POLISI DAN HAK ASASI MANUSIA♣ Oleh: Suparman Marzuki♥
Pendahuluan Upaya
banyak
pihak,
terutama
Polisi
sendiri
dalam
membenahi peran, tugas dan tanggungjawab profesinya yang baru dan berbeda dibanding masa lalu masih terus berlangsung (dalam proses). Citra buruk di satu sisi, serta tuntutan akan peran baru di sisi lain, membuat pekerjaan membenahi Polisi relatif sulit. Tetapi apapun keadaannya upaya pembenahan harus terus berjalan; sebagaimana proses demokrasi yang juga tak pernah mengenal kata akhir. Sebagai institusi penegak hukum yang langsung berhadapan dengan perubahan masyarakat, Polisi nyaris tidak punya waktu untuk mencerna perubahan tersebut secara tenang dan hati-hati seperti misalnya dilakukan di lingkungan akademis. Sebagian Polisi mungkin tidak sempat dapat pelajaran tentang demokrasi, HAM dan sebagainya. Ia langsung berhadapan dengan perilaku anggota masyarakat yang muncul dari kesadaran baru tersebut. Polisi mungkin saja agak tersentak dengan perubahan sosial politik dan psikologis masyarakat kita yang begitu cepat semenjak 1998 yang lalu, terutama tuntutan akan
♣
Disampaikan dalam Workshop penyusunan kurikulum pengajaran HAM di Akpol dan SPN, 25 April 2006, diselenggarakan oleh Pusham UII Yogyakarta. ♥ Direktur Pusham-UII, Dosen FH. UII, Pengajar HAM dan COP di Magister Konflik dan Perdamaian UGM.
1
peran Polisi yang baru, yang menempatkan HAM sebagai paradigma penegakan hukum oleh Polisi. Dukungan pelbagai kekuatan masyarakat terhadap Polisi diharapkan dapat mempercepat proses perubahan, baik perubahan di level struktur (institusi polisi), substansi (pelbagai aturan, kode etik, dst) maupun kultur (budaya kerja) Polisi . Kegiatan yang sudah, sedang dan akan dilakukan, adalah wujud peran serta lembaga di luar Polisi untuk membenahi Polisi. Apakah polisi dapat menjadi polisi sipil? Adalah pertanyaan kita semua.
Rentan Melanggar HAM Konteks struktural dan fungsional polisi memang sulit dan rentan terhadap pelanggaran HAM. Kedudukan polisi sebagai institusi terdepan penegak Kamtibmas tidak bisa tidak membuat mereka berada dalam posisi dilematis ketika tuntutan on the job trouble dan within the job trouble bertemu. Di satu sisi mereka dihadapkan pada masalah bagaimana harus patuh pada perintah atasan yang menuntut kerja efektif, efisien dengan target-target dan prioritas-prioritas. Keberhasilan atau kegagalan mengemban perintah atasan berkaitan langsung dengan kondite dan karir. Keadaan ini merupakan faktor situasional dalam internal polisi yang potensial mengabaikan HAM, karena bagaimanapun kerja prosedural sesuai aturan hukum jelas tidak akan "pas"
dengan tuntutan efektifitas dan
efisiensi.
2
Di sisi lain dalam konteks within the job trouble, polisi dituntut kecakapan kerja, ketelitian dan sikap adaptif terhadap dan di dalam
masyarakat.
Prosedur-prosedur
penyelidikan
dan
penyidikan standar (hukum) jelas membuat kerja Polisi menjadi lebih lamban, tidak efektif dan efisien dihadapan atasan, bahkan dalam pandangan masyarakat sendiri. Untuk jenis kejahatan yang meresahkan seperti kasus narkotika, kejahatan dengan kekerasan misalnya, masyarakat justru menuntut Polisi secepat mungkin menangkap dan memenjarakan pelaku. Kondisi riil masyarakat dimana seorang Polisi bertugas seringkali
ikut
menentukan
kecenderungan-kecenderungan
bertindaknya Polisi. Pada masyarakat yang tingkat kejahatannya rendah-terkendali polisi bisa bekerja dalam kerangka within the job trouble, tetapi sebaliknya pada masyarakat yang kuantitas dan kualitas kejahatannya tinggi ada kemungkinan kerangka on the job trouble lebih mewarnai∗ Barangkali
menarik
menuliskan
pengalaman
seorang
kriminolog bernama Kirkham. Ketika ia sebagai dosen melakukan penelitian mengenai efektifitas pidana mati, ia berpendapat bahwa pidana mati sama sekali tidak efektif mengerem kejahatan, karena itu ia berkesimpulan apa gunanya pidana mati dipertahankan sebagai salah satu jenis pidana.
∗
Sebagian pengamat mengatakan bahwa dilema diantara within the job trouble dan on the job trouble pada keadaan tertentu bisa diatasi dengan kebijakan diskresi (oleh polisi di lapangan), meski tidak jarang penggunaan kebijakan ini potensial juga mengabaikan HAM.
3
Tetapi sebagai seorang ilmuan ia tidak puas dengan kesimpulan
itu.
Ia
lalu
mengambil
cuti
sebaagai
dosen,
mendaftarkan diri di akademi kepolisian dan diterima. Dia pun menjadi anggota polisi biasa dan ditempatkan di suatu wilayah yang terkenal rawan. Sikapnya yang semula luwes terhadap pemberantasan kejahatan berubah sama sekali, terutama setelah bersama anggota polisi yang lain mengalami pelbagai situasi yang sangat membahayakan dirinya. George Kirkham menjadi orang yang senantiasa diliputi kecurigaan terhadap orang-orang yang mempunyai ciri-ciri sebagai penjahat. Dia juga bersikap sinis terhadap pengadilan yang menjatuhkan hukuman yang terlalu ringan pada penjahat yang dengan susah payah serta dengan mempertaruhkan
nyawa
polisi
untuk
menangkapnya.
Dia
cenderung bersikap keras dalam memberantas kejahatan. Sikap yang lunak pada dirinya hanya akan membahayan seluruh korps. Setelah satu tahun mengalami peranan sebagai anggota polisi yang ditempatkan di daerah rawan; Kirkham kembali ke perguruan tinggi untuk menuliskan hasil penelitiannya. Tetapi ia kembali belum puas, dan merasa masih ada yang belum lengkap, akhirnya ia memutuskan bertugas kembali sebagai polisi dan kali ini ia ditempatkan di satu wilayah yang relatif aman, dimana warga masyarakat hidup dengan tenang. Sikapnya yang semula keras, lama kelamaan menyesuaikan diri dengan ketentraman yang ada di daerah itu, dan setiap kali ia pulang ke rumah, ada rasa puas dan tentram pada diri Kirkham.
4
Pengalaman
Kirkham
itu
menunjukkan
bahwa
sikap
seseorang dapat terbentuk oleh peristiwa yang dialaminya, meski tentu saja hal yang bersifat subyektif dan lokalitas itu tidak bisa merekomendasi kapan HAM ditegakkan, kapan boleh dilanggar, karena HAM adalah sesuatu yang bersifat mendasar dan kodrati yang harus dihormati dan ditegakkan meski seorang polisi bertugas di tempat rawan sekalipun. Sekarang masalahnya terpulang kepada Polisi untuk melakukan segala upaya agar dalam tugas-tugasnya menghormati dan menegakkan HAM. Oleh sebab itu baik diingatkan kembali kepada pemerintah, terutama pada Kepolisian akan dua hal. Pertama, agar secara konsisten dan konsekuen menjalankan paradigma baru Polisi sehingga seirama dengan tuntutan masyarakat supaya Polisi berwatak
sipl,
berada
dan
menjadi
bagian
dari
nafas
masyarakatnya (protogonis), dan bukan berada jauh di luar masyarakat (antagonis). Lebih-lebih soal HAM di masa-masa mendatang akan jauh lebih kompleks, memperoleh perhatian dan tuntutan yang lebih terbuka mengingat interaksi masyarakat, termasuk Polisi tidak lagi berskala lokal atau nasional, tapi global. Pelbagai suku bangsa dengan aneka ragam kepentingan akan langsung berhadap-hadapan sehingga dibutuhkan satu struktur Kepolisian yang kondusif dan tidak tergantung dengan kekuatan lain untuk merancang pelbagai perubahan substantif dan prosedural di dalam tubuh Kepolisian itu sendiri.
5
Kedua, berkaitan dengan point satu di atas, diperlukan satu protipe polisi yang oleh Sulivan memenuhi lima syarat, yaitu: well motivated (memiliki motivasi yang baik); well educated (pendidikan yang baik); well trained (pengalaman yang baik); well equipped (sarana atau perlengkapan yang baik); dan well paid (kesejahteraan yang baik). Semua itu tentunya membutuhkan keleluasaan Policy program dan keuangan bagi Polisi sehingga tidak tergantung. Dengan kata lain, untuk bisa melayani masyarakat dengan baik, polisi harus bersikap responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Harus ada kesungguhan untuk menjadi kekuatan yang mengalami pencerahan karena seperti digambarkan Toffler, bahwa segala pekerjaan di dunia ini mulai bergeser dari dominasi penggunaan otot ke otak (from brawn to brain). Penggunaan kekerasan telanjang adalah kualitas kekuasaan yang paling rendah, disusul oleh kualitas medium dalam bentuk kekayaan, sedang kekuasaan dengan kualitas terbaik adalah pengetahuan.
Polisi dan isu HAM ke Depan Aspek hak asasi manusia yang akan menonjol ke depan bukan lagi hak sipil politik, tetapi justru hak ekonomi, sosial, dan budaya. Persinggungan Polisi dengan problem hak sipil Politik akan makin berkurang sejalan dengan menguatnya isnstitusiinstitusi demokrasi, termasuk perubahan di tingkat internal kepolisian sendiri.
6
Tindakan
penyiksaan,
kesewenang-wenangan
dalam
penangkapan dan penahanan akan dengan sendirinya berkurang secara signifikan karena faktor eksternal dan internal Polisi yang makin
kuat
mengkontrol
atau
memproteksi
kemungkinan-
kemungkinan tersebut. Yang justru akan mengemuka ke depan adalah hak sosial, eknomi dan budaya. Pelaku pelanggaran ham di atas jauh lebih kompleks dan variatif (bisa negara, agen-agen negara, bisa korporasi). Dampak pelanggaran hak ekosob, bisa melahirkan pelbagai dimensi kekerasan dalam masyarakat. Seiring dengan visi baru Polisi sebagai Polisi sipil yang protogonis, dengan dan bersama masyarakat, maka perhatian Polisi pada hak-hak ini harus lebih menonjol. Oleh sebab itu, fokus capacity building polisi hendaknya mulai diarahkan kemampuan mengerti dan memahami hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dalam lingkup: (a) apa saja cakupan hak-hak sosial, hak-hak ekonomi, dan hak-hak budaya; (b) mana diantara hak-hak itu yang potensial memicu masalah; (c) dari pihak mana saja kemungkinan pelaku
pelanggaran;
(d)
apa
dampak
sosialnya;
(e)
apa
antisipasinya. Jawaban atas pertanyaan itu bisa berbeda antara satu daerah atau wilayah dengan daerah atau wilayah lain. Dan karena itu pula pendekatan penanganan juga bisa berbeda. Agar Polisi dapat melakukan pencegahan dan penanggulangan yang tepat, Polisi
7
mulai membiasakan diri bekerja dengan konsep yang disusun berdasarkan realitas (temuan riset) dimana wilayah kerja Polisi.
Penutup Tantangan penegakan HAM oleh Polisi ke depan akan mengarah pada tuntutan pemenuhan hak Ekosob. Pemenuhan hak ini
(Ekosob)
pada
bagian
tertentu
memang
menjadi
tanggungjawab negara, tetapi karena pengabaian hak-hak ini dapat menimbulkan dampak sosial, maka Polisi wajib melakukan upaya-upaya prevensi dalam bentuk pemetaan masalah sosial, ekonomi dan budaya, sebagai semacam security audit secara periodik. Temuan-temuan disampaikan kepada DPRD, Pemerintah dan masyarakat umum. Jika peran itu bisa dilakukan, maka polisi akan tampil sebagai pemecah masalah masyarakat (community problem solver). Tugas dan peran Polisi sebagai pemecah masalah atas masalah-masalah sosial masyarakat adalah juga pemenuhan hak asasi manusia. Tugas itu jauh lebih berat dan kompleks, ketimbang menghindarkan diri untuk tidak melakukan penyiksaan atau penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.
8