BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS
2.1 Perumusan Conceptual Framework Dalam penelitian proyek akhir ini dasar pemikiran awal yang terbentuk mengacu pada analisis appeal dan rencana implementasi sistem hybrid shuttle Trijaya Transport.
Ditinjau
dalam
konteks
bisnis
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya maka menurut Peter & Donnelly Jr dalam bagian dua pada buku Marketing Management, analisis terhadap suatu kasus semacam ini dapat dilakukan dengan menilik Competitive Forces in an Industry oleh Michael E Porter yang didefinisikan sebagai: “‘five competitive forces...[that] includes rivalry among existing competitions, threat of new entrants and threat of substitute products...in addition, buyers and suppliers are included since they can threaten the profitability of an industry or firm’(Porter, 1980, p.33)” (2004:207). Jika model Competitive Forces atau yang lebih populer dikenal dengan Porter’s five forces diaplikasikan ke dalam kondisi yang dihadapi oleh Trijaya Transport maka akan didapat diagram five forces sebagai berikut:
Porter’s Five Forces di Trijaya Transport
Ancaman new entrants
Bargaining Power dari Agen-agen Trijaya(supplier)
Persaingan antar travel: Cipaganti, Primajasa, Trijaya, dll
Bargaining Power dari konsumen Trijaya
Ancaman moda transportasi lain (kereta api, mobil pribadi)
Gambar 2.1 Porter’s Five Forces di Trijaya Transport
13
Pembahasan mengenai faktor-faktor di atas akan memberikan pemahaman dan memberikan pandangan komprehensif mengenai kondisi bisnis yang dihadapi oleh Trijaya Transport.
2.2 Analisis Situasi Bisnis 2.2.1
Persaingan Dalam Industri Travel
Pada saat Trijaya Travel hendak mengimplementasikan sistem barunya diperkirakan reaksi perusahaan travel lain akan sebagai berikut: •
Rival Trijaya akan melakukan aksi wait-and-see terhadap sistem baru yang diadopsi Trijaya, karena sistem yang diimplementasikan belum terbukti dapat diterima oleh pasar.
•
Apabila sistem Trijaya berhasil meraih pangsa pasar yang signifikan maka diperkirakan kompetitor akan melakukan reaksi yang dapat berupa (1) menurunkan harganya dalam upaya memulai price wars atau (2) mengimitasi sistem Trijaya secara langsung maupun menyesuaikan dengan karakteristik dan kapabilitas perusahaannya masing-masing.
Reaksi perusahaan-perusahaan travel di Bandung terhadap munculnya sistem baru dapat diilustrasikan lebih jelas dengan meninjau kasus kemunculan PO Primajasa. PO Primajasa berdiri pada bulan Oktober 2006 dengan armada yang digunakan adalah bus tahun 2006 dengan kapasitas tempat duduk 36 buah. Yang menjadi nilai lebih dari PO Primajasa ini adalah harga yang ditawarkan ± 50 % lebih murah dari harga yang ditawarkan perusahan travel, dilengkapi dengan tempat duduk yang nyaman, televisi, toilet, ruangan merokok di dalam bus. Juga untuk reservasi tiket PO. Primajasa juga telah menyediakan lounge yang nyaman di salah satu mall di Bandung yaitu Bandung Supermall dan di Bandara Soekarno Hatta. Sistem keberangkatan dari PO Primajasa ini adalah Point-to-Point dengan keberangkatan setiap jam, mulai jam 01.00-15.00 WIB. Hal-hal inilah yang membuat banyak konsumen beralih dari yang biasa menggunakan jasa travel beralih menjadi menggunakan PO Primajasa. Dengan adanya hadirnya PO Primajasa tentu saja menurunkan omzet perusahaan-perusahaan travel, sehingga
14
ada beberapa perusahaan travel shuttle service beralih ke jurusan Bandung-Jakarta seperti Tora Travel dan bahkan ada yang sampai menutup perusahaan travelnya. Masuknya PO Primajasa kedalam persaingan travel Bandung-Bandara merupakan contoh sebuah ’value innovation’ yang dinyatakan oleh Kim & Mauborgne: ’value innovation is created in the region where a company’s actions favorably affect both its cost structure and its value proposition to buyers’(2005:16). Konsep value innovation ini disebut oleh Kim & Mauborgne sebagai hakikat penciptaan blue ocean strategy. Lebih jauh dalam buku Blue Ocean Strategy, Kim & Mauborgne mengidentifikasikan beberapa cara sebuah perusahaan dapat menciptakan sebuah ’lautan biru’. Analisis terhadap PO Primajasa mengidentifikasikan bahwa Primajasa melakukan langkah yang disebut oleh Kim & Mauborgne sebagai ’ looking across different strategic groups within industries’ (2005:55) dengan menggabungkan karakteristik perusahaan travel Point-to-Point dengan karakteristik usaha bus antar kota tradisional. Secara lebih rinci, rumusan strategi bisnis PO Primajasa dapat diurai dengan EliminateReduce-Raise-Create Grid, sebuah analytical tool yang dikemukakan oleh Kim & Mauborgne (2005:35) sebagai berikut:
Gambar 2.2 Analisa Grid untuk PO Primajasa
Saat ini reaksi kompetitor karena adanya persaingan harga ini semakin ketat. Pada saat ini para Travel leader telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut : •
Cipaganti memasang diskon untuk bulan Januari yaitu harga menjadi Rp 115.000,- untuk sistem Door-to-Point, Rp 100.000,- untuk sistem Point-
15
to-Point dan disediakannya VIP shuttle service yaitu menggunakan mobil Alphard dengan harga Rp 175.000,- . Pemasangan iklan dimedia cetak seperti Tribun dan Pikiran Rakyat yang dilakukan Cipaganti gencar dilakukan. •
Revin Travel menurunkan harga menjadi Rp 110.000,- dari Rp 135.000,untuk sistem Door-to-Point. Walaupun telah menurunkan harganya namun pihak travel tetap menyediakan snack gratis bagi penumpangnya. Revin hanya memasang iklannya di koran Tribun saja.
•
Buah Batu Travel saat ini tetap pada harga Rp 110.000,-, dan disediakan minuman gelas gratis. Walaupun harganya tidak berubah, namun promosi di media cetak seperti Tribun dan Pikiran Rakyat gencar dilakukan, yaitu penayangan iklan kolom setiap harinya.
•
KAA Travel menurunkan harga menjadi Rp 110.000,- dari Rp 135.000,untuk sistem Door-to-Point. Harga dari KAA travel bisa dinegosiasikan seperti memberikan potongan harga sebesar 5-10% bila
meng-order
langsung untuk 3 orang atau lebih. •
Citra Trans Gemilang saat ini tetap pada harga Rp 110.000,-, untuk sistem Door-to-Point, Rp 90.000,- untuk sistem Point-to-Point. Seperti halnya Revin, Citra Trans ini hanya memasang iklannya di koran Tribun saja.
Gambar 2.3 Strategic Move Travel Rute Bandung-Bandara Soekarno Hatta Maret 2007 (Sudana,2007:53)
16
Dari peta persaingan
diatas menunjukkan bahwa dengan hadirnya
Primajasa hanya tiga travel saja yang menurunkan harganya yaitu Cipaganti, Revin dan KAA. Travel – travel lainnya seperti Buah Batu travel, Cipaganti, Revin, KAA travel, Citra Trans, dan lain-lain cenderung untuk tidak menunjukkan reaksi apapun. Hal ini juga dibuktikan dari pelayanan-pelayanan maupun fasilitas yang ditawarkan relatif tidak terlalu banyak memperlihatkan perubahan yaitu hanya fasilitas antar jemput saja. Kalaupun mereka menurunkan harganya, tidak akan sampai mendekati harga yang ditawarkan PO Primajasa, paling banyak mereka hanya menurunkan Rp 10.000,- sampai Rp 20.000,- dari harga semula. Hal ini disebabkan karena ada batasan-batasan tertentu, seperti biaya-biaya operasional yang cukup besar sehingga bila mereka memasang harga yang murah ditakutkan tidak dapat menutupi biaya operasionalnya. Ilustrasi
kasus
munculnya
PO.
Primajasa
digunakan
untuk
menggambarkan kemungkinan reaksi kompetitor terhadap implementasi sistem hybrid sebab keduanya memiliki kesamaan dalam hal keduanya merupakan sistem unik dengan keunggulan tersendiri yang baru dikenal oleh industri pada saat itu. Dalam konteks PO Primajasa, para pesaing hanya bereaksi dengan menurunkan harga dan tidak melakukan imitasi sebab biaya investasi yang harus dikeluarkan sangat tinggi. Dalam implementasi sistem hybrid Trijaya, ancaman yang kemungkinan dihadapi selain memicu price wars adalah ancaman imitasi terutama dari pemain besar seperti Cipaganti Travel karena investasi yang diperlukan untuk menjalankan sistem hybrid relatif lebih kecil daripada investasi sebuah sistem seperti PO Primajasa.
2.2.2
Ancaman New Entrants Dalam Industri Travel
Industri travel Bandung-Bandara Soekarno Hatta merupakan industri yang dapat dikatakan masih dalam tahap berkembang/growth state. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor antara lain: •
Berdasarkan data yang diperoleh dari departemen perhubungan, terjadi peningkatan pengguna maskapai penerbangan domestik dan internasional dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2006, dan diperkirakan peningkatan terus terjadi sampai dengan tahun 2010. Peningkatan ini dipicu oleh
17
semakin maraknya penerbangan low fare/tarif murah dari setiap maskapai penerbangan sehingga memicu masyarakat terutama masyarakat di Bandung
untuk
melakukan
perjalanan
menggunakan
pesawat.
(Effendi,2007:7). •
Dibukanya ruas Tol Cipularang yang mempersingkat jarak tempuh Bandung-Jakarta semakin memudahkan akses antara dua kota tersebut termasuk didalamnya akses menuju Tol I.R Sedyatmo yang merupakan jalan menuju Bandara Soekarno Hatta. Dibukanya Tol Cipularang telah menjadi pemicu munculnya travel-travel dengan sistem Point-to-Point Bandung-Jakarta/Bandung-Bandara seperti X-trans dan Citi Trans setelah sebelumnya travel Bandung-Jakarta hanya mengenal perusahaan Door to Door/Door-to-Point seperti Cipaganti Travel dan 4848.
•
Menurut Ellien E Garniatin, Manajer Cabang Cipaganti Travel, telah terjadi peningkatan pengguna travel Bandung-Jakarta sebanyak 35% sepanjang 2006-2007 dengan daerah growth tertinggi pesanan berasal dari Jatinangor yang merupakan daerah kampus dengan banyak mahasiswa yang berasal dari luar Jawa Barat (Kompas,28/03/2007:n.d).
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, diperkirakan pertumbuhan permintaan ditunjang dengan kuatnya infrastruktur pendukung akan terus mendatangkan pendatang baru/new entrants dalam industri travel rute Bandung-Bandara Soekarno Hatta. Dalam konteks implementasi sistem hybrid oleh Trijaya, growth potential yang tinggi dalam industri travel berarti semakin banyak pengguna jasa baru yang bersifat first-time users yang belum memiliki loyalitas terhadap suatu brand atau sistem tertentu sehingga pengenalan sistem hybrid akan lebih mudah diserap oleh konsumen.
2.2.3
Ancaman Substitute Modes Dalam Industri Travel
Dalam pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat dalam bepergian dari Bandung menuju Bandara, konsumen dapat memilih berbagai cara yaitu dengan menggunakan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Ilustrasi berikut ini
18
menggambarkan generic needs dari konsumen yang biasa bepergian dari bandung menuju Bandara.
Gambar 2.4 Product Market Structure untuk Industri Travel
Karakteristik orang yang menggunakan kendaraan pribadi biasanya adalah orang yang beserta keluarganya melakukan perjalanan pada hari-hari libur; yang memiliki supir pribadi; orang membawa banyak barang. Sedangkan karakteristik untuk orang yang menggunakan kendaraan umum adalah orang-orang yang melakukan perjalanan bisnis maupun urusan lainnya seperti liburan, pulang kampung ; yang tidak memiliki mobil pribadi ; yang membutuhkan kepraktisan dari sisi biaya dan kendaraan ; bebas melakukan perjalanan kapanpun. Kendaraan umum dibagi lagi yaitu melalui kereta api, angkutan darat atau pesawat terbang. Biasanya orang yang menggunakan kereta api adalah orangorang yang sudah terbiasa menggunakan kereta api (loyal customer) karena menurut mereka kereta api lebih aman dan tepat waktu di Gambir; yang memiliki kepentingan di daerah sekitar Gambir; lokasi orang yang dekat dengan stasiun di Bandung; harganya lebih murah bila menggunakan kereta kelas Bisnis; orang yang tidak membawa banyak barang. Sedangkan karakteristik orang yang menggunakan pesawat adalah orang-orang yang memerlukan waktu paling cepat tiba di Bandara Soekarno Hatta dan orang yang menyukai privasi.
19
Perjalanan melalui angkutan darat dapat dilakukan dengan travel agen, bus antar kota antar propinsi (AKAP), atau perusahaan rental mobil. Untuk perjalanan dengan menggunakan bus AKAP adalah orang-orang yang berlokasi dekat dengan terminal bus dan orang yang menyukai harga murah. Sedangkan bila menggunakan jasa rental mobil adalah orang-orang yang bepergian membawa orang banyak/satu kelompok ; tidak memiliki mobil pribadi; bebas melakukan perjalanan kapanpun. Khusus untuk rute Bandung-Bandara, ancaman terbesar dari golongan moda transportasi yang menjadi alternatif/substitusi travel adalah kereta api. Hal ini dikarenakan oleh informasi yang diperoleh bahwa PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) melalui beberapa anak perusahaannya sedang merancang untuk membangun infrastruktur berupa jalur rel kereta api yang menghubungkan Gambir serta beberapa stasiun lain langsung menuju Bandara Soekarno-Hatta. Pembangunan jalur dan penyelenggaraan rute Jakarta-Bandara ini diproyeksikan untuk siap beroperasi sebelum tahun 2015 (Nur Hamidi, Wawancara Pribadi, 23/05/07). Selain rencana jangka panjang tersebut, pada bulan mei 2007 PT KAI secara resmi mengumumkan penurunan tarif hingga 25% untuk layanan KA Parahyangan dan Argo Gede jurusan Bandung-Jakarta. Penurunan tarif ini diindikasikan sebagai reaksi PT KAI menghadapi makin tergerusnya segmen konsumen yang memilih menggunakan kereta api dibanding moda transportasi travel dan kendaraan pribadi seiring dibukanya ruas Tol Cipularang.
Dalam
konteks implementasi sistem hybrid para moda transportasi alternatif tidak menyajikan ancaman yang spesifik, namun dalam konteks industri travel secara umum maka hadirnya moda transportasi alternatif tersebut berpotensi mengurangi total market share pengguna travel.
2.2.4
Needs dari Pengguna Jasa Travel
Customer yang menggunakan travel yang melayani shuttle service adalah pelanggan yang ingin melakukan perjalanan ke Bandara Soekarno Hatta baik perjalanan karena pekerjaan (bisnis), perjalanan wisata, ataupun perjalanan untuk kepentingan pribadi. Saat ini travel memegang peranan yang cukup penting di masyarakat untuk memberikan kemudahan dalam pengurusan perjalanan ke
20
Bandara Soekarno Hatta. Orang-orang yang melakukan perjalanan menggunakan travel dapat dibagi dua yaitu dengan menggunakan mobil minibus travel dan yang menggunakan bus PO Primajasa. Orang yang menggunakan travel biasanya kebanyakan perorangan daripada perkelompok atau sekeluarga; membutuhkan kepraktisan karena dapat dijemput kerumah; bebas melakukan perjalanan kapanpun; lebih nyaman karena kapasitas mobil; lebih terjamin ketepatan waktu sampai di Bandara. Orang yang menggunakan bus Primajasa biasanya perorangan maupun kelompok dari suatu instansi; bebas melakukan perjalanan kapanpun; lebih terjamin ketepatan waktu sampai di Bandara; lebih murah dibandingkan dengan travel; kapasitas barang bawaan lebih besar. Dengan makin banyaknya pilihan yang ditawarkan pengusaha jasa dapat mempengaruhi berjalannya implementasi sistem hybrid Trijaya yang merupakan sistem yang belum pernah dikenal oleh industri Travel rute Bandung-Bandara Soekarno Hatta. Menurut Michael E. Rodgers yang dikutip Phillip Kotler, et.al dalam buku Marketing Management:An Asian Perspective, proses penyerapan sebuah inovasi baru akan melalui lima tahap sebagai berikut: 1. Awareness: Tahap dimana konsumen menjadi tahu tentang inovasi yang ditawarkan 2. Interest: Tahap dimana konsumen tertarik dan mencari tahu lebih banyak tentang inovasi yang ditawarkan 3. Evaluation:
Tahap
saat
konsumen
menimbang
untuk
mencoba
menggunakan inovasi yang ditawarkan 4. Trial: Tahap saat konsumen mencoba inovasi yang ditawarkan 5. Adoption: Konsumen memutuskan untuk menerima dan memakai terus menerus
inovasi
yang
ditawarkan
((Rogers,1983:n.d)Kotler,
et.al.2003:366)
Lebih jauh Kotler mengutip Roberts yang menyatakan bahwa dalam proses penyerapan sebuah inovasi, para calon pengguna terbagi atas lima kategori berdasarkan innovativeness-nya atau kemauan untuk mencoba sesuatu yang baru. Kelima kategori pengguna ini akan memakai sebuah inovasi baru pada jangka waktu yang berbeda seperti yang diilustrasikan dibawah ini:
21
Gambar 2.5 Timeline Penyerapan Inovasi Everett M. Rogers
Menurut Rogers, para innovators dan early adopters yang akan menjadi pengguna pertama suatu inovasi jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan keseluruhan pengguna. Kedua kategori pengguna ini akan menjadi opinion leaders di komunitasnya dan akan mempengaruhi penyerapan inovasi oleh kategori-kategori selanjutnya yang bersifat skeptis dan hanya akan mencoba setelah
melihat
orang
lain
menggunakannya
terlebih
dahulu.
Dengan
menggunakan model ini sebagai acuan, maka penerapan sistem hybrid Trijaya Transport diperkirakan akan melalui proses penyerapan yang sama.
Namun,
tantangan dalam upaya mempercepat penyerapan sistem hybrid menjadi lebih ringan adanya mitigating factor berupa tingginya value yang ditawarkan oleh sistem hybrid tersebut. Dengan adanya banyak titik penjemputan beserta harga yang murah, sistem hybrid menjadi satu-satunya perusahaan yang dapat menghilangkan constraint waktu dan biaya sedemikian rupa sehingga consumer bargaining power untuk dapat melakukan switch antar penyelenggara dan sistem shuttle menjadi lebih rendah.
2.2.5
Peranan Agen Sebagai Supplier Industri Travel
Seperti halnya perusahaan travel lain, Trijaya Transport memperoleh pelanggan melalui cara berinteraksi langsung dengan pelanggan yang memesan layanan Trijaya, atau melalui agen yang mengatasnamakan pelanggan. Agen yang bekerja sama dengan Trijaya Transport adalah agen tiket pesawat terbang yang pada umumnya juga memasukkan layanan travel menuju Bandara Soekarno Hatta dalam paket penawarannya. Selain agen tiket, Trijaya juga menjalin kerjasama dengan agen biro perjalanan wisata.
22
Agen telah menjadi mitra yang sangat penting bagi Trijaya Transport. Bersama sekitar 53 agen yang bekerja sama dengan Trijaya di daerah kota Bandung, Trijaya berhasil meningkatkan perolehan pelanggan yang cukup signifikan sepanjang tahun 2006. Peran agen menjadi lebih penting dalam beberapa bulan terakhir 2006 dengan makin menguatnya kontribusi penumpang dari agen yang mencapai rata-rata +60% dari jumlah penumpang yang dilayani Trijaya seperti yang terlihat pada tabel berikut ini: Bulan Juli Agustus September Oktober November Desember
Jumlah penumpang indirect 589 660 565 580 438 495
Jumlah penumpang Direct 322 335 174 411 312 248
% Indirect 65% 66% 76% 59% 58% 67%
% Direct 35% 34% 24% 41% 42% 33%
Tabel 2.1. Proporsi Jumlah Penumpang Trijaya Transport
Trijaya Transport pada saat ini memberikan komisi rata-rata 9% s/d 18% kepada para agen. Berdasarkan data-data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Trijaya Transport hendaknya juga mempertimbangkan dampak keputusannya terhadap hubungan bisnis yang saat ini terjalin dengan para agen.
2.3 Akar Permasalahan Isu Bisnis Setelah menganalisis faktor-faktor dalam Porter’s five forces yang akan mempengaruhi berjalannya implementasi sistem hybrid Trijaya Transport, didapat seperangkat kesimpulan yang dapat dirumuskan dalam analisis TOWS sebagai berikut: •
Threat
Salah satu resiko mendasar (inherent risk) dalam melakukan inovasi seperti implementasi yang dilakukan Trijaya adalah resiko bahwa perusahaan rival akan meniru sistem Trijaya. Resiko ini menjadi sangat mungkin karena sistem hybrid dapat dilihat dan dianalisis oleh lawan dengan mudah, serta Trijaya tidak dapat mempunyai hak paten atas sistem hybrid-nya. Reaksi lain yang mungkin dilakukan oleh perusahaan rival yang telah menganalisis sistem hybrid adalah tidak menirunya melainkan menurunkan
23
harga sehingga memicu price wars yang akan menguntungkan bagi konsumen namun menipiskan margin bagi penyelenggara travel lebih jauh. Bagi para rival seperti Cipaganti Travel dan X-Trans yang memiliki kapasitas modal besar, reaksi yang sangat mungkin dilakukan adalah meniru sistem hybrid Trijaya sambil juga menawarkan hal-hal yang mampu disediakan oleh perusahaan besar antara lain harga lebih murah, fasilitas menunggu lebih nyaman, kendaraan yang lebih mewah, dan lain-lain. Hal lain yang dapat menjadi kendala adalah reaksi agen apabila Trijaya mengaplikasikan sistem hybrid. Agen yang saat ini bekerja sama dengan Trijaya terbiasa mengadakan kerja sama dengan penyelenggara sistem Doorto-Point.
Perubahan
sistem
Trijaya
harus
dilakukan
dengan
juga
mengakomodasi kebutuhan para agen, karena saat ini peranan agen bagi Trijaya terbilang vital sebagai sumber pendapatan. Dari sisi regulasi, implementasi sistem hybrid Trijaya Transport tidak berpotensi untuk mengalami hambatan besar karena Surat Izin Usaha Perusahaan tidak merinci kategori Point-to-Point atau Door-to-Point. Hal ini berarti Trijaya dapat langsung mengimplementasikan sistemnya tanpa tersandung aturan penyelenggaraan jasa travel pemerintah Kota Bandung. •
Opportunity
Dengan hadirnya ruas tol Cipularang dan maraknya maskapai low cost carriers, arus pengguna jasa penerbangan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Bersamaan dengan hal tersebut, industri travel menuju bandara sebagai industri komplementer juga mengalami peningkatan volume pengguna. Khusus untuk daerah Bandung dan sekitarnya, meningkatnya volume pengguna jasa travel Bandung-Bandara Soekarno Hatta menjadi lebih intensif karena karakteristik kota Bandung sendiri yang secara geografis dekat dengan Jakarta dan Bandung memiliki banyak warga pendatang yang mayoritas adalah pelajar dan mahasiswa yang menuntut ilmu di perguruanperguruan tinggi. Growth Potential ini diperkirakan dapat menyokong pertumbuhan industri travel Bandung-Bandara menjadi industri yang cukup menjanjikan di masa depan. Peningkatan volume konsumen pengguna jasa travel Bandung-Bandara yang kini dapat memilih antara sistem Door-to-Point
24
atau Point-to-Point juga membentuk seperangkat persepsi dan opini mengenai kedua sistem tersebut. Penelitian ini telah menganalisis persepsi dan opini tersebut dengan tujuan untuk mencari apakah ada unfulfilled needs dari konsumen terhadap sistem yang ada saat ini. Analisis persepsi konsumen ini diperoleh dengan metode in-depth interview terhadap konsumen Trijaya Transport. Parameter yang digunakan untuk mendapatkan responden adalah konsumen Trijaya berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan, bersedia diwawancarai dan pernah menggunakan kedua sistem yang ada, Door-to-Point maupun Point-to-Point. Dari 77 wawancara yang dilakukan dalam jangka waktu 30 hari, terdapat 20 responden yang memenuhi syarat. Hasil content analysis terhadap wawancara 20 orang responden ini adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Hasil Content Analysis Wawancara Persepsi Konsumen Trijaya Transport
Dari hasil tersebut diatas terlihat bahwa persepsi yang paling sering dikaitkan secara positif terhadap sistem Door-to-Point adalah kenyamanan menunggu di rumah terutama untuk perjalanan malam hari, namun secara negatif sistem yang sama sering dikaitkan dengan harga yang mahal, waktu menjemput yang sering tidak tepat, juga perjalanan yang lambat karena harus menjemput penumpang lain. Sistem Point-to-Point secara positif sering dikaitkan dengan harga murah dan perasaan tepat waktu, dengan sedikit persepsi negatif tentang repot saat membawa barang bawaan banyak dan biaya ekstra yang dikeluarkan saat menuju ke tempat travel. Persepsi pengguna jasa travel ini menunjukkan bahwa ada unfulfilled needs yang tidak bisa dipenuhi oleh salah satu sistem yang ada, yaitu sebuah
25
sistem yang murah, tepat waktu, namun juga menyediakan kenyamanan menunggu dirumah beserta rasa aman yang diberikannya. Dengan tersedianya informasi ini, maka sistem hybrid yang hendak diimplementasikan Trijaya berpotensi besar untuk dapat menyesuaikan penawarannya agar memenuhi seluruh atau sebagian besar kombinasi kebutuhan konsumen diatas.
Analisis
mengenai
faktor-faktor
eksternal
yang
berpengaruh
terhadap
implementasi sistem hybrid tersebut mengungkapkan seperangkat key success factors yang harus dimiliki oleh perusahaan sebagai berikut: -
Trijaya harus memiliki konsep yang baik dan solid untuk memenuhi kombinasi unfulfilled needs para pengguna jasa.
-
Trijaya harus memiliki kesiapan infrastruktur yang dapat melakukan service delivery menghadapi peningkatan volume pengguna jasa di masa depan.
-
Trijaya harus dapat mengatur kembali hubungannya dengan agen untuk memastikan profitabilitas perusahaan tetap berada pada tingkat yang layak.
Perangkat key success factors diatas kemudian menjadi titik acuan dalam menganalisa aspek strength dan weakness dari perusahaan untuk memperoleh gambaran kondisi Trijaya untuk dapat mengimplementasikan sistem hybrid di dalam kondisi bisnis yang memiliki threats & opportunities seperti yang telah dijelaskan diatas. •
Strength
Sistem hybrid Trijaya adalah sistem yang berupaya memadukan benefit dari dua sistem yang ada saat ini. Dengan demikian pengguna jasa dapat mendapatkan value yang lebih untuk yang dibayarkannya. Lebih dari itu, value offering sistem hybrid adalah satu-satunya yang memenuhi unfulfilled needs dari konsumen akan sistem yang murah, tepat waktu dan hassle-free. Trijaya Transport juga berpotensi untuk mendapatkan keuntungan dari berkurangnya biaya operasi untuk menjemput pelanggan di rumah serta bertambahnya market share dari diberlakukannya sistem ini.
26
Saat ini Trijaya Transport memiliki armada sebagai berikut: 2 unit Elf, 3 unit Pregio, 1 unit Xenia dan 1 unit APV. Dari komposisi armada Trijaya yang sedemikian rupa, dua unit Elf merupakan tambahan baru dalam armada sejak Mei dan September 2006. Penambahan ini dilakukan sebagai reaksi terhadap meningkatnya volume penumpang sepanjang tahun 2006 sebagaimana diperlihatkan oleh tabel berikut ini:
Grafik Pertumbuhan Penumpang
1200 Jumlah Penumpang
995 739
701
800 555
600 390 400
991
911
1000
750 743
592 599
447
311
300
200
Jumlah Penumpang
Ju li gu st us S ep te m be r O kt ob er N op em be D r es em be r A
Ju ni
M ei
pr il A
N op -0 5 D es -0 5 Ja nu ar i Fe br ua ri M ar et
0
Bulan
Grambar 2.6 Grafik Jumlah Penumpang Trijaya Nov ’05- Des ’06
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan volume penumpang Trijaya mengalami kenaikan sepanjang tahun, sehingga Trijaya merasa perlu meningkatkan armadanya. Namun seiring dengan dibukanya PO Primajasa bulan Oktober 2006, volume penumpang Trijaya mengalami tren penurunan yang cukup signifikan. Penurunan ini sangat terasa pada bulan Desember yang merupakan high season karena adanya natal dan tahun baru, namun jumlah penumpang justru menurun dari bulan November. Tren penurunan ini membuat utilitas kendaraan Trijaya menjadi lebih rendah dari yang diperkirakan ketika keputusan untuk membeli dua unit baru dibuat. Sepintas hal ini terlihat sebagai beban, namun dalam kerangka implementasi sistem hybrid maka utilitas rendah dari beberapa unit mobil ini menjadi aset bagi Trijaya dalam arti Trijaya tidak harus lagi membeli kendaraan namun dapat menggunakan sumber daya yang sudah tersedia berupa mobil dan supir.
27
•
Weakness
Sistem hybrid Trijaya merupakan suatu layanan travel yang belum pernah ada sebelumnya,
sehingga
dalam
mengimplementasikannya
akan
ditemui
kesulitan-kesulitan dalam hal membangun awareness dan melakukan edukasi pada para calon pengguna jasa. Kesulitan ini dapat diminimalisasi karena sistem hybrid dalam penerapannya sangat mirip dengan Point-to-Point dan hampir tidak membutuhkan keterlibatan ekstra atau cara penggunaan yang baru bagi para pengguna. Pada saat ini Trijaya merupakan sebuah perusahaan travel yang belum dapat dikatakan memiliki sumber daya setinggi para pemain incumbent seperti Cipaganti Travel maupun para new entrants ambisius seperti X-trans. Cipaganti Travel merupakan perusahaan dengan brand image yang kokoh karena selain merupakan salah satu pengusaha travel yang paling awal beroperasi di Bandung, Cipaganti Travel memiliki gedung tempat usaha yang impresif di jalan Cipaganti dan persimpangan Jl Gatot Subroto. Ditambah dengan keragaman usaha yang tinggi mulai dari usaha travel, rental mobil mewah sampai rental alat berat membuat Cipaganti Travel dilihat sebagai penyelenggara travel yang terpercaya di Bandung. Para pemain baru seperti XTrans yang mulai beroperasi sejak dibukanya tol Cipularang merupakan rising star yang cepat mendapat tempat di benak para konsumen. Dibandingkan kedua rival tersebut, sumber daya finansial dan infrastruktur Trijaya Transport untuk melakukan ekspansi usaha masih terbatas. Dalam kaitannya dengan aplikasi sistem hybrid, kurangnya dukungan finansial ini akan dapat membatasi pilihan Trijaya untuk menentukan berapa banyak dan juga lokasi titik penjemputan yang dapat dibuka. Walaupun hambatan ini bisa dimitigasi dengan melakukan pendekatan kerjasama dengan existing businesses di lokasi potensial titik yang akan dibuka, namun biaya yang harus dikeluarkan untuk membuka poin masih terbilang cukup besar karena meliputi tidak hanya tempat usaha melainkan ketersediaan sumber daya manusia dan sistem penunjang lainnya seperti software (pelatihan, penjadwalan, dan lain lain) dan juga hardware (Alat Tulis Kantor/ATK, komputer, dan lain lain).
28
Kelemahan dalam sumberdaya finansial Trijaya Transport juga dibarengi oleh lemahnya sistem administrasi dan pencatatan order. Pada saat ini Trijaya masih menggunakan sistem pencatatan manual untuk tiap pesanan yang masuk baik dari agen maupun langsung. Efek yang dirasa dari hal ini adalah kurang baiknya sistem filing dan database pesanan Trijaya Transport, yang menyebabkan sulitnya akses informasi bisnis dalam rangka menyusun rencana langkah strategis. Dalam kaitannya dengan aplikasi sistem hybrid yang akan membutuhkan koordinasi lebih rumit antar titik penjemputan karena makin non-sentralistiknya operasional Trijaya, pencatatan order yang masih penciland-paper dan tercerai berai menyimpan potensi besar akan terjadinya kesalahan yang merugikan Trijaya dan juga konsumen. Secara jangka panjang, pencatatan manual ini juga membatasi pengumpulan informasi yang seharusnya mudah diakses dalam rangka pemahaman dan evaluasi mengenai implementasi sistem hybrid ini.
Faktor-faktor yang telah dipaparkan diatas dapat diringkas dalam ilustrasi dibawah ini, dan merupakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan bauran pemasaran yang efektif bagi implementasi sistem hybrid Trijaya Transport:
Threat:
Opportunity:
- Ancaman imitasi dari pesaing.
- Bisnis travel masih growing dengan pesat
- Ancaman price wars
- Ada unfulfilled needs konsumen pada sistem saat ini
- Reaksi dari agen
Weakness: Strength:
- Sistem yang sama sekali baru
- Value Offering tinggi
- Modal yg tdk banyak
- Armada siap guna
- Non-computerized administration
Gambar 2.7 TOWS Analysis Untuk Aplikasi Sistem Hybrid Trijaya Transport
29