Syamsu Bahar et. al.: Potensi dan Peluang Pengembangan Ternak Kelinci
POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KELINCI DI WILAYAH PERKOTAAN DKI JAKARTA Syamsu Bahar, Bachtar Bakrie, Umming Sente, Dini Andayani, dan B.V. Lotulung Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Jln. Raya Ragunan No. 30 Pasar Minggu, Jakarta – 12540 Email:
[email protected]
ABSTRAK
ABSTRACT
Suatu pengkajian telah dilaksanakan di wilayah Provinsi DKI Jakarta bertujuan untuk mengetahui potensi dan peluang pengembangan ternak kelinci di wilayah perkotaan DKI Jakarta. Kelinci merupakan hewan herbivora yang dapat dipelihara sebagai hewan hias dan sebagai penghasil daging sumber protein hewani. Metode yang digunakan adalah metode survei peternakan kelinci dengan sampel secara sengaja (purposive sampling). Waktu pelaksanaan mulai April sampai dengan Juni 2013. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil pengkajian menunjukkan peternakan kelinci masih secara perorangan dan bersifat bisnis keluarga. Umumnya peternak memelihara kelinci sebagai hewan hias dengan strain yang bermacam-macam. Sistem kandang baterai (individu) dengan bahan terbuat dari kayu dan kawat. Sistem reproduksi menunjukkan jumlah anak sekelahiran antara 6–8 ekor per induk per kelahiran. Pakan yang diberikan berupa hijauan limbah sayuran, rumput-rumputan, ampas tahu, ampas tempe, pakan pabrik. Penyakit yang sering menyerang adalah scabies, diare dan kembung. Pemasaran ternak kelinci dilakukan secara langsung ke konsumen di tempat-tempat keramaian seperti pasar dan tempat rekreasi. Potensi dan peluang pengembangannya melalui inovasi teknologi peternakan kelinci dan menciptakan kawasan “kampung industri kelinci” yang dikelola oleh kelembagaan kelompok tani.
An assessment has been carried out in the urban areas of Jakarta aims to determine the potential and development opportunities of rabbit farms in urban areas of Jakarta. Rabbits are herbivores that can be kept as an ornamental and as a producer of animal meats sources of animal protein. The method used was a rabbit farm survey methods with a sample intentionally (purposive sampling). This assessment was conducted in from April to June 2013. Data were analyzed descriptively. The study showed individual rabbit farms and businesses are family. Generally breeders keeping rabbits as animal inlaid with various strains. Battery cage system (individual cages) with materials made of wood and wire. Reproductive system shows litter size between 6-8 individuals per parent per birth. The feed has been primarily forage vegetable waste, little is provide concentrate feed (pellets). Disease that often attacks are scabies, diarrhea and bloating. Marketing of livestock rabbit made directly to consumers in places such as the market crowd and recreation areas. The potential and development opportunities through technological innovation and creating a rabbit farm area "village industries rabbit" which is managed by farmers groups.
Kata Kunci: Jakarta, Kelinci, Perkotaan
T
Keywords: Jakarta, Rabbit, Urban
PENDAHULUAN ernak kelinci semula hewan liar yang sulit dijinakkan. Kelinci dijinakkan dengan tujuan untuk
keindahan, bahan pangan, dan sebagai hewan Buletin Pertanian Perkotaan Volume 4 Nomor 2, 2014 | 1
Syamsu Bahar et. al.: Potensi dan Peluang Pengembangan Ternak Kelinci
percobaan. Hampir setiap negara di dunia
100 g daging adalah kadar protein daging
memiliki ternak kelinci karena kelinci mempunyai daya adaptasi tubuh yang relatif
kelinci cukup tinggi yakni 20,1 lebih tinggi dibanding protein ayam 18,6 dan sapi 16,3.
tinggi sehingga mampu hidup di hampir seluruh dunia. Kelinci diklasifikasikan
Kadar lemak daging kelinci rendah yakni 5,5 lebih rendah dibanding ayam 15,6 dan sapi
sebagai
Famili:
24,1. Kadar kolesterol daging kelinci juga
Leporidae; Sub-famili: Leporine; Genus: Lepus, Orictolagu s; Spesies: Lepus spp.,
lebih rendah yakni 53 lebih rendah dibanding ayam 70 dan sapi 58 (Chan et al., 1995).
Orictolagus spp. Jenis yang umum diternakkan adalah American Chinchilla,
Ternak kelinci dapat menghasilkan kotoran padat (feces) dan cair (urine) dalam
Angora, Belgian, Californian, Dutch, English Spot, Flemish Giant, Havana, Himalayan,
jumlah yang cukup banyak. Konsumsi hijauan 0,4 - 0,6 kg /ekor/hari. Konsumsi air
New Zealand Red, White dan Black, Rex. Amerika. Kelinci lokal yang ada sebenarnya
minum 120 ml/ekor/hari. Produksi kotoran kelinci 30 - 50 % dari konsumsi. Dengan
berasal dari dari Eropa yang telah bercampur dengan jenis lain hingga sulit dikenali lagi.
pengolahan secara sederhana, apabila kotoran ditambahkan dengan sisa hijauan dapat
Jenis New Zealand White dan Californian sangat baik untuk produksi daging,
diubah menjadi pupuk organik yang sangat bermanfaat bagi peningkatan kesuburan
sedangkan Angora baik untuk bulu. (Anonim, 2000). Jenis kelinci penghasil
tanah. Produksi urine kelinci 50 - 65 cc/ekor/hari. Hasil penelitian pemberian
daging adalah : Vlaams, New Zealand White England, sedangkan jenis kelinci yang
pupuk organik pada tanaman hortikultura yaitu tanaman kentang dan kubis rata-rata
banyak diminati untuk ternak hias antara lain: Angora, Lion, dan Rex totol (Anonim, 2011).
meningkatkan produksi sebesar 23,5 % dibanding pupuk domba, namun masih lebih
Kelinci secara umum memiliki potensi biologis dan ekonomi yang tinggi
rendah dengan perlakuan petani yang menggunakan pupuk kimia dan pupuk ayam
untuk menghasilkan daging dan kulit-bulu bermutu terutama jenis Rex dan Satin, dan
sebesar 39,7 % (Sajimin et al., 2006; Brahmantiyo et al, 2006).
juga untuk tujuan kesayangan/hias (Raharjo, 2003; Raharjo dan Brahmantiyo, 2002
Populasi kelinci di Indonesia selalu meningkat, namun lambat dari tahun 2007
Brahmantiyo dan Raharjo, 2011). Salah satu potensi yang menonjol dalam hubungannya
tercatat 708.000 ekor dan tahun 2010 menjadi 898.000 ekor dan antara tahun 2008
dengan peternakan rakyat adalah kelinci mampu tumbuh dan berkembang biak dari
– 2010 tercatat 12 provinsi di Indonesia yang memiliki usaha ternak kelinci dan yang
pakan hijauan, limbah pertanian, dan limbah pangan, serta dapat dipelihara pada skala
terpadat di Jawa Tengah (Anonim, 2010) dan yang terpadat populasinya di Jawa Tengah
rumah tangga/skala kecil. Kelinci merupakan
adalah Kabupaten Magelang (Herawati, et al., 2011).
Ordo:
Lagomorpha;
salah
satu
komoditi yang dapat diandalkan dalam menanggulangi kebutuhan daging sebagai sumber protein hewani. Kandungan gizi daging kelinci dibanding ternak lainnya tiap
II. METODOLOGI Peternak kelinci di DKI Jakarta masih bersifat perorangan sehingga untuk
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 4 Nomor 2, 2014 | 2
Syamsu Bahar et. al.: Potensi dan Peluang Pengembangan Ternak Kelinci
menemukan
lokasi
peternak
dilakukan
yang bermacam-macam yaitu Rex bulu
dengan bantuan petugas/penyuluh peternakan dari Suku Dinas Peternakan dan Perikanan
karpet, Rex satin, English Angora, Black oter, Fuzzy lop, Holland lop, Lion dan
untuk mencari dan menelusuri keberadaan para peternak kelinci di DKI Jakarta.
persilangan. Adapun peternak yang memelihara kelinci yang sebagai hewan
Penelusuran ini dilakukan karena untuk
potong (daging) yaitu New Zealand White.
wilayah DKI Jakarta belum ada data baku peternak kelinci dan belum tercantum secara
Peternak memperoleh indukan awal berasal dari daerah Cipanas dan Sukabumi, Jawa
tertulis dalam statistik populasi ternak kelinci. Dari hasil penelusuran ditemukan
Barat. Jumlah pemilikan antara 5 - 30 ekor dengan berbagi umur.
peternak kelinci sebagai “sampel” sebanyak dalam 2 kategori yaitu kategori peternak
Peternak melakukan perkandangan sistem kandang baterai/kandang individu
yang sedang/masih memelihara kelinci dan kategori peternak yang pernah memelihara
dengan bahan terbuat dari kawat dan bambu. Satu bangunan kandang berisi 20 – 30 induk
kelinci yang saat ini tidak memelihara lagi. Pada peternak yang masih memelihara
termasuk pejantannya. Kondisi lingkungan sekitar kandang panas terutama di musim
kelinci dilakukan kunjungan ke lokasi pemeliharaan, sedangkan pada peternak yang
kemaru dan terletak di tengah-tengah pemukiman warga serta lalu-lintas kendaraan
hanya pernah memelihara kelinci tidak dilakukan kunjungan. Peternak yang di
bermotor yang bising, sehingga keadaan ini memungkinkan ternak kelinci menjadi stres
kunjungi yaitu 4 orang di Jakarta Selatan, 6 orang di Jakarta Timur dan 1 orang di Jakarta
dan mati. Pada umur 2 bulan, anak sudah lepas
Utara, sedangkan di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat tidak dilakukan kunjungan, tetapi
sapih, maka induk dikawinkan lagi. Jika dihitung jarak beranak (calving interval)
mendapat informasi dari petugas peternakan bahwa beberapa orang pernah memelihara
yaitu 31 hari bunting (1 bulan) ditambah 2 bulan menyusui maka jarak beranak adalah 3
kelinci. Selanjutnya dilakukan wawancara kepada peternak yang masih memelihara
bulan, sehingga dalam setahun dapat terjadi 4 kali beranak. Menurut Juarini, et al (2000)
kelinci tentang bagaimana mereka melakukan budidaya ternak kelinci yang meliputi aspek:
bahwa aspek reproduksi pengaturan kawin paska partus menyimpulkan perkawinan 14
1) Jenis/strain kelinci yang dipelihara; 2) Sistem Perkandangan; 3) Sistem Reproduksi;
hari setelah beranak memberikan performan paling baik untuk kelinci. Ternak kelinci
4) Pengelolaan Pakan; 5) Pengendalian Penyakit; dan 6) Pemasaran. Data yang
akan lepas sapih pada umur 1,5 – 2 bulan. Pada peternak intensif dilakukan
diperoleh dianalisis secara deskriptif.
pemberian pakan dengan perbandingan pakan komersil 45% : 45% dan sisanya 10 % pakan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum peternakan kelinci di Jakarta
hijauan berupa sayuran (Gambar 1). Menurut petani bahwa pakan sangat penting untuk tujuan produksi daging (pertambahan bobot
memelihara
hidup), sedangkan untuk tujuan produksi bulu, pakan bukan yang utama tetapi lokasi/
kelinci sebagai hewan hias dengan strain
suhu udara, makin dingin makin halus
Umumnya
peternak
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 4 Nomor 2, 2014 | 3
Syamsu Bahar et. al.: Potensi dan Peluang Pengembangan Ternak Kelinci
bulunya. Jumlah anak sekelahiran berkisar 4-
menyerang ternak kelinci adalah scabies dan
6 ekor (Gambar 2). Anak kelinci yang baru lahir hanya menyusu pada induknya dan
diare. Penyakit scabies penanggulangannya dengan suntikan, sedangkan penyakit
mulai diberi pakan pellet pada umur sekitar 3 minggu sebanyak 25 g pagi dan 25 g sore.
diare/mencret sangat sering berakhir pada kematian ternak karena prosesnya yang
Pakan
yang
diberikan
berupa
sangat
cepat
sehingga
terlambat
hijauan yang diarit di sekitar kebun yaitu jenis oyot-oyotan (nama lokal). Pakan pellet
penanganannya. Penyakit lain yang menyebabkan kematian adalah sembelit,
hanya sekali-sekali saja diberikan disebabkan harganya mahal. Air minum tersedia
tanda-tanda klinis sulit mengeluarkan kotoran padat sehingga perut kelinci kembung dan
sepanjang hari, diselingi dengan pemberian kulit buah-buahan yang banyak airnya seperti
mati. Kematian anak pra sapih cukup tinggi (Gambar 4) sebagaimana dilaporkan oleh
kulit melon dan kulit pepaya. Kematian kelinci anak pra sapih
Udjianto dan Subandi (2000) bahwa hambatan yang dialami dalam pemeliharaan
lebih banyak disebabkan oleh kekurangan susu induk (Gambar 3). Selain itu, kematian
kelinci adalah kematian anak lepas sapih yang masih terlalu tinggi sekitar 50 %.
juga disebabkan oleh kelalaian seperti terjepit dalam kandang, kehujanan karena kandang
Potensi dan Peluang Pengembangannya
yang bocor, lingkungan bising yang menyebabkan anak kelinci kaget, dan saling tabrak dalam kandang. Adapun kematian yang disebabkan oleh penyakit yang sering
Kelinci adalah ternak herbivora prolifik yang dapat tumbuh dan berkembang biak cukup cepat hanya dengan penggunaan
Gambar 1. Komposisi pakan kelinci
Gambar 2. Jumlah anak sekelahiran
Gambar 3. Penyebab kematian anak pra sapih
Gambar 4. Tingkat kematian anak pra sapih
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 4 Nomor 2, 2014 | 4
Syamsu Bahar et. al.: Potensi dan Peluang Pengembangan Ternak Kelinci
pakan hijauan. Potensi kelinci untuk tumbuh
(ii) pengolahan daging, kulit-bulu dan pupuk
dan berkembang biak dengan cepat, telah secara umum diketahui. Namun hanya sedikit
(padat dan cair). Integrasi kelinci dengan tanaman pangan, utamanya hortikultura
yang menyadari bahwa dalam waktu 1 tahun, seekor induk kelinci mampu menghasilkan
menciptakan efisiensi yang lebih tinggi. Selain itu, ‘Kampoeng Kelinci’
paling tidak 40 kg bobot hidup pada pola
menerapkan
tradisional dan 120 kg pada pola intensif. Bandingkan dengan seekor induk sapi yang
peternak diharapkan menanam pohon/ sayuran yang dapat menaungi/menutupi atap
menghasilkan 200 kg, atau seekor induk domba 75 kg bobot hidup per tahun. Bila
kandang (pohon cherry atau labu siam) untuk memberi kesejukan pada kelinci,
disetarakan bahwa 1 ekor sapi bernilai Rp. 10 juta, induk kelinci Rp 300 ribu (1 sapi = 30
menghasilkan lebih banyak oksigen dan tentunya meningkatkan kesuburan tanah.
kelinci), maka dalam 1 tahun 1 ekor sapi menghasilkan 200 kg bobot hidup, sedangkan
Peternak juga diharapkan dapat menanam pekarangannya dengan berbagai tanaman
30 induk kelinci akan menghasilkan 1200 – 4800 kg.
sayuran yang sisanya dapat dimanfaatkan untuk kelinci. Konsep ini juga sangat sesuai
Dalam kecepatan pengembangan, 1 paket (20 induk + 3 pejantan) untuk 1 KK
dengan pengembangan program M-KRPL (Model Kawasan Rumah Pangan Lestari).
(keluarga), dalam 1 tahun, dengan 75 % hasil untuk pemelihara dan 25 % hasil untuk
Dengan konsep ‘Kampoeng Kelinci’, dapat dibangun: (i) 1 pusat pembibitan
digulirkan (oleh pemberi modal), dapat diperoleh 3 KK baru lainnya. Melalui
mandiri terisi 150 ekor induk dengan produksi 450 ekor per 2 bulan. Bila 50 %
pemeliharaan kelinci dapat diperoleh (i) daging halal dan sehat (tinggi protein, rendah
produk digunakan untuk membiayai aktivitas pembibitan dan 50 % untuk bantuan pada
kolesterol, rendah lemak jenuh), (ii) kulitbulu untuk kerajinan, (iii) kelinci hias untuk
peternak, maka dalam setahun akan muncul 40 peternak mandiri baru, dan (ii) 10 KK
pehobi, (iv) kelinci untuk percobaan di laboratorium dan (v) pupuk organik. Untuk
sebagai kooperator awal, dan 25 % dari produk yang dihasilkan digunakan untuk
semua produk, kecuali kulit-bulu, pasarnya sangat terbuka dan tingkat pasokan (supply)
membentuk sejumlah 18 kooperator baru per tahun. Artinya dari sejumlah dana tersebut,
masih lebih rendah daripada permintaan (demand).
dalam waktu 1,5 – 2 tahun, satu kampung dengan 60 - 80 KK dapat memelihara
Melalui pemeliharaan 20 ekor induk dan 3 ekor pejantan, dengan rataan pakan
masing-masing 15 ekor induk dan 2 pejantan.
hijauan sebanyak 20 kg ditambah dengan sedikit ampas tahu atau dedak (sekitar 1,5
pola
‘Go
Green’.
Setiap
IV. KESIMPULAN
kg/per hari) dan sedikit vitamin/mineral premix, dapat memenuhi konsumsi protein
Potensi dan peluang pengembangan
hewani keluarga dengan 4 anggota ditambah
ternak kelinci di wilayah perkotaan adalah
dengan tambahan pendapatan Rp 900.000,per bulan. Pendapatan akan bertambah bila
melalui suatu strategi perancangan model pengembangan usaha ternak kelinci berbasis
dilakukan (i) integrasi dengan sayuran/bunga
kelompok dengan berorientasi pada tekno-
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 4 Nomor 2, 2014 | 5
Syamsu Bahar et. al.: Potensi dan Peluang Pengembangan Ternak Kelinci
komersial melalui: “Kampoeng Industri Kelinci‘ : Agribisnis Ternak Kelinci Skala Mikro, Kecil Dan Menengah”. Model ini terdiri dari pola usaha skala mikro (< 20 induk), skala kecil (30 – 500 induk) dan/atau skala menengah (> 500 induk) ditambah dengan divisi pengolahan produk, baik daging, kulit maupun pupuk organik. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Cara Budidaya Kelinci dan Keuntungannya. http://budidayanews. blogspot.com/2011/08/keuntunganbudidaya-kelinci.html Anonim. 2010. Populasi Unggas dan Kelinci Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2010. BPS Jawa Tengah dan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah. Brahmantiyo, B dan Y. C. H. Raharjo. 2011. Peningkatan Produktivitas Kelinci Rex, Satin dan Persilangannya Melalui Seleksi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Juni 2011. Puslitbang Peternakan, Badan Liitbang Pertanian. Brahmantiyo, B., Y. C. Raharjo dan A. Priyanti. 2006. Introduksi Budidaya Kelinci Dengan Bunga Potong. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor 20016. Puslitbang Peternakan, Badan Liitbang Pertanian. Herawati, T., Y. C. Raharjo dan E. Juarini. 2011. Profil data dan analisa ekonomi usahatani kelinci di Magelang. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor 7-8 Juni 2011. Hlm 705-716. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Juarini, E., Sumanto dan B. Wibowo. 2006. Ketersediaan teknologi dalam menunjang pengembangan kelinci di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci. Bogor, 2006. Raharjo, Y. C. 2003. Peluang dan Prospek Agribisnis Kelinci Eksotik. Prosiding Seminar Nasional Prospek Ternak Kelinci Dalam Peningkatan Gizi Masyarakat Mendukung Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan. Universitas Pajajaran, Bandung. 25 Januari 2003. 18 pp Raharjo, Y. C dan B. Brahmantiyo 2002. Plasma nutfah kelinci sebagai sumber pangan hewani dan produk lain bermutu tinggi. Prosiding Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sajimin, Y. C. Raharjo dan N. D. Purwantari. 2006. Potensi kotoran kelinci sebagai pupuk organik dan pemanfaatannya pada tanaman pakan dan sayuran. Prosiding Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci. Bogor, 2006. Halaman 156-161. Udjianto, A. dan B. Subandi. 2006. Profil kelompok peternak kelinci AlHikmah Ciawi Kabupaten Bogor. Prosiding Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci. Bogor, 2006.
Buletin Pertanian Perkotaan Volume 4 Nomor 2, 2014 | 6