Perbedaan Parenting Self-Efficacy pada Ibu dengan Commuter Marriage dan Ibu yang Tinggal dengan Suaminya Prisilia Riski, Erniza Miranda Madjid Sebuah pengaturan rumah tangga yang pada sebagian waktunya salah satu dari pasangan tinggal di dekat tempat kerjanya disebut dengan istilah commuter marriage. Menjaga rumah tangga tanpa bantuan atau dukungan dari pasangan dapat membuat ibu yang menjalani commuter marriage mengalami kelelahan fisik dan emosional (Bergen, 2006). Ketidakberadaan suami dalam keseharian ibu yang menjalani commuter marriage mungkin dapat mengakibatkan berkurangnya dukungan suami pada ibu. Dukungan dari suami dapat mempengaruhi parenting self-efficacy pada ibu (Tsou, 2010). Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan parenting self-efficacy pada ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya. Tiga puluh orang ibu dengan commuter marriage dan tiga puluh orang ibu yang tinggal dengan suaminya menjadi partisipan dalam penelitian ini. Parenting self-efficacy ibu diukur dengan menggunakan Self-Efficacy for Parenting Tasks Index (Coleman & Karraker, 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara parenting self-efficacy ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya.
Beberapa jenis pekerjaan memerlukan perjalanan jauh atau mengharuskan pekerjanya untuk menetap di lokasi kerja (seperti bidang pertambangan, militer, dan lain-lain). Tuntutan pekerjaan ini dapat membuat pekerja yang telah menikah harus tinggal terpisah dengan pasangan dan anak-anaknya. Pasangan yang tinggal terpisah ini bertemu kembali setiap jangka waktu tertentu. Pengaturan rumah tangga seperti ini disebut dengan istilah commuter marriage (Gerstel & Gross, 1982; Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006; Bergen, 2006; Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Commuter marriage sebagai salah satu alternatif bagi pasangan suami-istri kini semakin meningkat jumlahnya. Biro Sensus Amerika Serikat pada tahun 2006 melaporkan bahwa 3.6 juta orang warga Amerika yang sudah menikah tinggal terpisah dari pasangan mereka. Pada bulan Maret 2009, Worldwide ERC, asosiasi untuk mobilitas tenaga kerja, merilis sebuah laporan yang mengungkapkan bahwa tiga perempat dari 174 agen relokasi yang disurvei telah menangani setidaknya satu
commuter marriage pada tahun 2007, naik 53% sejak 2003 (Conlin, 2009). Chamratrithirong, Morgan, dan Rindfuss (dalam Schvaneveldt dkk., 2001) memperkirakan 41% pasangan di daerah pusat Thailand tinggal terpisah setelah menikah. Di Indonesia belum ditemukan data yang menyebutkan jumlah pasangan yang tinggal terpisah secara pasti, namun berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun 2008 (dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2008), jumlah tenaga kerja Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) mencapai sekitar 1.8 juta orang. Tenaga kerja AKAD sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebanyak 1.6 juta, sementara tenaga kerja AKAD perempuan hanya berjumlah sekitar 212 ribu orang. Menurut data Sakernas, yang dimaksud konsep Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) adalah mobilitas pekerja antar wilayah administrasi dengan syarat pekerja melakukan pulang pergi seminggu sekali atau sebulan sekali. Pekerja dengan mobilitas seperti ini diasumsikan memiliki tempat tinggal yang jauh dari lokasi atau tempat kerjanya. Selain tenaga kerja AKAD, di Indonesia juga terdapat tenaga kerja Antar Kerja Antar Negara (AKAN) yang umumnya disebut dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW). Berdasarkan data Sakernas, penempatan TKI di luar negeri berjumlah setiap tahunnya antara 450 ribu sampai dengan 700 ribu selama periode 2005-2008. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa cenderung lebih banyak lakilaki yang bermigrasi demi karir mereka daripada perempuan, sementara perempuan cenderung menjadi trailing spouse (atau disebut juga tied mover), yaitu pihak yang ikut bermigrasi dengan pasangannya demi karir pasangannya (Van der Klis, 2009). Hal ini sesuai dengan data yang ditemukan di Indonesia bahwa tenaga kerja AKAD sebagian besar adalah laki-laki. Berdasarkan fakta ini, dapat diasumsikan bahwa terdapat fenomena ibu yang harus mengasuh anak-anak tanpa kehadiran ayah dalam kesehariannya jika ibu tersebut tidak ikut bermigrasi bersama suaminya.
Menjaga rumah tangga tanpa bantuan atau dukungan dari pasangan dapat membuat ibu yang menjalani commuter marriage mengalami kelelahan fisik dan emosional (Bergen, 2006). Ketidakberadaan suami karena secara terus-menerus berpergian atau bekerja yang merupakan ciri-ciri dari commuter marriage, jika merujuk pada hasil penelitian Tsou (2010), ternyata merupakan salah satu indikator pernikahan yang dianggap negatif oleh para ibu. Peran sebagai orang tua (parenthood) terlalu penting dan terlalu banyak memakan waktu untuk diserahkan kepada satu orang (Dienhart; Risman & Johnson-Sumerford, dalam Olson & DeFrain, 2006). Oleh karena itu, kondisi keluarga dengan commuter marriage yang pada kesehariannya jauh dari ayah mungkin dapat mempengaruhi pengasuhan (parenting) dalam keluarga tersebut. Salah satu elemen kognitif yang penting dalam kompetensi di bidang parenting adalah parenting self-efficacy, yaitu perkiraan pribadi orang tua mengenai kompetensi mereka dalam peran sebagai orang tua atau persepsi mereka terhadap kemampuan mereka untuk mempengaruhi perilaku dan perkembangan anak-anak mereka secara positif (Coleman & Karraker, 2000). Tingkat parenting self-efficacy yang tinggi secara kuat diasosiasikan dengan kapasitas orang tua untuk menyediakan lingkungan yang adaptif, menstimulasi, dan memelihara anak. Sebaliknya, tingkat parenting self-efficacy yang rendah diasosiasikan dengan parental depression, parental stress, masalah perilaku pada anak, dan sebagainya (Coleman & Karraker, 2000). Dukungan dari suami dapat mempengaruhi parenting self-efficacy pada ibu (Tsou, 2010). Terlebih lagi, dari semua sumber dukungan sosial yang mungkin didapatkan oleh ibu, yang paling berhubungan dengan parenting self-efficacy ibu adalah dukungan suami (Elder dkk., 1995). Ketidakberadaan suami dalam keseharian ibu yang menjalani commuter marriage mungkin dapat mengakibatkan berkurangnya dukungan suami pada ibu dan dapat berpengaruh terhadap parenting self-efficacy ibu. Akan tetapi sejauh ini belum ada penelitian mengenai parenting self-efficacy pada commuter marriage. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat
perbedaan antara parenting self-efficacy pada ibu yang menjalani commuter marriage dengan ibu yang tinggal serumah dengan suaminya.
Parenting Self-Efficacy Self-efficacy yang dikemukakan oleh Albert Bandura (1977) adalah keyakinan (belief) seseorang bahwa ia mampu secara sukses menampilkan perilaku tertentu. Self-efficacy dipercaya menjadi prediktor langsung dari praktik parenting yang positif (Tsou, 2010). Self-efficacy dalam ranah parenting disebut dengan istilah parenting self-efficacy. Parenting self-efficacy adalah perkiraan pribadi orang tua mengenai kompetensi mereka dalam peran sebagai orang tua atau persepsi mereka terhadap kemampuan mereka untuk mempengaruhi perilaku dan perkembangan anak-anak mereka secara positif (Coleman & Karraker, 2000). Terdapat lima domain dari tugas parenting pada anak usia kanak-kanak madya menurut Coleman dan Karraker (2000), antara lain pencapaian anak di sekolah (achievement), kebutuhan anak untuk berekreasi dan bersosialisasi (recreation), penetapan disiplin (discipline), pengasuhan secara emosional (nurturance), serta pemeliharaan kesehatan fisik anak (health). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi parenting self-efficacy diantaranya adalah pengetahuan orang tua mengenai parenting (Tomczewski, 2009), pengalaman orang tua dengan anak-anak (Coleman & Karraker, 2000), pengalaman masa kecil orang tua (Tsou, 2010), tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi orang tua (Holloway, Suzuki, Yamamoto, & Behrens, 2005), serta dukungan sosial yang diterima oleh orang tua (Elliot, 2007).
Commuter Marriage Pada umumnya, pasangan suami-istri tinggal dalam satu kediaman bersama anak-anak mereka, akan tetapi kini terdapat beberapa pasangan yang sehari-harinya tinggal di tempat berbeda dan bertemu kembali dalam jangka waktu tertentu. Beberapa peneliti menggunakan istilah yang berbeda untuk menyebut kondisi ini. Gerstel dan Gross (1982) menyebutnya commuter marriage, dan istilah ini sering
digunakan pula oleh peneliti lain, seperti Williams, Sawyer, dan Wahlstrom (2006), Bergen (2006), serta Papalia, Olds, dan Feldman (2009). Selain itu ada pula istilah commuter family dari Anderson dan Spruill (1993), dual-resident marriage dari Schvaneveldt, Young, dan Schvaneveldt (2001), living apart together dari Adams (2004), serta commuter partnership dari Van der Klis (2009). Van der Klis (2009) mengadaptasi istilah commuter marriage dari Gerstel dan Gross (1982) menjadi commuter partnership untuk memasukkan pasangan yang tidak menikah. Commuter marriage atau commuter partnership menurut Van der Klis (2009) adalah sebuah pengaturan rumah tangga yang tidak biasa, yang pada sebagian waktunya salah satu dari pasangan tinggal di dekat tempat kerjanya dan jauh dari rumah keluarganya karena jarak antara rumah dengan tempat kerjanya terlalu jauh untuk ditempuh sebagai perjalanan sehari-hari. Alasan commuter marriage adalah kebutuhan ekonomi, pekerjaan, dan pendidikan (Schvaneveldt dkk., 2001). Kondisi keluarga dan kondisi tempat tinggal yang tidak memungkinkan seluruh keluarga untuk ikut bermigrasi juga terkadang menjadi pertimbangan untuk menjalani commuter marriage (Green dkk., dalam Van der Klis, 2009). Keuntungan dari commuter marriage adalah meningkatnya karir atau pendidikan (Gerstel & Gross, dalam Bergen, 2006), konsentrasi pada pekerjaan (Bergen, 2006), keuntungan finansial (Schvaneveldt dkk., 2001), otonomi dan independensi (Bergen, 2006),
serta meningkatnya dinamika keluarga (Jackson,
Brown, & Patterson-Stewart, 2000). Kerugian dari commuter marriage dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kerugian secara finansial (financial costs), kerugian secara fisik dan emosional (physical and emotional costs), serta kerugian secara sosial (social costs) (Bergen, 2006). Financial costs adalah biaya transportasi yang digunakan oleh pasangan untuk berkumpul kembali, biaya sewa atau pembelian rumah kedua, biaya pengeluaran rumah tangga dari kedua rumah, dan biaya untuk memelihara komunikasi antar pasangan melalui telepon atau internet. Physical and emotional costs adalah waktu yang diperlukan dan stres yang diakibatkan perjalanan jauh jika pasangan ingin berkumpul, kelelahan fisik dan emosional karena menjaga
rumah tangga tanpa bantuan atau dukungan dari pasangan, serta rasa kesepian karena terpisah dari pasangan, keluarga maupun teman. Social costs adalah kehidupan sosial yang terbatas dan merasa aneh karena tidak sesuai dengan norma budaya pasangan yang menikah pada umumnya.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap enam puluh orang ibu dengan anak usia kanak-kanak madya, yaitu anak berusia 5 hingga 12 tahun (Bornstein, 2002). Partisipan terdiri dari tiga puluh orang ibu yang sedang menjalani commuter marriage dan tiga puluh orang ibu yang tinggal dengan suaminya. Untuk mengetahui parenting self-efficacy pada partisipan, peneliti menggunakan SEPTI (Self-Efficacy for Parenting Tasks Index) yang dikembangkan oleh Coleman dan Karraker (2000). Selain itu, untuk mendapatkan gambaran mengenai commuter marriage yang dijalani oleh partisipan, peneliti menyertakan pertanyaan-pertanyaan tambahan seputar commuter marriage. Tipe penelitian ini adalah penelitian aplikatif, deskriptif, dan kuantitatif. Desain penelitian ini termasuk penelitian cross-sectional, retrospektif, dan noneksperimental. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability sampling, convenience sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Teknik statistik yang digunakan peneliti untuk mengolah data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah Independent sample t-test, ANOVA (Analysis of Variance), dan statistika deskriptif.
Hasil Penelitian Usia partisipan secara keseluruhan berkisar antara 31 hingga 50 tahun. Partisipan pada kelompok ibu dengan commuter marriage mayoritas berusia dewasa muda, sekitar 31-35 tahun , dan pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya mayoritas berusia dewasa madya, sekitar 41-45 tahun. Suami partisipan secara keseluruhan berusia antara 31 hingga 55 tahun keatas. Sama seperti istri mereka,
suami partisipan pada kelompok commuter marriage mayoritas berusia dewasa muda, sekitar 36-40 tahun, dan pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya mayoritas berusia dewasa madya, sekitar 41-45 tahun. Mayoritas partisipan berpendidikan S1dan tidak bekerja. Mayoritas partisipan pada kelompok ibu dengan commuter marriage memiliki pengeluaran keluarga per bulan Rp 5 juta–Rp 10 juta. Pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya, mayoritas pengeluaran keluarga partisipan per bulan adalah Rp 3 juta–Rp 5 juta. Pengaturan keuangan keluarga baik pada kelompok ibu dengan commuter marriage maupun pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya, mayoritas diserahkan kepada partisipan sebagai istri.
Tabel 1 Gambaran Bentuk Keterlibatan Suami dalam Pengasuhan Anak Bentuk Keterlibatan
Bertanggung jawab secara finansial Mendidik anak dengan nilai-nilai tertentu Menjadi teman bermain bagi anak Mengawasi perilaku anak Mendukung ibu secara emosional Memastikan bahwa anak dalam lingkungan yang aman Terlibat dalam urusan sekolah anak Membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga Tidak mengisi
Commuter Marriage f % 86.67% 26 83.33% 25 56.67% 17 46.67% 14 40% 12 56.67% 17
9 6 0
30% 20% 0%
Ibu yang tinggal dengan suaminya f % 83.33% 25 76.67% 23 50% 15 66.67% 20 70% 21 63.33% 19
17 6 1
56.67% 20% 3.33%
Bentuk keterlibatan suami yang paling banyak dilaporkan oleh partisipan, baik pada kelompok commuter marriage maupun ibu yang tinggal dengan suaminya, adalah bertanggung jawab secara finansial, sedangkan yang paling sedikit dilaporkan adalah membantu pekerjaan rumah tangga. Partisipan pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya menyebutkan tiga bentuk keterlibatan yaitu mengawasi perilaku anak, mendukung ibu secara emosional, dan terlibat dalam urusan sekolah anak, lebih banyak jumlahnya daripada kelompok ibu dengan commuter marriage.
Berdasarkan hasil perhitungan komparasi mean skor parenting self-efficacy antara kelompok ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor parenting selfefficacy pada ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya (t=-0.778, sig=0.493, p>0.05). Pada kelompok ibu dengan commuter marriage, tidak terdapat perbedaan mean parenting self-efficacy yang signifikan pada aspek pekerjaan (F=1.308, sig= 0.294, p>0.05). Begitu pula pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya, tidak terdapat perbedaan mean parenting self-efficacy yang signifikan pada aspek pekerjaan (F=1.258, sig=0.313, p>0.05). Pada kelompok ibu dengan commuter marriage, terdapat perbedaan mean parenting self-efficacy yang signifikan berdasarkan aspek pendidikan (F=3.459, sig=0.022, p<0.05). Sebaliknya, pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya, tidak terdapat perbedaan mean parenting self-efficacy yang signifikan berdasarkan aspek pendidikan dalam kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya (F =0.475, sig=0.702, p>0.05). Terdapat perbedaan mean parenting self-efficacy yang signifikan berdasarkan aspek pengeluaran per bulan dalam kelompok ibu dengan commuter marriage (F =4.948, sig=0.008, p<0.05). Pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya, tidak terdapat perbedaan mean yang signifikan berdasarkan aspek pengeluaran per bulan (F=1.424, sig=0.258, p>0.05). Mayoritas partisipan (86.67%) melaporkan bahwa yang menjadi alasan mereka menjalani commuter marriage adalah pekerjaan suami yang lokasi kerjanya jauh dari rumah atau mengharuskan suami untuk menetap di lokasi kerjanya. Jarak antara tempat tinggal partisipan dengan suaminya bervariasi dari satu kota hingga beda negara. Sebanyak 53.33% partisipan melaporkan bahwa suami mereka tinggal di kota yang berbeda dengan mereka namun masih berada dalam satu pulau. Mayoritas partisipan (50%) melaporkan bahwa mereka bertemu dengan suami mereka beberapa kali per bulan, rata-rata 3 kali dalam sebulan. Sejumlah 20% partisipan melaporkan pertemuan dengan suami mereka beberapa kali per minggu, rata-rata 3 kali dalam seminggu.
Tabel 2 Gambaran Commuter Marriage Aspek Alasan menjalani commuter marriage
Jarak tempat tinggal partisipan dengan suaminya Frekuensi pertemuan partisipan dengan suaminya Mulai commuter marriage Hal-hal positif yang dirasakan partisipan selama menjalani commuter marriage
Hal-hal negatif yang dirasakan partisipan selama menjalani commuter marriage
Variasi Pekerjaan suami Pekerjaan istri Pendidikan suami Pendidikan istri Pendidikan anak Anak tidak betah Harus merawat keluarga Satu kota Beda kota, satu pulau Beda pulau Beda negara Beberapa kali per minggu Beberapa kali per bulan Beberapa kali per tahun Lainnya Tidak mengisi Sejak awal pernikahan Sebelum mempunyai anak Setelah mempunyai anak Konsentrasi terhadap pekerjaan/anak Keuntungan finansial Otonomi & independensi Dinamika keluarga meningkat Anak lebih mandiri Lebih sabar Kesepian Kesulitan mengasuh anak Waktu untuk bersama kurang Hilangnya intimasi Tekanan sosial Lelah fisik & emosional Anak kurang dekat dengan ayahnya Tidak bisa melayani suami
Jumlah 26 1 1 2 4 1 2 1 16 10 3 6 15 2 6 1 5 4 21 5
Persentase 86.67% 3.33% 3.33% 6.67% 13.33% 3.33% 6.67% 3.33% 53.33% 33.33% 10% 20% 50% 6.67% 20% 3.33% 16.67% 13.33% 70% 16.67%
2 18 12 3 2 7 10 4 9 1 15 8
6.67% 60% 40% 10% 6.67% 23.33% 33.33% 13.33% 30% 3.33% 50% 26.67%
3
10%
Sejumlah 6.67% partisipan melaporkan bahwa mereka bertemu dengan suami mereka beberapa kali per tahun, rata-rata 3 kali setahun. Selain itu, 20% partisipan memiliki pola frekuensi pertemuan yang berbeda seperti 1 kali per 2 bulan, 1 kali
dalam 3 bulan, 1 kali per 21 hari, 3 bulan dalam setahun, dan ada pula suami partisipan yang pulang selama 4 minggu lalu bekerja selama 6 minggu, serta ada yang pulang selama 2-3 bulan lalu kembali bekerja selama 5-6 bulan. Hal-hal positif yang dirasakan oleh partisipan selama menjalani commuter marriage diantaranya adalah mereka dapat berkonsentrasi penuh pada pekerjaan dan anak, mendapatkan keuntungan finansial, mendapatkan otonomi dan independensi dalam menjalani kegiatan sehari-hari, dinamika keluarga meningkat karena interaksi efektif, anak menjadi lebih mandiri, dan partisipan menjadi lebih sabar. Dari semua itu, yang paling banyak disebutkan oleh partisipan adalah otonomi dan independensi (60%). Selain itu, selama menjalani commuter marriage partisipan juga merasakan hal-hal negatif seperti kesepian, kesulitan mengasuh anak, kurangnya waktu bersama dengan suami, hilangnya intimasi dengan suami, adanya tekanan sosial, merasa lelah secara fisik maupun emosional, anak menjadi kurang dekat dengan ayahnya, dan khawatir karena tidak dapat melayani suami. Mayoritas partisipan (50%) menyebutkan mengenai kelelahan secara fisik maupun emosional karena harus menjaga rumah tangga dan anak sendirian. Sebanyak 43.33% partisipan menilai pertemuan dengan suami mereka memuaskan. Jika dikonversikan ke dalam angka, penilaian tersebut adalah 5 dari skala 1-6. Hanya satu partisipan yang memberikan nilai 1 untuk suaminya, yang berarti sangat tidak memuaskan. Mayoritas partisipan (50%) menilai bahwa commuter marriage cukup umum di Indonesia, yang berarti bernilai 4 dari skala 1-6. Hampir seluruh partisipan (86.67%) melaporkan bahwa mereka tidak berencana untuk terus menjalani commuter marriage.
Diskusi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara parenting self-efficacy ibu dengan commuter marriage dan parenting self-efficacy ibu yang tinggal dengan suaminya. Ada beberapa hal yang menyebabkan tidak terdapatnya perbedaan ini. Pertama, tidak terdapatnya perbedaan
yang signifikan pada keterlibatan ayah secara fisik dalam pengasuhan anak antara kelompok ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya. Kedua, adanya faktor-faktor selain dukungan suami yang dapat mempengaruhi parenting self-efficacy ibu seperti dukungan sosial yang berasal dari keluarga dan teman (Holloway, Suzuki, Yamamoto, & Behrens, 2005), pengetahuan mengenai parenting (Tomczewski, 2009), pengalaman dengan anak-anak (Coleman & Karraker, 2000), pengalaman masa kecil (Tsou, 2010), serta tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi (Holloway dkk., 2005) yang mungkin dapat membantu meningkatkan parenting self-efficacy ibu dengan commuter marriage. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi parenting self-efficacy ibu adalah dukungan suami. Bentuk dukungan dari suami diantaranya adalah partisipasi suami secara aktif dalam perawatan anak dan pendidikan anak, menjamin keamanan finansial, serta dukungan emosional kepada istri (Tsou, 2010). Dalam penelitian ini, keterlibatan ayah maupun dukungan suami tidak diteliti secara mendalam. Peneliti hanya menanyakan persepsi ibu terhadap keterlibatan suami mereka dalam pengasuhan anak dan bentuk keterlibatan suami tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada keterlibatan ayah secara fisik dalam pengasuhan anak antara kelompok ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya. Mayoritas partisipan, baik pada kelompok commuter marriage maupun pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya, menilai bahwa suami mereka terlibat dalam pengasuhan anak. Bentuk keterlibatan suami yang paling banyak dilaporkan oleh partisipan adalah bertanggung jawab secara finansial sedangkan yang paling sedikit dilaporkan adalah membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan pada keterlibatan ayah secara fisik dalam pengasuhan anak mungkin membuat kehadiran suami dalam keseharian ibu tidak begitu berpengaruh terhadap parenting self-efficacy ibu. Selain itu, ibu dan anak secara umum menghabiskan lebih banyak waktu bersama daripada ayah dan anak (Bornstein, 2002). Ibu memegang hampir seluruh tugas untuk mengatur dalam
keluarga, misalnya mengatur jadwal anak untuk mandi dan mengerjakan PR (Brooks, 2011). Bentuk keterlibatan suami yang paling banyak dilaporkan oleh partisipan adalah bertanggung jawab secara finansial. Bentuk keterlibatan suami dalam pengasuhan anak dengan bertanggung jawab secara finansial saja mungkin sudah dianggap cukup oleh para ibu. Menurut Musa (dalam Krismantari, 2012), pasangan suami-istri di Indonesia percaya bahwa tugas ayah adalah bekerja dan memperoleh uang sementara tugas ibu adalah mengurus anak-anak. Pemahaman ini berakar dari nilai-nilai patriarkal yang kuat di Indonesia. Selain itu, pengetahuan orangtua di Indonesia mengenai pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak juga masih kurang sehingga keterlibatan ayah di Indonesia rendah. Bentuk keterlibatan suami dalam pengasuhan anak yang paling sedikit dilaporkan oleh partisipan adalah membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sarwono (dalam Roopnarine & Gielen, 2005) menyatakan bahwa secara tidak sadar, orang-orang Indonesia yang paling konservatif dan religius tidak mengabaikan ideide tradisional, yang menekankan peran domestik perempuan tanpa memerdulikan tingkat pendidikannya. Oleh karena itu, sebagian besar suami tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Perbedaan keterlibatan ayah antara kelompok ibu dengan commuter marriage dan kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya terlihat pada bentuk keterlibatan seperti mengawasi perilaku anak, mendukung ibu secara emosional, dan terlibat dalam urusan sekolah anak. Ketiga bentuk keterlibatan ini, terutama
dukungan
emosional, lebih sedikit dilaporkan oleh kelompok ibu dengan commuter marriage jika dibandingkan dengan kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya. Kondisi suami ibu dengan commuter marriage yang pada sebagian waktunya tinggal di lokasi berbeda nampaknya menjadi kendala sehingga ketiga bentuk keterlibatan tersebut lebih sedikit dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bergen (2006) bahwa salah satu kerugian dari commuter marriage adalah kelelahan fisik dan emosional karena menjaga rumah tangga tanpa bantuan atau dukungan dari pasangan.
Selain dukungan suami, terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi parenting self-efficacy, yaitu diantaranya adalah dukungan sosial yang berasal dari keluarga dan teman (Holloway dkk., 2005), pengetahuan mengenai parenting (Tomczewski, 2009), pengalaman dengan anak-anak (Coleman & Karraker, 2000), pengalaman masa kecil (Tsou, 2010), serta tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi (Holloway dkk., 2005). Faktor-faktor lain ini dapat membantu meningkatkan parenting self-efficacy ibu yang menjalani commuter marriage. Pada penelitian ini faktor tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi yang digali melalui data demografis sesuai dengan tujuan penelitian ini. Data demografis partisipan menunjukkan mayoritas kelompok ibu dengan commuter marriage memiliki tingkat pengeluaran per bulan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya. Penelitian pada data demografis partisipan juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan parenting selfefficacy yang signifikan pada ibu dengan commuter marriage berdasarkan aspek pendidikan dan aspek pengeluaran per bulan. Hal ini sesuai pendapat Holloway dkk. (2005) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi dapat mempengaruhi parenting self-efficacy ibu. Ibu dengan tingkat status sosial ekonomi yang lebih tinggi akan memiliki parenting self-efficacy yang lebih tinggi pula. Ibu yang berpendidikan lebih tinggi akan merasa lebih berhasil dalam parenting karena mereka dapat lebih mudah memahami dan berkomunikasi dengan guru, mampu membantu anak-anak dalam mengerjakan tugas sekolahnya, serta secara umum membantu kegiatan yang diperlukan untuk keberhasilan anak (Holloway dkk., 2005). Commuter marriage mendatangkan keuntungan finansial, yaitu penghasilan yang dikirim ke rumah oleh suami yang bermigrasi (Schvaneveldt, Young, & Schvaneveldt, 2001). Oleh karena itu, keuntungan finansial yang diperoleh kelompok ibu dengan commuter marriage mungkin membantu meningkatkan parenting selfefficacy mereka, Pada aspek pekerjaan, pendidikan, maupun pengeluaran per bulan kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya tidak terdapat perbedaan parenting self-efficacy
yang signifikan. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan, status sosial ekonomi (Holloway dkk, 2005), dan pekerjaan (Jackson & Scheines, 2005) dapat mempengaruhi parenting self-efficacy. Tidak terdapatnya perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kurang beragamnya partisipan pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya. Mayoritas partisipan pada kelompok ini memiliki pengeluaran Rp 3-5 juta per bulan, tidak bekerja, dan berpendidikan S1. Pada penelitian ini, peneliti juga meneliti tentang gambaran commuter marriage yang dijalani oleh partisipan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alasan mayoritas partisipan menjalani commuter marriage adalah pekerjaan suami yang lokasi kerjanya jauh dari rumah atau mengharuskan suami untuk menetap di lokasi kerjanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Van der Klis (2009) bahwa pekerjaan selalu menjadi alasan utama mengapa pasangan memilih untuk menjalani commuter marriage. Selama menjalani commuter marriage, partisipan merasakan hal-hal positif maupun negatif. Hal positif yang paling banyak disebutkan oleh partisipan adalah otonomi dan independensi. Menurut Bergen (2006), otonomi dan independensi merupakan keuntungan dari commuter marriage, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Bagi perempuan, mereka dapat melakukan apapun yang mereka sukai kapanpun serta terbebas dari peran-peran tradisional sebagai istri seperti menyiapkan makanan untuk suami (Gerstel & Gross, dalam Bergen, 2006). Hal ini juga nampaknya berlaku bagi budaya Indonesia yang masih menerapkan pembagian peran suami dan istri secara tradisional, yang menekankan peran domestik perempuan tanpa memerdulikan tingkat pendidikannya (Sarwono, dalam Roopnarine & Gielen, 2005). Mayoritas partisipan menyebutkan bahwa hal negatif yang mereka rasakan selama menjalani commuter marriage adalah kelelahan secara fisik maupun emosional karena harus menjaga rumah tangga dan anak sendirian. Partisipan pada kelompok ibu dengan commuter marriage memang lebih sedikit melaporkan bahwa suami mereka mendukung secara emosional jika dibandingkan dengan kelompok ibu
yang tinggal dengan suaminya. Sebagaimana dikatakan oleh Bergen (2006), salah satu kerugian dari commuter marriage adalah kelelahan fisik dan emosional. Kelompok ibu dengan commuter marriage mayoritas berusia dewasa muda yaitu sekitar 31-35 tahun. Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009), masa dewasa muda, yaitu usia 20-40 tahun, adalah masa ketika orang-orang mulai mandiri, membina rumah tangga, dan membuktikan diri dalam kegiatan yang mereka pilih. Commuter marriage, atau disebut juga dengan living apart together, merupakan salah satu gaya hidup yang dijalani oleh pasangan dewasa muda yang memiliki karir terpisah (Adams, 2004). Hampir seluruh partisipan melaporkan bahwa mereka tidak berencana untuk terus menjalani commuter marriage. Hal ini sesuai dengan hasil penelitan Schvaneveldt dkk. (2001) yang mayoritas partisipannya juga berencana untuk tinggal serumah di masa depan. Menurut Kirschner dan Walum (dalam Bunker, Zubek, Vanderslice, & Rice, 1992) sebagian besar pasangan yang menjalani commuter marriage memandang commuter marriage sebagai pengaturan sementara dan berharap kesempatan kerja yang tepat akan memungkinkan mereka untuk tinggal serumah. Tahap perkembangan ibu dengan commuter marriage yang berada dalam tahap dewasa muda mungkin berkaitan dengan rencana mereka terhadap commuter marriage. Masa dewasa muda adalah masa ketika orang-orang mulai mandiri, membina rumah tangga, dan membuktikan diri dalam kegiatan yang mereka pilih (Papalia dkk., 2009). Oleh karena itu, mereka menjalani commuter marriage untuk sementara demi membuktikan diri dalam karir. Mayoritas partisipan menilai bahwa commuter marriage cukup umum di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa partisipan tidak merasakan tekanan sosial atau merasa aneh karena tidak sesuai dengan norma budaya pasangan yang menikah pada umumnya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat dari Gerstel dan Gross (1982) yang menyatakan bahwa pasangan commuter marriage merasakan tekanan sosial. Meskipun partisipan merasa bahwa commuter marriage cukup umum, sejauh
ini peneliti belum menemukan data yang akurat mengenai jumlah orang-orang yang menjalani commuter marriage di Indonesia. Kurangnya data tentang jumlah yang akurat dan informasi demografis yang detail dari commuter marriage juga terjadi di negara lain, seperti Amerika Serikat (Glotzer & Federlein, 2007). Orang-orang yang menjalani commuter marriage tidak memiliki organisasi dan belum dilihat sebagai kategori tertentu meskipun jumlah mereka terus bertambah. Kurangnya data yang akurat ini juga berarti commuter marriage belum diperhatikan dengan baik (Glotzer & Federlein, 2007). Mayoritas partisipan mulai menjalani commuter marriage setelah mempunyai anak. Partisipan yang mulai menjalani commuter marriage setelah mempunyai anak mayoritas melaporkan bahwa anak tersebut bukan anak pertama. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya kebutuhan ekonomi yang meningkat setelah pasangan memiliki anak dan dapat menjadi salah satu alasan pasangan untuk menjalani commuter marriage. Penelitian Schvaneveldt dkk. (2001) menunjukkan bahwa salah satu alasan pasangan memilih untuk melakukan commuter marriage adalah kebutuhan ekonomi dan commuter marriage memang mendatangkan keuntungan finansial. Peneliti menyadari bahwa masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam melakukan penelitian yang mungkin dapat menjadi sumber kesalahan bagi penelitian ini, Hal-hal tersebut diantaranya adalah kurang beragamnya partisipan dan metode pengambilan data yang kurang menggali informasi. Kurang beragamnya sampel dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh metode pengambilan sampel yang digunakan oleh peneliti, yaitu dengan metode non-probability sampling. Jenis nonprobability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan kemudahan dalam mengakses sampel penelitian (Gravetter & Forzano, 2009). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan diolah secara kuantitatif. Metode ini ternyata kurang dapat menggali informasi mengenai kehidupan pernikahan partisipan, khususnya pada ibu dengan
commuter marriage. Peneliti merasa akan mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan lebih jelas jika menggunakan metode lain. Perbedaan parenting self-efficacy pada ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada hal-hal selain kehadiran suami yang dapat mempengaruhi parenting selfefficacy ibu. Dalam penelitian ini, hal-hal tersebut kurang tajam ditanyakan kepada partisipan.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara parenting self-efficacy ibu dengan commuter marriage dan parenting self-efficacy ibu yang tinggal dengan suaminya. Penelitian pada aspek demografis partisipan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan parenting self-efficacy yang signifikan pada aspek pendidikan dan aspek pengeluaran per bulan dalam kelompok ibu dengan commuter marriage, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada aspek pekerjaannya. Sebaliknya, pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya tidak terdapat perbedaan parenting self-efficacy yang signifikan dalam aspek pekerjaan, pendidikan, maupun pengeluaran per bulan.
Saran Peneliti menyarankan penelitian selanjutnya memperbanyak jumlah sampel dan memperluas jangkauannya gar hasil penelitian lebih mewakili populasi. Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan lebih jelas mengenai kehidupan pernikahan partisipan, akan lebih baik jika menggunakan metode kualitatif atau wawancara. Faktor-faktor yang mempengaruhi parenting self-efficacy ibu selain kehadiran suami secara fisik sebaiknya dikontrol atau diteliti juga secara lebih komprehensif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara parenting self-efficacy ibu dengan commuter marriage dan
parenting self-efficacy ibu yang tinggal dengan suaminya, yang mungkin disebabkan oleh tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan pada keterlibatan ayah secara fisik dalam pengasuhan anak antara kelompok ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak tidak penting. Semakin tinggi keterlibatan ayah dalam rutinitas anak, maka masalah perilaku anak akan semakin berkurang, anak semakin supel, dan semakin berbuat lebih baik di sekolah (Moore, dalam Olson & DeFrain, 2006). Oleh karena itu, penyelenggaraan seminar-seminar atau penyuluhan bagi para ayah perlu diadakan untuk meningkatkan kesadaran ayah dan pengetahuan ayah mengenai pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Terdapat perbedaan parenting self-efficacy yang signifikan pada ibu dengan commuter marriage berdasarkan aspek pendidikan dan aspek pengeluaran per bulan. Menurut Holloway dkk. (2005) tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi dapat mempengaruhi parenting self-efficacy. Oleh karena itu, peneliti menyarankan perlu diadakannya penyuluhan atau pelatihan seputar parenting untuk meningkatkan parenting self-efficacy pada ibu yang memiliki tingkat sosial ekonomi dan pendidikan rendah. Penyuluhan atau pelatihan ini mungkin dapat dilakukan oleh praktisi, pemerintah, atau lembaga-lembaga yang berkaitan. Hasil penelitian mengenai gambaran commuter marriage menunjukkan bahwa mayoritas partisipan merasakan kelelahan secara fisik maupun emosional karena harus menjaga rumah tangga dan anak sendirian, meskipun mereka menilai suami mereka terlibat dalam pengasuhan anak. Menurut Bergen (2006) salah satu kerugian dari commuter marriage adalah kelelahan fisik dan emosional karena menjaga rumah tangga tanpa bantuan atau dukungan dari pasangan. Berkaitan dengan hal ini, peneliti menyarankan bagi pasangan yang menjalani commuter marriage untuk meningkatkan komunikasi melalui berbagai media agar istri tetap mendapatkan dukungan emosional dari suami meskipun tinggal terpisah.
Kepustakaan Adams, B.N. (2004), Families and family study in international perspective. Journal of Marriage and Family, 66, 5, 1076-1088 Anderson, E. A. & Spruill, J.W. (1993), The Dual-Career Commuter Family: a lifestyle on the move, Families on the Move: Migration, Immigration, Emigration, and Mobility, 131-147 Bandura, A. (1977). Self-efficacy: Toward a unifying theory of behavioral change. Psychological Review, 84, 191–215. Bergen, K. M. (2006). Women’s Narratives about Commuter Marriage: How Women in Commuter Marriages Account for and Communicatively Negotiate Identities with Members of Their Social Networks, dissertation, University of Nebraska, Lincoln Bornstein, M. H. (Ed.). (2002), Handbook of Parenting: 2nd Edition. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Brooks, J. (2011), the Process of Parenting: 8th Edition. New York: McGraw-Hill Inc. Bunker, B.B., Zubek, J.M., Vanderslice, V.J., & Rice, R.W., (1992), Quality of life in dual-career families: Commuting versus single-residence couples, Journal of Marriage and Family, 54, 2, 399-407 Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (2000), Parenting self-efficacy among mothers of school-age children: Conceptualization, measurement, and correlates, Family Relations, 49, 1, 13-24 Conlin, J. (2009, 4 Januari). Living apart for the paycheck. The New York Times. diunduh dari http://www.nytimes.com/2009/01/04/fashion/04commuter.html?_r=1&pagew anted=all pada tanggal 22 Maret 2012 pukul 15.43 WIB DeGenova, M. K. (2008), Intimate Relationships, Marriages, & Families 7th Edition. New York: McGraw-Hill Inc. Elder, G. H., Jr., Eccles, J. S., Ardelt, M., & Lord, S. (1995). Inner-city parents under economic pressure: Perspectives on the strategies of parenting. Journal of Marriage and the Family, 57, 771-784 Gerstel, N., & Gross, H. E. (1982), Commuter marriages: A review. Marriage & Family Review, 5, 71–93 Glotzer, R. & Federlein, A.C. (2007), Miles that bind: Commuter marriage and family strengths. Michigan Family Review, 12, 7-31 Holloway, S. D., Suzuki, S., Yamamoto, Y., & Behrens, K. Y. (2005), Parenting SelfEfficacy among Japanese Mothers, Journal of Comparative Family Studies, 36, 1 Jackson, A. P., Brown, R. P., & Patterson-Stewart, K. E. (2000), African Americans in Dual-Career Commuter Marriages: An Investigation of their Experiences, The Family Journal, 8, 22
Jackson, A. P. & Scheines , R. (2005), Single Mothers' Self-Efficacy, Parenting in the Home Environment, and Children's Development in a Two-Wave Study, Social Work Research, 29, 1, 7-21 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. (2008). Antar Kerja Antar Daerah (AKAD), diunduh dari http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_docman&task =doc_download&gid=295&Itemid=112 pada tanggal 20 Maret 2012 pukul 21.19 WIB Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. (2008). Antar Kerja Antar Negara (AKAN), diunduh dari http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_docman&task =doc_download&gid=297&Itemid=112 pada tanggal 20 Maret 2012 pukul 21.30 WIB Krismantari, I. (2012, 22 Februari). Calling fathers back to the family. The Jakarta Post. diunduh dari http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/22/calling-fathers-backfamily.html pada tanggal 17 Desember 2012 pukul 13.24 WIB Olson, D.H & DeFrain, J. (2006), Marriages & Families: Intimacy, Diversity, and Strengths 5th. New York: The Mc Graw Hill Companies Inc. Papalia, D. E., Olds, S.W., & Feldman, R. D. (2009), Human Development: 11th Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies Inc. Roopnarine, J.L. & Gielen, U.P. (Ed.). (2005), Families in Global Perspectives. Boston : Pearson Education Inc. Schvaneveldt, P. L, Young, M. H., & Schvaneveldt, J. D., (2001), Dual-resident marriages in Thailand: A comparison of two cultural groups of women, Journal of Comparative Family Studies, 32, 3, 347-360 Tomczewski, D. K. (2009). Predictors of Anticipated Parenting Efficacy in Younger Adults, thesis, West Virginia University, Morgantown Tsou, L. M. (2010). The Relation of Childhood Memories and Husband Support to Parenting Self-Efficacy in Japanese Mothers, dissertation, University of California, Berkeley Williams, B. K, Sawyer, S. C., & Wahlstrom, C. M. (2006), Marriages, Families, & Intimate Relationships: A Practical Introduction. Boston: Pearson Education Inc. Van der Klis, M. (2009), Commuter Partnerships: Balancing Home, Family, and Distant Work. Amsterdam: Printpartners Ipskamp B.V.