GERAKAN ABU BAKAR KARAENG DATA DI MAKASSAR PADA 1797-1819 THE MOVEMENT OF ABU BAKAR KARAENG DATA IN MAKASSAR AT 1797-1819 Muhammad Amir Balai Plestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119,883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Handphone: 081344797300 Diterima: 3 Maret 2015; Direvisi: 13 April 2015; Disetujui: 27 Mei 2015 ABSTRACT This study aimed to reveal and to explain the movement of Abu Bakar Karaeng Data against to the British and the Dutch in Makassar. The writer used the historical method, which explains a problem based on the historical perspective. The results showed that the movement of Abu Bakar Karaeng Data cannot be separated from the movement of Batara Gowa Isangkilang. Karaeng Data is not only the son of Isangkilang, but also has movement and purpose to against the Dutch colonial authority and tried to grabe the throne of the Gowa Kingdom. At ¿UVW.DUDHQJ'DWDFROODERUDWHGZLWKWKH%ULWLVKWRGHVWUR\WKH'XWFKLQ6RXWK6XODZHVLEXW.DUDHQJ'DWD instead opposed when the British took over the Dutch position. After the Dutch authority returned in South Sulawesi, Karaeng Data continued his movement to struggle the Dutch and tried to grabe the throne of the Gowa Kingdom. Therefoe, the Dutch and Gowa concentraed their military force to crush the movement of Karaeng Data and his followers. Keywords: resistance, Abu Bakar Karaeng Data, Gowa, the British, and the Dutch. ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan menjelaskan gerakan perlawanan Abu Bakar Karaeng Data terhadap Inggris dan Belanda di Makassar. Penulis menggunakan metode sejarah, yakni menjelaskan suatu persoalan berdasarkan perspektif sejarah. Hasil kajian menunjukkan bahwa gerakan Abu Bakar Karaeng Data tidak terlepas dari gerakan Batara Gowa Isangkilang. Karaeng Data bukan hanya putra Isangkilang, melainkan memiliki gerakan dan tujuan untuk menentang kekuasaan kolonial Belanda dan merebut tahta Kerajaan Gowa. Pada mulanya, Karaeng Data bekerja sama dengan Inggris untuk menghancurkan Belanda di Sulawesi Selatan, namun Karaeng Data berbalik menentangnya ketika Inggris mengambil alih kedudukan Belanda. Setelah Belanda berkuasa kembali di Sulawesi Selatan, Karaeng Data tetap melanjutkan perjuangannya menentang Belanda dan berusaha merebut kekuasaan atas Kerajaan Gowa. Oleh sebab itu, Belanda dan Gowa mengerahkan kekuatan militer untuk menumpas gerakan Karaeng Data bersama para pengikutnya. Kata kunci: perlawanan, Abu Bakar Karaeng Data, Gowa, Inggris dan Belanda.
PENDAHULUAN Studi tentang gerakan sosial dalam sejarah Indonesia telah banyak dilakukan oleh sejarawan dan ilmuan sosial lainnya. Namun tidak sedikit pula peristiwa atau gerakan sosial yang belum terungkap secara utuh dan tidak diketahui secara luas di masyarakat. Salah satu di antaranya adalah gerakan Abu Bakar Karaeng Data di Makassar pada 1797-1819. Padahal gerakan yang sering juga disebut dengan Karaeng Data
Begewing atau Oude Inheemsche Begewing oleh pemerintah kolonial Belanda tersebut (Caron, 1933:43; Poelinggomang, 2004:156), bukan hanya merupakan suatu fakta dari perlawanan terhadap Inggris dan Belanda di Sulawesi Selatan, tetapi juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari mata rantai perjuangan dalam menentang penjajahan. Oleh karena itu, untuk memahami secara utuh dinamika sejarah perjuangan bangsa dalam menentang penjajahan atau dominasi asing, gerakan perlawanan itu tidak 45
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 45—60 dapat diabaikan. Sebab memiliki arti yang penting sebagaimana yang dinyatakan oleh Sartono Kartodirdjo, salah seorang sejarawan yang banyak meneliti tentang gerakan sosial, bahwa pergerakan sosial yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan pada abad ke-19, merupakan periode yang penting dalam lembaran sejarah Indonesia (Kartodirdjo,1984:13). Gerakan Abu Bakar Karaeng Data sesungguhnya berkaitan erat dengan gerakan Batara Gowa Isangkilang. Sebab bukan hanya karena ia adalah putra dari Isangkilang dan berusaha melanjutkan perjuangan ayahnya, melainkan juga karena salah satu sebab terjadinya gerakan ini karena adanya dominasi kolonial (Inggris dan Belanda) beserta perubahan sosial yang menyertainya. Bertolak uraian singkat itu, maka yang menjadi pokok persoalan kajian ini adalah mengapa Abu Bakar Karaeng Data melakukan gerakan perlawanan terhadap Inggris dan Belanda. Oleh karena itu, kajian ini tidak hanya bertujuan mengungkap dan menjelaskan latar belakang dan dinamika perlawanan Karaeng Data terhadap Inggris dan Belanda, tetapi juga menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan peristiwa itu. Persoalan-persoalan yang terkandung di dalamnya, mengacu kepada hal-hal yang berkaitan dengan sebab-musabab dan faktor-faktor kondisional yang mendasari terjadinya gerakan perlawanan Karaeng Data bersama para pengikutnya. Sementara manfaatnya adalah dapat meningkatkan pengetahuan dan membuka cakrawala pemikiran dalam memahami berbagai peristiwa masa lampau yang mempunyai makna historis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, juga dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang dinamika sejarah perjuangan bangsa dalam menentang kekuasaan kolonial (Inggris dan Belanda), serta bermanfaat untuk kajian lebih lanjut dan mendalam, ataupun sebagai bahan informasi di kalangan masyarakat pada umumnya dalam memperkuat karakter dan jatidiri bangsa. Berdasarkan studi kepustakaan bahwa terdapat sejumlah kajian tentang gerakan sosial yang dilakukan oleh sejarawan, di antaranya Sartono Kartodirdjo (1984), yang mengkaji tentang pemberontakan petani Banteng pada 1888. 46
Menurutnya, bahwa pemberontakan itu hanya merupakan satu di antara rentetang peristiwa yang terjadi di Banteng selama abad ke-19. Dominasi Barat (Belanda) beserta perubahan sosial yang mengikutinya menciptakan keadaan yang penuh kecenderungan bagi rakyat untuk mengadakan pergerakan sosial. Mukhlis PaEni, mengkaji tentang gerakan Batara Gowa Isangkilang di Makassar pada 1776-1785 (2002). Kajian ini tidak hanya menjelaskan tentang struktur pemerintahan dan pola pembagian kekuaaan di Gowa, tetapi juga tentang campur tangan %HODQGDGDQNRQÀLNNHOHPEDJDDQGL*RZDSDGD masa kekuasaan Belanda di Sulawesi Selatan. Menurutnya, bahwa gerakan ini merupakan suatu ledakan dari keresahan sosial yang ada di masyarakat karena terjadinya perubahan sosial akibat pengarauh Barat (Belanda) yang semakin memperkuat posisinya di Makassar. Selain itu, terdapat pula sejumlah kajian tentang gerakan Batara Gowa Isangkilang, di antaranya J. Tideman yang menulis De Batara Gowa op Zuid –Celebes (1908), Abd. Latif yang menulis Kalompoang: Sumber Legitimasi Kekuasaan dan Sumber .RQÀLN GDQ 6\DKULU .LOD \DQJ PHQXOLV Batara Gowa (2012) yang dapat memberi inspirasi dan pemahaman terhadap gerakan Batara Gowa Isangkilang dan gerakan Karaeng Data. Sementara uraian singkat tentang Karaeng Data terdapat pula dalam sejumlah tulisan, misalnya Mattulada (1998), Poelinggomang (2002, 2004, dan 2005), dan Patunru (1983 dan 1989). Meskipun karyakarya tersebut tidak menguraikan secara lengkap tentang gerakan Karaeng Data, namun menjadi rujukan yang penting dalam kajian ini. METODE Secara tematik kajian ini dapat dikategorikan sebagai sejarah lokal (Abdullah, 1985:310-323), dengan fokus perhatian pada gerakan Abu Bakar Karaeng Data dalam menentang kekuasaan kolonial (Inggris dan Belanda). Oleh karena itu, metode yang dipergunakan adalah metode sejarah, yaitu suatu proses penelitian yang meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif sejarah (Garraghan, 1975:33; Gottschalk, 1986:18). Pada intinya metode penelitian sejarah, terdiri atas
Gerakan Abu Bakar ... Muhammad Amir
heuristik (pencarian dan pengumpulan sumber, baik berupa dokumen yang tersimpan di lembaga kearsipan maupun sumber tertulis lainnya berupa manuskrip lokal (lontarak), surat kabar, majalah, dan hasil penelitian); kritik (analisa sumber); interpretasi (penafsiran); dan historiografi (penulisan sejarah). Prosedur kerjanya dilakukan secara sistematis. Maksudnya, kritik dilakukan setelah data terkumpul, begitu pula interpretasi dilakukan setelah melalui tahap kritik sumber (Notosusanto,1978:17; Gottschalk, 1986:34). Hal ini dimaksudkan, tidak hanya untuk memastikan otentitas dan validitasnya, tetapi juga untuk dapat memberikan keterangan dan ulasan yang objektif dan bermanfaat, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tahapan terakhir dari seluruh rangkaian kajian ini adalah penulisan naskah KDVLOSHQHOLWLDQKLVWRULRJUD¿ GDODPEHQWXNNLVDK sejarah yang bersifat deskripsi analitis, tanpa mengabaikan penggunaan bahasa yang baik dan benar. PEMBAHASAN 3UR¿O6LQJNDWMakassar Makassar yang terletak pada bagian selatan dari jazirah selatan Pulau Sulawesi, memiliki luas tanah sekitar 2.076,70 km². Wilayah Makassar ini meliputi Kota Makassar dan tujuh kabupaten dari Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Maros, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Bantaeng, dan Selayar. Pada abad ke-16 dan ke-17, kerajaan-kerajaan orang Makassar yang berhasil memegang kendali politik di Tanah Makassar (Butta Mangkasara) adalah Kerajaan Gowa (Ligtvoed, 1880:5; Patunru, 1983:11). Kerajaan ini bukan hanya berhasil memperoleh hegemoni kekuasaan di wilayah Makassar, tetapi juga beberapa kerajaan orang Bugis berhasil dipaksa untuk mengakui kedudukan kekuasaan Kerajaan Gowa. Hal ini telah melapangkan bagi Gowa untuk mempertahankan, mengembangkan kerajaan, dan memperluas pengaruh kekuasaannya. Berdasarkan Staatblad (lembaran negara) 1824 No. 31a, bahwa Pemerintahan Makassar dan Daerah Takluknya (Gouvernement Makassar
en Onderhoorigheden) dibagi dalam lima wilayah administrasi pemerintahan, yaitu: 1) Makassar, meliputi kota pelabuhan Makassar, Fort Rotterdam, Vlaardingeng dan kampung-kampung di sekitarnya, serta pulau-pulau yang terletak di depannya; 2) Distrik-distrik Bagian Selatan (Zuider Districten) yang sebelumnya dikenal dengan Provinsi Bagian Selatan (Zuider Provincie) meliputi distrik: Aing Towa, Bontolebang, Galesong, Polongbangkeng, Sawakong, Manuju, Balo, Lengkese, Takalara, Topedjawa, dan Lakatong; 3) Distrik-distrik Bagian Utara (Noorder Districten) yang sebelumnya dikenal dengan Provinsi Bagian Utara (Noorder Provincie) meliputi distrik: Maros, Bontoa, Tangkutu, Tanralili, Sumbang, Rilaut, Tomboro, Riraja, Sudiang, Malawa, Camba, Balocci, Laiya, Labuaya, Bungoro, Pangkajene, Bungo, Labakkang, Marang, Kalukua, Segeri dan Katena; 4) Bulukumba dan Bonthain meliputi distrik: Bonthain dan Tompobulu, Gantarang, Tala, Palewooi, Tanah Beru, Bontotannga, Lemo-lemo, Ujung Loe, Weiro, Langa-langa, Tiro dan Bira; 5) Selayar meliputi distrik: Bonto Bangung, Tanete, Batang Mata, Bukiet, Mare-mare, Bonea, Opaopa, Gantarang, Bulo-bulo, Laiyolo, Banto Baros, Barang-barang, Bangon dan Onto (Staatblad, 1824: No. 31a; Limbugau, 1985: 46). Wilayah Makassar sebagai daerah tropis hanya mengenal dua jenis musim, yakni musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan berawal dari September hingga April dan musim kemarau dari Mei hingga Agustus. Waktu musim penghujan yang lebih lama dari waktu musim kemarau itu menyebabkan kehidupun pertanian berkembang pesat. Hal ini juga dimungkinkan karena keadaan fisik alamnya yang terdapat banyak dataran rendah yang subur dan dialiri oleh banyak sungai. Tanah datar yang luas dan subur dapat dijumpai di sepanjang daerah pesisir, seperti Pangkajene, Maros, Gowa, Takalar, Bantaeng, dan Bulukumba. Di daerah-daerah itu dijumpui penduduk yang cukup banvak, selain di Kota Makassar serta daerah Laikang dan Binamu. Pada daerah yang jauh dari pantai, ke arah pedalaman, dapat dijumpai wilayah pegunungan dengan puncak tertingginya adalah Gunung Bawakaraeng (3.042 m). Ke arah selatan gunung itu dijumpai 47
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 45—60 Gunung Porong, Gunung Lokka, Gunung Kadingloe; ke arah utaranya dijumpai Gunung Salomatae, Gunung Patiro, Gunung Bontona; ke arah barat dapat dijumpai Gunung Balombong, Gunung Aru-Aru, dan Gunung Timpurung. /LQJNXQJDQ¿VLN\DQJGDWDUPDXSXQSHJXQXQJDQ ini memberikan sumber ekonomi pertanian, baik berupa produk usaha pertanian dari pengolahan sawah atau ladang berupa beras, jagung, dan lainnya, ataupun produksi alam berupa hasil hutan seperti rotan, damar, dan kayu (PaEni, dkk., 2002:21). Latar Belakang Gerakan Kedudukan dan kekuasaan Kompeni Belanda atau VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) di Sulawesi Selatan semakin mengalami kemerosotan pada paruh kedua abad ke-18. Kemerosotan itu tidak terlepas dari pergolakan politik yang terjadi di Eropah dan gerakan perlawanan di wilayah koloni VOC, termasuk di Sulawesi Selatan. Gerakan perlawanan di daerah ini, antara lain Gerakan Karaeng Bontolangkasa dan La Maddukkelleng, serta Gerakan Batara Gowa Isangkilang pada 1776-1785. Gerakan perlawanan yang disebut terakhir ini, dipimpin oleh seorang tokoh yang dikenal dengan Isangkilang dan menyatakan diri sebagai Batara Gowa, yakni raja Gowa yang meninggalkan tahta kekuasaan secara diam-diam pada 1766. Sesungguhnya Batara Gowa adalah gelar yang diberikan kepada Raja Gowa Amas Medina pada Juni 1758, sekitar lima tahun setelah penobatannya menjadi raja Gowa (21 Desember 1753). Raja ini merupakan tokoh yang diharapkan oleh para pembesar dan bangsawan kerajaan dapat memulihkan kembali kekuasaan Kerajaan Gowa. Namun karena tekanan Kompeni Belanda, sehingga Amas Medina meninggalkan istana dan bergiat mencari bantuan untuk menentang VOC. Tersiar kabar bahwa ia meninggalkan kerajaan untuk mencari bantuan Inggris. Itulah sebabnya Belanda bergiat memburuhnya. Belanda kemudian mengatakan bahwa Amas Medina berhasil ditangkap dan selanjutnya diasingkan ke Sailon pada 1767 (Tidemen, 1908:350-390; PaEni, dkk., 2002:88). Gerakan Isangkilang berawal dengan 48
munculnya sebuah perahu layar di muara Sungai Sanrabone. Di atas sangkilang (balok yang melintang di atas buritan perahu) duduk seseorang yang kalau ditanya siapa namanya tidak pernah menjawab. Oleh karena itu, orang menamainya Isangkilang yang dalam bahasa Makassar, sesuai dengan nama dari balok yang melintang di atas buritan perahu. Perahu itu melayari Sungai Sanrabone sehingga berlabu di Kampung Sompu, yang sementara ramai karena sedang berlangsung suatu pesta. Isangkilang bersama pengikutnya juga turut menghadiri pesta itu. Dalam pesta itulah Isangkilang memperkenalkan dirinya bahwa ia adalah Batara Gowa yang pernah diasingkan ke Sailon. Berita tentang kembalinya Batara Gowa dari Sailon sampai kepada Raja Gowa Sultan Zainuddin (1770-1778). Raja Gowa kemudian mengutus Karaeng Pattung untuk menemui tokoh yang menyatakan diri sebagai Batara Gowa. Setelah Karaeng Pattung bertemu dengan tokoh tersebut, ternyata Karaeng Pattung juga mengakui dan meyakini bahwa tokoh itu adalah Batara Gowa Amas Medina, raja Gowa yang pernah diasingkan ke Sailon. Atas pengakuannya itu, Sultan Zainuddin bukan hanya murka karena kedudukannya terancam, tetapi juga memerintahkan pengawalnya untuk membunuh Karaeng Pattung (PaEni, dkk., 2002:133). Terbunuhnya Karaeng Pattung justru semakin memperluas pengaruh Isangkilang dan pengikutnya bertambah banyak. Bukan hanya dari kalangan rakyat biasa, tetapi juga muncul pengakuan dari kalangan bangsawan tinggi, termasuk keluarga Batara Gowa Amas Medina, misalnya Karaeng Ballasari (ibunda Amas Medina), Arung Mampu, Karaeng Kanjilo, dan Karaeng Sapanang. Mereka mengakui dan menyakini bahwa Isangkilang tidak lain adalah Batara Gowa Amas Medina (Tideman, 1908:362). Isangkilang yang telah berhasil memperoleh pengikut dan pengaruh, tidak segera menggunakan peluang itu untuk melakukan gerakan pemberontakan atau merebut tahta Kerajaan Gowa. Ia lebih cenderung mendahulukan usaha mempersatukan kekuatan dan memperluas wilayah pengaruh ke Bangkala, Binamu, Laikang, dan Polongbangkeng. Daerahdaerah ini terletak di Zuider Provincie (Provinsi Bagian Selatan) yang statusnya masih sebagai
Gerakan Abu Bakar ... Muhammad Amir
kerajaan-kerajaan yang dipinjamkan oleh Belanda kepada Kerajaan Bone (Latif, 2011: 4). Meskipun Sultan Zainuddin telah memperoleh berita tentang kehadiran Isangkilang, tetapi ia tetap membungkam dan tidak melakukan usaha untuk menyerang dan menangkap Isangkilang bersama pengikutnya. Oleh karena itu, pimpinan Belanda di Makassar, Van der Voort (1771-1780) memerintahkan kepada seorang pejabat juru bahasa (oppertolk) bernama Brugman yang ketika itu bertugas di Polongbangkeng untuk memimpin penyerangan terhadap Isangkilang dan para pengikutnya. Namun sebelum pasukan Brugmen yang terdiri atas 50 orang melakukan penyerangan, ternyata mereka terlebih dahulu diserang oleh para pengikut Isangkilang yang berjumlah 300 orang. Serangan mendadak yang dilancarkan oleh pengikut Isangkilang itu, mendapat perlawanan dari pasukan Brugman yang telah bersiaga. Isangkilang kemudian meninggalkan Polongbangkeng menuju Barana, sebuah kampung yang terletak di perbatasan antara Noorder Previncie dengan wilayah Kerajaan Bone (PaEni, dkk., 2002:138). Isangkilang bersama pengikutnya menyerang kedudukan Belanda di Maros pada Mei 1777. Mereka berhasil menguasai pos pertahanan Belanda dan beberapa distrik di wilayah itu. Meskipun demikian, keberhasilan Isangkilang menguasai Maros hanya dalam waktu yang singkat. Sebab, laskar Bone yang dikirim ke Maros di bawah dipimpin Punggawa Datu Baringeng dengan mudah mengambil alih wilayah itu tanpa pertempuran yang berarti pada 21 Mei 1777. Bahkan Bone kemudian bergiat memperluas kekuasaannya di wilayah itu dan tidak bersedia mengembalikan kepada Belanda. Padahal Maros dan daerah sekitarnya merupakan wilayah kekuasaannya yang sangat potensial. Sebab bukan hanya sebagian besar produk beras yang diekspor Belanda ke Maluku berasal dari wilayah ini, tetapi juga sebagaian besar budak didatangkan dari daerah tersebut. Itulah sebabnya setelah Maros dikuasai Bone, pendapatan Kompeni Belanda atas perdagangan beras dan budak merosot (Poelinggomang, 2002: 44-45). Sementara itu, Isangkilang dan pengikutnya bergerak menuju Tallo. Raja Tallo Sitti Saleha
Karaeng Karuwisi menyambut baik kedatangan Isangkilang, bahkan menyatakan bahwa Tallo terlepas dari Kerajaan Gowa dan penyelenggaraan pemerintahannya diserhkan kepada Isangkilang. Penguasaan Isangkilang atas Tallo juga tidak lama, karena daerah ini kemudian diserang dan dikuasai oleh sekutu Belanda, yaitu Raja (Datu) Tanete, La Tenrisessu Arung Pancana (Patunru, 1983:63; Kila, 2012:138). Oleh karena itu, Isangkilang dan pengikutnya berusaha menyerang ibu kota Kerajaan Gowa. Ketika mereka bergerak masuk ke ibu kota kerajaan pada Juni 1777, Isangkilang dan para pengikutnya tidak mendapat perlawanan yang berarti dari laskar Kerajaan Gowa. Perlawanan justru datang dari pasukan Belanda, yang terdiri atas 200 orang Eropah dan pasukan bantuan dari Bone. Namun ketika pertempuran berlangsung, laskar Bone tampaknya tidak memberikan bantuan sepenuhnya kepada Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan laskar Bone kepada Belanda, sebenarnya merupakan sekutu tersembunyi bagi Isangkilang dan musuh dalam selimut bagi pasukan Belanda (Tideman, 1908:363; Latif, 2011:5). Para pendukung Isangkilang kemudian menurunkan Raja Gowa Sultan Zainuddin dari tahtanya dan mengangkat Isangkilang menjadi raja Gowa. Sejak itu kalompoang1 (benda-benda pusaka) Kerajaan Gowa jatuh ke tangannya, sehingga kekuasaan dan pengaruhnya bertambah besar, karena menurut pandangan rakyat bahwa siapa yang memegang kalompoang dialah raja yang sah di Gowa. Beberapa kali Sultan Zainuddin bersama pasukan Belanda mencoba menyerang dan mengusir Isangkilang dari Kalegowa, ibu kota Kerajaan Gowa, tetapi tidak berhasil. Setelah mendapat bantuan pasukan dari Batavia, Belanda menyerang Kalegowa pada 27 Juni 1778. Meskipun Isangkilang yang menguasai ibu kota kerajaan dan mendapat bantuan dari laskar Bone, Soppeng, dan Sidenreng, tetapi mereka tidak dapat mempertahankan-nya. Isangkilang bersama para pengikutnya harus menerima kenyataan dan terpaksa mengundurkan diri ke daerah 1
Kalompoang (Makassar) atau arajang (Bugis) merupakan alat legitimasi kekuasaan dalam budaya politik kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Barang siapa yang menguasainya maka dialah yang berhak menjadi raja atau dipertuan oleh rakyat.
49
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 45—60 pedalaman dengan membawa kalompoang, di antaranya Sudanga (sejenis kalewang) dan Salokoa (mahkota). Itulah sebabnya rakyat di pedalaman Gowa, tetap memberi dukungan dan mengakui Isangkilang sebagai raja Gowa. Isangkilang dan pengikutnya memilih Kampung Malewang di Polongbangkeng sebagai tempat konsolidasi dan persiapan untuk melakukan serangan balik terhadap kedudukan Belanda (Mattulada, 1998:314; Tideman, 1908:364). Pimpinan Belanda di Makassar, Van der Voort dalam upaya menumpas perlawanan itu, mengumumkan bahwa barang siapa yang dapat menangkap dan menyerahkan Isangkilang dalam keadaan hidup akan diberi hadiah 2000 ringgit atau 1000 ringgit apabila dalam keadaan mati. Namun hingga kematian Van der Voort pada 16 Juni 1780, belum ada orang yang berhasil menangkap atau membunuh Isangkilang. Barend Reijke (1780-1790) yang menggantikan Van der Voort menyerahkan kembali kekuasaan atas Kerajaan Gowa kepada Bate Salapang (dewan kerajaan), yang selanjutnya memilih Imannawari Karaeng Bontolangkasa untuk menggatikan ayahnya (Sultan Zainuddin wafat pada 1778) sebagai raja Gowa. Imannawari dinobatkan menjadi raja Gowa pada Oktober 1780 dan diberi gelar Sultan Abdul Hadi. Setelah penobatan itu, Sultan Abdul Hadi terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda (Patunru, 1983:69; Mattulada, 1998: 316). Perjanjian itu, bukan hanya sangat merugikan Kerajaan Gowa, tetapi juga sangat menyulitkan bagi rakyat Gowa. Itulah sebabnya rakyat di pedalaman dan sejumlah bangsawan tinggi tidak mengakui Sultan Abdul Hadi sebagai raja Gowa. Sebaliknya mereka tetap menyatakan kesetiannya kepada Isangkilang. Selain itu, penolakan mereka terhadap Sultan Abdul Hadi sebagai raja Gowa, karena kalompoang khusunya Sudanga ada di tangan Isangkilang. Oleh karena itu, Isangkilang semakin banyak pengikutnya, bahkan Bone, Soppeng dan Sidenreng menyatakan mendukung gerakannya. Sementara itu, kurangnya kesetiaan rakyat kepada Sultan Abdul Hadi, membuat Belanda tidak dapat membantu Kerajaan Gowa untuk menyelesaikan persoalan itu secara militer. Itulah sebabnya Belanda memilih cara lunak untuk mengurangi kesetian pengikut Isangkilang 50
(Tideman, 1908:365; Latif, 2011:5).2 Berbagai upaya telah dilakukan oleh Belanda untuk mengurangi pengaruh Isangkilang, namun senantiasa mengalami kegagalan. Oleh karena rakyat tetap yakin dan percaya bahwa Isangkilang adalah raja Gowa (Amas Medina) yang telah diasingkan Belanda ke Sailon. Rakyat percaya bahwa kehadirannya adalah untuk memenuhi tugasnya mengembalikan kejayaan Gowa. Namun harapan itu belum dapat terwujud hingga Isangkilang dinyatakan wafat di Kampung Lanna pada 1785. Penyebab kematian Isangkilang belum dapat dipastikan, selain berita yang menyatakan bahwa ia meninggal karena diracun. Setelah Isangkilang meninggal, kalompoang diambil alih oleh pengikutnya yang kemudian menyerahkannya kepada mantan Raja Gowa Mallisujawa Arung Mampu. Namun Arung Mampu tidak bersedia menyimpan kalompoang itu, sehingga ia menyerahkannya kepada Raja Bone La Tenritappu (Kemp, 1917:424; Kila, 2012:141). Sehubungan dengan itu, pimpinan Belanda di Makassar, Barend Reijke beberapa kali menyampaikan protes kepada Raja Bone La Tenritappu (1775-1812) tentang campur tangannya terhadap persoalan-persoalan dalam negeri Kerajaan Gowa serta mendesak mengembalikan kalompoang, tetapi tidak berhasil. Raja Bone La Tenritappu berpendapat bahwa Arung Mampu lebih berhak menduduki tahta Kerajaan Gowa daripada Sultan Abdul Hadi. Bahkan menurut raja Bone, bahwa selain dari Arung Mampu dan Batara Gowa Amas Medina, ia pun juga mempunyai hak atas tahta Kerajaan Gowa. Itulah sebanya pemerintah Belanda di Batavia mengambil keputusan untuk melakukan ancaman dengan kekuatan senjata terhadap raja Bone, supaya bersedia menyerahkan kalompoang dan berhenti mengambil tindakan-tindakan yang bersifat 2 Cara lunak yang dimaksud adalah menyebarkan cerita tentang siapa sesungguhnya Isangkilang. Versi Belanda mengatakan bahwa Isangkilang ialah budak dari Arung Pasempe yang diutus untuk menggantikannya datang ke pesta di Sompu pada 1776. Versi Kerajaan Gowa menyatakan bahwa nama sesungguhnya Isangkilang ialah Isangkenu, seorang pengawal setia Batara Gowa Amas Medina yang ditawan ke Sailon.
Gerakan Abu Bakar ... Muhammad Amir
permusuhan terhadap Belanda (Patunru, 1989: 220; PaEni, dkk., 2002:153). Namun ancaman itu tidak memengaruhi sikap raja Bone karena kedudukan kekuasaan Belanda semakin merosot. Sebab setelah perang Inggris dengan Belanda (1780-1784) berakhir, Belanda kembali dilanda pergolakan politik sehubungan Revolusi Perancis 1789. Pergolakan politik ini berimplikasi pula terhadap pengaruh kekuasaan Perancis di daratan Eropah dan wilayah koloni mereka, termasuk menduduki negeri Belanda. Ambisi Perancis itu mendorong Inggris tampil melancarkan usaha untuk mematahkannya, termasuk di wilayah koloni Belanda. Pada 1795, Inggris berhasil merebut Malaka dan Maluku. Perkembangan politik itu, bukan hanya menyebabkan banyak kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan melepaskan diri dari kekuasaan Belanda, terutama Bone dan sekutu-sekutunya. Akan tetapi juga menyebabkan Belanda tidak dapat merebut kembali koloninya yang diduduki Bone. Bahkan sebaliknya, justru Bone yang bergiat memperluas kekuasaannya di Provinsi Bagian Selatan (Zuider Provincie). Pada 1797, berkat kerjasama Bone dengan Inggris berhasil menghancurkan pos-pos pertahanan Belanda di Bantaeng dan Bulukumba (Regeering Almanak, 1898:587; Poelinggomang, dkk., 2005:169170). Pergolakan politik itu, juga terjadi di koloni lainnya, seperti di Riau, Palembang dan Mataram yang memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga kedudukan kekuasaan dan kondisi keuangan Belanda semakin merosot. Selain itu, juga karena tindak korupsi, perdagangan gelap, dan penyelundupan yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat VOC, sehingga mengalami kerugian besar dan tidak mampu lagi membayar hutangnya. Akibatnya, VOC dinyatakan bangkrut dan harus menyerahkan wilayah koloninya kepada pemerintah Belanda pada Desember 1799. Serah terima itu menandai berakhirnya kekuasaan VOC, dan sekaligus mengawali babakan baru sejarah pemerintahan Belanda di Kepulauan Nusantara. Penyerahan koloni VOC kepada pemerintah Belanda pada penghujung abad ke-18, merupakan awal kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda di Nusantara (Poelinggomang, 2002:46; Amir, dkk., 2012:25).
Dari Sekutu Menjadi Seteru Abu Bakar Karaeng Data dilahirkan sekitar tahun 1777. Ia adalah putra dari Batara Gowa Isangkilang. Ketika ayahnya meninggal pada 1785, Abu Bakar Karaeng Data baru berusia sekitar 8 tahun. Usianya yang masih muda itu menjadi alasan mengapa para pengikut Isangkilang tidak langsung menyerahkan kalompoang kepadanya, melainkan menyerahkan benda kerajaan itu kepada pamannya, Arung Mampu. Pamannya kemudian menyerahkan kalompoang itu kepada Raja Bone La Tenritappu. Namun demikian, usianya yang masih muda itu tidak menghalanginya untuk tetap setia kepada pengikut ayahnya, sehingga tergolong dalam daftar buronan oleh Belanda dan Kerajaan Gowa. Walaupun keadaan hidupnya senantiasa terancam bahaya, ia tidak pernah menyerahkan diri kepada Kerajaan Gowa, bahkan ia lebih memilih meminta perlindungan kepada Kerajaan Bone. Ia tetap menerima kedudukannya sebagai buronan dan berusaha mengimbanginya. Hal inilah yang menyebabkan ia tumbuh dan berkembang, bukan hanya menjadi seorang pemberani yang perkasa, tetapi ia juga senantiasa berusaha menentang Belanda dan Kerajaan Gowa dengan melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu ketertiban dan ketentraman (PaEni, dkk., 2002:172). Keberanian dan keperkasaan yang diperlihatkan sepanjang hidupnya menyebabkan Abu Bakar Karaeng Data dipandang oleh pihak Kerajaan Gowa sebagai buronan (tuniboya) dan seorang tokoh yang berbahaya. Sementara pihak Belanda memandangnya sebagai seorang bangsawan Makassar yang hidup dari perampokan (een Makassarsche roofridder) pada masa mudanya (Tideman, 1908:367). Oleh karena tindakan dan kegiatannya sering meresahkan, sehingga Arung Mampu mengumumkan pernyataan bahwa Karaeng Data merupakan buronan yang dapat dibunuh tanpa sanksi hukum bagi pembunuhnya. Meskipun pernyataan itu diumumkan oleh pamannya sendiri, tetapi tidak seorang pun yang dapat dan berusaha untuk membunuhnya. Bahkan setelah pengumuman itu, Karaeng Data bukan hanya semakin memperoleh pengikut yang banyak dari rakyat di pedalaman, melainkan juga mengadakan hubungan yang erat 51
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 45—60 dengan raja Bone. Pengaruhnya yang semakin meluas itu menyebabkan baik Gowa maupun Belanda tidak pernah lagi berusaha untuk menangkapnya. Padahal Karaeng Data bersama pengikutnya mulai berani menampakkan diri di wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa dan Belanda ketika itu (Poelinggomang, dkk., 2005:178). Keleluasaan Abu Bakar Karaeng Data bersama para pengikutnya menampakkan diri di wilayah kekuasaan Gowa dan Belanda, menunjukkan bahwa kedudukan kekuasaan mereka di Sulawesi Selatan sudah sangat lemah. Situasi ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh Belanda, terutama Bone untuk memperluas wilayah kekuasaannya dengan memberi perlindungan dan dukungan kepada Karaeng Data serta menjalin hubungan baik dengan armada Inggris yang muncul di perairan jazirah selatan Sulawesi sejak 1793. Hubungan kerjasama antara Inggris dengan Bone dan Karaeng Data mulai tampak ketika mereka melancarkan serangan secara tiba-tiba terhadap pos pertahanan Belanda di Bantaeng dan Bulukumba pada 1797 (Poelinggomang, dkk., 2005:171; Latif, 2011:7). Selain itu, Belanda dan Kerajaan Gowa harus pula menghadapi dua pemberontakan yang terjadi dalam wilayah kekuasaannya pada tahun yang sama (1797). Kedua gerakan itu dipimpin oleh Nyanre Karaeng Panrita dan Datu Batu Gulung. Mereka tampaknya berkeinginan untuk melanjutkan gerakan Batara Gowa Isangkilang. Gerakan Nyanre Karaeng Panrita yang terjadi pada 1797, dapat dipadamkan setelah Karaeng Gantarang berhasil menangkap tokoh gerakan yang berlagak seperti Batara Gowa Isangkilang. Demikian pula gerakan Datu Batu Gulung yang terjadi di Topedjawa (Takalar) pada tahun yang sama, memiliki bentuk yang tidak berbeda dengan gerakan Nyanre Karaeng Panrita. Ia juga berlagak seperti Batara Gowa Isangkilang dan mengumpulkan pengikut untuk menentang Belanda dan Kerajaan Gowa. Oleh karena itu Belanda dan Gowa melancarkan operasi militer bersama untuk menumpas gerakan itu. Datu Batu Gulung terpaksa meninggalkan Topedjawa dan menyingkir ke pedalaman untuk menjalin kerjasama dengan Abu Bakar Karaeng Data. Namun Datu Batu Gunung tidak memperoleh 52
dukungan sebagaimana yang diharapkan, karena para pengikut Karaeng Data sudah mulai terpencar setelah ditinggalkan oleh pimpinannya (Tideman, 1908:366; PaEni, dkk., 2002:174). Sesungguhnya Abu Bakar Karaeng Data meninggalkan Sulawesi Selatan dan pergi ke Ambon pada 1798. Di tempat itu ia mendapat perlindungan dan bantuan dari Resident Inggris di Ambon. Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan dari Belanda atas Sulawesi Selatan pada 1812, Karaeng Data kembali ke Sulawesi Selatan dan memohon perlindungan dan bantuan dari Resident Makassar, Richard Phillips (Tideman, 1908:367). Berkat izin dari Richard Phillips, Karaeng Data diperkenankan tinggal menetap di Beba, sebuah kampung yang terletak di daerah Galesong. Di tempat itu, ia dengan cepat memperoleh pendukung dan pengikut. Namun ia belum dapat memulai suatu gerakan pemberontakan, karena raja-raja setempat di Galesong khususnya dan Zuider Provincie (Provinsi Bagian Selatan) umumnya senantiasa menunjukkan kesetiannya kepada pemerintah Inggris di Makassar (Sumber Arsip, 1973:273).3 Abu Bakar Karaeng Data dan pengikutnya mulai mengadakan aksi pemberontakan terhadap Inggris, setelah terjadi perang antara Inggris dengan Bone di Bontoala pada 7 Juni 1814. Pada peristiwa itu, pasukan Inggris yang mendapat bantuan dari Gowa, Soppeng, dan Sidenreng berhasil mengalahkan laskar Bone dan membakar istana raja Bone di Bontoala. Raja Bone bersama pengikutnya terpaksa mengungsi ke daerah pedalaman, tanpa membawa serta kalompoang yang selama ini dikuasainya. Kalompoang itu kemudian diambil alih oleh datu Soppeng yang selanjutnya menyerahkan kepada pemerintah Inggris di Makassar. Inggris lalu menyerahkan kalompoang kepada pemerintah Gowa dan mendesak dewan Bate Salapang untuk memilih dan menobatkan seorang raja baru. Dewan Bate 3 Wilayah Provinsi Bagian Selatan ini terdiri atas sebelas distrik, yaitu: Aing, Toroa, Galesong, Polongbangkeng, Topedjawa, Lakutan, Bontolebang, Manuju, Ballo, Sawakong, dan Takalar. Kesebelas distrik ini dikepalai oleh seorang Assistent Resident yang berkedudukan di Takalar. Sementara setiap distrik tetap dikepalai oleh seorang bangsawan setempat dengan gelar karaeng atau lomo
Gerakan Abu Bakar ... Muhammad Amir
Salapang kemudian menobatkan Mappatunru Karaeng Lembangparang menjadi raja Gowa. Meskipun demikian penduduk di pedalaman tetap mengakui dan menjadi pengikut Karaeng Data. Itulah sebabnya laskar Gowa dan Soppeng yang setia kepada Inggris yang mencoba melakukan pengejaran terhadap raja Bone bersama pengikutnya ke daerah pedalaman dengan mudah dipukul mundur oleh laskar Bone dan para pengikut Karaeng Data (Lontarak Akkarungeng Bone:174; Mattulada, 1998:328). Persoalannya mengapa raja Bone dan Karaeng Data yang sebelumnya bersekutu dengan Inggris untuk menghancurkan kedudukan Belanda di Sulawesi Selatan, berubah menjadi musuh yang berhadapan untuk saling mencelakakan, bahkan berusaha untuk saling membunuh. Hal itu tampaknya tidak terlepas dari dinamika politik yang terjadi di Sulawesi Selatan menjelang akhir abad ke-18. Ketika VOC menunjukkan tandatanda keruntuhannya, Bone semakin memperluas wilayah dan pengaruh kekuasaannya, sehingga menjadi kerajaan yang sangat disegani di Sulawesi Selatan. Sejumlah wilayah kekuasaan VOC yang merupakan penghasil utama beras, baik di Noorder Provincie maupun di Zuider Provincie berada di bawah pengaruh kekuasaan Bone dan sekutunya, terutama Tanete dan Suppa (Sumber Arsip,1971:121). Itulah sebabnya Bone dan sekutunya menolak dan menentang penyerahan wilayah kekuasaan atas Makassar dan Daerah Takluknya dari pihak Belanda kepada Inggris pada 1812. Sebab kehadiran kekuasaan Inggris di daerah ini, bukan hanya mengancam eksistensi Bone dan sekutunya, tetapi juga mengancam pengaruh dan kekuasaan mereka atas sejumlah wilayah yang diduduki, seperti Maros, Pangkajene, Labbakkang, Segeri, Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Bahkan tidak sedikit kerajaan di daerah ini yang menyandarkan kewibawaan dan kekuatannya pada Bone. Oleh karena itu, penolakan Bone dan sekutunya atas kehadiran kekuasaan Inggris, antara lain karena mereka tidak rela pengaruh dan kedudukan kekuasaan terhadap sejumlah wilayah dan kerajaan di daerah ini beralih kepada Inggris. Selain itu, penolakan Bone terhadap kehadiran kekuasaan Inggris, juga karena
penolakan Inggris untuk mengakui kedudukan Bone sebagai mitra setara dan ketua persekutuan kerajaan di Sulawesi Selatan. Di samping itu, juga karena Inggris menolak tuntutan Bone yang tidak bersedia membayar pajak vertienen (10 persen) seperti yang pernah diberlakukan oleh Belanda pada daerah kekuasaannya; tidak bersedia menyerahkan kalompoang (pusaka Kerajaan Gowa) yang kini berada di tangan raja Bone kepada raja Gowa; menghendaki dan mengakui Arung Mampu sebagai raja Gowa; dan tidak mengakui hak penguasaan Inggris atas Maros, Bantaeng, dan Bulukumba. Penolakan Inggris terhadap tuntutan Bone mengenai hak penguasaan atas ketiga daerah yang disebutkan terakhir itu, karena ketiga daerah tersebut terdapat sawah yang luas, sehingga menjadi sumber pendapatan pajak yang besar dan penghasil beras yang utama di Sulawesi Selatan. Secara yuridis ketiga daerah itu juga merupakan daerah kekuasaan Belanda, sehingga harus menjadi daerah kekuasaan Inggris setelah terjadi pengambil-alihan kekuasaan dari Belanda kepada Inggris. Khusus terhadap Bantaeng dan Bulukumba yang terletak pada persinggungan Laut Flores di sebelah selatan dan Teluk Bone di bagian timur sangat rawan bagi perdagangan gelap, sehingga harus tetap berada di bawah kekuasaan Inggris (Latif, 1997:165; Poelinggomang, 2005:172). Pertentangan itulah yang antara lain menjadi penyebab hubungan antara Bone dengan Inggris menjadi tegang yang kemudian EHUXMXQJSDGDWLPEXOQ\DNRQÀLN3DGDDZDOQ\D Toappatunru (1812-1823) yang menggantikan ayahnya, La Tenritappu sebagai raja Bone bersikap lunak terhadap Inggris dengan harapan bahwa mereka dapat mengembalikan hak-hak istimewa Bone sebagai mitra setara dan ketua persekutuan kerajaan di Sulawesi Selatan. Namun harapan itu tidak kunjung teralisasi, sehingga WHUMDGL NRQÀLN DQWDUD NHGXD EHODK SLKDN \DQJ berimplikasi pula terhadap sekutu-sekutu Bone, termasuk Karaeng Data. Sebab Karaeng Data yang selama ini selalu mendapat dukungan dan perlindungan raja Bone, terseret pula dalam SXVDUDQNRQÀLNDQWDUD%RQHGHQJDQ,QJJULV,WXODK sebabnya sekutu Bone yakni Tanete mengerahkan laskarnya yang mendapat dukungan dari pengikut 53
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 45—60 Karaeng Data untuk mengadakan pengacauan keamanan di daerah Ballo dan Polongbangkeng, sehingga mengganggu ketertiban dan keamanan di kedua daerah tersebut pada akhir September 1815. Tindakan pengacauan yang dilakukan oleh laskar Tanete dan pengikut Karaeng Data tidak berlangsung lama, karena pasukan Inggris dan laskar Gowa segera datang menghalau mereka (ANRI, Tronerbach: 3 Oktober 1815). Kedatangan laskar Tanete di Ballo dan Polongbangkeng, tampaknya tidaklah dimaksudkan untuk mengadakan pemberontakan secara besar-besaran, melainkan hanya datang untuk mengajak Karaeng Data dan pengikutnya untuk membantu laskar Bone, Tanete, dan Suppa yang sementara bergerak di Noorder Provincie. Berdasarkan laporan Assistent Resident Takalar, Tronerbach bahwa pada 15 Oktober 1815 Karaeng Data meninggalkan Polongbangkeng pergi ke Barru, sebuah kampung di Noorder Provincie. Tronerbach juga melaporkan bahwa empat bangsawan tinggi pendukung Karaeng Data telah berada di wilayah itu, yakni Karaeng Labakang dan Lomo Manaran di Pangkajene, serta Karaeng Mangallekana dan Karaeng Mandalle di Bungoro (ANRI, Tronerbach: 18 Oktober 1815). Kepergian Karaeng Data dan pengikutnya ke Noorder Provincie menunjukkan bahwa untuk sementara Zuider Provincie belum dapat dijadikan sebagai pusat perlawanan, karena raja-raja setempat masih banyak yang setia kepada Inggris. Selain itu, Karaeng Data juga tampaknya bermaksud memberikan bantuan kepada para penentang Inggris di Noorder Provincie, dengan harapan mereka juga dapat membantunya mengadakan perlawanan di Zuider Provincie. Ketika Abu Bakar Karaeng Data dan pengikutnya meninggalkan Polongbangkeng, Kapten Cameron, komandan pasukan Inggris di Zuider Provincie mencoba mendekati Karaeng Laikang yang wilayah kekuasaannya dianggap sangat rawan dari pengaruh Karaeng Data. Oleh karena itu, Karaeng Binamu mengadakan pertemuan dengan ketiga orang tokoh pengikut Karaeng Data, yakni Daeng Mananri, Daeng Manompo, dan Daeng Manajai di Laikang. Pendekatan yang dilakukan oleh Kapten Cameron, tampaknya membawa hasil setelah ketiga orang 54
tokoh pengikut Karaeng Data itu bersedia menyatakan kesetiannya kepada Inggris pada 23 Oktober 1815. Itulah sebabnya Kapten Cameron mengutus Karaeng Binamu ke Makassar untuk menyatakan kesetiannya kepada Resident Inggris, D. M. Dalton (1815-1816). Perlakuan khusus terhadap Karaeng Binamu itu karena ia dianggap salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh di Zuider Provincie (ANRI, Tronerbach: 25 Oktober 1815). Abu Bakar Karaeng Data mulai muncul kembali di Zuider Provincie pada November 1815. Ia diketahui berkedudukan di Bantaeng dan telah berhasil memperoleh dukungan dari Karaeng Rumbia pada 10 November. Agar pengaruh Karaeng Data tidak segera meluas di Zuider Provincie, Assistent Resident Takalar, Tronerbach memerintahkan kepada Karaeng Binamu dan Karaeng Bangkala untuk menyerang kedudukan Karaeng Data di Bantaeng (ANRI, Tronerbach: 15 November 1815). Namun perintah penyerangan itu tidak pernah terlaksana, bahkan Karaeng Binamu sendiri tidak dapat menghalangi Karaeng Data yang melewati wilayah kekuasaannya menuju ke Bontolone, sebuah kampung yang termasuk wilayah kekuasaan Gowa (ANRI, Tronerbach: 18 November 1915). Tidak jelas alasan mengapa Karaeng Binamu dan Karaeng Bangkala tidak menjalankan perintah penyerangan terhadap Karaeng Data. Apakah pasukannya tidak mampu untuk melaksanakan penyerangan atau karena Bantaeng bukan wilayah kekuasaanya. Kedua alasan ini dapat dibenarkan, karena sulit bagi Karaeng Binamu dan Karaeng Bangkala mengadakan penyerangan ke Bantaeng tanpa bantuan dari Karaeng Bantaeng sebagai penguasa setempat. Meskipun demikian, kesetiaan Karaeng Binamu terhadap Inggris dapat diragukan, karena ia tidak memberikan hukuman, paling tidak teguran kepada Karaeng Rumbia. Oleh karena, Rumbia termasuk wilayah kekuasaan Karaeng Binamu. Sementara itu, pasukan Inggris tidak dikerahkan untuk menyerang kedudukan Abu Bakar Karaeng Data, karena untuk sementara sedang berkonsentrasi menghadapi laskar Bone di wilayah Maros. Selain itu, selama laskar Bone dan raja-raja setempat di Zuider Provincie tidak memberikan bantuan dan dukungan
Gerakan Abu Bakar ... Muhammad Amir
kepada Karaeng Data, selama itu pula Inggris belum menganggap gerakan Karaeng Data sebagai ancaman besar terhadap ketertiban masyarakat di wilayah itu (ANRI, Tronerbach: 28 Desember 1815). Namun ketika Karaeng Data mulai memperkuat kedudukannya setelah mendapat dukungan dan bantuan dari beberapa orang bangsawan Gowa, Bone dan Bulukumba, bahkan termasuk seorang Belanda dan beberapa orang Jawa, barulah Inggris merasa terusik. Sebagaimana dilaporkan oleh Assistent Resident Takalar, Tronerbach bahwa seorang Belanda yang bernama Joseph de Lort dan beberapa orang Jawa telah bergabung dengan Karaeng Data pada Februari 1816. Kemudian Arung Mampu memerintahkan kepada kedua putranya (Karaeng Panjalingan dan Karaeng Manuruki), serta Karaeng Babba untuk mendukung perlawanan Karaeng Data pada Maret 1816. Karaeng Data, Arung Ponre, dan Karaeng Manuruki memasuki wilayah Polongbangkeng pada 10 Mei 1816, dan tidak mendapatkan perlawanan yang berarti dari pasukan Inggris. Berikutnya Karaeng Data bekerjasama dengan Arung Cina, Arung Ponre, dan Daeng Siala menyerang pasukan Inggris di Gantarang. Dalam penyerangan itu, dari pihak Karaeng Data tertembak mati lima orang (ANRI, Tronerbach: 7 Februari; 23 Maret; dan 15 Mei 1816). Pada akhir Mei 1816, Abu Bakar Karaeng Data mengumpulkan pengikutnya di Loata, sebuah kampung dalam wilayah Polongbangkeng. Karaeng Data lalu mengutus enam orang pengikutnya di bawah pimpinan Batu Rappe untuk menemui Kapten Cameron di Topedjawa pada 5 Juni. Tujuan utama utusan itu agar Kapten Cameron mengizinkan Karaeng Data melewati Polongbangkeng menuju Topedjawa, yang hendak menemui seorang pedagang Cina yang berlabuh di Topedjawa. Orang Cina itu adalah seorang pedagang antarpulau yang baru tiba dari Selayar. Assistent Resident Takalar, Tronerbach memberi jawaban kepada para utusan itu, bahwa kalau Karaeng Data ingin ke Topedjawa dan harus melewati Polongbangkeng, maka ia harus berjalan sendiri dan tanpa persenjataan. Keesokan harinya seorang mata-mata melapor kepada Tronerbach bahwa Karaeng Data bersama 200
orang pengikutnya telah memasuki Kampung Malolo menuju Polongbangkeng. Khawatir Karaeng Data dan para pengikutnya membakar rumah penduduk di Polongbangkeng, laskar Gowa, pasukan Inggris, dan rakyat setempat dikerahkan untuk menghadang mereka di Polongbangkeng. Menyadari lawannya lebih kuat, Karaeng Data memerintahkan pengikutnya menyingkir ke pegunungan (ANRI, Tronerbach: 10 Juni 1816). Kegagalan Abu Bakar Karaeng Data dalam penyerangan tersebut, karena para pendukungnya yang terdiri atas sejumlah bangsawan Gowa, Bone, dan Bulukumba hanyalah merupakan dukungan personal dari pribadi-pribadi yang tidak puas terhadap Inggris. Ketidakmampuan mereka menggerakkan rakyat atau pengikutnya untuk mendukung perlawanan Karaeng Data, karena kalompoang sebagai alat legitimasi kekuasaan tidak ada di tangan Karaeng Data. Berbeda halnya dengan dukungan dari sebagian rakyat di daerah pedalaman, karena mereka memandang bahwa Karaeng Data adalah putra dari Batara Gowa Isangkilang, seorang yang pernah mengaku dirinya sebagai Amas Medina, Raja Gowa ke-26, yang ditawan oleh Belanda di Sailon. Demikian juga dukungan Arung Mampu dan kedua putranya kepada Karaeng Data, selain disebabkan oleh ketidakpuasan mereka terhadap Inggris dan raja Gowa, Arung Mampu juga berharap agar kemenakannya, Karaeng Data dapat menjadi raja Gowa. Perang antara Abu Bakar Karaeng Data bersama pengikutnya dengan laskar Gowa yang mendapat bantuan dari pasukan Inggris terjadi di Saluka pada 12 Juni 1816. Dalam perang itu diketahui bahwa Karaeng Data mendapat dukungan dari Karaeng Panjalingan, Karaeng Manuruki, Karaeng Tana Toa, serta orang Bangkala dan Binamu. Meskipun demikian, Karaeng Data bersama pendukungnya sekali lagi harus mengundurkan diri ke pegunungan. Dalam perang itu, salah seorang pimpinan pendukung Karaeng Data, yakni Karaeng Tana Toa tertembak mati dan kepalanya dibawa oleh Karaeng Bangkala ke Anak Badjeng, untuk diperlihatkan kepada Assistent Resident Takalar (ANRI, Tronerbach: 13 dan 15 Juni 1816). Untuk 55
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 45—60 mengakhiri gerakan Karaeng Data, Resident Inggris di Makassar, D. M. Dalton mengeluarkan pengumuman pada 14 Juni 1816, bahwa barang siapa yang dapat membunuh Karaeng Data akan diberikan hadiah sebanyak 200 Real Spanyol (ANRI, Tronerbach: 17 Juni 1816). Meskipun hadiah itu sangat besar, tetapi tidak seorang pun yang bersedia menangkap dan membunuhnya. Karaeng Data masih hidup dan tetap berupaya memperluas pengaruh kekuasaanya sehingga pemerintah Inggris meninggalkan Sulawesi Selatan pada 1816. Penumpasan Gerakan Karaeng Data Pemerintah Hindia Belanda mulai menata kembali kedudukan kekuasaannya di Sulawesi Selatan, setelah menerima penyerahan wilayah atas Makassar dan Daerah Takluknya pada 7 Oktober 1816 (Anonim, 1854:174). Namun usaha mereka itu diperhadapkan oleh sikap sejumlah kerajaan lokal yang menolak dan menentang kehadirannya, terutama Bone dan sekutunya (Tanete dan Suppa). Selain itu, mereka juga berusaha memulihkan kembali kedudukan Kerajaan Gowa, karena penduduk di daerah pedalaman tetap mengakui dan menjadi pengikut dari Abu Bakar Karaeng Data, kecuali daerah Bulutana yang berada di bawah pengaruh kekuasaan Karaeng Bontonompo. Oleh karena itu, Karaeng Data merupakan saingan yang kuat dan tantangan bagi Raja Gowa Mappatunru Karaeng Lembangparang yang dinobatkan pada 1816. Kenyataan itu juga menunjukkan bahwa Gowa belum dapat dipulihkan atau kembali menjadi satu kerajaan yang utuh, meskipun kalompoang yang menjadi alat legitimasi kekuasaan dan telah dipandang sebagai biang keladi dari perpecahan penduduk atas dua bagian itu telah berada di istana dan dipegang oleh Raja Gowa Karaeng Lembangparang. Dukungan dari penduduk di daerah pedalaman tersebut, mendorong Abu Bakar Karaeng Data memberanikan diri kembali ke Beba dan menjadikan daerah itu sebagai pusat pemerintahannya. Di Beba Karaeng Data membentuk organisasi pemerintahan dengan mengangkat penduduk yang dikenal pemberani (tubarani) sebagai pendamping dan pembantunya 56
yang dikenal dengan sebutan pallapa barambang. Para pallapa barambang itu menjabat sebagai panglima perang. Di antaranya yang terkenal adalah Gunturuna Ida Depo, Kilana I Sanro Nande, dan Bosi Sarrona Garanci Daeng Malala. Selain itu, Karaeng Data juga dibantu oleh sejumlah pemberani yang berfungsi sebagai pengawal pribadi yang dikenal dengan sebutan cambang. Di antaranya adalah Cambang Manggarai, Cambang Raulo, Cambang Bissoloro, Cambang Mangga, Cambang Bulu Tanah, Cambang Mammesu, Cambang Moncongang, dan Cambang Rubia (PaEni, dkk., 2002:176; Ahmad, 2014:384). Pembentukan pemerintah bayangan yang dipimpin oleh Karaeng Data itu, bukan hanya sebagai tantangan bagi pemulihan kedudukan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Sulawesi Selatan, tetapi juga merupakan ancaman bagi kedudukan kekuasaan Kerajaan Gowa. Berkat dukungan dan bantuan dari penduduk di daerah pedalaman, kedudukan kekuasaan Abu Bakar Karaeng Data tampak semakin kuat. Itulah sebabnya ia dengan berani mengajukan tuntutan kepada Gowa dan Belanda pada 20 Agustus 1819, agar menyatakan dan mengaku tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan Karaeng Data. Tuntutan itu dipandang oleh Belanda sebagai pernyataan tegas menentang pemerintahan Gowa dan Belanda di daerah ini, sehingga mendesak Gowa agar bersama-sama melancarkan serangan terhadap kedudukan Karaeng Data di Beba. Pihak Belanda selanjutnya memerintahkan kepada komandan militer, Kolonel La Fontaine bersama 2 orang kapiten dan 10 opsir (9 orang Eropah dan 1 orang bumiputra) memimpin 240 orang tentara, yang terdiri atas 137 orang Eropah dan 103 orang bumiputra untuk bergabung dengan laskar Gowa. Strategi penyerangan ditata, yaitu gabungan pasukan Belanda dan Gowa di bawah pimpinan Kolonel La Fontaine berangkat ke arah selatan dengan maksud untuk menyerang kedudukan Karaeng Data di Beba dari arah utara; sementara laskar Gowa lainnya yang mendapat bantuan dari laskar Bontolebang dan Polongbangkeng menyerang dari arah barat. Di lain pihak, Karaeng Data juga mendapat dukungan dan bantuan Fran Kombatari atau Karaeng Manggarai yang menggabungkan diri dengan para pendukung
Gerakan Abu Bakar ... Muhammad Amir
Karaeng Data (Poelinggomang, dkk., 2005:218; Mattulada, 1998:322). Kolonel La Fontaine bersama pasukannya segera mengambil posisi penyerangan, setelah tiba di tempat yang ditentukan. Namun tanpa sepengetahuan dan persetujuan para opsirnya, La Fontaine mengorganisir sejumlah prajurit untuk langsung ke Beba menemui Karaeng Data. Setelah menemui Karaeng Data, ia memerintahkan agar mengikutinya keluar dari Beba. Meskipun dengan berat hati, Karaeng Data memenuhi permintaan La Fontaine dengan dikawal oleh para pengawal pribadi (cambang), para pembantu yang dikenal dengan pallappa barambang, dan sejumlah laskar berani mati yang disebut tubarani. Karaeng Data tampil bersama kurang lebih 200 orang pengikutnya di depan pasukan La Fontaine. Di saat itulah pasukan inti dari La Fontaine yang bersiaga di sayap kiri dengan segera mengambil posisi pada bagian belakang pengikut Karaeng Data dengan maksud agar dapat menghadang atau supaya mereka tidak dapat meloloskan diri kembali ke Beba. Ketika pengikut Karaeng Data telah terkepung, Kolonel La Fontaine memerintahkan pelucutan senjata terhadap Karaeng Data dan pengikutnya. Meskipun dalam keadaan terkepung, Karaeng Data dan pengikutnya tidak bersedia mematuhinya, mereka melakukan perlawanan pantang menyerah (amuk) yang menyebabkan banyak korban bergelimpangan. Korban peristiwa itu senantiasa dikenang oleh pengikut Karaeng Data yang dinyatakan dalam bentuk syair perang “jai pale tonjong ri Mawang, jainggang ri Bissei, jai angngangi pole capiona sarenia” (banyak teratai di telaga Mawang, banyak lagi di Bissei, namun lebih banyak topi orang-orang serani). Maksudnya teratai adalah jumlah korban perang dari pihak Karaeng Data, sedangkan topi orang serani adalah korban dari pihak Belanda. Syair ini menunjukkan bahwa banyak korban di pihak Karaeng Data, tetapi banyak juga korban di pihak Belanda (PaEni, dkk., 2002:177). Meskipun banyak korban di pihak Abu Bakar Karaeng Data, tetapi pengikutnya terus melakukan perlawanan dengan gagah berani hingga tetesan darah terakhir. Diperkirakan lebih dari 100 orang pengikut Karaeng Data meninggal dalam peristiwa itu. Demikian pula
di pihak pasukan Belanda kehilangan banyak sekali anggota pasukannya. Pada peristiwa itu, Karaeng Data sendiri menderita luka dan berusaha meloloskan diri dari pertempuran. Ketika Karaeng Data meloloskan diri dari pertempuran itu, ia justru terperangkap dalam kepungan laskar Gowa, Bontolebang, dan Polongbangkeng yang melakukan serangan dari arah barat. Berkat bantuan dari pengawal pribadinya, Karaeng Data berhasil meloloskan diri menuju daerah pedalaman. Karaeng Data sendiri dipercaya oleh para pengikutnya, sanggup “melenyapkan diri” dan masih hidup pada suatu tempat yang tidak diketahui. Mereka meyakini bahwa Karaeng Data sebagai orang sakti dan satu waktu akan menjelma kembali, melanjutkan peperangan melawan kolonial Belanda dan membebaskan Gowa dari penjajahan. Para pendukung dan pengikutnya senantiasa mentransformasikan kepercayaan dan semangat perlawanan mereka melalui riwayat Perang Beba, suatu perang yang merupakan kisah keluarbiasaan dan memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan para pendukung dan pengikut serta keturunan mereka (Mattulada, 1998:322). Itulah sebabnya mereka senantiasa memuja Karaeng Data sebagai tokoh yang senantiasa didambakan kehadirannya kembali untuk mewujudkan satu dunia baru yang aman, damai, dan sejahtera. Berbeda dengan pimpinan pasukan Belanda yang mengumumkan bahwa Abu Bakar Karaeng Data tewas dalam pertempuran sengit tersebut. Kepalanya kemudian dipenggal oleh laskar Gowa dan diperhadapkan kepada pimpinan pasukan Belanda (Tideman, 1908:368). Namun para pendukung dan pengikutnya, menyangkal berita tentang tewasnya Karaeng Data. Mereka menyatakan bahwa yang terbunuh dan dipenggal kepalanya itu sesungguhnya bukan Karaeng Data melainkan Cambang Raulo, salah seorang pengawal pribadinya yang diberi pakaian dan senjata yang sama dengan yang dipakai oleh Karaeng Data. Diceritakan bahwa ketika Karaeng Data dalam keadaan terkepung di Passimbungang, ia bertanya kepada pengawal pribadinya, siapa di antara mereka yang rela mati menggantinya. Semua pengawal pribadinya ternyata bersedia, namun kemudian yang terpilih adalah Cambang 57
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 45—60 Raulo. Ia kemudian dikenakan pakaian Karaeng Data dan diperlengkapi dengan semua atribut Karaeng Data. Cambang Raulo kelihatan seperti Karaeng Data setelah ia mengenakan pakaian dan atributnya. Ia kemudian menghadapi musuh yang mengepungnya, yakni laskar Gowa bersama laskar Bontolebang dan Polongbangkeng sehingga tertangkap dan terbunuh (PaEni, dkk., 2002:179).4 Usaha penyamaran terhadap Abu Bakar Karaeng Data tersebut, berhasil melepaskan tokoh utama perlawanan itu dari kepungan musuh. Ia bersama pengikutnya yang berhasil meloloskan diri bergerak menuju Galesong. Setibanya di Kampung Kalongkong, Karaeng Data mengibarkan bendera kebesarannya pada sebuah pohon asam dan berkata, bahwa “bila kelak tiba masanya aku akan pergi, dan kelak aku akan kembali, bila batang, dahan, dan ranting pohon asam kecil ini telah kuat seperti baja”.5 Setelah itu, Karaeng Data selanjutnya memohon kiranya dijamu makan siang dengan daging ayam sabungan milik Karaeng Galesong yang ketika itu berada di Beba. Sesudah bersantap siang, Karaeng Data menanggalkan pakaiannya dan meninggalkannya sebagai kenang-kenangan kepada Karaeng Galesong. Ia selanjutnya mengenakan pakaian Karaeng Galesong dan berangkat meninggalkan tempat itu bersama I Sunra Daeng Malo Karaeng Belobambaya ke Popoloe dan selanjutnya ke Barammamate (Amir, 2004:76). Abu Bakar Karaeng Data selanjutnya meneruskan perjalanan ke Tassese, daerah basis 4
Pengikut Karaeng Data membuktikan kebenaran cerita mereka itu dengan menyatakan bahwa Karaeng Lipukasi yang diminta untuk membuktikan kebenaran apakah kepala dan hati yang dibawa dari medan perang itu adalah kepala dan hati dari Karaeng Data ternyata ragu dan tidak yakin. Keraguan itu disebabkan kepala yang dibawa itu adalah kepala seorang yang bercambang. Karaeng Lipukasi mengetahui bahwa Karaeng Data tidak bercambang. Di samping itu, Karaeng Lipukasi juga terperanjat karena ketika ia memakan hati orang itu yang telah dicampuri air jeruk dan diletakkan dalam cawan itu ternyata pahit. Menurut keyakinan mereka bahwa hati seorang yang luar biasa seperti Karaeng Data seharusnya gurih seperti bongkol kelapa. Itu berarti hati itu bukan hati seorang yang luar biasa atau hati dari Karaeng Data. 5 Pohon asam itu hingga kini masih tumbuh dan oleh masyarakat setempat dipandang sebagai tempat keramat dan sering dikunjungi orang untuk bernazar.
58
perjuangan Batara Gowa Isangkilang. Diceritakan oleh masyarakat di Tassese, bahwa di tempat itulah Karaeng Data diselimuti kegelapan (appaturummi sassang) atau yang sering juga disebut appaturummi pattang. Setelah masa gelap itu berakhir, para pengikutnya tidak menemukan lagi Karaeng Data. Oleh karena itu, mereka menyebut Karaeng Data assayang (menghilang dari penglihatan mata kasar). Sementara mereka mencari-cari dan kebingungan, terdengar suara yang menyatakan: “boyaa ritaenaku, assenga ri maniaku, naija antu, nama nassa taenaku, iapanakummumba punna latappumo” (carilah dalam ketiadaanku, kenallah dalam keberadaanku, aku sesungguhnya ada, namun yang jelas aku tiada, (dan) baru aku akan kembali bila (aku) telah dilupakan (orang). Cerita rakyat tentang kisah Karaeng Data merupakan cerita yang amat disucikan oleh para pendukung dan pengikut Karaeng Data di daerah Beba, Galesong, dan daerah pedalaman Makassar hingga sekarang (PaEni, dkk., 2002:180; Amir, 2004:77). Setelah peristiwa tersebut, tampaknya gerakan perlawanan Abu Bakar Karaeng Data juga berakhir. Perpecahan antara penduduk pedalaman dan pesisir berhasil dipulihkan. Keberhasilan itu bukan hanya tergantung pada keberhasilan membinasakan tokoh utama gerakan itu, yakni Karaeng Data. Tetapi juga karena ketiadaan pemimpin yang mampu mengorganisasikan penduduk yang merasa tidak puas terhadap keadaan yang terjadi pada waktu itu. Meskipun penduduk di pedalaman Makassar yang mendukung dan menggabungkan diri dengan Karaeng Data, meyakini bahwa bukan Karaeng Data yang meninggal dalam Perang Beba, namun mereka mengakui Karaeng Data telah meninggalkan mereka. Karaeng Data akan kembali kelak pada waktu yang tidak diketahui dengan pasti untuk memimpin mereka kembali dalam suatu kehidupan baru yang menyenangkan (Mitos Karaeng Data, dalam PaEni, dkk., 2002:289). Itulah sebabnya para pendukung dan pengikut Karaeng Data senantiasa mendambakan kehadirannya kembali untuk mewujudkan kedamaian, sejahteraan, dan ketenteraman.
Gerakan Abu Bakar ... Muhammad Amir
PENUTUP Abu Bakar Karaeng Data adalah putra dari Batara Gowa Isangkilang. Ia berusaha melanjutkan perjuangan ayahnya menetang kekuasaan Belanda dan merebut kekuasaan atas Kerajaan Gowa. Perjuangannya bukan hanya dilatarbelakangi oleh campur tangan pemerintah kolonial (Inggris dan Belanda) terhadap utusan dalam negeri Kerajaan Gowa, tetapi juga karena keresahan masyarakat akibat perubahan sosial sebagai konsekuensi semakin kuatnya pengaruh kekuasaan kolonial di Sulawesi Selatan. Pada awal perjuangannya, Karaeng Data bekerja sama dengan Bone dan Inggris untuk menghancurkan kedudukan kekuasaan Belanda di daerah ini. Namun setelah Inggris berhasil mengambil alih kekuasaan Belanda, Karaeng Data justru berbalik menentang kekuasaan Inggris. Perubahan sikap Karaeng Data dari sekutu menjadi seteru Inggris tidak terlepas dari perkembangan dan dinamika politik yang terjadi di Sulawesi Selatan ketika itu. Selain itu, juga karena Inggris lebih memilih memulihkan kekuasaan Kerajaan Gowa daripada mendukung dan mengakui kekuasaan Karaeng 'DWD ,WXODK VHEDEQ\D NHWLND %RQH EHUNRQÀLN dengan Inggris, Karaeng Data yang selama ini mendapat dukungan dan perlidungan dari raja %RQHWHUVHUHWSXODGDODPSXVDUDQNRQÀLNWHUVHEXW Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada sekutu yang abadi, selain daripada kepentingan. Setelah Belanda kembali berkuasa di Sulawesi Selatan, Karaeng Data tetap melanjutkan perjuangan menentang kekuasaan Belanda dan berusaha merebut kekuasaan atas Kerajaan Gowa. Berkat dukungan dan bantuan dari sejumlah bangsawan dan penduduk di daerah pedalaman, Karaeng Data semakin kuat kedudukan kekuasaannya. Itulah sebabnya ia berani mengajukan tuntutan kepada Belanda dan Gowa, agar mengakui dan menyatakan tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan Karaeng Data. Pemerintah Belanda dan Gowa merespon tuntutan itu dengan mengerahkan kekuatan militer bersama untuk menumpas gerakan Karaeng Data dan para pengikutnya. Meskipun mereka memberikan perlawanan dengan gigih, namun pasukan gabungan (Belanda dan Gowa) yang akhirnya keluar sebagai pemenang setelah
Karaeng Data gugur dalam pertempuran. Hal ini menunjukkan bahwa Karaeng Data tetap konsekuan pada sikap dan prinsip perjuangannya menentang pemerintah kolonial (Inggris dan Belanda) sampai akhir hayatnya. Nama dan jasa-jasanya tetap akan dikenang, sebab ia bukan hanya seorang pemimpin pejuang yang pantang menyerah dan patriotik yang konsekuen, tetapi ia juga tidak segan-segan mengorbankan seluruh hidupnya untuk kepentingan bangsa dan tanah airnya. Oleh karena itu, kepemimpinannya, sikap dan prinsip perjuangannya serta patriotismenya yang mengandung nilai-nilai luhur patut dikenang dan diteladani oleh kita semua dalam mengisi kemerdekaan di era reformasi sekarang ini. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. 1985. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ahmad, Taupik. 2014. Bandit dan Pejuang: Sejarah Sosial Politik Masyarakat Polongbangkeng (1905-1960-an), dalam Jurnal Sejarah dan Budaya Walasuji, Vol.5, No.2. Desember. Makassar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar. Amir, Muhammad. 2004. “Kerajaan Gowa Abad XIX”, dalam Kerajaan Gowa Pasca Perjanjian Bungaya. Makassar: Laporan Penelitian Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar. Amir, Muhammad, dkk. 2012. Konflik dan Perubahan Sosial: Sejarah Perlawanan Tiga Kerajaan Terhadap Belanda di Sulawesi Selatan Pada Abad Ke-19. Makassar: de la macca. Anonim. 1854. Bijdragen tot de Geschhiedenis van Celebes, dalam Tijschriff voor Nederlandsch – Indie (TNI) Jilid II. ANRI, Tronerbach: 3, 18, dan 25 Oktober 1815. Surat Assistent Resident Takalar (Tronerbach) kepada Kapten Ranlins di Makassar. Bundel Makassar No. 267, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia ANRI, Tronerbach: 15 dan 18 November 1915. Surat Assistent Resident Takalar (Tronerbach) kepada Assistent Resident Makassar (G. Phillips). Bundel Makassar 59
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 45—60 No. 267, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia. ANRI, Tronerbach: 28 Desember 1815. Surat Assistent Resident Takalar (Tronerbach) kepada Assistent Resident Makassar (John Kinnon). Bundel Makassar No. 267, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia. ANRI, Tronerbach: 7 Februari, 23 Maret, 15 Mei, dan 10, 13, 15, 17 Juni 1816. Surat Assistent Resident Takalar (Tronerbach) kepada Assistent Resident Makassar (John Kinnon). Bundel Makassar No. 267, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia. Caron, L.J.J. 1933. Memori van Overgave (Agustus 1929 – November 1933). Garraghan, Gilberr J. 1957. A Guide to Historical Method. New York: Fordam University Press. Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah (Diterjemahkan Nugroho Notosusanto). Jakarta: Universitas Indonesia Press. Kartodirdjo, Sartono, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya. Kemp, P. H. van der. 1917. “P.Th. Chasse’s Werkzaamheid als Commissaris voor de Overneming van Makassar on Onderhoorigneden gedurende SeptemberOktober 1816, blikjkens Eenige van hem Uitgegang en nog nit Uitgegeven Rapporten”, dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlandsche – Indie (BKI), No.73. Kila, Syharir. 2012. “Batara Gowa”, dalam Jurnal Sejarah dan Budaya Walasuji, Vol. 3, No.2. Desember. Makassar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar. Latif, Abd. 1997. “Yang Menentang dan Bersahabat Inggris di Sulawesi Selatan” Yogyakarta: Tesis Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Latif, Abd. 2011. “Kalompoang: Sumber Legitimasi Kekuasaan dan Sumber .RQÀLN´GDODPJurnal Sejarah dan Budaya Walasuji, Vol. 2, No.1. Makassar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar. Ligtvoed, A. 1880. Transcriptie van het Dokboek der Vosrsten van Gowa en Tallo, met Vertaling en Aantekeningeng, dalam 60
Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlandsche – Indie (BKI), No. 27. Limbugau, Daud. 1985. “Terbentuknya Wilayah Administrasi Pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Selatan”. Yogyakarta: Tesis Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Lontarak Akkarungeng Bone. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Mattulada. 1998. Sejarah, Kebudayaan, dan Masyarakat Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press. Notosusanto, Nugroho. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Idayu. PaEni, dkk. 2002. Batara Gowa Mesianisme dalam Gerakan Sosial di Makassar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Patunru, Abd. Razak. 1983. Sejarah Gowa. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Patunru, Abd. Razak. 1989. Sejarah Bone. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepstkaan Populer Gramedia (KPG). Poelinggomang, Edward L. 2004. Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942. Makassar: Ombak. Poelinggomang, Edward L., dkk. 2005. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid I. Makassar: Balibangda Provinsi Sulawesi Selatan. Regeering Almanak (Laporan Tahunan: 1898). Staatblad, 1824 No. 31a. Staatblanden van Nederlandsch – Indie. Sumber Arsip. 1971. Staakundig Overzicht van Nederlandsh Indie 1837 (Laporan Politik Tahun 1837). Djakarta: Penerbitan Sumbersumber Sejarah Arsip Nasional Republik Indonesia, No. 4. Sumber Arsip. 1973. Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839-1848. Djakarta: Penerbitan Sumber-sumber Sejarah Arsip Nasional Republik Indonesia, No.5. Tidemen, J. 1908. “Batara Gowa op ZuidCelebes”, dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlandsche – Indie (BKI), No. 64.