POLICY BRIEF
Pemenuhan Hak atas Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil bagi Penyandang Disabilitas
Latar Belakang oleh: Novita Anggraeni Fajri Nursyamsi
D
okumen kependudukan yang dihasilkan dari proses administrasi kependudukan adalah hak bagi masyarakat, seperti dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU Adminduk). Dokumen kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), dan Akta Kelahiran ini sangat penting, karena seringkali menjadi prasyarat untuk memperoleh pelayanan publik lainnya. Misalnya KTP menjadi syarat untuk memperoleh izin usaha atau Akta Kelahiran sebagai syarat pendaftaran sekolah. Selain dokumen kependudukan, hak masyarakat terkait Adminduk antara lain mendapatkan pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan catatan sipil, perlindungan atas data pribadi, dan kepastian hukum atas kepemilikan dokumen. Dalam kaitannya dengan pelayanan Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil (Adminduk Capil) ini penyandang disabilitas termasuk kelompok masyarakat yang ren-tan tidak terpenuhi haknya. Hal ini terjadi karena beberapa sebab, diantaranya sulitnya mengakses pelayanan, adanya pandangan bahwa penyandang disabilitas tidak penting memiliki dokumen kependudukan, dan kurangnya informasi terkait disabilitas dalam proses administrasi kependudukan. Padahal hak penyandang disabilitas dimandatkan secara khusus dalam UU Adminduk, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik), dan Undang-
Kabupaten Lombok Barat
KTP
KK
Surat Nikah
Akta Kelahiran
Kabupaten Sorong
KTP
KK
Surat Akta KTP E Nikah Kelahiran Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas)1 . Rentannya penyandang disabilitas untuk tidak terpenuhi haknya ini setidaknya tergambar dalam survey dasar me-ngenai kepemilikan dokumen kependudukan oleh penyandang disabilitas yang dilakukan PATTIRO di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat pada 2015 yang melibatkan 120 fresponden di masing-masing kabupaten. Di Lombok Barat, hanya 36% responden yang memiliki KK, 55% yang memiliki KTP; dan yang memiliki Surat Nikah dan Akta Kelahiran lebih rendah lagi, yaitu masing-masing hanya 7% dan 2%. Sementara di Sorong, kepemilikan KK dan KTP sudah cukup tinggi, yaitu masing-masing 73% dan 61%. Namun yang memiliki Surat Nikah hanya 34% dan Akta Kelahiran 43%. Kondisi di Lombok Barat dan Sorong ini dapat dikatakan “puncak dari fenomena gunung es”, karena sejauh ini belum ada pendataan atau sensus khusus yang menyeluruh kepada penyandang disabilitas. Konsekuensinya, belum ada gambaran utuh mengenai tingkat kepemilikan dokumen kependudukan oleh para penyandang disabilitas. Tidak dimilikinya dokumen kependudukan oleh penyandang disabi-litas ini mengakibatkan terancamnya hak-hak penyandang disabilitas sebagai warga negara.
1. Kedua UU itu (UU No. 23 Tahun 2006 dan UU No. 24 Tahun 2013) mengatur bahwa disabilitas (masih menggunakan istilah “cacat”) sebagai salah satu data kependudukan pada kelompok data perseora-ngan. Selain itu, dalam UU 23 Tahun 2006 juga mengatur perihal pelaporan penduduk yang tidak mampu mendaftarkan sendiri, yang pada peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil mengatur salah satu kelompok masyarakatnya adalah penyandang disabilitas. Sedangkan UU Pelayanan Publik menyatakan bahwa
2 PATTIRO
Sulitnya Penyandang Disabilitas Mengakses Pelayanan Adminduk Capil
M
eski penyandang disabilitas memiliki hak atas pelayanan adminduk Capil yang dijamin pemenuhannya oleh negara, namun dalam praktiknya kerap terabaikan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan yang dialami penyandang disabilitas, yaitu: a) tidak tersedianya akses fasilitas fisik bagi penyandang disabilitas; b) tidak tersedianya pelayanan yang ramah disabilitas; dan c) adanya stigma di keluarga maupun masyarakat bahwa penyandang disabilitas tidak memerlukan identitas atau dokumen kependudukan. Tidak aksesibelnya fasilitas fisik dapat dijumpai pada gedung/kantor pemerintah atau pelayanan publik yang tidak menyediakan bidang miring bagi pengguna kursi roda, sehingga kesulitan untuk menjangkau lantai yang lebih tinggi dari gedung dimaksud. Sedangkan tidak ramahnya pelayanan bagi disabilitas antara lain tidak tersedianya pendamping atau penerjemah bahasa isyarat yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas tuli, sehingga tidak mampu berkomunikasi dan mendapatkan informasi secara optimal. Sementara stigma negatif paling sering menimpa penyandang disabilitas mental, yang sering diolok-olok dan dianggap tidak cakap hukum, sehingga semakin sulit memenuhi hak-haknya sebagai warga negara. Berbagai hambatan tersebut menyebabkan penyandang disabilitas sulit mengurus dan memperoleh dokumen kependudukan.
PATTIRO juga menemukan penyandang disabilitas yang sama sekali tidak memiliki KK dan KTP. Seperti di Kabupaten Lombok Barat, ada penyandang disabilitas berat yang terlantar dan hidup sendirian sejak orang tuanya meninggal, tetapi namanya tidak pernah masuk sebagai penerima bantuan sosial seperti Jaminan Kesehatan Nasional. Setelah dianalisa, penyebabnya adalah karena tidak memiliki KTP dan tidak tercatat di KK manapun. Bahkan setelah dicek ke Dinas Dukcapil setempat, yang bersangkutan tidak pernah tercatat memiliki Nomor Identitas Kependudukan (NIK)”
nyandang disabilitas, melalui penyediaan fasilitas fisik yang mudah diakses, menghadirkan pelayanan yang ramah disabilitas, termasuk menyediakan bantuan pendamping atau peralatan, serta menghilangkan stigma negatif terhadap penyandang disabilitas dengan senantiasa melihat kepada kelebihan dari setiap penyandang disabilitas dalam beraktivitas. Penyandang disabilitas juga seharusnya dianggap mampu atau disediakan akomodasi yang layak agar dapat melaporkan dirinya untuk memperoleh dokumen kependudukan.
Karena itu dipandang penting menghilangkan semua hambatan bagi pe-
pentingnya fasilitas dan perlakukan khusus bagi kelompok rentan, antara lain penyandang disabilitas, penduduk lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial. Perlakuan khusus tersebut diberikan tanpa tambahan biaya merupakan salah satu asas penyelenggaraan pelayanan publik. Sementara UU Disabilitas pada Pasal 22 huruf a dan b yaitu hak pendataan untuk disabi-litas yang meliputi hak didata sebagai penduduk dengan disabilitas dalam kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, serta hak mendapatkan dokumen kependudukan.
Policy Brief 3
Pemaknaan Stelsel Aktif yang Tidak Ramah Bagi Penyandang Disabilitas Stelsel aktif berarti dalam pelayanan adminduk Capil yang semula penduduk diwajibkan aktif diubah menjadi pemerintah yang wajib aktif melalui petugas dengan pola jemput bola atau pelayanan keliling (Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 470 Tahun 2014 tentang Perubahan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan, poin 2b). Dalam praktiknya, jemput bola ini dimaknai dengan dengan cara Dinas Kependudukan Kabupaten/Kota cukup melakukan rekam KTP keliling di kantor-kantor desa. Pola jemput bola ini memang bermanfaat bagi umumnya penyandang disabilitas, karena mendekatkan jarak geografis dan waktu untuk pelayanan adminduk. Namun, bagi penyandang di-sabilitas berat, yang sulit untuk menjangkau kantor desa, jemput bola ini belum dapat diakses dengan baik. Idealnya, harus dilihat hambatan dan jenis disabilitasnya, sehingga jemput bola dapat dilakukan ke rumah penduduk yang menyandang disabilitas berat, termasuk perlunya petugas dan peralatan
Sumber: Istimewa
khusus untuk melakukan perekaman keliling dari rumah ke rumah, serta penyediaan informasi dan tatacara bagi keluarga atau masyarakat untuk mengajukan permohonan rekam di rumah bagi penyandang disabilitas berat.
Rendahnya Pendaftaran Akta Kelahiran bagi Anak dengan Disabilitas Pasal 27 ayat 1 UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU Adminduk menyatakan bahwa setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana paling lambat 60 hari sejak kelahiran. Artinya, instansi pelaksana hanya akan mencatat sesuai dengan pelaporan yang masuk. Jika tidak ada laporan, berarti anak yang baru lahir itu tidak tercatat atau terdata. Berdasarkan pengamatan PATTIRO, banyak kelahiran anak dengan disabilitas tidak dilaporkan, karena beberapa hal: pertama, orang tua tidak memiliki akta nikah, sehingga tidak memenuhi syarat untuk melaporkan kelahiran anak. Kedua, orang tua memang tidak melaporkan kelahiran anaknya,
4 PATTIRO
karena malu anaknya menyandang disabilitas, sehingga tidak tercantum dalam KK dan tidak memiliki Akta Kelahiran. Ketiga, orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas juga tidak mengetahui pentingnya dokumen kependudukan, terutama akta kelahiran bagi anaknya. Perpaduan antara ketidaktahuan fungsi dan manfaat dokumen kependudukan serta asumsi bahwa anak disabilitas tidak membutuhkan identitas menjadi penghalang bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak penyandang disabilitas.
Tidak Adanya Informasi Kedisabilitasan dalam Formulir Dokumen Kependudukan Sejak meluncurkan program KTP Elektronik, sebenarnya Kementerian Dalam Negeri sudah berupaya mengakomodir pendataan disabilitas yang terintegrasi dalam form pendataan penduduk yang ada. Pada formulir data pengantar awal (Formulir F101), sudah memuat kolom keterangan kondisi fisik dan disabilitas, sehingga penduduk bisa mengisi dan memberi keterangan tentang kondisinya. Namun dalam kenyataannya, ada perbedaan yang besar antara yang tercatat dengan kondisi riil. Misalnya pada Dinas Dukcapil Kabupaten Lombok Barat hanya tercatat 19 penduduk penyandang disabilitas. Padahal ketika dilakukan pendataan lebih lanjut antara PATTIRO dan Dinas Sosial Kabupaten Lombok Barat, tercatat 800 penyandang disabilitas. Itupun hanya untuk dua kecamatan dari total 10 kecamatan.
Sumber: PATTIRO
Bila ditelusuri lebih lanjut, ditemukan bahwa keterangan disabilitas tidak tercatat, karena Formulir F101 yang terdistribusi ke desa/kelurahan adalah bentuk yang sudah disederhanakan. Pada form pengantar tersebut hanya terdapat beberapa informasi inti dan tidak lagi menyertakan data keterangan disabilitas penduduk. Dari informasi yang diperoleh, penyederhanaan ini dilakukan untuk kebutuhan praktis dan penghematan, karena akan membutuhkan biaya besar jika harus mencetak form yang aslinya berukuran A3 dalam jumlah besar. Penyebab lainnya adalah adanya kecenderungan penyandang disabilitas atau pendamping yang membantu mengisi form data enggan menuliskan informasi disabilitas karena malu atau menganggap tidak perlu menuliskannya. Selain itu, tidak semua penyandang disabilitas yang sudah memiliki Nomor Identitas Kependudukan (NIK) terdata sebagai penyandang disabilitas. Hal ini disebabkan tiga hal, yaitu: pertama, karena penyandang disabilitas atau keluarga merasa malu untuk mengakui adanya disabilitas, sehingga tidak menuliskannya; kedua, penyandang disabilitas atau keluarga tidak mengetahui adanya kolom data tersebut, dan petugas pun tidak mengingatkan untuk diisi, yang mungkin juga tidak mengetahui karena ke-
disabilitasannya tidak kasat mata; dan ketiga, adanya perubahan kondisi, yaitu dari non disabilitas menjadi disabilitas, namun tidak atau belum melakukan perubahan data terkait kondisi disabilitasnya tersebut.
Policy Brief 5
REKOMENDASI Dari berbagai permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam pelayanan adminduk di atas, maka beberapa hal yang perlu segera dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, khususnya Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, adalah sebagai berikut:
1
Melakukan revisi atas Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, dengan menambahkan ketentuan mengenai: a) Penyandang disabilitas sebagai salah satu kelompok rentan administrasi kependudukan; b) Mengganti istilah cacat menjadi disabilitas; c) Kewajiban menyediakan fasilitas fisik sebagai akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas di setiap unit layanan adminduk capil (Desa/Kelurahan, Kecamatan, UPT, dan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil); d) Kewajiban bagi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk menyediakan layanan keliling dari rumah ke rumah secara berkala, yang salah satu sasarannya adalah mempermudah pelayanan pendaftaran bagi penyandang disabilitas yang tidak dapat melaporkan sendiri dirinya karena kedisabilitasannya; e) Kerjasama dengan organisasi disabilitas di wilayah masing-masing dalam proses pendataan dan sosialisasi mengenai dokumen dan pelayanan adminduk capil bagi masyarakat dan penyandang disabilitas di daerah setempat.
2
Menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil bagi Penyandang Disabilitas. Mengingat proses revisi Peraturan Presiden di atas memerlukan proses dan waktu yang relatif panjang, sementara masalah bagi penyandang disabilitas mendesak untuk diselesaikan, maka untuk mempercepat proses pe-
Sumber: PATTIRO
6 PATTIRO
rubahan, direkomendasikan adanya kebijakan yang dapat mendukung percepatan program kepemilikan identitas kependudukan bagi seluruh warga negara Indonesia. Kebijakan dimaksud berupa penerbitan Pe-raturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai segala hal yang dibutuhkan untuk mengakomodir pemenuhan hak atas identitas bagi penyandang disabilitas, yang mencakup akomodasi yang layak dalam fasilitas atau pelayanan; ramburambu dalam memberikan pelayanan; dan layanan “jemput bola” yang merupakan bagian dari komitmen pelaksanaan prinsip stelsel aktif dalam pemenuhan hak atas identitas kependudukan. Substansi dari Permendagri ini kelak dapat menjadi modal awal bagi revisi Perpres dimaksud.
penduduk terutama bagi kelompok rentan atau penduduk yang tidak mampu melaporkan dirinya sendiri, baik karena disabilitas maupun sakit.
4
Sumber: PATTIRO
3
Menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang berisi: a) Menegaskan pentingnya pelayanan terhadap penyandang disabilitas dala mendapatkan hak atas identitas kependudukannya, pentingnya penyediaan fasilitas yang aksesibel bagi penyandang disabilitas, dan juga menegaskan perihal pengisian data kedisabilitasan dalam form pendaftaran kependudukan. b) Agar pemerintah daerah berkontribusi dalam pelaksanakan stelsel aktif beru pa jemput bola bagi penduduk rentan di wilayahnya sebagai bentuk tanggung jawab pendataan terhadap warganya, dengan cara melaksanakan pelayanan hingga ke rumah
Menyusun Pedoman atau Petunjuk Teknis bagi Dinas Dukcapil yang berisi: a) Peningkatan kapasitas dan kepekaan bagi Petugas Adminduk Capil agar dapat memberikan pelayanan yang ramah disabilitas dan menyampaikan kepada masyarakat umum mengenai pentingnya pengisian yang lengkap, termasuk kondisi disabilitas. Peningkatan kapasitas ini di lakukan dengan melibatkan organisasi pe nyandang disabilitas mulai dari perenca naan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasinya. b) Sosialisasi kepada masyarakat menge nai pentingya fungsi dan kegunaan berbagai dokumen kependudukan khususnya bagi kelompok rentan termasuk disabilitas. c) Sinergi dengan pemangku kepentingan lainnya, berupa kerjasama dan pelibatan panti-panti sosial, organisasi penyandang disabilitas setempat, Sekolah Luar Biasa (SLB) dalam program-program strategis seperti pelatihan, dan pendataan penduduk disabilitas; serta kerjasama dengan puskesmas dan posyandu untuk deteksi dini anak dengan disabilitas. d) Mekanisme kontrol, dengan memastikan formulir data pengantar yang ada di desa/ kelurahan memuat informasi tentang disabilitas dan memastikan bahwa keluarga atau penyandang disabilitas mengisi formulir data pengantar dengan lengkap.
Policy Brief 7
Segera Terbit Mempertegas Pengaturan Penetapan Desa Adat Ketentuan tentang desa adat dalam UU Desa membawa harapan baru bagi pengakuan masyarakat adat di Indonesia. Namun dalam implementasinya, berdasarkan penelitian tentang penetapan desa adat di Kabupaten Siak, Riau, masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain belum adanya regulasi dalam pengubahan status desa menjadi desa adat, tidak adanya pengawasan dari pemerintah provinsi atau pusat, dan penyederhanaan proses penetapan desa adat ke dalam proses-proses administratif yang belum dapat merepresentasikan kompleksitas dinamika sosial masyarakat.
Jl. Mawar, Komplek Kejaksaan Agung Blok G35, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12520 - Indonesia, Telepon: +62 21 7801314, Fax: +62 21 7823800, Email:
[email protected], Website: www.pattiro.org : PATTIRO
@infoPATTIRO
Yayasan PATTIRO