POSITIONING IKLAN TELEVISI MELALUI REPRODUKSI SOSIAL : KASUS IKLAN SAMPOERNA A MILD
MARWAN MAHMUDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Positioning Iklan Televisi melalui Reproduksi Sosial : Kasus Iklan Sampoerna A Mild adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2011
Marwan Mahmudi NIM: I353060181
ABSTRACT MARWAN MAHMUDI. Positioning of Television Advertising Through Social Reproduction : Sampoerna A Mild Case of Ad. Under direction of AIDA VITAYALA S. HUBEIS and MUSA HUBEIS Television ads contained the social reproduction of the symbol and certain ideas that typically existed in society. Television advertising of cigarettes Sampoerna A Mild presented a message by positioning its products through the establishment and determination of social reproduction were distinct and different from similar products. The purpose of this study was to find out more in-depth process of social reproduction made by the Sampoerna A Mild ad creator and process of formation and positioning determination through social reproduction in television advertising of cigarettes Sampoerna A Mild. The methodology of this study was a qualitative paradigm using a case study design. Research location in Jakarta. When the study was conducted from June 2008 to July 2009. The study's findings at the level of advertisers and creators of the ad showed the process of formation and positioning determination Sampoerna A Mild cigarettes through social reproduction in television advertising through four positioning schemes, namely : first, initial stage positioning scheme lifestyle a successful modern society and macho. Second, corporate image positioning transition scheme. Third, new attendance scheme positioned as low tar and nicotine products. Fourth, the scheme plenary position of trust given product. Formation process of positioning Sampoerna A Mild cigarettes made through 2 stages, namely : (a) rational process stage undertaken to bear the big idea concept. This phase included analysis of product data and characters of target audiences such as psychographics, demographics and lifestyle, (b) magic process stage carried out as the embodiment big idea into the idea that various kinds. The study's findings at the level of ad text indicated, the first version of the Man Waiting Stamp Seal on the ad implied unproductive bureaucracy and contradictory to the reform era. Second, the ad version of Flea On the Sofa having meaning seat House of Representatives who were old and fat, not productive, full of promises and corruption. The study's findings on the individual level showed different interpretations between the product with the text ad. Products and text ads were funnyinterpreted as a reminder that persiflage and A Mild were the cigarettes that contain nicotine and low tar. Formation of A Mild cigarettes positioning through television advertising was the result of social reproduction in the form of socio-political situation of contemporary nation constructed either by advertisers, ad creator, ad text, and individuals with over four positioning schemes. However, different interpretations occured in the individual level. Keywords: positioning, social reproduction, television advertising, advertiser, creator.
RINGKASAN MARWAN MAHMUDI. Positioning Iklan Televisi Melalui Reproduksi Sosial: Kasus Iklan Sampoerna A Mild. Dibimbing oleh AIDA VITAYALA S. HUBEIS dan MUSA HUBEIS. Iklan televisi memuat hasil reproduksi sosial dari simbol dan ide tertentu yang khas ada di masyarakat. Iklan televisi rokok Sampoerna A Mild menyajikan pesan dengan memposisikan produknya melalui pembentukkan dan penentuan reproduksi sosial yang khas dan berbeda dari produk sejenis. Tujuan penelitian adalah mengetahui lebih mendalam proses reproduksi sosial yang dilakukan pencipta iklan pada iklan Sampoerna A Mild dan proses pembentukkan dan penentuan positioning melalui reproduksi sosial dalam iklan televisi rokok Sampoerna A Mild. Desain penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui fenomena sosial tertentu, namun tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi terhadap data. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman menyeluruh dan tuntas. Penelitian dikonstruksi melalui makna yang tercermin dalam realitas. Penelitian dilakukan melalui klasifikasi mengenai gejala sosial yang dipermasalahkan. Penyusunan hasil penelitian tentang realitas sosial yang kompleks dalam bentuk tampilan kalimat bermakna dan mudah dimengerti. Penelitian dilakukan di Jakarta selama empatbelas (14) bulan, yaitu Juni 2008 – Juli 2009, dengan pengumpulan data ditekankan pada aspek kontekstual, yaitu proses pembentukan dan penentuan positioning iklan rokok Sampoerna A Mild. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan informan kunci, yaitu orang kompeten, terlibat dan mengetahui banyak informasi dalam membentuk dan menentukan positioning rokok Sampoerna A Mild melalui iklan televisi. Informan kunci penelitian adalah orang yang pernah terlibat langsung dalam tim perencanaan iklan televisi rokok Sampoerna A Mild. Wawancara mendalam juga dilakukan terhadap informan untuk mengetahui proses decoding terhadap teks iklan. Data sekunder didapatkan dari kumpulan dokumen-dokumen dan artikel yang berkaitan dan mendukung penelitian. Analisis data dialogik atau dialektikal dilakukan untuk mengembangkan terjadinya dialog dan dialektika antara peneliti dan sumber data. Analisis dilakukan secara komprehensif, kontekstual dan multilevel dengan menempatkan peneliti sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial. Hasil penelitian pada tingkatan pengiklan dan pencipta iklan menunjukkan proses pembentukkan dan penentuan positioning iklan rokok Sampoerna A Mild melalui reproduksi sosial dalam iklan televisi dengan empat (4) tahap skema positioning. Pertama, skema tahap awal memposisikan gaya hidup masyarakat moderen yang sukses dan macho. Rokok Sampoerna A Mild dikomunikasikan sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat modern yang sukses dan macho. Tidak ada gambaran keunggulan produk, tetapi lebih kepada citra yang disandangnya. Cara ini dilakukan karena keterbatasanketerbatasan peraturan periklanan untuk jenis rokok, yang tidak boleh memperlihatkan orang sedang merokok. Pendekatan rokok Sampoerna A Mild yang demikian ternyata tidak menciptakan perbedaan karakternya dengan rokok-rokok lainnya. Kedua adalah skema transisi memposisikan citra korporat. Skema ini dilakukan berdasarkan evaluasi pada skema pertama, yaitu melakukan perubahan positioning pada rokok Sampoerna A Mild. Kampanye bergerak kepada citra korporat dengan menampilkan serangkaian aktivitas kelompok Sampoerna yang sangat populer di mata masyarakat, yaitu foto kegiatan drum band oleh karyawan buruh pabrik Sampoerna yang mencapai sukses di Festival of Roses di Pasadena, Amerika Serikat. Terobosan ini
memperlihatkan upaya rokok Sampoerna A Mild untuk keluar dari pakem iklan-iklan pada umumnya, sehingga produksi dan penjualan rokok Sampoerna A Mild mulai bergerak naik. Ketiga, skema kehadiran baru memposisikan rokok Sampoerna A Mild sebagai produk rendah tar dan nikotin. Skema ini lahir karena adanya kesadaran baru dari manajemen pengelola bahwa konsumen dapat didekati dengan realitas keunikan dan keunggulan produk. Keunikan rokok Sampoerna A Mild adalah pada kadar tar dan nikotin yang sangat rendah. Keunikan inilah yang akhirnya membawa pada slogan komunikasi cukup panjang usianya, yaitu: "How Low Can You Go." Upaya komunikasi yang sakti ini, mulanya diragukan sebagian orang bahwa komunikasi semacam itu tidak akan nyambung. Pasar membuktikan bahwa dengan gebrakan serius dan menyeluruh, ternyata konsumen dapat terbius dan bahkan mencintai produk tersebut. Akhirnya terciptalah pasar baru yang tanpa terduga berkembang luar biasa. Kehadiran baru rokok Sampoerna A Mild bersamaan dengan gerakan hidup sehat, yaitu memilih rokok rendah kadar tar dan nikotinnya. Keempat, skema paripurna memposisikan kepercayaan yang diberikan produk. Posisi baru ini berkembang meyakinkan. Era kepercayaan terhadap nikotin dan tar yang rendah sudah tertancap di dalam benak khalayak. Rokok Sampoerna A Mild terus menyegarkan konsep komunikasinya yang tepat. Sejak awal tahun 1996 hadir konsep kampanye baru yang berusaha menyambung gaya hidup 'How Low Can You Go' lewat konsep "Bukan Basa Basi.” Dalam hal ini, rokok Sampoerna A Mild bermaksud menegaskan bahwa kepercayaan yang diberikan adalah bukan basa basi sebagai gambaran perilaku khalayak sasaran yang selalu berkomentar atau menyuarakan sejujurjujur hati nuraninya ketika melihat situasi yang ada di dunia ini, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Proses pembentukkan positioning rokok Sampoerna A Mild dilakukan melalui dua tahap, yaitu (a) tahap rational process hingga melahirkan konsep big idea. Tahap ini meliputi analisis data produk dan karakter target audiens seperti psikografis, demografis dan gaya hidup; (b) tahap magic process dilakukan sebagai pengejawantahan big idea menjadi ide bermacam-macam. Analisis pada tingkatan teks iklan menunjukkan, pertama pada iklan versi Man Waiting Stamp Seal mengandung makna birokrasi tidak produktif dan kontradiktif dengan era reformasi. Secara keseluruhan, tanda tersebut menghasilkan makna birokrasi warisan orde baru yang tidak produktif dan kontradiktif dengan era reformasi. Iklan tersebut memperlihatkan perhatian perusahaan terhadap kondisi sosial yang tengah terjadi. Pesan disampaikan melalui makna yang memang memiliki sistem tanda yang telah terbentuk. Sistem tanda yang dimaksud berkaitan dengan tipe pakaian. Dalam hubungan oposisi, mengenal pakaian yang sama warna, bahan, coraknya antara baju dan celana/rok yang biasa disebut seragam. Jenis pakaian yang berbeda warna, bahan, dan coraknya antara baju dan celana/rok, biasa disebut bukan seragam. Jadi secara oposisional, pakaian seragam memiliki makna ketika berhubungan dengan pakaian bukan seragam. Pakaian seragam biasa dikenakan oleh suatu kelompok, komunitas, atau lembaga. Iklan versi Flea on the Sofa mengandung makna kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tua dan gemuk, tidak produktif, penuh janji dan korupsi. Secara keseluruhan, tanda tersebut menghasilkan makna anggota DPR yang sudah tua-tua dan gemuk tidak produktif, penuh janji-janji, dan penyalahgunaan wewenang seperti korupsi. Iklan tersebut memperlihatkan perhatian perusahaan terhadap kondisi sosial politik yang tengah terjadi, berkaitan dengan pemilihan umum anggota DPR. Pesan disampaikan melalui makna yang memang memiliki sistem tanda yang telah terbentuk,
yaitu berkaitan dengan kursi, kutu busuk, bokong, tangan kanan beserta jari-jarinya. Dalam hubungan oposisi, mengenal kursi yang empuk bila diduduki, dengan sandaran kepala dan tangan yang juga empuk, serta berharga mahal, sehingga hanya pantas dimiliki orang-orang tertentu dan terhormat. Kursi jenis ini biasa disebut kursi sofa. Penelitian pada tingkatan individu menunjukkan interpretasi berbeda terhadap hubungan antara produk dengan teks iklan. Dari segi produk, rokok Sampoerna A Mild ditafsirkan bahwa rokok bukanlah barang baru. Rokok sudah ada sejak jaman dahulu kala. Dari segi teks iklan rokok Sampoerna A Mild di televisi ditafsir sebagai iklan yang bersifat lucu-lucuan. Iklan ataupun bentuk promosi yang menyertainya hanya bersifat pengingat saja bahwa ada rokok yang mengandung nikotin dan tar rendah. Namun positioning yang tertanam dalam benak adalah bahwa rokok Sampoerna A Mild adalah produk rokok mengandung nikotin dan tar rendah. Kata kunci : positioning, reproduksi sosial, iklan televisi, pengiklan, pencipta iklan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
POSITIONING IKLAN TELEVISI MELALUI REPRODUKSI SOSIAL : KASUS IKLAN SAMPOERNA A MILD
MARWAN MAHMUDI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Ir. Amiruddin Saleh, MS
Judul Tesis
: Positioning Iklan Televisi melalui Reproduksi Sosial : Kasus Iklan Sampoerna A Mild
Nama
: Marwan Mahmudi
NRP
: I353060181
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis (Ketua)
Prof. Dr. Ir. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA (Anggota)
Diketahui
Koordinator Mayor Komunikasi Pembanguan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : Kamis, 14 April 2011
Tanggal Lulus : 25 Mei 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga karya ilmiah yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2008 dengan judul Positioning Iklan Televisi Melalui Reproduksi Sosial: Kasus Iklan Sampoerna A Mild dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof.Dr.Ir.Hj. Aida Vitayala S. Hubeis dan Bapak Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA yang telah banyak memberi bimbingan dan saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr.H. Udi Rusadi dan Alm. Bapak Drs.H. Pudji Utomo, MS, yang selalu mendukung dan berbagi pengetahuan selama studi. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Teguh Handoko yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada alm. Ayah dan Ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
April 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 1967 dari ayah H. Dana Wulung dan ibu Hj. Oemi Atiyah N.S. Penulis merupakan putra ketiga dari enam
bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hubungan Masyarakat, Fakultas Ilmu Komunikasi, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP Jakarta), lulus pada tahun 1992. Pada tahun 2006, penulis berkesempatan melanjutkan studi Magister di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Penulis mengabdi di almamater sebagai Dosen IISIP Jakarta sejak tahun 1992 hingga 2006. Pada tahun 2009 hingga sekarang penulis bekerja sebagai Dosen homebase di Program Studi Public Relations, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Mercubuana Jakarta. Selama berkecimpung di dunia akademik, penulis bertanggungjawab dalam mengampu matakuliah : Teori Komunikasi, Komunikasi Massa, Metode Penelitian Komunikasi, Manajemen Public Relations dan Stakeholder Relations.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………………..
xiv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….
xv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………..
xvi
PENDAHULUAN………………………………………………….........
1
1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………............. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian……………………………............... 1.3 Tujuan Penelitian................................................................................
1 6 7
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………
8
2.1 Media Massa……………………………………………………....... 2.2 Televisi sebagai Media Komunikasi Massa………………............... 2.2.1 Format Siaran Televisi.......................................................... 2.2.2 Kekuatan dan Kelemahan Televisi....................................... 2.3 Komunikasi Pemasaran...................................................................... 2.4 Periklanan........................................................................................... 2.4.1 Pengiklan............................................................................... 2.4.2 Produk .................................................................................. 2.4.3 Pencipta Iklan........................................................................ 2.4.4 Iklan ...................................................................................... 2.4.5 Iklan Televisi......................................................................... 2.4.6 Iklan Rokok di Televisi......................................................... 2.5 Pembentukan Positioning Produk pada Iklan..................................... 2.6 Reproduksi Sosial dalam Membentuk Positioning pada Iklan Televisi............................................................................................... 2.6.1 Proses Konstruksi Sosial dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi......................................................................... 2.6.2 Proses Interaksi Simbolik dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi......................................................................... 2.6.3 Proses Semiosis dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi..................................................................................
8 9 10 11 12 13 15 15 18 19 22 25 26
METODOLOGI PENELITIAN...............................................................
38
3.1 3.2 3.3 3.4
Kerangka Pikir Penelitian.................................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................. Pengumpulan Data............................................................................. Pengolahan dan Analisis Data...........................................................
38 40 40 44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 4.1 Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Pengiklan dan Pencipta Iklan. 4.1.1 Versi Pengiklan....................................................................... 4.1.2 Versi Pencipta Iklan................................................................ 4.2 Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Teks Iklan Rokok Sampoerna A Mild di Televisi............................................................................... 4.2.1 Positioning Sampoerna A Mild melalui Iklan Televisi............ 4.2.2 Tema dan Timing Iklan Televisi Sampoerna A Mild.............. 4.2.3 Analisis Teks Iklan Sampoerna A Mild versi Televisi……… 4.2.3.1 Iklan Sampoerna A Mild Versi Man Waiting Stamp
46 46 46 53
I.
II.
III.
29 31 32 35
60 61 62 64
Seal………………………………………………..… 4.2.3.2 Iklan Sampoerna A Mild Versi Flea on the Sofa……. 4.3 Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Individu...................................
64 67 74
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 1. Kesimpulan ........................................................................................... 2. Saran .....................................................................................................
79 79 79
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
80
LAMPIRAN.............................................................................................
84
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Karakteristik informan........................................................................
43
2.
Positioning rokok Sampoerna A Mild melalui iklan televisi..............
61
3.
Keterkaitan antara tema dan timing iklan Sampoerna A Mild versi televisi.................................................................................................
63
Tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp Seal....................................................
64
Tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The Sofa................................................................
67
6.
Kegunaan tubuh manusia....................................................................
69
7.
Kode-kode pada iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp Seal dan Flea on the Sofa...........................................
72
8.
Tafsir informan terhadap iklan televisi Sampoerna A Mild...............
76
9.
Daftar iklan televisi Sampoerna A Mild dari Agustus 2000 hingga Maret 2009.......................................................................................
98
4.
5.
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Model proses periklanan …………………………………………..
14
2. Proses semiosis menurut Peirce yang dikembangkan oleh Budiman...
36
3. Diagram alur proses penentuan dan pembentukan positioning iklan televisi melalui reproduksi sosial.........................................................
40
4. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap awal.....................
47
5. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap perubahan………
48
6. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap kehadiran baru…
49
7. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap paripurna……….
51
8. Proses perencanaan periklanan suatu produk…………………………
53
9. Scene 1 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp Seal………............................................................................................
65
10. Scene 2 dan 3 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp Seal.............................................................................................
65
11. Scene 4 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp Seal………............................................................................................
66
12. Scene 1 dan 2 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The Sofa........................................................................................................
68
13. Scene 3 dan 4 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The Sofa........................................................................................................
68
14. Scene 5 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The Sofa........................................................................................................
69
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
Protokol penelitian…………………...………………………………
84
2.
Data sekunder……………………………………………………….
85
3.
Transkrip wawancara dengan Informan Kunci………………..…….
86
4.
Transkrip wawancara dengan Informan Kunci ……………..………
88
5.
Transkrip wawancara dengan Informan Kunci ……………………..
94
6.
Daftar iklan televisi Sampoerna A Mild…………………………….
98
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi informasi berdampak pada perkembangan media massa yang begitu cepat. Kemajuan tersebut tidak dapat dipungkiri membawa dampak terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat. Beragamnya media massa yang ada telah berperan besar dalam membawa masyarakat memasuki era informasi. Dari berbagai media massa yang ada, televisi masih dianggap sebagai media yang paling berpengaruh menimbulkan terpaan antar rumah tangga, bahkan antar anggota dalam satu rumah. Kehadiran televisi dalam kehidupan manusia memperlihatkan suatu peradaban yang lebih maju, khususnya dalam proses komunikasi dan informasi yang bersifat massa. Televisi adalah media massa yang muncul belakangan dibanding media cetak dan radio. Kenyataannya, televisi merupakan media massa yang paling memberikan nilai yang luar biasa dalam sisi pergaulan hidup manusia hingga saat ini. Media televisi memiliki daya tarik yang sedemikian besarnya. Daya tarik televisi mampu merubah pola kehidupan rutinitas manusia. Bahkan televisi tetap tidak dapat tersaingi oleh kehadiran media interaktif terbarukan, yaitu Internet. Di Indonesia, populasi pesawat televisi tidak kurang dari 40 juta unit dengan pemirsa lebih dari 200 juta orang, jauh lebih banyak dibandingkan dengan komputer yang hanya sekitar 5,9 juta unit (Dharmanto, 2007). Media televisi tumbuh dan berkembang menjadi panutan baru bagi kehidupan manusia. Pada akhirnya, media televisi telah berwujud menjadi alat ampuh bagi kehidupan manusia dalam pencapaian integrasi, baik untuk kepentingan politik maupun perdagangan, bahkan untuk melakukan perubahan ideologi dan kebudayaan pada sebuah sistem sosial tertentu yang sudah ada sejak lama. Kehebatan televisi sebagai saluran komunikasi massa nyaris tidak dapat dipungkiri. Media televisi lebih berhasil dalam memikat lebih banyak khalayak dibandingkan dengan media massa lainnya. Siaran televisi tersaji secara audiovisual dan moving, sehingga mampu untuk memperlihatkan, mendramatisasi dan mempopulerkan potongan-potongan kecil, serta fragmen kultural dari informasi. Kemampuan televisi menguasai jarak secara geografis dan sosiologis memberi peluang kepada khalayak untuk dapat menikmati gambar dan suara yang nyata atas suatu kejadian di belahan bumi lain. Selain itu, siaran televisi memiliki kemampuan dalam menguasai ruang dan waktu, sehingga dapat menjangkau khalayak massa yang cukup besar. Kelemahan televisi sebagai media massa adalah bersifat persinggahan pesan, sehingga isi pesannya sulit diingat secara maksimal oleh pemirsanya. Media televisi
terikat oleh waktu tayang program. Untuk mengatasinya, produser televisi biasanya memberikan penekanan terhadap suatu program tertentu dengan menayang-ulang beberapa kali pada waktu tayang lainnya. Selain itu, siaran televisi memiliki tingkat kerumitan tersendiri dibandingkan dengan media cetak dan radio. Hal ini berkaitan dengan penguasaan teknologi hingga keahlian dalam membuat program-progam acaranya. Seperti halnya media massa lainnya, televisi berperan sebagai sarana informasi, hiburan, kontrol sosial, dan penghubung wilayah secara geografis. Siaran televisi tidak sekedar memperlancar perubahan, mencegah perubahan atau bahkan tidak menimbulkan perubahan sama sekali. Dampak siaran televisi terhadap khalayak dapat bersifat kognisi, yaitu berkenaan dengan pengetahuan dan opini, serta afeksi yang berkaitan dengan sikap dan perasaan, tindakan atau perubahan perilaku (McQuail, 1991). Siaran televisi yang tersaji secara audiovisual menjadikan televisi sangat dekat dengan kehidupan khalayaknya, misalnya sinetron, berita, infotainment, film, iklan, dan sebagainya. Siaran televisi tersebut hadir di ruang-ruang keluarga sebagai wujud kontribusi yang besar terhadap kebutuhan informasi, hiburan maupun pendidikan. Khalayak melakukan penafsiran yang berbeda-beda dan berperilaku yang beraneka ragam ketika menyaksikan siaran televisi. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan khalayak terhadap isi siaran televisi berkaitan erat dengan status sosial ekonomi, situasi dan kondisi psikologisnya saat menonton televisi. Salah satu siaran televisi juga berusaha memikat khalayaknya adalah iklan. Tayangan iklan memberi kontribusi cukup besar bagi keberlangsungan siaran televisi. Stasiun televisi berlomba-lomba dalam menyiarkan program yang mampu memikat khalayak sebanyak-banyaknya. Hal tersebut dilakukan dengan harapan banyaknya pengiklan yang beriklan di stasiun televisi tersebut. Perkembangan dalam dunia bisnis saat ini sejalan dengan semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat terhadap barang konsumsi, baik produk maupun jasa. Hal tersebut membuat produsen berlomba-lomba untuk memproduksikan produk maupun jasa kepada masyarakat. Produk maupun jasa tersebut diperkenalkan kepada masyarakat melalui suatu strategi yang dikenal dengan komunikasi pemasaran. Persaingan dalam dunia
komunikasi
pemasaran
semakin
ketat.
Salah
satunya
bagaimana
mengkomunikasikan produk maupun jasa melalui periklanan. Penayangan iklan di televisi dapat dikatakan sebagai cara cepat dan efektif dalam membawa perubahan di masyarakat di mana dilakukan melalui penggunaan teknologi
berbasis komunikasi. Dalam hal ini, televisi berperan sebagai agen pembangunan mampu menciptakan citra baru, mobilitas psikis, dan empati dalam pemaksimalan penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat (Dilla, 2007). Iklan merupakan bentuk penyampaian pesan dari suatu produk atau merek kepada khalayak. Secara umum, proses penciptaan iklan berawal dari inisiatif pengiklan. Pengiklan adalah pemilik atau produsen dari produk atau merek tersebut. Pengiklan membayar suatu biro iklan untuk menciptakan pesan iklan. Melalui proses perencanaan periklanan, selain menciptakan iklan, biro iklan juga mengkampanyekan pesan produsen tersebut kepada khalayak. Biro iklan yang disewa oleh pengiklan disebut sebagai pencipta iklan. Iklan disebarkan kepada khalayak melalui berbagai media massa. Salah satunya adalah melalui media televisi. Pada iklan televisi, gambar yang tersaji bersifat audiovisual dan moving. Pesan yang terkandung dalam iklan televisi memiliki kemampuan untuk menarik perhatian khalayak pada simbol atau ide-ide tertentu. Langsung maupun tidak langsung, iklan televisi harus mampu mempersuasif khalayak melalui pesan-pesan komunikasinya dalam bentuk simbol dari produk atau jasa yang dipromosikan. Selain itu, iklan televisi harus memiliki kemampuan daya pikat dan rangsangan yang kuat agar khalayak sering teringat dan membayangkannya. Pada dasarnya simbol atau ide tersebut adalah produk sosial yang bersifat khusus yang sudah ada di masyarakat. Produk sosial tersebut, antara lain kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, maupun hasil karya nyata yang ada di masyarakat. Oleh pencipta iklan, produk sosial tersebut diinternalisasi secara subyektif dan kemudian dituangkan ke dalam sebuah iklan. Simbol atau ide tersebut dikonstruksi sedemikian rupa dengan harapan dapat membentuk citra bagi produk maupun jasa yang diiklankan. Simbol atau ide tertentu yang tertuang dalam sebuah iklan televisi berbentuk verbal dan nonverbal. Proses demikian disebut Bungin (2001) sebagai hasil reproduksi sosial pada iklan di televisi. Banyaknya iklan produk dan jasa di televisi, terutama iklan sejenis yang menyebabkan pesan dalam sebuah iklan di televisi harus dapat memberikan daya tarik dan citra tersendiri bagi khalayaknya. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi kesesuaian antara isi pesan yang terkandung dalam iklan dengan yang dipersepsikan oleh khalayak, sehingga pesan
tersebut mampu memposisikan merek dari produk atau jasa yang
diiklankan ke dalam benak khalayak. Contoh persaingan iklan yang semakin keras dalam merebut sepotong kavling dalam benak konsumen adalah iklan rokok di televisi.
Konsumen dalam menghadapi keterdedahan tersebut mengalami pertarungan yang hebat dalam
benaknya.
Para produsen rokok melalui pencipta
iklannya berusaha
memposisikan merek produknya agar mudah dan selalu diingat, serta diprioritaskan untuk dibeli setiap kali dibutuhkan konsumen. Rokok merupakan salah satu produk yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, baik pria dan wanita, termasuk yang berusia remaja bahkan anak-anak. Data pada tahun 2005 menunjukkan produksi rokok nasional mencapai 202,3 milyar batang (Kompas, 2006). Pada tahun 2006 produk rokok dengan kategori mild atau low tar low nicotin, sebanyak 17,2 persen dikuasai oleh produsen rokok HM Sampoerna (Kompas, 2006). Meningkatnya jumlah produk rokok sejalan dengan bertambahnya jumlah perokok, khususnya pemula. Gencarnya promo dan iklan di berbagai media massa disinyalir memberi dampak terhadap lahirnya perokok pemula (Kompas, 2008). Menurut riset Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2006, sebanyak 9.230 iklan rokok terdapat di televisi, 1.780 iklan di media cetak dan 3.239 iklan di media luar ruang seperti umbul-umbul, papan reklame dan baliho (Kompas, 2007b). Data tersebut menunjukkan bahwa televisi merupakan media yang menjadi primadona bagi pengiklan dan pencipta iklan rokok. Pemprov DKI Jakarta, melalui Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005, sejak tahun 2006 telah memberlakukan pelarangan merokok di kawasan-kawasan tertentu di wilayah DKI Jakarta. Untuk kepentingan kampanye periklanan, Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 81/1999 tentang pembatasan iklan rokok di media massa. Misalnya, karakter produk dalam iklan rokok tidak boleh divisualkan secara terang-terangan dalam iklan. Bagi kreator iklan, diduga hal tersebut tentu membatasi gerak kreativitasnya, namun kenyataannya justru menciptakan karya-karya kreatif bagi iklan rokok tersebut. Seperti yang disebutkan Majalah Cakram (2002) bahwa dalam perkembangannya, aturan ketat tersebut tidak membuat gagasan para pembuat iklan rokok menjadi tumpul. Iklan rokok Sampoerna A Mild di televisi terbilang fenomenal dalam menampilkan big idea konsepnya. Penampilan konsep iklan tersebut berbeda dengan iklan rokok pesaingnya. Misalnya, iklan rokok Marlboro dengan menampilkan kejantanan, iklan rokok Djarum 76 dengan menampilkan cinta dan kasih sayang, iklan rokok Pall Mall dengan menampilkan gaya hidup, iklan rokok Gudang Garam dengan menampilkan kejantanan dan keberanian laki-laki.
Majalah Cakram (2002) mengungkapkan bahwa iklan Sampoerna A Mild mendobrak tradisi lama iklan-iklan rokok yang saat itu di tengah persaingan ketat rokok rendah tar dan rendah nikotin. Sampoerna A Mild tetap memantapkan posisinya sebagai pemimpin pasar. Positioning yang ditampilkan Sampoerna A Mild adalah rokok rendah tar dan nikotin, sehingga perokok dapat tetap merokok tanpa terlalu banyak diracuni oleh nikotin. Ide atau gagasan dasar dalam iklan rokok tersebut melahirkan berbagai positioning statement yang khas, seperti How Low Can You Go, Bukan Basa Basi dan Tanya Kenapa ? Dalam ilustrasi iklannya, Sampoerna A Mild selalu menampilkan simbol dan ide realitas sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Pada versi awal dengan headline ”How Low Can You Go?”, pesan dalam iklan Sampoerna A Mild diposisikan sebagai pelopor rokok pertama di Indonesia yang memiliki kadar tar dan nikotin rendah. Iklan versi ini muncul di televisi, karena adanya anggapan pada sebagian masyarakat bahwa masyarakat semakin peduli untuk hidup sehat, namun tetap dapat merokok tanpa terlalu banyak diracuni oleh nikotin. Pada versi lainnya, yaitu versi kursi dengan headline: ”Kalo Nggak Dibersihin Kutu Busuknya Nggak Bakalan Pergi!”. Iklan tersebut muncul di televisi pada tahun 2004, ketika bangsa sedang menikmati pesta demokrasi, yaitu pemilihan umum anggota legislatif. Adakalanya pula, Sampoerna A Mild menampilkan versi animasi dengan headline: ”Others Can Only Follow”. Versi tersebut menggambarkan sesosok alien yang sedang membawa bendera dan bergerak lincah, kemudian alien tersebut diikuti oleh alien-alien lain yang berbaris di belakang dan bergerak lamban. Tampaknya iklan versi animasi tersebut muncul dengan maksud untuk memperkuat posisi produk yang sudah tertanam di benak khalayak. Layaknya persaingan dalam dunia bisnis, terikat hukum ekonomi dan hukum pasar yang tidak lepas dari rating dan sebagai market leader bagi produk sejenis. Segala sesuatu yang terjadi saat ini bersifat sesaat. Hukum pasar terjadi. Ketika muncul produk lain dengan positioning yang lebih kuat, maka produk akan ditinggalkan konsumennya, atau setidak-tidaknya jumlah konsumen berkurang. Meskipun hal tersebut adalah wajar dalam persaingan bisnis, namun bukan yang diharapkan oleh produsen. Selanjutnya, perlu diketahui lebih mendalam bagaimana pengiklan melalui pencipta iklan mempertahankan posisi produk Sampoerna A Mild melalui kampanye periklanan di media massa, khususnya iklan di televisi. Untuk itu perlu dilakukan, suatu penelitian khusus mengenai bagaimana pencipta iklan melakukan proses reproduksi
sosial ke dalam iklan Sampoerna A Mild dan bagaimana proses pembentukan dan penentuan positioning iklan televisi melalui reproduksi sosial tersebut pada iklan Sampoerna A Mild. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian Televisi merupakan salah satu media massa yang paling banyak menarik minat pengiklan untuk beriklan. Pada iklan televisi, gambar yang tersaji bersifat audiovisual dan moving, sehingga mampu membangkitkan daya pikat dan rangsangan kuat. Artinya, khalayak akan sering teringat dan membayangkannya. Iklan televisi memuat hasil reproduksi sosial dari simbol dan ide tertentu yang bersifat khusus yang ada di masyarakat. Simbol dan ide tersebut merupakan produk sosial seperti kepercayaan, nilai, sikap, maupun hasil karya nyata yang ada di masyarakat. Pencipta iklan melakukan reproduksi dan internalisasi terhadap produk sosial tersebut dalam meramu pesan iklan. Reproduksi sosial yang tertuang dalam iklan televisi bersifat subyektif pencipta iklan. Penciptaan iklan dalam hal ini adalah peran besar copywriter dan visualizer yang mengkonstruksi simbol atau ide khusus tersebut ke dalam sebuah iklan. Rokok Sampoerna A Mild bukan satu-satunya produk rokok yang menggunakan televisi untuk beriklan. Hampir kebanyakan iklan rokok seperti iklan rokok Djarum, iklan rokok Marlboro, iklan rokok Gudang Garam, dan sebagainya, juga beriklan dengan menggunakan media yang sama. Hal tersebut akan mempengaruhi konsumen dalam menentukan pilihan-pilihan terhadap suatu produk. Setiap pesan dalam iklan rokok menyajikan positioning yang khas dan membedakan dengan produk sejenis lainnya. Tujuannya adalah agar khalayak sasaran dapat membedakan produknya dengan produk sejenis lainnya. Iklan rokok Sampoerna A Mild harus menyajikan pesan dengan cara memposisikan produknya melalui pembentukan reproduksi sosial yang khas dan berbeda pula. Positioning produk yang sudah tertanam dan tercengkeram kuat dalam benak konsumen akan membuat konsumen tidak perlu berpikir-pikir lagi dalam menjatuhkan pilihannya. Dalam hal ini, konsumen akan menganggap keputusan yang dipilihnya adalah tepat. Kemenangan produk di pasar dapat ditentukan oleh keseringan konsumen terdedah oleh produk tersebut dan kepercayaan maupun persepsinya terhadap produk tersebut. Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan yang diteliti adalah :
1. Bagaimana proses reproduksi sosial yang dilakukan pencipta iklan pada iklan Sampoerna A Mild ? 2. Bagaimana proses pembentukan dan penentuan positioning iklan televisi melalui reproduksi sosial pada iklan Sampoerna A Mild ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih mendalam : 1. Proses reproduksi sosial yang dilakukan pencipta iklan pada iklan Sampoerna A Mild. 2. Proses pembentukan positioning iklan televisi melalui reproduksi sosial pada iklan Sampoerna A Mild.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Media Massa Media massa merupakan kependekan dari istilah media komunikasi massa, yang secara sederhana dapat memberikan pengertian sebagai alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan serentak kepada khalayak banyak yang berbeda-beda dan tersebar di berbagai tempat (Effendy, 1993; Wright, 1988). Media massa sering dibedakan menjadi media massa tampak (visual), dan media massa berbentuk dengar (audio), dan media massa berbentuk gabungan tampak dengan dengar (audio-visual). Media massa berbentuk tampak umumnya dikerjakan dengan
mesin cetak, maka disebut sebagai media massa cetak atau media cetak. Media cetak meliputi surat kabar, brosur, selebaran, majalah, buletin, tabloid, dan buku. Media massa berbentuk dengar (audio) meliputi semua alat mekanis yang menghasilkan lambang suara termasuk musik, seperti radio dan kaset. Media massa berbentuk gabungan tampak dan dengar (audio-visual) meliputi televisi, kaset musik video dan film. Radio, televisi, dan film pada dasarnya bekerja dengan elektronik sehingga disebut media elektronik (Wright, 1988; Effendy, 1993; Straubhaar and LaRose, 2006). Media massa memiliki karakter berbeda satu sama lain, dengan kelebihan dan kekurangannya. Misalnya karakter televisi berbeda dengan radio, surat kabar, sebagai media konvensional. Sementara saat ini dalam era globalisasi lompatan dan kemajuan teknologi tidak diduga demikian cepatnya. Misalnya komputer menghasilkan medium internet yang dianggap sebagai medium interaktif dengan sebutan blog (weblog) dan vlog (videolog) (Straubhaar and LaRose, 2006). Selain itu, teknologi seluler sudah berkembang tak kalah cepatnya misalnya dengan adanya fasilitas sms dan video streaming. Media atau dalam istilah bahasa Inggris disebut Channel adalah alat atau cara di mana pesan disampaikan dari komunikator ke komunikan (Infante et al. 1993). Masih menurut Infante et al. (1993) bahwa Berlo dalam model Source, Message, Channel dan Receiver (SMCR) menempatkan lima panca indera manusia sebagai media (channel). Bahkan Mcluhan dalam Littlejohn (1989) mengatakan bahwa media adalah pesan itu sendiri. Media
massa,
menurut
McQuail
(1989)
memiliki
peran
mediasi
(penengah/penghubung) antara realitas sosial yang obyektif dengan pengalaman pribadi. Sedangkan menurut Littlejohn (1989), media are organizations that distribute culture products or messages that affect and reflect the culture of society. Media massa juga memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang obyektif dengan pengalaman pribadi khalayaknya, di mana media massa menyalurkan produk atau pesan budaya sebagai refleksi budaya masyarakatnya. Dalam dunia periklanan terkini, Kasali (1992) dan Stout dalam Straubhhar and LaRose (2006) membedakan media ke dalam tiga (3) kelompok, yaitu : a. Media lini atas terdiri dari iklan-iklan yang dimuat dalam media cetak, media elektronik (radio, televisi dan bioskop), serta media luar ruang (papan reklame dan angkutan).
b. Media lini bawah terdiri dari seluruh media selain media di atas, seperti direct mail, pameran, point of sale display material, kalender, agenda, gantungan kunci atau tanda mata. c. Media interaktif, yaitu internet. Menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006), pengiklan melalui pencipta iklan dalam memilih media untuk beriklan berdasarkan pada apa yang ingin dicapai, jenis pesan atau informasi yang ingin dikomunikasikan dan biaya yang dikeluarkan. Pengiklan berusaha mencapai sejumlah besar khalayak dengan biaya sedikit mungkin. Biaya untuk penggunaan media bergantung pada beberapa faktor, seperti ukuran khalayak, komposisi khalayak (umur, penghasilan, pendidikan, dan sebagainya), dan prestise dari media itu sendiri.
2.2 Televisi sebagai Media Komunikasi Massa Jenis media yang dipakai dalam berkomunikasi dapat mempengaruhi persepsi dan daya serap pesan bagi penerima. Misalnya televisi memiliki karakteristik yang sarat dengan teknologi audio dan visual. Pada saat menonton acara televisi, secara disadari atau tidak, digunakan kelima panca indera (melihat, mendengar, menyentuh, membaui dan merasa) secara bersamaan. Dalam konteks mediasi media massa,
McQuail (1989) menganggap televisi
sebagai medium yang mampu menyajikan realitas seolah-olah nyata, padahal semu bagi pemirsa di ruang-ruang keluarga. Peran televisi seperti ini disebut dengan istilah pseudo reality. Selain itu, karena kemampuan audiovisual yang menarik perhatian individu, maka siaran televisi mampu menjangkau khalayak yang lebih banyak dibandingkan media massa lainnya. Televisi juga berfungsi sebagai pendistribusi bahkan memediasi realitas sosial dengan pengalaman khalayaknya berupa produk atau pesan-pesan budaya yang sebenarnya merefleksikan budaya masyarakat itu sendiri. Selain itu, televisi berfungsi untuk menyebarkan informasi, baik informatif maupun sosial, bahkan sebagai sumber inspirasi tentang bagaimana memecahkan masalah atau mengambil keputusan. Hal ini sejalan dengan paradigma media massa yang menyatakan bahwa media massa berfungsi sebagai agen pembangunan (agent of development), dalam memberikan informasi, motivasi dan menggerakkan masyarakat, agar tidak hanya mengerti arti pembangunan, namun juga mendukung dan berpartisipasi dalam proses pembangunan
yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, televisi hampir tidak memperoleh tandingan, antara lain karena efektivitas penyebarannya, pesona gambar dan suaranya serta kemampuan komunikatif yang sempurna (Wright, 1988; McQuail, 1989;
Effendy,
1993). 2.2.1 Format Siaran Televisi Televisi merupakan media massa yang memadu audio sebagai segi penyiaran suaranya dan visual sebagai segi gambar bergeraknya (moving images). Luasnya masyarakat yang dapat dijangkau oleh televisi kadang-kadang dapat menyebabkan penyiaran bersifat umum dan menjemukan. Oleh karena itu segmentasi pasar sebuah stasiun terbagi-bagi menurut rubrik yang disiarkan. Pemirsa terbagi-bagi pada berbagai jenis rubrik yang disukai yang dikaitkan dengan jam siarannya. Misalnya, acara film anak-anak pada pagi dan petang hari menjangkau khalayak anak-anak. Acara memasak, keluarga, film drama dan senam menjangkau ibu-ibu rumah tangga. Acara diskusi pasar modal, siaran berita, serta film-film detektif menjangkau para pria berpendidikan (Kasali, 1992). Format siaran televisi telah dibuat sedemikian rupa seperti format siaran radio yang membedakan pemirsa satu stasiun dengan pemirsa stasiun lainnya. Misalnya, ada stasiun yang sepanjang hari hanya menyiarkan berita tanpa diselingi oleh film-film cerita, ada yang siarannya sepanjang hari didominasi bermacam-macam kuis, dan ada pula yang hanya film cerita saja atau siaran olah raga. Masing-masing format siaran yang spesifik ini sangat membantu pengiklan dalam melakukan kampanye iklan (Kasali, 1992). 2.2.2 Kekuatan dan Kelemahan Televisi Kasali (1992) menguraikan kekuatan dan kelemahan televisi sebagai medium iklan sebagai berikut : a. Kekuatan Televisi 1) Efisiensi biaya. Banyak pengiklan memandang televisi sebagai media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya. Salah satu keunggulannya adalah kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas. Jutaan orang menonton televisi secara teratur. Televisi menjangkau khalayak sasaran yang dapat dicapai oleh media lainnya, tetapi juga khalayak yang tidak terjangkau oleh media cetak. Jangkauan massal ini menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau setiap kepala.
2) Dampak kuat. Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada sekaligus dua indera, seperti penglihatan dan pendengaran. Televisi juga mampu menciptakan kelenturan bagi pekerjaan-pekerjaan kreatif dengan mengombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna, drama dan humor. 3) Pengaruh kuat. Televisi mempunyai kemampuan kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan masyarakat meluangkan waktunya di muka televisi, sebagai sumber berita, hiburan dan sarana pendidikan. Kebanyakan calon pembeli lebih ”percaya” pada perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi daripada yang tidak sama sekali yang merupakan cerminan bonafiditas pengiklan. b. Kelemahan Televisi 1) Biaya besar. Kelemahan yang paling serius dalam beriklan di televisi adalah biaya absolut yang sangat ekstrem untuk memproduksi dan menyiarkan siaran komersial. Sekalipun biaya untuk menjangkau setiap kepala adalah rendah, biaya absolut dapat membatasi niat pengiklan. Biaya produksi, termasuk biaya pembuatan film dan honorarium artis yang terlibat, dapat menghabiskan jutaan rupiah. Belum lagi penyiarannya yang harus diulang-ulang pada jam-jam siaran utama. 2) Khalayak tidak selektif. Sekalipun berbagai teknologi telah diperkenalkan untuk menjangkau sasaran yang lebih selektif, televisi tetap sebuah media yang tidak selektif, karena segmentasinya tidak setajam surat kabar atau majalah. Jadi, iklan-iklan yang disiarkan di televisi memiliki kemungkinan menjangkau pasar tidak tepat. 3) Kesulitan teknis. Media ini juga tidak luwes dalam pengaturan teknis. Iklan-iklan yang telah dibuat tidak dapat diubah begitu saja jadwalnya, apalagi menjelang jam-jam siarannya.
2.3 Komunikasi Pemasaran Untuk memenangkan persaingan bisnis yang semakin ketat, pada tahun 90-an mulai diperkenalkan konsep yang memadukan strategi komunikasi dan pemasaran, sehingga memunculkan istilah komunikasi pemasaran. Harris (1991) memunculkan istilah marketing public relations (MPR). Jefkins (1988) menyebutnya marketing communication. Kasali (1992) menegaskan bahwa perpaduan konsep tersebut disebut
sebagai bauran komunikasi pemasaran (marketing communication mix). Sedangkan Temporal (2001) dan Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) sepakat dengan istilah komunikasi pemasaran terpadu (integrated marketing communication). Pada dasarnya istilah bagi konsep komunikasi pemasaran berlandaskan pada dua konsep, yaitu komunikasi dan pemasaran. Strategi komunikasi menekankan pada pengelolaan komunikasi yang bersifat informatif dan persuasif serta kesan-kesan konsumen terhadap perusahaan dan produknya (Harris, 1991). Menurut Rachmadi (1992) komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi yang dapat dipercaya untuk menciptakan kemauan baik. Sementara strategi pemasaran menurut Harris (1991) menekankan pada upaya merangsang pembelian dan kepuasan konsumen. Jefkins (2004) menyatakan bahwa kegiatan pemasaran merupakan proses
manajemen yang
bertanggung jawab mengenali, mengantisipasi dan memuaskan keinginan atau kebutuhan konsumen demi meraih laba. Jefkins (1988) menyebutkan komunikasi pemasaran aims at creating a favorable marketing situation in advance of selling, distribution, advertising and sales promotion. Menurut Temporal (2001) untuk pembangunan suatu merek diperlukan komunikasi yang bersifat strategis dalam mengkomunikasikan nilai-nilai dan kepribadian merek, yaitu strategi komunikasi pemasaran terpadu. Suatu strategi komunikasi total merupakan strategi yang sangat penting dalam pembangunan merek, karena strategi ini menentukan keefektivan penciptaan citra. Komunikasi-komunikasi mengutarakan janji merek tersebut yang akan dialami oleh para konsumen. Nada dan gaya komunikasi mencerminkan kepribadian merek dan pemilihan media mempengaruhi penetrasi segmennya. Menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) integrated marketing communication assures that the use of all commercial media and messages is clear, consistent, and achieves impact. Jadi dapat dikatakan bahwa komunikasi pemasaran merupakan suatu strategi dalam membangun produk atau merek dengan cara mengkomunikasikan nilai-nilai dan kepribadian merek melalui upaya penciptaan situasi pemasaran yang menyenangkan melalui periklanan maupun bentuk promosi penjualan lainnya yang bersifat informatif, persuasif, jelas dan konsisten. Dalam penelitian ini difokuskan pada komunikasi pemasaran melalui periklanan.
2.4 Periklanan
Pengertian periklanan adalah bentuk komunikasi yang dibayar dan biasanya bersifat persuasif. Meskipun tujuan periklanan selalu untuk menginformasikan dan membujuk, namun periklanan juga mengalami perubahan yang dramatis sebagai suatu bentuk komunikasi (Stout dalam Straubhar and LaRose, 2006). Sedangkan Kasali (1992) mengungkapkan pengertian periklanan sebagai keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian iklan.
Sebagai
suatu tujuan, Jefkins (1996) mengatakan advertising aims to persuade people to buy. Dalam dunia industri periklanan terdapat tiga pelaku periklanan yang disebut sebagai hubungan tripartit, yaitu pengiklan, pencipta iklan (biro iklan), dan pihak media. Proses periklanan berlangsung sejak pengiklan membayar komisi kepada biro iklan untuk menciptakan iklan, kemudian mengawasi pekerjaannya. Biro iklan membantu pengiklan dalam menciptakan iklan, mengembangkan kreasi dan membeli ruang dan atau waktu di media, kemudian menempatkan iklan berdasarkan pada data rating. Pihak media membantu menyediakan ruang dan atau waktunya untuk digunakan oleh pengiklan (Kasali, 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006). Lembaga pengawas yang terdiri dari pemerintah dan para pesaing berinteraksi atau bahkan mempengaruhi aktivitas pengambilan keputusan pengiklan dengan berbagai cara. Pemerintah berkepentingan dalam memberi rambu-rambu dalam bentuk peraturan pemerintah
seperti
norma-norma
kesusilaan,
kesehatan,
ataupun
keselamatan
penggunaan. Sedangkan para pesaing memegang peranan langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi gerakan pengiklan. Apa yang dilakukan pesaing biasanya tercermin dalam kampanye-kampanye periklanan yang dilakukannya dan akan dipantau terus-menerus (Kasali 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006). Model proses periklanan dapat dilihat pada Gambar 1.
Pembelian media
Komisi
Iklan Pengiklan
Review
Pencipta Iklan
Media
Rating
Pembelian oleh konsumen Khakayak
Jalur dari media
Gambar 1. Model Proses Periklanan (diadaptasi dari Kasali, 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006) Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) mengatakan bahwa advertising must communicate important information about product (such as price, features, channel of distribution, and the like), but it also requires a creative way of stating these facts that cuts through the clutter of competing advertisements and gets attention of consumers. All messages have an informational dimension and an emotional dimension. Because advertising has to get the attention of audience members who are usually not interested in the message, how the message is conveyed is just as important as what is said. Advertising is as a form of communication in terms of both its style and its content, and the continuity of theme. Advertiser and advertising agency integrate symbols of popular culture. Ultimately, advertising turns out to be a reflection of social and culture norms due to a tendency of communicate in the language of the familiar. Periklanan dapat dikatakan sebagai keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian periklanan dari suatu produk atau merek melalui media massa yang dibayar dengan tujuan menginformasikan dan membujuk orang untuk membeli. Proses periklanan suatu produk atau merek melibatkan hubungan tiga (3) pihak, yaitu pengiklan, pencipta iklan, dan pihak media. Pencipta iklan, berdasarkan informasi produk atau merek dari pengiklan, mengintegrasikan pesan dalam periklanan berupa simbol budaya popular dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Di sisi lain, pemerintah berfungsi sebagai lembaga pengawas, sedangkan pesaing berkontribusi dalam mempengaruhi pengiklan dalam pengambilan keputusan. 2.4.1 Pengiklan
Pengiklan merupakan penggagas awal dalam suatu proses komunikasi pemasaran melalui periklanan. Kasali (1992) mengatakan bahwa pengiklan adalah inti dari sistem manajemen periklanan yang memfokuskan perhatian pada analisa, perencanaan, pengendalian dan aktivitas pengambilan keputusan. Pengiklan melakukan seluruh pengarahan manajerial dan dukungan anggaran untuk mengembangkan program periklanan perusahaan atau lembaga bersangkutan. Sewaktu membuat iklan, pengiklan harus memperhatikan identitas perusahaan, strategi pemasaran dan produk utama andalan perusahaan. Atas dasar itu strategi periklanan diharapkan dapat mendukung program pemasaran tanpa menghilangkan kesan
konsumen terhadap kepribadian
perusahaan. Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) mengatakan bahwa dalam penciptaan pesan periklanan pada dasarnya tidak dilakukan oleh pengiklan. Pengiklan mendelegasikan penciptaan pesan periklanannya kepada pencipta iklan (advertising agency). Pengiklan berfokus untuk menghasilkan suatu produk dan menjualnya, sedangkan perencanaan dan pelaksanaan kampanye periklanan dilakukan oleh pencipta iklan yang ditunjuknya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pengiklan berfokus untuk menghasilkan suatu produk dan menjualnya, makanya waktu membuat iklan, pengiklan harus memperhatikan identitas perusahaan, strategi pemasaran dan produk utama andalan perusahaan. Atas dasar itu strategi periklanan diharapkan dapat mendukung program pemasaran tanpa menghilangkan kesan
konsumen terhadap kepribadian
perusahaan. 2.4.2 Produk Produk menurut Stanton dalam Alma (2004) adalah seperangkat atribut baik berwujud maupun tidak berwujud termasuk di dalamnya masalah warna, harga, nama baik pabrik, nama baik toko yang menjual (pengecer) dan pelayanan pabrik serta pelayanan pengecer, yang diterima oleh pembeli guna memuaskan keinginannya. Kotler and Roberto (1989) mengatakan bahwa produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan di pasar, untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Produk terdiri atas barang, jasa, pengalaman, events, orang, tempat, kepemilikan, organisasi, informasi dan ide. Kategori produk lain disebut Kotler and Roberto (1989) sebagai produk sosial. Menurutnya produk sosial terdiri dari ide (idea), praktek sosial (practice) dan produk nyata (tangible object). Tipe ide terdiri dari (a) kepercayaan (belief) merupakan suatu persepsi mengenai sesuatu hal yang faktual; kepercayaan juga meliputi evaluasi, (b)
sikap (attitude) merupakan evaluasi positif atau negatif mengenai orang, obyek, ide atau peristiwa, (c) nilai (value) merupakan keseluruhan ide mengenai apa yang benar dan salah. Produk bertipe praktek sosial, yaitu tindakan (act) dan perilaku (behavior) yang mungkin saja merupakan peristiwa dari suatu tindakan tunggal, seperti hadir untuk mendapatkan vaksinasi atau memberikan suara dalam pemilu. Praktek tindakan sosial dapat berbentuk tindakan pribadi ataupun pembentukan pola perilaku. Sedangkan produk nyata mengacu kepada produk fisik yang membantu suatu kampanye. Produk nyata merupakan produk pelengkap atau penyempurnaan dari praktek sosial. Seluruh dimensi produk, baik bersifat tangible maupun intangible, yang memberikannya nilai merupakan merek dari produk tersebut. Suatu merek berisi seluruh dimensi yang mengidentifikasi dan memberi nilai unik bagi suatu produk atau perusahaan (Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006). Setiap produk memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik adalah ciri khas yang menunjukkan keistimewaan yang membedakan sesuatu hal. Karakteristik produk menurut Kasali (1992) adalah adanya penonjolan salah satu dari sekian unsur produk yang dapat ditonjolkan. Tetapi ada pula dan dapat pula ditonjolkan dua (2) atau lebih atribut secara bersamaan. Karakteristik produk tersebut dapat dibagi menjadi tiga (Kasali, 1992), yaitu : a. Karakteristik fisik. Penonjolan karakter ini meliputi sifat-sifat fisik suatu produk, seperti suhu, warna, ketebalan, kehalusan, jarak, harga, kekenyalan, kekuatan, berat, dan sejenisnya. b. Karakteristik fisik semu. Karakter ini tidak dapat diukur atau dilihat dengan jelas seperti karakter fisik di atas yang meliputi sifat-sifat yang bertalian dengan rasa, selera, bau (keharuman), simbol-simbol, dan sebagainya. c. Keuntungan konsumen. Keuntungan ini mengacu pada keuntungan yang dapat dinikmati oleh calon pembeli. Misalnya, tidak berbahaya bagi kulit, aman bagi anakanak dan wanita hamil, tidak berbau, tidak berlemak, mudah dihidangkan, dan sebagainya. Hal ini disebut keuntungan ekstra. Dalam mengatasi ledakan produk yang akan terjadi, banyak produsen yang menyadari untuk menyusun ataupun menanamkan produknya dalam benak konsumen. Banyaknya tangga-tangga dalam benak konsumen, memperkeras usaha produsen untuk menduduki tangga pertama dengan memperkenalkan kategori atau variasi produk baru yang diharapkan agar konsumen dapat mencengkram produk tersebut di dalam benaknya apalagi jika produk itu berkaitan dengan produk yang terdahulu.
Setiap kategori produk apapun, berprospek mengetahui manfaat penggunaan setiap produk. Untuk memanjat tangga produk yang ada pada pikirannya, produsen harus mengaitkan produk yang akan diluncurkan dengan merk-merk lain yang sudah ada dalam benaknya (Ries and Trout, 1981). Menurut Arnold (1996), inti dari sebuah merk merupakan kepribadian merk sekaligus unsur yang harus tampil lain daripada yang lain dalam pasar. Inilah yang membuat konsumen merasa loyal. Dalam produk dapat dilihat adanya keuntungan-keuntungan yang nyata yang diberikan merk tersebut setelah melihat kegunaan merk tersebut dan mendorong untuk berusaha memuaskan, serta memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Sehubungan dengan hal di atas, Kasali (1992) mengungkapkan bahwa karakteristik produk dapat menggambarkan hal berikut : a. Pengelompokkan atau penggolongan produk b. Mutu implisit produk c. Pelayanan tambahan d. Penggolongan produk tradisional e. Tahap daur hidup f. Distribusi produk g. Kepribadian produk (citra dan posisinya) h. Kemasan dan penampilan i.
Daya jangkau bagi konsumen Dapat disimpulkan bahwa karakteristik produk secara tidak langsung
mempengaruhi pembelian dari calon konsumen. Karakteristik produk yang mengiringi dapat mempengaruhi suatu produk dalam memberikan alternatif untuk memberikan kepuasan tersendiri bagi konsumen. Karakteristik produk dapat dibentuk berdasarkan : (a) karakteristik fisik, seperti suhu, warna, ketebalan, kehalusan, jarak, harga, kekenyalan, kekuatan, berat, dan sejenisnya; (b) karakteristik fisik semu meliputi sifat yang bertalian dengan rasa, selera, keharuman, simbol-simbol, dan sejenisnya; (c) keuntungan konsumen, seperti tidak berbahaya bagi kulit, aman bagi anak-anak dan wanita hamil, tidak berbau, tidak berlemak, mudah dihidangkan, dan sebagainya. Agar kepribadian dari produk itu tetap ada, karakteristik dari produk diusahakan tidak bertabrakan dengan inti dari merk tersebut malah justru harus menambah nilai plus dari produk tersebut. 2.4.3 Pencipta Iklan
Dalam periklanan, pencipta iklan merupakan bagian dari biro iklan atau perusahaan periklanan (advertising agency). Perusahaan periklanan berisi individuindividu berbakat yang menciptakan dan melakukan perencanaan periklanan. Perencanaan periklanan merupakan suatu dokumen tertulis yang berisi garis besar tujuan dan strategi bagi periklanan suatu produk (Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006). Dalam perencanaan periklanan, menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) pencipta iklan berpedoman pada beberapa unsur, yaitu : a. Situation Analysis, yaitu (1) menjelaskan dimana perusahaan saat ini, bagaimana mencapainya dan ingin berada di masa depan, (2) mengidentifikasi persoalanpersoalan relevan yang harus ditujukan oleh periklanan dan memberikan gambaran lengkap tentang konsumen dan produk. b. Objectives, yaitu (1) segala hal yang berkaitan dengan pencapaian kampanye periklanan, (2) berdasarkan pada sifat produk, persaingan, permintaan konsumen dan ketersediaan anggaran. c. Target Market Profile, yaitu gambaran individu-individu yang paling mungkin membeli produk, seperti sifat demografik dan psikografiknya. d. Positioning
Statement, yaitu paragraf singkat yang menjelaskan bagaimana
perusahaan menginginkan konsumen mempersepsi produk. e. Creative Strategy, yaitu bagian dari perencanaan yang menggambarkan tema spesifik dan pendekatan periklanan tentang apa yang ingin ditampilkan periklanan secara nyata. Strategi kreatif berisi ”a big idea” atau suatu cara yang menyegarkan dan menarik untuk menganggap penting suatu produk. f. Media plan, yaitu perencanaan media yang akan digunakan dalam melancarkan kampanye periklanan. Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) mengatakan bahwa a key element in the advertising plan is the creative strategy, or what the advertising will say in order to achieve the objectives of the campaign. Using the research data as a foundation, copywriters and graphic designer begin work on a creative concept or “big idea”. Concepting is the act of saying something in a unique way but at the same time ensuring that the message is “on strategy” with what needs to be communicated for the product to sell. Peran besar pencipta iklan dalam kampanye periklanan adalah bagaimana menciptakan konsep kreatif atau “big idea” bagi komunikasi suatu produk. Copywriter dan visualizer atau desainer grafis membenamkan diri ke dalam berbagai informasi
mengenai produk, pasar dan konsumen sasaran dan kemudian menginkubasinya untuk menghasilkan positioning tertentu di dalam komunikasi yang kemudian dapat dipakai untuk merumuskan tujuan iklan (Kasali, 1992; Stout dalam Straubhaar and LaRose, 2006). Dalam hal ini, pencipta iklan melakukan proses pembentukan dan penentuan positioning bagi produk yang akan diiklankan. Pencipta iklan melandaskan pekerjaannya berdasarkan pada perencanaan periklanan yang meliputi analisis situasi, tujuan, profil target market, pernyataan positioning, strategi kreatif dan perencanaan media. Untuk itu dilakukan reproduksi dengan cara mengkonstruksi informasi-informasi bersifat sosial tersebut untuk diwujudkan ke dalam pesan sebuah iklan. 2.4.4 Iklan Definisi iklan menurut Kasali (1992) adalah pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media. Menurut Kotler (1994), iklan merupakan bentuk komunikasi non-personal yang dilaksanakan lewat media dan dibayar oleh sponsor yang jelas. Iklan menurut Effendy (1989) adalah pesan komunikasi yang disebarluaskan kepada khalayak untuk menawarkan barang dan jasa dengan menyewa media. Iklan juga merupakan informasi, baik verbal maupun non verbal yang berfungsi untuk membujuk konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Sandage (1975) menyatakan bahwa iklan berfungsi sebagai pembimbing bagi konsumen yang memberitahukan adanya suatu produk yang dapat memuaskan suatu kebutuhan, tempat dimana produk itu dapat diperoleh dan mutu yang ditawarkan barang tersebut. Rangsangan agar konsumen membeli produk yang ditawarkan, dibutuhkan juga iklan yang semenarik mungkin dengan visual seekspresif mungkin, sehingga dapat menggambarkan produk yang dimaksud. Dengan menampilkan iklan baik yang sifatnya informatif dan persuasif, diharapkan mampu merangsang dan membujuk orang untuk membeli. Littlejohn (1989) menyatakan informatif adalah pesan yang mampu mengurangi ketidakpastian dan untuk membuat peramalan keputusan. Persuasif adalah bagaimana seorang individu berubah sikap sebagai hasil transaksi dengan pihak lain. Dengan tersiratnya makna persuasif dalam sebuah iklan diharapkan konsumen dapat merubah sikap dan loyal terhadap produk yang diiklankan. Isi pesan iklan menurut Stout dalam Straubhaar and LaRose (2006) bermakna tersembunyi dan implisit. Pesan tersembunyi dalam iklan adalah pesan yang bersifat halus dan memanipulasi yang secara tidak disadari merangsang pembelian. Sedangkan pesan implisit adalah pesan bersifat tegas yang tidak hanya menjual produk, tetapi juga
mempromosikan gaya hidup materialistik dimana kebahagiaan hidup dapat dicapai dengan mengkonsumsi barang materi. Banyaknya iklan produk dan jasa di televisi, terutama iklan yang sejenis, menyebabkan pesan dalam sebuah iklan di televisi harus dapat memberikan daya tarik dan citra tersendiri bagi khalayaknya. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi kesesuaian antara isi pesan yang terkandung dalam iklan dengan yang dipersepsikan oleh khalayak, sehingga pesan tersebut mampu memposisikan merek dari produk atau jasa yang diiklankan ke dalam benak khalayak. Nurrahmawati (2002) mengatakan pengingatan nama merek dalam pesan iklan merupakan respon yang perlu ditanamkan dalam benak calon konsumen untuk bertindak melakukan pembelian. Menurut Mulyana (1997), iklan televisi bukan bercerita mengenai sifat produk yang ditawarkan, tetapi sifat para pembelinya, sehingga konsumen membeli bukan karena produknya, tetapi karena sentuhan emosi dari pesan iklannya. Iklan televisi mengarahkan konsumen untuk mempercayai realitas yang ditampilkan dalam bentuk simbol-simbol produk sosial. Dalam menyampaikan pesannya, iklan-iklan tersebut sangat berpengaruh pada khalayak, di mana khalayak dipaksa untuk menerima informasi-informasi di luar batas kemampuan khalayak itu sendiri, karena terlalu banyaknya informasi yang disampaikan yang khalayak terima, sehingga khalayak merasa jenuh. Informasi-informasi tersebut tidak lagi dapat diseleksi secara rasional. Untuk itu, informasi-informasi tersebut disusun menurut tangga-tangga, di mana anak tangga pertama dipersepsikan sebagai yang paling bagus dan paling bermutu. Sedangkan anak tangga kedua dipersepsikan sebagai kurang bermutu atau sebagai merk kedua (Kasali, 1992). Untuk menjadi anak tangga pertama tidaklah mudah, karena kesemuanya itu menyangkut persepsi dari seseorang, yaitu bagaimana cara untuk menyakinkan calon pembeli untuk menentukan mereknya pada tangga pertama. Di sini manusia melakukan proses seleksi di dalam pikirannya dalam menerima pesan-pesan komunikasi yang merupakan satu bagian dari proses persepsi dalam pikiran manusia pada saat proses komunikasi berlangsung (Kasali, 1992). Untuk mencapai tangga pertama diperlukan positioning, karena untuk mencapai anak tangga pertama seseorang harus memahami dan telah mengingat merek produk tertentu di antara produk-produk sejenis lainnya. Strategi positioning digunakan sebagai jalan untuk menempatkan produk di dalam pikiran konsumen dengan menonjolkan salah satu keunggulan di antara keunggulan-keunggulan yang lain (Kasali, 1992).
Iklan adalah pesan komunikasi verbal maupun non verbal yang disampaikan kepada komunikan dengan maksud agar membeli dan tetap loyal kepada produknya. Tanpa harus mengabaikan bagaimana cara agar orang melihat, tertarik, memahami dan membeli setelah melihat iklan dengan cara membuat iklan semenarik mungkin serta harus disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Kebanyakan hanya sedikit khalayak menyimak iklan yang ditayangkan di televisi. Hal demikian menurut Collet dalam Kasali (1992) dikarenakan : a. Sifat iklan itu sendiri yang mencerminkan sifat produk yang diiklankan. b. Sifat khalayak pemirsa itu sendiri. Sebagian dari khalayak sama sekali tidak mau disuguhi iklan, sedangkan sebagian lainnya lagi memang commercial consumers. c. Positioning iklan tersebut di dalam keseluruhan program siaran televisi, terutama saat-saat penyiaran dan acara yang disela. d. Perhatian pemirsa acap kali sangat ditentukan oleh kehadiran orang lain di dalam ruang tempat menonton. Semakin banyak orang yang berada di situ, semakin kecil perhatian pemirsa terhadap iklan. e. Pemuatan iklan. Jika iklan disela di antara adegan-adegan yang menarik dari suatu program yang banyak disukai orang, makin banyak waktu yang dihabiskan oleh pemirsa untuk melihat iklan. Menurut Bettinghaus (1973), pesan persuasif dibentuk atau dirancang melalui penggunaan sistem kode secara efektif. Sistem kode tersebut, yaitu sekelompok simbol dan sekelompok aturan yang tergabung menjadi unit-unit bermakna. Sistem kode tersebut merupakan unsur dasar dari sistem bahasa, seperti kata-kata yang merupakan bahasa verbal atau sistem kode verbal. Selain itu sistem kode nonverbal, seperti ekspresi wajah, kerutan dahi, senyuman, gerak tubuh, isyarat dan lainnya. Meskipun unsur dalam sistem kode nonverbal berbeda, namun aturan dalam membentuk makna tidak berbeda karakteristiknya dengan sistem kode verbal. Bahkan fungsi pesan nonverbal mempertegas makna pesan verbal. Pesan dalam sebuah iklan dapat disebut teks iklan. Sebagai suatu teks, pesan dalam iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik verbal maupun berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi dan film. Pada dasarnya, lambang yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal maupun nonverbal. Lambang verbal adalah bahasa yang dikenal; lambang nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak secara khusus meniru rupa atau bentuk realitas. Ikon adalah bentuk dan warna yang serupa atau
mirip dengan keadaan yang sebenarnya seperti gambar benda, orang, atau binatang. Ikon di sini digunakan sebagai lambang (Sobur, 2003). 2.4.5 Iklan Televisi Iklan televisi sangat tergantung pada bentuk siarannya, apakah merupakan bagian dari suatu kongsi atau sindikat, jaringan, lokal, kabel, atau bentuk lainnya (Kasali, 1992). Lebih lanjut, Kasali (1992) membagi iklan televisi ke dalam empat (4) bentuk, yaitu : a. Pensponsoran. Banyak sekali acara televisi yang penayangan dan pembuatannya dilakukan atas biaya sponsor atau pengiklan. Pihak sponsor bersedia membiayai seluruh biaya produksi plus fee untuk televisi. b. Partisipasi. Iklan disisipkan di antara satu atau beberapa acara (spots). Pengiklan dapat membeli waktu yang tersedia, baik atas acara yang tetap maupun yang tidak tetap. c. Spot Announcement. Iklan ditempatkan pada pergantian acara. d. Public Service Announcement. Iklan layanan masyarakat yang ditempatkan di tengah-tengah suatu acara. Iklan ini biasanya dimuat atas permintaan pemerintah atau suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menggalang solidaritas masyarakat atas suatu masalah. Menurut Kasali (1992) di dalam dunia periklanan, kata kreatif banyak dipakai bersama beberapa kata lain untuk merujuk pada istilah dan pengertian berbeda, antara lain (1) orang kreatif, (2) strategi kreatif dan (3) pengerjaan kreatif. Strategi kreatif merupakan berbagai informasi mengenai produk, pasar dan konsumen sasaran, ke dalam suatu posisi tertentu di dalam komunikasi yang kemudian dapat dipakai untuk merumuskan tujuan iklan. Pengerjaan kreatif mencakup pelaksanaan dan pengembangan konsep atau ide yang dapat mengemukakan strategi dasar dalam bentuk komunikasi efektif. Termasuk pembuatan judul dan atau kepala tulisan (headline), perwajahan dan naskah, baik dalam bentuk kopi untuk iklan-iklan media cetak, tulisan untuk iklan-iklan radio, maupun storyboards untuk iklan-iklan televisi. Kreativitas iklan televisi diciptakan dengan memperhatikan karakter produk untuk memiliki kemampuan memposisikan (positioning) yang khas di dalam benak khalayak sasaran. Proses kreatif sebuah iklan televisi memang unik dan memerlukan kepiawaian, serta kecermatan khusus dalam penggarapannya. Sifat medianya yang sangat khas, menuntut tampilan yang khas. Mulai dari konsep yang dapat mengoptimalkan kekuatan media tersebut, hingga mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahannya.
Dalam menerjemahkan panduan cerita (story board) iklan ke dalam sinematografik, banyak dilakukan trik-trik, baik dalam adegan, model, maupun teknik sinematografi untuk melahirkan hasil yang cemerlang. Televisi adalah medium massa bersifat intrusif. Orang dapat menonton televisi dengan membaca, mengobrol, makan dan sebagainya, maka perlu stimuli yang kuat untuk membuat pemirsa mengalihkan perhatiannya ke layar kaca. Stimuli dalam iklan televisi dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan kekuatan audiovisual, misal (1) menampilkan soundtrack yang menarik, (2) mampu menciptakan teather of mind dengan menampilkan jingle yang menciptakan irama dalam tubuh khalayak, (3) menggunakan dialog yang memiliki karakter dan gaya khusus yang diperkuat dengan efek suara, (4) menggunakan bahasa tubuh dengan menampilkan unsur metafora dan demonstratif, yang diperkuat pada detil cerita maupun sinematografinya (Majalah CAKRAM, 1996). Untuk iklan televisi, ada beberapa teknik visual yang dapat digunakan untuk membuat naskah iklan dramatis dan mempunyai kemampuan menjual. Menurut Russel (dalam Kasali, 1992) teknik-teknik tersebut adalah : a. Spokespearson. Teknik ini menampilkan seseorang dihadapan kamera yang langsung membawakan iklan kepada pemirsa televisi. b. Testimonial. Teknik ini mempergunakan seseorang yang dikenal luas yang mampu memberikan kesaksian atau jaminan tentang suatu produk. c. Demonstration. Teknik ini cukup populer mengingat televisi adalah media yang ideal untuk memberikan demonstrasi kepada konsumen tentang manfaat suatu produk. d. Closeups. Teknik inipun ideal untuk dipergunakan oleh televisi. e. Story Line. Teknik ini mirip membuat sebuah film yang sangat pendek. f. Direct Product Comparison. Gaya ini membandingkan dua buah produk secara langsung. g. Humor. Gaya ini termasuk salah satu gaya yang digemari oleh copywriter maupun konsumen. h. Slice of Life. Pendekatan ini menggunakan penggalan dari adegan sehari-hari. i.
Customer Interview. Teknik yang menampilkan gaya seseorang yang sedang melakukan wawancara.
j.
Vignettes and Situations. Produk-produk yang sering menggunakan teknik seperti ini adalah minuman, permen, rokok, dan produk-produk lain yang sering dikonsumsi. Gambar yang ditampilkan biasanya menunjukkan sejumlah orang
tengah menikmati sesuatu produk seperti menikmati hidup. Sementara itu, musik dan liriknya memberikan suasana mendukung. k. Animation. Teknik seperti ini biasanya menggunakan gambar atau tokoh kartun sebagai ganti suasana atau manusia sebenarnya. l.
Stop Motion. Meskipun mampu menampilkan gambar bergerak, televisi sering juga menampilkan iklan yang disajikan hanya sebagai stop motion dan mungkin merupakan suatu rangkaian gambar berseri.
m. Rotoscope. Teknik ini menggabungkan teknik animasi dengan gambaran nyata. n. Combination. Teknik ini pada dasarnya merupakan penggabungan dari dua atau beberapa teknik dasar di atas. Pembuatan sebuah iklan untuk televisi komersial pada dasarnya mirip dengan pembuatan sebuah film. Diperlukan suatu naskah tertulis yang kemudian dituangkan dalam bentuk story boards. Story boards mirip dengan suatu komik. Ada gambar yang menunjukkan bagian dari adegan dan ada tulisan yang menunjukkan dialog atau suatu suara yang harus terdengar pada saat gambar itu muncul. Demikian pula dengan adegan-adegan berikutnya (Kasali, 1992). Menurut Mulyana (1996), filosofis yang melekat dalam diskursus televisi, iklan di televisi bukan bercerita mengenai sifat produk yang ditawarkan, melainkan mengenai sifat para pembelinya. Iklan menayangkan para bintang dan atlet tenar, simbol-simbol prestisius, kejantanan, kasih sayang, romantisme dan lain-lain, semua ini bukanlah cerita mengenai sifat atau mutu produk. Iklan tersebut menuturkan kecemasan, kebahagiaan dan impian yang mungkin akan membeli produk tersebut. Apa yang perlu diketahui bukanlah apa yang terbaik dari produknya, melainkan apa yang tidak dipunyai oleh calon pembeli. Artinya, yang ditawarkan oleh produsen bukanlah nilai pakai atau fungsi produk, tetapi lebih pada nilai gengsi dan prestise. 2.4.6 Iklan Rokok di Televisi Iklan rokok di televisi lebih sering muncul dalam bentuk spot announcement, yaitu iklan rokok ditempatkan pada pergantian acara atau program televisi. Iklan rokok yang ditayangkan di stasiun televisi di Indonesia terikat dengan ketentuan dan peraturan yang sangat ketat. Misalnya, iklan rokok di televisi hanya boleh tayang di atas pukul 21.00. Dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan di Indonesia (Kasali, 1992) menyebutkan penerapan khusus tentang iklan rokok sebagai berikut : a. Iklan tidak boleh mempengaruhi atau merangsang orang untuk mulai merokok.
b. Iklan tidak boleh menyarankan bahwa tidak merokok adalah hal yang tidak wajar. c. Iklan tidak boleh menyarankan bahwa merokok adalah sehat atau bebas dari gangguan kesehatan. d. Iklan tidak boleh ditujukan terhadap anak di bawah usia 16 tahun dan atau wanita hamil, atau menampilkan dalam iklan. PP No. 81/1999 memperkuat tentang pembatasan iklan rokok di media masa disebutkan bahwa karakter produk dalam iklan rokok tidak boleh ditayangkan secara terang-terangan dalam iklan. Iklan rokok Sampoerna A Mild di televisi berbentuk spot announcement dan ditayangkan di atas pukul 21.00, dimana karakter produk tidak tervisualkan secara terang-terangan. Berdasarkan ketentuan tersebut, pembuatan iklan rokok di televisi dituntut kreativitas tinggi agar, karakter produk tetap dapat terposisi dengan baik di dalam benak khalayak. Pesan dalam iklan rokok harus menyajikan ciri yang membedakan dengan produk sejenisnya. Agar khalayak sasaran dapat membedakan produknya dengan produk sejenis lainnya, maka iklan rokok Sampoerna A Mild harus menyajikan pesan dengan cara memposisikan produk rokok tersebut melalui pembentukan dan penentuan positioning berbeda.
2.5 Pembentukan Positioning Produk pada Iklan Darlymple and Parson (1983) mengatakan bahwa product positioning focuses on buyer’s perception and preference about the place a product (or brand) occupies in specified focuses market. Menurut Kotler (1991) product positioning is the act of establishing a viable competitive positioning of the firm and its offer in each target market. Stout dalam Straubhaar and La Rose (2006) mengatakan positioning adalah a short paragraph explaining how the company wants to the consumers to perceive the product. Harris (1991) menyebutkan positioning is how brands are ranked against the competition in customer’s mind. Dapat diartikan bahwa positioning produk bukanlah untuk membentuk suatu pikiran atau kreasi baru dalam benak konsumen, tetapi untuk menggerakkan apa yang sudah ada dalam pikiran manusia dan menghubungkannya dengan apa yang sudah ada dalam pikiran konsumen. Menurut Kasali (1992), dalam menentukan positioning suatu produk atau merek diperlukan langkah-langkah, yaitu :
1. Identifikasi pasar pesaing, yaitu melakukan identifikasi atas sejumlah pesaing yang ada di pasar tentang produk sejenis, produk pengganti, maupun bentuk usaha turunannya. 2. Persepsi konsumen, yaitu melakukan penelitian tentang persepsi konsumen terhadap produk pesaing, sehingga diperoleh sejumlah atribut yang dianggap penting oleh konsumen, seperti karakteristik produk, manfaat bagi konsumen, dan sebagainya. 3. Menentukan posisi pesaing, yaitu mengetahui posisi yang diduduki pesaing dari berbagai sudut pandang. 4. Menganalisis preferensi konsumen, yaitu mengetahui posisi yang dikehendaki oleh konsumen terhadap suatu produk tertentu. 5. Menentukan posisi merek produk sendiri dengan mempertimbangkan hal-hal, yaitu (a) analisa terhadap luas dan potensi pasar serta kemungkinan untuk memasuki psar tersebut, (b) komitmen terhadap segmentasi pasar, (c) jangan mengubah kepribadian atau ciri khas iklan, (d) penggunaan simbol merek atau produk sebagai identitas dan kepribadian. 6. Ikuti perkembangan posisi Menurut Kotler (1991), dalam melakukan positioning produk atau merek perlu diperhatikan dua (2) tahap, yaitu pertama, identify possible positioning
concepts for
each target segment; Kedua, select, develop and communicate the choosen positioning concept. Dalam memposisikan suatu produk harus mengidentifikasi konsep positioning yang
cocok
dengan
konsumen,
kemudian
memilih,
mengembangkan
dan
mengkomunikasikannya kepada konsumen tersebut. Hal tersebut berarti bahwa dalam usaha untuk menempatkan merek atau ingin mengenalkan produk tertentu kepada konsumen harus dilihat apa yang dibutuhkan oleh konsumen dengan melihat ke dalam benaknya apa yang telah ada di dalam benaknya tersebut. Jika telah ada hubungan yang erat, di antara keduanya, maka produk yang ingin disampaikan kepada konsumen, dengan mudah diterima dan dingat oleh konsumen. Positioning menurut Kasali (1992) adalah suatu proses atau upaya untuk menempatkan suatu produk, merek, perusahaan, individu atau apa saja dalam alam pikiran yang dianggap sebagai sasaran atau konsumennya. Positioning mempunyai maksud untuk menyerang dan menerobos alam pikiran manusia, agar produk atau merek tertanam dalam pikiran konsumen, sehingga produk tersebut mempunyai posisi teratas dalam benak setiap konsumen. Gilson and Berkman (1980) mengatakan positioning adalah creating a unique niche, or position, for a product or service in the consumer’s
mind by emphasizing some specific need that it meet. Positioning merupakan sebuah kreasi unik atau posisi untuk produk atau pelayanan ke dalam pikiran konsumen dengan menitikberatkan pada kebutuhan-kebutuhan spesifik yang dibutuhkan atau sesuai dengan yang diperlukan oleh konsumen. Untuk dapat menembus benak konsumen, positioning produk perlu dirumuskan dalam bentuk pernyataan positioning (positioning statement). Pernyataan positioning berhubungan erat dengan strategi komunikasi yang jitu, pilihan media yang pas, frekuensi optimal dan memerlukan pertimbangan waktu yang baik. Pernyataan positioning harus mewakili citra yang hendak dicetak dalam benak konsumen. Citra itu harus berupa suatu hubungan asosiatif yang mencerminkan karakter suatu produk. Pernyataan yang dihasilkan harus cukup singkat dan mudah diulang-ulang dalam iklan dan memiliki dampak yang kuat di sasaran pasar. Pernyataan positioning yang baik dan efektif harus mengandung dua unsur, yaitu klaim unik dan bukti-bukti yang mendukung (Kasali, 2005). Di dalam positioning itu sendiri terdapat strategi-strategi yang berguna untuk menempatkan suatu merk produk tertentu di dalam alam pikirannya. Strategi-strategi tersebut diuraikan oleh Kasali (1992) sebagai berikut : a. Penonjolan Karakteristik Produk Di sini pengiklan harus menonjolkan salah satu keunggulan di antara keunggulankeunggulan lainnya. b. Penonjolan Harga dan Mutu Pada penonjolan harga dan mutu, harga yang tinggi dianggap sebagai produk bermutu, sebaliknya harga rendah dianggap sebagai produk tidak bermutu. Harga tinggi harus berdasarkan riset dan pengembangan mengenai produk tersebut. Tanpa adanya itu, positioning hanya bersifat sementara dan dengan mudah akan bergeser dengan produk-produk pesaing. c. Penonjolan Penggunaan Menonjolkan mengenai penggunaan dari produk tersebut. Di dalam penyampaiannya ada yang menggunakan mengkomunikasikan citra dengan mengaitkan dengan penggunaan dari produk tersebut. d. Positioning Menurut Pemakaiannya Pendekatan pada bagian ini, menonjolkan tentang pemakai produk tersebut. Hal ini merupakan strategi yang baik, karena pemakai produk pada iklan tersebut akan menarik konsumen dan membuat konsumen ingin mencoba produk yang dimaksud.
e. Positioning Menurut Kelas Produk Menonjolkan salah satu kelebihan yang dimiliki oleh produk tersebut, tetapi tidak dimiliki oleh produk yang lain dan ini merupakan strategi, agar konsumen tertarik terhadap produk yang diiklankan. f.
Positioning dengan Menonjolkan Simbol-simbol Budaya Pada bagian ini, ditonjolkan mengenai simbol-simbol budaya yang merupakan keunggulan dari produk tersebut, di mana berfungsi untuk menciptakan citra yang berbeda dengan produk-produk pesaing.
g. Positioning Langsung pada Pesaing Di sini, ditonjolkan mengenai keunggulan-keunggulan yang ada, langsung kepada konsumen dengan tujuan agar para konsumen tertarik karena terkesan jujur dan di mana dilakukan juga penonjolan kedudukan produsen itu terhadap pesaingnya. Berkaitan dengan penelitian dapat dikatakan bahwa positioning produk pada iklan televisi adalah proses menempatkan dan menghubungkan produk atau merek dengan apa yang sudah ada dalam benak konsumen sesuai dengan kebutuhan spesifiknya dirumuskan dalam bentuk pernyataan positioning berupa klaim dan buktibukti mendukung yang mewakili citra produk atau merek dan memiliki hubungan asosiatif yang mencerminkan karakter produk atau merek yang tampil secara menyeluruh dalam pesan iklan. Proses positioning produk pada iklan tersebut dilakukan melalui tahapan mengidentifikasi para pesaing, memahami persepsi konsumen, menentukan posisi pesaing, menganalisis preferensi konsumen, menentukan posisi merek produk sendiri, mengikuti perkembangan positioning produk sendiri dan mengkomunikasikannya kepada konsumen.
2.6 Reproduksi Sosial dalam Membentuk Positioning pada Iklan Televisi Menurut Bungin (2001), iklan adalah sebuah realitas yang dijadikan ide cerita dalam iklan televisi. Maksudnya, iklan televisi lahir dari realitas sosial masyarakatnya sebagai bagian dari reproduksi sosial . . . . Reproduksi sosial iklan televisi terjadi, ketika iklan televisi merefleksikan realitas sosial (nyata) ke dalam realitas iklan televisi, kemudian direfleksikan kembali ke dalam realitas sosial pemirsanya. Efek ideologis yang ditampilkan dalam iklan berkaitan dengan bagaimana iklan dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antar kelas sosial, antara kelompok mayoritas dengan minoritas, laki-laki dengan perempuan, kaya dan miskin. Ketidakberimbangan ini dimunculkan melalui perbedaan yang
disajikan dalam simbol-simbol yang menjelaskan posisi sosial sebagai realitas sosial yang ditampilkan. Melalui media massa, dalam hal ini adalah televisi, kandungan ideologi dalam iklan televisi dapat diketahui ”ideologi” para pembuatnya. Melalui simbol-simbol yang terkodekan, sesungguhnya para pencipta iklan televisi, seperti copywriter (penulis naskah)
maupun visualizer, menyampaikan kebenaran dan obyektivitasnya atau
sebaliknya memperjuangkan kepentingan-kepentingannya yang bersifat subyektif. Adakalanya pencipta iklan televisi mendapatkan pengaruh luar, yaitu pengkilan, dengan menginternalisasi penggunaan kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis. Dalam proses demikian terjadi tarik menarik kepentingan positif bagi produk antara pengiklan dan pencipta iklan. Proses interaksi simbolik berlangsung, baik dalam diri pengiklan dan pencipta iklan maupun di antaranya. Proses interaksi simbolik berlangsung terus-menerus dalam mereproduksi pesan iklan hingga mencapai konvergensi yang diinginkan tujuan periklanannya. Masing-masing pihak, baik pengiklan maupun pencipta iklan, ketika berhadapan dengan lambang komunikasi, melakukan proses semiosis yang terikat dengan tenggat waktu. Televisi
melalui
programnya,
salah
satunya
adalah
iklan
televisi,
merepresentasikan realitas sosial yang merefleksikan ideologi yang dianut di dalam penggambaran televisi mengenai tabiat manusia, hubungan sosial dan norma-norma dan struktur masyarakatnya (Bryant and Zillman, 2002). Namun dalam konteks iklan televisi, perlu dicermati bahwa ideologi yang direfleksikan dalam iklan televisi adalah ideologi pencipta iklan dan pengiklan bukan televisi. Televisi dalam hal ini berperan sebagai medium penyampai pesan dan tidak mempengaruhi bagaimana iklan tersebut dibuat. Dalam kehidupan masyarakat dan negara, media massa, termasuk televisi, cenderung diposisikan sebagai sarana dan alat legitimasi kekuasaan yang bersifat politis. Dengan demikian, media massa dijadikan sebagai sarana legitimasi ideologinya kepada masyarakat luas. Althusser dalam McQuail (1989) menyebutnya sebagai Aparat Ideologi Negara (Ideological State Apparatus atau ISA). Media massa cenderung dijadikan sebagai alat ideologi kelas dominan. Komunikasi dilihat sebagai produksi dan pertukaran pesan dengan memperhatikan bagaimana suatu pesan (teks) berinteraksi dengan masyarakat bertujuan memproduksi makna tertentu (Sobur, 2001).
Iklan televisi diyakini sebagai sarana dalam melakukan representasi realita berupa simbol-simbol tertentu. Realita yang termakna dalam iklan tersebut bersifat ideologis. Ini berarti, adanya berbagai kepentingan yang saling tarik menarik dalam media. Iklan televisi lebih dimiliki oleh kelompok berkuasa dan bermodal yang digunakan
untuk
mendominasi
kelompok
lainnya,
seperti
produsen
dengan
konsumennya, maupun antara produsen sebagai pesaing. Efek ideologis dalam iklan televisi menciptakan suatu pengaburan realita, sehingga persepsi spontan yang muncul saat menyaksikan atau mendengar sebuah citra atau makna, sebenarnya didistorsi. Ini terjadi karena ada struktur dalam yang tidak tampak dan tidak disadari secara terus menerus membentuk kesadaran penonton. Oleh karena itu, pesan dalam sebuah iklan sifatnya ideologis. Isi pesan sebuah iklan disebut sebagai medium ideologis, karena tidak sematamata membentuk makna ideologis, namun juga karena makna yang ideologis itu dibungkus oleh kepentingan akumulasi modal. Ini berarti, makna ideologi yang diciptakan iklan dipakai oleh kapitalisme untuk kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, perubahan dan perkembangan kapital memungkinkan diproduksinya makna-makna ideologis yang baru (Purwantari dalam Sobur, 2003). Dapat disimpulkan bahwa reproduksi sosial pada iklan televisi adalah refleksi realitas yang didefinisikan melalui makna atau citra yang muncul di dalam pesan iklan televisi. Citra atau makna tersebut merupakan hasil mengkonstruksi realitas sosial melalui kegiatan praktek suatu produksi makna yang bersifat sosial atau disebut praktek pemaknaan. Proses mengkonstruksi positioning iklan bersifat berkelanjutan dan direproduksi melalui kehidupan sosial. Pembentukan makna dalam iklan berlangsung melalui proses semiosis dengan melakukan praktek penandaan lewat kode-kode khusus yang bekerja di dalam iklan seperti kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis. 2.6.1 Proses Konstruksi Sosial dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi Iklan televisi dapat dikatakan sebagai perwujudan suatu bentuk realitas sosial. Iklan televisi yang muncul di layar kaca mengalami proses panjang dalam pembuatannya. Pesan yang bermakna dalam iklan televisi dibentuk tidak sebatas pada diciptakan namun juga dikonstruksi secara terus menerus oleh pencipta iklan. Crotty (1998) mengatakan “we do not create the meaning. We construct meaning. We have something to work with. What we have to work with is the world and objects in the
world.” Sehubungan dengan itu, Bungin (2001) mengatakan bahwa dalam membangun sebuah realitas, seorang copywriter dan visualizer dipengaruhi oleh lingkungan, budaya, pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia periklanan, kecanggihan teknologi media elektronika dan bahkan oleh kliennya sendiri. Pengaruh yang dialami oleh pencipta iklan ketika mengkonstruksi pesan iklan menurut Berger dan Luckmann (1990) disebabkan oleh realitas kehidupan sehari-hari yang memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif. Menurut Poloma (2000), Berger menegaskan bahwa manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas obyektif melalui
proses
eksternalisasi,
sebagaimana
mempengaruhinya
melalui
proses
internalisasi (mencerminkan realitas subyektif). Dalam mode yang dialektis, terdapat tesa, anti tesa dan sintesa, di mana Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pencipta iklan dalam mengkonstruksi suatu iklan melalui proses eksternalisasi dan proses internalisasi. Proses tersebut dilakukan melalui mekanisme dialektis. Ketika proses tersebut berlangsung, pencipta iklan dipengaruhi oleh faktor luar seperti lingkungan budaya, pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia periklanan, kecanggihan teknologi media elektronika, dan pengiklan. 2.6.2 Proses Interaksi Simbolik dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi Dalam proses mengkonstruksi realitas sosial, masing-masing pelaku melakukan interaksi terhadap realitas sosial yang terjadi. Demikian pula ketika melahirkan sebuah iklan televisi, pencipta iklan melakukan interaksi dengan individu lain di luar dirinya. Interaksi berarti proses pemindahan diri perilaku individu yang terlibat secara mental ke dalam posisi orang lain. Mereka mencoba mencari makna yang oleh orang lain diberikan kepada aksinya memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi (Effendy, 1993). Proses interaksi tersebut tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik, yang melibatkan lambang komunikasi nonverbal, namun juga melalui lambang-lambang verbal yang maknanya perlu dipahami. Apabila proses pemindahan diri perilaku meningkat ke terciptanya pertemuan yang menghubungkan orang per orang tersebut, maka interaksi sosial mulai berlangsung pada saat itu. Soekanto (2002) menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubunganhubungan sosial dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Misalnya, saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara, atau bahkan mungkin berkelahi, atau hanya bertemu muka tanpa berbicara. Artinya, interaksi
sosial termanifes dalam bentuk terjadinya pertukaran lambang komunikasi, baik verbal maupun nonverbal. Oleh karena masing-masing sadar akan adanya kehadiran pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam diri orang bersangkutan. Hal demikian membangkitkan kesan dalam pikiran seseorang, hingga kemudian akan memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan. Interaksi sosial mengandung dua (2) proses, yaitu adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. Kedua proses ini saling mengkait satu sama lain. Dalam kontak sosial dapat dipastikan melibatkan komunikasi, yang disebut oleh Effendy (1993) sebagai proses pernyataan antar manusia. Kontak sosial berdasarkan komunikasi tersebut membentuk pola-pola interaksi di antara para pihak yang terlibat (partisipan). Menurut Soekanto (2002) proses interaksi sosial merupakan proses yang bersifat asosiatif dan disosiatif. Proses tersebut membentuk pola-pola interaksi berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition) dan pertentangan/pertikaian (conflict). Dalam konteks komunikasi, terjadi proses pemaknaan dan penafsiran oleh masing-masing partisipan terhadap lambang-lambang komunikasi yang dipakainya. Hal ini menggambarkan bahwa dalam berinteraksi, masing-masing orang tersebut memiliki kedudukan yang sangat penting dan memiliki fakta subyektif meskipun memiliki batasan-batasan dengan konsekuensi-konsekuensi riilnya (Poloma, 2000). Poloma (2000) mengatakan bahwa dalam pandangan interaksionis simbolis manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi paling tidak sebagian, merupakan aktor-aktor yang bebas. Pendekatan kaum interaksionis simbolis menekankan perlunya sosiologi memperhatikan definisi atau interpretasi subyektif yang dilakukan aktor terhadap stimulus obyektif, bukannya melihat aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial. Littlejohn (1989) yang mengutip Blumer mengawali interaksi simbolik dengan tiga (3) dasar pemikiran berikut : a. Manusia berperilaku terhadap hal-hal berdasarkan makna yang dimiliki hal-hal tersebut baginya. b. Makna hal-hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial yang pernah dilakukan dengan orang lain. c. Makna-makna itu dikelola dalam dan diubah melalui proses penafsiran yang dipergunakan oleh orang yang berkaitan dengan hal-hal yang dijumpainya. Pendapat Blumer dalam Effendy (1993) tentang interaksi simbolik meliputi lima (5) konsep dasar berikut :
a. Konsep Diri. Manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak di bawah pengaruh perangsang-perangsang, baik dari dalam maupun dari luar, melainkan organisme yang sadar akan dirinya (an organism having a self). Oleh karena seorang diri, maka mampu memandang dirinya, sebagai obyek pikirannya dan berinteraksi dengan dirinya sendiri, yaitu mengarahkan dirinya ke berbagai obyek, termasuk dirinya sendiri, berunding dan berwawancara dengan dirinya sendiri; mempermasalahkan, mempertimbangkan, menguraikan dan menilai hal-hal tertentu yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, serta akhirnya merencanakan dan mengorganisasikan perilakunya. Antara perangsang dan perilakunya tersisiplah proses interaksi dengan diri sendiri tadi. Hal tersebut merupakan kekhasan manusia. b. Konsep Kegiatan. Oleh karena perilaku manusia dibentuk dengan proses interaksi dengan diri sendiri, maka kegiatannya berlainan sama sekali dengan kegiatan makhluk-makhluk lain. Manusia menghadapkan dirinya pada berbagai hal, seperti tujuan, perasaan, kebutuhan, perbuatan dan harapan, serta bantuan orang lain, citra dirinya (self image), cita-citanya, dan lain sebagainya. Maka dari itu, perancangan kegiatannya tidak semata-mata sebagai reaksi biologis terhadap kebutuhannya, norma kelompoknya, atau situasinya, melainkan merupakan konstruksi. Dalam hal ini manusia sendiri menjadi konstruktor perilakunya. c. Konsep Obyek. Manusia hidup ditengah-tengah obyek. Obyek meliputi segala sesuatu yang menjadi sasaran perhatian manusia. Obyek bersifat konkret seperti kursi, dapat pula abstrak seperti kebebasan, bersifat pasti seperti golongan darah, atau agak kabur seperti ajaran filsafat. Inti hakiki obyek tidak ditentukan oleh ciriciri instriknya, melainkan oleh minat seseorang dan makna yang dikenakan kepada obyek tersebut, maka tidak hanya kegiatan atau perbuatan yang harus dilihat sebagai konstruksi, tetapi juga obyek. d. Konsep Interaksi Sosial. Interaksi berarti proses pemindahan diri perilaku yang terlibat secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan demikian, mencoba mencari makna yang oleh orang lain diberikan kepada aksinya yang memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi. Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik, melainkan melalui lambang-lambang yang maknanya perlu dipahami. Dalam interaksi simbolik seseorang mengartikan dan menafsirkan gerakgerak orang lain dan bertindak sesuai dengan makna yang dikandungnya. Orangorang menimba perbuatan masing-masing secara timbal balik, dalam arti tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang lainnya,
melainkan seolah-olah menganyam perbuatan-perbuatannya menjadi apa yang barangkali dapat disebut transaksi, dalam arti kata perbuatan-perbuatan yang berasal dari masing-masing pihak itu diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembataninya. e. Konsep Aksi Bersama. Aksi bersama berarti kegiatan kolektif yang timbul dari penyesuaian dan penyerasian perbuatan orang-orang satu sama lain. Misalnya, transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara pernikahan, diskusi, sidang pengadilan, peperangan, dan sebagainya. Analisis aksi bersama ini menunjukkan bahwa hakikat masyarakat, kelompok atau organisasi tidak harus dicari dalam struktur relasi-relasi yang tetap, melainkan dalam proses aksi yang sedang berlangsung. Tanpa aksi setiap struktur relasional tidak dapat dipahami secara atomistis, melainkan sebagai aksi bersama, di mana unsur-unsur individual dicocokkan satu sama lain dan melebur. Poloma (2000) mengemukakan bahwa dalam interaksi simbolik mengandung sejumlah ide-ide dasar berikut : a. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, yaitu membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial. b. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nonsimbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana, seperti halnya batuk untuk membersihkan tenggorokan seseorang. Interaksi simbolis mencakup ”penafsiran tindakan”. Bila dalam pembicaraan seseorang pura-pura batuk ketika tidak setuju dengan pokok-pokok yang diajukan oleh si pembicara, batuk tersebut menjadi suatu simbol berarti yang dipakai untuk menyampaikan penolakan. Bahasa tentu saja merupakan simbol berarti yang paling umum. c. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang intrinsik; tetapi makna lebih merupakan produk interaksi simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga (3) kategori yang luas, yaitu (1) obyek fisik, seperti meja, tanaman, atau mobil; (2) obyek sosial, seperti Ibu, Guru, Menteri, atau Teman; dan (3) obyek abstrak, seperti nilai-nilai, hak dan peraturan. Obyek dibatasi sebagai ”segala sesuatu yang berkaitan dengannya”. Dunia obyek ”diciptakan, disetujui, ditransformir dan dikesampingkan” lewat interaksi simbolis.
d. Manusia tidak hanya mengenai obyek eksternal, karena dapat melihat dirinya sebagai obyek. Pandangan terhadap diri sendiri ini, sebagaimana dengan semua obyek, lahir di saat proses interaksi simbolis. e. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. f. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok. Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai ”organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia”. 2.6.3 Proses Semiosis dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi Pencipta iklan ketika berhadapan dengan lambang-lambang verbal maupun nonverbal melakukan proses penafsiran dan pemaknaan terhadap lambang tersebut. Proses tersebut berlangsung terus menerus hingga mencapai makna terhadap tanda yang diinginkan. Pemaknaan yang diharapkan adalah penciptaan citra dari produk yang diiklankan. Proses demikian disebut sebagai proses semiosis. Menurut Peirce dalam Budiman (2004) sebuah tanda atau representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan interpretan dari tanda pertama, yang pada gilirannya mengacu pada obyek. Sebuah tanda atau representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan obyeknya. Apa yang dimaksud dengan proses semiosis merupakan proses memadukan entitas yang disebut sebagai representamen tadi dengan entitas lain yang disebut sebagai obyek. Proses semiosis sering disebut sebagai signifikansi. Bagi pencipta iklan, proses semiosis yang dilakukannya dibatasi oleh ruang dan waktu. Pencipta iklan bekerja berdasarkan tenggat waktu yang telah ditetapkan dalam kontrak kerja dengan pengiklan. Bagaimana proses semiosis berlangsung dijabarkan oleh Budiman (2004) pada Gambar 2.
Interpretan….dst
Representamen interpretan
Representamen interpretan
…...Representamen
obyek
obyek
obyek
Gambar 2. Proses Semiosis menurut Peirce yang dikembangkan oleh Budiman (2004). Klasifikasi sebuah tanda atau yang disebut sebagai representamen, menurut Peirce dalam Budiman (2004) dan Sobur (2003) sebagai berikut : a. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ”rupa” sebagaimana dapat dikenali oleh pemakainya. Di dalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya terwujud sebagi ”kesamaan dalam beberapa mutu”. Setiap tanda yang mengikuti sifat obyeknya disebut sebuah ikon. Misalnya, rambu-rambu lalu lintas sebagian besar adalah ikon. b. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan obyeknya. Di dalam indeks hubungan antara tanda dan obyeknya bersifat konkret aktual dan biasanya melalui suatu cara sekuensial atau kausal. Setiap tanda yang menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan obyek individual, maka disebut sebuah indeks. Jejak telapak kaki di permukaan tanah, misalnya, merupakan indeks dari seseorang yang telah lewat di sana.
c. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbitrer dan konvensional. Tanda yang diinterpretasikan sebagai obyek denotatif sebagai akibat dari suatu konvensi disebut sebuah simbol. Misalnya rambu lalu lintas ”dilarang masuk” adalah simbol yang bersifat arbitrer dan secara konvensi diterima masyarakat.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Iklan rokok Sampoerna A Mild adalah salah satu iklan yang menggunakan televisi untuk mengkampanyekan produk sosialnya kepada masyarakat. Pesan dalam iklan rokok harus menyajikan ciri yang membedakan dengan produk sejenisnya. Agar khalayak sasaran dapat membedakan produknya dengan produk sejenis lainnya, maka iklan rokok Sampoerna A Mild menyajikan pesan dengan cara memposisikan produk rokok tersebut melalui penentuan dan pembentukan positioning berbeda. Positioning yang berbeda dimaksudkan sebagai pencitraan produk yang memiliki kepribadian yang kuat di antara produk lainnya. Agar kepribadian produk tetap ada, maka karakteristik produk diusahakan tidak bertabrakan dengan inti dari merk tersebut dan justru menambah nilai plus dari produk tersebut.
Produk yang ingin diposisikan ke dalam benak konsumen itu harus sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh konsumen, seperti (1) penonjolan karakteristik produk, (2) penonjolan harga dan mutu, (3) penonjolan penggunaan, (4) positioning menurut pemakainya, (5) positioning menurut kelas produk, (6) positioning dengan menonjolkan simbol-simbol budaya dan (7) positioning langsung pada pesaing. Selain itu, produk tersebut harus dirumuskan dalam bentuk pernyataan positioning yang mewakili citra produk dan memiliki hubungan asosiatif yang mencerminkan karakter produk yang tampil secara menyeluruh dalam pesan iklannya. Secara tidak langsung produk tersebut akan diterima oleh konsumen dan produk tersebut akan tetap tertanam di dalam benak konsumen. Pencipta iklan melakukan proses pembentukan dan penentuan positioning bagi produk yang akan diiklankan. Dalam hal ini dilakukan reproduksi dengan cara mengkonstruksi informasi-informasi bersifat sosial untuk diwujudkan ke dalam pesan sebuah iklan. Pesan dalam iklan televisi adalah teks yang menghasilkan tanda. Teks iklan merupakan hasil reproduksi sosial dari para pembuatnya kemudian dikonsumsi oleh khalayaknya yang mampu mempengaruhi sistem sosial, politik, budaya dan ideologi dalam struktur masyarakat sebagai realitas sosial. Iklan bukan saja merefleksikan realitas, namun juga mendefinisikannya melalui makna atau citra yang muncul di dalamnya. Citra atau makna tersebut merupakan hasil mengkonstruksi realita melalui kegiatan praktek suatu produksi makna yang bersifat sosial atau disebut praktek pemaknaan. Pembentukan makna dalam iklan berlangsung melalui praktek penandaan lewat kode-kode yang bekerja di dalam iklan seperti kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada iklan televisi. Kode-kode tersebut bersifat khusus dan ideologis. Melalui media massa, dalam hal ini adalah televisi, kandungan ideologi dalam iklan televisi dapat diketahui ”ideologi” para pembuatnya. Melalui simbol-simbol yang terkodekan, sesungguhnya para pencipta iklan televisi, seperti copywriter (penulis naskah)
maupun visualizer, menyampaikan kebenaran dan obyektivitasnya, atau
sebaliknya memperjuangkan kepentingan-kepentingannya yang bersifat subyektif. Adakalanya pencipta iklan televisi mendapatkan pengaruh luar, yaitu pengiklan, dengan menginternalisasi penggunaan kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis tersebut.
Dalam proses demikian terjadi tarik menarik kepentingan positif bagi produk antara pengiklan dan pencipta iklan. Proses interaksi simbolik berlangsung baik dalam diri pengiklan dan pencipta iklan maupun antaranya. Proses interaksi simbolik berlangsung terus-menerus dalam mereproduksi pesan iklan hingga mencapai konvergensi yang diinginkan tujuan periklanannya. Masing-masing pihak, baik pengiklan maupun pencipta iklan, ketika berhadapan dengan lambang komunikasi, melakukan proses semiosis yang terikat dengan tenggat waktu. Pencipta iklan dalam mengkonstruksi suatu iklan melalui proses eksternalisasi dan proses internalisasi. Proses tersebut dilakukan melalui mekanisme dialektis. Ketika proses tersebut berlangsung, pencipta iklan dipengaruhi oleh faktor luar seperti lingkungan budaya, pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia periklanan, kecanggihan teknologi media elektronika dan pengiklan. Pencipta iklan ketika berhadapan dengan lambang-lambang verbal maupun nonverbal dapat melakukan proses penafsiran dan pemaknaan terhadap lambang tersebut. Proses tersebut berlangsung terus menerus hingga mencapai makna terhadap tanda yang diinginkan. Pemaknaan yang diharapkan adalah penciptaan citra dari produk yang diiklankan. Proses demikian disebut sebagai proses semiosis. Sebagai ilustrasi, kerangka pikir dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 3.
PENGIKLAN
PENCIPTA IKLAN
REPRODUKSI SOSIAL
POSITIONING IKLAN
PROSES KONSTRUKSI SOSIAL: Eksternalisasi Internalisasi
PROSES INTERAKSI SIMBOLIK
TELEVISI
PROSES SEMIOSIS
UMPAN BALIK Citra terhadap produk/merek
MASUKAN
MASYARAKAT
PROSES
KELUARAN
Gambar 3. Diagram alur proses penentuan dan pembentukan positioning iklan televisi melalui reproduksi sosial 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Jakarta. Pengumpulan data primer dan sekunder di lapangan serta pengolahan data dibutuhkan waktu selama empatbelas (14) bulan, yaitu Juni 2008 – Juli 2009, di mana pengumpulan data lebih ditekankan pada aspek kontekstual, yaitu proses pembentukan dan penentuan positioning melalui reproduksi sosial pada iklan rokok Sampoerna A Mild versi televisi.
3.3 Pengumpulan Data Penelitian ini difokuskan pada dua (2) konsep berdasarkan pada permasalahan penelitian berikut : 1. Positioning produk pada iklan televisi adalah proses menempatkan dan menghubungkan produk atau merek dengan apa yang sudah ada dalam benak
konsumen sesuai dengan kebutuhan spesifiknya dirumuskan dalam bentuk pernyataan positioning berupa klaim dan bukti-bukti mendukung yang mewakili citra produk atau merek dan memiliki hubungan asosiatif yang mencerminkan karakter produk atau merek yang tampil secara menyeluruh dalam pesan iklan. Proses positioning produk pada iklan tersebut dilakukan melalui tahapan mengidentifikasi para pesaing, memahami persepsi konsumen, menentukan posisi pesaing, menganalisis preferensi konsumen, menentukan posisi merek produk sendiri,
mengikuti
perkembangan
positioning
produk
sendiri
dan
mengkomunikasikannya kepada konsumen. 2. Reproduksi sosial pada iklan televisi adalah refleksi realitas yang didefinisikan melalui makna atau citra yang muncul di dalam pesan iklannya. Citra atau makna tersebut merupakan hasil mengkonstruksi realitas sosial melalui kegiatan praktek suatu produksi makna yang bersifat sosial atau disebut praktek pemaknaan. Proses mengkonstruksi positioning iklan bersifat berkelanjutan dan direproduksi melalui kehidupan sosial. Pembentukan makna dalam iklan berlangsung melalui proses semiosis dengan melakukan praktek penandaan lewat kode-kode khusus yang bekerja di dalam iklan seperti kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Strauss and Corbin (2003) adalah penelitian tentang kehidupan, riwayat dan perilaku seseorang, di samping juga tentang peran organisasi, pergerakan sosial atau hubungan timbal balik. Desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus yang bersifat deskriptif. Desain tersebut digunakan dengan maksud untuk mengetahui fenomena sosial tertentu, namun tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi terhadap data. Hal tersebut dimaksudkan juga untuk memperoleh pemahaman menyeluruh dan tuntas (Vredenbregt, 1984; Yin, 1989). Penelitian ini tidak dikonstruksi melalui instrumentasi ketat dan peubah-peubah, tetapi dikonstruksi melalui makna yang tercermin dalam realitas. Penelitian dilakukan melalui klasifikasi mengenai gejala sosial yang dipermasalahkan untuk menyusun hasil penelitian deskriptif tentang realitas sosial yang kompleks dalam bentuk tampilan kalimat bermakna dan mudah dimengerti. Dalam hal ini, menurut Vredenbregt (1984) di dalam pengumpulan data, seorang peneliti dibimbing oleh suatu conceptual outline yang berhubungan dengan masalah penelitian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
dibangun dalam bentuk instrumentasi berupa pedoman-pedoman pertanyaan yang bersifat luwes dan dikembangkan pada saat di lapangan melalui wawancara bebas (indepth interview) disertai pengamatan langsung terhadap informan, dan dokumentasi yang relevan tentang positioning dan reproduksi sosial dalam iklan televisi Sampoerna A Mild. Sebelum dilakukan wawancara mendalam, peneliti terlebih dahulu mengadakan pendekatan dengan para informan dan menyampaikan maksud peneliti. Peneliti mengawali percakapan dengan membicarakan permasalahan umum seperti situasi sosial politik terkini. Langkah selanjutnya, wawancara disesuaikan dengan kebutuhan data dan informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan penelitian. Ketika proses wawancara berlangsung, peneliti lebih banyak mendengarkan dan memberikan tanggapan secukupnya. Peneliti melakukannya dengan maksud informan merasa dihargai dan bersemangat memberikan informasi yang dibutuhkan. Selama penggalian informasi di lapangan, peneliti menggunakan alat bantu perekam suara (MP3) untuk merekam apa yang disampaikan informan kunci dan para informan, lalu memasukkan informasi yang diperoleh ke dalam catatan lapangan dalam bentuk transkrip hasil wawancara. Peneliti menggunakan MP3 untuk melengkapi catatan yang peneliti lakukan selama wawancara dengan informan. Penggunaan MP3 sebagaimana dikatakan Moleong (1998) diperlukan agar pencatatan data hasil wawancara dapat dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Penggunaan MP3 dalam penelitian ini telah memperoleh persetujuan informan. Sumber data primer penelitian adalah informasi yang diperoleh dari informan. Penentuan informan dilakukan dengan prinsip convenience (kemudahan). Ruslan (2003) menyatakan bahwa penentuan informan dengan cara ini berdasarkan kemudahan dalam memilih unsur populasi (orang atau peristiwa) yang datanya berlimpah dan mudah diperoleh oleh peneliti. Artinya, peneliti memiliki kebebasan untuk memilih sumber informasi yang paling cepat, mudah dan murah. Prinsip kemudahan ini pun penulis lakukan dalam menentukan teks iklan televisi rokok Sampoerna A Mild yang dijadikan bahan analisis. Dari penelusuran di lapangan, peneliti memilih dan menggunakan sumber data informasi yang dikelompokkan sebagai berikut : 1. Informan kunci, yaitu Teguh Handoko. Beliau adalah orang kompeten dalam bidang periklanan, terlibat dan mengetahui banyak informasi dalam membentuk dan menentukan positioning rokok Sampoerna A Mild melalui iklan televisi. Sebelum
mulai memimpin biro iklan Ideasphere Advertising pada tahun 2000, beliau terlibat langsung selama tiga (3) tahun dalam tim perencanaan periklanan iklan televisi rokok Sampoerna A Mild di biro iklan Ogilvy & Matter. Menurut pengakuannya sampai sekarang masih mengikuti perkembangan kampanye iklan Sampoerna A Mild. Informasi beliau tentang iklan rokok Sampoerna A Mild sangat penting bagi penelitian ini, karena keterlibatannya sebagai pencipta iklan yang sudah barang tentu mengetahui segala informasi proses periklanan rokok Sampoerna A Mild. Untuk otentifikasi dan keabsahan data dalam penelitian ini, beliau mengizinkan penyebutan identitas aslinya. 2. Informan dari kalangan khalayak digunakan untuk mengetahui proses decoding terhadap teks iklan. Informan berprofesi sebagai dosen 2 (dua) orang yaitu Arf dan Isk, pengacara 1 (satu) orang yaitu Arm dan wartawan 1 (satu) orang yaitu Ags. Secara umum, informan dipilih berdasarkan pendidikan, pengalaman dalam merokok, profesi dan keterdedahan iklan televisi. Data informan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik informan No Nama, Jenis Domisili Pendidikan, Umur Kelamin Profesi 1 Ags, Laki-laki, Jakarta Utara S1, 42 tahun Wartawan
2
Arf, Laki-laki, Cimanggis – 42 tahun Depok
S2, Dosen
3
Arm, Laki-laki, Jakarta Utara 38 tahun
S1, Pengacara
4
Isk, Laki-laki, Jakarta Pusat 42 tahun
S2, Dosen
Media
Interpretasi
TV, Radio, Cetak, Internet TV, Radio, Cetak, Internet TV, Radio, Cetak, Internet TV, Radio, Cetak, Internet
Bukan perokok loyal terhadap satu merek Pernah merokok, suka menyaksikan iklan rokok Perokok dan menyukai merokok sejenis cerutu Perokok A Mild
Sumber data sekunder yaitu data didapat dari kumpulan dokumen-dokumen dan artikel yang berkaitan dan mendukung penelitian. Data sekunder tersebut, yaitu : a. Profil iklan televisi rokok Sampoerna A Mild sejak Agustus 2000 hingga Maret 2009. Peneliti memperoleh data tersebut melalui penelusuran situs perusahaan jasa
penyediakan data rekam iklan-iklan yang telah beredar di media massa, yaitu MediaBanc (www.mediabanc.ws, 2009). Informasi tentang situs perusahaan tersebut, penulis dapatkan dari informan kunci. Data profil tersebut, penulis pelajari untuk memperoleh gambaran tentang tema dan timing iklan televisi Sampoerna A Mild. Data profil tersebut penulis tempatkan pada Lampiran 4. b. Artikel di Majalah Cakram tahun 1996 berisi tentang strategi positioning rokok Sampoerna A Mild. Artikel tersebut penulis analisis dan pelajari untuk mengetahui pemikiran pihak pengiklan rokok Sampoerna A Mild dalam menentukan dan membentuk positioning rokok Sampoerna A Mild melalui reproduksi sosial. Artikel dalam bentuk kopi selengkapnya penulis tempatkan pada Lampiran 3. Teks iklan digunakan sebagai bahan analisis untuk melengkapi penelitian ini adalah iklan televisi Sampoerna A Mild versi ”Man Waiting Stamp Seal” dan ”Flea on the Sofa”. Analisis semiotik Williamson (2007) digunakan untuk memperoleh makna mendalam tentang realitas sosial yang direproduksi pengiklan dan pencipta iklan. Williamson (2007) mengkategorikan konsepnya, yaitu signifier (penanda), signified (petanda) dan sistem referen. Pengertian signifier adalah aspek tanda bersifat material dalam wujud yang dapat diindrai (sensible). Signified adalah makna aspek mental tanda bersifat abstrak di benak penutur. Sedangkan sistem referen merupakan sistem ideologis dan menarik signifikansinya dari area-area di luar periklanan. Kedua teks iklan tersebut berdurasi 30 detik. Untuk memudahkan analisis, penulis memecahnya ke dalam bentuk potongan gambar scene per scene tanpa menghilangkan makna teks iklan secara keseluruhan.
3.5 Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini bersifat deskriptif, maka data yang diperoleh dianalisis menurut kenyataan yang ada dan didasarkan pada teori komunikasi pemasaran yang digunakan tanpa mengabaikan prinsip-prinsip komunikasi pembangunan dalam arti luas, kemudian diperbandingkan. Dengan cara itu, dapat dicari saling hubungan antar data, untuk kemudian disusun kesimpulan yang menjelaskan data. Prinsip analisis data yang digunakan adalah dialogik atau dialektikal yang mengembangkan terjadinya dialog dan dialektika antara peneliti dan sumber data. Analisis dilakukan secara komprehensif, kontekstual dan multilevel, menempatkan peneliti sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial (Rusadi, 2002). Ini berarti model analisis data bersifat interaktif. Miles dan Huberman (1992) menyatakan
bahwa analisis data model interaktif memiliki tiga (3) alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan dan bersifat siklus, yaitu reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan/verifikasi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian didapat tiga (3) tingkatan analisis dalam proses penentuan dan pembentukan positioning melalui reproduksi sosial pada iklan televisi rokok Sampoerna A Mild. Pertama, proses konstruksi realitas dalam tingkatan lembaga. Kedua, proses
konstruksi realitas dalam tingkatan teks. Ketiga, proses konstruksi realitas dalam tingkatan individu. Tingkatan pertama, berlangsung proses kreatif bagi suatu iklan, dalam hal ini iklan televisi rokok Sampoerna A Mild. Proses kreatif ini dilakukan oleh pengiklan dan pencipta iklan sebagai kelompok kerja (teamworks). Tingkatan kedua, berlangsung proses interpretasi terhadap teks/pesan iklan rokok Sampoerna A Mild yang tertuang di televisi. Interpretasi dilakukan untuk menemukan makna yang sebenarnya tentang positioning rokok Sampoerna A Mild dalam teks iklan televisi sebagai hasil reproduksi sosial pengiklan dan pencipta iklan. Tingkatan ketiga, interpretasi terhadap pesan iklan televisi rokok Sampoerna A Mild bagi individu pemirsa televisi. Tiga (3) tingkatan analisis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 4.1. Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Pengiklan dan Pencipta Iklan Penentuan dan pembentukan positioning suatu produk dapat diartikan sebagai titik awal yang sangat menentukan dan bersifat strategik dalam memenangkan persaingan untuk menerobos dan merebut sebagian dari kotak persepsi di benak konsumen. Kenyataannya seringkali ketika memposisikan produk harus berhadapan dalam persaingan yang tajam dan ketat dengan produk lain, terutama produk sejenis. Dalam perencanaan periklanan suatu produk pengiklan dan pencipta iklan berperan sebagai penentu strategi positioning dalam memposisikan produknya di benak konsumen. Peran pengiklan dan pencipta iklan tersebut peneliti uraikan sebagai berikut : 4.1.1. Versi Pengiklan Handoko, Group Brand Manager PT HM Sampoerna dalam Palupi (1996) mengatakan bahwa pada awalnya, sebagaimana rokok-rokok lain, rokok Sampoerna A Mild dikomunikasikan sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat modern yang sukses dan macho. Tidak ada gambaran keunggulan produk, tetapi lebih kepada citra yang disandangnya. Ini barangkali juga karena keterbatasan-keterbatasan peraturan periklanan untuk jenis rokok yang tidak boleh memperlihatkan orang sedang merokok. Pendekatan rokok Sampoerna A Mild yang demikian ternyata tidak menciptakan perbedaan karakter antara merek rokok Sampoerna A Mild dengan rokok-rokok lainnya. Secara skematis, deskripsi di atas memperlihatkan konstruksi realitas rokok Sampoerna A Mild dalam Gambar 4.
Rokok Merek lain
Karakter produk sama
Tidak boleh memperlihatkan orang sedang merokok
Gaya hidup
Rokok Sampoerna A Mild
Batasan peraturan periklanan untuk jenis rokok
1. Moderen 2. Sukses 3. Macho
Gambar 4. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap awal Gambar 4 di atas memperlihatkan bahwa rokok Sampoerna A Mild adalah produk rokok kategori mild yang dikomunikasikan tak ubahnya seperti rokok berkategori sama, misalnya rokok Pall Mall, yaitu sebagai rokok gaya hidup. Cara komunikasi demikian dalam periklanan disebut paritas. Menurut Kasali (2005), konsumen dipastikan mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan produknya, dikarenakan tidak adanya karakter berbeda yang mampu menerobos benak konsumen. Artinya, dalam langkah awal memposisikan rokok Sampoerna A Mild, karakter khas produk yang membedakannya dengan produk sejenis belum terbentuk. Agar positioning terbentuk, maka pengiklan perlu melakukan evaluasi. Hal tersebut diakui Handoko dalam Palup (1996) yang mengatakan bahwa evaluasi itu mengubah posisi produk. Sementara posisi baru dipikirkan, kampanye bergerak kepada citra korporat rokok Sampoerna A Mild. Ditampilkanlah serangkaian aktivitas kelompok Sampoerna yang kala itu sangat populer di mata masyarakat, yaitu foto kegiatan drumband oleh karyawan para buruh pabrik Sampoerna yang mencapai sukses di Festival of Roses di Pasadena, Amerika. Suatu terobosan yang menarik, karena rangkaian iklan-iklan tersebut yang menyerbu media cetak dan televisi memperlihatkan upayanya keluar dari pakem iklan-iklan pada umumnya. Semenjak iklan-iklan korporat itu muncul, produksi dan penjualan rokok Sampoerna A Mild mulai bergerak naik. Peneliti menangkap bahwa ditampilkannya aktivitas karyawan PT HM Sampoerna dalam iklan menunjukkan pengiklan melakukan evaluasi kampanye periklanannya dengan menampilkan realitas sosial. Aktivitas-aktivitas nyata karyawan
tersebut adalah produk realitas sosial yang dituangkan dalam iklan. Artinya, produk realitas sosial tersebut direproduksi ke dalam pesan iklan yang kemudian ditayangkan televisi untuk dikonsumsi khalayak, sebagaimana yang dikatakan Bungin (2001). Berdasarkan evaluasi tersebut, pengiklan melakukan perubahan positioning produk rokok Sampoerna A Mild dengan berusaha menaiki tangga-tangga di dalam benak konsumen. Kasali (1992) mengganggap penting bagi suatu produk untuk menaiki tangga dalam benak konsumen sehingga menempatkan produk dalam posisi yang tepat. Berdasarkan uraian di atas, perubahan positioning rokok Sampoerna A Mild disajikan pada Gambar 5. Gaya hidup
Rokok Merek lain
Karakter produk beda
Tidak boleh memperlihatkan orang sedang merokok
Citra korporat
Rokok Sampoerna A Mild
Batasan peraturan periklanan untuk jenis rokok
Kegiatan drumband buruh pabrik
Sukses di Festival of Roses di Pasadena, Amerika
Gambar 5. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap perubahan Semenjak itu, ada kesadaran baru dari manajemen pengelola rokok Sampoerna A Mild bahwa konsumen dapat didekati dengan realitas keunikan dan keunggulan produk, maka didapatkan keunikan rokok Sampoerna A Mild adalah pada kadar tar dan nikotin yang sangat rendah. Keunikan inilah yang akhirnya membawa pada slogan komunikasi cukup panjang usianya, yaitu "How Low Can You Go." Upaya komunikasi yang sakti ini, mulanya diragukan sebagian orang, karena komunikasi semacam itu tidak akan nyambung, tetapi ternyata pasar membuktikan, dengan gebrakan serius dan menyeluruh, ternyata konsumen terbius dan bahkan mencintai produk tersebut. Akhirnya terciptalah pasar baru yang tanpa terduga membludag luar biasa (Palupi, 1996).
Keberhasilan rokok Sampoerna A Mild melepaskan diri dari keparitasan, semakin memperkuat posisinya di benak konsumen. Penyajian pesan iklan yang berisi realitas sosial mendorong pengiklan mempertajam diferensiasi dengan menampilkan keunggulan produk, yaitu kadar tar dan nikotin rendah. Rokok Sampoerna A Mild mengandung tar dan nikotin rendah adalah realitas unik yang diklaimnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memposisikan rokok Sampoerna A Mild diasosiatifkan dengan citra produknya. Secara asosiatif, rokok yang mengandung kadar tar dan nikotin rendah memberi peluang kepada perokok yang ingin tetap merokok tetapi peduli kesehatan
atau
bahkan
berhenti
merokok.
Dalam
Gambar
6,
peneliti
menyederhanakannya sebagai skema positioning kehadiran baru. Gaya hidup
Rokok Merek lain
Keunggulan produk
Karakter produk beda
Tidak boleh memperlihatkan orang sedang merokok
Rokok Sampoerna A Mild
Batasan peraturan periklanan untuk jenis rokok
Kadar tar yang sangat rendah (low)
Kadar nikotin yang sangat rendah (low)
How Low Can You Go
Citra khalayak
Pecinta kesehatan
Pecinta rokok
Gambar 6. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap kehadiran baru Dalam penyajian pesan iklannya, produk rokok dibatasi oleh PP dan kode etik periklanan sebagaimana peneliti uraikan di Bab Tinjauan Pustaka. Namun penyajian pesan iklan rokok Sampoerna A Mild berisi permainan kata-kata yang dikonotasikan memiliki hubungan asosiatif dengan keunggulan produk, seperti kalimat ”How Low Can You Go.” Menurut peneliti kalimat ”How Low Can You.” mengandung makna ”sesuatu yang rendah.” Secara oposisional, kata ”rendah” selalu dihadapkan pada kata ”tinggi”.
Bila makna tersebut dihubungkan dengan produk rokok Sampoerna A Mild, maka rokok tersebut mengandung tar dan nikotin rendah. Tar dan nikotin dalam produk rokok adalah kandungan berjenis racun yang didasarkan pada kadarnya. Secara oposisional, rokok yang mengandung tar dan nikotin rendah berhadapan dengan rokok yang mengandung tar dan nikotin tinggi. Semakin tinggi kadar tar dan nikotin yang dikandung rokok, maka semakin berracun rokok tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa produk rokok Sampoerna A Mild unggul dalam kandungan tar dan nikotin. Artinya, kadar tar dan nikotin rendah yang dikandung rokok Sampoerna A Mild lebih sedikit racunnya dibanding produk rokok lain. Kalimat tersebut adalah bentuk pernyataan positioning yang bersifat asosiatif. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kasali (2005) bahwa positioning harus diungkapan dalam bentuk suatu pernyataan (positioning statement). Pernyataan ini selain memuat atribut-atribut yang penting bagi konsumen, harus dinyatakan dengan mudah, enak didengar, dan harus dapat dipercaya. Secara umum, semakin beralasan klaim yang diajukan, semakin objektif, maka semakin dapat dipercaya. Terhadap positioning tersebut, Kertajaya dalam Palupi (1996) mengatakan bahwa kehadiran rokok Sampoerna A Mild bersamaan dengan gerakan hidup sehat, karena walaupun sebagai perokok, tetap mendambakan hidup sehat, maka satu-satunya jalan adalah memilih rokok rendah kadar tar dan nikotinnya. Dalam hal ini, rokok Sampoerna A Mild menjadi citra khalayak sasaran, yaitu pencinta kesehatan yang juga mencintai rokok (Gambar 6). Posisi baru inilah yang berkembang meyakinkan. Kini, era kepercayaan terhadap nikotin dan tar yang rendah sudah tertancap. Rokok Sampoerna A Mild tentu tak hanya tinggal diam, tetapi terus menyegarkan konsep komunikasinya yang tepat. Maka, sejak awal tahun 1996 hadir konsep kampanye baru yang berusaha menyambung gaya hidup 'How Low Can You Go' lewat konsep "Bukan Basa Basi'. Rokok Sampoerna A Mild bermaksud menegaskan bahwa kepercayaan yang diberikan adalah bukan basa basi (Palupi, 1996). Konsep ”Bukan Basa Basi”, menurut informan kunci Teguh Handoko adalah gambaran perilaku target audiens yang selalu berkomentar atau menyuarakan sejujurjujur hati nuraninya ketika melihat situasi yang ada di dunia ini, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Konsep ”Bukan basa Basi” didefinisikan dengan bahasa yang memang brutally honest, yaitu jujurnya berlebihan sekali atau jujur sekali. Bukan basa basi yang ditujukan untuk suatu kejujuran dalam segala hal. Iklan tersebut akhirnya selalu muncul dikaitkan dengan konteks sosialnya. Artinya, pesan
yang disajikan dalam iklan Sampoerna A Mild selalu menggambarkan realitas dalam konteks sosial kekinian. Lebih lanjut, Teguh Handoko mengungkapkan bahwa realitas dalam konteks sosial yang direproduksi dalam bentuk pesan iklan televisi rokok Sampoerna A Mild berkaitan dengan situasi pemilihan umum, birokrasi pemerintah di era reformasi, bulan puasa, lebaran dan semacamnya. Konsep ”Bukan Basa Basi” pada akhirnya menjadi skema paripurna bagi rokok Sampoerna A Mild dalam memposisikan dirinya pada benak khalayak. Hal tersebut termuat dalam Gambar 7 Gaya hidup
Rokok Merek lain
Keunggulan produk
Rokok Sampoerna A Mild
Karakter produk beda
Tidak boleh memperlihatkan orang sedang merokok
Batasan peraturan periklanan untuk jenis rokok
Kadar tar yang sangat rendah (low) Bukan Basa Basi Kadar nikotin yang sangat rendah (low) How Low Can You Go : kepercayaan yang diberikan
Gambar 7. Skema positioning rokok Sampoerna A Mild tahap paripurna Di antara tema-tema periklanan yang diberikan, dengan gagah berani dinyatakan bahwa rokok Sampoerna A Mild juaranya. Itu terlihat di layar kaca sebagai simbolisasi suara kucing berantem dalam karung. Pertempuran terselubung itu, akhirnya dimenangkan oleh kucing unggulan yang 'bukan basa basi'. Versi lainnya akan dibahas pada subbab berikutnya. Konsep cerdik ini yang terkesan unik, menantang, dan bahkan sulit dicerna sebagai wujud keyakinan Sampoerna A Mild menggulung pasar rokok yang memang kini ada di tangannya. Suatu pelajaran menarik, korelasi antara konsep
komunikasi dan pemasaran yang menjual. Di tengah ketatnya peraturan iklan rokok, justru rokok Sampoerna A Mild berhasil meningkatkan penjualannya berkat konsep komunikasi
pemasaran
yang
dijalankan.
Keberhasilan
Sampoerna
A
Mild
menggelontorkan batang-batang rokok ke pasaran memang spektakular. Dalam waktu enam (6) tahun, sejak muncul tahun 1989, secara berturut-turut pemasaran A Mild tumbuh dahsyat, hingga di tahun 1996 ini produksi mencapai lebih dari 95 juta batang per hari (Palupi, 1996). Menurut Handoko dalam Palupi (1996) produksi rokok Sampoerna A Mild di tahun 1989 mencapai 10 ribu batang per minggu. Lalu awal tahun 1990 meningkat menjadi 14 juta batang per minggu. Selanjutnya pernah mengalami penurunan di kuartal ke-3 tahun 1993 hanya 6 juta batang per minggu dan membumbung tinggi setelah terjadi revisi-revisi dalam konsep komunikasi. Jadi, pergerakan penjualan rokok Sampoerna A Mild berkait erat dengan posisi dan strategi komunikasi yang dijalankan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa skema positioning dalam upaya menerobos benak khalayak bukan hal mudah; di tengah bertaburnya produk sejenis di pasaran. Sebagai strategi komunikasi di awal kampanye rokok Sampoerna A Mild, keunggulan produk berkadar tar dan nikotin rendah sudah diposisikan. Namun penonjolon pesan belum menunjukkan diferensiasi. Pesan rokok Sampoerna A Mild mengesankan keparitasan dengan produk lain. Dalam strategi komunikasi, diferensiasi produk adalah penting. Melalui diferensiasi, khalayak lebih mudah mengenal produk tertentu di bandingkan produk lainnya. Pada akhirnya, melalui skema perubahan, diferensiasi produk rokok Sampoerna A Mild ditunjukkan melalui pesan asosiatif antara keunggulan produk rendah tar dan nikotin dengan realitas sosial. Konsep big idea yang cemerlang, yaitu ”Bukan Basa Basi” mengandung pesan asosiatif bahwa rokok Sampoerna A Mild adalah jujur dan bukan basa basi sebagai produk rendah tar dan nikotin. Positioning statement tersebut diimplikasikan ke dalam pesan setiap iklannya yang mengambil tema-tema realitas sosial. 4.1.2. Versi Pencipta Iklan Informasi tentang penciptaan iklan rokok Sampoerna A Mild peneliti mulai dengan melakukan wawancara terhadap Teguh Handoko. Beliau adalah salah seorang tim perencanaan periklanan rokok Sampoerna A Mild. Menurutnya, proses terbentuknya positioning suatu produk atau merek dalam periklanan merupakan bagian proses perencanaan periklanan secara keseluruhan disajikan pada Gambar 8.
Agency
Client’s Brief
Marketing Strategy: - Competitor - Positioning - Target Market - Communication Strategy
Research
Client and Agency
Brand Idea / Positioning
Big Idea
Creative Brief
Creative Idea
Creative Execution
Television
Billboard, etc
Print
Radio
Bellow the Line
Gambar 8. Proses perencanaan periklanan suatu produk Berdasarkan Gambar 8, Teguh Handoko mengatakan bahwa ada dua (2) tahapan proses terbentuknya positioning dalam periklanan : yang pertama lebih rational proses dan kedua lebih magic proses. Rational proses maksudnya membikin iklan tidak sematamata mengandalkan intuisi, tetapi ada juga satu hal yang dilakukan, yaitu harus mengetahui produknya, harus mengetahui target audiens dan yang lebih jauh lagi adalah harus mengetahui target audiens tersebut bukan hanya tentang gaya hidup, karakteristik demografis, psikografis dan segala macamnya. Jadi mengenal karakter target audiens lebih jauh. Ketika mengenal karakternya lebih jauh mendapatkan, maka diperoleh data dan informasi tentang target tersebut. Tetapi tidak semua data dan informasi dapat dipakai. Dalam hal ini yang dipilih dan digunakan adalah yang benar-benar sebagai insight dari target audiens. Consumer insight dilakukan untuk mendapatkan data mendalam tentang sistem distribusi, competitor, target market. Melalui consumer insight ini pula akan didapat positioning yang tepat. Melalui insight tersebut didapatkan sesuatu yang benar-benar tidak pernah terpikirkan bahkan oleh target audiens sendiri tentang realitasnya atau sesuatu yang sudah pernah ada sebelumnya, tetapi dikemas dalam bentuk baru. Intinya adalah iklan harus memiliki ciri-ciri seperti suatu kado, maka harus surprise. Jika memberi tahu sesuatu yang khalayak sudah mengetahuinya, maka tidak akan diperhatikan orang. Jadi memang harus selalu ada yang baru.
Bagi biro iklan, positioning sangat diperlukan. Tapi saat ini susah membedakan positioning produk dalam iklan karena kecenderungannya memiliki kesamaan. Meskipun begitu tetap harus ada differ (perbedaan) yaitu unique, ownable dan campaign. Sebagai kreator iklan harus selalu menunjukkan hal-hal yang baru, karena tidak boleh mengulang sesuatu yang sudah pernah dilakukan. Hal tersebut tidak akan membuatnya menjadi briliant, dan yang penting adalah keunikan. Dalam hal ini selalu dicari sesuatu yang unik dari target audiens tersebut. Selain itu melakukan hal yang sama untuk analisis produk dan menemukan sesuatu yang unik. Dalam positioning ada istilah unique selling proposition yang sebenarnya sebagai terminologi yang tepat. Namun banyak praktisi iklan melihatnya dari kebaikankebaikan produk dibandingkan dengan yang lain. Bila melihat kebaikan, maka belum tentu menang. Misalnya, hari ini iklan membicarakan yang paling baik, atau paling murah, besok sudah berubah lagi, atau hari ini bilang yang paling canggih, maka besok sudah berubah lagi. Kalau yang dicari keunikan, maka hal itu tidak akan mungkin dapat ditiru secepat itu oleh pihak lain. Dua (2) keunikan, yaitu target audiens dan produk kalau digabungkan, maka jadilah hal tersebut sebagai sebuah button atau garis besarnya. Dua (2) hal yang tidak berhubungan dijadikan satu, atau menghubungkan dua (2) hal yang tidak berhubungan, maka lahirlah big idea sebagai konsep besar yang belum ada nilai apapun, atau masih sebuah konsep besar. Untuk menemukan big idea, dibutuhkan partner kreatif, karena ketika berpikir hal tersebut akan dimulai dari yang bersifat umum dan mengkerucut sampai sangat sempit hingga keluar big idea. Ketika tercipta big idea, maka hal tersebut diinginkan terbang setinggi-tingginya dan hidup dalam dunianya sendiri, maka diperlukan temanteman kreatif. Sampai tahap ini, proses yang bersifat rational berakhir. Selanjutnya, bersama teman-teman kreatif memulai tahap yang disebut dengan proses magic, yaitu berpikir dari hal sempit menjadi lebih luas, dengan data sebagai patokannya. Jadi, dengan kunci big idea akan dibuat aplikasinya atau pengejawantahannya. Nantinya ide dapat bermacam-macam, terserah cara memandang idenya seperti apa, tetapi yang pasti, idenya sudah sangat jelas, karena ada big idea di belakangnya. Berkaitan dengan pembentukan big idea rokok Sampoerna A Mild, Teguh Handoko mengatakan : Dalam teori iklan, big idea itu tidak boleh lebih dari tiga (3) kata. Jadi semakin singkat dapat dirumuskan konsep-konsepnya, maka itu lebih baik. Contohnya seperti A Mild. Saya dulu pernah terlibat hampir tiga tahun. A Mild sejak
pertama kali didefinisikan brand-nya, maka target audiensnya 17-25 tahun (sudah punya karakter). Hal tersebut sesuai dengan hasil riset bertahun-tahun, yang namanya ’bukan basa basi’. ’Bukan Basa Basi’ adalah gambaran perilaku target audiens yang selalu berkomentar atau menyuarakan sejujur-jujurnya hati nuraninya ketika melihat situasi yang ada di dunia ini, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Hal itu didapatkan dari riset, bahwa memang karakter itu begitu tipe-nya, yaitu tidak mau anak-anak muda sekarang bilang ”sok jaim” (menutupi hal sebenarnya), atau ”itu basa basi”. Iklan tersebut akhirnya selalu muncul dikaitkan dengan konteksnya. Misalnya, bila saat musim pemilihan umum, maka akan dimunculkan situasi Pemilihan Umum dalam kacamata audiens tersebut, yaitu hal yang paling sejujur-jujurnya yang dapat dilihat tentang pemilu, atau lainnya, seperti lebaran, puasa. Hal yang paling sejujurjujurnya tentang suatu realitas dan tentang musik. Definisi tentang brand dijaga betul sampai bertahun-tahun hingga hari ini masih melakukan, meskipun dimensi isunya berbeda, karena mengambil realitas sosial bermacam-macam dan berkembang terus. Namun selalu dilihat dari kacamata anak muda yang memang brutally honest, yaitu jujur yang sejujur-jujurnya terhadap diri sendiri dan keadaan sekitarnya. Core target audiens berusia 17–25 tahun. Yang diluar itu lebih bersifat aspirasional, misalnya yang berusia di atasnya ingin jadi anak muda atau yang berusia di bawahnya yang ingin masuk dan menjadi kelompok tersebut. Tetapi memang generasi tersebut, ada yang baru kerja dan ada yang masih sekolah, yang mana dunianya selalu menciptakan tema-tema bagi Sampoerna A Mild. Hal tersebut yang membuat Sampoerna A Mild selalu konsisten. Bila dilihat apapun bentuk output kreatifnya, maka yang disebut sebagai reproduksi sosial, Sampoerna A Mild akan selalu diciptakan berdasarkan dimensi tersebut. Kelompok ini tidak akan terpisah dari dunianya. Nuansa lokalnya akan terlihat kuat dan menyoroti apapun yang terjadi di dunia sosialnya. Selamanya akan seperti itu terus. Hal itu dibuktikan hingga sekarang dijalankan terus padahal sudah sepuluh tahun. Total hingga sekarang mungkin sudah 18 atau 19 tahun, dan Sampoerna A Mild tetap konsisten dan tetap relevan. Hal itu adalah proses yang dilakukan Sampoerna A Mild, atau secara umum hampir semua biro iklan melakukannya. Pengaruh dari klien atau pengiklan, menurut Teguh Handoko hanya bersifat mandatori, yaitu sesuatu yang tidak diinginkan klien seperti tidak boleh menggunakan simbol atau warna tertentu. Lebih lanjut dikataknnya bahwa orang punya kemampuan tersendiri yang tidak dimiliki untuk menghadirkan sosok unik target audiens
disandingkan dengan sosok unik produknya, kemudian menemukan sebuah ide. Ide ini disebut Big Idea. Ide ini yang akan dibangun untuk brand dan menjaganya. Menjaga brand sama seperti mengkultuskan sesuatu. Hal itu membutuhkan dedikasi, pemahaman dan komitmen. Mungkin orientasi bagi produsen (klien) bersifat short-term atau menjual produk. Padahal produk brand itu bersifat live forever. Bagi pencipta iklan yang dipikirkan adalah brand. Seperti apa brand di mata target audiens. Image apa yang tertanam dibenaknya serta mau dibangun dan diisi dengan apa. Pada dasarnya pencipta iklan mengharapkan komitmen pengiklan, sebagaimana komitmen pengiklan Sampoerna A Mild. Ada hal menarik dari wawancara dengan Teguh Handoko bahwa pemiliknya sangat luar biasa berkomitmen untuk Sampoerna A Mild. Berikut adalah ungkapannya : Misalnya, mengkoleksi mobil Roll-Royce yang di dunia tidak ada yang punya, sebagai syarat. Warnanya merah marun yang dipilih dengan syarat orang lain tidak ada yang punya, meskipun dia harus keluarkan uang yang besar untuk itu. hal yang dilakukan pemilik adalah demi kepentingan brand, yaitu menjaga kesakralan brand bahwa dengan merah marunnya ada di mana-mana, sehingga membuat stakeholders menghargainya. Brand tercipta bukan hanya peranan agency (pencipta iklan), tetapi pemilik juga harus menjaganya untuk sesuatu yang lebih long-term. Jadi pemilik merepresentasikan personal experience supaya brand harus hidup sebagai suatu brand yang selalu diomongin orang. A Mild merupakan keberhasilan semua, karena komitmen semua pihak. Pembentukan dan penempatan positioning dalam gambaran di Iklan bersifat abstrak dan konkrit. Teguh Handoko menyatakan bahwa Positioning sebenarnya adalah apa dan bagaimana menempatkan sesuatu dibenak konsumen berbentuk respon, atau tidak harus berbentuk stimulus, atau abstrak, atau konkrit. Yang paling mudah adalah orang menempatkannya dalam bentuk tagline. Seperti A Mild dengan tagline ”Bukan Basa Basi”, di mana value yang ditanamkan dua (2) hal tersebut. Belakangan ini banyak juga iklan yang abstrak, yang tidak menyebut stimulus sama sekali di mana semua bentuk komponen komunikasinya diarahkan supaya orang meresponnya. Misalnya, kampanye iklan politik, dari mulai stimulus sama respon berbeda, yaitu ”lanjutkan”, tetapi sebenarnya buka itu positioning yang dimaui. Ada sesuatu yang lain yang ada di kepala konsumen adalah positioning yang sebenarnya. Berkaitan dengan penempatan positioning dalam gambaran iklan Sampoerna A Mild, Teguh Handoko mengungkapkan selengkapnya : A Mild dalam hal ini, berupa positioning stimulus yang disampaikan ”Bukan Basa Basi”, tetapi positioning yang ada dibenak konsumen sebagai brand yang ”paling cool”, dan ”paling mengertinya”. A Mild adalah brand yang paling
mengerti konsumennya. Brand yang paling mengerti kelompok audiens perokok dengan sifat sejujur-jujurnya. ”Itu memang brand yang ngerti gue”, katanya, ”Yang lain nggak ngerti gue”. Sifat penempatan positioning A Mild adalah bersifat konkrit maupun abstrak. Sebenarnya A Mild sudah keluar dari kategori sebuah rokok. A Mild sudah menjadi gaya hidup. A Mild sudah keluar dari area itu, meskipun tidak boleh menyebutkan kelebihan produk, area yang diambil adalah gaya hidup target audiens. Misalnya, ketika sesorang mengeluarkan A Mild, maka akan direspon oleh yang lain “Wih! A Mild loe!”. A Mild selalu menjadi benchmark atau patokan untuk kelompok kategori tersebut, A Mild yang terbaik, dan A Mild sudah mendapatkan keuntungannya, meskipun dengan harga premium dan dengan positioning mendapatkan value. Peran pengiklan dan pencipta iklan sebenarnya berlangsung ketika proses pemahaman terhadap target audiens dan produk berdasarkan informasi rasional yang dikumpulkan. Semua orang terlibat dalam proses ini, termasuk kreatif, media, dan lainlain. Jadi sejak awal proses periklanan, semua ikut terlibat. Semua belajar barengbareng, semua mengenali target audiens dan produk bersama-sama sampai sepakat ke satu big idea. Meskipun punya spesialisasi sendiri-sendiri, tetapi tidak terpisahkan dalam proses tersebut. Misalnya satu tentang strategi, satu tentang kreatifnya dan satu lagi tentang medianya. Ketiga bidang tersebut harus tahu dan terlibat sejak awal untuk mengetahui masalah apa yang dihadapi klien. Bagi pencipta iklan, tidak akan dapat bekerja tanpa mengetahui masalah. Tetapi adakalanya ada klien yang tidak dapat merumuskan apa masalah yang dihadapinya, maka dibantu untuk menemukan masalah yang sebenarnya dihadapi klien, sampai semua komitmen dengan masalah tersebut, baru dapat bekerja. Masa proses mendapatkan big idea bersifat relatif. Kalau yang tough dengan penelitian kualitatif untuk mendukung asumsi-asumsi, maka diperlukan satu (1) bulan untuk dapat big idea. Dalam hal ini ada juga yang memakai paket cepat. Meski demikian, tetap melakukan metode yang sama, tetapi dalam cakupan yang lebih, dengan istilah ’quick and the fee’, namun dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Misalnya, ngobrol dengan beberapa orang, tetapi secara mendalam hingga merumuskan hasilnya sebagai insight formula. Sekali lagi hal tersebut bergantung pada kesepakatan masing-masing. Dalam hal ini dapat dilakukan degan penelitian melalui prosedur formal atau langsung menjawab hipotesis. Misalnya, bila sudah tahu masalah apa, hipotesisnya apa, lalu dapat penelitian langsung untuk menemukan jawabannya, maka tidak perlu melakukan penelitian yang lebih besar dan luas lagi, dengan persiapan lebih lama dan biaya lebih besar. Bahkan
adakalanya, penelitian yang singkat tersebut tidak hanya menghasilkan big idea, tetapi juga sudah sampai eksekusi kreatifnya. Menurut Teguh Handoko ketika bagian kreatif dilibatkan dalam proses penentuan dan pembetukan positioning, masa proses yang dilakukannya berlangsung relatif sebagaimana yang dituturkannya : Masa proses di bagian kreatif malah lebih lucu, bila dikasih waktu tiga (3) hari, maka dapat diselesaikan sebelum tiga (3) hari. Bila dikasih waktu lima (5) hari, maka hari ke lima (5) ditemukan. Kasih waktu satu (1) hari, satu (1) jam pertama, maka ketemu. Jadi sebenarnya tidak ada rumusan waktu yang baku dan pasti, yaitu selama paham betul big idea tersebut maknanya apa, akan berpikir sendiri secara langsung dari situ. Yang penting big idea itu harus menginspirasi orang kreatif, supaya dapat mengembangkan big idea tersebut menjadi sesuatu lebih real (nyata) yang sudah tidak bersifat konsep lagi. Masa proses inkubasi di bagian kreatif tergantung apakah big idea tersebut menginspirasinya. Proses tersebut disebut creative briefing. Ketika menemukan big idea, bagian kreatif dapat langsung melakukan brief kreatif. Hal ini memperlihatkan apakah orang-orang kreatif terinspirasi atau tidak. Kalau terinspirasi, berarti big idea benar, tetapi bila tidak terinspirasi dan tenang-tenang saja tidak ada respon, maka big idea kurang benar. Bagian kreatif bekerja untuk mencari key word yang pas, bentuk isi pesannya baik verbal, non verbal, simbol-simbol, latar, dan lain-lain. Orang-orang kreatif sangat subyektif, tetapi dalam bekerja landasannya adalah big idea, maka kreatifitasnya harus dijaga dan memberi kebebasan dalam berkreatif, yang penting patokannya dari big idea. Dapat dikatakan bahwa orang kreatif sebagai orang yang berbakat, atau terlatih, namun tetap subyektif. Meskipun subyektif, tetapi dapat dipertanggung- jawabkan secara obyektif, dengan cara mengumpulkan dulu simbol-simbolnya lalu diuji. Dalam hal ini bila diterima, berarti dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya, merumuskan warna biru untuk simbol laki-laki, lalu diuji melalui iklan, tetapi orang menangkapnya tidak demikian (persepsi apa saja), tetapi beauty of advertising berada di situ. Dalam hal ini, persepsi konsumen yang penting, misalnya suatu simbol berupa gambar gunung, tetapi konsumen dapat menangkapnya sebagai gambar lain. Yang penting persepsi konsumen (Perception is reality). Kasus Sampoerna A Mild sudah berkali-kali dilakukan pretest bahwa tidak pernah mengkaitkan ekspektasi produk dengan benefit, teapi konsumen dapat menghubung-hubungkan ekspektasi produk dengan produk benefit. Hal itu dikarenakan
permainan persepsinya konsumen (tidak dapat melarang). Seperti, Sampoerna A Mild mahal, maka demikian ekspektasinya, tetapi itu tidak masalah. Penggunaan simbol-simbol dalam iklan bagi orang kreatif datang dari langit, tidak ada dasarnya, yaitu intuisi, tetapi memang ada juga yang dapat dipelajari dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya, ada pretest berdasarkan eksekusi yang dibuat, lalu melakukan pilihan mana yang dapat dipakai. Hal itu merupakan karunia Tuhan, yaitu kemampuan yang tidak dimiliki oleh semua orang. Pemilihan media termasuk proses penting dalam periklanan. Teguh Handoko mengatakan bahwa ketika melakukan proses pencarian big idea, harus dilakukan media dan budget netral. Untuk dapat ide yang terbaik, tidak boleh dibatasi oleh hal-hal tersebut. Biarkan ide tersebut berkembang dahulu sampai dapat dilihat pijakannya ada di mana, maka target audiens bagaimana dan point of context bagaimana secara detail. Di awal saat mencari big idea, tidak boleh dipengaruhi oleh penggunaan media yang diinginkan klien. Ketika ada isu di milis, tidak ada yang menyangka bahwa asumsi-asumsi untuk media berubah. Jadi penggunaan media dapat dipengaruhi atau berlandaskan big idea. Kontribusi televisi bagi penempatan iklan, kalau dari data penelitian atau AcNielson, televisi memang masih teratas. Hingga saat ini televisi masih dianggap sebagai media paling tepat dan cepat dalam membangun awareness khalayak. Namun begitu masih bergantung pada produk, sistem distribusi, target market, dan lainlain. Tetapi keefektifannya masih unggul di banding media lain. Penentuan dan efektivitas media berhubungan langsung dengan biaya yang besar. Fakta bahwa konsumen target audiens terhadap televisi di Indonesia sangat besar dibanding media lain, tetapi juga untuk jam-jam tertentu bukan televisi. Untuk target audiens Sampoerna A Mild berusia 17-25 tahun, mungkin yang menonton televisi lebih sedikit dibandingkan ber-internet, menonton bioskop, menonton pertunjukkan musik. Secara umum, televisi memang paling efektif dan belum berubah. 4.2.
Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Teks Iklan Rokok Sampoerna A Mild di Televisi Konstruksi realitas dalam tingkatan teks iklan dapat diartikan sebagai hasil reproduksi sosial dalam proses periklanan. Proses tersebut melibatkan pengiklan dan pencipta iklan. Pengiklan berfokus untuk menghasilkan suatu produk dan menjualnya. Sewaktu membuat iklan, pengiklan memperhatikan identitas perusahaan, strategi pemasaran dan produk utama andalan perusahaan. Atas dasar itu, strategi periklanan
dapat mendukung program pemasaran tanpa menghilangkan kesan konsumen terhadap kepribadian perusahaan. Sedangkan, pencipta iklan, berdasarkan informasi produk atau merek dari pengiklan, mengintegrasikannya ke dalam pesan iklan berupa simbol budaya popular dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Dalam hal ini dilakukan reproduksi dengan cara mengkonstruksi informasi-informasi bersifat sosial untuk diwujudkan ke dalam pesan sebuah iklan. Pencipta iklan melakukan proses pembentukan dan penentuan positioning bagi produk yang akan diiklankan melandaskan pekerjaannya pada perencanaan periklanan yang meliputi analisis situasi, tujuan, profil target market, pernyataan positioning, strategi kreatif dan perencanaan media. Positioning yang berbeda dimaksudkan sebagai pencitraan produk yang memiliki kepribadian yang kuat di antara produk lainnya. Agar kepribadian produk tetap ada, maka karakteristik produk diusahakan tidak bertabrakan dengan inti dari merk tersebut, malah justru harus menambah nilai plus dari produk tersebut. Produk yang ingin diposisikan ke dalam benak konsumen harus sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh konsumen. Selain itu, produk tersebut harus dirumuskan dalam bentuk pernyataan positioning yang mewakili citra produk dan memiliki hubungan asosiatif yang mencerminkan karakter produk yang tampil secara menyeluruh dalam pesan iklannya. Secara tidak langsung produk tersebut akan diterima oleh konsumen dan produk tersebut akan tetap tertanam di dalam benak konsumen. Pihak media, dalam hal ini stasiun televisi, adalah penyedia ruang dan waktu bagi pengiklan melalui pencipta iklan untuk menempatkan iklannya berdasarkan pada apa yang ingin dicapai, jenis pesan atau informasi yang ingin dikomunikasikan dan biaya yang dikeluarkan. Pengiklan berusaha mencapai sejumlah besar khalayak dengan biaya sedikit mungkin. Biaya untuk penggunaan media bergantung pada beberapa faktor, seperti ukuran khalayak, komposisi khalayak (umur, penghasilan, pendidikan, dan sebagainya), dan prestise dari media itu sendiri. Berdasarkan data pada Lampiran 6 diketahui bahwa iklan televisi rokok Sampoerna A Mild ditayangkan di stasiun televisi Trans TV, Global TV, SCTV, ANTV, RCTI, Trans7. Kontruksi realitas dalam teks iklan Sampoerna A Mild, peneliti uraikan ke dalam tiga (3) bagian, yaitu positioning Sampoerna A Mild melalui iklan televisi, tema dan timing iklan televisi Sampoerna A Mild dan analisis teks iklan televisi Sampoerna A Mild. 4.2.1. Positioning Sampoerna A Mild melalui Iklan Televisi
Temuan penelitian menunjukkan bahwa penentuan dan pembentukan positioning produk Sampoerna A Mild melalui iklan televisi dimuat dalam Tabel 2. Tabel 2. Positioning rokok Sampoerna A Mild melalui televisi Positioning Keunggulan produk, yaitu Rokok Sampoerna A Mild mengandung tar dan nikotin rendah
Big Idea Bukan basa basi yang ditujukan untuk suatu kejujuran dalam segala hal
Pernyataan Realitas Sosial Positioning - How low can you go -Bencana alam - Bukan basa basi -Pemilihan umum - Tanya Kenapa -Birokrasi -Perselingkuhan -Pendidikan dan pekerjaan -Lebaran -Berani mati -Penegakan hukum -Panutan -Tahun baru wajah baru
Tabel 2 menunjukkan bahwa Sampoerna A Mild diusung sebagai rokok unggul yang mengandung kadar tar dan nikotin rendah. Sebagai produk rokok yang diiklankan menghadapi pembatasan dalam pesan iklannya. Namun hal tersebut tidak menyebabkan kreativitas yang dituangkan dalam pesan iklan menjadi tidak menarik. Informan kunci Teguh Handoko mengakui bahwa proses awal penentuan dan pembentukan positioning rokok Sampoerna A Mild mengalami jalan panjang selama tiga (3) tahun melalui insight terhadap core target khalayaknya. Berlandaskan posisi keunggulan produk tersebut, menghasilkan big idea, sebagaimana yang dikatakan Teguh Handoko : Akhirnya, kejujurannya boleh didefinisikan dengan bahasa yang memang brutally honest, yaitu jujurnya berlebihan sekali atau jujur sekali. Itu justru penting, bagi target audiens berusia 17-25 tahun tersebut, pasti akan seperti itu. Kalau tidak seperti itu, berarti sudah berada dalam kelompok usia yang lain. Insight ini yang oleh tim A Mild tersebut dijadikan bahan sebagai big idea, yaitu bukan basa basi yang ditujukan untuk suatu kejujuran dalam segala hal. Big idea rokok Sampoerna A Mild dipecah ke dalam sub-sub big idea sebagai pengejawantahan positioning statement, yaitu How low can you go, Bukan basa basi dan Tanya Kenapa. Dalam gambaran iklan, penyajiannya dikaitkan dengan situasi terkini sebagai
realitas
sosial,
seperti
bencana
alam,
pemilihan
umum,
birokrasi,
perselingkuhan, pendidikan dan pekerjaan, Lebaran, berani mati, penegakan hukum, panutan dan Tahun Baru wajah baru.
4.2.2. Tema dan Timing Iklan Televisi Sampoerna A Mild Pesan dalam iklan televisi adalah teks yang menghasilkan tanda. Teks iklan merupakan hasil reproduksi sosial dari para pembuatnya, lalu dikonsumsi oleh khalayaknya yang mampu mempengaruhi sistem sosial, politik, budaya dan ideologi dalam struktur masyarakat sebagai realitas sosial. Iklan bukan saja merefleksikan realitas, tetapi juga didefinisikan melalui makna atau citra yang muncul di dalamnya. Citra atau makna tersebut merupakan hasil konstruksi realitas melalui kegiatan praktek suatu produksi dan makna yang bersifat sosial atau disebut praktek pemaknaan. Proses penyajian pesan iklan selalu berkaitan antara tema dan timing. Tema dan timing dalam iklan Sampoerna A Mild selalu merujuk pada produk sosial sebagai realitas dalam konteksnya. Hal ini sebagaimana dikatakan Handoko dalam Palupi (1996) dan informan kunci Teguh Handoko bahwa isi pesan iklan yang mengandung realitas dalam konteksnya mendorong iklan rokok Sampoerna A Mild lepas dari keparitasan dan meningkatkan penjualan. Kreatifitas iklan Sampoerna A Mild menawarkan situasi sosial kekinian tidak menggambarkan rokok tapi dari brand yang sudah terposisi dengan baik dibenak khalayak. Pesan yang disajikan dalam iklan Sampoerna A Mild adalah kritik sosial yang dibungkus menjadi suatu kreatif iklan oleh pencipta iklan. Tema-tema yang dihadirkan dalam pesan iklannya selalu dikaitkan dengan timing realitas sosial yang terjadi. Dari data profil iklan rokok Sampoerna A Mild (Lampiran 4), peneliti mensarikannya
dengan
cara
mengambil
sebagian
data
tersebut,
kemudian
menuangkannya ke dalam Tabel 3. Table 3. Keterkaitan antara tema dan timing iklan Sampoerna A Mild versi televisi Tema Iklan Bencana alam
Judul Iklan
Birokrasi Perselingkuhan Pendidikan dan Pekerjaan
Flood Become Tradition Teenagers Diving Confuse Choosing Taxi Siapa Muda Dipandang Sebelah Mata Flea on the Sofa Man Waiting Stamp Seal Siapa Gonta Ganti Pacar Gelar Dulu Kerja Dulu
Lebaran Berani mati Penegakkan hukum
Gampang Maafin Indian Riding Horse Trafic Sign
Pemilihan Umum
Timing Bulan Januari Februari Februari Maret Maret, April Maret Mei – Juli Agustus, September September Oktober Oktober
Tahun 2006 2008 2009 2008 2004 2006 2008 2008 2008 2005 2006
Panutan Tahun Baru Wajah Baru
Alien Following the Logo Paint Spray and Typewriter
Nopember Novemver Desember
2007 2003
Tabel 3 memperlihatkan keterkaitan antara tema dan timing iklan rokok Sampoerna A Mild. Tema iklan ditampilkan sebagai hasil reproduksi sosial dengan merujuk pada realitas yang sedang terjadi di masyarakat. Timing penayangan iklan dikaitkan dengan kapan konteks sosial tersebut terjadi. Iklan Sampoerna A Mild berjudul Man Waiting Stamp Seal mengambil tema Birokrasi di mana konteks sosial yang diusung berkaitan dengan gaya birokrasi Orde Baru di Era Reformasi. Iklan Sampoerna A Mild berjudul Flea on the Sofa mengambil tema Pemilihan Umum Anggota Legislatif tahun 2004 di mana konteks sosial yang diusung berkaitan dengan merajalelanya korupsi di lembaga-lembaga negara termasuk lembaga legislatif. Dalam memperhatikan iklan rokok Sampoerna A Mild, konsep-konsep yang ditawarkan dalam kreatifnya luar biasa. Hal ini tidak lepas dari aturan-aturan dalam tata karma dan tata cara periklanan yang membatasi bahwa iklan rokok tidak boleh menampilkan rokok, orang merokok dan ditujukan kepada anak-anak. Jika memperhatikan iklan rokok Sampoerna A Mild, lebih mensegmenkan pada siapa audiens yang dituju. Kekuatan dari suatu iklan adalah bagaimana positioning yang ditawarkan tergambar dalam iklan. Iklan rokok Sampoerna A Mild lebih menekankan kepada kritik sosial yang dibangun atau kritik sosial yang ada dibangun menjadi suatu kreatif iklan. Bagaimanapun pasar yang dituju rokok tersebut tidak terlepas dari bagaimana mengenal khalayak yang sesuai dengan produk tersebut. 4.2.3. Analisis Teks Iklan Sampoerna A Mild versi Televisi Pada bagian ini, peneliti melakukan analisis semiotik terhadap dua iklan rokok Sampoerna A Mild, yaitu versi Man Waiting Stamp Seal dan Flea on the Sofa. Analisis semiotik digunakan untuk menggali makna yang sebenarnya dari teks kedua iklan tersebut. Instrumen analisis semiotik yang digunakan mengacu pada konsep semiotika linguistik Williamson (2007) sebagaimana telah diungkapkan pada Bab Metodologi Penelitian. 4.2.3.1 Iklan Sampoerna A Mild Versi Man Waiting Stamp Seal Analisis iklan Sampoerna A Mild versi ”Man Waiting Stamp Seal” dengan tagline ”Tanya Kenapa” menunjukkan tanda-tanda signifier dan signified yang ditampilkan dalam iklan tersebut dimuat pada Tabel 4. Tabel 4. Tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan televisi A Mild versi
Man Waiting Stamp Seal Tanda-Tanda Signifier
Signified
Baju seragam yang digunakan
Pejabat pemerintah
Jarum jam berputar bersamaan dengan
Lambannya pekerjaan
pemberian stempel yang ditunda Stempel
Pengesahan
Suara: Tanyaken apa
Logat Jawa yang biasa terdengan waktu Soeharto Bicara
Kalimat tertulis: ”HARUSNYA
Pekerjaan sederhana diselesaikan dalam
GAMPANG DIBIKIN SUSAH”
waktu yang lama
Tabel 4 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tanda tersebut menghasilkan makna birokrasi warisan orde baru yang tidak produktif dan kontradiktif dengan era reformasi. Bagi Sampoerna A Mild sendiri, iklan tersebut memperlihatkan perhatian perusahaan terhadap kondisi sosial yang tengah terjadi. Melalui perhatian ini, Sampoerna A Mild menunjukkan bahwa perusahaan mempunyai kepedulian terhadap masalah sosial, yaitu tata administratif pemerintahan. Bagaimana sampai pada makna tersebut adalah karena sudah memiliki sistem tanda yang telah terbentuk. Sistem tanda yang dimaksud berkaitan dengan tipe pakaian. Dalam hubungan oposisi, dikenal pakaian yang sama warna, bahan dan coraknya antara baju dan celana/rok, yang biasa disebut seragam. Pakaian jenis ini dimuat pada Gambar 9.
Gambar 9. Scene 1 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp Seal
Gambar 9 memperlihatkan jenis pakaian seragam dengan model, corak dan warna, serta dilengkapi name tag sebagai pelengkap yang biasa dipakai oleh pegawai administratif pemerintah. Lalu ada jenis pakaian yang berbeda warna, bahan dan coraknya antara baju dan celana/rok yang biasa disebut bukan seragam sebagaimana dimuat pada Gambar 10.
Gambar 10. Scene 2 dan 3 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp Seal Keterkaitan makna yang dapat ditangkap antara Gambar 9 dengan Gambar 10 di atas memperlihatkan bahwa secara oposisional, pakaian seragam memiliki makna ketika berhubungan dengan pakaian bukan seragam. Pakaian seragam biasa dikenakan oleh suatu kelompok, komunitas, atau lembaga. Dalam kaitannya dengan iklan tersebut, pakaian yang dikenakan itu biasa digunakan oleh pejabat pemerintah. Karena itu, tanda tersebut menghasilkan makna pejabat pemerintah atau dalam bahasa yang lebih keren sebagai birokrasi. Menurut peneliti birokrasi pemerintah di era reformasi ini masih dimaknai sebagai birokrasi yang lamban dan berbelit-belit. Sementara realitas dalam konteks sosial yang sesungguhnya bertolak belakang dengan harapan masyarakat ketika berhubungan dalam urusan administratif di pemerintahan. Pemaknaan demikian tercermin pada tanda yang dimuat pada Gambar 11.
Gambar 11. Scene 4 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp Seal Gambar 11 di atas memperlihatkan bagaimana pejabat pemerintah tersebut memegang stempel dengan mengangkat tangan kanannya, sementara tangan kirinya sedang menyikat gigi. Jarum jam di dinding menunjukkan angka tiga (3) sebagai tanda akan berakhirnya jam kantor. Bila dikaitkan dengan realitas sosial, tanda-tanda pada Gambar 11 tersebut mengandung makna pekerjaan sederhana tapi membutuhkan waktu penyelesaian yang lama. Pekerjaan sederhana yang digambarkan adalah membubuhkan stempel di atas selembar kertas. Secara keseluruhan sistem referen tanda yang ditampilkan pada penggalan dalam teks iklan Sampoerna A Mild di atas mengindikasikan kritik sosial yang cukup keras. Sejalan dengan era reformasi sudah seharusnya birokrasi pemerintahan dituntut profesional dengan menerapkan prinsip good governance. Sementara gambaran realitas yang ditampilkan adalah birokrasi warisan Orde Baru. Menurut Sihabudin (1997), bila seseorang mengenakan pakaian seragam tertentu pada dasarnya orang telah menyerahkan haknya sebagai individu untuk bertindak bebas, dan selanjutnya harus menyesuaikan dan tunduk pada aturan kelompoknya. Ini artinya, seseorang ketika mengenakan seragam pegawai pemerintah harus menyesuaikan diri dan tunduk dengan sumpahnya sebagai aparatur negara. Menurut peneliti, kritik sosial terhadap birokrasi yang demikian bila tidak dilakukan perubahan dapat mempertajam anggapan khalayak bahwa pemerintahan di era reformasi tidak berbeda dengan pemerintahan di era orde baru. Namun untuk menatap masa depan, Iberamsyah (1997) mengatakan bahwa birokrasi Indonesia harus mampu mengikis nilai-nilai lama yang tidak rasional dan menggantikannya dengan nilai-nilai moderen yang rasional. Tanpa usaha ini, Indonesia akan terpuruk di tengah-tengah persaingan dunia yang kian ketat. 4.2.3.2 Iklan Sampoerna A Mild Versi Flea on the Sofa Analisis iklan Sampoerna A Mild dalam versi “Flea on the Sofa” menunjukkan tanda-tanda signifier dan signified yang ditampilkan dalam iklan tersebut dimuat pada Tabel 5. Tabel 5. Tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The Sofa Tanda-Tanda Signifier
Signified
Kursi sofa
Kursi mahal milik orang-orang tertentu
Kursi Sofa yang bolong, rusak, dan kotor
Kursi yang tidak berharga
Kutu busuk di atas kursi sofa
Binatang kecil penggerogot
Lelaki tua gemuk yang hendak duduk
Lelaki tua suka duduk di kursi empuk
Celana panjang bermotif kotak-kotak
Celana panjang dipakai pria flamboyan
Tangan kanan yang menggaruk bokong
Gatal-gatal karena duduk di kursi sofa
Kalimat tertulis: ”KALO NGGAK
Kursi harus dibersihkan agar tidak
DIBERSIHIN KUTU BUSUKNYA
didiami binatang penggerogot/kutu busuk
NGGAK BAKALAN PERGI!!
Tabel 5 secara keseluruhan menunjukkan tanda menghasilkan makna anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sudah tua-tua dan gemuk yang tidak produktif, penuh janji-janji, serta penyalahgunaan wewenang seperti korupsi. Bagi Sampoerna A Mild sendiri, iklan tersebut juga memperlihatkan perhatian perusahaan terhadap kondisi sosial politik yang tengah terjadi, berkaitan dengan pemilihan umum anggota DPR. Melalui perhatian ini, Sampoerna A Mild menunjukkan bahwa perusahaan mempunyai kepedulian terhadap masalah sosial politik. Bagaimana sampai pada makna tersebut, yaitu karena sudah memiliki sistem tanda yang telah terbentuk. Sistem tanda yang dimaksud berkaitan dengan kursi, kutu busuk, bokong, tangan kanan beserta jari-jarinya. Dalam hubungan oposisi, dikenal kursi yang empuk bila diduduki, dengan sandaran kepala dan tangan yang juga empuk, serta berharga mahal, sehingga hanya pantas dimiliki orang-orang tertentu dan terhormat, yang biasa disebut kursi sofa. Kursi jenis ini dimuat pada Gambar 12.
Gambar 12. Scene 1 dan 2 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The Sofa Gambar 12 di atas pada scene 1 sebelah kiri memperlihatkan sebuah kursi sofa mewah dan mahal. Namun ketika disandingkan dengan scene memperlihatkan binatang
kecil yang sangat senang dan selalu mendiami kursi tersebut, sehingga membuat kursi tersebut bolong, rusak dan kotor, yang biasa disebut kutu busuk. Secara oposisional, kursi sofa yang empuk dan mahal tetapi bolong, rusak dan kotor memiliki makna ketika berhubungan dengan binatang kutu busuk yang menggerogotinya. Kemudian seorang lelaki tua dan gemuk bercelana panjang kotak-kotak hendak duduk di kursi tersebut. Setelah itu terbangun, sambil jari-jari tangan kanannya menggaruk-garuk bokongnya, sebagaimana dimuat pada Gambar 13.
Gambar 13. Scene 3 dan 4 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The Sofa Gambar 13 menunjukkan bahwa secara oposisional bagian tubuh manusia untuk menduduki sesuatu adalah bagian bokong. Bagian tubuh ini termasuk bagian sensitif. Sedangkan bagian tubuh manusia yang sering digunakan untuk menggaruk, memegang, mengambil sesuatu dan sebagainya adalah tangan dengan jari-jarinya. Tangan kanan dan jari-jarinya bagi kalangan tertentu digunakan untuk sesuatu yang bersifat bersih dan kebaikan, bukan digunakan untuk keperluan kotor dan jorok. Makna kegunaan anggotaanggota tubuh manusia sebagaimana tertuang pada iklan tersebut, seperti dimuat pada Tabel 6. Tabel 6. Kegunaan tubuh manusia KEGUNAAN TUBUH MANUSIA Bokong
Menduduki sesuatu dan bagian sensitif
Tangan dengan jari-
Menggaruk, memegang, mengambil sesuatu, dan
jarinya
sebagainya
Tangan kanan dengan jari-jarinya
Bagi kalangan tertentu digunakan untuk keperluan kebaikan dan bersih, misalnya makan dengan tangan kanan
Iklan tersebut diakhiri dengan penegasan melalui kalimat: ”KALO NGGAK DIBERSIHIN KUTU BUSUKNYA NGGAK BAKALAN PERGI” sebagaimana dimuat pada Gambar 14.
Gambar 14. Scene 5 iklan televisi Sampoerna A Mild versi Flea on The Sofa Sebagai sistem referen, kutu busuk adalah bintang kecil penggerogot yang biasa mendiami dan menggerogoti kursi sofa yang empuk, mahal, dan hanya dimiliki orangorang tertentu. Dalam kaitannya dengan iklan tersebut, kursi sofa yang dimaksud berkaitan dengan jatah kursi yang dimiliki kalangan orang terhormat, yaitu Anggota DPR terpilih. Tanda tersebut menghasilkan makna Kursi DPR. Kedua versi iklan Sampeorna A Mild, secara keseluruhan menyajikan pesan iklan yang berbeda dengan iklan-iklan produk sejenis. Pesan dalam iklan Sampoerna A Mild menampilkan pesan iklan yang berusaha keluar dari keparitasan iklan. Penyajian iklannya selalu memunculkan permainan kata-kata yang cerdas dan simbol gambar yang mengundang tanda tanya khalayak. Melalui pesan iklannya, Sampoerna A Mild tetap mengidentifikasikan produk dan mereknya sesuai dengan karakter keunggulan produk yang dimilikinya, yaitu produk rokok rendah tar dan nikotin. Artinya, khalayak akan semakin tertanam dalam benaknya tentang produk rokok Sampoerna A Mild sebagai rokok yang mengandung tar dan nikotin rendah. Secara keseluruhan, kedua versi iklan Sampoerna A Mild tersebut menggunakan bentuk yang sama, yaitu kata-kata yang terrangkai dalam bahasa iklan dan simbol gambar dominan. Sedangkan dari segi isi, kedua iklan Sampoerna A Mild tersebut berbeda tampilan berdasarkan versinya masing-masing. Versi birokrasi menonjolkan pesan realitas sosial tentang lambannya pekerjaan sederhana yang dilakukan pejabat pemerintah. Isi iklannya menampilkan gambar pejabat pemerintah, ruang kerja instansi pemerintah, jam dinding di latar belakang dan kalimat ”HARUSNYA GAMPANG
DIBIKIN SUSAH”. Sedangkan versi kutu busuk menonjolkan pesan realitas sosial tentang kecermatan dalam memilih wakil rakyat di DPR. Isi iklannya menampilkan gambar kursi sofa, kutu busuk, seorang lelaki tua, ruangan sebuah rumah dan kalimat ”KALO NGGAK DIBERSIHIN KUTU BUSUKNYA NGGAK BAKALAN PERGI”. Jadi dapat dikatakan bahwa kedua versi iklan Sampoerna A Mild tersebut menyajikan kata-kata dan simbol sebagai makna penyuarakan realitas sosial apa adanya dan sejujurjujurnya yang bersifat bukan basa basi. Sebagai sistem deskripsi bahasa tentang keadaan tertentu, iklan Sampoerna A Mild versi birokrasi ditayangkan saat situasi birokrasi pemerintahan yang tidak kunjung berubah pada Era Reformasi. Persoalan kerumitan yang masih dihadapi masyarakat ketika berurusan dengan instansi pemerintah. Dalam visualisasi iklannya digunakan ruang kerja instansi pemerintah, meja kerja, jam dinding, bunyi detak suara jam dinding, dan pegawai pemerintah berseragam. Sedangkan dari segi latar belakang situasi dan kodisi realitas sosial kekinian terdapat pada visualisasi stempel yang masih digenggam, pejabat yang sedang menyikat giginya, seorang anggota masyarakat yang terkantukkantuk menunggu berkasnya distempel dan jarum jam menunjuk pada angka pukul 15.00 sore. Gambaran dalam pesan iklan Sampoerna A Mild tersebut berhubungan dengan realitas yang terjadi di birokrasi pemerintahan. Pada versi kutu busuk ditinjau dari sistem deskripsi bahasa ditayangkan saat masyarakat Indonesia menjelang Pemilihan Umum. Dalam visualisasi iklannya digunakan kursi sofa yang rusak dan bolong akibat digerogoti kutu busuk. Sedangkan dari segi latar belakang situasi dan kondisi realitas sosial kekinian terdapat pada visualisasi seorang lelaki tua yang hendak menduduki kursi tersebut namun berdiri kembali sambil menggaruk-garuk bagian bokongnya. Tampilan dalam pesan iklan Sampoerna A Mild tersebut berhubungan dengan realitas bahwa dalam proses pergantian kepemimpinan, masyarakat Indonesia masih menghadapi permasalahan kurang maksimalnya pemimpin negara memerangi korupsi. Penggunaan kalimat pada kedua iklan Sampoerna A Mild tersebut adalah key word yang mengandung makna tertentu. Menurut Saussure dalam Budiman (2004), kalimat sebagai bahasa mengandung hubungan yang dibedakan ke dalam dua (2) hal, yaitu sintagmatik dan paradigmatik. Sintagmatik adalah hubungan secara gramatikal antara kata dengan kata-kata lain di dalam ujaran. Sedangkan paradigmatik adalah hubungan asosiatif yang mengaitkan tanda dengan tanda-tanda lain berdasarkan sinonim, antonim dan semacamnya.
Pada iklan Sampoerna A Mild versi birokrasi memuat kalimat ”HARUSNYA GAMPANG DIBIKIN SUSAH”. Secara paradigmatik, kalimat tersebut mengandung hubungan yang bersifat lawan kata, yaitu GAMPANG – SUSAH dan SUSAH – GAMPANG. Sedangkan secara sintagmatik, kalimat tersebut mengandung hubungan dalam predikat yang bersifat menerangkan dan diterangkan, yaitu ”HARUSNYA GAMPANG” sebagai predikat menerangkan dan ”DIBIKIN SUSAH” sebagai predikat diterangkan. Jadi dapat dikatakan bahwa kalimat tersebut mengandung makna birokrasi berbelit-belit ala Orde Baru dengan ungkapan rahasia umum seperti semua bisa diatur dan asal ada uang urusan lancar. Secara oposisional, birokrasi yang seharusnya dibangun oleh pemerintahan Era Reformasi adalah pelayanan publik yang mempermudah segala urusan tanpa sogokan atau uang pelicin. Pada iklan Sampoerna A Mild versi kutu busuk memat kalimat ”KALO NGGAK DIBERSIHIN KUTU BUSUKNYA NGGAK BAKALAN PERGI”. Secara pradigmatik, kalimat tersebut mengandung hubungan yang bersifat persamaan kata, yaitu KALO NGGAK DIBERSIHIN – TETAP DIKOTORIN, KUTU BUSUK – RAYAP, NGGAK BAKALAN PERGI – TETAP TINGGAL. Sedangakan secara sintagmatik, kalimat tersebut mengandung hubungan sebagai kalimat bertingkat yang saling terkait, yaitu ”KALO NGGAK DIBERSIHIN” sebagai induk kalimat dan ”KUTU BUSUKNYA NGGAK BAKALAN PERGI” sebagai anak kalimat. Jadi dapat dikatakan bahwa kursi DPR harus dibersihkan dari pelaku korupsi dengan cara memiih Aggota DPR yang bersih, jujur dan anti korupsi. Pembentukan makna dalam iklan berlangsung melalui praktik penandaan lewat kode-kode yang bekerja di dalam iklan seperti kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada iklan televisi. Kode-kode tersebut bersifat khusus dan ideologis. Melalui media massa, dalam hal ini adalah televisi, kandungan ideologi dalam iklan televisi dapat diketahui ”ideologi” para pembuatnya. Melalui simbol-simbol yang terkodekan, sesungguhnya para pencipta iklan televisi, seperti copywriter (penulis naskah) maupun visualizer, menyampaikan kebenaran dan obyektivitasnya atau sebaliknya memperjuangkan kepentingan-kepentingannya yang bersifat subyektif. Adakalanya pencipta iklan televisi mendapatkan pengaruh luar, yaitu pengiklan, dengan menginternalisasi penggunaan kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada
iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis tersebut. Tabel 7 memperlihatkan kodekode yang disajikan pada kedua iklan tersebut. Tabel 7. Kode-kode pada iklan televisi Sampoerna A Mild versi Man Waiting Stamp Seal dan Flea on the Sofa Kode Visual
Versi Man Waiting Stamp Seal - Empat (4) pria berseragam pegawai pemerintah dengan name-tag di dada kiri duduk di bangku dan meja kerja - Seorang pria berseragam pegawai pemerintah sedang memegang stempel dengan tangan kanan dan menyikat gigi dengan tangan kiri - Pria berpakaian biasa terkantuk-kantuk - Pria berbatik duduk bersandar - Ruang kantor instansi pemerintah - Berderet meja dan bangku - Filling cabinet di latar belakang
-
-
-
-
-
Versi Flea on the Sofa Kursi sofa membelakangi dinding berpintu, berlemari dan berjendela di ruangan sebuah rumah Kutu busuk bergerak ke sana kemari di atas kursi sofa bolong dan rusak Meja antik di sebelah kanan kursi sofa Lampu meja antik di atas meja antik Dua (2) buah bingkai foto bersandar dan telepon di atas lampu meja antik Pria bercelana panjang kotak-kotak hendak duduk di kursi sofa Pria bercelana panjang kotak-kotak menggaruk bagian bokongnya
Lanjutan Tabel 7. Kode
Tulisan
Artikulasi dan Suara
Versi Man Waiting Stamp Seal - Papan tulis putih - Jam di dinding di latar belakang - Seberkas kertas di atas menja - Stempel digenggaman tangan kanan - Bak stempel di atas meja - Menyikat gigi di tangan kiri - HARUSNYA GAMPANG DIBIKIN SUSAH - Logo A Mild - Suara detak jarum jam - Suara stempel menyentuh kertas di atas meja - Suara TANYAKEN APA oleh orang berlogat gaya
Versi Flea on the Sofa
KALO NGGAK DIBERSIHIN KUTU BUSUKNYA NGGAK BAKALAN PERGI Logo A Mild Instrumen musik selama 15 detik
mantan Presiden Soeharto Teknik - Semua scene diambil pengambilan suara dengan teknik Close up dan shot - Suara detak jarum jam dengan jelas dan volume cukup tinggi detak jarum jam - Suara stempel menyentuh kertas di atas meja cukup keras berkali-kali Efek audiovisual Gambar berganti antar scene dalam durasi waktu 30 detik
-
-
Scene 1 dan scene 5 diambil dengan teknik medium shot Scene 2, 3 dan 4 diambil dengan teknik close up
Gambar berganti antar scene dalam durasi waktu 15 detik
Permainan kata-kata dan simbol yang ditampilkan dalam iklan Sampoerna A Mild tersebut tidak memperlihatkan adanya keterkaitan antara pesan yang tersaji dalam iklan dengan produk yang dipasarkan. Pesan yang disajikan dalam iklannya tidak ada kelebihan produk, tidak ada informasi tentang rasa dan keuntungan langsung, sehingga tampak janggal dalam dunia periklanan. Penyajian iklan demikian berupaya mengasosiasikan produk atau merek dengan referen yang mempunyai arti secara simbolis. Sifat penyajian iklan demikian disebut oleh Williamson (2007) sebagai penggunaan ketidakhadiran (absence) dalam iklan yang memiliki fungsi ideologis penciptaannya. Fiske (2007) mengatakan bahwa dalam ideologi terdapat tiga (3) bentuk, yaitu (a) ideologi sebagai kesadaran palsu, (b) ideologi sebagai praktik dan (c) ideologi sebagai perjuangan. Menurut peneliti, kode-kode yang terkandung dalam kedua iklan tersebut mengandung makna kritik terhadap kekuasaan dan penyelenggara negara. Efek ketidakhadiran yang ideologis tersebut menciptakan simbolisasi hubungan patron-client (penguasa dan yang dikuasai). Secara tersamar, Sampoerna A Mild melalui iklannya, menyembunyikan atau mengalihkan kenyataan sebenarnya bahwa Sampoerna A Mild adalah penguasa, sedangkan yang dikuasainya adalah pangsa pasar. Simbolisasi kritik sosial yag tersajikan dalam pesan iklannya menjadi diferensiasi terhadap produk sejenis. Sifat diferensiasi tersebut memudahkan ingatan khalayak terhadap produk rokok Sampoerna A Mild. Secara praktik terdapat dua kenyataan yang disembunyikan oleh Sampoerna A Mild. Pertama, kenyataan bahwa rokok adalah produk berbahaya bagi kesehatan manusia, namun produk ini pula yang paling banyak penggunanya. Fakta bahwa produksi rokok Sampoerna A Mild bertambah dan penjualan meningkat menjadikannya sebagai pemimpin pasar produk sejenis dengan kandungan tar dan nikotin rendah. Pesan
yang dibangun dalam iklannya semakin memperkuat posisinya sebagai produk rokok rendah tar dan nikotin. Kedua, kenyataan bahwa keuntungan berlipat diperoleh pengiklan dengan memanfaatkan kepiawaian pencipta iklan dalam meramu positioning yang jitu ke dalam teks iklan. Hal demikian disebut Althusser dalam Fiske (2007) mengusung ideologi yang bersifat praktik. Kedua hal tersebut adalah praktik cerdas dalam mengkamuflase kehadapan publik untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada satu sisi, publik dibuat semakin terlena untuk selalu merokok karena tersedia rokok yang rendah tar dan nikotin. Meskipun selalu diterjang kampanye anti rokok di berbagai kesempatan (Kompas, 2007b). Disisi lain, keuntungan besar diperoleh produsen hingga mampu memiliki kendaraan mewah satu-satunya di dunia sebagaimana diakui informan kunci. Artinya, teks-teks iklan rokok Sampoerna A Mild mengandung kode-kode ideologi kapitalistik berbungkus sifat-sifat sosial. Ideologi kapitalistik dibangun dengan menonjolkan keunggulan produk rokok rendah tar dan nikotin. Sifat sosial ideologi tersebut digambarkan dalam visualisasi kritik sosial terhadap realitas sosial yang pada kenyataannya benar-benar dirasakan dan dialami masyarakat. Gramsci dalam Fiske (2007) menyebutnya sebagai hegemoni. Dalam bahasa vulgar, peneliti menyebutnya seolah-olah peduli pada masyarakat padahal menyelubungi kapitalisme. Menurut peneliti, pembentukan simbolisasi dengan cara demikian adalah menciptakan kode-kode palsu yang bersifat ideologis. Penyajian kode-kode palsu tersebut dalam ruang iklan televisi dapat disebut sebagai pseudo reality of ad atau realitas palsu dalam iklan. Williamson (2007) menyatakannya bahwa periklaanan sebagai aparat ideologis, sebagai sistem pertandaan dalam wilayah simbolik, mampu mempresentasikan kembali kepada subyek kedudukannya di wilayah imajiner. Artinya, ketika iklan menawarkan simbol-simbol sebagai obyek kesatuan, pada dasarnya iklan menjerat khalayak dalam pencarian hal-hal yang tidak mungkin. Dalam proses demikian, terjadi tarik menarik kepentingan positif bagi produk antara pengiklan dan pencipta iklan. Proses interaksi simbolik berlangsung baik dalam diri pengiklan dan pencipta iklan maupun antaranya. Proses interaksi simbolik berlangsung terus-menerus dalam mereproduksi pesan iklan hingga mencapai konvergensi yang diinginkan tujuan periklanannya. Masing-masing pihak, baik pengiklan maupun pencipta iklan, ketika berhadapan dengan lambang komunikasi, melakukan proses semiosis yang terikat dengan tenggat waktu. Hal ini menunjukkan proses konstruksi yang dipaksakan oleh karena semata-mata untuk kepentingan kapital.
Pencipta iklan dalam mengkonstruksi suatu iklan melalui proses eksternalisasi dan proses internalisasi. Proses tersebut dilakukan melalui mekanisme dialektis. Ketika proses tersebut berlangsung, pencipta iklan dipengaruhi oleh faktor luar seperti lingkungan budaya, pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia periklanan, kecanggihan teknologi media elektronika dan pengiklan. Pencipta iklan ketika berhadapan dengan lambang-lambang verbal maupun nonverbal dapat melakukan proses penafsiran dan pemaknaan terhadap lambang tersebut. Proses tersebut berlangsung terus menerus hingga mencapai makna terhadap tanda yang diinginkan. Pemaknaan yang diharapkan adalah penciptaan citra dari produk yang diiklankan. Proses demikian disebut sebagai proses semiosis.
4.3. Konstruksi Realitas dalam Tingkatan Individu Penerimaan khalayak terhadap suatu pesan iklan melalui proses yang disebut decoding symbol. Dalam tahap ini, khalayak sebagai individu melakukan penafsiran terhadap simbol-simbol yang tertuang dalam iklan. Penafsiran khalayak terhadap iklan rokok Sampoerna A Mild berdasarkan pada pengetahuan dan pengalamannya. Hasil wawancara dengan informan, peneliti ungkapkan ke dalam matrik pada Tabel 8.
Tabel 8. Tafsir informan terhadap iklan televisi Sampoerna A Mild Informan
Ags
Arf
Alasan Merokok
Tafsir Pesan Tujuan Iklan Rokok Merokok A Mild - Tidak Merangsang nyambung untuk - Lucu berpikir dalam pekerjaan
- Pertama kali merokok karena pergaulan - Sekarang merokok karena kebiasaan dan kecanduan - Dulu -Pesan iklan merokok tidak karena nyambung pergaulan -Hanya - Sekarang sebagai tidak remembermerokok ing
Karena pergaulan jadi tidak enak, kalau tidak merokok
Tahu Produk A Mild Tahu rokok A Mild karena pernah mencobanya
Terakhir merokok A Mild kemudian berhenti merokok
Faktor Iklan/Promo Tidak ada pengaruh iklan atau promo dalam merokok
Lebih mengenal Produk rokok di kalangan teman, pedagang, dan arena promosi
lagi sejak menikah
(pengingat) penjualan -Berkesan lucu Arm - Merokok Citra rokok - Dendam Pernah Orang sejak kecil bukan pada pada orang mencoba merokok karena promo atau tua merokok A karena budaya ikutpesan dalam - Bila pusing Mild, tetapi turun ikutan iklan, tapi dapat lebih suka Ji menurun, teman pada menghabis Sam Su tanpa promo - Sekarang kandungan -kan dua karena lebih atau iklan pun merokok tar dan bungkus berat dan orang sudah jadi cengkeh bernuansa pasti merokok kebiasaan mistis dan kecanduan Isk - Merokok Rokok A Semula Tahu rokok Awalnya sejak kecil Mild adalah merokok A A Mild merokok A karena rokok yang Mild sejak kuliah Mild karena ikut-ikutan mengandun sebagai tahun 90an iklan dan teman g tar dan transisi promo- Sekarang nikotin untuk promonya jadi rendah, jadi berhenti kecanduan ringan merokok, ketika tetapi malah menghisap- selalu nya merokok A Mild Tabel 8 menunjukkan bahwa semua informan mulai merokok sejak kecil. Alasan pertama kali informan merokok adalah karena ikut-ikutan dan pergaulan antar teman. Dua (2) informan merokok hingga sekarang adalah karena kebiasaan dan kecanduan. Satu (1) informan berhenti merokok sejak menikah. Sementara satu (1) informan masih merokok hingga sekarang dikarenakan dendam kepada orang tua. Hal ini memperlihatkan bahwa orang memulai merokok sejak anak-anak. Kompas (2008) melansir berita bahwa perokok termuda berusia lima tahun. Jadi dapat dikatakan bahwa merokok bagi kebanyakan orang adalah hal yang sudah biasa dilakukan sejak usia anakanak. Berkaitan dengan rokok Sampoerna A Mild, semua informan pernah mencoba rokok tersebut, namun hanya satu (1) informan yang loyal, yaitu Isk. Menurut Isk merokok Sampoerna A Mild semula bertujuan untuk berhenti merokok, sebagaimana yang dikatakannya : Yang saya tahu rokok A Mild adalah rokok yang mengandung tar dan nikotin rendah, jadi ringan ketika menghisapnya. Jadi saya berniat berhenti merokok.
Semula merokok A Mild sebagai transisi untuk berhenti merokok, tetapi malah selalu merokok A Mild hingga sekarang keterusan. Pernyataan Isk menegaskan bahwa orang yang sudah menjadikan rokok sebagai kebiasaan dan candu, maka apapun alasannya akan sulit untuk berhenti merokok. Ags pun mengatakan bahwa merokok sudah menjadi kebiasaan dan kecanduan. Ia merokok untuk merangsang berpikir dalam pekerjaan. Pernyataan informan tersebut diperkuat oleh pemberitaan Kompas (2007a) bahwa rokok meskipun mengandung kadar tar dan nikotin rendah tetap dapat menimbulkan kecanduan, sebagaimana yang diberitakannya : Asap rokok diisap masuk ke paru-paru, dan dari sinilah nikotin masuk ke aliran darah lewat epitel alveolar paru. Dalam hitungan detik, nikotin disebar ke jutaan sel saraf di sistem saraf pusat, utamanya di otak tengah nikotin berinteraksi dengan reseptor-reseptor alfa-4 beta-2 asetilkolin nikotinik. Sinyal ini segera ditransmisi ke axon di bagian belakang otak, yang menstimuli pelepasan beberapa jenis transmiter saraf (neurotransmitter), termasuk dopamin. Dopamin inilah yang menimbulkan rasa enak, mengurangi kelelahan, ketegangan, kecemasan dan stres. Karena ambang dopamin segera surut dengan cepat, tak heran jika perokok banyak yang mengalami ketagihan untuk asupan nikotin lagi (craving). Pernyataan unik dan menarik perhatian peneliti dapatkan dari Arm bahwa orang merokok bukan karena dipengaruhi iklan atau bentuk promo produk melainkan karena budaya merokok yang sudah berurat akar, seperti dikatakannya : Menurut saya, secara budaya dan tradisi, wanita Indonesia adalah perokok dan tidak ada masalah. Ciri budaya dan tradisi tersebut adalah adanya kebiasaan dan ritual menyirih. Menyirih berarti mengunyah sirih dicampur daun tembakau dan kapur sirih. Menyirih juga mengandung simbol status, dilihat dari mutu tembakau, tempat sirih yang terbuat dari kayu jati, tembikar, perak, atau pun emas, dan lain-lain. Jadi saya tidak habis pikir, mengapa wanita Indonesia yang merokok dianggap tabu atau negatif. Padahal secara budaya dan tradisi sudah ada turun temurun. Berkaitan dengan tafsir pada pesan iklan rokok Sampoerna A Mild, semua informan mengakui bahwa rokok Sampoerna A Mild mengandung kadar tar dan nikotin rendah. Hal ini menunjukkan rokok Sampoerna A Mild telah terposisi dengan tepat dan benar di benak konsumen sebagai rokok yang unggul dalam kandungan tar dan nikotin rendah dibandingkan rokok sejenis lain. Sedangkan dari segi penyajian pesannya, semua informan menilai bahwa pesan dalam iklan rokok Sampoerna A Mild tidak jelas hubungan antara produk dengan iklannya, berkesan lucu dan hanya sebagai pengingat (remembering).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada tingkatan individu interpretasi berbeda terhadap hubungan antara produk dengan teks iklan. Dari segi produk, rokok Sampoerna A Mild ditafsir bahwa rokok bukanlah barang baru. Rokok sudah ada sejak jaman dahulu kala. Sedangkan dari segi teks iklan Sampoerna A Mild di televisi ditafsir sebagai iklan yang bersifat lucu-lucuan. Iklan ataupun bentuk promosi yang menyertainya hanya bersifat pengingat saja bahwa ada rokok yang mengandung nikotin dan tar rendah. Namun positioning yang tertanam dalam benak adalah bahwa rokok Sampoerna A Mild adalah produk rokok mengandung nikotin dan tar rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan 1. Reproduksi sosial dalam iklan rokok A Mild dikonstruksi melalui tiga tingkatan, yaitu (a) Konstruksi realitas dalam tingkatan pengiklan dan pencipta iklan, (b) Konstruksi realitas dalam tingkatan teks dan (c) Konstruksi realitas dalam tingkatan individu. 2. Positioining rokok A Mild mengalami empat skema perubahan, yaitu (a) Skema positioning tahap awal, (b) Skema positioning tahap perubahan, (c) Skema positioning tahap kehadiran baru dan (d) Skema positioning tahap paripurna. Proses pembentukan positioning rokok A Mild dilakukan melalui 2 (dua) tahap, yaitu (a) tahap rational process dilakukan hingga melahirkan konsep big idea. Tahap ini meliputi analisis data produk dan karakter target audiens seperti psikografis, demografis dan gaya hidup, (b) tahap magic process dilakukan sebagai pengejawantahan big idea menjadi ide yang bermacam-macam. 3. Analisis terhadap teks dua (2) versi iklan A Mild adalah (a) Versi ”Man Waiting Stamp Seal” dengan tagline ”Tanya Kenapa” adalah birokrasi warisan orde baru yang tidak produktif dan kontradiktif dengan era reformasi; dan
(b) Versi
”Flea on the Sofa” adalah anggota DPR yang sudah tua-tua dan gemuk yang tidak produktif, yang penuh janji-janji, serta penyalahgunaan wewenang seperti korupsi. Interpretasi Individu terhadap iklan A Mild adalah iklan A Mild tidak memiliki keterkaitan antara produk dengan pesan yang disajikan dalam iklannya. Namun positioning yang tertanam dalam benak adalah bahwa rokok A Mild adalah produk rokok mengandung nikotin dan tar rendah. 2. Saran 1. Perubahan positioning produk melalui iklan dapat digunakan sebagai pilihan untuk menempatkan posisi produk dalam benak konsumen. 2. Reproduksi sosial yang dikonstruksi dalam iklan televisi dapat diperdalam lebih lanjut dengan penelitian lebih intensif, atau variatif baik dari segi jenis produk yang diiklankan maupun jenis media yang digunakan. DAFTAR PUSTAKA
Alma, B. 2004. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa (edisi revisi). Alfabeta, Bandung. Arnold, D. 1996. Pedoman Manajemen Merek. Ketindo Solo, Surabaya. Berger, P.L. dan T Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Terjemahan). LP3ES, Jakarta. Bettinghaus, E.P. 1973. Persuasive Communication. Holt, Rinehart and Winston Inc., New York Bryant, J. and D. Zillman. 2002. Media Effect Advances in Theory and Research. Lawrence Erlbaum Associates Publisher, London. Budiman, K. 2004. Semiotika Visual. Penerbit Buku Baik dan Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta. Bungin, B. 2001. Imaji Media Massa, Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik. Jendela, Yogyakarta. Crotty, M. 1998. The Foundations of Social Research: Meaning and Perspective in the Research Process. Allen & Unwin Ptv Ltd., St Leonards. Darlymple, D. and L.J. Parson. 1983. Marketing Management Strategy and Cases. John Wiley and Sons Inc., New York. Dharmanto, B.S. 3 Agustus 2007. Telekomunikasi, Perlunya TV Digital di Indonesia. Kompas : 41 (kolom 3-7). Dilla, S. 2007. Komunikasi Pembangunan, Pendekatan Terpadu. Simbiosa Rekatama Media, Bandung. Effendy, O.U. 1989. Kamus Komunikasi. Mandar Maju, Bandung. --------------. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bhakti, Bandung. Fiske, J. 2007. Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. (Terjemahan). Jalasutra, Yogyakarta. Gilson, C. and H.W. Berkman. 1980. Advertising, Concept and Strategy, Random Business Division, New York. Harris, T.L. 1991. The Marketer’s Guide to Public Relations, How Today’s Top Companies Are Using the New PR to Gain a Competitive Edge. John Wiley & Sons Inc., New York. Iberamsyah. 1997. Pengaruh Tradisi dan Usaha Modernisasi Birokrasi di Indonesia. Jurnal Kampus Tercinta Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 6 : 19-27.
Infante, D.A., A.S. Rancer and D.F. Womack. 1993. Building Communication Theory. Waveland Press Inc., Prospect Heights, Illinois. Jefkins, F. 1988. Public Relations Techniques. Heinemann Professional Publishing, London. --------------. 1996. Periklanan (Terjemahan). Erlangga, Jakarta. --------------. 2004. Public Relations (Terjemahan). Erlangga, Jakarta. Kasali, R. 1992. Manajemen Periklanan Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. --------------. 2005. Membidik Pasar Indonesia Segmentasi Targeting Positioning. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kompas. 2006. Jawa Masih Pasar Terbesar Rokok. September : 22. -------------. 2007a. Terapi Pengganti Nikotin: Musuh-musuh Baru Industri Rokok. November : 41. --------------. 2007b. Remaja, Sasaran Empuk Industri Rokok. November : 46. --------------. 2008. Lebih dari 43 Juta Anak Hidup dengan Merokok. April : 12. Kotler, P. 1991. Marketing Management, Analysis, Planning, Implementation and Control. International Edition. Prentice Hall, New Jersey. --------------. 1994. Marketing. (Terjemahan). Erlangga, Jakarta. Kotler, P. and E.L. Roberto. 1989. Social Marketing Strategies for Changing Public Behavior. The Free Press, New York. Littlejohn, S.W. 1989. Theories of Human Communication. Wadsworth Publishing Company a Division of Wadsworth Inc., Belmont, California. Majalah CAKRAM. 1996. Kreatif: Memindahkan Penggalan Kehidupan ke Layar Kaca. Mei : 44-47. ---------------. 2002. Laporan Utama : Tetap Kreatif Walau Dijepit. Juli : 19. McQuail, D. 1989. Teori Komunikasi Massa (Terjemahan). Erlangga. Jakarta. --------------. 1991. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Terjemahan), Erlangga, Jakarta. Miles, MB. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. (Terjemahan). UI-Press, Jakarta. Moleong, L.J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mulyana A. 1996. Fatamorgana Pesan Iklan di Televisi. Jurnal Kampus Tercinta Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 3 : 47-57. --------------. 1997. Daya Tarik Pesan Iklan di Televisi. Jurnal Kampus Tercinta Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 6 : 57-66. Nurrahmawati. 2002. Pengaruh Jingle Iklan Teh Botol Sosro di RCTI terhadap Pengingatan Merek. Mediator 1 : 97-108. Palupi, DH. 1996. Sampoerna A Mild : Menyempurnakan Posisi Rokok Indonesia. Majalah CAKRAM Mei : 56. Poloma, M.M. 2000. Sosiologi Kontemporer (Terjemahan). RajaGrafindo Persada, Jakarta. Rachmadi, F. 1992. Public Relations dalam Teori dan Praktek. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ries, A.l. and J. Trout. 1981. Positioning the Battle for Your Mind. McGraw Hill, New York. Rusadi, U. 2002. Diskursus Kerusuhan Sosial dalam Media Massa, Studi Kekuasaan Dibalik Sajian Berita Surat Kabar (Ringkasan Disertasi). Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta Ruslan, R. 2003. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sandage, C.H. 1975. Advertising Theory and Practice. Richard D. Irwin Inc., Chicago. Sihabudin, A. 1997. Komunikasi Artifaktual. Jurnal Kampus Tercinta Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 4 : 55-65. Sobur, A. 2001. Analisis Teks Media. Remaja Rosdakarya, Bandung. --------------. 2003. Semiotika Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung. Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Straubhaar, J. and R. LaRose. 2006, Media Now, Understanding Media, Culture, and Technology. Thomson Wadsworth, Belmont, California. Strauss, A. dan J. Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. (Terjemahan). Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Temporal, P. 2001. Branding in Asia, Membangun Merek di Asia, Penciptaan, Pembangunan, dan Manajemen Merek Asia untuk Pasar Global. (Terjemahan). Interaksara, Batam.
Vredenbregt, J. 1984. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. (Terjemahan). Gramedia, Jakarta. Williamson, J. 2007. Decoding Advertisements, Membedah Ideologi dan Makna dalam Periklanan. (Terjemahan). Jalasutra, Yogyakarta. Wright, C.R. 1988. Sosiologi Komunikasi Massa. (Terjemahan). Remadja Karya, Bandung. Yin, R.K. 1989. Case Study Research, Design and Methods. Sage Publications Inc., London.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Protokol penelitian Sumber Data Jenis Informasi Informan kunci : 1. Data primer Pencipta iklan 2. Proses perencanaan televisi Sampoerna A periklanan Mild Sampoerna A Mild
Metode 1. Wawancara mendalam 2. Analisis data
Waktu 3 bulan
Pengiklan Sampoerna A Mild
Informan : 2 orang Dosen, 1 orang Pengacara, 1 orang Wartawan
Teks iklan televisi Sampoerna A Mild versi: 1. Man Waiting Stamp Seal 2. Flea on the Sofa Profil iklan televisi Sampoerna A Mild Agustus 2000 hingga Maret 2009
3. Proses reproduksi social pada iklan Sampoerna A Mild 4. Proses pembentukan dan penentuan positioning pada iklan televisi 5. Konsep big idea Sampoerna A Mild 6. Pengaruh pengiklan dalam perencanaan periklanan Sampoerna A Mild 1. Data sekunder 2. Skema positioning Sampoerna A Mild
1. Data primer 2. Alasan merokok 3. Tafsir pesan iklan rokok A Mild 4. Tujuan merokok 5. Pengetahuan produk Sampoerna A Mild 6. Faktor iklan atau promo Data sekunder
Data sekunder
Interpretasi terhadap artikel : Palupi, DH. 1996. Sampoerna A Mild : Menyempurnakan Posisi Rokok Indonesia. Majalah CAKRAM. Mei : 56 1. Wawancara mendalam 2. Analisis data
2 bulan
1. Obsevasi situs Youtub 2. Analisis semiotika Williamson (2007)
3 bulan
1. Observasi situs www.mediabanc.ws, 2009. 2. Analisis tema dan timing iklan televisi Sampoerna A Mild
2 bulan
4 bulan
Lampiran 3. Transkirp wawancara dengan Informan Kunci
Tanggal/waktu/tempat: 9 Agustus 2008, pukul 12.30 – 13.30 wib, Hotdog Booth – Lenteng Agung, Jakarta Selatan
Identitas: Nama/umur/jk : Drs. Teguh Handoko/42/laki-laki Profesi
: Managing Director Advertising IDEASPHERE Advertising
Domisili
: Jakarta Pusat
Tanya : Pentingkah positioning bagi suatu iklan? Jawab : Bagi biro iklan, positioning sangat diperlukan. Tapi saat ini susah membedakan positioning produk dalam iklan karena kecenderungannya memiliki kesamaan. Meskipun begitu tetap harus ada differ (perbedaan) yaitu cari yang unik, ownable dan campaign. Tanya : Bagaimana sifat positioning itu sendiri? Jawab : Positioning bisa bersifat tersurat maupun tersirat. Secara umum iklaniklan retail, positioning-nya bersifat tersurat karena harus menunjukkan secara verbal produknya. Sementara ada juga produk yang positioningnya bersifat tersirat, seperti iklan Macbook yang memperlihatkan gambaran aktivitas seorang selebritis, iklan ini sifatnya simbolisasi tentang kegunaan, kemampuan, dan keunggulan Macbook. Tanya : Bagaimana proses terbentuknya positioning suatu produk dalam iklan? Jawab : Diawali melalui proses pra periklanan atau proses pra produksi, seperti: brand audit, riset pasar termasuk 4P, consumer insight, dan lain-lain. Consumer insight dilakukan untuk mendapatkan data mendalam tentang sistem distribusi, competitor, target market. Melalui consumer insight ini pula akan didapat positioning yang tepat. Tanya : Bagaimana keterlibatan bagian lain di biro iklan terhadap pembentukan positioning? Jawab : Setiap bagian di biro iklan akan terlibat sejak awal dalam proses periklanan seluruhnya. Mulai dari pra produksi, produksi, dan pasca produksi. Misalnya bagian kreatif bekerja untuk mencari key word yang pas, bentuk isi pesannya baik verbal, non verbal, simbol-simbol, latar,
dan lain-lain. Tanya : Untuk media periklanan mana yang paling jitu dalam beriklan? Jawab : Hingga saat ini televisi masih dianggap sebagai media paling tepat dan cepat dalam membangun awareness khalayak. Namun begitu masih bergantung pada produk, sistem distribusi, target market, dan lain-lain. Tapi keefektifannya masih unggul di banding media lain. Tanya : Bagaimana gambaran proses kerja periklanan? Jawab : Ok, saya akan gambarkan seperti bagan ini. Agency
Client’s Brief
Marketing Strategy: - Competitor - Positioning - Target Market - Communication Strategy
Research
Client and Agency
Brand Idea / Positioning
Big Idea
Creative Idea
Creative Brief
Creative Execution
Television
Billboard, etc
Print
Lampiran 4. Transkrip wawancara dengan Informan Kunci
Radio
Bellow the Line
Tanggal/waktu/tempat: 30 November 2008, pukul 10.00 – 11.40 wib, IDEASPHERE Advertising – Kemang Utara 56, Jakarta Selatan
Identitas: Nama/umur/jk : Drs. Teguh Handoko/42 tahun/laki-laki Profesi
: Managing Director Advertising IDEASPHERE Advertising
Domisili
: Jakarta Pusat
Tanya : Bagaimana proses terbentuknya positioning dalam periklanan? Jawab : Kalo di iklan sebenarnya prosesnya, ada dua tahapan proses, yang pertama lebih rasional proses, yang kedua lebih magic proses. Rasional proses maksudnya bahwa kita membikin iklan tidak semata-mata mengandalkan intuisi saja,namun ada juga satu hal yang kita lakukan, kita harus tau produknya, kita harus tahu target audiensnya dan yang lebih jauh lagi adalah kita harus tau target audiensnya tersebut bukan hanya tentang gaya hidup, karakteristik demografis, psychografis dan segala macamnya. Jadi mengenal karakter lebih jauh, ketika mengenal karakter lebih jauh kita akan mendapatkan data dan informasi tentang target tersebut, tapi tidak semua data dan informasi kita bisa pakai. Yang kita pilih dan digunakan adalah yang benar-benar sebagai insight dari target audiens tersebut. Melalui insight tersebut kita akan mendapatkan sesuatu yang benar-benar tidak pernah terpikirkan bahkan oleh target kita sendiri tentang realitasnya atau sesuatu yang sudah pernah ada sebelumnya tapi dikemas dalam bentuk baru. Intinya adalah iklan itu ciri-cirinya harus punya seperti kado, dia harus surprise. Kalau kita kasih tahu yang mereka sudah tahu, kita tidak akan diperhatikan orang. Jadi memang harus selalu ada yang baru. Memang kita sebagai kreator iklan harus selalu menunjukkan hal-hal yang baru. Karena kita tidak mau mengulang sesuatu yang sudah pernah kita lakukan. Karena hal itu tidak akan membuat kita menjadi briliant. Buat kita yang penting adalah keunikan. Jadi kita akan selalu cari sesuatu yang unik dari si target audiens tersebut. Selain itu, kita juga melakukan hal sama untuk
analisa produk. Kita juga harus menemukan sesuatu yang unik dari situ. Ada istilah unique selling proposition yang sebenarnya sebagai terminologi yang tepat. Namun banyak praktisi iklan melihatnya dari kebaikan-kebaikan produk dibandingkan dengan yang lain. Tapi kalo kita melihat kebaikan, belum tentu kita menang. Misalnya, hari ini kita bilang kita yang paling baik, atau kita bilang kita yang paling murah, besok sudah berubah lagi, atau hari ini kita bilang kita yang paling canggih, besok sudah berubah lagi. Kalau yang kita cari keunikan, maka hal itu tidak akan mungkin dapat di-copy secepat itu oleh pihak lain. Dua keunikan, yaitu target audiens dan produk kalau digabungkan, jadilah hal tersebut sebagau sebuah button atau garis besarnya. Kita ketemukan dua hal yang tidak berhubungan ini dijadikan satu, atau kita menghubungkan dua hal yang tidak berhubungan, maka lahirlah big idea. Nah big idea ini adalah baru sebentuk konsep besar yang belum ada nilai apapun, atau masih sebuah konsep besar. Untuk big idea ini, kita butuh partner kreatif, karena ketika kita berfikir hal tersebut, kita berfikir mulai dari yang bersifat umum kemudian mengkerucut sampai sangat sempit hingga keluar big idea tadi. Ketika tercipta big idea, kita ingin big idea ini terbang setinggi-tingginya dan hidup dalam dunianya sendiri. Nah kita perlu teman-teman kreatif. Sampai tahap ini, proses yang bersifat rasional tadi berakhir. Kemudian, bersama teman-teman kreatif, akan memulai tahap yang disebut dengan magic proses. Biasanya mereka berfikirnya, dari hal yang sempit tersebut akan mereka buka kembali menjadi lebih luas. Tapi mereka berfikirnya dari data tadi sebagai patokannya. Jadi, dengan kunci big ideanya, mereka akan buat aplikasinya atau pengejawantahnnya. Nanti idenya bisa macam-macam, terserah mereka cara memandang idenya seperti apa. Tapi yang pasti, idenya sudah sangat jelas karena ada big idea di belakangnya. Dalam teori iklan, big idea itu tidak boleh lebih dari tiga kata. Jadi semakin singkat kita bisa merumuskan konsep-konsepnya, maka itu lebih baik. Contohnya seperti A Mild. Saya dulu pernah terlibat. A Mild sejak pertama kali didefinisikan brand-nya, kita tahu target audiensnya 17-25 tahun, mereka punya karakter, berdasarkan
hasil riset bertahun-tahun, yang namanya ’bukan basa basi’. ’Bukan Basa Basi’ adalah gambaran perilaku target audiens yang selalu berkomentar atau menyuarakan sejujur-jujurnya hati nuraninya ketika melihat situasi yang ada di dunia ini, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Hal itu didapat dari riset, bahwa memang karakter itu begitu tipenya. Dia tidak mau yang anak-anak muda sekarang bilang ”sok jaim”, ”menutupi hal sebenarnya”. Kata mereka, ”itu basa basi”. Itu bukan mereka. Mereka justru bukan basa basi. Dia dibilang dirinya jelek, dia akan bilang dirinya jelek. Dia dibilang dirinya bodoh, dia akan bilang dirinya bodoh. Dia tidak akan pernah menggunakan kata-kata ”saya kurang pintar”, dan sebagainya. Akhirnya kejujurannya boleh didefinisikan dengan bahasa yang memang brutally honest. Jujurnya berlebihan sekali atau jujur sekali. Buat mereka hal itu justru, bagi target audiens yang berusia 17-25 tahun tersebut, pasti akan seperti itu. Kalau tidak seperti itu, berarti sudah berada dalam kelompok usia yang lain. Insight ini yang oleh tim A Mild tersebut dijadikan bahan sebagai big idea, yaitu bukan basa basi yang ditujukan untuk suatu kejujuran dalam segala hal. Iklan tersebut akhirnya selalu muncul dikaitkan dengan konteksnya. Misalnya, bila saat musim pemilu, maka akan dimunculkan situasi pemilu dalam kacamata audiens tersebut, yaitu hal yang paling sejujurjujurnya yang bisa dia lihat apa tentang pemilu. Atau lainnya, seperti lebaran, puasa. Hal yang paling sejujur-jujurnya tentang itu apa. Demikian pula halnya tentang musik. Jadi definisi tentang brand ini dijaga betul sampai bertahun-tahun, sampai hari ini pun mereka masih melakukan itu, meskipun dimensi isunya berbeda, karena mengambil realitas sosialnya yang bermacammacam dan berkembang terus. Namun selalu dilihat dari kacamata anak muda (target audiens berusia 17 sampai 25 tahun), yang memang brutally honest, yaitu jujur yang sejujur-jujurnya terhadap diri sendiri dan keadaan sekitarnya. Core target audiensnya berusia antara 17 sampai 25 tahun. Yang diluar itu lebih bersifat aspirasional, misalnya yang berusia di atasnya yang
ingin jadi anak muda atau yang berusia di bawahnya yang ingin masuk dan menjadi kelompok tersebut. Tapi memang generasi tersebut, ada yang baru kerja, ada yang masih sekolah, yang mana dunia mereka yang selalu menciptakan tema-tema bagi A Mild. Hal tersebut yang membuat A Mild selalu konsisten. Bila dilihat apapun bentuk output kreatifnya, seperti yang disebut sebagai reproduksi sosial, A Mild akan selalu diciptakan seperti itu. Kelompok group ini tidak akan terpisah dari dunianya. Nuansa lokalnya akan terlihat kuat dan menyoroti apapun yang terjadi di dunia sosialnya. Selamanya akan seperti itu terus. Hal itu dibuktikan, saya terlibat hampir tiga tahun, dijalankan terus padahal sudah sepuluh tahun. Total hingga sekarang mungkin sudah 18 atau 19 tahun. Dan A Mild tetap konsisten. Terbukti insight tersebut tetap relevan. Hal itu adalah proses yang dilakukan A Mild, atau secara umum hampir semua biro iklan melakukannya. Kita selalu kembalikan ke pemahaman kita tentang target audiensnya dan produknya. Tanya : Apakah ada pengaruh dari klien atau pengiklan? Jawab : Sebenarnya kita bekerja berhubungan dengan pengiklan, karena dia sebagai pemberi pekerjaan. Tapi yang kita ciptakan adalah tanggung jawab kita, yaitu tanggung jawab terhadap brand. Jadi kita bekerja tanpa pengaruh dari pengiklan. Mereka yang memiliki produk, mereka punya teknologinya, dan punya pemasarannya. Tapi satu hal yang mungkin tidak dapat mereka lihat angle yang pas tentang produknya adalah target audiensnya. Jadi bila kita bekerja dengan bebas maka dapat mengetahui lebih mendalam tentang target audiensnya. Kita punya kemampuan tersendiri yang tidak dimiliki mereka untuk bisa menghadirkan sosok unik target audiensnya disandingkan dengan sosok unik produknya, kemudian menemukan sebuah ide. Ide ini disebut Big Idea. Ide ini yang akan dibangun untuk brand dan menjaganya. Menjaga brand sama seperti mengkultuskan sesuatu. Hal itu butuh dedikasi, butuh pemahaman, dan komitmen. Mungkin orientasi bagi produsen (klien) bersifat short-term atau menjual produk. Padahal produk brand itu bersifat live forever.
Bagi pencipta iklan yang dipikirkan adalah brand. Seperti apa brand di mata target audiensnya. Image apa yang tertanam dibenak mereka. Dan kita mau bangun dengan apa. Kita mau isi dengan apa. Hal tersebut terserah kita. Pada dasarnya pencipta iklan juga mengharapkan komitmen pengiklan. A Mild pun demikian. Pemiliknya sangat luar biasa berkomitmen untuk A Mild. Misalnya, dia mengkoleksi mobil Roll-Royce yang di dunia tidak ada yang punya, sebagai syarat. Warnanya merah marun yang dipilih dengan syarat orang lain tidak ada yang punya, meskipun dia harus spend uang yang besar untuk itu. Tapi apa yang dilakukan pemilik, sebenarnya adalah demi kepentingan brand. Dia menjaga kesakralan brand-nya, bahwa dengan merah marunnya ada dimana-mana. Sehingga membuat stakeholdernya menghargainya. Jadi brand tercipta bukan hanya peranan agency tetapi pemilik juga harus menjaganya untuk sesuatu yang lebih long-term. Jadi pemilik merepresentasikan personal experience-nya supaya brandnya harus bisa hidup sebagai suatu brand yang selalu diomongin orang. A Mild merupakan keberhasilan semua karena komitmen semua pihak. Tanya : Kaitannya dengan positioning, dalam gambaran di iklan, positioning itu ditempatkan dimana? Dan bagaimana membentuknya? Jawab : Positioning sebenarnya adalah apa dan bagaimana menempatkan sesuatu dibenak konsumen. Sebenarnya bentuknya adalah respon. Tidak harus berbentuk sebuah stimulus. Bisa abstrak, bisa juga kongkrit. Yang paling mudah adalah orang menempatkannya dalam bentuk tagline. Seperti A Mild dengan tagline ”Bukan Basa Basi”, di mana value yang ditanamkan dua hal tersebut. Belakangan ini banyak juga iklan yang abstrak, yang tidak menyebut stimulus sama sekali. Tapi semua bentuk komponen komunikasinya diarahkan supaya orang meresponnya. Misalnya, kampanye iklan politik, dari mulai stimulus sama responnya berbeda, yaitu ”lanjutkan”. Tapi sebenarnya buka itu positioning yang dia mau. Ada sesuatu yang lain yang ada di kepala konsumen adalah positioning yang sebenarnya. A Mild dalam hal ini, positioningnya memang stimulus yang
disampaikan ”Bukan Basa Basi”, tapi positioning yang ada dibenak konsumennya adalah brand yang ”paling cool”, ”paling mengerti dia”. Jadi A Mild adalah brand yang paling mengerti konsumennya. Brand yang paling mengerti kelompok audiens perokok dengan sifat sejujurjujurnya. ”Itu memang brand yang ngerti gue”, katanya, ”Yang lain nggak ngerti gue”. Tanya : Jadi, untuk A Mild bisa ada dua penempatan positioning tersebut, yaitu dalam tagline yang bersifat kongkrit dan yang abstrak yaitu brand yang paling cool. Jawab : Sebenarnya A Mild sudah keluar dari katregori sebuah rokok. A Mild sudah menjadi gaya hidup. A Mild sudah keluar dari area itu, meskipun tidak boleh menyebutkan kelebihan produk, area yang diambil adalah gaya hidup target audens. Merokok
bagi
kalangan
mereka,
misalnya,
ketika
sesorang
mengeluarkan A Mild maka akan direspon oleh yang lain “Wih! A Mild loe!”. A Mild selalu menjadi benchmark atau patokan untuk kelompok kategori tersebut, A Mild yang terbaik. Dan A Mild sudah mendapatkan keuntungannya meskipun dengan harga premium, dan dengan positioningnya sudah mendapatkan value-nya. Tanya : Kalau dibawa ke kreatif, apakah mereka hanya tahu big ideanya saja atau bagaimana? Jawab : Sebenarnya ketika proses pemahaman kita terhadap target audiens dan produk berdasarkan informasi rasional yang kita kumpulkan, kita semua terlibat, termasuk kreatif, media, dan lain-lain. Jadi sejak awal proses periklanan, semua ikut terlibat. Semua belajar bareng-bareng, semua mengenali target audiens dan produk bersama-sama sampai kita sepakat ke satu big idea. Meskipun mereka punya spesialisasi sendiri-sendiri, tapi tidak terpisahkan dalam proses tersebut. Misalnya satu tentang strategi, satu tentang kreatifnya, dan satu lagi tentang medianya. Ketiga bidang tersebut harus tahu dan terlibat sejak awal untuk mengetahui problem apa yang dihadapi klien. Bagi pencipta iklan, kita tidak akan bisa bekerja tanpa mengetahui problemnya. Lampiran 5. Transkrip wawancara dengan Informan Kunci
Tanggal/waktu/tempat: 15 Mei 2009, pukul 13.00 – 15.00 wib, IDEASPHERE Advertising – Kemang Utara 56, Jakarta Selatan
Identitas: Nama/umur/jk : Drs. Teguh Handoko/42 tahun/laki-laki Profesi
: Managing Director Advertising IDEASPHERE Advertising
Domisili
: Jakarta Pusat
Tanya : Apakah problem tersebut datang dari pengiklan? Jawab : Harusnya seperti itu. Tapi adakalanya ada klien yang tidak dapat merumuskan apa masalah yang dihadapinya. Jadi kita bantu untuk menemukan masalah yang sebenarnya dihadapi klien. Sampai kita semua komitmen dengan masalah tersebut, baru bisa bekerja. Tanya : Perlu proses berapa lama sampai dapat big idea? Jawab : Kalau yang tough dengan riset kualitatif untuk mendukung asumsiasumsi kita, bisa sampai satu bulan untuk dapat big idea. Tapi ada juga yang pakai paket cepat. Meski demikian, kita tetap melakukan metode yang sama tapi dalam cakupan yang lebih, dengan istilah ’quick and the fee’, namun dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Misalnya, kita ngobrol dengan beberapa orang tetapi secara mendalam hingga kita merumuskan hasilnya sebagai insight formulanya. Memang bagusnya kalau dengan grup yang lebih besar. Ada yang berani dengan modal sekedarnya tersebut sudah ambil keputusan. Sekali lagi hal tersebut bergantung pada kesepakatan masing-masing. Bisa kita riset dengan prosedur formal atau riset dengan langsung menjawab hipotesis kita sendiri. Misalnya. Kita sudah tahu masalah apa, hipotesisnya apa, lalu kita riset langsung untuk temukan jawabannya, maka kita tidak perlu melakukan riset yang lebih besar dan luas lagi, dengan persiapan lebih lama dan biaya lebih besar. Bahkan adakalanya, riset yang singkat tersebut tidak hanya menghasilkan big idea saja tapi juga sudah sampai eksekusi kreatifnya. Tanya : Kalau proses di kreratif bisa berapa lama?
Jawab : Bagian kreatif malah lebih lucu lagi. Kita kasih waktu tiga hari, bisa dia selesaikan sebelum tiga hari. Kita kasih waktu lima hari, hari ke lima dia temukan. Kasih waktu satu hari, satu jam pertama dia ketemu. Jadi sebenarnya tidak ada rumusan waktu yang baku dan pasti buat mereka. Selama mereka paham betul big idea tersebut maknanya apa, mereka akan berfikir sendiri secara langsung dari situ. Yang penting big idea itu harus menginspirasi orang kreatif, supaya dia bisa mengembangkan big idea tersebut menjadi sesuatu yang lebih real lebih nyata yang sudah tidak bersifat konsep lagi. Tanya : Jadi inkubasinya tergantung apa? Jawab : Inkubasinya tergantung apakah big idea tersebut menginspirasi mereka. Proses tersebut disebut creative briefing. Ketika kita menemukan big idea, kita langsung brief kreatif. Dari situ akan kelihatan apakah orangorang kreatif akan terinspirasi atau tidak. Kalau terinspirasi berarti, berarti big ideanya benar. Tapi kalau mereka anteng-anteng saja tidak ada respon, bisa jadi big ideanya kurang benar. Maka kita harus memualainya dari proses awal lagi. Tanya : Apakah ada pengaruh subyektifitas? Jawab : Kreatif itu sangat subyektif. Kita tidak akan pernah bisa mempengaruhi kreatifitas seorang kreatif. Tapi tetap landasannya adalah adalah big idea. Karena kita harus jaga ......... setelah itu mereka mau bebas berkreatif silakan saja, yang penting patokannya dari big idea. Tanya : Termasuk penggunaan simbol-simbol? Jawab : Itu datang dari langit, tidak ada dasarnya. Bisa intuisi, tapi memang ada juga yang dapat dipelajari dan dapat dipertanggung jawabkan. Misalnya, ada pretest berdasarkan eksekusi yang dia buat, lalu laklukan pilihan mana yang bisa dipakai. Itu juga bisa begitu. Dia bisa begitu karena memang karunia dari Atas. Kemampuan seperti itu tidak bisa dimiliki oleh semua orang. Tanya : Apakah orang kreatif memang orang yang berbakat? Jawab : Betul, bahwa mereka adalah orang yang berbakat. Tanya : Apakah bisa dilatih? Jawab : Bisa. Ada juga yang bisa dilatih. Bahkan orang yang berbakat pun perlu
dilatih juga. Tapi hal tersebut tetap subyektif. Sangat subyektif. Tanya : Subyektif ketika dia menerjemahkan big idea? Jawab : Betul. Tapi dapat dipertanggung jawabkan secara obyektif, dengan cara kita kumpulkan dulu simbol-simbol dari mereka lalu kita uji. Kalau diterima
berarti
bisa dipertanggung
jawabkan.
Misalnya,
kita
merumuskan warna biru untuk simbol laki-laki, lalu diuji melalui iklan tapi orang menangkapnya tidak demikian. Persepsi orang bisa apa saja. Tapi beauty of advertising berada di situ. Karena persepsi konsumen yang penting. Terserah, seperti menurut kita simbol tersebut gambar gunung tapi konsumen menangkapnya gambar lain. Yang penting persepsi konsumen. Perception is reality. Kasus A Mild pun sudah berkali-kali dilakukan pretest bahwa kita tidak pernah mengkaitkan ekspektasi produk dengan benefit. Tapi konsumen bisa menghubung-hubungkan ekspektasi produk dengan produk benefitnya. Hal itu karena permainan prsepsinya konsumen. Dan kita tidak bisa melarangnya. Banyak persepsi yang demikian. Seperti, A Mild mahal, maka demikian ekspektasinya. Tapi itu tidak masalah. Jadi kreatif ketika mendapatkan simbol-simbolnya, mereka subyektif. Tanya : Kalau kontribusi media bagaimana? Misalnya, televisi. Jawab : Ketika kita melakukan proses pencarian big idea, kita harus media netral dan budget netral. Karena untuk dapat ide yang terbaik, kita tidak boleh dibatasi oleh hal-hal tersebut. Biarkan ide tersebut berkembang dahulu sampai kita melihat pijakannya ada di mana, target audiensnya bagaimana, point of context-nya bagaimana, secara detail. Tapi di awal saat mencari big idea, kita tidak boleh dipengaruhi oleh penggunaan media yang diinginkan klien. Contoh kasus Teh Botol. Ketika ada isu di milis, tidak ada yang menyangka bahwa asumsiasumsi untuk media berubah. Jadi penggunaan media bisa dipengaruhi atau berlandaskan big ideanya. Tanya : Kalau untuk televisi bagaimana? Jawab : Kalau dari data riset atau AcNielson, televisi memang masih teratas. Tetapi penentuan dan efektivitas media berhubungan langsung dengan biaya yang besar. Kedua, fakta bahwa konsumen target audiens
terhadap televisi di Indonesia sangat besar dibanding media lain. Tapi bisa juga untuk jam-jam tertentu bukan televisi. Untuk target audiens A Mild yang berusia 17 sampai 25 tahun, mungkin yang menonton televisi lebih sedikit dibandingkan yang berinternet, nonton bioskop, nonton pertunjukkan musik. Secara umum, televisi memang paling efektif dan belum berubah.
Lampiran 6. Daftar iklan televisi Sampoerna A Mild
Tabel 9. Daftar iklan televisi Sampoerna A Mild dari Agustus 2000 hingga Maret 2009 No
JUDUL 1 Makin Banyak Pilihan Confuse Choosing Taxi 2 Makin Banyak Pilihan Confuse Choosing Taxi (Short) 3 Siapa Muda Dipandang Sebelah Mata (Short) 4 Siapa Gonta Ganti Pacar 5 Siapa Gonta Ganti Pacar (Short) 6 Siapa Gonta Ganti Pacar (Bumper) 7 Siapa Gonta Ganti Pacar (Short) Ver 2 8 Nonton Sambil Mikir 9 Siapa Gonta Ganti Pacar Poling Result 10 Siapa Gonta Ganti Pacar Poling Result (Bumper) 11 Nonton Sambil Mikir Ver 2 12 Siapa Gonta Ganti Pacar Poling Result Ver 2 13 Gelar Dulu Kerja Dulu 14 Milih Gelar Milih Kerja 15 Gelar Dulu Kerja Dulu (Short) 16 Gelar Dulu Kerja Dulu (Short) Text Milih Gelar Milih Kerja 17 Habis Gelap Terbitlah Terang 18 Siapa Muda Dipandang Sebelah Mata 19 Incubus 2008 World Tour Concert 20 Soundrenaline People Dancing In The Harbour 21 Soundrenaline People Dancing In The Harbour (Short) 22 Soundrenaline People Dancing In The Harbour (Bumper) 23 Soundrenaline Free Your Voice Kaka Slank & Maia 24 Soundrenaline Free Your Voice Nidji 25 Soundrenaline Free Your Voice Pekanbaru 26 Soundrenaline People Dancing In The Harbour Ver 2 (Bumper) 27 Soundrenaline People Dancing In The Harbour Ver 3 (Bumper) 28 Soundrenaline Free Your Voice Pekanbaru (Short) 29 Soundrenaline Free Your Voice Pas Band Member 30 Soundrenaline Free Your Voice Pekanbaru Thanks Greeting 31 Teenagers Diving 32 Going To Discount Shopping
Lanjutan Lampiran 6.
BULAN
MEDIA
05-Feb-09
Trans TV
04-Mar-09
Global TV
10 March 2008 18 May 2008 05 June 2008 26 June 2008 27 June 2008 09 July 2008 16 July 2008
Trans TV SCTV Trans TV Trans TV RCTI Trans TV Trans 7
17 July 2008 18 July 2008
Trans TV Trans TV
25 July 2008 04 August 2008 05 August 2008 07 August 2008
Trans TV Trans TV Trans 7 Trans 7
14 August 2008 19 August 2008 05 February 2008 22 February 2008
Trans TV Trans TV ANTV Trans TV
30 June 2008
SCTV
08 July 2008
Trans TV
17 July 2008
Trans TV
21 July 2008 23 July 2008 23 July 2008
RCTI RCTI RCTI
24 July 2008
Trans TV
24 July 2008
Trans TV
27 July 2008
Trans TV
27 July 2008
RCTI
02 August 2008 04 February 2008 10 August 2008
RCTI Trans TV Trans TV
No JUDUL 33 Music Concert Talkless And Do More (Bumper) 34 Music Concert Talkless And Do More 35 Music Concert Talkless And Do More (Short) 36 Rugby Match Talkless And Do More 37 Sponsoring Barbie Movie 38 Sponsoring Barbie Movie (Short) 39 Class Mild News F1 GP Japan 40 Claser Community 41 Clas Mild News F1 GP China 42 Rossa Concert Persembahan Cinta 43 Julian Cely In Activity 44 Netral Band & Men In The Guitar Battle (Short) 45 Enno Netral 46 Enno Netral (Short) 47 Enno Netral (Shorter) 48 Enno Netral (Bumper) 49 Gelar Dulu Kerja Dulu People Testymonial 50 Gelar Dulu Kerja Dulu People Testymonial Ver 2 51 Gampang Maafin 52 Rich Guy Mending Ga Punya Apa Apa 53 Gelar Dulu Kerja Dulu People Testymonial 54 Gelar Dulu Kerja Dulu People Testymonial Ver 2 55 Gampang Maafin 56 Rich Guy Mending Ga Punya Apa2 57 Boss Change Dress To Employee 58 Boss Change Dress To Employee (Short) 59 Logo Emerge From The Cloud 60 Belum Tua Belum Boleh Bicara 61 Belum Tua Belum Boleh Bicara (Short) 62 Logo Flying 63 Alien Following The Logo 64 Boxing - Jalan Pintas Dianggap Pantas 65 Boxing - Jalan Pintas Dianggap Pantas (Short) 66 Flood Become Tradition 67 Flood Become Tradition (Short) 68 Ghost - Beda Dunia Masih Diganggu (Bumper) 69 Man Sale TV Remote 70 Man Sale TV Remote (Short) 71 Man Waiting Stamp Seal 72 Man Waiting Stamp Seal (Short) 73 Man Waiting Stamp Seal Ver 2
Lanjutan Lampiran 6.
BULAN
MEDIA
11 May 2008 11 May 2008
SCTV SCTV
12 May 2008 31 July 2008 17-Sep-08 23-Sep-08 16-Okt-08 16-Okt-08 26-Okt-08 24-Nop-08 04 February 2008
ANTV Trans 7 AN Teve RCTI Global TV Trans7 Global TV RCTI ANTV
10 February 2008 03 August 2008 06-Sep-08 18-Des-08 18-Des-08 07-Sep-08
Trans TV Trans TV RCTI ANTEVE Trans TV RCTI
12-Sep-08 30-Sep-08 08-Des-08 07-Sep-08
Trans TV Trans TV Trans7 RCTI
12-Sep-08 30-Sep-08 08-Des-08 13 March 2007 01 May 2007 14 May 2007 20 July 2007 24 July 2007 31 July 2007 07 November 2007 July 2006
Trans TV Trans TV Trans7 Trans TV Trans 7 RCTI Global TV SCTV RCTI SCTV Tidak ada data
August 2006 January 2006 January 2006
Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data
July 2006 May 2006 May 2006 March 2006 March 2006 March 2006
Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data
No 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121
JUDUL Traffic Sign Traffic Sign (Short) Animation Guy Walk While Read Newspaper Guy Bring Many Coin In The Bag (Short) Big Lamp Indian Riding Horse Indian Riding Horse (Short) Broom Dragging Guy Broom Dragging Guy (Short) Broom Dragging Guy (Bumper) Guy Bring Many Coin In The Bag Guy Bring Many Coin In The Bag Cartoon Giraffes Meet A Logo Cartoon Giraffes Meet A Logo (Short) Cartoon Japan Doing Karate (Short) Flea On The Sofa Flea On The Sofa (Bumper) Licking Cady On Bed King Of Diamond Card King Of Diamond Card (Short) Alarm Clock (Short) Many Speakers On The Field Many Speakers On The Field (Short) Alarm Clock King Of Diamond Card (Bumper) A Mild Com Stuff Cartoon Japan Doing Karate Cartoon Paper Greeting Japan Cartoon Screaming In Ice Mountain Cartoon Screaming In Ice Mountain Lamp Fighting Lamp Fighting (Bumper) Paint Spray & Typewriter Lizards On Plants Drinking Together Stopping Bus Barber Shop Fish Try To Eat Bait Barber Shop (Bumper) Billboard Box Walking Sponsor Magical Twilite Cartoon - Animal Following Crab Cartoon - Animal Following Crab (Bumper) Cartoon Birds Red Fish Being Followed Red Fish Being Followed (Short)
Sumber : www.mediabanc.ws, 2009.
BULAN 31 October 2006 24 November 2006 July 2005 July 2005 August 2005 October 2005 October 2005 January 2005 January 2005 February 2005 June 2005 June 2005 February 2004 February 2004 March 2004 March 2004 April 2004 April 2004 June 2004 June 2004 July 2004 August 2004 September 2004 September 2004 August 2004 August 2004 November 2003 December 2003 September 2003 September 2003 September 2003 March 2003 March 2003 December 2003 April 2002 July 2002 July 2002 August 2002 August 2002 October 2002 November 2002 November 2002 December 2002 October 2001 October 2001 August 2000 November 2000 November 2000
MEDIA Trans TV TV7 Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data