resistensi pada tikus (Sudarmo 2005). Rodentisida Akut Rodentisida akut merupakan kelompok rodentisida yang dapat menyebabkan kematian tikus dalam 24 jam atau kurang setelah pemberian pada dosis yang mematikan (Buckle dan Smith 1996). Kurun waktu tersebut berhubungan dengan tingkat dosis yang diberikan, akibat dari peracunan dapat terlihat nyata dengan waktu yang sangat cepat ketika diberikan rodentisida dalam jumlah besar. Racun akut bekerja lebih cepat dalam membunuh tikus dengan cara merusak system syaraf dan melumpuhkannya (Priyambodo 2003). Rodentisida akut merupakan racun yang sangat berbahaya dan tidak memiliki antidot yang spesifik, oleh karena itu jenis rodentisida ini dibatasi keberadaannya di beberapa negara. Biasanya rodentisida ini hanya diizinkan digunakan oleh profesional. Salah satu rodentisida akut yang sering digunakan dan merupakan satusatunya rodentisida akut yang diizinkan untuk digunakan oleh non profesional adalah rodentisida yang berbahan aktif seng fosfida. Bahan aktif lain dari rodentisida yang tergolong rodentisida akut adalah brometalin, crimidine, dan arsen trioksida. Keseluruhan bahan aktif tersebut bekerja secara cepat dengan cara merusak jaringan syaraf dalam saluran pencernaan dan masuk ke dalam aliran darah (Priyambodo 2003). Seng Fosfida (Zn3P2). Seng fosfida umum digunakan sebagai rodentisida akut dan merupakan satu-satunya bahan aktif yang tersedia sangat luas dan diizinkan digunakan oleh non profesional. Jenis ini umumnya tersedia dalam bentuk serbuk
13
berwarna hitam atau abu-abu dengan kemurnian 80-95%, mempunyai bau yang menyengat, dan merupakan racun dengan kisaran luas pada hewan pengerat. Seng fosfida diaplikasikan dengan menggunakan umpan dengan kisaran konsentrasi 1-5% walaupun konsentrasi 1% merupakan konsentrasi yang paling banyak digunakan. Formulasi yang tersedia merupakan bentuk siap pakai untuk langsung digunakan (Ready-for-use) khususnya di Amerika Serikat. Menurut Corrigan (1997) seng fosfida adalah suatu tepung yang berwarna hitam keabu-abuan, dengan bau seperti bawang putih, yang diproduksi dengan cara mengarahkan kombinasi antara seng dengan fosfor. Seng fosfida telah dikenal sejak dulu sebagai racun tikus yang efektif, dapat tercampur dalam karbon disulfida dan benzene, tetapi tidak dapat larut dalam alkohol dan air. LD50 seng fosfida terhadap tikus adalah 45.7 mg/kg. Burung juga sangat sensitif terhadap racun ini. Racun akut ini telah digunakan secara luas terhadap tikus. Lama kematian tikus setelah mengkonsumsi rodentisida antara 17 menit sampai dengan beberapa jam. Bahan aktif seng fosfida menghasilkan gas fosfin (PH3) yang dapat merusak saluran pencernaan, masuk ke aliran darah dan menghancurkan liver (hati). Rodentisida ini juga membunuh hewan vertebrata lainnya seperti anjing, kucing, babi, ayam, dan itik dengan LD50 seng fosfida terdapat pada kisaran 20-40 mg/kg (Buckle 1996). Rodentisida Kronis Rodentisida kronis merupakan racun yang bekerja secara lambat dengan cara mengganggu metabolime vitamin K serta menganggu proses pembekuan darah (Oudejans 1991). Menurut Sunarjo (1992) rodentisida kronis adalah kelompok rodentisida yang mengandung senyawa yang dapat menghambat pembentukan protrombin (bahan yang di dalam darah bertanggung jawab terhadap pembekuan darah) dan merusak pembuluh kapiler sehingga merusak pembuluh darah internal. Bahan aktif pada rodentisida kronis berdasarkan saat produksi terbagi menjadi dua yaitu generasi I seperti warfarin, kumatetralil, fumarin, difasinon, pival dan generasi II seperti bromadiolon, difenakum, brodifakum, flokumafen (Priyambodo
14
2003). Rodentisida antikoagulan generasi II dibuat karena sudah terjadi atau diperkirakan akan terjadi resistensi tikus terhadap racun antikoagulan generasi I. Dengan diproduksinya rodentisida antikoagulan generasi II ini diharapkan resistensi tikus dapat dicegah. Rodentisida kronis lebih sering digunakan dibandingkan dengan racun akut dalam pengendalian tikus karena dapat mengurangi sifat curiga dari tikus yang lain. Bahan aktif dari rodentisida kronis bekerja dalam tubuh tikus dengan lambat sehingga tikus tidak langsung mati di tempat setelah mengonsumsi racun (Smith 1996). Kumatetralil (C19H16O3). Kumatetralil merupakan salah satu dari sekian banyak rodentisida antikoagulan generasi pertama yang tersebar luas dan ditemukan di Jerman beberapa tahun yang lalu dan racun tersebut tidak tersedia di Amerika Serikat. Rodentisida ini berbentuk bubuk kristal berwarna putih kekuningan, tidak dapat larut dalam air tetapi dapat larut dalam aseton dan ethanol. Rodentisida ini merupakan suatu antikoagulan yang tidak menyebabkan jera umpan. Formulasi yang digunakan sebesar 0.0375% yang telah dicampur dengan umpan. LD50 akut oral 16 mg/kg, tikus betina lebih peka terhadap racun ini dari pada tikus jantan (Prakash 1988). Bromadiolon (C10H23BrO4). Bromadiolon merupakan jenis rodentisida yang digunakan untuk mengendalikan hewan pengerat pada bidang pertanian dan bekerja dengan cara mengganggu peredaran darah normal. Bromadiolon termasuk racun antikoagulan generasi kedua yang efektif terhadap tikus dan hewan pengerat lainnya, juga terhadap tikus yang tahan terhadap racun antikoagulan generasi pertama. Konsentrasi yang banyak digunakan yaitu 0.005% yang hanya memerlukan 24 jam untuk dapat membunuh tikus sawah dan lima hari untuk membunuh tikus rumah (Prakash 1988). Bromadiolon merupakan jenis rodentisida yang digunakan untuk mengendalikan tikus dan mencit pada bidang pertanian dan perumahan (Meehan 1984). Bentuk fisik racun ini adalah blok berwarna hijau gelap atau biru. Brodifakum (C31H23BrO). Brodifakum merupakan salah satu rodentisida antikoagulan generasi II yang potensial, terutama efektif terhadap spesies tikus yang resisten terhadap rodentisida jenis warfarin (Corrigan 1997). Bentuk fisik racun ini
15
adalah blok dengan warna hijau dan biru sedangkan bentuk asli racun ini berupa bubuk putih (Oudejans 1991). Cara kerjanya ditunjukkan dengan aktivitas dari senyawanya yang dapat membuat tikus mati hanya satu hari setelah mengkonsumsi umpan, yang merupakan bagian dari pakannya. Brodifakum merupakan produk yang hampir tidak dapat larut dalam air. LD50 untuk tikus jantan adalah 0.27 mg/kg dan untuk tikus betina 0.4 mg/kg. Hewan pengerat dapat menyerap dosis yang mematikan dengan hanya 50 mg bahan aktif/ kg umpan sebagai bagian pakanannya. Brodifakum bekerja sebagai antikoagulan yang tidak langsung terhadap tikus, termasuk juga terhadap strain tikus yang resisten terhadap antikoagulan jenis lainnya (Oudejans 1991). Flokumafen. Flokumafen merupakan senyawa kimia yang sama dengan brodifakum, tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan larut dalam aseton. Senyawa ini direkomendasikan penggunaannya dengan konsentrasi 0.005% pada umpan beracun. Bentuk fisik racun ini adalah bentuk padat berwarna biru. Rodentisida Nabati Rodentisida nabati termasuk pestisida organik atau pestisida nabati, yaitu merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang biasa digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan. Penggunaan rodentisida nabati dapat mengurangi pencemaran lingkungan, selain itu harga relatif lebih murah dibandingkan dengan rodentisida sintetik. Rodentisida nabati dapat dibuat secara sederhana berupa larutan hasil perasan, rendaman, ekstrak, dan rebusan bagian tumbuhan. Keunggulan rodentisida nabati yaitu murah dan mudah dalam proses pembuatan, aman terhadap lingkungan, serta sulit menimbulkan resistensi pada tikus. Selain itu terdapat pula kelemahannya yaitu daya kerja relatif lambat, kurang praktis, serta tidak tahan disimpan (Sudarmo 2005). Kelompok tumbuhan rodentisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hewan rodentia. Tumbuhan-tumbuhan ini terbagi menjadi dua jenis yaitu sebagai penekan kelahiran (efek aborsi atau kontrasepsi) dan penekan populasi (efek mortalitas). Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan
16
kelahiran umumnya mengandung steroid, sedangkan yang tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid. Gadung.
Dalam bahasa latin gadung disebut Dioscorea hispidae Denust.
Umbi gadung ini memiliki kandungan 0.2 - 0.7% diosgenin dan 0.044% dioscorine. Racun ini dapat menyebabkan kelumpuhan sistem saraf pusat (Flach and Rumawas 1996). Rodentisida dari umbi tanaman merambat ini menjadi salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai racun tikus yang berbahan alamiah yang bersifat mudah terurai di alam sehingga tidak akan mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan sekitar. Mahoni. Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) merupakan tanaman yang termasuk dalam Famili Meliaceae. Untuk tanaman mahoni yang akan digunakan sebagai tanaman obat, maka tidak boleh diberi pupuk kimia (anorganik) maupun pestisida. Kandungan kimia mahoni ada dua macam, masing-masing saponin dan flavonoida. Saponin banyak dijumpai dalam biji-biji seperti pada kedelai dan kecipir. Dalam jumlah besar, saponin dapat memberi pengaruh negatif terhadap ternak (Tangendjaja et al. 1991). Jarak. Jarak (Ricinus communis) merupakan tanaman anggota Famili Euphorbiaceae yang mempunyai sinonim R. inermis, R. speciosus, R. viridis, dan Croton spinosa. Biji jarak memiliki kandungan ricin, suatu protein yang bersifat toksin terhadap manusia, hewan, dan insekta. Semua bagian dari tanaman ini mengandung ricin, namun konsentrasi tertinggi racun tersebut terdapat pada bijinya. Mekanisme zat aktif ini menghalangi proses penyusunan protein esensial tubuh yang dapat menyebabkan keabnormalan fungsi organ, seperti gagal ginjal. Racun lain yang terkandung dalam biji jarak adalah RCA (Ricinus Comunic Agglutinin) yang menyebabkan penggumpalan darah dan sebagai akibatnya hemolisis yang mengakibatkan pecahnya sel-sel darah. Bintaro. Bintaro (Cerbera odollam Gaertn.) merupakan tanaman yang termasuk dalam Famili Apocynaceae. Walaupun berbentuk indah namun buah bintaro tidak dapat dikonsumsi karena mengandung zat yang bersifat racun terhadap manusia. Dinamakan Cerbera karena bijinya dan semua bagian pohonnya mengandung racun
17
yang disebut “cerberin” yaitu racun yang dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung manusia, sehingga mengganggu detak jantung dan dapat menyebabkan kematian. Bahkan asap dari pembakaran kayunya dapat menyebabkan keracunan (Wibowo 2009).
Umpan Dasar Beras Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk dunia. Produksi beras dunia menempati peringkat ke dua setelah gandum (Tasar 2000). Beras merupakan bagian dalam dari gabah yang telah digiling dan ditumbuk. Permukaan beras ditutupi oleh selaput tipis yang mengandung protein, vitamin, karbohidrat, mineral, dan lemak. Selaput tipis yang melingkupi permukaan beras ini menentukan warna beras. Berdasarkan selaput yang melingkupi permukaan beras, beras terbagi menjadi tiga yaitu beras ketan putih, beras merah, dan beras ketan hitam (Soemadi dan Mutholib 1994). Beras merupakan pangan paling penting di dunia untuk konsumsi manusia. Sebagian terbesar karbohidrat di beras adalah pati dan hanya sebagian kecil pentosa, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Antara 85% hingga 90% dari berat kering beras berupa pati. Pati pada endosperm beras berbentuk granula polyhedral berukuran 3 – 5 μm (Haryadi 2006). Di gudang penyimpanan, beras merupakan media yang sangat baik untuk perkembangan hama tikus dan hama gudang lainnya. Serangan hama pada perumahan dan gudang penyimpanan dapat menurunkan kualitas dan kuantitas beras karena jumlahnya yang melimpah sehingga sangat memungkinkan jika beras dapat mengundang kedatangan hama (Nurdono 1990). Selain itu, beras juga digunakan dalam campuran pada racun kronis dengan memenuhi kriteria umpan campuran pada racun karena menarik bagi tikus (Davis 1970).
18
Gabah Gabah merupakan bulir atau buah pada tanaman padi yang telah dipisahkan dari jeraminya dan akan menjadi beras setelah dipisahkan dari kulitnya. Semua stadia pertumbuhan padi sangat rentan terhadap serangan tikus. Tikus rumah dan tikus pohon dapat menyerang pertanaman padi di sawah, terutama apabila ketersediaan pakan di habitatnya berkurang. Biasanya pertanaman tersebut dekat dengan perkebunan dan perumahan (Buckle and Smith 1996). Selain menyerang pertanaman di sawah, tikus juga menyerang gabah pada tempat penyimpanan. Serangan tikus dapat menyebabkan berkurangnya simpanan gabah. Kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar dari pada yang dikonsumsinya karena cara makan yang sedikit demi sedikit pada bulir gabah. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, tikus lebih banyak memakan bulir padi dan nyisakan bekas bulir yang tidak dapat digunakan lagi (Nurdono 1990). Tikus menyerang tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Pada stadia persemaian, tikus merusak tanaman padi dengan mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetative, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Pada stadia generatif, tikus dapat menyerang bagian malai atau bulir tanaman padi (Priyambodo 2003).
19
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor serta daerah pengambilan tikus uji di Kabupaten Bogor (Kampung Carangpulan, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga), Kabupaten Subang (Kecamatan Patok Beusi) dan Kabupaten Pati (Desa jambean, Kecamatan Margorejo). Penilian berlangsung dari bulan September hingga Desember 2011.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas tempat air minum, mangkok tempat makan, pinset, bumbung bambu tempat persembunyian tikus, timbangan elektronik (analytical top loading animal balance) (Gambar 1), timbangan manual (triple beam animal balance) (Gambar 2), kandang tunggal (single cage) (Gambar 3) sebagai tempat pengujian. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus sawah (R. argentiventer), tikus rumah (R. rattus diardii) dan tikus pohon (R. tiomanicus), rodentisida [berbahan aktif
seng fosfida 1%, kumatetralil 0.005%, bromadiolon
0.005%, brodifakum 0.005%, flokumafen 0.005%, gadung (10%, 20%, 25%, 30%), mahoni (8%, 16%, 24%, 32%), jarak (8%, 16%, 24%, 32%), bintaro (8%, 16%, 24%, 32%)], umpan dasar (beras dan gabah). Serta kuesioner mengenai pemahaman, sikap, dan tindakan petani dari berbagai daerah tempat tikus uji tersebut diambil yang berjumlah sebanyak 67 responden.
20
Gambar 1 Timbangan elektronik
Gambar 2 Timbangan manual
Gambar 3 Kurungan tunggal (single case) Metode Tahap Persiapan Sebelum dilakukan penelitian, maka terlebih dahulu dilakukan persiapan pada hewan uji, rodentisida, umpan dasar dan kuesioner. Persiapan hewan uji dengan mendatangkan tikus sawah dari hasil penangkapan di lahan persawahan Kabupaten Subang dan Pati. Tikus rumah dan tikus pohon berasal dari hasil penangkapan (trapping) di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Tikus yang
21
digunakan dalam pengujian ini sebanyak 1.228 ekor tikus sawah, 367 ekor tikus rumah, dan 644 ekor tikus pohon. Data juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Laboratorium Vertebrata Hama sejak Januari 2010 sampai Agustus 2011 yang digunakan untuk membandingkan tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida jika dilihat dari waktu pengambilan tikus uji tersebut. Untuk dapat digunakan sebagai hewan uji, tikus – tikus tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut: tidak bunting, berat badan lebih dari 70 g, dewasa, perbandingan jenis kelamin 1:1, dan dalam keadaan sehat. Sebelum dilakukan pengujian tikus yang diperoleh dari lapang tersebut perlu diadaptasikan terlebih dahulu dengan diberi pakan gabah dan minuman yang berlimpah (ad libium) setiap hari selama tiga sampai tujuh hari. Setelah diadaptasikan tikus tersebut dipindahkan ke kandang tunggal (single cage) yang sebelumnya ditimbang dahulu bobotnya dengan menggunakan timbangan elektronik atau timbangan manual serta dilihat jenis kelaminnya. Setelah itu segera diberi rodentisida atau umpan yang digunakan untuk pengujian. Persiapan berikutnya adalah persiapan umpan dan rodentisida. Umpan yang digunakan dalam pengujian ini adalah umpan dasar seperti gabah dan beras. Gabah dan beras tersebut didapatkan dari penggilingan padi yang berada di sekitar kampus IPB, Dramaga, Bogor serta dibeli dari toko. Rodentisida akut yang digunakan adalah rodentisida berbentuk tepung yang aplikasinya dicampur dengan beras dan diberi sedikit minyak nabati agar tepung menempel pada beras yang berbahan aktif seng fosfida 1%. Rodentisida siap pakai (ready to use) yang digunakan adalah rodentisida kronis yang berbahan aktif warfarin 0.005%, kumatetralil 0.005%, bromadiolon 0.005%, brodifakum 0.005%, flokumafen 0.005%. Rodentisida nabati yang digunakan dibuat dengan mengambil ekstrak tumbuhan gadung (10%, 20%, 25%, 30%), mahoni (8%, 16%, 24%, 32%), jarak (8%, 16%, 24%, 32%), bintaro (8%, 16%, 24%, 32%). Untuk gadung, umbinya dibuat dalam bentuk blok sedangkan mahoni, jarak merah, dan bintaro dalam bentuk ekstrak kasar yang campur dengan beras dan sedikit bahan tambahan.
22
Persiapan yang terakhir adalah pembuatan kuesioner. Kuesioner tersebut berisikan tentang pemahaman, sikap, dan tindakan petani tentang tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon yang berada di daerah tempat tikus uji tersebut diambil. Kuesioner tersebut berisi 20 pertanyaan dan diberikan kepada 67 responden. Tahap Pengujian Rodentisida Pengujian rodentisida dilakukan untuk mengetahui tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida. Pengujian tingkat kejeraan tikus tersebut menggunakan metode tanpa pilihan (no choice test). Asumsi konsumsi untuk setiap jenis rodentisida adalah jika blok atau capuran umpan dan rodentisida tersebut telah dimakan ≥ 1 g. Rodentisida akut (Gambar 4) yang berbahan aktif seng fosfida sebanyak 1% dicampur dengan beras dan ditambah minyak nabati agar bubuk seng fosfida tersebut menempel pada beras. Campuran beras dan bubuk seng fosfida tersebut ditaruh pada mangkok sebanyak 10-11 g. Campuran tersebut diberikan pada tikus dan dilihat jumlah hari penundaan konsumsi oleh tikus tersebut untuk menentukan tingkat kejeraan tikus tersebut. Rodentisida
kronis
(Gambar
5)
yang
berbahan
aktif
kumatetralil,
bromadiolon, brodifakum, dan flokumafen diletakkan pada mangkok sebanyak 4-5 blok (tergantung bobot tubuh tikus). Sebelum diberikan kepada tikus, rodentisida kronis ditimbang dahulu bobot blok tersebut. Blok tersebut diberikan pada tikus dan dilihat jumlah hari penundaan konsumsi oleh tikus tersebut untuk menentukan tingkat kejeraan tikus tersebut. Rodentisida nabati (Gambar 6) yang berbahan aktif gadung diberikan dalam bentuk blok. Setiap mangkok diberi 1 blok yang sebelumnya ditimbang terlebih dahulu bobotnya. Untuk bahan aktif mahoni, jarak merah, dan bintaro diberikan dalam ekstrak kasar yang dicampur dengan beras dan bahan tambahan lainnya. Setiap mangkok diberikan 15-16 g. Rodentisida tersebut diberikan pada tikus dan dilihat jumlah hari penundaan kansumsi oleh tikus tersebut kejeraan tikus tersebut.
untuk menentukan tingkat
23
Semua rodentisida tersebut diujikan pada tikus sawah, tikus rumah dan tikus pohon. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk menghitung konsumsi terhadap rodentisida dengan cara mengurangi bobot awal dengan bobot akhir termasuk rodentisida yang tercecer pada bagian dasar kandang. Setelah konsumsi tikus tersebut sudah dihitung makan dapat diketahui tingkat kejeraaan tikus dari rodentisida yang diberikan. Pencatatan dilakukan terhadap jumlah hari penundaan konsumsi. Kemudian dilakukan perhitungan persentasi terhadap tingkat jera tikus terhadap rodentisida dengan skala skoring. Tahap Pengujian Umpan Dasar Pengujian tingkat jera umpan pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon dengan umpan dasar (Gambar 7) yaitu beras dan gabah. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dasar serta sebagai pembanding terhadap rodentisida. Pengujian dilakukan dengan memberikan beras dan gabah sebesar 20-21 g setiap mangkok kepada tikus uji. Pengamatan dilakukan setiap hari dan dicatat konsumsi tikus terhadap umpan dasar tersebut (asumsi konsumsi adalah umpan tersebut telah dimakan ≥ 1 g) serta jumlah hari penundaan konsumsi. Setalah itu dilakukan perhitungan persentase tingkat jera tikus terhadap umpan dengan skala skoring. Tahap Pemberian Kuesioner Metode ini dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida dengan melakukan wawancara dan pemberian kuesioner terhadap petani yang sawahnya digunakan untuk mengambil tikus sawah di Kabupaten Subang dan Pati. Demikian juga pemberian kuesioner kepada masyarakat yang rumahnya digunakan untuk mengambil tikus rumah dan petani yang ladangnya digunakan untuk mengambil tikus pohon di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Kuesioner tersebut berisi kurang lebih 20 pertanyaan yang diberikan kepada 67 responden tentang pemahaman, sikap, dan tindakan terhadap tikus yang dapat mempengaruhi tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan
24
rodentisida. Data tersebut dikumpulkan, diolah, dilihat pengaruhnya, serta dihubungkan dan dibandingkan dengan hasil perhitungan tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida. Dari hasil pembandingan tersebut dapat diambil korelasi faktor yang menjadi penyebab tingkat kejeraan tersebut.
Gambar 4 Rodentisida akut
kumatetralil granural
kumatetralil blok
bromadiolon 2
bromadiolon 3
bromadiolon 4
brodifakum 1
brodifakum 3
brodifakum 5
brodifakum 2
25
brodifakum 7
brodifakum 8
brodifakum 10
brodifakum 13
brodifakum 15
brodifakum 16
brodifakum 17
flokumafen Gambar 5 Rodentisida kronis
gadung
mahoni
jarak
Gambar 6 Rodentisida nabati
bintaro
26
beras
gabah
Gambar 7 Umpan dasar (beras dan gabah)
Perhitungan Tingkat Kejeraan Tikus terhadap Umpan dan Rodentisida Perhitungan tingkat kejeraan umpan dan rodentisida didapatkan dengan metode skoring jera konsumsi umpan dan rodentisida. Tabel 1 Skoring tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida Skala Skor
Konsumsi Tikus Hari ke-
Tingkat Kejeraan
0
0
tidak ada
1
1-2
sangat rendah
2
3-4
rendah
3
5-6
sedang
4
7-8
tinggi
5
>8
sangat tinggi
Setelah dikelompokkan tingkat kejeraan konsumsi tikus terhadap umpan dan rodentisida maka dilanjutkan dengan menghitung persentasi tingkat kejeraan dengan menggunakan rumus: ∑
PK =
x 100%
27
Keterangan:
PK
= Persentasi Kejeraan
vi
= Skoring/nilai
V
= Nilai skor terbesar
ni
= Jumlah tikus uji di dalam skor
N
= Jumlah tikus uji yang diamati
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan untuk mengamati tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida kronis (berbahan aktif bromadiolon) dan umpan dasar (beras) adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 hewan uji dan 3 daerah yaitu tikus sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor yang digunakan sebagai perlakuan dan presentase kejeraan tikus dari setiap rodentisida dan umpan sebagai ulangan. Perbandingan nilai tengah dan analisis ragam diproses dengan one way ANOVA, apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata maka dilanjutkan dengan Uji Selang Ganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf α = 5% dan taraf α = 1% menggunakan bantuan program SAS for Windows V. 9.1.
28
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida Pengujian tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap seng fosfida dengan perlakuan no-choice diperoleh hasil pada Tabel 2. Tabel 2 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap seng fosfida Perlakuan Tikus sawah Subang Seng fosfida 1 12.43 Seng fosfida 2 14.00 Seng fosfida 3 NT Seng fosfida 4 NT Rataan 13.22 Ket. NT tidak dilakukan pengujian
Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor NT NT NT NT 14.05 10.00 0.00 NT 7.03 10.00
Seng fosfida merupakan bahan aktif dari rodentisida akut yang dapat mematikan tikus hanya dalam beberapa jam dan hanya dengan sedikit konsumsi rodentisida tersebut. Pada umumnya seng fosfida diaplikasikan untuk tikus sawah tetapi juga beberapa diaplikasikan untuk tikus rumah. Seng fosfida tersebut memiliki kelemahan, karena dapat mematikan tikus dengan cepat. Pada aplikasi di lapangan jika seekor tikus sudah memakan rodentisida tersebut dengan umpan beras lalu mati tidak jauh dari tempat pemberian, maka tikus lain yang melihat seekor tikus sudah mati setelah memakan rodentisida, tidak mau memakannya lagi (jera racun). Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida akut berbahan aktif seng fosfida menunjukkan bahwa terhadap seng fosfida 2 (14%) memiliki tingkat kejeraan terhadap rodentisida yang lebih tinggi dari pada seng fosfida 1 (12.43%). Hasil tersebut tidak berbeda jauh karena menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Subang, dari 20 responden, semua menggunakan seng fosfida untuk mengendalikan tikus sawah. Tikus sawah pada uji tersebut sudah jera terhadap seng fosfida karena bahan aktif tersebut merupakan racun akut dengan bau yang menyengat, membuat tikus enggan untuk memakannya.
29
Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida akut berbahan aktif seng fosfida menunjukkan bahwa tingkat kejeraan yang lebih tinggi terhadap seng fosfida 3 (14.05%) dibandingkan dengan seng fosfida 4 (0%). Hal tersebut karena perbedaan waktu dalam pengambilan, serta alat transportasi yang digunakan untuk mengambil tikus sawah uji tersebut. Pengambilan tikus sawah uji untuk perlakuan seng fosfida 3 lebih dahulu serta menggunakan alat transportasi berupa bus dan ditempatkan pada bagasi sehingga panas. Tikus sawah pada seng fosfida 4 diambil dengan yang menggunakan alat transportasi mobil sedan sehingga lebih mendapat udara bebas yang berpengaruh terhadap kondisi psikologis dari tikus sawah tersebut. Untuk tikus rumah jarang diberi perlakuan seng fosfida karena tikus rumah biasanya akan jera jika melihat tikus lain mati setelah mengonsumsi umpan yang diberi seng fosfida tersebut. Seng fosfida mempunyai kelebihan yaitu matinya tikus tidak jauh dari tempat memakan umpan yang diberi seng fosfida, maka dapat langsung diambil dan dikubur. Sementara itu pada rodentisida kronis tikus dapat mati di sembarang tempat, sehingga dapat menimbulkan bau yang tidak sedap. Persentase kejeraan tikus rumah terhadap seng fosfida sebesar 10% karena tikus rumah tersebut mengalami penundaan konsumsi yang cukup lama. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida Kumatetralil Pengujian tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap kumatetralil dengan metode perlakuan no-choice didapatkan hasil persentase kejeraan yang terdapat pada Tabel 3. Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida kronis berbahan aktif kumatetralil menunjukkan bahwa tingkat kejeraan tertinggi terhadap kumatetralil 1 (38.33%) dan tingkat kejeraan terendah terhadap kumatetralil 3 (14.44%). Hal tersebut karena tikus sawah uji mengalami penundaan konsumsi terhadap kumatetralil 1. Dari 36 tikus uji, selama 1 hari mengalami penundaan konsumsi 1 tikus, 1 tikus selama 8 hari, 9 tikus selama 9 hari, 1 tikus selama 11 hari. Penyebabnya adalah faktor pemerangkapan tikus, yang mempengaruhi kejeraan tikus ketika diujikan di dalam kandang tikus tunggal, serta perlakuan adaptasi hanya 1-2
30
hari sehingga kurang lama yang menyebabkan tikus sawah kurang nyaman dengan kondisi lingkungan sekitar karena minimal waktu untuk adaptasi adalah 3 hari agar tikus mulai terbiasa dengan keadaan di dalam laboratorium pengujian (Permadi 2009). Tabel 3 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap kumatetralil Perlakuan Tikus sawah Subang Kumatetralil 1 38.33 Kumatetralil 2 NT Kumatetrallil 3 14.44 Rataan 26.39 Ket. NT tidak dilakukan pengujian
Tingkat Kejeraan (%) Tikus sawah Pati Tikus pohon Bogor 9.33 NT NT 6.38 NT 1.21 9.33 3.80
Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida kronis berbahan aktif kumatetralil menunjukkan bahwa persentase kejeraan terhadap kumatetralil sebesar 9.33%. Tingkat kejeraan tersebut seharusnya tidak setinggi ini, tetapi hal tersebut dapat terjadi karena perpindahan jarak yang jauh dari Kabupaten Pati sampai ke Bogor menyebabkan kondisi tikus menjadi kurang sehat dan psikologis tikus menjadi terganggu sehingga nafsu makan tikus menurun yang menyebabkan penundaan terhadap konsumsi rodentisida. Tingkat kejeraan tikus pohon Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif kumatetralil menunjukkan bahwa kumatetralil 2 (6.38%) mempunyai tingkat kejeraan tikus yang lebih tinggi dari pada kumatetralil 3 (1.21%). Hal tersebut karena tikus pohon mengalami penundaan konsumsi yang cukup lama untuk kumatetralil 2 yaitu ada 2 tikus yang mengalami penundaan konsumsi selama 5 hari, 1 tikus selama 3 hari, 3 tikus selama 2 hari, dan 4 tikus selama 1 hari. sedangkan untuk kumatetralil 3 hanya 2 tikus pohon yang mengalami penundaan konsumsi selama 3 hari.
Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer), Tikus Rumah (R. rattus diardii) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida Bromadiolon Pengujian tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida bromadiolon yang diujikan kepada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon dengan perlakuan no-
31
choice (tanpa pilihan) diperoleh hasil persentase kejeraan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap bromadiolon Perlakuan Tikus sawah Subang Bromadiolon 1 5.64 Bromadiolon 2 14.35 Bromadiolon 3 NT Bromadiolon 4 NT Bromadiolon 5 8.52 Bromadiolon 6 18.71 Bromadiolon 7 18.33 Rataan 13.11 Ket. NT tidak dilakukan pengujian
Tingkat Kejeraan (%) Tikus rumah Bogor Tikus pohon Bogor NT NT NT NT 5.33 NT 1.29 NT NT NT NT NT NT 11.67 3.31 11.67
Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida kronis yang berbahan aktif bromadiolon menunjukkan paling tinggi pada bromadiolon 6 (18.71%) dan paling rendah pada bromadiolon 1 (5.64%). Hal ini karena pada bromadilon 6 dilakukan pengujian terhadap tikus sawah uji terlebih dahulu dibandingkan dengan bromadiolon 1. Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Subang, dalam sejarahnya pengendalian hama tikus sebelum tahun 80-an dilakukan dengan digali dan dipukul (gropyok). Mulai tahun 80-an digunakan emposan dan rodentisida. Awal tahun 2000-an digunakan sistem TBS (Trap Barrier System) serta gropyokan yang setiap minggu berjalan dengan baik, sementara penggunaan rodentisida sudah mulai berkurang. Efek dari penggunaan rodentisida yang secara intensif adalah meningkatkan kejeraan tikus terhadap rodentisida. Sejak awal tahun 2000-an penggunaan rodentisida sudah mulai berkurang tetapi efeknya dapat dirasakan sampai beberapa tahun ke depan, maka tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida tersebut mulai menurun setelah jarang digunakan rodentisida. Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif bromadiolon menunjukkan bahwa bromadiolon 3 (5.33%) menunjukkan tingkat kejeraan yang lebih tinggi dari pada bromadilon 4 (1.29%). Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap masyarakat Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor dari 16
32
responden ada 7 orang yang menggunakan rodentisida dan 2 diantaranya menggunakan bromadiolon 4, sehingga bromadiolon 4 lebih dikenali oleh tikus rumah, dilihat dari tingginya tingkat konsumsi, sehingga tingkat kejeraannya lebih rendah dibandingkan bromadiolon 3. Tikus pohon Bogor diprediksi menunjukkan tingkat kejeraan yang paling rendah dibandingkan dengan tikus sawah dan tikus rumah tetapi pada bromadiolon 7 mencapai 11.67%. Hal tersebut karena dari 12 tikus ada 1 tikus yang bertahan sampai hari ke 10 dengan tidak mengonsusmsi rodentisida tersebut dan akhirnya perlakuan dihentikan.
Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer), Tikus Rumah (R. rattus diardii) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida Brodifakum Hasil yang diperoleh dari pengujian tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida brodifakum menunjukkan persentase kejeraan pada Tabel 5. Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum menunjukkan bahwa brodifakum 14 (41.25%) memiliki tingkat kejeraan tertinggi dan brodifakum 16 (8.09%) memiliki tingkat kejeraan terendah. Tingkat kejeraan tersebut dikarenakan perbedaan waktu pengambilan tikus sawah tersebut. Dari hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Subang terhadap 20 petani, 3 diantaranya menggunakan rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum dan juga rodentisida akut berbahan aktif seng fosfida. Alasan kurang menggunakan rodentisida akut karena rodentisida tersebut akan luntur jika terkena hujan. Rodentisida akut berbentuk tepung, dengan umpan gabah yang dicampur dengan oli atau minyak sayur sebagai perekat. Pada musim hujan digunakan rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum dengan dosis yang tidak sesuai aturan, hanya menurut perkiraan yaitu 1 kg/ha untuk setiap musimnya.
33
Tabel 5 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap brodifakum Perlakuan Tikus sawah Subang Brodifakum 1 NT Brodifakum 2 NT Brodifakum 3 20.87 Brodifakum 4 10.91 Brodifakum 5 13.30 Brodifakum 6 NT Brodifakum 7 NT Brodifakum 8 27.59 Brodifakum 9 13.60 Brodifakum 10 NT Brodifakum 11 33.33 Brodifakum 12 30.77 Brodifakum 13 40.87 Brodifakum 14 41.25 Brodifakum 15 NT Brodifakum 16 8.09 Brodifakum 17 NT Brodifakum 18 20.53 Brodifakum 19 14.55 Brodifakum 20 20.00 Brodifakum 21 25.00 Brodifakum 22 NT Brodifakum 23 18.58 Rataan 22.62 Ket. NT tidak dilakukan pengujian
Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Tikus rumah Pati Bogor NT NT NT NT NT NT NT 4.76 NT 8.00 NT 5.37 NT NT NT NT NT NT NT 6.38 5.93 0.00 4.44 6.67 4.29 3.33 6.67 NT NT NT NT NT NT NT NT NT NT NT NT NT NT NT NT NT NT NT 5.33 4.93
Tikus pohon Bogor 4.00 10.91 NT 5.90 4.00 NT 7.22 NT NT NT 3.45 1.94 0.61 4.52 6.00 NT 4.00 NT 1.67 4.62 0.00 1.67 0.00 3.78
Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum menunjukkan bahwa tingkat kejeraan tertinggi pada brodifakum 14 (6.67%) dan tingkat kejeraan terendah pada brodifakum 13 (4.29%). Hal tersebut disebabkan oleh tikus sawah uji pada brodifakum 14 mengalami penundaan konsumsi lebih lama dibandingkan dengan brodifakum 13. Pada perlakuan brodifakum 14 ada satu tikus yang mengalami penundaan konsumsi sampai 5 hari yang dapat disebabkan oleh kondisi tikus yang kurang fit atau faktor psikologis dari tikus tersebut. Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Pati, pengendalian terhadap tikus sawah tidak banyak dilakukan, maka tikus sawah tersebut tidak banyak
34
mengalami tekanan pengendalian dari manusia, sehingga belum memiliki tingkat kejeraan yang tinggi. Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum menunjukkan persentase kejeraan tertinggi terhadap brodifakum 5 (8%) dan terendah terhadap brodifakum 13 (3.33%). Brodifakum 5 lebih sering diaplikasikan sehingga seharusnya tikus lebih mengenali brodifakum 5 dibandingkan brodifakum 13 karena menurut hasil wawancara yang dilakukan melalui kuesioner terhadap masyarakat Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor bahwa dari 16 responden ada 7 orang yang pengendaliannya menggunakan rodentisida dan 4 diantaranya menggunakan brodifakum 5. Dengan sering diaplikasikan, maka tikus rumah sudah mengenali rodentisida tersebut maka seharusnya tikus tidak mengalami penundaan konsumsi tetapi yang terjadi sebaliknya karena tikus rumah pada perlakuan brodifakum 5 mengalami penundaan konsumsi selama 1 hari sebanyak 4 tikus. Tingkat kejeraan tikus pohon Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif brodifakum menunjukkan bahwa brodifakum 2 (10.31%) memiliki tingkat kejeraan tertinggi serta brodifakum 21 dan 23 (0%) yang terendah. Hal tersebut karena pada brodifakum 2 ada 5 tikus yang mengalami penundaan konsumsi selama 2 hari dan 1 tikus mengalami penundaan konsumsi selama 1 hari. Menurut hasil wawancara yang dilakukan melalui kuesioner kepada masyarakat Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor, bahwa dari 11 responden semua menjawab tidak pernah melakukan aplikasi rodentisida. Menurut pendapat mereka kerugian yang disebabkan oleh tikus pohon tersebut tidak terlalu besar maka tidak perlu dilakukan pengendalian, cukup hanya didiamkan saja. Hal tersebut yang menyebabkan persentase kejeraan brodifakum 21 dan 23 sebesar 0%. Dilakukan pengujian dengan menggunakan ANOVA terhadap rodentisida brodifakum. Perakuan yang digunakan untuk membandingkan adalah tikus sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor. Untuk ulangan yang digunakan adalah dari setiap bahan aktif yang diujikan. Didapatkan hasil yang tertera pada Tabel 6.
35
Tabel 6 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap brodifakum Perlakuan tikus sawah Subang
Tingkat Kejeraan 22.59 aA
tikus sawah Pati
5.33 bB
tikus rumah Bogor
4.92 bB
tikus pohon Bogor
3.78 bB
Pr > F
0.0001
Ket. Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α = 5% (huruf kecil) dan taraf α = 1% (huruf besar) Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa menurut uji Duncan α = 5% dan α = 1% menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara tikus sawah Subang dengan tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor. Sedangkan antara tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan α = 5% dan α = 1%. Menurut Permadi (2009) pada perbandingan perlakuan brodifakum terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada tikus sawah dengan tikus rumah dan tikus pohon serta tidak berbeda nyata antara tikus rumah dan tikus pohon pada uji Duncan 5% dan 1%.
Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Rodentisida Flokumafen Pengujian tingkat kejeraan terhadap rodentisida flokumafen pada tikus sawah dan tikus pohon dengan pengujian no-choice didapatkan hasil persentase kejeraan yang disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap flokumafen Perlakuan
Tingkat Kejeraan (%) Tikus sawah Pati Tikus pohon Bogor Flokumafen 1 7.27 (n=44) 2.79 (n=43) Rataan 7.27 2.79 Ket. NT tidak dilakukan pengujian
36
Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida kronis berbahan aktif flokumafen menunjukkan besaran 7.27%. Hal tersebut disebabkan perpindahan jarak yang jauh dari daerah Pati sampai ke Bogor sehingga kondisi tikus tersebut kurang sehat serta kondisi psikologis yang terganggu karena perjalanan yang kurang lebih selama 12 jam dan kurang udara. Penyebab tersebut dapat menurunkan nafsu makan tikus sawah uji tersebut. Tingkat kejeraan tikus pohon Bogor terhadap rodentisida kronis berbahan aktif flokumafen menunjukkan besaran 2.79%. Hal tersebut dikarenakan rodentisida flokumafen mempunyai aroma yang khas bisa menarik tikus pohon tersebut untuk memakannnya sehingga tingkat kejeraannya rendah. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Nabati Pengujian tingkat kejeraan juga dilakukan terhadap rodentisida nabati yang diujikan kepada tikus sawah dan tikus rumah. Pengujian dilakukan dengan metode no-choice (tanpa pilihan) dan didapatkan hasil pada Tabel 8. Semakin banyaknya penggunaan rodentisida sintetis yang tidak sesuai aturan, dapat menimbulkan resistensi terhadap tikus serta tidak ramah lingkungan. Dengan demikian, perlu adanya perubahan pola pikir dan tindakan dilengkapi dengan penggunaan rodentisida nabati yang lebih ramah lingkungan, mudah untuk didapat serta murah. Meskipun ada kekurangannya, yaitu tidak tahan lama dan sedikit rumit dalam pembuatannya. Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap mahoni yang tertinggi pada konsentrasi 32% (52%) dan terendah pada konsentrasi 8% (5%). Untuk jarak, persentase kejeraan tikus sawah tertinggi pada konsentrasi 32% (35%) dan terendah pada konsentrasi 8% (5%). Hal tersebut disebabkan semakin tinggi dosis tanaman yang dicampurkan pada umpan, maka semakin membuat tikus menjadi curiga dan meningkatkan nilai kejeraannya. Untuk bintaro, dari semua konsentrasi persentase kejeraan sebesar 0%. Perbedaan antara tingkat kejeraan mahoni dan jarak merah dengan bintaro adalah pada mahoni dan jarak merah yang digunakan adalah ekstrak kasar yang dicampur dengan beras, sehingga tikus dapat melihat campuran tanaman
37
tersebut pada umpan beras. Semakin tinggi dosis tanaman, semakin banyak campuran yang terlihat oleh tikus, sehingga membuat tikus semakin curiga. Pada bintaro yang digunakan adalah ekstrak halus sehingga perasannya dicampur dengan beras, maka tikus tidak mengalami kecurigaan dan kejeraan. Selain itu bau yang ditimbulkan oleh mahoni dan jarak merah lebih menyengat dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh bintaro, sehingga tikus tidak tertarik untuk mengonsumsi jarak merah dan mahoni tersebut dan lebih tertarik terhadap bintaro. Tabel 8 Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap rodentisida nabati Perlakuan
Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor Mahoni 8% 5.00 NT Mahoni 16% 16.67 NT Mahoni 24 % 6.67 NT Mahoni 32% 52.00 NT Rataan mahoni 20.09 NT Jarak 8% 5.00 NT Jarak 16% 25.00 NT Jarak 24% 32.00 12.00 Jarak 32% 35.00 6.67 Rataan jarak merah 24.25 9.34 Bintaro 8% 0.00 NT Bintaro 16% 0.00 NT Bintaro 24% 0.00 NT Bintaro 32% 0.00 NT Rataan bintaro 0.00 NT Gadung 10% 26.15 5.71 Gadung 20% 9.09 5.45 Gadung 25% 2.50 0.00 Gadung 30% 5.45 25.00 Rataan gadung 10.80 9.04 Ket. NT tidak dilakukan pengujian Tingkat kejeraan tikus sawah terhadap gadung, paling tinggi pada konsentrasi 10% (26.15%) dan terendah pada konsentrasi 25% (2.5%). Hal tersebut dikarenakan pada konsentrasi 10% serta kontrol blok konsentrasi 0% (20%) pada saat pembuatannya karamel yang diberikan kurang sehingga tidak menarik bagi tikus sawah untuk mengonsumsi blok tersebut. Sedangkan untuk konsentrasi 25% adalah
38
dosis yang paling efektif dan yang paling menarik bagi tikus sehingga tingkat kejeraan rendah. Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap gadung tertinggi pada konsentrasi 30% (25%) dan terendah pada konsentrasi 35% (0%). Hal ini dikarenakan pada konsentrasi 30% dosis yang terkandung di dalamnya tinggi sehingga dapat meningkatkan kecurigaan dan kejeraan tikus rumah tersebut sedangkan untuk konsentrasi 25% sama seperti yang terjadi pada tikus sawah, sehingga tikus rumah juga tidak mengalami kecurigaan dan kejeraan. Tingkat kejeraan tikus rumah tertinggi terhadap jarak merah pada konsentrasi 24% (12%) dan terendah pada konsentrasi 32% (6.67).
Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer), Tikus Rumah (R. rattus diardii) dan Tikus Pohon (R. tiomanicus) terhadap Umpan Dasar Pengujian tingkat kejeraan tidak hanya dilakukan terhadap rodentisida tetapi juga dilakukan terhadap umpan dasar (beras dan gabah) yang diujikan kepada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon. Pengujian dengan metode no-choice (tanpa pilihan). Hasil yang didapatkan adalah persentase kejeraan yang disajikan pada Tabel 9. Tingkat kejeraan tikus sawah Subang terhadap umpan beras sebesar 7.15% dan pada gabah sebesar 0%. Tingkat kejeraan tikus sawah Pati terhadap umpan beras sebesar 3.55% dan pada gabah sebesar 0%. Hal tersebut disebabkan oleh tikus sawah yang lebih menyukai gabah dibandingkan beras karena perilaku tikus dalam mengupas kulit biji. Tikus perlu mengerat untuk mengurangi pertumbuhan gigi serinya yang tumbuh menerus (Priyambodo 2003). Di habitat tikus sawah yang sering ditemui adalah gabah, sehingga tikus sawah lebih mengenali gabah dibandingkan beras, maka tikus sawah sama sekali tidak mengalami penundaan konsumsi pada gabah. Menurut Permadi (2009) bentuk beras dan gabah sama tetapi ada sedikit perbedaan dari kulit permukaan dan aroma yang ditimbulkan. Aroma karbohidrat yang terkandung pada gabah lebih menyengat dibandingkan beras. Tikus sawah Subang memiliki tingkat kejeraan yang lebih tinggi terhadap beras dibandingkan
39
dengan tikus sawah Pati. Hal ini menunjukkan bahwa pada beras pun tikus sudah mengalami kejeraan dan penundaan konsumsi, terutama untuk daerah yang sudah banyak dilakukan pengendalian seperti Subang. Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap umpan umpan beras sebesar 0.8% dan pada gabah sebesar 0%. Tikus rumah biasanya lebih menyukai makanan yang berasal dari biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran, daging, ikan, dan telur yang sering ditemui pada habitatnya dari pada beras. Tikus rumah yang diujikan tidak memiliki tingkat kejeraan yang besar untuk beras dan gabah karena jika tidak menemukan umpan yang disebutkan di atas, tikus rumah akan memakan umpan atau pakan apa saja yang ada, seperti beras dan gabah. Tikus rumah uji tersebut sering menemukan beras dan gabah pada habitatnya sehingga sudah tidak mengalami kecurigaan. Tikus rumah hampir tidak mengalami penundaan konsumsi terhadap beras dan sama sekali tidak mengalami penundaan konsumsi terhadap gabah. Tabel 9 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap umpan Perlakuan Beras seng fosfida 1 Beras seng fosfida 2 Beras seng fosfida 3 Beras seng fosfida 4 Beras kumatetralil 1 Beras kumatetralil 2 Beras bromadiolon 1 Beras bromadiolon 2 Beras bromadiolon 3 dan 4 Beras brodifakum 1 dan 2 Beras brodifakum 3 Beras brodifakum 4 dan 5 Beras brodifakum 6 Beras brodifakum 10 Gabah brodifakum 11 dan 12
Tikus sawah Subang 3.64 5.45 NT NT NT NT 3.64 0.00 NT
Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Tikus rumah Pati Bogor NT NT NT NT 1.67 NT 0.00 NT 10.00 NT NT NT NT NT NT NT NT 0.00
Tikus pohon Bogor NT NT NT NT NT 0.00 NT NT NT
NT
NT
NT
4.00
18.18 2.00
NT NT
NT NT
NT 0.00
NT NT NT
NT NT NT
2.00 2.00 NT
NT NT 2.00
40
Beras brodifakum 11 NT dan 12 Beras brodifakum 13 NT dan 14 Gabah brodifakum 13 NT dan 14 Beras brodifakum 16 6.00 Beras brodifakum 17 NT Beras brodifakum 18 20.00 Beras brodifakum NT 19,20,21 dan 23 Beras flokumafen 1 NT Beras kumatetralil 3, 5.45 brodifakum23, bromadiolon 7 Gabah kumatetralil 3, 0.00 brodifakum23, bromadiolon 7 Beras rodentisida NT nabati Blok rodentisida NT nabati Rataan beras 7.15 Rataan gabah 0.00 Rataan blok NT Ket. NT tidak dilakukan pengujian
NT
NT
0.00
0.00
NT
NT
0.00
NT
NT
NT NT NT NT
NT NT NT NT
NT 0.00 NT 2.86
4.62 NT
NT 0.00
0.00 0.00
NT
0.00
0.00
5.00
0.00
NT
20.00
2.00
NT
3.55 0.00 20.00
0.80 0.00 2.00
0.86 1.00 NT
Tikus pohon Bogor memiliki tingkat kejeraan terhadap beras sebesar 0.86% dan gabah sebesar 1%. Tikus pohon memiliki tingkat kejeraan terhadap beras dan gabah yang relatif tinggi, padahal seharusnya untuk umpan dasar tikus tidak mengalami penundaan konsumsi. Hal tersebut karena habitat asli tikus pohon uji (semak belukar) dan menurut masyarakat sekitar tempat pengambilan tikus pohon uji, tikus pohon tersebut mengonsumsi ubi jalar, kacang tanah, dan ubi kayu. Beras dan gabah jarang ditemui oleh tikus pohon tersebut, yang menyebabkan tikus pohon tersebut jera dan curiga terhadap beras dan gabah. Umpan beras juga ada yang dibuat berbentuk blok sebagai kontrol dalam pengujian rodentisida nabati dengan gadung yang diujikan kepada tikus sawah Pati dan tikus rumah Bogor. Tingkat kejeraan tikus sawah Pati sebesar 20%, tingginya nilai kejeraan tersebut dikarenakan pada saat pembuatan blok kontrol kadar karamel
41
hanya sedikit sehingga tikus sawah kurang tertarik untuk memakannya. Pada pengujian terhadap tikus rumah Bogor tingkat kejeraannya sebesar 2% karena pada pengujian kadar karamel sudah ditambah sehingga tikus rumah lebih tertarik untuk mengonsumsinya. Dilakukan pengujian dengan menggunakan ANOVA terhadap umpan dasar beras karena ketersediaan ulangan yang memungkinkan. Perakuan yang digunakan untuk membandingkan adalah tikus sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor. Untuk ulangan yang digunakan adalah dari setiap pengujian terhadap beras yang diujikan. Didapatkan hasil yang tertera pada Tabel 10. Tabel 10 Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap beras Perlakuan
Tingkat Kejeraan
tikus sawah Subang
7.15 aA
tikus sawah Pati
3.55 abA
tikus pohon Bogor
0.86 bA
tikus rumah Bogor
0.80 bA
Pr > F
0.0326
Ket. Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α = 5% (huruf kecil) dan taraf α = 1% (huruf besar) Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa menurut uji Duncan α = 5% menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara tikus sawah Subang dengan tikus sawah Pati dan juga berbeda nyata dengan tikus rumah Bogor dan tikus pohon Bogor. Untuk uji Duncan α = 1% antara tikus sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor dan tikus pohon Bogor menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. PERBANDINGAN TINGKAT KEJERAAN TIKUS ANTARA RODENTISIDA DAN UMPAN Setelah dilakukan perhitungan tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon dari setiap bahan aktif dan umpan dasar maka dilakukan perbandingan pada setiap bahan aktif dan umpan dasar tersebut. Hasil dari perbandingan tingkat kejeraan tikus antar rodentisida dan umpan terdapat pada Tabel 11.
42
Tikus sawah Subang menunjukkan tingkat kejeraan terhadap rodentisida yang tertinggi pada kumatetralil (26.39%) dan terendah pada bromadiolon (13.11%). Hal tersebut dikarenakan bromadiolon sudah lebih banyak diaplikasikan di lapang dari pada kumatetralil, sehingga tikus sawah tersebut lebih mengenali bromadiolon, maka tingkat kejeraannya lebih rendah. Untuk kontrol, kejeraan terendah pada gabah sebesar 0% karena tikus sawah paling menyukai gabah. Tabel 11` Rata-rata persentase kejeraan tikus terhadap rodentisida dan umpan Perlakuan
Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Tikus sawah Tikus rumah Subang Pati Bogor Seng fosfida 13.22 7.03 10.00 Kumatetralil 26.39 9.33 NT Bromadiolon 13.11 NT 3.31 Brodifakum 22.62 5.33 4.93 Flokumafen NT 7.27 NT Mahoni NT 20.09 NT Jarak NT 24.25 9.34 Bintaro NT 0.00 NT Gadung NT 10.80 9.04 Beras 7.15 3.55 0.80 Gabah 0.00 0.00 0.00 Blok NT 20.00 2.00 Ket. NT tidak dilakukan pengujian
Tikus pohon Bogor NT 3.80 11.67 3.78 2.79 NT NT NT NT 0.86 1.00 NT
Persentase kejeraan tikus sawah Pati terhadap rodentisida terbesar pada bahan aktif jarak (24.25%) dan terendah pada bahan aktif bintaro (0%). Hal tersebut dikarenakan bau yang ditimbulkan oleh jarak merah lebih menyengat dari pada bau yang ditimbulkan oleh bintaro dan racun yang lain, sehingga tikus tidak tertarik pada jarak merah dan lebih tertarik pada bintaro, maka tikus tersebut mengalami penundaan konsumsi yang menyebabkan tingkat kejeraannya menjadi tinggi. Tingkat kejeraan tikus rumah Bogor terhadap rodentisida menunjukkan bahwa seng fosfida (10%) memiliki tingkat kejeraan tertinggi dan bromadiolon (3.31%) memiliki tingkat kejeraan terendah. Hal ini disebabkan oleh seng fosfida merupakan rodentisida akut sehingga jika diaplikasikan di lapang dapat menyebabkan tingkat kejeraan tikus yang lebih tinggi. Selain itu seng fosfida menimbulkan bau yang
43
menyengat. Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap masyarakat Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor bahwa dari 16 responden ada 7 orang yang pengendaliannya menggunakan rodentisida dan 2 diantaranya menggunakan bromadiolon dan 1 menggunakan seng fosfida, sehingga tikus lebih banyak menemui bromadiolon dibandingkan seng fosfida yang menyebabkan tikus lebih mengenali bromadiolon sehingga lebih tidak jera. Untuk tingkat kejeraan umpan terendah pada gabah sebesar 0%. Tingkat kejeraan tikus pohon Bogor terhadap rodentisida bromadiolon (11.67%) menunjukkan persentase kejeraan tertinggi dan flokumafen (2.79%) mrnunjukkan persentase kejeraan terendah. Hal tersebut disebabkan oleh habitat asli tikus pohon yang berada di semak belukar, selain itu flokumafen mempunyai aroma khas yang bisa menarik tikus pohon tersebut untuk mengonsumsinya sehingga tingkat kejeraan tikus pohon lebih rendah terhadap flokumafen dibandingkan bromadiolon. Untuk tingkat kejeraan tikus pohon terhadap umpan terendah pada beras (0.86%) karena tikus pohon tersebut mengalami penundaan konsumsi. PEMBAHASAN UMUM Setelah dilihat secara keseluruhan maka tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida mulai dari yang tertinggi hingga terendah adalah tikus sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, tikus pohon Bogor. Hal tersebut dikarenakan tikus sawah mempunyai tingkat kepekaan dan kejeraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua jenis tikus yang diujikan yaitu tikus rumah dan tikus pohon. Tikus sawah Subang memiliki tingkat kejeraan lebih tinggi dari pada tikus sawah Pati karena berdasarkan hasil wawancara terhadap petani melalui kuesioner didapatkan hasil bahwa petani di Kabupaten Subang melakukan pengendalian yang sangat intensif terhadap tikus sawah yaitu mengadakan gropyokan dan pengemposan setiap minggu sehingga tikus sawah tersebut mengalami tekanan oleh manusia yang menyebabkan perilaku tikus mudah curiga, sehingga tingkat kejeraan tikus tersebut terus meningkat. Setelah penggunaan TBS (Trap Barrier System) berjalan dengan
44
baik maka tingkat kejeraan tikus sawah Subang sedikit demi sedikit berkurang, karena sistem tersebut adalah gabungan pengendalian secara kultur teknis dan mekanis. TBS atau sistem barier plastik dan bubu perangkap merupakan salah satu teknik pengendalian tikus sawah yang telah terbukti efektif menangkap tikus dalam jumlah banyak dan terus menerus dari awal tanam sampai panen. Pola pertanaman yang digunakan di Subang adalah padi-padi-bera yang disebabkan lingkungan yang tidak mendukung. Kebutuhan air akan kurang jika ditanam komoditas lain atau dilakukan rotasi tanaman. Kelebihannya adalah dapat memutus siklus hidup tikus sawah karena pada saat bera tidak tersedia makanan untuk tikus sawah yang menyebabkan populasi menjadi turun. Tikus sawah yang berasal dari Kabupaten Pati tidak memiliki tingkat kejeraan setinggi tikus sawah dari Kabupaten Subang, karena tikus sawah Pati belum banyak dilakukan pengendalian. Dengan demikian tikus tersebut belum banyak mengalami tekanan oleh manusia yang menyebabkan kejeraan, demikian juga dengan kecurigaan tikus yang tidak terlalu besar. Menurut hasil wawancara melalui kuesioner terhadap petani di Kabupaten Pati pengendalian yang paling efektif untuk dilakukan adalah dengan “setrum” yaitu mengelilingi sawah tersebut dengan kabel yang diberi aliran listrik. Hal ini dilakukan setiap malam, sehingga jika tikus keluar dari lubang, maka akan langsung mati karena terkena aliran listrik tersebut. Petani di Kabupaten Pati menggunakan pola tanam dengan rotasi tanaman, yaitu padi-padi-palawija. Palawija yang biasa digunakan adalah kacang hijau. Dengan adanya rotasi tanaman maka akan membuat populasi tikus tersebut selalu ada, karena dalam setahun selalu tersedia makanan, walaupun itu palawija. Jika tidak ada makanan utama, tikus akan menyesuaikan diri untuk mengonsumsi pakan yang tersedia di lapang. Tikus rumah merupakan hama pengganggu di permukiman. Tikus rumah yang digunakan dalam pengujian ini diambil dari daerah masyarakat pedesaan, dimana pengendalian tidak banyak dilakukan. Dari 16 responden yang ada, pengendalian yang mereka lakukan adalah dengan lem tikus (3 orang), rodentisida (7 orang) , perangkap hidup (16 orang), proofing (1 orang), dan pukul langsung (5 orang). Menurut mereka, kehadiran tikus rumah hanya sedikit mengganggu dan kerugian
45
yang ditimbulkan tidak besar, sehingga pengendalian yang dilakukan tidak terlalu intensif. Dengan demikian mengakibatkan tingkat kejeraan serta kecurigaan tikus rumah yang tidak terlalu besar. Hasil tersebut akan berbeda jika tikus rumah uji tersebut diambil dari hotel, perkantoran, dan perumahan di perkotaan. Di tempat – tempat tersebut pengendalian yang dilakukan sangat intensif dengan menggunakan jasa pest control yang dapat meningkatkan kecurigaan dan kejeraan tikus. Menurut masyarakat perkotaan kehadiran tikus rumah yang berada di tempat tersebut sangat mengganggu dan menimbulkan kerugian yang besar. Tikus pohon adalah tikus yang hidup pada habitat semak belukar diantara pohon – pohon yang berada di perkebunan. Tikus pohon uji yang diambil dari Bogor pada umumnya berada di habitat pohon bambu. Menurut masyarakat yang mempunyai perkebunan di sekitar habitat tersebut, tikus pohon sama sekali tidak merugikan karena tidak merusak dan tidak menganggu, sehingga keberadaan tikus tersebut tidak menjadi perhatian khusus bagi masyarakat sekitar. Pengendalian terhadap tikus pohon tidak pernah dilakukan. Mereka mengetahui bahwa tikus tersebut ada di rumpun bambu, jika lubang tikus tersebut ada bekas jejak kaki tikus dan lubang tersebut tidak ada sarang laba-labanya, tetapi hanya dibiarkan saja. Semua itu membuat tikus pohon hampir tidak memiliki kecurigaan dan kejeraan. Sama seperti tikus rumah, hasil ini juga akan berbeda jika tikus pohon uji tersebut diambil dari habitat kelapa sawit. Pada habitat kelapa sawit, tikus pohon merupakan hama yang sangat penting, karena mengerat tajuk dan buah dari kelapa sawit. Dengan demikian pengendalian yang dilakukan menjadi sangat intensif, yang dapat menimbulkan tingkat kejeraan dan kecurigaan tikus tersebut menjadi tinggi.
46
KESIMPULAN Hasil pengujian perlakuan tingkat kejeraan terhadap rodentisida akut (seng fosfida), rodentisida kronis (kumatetralil, bromadiolon, brodifakum, dan flokumafen), rodentisida nabati (mahoni, jarak merah, bintaro, dan gadung), serta umpan dasar (beras dan gabah) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon menunjukkan bahwa tikus sawah Subang mengalami tingkat kejeraan tertinggi pada kumatetralil, tikus sawah Pati pada jarak merah, tikus rumah Bogor pada seng fosfida, tikus pohon Bogor pada bromadiolon dibandingkan dengan rodentisida lainnya. Pada pengujian perlakuan terhadap umpan dasar (beras dan kontrol) hampir semua tikus tidak mengalami kejeraan tetapi tikus sawah Subang memiliki tingkat kejeraan tertinggi terhadap beras dibandingkan dengan tikus uji lainnya dan tikus pohon Bogor terhadap gabah. Tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida dan umpan jika diurutkan dari yang tertinggi sampai terendah adalah tikus sawah Subang, tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor. Faktor penyebab tingkat kejeraan tersebut adalah tekanan yang dilakukan oleh manusia seperti pengendalian yang intensif menyebabkan perilaku tikus menjadi mudah curiga, sehingga tingkat kejeraan tersebut terus meningkat.
Saran Perlu ditambah lagi ulangan dan bahan aktif untuk pengujian pada rodentisida nabati sehingga didapatkan data yang lebih akurat. Serta perlu dilakukan pengujian pada tikus rumah yang habitatnya di perkantoran atau perumahan di perkotaan dan tikus pohon yang habitatnya pada kelapa sawit sehingga dapat dibandingkan tingkat kejeraannya. Adaptasi yang dilakukan di laboratorium sebaiknya minimal 3 hari sehingga keadaan psikologi tikus lebih stabil dan kandang yang digunakan sebaiknya lebih besar sehingga tikus lebih nyaman.
47
DAFTAR PUSTAKA Aplin KP, Brown PR, Jacob J, Krebs CJ, Singleton. 2003. Field Methods for Rodent, Studies in Asia and the Indo-pacific. Australia: Canberra. Brooks JE and Rowe FP. 1979. Commensal rodent control. World Health Organization. 109h. Buckle AP and Smith RH. 1996. Rodent Pest and Their Control. Cambrige (UK): UK at the University Press. Corrigan RM. 1997. Rats and Mice. Di dalam: Mallis A [editor]. Pest Control. Ed ke8. Mallis Handbook and Technical Training Company. [CPC]. Crop Protection Compedium 2002. CPC global module Wallingford Unviversity of Kentucky. USA: CAB International. Darmawansyah A. 2008. Rancang bangun perangkap untuk pengendalian tikus rumah (Rattus rattus diardii Linn.) [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Davis RA. 1970. Control of Rat and Mice. London: Her Majesty’s Stationery Office. Dickman CR. 1988. Rodent-ecosystem relationships a review. Ecologically-Based Rodent Management 40: 113-126. Flach M, Rumawas F [editor]. 1996. Plant Yielding Non-Seed Carbohydrates. Bogor (ID): Prosea. Haryadi. 2006. Teknologi Pengelolaan Beras. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Kalshoven LGE. 1981. Pest of crop in Indonesia. Revised and Translated by P.A. Van der laan. P.T.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. 701 h. Meehan AP. 1984. Rat and Mice, Their Biologyl and Control. East Griendstead: Rentokil limited. Nurdono B. 1990. Country Report on Warehousing for Farm Product of Indonesia. Di Dalam: Warehousing for Farm Product in Asia. Tokyo: Asian Productivity Organization. Oudejans DH. 1991. Agro Psticide, Properties and Function in Integrated Crop Protection. Economic and Social Commision for Asia and Pasific. Bangkok.
48
Permadi J. 2009. Tingkat jera racun dan umpan pada tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.), tikus rumah (Rattus rattus diardii Linn), dan tikus pohon (Rattus tiomanicus Mill) [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Prakash I. 1988. Rodent Pest Management. United States (US): CRC Press. Priyambodo S. 2002. Studies on the Feeding and Neophobic in Norway Rats (Rattus norvegicus Berkenhout, 1769) from Farm in Germany [disertasi]. Goetting: Cuvillier Verlag. Priyambodo S. 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Ed ke-3. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Rochman dan Soekarna. 1988. Dampak dan Biekologi Tikus Di Lahan Pasang Surut Dalam Hubungannya Dengan Pengendaliannya. Seminar Pengendalian Tikus Di Daerah Transmigrasi Pasang Surut. Himpunan Perlinduangn Tumbuhan: Jakarta. Rochman. 1992. Biologi dan Ekologi Tikus Sebagai Dasar Pengendalian Hama Tikus. Di dalam: Prosiding Seminar pengendalian Hama Tikus Terpadu. Bogor, 17 – 18 Juni. Bogor: Direktorat Bina Perlindungan Tanaman dan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sigit SH. 2006. Kursus Reguler Pengendalian Hama dan Pengendaliannya. Instar 1. Angkatan 6 [3-5 April 2006]. Sipayung A, Sudharto PS, Lubis AU. 1987. Preferensi makan tikus terhadap jenis makanan dalam ekosistem perkebunan kelapa sawit. [laporan tahunan] Kerjasama Penelitian. PP Marihat-Biotrop. Seameo-Biotrop: Bogor. Smith RH. 1996. Rodent control methods: non-chemical and non-lethal chemical. Di dalam: Buckle AP and Smith RH. Rodent Pest and Their Control. New York (US): CAB Internasional. Soemadi W, Mutholib A. 1994. Pakan Burung. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Sudarmaji. 2005. Penelitian Sifat Tikus Sawah. [laporan tahunan]. Subang: BB Padi Subang. Sudarmo S. 2005. Pestisida Nabati. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sunarjo PI. 1992. Pengendalian Kimiawi Tikus Hama. Makalah. Semiar Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Cisarua, 17-18 Juni 1992. Tangendjaja B, et al. 1991. Komposisi dan Sifat Kimia Daun Gamal. In. Wina, E & S. Syahgiar (eds.). Gamal dan Pemanfaatannya. Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor. P. 17-27.
49
Tasar. 2000. Mempelajari mutu protein beras semi instant yang diperkaya isolate protein kedelai [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Utama SP. 2003. Kajian effisiensin teknis usaha tani padi sawah serta sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT) di sumatera barat. Akta Agrosia 6:2 [jurnal on-line]. http://bdpunib.org/akta/artikelakta/2003/67.pdf [Jul-Des 2003]. Walker EP. 1999. Mammals of the World. Maryland: The Jons Hopkins University Press 2. Wibowo A. 2009. Buah Bintaro Ada Manfaatnya Walaupun Beracun. http://anekaflorakita.blogspot.com/2009/04/buah-bintaro-ada-manfaatnyawalaupun.html.
50
LAMPIRAN
51
LAMPIRAN Lampiran 1 Matriks perlakuan tikus sawah, tikus rumah terhadap seng fosfida Perlakuan Seng fosfida 1 Seng fosfida 2 Seng fosfida 3 Seng fosfida 4
Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Subang Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor - (0) - (0) V (37) V (40) - (0) - (0) - (0) V (37) V (6) - (0) - (0) V (40)
Lampiran 2 Matriks perlakuan tikus sawah dan tikus pohon terhadap kumatetralil Perlakuan Kumatetralil 1 Kumatetralil 2 Kumatetrallil 3
Tikus sawah Subang V (36) - (0) V (36)
Tingkat Kejeraan (%) Tikus sawah Pati Tikus pohon Bogor - (0) V (30) - (0) V (47) - (0) V (33)
Lampiran 3 Matriks perlakuan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap bromadiolon Perlakuan Bromadiolon 1 Bromadiolon 2 Bromadiolon 3 Bromadiolon 4 Bromadiolon 5 Bromadiolon 6 Bromadiolon 7
Tikus sawah Subang V (39) V (46) - (0) - (0) V (54) V (31) V (12)
Tingkat Kejeraan (%) Tikus rumah Bogor Tikus pohon Bogor - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) V (30) - (0) V (31) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) V (12)
52
Lampiran 4 Matriks perlakuan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap brodifakum Perlakuan Brodifakum 1 Brodifakum 2 Brodifakum 3 Brodifakum 4 Brodifakum 5 Brodifakum 6 Brodifakum 7 Brodifakum 8 Brodifakum 9 Brodifakum 10 Brodifakum 11 Brodifakum 12 Brodifakum 13 Brodifakum 14 Brodifakum 15 Brodifakum 16 Brodifakum 17 Brodifakum 18 Brodifakum 19 Brodifakum 20 Brodifakum 21 Brodifakum 22 Brodifakum 23
Tikus sawah Subang - (0) - (0) V (46) V (66) V (12) - (0) - (0) V (29) V (25) - (0) V (9) V (13) V (23) V (16) - (0) V (47) - (0) V (38) V (11) V (12) V (12) - (0) V (14)
Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Tikus rumah Pati Bogor - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) V (63) - (0) V (10) - (0) V (41) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) V (47) V (27) V (6) V (18) V (15) V (14) V (6) - (0) V (21) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0)
Tikus pohon Bogor V (40) V (11) - (0) V (61) V (10) - (0) V (36) - (0) - (0) - (0) V (29) V (31) V (33) V (31) V (40) - (0) V (40) - (0) V (12) V (13) V (12) V (12) V (10)
Lampiran 5 Matriks perlakuan tikus sawah dan tikus pohon terhadap flokumafen Perlakuan Flokumafen 1
Tingkat Kejeraan (%) Tikus sawah Pati Tikus pohon Bogor V (44) V (43)
53
Lampiran 6 Matriks perlakuan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida nabati Perlakuan Mahoni 8% Mahoni 16% Mahoni 24 % Mahoni 32% Jarak 8% Jarak 16% Jarak 24% Jarak 32% Bintaro 8% Bintaro 16% Bintaro 24% Bintaro 32% Gadung 10% Gadung 20% Gadung 25% Gadung 30%
Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Pati Tikus rumah Bogor - (0) V (4) - (0) V (6) - (0) V (3) - (0) V (5) - (0) V (5) - (0) V (5) V (5) V (4) V (5) V (3) - (0) V (5) - (0) V (5) - (0) V (5) - (0) V (2) V (13) V (14) V (11) V (11) V (8) V (n5) V (11) V (10)
Lampiran 7 Matriks perlakuan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap umpan dasar Perlakuan Beras seng fosfida 1 Beras seng fosfida 2 Beras seng fosfida 3 Beras seng fosfida 4 Beras kumatetralil 1 Beras kumatetralil 2 Beras bromadiolon 1 Beras bromadiolon 2 Beras bromadiolon 3 dan 4 Beras brodifakum 1 dan 2 Beras brodifakum 3 Beras brodifakum 4 dan 5 Beras brodifakum 6
Tikus sawah Subang V (11) V (11) - (0) - (0) - (0) - (0) V (11) V (10) - (0)
Tingkat kejeraan (%) Tikus sawah Tikus rumah Pati Bogor - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) V (12) - (0) V (10) - (0) V (12) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) V (11)
Tikus pohon Bogor - (0) - (0) - (0) - (0) - (0) V (10) - (0) - (0) - (0)
- (0)
- (0)
- (0)
V (10)
V (11) V (10)
- (0) - (0)
- (0) - (0)
- (0) V (10)
- (0)
- (0)
V (10)
- (0)
54
Beras brodifakum 10 Gabah brodifakum 11 dan 12 Beras brodifakum 11 dan 12 Beras brodifakum 13 dan 14 Gabah brodifakum 13 dan 14 Beras brodifakum 16 Beras brodifakum 17 Beras brodifakum 18 Beras brodifakum 19,20,21 dan 23 Beras flokumafen 1 Beras kumatetralil 3, brodifakum23, bromadiolon 7 Gabah kumatetralil 3, brodifakum23, bromadiolon 7 Beras rodentisida nabati Blok rodentisida nabati
- (0) - (0)
- (0) - (0)
V (10) - (0)
- (0) V (10)
- (0)
- (0)
- (0)
V (10)
- (0)
V (10)
- (0)
- (0)
- (0)
V (12)
- (0)
- (0)
V (10) - (0) V (13) - (0)
- (0) - (0) - (0) - (0)
- (0) - (0) - (0) - (0)
- (0) V (10) - (0) V (7)
- (0) V (11)
V (13) - (0)
- (0) V (11)
V (11) V (10)
V (10)
- (0)
V (10)
V (10)
- (0)
V (4)
V (3)
- (0)
- (0)
V (14)
V (10)
- (0)
Lampiran 8 Hasil kuesioner wawancara terhadap petani tempat tikus sawah uji diambil di Kabupaten Subang • Jumlah Responden = 20 petani • 13 petani yang bekerja sama dengan BB Padi dan 3 dari 23 kelompok • 7 petani sekitar BB Padi yang tergabung dalam kelompok tani • 9 petani dari Desa Ranca Mulya Kecamatan Patok Beusi Kabupaten Subang • 3 petani dari Desa Ranca Jaya Kecamatan Patok Beusi Kabupaten Subang • 1 petani dari Desa Ranca Bangau Kecamatan Patok Beusi Kabupaten Subang • 7 petani dari Desa Sukamandi Jaya Kecamatan Ciasem Kabupaten Subang • Tanggal wawancara 1 dan 2 Oktober 2011 • Tempat wawancara di rumah, di sawah, di BB Padi KARAKTERISTIS PETANI 1. Umur : 40-50 = 12 orang, 50-60 = 6 orang, 60-70 = 2 orang 2. Pendidikan : Tidak tamat SD = 2 orang, SD = 10 orang, SMP = 6 orang, SMA = 2 orang, PT = - orang
55
3. Pekerjaan : Petani = 20 orang 4. Jmlh tanggungan : < 2 orang = - orang, 3-5 orang = 13 orang, 6-8 = 4 orang, >8 = 3 orang 5. Status kepemilikan lahan : 7 orang = lahan sendiri, 13 orang = penggarap 6. Luas lahan: 6 orang = < 1 ha, 12 orang = 1-2 ha, 2 orang = > 2 ha CARA BUDI DAYA 7. Jenis komoditas: 20 orang = padi 8. Varietas yang digunakan: padi = ciherang 9. Asal benih/bibit: 7 dari UDSMC (penangkaran swasta) dan 13 orang diberikan oleh dinas atau instansi pemerintah 10. Menanam komoditas lain: 20 orang tidak menanam komoditas lain dengan alasan lingkungan yang tidak mendukung kebutuhan air akan kurang jika menanam komoditas lainnya 11. Jenis pupuk yang digunakan: 20 orang menggunakan pupuk sintesis untuk pemupukan ke-1: 12-15 hari ST dan pemupukan ke-2: 25-30 hari ST sedangkan pupuk kandang digunakan sebelum tanam pada saat pengolahan, 13 petani menggunakan kotoran sapi, kambing dan jerami 7 petani fermentasi kotoran cacing (durbikus) 12. Pola tanam yang digunakan: 20 orang Padi – Padi - Bera 13. Masalah yang sering dihadapi (boleh lebih dari 1): Hama dan penyakit = 20 orang, modal = - orang, air/irigasi = 17 orang (karena jika sawahnya tempatnya jauh dari area irigasi tidak terkena aliran air), cuaca/iklim = 20 orang (akhir 2010 sampai awal tahun 2011 hujan terus sehingga hasil panen kurang bagus karena ciherang lebih bagus hasilnya kalau sedikit hujan) 14. Dilakukan pengairan: 20 orang melakukan irigasi dari jati luhur 15. Penurunan hasil: 20 orang pada tahun akhir 2009 sampai 2010 selama 2 musim gagal total karena virus kerdil hampa dan kerdil rumput dengan wereng coklat sebagai vektornya jadi 100% fuso. Pada 2011 (2 musim terakhir) panen sudah mulai bagus dengan hasil sampai 80% jadi kehilangan hasilnya 20-40% PENGENDALIAN OPT 16. Pernah mengikuti SL-PHT atau pelatihan lain: Ya = 20 orang 13 orang penyuluhan setiap 2 minggu sekali oleh teknisi BB Padi dan 7 orang penyuluhan setiap 1 bulan sekali atau sesuai permintaan 17. Hama dan penyakit utama yang menyerang dari 20 orang: tikus, wereng coklat, penggerek batang, hama putih palsu, virus kerdil hampa dan kerdil rumput 18. Hama tikus banyak menyerang: 20 orang menjawab ada tapi tidak membuat kerusakan dan masih bias diatasi. Besar serangan paling banyak 5%. 19. Tindakan yang dilakukan jika ada hama tikus menyerang: Sebelum tanam digropyok, setelah tanam diempos. Untuk petani BB Padi pengemposan
56
dijadwalkan secara rutin seminggu sekali setiap hari sabtu. Ada juga yg menggunakan racun tapi hanya 5 orang dan tergantung populasinya 20. Pengendalian hama tikus: kultur teknis dengan pengaturan waktu tanam, pengaturan jarak tanam, pengaturan tanaman perangkap (TBS). Sanitasi dengan membersihkan lahan. Kimia dengan rodentisida b.a. fosfit dengan umpan gabah yang dicampur dengan oli atau minyak sayur dan temik dengan umpan keong dibakar, dosisi 10 kg/ha (gabah + fosfit dengan fosfit 1 ons), waktu aplikasi sore, frekuensi aplikasi jika diketahui keberadaan tikus atau jika ada serangan serta pengemposan b.a. belerang, dosis 2-3 kg/ha jika ada serangan dan 1kg/ha jika tidak ada serangan, waktu aplikasi pagi atau siang hari, frekuensi aplikasi seminggu sekali setiap hari sabtu untuk petani BB padi dan setiap ada serangan saja untuk petani sekitar BB padi 21. Alasan menggunakan rodentisida untuk pengendalian: 20 orang menjawab mudah didapatkan, praktis dalam aplikasi, harga murah karena penggunaan rodentisida tidak begitu efektif 22. Jenis rodentsida yang digunakan: 20 orang = berbahan aktif fosfit dan temik tetapi ada 3 orang petani yang kadang menggunakan klerat dengan dosis 1 kg/ha karena jika musim hujan tidak luntur tetapi jarang dimakan tikus dan kerjanya lambat 23. Waktu memutuskan memberikan rodentisida: 20 orang menjawab pada serangan hama tikus tingkat membahayakan karena racun hanya untuk membantu pengendalian 24. Yang dilakukan jika hama tikus tidak dapat dikendalikan: 5 orang menjawab dibiarkan saja karena hal tersebut baru terjadi sekali pada tahun 90an yaitu serangan tiba-tiba dari tikus yang migrasi. 7 orang menjawab belum pernah sampai tikus yang tidak bias dikendalikan. 8 orang menjawab langsung digropyok 25. Sejarah pengendalian hama tikus: 1. Sebelum tahun 1980-an digali dan dipukuli (gropyok) 2. Tahun 1980-an emposan dan racun 3. Awal tahun 2000-an BTS (Trap Barrier System) dan LBTS (Linear Trap Barrier System) 26. Dilakukan pengendalian gulma: 20 orang menjawan iya 27. Cara pengendalian gulma: 20 orang menjawab a dan b a. Mencabut langsung dengan tangan b. Menggunakan herbisisda *Pertama disemprot dahulu lalu dicabut dengan tangan PASCA PANEN 28. Hasil panen: Normalnya 6-7 ton/ha, kalau bagus 8-9 ton/ha
57
29. Pengolahan hasil panen: 20 orang = dijual langsung di lapang dan disisakan sedikit untuk makan. 30. Permasalahan hama gudang dan tikus: tidak ada karena tidak ada yg disimpan CATATAN KHUSUS *Kemitraan dengan BB padi yaitu pengadaan sarana seperti pupuk dan obat2an *Sistem bagi hasil jadi setlah panen langsung dijual kemudian dipotong biaya operasional lalu hasilnya dibagi dua antara BB Padi dan petani. Lampiran 9 Hasil kuesioner wawancara terhadap petani tempat tikus sawah uji diambil di Kabupaten Pati • Jumlah Responden = 20 petani • 10 petani dari Desa Jambean Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati • 10 petani dari Desa Gondoarum Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus • Tanggal wawancara 23 Agustus 2011 dan 1 September 2011 • Tempat wawancara di rumah KARAKTERISTIS PETANI 1. Umur : 40-50 = 4 orang, 50-60 = 13 orang, 60-70 = 3 orang 2. Pendidikan : Tidak tamat SD = 2 orang, SD = 13 orang, SMP = 4 orang, SMA = 1 orang, PT = - orang 3. Pekerjaan : Petani = 20 orang 4. Jumlah tanggungan : < 2 orang = - orang, 3-5 orang = 6 orang, 6-8 = 9 orang, >8 = 5 orang 5. Status kepemilikan lahan : Lahan sendiri = 20 orang 6. Luas lahan : 1-4 kotak = 8 orang, 5-7 kotak = 7 orang, >7 kotak = 5 orang *asumsi: 7 kotak = 1 ha CARA BUDI DAYA 7. Jenis komoditas: 20 orang = padi dan kacang hijau 8. Varietas yang digunakan: padi = ciherang 9. Asal benih/bibit: 3 orang membibitkan sendiri, 12 orang membeli di toko pertanian, 5 orang diberikan oleh dinas atau instansi pemerintah 10. Menanam komoditas lain: 20 orang, komoditas kacang hijau 11. Jenis pupuk yang digunakan: 20 orang menggunakan pupuk sintesis tapi ada 5 petani yang menambahi dengan pupuk kandang 12. Pola tanam yang digunakan: 20 orang menggunakan rotasi tanaman Æ padi – padi – palawija (kacang tanah)
58
13. Masalah yang sering dihadapi (boleh lebih dari 1): Hama dan penyakit = 20 orang, modal = - orang, air/irigasi = 20 orang (karena sering banjir jika musim hujan), cuaca/iklim = 20 orang (beberapa tahun terakhir yang hujan terus efek la nina) 14. Dilakukan pengairan: 20 orang melakukan irigasi / pengairan pada saat musim kemarau dengan cara mengambil dari sungai kemudian dialirkan ke sawah-sawah 15. Penurunan hasil: 3 tahun terakir = 4 orang, 5 tahun terakhir = 14 orang, 8 tahun terakhir = 2 orang Kehilangan hasil: <20% = - orang, >20-40% = - orang, >40-60% = 5 orang, >6080% = 12 orang, >80% = 3 orang PENGENDALIAN OPT 16. Pernah mengikuti SL-PHT atau pelatihan lain: Ya = 15 orang, Tidak = 5 orang Penyuluhan dilaksanakan oleh penyuluh pertanian dan pelatihan dari perusahaan tertentu 17. Hama utama yang menyerang dari 20 orang: tikus dan wereng coklat 18. Hama tikus banyak menyerang: 20 orang menjawab iya. Besar serangan 10-15%. Serangan tersebut musiman jika musimnya bias gagal total 19. Tindakan yang dilakukan jika ada hama tikus menyerang: Setrum;gropyok;kocor air;rodentisida = 7 orang, setrum&gropyok = 4 orang, setrum&kocor = 3 orang, setrum&rodentisida = 2 orang, setrum;gropyok;rodentisida = 4 orang. *setrum pada saat malam hari setelah maghrib dan biasanya malah tambah 20. Pengendalian hama tikus: kultur teknis dengan pengaturan pola tanam dan pengaturan jarak tanam. Sanitasi dengan membersihkan lahan. Kimia dengan rodentisida b.a. fosfit, umpan gabah, dosis 8 kg/ha (gabah + fosfit dengan fosfit 1 ons), waktu aplikasi jam 5 sore jika musim tanam, frekuensi aplikasi setiap habis diberi lagi serta pengemposan b.a. belerang, dosis 1-2 kg/ha, waktu aplikasi sebelum musim tanam, frekuensi aplikasi setiap sebelum musim tanam (setahun 2 – 3 kali) • Yang semua ada = 12 petani • Yang tidak ada pengaturan jarak tanam = 3 petani • Yang tidak pakai roden = 2 petani • Yang tidak emposan = 1 petani 21. Alasan menggunakan rodentisida untuk pengendalian: 5 orang menjawab a,b, dan c. 6 orang menjawab b. 9 orang menjawab tidak begitu efektif karena tikus tidak mau makan a. Efektif terhadap serangan hama tikus b. Mudah didapatkan, praktis dalam aplikasi, harga murah c. Saran dari orang lain 22. Jenis rodentsida yang digunakan: 3 orang = berbahan aktif seng fosfida dan temik, 17 orang = berbahan aktif seng fosfida
59
23. Waktu memutuskan memberikan rodentisida: 5 orang menjawab a&b, 7 orang menjawab b, 8 orang menjawab jika ada tanda-tanda serangan tikus. *klo sudah banyak dan tidak bisa dikendalikan maka disetrum a. Saat pemberian racun telah tiba b. Serangan hama tikus tingkat membahayakan 24. Yang dilakukan jika hama tikus tidak dapat dikendalikan: 20 petani menjawsab a. dibiarkan saja dengan alasan jika padi masih muda maka dipotong lalu dipupuk lagi sehingga tumbuh anakannya tetapi tidak dapat besar hanya kecil (rapat dan rata) dengan hasil panen setangah dari normal 25. Sejarah pengendalian hama tikus: 1. Digali dan dipukuli, mulai sebelum tahun 1970-an 2. Dikocor air dan dipukuli, mulai tahun 1970-1980an 3. Rodentisida dan emposan, mulai tahun 1980-1990an 4. Gropyokan dan jaring, mulai tahun 1990-2000an 5. Setrum, mulai tahun 2009 *Setrum dilakukan dengan memberikan kawat yang bertegangan tinggi yang mengelilingi sawah sehingga jika tikus keluar dari lubang maka akan kesetrum. Setrum tersebut dinyalakan pada malam hari, setelah maghrib tidak ada orang yang boleh ke sawah karena sudah pernah memakan korban yang meninggal akibat kesetrum. Setrum tersebut kerja sama dengan suatu pengusaha. 26. Dilakukan pengendalian gulma: 20 orang menjawan iya 27. Cara pengendalian gulma: 20 orang menjawab a dan b c. Mencabut langsung dengan tangan d. Menggunakan herbisisda *Dulu pengendalian dengan a tetapi karena kekurangan tenaga sehingga pengendalian menjadi b *Herbisida yang digunakan aliplurs dan DMA (3 orang) PASCA PANEN 28. Hasil panen: a. 1-4 kotak = 2-8 ton = 8 orang, b. 5-7 kotak =10-14 ton = 7 orang, c. >7 kotak = >14 ton = 5 orang *Jika gagal maka hasil panen kurang lebih setengah dari hasil normal tetapi jika gagal total bias habis 29. Pengolahan hasil panen: 20 orang = dijual dan sisanya dimakan. *Tempat penyimpanan: jika hasil banyak disimpan dipenggilingan padi tetapi jika hasil sedikit disimpan di rumah *Disimpan sampai menunggu harga beras naik
60
30. Permasalahan hama gudang dan tikus: kutu beras, tikus ada di rumah dan penggilingan. Kalau di rumah serangan tikus kelihatan karena berasnya sedikit tetapi jika di penggilingan serangan tikus tidak terlalu kelihatan karena berasnya banyak. CATATAN KHUSUS • Pengalaman petani, jika tikus sudah merajalela dibiarkan saja sampai habis lalu kalau tikus sudah kenyang dan beranak maka berhenti menyerang. • Waktu birahi sangat merusak tetapi jika sudah beranak maka berhenti karena waktu birahi tikus berlalari-lari itu yg merusak tanaman. • Kalau sudah hamil tikus tetap makan tetepi tidak merusak. • Pengendalian yang paling efektif dengan setrum dan gropyok (dipasangin jaring, lubang tikus digali kemudian tikus lari dan masuk ke jaring). • Sebelum ada pengendalian tikus, dulu ada tikus tetapi tidak merusak. • Setiap ada hama langsung disemprot kareng jika tidak disemprot maka akan gagal total, bagi petani yang penting jadi. Tetapi mengeluarkan banyak uang untuk mengemprot jika terserang wereng. • Kalau banyak tikus maka wereng kurang, jika banyak wereng maka tikus berkurang (gentian). • Jika lahan padi habis biasanya berlari ke lahan tebu. Lampiran 10 Hasil kuesioner wawancara terhadap masyarakat tempat tikus rumah uji diambil di Kabupaten Bogor • •
Jumlah Responden = 16 petani 16 petani dari Kampung Carangpulang Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor • Tanggal wawancara 5 dan 6 November 2011 • Tempat wawancara di rumah KARAKTERISTIS PETANI 1. Umur : 25-35 = 6 orang, 36-45 = 8 orang, 46-55 = 2 2. Pendidikan : Tidak tamat SD = - orang, SD = 10 orang, SMP = 3 orang, SMA = 3 orang, PT = - orang 3. Pekerjaan : Buruh = 4, Wirasawasta = 5, Pedagang = 3, Petani = 3 4. Jmlh tanggungan : < 2 orang = - orang, 3-5 orang = 7 orang, 6-8 = 5 orang, >8 = 4 orang
61
PEMAHAMAN TENTANG HAMA PERMUKIMAN 5. Apakah yang anda ketahui tentang gangguan yang disebabkan oleh hama dipermukiman? a. Hama yang makan makanan di dapur, tempat cucian piring, dan diatas genteng. b. Bikin berantakan. c. Makan makanan kalau naruh sembarangan. d. Bikin sarang di gudang. e. Makanin baju di lemari. 6. Jenis hama apa saja yang sering menyerang permukiman Anda? a. Tikus = 16 orang b. Kecoa = 14 orang c. Nyamuk = 13 orang (musiman) d. Lalat = 15 orang e. Laba – laba = 6 orang f. Rayap = 9 orang g. Lainnya: semut merah = 1 orang, cicak = 1 orang 7. Diantara hama yang disebutkan diatas hama apa yang paling banyak menyerang di permukiman Anda? 16 rang menjawab tikus rumah. Tetapi yang paling banyak merusak adalah tikus kecil (disebut nying – nying) paling bandel dan merusak semua. 8 Apakah hama tikus di permukiman Anda sangat mengganggu? 8 rang menjawab Ya karena membuat berantakan, memakan makanan. 9 Gangguan apa saja yang sering ditimbulkan oleh hama tikus tersebut? Jawaban seperti no 1 10 Dimanakah Anda melihat hama tersebut? Kamar tidur = 12 orang Kamar mandi = 8 orang Dapur = 16 orang Tempat sampah = 11 orang Selokan = - orang Lainnya: Gudang = 1 orang, Tempat penyimpanan barang = 1 orang, lemari = 1 orang, jalan – jalan di ruangan = 1 orang. 11 Menurut Anda apakah yang menyebabkan hama – hama tersebut muncul? Lingkungan yang kotor = 3 orang Sampah = 2 orang Tetangga = 14 orang Makanan = 6 orang
62
12
13
14
15
16
17 18 19
20
21
Dari luar rumah = 16 orang Lainnya = - orang Kerugian apa yang ditimbulkan karena adanya hama tikus tersebut? a. Bau b. Membuat berantakan rumah dan makanan c. Membuat baju di lemari bolong – bolong d. Memakan makanan Tindakan apa yang Anda lakukan ketika mengetahui kehadiran hama tikus tersebut? a. Tikus kecil pakai lem tikus = 3 orang b. Tikus besar pakai racun = 7 orang c. Perangkap hidup = 16 orang d. Jendela atas ditutup dengan kawat nyamuk = 1 orang (agar tikus dari luar tidak dapat masuk) Apakah Anda mengetahui tentang musuh alami dari hama – hama tersebut? 9 rang menjawab tidak 6 orang menjawab ya (kucing) Apakah Anda pernah menggunakan pestisida atau bahan kimia untuk mengendalikan hama permukiman? 9 orang menjawab tidak 7 orang menjawab ya ( padat = 6 (4 klerat dan 2 kontrak) orang dan serbuk = 1 (seng fosfida) orang) Dari mana Anda mengetahui pestisida tersebut? 1 orang dari teman (Pak Soban) 6 orang beli di warung Kapan Anda menggunakan pestisida tersebut? 7 orang menjawab malam Apakah dalam penggunaan sesuai dengan aturan pakai? 7 orang menjawab Ya Dimanakah Anda menyimpan pestisida tersebut? 4 orang menjawab dalam rumah (di pojokan) 3 orang menjawab dapur (yang penting tidak terkena makanan) Apakah Anda juga sering menggunakan perangkap? 16 orang menjawab Ya 16 orang memaki perangkap hidup 10 orang memakai lem tikus Dimanakah Anda memasang perangkap tersebut? 16 orang menjawab dapur 7 orang menjawab gudang
63
22 Apakah cara pengendalian lainnya yang sering Anda gunakan? 9 orang menjawab pukul langsung 23 Apakah Anda pernah menggunakan jasa pest control (pembasmi hama)? 16 orang menjawab tidak 24 Berapa biaya yang Anda keluarjan untuk mengendalikan hama tersebut? Lampiran 11 Hasil kuesioner wawancara terhadap masyarakat tempat tikus pohon uji diambil di Kabupaten Bogor • •
Jumlah Responden = 11 petani 11 petani dari Kampung Carangpulang Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor • Tanggal wawancara 5 dan 6 November 2011 • Tempat wawancara di rumah KARAKTERISTIS PETANI 1. Umur : 25-35 = 4 orang, 36-45 = 6 orang, 46-55 = 1 orang 2. Pendidikan : Tidak tamat SD = - orang, SD = 8 orang, SMP = 2 orang, SMA = 1 orang, PT = - orang 3. Pekerjaan : Buruh = 3, Wirasawasta = 4, Pedagang = 2, Petani = 2 orang 4. Jmlh tanggungan : < 2 orang = - orang, 3-5 orang = 5 orang, 6-8 = 4 orang, >8 = 2 orang PEMAHAMAN TENTANG HAMA PEKARANGAN 5. Apakah yang Anda ketahui tentang gangguan yang disebabkan oleh hama pekarangan? Hama yang menyerang tanaman di perkebunan (banyaknya kebun ubi jalar, ubi kayu dan kacang tanah) dan bersembunyi di rumpun bambu (tikus) 6. Jenis hama apa sajakah yang sering menyerang di pekarangan Anda? 11 orang menjawab Tikus 3 orang menjawab kumbang boleng 2 orang menjawab belalang 5 orang menjawab wereng 7. Diantara hama yang disebutkan diatas hama apa yang paling banyak menyerang di pekarangan Anda? 11 orang menjawab Tikus 8. Apakah hama tikus di pekarangan Anda sangat mengganggu? 11 orang menjawab Tidak karena tidak begitu banyak sehingga tidak merusak 9. Gangguan apa saja yang sering ditimbulkan oleh hama tikus tersebut? Merusak kebun ubi dan kacang tanah
64
10. Dimanakah Anda melihat hama tersebut? 11 orang menjawab di rumpun bambu 5 orang menjawab di kebun ubi jalar 3 orang menjawab di kebun kacang tanah 4 orang menjawab di kebun ubi kayu 11. Menurut Anda apakah yang menyebabkan hama – hama tersebut muncul? • Ketersediaan makanan yang terus ada di kebun • Di rumpun bambu jika ada lubang dan lubangnya rapi serta tidak berantakan maka banyak tikusnya tetapi jika lubangnya ada sarang laba – laba maka tidak ada tikus di dalam lubang tersebut 12. Kerugian apa yang dapat ditimbulkan karena adanya hama tikus tersebut? Kerugian tidak terlalu besar 13. Tindakan apa Anda lakukan ketika mengetahui kehadiran hama tikus tersebut? Karena kerugian tidak terlalu besar maka tidak dilakukan pengendalian sehingga didiamkan saja. 14. Apakah Anda mengetahui tentang musuh alami dari hama – hama tersebut? 5 orang menjawab Ya (ular) 6 orang menjawab Tidak Jika nomer 9 menjawab tidak maka sudah selesai Tabel Lampiran 12 Sidiki ragam tingkat kejeraan (%) tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap brodifakum Sumber Perlakuan Galat Total
db 3 38 41
JK 3234.67 1667.69 4902.36
R-SQUARE = 0.6598
KT 1078.22 43.89
F 24.57
Pr > F 0.0001
CV = 61.1376
Uji selang ganda Duncan Taraf 5% 1%
2 6.852 9.177
3 7.204 9.570
4 7.433 9.834
65
Tabel Lampiran 13 Sidiki ragam tingkat kejeraan (%) tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap beras Sumber Perlakuan Galat Total
db 3 24 27
JK 212.22 492.56 705.08
R-SQUARE = 0.3009
KT 70.74 20.54
F 3.44
Pr > F 0.0326
CV = 131.4743
Uji selang ganda Duncan Taraf 5% 1%
2 5.135 6.959
3 5.393 7.258
4 5.559 7.457