POLIMORFISME GEN CYP 1A1 PADA PENDERITA AKNE RINGAN DI MAKASSAR (Polymorphism Gene Cyp 1a1 in Mild Acne at Makassar) Martha P.Nurul ABSTRAK Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran polimorfisme gen CYP 1A1 pada kasus akne ringan. Metode: Metode yang digunakan adalah metode eksploratif. Jumlah sampel sebanyak 21 orang yang diambil sampel darahnya sebanyak 1 μL. Polymerase Chain Reaction-Sekuensing (PCRsequencing) digunakan untuk mendeteksi adanya polimorfisme gen CYP 1A1, kami mengamati kelompok genom dan membandingkan hasil frekuensi genotif dan frekuensi alelnya serta membandingkan kelompok sebaran genotif dengan penelitian sebelumnya. Hasil penelitian: Pada kasus ditemukan alel GG sebanyak 6 sampel (homosigot), alel GA 9 sampel (heterosigot) dan alel AA 6 sampel (homosigot mutan). Tidak terdapat hubungan signifikan pada kelompok sebaran genotif penelitian kami dibandingkan dengan kelompok penelitian sebelumnya di Jerman. ABSTRACT Objective: the aim of this study was to determine the polymorphism gene CYP 1A1 in mild acne. Methods : research method applied is an explorative study. 1 microliters of blood samples were collected from 21 patients with mild acne were included in the study. Sequencing Polymerase chain reaction-restriction (PCRsequencing) assay was used for detection of the CYP 1A1, we do some observational our genomic collection in and we compared allele frequencies and the resulting genotype between our study and the other previous study. Result : The frequencies of the GG allele was 6 (homozygote) and the allele GA was 9 (heterozygt) and allele AA was 6 (mutant homozygote). There is no significant associated between our study and the previous study in German. Keywords: polimorphisms, CYP 1A1, mild acne
PENDAHULUAN Akne vulgaris (AV) merupakan penyakit inflamasi kronik folikel pilosebaseus yang sering terjadi pada remaja dan dewasa(Baz et al., 2008). Umumnya insiden terjadi sekitar usia 14 -17 tahun pada wanita dan 16-19
1
tahun pada pria (Pindha, 2007). Angka kunjungan penderita akne vulgaris pada tahun 2007 sekitar 5,5% dari seluruh kunjungan pasien dipoliklinik kulit dan Kelamin RSUP Wahidin sudirohusodo Makassar dan meningkat menjadi 7,8% pada tahun 2008 (Sudirohusodo, 2008). Akne vulgaris dapat ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul,
nodul dan skar (Zaenglein et al.,
2008, James et al., 2006, Simpson dan Cunliffe, 2007). Berdasarkan Combined Acne Severity Classification oleh Lehmann dkk (2002) tingkat akne vulgaris dibagi menjadi akne ringan, sedang, dan berat. Dikatakan akne vulgaris ringan bila jumlah komedo kurang dari 20, atau lesi inflamasi kurang dari 15 atau lesi total berjumlah kurang dari 30 buah (Lehmann et al., 2002). Akne vulgaris merupakan penyakit yang disebabkan oleh multifaktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya AV adalah produksi sebum yang
berlebihan,
keratinisasi
folikular
yang
abnormal,
proliferasi
Propionibacterium acnes, inflamasi, faktor-faktor eksternal dan genetik.(Baz et al., 2008, He et al., 2006, Simpson and Cunliffe, 2007, Zanglein et al., 2008) Keterlibatan faktor genetik dalam patogenesis penyakit ini telah dibuktikan pada saudara kembar, akan tetapi penelitian yang berhubungan dengan elemen genetik ini masih jarang ditemukan.(Baz et al., 2008, Zanglein et al., 2008) Penelitian yang dilakukan oleh Goulden dkk menunjukkan faktor keluarga merupakan hal yang penting dalam kerentanan terhadap akne yang persisten.(Goulden et al., 1999a) Goulden dkk menunjukkan bahwa faktor genetik menentukan keratinisasi folikuler yang abnormal dan respon androgen kelenjar sebasea pada individu dengan akne persisten.(Ballanger et al., 2008)
2
Retinol (vitamin A) dan metabolit retinoid aktifnya penting dalam diferensiasi epitel. Retinoid mempengaruhi proliferasi dan diferensiasi sel. Retinoid
dapat
mempengaruhi
proliferasi
keratinosit
epidermal
dan
sebosit.(Gollnick, 2003) Hiperkeratinisasi folikuler dapat terjadi akibat kurangnya retinoid alami aktif.(Paraskevaidis et al., 1998) Salah satu enzim yang terlibat dalam metabolisme vitamin A (retinol) adalah sitokrom P-450. Di antara famili enzim ini, CYP 1A1 merupakan subfamili isozim yang paling aktif. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa polimorfisme gen CYP 1A1 berhubungan dengan akne. (Paraskevaidis et al., 1998) Berdasarkan hal tersebut, penting untuk melihat adanya polimorfisme gen CYP 1A1 terhadap kerentanan akne vulgaris ringan khususnya di Makassar yang sebelumnya belum pernah dilaporkan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Laboratorium FK - UNHAS Makassar pada 21 kasus penderita akne ringan dengan metode rancangan penelitian eksploratif. Kriteria inklusi penderita akne ringan berdasarkan kriteria Combined Acne Severity Classification yang dinilai oleh dokter spesialis kulit dan kelamin dan
penderita
menyetujui
serta
menandatangani
informed
consent,
sedangkan kriteria eksklusi adalah penderita akne ringan yang mendapat pengobatan antibiotik dan anti inflamasi selama satu bulan terakhir, penderita akne ringan yang hamil dan penderita akne ringan yang sedang menyusui.
3
Spesimen darah diambil sebanyak 1 mL dari 21 penderita akne ringan , spesimen selanjutnya akan diberi perlakuan isolasi DNA (sedimen) untuk uji PCR. Metode PCR disiapkan menggunakan ekstrak DNA sebagai kontrol positif dan aquades steril sebagai kontrol negatif.
Hasil ekstraksi DNA
dimasukkan sebanyak 1,5 µL ke dalam PCR mix yang terdiri dari : produk PCR/ super mix sebanyak 22,5 ul ditambah dengan primer Forward (40 pM) 0,5 µL dan primer Reverse (40 pM) 0,5 µL sehingga jumlah keseluruhan PCR mix menjadi 25 µL . Hasil PCR siap di running di agarose gel 2,5% Hasil PCR yang didapat kemudian di-running di agarose gel 2% (NuSieve GTG Agarose) dan Band yang terlihat di UV light dipotong dan dimasukkan dalam tabung effendorf 1.5 mL, kemudian dilakukan proses purifikasi dengan kit (QIAquick PCR purification kit), dengan teknik PCR sekuensing adalah dengan melakukan PCR
biasa
dengan
komposisinya
5’TAGGAGTCTTGTCTCATGCCT ‘3,
:
Primer Primer
Forward
:
Reverse:
5’AAGAGGTGTAGCCGCTGCACT’3 (TIB Molbiol) 1 pmol. Hasil PCR kemudian dilakukan presipitasi sebelum dimasukkan dalam mesin sekuensing untuk diidentifikasi urutan nukleotidanya. Data dalam penelitian ini diolah secara manual dengan bantuan komputer, semua hasil analisis akan disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan penjelasan. HASIL PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran polimorfisme gen CYP 1A1 pada penderita akne ringan. Dua puluh satu penderita AV ringan
4
yang terdaftar dalam rekam medis RS Wahidin Sudirohusodo dan RS jejaring pendidikan Unhas diikutkan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan molekuler dengan menggunakan metode PCR untuk melihat pita DNA dari kelompok sampel kasus AV berat, kemudian dilanjutkan dengan PCR-sekuensing untuk menentukan urutan nukleotida pada suatu fragmen DNA. Elektroforesis produk PCR pada kelompok sampel penderita akne ringan menunjukkan dominasi
positif terdeteksi pada target band 355 bp
(gambar 1)
Ket .: K1 – K16 ; Pita DNA penderita akne ringan Gambar 1. Hasil elektroforesis produk PCR pada kasus akne ringan. Hasil sekuensing gen CYP 1A1 tampak pada gambar 2. Pada kelompok kasus ditemukan alel GG sebanyak 6 sampel, alel GA sebanyak 9 sampel dan alel AA sebanyak 6 sampel. (tabel 2).
5
Gambar 2. Gambaran hasil sekuensing alel GG, alel GA dan alel AA Tabel 2. Hasil Sekuensing Alel gen CYP 1A1 Alel Kasus K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 K14 K15 K16 K17 K18 K19 K20 K21 Jumlah
GG
GA
AA +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + 6
+ 9
6
6
Jumlah alel G pada sampel adalah 64,28% dominan bila dibandingkan dengan jumlah alel A, dengan demikian alel A tidak selalu merefleksikan individu sehat dan alel G tidak selalu merefleksikan penderita akne ringan (tabel 3).
Tabel 3. Pola Sequencing Alel Gen CYP 1A1 Kelompok
Alel G (%)
Alel A (%)
Jumlah (%)
K (n =21)
27 (64,28)
15 (35,72)
42(100)
Tabel 4
menunjukkan
perbedaan frekuensi genotif
kelompok
homozigot (GG) dan genotif kelompok heterozigot (GA). Persentase frekuensi genotif kelompok homozigot (GG) sebesar 28,6 % dan dan kelompok heterozigot (GA) sebesar 42,8% dan kelompok homozigot (AA) sebesar 28,6% Tabel 4. Kelompok frekuensi genotif gen CYP 1A1 Kasus (n = 21) Frekuensi Genotif Frekuensi % Homozigot (GG) 6 28,6 Heterozigot(GA) 9 42,8 Homozigot (AA) 6 28,6 Pada penelitian ini, semua hasil sekuensing dibandingkan dengan full sequencing gen CYP 1A1 sepanjang 355 basepair (bp) rujukan dari gen bank dengan menggunakan program BLAST (basic local alignment search tool) (alert-2) dari webside: NBCI dan kami tak menemukan mutasi baru. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini digunakan gen CYP 1A1 berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paraskevaidis et al. (1998) terhadap 96 penderita akne berkebangsaan Jerman. Penelitian tersebut menunjukkan frekuensi normal (odds ratio 1,02, confidence limit 0,41-2,52, p=0,96) alel m2 (mutasi m2) 7
berupa penggantian adenin oleh guanin (A ke G). Mutasi m2 mengakibatkan bentuk enzim yang lebih aktif. Penelitian sebelumnya yang fokus pada kanker bronkogenik juga menunjukkan bahwa polimorfisme CYP 1A1 menyebabkan aktivitas enzim yang lebih tinggi.(Paraskevaidis, Drakoulis et al. 1998) Pada penelitian kami, frekuensi genotif GG sebesar 28,6%, frekuensi genotif GA 42,8% dan frekuensi genotif AA sebesar 28,6%, tampak bahwa frekuensi genotif GA yang lebih meningkat dan frekuensi genotif GG dan AA yang menurun, hal ini memperlihatkan perbedaan yang berada di bawah penelitian lainnya yang tidak signifikan. Pada penelitian kami tidak dilakukan uji statistik oleh karena penelitian ini hanya bersifat deskriptif. Enzim CYP 1A1 merupakan bentuk yang paling aktif dari famili enzim sitokrom P-450 yang mengoksidasi retinal menjadi atRA. Selain itu, enzim ini juga terlibat dalam metabolisme dan inaktivasi atRA menjadi 4-hidroksi dan 4oxo-retinoic acid menjadi metabolit yang lebih polar. 4-hidroksi dan 4-oxo retinoid ini bersifat lebih hidrofilik sehingga turnover dan ekskresi retinoid menjadi lebih tinggi. Dengan demikian, terjadi defisit retinoid alami yang menyebabkan hiperkeratinisasi kanal folikuler pada perkembangan akne .(Paraskevaidis, Drakoulis et al. 1998) Penelitian lainnya telah menunjukkan adanya polimorfisme CYP 1A1 dan sebuah mutasi pada ekson 7 gen CYP 1A1 dimana hal ini dihubungkan dengan peningkatan kerentanan terhadap kanker paru.(Cosma et al., 1993) Sejauh ini, melalui telaah kepustakaan belum ditemukan laporan penelitian mengenai polimorfisme gen CYP 1A1 pada penderita akne ringan di Indonesia. Pada penelitian ini, gen CYP 1A1 menunjukkan target band terdeteksi positif hampir semua pada kelompok kasus akne ringan yaitu pada 8
335 bp. PCR-sekuensing kelompok kasus menunjukkan jumlah genotif GG pada kasus sebesar 2,86%, genotif GA 42,8% sedangkan jumlah genotif AA pada kasus sebesar 28,6%. Dengan demikian frekuensi ditemukannya alel GA pada gen CYP 1A1 pada penderita AV ringan lebih besar bila dibandingkan dengan frekuensi alel GG dan AA, hal ini berbeda dengan penelitian di Berlin yang mendapatkan 6 kasus genotif GA dari 96 kasus (3,13%) (Paraskevaidis et al., 1998). Penelitian lainnya yang telah dilakukan oleh Wiwiek dkk, menemukan kontribusi alel GG (homozigot) pada kasus yang 2,54 kali lebih besar dibandingkan dengan kontrol, sedangkan alel AA (homozigot) pada kelompok kasus hanya 1,19 kali lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Kekuatan perbandingan alel GG (homozigot) dan alel AA (homozigot) untuk terjadinya kasus adalah 2,13 kali sehingga alel GG (homozigot) merupakan faktor risiko kasus. Penelitian ini juga menunjukkan analisis perbedaan kebiasaan makan makanan berisiko pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian ini menunjukkan individu yang mempunyai kebiasaan makan makanan berisiko pada kasus sebesar 60,6% dan yang tidak mempunyai kebiasaan makan makanan berisiko pada kasus sebesar 12,5% sehingga frekuensi individu yang mempunyai kebiasaan makan makanan berisiko pada kasus lebih besar 4,85 kali lipat dibandingkan dengan individu yang tidak mempunyai kebiasaan makan makanan berisiko dengan nilai berbeda yang signifikan (p=0,015). Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan makan makanan berisiko merupakan faktor risiko kasus. (Wiwiek et al. 2010) Coklat, makanan berminyak atau berlemak, dan makanan dengan kandungan gula yang tinggi dianggap sebagai penyebab atau pemicu 9
terjadinya akne. Efek diet lemak dan resistensi insulin masih kontroversi. Penelitian pada hewan hampir semua menunjukkan resistensi insulin pada diet tinggi lemak, sedangkan pada manusia kurang konklusif. Meskipun ada beberapa penelitian tentang hubungan antara diet lemak dan resistensi insulin, tapi sebagian besar tidak menunjukkan adanya hubungan.(Batya et al., 2010) Telah dilaporkan bahwa coklat tidak berpengaruh secara signifikan sebagai pemicu terjadinya akne; akan tetapi metodologi yang digunakan kurang memadai.(Layton, 2010) Anggapan bahwa beratnya akne berhubungan dengan sekresi sebum mengakibatkan dugaan bahwa makanan dengan kadar lemak dan karbohidrat yang tinggi dapat memicu terjadinya akne karena produksi sebum yang lebih komedogenik (karena kadar lemak darah meningkat) kemudian menyumbat folikel pilosebaseus lalu terjadi ruptur folikel dan inflamasi.(Batya et al., 2010) Sehubungan dengan hasil sekuensing yang dihubungkan dengan gambaran klinis pada sampel kasus penelitian ini diperoleh frekuensi genotif GG 6 kasus. Empat kasus dengan jumlah lesi komedo kurang dari 20 dan dua kasus lainnya dengan jumlah lesi inflamasi kurang dari 15, sedangkan beberapa kasus lainnya dengan manifestasi klinis jumlah lesi total kurang dari 30 dan
jumlah komedo kurang dari 20 serta
inflamasi kurang dari 15
menunjukkan frekuensi GA yang dominan, sehingga dapat dikatakan bahwa klinis AV ringan pada penelitian kami
tidak
berhubungan dengan faktor
genetik gen CYP 1A1 sebagaimana penelitan di negara Jerman. Untuk itu sangat diperlukan sampel yang lebih banyak lagi serta kriteria AV ringan yang menitikberatkan pada jumlah komedo kurang dari 20 atau lesi inflamasi kurang dari 15 untuk melihat kemungkinan hasil yang berbeda dengan 10
kemungkinan untuk mendapatkan frekuensi genotif homosigot mutan atau mutasi baru pada posisi lainnya seperti pada penelitian sebelumnya. Apakah gen CYP 1A1 posisi tertentu berperan sebagai faktor kerentanan penderita akne ringan pada populasi di Indonesia, perlu dikonfirmasikan dengan penelitian lebih lanjut yang menggunakan sampel lebih besar dan populasi etnik yang berbeda. KESIMPULAN 1. Panjang pita DNA gen CYP 1A1
yang terdeteksi melalui elektroforesis
produk PCR adalah 335 bp 2. Polimorfisme gen CYP 1A1 pada penderita akne vulgaris ringan dapat terdeteksi melalui pemeriksaan lanjutan dengan PCR-Sekuensing 3. Penelitian ini memperoleh frekuensi genotif GG sebanyak 6 kasus (28,6%), genotif heterozigot sebanyak 9 kasus (42,8%) dan genotif homozigot AA sebanyak 6 kasus (28,6%) Saran 1. Jumlah
sampel
yang
lebih
besar
dengan
kriteria
AV
ringan
yang
menitikberatkan pada lesi komedo atau inflamasi serta sampel kontrol dibutuhkan untuk mendapatkan hasil polimorfisme yang bermakna secara signifikan pada penderita AV ringan 2. Sebagai salah satu faktor yang berperan dalam etiologi AV, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui peran berbagai gen lain disamping gen CYP 1A1
11
DAFTAR PUSTAKA 1. Ballanger, F., Baudry, P., N’Guyen, J. M., Khammari, A. & Dreno, B. 2006 Heredity: A Prognostic Factor for Acne. Dermatology. 212: 145-149 2. Baran, R., Chivot, M., Shalita, A., Lewis, A. & Wechsler, A. 2005 Acne. dalam Baran, R.& Maibach, H. (Eds.) Textbook of cosmetic dermatology. 3rd ed. London, Taylor & Francis. 3. Batya, B., Davidovici, M. & Wolf, R. 2010 The role of diet in acne: facts and controversies. Clin Dermatol. 28: 12-6. 4. Baumann, M. 2002 Acne. dalam Bauman, L. & Weisberg, E. (Eds.) Cosmetic dermatology principles and practise New York, The McGraw-Hill Companies.. 2002 Acne, New York, Mc Graw Hill company. 5. Baz, K., Erdal, M., Yazici, A., Soymelez, F., Guvenec, U., Tasdelen, B. & Ikizoglu, G. 2008 Association between tumor necrosis factor-alpha gene promoter Polymorphism at-308 and acne in Turkish patients. Arch Dermatol Res. 300: 371-6. 6. Chiu, A., Chon, S. & Kimball, A. 2003 The response of skin disease to stress. Arch Dermatol. 139: 897-900. 7. Cordain, L. 2005 Implications for the role of diet in acne. Semin Cutan Med Surg. 24: 84-91. 8. Cordain, L., Lindeberg, S., Hurtado, M., Hill, K., Eaton, S. & Brand-Miller, J. 2002 Acne vulgaris a disease of western civilization. Arch Dermatol. 138: 1584-90. 9. Cosma, G., Crofts, F., Currie, D. & Toniolo, P. 1993 Racial differences in restriction fragment length polymorphism and messenger RNA inducibility of the human CYP 1A1 gene. Cancer Epidemiol., Biomarkers & Prev. 2:53-7. 10. Gollnick, H. 2003 Current concepts of the pathogenesis of acne. Drugs. 63: 1579-96. 11. Gollnick, H. & Cunliffe, W. 2003 Management of acne a report from a global alliance to improve outcomes in acne. J Am Acad Dermatol. 49: S1-38. 12. Goulden, H. & Cunliffe, W. 1999a The familial risk of adult acne: a comparison Between first-degree relatives of affected and unaffected individuals. British Journal of Dermatology. 141: 297-300. 13. Goulden, V., Stables, G. & Cunliffe, W. 1999 Prevalence of facial acne in adults. J Am Acad Dermatol. 41: 577-80. 14. Harper, J. (2008) Acne Vulgaris 12
15. Hatta, M. (2002) Teknik Isolasi dan Pengukuran DNA. Seminar Teknik Isolasi DNA, Makassar, Universitas Hasanuddin. 16. He, L., Yang, Z., Yu, H., Cheng, B. Tang, W. (2006) The relationship between CYP17- 34T/C polymorphysm and acne in chinese subjects revealed by sequencing. Dermatology, 212, 338-342 17. Hunter, J. & Dahl, M. (2003) Clinical dermatology, Massachusetts, Blackwell science. 18. James, W. D., Berger, T. G. & Elston, D. M. (2006a) Andrews’ disease of the skin clinical dermatology, Philadelphia, Saunders Elsevier. 19. Kaminer, M. & Gilchrest, B. (1995) The many faces of acne. J Am Acad Dermatol, 32, S6-14. 20. Layton, A. 2010 Disorders of the sebaceous glands. dalam Burns, T., Breathnach, S., Cox, N. & Griffiths, C. (Eds.) Rook's textbook of dermatology. 8th ed. Massachusetts, Wiley-Blackwell. 21. Lehmann, H. P., Robinson, K. A., Andrews, J. S., Holloway, V. & Goodman, S. N. (2002) Acne therapy: a methodologic review. J Am Acad Dermatol, 47, 231240. 22. Leyden, J. (1998) Topical treatment of acne vulgaris: retinoid and cutaneus irritation. J Am Acad Dermatol, 38, S1-4. 23. Loveckova, Y. & Havlikovab, I. (2002) A microbiological approach to acne vulgaris. Biomed Papers, 146, 29-32. 24. Mills, C., Peters, T. & Finlay, A. (1993) Does smoking influences acne? Clin Exp Dermatol, 18, 100-1 25. Mills, O., Porte, M. & Kligman, A. (1978) Enhancement of comedogenic substances by ultraviolet radiation. Br J Dermatol, 98, 145-50 26. Paraskevaidis, A., Drakoulis, N., Roots, I., Orfanos, C. E. & Zouboulis, C. C. (1998) Polymorphism in the human cytochrome P-450 1A1 Gene (CYP 1A1) as a factor developing acne. Dermatology, 196, 171-175. 27. Pawin, H., Beylot, C., Chivot, M., Faure, M., Poli, F. & Revuz, J. (2004) 28. Physiopathology of acne vulgaris: recent data, new understanding of the treatments. Eur J Dermatol, 14, 4-12. 29. Pelczar, C. E. (1998) Dasar-dasar mikrobiologi 1 & 2, Jakarta, UI-Pressh
13
30. Q. Group, Q. (2007) QIAmp® DNA Mini and Blood Mini Handbook, USA, ICI Americas Inc. 31. Roos, T. C., Jugert, F. K., Merk, H. F. & Bickers, D. R. (1998) Retinoid metabolism in the skin. Pharmacological Reviews, 50, 315-333. 32. Schaefer, T., Nienhaus, A., Vieluf, D. D., Berger, J. & Ring, J. (2001) Epidemiological of acne in the general population: the risk of smoking. Br J Dermatol, 145 100-4 33. Sidiropoulos, M. (2006) Back to basic: acne vulgaris: pathogenesis and retinoid therapy. University of Toronto Medical Journal, 83, 94-95. 34. Simpson, N. & Cunliffe, W. (2007) Disorders of the sebaceous glands. In Breathnach, T., Cox, S. & Griffiths, C. (Eds.) Rook’s textbook of dermatology. Massachusetts, Blackwell Science. 35. Soprano, D. & Soprano, K. (2003) Pharmacological doses of some synthetic retinoids can modulate both the aryl hydrocarbon receptor and retinoid receptor pathways. J Nutr, 133, 277S-281S. 36. Spencer, E., Ferdowsian, H. & Barnar, N. (2009) Diet and acne: a review of the of evidence. Int J Dermatol, 48, 339-47. 37. Suryo (1998) Genetika, Yogyakarta, Gadjah Mada. 38. Walton, S., E. Wyatt & Cunliffe, W. (1998) Genetic control of sebum excretion and acne-a-twin study. Br J Dermatol, 118, 393-6 39. Webster, G. (2007) Overview of the pathogenesis of acne. In Webster, G. & Rawlings, A. (Eds.) Acne and it’s therapy. New York, Informa healthcare. 40. Dewiyanti, W., Anwar, A. I., Massi, N., Budu & Bahar, B. (2010) Peran polimorfisme gen CYP 1A1 pada akne berat. Dermatovenerelogy Departement. Makassar, Hasanuddin Uiversity. 41. Yuwono, T. (2002) Biologi Molekuler, Jakarta, Erlangga. 42. Yuwono, T. (2006) Teori dan Aplikasi Polymerase Chain, Panduan Eksperimen PCR untuk memecahkan masalah biologi terkini. Yogyakarta. 43. Zanglein, A. L., Graber, E. M. Thiboutot, D. M. & Strauss, J. S. (2008) Acne vulgaris and acneiform eruptions. In Wolf, K., Goldsmith, L. A., Katz, S. I. & Gilchrest, B. A. (Eds.) Fitzpatrick’s Textbook of` Dermatology. 7th ed. New York, Mc Graw Hill. 44. Zouboulis, C. & Bohm, M. (2004) Neuroendocrine regulation of sebocyte a pathogenic link between stress and acne. Exp Dermatol, 13, 31-5.
14