SEMINAR PSIKOLOGI & KEMANUSIAAN
© 2015 Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8
Emosional Distress dan Kepercayaan Terhadap Pasangan yang Menjalani Commuter Marriage Alma Yulianti Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
[email protected] ABSTRAK.. Kepercayaan terhadap pasangan merupakan salah satu tujuan dalam pernikahan. Kepercayaan terhadap pasangan dapat diperoleh dengan memiliki kemampuan dalam mengenali emosional distress masing-masing pasangan. Ketidakmampuan pasangan dalam mengenali emosional distress berdampak pada psikologisnya dan pasangan yang mampu menjaga emosional distressnya merupakan salah satu bentuk kepercayaan yang ditimbulkan oleh pasangan pernikahan. Studi ini bertujuan untuk menemukan hubungan antara emosional distress dengan kepercayaan terhadap pasangan yang menjalani commuter marriage. Subjek penelitian ini berjumlah 90 pasangan yang berusia 22-45 tahun yang menjalani commuter marriage pada jarak minimal 80 km. Subjek diminta untuk mengisi skala emotional distress dan skala kepercayaan terhadap pasangan dengan hipotesis dimana semakin tinggi emosional distress pada pasangan maka semakin rendah kepercayaan terhadap pasangan, sebaliknya semakin rendah emosional distress maka semakin tinggi kepercayaan terhadap pasangan yang menjalani commuter marriage. Berdasarkan hasil uji korelasi Product Moment Karl Pearson diketahui bahwa terdapat hubungan negatif antara emotional distress dengan kepercayan terhadap pasangan yang menjalani commuter marriage, yaitu r=- 0,219 dengan angka signifikansi 0.032 (p<0.05). Emosional distress memberikan nilai sumbangan efektif terhadap kepercayaan pada pasangan yang menjalani commuter marriage sebesar 4,8 %. Kata kunci : kepercayaan pasangan, emosional distress, commuter marriage
Pendahuluan Pernikahan adalah dambaan bagi setiap orang. Setiap orang yang memasuki gerbang kehidupan berkeluarga melalui pernikahan, tentu menginginkan terciptanya suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera. Sesuai dengan tujuan perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 1 yang menyebutkan bahwa pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal (Walgito, 2000). Pernikahan merupakan penyatuan dua pribadi yang unik, dengan membawa pribadi masing-masing dengan latar belakang budaya serta pengalamannya (Santrock, 2002). Hubungan pernikahan merupakan jenis hubungan yang romantis dimana pasangan tidak mau berpisah dan selalu ingin berbalas cinta. Tetapi pada kenyataanya, tidak semua orang dapat menjalani masa pernikahan secara berdekatan karena mengingat orang dewasa sudah harus dapat mandiri dalam pendidikan dan pekerjaan (Meizera & Basti, 2008). Istilah ini dikenal dengan commuter marriage (kehidupan pernikahan yang berada pada lokasi berbeda dalam periode waktu tertentu) (Gorstel & Gross, 1982). Commuter marriage menjadi suatu alternatif penyelesaian sebuah hubungan antar pasangan yang harus dihadapkan dengan perpisahan fisik secara geografis yang cukup jauh dalam periode waktu tertentu (Glotzer & Federlein, 2007). Individu dewasa yang menjalani commuter marriage akan memiliki komponen emosional dari pernikahan yang berubah (Gerstel & Gross, 1982) dan komponen cinta yang harus dipenuhi dalam suatu hubungan yakni intimacy, passion dan commitment (Sternberg, dalam Santrock, 2002) sehingga commuter marriage menyebabkan timbulnya keraguan dan ketidakpastian dalam sebuah pernikahan (Lydon, Pierce, & O’Regan, 1997 dalam Stafford, 2006). Ketidakpastian dalam hubungan jarak jauh dianggap menjadi ancaman dan dapat menyebabkan penurunan kualitas dalam hubungan tersebut (dalam Maguire& Kinney, 2010). Ketidakpastian terkait dengan rendahnya tingkat menyukai, kepercayaan, dan komitmen terhadap pasangan (Dainton dkk, dalam Farrel, 2009). Salah satu strategi yang dilakukan oleh individu sebagai perkembangan dari sebuah hubungan yang romantis menuju hubungan selanjutnya ialah trust (kepercayaan) (Kauffman, 2000). Kepercayaan merupakan syarat dalam keberhasilan hubungan jarak jauh, dimana banyak responden dalam penelitian Kauffman yang meyakini kepercayaan sebagai aspek yang tertinggi dalam menjalin hubungan. 21
SEMINAR PSIKOLOGI & KEMANUSIAAN
© 2015 Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8
Kepercayaan terhadap pasangan berpotensi menimbulkan kondisi-kondisi psikologis salah satunya yaitu emosional distress. Emosional distress merupakan reaksi emosional individu ketika menghadapi stresor. Bogoroch (2005). mendeskripsikan emotional distress sebagai trauma mental atau psikologis yang disebabkan oleh perilaku yang menyakitkan (tortious) atau tidak menyakitkan (non-tortious). Emotional distress dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap pasangan, baik secara langsung atau hanya melibatkan elemen-elemen berupa kemunculan emosi negatif seperti marah, takut, cemas, merasa bersalah, malu, sedih, iri, cemburu, muak, dan tertekan (Van Strien, 2001; Van Strien, 2007; Snooks, 2009; Epel, et al., 2010; Weisbuch, 2010) terlebih lagi pasangan tidak berada didekatnya. Individu yang menjalani commuter marriage akan memiliki pengalaman emosional yang berbeda dengan individu yang menjalani hubungan pernikahan secara berdekatan, sehingga berpotensi mengalami konflik dalam pemenuhan hubungan akan keintiman (Forsyth & Gramling, 1998). Keterpisahan fisik menyebabkan pasangan tidak bisa menunjukkan afeksi nonverbal, berbagi tugas dan pekerjaan, atau terikat dalam sebuah aktivitas rutin harian seperti yang dilakukan oleh pasangan yang tinggal bersama. Berdasarkan uraian di atas, menjadi menarik bagi penulis untuk meneliti emosional distress dengan kepercayaan terhadap pasangan yang menjalani commuter marriage.
Tinjauan Pustaka Emotional distress merupakan reaksi emosional individu ketika menghadapi tekanan-tekanan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Lazarus (1993) menyatakan emotional distress sebagai stres psikologis yang merupakan reaksi terhadap berbagai jenis ancaman yang muncul dari dalam diri dan lingkungan. Reaksi tersebut terjadi akibat evaluasi terhadap sesuatu yang dianggap mengancam kesejahteran (wellbeing) individu. Mirowsky & Ross (2003) dan McCraty (2006) mendefinisikan emotional distress sebagai keadaan ketika seseorang mengalami emosi negatif sebagai respon atas stres yang dialami. Bogoroch (2005) mendeskripsikan emotional distress sebagai trauma mental atau psikologis yang disebabkan oleh perilaku yang menyakitkan (tortious) atau tidak menyakitkan (non-tortious). Menurut Lazarus & Folkman (dalam Morgan, 1986) kondisi fisik, lingkungan dan sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stres disebut dengan stressor. Pikiran ataupun perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor. Lazarus & Cohen (1984) mengklasifikasikan stressor kedalam tiga kategori, yaitu : 1. Catacysmic Event. Fenomena besar atau tiba–tiba terjadi, seperti kejadian–kejadian penting yang mempengaruhi banyak orang seperti bencana alam. 2. Personal Stressor. Kejadian – kejadian penting mempengaruhi sedikit orang atau sejumlah orang tertentu, seperti kritis keluarga. 3. Background stressor. Pertikaian atau permasalahan yang bisa terjadi setiap hari, seperti masalah dalam pekerjaan dan rutinitas pekerjaan. Sarafino (1998) membagi tiga jenis sumber stres yang dapat terjadi pada kehidupan individu : 1. Sumber yang berasal dari individu Ada dua cara stres berasal dari individu. Pertama adalah melalui adanya penyakit. Penyakit yang diderita individu menyebabkan tekanan biologis dan psikologis sehingga menimbulkan stres. Sejauh mana tingkat stres yang dialami individu dengan penyakitnya dipengaruhi faktor usia dan keparahan penyakit yang dialaminya. Cara kedua adalah melalui terjadinya konflik. Konflik merupakan sumber yang paling utama. Didalam konflik individu memiliki dua kecenderungan yang berlawanan : menjauh dan mendekat. Individu harus memiliki dua atau lebih alternatif pilihan yang masing–masing memiliki kelebihan dan kekuhrangannya sendiri. Keadaan seperti ini banyak dijumpai saat individu dihadapkan pada keputusan– keputusan mengenai kesehatannya. 2. Sumber yang berasal dari keluarga Stres dalam keluarga dihasilkan melalui adanya perilaku, kebutuhan–kebutuhan dan kepribadian dari masing–masing anggota keluarga yang berdampak kepada anggota keluarga lainnya. Konflik interpersonal ini dapat timbul dari adanya masalah finansial, perilaku yang tidak sesuai, melalui adanya tujuan 22
SEMINAR PSIKOLOGI & KEMANUSIAAN
© 2015 Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8
yang berbeda antar anggota keluarga, bertambahnya anggota keluarga perceraian orang tua, penyakit dan kecacatan yang dialami anggota keluarga dan kematian anggota keluarga Gerstel dan Gross (1982) menyatakan bahwa commuter marriage ialah kesepakatan yang dilakukan dengan sukarela oleh pasangan suami istri, yang berada pada dua lokasi geografis yang berbeda dengan pekerjaan masing-masing dipisahkan setidaknya tiga malam dalam satu minggu selama sedikitnya tiga bulan. Commuter marriage memiliki tantangan pengalaman jarak jauh karena lokasi pekerjaan yang berbeda (Firmin & Lorenzen, 2000). Henrich dan Henrich (Rempel, dkk, 1985) juga mengemukakan bahwa kepercayaan merupakan salah satu kualitas dalam hubungan intim yang seringkali dikaitkan dengan cinta dan janji yang merupakan dasar hubungan ideal. Dapat disimpulkan kepercayaan adalah suatu harapan positif, asumsi, atau keyakinan yang dipegang seseorang yang ditujukan pada orang lain atau pasangannya bahwa pasangan akan berperilaku seperti yang diharapkan, dibutuhkan serta dapat dipercaya dan diandalkan. Menurut Rempel dkk (1985) 3 komponen kepercayaan. Ketiga komponen kepercayaan terhadap pasangan antara lain : 1. Keadaan dapat diramalkan (Predictability). Seseorang yang dapat diramalkan adalah seseorang yang mempunyai perilaku yang konsisten walaupun perilaku tersebut terus menerus buruk (Robinson dkk, 1990). 2. Keadaan dapat diandalkan (Dependability). Keadaan dapat diandalkan (Dependability) berhubungan dengan perasaan yang timbul bahwa pasangannya adalah seseo rang seorang yang bisa diandalkan (Robinson dkk, 1990). 3. Keyakinan (Faith). Keyakinan berupa kemampuan seseorang dalam pengambilan risk taking, in depth relationship, percaya pada janji yang diberikan dengan mengorbankan penghargaan seseorang untuk sebuah keuntungan yang akan datang
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan suatu bentuk penelitian kuantitatif dalam bentuk penelitian korelasional yang digunakan untuk mencari hubungan sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Azwar, 2010). Yang menjadi variabel bebas (X) dalam penelitian ini ialah kecerdasan emosi, dan variabel tergantung (Y) ialah kepercayaan terhadap pasangan. Partisipan dalam penelitian ini ialah individu dewasa yang menjalani commuter marriage dengan menggunakan teknik pengambilan partisipan melalui metode Accidental Sampling. Pengambilan jumlah partisipan penelitian berdasarkan asumsi statistik parametrik, yakni dengan jumlah partisipan >30 (Usman dan Akbar, dalam Agung, 2012). Mengacu pada hal di atas, maka jumlah partisipan dalam penelitian ini ialah 90 orang. Adapun karakteristik partisipan itu ialah sebagai berikut : 1. Individu yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang sedang menjalani commuter marriage. Pengambilan kriteria ini dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kecerdasan emosional antara laki-laki dan perempuan (Rahayu, 2007). 2. Berusia antara 22-45 tahun yang menjalani commuter marriage selama minimal 4 bulan yang berada pada jarak minimal 50 mil (80 Km). 3. Usia pernikahan tidak lebih dari 5 tahun. Instrumen penelitian menggunakan skala emotional distress yang mengacu Depression Anxiety and Stress Scale (DASS) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diuji oleh Damanik (2012) dan dirancang untuk mengukur emosi negatif yang muncul ketika depresi, cemas, dan stres. DASS memiliki 42 aitem yang terdiri dari 3 subskala, yaitu skala depresi, kecemasan, dan stres dan instrumen pengukuran kepercayaan terhadap pasangan menggunakan teori Rempel (1985) dan sudah dimodifikasi dan diadaptasi oleh Arbaiyah (2012).
Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasarkan hasil uji reliabilitas alat ukur emosional distress diperoleh nilai 0,896 dengan rentang validitas berkisar antara 0,275-0,602, dan untuk alat ukur kepercayaan terhadap pasangan diperoleh nilai 0,846 dengan rentang validitas 0,288 – 0,580. 23
SEMINAR PSIKOLOGI & KEMANUSIAAN
© 2015 Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8
Berdasarkan hasil analisis uji hipotesis dengan menggunakan teknik korelasi product moment diperoleh koefisien korelasi sebesar r = - 0,219 dengan angka signifikansi 0.032 (p<0.05), maka dapat disimpulkan hipotesis dalam penelitian ini diterima. Artinya, terdapat hubungan negatif yang signifikan antara emosional distress dan kepercayaan terhadap pasangan.Semakin tinggi emosional distress yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi pula kepercayaan terhadap pasangan.Sebaliknya, semakin rendah emosional distress yang dimiliki seseorang, maka semakin rendah pula kepercayaan terhadap pasangan. Gambaran umum emosional distress diambil berdasarkan skor rata-rata keseluruhan partisipan yang kemudian dikelompokkan kategorisasi yang telah dibuat. Namun jika melihat dari hasil distribusi partisipan pada setiap kategorisasi, diketahui bahwa sebanyak 54,4% partisipan penelitian berada pada kategorisasi tinggi dan 25,4% partisipan berada pada kategori sedang dan 20,2% berada pada kategori rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa ada sebagian individu dewasa yang menjalani commuter marriage memiliki emosional distress yang berada pada kategori tinggi. Perbedaan yang terjadi tersebut dapat dapat disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya pengalaman, usia, jenis kelamin, jabatan (Bogoroch, 2005). Gambaran umum kepercayaan terhadap pasangan partisipan penelitian diambil berdasarkan skor rata-rata keseluruhan partisipan yang kemudian dikelompokkan kategorisasi yang telah dibuat. Hasil distribusi partisipan pada setiap kategorisasi, diketahui bahwa sebanyak 33,3% partisipan penelitian berada pada kategorisasi tinggi, 64,4% partisipan berada pada kategori sedang, dan 2,2% partisipan berada pada kategori rendah. Perbedaan yang terjadi tersebut dapat dapat disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya karakteristik dan maksud orang lain, hubungan kekuasaan, serta sifat dan kualitas komunikasi (Rakhmat, 1992). Individu yang menjalani commuter marriage akan memiliki pengalaman emosional yang berbeda dengan individu yang menjalani hubungan pernikahan secara berdekatan, sehingga berpotensi mengalami konflik dalam pemenuhan hubungan akan keintiman (Forsyth & Gramling, 1998). Kepercayaan terhadap pasangan akan meningkat apabila pasangan dapat memenuhi pengharapan individu dan bersungguhsungguh peduli terhadap pasangan ketika situasi memungkinkan individu untuk tidak memperdulikan mereka (Rempel dkk, 1985). Kepercayaan merupakan keyakinan yang penuh resiko (Lau dan Lee, 1999). Artinya, bila seseorang memberikan kepercayaan pada orang lain, maka ia juga akan menghadapi resiko bahwa kepercayaannya tersebut tidak terpenuhi. Penelitian yang dilakukan oleh (Forsyth & Gramling, 1998) menegaskan bahwa adanya perubahanperubahan, antara lain perubahan lingkungan dan tempat tinggal, bertemu dengan orang-orang yang belum dikenal, juga hal-hal yang berkaitan dengan hubungan pernikahan, meningkatkan kecenderungan seseorang mengalami emosional distress. Kepercayaan mempunyai hubungan kuat dengan cinta dan kebahagiaan, dan secara unik mengikat pada persepsi pasangan.Kepercayaan sendiri merupakan suatu harapan positif, asumsi atau keyakinan yang dipegang seseorang yang ditujukan pada pasangannya. Seseorang yang memiliki keyakinan pada pasangannya akan memperoleh keamanan secara emosional. Dengan begitu, seseorang yang memiliki emosional distress yang tinggi akan memiliki kepercayaan terhadap pasangan yang rendah meskipun emosional distress bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi kepercayaan terhadap pasangan.
Penutup Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan yaitu terdapat hubungan negatif yang signifikan antara emosional distress dengan kepercayan terhadap pasangan yang menjalani commuter marriage.Hal ini mengandung pengertian bahwa semakin tinggi emosional distress, maka semakin rendah kepercayaan terhadap pasangan yang menjalani commuter marriage begitupula sebaliknya semakin rendah emosional distress seseorang maka semakin tinggi kepercayaan terhadap pasangan. Adanya hubungan negatif yang tidak kuat yakni sebesar 4,8 % emosional distress mempengaruhi kepercayaan terhadap pasangan dikarenakan pasangan yang menjalani commuter marriage menyadari bahwa pernikahan yang dibangun berlandaskan komitmen dan saling menghargai didalam rumah tangga. Saran-saran yang disampaikan berdasarkan penelitian antara lain : 1. Peneliti berikutnya memperhatikan adanya variabel-variabel moderator maupun kontrol seperti tingkat pendidikan, lamanya pernikahan dan sebagainya yang mempengaruhi kepercayaan terhadap pasangan.
24
SEMINAR PSIKOLOGI & KEMANUSIAAN
© 2015 Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8
2. Pasangan yang menjalani commuter marriage menghadapi problema dilematis karena keterpisahan jarak, sehingga komitmen dan tujuan pernikahan dapat tercapai dan idealnya menjaga kepercayaan dengan selalu meningkatakan komunikasi seimbang dari pasangan.
Daftar pustaka Bogoroch, R.M. (2005). Damages for Emotional Distress.PAPER. The Canadian Institute Dietz, G. (2011). Going back to the source: Why do people trust each other?. Journal of Trust Research, 1:2. 215-222. Forsyth, C., & Gramling, R. (1998). Socio-Economic Factors Affecting The Rise of Commuter Marriage. International Journal of Sociology of the Family.Vol. 28. No. 2: 93-106. Firmin, M. W., Firmin, R. L., & Lorenzen, K. M. (2000). Loneliness Dynamics Involved with College LongDistance Relationships. Cedarville University. Gerstel, N., & Gross, H. E. (1982).Commuter Marriage. Marriage and Family Review, Human Relations 5:2, 71-93. Glotzer, R., & Federlein, A. C. (2007). Miles That Blind: Commuter Marriage and Family Strength. Michigan Family Review, 12.7-31. Kauffman, M. H. (2000). Relational Maintenance in Long-Distance Relationships: Staying Close. Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University. Lau, G. T. and Lee, S. H. (1999). “Consumers” Trust in a Brand and the Link to Brand Loyalty. Journal of Market Focused Management. 4:341-370. Maguire, K. C., & Kinney, T. A. (2010).When Distance is Problematic: Communication, Coping, and Relational Satisfaction in Female College Students’ Long-Distance Dating Relationships.Journal of Applied Communication Research, 38.27-46. Meizera, D.E.P. & Basti.(2008). Konflik Perkawinan dan Model Penyelesaian Konflik pada Pasangan Suami Istri.Jurnal Psikologi Vol2, No.1, Desember 2008. Mirowsky, J., Ross, C.E. (2003). Social Causes of Psychological Distress, 2nd Edition. New York: Aldine de Gruyter Rahayu, H. P. (2007). Perbedaan Kecerdasan Emosional Siswa Laki-Laki Dan Perempuan Di SMA Negeri Kota Kediri. UIN Malang. Rempel J. K., Holmes J.G. et Zanna M.P. (1985), Trust in Close Relationships, Journal of Personality and Social Psychology, 49: 1, 95-112. Santrock, J. W. (2002). Life-Span Development / John W. Santrock; Alih Bahasa, Juda Damanik, Achmad Chusain; editor, Wisnu Chandra Kristiaji, Yati Sumiharti Ed. 5. Jakarta: Erlangga. Santrock, J. W. (2007). Remaja. Jakarta: Erlangga. Stafford, L., Merolla, Andy J. & Castle, Janessa D. (2006).When long-distance dating partners become geographically close.Journal of Social and Personal Relationships.Vol.23, Iss.6; pg.901, 19 pgs. Syaifuddin, A. (2002). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Santrock, J. W.(2004).Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Walgito, B. 2000.Bimbingan dan Konseling Perkawinan.Yogyakarta : Penerbit Andi.
25