Pola Relasi Suami-Istri yang Mengalami Commuter Marriage Eliestya Rakhmanda Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected] Abstrak Penelitian ini memberikan gambaran mengenai fenomena commuter marriage yang dialami oleh pasangan suami-istri yang bekerja dan pelaku migrasi tersebut berasal dari pihak istri. Penelitian menggunakan pendekatan kualitiatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam, observasi, dan data sekunder. Agar commuter marriage dapat berjalan dengan baik diperlukan adanya dukungan sosial, baik dari keluarga orientasi, hingga Pembantu Rumah Tangga. Mengacu pada tipologi relasi suami-istri menurut Scanzoni & Scanzoni, relasi pada pasangan commuter marriage paling mendekati dengan pola relasi seniorjunior partner. Selain itu, penelitian ini menganggap bahwa emotional security atau keamanan emosional berpengaruh terhadap kelanggengan pola relasi yang ada. Kata kunci: Pola relasi, commuter marriage, emotional security, keamanan sosial Abstrack The purpose of this research is to describe about phenomenon of commuter marriage that experienced by spouse who worked and wife become the person who doing the migration. This research using qualitative approach through collecting data; indepth interview, observation, and secondary data. In order to make commuter marriage goes well, social supports, as from family, even housemaid are necessary. According to the typology of husband-wife relation from Scanzoni & Scanzoni, the closest is senior-junior partner relation pattern. Moreover, this research assume that emotional security take effect to the continuity of the exsisting relation pattern. Relation pattern, commuter marriage, emotional security
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014
PENDAHULUAN Commuter marriage dewasa ini menjadi salah satu dari sejumlah fenomena perkawinan yang mulai banyak ditemui di sekitar kita. Pasangan suami-istri yang biasanya tinggal dan hidup dalam satu atap, mereka harus tinggal di tempat, bahkan kota dan negara yang berbeda. Keputusan ini biasa terjadi dengan alasan tuntutan pekerjaan. Antara keluarga dan pekerjaan memang sering kali bertabrakan karena keduanya dianggap sama pentingnya. Sehingga tak jarang pasangan suami-istri mengorbankan kebersamaanya bahkan tinggal di negara yang berbeda demi pekerjaan yang dianggap dapat menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Penelitian oleh Swain dan Garasky (2006) serta Rabe (2009) tentang migrasi dalam keluarga menunjukkan bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama bermigrasi bagi pasangan suami-istri. Sandow (2013) juga mengemukakan dalam penelitiannya bahwa memang pekerjaan seringkali menjadi hal utama yang menyebabkan terjadinya commuter marriage dan pihak yang paling mudah memutuskan untuk tinggal berjauhan demi tuntutan pekerjaan adalah suami. Alasannya adalah adanya aspek gender expectations dan structural constraint bagi pasangan suami-istri mengenai peran sebagai pencari nafkah atau peran publik dan peran orang tua yang masih berlaku termasuk peran-peran domestik. Bagi para istri, jika mereka melakukan migrasi dan memilih untuk tinggal berjauhan dengan pasangannya maka muncul pemikiran bahwa perkawinan mereka akan terancam. Hal ini terjadi karena masih adanya tanggung jawab dalam menjalankan peran domestikasi bagi istri. Jika istri bermigrasi, maka ada relasi serta peran-peran yang sebagaimana seharusnya terjadi menjadi terganggu misalnya peran dalam pengasuhan anak serta peran sebagai pencari nafkah kedua dalam keluarga. Pola relasi antara suami dan istri yang tinggal berjauhan ternyata masih menunjukkan adanya gender ideology yang sangat melekat, yakni suami memiliki peran utama dalam keluarga sebagai pemenuh kebutuhan ekonomi, sedangkan istri menjalankan peran pengasuhan bagi anaknya. Kemudian, peran afektif yang seharusnya didapatkan oleh anak dari ayahnya dapat digantikan oleh nenek atau pun jasa dari daily care (Dreby, 2006). Sehingga, migrasi bagi istri tidak banyak terjadi karena peran gender perempuan sering kali membatasi istri untuk melakukan peran publik, sebaliknya peran domestik menjadi peran utama baginya. Relasi yang seringkali terjadi akan terganggu dan menjadi ancaman bagi rumah tangganya karena istri pada saat yang sama juga menjalankan peran domestik seperti pengasuhan anak dan pencari nafkah kedua dalam rumah tangga. Berangkat dari penjabaran data di atas, penelitian ini ingin menggali fenomena yang ada mengenai commuter marriage yang terjadi pada pasangan suami-istri yang bekerja pada kelas menengah. Selain itu, pasangan suami-istri pada keluarga kelas menengah memiliki kecenderungan untuk tinggal bersama. Sebaliknya, tinggal berjauhan dengan alasan pekerjaan lebih banyak terjadi pada kelas bawah. Sehingga, menjadi menarik untuk meneliti relasi suami-istri pada kelas menengah yang bekerja dan mengalami commuter marriage, khususnya pada istri sebagai pelaku migrasi, karena penelitian-penelitian mengenai suami sebagai pelaku migrasi sudah banyak dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi dan studi literatur. Pihak yang menjadi informan adalah dua pasang suami-istri yang bekerja, berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi kelas menengah atas dan menjalani commuter marriage serta pelaku yang melakukan migrasi adalah istri. Penelitian dilakukan di Jakarta karena mengacu pada penelitian terdahulu mengenai pernikahan jarak jauh (Sandow, 2013) yang mengemukakan bahwa pasangan yang mengalami long distance commuting sebagian besar memiliki tempat tinggal di wilayah metropolitan, dengan asumsi wilayah tersebut memiliki masyarakat yang berpendidikan serta berpendapatan tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. Selain Jakarta, penelitian ini juga dilakukan di Singapura. Alasannya karena negara singapura merupakan negara tujuan migrasi oleh kedua informan istri.
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014
Berikut merupakan karakteristik informan pada penelitian ini. Karakteristik Pelaku Migrasi
Tabel Karakteristik Informan Pasangan Pertama Pasangan Kedua Istri Istri
Domisili Istri
Singapura
Singapura
Domisili Suami
Jakarta
Jakarta
Latar Belakang Ekonomi
Menengah Atas1
Menengah Atas
Adapun pembatasan pada penelitian ini yaitu pemilihan informan diambil dari pasangan suamiistri yang berasal dari keluarga kelas menengah atas dan pekerja terampil (skilled labour). Peneliti mengakui bahwa pelaku commuter marriage tidak hanya dari kalangan kelas menengah atas. Kelas menengah bawah yang diwakili oleh Tenaga Kerja Indonesia juga melakukan commuter marriage. Akan tetapi, penelitian mengenai relasi suami-istri yang terjadi pada keluarga migran sudah cukup banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Sehingga, penelitian ini dilakukan pada pasangan suami-istri pada kalangan kelas menengah atas dan pekerja terampil (skilled labour). Kemudian ada pula keterbatasan dalam penelitian ini yaitu kurang mendalamnya data yang didapatkan karena sulit mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sensitif dan dianggap telah menyentuh ranah privat bagi informan. Lalu, penelitian ini kurang menggambarkan bagaimana ciri khas kelas menengah Indonesia khususnya mereka yang melakukan commuter marriage. TINJAUAN PUSTAKA Keputusan untuk Menjadi Pasangan yang Tinggal Berjauhan Studi terdahalu oleh Van der Klis (2008) mengenai pasangan komuter (pasangan yang tinggal berjauhan) menunjukkan bahwa keputusan untuk menjadi pasangan komuter atau tidak serumah dilihat bukan sebagai awal dari migrasi keluarga melainkan sebagai upaya untuk menghindari migrasi dalam keluarga. Keputusan ini juga mempertimbangkan masa kontrak kerja yang dimiliki oleh salah satu pihak dari pasangan tersebut. Hal ini juga ditemukan pada studi berikutnya (Van der Klis dan Mulder, 2008) yang menunjukkan bahwa pilihan untuk menjadi pasangan komuter ini merupakan kesepakatan yang baik bagi pasangan yang memiliki orientasi masing-masing dalam pekerjaan dan juga kehidupan pribadinya. Meskipun sudah berkeluarga, mereka sepakat untuk menghargai pasangan atas keinginan dan orientasi terhadap pekerjaan yang mereka miliki. Hal yang sama juga disepakati dalam kehidupan pribadi pasangan tersebut dan masih memberikan ruang privasi bagi keinginan pasangannya. Selanjutnya, pada pasangan yang memilih untuk tinggal berjauhan memiliki relasinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari penelitian Sandow (2013) dan Dreby (2006) mengenai pasangan yang tinggal berjauhan, keduanya cenderung mengacu pada hal yang sama yaitu suami pada pasangan suami-istri yang tinggal berjauhan lebih banyak melakukan migrasi. Hal ini terjadi karena masih terdapat anggapan bahwa antara suami dan istri memiliki peran yang disertai oleh tugasnya dalam kelangsungan rumah tangga. Suami memutuskan bermigrasi karena adanya peran sebagai pencari nafkah utama atau pemenuh kebutuhan ekonomi yang diemban oleh suami sebagai kepala keluarga. Begitu pula dengan istri, migrasi sulit dilakukan karena istri memiliki peran yang disertai dengan tugas domestik yaitu sebagai pengasuh anak dan dianggap sebagai pencari nafkah kedua di dalam keluarga. Jika istri memutuskan untuk bermigrasi maka pola relasi suami-istri yang sudah ada tidak lagi berjalan sebagaimana semestinya, sehingga muncul pemikiran tentang terancamnya perkawinan mereka.
1
Kelas menengah atas merupakan kelas yang dibentuk oleh pendidikan. Orang-‐orang yang berada pada kelas sosial ini berasal dari mereka yang berpendidikan tinggi. Kemudian, mereka yang tergolong pada klasifikasi ini memiliki profesi sebagai manager tingkat atas ataupun profesional (Henslin,2006).
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014
Studi tentang Tenaga Kerja Indonesia yang Mengalami Perkawinan Jarak Jauh Perkawinan jarak jauh yang terjadi pada keluarga Indonesia, dalam kenyataannya dialami juga oleh masyarakat kalangan bawah yaitu Tenaga Kerja Indonesia (selanjutnya akan disebut TKI). Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Daulay (2001) mengenai pola hubungan gender pada keluarga migran di salah satu kecamatan di Jawa Barat. Sama halnya dengan penelitian oleh Swain dan Garasky (2006) dan juga Rabe (2009) alasan utama yang mendorong para TKI, khususnya wanita (selanjutnya akan disebut TKIW) melakukan migrasi ke luar negeri adalah faktor ekonomi. Lalu, Daulay juga mengungkapkan bahwa pada keluarga TKIW atau keluarga migran tersebut mengalami perubahan pola hubungan gender antara pasangan suami-istri. Istri sudah memiliki posisi tawar di dalam keluarga karena istri berperan sebagai pencari nafkah. Dalam aspek pengambilan keputusan, seperti untuk pendidikan anak, pemanfaatan uang, pembelian alat rumah tangga dan kebutuhan pokok dan lain sebagainya, istri memiliki peranan yang besar di dalamnya. Begitu pula dalam aspek pembagian kerja, pada pasangan suami-istri keluarga migran ini sebagian besar responden mengaku tidak lagi membagi peran tersebut berdasarkan gender. Seperti halnya, tugas mengurus anak dan memasak yang biasanya dikerjakan oleh istri, namun pada keluarga migran dikerjakan oleh suami. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penelitian pada keluarga TKIW atau keluarga migran ini, istri merupakan pihak pelaku migrasi, seiring dengan perannya yang berubah menjadi pencari nafkah dalam keluarga maka terjadi perubahan juga dengan pola hubungan gender pada keluarga tersebut. Ada pula penelitian yang juga membahas mengenai Buruh Migran Perempuan (selanjutnya disebut BMP) oleh Kusumaningsih (2013) yaitu ekonomi keluarga menjadi alasan utama para BMP melakukan migrasi ke luar negeri. Kemudian, terdapat perubahan dalam pembagian kerja pada keluarga BMP tersebut. Sebelum pihak istri melakukan migrasi ke luar negeri, pembagian kerja di antara pasangan suami-istri tersebut jelas yaitu suami berperan sebagai pencari nafkah atau menjalankan peran publik dan istri berperan sebagai ibu rumah tangga atau menjalankan peran domestik. Kemudian, setelah pihak istri melakukan migrasi ke luar negeri maka terjadi perubahan peran yaitu istri menjalankan peran publik sebagai pencari nafkah utama, sedangkan suami menjalankan peran domestik dengan mengurus anak mereka. Maka dari itu, dapat diketahui bahwa penelitian mengenai pola relasi suami-istri yang mengalami perkawinan jarak jauh dikalangan kelas bawah, khususnya bagi pekerja tidak terampil (unskilled labour) ataupun Tenaga Kerja Indonesia terbilang sudah cukup banyak dan sering dilakukan oleh peneliti terdahulu. Sehingga, menjadi menarik untuk dilihat lebih dalam mengenai topik yang sama, namun terjadi pada kalangan kelas menengah atas seperti yang dilakukan dalam penelitian ini. KERANGKA PEMIKIRAN Relasi Suami-Istri Menurut Scanzoni & Scanzoni (1981) cara yang paling sering digunakan untuk mengukur kekuasaan dalam perkawinan adalah dengan melihat siapa yang menjadi pengambilan keputusan mengenai hal-hal apa saja yang ada pada keluarga tersebut. Siapa yang sesungguhnya menjadi boss dalam perkawinan tersebut. Berikut empat pola relasi suami-istri menurut Scanzoni & Scanzoni (Suleeman, 1999; Scanzoni dan Scanzoni, 1981) yaitu; 1) Owner Property. Pada pola perkawinan ini istri merupakan milik suami sama seperti uang dan barang berharga lainnya. Tugas suami adalah mencari nafkah dan istri adalah menyediakan makanan untuk suami dan anak-anak serta menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga yang lain karena suami telah bekerja untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Pada pola perkawinan ini, istri dianggap bukan sebagai pribadi melainkan sebagai perpanjangan suami dan tugas utamanya adalah mengurus keluarga. Dengan kata lain, suami adalah bos dan istri harus tunduk kepadanya karena suami merupakan pencari nafkah sehingga dianggap lebih memiliki kekuasaan ataupun wewenang dibandingkan istri. Hal ini mengakibatkan ketergantungan istri terhadap suami, sama halnya dengan status sosial. status sosial istri akan mengikuti status sosial yang dimiliki oleh suaminya. 2) Head-Complement. Pada pola perkawinan ini istri merupakan pelengkap suami. Suami diharapkan untuk memenuhi kebutuhan istri akan cinta dan kasih sayang, kepuasan seksual, dukungan emosi, teman, pengertian dan komunikasi yang terbuka. Suami-istri mengatur kehidupan rumah tangganya secara bersama-sama. Tugas suami tetap menjadi pencari nafkah dan istri mengurus keluarga serta mendidik anak-anak. Tetapi, mereka dapat merencanakan kegiatan untuk mengisi waktu luang bersama-
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014
sama, misalnya suami bisa saja membantu istri untuk mencuci piring atau menidurkan anak disaat suami memiliki waktu luang. Sedangkan tugas yang dimiliki istri selain mengatur rumah tangga yaitu memberikan dukungan kepada suami sehingga suaminya mampu mencapai kemajuan serta kesuksesan dalam pekerjaan dan karirnya. Dalam pola perkawinan ini istri memiliki kesempatan untuk dipertimbangkan keinginannya oleh suami sebagai pelengkap, meskipun keputusan tetap berada di tangan suami. Seorang istri juga memiliki tugas sebagai cerminan suami yang mampu menggambarkan posisi dan martabat suaminya, baik dalam tingkah laku maupun penampilan fisik. Hal ini termasuk bentuk dorongan yang diberikan oleh istri terhadap suaminya guna mencapai kesuksesan dalam karirnya. 3) Senior-Junior Partner. Pada pola perkawinan ini istri sudah seperti teman bagi suami. Istri bisa saja bertugas mencari nafkah, meskipun pencari nafkah utama tetap menjadi tugas suami dengan begitu istri tidak lagi perlu bergantung sepenuhnya pada suami. Hal ini berdampak pada kekuasaan serta wewenang yang dimiliki oleh istri sehingga istripun pada pola perkawinan ini dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam keluarga. Akan tetapi, suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar mengingat pencari nafkah utama tetap dijalankan oleh suami. Dalam pola perkawinan ini istri diperbolehkan berkarir dan meneruskan pendidikannya, tetapi karir dan pendidikan tetap menjadi prioritas dan istri seringkali dikorbankan dalam hal ini. Sama halnya dengan status sosial, suami merupakan penentu dari status sosial istri dan anak-anaknya yang akan mereka sandang. 4) Equal Partner. Pada pola perkawinan ini tidak ada posisi yang lebih tinggi maupun lebih rendah antara suami dan istri. Istri mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan suami dalam pengembangan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Dalam hubungan ini, baik istri maupun suami mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang dalam bidang pekerjaan maupun bidang lainnya. Keputusan yang diambil di antara suami-istri diambil berdasarkan pertimbangan atas kebutuhan dan kepuasan masing-masing. Dalam pola ini, perkembangan individu sebagai pribadi sangat diperhatikan sehingga istri bisa saja mendapatkan dukungan serta pengakuan dari orang lain karena kemampuannya sendiri dan tidak perlu dikaitkan dengan suami. Berdasarkan keempat tipologi yang telah disebutkan di atas, dalam konteks commuter marriage dalam penelitian ini pola relasi suami-istri yang memungkinkan untuk terjadi adalah pola relasi senior-junior partner dan equal partner. Alasannya adalah ketika istri sudah memasuki peran publik yaitu sebagai pencari nafkah dalam keluarga, maka hal tersebut sudah masuk pada pola relasi suami-istri yang modern. Ditambah lagi, istri juga memiliki peran dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa bagi pasangan suami-istri yang mengalami commuter marriage dan istri sebagai pihak pelaku migrasi, maka tidak mungkin lagi pola relasi yang terjadi tergolong pada pola relasi suami-istri yang tradisional, yaitu pola relasi owner property dan head complement. POLA RELASI SUAMI-ISTRI BEKERJA YANG MENGALAMI COMMUTER MARRIAGE Pasangan Pertama Relasi antara suami-istri yang berkaitan dengan pengambilan keputusan pada pasangan pertama memang selalu dikomunikasikan berdua. Akan tetapi, I1 mengaku bahwa dalam pengambilan keputusan di dalam rumah tangga banyak mendapatkan pengaruh besar dari I1. Hal yang sama juga dikemukakan oleh S1 yaitu pengambilan keputusan dalam rumah tangga banyak mendapatkan pengaruh dari I1. Contohnya hal-hal yang menyangkut soal anak, seperti ketika hendak memutuskan day care yang tepat untuk menyekolahkan anak mereka di Singapura dan makanan apa saja yang baik untuk dikonsumsi anak mereka banyak di pengaruhi oleh I1 sehingga S1 hanya mengikuti saja. Alasan S1 untuk mengikuti keputusan I1 karena ia memiliki waktu luang lebih banyak daripada S1 untuk mencari tahu mengenai day care mana yang memiliki fasilitas baik, sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan lain sebagainya. Sedangkan bagi I1, S1 dalam pengambilan keputusan suaminya seringkali mengalah dan mengikuti keinginan I1 bahkan sedari mereka belum menjadi pasangan suami-istri. Sehingga ketika mereka sudah menikah pun, S1 cenderung lebih mengikuti keputusan I1. Namun, I1 mengaku dalam beberapa hal pengambil keputusan terakhir berada ditangan S1. Contohnya adalah I1 memiliki wacana hendak meneruskan studinya ke Amerika setelah masa dinasnya di Singapura telah berakhir, tetapi hal ini belum medapat kepastian karena S1 belum sepenuhnya memberikan izin bagi I1. Alasannya karena letak Amerika yang sangat jauh dari Indonesia dan relasi di antaranya belum tentu bisa semulus ketika S1 berada di Singapura.
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014
Selanjutnya, relasi suami-istri dalam hal pengasuhan anak pada di tangan I1. Menurut I1, ada beberapa alasan mengapa anak diasuh olehnya. Pertama, ketika I1 pindah ke Singapura anak mereka masih berusia 14 bulan dan masih memerlukan ASI. Kedua, berdasarkan UU yang berlaku anak dibawah umur dan apabila orang tuanya berpisah maka anak sebaiknya berada pada pengasuhan ibunya. Ketiga, I1 mengaku bahwa suami khususnya S1 tidak mampu mengasuh dan merawat anak selayaknya istri khususnya I1. Keempat, ketika I1 pindah ke Singapura ia dibantu oleh orang tuanya untuk mengasuh serta menjaga anaknya selama ia belum mendapatkan izin untuk membawa PRT dari Jakarta untuk membantunya mengasuh anak serta membersihkan apartemen mereka. Kelima, I1 juga menambahkan jika ia berkeinginan untuk memasukkan anaknya ke day care setelah anak berusia 18 bulan, selain karena ia memang ingin anaknya merasakan bagaimana rasanya berkehidupan seperti masyarakat lokal, ia juga belajar dari pengalaman pasangan kedua untuk tidak terlalu tergantung pada PRT untuk membantu mereka dalam menjaga, mengasuh serta merawat anak mereka ketika I1 bekerja. Keenam, menurut I1 Singapura tingkat polusi udaranya lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia, khususnya Jakarta, sehingga dari segi kesehatan lebih baik bagi anaknya. Ketujuh, taman bermain untuk anak lebih banyak di Singapura dibandingkan dengan di Jakarta. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka menurut I1 anak harus diasuh olehnya. Hal yang sama juga disampaikan oleh S1, yaitu ketika I1 pindah ke Singapura anak mereka masih membutuhkan ASI sehingga anak harus ikut bersama ibunya agar kebutuhan ASI terpenuhi. S1 juga mengakui jika dirinya tidak bisa mengasuh anak, meskipun di Jakarta ada keluarga yang bisa membantunya untuk mengasuh anak. Menurutnya, I1 juga berkeinginan untuk memasukkan anak ke day care agar anak bisa belajar berbagai macam hal sedari kecil di Singapura. S1 juga tidak khawatir karena pada awalnya orang tua I1 turut pindah ke Singapura untuk membantu I1 mengasuh anak mereka, walaupun sekrang peran tersebut dilakukan oleh PRT. Namun, jika dibutuhkan orang tua I1 bersedia untuk berangkat. Ada pula relasi suami-istri lainnya yaitu dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Pada penelitian ini informan yang dimiliki adalah pasangan suami-istri yang bekerja sehingga dalam pemenuhan kebutuhan mereka membagi tugas antara suami dan istri dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Pada pasangan pertama, terdapat perbedaan antara tugas-tugas keuangan rumah tangga saat mereka masih tinggal bersama dengan saat mereka sudah tinggal terpisah. Ketika tinggal bersama, tugas keuangan S1 adalah membayar cicilan kendaraan, cicilan KPR, membayar iuran bulanan untuk keperluan rumah tangga, seperti membayar listrik, air, tv kabel dan internet, serta memenuhi sebagian besar kebutuhan anak mereka. Sedangkan I1, bertugas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, baik berbelanja bahan pangan maupun berbelanja peralatan rumah tangga lainnya, kemudian I1 juga bertugas untuk membayar upah PRT mereka, memenuhi sebagian kebutuhan anak dan menyisihkan pendapatannya untuk tabungan keluarga yang kelak akan dijadikan modal untuk berinvestasi. “...Dulu aku biasanya kalo ngurusin gaji kan suami istri dapet ya.. Nah, suami aku tuh duitnya abis buat cicilan.. cicilan rumah sama cicilan mobil.. aku biasanya buat rumah.. pam, listrik, air, makan sama nabung, tuh aku...”. Sumber: Hasil wawancara dengan I1, 29 Maret 2014 Kemudian menurut I1, ketika ia pindah ke Singapura terdapat perbedaan dalam menjalankan tugas keuangan keluarga tersebut. Seiring dengan sudah selesainya segala cicilan yang harus dipenuhi, seperti cicilan KPR dan cicilan kendaraan maka pengeluaran untuk hal tersebut sudah tidak lagi dibutuhkan. Tugas S1 setelah ia tinggal terpisah dengan I1 adalah untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tangga di Jakarta yaitu membayar segala iuran rutin, seperti membayar listrik, air dan iuran rutin lainnya, berbelanja kebutuhan rumah tangga di Jakarta termasuk juga kebutuhan rumah tangga di Singapura, seperti sabun, sampo, detergen, dan juga makanan cepat saji seperti nugget dan bakso. Lalu, semenjak I1 tinggal dan menetap di Singapura maka S1 memiliki alokasi pengeluaran baru yaitu untuk membeli tiket pesawat Jakarta – Singapura – Jakarta untuk kurang lebih satu minggu sekali. S1 juga mengaku jika ia tetap menyisihkan penghasilannya untuk mengirimi I1 dalam memenuhi kebutuhan anak serta rumah tangga di Singapura. Pada pasangan pertama, I1 mengaku bahwa antara dirinya dan S1 sama-sama menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga. Alasannya karena antara keduanya sama-sama berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga, khususnya dalam segi materi. Sedangkan bagi S1 yang menjadi pencari nafkah utama di dalam keluarga adalah suami. Alasannya adalah suami memang merupakan pihak yang bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan istri dan anak. Lalu, S1 mengaku meskipun I1 bekerja ia tetap menyisihkan penghasilannya untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup di Singapura. S1 juga menambahkan jika ia baru saja pindah ke institusi kerja yang mampu membayarnya lebih besar dari institusi kerjanya yang sebelumnya. Alasan kepindahannya adalah agar dirinya bisa mendapat penghasilan
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014
lebih sehingga dapat membantu memenuhi kebutuhan hidup di Singapura. Namun, pada praktiknya pihak yang menjadi pencari nafkah utama adalah istri karena jika dilihat lebih dalam, maka pendapatan yang dimiliki antara I1 dan S1 lebih besar dihasilkan oleh I1. Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan di Singapura lebih banyak dipenuhi oleh I1 dan secara umum dapat diketahui bahwa taraf hidup di Singapura lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Sehingga, pencari nafkah utama pada pasangan pertama praktiknya dilakukan oleh istri. Akan tetapi, mengenai siapa kepala keluarga dalam keluarga antara I1 dan S1 memiliki tanggapan yang sama yaitu suami. Alasan I1 karena suami merupakan pihak yang mengeluarkan keputusan terakhir dalam diskusi keluarga jika menghadapi diskusi yang pelik. Kemudian suami juga bertanggung jawab atas segala keputusan di dalam keluarga. Hal ini juga ditemukan pada jawaban S1 yaitu suami menjadi kepala keluarga karena meskipun sebagian besar keputusan dipengaruhi oleh I1, namun S1 tetap menjadi orang terakhir yang memutuskan berbagai hal di dalam keluarga. Contohnya keinginan I1 untuk melanjutkan studi di Amerika masih diurungkan karena S1 belum mengizinkan I1 sepenuhnya untuk melanjutkan studi disana. Dalam kehidupan rumah tangga tentu terdapat pekerjaan domestik di dalamnya. Ketika membahas relasi dalam pasangan suami-istri salah satu relasi yang dibahas juga mengenai pekerjaan domestik dalam rumah tangga. Pada pasangan pertama, pihak yang mengerjakan pekerjaan domestik, seperti menyuci baju, menyapu, mengepel, hingga memasak sejak mereka masih tinggal bersama sampai kini mereka tinggal terpisah dilakukan oleh Pembantu Rumah Tangga (PRT). Alasannya karena sedari I1 dan S1 belum menikah, mereka sudah terbiasa memiliki PRT di rumah dan seluruh pekerjaan domestik kebanyakan dikerjakan oleh PRT. Hanya saja ketika S1 pindah ke Singapura, tugas pemenuhan kebutuhan pangan bagi S1 dipenuhi oleh orang tua S1. S1 juga menambahkan bahwa pemenuhan makanan sedari menikah tidak pernah dilakukan S1 karena ia tidak bisa memasak. Berdasarkan penjabaran tersebut di atas, berikut merupakan ringkasan mengenai relasi suami-istri yang terjadi pada pasangan pertama. Tabel Relasi Suami-Istri Pasangan Pertama pada Commuter M arriage Relasi dalam Pelaku Keluarga Menurut Istri Menurut Suami Praktik Pengambil Suami Suami Istri Keputusan Pengasuhan Anak Istri Istri Istri Pekerjaan Domestik PRT PRT PRT Pemenuh Kebutuhan Suami dan Istri Suami dan Istri Suami dan Istri Rumah Tangga Kepala Keluarga Suami Suami Suami Pencari Nafkah Suami dan Istri Suami Istri Utama Menurut Scanzoni (1981), hal yang paling utama yang dapat digunakan dalam mengukur pemegang kekuasaan di dalam keluarga adalah mengenai pengambilan keputusan. Pada pasangan pertama, pengambilan keputusan banyak dipengaruhi oleh istri. Seperti yang telah dikemukakan oleh I1 bahwa dalam pengambilan keputusan khususnya untuk urusan anak dan rumah tangga banyak mendapatkan pengaruh darinya. Meskipun ada hal-hal yang mendapatkan pengaruh dari S1 yaitu untuk urusan kepemilikan kendaraan bermotor. Pada aspek ini keputusan banyak dipengaruhi oleh S1 karena menurut I1 ia tidak begitu memahami permasalahan otomotif. Hal lainnya yang juga lebih melibatkan S1 dalam pengambilan keputusan adalah untuk rencana studi yang ingin dilanjutkan oleh I1 di Amerika setelah habis masa dinasnya di Singapura. Karena letaknya yang jauh dan membutuhkan komitmen bagi mereka jika memang I1 melanjutkan studinya, maka I1 masih menunggu keputusan dari S1 untuk hal tersebut. Hal yang sama juga dikemukakan oleh S1, ia mengaku jika di dalam rumah tangganya banyak pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh istrinya. Contohnya saja ketika pasangan ini ingin memutuskan untuk memasukkan anak mereka ke salah satu day care di Singapura. S1 mengaku bahwa pasangannya lebih rajin dan memiliki waktu luang lebih banyak dibandingkan dengan dirinya untuk memcari informasi sebanyak-banyaknya mengenai day care yang sesuai dengan keinginan mereka. Kemudian, sebagai suami ia lebih sering menjadi pihak yang mengikuti pilihan istrinya. Hal ini terlihat dari pernyataan yang dikutip langsung dari hawil wawancara yang sedang membahas mengenai pengambilan
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014
keputusan untuk memasukkan anak ke salah satu day care di Singapura dengan S1, “...Gong-nya di maminya.. hehehehe.. I’m a follower.. hehehehe...” . Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam segi pengambilan keputusan S1 lebih banyak mengikuti pengaruh yang diberikan oleh I1, sehingga mempengaruhi pengambilan keputusan dalam keluarga yang diambil oleh I1. Selanjutnya, dalam pengasuhan anak, baik I1 dan S1 sepakat bahwa pengasuhan anak harus berada pada ibunya atau istri. Menurut pasangan ini, pada saat kepindahan I1 ke Singapura anak mereka masih berusia 14 bulan sehingga masih membutuhkan ASI, ditambah lagi S1 mengaku bahwa dirinya tidak bisa mengurus anak mereka sekalipun tugas pengasuhan tersebut didukung oleh keluarga orientasinya ataupun keluarga orientasi istri. Selama I1 tinggal di Singapura, dalam pengasuhan anak dirinya juga mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak, seperti keluarga orientasi I1 yang mengikuti kepindahan I1 di masa awal commuter marriage nya karena I1 belum mendapatkan izin membawa PRT, setelah izin tersebut didapatkan tentunya pengasuhan anak didukung pula dengan adanya PRT, setelah itu pasangan ini juga memasukkan anak mereka ke salah satu day care di Singapura dengan tujuan agar anak dapat mendapatkan pengajaran sedari dini. Berlandaskan pada sejumlah pertimbangan yang sudah dijabarkan sebelumnya maka pasangan ini memutuskan untuk pengasuhan anak berada di tangan I1. Kemudian, untuk pekerjaan domestik, baik di rumah pasangan di Jakarta maupun di apartemen mereka di Singapura, pekerjaan domestik dilakukan oleh PRT mereka. Alasannya adalah kesibukan mereka dalam memenuhi tuntutan pekerjaan membuat mereka tidak dapat mengerjakan pekerjaanpekerjaan domestik, sepeti membersihkan rumah, memasak, mencuci baju dan lain sebagainya, seorang diri. Namun, untuk urusan pemenuhan kebutuhan pangan S1 tidak disediakan oleh PRT mereka melainkan dipenuhi oleh keluarga orientasi S1. Hal ini terjadi karena PRT laki-laki yang berada di rumah mereka tidak dapat memasak makanan, ditambah lagi letak rumah mereka yang cukup berdekatan. Dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga, antara I1 dan S1 membagi tugas tersebut, yaitu S1 memenuhi pembayaran iuran rutin untuk rumah di Jakarta, seperti listrik, air, tv kabel, internet dan lain sebagainya ditambah berbelanja untuk kebutuhan rumah tangga, baik di Jakarta maupun di Singapura. S1 juga harus memenuhi kebutuhannya terhadap pembelian tiket pesawat yang mampu mendukung intensitas pertemuannya dengan I1 selama menjalankan commuter marriage. Sedangkan, I1 bertugas untuk memenuhi kebutuhan di Singapura, seperti berbelanja bahan makanan dan kebutuhan lain yang tidak memungkinkan untuk dibawa dari Jakarta. Selain itu, I1 juga bertugas untuk membayar biaya penitipan anak atau day care anak mereka, upah PRT, pajak membawa PRT dari Indonesia dan menabung untuk investasi mereka. Menurut I1, suami dan istri sama-sama menjadi pencari nafkah utama di dalam keluarga. Namun, bagi S1 suami adalah pihak yang dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Melihat dari penjabaran yang dilakukan oleh keduanya, maka dapat diketahui bahwa memang mereka berdua sama-sama berperan dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Akan tetapi, berdasarkan kutipan dari hasil wawancara dengan S1 sebagai berikut, “...makanya aku.. cari kerja.. yang.. bisa.. dapet.. duitnya.. lebih.. banyak... supaya bisa ngirim lebih banyak kesana.. bantuin maminya...”, S1 berperan sebagai pencari nafkah kedua dalam keluarga karena penghasilan yang ia dapatkan bersifat sebagai bantuan bagi pasangannya. Selain itu, pencari nafkah utama berada di tangan I1 karena pendapatan yang dimiliki I1 lebih besar dibandingkan dengan pendapatan suaminya. Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya pola relasi yang diklasifikasikan oleh Scanzoni tidak dapat sepenuhnya digunakan untuk melihat pola relasi yang terjadi pada pasangan pertama. Karena relasi-relasi yang terjadi pada pasangan ini mengalami penyesuaian berdasarkan era dan kebutuhan mereka. Meskipun pada dasarnya dengan relasi-relasi yang sudah dijelaskan di atas yang menunjukkan bahwa kedudukan istri bisa jadi setara atau bisa lebih tinggi dari suami, sehingga mengacu pada pola relasi yang equal parter. Akan tetapi, jika dilihat lebih dalam pola perkawinan yang terjadi pada pasangan pertama lebih mengarah pada pola relasi senior-junior partner. Namun, mengalami perbedaan dari konsep yang dijabarkan oleh Scanzoni karena pada keluarga ini bukanlah istri yang bersifat sebagai pelengkap suami melainkan sebaliknya. Pada pola relasi senior-junior partner yang berperan sebagai senior adalah istri atau I1 dan yang berperan sebagai junior adalah suami atau S1. Pasangan pertama dalam pengambilan keputusan mendapat pengaruh besar dari istri, suami memang dilibatkan tapi berdasarkan pengakuan dari S1 bahwa dirinya hanyalah sebagai follower bagi keputusan yang diambil oleh I1. Kemudian, meskipun tidak secara gamblang disebutkan mengenai penghasilan yang mereka dapatkan, namun berdasarkan pernyataan S1 yang mengatakan bahwa dirinya memenuhi kebutuhan rumah tangga di Jakarta dan beberapa kebutuhan di apartemen Singapura ia masih mengirimkan sebagian penghasilannya untuk membantu biaya hidup I1 selama di Singapura dapat dilihat bahwa S1 merupakan
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014
pencari nafkah kedua di dalam keluarga. Di sisi lain, S1 memiliki wacana untuk mencari lowongan pekerjaan di Singapura demi dapat tinggal bersama-sama anak dan istrinya. Hal ini menunjukkan bukan istri yang menjadi pihak yang mengalah demi karir suami melainkan suami yang bersedia untuk mengorbankan karir yang sudah ia miliki di Jakarta untuk mengikuti jenjang karir yang dimiliki istri. Sehingga, menjadi jelas bahwa status sosial suami justru mengikuti status sosial istri pada kasus pasangan pertama ini. Pasangan Kedua Kemudian pada pasangan kedua, I2 mengungkapkan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga harus dibicarakan bersama-sama. Akan tetapi, meskipun segala sesuatunya dirundingkan bersama tetap saja pengambilan keputusan akhir ada pada suami. Misalnya saja untuk memilih sekolah yang tepat untuk anak mereka tetap dirundingkan berdua, tetapi pada akhirnya keputusan ditentukan oleh S2. Contoh lainnya adalah ketika memutuskan anak akan mengikuti siapa dalam perkawinan jarak-jauh ini dan suami memutuskan jika anak harus ikut ibunya. Kemudian, setelah mengamati kehidupan di Singapura S2 memutuskan untuk membantu I2 untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga di Singapura dengan berbelanja di Jakarta. Alasannya karena harga di Jakarta terbilang lebih ekonomis dibanding dengan Singapura. Menurut I2, S2 merupakan pengambil keputusan paling banyak di dalam keluarga. Hal yang serupa juga disampaikan oleh S2 yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga akan dibicarakan berdua. Ketika mereka memiliki perbedaan pendapat maka mereka akan mempertimbangkan lagi mengenai hal-hal apa saja yang nantinya akan menjadi konsekuensi atas pilihan mereka kemudian diantara pilihan tersebut yang mana yang paling sedikit kerugiannya maka pendapat tersebut yang dipilih. Akan tetapi, sedikit berbeda dengan ungkapan I2 yaitu S2 mengaku dalam pemilihan sekolah anak banyak dipengaruhi oleh I2, namun pada akhirnya keputusan tetap diambil berdua. Pengasuhan anak pada pasangan kedua juga berada pada I2. Alasannya adalah pertama, ketika pasangan ini memutuskan untuk tinggal terpisah S2 mengharuskan anak untuk ikut dengan I2. Anak harus ikut I2 karena meskipun perkawinan jarak-jauh ini tidak terjadi anak tetap merasa paling dekat dengan ibunya. Kedua, I2 merasa tidak bisa tinggal berjauhan dengan anaknya dalam waktu yang lama. Ketiga, sebelum mendapat izin membawa PRT ke Singapura, anak sempat tinggal bersama S2 dan sesekali tinggal bersama orang tua I2 di Jakarta selama 1-2 bulan. Pada masa itu, sempat dirawat di rumah sakit karena tidak bertemu dan tidak tinggal bersama-sama dengan ibunya. Setelah kejadian tersebut maka keputusan dalam pengasuhan anak semakin bulat untuk berada pada ibunya. Keempat, ketika izin membawa PRT dari Jakarta sudah di dapatkan maka pengasuhan anak di Singapura terbantu dengan adanya PRT. Lalu, pasangan kedua juga memasukkan anaknya ke day care agar mengurangi ketergantungan pada PRT dalam pengasuhan anak ketika I2 sedang bekerja. “...Dari dulu kita udah sepakat anak itu ikut aku, daripada dititipin ke mamaku, soalnya dari dulu udah begitu. Ayahnya itu maunya juga anak ya sama aku...” Sumber: Hasil wawancara dengan I2, 28 Maret 2014. Hal yang disampaikan oleh I2 serupa dengan pernyataan dari S2. Alasan anak berada pada pengasuhan I2 adalah karena anak memang lebih dekat dengan ibunya dibandingkan dengan ayahnya. Ditambah lagi, anak sempat dirawat di rumah sakit karena lama tidak bertemu dengan ibunya sehingga keputusan anak untuk ikut dengan I2 menjadi semakin matang. S2 juga tidak khawatir lagi karena dua bulan setelah kepindahan I2 izin membawa PRT sudah didapatkan sehingga I2 dibantu oleh PRT untuk mengasuh anak mereka. Lalu, disaat I2 bekerja anak mereka dimasukkan ke day care yang telah dipilih sesuai dengan keinginan mereka. Sehingga, pasangan kedua juga tidak merasa tergantung sepenuhnya dengan keberadaan PRT dalam hal pengasuhan anak. Selanjutnya pada pasangan kedua terdapat beberapa perbedaan mengenai pemenuhan kebutuhan, seperti ketika mereka masih tinggal bersama S2 memberikan sebagian penghasilannya kepada I2 untuk membayar seluruh iuran rutin bulanan rumah tangga. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga merupakan tanggung jawab I2 dan untuk kebutuhan anak mereka dipenuhi bersama-sama. Ketika I2 pindah, S2 memutuskan untuk tinggal bersama dengan adik laki-laki I2 dan mengontrakkan rumah mereka, biaya-biaya rutin sudah tidak lagi diperlukan. Namun, menurut S2 ia tetap membantu menyumbangkan sejumlah uang untuk kebutuhan rumah tangga adiknya. Sama halnya dengan pasangan pertama, S2 juga membantu I2 untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga di Singapura. Ia juga tetap menyisihkan pendapatannya untuk membantu I2 dalam memenuhi kebutuhan di Singapura. I2 juga memiliki tugas yaitu untuk membayar biaya sekolah anak dan upah PRT. Alasannya karena sedari awal
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014
memang biaya sekolah anak dan upah PRT sudah menjadi tanggung jawabnya. “...Kadang kan kita suka belanja-belanja di Batam yah. Nah, itu dia yang bayar. Trus, meskipun di Singapur biaya hidupnya lebih mahal yah, dia tetep ngebantuin bawain barang-barang kebutuhan dari Jakarta, trus masih ngasih bulanan ke aku. Kalo gaji aku sih memang buat kehidupan disini dan buat investasi kita sih...” Sumber: Hasil wawancara dengan I2, 28 Maret 2014 Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa antara suami dan istri mereka membagi tugas dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya atau keuangan keluarga karena mereka sama-sama bekerja. Sehingga menjadi signifikan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai siapa sesungguhnya yang dianggap sebagai pencari nafkah utama serta kepala keluarga di dalam keluarga mereka. Pada pasangan kedua, antara I2 dan S2 juga sepakat bahwa suami meupakan pencari nafkah utama sekaligus kepala rumah tangga. Alasan I2 adalah sudah menjadi tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup anak dan istrinya. Ditambah lagi, keputusan terakhir di dalam keluarga berada di tangan suami. Hal serupa juga ditemukan pada jawaban S2. Ia menganggap sesungguhnya suami yang bertanggung jawab atas kebutuhan anak dan istri. Meskipun istri juga bekerja, tapi sifatnya hanya membantu keuangan keluarga. Suami juga dianggap sebagai kepala keluarga karena yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berhubungan dengan anak dan istri. Ia juga mengatakan bahwa tetap saja suami merupakan pemimpin di dalam keluarga. Hal yang sama juga ditemukan pada pasangan kedua, yaitu pihak yang mengerjakan pekerjaan domestik adalah PRT. Alasannya karena baik I2 dan S2 sama-sama bekerja sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk mengerjakan semua hal tersebut. Ditambah lagi I2 mengaku ia tidak bisa memasak, sehingga untuk urusan dapur ia menyerahkan sepenuhnya pada PRT. Bahkan ketika S2 tinggal bersama adik iparnya ia tetap tidak mengerjakan pekerjaan domestiknya sendiri dan mereka menyewa seorang PRT yang setiap hari mendatangi rumah mereka untuk mengerjakan segala pekerjaan domestik tersebut. Berdasarkan penjabaran tersebut, berikut merupakan ringkasan mengenai relasi suami-istri yang terjadi pada pasangan kedua. Tabel Relasi Suami-Istri Pasangan Kedua pada Commuter M arriage Relasi dalam Pelaku Keluarga Menurut Istri Menurut Suami Praktik Pengambil Suami Suami dan Istri Suami Keputusan Pengasuhan Anak Istri Istri Istri Pekerjaan Domestik PRT PRT PRT Pemenuh Kebutuhan Suami dan Istri Suami dan Istri Suami dan Istri Rumah Tangga Kepala Keluarga Suami Suami Suami Pencari Nafkah Suami Suami Istri Utama Berdasarkan pada pemikiran Scanzoni (1981), dalam mengukur pemegang kekuasaan di dalam keluarga dapat diketahui dari bagaimana pengambilan keputusan yang terjadi. Pada pasangan kedua, baik I2 dan S2 mengaku bahwa segala bentuk keputusan yang menyangkut kelangsungan keluarga didiskusikan berdua. Ketika mereka mengalami perbedaan pendapat maka keputusan diambil berdasarkan pertimbangan pendapat siapa di antara mereka yang paling memungkinkan untuk diterapkan pada kondisi saat itu. Namun, I2 mengaku bahwa pengambil keputusan akhir tetap berada ditangan suaminya. Begitu pula dengan S2 yang mengaku bahwa suami berperan sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab atas keluarganya dan keputusan akhir yang ada di keluarga. Salah satu contoh pengambilan keputusan akhir berada di tangan suami adalah ketika memutuskan pengasuhan anak ketika menjalani commuter marriage akan berada di tangan siapa, I2 atau S2. I2 mengaku bahwa sedari awal S2 sudah menginginkan jika anak akan mengikuti ibunya untuk pindah ke Singapura. Kemudian dengan melihat harga-harga kebutuhan rumah tangga di Singapura lebih ekonomis jika dipenuhi di Jakarta, maka S2 memutuskan untuk berbelanja kebutuhan yang dapat dibawanya dari Jakarta untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga di apartemen mereka di Singapura. Untuk urusan pengasuhan anak, I2 dan S2 sepakat jika pengasuhan tersebut berada di tangan I2. Alasannya karena selain anak tidak bisa berjauhan dengan ibunya, juga sedari awal S2 sudah memutuskan jika mereka harus menjalankan commuter marriage maka anak harus mengikuti kepindahan ibunya ke Singapura. Selain itu, I2 pun mendapatkan dukungan dari PRT dan day care atau penitipan anak untuk
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014
membantunya menjaga anaknya selagi ia bekerja. Sebelum mendapatkan izin untuk membawa PRT dari Jakarta, anak memang sempat tinggal bersama S2. Akan tetapi, karena terlalu lama berpisah dengan ibunya maka anak mereka jatuh sakit dan harus di rawat di rumah sakit. Sehingga, pengasuhan anak dirasa tepat jika berada di tangan istri. Sama halnya dengan pasangan pertama, pekerjaan domestik antara I2 dan S2 juga dilakukan oleh PRT. Pasangan ini tidak memiliki waktu untuk mengerjakan pekerjaan domestik yang ada di rumah tangga mereka. Namun, untuk urusan pemenuhan kebutuhan pangan S2 mengaku memenuhinya sendiri. Karena PRT yang ia dan adik laki-laki I2 miliki hanyalah PRT yang datang di siang hari untuk membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika baju. Sedangkan kebutuhan pangan, baik S2 dan adik iparnya memenuhinya masing-masing. Kemudian dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga pada pasangan ini, I2 mengaku bahwa suami merupakan pihak yang menjadi pemenuh kebutuhan rumah tangga paling banyak secara keseluruhan. Karena untuk berbelanja biasanya kebutuhan tersebut menjadi tanggung jawab S2. Akan tetapi, sama halnya dengan pernyataan yang diberikan oleh S2 bahwa ia membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga selama tinggal bersama adik iparnya, berbelanja untuk kebutuhan di Singapura dan menyisihkan pendapatannya untuk membantu biaya hidup di Singapura. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya suami merupakan pencari nafkah kedua di dalam keluarga karena bersifat membantu istri. Ditambah lagi, sesungguhnya pendapatan istri lebih besar dibanding suami, begitu pula dengan pengeluaran yang dikeluarkan istri lebih besar dibandingkan suami. Maka, pada praktiknya pencari nafkah utama pada pasangan kedua sebenarnya berada di tangan I2. Serupa dengan pasangan pertama, sesungguhnya tidak ada klasifikasi yang paling tepat untuk melihat pola relasi yang terjalin pada pasangan kedua. Karena relasi yang terjalin pada pasangan ini tidak sepenuhnya sama dengan yang telah dijabarkan oleh Scanzoni sebelumnya. Pada dasarnya dengan melihat kedudukan istri dapat setara bahkan dari segi sumber daya lebih tinggi dari suami, maka hal ini mengacu pada pola relasi suami-istri yang equal partner. Namun, jika melihat berdasarkan gambaran yang telah dijelaskan terlebih dahulu di atas maka pola relasi yang tepat untuk pasangan kedua adalah senior-junior partner. Alasannya adalah dalam pengambilan keputusan yang menyangkut keluarga selalu didiskusikan berdua dan suami menjadi pengambil keputusan terakhir di dalam keluarga. Keputusan dalam urusan keluarga banyak diambil oleh suami. Selain itu, dari jika dilihat dari segi pemenuh kebutuhan utama yang mengarah pada pencari nafkah utama sesungguhnya berada pada istri. Karena antara I2 dan S2 memang sama-sama memiliki penghasilan dan sama-sama memenuhi kebutuhan rumah tangga, tetapi S2 mengaku bahwa pengahasilan yang ia berikan kepada I2 bersifat membantu atau mendukung untuk membiayai kehidupan selama di Singapura, termasuk untuk membiayai day care dan upah PRT. Maka dari itu, pada pasangan ini suami merupakan pencari nafkah kedua dalam keluarga. Meskipun, istri memiliki sumber daya atau pendapatan yang lebih dari suami, pengambilan keputusan untuk berbagai macam hal dalam keluarga banyak dipengaruhi dan diambil oleh suami. Sehingga, istri lebih bersifat mengikuti keputusan suami. Baik I2 maupun S2 mengaku bahwa sedari I2 pindah ke Singapura, suaminya sudah mulai mencari tahu mengenai lowongan kerja yang sesuai dengan kemampuannya di Singapura. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar antara I2 dan S2 berserta anak mereka dapat tinggal bersama-sama seperti sebelumnya. Dengan demikian, pihak yang rela mengalah adalah suami karena suami rela mengorbankan karirnya di Jakarta demi mengikuti jenjang karir yang dimiliki oleh istrinya. Sampai dengan penelitian ini dilakukan S2 masih mencari informasi terkait dengan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan yang ia miliki di Singapura. PENUTUP Penelitian ini menjadikan keluarga kelas menengah Indonesia sebagai informan. Merujuk pada hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa pada keluarga kelas menengah Indonesia memiliki kekhasannya sendiri, yaitu membutuhkan dukungan sosial, khususnya keberadaan PRT untuk membantu mereka dalam mengerjakan pekerjaan domestik. Hal ini didukung karena mereka terbiasa memiliki PRT sedari mereka belum melangsungkan perkawinan. Selain itu, perkawinan yang ada masih berorientasi pada suami. Meskipun, perempuan khususnya istri sudah memiliki peran yang lebih luas di dalam keluarga. Misalnya saja pada kedua pasangan tetap harus ‘mengurus’ suami, meskipun ia tidak tinggal bersama-sama dengan suaminya. Suami mendapatkan
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014
dukungan dari keluarga luas dan PRT sebagai pengganti keberadaan istri agar segala kebutuhannya dapat terpenuhi. Selanjutnya, pola relasi suami-istri yang mengalami commuter marriage tidak dapat sepenuhnya diklasifikasikan pada salah satu secara utuh pada pola relasi suami-istri yang dikemukakan oleh Scanzoni & Scanzoni. Akan tetapi, jika dilihat secara mendalam, khususnya pada relasi pengambilan keputusan pada pasangan tersebut, maka dalam konteks commuter marriage pada kedua pasangan suami-istri ini termasuk pada klasifikasi senior-junior partner. Seiring dengan berjalannya waktu dan beragamnya fenomena yang terjadi senior-junior partner yang terjadi pada relasi suami-istri pasangan pertama mengalami perbedaan dari yang ditentukan dari Scanzoni & Scanzoni. Karena pihak yang berperan sebagai senior mungkin saja tidak lagi dipegang oleh suami. Sebaliknya, pihak yang berperan sebagai junior mungkin saja menjadi suami. Hal ini dapat dilihat dengan jelas melalui relasi atas pengambilan keputusan dalam keluarga. Pengambil keputusan pada pasangan pertama banyak mendapatkan pengaruh dari istri. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa pemilik sumber daya yang paling banyak adalah istri. DAFTAR PUSTAKA Daulay, H. 2001. Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga Migran: Studi Kasus TKIW di Kecamatan Rawamarta, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (1st ed.). Yogyakarta: Galang Printika, pp.75-112. Goode, W. 1991. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara. Henslin, J. 2006. Sosiologi: Dengan Pendekatan Membumi (6th ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga. Ihromi, T.O., 1999. Bunga Rampai: Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Klein, D. and White, J. 1996. Family Theories: An Introduction (4th ed.). California: SAGE Publications, Inc. Scanzoni, L. D. dan Scanzoni, John. 1981. Men, Women and Change: a Sociology of Married and Family (2nd ed.). New York: McGraw-Hill Book Company. Neuman, W. Lawrence., 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. (5th ed). Boston: Pearson Education Inc. Woodfield, R. 2007. What women want from work (1st ed.). Houndmills, Basingstoke, Hampshire: Palgrave Macmillan. Pola Relasi Suami Istri Terkait Dengan Pembagian Kerja Dan Pengambilan Keputusan: Studi Kasus Terhadap Tiga Keluarga Dalam Perubahan Peran Di Keluarga (Ratih Anggun, 2012). Proses Perceraian pada Keluarga Buruh Migran Perempuan: Studi Kasus di Desa Donomulyo Kabupaten Malang, Jawa Timur (Dina Eka Kusumaningsih, 2013). Relasi Suami Dengan Istri-Istri Dan Relasi Diantara Istri-Istri Dalam Perkawinan Poligini (Satryo Ariwibowo, 2013). Tipologi Relasi Suami Istri: Studi Pemikiran Letha Dawson Scanzoni dan John Scanzoni (M. Triwarmiyati, 2009). Dreby, Joanna. 2006. Honor and Virtue: Mexican Parenting in the Transnational Context. Gender and Society, 20 (1), pp. 32-59. (Diakses pada: 2 Desember 2013). Nagayama, T. 1995. International migration and the family in relation to prosperity towards the 21st century. Asian and Pacific Migration Journal. Vol. 4, No. 23, pp. 199-210. Quinn, M. and Rubb, S. 2010. Spouse Overeducation and Family Migration: Evidence from the US. Springer Science+Business Media, 32 pp. 36-45. (Diakses pada: 10 Oktober 2013). Rabe, B. 2009. Dual-earner migration. Earnings gains, employment and self-selection. Journal of Population and Economic, 24 pp. 477-497. (Diakses pada: 18 Oktober 2013). Sandow, E. 2013. Til Work Do Us Part: The Social Fallacy of Long-distance Commuting. Urban Studies Journal Foundation, Tersedia di: http://www.sagepublications.com (Diakses pada: 24 November 2013). Swain, L. and Garasky, S. 2006. Migration Decisions of Dual-earner Families: An Application of Multilevel Modeling. Springer Science+Business Media, 28 pp. 151-170. (Diakses pada: 10 Oktober 2013). Van Der Klis, M. 2008. Continuity and Change in Commuter Partnerships: Avoiding or Postponing Family Migration. 71 pp. 233-247. (Diakses pada: 10 Oktober 2013). Van Der Klis, M. and Mulder, C. 2008. Beyond The Trailing Spouse: The Commuter Partnership As an Alternative to Family Migration. 23 pp. 1-19. (Diakses pada: 10 Oktober 2013). Hak-hak Pekerja Migran - Buku Pedoman untuk Serikat Pekerja Indonesia. 2006. Tersedia di: www.ilo.org (Diakses pada: 17 Desember 2013).
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2012. Pekerja Sektor Formal. Tersedia di: www.kemenagpp.go.id (Diakses pada: 27 April 2014). Kerjasama Suami-Istri Mengurus Rumah. 2008. Tersedia di: percikaniman.org (Diakses pada: 7 Mei 2014). Martin, S. 2004. Women and Migration. Tersedia di: www.un.org (Diakses pada: 17 Desember 2013). The World Bank, 2013. Basic Guidelines for Reducing Vulnerability to Disasters. Tersedia di: documents.worldbank.org (Diakses pada: 9 April 2014).
Pola relasi suami istri yang ..., Eliestya Rakhmanda, FISIP UI, 2014